Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 19
"DASAR bodoh!" Suminten melepaskan diri daripada pelukan. "Lupakah engkau betapa engkau menelanjangi juru taman?"
"Eh, mengapa ceroboh? Bukankah perbuatan itu menunjukkan kecerdikanku, sesuai dengan siasatmu yang amat sempurna?"
"Memang benar, akan tetapi baju juru taman itu berlubang dan berdarah bekas tusukanmu!"
Pangeran Kukutan masih tidak mengerti dan memandang kekasihnya dengan mata penuh pertanyaan.
"Habis, mengapa?"
"Mengapa? Benar-benar kau tidak mengerti? Kalau kau bermain cinta dan bertelanjang bulat ketika kau menusuknya, bagaimana pakaiannya dapat berlubang dan berdarah? Kalau kau menusuknya dalam keadaan berpakaian, mengapa pakaiannya terlepas semua dan ia telanjang? Perbuatanmu itu dapat membuka rahasia kita, seolah-olah pakaian berlubang dan berdarah si juru taman itu dapat bercerita bahwa si juru taman itu kau tusuk lebih dulu, baru kemudian ditelanjangi! Kau kira ki patih orang bodoh? Dia telah mencari-cari bekas pakaian si juru taman itu!"
Seketika pucat wajah Pangeran Kukutan. Suaranya gemetar ketika ia bertanya, "lalu....bagaimana....? Di mana... eh, pakaian itu....?"
Suminten tersenyum, lalu melangkah dan duduk di atas pembaringan, memasukkan kedua kakinya di dalam tempayan berisi air bunga mawar untuk mencuci kakinya. Kemudian ia mengangkat mukanya memandang pangeran itu dan berkata,
"Kalau tidak ada aku, sekarang engkau tentu telah digantung! Untung aku melihat kebodohanmu itu dan sudah kusuruh singkirkan pakaian itu oleh embanku."
Pangeran Kukutan yang sudah merangkul pundak itu, melangkah mundur dengan senyum dikulum. Sudah biasa ia menyanjung dan menjilat untuk menyenangkan hati kekasihnya ini. Apalagi sekarang, ia anggap bahwa kekasihnya telah menyelamatkan nyawanya. Tanpa sangsi lagi ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suminten.
"Pangeran, benar-benarkah engkau berterima kasih kepadaku bahwa aku telah menolong dan menyelamatkan nyawamu?"
"Demi para dewata di Suralaya, adinda Suminten. Aku bersyukur dan berterima kasih sekali, juga makin mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku."
"Engkau mau melakukan apa saja yang kuminta?"
"Siap sedia!"
"Kalau begitu, aku ingin melihat kesetiaanmu, Pangeran Kukutan. Kau minumlah air mawar bekas kakiku."
Pangeran Kukutan mengangkat muka memandang. Melihat betapa mulut itu tersenyum manis dan mata itu memandang penuh berahi, ia tertawa, lalu menunduk, mengangkat tempayan berisi air mawar bekas pencuci kaki Suminten, mendekatkan ke mulutnya dan... ia minum beberapa teguk air itu.
"Aahhhh... segar sekali!"
Pangeran Kukutan menaruh tempayan di atas lantai. Melihat Suminten tertawa girang, iapun tertawa dan merangkul pinggang, menyembunyikan mukanya di atas pangkuan wanita itu. Sejenak Suminten diam saja, berdongak meramkan mata, kedua tangan menjambak rambut kepala di atas pangkuannya, kemudian perlahan ia mendorong pangeran itu mundur.
"Cukup, pangeran. Malam ini kita tidak boleh...!!"
"Tapi... tapi....mengapa...!?" Pangeran Kukutan terkejut. Minum air bekas cucian kaki masih ringan, akan tetapi kalau wanita ini menolak cintanya, benar-benar hal ini amat berat baginya.
"Kita harus hati-hati. Bukan hanya Sekarmadu musuh kita. Masih banyak tugas menanti. Kesenangan dapat kita lakukan segala waktu dan masih panjang bagi kita. Pangeran, mulai sekarang kita atur rencana menyusun kekuatan mengumpulkan sekutu yang boleh dipercaya, melenyapkan musuh-musuh yang berada di istana dan di luar istana. Adapun tentang pertemuan kita.... hemm, mulai sekarang, akulah yang akan menentukan waktu dan saatnya. Jangan sekali-kali kau berani datang menemuiku kalau tidak kupanggil. Mengerti?"
Kekecewaan besar yang tadinya membayang di wajah pangeran itu, perlahan-lahan lenyap terganti oleh kesungguhan dan pengertian. Pangeran itu mengangguk-angguk dan berkata lirih,
"Aku mengerti, Diajeng. Memang seharusnya aku mentaati segala perintahmu, karena kaulah yang mempunyai kecerdikan luar biasa."
"Nah, kalau begitu, pergilah sekarang juga. Siapa tahu ki patih selalu memasang mata-mata. Aku akan mengganti semua emban menjadi orang-orang yang tunduk kepadaku."
Pangeran Kukutan bangkit berdiri, mendekati hendak merangkul dan mencium seperti yang Ia selalu lakukan di saat mereka hendak berpisah. Akan tetapi Suminten juga bangkit berdiri dan mendorong dengan kedua tangan.
"Jangan!"
"Hanya cium perpisahan, Diajeng...."
"Itupun harus aku yang menentukan!"
Sejenak sang pangeran meragu, lalu menunduk dan mengangguk, membalikkan diri dan melangkah keluar ke arah pintu pondok.
"Pangeran... " Panggilan lirih itu membuat ia berhenti dan membalikkan tubuh. Suminten menggapai dan ia melangkah maju mendekat.
"Nah, berilah cium perpisahan itu," kata Suminten sambil tertawa dan mengangkat mukanya.
Bagaikan kucing kelaparan Pangeran Kukutan meraih, merangkul dan mencium mulut yang masih tertawa itu, penuh cinta kasih dan berahi. Suminten mendorongnya perlahan dan menjauhkan muka.
"Cukuplah, ingat, masih banyak waktu bagi kita. Nah, pergilah, pangeran."
Pangeran Kukutan memandang sejenak, tersenyum penuh kasih sayang dan terima kasih, lalu pergi keluar dari pondok memasuki taman gelap. Suminten yang ditinggal seorang diri di atas pembaringan di pondok, meramkan matanya dan tertawa. Ia mengepal tangan kanannya dan merasa seolah-olah Pangeran Kukutan berada di dalam kepalan tangannya itu. Ia telah menguasai pangeran itu seluruhnya, dan ia puas. Bahkan dalam hal cinta sekalipun ia yang berkuasa dan pangeran itu hanya seperti seekor anjing penjaga yang akan datang apabila ia menjentikkan jari tangannya.
Demikianlah, makin lama, secara teratur dan pandai sekali, Suminten makin menaik derajatnya di dalam istana, makin dalam sang prabu tenggelam ke dalam pelukan dan makin mabuk dalam belaiannya. Tidak hanya memabukkan sang prabu sehingga raja tua itu tunduk kepadanya, juga wanita cerdik ini mulailah memperluas pengaruh dan kekuasaannya sehingga seringkali sang prabu merundingkan soal-soal pemerintahan dengan selir terkasih ini dan tidak jarang sang prabu mengambil keputusan berdasarkan nasehat Suminten!
Tahun demi tahun lewat dan kekuasaan Suminten makin terasa oleh semua keluarga istana. Diam-diam Ki Patih Brotomenggala menjadi cemas sekali. Bersama beberapa orang ponggawa tinggi lainnya, Ki Patih Brotomengala seringkali mengadakan perundingan dan diam-diam mereka ini menyusun kekuatan ke tiga untuk menandingi pengaruh Suminten yang mereka anggap meracuni Kerajaan Jenggala.
Akan tetapi, ki patih dan para ponggawa tinggi tidak berani secara terang-terangan menentang Suminten karena mereka semua mengerti betapa besar cinta kasih sang prabu kepada selir termuda ini yang makin lama makin mempengaruhi junjungan mereka. Suminten sendiri secara cerdik sekali juga tidak memperlihatkan permusuhan, bahkan di luarnya ia bersikap amat manis dan baik terhadap mereka, namun secara diam-diam Suminten dibantu oleh Pangeran Kukutan memperluas kekuasaannya dan memperbesar persekutuannya dengan para ponggawa muda yang merasa tidak puas dengan kedudukan mereka. Makin lama makin menjalarlah pengaruh dan kekuasaan Suminten di Kerajaan Jenggala dan makin tunduklah sang prabu yang sudah tua itu sehingga dalam waktu lima tahun dapat dikatakan bahwa segala keputusan perkara pemerintahan yang keluar dari mulut sang prabu adalah keputusan berdasar kehendak Suminten!
Kita tinggalkan dulu Suminten, wanita muda cantik jelita yang berasal dari dusun namun berkat kecerdikan dan ambisinya telah mencapai kedudukan tinggi, lebih tinggi dari sang permaisuri sendiri itu. Lebih baik kita menengok dan mengikuti pengalaman Endang Patibroto yang sudah terlalu lama kita tinggalkan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, yaitu kurang lebih lima tahun yang lalu, Endang Patibroto mengajak Setyaningsih adik kandungnya, pergi secara diam-diam meninggalkan Selopenangkep. Ia pergi membawa hati yang perih, seperti disayat-sayat pisau rasanya, betapapun ia menguatkan hati, air matanya bercucuran terus kalau ia teringat akan Adipati Tejolaksono, suaminya yang amat dikasihinya.
Tadinya ia amat berbahagia, belum pernah selama hidupnya ia merasa sebahagia ketika ia pergi menyusul suaminya itu ke Selopenangkep. Ia dahulu pernah bahagia menjadi isteri Pangeran Panjirawit, namun tidak seperti ketika menjadi isteri Tejolaksono, karena hal itu berarti bahwa ia telah menemukan cinta kasihnya kembali, cinta kasih yang ditanamnya semenjak ia masih remaja dahulu.
Mendiang Pangeran Panjirawit hanya merupakan tempat pelarian, hanya merupakan obat penawar yang menyejukkan hati. Akan tetapi, bertemu dan menjadi isteri Tejolaksono berarti terpenuhi segala keinginannya sehingga ia dapat menumpahkan semua kasih sayangnya kepada pria idaman hatinya itu. Apalagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia telah mengandung, cinta kasihnya terhadap Tejolaksono makin kuat berakar di dalam hatinya.
Akan tetapi, dia harus meninggalkan kebahagiaan itu, harus meninggalkan Tejolaksono, tidak ingin menyaksikan pria terkasih itu menderita sengsara. Dan ia maklum setelah mendengar percakapan antara suaminya dan Ayu Candra, bahwa kalau dia tetap tinggal di Selopenangkep sebagai isteri muda, akan timbul hal-hal yang tidak baik antara dia dan Ayu Candra, dan akhirnya akan menyeret Tejolaksono ke dalam lembah kedukaan.
Selain itu iapun tidak mau lagi mengulang perbuatannya yang dahulu, ia sudah terlalu banyak mendatangkan kesengsaraan kepada Ayu Candra. Dan terutama sekali, ia tidak sudi berebut cinta dengan wanita lain. Betapapun hancur hatinya, ia lebih baik pergi, bahkan lebih baik mati daripada memperebutkan cinta yang dianggapnya merupakan hal yang amat memalukan.
Mereka berdua, Endang Patibroto dan Setyaningsih, terus melakukan perjalanan tanpa tujuan ke timur. Di sepanjang jalan, Endang Patibroto menangis sedih, dan Setyaningsih selalu berusaha menghibur ayundanya dengan ucapan-ucapan halus dan tenang. Sungguh mengherankan sekali kalau diingat betapa dahulu Endang Patibroto adalah seorang wanita yang pantang tangis, wanita yang sakti mandraguna, yang keras hati melebihi baja, kini menjadi wanita cengeng yang menangis sepanjang jalan!
Memang, betapapun juga, dia tetap wanita dan sekali tersentuh dan terbangkit cinta kasihnya, ia akan menjadi seorang yang perasa sekali. Lebih aneh lagi kalau dilihat betapa Setyaningsih, gadis cilik yang baru berusia sebelas tahun itu, bersikap tenang dan seperti seorang dewasa saja, selalu menghibur Endang Patibroto.
Seringkali, apabila Endang Patibroto teringat akan pengalamannya berkasih mesra dengan Tejolaksono, ia tidak dapat menahan diri dan menangis sesenggukan, menjatuhkan diri di pinggir jalan tak dapat melanjutkan langkah kakinya. Dan pada saat seperti itu, Setyaningsih yang segera memeluknya, merangkul dan menciuminya, dan berbisik-bisik menghibur, membesarkan hati, seperti seorang ibu menghibur anaknya yang rewell
Kalaupun ada kalanya Setyaningsih sebagai seorang anak perempuan tak dapat menahan karena terharu melihat ayundanya menangis seperti itu sehingga air matanya sendiri runtuh, dia cepat-cepat mengusap air matanya dan menekan hatinya, berkeras menyembunyikan tangisnya agar ayundanya tidak menjadi makin berduka.
"Sudahlah, ayunda Endang Patibroto, perlu apa ayunda menangisi terus hal yang telah lewat? Bukankah lebih baik kalau kita melihat ke depan, ke masa depan yang lebih gemilang? Kalau ayunda tidak dapat melupakan masa lalu, baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap tentang masa lalu. Aku ingin sekali mendengarkan semua kisah ayunda yang pasti akan menarik sekali."
Kalau sudah dihibur oleh adik kandungnya, Endang Patibroto menekan hati dan perasaannya yang hancur, kagum menyaksikan sikap adiknya yang masih kecil namun tenang dan berpemandangan luas seperti orang tua ini. lapun agak terhibur dan berceritalah ia kepada adiknya sambil melanjutkan perjalanan. Karena sikap Setyaningsih seperti seorang tua, lupalah Endang Patibroto bahwa adiknya ini baru berusia sebelas tahun. Ia bercerita seperti kepada orang dewasa saja, dan ia menceritakan semua pengalamannya tanpa tedeng aling-aling lagi, diceritakan semua kepada Setyaningsih.
Tentang pengalamannya dahulu, tentang pertentangannya dengan Joko Wandiro, dan Ayu Candra, kemudian betapa hampir ia membunuh diri karena terpencil dibenci semua orang dan dihibur oleh Pangeran Panjirawit yang menjadi suaminya selama sepuluh tahun. Kemudian diceritakan semua pengalaman akhir-akhir ini, tentang kematian suaminya dan tentang pertemuannya dengan Adipati Tejolaksono di Blambangan, pengalaman mereka di dalam sumur yang membuat mereka menjadi suami isteri dan seterusnya.
Setyaningsih mendengarkan semua penuturan ayundanya dengan hati penuh keharuan. Akan tetapi, anak ini memang mempunyai pembawaan sikap tenang, pendiam, luas pandangan, hati-hati dan angkuh, tinggi hati namun berdasarkan jiwa satria. la dapat memaklumi keadaan ayundanya, dapat merasakan kedukaan yang menimpa diri ayundanya, namun juga di dalam hati ia merasa heran terhadap diri ayundanya ini. Mengapa ayundanya ini sikap dan wataknya berubah-ubah seperti keadaan Laut Selatan? Ia menganggap watak ayundanya ini kurang tenang, sehingga mudah terguncang, mudah dipengaruhi keadaan yang menimpa diri. Namun, ia merasa amat prihatin dan kasihan kepada ayundanya sehingga mempertebal rasa kasihnya terhadap saudara kandungnya ini.
