Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 26
"NAH, paduka kini mengerti bahwa di antara paduka dan saya terdapat pertalian yang dekat, Pangeran. Paman Narotama adalah seorang ponggawa yang amat setia kepada mendiang Sang Prabu Airlangga, bukankah sudah tepat sekali kalau kelak Paduka, sebagai cucu Sang Prabu Airlangga, mempunyai seorang patih seperti hamba? Dan karena saya keturunan Narotama itulah yang membuat saya datang jauh-jauh dari Bali-dwipa untuk menghambakan diri kepada bekas Kerajaan Mataram.
Namun, setelah tiba di Jenggala, saya menyaksikan kenyataan yang amat mengecewakan. Bekas Mataram telah terpecah dua, dan dlrajai oleh keturunan Sang Prabu Airlangga yang ternyata tidak dapat mengurus kerajaan sehingga selalu terjadi kekacauan-kekacauan. Setelah saya mendengar akan cita-cita mulia paduka berdua, saya melihat cahaya terang. Pangeran Kukutan, sebagal calon raja, paduka adalah keturunan Sang Prabu Airlangga dan kelak padukalah dengan bantuan saya yang akan mengembalikan keutuhan Kahuripan, kembali seperti di masa jaman Mataram."
Lega hati Pangeran Kukutan, Akan tetapi Suminten cepat bertanya, "Raden, andika belum menerangkan betapa caranya untuk menundukkan kedua kerajaan. Jenggala sudah jelas akan dirajai oleh Pangeran Kukutan, akan tetapi Panjalu...?"
"Ha-ha-ha, Sang Dyah Ayu Suminten jangan khawatir. Saya telah mempunyai rencana yang amat bagus dan sudah pasti akan berhasil. Kita harus dapat memperkuat kedudukan dan pengaruh di Jenggala lebih dahulu sehingga segala sesuatu berIangsung dengan wajar, tidak menimbulkan kecurigaan Panjalu. Kelak, kalau Sang Prabu Jenggala... maaf, yaitu suami dan junjungan paduka sang puteri, telah meninggal dunia dan paduka pangeran telah menjadi raja di sini, barulah kita gempur Panjalu. Untuk itu, kalau saya yang menjadi patihnya, sungguh gampangnya seperti membalik telapak tangan sendiri saja. Ketahuilah bahwa bala tentara Sriwijaya dan Cola sudah siap dan para pemimpinnya yang maha sakti adalah sahabat-sahabat baik saya..."
"Sriwijaya dan Cola....? Musuh-musuh besar itu... ?" kata Pangeran Kukutan, wajahnya berubah pucat.
"Ha-ha-ha! Itulah namanya siasat, Pangeran! Menjadikan musuh sebagai kawan dalam menghadapi musuh baru, itulah siasat yang amat baik dan sukar. Pendeknya, paduka serahkan saja kepada hamba, baik sekarang dalam perkembangannya maupun kelak kalau sudah tercapai cita-cita pertama paduka. Tidak percuma hamba menjadi keponakan sang bijaksana Narotama, Pangeran!"
"Hemmm, kami baru saja berjumpa dengan andika malam ini. Betapa kami dapat menjenguk isi hatimu, dapat membuktikan kesetiaanmu dan iktikad baikmu?" kata pula Pangeran Kukutan.
Raden Warutama tersenyum sambil melirik ke arah Suminten yang masih diam saja, kemudian menjawab, "Hamba sudah membuktikan iktikad baik hamba dengan mengajak paduka bersekutu, andaikata hamba berniat buruk, apa sukarnya bagi hamba untuk membunuh paduka dan menculik sang puteri? Ha-ha-ha, hendaknya paduka dapat mempertimbangkan hal ini dengan kecerdikan."
Pangeran Kukutan membungkam. Memang ada benarnya ucapan ini. Sudah jelas bahwa orang ini amat digdaya dan kalau mempunyai niat buruk, sukar baginya meloloskan diri. Kini Suminten yang berkata, suaranya penuh kesungguhan dan sekaligus merupakan tuntutan.
"Iktikad baik sudah terbukti, namun kesetiaan dan kejujuran masih harus dibuktikan. Bagaimanakah rencana andika untuk dapat kami percaya?"
"Sudah ada rencana saya yang amat baik. Untuk membuktikannya, saya akan menjalankan siasat agar Ki Patih Brotomenggala yang tua itu dapat disingkirkan dari Jenggala, bahkan dihukum mati oleh sang prabu sendiri, dan sang prabu akan dengan suka hati menerima saya sebagai seorang ponggawa yang dipercayai".
"Bagaimana caranya?"
Raden Warutama tersenyum, kemudian mendekat dan berbisik-bisik didahului kata-kata yang ia tujukan terhadap Suminten, "Dalam hal ini, hanya dengan bantuan paduka akan berhasil." Kemudian dia membisikkan rencana siasatnya yang didengarkan oleh kedua orang itu dengan wajah berseri.
Diam-diam Suminten memuji orang ini sebagaI seorang pembantu yang amat berharga, apalagi yang memiliki daya tarik hebat sebagai seorang pria yang sudah matang segala-galanya. Pangeran Kukutan juga kagum, akan tetapi diam-diam pangeran ini mengambil keputusan di dalam hatinya untuk kelak mengenyahkan orang yang baginya amat berbahaya. Maka berundinglah tiga orang ini dan menjelang pagi barulah Raden Warutama keluar dari dalam kamar itu. Di luar pintu ia menengok kepada Suminten dan berbisik,
"Bilakah saya dapat mengharapkan anugerah dari paduka pribadi atas jasa saya?"
"Tidak ada anugerah jasa diberikan sebelum jasa itu sendiri dilaksanakan."
"Paduka tidak akan mengingkari janji?"
"Bagaimana diingkari kalau janji itu sendiri merupakan bayangan yang amat menyenangkan?"
"Terima kasih." Setelah bertukar senyum, Warutama berkelebat lenyap di dalam gelap.
"Dia.... dia sakti dan berbahaya...." kata Pangeran Kukutan.
Suminten menoleh kepadanya, kemudian menggandeng lengannya, diajak memasuki kamarnya. "Makin banyak orang sakti membantu, makin baiklah bagi kita. Tentang bahaya.... apakah engkau cemburu, wahai kekasihku?"
"Tidak... ! Tidak, Wong Ayu! Tidak cemburu... karena aku tahu bahwa betapapun juga, kau tetap membutuhkan aku seperti aku membutuhkanmu!"
"Ucapan bijaksana, patut diberi ganjaran. Jangan pulang dulu, malam masih panjang, dan pagi ini dingin sekali..." Mereka berpelukan sambil memasuki kamar. Pintu kamar ditutup dan sunyilah yang menyusul.
Rombongan yang megah itu di sepanjang jalan mendapat sambutan rakyat. Timbullah pula harapan rakyat yang tadinya merasa gellsah dan putus asa karena selama sang prabu di Jenggala tidak mengacuhkan pemerintahannya, mereka ini hidup tertindas dan tertekan oleh para penguasa setempat. Sudah terlalu lama sang prabu hanya tinggal di dalam istana, tidak pernah keluar dan tidak pernah mengurus soal-soal yang menyangkut pemerintahan dan tidak pula memperdulikan nasib rakyatnya.
Kini, melihat rombongan sang prabu yang hendak melakukan perburuan ke hutan, hati rakyat menjadi lega dan mengira bahwa tentu kini sang prabu sudah tidak mengasingkan diri lagi. Selama ini, para petugas dan penjabat selalu mendesas-desuskan bahwa karena usianya sudah tua, sang prabu mulai tekun bertapa maka tidak lagi mengurus pemerintahan. Berduyun-duyun rakyat keluar menyambut dan hati mereka terharu menyaksikan tubuh tua kurus dan muka pucat tak bersemangat itu. Juga mereka kagum menyaksikan kemudaan dan kesegaran yang terpancar dari wajah Suminten, selir terkasih yang amat terkenal dan yang kini menjadi orang paling berkuasa di dalam istana.
Atas bujukan dan desakan Suminten, akhirnya sang prabu yang sudah tua itu berkenan memerintahkan para pengawal membuat persiapan karena sang prabu hendak berpesiar bersama selirnya dan pergi berburu binatang di hutan. Tadinya Ki Patih Brotomenggala sendiri hendak mengantarkan dan mengawal junjungannya, akan tetapi dia dicegah oleh Pangeran Kukutan yang berkata dengan suara tegas,
"Tak usah Paman Patih mengawal, karena Paman sendiri sudah sepuh (tua). Biarlah saya sendiri mengawal ramanda prabu! Tidak ada bahaya mengancam ramanda prabu, yang lebih penting menjaga keamanan istana. Harap Paman Patih menjaga di istana, sedangkan saya yang mengepalai para pengawal."
Di dalam hatinya, Ki Patih Brotomenggala merasa khawatir sekali. Kiranya di antara semua ponggawa, hanya dia seoranglah bersama sang permaisuri yang dapat mengenal kepalsuan Pangeran Kukutan dan Suminten. Akan tetapi sang prabu telah menyambut ucapan Pangeran Kukutan dan memerintahkan agar pengawalan dilakukan oleh sang pangeran, dia tidak berani membantah.
Betapapun juga, Ki Patih Brotomenggala bukan seorang bodoh. Diam-diam dia telah memerintahkan pasukan pilihannya yang terdiri dari dua belas orang pilihan dan digdaya untuk membayangi kepergian sang prabu, secara sembunyi melindungi keselamatan junjungannya.
Hati ki patih agak lega ketika barisan pengawal yang berjumlah tiga puluh orang itu adalah pengawal-pengawal istana yang ia percaya merupakan orang-orang yang masih setia kepada sri baginda dan belum "terbeli" oleh Suminten dan Pangeran Kukutan. Maka patih yang setia dan sudah berusia tua ini mengantar keperglan sang prabu dengan penuh harapan mudah-mudahan kalau sang prabu menyaksikan rakyatnya dari dekat, hal in! Akan menggugahnya.
Tak dapat disangkal lagi, sang prabu menjadi amat terharu menyaksikan keadaan rakyat yang dilanda kemiskinan, melihat tubuh rakyatnya kurus-kurus dan melihat wajah yang kurus pucat dengan sinar mata mengandung penuh harapan ditujukan kepadanya. Suminten yang cerdik pandai itu sengaja membawa bekal uang receh (kecil) beberapa kantung dan dibagi-bagikan uang itu kepada rakyat di sepanjang jalan. Melihat ini, sang prabu menjadi girang dan memuji kemurahan hati selirnya yang terkasih. Juga Pangeran Kukutan membagi-bagi uang kepada rakyat sehingga rakyat bersorak gembira dan segera menjadi buah tutur mereka betapa murah hati adanya selir sang prabu dan Pangeran Pati Kukutan.
Iring-iringan itu memang megah dan indah. Karena sang prabu sudah tua dan sudah tidak setangkas dahulu sehingga mengkhawatirkan kalau menunggang kuda dan memburu binatang, dan terutama sekali sang prabu membawa selirnya yang tak boleh dipisahkan dari sisi sang prabu, maka dalam perjalanan ini sang prabu dan selirnya menggunakan kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda.
Sang prabu mengenakan pakaian berburu dan di punggungnya tampak busur dan anak panah, di pinggangnya tergantung sebatang pedang dan tombak bersandar di dalam kereta. Adapun Suminten yang mendapat kesempatan keluar istana, tidak menyia-nyiakan kesempatan bersolek sebagus-bagusnya sehingga rakyat memandangnya dengan mata terbelalak kagum.
Pangeran Kukutan yang tampan dan gagah menunggang seekor kuda putih yang tinggi besar, juga berpakaian pemburu dengan senjata lengkap di tubuh. Tiga puluh orang pengawal itu rata-rata bertubuh tinggi tegap, merupakan pasukan pengawal yang kuat dan terpercaya.
Pada masa itu, hutan tempat berburu sang prabu merupakan daerah terlarang. Tidak ada seorang pun berani melakukan perburuan di hutan ini. Karena sudah bertahun-tahun sang prabu tidak pernah berburu, maka hutan itu penuh dengan binatang-binatang yang berkembang biak dan begitu rombongan memasuki hutan, mereka ini menjadi amat gembira menyaksikan banyaknya binatang di hutan itu.
Rombongan kijang yang gemuk-gemuk lari cerai-berai, kancil, kelinci, harimau, dan babi hutan merupakan sasaran yang lunak. Juga banyak sekali burung-burung besar yang menantang bukti kemahiran para pemanah. Pangeran Kukutan segera menghujankan anak panahnya dengan amat gembira. Juga sang prabu timbul kegembiraannya, teringat masa mudanya dan raja yang sudah tua ini berkali-kali melepas anak panah dari dalam kereta, dipuji-puji oleh Suminten setiap kali anak panah ada yang mengenai sasaran, merobohkan seekor kijang atau kelinci.
Ketika ada seekor harimau gembong terjebak masuk ke dalam kurungan para pengawal yang berbaris mengelilinglnya dengan tombak di tangan, sang prabu menjadi amat gembira sehingga dia turun dari kereta, membawa tombaknya dan ikut mengeroyok harimau itu yang akhirnya roboh tewas dengan tubuh penuh luka-luka karena ke manapun ia lari, mata tombak yang runcing menghunjam ke tubuhnya. Sorak-sorai para pengawal membuat burung-burung hutan terbang ketakutan.
Tiba-tiba terdengar jerit kesakitan, disusul teriakan-teriakan marah dan keadaan menjadi kacau-balau. Dalam sekejap mata, para pengawal sudah berperang tanding melawan serbuan banyak sekali orang-orang yang berkepala gundul! Melihat ini, Pangeran Kukutan cepat melompat turun dari kudanya, membawa sang prabu kembali ke dalam kereta, di mana sang prabu memandang dengan wajah pucat, berdekapan dengan Suminten yang menggigil ketakutan.
"Jangan khawatir, Ramanda Prabu. Hamba menjaga di sini!" kata Pangeran Kukutan dengan sikap gagah, berdiri melindungi kereta sambil melintangkan tombaknya setelah cepat-cepat ia melepaskan empat ekor kuda yang menarik kereta karena takut kalau-kalau empat ekor kuda itu menjadi ketakutan dan membalapkan kereta.
"Tenanglah, Manis. Tenanglah.... jangan takut. Para pengawal kita akan membasmi pengacau-pengacau itu!" Sang prabu menghibur sambil merangkul leher kekasihnya. "Entah siapakah mereka yang begini kurang ajar berani menggangguku!"
Karena bersembunyi di dalam kereta, sang prabu tidak dapat menyaksikan pertandingan yang mati-matian antara pasukan pengawal dan orang-orang berkepala gundul yang jumlahnya lebih dari tiga puluh orang itu. Tidak melihat betapa pasukan pengawal yang setia itu membelanya mati-matian, namun kalah kuat oleh para penyerbu yang rata-rata memiliki tubuh kebal dan keberanian yang luar biasa. Kalau hanya terpukul dan tertusuk tombak menimbulkan lecet kulit dan pecah daging saja tidak membuat mereka undur, dan mereka yang tertusuk sampai keluar ususnya atau tertembus tubuhnya, roboh berkelojotan dan mati, barulah menghentikan amukannya. Menghadapi serbuan orang-orang nekad seperti ini, para pengawal terdesak hebat.
Tiba-tiba muncul dua belas orang gagah perkasa yang berpakaian serba hitam. Mereka ini bukan lain adalah pasukan pilihan yang diutus ki patih untuk diam-diam melindungi sang prabu. Munculnya dua belas orang pilihan ini merubah keadaan. Mereka ini mainkan golok mereka dengan tangkas dan para penyerbu yang berkepala gundul itu segera terdesak, banyak di antara mereka roboh termakan golok.
Akan tetapi, segera terdengar bentakan-bentakan buas dan muncul tiga orang yang amat hebat sepak-terjangnya, bahkan dengan tangan kosong tiga orang ini menyambut dua belas orang pengawal baju hitam. Yang seorang adalah seorang laki-laki yang tampan dan gagah, yang ke dua seorang laki-laki bertubuh raksasa dan yang ke tiga seorang wanita cantik.
