Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 28
SERINGKALI ia tersenyum puas menyaksikan hasilnya. Dahulu dia hanyalah seorang perwira kecil di Jenggala, dan karena dia bermain cinta dengan seorang puteri dari selir raja dia terpaksa melarikan diri agar tidak dihukum mati. Dan setelah berkali-kali gagal dalam usahanya mengejar kemuliaan, gagal di Blambangan dan merantau terlunta-lunta di Bali, kini dia berhasil menjadi Patih Jenggala!
Ki Patih Warutama yang dahulunya bernama Raden Sindupati ini adalah seorang pria yang tampan dan gagah, namun sayang ketampanan dan kegagahannya itu hanya menjadi pulasan belaka, hanya setebal kulitnya. Hati dan pikirannya selalu kotor dan menjadi hamba daripada nafsu-nafsunya sendiri, terutama sekali nafsu berahi yang membuat dia menjadi seorang pria yang gila wanita. Setelah kini kedudukannya kokoh kuat, la mulai membujuk Suminten dan Pangeran Kukutan untuk mulai mengadakan kontak dengan fihak Sriwljaya dan Cola yang wakil-wakilnya memang sudah banyak yang menyelundup ke Jenggala.
Mulailah kini Ki Patih Warutama mengangkat pembantu-pembantu yang sesungguhnya adalah anak buah Sang Wasi Bagaspati dan Sang Biku Janapati! Mulailah pengaruh kedua kerajaan itu menyusup ke Jenggala. Bukan hanya ini saja usaha yang dilakukan oleh Ki Patih Warutama. Juga kedudukan dan kemuliaannya membuat penyakit lama dalam dirinya kambuh, yaitu mengejar wanita-wanita cantik! Dan di Jenggala adalah kedungnya wanita-wanita cantik! Dengan ketampanan wajahnya, ditambah kedudukannya sebagai patih, diperkuat pula oleh kesaktiannya, akan mudah sekali bagi Warutama untuk mencari perawan, janda, atau isteri orang untuk diambilnya. Mulailah pria ini berpesta-pora, pesta palsu, dan ia seolah-olah berlomba dengan Suminten.
Suminten adalah seorang wanita yang gila pria yang selalu haus dan tak terpadamkan, tak pernah puas nafsu berahinya, sehingga setiap malam dia harus ditemani seorang pria, ganti-berganti bahkan hampir setiap malam berganti pria. Demikian pulalah dengan Warutama. Setelah kini kedudukannya mencapai tingkat tinggi dan kokoh kuat, ia tidak menyembunyikan sifatnya ini dan menyaingi Suminten dalam hal mengumbar nafsunya, berganti-ganti wanita setiap malam, entah puteri siapa, entah isteri siapa asalkan cantik jelita dan sesuai dengan seleranya!
Ketika teringat akan bekas kekasihnya dan mengadakan penyelidikan, ia mendengar bahwa puteri yang dahulu menjadi kekasihnya, yaitu puteri raja dari selir yang bernama Wulandari telah menjadi isteri seorang tumenggung, dia menjadI penasaran sekali dan hatinya takkan dapat merasa puas dan tenteram sebelum ia berhasil mendapatkan kembali kekasihnya yang dahulu dipaksa berpisah darinya itu. Dia tidak perduli akan kenyataan bahwa menurut penyelidikannya, suami Wulandari itu, yang bernama Tumenggung Matunggal adalah seorang tumenggung yang menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan pula, jadi merupakan anak buah, dan tidak perduli pula bahwa suami isteri itu telah mempunyai seorang anak perempuan yang kini sudah menjadi seorang gadis dewasa!
Mulailah ki patih merenung dengan hati penuh kerinduan kepada bekas kekasihnya dahulu, padahal iapun mengetahui bahwa, kekasihnya itu, Wulandari yang dahulu amat cantik jelita, kenes dan kewes memikat, kini sedikitnya tentu sudah berusia empat puluh tahun!
Makin rindu rasa hatinya kalau ia mengenang peristiwa di masa yang lalu. Wulandari mencinta dirinya, menyerahkan jiwa raga kepadanya dan ketika hubungan gelap mereka ketahuan, terpaksa ia melarikan diri. Tadinya dikabarkan orang bahwa Wulandari telah membunuh diri. Baru sekarang ia ketahui bahwa hal itu hanya disiarkan untuk menjaga nama dan kehormatan keluarga raja, padahal diam-diam gadis bekas kekasihnya itu dikawinkan dengan Tumenggung Matunggal.
Apalagi setelah ia melakukan penyelidikan dan berhasil melihat bekas kekasihnya itu, rindu dendam dan berahinya makin memuncak. Bukan saja terhadap kekasihnya yang ternyata masih cantik jelita, bahkan lebih "matang" daripada duapuluh tahun lebih yang lalu, melainkan juga terhadap Dyah Handini, puteri bekas kekasihnya itu yang kini telah menjadi seorang perawan jelita! Dan mulailah otaknya yang cerdik seperti setan itu merencanakan siasatnya yang keji.
Ki Tumenggung Matunggal merasa girang dan bangga sekali ketika ia diserahi tugas oleh Ki Patih Warutama untuk melakukan peninjauan ke Nusabarung dan terus ke Blambangan, dua kadipaten yang telah ditaklukkan oleh Jenggala. Baik Nusabarung maupun Belambangan dahulu dapat diserbu dan ditaklukkan berkat kesaktian Endang Patibroto. Setiap orang pembesar tentu akan merasa girang dan bangga kalau menjadi utusan atau wakil kerajaan menInjau daerah taklukan, girang karena biasanya daerah taklukan tentu akan mellmpahkan hadiah-hadiah dan tanda bukti yang akan membuatnya pulang dengan harta benda bertumpuk, dan bangga karena tugas ini membuktikan bahwa dia adalah orang yang dipercaya oleh kerajaan!
Dengan hati bangga dan besar Ki Tumenggung Matunggal berangkat beserta pasukannya setelah berpamit dari isterinya, puterinya, dan selir-selirnya. Sama sekali ki tumenggung ini tidak pernah mimpi bahwa kepergiannya yang takkan pernah kembali dan bahwa perpisahannya dengan keluarganya adalah perpisahan terakhir! Mengapa demikian?
Karena semua ini adalah siasat keji yang dilakukan oleh Patih Warutama yang bertekad bulat untuk mendapatkan kembali bekas kekasihnya, Wulandari yang telah menjadi nyi tumenggung itu, mendapatkan kembali Wulandari berikut puterinya, Dyah Handini. Dan untuk mencapai niat hati keji ini, Patih Warutama tidak segan untuk melakukan hal yang bagaimana kejamnyapun. Tumenggung Matunggal harus dilenyapkan!
Demikianlah siasat yang amat busuk dan yang hanya timbul dalam hati seorang manusia yang sudah menjadi hamba nafsu dan menjadi murid iblis! Sungguh patut dikasihani orang-orang seperti Ki Tumenggung Matunggal ini. Seorang manusia pengejar kemuliaan dan kedudukan dengan cara apa pun juga, tidak segan untuk menjilat-jilat atasannya, rela menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan dan mengkhianati kerajaan, sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya ia hanya dipergunakan sebagai alat oleh pihak atasan yang dalam hal mengejar kesenangan pribadi jauh melebihinya, dalam kekejaman jauh melewatinya.
Tidak sadar bahwa ia hanya dipermainkan, dipuji-puji dan diberi hadiah apabila masih diperlukan, namun sekali fihak atasannya tidak memerlukannya, dia akan dilempar dan dibunuh begitu saja! Dan alangkah banyaknya manusia-manusia macam Tumenggung Matunggal ini, yang tidak mempunyai pendirian, tidak mempunyai kesetiaan.
Kepergiannya melaksanakan tugas meninjau ke daerah-daerah taklukan, diakhiri dengan kematian dalam perjalanan karena diracun oleh pengawalnya sendiri, sudah tentu saja pengawal yang menjalankan perintah Ki Patih Warutama. Adapun racun yang dipergunakan adalah racun yang diminta oleh Ki Patih Warutama dari Ni Dewi Nilamanik, racun yang amat hebat dan tidak dikenal orang sehingga kematian Tumenggung Matunggal dianggap sebagai kematian wajar, kematian karena sang tumenggung diserang penyakit mendadak di dalam perjalanannya.
Malam hari itu nyi tumenggung atau yang dahulunya bernama Wulandari, puteri dari selir sang prabu, menangis di dalam kamarnya, menangisi kematian suaminya. Sesungguhnya ia tidak mencintai suami ini, suami yang dijodohkan dengan dia secara paksaan. Akan tetapi karena suaminya itu selalu baik terhadapnya, maka kematiannya yang mendadak dalam perjalanan itu membuatnya berduka juga. Dan menjelang tengah malam, ketika nyi tumenggung yang berduka ini sudah hampir dapat melupakan dukanya dengan tidur, tiba-tiba jendela kamarnya terbuka dari luar dan sesosok bayangan berkelebat masuk ke kamar itu.
Wulandari terkejut dan sejenak berdiri bulu tengkuknya, mengira bahwa roh suaminya yang datang melayang masuk dari jendela itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika ia melihat bahwa pria tampan dan gagah yang berdiri di kamarnya, yang memandangnya dengan senyum membayang di balik kumis tipis dan pandang mata mesra, adalah Ki Patih Warutama! Baru satu kali Wulandari melihat patih yang baru ini, yang sekali itu pun hanya sepintas lalu, akan tetapi ia telah mengenal ki patih ini karena wajah ki patih mengingatkan dia akan seorang yang pernah dikenalnya baik-baik, akan wajah Raden Sindupati, bekas kekasihnya belasan tahun yang lalu!
Mengapa Ki Patih Warutama memasuki kamarnya? Dan pada waktu malam buta dengan melalui jendela seperti seorang maling? Jantung Wulandari berdebar keras, wajahnya menjadi pucat dan kalau saja ia tidak melihat jelas bahwa ki patihlah orang ini, tentu ia telah menjerit. Kini dengan tubuh gemetar ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata dengan suara penuh teguran, namun halus,
"Gusti Patih.... mengapa Paduka....?"
"Wulandari, jangan takut, bintang pujaanku..." kata Warutama sambil melangkah maju, mendekat.
Wulandari membelalakkan kedua matanya. Ia mengangkat muka dan memandang dengan mata terbelalak, mukanya makin pucat. Nama kecilnya disebut begitu saja oleh ki patih, padahal di dalam dunia ini hanya satu orang saja yang menyebutnya dengan ucapan mesra "bintang pujaan".
"Paduka.... Paduka...." ia menggagap kebingungan.
Namun kedua tangan ki patih yang kuat itu sudah memegang pundaknya dan mengangkatnya berdiri. Muka mereka berdekatan, dua pasang mata berpandangan, dan terdengar bisikan keluar dari mulut yang menggigil.
"Paduka Gusti Patih Warutama....!"
Warutama tersenyum. "Benar, aku Ki Patih Warutama..."
"Kenapa Paduka masuk kamar ini....? Di tengah malam melalui jendela? Apakah... apakah kehendak Paduka?" Wulandari sudah dapat menguasai hatinya dan merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ki patih.
"Apa salahnya? Aku datang untuk menghiburmu, karena aku merasa kasihan kepada keluarga Tumenggung Matunggal yang sudah berjasa."
"Akan tetapi.... ah, Paduka harus cepat keluar dari sini...."
Kembali lengan ki patih bergerak dan tanpa dapat mengelak lagi Wulandari sudah dipeluknya dan dipaksanya muka yang masih cantik itu menengadah sehingga mereka kembali saling memandang, muka mereka amat dekat.
"Wulandari, bintang pujaanku.... tidakkah engkau mengenal aku, Diajeng? Pangling orangnya masa pangling suaranya? Andaikata engkau pangling rupa dan suara, apakah engkau sudah melupakan ini?" Sambil berkata demikian, Ki Patih Warutama atau yang dahulu bernama Raden Sindupati itu menundukkan mukanya lalu mencium leher Wulandari di bawah telinga kirri. Ciuman yang khas, seperti yang ia lakukan dahulu kalau dia bermain cinta dengan bekas kekasihnya ini, bibirnya mengecup kulit kuning langsat yang halus itu dan giginya menggigit...
"Aaggghhhh.... engkau.... engkau benar Kakangmas Sindupati...."
Wulandari berkata lirih dan mereka kembali berpandangan. "Engkau mengenalku kini, Diajeng. Akan tetapi Sindupati sudah tidak ada nama itu sudah dikubur. Aku Ki Patih Warutama. Sindupati lenyap namun cinta kasihku kepadamu tak pernah lenyap Diajeng bintang pujaanku...." Warutama lalu mencium mulut yang terbuka karena tercengang keheranan itu, mencium mata yang memandangnya penuh takjub karena memang wajah pria ini sudah amat berubah. Wulandari mula terengah-engah dan berkata seperti merintih,
"Akan tetapi.... Kakangmas... aku... aku sudah menjadi isteri...."
Kembali Warutama mencium dan membungkam mulut itu sehingga Wulandari tidak dapat melanjutkan kata-kata nya.
"Bukan, engkau kini sudah menjadi seorang janda, Wulandari kekasihku."
"... tetapi... aku.... suda tua, Kakangmas..."
Kembali bibir Warutama sudah menghentikan kata-katanya. Ki patih ini menciumi kekasih lama ini dengan penuh kemesraan, menumpahkan semua kerinduannya selama ini sehingga Wulandari menggigil dibuatnya. Wanita ini memejamkan matanya dan belaian serta ciuman kekasihnya yang tak pernah dilupakannya ini membuat semua bulu di tubuhnya meremang.
"Engkau tidak pernah tua bagiku, Diajeng. Engkau akan kuboyong ke kepatihan bersama puterimu, engkau akan hidup bahagia di sampingku, akan kutebus semua penderitaan yang kita alami selama berpisah, kita takkan berpisah lagi, Diajeng...."
"Kakangmas Sindupati....."
"Hushh, namaku Warutama...!"
"Kakangmas Warutama, betapa mungkin itu? Apa yang akan dikatakan orang kalau kami diboyong ke kepatihan? Suami..... suamiku baru saja meninggal.... dan...."
Kembali bibir Warutama yang tiada puasnya itu sudah menghentikan kata-katanya, menciuminya dengan penuh kemesraan sehingga naik sedu-sedan dari dalam dada Wulandari, membuat napasnya sesak, kepalanya pening seperti, orang mabuk.
"Tidak mengapa, Diajeng. Mendiang suamimu seorang berjasa, sudah sepatutnya kalau keluarganya menerima penghargaan dariku. Engkau menurut sajalah aku yang akan mengatur segalanya, aku yang bertanggung jawab."
"Tapi.... tapi.... " Hanya sampai di situ saja bantahan yang keluar dari mulut Wulandari karena ciuman-ciuman dan belaian-belaian disertai suara bujuk rayu bekas kekasihnya telah membuai seluruh tubuhnya menjadi lemas, napasnya terengah-engah dan membuat dia seperti mabuk, tidak lagi sadar apa yang dilakukannya melainkan tunduk akan kekuasaan nafsu yang sudah mencengkeramnya.
Bahkan ketika Ki Patih Warutama memondongnya menuju ke pembaringan, dengan sepasang mata dipejamkan dan mulut merintih tak tentu apa yang diucapkannya, Wulandari melingkarkan kedua lengannya ke leher bekas kekasihnya, seperti dua puluh tahunan yang lalu.
