Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 20
PANDANG mata sang prabu makin bersinar dan kini mata itu terbelalak penuh kagum ketika selirnya tercinta memasuki kamar dari pintu yang terbuka dari luar. Daun pintu tertutup kembali dan Suminten menjatuhkan diri berlutut dan menyembah dengan gerakan lemah gemulai sehingga mempertontonkan keindahan tubuhnya dengan jelas oleh gerakan-gerakan terlatih.
"Bangunlah... bangunlah... dan berjalanlah..... perlahan-lahan ke sini, juitaku. Aku ingin melihat engkau melenggang....." Sang prabu menggerak-gerakkan kedua lengannya seperti hendak mengangkat Suminten bangun.
Suminten menengadah sehingga wajahnya tampak sepenuhnya oleh sang prabu. Mulut yang semringah merah segar itu agak terbuka, mengarah senyum, mata mengerling penuh hasrat, hidung kecil mungil itu agak bergerak cupingnya kemudian Suminten menyembah dan bangkit berdiri. Tidak sembarangan saja ia bangun ini, melainkan diaturnya, seperti bangkitnya seorang penari, memakai irama, memakai aturan sehingga setiap gerak, setiap perubahan tubuh tampak menarik menggairahkan. Kemudian wanita cantik manis yang amat cerdik ini melangkah maju, dengan langkah-langkah kecil, setiap melangkah kaki menyilang ke depan, tumit diangkat, maka tampaklah penglihatan yang mempesonakan.
Tubuh dari pinggang ke atas tegak dan kelihatan agung, akan tetapi dari pinggang ke bawah, seluruhnya merupakan pergerakan yang seratus persen menonjolkan sifat kewanitaan yang halus lunak, lemas dan memikat. Karena tumit diangkat melangkah, maka buah pinggul meninggi, dan karena kaki menyilang ke depan setiap langkah, pinggul itu melenggang-lenggok seperti pinggul harimau, pinggang yang ramping itu mematah ke kanan kiri seolah-olah tidak bertulang, seperti tubuh ular, ayunan lengan, tapak semua mengandung keindahan seni menggairahkan, ditambah suara ujung kain perlahan-lahan setiap melangkah, seperti daun-daun bambu bersendau-gurau membisikkan janji-janji yang muluk membakar nafsu berahi.
Sebetulnya sang prabu yang sudah tua itu merasa tubuhnya lelah dan matanya mengantuk. Akan tetapi melihat Suminten, lenyap rasa kantuknya seperti mencuci muka dengan air wayu, timbul seleranya seperti orang mengandung melihat rujak jeruk yang masam manis dan pedas! Diam-diam sang prabu merasa amat heran mengapa setelah menyelir wanita ini sampai bertahun-tahun, setiap kali melihat Suminten selalu timbul hasratnya, tak pernah merasa bosan, bahkan makin lama makin terpikat dan melekat, seperti orang ketagihan candu.
"Duhai Suminten, wong ayu denok montok, kedatanganmu seperti munculnya matahari di musim hujan, seperti jatuhnya hujan di musim kering! Ke sinilah, manis, mendekatlah agar terobat rasa rindu hatiku!"
Suminten mencibirkan bibir bawahnya yang penuh merah dengan sikap manja dan centil, mengerling dan kemudian tersenyum.
"Duh, sinuhun pujaan hamba! Baru dua malam yang lalu hamba menemani paduka, akan tetapi entah mengapa, dua malam berpisahan dengan paduka hamba tidak dapat tidur barang sekejap mata, tersiksa hati rindu rendam." Suminten lalu menjatuhkan diri di dekat kaki sang prabu, menyembah.
Raja tua itu mendekap kepala itu, menariknya ke atas pangkuannya, lalu menggunakan kedua telapak tangan memegang pipi yang kemerahan, menengadahkan muka yang manis itu, terpesona oleh keindahan yang dilihatnya, kemudian sang prabu menunduk, membungkuk dan mencium kening yang menjelirit indah, penuh kemesraan dan kasih sayang.
"Wahai, manisku yang tercinta, kalau sudah mendengar ucapanmu, meraba kulitmu, menciummu, aku lupa bahwa aku sudah tua dan agaknya aku tidak akan mau mati sampai seribu tahun lagi!"
Suminten memeluk pinggang junjungannya dan membenamkan mukanya di atas pangkuan. la muak, seperti pada malam pertama ia diperisteri raja tua ini. Muak ia kalau dicium dan merasa betapa jenggot dan kumis panjang, kasar dan beruban itu mengusap-usap kulit mukanya yang halus lunak. Di dalam pangkuan, ia berjebi, dan kali ini bukan berjebi manja, melainkan berjebi sungguh-sungguh karena hatinya mengkal dan mencemoohkan. Hatinya berbisik gemas,
"Huh, tua bangka, siapa sih yang ingin melihat engkau tidak segera mampus? Akan tetapi jangan kau mampus dulu karena hanya melalui kebodohanmu sajalah cita-citaku akan tercapai. Kalau sudah tercapai, tidak ingin mampus pun akan ku usahakan supaya kau segera mampus, kau tua bangka menjemukan!"
Akan tetapi, ia segera dapat menindas perasaan hatinya ini dan dengan muka penuh keharuan dan penuh cinta kasih ia menengadah, memandang wajah sang prabu, dua titik air mata yang jernlh tergantung pada bulu mata yang lentik panjang.
"Aduhai, gusti junjungan hamba! Mengapa paduka bicara tentang mati? Hambalah orang pertama yang siang malam berdoa dan memohon kepada para dewata semoga paduka dianugerahi panjang usia dan takkan berpisah dari sisi hamba selama hamba masih hIdup."
"Wah.... adindaku, jantung hatiku yang tiada keduanya di dunia ini! Betapa besar rasa syukur dan terima kasihku kepada para dewata yang menganugerahi aku di hati tuaku dengan seorang den ayu seperti engkau!" Sang prabu yang masih kuat itu menarik tubuh Suminten, didudukkannya wanita itu di atas pangkuannya dan mulailah mereka bercumbu dan berkasih mesra.
Pandang mata sang prabu berpesta menjelajahi tubuh yang denok montok itu, yang memang sengaja ditonjol-tonjolkan bagian-bagian yang menarik oleh Suminten dl kala ia berdandan tadi. Suminten yang semuda itu sudah amat ahli dalam merayu, membuat sri baginda mabuk dengan belaian-belaian sepuluh jari tangannya yang halus dan hidup merayap-rayap, membelai dan mengusap penuh kasih, dengan pelukan-pelukan ketat, dengan ciuman-ciuman manja dan panas bernafsu sampai raja tua itu terengah-engah dibakar nafsunya sendiri kemudian memondong tubuh selirnya dibawa ke peraduan yang dibuat daripada emas bertilam sutera dan berbau harum.
Suminten pandai menyimpan rahasianya, juga pandai menekan perasaan. Ia melayani sang prabu seperti seorang selir yang benar-benar mencinta. Ia menanti saat dan kesempatan baik, dan sampai jauh malam setelah sang prabu merem melek menikmati pijatan jari-jari tangan halus itu pada kedua kaki tuanya yang lelah, Suminten masih belum menyampaikan hasrat yang terkandung di hatinya, sesuai dengan rencana yang dibuatnya sejak siang tadi ia melakukan perundingan rahasia dengan Pangeran Kukutan. Rencananya dilakukan semenjak tadi ia berdandan mempersolek diri, merupakan sebagian siasatnya untuk menjatuhkan hati sang prabu.
Melihat betapa tekunnya wanita cantik manis itu memijati betis dan pahanya, sang prabu menghela napas penuh kepuasan, lalu berbisik, "Suminten, betapa aku mencintamu....."
Saat yang amat baik telah tiba dan Suminten menahan isak, kemudian kedua tangannya berhenti memijati kaki dan digunakan untuk menutupi mukanya. Ia terisak dan air mata mengalir dari celah-celah jari tangannya. Sang prabu terkejut dan cepat bangun, merangkul leher kekasihnya.
"Eh, eh, ada apakah, Suminten? Mengapa engkau meruntuhkan waspa (air mata), kekasihku?"
Suminten makin sesenggukan, menyembunyikan mukanya di dada sang prabu. "Hati hamba amat terharu... dan justeru karena kekalnya cinta kasih antara kita... menimbulkan hal-hal yang tidak enak... karena mereka menjadi iri hati..."
"Eh, siapakah? Siapa iri hati kepadamu?"
"Paduka tentu maklum. Sudah terbukti desas-desus yang dikeluarkan oleh mulut kurang ajar Adipati Wirabayu dan Empu Adisastra..."
"Hemm, tenangkan hatimu. Bukankah mereka telah kutangkap dan dijebloskan dalam penjara?"
"Benar, gusti hamba yang tercinta. Akan tetapi apa gunanya? Mereka itu malah makin mendendam.... hamba orang yang hina-dina dan celaka.... dibenci oleh banyak orang karena iri hati...."
"Eh, siapa pula berani? Aku sendiri akan melindungimu, kekasih manis. Siapapun dia yang membencimu akan berhadapan dengan aku sendiri!" seru sang prabu dengan nada menantang dan marah.
"Ah, gusti sesembahan hamba yang hamba cinta dengan seluruh jiwa raga hamba.... tidak sedetikpun hamba meragukan kasih sayang paduka.... akan tetapi, mereka itu orang-orang terpenting, termasuk Ki Patih Brotomenggala yang menjadi orang pertama dengan antek-anteknya, para tumenggung dan adipati.... dan bahkan beberapa orang pangeran juga membenci hamba.... di bawah lindungan gusti ayu ratu sendiri...."
"Hemmm, hanya dugaanmu saja, Suminten. Mereka tidak membencimu!"
"Hamba seorang wanita. Perasaan hamba dapat mengetahui, biarpun mereka tidak secara berterang menyatakan benci karena takut kepada paduka. Akan tetapi cara mereka memandang hamba, dan desas-desus di luaran, para abdi sudah mengetahui semua.... ah, betapa akan lega hati hamba kalau hamba dapat membalas mereka semua!"
Sang prabu benar-benar terkejut. Dipegangnya pundak kekasihnya dan dipaksanya wanita itu memandangnya. "Suminten! Apa yang kau katakan ini? Mereka.... mereka adalah keluargaku, isteriku dan putera-puteraku dan ponggawa-ponggawa tinggi yang setia....!"
Suminten menangis makin mengguguk, kemudian ia melepaskan rangkulan sang prabu, melorot turun sambil menangis lalu berlutut di depan pembaringan sambil menyembah-nyembah.
"Ampunkan hamba, gusti. Sungguh hamba tidak tahu diri! Mereka adalah orang-orang berjasa dan setia dan pandai, sedangkan hamba? Ah, hamba hanya orang sudera, rendahan hina, bodoh dan canggung. Hamba tidak punya apa-apa, hanya punya cinta kasih, hamba merelakan badan dan nyawa ini... paduka bunuh saja hamba sekarang juga, agar paduka tidak menjadi pusing karena urusan mereka membenci hamba.... " Suminten terisak-isak.
"Hushhh.... hushhhh.... kau kekasihku, omongan apa ini? Ke sinilah dan hentikan tangismu.... " Sang prabu menarik tubuh kekasihnya, merangkul dan memangkunya. Diusapnya air mata yang membasahi pipi yang montok, diciumnya mulut yang terisak, lalu sang prabu tersenyum, bertanya, "Suminten, habis apa yang kau ingin kulakukan? Menangkapi mereka semua? Kakang patih, permaisuri, para adipati dan tumenggung, bahkan para pangeran?"
Suminten menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata dengan nada sedih, "Hamba bukan seorang yang tidak tahu diri, gusti. Tidak, hamba tidak menghendaki sejauh itu. Hanya tentu saja hamba merasa sengsara hidup ini kalau dijadikan bahan percakapan mereka yang membenci, padahal di dalam hati hamba, tiada rasa benci kecuali keinginan hendak melayani paduka sepenuh cinta kasih, membahagiakan paduka dengan setia...."
Sang prabu mengecup bibir yang mengeluarkan ucapan semanis itu. "Habis, apa kehendakmu sekarang, Suminten?"
"Dua orang bedebah itu, gusti Si Wirabayu dan Adisatra.... mereka membuat desas-desus bahwa hamba telah menjatuhkan guna-guna atas diri paduka, bahwa hamba meracuni hidup paduka, melemahkan Kerajaan Jenggala. Untung ada putera paduka yang amat setia dan berbakti, anak Pangeran Kukutan yang dapat membongkar kejahatan mereka. Kalau tidak, dan sampai rakyat mempercaya desas-desus itu, bukankah mencelakakan hamba dan merendahkan nama paduka?"
"Mereka sudah ditangkap, manis..."
"Tidak, mereka harus dihukum mati, gusti. Mereka telah menghina paduka dan kalau mereka tidak dihukum mati di alun-alun, yang lain-lain tidak akan menjadi takut! Kewibawaan paduka akan terancam dan untuk memulihkan kewibawaan paduka, jalan satu-satunya hanya menghukum mati mereka yang telah menghina paduka."
Berubah wajah sang prabu. "Tapi.... tapi.... Wirabayu adalah anak mantu kakang Patih Brotomenggala.... dan.... dan kakang Empu Adisastra banyak jasanya dalam kesenian...."
Kembali Suminten menangis. "Sudahlah, hendaknya paduka bunuh saja hambamu ini, gusti.... sudah hamba katakan tadi, hamba tiada jasa, hamba tiada guna.... silahkan paduka tusuk saja dada ini dengan pusaka paduka...." Suminten menarik penutup dadanya, menantang. Akan tetapi perbuatan ini bahkan membuat sang prabu terpesona. Tiada bosannya sang prabu mengagumi tubuh yang muda dan indah itu. Ia memeluk mesra.
"Baiklah, kekasihku.... baiklah memang kau benar, mereka harus dijadikan contoh untuk mengembalikan kewibawaanku, agar tidak ada orang berani Iagi menghinamu.... !!"
"Menghina paduka, bukan hamba...." kata Suminten manja sambil memeluk dan kembali dengan pandainya wanita ini mencumbu sehingga sang prabu menjadi makin mabuk.
Jin setan dan iblis brekasakan yang meliar di malam hari itu berpesta pora, bersorak gembira melihat hasil kemenangan nafsu kejahatan ini.
Alun-alun penuh rakyat, berjejal-jejal hendak menyaksikan hukuman mati atas diri Adipati Wirabayu dan Empu Adisastra. Bagian pengawal menjaga di sekeliling alun-alun, mencegah rakyat mendekati tempat pelaksanaan hukuman. Tak jauh dari tempat pelaksanaan hukuman ini terdapat sebuah panggung dan di situ duduk sang prabu bersama Suminten. Keruh wajah sang prabu karena sesungguhnya pelaksanaan hukuman ini tidak berkenan di hatinya, terpaksa diperintahkan untuk tidak mengecewakan hati Suminten!
Wajah tua itu tampak makin berkerut-merut, makin tua, pandang matanya sayu. Berbeda dengan raja tua ini, Suminten tampak gilang-gemilang dalam cahaya mudanya, cantik jelita dan sikapnya tenang, agung dan angkuh dalam kemenangannya. Biarpun alun-alun itu penuh dengan manusia berjajaran, namun suasananya sunyi. Semua orang merasa prihatin dan gelisah. Memang ada banyak pula yang tersenyum-senyum puas, mereka ini adalah orang-orang yang memang mempunyai rasa permusuhan terhadap dua orang yang akan dijatuhi hukuman mati, dan terutama mereka yang telah menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan.
Keluarga kedua orang hukuman yang diharuskan hadir, termasuk Ki Patih Brotomenggala, berkumpul di sudut dan di antara mereka, terutama kaum puterinya, menangis terisak-isak. Suasana makin mengharukan ketika dua orang hukuman itu digiring memasuki alun-alun. Mereka tidak muda lagi, lima puluhan tahun uslanya. Terutama Empu Adisastra sudah kelihatan tua dengan jenggotnya yang panjang. Mereka sudah mendengar akan keputusan raja dan menerima keputusan ini dengan tenang.
