Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 16
"HAMBA pun setuju! Dia ini boleh saja belajar mati-matian, kaki dibuat kepala dan kepala dibuat kaki, setelah lima tahun, akhirnya dia tentu akan keok (kalah) melawan hamba!" kata Pusporini.
Kembali kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Ucapan seorang gagah, sekali keluar dari mulut tidak akan dijilat kembali. Ketahuilah, aku tidak akan menyeret kalian menyeleweng daripada ajaran-ajaran yang telah kalian terima dari guru-guru kalian. Engkau, Joko Pramono, telah mempelajari Ilmu Cantuka Sekti dari gurumu Resi Adiluhung. Aji itu cukup hebat dan selama lima tahun, aku hanya ingin menuntunmu agar ajimu itu dan aji-ajimu yang lain makin matang. Semua aji itu tiada banyak bedanya. Yang dilatih dengan penuh kematangan, tentu akan menjadi ampuh. Dan engkau, Pusporini, engkau telah banyak menerima aji-aji kesaktian yang hebat dari rakandamu Adipati. Tejolaksono, seperti Pethit Nogo dan Bojro Dahono. Biarlah aku akan membimbingmu agar semua ajimu menjadi matang dan ampuh."
Dua orang muda yang tadinya tergesa-gesa menyanggupi karena panas hati dan tidak mau saling dikalahkan, kini menjadi kaget dan merasa betapa beratnya syarat yang diajukan kakek itu. Lima tahun mengasingkan diri! Tanpa terasa, mereka saling menoleh, saling pandang dengan pandang mata sayu, akan tetapi begitu pandang mata mereka saling beradu, timbul kembali semangat di hati mereka!
"Joko Pramono dan Pusporini, ketahuilah bahwa sesungguhnya seperti kukatakan tadi, aku muncul di dunia ramai karena mendapat getaran perintah gaib. Awan gelap dan hawa jahat bergulung datang hendak mengeruhkan suasana, mendatangkan perang dan malapetaka kepada manusia. Untuk menghalau perusuh itu, akan muncul seorang satria muda yang sakti mandraguna. Akan tetapi dia seorang diri masih belum kuat untuk mengusir marabahaya, harus disandingi tenaga-tenaga muda lain yang cukup kuat. Kalian ini berjodoh untuk menjadi murid-muridku, kalianlah yang akan menjadi dua orang di antara mereka yang bertugas membantu satria muda itu. Kalianlah yang kelak akan ikut mencerahkan suasana, mengusir kegelapan, menentang kejahatan yang merajalela dan mengancam keselamatan rakyat. Karena itu, di pundak kalian terletak tugas yang suci dan luhur sehingga kelak tidak akan percumalah kalian sebagai keturunan orang-orang gagah perkasa."
Dua orang itu termenung. Baru mereka mengerti bahwa mereka diambil murid oleh kakek sakti ini bukan hanya kebetulan belaka.
"Eyang Resi, bolehkan hamba mengetahui siapa gerangan satria muda yang harus hamba bantu kelak?"
Kakek itu tersenyum. "Itu masih merupakan rahasia. Kelak kalian akan mengerti sendiri karena sesungguhnya satria muda itu adalah paman gurumu sendiri. Ketahuilah bahwa saat ini, guruku yang bagi dunia sudah dianggap meninggal dunia, telah berkenan mengambil satria itu sebagai murid. Dialah yang akan bertugas memberantas segala kesesatan dan kalian akan menjadi pembantu-pembantunya. Cukup sekian saja keteranganku, murid-muridku, dan sekarang, meramkanlah matamu dan jangan dibuka sebelum kusuruh."
Dalam keadaan masih berlutut, Pusporini dan Joko Pramono meramkan kedua mata mereka. Tiba-tiba mereka merasa betapa lengan mereka dipegang, kemudian tubuh mereka serasa melayang, padahal mereka masih dalam keadaan duduk bersila! Mimpikah mereka? Benar-benar seperti orang dalam mimpi.
Namun, mereka patuh kepada perintah guru mereka dan sama sekali tidak berani membuka mata sebelum guru mereka menyuruh. Mereka tidak melihat sesuatu, hanya bunyi angin semilir memenuhi kedua telinga.
"Pusporini.... Anakku.... Heh, manusia-manusia biadab, lepaskan puteriku! Hayo, lawanlah Roro Luhito.... !"
"Bibi, ingat, Bibi... !" Tejolaksono terpaksa melompat dan menangkap lengan tangan Roro Luhito yang seperti orang kesurupan setan, hendak berlari mengejar puterinya yang telah dilarikan entah ke mana.
Roro Luhito tadinya meronta-ronta, akan tetapi setelah berkali-kali Tejolaksono dan Ayu Candra membujuknya, ia menjadi tenang. Wajahnya pucat sekali, matanya menyinarkan kemarahan, dan suaranya terdengar dingin ketika ia berkata,
"Anakku Tejolaksono, engkau tahu bahwa aku tidak akan dapat hidup kalau membiarkan Pusporini begitu saja terjatuh ke tangan lawan. Tidak, biar sampai mati aku harus mencarinya sampai dapat. Engkau tentu maklum apa yang akan terjadi pada diri puteriku kalau tidak lekas ditolong. Biarkanlah aku pergi mengejar mereka."
"Berbahaya sekali, Bibi. Biarlah saya yang mengejarnya."
"Kakangmas... !" Ayu Candra berseru dengan suara gemetar.
"Benar isterimu, Tejolaksono anakku. Kadipaten tidak boleh kautinggalkan, hal itu berbahaya sekali. Biarlah aku yang mencari adikmu sampai dapat atau aku takkan kembali sebelum dapat menolongnya. Selamat tinggal!"
"Nanti dulu, Bibi. Tak mungkin Kanjeng Bibi pergi seorang diri saja." Adipati Tejolaksono lalu memanggil dua losin orang pengawal untuk membantu bibinya yang memaksa diri hendak nekat mencari Pusporini. Ia maklum akan genting dan sulitnya keadaan. Ia harus mengakui bahwa memang amatlah berbahaya nasib Pusporini terjatuh ke tangan orang-orang biadab itu dan memang amat membutuhkan pertolongan dengan segera.
Dan ia tahu bahwa mungkin penangkapan atas diri Pusporini itu disengaja untuk memancingnya keluar. Kalau ia keluar dari kadipaten, tentu kadipaten akan menjadi lemah dan akan diserbu musuh. Memang satu-satunya jalan untuk menolong Pusporini hanyalah bibinya, Roro Luhito. Akan tetapi iapun ragu-ragu. Musuh terlampau banyak dan di antara mereka terdapat banyak orang sakti. Biarpun bibinya bukan wanita sembarangan, namun ia sangsi apakah bibinya akan berhasil menolong Pusporini? Jangan-jangan malah membahayakan dirinya sendiri. Betapapun juga, tidak mungkin ia dapat mencegah kehendak bibinya itu. Maka terpaksa ia lalu menyuruh dua losin orang pengawal yang cukup tangguh untuk mengawal bibinya.
Rombongan ini lalu berangkat melakukan pengejaran. Adipati Tejolaksono bersama isterinya lalu mencurahkan perhatiannya kepada penjagaan di Selopenangkep yang sudah terkepung musuh dari segenap jurusan. Kegelisahan hati mereka tentang keselamatan Pusporini dan bibi mereka terpaksa mereka kesampingkan lebih dulu.
"Nimas, keadaan kita amat berbahaya. Engkau tidak boleh berpisah dari sampingku dan harus selalu waspada."
Ayu Candra hanya mengangguk lesu. Terlalu banyak peristiwa sedih yang susul menyusul melemahkan semangat wanita ini. Mula-mula puteranya secara terpaksa dipisahkan dari sampingnya, ditambah tewasnya bibinya, Kartikosari. Kemudian disusul dengan munculnya Endang Patibroto yang membawa pergi Setyaningsih entah ke mana. Kini ditambah terculiknya Pusporini oleh musuh dan perginya Roro Luhito yang secara nekat melakukan pengejaran, padahal musuh amat besar jumlahnya dan memiliki banyak orang sakti. Sekarang, Kadipaten Selopenangkep dikepung musuh dan ia tahu bahwa hal yang paling menggelisahkan hati suaminya adalah karena melihat betapa banyaknya penduduk Selopenangkep yang kini datang bersama musuh, menjadi sekutu dan anak buah musuh!
Malam itu Adipati Tejolaksono mengumpulkan dan mencacahkan jumlah seluruh pasukannya. Tidak lebih hanya tiga ratus orang perajurit, termasuk para pengawal, para abdi dalem dan rakyat penduduk kadipaten yang setia. Banyak di antara penduduk yang siang-siang sudah diam-diam melarikan diri keluar kadipaten. Tigaratus orang, harus menghadapi kepungan musuh yang entah berapa banyaknya! Dan pembantunya, Mundingyudo, baru saja berangkat ke kota raja Panjalu. Ia sangsi apakah bantuan dari Panjalu dapat diharapkan datang sebelum terlambat.
Adipati Telolaksono membagi tugas, mengumpulkan para kepala pasukan yang ia bagi menjadi lima. Ia segera mengatur siasat. Penjagaan dilakukan sekeliling kadipaten, merupakan lima kelompok yang selalu bergerak, berpindah-pindah saling bertukar tempat. Kalau sewaktu-waktu pasukan lawan melakukan penyerbuan, pasukan kadipaten harus membentuk barisan Kalajengking Sakti. Barisan dengan gaya inilah yang paling tepat untuk melakukan penjagaan kadipaten dan menghadapi musuh yang besar jumlahnya.
Barisan bergaya Kalajengking Sakti ini dibagi menjadi lima. Dua barisan kepala di depan merupakan sepasang sapit kalajengking yang menghadapi musuh terbesar dari depan, dari kanan kiri datangnya, menyerang ke arah lambung pasukan besar lawan yang datang menyerbu. Dua barisan lain yang lebih kecil menjaga lambung di kanan kiri merupakan deretan kaki kalajengking, dua pasukan ini mencegah penyerbuan gelap dari jurusan kanan kiri dan mereka ini terdiri daripada barisan panah. Ke lima adalah barisan terbesar yang berada di belakang, merupakan sengat kalajengking. Barisan inilah sebetulnya yang menjadi barisan inti, barisan penyerang yang dipimpin sendiri oleh Adipati Tejolaksono dan isterinya. Barisan ini tugasnya melakukan penyerangan tiba-tiba kepada pasukan penyerbu dan cepat mundur lagi jika barisan sepasang capit sudah kuat kembali, untuk menyusun tenaga dan secara tiba-tiba menyerang lagi. Karena gerakannya cepat tak terduga dan di dalam pasukan ini terletak inti penyerangan yang amat kuat, maka dapat diharapkan fihak penyerbu akan dapat dihancurkan.
Semua telah siap di kadipaten. Penjagaan dilakukan secara bergilir dan tepat agar semua anggauta pasukan mendapat giliran mengaso dan tidur. Bagian dapur umum juga sudah sibuk, mempersiapkan ransum bagi para pasukan yang bertugas berat. Juga bagian perlengkapan senjata selalu sibuk, mempersiapkan senjata-senjata cadangan, mengasah dan menambah jumlah anak panah darurat. Pendeknya, Kadipaten Selopenangkep telah siap sedia dengan semangat tempur yang tinggi.
Akan tetapi, malam itu fihak musuh tidak ada yang melakukan serangan, bahkan tidak melakukan gerakan sama sekali. Dari atas menara kadipaten yang juga dipergunakan sebagai pusat penjagaan, Adipati Tejolaksono melakukan penyelidikan. Hanya tampak obor dan barisan musuh yang padat, tidak bergerak namun mengambil posisi mengurung kadipaten. Hatinya gelisah kalau teringat akan Pusporini dan Roro Luhito. Tidak ada kabarnya sama sekali bibinya dan adik misannya itu. Juga tidak ada seorangpun di antara pasukan pengawal bibinya datang melapor.
Menjelang pagi, ketika ayam jago mulai berkeruyuk, burung-burung mulai berkicau menyambut datangnya fajar, tampaklah pasukan musuh bergerak makin mendekati kadipaten. Pasukan-pasukan kadipaten siap sedia dan kini di pintu gerbang bagian barat terdapat pasukan yang bersorak-sorak. Agaknya pasukan di pintu gerbang barat inilah merupakan pasukan inti lawan, karena di situ tampak Cekel Wisangkoro, Sariwuni, bahkan kelihatan pula Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro yang mengepalai barisan masing-masing.
Pasukan Ni Dewi Nilamanik sendiri daripada wanita-wanita cantik dan muda, yang berbaris rapi dengan pakaian indah, dibagi menjadi tiga kelompok, kelompok pertama adalah pasukan wanita bersenjata gendewa dan anak panah, kelompok ke dua adalah pasukan wanita bertombak, dan ke tiga pasukan wanita berpedang. Juga barisan yang dipimpin Ki Kolohangkoro amat menyeramkan, terdiri daripada laki-laki tinggi besar seperti raksasa, ada pasukan tombak, ada pasukan penggada dan kesemuanya kelihatan kuat-kuat menyeramkan.
Yang mengerikan adalah pasukan raksasa gundul yang seperti boneka hidup. Mereka ini dipimpin oleh Cekel Wisangkoro. Raksasa-raksasa gundul yang seperti boneka atau mayat hidup ini tidak bersenjata, akan tetapi mereka ini kelihatan lebih mengerikan. Dan bercampur dengan bermacam pasukan ini tampaklah para petani, rakyat wilayah Selopenangkep yang kena terbujuk atau terpikat sehingga mereka ini ikut menyerbu kadipaten mereka sendiri! Mereka ini terdiri daripada orang-orang yang memang pada dasarnya tidak memiliki kesetiaan, yang bodoh, yang kena terbujuk karena pengaruh wanita-wanita penyembah Durga yang genit-genit, yang kena pikat oleh harta benda, atau yang terbujuk melalui pelajaran kebatinan dan Agama Shiwa.
Akan tetapi, para perajurit Selopenangkep tidak memperhatikan keadaan pasukan musuh, bahkan tidak gentar melihat mereka. Yang membuat mereka terbelalak adalah ketika fihak musuh mengeluarkan dua buah gala bambu yang panjang dan di ujung gala bambu ini tampak dua buah kepala. Yang sebuah adalah kepala Mundingyudo, pemimpin pasukan Selopenangkep! Adapun yang ke dua adalah kepala Roro Luhito!
"Aduh, kanjeng bibi" Ayu Candra yang memeriksa bersama suaminya dari atas menara, tiba-tiba mengeluh dan terhuyung roboh, akhirnya pingsan di dalam pelukan suaminya.
Adipati Tejolaksono sambil memeluk isterinya yang pingsan, memandang ke bawah, keluar pintu gerbang dan ke arah kepala bibinya dan pembantunya. Matanya menyinarkan api kemarahan, dadanya serasa hendak meledak, giginya berkerot, tangan kanannya mengepal tinju. Jelas bahwa bibinya terbunuh, gagal merampas kembali Pusporini yang entah berada dimana. Terbunuhnya bibinya itu berarti terbunuhnya dua losin pengawal yang membantunya. Dan Mundingyudo juga terbunuh, hal ini berarti bahwa usahanya minta bantuan ke Panjalu gagal pula. Tidak ada jalan lain, ia harus melawan mati-matian! Cepat ia menyadarkan isterinya, lalu menghiburnya,
"Nimas, Kanjeng Bibi tewas sebagai seorang pahlawan. Namanya akan dipuja sepanjang masa sebagai seorang perajurit yang membela Selopenangkep sampai mengorbankan nyawa. Tidak perlu kiranya disedihkan lagi, lebih penting kita siap-siap menggempur musuh untuk membalaskan kematian Kanjeng Bibi Roro Luhito dan yayi dewi Pusporini!"
Bangkit semangat Ayu Candra mendengar ucapan suaminya ini. Dengan muka beringas ia melompat bangun, meraba gagang kerisnya. "Mari kita hajar mereka, Kakangmas!"