Setelah melakukan perjalanan turun gunung dan masuk keluar hutan sampai berhari-hari, pada suatu pagi hari yang cerah kedua orang wanita kakak beradik ini tiba di Gunung Wilis. Mereka mendaki lereng Wilis yang sunyi itu dan keduanya merasa heran mengapa gunung ini begitu sunyi, berbeda dengan gunung-gunung lain yang selalu dijadikan tempat tinggal orang-orang yang bertani di lereng gunung, akan tetapi gunung Wilis sunyi tidak ada dusunnya.
Betapapun juga, hal ini malah menyenangkan hati mereka berdua karena terutama sekali Endang Patibroto selalu menghendaki kesunyian dan menghindari pertemuan dengan orang-orang lain. Apalagi pemandangan di Gunung Wilis amat indahnya, hawanya sejuk dan tanahnya amat subur, terbukti dengan padatnya tetumbuhan beraneka warna.
"Kita mengaso di sini dulu, Ningsih."
Setyaningsih mengangguk. Ketika Endang Patibroto duduk bersila di bawah pohon jeruk yang teduh, mulai mengheningkan cipta untuk bersamadhi seperti yang selalu dilakukan wanita sakti ini tiap kali beristirahat untuk memulihkan tenaga, Setyaningsih pergi mencari air yang banyak terdapat di sekitar lereng, yaitu air yang memancar keluar dari celah-celah batu. Airnya jernih dan dingin sekali, yang dltampungnya dengan dua buah batok kelapa yang sengaja mereka buat di tengah perjalanan.
Setelah meletakkan sebatok air jernlh di depan ayundanya dan dia sendiri minum sedikit air untuk membasahi kerongkongannya yang kering, Setyaningsih juga meniru ayundanya, duduk bersila melepaskan lelah. Sikap duduk mereka itu adalah yang disebut Padmasana atau sikap duduk bentuk bunga teratai. Duduk bersila dengan kedua kaki tertumpang di paha masing-masing, kedua tangan telentang dan terletak di antara kedua tumit, dibawah pusar, tulang punggung dari kepala sampai ke pinggul tegak lurus. Duduk dengan sikap seperti ini lalu mengatur pernapasan sesuai dengan ajaran Pranayama, sebentar saja dapat menyehatkan tubuh dan memulihkan tenaga kembali.
Kedua orang kakak beradik ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi ketika mereka mulai mendaki dari kaki gunung, gerak-gerik mereka selalu diikuti oleh puluhan pasang mata yang mengintai dari atas. Dan kini, setelah mereka duduk melepas lelah, hanya Endang Patibroto yang tahu bahwa ada orang-orang yang berindap-indap menyelinap di antara pohon-pohon mendekati tempat mereka mengaso, akan tetapi Endang Patibroto masih duduk diam melanjutkan samadhinya tanpa memperhatikan gerakan orang-orang itu. Setyaningsih tidak tahu dan masih tekun dalam samadhi, makin lama makin halus keluar masuknya napas dari lubang hidungnya dan makin tenang bayangan pada wajahnya yang cantik.
Endang Patibroto biarpun dengan ketajaman pandangan dan pendengarannya dapat mengetahui kedatangan puluhan orang itu, namun ia tidak dapat menduga siapa mereka. Ia tidak tahu bahwa Gunung Wilis dihuni oleh segerombolan perampok yang sudah bertahun-tahun merajai pegunungan ini dan menyebut diri mereka Gerombolan Wilis. Gerombolan ini besar juga jumlahnya, kurang lebih seratus orang dan mereka membentuk sebuah perkampungan perampok di dekat puncak, di mana para perampok ini hidup dengan keluarga mereka. Pekerjaan mereka selain bertani dan memburu binatang hutan, juga merampok! Siapa saja yang lewat di wilayah Wilis, tentu menjadi korban perampok, bahkan kadang-kadang mereka tidak segan-segan untuk menyerbu kampung yang berdekatan sehingga lama-lama tidak ada lagi orang berani tinggal di sekitar daerah Wilis.
Inilah sebabnya mengapa pegunungan ini begitu sunyi, tidak ada dusunnya. Gerombolan Wilis ini dipimpin oleh tiga orang bersaudara yang semenjak merajai Wilis lalu menyebut diri mereka sebagai Limanwilis, Lembuwilis, dan Nogowilis!l Tiga orang kakak-beradik ini usianya sudah empat puluhan lebih, dan mereka terkenal memiliki ilmu kepandaian tinggi, memiliki kedigdayaan dan kekebalan sehingga beberapa tahun kemudian, nama Gerombolan Wilis amat terkenal dan ditakuti orang.
Ketika mendapat pelaporan para penjaga di kaki gunung bahwa ada dua orang wanita mendaki gunung, tiga orang kepala gerombolan ini terheran-heran dan memberi perintah agar mendiamkan saja dua orang wanita itu mendaki karena mereka bertiga hendak menyaksikan sendiri siapa gerangan dua orang wanita yang amat berani itu.
Sedangkan puluhan orang pria masih akan berpikir-pikir dahulu sebelum mendaki Wilis, bagaimana kini ada dua orang wanita tanpa pengawal berani naik? Keluarlah tiga orang kepala rampok ini dari pondok mereka dan diam-diam mereka ikut mengintai. Alangkah kagum hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa yang mendaki gunung mereka itu seorang wanita yang luar biasa cantiknya, seperti Sang Bathari Komaratih sendiri, berusia paling banyak tiga puluh tahun, bersama seorang gadis cilik belasan tahun yang juga cantik jelita sukar dicari keduanya. Mereka bertiga melongo.
Sebagai orang-orang kasar, belum pernah mereka menyaksikan kecantikan wanita yang bagi mereka tampak agung itu. Akan tetapi ketika mereka melihat betapa dua orang wanita itu beristirahat dan duduk bersamadhi, mereka makin bengong terlongong. Sebagai orang-orang yang telah mempelajari ilmu kesaktian, tentu saja mereka mengenal sikap duduk dua orang wanita itu dan dapat menduga bahwa dua orang wanita itu tentu bukan wanita-wanita sembarangan atau wanita-wanita lemah.
Karena inilah maka Limanwilis yang tertua di antara tiga kepala rampok, memberi isyarat agar anak buahnya jangan turun tangan secara kasar. Kemudian ia memberi isyarat lagi. Bergeraklah anak buahnya melakukan pengurungan sehingga tempat di mana dua orang wanita itu duduk bersamadhi telah dikelilingi barisan perampok yang jumlahnya hampir seratus orang, terdiri dari laki-laki yang bertubuh kuat-kuat dan sudah biasa berkelahi. Sekali lagi Limanwilis memberi isyarat dan majulah para perampok Itu, memperkecil lingkaran dan keluar dari tempat persembunyiannya, juga mereka kini bebas mengeluarkan suara.
Endang Patibroto tentu saja dapat mengetahui semua gerakan ini biarpun kedua matanya masih dipejamkan. Dengan ketajaman pendengarannya saja, ia sudah dapat mengikuti seluruh gerakan mereka. Setyaningsih mendengar gerakan dan suara mereka, maka gadis cilik ini membuka kedua matanya. Betapapun tenang wataknya, gadis cilik ini terkejut juga ketika memandang ke sekeliling dan melihat puluhan laki-laki tinggi besar kasar, rata-rata brewok, berpakaian serba hijau semua, di pinggang mereka tergantung bermacam-macam senjata tajam, dipimpin oleh tiga orang laki-laki tinggi besar, telah mengurung tempat itu.
Anak perempuan ini melirik ayundanya dan melihat ayundanya masih duduk bersamadhi dengan tenang sekali, kedua mata dipejamkan. Ia menjadi tenang kembali menyaksikan sikap ayundanya dan tahu bahwa ayundanya menghendaki dia melayani orang-orang yang datang mengganggu mereka ini. Tenang-tenang saja Setyaningsih bangkit berdiri, mengebut-ngebut kainnya dari tanah debu, kemudian baru ia mengangkat muka menghadapi tiga orang laki-laki tinggi besar yang ia dapat diduga tentulah pimpinan mereka karena tiga orang laki-laki ini biar hijau, namun pakaian mereka lebih mewah dan sikap mereka juga membayangkan kepemimpinan. Pula, mereka bertiga itulah yang berdiri, paling dekat, sedangkan puluhan orang yang lain hanya berjajar dalam barisan mengurung sambil menyeringai dan bersikap menanti perintah.
Setyaningsih melangkah maju tiga tindak sampai ia berdiri berhadapan dengan tiga orang pimpinan Gerombolan Wilis itu. Setelah memandang penuh selldik dengan sepasang matanya yang tajam bersinar, berkatalah Setyaningsih, suaranya lantang, sikapnya angkuh, jangankan kelihatan gentar, bahkan seperti orang memandang rendah,
"Siapakah andika bertiga ini? Dan apa sebabnya andika memimpin anak buah andika mengurung tempat ini dan mengganggu aku dan ayundaku yang sedang beristirahat?"
Sejenak tiga orang kepala rampok itu melongo. Sungguh tak pernah mereka sangka akan mendengar teguran yang keluar demikian tenangnya dari mulut bocah ini. Kemudian mereka bertiga saling pandang dan tak dapat menahan ketawa mereka.
"Huah-ha-ha-ha! Toblis-toblis! Luar biasa sekali bocah ini! Begini muda, masih kanak-kanak sudah membayangkan kecantikan seperti bidadari kahyangan dan keberaniannya seperti seekor singa betina! Anak baik, bocah denok ayu, calon puteri pilihan yang patut menjadi garwaku (isteriku), siapakah namamu cah ayu (anak cantik)?" kata Limanwilis sambil tersenyum-senyum ramah dan wajah yang penuh brewok itu berseri-seri, kemudian ia menuding ke arah Endang Patribroto dan melanjutkan pertanyaannya, "Dan siapakah wanita cantik jelita seperti Sang Hyang Komaratih itu? Siapa namanya, mau pergi ke mana, dan apa keperluannya datang ke Gunung Wilis?"
Setyaningsih mengerutkan alisnya yang kecil hitam, matanya menyinarkan kemarahan, kepalanya dikedikkan, tubuhnya ditegakkan, tangan kiri bertolak pinggang dan telunjuk tangan kanan menuding ke arah muka Limanwilis.
"Eh, paman tua! Mengapa engkau begini tidak tahu tata susila? Kalianlah yang lebih dahulu mengganggu kami yang tidak mempunyai sangkut-paut dengan kalian, maka sudah semestinya kalau kalian mengaku siapa kalian ini dan mengapa mengganggu kami berdua. Jawablah pertanyaanku, kalau kalian tidak mau menjawab, lebih baik lekas pergi dan jangan ganggu kami sebelum terlambat!"
"Heh-heh-heh, bocah yang berhati singa! Sebelum terlambat katamu? Apa maksudmu?" tanya Lembuwilis yang juga kagum menyaksikan ketabahan Setyaningsih, sambil mendekat.
"Karena kalau ayundaku sampai marah dan bangkit, kalian takkan dapat mencari tempat untuk menyembunyikan nyawa kalian!"
"Babo-babo, bocah sombong sekali!" Nogowilis membentak. Di antara tiga orang bersaudara ini, Nogowilis yang termuda dan yang paling berangasan (pemarah). "Kau mundur dan suruhlah ayundamu maju. Aku enggan melawan anak-anak!"
"Hush, adi Nogo, sabarlah. Anak ini menarik sekali, dan aku yakin dia ini bukan bocah sembarangan," kata Liman-wills menyabarkan adiknya lalu menghadapi Setyaningsih lagi, sikapnya masih ramah dan sabar. "Eh, perawan cilik yang berani mati, biarlah engkau mengenal kami. Aku adalah Limanwilis, dia adikku Lembuwilis dan yang itu adik bungsu Nogowilis. Kami bertiga kakak beradik yang menjadi pimpinan dari Gerombolan Wilis yang sudah kondang-kaonang-onang (terkenal sekali), disegani kawan ditakuti lawan! Gunung Wilis dan wilayahnya adalah tempat kekuasaan kami, siapapun tidak boleh lewat sebelum mendapat ijin dari kami! Pagi hari ini kalian berdua lewat daerah kami, tentu saja merupakan pelanggaran. Akan tetapi, karena engkau begini tabah dan ayundamu begitu cantik jelita, biarlah kami ampunkan kalian asalkan kalian suka tinggal bersama kami, menjadi keluarga kami. Ha-ha-ha!"
"Hemm, wawasanmu lancang sekali, Limanwilis! Engkau kira kami ini orang macam apa untuk kaujadikan anggauta keluargamu? Sudahlah, lebih baik menyingkir dari sini dan biarkan kami melanjutkan perjalanan."
"Waduh-waduh, sombongnya!" Nogowilis membentak lagi. "Kakang Liman, kok sabar-sabarnya itu, lho! Biar kupondong dan ciumi mulutnya biar dia kapok dan tidak membuka mulut lebar lagi!"
"Huah-ha-ha-ha! Sabar... sabar... adi Nogo. Masa kita harus bertengkar dan bertanding melawan perawan cilik? Alangkah memalukan! Eh, perawan cilik, kau panggil saja ayundamu biar dia yang bicara dengan kami."
Setyaningsih menoleh ke arah Endang Patibroto yang masih samadhi, lalu ia menggoyang kepala keras-keras.
"Tidak, ayunda sedang samadhi, tidak boleh diganggu!"
"Biar aku yang membangunkannya!" kata Lembuwilis yang sudah melangkah maju.
"Tahan.... !" Sekali meloncat, tubuh Setyaningsih berkelebat dan sudah berada di depan Lembuwilis, menghadang dengan keris di tangan kanan!
"Siapapun tidak boleh mengganggu ayunda, kecuali melalui mayatku!"
Lembuwilis mundur sampai tiga langkah dengan mata terbelalak. Demikian heran dan kagum hatinya sampai ia melongo, tak dapat bicara. Limanwilis juga kagum sekali, lalu menarik tangan Lembuwilis mundur.
"Biarlah kita coba dia, adi Lembu. Heh, Dayun, kau majulah dan coba kaulayani perawan cilik ini bertanding!"
Seorang laki-laki tinggi besar akan tetapi masih muda, rambutnya panjang riap-riapan meloncat maju dari dalam barisan perampok. Dia ini anak buah perampok, akan tetapi merupakan seorang yang kuat dan menjadi pembantu utama tiga orang pimpinan itu. Dayun melangkah maju, tersenyum menyeringai lebar.
"Waahhh, kakangmas Limanwilis, betapa memalukan melawan seorang bocah, apalagi kalau dia perempuan dan begini halus... ! Heh-heh!"
"Huah, tak usah banyak cerewet. Kau ujilah dia, ingin aku melihat apakah dia setangkas mulutnya. Akan tetapi cukup kalau kau merobohkan dia, jangan sampai melukai dia. Sayang kalau terluka, begitu denok!"
"Baiklah!" Dayun melangkah maju menghadapi Setyaningsih yang memandangnya dengan marah. "Marilah bocah ayu, mari kita main-main sebentar. Kau tusukkanlah kerismu yang sebesar daun padi itu ke dadaku ini. Nah, kubuka dadaku, tusuklah, sayang. Heh-heh-heh!" Dayun memasang lagak, membusungkan dadanya yang berbulu dan membusung kuat sekali.
Setyaningsih tidak menjawab, melainkan menyarungkan kerisnya kembali.
"Eh-eh.... kau... kau menyimpan kembali kerismu? Ha-ha-ha, jadi engkau takut dan mengaku kalah, manis? Bagus, lebih baik begitu dan.... auuugghh!!"
Tubuh Dayun yang tadinya bicara sambil tertawa itu terpelanting dibarengi teriakannya ketika Setyaningsih setelah menyimpan kerisnya tadi lalu menampar dadanya dengan pukulan tangan yang disertai Aji Pethit Nogo! Biarpun baru berusia sebelas tahun, namun Setyaningsih telah menerima gemblengan ibunya semenjak kecil, dan kalau diingat ibunya adalah wanita sakti Kartikosari, maka tidaklah mengherankan kalau tamparannya tadi membuat Dayun terpelanting dengan dada serasa remuk!