Cepat dan ampuh sekali pukulan mereka ini sehingga dalam waktu singkat, sebelas orang pengawal baju hitam roboh tewas dan hanya seorang di antara mereka yang sempat melarikan diri menggondol luka pukulan tangan Ni Dewi Nilamanik yang membuat separuh dadanya menjadi gosong menghitam. Ya, tiga orang itu bukan lain adalah Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Raden Warutama sendiri!
Setelah kedua belas orang pengawal baju hitam itu terbasmi habis, mereka bertiga pun cepat menyelinap bersembunyi, membiarkan barisan gundul itu berperang tanding melawan para pengawal kerajaan. Perang tanding yang amat hebat, yang seru dan liar buas. Para pengawal bertanding mati-matian, melawan musuh yang lebih banyak dan lebih kuat. Korban-korban kedua fihak berjatuhan.
Sejam mereka berperang tanding dan akhirnya, orang penghabisan pihak pengawal menjerit dengan perut robek. Tiga puluh orang pengawal itu tewas semua dan di pihak penyerbu, hanya bersisa sepuluh orang gundul yang seluruh tubuhnya berlepotan darah, sedikit darah mereka sendiri yang keluar dari luka-luka di tubuh, sebagian besar darah lawan yang mereka robohkan dan tewaskan. Kini sepuluh orang itu dengan roman buas dan golok di tangan menghampiri kereta!
Pangeran Kukutan dengan sikap gagah menerjang maju ketika sepuluh orang itu mengurung kereta. Ia disambut oleh empat orang gundul dan terjadilah pertempuran hebat ketika pangeran itu dikeroyok. Sedangkan enam orang gundul yang lain menghampiri sang prabu dan Suminten. Raja yang tua itu bangkit semangatnya melihat bahaya mengancam. Ia sudah melolos pedangnya, lengan kiri memeluk pinggang Suminten, tangan kanan memegang pedang siap melakukan perlawanan. Tiba-tiba Suminten merenggut dirinya terlepas dan berdiri menghadang di depan sang prabu.
"Jangan bunuh....! Kami menyerah.... !" teriaknya, kemudian ia memegang lengan kanan sang prabu dan berbisik, "Harap paduka melepas pedang, tiada gunanya melawan. Lebih baik menyerah."
Sang prabu mengerling ke arah Pangeran Kukutan dan ternyata pangeran itu telah kehilangan tombaknya dan kini sudah ditangkap oleh para pengeroyoknya. Sang prabu menarik napas panjang dan melempar pedang, akan tetapi berdiri dengan sikap agung dan angkuh. Orang-orang gundul itu menangkap sang prabu dan Suminten dan mereka bertiga telah diikat kedua tangan mereka di belakang tubuh, lalu digiring keluar dari tempat itu. Dengan sikap kasar sepuluh orang gundul itu lalu mengikat tubuh mereka pada batang pohon, masing-masing terpisah dua meter.
"Kalian siapakah? Mengapa menyerbu dan menangkap kami?" Sang prabu bertanya, suaranya keras dan sama sekali tidak kelihatan takut.
Seorang di antara orang-orang gundul itu menghampiri sang prabu dan tertawa menyeringai. Kemudian, dengan suara yang parau ia menjawab, "Kami anak buah Brotomenggala!"
"Tidak mungkin.... !!!" Sang prabu membentak dan membelalakkan mata penuh kekagetan dan keheranan.
"Ha-ha-ha, Brotomenggala yang memerintahkan kami menangkap Paduka. Paduka dan Pangeran Mahkota akan kami sembelih dan wanita ini dihadiahkan kepada kami. Ha-ha!"
"Bohong! Kalian ini perampok-perampok laknat yang bohong!" Sang prabu membentak penuh kemarahan.
"Bohong? Paduka saksikanlah!" Si gundul yang tinggi besar ini lalu menghampiri Suminten, tangan kirinya meraih dan menarik keras-keras,
"Brettt....!"
Bagian depan pakaian atas yang dipakai Suminten robek sehingga tampak sebagian dadanya. Suminten menjerit dan merintih perlahan, menangis.
"Tahan.... !" Sang prabu membentak dan berusaha meronta-ronta. Juga Pangeran Kukutan meronta-ronta. Dua orang gundul menghampiri mereka dan menodongkan ujung golok ke dada mereka penuh ancaman.
"Jangan bergerak!" Dua orang ini membentak.
"Tahan.... jangan lakukan itu....! Aku berjanji, demi kedudukanku sebagai Raja Jenggala. Kalau kalian membebaskan kami, aku akan memberi hadiah apa saja yang kalian minta!"
"Ha-ha-ha!" Si gundul yang menjadi pemimpin mereka bergelak. "Ki Patih Brotomenggala sudah menjanjikan hadiah terbesar bagi kami. Lebih baik kami sembelih kalian ayah dan putera terlebih dahulu agar jangan mengganggu kesenangan kami!" Si gundul kini mengangkat golok menghampiri sang prabu.
Betapapun tabahnya, kini sang prabu menjadi pucat.
"Tunggu sebentar.... !" katanya perlahan. "Aku tidak takut mati, akan tetapi sebelumnya katakan mengapa Kakang Patih Brotomenggala melakukan penghianatan ini!"
"Paduka masih bertanya lagi? Ha-ha-ha! Sudah bertahun-tahun paduka menyakitkan hati Ki Patih Brotomenggala. Paduka membunuh putera mantunya dan paduka memilih putera mahkota yang tidak dikehendakinya! Apakah paduka kira ki patih tidak mempunyai cita-cita? Ha-ha-ha..."
"Brotomenggala penghianat...!" Pangeran Kukutan memaki marah. "Sudah hamba katakan berkali-kali, akan tetapi paduka tak percaya....!" kata pula Suminten di antara isaknya.
Sang prabu menghela napas panjang. "Aahhh, siapa mengira...! Kakang Patih Brotomenggala...! Ah, Kisanak. Lakukanlah tugasmu. Kamu hanya petugas. Nah, aku siap menerima kematian akibat penghianatan seorang manusia durhaka!"
Si gundul itu tertawa lagi lalu mengangkat goloknya tinggi-tinggi. Sang prabu membelalakkan mata, bersikap seperti seorang di saat terakhir. Akan tetapi sebelum golok itu menyambar turun, tiba-tiba si gundul menjerit aneh dan tubuhnya roboh terjengkang, sebatang anak panah menancap di tenggorokannya!
Pada saat berikutnya, sesosok bayangan berkelebat seperti seekor garuda menyambar dan begitu bayangan ini menggerakkan kaki tangannya, dua orang gundul kembali roboh, yaitu mereka yang menjaga Pangeran Kukutan dan Suminten. Orang ini bukan lain adalah Raden Warutama!
Sang prabu memandang dengan heran dan kagum kepada pria perkasa yang kini mengamuk, dikeroyok tujuh orang gundul yang bersenjata golok. Bagaikan seekor burung srikatan saja tubuhnya cepat berkelebatan, sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada para pengeroyoknya. Tiba-tiba sinar hijau berkelebat dan ternyata itu adalah sebatang keris luk tujuh yang bersinar hijau dan dipegang oleh pria itu. Begitu sinar itu berkelebat, secara berturut-turut robohlah lima orang gundul. Pria itu masih mengamuk, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Kukutan berseru,
"Ksatria yang perkasa, harap tawan hidup-hidup dua orang itu!"
Pria itu menoleh, tersenyum, lalu kakinya bergerak menendang. Dua orang gundul terguling roboh, golok mereka mencelat dan setelah menyimpan kerisnya, pria itu lalu menelikung lengan mereka ke belakang, mengikat tangan mereka mempergunakan robekan pakaian mereka sendiri. Kemudian dengan sikap penuh hormat ia melepaskan belenggu sang prabu, Suminten, dan Pangeran Kukutan.
"Mohon ampun bahwa hamba agak terlambat sehingga paduka mengalami banyak kaget, Gusti." kata pria itu sambil bersimpuh dan menyembah penuh kehormatan.
Setelah mengelus-elus pergelangan tangan yang terasa sakit, sang prabu memandang pria itu, kemudian berkata, "Andika telah menyelamatkan kami, sungguh merupakan budi yang amat besar. Kalau tidak salah pandanganku, agaknya aku pernah melihatmu, ksatria yang perkasa. Siapakah gerangan andika?"
Raden Warutama menyembah dan menekan debar jantungnya. "Ampunkan, Gusti. Sesungguhnya, baru pertama kali ini hamba mendapat kehormatan menghadap paduka. Hamba bernama Warutama dan datang dari Bali-dwipa. Akan tetapi, tidaklah terlalu keliru perkiraan paduka kalau diingat bahwa paman hamba Narotama dahulu adalah abdi setia dari Sang Prabu Airlangga..."
"Ahhh, kiranya Andika ini anak kemenakan Paman Patih Narotama? Sungguh besar kekuasaan Dewata! Kami bersyukur bahwa yang menolong kami adalah keturunan Paman Patih Narotama..."
Hemm, sungguh awas pandang mata kakek yang sudah tua ini, pikir Warutama setelah hatinya lega kembali. Ia cepat bangkit dan berkata,
"Seyogianya paduka cepat-cepat kembali ke istana, Gusti. Siapa tahu kalau-kalau penjahat-penjahat ini masih banyak kawannya Biarlah hamba mencarikan kuda yang telah lari itu." Ia lalu melesat cepat dan tak lama kemudian sudah kembali menuntun empat ekor kuda. Dua ekor ia pasangkan di depan kereta sri baginda yang ia persilahkan memasuki kereta bersama Suminten. "Biarlah hamba mengawal paduka sampai ke istana."
Dua orang gundul yang menjadi tawanan itu lalu diikat di belakang kereta. Kemudian berangkatlah kereta itu dikawal oleh Warutama dan Pangeran Kukutan, kembali ke istana meninggalkan hutan yang mengerikan itu, di mana berserakan puluhan mayat manusia.
Di dalam kereta yang kudanya dituntun dari depan oleh Warutama yang juga menunggang kuda sedangkan Pangeran Kukutan mengawal di belakang kereta, Suminten Menangis sambil memeluk sang Prabu, "Aduh, junjungan hamba.... betapa ngeri .rasa hati hamba kalau teringat akan peristiwa tadi...! Yang hamba khawatirkan adalah paduka, Gusti..."
Sang prabu menjadi terharu dan mencium tengkuk wanita yang menelungkupkan muka di atas pangkuannya itu. "Dewata masih melindungi kita, Suminten kekasihku."
"Untung muncul Raden Warutama itu, kalau tidak..."
"Dia amat berjasa. Harus kita beri anugerah yang sepadan dengan jasanya yang besar."
"Dia keponakan mendiang Ki Patih Narotama yang amat setia. Kalau paduka mempunyai seorang patih seperti dia, setia dan sakti mandraguna, barulah akan aman tenteram rasa hati hamba...."
"Mengangkat dia menjadi patih?" Sang prabu meragu.
"Jasanya besar, kesetiaannya sudah terbukti..."
"Akan tetapi.... patih adalah warangka raja!"
"Dia jauh lebih setia dan lebih baik daripada penghianat Brotomenggala."
"Aahhh...!" Sang prabu menghela napas ketika nama ini disebut. "Tak tahu aku mengapa Kakang Brotomenggala menjadi begitu kejam dan curang. Dia sampai tega mengarah kematianku."
"Dia harus dihukum berat, seberat beratnya agar menjadI contoh bagi para ponggawa lain!" kata Suminten penuh semangat.
Sang prabu hanya dapat mengangguk angguk dengan lemas dan berduka. Sesungguhnya hatinya merasa berat sekali harus menghukum patihnya yang begitu setia sejak muda, akan tetapi dosanya sudah terbukti dan dosa ini melampaui batas.
"Betapa hatiku tak akan remuk? Di begitu setia..."
"Paduka jangan terlalu lemah! Perasaan pribadi harus dikalahkan dan kepentingan kerajaan harus dikemukakan. Kalau orang berdosa seperti dia, yang sudah berkhianat, mengarah kematian junjungannya tidak dibasmi sampai ke akar-akarnya tentu akan timbul lain penghianatan yang lebih kejam lagi!"
Sang prabu mengelus lengan yang berkulit halus lembut itu. "Engkau selalu benar, Suminten. Sudah berkali-kali engkau memperingatkan aku akan kepalsuan patihku, namun... ah, siapa mengira? Aku menyerahkan pelaksanaan hukuman kepadamu."
"Biarlah, Paduka jangan ikut-ikut. Biar hamba yang akan membalas kejahatannya! Kalau dia hanya membenci hamba dan mengusahakan kematian bagi hamba, hal ini tidak hamba perduli dan hamba menganggap hal yang tidak penting. Akan tetapi... dia berani hendak menyuruh bunuh Paduka! Paduka raja besar junjungan rakyat seluruh Jenggala! Penghlanat macam dia harus dibasmi sampai seluruh keluarganya. Ijinkanlah hamba menyuruh pengawal menangkap penghianat itu bersama seluruh keluarga dan semua abdinya dan menjatuhkan hukuman gantung di alun-alun agar semua ponggawa menjadi takut melakukan penghianatan."
Gegerlah seluruh isi istana ketika rombongan sang prabu yang berangkat dengan megah itu kini pulang dalam keadaan yang mengejutkan. Apalagi Ki Patih Brotomenggala sendiri yang sedang bersiap-siap untuk menyambut pulangnya junjungannya, tiba-tiba kedatangan serombongan pasukan pengawal yang serta merta menangkap dia dan seluruh keluarganya. Sebagai seorang patih yang berwibawa dan berkuasa, tentu saja Ki Patih Brotomenggala menjadi marah dan membentak,
"Kalian ini mau apa? Sudah berbalikkah dunia ini sehingga barisan pengawal hendak menentang atasannya?"
Komandan pasukan itu hanya menjawab singkat, "Kami mengemban tugas gusti sinuwun yang memerintahkan untuk menangkap dan membawa Paduka sekeluarga menghadap gusti sinuwun!"
Hujan tangis terjadi di dalam kepatihan. Namun, sekali ini Pangeran Kukutan tidak mau sembrono dan karena perintah penangkapan itu sebetulnya datang dari Suminten, tentu saja pengawal yang diutus untuk menangkap keluarga kepatihan adalah pasukan pengawal kepercayaannya. Biarpun keluarga kepatihan meratap dan menangis, pasukan pengawal ini sedikit pun tidak menaruh kasihan dan memaksa seluruh keluarga, berikut beberapa orang anak-anak yang menjadi cucu dan buyut Ki Patih Brotomenggala, juga semua pelayan, dipaksa untuk ikut menjadi tahanan. Jumlah semuanya ada tiga puluh enam orang!
Hanya ada seorang anggauta keluarga kepatihan yang secara kebetulan saja lolos dari penangkapan ini. Dia itu adalah seorang cucu luar ki patih, seorang gadis berusia Sembilan belas tahun yang bernama Widawati. Pada saat penangkapan terjadi, gadis ini sedang keluar dari kepatihan untuk berlatih tari-tarian di rumah seorang sahabatnya yang menjadi puteri pelatih tarian. Begitu mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarganya, Widawati dibujuk dan dinasehati kawan-kawannya untuk melarikan lolos dari dalam istana dengan bantuan para ponggawa yang setia dan yang menaruh kasihan kepada sang puteri.
Ketika para tahanan dihadapkan kepada raja, mereka itu berlutut dan tidak kedengaran lagi isak tangis. Keluarga kepatihan yang sudah terlatih ini menahan semua perasaan dan berlutut sembah dengan penuh kekhidmatan kepada sang prabu yang menjadi junjungan mereka. Bahkan yang kecil-kecil pun tahu akan sopan-santun istana ini.
Di dalam hatinya, sang prabu merasa seperti ditusuk pisau berkarat menyaksikan wajah patihnya yang setia itu, yang kini berlutut dengan wajah tua keriputan di depan kakinya, dengan pandang kosong terheran-heran.