Peristiwa pemboyongan nyi tumenggung dan puterinya ke kepatihan tentu akan menimbulkan geger kalau saja yang melakukan pemboyongan itu adalah "orang kecil" atau ponggawa yang kedudukannya masih rendah. Perbuatan tidak wajar, apalagi melanggar hukum dari orang kecil tentu akan mencelakakan pembuatnya sendiri. Akan tetapi, siapakah yang berani mencela atau menghalangi perbuatan "orang besar" seperti Ki Patih Warutama? Tidak dahulu tidak sekarang, orang yang berkedudukan tinggi dan memiliki kekuasaan, dapat berbuat seenak perutnya sendiri tanpa ada orang yang berani mengganggu, karena bukankah hukum berada mutlak di dalam telapak tangannya?
Semenjak dahulu sampai kini, hukum yang dibuat manusia ternyata gagal untuk melindungi manusia-manusia yang termasuk golongan kecil, dan pada hakekatnya merupakan cara untuk menekan si kecil dan sebaliknya melindungi si besar.
Pemboyongan ibu yang baru saja menjadi janda bersama puterinya ke kepatihan tentu saja menimbulkan keheranan dan pelbagai dugaan, namun semua ini dapat ditutup oleh alasan ki patih bahwa hal ini dilakukan oleh ki patih mengingat akan jasa Tumenggung Matunggal yang tewas dalam melakukan tugas. Maka habislah urusan itu, bahkan ki patih dipuji-puji sebagai seorang atasan yang pandai menghargai jasa bawahannya dan bahwa ki patih adalah seorang baik hati yang menaruh kasihan kepada ibu dan puterinya itu.
Namun, sesungguhnya bukan sesederhana ini persoalannya dan hal ini hanya Wulandari yang mengetahuinya. Mula-mula janda ini merasa berbahagia sekali karena dia telah dapat berkumpul kembali dengan kekasih lama, bahkan dapat melanjutkan cinta kasih mereka yang dahulu diputus dengan paksa. Mula-mula Wulandari terlena dalam kenikmatan cinta, terbuai oleh bujuk rayu dan cinta asmara yang dilimpahkan oleh Ki Patih Warutama. Akan tetapi, ketika pada suatu malam ki patih menyatakan bahwa ki patih hendak mengambil puterinya, Dyah Handini, menjadi isteri ki patih, ia terkejut sekali seperti disambar halilintar di malam terang bulan!
"Ahhh, Kakangmas....! Betapa mungkin? Tidak bisa... tidak boleh Handini menjadi isterimu...."
Ki Patih Warutama merangkulnya, memeluk dan membelainya sambil tersenyum.
"Mengapa tidak, Wulandari? Dia akan menjadi isteriku, dan kita bertiga akan dapat berkumpul terus sampai selamanya! Bukankah hal ini membahagiakan kita bertiga?"
"Tidak boleh.... ah, Kakangmas, tidak boleh...." Wulandari menangis.
Warutama mengerutkan alisnya, akan tetapi ia masih tersenyum dan menciumi muka yang mulai basah air mata itu. "Diajeng Wulandari, ketahuilah bahwa aku mencinta puterimu. Dia mengingatkan aku kepada engkau ketika masih muda. Ketika kita dipaksa berpisah, engkau seumur dia dan persis seperti dia sekarang inilah keadaanmu. Apakah engkau cemburu? Dia puterimu sendiri. Dan engkau tentu yakin bahwa kalau dia menjadi isteriku, dia akan hidup bahagia. Dan engkau pun akan selalu bersanding di sisiku dan di sisi puterimu. Jangan khawatir, bintang pujaanku, aku dapat membagi cinta kasihku antara kalian berdua. Bahkan hubungan suci ini akan mengikat kita bertiga erat-erat, selamanya tidak akan berpisah lagi."
"Tidak....! Tidak.... Aahhh, jangan...." Wulandari menangis makin mengguguk.
Sinar mata yang menyeramkan memancar keluar dari mata Ki Patih Warutama. Kedua tangannya yang tadi membelai tubuh Wulandari, masih membelainya dan naik ke atas, membelai dan meraba-raba leher wanita itu, mengusap usap dengan gerakan-gerakan tangan seperti hendak mencekiknya. Mulutnya tersenyum dan suaranya dingin sekali ketika ia bertanya lirih,
"Mengapa? Mengapa tidak? Katakanlah, apa sebabnya mengapa kau tidak setuju."
Wulandari mengangkat mukanya memandang wajah pria yang sudah menjatuhkan hati dan segala-galanya itu. "Kakangmas, dia.... Dyah Handini itu... dia.... adalah anakmu sendiri...!"
Jari-jari yang mengelus leher itu menegang, akan tetapi belum mencekik, sungguhpun masih membelainya, agak lebih kasar daripada tadi. Wulandari hendak merenggutkan dirinya namun tidak dapat.
"Apa kau bilang.....? Dia anakku...?"
"Betul, Kakangmas. Dengarlah dahulu, ketika engkau melarikan diri.... dan aku dipaksa kawin dengan Tumenggung Matunggal, aku sudah... sudah mengandung satu bulan. Dia anakmu, Kakangmas, karena itu.... tidak boleh engkau mengambilnya sebagai isterimu..."
"Aku tidak percaya! Juga tidak perduli. Dia akan menjadi isteriku, tak perduli dia anakku atau bukan, tak perduli engkau setuju atau tidak!?"
"Kakangmas...!" Wulandari berseru dengan suara penuh permohonan, dengan air mata bercucuran.
"Cukup! Dengar baik-baik. Aku cinta kepada Dyah Handini, seperti cintaku kepadamu dahulu. Cintaku kepadamu yang terputus. Kini aku minta dilanjutkan, karena dia serupa benar dengan engkau dahulu. Hanya ada dua jalan bagimu. Menyetujui dia menjadi isteriku sehingga kita bertiga akan dapat terus berkumpul, akan tetapi terus saling mencinta, atau.... engkau mati sekarang juga dan dia tetap menjadi isteriku!" Jari-jari tangan yang masih melingkari leher Wulandari itu kini mengeras dan cekikan mulai terasa.
Dengan wajah pucat dan air mata mengalir, Wulandari terpaksa mengangguk, tak mampu mengeluarkan kata-kata lagi.
"Ha-ha-ha, bagus, itu baru namanya bintang pujaanku yang sejati!" Ki Patih Warutama tertawa lalu mengecup bibir Wulandari dengan buas, lalu memaksa wanita yang nelangsa batinnya itu untuk melayani cinta kasihnya yang sesungguhnya hanya merupakan cinta berahi, cinta berahi, cinta nafsu yang selalu menjadi penuntun bagi setiap perbuatan seorang manusia macam Warutama atau Sindupati.
Demikianlah, biarpun sudah mendengar dari mulut Wulandari sendiri bahwa Dyah Handini adalah anaknya, Ki Patih Warutama tidak mau mundur dan melangsungkan pernikahannya dengan dara yang denok ayu itu. Tentu saja pesta pernikahan diramaikan dengan mewah dan meriah dan orang-orang mulai memuji-muji lagi ki patih yang dianggapnya amat baik, suka mengangkat derajat anak seorang tumenggung. Semua orang menganggap betapa baik nasib Dyah Handini dan ibunya, yang biarpun telah kehilangan ayah dan suami, namun kini malah dinaikkan derajatnya sampai berlipat kali!
Dyah Handini sendiri sebagai seorang gadis pada masa itu, hanya menurut kehendak ibunya dan akhirnya dia pun berbahagia karena suaminya, biarpun usianya sudah mendekati setengah abad, harus diakui merupakan seorang pria yang tampan dan gagah, apalagi amat pandai dan seorang ahli dalam merayu wanita dan bermain cinta. Segera dara yang denok ini jatuh dan mabuk oleh rayuan pria yang menjadi suaminya, sedikitpun tak pernah menduga bahwa suaminya ini sesungguhnya adalah ayahnya sendiril
Ki Patih Warutama yang pada lahirnya merupakan seorang patih yang berpengaruh dan berkuasa, merupakan seorang pria yang tampan dan gagah sebenarnya batinnya amatlah rendah. Hanya manusia berperangai binatang saja kiranya yang sudi melahap puterinya sendiri! Bukan hanya itu saja, bahkan lebih jauh lagi tingkah dan ulah ki patih ini. Terang-terangan di depan isterinya, ia melanjutkan hubungan rahasianya dengan Wulandari! Akhirnya Dyah Handini juga mengetahui bahwa ibunya telah "diselir" oleh suaminya. Anak dan ibu menjadi madu! Namun, Dyah Handini yang sudah jatuh bertekuk lutut oleh belaian kasih sayang ki patih yang amat pandai, tidak berani marah, bahkan diam-diam menjadi gembira karena baginya, lebih baik membagi suaminya dengan ibunya daripada dengan wanita lain.
Terjadilah kemaksiatan yang menjijikkan dalam kamar Kl Patih Warutama. Kini terang-terangan saja dia bermain cinta dengan ibu dan anak itu. Dia tidur sekamar dengan Wulandari dan Dyah Handini, bergiliran mencintai ibu dan anak, tanpa malu-malu lagi bertiga tidur seranjang! Kadang-kadang, mereka bertiga duduk bercengkerama, bersendau-gurau, ki patih duduk di tengah, Wulandari duduk di atas paha kanannya, Dyah Handini duduk di atas paha kirinya, memeluk kedua ibu dan anak itu dengan dua lengannya, bergiliran menciumi dan mencumbu mereka!
Hebatnya, lambat-laun Wulandari dapat melupakan rasa nelangsa di hatinya dan mulailah ia bergembira dan akhirnya ia merasa berbahagia mendapat kenyataan betapa ki patih masih tetap mencintanya seperti cintanya terhadap puterinya. Wulandari merasa mendapat kepuasan lahir batin dan tak perduli lagilah akan tata susila, tidak malu menyaksikan puterinya bermain cinta dengan ki patih, juga tidak malu lagi disaksikan puterinya apabila dia mendapat giliran! Adakah perbuatan asusila yang lebih gila daripada ini?
Sementara itu, kedudukan Suminten makin kuat. Keadaan sang prabu yang sudah tua tiada lebih kuat daripada seorang tapadaksa yang tak berdaya. Semua persoalan pemerintahan dipegang oleh tiga serangkai itu, Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama. Hubungan dengan wakil-wakil Kerajaan Sriwijaya dan Cola makin diperkuat dan mulailah diatur rencana untuk menguasai seluruh Jenggala, kemudian menghantam Panjalu. Kadipaten sebelah timur sudah pula dihubungi dan mereka ini, termasuk Kadipaten Nusabarung dah Kadipaten Blambangan yang menaruh dendam terhadap Panjalu, sudah siap-siap pula untuk membantu jika pecah perang.
Awan gelap menyelimuti angkasa di atas kedua kerajaan bersaudara itu, kerajaan yang menjadi keturunan Mataram yang terpecah karena mendiang Sang Prabu Airlangga bermaksud bersikap adil dan mencegah perang saudara dengan cara membagi kerajaan menjadi dua.
Di kaki Gunung Anjasmoro sebelah utara merupakan pedusunan yang amat sunyi, yang hanya berpenduduk beberapa puluh keluarga petani miskin. Namun tempat ini memiliki pemandangan alam yang indah dan kesunyian selalu merupakan sifat yang khas daripada keindahan alam. Di antara pondok-pondok kecil, gubuk-gubuk berdinding anyaman bambu dan beratap daun kelapa itu terdapatlah sekelompok bangunan yang dikurung pagar tembok.
Pintu gerbang dinding yang mengurung kelompok bangunan ini selalu terjaga oleh beberapa orang perajurit pengawal. Keadaan sekeliling pondok sunyi dan hening dan hanya beberapa kali saja setiap harinya ada pelayan tua yang keluar melalui pintu gerbang untuk mengurus keperluan penghuni pondok.
Pondok ini adalah tempat pengasingan atau pembuangan bagi bekas permaisuri, sang ratu dari Jenggala! Setelah sang ratu ini gagal menandingi Suminten yang sangat cerdik sehingga sang ratu yang hendak "menangkap basah" selir itu sebaliknya malah masuk perangkap, wanita tua ini sekarang menjadi seorang buangan, hidup bersunyi diri di dalam pondok yang dikurung dinding tinggi dan terjaga slang malam ini. Tidak pernah keluar dari pondok, tidak pernah bertemu dengan orang lain kecuali para pelayannya karena bekas permaisuri ini dilarang keluar, dan dilarang pula menerima kunjungan orang luar.
Akan tetapi pada suatu hari, lewat pagi, sepasang orang muda memasuki pintu gerbang dinding yang mengurung pondok pengasingan ini. Mereka berdua tidak dilarang oleh para penjaga, bahkan para penjaga cepat-cepat berlutut memberi hormat dan menyapa dengan penuh kehormatan kepada pria yang lewat menggandeng wanita itu. Mereka itu masih muda-muda dan keduanya amatlah eloknya, bagaikan sepasang dewa asmara Sang Hyang Komajaya dan Komaratih.
Kedua orang muda ini bukan lain adalah Pangeran Panji Sigit dan isterinya, Setyaningsih. Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah menikah di Padepokan Wilis, Pangeran Panji Sigit mengajak isterinya untuk ke Jenggala.
Pangeran Panji Sigit maklum bahwa kembalinya ke Jenggala merupakan perbuatan yang banyak resikonya bagi dirinya karena dia telah mempunyai seorang musuh yang berbahaya, yaitu Suminten. Akan tetapi karena pangeran ini amat mencinta ramandanya dan pula karena ia berpikir bahwa setelah ia beristeri, kiranya Suminten tidak begitu gila untuk menggodanya lagi, maka ia bertekad untuk pulang ke Jenggala.
Di sepanjang perjalanan, pangeran yang amat memperhatikan keadaan ramandanya dan keadaan kota raja, bertanya-tanya dan alangkah kaget hatinya ketika ia mendengar segala peristiwa hebat yang terjadi di kerajaan ramandanya. Tentang pengangkatan Pangeran Kukutan menjadi putera mahkota, sama sekali tidak mendatangkan kesan apa-apa di hatinya karena memang Pangeran Panji Sigit bukan seorang yang gila akan kedudukan.
Peristiwa yang menimpa keluarga ki patih, yang didengarnya di jalan, dan tentang penggantian patih baru, hanya mendatangkan rasa haru dan kasihan di samping rasa penasaran mengapa paman patih yang dianggapnya amat baik dan setia itu sampai dijatuhi hukuman sekeluarga sedemikian mengerikan. Akan tetapi ketika ia mendengar bahwa ibunda ratu diasingkan, dibuang ke kaki Anjasmoro, Pangeran Panji Sigit menjadi marah sekali.
"Setan betina, iblis laknat, siluman keji! Semua ini gara-gara dia!" seru Pangeran muda itu sambil mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali.
"Eh, Kakangmas...!" Setyaningsih menegur suaminya.
Pangeran Panji Sigit merangkulnya dan ia sadar, dapat pula menguasai hatinya yang terbakar. Setelah menghela napas panjang ia berkata, "Diajeng, sungguh jahat sekali dia itu. Semua ini tentu hasil perbuatan Suminten. Aduh dewata Yang Maha Agung.... mengapa Ramanda Prabu sampai tenggelam sedemikian dalamnya.... Diajeng, mari kita pergi ke kaki Anjasmoro, lebih dahulu kita menjenguk Ibunda Ratu."
Perjalanan dilanjutkan. Kuda tunggangan mereka dilarikan lebih cepat dan akhirnya mereka dapat juga menemukan pondok pengasingan di kaki Gunung Anjasmoro. Para penjaga tentu saja mengenal Pangeran Panji Sigit yang memang sejak dahulu amat disuka oleh semua perajurit, maka dengan mudah saja Pangeran Panji Sigit dan isterinya memasuki pintu gerbang dan langsung mencari bekas permaisuri yang menurut para abdi sedang duduk seperti biasa di belakang pondok.
