Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 30
KI DATUJIWA yang biasanya bersikap tenang itu kini memandang nenek itu dengan wajah pucat dan ia berkata, "Dewi Sarilangking....! Maafkan kalau saya keliru menduga.... bukankah Andika ini Sang Dewi Sarilangking yang kemudian terkenal dengan julukan Nini Bumigraba...."
"Hik, hik, Datujiwa! Matamu masih tajam. Lima puluh tahun yang lalu kita pernah bertemu dan engkau masih belum lupa kepadaku. Bagus! Hal ini saja sudah menyelamatkan kepalamu!"
"Saya menghaturkan salam dan hormat kepada Nini Bumigarba yang sakti mandraguna. Kalau boleh saya bertanya, apakah kehendak Andika sehingga memberi penghormatan kepada kami dengan kunjungan ke Wilis ini?"
"Ketahuilah, heh engkau Datujiwa! Aku sedang nganglang jagad (mengelilingi dunia) untuk mencari seorang murid yang cocok. Di sini aku melihat bocah ini, hatiku tertarik sekali. Dia cocok untuk mewarisi ilmu-ilmuku. Sayang engkau telah merusaknya dengan omongan-omongan kosong tentang mengalah dan macam-macam obrolan tiada guna."
Sebelum ada yang menjawab, Retna Wilis yang baru berusia enam tahun itu bangkit berdiri dan berkata kepada nenek aneh yang mukanya diselimuti uap hitam itu, suaranya nyaring dan matanya bersinar-sinar,
"Nenek yang aneh! Aku adalah murid Eyang Datujiwa yang sakti. Engkau hendak mengambil murid aku? Apakah kesaktianmu? Apakah engkau lebih sakti dari Eyang Datujiwa? Aku hanya mau menjadi murid orang yang memiliki kesaktian lebih dari Ibuku dan Eyang Datujiwa!"
"Retna.... Diam kau!" bentak Endang Patibroto yang masih merasa ngeri melihat nenek itu. Ia mengerti bahwa nenek ini biarpun seorang sakti, namun dikelilingi oleh hawa jahat seperti iblis. Mana mungkin ia membolehkan puterinya menjadi murid nenek iblis ini?
"Heh-heh-heh, semangatnya boleh juga! Nah, Datujiwa, engkau mendengar sendiri. Hayo bangkit dan kau lawan aku beberapa jurus untuk membuka mata calon muridku!"
"Tidak! Tidak boleh anakku diambil murid orang begitu saja!" Endang Patibroto berteriak marah. Kekhawatirannya bahwa anaknya akan diambil murid nenek iblis itu membuat ia marah dan lupa akan kengeriannya.
Timbul keberaniannya dan kalau Endang Patibroto sudah marah, biar setan dan iblis sendiri muncul di depannya, dia tidak akan mundur selangkah untuk melawannya!
Nenek yang tadinya sama sekali tidak memperhatikan Endang Patibroto, kini membalikkan mukanya memandang penuh perhatian.
"Hemm.... jadi engkaukah yang menjadi ibu anak ini? Wah, engkau boleh juga. Pantas saja mempunyai puteri seperti dia. Siapakah namamu, Nini?"
"Namaku Endang Patibroto dan akulah ketua Padepokan Wilis. Retna Wilis adalah puteriku, dan dia menjadi murid Ki Datujiwa atas kehendakku. Aku, tidak memperkenankan dia menjadi muridmu, harap kau orang tua jangan memaksa!"
"Heh-heh-heh, siapa yang memaksa? Anakmu itu dengan suka hati sendiri datang kepadaku. Bukankah begitu, Retna Wilis yang manis? Engkau yang datang sendiri kepadaku? Lihatlah."
Retna Wilis hanya memandang dengan matanya yang lebar bersinar-sinar, akan tetapi tiba-tiba anak itu lalu berjalan menghampiri nenek itu. Ada sesuatu yang mendorongnya sehingga kedua kakinya dengan sendirinya melangkah menghampiri nenek iblis itu.
"Retna Wilis! Jangan lancang engkau!" Endang Patibrotb membentak.
"Heh-heh, tidak ada yang memaksa dan engkau pun akan merelakan anakmu, Endang Patibroto. Retna Wilis bocah ayu, kembalilah dulu kepada ibumu, aku tidak memaksa siapa-siapa dan kalau kau ingin menyaksikan kesaktianku, Ibu dan gurumu ini boleh belajar seratus tahun lagi masih takkan mampu menandingiku."
Setelah Ratna Wilis berjalan mendekatinya, Endang Patibroto maklum dari pandang mata anaknya bahwa anaknya tadi menghampiri si nenek iblis itu bukan atas kehendak sendiri. Kemarahannya memuncak dan ia lalu menerjang maju, meloncat dan menampar dengan tangan terbuka. Hebat bukan main gerakan Endang Patibroto ini karena dalam kemarahannya dan dugaannya bahwa lawannya amat sakti, ia meloncat dengan Aji Bayu Tantra dan menghantam dengan Aji Pethit Nogo yang ampuh sekali.
"Wuuuutttt.... dessss.... tubuh Endang Patibroto terpental membalik seperti dilontarkan. Padahal pukulannya belum menyentuh tubuh nenek itu masih terpisah setengah meter. Akan tetapi ada hawa mujijat yang mendorongnya ke belakang sehingga kalau dia tidak memiliki ilmu keringanan tubuh yang hebat tentu ia telah terbanting!
"Jangan.... Nidewi....!" Namun cegahan Ki Datujiwa itu terlambat karena Endang Patibroto dalam kemarahannya telah memekik dengan aji kesaktian Sardulo Bairowo dan dia telah menerjang lagi sambil menggunakan pukulan Gelap Musti yang amat dahsyat.
"Blaarrrr !!" Pukulan yang hebat bagaikan halilintar menyambar itu juga tidak sampai menyentuh tubuh si nenek yang hanya tersenyum.
Pukulan itu tertumbuk pada dinding yang tak tampak, namun yang kuatnya melebihi baja, dan yang membuat Endang Patibroto terhuyung-huyung ke belakang dengan tubuh tergetar hebat. Kini Endang Patibroto memandang dengan mata terbelalak.
"Hi-hi-hik, kau benar-benar hebat. Tak kusangka engkau sehebat ini, Nini. Ah, makin berhargalah puterimu. Ibunya begini hebat dan sudah sepatutnya kalau puterinya kelak lebih hebat lagi. Siapakah gurumu, Nini Endang Patibroto?"
Suara itu terdengar halus lembut dan manis sekali dan ada pengaruh yang mendorong Endang Patibroto untuk menjawab dengan suara gemetar,
"Guruku.... adalah Dibyo Mamangkoro.... !
"Heh-heh-heh-heh! Pantas.... pantas.... Dibyo Mamangkoro adalah paman dari iblis betina Mamangsari isteri Prabu Boko! Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali. Dan aku adalah guru dari Mamangsari! Kalau kini puterimu belajar kepadaku, berarti dia menjadi murid dari Eyang Canggahnya sendiri.... hi-hik!"
Endang Patibroto terbelalak dan tertegun. Pantas saja nenek ini sakti seperti iblis sendiri, kiranya adalah guru dari Mamangsari permaisuri Sang Prabu Boko yang kabarnya dahulu memiliki aji-aji kesaktian sejajar dengan kesaktian Sang Prabu Boko! Akan tetapi kini Ki Datujiwa yang sudah bangkit berdiri maju dan memberi hormat kepada nenek itu.
"Sadhu-sadhu-sadhu.... Nini Bumigarba! Pengambilan murid harus dilakukan dengan suka rela antara guru dan muridnya, juga harus pula mendapatkan ijin orang tuanya. Memaksakannya berarti memperkosa dan hal itu amatlah tidak baik. Apalagi Retna Wilis sudah menjadi muridku, biarpun kepandaianku masih dangkal, kalah jauh kalau dibandingkan dengan kepandalanmu, akan tetapi dia menjadi muridku secara suka rela, Kalau aku sebagai gurunya melarang dia menjadi murid orang lain, ibunya sendiri pun tidak setuju, tidak semestinya Andika memaksakan kehendakmu, Nini Bumigarba."
Kini dari balik tabir asap atau uap menghitam itu tampak sepasang mata yang menyinarkan api. "Datujiwa! Engkau ini siapa berani menentangku? Sudah kukatakan bahwa aku tidak memaksa, dan bocah ini dengan suka sendiri hendak menjadi muridku, dengan syarat aku harus dapat mengalahkanmu. Tidak perlu banyak wawasan lagi, majulah dan lawanlah aku kalau kau hendak mempertahankan kedudukanmu sebagai guru Retna Wilis!"
Ki Datujiwa menoleh kepada Retna Wilis dan bertanya, suaranya halus dan sikapnya masih tenang, "Angger, Retna Wilis. Benarkah engkau akan suka berguru kepada Nini Bumigarba ini kalau dia dapat mengalahkan aku?"
Retna Wilis semenjak kecil dimanja ibunya dan anak ini paling ingin menjadi seorang yang sakti. Dia belum dapat membedakan mana baik dan mana jahat, bahkan tidak memperdulikannya. Baginya, kalau dia bisa menjadi seorang sakti, seperti ibunya, atau melebihi, dia akan merasa senang sekali. Kini ditanya oleh gurunya, dia menjawab sambil mengangguk, "Benar, Eyang. Saya percaya bahwa Eyang yang sakti tentu akan dapat mengalahkan nenek ini."
Ki Datujiwa menghela napas dan ketika bertemu pandang dengan Endang Patibroto, ia makin kecewa. Dalam pandang mata Endang Patibroto, ia dapat merangkap pernyataan wanita itu yang ingin agar dia turun tangan menandingi Nini Bumigarba. Agaknya Endang Patibroto sendiri pun percaya bahwa dia akan dapat mengalahkan nenek ini.
"Baiklah, Nini Bumigarba. Entah apa hubungannya kemunculanmu yang aneh ini dengan munculnya awan gelap dari Sriwijaya dan Cola, aku tidak tahu. Akan tetapi, jangan salah menduga bahwa aku menghadapimu karena memperebutkan siswa. Kalau hanya untuk itu, aku rela mengalah. Akan tetapi terpaksa aku melupakan kebodohan sendiri menentangmu karena aku tahu pasti bahwa kalau Retro Wilis menjadi muridmu, dia akan kaubawa menyeleweng daripada kebenaran dan kelak dia hanya akan menimbulkan malapetaka saja. Nah, aku sudah siap!"
Nini Bumigarba bergelak, suara ketawa yang mengandung kekejaman karena Sesungguhnya nenek ini marah sekali. Rahasianya telah dibuka oleh dugaan Ki Datujiwa dan dia mengambil keputusan untuk melenyapkan orang yang dianggapnya hanya akan menjadi penghalang saja ini.
"Nah, hadapilah kematianmu!" Nini Bumigarba mendengus dan kedua tangannya bergerak seperti orang menampar.
Jarak antara dia dan Ki Datujiwa ada dua meter jauhnya, akan tetapi tamparannya itu mendatangkan angin dan hawa pukulan amat dahsyatnya. Ki Datujiwa yang maklum akan kesaktian lawan, cepat mengelak dan menangkis. Namun tetap saja ia terhuyung-huyung ke belakang dengan wajah pucat.
"Hi-hi-hik, Retna Wilis bocah ayu lihatlah, baru sekali pukulan saja dungu yang menjadi gurumu ini sudah tidak kuat!" Nini Bumigarba melangka maju dua tindak dan kembali kedua tangannya menampar dari kanan kiri.
Ki Datujiwa sebetulnya bukan seorang sakti biasa saja. Dia memiliki kesaktian yang sudah tinggi tingkatnya dan jaranglah ada orang yang mampu menandinginya. Endang Patibroto sendiri yang memiliki kesaktian menggemparkan kedu kerajaan Jenggala dan Panjalu, masih kalah olehnya. Akan tetapi kini dia menghadap Nini Bumigarba, bukan manusia lumrah, maka dia terpaksa mengerahkan seluruh tenaga batin dan tenaga saktinya. Kembali dia menangkis pukulan jarak jauh itu sambil meloncat ke kiri sehingga kini tidak lagi dia terhuyung.
Dia maklum bahwa kalau dia membalas dengan pukulan jarak jauh, tenaga saktinya masih tidak akan kuat merobohkan si nenek iblis, maka kini dengan nekat ia lalu melanjutkan loncatannya mengelak tadi, sebelum kakinya kembali menyentuh tanah ia sudah melejit dan tubuhnya menyambar miring ke arah Nini Bumigarba, tangan kananhya menampar dan ia mengeluarkan pekik nyaring. Telapak tangan kakek ini berubah merah dan pukulannya ini kalau mengenai tubuh lawan, dapat membuat tubuh lawan tewas dalam keadaan hangus!
"Plakkk.... Pukulan telapak tangan itu sama sekali tidak menyentuh kulit tubuh Nini Bumigarba, masih sejengkal jauhnya, akan tetapi sudah tertangkis hawa sakti yang kuat sekali sehingga Ki Datujiwa terpelanting jatuh!
Dengan sigapnya Ki Datujiwa meloncat bangun, akan tetapi gerakannya ini dipapaki oleh sebuah tamparan tangan kiri Nini Bumigarba. Telapak tangan nenek ini tidak menyentuhnya, namun hawa pukulan yang ampuhnya menggila telah mengenai kepala sehingga kakek yang sakti itu mengeluarkan suara keluhan perlahan dan robohlah ia, roboh miring tak betgerak lagi karena nyawanya telah meninggalkan badan.
"Kau.... kau bunuh dia....?"
Endang Patibroto memeklk marah dan siap untuk menyerang nenek itu. Akan tetapi tiba-tiba Retna Wilis berseru,
"Ibu; dia hebat sekali! Eyang Datujiwa dikalahkannya dengan mudah! Ibu, aku suka menjadi muridnya!"
"Retna Wilis....!!" Endang Patibroto membentak akan tetapi tiba-tiba terjadilah keanehan. Endang Patibroto merasa seolah-olah tubuhnya kemasukan air dingin yang mengusir semua kemarahannya, membuat semangatnya lemah dan tubuhnya lesu dan dingin. Ketika ia mengangkat muka, ia melihat betapa kini tabir asap yang menyelubungi wajah nenek itu lenyap, tampaklah wajah yang masih membayangkan kecantikan, wajah yang kini dalam pandang matanya tampak agung dan suci yang mempunyai sinar mata seperti kilat menyambar. Ia pun menunduk dan seperti bukan atas kehendak sendiri, Endang Patibroto berkata,
"Baiklah, Retna Wilis, kuijinkan engkau menjadi murid Nini Bumigarba....
Nini Bumigarba tertawa mengikik, tubuhnya menyambar didahului asap hitam kemudian ia melayang pergi dari situ dan lenyaplah nenek itu bersama Retna Wilis! Setelah nenek itu lenyap, barulah Endang Patibroto seperti disiram air dingin, seperti baru sadar dari mimpi buruk. Ia terbelalak mencari anaknya, kemudian menjerit,
"Retna.... Anakku....! Jangan pergi.... !" Ia lalu meloncat dengan Aji Bayu Tantra, melakukan pengejaran ke arah lenyapnya tubuh nenek tadi. Namun sampai ke bawah puncak ia berlari-lari, dipandang penuh keheranan oleh semua anggauta Padepokan Wilis yang tidak tahu apa yang telah terjadi.
Kemudian Endang Patibroto berlari-lari ke puncak, kini diikuti oleh semua anak buahnya yang menduga terjadi hal-hal yang amat hebat. Ketika para anggauta Padepokad Wilis tiba di puncak, mereka terbelalak memandang ketua mereka itu menangisi Ki Datujiwa yang telah menjadi mayat!
Beberapa hari kemudian, setelah mengurus jenazah Ki Datujiwa dan berkabung, Endang Patibroto mengumpulkan semua anak buahnya. Dengan rambut awut-awutan dan pakaian lusuh dia berkata,
"Puteriku diculik orang. Aku akan pergi mencarinya. Kalian semua bekerja seperti biasa dan jagalah Padepokan Wilis baik-baik. Jangan mencari perkara dengan orang luar dan hanya kalau ada orang luar datang mengganggu, lawan sekuatnya. Tunggu sampai aku kembali ke sini." Demikian pesannya dan semua anak buahnya mengantar kepergian ketua mereka itu dengan hati penuh prihatin.