Mereka memasuki lapangan digiring oleh para algojo dengan kedua tangan terikat di belakang punggung, dan berjalan dengan langkah tenang dan dada terangkat. Dalam menghadapi kematian, kedua orang ini sama sekali tidak merasa takut. Dan mereka tahu bahwa mereka mati untuk kebenaran. Mereka telah menyebarkan kritik dan cela terhadap sang prabu dan Suminten, bukan sekali-kali karena dendam pribadi, melainkan karena dasar kebaktian terhadap kerajaan dan bangsa.
Mereka melihat betapa Kerajaan Jenggala terancam kehancuran karena sang prabu tergila-gila kepada seorang wanita yang tidak baik. Mereka ditangkap karena fitnah yang dijatuhkan Pangeran Kukutan ketika pangeran ini mendengar di suatu pesta tentang kritik dan cela mereka, difitnah sebagai penyebar desas-desus yang menghina raja!
Dua orang ini dihadapkan kepada sang prabu. Mereka memandang ke arah Suminten dengan mata melotot penuh kebencian, kemudian berlutut ke arah sang prabu. Sang prabu meramkan mata, lalu mengangkat tangan ke atas memberi isyarat algojo menarik kedua orang itu, dibawa ke dekat lubang yang telah digali untuk menampung darah mereka, kemudian disuruh berlutut.
Pada saat itu, terdengar jerit tangis. Mereka mengangkat muka memandang dan ketika melihat keluarga mereka menangis menjerit-jerit, panggilan isteri dan anak-anak mereka, tak dapat lagi mereka menahan air mata. Bukan air mata karena takut, melalnkan air mata karena sedih bahwa mereka harus meninggalkan keluarga yang tentu akan menjadi berduka dan berkabung.
"Algojo, lakukan tugasmu!" kata Adipati Wirabayu.
Sang algolo lalu mengangkat goloknya ke atas mengertak gigi dan tampak sinar berkelebat dua kali berturut-turut. Putuslah leher kedua orang terhukum itu. Darah menyemprot ke atas dan beberapa orang anggauta keluarga roboh pingsan. Di antara para penonton terdengar isak tertahan. Sang prabu lalu bangkit, wajahnya agak pucat dan Suminten cepat bangkit pula, menggandeng lengan raja dan dituntunnya raja itu turun dari panggung, memasuki tandu dan cepat-cepat pergi meninggalkan tempat mengerikan itu, memasuki istana. Hanya karena pandainya Suminten menghibur saja maka dalam waktu singkat sang prabu telah melupakan peristiwa menyedihkan di alun-alun itu.
Semenjak hari itu, sang prabu makin tenggelam ke dalam pelukan dan bujuk rayu Suminten sehingga raja yang tua itu mengabaikan tugasnya, tidak memperdulikan lagi bermalam di dalam kamar para selir lainnya, juga tidak lagi bermalam di kamar permaisuri. Amat pandainya Suminten mengambil hati dan amat pandai pula ia mencari-cari perkara sehingga tampak jelas olehnya siapa mereka yang membencinya dan memusuhinya agar dengan mudah ia dapat menjatuhkan fitnah kepada mereka dan turun tangan terlebih dahulu menghalau orang-orang yang sekiranya akan dapat menjadi penghalang bagi cita-citanya.
"Mengapa paduka kelihatan murung, gusti? Bukankah kematian kedua orang laknat itu berarti melenyapkan dua orang pemberontak yang tidak setia?"
Sang prabu menghela napas panjang, namun dalam kekecewaannya ia masih tidak dapat terlepas daripada daya tarik yang keluar dari gerak-gerik dan tubuh Suminten. Ditariknya selir terkasih itu, dipangku dan dielus rambut yang halus panjang itu.
"Engkau tidak tahu, Suminten. Mereka berdua itu adalah orang-orang yang pandai. Aku telah kehilangan dua pembantu yang cakap."
"Ahhh, sinuwun, apakah artinya pembantu yang cakap dan pandai kalau dia tidak setia? Mencari orang pandai tidaklah sukar, akan tetapi, mencari orang setia adalah paling sukar. Dengan para pembantu macam ki patih dan antek- anteknya, paduka dikelilingi oleh musuh- musuh rahasia dan kedudukan paduka amatlah berbahaya. Akan tetapi, hendaknya paduka tenang dan percayalah bahwa selama hamba berada di sini, dibantu oleh puteranda Pangeran Kukutan yang berbakti dan setla, hamba berdua akan dapat menghalau semua bahaya yang mengancam paduka."
Sang prabu menggunakan kedua tangan untuk memegang kepala yang terasa pening. Ia menggeleng-geleng kepalanya dan berkata, "Ah, aku bingung ... aku bingung.... Minten. Betapa mungkin patihku yang setla memusuhiku.... Kakang Patih Brotomenggala adalah patihku sejak dahulu.... dia..... dia..."
"Betapa dapat mengukur isi hati manusia, gusti? Dalamnya bengawan dapat diselami, tingginya gunung dapat didaki, akan tetapi dalamnya hati manusia dan tingginya cita-cita manusia sukar diukur. Mungkin dahulu dia setia, akan tetapi sekarang.... hemm, dia berani membujuk-bujuk sang permaisuri.... dan menurut penyelidikan hamba dan Pangeran Kukutan, ki patih kini secara rahasia telah mengadakan kontak dengan para adipati dan bupati, agaknya siap-siap untuk memberontak apabila saatnya tiba."
Wajah sang prabu menjadi pucat. Terbelalak ia memandang Suminten dan berkata, "Benarkah itu....? Adakah bukti-buktinya....?!
Suminten tersenyum manis. "Belum ada, gusti. Kalau sudah ada tentu hamba akan turun tangan. Akan tetapi bukti itu sewaktu-waktu tentu dapat kita cari asalkan paduka sudah mengetahuinya terlebih dahulu. Hamba mendengar bahwa ki patih dan teman-temannya sudah pula memilih-milih calon putera mahkota di antara para pangeran, tentu saja pangeran yang bersekutu dengan mereka memusuhi paduka."
"Aahhhh.... bagaimana baiknya Minten?"
"Harap paduka tenang dan serahkanlah kepada hamba. Suminten akan melindungi dan membela paduka sampai titik darah terakhir! Menurut pendapat hamba, sebaiknya sekarang menggantikan kedudukan kedua orang pemberontak yang sudah di hukum mati. Menurut petunjuk anaknda Pangeran Kukutan, sebaiknya mengangkat Tumenggung Wirokeling dan Tumenggun Sosrogali menggantikan kedua orang itu."
Sang prabu mengangguk-angguk. Dua orang tumenggung itu adalah orang-orang kasar yang bodoh dan hanya tahu peran saja, akan tetapi bukankah tadi Suminten mengatakan bahwa yang penting mencari orang-orang setia?
"Baiklah, aku setuju. Biar besok kuperintahkan kepada ki patih."
Suminten girang sekali. Memang ia sudah merencanakan semua ini dengan Pangeran Kukutan beberapa hari yang lalu ketika mereka mengadakan pertemuan kasih mesra, bermain cinta di taman. Kedua orang tumenggung itu adalah kaki tangan Pangeran Kukutan yang boleh dipercaya. Saking girangnya, ia lalu merangkul dan menciumi jenggot putih sang prabu.
"Duhai, gusti sesembahan hamba. Amat besar hati hamba melihat betapa paduka menaruh kepercayaan kepada hamba."
Sang prabu memeluk tubuh padat itu, kepercayaannya makin mendalam.
"Suminten, hanyalah engkau satu-satunya orang di dunia ini yang masih dapat kupercaya, berdasarkan cinta kasihmu yang telah kaubuktikan selama ini."
Setelah beberapa lama mencumbu rayu junjungannya yang sudah tua dan yang sesungguhnya memuakkan hatinya, Suminten lalu berkata halus,
"Gusti sinuwun, hamba rasa untuk melawan usaha mereka memilih seorang putera mahkota untuk menggantikan paduka kelak kalau-kalau mereka berhasil menggulingkan paduka, sebaiknya kalau sekarang juga paduka mengumumkan pengangkatan seorang putera mahkota, seorang pangeran pati yang paduka tentukan sebagai calon pengganti raja kelak."
Sang prabu mengangguk-angguk. Memang sudah lama ia mempunyai keinginan seperti ini. Sayang bahwa permaisuri tidak mempunyai anak laki-laki dan biarpun banyak ia mempunyai putera, namun para pangeran itu adalah anak-anak dari selir.
"Aku menanti sampai Panji Sigit cukup dewasa dan matang."
Suminten diam-diam mengerutkan keningnya. Ia tahu bahwa di antara para pangeran putera selir, Pangeran Panji Sigit adalah seorang yang paling dicinta sang prabu. Bahkan semua selir dan ponggawa istana suka belaka kepada pemuda itu. Siapa pula orangnya yang tidak mencinta. Pemuda itu tampan sekali seperti Arjuna, sikapnya halus dan selalu ramah, tidak sombong, tidak mencari muka, pendeknya seorang pemuda yang benar-benar menyenangkan hati.
Dia sendiri, sudah beberapa kali menelan ludah kalau bertemu pemuda remaja yang hebat inI dan sekarang nama ini disebut sang prabu sebagai calon putera mahkota! Pangeran Panji Sigit akan jauh lebih menyenangkan hatinya daripada Pangeran Kukutan yang biarpun tampan dan gagah juga akan tetapi tidak setampan dan sehalus Pangeran Panji Sigit, bahkan agak kasar dalam bermain cinta. Akan tetapi, pangeran remaja yang halus dan jujur bersih itu mana mungkin dapat ia ajak bersekutu? Pangeran Kukutan jauh lebih memenuhi syarat dengan sifat-sifatnya yang cerdik dan pandai bersandiwara. Namun, kalau dia bisa menarik Pangeran Panji Sigit menjadi pembantunya, wah.... hatinya akan puas sekali!
"Memang benar sekali wawasan paduka, gusti. Anaknda Pangeran Panji Sigit memang amat tepat, akan tetapi pada dewasa ini, hamba juga mengira dia masih terlampau muda. Padahal para pengkhianat itu selalu menanti kesempatan dan kiranya Pangeran Panji Sigit akan mudah terjebak ke dalam perangkap mereka...."
Sang prabu mengangguk-angguk. "Habis, menurut pendapatmu bagaimana, Suminten?"
"Mohon beribu ampun kalau pendapat hamba keliru, gusti. Paduka mempunyai banyak putera, akan tetapi hamba lihat bahwa para putera pangeran itu hanya mengejar foya-foya dan kesenangan belaka, tidak ada yang memperhatikan urusan pemerintahan, kecuali yang sudah terbukti, hanya anaknda Pangeran Kukutan. Maka, biarpun hamba setuju apabila paduka mengangkat Pangeran Panji Sigit, akan tetapi sementara ini, untuk menghadapi usaha busuk para pengkhianat, alangkah baiknya kalau paduka mengangkat Pangeran Kukutan sehagai putera mahkota. Hanya Pangeran Kukutan seorang yang tahu akan sifat-sifat para pengkhianat dan dapat menghadapi mereka, sehingga dia tali yang akan dapat menyelamatkan kerajaan paduka daripada pemberontakan."
Sejenak sang prabu termenung. Terhadap Pangeran Kukutan, tidak ada getaran kasih sayang yang kuat dari hatinya, sungguhpun selama ini Pangeran Kukutan tidak pernah memperlihatkan watak tidak baik, bahkan telah membuktikan kesetiaannya. Dia tidak menghendaki Pangeran Kukutan yang kelak menjadi raja menggantikannya. Akan tetap, kalau betul seperti wawasan Suminten bahwa ada usaha gelap para musuh rahasia untuk menggulingkannya, memang perlu sekali adanya seorang pangeran mahkota. Betapapun juga, pengangkatan seorang pangeran pati atau putera mahkota bukanlah hal sembarangan, maka ia lalu menunda urusan ini sampai beberapa hari untuk memikirkannya masak-masak.
Sementara itu Suminten yang merasa gelisah kalau-kalau sang prabu akan menjatuhkan pilihannya atas diri Pangeran Panji Sigit, siang hari telah bersiap-siap. Sore hari itu ia hersolek keras, menaburi tubuhnya yang padat menarik itu dengan sari bunga. Selesai bersolek, ia lalu menyuruh emban kepercayaannya untuk mencegat Pangeran Panji Sigit dan mohon kepada pangeran itu untuk memenuhi panggilan selir termuda sang prabu ini.
Pangeran Panji Sigit adalah seorang putera selir, akan tetapi selir raja itu telah meninggal dunia ketika Pangeran Panji Sigit masih kecil. Karena tidak beribu lagi, maka Pangeran Panji Sigit diasuh oleh seorang inang pengasuh yang setia dan karena dialah satu-satunya pangeran yang tidak dimanja oleh seorang ibu yang memperebutkan kedudukan, maka sifat-sifatnya menjadi amat baik. Inang pengasuh yang setia itu mentaati pesan terakhir ibu pangeran ini dan mendidiknya dengan hati-hati dan baik.
Pangeran Panji Sigit dilatih belajar kesusasteraan dan juga ilmu olah keperajuritan sehingga dia menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa, lemah lembut dan rendah hati, tidak memandang rendah para kawula, juga tidak menjilat atasan, tidak menginginkan kedudukan dan tidak memperebutkan kekuasaan. Hal inilah yang membuat Pangeran Panji Sigit disuka oleh semua orang, bahkan sang prabu sendiri yang kagum melihat ketampanan dan kehalusan budi puteranya ini, amat mengasihinya.
Karena tidak menghiraukan kekuasaan dan kedudukan inilah yang membuat Pangeran Panji Sigit sama sekali tidak mencampuri urusan pemerintahan dan tidak tahu-menahu tentang politik dalam istana. Ia hanya tahu dan mendengar betapa ayahandanya tergila-gila kepada selir termuda yang baru, dan hal ini hanya membuat dia tersenyum saja. Dia sudah membaca dari kitab-kitab lama betapa seorang pria tidak akan dapat melepaskan diri daripada nafsu kejantanan yang akan mengejar dan menguasainya sampai nyawa meninggalkan badan dan hanya dengan kekuatan batin dan kemauan sajalah seorang pria dapat menguasai nafsunya sendiri. Ramandanya lemah, akan tetapi apa salahnya kalau seorang raja menikmati kesenangan duniawi yang sudah menjadi haknya?
Pangeran Panji Sigit biarpun telah berusia delapan belas tahun, tidak suka mengganggu wanita, tidak suka menurutkan nafsu bermain cinta seperti yang dilakukan saudara-saudaranya, para pangeran lainnya yang telah mengumbar nafsu semenjak berusia empat lima belas tahun! Pangeran Panji Sigit lebih suka pergi mencari guru-guru ilmu silat yang pandai-pandai di antara para panglima dan pendeta, kemudian pergi berburu ke hutan-hutan seorang diri saja sehingga tubuhnya yang kelihatan halus gerak-geriknya itu menjadi amat kuat.
Senja hari itu karena cuaca amat baik, Pangeran Panji Sigit yang baru saja selesai mandi sehabis berlatih pencak silat dan berjalan-jalan di dalam taman istana yang luas dan indah menghirup hawa sejuk, tiba-tiba melihat seorang emban berlari-lari menghampirinya dan berjongkok sembah di depannya sambil berkata,
"Ampunkan hamba yang berani mengganggu, gusti pangeran. Akan tetapi hamba hanya melaksanakan perintah ibunda selir paduka yang minta agar paduka sudi datang menghadap."
Pangeran Panji Sigit termenung sejenak. Ia tidak pernah mendekati selir-selir ramandanya yang ia tahu masih muda-muda, apalagi selir termuda Suminten yang terkenal cantik jelita dan yang menghebohkan seluruh istana. Akan tetapi pemuda ini dapat mengekang perasaannya karena ia merasa tidak sopan kalau menolak, maka ia bertanya dengan halus,
"Emban, ibunda yang manakah yang memerintahkan aku datang menghadap?"