Hati Pangeran Panji Sigit terasa seperti disayat-sayat pisau ketika ia melihat wanita tua itu duduk bersila di atas lantai bertilam tikar. Wajah permaisuri itu masih agung, sungguhpun segala keadaan memperlihatkan kesederhanaan yang amat tidak pantas bagi seorang bekas ratu. Muka itu tidak dirias, tidak dibedaki, rambutnya digelung bersahaja ke belakang, rambut yang sudah bercampur banyak uban, tubuhnya ditutup libatan kain berwarna putih sederhana, pakaian seorang pertapa.
Hanya sepasang gelang sederhana yang menghias kedua tangannya yang bertelanjang sampai ke siku. Sang ratu itu sedang duduk bersamadhi, hening dan tidak bergerak seperti sebuah arca. Wajahnya yang tua itu membayangkan ketenangan, namun gurat-gurat pada dahinya jelas membayangkan penderitaan batin yang hebat. Betapapun juga, mulutnya menjadi pencerminan kesabarannya sehingga makin mengharukan hati Pangeran Panji Sigit yang segera menggandeng tangan isterinya, diajak maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan sang ratu sambil berkata lirih,
"Duhai Ibunda Ratu yang mulia, hamba Panji Sigit bersama isteri datang menghadap Paduka..." kata Pangeran Panji Sigit dengan suara terharu.
Wanita itu membuka kedua matanya. Wajahnya berseri, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum, tanda bahwa hatinya gembira sekali.
"Panji Sigit... Ah, Pangeran, alangkah gembira hatiku. Mendekatlah, Puteraku wong bagus..."
Panji Sigit mendekat dan wanita tua itu lalu membelai rambut kepalanya. Sentuhan ini membuat hati Panji Sigit makin terharu sehingga dua titik air mata membasahi pipinya.
"Dia ini isterimu, Kulup? Ah, Nini, mendekatlah, Mantuku...!"
Setyaningsih menyembah dan menghampiri. Dengan kedua tangan di atas kepala kedua orang itu, sang ratu menengadah seolah-olah mohon berkah dewata untuk sepasang orang muda itu. Wajahnya jelas membayangkan keharuan dan kegembiraan.
"Duhai Ibunda Ratu... apakah yang telah terjadi....? Paduka..."
"Husshhhh, Panji Sigit puteraku. Tidak ada apa-apa denganku, cerita tentang aku tidak menarik. Lebih baik kau ceritakan pengalamanmu semenjak kau pergi dari istana. Bagaimana sekarang tahu-tahu pulang membawa isteri yang begini cantik jelita? Anak nakal, agaknya engkau baru pulang dari taman sorga dan mempersunting seorang bidadari...."
Di dalam hatinya, Pangeran Panji Sigit makin terharu dan kagum sekali akan ketenangan dan ketabahan hati sang ratu. Sudah mengalami nasib yang demikian sengsara dan terhina, masih bersikap tenang, tidak menonjolkan penderitaan pribadinya. Dan seorang wanita yang begini telah dibuang oleh sang prabu! Maka ia pun menenangkan perasaan hatinya dan bercerita tentang pengalamannya setelah dia pergi meninggalkan istana. Betapa ia memasuki sayembara di lembah Wilis dan berhasil mempersunting Setyaningsih.
"Kanjeng Ibu, dia ini bukan orang lain, melainkan adik kandung dari Ayunda Endang Patibroto yang kini menjadi ketua Padepokan Wilis." Ia menutup ceritanya.
"Ahhhh.... Endang Patibroto mantuku yang terkena fitnah dan.... kasihan puteraku Panjirawit.... Jadi Andika adik kandung Endang Patibroto? alangkah baiknya, kalian menyambung kembali ikatan yang terputus oleh keadaan. Aku girang sekali, Panji Sigit dan Setyaningsih."
"Duh Kanjeng Ibu, sekarang hamba mohon Paduka suka menceritakan, mengapa Paduka sampai menjadi begini.... sungguh bingung dan sedih hati hamba mendengar dalam perjalanan tentang paduka..."
Sang ratu tersenyum. "Apa yang engkau dengar, Pangeran?"
"Hamba mendengar cerita orang dalam perjalanan hamba bahwa Paduka di.... diasingkan ke tempat ini oleh Ramanda Prabu karena katanya Paduka.... Paduka melakukan fitnah kepada ibunda selir...."
Sang ratu mengangguk. "Memang tampaknya begitulah, Puteraku. Akan tetapi sebetulnya di balik kenyataan ini terdapat rahasia-rahasia yang amat pelik. Nah, kau dengarlah penuturanku, karena engkau sebagai seorang Pangeran Jenggla berhak mengetahuinya."
Maka berceritalah wanita tua itu dengan suara tenang dan sabar. Diceritakan segala peristiwa yang terjadi di dalam istana, yang tidak diketahui orang lain. Tentang sepak terjang Suminten dan Pangeran Kukutan tentang persekutuannya dengan ki patih yang baru, tentang kelemahan sri baginda dan kemudian betapa dia sendiri terjebak ke dalam perangkap yang mereka pasang yang menjebloskannya sehingga mengakibatkan dia terbukti melakukan fitnah dan dihukum buang.
"Ah, si keparat, iblis betina yang keji!" Pangeran Panji Sigit mengepa tinju, mukanya merah dan matanya terbelalak penuh kemarahan. "Agaknya dahulu pun dia sengaja menggoda dan menyinggungku agar aku pergi dari istana dan dia dapat berbuat sesukanya! Keparat!"
"Kakangmas, tenanglah...." Setyaningsih memperingatkan.
Sang ratu tersenyum. "Wah, isterimu ini mengagumkan, Pangeran. Agaknya tidak semudah ayundamu dikuasai kemarahan. Dia benar, Puteraku, tenanglah dan ceritakan kepadaku, apa yang dia lakukan dahulu terhadap dirimu."
"Hamba.... hamba merasa malu untuk menceritakan peristiwa menjijikkan itu, Kanjeng Ibu!"
"Biarlah hamba yang bercerita, Kanjeng Ibu. Sebelum Kakanda Pangeran pergi dari istana, Kakanda pernah digoda oleh.... Ibunda selir, dibujuk rayu dan diajak bermain asmara. Kakanda Pangeran tidak mau melayani niatnya yang kotor itu, kemudian Kakanda yang merasa malu sekali lalu pergi meninggalkan istana."
Sang ratu mengangguk-angguk. "Hemm.... tidak aneh. Betapa banyaknya pangeran yang terjatuh oleh rayuannya! Syukur engkau teguh hati, Angger."
"Ibunda Ratu, kita harus menghancurkan iblis betina itu! Penghinaan terhadap Paduka harus dibalas. Biarlah hamba yang ....!"
"Jangan, Kulup. Jangan menurutkat hati panas. Ingatlah bahwa benci dan dendam hanya akan mengotori dan mengeruhkan batin sendiri. Aku tidak membenci Suminten, aku tidak mendendamnya, setelah aku mendapat ketenangan batin di sini baru kuketahui akan hal ini. Aku menerima nasib dan sisa hidupku yang tak lama lagi ini tidak boleh sekali-kali dikotori oleh benci dan dendam."
"Akan tetapi, lblis betina itu telah merusak kebahagiaan Paduka, telah menghina Paduka sehingga Paduka mengalami nasib sengsara seperti ini. Dia adalah musuh Paduka...."
"Keliru wawasanmu, Angger. Boleh jadi dia menganggap aku sebagai musuh, akan tetapi biarlah kalau begitu. Aku tidak menganggap dia atau siapa saja sebagai musuh, dan peristiwa yang menimpa diriku tidak kuanggap sebagai salah siapa-siapa, melainkan semata-mata adalah tepat seperti yang dikehendaki Sang Hyang Wisesa. Apa pun yang terjadi di dunia ini adalah tepat seperti yang dikehandaki-Nya, karena di luar kehendak-Nya, takkan terjadi sesuatu."
Diam-diam Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih menjadi kagum dan di dalam hati mereka tunduk terhadap wawasan yang sedemikian hebatnya, yang sukar dilaksanakan oleh siapa pun.
"Maaf, Ibunda Ratu, hamba takkan sanggup dan berani membantah kebenaran wejangan Paduka itu. Akan tetapi, kerajaan berada dalam cengkeraman manusia-manusia iblis, kerajaan terancam bahaya, juga Ramanda Prabu.... ah, betapa mungkin hamba yang melihat hal itu semua lalu berpeluk tangan, mendiamkannya saja?"
"Hal itu lain lagi persoalannya, Puteraku. Sudah menjadi kewajibanmu sebagai seorang pangeran dan ksatria untuk membela Ramandamu dan kerajaan. Sudah menjadi kewajibanmu pula untuk menghalau musuh negara. Akan tetapi kalau demikian, semua tindakanmu mempunyai dasar yang bersih, bukan semata-mata karena kebencian dan hendak membalas dendam yang ditimpakan kepadaku. Mengertikan engkau akan perbedaannya, Angger Pangeran?"
Pangeran Panji Sigit mengangguk-angguk. Tahulah ia sekarang apa yang dimaksudkan ibu tirinya ini. Tentu saja sebagai seorang gemblengan, ia sudah banyak menerima wejangan dari guru-gurunya, sudah mengerti pula akan perbedaan antara dua perbuatan yang sama. Hanya sama tampaknya, namun seperti bumi dan langit perbedaannya yang terletak pada dasar perbuatan itu yang menjadi sebab. Membunuh dan membunuh tidaklah sama kalau membunuh yang pertama berdasarkan kebencian dan dendam sedangkan membunuh yang ke dua berdasarkan membela negara. Bukanlah perbuatannya yang dinilai, melainkan yang tersembunyi di balik perbuatan itu, pendorong dan pamrihnya.
"Hamba mengerti, Kangjeng Ibu. Akan hamba usahakan sekerasnya agar hamba tidak melibatkan persoalan pribadi dalam perjuangan hamba, melainkan persoalan membela negara dan melindungi Ramanda Prabu. Hamba bermohon diri, Kanjeng Ibu, sekarang juga hamba bersama Setyaningsih hendak mulai menentang dan menghalau iblis-iblis yang mencengkeram Kerajaan Jenggala."
"Kau terlalu sembrono, Pangeran. Kalian berdua tidak boleh pergi ke Jenggala, hal ini amat berbahaya bagi kalian berdua."
"Hamba tidak takut. Harap Kanjeng Ibu jangan khawatir. Selama hamba pergi merantau, hamba telah menerima banyak gemblengan ilmu dan di samping hamba ada Diajeng Setyaningsih yang memiliki kesaktian. Hamba berdua dapat menjaga diri. Pula, di kota raja banyak terdapat para ponggawa yang masih setia kepada Ramanda Prabu, dan banyak sahabat-sahabat hamba...."
"Ah, engkau tidak tahu, Angger. Seluruh ponggawa telah menjadi kaki tangan Kukutan. Dan ketahuilah bahwa Ki Patih Warutama memiliki kesaktian yang amat luar biasa sehingga dia berhasil menyelamatkan ramandamu dari serbuan orang-orang jahat seperti yang kuceritakan padamu tadi. Engkau sudah pernah bentrok dengan Suminten. Hal ini amat berbahaya bagimu. Sekali Suminten menudingkan telunjuknya kepadamu, engkau akan dikeroyok dan ramandamu takkan dapat berbuat apa-apa karena ramandamu kini tidak pernah keluar dari dalam kamarnya. Tak ada seorang pun sahabat yang berani membelamu, Angger."
Pangeran Panji Sigit mengerutkan alisnya yang tebal. "Habis, apakah yang harus hamba Iakukan, Kanjeng Ibu? Apakah menerima nasib dan berdiam diri saja?"
"Hanya ada satu jalan terbaik yang dapat kutunjukkan kepadamu, Puteraku. Pergilah engkau bersama isterimu ke Panjalu. Di Jenggala sendiri sudah tidak ada orang yang akan dapat menolong kerajaan. Panjalu sajalah yang akan dapat mengatasi keadaan. Pergilah menghadap uwa prabu di Panjalu dan ceritakan semua yang telah kau dengar dariku tadi. Di sana banyak terdapat orang-orang pandai, bahkan Adipati Tejolaksono pun kabarnya berada di Panjalu menjadi patih muda. Nah, ke sanalah tempat engkau mencari bantuan, Angger."
Pangeran Panji Sigit bukanlah seorang pemuda yang hanya menurutkan nafsu amarah. Mendengar nasehat ini ia dapat menerima, maka ia pun lalu berpamit dan pergilah ia bersama Setyaningsih menuju ke Panjalu. Setyaningsih juga merasa girang sekali karena mendengar bahwa Adipati Tejolaksono telah pindah ke Panjalu, dengan demikian dia akan mendapat kesempatan untuk berkunjung dan bertemu dengan mereka, terutama sekali dengan Pusporini yang sudah amat dia rindukan. Tidak ada halangan merintangi perjalanan sepasang suami isteri yang perkasa ini, dan perjalanan dilakukan dengan cepat.
"Kalian berhati-hatilah. Ular itu bukan sembarang ular, melainkan ular yang sudah bertapa ratusan tahun lamanya. Sudah ribuan kali berganti kulit dan sudah banyak menerima cahaya sakti bulan dan matahari. Batu mustika itu berada di dalam kepalanya, di atas lidah, tepat di antara kedua matanya. Mustika itu tidak ada gunanya bagi seekor ular, hanya menambah kebuasannya membahayakan mereka yang lewat di hutan itu, namun sebaliknya amatlah berguna kelak bagi kalian berdua. Aku sudah memberi ijin kepada kalian, pergi cari ular itu, bunu dia sebagai hukuman karena dia telah menelan tiga orang anak penggembala dan ambil mutiaranya. Akan tetapi hati-hatilah!" Demikian pesan Sang Resi Mahesapati kepada dua orang muridnya, Joko Pramono dan Pusporini.
Telah tiga tahun lebih mereka berdua digembleng oleh guru mereka yang sakti mandraguna itu di puncak Gunung Kawi dan biarpun guru mereka ini tidak menurunkan ilmu baru, namun gemblengannya hebat luar biasa sehingga aji-aji yang telah mereka berdua miliki kini memperoleh kemajuan pesat sekali dan kekuatan sakti mereka menjadi berlipat ganda.
"Eyang Resi, untuk membunuh ular dan mengambil mustika di dalam kepalanya saja mengapa Eyang menyuruh dia ini ikut? Dia hanya akan menghalang-alangi pekerjaanku saja. Biar kulakukan sendiri, Eyang. Hamba berjanji akan membawa mustika ular itu kepada Eyang tanpa bantuan dial" kata Pusporini sambil melirik-lirik ke arah Joko Pramono. Hatinya sedang kesal karena tadi pagi dalam latihan mempergunakan tenaga sakti memukul air, ternyata air telaga muncrat lebih tinggi ketika dipukul Joko Pramono dan pemuda itu sengaja mengejeknya.
"Wah-wah, coba Eyang Resi perhatikan, bukankah murid Eyang yang satu ini makin lama makin sombong? Makin besar kepala!" Joko Pramono juga menyerang marah.
"Apa? Kepalaku besar? Tidak sebesar kepalamu! Engkaulah yang sombong! Pagi tadi dia menyombongkan tenaganya dan mengatakan bahwa aku kalah kuat olehnya, Eyang Resi. Coba, bukankah dia yang sombong?"
"Aku kan bicara apa adanya?" bantah Joko Pramono.
"Aku pun bicara apa adanya. Memangnya aku membutuhkan bantuanmu untuk membunuh ular itu?"
"Wah aksinya. Melihat ular nanti ku rasa kau akan menjerit-jerit kegelian dan ketakutan!"
"Coba saja! Memangnya aku ini anak kecil? Sepuluh ekor ular ditambah engkau aku tidak takut!"