"Brotomenggala!" bentak sang prabu, melenyapkan sebutan "kakang patih". "Di depanku, disaksikan oleh semua ponggawaku yang kini hadir, ceritakanlah penghianatanmu dan usaha kejimu yang gagal agar semua mendengar betapa seorang penghianat keji sepertimu patut dijatuhi hukuman!"
Patih yang tua itu mengangkat kepala memandang junjungannya dengan sepasang mata yang penuh kejujuran dan kesetiaan, kemudian menyembah dan berkata, suaranya lantang,
"Sesungguhnya, Gusti junjungan hamba, tidak ada seujung rambut pun usaha keji penghianatan di dalam hati dan pikiran hamba, baik di masa lampau, sekarang maupun di masa datang. Bahkan hamba masih belum tahu mengapa hamba sekeluarga ditangkap. Mohon kebijaksanaan dan keadilan paduka, Gusti."
"Brotomenggala, lidahmu bercabang seperti lidah ular! Semua penghianat selalu bersuara merdu! Bukti sudah nyata, saksi pun banyak, masih hendak menyangkal?" Suminten berseru marah. "Aku sendiri menjadi saksi, aku yang hampir terbunuh bersama pangeran pati dan terutama sekali gusti sinuwun. Tentu penghianatanmu akan berhasil membunuh kami bertiga kalau saja tidak datang pertolongan dari satria ini!"
Terbelalak mata Ki Patih Brotomenggala dan keluarganya. "Apa....apa yang telah terjadi....?" tanya patih tua itu tergagap.
"Brotomenggala, kalau kamu bersandiwara, sungguh kamu merupakan pemain yang amat pandai," kata sang prabu yang kemudian berkata kepada Pangeran Kukutan, "Puteraku, ceritakanlah semuanya agar didengar oleh para ponggawa dan oleh si penghianat ini sendiri."
Pangeran Kukutan yang memang sudah bersiap-siap untuk bertindak sebagai jaksa penuntut, sengaja belum berganti pakaian sehingga kini ia maju dengan pakaiannya berburu yang masih koyak-koyak dan dengan beberapa luka kecil babak dan lecet pada lengan dan pahanya. Ia bangkit dari lantai, kini berdiri dan menentang pandang mata para ponggawa yang hadir. Ia maklum bahwa para ponggawa itu sebagian besar adalah kaki tangannya, akan tetapi di antara mereka masih terdapat orang-orang yang pro ki patih, maka kepada mereka inilah ia menujukan pandang matanya. Kemudian ia berpaling kepada Ki Patih Brotomenggala, mulutnya tersenyum mengejek secara terang-terangan kepada musuhnya ini, lalu mulai bercerita,
"Ketika Ramanda Prabu dan para pengikut sedang berburu dengan gembira di dalam hutan, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan, dan beberapa orang pengawal roboh. Tahu-tahu, entah darimana datangnya, kami telah terkurung oleh puluhan orang tinggi besar berkepala gundul yang ganas dan liar, bersenjata golok!" Sang pangeran berhenti dan kembali menoleh ke arah Ki Patih Brotomenggala yang mendengarkan dengan sikap tenang dan pandang mata penasaran.
Para ponggawa menahan napas karena mereka pun belum tahu apa sesungguhnya yang telah terjadi sehingga sang prabu pulang dari perburuan tanpa dikawal pasukan pengawal.
"Para pengawal kami mengadakan perlawanan dengan gagah berani, sedangkan aku sendiri cepat melindungi Ramanda Prabu dan Ibunda Selir yang berlindung di dalam kereta. Perang tanding seru terjadi, akan tetapi sungguhpun para pengawal yang gagah berhasil menewaskan musuh, jumlah musuh terlalu besar dan akhirnya para pengawal kami yang tiga puluh orang itu roboh tewas semua." Kemball pangeran Kukutan berhenti sebentar dan para pendengarnya menahan napas, bahkan ada yang mengeluarkan seruan tertahan.
"Gerombolan penjahat gundul itulah menyerbu kereta. Kami melakukan perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena dikeroyok banyak orang yang liar, akhirnya Ramanda Prabu, ibunda Selir, dan saya sendiri tertawan dan diikat pada pohon. Nyaris kami bertiga terbunuh apalagi Ramanda Prabu yang sudah terancam dengan golok musuh siap membacok. Pada detik terakhir, muncullah satria perkasa ini, Seorang satria dari Bali dwipa bernama Raden Warutama yang sebetulnya bukanlah orang lain karena Raden Warutama ini anak keponakan mendiang Sang Patih Narotama yang sakti mandraguna dan setia! Dengan kesaktiannya, para penjahat itu dapat dibunuh semua, kecuali dua orang yang sengaja ditawan hidup-hidup untuk menjadi saksi."
Para ponggawa kini memandang ke arah Warutama yang masih duduk bersila dengan tenang itu, memandang penuh kagum. Siapa tidak akan kagum kala mendengar bahwa pria yang tampan dan perkasa itu adalah keponakan Sang Narotama yang perkasa? Apalagi pria ini telah membebaskan sang prabu daripada ancaman maut.
"Ramanda Prabu sendiri yang bertanya kepada para penjahat itu ketika beliau ditangkap, menanyakan kehendak mereka dan siapa yang menyuruh mereka. Dan apa jawab mereka? Secara terang-terangan mereka mengatakan bahwa mereka adalah anak buah Brotomenggala!"
"Bohong...!" Ki Patih Brotomenggala berseru keras.
Namun Pangeran Kukutan tidak memperdulikannya dan melanjutkan kata-katanya dengan suara lantang, "Tadinya pun kami bertiga tidak percaya akan pengakuan mereka. Akan tetapi berkali-kali mereka mengaku bahwa mereka itu hanya melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh Brotomenggala yang menurut pengakuan mereka menaruh dendam kepada Ramanda Prabu atas kematian mantunya beberapa tahun yang lalu."
"Bohong! Fitnah belaka! Gusti Sinuwun, percayakah Paduka akan fitnah keji seperti itu? Hamba sama sekali tidak tahu-menahu, bahkan mengenal mereka pun tidak! Hendaknya Paduka menyelldikl dengan seksama sebelum menjatuhkan keputusan. Bukan sekali-kali karena hamba mementingkan keselamatan sendiri, hanya hamba mengkhawatirkan langkah yang Paduka ambil sebelum mengadakan pemeriksaan secara teliti. Hamba hanya berani mengatakan dengan sumpah bahwa sesungguhnya hamba tidak tahu-menahu dengan terjadinya peristiwa keji di dalam hutan itu."
Wajah sang prabu menjadi merah, "Brotomenggala! Telingaku sendiri mendengar pengakuan setan-setan gundul itu! Mataku sendiri melihat betapa mereka membunuhi semua pengawalku, hendak menghina selirku. Dan Andika masih menyangkal? Seret dua orang gudul itu masuk!"
Dua orang pengawal menyeret dua orang tinggi besar yang gundul itu masuki ruangan. Biarpun tubuh mereka penuh luka, namun kedua orang itu sama sekall tidak memperlihatkan kelemahan dan ketakutan. Mata mereka masih terbelalak memandang ke depan, dan mereka itu sama sekali tidak kelihatan menderita, seolah-olah semua ini tidak terasa oleh mereka. Kedua tangan mereka dibelenggu dan setelah kedua orang pengawal itu menekan dan memaksanya, barulah mereka itu roboh dan berlutut di depan sang prabu. Karena bangkit kemarahannya ketika melihat dua orang ini, sang prabu memberi isyarat kepada Pangeran Kukutan untuk mewakilinya memeriksa tawanan.
"Hei, kalian dua orang yang sudah melakukan dosa! Katakan sebenarnya, siapa yang menyuruh kalian dan gerombolan kalian untuk menyerang rombongan gusti sinuwun!" kata Pangeran Kukutan dengan suara lantang.
Seorang di antara mereka yang pipinya terluka mengangkat muka dan menjawab, suaranya dingin penuh ejekan, "Pasukan kami diperintah oleh Ki Patih Brotomenggala untuk menghadang rombongan Gusti Sinuwun dalam hutan, untuk membunuh Gusti Sinuwun dan Gusti Pangeran Pati, serta menculik Selir Gusti Sinuwun."
Sunyi senyap keadaan ruangan itu setelah terdengar pengakuan ini, dan muka para ponggawa yang menjadi sahabat ki patih menjadi pucat, mata mereka memandang ke arah patih tua itu dengan keheranan dan pertanyaan. Terdengar isak tertahan di antara keluarga yang berlutut di belakang Ki Patih Brotomenggala.
"Penghianatan keji yang tiada taranya! Sudah sepatutnya kalau si penghianat keji sekeluarganya dihukum gantung sampai mati di alun-alun!" Tiba-tiba terdengar suara Suminten, lantang memecah kesunyian dan ketegangan, menimbulkan ketegangan baru.
Melihat wajah dan keadaan ki patih sekeluarga, semua hati para ponggawa terharu dan kasihan, namun mengingat akan dosanya yang amat hebat, tak seorang pun berani membantah tuntutan yang keluar dari mulut terkasih sang prabu yang dalam peristiwa itu mengalami pula ancaman dan penghinaan.
Tiba-tiba Ki Patih Brotomenggala dari tempat ia bersila meloncat ke depan dan di lain saat kedua tangannya sudah mencengkeram leher dua orang tawanan gundul itu, mukanya merah dan matanya melotot, mulutnya mendesiskan kata-kata penuh kemarahan,
"Jahanam! Hayo katakan siapa yang menyuruh kalian menjatuhkan fitnah atas diri saya?"
Dengan sikap tenang saja dua orang gundul itu berkata, "Kami diperintah oleh Ki Patih Brotomenggala...!"
"Krakkki" Ki Patih Brotomenggala menggerakkan kedua lengannya, dua kepala yang gundul itu beradu keras dan pecah berantakan!
Semua orang terkejut, Pangeran Kukutan meraba gagang keris, para pengawal sudah siap dengan tombak mereka untuk mengeroyok ki patih yang agaknya hendak memberontak.
"Brotomenggala! Berani engkau melakukan hal ini di hadapanku?" Bentakan ini keluar dari mulut sang prabu yang sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya.
Kl Patih Brotomenggala yang tadinya tak dapat mengendalikan kemarahannya, ketika mendengarkan bentakan ini menjadI lemas seluruh sendi tulangnya dan Ia menjatuhkan diri berlutut di depan junjungannya.
"Ampunkan hamba.... hamba tidak berani.... akan tetapi semua ini adalah fitnah.... fitnah... fitnah...!" Patih yang sudah tua itu menutupi mukanya dengan kedua tangan, tubuhnya menggigil karena menahan rasa penasaran dan kemarahan besar.
"Tidak ada fitnah Aku sendiri yang menjadi saksi, bagaimana bisa dikatakan fitnah? Pengawal, tangkap penghianat dan pemberontak ini, laksanakan hukuman gantung di alun-alun bersama seluruh keluarganyal" Sang prabu yang sudah diamuk kemarahan itu mengeluarkan perintah yang disambut isak tangis seluruh keluarga kepatihan.
Namun para pengawal yang sudah mendapat aba-aba dari Pangeran Kukutan, sudah menangkap mereka semua, membelenggu dan menggiring mereka keluar dari ruangan itu, menuju ke alun-alun. Para ponggawa tidak ada yang berani campur tangan karena merekapun yakin akan keadaan ki patih, sungguhpun hal ini membuat mereka terheran-heran dan tidak mengerti. Kini alun-alun telah dibanjiri penduduk yang hendak menyaksikan pelaksanaan hukum massal yang mengerikan ini. Tiang-tiang gantung dibangun serentak, tiga puluh enam buah banyaknya. Mengerikan!
Hanya mereka yang menjadi kaki tangan Suminten dan Pangeran Kukutan saja yang diam-diam tersenyum puas karena musuh besar mereka yang berbahaya itu kini akan dibasmi habis. Rakyat biasa menonton dengan wajah pucat dan banyak pula yang menangis sembunyi-sembunyi.
Sang prabu sendiri duduk di panggung dengan wajah pucat dan mata sayu. Suminten duduk di dekatnya dengan wajah berseri, dan Pangeran Kukutan berdirl tegak, gagah dan masih berpakaian pemburu. Di dekatnya berdirl Raden Warutama yang menjadi buah bibir para ponggawa, karena dialah pada saat itu menjadi pahlawan penolong raja.
Para hukuman sudah digiring berkelompok di dekat tiang-tiang gantungan. Amat mengharukan keadaan mereka. Ki patih yang sudah tua dengan kedua tangan dibelenggu, berdiri dengan kedua kaki terpentang, mukanya yang keriputan menengadah ke langit, seolah-olah mohon kekuatan dari para dewata. Bergantian keluarganya menghampirinya, memeluk kedua kakinya dan menangis, namun kakek perkasa itu tidak mau memandang ke bawah karena ia maklum bahwa sekali semangatnya runtuh, ia akan menjadi pilu dan hatinya akan menderita. Ia tidak ingin mati dalam keadaan seorang pengecut. Karena ia tidak bersalah, mati pun harus seperti seorang satria perkasa.
Perang tanding terjadi dalam hati dan pikirannya. Betapapun gagah sikapnya, kalau dia dan keluarganya akan mati di tiang gantungan, berarti mereka itu mati sebagai keluarga penghianat! Kalau dia mengamuk pada saat terakhir itu, akhirnya ia akan mati dikeroyok berikut keluarganya dan mati sebagai keluarga pemberontak!,
Tiba-tiba ki patih mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau terluka dan ia sudah membalikkan tubuh, menghadap ke arah sang prabu yang duduk di atas panggung. Kemudian, sambil memandang junjungannya dengan sepasang mata berkilat-kilat, ia berkata, suaranya nyaring sehingga terdengar oleh semua orang, memecah kesunyian yang menegangkan di saat itu,
"Gusti Sinuwun! Hamba bukan seorang penghianat, karena itu hamba tidak ingin mati sebagai seorang penghianat terhukum! Keluarga hamba adalah abdi-abdi yang setia, bukan pula pemberontak! Maka hamba sekeluarga rela mengorbankan nyawa demi dharma bakti hamba kepada Paduka Gusti. Namun sekali lagi, bukan mati sebagai orang hukuman karena hamba tidak berdosa, melainkan mati membunuh diri karena penyesalan dan kedukaan menyaksikan Paduka Gusti Sinuwun junjungan hamba telah terkena bujukan iblis, telah dilemahkan oleh manusia-manusia berhati iblis seperti Suminten dan Pangeran Kukutan! Hamba sekeluarga rela berkorban, namun semoga paduka menjadi sadar....!"
Semua orang tertegun dan secepat kilat ki patih yang memang memiliki kedigdayaan ini telah mematahkan belenggu tangannya dengan sekali renggut kemudian tangannya meraih seorang pengawal di dekatnya, merampas sebatang pedang dan dengan pedang ini ki patih lalu menyerbu keluarganya sendiri! Hebat bukan main perlstiwa ini. Gerakan ki patih amat tangkas dan cepat, tusukan-tusukannya tepat mengenai dada menembus jantung sehingga setiap keluarga yang terkena tusukannya, roboh tak sempat menjerit lagi. Isteri-isterinya, putera-puterinya, para abdi, seorang demi seorang dia robohkan, dia renggut nyawanya dengan perantaraan ujung pedang. Mereka yang roboh tak bergerak lagi, mereka yang belum terbunuh berlutut dan membuka dada sambil memandang ki patih dengan air mata bercucuran. Semua siap menerima kematian di tangan ki patih!
Tinggal lima orang kanak-kanak, yaitu cucu buyut ki patih yang belum roboh tewas. Ki patih meloncat dengan mengayun pedang. Dari mulut seorang anak laki-laki cucu buyutnya, berusia paling banyak lima tahun, terdengar rintihan,
"Eyang.... Eyang Buyut.... !"