Emban itu masih muda, belum tiga puluh tahun usianya, cantik berkulit halus dan bermata jeli. Ketika ditanya, ia kelihatan terkejut dan sadar daripada lamunannya. Tadi ia menengadah dan memandangi wajah pemuda itu sambil menahan napas dan menelan ludah, kagum akan ketampanan wajah Sang Pangeran Panji Sigit.
"Eh... ohh.... maaf, gusti.... ibunda paduka yang termuda...."
Jantung pemuda itu berdenyut keras akan tetapi cepat ditekannya. Hatinya merasa tidak enak, akan tetapi betapa-pun ia tidak berani menolak karena setiap orang selir ramandanya adalah ibundanya pula. Ibu kandungnya yang telah tiadapun seorang selir, sehingga biarpun ia seorang pangeran, namun derajatnya tidaklah lebih tinggi daripada selir ramandanya karena iapun putera selir.
"Baiklah, emban. Tentu ada hal yang amat penting maka ibunda memanggilku."
Maka pergilah Pangeran Panji Sigit diantar oleh emban itu, langsung menuju ke bangunan mungil dekat taman sari yang khusus ditinggali Suminten. Begitu memasuki bangunan yang tak pernah ia kunjungi ini, diam-diam Pangeran Panji Sigit tertegun dan kagum. Amat indahnya perabot-perabot di bangunan ini, jauh lebih indah daripada tempat-tempat tinggal para selir yang lain. Jelas bahwa berita yang ia dengar benar adanya yaitu bahwa selir termuda ini amat dikasihi ramandanya.
Sunyi di bangunan mungil itu. Sambil tersenyum emban tadi menunjuk ke arah sebuah kamar dari mana terpancar cahaya lampu kemerahan, kemudian tanpa berkata sesuatu emban itu pergi meninggalkan ruangan itu. Selagi Pangeran Panji Sigit berdiri termangu, tiba-tiba terdengar suara halus dari dalam kamar itu,
"Anaknda pangeran, mari masuklah saja. Ibu berada di sini, masuklah jangan ragu-ragu, pangeran."
Makin berdebar jantung Pangeran Panji Sigit. Ia harus taat akan perintah selir ramandanya, namun kesopanan yang telah mendarah daging di hatinya, membuat kakinya terasa berat untuk melangkah memasuki kamar. Baru beberapa langkah dan baru sampai di depan pintu yang tertutup, ia berhenti dan berkata,
"Maafkan saya, ibunda. Biarlah saya menanti di sini saja sampai ibunda selesai untuk kemudian mendengarkan perintah ibunda yang akan disampaikan kepada saya."
Sunyi sejenak dari dalam kamar, kemudian terdengar lagi suara yang halus merdu, "Iihhh, puteranda Panji Sigit! Apakah engkau merasa sungkan dan malu? Hii-hik, masa seorang putera meragu dipanggil masuk kamar oleh ibundanya? Kalau begitu, engkau mengandung pikiran yang kotor..."
"Sama sekali tidak, ibunda!"
"Kalau tidak masuklah, jangan seperti kanak-kanak. Aku mau bicara urusan penting denganmu, berdua saja, kalau di luar khawatir terdengar orang. Marilah, pangeran."
Ditegur seperti itu, Pangeran Panji Sigit bingung kemudian menggigit bibir dan memberanikan hatinya mendorong daun pintu. Bau yang harum menyambutnya dan ia melihat selir ramandanya yang muda dan cantik itu duduk di atas pembaringan membelakanginya, menghadap cermin dan agaknya sedang membereskan rambutnya. Ia makin berdebar dan hatinya tidak enak. Biarpun disebut ibunya, wanita ini masih amat muda, sebaya atau sedikit saja lebih tua daripadanya!
"Maaf, ada keperluan apakah, ibunda?"
Suminten menengok dengan gerakan indah, matanya yang menjadi hiasan paling indah di samping mulutnya, mangerling tajam, mulutnya tersenyum lalu merekah merah, apalagi disinari lampu yang dibungkus kertas merah, lebih indah lagi.
"Mendekatlah sini, pangeran. Engkau terhitung anakku, bukan? Aku ibumu, mengapa mesti malu-malu? Ke sinilah dan tolonglah engkau pasangkan hiasan rambut ini. Jengkel sekali hatiku, memasang sejak tadi tidak mau sempurna juga."
Betapapun tidak enak hati Pangeran Panji Sigit, namun ia terdesak oleh kata-kata itu dan terpaksa ia melangkah maju dan berhenti di belakang punggung yang tampak bagian atas setengahnya itu. Halus seperti batu pualam.
"Mana mungkin saya bisa memasangnya, ibunda...."
"Ihh, anak bodoh. Masa tidak bisa. Lihat, rambutku masih terurai, kaupasangkan hiasan ini, seperti sisir, sisipkan saja di atas kepalaku, di tengah.... hi-hik canggung benar kau.... nanti dulu, memang tidak akan tepat kalau dari belakang, biar dari depan...." Sambil tertawa-tawa Suminten lalu membalikkan tubuhnya dan duduk menghadapi Pangeran Panji Sigit.
Pangeran itu terkesiap dan menahan napas. Ingin ia melompat pergi dan lari dari situ. Kiranya baju Suminten tidak beres! Kemben yang menutup tubuh atas bagian depan itu amat longgar sehingga tampaklah membayang gumpalan daging yang merangsang.
Jari-jari tangan Suminten menangkap kedua tangan pangeran itu dan suaranya agak serak penuh getaran nafsu dan cumbu rayu, "Kenapa, pangeran? Tidak senangkah engkau melihat aku? Tidak cantikkah aku dalam pandanganmu, wong bagus?"
Pangeran Panji Sigit merasa seolah-olah ada halilintar menyambar kepalanya. Ia bukanlah kanak-kanak lagi, sudah dewasa dan tahu apa artinya ini semua. Ia maklum bahwa kini keadaannya benar-benar dalam bahaya, tidak hanya dugaan belaka atau kekhawatiran seperti tadi. Ia merasa seperti seekor kijang terjeblos dalam perangkap yang ia tidak tahu pergunakan untuk apa. Cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu dan berkata,
"Ampunkan saya, ibunda. Harap ibunda sudi melepaskan saya dan membiarkan saya pergi dari sini....
Akan tetapi sebagai jawaban, tiba-tiba Suminten mendekap kepala itu dan menariknya sehingga muka si pangeran terbenam ke dadanya! Pangeran Panji Sigit terkejut bukan main ketika merasa betapa mukanya terbenam ke dalam kelembutan yang harum. Kalau ia tidak terlatih batinnya, tentu ada dua kemungkinan buruk, yaitu pertama, ia akan roboh dalam buaian kenikmatan nafsu berahi, dan ke dua ia akan lupa dan memberontak lalu menghantam wanita ini sampai tewas di saat itu juga. Untung ia waspada dan dapat menguasai dirinya. Dengan halus namun kuat sekali ia menarik mukanya, sekali tangannya bergerak terlepaslah ia daripada dekapan dan begitu tubuhnya berkelebat, pemuda ini telah melompat dan lenyap dari dalam kamar.
Suminten bengong, menatap api lampu yang bergoyang-goyang oleh angin ketika pemuda itu meloncat, hatinya penuh kekecewaan dan juga penasaran. Betapa mungkin seorang pemuda dapat menolak cinta kasihnya? Dapat menolak tubuhnya? Ia masih tidak mau percaya dan menganggapnya seperti sebuah mimpi buruk. Disangkanya bahwa semua pria di dunia ini pasti akan bertekuk lutut di depannya untuk mendapatkan cintanya, seperti halnya sang prabu yang sudah tua dan Pangeran Kukutan yang masih muda dan tampan.
Sekali ini ia kecelik dan setengah sadar bahwa yang dialaminya bukan mimpi buruk, wanita ini bangkit berdiri, mengepal tinju dan berjalan mondar-mandir di depan kamarnya, mencari akal untuk mengenyahkan Pangeran Panji Sigit! Tadinya ia menggunakan siasat bujuk rayu ini untuk menundukkan pangeran ini sehingga kalau kelak pangeran ini benar-benar dijadikan putera mahkota, ia dapat mempengaruhinya. Siapa sangka, ia ditolak mentah-mentah. Hal ini berarti bahwa pangeran ganteng ini tidak bisa diajak kerja sama, dan berarti pula bahwa pangeran ini adalah musuhnya yang harus dienyahkan!
Malam itu Suminten tidak dapat tidur dan ia mengatur siasat namun belum juga ia mendapatkan siasat yang cukup baik untuk menjatuhkan pangeran muda yang ganteng itu. Alangkah sukarnya menjatuhkan seorang yang begitu baik dan ramah terhadap siapapun juga itu. Amat sukar mencari kesalahan untuk Pangeran Panji Sigit dan ia harus berhati-hati sekali karena sang prabu amat sayang kepada puteranya ini. Apa yang harus ia lakukan?
Suminten belum juga dapat menemukan jalan yang baik dan menjelang pagi baru ia dapat pulas dengan sebuah keputusan yang keji, yaitu bahwa jalan satu-satunya untuk melenyapkan musuh ini hanya... membunuhnya! Untuk ini akan ia rundingkan dengan Pangeran Kukutan. Tentu pangeran ini akan melaksanakannya dengan baik, apalagi kalau ia takut-takuti bahwa ada kemungkinan Panji Sigit terpilih sebagai putera mahkota.
Akan tetapi ternyata pada keesokan harinya dia tidak usah melanjutkan rencananya yang kejam ini karena segera ia mendengar bahwa Pangeran Panji Sigit pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali telah meninggalkan istana! Hal ini ia dengar sendiri dari sang prabu yang sepagi itu telah datang kepadanya untuk mencari hiburan. Sang prabu yang sudah tua itu benar-benar sekali ini membutuhkan hiburan Suminten. Wajahnya muram, alisnya berkerut dan berkali-kali ia menghela napas.
"Ahhh, sungguh menyedihkan.... puteraku yang paling kuharapkan, tak dapat kutahan. Ia berpamit dan dengan paksa ia menyatakan hendak pergi merantau..... ah, Panji Sigit.... benar-benar mengecewakan hatiku...."
Suminten yang sudah cepat-cepat memeluk dan mencumbit sang prabu, menghibur dengan kata-kata dan perbuatan, mengajak sang prabu agar beristirahat dan rebah-rebahan di atas pembaringan yang lunak bersih dan harum, cepat-cepat menyuguhi minuman dan memijit-mijit kaki tangan sang prabu dengan kedua tangannya sendiri dengan sikap mesra dan gerakan halus, lalu bertanya,
"Apakah sebabnya puteranda pangeran pergi merantau secara mendadak, sinuwun? Apakah alasannya?"
Raja tua itu menggeleng kepala. "Entahlah, dia tidak menyatakan sebab-sebabnya, hanya berpamit dan menyatakan bahwa ia hendak mencari guru yang pandai dan memperdalam ilmu-ilmu kesaktian. Sudah kukatakan bahwa aku ingin mengangkatnya menjadi putera mahkota, akan tetapi ia tetap hendak pergi dengan alasan bahwa untuk menjadi putera mahkota ia harus memiliki ilmu kepandaian yang cukup. Ahhh, Suminten, betapa kecewa hatiku...."
"Duh gusti sesembahan hamba! Mengapa harus berduka?" Suminten menghibur dan hatinya lega karena ternyata pangeran muda itu tidak menyinggung-nyinggung tentang dia. "Hamba dapat mengerti dan membenarkan pendapat puteranda Pangeran Panji Sigit yang amat baik dan tepat itu. Harap paduka tenangkan hati dan biarlah sang pangeran memperluas pengalaman dan memperdalam ilmu karena memang seorang calon raja yang bijaksana harus memiliki bekal yang cukup. Bukankah puteranda pangeran itu adalah cucu mendiang Gusti Prabu Airlangga yang sakti mandraguna dan ahli tapa pula?"
Senang hati sang prabu yang tua ini mendengar kata-kata Suminten yang sedap didengar ini. Ia mulai terhibur, memeluk dan memperlihatkan cinta kasihnya dengan belaian dan rabaan jari-jari tangannya.
"Engkau selalu benar, Suminten. Memang, agaknya puteraku Panji Sigit itu mewarisi watak eyangnya yang suka bertapa dan memupuk ilmu dan aji kesaktian."
"Nah, karena itu harap paduka tenang saja. Adapun untuk menghadapi perbuatan khianat, menurut usul hamba tempo hari, sebaiknya paduka mengangkat puteranda Pangeran Kukutan sebagai putera mahkota."
Sang prabu terlihat mengangguk-angguk. "Memang sudah kupikirkan hal ini. Akan tetapi aku sendiri masih kuat menghadapi segala macam pemberontakan atau pengkhianatan, apalagi dengan adanya engkau di dekatku, sayang. Aku merasa menjadi muda kembali dan siap menghadapi apa-pun juga!" Sang prabu memeluk dan mencium.
Suminten menyembunyikan muka di dada sang prabu untuk menyembunyikan rasa tidak puas dan tidak senang hatinya. Tua bangka tak tahu diri, pikirnya. Namun ia bukan seorang wanita yang bodoh dan hanya menurutkan perasaan saja. Tidak, Suminten adalah seorang wanita yang cerdik sekali, yang pandai menggunakan pikiran, yang pandai menguasai perasaan hatinya dan segala gerak-geriknya telah ia perhitungkan masak-masak.
Ia tahu bahwa ia tidak boleh terburu nafsu, harus hati-hati dan sedikit demi sedikit menyeret sang prabu agar tunduk dan menuruti segala kehendaknya. Biarpun Pangeran Kukutan belum diangkat menjadi putera mahkota, namun kekuasaan Pangeran Kukutan makin lama makin besar karena selalu mewaklli sang prabu dalam urusan pemerintahan. Ada-pun di sebelah dalam istana untuk semua urusan dalam, seluruhnya telah berada dalam kekuasaan Suminten!
Kepergian Pangeran Panji Sigit melegakan hati Suminten. Pertama, karena jelas bahwa pangeran itu tidak menceritakan kepada sang prabu tentang peristiwa penolakan cinta kasih di malam Itu. Ke dua, karena kepergian ini memang diharapkan oleh Suminten yang ingin menghalau pangeran itu keluar darI istana. Suminten dan juga Pangeran Kukutan yang kehilangan seorang saingan, merasa lega dan gembira. Akan tetapi tidaklah demikian dengan mereka yang menjadi musuh-musuh Suminten. Ki Patih Brotomenggala yang sudah tua dan beberapa orang hulubalang yang setia kepada Kerajaan Jenggala, menjadi gelisah. Apalagi ketika secara diam-diam Ki Patih Brotomenggala dipanggil menghadap oleh sang permaisuri dan mendengarkan sendiri laporan emban tua yang menjadi inang pengasuh Pangeran Panji Sigit sejak kecil, mereka makin marah.
Kiranya dalam duka dan bingungnya setelah berhasil lari dari cengkeraman Suminten, Pangeran Panji Sigit yang sudah tiada beribu lagi dan menganggap emban tua itu sebagai pengganti ibunya, telah menceritakan apa yang telah ia alami di kamar selir termuda ayahandanya itu dan adalah emban tua ini pula yang melihat bahaya mengancam dan menganjurkan agar sang pangeran yang dikasihinya seperti putera kandungnya sendiri untuk pergi merantau menjauhkan diri dari bahaya yang mengancam. Karena maklum bahwa sang permaisuri juga menderita karena Suminten, maka emban ini lalu menghadap dan melaporkan peristiwa itu kepada permaisuri.
"Hemmm, sungguh keji dan tak tahu malu perempuan itu!" Ki Patih Brotomenggala menyumpah ketika mendengar pelaporan emban tua. Ia tak pernah berhenti menyesali diri sendiri tentang Suminten karena dialah sendiri yang dahulu menghadapkan Suminten kepada sang prabu. Semenjak dahulu itu, Suminten telah menimbulkan malapetaka. Bukankah pelaporannya tentang Endang Patibroto telah membuat sang prabu makin curiga terhadap mantunya itu? Bukankah Suminten telah berusaha untuk mencelakakan Pangeran Panji Rawit dan Endang Patibroto dengan laporannya itu? Siapa kira bahwa pelayan kecil itu kini dapat menguasai sang prabu sedemikian rupa!