Pagi hati itu dimulailah perang campuh yang hebat. Melihat betapa kadipaten dijaga kuat, barisan musuh yang kini dipimpin langsung oleh Ni Dewi Nilamanik menantang dan mengatur barisan di luar kadipaten. Barisan yang merupakan penggabungan macam-macam pasukan itu, terdiri dari lima ratus orang lebih, hampir dua kali jumlah seluruh perajurit Selopenangkep. Perang tanding ini terjadi amat seru, berlangsung dari pagi sampai petang. Namun ternyata, siasat barisan Selopenangkep dengan gelar Kalajengking Sakti ini benar-benar ampuh. Apalagi karena bagian intinya, yaitu bagian sengat kalajengking, penyerang utama barisan itu, dipimpin sendiri oleh sang adipati bersama isterinya.
Barisan Selopenangkep mengamuk dan banjir darah terjadi di medan yuda. Sang Adipati Tejolaksono dan bersama Ayu Candra mengamuk seperti banteng-banteng terluka dan hanya setelah para pimpinan pasukan musuh yang terdiri dari Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, Cekel Wisangkoro, Sariwuni dan dibantu oleh dua orang Gagak, maju menyambut, barulah Adipati Tejolaksono dan isterinya terdesak hebat.
Namun gerak barisan Kalajengking Sakti tidak membiarkan barisan "sengat" ini terdesak. Pasukan-pasukan yang merupakan sapit membantu dari kanan kiri dan pasukan inti itu mundur lagi untuk menyusun tenaga baru.
Setelah hari menjadi petang, perang tanding dihentikan, barisan musuh mundur dan pasukan kadipaten juga kembali memasuki kadipaten. Kedua fihak, bagaikan dua ekor harimau bertanding dan kini menjilat-jilati luka-luka di tubuh masing-masing, kini menghitung-hitung sisa pasukan. Hebat memang akibat perang sehari itu. Di pihak Selopenangkep kehilangan lima puluh orang lebih perajurit yang tewas dan terluka berat, belum terhitung yang luka-luka ringan.
Tiga orang kepala pasukan tewas pula. Akan tetapi di pihak musuh, kerugian yang diderita ternyata lebih besar lagi. Lebih dari seratus orang perajurit tewas, tidak terhitung yang terluka, dan Ki Kolohangkoro terpaksa harus beristirahat sedikitnya tiga hari karena dalam perang tanding tadi, ketika ia ikut mengeroyok Adipati Tejolaksono dan beradu lengan yang dipenuhi getaran hawa sakti, ia kalah kuat dan hawa sakti yang dilancarkan lewat pukulannya membalik dan melukai isi dadanya sendiri sehingga ia harus beristirahat untuk memulihkan tenaga.
Sungguhpun melihat jumlah korban dalam pertandingan itu boleh dikatakan pihak Selopenangkep mendapat kemenangan, namun kenyataannya tidak demikian. Jumlah pasukan Selopenangkep lebih kecil, dan dengan jatuhnya korban-korban itu, kini keadaan mereka menjadi makin payah dan lemah. Apalagi, kadipaten sudah dikurung sehingga mereka tidak dapat mengirim permintaan bantuan ke Panjalu. Kalau mereka terus dikurung, tanpa diperangipun mereka akhirnya akan kalah sendiri karena kehabisan ransum. Agaknya siasat ini pula dijalankan oleh Cekel Wisangkoro yang menjadi penasehat dalam barisan itu, seorang yang banyak mengerti akan siasat perang karena Cekel Wisangkoro ini dahulunya bekas senopati Kerajaan Cola.
Cekel Wisangkoro tidak hanya melakukan pengurungan yang amat ketat dengan menambah jumlah pasukan, bahkan setiap malam ia menyuruh barisan panah untuk menghujankan anak panah ke arah kadipaten, anak panah yang disertai api sehingga setiap malam, Kadipaten Selopenangkep sibuk memadamkan kebakaran dan hanya dapat membalas dengan anak panah ke arah yang mengawur karena fihak musuh selalu berpindah tempat di tengah malam gelap itu!
Siasat yang dipergunakan musuh itu benar-benar melemahkan keadaan para perajurit Selopenangkep. Setelah pengurungan dilakukan selama sepekan, keadaan mereka benar-benar dalam bahaya karena beras telah habis tinggal sehari lagi! Menyelundupkan dari luar tidak mungkin karena penjagaan amat ketat dan untuk menyerbu mati-matian keluar, berarti mengosongkan kadipaten. Malam itu, sebelum musuh melakukan penyerangan dengan anak panah berapi seperti biasa, Tejolaksono memanggil semua pembantunya, para perwira dan kepala pasukan. Ketika ditanya pendapat mereka, seorang panglima tua mewakili kawan-kawannya berkata dengan suara penuh kegagahan,
"Gusti adipati, hamba sekalian bersedia mempertahankan Selopenangkep sampai titik darah terakhir!" Para perwira menyambut pernyataan ini dengan suara tak seorang pun di antara mereka yang gentar menghadapi kematian dalam mempertahankan Selopenangkep. Adipati Tejolaksono terharu sekali, akan tetapi suaranya sungguh-sungguh dan tegas ketika ia berkata,
"Tidak benar pendapat kalian ini, para Paman dan Kakang senopati. Kita harus mencari siasat untuk mengosongkan kadipaten dan menyelamatkan diri."
"Meninggalkan kadipaten, membiarkan kadipaten jatuh ke tangan musuh? Maaf, Gusti adipati! Akan tetapi sungguh-sungguh hamba tidak dapat menerima pendapat ini. Musuh baru boleh menduduki kadipaten, akan tetapi hanya melalui mayat hamba!" bantah panglima tua yang sudah puluhan tahun menjadi hulubalang di Kadipaten Selopenangkep. Pernyataan yang gagah ini kembali disetujui semua kawannya.
Adipati Tejolaksono yang duduk di dekat isterinya, mengangguk-angguk dan berkata kembali. "Aku dapat menghargai kesetiaan kalian, dan jangan mengira bahwa aku sendiri kurang mencinta Kadipaten Selopenangkep. Aku terlahir di tempat ini, dan sudah menjadi kewajibanku untuk mempertahankan Selopenangkep. Akan tetapi, hendaknya andika sekalian mengerti bahwa gerakan musuh ini bukanlah sekedar untuk memusuhi Selopenangkep. Sama sekali bukan, Selopenangkep hanya merupakan awalan yang kecil saja. Gerakan mereka merupakan ancaman untuk seluruh Nuswantara, dan tujuan mereka adalah menundukkan Panjalu dan Jenggala. Kalau sekali ini kita kalah, bukan berarti kita kalah perang. Sama sekali tidak, Paman dan Kakang senopati. Kekalahan kita sekarang ini dapat kita tebus kelak dalam pertempuran di lain kesempatan, bukan kalah perang melainkan hanya kalah dalam suatu pertempuran karena kalah banyak jumlah perajurit kita. Kita harus mencari siasat dan jalan untuk keluar dari sini dalam keadaan selamat."
"Maaf, Gusti adipati. Sungguhpun benar apa yang Paduka katakan, akan tetapi hamba tetap berpendapat bahwa amatlah tidak layak bagi seorang perajurit untuk tinggalkan gelanggang perang, melarikan diri seperti orang-orang penakut dan pengecut! Hamba tidak takut mati di tangan musuh, Gusti. Hamba tidak akan membiarkan musuh menduduki Selopenangkep sebelum hamba mati!" Demikian kata panglima tua yang amat setia. Kawan-kawannya mengangguk membenarkan.
Marahlah Adipati Tejolaksono. Dengan pandang mata tajam ia menatap wajah para pembantunya, seorang demi seorang. Demikian tajam berpengaruh pandang mata Adipati Tejolaksono sehingga mereka itu menundukkan muka tidak berani menentang pandang.
"Andika sekalian terlalu mabuk kegagahan sehingga lupa akan tugas terutama dan terpenting seorang perajurit. Apakah tugas pertama seorang perajurit? Patuh dan taat akan perintah atasan! Dan sekarang, andika sekalian sudah hendak melanggar tugas pertama ini! Apakah andika semua sudah tidak mengakui lagi aku sebagai atasan kalian?"
Suara yang marah dan berwibawa ini tidak ada yang membantah. Semua perwira hanya menundukkan muka dan biarpun mereka masih merasa penasaran, namun teguran ini membuat mereka merasa malu sekali. Adipati Tejolaksono menghela napas panjang, lalu berkata,
"Paman dan Kakang senopati semua. Jangan sekali-kali mengira bahwa aku Tejolaksono takut menghadapi maut dalam perang melawan musuh. Sama sekali tidak, seujung rambutpun tidak! Dan jangan mengira aku mengajak andika semua menyelamatkan diri karena takut kepada musuh, sama sekali tidak! Aku mengambil keputusan ini setelah kuwawas dengan matang, setelah kupertimbangkan semasak-masaknya. Hanyalah orang bodoh yang berlaku nekad dan membunuh diri tanpa ada manfaatnya. Kita terkepung, jumlah musuh jauh terlalu banyak sehingga kalau kita berkeras melawan, kita akan membuang nyawa secara sia-sia belaka. Kita tidak boleh buta akan kenyataan, dan dapat mengetrapkan keberanian kita pada saat yang tepat. Kalau kita berkeras mempertahankan Selopenangkep, akhirnya kita akan tewas semua dan apakah andika kira bahwa kalau kita tewas Selopenangkep tidak akan diduduki musuh? Sia-sia belaka kita nekat tanpa perhitungan. Sebaliknya, kalau kita dapat menyelamatkan diri membebaskan diri daripada kepungan, benar bahwa Selopenangkep akan diduduki musuh. Akan tetapi kita masih hidup dan tentu saja kita tidak akan tinggal diam. Kita akan menyatukan diri dengan pasukan Panjalu dan kembali ke sini. Nah, saat itulah kita boleh mempertaruhkan nyawa dalam perang yang seimbang. Selain itu, jangan andika sekalian mengira akan mudah saja membebaskan diri daripada kepungan musuh ini. Sama sekali tidak! Kita harus menerobos dan membuka jalan darah, bertanding mati-matian, mungkin sekali banyak di antara kita akan tewas, akan tetapi setidaknya, sebagian daripada kita akan selamat dan kelak akan membalaskan kematian kawan-kawan yang gugur. Kalau kita nekat mempertahankan di sini, kita semua mati. Siapa kelak yang akan membalaskan kematian kita?"
Ucapan sang adipati yang panjang lebar ini menyadarkan para senopati. Mereka mengangguk-angguk dan menyatakan setuju. Maka diaturlah siasat. Malam itu, kalau para musuh menyerang dengan anak panah, pasukan diharuskan membiarkan saja dan tidak terlalu membuang tenaga memadamkan api, bahkan lebih baik menyimpan tenaga dan beristirahat sambil berlindung. Kemudian, jauh lewat tengah malam, ketika diperkirakan lawan yang lelah itu mengaso, mereka akan menyerbu keluar melalui pintu gerbang sebelah utara.
Seperti pada malam-malam yang lalu, malam itu fihak musuh juga menghujankan panah api. Para perajurit Selopenangkep, sesuai dengan perintah sang adipati, hanya memadamkan api yang sekiranya berbahaya saja. Mereka lebih sibuk bersiap untuk menyerbu keluar pagi nanti dan beristirahat mengumpulkan tenaga. Keluarga para perajurit yang sudah dikumpulkan di kadipaten, berikut anak-anak mereka, telah pula bersiap-siap melarikan diri bersama-sama karena mereka maklum bahwa wanita yang tertinggal di situ pasti kelak akan menjadi korban kebiadaban para musuh. Daripada tinggal dan terancam bahaya mengerikan, mereka ini lebih suka ikut melarikan diri dengan taruhan nyawa di samping suami dan ayah mereka.
Lewat tengah malam, serangan dari luar berhenti dan keadaan menjadi sunyi di luar kadipaten. Di sana-sini, di dalam kadipaten, masih ada api menyala. Adipati Tejolaksono melakukan persiapan bersama isterinya. Suami isteri ini sama sekali tidak memperdulikan isi gedung kadipaten. Hanya keris pusaka yang mereka bawa, di samping benda-benda perhiasan yang kecil-kecil saja. Sedikitpun mereka tidak merasa berduka meninggalkan barang-barang mereka, hanya berduka karena kini mereka terpaksa harus meninggalkan tempat tinggal mereka berdua saja, sedangkan putera mereka masih belum mereka ketahui keadaannya, juga Pusporini yang diculik musuh. Mereka berduka menyaksikan kematian Roro Luhito yang begitu mengerikan, tanpa mendapat kesempatan untuk mengurus dan menyempurnakan jenazah orang tua itu.
Tejolaksono menanti sampai jauh lewat tengah malam. Setelah mendekati fajar dan diperkirakan fihak musuh sedang enak mengaso dan tidur, Tejolaksono memberi isyarat kepada para pembantunya. Bergeraklah sisa pasukan Selopenangkep yang berjumlah hanya kurang lebih dua ratus orang itu bersama keluarga mereka yang mereka lindungi dan dikumpulkan di tengah-tengah mereka.
Adipati Tejolaksono dan isterinya, Ayu Candra, keduanya mengenakan pakaian ringkas berwarna hitam, keris pusaka terselip di pinggang, berjalan berdampingan paling depan, merupakan pelopor. Sikap mereka yang gagah perkasa dan sedikitpun tidak membayang takut dan menambah semangat para perajurit dan di dalam hati setiap orang perajurit bersumpah untuk sehidup-semati dengan junjungan mereka ini.
"Kita menyerbu keluar dengan mati-matian! Ketahuilah kalian semua bahwa kalau kita tetap berlindung di kadipaten akhirnya kita semua akan mati kelaparan atau mati terbakar. Daripada mati konyol seperti itu, adalah lebih baik kelak kita menyerbu keluar dan berusaha melarikan diri ke Panjalu untuk mencari bala bantuan. Ingat, yang tewas dalam penyerbuan ini adalah perajurit-perajurit gagah perkasa dan setia karena kematiannya adalah demi menyelamatkan sebagian kawan-kawan dan mereka yang berhasil selamat melarikan diri sampai ke Panjalu adalah perajurit-perajurit perkasa pula yang kelak akan membalaskan kematian kawan-kawan yang tewas dalam usaha ini. Karena itu, marilah kita bertempur mati-matian, demi untuk keselamatan kita sendiri, teman-teman dan keluarga kita, juga demi nama dan kehormatan kita sebagai perajurit-perajurit Selopenangkep yang lebih balk mati daripada menakluk kepada musuh!" Demikian pesan terakhir Adipati Selopenangkep itu ketika hendak melakukan penyerbuan keluar.
Fajar yang sunyi dan dingin sekali itu, secara tiba-tiba dipecahkan suara gaduh dan hiruk-pikuk ketika para penyerbu dari dalam ini ketahuan. Terjadilah perang yang amat hebat, perang kacau-balau karena biarpun fihak pengurung kadipaten jumlahnya jauh lebih banyak, akan tetapi mereka tadi tengah tidur nyenyak dan sama sekali tidak pernah menyangka bahwa sisa perajurit-perajurit Selopenangkep yang sudah dikurung berhari-hari itu masih ada kemampuan untuk menyerbu dan menerobos keluar.
Sepak terjang Tejolaksono dan Ayu Candra amat menggiriskan hati para perajurit musuh. Bagaikan sepasang garuda sakti saja, suami isteri yang menjadi pelopor terdepan ini mengamuk dan barang siapa berani menghadang di depan mereka, tentu akan terjungkal roboh tak bernyawa lagi! Jauh berbeda perasaan suami isteri ini ketika mereka mengamuk dan membabati musuh seperti dua orang penggembala berlomba membabat rumput saja. Semangat Tejolaksono meluap-luap karena sang adipati ini ingin sekali melihat sebanyak mungkin perajuritnya dapat berhasil lolos dari kepungan.
Adapun Ayu Candra mengamuk berdasarkan dorongan rasa hati yang sakit, marah dan dendam karena musuh inilah yang menyebabkan pelbagai malapetaka menimpa keluarganya, bahkan yang memaksanya meninggalkan kadipaten tanpa menanti kembalinya puteranya, Bagus Seta, dan Pusporini yang hilang entah ke mana perginya. Namun, betapapun jauh bedanya gelora yang bergejolak di hati masing-masing, akibatnya amat celaka bagi lawan yang berani menghadang di depan suami isteri perkasa ini.