Ki patih yang matanya terbelalak, pedang dan seluruh pakaian serta kedua lengannya merah oleh darah keluarganya itu seperti disambar halilintar, berdiri memandang wajah anak kecil yang menangis itu, menggigil, pedangnya terlepas dan ia menjatuhkan diri berlutut, mendekap lima anak kecil yang kini kesemuanya menangis.
"Srrrt.... srrrtt....!" Hujan anak panah yang dilepas oleh para pengawal atas perintah Pangeran Kukutan menyambar ke arah kakek dan lima orang cucunya.
Ratusan batang anak panah menancap di tubuh kakek itu yang dengan tenaga terahir merangkul lima orang cucunya, tak bergerak-gerak, dan hanya darah yang bercucuran dari sekelompok manusia ini membuktikan bahwa mereka berenam telah menjadi sasaran anak panah. Ketika para pengawal menyerbu dan mendekat, baru diketahui bahwa kakek itu memeluk lima orang cucunya dengan pengerahan tenaga sehingga mereka berlima telah tewas karena remuk tulang-tulangnya dalam dekapan kakek mereka sebelum anak-anak panah itu menembus tubuh mereka bersama tubuh kakek mereka.
Ki Patih Brotomenggala tewas dalam keadaan memeluk lima orang cucu buyutnya, dengan mata masih melotot penuh penasaran akan tetapi mulut membayangkan kasih sayang mesra kepada keluarganya yang terpaksa ia bunuh sendiri karena menghindarkan mereka daripada kematian sebagai keluarga penghianat atau pemberontak!
Penglihatan yang amat hebat itu membuat semua penonton menggigil, banyak yang bercucuran air mata, bahkan ada yang pingsan di tempat ia berdiri atau berjongkok. Sang prabu sendiri ternyata pingsan di tempat duduknya dan dengan pimpinan Suminten dan Pangeran Kukutan, sang prabu diusung masuk kembali ke dalam istana. Para pengawal membubarkan semua penonton dan melenyapkan mayat-mayat keluarga ki patih, tidak lupa mencabuti tiang-tiang gantungan yang masih bersih karena belum digunakan itu.
Peristiwa mengerikan itu kembali mengguncangkan Kerajaan Jenggala, membuat gentar mereka yang tadinya berfihak kepada Ki Patih Brotomenggala. Para ponggawa yang tebal rasa sayang kepada diri sendiri, yang berwatak pengecut, melihat betapa besar kekuasaan pangeran mahkota dan selir terkasih sang prabu, maka tanpa malu-malu mereka ini cepat memalingkan muka dan dengan suka rela menggabung kepada Pangeran Kukutan. Mereka yang lebih kokoh batinnya, yang menjunjung kesatriaan di atas kepentingan pribadi, diam-diam lolos dari kerajaan, membawa keluarga mereka melarikan diri dan bersembunyi di gunung-gunung dan sebagian besar lari memasuki daerah Panjalu.
Sang prabu menjadi berpenyakitan semenjak terjadinya peristiwa mengerikan itu. Atas bujukan Suminten dan Pangeran Kukutan, juga karena menganggap bahwa orang yang telah menolong nyawanya itu patut diberi anugerah besar, apalagi mengingat bahwa Raden Warutama memiliki kesaktian hebat, maka diangkatlah Raden Warutama menjadi patih, menggantikan Ki Patih Brotomenggala. Dengan demikian, secara tidak resmi, Suminten mewakili raja mengatur rencana. Resminya, Pangeran Mahkota Kukutan yang mewakili raja mengatur pemerintahan, dan pelaksanaannya adalah Ki Patih Warutama!
Beberapa malam kemudian setelah terjadinya peristiwa mengerikan di alun-alun Kerajaan Jenggala, Suminten berkenan menerima "kunjungan" Ki Patih Warutama di dalam kamarnya! Karena dia berkedudukan sebagai patih, tentu saja akan amat menyoloklah kalau Warutama datang secara berterang, maka Warutama mempergunakan aji kesaktiannya, memasuki keputren ini seperti seorang pencuri.
Di dalam kamar yang indah dan harum itu, Suminten dan Pangeran Kukutan menyambutnya dan berpesta-poralah ketiga orang yang mabuk kemenangan ini, dengan hidangan-hidangan yang lezat, dilayani oleh emban-emban yang muda-muda dan cantik-cantik. Tentu saja para emban dan abdi yang menjadi pelayan di situ, termasuk beberapa orang pengawal kepercayaan, adalah orang-orang yang sudah amat dipercaya.
"Sungguh beruntung siasat yang Andika jalankan itu berjalan dengan amat lancar dan berhasil baik, Paman Patih," kata Pangeran Kukutan setelah mereka terhenyak kekenyangan dan kepuasan menghadapi meja yang telah dibersihkan dari sisa-sisa makanan. "Dan baru sekarang kita dapat berkumpul sehingga akan dapat terjawablah pertanyaan-pertanyaan yang sungguh mengganggu perasaanku."
"Hal apakah yang hendak Paduka tanyakan?"
"Tentang pasukan gundul itu. Siapakah mereka?"
Patih Warutama tersenyum lebar dan membusungkan dada. "Mereka adalah anak buah sahabat kita dari Negeri Cola."
"Permainan yang amat berbahaya sekali!" kata Suminten sambil memandang dengan sepasang matanya yang jeli dan bersinar jalang yang dapat meneliti tubuh seorang pria penuh penilaian seperti ketika ia memandang patih baru itu pada saat Itu. "Andika membiarkan dua di antara mereka tertawan hidup-hidup dan diperiksa di depan gusti sinuwun. Hatiku hampir berhenti berdetik ketika mereka dlperiksa, apalagi ketika mereka digertak oleh Brotomenggala. Bagaimana andaikata mereka itu ketakutan dan mengaku terus terang?"
Patih Warutama memandang ke arah dada Suminten yang membusung, seolah-olah hendak menembus kulit halus itu menjenguk hati yang hampir berhenti berdetik. Mulutnya masih tersenyum bangga.
"Tidak mungkin. Mereka itu adalah orang-orang yang sudah kehilangan pengaruh atas diri pribadi, sepenuhnya mereka dikuasai oleh ilmu kesaktian sahabat kita yang bernama Cekel Wisangkoro, murid Sang Wasi Bagaspati yang sakti mandraguna, wakil dari Negeri Cola."
"Hemm, kiranya begitu? Aku pun amat khawatir tadinya. Akan tetapi, kupikir bahwa pelaksanaan siasat itu agak merugikan. Untuk itu Andika telah mengorbankan hampir lima puluh orang anggauta pasukan gundul. Bukankah ini berarti mengorbankan nyawa teman-teman sendiri?" tanya Pangeran Kukutan.
Berkerut kening tebal Patih Warutama. "Pangeran, Paduka agaknya masih harus banyak belajar. Untuk mencapai cita-cita, tidak ada jalan yang tak boleh ditempuh dan dipergunakan. Jangankan hanya mengorbankan nyawa lima puluh orang kawan, kalau perlu, jalan yang lebih keji dan buruk lagi harus dilakukan demi tercapainya cita-cita. Yang penting, cita-cita kita tercapai, bukan? Apa artinya nyawa puluhan orang mayat hidup itu? Ha-ha-ha!"
Diam-diam Suminten dan Pangeran Kukutan bergidik. Mereka pun bercita-cita tinggi dan tidak segan-segan melakukan apa saja demi cita-cita tercapai. Akan tetapi tidak pernah terpikirkan oleh mereka untuk menempuh jalan seperti itu, membunuhi kawan sendiri sekian banyaknya. Kini mereka diam-diam menganggap betapa benarnya pendapat kawan baru ini dan mereka mengangguk-angguk, seperti murid-murid yang menerima ajaran lebih tinggi dari seorang guru yang pandai. Melihat sikap mereka, Patih Warutama lalu melanjutkan kata-katanya dengan suara bangga.
"Manusia hidup harus bercita-cita untuk mencapai kedudukan tertinggi, karena hanya dengan kekuasaan dan kedudukan tinggi kita akan dapat menikmati kesenangan dunia. Selagi hidup, kalau tidak mereguk arak kenikmatan dunia sepuasnya, apa artinya? Hanya menanti mati. Dan untuk mencapai cita cita, kita tidak boleh memilih cara. Cara apa saja harus ditempuh demi tercapainya cita-cita!"
Orang ini hebat, pikir Suminten. Dengan dia ini sebagai sekutuku, akan berhasillah segala cita-citaku. Maka kini pandang matanya mulai memancarkan daya tarik yang amat memikat ke arah Patih Warutama. Ki patih bukan tidak tahu akan hal ini. Dia seorang pria yang sudah berpengalaman dan sudah mengenal belaka segala sifat wanita, maka ia makin bangga, wajahnya berseri dan tanpa diminta ia melanjutkan kata-katanya seperti seorang guru besar memberi kuliah atau seorang pendeta memberi wejangan,
"Hanya orang yang memperoleh kemenangan saja yang akan tercapai cita-citanya. Kemenangan adalah kunci pertama, karena yang menang itu berarti yang berkuasa, dan sudah barang tentu bahwa yang berkuasa itu selalu baik dan benar. Yang buruk dan salah, yang patut diinjak-injak adalah mereka yang kalah. Bayangkan saja, andaikata dalam urusan menghadapi keluarga Brotomenggala kita yang kalah, akan bagaimana jadinya dengan kita? Kalau mereka yang menang, tentu mereka yang berkuasa dan mereka yang baik dan benar. Kita yang kalah? Menjadi makanan cacing!"
Pangeran Kukutan dan Suminten mendengarkan dengan pandang mata kagum dan gembira. Mereka lalu minum hidangan yang terbuat daripada campuran madu dan sari buah, minuman yang memabukkan dan mempunyai daya merangsang. Kalau kita mengetahui latar belakang tiga orang ini, akan terdengar sumbang dan melantur pendapat yang dikemukakan oleh Warutama tadi. Namun, ah, betapa banyaknya orang di luar kesadaran pribadi mempunyai pendapat yang serupa. Untuk mencapai cita-cita maka segala cara dibenarkan! Betapa kotor dan menyesatkan pendapat seperti itu! Mereka lupa bahwa yang kotor tidak mencerminkan yang bersih, bahwa yang pahit tidak memberikan buah yang manis.
Kalau cara yang dipergunakan untuk menempuh cita-cita itu keji, maka sudah tak dapat disembunyikan lagi bahwa cita-citanya sendiri pun tentu keji! Tidak mungkin cita-cita yang bersih ditempuh dengan jalan atau cara yang kotor! Sebaliknya, cita-cita yang kotor takkan dapat ditempuh dengan cara yang bersih, atau kalau pun bersih, maka kebersihan cara itu hanya merupakan siasat atau kedok belaka. Sudah jelas bahwa cita-cita yang baik dan bersih. Harus dicapai dengan cara yang baik dan bersih pula!
Pendapat ke dua dari Warutama yang bermoral bejat tentang kemenangan, kekuasaan dan kebenaran merupakan pendapat yang tersesat jauh, bahkan mudah menyesatkan orang. Memang tak dapat disangkal kenyataannya bahwa di dunia ini banyak berlaku hukum seperti yang dikatakannya, yaitu siapa menang dia berkuasa dan siapa berkuasa dia benar dan baik! Akan tetapi ini hanya pendapat orang yang menjadi kawula iblis, yang hidup demi pemuasan nafsu pribadi.
Pendapat Warutama itu merupakan hukum rimba yang hanya patut diterapkan pada kehidupan binatang yang tidak mengenal peri kemanusiaan. Manusia mengenal pribudi, tahu akan baik dan buruk, mana benar mana salah. Justeru pribudi menuntut agar setiap manusia ingat bahwa dalam kemenangan tidak boleh sombong dan mabuk serta gila kekuasaan. Kemudian, yang kebetulan berkuasa tidak boleh sewenang-wenang menganggap diri sendiri selalu benar dan baik.
Karena menang dan kalah itu hanya pandangan belaka, seperti suka dan duka. Yang menang di lain waktu bisa kalah, demikian sebaliknya. Juga kedudukantinggi atau rendah hanya pandangan, yang tinggi sewaktu-waktu bisa saja menurun, yang rendah menaik. Karena itu, pedoman terbaik adalah tidak patah hati di waktu kalah dan tidak tinggi hati di waktu menang. Selalu rendah hati, menujukan langkah di atas jalan yang benar, dan menerima segala peristiwa yang menimpa diri sebagai kehendak Yang Maha Kuasa!
Suminten yang sedang dimabuk cita-cita setinggl langit, mendengar ucapan-ucapan Patih Warutama, menjadi amat tertarik. "Sungguh beruntung bagiku dapat berjumpa dengan seorang yang pandai seperti Andika! Semoga kerja sama di antara klta akan tetap kekal abadIl" Ucapan ini disertai senyum dan diikuti kerling memikat dari sudut mata.
Warutama tertawa, lalu tanpa malu-malu terhadap Pangeran Kukutan ia berkata, "Bolehkah sekarang saya mengharapkan hadiah pribadi dari Sang Ayu?"
Suminten terkekeh genit, bibir yang merah itu merekah dan tampak deretan gigi yang putih dan berbentuk bagus seperti mutiara. Dengan gaya manja ia menggeliat, menoleh kepada Pangeran Kukutan sambil berkata, "Puteranda Pangeran, sudikah Paduka pulang sekarang karena ibunda ingin sekali beristirahat sambil minta nasehat-nasehat dari ki patih?"
Pangeran Kukutan maklum akan maksud hati Suminten. Dia tidak cemburu lagi, karena dia sudah mengenal betul watak ibu tiri atau juga kekasihnya ini. Tiada bedanya dengan dia sendiri. Setiap malam harus ada seorang kekasih yang mengawani melewatkan malam panjang! Dia mengenal tubuh indah wanita ini yang tak pernah merasa puas dalam mengabdi nafsu berahi. Ia bangkit dan tersenyum maklum sambil mengangguk kepada Warutama. Kemudlan pergi meninggalkan kamar itu untuk mengunjungi seorang di antara kekasihnya yang banyak terdapat di antara para puteri, abdi wanita, dan selir-selir pangeran sepuh lainnya.
Asyik dan mesralah kini mereka berdua, Suminten dan Warutama, setelah mereka ditinggal berdua saja di dalam kamar itu. Para abdi diusir keluar, pintu kamar ditutup dan mulailah mereka saling mengenal pribadi masing-masing. Diam-diam Warutama kagum sekali karena sekarang ia mengenal betul siapa sebenarnya wanita yang bernama Suminten ini dan mengapa wanita ini dapat mencapai kekuasaan di Kerajaan Jenggala.
Banyak sudah ia mengenal wanita yang secara suka rela atau paksaan menjadi kekasihnya, namun baru sekali ini ia bertemu dengan seorang wanita yang benar-benar dapat mengimbangi keahliannya dalam bermain asmara. Sebaliknya, Suminten juga mendapat kenyataan yang jauh melampaui dugaannya, bahkan mendapatkan pengalaman yang jauh berada di luar batas lamunannya. Mimpi pun belum pernah ia menemui pria yang seperti Warutama, seorang yang sudah matang dan benar-benar merupakan seorang ahli dalam menyenangkan perasaan dan hati wanita.
Mereka berdua seperti mabuk dan lupa diri, tenggelam dalam lautan nafsu yang memabukkan dan barulah Patih Warutama sadar dan tergesa-gesa meninggalkan kamar itu ketika keesokan harinya, seorang abdi kepercayaan secara terpaksa mengetuk pintu kamar karena khawatir kalau-kalau sang prabu berkenan datang berkunjung di pagi hari itu.
Dengan adanya Patih Warutama, makin kuatlah kedudukan persekutuan yang bercita-cita menguasai Jenggala ini, dan makin berkembanglah sayap persekutuan ini, makin jauh kuku-kukunya mencengkeram Jenggala.