"Kakang patih, aku hanya mengkhawatirkan keadaan sang prabu. Ada perasaan tidak baik di dalam hatiku seolah-olah ada sasmita gaib yang membisikkan bahwa kalau wanita itu tidak dienyahkan dari sini, Kerajaan Jenggala akan mengalami kehancuran. Ah, kakang, bagaimana baiknya....?" Sang permaisuri menahan-nahan perasaan akan tetapi tak dapat ia menahan runtuhnya beberapa tetes air mata.
Ki Patih Brotomenggala menggigit bibirnya, menahan kemarahan hatinya. "Gusti, hal ini memang tidaklah mudah untuk diatasinya. Kalau saja Jenggala diserbu musuh, dada Patih Bratomenggala inilah yang akan menjadi perisai, dan hamba rela untuk membela kerajaah sampai titik darah terakhir! Akan tetapi, persoalannya kini lain lagi. Gusti sinuwunlah yang tergoda dan apa yang dapat hamba lakukan? Apalagi.... apalagi menurut para penyelldik hamba, yang menguasai sang prabu bukan hanya wanita itu, melainkan dengan kerja sama antara wanita itu dan Pangeran Kukutan..."
"Aku tahu, kakang patih. Karena itu, carilah jalan. Pasanglah mata-mata di antara para emban. Kita mengetahui kelemahan wanita itu, bahkan dia main gila dengan Pangeran Kukutan, bahkan mungkin dengan pangeran-pangeran lain kalau diingat bahwa dia berani menggoda Pangeran Panji Sigit. Akan tetapi kita harus dapat memiliki buktinya, harus dapat menangkap basah. Usahakanlah agar dapat menyadarkan sang prabu. Kurasa, jika sang prabu melihat sendiri bukti akan penyelewengan dan perjinahan selirnya yang terkutuk itu, tentu beliau akan sadar. Kalau sang prabu sudah sadar dan tahu betapa cabul, kotor dan jahat adanya iblis betina itu, tentu dia akan dibasmi dan Jenggala akan selamat."
Ki Patih Brotomenggala mengangguk-angguk. "Baiklah, gusti. Akan hamba usahakan dan mudah-mudahan Sang Hyang Wisesa membantu hamba menandingi perempuan yang palsu dan curang itu."
Ah, betapa kedua orang bangsawan ini memandang rendah kepada Suminten si bekas emban! Boleh jadi Ki Patih Brotomenggala memiliki kedigdayaan dahsyat dan pandai mengatur siasat perang dan tata negara. Boleh jadi sang permaisuri merupakan seorang wanita yang boleh dicontoh dalam hal keluwesan, kehalusan, kesenian, kesusilaan dan kebudayaan.
Namun, dalam hal kecerdikan bersiasat, mereka itu jauh tertinggal oleh Suminten. Mereka tidak tahu bahwa demIkian hebat pengaruh dan kecerdikan Suminten sehIngga pintu dan jendela saja bertelinga dan siap membantunya! Di antara semua emban yang melayani semua selir raja dan terutama sang permaisuri, pasti terdapat mata-mata yang menjadi kaki tangan Suminten. Mereka tidak tahu betapa percakapan mereka tadi tertangkap oleh sepasang telinga milik seorang emban muda yang bersembunyi di balik daun pintu dan betapa emban itu kemudian secara rahasia menghadap dan melapor kepada Suminten, menceritakan semua percakapan antara sang permaisuri dan Ki Patih Brotomenggala!
"Hi-hi-hik, he-he-heh, tibalah saatnya kalian harus lenyap, sang permaisuri dan patih dungu!" Suminten tertawa terkekeh-kekeh setelah memberi hadiah kepada emban itu dan menyuruhnya pergi. Kini rencana musuh-musuhnya itu telah berada di tangannya dan hal ini saja sudah merupakan sebuah kemenangan baginya. Ia harus cepat-cepat mengatur siasat dengan Pangeran Kukutan dan malam hari itu juga, seperti biasa dengan dalih berhalangan ia berhasil menjauhkan diri dari sang prabu yang menyangka dia tidur sendiri di kamarnya, padahal Suminten tidur dalam pelukan Pangeran Kukutan sambil berbisik-bisik mengatur siasat di seling permainan cinta mereka yang tak kunjung dingin.
Semenjak Endang Patibroto berdiam di puncak Gunung Wilis, memimpin kurang lebih seratus orang yang tadinya terkenal sebagai Gerombolan Wilis yang kemudian mendirikan Padepokan Wilis, maka daerah Gunung Wilis ini menjadi daerah yang "angker" dan terkenal sekali sampai jauh. Mulailah daerah ini dikenal oleh para orang gagah, disegani dan Padepokan Wilis dianggap sebagai sarang orang gagah, sebuah perguruan di mana terdapat murid-murid Wilis yang berilmu tinggi!
Tentu saja berita yang disampaikan orang selalu berlebihan, akan tetapi yang jelas sekali, berita-berita itu amat terkenal dan membuat orang segan untuk melewati daerah Wilis. Tidak seorang pun perampok berani memperlihatkan hidungnya di daerah Wilis ini, bahkan di seluruh daerah pegunungan ini tidak pernah ada terjadi kejahatan, tidak ada maling, tidak ada perampok, dan juga tidak ada orang melakukan maksiat mengandalkan kekuatannya. Hal ini adalah karena setiap kali terjadi hal-hal maksiat, tentu penjahatnya tertangkap dan dibunuh oleh para "satria" Wilis, demlkianlah sebutan untuk bekas anak buah gerombolan Wilis!
Siapa pun juga orangnya yang melakukan perjalanan dan terpaksa melalui daerah Wilis, harus tunduk akan peraturan para penjaga dan harus rela membayar "tanda hormat" kepada para satria Wilis. Namun mereka rela membayar, karena selain pembayaran itu disesuaikan dengan keadaan mereka, juga mereka akan terjamin keselamatan mereka, takkan ada yang berani mengganggu selama mereka berada di wilayah Wilis.
Endang Patibroto memimpin bekas gerombolan Wilis dengan tangan besi. Dia tahu bahwa orang-orang yang dipimpinnya adalah bekas perampok-perampok yang kasar dan setengah liar, maka ia harus menundukkan mereka dengan kekerasan pula. Kemudian setelah mereka itu benar-benar tunduk terhadap kesaktiannya dan menjadi pengikut-pengikut setia yang membuta akan semua perintahnya, barulah Endang Patibroto melatih mereka, yaitu melalui tiga orang pembantu-pembantunya Limanwilis, Lembuwilis, dan NogowiIlis.
Dia menurunkan beberapa ilmu kesaktian kepada tiga orang gagah ini yang kemudian melatih anak buah mereka sehingga makin kuatlah barisan satria Wilis. Selain itu, keadaan keluarga mereka lebih teratur setelah Endang Patibroto memimpin mereka. Pondok-pondok dibuat, tanaman dan pertanian diperbanyak dan dibagi-bagilah tugas di antara mereka. Ada yang bertani, berburu hewan, menjala ikan, ada pula yang bertugas sebagai tukang kayu, sebagai pandai besi, dan lain pekerjaan yang dapat memenuhi mereka.
Endang Patibroto bahkan tidak melupakan hiburan bagi mereka, maka diadakan pulalah bagian kesenian, gamelan dan lain sebagainya. Di samping semua kesibukannya sebagai pemimpin Padepokan Wilis, Endang Patibroto selalu meluangkan waktu untuk memberi gemblengan kepada adiknya yaitu Setyaningsih yang berlatih dengan tekun, giat, dan sungguh-sungguh.
Juga semenjak lahir, Retno Wilis menerima gemblengan ibunya, di "dadah" oleh jari-jari tangan sakti ibu kandungnya! Karena gemblengan-gemblengan hebat ini yang diberikan secara rapi selama lima tahun, kini Setyaningsih yang sudah berusla enam belas tahun atau tujuh belas tahun telah menjadi seorang dara remaja yang cantik jelita namun juga gagah perkasa, sakti mandraguna. Juga Retno Wilis, dalam usia lima tahun ini merupakan seorang anak luar biasa yang jarang dapat ditemukan keduanya.
Di antara keluarga para anggota Padepokan Wilis, terdapat banyak pula gadis-gadis yang sebaya dengan Setyaningsih dan dara perkasa ini tidak bersikap pelit, melainkan dengan senang hati pula melatih ilmu pencak silat kepada teman-temannya sehingga sebagian besar para gadis di situ adalah gadis-gadis perkasa belaka, cantik-cantik dan gagah perkasa, demikian pula pemuda-pemudanya.
Namun terutama sekali gadis-gadisnya karena tentu saja Setyaningsih lebih suka melatih ilmu kepada teman-temannya. Maka terkenallah Padepokan Wilis sebagai tempat perawan-perawan jelita yang perkasa, dan orang-orang gagah di seluruh daerah itu mulai membicarakan tentang Perawan Lembah Wilis dengan kagum di hati.
Pada pagi hari itu cuaca amatlah cerah. Pemandangan di lembah Gunung Wilis amat mentakjubkan, indah cemerlang disinari matahari pagi. Dilihat dari atas, tamasya alam di bawah seperti diselaput emas. Sinar matahari keemasan menyinari daun-daun pohon yang ujungnya digantungi butir-butiran embun berkilauan seperti butiran-butiran intan. Burung-burung berlompatan di antara pohon-pohon, beterbangan bersenda-gurau dan bercumbuan sambil berkicau riang gembira. Binatang-binatang hutan menyambut matahari pagi dengan penuh keriangan pula, ada yang berjemur sinar matahari, ada yang makan rumputrumput hijau segar, ada pula yang berkeliaran di sepanjang sungai gunung yang mengalirkan air jernih sambil berkericik seperti suara gelak tawa dara-dara remaja bersenda-gurauan.
Kalau didengar dengan teliti, bukan hanya kericik air sungai yang menimbulkan suara itu, melainkan suara gelak tawa yang merdu dari beberapa orang dara remaja yang sedang mandi di sungai. Ada sebelas orang dara-dara jelita berada di sungai itu, berendam di air jernih dengan bertapih pinjung (sehelai kain menutup sebatas dada), mencuci pakaian, mandi keramas, sambil bersendau-gurau tertawa-tawa. Mereka ini bukan lain adalah Setyaningsih dan sepuluh orang temannya, yaitu dara keluarga Padepokan Wilis. Setiap pagi mereka mandi di sungai jernih ini sambil mencuci pakaian.
Kecantikan Setyaningsih amatlah menonjol di antara mereka itu. Setyaningsih berkulit halus dan putih kekuningan, rambutnya tebal hitam berikal mayang, dilepas dan terurai sampai ke lutut. Biarpun sepuluh orang teman-temannya juga merupakan gadis remaja yang seperti kembang sedang mekar, cantik-cantik menarik, namun dibandingkan dengan mereka Setyaningsih tampak seperti seekor merak di antara ayam-ayam hutan.
Juga dara ini amat pendiam, hanya tersenyum-senyum kecil mendengar sendau-gurau teman-temannya. Biarpun dia itu adik kandung Endang Patibroto yang menjadi ketua atau pemimpin Padepokan Wilis, bahkan boleh dikatakan ia menjadi guru para gadis temannya itu, namun Setyaningsih tidaklah bersikap sombong atau tinggi hati. Dia mandi bersama, bahkan mencuci pakaiannya sendiri sehingga selain disegani dan dihormati, juga ia amat dicinta oleh gadis-gadis lainnya di situ.
Dara-dara jelita itu bekerja sambil mandi dan bergembira. Ada yang bertembang saling sahut, saling goda saling menjodohkan dengan pemuda-pemuda sebaya di padepokan, ada yang saling siram air jernih, tertawa-tawa. Dalam kegembiraan mereka, bahkan Setyaningsih sendiri sampai lengah, tidak tahu bahwa ada seorang laki-laki mengintai dari balik semak-semak, memandang ke arah mereka dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, terpesona dan seolah-olah tidak percaya akan pandang mata sendiri.
Laki-laki ini masih muda belia, paling banyak sembilan belas tahun usianya, tubuhnya sedang, berkulit bersih dan tampak ciri-ciri kebangsawanan pada pakaian dan gerak-geriknya, wajahnya tampan sekali seperti Sang Harjuna. Pandang mata laki-laki muda ini tadi menyapu semua gadis yang berada di sungai, kemudian berhenti pada diri Setyaningsih, melekat di situ dan makin dipandang, makin tertegunlah dia, seperti lupa diri, lupa bergerak, bahkan lupa bahwa perbuatannya ini merupakan sebuah pelanggaran susila.
Tentu saja ia lupa segala, bahkan bernapaspun hampir lupa, demikian terpesona pemuda ini melihat Setyaningsih. Banyak sudah ia melihat wanita, bahkan bertemu dengan puteri-puteri istana yang cantik-cantik jelita, namun selama hidupnya, ia merasa belum pernah melihat seorang dara seperti Setyaningsih yang sekaligus telah menerobos masuk melalui matanya, langsung ke dalam dada dan merampas hati dan semangatnya.
Setelah pemuda itu mulai sadar daripada keadaan pesona yang membuatnya seperti lupa akan dirinya, mulailah ia menarik napas panjang berkali-kali. Sungguhpun hanya elahan napas, namun hal ini cukuplah bagi Setyaningsih yang berpendengaran tajam dan terlatih. Dara perkasa ini mengangkat tangan memberi isyarat kepada teman-temannya sambil meruncingkan bibirnya yang merah mungil,
"Ssttttt...." kemudian ia menoleh ke arah semak-semak.
Pandang matanya yang tajam segera dapat melihat gerakan di belakang semak-semak, bukan gerakan yang diakibatkan oleh burung atau binatang hutan. Mulutnya segera membentak, halus namun nyaring dan penuh wibawa,
"Siapakah engkau yang berani menonton kami mandi sambil bersembunyi? Hayo keluarlah!"
Bagi para gadis itu, tidak mengapa andaikata ada pemuda-pemuda atau orang-orang Padepokan Wilis kebetulan lewat di dekat situ dan melihat mereka mandi. Ditonton orang lain selagi mandi di sungai bukanlah hal yang tidak boleh dilakukan, apalagi kalau yang melihat itu orang-orang Padepokan Wilis sendiri yang tentu saja menganggap pemandangan ini biasa. Akan tetapi ditonton orang, biarpun dia seorang anggota padepokan sendiri, yang bersembunyi, hal ini merupakan pantangan, karena bersembunyi berarti tidak wajar dan mengandung niat buruk!
Semak-semak itu bergoyang dan muncullah seorang pemuda dari balik semak semak, berdiri dengan wajahnya yang tampan masih terpesona, bahkan kemudian pemuda itu menggunakan punggung tangan kanan untuk menggosok-gosol kedua matanya karena melihat Setyaningsih berdiri di dalam air sebatas pinggang, dengan kain yang membungkus, dada yang padat itu basah kuyup sehingga seolah-olah menjadi kulit ke dua ia makin kagum dan tidak percaya bahwa di dunia ini ada seorang manusia sehebat dara yang menegurnya itu.
"Duhai.... mimpikah aku..." Pemuda itu berkata, suaranya halus dan kini matanya yang bersinar tajam itu memandang para gadis yang juga memandangnya. "Segala puja-puji kepada para dewata yang agung. Kalau andika sekalian ini bidadari-bidadari kahyangan yang sedang mandi, mana gerangan pelangi yang menjadi anda (anak tangga) untuk andika sekalian turun ke bumi? Andaikata andika sekalian ini sebangsa peri, mengapa di balik kulit andika terbayang darah daging dan urat halus? Betapapun juga.... kalau benar andika bidadari, tunjukkan di mana andika menyimpan kemben antakusuma andika agar dapat hamba curi.... !"