"Manusia sombong! Baru ditampar saja sudah roboh, apalagi kalau ditusuk keris! Bangkitlah!" kata Setyaningsih yang berdiri tegak dengan sikap gagah.
Semua mata melongo, terutama sekali mata ketiga orang kepala rampok itu. Mereka tahu bahwa biarpun dalam hal kesaktian Dayun belum seberapa, namun Dayun termasuk seorang yang kuat sehingga kalau hanya pukulan seorang laki-laki dewasa saja mengenai dadanya, tentu akan dapat ditahannya. Akan tetapi bagaimana sekarang tamparan tangan anak kecil perempuan itu dapat merobohkannya?
Dayun meringis dan menggosok-gosok dadanya, napasnya menjadi sesak seperti orang kumat penyakit menginya, kemudian ia bangkit berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah.
"Kakang Limanwilis, perkenankan aku menghajar bocah setan ini!" dengusnya.
Limanwilis yang kini yakin benar bahwa anak perempuan ini memiliki kesaktian tinggi, mengangguk dengan pandang mata tak pernah pindah dari Setyaningsih. Setelah mendapat perkenan dari Limanwilis, Dayun menggereng seperti seekor harimau marah, kemudian ia mengembangkan kedua lengannya yang besar panjang dan berbulu, dengan jari-jari tangan yang sebesar pisang raja itu ia menubruk, maksudnya hendak mencengkeram dan memeluk tubuh anak perempuan itu.
"Iiihhhhh..." Dayun terhuyung karena ia telah menubruk angin kosong, sedangkan Setyaningsih tadi telah melesat sambil berseru nyaring, menggunakan Aji Bayu Tantra seperti ajaran mendiang ibundanya.
Aji Bayu Tantra adalah aji keringanan tubuh yang membuat gerakannya menjadi gesit sekali, cepat dan seperti terbang saja ketika ia mengelak dan meloncat menghindarkan cengkeraman lawan. Akan tetapi, karena tadi merasa ngeri juga menyaksikan sikap lawan yang hendak memeluknya, Setyaningsih meloncat terlalu jauh sehingga kini kembali ia berdiri tegak menghadapi Dayun yang sudah membalikkan tubuh, mengembangkan kedua lengan, melangkah perlahan-lahan seperti seekor monyet besar menari.
"Heeengggg.... ke mana kau hendak lari?" kembali Dayun menubruk, lebih cepat daripada tadi.
Setyaningsih yang cerdik kini masih tetap mengerahkan Aji Bayu Tantra, akan tetapi bukan untuk meloncat jauh menghindarkan diri, melainkan ia menggunakan keringanan tubuhnya untuk menyelinap melalui bawah lengan kiri lawan yang menyambar sehingga kembali Dayun menubruk angin. Sebelum Dayun sempat membalikkan tubuh, Setyaningsih sudah mendahuluinya, melompat ke atas mengayun tangan dan...
"plakk!" tengkuk Dayun sudah dipukulnya dengan jari-jari tangan yang mengandung Aji Pethit Nogo!
"Aduhhh.... tobaaaattt....!" Dayun terjungkal dan bergulingan, mengeluarkan suara seperti orang menangis sambil meraba-raba tengkuknya yang serasa patah-patah.
Kembali semua anak buah gerombolan memandang dengan mata terbelalak. Mereka terlalu heran dan kagum sehingga melongo, dan ada yang mengeluarkan seruan-seruan kaget. Akan tetapi Dayun mempunyai tubuh yang kuat, di samping itu, memang tenaga Setyaningsih yang baru berusia sebelas tahun itu belum cukup kuat untuk merobohkan seorang laki-laki tinggi besar seperti Dayun.
Maka sebentar saja Dayun sudah bangkit berdiri lagi dan sekali tangan kanannya bergerak, ia telah mencabut goloknya, sebuah golok yang besar, tebal dan amat kuat, lagi mengkilap saking tajamnya. Diamang-amangkan golok ini dengan sikap menakutkan sekali sambil melangkah maju menghampiri lawannya, mukanya beringas dan penuh kemarahan. Kali ini ia tidak minta perkenan lagi dari pemimpinnya, dan sebaliknya tiga orang pimpinan Gerombolan Wills itupun tidak mencegahnya.
Melihat lawannya datang lagi membawa golok, Setyaningsih tidak menjadi gentar. Bahkan ia marah sekali dan tangan kanannya sudah mencabut kerisnya, tangan kiri yang sudah diisi Aji Pethit Nogo siap dikembangkan. Matanya yang jeli dan bagus itu menatap lawan dan mengikuti gerak-geriknya tanpa berkedip. Pada saat itu, telinga Setyaningsih mendengar suara bisikan yang jelas sekali, dan ia mengenal suara ayundanya, Endang Patibroto, yang berkata lirih,
"Ningsih, jangan bunuh dia...."
Setyaningsih tidak heran menyaksikan kesaktian luar blasa ayundanya ini. Biarpun tidak sekuat ayundanya, mendiang ibunya juga dapat mengirim suara dari jauh seperti itu, yang dapat dilakukan hanya dengan dasar tenaga sakti yang sudah amat kuat.
Pada saat itu, Dayun menggereng keras, goloknya terayun, tampak sinar golok berkilau, disusul suara angin menyambar. Setyaningsih hanya menggeser kaki dan menundukkan kepala, namun gerakan ini sudah cukup membuat sambaran golok ke arah lehernya tidak mengenai sasaran. Dayun penasaran sekali, juga makin kaget. Goloknya yang membabat angin kosong itu la putar membalik dan kini sudah menyambar lagi, bukan merupakan bacokan melainkan menyerang dengan tusukan ke arah dada Setyaningsih dengan kecepatan seperti anak panah menyambar dan kekuatan serudukan tanduk seekor banteng! Semua orang menatan napas, karena biarpun gadis cilik itu adalah lawan dari teman mereka Dayun, namun mereka semua tentu saja tidak menganggapnya sebagai musuh.
"Wuuuuutttt.... cusss.... plakkk.... ! Aduuhhhh..... !!" Cepat sekali terjadinya gebrakan itu. Ketika golok menyambar ke arah dada, Setyaningsih tidak merubah kedudukan kakinya, melainkan cepat ia berjongkok sehingga golok lawan meluncur lewat di atas kepalanya. Pada saat itu, kerisnya cepat menusuk pangkal lengan kanan Dayun, sedangkan tangan kirinya yang sudah siap itu menampar lutut. Tak dapat dicegah lagi, golok terlepas dari tangan Dayun dan tubuh yang tinggi besar itu terguling roboh, tak dapat bangun berdiri lagi karena selain pangkal lengan kanannya terluka tusukan keris, juga sambungan lutut kanannya terlepas! Ia hanya dapat mengerang kesakitan, tangan kanan memegang lutut, tangan kiri meraba luka di pangkal lengan.
Rasa heran dan kagum dari para anak buah Gerombolan Wilis berubah menjadi kemarahan ketika mereka menyaksikan robohnya Dayun dalam keadaan terluka. Segera mereka maju mengepung Setyaningsih tanpa menanti komando lagi, masing-masing mencabut senjata, hendak mengeroyok anak perempuan yang luar biasa itu.
Akan tetapi pada saat itu terdengar seruan nyaring, "Tikus-tikus tak tahu diri!"
Maka tampaklah bayangan berkelebat, amat cepat sehingga sukar diikuti pandangan mata, apalagi oleh mereka yang mengurung terdekat karena tiba-tiba saja mata mereka menjadi gelap, tampak seribu bintang di kepala mereka seperti meledak dan nanar seketika. Dalam waktu sekejap mata dua puluh orang lebih, yaitu mereka yang mengurung paling dekat dengan Setyaningsih, telah roboh, senjata mereka beterbangan ke sana-sini dan mereka mengaduh-aduh, memegangi kepala dan dada.
Ketika tiga pimpinan Gerombolan Wilis memandang terbelalak, kiranya wanita cantik jelita yang tadi duduk bersamadhi, kini telah berdiri di dekat bocah itu, berdiri tegak dan memandang ke sekeliling dengan senyum manis mengejek, mata bersinar-sinar dan suaranya nyaring penuh wibawa ketika berkata,
"Hayoh, siapa lagi yang berani boleh maju! Kalian ini tikus-tikus tak tahu diri! Kalau adikku menghendaki, dia ini sudah menggeletak mampus dengan perut robek, dan kalau aku menghendaki, likuran (dua puluh lebih) orang ini sudah menggeletak mampus dengan kepala remuk dan dada pecah!"
"Babo-babo!! Wanita yang sepak terjangnya seperti halilintar menyambar-nyambar, sumbarmu seakan-akan dapat menjebol puncak Gunung Wilis! Apakah yang andika kehendaki maka andika mengacau di wilayah kami?" tanya Limanwilis dengan suara menggeledek, sedangkan anak buahnya dengan hati gentar hanya dari lingkaran yang makin menjauh, giris hati mereka menyaksikan tandang Endang Patibroto yang luar biasa tadi.
Endang Patibroto menoleh dan menghadapi Limanwilis. "Bukan kami kakak beradik yang mengacau, melainkan kalian yang tidak tahu diri. Dengar baik-baik, kalian Gerombolan Wilis, aku dan adikku suka sekali dengan keadaan di sini dan hendak menetap, tinggal di puncak Gunung Wilis. Kalian harus bersedia melayani kami sebagai pimpinan kalian kalau hendak tinggal di daerah Wills, kalau tidak, lebih baik kalian sekarang juga minggat semua dari sini, karena sekali lagi berani mengganggu kami, sudah pasti kalian akan kubunuh dan kulempar-lemparkan ke dalam jurang menjadi makanan srigala dan burung gagak!"
"Waduh-waduh.... Bukan main sumbarmu, wanita perkasa! Ketahuilah, kami bertiga kakak beradik Wilis. Kalau kau dapat mengalahkan kami bertiga, barulah akan kami bertimbangkan ucapanmu tadi!" kata pula Limanwilis menantang.
Kepala gerombolan ini tadi sudah menyaksikan sepak terjang Endang Patibroto dan ia sudah cukup maklum bahwa wanita cantik yang berdiri tegak di depannya ini adalah seorang yang sakti mandraguna. Namun tentu saja dia dan adik-adiknya tidak akan mengalah begitu saja.
"Bagus! Majulah kalian bertiga, atau boleh ditambah seluruh gerombolanmu, aku tidak akan undur selangkah!" jawab Endang Patibroto sambil berdiri tegak, siap menanti pengeroyokan dengan kedua tangan kosong.
Setyaningsih sudah melangkah mundur, tidak mau mengganggu ayundanya, berdiri di pinggiran dengan keris siap di tangan. "Heh, wanita perkasa, jangan bersombong! Betapapun juga, kami Limanwilis, Lembuwilis, dan Nogowilis bukanlah laki-laki pengecut! Kau kalahkan dulu kami kakak beradik bertiga, baru kita bicara lagi" bentak Limanwilis yang marah juga mendengar tantangan Endang Patibroto. Dia sudah mencabut goloknya, demikian pula kedua adiknya, lalu membentak lagi, "Keluarkan senjatamu, wanita perkasa!"
Endang Patibroto tersenyum, di dalam hatinya girang melihat bahwa tiga orang kepala gerombolan ini biarpun orang-orang kasar, namun memiliki sifat gagah sehingga tidak sia-sialah dia dan Setyaningsih mengampuni dan tidak membunuh anak buah mereka.
"Untuk menghadapi tiga batang golokmu, tidak perlu aku bersenjata, Limanwilis. Kalian majulah!"
Ucapan ini menambah kemarahan tiga orang kepala gerombolan itu. Sambil mengeluarkan bentakan hebat, Limanwilis sudah menerjang maju, diikuti oleh kedua orang adiknya dalam detik-detik berikutnya. Serangan mereka luar biasa cepatnya, dan suara berdesing yang keluar dari tiga batang golok itu membuktikan bahwa ketiganya memiliki tenaga yang amat besar.
Setyaningsih yang sudah mempelajari ilmu silat, dapat mengerti akan kedigdayaan mereka dan diam-diam ia menjadi khawatir sekali, memandang dengan mata terbelalak sambil menggigit bibir, siap untuk nekat menerjang kalau sampai ayundanya terdesak. Maklumlah, anak ini biarpun sudah mendengar dari mendiang ibunya akan kesaktian ayundanya, namun belum pernah ia menyaksikannya dengan mata- sendiri.
Tadi sekelebatan la menyaksikan amukan ayundanya yang dalam sekejap mata saja merobohkan likuran orang, dan karena gerakan Endang Patibroto terlampau cepat, ia hanya mendapat bukti bahwa ayundanya telah menguasai ilmu bergerak cepat, yaitu Aji Bayu Tantra sampai mendekati kesempurnaan. Hanya rakandanya Tejolaksono saja yang agaknya mampu menandingi gerak cepat seperti itu tadi..."
Memang hebat bukan main sepak terjang Endang Patibroto ketika ia dikeroyok tiga orang kepala rampok itu. Wanita muda ini sedang mengandung dan Ia bertangan kosong saja, akan tetapi tiga orang kepala rampok yang bertenaga besar itu sama sekall tidak berdaya menghadapi kecepatan gerak Endang Patibroto yang seolah-olah merupakan seekor burung garuda betina yang marah dan menyambar-nyambar dahsyat!
Limanwilis, orang pertama dari ketiga kepala rampok itu, merasa yakin benar bahwa mereka berhadapan dengan seorang wanita yang memiliki kesaktian luar biasa, maka ia berlaku hati-hati dan tidak berani berlaku lengah atau menyerang secara sembrono. Tidak demikian dengan Nogowilis dan Lembuwilis. Kedua orang laki-laki tinggi besar ini menjadi penasaran betul. Mereka bertiga terkenal sebagai tokoh-tokoh gagah perkasa yang jarang menemui tanding, ditakuti semua orang.
Kini mereka mengeroyok seorang wanita yang halus gerak-geriknya, bertangan kosong. Masa mereka akan kalah? Rasa penasaran membuat gerakan mereka menjadi beringas dan liar, seperti singa-singa kelaparan. Nogowilis dan Lembuwilis menggerakkan golok, menyerbu dari kanan kiri dengan suara menggereng menyeramkan. Golok mereka sampai mengeluarkan suara berdesing dari kanan kiri. Adapun Limanwilis yang melihat kenekatan kedua orang adiknya, bersiap dengan goloknya untuk mencari kesempatan baik merobohkan lawan tangguh ini.
Endang Patibroto merasa kesal hatinya. Kalau ia menghendaki, dengan hantaman-hantaman maut tentu sejak tadi ia telah mampu merobohkan ketiga orang lawannya. Akan tetapi ia tidak menghendaki kematian mereka. Orang-orang kasar Ini harus ditundukkan karena mereka akan dapat menjadi pembantu-pembantu yang baik.
Inilah sebabnya mengapa Endang Patibroto tidak segera merobohkan mereka dan sekarang melihat betapa dua orang kepala rampok dengan nekat menerjangnya dari kanan kiri, Ia mendapat kesempatan baik. Ia sengaja berlaku lambat, seolah-olah membiarkan dua batang golok dari kanan kiri itu menggunting tubuhnya. Akan tetapi pada detik terakhIr, tiba-tiba tubuhnya menyelinap secepat kilat ke belakang, sehingga tak dapat dicegah lagi dua batang golok dari kanan kiri saling bertemu di udara.
"Cringgggg...!!"