Sang Resi Mahesapati tertawa bergelak. "Sudah, sudah.... ha-ha-ha! Kalian ini seperti bocah-bocah nakal saja, mendengarkan kalian bertengkar setiap hari, benar-benar membuat aku awet muda! Pertengkaran kalian itu membayangkan jiwa muda yang masih panas membara, semangat yang menyala-nyala dan... dan... ha-ha-ha, benar-benar lucu. Sekarang begini saja. Kalian berdua kuijinkan berlomba mencari dan membunuh ular Puspo Wilis itu. Siapa yang nanti membawa mustika dan menyerahkannya kepadaku, kuanggap lebih pandai!"
"Baik, hamba pamit mundur, Eyang!" Pusporini menyembah lalu berkelebat, sekejap mata saja lenyap dari hadapan gurunya yang duduk di depan pondok bambu.
"Hamba pun minta diri, Eyang!" Joko Pramono juga berkelebat cepat mengejar Pusporini, khawatir kalau kalah dulu.
Kembali kakek tua renta itu tertawa bergelak dan menengadah ke angkasa, mulutnya berkemak-kemik, "Lucu.... lucu.... alangkah indahnya hidup bagi orang-orang muda.... ha-ha-ha...!"
Seperti burung terbang setidaknya seperti seekor kijang Pusporini lari sambil mengerahkan seluruh aji kesaktian Bayu Sakti yang pernah ia pelajari dari Adipati Tejolaksono dahulu. Namun kini Aji Bayu Sakti yang ia pergunakan jauh mendapat kemajuan yang hebat sehingga larinya amat cepat, tubuhnya ringan sekali dan kedua kakinya seolah-olah tidak menginjak tanah melainkan terbang di atas ujung rumput-rumput hijau!
Dalam hal tenaga sakti mungkin dia kalah kuat setingkat kalau dibandingkan dengan Joko Pramono, akan tetapi dalam aji keringanan tubuh dan kecepatan berlari, pemuda itu masih sukar untuk dapat mengalahkannya. Apalagi sekarang Pusporini mengerahkan seluruh kepandaiannya karena ia memang sedang berlomba dengan pemuda itu!
Jauh di belakang, makin lama makin jauh tertinggal, Joko pramono juga berlari secepatnya melakukan pengejaran. Di dalam hatinya, pemuda ini sebetulnya sama sekali tidak berniat untuk mendahului Pusporini, sungguhpun harus ia akui bahwa kalau berlomba lari ia takkan menang. Namun, ia melakukan pengejaran karena di dalam hatinya timbul rasa khawatir akan keselamatan gadis yang menjadi teman belajar, menjadi teman berlatih akan tetapi juga menjadi lawan bertengkar itu.
Seringkali ia merasa heran mengapa dia selalu bertengkar dengan Pusporini, mengapa agaknya ada terasa kenikmatan dan kegembiraan di hatinya kalau mereka sedang bertengkar itu. Bagi dia, Pusporini tampak paling manis kalau sedang marah-marah seperti itu! Dan pemuda ini merasa di dalam hatinya bahwa mereka berdua selalu bertengkar karena tidak mau kalah, karena masing-masing ingin dihargai, ingin dikagumi. Namun, sehari saja tidak bertengkar, apalagi tidak berjumpa, merupakan siksaan batin yang tiada taranyal
Demikianlah, dua orang muda itu berlari-lari seperti terbang menuju ke sebuah hutan di lereng Gunung Kawi sebelah timur, yaitu hutan yang oleh guru mereka disebut hutan Kaloka, di mana terdapat ular besar Puspo Wilis yang bertapa dan yang harus mereka bunuh dan ambil mustikanya. Beberapa pekan yang lalu ular itu telah menelan tiga orang anak penggembala kerbau yang sedang menggembala kerbau di pinggir hutan.
Sementara itu dari kaki Gunung Kawi sebelah timur, tampak dua orang berjalan kaki, mendaki lereng. Mereka adalah seorang laki-laki setengah tua yang tampan dan gagah, berusia empat puluhan tahun, mengiringkan seorang gadis yang usianya takkan lebih dari dua puluh tahun, seorang gadis tinggi semampai yang manis sekali, berwajah cerah bermata jeli. Gadis itu tidak tahu betapa pria yang mengiringkannya memandang kepadanya dari belakang dengan pandang mata mesra, dan betapa pria itu berkali-kali menghela napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Mereka itu bukan lain adalah Wiraman dan Widawati, pengawal perkasa yang setia kepada Ki Patih Brotomenggala dan cucu mendiang ki patih itu, satu-satunya orang dari keluarga kepatihan yang lolos dari cengkeraman maut. Sebagai orang-orang yang diburu oleh kaki tangan Pangeran Kukutan, keduanya harus selalu berpindah-pindah dan bersembunyi-sembunyi, keluar masuk hutan, naik turun gunung. Tujuan perjalanan Wiraman adalah ke Panjalu, namun karena ia harus melakukan perjalanan sambil bersembunyi, maka mereka terpaksa mengambil jalan memutar yang amat jauh dan sukar.
Bagi Wiraman sendiri, seorang pengawal gemblengan yang bertubuh kebal dan kuat, perjalanan sukar dan jauh itu tidaklah amat berat. Akan tetapi patut dikasihani Widawati, biarpun dia pernah ia mempelajari ilmu olah keperajuritan, namun karena sebagai cucu patih dia lebih sering melakukan pekerjaan-pekerjaaan halus dan tubuhnya tidak begitu terlatih, perjalanan itu amatlah menyiksa dan melelahkan. Apalagi semua kesukaran ini diderita dengan hati hancur apabila teringat akan nasib buruk yang menimpa keluarganya. Untung baginya, di sampingnya terdapat Wiraman yang pandai menghiburnya, yang slap membela dan melindunginya, dan yang menjamin akan segala keperluannya di sepanjang perjalanan.
Ketika mereka sampai di sebuah tanjakan terjal, di luar sebuah hutan yang nampaknya angker dan liar, kaki Widawati tersandung dan ia terhuyung ke depan. Untung pada saat itu Wiraman cepat melompat dan menyambar lengannya sehingga dia tidak sampai jatuh tersungkur, akan tetapi renggutan tangan Wiraman itu membuat tubuh Widawati tersentak ke belakang dan berada di dalam pelukan pria itu, rapat bersandar di atas dada yang bidang.
"Hati-hatilah....!" Hanya demikian Wiraman dapat berkata karena pria segera memejamkan mata, dadanya bergelombang ketika perasaan yang aneh meresap di dalam tubuhnya. Tangan kanannya masih memegang lengan Widawati, tangan kirinya memegang pundak gadis itu. Merasa betapa punggung dan kepala gadis itu bersandar ke dadanya, mencium keharuman khas dari rambut dan peluh gadis itu, berdebar jantungnya dan kakinya.
Widawati amat lelah. Juga tadi la terkejut karena tersandung dan akan tersungkur ke depan, di mana terdapat jurang yang dalam. Kini merasa betapa ia selamat dan mendapat sandaran yang kokoh kuat, ia merasa aman dan tenteram. Tiada henti-hentinya Wiraman melimpahkan budi kebaikan kepadanya. la tidak tahu,, apa yang akan dia lakukan kalau di sampingnya tidak ada Wiraman.
Tanpa disadari lagi, ketika kali ini kembali Wiraman yang menolongnya pada saat yang tepat, menjadi bukti bahwa Wiraman selalu memperhatikannya, selalu menjaganya, ia bersandar pada dada yang bidang dan kuat itu dan sampai beberapa lamanya mereka hanya berdiri dalam keadaan seperti itu, keduanya memejamkan mata. Widawati dapat mendengar dengan telinganya betapa dada yang bidang itu berdetak-detak keras. Hal ini menyadarkannya dan ia segera memisahkan diri.
"Terima kasih, Kakang Wiraman, engkau telah menyelamatkan aku...."
"Ah, tidak perlu berterima kasih, Diajeng. Memang sudah menjadi kewajibankulah untuk menjaga dan melindungimu. Engkau tentu lelah sekali dan di depan adalah hutan yang amat lebat, mari kita mengaso dulu."
"Baik, Kakang...."
Maka duduklah mereka berdua di bawah sebatang pohon, berteduh dari panas terik matahari yang membakar kulit. Widawati menyusuti peluhnya dengan ujung baju, menjilat-jilat bibirnya yang merah dengan ujung lidah. Sebentar Wiraman terpesona memandang mulut itu, ketika pandang mata mereka bertemu, Wiraman cepat-cepat menunduk dan berkata,
"Engkau tentu haus, Diajeng. tunggu sebentar kucarikan air...." Tanpa menanti jawaban, Wiraman sudah pergi mencari air gunung yang jernih.
Ditampungnya air itu dengan daun talas dan dibawanya air itu kepada Widawati yang menerima dan meminumnya dengan lahap karena memang ia haus sekali. Sampai lama mereka beristirahat di situ. Angin sumilir membuat Widawati mengantuk. Ia bersandar pada batang pohon dan memejamkan matanya. Wiraman tidak mengganggunya, melainkan duduk pula tidak jauh dari situ, memandang ke arah hutan lebat dengan pandang mata melamun. Berkall-kali, sama halnya ketika dalam perjalanan tadi, Ia memandang ke arah Widawati, menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepala, menghela napas lagi.
"Kakang Wiraman..."
Wiraman terkejut, seperti disentakkan dari alam mimpi. Tadinya ia tengah melamun, memandang ke hutan dan mengglgit-gigit rumput yang tanpa disadarinya telah ia cabut dari dekat kakinya. Ia menoleh dan pandang mata mereka bertemu, bertaut, dan dari pandang mata Wiraman masih memancar sinar cinta kasih yang jelas dan mesra. Mereka tidak berkata-kata lagi, hanya pandang mata mereka yang melekat dan seolah-olah mewakili mulut dan hati. Akhirnya Widawati yang berkata lirih,
"Kakang.... engkau kenapakah? Sejak tadi kulihat engkau menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. Ada sesuatu yang mengganggu hatimu, Kakang. Katakanlah, apakah gerangan yang kau susahkan? Kalau tidak kau ceritakan kepadaku, aku tentu akan menganggap bahwa akulah yang menyusahkan hatimu, Kakang."
"Ah, tidak.... tidak sama sekali, Diajeng..... aku hanya...." Wiraman terdiam, amat sukar agaknya untuk mengeluarkan isi hatinya.
Mereka berpandangan kembali dan slnar mata penuh ketulusan hati dari gadis itu seolah-olah memberi semangat dan keberanlan kepadanya.
"Biarlah kubukakan semua rahasia hatiku, Diajeng. Aku seorang laki-laki yang suka berterus terang, dan aku berani pula mempertanggung-jawabkan semua perbuatan atau ucapanku. Semenjak aku bertemu denganmu, Diajeng, ketika kau dibawa oleh Kakang Mitra.... semenjak itulah terjadi sesuatu yang tidak wajar di hatiku. Bagiku, ada sesuatu pada dirimu yang mengikat, mempesona, dan mengguncang hatiku. Ada suatu daya tarik luar biasa yang tidak wajar. Bukan kecantikanmu, bukan pula kemudaanmu, entah apamu aku sendiri tidak dapat mengatakan, melainkan yang sudah pasti, ada sesuatu yang membuat aku amat tertarik. Inikah yang disebut ikatan Karma? Aku harus jujur, Diajeng, dan dengan segala kejujuran kunyatakan sekarang juga demi menjaga segala kepura-puraan bahwa aku... cinta kepadamu, Diajeng."
"Ahhh....!" Suara Widawati seperti rintihan perlahan yang langsung keluar dari lubuk hatinya. Sepasang mata yang lebar jernih Itu mulai basah.
"Aku bukan seorang yang tidak tahu diri, Diajeng. Aku sadar bahwa aku telah beristeri, telah mempunyai anak-anak dan bahwa usiaku pun sudah setengah tua! Aku bukan seorang penghamba nafsu, aku mencinta isteri dan anak-anakku, sampai kini aku belum pernah mengambil selir. Akan tetapi terhadap engkau, Diajeng, entah mengapa aku sendiri tidak mengerti. Ada sesuatu yang menarik hatiku sehingga hatiku menjerit bahwa aku mencintamu, bukan cinta nafsu, akan tetapi.... ah, seolah-olah aku tidak akan sanggup untuk berpisah lagi dari sampingmu
"Kakang Wiraman...." Widawati mulai terisak.
"Mungkin aku telah menjadi gila, Diajeng," suara Wiraman terdengar gemetar, "akan tetapi.... demi semua Dewata, aku tidak berpura-pura, tidak pula dimabuk nafsu. Sudah banyak kujumpai puteri-puteri cantik jelita, lebih cantik dari padamu! sudah pula kuhadapi godaan wanita-wanita cantik, namun aku selalu menghindari karena hatiku tidak suka menerima semua itu. Akan tetapi terhadap engkau, aku benar-benar jatuh! Duhai Dewata, salahkah Wiraman ini? Salahkah Wiraman yang setengah tua ini menjatuhkan hatlnya kepada seseorang, dalam hal ini seorang gadis seperti, Widawati? Berdosakah kalau hati ini jatuh cinta?"
Ucapan-ucapan terakhir itu tidak lagi ditujukan kepada Widawati, melainkan kepada diri sendiri atau kepada para dewata. Sampai lama keadaan sunyi, hanya terdengar Widawati menangis sesenggukan sambil menyembunyikan mukanya di balik telapak tangannya. Kemudian terdengar gadis itu berkata lirih,
"Kakang, bagaimana aku akan menjawab? Engkau merupakan satu-satunya orang yang paling baik bagiku, seorang yang telah melimpahkan budi kepadaku.... cintamu itu, sungguhpun amat mengejutkan hatiku, namun aku percaya akan kemurniannya. Engkau adalah seorang pria yang patut dihormati, patut disuwitani, patut dicinta. Sesungguhnya, alangkah akan mudahnya bagi hatiku untuk membalas cinta kasihmu, Kakang, akan tetapi...."
"Akan tetapi aku sudah terlalu tua bagimu? Pantas menjadi ayahmu, menjadi pamanmu? Katakanlah terus terang, Diajeng. Aku Wiraman bukan seorang lemah dan aku dapat menghadapi semua kenyataan dengan mata terbuka dan pikiran sadar."
"Bukan, bukan begitu, Kakang Wiraman. Aku pun maklum bahwa cinta tidaklah melihat usia, tidak pula melihat kedudukan dan keadaan seseorang. Akan tetapi.... engkau telah mempunyai anak isteri, Sedangkan aku.... aku semenjak dahulu bercita-cita untuk cinta mencinta dengan satu orang saja, tidak suka aku dimadu.... tidak suka aku melihat seorang pria mempunyai selir. Banyak sudah terbukti kekacauan timbul karena selir, contohnya sang prabu sendiri...."
"Akan tetapi, tidak semua selir sejahat dia, Diajeng. Bukan sekali-kali aku menyatakan ini untuk memaksamu menjadi selirku. Tidak. Sudah kukatakan tadi bahwa aku mencintamu bukan oleh dorongan nafsu. Aku hanya tidak ingin berpisah darimu dan.... dan.... ah, sudahlah, Diajeng, aku hanya membuatmu berduka saja. Sudah cukup bagiku kalau engkau mendengar akan perasaan hatiku, sudah cukup kalau engkau mengetahui bahwa aku mencintamu. Lebih daripada itu, tidak kuharapkan. Kalau engkau tidak membalas cintaku, itu pun dapat kuterima dengan penuh kesadaran. Aku tidak menyalahkanmu, hanya aku sendiri-lah yang gila. Aku tidak ingin menyeretmu ke lembah kedukaan dan kesengsaraan, dan semoga Sang Hyang Wisesa akan dapat mengangkatku daripada keadaan yang gila ini. Kau tinggallah di sini, Diajeng, aku akan memburu kijang untuk kita makan. dagingnya. Di dalam hutan di depan itu pasti banyak binatang buruan."