Betapapun gagahnya para perajurit Selopenangkep yang mengamuk sambil bersorak menggegap-gempita, namun jumlah lawan terlalu banyak. Di bawah pimpinan Tejolaksono dan Ayu Candra, akhirnya sebelum matahari terbit dan sebelum fihak musuh dapat menghimpun kekuatan dan pulih daripada kekacauan karena penyerbuan, tiba-tiba itu, sebagian kecil prajurit Selopenangkep dan keluarganya berhasil lolos dari kepungan dan melarikan diri ke arah Panjalu. Dari dua ratus orang perajurit yang dapat lolos hanya lima puluh lebih orang saja dan keluarga para perajurit hilang tiga perempatnyal
Kematian di pihak mereka banyak, akan tetapi mereka akan berbesar hati kalau dapat menghitung jumlah korban di fihak musuh yang telah mereka roboh dan tewaskan, karena jumlah ini sedikitnya ada tiga kali lebih besar daripada jumlah korban mereka! Tidak ada seorang pun di antara mereka yang tidak membunuh musuh sedikitnya dua orang, dan mereka yang gugur tentu telah merobohkan lebih banyak musuh pula!
Perjalanan melarikan diri ke Panjalu ini amatlah sengsara. Karena khawatir akan pengejaran musuh yang berjumlah besar, mereka melakukan perjalanan siang malam sehingga dalam perjalanan yang dipaksa Ini kembali jatuh beberapa orang korban, yaitu di antara mereka yang terluka dalam penyerbuan keluar itu.
Namun akhirnya, dalam keadaan lelah iahir batin, Adipati Tejolaksono bersama isteri berhasil juga membawa rombongan pelarian ini sampai ke Kota Raja Panjalu di mana sang adipati dengan suara pilu melaporkan segala peristiwa yang terjadi kepada sang prabu di Panjalu.
Bukan main marahnya sang prabu di Panjalu ketika mendengar pelaporan Adipati Tejolaksono. Sang prabu masih duduk terhenyak di atas singgasana, akan tetapi jari-jari tangan yang memegang lengan kursi itu menegang dan mengepal-ngepalkan tinju. Wajah yang tampan dan biasanya tenang dan agung itu kini menjadi merah, seolah-olah mengeluarkan cahaya berapi, giginya berkerot dan dadanya bergelombang, sepasang mata yang masih tajam berpengaruh itu memandang penuh kemarahan kepada musuh.
"Babo-babo....si keparat! Tidak ada habisnya nafsu kemurkaan diumbar oleh Sriwijaya! Begitu buta matanya sehingga tidak melihat bahwa sesungguhnya agama diciptakan untuk mendatangkan perdamaian di atas bumi! Akan tetapi dia malah berani memperalat agama untuk mengumbar nafsu, mempergunakan pendeta-pendeta palsu dan agama-agama sesat untuk mempengaruhi rakyat Panjalu dan untuk menyebar kematian dan kerusakan! Hei, para senopati dan perwiraku! Jangan kehilangan akal. Kerahkan semua barisan, perhebat gemblengan dan latihan mulai saat ini juga. Aku mengangkat Tejolaksono menjadi senopati perang untuk memimpin barisan Panjalu dengan tugas membasmi sampai habis benalu-benalu yang datang dari Sriwijaya dan Cola!"
Perang...! Perang...! Perang...!
Tidak ada seorang pun manusia kalau ditanya menjawab bahwa dia suka akan perang. Tidak! Semua orang tidak suka, bahkan membenci perang, karena siapakah orangnya yang akan dapat menikmati kesenangan dari perang? Kematian merajalela, harta benda mawut, hidup tak terjamin keamanannya. Semua orang membenci perang. Akan tetapi kenyataannya, semenjak dunia berkembang sampai sekarang, dunia penuh dengan perang. Berhenti di sini, muncul di sana. Tenang di sana, meletus di sini!
Terus-menerus begitu, abad demi abad, sehingga manusia menjadi terbiasa karenanya, seolah-olah perang merupakan hiasan dunia, merupakan keharusan dalam penghidupan manusia. Perang untuk memperebutkan kemenangan! Ciri khas mahluk yang disebut manusia! Dan agaknya, selama ciri ini, yaitu ingin menang sendiri, tidak terhapus daripada watak umum manusia, sampai dunia kiamat sekalipun perang takkan pernah dapat terhapus dari pada lembaran sejarah.
Perang! Bunuh-membunuh! Perjuangan antara hidup dan mati. Mengerikan! Mengerikan? Sesungguhnya tidak, karena bukankah pada hakekatnya hidup ini perjuangan antara hidup dan mati? Bukankah hanya ada dua di dunia ini, yaitu hidup atau mati? Yang mati untuk memberi kesempatan kepada yang hidup untuk menggantikan yang mati, apa bedanya Menang atau Kalah, apa nilainya?
Panggung sandiwara itu tetap terbuka. Layar itu berulang kali dikerek turun naik. Berganti-ganti pelakunya, bertukar sri panggungnya, namun dimulai dan ditutup dengan naik dan turunnya layar. Yang lama turun yang baru naik. Layar dikerek naik lagi untuk kemudian ditutup kembali. Begitu dan begitu seterusnya.
Yang tinggal hanya kenangan! Inipun akan terhapus. Dunia sebagai panggung sandiwara lapuk dengan manusia-manusianya sebagai pelaku-pelaku yang selalu haus akan hal baru. Dipertontonkanlah bermacam gaya dan permainan, semuanya palsu. Drama dan lawak, terutama sekali lawak dengan dagelan-dagelan bermacam gaya!
Perang mengamuk di perbatasan sebelah barat Kerajaan Panjalu. Pasukan-pasukan Kerajaan Panjalu yang amat kuat dan terlatih, mengadakan operasi pembersihan di mana-mana. Tidaklah ringan tugas ini. Di mana-mana mereka mendapat sambutan, dan terjadilah perang tanding. Namun pasukan-pasukan Panjalu memang terlatih dan kuat, apalagi jumlahnya besar dan di mana-mana mendapat dukungan rakyat. Terutama sekali induk barisan yang dipimpin sendiri oleh Tejolaksono. Menggempur sana menerjang sini, dan di mana saja pasukan-pasukan liar musuh tentu dibikin kocar-kacir, kalau tidak dibasmi sama sekali.
Barisan Panjalu terus bergerak ke barat. Banyak sudah pasukan lawan dapat dihancurkan, namun belum pernah idam-idaman hati Tejolaksono terpenuhi, yaitu menangkap atau membunuh tokoh-tokoh yang menggerakkan pasukan-pasukan asing itu. Ingin sekali ia dapat berhadapan dengan anak buah Biku Janapati dan Wasi Bagaspati. Ingin sekali ia dapat menangkap Cekel Wisangkoro, Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, Sariwuni dan kawan-kawan mereka itu. Namun tak pernah ia berkesempatan bertanding yuda dengan mereka itu yang agaknya bergerak di balik tabir hitam dan selalu melarikan diri kalau melihat pasukan mereka terpukul mundur.
Akhirnya, setelah menghalau penghalang-penghalang yang berupa pasukan-pasukan liar musuh, barisan yang dipimpin Tejolaksono berhasil menduduki kembali Selopenangkep. Hati sang adipati remuk redam ketika ia menyaksikan keadaan Selopenangkep. Rakyatnya mengalami penderitaan hebat. Banyak wanita diperkosa, laki-laki dibunuh dan mereka semua diharuskan menjadi penyembah-penyembah Durga dan Bathara Kala.
Keadaan istana kadipaten sendiri rusak dan hancur. Barang-barang berharga sudah lenyap, bahkan sebagian besar bangunannya ambruk dan terbakar. Tejolaksono makin sakit hatinya. Ia terus mengadakan pembersihan di sekitar daerah Selopenangkep, setiap hari memimpin pasukan keluar untuk melakukan pengejaran dan pembersihan. Sesungguhnya tidak ringan tugas yang dipikul oleh Tejolaksono dan perajurit-perajurit Panjalu, karena fihak lawan kadang-kadang mengadakan perlawanan hebat sehingga menimbulkan banyak korban pula di pihak Panjalu.
Ketika pasukan Panjalu mengadakan penyerbuan di Gunung Mentasari yang menjadi markas besar Ni Dewi Nilamanik, pasukan Panjalu menghadapi perlawanan yang luar biasa beratnya dan hampir saja pasukan Panjalu mengalami bencana besar. Pasukan ini dipimpin sendiri oleh Tejolaksono, berjumlah tiga ratus orang, karena menurut para penyeliclik, puncak Mentasari itu hanya dihuni oleh wanita-wanita penyembah Durga yang jumlahnya tidak banyak. Dan memang keterangan para penyelidik ini tidak salah. Puncak Mentasari dijadikan tempat pusat atau markas besar untuk sementara waktu oleh Ni Dewi Nilamanik dan di sini ia mempunyai anak buah sebanyak sembilah puluh sembilan orang, kesemuanya wanita-wanita yang cantik-cantik dan genit-genit.
Tejolaksono yang selalu bersikap hati-hati dan waspada tidak mau memandang rendah fihak lawan. Selain ini, juga ia ingin sekali dapat menangkap hidup atau mati pimpinan pasukan penyembah Bathari Durga itu, yakni Ni Dewi Nilamanik. Maka ia lalu membagi pasukannya menjadi lima dan mendaki Bukit Mentasari dari lima jurusan. Dari empat jurusan masing-masing terdiri dari lima puluh orang perajurit sedangkan seratus orang perajurit lagi ia pimpin sendiri, mendaki dari jalan biasa, langsung ke puncak.
Inilah kesalahan Tejolaksono. Ia terlalu hati-hati dan mengambil jalan mengurung, akan tetapi hal ini malah menjadi berbahaya karena berarti bahwa sebagian daripada perajurit-perajuritnya terpisah daripadanya. Inilah bahayanya Menghadapi perlawanan kasar yang menggunakan kekerasan, tentu saja para perajurit itu sudah terlatih dan tergembleng dan kiranya akan dapat menanggulangi musuh. Akan tetapi menghadapi sambutan halus yang didasari kesaktian ilmu hitam, tentu saja hanya Tejolaksono yang akan dapat menghadapinya.
Demikianlah, setelah memecah pasukannya menjadi lima, Tejolaksono sendiri lalu memimpin sisa pasukan mendaki Gunung Mentasari yang tidak berapa tinggi itu. Ia sudah memperhitungkan bahwa penghuni gunung itu tentu tidak akan dapat meloloskan diri karena pasukan-pasukannya mengepung dan memasuki dari lima jurusan. Maka untuk mencapai puncak, ia sengaja membawa pasukannya lambat-lambat saja menuju sarang musuh. setelah hampir tiba di puncak, Tejolaksono menyuruh pasukannya bersembunyi dan menanti tanda rahasia pasukan-pasukan lain yang mengepung puncak. Tanda rahasia itu adalah bunyi emprit gantil yang diulang sampai tiga kali.
Puncak di mana berdiri bangunan-bangunan para penyembah Bathari Durga tampak sunyi-sunyi saja, sungguhpun asap yang mengepul menjadi tanda bahwa penghuninya masih ada dan mungkin asap itu adalah asap dari dapur mereka. Telah lama Tejoiaksono menanti, namun belum juga ada tanda-tanda dari empat pasukannya yang lain. Padahal menurutkan perhitungannya, pasti mereka telah tiba di puncak, atau sedikitnya satu di antara empat tentu sudah sampai.
Ia menjadi tidak sabar dan juga gelisah. Tidak munculnya empat pasukan kecil itu boleh jadi berarti bahwa mereka mendapatkan bencana yang tak terduga-duga. Oleh karena itu, Tejolaksono lalu memberi tanda dan dia sendiri lebih dulu menyerbu naik ke atas puncak, menuju bangunan-bangunan yang sudah kelihatan dari tempat mereka bersembunyi tadi. Pasukannya yang seratus orang banyaknya itupun bersorak dan menyerbu ke puncak. Sudah gatal-gatal tangan mereka dan kesal hari mereka karena sejak tadi bersembunyi dan berdiam diri saja.
Tiba-tiba dari dalam bangunan itu bermunculan banyak sekali wanita cantik dan sorak-sorai para perajurit Panjalu itu seketika terhenti. Sebagian besar.di antara mereka terhenyak di tempatnya seperti berubah menjadi arca dengan mata terbelalak memandang ke depan dan mulut ternganga, tidak tahu apa yang harus dilakukan! Bermacam-macam perasaan tampak pada wajah para perajurit yang tadinya bersernangat penuh untuk bertanding ini. Ada yang tersipu-sipu malu, ada yang terbelalak dan terpesona penuh gairah, ada yang mengeluarkan kutuk, dan ada pula yang menjadi pucat pasi mukanya. Betapa mereka tidak akan tercengang ketika mendapat kenyataan bahwa musuh yang mereka serbu ini ketika muncul merupakan sekumpulan wanita muda cantik dan berpakaian tipis setengah telanjang, yang berlari-lari menyambut mereka dengan rambut panjang terurai lepas, pakaian sutera tipis berkibar setengah terbuka, mata bergerak genit dan mulut tersenyum-senyum memikat penuh daya rangsang.
Akan tetapi tiga perajurit terdepan yang bergerak maju dengan pandang mata penuh gairah terpikat dan hendak merangkul wanita-awanita itu, tiba-tiba roboh terguling oleh kilatan keris-keris yang berada di tangan wanita-wanita itu dan yang disembunyikan di balik pakaian yang berkibar-kibar !
Menyaksikan keadaan ini, Tejolaksono maklum bahwa pihak lawan mempergunakan pikatan berupa anggauta-anggautanya yang muda dan cantik, diperkuat oleh pengaruh ilmu hitam yang melemahkan semangat para perajuritnya. Maka ia lalu mengerahkan hawa sakti di dadanya dan mengeluarkan pekik Dirodo Meto yang mempunyai pengaruh dan wibawa besar dan hebat sehingga sejenak buyarlah kekuatan ilmu hitam guna-guna yang dibawa oleh wanita-wanita setengah telanjang itu dan terkejutlah semua perajurit Panjalu seperti mendengar halilintar di dekat telinga. Karena terkejut, mereka sadar dan sejenak mereka terbebas daripada cengkeraman hawa ilmu hitam yang mempesonakan hati mereka tadi.
"Semua perajurit perkasa maju! Mereka adalah iblis-iblis betina yang harus dihancurkan!" teriakan Tejolaksono menggema di seluruh puncak bukit itu dan kini semangat para perajurit terbangun kembali. Tubuh-tubuh setengah telanjang dan wajah cantik tersenyum-senyum tidak lagi tampak cantik menarik dan lemah gemulai, melainkan tampak seperti wajah Bathari Durga di kala marah, mengerikan dan menjijikkan. Seketika mereka serentak maju dan menggerakkan senjata dan terjadilah perang tanding karena kini para penyembah Durga, anak buah Ni Dewi Nilamanik itu maklum bahwa pengaruh ilmu guna-guna yang disebar guru mereka sudah kehilangan kekuatannya dan mereka tidak lagi dapat mengandalkan ilmu itu, melainkan harus mengandalkan senjata dan ketangkasan.
Namun, dalam hal ketangkasan bertanding mempergunakan tenaga dan senjata, para anak buah Di Dewi Nilamanik ini tidak dapat mengimbangi kegagahan para perajurit Panjalu sehingga mulailah terdengar jerit-jerit kesakitan disusul robohnya wanita-wanita itu.
Adapun Tejolaksono sendiri setelah dengan hati lega menyaksikan kepulihan semangat para perajuritnya, lalu meloncat ke depan dan langsung ia menyerbu Ni Dewi Nilamanik yang baru muncul keluar dari pintu. Ia tidak mengenal wanita ini, namun melihat pakaiannya yang indah, kecantikannya yang mengagumkan dan mengerikan karena mata batinnya yang waspada dapat melihat betapa kecantikan itu tidak wajar dan di balik kecantikan yang menonjol oleh daya ilmu hitam ini bersembunyi kekejaman yang amat luar biasa, dapatlah ia menduga dengan cepat siapa adanya wanita ini. Apalagi melihat betapa wanita itu memegang sebuah pengebut lalat yang terbuat daripada benang semacam serat berwarna, merah dan berbentuk seperti buntut kuda.