Keras sekali pertemuan kedua batang golok itu sehingga muncratlah bunga api dan dua batang golok itu terlepas dari pegangan tangan kedua orang kepala rampok. Kakak beradik ini memiliki tenaga yang seimbang dan karena tadi mereka mengeluarkan seluruh tenaga, maka begitu kedua batang golok bertemu, mereka merasa betapa lengan kanan mereka lumpuh dan tidak kuat memegang golok masing-masing.
Pada saat mereka menjadi kaget dan menyesal mengapa golok mereka beradu dengan golok saudara sendiri, tiba-tiba Nogowilis dan Lembuwilis berteriak keras, merasa kepala mereka disambar petir yang membuat kepala terasa panas dan pening, mata berkunang dan bumi yang diinjak serasa berputaran. Mereka terhuyung, mempertahankan diri, namun tidak kuat dan akhirnya kedua orang kepala rampok yang kuat ini roboh terguling, memegangi kepala yang kena tampar Aji Pethit Nogo tadi sambil mengerang kesakitan.
Limanwilis cepat menyerbu, membacokkan goloknya ke arah kepala Endang Patibroto. Wanita sakti ini tidak bergerak dari tempatnya, berdiri tegak dan begitu golok meluncur datang, ia hanya miringkan tubuh dan dari arah samping, tangan kirinya dengan jari-jari penuh Aji Pethit Nogo menyambar ke arah golok.
"Krakkk!!" Golok di tangan Limanwilis itu tinggal sepotong, patah terkena tangkisan Aji Pethit Nogo.
Limanwilis terbelalak kaget, heran dan kagum. Ia membuang sisa goloknya, menoleh ke arah kedua orang adiknya yang sudah bangun dan duduk melongo menyaksikan kekalahan kakak mereka, kemudian membungkuk-bungkuk memberi hormat kepada Endang Patibroto sambil berkata,
"Kepandaian andika memang hebat, kami mengaku kalah. Wanita perkasa, kalau boleh kami mengetahui, siapakah gerangan andika?"
"Namaku Endang Patibroto dan ini adikku Setyaningsih."
Mendengar disebutnya nama ini, tiga orang kepala rampok, dan juga anak buah mereka, mengeluarkan seruan kaget dan memandang dengan mata terbelalak.
"Endang Patibroto.... senopati puteri dan juga puteri mantu Jenggala yang sakti mandraguna dan telah menggegerkan jagat (dunia) itu..."
Endang Patibroto tersenyum masam, lalu mengangguk. "Bekas senopati dan bekas puteri mantu Jenggala, sekarang tidak lagi. Sekarang aku menjadi pemilik Gunung Wills dan kalian menjadi anak buahku. Ataukah.... kalian tidak mau dan lebih baik minggat pergi dari sini?"
Limanwilis dan kedua orang adiknya sudah menjatuhkan diri berlutut dan menyembah Endang Patibroto. Demikian pula semua anak buah perampok sudah menjatuhkan diri berlutut. Limanwilis mewakili semua temannya berkata,
"Harap paduka suka memberi ampun kepada kami semua. Sungguh kami tidak menyangka bahwa paduka adalah Gusti Puteri Endang Patibroto yang sudah terkenal sejak dahulu. Kalau memang paduka berkenan hendak berdiam di Wilis, tentu saja kami siap untuk mentaati segala perintah paduka dan kami menyerahkan jiwa raga kami ke dalam kekuasaan paduka. Percayalah gusti, kami Gerombolan Wills bukanlah sembarangan perampok dan tahu akan arti setia."
Endang Patibroto tersenyum girang, dan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bagus sekali, kakang Limanwilis dan hatiku amat girang mendengar kesanggupan kalian. Ketahuilah kalian semua! Aku bersama adik kandungku ini sekarang tiada keluarga lagi dan seperti kukatakan tadi, aku senang sekali melihat keadaan Gunung Wilis, maka kami berdua mengambil keputusan untuk menetap di tempat ini. Kalau kalian suka menjadi anak buahku, baiklah. Aku akan tinggal di puncak, buatkan pondok untuk kami. Tempat ini akan kunamakan Padepokan Wilis yang wilayahnya meliputi seluruh daerah Gunung Wilis. Kalian semua adalah anak buah Padepokan Wills, bukan Gerombolan Wilis lagi yang mulai saat ini kububarkan!
Kalian bukan perampok-perampok dan aku bukan kepala rampok! Kalian mulai saat ini adalah satria-satria Wilis yang tidak boleh merampok. Daerah Wilis ini amat luas dan amat subur, kita dapat hidup bertani dan berburu binatang hutan. Penduduk pegunungan ini tidak boleh diganggu karena mereka adalah rakyat kita! Kita harus mengangkat Padepokan Wilis sehingga dunia akan tahu bahwa di sini adalah tempat tinggal orang-orang gagah perkasa. Kalian semua selain menjadi anak buah Padepokan Wilis, juga akan menerima gemblengan yang akan kuturunkan melalui ketiga kakang Wilis. Mengerti?"
Semua orang bekas perampok yang jumlahnya hampir seratus orang itu bersorak gembira. Siapa orangnya tidak akan berbesar hati kalau sekaligus derajat mereka diangkat dari "perampok" menjadi "satria"? Beramai-ramai para bekas perampok ini lalu membangun padepokan untuk Endang Patibroto dan Setyaningsih, juga membuat pondok-pondok untuk mereka di lereng bawah puncak. Kemudian mereka membuka hutan, mengerjakan sawah, mencangkul dan bercocok tanam.
Mulai saat itu, lahirlah Padepokan Wilis di mana Endang Patibroto hidup dengan tenang dan tenteram bersama adik kandungnya, memimpin seratus orang laki-laki yang amat setia. Beberapa bulan kemudian, terlahir pula anak yang dikandung Endang Patibroto, seorang anak perempuan yang sehat dan mungil, yang tangisnya mengejutkan para laki-laki gagah anak buah Padepokan Wilis karena amat nyaring, yang rambutnya hitam panjang dan subur, dengan sepasang mata yang mengeluarkan sinar tajam sebagai tanda bahwa anak ini bukanlah anak biasa.
Para anak buah Padepokan Wilis menyambut kelahiran anak ini dengan penuh kegembiraan, dengan pesta reog dan tari-tarian. Keluarga bekas perampok yang kini otomatis juga tinggal di lereng dan menjadi anggaota-anggota Padepokan Wilis, menyelenggarakan pesta itu sehingga cukup meriah, dikunjungi pula oleh penduduk sekitar Wilis yang tidak berapa banyak jumlahnya. Maka terlahirlah Retno Wilis, demikian nama anak itu. Retno Wilis, anak Gunung Wilis, yang sejak kecil oleh ibunya telah diberi pakaian serba hijau warnanya, sesuai dengan namanya dan tempat tinggalnya karena Wilis berarti Hijau.
Suminten menghadapi cermin, berhias sambil rengeng-rengeng (bersenandung). Hatinya merasa puas sekali dengan kemajuan-kemajuan yang dicapainya. Ia telah berhasil baik dengan bantuan Pangeran Kukutan yang menjadi pembantu amat setia. Ia maklum bahwa Ki Patih Brotomenggala dengan kawan-kawannya merupakan ancaman dan musuh berbahaya baginya.
Namun, dengan bantuan Kukutan, ia telah mulai dapat menanam kecurigaan dan ketidak percayaan sang prabu terhadap para pembesar ini. Beberapa hari yang lalu, rencananya bersama Kukutan telah berhasil baik sekali. Dua orang di antara pembantu ki patih yang merupakan orang-orang kuat dan berbahaya, yaitu Adipati Wirabayu mantu Ki Patih Brotomenggala dan Empu Adisastra, telah ditangkap dan dijebloskan dalam tahanan!
Suminten menatap bayangan wajahnya yang manis di dalam cermin. Digosok-gosoknya pipinya yang terhias tahi lalat hitam kecil di sebelah kiri, di atas mulut, sampai kedua pipiyang halus itu menjadi kemerahan seperti jambu matang. Digerak-gerakkan bibirnya sehingga dapat membentuk mulut yang menggairahkan, bibir yang menantang dan yang ia tahu akan menundukkan hati sang prabu. Diaturnya sinom (anak rambut) di dahi dan depan telinga. Rambutnya yang hitam panjang itu disanggul lepas-lepas di belakang tengkuk, seperti lingkaran ular yang malas, dan dihias bunga melati setelah ia gosok dengan sari kembang melati sehingga berbau harum wangi.
Bunga air mawar yang tadi ia pakai untuk mandi dan mencuci tubuh, membuat tubuhnya berbau sedap dan segar seperti setangkai mawar yang semerbak harum. Suminten tersenyum, mengagumi wajahnya sendiri di dalam cermin, lalu melirik ke arah tubuhnya dengan pandang mata bangga. Memang tubuhnya patut dibanggakan, tubuhnya yang muda, belum dua puluh tahun, padat dan amat dikagumi sang prabu.
Ia tersenyum lagi penuh kebanggaan dan kepuasan, lalu menarik kain penutup buah dada agak ke bawah agar lebih banyak lagi bagian buah dada yang sebelah atas tampak. Kali ini ia harus benar-benar mempergunakan seluruh keindahan wajah dan tubuhnya untuk mengalahkan sang prabu, untuk mencapai tujuannya. Ia harus dapat membuat sang prabu mabuk, lebih mabuk daripada yang sudah-sudah agar segala yang dimintanya akan dikabulkan.
Suminten bangkit berdiri. Kini tampak betapa tubuhnya benar-benar amat menggairahkan. Tinggi semampai dengan lekuk-lengkung sempurna, padat berisi, semua bagian tampak halus lunak namun mengkal berisi seperti buah mangga muda matang ati. Sekali lagi ia meneliti keadaan dirinya, memandang bayangan tubuhnya dari segala jurusan, berputaran di depan cermin, lalu ia tersenyum puas dan bertepuk tangan memberi isyarat kepada pada abdinya bahwa mereka kini boleh memasuki kamarnya.
Tiga orang emban yang muda-muda dan cantik-cantik akan tetapi kelihatan sederhana kalau dibandingkan dengan Suminten yang gemilang, memasuki kamar itu dengan langkah gemulai dengan tersenyum-senyum genit. Mereka itu tanpa diperintah lalu sibuk mengelilingi junjungan mereka, ada yang membetulkan letak kain, ada yang hendak memperbaiki letak rambut dan mulut mereka memuji-muji dengan sikap menjilat.
"Hish, jangan lancang! Rambut dan riasanku sudah baik semua, jangan diganggu! Kalian ini merusak saja, selera kalian mana cocok dengan seleraku?"
Suminten adalah bekas seorang emban, abdi dalem mendiang Pangeran Panjirawit dan isterinya. Karena inilah agaknya maka setelah kini menduduki tempat tinggi di samping sang prabu, ia masih belum dapat melenyapkan sifatnya yang suka bersendau-gurau dengan para abdinya seperti terhadap kawan-kawan sendiri. Hal ini amat menyenangkan hati para abdinya yang membuat mereka makin cinta dan setia. Memang pandai sekali Suminten mengambil hati para pembantunya.
Para emban yang ditegur itu tersenyum-senyum dan melontarkan kata-kata pujian yang bukan penjilatan semata karena memang pada saat itu Suminten tampak amat cantik manis menarik hati. Jumlah para emban yang mengabdi kepada Suminten ada tujuh orang dan mereka ini kesemuanya telah bersumpah setia kepada Suminten. Mereka ini pula yang tempo hati telah membuat kesaksian palsu untuk menjatuhkan Puteri Sekarmadu.
Mereka yakin bahwa hidup mati mereka, suka-duka mereka, bahagia sengsara mereka terletak di tangan Suminten, oleh karena itu mereka amat setia dan ingin sehidup semati dengan junjungan ini yang mereka percaya penuh keyakinan pasti akan menanjak kedudukannya dan menjadi seorang yang paling berkuasa di Jenggala kelak. Dengan demikian, nasib mereka pun sudah boleh dipastikan akan menjadi makin baik. Siapa tahu kelak mereka itupun akan diangkat menjadi puteri-puteri yang terhormat seperti halnya Suminten yang dahulupun hanya seorang emban seperti mereka.
"Sudahlah, simpan segala puji-pujian itu untuk lain kali, emban. Lebih baik lekas kalian pergi menemui pengawal pribadi yang menjaga kamar peraduan sang prabu, katakan bahwa aku hendak menghadap sang prabu sekarang juga."
Tiga orang emban yang cantik itu tersenyum-senyum. Mereka selalu merasa girang kalau disuruh menemui para pengawal yang gagah-gagah dan ganteng-ganteng itu, dan kesempatan-kesempatan seperti itu tentu akan mereka pergunakan sebaik-baiknya untuk bersendau-gurau dengan para pengawal. Berlari-larilah mereka seperti anak-anak nakal keluar dari kamar Suminten untuk menyampaikan perintah junjungan mereka.
Memang amat besar kekuasaan Suminten. Belum pernah sebelumnya seorang isteri selir dapat menghadap sang prabu begitu saja tanpa dipanggil, setiap saat yang dikehendakinya! Bahkan sang permaisuri sekalipun tidak pernah atau jarang sekali mempergunakan kekuasaan seperti ini. Hebatnya, bukan hanya sang prabu sendiri yang selalu menurut dan menerima kunjungan selirnya ini dengan kedua tangan terbuka dan hati gembira, dalam keadaan bagaimanapun, juga para pengawal sang prabu tidak seorang pun berani membantah.
Hal ini adalah berkat kecerdikan Suminten yang merengek-rengek dan membujuk-bujuk sang prabu dengan alasan bahwa sejak peristiwa Sekarmadu, istana harus dijaga oleh pengawal-pengawal yang benar-benar dapat dipercaya dan untuk memilIh para pengawal ini, ditunjuk Pangeran Kukutan "yang setia" oleh Suminten. Dan seperti yang sudah-sudah, karena mabuk dalam pelukan dan belaian Suminten, sang prabu meluluskan atau menyetujuinya. Kini para pengawal pribadi sang prabu adalah orang-orang pilihan Pangeran Kukutan dan sebagai anak buah pangeran itu, tentu saja dengan sendirinya mereka itu tunduk dan taat kepada Sumintenl
Demikianlah, malam hari itu, biarpun bukan waktunya sang prabu memanggilnya, Suminten memasuki kamar peraduan sang prabu dengan langkah perlahan. Para pengawal yang menjaga di luar, menelan ludah ketika melihat sang puteri ini lewat. Para pelayan yang tadi melayani sang prabu, telah diperintahkan ke-luar dari kamar oleh raja yang tua ini. Setiap kali selirnya yang tercinta ini datang, mendadak saja sang prabu yang tua itu seolah-olah kembali menjadi muda, dikuasai nafsu berahi.
Tadi sebelum mendengar akan permintaan Suminten untuk menghadap, sang prabu benar-benar menikmati masa tuanya, seperti orang-orang tua yang lain dia suka duduk bermalasan di kursi yang lunak, dilayani para emban, dipijiti lengan dan kakinya, sambil makan hidangan yang serba lezat dan empuk tidak melelahkan mulut yang sudah ompong, mendengarkan Emban bersenandung dengan suaranya yang merdu, kadang-kadang minum minuman yang hangat dicampuri jahe membuat tubuh terasa hangat dan enak, meram melek seperti seekor lembu menjerum (mendekap dalam lumpur).
Akan tetapi begitu mendengar bahwa Suminten akan datang, tiba-tiba saja si lembu berubah menjadi singa! Sinar mata yang tadinya tenang tenteram merem melek, kini terbuka lebar, bersinar-sinar dan wajah yang tua Itu berseri penuh nafsu. Dengan tak sabar sang prabu lalu menggunakan kata-kata dan isyarat, mengusir semua emban dan membersihkan semua bekas hidangan. Ia sendiri lalu duduk di kamar kosong, duduk di atas kursi empuk, memandang dengan penuh kegembiraan ke arah pintu, semua urat syaraf di tubuh menegang seperti biasanya kalau ia akan didekati Suminten!