Sang prabu yang makin lemah sudah menyerahkan seluruh kepercayaannya kepada Suminten yang tak kunjung gagal menina-bobokkan raja tua itu di malam hari, kepada Pangeran Kukutan yang selalu pandai mencari muka sebagai seorang putera mahkota yang penuh hormat, taat, dan berbakti, dan kepada Patih Warutama yang sikapnya tenang, pribadinya berwibawa, dan pendapat-pendapatnya jitu itu.
Namun, setelah tiba di Jenggala, saya menyaksikan kenyataan yang amat mengecewakan. Bekas Mataram telah terpecah dua, dan dlrajai oleh keturunan Sang Prabu Airlangga yang ternyata tidak dapat mengurus kerajaan sehingga selalu terjadi kekacauan-kekacauan. Setelah saya mendengar akan cita-cita mulia paduka berdua, saya melihat cahaya terang. Pangeran Kukutan, sebagal calon raja, paduka adalah keturunan Sang Prabu Airlangga dan kelak padukalah dengan bantuan saya yang akan mengembalikan keutuhan Kahuripan, kembali seperti di masa jaman Mataram."
Lega hati Pangeran Kukutan, Akan tetapi Suminten cepat bertanya, "Raden, andika belum menerangkan betapa caranya untuk menundukkan kedua kerajaan. Jenggala sudah jelas akan dirajai oleh Pangeran Kukutan, akan tetapi Panjalu...?"
"Ha-ha-ha, Sang Dyah Ayu Suminten jangan khawatir. Saya telah mempunyai rencana yang amat bagus dan sudah pasti akan berhasil. Kita harus dapat memperkuat kedudukan dan pengaruh di Jenggala lebih dahulu sehingga segala sesuatu berIangsung dengan wajar, tidak menimbulkan kecurigaan Panjalu. Kelak, kalau Sang Prabu Jenggala... maaf, yaitu suami dan junjungan paduka sang puteri, telah meninggal dunia dan paduka pangeran telah menjadi raja di sini, barulah kita gempur Panjalu. Untuk itu, kalau saya yang menjadi patihnya, sungguh gampangnya seperti membalik telapak tangan sendiri saja. Ketahuilah bahwa bala tentara Sriwijaya dan Cola sudah siap dan para pemimpinnya yang maha sakti adalah sahabat-sahabat baik saya..."
"Sriwijaya dan Cola....? Musuh-musuh besar itu... ?" kata Pangeran Kukutan, wajahnya berubah pucat.
"Ha-ha-ha! Itulah namanya siasat, Pangeran! Menjadikan musuh sebagai kawan dalam menghadapi musuh baru, itulah siasat yang amat baik dan sukar. Pendeknya, paduka serahkan saja kepada hamba, baik sekarang dalam perkembangannya maupun kelak kalau sudah tercapai cita-cita pertama paduka. Tidak percuma hamba menjadi keponakan sang bijaksana Narotama, Pangeran!"
"Hemmm, kami baru saja berjumpa dengan andika malam ini. Betapa kami dapat menjenguk isi hatimu, dapat membuktikan kesetiaanmu dan iktikad baikmu?" kata pula Pangeran Kukutan.
Raden Warutama tersenyum sambil melirik ke arah Suminten yang masih diam saja, kemudian menjawab, "Hamba sudah membuktikan iktikad baik hamba dengan mengajak paduka bersekutu, andaikata hamba berniat buruk, apa sukarnya bagi hamba untuk membunuh paduka dan menculik sang puteri? Ha-ha-ha, hendaknya paduka dapat mempertimbangkan hal ini dengan kecerdikan."
Pangeran Kukutan membungkam. Memang ada benarnya ucapan ini. Sudah jelas bahwa orang ini amat digdaya dan kalau mempunyai niat buruk, sukar baginya meloloskan diri. Kini Suminten yang berkata, suaranya penuh kesungguhan dan sekaligus merupakan tuntutan.
"Iktikad baik sudah terbukti, namun kesetiaan dan kejujuran masih harus dibuktikan. Bagaimanakah rencana andika untuk dapat kami percaya?"
"Sudah ada rencana saya yang amat baik. Untuk membuktikannya, saya akan menjalankan siasat agar Ki Patih Brotomenggala yang tua itu dapat disingkirkan dari Jenggala, bahkan dihukum mati oleh sang prabu sendiri, dan sang prabu akan dengan suka hati menerima saya sebagai seorang ponggawa yang dipercayai".
"Bagaimana caranya?"
Raden Warutama tersenyum, kemudian mendekat dan berbisik-bisik didahului kata-kata yang ia tujukan terhadap Suminten, "Dalam hal ini, hanya dengan bantuan paduka akan berhasil." Kemudian dia membisikkan rencana siasatnya yang didengarkan oleh kedua orang itu dengan wajah berseri.
Diam-diam Suminten memuji orang ini sebagaI seorang pembantu yang amat berharga, apalagi yang memiliki daya tarik hebat sebagai seorang pria yang sudah matang segala-galanya. Pangeran Kukutan juga kagum, akan tetapi diam-diam pangeran ini mengambil keputusan di dalam hatinya untuk kelak mengenyahkan orang yang baginya amat berbahaya. Maka berundinglah tiga orang ini dan menjelang pagi barulah Raden Warutama keluar dari dalam kamar itu. Di luar pintu ia menengok kepada Suminten dan berbisik,
"Bilakah saya dapat mengharapkan anugerah dari paduka pribadi atas jasa saya?"
"Tidak ada anugerah jasa diberikan sebelum jasa itu sendiri dilaksanakan."
"Paduka tidak akan mengingkari janji?"
"Bagaimana diingkari kalau janji itu sendiri merupakan bayangan yang amat menyenangkan?"
"Terima kasih." Setelah bertukar senyum, Warutama berkelebat lenyap di dalam gelap.
"Dia.... dia sakti dan berbahaya...." kata Pangeran Kukutan.
Suminten menoleh kepadanya, kemudian menggandeng lengannya, diajak memasuki kamarnya. "Makin banyak orang sakti membantu, makin baiklah bagi kita. Tentang bahaya.... apakah engkau cemburu, wahai kekasihku?"
"Tidak... ! Tidak, Wong Ayu! Tidak cemburu... karena aku tahu bahwa betapapun juga, kau tetap membutuhkan aku seperti aku membutuhkanmu!"
"Ucapan bijaksana, patut diberi ganjaran. Jangan pulang dulu, malam masih panjang, dan pagi ini dingin sekali..." Mereka berpelukan sambil memasuki kamar. Pintu kamar ditutup dan sunyilah yang menyusul.
********************
Rombongan yang megah itu di sepanjang jalan mendapat sambutan rakyat. Timbullah pula harapan rakyat yang tadinya merasa gellsah dan putus asa karena selama sang prabu di Jenggala tidak mengacuhkan pemerintahannya, mereka ini hidup tertindas dan tertekan oleh para penguasa setempat. Sudah terlalu lama sang prabu hanya tinggal di dalam istana, tidak pernah keluar dan tidak pernah mengurus soal-soal yang menyangkut pemerintahan dan tidak pula memperdulikan nasib rakyatnya.
Kini, melihat rombongan sang prabu yang hendak melakukan perburuan ke hutan, hati rakyat menjadi lega dan mengira bahwa tentu kini sang prabu sudah tidak mengasingkan diri lagi. Selama ini, para petugas dan penjabat selalu mendesas-desuskan bahwa karena usianya sudah tua, sang prabu mulai tekun bertapa maka tidak lagi mengurus pemerintahan. Berduyun-duyun rakyat keluar menyambut dan hati mereka terharu menyaksikan tubuh tua kurus dan muka pucat tak bersemangat itu. Juga mereka kagum menyaksikan kemudaan dan kesegaran yang terpancar dari wajah Suminten, selir terkasih yang amat terkenal dan yang kini menjadi orang paling berkuasa di dalam istana.
Atas bujukan dan desakan Suminten, akhirnya sang prabu yang sudah tua itu berkenan memerintahkan para pengawal membuat persiapan karena sang prabu hendak berpesiar bersama selirnya dan pergi berburu binatang di hutan. Tadinya Ki Patih Brotomenggala sendiri hendak mengantarkan dan mengawal junjungannya, akan tetapi dia dicegah oleh Pangeran Kukutan yang berkata dengan suara tegas,
"Tak usah Paman Patih mengawal, karena Paman sendiri sudah sepuh (tua). Biarlah saya sendiri mengawal ramanda prabu! Tidak ada bahaya mengancam ramanda prabu, yang lebih penting menjaga keamanan istana. Harap Paman Patih menjaga di istana, sedangkan saya yang mengepalai para pengawal."
Di dalam hatinya, Ki Patih Brotomenggala merasa khawatir sekali. Kiranya di antara semua ponggawa, hanya dia seoranglah bersama sang permaisuri yang dapat mengenal kepalsuan Pangeran Kukutan dan Suminten. Akan tetapi sang prabu telah menyambut ucapan Pangeran Kukutan dan memerintahkan agar pengawalan dilakukan oleh sang pangeran, dia tidak berani membantah.
Betapapun juga, Ki Patih Brotomenggala bukan seorang bodoh. Diam-diam dia telah memerintahkan pasukan pilihannya yang terdiri dari dua belas orang pilihan dan digdaya untuk membayangi kepergian sang prabu, secara sembunyi melindungi keselamatan junjungannya.
Hati ki patih agak lega ketika barisan pengawal yang berjumlah tiga puluh orang itu adalah pengawal-pengawal istana yang ia percaya merupakan orang-orang yang masih setia kepada sri baginda dan belum "terbeli" oleh Suminten dan Pangeran Kukutan. Maka patih yang setia dan sudah berusia tua ini mengantar keperglan sang prabu dengan penuh harapan mudah-mudahan kalau sang prabu menyaksikan rakyatnya dari dekat, hal in! Akan menggugahnya.
Tak dapat disangkal lagi, sang prabu menjadi amat terharu menyaksikan keadaan rakyat yang dilanda kemiskinan, melihat tubuh rakyatnya kurus-kurus dan melihat wajah yang kurus pucat dengan sinar mata mengandung penuh harapan ditujukan kepadanya. Suminten yang cerdik pandai itu sengaja membawa bekal uang receh (kecil) beberapa kantung dan dibagi-bagikan uang itu kepada rakyat di sepanjang jalan. Melihat ini, sang prabu menjadi girang dan memuji kemurahan hati selirnya yang terkasih. Juga Pangeran Kukutan membagi-bagi uang kepada rakyat sehingga rakyat bersorak gembira dan segera menjadi buah tutur mereka betapa murah hati adanya selir sang prabu dan Pangeran Pati Kukutan.
Iring-iringan itu memang megah dan indah. Karena sang prabu sudah tua dan sudah tidak setangkas dahulu sehingga mengkhawatirkan kalau menunggang kuda dan memburu binatang, dan terutama sekali sang prabu membawa selirnya yang tak boleh dipisahkan dari sisi sang prabu, maka dalam perjalanan ini sang prabu dan selirnya menggunakan kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda.
Sang prabu mengenakan pakaian berburu dan di punggungnya tampak busur dan anak panah, di pinggangnya tergantung sebatang pedang dan tombak bersandar di dalam kereta. Adapun Suminten yang mendapat kesempatan keluar istana, tidak menyia-nyiakan kesempatan bersolek sebagus-bagusnya sehingga rakyat memandangnya dengan mata terbelalak kagum.
Pangeran Kukutan yang tampan dan gagah menunggang seekor kuda putih yang tinggi besar, juga berpakaian pemburu dengan senjata lengkap di tubuh. Tiga puluh orang pengawal itu rata-rata bertubuh tinggi tegap, merupakan pasukan pengawal yang kuat dan terpercaya.
Pada masa itu, hutan tempat berburu sang prabu merupakan daerah terlarang. Tidak ada seorang pun berani melakukan perburuan di hutan ini. Karena sudah bertahun-tahun sang prabu tidak pernah berburu, maka hutan itu penuh dengan binatang-binatang yang berkembang biak dan begitu rombongan memasuki hutan, mereka ini menjadi amat gembira menyaksikan banyaknya binatang di hutan itu.
Rombongan kijang yang gemuk-gemuk lari cerai-berai, kancil, kelinci, harimau, dan babi hutan merupakan sasaran yang lunak. Juga banyak sekali burung-burung besar yang menantang bukti kemahiran para pemanah. Pangeran Kukutan segera menghujankan anak panahnya dengan amat gembira. Juga sang prabu timbul kegembiraannya, teringat masa mudanya dan raja yang sudah tua ini berkali-kali melepas anak panah dari dalam kereta, dipuji-puji oleh Suminten setiap kali anak panah ada yang mengenai sasaran, merobohkan seekor kijang atau kelinci.
Ketika ada seekor harimau gembong terjebak masuk ke dalam kurungan para pengawal yang berbaris mengelilinglnya dengan tombak di tangan, sang prabu menjadi amat gembira sehingga dia turun dari kereta, membawa tombaknya dan ikut mengeroyok harimau itu yang akhirnya roboh tewas dengan tubuh penuh luka-luka karena ke manapun ia lari, mata tombak yang runcing menghunjam ke tubuhnya. Sorak-sorai para pengawal membuat burung-burung hutan terbang ketakutan.
Tiba-tiba terdengar jerit kesakitan, disusul teriakan-teriakan marah dan keadaan menjadi kacau-balau. Dalam sekejap mata, para pengawal sudah berperang tanding melawan serbuan banyak sekali orang-orang yang berkepala gundul! Melihat ini, Pangeran Kukutan cepat melompat turun dari kudanya, membawa sang prabu kembali ke dalam kereta, di mana sang prabu memandang dengan wajah pucat, berdekapan dengan Suminten yang menggigil ketakutan.
"Jangan khawatir, Ramanda Prabu. Hamba menjaga di sini!" kata Pangeran Kukutan dengan sikap gagah, berdiri melindungi kereta sambil melintangkan tombaknya setelah cepat-cepat ia melepaskan empat ekor kuda yang menarik kereta karena takut kalau-kalau empat ekor kuda itu menjadi ketakutan dan membalapkan kereta.
"Tenanglah, Manis. Tenanglah.... jangan takut. Para pengawal kita akan membasmi pengacau-pengacau itu!" Sang prabu menghibur sambil merangkul leher kekasihnya. "Entah siapakah mereka yang begini kurang ajar berani menggangguku!"
Karena bersembunyi di dalam kereta, sang prabu tidak dapat menyaksikan pertandingan yang mati-matian antara pasukan pengawal dan orang-orang berkepala gundul yang jumlahnya lebih dari tiga puluh orang itu. Tidak melihat betapa pasukan pengawal yang setia itu membelanya mati-matian, namun kalah kuat oleh para penyerbu yang rata-rata memiliki tubuh kebal dan keberanian yang luar biasa. Kalau hanya terpukul dan tertusuk tombak menimbulkan lecet kulit dan pecah daging saja tidak membuat mereka undur, dan mereka yang tertusuk sampai keluar ususnya atau tertembus tubuhnya, roboh berkelojotan dan mati, barulah menghentikan amukannya. Menghadapi serbuan orang-orang nekad seperti ini, para pengawal terdesak hebat.
Tiba-tiba muncul dua belas orang gagah perkasa yang berpakaian serba hitam. Mereka ini bukan lain adalah pasukan pilihan yang diutus ki patih untuk diam-diam melindungi sang prabu. Munculnya dua belas orang pilihan ini merubah keadaan. Mereka ini mainkan golok mereka dengan tangkas dan para penyerbu yang berkepala gundul itu segera terdesak, banyak di antara mereka roboh termakan golok.
Akan tetapi, segera terdengar bentakan-bentakan buas dan muncul tiga orang yang amat hebat sepak-terjangnya, bahkan dengan tangan kosong tiga orang ini menyambut dua belas orang pengawal baju hitam. Yang seorang adalah seorang laki-laki yang tampan dan gagah, yang ke dua seorang laki-laki bertubuh raksasa dan yang ke tiga seorang wanita cantik.