Setelah jauh meninggalkan Wilis, Endang Patibroto menjadi bingung. Kemana ia harus mencari puterinya? Penculik puterinya adalah seorang manusia seperti iblis, sukar sekali dicari jejaknya. Andaikata dia berhasil menemukan puterinya bersama penculiknya sekali pun, apakah dayanya? Dia tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap seorang yang sakti mandraguna seperti Nini Bumigarba itu! Makin nelangsa rasa hati Endang Patibroto, nelangsa dan merasa ditinggalkan seorang diri di dunia yang penuh derita ini. Teringatlah Endang Patibroto kepada ayah Retna Wilis dan tiba-tiba wanita perkasa ini menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis terisak-isak. Wanita gagah perkasa yang di waktu mudanya menimbulkan geger yang tidak mengenal takut tidak mengenal susah berwatak keras seperti baja itu kini menangis sesenggukan.
"Joko Wandiro..... aduhh, Joko Wandiro.... bagaimana anakmu.... Tidak tahukah engkau betapa hancur hatiku....?"
Ia merintih-rintih menyebut nama kecil Tejolaksono. Terbayanglah wajah kekasihnya itu. Tejolaksono atau Joko Wandiro, adipati di Selopenangkep dan rasa rindunya tak tertahankan lagi. Dia harus mencari Tejolaksono. Dia harus menyampaikan kesusahan ini kepada ayah Retna Wilis. Hanya bersama Tejolaksono saja di sampingnya ia akan merasa kuat menghadapi Nini Bumigarba, merasa kuat untuk melanjutkan hidup, menempuh gelombang kehidupan, mengatasi segala kepahitan dan derita. Dia tidak perlu malu kepada Ayu Candra.
Setelah mendapat pikiran ini, bulat tekad di hati Endang Patibroto untuk kembali ke Selopenangkep minta bantuan Tejolaksono untuk bersama-sama mencari puteri mereka yang dilarikan Nini Bumigarba. Wanita perkasa ini melakukan perjalanan cepat siang malam tanpa berhenti dan dalam beberapa hari saja tibalah dia di Kadipaten Selopenangkep.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kecewa hatinya ketika mendapat keterangan bahwa Adipati Tejolaksono tidak lagi menjadi adipati di Selopenangkep dan bahwa Adipati Tejolaksono telah di ganti orang lain. Namun kekecewaan in terobati oleh keterangan bahwa kekasihnya itu kini telah menjadi patih muda Kota Raja Panjalu!
Diam-diam ia merasa girang dan bersyukur bahwa kini orang yang dicintanya telah mendapat kemuliaan. Kemudian rasa girang dan syukur ini terganggu pula oleh berita bahwa di dalam kekacauan yang ditimbulkan oleh musuh-musuh Panjalu, Selopenangkep pernah diduduki musuh dan dalam perang itu banyak sekali orang gagah Selopenangkep yang gugur di antaranya adalah Roro Luhito, ibu tirinya yang gugur dalam medan perang. Juga bahwa adik tirinya Pusporini, lenyap dalam keributan itu.
Ketika Endang Patibroto mendengar cerita tentang hancurnya Selopenangkep dan larinya Tejolaksono bersama Ayu Candra, ia menjadi terharu. Ah, kiranya orang yang dikasihinya itu pun mengalami penderitaan. Putera mereka, Bagus Seta, masih belum kembali dan akhirnya Tejolaksono berdua Ayu Candra saja yang masih tinggal, namun kemudian terpaksa pula lari dari Selopenangkep.
"Aku harus menyusul mereka ke Panjalu," pikirnya. Tidak ada orang lain di dunia ini yang dapat ia sambati, yang dapat ia harapkan bantuannya untuk mencari kembali anaknya yang hilang.
Tanpa mengenal lelah Endang Patibroto lalu meninggalkan Selopenangkep dan melakukan perjalanan yang jauh dan melelahkan, yaitu menuju ke Kota Raja Panjalu di timur. Sungguh ia tidak mengira bahwa ia masih akan kembali ke kota raja, padahal ketika ia tinggal di Wilis, ia berjanji dalam hatinya tidak akan mencampuri urusan kedua Kerajaan Panjalu dan Jenggala lagi.
Endang Patibroto adalah seorang wanita yang sudah amat terkenal, baik di Panjalu maupun di Jenggala. Karena maklum akan hal ini, Endang Patibroto memasuki Kota Raja Panjalu secara diam-diam, menggunakan kepandaiannya untuk masuk dengan cara meloncati pagar tembok yang mengelilingi kota raja. Kemudian ia pergi mencari tempat tinggal Patih Muda Tejolaksono. Waktu itu telah lewat tengah hari, menjelang senja dan dengan gerakan seperti seekor burung srikatan, Endang Patibroto meloncati pager di belakang kepatihan, kemudian melayang turun masuk ke dalam taman kepatihan.
Teringat bahwa ia telah berada di taman tempat tinggal kekasihnya dan bahwa ia akan bertemu dengan orang yang selama bertahun-tahun ini menjadi kembang mimpi, menjadi kenangan yang menimbulkan kerinduan, jantungnya berdebar karena girang dan tegang, juga amat terharu.
Pada saat itu, kebetulan sekali Patih Muda Tejolaksono sedang duduk di dalam taman bunga, duduk melamun seorang diri. Hati Ki Patih Tejolaksono sedang ruwet, pikirannya tidak tenang dan hatinya selalu merasa tidak enak. Hal ini disebabkan karena ki patih ini memikirkan keadaan di Jenggala. Beberapa pekan yang lalu, secara tak terduga-duga ia dan isterinya, Ayu Candra, menerima kedatangan Setyaningsih dan suaminya, Pangeran Panji Sigit. Suami isteri yang untuk beberapa tahun hidup kesepian di Panjalu ini tentu saja menjadi girang dan hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendiri ketika melihat Setyaningsih tiba-tiba muncul itu. Baru setelah Setyaningsih yang menangis itu memeluk Ayu Candra, mereka sadar bahwa yang mereka alami bukanlah dalam mimpi.
"Aduh, adikku yang cantik.... engkau.... engkau Setyaningsih.... Puji syukur kepada para dewata bahwa engkau.... engkau sekarang telah menjadi puteri jelita.... betapa lamanya engkau pergi, Adikku....." Akhirnya Ayu Candra dapat berkata setelah berangkul-rangkulan dan bertangisan.
Setyaningsih mengusap air matanya kemudian memberi hormat, menyembah kepada Ki Patih Tejolaksono yang memandang penuh keharuan. Wajah ki patih yang masih tampan itu penuh gores-gores tanda kepahitan dan penderitaan batin yang menimpanya selama bertahun-tahun ini. Setelah mengelus rambut kepala Setyaningsih penuh keharuan, Ki Patih Tejolaksono berkata,
"Adinda Setyaningsih, sungguh saat ini amat membahagiakan hatiku. Duduklah dan ceritakan semua pengalamanmu. Siapakah ksatria perkasa yang datang bersamamu ini, Adinda?"
Wajah yang ayu itu tiba-tiba menjadi merah dan dengan suara lirih ia berkata memperkenalkan, "Dia.... dia adalah.... suami hamba, dia Pangeran Panji Sigit dari Jenggala..."
"Ahhhh...!" Tejolaksono berseru, tercengang kemudian cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Ayu Candra, hendak menghaturkan sembah. "Harap Paduka maafkan, karena hamba tidak tahu bahwa Paduka...."
Akan tetapi Pangeran Panji Sigit cepat-cepat berlutut juga dan mengangkat bangun Ki Patih Tejolaksono. "Duh Rakanda Patih dan Ayunda, mohon jangan membikin saya menjadi malu dan kikuk. Setelah saya menjadi suami Diajeng Setyaningsih, berarti saya adalah adik ipar Paduka sendiri. Rakanda Patih, saya tidak berani menerima penghormatan Paduka berdua, bahkan sayalah yang menghaturkan sembah kepada Rakanda berdua."
Ki Patih Tejolaksono menjadi gembira sekali menyaksikan kerendahan hati dan keramahan pangeran muda itu. Dia tersenyum dan berkata, "Baiklah, Adinda Pangeran, silahkan duduk. Sungguh amat besar rasa bahagia di hati saya mendengar bahwa Adinda Pangeran berkenan mengambil Yayi Setyaningsih sebagai isteri."
"Setyaningsih, kau bocah nakal! Sungguh terlalu sekali, mengapa menikah secara diam-diam saja tidak mengundang kami? Betapa tega hatimu... melupakan kami...." Ayu Candra menegur.
Setyaningsih menunduk. "Maafkan saya, Ayunda. Sesungguhnya, belum lama saya dinikahkan secara sederhana di Wilis. Ayunda Endang Patibroto menghendaki demikian, dan dia adalah ketua Padepokan Wilis dan tinggal di sana semenjak.... semenjak pergi dari Selopenangkep."
"Aduh Dewa.... Kasihan sekali Endang Patibroto....!" Ayu Candra terisak menangis sedangkan Ki Patih Tejolaksono mengerutkan keningnya, merasa jantungnya seperti ditusuk keris berbisa. "Ohhh, Endang Patibroto, mengapa engkau meninggalkan kami dan hidup bersunyi sendiri di puncak Wilis...? Ah, betapa besar penderitaanmu....? Kembali Ayu Candra menangis, dan Setyaningsih ikut pula menangis.
Ki Patih Tejolaksono menghela napas panjang lalu berkata, suaranya menggetar namun nadanya senang, "Sudahlah, tidak perlu disedihkan karena hal itu sudah terlewat. Kurasa, penderitaannya tidaklah lebih besar daripada penderitaan kita, bahkan mungkin sekali dia lebih senang karena dapat hidup tenteram dan damai di puncak Wilis, tidak seperti kita yang selalu tertimpa keributan dan kekacauan perang."
Ayu Candra terhibur pula dengan ucapan suaminya yang cukup beralasan ini, maka sambil menyusut air matanya ia lalu bertanya, "Adinda Setyaningsih, bagaimana.... bagaimana dengan puteranya....?"
Setyaningsih mengerling ke arah Ki Patih Tejolaksono dan menjawab perlahan, "Ayunda Endang Patibroto mempunyai seorang puteri, namanya Retna Wilis, keponakanku cantik manis dan amat pintar. Kini telah berusia enam tahun dan bahkan baru-baru ini mendapatkan seorang guru yang sakti mandraguna, yaitu Eyang Resi Datujiwa...."
"Aahhhh, Kakangmas..... Paduka harus menyusul ke Wilis, harus memboyong Adinda Endang Patibroto dan Nini Retna Wilis! Endang Patibroto adalah isteri Paduka dan Retna Wilis adalah puteri Paduka, anak kita.... ah, Kakangmas, Paduka harus memboyong mereka ibu dan anak.... harus....!" Ayu Candra terisak menangis.
Pangeran Panji Sigit bertukar pandang, dengan isterinya. Pangeran muda ini telah mendengar dari isterinya bahwa Retna Wilis adalah puteri Tejolaksono, bahkan Endang Patibroto, kakak iparnya yang telah menjadi janda itu telah menjadi isteri Ki Patih Tejolaksono. Ia hanya menunduk dan mendengarkan dengan terharu, merasa kasihan kepada Endang Patibroto dan puterinya, dan merasa kagum akan kehalusan budi Ayu Candra.
"Diajeng Ayu Candra, apakah engkau sudah lupa akan watak Endang Patibroto? Kalau dia sudah mengambil keputusan, siapakah yang akan mampu merubahnya? Kalau dia menghendaki untuk hidup bersama kita, tentu dia akan datang sendiri, sebaliknya kalau dia tidak menghendaki, disusul pun apa gunanya? Kita harus mengucap syukur bahwa dia masih dalam keadaan selamat, demikian puteri kita.... Retna Wilis...." Ketika menyebut nama ini, suara Ki Patih Tejolaksono agak menggigil karena ia merasa terharu sekali.
Dia mempunyai seorang putera, namun Bagus Seta itu semenjak kecil dibawa pergi orang-orang sakti dan belum juga kembali. Dia mempunyai seorang puteri pula, namun selama hidupnya belum pernah ia melihat puterinya yang sudah berusia enam tahun itu! Setelah menarik napas panjang menenangkan penderitaan batinnya, Tejolaksono lalu berkata kepada Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit,
"Sebaiknya Adinda berdua kini menceritakan pengalaman Andika."
Tiba-tiba wajah Pangeran Panji Sigit yang tampan itu menjadi muram dan ia berkata, "Ah, Rakanda Patih, kedatangan kami berdua membawa berita yang amat buruk dari Jenggala."
Ki Tejolaksono mengangguk-angguk "Kami di Panjalu telah mendengar berita terbawa angin lalu bahwa di Jenggala terjadi kekacauan-kekacauan, bahkan kabarnya Paman Patih Brotomenggala yang setia itu melakukan pengkhianatan sehingga seluruh keluarga dihukum mati. Sampai di manakah kebenaran berita ini Adinda Pangeran?"
"Duh Rakanda Patih, memang seperti mimpi buruk apa yang terjadi di Jenggala. Bukan itu saja, bahkan.... Ibunda Ratu sendiri kini telah diasingkan di pembuangan yang terletak di kaki Gunung Anjasmoro...."
"Aduh para dewata yang agung! Sampai sedemikian jauhnya? Mengapa....?
"Fitnah, Rakanda! Fitnah merajalela di Jenggala dan Ramanda Prabu telah dicengkeram persekutuan yang lebih jahat dan keji daripada iblis-iblis sendiri!" Dengan penuh semangat namun dengan suara penuh duka Pangeran Panji Sigit lalu menceritakan keadaan di Jenggala seperti yang ia dengar dari mulut sang ratu sendiri.
Ki Patih Tejolaksono dan Ayu Candra mendengarkan dengan wajah berubah pucat dan mata terbelalak. Setelah Pangeran Panji Sigit selesai bercerita, Ki Patih Tejolaksono memukul pahanya sendiri sampai mengeluarkan bunyi nyaring.
"Hebat...! Sang Prabu di Panjalu selalu merasa sungkan untuk mencampuri urusan dalam istana Jenggala. Akan tetapi kalau keadaan sudah sedemikian rusaknya, hal ini sebaiknya harus dilaporkan kepada sang prabu!"
"Memang kedatangan saya di Panjalu ini selain mengunjungi Rakanda Patih, juga menurut nasehat dari Ibunda ratu untuk minta bantuan Uwa Prabu di Panjalu agar Kerajaan Jenggala dapat diselamatkan dan dibersihkan daripada pengaruh anasir-anasir jahat itu, Rakanda."
"Bagus! Kalau begitu, marilah sekarang juga kuantarkan Adinda Pangeran menghadap sang prabu."
Sang prabu di Panjalu menerima kunjungan keponakannya dengan penuh keramahan, akan tetapi ketika Sang Pangeran Panji Sigit menceritakan tentang keadaan di Jenggala, sang prabu menjadi kaget dan keningnya berkerut-kerut.
"Duh Jagad Dewa Bathara! Mengapa yayi prabu sampai terperosok begitu dalam?"
"Gusti sesembahan hamba," Ki Patih Tejolaksono berkata, "hamba teringat akan wejangan Sang Sakti Bhagawan Ekadenta akan awan gelap yang mengancam keselamatan kerajaan keturunan Mataram. Hal ini cocok benar dengan lenyapnya huru-hara yang tadinya ditimbulkan oleh orang-orang Sriwijaya dan Cola. Bukan tidak mungkin kalau mereka itu yang berhasil menyelundup ke Jenggala dan merusak Jenggala dari dalam Gusti. Mohon beribu ampun, bukan sekali-kali hamba hendak bersikap lancang akan tetapi sebaiknya hal ini tidak didiamkan saja dan sudah sepatutnya kalau hamba menerima perintah Paduka untuk membawa pasukan pilihan dan membersihkan Jenggala daripada pengaruh-pengaruh jahat itu, Gusti."
Sang prabu tersenyum tenang. "Memang sudah sepatutnya kalau engkau sebagai patih muda bersiap-siap untuk membela Jenggala karena Kerajaan Jenggala merupakan kerajaan keluarga kami. Akan tetapi wawasanmu itu kurang tepat dan agaknya tidak akan bijaksana kalau dilaksanakan, Patih Tejolaksono."