"Eh, mengapa ceroboh? Bukankah perbuatan itu menunjukkan kecerdikanku, sesuai dengan siasatmu yang amat sempurna?"
"Memang benar, akan tetapi baju juru taman itu berlubang dan berdarah bekas tusukanmu!"
Pangeran Kukutan masih tidak mengerti dan memandang kekasihnya dengan mata penuh pertanyaan.
"Habis, mengapa?"
"Mengapa? Benar-benar kau tidak mengerti? Kalau kau bermain cinta dan bertelanjang bulat ketika kau menusuknya, bagaimana pakaiannya dapat berlubang dan berdarah? Kalau kau menusuknya dalam keadaan berpakaian, mengapa pakaiannya terlepas semua dan ia telanjang? Perbuatanmu itu dapat membuka rahasia kita, seolah-olah pakaian berlubang dan berdarah si juru taman itu dapat bercerita bahwa si juru taman itu kau tusuk lebih dulu, baru kemudian ditelanjangi! Kau kira ki patih orang bodoh? Dia telah mencari-cari bekas pakaian si juru taman itu!"
Seketika pucat wajah Pangeran Kukutan. Suaranya gemetar ketika ia bertanya, "lalu....bagaimana....? Di mana... eh, pakaian itu....?"
Suminten tersenyum, lalu melangkah dan duduk di atas pembaringan, memasukkan kedua kakinya di dalam tempayan berisi air bunga mawar untuk mencuci kakinya. Kemudian ia mengangkat mukanya memandang pangeran itu dan berkata,
"Kalau tidak ada aku, sekarang engkau tentu telah digantung! Untung aku melihat kebodohanmu itu dan sudah kusuruh singkirkan pakaian itu oleh embanku."
Pangeran Kukutan yang sudah merangkul pundak itu, melangkah mundur dengan senyum dikulum. Sudah biasa ia menyanjung dan menjilat untuk menyenangkan hati kekasihnya ini. Apalagi sekarang, ia anggap bahwa kekasihnya telah menyelamatkan nyawanya. Tanpa sangsi lagi ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suminten.
"Pangeran, benar-benarkah engkau berterima kasih kepadaku bahwa aku telah menolong dan menyelamatkan nyawamu?"
"Demi para dewata di Suralaya, adinda Suminten. Aku bersyukur dan berterima kasih sekali, juga makin mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku."
"Engkau mau melakukan apa saja yang kuminta?"
"Siap sedia!"
"Kalau begitu, aku ingin melihat kesetiaanmu, Pangeran Kukutan. Kau minumlah air mawar bekas kakiku."
Pangeran Kukutan mengangkat muka memandang. Melihat betapa mulut itu tersenyum manis dan mata itu memandang penuh berahi, ia tertawa, lalu menunduk, mengangkat tempayan berisi air mawar bekas pencuci kaki Suminten, mendekatkan ke mulutnya dan... ia minum beberapa teguk air itu.
"Aahhhh... segar sekali!"
Pangeran Kukutan menaruh tempayan di atas lantai. Melihat Suminten tertawa girang, iapun tertawa dan merangkul pinggang, menyembunyikan mukanya di atas pangkuan wanita itu. Sejenak Suminten diam saja, berdongak meramkan mata, kedua tangan menjambak rambut kepala di atas pangkuannya, kemudian perlahan ia mendorong pangeran itu mundur.
"Cukup, pangeran. Malam ini kita tidak boleh...!!"
"Tapi... tapi....mengapa...!?" Pangeran Kukutan terkejut. Minum air bekas cucian kaki masih ringan, akan tetapi kalau wanita ini menolak cintanya, benar-benar hal ini amat berat baginya.
"Kita harus hati-hati. Bukan hanya Sekarmadu musuh kita. Masih banyak tugas menanti. Kesenangan dapat kita lakukan segala waktu dan masih panjang bagi kita. Pangeran, mulai sekarang kita atur rencana menyusun kekuatan mengumpulkan sekutu yang boleh dipercaya, melenyapkan musuh-musuh yang berada di istana dan di luar istana. Adapun tentang pertemuan kita.... hemm, mulai sekarang, akulah yang akan menentukan waktu dan saatnya. Jangan sekali-kali kau berani datang menemuiku kalau tidak kupanggil. Mengerti?"
Kekecewaan besar yang tadinya membayang di wajah pangeran itu, perlahan-lahan lenyap terganti oleh kesungguhan dan pengertian. Pangeran itu mengangguk-angguk dan berkata lirih,
"Aku mengerti, Diajeng. Memang seharusnya aku mentaati segala perintahmu, karena kaulah yang mempunyai kecerdikan luar biasa."
"Nah, kalau begitu, pergilah sekarang juga. Siapa tahu ki patih selalu memasang mata-mata. Aku akan mengganti semua emban menjadi orang-orang yang tunduk kepadaku."
Pangeran Kukutan bangkit berdiri, mendekati hendak merangkul dan mencium seperti yang Ia selalu lakukan di saat mereka hendak berpisah. Akan tetapi Suminten juga bangkit berdiri dan mendorong dengan kedua tangan.
"Jangan!"
"Hanya cium perpisahan, Diajeng...."
"Itupun harus aku yang menentukan!"
Sejenak sang pangeran meragu, lalu menunduk dan mengangguk, membalikkan diri dan melangkah keluar ke arah pintu pondok.
"Pangeran... " Panggilan lirih itu membuat ia berhenti dan membalikkan tubuh. Suminten menggapai dan ia melangkah maju mendekat.
"Nah, berilah cium perpisahan itu," kata Suminten sambil tertawa dan mengangkat mukanya.
Bagaikan kucing kelaparan Pangeran Kukutan meraih, merangkul dan mencium mulut yang masih tertawa itu, penuh cinta kasih dan berahi. Suminten mendorongnya perlahan dan menjauhkan muka.
"Cukuplah, ingat, masih banyak waktu bagi kita. Nah, pergilah, pangeran."
Pangeran Kukutan memandang sejenak, tersenyum penuh kasih sayang dan terima kasih, lalu pergi keluar dari pondok memasuki taman gelap. Suminten yang ditinggal seorang diri di atas pembaringan di pondok, meramkan matanya dan tertawa. Ia mengepal tangan kanannya dan merasa seolah-olah Pangeran Kukutan berada di dalam kepalan tangannya itu. Ia telah menguasai pangeran itu seluruhnya, dan ia puas. Bahkan dalam hal cinta sekalipun ia yang berkuasa dan pangeran itu hanya seperti seekor anjing penjaga yang akan datang apabila ia menjentikkan jari tangannya.
Demikianlah, makin lama, secara teratur dan pandai sekali, Suminten makin menaik derajatnya di dalam istana, makin dalam sang prabu tenggelam ke dalam pelukan dan makin mabuk dalam belaiannya. Tidak hanya memabukkan sang prabu sehingga raja tua itu tunduk kepadanya, juga wanita cerdik ini mulailah memperluas pengaruh dan kekuasaannya sehingga seringkali sang prabu merundingkan soal-soal pemerintahan dengan selir terkasih ini dan tidak jarang sang prabu mengambil keputusan berdasarkan nasehat Suminten!
Tahun demi tahun lewat dan kekuasaan Suminten makin terasa oleh semua keluarga istana. Diam-diam Ki Patih Brotomenggala menjadi cemas sekali. Bersama beberapa orang ponggawa tinggi lainnya, Ki Patih Brotomengala seringkali mengadakan perundingan dan diam-diam mereka ini menyusun kekuatan ke tiga untuk menandingi pengaruh Suminten yang mereka anggap meracuni Kerajaan Jenggala.
Akan tetapi, ki patih dan para ponggawa tinggi tidak berani secara terang-terangan menentang Suminten karena mereka semua mengerti betapa besar cinta kasih sang prabu kepada selir termuda ini yang makin lama makin mempengaruhi junjungan mereka. Suminten sendiri secara cerdik sekali juga tidak memperlihatkan permusuhan, bahkan di luarnya ia bersikap amat manis dan baik terhadap mereka, namun secara diam-diam Suminten dibantu oleh Pangeran Kukutan memperluas kekuasaannya dan memperbesar persekutuannya dengan para ponggawa muda yang merasa tidak puas dengan kedudukan mereka. Makin lama makin menjalarlah pengaruh dan kekuasaan Suminten di Kerajaan Jenggala dan makin tunduklah sang prabu yang sudah tua itu sehingga dalam waktu lima tahun dapat dikatakan bahwa segala keputusan perkara pemerintahan yang keluar dari mulut sang prabu adalah keputusan berdasar kehendak Suminten!
********************
Kita tinggalkan dulu Suminten, wanita muda cantik jelita yang berasal dari dusun namun berkat kecerdikan dan ambisinya telah mencapai kedudukan tinggi, lebih tinggi dari sang permaisuri sendiri itu. Lebih baik kita menengok dan mengikuti pengalaman Endang Patibroto yang sudah terlalu lama kita tinggalkan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, yaitu kurang lebih lima tahun yang lalu, Endang Patibroto mengajak Setyaningsih adik kandungnya, pergi secara diam-diam meninggalkan Selopenangkep. Ia pergi membawa hati yang perih, seperti disayat-sayat pisau rasanya, betapapun ia menguatkan hati, air matanya bercucuran terus kalau ia teringat akan Adipati Tejolaksono, suaminya yang amat dikasihinya.
Tadinya ia amat berbahagia, belum pernah selama hidupnya ia merasa sebahagia ketika ia pergi menyusul suaminya itu ke Selopenangkep. Ia dahulu pernah bahagia menjadi isteri Pangeran Panjirawit, namun tidak seperti ketika menjadi isteri Tejolaksono, karena hal itu berarti bahwa ia telah menemukan cinta kasihnya kembali, cinta kasih yang ditanamnya semenjak ia masih remaja dahulu.
Mendiang Pangeran Panjirawit hanya merupakan tempat pelarian, hanya merupakan obat penawar yang menyejukkan hati. Akan tetapi, bertemu dan menjadi isteri Tejolaksono berarti terpenuhi segala keinginannya sehingga ia dapat menumpahkan semua kasih sayangnya kepada pria idaman hatinya itu. Apalagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia telah mengandung, cinta kasihnya terhadap Tejolaksono makin kuat berakar di dalam hatinya.
Akan tetapi, dia harus meninggalkan kebahagiaan itu, harus meninggalkan Tejolaksono, tidak ingin menyaksikan pria terkasih itu menderita sengsara. Dan ia maklum setelah mendengar percakapan antara suaminya dan Ayu Candra, bahwa kalau dia tetap tinggal di Selopenangkep sebagai isteri muda, akan timbul hal-hal yang tidak baik antara dia dan Ayu Candra, dan akhirnya akan menyeret Tejolaksono ke dalam lembah kedukaan.
Selain itu iapun tidak mau lagi mengulang perbuatannya yang dahulu, ia sudah terlalu banyak mendatangkan kesengsaraan kepada Ayu Candra. Dan terutama sekali, ia tidak sudi berebut cinta dengan wanita lain. Betapapun hancur hatinya, ia lebih baik pergi, bahkan lebih baik mati daripada memperebutkan cinta yang dianggapnya merupakan hal yang amat memalukan.
Mereka berdua, Endang Patibroto dan Setyaningsih, terus melakukan perjalanan tanpa tujuan ke timur. Di sepanjang jalan, Endang Patibroto menangis sedih, dan Setyaningsih selalu berusaha menghibur ayundanya dengan ucapan-ucapan halus dan tenang. Sungguh mengherankan sekali kalau diingat betapa dahulu Endang Patibroto adalah seorang wanita yang pantang tangis, wanita yang sakti mandraguna, yang keras hati melebihi baja, kini menjadi wanita cengeng yang menangis sepanjang jalan!
Memang, betapapun juga, dia tetap wanita dan sekali tersentuh dan terbangkit cinta kasihnya, ia akan menjadi seorang yang perasa sekali. Lebih aneh lagi kalau dilihat betapa Setyaningsih, gadis cilik yang baru berusia sebelas tahun itu, bersikap tenang dan seperti seorang dewasa saja, selalu menghibur Endang Patibroto.
Seringkali, apabila Endang Patibroto teringat akan pengalamannya berkasih mesra dengan Tejolaksono, ia tidak dapat menahan diri dan menangis sesenggukan, menjatuhkan diri di pinggir jalan tak dapat melanjutkan langkah kakinya. Dan pada saat seperti itu, Setyaningsih yang segera memeluknya, merangkul dan menciuminya, dan berbisik-bisik menghibur, membesarkan hati, seperti seorang ibu menghibur anaknya yang rewell
Kalaupun ada kalanya Setyaningsih sebagai seorang anak perempuan tak dapat menahan karena terharu melihat ayundanya menangis seperti itu sehingga air matanya sendiri runtuh, dia cepat-cepat mengusap air matanya dan menekan hatinya, berkeras menyembunyikan tangisnya agar ayundanya tidak menjadi makin berduka.
"Sudahlah, ayunda Endang Patibroto, perlu apa ayunda menangisi terus hal yang telah lewat? Bukankah lebih baik kalau kita melihat ke depan, ke masa depan yang lebih gemilang? Kalau ayunda tidak dapat melupakan masa lalu, baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap tentang masa lalu. Aku ingin sekali mendengarkan semua kisah ayunda yang pasti akan menarik sekali."
Kalau sudah dihibur oleh adik kandungnya, Endang Patibroto menekan hati dan perasaannya yang hancur, kagum menyaksikan sikap adiknya yang masih kecil namun tenang dan berpemandangan luas seperti orang tua ini. lapun agak terhibur dan berceritalah ia kepada adiknya sambil melanjutkan perjalanan. Karena sikap Setyaningsih seperti seorang tua, lupalah Endang Patibroto bahwa adiknya ini baru berusia sebelas tahun. Ia bercerita seperti kepada orang dewasa saja, dan ia menceritakan semua pengalamannya tanpa tedeng aling-aling lagi, diceritakan semua kepada Setyaningsih.
Tentang pengalamannya dahulu, tentang pertentangannya dengan Joko Wandiro, dan Ayu Candra, kemudian betapa hampir ia membunuh diri karena terpencil dibenci semua orang dan dihibur oleh Pangeran Panjirawit yang menjadi suaminya selama sepuluh tahun. Kemudian diceritakan semua pengalaman akhir-akhir ini, tentang kematian suaminya dan tentang pertemuannya dengan Adipati Tejolaksono di Blambangan, pengalaman mereka di dalam sumur yang membuat mereka menjadi suami isteri dan seterusnya.
Setyaningsih mendengarkan semua penuturan ayundanya dengan hati penuh keharuan. Akan tetapi, anak ini memang mempunyai pembawaan sikap tenang, pendiam, luas pandangan, hati-hati dan angkuh, tinggi hati namun berdasarkan jiwa satria. la dapat memaklumi keadaan ayundanya, dapat merasakan kedukaan yang menimpa diri ayundanya, namun juga di dalam hati ia merasa heran terhadap diri ayundanya ini. Mengapa ayundanya ini sikap dan wataknya berubah-ubah seperti keadaan Laut Selatan? Ia menganggap watak ayundanya ini kurang tenang, sehingga mudah terguncang, mudah dipengaruhi keadaan yang menimpa diri. Namun, ia merasa amat prihatin dan kasihan kepada ayundanya sehingga mempertebal rasa kasihnya terhadap saudara kandungnya ini.
Setelah melakukan perjalanan turun gunung dan masuk keluar hutan sampai berhari-hari, pada suatu pagi hari yang cerah kedua orang wanita kakak beradik ini tiba di Gunung Wilis. Mereka mendaki lereng Wilis yang sunyi itu dan keduanya merasa heran mengapa gunung ini begitu sunyi, berbeda dengan gunung-gunung lain yang selalu dijadikan tempat tinggal orang-orang yang bertani di lereng gunung, akan tetapi gunung Wilis sunyi tidak ada dusunnya.