Tanpa banyak cakap lagi ia lalu menerjang maju, menggunakan sepasang goloknya yang sengaja dibuat oleh adipati ini dan menjadi senjatanya yang ampuh selama ia melakukan tugas pembersihan menghalau musuh dari daerah Panjalu. Akan tetapi, Ni Dewi Nilamanik pada saat itu menjadi terkejut dan marah ketika memperhatikan anak buahnya. Tadi ia telah mempergunakan ilmu hitamnya, meniupkan aji guna-guna kepada para muridnya sehingga setiap orang pria yang bertemu tentu akan luluh semangatnya dan tergila-gila. Bagaimana sekarang murid-muridnya itu dihajar sampai banyak yang roboh tewas oleh para perajurit Panjalu?
Kini melihat berkelebatnya tubuh Tejolaksono yang didahului dengan gulungan dua sinar golok berkilauan, Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya sudah melesat ke samping. Dalam mengelak ini, Ni Dewi Nilamanik membarengi dengan gerakan pengebutnya. Sinar merah menyambar dari samping ke arah Tejolaksono, mengeluarkan bunyi
"Tarrrr....!!" keras sekali.
Tejolaksono yang sudah menduga akan kesaktian wanita ini, tidak berani memandang rendah dan cepat pergelangan tangannya bergerak memutar, membuat golok kanannya membentuk lingkaran menangkis sinar merah itu. Akan tetapi sinar tak kunjung datang dan ketika ia memandang, ternyata wanita itu sudah melesat jauh ke depan dan tangan kiri wanita itu dengan gerakan kuat sekali, melempar-lemparkan sesuatu ke atas.
Seketika tempat itu menjadi gelap oleh debu putih yang disebar oleh Ni Dewi Nilamanik itu dan dapat dibayangkan betapa marah dan kaget hati Tejolaksono ketika melihat para perajuritnya yang terdepan menjadi terhuyung-huyung dan terengah-engah sehingga mereka ini dengan mudah dapat dirobohkan oleh anak buah Ni Dewi Nilamanik yang tertawa terkekeh-kekeh karena girang hati menyaksikan anak buahnya membunuhi perajurit-perajurit Panjalu.
"Bedebah, iblis betina!" Adipati Tejolaksono berseru marah sekali dan tubuhnya mencelat ke atas, menyambar ke arah Ni Dewi Nilamanik. Sebuah teriakan keras menggema keluar dari mulutnya dan dua gulungan sinar goloknya menyilaukan mata, menyambar dengan gerakan menyilang seperti dua ekor ular naga menukik turun dari angkasa.
"Heeeiiiiittt....!!" Ni Dewi Nilamanik terkejut sekali sehingga tanpa disadarinya ia mengeluarkan jerit ini dan tubuhnya dilempar ke belakang, terjengkang dan rebah terus bergulingan di atas tanah untuk menyelamatkan diri daripada dua gulungan sinar maut yang keluar dari sepasang golok di tangan Tejolaksono. Kemudian dari bawah, sinar merah kebutannya meluncur ke arah perut Tejolaksono dengan kecepatan kilat sehingga pendekar sakti ini terpaksa menghentikan serangannya dan menangkis dengan golok disilang, dengan maksud menggunting putus ujung kebutan. Akan tetapi ternyata jurus-jurus yang dimainkan wanita itu penuh tipu muslihat karena kali ini kembali luncuran senjatanya hanya merupakan gerak tipu belaka dan sudah melejit ke bawah.
Dengan tubuh masih di atas tanah, mendekam, wanita itu kini menyambarkan kebutannya hendak menyerimpung kedua kaki Tejolaksono yang kagum bukan main. Dari keadaan terdesak, ternyata dalam satu dua jurus saja wanita itu sudah membalikkan keadaan, menjadi balas mendesak. Terpaksa Tejolaksono meloncat ke atas dan terjadilah perang tanding yang amat seru dan hebat antara Ni Dewi Nilamanik dan Tejolaksono.
Sementara itu karena kini didesak Tejolaksono, Ni Dewi Nilamanik tidak dapat lagi mengacaukan para perajurit dan kembali para perajurit Panjalu menerjang para wanita anak buah Ni Dewi Nilamanik sehingga terdengar pekik susul-menyusul yang keluar dari mulut para wanita yang roboh oleh senjata para perajurit.
Melihat keadaan tidak menguntungkan, tiba-tiba Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan teriakan menyayat hati, tangan kanan digerakkan dan tiba-tiba semua bulu kebutan yang berwarna merah itu terlepas dari gagangnya dan bagaikan ratusan ekor ular merah yang kecil menyambar ke depan, sebagian ke arah Tejolaksono dan sebagian lagi ke arah perajurit-perajurit yang berdekatan.
Tejolaksono memutar sepasang goloknya dengan jurus pertahanan dari ilmu Golok Lebah Putih sehingga sepasang goloknya mengeluarkan suara mendengung seperti sekumpulan lebah keluar dari sarang. Runtuhlah semua bulu kebutan yang tadi menyambar bagaikan anak-anak panah itu, akan tetapi terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya tujuh orang perajurit yang tubuhnya tertembus oleh bulu-bulu kebutan yang beracun!
Tejolaksono yang terkejut memandang anak buahnya, menjadi marah, cepat membalikkan tubuh dan slap menerjang lawan. Akan tetapi ternyata Ni Dewi Nilamanik telah lenyap. Wanita itu mempergunakan kesempatan tadi untuk menyelinap di antara anak buahnya yang mulai terdesak. Tejolaksono mengejar, mengamuk dan merobohkan banyak musuh, namun tidak kelihatan pula bayangan Ni Dewi Nilamanik.
Kacau-balaulah kini pertahanan anak buah Ni Dewi Nilamanik setelah ditinggalkan pemimpinnya. Amukan para perajurit Panjalu makin menghebat dan akhirnya mereka lari cerai-berai, dikejar oleh perajurit-perajurit Panjalu. Di antara sembilan puluh sembilan orang perajurit wanita anak buah Ni Dewi Nilamanik, hanya ada sebelas orang saja yang lolos dan entah lari ke mana, mungkin melalui jalan rahasia bersama pemimpin mereka. Yang lain telah tewas sehingga mayat mereka berserakan memenuhi tempat itu, malang melintang bersama mayat-mayat para perajurit Panjalu yang banyak jumlahnya pula.
Kemudian ternyata oleh Tejolaksono bahwa empat rombongan pasukannya yang mendaki dari lain jurusan untuk mengepung markas musuh itu, ternyata telah berantakan karena disambut oleh pasukan musuh yang mempergunakan ilmu hitam. Mereka itu terpikat dan mabuk di bawah pengaruh guna-guna yang amat kuat sehingga di antara dua ratus orang dalam empat rombongan itu, hampir semua tewas, hanya ada dua puluh orang lebih saja yang berhasil menyelamatkan diri. Dengan demikian, ditambah dengan jumlah korban dari pasukannya yang menyerbu tadi, jumlah korban semua dari perajurit Panjalu ada dua ratus orang. Mereka berhasil membasmi pasukan penyembah Bathari Durga dan menewaskan hampir semua anggautanya, namun dengan pengorbanan yang jauh lebih besar!
Pembersihan dilakukan terus-menerus oleh Tejolaksono. Kadang-kadang pasukannya terancam bahaya besar. Ketika pasukannya bertemu dengan barisan musuh di Kulon Progo (sebelah barat Sungai Progo), juga terjadi perang yang amat hebat. Pasukan musuh itu jumlahnya seimbang dengan pasukannya, namun pasukan musuh diperkuat oleh tiga puluh orang raksasa gundul, anak buah Cekel Wisangkoro. Pasukan raksasa gundul inilah yang amat hebat, membuat para perajuritnya kewalahan, karena mereka ini rata-rata memiliki kekebalan dan tenaga yang dahsyat! Gerakan mereka seperti robot, dan memang keadaan pasukan ini seperti bukan manusia-manusia lagi. Semangat mereka dikendalikan oleh Cekel Wisangkoro dengan pengaruh ilmu hitam.
Tejolaksono maklum bahwa kalau ia tidak cepat turun tangan, tentu para perajuritnya akan celaka. Maka ia lalu mainkan sepasang goloknya dan tubuhnya sampai lenyap terbungkus dua gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara mbrengengeng seperti ratusan ekor lebah mengamuk. Gulungan sinar putih ini seperti tangan maut sendiri, mengamuk di antara orang-orang gundul tinggi besar yang dengan nekat dan tidak mengenal takut mengeroyoknya. Lima orang gundul mengeroyok Tejolaksono.
Begitu pendekar sakti ini merobohkan mereka dengan kepala remuk dan tubuh terpelanting ke dalam Sungai Progo, lima orang lagi maju menggantikan dan demikianlah, terus-menerus Tejolaksono mengamuk, sementara itu pasukannya kocar-kacir karena tidak sanggup menghadapi fihak lawan yang dibantu reksasa-raksasa gundul yang amat tangguh itu.
Setelah dengan tubuh lelah sekali Tejolaksono akhirnya berhasil menewaskan tiga puluh orang raksasa gundul itu, barulah perajurit perajuritnya yang sudah banyak kehilangan kawan itu bangkit semangatnya dan terjadi perang yang amat dahsyat yang berakhir dengan kemenangan fihak Panjalu. Akan tetapi juga dalam perang tanding di pantai Progo ini, Tejolaksono kehilangan banyak perajurit dan dengan kecewa ia tidak dapat menangkap atau menewaskan Cekel Wisangkoro yang berhasil menyelamatkan diri bersama sisa pasukannya.
Berbulan-bulan lamanya Tejolaksono memimpin pasukan Panjalu menghalau musuh yang ternyata telah menanam kuku di sekitar Selopenangkep, di sebelah barat dan utara. Berkat ketekunannya dan kegagahan para perajurit Panjalu, musuh dapat dihalau dan banyak pula yang dapat dihancurkan dan dibasmi.
Setelah setahun ia memerangi musuh, pada suatu hari ia mendapat keterangan dari penyelidiknya bahwa di sekitar Gunung Merak terlihat gerakan musuh yang terdiri dari para penyembah Bathara Kala, dipimpin oleh Ki Kolohangkoro. Tejolaksono mengertak gigi karena di antara para musuhnya, Ki Kolohangkoro ini termasuk tokoh besar yang dicari-carinya. Ia mendengar bahwa Ki Kolohangkoro ini adalah adik tunggal guru dengan Wiku Kalawisesa yang telah membunuh banyak ponggawa Panjalu dan Jenggala dan yang kemudian terbunuh di tangan Endang Patibroto. Ia lalu mengumpulkan sejumlah besar pasukan, kemudian memimpin sendiri pasukan Panjalu itu, berangkat ke Gunung Merak untuk membasmi musuh yang ia kira merupakan kekuatan terakhir dari para pengacau.
Tiga hari kemudian, menjelang senja, sampailah pasukan Panjalu ini di kaki Gunung Merak. Gunung Merak adalah sebuah gunung yang kecil di antara Pegunungan Kidul, dan karena di situ terdapat banyak burung meraknya maka dinamakan Gunung Merak. Tejolaksono memerintahkan pasukannya untuk beristirahat di kaki gunung, menyusun tenaga untuk penyerbuan yang akan dilakukan esok hari. Malam itu amat gelap dan pasukannya belum mengenal daerah ini, maka amatlah berbahaya untuk menyerbu malam-malam ke atas, apalagi kalau diingat bahwa pasukan lawan yang sekarang dihadapi adalah pasukan penyembah Bathara Kala yang ia duga tentu lebih kuat daripada yang sudah-sudah.
Dugaan Tejolaksono ini memang benar, akan tetapi ia hanya dapat menduga setengahnya saja. Kalau saja Tejolaksono tahu akan keadaan seluruhnya di puncak Gunung Merak itu, tentu ia akan membawa mundur pasukannya dan baru akan berani menyerbu kalau disertai orang-orang sakti dan pasukan yang amat kuat. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada malam hari itu, puncak Gunung Merak dijadikan tempat bertemuan dan perundingan oleh tokoh-tokoh besar yang menjadi utusan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cola!
Lengkap hadir semua tokoh besar musuh Panjalu, di antaranya Ni Dewi Nilamanik, Cekel Wisangkoro, Kolohangkoro, Sariwuni dan yang lain. Bahkan dua orang tokoh puncaknya yang menjadi puncak pimpinan dan wakil kedua kerajaan, hadir pula. Siapakah kedua orang itu? Bukan lain adalah dua orang kakek sakti mandraguna, yaitu Sang Biku Janapati yang mewakili Kerajaan Sriwijaya dan Sang Wasi Bagaspati yang mewakili Kerajaan Cola!
"Sadhu-sadhu-sadhu ! Sayang sekali bahwa andika masih belum sadar sepenuhnya bahwa kekerasan itu tiada guna, hancur oleh kelemasan, Wasi Bagaspati! Penggunaan kesaktian akan sia-sia belaka di sini adalah gudangnya orang yang sakti mandraguna, keturunan orang-orang Mataram yang tak mungkin dapat ditundukkan dengan aji kedigdayaan." Demikian antara lain Biku Janapati memperingatkan temannya, Sang Wiku Bagaspati.
Dua orang pendeta sakti ini memikul tugas yang sama, hanya bedanya kalau Biku Janapati mewakili Kerajaan Sriwijaya, adalah Wasi Bagaspati mewakili Kerajaan Cola. Terdapat perbedaan besar dalam sepak terjang mereka menunaikan tugas. Biku Janapati yang bergerak dari utara, menyebar Agama Buddha dengan cara halus dan sama sekali tidak mempergunakan kekerasan, sesuai pula dengan sifat agama itu sendiri yang mendasarkan kasih sayang dan menghapus kebencian dalam tindakannya.
Sebaliknya, Wasi Bagaspati yang bergerak dari barat, selain dibantu oleh anak buahnya sendiri para penyembah dan pemuja Sang Hyang Shiwa, juga dibantu oleh para penyembah Bathara Kala dan Bathari Durga, seringkali menggunakan kekerasan, bahkan kini secara berterang anak buahnya mengadakan perang terhadap pasukan Panjalu.
Muka Wasi Bagaspati yang sudah merah itu kini menjadi makin merah, kepalanya digerakkan ketika ia tertawa dan rambutnya yang panjang putih itu berkibar-kibar, tampak makin putih seperti benang-benang perak ketika menyentuh pundak bajunya yang berwarna merah darah.
"Heh-heh-heh, Sang Biku Janapati! Kekalahan-kekalahan kecil yang diderita oleh anak buahku menghadapi pasukan Panjalu, bukan apa-apa! Semua adalah gara-gara si adipati cilik Tejolaksono, bocah yang masih ingusan itu! Lihat sajalah, dia dan pasukannya sudah tiba,.. besok aku sendiri akan menghancurkannya, kemudian aku sendiri akan memimpin pasukan menyerbu Panjalu!"
"Wahai.... saudaraku Wasi Bagaspati!" kata Biku Janapati, sepasang matanya terbelalak memandang penuh kekagetan. "Sebelum berangkat dari Sriwijaya, kita sudah bersepakat tidak akan menggunakan kekerasan, setidaknya andika tidak akan turun tangan sendiri. Apakah andika akan melanggar janji kita itu?"
Sejenak sepasang mata Wasi Bagaspati memandang tajam dan dua orang sakti itu saling bertentang pandang. Mereka itu dahulu pernah menjadi lawan, yaitu ketika Kerajaan Cola berperang melawan Kerajaan Sriwijaya. Kini setelah kedua kerajaan itu bersabahat, mereka pun menjadi sahabat, namun watak dan sifat kedua orang ini memang jauh berbeda. Biku Janapati suka akan kehalusan dan keramahan, sebaliknya Wasi Bagaspati suka akan kekerasan, suka berkelahi, dan berdarah panas. Namun akhirnya Wasi Bagaspati menghela napas panjang dan lebih dahulu menundukkan mukanya.