Terdengar kekeh tawa para gadis itu. Tadinya mereka ini tertegun dan marah melihat seorang pemuda yang sama sekali tidak mereka kenal, akan tetapi ketika mendapat kenyataan betapa pemuda itu amat tampan dan ganteng melebihi semua pria yang pernah mereka jumpai, mereka terpesona.
"Bangunlah... bangunlah... dan berjalanlah..... perlahan-lahan ke sini, juitaku. Aku ingin melihat engkau melenggang....." Sang prabu menggerak-gerakkan kedua lengannya seperti hendak mengangkat Suminten bangun.
Suminten menengadah sehingga wajahnya tampak sepenuhnya oleh sang prabu. Mulut yang semringah merah segar itu agak terbuka, mengarah senyum, mata mengerling penuh hasrat, hidung kecil mungil itu agak bergerak cupingnya kemudian Suminten menyembah dan bangkit berdiri. Tidak sembarangan saja ia bangun ini, melainkan diaturnya, seperti bangkitnya seorang penari, memakai irama, memakai aturan sehingga setiap gerak, setiap perubahan tubuh tampak menarik menggairahkan. Kemudian wanita cantik manis yang amat cerdik ini melangkah maju, dengan langkah-langkah kecil, setiap melangkah kaki menyilang ke depan, tumit diangkat, maka tampaklah penglihatan yang mempesonakan.
Tubuh dari pinggang ke atas tegak dan kelihatan agung, akan tetapi dari pinggang ke bawah, seluruhnya merupakan pergerakan yang seratus persen menonjolkan sifat kewanitaan yang halus lunak, lemas dan memikat. Karena tumit diangkat melangkah, maka buah pinggul meninggi, dan karena kaki menyilang ke depan setiap langkah, pinggul itu melenggang-lenggok seperti pinggul harimau, pinggang yang ramping itu mematah ke kanan kiri seolah-olah tidak bertulang, seperti tubuh ular, ayunan lengan, tapak semua mengandung keindahan seni menggairahkan, ditambah suara ujung kain perlahan-lahan setiap melangkah, seperti daun-daun bambu bersendau-gurau membisikkan janji-janji yang muluk membakar nafsu berahi.
Sebetulnya sang prabu yang sudah tua itu merasa tubuhnya lelah dan matanya mengantuk. Akan tetapi melihat Suminten, lenyap rasa kantuknya seperti mencuci muka dengan air wayu, timbul seleranya seperti orang mengandung melihat rujak jeruk yang masam manis dan pedas! Diam-diam sang prabu merasa amat heran mengapa setelah menyelir wanita ini sampai bertahun-tahun, setiap kali melihat Suminten selalu timbul hasratnya, tak pernah merasa bosan, bahkan makin lama makin terpikat dan melekat, seperti orang ketagihan candu.
"Duhai Suminten, wong ayu denok montok, kedatanganmu seperti munculnya matahari di musim hujan, seperti jatuhnya hujan di musim kering! Ke sinilah, manis, mendekatlah agar terobat rasa rindu hatiku!"
Suminten mencibirkan bibir bawahnya yang penuh merah dengan sikap manja dan centil, mengerling dan kemudian tersenyum.
"Duh, sinuhun pujaan hamba! Baru dua malam yang lalu hamba menemani paduka, akan tetapi entah mengapa, dua malam berpisahan dengan paduka hamba tidak dapat tidur barang sekejap mata, tersiksa hati rindu rendam." Suminten lalu menjatuhkan diri di dekat kaki sang prabu, menyembah.
Raja tua itu mendekap kepala itu, menariknya ke atas pangkuannya, lalu menggunakan kedua telapak tangan memegang pipi yang kemerahan, menengadahkan muka yang manis itu, terpesona oleh keindahan yang dilihatnya, kemudian sang prabu menunduk, membungkuk dan mencium kening yang menjelirit indah, penuh kemesraan dan kasih sayang.
"Wahai, manisku yang tercinta, kalau sudah mendengar ucapanmu, meraba kulitmu, menciummu, aku lupa bahwa aku sudah tua dan agaknya aku tidak akan mau mati sampai seribu tahun lagi!"
Suminten memeluk pinggang junjungannya dan membenamkan mukanya di atas pangkuan. la muak, seperti pada malam pertama ia diperisteri raja tua ini. Muak ia kalau dicium dan merasa betapa jenggot dan kumis panjang, kasar dan beruban itu mengusap-usap kulit mukanya yang halus lunak. Di dalam pangkuan, ia berjebi, dan kali ini bukan berjebi manja, melainkan berjebi sungguh-sungguh karena hatinya mengkal dan mencemoohkan. Hatinya berbisik gemas,
"Huh, tua bangka, siapa sih yang ingin melihat engkau tidak segera mampus? Akan tetapi jangan kau mampus dulu karena hanya melalui kebodohanmu sajalah cita-citaku akan tercapai. Kalau sudah tercapai, tidak ingin mampus pun akan ku usahakan supaya kau segera mampus, kau tua bangka menjemukan!"
Akan tetapi, ia segera dapat menindas perasaan hatinya ini dan dengan muka penuh keharuan dan penuh cinta kasih ia menengadah, memandang wajah sang prabu, dua titik air mata yang jernlh tergantung pada bulu mata yang lentik panjang.
"Aduhai, gusti junjungan hamba! Mengapa paduka bicara tentang mati? Hambalah orang pertama yang siang malam berdoa dan memohon kepada para dewata semoga paduka dianugerahi panjang usia dan takkan berpisah dari sisi hamba selama hamba masih hIdup."
"Wah.... adindaku, jantung hatiku yang tiada keduanya di dunia ini! Betapa besar rasa syukur dan terima kasihku kepada para dewata yang menganugerahi aku di hati tuaku dengan seorang den ayu seperti engkau!" Sang prabu yang masih kuat itu menarik tubuh Suminten, didudukkannya wanita itu di atas pangkuannya dan mulailah mereka bercumbu dan berkasih mesra.
Pandang mata sang prabu berpesta menjelajahi tubuh yang denok montok itu, yang memang sengaja ditonjol-tonjolkan bagian-bagian yang menarik oleh Suminten dl kala ia berdandan tadi. Suminten yang semuda itu sudah amat ahli dalam merayu, membuat sri baginda mabuk dengan belaian-belaian sepuluh jari tangannya yang halus dan hidup merayap-rayap, membelai dan mengusap penuh kasih, dengan pelukan-pelukan ketat, dengan ciuman-ciuman manja dan panas bernafsu sampai raja tua itu terengah-engah dibakar nafsunya sendiri kemudian memondong tubuh selirnya dibawa ke peraduan yang dibuat daripada emas bertilam sutera dan berbau harum.
Suminten pandai menyimpan rahasianya, juga pandai menekan perasaan. Ia melayani sang prabu seperti seorang selir yang benar-benar mencinta. Ia menanti saat dan kesempatan baik, dan sampai jauh malam setelah sang prabu merem melek menikmati pijatan jari-jari tangan halus itu pada kedua kaki tuanya yang lelah, Suminten masih belum menyampaikan hasrat yang terkandung di hatinya, sesuai dengan rencana yang dibuatnya sejak siang tadi ia melakukan perundingan rahasia dengan Pangeran Kukutan. Rencananya dilakukan semenjak tadi ia berdandan mempersolek diri, merupakan sebagian siasatnya untuk menjatuhkan hati sang prabu.
Melihat betapa tekunnya wanita cantik manis itu memijati betis dan pahanya, sang prabu menghela napas penuh kepuasan, lalu berbisik, "Suminten, betapa aku mencintamu....."
Saat yang amat baik telah tiba dan Suminten menahan isak, kemudian kedua tangannya berhenti memijati kaki dan digunakan untuk menutupi mukanya. Ia terisak dan air mata mengalir dari celah-celah jari tangannya. Sang prabu terkejut dan cepat bangun, merangkul leher kekasihnya.
"Eh, eh, ada apakah, Suminten? Mengapa engkau meruntuhkan waspa (air mata), kekasihku?"
Suminten makin sesenggukan, menyembunyikan mukanya di dada sang prabu. "Hati hamba amat terharu... dan justeru karena kekalnya cinta kasih antara kita... menimbulkan hal-hal yang tidak enak... karena mereka menjadi iri hati..."
"Eh, siapakah? Siapa iri hati kepadamu?"
"Paduka tentu maklum. Sudah terbukti desas-desus yang dikeluarkan oleh mulut kurang ajar Adipati Wirabayu dan Empu Adisastra..."
"Hemm, tenangkan hatimu. Bukankah mereka telah kutangkap dan dijebloskan dalam penjara?"
"Benar, gusti hamba yang tercinta. Akan tetapi apa gunanya? Mereka itu malah makin mendendam.... hamba orang yang hina-dina dan celaka.... dibenci oleh banyak orang karena iri hati...."
"Eh, siapa pula berani? Aku sendiri akan melindungimu, kekasih manis. Siapapun dia yang membencimu akan berhadapan dengan aku sendiri!" seru sang prabu dengan nada menantang dan marah.
"Ah, gusti sesembahan hamba yang hamba cinta dengan seluruh jiwa raga hamba.... tidak sedetikpun hamba meragukan kasih sayang paduka.... akan tetapi, mereka itu orang-orang terpenting, termasuk Ki Patih Brotomenggala yang menjadi orang pertama dengan antek-anteknya, para tumenggung dan adipati.... dan bahkan beberapa orang pangeran juga membenci hamba.... di bawah lindungan gusti ayu ratu sendiri...."
"Hemmm, hanya dugaanmu saja, Suminten. Mereka tidak membencimu!"
"Hamba seorang wanita. Perasaan hamba dapat mengetahui, biarpun mereka tidak secara berterang menyatakan benci karena takut kepada paduka. Akan tetapi cara mereka memandang hamba, dan desas-desus di luaran, para abdi sudah mengetahui semua.... ah, betapa akan lega hati hamba kalau hamba dapat membalas mereka semua!"
Sang prabu benar-benar terkejut. Dipegangnya pundak kekasihnya dan dipaksanya wanita itu memandangnya. "Suminten! Apa yang kau katakan ini? Mereka.... mereka adalah keluargaku, isteriku dan putera-puteraku dan ponggawa-ponggawa tinggi yang setia....!"
Suminten menangis makin mengguguk, kemudian ia melepaskan rangkulan sang prabu, melorot turun sambil menangis lalu berlutut di depan pembaringan sambil menyembah-nyembah.
"Ampunkan hamba, gusti. Sungguh hamba tidak tahu diri! Mereka adalah orang-orang berjasa dan setia dan pandai, sedangkan hamba? Ah, hamba hanya orang sudera, rendahan hina, bodoh dan canggung. Hamba tidak punya apa-apa, hanya punya cinta kasih, hamba merelakan badan dan nyawa ini... paduka bunuh saja hamba sekarang juga, agar paduka tidak menjadi pusing karena urusan mereka membenci hamba.... " Suminten terisak-isak.
"Hushhh.... hushhhh.... kau kekasihku, omongan apa ini? Ke sinilah dan hentikan tangismu.... " Sang prabu menarik tubuh kekasihnya, merangkul dan memangkunya. Diusapnya air mata yang membasahi pipi yang montok, diciumnya mulut yang terisak, lalu sang prabu tersenyum, bertanya, "Suminten, habis apa yang kau ingin kulakukan? Menangkapi mereka semua? Kakang patih, permaisuri, para adipati dan tumenggung, bahkan para pangeran?"
Suminten menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata dengan nada sedih, "Hamba bukan seorang yang tidak tahu diri, gusti. Tidak, hamba tidak menghendaki sejauh itu. Hanya tentu saja hamba merasa sengsara hidup ini kalau dijadikan bahan percakapan mereka yang membenci, padahal di dalam hati hamba, tiada rasa benci kecuali keinginan hendak melayani paduka sepenuh cinta kasih, membahagiakan paduka dengan setia...."
Sang prabu mengecup bibir yang mengeluarkan ucapan semanis itu. "Habis, apa kehendakmu sekarang, Suminten?"
"Dua orang bedebah itu, gusti Si Wirabayu dan Adisatra.... mereka membuat desas-desus bahwa hamba telah menjatuhkan guna-guna atas diri paduka, bahwa hamba meracuni hidup paduka, melemahkan Kerajaan Jenggala. Untung ada putera paduka yang amat setia dan berbakti, anak Pangeran Kukutan yang dapat membongkar kejahatan mereka. Kalau tidak, dan sampai rakyat mempercaya desas-desus itu, bukankah mencelakakan hamba dan merendahkan nama paduka?"
"Mereka sudah ditangkap, manis..."
"Tidak, mereka harus dihukum mati, gusti. Mereka telah menghina paduka dan kalau mereka tidak dihukum mati di alun-alun, yang lain-lain tidak akan menjadi takut! Kewibawaan paduka akan terancam dan untuk memulihkan kewibawaan paduka, jalan satu-satunya hanya menghukum mati mereka yang telah menghina paduka."
Berubah wajah sang prabu. "Tapi.... tapi.... Wirabayu adalah anak mantu kakang Patih Brotomenggala.... dan.... dan kakang Empu Adisastra banyak jasanya dalam kesenian...."
Kembali Suminten menangis. "Sudahlah, hendaknya paduka bunuh saja hambamu ini, gusti.... sudah hamba katakan tadi, hamba tiada jasa, hamba tiada guna.... silahkan paduka tusuk saja dada ini dengan pusaka paduka...." Suminten menarik penutup dadanya, menantang. Akan tetapi perbuatan ini bahkan membuat sang prabu terpesona. Tiada bosannya sang prabu mengagumi tubuh yang muda dan indah itu. Ia memeluk mesra.
"Baiklah, kekasihku.... baiklah memang kau benar, mereka harus dijadikan contoh untuk mengembalikan kewibawaanku, agar tidak ada orang berani Iagi menghinamu.... !!"
"Menghina paduka, bukan hamba...." kata Suminten manja sambil memeluk dan kembali dengan pandainya wanita ini mencumbu sehingga sang prabu menjadi makin mabuk.
Jin setan dan iblis brekasakan yang meliar di malam hari itu berpesta pora, bersorak gembira melihat hasil kemenangan nafsu kejahatan ini.
********************
Alun-alun penuh rakyat, berjejal-jejal hendak menyaksikan hukuman mati atas diri Adipati Wirabayu dan Empu Adisastra. Bagian pengawal menjaga di sekeliling alun-alun, mencegah rakyat mendekati tempat pelaksanaan hukuman. Tak jauh dari tempat pelaksanaan hukuman ini terdapat sebuah panggung dan di situ duduk sang prabu bersama Suminten. Keruh wajah sang prabu karena sesungguhnya pelaksanaan hukuman ini tidak berkenan di hatinya, terpaksa diperintahkan untuk tidak mengecewakan hati Suminten!
Wajah tua itu tampak makin berkerut-merut, makin tua, pandang matanya sayu. Berbeda dengan raja tua ini, Suminten tampak gilang-gemilang dalam cahaya mudanya, cantik jelita dan sikapnya tenang, agung dan angkuh dalam kemenangannya. Biarpun alun-alun itu penuh dengan manusia berjajaran, namun suasananya sunyi. Semua orang merasa prihatin dan gelisah. Memang ada banyak pula yang tersenyum-senyum puas, mereka ini adalah orang-orang yang memang mempunyai rasa permusuhan terhadap dua orang yang akan dijatuhi hukuman mati, dan terutama mereka yang telah menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan.
Keluarga kedua orang hukuman yang diharuskan hadir, termasuk Ki Patih Brotomenggala, berkumpul di sudut dan di antara mereka, terutama kaum puterinya, menangis terisak-isak. Suasana makin mengharukan ketika dua orang hukuman itu digiring memasuki alun-alun. Mereka tidak muda lagi, lima puluhan tahun uslanya. Terutama Empu Adisastra sudah kelihatan tua dengan jenggotnya yang panjang. Mereka sudah mendengar akan keputusan raja dan menerima keputusan ini dengan tenang.