Cepat dan ampuh sekali pukulan mereka ini sehingga dalam waktu singkat, sebelas orang pengawal baju hitam roboh tewas dan hanya seorang di antara mereka yang sempat melarikan diri menggondol luka pukulan tangan Ni Dewi Nilamanik yang membuat separuh dadanya menjadi gosong menghitam. Ya, tiga orang itu bukan lain adalah Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Raden Warutama sendiri!
Setelah kedua belas orang pengawal baju hitam itu terbasmi habis, mereka bertiga pun cepat menyelinap bersembunyi, membiarkan barisan gundul itu berperang tanding melawan para pengawal kerajaan. Perang tanding yang amat hebat, yang seru dan liar buas. Para pengawal bertanding mati-matian, melawan musuh yang lebih banyak dan lebih kuat. Korban-korban kedua fihak berjatuhan.
Sejam mereka berperang tanding dan akhirnya, orang penghabisan pihak pengawal menjerit dengan perut robek. Tiga puluh orang pengawal itu tewas semua dan di pihak penyerbu, hanya bersisa sepuluh orang gundul yang seluruh tubuhnya berlepotan darah, sedikit darah mereka sendiri yang keluar dari luka-luka di tubuh, sebagian besar darah lawan yang mereka robohkan dan tewaskan. Kini sepuluh orang itu dengan roman buas dan golok di tangan menghampiri kereta!
Pangeran Kukutan dengan sikap gagah menerjang maju ketika sepuluh orang itu mengurung kereta. Ia disambut oleh empat orang gundul dan terjadilah pertempuran hebat ketika pangeran itu dikeroyok. Sedangkan enam orang gundul yang lain menghampiri sang prabu dan Suminten. Raja yang tua itu bangkit semangatnya melihat bahaya mengancam. Ia sudah melolos pedangnya, lengan kiri memeluk pinggang Suminten, tangan kanan memegang pedang siap melakukan perlawanan. Tiba-tiba Suminten merenggut dirinya terlepas dan berdiri menghadang di depan sang prabu.
"Jangan bunuh....! Kami menyerah.... !" teriaknya, kemudian ia memegang lengan kanan sang prabu dan berbisik, "Harap paduka melepas pedang, tiada gunanya melawan. Lebih baik menyerah."
Sang prabu mengerling ke arah Pangeran Kukutan dan ternyata pangeran itu telah kehilangan tombaknya dan kini sudah ditangkap oleh para pengeroyoknya. Sang prabu menarik napas panjang dan melempar pedang, akan tetapi berdiri dengan sikap agung dan angkuh. Orang-orang gundul itu menangkap sang prabu dan Suminten dan mereka bertiga telah diikat kedua tangan mereka di belakang tubuh, lalu digiring keluar dari tempat itu. Dengan sikap kasar sepuluh orang gundul itu lalu mengikat tubuh mereka pada batang pohon, masing-masing terpisah dua meter.
"Kalian siapakah? Mengapa menyerbu dan menangkap kami?" Sang prabu bertanya, suaranya keras dan sama sekali tidak kelihatan takut.
Seorang di antara orang-orang gundul itu menghampiri sang prabu dan tertawa menyeringai. Kemudian, dengan suara yang parau ia menjawab, "Kami anak buah Brotomenggala!"
"Tidak mungkin.... !!!" Sang prabu membentak dan membelalakkan mata penuh kekagetan dan keheranan.
"Ha-ha-ha, Brotomenggala yang memerintahkan kami menangkap Paduka. Paduka dan Pangeran Mahkota akan kami sembelih dan wanita ini dihadiahkan kepada kami. Ha-ha!"
"Bohong! Kalian ini perampok-perampok laknat yang bohong!" Sang prabu membentak penuh kemarahan.
"Bohong? Paduka saksikanlah!" Si gundul yang tinggi besar ini lalu menghampiri Suminten, tangan kirinya meraih dan menarik keras-keras,
"Brettt....!"
Bagian depan pakaian atas yang dipakai Suminten robek sehingga tampak sebagian dadanya. Suminten menjerit dan merintih perlahan, menangis.
"Tahan.... !" Sang prabu membentak dan berusaha meronta-ronta. Juga Pangeran Kukutan meronta-ronta. Dua orang gundul menghampiri mereka dan menodongkan ujung golok ke dada mereka penuh ancaman.
"Jangan bergerak!" Dua orang ini membentak.
"Tahan.... jangan lakukan itu....! Aku berjanji, demi kedudukanku sebagai Raja Jenggala. Kalau kalian membebaskan kami, aku akan memberi hadiah apa saja yang kalian minta!"
"Ha-ha-ha!" Si gundul yang menjadi pemimpin mereka bergelak. "Ki Patih Brotomenggala sudah menjanjikan hadiah terbesar bagi kami. Lebih baik kami sembelih kalian ayah dan putera terlebih dahulu agar jangan mengganggu kesenangan kami!" Si gundul kini mengangkat golok menghampiri sang prabu.
Betapapun tabahnya, kini sang prabu menjadi pucat.
"Tunggu sebentar.... !" katanya perlahan. "Aku tidak takut mati, akan tetapi sebelumnya katakan mengapa Kakang Patih Brotomenggala melakukan penghianatan ini!"
"Paduka masih bertanya lagi? Ha-ha-ha! Sudah bertahun-tahun paduka menyakitkan hati Ki Patih Brotomenggala. Paduka membunuh putera mantunya dan paduka memilih putera mahkota yang tidak dikehendakinya! Apakah paduka kira ki patih tidak mempunyai cita-cita? Ha-ha-ha..."
"Brotomenggala penghianat...!" Pangeran Kukutan memaki marah. "Sudah hamba katakan berkali-kali, akan tetapi paduka tak percaya....!" kata pula Suminten di antara isaknya.
Sang prabu menghela napas panjang. "Aahhh, siapa mengira...! Kakang Patih Brotomenggala...! Ah, Kisanak. Lakukanlah tugasmu. Kamu hanya petugas. Nah, aku siap menerima kematian akibat penghianatan seorang manusia durhaka!"
Si gundul itu tertawa lagi lalu mengangkat goloknya tinggi-tinggi. Sang prabu membelalakkan mata, bersikap seperti seorang di saat terakhir. Akan tetapi sebelum golok itu menyambar turun, tiba-tiba si gundul menjerit aneh dan tubuhnya roboh terjengkang, sebatang anak panah menancap di tenggorokannya!
Pada saat berikutnya, sesosok bayangan berkelebat seperti seekor garuda menyambar dan begitu bayangan ini menggerakkan kaki tangannya, dua orang gundul kembali roboh, yaitu mereka yang menjaga Pangeran Kukutan dan Suminten. Orang ini bukan lain adalah Raden Warutama!
Sang prabu memandang dengan heran dan kagum kepada pria perkasa yang kini mengamuk, dikeroyok tujuh orang gundul yang bersenjata golok. Bagaikan seekor burung srikatan saja tubuhnya cepat berkelebatan, sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada para pengeroyoknya. Tiba-tiba sinar hijau berkelebat dan ternyata itu adalah sebatang keris luk tujuh yang bersinar hijau dan dipegang oleh pria itu. Begitu sinar itu berkelebat, secara berturut-turut robohlah lima orang gundul. Pria itu masih mengamuk, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Kukutan berseru,
"Ksatria yang perkasa, harap tawan hidup-hidup dua orang itu!"
Pria itu menoleh, tersenyum, lalu kakinya bergerak menendang. Dua orang gundul terguling roboh, golok mereka mencelat dan setelah menyimpan kerisnya, pria itu lalu menelikung lengan mereka ke belakang, mengikat tangan mereka mempergunakan robekan pakaian mereka sendiri. Kemudian dengan sikap penuh hormat ia melepaskan belenggu sang prabu, Suminten, dan Pangeran Kukutan.
"Mohon ampun bahwa hamba agak terlambat sehingga paduka mengalami banyak kaget, Gusti." kata pria itu sambil bersimpuh dan menyembah penuh kehormatan.
Setelah mengelus-elus pergelangan tangan yang terasa sakit, sang prabu memandang pria itu, kemudian berkata, "Andika telah menyelamatkan kami, sungguh merupakan budi yang amat besar. Kalau tidak salah pandanganku, agaknya aku pernah melihatmu, ksatria yang perkasa. Siapakah gerangan andika?"
Raden Warutama menyembah dan menekan debar jantungnya. "Ampunkan, Gusti. Sesungguhnya, baru pertama kali ini hamba mendapat kehormatan menghadap paduka. Hamba bernama Warutama dan datang dari Bali-dwipa. Akan tetapi, tidaklah terlalu keliru perkiraan paduka kalau diingat bahwa paman hamba Narotama dahulu adalah abdi setia dari Sang Prabu Airlangga..."
"Ahhh, kiranya Andika ini anak kemenakan Paman Patih Narotama? Sungguh besar kekuasaan Dewata! Kami bersyukur bahwa yang menolong kami adalah keturunan Paman Patih Narotama..."
Hemm, sungguh awas pandang mata kakek yang sudah tua ini, pikir Warutama setelah hatinya lega kembali. Ia cepat bangkit dan berkata,
"Seyogianya paduka cepat-cepat kembali ke istana, Gusti. Siapa tahu kalau-kalau penjahat-penjahat ini masih banyak kawannya Biarlah hamba mencarikan kuda yang telah lari itu." Ia lalu melesat cepat dan tak lama kemudian sudah kembali menuntun empat ekor kuda. Dua ekor ia pasangkan di depan kereta sri baginda yang ia persilahkan memasuki kereta bersama Suminten. "Biarlah hamba mengawal paduka sampai ke istana."
Dua orang gundul yang menjadi tawanan itu lalu diikat di belakang kereta. Kemudian berangkatlah kereta itu dikawal oleh Warutama dan Pangeran Kukutan, kembali ke istana meninggalkan hutan yang mengerikan itu, di mana berserakan puluhan mayat manusia.
Di dalam kereta yang kudanya dituntun dari depan oleh Warutama yang juga menunggang kuda sedangkan Pangeran Kukutan mengawal di belakang kereta, Suminten Menangis sambil memeluk sang Prabu, "Aduh, junjungan hamba.... betapa ngeri .rasa hati hamba kalau teringat akan peristiwa tadi...! Yang hamba khawatirkan adalah paduka, Gusti..."
Sang prabu menjadi terharu dan mencium tengkuk wanita yang menelungkupkan muka di atas pangkuannya itu. "Dewata masih melindungi kita, Suminten kekasihku."
"Untung muncul Raden Warutama itu, kalau tidak..."
"Dia amat berjasa. Harus kita beri anugerah yang sepadan dengan jasanya yang besar."
"Dia keponakan mendiang Ki Patih Narotama yang amat setia. Kalau paduka mempunyai seorang patih seperti dia, setia dan sakti mandraguna, barulah akan aman tenteram rasa hati hamba...."
"Mengangkat dia menjadi patih?" Sang prabu meragu.
"Jasanya besar, kesetiaannya sudah terbukti..."
"Akan tetapi.... patih adalah warangka raja!"
"Dia jauh lebih setia dan lebih baik daripada penghianat Brotomenggala."
"Aahhh...!" Sang prabu menghela napas ketika nama ini disebut. "Tak tahu aku mengapa Kakang Brotomenggala menjadi begitu kejam dan curang. Dia sampai tega mengarah kematianku."
"Dia harus dihukum berat, seberat beratnya agar menjadI contoh bagi para ponggawa lain!" kata Suminten penuh semangat.
Sang prabu hanya dapat mengangguk angguk dengan lemas dan berduka. Sesungguhnya hatinya merasa berat sekali harus menghukum patihnya yang begitu setia sejak muda, akan tetapi dosanya sudah terbukti dan dosa ini melampaui batas.
"Betapa hatiku tak akan remuk? Di begitu setia..."
"Paduka jangan terlalu lemah! Perasaan pribadi harus dikalahkan dan kepentingan kerajaan harus dikemukakan. Kalau orang berdosa seperti dia, yang sudah berkhianat, mengarah kematian junjungannya tidak dibasmi sampai ke akar-akarnya tentu akan timbul lain penghianatan yang lebih kejam lagi!"
Sang prabu mengelus lengan yang berkulit halus lembut itu. "Engkau selalu benar, Suminten. Sudah berkali-kali engkau memperingatkan aku akan kepalsuan patihku, namun... ah, siapa mengira? Aku menyerahkan pelaksanaan hukuman kepadamu."
"Biarlah, Paduka jangan ikut-ikut. Biar hamba yang akan membalas kejahatannya! Kalau dia hanya membenci hamba dan mengusahakan kematian bagi hamba, hal ini tidak hamba perduli dan hamba menganggap hal yang tidak penting. Akan tetapi... dia berani hendak menyuruh bunuh Paduka! Paduka raja besar junjungan rakyat seluruh Jenggala! Penghlanat macam dia harus dibasmi sampai seluruh keluarganya. Ijinkanlah hamba menyuruh pengawal menangkap penghianat itu bersama seluruh keluarga dan semua abdinya dan menjatuhkan hukuman gantung di alun-alun agar semua ponggawa menjadi takut melakukan penghianatan."
Gegerlah seluruh isi istana ketika rombongan sang prabu yang berangkat dengan megah itu kini pulang dalam keadaan yang mengejutkan. Apalagi Ki Patih Brotomenggala sendiri yang sedang bersiap-siap untuk menyambut pulangnya junjungannya, tiba-tiba kedatangan serombongan pasukan pengawal yang serta merta menangkap dia dan seluruh keluarganya. Sebagai seorang patih yang berwibawa dan berkuasa, tentu saja Ki Patih Brotomenggala menjadi marah dan membentak,
"Kalian ini mau apa? Sudah berbalikkah dunia ini sehingga barisan pengawal hendak menentang atasannya?"
Komandan pasukan itu hanya menjawab singkat, "Kami mengemban tugas gusti sinuwun yang memerintahkan untuk menangkap dan membawa Paduka sekeluarga menghadap gusti sinuwun!"
Hujan tangis terjadi di dalam kepatihan. Namun, sekali ini Pangeran Kukutan tidak mau sembrono dan karena perintah penangkapan itu sebetulnya datang dari Suminten, tentu saja pengawal yang diutus untuk menangkap keluarga kepatihan adalah pasukan pengawal kepercayaannya. Biarpun keluarga kepatihan meratap dan menangis, pasukan pengawal ini sedikit pun tidak menaruh kasihan dan memaksa seluruh keluarga, berikut beberapa orang anak-anak yang menjadi cucu dan buyut Ki Patih Brotomenggala, juga semua pelayan, dipaksa untuk ikut menjadi tahanan. Jumlah semuanya ada tiga puluh enam orang!
Hanya ada seorang anggauta keluarga kepatihan yang secara kebetulan saja lolos dari penangkapan ini. Dia itu adalah seorang cucu luar ki patih, seorang gadis berusia Sembilan belas tahun yang bernama Widawati. Pada saat penangkapan terjadi, gadis ini sedang keluar dari kepatihan untuk berlatih tari-tarian di rumah seorang sahabatnya yang menjadi puteri pelatih tarian. Begitu mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarganya, Widawati dibujuk dan dinasehati kawan-kawannya untuk melarikan lolos dari dalam istana dengan bantuan para ponggawa yang setia dan yang menaruh kasihan kepada sang puteri.
Ketika para tahanan dihadapkan kepada raja, mereka itu berlutut dan tidak kedengaran lagi isak tangis. Keluarga kepatihan yang sudah terlatih ini menahan semua perasaan dan berlutut sembah dengan penuh kekhidmatan kepada sang prabu yang menjadi junjungan mereka. Bahkan yang kecil-kecil pun tahu akan sopan-santun istana ini.
Di dalam hatinya, sang prabu merasa seperti ditusuk pisau berkarat menyaksikan wajah patihnya yang setia itu, yang kini berlutut dengan wajah tua keriputan di depan kakinya, dengan pandang kosong terheran-heran.
"Brotomenggala!" bentak sang prabu, melenyapkan sebutan "kakang patih". "Di depanku, disaksikan oleh semua ponggawaku yang kini hadir, ceritakanlah penghianatanmu dan usaha kejimu yang gagal agar semua mendengar betapa seorang penghianat keji sepertimu patut dijatuhi hukuman!"