"Bolehkah hamba mengetahui mengapa tidak bijaksana kalau dilaksanakan, Gusti? Padahal Jenggala sungguh amat membutuhkan bantuan."
"Engkau harus ingat bahwa keadaan di Jenggala itu bukan terjadi karena pengaruh dari luar yang dipaksakan, melainkan semua terjadi atas kehendak yayi prabu sendiri. Kalau kita mencampurinya, hal itu amatlah tidak baik dan pula tidak semestinya, patihku yang setia. Jangan-jangan malah akan menimbulkan salah faham dari pihak yayi prabu sendiri. Tentu saja akan menjadi lain persoalannya kalau yayi prabu sendiri yang mengajukan permintaan bantuan secara resmi, tentu akan kukerahkan bala tentara Panjalu untuk menyelamatkan Jenggala, tetapi, keadaannya lain sama sekali. Belum tiba saatnya bagi kita untuk turun tangan."
Mau tidak mau Tejolaksono harus mengakui kebenaran pendapat junjungannya ini dan dia tidak berani membantah pula. Pangeran Panji Sigit sebagai keponakan sang prabu, diminta untuk membawa isterinya dan berada di istana.
Sejak hari itulah, pikiran Ki Patih Tejolaksono terganggu. Hatinya selalu memikirkan keadaan Jenggala dan ia amat tidak puas dengan keputusan sang prabu. Dan pada sore hari itu, Ki Patih Tejolaksono termenung seorang diri di dalam taman bunga. Hatinya merasa yakin bahwa dugaannya pasti tidak meleset jauh, bahwa ada tangan-tangan kotor dari Sriwijaya dan Cola yang menyebabkan kekeruhan di Jenggala. Kalau ia teringat kepada orang-orang sakti seperti Sang Biku Janapati, apalagi Sang Wasi Bagaspati, dengan anak buah mereka yang sakti mandraguna seperti Cekel Wisangkoro, Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Sariwuni, ia bergidik dan merasa ngeri. Kalau orang-orang yang amat sakti dan jahat seperti mereka itu, menandingi iblis sendiri, yang sedang mengacau Jenggala, akan hebat dan mengerikan akibatnya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika senja hari itu Endang Patibroto menggunakan kepandaiannya menyelundup ke Kota Raja Panjalu kemudian secara rahasia ia melompati dinding kepatihan dan memasuki taman bunga, pada saat itu kebetulan Ki Patih Tejolaksono sedang termenung seorang diri di alam taman itu.
"Kakangmas...." Lirih sekali nanggilan yang keluar dari mulut Endang Patibroto yang berdiri dengan muka pucat dan air mata bercucuran ketika ia memandang pria yang amat dicintanya itu. Hatinya diliputi keharuan. Kekasihnya itu kini sudah agak tua, rambutnya di atas telinga telah mulai bercampur uban, wajahnya yang masih tampan dan gagah itu penuh garis-garis derita batin. Apalagi dalam keadaan termenung itu, wajah Tejolaksono kelihatan susah dan murung. Ki Patih Tejolaksono sedang tenggelam dalam lamunannya, memikirkan keadaan Jenggala, memikirkan Endang Patibroto dan puterinya yang belum pernah dilihatnya itu, memikirkan Bagus Seta yang belum juga kembali, sehingga ia agaknya tidak mendengar panggilan halus lirih itu.
"Kakangmas Tejolaksono...."
Ki Patih Tejolaksono tersentak kaget lalu bangkit dari duduknya sambil membalikkan tubuh. Matanya terbelalak, wajahnya pucat, sejenak ia mengejap-ngejapkan matanya, bahkan menggunakan tangan menggosok kedua matanya karena ia khawatir kalau-kalau renungannya membuat ia seperti mimpi. Benarkah wanita yang berdiri dengan air mata bercucuran ini Endang Patibroto, wanita yang tak pernah dia lupakan selama ini, yang selalu ia rindukan, yang membuat ia merana dan duka? Tidak salah lagi. Tak ada wanita ke dua di dunia ini seperti Endang Patibroto. Memang agak tua, dan wajah yang cantik itu lesu dan membayangkan kedukaan hebat, rambut yang hitam panjang itu kusut, pakaiannya pun lusuh. Akan tetapi dia tetap Endang Patibroto!
Sejenak mereka berpandangan, muka Ki Patih Tejolaksono pucat, air mata makin deras mengucur dari kedua mata Endang Patibroto. Bibir kedua orang itu menggigil, bergerak-gerak namun tidak ada suara yang keluar. Akhirnya Ki Patih Tejolaksono mengeluarkan suara lirih dan serak,
"Engkau....??" Dalam suara bisikan ini terkandung segala kerinduan, segala harapan, dan segala teguran, membuat Endang Patibroto terisak lalu wanita itu lari menghampiri, langsung menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tejolaksono dan merangkul kedua kaki pria itu.
Tejolaksono berdiri seperti arca, menunduk dan memandang kepala yang rambutnya kusut, memandang sepasang pundak yang terguncang-guncang karena tangis. Setelah kini wanita itu merangkul kakinya, setelah ia merasa betapa betisnya basah kejatuhan air mata, yakinlah hati Tejolaksono bahwa benar Endang Patibroto yang kini berlutut di depan kakinya. Hatinya menjeritkan kerinduan, hasratnya mendorong-dorongnya untuk memeluk dan menciumi wanita yang amat dicintanya ini. Akan tetapi melihat Endang Patibroto, teringatlah ia akan semua penderitaan yang dialami keluarga semenjak Endang Patibroto lolos dari Selopenangkep tanpa pamit. Teringatlah ia betapa ia hidup nelangsa dan terbenam kerinduan dan kedukaan ditinggal pergi Endang Patibroto. Teringatlah betapa kejam hati Endang Patibroto meninggalkannya, memutuskan cinta kasih mereka yang sedang hangat-hangatnya dan timbullah kemarahan di hati Tejolaksono.
"Endang Patibroto, engkau yang sudah minggat meninggalkan kami tanpa memperdulikan kami, sekarang datang ada keperluan apakah?"
Endang Patibroto menengadahkan muka yang basah air mata, memandang ke wajah pria yang dicintanya itu. Akan tetapi ketika ia mendengar suara itu, suara yang dingin sekali, melihat wajah yang tak bersemangat, melihat yang menatapnya penuh penyesalan dan sikap yang acuh tak acuh, jantungnya seperti ditusuk-tusuk jarum dan wanita itu tersedu-sedu.
"Kakangmas Tejolaksono...." Rintihan suara Endang Patibroto ini tersendat-sendat dan sukarlah baginya untuk melanjutkan kata-katanya karena tangisnya membuat tenggorokannya seperti tersumbat.
Tejolaksono memejamkan mata untuk menahan perasaan harunya mendengar suara wanita yang dicintanya ini menyebut namanya dengan getaran penuh duka dan penuh cinta kasih terpendam. Namun kemarahan hatinya yang sakit masih tidak mengijinkan dia menyambut ulur hati merindu, dan Tejolaksono kini bersidakap, sikapnya tak acuh.
"Kakangmas.... ampunkan semua kesalahanku...."
Sejenak Tejolaksono tertegun dan hatinya yang penuh cinta itu diliputi rasa heran dan kasihan. Inikah Endang Patibroto yang dahulu? Wanita perkasa yang pantang mundur menghadapi segala bahaya dan kesukaran? Wanita yang tak kenal takut dan tak pernah meruntuhkan air mata?
"Sesungguhnyakah engkau merasa bersalah, Endang Patibroto? Tidakkah yang kau lakukan itu malah benar karena kalau engkau tidak meninggalkan kami engkau pun akan mengalami segala kesengsaraan dan derita seperti yang kami alami?" Ucapan ini halus dan tidak kedengaran seperti orang marah, namun mengandung sindiran yang lebih tajam dan menyakitkan hati daripada kata-kata keras.
"Aduh Kakangmas.... Endang Patibroto tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan tangisnya makin mengguguk. Teringat ia betapa dahulu meninggalkan Selopenangkep karena terpaksa, pergi dengan hati hancur karena tidak mau menyusahkan hati Tejolaksono dan terutama sekali Ayu Candra. Teringat ia betapa ia hidup terlunta-lunta, melakukan perjalanan yang amat sengsara dalam keadaan mengandung bersama Setyaningsi betapa kemudian la rela menjadi kepala dari gerombolan Wilis, hidup mengasingkan diri dari dunia ramai. Kemudian, terutama sekali ia teringat betapa tertimpa malapetaka yang hebat, diperkosa yang berarti dihina oleh Sindupati. Dan kini, setelah ia kehilangan puterinya yang dilarikan Nini Bumigarba sehingga ia terpaksa harus mencari ayah puterinya untuk dimintai bantuan, ia diserang dengan ucapan-ucapan penyesalan, ditusuk-tusuk perasaan hatinya yang sudah luka-luka membutuhkan obat dan hiburan itu.
Pada saat itu, Ayu Candra yang memasuki taman menyusul suaminya yang ia tahu seperti biasanya duduk bersunyi diri di dalam taman, melihat suaminya berdiri dengan muka marah dan seorang wanita menangis di depan kakinya. Ayu Candra heran dan terkejut sekali, akan tetapi ketika ia meneliti dari jauh dan melihat bahwa wanita itu bukan lain adalah Endang Patibroto, ia menjerit sambil lari menghampiri.
"Endang Patibroto....!!!"
Serta-merta ia menubruk dan memeluk wanita yang sedang menangis itu dengan hati penuh keharuan dan kegirangan. Menghadapi penyambutan yang sama sekali di luar dugaannya ini, hati Endang Patibroto seperti diremas dan ia hanya dapat sesenggukan sambil mambalas rangkulan wanita yang menjadi madunya. Sungguh dia tidak menyangka penyambutan ini, karena sesungguhnya sebelum tiba di sana, Ayu Candralah yang ia khawatirkan akan menyambutnya dengan sikap bermusuh.
".... Ayunda.... aku datang untuk.... untuk minta maaf.... Kakanda Tejolaksono tidak sudi mengampunkan aku.... kuharap.... Ayunda memaafkan segala kesalahanku.... Endang Patibroto terisak-isak dalam rangkulan Ayu Candra.
Dengan mata terbelalak Ayu Candra memandang ke atas, ke arah wajah suaminya yang masih bersedakap dengan muka muram dan keras. Ia lalu berkata dengan lengan masih merangkul leher madunya,
"Apa....? Bukan engkau yang harus minta maaf, Adikku.... sebaliknya akulah yang harus minta maaf kepadamu! Karena akulah, karena kebodohanku, karena kehancuran hatiku kehilangan puteraku.... aku telah mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hatimu.... tidak, Endang Patibroto, bukan kau yang salah, melainkan aku....!" Ayu Candra juga menangis.
"Alangkah mulia hatimu, Ayunda.... dan kemuliaanmu membuat aku merasa makin berdosa.... sehingga patutlah kalau Kakanda Tejolaksono tidak sudi memaafkan aku.... biarlah aku pergi saja...."
"Jangan.... Tidak boleh kau pergi, Endang Patibroto...." Ayu Candra yang kini menangis sampai merangkul erat-erat. Kemudian Ayu Candra menarik Endang Patibroto bangun berdiri, menghadapi suaminya dan berkatalah wanita ini dengan muka basah air mata.
"Kakangmas, mengapa Paduka begini kejam terhadap Adinda Endang Patibroto?" Suara ini penuh tuntutan dan penuh teguran karena wanita ini maklum dengan penuh keyakinan betapa suaminya banyak berduka karena rindu kepada Endang Patibroto, betapa sesungguhnya suaminya amat mencinta Endang Patibroto. Mengapa kini suaminya seolah-olah marah dan menolak Endang Patibroto?
"Siapakah yang kejam, Diajeng?" Kini Ki Patih Tejolaksono mendapat kesempatan untuk mengeluarkan isi hatinya yang penuh kemarahan dan penyesalan. "Siapakah yang pergi meninggalkan kita tanpa pamit, bahkan membawa pergi adinda Setyaningsih, menimbulkan banyak kedukaan pada keluarga kita? Andaikata dia tidak minggat, belum tentu Bibi Roro Luhito tewas dan belum tentu Adinda Pusporini lenyap. Andaikata dia berada di Selopenangkep, belum tentu kadipaten itu mudah dihancurkan musuh. Andaikata dia tidak pergi minggat, tentu seorang anak tidak akan dipisahkan dari ayahnya, bahkan kelahirannya pun di luar tahu ayahnya! Andaikata dia tidak pergi, belum tentu begitu banyak malapetaka terjadi dan begitu banyak kedukaan batin diderita...."
"Aduh, Kakangmas....!" Kalimat demi kalimat merupakan ujung keris yang menusuk-nusuk hati Endang Patibroto sehingga wanita itu mengeluh panjang dan pingsan dalam rangkulan Ayu Candra!
"Endang Patibroto...! Adikku cah ayu.... ingatlah.... sadarlah....! Ah, Kakangmas, betapa kejam hatimu...!" Ayu Candra menangis mengguguk ketika melihat wajah Endang Patibroto yang pucat itu.
Sesungguhnya, di dalam hati Ki Patih Tejolaksono terdapat cinta kasih yang amat besar terhadap Endang Patibroto. Kalau tadi ia bersikap keras adalah karena hatinya sedang kusut, pikirannya sedang ruwet memikirkan hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Kini melihat wanita yang dicintanya itu roboh pingsan, ia menjadi amat kasihan. Tanpa banyak kata lagi ia lalu meraih tubuh Endang Patibroto dari rangkulan Ayu Candra.
Tubuh Endang Patibroto amat kuat. Hanya sebentar saja ia tak sadarkan diri. Ketika ia siuman, ia telah rebah di sebuah pembaringan yang bersih dan indah. Ia belum membuka matanya, akan tetapi telinganya telah dapat mendengar kata-kata Ayu Candra. Ia tahu bahwa ia berada dalam kamar, dijaga oleh Ayu Candra dan Tejolaksono.
"Kakangmas sendiri dahulu mengerti bahwa kepergiannya adalah karena ucapanku yang timbul dari kedukaanku kehilangan Bagus Seta. Memang kita telah banyak menderita, akan tetapi apakah Paduka tidak ingat bahwa dia pun telah mengalami banyak penderitaan? Ketika Setyaningsih datang, aku sudah minta kepadamu untuk menyusul dan memboyong dia dan puterinya ke sini, akan tetapi Paduka mengatakan bahwa kalau dia menghendaki, dia akan datang sendiri. Kini dia telah datang, akan tetapi Paduka sambut dengan kata-kata yang pedas dan menyakitkan hati. Padahal aku yakin betapa besar cinta kasih Paduka kepadanya! Betapa selama bertahun-tahun ini Paduka mengenangnya dengan hati berdarah. Kita semua sudah sama-sama menderita, setelah berkumpul kembali semestinya saling menghibur untuk menghilangkan semua kenangan duka."
Terdengar oleh Endang Patibroto betapa Tejolaksono menghela napas panjang. "Aku dikuasai kemarahan karena dia telah membuat aku banyak berduka selama ini, Diajeng. Dan aku pun hanya ingin menguji apakah benar-benar sekali ini dia ingin hidup bersama kita.... Tiba-tiba Tejolaksono menghentikan kata-katanya karena dia tahu bahwa Endang Patibroto sudah mulai menggerak-gerakkan pelupuk matanya, tanda bahwa dia mulai sadar. Ayu Candra juga melihat ini, maka wanita ini bangkit lalu berkata,
"Karena dia datang dalam keadaan begini, tanpa membawa bekal, aku akan menyediakan semua keperluannya, Kakangmas. Juga aku akan memberi kabar kepada Setyaningsih agar datang berkunjung." Tanpa menanti jawaban, wanita yang bijaksana ini lalu meninggalkan kamar itu.
Tejolaksono duduk di tepi pembaringan, memandang wajah Endang Patibroto. Setelah kini kemarahannya hilang, ia memandang wajah itu dengan penuh kerinduan dan cinta kasih. Hatinya terharu, dan terpesona memandang bulu mata yang panjang melengkung itu mulai bergerak-gerak, kemudian kelopak mata itu perlahan-lahan terbuka.