Mereka memasuki lapangan digiring oleh para algojo dengan kedua tangan terikat di belakang punggung, dan berjalan dengan langkah tenang dan dada terangkat. Dalam menghadapi kematian, kedua orang ini sama sekali tidak merasa takut. Dan mereka tahu bahwa mereka mati untuk kebenaran. Mereka telah menyebarkan kritik dan cela terhadap sang prabu dan Suminten, bukan sekali-kali karena dendam pribadi, melainkan karena dasar kebaktian terhadap kerajaan dan bangsa.
Mereka melihat betapa Kerajaan Jenggala terancam kehancuran karena sang prabu tergila-gila kepada seorang wanita yang tidak baik. Mereka ditangkap karena fitnah yang dijatuhkan Pangeran Kukutan ketika pangeran ini mendengar di suatu pesta tentang kritik dan cela mereka, difitnah sebagai penyebar desas-desus yang menghina raja!
Dua orang ini dihadapkan kepada sang prabu. Mereka memandang ke arah Suminten dengan mata melotot penuh kebencian, kemudian berlutut ke arah sang prabu. Sang prabu meramkan mata, lalu mengangkat tangan ke atas memberi isyarat algojo menarik kedua orang itu, dibawa ke dekat lubang yang telah digali untuk menampung darah mereka, kemudian disuruh berlutut.
Pada saat itu, terdengar jerit tangis. Mereka mengangkat muka memandang dan ketika melihat keluarga mereka menangis menjerit-jerit, panggilan isteri dan anak-anak mereka, tak dapat lagi mereka menahan air mata. Bukan air mata karena takut, melalnkan air mata karena sedih bahwa mereka harus meninggalkan keluarga yang tentu akan menjadi berduka dan berkabung.
"Algojo, lakukan tugasmu!" kata Adipati Wirabayu.
Sang algolo lalu mengangkat goloknya ke atas mengertak gigi dan tampak sinar berkelebat dua kali berturut-turut. Putuslah leher kedua orang terhukum itu. Darah menyemprot ke atas dan beberapa orang anggauta keluarga roboh pingsan. Di antara para penonton terdengar isak tertahan. Sang prabu lalu bangkit, wajahnya agak pucat dan Suminten cepat bangkit pula, menggandeng lengan raja dan dituntunnya raja itu turun dari panggung, memasuki tandu dan cepat-cepat pergi meninggalkan tempat mengerikan itu, memasuki istana. Hanya karena pandainya Suminten menghibur saja maka dalam waktu singkat sang prabu telah melupakan peristiwa menyedihkan di alun-alun itu.
Semenjak hari itu, sang prabu makin tenggelam ke dalam pelukan dan bujuk rayu Suminten sehingga raja yang tua itu mengabaikan tugasnya, tidak memperdulikan lagi bermalam di dalam kamar para selir lainnya, juga tidak lagi bermalam di kamar permaisuri. Amat pandainya Suminten mengambil hati dan amat pandai pula ia mencari-cari perkara sehingga tampak jelas olehnya siapa mereka yang membencinya dan memusuhinya agar dengan mudah ia dapat menjatuhkan fitnah kepada mereka dan turun tangan terlebih dahulu menghalau orang-orang yang sekiranya akan dapat menjadi penghalang bagi cita-citanya.
"Mengapa paduka kelihatan murung, gusti? Bukankah kematian kedua orang laknat itu berarti melenyapkan dua orang pemberontak yang tidak setia?"
Sang prabu menghela napas panjang, namun dalam kekecewaannya ia masih tidak dapat terlepas daripada daya tarik yang keluar dari gerak-gerik dan tubuh Suminten. Ditariknya selir terkasih itu, dipangku dan dielus rambut yang halus panjang itu.
"Engkau tidak tahu, Suminten. Mereka berdua itu adalah orang-orang yang pandai. Aku telah kehilangan dua pembantu yang cakap."
"Ahhh, sinuwun, apakah artinya pembantu yang cakap dan pandai kalau dia tidak setia? Mencari orang pandai tidaklah sukar, akan tetapi, mencari orang setia adalah paling sukar. Dengan para pembantu macam ki patih dan antek- anteknya, paduka dikelilingi oleh musuh- musuh rahasia dan kedudukan paduka amatlah berbahaya. Akan tetapi, hendaknya paduka tenang dan percayalah bahwa selama hamba berada di sini, dibantu oleh puteranda Pangeran Kukutan yang berbakti dan setla, hamba berdua akan dapat menghalau semua bahaya yang mengancam paduka."
Sang prabu menggunakan kedua tangan untuk memegang kepala yang terasa pening. Ia menggeleng-geleng kepalanya dan berkata, "Ah, aku bingung ... aku bingung.... Minten. Betapa mungkin patihku yang setla memusuhiku.... Kakang Patih Brotomenggala adalah patihku sejak dahulu.... dia..... dia..."
"Betapa dapat mengukur isi hati manusia, gusti? Dalamnya bengawan dapat diselami, tingginya gunung dapat didaki, akan tetapi dalamnya hati manusia dan tingginya cita-cita manusia sukar diukur. Mungkin dahulu dia setia, akan tetapi sekarang.... hemm, dia berani membujuk-bujuk sang permaisuri.... dan menurut penyelidikan hamba dan Pangeran Kukutan, ki patih kini secara rahasia telah mengadakan kontak dengan para adipati dan bupati, agaknya siap-siap untuk memberontak apabila saatnya tiba."
Wajah sang prabu menjadi pucat. Terbelalak ia memandang Suminten dan berkata, "Benarkah itu....? Adakah bukti-buktinya....?!
Suminten tersenyum manis. "Belum ada, gusti. Kalau sudah ada tentu hamba akan turun tangan. Akan tetapi bukti itu sewaktu-waktu tentu dapat kita cari asalkan paduka sudah mengetahuinya terlebih dahulu. Hamba mendengar bahwa ki patih dan teman-temannya sudah pula memilih-milih calon putera mahkota di antara para pangeran, tentu saja pangeran yang bersekutu dengan mereka memusuhi paduka."
"Aahhhh.... bagaimana baiknya Minten?"
"Harap paduka tenang dan serahkanlah kepada hamba. Suminten akan melindungi dan membela paduka sampai titik darah terakhir! Menurut pendapat hamba, sebaiknya sekarang menggantikan kedudukan kedua orang pemberontak yang sudah di hukum mati. Menurut petunjuk anaknda Pangeran Kukutan, sebaiknya mengangkat Tumenggung Wirokeling dan Tumenggun Sosrogali menggantikan kedua orang itu."
Sang prabu mengangguk-angguk. Dua orang tumenggung itu adalah orang-orang kasar yang bodoh dan hanya tahu peran saja, akan tetapi bukankah tadi Suminten mengatakan bahwa yang penting mencari orang-orang setia?
"Baiklah, aku setuju. Biar besok kuperintahkan kepada ki patih."
Suminten girang sekali. Memang ia sudah merencanakan semua ini dengan Pangeran Kukutan beberapa hari yang lalu ketika mereka mengadakan pertemuan kasih mesra, bermain cinta di taman. Kedua orang tumenggung itu adalah kaki tangan Pangeran Kukutan yang boleh dipercaya. Saking girangnya, ia lalu merangkul dan menciumi jenggot putih sang prabu.
"Duhai, gusti sesembahan hamba. Amat besar hati hamba melihat betapa paduka menaruh kepercayaan kepada hamba."
Sang prabu memeluk tubuh padat itu, kepercayaannya makin mendalam.
"Suminten, hanyalah engkau satu-satunya orang di dunia ini yang masih dapat kupercaya, berdasarkan cinta kasihmu yang telah kaubuktikan selama ini."
Setelah beberapa lama mencumbu rayu junjungannya yang sudah tua dan yang sesungguhnya memuakkan hatinya, Suminten lalu berkata halus,
"Gusti sinuwun, hamba rasa untuk melawan usaha mereka memilih seorang putera mahkota untuk menggantikan paduka kelak kalau-kalau mereka berhasil menggulingkan paduka, sebaiknya kalau sekarang juga paduka mengumumkan pengangkatan seorang putera mahkota, seorang pangeran pati yang paduka tentukan sebagai calon pengganti raja kelak."
Sang prabu mengangguk-angguk. Memang sudah lama ia mempunyai keinginan seperti ini. Sayang bahwa permaisuri tidak mempunyai anak laki-laki dan biarpun banyak ia mempunyai putera, namun para pangeran itu adalah anak-anak dari selir.
"Aku menanti sampai Panji Sigit cukup dewasa dan matang."
Suminten diam-diam mengerutkan keningnya. Ia tahu bahwa di antara para pangeran putera selir, Pangeran Panji Sigit adalah seorang yang paling dicinta sang prabu. Bahkan semua selir dan ponggawa istana suka belaka kepada pemuda itu. Siapa pula orangnya yang tidak mencinta. Pemuda itu tampan sekali seperti Arjuna, sikapnya halus dan selalu ramah, tidak sombong, tidak mencari muka, pendeknya seorang pemuda yang benar-benar menyenangkan hati.
Dia sendiri, sudah beberapa kali menelan ludah kalau bertemu pemuda remaja yang hebat inI dan sekarang nama ini disebut sang prabu sebagai calon putera mahkota! Pangeran Panji Sigit akan jauh lebih menyenangkan hatinya daripada Pangeran Kukutan yang biarpun tampan dan gagah juga akan tetapi tidak setampan dan sehalus Pangeran Panji Sigit, bahkan agak kasar dalam bermain cinta. Akan tetapi, pangeran remaja yang halus dan jujur bersih itu mana mungkin dapat ia ajak bersekutu? Pangeran Kukutan jauh lebih memenuhi syarat dengan sifat-sifatnya yang cerdik dan pandai bersandiwara. Namun, kalau dia bisa menarik Pangeran Panji Sigit menjadi pembantunya, wah.... hatinya akan puas sekali!
"Memang benar sekali wawasan paduka, gusti. Anaknda Pangeran Panji Sigit memang amat tepat, akan tetapi pada dewasa ini, hamba juga mengira dia masih terlampau muda. Padahal para pengkhianat itu selalu menanti kesempatan dan kiranya Pangeran Panji Sigit akan mudah terjebak ke dalam perangkap mereka...."
Sang prabu mengangguk-angguk. "Habis, menurut pendapatmu bagaimana, Suminten?"
"Mohon beribu ampun kalau pendapat hamba keliru, gusti. Paduka mempunyai banyak putera, akan tetapi hamba lihat bahwa para putera pangeran itu hanya mengejar foya-foya dan kesenangan belaka, tidak ada yang memperhatikan urusan pemerintahan, kecuali yang sudah terbukti, hanya anaknda Pangeran Kukutan. Maka, biarpun hamba setuju apabila paduka mengangkat Pangeran Panji Sigit, akan tetapi sementara ini, untuk menghadapi usaha busuk para pengkhianat, alangkah baiknya kalau paduka mengangkat Pangeran Kukutan sehagai putera mahkota. Hanya Pangeran Kukutan seorang yang tahu akan sifat-sifat para pengkhianat dan dapat menghadapi mereka, sehingga dia tali yang akan dapat menyelamatkan kerajaan paduka daripada pemberontakan."
Sejenak sang prabu termenung. Terhadap Pangeran Kukutan, tidak ada getaran kasih sayang yang kuat dari hatinya, sungguhpun selama ini Pangeran Kukutan tidak pernah memperlihatkan watak tidak baik, bahkan telah membuktikan kesetiaannya. Dia tidak menghendaki Pangeran Kukutan yang kelak menjadi raja menggantikannya. Akan tetap, kalau betul seperti wawasan Suminten bahwa ada usaha gelap para musuh rahasia untuk menggulingkannya, memang perlu sekali adanya seorang pangeran mahkota. Betapapun juga, pengangkatan seorang pangeran pati atau putera mahkota bukanlah hal sembarangan, maka ia lalu menunda urusan ini sampai beberapa hari untuk memikirkannya masak-masak.
Sementara itu Suminten yang merasa gelisah kalau-kalau sang prabu akan menjatuhkan pilihannya atas diri Pangeran Panji Sigit, siang hari telah bersiap-siap. Sore hari itu ia hersolek keras, menaburi tubuhnya yang padat menarik itu dengan sari bunga. Selesai bersolek, ia lalu menyuruh emban kepercayaannya untuk mencegat Pangeran Panji Sigit dan mohon kepada pangeran itu untuk memenuhi panggilan selir termuda sang prabu ini.
Pangeran Panji Sigit adalah seorang putera selir, akan tetapi selir raja itu telah meninggal dunia ketika Pangeran Panji Sigit masih kecil. Karena tidak beribu lagi, maka Pangeran Panji Sigit diasuh oleh seorang inang pengasuh yang setia dan karena dialah satu-satunya pangeran yang tidak dimanja oleh seorang ibu yang memperebutkan kedudukan, maka sifat-sifatnya menjadi amat baik. Inang pengasuh yang setia itu mentaati pesan terakhir ibu pangeran ini dan mendidiknya dengan hati-hati dan baik.
Pangeran Panji Sigit dilatih belajar kesusasteraan dan juga ilmu olah keperajuritan sehingga dia menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa, lemah lembut dan rendah hati, tidak memandang rendah para kawula, juga tidak menjilat atasan, tidak menginginkan kedudukan dan tidak memperebutkan kekuasaan. Hal inilah yang membuat Pangeran Panji Sigit disuka oleh semua orang, bahkan sang prabu sendiri yang kagum melihat ketampanan dan kehalusan budi puteranya ini, amat mengasihinya.
Karena tidak menghiraukan kekuasaan dan kedudukan inilah yang membuat Pangeran Panji Sigit sama sekali tidak mencampuri urusan pemerintahan dan tidak tahu-menahu tentang politik dalam istana. Ia hanya tahu dan mendengar betapa ayahandanya tergila-gila kepada selir termuda yang baru, dan hal ini hanya membuat dia tersenyum saja. Dia sudah membaca dari kitab-kitab lama betapa seorang pria tidak akan dapat melepaskan diri daripada nafsu kejantanan yang akan mengejar dan menguasainya sampai nyawa meninggalkan badan dan hanya dengan kekuatan batin dan kemauan sajalah seorang pria dapat menguasai nafsunya sendiri. Ramandanya lemah, akan tetapi apa salahnya kalau seorang raja menikmati kesenangan duniawi yang sudah menjadi haknya?
Pangeran Panji Sigit biarpun telah berusia delapan belas tahun, tidak suka mengganggu wanita, tidak suka menurutkan nafsu bermain cinta seperti yang dilakukan saudara-saudaranya, para pangeran lainnya yang telah mengumbar nafsu semenjak berusia empat lima belas tahun! Pangeran Panji Sigit lebih suka pergi mencari guru-guru ilmu silat yang pandai-pandai di antara para panglima dan pendeta, kemudian pergi berburu ke hutan-hutan seorang diri saja sehingga tubuhnya yang kelihatan halus gerak-geriknya itu menjadi amat kuat.
Senja hari itu karena cuaca amat baik, Pangeran Panji Sigit yang baru saja selesai mandi sehabis berlatih pencak silat dan berjalan-jalan di dalam taman istana yang luas dan indah menghirup hawa sejuk, tiba-tiba melihat seorang emban berlari-lari menghampirinya dan berjongkok sembah di depannya sambil berkata,
"Ampunkan hamba yang berani mengganggu, gusti pangeran. Akan tetapi hamba hanya melaksanakan perintah ibunda selir paduka yang minta agar paduka sudi datang menghadap."
Pangeran Panji Sigit termenung sejenak. Ia tidak pernah mendekati selir-selir ramandanya yang ia tahu masih muda-muda, apalagi selir termuda Suminten yang terkenal cantik jelita dan yang menghebohkan seluruh istana. Akan tetapi pemuda ini dapat mengekang perasaannya karena ia merasa tidak sopan kalau menolak, maka ia bertanya dengan halus,
"Emban, ibunda yang manakah yang memerintahkan aku datang menghadap?"
Emban itu masih muda, belum tiga puluh tahun usianya, cantik berkulit halus dan bermata jeli. Ketika ditanya, ia kelihatan terkejut dan sadar daripada lamunannya. Tadi ia menengadah dan memandangi wajah pemuda itu sambil menahan napas dan menelan ludah, kagum akan ketampanan wajah Sang Pangeran Panji Sigit.