Kembali kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Ucapan seorang gagah, sekali keluar dari mulut tidak akan dijilat kembali. Ketahuilah, aku tidak akan menyeret kalian menyeleweng daripada ajaran-ajaran yang telah kalian terima dari guru-guru kalian. Engkau, Joko Pramono, telah mempelajari Ilmu Cantuka Sekti dari gurumu Resi Adiluhung. Aji itu cukup hebat dan selama lima tahun, aku hanya ingin menuntunmu agar ajimu itu dan aji-ajimu yang lain makin matang. Semua aji itu tiada banyak bedanya. Yang dilatih dengan penuh kematangan, tentu akan menjadi ampuh. Dan engkau, Pusporini, engkau telah banyak menerima aji-aji kesaktian yang hebat dari rakandamu Adipati. Tejolaksono, seperti Pethit Nogo dan Bojro Dahono. Biarlah aku akan membimbingmu agar semua ajimu menjadi matang dan ampuh."
Dua orang muda yang tadinya tergesa-gesa menyanggupi karena panas hati dan tidak mau saling dikalahkan, kini menjadi kaget dan merasa betapa beratnya syarat yang diajukan kakek itu. Lima tahun mengasingkan diri! Tanpa terasa, mereka saling menoleh, saling pandang dengan pandang mata sayu, akan tetapi begitu pandang mata mereka saling beradu, timbul kembali semangat di hati mereka!
"Joko Pramono dan Pusporini, ketahuilah bahwa sesungguhnya seperti kukatakan tadi, aku muncul di dunia ramai karena mendapat getaran perintah gaib. Awan gelap dan hawa jahat bergulung datang hendak mengeruhkan suasana, mendatangkan perang dan malapetaka kepada manusia. Untuk menghalau perusuh itu, akan muncul seorang satria muda yang sakti mandraguna. Akan tetapi dia seorang diri masih belum kuat untuk mengusir marabahaya, harus disandingi tenaga-tenaga muda lain yang cukup kuat. Kalian ini berjodoh untuk menjadi murid-muridku, kalianlah yang akan menjadi dua orang di antara mereka yang bertugas membantu satria muda itu. Kalianlah yang kelak akan ikut mencerahkan suasana, mengusir kegelapan, menentang kejahatan yang merajalela dan mengancam keselamatan rakyat. Karena itu, di pundak kalian terletak tugas yang suci dan luhur sehingga kelak tidak akan percumalah kalian sebagai keturunan orang-orang gagah perkasa."
Dua orang itu termenung. Baru mereka mengerti bahwa mereka diambil murid oleh kakek sakti ini bukan hanya kebetulan belaka.
"Eyang Resi, bolehkan hamba mengetahui siapa gerangan satria muda yang harus hamba bantu kelak?"
Kakek itu tersenyum. "Itu masih merupakan rahasia. Kelak kalian akan mengerti sendiri karena sesungguhnya satria muda itu adalah paman gurumu sendiri. Ketahuilah bahwa saat ini, guruku yang bagi dunia sudah dianggap meninggal dunia, telah berkenan mengambil satria itu sebagai murid. Dialah yang akan bertugas memberantas segala kesesatan dan kalian akan menjadi pembantu-pembantunya. Cukup sekian saja keteranganku, murid-muridku, dan sekarang, meramkanlah matamu dan jangan dibuka sebelum kusuruh."
Dalam keadaan masih berlutut, Pusporini dan Joko Pramono meramkan kedua mata mereka. Tiba-tiba mereka merasa betapa lengan mereka dipegang, kemudian tubuh mereka serasa melayang, padahal mereka masih dalam keadaan duduk bersila! Mimpikah mereka? Benar-benar seperti orang dalam mimpi.
Namun, mereka patuh kepada perintah guru mereka dan sama sekali tidak berani membuka mata sebelum guru mereka menyuruh. Mereka tidak melihat sesuatu, hanya bunyi angin semilir memenuhi kedua telinga.
********************
"Pusporini.... Anakku.... Heh, manusia-manusia biadab, lepaskan puteriku! Hayo, lawanlah Roro Luhito.... !"
"Bibi, ingat, Bibi... !" Tejolaksono terpaksa melompat dan menangkap lengan tangan Roro Luhito yang seperti orang kesurupan setan, hendak berlari mengejar puterinya yang telah dilarikan entah ke mana.
Roro Luhito tadinya meronta-ronta, akan tetapi setelah berkali-kali Tejolaksono dan Ayu Candra membujuknya, ia menjadi tenang. Wajahnya pucat sekali, matanya menyinarkan kemarahan, dan suaranya terdengar dingin ketika ia berkata,
"Anakku Tejolaksono, engkau tahu bahwa aku tidak akan dapat hidup kalau membiarkan Pusporini begitu saja terjatuh ke tangan lawan. Tidak, biar sampai mati aku harus mencarinya sampai dapat. Engkau tentu maklum apa yang akan terjadi pada diri puteriku kalau tidak lekas ditolong. Biarkanlah aku pergi mengejar mereka."
"Berbahaya sekali, Bibi. Biarlah saya yang mengejarnya."
"Kakangmas... !" Ayu Candra berseru dengan suara gemetar.
"Benar isterimu, Tejolaksono anakku. Kadipaten tidak boleh kautinggalkan, hal itu berbahaya sekali. Biarlah aku yang mencari adikmu sampai dapat atau aku takkan kembali sebelum dapat menolongnya. Selamat tinggal!"
"Nanti dulu, Bibi. Tak mungkin Kanjeng Bibi pergi seorang diri saja." Adipati Tejolaksono lalu memanggil dua losin orang pengawal untuk membantu bibinya yang memaksa diri hendak nekat mencari Pusporini. Ia maklum akan genting dan sulitnya keadaan. Ia harus mengakui bahwa memang amatlah berbahaya nasib Pusporini terjatuh ke tangan orang-orang biadab itu dan memang amat membutuhkan pertolongan dengan segera.
Dan ia tahu bahwa mungkin penangkapan atas diri Pusporini itu disengaja untuk memancingnya keluar. Kalau ia keluar dari kadipaten, tentu kadipaten akan menjadi lemah dan akan diserbu musuh. Memang satu-satunya jalan untuk menolong Pusporini hanyalah bibinya, Roro Luhito. Akan tetapi iapun ragu-ragu. Musuh terlampau banyak dan di antara mereka terdapat banyak orang sakti. Biarpun bibinya bukan wanita sembarangan, namun ia sangsi apakah bibinya akan berhasil menolong Pusporini? Jangan-jangan malah membahayakan dirinya sendiri. Betapapun juga, tidak mungkin ia dapat mencegah kehendak bibinya itu. Maka terpaksa ia lalu menyuruh dua losin orang pengawal yang cukup tangguh untuk mengawal bibinya.
Rombongan ini lalu berangkat melakukan pengejaran. Adipati Tejolaksono bersama isterinya lalu mencurahkan perhatiannya kepada penjagaan di Selopenangkep yang sudah terkepung musuh dari segenap jurusan. Kegelisahan hati mereka tentang keselamatan Pusporini dan bibi mereka terpaksa mereka kesampingkan lebih dulu.
"Nimas, keadaan kita amat berbahaya. Engkau tidak boleh berpisah dari sampingku dan harus selalu waspada."
Ayu Candra hanya mengangguk lesu. Terlalu banyak peristiwa sedih yang susul menyusul melemahkan semangat wanita ini. Mula-mula puteranya secara terpaksa dipisahkan dari sampingnya, ditambah tewasnya bibinya, Kartikosari. Kemudian disusul dengan munculnya Endang Patibroto yang membawa pergi Setyaningsih entah ke mana. Kini ditambah terculiknya Pusporini oleh musuh dan perginya Roro Luhito yang secara nekat melakukan pengejaran, padahal musuh amat besar jumlahnya dan memiliki banyak orang sakti. Sekarang, Kadipaten Selopenangkep dikepung musuh dan ia tahu bahwa hal yang paling menggelisahkan hati suaminya adalah karena melihat betapa banyaknya penduduk Selopenangkep yang kini datang bersama musuh, menjadi sekutu dan anak buah musuh!
Malam itu Adipati Tejolaksono mengumpulkan dan mencacahkan jumlah seluruh pasukannya. Tidak lebih hanya tiga ratus orang perajurit, termasuk para pengawal, para abdi dalem dan rakyat penduduk kadipaten yang setia. Banyak di antara penduduk yang siang-siang sudah diam-diam melarikan diri keluar kadipaten. Tigaratus orang, harus menghadapi kepungan musuh yang entah berapa banyaknya! Dan pembantunya, Mundingyudo, baru saja berangkat ke kota raja Panjalu. Ia sangsi apakah bantuan dari Panjalu dapat diharapkan datang sebelum terlambat.
Adipati Telolaksono membagi tugas, mengumpulkan para kepala pasukan yang ia bagi menjadi lima. Ia segera mengatur siasat. Penjagaan dilakukan sekeliling kadipaten, merupakan lima kelompok yang selalu bergerak, berpindah-pindah saling bertukar tempat. Kalau sewaktu-waktu pasukan lawan melakukan penyerbuan, pasukan kadipaten harus membentuk barisan Kalajengking Sakti. Barisan dengan gaya inilah yang paling tepat untuk melakukan penjagaan kadipaten dan menghadapi musuh yang besar jumlahnya.
Barisan bergaya Kalajengking Sakti ini dibagi menjadi lima. Dua barisan kepala di depan merupakan sepasang sapit kalajengking yang menghadapi musuh terbesar dari depan, dari kanan kiri datangnya, menyerang ke arah lambung pasukan besar lawan yang datang menyerbu. Dua barisan lain yang lebih kecil menjaga lambung di kanan kiri merupakan deretan kaki kalajengking, dua pasukan ini mencegah penyerbuan gelap dari jurusan kanan kiri dan mereka ini terdiri daripada barisan panah. Ke lima adalah barisan terbesar yang berada di belakang, merupakan sengat kalajengking. Barisan inilah sebetulnya yang menjadi barisan inti, barisan penyerang yang dipimpin sendiri oleh Adipati Tejolaksono dan isterinya. Barisan ini tugasnya melakukan penyerangan tiba-tiba kepada pasukan penyerbu dan cepat mundur lagi jika barisan sepasang capit sudah kuat kembali, untuk menyusun tenaga dan secara tiba-tiba menyerang lagi. Karena gerakannya cepat tak terduga dan di dalam pasukan ini terletak inti penyerangan yang amat kuat, maka dapat diharapkan fihak penyerbu akan dapat dihancurkan.
Semua telah siap di kadipaten. Penjagaan dilakukan secara bergilir dan tepat agar semua anggauta pasukan mendapat giliran mengaso dan tidur. Bagian dapur umum juga sudah sibuk, mempersiapkan ransum bagi para pasukan yang bertugas berat. Juga bagian perlengkapan senjata selalu sibuk, mempersiapkan senjata-senjata cadangan, mengasah dan menambah jumlah anak panah darurat. Pendeknya, Kadipaten Selopenangkep telah siap sedia dengan semangat tempur yang tinggi.
Akan tetapi, malam itu fihak musuh tidak ada yang melakukan serangan, bahkan tidak melakukan gerakan sama sekali. Dari atas menara kadipaten yang juga dipergunakan sebagai pusat penjagaan, Adipati Tejolaksono melakukan penyelidikan. Hanya tampak obor dan barisan musuh yang padat, tidak bergerak namun mengambil posisi mengurung kadipaten. Hatinya gelisah kalau teringat akan Pusporini dan Roro Luhito. Tidak ada kabarnya sama sekali bibinya dan adik misannya itu. Juga tidak ada seorangpun di antara pasukan pengawal bibinya datang melapor.
Menjelang pagi, ketika ayam jago mulai berkeruyuk, burung-burung mulai berkicau menyambut datangnya fajar, tampaklah pasukan musuh bergerak makin mendekati kadipaten. Pasukan-pasukan kadipaten siap sedia dan kini di pintu gerbang bagian barat terdapat pasukan yang bersorak-sorak. Agaknya pasukan di pintu gerbang barat inilah merupakan pasukan inti lawan, karena di situ tampak Cekel Wisangkoro, Sariwuni, bahkan kelihatan pula Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro yang mengepalai barisan masing-masing.
Pasukan Ni Dewi Nilamanik sendiri daripada wanita-wanita cantik dan muda, yang berbaris rapi dengan pakaian indah, dibagi menjadi tiga kelompok, kelompok pertama adalah pasukan wanita bersenjata gendewa dan anak panah, kelompok ke dua adalah pasukan wanita bertombak, dan ke tiga pasukan wanita berpedang. Juga barisan yang dipimpin Ki Kolohangkoro amat menyeramkan, terdiri daripada laki-laki tinggi besar seperti raksasa, ada pasukan tombak, ada pasukan penggada dan kesemuanya kelihatan kuat-kuat menyeramkan.
Yang mengerikan adalah pasukan raksasa gundul yang seperti boneka hidup. Mereka ini dipimpin oleh Cekel Wisangkoro. Raksasa-raksasa gundul yang seperti boneka atau mayat hidup ini tidak bersenjata, akan tetapi mereka ini kelihatan lebih mengerikan. Dan bercampur dengan bermacam pasukan ini tampaklah para petani, rakyat wilayah Selopenangkep yang kena terbujuk atau terpikat sehingga mereka ini ikut menyerbu kadipaten mereka sendiri! Mereka ini terdiri daripada orang-orang yang memang pada dasarnya tidak memiliki kesetiaan, yang bodoh, yang kena terbujuk karena pengaruh wanita-wanita penyembah Durga yang genit-genit, yang kena pikat oleh harta benda, atau yang terbujuk melalui pelajaran kebatinan dan Agama Shiwa.
Akan tetapi, para perajurit Selopenangkep tidak memperhatikan keadaan pasukan musuh, bahkan tidak gentar melihat mereka. Yang membuat mereka terbelalak adalah ketika fihak musuh mengeluarkan dua buah gala bambu yang panjang dan di ujung gala bambu ini tampak dua buah kepala. Yang sebuah adalah kepala Mundingyudo, pemimpin pasukan Selopenangkep! Adapun yang ke dua adalah kepala Roro Luhito!
"Aduh, kanjeng bibi" Ayu Candra yang memeriksa bersama suaminya dari atas menara, tiba-tiba mengeluh dan terhuyung roboh, akhirnya pingsan di dalam pelukan suaminya.
Adipati Tejolaksono sambil memeluk isterinya yang pingsan, memandang ke bawah, keluar pintu gerbang dan ke arah kepala bibinya dan pembantunya. Matanya menyinarkan api kemarahan, dadanya serasa hendak meledak, giginya berkerot, tangan kanannya mengepal tinju. Jelas bahwa bibinya terbunuh, gagal merampas kembali Pusporini yang entah berada dimana. Terbunuhnya bibinya itu berarti terbunuhnya dua losin pengawal yang membantunya. Dan Mundingyudo juga terbunuh, hal ini berarti bahwa usahanya minta bantuan ke Panjalu gagal pula. Tidak ada jalan lain, ia harus melawan mati-matian! Cepat ia menyadarkan isterinya, lalu menghiburnya,
"Nimas, Kanjeng Bibi tewas sebagai seorang pahlawan. Namanya akan dipuja sepanjang masa sebagai seorang perajurit yang membela Selopenangkep sampai mengorbankan nyawa. Tidak perlu kiranya disedihkan lagi, lebih penting kita siap-siap menggempur musuh untuk membalaskan kematian Kanjeng Bibi Roro Luhito dan yayi dewi Pusporini!"
Bangkit semangat Ayu Candra mendengar ucapan suaminya ini. Dengan muka beringas ia melompat bangun, meraba gagang kerisnya. "Mari kita hajar mereka, Kakangmas!"