Dua pasang mata beradu dan saling melekat sampai lama. Tak perlu lagi kiranya mulut mengeluarkan kata-kata kalau dari dua pasang mata itu keluar begitu banyak pernyataan yang hanya dapat ditangkap oleh rasa. Mulut dapat mengeluarkan seribu satu macam kata-kata bohong, namun sinar mata mencerminkan isi perasaan hati dan keduanya yakin betapa dalam cinta kasih di antara mereka melalui pandang mata mereka.
Melihat betapa perlahan-lahan sepasang mata yang amat tajam dan selalu dikaguminya itu mengalirkan air mata, Tejolaksono berkata halus, "Kau.... kau maafkan kekasaranku tadi.... Diajeng...."
Endang Patibroto tersedak oleh isaknya sendiri, lalu ia pun bangkit duduk.
"Sudah sepatutnya kalau Paduka marah kepadaku, Kakangmas.... kuharap kini Kakangmas dapat mengampunkan aku...!"
"Aku maafkan semua perbuatanmu yang telah lalu, Endang Patibroto..." Tejolaksono memegang kedua tangan kekasihnya ini dan jari-jari tangan mereka mengeluarkan getaran cinta kasih yang amat besar.
"Terima kasih, Kakangmas Tejolaksono...."
"Duhai Adinda, betapa rindu kepadamu.... betapa kering melayu hatiku selama kautinggalkan.... Diajeng Endang Patibroto.... betapa besar cinta kasihku kepadamu.... !" Ki Patih Tejolaksono merangkul leher wanita itu dengan kasih mesra. Akan tetapi tiba-tiba Endang Patibroto tersedu dan melepaskan diri dari pelukan, lalu meloncat turun ke bawah pembaringan dan berlutut di situ, menangis terisak-isak dan berkata dengan suara terputus-putus.
".... aduh Kakangmas pujaan hamba.... aahh, harap jangan sentuh aku, Kakangmas.... jangan membelai Endang Patibroto yang hina ini.... aku.... aku.... telah ternoda, tidak bersih lagi.... aku manusia hina yang sudah cemar.... Kakangmas, kau bunuh saja aku...!!"
Wajah Ki Patih Tejolaksono menjadi pucat sekali. Ia cepat mengangkat bangun Endang Patibroto, ditariknya wanita itu duduk di tepi pembaringan menghadapinya dengan pandang mata tajam ia berkata, "Diajeng Endang Patibroto. Apa artinya semua ini? Ceritakanlah apa yang telah terjadi sehingga Adinda bersikap seperti ini! Kita telah menjadi suami isteri, tidak boleh ada rahasia lagi di antara kita, Diajeng."
"Kakangmas.... malapetaka hebat telah menimpa diriku.... membuat aku terhina, tercemar dan ternoda.... !!
"Ceritakanlah, ceritakanlah.... Tejolaksono mendesak tidak sabar lagi.
"Terjadinya di waktu aku mengadakan sayembara tanding untuk mencarikan jodoh Setyaningsih...." Endang Patibroto lalu bercerita tentang pertemuannya dengan orang yang mengaku bernama Warutama, kemudian betapa dalam keadaan pingsan dia diperkosa oleh Warutama.
Semua dia ceritakan tanpa tedeng aling-aling dengan persiapan menghadapi segala akibatnya. Wanita perkasa ini maklum bahwa kalau hal itu tidak diceritakan kepada Tejolaksono, selalu akan ada jurang pemisah yang lebar terasa olehnya antara dia dan kekasihnya.
"Demikianlah, Kakangmas.... setelah dia pergi barulah teringat olehku bahwa orang yang wajahnya sudah berubah itu sebetulnya adalah si keparat Sindupati...."
Ki Patih Tejolaksono bangkit berdiri, mukanya menjadi merah sekali, matanya terbelalak, kedua tangannya terkepal dan la berkerot-kerot saking marahnya, mulutnya membisikkan kutukan hebat,
"Bedebah...!!!"
Jantung Endang Patibroto serasa dirobek-robek dan wanita ini menjatuhkan diri berlutut di depan pria itu.
"Duh Kakangmas.... aku rela kauhina, bahkan aku siap kaubunuh sekali pun.... memang aku wanita hina.... duh Ibunda.... mengapa malapetaka yang menimpa Ibu dahulu kini menimpa anakmu pula....?"
Tejolaksono membungkuk dan mengangkat bangun Endang Patibroto dengan memondongnya dan dengan penuh kasih sayang mendudukkan wanita itu kembali ke atas pembaringan, merangkul dan menciuminya.
"Tidak, kekasihku. Engkau sama sekali tidak hina! Aku tidak akan mengulang apa yang dahulu salah dilakukan oleh mendiang ayahmu. Dahulu pun, seperti engkau telah tahu, ibumu diperkosa orang.... ayahmu menyesal dan menyalahkannya, sehingga terjadilah ekor atau akibat yang amat hebat. Kini peristiwa seperti itu menimpa dirimu, Diajeng. Aku sama sekali tidak menyalahkan engkau, Diajeng yang bernasib malang.... bukan kehendakmu terjadi hal seperti itu. Namun kita harus membalas kekejian Sindupati.... eh, kau bilang dia bernama Warutama sekarang? Si keparat! Dan dia menjadi Patih Jenggala! Celaka...!"
Endang Patibroto seolah-olah Gunung Semeru yang tadinya menindih perasaan hatinya kini telah lenyap, dadanya lapang hatinya merasa bahagia sekali. Dia tidak perduli apakah Warutama sekarang menjadi Patih Jenggala atau menjadi setan. Kegirangan hatinya mendapat kenyataan bahwa pria yang dicintanya ini tidak marah dan tidak menyalahkannya dalam peristiwa pemerkosaan itu membuat ia lupa segala. Dipeluknya Tejolaksono dan dengan sedu-sedan ia berbisik di dada suami itu,
"Aduh, terima kasih, Kakangmas.... terima kasih.... terima kasih....!"
Tejolaksono dapat memahami keharuan hati Endang Patibroto. Dia maklum betapa besar artinya sikapnya dalam peristiwa itu bagi seorang wanita, apalagi seorang wanita seperti Endang Patibroto. Diam-diam dia merasa kagum akan sikap Endang Patibroto yang tidak ragu-ragu menceritakan hal itu kepadanya dalam kesempatan pertama. Hanya seorang wanita yang berhati murni saja yang akan mengaku secara terus terang seperti ini.
Hanya wanita yang menghendaki agar di antara cinta kasih mereka tidak terdapat penghalang dalam bentuk apa pun juga, yang menghendaki cinta kasih yang murni, yang akan berani menceritakan pemerkosaan terhadap dirinya dengan resiko patahnya rantai kasih itu sendiri. Ia membiarkan Endang Patibroto melampiaskan kelegaan hatinya dalam tangis, dan dengan belaian kasih mesra ia mengusap-usap rambut yang kusut itu.
Peristiwa pemerkosaan itu sama sekali tidak mempengaruhi cintanya, bahkan memperdalam cintanya yang kini dilengkapi dengan perasaan kasihan yang mendalam. Dan Tejolaksono tidak sadar bahwa kalau di dunia ini jarang terdapat wanita yang begitu murni cintanya seperti Endang Patibroto, lebih jarang lagi terdapat pria yang dapat menerima peristiwa pemerkosaan dengan dada begitu lapang, dengan pengertian begitu mendalam seperti perasaan hatinya terhadap Endang Patibroto!
"Diajeng, sudahlah jangan menangis. Percayalah, aku sudah lupa lagi akan peristiwa yang menimpa dirimu sungguh pun aku takkan dapat melupakan Warutama yang jahat itu. Tenangkan hatimu karena peristiwa keji itu takkan diketahui orang lain, tidak akan diketahui oleh Ayu Candra, oleh siapa pun juga, bahkan tidak akan diketahui oleh anak kita.... eh, di mana Retna Wilis, anak kita itu? Diajeng, aku sudah banyak mendengar tentang dia dari Adinda Setyaningsih, kenapa kau tidak membawa dia ke sini?"
Wajah Endang Patibroto yang tadinya merah berseri karena bahagia mendengar ucapan penerimaan Tejolaksono mengenai malapetaka yang menimpa dirinya, kini menjadi muram dan ia menghela napas panjang, lalu mengangkat mukanya dari dada suaminya.
"Kakangmas, memang nasibku selalu malang, dirundung malapetaka. Anak kita itu, Retna Wilis, sudah baik-baik mendapatkan seorang guru yang sakti mandraguna, yaitu Ki Datujiwa, akan tetapi tiba-tiba muncul nenek iblis Nini Bumigraba yang membunuh Ki Datujiwa dan menculik Retna Wilis...."
"Duh para Dewata.... mengapa begini....?" Tejolaksono mengeluh dengan hati pedih. Puteranya, Bagus Seta, sampai kini belum juga pulang. Kemudian, puterinya yang belum pernah dilihatnya, Retna Wilis, diculik orang pula! "Diajeng, bagaimana bisa terjadi hal itu? Mengapa Diajeng tidak melindunginya dan melawan mati-matian?"
Tejolaksono memang belum pernah mendengar nama Nini Bumigarba sehingga ia merasa terheran-heran mengapa isterinya ini yang amat sakti, ditambah lagi dengan Ki Datujiwa yang menurut keterangan Setyaningsih amat sakti sehingga dalam sayembara dapat menandingi dan mengalahkan Endang Patibroto, tidak mampu melindungi Retna Wilis.
Endang Patibroto lalu menceritakan dengan suara duka namun dengan sejelasnya tentang kedatangan Nini Bumigarba yang menyeramkan. Sebagai penutup ceritanya ia berkata, "Nenek iblis itu luar biasa sekali, Kakangmas. Jangankan hanya aku, sedangkan Ki Datujiwa yang sakti itu pun sama sekali bukan tandingannya. Nenek itu bukan seperti manusia, mukanya pun tidak dapat tampak nyata, tertutup semacam halimun kehitaman. Ahh, Kakangmas bagaimana kita harus mencari dan menolong anak kita itu....?" Endang Patibroto berduka sekali sehingga suaminya segera merangkulnya untuk menghibur.
"Betapapun sakti mandraguna nenek itu, namun kalau dia hanya menghendaki Retna Wilis menjadi muridnya, puteri kita akan selamat. Hanya aku khawatir.... nenek itu begitu kejam dan seperti Iblis, bagaimana puteri kita dapat menjadi muridnya? Kita harus berusaha mencarinya, dan mencegahnya menjadi murid nenek itu. Akan tetapi.... ah, aku teringat.... kau bilang nenek itu mukanya tidak tampak karena tertutup halimun hitam? Aneh sekali...."
"Apa maksudmu, Kakangmas? Apakah Paduka pernah bertemu dengan dia?"
"Bukan dengan dia, bahkan mendengar namanya pun belum pernah. Akan tetapi aku pernah berjumpa dengan seorang maha sakti yang juga wajahnya selalu tertutup semacam halimun, akan tetapi halimun putih dan kakek sakti mandraguna itu adalah seorang suci yang membawa putera kita Bagus Seta menjadi muridnya...." Tejolaksono lalu menuturkan semua pengalamannya semenjak mereka berpisah.
Banyak suka-dukanya dalam pertemuan antara dua orang yang saling mencinta ini, banyak hal-hal yang mengharukan dan menimbulkan gelisah, akan tetapi kebahagiaan karena mereka dapat berkumpul kembali merupakan hiburan yang amat besar. Setelah berkumpul kembali, mereka menjadi besar hati dan akan sanggup memikul semua beban dan derita hidup bersama-sama.
Ayu Candra yang bijaksana membiarkan mereka itu saling menuturkan semua pengalaman, tidak mengganggu mereka dan hanya mengirimkan pengganti pakaian yang baru dan bersih untuk Endang Patibroto, menyuruh abdi-abdi wanita untuk mengirim hidangan dan baru pada keesokan harinya Ayu Candra menghadap suaminya dan bertemu dengan madunya bersama-sama Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit.
Pertemuan yang mengharukan, apalagi ketika Setyaningsih mendengar bahwa Retna Wilis diculik orang. Mukanya yang berkulit kuning bersih dan cantik jelita itu mengeras, alisnya berkerut dan matanya memancarkan api kemarahan. Ia menoleh kepada suaminya dan berkata,
"Bagaimana pendapat Kakanda akan hal itu? Bukankah semua itu termasuk rencana persekutuan iblis yang sedang berusaha mencengkeram kedua kerajaan keturunan Mataram? Saya merasa yakin bahwa nenek iblis yang bernama Nini Bumigarba itu tentu mempunyai hubungan dengan tokoh-tokoh jahat seperti yang telah diceritakan rakanda patih kepada kita, tokoh-tokoh dari Sriwijaya dan Cola."
Pangeran Panji Sigit mengangguk-angguk. "Uwa Prabu telah mengirimkan banyak penyelidik ke Jenggala, mempelajari keadaan di sana. Dan sebaiknya kalau kita sendiri tidak tinggal diam, menyelidiki ke mana Retna Wilis adik kita itu dibawa pergi. Rakanda Patih, biarlah saya sendiri bersama Setyaningsih pergi melakukan penyelidikan, mencari jejak nenek yang jahat itu."
Tejolaksono termenung. "Menurut penuturan ayundamu Endang Patibroto, nenek itu amatlah saktinya, bukan merupakan lawan kita. Memang seharusnya kita melakukan penyelidikan dan kami percaya penuh akan kemampuan Adinda Pangeran dan Setyaningsih, akan tetapi harap jangan sembrono dan jangan sekali-kali mencoba untuk melawan nenek itu. Cukup kalau bisa mendapatkan jejaknya dan bisa mengetahui di mana adanya anakku Retna Wilis, kemudian melaporkan kepada kami."
"Jangan khawatir, Rakanda Patih. Kami akan bersikap hati-hati sekali dan tidak hanya kami berdua yang menyelidik, melainkan kami akan berusaha menyebar barisan penyelidik...."
Ucapan Pangeran Panji Sigit ini terhenti karena pengawal memberi tahu akan kedatangan Pangeran Darmokusumo bersama isterinya. Mereka ini datang berkunjung setelah mendengar bahwa Endang Patibroto telah "pulang" ke rumah suaminya yang baru, yaitu Patih Tejolaksono. Seperti telah diketahui, baik Pangeran Darmokusumo maupun isterinya keduanya adalah sahabat-sahabat baik Endang Patibroto. Di waktu mudanya, isteri pangeran ini yang bernama Puteri Mayagaluh adalah sahabat baik Endang Patibroto, bahkan puteri ini adalah adik kandung mendiang Pangeran Panjirawit. Adapun Pangeran Darmokusumo sendiri, seorang pangeran terkemuka dari Panjalu, pernah bekerja sama dengan Endang Patibroto ketika mereka berdua memimpin pasukan menyerbu Blambangan beberapa tahun yang lalu. Pertemuan ini pun mengharukan, juga amat menggembirakan.
Percakapan mengenai pengalaman mereka masing-masing membawa ke persoalan negara, yaitu Kerajaan Jenggala yang sedang diliputi mendung gelap. Terutama sekali Puteri Mayagaluh dan adik tirinya, Pangeran Panji Sigit, keduanya menundukkan muka dan merasa prihatin sekali kalau memikirkan keadaan ayah mereka, sang prabu di Jenggala yang sudah sepuh itu, yang kini seolah-olah berada dalam cengkeraman iblis jahat!
Ketika percakapan tiba pada persoalan diculiknya Retna Wilis, Pangeran Darmokusumo yang sudah kurang lebih lima puluh tahun usianya itu berkata sambil mengerutkan alisnya, "Nini Bumigarba? Wajahnya tertutup halimun kehitaman? pernah aku mendengar dongeng wanita sakti yang mukanya selalu tertutup halimun, namanya Dewi Sarilangking...."
"Itulah dia!!" Endang Patibroto berseru. "Dewi Sarilangking yang sekarang bernama Nini Bumigarba, kepandaiannya hebat....!"
Pangeran Darmokusumo mengangguk-angguk. Ketika ia mendengar niat Pangeran Panji Sigit untuk bersama isterinya pergi mencari jejak, ia berkata. "Memang seharusnya dilakukan penyelidikan. Kurasa masih ada hubungannya peristiwa ini dengan kekacauan di Jenggala. Biarlah aku akan mengerahkan pasukan-pasukan istimewa bagian penyelidik yang sudah berpengalaman untuk meneliti dan mencari jejak ke mana dibawanya Retna Wilis."