Tanpa menanti jawaban, Wiraman sudah lari meninggalkan Widawati memasuki hutan yang liar itu untuk mencari binatang buruan, terutama kijang yang lembut dan lezat rasa dagingnya...
Ki Patih Warutama yang dahulunya bernama Raden Sindupati ini adalah seorang pria yang tampan dan gagah, namun sayang ketampanan dan kegagahannya itu hanya menjadi pulasan belaka, hanya setebal kulitnya. Hati dan pikirannya selalu kotor dan menjadi hamba daripada nafsu-nafsunya sendiri, terutama sekali nafsu berahi yang membuat dia menjadi seorang pria yang gila wanita. Setelah kini kedudukannya kokoh kuat, la mulai membujuk Suminten dan Pangeran Kukutan untuk mulai mengadakan kontak dengan fihak Sriwljaya dan Cola yang wakil-wakilnya memang sudah banyak yang menyelundup ke Jenggala.
Mulailah kini Ki Patih Warutama mengangkat pembantu-pembantu yang sesungguhnya adalah anak buah Sang Wasi Bagaspati dan Sang Biku Janapati! Mulailah pengaruh kedua kerajaan itu menyusup ke Jenggala. Bukan hanya ini saja usaha yang dilakukan oleh Ki Patih Warutama. Juga kedudukan dan kemuliaannya membuat penyakit lama dalam dirinya kambuh, yaitu mengejar wanita-wanita cantik! Dan di Jenggala adalah kedungnya wanita-wanita cantik! Dengan ketampanan wajahnya, ditambah kedudukannya sebagai patih, diperkuat pula oleh kesaktiannya, akan mudah sekali bagi Warutama untuk mencari perawan, janda, atau isteri orang untuk diambilnya. Mulailah pria ini berpesta-pora, pesta palsu, dan ia seolah-olah berlomba dengan Suminten.
Suminten adalah seorang wanita yang gila pria yang selalu haus dan tak terpadamkan, tak pernah puas nafsu berahinya, sehingga setiap malam dia harus ditemani seorang pria, ganti-berganti bahkan hampir setiap malam berganti pria. Demikian pulalah dengan Warutama. Setelah kini kedudukannya mencapai tingkat tinggi dan kokoh kuat, ia tidak menyembunyikan sifatnya ini dan menyaingi Suminten dalam hal mengumbar nafsunya, berganti-ganti wanita setiap malam, entah puteri siapa, entah isteri siapa asalkan cantik jelita dan sesuai dengan seleranya!
Ketika teringat akan bekas kekasihnya dan mengadakan penyelidikan, ia mendengar bahwa puteri yang dahulu menjadi kekasihnya, yaitu puteri raja dari selir yang bernama Wulandari telah menjadi isteri seorang tumenggung, dia menjadI penasaran sekali dan hatinya takkan dapat merasa puas dan tenteram sebelum ia berhasil mendapatkan kembali kekasihnya yang dahulu dipaksa berpisah darinya itu. Dia tidak perduli akan kenyataan bahwa menurut penyelidikannya, suami Wulandari itu, yang bernama Tumenggung Matunggal adalah seorang tumenggung yang menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan pula, jadi merupakan anak buah, dan tidak perduli pula bahwa suami isteri itu telah mempunyai seorang anak perempuan yang kini sudah menjadi seorang gadis dewasa!
Mulailah ki patih merenung dengan hati penuh kerinduan kepada bekas kekasihnya dahulu, padahal iapun mengetahui bahwa, kekasihnya itu, Wulandari yang dahulu amat cantik jelita, kenes dan kewes memikat, kini sedikitnya tentu sudah berusia empat puluh tahun!
Makin rindu rasa hatinya kalau ia mengenang peristiwa di masa yang lalu. Wulandari mencinta dirinya, menyerahkan jiwa raga kepadanya dan ketika hubungan gelap mereka ketahuan, terpaksa ia melarikan diri. Tadinya dikabarkan orang bahwa Wulandari telah membunuh diri. Baru sekarang ia ketahui bahwa hal itu hanya disiarkan untuk menjaga nama dan kehormatan keluarga raja, padahal diam-diam gadis bekas kekasihnya itu dikawinkan dengan Tumenggung Matunggal.
Apalagi setelah ia melakukan penyelidikan dan berhasil melihat bekas kekasihnya itu, rindu dendam dan berahinya makin memuncak. Bukan saja terhadap kekasihnya yang ternyata masih cantik jelita, bahkan lebih "matang" daripada duapuluh tahun lebih yang lalu, melainkan juga terhadap Dyah Handini, puteri bekas kekasihnya itu yang kini telah menjadi seorang perawan jelita! Dan mulailah otaknya yang cerdik seperti setan itu merencanakan siasatnya yang keji.
********************
Ki Tumenggung Matunggal merasa girang dan bangga sekali ketika ia diserahi tugas oleh Ki Patih Warutama untuk melakukan peninjauan ke Nusabarung dan terus ke Blambangan, dua kadipaten yang telah ditaklukkan oleh Jenggala. Baik Nusabarung maupun Belambangan dahulu dapat diserbu dan ditaklukkan berkat kesaktian Endang Patibroto. Setiap orang pembesar tentu akan merasa girang dan bangga kalau menjadi utusan atau wakil kerajaan menInjau daerah taklukan, girang karena biasanya daerah taklukan tentu akan mellmpahkan hadiah-hadiah dan tanda bukti yang akan membuatnya pulang dengan harta benda bertumpuk, dan bangga karena tugas ini membuktikan bahwa dia adalah orang yang dipercaya oleh kerajaan!
Dengan hati bangga dan besar Ki Tumenggung Matunggal berangkat beserta pasukannya setelah berpamit dari isterinya, puterinya, dan selir-selirnya. Sama sekali ki tumenggung ini tidak pernah mimpi bahwa kepergiannya yang takkan pernah kembali dan bahwa perpisahannya dengan keluarganya adalah perpisahan terakhir! Mengapa demikian?
Karena semua ini adalah siasat keji yang dilakukan oleh Patih Warutama yang bertekad bulat untuk mendapatkan kembali bekas kekasihnya, Wulandari yang telah menjadi nyi tumenggung itu, mendapatkan kembali Wulandari berikut puterinya, Dyah Handini. Dan untuk mencapai niat hati keji ini, Patih Warutama tidak segan untuk melakukan hal yang bagaimana kejamnyapun. Tumenggung Matunggal harus dilenyapkan!
Demikianlah siasat yang amat busuk dan yang hanya timbul dalam hati seorang manusia yang sudah menjadi hamba nafsu dan menjadi murid iblis! Sungguh patut dikasihani orang-orang seperti Ki Tumenggung Matunggal ini. Seorang manusia pengejar kemuliaan dan kedudukan dengan cara apa pun juga, tidak segan untuk menjilat-jilat atasannya, rela menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan dan mengkhianati kerajaan, sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya ia hanya dipergunakan sebagai alat oleh pihak atasan yang dalam hal mengejar kesenangan pribadi jauh melebihinya, dalam kekejaman jauh melewatinya.
Tidak sadar bahwa ia hanya dipermainkan, dipuji-puji dan diberi hadiah apabila masih diperlukan, namun sekali fihak atasannya tidak memerlukannya, dia akan dilempar dan dibunuh begitu saja! Dan alangkah banyaknya manusia-manusia macam Tumenggung Matunggal ini, yang tidak mempunyai pendirian, tidak mempunyai kesetiaan.
Kepergiannya melaksanakan tugas meninjau ke daerah-daerah taklukan, diakhiri dengan kematian dalam perjalanan karena diracun oleh pengawalnya sendiri, sudah tentu saja pengawal yang menjalankan perintah Ki Patih Warutama. Adapun racun yang dipergunakan adalah racun yang diminta oleh Ki Patih Warutama dari Ni Dewi Nilamanik, racun yang amat hebat dan tidak dikenal orang sehingga kematian Tumenggung Matunggal dianggap sebagai kematian wajar, kematian karena sang tumenggung diserang penyakit mendadak di dalam perjalanannya.
Malam hari itu nyi tumenggung atau yang dahulunya bernama Wulandari, puteri dari selir sang prabu, menangis di dalam kamarnya, menangisi kematian suaminya. Sesungguhnya ia tidak mencintai suami ini, suami yang dijodohkan dengan dia secara paksaan. Akan tetapi karena suaminya itu selalu baik terhadapnya, maka kematiannya yang mendadak dalam perjalanan itu membuatnya berduka juga. Dan menjelang tengah malam, ketika nyi tumenggung yang berduka ini sudah hampir dapat melupakan dukanya dengan tidur, tiba-tiba jendela kamarnya terbuka dari luar dan sesosok bayangan berkelebat masuk ke kamar itu.
Wulandari terkejut dan sejenak berdiri bulu tengkuknya, mengira bahwa roh suaminya yang datang melayang masuk dari jendela itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika ia melihat bahwa pria tampan dan gagah yang berdiri di kamarnya, yang memandangnya dengan senyum membayang di balik kumis tipis dan pandang mata mesra, adalah Ki Patih Warutama! Baru satu kali Wulandari melihat patih yang baru ini, yang sekali itu pun hanya sepintas lalu, akan tetapi ia telah mengenal ki patih ini karena wajah ki patih mengingatkan dia akan seorang yang pernah dikenalnya baik-baik, akan wajah Raden Sindupati, bekas kekasihnya belasan tahun yang lalu!
Mengapa Ki Patih Warutama memasuki kamarnya? Dan pada waktu malam buta dengan melalui jendela seperti seorang maling? Jantung Wulandari berdebar keras, wajahnya menjadi pucat dan kalau saja ia tidak melihat jelas bahwa ki patihlah orang ini, tentu ia telah menjerit. Kini dengan tubuh gemetar ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata dengan suara penuh teguran, namun halus,
"Gusti Patih.... mengapa Paduka....?"
"Wulandari, jangan takut, bintang pujaanku..." kata Warutama sambil melangkah maju, mendekat.
Wulandari membelalakkan kedua matanya. Ia mengangkat muka dan memandang dengan mata terbelalak, mukanya makin pucat. Nama kecilnya disebut begitu saja oleh ki patih, padahal di dalam dunia ini hanya satu orang saja yang menyebutnya dengan ucapan mesra "bintang pujaan".
"Paduka.... Paduka...." ia menggagap kebingungan.
Namun kedua tangan ki patih yang kuat itu sudah memegang pundaknya dan mengangkatnya berdiri. Muka mereka berdekatan, dua pasang mata berpandangan, dan terdengar bisikan keluar dari mulut yang menggigil.
"Paduka Gusti Patih Warutama....!"
Warutama tersenyum. "Benar, aku Ki Patih Warutama..."
"Kenapa Paduka masuk kamar ini....? Di tengah malam melalui jendela? Apakah... apakah kehendak Paduka?" Wulandari sudah dapat menguasai hatinya dan merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ki patih.
"Apa salahnya? Aku datang untuk menghiburmu, karena aku merasa kasihan kepada keluarga Tumenggung Matunggal yang sudah berjasa."
"Akan tetapi.... ah, Paduka harus cepat keluar dari sini...."
Kembali lengan ki patih bergerak dan tanpa dapat mengelak lagi Wulandari sudah dipeluknya dan dipaksanya muka yang masih cantik itu menengadah sehingga mereka kembali saling memandang, muka mereka amat dekat.
"Wulandari, bintang pujaanku.... tidakkah engkau mengenal aku, Diajeng? Pangling orangnya masa pangling suaranya? Andaikata engkau pangling rupa dan suara, apakah engkau sudah melupakan ini?" Sambil berkata demikian, Ki Patih Warutama atau yang dahulu bernama Raden Sindupati itu menundukkan mukanya lalu mencium leher Wulandari di bawah telinga kirri. Ciuman yang khas, seperti yang ia lakukan dahulu kalau dia bermain cinta dengan bekas kekasihnya ini, bibirnya mengecup kulit kuning langsat yang halus itu dan giginya menggigit...
"Aaggghhhh.... engkau.... engkau benar Kakangmas Sindupati...."
Wulandari berkata lirih dan mereka kembali berpandangan. "Engkau mengenalku kini, Diajeng. Akan tetapi Sindupati sudah tidak ada nama itu sudah dikubur. Aku Ki Patih Warutama. Sindupati lenyap namun cinta kasihku kepadamu tak pernah lenyap Diajeng bintang pujaanku...." Warutama lalu mencium mulut yang terbuka karena tercengang keheranan itu, mencium mata yang memandangnya penuh takjub karena memang wajah pria ini sudah amat berubah. Wulandari mula terengah-engah dan berkata seperti merintih,
"Akan tetapi.... Kakangmas... aku... aku sudah menjadi isteri...."
Kembali Warutama mencium dan membungkam mulut itu sehingga Wulandari tidak dapat melanjutkan kata-kata nya.
"Bukan, engkau kini sudah menjadi seorang janda, Wulandari kekasihku."
"... tetapi... aku.... suda tua, Kakangmas..."
Kembali bibir Warutama sudah menghentikan kata-katanya. Ki patih ini menciumi kekasih lama ini dengan penuh kemesraan, menumpahkan semua kerinduannya selama ini sehingga Wulandari menggigil dibuatnya. Wanita ini memejamkan matanya dan belaian serta ciuman kekasihnya yang tak pernah dilupakannya ini membuat semua bulu di tubuhnya meremang.
"Engkau tidak pernah tua bagiku, Diajeng. Engkau akan kuboyong ke kepatihan bersama puterimu, engkau akan hidup bahagia di sampingku, akan kutebus semua penderitaan yang kita alami selama berpisah, kita takkan berpisah lagi, Diajeng...."
"Kakangmas Sindupati....."
"Hushh, namaku Warutama...!"
"Kakangmas Warutama, betapa mungkin itu? Apa yang akan dikatakan orang kalau kami diboyong ke kepatihan? Suami..... suamiku baru saja meninggal.... dan...."
Kembali bibir Warutama yang tiada puasnya itu sudah menghentikan kata-katanya, menciuminya dengan penuh kemesraan sehingga naik sedu-sedan dari dalam dada Wulandari, membuat napasnya sesak, kepalanya pening seperti, orang mabuk.
"Tidak mengapa, Diajeng. Mendiang suamimu seorang berjasa, sudah sepatutnya kalau keluarganya menerima penghargaan dariku. Engkau menurut sajalah aku yang akan mengatur segalanya, aku yang bertanggung jawab."
"Tapi.... tapi.... " Hanya sampai di situ saja bantahan yang keluar dari mulut Wulandari karena ciuman-ciuman dan belaian-belaian disertai suara bujuk rayu bekas kekasihnya telah membuai seluruh tubuhnya menjadi lemas, napasnya terengah-engah dan membuat dia seperti mabuk, tidak lagi sadar apa yang dilakukannya melainkan tunduk akan kekuasaan nafsu yang sudah mencengkeramnya.
Bahkan ketika Ki Patih Warutama memondongnya menuju ke pembaringan, dengan sepasang mata dipejamkan dan mulut merintih tak tentu apa yang diucapkannya, Wulandari melingkarkan kedua lengannya ke leher bekas kekasihnya, seperti dua puluh tahunan yang lalu.
Peristiwa pemboyongan nyi tumenggung dan puterinya ke kepatihan tentu akan menimbulkan geger kalau saja yang melakukan pemboyongan itu adalah "orang kecil" atau ponggawa yang kedudukannya masih rendah. Perbuatan tidak wajar, apalagi melanggar hukum dari orang kecil tentu akan mencelakakan pembuatnya sendiri. Akan tetapi, siapakah yang berani mencela atau menghalangi perbuatan "orang besar" seperti Ki Patih Warutama? Tidak dahulu tidak sekarang, orang yang berkedudukan tinggi dan memiliki kekuasaan, dapat berbuat seenak perutnya sendiri tanpa ada orang yang berani mengganggu, karena bukankah hukum berada mutlak di dalam telapak tangannya?