"Eh... ohh.... maaf, gusti.... ibunda paduka yang termuda...."
Jantung pemuda itu berdenyut keras akan tetapi cepat ditekannya. Hatinya merasa tidak enak, akan tetapi betapa-pun ia tidak berani menolak karena setiap orang selir ramandanya adalah ibundanya pula. Ibu kandungnya yang telah tiadapun seorang selir, sehingga biarpun ia seorang pangeran, namun derajatnya tidaklah lebih tinggi daripada selir ramandanya karena iapun putera selir.
"Baiklah, emban. Tentu ada hal yang amat penting maka ibunda memanggilku."
Maka pergilah Pangeran Panji Sigit diantar oleh emban itu, langsung menuju ke bangunan mungil dekat taman sari yang khusus ditinggali Suminten. Begitu memasuki bangunan yang tak pernah ia kunjungi ini, diam-diam Pangeran Panji Sigit tertegun dan kagum. Amat indahnya perabot-perabot di bangunan ini, jauh lebih indah daripada tempat-tempat tinggal para selir yang lain. Jelas bahwa berita yang ia dengar benar adanya yaitu bahwa selir termuda ini amat dikasihi ramandanya.
Sunyi di bangunan mungil itu. Sambil tersenyum emban tadi menunjuk ke arah sebuah kamar dari mana terpancar cahaya lampu kemerahan, kemudian tanpa berkata sesuatu emban itu pergi meninggalkan ruangan itu. Selagi Pangeran Panji Sigit berdiri termangu, tiba-tiba terdengar suara halus dari dalam kamar itu,
"Anaknda pangeran, mari masuklah saja. Ibu berada di sini, masuklah jangan ragu-ragu, pangeran."
Makin berdebar jantung Pangeran Panji Sigit. Ia harus taat akan perintah selir ramandanya, namun kesopanan yang telah mendarah daging di hatinya, membuat kakinya terasa berat untuk melangkah memasuki kamar. Baru beberapa langkah dan baru sampai di depan pintu yang tertutup, ia berhenti dan berkata,
"Maafkan saya, ibunda. Biarlah saya menanti di sini saja sampai ibunda selesai untuk kemudian mendengarkan perintah ibunda yang akan disampaikan kepada saya."
Sunyi sejenak dari dalam kamar, kemudian terdengar lagi suara yang halus merdu, "Iihhh, puteranda Panji Sigit! Apakah engkau merasa sungkan dan malu? Hii-hik, masa seorang putera meragu dipanggil masuk kamar oleh ibundanya? Kalau begitu, engkau mengandung pikiran yang kotor..."
"Sama sekali tidak, ibunda!"
"Kalau tidak masuklah, jangan seperti kanak-kanak. Aku mau bicara urusan penting denganmu, berdua saja, kalau di luar khawatir terdengar orang. Marilah, pangeran."
Ditegur seperti itu, Pangeran Panji Sigit bingung kemudian menggigit bibir dan memberanikan hatinya mendorong daun pintu. Bau yang harum menyambutnya dan ia melihat selir ramandanya yang muda dan cantik itu duduk di atas pembaringan membelakanginya, menghadap cermin dan agaknya sedang membereskan rambutnya. Ia makin berdebar dan hatinya tidak enak. Biarpun disebut ibunya, wanita ini masih amat muda, sebaya atau sedikit saja lebih tua daripadanya!
"Maaf, ada keperluan apakah, ibunda?"
Suminten menengok dengan gerakan indah, matanya yang menjadi hiasan paling indah di samping mulutnya, mangerling tajam, mulutnya tersenyum lalu merekah merah, apalagi disinari lampu yang dibungkus kertas merah, lebih indah lagi.
"Mendekatlah sini, pangeran. Engkau terhitung anakku, bukan? Aku ibumu, mengapa mesti malu-malu? Ke sinilah dan tolonglah engkau pasangkan hiasan rambut ini. Jengkel sekali hatiku, memasang sejak tadi tidak mau sempurna juga."
Betapapun tidak enak hati Pangeran Panji Sigit, namun ia terdesak oleh kata-kata itu dan terpaksa ia melangkah maju dan berhenti di belakang punggung yang tampak bagian atas setengahnya itu. Halus seperti batu pualam.
"Mana mungkin saya bisa memasangnya, ibunda...."
"Ihh, anak bodoh. Masa tidak bisa. Lihat, rambutku masih terurai, kaupasangkan hiasan ini, seperti sisir, sisipkan saja di atas kepalaku, di tengah.... hi-hik canggung benar kau.... nanti dulu, memang tidak akan tepat kalau dari belakang, biar dari depan...." Sambil tertawa-tawa Suminten lalu membalikkan tubuhnya dan duduk menghadapi Pangeran Panji Sigit.
Pangeran itu terkesiap dan menahan napas. Ingin ia melompat pergi dan lari dari situ. Kiranya baju Suminten tidak beres! Kemben yang menutup tubuh atas bagian depan itu amat longgar sehingga tampaklah membayang gumpalan daging yang merangsang.
Jari-jari tangan Suminten menangkap kedua tangan pangeran itu dan suaranya agak serak penuh getaran nafsu dan cumbu rayu, "Kenapa, pangeran? Tidak senangkah engkau melihat aku? Tidak cantikkah aku dalam pandanganmu, wong bagus?"
Pangeran Panji Sigit merasa seolah-olah ada halilintar menyambar kepalanya. Ia bukanlah kanak-kanak lagi, sudah dewasa dan tahu apa artinya ini semua. Ia maklum bahwa kini keadaannya benar-benar dalam bahaya, tidak hanya dugaan belaka atau kekhawatiran seperti tadi. Ia merasa seperti seekor kijang terjeblos dalam perangkap yang ia tidak tahu pergunakan untuk apa. Cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu dan berkata,
"Ampunkan saya, ibunda. Harap ibunda sudi melepaskan saya dan membiarkan saya pergi dari sini....
Akan tetapi sebagai jawaban, tiba-tiba Suminten mendekap kepala itu dan menariknya sehingga muka si pangeran terbenam ke dadanya! Pangeran Panji Sigit terkejut bukan main ketika merasa betapa mukanya terbenam ke dalam kelembutan yang harum. Kalau ia tidak terlatih batinnya, tentu ada dua kemungkinan buruk, yaitu pertama, ia akan roboh dalam buaian kenikmatan nafsu berahi, dan ke dua ia akan lupa dan memberontak lalu menghantam wanita ini sampai tewas di saat itu juga. Untung ia waspada dan dapat menguasai dirinya. Dengan halus namun kuat sekali ia menarik mukanya, sekali tangannya bergerak terlepaslah ia daripada dekapan dan begitu tubuhnya berkelebat, pemuda ini telah melompat dan lenyap dari dalam kamar.
Suminten bengong, menatap api lampu yang bergoyang-goyang oleh angin ketika pemuda itu meloncat, hatinya penuh kekecewaan dan juga penasaran. Betapa mungkin seorang pemuda dapat menolak cinta kasihnya? Dapat menolak tubuhnya? Ia masih tidak mau percaya dan menganggapnya seperti sebuah mimpi buruk. Disangkanya bahwa semua pria di dunia ini pasti akan bertekuk lutut di depannya untuk mendapatkan cintanya, seperti halnya sang prabu yang sudah tua dan Pangeran Kukutan yang masih muda dan tampan.
Sekali ini ia kecelik dan setengah sadar bahwa yang dialaminya bukan mimpi buruk, wanita ini bangkit berdiri, mengepal tinju dan berjalan mondar-mandir di depan kamarnya, mencari akal untuk mengenyahkan Pangeran Panji Sigit! Tadinya ia menggunakan siasat bujuk rayu ini untuk menundukkan pangeran ini sehingga kalau kelak pangeran ini benar-benar dijadikan putera mahkota, ia dapat mempengaruhinya. Siapa sangka, ia ditolak mentah-mentah. Hal ini berarti bahwa pangeran ganteng ini tidak bisa diajak kerja sama, dan berarti pula bahwa pangeran ini adalah musuhnya yang harus dienyahkan!
Malam itu Suminten tidak dapat tidur dan ia mengatur siasat namun belum juga ia mendapatkan siasat yang cukup baik untuk menjatuhkan pangeran muda yang ganteng itu. Alangkah sukarnya menjatuhkan seorang yang begitu baik dan ramah terhadap siapapun juga itu. Amat sukar mencari kesalahan untuk Pangeran Panji Sigit dan ia harus berhati-hati sekali karena sang prabu amat sayang kepada puteranya ini. Apa yang harus ia lakukan?
Suminten belum juga dapat menemukan jalan yang baik dan menjelang pagi baru ia dapat pulas dengan sebuah keputusan yang keji, yaitu bahwa jalan satu-satunya untuk melenyapkan musuh ini hanya... membunuhnya! Untuk ini akan ia rundingkan dengan Pangeran Kukutan. Tentu pangeran ini akan melaksanakannya dengan baik, apalagi kalau ia takut-takuti bahwa ada kemungkinan Panji Sigit terpilih sebagai putera mahkota.
Akan tetapi ternyata pada keesokan harinya dia tidak usah melanjutkan rencananya yang kejam ini karena segera ia mendengar bahwa Pangeran Panji Sigit pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali telah meninggalkan istana! Hal ini ia dengar sendiri dari sang prabu yang sepagi itu telah datang kepadanya untuk mencari hiburan. Sang prabu yang sudah tua itu benar-benar sekali ini membutuhkan hiburan Suminten. Wajahnya muram, alisnya berkerut dan berkali-kali ia menghela napas.
"Ahhh, sungguh menyedihkan.... puteraku yang paling kuharapkan, tak dapat kutahan. Ia berpamit dan dengan paksa ia menyatakan hendak pergi merantau..... ah, Panji Sigit.... benar-benar mengecewakan hatiku...."
Suminten yang sudah cepat-cepat memeluk dan mencumbit sang prabu, menghibur dengan kata-kata dan perbuatan, mengajak sang prabu agar beristirahat dan rebah-rebahan di atas pembaringan yang lunak bersih dan harum, cepat-cepat menyuguhi minuman dan memijit-mijit kaki tangan sang prabu dengan kedua tangannya sendiri dengan sikap mesra dan gerakan halus, lalu bertanya,
"Apakah sebabnya puteranda pangeran pergi merantau secara mendadak, sinuwun? Apakah alasannya?"
Raja tua itu menggeleng kepala. "Entahlah, dia tidak menyatakan sebab-sebabnya, hanya berpamit dan menyatakan bahwa ia hendak mencari guru yang pandai dan memperdalam ilmu-ilmu kesaktian. Sudah kukatakan bahwa aku ingin mengangkatnya menjadi putera mahkota, akan tetapi ia tetap hendak pergi dengan alasan bahwa untuk menjadi putera mahkota ia harus memiliki ilmu kepandaian yang cukup. Ahhh, Suminten, betapa kecewa hatiku...."
"Duh gusti sesembahan hamba! Mengapa harus berduka?" Suminten menghibur dan hatinya lega karena ternyata pangeran muda itu tidak menyinggung-nyinggung tentang dia. "Hamba dapat mengerti dan membenarkan pendapat puteranda Pangeran Panji Sigit yang amat baik dan tepat itu. Harap paduka tenangkan hati dan biarlah sang pangeran memperluas pengalaman dan memperdalam ilmu karena memang seorang calon raja yang bijaksana harus memiliki bekal yang cukup. Bukankah puteranda pangeran itu adalah cucu mendiang Gusti Prabu Airlangga yang sakti mandraguna dan ahli tapa pula?"
Senang hati sang prabu yang tua ini mendengar kata-kata Suminten yang sedap didengar ini. Ia mulai terhibur, memeluk dan memperlihatkan cinta kasihnya dengan belaian dan rabaan jari-jari tangannya.
"Engkau selalu benar, Suminten. Memang, agaknya puteraku Panji Sigit itu mewarisi watak eyangnya yang suka bertapa dan memupuk ilmu dan aji kesaktian."
"Nah, karena itu harap paduka tenang saja. Adapun untuk menghadapi perbuatan khianat, menurut usul hamba tempo hari, sebaiknya paduka mengangkat puteranda Pangeran Kukutan sebagai putera mahkota."
Sang prabu terlihat mengangguk-angguk. "Memang sudah kupikirkan hal ini. Akan tetapi aku sendiri masih kuat menghadapi segala macam pemberontakan atau pengkhianatan, apalagi dengan adanya engkau di dekatku, sayang. Aku merasa menjadi muda kembali dan siap menghadapi apa-pun juga!" Sang prabu memeluk dan mencium.
Suminten menyembunyikan muka di dada sang prabu untuk menyembunyikan rasa tidak puas dan tidak senang hatinya. Tua bangka tak tahu diri, pikirnya. Namun ia bukan seorang wanita yang bodoh dan hanya menurutkan perasaan saja. Tidak, Suminten adalah seorang wanita yang cerdik sekali, yang pandai menggunakan pikiran, yang pandai menguasai perasaan hatinya dan segala gerak-geriknya telah ia perhitungkan masak-masak.
Ia tahu bahwa ia tidak boleh terburu nafsu, harus hati-hati dan sedikit demi sedikit menyeret sang prabu agar tunduk dan menuruti segala kehendaknya. Biarpun Pangeran Kukutan belum diangkat menjadi putera mahkota, namun kekuasaan Pangeran Kukutan makin lama makin besar karena selalu mewaklli sang prabu dalam urusan pemerintahan. Ada-pun di sebelah dalam istana untuk semua urusan dalam, seluruhnya telah berada dalam kekuasaan Suminten!
Kepergian Pangeran Panji Sigit melegakan hati Suminten. Pertama, karena jelas bahwa pangeran itu tidak menceritakan kepada sang prabu tentang peristiwa penolakan cinta kasih di malam Itu. Ke dua, karena kepergian ini memang diharapkan oleh Suminten yang ingin menghalau pangeran itu keluar darI istana. Suminten dan juga Pangeran Kukutan yang kehilangan seorang saingan, merasa lega dan gembira. Akan tetapi tidaklah demikian dengan mereka yang menjadi musuh-musuh Suminten. Ki Patih Brotomenggala yang sudah tua dan beberapa orang hulubalang yang setia kepada Kerajaan Jenggala, menjadi gelisah. Apalagi ketika secara diam-diam Ki Patih Brotomenggala dipanggil menghadap oleh sang permaisuri dan mendengarkan sendiri laporan emban tua yang menjadi inang pengasuh Pangeran Panji Sigit sejak kecil, mereka makin marah.
Kiranya dalam duka dan bingungnya setelah berhasil lari dari cengkeraman Suminten, Pangeran Panji Sigit yang sudah tiada beribu lagi dan menganggap emban tua itu sebagai pengganti ibunya, telah menceritakan apa yang telah ia alami di kamar selir termuda ayahandanya itu dan adalah emban tua ini pula yang melihat bahaya mengancam dan menganjurkan agar sang pangeran yang dikasihinya seperti putera kandungnya sendiri untuk pergi merantau menjauhkan diri dari bahaya yang mengancam. Karena maklum bahwa sang permaisuri juga menderita karena Suminten, maka emban ini lalu menghadap dan melaporkan peristiwa itu kepada permaisuri.
"Hemmm, sungguh keji dan tak tahu malu perempuan itu!" Ki Patih Brotomenggala menyumpah ketika mendengar pelaporan emban tua. Ia tak pernah berhenti menyesali diri sendiri tentang Suminten karena dialah sendiri yang dahulu menghadapkan Suminten kepada sang prabu. Semenjak dahulu itu, Suminten telah menimbulkan malapetaka. Bukankah pelaporannya tentang Endang Patibroto telah membuat sang prabu makin curiga terhadap mantunya itu? Bukankah Suminten telah berusaha untuk mencelakakan Pangeran Panji Rawit dan Endang Patibroto dengan laporannya itu? Siapa kira bahwa pelayan kecil itu kini dapat menguasai sang prabu sedemikian rupa!