Patih yang tua itu mengangkat kepala memandang junjungannya dengan sepasang mata yang penuh kejujuran dan kesetiaan, kemudian menyembah dan berkata, suaranya lantang,
"Sesungguhnya, Gusti junjungan hamba, tidak ada seujung rambut pun usaha keji penghianatan di dalam hati dan pikiran hamba, baik di masa lampau, sekarang maupun di masa datang. Bahkan hamba masih belum tahu mengapa hamba sekeluarga ditangkap. Mohon kebijaksanaan dan keadilan paduka, Gusti."
"Brotomenggala, lidahmu bercabang seperti lidah ular! Semua penghianat selalu bersuara merdu! Bukti sudah nyata, saksi pun banyak, masih hendak menyangkal?" Suminten berseru marah. "Aku sendiri menjadi saksi, aku yang hampir terbunuh bersama pangeran pati dan terutama sekali gusti sinuwun. Tentu penghianatanmu akan berhasil membunuh kami bertiga kalau saja tidak datang pertolongan dari satria ini!"
Terbelalak mata Ki Patih Brotomenggala dan keluarganya. "Apa....apa yang telah terjadi....?" tanya patih tua itu tergagap.
"Brotomenggala, kalau kamu bersandiwara, sungguh kamu merupakan pemain yang amat pandai," kata sang prabu yang kemudian berkata kepada Pangeran Kukutan, "Puteraku, ceritakanlah semuanya agar didengar oleh para ponggawa dan oleh si penghianat ini sendiri."
Pangeran Kukutan yang memang sudah bersiap-siap untuk bertindak sebagai jaksa penuntut, sengaja belum berganti pakaian sehingga kini ia maju dengan pakaiannya berburu yang masih koyak-koyak dan dengan beberapa luka kecil babak dan lecet pada lengan dan pahanya. Ia bangkit dari lantai, kini berdiri dan menentang pandang mata para ponggawa yang hadir. Ia maklum bahwa para ponggawa itu sebagian besar adalah kaki tangannya, akan tetapi di antara mereka masih terdapat orang-orang yang pro ki patih, maka kepada mereka inilah ia menujukan pandang matanya. Kemudian ia berpaling kepada Ki Patih Brotomenggala, mulutnya tersenyum mengejek secara terang-terangan kepada musuhnya ini, lalu mulai bercerita,
"Ketika Ramanda Prabu dan para pengikut sedang berburu dengan gembira di dalam hutan, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan, dan beberapa orang pengawal roboh. Tahu-tahu, entah darimana datangnya, kami telah terkurung oleh puluhan orang tinggi besar berkepala gundul yang ganas dan liar, bersenjata golok!" Sang pangeran berhenti dan kembali menoleh ke arah Ki Patih Brotomenggala yang mendengarkan dengan sikap tenang dan pandang mata penasaran.
Para ponggawa menahan napas karena mereka pun belum tahu apa sesungguhnya yang telah terjadi sehingga sang prabu pulang dari perburuan tanpa dikawal pasukan pengawal.
"Para pengawal kami mengadakan perlawanan dengan gagah berani, sedangkan aku sendiri cepat melindungi Ramanda Prabu dan Ibunda Selir yang berlindung di dalam kereta. Perang tanding seru terjadi, akan tetapi sungguhpun para pengawal yang gagah berhasil menewaskan musuh, jumlah musuh terlalu besar dan akhirnya para pengawal kami yang tiga puluh orang itu roboh tewas semua." Kemball pangeran Kukutan berhenti sebentar dan para pendengarnya menahan napas, bahkan ada yang mengeluarkan seruan tertahan.
"Gerombolan penjahat gundul itulah menyerbu kereta. Kami melakukan perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena dikeroyok banyak orang yang liar, akhirnya Ramanda Prabu, ibunda Selir, dan saya sendiri tertawan dan diikat pada pohon. Nyaris kami bertiga terbunuh apalagi Ramanda Prabu yang sudah terancam dengan golok musuh siap membacok. Pada detik terakhir, muncullah satria perkasa ini, Seorang satria dari Bali dwipa bernama Raden Warutama yang sebetulnya bukanlah orang lain karena Raden Warutama ini anak keponakan mendiang Sang Patih Narotama yang sakti mandraguna dan setia! Dengan kesaktiannya, para penjahat itu dapat dibunuh semua, kecuali dua orang yang sengaja ditawan hidup-hidup untuk menjadi saksi."
Para ponggawa kini memandang ke arah Warutama yang masih duduk bersila dengan tenang itu, memandang penuh kagum. Siapa tidak akan kagum kala mendengar bahwa pria yang tampan dan perkasa itu adalah keponakan Sang Narotama yang perkasa? Apalagi pria ini telah membebaskan sang prabu daripada ancaman maut.
"Ramanda Prabu sendiri yang bertanya kepada para penjahat itu ketika beliau ditangkap, menanyakan kehendak mereka dan siapa yang menyuruh mereka. Dan apa jawab mereka? Secara terang-terangan mereka mengatakan bahwa mereka adalah anak buah Brotomenggala!"
"Bohong...!" Ki Patih Brotomenggala berseru keras.
Namun Pangeran Kukutan tidak memperdulikannya dan melanjutkan kata-katanya dengan suara lantang, "Tadinya pun kami bertiga tidak percaya akan pengakuan mereka. Akan tetapi berkali-kali mereka mengaku bahwa mereka itu hanya melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh Brotomenggala yang menurut pengakuan mereka menaruh dendam kepada Ramanda Prabu atas kematian mantunya beberapa tahun yang lalu."
"Bohong! Fitnah belaka! Gusti Sinuwun, percayakah Paduka akan fitnah keji seperti itu? Hamba sama sekali tidak tahu-menahu, bahkan mengenal mereka pun tidak! Hendaknya Paduka menyelldikl dengan seksama sebelum menjatuhkan keputusan. Bukan sekali-kali karena hamba mementingkan keselamatan sendiri, hanya hamba mengkhawatirkan langkah yang Paduka ambil sebelum mengadakan pemeriksaan secara teliti. Hamba hanya berani mengatakan dengan sumpah bahwa sesungguhnya hamba tidak tahu-menahu dengan terjadinya peristiwa keji di dalam hutan itu."
Wajah sang prabu menjadi merah, "Brotomenggala! Telingaku sendiri mendengar pengakuan setan-setan gundul itu! Mataku sendiri melihat betapa mereka membunuhi semua pengawalku, hendak menghina selirku. Dan Andika masih menyangkal? Seret dua orang gudul itu masuk!"
Dua orang pengawal menyeret dua orang tinggi besar yang gundul itu masuki ruangan. Biarpun tubuh mereka penuh luka, namun kedua orang itu sama sekall tidak memperlihatkan kelemahan dan ketakutan. Mata mereka masih terbelalak memandang ke depan, dan mereka itu sama sekali tidak kelihatan menderita, seolah-olah semua ini tidak terasa oleh mereka. Kedua tangan mereka dibelenggu dan setelah kedua orang pengawal itu menekan dan memaksanya, barulah mereka itu roboh dan berlutut di depan sang prabu. Karena bangkit kemarahannya ketika melihat dua orang ini, sang prabu memberi isyarat kepada Pangeran Kukutan untuk mewakilinya memeriksa tawanan.
"Hei, kalian dua orang yang sudah melakukan dosa! Katakan sebenarnya, siapa yang menyuruh kalian dan gerombolan kalian untuk menyerang rombongan gusti sinuwun!" kata Pangeran Kukutan dengan suara lantang.
Seorang di antara mereka yang pipinya terluka mengangkat muka dan menjawab, suaranya dingin penuh ejekan, "Pasukan kami diperintah oleh Ki Patih Brotomenggala untuk menghadang rombongan Gusti Sinuwun dalam hutan, untuk membunuh Gusti Sinuwun dan Gusti Pangeran Pati, serta menculik Selir Gusti Sinuwun."
Sunyi senyap keadaan ruangan itu setelah terdengar pengakuan ini, dan muka para ponggawa yang menjadi sahabat ki patih menjadi pucat, mata mereka memandang ke arah patih tua itu dengan keheranan dan pertanyaan. Terdengar isak tertahan di antara keluarga yang berlutut di belakang Ki Patih Brotomenggala.
"Penghianatan keji yang tiada taranya! Sudah sepatutnya kalau si penghianat keji sekeluarganya dihukum gantung sampai mati di alun-alun!" Tiba-tiba terdengar suara Suminten, lantang memecah kesunyian dan ketegangan, menimbulkan ketegangan baru.
Melihat wajah dan keadaan ki patih sekeluarga, semua hati para ponggawa terharu dan kasihan, namun mengingat akan dosanya yang amat hebat, tak seorang pun berani membantah tuntutan yang keluar dari mulut terkasih sang prabu yang dalam peristiwa itu mengalami pula ancaman dan penghinaan.
Tiba-tiba Ki Patih Brotomenggala dari tempat ia bersila meloncat ke depan dan di lain saat kedua tangannya sudah mencengkeram leher dua orang tawanan gundul itu, mukanya merah dan matanya melotot, mulutnya mendesiskan kata-kata penuh kemarahan,
"Jahanam! Hayo katakan siapa yang menyuruh kalian menjatuhkan fitnah atas diri saya?"
Dengan sikap tenang saja dua orang gundul itu berkata, "Kami diperintah oleh Ki Patih Brotomenggala...!"
"Krakkki" Ki Patih Brotomenggala menggerakkan kedua lengannya, dua kepala yang gundul itu beradu keras dan pecah berantakan!
Semua orang terkejut, Pangeran Kukutan meraba gagang keris, para pengawal sudah siap dengan tombak mereka untuk mengeroyok ki patih yang agaknya hendak memberontak.
"Brotomenggala! Berani engkau melakukan hal ini di hadapanku?" Bentakan ini keluar dari mulut sang prabu yang sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya.
Kl Patih Brotomenggala yang tadinya tak dapat mengendalikan kemarahannya, ketika mendengarkan bentakan ini menjadI lemas seluruh sendi tulangnya dan Ia menjatuhkan diri berlutut di depan junjungannya.
"Ampunkan hamba.... hamba tidak berani.... akan tetapi semua ini adalah fitnah.... fitnah... fitnah...!" Patih yang sudah tua itu menutupi mukanya dengan kedua tangan, tubuhnya menggigil karena menahan rasa penasaran dan kemarahan besar.
"Tidak ada fitnah Aku sendiri yang menjadi saksi, bagaimana bisa dikatakan fitnah? Pengawal, tangkap penghianat dan pemberontak ini, laksanakan hukuman gantung di alun-alun bersama seluruh keluarganyal" Sang prabu yang sudah diamuk kemarahan itu mengeluarkan perintah yang disambut isak tangis seluruh keluarga kepatihan.
Namun para pengawal yang sudah mendapat aba-aba dari Pangeran Kukutan, sudah menangkap mereka semua, membelenggu dan menggiring mereka keluar dari ruangan itu, menuju ke alun-alun. Para ponggawa tidak ada yang berani campur tangan karena merekapun yakin akan keadaan ki patih, sungguhpun hal ini membuat mereka terheran-heran dan tidak mengerti. Kini alun-alun telah dibanjiri penduduk yang hendak menyaksikan pelaksanaan hukum massal yang mengerikan ini. Tiang-tiang gantung dibangun serentak, tiga puluh enam buah banyaknya. Mengerikan!
Hanya mereka yang menjadi kaki tangan Suminten dan Pangeran Kukutan saja yang diam-diam tersenyum puas karena musuh besar mereka yang berbahaya itu kini akan dibasmi habis. Rakyat biasa menonton dengan wajah pucat dan banyak pula yang menangis sembunyi-sembunyi.
Sang prabu sendiri duduk di panggung dengan wajah pucat dan mata sayu. Suminten duduk di dekatnya dengan wajah berseri, dan Pangeran Kukutan berdirl tegak, gagah dan masih berpakaian pemburu. Di dekatnya berdirl Raden Warutama yang menjadi buah bibir para ponggawa, karena dialah pada saat itu menjadi pahlawan penolong raja.
Para hukuman sudah digiring berkelompok di dekat tiang-tiang gantungan. Amat mengharukan keadaan mereka. Ki patih yang sudah tua dengan kedua tangan dibelenggu, berdiri dengan kedua kaki terpentang, mukanya yang keriputan menengadah ke langit, seolah-olah mohon kekuatan dari para dewata. Bergantian keluarganya menghampirinya, memeluk kedua kakinya dan menangis, namun kakek perkasa itu tidak mau memandang ke bawah karena ia maklum bahwa sekali semangatnya runtuh, ia akan menjadi pilu dan hatinya akan menderita. Ia tidak ingin mati dalam keadaan seorang pengecut. Karena ia tidak bersalah, mati pun harus seperti seorang satria perkasa.
Perang tanding terjadi dalam hati dan pikirannya. Betapapun gagah sikapnya, kalau dia dan keluarganya akan mati di tiang gantungan, berarti mereka itu mati sebagai keluarga penghianat! Kalau dia mengamuk pada saat terakhir itu, akhirnya ia akan mati dikeroyok berikut keluarganya dan mati sebagai keluarga pemberontak!,
Tiba-tiba ki patih mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau terluka dan ia sudah membalikkan tubuh, menghadap ke arah sang prabu yang duduk di atas panggung. Kemudian, sambil memandang junjungannya dengan sepasang mata berkilat-kilat, ia berkata, suaranya nyaring sehingga terdengar oleh semua orang, memecah kesunyian yang menegangkan di saat itu,
"Gusti Sinuwun! Hamba bukan seorang penghianat, karena itu hamba tidak ingin mati sebagai seorang penghianat terhukum! Keluarga hamba adalah abdi-abdi yang setia, bukan pula pemberontak! Maka hamba sekeluarga rela mengorbankan nyawa demi dharma bakti hamba kepada Paduka Gusti. Namun sekali lagi, bukan mati sebagai orang hukuman karena hamba tidak berdosa, melainkan mati membunuh diri karena penyesalan dan kedukaan menyaksikan Paduka Gusti Sinuwun junjungan hamba telah terkena bujukan iblis, telah dilemahkan oleh manusia-manusia berhati iblis seperti Suminten dan Pangeran Kukutan! Hamba sekeluarga rela berkorban, namun semoga paduka menjadi sadar....!"
Semua orang tertegun dan secepat kilat ki patih yang memang memiliki kedigdayaan ini telah mematahkan belenggu tangannya dengan sekali renggut kemudian tangannya meraih seorang pengawal di dekatnya, merampas sebatang pedang dan dengan pedang ini ki patih lalu menyerbu keluarganya sendiri! Hebat bukan main perlstiwa ini. Gerakan ki patih amat tangkas dan cepat, tusukan-tusukannya tepat mengenai dada menembus jantung sehingga setiap keluarga yang terkena tusukannya, roboh tak sempat menjerit lagi. Isteri-isterinya, putera-puterinya, para abdi, seorang demi seorang dia robohkan, dia renggut nyawanya dengan perantaraan ujung pedang. Mereka yang roboh tak bergerak lagi, mereka yang belum terbunuh berlutut dan membuka dada sambil memandang ki patih dengan air mata bercucuran. Semua siap menerima kematian di tangan ki patih!
Tinggal lima orang kanak-kanak, yaitu cucu buyut ki patih yang belum roboh tewas. Ki patih meloncat dengan mengayun pedang. Dari mulut seorang anak laki-laki cucu buyutnya, berusia paling banyak lima tahun, terdengar rintihan,
"Eyang.... Eyang Buyut.... !"
Ki patih yang matanya terbelalak, pedang dan seluruh pakaian serta kedua lengannya merah oleh darah keluarganya itu seperti disambar halilintar, berdiri memandang wajah anak kecil yang menangis itu, menggigil, pedangnya terlepas dan ia menjatuhkan diri berlutut, mendekap lima anak kecil yang kini kesemuanya menangis.