"Hik, hik, Datujiwa! Matamu masih tajam. Lima puluh tahun yang lalu kita pernah bertemu dan engkau masih belum lupa kepadaku. Bagus! Hal ini saja sudah menyelamatkan kepalamu!"
"Saya menghaturkan salam dan hormat kepada Nini Bumigarba yang sakti mandraguna. Kalau boleh saya bertanya, apakah kehendak Andika sehingga memberi penghormatan kepada kami dengan kunjungan ke Wilis ini?"
"Ketahuilah, heh engkau Datujiwa! Aku sedang nganglang jagad (mengelilingi dunia) untuk mencari seorang murid yang cocok. Di sini aku melihat bocah ini, hatiku tertarik sekali. Dia cocok untuk mewarisi ilmu-ilmuku. Sayang engkau telah merusaknya dengan omongan-omongan kosong tentang mengalah dan macam-macam obrolan tiada guna."
Sebelum ada yang menjawab, Retna Wilis yang baru berusia enam tahun itu bangkit berdiri dan berkata kepada nenek aneh yang mukanya diselimuti uap hitam itu, suaranya nyaring dan matanya bersinar-sinar,
"Nenek yang aneh! Aku adalah murid Eyang Datujiwa yang sakti. Engkau hendak mengambil murid aku? Apakah kesaktianmu? Apakah engkau lebih sakti dari Eyang Datujiwa? Aku hanya mau menjadi murid orang yang memiliki kesaktian lebih dari Ibuku dan Eyang Datujiwa!"
"Retna.... Diam kau!" bentak Endang Patibroto yang masih merasa ngeri melihat nenek itu. Ia mengerti bahwa nenek ini biarpun seorang sakti, namun dikelilingi oleh hawa jahat seperti iblis. Mana mungkin ia membolehkan puterinya menjadi murid nenek iblis ini?
"Heh-heh-heh, semangatnya boleh juga! Nah, Datujiwa, engkau mendengar sendiri. Hayo bangkit dan kau lawan aku beberapa jurus untuk membuka mata calon muridku!"
"Tidak! Tidak boleh anakku diambil murid orang begitu saja!" Endang Patibroto berteriak marah. Kekhawatirannya bahwa anaknya akan diambil murid nenek iblis itu membuat ia marah dan lupa akan kengeriannya.
Timbul keberaniannya dan kalau Endang Patibroto sudah marah, biar setan dan iblis sendiri muncul di depannya, dia tidak akan mundur selangkah untuk melawannya!
Nenek yang tadinya sama sekali tidak memperhatikan Endang Patibroto, kini membalikkan mukanya memandang penuh perhatian.
"Hemm.... jadi engkaukah yang menjadi ibu anak ini? Wah, engkau boleh juga. Pantas saja mempunyai puteri seperti dia. Siapakah namamu, Nini?"
"Namaku Endang Patibroto dan akulah ketua Padepokan Wilis. Retna Wilis adalah puteriku, dan dia menjadi murid Ki Datujiwa atas kehendakku. Aku, tidak memperkenankan dia menjadi muridmu, harap kau orang tua jangan memaksa!"
"Heh-heh-heh, siapa yang memaksa? Anakmu itu dengan suka hati sendiri datang kepadaku. Bukankah begitu, Retna Wilis yang manis? Engkau yang datang sendiri kepadaku? Lihatlah."
Retna Wilis hanya memandang dengan matanya yang lebar bersinar-sinar, akan tetapi tiba-tiba anak itu lalu berjalan menghampiri nenek itu. Ada sesuatu yang mendorongnya sehingga kedua kakinya dengan sendirinya melangkah menghampiri nenek iblis itu.
"Retna Wilis! Jangan lancang engkau!" Endang Patibrotb membentak.
"Heh-heh, tidak ada yang memaksa dan engkau pun akan merelakan anakmu, Endang Patibroto. Retna Wilis bocah ayu, kembalilah dulu kepada ibumu, aku tidak memaksa siapa-siapa dan kalau kau ingin menyaksikan kesaktianku, Ibu dan gurumu ini boleh belajar seratus tahun lagi masih takkan mampu menandingiku."
Setelah Ratna Wilis berjalan mendekatinya, Endang Patibroto maklum dari pandang mata anaknya bahwa anaknya tadi menghampiri si nenek iblis itu bukan atas kehendak sendiri. Kemarahannya memuncak dan ia lalu menerjang maju, meloncat dan menampar dengan tangan terbuka. Hebat bukan main gerakan Endang Patibroto ini karena dalam kemarahannya dan dugaannya bahwa lawannya amat sakti, ia meloncat dengan Aji Bayu Tantra dan menghantam dengan Aji Pethit Nogo yang ampuh sekali.
"Wuuuutttt.... dessss.... tubuh Endang Patibroto terpental membalik seperti dilontarkan. Padahal pukulannya belum menyentuh tubuh nenek itu masih terpisah setengah meter. Akan tetapi ada hawa mujijat yang mendorongnya ke belakang sehingga kalau dia tidak memiliki ilmu keringanan tubuh yang hebat tentu ia telah terbanting!
"Jangan.... Nidewi....!" Namun cegahan Ki Datujiwa itu terlambat karena Endang Patibroto dalam kemarahannya telah memekik dengan aji kesaktian Sardulo Bairowo dan dia telah menerjang lagi sambil menggunakan pukulan Gelap Musti yang amat dahsyat.
"Blaarrrr !!" Pukulan yang hebat bagaikan halilintar menyambar itu juga tidak sampai menyentuh tubuh si nenek yang hanya tersenyum.
Pukulan itu tertumbuk pada dinding yang tak tampak, namun yang kuatnya melebihi baja, dan yang membuat Endang Patibroto terhuyung-huyung ke belakang dengan tubuh tergetar hebat. Kini Endang Patibroto memandang dengan mata terbelalak.
"Hi-hi-hik, kau benar-benar hebat. Tak kusangka engkau sehebat ini, Nini. Ah, makin berhargalah puterimu. Ibunya begini hebat dan sudah sepatutnya kalau puterinya kelak lebih hebat lagi. Siapakah gurumu, Nini Endang Patibroto?"
Suara itu terdengar halus lembut dan manis sekali dan ada pengaruh yang mendorong Endang Patibroto untuk menjawab dengan suara gemetar,
"Guruku.... adalah Dibyo Mamangkoro.... !
"Heh-heh-heh-heh! Pantas.... pantas.... Dibyo Mamangkoro adalah paman dari iblis betina Mamangsari isteri Prabu Boko! Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali. Dan aku adalah guru dari Mamangsari! Kalau kini puterimu belajar kepadaku, berarti dia menjadi murid dari Eyang Canggahnya sendiri.... hi-hik!"
Endang Patibroto terbelalak dan tertegun. Pantas saja nenek ini sakti seperti iblis sendiri, kiranya adalah guru dari Mamangsari permaisuri Sang Prabu Boko yang kabarnya dahulu memiliki aji-aji kesaktian sejajar dengan kesaktian Sang Prabu Boko! Akan tetapi kini Ki Datujiwa yang sudah bangkit berdiri maju dan memberi hormat kepada nenek itu.
"Sadhu-sadhu-sadhu.... Nini Bumigarba! Pengambilan murid harus dilakukan dengan suka rela antara guru dan muridnya, juga harus pula mendapatkan ijin orang tuanya. Memaksakannya berarti memperkosa dan hal itu amatlah tidak baik. Apalagi Retna Wilis sudah menjadi muridku, biarpun kepandaianku masih dangkal, kalah jauh kalau dibandingkan dengan kepandalanmu, akan tetapi dia menjadi muridku secara suka rela, Kalau aku sebagai gurunya melarang dia menjadi murid orang lain, ibunya sendiri pun tidak setuju, tidak semestinya Andika memaksakan kehendakmu, Nini Bumigarba."
Kini dari balik tabir asap atau uap menghitam itu tampak sepasang mata yang menyinarkan api. "Datujiwa! Engkau ini siapa berani menentangku? Sudah kukatakan bahwa aku tidak memaksa, dan bocah ini dengan suka sendiri hendak menjadi muridku, dengan syarat aku harus dapat mengalahkanmu. Tidak perlu banyak wawasan lagi, majulah dan lawanlah aku kalau kau hendak mempertahankan kedudukanmu sebagai guru Retna Wilis!"
Ki Datujiwa menoleh kepada Retna Wilis dan bertanya, suaranya halus dan sikapnya masih tenang, "Angger, Retna Wilis. Benarkah engkau akan suka berguru kepada Nini Bumigarba ini kalau dia dapat mengalahkan aku?"
Retna Wilis semenjak kecil dimanja ibunya dan anak ini paling ingin menjadi seorang yang sakti. Dia belum dapat membedakan mana baik dan mana jahat, bahkan tidak memperdulikannya. Baginya, kalau dia bisa menjadi seorang sakti, seperti ibunya, atau melebihi, dia akan merasa senang sekali. Kini ditanya oleh gurunya, dia menjawab sambil mengangguk, "Benar, Eyang. Saya percaya bahwa Eyang yang sakti tentu akan dapat mengalahkan nenek ini."
Ki Datujiwa menghela napas dan ketika bertemu pandang dengan Endang Patibroto, ia makin kecewa. Dalam pandang mata Endang Patibroto, ia dapat merangkap pernyataan wanita itu yang ingin agar dia turun tangan menandingi Nini Bumigarba. Agaknya Endang Patibroto sendiri pun percaya bahwa dia akan dapat mengalahkan nenek ini.
"Baiklah, Nini Bumigarba. Entah apa hubungannya kemunculanmu yang aneh ini dengan munculnya awan gelap dari Sriwijaya dan Cola, aku tidak tahu. Akan tetapi, jangan salah menduga bahwa aku menghadapimu karena memperebutkan siswa. Kalau hanya untuk itu, aku rela mengalah. Akan tetapi terpaksa aku melupakan kebodohan sendiri menentangmu karena aku tahu pasti bahwa kalau Retro Wilis menjadi muridmu, dia akan kaubawa menyeleweng daripada kebenaran dan kelak dia hanya akan menimbulkan malapetaka saja. Nah, aku sudah siap!"
Nini Bumigarba bergelak, suara ketawa yang mengandung kekejaman karena Sesungguhnya nenek ini marah sekali. Rahasianya telah dibuka oleh dugaan Ki Datujiwa dan dia mengambil keputusan untuk melenyapkan orang yang dianggapnya hanya akan menjadi penghalang saja ini.
"Nah, hadapilah kematianmu!" Nini Bumigarba mendengus dan kedua tangannya bergerak seperti orang menampar.
Jarak antara dia dan Ki Datujiwa ada dua meter jauhnya, akan tetapi tamparannya itu mendatangkan angin dan hawa pukulan amat dahsyatnya. Ki Datujiwa yang maklum akan kesaktian lawan, cepat mengelak dan menangkis. Namun tetap saja ia terhuyung-huyung ke belakang dengan wajah pucat.
"Hi-hi-hik, Retna Wilis bocah ayu lihatlah, baru sekali pukulan saja dungu yang menjadi gurumu ini sudah tidak kuat!" Nini Bumigarba melangka maju dua tindak dan kembali kedua tangannya menampar dari kanan kiri.
Ki Datujiwa sebetulnya bukan seorang sakti biasa saja. Dia memiliki kesaktian yang sudah tinggi tingkatnya dan jaranglah ada orang yang mampu menandinginya. Endang Patibroto sendiri yang memiliki kesaktian menggemparkan kedu kerajaan Jenggala dan Panjalu, masih kalah olehnya. Akan tetapi kini dia menghadap Nini Bumigarba, bukan manusia lumrah, maka dia terpaksa mengerahkan seluruh tenaga batin dan tenaga saktinya. Kembali dia menangkis pukulan jarak jauh itu sambil meloncat ke kiri sehingga kini tidak lagi dia terhuyung.
Dia maklum bahwa kalau dia membalas dengan pukulan jarak jauh, tenaga saktinya masih tidak akan kuat merobohkan si nenek iblis, maka kini dengan nekat ia lalu melanjutkan loncatannya mengelak tadi, sebelum kakinya kembali menyentuh tanah ia sudah melejit dan tubuhnya menyambar miring ke arah Nini Bumigarba, tangan kananhya menampar dan ia mengeluarkan pekik nyaring. Telapak tangan kakek ini berubah merah dan pukulannya ini kalau mengenai tubuh lawan, dapat membuat tubuh lawan tewas dalam keadaan hangus!
"Plakkk.... Pukulan telapak tangan itu sama sekali tidak menyentuh kulit tubuh Nini Bumigarba, masih sejengkal jauhnya, akan tetapi sudah tertangkis hawa sakti yang kuat sekali sehingga Ki Datujiwa terpelanting jatuh!
Dengan sigapnya Ki Datujiwa meloncat bangun, akan tetapi gerakannya ini dipapaki oleh sebuah tamparan tangan kiri Nini Bumigarba. Telapak tangan nenek ini tidak menyentuhnya, namun hawa pukulan yang ampuhnya menggila telah mengenai kepala sehingga kakek yang sakti itu mengeluarkan suara keluhan perlahan dan robohlah ia, roboh miring tak betgerak lagi karena nyawanya telah meninggalkan badan.
"Kau.... kau bunuh dia....?"
Endang Patibroto memeklk marah dan siap untuk menyerang nenek itu. Akan tetapi tiba-tiba Retna Wilis berseru,
"Ibu; dia hebat sekali! Eyang Datujiwa dikalahkannya dengan mudah! Ibu, aku suka menjadi muridnya!"
"Retna Wilis....!!" Endang Patibroto membentak akan tetapi tiba-tiba terjadilah keanehan. Endang Patibroto merasa seolah-olah tubuhnya kemasukan air dingin yang mengusir semua kemarahannya, membuat semangatnya lemah dan tubuhnya lesu dan dingin. Ketika ia mengangkat muka, ia melihat betapa kini tabir asap yang menyelubungi wajah nenek itu lenyap, tampaklah wajah yang masih membayangkan kecantikan, wajah yang kini dalam pandang matanya tampak agung dan suci yang mempunyai sinar mata seperti kilat menyambar. Ia pun menunduk dan seperti bukan atas kehendak sendiri, Endang Patibroto berkata,
"Baiklah, Retna Wilis, kuijinkan engkau menjadi murid Nini Bumigarba....
Nini Bumigarba tertawa mengikik, tubuhnya menyambar didahului asap hitam kemudian ia melayang pergi dari situ dan lenyaplah nenek itu bersama Retna Wilis! Setelah nenek itu lenyap, barulah Endang Patibroto seperti disiram air dingin, seperti baru sadar dari mimpi buruk. Ia terbelalak mencari anaknya, kemudian menjerit,
"Retna.... Anakku....! Jangan pergi.... !" Ia lalu meloncat dengan Aji Bayu Tantra, melakukan pengejaran ke arah lenyapnya tubuh nenek tadi. Namun sampai ke bawah puncak ia berlari-lari, dipandang penuh keheranan oleh semua anggauta Padepokan Wilis yang tidak tahu apa yang telah terjadi.
Kemudian Endang Patibroto berlari-lari ke puncak, kini diikuti oleh semua anak buahnya yang menduga terjadi hal-hal yang amat hebat. Ketika para anggauta Padepokad Wilis tiba di puncak, mereka terbelalak memandang ketua mereka itu menangisi Ki Datujiwa yang telah menjadi mayat!
Beberapa hari kemudian, setelah mengurus jenazah Ki Datujiwa dan berkabung, Endang Patibroto mengumpulkan semua anak buahnya. Dengan rambut awut-awutan dan pakaian lusuh dia berkata,
"Puteriku diculik orang. Aku akan pergi mencarinya. Kalian semua bekerja seperti biasa dan jagalah Padepokan Wilis baik-baik. Jangan mencari perkara dengan orang luar dan hanya kalau ada orang luar datang mengganggu, lawan sekuatnya. Tunggu sampai aku kembali ke sini." Demikian pesannya dan semua anak buahnya mengantar kepergian ketua mereka itu dengan hati penuh prihatin.