Betapapun juga, hal ini malah menyenangkan hati mereka berdua karena terutama sekali Endang Patibroto selalu menghendaki kesunyian dan menghindari pertemuan dengan orang-orang lain. Apalagi pemandangan di Gunung Wilis amat indahnya, hawanya sejuk dan tanahnya amat subur, terbukti dengan padatnya tetumbuhan beraneka warna.
"Kita mengaso di sini dulu, Ningsih."
Setyaningsih mengangguk. Ketika Endang Patibroto duduk bersila di bawah pohon jeruk yang teduh, mulai mengheningkan cipta untuk bersamadhi seperti yang selalu dilakukan wanita sakti ini tiap kali beristirahat untuk memulihkan tenaga, Setyaningsih pergi mencari air yang banyak terdapat di sekitar lereng, yaitu air yang memancar keluar dari celah-celah batu. Airnya jernih dan dingin sekali, yang dltampungnya dengan dua buah batok kelapa yang sengaja mereka buat di tengah perjalanan.
Setelah meletakkan sebatok air jernlh di depan ayundanya dan dia sendiri minum sedikit air untuk membasahi kerongkongannya yang kering, Setyaningsih juga meniru ayundanya, duduk bersila melepaskan lelah. Sikap duduk mereka itu adalah yang disebut Padmasana atau sikap duduk bentuk bunga teratai. Duduk bersila dengan kedua kaki tertumpang di paha masing-masing, kedua tangan telentang dan terletak di antara kedua tumit, dibawah pusar, tulang punggung dari kepala sampai ke pinggul tegak lurus. Duduk dengan sikap seperti ini lalu mengatur pernapasan sesuai dengan ajaran Pranayama, sebentar saja dapat menyehatkan tubuh dan memulihkan tenaga kembali.
Kedua orang kakak beradik ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi ketika mereka mulai mendaki dari kaki gunung, gerak-gerik mereka selalu diikuti oleh puluhan pasang mata yang mengintai dari atas. Dan kini, setelah mereka duduk melepas lelah, hanya Endang Patibroto yang tahu bahwa ada orang-orang yang berindap-indap menyelinap di antara pohon-pohon mendekati tempat mereka mengaso, akan tetapi Endang Patibroto masih duduk diam melanjutkan samadhinya tanpa memperhatikan gerakan orang-orang itu. Setyaningsih tidak tahu dan masih tekun dalam samadhi, makin lama makin halus keluar masuknya napas dari lubang hidungnya dan makin tenang bayangan pada wajahnya yang cantik.
Endang Patibroto biarpun dengan ketajaman pandangan dan pendengarannya dapat mengetahui kedatangan puluhan orang itu, namun ia tidak dapat menduga siapa mereka. Ia tidak tahu bahwa Gunung Wilis dihuni oleh segerombolan perampok yang sudah bertahun-tahun merajai pegunungan ini dan menyebut diri mereka Gerombolan Wilis. Gerombolan ini besar juga jumlahnya, kurang lebih seratus orang dan mereka membentuk sebuah perkampungan perampok di dekat puncak, di mana para perampok ini hidup dengan keluarga mereka. Pekerjaan mereka selain bertani dan memburu binatang hutan, juga merampok! Siapa saja yang lewat di wilayah Wilis, tentu menjadi korban perampok, bahkan kadang-kadang mereka tidak segan-segan untuk menyerbu kampung yang berdekatan sehingga lama-lama tidak ada lagi orang berani tinggal di sekitar daerah Wilis.
Inilah sebabnya mengapa pegunungan ini begitu sunyi, tidak ada dusunnya. Gerombolan Wilis ini dipimpin oleh tiga orang bersaudara yang semenjak merajai Wilis lalu menyebut diri mereka sebagai Limanwilis, Lembuwilis, dan Nogowilis!l Tiga orang kakak-beradik ini usianya sudah empat puluhan lebih, dan mereka terkenal memiliki ilmu kepandaian tinggi, memiliki kedigdayaan dan kekebalan sehingga beberapa tahun kemudian, nama Gerombolan Wilis amat terkenal dan ditakuti orang.
Ketika mendapat pelaporan para penjaga di kaki gunung bahwa ada dua orang wanita mendaki gunung, tiga orang kepala gerombolan ini terheran-heran dan memberi perintah agar mendiamkan saja dua orang wanita itu mendaki karena mereka bertiga hendak menyaksikan sendiri siapa gerangan dua orang wanita yang amat berani itu.
Sedangkan puluhan orang pria masih akan berpikir-pikir dahulu sebelum mendaki Wilis, bagaimana kini ada dua orang wanita tanpa pengawal berani naik? Keluarlah tiga orang kepala rampok ini dari pondok mereka dan diam-diam mereka ikut mengintai. Alangkah kagum hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa yang mendaki gunung mereka itu seorang wanita yang luar biasa cantiknya, seperti Sang Bathari Komaratih sendiri, berusia paling banyak tiga puluh tahun, bersama seorang gadis cilik belasan tahun yang juga cantik jelita sukar dicari keduanya. Mereka bertiga melongo.
Sebagai orang-orang kasar, belum pernah mereka menyaksikan kecantikan wanita yang bagi mereka tampak agung itu. Akan tetapi ketika mereka melihat betapa dua orang wanita itu beristirahat dan duduk bersamadhi, mereka makin bengong terlongong. Sebagai orang-orang yang telah mempelajari ilmu kesaktian, tentu saja mereka mengenal sikap duduk dua orang wanita itu dan dapat menduga bahwa dua orang wanita itu tentu bukan wanita-wanita sembarangan atau wanita-wanita lemah.
Karena inilah maka Limanwilis yang tertua di antara tiga kepala rampok, memberi isyarat agar anak buahnya jangan turun tangan secara kasar. Kemudian ia memberi isyarat lagi. Bergeraklah anak buahnya melakukan pengurungan sehingga tempat di mana dua orang wanita itu duduk bersamadhi telah dikelilingi barisan perampok yang jumlahnya hampir seratus orang, terdiri dari laki-laki yang bertubuh kuat-kuat dan sudah biasa berkelahi. Sekali lagi Limanwilis memberi isyarat dan majulah para perampok Itu, memperkecil lingkaran dan keluar dari tempat persembunyiannya, juga mereka kini bebas mengeluarkan suara.
Endang Patibroto tentu saja dapat mengetahui semua gerakan ini biarpun kedua matanya masih dipejamkan. Dengan ketajaman pendengarannya saja, ia sudah dapat mengikuti seluruh gerakan mereka. Setyaningsih mendengar gerakan dan suara mereka, maka gadis cilik ini membuka kedua matanya. Betapapun tenang wataknya, gadis cilik ini terkejut juga ketika memandang ke sekeliling dan melihat puluhan laki-laki tinggi besar kasar, rata-rata brewok, berpakaian serba hijau semua, di pinggang mereka tergantung bermacam-macam senjata tajam, dipimpin oleh tiga orang laki-laki tinggi besar, telah mengurung tempat itu.
Anak perempuan ini melirik ayundanya dan melihat ayundanya masih duduk bersamadhi dengan tenang sekali, kedua mata dipejamkan. Ia menjadi tenang kembali menyaksikan sikap ayundanya dan tahu bahwa ayundanya menghendaki dia melayani orang-orang yang datang mengganggu mereka ini. Tenang-tenang saja Setyaningsih bangkit berdiri, mengebut-ngebut kainnya dari tanah debu, kemudian baru ia mengangkat muka menghadapi tiga orang laki-laki tinggi besar yang ia dapat diduga tentulah pimpinan mereka karena tiga orang laki-laki ini biar hijau, namun pakaian mereka lebih mewah dan sikap mereka juga membayangkan kepemimpinan. Pula, mereka bertiga itulah yang berdiri, paling dekat, sedangkan puluhan orang yang lain hanya berjajar dalam barisan mengurung sambil menyeringai dan bersikap menanti perintah.
Setyaningsih melangkah maju tiga tindak sampai ia berdiri berhadapan dengan tiga orang pimpinan Gerombolan Wilis itu. Setelah memandang penuh selldik dengan sepasang matanya yang tajam bersinar, berkatalah Setyaningsih, suaranya lantang, sikapnya angkuh, jangankan kelihatan gentar, bahkan seperti orang memandang rendah,
"Siapakah andika bertiga ini? Dan apa sebabnya andika memimpin anak buah andika mengurung tempat ini dan mengganggu aku dan ayundaku yang sedang beristirahat?"
Sejenak tiga orang kepala rampok itu melongo. Sungguh tak pernah mereka sangka akan mendengar teguran yang keluar demikian tenangnya dari mulut bocah ini. Kemudian mereka bertiga saling pandang dan tak dapat menahan ketawa mereka.
"Huah-ha-ha-ha! Toblis-toblis! Luar biasa sekali bocah ini! Begini muda, masih kanak-kanak sudah membayangkan kecantikan seperti bidadari kahyangan dan keberaniannya seperti seekor singa betina! Anak baik, bocah denok ayu, calon puteri pilihan yang patut menjadi garwaku (isteriku), siapakah namamu cah ayu (anak cantik)?" kata Limanwilis sambil tersenyum-senyum ramah dan wajah yang penuh brewok itu berseri-seri, kemudian ia menuding ke arah Endang Patribroto dan melanjutkan pertanyaannya, "Dan siapakah wanita cantik jelita seperti Sang Hyang Komaratih itu? Siapa namanya, mau pergi ke mana, dan apa keperluannya datang ke Gunung Wilis?"
Setyaningsih mengerutkan alisnya yang kecil hitam, matanya menyinarkan kemarahan, kepalanya dikedikkan, tubuhnya ditegakkan, tangan kiri bertolak pinggang dan telunjuk tangan kanan menuding ke arah muka Limanwilis.
"Eh, paman tua! Mengapa engkau begini tidak tahu tata susila? Kalianlah yang lebih dahulu mengganggu kami yang tidak mempunyai sangkut-paut dengan kalian, maka sudah semestinya kalau kalian mengaku siapa kalian ini dan mengapa mengganggu kami berdua. Jawablah pertanyaanku, kalau kalian tidak mau menjawab, lebih baik lekas pergi dan jangan ganggu kami sebelum terlambat!"
"Heh-heh-heh, bocah yang berhati singa! Sebelum terlambat katamu? Apa maksudmu?" tanya Lembuwilis yang juga kagum menyaksikan ketabahan Setyaningsih, sambil mendekat.
"Karena kalau ayundaku sampai marah dan bangkit, kalian takkan dapat mencari tempat untuk menyembunyikan nyawa kalian!"
"Babo-babo, bocah sombong sekali!" Nogowilis membentak. Di antara tiga orang bersaudara ini, Nogowilis yang termuda dan yang paling berangasan (pemarah). "Kau mundur dan suruhlah ayundamu maju. Aku enggan melawan anak-anak!"
"Hush, adi Nogo, sabarlah. Anak ini menarik sekali, dan aku yakin dia ini bukan bocah sembarangan," kata Liman-wills menyabarkan adiknya lalu menghadapi Setyaningsih lagi, sikapnya masih ramah dan sabar. "Eh, perawan cilik yang berani mati, biarlah engkau mengenal kami. Aku adalah Limanwilis, dia adikku Lembuwilis dan yang itu adik bungsu Nogowilis. Kami bertiga kakak beradik yang menjadi pimpinan dari Gerombolan Wilis yang sudah kondang-kaonang-onang (terkenal sekali), disegani kawan ditakuti lawan! Gunung Wilis dan wilayahnya adalah tempat kekuasaan kami, siapapun tidak boleh lewat sebelum mendapat ijin dari kami! Pagi hari ini kalian berdua lewat daerah kami, tentu saja merupakan pelanggaran. Akan tetapi, karena engkau begini tabah dan ayundamu begitu cantik jelita, biarlah kami ampunkan kalian asalkan kalian suka tinggal bersama kami, menjadi keluarga kami. Ha-ha-ha!"
"Hemm, wawasanmu lancang sekali, Limanwilis! Engkau kira kami ini orang macam apa untuk kaujadikan anggauta keluargamu? Sudahlah, lebih baik menyingkir dari sini dan biarkan kami melanjutkan perjalanan."
"Waduh-waduh, sombongnya!" Nogowilis membentak lagi. "Kakang Liman, kok sabar-sabarnya itu, lho! Biar kupondong dan ciumi mulutnya biar dia kapok dan tidak membuka mulut lebar lagi!"
"Huah-ha-ha-ha! Sabar... sabar... adi Nogo. Masa kita harus bertengkar dan bertanding melawan perawan cilik? Alangkah memalukan! Eh, perawan cilik, kau panggil saja ayundamu biar dia yang bicara dengan kami."
Setyaningsih menoleh ke arah Endang Patibroto yang masih samadhi, lalu ia menggoyang kepala keras-keras.
"Tidak, ayunda sedang samadhi, tidak boleh diganggu!"
"Biar aku yang membangunkannya!" kata Lembuwilis yang sudah melangkah maju.
"Tahan.... !" Sekali meloncat, tubuh Setyaningsih berkelebat dan sudah berada di depan Lembuwilis, menghadang dengan keris di tangan kanan!
"Siapapun tidak boleh mengganggu ayunda, kecuali melalui mayatku!"
Lembuwilis mundur sampai tiga langkah dengan mata terbelalak. Demikian heran dan kagum hatinya sampai ia melongo, tak dapat bicara. Limanwilis juga kagum sekali, lalu menarik tangan Lembuwilis mundur.
"Biarlah kita coba dia, adi Lembu. Heh, Dayun, kau majulah dan coba kaulayani perawan cilik ini bertanding!"
Seorang laki-laki tinggi besar akan tetapi masih muda, rambutnya panjang riap-riapan meloncat maju dari dalam barisan perampok. Dia ini anak buah perampok, akan tetapi merupakan seorang yang kuat dan menjadi pembantu utama tiga orang pimpinan itu. Dayun melangkah maju, tersenyum menyeringai lebar.
"Waahhh, kakangmas Limanwilis, betapa memalukan melawan seorang bocah, apalagi kalau dia perempuan dan begini halus... ! Heh-heh!"
"Huah, tak usah banyak cerewet. Kau ujilah dia, ingin aku melihat apakah dia setangkas mulutnya. Akan tetapi cukup kalau kau merobohkan dia, jangan sampai melukai dia. Sayang kalau terluka, begitu denok!"
"Baiklah!" Dayun melangkah maju menghadapi Setyaningsih yang memandangnya dengan marah. "Marilah bocah ayu, mari kita main-main sebentar. Kau tusukkanlah kerismu yang sebesar daun padi itu ke dadaku ini. Nah, kubuka dadaku, tusuklah, sayang. Heh-heh-heh!" Dayun memasang lagak, membusungkan dadanya yang berbulu dan membusung kuat sekali.
Setyaningsih tidak menjawab, melainkan menyarungkan kerisnya kembali.
"Eh-eh.... kau... kau menyimpan kembali kerismu? Ha-ha-ha, jadi engkau takut dan mengaku kalah, manis? Bagus, lebih baik begitu dan.... auuugghh!!"
Tubuh Dayun yang tadinya bicara sambil tertawa itu terpelanting dibarengi teriakannya ketika Setyaningsih setelah menyimpan kerisnya tadi lalu menampar dadanya dengan pukulan tangan yang disertai Aji Pethit Nogo! Biarpun baru berusia sebelas tahun, namun Setyaningsih telah menerima gemblengan ibunya semenjak kecil, dan kalau diingat ibunya adalah wanita sakti Kartikosari, maka tidaklah mengherankan kalau tamparannya tadi membuat Dayun terpelanting dengan dada serasa remuk!