Pagi hati itu dimulailah perang campuh yang hebat. Melihat betapa kadipaten dijaga kuat, barisan musuh yang kini dipimpin langsung oleh Ni Dewi Nilamanik menantang dan mengatur barisan di luar kadipaten. Barisan yang merupakan penggabungan macam-macam pasukan itu, terdiri dari lima ratus orang lebih, hampir dua kali jumlah seluruh perajurit Selopenangkep. Perang tanding ini terjadi amat seru, berlangsung dari pagi sampai petang. Namun ternyata, siasat barisan Selopenangkep dengan gelar Kalajengking Sakti ini benar-benar ampuh. Apalagi karena bagian intinya, yaitu bagian sengat kalajengking, penyerang utama barisan itu, dipimpin sendiri oleh sang adipati bersama isterinya.
Barisan Selopenangkep mengamuk dan banjir darah terjadi di medan yuda. Sang Adipati Tejolaksono dan bersama Ayu Candra mengamuk seperti banteng-banteng terluka dan hanya setelah para pimpinan pasukan musuh yang terdiri dari Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, Cekel Wisangkoro, Sariwuni dan dibantu oleh dua orang Gagak, maju menyambut, barulah Adipati Tejolaksono dan isterinya terdesak hebat.
Namun gerak barisan Kalajengking Sakti tidak membiarkan barisan "sengat" ini terdesak. Pasukan-pasukan yang merupakan sapit membantu dari kanan kiri dan pasukan inti itu mundur lagi untuk menyusun tenaga baru.
Setelah hari menjadi petang, perang tanding dihentikan, barisan musuh mundur dan pasukan kadipaten juga kembali memasuki kadipaten. Kedua fihak, bagaikan dua ekor harimau bertanding dan kini menjilat-jilati luka-luka di tubuh masing-masing, kini menghitung-hitung sisa pasukan. Hebat memang akibat perang sehari itu. Di pihak Selopenangkep kehilangan lima puluh orang lebih perajurit yang tewas dan terluka berat, belum terhitung yang luka-luka ringan.
Tiga orang kepala pasukan tewas pula. Akan tetapi di pihak musuh, kerugian yang diderita ternyata lebih besar lagi. Lebih dari seratus orang perajurit tewas, tidak terhitung yang terluka, dan Ki Kolohangkoro terpaksa harus beristirahat sedikitnya tiga hari karena dalam perang tanding tadi, ketika ia ikut mengeroyok Adipati Tejolaksono dan beradu lengan yang dipenuhi getaran hawa sakti, ia kalah kuat dan hawa sakti yang dilancarkan lewat pukulannya membalik dan melukai isi dadanya sendiri sehingga ia harus beristirahat untuk memulihkan tenaga.
Sungguhpun melihat jumlah korban dalam pertandingan itu boleh dikatakan pihak Selopenangkep mendapat kemenangan, namun kenyataannya tidak demikian. Jumlah pasukan Selopenangkep lebih kecil, dan dengan jatuhnya korban-korban itu, kini keadaan mereka menjadi makin payah dan lemah. Apalagi, kadipaten sudah dikurung sehingga mereka tidak dapat mengirim permintaan bantuan ke Panjalu. Kalau mereka terus dikurung, tanpa diperangipun mereka akhirnya akan kalah sendiri karena kehabisan ransum. Agaknya siasat ini pula dijalankan oleh Cekel Wisangkoro yang menjadi penasehat dalam barisan itu, seorang yang banyak mengerti akan siasat perang karena Cekel Wisangkoro ini dahulunya bekas senopati Kerajaan Cola.
Cekel Wisangkoro tidak hanya melakukan pengurungan yang amat ketat dengan menambah jumlah pasukan, bahkan setiap malam ia menyuruh barisan panah untuk menghujankan anak panah ke arah kadipaten, anak panah yang disertai api sehingga setiap malam, Kadipaten Selopenangkep sibuk memadamkan kebakaran dan hanya dapat membalas dengan anak panah ke arah yang mengawur karena fihak musuh selalu berpindah tempat di tengah malam gelap itu!
Siasat yang dipergunakan musuh itu benar-benar melemahkan keadaan para perajurit Selopenangkep. Setelah pengurungan dilakukan selama sepekan, keadaan mereka benar-benar dalam bahaya karena beras telah habis tinggal sehari lagi! Menyelundupkan dari luar tidak mungkin karena penjagaan amat ketat dan untuk menyerbu mati-matian keluar, berarti mengosongkan kadipaten. Malam itu, sebelum musuh melakukan penyerangan dengan anak panah berapi seperti biasa, Tejolaksono memanggil semua pembantunya, para perwira dan kepala pasukan. Ketika ditanya pendapat mereka, seorang panglima tua mewakili kawan-kawannya berkata dengan suara penuh kegagahan,
"Gusti adipati, hamba sekalian bersedia mempertahankan Selopenangkep sampai titik darah terakhir!" Para perwira menyambut pernyataan ini dengan suara tak seorang pun di antara mereka yang gentar menghadapi kematian dalam mempertahankan Selopenangkep. Adipati Tejolaksono terharu sekali, akan tetapi suaranya sungguh-sungguh dan tegas ketika ia berkata,
"Tidak benar pendapat kalian ini, para Paman dan Kakang senopati. Kita harus mencari siasat untuk mengosongkan kadipaten dan menyelamatkan diri."
"Meninggalkan kadipaten, membiarkan kadipaten jatuh ke tangan musuh? Maaf, Gusti adipati! Akan tetapi sungguh-sungguh hamba tidak dapat menerima pendapat ini. Musuh baru boleh menduduki kadipaten, akan tetapi hanya melalui mayat hamba!" bantah panglima tua yang sudah puluhan tahun menjadi hulubalang di Kadipaten Selopenangkep. Pernyataan yang gagah ini kembali disetujui semua kawannya.
Adipati Tejolaksono yang duduk di dekat isterinya, mengangguk-angguk dan berkata kembali. "Aku dapat menghargai kesetiaan kalian, dan jangan mengira bahwa aku sendiri kurang mencinta Kadipaten Selopenangkep. Aku terlahir di tempat ini, dan sudah menjadi kewajibanku untuk mempertahankan Selopenangkep. Akan tetapi, hendaknya andika sekalian mengerti bahwa gerakan musuh ini bukanlah sekedar untuk memusuhi Selopenangkep. Sama sekali bukan, Selopenangkep hanya merupakan awalan yang kecil saja. Gerakan mereka merupakan ancaman untuk seluruh Nuswantara, dan tujuan mereka adalah menundukkan Panjalu dan Jenggala. Kalau sekali ini kita kalah, bukan berarti kita kalah perang. Sama sekali tidak, Paman dan Kakang senopati. Kekalahan kita sekarang ini dapat kita tebus kelak dalam pertempuran di lain kesempatan, bukan kalah perang melainkan hanya kalah dalam suatu pertempuran karena kalah banyak jumlah perajurit kita. Kita harus mencari siasat dan jalan untuk keluar dari sini dalam keadaan selamat."
"Maaf, Gusti adipati. Sungguhpun benar apa yang Paduka katakan, akan tetapi hamba tetap berpendapat bahwa amatlah tidak layak bagi seorang perajurit untuk tinggalkan gelanggang perang, melarikan diri seperti orang-orang penakut dan pengecut! Hamba tidak takut mati di tangan musuh, Gusti. Hamba tidak akan membiarkan musuh menduduki Selopenangkep sebelum hamba mati!" Demikian kata panglima tua yang amat setia. Kawan-kawannya mengangguk membenarkan.
Marahlah Adipati Tejolaksono. Dengan pandang mata tajam ia menatap wajah para pembantunya, seorang demi seorang. Demikian tajam berpengaruh pandang mata Adipati Tejolaksono sehingga mereka itu menundukkan muka tidak berani menentang pandang.
"Andika sekalian terlalu mabuk kegagahan sehingga lupa akan tugas terutama dan terpenting seorang perajurit. Apakah tugas pertama seorang perajurit? Patuh dan taat akan perintah atasan! Dan sekarang, andika sekalian sudah hendak melanggar tugas pertama ini! Apakah andika semua sudah tidak mengakui lagi aku sebagai atasan kalian?"
Suara yang marah dan berwibawa ini tidak ada yang membantah. Semua perwira hanya menundukkan muka dan biarpun mereka masih merasa penasaran, namun teguran ini membuat mereka merasa malu sekali. Adipati Tejolaksono menghela napas panjang, lalu berkata,
"Paman dan Kakang senopati semua. Jangan sekali-kali mengira bahwa aku Tejolaksono takut menghadapi maut dalam perang melawan musuh. Sama sekali tidak, seujung rambutpun tidak! Dan jangan mengira aku mengajak andika semua menyelamatkan diri karena takut kepada musuh, sama sekali tidak! Aku mengambil keputusan ini setelah kuwawas dengan matang, setelah kupertimbangkan semasak-masaknya. Hanyalah orang bodoh yang berlaku nekad dan membunuh diri tanpa ada manfaatnya. Kita terkepung, jumlah musuh jauh terlalu banyak sehingga kalau kita berkeras melawan, kita akan membuang nyawa secara sia-sia belaka. Kita tidak boleh buta akan kenyataan, dan dapat mengetrapkan keberanian kita pada saat yang tepat. Kalau kita berkeras mempertahankan Selopenangkep, akhirnya kita akan tewas semua dan apakah andika kira bahwa kalau kita tewas Selopenangkep tidak akan diduduki musuh? Sia-sia belaka kita nekat tanpa perhitungan. Sebaliknya, kalau kita dapat menyelamatkan diri membebaskan diri daripada kepungan, benar bahwa Selopenangkep akan diduduki musuh. Akan tetapi kita masih hidup dan tentu saja kita tidak akan tinggal diam. Kita akan menyatukan diri dengan pasukan Panjalu dan kembali ke sini. Nah, saat itulah kita boleh mempertaruhkan nyawa dalam perang yang seimbang. Selain itu, jangan andika sekalian mengira akan mudah saja membebaskan diri daripada kepungan musuh ini. Sama sekali tidak! Kita harus menerobos dan membuka jalan darah, bertanding mati-matian, mungkin sekali banyak di antara kita akan tewas, akan tetapi setidaknya, sebagian daripada kita akan selamat dan kelak akan membalaskan kematian kawan-kawan yang gugur. Kalau kita nekat mempertahankan di sini, kita semua mati. Siapa kelak yang akan membalaskan kematian kita?"
Ucapan sang adipati yang panjang lebar ini menyadarkan para senopati. Mereka mengangguk-angguk dan menyatakan setuju. Maka diaturlah siasat. Malam itu, kalau para musuh menyerang dengan anak panah, pasukan diharuskan membiarkan saja dan tidak terlalu membuang tenaga memadamkan api, bahkan lebih baik menyimpan tenaga dan beristirahat sambil berlindung. Kemudian, jauh lewat tengah malam, ketika diperkirakan lawan yang lelah itu mengaso, mereka akan menyerbu keluar melalui pintu gerbang sebelah utara.
Seperti pada malam-malam yang lalu, malam itu fihak musuh juga menghujankan panah api. Para perajurit Selopenangkep, sesuai dengan perintah sang adipati, hanya memadamkan api yang sekiranya berbahaya saja. Mereka lebih sibuk bersiap untuk menyerbu keluar pagi nanti dan beristirahat mengumpulkan tenaga. Keluarga para perajurit yang sudah dikumpulkan di kadipaten, berikut anak-anak mereka, telah pula bersiap-siap melarikan diri bersama-sama karena mereka maklum bahwa wanita yang tertinggal di situ pasti kelak akan menjadi korban kebiadaban para musuh. Daripada tinggal dan terancam bahaya mengerikan, mereka ini lebih suka ikut melarikan diri dengan taruhan nyawa di samping suami dan ayah mereka.
Lewat tengah malam, serangan dari luar berhenti dan keadaan menjadi sunyi di luar kadipaten. Di sana-sini, di dalam kadipaten, masih ada api menyala. Adipati Tejolaksono melakukan persiapan bersama isterinya. Suami isteri ini sama sekali tidak memperdulikan isi gedung kadipaten. Hanya keris pusaka yang mereka bawa, di samping benda-benda perhiasan yang kecil-kecil saja. Sedikitpun mereka tidak merasa berduka meninggalkan barang-barang mereka, hanya berduka karena kini mereka terpaksa harus meninggalkan tempat tinggal mereka berdua saja, sedangkan putera mereka masih belum mereka ketahui keadaannya, juga Pusporini yang diculik musuh. Mereka berduka menyaksikan kematian Roro Luhito yang begitu mengerikan, tanpa mendapat kesempatan untuk mengurus dan menyempurnakan jenazah orang tua itu.
Tejolaksono menanti sampai jauh lewat tengah malam. Setelah mendekati fajar dan diperkirakan fihak musuh sedang enak mengaso dan tidur, Tejolaksono memberi isyarat kepada para pembantunya. Bergeraklah sisa pasukan Selopenangkep yang berjumlah hanya kurang lebih dua ratus orang itu bersama keluarga mereka yang mereka lindungi dan dikumpulkan di tengah-tengah mereka.
Adipati Tejolaksono dan isterinya, Ayu Candra, keduanya mengenakan pakaian ringkas berwarna hitam, keris pusaka terselip di pinggang, berjalan berdampingan paling depan, merupakan pelopor. Sikap mereka yang gagah perkasa dan sedikitpun tidak membayang takut dan menambah semangat para perajurit dan di dalam hati setiap orang perajurit bersumpah untuk sehidup-semati dengan junjungan mereka ini.
"Kita menyerbu keluar dengan mati-matian! Ketahuilah kalian semua bahwa kalau kita tetap berlindung di kadipaten akhirnya kita semua akan mati kelaparan atau mati terbakar. Daripada mati konyol seperti itu, adalah lebih baik kelak kita menyerbu keluar dan berusaha melarikan diri ke Panjalu untuk mencari bala bantuan. Ingat, yang tewas dalam penyerbuan ini adalah perajurit-perajurit gagah perkasa dan setia karena kematiannya adalah demi menyelamatkan sebagian kawan-kawan dan mereka yang berhasil selamat melarikan diri sampai ke Panjalu adalah perajurit-perajurit perkasa pula yang kelak akan membalaskan kematian kawan-kawan yang tewas dalam usaha ini. Karena itu, marilah kita bertempur mati-matian, demi untuk keselamatan kita sendiri, teman-teman dan keluarga kita, juga demi nama dan kehormatan kita sebagai perajurit-perajurit Selopenangkep yang lebih balk mati daripada menakluk kepada musuh!" Demikian pesan terakhir Adipati Selopenangkep itu ketika hendak melakukan penyerbuan keluar.
Fajar yang sunyi dan dingin sekali itu, secara tiba-tiba dipecahkan suara gaduh dan hiruk-pikuk ketika para penyerbu dari dalam ini ketahuan. Terjadilah perang yang amat hebat, perang kacau-balau karena biarpun fihak pengurung kadipaten jumlahnya jauh lebih banyak, akan tetapi mereka tadi tengah tidur nyenyak dan sama sekali tidak pernah menyangka bahwa sisa perajurit-perajurit Selopenangkep yang sudah dikurung berhari-hari itu masih ada kemampuan untuk menyerbu dan menerobos keluar.
Sepak terjang Tejolaksono dan Ayu Candra amat menggiriskan hati para perajurit musuh. Bagaikan sepasang garuda sakti saja, suami isteri yang menjadi pelopor terdepan ini mengamuk dan barang siapa berani menghadang di depan mereka, tentu akan terjungkal roboh tak bernyawa lagi! Jauh berbeda perasaan suami isteri ini ketika mereka mengamuk dan membabati musuh seperti dua orang penggembala berlomba membabat rumput saja. Semangat Tejolaksono meluap-luap karena sang adipati ini ingin sekali melihat sebanyak mungkin perajuritnya dapat berhasil lolos dari kepungan.
Adapun Ayu Candra mengamuk berdasarkan dorongan rasa hati yang sakit, marah dan dendam karena musuh inilah yang menyebabkan pelbagai malapetaka menimpa keluarganya, bahkan yang memaksanya meninggalkan kadipaten tanpa menanti kembalinya puteranya, Bagus Seta, dan Pusporini yang hilang entah ke mana perginya. Namun, betapapun jauh bedanya gelora yang bergejolak di hati masing-masing, akibatnya amat celaka bagi lawan yang berani menghadang di depan suami isteri perkasa ini.