Setelah jauh meninggalkan Wilis, Endang Patibroto menjadi bingung. Kemana ia harus mencari puterinya? Penculik puterinya adalah seorang manusia seperti iblis, sukar sekali dicari jejaknya. Andaikata dia berhasil menemukan puterinya bersama penculiknya sekali pun, apakah dayanya? Dia tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap seorang yang sakti mandraguna seperti Nini Bumigarba itu! Makin nelangsa rasa hati Endang Patibroto, nelangsa dan merasa ditinggalkan seorang diri di dunia yang penuh derita ini. Teringatlah Endang Patibroto kepada ayah Retna Wilis dan tiba-tiba wanita perkasa ini menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis terisak-isak. Wanita gagah perkasa yang di waktu mudanya menimbulkan geger yang tidak mengenal takut tidak mengenal susah berwatak keras seperti baja itu kini menangis sesenggukan.
"Joko Wandiro..... aduhh, Joko Wandiro.... bagaimana anakmu.... Tidak tahukah engkau betapa hancur hatiku....?"
Ia merintih-rintih menyebut nama kecil Tejolaksono. Terbayanglah wajah kekasihnya itu. Tejolaksono atau Joko Wandiro, adipati di Selopenangkep dan rasa rindunya tak tertahankan lagi. Dia harus mencari Tejolaksono. Dia harus menyampaikan kesusahan ini kepada ayah Retna Wilis. Hanya bersama Tejolaksono saja di sampingnya ia akan merasa kuat menghadapi Nini Bumigarba, merasa kuat untuk melanjutkan hidup, menempuh gelombang kehidupan, mengatasi segala kepahitan dan derita. Dia tidak perlu malu kepada Ayu Candra.
Setelah mendapat pikiran ini, bulat tekad di hati Endang Patibroto untuk kembali ke Selopenangkep minta bantuan Tejolaksono untuk bersama-sama mencari puteri mereka yang dilarikan Nini Bumigarba. Wanita perkasa ini melakukan perjalanan cepat siang malam tanpa berhenti dan dalam beberapa hari saja tibalah dia di Kadipaten Selopenangkep.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kecewa hatinya ketika mendapat keterangan bahwa Adipati Tejolaksono tidak lagi menjadi adipati di Selopenangkep dan bahwa Adipati Tejolaksono telah di ganti orang lain. Namun kekecewaan in terobati oleh keterangan bahwa kekasihnya itu kini telah menjadi patih muda Kota Raja Panjalu!
Diam-diam ia merasa girang dan bersyukur bahwa kini orang yang dicintanya telah mendapat kemuliaan. Kemudian rasa girang dan syukur ini terganggu pula oleh berita bahwa di dalam kekacauan yang ditimbulkan oleh musuh-musuh Panjalu, Selopenangkep pernah diduduki musuh dan dalam perang itu banyak sekali orang gagah Selopenangkep yang gugur di antaranya adalah Roro Luhito, ibu tirinya yang gugur dalam medan perang. Juga bahwa adik tirinya Pusporini, lenyap dalam keributan itu.
Ketika Endang Patibroto mendengar cerita tentang hancurnya Selopenangkep dan larinya Tejolaksono bersama Ayu Candra, ia menjadi terharu. Ah, kiranya orang yang dikasihinya itu pun mengalami penderitaan. Putera mereka, Bagus Seta, masih belum kembali dan akhirnya Tejolaksono berdua Ayu Candra saja yang masih tinggal, namun kemudian terpaksa pula lari dari Selopenangkep.
"Aku harus menyusul mereka ke Panjalu," pikirnya. Tidak ada orang lain di dunia ini yang dapat ia sambati, yang dapat ia harapkan bantuannya untuk mencari kembali anaknya yang hilang.
Tanpa mengenal lelah Endang Patibroto lalu meninggalkan Selopenangkep dan melakukan perjalanan yang jauh dan melelahkan, yaitu menuju ke Kota Raja Panjalu di timur. Sungguh ia tidak mengira bahwa ia masih akan kembali ke kota raja, padahal ketika ia tinggal di Wilis, ia berjanji dalam hatinya tidak akan mencampuri urusan kedua Kerajaan Panjalu dan Jenggala lagi.
Endang Patibroto adalah seorang wanita yang sudah amat terkenal, baik di Panjalu maupun di Jenggala. Karena maklum akan hal ini, Endang Patibroto memasuki Kota Raja Panjalu secara diam-diam, menggunakan kepandaiannya untuk masuk dengan cara meloncati pagar tembok yang mengelilingi kota raja. Kemudian ia pergi mencari tempat tinggal Patih Muda Tejolaksono. Waktu itu telah lewat tengah hari, menjelang senja dan dengan gerakan seperti seekor burung srikatan, Endang Patibroto meloncati pager di belakang kepatihan, kemudian melayang turun masuk ke dalam taman kepatihan.
Teringat bahwa ia telah berada di taman tempat tinggal kekasihnya dan bahwa ia akan bertemu dengan orang yang selama bertahun-tahun ini menjadi kembang mimpi, menjadi kenangan yang menimbulkan kerinduan, jantungnya berdebar karena girang dan tegang, juga amat terharu.
Pada saat itu, kebetulan sekali Patih Muda Tejolaksono sedang duduk di dalam taman bunga, duduk melamun seorang diri. Hati Ki Patih Tejolaksono sedang ruwet, pikirannya tidak tenang dan hatinya selalu merasa tidak enak. Hal ini disebabkan karena ki patih ini memikirkan keadaan di Jenggala. Beberapa pekan yang lalu, secara tak terduga-duga ia dan isterinya, Ayu Candra, menerima kedatangan Setyaningsih dan suaminya, Pangeran Panji Sigit. Suami isteri yang untuk beberapa tahun hidup kesepian di Panjalu ini tentu saja menjadi girang dan hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendiri ketika melihat Setyaningsih tiba-tiba muncul itu. Baru setelah Setyaningsih yang menangis itu memeluk Ayu Candra, mereka sadar bahwa yang mereka alami bukanlah dalam mimpi.
"Aduh, adikku yang cantik.... engkau.... engkau Setyaningsih.... Puji syukur kepada para dewata bahwa engkau.... engkau sekarang telah menjadi puteri jelita.... betapa lamanya engkau pergi, Adikku....." Akhirnya Ayu Candra dapat berkata setelah berangkul-rangkulan dan bertangisan.
Setyaningsih mengusap air matanya kemudian memberi hormat, menyembah kepada Ki Patih Tejolaksono yang memandang penuh keharuan. Wajah ki patih yang masih tampan itu penuh gores-gores tanda kepahitan dan penderitaan batin yang menimpanya selama bertahun-tahun ini. Setelah mengelus rambut kepala Setyaningsih penuh keharuan, Ki Patih Tejolaksono berkata,
"Adinda Setyaningsih, sungguh saat ini amat membahagiakan hatiku. Duduklah dan ceritakan semua pengalamanmu. Siapakah ksatria perkasa yang datang bersamamu ini, Adinda?"
Wajah yang ayu itu tiba-tiba menjadi merah dan dengan suara lirih ia berkata memperkenalkan, "Dia.... dia adalah.... suami hamba, dia Pangeran Panji Sigit dari Jenggala..."
"Ahhhh...!" Tejolaksono berseru, tercengang kemudian cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Ayu Candra, hendak menghaturkan sembah. "Harap Paduka maafkan, karena hamba tidak tahu bahwa Paduka...."
Akan tetapi Pangeran Panji Sigit cepat-cepat berlutut juga dan mengangkat bangun Ki Patih Tejolaksono. "Duh Rakanda Patih dan Ayunda, mohon jangan membikin saya menjadi malu dan kikuk. Setelah saya menjadi suami Diajeng Setyaningsih, berarti saya adalah adik ipar Paduka sendiri. Rakanda Patih, saya tidak berani menerima penghormatan Paduka berdua, bahkan sayalah yang menghaturkan sembah kepada Rakanda berdua."
Ki Patih Tejolaksono menjadi gembira sekali menyaksikan kerendahan hati dan keramahan pangeran muda itu. Dia tersenyum dan berkata, "Baiklah, Adinda Pangeran, silahkan duduk. Sungguh amat besar rasa bahagia di hati saya mendengar bahwa Adinda Pangeran berkenan mengambil Yayi Setyaningsih sebagai isteri."
"Setyaningsih, kau bocah nakal! Sungguh terlalu sekali, mengapa menikah secara diam-diam saja tidak mengundang kami? Betapa tega hatimu... melupakan kami...." Ayu Candra menegur.
Setyaningsih menunduk. "Maafkan saya, Ayunda. Sesungguhnya, belum lama saya dinikahkan secara sederhana di Wilis. Ayunda Endang Patibroto menghendaki demikian, dan dia adalah ketua Padepokan Wilis dan tinggal di sana semenjak.... semenjak pergi dari Selopenangkep."
"Aduh Dewa.... Kasihan sekali Endang Patibroto....!" Ayu Candra terisak menangis sedangkan Ki Patih Tejolaksono mengerutkan keningnya, merasa jantungnya seperti ditusuk keris berbisa. "Ohhh, Endang Patibroto, mengapa engkau meninggalkan kami dan hidup bersunyi sendiri di puncak Wilis...? Ah, betapa besar penderitaanmu....? Kembali Ayu Candra menangis, dan Setyaningsih ikut pula menangis.
Ki Patih Tejolaksono menghela napas panjang lalu berkata, suaranya menggetar namun nadanya senang, "Sudahlah, tidak perlu disedihkan karena hal itu sudah terlewat. Kurasa, penderitaannya tidaklah lebih besar daripada penderitaan kita, bahkan mungkin sekali dia lebih senang karena dapat hidup tenteram dan damai di puncak Wilis, tidak seperti kita yang selalu tertimpa keributan dan kekacauan perang."
Ayu Candra terhibur pula dengan ucapan suaminya yang cukup beralasan ini, maka sambil menyusut air matanya ia lalu bertanya, "Adinda Setyaningsih, bagaimana.... bagaimana dengan puteranya....?"
Setyaningsih mengerling ke arah Ki Patih Tejolaksono dan menjawab perlahan, "Ayunda Endang Patibroto mempunyai seorang puteri, namanya Retna Wilis, keponakanku cantik manis dan amat pintar. Kini telah berusia enam tahun dan bahkan baru-baru ini mendapatkan seorang guru yang sakti mandraguna, yaitu Eyang Resi Datujiwa...."
"Aahhhh, Kakangmas..... Paduka harus menyusul ke Wilis, harus memboyong Adinda Endang Patibroto dan Nini Retna Wilis! Endang Patibroto adalah isteri Paduka dan Retna Wilis adalah puteri Paduka, anak kita.... ah, Kakangmas, Paduka harus memboyong mereka ibu dan anak.... harus....!" Ayu Candra terisak menangis.
Pangeran Panji Sigit bertukar pandang, dengan isterinya. Pangeran muda ini telah mendengar dari isterinya bahwa Retna Wilis adalah puteri Tejolaksono, bahkan Endang Patibroto, kakak iparnya yang telah menjadi janda itu telah menjadi isteri Ki Patih Tejolaksono. Ia hanya menunduk dan mendengarkan dengan terharu, merasa kasihan kepada Endang Patibroto dan puterinya, dan merasa kagum akan kehalusan budi Ayu Candra.
"Diajeng Ayu Candra, apakah engkau sudah lupa akan watak Endang Patibroto? Kalau dia sudah mengambil keputusan, siapakah yang akan mampu merubahnya? Kalau dia menghendaki untuk hidup bersama kita, tentu dia akan datang sendiri, sebaliknya kalau dia tidak menghendaki, disusul pun apa gunanya? Kita harus mengucap syukur bahwa dia masih dalam keadaan selamat, demikian puteri kita.... Retna Wilis...." Ketika menyebut nama ini, suara Ki Patih Tejolaksono agak menggigil karena ia merasa terharu sekali.
Dia mempunyai seorang putera, namun Bagus Seta itu semenjak kecil dibawa pergi orang-orang sakti dan belum juga kembali. Dia mempunyai seorang puteri pula, namun selama hidupnya belum pernah ia melihat puterinya yang sudah berusia enam tahun itu! Setelah menarik napas panjang menenangkan penderitaan batinnya, Tejolaksono lalu berkata kepada Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit,
"Sebaiknya Adinda berdua kini menceritakan pengalaman Andika."
Tiba-tiba wajah Pangeran Panji Sigit yang tampan itu menjadi muram dan ia berkata, "Ah, Rakanda Patih, kedatangan kami berdua membawa berita yang amat buruk dari Jenggala."
Ki Tejolaksono mengangguk-angguk "Kami di Panjalu telah mendengar berita terbawa angin lalu bahwa di Jenggala terjadi kekacauan-kekacauan, bahkan kabarnya Paman Patih Brotomenggala yang setia itu melakukan pengkhianatan sehingga seluruh keluarga dihukum mati. Sampai di manakah kebenaran berita ini Adinda Pangeran?"
"Duh Rakanda Patih, memang seperti mimpi buruk apa yang terjadi di Jenggala. Bukan itu saja, bahkan.... Ibunda Ratu sendiri kini telah diasingkan di pembuangan yang terletak di kaki Gunung Anjasmoro...."
"Aduh para dewata yang agung! Sampai sedemikian jauhnya? Mengapa....?
"Fitnah, Rakanda! Fitnah merajalela di Jenggala dan Ramanda Prabu telah dicengkeram persekutuan yang lebih jahat dan keji daripada iblis-iblis sendiri!" Dengan penuh semangat namun dengan suara penuh duka Pangeran Panji Sigit lalu menceritakan keadaan di Jenggala seperti yang ia dengar dari mulut sang ratu sendiri.
Ki Patih Tejolaksono dan Ayu Candra mendengarkan dengan wajah berubah pucat dan mata terbelalak. Setelah Pangeran Panji Sigit selesai bercerita, Ki Patih Tejolaksono memukul pahanya sendiri sampai mengeluarkan bunyi nyaring.
"Hebat...! Sang Prabu di Panjalu selalu merasa sungkan untuk mencampuri urusan dalam istana Jenggala. Akan tetapi kalau keadaan sudah sedemikian rusaknya, hal ini sebaiknya harus dilaporkan kepada sang prabu!"
"Memang kedatangan saya di Panjalu ini selain mengunjungi Rakanda Patih, juga menurut nasehat dari Ibunda ratu untuk minta bantuan Uwa Prabu di Panjalu agar Kerajaan Jenggala dapat diselamatkan dan dibersihkan daripada pengaruh anasir-anasir jahat itu, Rakanda."
"Bagus! Kalau begitu, marilah sekarang juga kuantarkan Adinda Pangeran menghadap sang prabu."
Sang prabu di Panjalu menerima kunjungan keponakannya dengan penuh keramahan, akan tetapi ketika Sang Pangeran Panji Sigit menceritakan tentang keadaan di Jenggala, sang prabu menjadi kaget dan keningnya berkerut-kerut.
"Duh Jagad Dewa Bathara! Mengapa yayi prabu sampai terperosok begitu dalam?"
"Gusti sesembahan hamba," Ki Patih Tejolaksono berkata, "hamba teringat akan wejangan Sang Sakti Bhagawan Ekadenta akan awan gelap yang mengancam keselamatan kerajaan keturunan Mataram. Hal ini cocok benar dengan lenyapnya huru-hara yang tadinya ditimbulkan oleh orang-orang Sriwijaya dan Cola. Bukan tidak mungkin kalau mereka itu yang berhasil menyelundup ke Jenggala dan merusak Jenggala dari dalam Gusti. Mohon beribu ampun, bukan sekali-kali hamba hendak bersikap lancang akan tetapi sebaiknya hal ini tidak didiamkan saja dan sudah sepatutnya kalau hamba menerima perintah Paduka untuk membawa pasukan pilihan dan membersihkan Jenggala daripada pengaruh-pengaruh jahat itu, Gusti."
Sang prabu tersenyum tenang. "Memang sudah sepatutnya kalau engkau sebagai patih muda bersiap-siap untuk membela Jenggala karena Kerajaan Jenggala merupakan kerajaan keluarga kami. Akan tetapi wawasanmu itu kurang tepat dan agaknya tidak akan bijaksana kalau dilaksanakan, Patih Tejolaksono."