"Manusia sombong! Baru ditampar saja sudah roboh, apalagi kalau ditusuk keris! Bangkitlah!" kata Setyaningsih yang berdiri tegak dengan sikap gagah.
Semua mata melongo, terutama sekali mata ketiga orang kepala rampok itu. Mereka tahu bahwa biarpun dalam hal kesaktian Dayun belum seberapa, namun Dayun termasuk seorang yang kuat sehingga kalau hanya pukulan seorang laki-laki dewasa saja mengenai dadanya, tentu akan dapat ditahannya. Akan tetapi bagaimana sekarang tamparan tangan anak kecil perempuan itu dapat merobohkannya?
Dayun meringis dan menggosok-gosok dadanya, napasnya menjadi sesak seperti orang kumat penyakit menginya, kemudian ia bangkit berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah.
"Kakang Limanwilis, perkenankan aku menghajar bocah setan ini!" dengusnya.
Limanwilis yang kini yakin benar bahwa anak perempuan ini memiliki kesaktian tinggi, mengangguk dengan pandang mata tak pernah pindah dari Setyaningsih. Setelah mendapat perkenan dari Limanwilis, Dayun menggereng seperti seekor harimau marah, kemudian ia mengembangkan kedua lengannya yang besar panjang dan berbulu, dengan jari-jari tangan yang sebesar pisang raja itu ia menubruk, maksudnya hendak mencengkeram dan memeluk tubuh anak perempuan itu.
"Iiihhhhh..." Dayun terhuyung karena ia telah menubruk angin kosong, sedangkan Setyaningsih tadi telah melesat sambil berseru nyaring, menggunakan Aji Bayu Tantra seperti ajaran mendiang ibundanya.
Aji Bayu Tantra adalah aji keringanan tubuh yang membuat gerakannya menjadi gesit sekali, cepat dan seperti terbang saja ketika ia mengelak dan meloncat menghindarkan cengkeraman lawan. Akan tetapi, karena tadi merasa ngeri juga menyaksikan sikap lawan yang hendak memeluknya, Setyaningsih meloncat terlalu jauh sehingga kini kembali ia berdiri tegak menghadapi Dayun yang sudah membalikkan tubuh, mengembangkan kedua lengan, melangkah perlahan-lahan seperti seekor monyet besar menari.
"Heeengggg.... ke mana kau hendak lari?" kembali Dayun menubruk, lebih cepat daripada tadi.
Setyaningsih yang cerdik kini masih tetap mengerahkan Aji Bayu Tantra, akan tetapi bukan untuk meloncat jauh menghindarkan diri, melainkan ia menggunakan keringanan tubuhnya untuk menyelinap melalui bawah lengan kiri lawan yang menyambar sehingga kembali Dayun menubruk angin. Sebelum Dayun sempat membalikkan tubuh, Setyaningsih sudah mendahuluinya, melompat ke atas mengayun tangan dan...
"plakk!" tengkuk Dayun sudah dipukulnya dengan jari-jari tangan yang mengandung Aji Pethit Nogo!
"Aduhhh.... tobaaaattt....!" Dayun terjungkal dan bergulingan, mengeluarkan suara seperti orang menangis sambil meraba-raba tengkuknya yang serasa patah-patah.
Kembali semua anak buah gerombolan memandang dengan mata terbelalak. Mereka terlalu heran dan kagum sehingga melongo, dan ada yang mengeluarkan seruan-seruan kaget. Akan tetapi Dayun mempunyai tubuh yang kuat, di samping itu, memang tenaga Setyaningsih yang baru berusia sebelas tahun itu belum cukup kuat untuk merobohkan seorang laki-laki tinggi besar seperti Dayun.
Maka sebentar saja Dayun sudah bangkit berdiri lagi dan sekali tangan kanannya bergerak, ia telah mencabut goloknya, sebuah golok yang besar, tebal dan amat kuat, lagi mengkilap saking tajamnya. Diamang-amangkan golok ini dengan sikap menakutkan sekali sambil melangkah maju menghampiri lawannya, mukanya beringas dan penuh kemarahan. Kali ini ia tidak minta perkenan lagi dari pemimpinnya, dan sebaliknya tiga orang pimpinan Gerombolan Wills itupun tidak mencegahnya.
Melihat lawannya datang lagi membawa golok, Setyaningsih tidak menjadi gentar. Bahkan ia marah sekali dan tangan kanannya sudah mencabut kerisnya, tangan kiri yang sudah diisi Aji Pethit Nogo siap dikembangkan. Matanya yang jeli dan bagus itu menatap lawan dan mengikuti gerak-geriknya tanpa berkedip. Pada saat itu, telinga Setyaningsih mendengar suara bisikan yang jelas sekali, dan ia mengenal suara ayundanya, Endang Patibroto, yang berkata lirih,
"Ningsih, jangan bunuh dia...."
Setyaningsih tidak heran menyaksikan kesaktian luar blasa ayundanya ini. Biarpun tidak sekuat ayundanya, mendiang ibunya juga dapat mengirim suara dari jauh seperti itu, yang dapat dilakukan hanya dengan dasar tenaga sakti yang sudah amat kuat.
Pada saat itu, Dayun menggereng keras, goloknya terayun, tampak sinar golok berkilau, disusul suara angin menyambar. Setyaningsih hanya menggeser kaki dan menundukkan kepala, namun gerakan ini sudah cukup membuat sambaran golok ke arah lehernya tidak mengenai sasaran. Dayun penasaran sekali, juga makin kaget. Goloknya yang membabat angin kosong itu la putar membalik dan kini sudah menyambar lagi, bukan merupakan bacokan melainkan menyerang dengan tusukan ke arah dada Setyaningsih dengan kecepatan seperti anak panah menyambar dan kekuatan serudukan tanduk seekor banteng! Semua orang menatan napas, karena biarpun gadis cilik itu adalah lawan dari teman mereka Dayun, namun mereka semua tentu saja tidak menganggapnya sebagai musuh.
"Wuuuuutttt.... cusss.... plakkk.... ! Aduuhhhh..... !!" Cepat sekali terjadinya gebrakan itu. Ketika golok menyambar ke arah dada, Setyaningsih tidak merubah kedudukan kakinya, melainkan cepat ia berjongkok sehingga golok lawan meluncur lewat di atas kepalanya. Pada saat itu, kerisnya cepat menusuk pangkal lengan kanan Dayun, sedangkan tangan kirinya yang sudah siap itu menampar lutut. Tak dapat dicegah lagi, golok terlepas dari tangan Dayun dan tubuh yang tinggi besar itu terguling roboh, tak dapat bangun berdiri lagi karena selain pangkal lengan kanannya terluka tusukan keris, juga sambungan lutut kanannya terlepas! Ia hanya dapat mengerang kesakitan, tangan kanan memegang lutut, tangan kiri meraba luka di pangkal lengan.
Rasa heran dan kagum dari para anak buah Gerombolan Wilis berubah menjadi kemarahan ketika mereka menyaksikan robohnya Dayun dalam keadaan terluka. Segera mereka maju mengepung Setyaningsih tanpa menanti komando lagi, masing-masing mencabut senjata, hendak mengeroyok anak perempuan yang luar biasa itu.
Akan tetapi pada saat itu terdengar seruan nyaring, "Tikus-tikus tak tahu diri!"
Maka tampaklah bayangan berkelebat, amat cepat sehingga sukar diikuti pandangan mata, apalagi oleh mereka yang mengurung terdekat karena tiba-tiba saja mata mereka menjadi gelap, tampak seribu bintang di kepala mereka seperti meledak dan nanar seketika. Dalam waktu sekejap mata dua puluh orang lebih, yaitu mereka yang mengurung paling dekat dengan Setyaningsih, telah roboh, senjata mereka beterbangan ke sana-sini dan mereka mengaduh-aduh, memegangi kepala dan dada.
Ketika tiga pimpinan Gerombolan Wilis memandang terbelalak, kiranya wanita cantik jelita yang tadi duduk bersamadhi, kini telah berdiri di dekat bocah itu, berdiri tegak dan memandang ke sekeliling dengan senyum manis mengejek, mata bersinar-sinar dan suaranya nyaring penuh wibawa ketika berkata,
"Hayoh, siapa lagi yang berani boleh maju! Kalian ini tikus-tikus tak tahu diri! Kalau adikku menghendaki, dia ini sudah menggeletak mampus dengan perut robek, dan kalau aku menghendaki, likuran (dua puluh lebih) orang ini sudah menggeletak mampus dengan kepala remuk dan dada pecah!"
"Babo-babo!! Wanita yang sepak terjangnya seperti halilintar menyambar-nyambar, sumbarmu seakan-akan dapat menjebol puncak Gunung Wilis! Apakah yang andika kehendaki maka andika mengacau di wilayah kami?" tanya Limanwilis dengan suara menggeledek, sedangkan anak buahnya dengan hati gentar hanya dari lingkaran yang makin menjauh, giris hati mereka menyaksikan tandang Endang Patibroto yang luar biasa tadi.
Endang Patibroto menoleh dan menghadapi Limanwilis. "Bukan kami kakak beradik yang mengacau, melainkan kalian yang tidak tahu diri. Dengar baik-baik, kalian Gerombolan Wilis, aku dan adikku suka sekali dengan keadaan di sini dan hendak menetap, tinggal di puncak Gunung Wilis. Kalian harus bersedia melayani kami sebagai pimpinan kalian kalau hendak tinggal di daerah Wills, kalau tidak, lebih baik kalian sekarang juga minggat semua dari sini, karena sekali lagi berani mengganggu kami, sudah pasti kalian akan kubunuh dan kulempar-lemparkan ke dalam jurang menjadi makanan srigala dan burung gagak!"
"Waduh-waduh.... Bukan main sumbarmu, wanita perkasa! Ketahuilah, kami bertiga kakak beradik Wilis. Kalau kau dapat mengalahkan kami bertiga, barulah akan kami bertimbangkan ucapanmu tadi!" kata pula Limanwilis menantang.
Kepala gerombolan ini tadi sudah menyaksikan sepak terjang Endang Patibroto dan ia sudah cukup maklum bahwa wanita cantik yang berdiri tegak di depannya ini adalah seorang yang sakti mandraguna. Namun tentu saja dia dan adik-adiknya tidak akan mengalah begitu saja.
"Bagus! Majulah kalian bertiga, atau boleh ditambah seluruh gerombolanmu, aku tidak akan undur selangkah!" jawab Endang Patibroto sambil berdiri tegak, siap menanti pengeroyokan dengan kedua tangan kosong.
Setyaningsih sudah melangkah mundur, tidak mau mengganggu ayundanya, berdiri di pinggiran dengan keris siap di tangan. "Heh, wanita perkasa, jangan bersombong! Betapapun juga, kami Limanwilis, Lembuwilis, dan Nogowilis bukanlah laki-laki pengecut! Kau kalahkan dulu kami kakak beradik bertiga, baru kita bicara lagi" bentak Limanwilis yang marah juga mendengar tantangan Endang Patibroto. Dia sudah mencabut goloknya, demikian pula kedua adiknya, lalu membentak lagi, "Keluarkan senjatamu, wanita perkasa!"
Endang Patibroto tersenyum, di dalam hatinya girang melihat bahwa tiga orang kepala gerombolan ini biarpun orang-orang kasar, namun memiliki sifat gagah sehingga tidak sia-sialah dia dan Setyaningsih mengampuni dan tidak membunuh anak buah mereka.
"Untuk menghadapi tiga batang golokmu, tidak perlu aku bersenjata, Limanwilis. Kalian majulah!"
Ucapan ini menambah kemarahan tiga orang kepala gerombolan itu. Sambil mengeluarkan bentakan hebat, Limanwilis sudah menerjang maju, diikuti oleh kedua orang adiknya dalam detik-detik berikutnya. Serangan mereka luar biasa cepatnya, dan suara berdesing yang keluar dari tiga batang golok itu membuktikan bahwa ketiganya memiliki tenaga yang amat besar.
Setyaningsih yang sudah mempelajari ilmu silat, dapat mengerti akan kedigdayaan mereka dan diam-diam ia menjadi khawatir sekali, memandang dengan mata terbelalak sambil menggigit bibir, siap untuk nekat menerjang kalau sampai ayundanya terdesak. Maklumlah, anak ini biarpun sudah mendengar dari mendiang ibunya akan kesaktian ayundanya, namun belum pernah ia menyaksikannya dengan mata- sendiri.
Tadi sekelebatan la menyaksikan amukan ayundanya yang dalam sekejap mata saja merobohkan likuran orang, dan karena gerakan Endang Patibroto terlampau cepat, ia hanya mendapat bukti bahwa ayundanya telah menguasai ilmu bergerak cepat, yaitu Aji Bayu Tantra sampai mendekati kesempurnaan. Hanya rakandanya Tejolaksono saja yang agaknya mampu menandingi gerak cepat seperti itu tadi..."
Memang hebat bukan main sepak terjang Endang Patibroto ketika ia dikeroyok tiga orang kepala rampok itu. Wanita muda ini sedang mengandung dan Ia bertangan kosong saja, akan tetapi tiga orang kepala rampok yang bertenaga besar itu sama sekall tidak berdaya menghadapi kecepatan gerak Endang Patibroto yang seolah-olah merupakan seekor burung garuda betina yang marah dan menyambar-nyambar dahsyat!
Limanwilis, orang pertama dari ketiga kepala rampok itu, merasa yakin benar bahwa mereka berhadapan dengan seorang wanita yang memiliki kesaktian luar biasa, maka ia berlaku hati-hati dan tidak berani berlaku lengah atau menyerang secara sembrono. Tidak demikian dengan Nogowilis dan Lembuwilis. Kedua orang laki-laki tinggi besar ini menjadi penasaran betul. Mereka bertiga terkenal sebagai tokoh-tokoh gagah perkasa yang jarang menemui tanding, ditakuti semua orang.
Kini mereka mengeroyok seorang wanita yang halus gerak-geriknya, bertangan kosong. Masa mereka akan kalah? Rasa penasaran membuat gerakan mereka menjadi beringas dan liar, seperti singa-singa kelaparan. Nogowilis dan Lembuwilis menggerakkan golok, menyerbu dari kanan kiri dengan suara menggereng menyeramkan. Golok mereka sampai mengeluarkan suara berdesing dari kanan kiri. Adapun Limanwilis yang melihat kenekatan kedua orang adiknya, bersiap dengan goloknya untuk mencari kesempatan baik merobohkan lawan tangguh ini.
Endang Patibroto merasa kesal hatinya. Kalau ia menghendaki, dengan hantaman-hantaman maut tentu sejak tadi ia telah mampu merobohkan ketiga orang lawannya. Akan tetapi ia tidak menghendaki kematian mereka. Orang-orang kasar Ini harus ditundukkan karena mereka akan dapat menjadi pembantu-pembantu yang baik.
Inilah sebabnya mengapa Endang Patibroto tidak segera merobohkan mereka dan sekarang melihat betapa dua orang kepala rampok dengan nekat menerjangnya dari kanan kiri, Ia mendapat kesempatan baik. Ia sengaja berlaku lambat, seolah-olah membiarkan dua batang golok dari kanan kiri itu menggunting tubuhnya. Akan tetapi pada detik terakhIr, tiba-tiba tubuhnya menyelinap secepat kilat ke belakang, sehingga tak dapat dicegah lagi dua batang golok dari kanan kiri saling bertemu di udara.
"Cringgggg...!!"
Keras sekali pertemuan kedua batang golok itu sehingga muncratlah bunga api dan dua batang golok itu terlepas dari pegangan tangan kedua orang kepala rampok. Kakak beradik ini memiliki tenaga yang seimbang dan karena tadi mereka mengeluarkan seluruh tenaga, maka begitu kedua batang golok bertemu, mereka merasa betapa lengan kanan mereka lumpuh dan tidak kuat memegang golok masing-masing.