Betapapun gagahnya para perajurit Selopenangkep yang mengamuk sambil bersorak menggegap-gempita, namun jumlah lawan terlalu banyak. Di bawah pimpinan Tejolaksono dan Ayu Candra, akhirnya sebelum matahari terbit dan sebelum fihak musuh dapat menghimpun kekuatan dan pulih daripada kekacauan karena penyerbuan, tiba-tiba itu, sebagian kecil prajurit Selopenangkep dan keluarganya berhasil lolos dari kepungan dan melarikan diri ke arah Panjalu. Dari dua ratus orang perajurit yang dapat lolos hanya lima puluh lebih orang saja dan keluarga para perajurit hilang tiga perempatnyal
Kematian di pihak mereka banyak, akan tetapi mereka akan berbesar hati kalau dapat menghitung jumlah korban di fihak musuh yang telah mereka roboh dan tewaskan, karena jumlah ini sedikitnya ada tiga kali lebih besar daripada jumlah korban mereka! Tidak ada seorang pun di antara mereka yang tidak membunuh musuh sedikitnya dua orang, dan mereka yang gugur tentu telah merobohkan lebih banyak musuh pula!
Perjalanan melarikan diri ke Panjalu ini amatlah sengsara. Karena khawatir akan pengejaran musuh yang berjumlah besar, mereka melakukan perjalanan siang malam sehingga dalam perjalanan yang dipaksa Ini kembali jatuh beberapa orang korban, yaitu di antara mereka yang terluka dalam penyerbuan keluar itu.
Namun akhirnya, dalam keadaan lelah iahir batin, Adipati Tejolaksono bersama isteri berhasil juga membawa rombongan pelarian ini sampai ke Kota Raja Panjalu di mana sang adipati dengan suara pilu melaporkan segala peristiwa yang terjadi kepada sang prabu di Panjalu.
Bukan main marahnya sang prabu di Panjalu ketika mendengar pelaporan Adipati Tejolaksono. Sang prabu masih duduk terhenyak di atas singgasana, akan tetapi jari-jari tangan yang memegang lengan kursi itu menegang dan mengepal-ngepalkan tinju. Wajah yang tampan dan biasanya tenang dan agung itu kini menjadi merah, seolah-olah mengeluarkan cahaya berapi, giginya berkerot dan dadanya bergelombang, sepasang mata yang masih tajam berpengaruh itu memandang penuh kemarahan kepada musuh.
"Babo-babo....si keparat! Tidak ada habisnya nafsu kemurkaan diumbar oleh Sriwijaya! Begitu buta matanya sehingga tidak melihat bahwa sesungguhnya agama diciptakan untuk mendatangkan perdamaian di atas bumi! Akan tetapi dia malah berani memperalat agama untuk mengumbar nafsu, mempergunakan pendeta-pendeta palsu dan agama-agama sesat untuk mempengaruhi rakyat Panjalu dan untuk menyebar kematian dan kerusakan! Hei, para senopati dan perwiraku! Jangan kehilangan akal. Kerahkan semua barisan, perhebat gemblengan dan latihan mulai saat ini juga. Aku mengangkat Tejolaksono menjadi senopati perang untuk memimpin barisan Panjalu dengan tugas membasmi sampai habis benalu-benalu yang datang dari Sriwijaya dan Cola!"
********************
Perang...! Perang...! Perang...!
Tidak ada seorang pun manusia kalau ditanya menjawab bahwa dia suka akan perang. Tidak! Semua orang tidak suka, bahkan membenci perang, karena siapakah orangnya yang akan dapat menikmati kesenangan dari perang? Kematian merajalela, harta benda mawut, hidup tak terjamin keamanannya. Semua orang membenci perang. Akan tetapi kenyataannya, semenjak dunia berkembang sampai sekarang, dunia penuh dengan perang. Berhenti di sini, muncul di sana. Tenang di sana, meletus di sini!
Terus-menerus begitu, abad demi abad, sehingga manusia menjadi terbiasa karenanya, seolah-olah perang merupakan hiasan dunia, merupakan keharusan dalam penghidupan manusia. Perang untuk memperebutkan kemenangan! Ciri khas mahluk yang disebut manusia! Dan agaknya, selama ciri ini, yaitu ingin menang sendiri, tidak terhapus daripada watak umum manusia, sampai dunia kiamat sekalipun perang takkan pernah dapat terhapus dari pada lembaran sejarah.
Perang! Bunuh-membunuh! Perjuangan antara hidup dan mati. Mengerikan! Mengerikan? Sesungguhnya tidak, karena bukankah pada hakekatnya hidup ini perjuangan antara hidup dan mati? Bukankah hanya ada dua di dunia ini, yaitu hidup atau mati? Yang mati untuk memberi kesempatan kepada yang hidup untuk menggantikan yang mati, apa bedanya Menang atau Kalah, apa nilainya?
Panggung sandiwara itu tetap terbuka. Layar itu berulang kali dikerek turun naik. Berganti-ganti pelakunya, bertukar sri panggungnya, namun dimulai dan ditutup dengan naik dan turunnya layar. Yang lama turun yang baru naik. Layar dikerek naik lagi untuk kemudian ditutup kembali. Begitu dan begitu seterusnya.
Yang tinggal hanya kenangan! Inipun akan terhapus. Dunia sebagai panggung sandiwara lapuk dengan manusia-manusianya sebagai pelaku-pelaku yang selalu haus akan hal baru. Dipertontonkanlah bermacam gaya dan permainan, semuanya palsu. Drama dan lawak, terutama sekali lawak dengan dagelan-dagelan bermacam gaya!
Perang mengamuk di perbatasan sebelah barat Kerajaan Panjalu. Pasukan-pasukan Kerajaan Panjalu yang amat kuat dan terlatih, mengadakan operasi pembersihan di mana-mana. Tidaklah ringan tugas ini. Di mana-mana mereka mendapat sambutan, dan terjadilah perang tanding. Namun pasukan-pasukan Panjalu memang terlatih dan kuat, apalagi jumlahnya besar dan di mana-mana mendapat dukungan rakyat. Terutama sekali induk barisan yang dipimpin sendiri oleh Tejolaksono. Menggempur sana menerjang sini, dan di mana saja pasukan-pasukan liar musuh tentu dibikin kocar-kacir, kalau tidak dibasmi sama sekali.
Barisan Panjalu terus bergerak ke barat. Banyak sudah pasukan lawan dapat dihancurkan, namun belum pernah idam-idaman hati Tejolaksono terpenuhi, yaitu menangkap atau membunuh tokoh-tokoh yang menggerakkan pasukan-pasukan asing itu. Ingin sekali ia dapat berhadapan dengan anak buah Biku Janapati dan Wasi Bagaspati. Ingin sekali ia dapat menangkap Cekel Wisangkoro, Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, Sariwuni dan kawan-kawan mereka itu. Namun tak pernah ia berkesempatan bertanding yuda dengan mereka itu yang agaknya bergerak di balik tabir hitam dan selalu melarikan diri kalau melihat pasukan mereka terpukul mundur.
Akhirnya, setelah menghalau penghalang-penghalang yang berupa pasukan-pasukan liar musuh, barisan yang dipimpin Tejolaksono berhasil menduduki kembali Selopenangkep. Hati sang adipati remuk redam ketika ia menyaksikan keadaan Selopenangkep. Rakyatnya mengalami penderitaan hebat. Banyak wanita diperkosa, laki-laki dibunuh dan mereka semua diharuskan menjadi penyembah-penyembah Durga dan Bathara Kala.
Keadaan istana kadipaten sendiri rusak dan hancur. Barang-barang berharga sudah lenyap, bahkan sebagian besar bangunannya ambruk dan terbakar. Tejolaksono makin sakit hatinya. Ia terus mengadakan pembersihan di sekitar daerah Selopenangkep, setiap hari memimpin pasukan keluar untuk melakukan pengejaran dan pembersihan. Sesungguhnya tidak ringan tugas yang dipikul oleh Tejolaksono dan perajurit-perajurit Panjalu, karena fihak lawan kadang-kadang mengadakan perlawanan hebat sehingga menimbulkan banyak korban pula di pihak Panjalu.
Ketika pasukan Panjalu mengadakan penyerbuan di Gunung Mentasari yang menjadi markas besar Ni Dewi Nilamanik, pasukan Panjalu menghadapi perlawanan yang luar biasa beratnya dan hampir saja pasukan Panjalu mengalami bencana besar. Pasukan ini dipimpin sendiri oleh Tejolaksono, berjumlah tiga ratus orang, karena menurut para penyeliclik, puncak Mentasari itu hanya dihuni oleh wanita-wanita penyembah Durga yang jumlahnya tidak banyak. Dan memang keterangan para penyelidik ini tidak salah. Puncak Mentasari dijadikan tempat pusat atau markas besar untuk sementara waktu oleh Ni Dewi Nilamanik dan di sini ia mempunyai anak buah sebanyak sembilah puluh sembilan orang, kesemuanya wanita-wanita yang cantik-cantik dan genit-genit.
Tejolaksono yang selalu bersikap hati-hati dan waspada tidak mau memandang rendah fihak lawan. Selain ini, juga ia ingin sekali dapat menangkap hidup atau mati pimpinan pasukan penyembah Bathari Durga itu, yakni Ni Dewi Nilamanik. Maka ia lalu membagi pasukannya menjadi lima dan mendaki Bukit Mentasari dari lima jurusan. Dari empat jurusan masing-masing terdiri dari lima puluh orang perajurit sedangkan seratus orang perajurit lagi ia pimpin sendiri, mendaki dari jalan biasa, langsung ke puncak.
Inilah kesalahan Tejolaksono. Ia terlalu hati-hati dan mengambil jalan mengurung, akan tetapi hal ini malah menjadi berbahaya karena berarti bahwa sebagian daripada perajurit-perajuritnya terpisah daripadanya. Inilah bahayanya Menghadapi perlawanan kasar yang menggunakan kekerasan, tentu saja para perajurit itu sudah terlatih dan tergembleng dan kiranya akan dapat menanggulangi musuh. Akan tetapi menghadapi sambutan halus yang didasari kesaktian ilmu hitam, tentu saja hanya Tejolaksono yang akan dapat menghadapinya.
Demikianlah, setelah memecah pasukannya menjadi lima, Tejolaksono sendiri lalu memimpin sisa pasukan mendaki Gunung Mentasari yang tidak berapa tinggi itu. Ia sudah memperhitungkan bahwa penghuni gunung itu tentu tidak akan dapat meloloskan diri karena pasukan-pasukannya mengepung dan memasuki dari lima jurusan. Maka untuk mencapai puncak, ia sengaja membawa pasukannya lambat-lambat saja menuju sarang musuh. setelah hampir tiba di puncak, Tejolaksono menyuruh pasukannya bersembunyi dan menanti tanda rahasia pasukan-pasukan lain yang mengepung puncak. Tanda rahasia itu adalah bunyi emprit gantil yang diulang sampai tiga kali.
Puncak di mana berdiri bangunan-bangunan para penyembah Bathari Durga tampak sunyi-sunyi saja, sungguhpun asap yang mengepul menjadi tanda bahwa penghuninya masih ada dan mungkin asap itu adalah asap dari dapur mereka. Telah lama Tejoiaksono menanti, namun belum juga ada tanda-tanda dari empat pasukannya yang lain. Padahal menurutkan perhitungannya, pasti mereka telah tiba di puncak, atau sedikitnya satu di antara empat tentu sudah sampai.
Ia menjadi tidak sabar dan juga gelisah. Tidak munculnya empat pasukan kecil itu boleh jadi berarti bahwa mereka mendapatkan bencana yang tak terduga-duga. Oleh karena itu, Tejolaksono lalu memberi tanda dan dia sendiri lebih dulu menyerbu naik ke atas puncak, menuju bangunan-bangunan yang sudah kelihatan dari tempat mereka bersembunyi tadi. Pasukannya yang seratus orang banyaknya itupun bersorak dan menyerbu ke puncak. Sudah gatal-gatal tangan mereka dan kesal hari mereka karena sejak tadi bersembunyi dan berdiam diri saja.
Tiba-tiba dari dalam bangunan itu bermunculan banyak sekali wanita cantik dan sorak-sorai para perajurit Panjalu itu seketika terhenti. Sebagian besar.di antara mereka terhenyak di tempatnya seperti berubah menjadi arca dengan mata terbelalak memandang ke depan dan mulut ternganga, tidak tahu apa yang harus dilakukan! Bermacam-macam perasaan tampak pada wajah para perajurit yang tadinya bersernangat penuh untuk bertanding ini. Ada yang tersipu-sipu malu, ada yang terbelalak dan terpesona penuh gairah, ada yang mengeluarkan kutuk, dan ada pula yang menjadi pucat pasi mukanya. Betapa mereka tidak akan tercengang ketika mendapat kenyataan bahwa musuh yang mereka serbu ini ketika muncul merupakan sekumpulan wanita muda cantik dan berpakaian tipis setengah telanjang, yang berlari-lari menyambut mereka dengan rambut panjang terurai lepas, pakaian sutera tipis berkibar setengah terbuka, mata bergerak genit dan mulut tersenyum-senyum memikat penuh daya rangsang.
Akan tetapi tiga perajurit terdepan yang bergerak maju dengan pandang mata penuh gairah terpikat dan hendak merangkul wanita-awanita itu, tiba-tiba roboh terguling oleh kilatan keris-keris yang berada di tangan wanita-wanita itu dan yang disembunyikan di balik pakaian yang berkibar-kibar !
Menyaksikan keadaan ini, Tejolaksono maklum bahwa pihak lawan mempergunakan pikatan berupa anggauta-anggautanya yang muda dan cantik, diperkuat oleh pengaruh ilmu hitam yang melemahkan semangat para perajuritnya. Maka ia lalu mengerahkan hawa sakti di dadanya dan mengeluarkan pekik Dirodo Meto yang mempunyai pengaruh dan wibawa besar dan hebat sehingga sejenak buyarlah kekuatan ilmu hitam guna-guna yang dibawa oleh wanita-wanita setengah telanjang itu dan terkejutlah semua perajurit Panjalu seperti mendengar halilintar di dekat telinga. Karena terkejut, mereka sadar dan sejenak mereka terbebas daripada cengkeraman hawa ilmu hitam yang mempesonakan hati mereka tadi.
"Semua perajurit perkasa maju! Mereka adalah iblis-iblis betina yang harus dihancurkan!" teriakan Tejolaksono menggema di seluruh puncak bukit itu dan kini semangat para perajurit terbangun kembali. Tubuh-tubuh setengah telanjang dan wajah cantik tersenyum-senyum tidak lagi tampak cantik menarik dan lemah gemulai, melainkan tampak seperti wajah Bathari Durga di kala marah, mengerikan dan menjijikkan. Seketika mereka serentak maju dan menggerakkan senjata dan terjadilah perang tanding karena kini para penyembah Durga, anak buah Ni Dewi Nilamanik itu maklum bahwa pengaruh ilmu guna-guna yang disebar guru mereka sudah kehilangan kekuatannya dan mereka tidak lagi dapat mengandalkan ilmu itu, melainkan harus mengandalkan senjata dan ketangkasan.
Namun, dalam hal ketangkasan bertanding mempergunakan tenaga dan senjata, para anak buah Di Dewi Nilamanik ini tidak dapat mengimbangi kegagahan para perajurit Panjalu sehingga mulailah terdengar jerit-jerit kesakitan disusul robohnya wanita-wanita itu.
Adapun Tejolaksono sendiri setelah dengan hati lega menyaksikan kepulihan semangat para perajuritnya, lalu meloncat ke depan dan langsung ia menyerbu Ni Dewi Nilamanik yang baru muncul keluar dari pintu. Ia tidak mengenal wanita ini, namun melihat pakaiannya yang indah, kecantikannya yang mengagumkan dan mengerikan karena mata batinnya yang waspada dapat melihat betapa kecantikan itu tidak wajar dan di balik kecantikan yang menonjol oleh daya ilmu hitam ini bersembunyi kekejaman yang amat luar biasa, dapatlah ia menduga dengan cepat siapa adanya wanita ini. Apalagi melihat betapa wanita itu memegang sebuah pengebut lalat yang terbuat daripada benang semacam serat berwarna, merah dan berbentuk seperti buntut kuda.