"Bolehkah hamba mengetahui mengapa tidak bijaksana kalau dilaksanakan, Gusti? Padahal Jenggala sungguh amat membutuhkan bantuan."
"Engkau harus ingat bahwa keadaan di Jenggala itu bukan terjadi karena pengaruh dari luar yang dipaksakan, melainkan semua terjadi atas kehendak yayi prabu sendiri. Kalau kita mencampurinya, hal itu amatlah tidak baik dan pula tidak semestinya, patihku yang setia. Jangan-jangan malah akan menimbulkan salah faham dari pihak yayi prabu sendiri. Tentu saja akan menjadi lain persoalannya kalau yayi prabu sendiri yang mengajukan permintaan bantuan secara resmi, tentu akan kukerahkan bala tentara Panjalu untuk menyelamatkan Jenggala, tetapi, keadaannya lain sama sekali. Belum tiba saatnya bagi kita untuk turun tangan."
Mau tidak mau Tejolaksono harus mengakui kebenaran pendapat junjungannya ini dan dia tidak berani membantah pula. Pangeran Panji Sigit sebagai keponakan sang prabu, diminta untuk membawa isterinya dan berada di istana.
Sejak hari itulah, pikiran Ki Patih Tejolaksono terganggu. Hatinya selalu memikirkan keadaan Jenggala dan ia amat tidak puas dengan keputusan sang prabu. Dan pada sore hari itu, Ki Patih Tejolaksono termenung seorang diri di dalam taman bunga. Hatinya merasa yakin bahwa dugaannya pasti tidak meleset jauh, bahwa ada tangan-tangan kotor dari Sriwijaya dan Cola yang menyebabkan kekeruhan di Jenggala. Kalau ia teringat kepada orang-orang sakti seperti Sang Biku Janapati, apalagi Sang Wasi Bagaspati, dengan anak buah mereka yang sakti mandraguna seperti Cekel Wisangkoro, Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Sariwuni, ia bergidik dan merasa ngeri. Kalau orang-orang yang amat sakti dan jahat seperti mereka itu, menandingi iblis sendiri, yang sedang mengacau Jenggala, akan hebat dan mengerikan akibatnya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika senja hari itu Endang Patibroto menggunakan kepandaiannya menyelundup ke Kota Raja Panjalu kemudian secara rahasia ia melompati dinding kepatihan dan memasuki taman bunga, pada saat itu kebetulan Ki Patih Tejolaksono sedang termenung seorang diri di alam taman itu.
"Kakangmas...." Lirih sekali nanggilan yang keluar dari mulut Endang Patibroto yang berdiri dengan muka pucat dan air mata bercucuran ketika ia memandang pria yang amat dicintanya itu. Hatinya diliputi keharuan. Kekasihnya itu kini sudah agak tua, rambutnya di atas telinga telah mulai bercampur uban, wajahnya yang masih tampan dan gagah itu penuh garis-garis derita batin. Apalagi dalam keadaan termenung itu, wajah Tejolaksono kelihatan susah dan murung. Ki Patih Tejolaksono sedang tenggelam dalam lamunannya, memikirkan keadaan Jenggala, memikirkan Endang Patibroto dan puterinya yang belum pernah dilihatnya itu, memikirkan Bagus Seta yang belum juga kembali, sehingga ia agaknya tidak mendengar panggilan halus lirih itu.
"Kakangmas Tejolaksono...."
Ki Patih Tejolaksono tersentak kaget lalu bangkit dari duduknya sambil membalikkan tubuh. Matanya terbelalak, wajahnya pucat, sejenak ia mengejap-ngejapkan matanya, bahkan menggunakan tangan menggosok kedua matanya karena ia khawatir kalau-kalau renungannya membuat ia seperti mimpi. Benarkah wanita yang berdiri dengan air mata bercucuran ini Endang Patibroto, wanita yang tak pernah dia lupakan selama ini, yang selalu ia rindukan, yang membuat ia merana dan duka? Tidak salah lagi. Tak ada wanita ke dua di dunia ini seperti Endang Patibroto. Memang agak tua, dan wajah yang cantik itu lesu dan membayangkan kedukaan hebat, rambut yang hitam panjang itu kusut, pakaiannya pun lusuh. Akan tetapi dia tetap Endang Patibroto!
Sejenak mereka berpandangan, muka Ki Patih Tejolaksono pucat, air mata makin deras mengucur dari kedua mata Endang Patibroto. Bibir kedua orang itu menggigil, bergerak-gerak namun tidak ada suara yang keluar. Akhirnya Ki Patih Tejolaksono mengeluarkan suara lirih dan serak,
"Engkau....??" Dalam suara bisikan ini terkandung segala kerinduan, segala harapan, dan segala teguran, membuat Endang Patibroto terisak lalu wanita itu lari menghampiri, langsung menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tejolaksono dan merangkul kedua kaki pria itu.
Tejolaksono berdiri seperti arca, menunduk dan memandang kepala yang rambutnya kusut, memandang sepasang pundak yang terguncang-guncang karena tangis. Setelah kini wanita itu merangkul kakinya, setelah ia merasa betapa betisnya basah kejatuhan air mata, yakinlah hati Tejolaksono bahwa benar Endang Patibroto yang kini berlutut di depan kakinya. Hatinya menjeritkan kerinduan, hasratnya mendorong-dorongnya untuk memeluk dan menciumi wanita yang amat dicintanya ini. Akan tetapi melihat Endang Patibroto, teringatlah ia akan semua penderitaan yang dialami keluarga semenjak Endang Patibroto lolos dari Selopenangkep tanpa pamit. Teringatlah ia betapa ia hidup nelangsa dan terbenam kerinduan dan kedukaan ditinggal pergi Endang Patibroto. Teringatlah betapa kejam hati Endang Patibroto meninggalkannya, memutuskan cinta kasih mereka yang sedang hangat-hangatnya dan timbullah kemarahan di hati Tejolaksono.
"Endang Patibroto, engkau yang sudah minggat meninggalkan kami tanpa memperdulikan kami, sekarang datang ada keperluan apakah?"
Endang Patibroto menengadahkan muka yang basah air mata, memandang ke wajah pria yang dicintanya itu. Akan tetapi ketika ia mendengar suara itu, suara yang dingin sekali, melihat wajah yang tak bersemangat, melihat yang menatapnya penuh penyesalan dan sikap yang acuh tak acuh, jantungnya seperti ditusuk-tusuk jarum dan wanita itu tersedu-sedu.
"Kakangmas Tejolaksono...." Rintihan suara Endang Patibroto ini tersendat-sendat dan sukarlah baginya untuk melanjutkan kata-katanya karena tangisnya membuat tenggorokannya seperti tersumbat.
Tejolaksono memejamkan mata untuk menahan perasaan harunya mendengar suara wanita yang dicintanya ini menyebut namanya dengan getaran penuh duka dan penuh cinta kasih terpendam. Namun kemarahan hatinya yang sakit masih tidak mengijinkan dia menyambut ulur hati merindu, dan Tejolaksono kini bersidakap, sikapnya tak acuh.
"Kakangmas.... ampunkan semua kesalahanku...."
Sejenak Tejolaksono tertegun dan hatinya yang penuh cinta itu diliputi rasa heran dan kasihan. Inikah Endang Patibroto yang dahulu? Wanita perkasa yang pantang mundur menghadapi segala bahaya dan kesukaran? Wanita yang tak kenal takut dan tak pernah meruntuhkan air mata?
"Sesungguhnyakah engkau merasa bersalah, Endang Patibroto? Tidakkah yang kau lakukan itu malah benar karena kalau engkau tidak meninggalkan kami engkau pun akan mengalami segala kesengsaraan dan derita seperti yang kami alami?" Ucapan ini halus dan tidak kedengaran seperti orang marah, namun mengandung sindiran yang lebih tajam dan menyakitkan hati daripada kata-kata keras.
"Aduh Kakangmas.... Endang Patibroto tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan tangisnya makin mengguguk. Teringat ia betapa dahulu meninggalkan Selopenangkep karena terpaksa, pergi dengan hati hancur karena tidak mau menyusahkan hati Tejolaksono dan terutama sekali Ayu Candra. Teringat ia betapa ia hidup terlunta-lunta, melakukan perjalanan yang amat sengsara dalam keadaan mengandung bersama Setyaningsi betapa kemudian la rela menjadi kepala dari gerombolan Wilis, hidup mengasingkan diri dari dunia ramai. Kemudian, terutama sekali ia teringat betapa tertimpa malapetaka yang hebat, diperkosa yang berarti dihina oleh Sindupati. Dan kini, setelah ia kehilangan puterinya yang dilarikan Nini Bumigarba sehingga ia terpaksa harus mencari ayah puterinya untuk dimintai bantuan, ia diserang dengan ucapan-ucapan penyesalan, ditusuk-tusuk perasaan hatinya yang sudah luka-luka membutuhkan obat dan hiburan itu.
Pada saat itu, Ayu Candra yang memasuki taman menyusul suaminya yang ia tahu seperti biasanya duduk bersunyi diri di dalam taman, melihat suaminya berdiri dengan muka marah dan seorang wanita menangis di depan kakinya. Ayu Candra heran dan terkejut sekali, akan tetapi ketika ia meneliti dari jauh dan melihat bahwa wanita itu bukan lain adalah Endang Patibroto, ia menjerit sambil lari menghampiri.
"Endang Patibroto....!!!"
Serta-merta ia menubruk dan memeluk wanita yang sedang menangis itu dengan hati penuh keharuan dan kegirangan. Menghadapi penyambutan yang sama sekali di luar dugaannya ini, hati Endang Patibroto seperti diremas dan ia hanya dapat sesenggukan sambil mambalas rangkulan wanita yang menjadi madunya. Sungguh dia tidak menyangka penyambutan ini, karena sesungguhnya sebelum tiba di sana, Ayu Candralah yang ia khawatirkan akan menyambutnya dengan sikap bermusuh.
".... Ayunda.... aku datang untuk.... untuk minta maaf.... Kakanda Tejolaksono tidak sudi mengampunkan aku.... kuharap.... Ayunda memaafkan segala kesalahanku.... Endang Patibroto terisak-isak dalam rangkulan Ayu Candra.
Dengan mata terbelalak Ayu Candra memandang ke atas, ke arah wajah suaminya yang masih bersedakap dengan muka muram dan keras. Ia lalu berkata dengan lengan masih merangkul leher madunya,
"Apa....? Bukan engkau yang harus minta maaf, Adikku.... sebaliknya akulah yang harus minta maaf kepadamu! Karena akulah, karena kebodohanku, karena kehancuran hatiku kehilangan puteraku.... aku telah mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hatimu.... tidak, Endang Patibroto, bukan kau yang salah, melainkan aku....!" Ayu Candra juga menangis.
"Alangkah mulia hatimu, Ayunda.... dan kemuliaanmu membuat aku merasa makin berdosa.... sehingga patutlah kalau Kakanda Tejolaksono tidak sudi memaafkan aku.... biarlah aku pergi saja...."
"Jangan.... Tidak boleh kau pergi, Endang Patibroto...." Ayu Candra yang kini menangis sampai merangkul erat-erat. Kemudian Ayu Candra menarik Endang Patibroto bangun berdiri, menghadapi suaminya dan berkatalah wanita ini dengan muka basah air mata.
"Kakangmas, mengapa Paduka begini kejam terhadap Adinda Endang Patibroto?" Suara ini penuh tuntutan dan penuh teguran karena wanita ini maklum dengan penuh keyakinan betapa suaminya banyak berduka karena rindu kepada Endang Patibroto, betapa sesungguhnya suaminya amat mencinta Endang Patibroto. Mengapa kini suaminya seolah-olah marah dan menolak Endang Patibroto?
"Siapakah yang kejam, Diajeng?" Kini Ki Patih Tejolaksono mendapat kesempatan untuk mengeluarkan isi hatinya yang penuh kemarahan dan penyesalan. "Siapakah yang pergi meninggalkan kita tanpa pamit, bahkan membawa pergi adinda Setyaningsih, menimbulkan banyak kedukaan pada keluarga kita? Andaikata dia tidak minggat, belum tentu Bibi Roro Luhito tewas dan belum tentu Adinda Pusporini lenyap. Andaikata dia berada di Selopenangkep, belum tentu kadipaten itu mudah dihancurkan musuh. Andaikata dia tidak pergi minggat, tentu seorang anak tidak akan dipisahkan dari ayahnya, bahkan kelahirannya pun di luar tahu ayahnya! Andaikata dia tidak pergi, belum tentu begitu banyak malapetaka terjadi dan begitu banyak kedukaan batin diderita...."
"Aduh, Kakangmas....!" Kalimat demi kalimat merupakan ujung keris yang menusuk-nusuk hati Endang Patibroto sehingga wanita itu mengeluh panjang dan pingsan dalam rangkulan Ayu Candra!
"Endang Patibroto...! Adikku cah ayu.... ingatlah.... sadarlah....! Ah, Kakangmas, betapa kejam hatimu...!" Ayu Candra menangis mengguguk ketika melihat wajah Endang Patibroto yang pucat itu.
Sesungguhnya, di dalam hati Ki Patih Tejolaksono terdapat cinta kasih yang amat besar terhadap Endang Patibroto. Kalau tadi ia bersikap keras adalah karena hatinya sedang kusut, pikirannya sedang ruwet memikirkan hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Kini melihat wanita yang dicintanya itu roboh pingsan, ia menjadi amat kasihan. Tanpa banyak kata lagi ia lalu meraih tubuh Endang Patibroto dari rangkulan Ayu Candra.
Tubuh Endang Patibroto amat kuat. Hanya sebentar saja ia tak sadarkan diri. Ketika ia siuman, ia telah rebah di sebuah pembaringan yang bersih dan indah. Ia belum membuka matanya, akan tetapi telinganya telah dapat mendengar kata-kata Ayu Candra. Ia tahu bahwa ia berada dalam kamar, dijaga oleh Ayu Candra dan Tejolaksono.
"Kakangmas sendiri dahulu mengerti bahwa kepergiannya adalah karena ucapanku yang timbul dari kedukaanku kehilangan Bagus Seta. Memang kita telah banyak menderita, akan tetapi apakah Paduka tidak ingat bahwa dia pun telah mengalami banyak penderitaan? Ketika Setyaningsih datang, aku sudah minta kepadamu untuk menyusul dan memboyong dia dan puterinya ke sini, akan tetapi Paduka mengatakan bahwa kalau dia menghendaki, dia akan datang sendiri. Kini dia telah datang, akan tetapi Paduka sambut dengan kata-kata yang pedas dan menyakitkan hati. Padahal aku yakin betapa besar cinta kasih Paduka kepadanya! Betapa selama bertahun-tahun ini Paduka mengenangnya dengan hati berdarah. Kita semua sudah sama-sama menderita, setelah berkumpul kembali semestinya saling menghibur untuk menghilangkan semua kenangan duka."
Terdengar oleh Endang Patibroto betapa Tejolaksono menghela napas panjang. "Aku dikuasai kemarahan karena dia telah membuat aku banyak berduka selama ini, Diajeng. Dan aku pun hanya ingin menguji apakah benar-benar sekali ini dia ingin hidup bersama kita.... Tiba-tiba Tejolaksono menghentikan kata-katanya karena dia tahu bahwa Endang Patibroto sudah mulai menggerak-gerakkan pelupuk matanya, tanda bahwa dia mulai sadar. Ayu Candra juga melihat ini, maka wanita ini bangkit lalu berkata,
"Karena dia datang dalam keadaan begini, tanpa membawa bekal, aku akan menyediakan semua keperluannya, Kakangmas. Juga aku akan memberi kabar kepada Setyaningsih agar datang berkunjung." Tanpa menanti jawaban, wanita yang bijaksana ini lalu meninggalkan kamar itu.
Tejolaksono duduk di tepi pembaringan, memandang wajah Endang Patibroto. Setelah kini kemarahannya hilang, ia memandang wajah itu dengan penuh kerinduan dan cinta kasih. Hatinya terharu, dan terpesona memandang bulu mata yang panjang melengkung itu mulai bergerak-gerak, kemudian kelopak mata itu perlahan-lahan terbuka.