"Srrrt.... srrrtt....!" Hujan anak panah yang dilepas oleh para pengawal atas perintah Pangeran Kukutan menyambar ke arah kakek dan lima orang cucunya.
Ratusan batang anak panah menancap di tubuh kakek itu yang dengan tenaga terahir merangkul lima orang cucunya, tak bergerak-gerak, dan hanya darah yang bercucuran dari sekelompok manusia ini membuktikan bahwa mereka berenam telah menjadi sasaran anak panah. Ketika para pengawal menyerbu dan mendekat, baru diketahui bahwa kakek itu memeluk lima orang cucunya dengan pengerahan tenaga sehingga mereka berlima telah tewas karena remuk tulang-tulangnya dalam dekapan kakek mereka sebelum anak-anak panah itu menembus tubuh mereka bersama tubuh kakek mereka.
Ki Patih Brotomenggala tewas dalam keadaan memeluk lima orang cucu buyutnya, dengan mata masih melotot penuh penasaran akan tetapi mulut membayangkan kasih sayang mesra kepada keluarganya yang terpaksa ia bunuh sendiri karena menghindarkan mereka daripada kematian sebagai keluarga penghianat atau pemberontak!
Penglihatan yang amat hebat itu membuat semua penonton menggigil, banyak yang bercucuran air mata, bahkan ada yang pingsan di tempat ia berdiri atau berjongkok. Sang prabu sendiri ternyata pingsan di tempat duduknya dan dengan pimpinan Suminten dan Pangeran Kukutan, sang prabu diusung masuk kembali ke dalam istana. Para pengawal membubarkan semua penonton dan melenyapkan mayat-mayat keluarga ki patih, tidak lupa mencabuti tiang-tiang gantungan yang masih bersih karena belum digunakan itu.
Peristiwa mengerikan itu kembali mengguncangkan Kerajaan Jenggala, membuat gentar mereka yang tadinya berfihak kepada Ki Patih Brotomenggala. Para ponggawa yang tebal rasa sayang kepada diri sendiri, yang berwatak pengecut, melihat betapa besar kekuasaan pangeran mahkota dan selir terkasih sang prabu, maka tanpa malu-malu mereka ini cepat memalingkan muka dan dengan suka rela menggabung kepada Pangeran Kukutan. Mereka yang lebih kokoh batinnya, yang menjunjung kesatriaan di atas kepentingan pribadi, diam-diam lolos dari kerajaan, membawa keluarga mereka melarikan diri dan bersembunyi di gunung-gunung dan sebagian besar lari memasuki daerah Panjalu.
Sang prabu menjadi berpenyakitan semenjak terjadinya peristiwa mengerikan itu. Atas bujukan Suminten dan Pangeran Kukutan, juga karena menganggap bahwa orang yang telah menolong nyawanya itu patut diberi anugerah besar, apalagi mengingat bahwa Raden Warutama memiliki kesaktian hebat, maka diangkatlah Raden Warutama menjadi patih, menggantikan Ki Patih Brotomenggala. Dengan demikian, secara tidak resmi, Suminten mewakili raja mengatur rencana. Resminya, Pangeran Mahkota Kukutan yang mewakili raja mengatur pemerintahan, dan pelaksanaannya adalah Ki Patih Warutama!
Beberapa malam kemudian setelah terjadinya peristiwa mengerikan di alun-alun Kerajaan Jenggala, Suminten berkenan menerima "kunjungan" Ki Patih Warutama di dalam kamarnya! Karena dia berkedudukan sebagai patih, tentu saja akan amat menyoloklah kalau Warutama datang secara berterang, maka Warutama mempergunakan aji kesaktiannya, memasuki keputren ini seperti seorang pencuri.
Di dalam kamar yang indah dan harum itu, Suminten dan Pangeran Kukutan menyambutnya dan berpesta-poralah ketiga orang yang mabuk kemenangan ini, dengan hidangan-hidangan yang lezat, dilayani oleh emban-emban yang muda-muda dan cantik-cantik. Tentu saja para emban dan abdi yang menjadi pelayan di situ, termasuk beberapa orang pengawal kepercayaan, adalah orang-orang yang sudah amat dipercaya.
"Sungguh beruntung siasat yang Andika jalankan itu berjalan dengan amat lancar dan berhasil baik, Paman Patih," kata Pangeran Kukutan setelah mereka terhenyak kekenyangan dan kepuasan menghadapi meja yang telah dibersihkan dari sisa-sisa makanan. "Dan baru sekarang kita dapat berkumpul sehingga akan dapat terjawablah pertanyaan-pertanyaan yang sungguh mengganggu perasaanku."
"Hal apakah yang hendak Paduka tanyakan?"
"Tentang pasukan gundul itu. Siapakah mereka?"
Patih Warutama tersenyum lebar dan membusungkan dada. "Mereka adalah anak buah sahabat kita dari Negeri Cola."
"Permainan yang amat berbahaya sekali!" kata Suminten sambil memandang dengan sepasang matanya yang jeli dan bersinar jalang yang dapat meneliti tubuh seorang pria penuh penilaian seperti ketika ia memandang patih baru itu pada saat Itu. "Andika membiarkan dua di antara mereka tertawan hidup-hidup dan diperiksa di depan gusti sinuwun. Hatiku hampir berhenti berdetik ketika mereka dlperiksa, apalagi ketika mereka digertak oleh Brotomenggala. Bagaimana andaikata mereka itu ketakutan dan mengaku terus terang?"
Patih Warutama memandang ke arah dada Suminten yang membusung, seolah-olah hendak menembus kulit halus itu menjenguk hati yang hampir berhenti berdetik. Mulutnya masih tersenyum bangga.
"Tidak mungkin. Mereka itu adalah orang-orang yang sudah kehilangan pengaruh atas diri pribadi, sepenuhnya mereka dikuasai oleh ilmu kesaktian sahabat kita yang bernama Cekel Wisangkoro, murid Sang Wasi Bagaspati yang sakti mandraguna, wakil dari Negeri Cola."
"Hemm, kiranya begitu? Aku pun amat khawatir tadinya. Akan tetapi, kupikir bahwa pelaksanaan siasat itu agak merugikan. Untuk itu Andika telah mengorbankan hampir lima puluh orang anggauta pasukan gundul. Bukankah ini berarti mengorbankan nyawa teman-teman sendiri?" tanya Pangeran Kukutan.
Berkerut kening tebal Patih Warutama. "Pangeran, Paduka agaknya masih harus banyak belajar. Untuk mencapai cita-cita, tidak ada jalan yang tak boleh ditempuh dan dipergunakan. Jangankan hanya mengorbankan nyawa lima puluh orang kawan, kalau perlu, jalan yang lebih keji dan buruk lagi harus dilakukan demi tercapainya cita-cita. Yang penting, cita-cita kita tercapai, bukan? Apa artinya nyawa puluhan orang mayat hidup itu? Ha-ha-ha!"
Diam-diam Suminten dan Pangeran Kukutan bergidik. Mereka pun bercita-cita tinggi dan tidak segan-segan melakukan apa saja demi cita-cita tercapai. Akan tetapi tidak pernah terpikirkan oleh mereka untuk menempuh jalan seperti itu, membunuhi kawan sendiri sekian banyaknya. Kini mereka diam-diam menganggap betapa benarnya pendapat kawan baru ini dan mereka mengangguk-angguk, seperti murid-murid yang menerima ajaran lebih tinggi dari seorang guru yang pandai. Melihat sikap mereka, Patih Warutama lalu melanjutkan kata-katanya dengan suara bangga.
"Manusia hidup harus bercita-cita untuk mencapai kedudukan tertinggi, karena hanya dengan kekuasaan dan kedudukan tinggi kita akan dapat menikmati kesenangan dunia. Selagi hidup, kalau tidak mereguk arak kenikmatan dunia sepuasnya, apa artinya? Hanya menanti mati. Dan untuk mencapai cita cita, kita tidak boleh memilih cara. Cara apa saja harus ditempuh demi tercapainya cita-cita!"
Orang ini hebat, pikir Suminten. Dengan dia ini sebagai sekutuku, akan berhasillah segala cita-citaku. Maka kini pandang matanya mulai memancarkan daya tarik yang amat memikat ke arah Patih Warutama. Ki patih bukan tidak tahu akan hal ini. Dia seorang pria yang sudah berpengalaman dan sudah mengenal belaka segala sifat wanita, maka ia makin bangga, wajahnya berseri dan tanpa diminta ia melanjutkan kata-katanya seperti seorang guru besar memberi kuliah atau seorang pendeta memberi wejangan,
"Hanya orang yang memperoleh kemenangan saja yang akan tercapai cita-citanya. Kemenangan adalah kunci pertama, karena yang menang itu berarti yang berkuasa, dan sudah barang tentu bahwa yang berkuasa itu selalu baik dan benar. Yang buruk dan salah, yang patut diinjak-injak adalah mereka yang kalah. Bayangkan saja, andaikata dalam urusan menghadapi keluarga Brotomenggala kita yang kalah, akan bagaimana jadinya dengan kita? Kalau mereka yang menang, tentu mereka yang berkuasa dan mereka yang baik dan benar. Kita yang kalah? Menjadi makanan cacing!"
Pangeran Kukutan dan Suminten mendengarkan dengan pandang mata kagum dan gembira. Mereka lalu minum hidangan yang terbuat daripada campuran madu dan sari buah, minuman yang memabukkan dan mempunyai daya merangsang. Kalau kita mengetahui latar belakang tiga orang ini, akan terdengar sumbang dan melantur pendapat yang dikemukakan oleh Warutama tadi. Namun, ah, betapa banyaknya orang di luar kesadaran pribadi mempunyai pendapat yang serupa. Untuk mencapai cita-cita maka segala cara dibenarkan! Betapa kotor dan menyesatkan pendapat seperti itu! Mereka lupa bahwa yang kotor tidak mencerminkan yang bersih, bahwa yang pahit tidak memberikan buah yang manis.
Kalau cara yang dipergunakan untuk menempuh cita-cita itu keji, maka sudah tak dapat disembunyikan lagi bahwa cita-citanya sendiri pun tentu keji! Tidak mungkin cita-cita yang bersih ditempuh dengan jalan atau cara yang kotor! Sebaliknya, cita-cita yang kotor takkan dapat ditempuh dengan cara yang bersih, atau kalau pun bersih, maka kebersihan cara itu hanya merupakan siasat atau kedok belaka. Sudah jelas bahwa cita-cita yang baik dan bersih. Harus dicapai dengan cara yang baik dan bersih pula!
Pendapat ke dua dari Warutama yang bermoral bejat tentang kemenangan, kekuasaan dan kebenaran merupakan pendapat yang tersesat jauh, bahkan mudah menyesatkan orang. Memang tak dapat disangkal kenyataannya bahwa di dunia ini banyak berlaku hukum seperti yang dikatakannya, yaitu siapa menang dia berkuasa dan siapa berkuasa dia benar dan baik! Akan tetapi ini hanya pendapat orang yang menjadi kawula iblis, yang hidup demi pemuasan nafsu pribadi.
Pendapat Warutama itu merupakan hukum rimba yang hanya patut diterapkan pada kehidupan binatang yang tidak mengenal peri kemanusiaan. Manusia mengenal pribudi, tahu akan baik dan buruk, mana benar mana salah. Justeru pribudi menuntut agar setiap manusia ingat bahwa dalam kemenangan tidak boleh sombong dan mabuk serta gila kekuasaan. Kemudian, yang kebetulan berkuasa tidak boleh sewenang-wenang menganggap diri sendiri selalu benar dan baik.
Karena menang dan kalah itu hanya pandangan belaka, seperti suka dan duka. Yang menang di lain waktu bisa kalah, demikian sebaliknya. Juga kedudukantinggi atau rendah hanya pandangan, yang tinggi sewaktu-waktu bisa saja menurun, yang rendah menaik. Karena itu, pedoman terbaik adalah tidak patah hati di waktu kalah dan tidak tinggi hati di waktu menang. Selalu rendah hati, menujukan langkah di atas jalan yang benar, dan menerima segala peristiwa yang menimpa diri sebagai kehendak Yang Maha Kuasa!
Suminten yang sedang dimabuk cita-cita setinggl langit, mendengar ucapan-ucapan Patih Warutama, menjadi amat tertarik. "Sungguh beruntung bagiku dapat berjumpa dengan seorang yang pandai seperti Andika! Semoga kerja sama di antara klta akan tetap kekal abadIl" Ucapan ini disertai senyum dan diikuti kerling memikat dari sudut mata.
Warutama tertawa, lalu tanpa malu-malu terhadap Pangeran Kukutan ia berkata, "Bolehkah sekarang saya mengharapkan hadiah pribadi dari Sang Ayu?"
Suminten terkekeh genit, bibir yang merah itu merekah dan tampak deretan gigi yang putih dan berbentuk bagus seperti mutiara. Dengan gaya manja ia menggeliat, menoleh kepada Pangeran Kukutan sambil berkata, "Puteranda Pangeran, sudikah Paduka pulang sekarang karena ibunda ingin sekali beristirahat sambil minta nasehat-nasehat dari ki patih?"
Pangeran Kukutan maklum akan maksud hati Suminten. Dia tidak cemburu lagi, karena dia sudah mengenal betul watak ibu tiri atau juga kekasihnya ini. Tiada bedanya dengan dia sendiri. Setiap malam harus ada seorang kekasih yang mengawani melewatkan malam panjang! Dia mengenal tubuh indah wanita ini yang tak pernah merasa puas dalam mengabdi nafsu berahi. Ia bangkit dan tersenyum maklum sambil mengangguk kepada Warutama. Kemudlan pergi meninggalkan kamar itu untuk mengunjungi seorang di antara kekasihnya yang banyak terdapat di antara para puteri, abdi wanita, dan selir-selir pangeran sepuh lainnya.
Asyik dan mesralah kini mereka berdua, Suminten dan Warutama, setelah mereka ditinggal berdua saja di dalam kamar itu. Para abdi diusir keluar, pintu kamar ditutup dan mulailah mereka saling mengenal pribadi masing-masing. Diam-diam Warutama kagum sekali karena sekarang ia mengenal betul siapa sebenarnya wanita yang bernama Suminten ini dan mengapa wanita ini dapat mencapai kekuasaan di Kerajaan Jenggala.
Banyak sudah ia mengenal wanita yang secara suka rela atau paksaan menjadi kekasihnya, namun baru sekali ini ia bertemu dengan seorang wanita yang benar-benar dapat mengimbangi keahliannya dalam bermain asmara. Sebaliknya, Suminten juga mendapat kenyataan yang jauh melampaui dugaannya, bahkan mendapatkan pengalaman yang jauh berada di luar batas lamunannya. Mimpi pun belum pernah ia menemui pria yang seperti Warutama, seorang yang sudah matang dan benar-benar merupakan seorang ahli dalam menyenangkan perasaan dan hati wanita.
Mereka berdua seperti mabuk dan lupa diri, tenggelam dalam lautan nafsu yang memabukkan dan barulah Patih Warutama sadar dan tergesa-gesa meninggalkan kamar itu ketika keesokan harinya, seorang abdi kepercayaan secara terpaksa mengetuk pintu kamar karena khawatir kalau-kalau sang prabu berkenan datang berkunjung di pagi hari itu.
Dengan adanya Patih Warutama, makin kuatlah kedudukan persekutuan yang bercita-cita menguasai Jenggala ini, dan makin berkembanglah sayap persekutuan ini, makin jauh kuku-kukunya mencengkeram Jenggala.
Sang prabu yang makin lemah sudah menyerahkan seluruh kepercayaannya kepada Suminten yang tak kunjung gagal menina-bobokkan raja tua itu di malam hari, kepada Pangeran Kukutan yang selalu pandai mencari muka sebagai seorang putera mahkota yang penuh hormat, taat, dan berbakti, dan kepada Patih Warutama yang sikapnya tenang, pribadinya berwibawa, dan pendapat-pendapatnya jitu itu.