"Kakang patih, aku hanya mengkhawatirkan keadaan sang prabu. Ada perasaan tidak baik di dalam hatiku seolah-olah ada sasmita gaib yang membisikkan bahwa kalau wanita itu tidak dienyahkan dari sini, Kerajaan Jenggala akan mengalami kehancuran. Ah, kakang, bagaimana baiknya....?" Sang permaisuri menahan-nahan perasaan akan tetapi tak dapat ia menahan runtuhnya beberapa tetes air mata.
Ki Patih Brotomenggala menggigit bibirnya, menahan kemarahan hatinya. "Gusti, hal ini memang tidaklah mudah untuk diatasinya. Kalau saja Jenggala diserbu musuh, dada Patih Bratomenggala inilah yang akan menjadi perisai, dan hamba rela untuk membela kerajaah sampai titik darah terakhir! Akan tetapi, persoalannya kini lain lagi. Gusti sinuwunlah yang tergoda dan apa yang dapat hamba lakukan? Apalagi.... apalagi menurut para penyelldik hamba, yang menguasai sang prabu bukan hanya wanita itu, melainkan dengan kerja sama antara wanita itu dan Pangeran Kukutan..."
"Aku tahu, kakang patih. Karena itu, carilah jalan. Pasanglah mata-mata di antara para emban. Kita mengetahui kelemahan wanita itu, bahkan dia main gila dengan Pangeran Kukutan, bahkan mungkin dengan pangeran-pangeran lain kalau diingat bahwa dia berani menggoda Pangeran Panji Sigit. Akan tetapi kita harus dapat memiliki buktinya, harus dapat menangkap basah. Usahakanlah agar dapat menyadarkan sang prabu. Kurasa, jika sang prabu melihat sendiri bukti akan penyelewengan dan perjinahan selirnya yang terkutuk itu, tentu beliau akan sadar. Kalau sang prabu sudah sadar dan tahu betapa cabul, kotor dan jahat adanya iblis betina itu, tentu dia akan dibasmi dan Jenggala akan selamat."
Ki Patih Brotomenggala mengangguk-angguk. "Baiklah, gusti. Akan hamba usahakan dan mudah-mudahan Sang Hyang Wisesa membantu hamba menandingi perempuan yang palsu dan curang itu."
Ah, betapa kedua orang bangsawan ini memandang rendah kepada Suminten si bekas emban! Boleh jadi Ki Patih Brotomenggala memiliki kedigdayaan dahsyat dan pandai mengatur siasat perang dan tata negara. Boleh jadi sang permaisuri merupakan seorang wanita yang boleh dicontoh dalam hal keluwesan, kehalusan, kesenian, kesusilaan dan kebudayaan.
Namun, dalam hal kecerdikan bersiasat, mereka itu jauh tertinggal oleh Suminten. Mereka tidak tahu bahwa demIkian hebat pengaruh dan kecerdikan Suminten sehIngga pintu dan jendela saja bertelinga dan siap membantunya! Di antara semua emban yang melayani semua selir raja dan terutama sang permaisuri, pasti terdapat mata-mata yang menjadi kaki tangan Suminten. Mereka tidak tahu betapa percakapan mereka tadi tertangkap oleh sepasang telinga milik seorang emban muda yang bersembunyi di balik daun pintu dan betapa emban itu kemudian secara rahasia menghadap dan melapor kepada Suminten, menceritakan semua percakapan antara sang permaisuri dan Ki Patih Brotomenggala!
"Hi-hi-hik, he-he-heh, tibalah saatnya kalian harus lenyap, sang permaisuri dan patih dungu!" Suminten tertawa terkekeh-kekeh setelah memberi hadiah kepada emban itu dan menyuruhnya pergi. Kini rencana musuh-musuhnya itu telah berada di tangannya dan hal ini saja sudah merupakan sebuah kemenangan baginya. Ia harus cepat-cepat mengatur siasat dengan Pangeran Kukutan dan malam hari itu juga, seperti biasa dengan dalih berhalangan ia berhasil menjauhkan diri dari sang prabu yang menyangka dia tidur sendiri di kamarnya, padahal Suminten tidur dalam pelukan Pangeran Kukutan sambil berbisik-bisik mengatur siasat di seling permainan cinta mereka yang tak kunjung dingin.
********************
Semenjak Endang Patibroto berdiam di puncak Gunung Wilis, memimpin kurang lebih seratus orang yang tadinya terkenal sebagai Gerombolan Wilis yang kemudian mendirikan Padepokan Wilis, maka daerah Gunung Wilis ini menjadi daerah yang "angker" dan terkenal sekali sampai jauh. Mulailah daerah ini dikenal oleh para orang gagah, disegani dan Padepokan Wilis dianggap sebagai sarang orang gagah, sebuah perguruan di mana terdapat murid-murid Wilis yang berilmu tinggi!
Tentu saja berita yang disampaikan orang selalu berlebihan, akan tetapi yang jelas sekali, berita-berita itu amat terkenal dan membuat orang segan untuk melewati daerah Wilis. Tidak seorang pun perampok berani memperlihatkan hidungnya di daerah Wilis ini, bahkan di seluruh daerah pegunungan ini tidak pernah ada terjadi kejahatan, tidak ada maling, tidak ada perampok, dan juga tidak ada orang melakukan maksiat mengandalkan kekuatannya. Hal ini adalah karena setiap kali terjadi hal-hal maksiat, tentu penjahatnya tertangkap dan dibunuh oleh para "satria" Wilis, demlkianlah sebutan untuk bekas anak buah gerombolan Wilis!
Siapa pun juga orangnya yang melakukan perjalanan dan terpaksa melalui daerah Wilis, harus tunduk akan peraturan para penjaga dan harus rela membayar "tanda hormat" kepada para satria Wilis. Namun mereka rela membayar, karena selain pembayaran itu disesuaikan dengan keadaan mereka, juga mereka akan terjamin keselamatan mereka, takkan ada yang berani mengganggu selama mereka berada di wilayah Wilis.
Endang Patibroto memimpin bekas gerombolan Wilis dengan tangan besi. Dia tahu bahwa orang-orang yang dipimpinnya adalah bekas perampok-perampok yang kasar dan setengah liar, maka ia harus menundukkan mereka dengan kekerasan pula. Kemudian setelah mereka itu benar-benar tunduk terhadap kesaktiannya dan menjadi pengikut-pengikut setia yang membuta akan semua perintahnya, barulah Endang Patibroto melatih mereka, yaitu melalui tiga orang pembantu-pembantunya Limanwilis, Lembuwilis, dan NogowiIlis.
Dia menurunkan beberapa ilmu kesaktian kepada tiga orang gagah ini yang kemudian melatih anak buah mereka sehingga makin kuatlah barisan satria Wilis. Selain itu, keadaan keluarga mereka lebih teratur setelah Endang Patibroto memimpin mereka. Pondok-pondok dibuat, tanaman dan pertanian diperbanyak dan dibagi-bagilah tugas di antara mereka. Ada yang bertani, berburu hewan, menjala ikan, ada pula yang bertugas sebagai tukang kayu, sebagai pandai besi, dan lain pekerjaan yang dapat memenuhi mereka.
Endang Patibroto bahkan tidak melupakan hiburan bagi mereka, maka diadakan pulalah bagian kesenian, gamelan dan lain sebagainya. Di samping semua kesibukannya sebagai pemimpin Padepokan Wilis, Endang Patibroto selalu meluangkan waktu untuk memberi gemblengan kepada adiknya yaitu Setyaningsih yang berlatih dengan tekun, giat, dan sungguh-sungguh.
Juga semenjak lahir, Retno Wilis menerima gemblengan ibunya, di "dadah" oleh jari-jari tangan sakti ibu kandungnya! Karena gemblengan-gemblengan hebat ini yang diberikan secara rapi selama lima tahun, kini Setyaningsih yang sudah berusla enam belas tahun atau tujuh belas tahun telah menjadi seorang dara remaja yang cantik jelita namun juga gagah perkasa, sakti mandraguna. Juga Retno Wilis, dalam usia lima tahun ini merupakan seorang anak luar biasa yang jarang dapat ditemukan keduanya.
Di antara keluarga para anggota Padepokan Wilis, terdapat banyak pula gadis-gadis yang sebaya dengan Setyaningsih dan dara perkasa ini tidak bersikap pelit, melainkan dengan senang hati pula melatih ilmu pencak silat kepada teman-temannya sehingga sebagian besar para gadis di situ adalah gadis-gadis perkasa belaka, cantik-cantik dan gagah perkasa, demikian pula pemuda-pemudanya.
Namun terutama sekali gadis-gadisnya karena tentu saja Setyaningsih lebih suka melatih ilmu kepada teman-temannya. Maka terkenallah Padepokan Wilis sebagai tempat perawan-perawan jelita yang perkasa, dan orang-orang gagah di seluruh daerah itu mulai membicarakan tentang Perawan Lembah Wilis dengan kagum di hati.
Pada pagi hari itu cuaca amatlah cerah. Pemandangan di lembah Gunung Wilis amat mentakjubkan, indah cemerlang disinari matahari pagi. Dilihat dari atas, tamasya alam di bawah seperti diselaput emas. Sinar matahari keemasan menyinari daun-daun pohon yang ujungnya digantungi butir-butiran embun berkilauan seperti butiran-butiran intan. Burung-burung berlompatan di antara pohon-pohon, beterbangan bersenda-gurau dan bercumbuan sambil berkicau riang gembira. Binatang-binatang hutan menyambut matahari pagi dengan penuh keriangan pula, ada yang berjemur sinar matahari, ada yang makan rumputrumput hijau segar, ada pula yang berkeliaran di sepanjang sungai gunung yang mengalirkan air jernih sambil berkericik seperti suara gelak tawa dara-dara remaja bersenda-gurauan.
Kalau didengar dengan teliti, bukan hanya kericik air sungai yang menimbulkan suara itu, melainkan suara gelak tawa yang merdu dari beberapa orang dara remaja yang sedang mandi di sungai. Ada sebelas orang dara-dara jelita berada di sungai itu, berendam di air jernih dengan bertapih pinjung (sehelai kain menutup sebatas dada), mencuci pakaian, mandi keramas, sambil bersendau-gurau tertawa-tawa. Mereka ini bukan lain adalah Setyaningsih dan sepuluh orang temannya, yaitu dara keluarga Padepokan Wilis. Setiap pagi mereka mandi di sungai jernih ini sambil mencuci pakaian.
Kecantikan Setyaningsih amatlah menonjol di antara mereka itu. Setyaningsih berkulit halus dan putih kekuningan, rambutnya tebal hitam berikal mayang, dilepas dan terurai sampai ke lutut. Biarpun sepuluh orang teman-temannya juga merupakan gadis remaja yang seperti kembang sedang mekar, cantik-cantik menarik, namun dibandingkan dengan mereka Setyaningsih tampak seperti seekor merak di antara ayam-ayam hutan.
Juga dara ini amat pendiam, hanya tersenyum-senyum kecil mendengar sendau-gurau teman-temannya. Biarpun dia itu adik kandung Endang Patibroto yang menjadi ketua atau pemimpin Padepokan Wilis, bahkan boleh dikatakan ia menjadi guru para gadis temannya itu, namun Setyaningsih tidaklah bersikap sombong atau tinggi hati. Dia mandi bersama, bahkan mencuci pakaiannya sendiri sehingga selain disegani dan dihormati, juga ia amat dicinta oleh gadis-gadis lainnya di situ.
Dara-dara jelita itu bekerja sambil mandi dan bergembira. Ada yang bertembang saling sahut, saling goda saling menjodohkan dengan pemuda-pemuda sebaya di padepokan, ada yang saling siram air jernih, tertawa-tawa. Dalam kegembiraan mereka, bahkan Setyaningsih sendiri sampai lengah, tidak tahu bahwa ada seorang laki-laki mengintai dari balik semak-semak, memandang ke arah mereka dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, terpesona dan seolah-olah tidak percaya akan pandang mata sendiri.
Laki-laki ini masih muda belia, paling banyak sembilan belas tahun usianya, tubuhnya sedang, berkulit bersih dan tampak ciri-ciri kebangsawanan pada pakaian dan gerak-geriknya, wajahnya tampan sekali seperti Sang Harjuna. Pandang mata laki-laki muda ini tadi menyapu semua gadis yang berada di sungai, kemudian berhenti pada diri Setyaningsih, melekat di situ dan makin dipandang, makin tertegunlah dia, seperti lupa diri, lupa bergerak, bahkan lupa bahwa perbuatannya ini merupakan sebuah pelanggaran susila.
Tentu saja ia lupa segala, bahkan bernapaspun hampir lupa, demikian terpesona pemuda ini melihat Setyaningsih. Banyak sudah ia melihat wanita, bahkan bertemu dengan puteri-puteri istana yang cantik-cantik jelita, namun selama hidupnya, ia merasa belum pernah melihat seorang dara seperti Setyaningsih yang sekaligus telah menerobos masuk melalui matanya, langsung ke dalam dada dan merampas hati dan semangatnya.
Setelah pemuda itu mulai sadar daripada keadaan pesona yang membuatnya seperti lupa akan dirinya, mulailah ia menarik napas panjang berkali-kali. Sungguhpun hanya elahan napas, namun hal ini cukuplah bagi Setyaningsih yang berpendengaran tajam dan terlatih. Dara perkasa ini mengangkat tangan memberi isyarat kepada teman-temannya sambil meruncingkan bibirnya yang merah mungil,
"Ssttttt...." kemudian ia menoleh ke arah semak-semak.
Pandang matanya yang tajam segera dapat melihat gerakan di belakang semak-semak, bukan gerakan yang diakibatkan oleh burung atau binatang hutan. Mulutnya segera membentak, halus namun nyaring dan penuh wibawa,
"Siapakah engkau yang berani menonton kami mandi sambil bersembunyi? Hayo keluarlah!"
Bagi para gadis itu, tidak mengapa andaikata ada pemuda-pemuda atau orang-orang Padepokan Wilis kebetulan lewat di dekat situ dan melihat mereka mandi. Ditonton orang lain selagi mandi di sungai bukanlah hal yang tidak boleh dilakukan, apalagi kalau yang melihat itu orang-orang Padepokan Wilis sendiri yang tentu saja menganggap pemandangan ini biasa. Akan tetapi ditonton orang, biarpun dia seorang anggota padepokan sendiri, yang bersembunyi, hal ini merupakan pantangan, karena bersembunyi berarti tidak wajar dan mengandung niat buruk!
Semak-semak itu bergoyang dan muncullah seorang pemuda dari balik semak semak, berdiri dengan wajahnya yang tampan masih terpesona, bahkan kemudian pemuda itu menggunakan punggung tangan kanan untuk menggosok-gosol kedua matanya karena melihat Setyaningsih berdiri di dalam air sebatas pinggang, dengan kain yang membungkus, dada yang padat itu basah kuyup sehingga seolah-olah menjadi kulit ke dua ia makin kagum dan tidak percaya bahwa di dunia ini ada seorang manusia sehebat dara yang menegurnya itu.
"Duhai.... mimpikah aku..." Pemuda itu berkata, suaranya halus dan kini matanya yang bersinar tajam itu memandang para gadis yang juga memandangnya. "Segala puja-puji kepada para dewata yang agung. Kalau andika sekalian ini bidadari-bidadari kahyangan yang sedang mandi, mana gerangan pelangi yang menjadi anda (anak tangga) untuk andika sekalian turun ke bumi? Andaikata andika sekalian ini sebangsa peri, mengapa di balik kulit andika terbayang darah daging dan urat halus? Betapapun juga.... kalau benar andika bidadari, tunjukkan di mana andika menyimpan kemben antakusuma andika agar dapat hamba curi.... !"
Terdengar kekeh tawa para gadis itu. Tadinya mereka ini tertegun dan marah melihat seorang pemuda yang sama sekali tidak mereka kenal, akan tetapi ketika mendapat kenyataan betapa pemuda itu amat tampan dan ganteng melebihi semua pria yang pernah mereka jumpai, mereka terpesona.