Dua pasang mata beradu dan saling melekat sampai lama. Tak perlu lagi kiranya mulut mengeluarkan kata-kata kalau dari dua pasang mata itu keluar begitu banyak pernyataan yang hanya dapat ditangkap oleh rasa. Mulut dapat mengeluarkan seribu satu macam kata-kata bohong, namun sinar mata mencerminkan isi perasaan hati dan keduanya yakin betapa dalam cinta kasih di antara mereka melalui pandang mata mereka.
Melihat betapa perlahan-lahan sepasang mata yang amat tajam dan selalu dikaguminya itu mengalirkan air mata, Tejolaksono berkata halus, "Kau.... kau maafkan kekasaranku tadi.... Diajeng...."
Endang Patibroto tersedak oleh isaknya sendiri, lalu ia pun bangkit duduk.
"Sudah sepatutnya kalau Paduka marah kepadaku, Kakangmas.... kuharap kini Kakangmas dapat mengampunkan aku...!"
"Aku maafkan semua perbuatanmu yang telah lalu, Endang Patibroto..." Tejolaksono memegang kedua tangan kekasihnya ini dan jari-jari tangan mereka mengeluarkan getaran cinta kasih yang amat besar.
"Terima kasih, Kakangmas Tejolaksono...."
"Duhai Adinda, betapa rindu kepadamu.... betapa kering melayu hatiku selama kautinggalkan.... Diajeng Endang Patibroto.... betapa besar cinta kasihku kepadamu.... !" Ki Patih Tejolaksono merangkul leher wanita itu dengan kasih mesra. Akan tetapi tiba-tiba Endang Patibroto tersedu dan melepaskan diri dari pelukan, lalu meloncat turun ke bawah pembaringan dan berlutut di situ, menangis terisak-isak dan berkata dengan suara terputus-putus.
".... aduh Kakangmas pujaan hamba.... aahh, harap jangan sentuh aku, Kakangmas.... jangan membelai Endang Patibroto yang hina ini.... aku.... aku.... telah ternoda, tidak bersih lagi.... aku manusia hina yang sudah cemar.... Kakangmas, kau bunuh saja aku...!!"
Wajah Ki Patih Tejolaksono menjadi pucat sekali. Ia cepat mengangkat bangun Endang Patibroto, ditariknya wanita itu duduk di tepi pembaringan menghadapinya dengan pandang mata tajam ia berkata, "Diajeng Endang Patibroto. Apa artinya semua ini? Ceritakanlah apa yang telah terjadi sehingga Adinda bersikap seperti ini! Kita telah menjadi suami isteri, tidak boleh ada rahasia lagi di antara kita, Diajeng."
"Kakangmas.... malapetaka hebat telah menimpa diriku.... membuat aku terhina, tercemar dan ternoda.... !!
"Ceritakanlah, ceritakanlah.... Tejolaksono mendesak tidak sabar lagi.
"Terjadinya di waktu aku mengadakan sayembara tanding untuk mencarikan jodoh Setyaningsih...." Endang Patibroto lalu bercerita tentang pertemuannya dengan orang yang mengaku bernama Warutama, kemudian betapa dalam keadaan pingsan dia diperkosa oleh Warutama.
Semua dia ceritakan tanpa tedeng aling-aling dengan persiapan menghadapi segala akibatnya. Wanita perkasa ini maklum bahwa kalau hal itu tidak diceritakan kepada Tejolaksono, selalu akan ada jurang pemisah yang lebar terasa olehnya antara dia dan kekasihnya.
"Demikianlah, Kakangmas.... setelah dia pergi barulah teringat olehku bahwa orang yang wajahnya sudah berubah itu sebetulnya adalah si keparat Sindupati...."
Ki Patih Tejolaksono bangkit berdiri, mukanya menjadi merah sekali, matanya terbelalak, kedua tangannya terkepal dan la berkerot-kerot saking marahnya, mulutnya membisikkan kutukan hebat,
"Bedebah...!!!"
Jantung Endang Patibroto serasa dirobek-robek dan wanita ini menjatuhkan diri berlutut di depan pria itu.
"Duh Kakangmas.... aku rela kauhina, bahkan aku siap kaubunuh sekali pun.... memang aku wanita hina.... duh Ibunda.... mengapa malapetaka yang menimpa Ibu dahulu kini menimpa anakmu pula....?"
Tejolaksono membungkuk dan mengangkat bangun Endang Patibroto dengan memondongnya dan dengan penuh kasih sayang mendudukkan wanita itu kembali ke atas pembaringan, merangkul dan menciuminya.
"Tidak, kekasihku. Engkau sama sekali tidak hina! Aku tidak akan mengulang apa yang dahulu salah dilakukan oleh mendiang ayahmu. Dahulu pun, seperti engkau telah tahu, ibumu diperkosa orang.... ayahmu menyesal dan menyalahkannya, sehingga terjadilah ekor atau akibat yang amat hebat. Kini peristiwa seperti itu menimpa dirimu, Diajeng. Aku sama sekali tidak menyalahkan engkau, Diajeng yang bernasib malang.... bukan kehendakmu terjadi hal seperti itu. Namun kita harus membalas kekejian Sindupati.... eh, kau bilang dia bernama Warutama sekarang? Si keparat! Dan dia menjadi Patih Jenggala! Celaka...!"
Endang Patibroto seolah-olah Gunung Semeru yang tadinya menindih perasaan hatinya kini telah lenyap, dadanya lapang hatinya merasa bahagia sekali. Dia tidak perduli apakah Warutama sekarang menjadi Patih Jenggala atau menjadi setan. Kegirangan hatinya mendapat kenyataan bahwa pria yang dicintanya ini tidak marah dan tidak menyalahkannya dalam peristiwa pemerkosaan itu membuat ia lupa segala. Dipeluknya Tejolaksono dan dengan sedu-sedan ia berbisik di dada suami itu,
"Aduh, terima kasih, Kakangmas.... terima kasih.... terima kasih....!"
Tejolaksono dapat memahami keharuan hati Endang Patibroto. Dia maklum betapa besar artinya sikapnya dalam peristiwa itu bagi seorang wanita, apalagi seorang wanita seperti Endang Patibroto. Diam-diam dia merasa kagum akan sikap Endang Patibroto yang tidak ragu-ragu menceritakan hal itu kepadanya dalam kesempatan pertama. Hanya seorang wanita yang berhati murni saja yang akan mengaku secara terus terang seperti ini.
Hanya wanita yang menghendaki agar di antara cinta kasih mereka tidak terdapat penghalang dalam bentuk apa pun juga, yang menghendaki cinta kasih yang murni, yang akan berani menceritakan pemerkosaan terhadap dirinya dengan resiko patahnya rantai kasih itu sendiri. Ia membiarkan Endang Patibroto melampiaskan kelegaan hatinya dalam tangis, dan dengan belaian kasih mesra ia mengusap-usap rambut yang kusut itu.
Peristiwa pemerkosaan itu sama sekali tidak mempengaruhi cintanya, bahkan memperdalam cintanya yang kini dilengkapi dengan perasaan kasihan yang mendalam. Dan Tejolaksono tidak sadar bahwa kalau di dunia ini jarang terdapat wanita yang begitu murni cintanya seperti Endang Patibroto, lebih jarang lagi terdapat pria yang dapat menerima peristiwa pemerkosaan dengan dada begitu lapang, dengan pengertian begitu mendalam seperti perasaan hatinya terhadap Endang Patibroto!
"Diajeng, sudahlah jangan menangis. Percayalah, aku sudah lupa lagi akan peristiwa yang menimpa dirimu sungguh pun aku takkan dapat melupakan Warutama yang jahat itu. Tenangkan hatimu karena peristiwa keji itu takkan diketahui orang lain, tidak akan diketahui oleh Ayu Candra, oleh siapa pun juga, bahkan tidak akan diketahui oleh anak kita.... eh, di mana Retna Wilis, anak kita itu? Diajeng, aku sudah banyak mendengar tentang dia dari Adinda Setyaningsih, kenapa kau tidak membawa dia ke sini?"
Wajah Endang Patibroto yang tadinya merah berseri karena bahagia mendengar ucapan penerimaan Tejolaksono mengenai malapetaka yang menimpa dirinya, kini menjadi muram dan ia menghela napas panjang, lalu mengangkat mukanya dari dada suaminya.
"Kakangmas, memang nasibku selalu malang, dirundung malapetaka. Anak kita itu, Retna Wilis, sudah baik-baik mendapatkan seorang guru yang sakti mandraguna, yaitu Ki Datujiwa, akan tetapi tiba-tiba muncul nenek iblis Nini Bumigraba yang membunuh Ki Datujiwa dan menculik Retna Wilis...."
"Duh para Dewata.... mengapa begini....?" Tejolaksono mengeluh dengan hati pedih. Puteranya, Bagus Seta, sampai kini belum juga pulang. Kemudian, puterinya yang belum pernah dilihatnya, Retna Wilis, diculik orang pula! "Diajeng, bagaimana bisa terjadi hal itu? Mengapa Diajeng tidak melindunginya dan melawan mati-matian?"
Tejolaksono memang belum pernah mendengar nama Nini Bumigarba sehingga ia merasa terheran-heran mengapa isterinya ini yang amat sakti, ditambah lagi dengan Ki Datujiwa yang menurut keterangan Setyaningsih amat sakti sehingga dalam sayembara dapat menandingi dan mengalahkan Endang Patibroto, tidak mampu melindungi Retna Wilis.
Endang Patibroto lalu menceritakan dengan suara duka namun dengan sejelasnya tentang kedatangan Nini Bumigarba yang menyeramkan. Sebagai penutup ceritanya ia berkata, "Nenek iblis itu luar biasa sekali, Kakangmas. Jangankan hanya aku, sedangkan Ki Datujiwa yang sakti itu pun sama sekali bukan tandingannya. Nenek itu bukan seperti manusia, mukanya pun tidak dapat tampak nyata, tertutup semacam halimun kehitaman. Ahh, Kakangmas bagaimana kita harus mencari dan menolong anak kita itu....?" Endang Patibroto berduka sekali sehingga suaminya segera merangkulnya untuk menghibur.
"Betapapun sakti mandraguna nenek itu, namun kalau dia hanya menghendaki Retna Wilis menjadi muridnya, puteri kita akan selamat. Hanya aku khawatir.... nenek itu begitu kejam dan seperti Iblis, bagaimana puteri kita dapat menjadi muridnya? Kita harus berusaha mencarinya, dan mencegahnya menjadi murid nenek itu. Akan tetapi.... ah, aku teringat.... kau bilang nenek itu mukanya tidak tampak karena tertutup halimun hitam? Aneh sekali...."
"Apa maksudmu, Kakangmas? Apakah Paduka pernah bertemu dengan dia?"
"Bukan dengan dia, bahkan mendengar namanya pun belum pernah. Akan tetapi aku pernah berjumpa dengan seorang maha sakti yang juga wajahnya selalu tertutup semacam halimun, akan tetapi halimun putih dan kakek sakti mandraguna itu adalah seorang suci yang membawa putera kita Bagus Seta menjadi muridnya...." Tejolaksono lalu menuturkan semua pengalamannya semenjak mereka berpisah.
Banyak suka-dukanya dalam pertemuan antara dua orang yang saling mencinta ini, banyak hal-hal yang mengharukan dan menimbulkan gelisah, akan tetapi kebahagiaan karena mereka dapat berkumpul kembali merupakan hiburan yang amat besar. Setelah berkumpul kembali, mereka menjadi besar hati dan akan sanggup memikul semua beban dan derita hidup bersama-sama.
Ayu Candra yang bijaksana membiarkan mereka itu saling menuturkan semua pengalaman, tidak mengganggu mereka dan hanya mengirimkan pengganti pakaian yang baru dan bersih untuk Endang Patibroto, menyuruh abdi-abdi wanita untuk mengirim hidangan dan baru pada keesokan harinya Ayu Candra menghadap suaminya dan bertemu dengan madunya bersama-sama Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit.
Pertemuan yang mengharukan, apalagi ketika Setyaningsih mendengar bahwa Retna Wilis diculik orang. Mukanya yang berkulit kuning bersih dan cantik jelita itu mengeras, alisnya berkerut dan matanya memancarkan api kemarahan. Ia menoleh kepada suaminya dan berkata,
"Bagaimana pendapat Kakanda akan hal itu? Bukankah semua itu termasuk rencana persekutuan iblis yang sedang berusaha mencengkeram kedua kerajaan keturunan Mataram? Saya merasa yakin bahwa nenek iblis yang bernama Nini Bumigarba itu tentu mempunyai hubungan dengan tokoh-tokoh jahat seperti yang telah diceritakan rakanda patih kepada kita, tokoh-tokoh dari Sriwijaya dan Cola."
Pangeran Panji Sigit mengangguk-angguk. "Uwa Prabu telah mengirimkan banyak penyelidik ke Jenggala, mempelajari keadaan di sana. Dan sebaiknya kalau kita sendiri tidak tinggal diam, menyelidiki ke mana Retna Wilis adik kita itu dibawa pergi. Rakanda Patih, biarlah saya sendiri bersama Setyaningsih pergi melakukan penyelidikan, mencari jejak nenek yang jahat itu."
Tejolaksono termenung. "Menurut penuturan ayundamu Endang Patibroto, nenek itu amatlah saktinya, bukan merupakan lawan kita. Memang seharusnya kita melakukan penyelidikan dan kami percaya penuh akan kemampuan Adinda Pangeran dan Setyaningsih, akan tetapi harap jangan sembrono dan jangan sekali-kali mencoba untuk melawan nenek itu. Cukup kalau bisa mendapatkan jejaknya dan bisa mengetahui di mana adanya anakku Retna Wilis, kemudian melaporkan kepada kami."
"Jangan khawatir, Rakanda Patih. Kami akan bersikap hati-hati sekali dan tidak hanya kami berdua yang menyelidik, melainkan kami akan berusaha menyebar barisan penyelidik...."
Ucapan Pangeran Panji Sigit ini terhenti karena pengawal memberi tahu akan kedatangan Pangeran Darmokusumo bersama isterinya. Mereka ini datang berkunjung setelah mendengar bahwa Endang Patibroto telah "pulang" ke rumah suaminya yang baru, yaitu Patih Tejolaksono. Seperti telah diketahui, baik Pangeran Darmokusumo maupun isterinya keduanya adalah sahabat-sahabat baik Endang Patibroto. Di waktu mudanya, isteri pangeran ini yang bernama Puteri Mayagaluh adalah sahabat baik Endang Patibroto, bahkan puteri ini adalah adik kandung mendiang Pangeran Panjirawit. Adapun Pangeran Darmokusumo sendiri, seorang pangeran terkemuka dari Panjalu, pernah bekerja sama dengan Endang Patibroto ketika mereka berdua memimpin pasukan menyerbu Blambangan beberapa tahun yang lalu. Pertemuan ini pun mengharukan, juga amat menggembirakan.
Percakapan mengenai pengalaman mereka masing-masing membawa ke persoalan negara, yaitu Kerajaan Jenggala yang sedang diliputi mendung gelap. Terutama sekali Puteri Mayagaluh dan adik tirinya, Pangeran Panji Sigit, keduanya menundukkan muka dan merasa prihatin sekali kalau memikirkan keadaan ayah mereka, sang prabu di Jenggala yang sudah sepuh itu, yang kini seolah-olah berada dalam cengkeraman iblis jahat!
Ketika percakapan tiba pada persoalan diculiknya Retna Wilis, Pangeran Darmokusumo yang sudah kurang lebih lima puluh tahun usianya itu berkata sambil mengerutkan alisnya, "Nini Bumigarba? Wajahnya tertutup halimun kehitaman? pernah aku mendengar dongeng wanita sakti yang mukanya selalu tertutup halimun, namanya Dewi Sarilangking...."
"Itulah dia!!" Endang Patibroto berseru. "Dewi Sarilangking yang sekarang bernama Nini Bumigarba, kepandaiannya hebat....!"
Pangeran Darmokusumo mengangguk-angguk. Ketika ia mendengar niat Pangeran Panji Sigit untuk bersama isterinya pergi mencari jejak, ia berkata. "Memang seharusnya dilakukan penyelidikan. Kurasa masih ada hubungannya peristiwa ini dengan kekacauan di Jenggala. Biarlah aku akan mengerahkan pasukan-pasukan istimewa bagian penyelidik yang sudah berpengalaman untuk meneliti dan mencari jejak ke mana dibawanya Retna Wilis."