Tanpa banyak cakap lagi ia lalu menerjang maju, menggunakan sepasang goloknya yang sengaja dibuat oleh adipati ini dan menjadi senjatanya yang ampuh selama ia melakukan tugas pembersihan menghalau musuh dari daerah Panjalu. Akan tetapi, Ni Dewi Nilamanik pada saat itu menjadi terkejut dan marah ketika memperhatikan anak buahnya. Tadi ia telah mempergunakan ilmu hitamnya, meniupkan aji guna-guna kepada para muridnya sehingga setiap orang pria yang bertemu tentu akan luluh semangatnya dan tergila-gila. Bagaimana sekarang murid-muridnya itu dihajar sampai banyak yang roboh tewas oleh para perajurit Panjalu?
Kini melihat berkelebatnya tubuh Tejolaksono yang didahului dengan gulungan dua sinar golok berkilauan, Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya sudah melesat ke samping. Dalam mengelak ini, Ni Dewi Nilamanik membarengi dengan gerakan pengebutnya. Sinar merah menyambar dari samping ke arah Tejolaksono, mengeluarkan bunyi
"Tarrrr....!!" keras sekali.
Tejolaksono yang sudah menduga akan kesaktian wanita ini, tidak berani memandang rendah dan cepat pergelangan tangannya bergerak memutar, membuat golok kanannya membentuk lingkaran menangkis sinar merah itu. Akan tetapi sinar tak kunjung datang dan ketika ia memandang, ternyata wanita itu sudah melesat jauh ke depan dan tangan kiri wanita itu dengan gerakan kuat sekali, melempar-lemparkan sesuatu ke atas.
Seketika tempat itu menjadi gelap oleh debu putih yang disebar oleh Ni Dewi Nilamanik itu dan dapat dibayangkan betapa marah dan kaget hati Tejolaksono ketika melihat para perajuritnya yang terdepan menjadi terhuyung-huyung dan terengah-engah sehingga mereka ini dengan mudah dapat dirobohkan oleh anak buah Ni Dewi Nilamanik yang tertawa terkekeh-kekeh karena girang hati menyaksikan anak buahnya membunuhi perajurit-perajurit Panjalu.
"Bedebah, iblis betina!" Adipati Tejolaksono berseru marah sekali dan tubuhnya mencelat ke atas, menyambar ke arah Ni Dewi Nilamanik. Sebuah teriakan keras menggema keluar dari mulutnya dan dua gulungan sinar goloknya menyilaukan mata, menyambar dengan gerakan menyilang seperti dua ekor ular naga menukik turun dari angkasa.
"Heeeiiiiittt....!!" Ni Dewi Nilamanik terkejut sekali sehingga tanpa disadarinya ia mengeluarkan jerit ini dan tubuhnya dilempar ke belakang, terjengkang dan rebah terus bergulingan di atas tanah untuk menyelamatkan diri daripada dua gulungan sinar maut yang keluar dari sepasang golok di tangan Tejolaksono. Kemudian dari bawah, sinar merah kebutannya meluncur ke arah perut Tejolaksono dengan kecepatan kilat sehingga pendekar sakti ini terpaksa menghentikan serangannya dan menangkis dengan golok disilang, dengan maksud menggunting putus ujung kebutan. Akan tetapi ternyata jurus-jurus yang dimainkan wanita itu penuh tipu muslihat karena kali ini kembali luncuran senjatanya hanya merupakan gerak tipu belaka dan sudah melejit ke bawah.
Dengan tubuh masih di atas tanah, mendekam, wanita itu kini menyambarkan kebutannya hendak menyerimpung kedua kaki Tejolaksono yang kagum bukan main. Dari keadaan terdesak, ternyata dalam satu dua jurus saja wanita itu sudah membalikkan keadaan, menjadi balas mendesak. Terpaksa Tejolaksono meloncat ke atas dan terjadilah perang tanding yang amat seru dan hebat antara Ni Dewi Nilamanik dan Tejolaksono.
Sementara itu karena kini didesak Tejolaksono, Ni Dewi Nilamanik tidak dapat lagi mengacaukan para perajurit dan kembali para perajurit Panjalu menerjang para wanita anak buah Ni Dewi Nilamanik sehingga terdengar pekik susul-menyusul yang keluar dari mulut para wanita yang roboh oleh senjata para perajurit.
Melihat keadaan tidak menguntungkan, tiba-tiba Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan teriakan menyayat hati, tangan kanan digerakkan dan tiba-tiba semua bulu kebutan yang berwarna merah itu terlepas dari gagangnya dan bagaikan ratusan ekor ular merah yang kecil menyambar ke depan, sebagian ke arah Tejolaksono dan sebagian lagi ke arah perajurit-perajurit yang berdekatan.
Tejolaksono memutar sepasang goloknya dengan jurus pertahanan dari ilmu Golok Lebah Putih sehingga sepasang goloknya mengeluarkan suara mendengung seperti sekumpulan lebah keluar dari sarang. Runtuhlah semua bulu kebutan yang tadi menyambar bagaikan anak-anak panah itu, akan tetapi terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya tujuh orang perajurit yang tubuhnya tertembus oleh bulu-bulu kebutan yang beracun!
Tejolaksono yang terkejut memandang anak buahnya, menjadi marah, cepat membalikkan tubuh dan slap menerjang lawan. Akan tetapi ternyata Ni Dewi Nilamanik telah lenyap. Wanita itu mempergunakan kesempatan tadi untuk menyelinap di antara anak buahnya yang mulai terdesak. Tejolaksono mengejar, mengamuk dan merobohkan banyak musuh, namun tidak kelihatan pula bayangan Ni Dewi Nilamanik.
Kacau-balaulah kini pertahanan anak buah Ni Dewi Nilamanik setelah ditinggalkan pemimpinnya. Amukan para perajurit Panjalu makin menghebat dan akhirnya mereka lari cerai-berai, dikejar oleh perajurit-perajurit Panjalu. Di antara sembilan puluh sembilan orang perajurit wanita anak buah Ni Dewi Nilamanik, hanya ada sebelas orang saja yang lolos dan entah lari ke mana, mungkin melalui jalan rahasia bersama pemimpin mereka. Yang lain telah tewas sehingga mayat mereka berserakan memenuhi tempat itu, malang melintang bersama mayat-mayat para perajurit Panjalu yang banyak jumlahnya pula.
Kemudian ternyata oleh Tejolaksono bahwa empat rombongan pasukannya yang mendaki dari lain jurusan untuk mengepung markas musuh itu, ternyata telah berantakan karena disambut oleh pasukan musuh yang mempergunakan ilmu hitam. Mereka itu terpikat dan mabuk di bawah pengaruh guna-guna yang amat kuat sehingga di antara dua ratus orang dalam empat rombongan itu, hampir semua tewas, hanya ada dua puluh orang lebih saja yang berhasil menyelamatkan diri. Dengan demikian, ditambah dengan jumlah korban dari pasukannya yang menyerbu tadi, jumlah korban semua dari perajurit Panjalu ada dua ratus orang. Mereka berhasil membasmi pasukan penyembah Bathari Durga dan menewaskan hampir semua anggautanya, namun dengan pengorbanan yang jauh lebih besar!
Pembersihan dilakukan terus-menerus oleh Tejolaksono. Kadang-kadang pasukannya terancam bahaya besar. Ketika pasukannya bertemu dengan barisan musuh di Kulon Progo (sebelah barat Sungai Progo), juga terjadi perang yang amat hebat. Pasukan musuh itu jumlahnya seimbang dengan pasukannya, namun pasukan musuh diperkuat oleh tiga puluh orang raksasa gundul, anak buah Cekel Wisangkoro. Pasukan raksasa gundul inilah yang amat hebat, membuat para perajuritnya kewalahan, karena mereka ini rata-rata memiliki kekebalan dan tenaga yang dahsyat! Gerakan mereka seperti robot, dan memang keadaan pasukan ini seperti bukan manusia-manusia lagi. Semangat mereka dikendalikan oleh Cekel Wisangkoro dengan pengaruh ilmu hitam.
Tejolaksono maklum bahwa kalau ia tidak cepat turun tangan, tentu para perajuritnya akan celaka. Maka ia lalu mainkan sepasang goloknya dan tubuhnya sampai lenyap terbungkus dua gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara mbrengengeng seperti ratusan ekor lebah mengamuk. Gulungan sinar putih ini seperti tangan maut sendiri, mengamuk di antara orang-orang gundul tinggi besar yang dengan nekat dan tidak mengenal takut mengeroyoknya. Lima orang gundul mengeroyok Tejolaksono.
Begitu pendekar sakti ini merobohkan mereka dengan kepala remuk dan tubuh terpelanting ke dalam Sungai Progo, lima orang lagi maju menggantikan dan demikianlah, terus-menerus Tejolaksono mengamuk, sementara itu pasukannya kocar-kacir karena tidak sanggup menghadapi fihak lawan yang dibantu reksasa-raksasa gundul yang amat tangguh itu.
Setelah dengan tubuh lelah sekali Tejolaksono akhirnya berhasil menewaskan tiga puluh orang raksasa gundul itu, barulah perajurit perajuritnya yang sudah banyak kehilangan kawan itu bangkit semangatnya dan terjadi perang yang amat dahsyat yang berakhir dengan kemenangan fihak Panjalu. Akan tetapi juga dalam perang tanding di pantai Progo ini, Tejolaksono kehilangan banyak perajurit dan dengan kecewa ia tidak dapat menangkap atau menewaskan Cekel Wisangkoro yang berhasil menyelamatkan diri bersama sisa pasukannya.
Berbulan-bulan lamanya Tejolaksono memimpin pasukan Panjalu menghalau musuh yang ternyata telah menanam kuku di sekitar Selopenangkep, di sebelah barat dan utara. Berkat ketekunannya dan kegagahan para perajurit Panjalu, musuh dapat dihalau dan banyak pula yang dapat dihancurkan dan dibasmi.
Setelah setahun ia memerangi musuh, pada suatu hari ia mendapat keterangan dari penyelidiknya bahwa di sekitar Gunung Merak terlihat gerakan musuh yang terdiri dari para penyembah Bathara Kala, dipimpin oleh Ki Kolohangkoro. Tejolaksono mengertak gigi karena di antara para musuhnya, Ki Kolohangkoro ini termasuk tokoh besar yang dicari-carinya. Ia mendengar bahwa Ki Kolohangkoro ini adalah adik tunggal guru dengan Wiku Kalawisesa yang telah membunuh banyak ponggawa Panjalu dan Jenggala dan yang kemudian terbunuh di tangan Endang Patibroto. Ia lalu mengumpulkan sejumlah besar pasukan, kemudian memimpin sendiri pasukan Panjalu itu, berangkat ke Gunung Merak untuk membasmi musuh yang ia kira merupakan kekuatan terakhir dari para pengacau.
Tiga hari kemudian, menjelang senja, sampailah pasukan Panjalu ini di kaki Gunung Merak. Gunung Merak adalah sebuah gunung yang kecil di antara Pegunungan Kidul, dan karena di situ terdapat banyak burung meraknya maka dinamakan Gunung Merak. Tejolaksono memerintahkan pasukannya untuk beristirahat di kaki gunung, menyusun tenaga untuk penyerbuan yang akan dilakukan esok hari. Malam itu amat gelap dan pasukannya belum mengenal daerah ini, maka amatlah berbahaya untuk menyerbu malam-malam ke atas, apalagi kalau diingat bahwa pasukan lawan yang sekarang dihadapi adalah pasukan penyembah Bathara Kala yang ia duga tentu lebih kuat daripada yang sudah-sudah.
Dugaan Tejolaksono ini memang benar, akan tetapi ia hanya dapat menduga setengahnya saja. Kalau saja Tejolaksono tahu akan keadaan seluruhnya di puncak Gunung Merak itu, tentu ia akan membawa mundur pasukannya dan baru akan berani menyerbu kalau disertai orang-orang sakti dan pasukan yang amat kuat. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada malam hari itu, puncak Gunung Merak dijadikan tempat bertemuan dan perundingan oleh tokoh-tokoh besar yang menjadi utusan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cola!
Lengkap hadir semua tokoh besar musuh Panjalu, di antaranya Ni Dewi Nilamanik, Cekel Wisangkoro, Kolohangkoro, Sariwuni dan yang lain. Bahkan dua orang tokoh puncaknya yang menjadi puncak pimpinan dan wakil kedua kerajaan, hadir pula. Siapakah kedua orang itu? Bukan lain adalah dua orang kakek sakti mandraguna, yaitu Sang Biku Janapati yang mewakili Kerajaan Sriwijaya dan Sang Wasi Bagaspati yang mewakili Kerajaan Cola!
"Sadhu-sadhu-sadhu ! Sayang sekali bahwa andika masih belum sadar sepenuhnya bahwa kekerasan itu tiada guna, hancur oleh kelemasan, Wasi Bagaspati! Penggunaan kesaktian akan sia-sia belaka di sini adalah gudangnya orang yang sakti mandraguna, keturunan orang-orang Mataram yang tak mungkin dapat ditundukkan dengan aji kedigdayaan." Demikian antara lain Biku Janapati memperingatkan temannya, Sang Wiku Bagaspati.
Dua orang pendeta sakti ini memikul tugas yang sama, hanya bedanya kalau Biku Janapati mewakili Kerajaan Sriwijaya, adalah Wasi Bagaspati mewakili Kerajaan Cola. Terdapat perbedaan besar dalam sepak terjang mereka menunaikan tugas. Biku Janapati yang bergerak dari utara, menyebar Agama Buddha dengan cara halus dan sama sekali tidak mempergunakan kekerasan, sesuai pula dengan sifat agama itu sendiri yang mendasarkan kasih sayang dan menghapus kebencian dalam tindakannya.
Sebaliknya, Wasi Bagaspati yang bergerak dari barat, selain dibantu oleh anak buahnya sendiri para penyembah dan pemuja Sang Hyang Shiwa, juga dibantu oleh para penyembah Bathara Kala dan Bathari Durga, seringkali menggunakan kekerasan, bahkan kini secara berterang anak buahnya mengadakan perang terhadap pasukan Panjalu.
Muka Wasi Bagaspati yang sudah merah itu kini menjadi makin merah, kepalanya digerakkan ketika ia tertawa dan rambutnya yang panjang putih itu berkibar-kibar, tampak makin putih seperti benang-benang perak ketika menyentuh pundak bajunya yang berwarna merah darah.
"Heh-heh-heh, Sang Biku Janapati! Kekalahan-kekalahan kecil yang diderita oleh anak buahku menghadapi pasukan Panjalu, bukan apa-apa! Semua adalah gara-gara si adipati cilik Tejolaksono, bocah yang masih ingusan itu! Lihat sajalah, dia dan pasukannya sudah tiba,.. besok aku sendiri akan menghancurkannya, kemudian aku sendiri akan memimpin pasukan menyerbu Panjalu!"
"Wahai.... saudaraku Wasi Bagaspati!" kata Biku Janapati, sepasang matanya terbelalak memandang penuh kekagetan. "Sebelum berangkat dari Sriwijaya, kita sudah bersepakat tidak akan menggunakan kekerasan, setidaknya andika tidak akan turun tangan sendiri. Apakah andika akan melanggar janji kita itu?"
Sejenak sepasang mata Wasi Bagaspati memandang tajam dan dua orang sakti itu saling bertentang pandang. Mereka itu dahulu pernah menjadi lawan, yaitu ketika Kerajaan Cola berperang melawan Kerajaan Sriwijaya. Kini setelah kedua kerajaan itu bersabahat, mereka pun menjadi sahabat, namun watak dan sifat kedua orang ini memang jauh berbeda. Biku Janapati suka akan kehalusan dan keramahan, sebaliknya Wasi Bagaspati suka akan kekerasan, suka berkelahi, dan berdarah panas. Namun akhirnya Wasi Bagaspati menghela napas panjang dan lebih dahulu menundukkan mukanya.