Semenjak dahulu sampai kini, hukum yang dibuat manusia ternyata gagal untuk melindungi manusia-manusia yang termasuk golongan kecil, dan pada hakekatnya merupakan cara untuk menekan si kecil dan sebaliknya melindungi si besar.
Pemboyongan ibu yang baru saja menjadi janda bersama puterinya ke kepatihan tentu saja menimbulkan keheranan dan pelbagai dugaan, namun semua ini dapat ditutup oleh alasan ki patih bahwa hal ini dilakukan oleh ki patih mengingat akan jasa Tumenggung Matunggal yang tewas dalam melakukan tugas. Maka habislah urusan itu, bahkan ki patih dipuji-puji sebagai seorang atasan yang pandai menghargai jasa bawahannya dan bahwa ki patih adalah seorang baik hati yang menaruh kasihan kepada ibu dan puterinya itu.
Namun, sesungguhnya bukan sesederhana ini persoalannya dan hal ini hanya Wulandari yang mengetahuinya. Mula-mula janda ini merasa berbahagia sekali karena dia telah dapat berkumpul kembali dengan kekasih lama, bahkan dapat melanjutkan cinta kasih mereka yang dahulu diputus dengan paksa. Mula-mula Wulandari terlena dalam kenikmatan cinta, terbuai oleh bujuk rayu dan cinta asmara yang dilimpahkan oleh Ki Patih Warutama. Akan tetapi, ketika pada suatu malam ki patih menyatakan bahwa ki patih hendak mengambil puterinya, Dyah Handini, menjadi isteri ki patih, ia terkejut sekali seperti disambar halilintar di malam terang bulan!
"Ahhh, Kakangmas....! Betapa mungkin? Tidak bisa... tidak boleh Handini menjadi isterimu...."
Ki Patih Warutama merangkulnya, memeluk dan membelainya sambil tersenyum.
"Mengapa tidak, Wulandari? Dia akan menjadi isteriku, dan kita bertiga akan dapat berkumpul terus sampai selamanya! Bukankah hal ini membahagiakan kita bertiga?"
"Tidak boleh.... ah, Kakangmas, tidak boleh...." Wulandari menangis.
Warutama mengerutkan alisnya, akan tetapi ia masih tersenyum dan menciumi muka yang mulai basah air mata itu. "Diajeng Wulandari, ketahuilah bahwa aku mencinta puterimu. Dia mengingatkan aku kepada engkau ketika masih muda. Ketika kita dipaksa berpisah, engkau seumur dia dan persis seperti dia sekarang inilah keadaanmu. Apakah engkau cemburu? Dia puterimu sendiri. Dan engkau tentu yakin bahwa kalau dia menjadi isteriku, dia akan hidup bahagia. Dan engkau pun akan selalu bersanding di sisiku dan di sisi puterimu. Jangan khawatir, bintang pujaanku, aku dapat membagi cinta kasihku antara kalian berdua. Bahkan hubungan suci ini akan mengikat kita bertiga erat-erat, selamanya tidak akan berpisah lagi."
"Tidak....! Tidak.... Aahhh, jangan...." Wulandari menangis makin mengguguk.
Sinar mata yang menyeramkan memancar keluar dari mata Ki Patih Warutama. Kedua tangannya yang tadi membelai tubuh Wulandari, masih membelainya dan naik ke atas, membelai dan meraba-raba leher wanita itu, mengusap usap dengan gerakan-gerakan tangan seperti hendak mencekiknya. Mulutnya tersenyum dan suaranya dingin sekali ketika ia bertanya lirih,
"Mengapa? Mengapa tidak? Katakanlah, apa sebabnya mengapa kau tidak setuju."
Wulandari mengangkat mukanya memandang wajah pria yang sudah menjatuhkan hati dan segala-galanya itu. "Kakangmas, dia.... Dyah Handini itu... dia.... adalah anakmu sendiri...!"
Jari-jari yang mengelus leher itu menegang, akan tetapi belum mencekik, sungguhpun masih membelainya, agak lebih kasar daripada tadi. Wulandari hendak merenggutkan dirinya namun tidak dapat.
"Apa kau bilang.....? Dia anakku...?"
"Betul, Kakangmas. Dengarlah dahulu, ketika engkau melarikan diri.... dan aku dipaksa kawin dengan Tumenggung Matunggal, aku sudah... sudah mengandung satu bulan. Dia anakmu, Kakangmas, karena itu.... tidak boleh engkau mengambilnya sebagai isterimu..."
"Aku tidak percaya! Juga tidak perduli. Dia akan menjadi isteriku, tak perduli dia anakku atau bukan, tak perduli engkau setuju atau tidak!?"
"Kakangmas...!" Wulandari berseru dengan suara penuh permohonan, dengan air mata bercucuran.
"Cukup! Dengar baik-baik. Aku cinta kepada Dyah Handini, seperti cintaku kepadamu dahulu. Cintaku kepadamu yang terputus. Kini aku minta dilanjutkan, karena dia serupa benar dengan engkau dahulu. Hanya ada dua jalan bagimu. Menyetujui dia menjadi isteriku sehingga kita bertiga akan dapat terus berkumpul, akan tetapi terus saling mencinta, atau.... engkau mati sekarang juga dan dia tetap menjadi isteriku!" Jari-jari tangan yang masih melingkari leher Wulandari itu kini mengeras dan cekikan mulai terasa.
Dengan wajah pucat dan air mata mengalir, Wulandari terpaksa mengangguk, tak mampu mengeluarkan kata-kata lagi.
"Ha-ha-ha, bagus, itu baru namanya bintang pujaanku yang sejati!" Ki Patih Warutama tertawa lalu mengecup bibir Wulandari dengan buas, lalu memaksa wanita yang nelangsa batinnya itu untuk melayani cinta kasihnya yang sesungguhnya hanya merupakan cinta berahi, cinta berahi, cinta nafsu yang selalu menjadi penuntun bagi setiap perbuatan seorang manusia macam Warutama atau Sindupati.
Demikianlah, biarpun sudah mendengar dari mulut Wulandari sendiri bahwa Dyah Handini adalah anaknya, Ki Patih Warutama tidak mau mundur dan melangsungkan pernikahannya dengan dara yang denok ayu itu. Tentu saja pesta pernikahan diramaikan dengan mewah dan meriah dan orang-orang mulai memuji-muji lagi ki patih yang dianggapnya amat baik, suka mengangkat derajat anak seorang tumenggung. Semua orang menganggap betapa baik nasib Dyah Handini dan ibunya, yang biarpun telah kehilangan ayah dan suami, namun kini malah dinaikkan derajatnya sampai berlipat kali!
Dyah Handini sendiri sebagai seorang gadis pada masa itu, hanya menurut kehendak ibunya dan akhirnya dia pun berbahagia karena suaminya, biarpun usianya sudah mendekati setengah abad, harus diakui merupakan seorang pria yang tampan dan gagah, apalagi amat pandai dan seorang ahli dalam merayu wanita dan bermain cinta. Segera dara yang denok ini jatuh dan mabuk oleh rayuan pria yang menjadi suaminya, sedikitpun tak pernah menduga bahwa suaminya ini sesungguhnya adalah ayahnya sendiril
Ki Patih Warutama yang pada lahirnya merupakan seorang patih yang berpengaruh dan berkuasa, merupakan seorang pria yang tampan dan gagah sebenarnya batinnya amatlah rendah. Hanya manusia berperangai binatang saja kiranya yang sudi melahap puterinya sendiri! Bukan hanya itu saja, bahkan lebih jauh lagi tingkah dan ulah ki patih ini. Terang-terangan di depan isterinya, ia melanjutkan hubungan rahasianya dengan Wulandari! Akhirnya Dyah Handini juga mengetahui bahwa ibunya telah "diselir" oleh suaminya. Anak dan ibu menjadi madu! Namun, Dyah Handini yang sudah jatuh bertekuk lutut oleh belaian kasih sayang ki patih yang amat pandai, tidak berani marah, bahkan diam-diam menjadi gembira karena baginya, lebih baik membagi suaminya dengan ibunya daripada dengan wanita lain.
Terjadilah kemaksiatan yang menjijikkan dalam kamar Kl Patih Warutama. Kini terang-terangan saja dia bermain cinta dengan ibu dan anak itu. Dia tidur sekamar dengan Wulandari dan Dyah Handini, bergiliran mencintai ibu dan anak, tanpa malu-malu lagi bertiga tidur seranjang! Kadang-kadang, mereka bertiga duduk bercengkerama, bersendau-gurau, ki patih duduk di tengah, Wulandari duduk di atas paha kanannya, Dyah Handini duduk di atas paha kirinya, memeluk kedua ibu dan anak itu dengan dua lengannya, bergiliran menciumi dan mencumbu mereka!
Hebatnya, lambat-laun Wulandari dapat melupakan rasa nelangsa di hatinya dan mulailah ia bergembira dan akhirnya ia merasa berbahagia mendapat kenyataan betapa ki patih masih tetap mencintanya seperti cintanya terhadap puterinya. Wulandari merasa mendapat kepuasan lahir batin dan tak perduli lagilah akan tata susila, tidak malu menyaksikan puterinya bermain cinta dengan ki patih, juga tidak malu lagi disaksikan puterinya apabila dia mendapat giliran! Adakah perbuatan asusila yang lebih gila daripada ini?
Sementara itu, kedudukan Suminten makin kuat. Keadaan sang prabu yang sudah tua tiada lebih kuat daripada seorang tapadaksa yang tak berdaya. Semua persoalan pemerintahan dipegang oleh tiga serangkai itu, Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama. Hubungan dengan wakil-wakil Kerajaan Sriwijaya dan Cola makin diperkuat dan mulailah diatur rencana untuk menguasai seluruh Jenggala, kemudian menghantam Panjalu. Kadipaten sebelah timur sudah pula dihubungi dan mereka ini, termasuk Kadipaten Nusabarung dah Kadipaten Blambangan yang menaruh dendam terhadap Panjalu, sudah siap-siap pula untuk membantu jika pecah perang.
Awan gelap menyelimuti angkasa di atas kedua kerajaan bersaudara itu, kerajaan yang menjadi keturunan Mataram yang terpecah karena mendiang Sang Prabu Airlangga bermaksud bersikap adil dan mencegah perang saudara dengan cara membagi kerajaan menjadi dua.
********************
Di kaki Gunung Anjasmoro sebelah utara merupakan pedusunan yang amat sunyi, yang hanya berpenduduk beberapa puluh keluarga petani miskin. Namun tempat ini memiliki pemandangan alam yang indah dan kesunyian selalu merupakan sifat yang khas daripada keindahan alam. Di antara pondok-pondok kecil, gubuk-gubuk berdinding anyaman bambu dan beratap daun kelapa itu terdapatlah sekelompok bangunan yang dikurung pagar tembok.
Pintu gerbang dinding yang mengurung kelompok bangunan ini selalu terjaga oleh beberapa orang perajurit pengawal. Keadaan sekeliling pondok sunyi dan hening dan hanya beberapa kali saja setiap harinya ada pelayan tua yang keluar melalui pintu gerbang untuk mengurus keperluan penghuni pondok.
Pondok ini adalah tempat pengasingan atau pembuangan bagi bekas permaisuri, sang ratu dari Jenggala! Setelah sang ratu ini gagal menandingi Suminten yang sangat cerdik sehingga sang ratu yang hendak "menangkap basah" selir itu sebaliknya malah masuk perangkap, wanita tua ini sekarang menjadi seorang buangan, hidup bersunyi diri di dalam pondok yang dikurung dinding tinggi dan terjaga slang malam ini. Tidak pernah keluar dari pondok, tidak pernah bertemu dengan orang lain kecuali para pelayannya karena bekas permaisuri ini dilarang keluar, dan dilarang pula menerima kunjungan orang luar.
Akan tetapi pada suatu hari, lewat pagi, sepasang orang muda memasuki pintu gerbang dinding yang mengurung pondok pengasingan ini. Mereka berdua tidak dilarang oleh para penjaga, bahkan para penjaga cepat-cepat berlutut memberi hormat dan menyapa dengan penuh kehormatan kepada pria yang lewat menggandeng wanita itu. Mereka itu masih muda-muda dan keduanya amatlah eloknya, bagaikan sepasang dewa asmara Sang Hyang Komajaya dan Komaratih.
Kedua orang muda ini bukan lain adalah Pangeran Panji Sigit dan isterinya, Setyaningsih. Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah menikah di Padepokan Wilis, Pangeran Panji Sigit mengajak isterinya untuk ke Jenggala.
Pangeran Panji Sigit maklum bahwa kembalinya ke Jenggala merupakan perbuatan yang banyak resikonya bagi dirinya karena dia telah mempunyai seorang musuh yang berbahaya, yaitu Suminten. Akan tetapi karena pangeran ini amat mencinta ramandanya dan pula karena ia berpikir bahwa setelah ia beristeri, kiranya Suminten tidak begitu gila untuk menggodanya lagi, maka ia bertekad untuk pulang ke Jenggala.
Di sepanjang perjalanan, pangeran yang amat memperhatikan keadaan ramandanya dan keadaan kota raja, bertanya-tanya dan alangkah kaget hatinya ketika ia mendengar segala peristiwa hebat yang terjadi di kerajaan ramandanya. Tentang pengangkatan Pangeran Kukutan menjadi putera mahkota, sama sekali tidak mendatangkan kesan apa-apa di hatinya karena memang Pangeran Panji Sigit bukan seorang yang gila akan kedudukan.
Peristiwa yang menimpa keluarga ki patih, yang didengarnya di jalan, dan tentang penggantian patih baru, hanya mendatangkan rasa haru dan kasihan di samping rasa penasaran mengapa paman patih yang dianggapnya amat baik dan setia itu sampai dijatuhi hukuman sekeluarga sedemikian mengerikan. Akan tetapi ketika ia mendengar bahwa ibunda ratu diasingkan, dibuang ke kaki Anjasmoro, Pangeran Panji Sigit menjadi marah sekali.
"Setan betina, iblis laknat, siluman keji! Semua ini gara-gara dia!" seru Pangeran muda itu sambil mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali.
"Eh, Kakangmas...!" Setyaningsih menegur suaminya.
Pangeran Panji Sigit merangkulnya dan ia sadar, dapat pula menguasai hatinya yang terbakar. Setelah menghela napas panjang ia berkata, "Diajeng, sungguh jahat sekali dia itu. Semua ini tentu hasil perbuatan Suminten. Aduh dewata Yang Maha Agung.... mengapa Ramanda Prabu sampai tenggelam sedemikian dalamnya.... Diajeng, mari kita pergi ke kaki Anjasmoro, lebih dahulu kita menjenguk Ibunda Ratu."
Perjalanan dilanjutkan. Kuda tunggangan mereka dilarikan lebih cepat dan akhirnya mereka dapat juga menemukan pondok pengasingan di kaki Gunung Anjasmoro. Para penjaga tentu saja mengenal Pangeran Panji Sigit yang memang sejak dahulu amat disuka oleh semua perajurit, maka dengan mudah saja Pangeran Panji Sigit dan isterinya memasuki pintu gerbang dan langsung mencari bekas permaisuri yang menurut para abdi sedang duduk seperti biasa di belakang pondok.
Hati Pangeran Panji Sigit terasa seperti disayat-sayat pisau ketika ia melihat wanita tua itu duduk bersila di atas lantai bertilam tikar. Wajah permaisuri itu masih agung, sungguhpun segala keadaan memperlihatkan kesederhanaan yang amat tidak pantas bagi seorang bekas ratu. Muka itu tidak dirias, tidak dibedaki, rambutnya digelung bersahaja ke belakang, rambut yang sudah bercampur banyak uban, tubuhnya ditutup libatan kain berwarna putih sederhana, pakaian seorang pertapa.