Pada saat mereka menjadi kaget dan menyesal mengapa golok mereka beradu dengan golok saudara sendiri, tiba-tiba Nogowilis dan Lembuwilis berteriak keras, merasa kepala mereka disambar petir yang membuat kepala terasa panas dan pening, mata berkunang dan bumi yang diinjak serasa berputaran. Mereka terhuyung, mempertahankan diri, namun tidak kuat dan akhirnya kedua orang kepala rampok yang kuat ini roboh terguling, memegangi kepala yang kena tampar Aji Pethit Nogo tadi sambil mengerang kesakitan.
Limanwilis cepat menyerbu, membacokkan goloknya ke arah kepala Endang Patibroto. Wanita sakti ini tidak bergerak dari tempatnya, berdiri tegak dan begitu golok meluncur datang, ia hanya miringkan tubuh dan dari arah samping, tangan kirinya dengan jari-jari penuh Aji Pethit Nogo menyambar ke arah golok.
"Krakkk!!" Golok di tangan Limanwilis itu tinggal sepotong, patah terkena tangkisan Aji Pethit Nogo.
Limanwilis terbelalak kaget, heran dan kagum. Ia membuang sisa goloknya, menoleh ke arah kedua orang adiknya yang sudah bangun dan duduk melongo menyaksikan kekalahan kakak mereka, kemudian membungkuk-bungkuk memberi hormat kepada Endang Patibroto sambil berkata,
"Kepandaian andika memang hebat, kami mengaku kalah. Wanita perkasa, kalau boleh kami mengetahui, siapakah gerangan andika?"
"Namaku Endang Patibroto dan ini adikku Setyaningsih."
Mendengar disebutnya nama ini, tiga orang kepala rampok, dan juga anak buah mereka, mengeluarkan seruan kaget dan memandang dengan mata terbelalak.
"Endang Patibroto.... senopati puteri dan juga puteri mantu Jenggala yang sakti mandraguna dan telah menggegerkan jagat (dunia) itu..."
Endang Patibroto tersenyum masam, lalu mengangguk. "Bekas senopati dan bekas puteri mantu Jenggala, sekarang tidak lagi. Sekarang aku menjadi pemilik Gunung Wills dan kalian menjadi anak buahku. Ataukah.... kalian tidak mau dan lebih baik minggat pergi dari sini?"
Limanwilis dan kedua orang adiknya sudah menjatuhkan diri berlutut dan menyembah Endang Patibroto. Demikian pula semua anak buah perampok sudah menjatuhkan diri berlutut. Limanwilis mewakili semua temannya berkata,
"Harap paduka suka memberi ampun kepada kami semua. Sungguh kami tidak menyangka bahwa paduka adalah Gusti Puteri Endang Patibroto yang sudah terkenal sejak dahulu. Kalau memang paduka berkenan hendak berdiam di Wilis, tentu saja kami siap untuk mentaati segala perintah paduka dan kami menyerahkan jiwa raga kami ke dalam kekuasaan paduka. Percayalah gusti, kami Gerombolan Wills bukanlah sembarangan perampok dan tahu akan arti setia."
Endang Patibroto tersenyum girang, dan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bagus sekali, kakang Limanwilis dan hatiku amat girang mendengar kesanggupan kalian. Ketahuilah kalian semua! Aku bersama adik kandungku ini sekarang tiada keluarga lagi dan seperti kukatakan tadi, aku senang sekali melihat keadaan Gunung Wilis, maka kami berdua mengambil keputusan untuk menetap di tempat ini. Kalau kalian suka menjadi anak buahku, baiklah. Aku akan tinggal di puncak, buatkan pondok untuk kami. Tempat ini akan kunamakan Padepokan Wilis yang wilayahnya meliputi seluruh daerah Gunung Wilis. Kalian semua adalah anak buah Padepokan Wills, bukan Gerombolan Wilis lagi yang mulai saat ini kububarkan!
Kalian bukan perampok-perampok dan aku bukan kepala rampok! Kalian mulai saat ini adalah satria-satria Wilis yang tidak boleh merampok. Daerah Wilis ini amat luas dan amat subur, kita dapat hidup bertani dan berburu binatang hutan. Penduduk pegunungan ini tidak boleh diganggu karena mereka adalah rakyat kita! Kita harus mengangkat Padepokan Wilis sehingga dunia akan tahu bahwa di sini adalah tempat tinggal orang-orang gagah perkasa. Kalian semua selain menjadi anak buah Padepokan Wilis, juga akan menerima gemblengan yang akan kuturunkan melalui ketiga kakang Wilis. Mengerti?"
Semua orang bekas perampok yang jumlahnya hampir seratus orang itu bersorak gembira. Siapa orangnya tidak akan berbesar hati kalau sekaligus derajat mereka diangkat dari "perampok" menjadi "satria"? Beramai-ramai para bekas perampok ini lalu membangun padepokan untuk Endang Patibroto dan Setyaningsih, juga membuat pondok-pondok untuk mereka di lereng bawah puncak. Kemudian mereka membuka hutan, mengerjakan sawah, mencangkul dan bercocok tanam.
Mulai saat itu, lahirlah Padepokan Wilis di mana Endang Patibroto hidup dengan tenang dan tenteram bersama adik kandungnya, memimpin seratus orang laki-laki yang amat setia. Beberapa bulan kemudian, terlahir pula anak yang dikandung Endang Patibroto, seorang anak perempuan yang sehat dan mungil, yang tangisnya mengejutkan para laki-laki gagah anak buah Padepokan Wilis karena amat nyaring, yang rambutnya hitam panjang dan subur, dengan sepasang mata yang mengeluarkan sinar tajam sebagai tanda bahwa anak ini bukanlah anak biasa.
Para anak buah Padepokan Wilis menyambut kelahiran anak ini dengan penuh kegembiraan, dengan pesta reog dan tari-tarian. Keluarga bekas perampok yang kini otomatis juga tinggal di lereng dan menjadi anggaota-anggota Padepokan Wilis, menyelenggarakan pesta itu sehingga cukup meriah, dikunjungi pula oleh penduduk sekitar Wilis yang tidak berapa banyak jumlahnya. Maka terlahirlah Retno Wilis, demikian nama anak itu. Retno Wilis, anak Gunung Wilis, yang sejak kecil oleh ibunya telah diberi pakaian serba hijau warnanya, sesuai dengan namanya dan tempat tinggalnya karena Wilis berarti Hijau.
********************
Suminten menghadapi cermin, berhias sambil rengeng-rengeng (bersenandung). Hatinya merasa puas sekali dengan kemajuan-kemajuan yang dicapainya. Ia telah berhasil baik dengan bantuan Pangeran Kukutan yang menjadi pembantu amat setia. Ia maklum bahwa Ki Patih Brotomenggala dengan kawan-kawannya merupakan ancaman dan musuh berbahaya baginya.
Namun, dengan bantuan Kukutan, ia telah mulai dapat menanam kecurigaan dan ketidak percayaan sang prabu terhadap para pembesar ini. Beberapa hari yang lalu, rencananya bersama Kukutan telah berhasil baik sekali. Dua orang di antara pembantu ki patih yang merupakan orang-orang kuat dan berbahaya, yaitu Adipati Wirabayu mantu Ki Patih Brotomenggala dan Empu Adisastra, telah ditangkap dan dijebloskan dalam tahanan!
Suminten menatap bayangan wajahnya yang manis di dalam cermin. Digosok-gosoknya pipinya yang terhias tahi lalat hitam kecil di sebelah kiri, di atas mulut, sampai kedua pipiyang halus itu menjadi kemerahan seperti jambu matang. Digerak-gerakkan bibirnya sehingga dapat membentuk mulut yang menggairahkan, bibir yang menantang dan yang ia tahu akan menundukkan hati sang prabu. Diaturnya sinom (anak rambut) di dahi dan depan telinga. Rambutnya yang hitam panjang itu disanggul lepas-lepas di belakang tengkuk, seperti lingkaran ular yang malas, dan dihias bunga melati setelah ia gosok dengan sari kembang melati sehingga berbau harum wangi.
Bunga air mawar yang tadi ia pakai untuk mandi dan mencuci tubuh, membuat tubuhnya berbau sedap dan segar seperti setangkai mawar yang semerbak harum. Suminten tersenyum, mengagumi wajahnya sendiri di dalam cermin, lalu melirik ke arah tubuhnya dengan pandang mata bangga. Memang tubuhnya patut dibanggakan, tubuhnya yang muda, belum dua puluh tahun, padat dan amat dikagumi sang prabu.
Ia tersenyum lagi penuh kebanggaan dan kepuasan, lalu menarik kain penutup buah dada agak ke bawah agar lebih banyak lagi bagian buah dada yang sebelah atas tampak. Kali ini ia harus benar-benar mempergunakan seluruh keindahan wajah dan tubuhnya untuk mengalahkan sang prabu, untuk mencapai tujuannya. Ia harus dapat membuat sang prabu mabuk, lebih mabuk daripada yang sudah-sudah agar segala yang dimintanya akan dikabulkan.
Suminten bangkit berdiri. Kini tampak betapa tubuhnya benar-benar amat menggairahkan. Tinggi semampai dengan lekuk-lengkung sempurna, padat berisi, semua bagian tampak halus lunak namun mengkal berisi seperti buah mangga muda matang ati. Sekali lagi ia meneliti keadaan dirinya, memandang bayangan tubuhnya dari segala jurusan, berputaran di depan cermin, lalu ia tersenyum puas dan bertepuk tangan memberi isyarat kepada pada abdinya bahwa mereka kini boleh memasuki kamarnya.
Tiga orang emban yang muda-muda dan cantik-cantik akan tetapi kelihatan sederhana kalau dibandingkan dengan Suminten yang gemilang, memasuki kamar itu dengan langkah gemulai dengan tersenyum-senyum genit. Mereka itu tanpa diperintah lalu sibuk mengelilingi junjungan mereka, ada yang membetulkan letak kain, ada yang hendak memperbaiki letak rambut dan mulut mereka memuji-muji dengan sikap menjilat.
"Hish, jangan lancang! Rambut dan riasanku sudah baik semua, jangan diganggu! Kalian ini merusak saja, selera kalian mana cocok dengan seleraku?"
Suminten adalah bekas seorang emban, abdi dalem mendiang Pangeran Panjirawit dan isterinya. Karena inilah agaknya maka setelah kini menduduki tempat tinggi di samping sang prabu, ia masih belum dapat melenyapkan sifatnya yang suka bersendau-gurau dengan para abdinya seperti terhadap kawan-kawan sendiri. Hal ini amat menyenangkan hati para abdinya yang membuat mereka makin cinta dan setia. Memang pandai sekali Suminten mengambil hati para pembantunya.
Para emban yang ditegur itu tersenyum-senyum dan melontarkan kata-kata pujian yang bukan penjilatan semata karena memang pada saat itu Suminten tampak amat cantik manis menarik hati. Jumlah para emban yang mengabdi kepada Suminten ada tujuh orang dan mereka ini kesemuanya telah bersumpah setia kepada Suminten. Mereka ini pula yang tempo hati telah membuat kesaksian palsu untuk menjatuhkan Puteri Sekarmadu.
Mereka yakin bahwa hidup mati mereka, suka-duka mereka, bahagia sengsara mereka terletak di tangan Suminten, oleh karena itu mereka amat setia dan ingin sehidup semati dengan junjungan ini yang mereka percaya penuh keyakinan pasti akan menanjak kedudukannya dan menjadi seorang yang paling berkuasa di Jenggala kelak. Dengan demikian, nasib mereka pun sudah boleh dipastikan akan menjadi makin baik. Siapa tahu kelak mereka itupun akan diangkat menjadi puteri-puteri yang terhormat seperti halnya Suminten yang dahulupun hanya seorang emban seperti mereka.
"Sudahlah, simpan segala puji-pujian itu untuk lain kali, emban. Lebih baik lekas kalian pergi menemui pengawal pribadi yang menjaga kamar peraduan sang prabu, katakan bahwa aku hendak menghadap sang prabu sekarang juga."
Tiga orang emban yang cantik itu tersenyum-senyum. Mereka selalu merasa girang kalau disuruh menemui para pengawal yang gagah-gagah dan ganteng-ganteng itu, dan kesempatan-kesempatan seperti itu tentu akan mereka pergunakan sebaik-baiknya untuk bersendau-gurau dengan para pengawal. Berlari-larilah mereka seperti anak-anak nakal keluar dari kamar Suminten untuk menyampaikan perintah junjungan mereka.
Memang amat besar kekuasaan Suminten. Belum pernah sebelumnya seorang isteri selir dapat menghadap sang prabu begitu saja tanpa dipanggil, setiap saat yang dikehendakinya! Bahkan sang permaisuri sekalipun tidak pernah atau jarang sekali mempergunakan kekuasaan seperti ini. Hebatnya, bukan hanya sang prabu sendiri yang selalu menurut dan menerima kunjungan selirnya ini dengan kedua tangan terbuka dan hati gembira, dalam keadaan bagaimanapun, juga para pengawal sang prabu tidak seorang pun berani membantah.
Hal ini adalah berkat kecerdikan Suminten yang merengek-rengek dan membujuk-bujuk sang prabu dengan alasan bahwa sejak peristiwa Sekarmadu, istana harus dijaga oleh pengawal-pengawal yang benar-benar dapat dipercaya dan untuk memilIh para pengawal ini, ditunjuk Pangeran Kukutan "yang setia" oleh Suminten. Dan seperti yang sudah-sudah, karena mabuk dalam pelukan dan belaian Suminten, sang prabu meluluskan atau menyetujuinya. Kini para pengawal pribadi sang prabu adalah orang-orang pilihan Pangeran Kukutan dan sebagai anak buah pangeran itu, tentu saja dengan sendirinya mereka itu tunduk dan taat kepada Sumintenl
Demikianlah, malam hari itu, biarpun bukan waktunya sang prabu memanggilnya, Suminten memasuki kamar peraduan sang prabu dengan langkah perlahan. Para pengawal yang menjaga di luar, menelan ludah ketika melihat sang puteri ini lewat. Para pelayan yang tadi melayani sang prabu, telah diperintahkan ke-luar dari kamar oleh raja yang tua ini. Setiap kali selirnya yang tercinta ini datang, mendadak saja sang prabu yang tua itu seolah-olah kembali menjadi muda, dikuasai nafsu berahi.
Tadi sebelum mendengar akan permintaan Suminten untuk menghadap, sang prabu benar-benar menikmati masa tuanya, seperti orang-orang tua yang lain dia suka duduk bermalasan di kursi yang lunak, dilayani para emban, dipijiti lengan dan kakinya, sambil makan hidangan yang serba lezat dan empuk tidak melelahkan mulut yang sudah ompong, mendengarkan Emban bersenandung dengan suaranya yang merdu, kadang-kadang minum minuman yang hangat dicampuri jahe membuat tubuh terasa hangat dan enak, meram melek seperti seekor lembu menjerum (mendekap dalam lumpur).
Akan tetapi begitu mendengar bahwa Suminten akan datang, tiba-tiba saja si lembu berubah menjadi singa! Sinar mata yang tadinya tenang tenteram merem melek, kini terbuka lebar, bersinar-sinar dan wajah yang tua Itu berseri penuh nafsu. Dengan tak sabar sang prabu lalu menggunakan kata-kata dan isyarat, mengusir semua emban dan membersihkan semua bekas hidangan. Ia sendiri lalu duduk di kamar kosong, duduk di atas kursi empuk, memandang dengan penuh kegembiraan ke arah pintu, semua urat syaraf di tubuh menegang seperti biasanya kalau ia akan didekati Suminten!