Hanya sepasang gelang sederhana yang menghias kedua tangannya yang bertelanjang sampai ke siku. Sang ratu itu sedang duduk bersamadhi, hening dan tidak bergerak seperti sebuah arca. Wajahnya yang tua itu membayangkan ketenangan, namun gurat-gurat pada dahinya jelas membayangkan penderitaan batin yang hebat. Betapapun juga, mulutnya menjadi pencerminan kesabarannya sehingga makin mengharukan hati Pangeran Panji Sigit yang segera menggandeng tangan isterinya, diajak maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan sang ratu sambil berkata lirih,
"Duhai Ibunda Ratu yang mulia, hamba Panji Sigit bersama isteri datang menghadap Paduka..." kata Pangeran Panji Sigit dengan suara terharu.
Wanita itu membuka kedua matanya. Wajahnya berseri, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum, tanda bahwa hatinya gembira sekali.
"Panji Sigit... Ah, Pangeran, alangkah gembira hatiku. Mendekatlah, Puteraku wong bagus..."
Panji Sigit mendekat dan wanita tua itu lalu membelai rambut kepalanya. Sentuhan ini membuat hati Panji Sigit makin terharu sehingga dua titik air mata membasahi pipinya.
"Dia ini isterimu, Kulup? Ah, Nini, mendekatlah, Mantuku...!"
Setyaningsih menyembah dan menghampiri. Dengan kedua tangan di atas kepala kedua orang itu, sang ratu menengadah seolah-olah mohon berkah dewata untuk sepasang orang muda itu. Wajahnya jelas membayangkan keharuan dan kegembiraan.
"Duhai Ibunda Ratu... apakah yang telah terjadi....? Paduka..."
"Husshhhh, Panji Sigit puteraku. Tidak ada apa-apa denganku, cerita tentang aku tidak menarik. Lebih baik kau ceritakan pengalamanmu semenjak kau pergi dari istana. Bagaimana sekarang tahu-tahu pulang membawa isteri yang begini cantik jelita? Anak nakal, agaknya engkau baru pulang dari taman sorga dan mempersunting seorang bidadari...."
Di dalam hatinya, Pangeran Panji Sigit makin terharu dan kagum sekali akan ketenangan dan ketabahan hati sang ratu. Sudah mengalami nasib yang demikian sengsara dan terhina, masih bersikap tenang, tidak menonjolkan penderitaan pribadinya. Dan seorang wanita yang begini telah dibuang oleh sang prabu! Maka ia pun menenangkan perasaan hatinya dan bercerita tentang pengalamannya setelah dia pergi meninggalkan istana. Betapa ia memasuki sayembara di lembah Wilis dan berhasil mempersunting Setyaningsih.
"Kanjeng Ibu, dia ini bukan orang lain, melainkan adik kandung dari Ayunda Endang Patibroto yang kini menjadi ketua Padepokan Wilis." Ia menutup ceritanya.
"Ahhhh.... Endang Patibroto mantuku yang terkena fitnah dan.... kasihan puteraku Panjirawit.... Jadi Andika adik kandung Endang Patibroto? alangkah baiknya, kalian menyambung kembali ikatan yang terputus oleh keadaan. Aku girang sekali, Panji Sigit dan Setyaningsih."
"Duh Kanjeng Ibu, sekarang hamba mohon Paduka suka menceritakan, mengapa Paduka sampai menjadi begini.... sungguh bingung dan sedih hati hamba mendengar dalam perjalanan tentang paduka..."
Sang ratu tersenyum. "Apa yang engkau dengar, Pangeran?"
"Hamba mendengar cerita orang dalam perjalanan hamba bahwa Paduka di.... diasingkan ke tempat ini oleh Ramanda Prabu karena katanya Paduka.... Paduka melakukan fitnah kepada ibunda selir...."
Sang ratu mengangguk. "Memang tampaknya begitulah, Puteraku. Akan tetapi sebetulnya di balik kenyataan ini terdapat rahasia-rahasia yang amat pelik. Nah, kau dengarlah penuturanku, karena engkau sebagai seorang Pangeran Jenggla berhak mengetahuinya."
Maka berceritalah wanita tua itu dengan suara tenang dan sabar. Diceritakan segala peristiwa yang terjadi di dalam istana, yang tidak diketahui orang lain. Tentang sepak terjang Suminten dan Pangeran Kukutan tentang persekutuannya dengan ki patih yang baru, tentang kelemahan sri baginda dan kemudian betapa dia sendiri terjebak ke dalam perangkap yang mereka pasang yang menjebloskannya sehingga mengakibatkan dia terbukti melakukan fitnah dan dihukum buang.
"Ah, si keparat, iblis betina yang keji!" Pangeran Panji Sigit mengepa tinju, mukanya merah dan matanya terbelalak penuh kemarahan. "Agaknya dahulu pun dia sengaja menggoda dan menyinggungku agar aku pergi dari istana dan dia dapat berbuat sesukanya! Keparat!"
"Kakangmas, tenanglah...." Setyaningsih memperingatkan.
Sang ratu tersenyum. "Wah, isterimu ini mengagumkan, Pangeran. Agaknya tidak semudah ayundamu dikuasai kemarahan. Dia benar, Puteraku, tenanglah dan ceritakan kepadaku, apa yang dia lakukan dahulu terhadap dirimu."
"Hamba.... hamba merasa malu untuk menceritakan peristiwa menjijikkan itu, Kanjeng Ibu!"
"Biarlah hamba yang bercerita, Kanjeng Ibu. Sebelum Kakanda Pangeran pergi dari istana, Kakanda pernah digoda oleh.... Ibunda selir, dibujuk rayu dan diajak bermain asmara. Kakanda Pangeran tidak mau melayani niatnya yang kotor itu, kemudian Kakanda yang merasa malu sekali lalu pergi meninggalkan istana."
Sang ratu mengangguk-angguk. "Hemm.... tidak aneh. Betapa banyaknya pangeran yang terjatuh oleh rayuannya! Syukur engkau teguh hati, Angger."
"Ibunda Ratu, kita harus menghancurkan iblis betina itu! Penghinaan terhadap Paduka harus dibalas. Biarlah hamba yang ....!"
"Jangan, Kulup. Jangan menurutkat hati panas. Ingatlah bahwa benci dan dendam hanya akan mengotori dan mengeruhkan batin sendiri. Aku tidak membenci Suminten, aku tidak mendendamnya, setelah aku mendapat ketenangan batin di sini baru kuketahui akan hal ini. Aku menerima nasib dan sisa hidupku yang tak lama lagi ini tidak boleh sekali-kali dikotori oleh benci dan dendam."
"Akan tetapi, lblis betina itu telah merusak kebahagiaan Paduka, telah menghina Paduka sehingga Paduka mengalami nasib sengsara seperti ini. Dia adalah musuh Paduka...."
"Keliru wawasanmu, Angger. Boleh jadi dia menganggap aku sebagai musuh, akan tetapi biarlah kalau begitu. Aku tidak menganggap dia atau siapa saja sebagai musuh, dan peristiwa yang menimpa diriku tidak kuanggap sebagai salah siapa-siapa, melainkan semata-mata adalah tepat seperti yang dikehendaki Sang Hyang Wisesa. Apa pun yang terjadi di dunia ini adalah tepat seperti yang dikehandaki-Nya, karena di luar kehendak-Nya, takkan terjadi sesuatu."
Diam-diam Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih menjadi kagum dan di dalam hati mereka tunduk terhadap wawasan yang sedemikian hebatnya, yang sukar dilaksanakan oleh siapa pun.
"Maaf, Ibunda Ratu, hamba takkan sanggup dan berani membantah kebenaran wejangan Paduka itu. Akan tetapi, kerajaan berada dalam cengkeraman manusia-manusia iblis, kerajaan terancam bahaya, juga Ramanda Prabu.... ah, betapa mungkin hamba yang melihat hal itu semua lalu berpeluk tangan, mendiamkannya saja?"
"Hal itu lain lagi persoalannya, Puteraku. Sudah menjadi kewajibanmu sebagai seorang pangeran dan ksatria untuk membela Ramandamu dan kerajaan. Sudah menjadi kewajibanmu pula untuk menghalau musuh negara. Akan tetapi kalau demikian, semua tindakanmu mempunyai dasar yang bersih, bukan semata-mata karena kebencian dan hendak membalas dendam yang ditimpakan kepadaku. Mengertikan engkau akan perbedaannya, Angger Pangeran?"
Pangeran Panji Sigit mengangguk-angguk. Tahulah ia sekarang apa yang dimaksudkan ibu tirinya ini. Tentu saja sebagai seorang gemblengan, ia sudah banyak menerima wejangan dari guru-gurunya, sudah mengerti pula akan perbedaan antara dua perbuatan yang sama. Hanya sama tampaknya, namun seperti bumi dan langit perbedaannya yang terletak pada dasar perbuatan itu yang menjadi sebab. Membunuh dan membunuh tidaklah sama kalau membunuh yang pertama berdasarkan kebencian dan dendam sedangkan membunuh yang ke dua berdasarkan membela negara. Bukanlah perbuatannya yang dinilai, melainkan yang tersembunyi di balik perbuatan itu, pendorong dan pamrihnya.
"Hamba mengerti, Kangjeng Ibu. Akan hamba usahakan sekerasnya agar hamba tidak melibatkan persoalan pribadi dalam perjuangan hamba, melainkan persoalan membela negara dan melindungi Ramanda Prabu. Hamba bermohon diri, Kanjeng Ibu, sekarang juga hamba bersama Setyaningsih hendak mulai menentang dan menghalau iblis-iblis yang mencengkeram Kerajaan Jenggala."
"Kau terlalu sembrono, Pangeran. Kalian berdua tidak boleh pergi ke Jenggala, hal ini amat berbahaya bagi kalian berdua."
"Hamba tidak takut. Harap Kanjeng Ibu jangan khawatir. Selama hamba pergi merantau, hamba telah menerima banyak gemblengan ilmu dan di samping hamba ada Diajeng Setyaningsih yang memiliki kesaktian. Hamba berdua dapat menjaga diri. Pula, di kota raja banyak terdapat para ponggawa yang masih setia kepada Ramanda Prabu, dan banyak sahabat-sahabat hamba...."
"Ah, engkau tidak tahu, Angger. Seluruh ponggawa telah menjadi kaki tangan Kukutan. Dan ketahuilah bahwa Ki Patih Warutama memiliki kesaktian yang amat luar biasa sehingga dia berhasil menyelamatkan ramandamu dari serbuan orang-orang jahat seperti yang kuceritakan padamu tadi. Engkau sudah pernah bentrok dengan Suminten. Hal ini amat berbahaya bagimu. Sekali Suminten menudingkan telunjuknya kepadamu, engkau akan dikeroyok dan ramandamu takkan dapat berbuat apa-apa karena ramandamu kini tidak pernah keluar dari dalam kamarnya. Tak ada seorang pun sahabat yang berani membelamu, Angger."
Pangeran Panji Sigit mengerutkan alisnya yang tebal. "Habis, apakah yang harus hamba Iakukan, Kanjeng Ibu? Apakah menerima nasib dan berdiam diri saja?"
"Hanya ada satu jalan terbaik yang dapat kutunjukkan kepadamu, Puteraku. Pergilah engkau bersama isterimu ke Panjalu. Di Jenggala sendiri sudah tidak ada orang yang akan dapat menolong kerajaan. Panjalu sajalah yang akan dapat mengatasi keadaan. Pergilah menghadap uwa prabu di Panjalu dan ceritakan semua yang telah kau dengar dariku tadi. Di sana banyak terdapat orang-orang pandai, bahkan Adipati Tejolaksono pun kabarnya berada di Panjalu menjadi patih muda. Nah, ke sanalah tempat engkau mencari bantuan, Angger."
Pangeran Panji Sigit bukanlah seorang pemuda yang hanya menurutkan nafsu amarah. Mendengar nasehat ini ia dapat menerima, maka ia pun lalu berpamit dan pergilah ia bersama Setyaningsih menuju ke Panjalu. Setyaningsih juga merasa girang sekali karena mendengar bahwa Adipati Tejolaksono telah pindah ke Panjalu, dengan demikian dia akan mendapat kesempatan untuk berkunjung dan bertemu dengan mereka, terutama sekali dengan Pusporini yang sudah amat dia rindukan. Tidak ada halangan merintangi perjalanan sepasang suami isteri yang perkasa ini, dan perjalanan dilakukan dengan cepat.
********************
"Kalian berhati-hatilah. Ular itu bukan sembarang ular, melainkan ular yang sudah bertapa ratusan tahun lamanya. Sudah ribuan kali berganti kulit dan sudah banyak menerima cahaya sakti bulan dan matahari. Batu mustika itu berada di dalam kepalanya, di atas lidah, tepat di antara kedua matanya. Mustika itu tidak ada gunanya bagi seekor ular, hanya menambah kebuasannya membahayakan mereka yang lewat di hutan itu, namun sebaliknya amatlah berguna kelak bagi kalian berdua. Aku sudah memberi ijin kepada kalian, pergi cari ular itu, bunu dia sebagai hukuman karena dia telah menelan tiga orang anak penggembala dan ambil mutiaranya. Akan tetapi hati-hatilah!" Demikian pesan Sang Resi Mahesapati kepada dua orang muridnya, Joko Pramono dan Pusporini.
Telah tiga tahun lebih mereka berdua digembleng oleh guru mereka yang sakti mandraguna itu di puncak Gunung Kawi dan biarpun guru mereka ini tidak menurunkan ilmu baru, namun gemblengannya hebat luar biasa sehingga aji-aji yang telah mereka berdua miliki kini memperoleh kemajuan pesat sekali dan kekuatan sakti mereka menjadi berlipat ganda.
"Eyang Resi, untuk membunuh ular dan mengambil mustika di dalam kepalanya saja mengapa Eyang menyuruh dia ini ikut? Dia hanya akan menghalang-alangi pekerjaanku saja. Biar kulakukan sendiri, Eyang. Hamba berjanji akan membawa mustika ular itu kepada Eyang tanpa bantuan dial" kata Pusporini sambil melirik-lirik ke arah Joko Pramono. Hatinya sedang kesal karena tadi pagi dalam latihan mempergunakan tenaga sakti memukul air, ternyata air telaga muncrat lebih tinggi ketika dipukul Joko Pramono dan pemuda itu sengaja mengejeknya.
"Wah-wah, coba Eyang Resi perhatikan, bukankah murid Eyang yang satu ini makin lama makin sombong? Makin besar kepala!" Joko Pramono juga menyerang marah.
"Apa? Kepalaku besar? Tidak sebesar kepalamu! Engkaulah yang sombong! Pagi tadi dia menyombongkan tenaganya dan mengatakan bahwa aku kalah kuat olehnya, Eyang Resi. Coba, bukankah dia yang sombong?"
"Aku kan bicara apa adanya?" bantah Joko Pramono.
"Aku pun bicara apa adanya. Memangnya aku membutuhkan bantuanmu untuk membunuh ular itu?"
"Wah aksinya. Melihat ular nanti ku rasa kau akan menjerit-jerit kegelian dan ketakutan!"
"Coba saja! Memangnya aku ini anak kecil? Sepuluh ekor ular ditambah engkau aku tidak takut!"
Sang Resi Mahesapati tertawa bergelak. "Sudah, sudah.... ha-ha-ha! Kalian ini seperti bocah-bocah nakal saja, mendengarkan kalian bertengkar setiap hari, benar-benar membuat aku awet muda! Pertengkaran kalian itu membayangkan jiwa muda yang masih panas membara, semangat yang menyala-nyala dan... dan... ha-ha-ha, benar-benar lucu. Sekarang begini saja. Kalian berdua kuijinkan berlomba mencari dan membunuh ular Puspo Wilis itu. Siapa yang nanti membawa mustika dan menyerahkannya kepadaku, kuanggap lebih pandai!"
"Baik, hamba pamit mundur, Eyang!" Pusporini menyembah lalu berkelebat, sekejap mata saja lenyap dari hadapan gurunya yang duduk di depan pondok bambu.
"Hamba pun minta diri, Eyang!" Joko Pramono juga berkelebat cepat mengejar Pusporini, khawatir kalau kalah dulu.
Kembali kakek tua renta itu tertawa bergelak dan menengadah ke angkasa, mulutnya berkemak-kemik, "Lucu.... lucu.... alangkah indahnya hidup bagi orang-orang muda.... ha-ha-ha...!"
Seperti burung terbang setidaknya seperti seekor kijang Pusporini lari sambil mengerahkan seluruh aji kesaktian Bayu Sakti yang pernah ia pelajari dari Adipati Tejolaksono dahulu. Namun kini Aji Bayu Sakti yang ia pergunakan jauh mendapat kemajuan yang hebat sehingga larinya amat cepat, tubuhnya ringan sekali dan kedua kakinya seolah-olah tidak menginjak tanah melainkan terbang di atas ujung rumput-rumput hijau!
Dalam hal tenaga sakti mungkin dia kalah kuat setingkat kalau dibandingkan dengan Joko Pramono, akan tetapi dalam aji keringanan tubuh dan kecepatan berlari, pemuda itu masih sukar untuk dapat mengalahkannya. Apalagi sekarang Pusporini mengerahkan seluruh kepandaiannya karena ia memang sedang berlomba dengan pemuda itu!
Jauh di belakang, makin lama makin jauh tertinggal, Joko pramono juga berlari secepatnya melakukan pengejaran. Di dalam hatinya, pemuda ini sebetulnya sama sekali tidak berniat untuk mendahului Pusporini, sungguhpun harus ia akui bahwa kalau berlomba lari ia takkan menang. Namun, ia melakukan pengejaran karena di dalam hatinya timbul rasa khawatir akan keselamatan gadis yang menjadi teman belajar, menjadi teman berlatih akan tetapi juga menjadi lawan bertengkar itu.
Seringkali ia merasa heran mengapa dia selalu bertengkar dengan Pusporini, mengapa agaknya ada terasa kenikmatan dan kegembiraan di hatinya kalau mereka sedang bertengkar itu. Bagi dia, Pusporini tampak paling manis kalau sedang marah-marah seperti itu! Dan pemuda ini merasa di dalam hatinya bahwa mereka berdua selalu bertengkar karena tidak mau kalah, karena masing-masing ingin dihargai, ingin dikagumi. Namun, sehari saja tidak bertengkar, apalagi tidak berjumpa, merupakan siksaan batin yang tiada taranyal
Demikianlah, dua orang muda itu berlari-lari seperti terbang menuju ke sebuah hutan di lereng Gunung Kawi sebelah timur, yaitu hutan yang oleh guru mereka disebut hutan Kaloka, di mana terdapat ular besar Puspo Wilis yang bertapa dan yang harus mereka bunuh dan ambil mustikanya. Beberapa pekan yang lalu ular itu telah menelan tiga orang anak penggembala kerbau yang sedang menggembala kerbau di pinggir hutan.
Sementara itu dari kaki Gunung Kawi sebelah timur, tampak dua orang berjalan kaki, mendaki lereng. Mereka adalah seorang laki-laki setengah tua yang tampan dan gagah, berusia empat puluhan tahun, mengiringkan seorang gadis yang usianya takkan lebih dari dua puluh tahun, seorang gadis tinggi semampai yang manis sekali, berwajah cerah bermata jeli. Gadis itu tidak tahu betapa pria yang mengiringkannya memandang kepadanya dari belakang dengan pandang mata mesra, dan betapa pria itu berkali-kali menghela napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Mereka itu bukan lain adalah Wiraman dan Widawati, pengawal perkasa yang setia kepada Ki Patih Brotomenggala dan cucu mendiang ki patih itu, satu-satunya orang dari keluarga kepatihan yang lolos dari cengkeraman maut. Sebagai orang-orang yang diburu oleh kaki tangan Pangeran Kukutan, keduanya harus selalu berpindah-pindah dan bersembunyi-sembunyi, keluar masuk hutan, naik turun gunung. Tujuan perjalanan Wiraman adalah ke Panjalu, namun karena ia harus melakukan perjalanan sambil bersembunyi, maka mereka terpaksa mengambil jalan memutar yang amat jauh dan sukar.
Bagi Wiraman sendiri, seorang pengawal gemblengan yang bertubuh kebal dan kuat, perjalanan sukar dan jauh itu tidaklah amat berat. Akan tetapi patut dikasihani Widawati, biarpun dia pernah ia mempelajari ilmu olah keperajuritan, namun karena sebagai cucu patih dia lebih sering melakukan pekerjaan-pekerjaaan halus dan tubuhnya tidak begitu terlatih, perjalanan itu amatlah menyiksa dan melelahkan. Apalagi semua kesukaran ini diderita dengan hati hancur apabila teringat akan nasib buruk yang menimpa keluarganya. Untung baginya, di sampingnya terdapat Wiraman yang pandai menghiburnya, yang slap membela dan melindunginya, dan yang menjamin akan segala keperluannya di sepanjang perjalanan.
Ketika mereka sampai di sebuah tanjakan terjal, di luar sebuah hutan yang nampaknya angker dan liar, kaki Widawati tersandung dan ia terhuyung ke depan. Untung pada saat itu Wiraman cepat melompat dan menyambar lengannya sehingga dia tidak sampai jatuh tersungkur, akan tetapi renggutan tangan Wiraman itu membuat tubuh Widawati tersentak ke belakang dan berada di dalam pelukan pria itu, rapat bersandar di atas dada yang bidang.
"Hati-hatilah....!" Hanya demikian Wiraman dapat berkata karena pria segera memejamkan mata, dadanya bergelombang ketika perasaan yang aneh meresap di dalam tubuhnya. Tangan kanannya masih memegang lengan Widawati, tangan kirinya memegang pundak gadis itu. Merasa betapa punggung dan kepala gadis itu bersandar ke dadanya, mencium keharuman khas dari rambut dan peluh gadis itu, berdebar jantungnya dan kakinya.
Widawati amat lelah. Juga tadi la terkejut karena tersandung dan akan tersungkur ke depan, di mana terdapat jurang yang dalam. Kini merasa betapa ia selamat dan mendapat sandaran yang kokoh kuat, ia merasa aman dan tenteram. Tiada henti-hentinya Wiraman melimpahkan budi kebaikan kepadanya. la tidak tahu,, apa yang akan dia lakukan kalau di sampingnya tidak ada Wiraman.
Tanpa disadari lagi, ketika kali ini kembali Wiraman yang menolongnya pada saat yang tepat, menjadi bukti bahwa Wiraman selalu memperhatikannya, selalu menjaganya, ia bersandar pada dada yang bidang dan kuat itu dan sampai beberapa lamanya mereka hanya berdiri dalam keadaan seperti itu, keduanya memejamkan mata. Widawati dapat mendengar dengan telinganya betapa dada yang bidang itu berdetak-detak keras. Hal ini menyadarkannya dan ia segera memisahkan diri.
"Terima kasih, Kakang Wiraman, engkau telah menyelamatkan aku...."
"Ah, tidak perlu berterima kasih, Diajeng. Memang sudah menjadi kewajibankulah untuk menjaga dan melindungimu. Engkau tentu lelah sekali dan di depan adalah hutan yang amat lebat, mari kita mengaso dulu."
"Baik, Kakang...."
Maka duduklah mereka berdua di bawah sebatang pohon, berteduh dari panas terik matahari yang membakar kulit. Widawati menyusuti peluhnya dengan ujung baju, menjilat-jilat bibirnya yang merah dengan ujung lidah. Sebentar Wiraman terpesona memandang mulut itu, ketika pandang mata mereka bertemu, Wiraman cepat-cepat menunduk dan berkata,
"Engkau tentu haus, Diajeng. tunggu sebentar kucarikan air...." Tanpa menanti jawaban, Wiraman sudah pergi mencari air gunung yang jernih.
Ditampungnya air itu dengan daun talas dan dibawanya air itu kepada Widawati yang menerima dan meminumnya dengan lahap karena memang ia haus sekali. Sampai lama mereka beristirahat di situ. Angin sumilir membuat Widawati mengantuk. Ia bersandar pada batang pohon dan memejamkan matanya. Wiraman tidak mengganggunya, melainkan duduk pula tidak jauh dari situ, memandang ke arah hutan lebat dengan pandang mata melamun. Berkall-kali, sama halnya ketika dalam perjalanan tadi, Ia memandang ke arah Widawati, menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepala, menghela napas lagi.
"Kakang Wiraman..."
Wiraman terkejut, seperti disentakkan dari alam mimpi. Tadinya ia tengah melamun, memandang ke hutan dan mengglgit-gigit rumput yang tanpa disadarinya telah ia cabut dari dekat kakinya. Ia menoleh dan pandang mata mereka bertemu, bertaut, dan dari pandang mata Wiraman masih memancar sinar cinta kasih yang jelas dan mesra. Mereka tidak berkata-kata lagi, hanya pandang mata mereka yang melekat dan seolah-olah mewakili mulut dan hati. Akhirnya Widawati yang berkata lirih,
"Kakang.... engkau kenapakah? Sejak tadi kulihat engkau menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. Ada sesuatu yang mengganggu hatimu, Kakang. Katakanlah, apakah gerangan yang kau susahkan? Kalau tidak kau ceritakan kepadaku, aku tentu akan menganggap bahwa akulah yang menyusahkan hatimu, Kakang."
"Ah, tidak.... tidak sama sekali, Diajeng..... aku hanya...." Wiraman terdiam, amat sukar agaknya untuk mengeluarkan isi hatinya.
Mereka berpandangan kembali dan slnar mata penuh ketulusan hati dari gadis itu seolah-olah memberi semangat dan keberanlan kepadanya.
"Biarlah kubukakan semua rahasia hatiku, Diajeng. Aku seorang laki-laki yang suka berterus terang, dan aku berani pula mempertanggung-jawabkan semua perbuatan atau ucapanku. Semenjak aku bertemu denganmu, Diajeng, ketika kau dibawa oleh Kakang Mitra.... semenjak itulah terjadi sesuatu yang tidak wajar di hatiku. Bagiku, ada sesuatu pada dirimu yang mengikat, mempesona, dan mengguncang hatiku. Ada suatu daya tarik luar biasa yang tidak wajar. Bukan kecantikanmu, bukan pula kemudaanmu, entah apamu aku sendiri tidak dapat mengatakan, melainkan yang sudah pasti, ada sesuatu yang membuat aku amat tertarik. Inikah yang disebut ikatan Karma? Aku harus jujur, Diajeng, dan dengan segala kejujuran kunyatakan sekarang juga demi menjaga segala kepura-puraan bahwa aku... cinta kepadamu, Diajeng."
"Ahhh....!" Suara Widawati seperti rintihan perlahan yang langsung keluar dari lubuk hatinya. Sepasang mata yang lebar jernih Itu mulai basah.
"Aku bukan seorang yang tidak tahu diri, Diajeng. Aku sadar bahwa aku telah beristeri, telah mempunyai anak-anak dan bahwa usiaku pun sudah setengah tua! Aku bukan seorang penghamba nafsu, aku mencinta isteri dan anak-anakku, sampai kini aku belum pernah mengambil selir. Akan tetapi terhadap engkau, Diajeng, entah mengapa aku sendiri tidak mengerti. Ada sesuatu yang menarik hatiku sehingga hatiku menjerit bahwa aku mencintamu, bukan cinta nafsu, akan tetapi.... ah, seolah-olah aku tidak akan sanggup untuk berpisah lagi dari sampingmu
"Kakang Wiraman...." Widawati mulai terisak.
"Mungkin aku telah menjadi gila, Diajeng," suara Wiraman terdengar gemetar, "akan tetapi.... demi semua Dewata, aku tidak berpura-pura, tidak pula dimabuk nafsu. Sudah banyak kujumpai puteri-puteri cantik jelita, lebih cantik dari padamu! sudah pula kuhadapi godaan wanita-wanita cantik, namun aku selalu menghindari karena hatiku tidak suka menerima semua itu. Akan tetapi terhadap engkau, aku benar-benar jatuh! Duhai Dewata, salahkah Wiraman ini? Salahkah Wiraman yang setengah tua ini menjatuhkan hatlnya kepada seseorang, dalam hal ini seorang gadis seperti, Widawati? Berdosakah kalau hati ini jatuh cinta?"
Ucapan-ucapan terakhir itu tidak lagi ditujukan kepada Widawati, melainkan kepada diri sendiri atau kepada para dewata. Sampai lama keadaan sunyi, hanya terdengar Widawati menangis sesenggukan sambil menyembunyikan mukanya di balik telapak tangannya. Kemudian terdengar gadis itu berkata lirih,
"Kakang, bagaimana aku akan menjawab? Engkau merupakan satu-satunya orang yang paling baik bagiku, seorang yang telah melimpahkan budi kepadaku.... cintamu itu, sungguhpun amat mengejutkan hatiku, namun aku percaya akan kemurniannya. Engkau adalah seorang pria yang patut dihormati, patut disuwitani, patut dicinta. Sesungguhnya, alangkah akan mudahnya bagi hatiku untuk membalas cinta kasihmu, Kakang, akan tetapi...."
"Akan tetapi aku sudah terlalu tua bagimu? Pantas menjadi ayahmu, menjadi pamanmu? Katakanlah terus terang, Diajeng. Aku Wiraman bukan seorang lemah dan aku dapat menghadapi semua kenyataan dengan mata terbuka dan pikiran sadar."
"Bukan, bukan begitu, Kakang Wiraman. Aku pun maklum bahwa cinta tidaklah melihat usia, tidak pula melihat kedudukan dan keadaan seseorang. Akan tetapi.... engkau telah mempunyai anak isteri, Sedangkan aku.... aku semenjak dahulu bercita-cita untuk cinta mencinta dengan satu orang saja, tidak suka aku dimadu.... tidak suka aku melihat seorang pria mempunyai selir. Banyak sudah terbukti kekacauan timbul karena selir, contohnya sang prabu sendiri...."
"Akan tetapi, tidak semua selir sejahat dia, Diajeng. Bukan sekali-kali aku menyatakan ini untuk memaksamu menjadi selirku. Tidak. Sudah kukatakan tadi bahwa aku mencintamu bukan oleh dorongan nafsu. Aku hanya tidak ingin berpisah darimu dan.... dan.... ah, sudahlah, Diajeng, aku hanya membuatmu berduka saja. Sudah cukup bagiku kalau engkau mendengar akan perasaan hatiku, sudah cukup kalau engkau mengetahui bahwa aku mencintamu. Lebih daripada itu, tidak kuharapkan. Kalau engkau tidak membalas cintaku, itu pun dapat kuterima dengan penuh kesadaran. Aku tidak menyalahkanmu, hanya aku sendiri-lah yang gila. Aku tidak ingin menyeretmu ke lembah kedukaan dan kesengsaraan, dan semoga Sang Hyang Wisesa akan dapat mengangkatku daripada keadaan yang gila ini. Kau tinggallah di sini, Diajeng, aku akan memburu kijang untuk kita makan. dagingnya. Di dalam hutan di depan itu pasti banyak binatang buruan."
Tanpa menanti jawaban, Wiraman sudah lari meninggalkan Widawati memasuki hutan yang liar itu untuk mencari binatang buruan, terutama kijang yang lembut dan lezat rasa dagingnya...