Perawan Lembah Wilis Jilid 32

Cersil Online Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa
Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 32

SESUNGGUHNYA, di antara ilmu-ilmu yang dimiliki Endang Patibroto, ilmu pukulan Gelap Musti amatlah hebat. Akan tetapi bagi Setyaningsih, Aji Pethit Nogo-nya lebih ampuh karena sejak kecil ia telah dilatih ibunya dengan aji pukulan ini, sedangkan Aji Gelap Musti hanya ia pelajari beberapa tahun saja ketika ia tinggal bersama ayundanya.

Kalau tiga orang yang pertama kali dirobohkan dengan Gelap Musti tadi hanya merasa kepalanya pecah dan sukar dapat bangkit kembali, adalah dua orang korban Aji Pethit Nogo ini tak mungkin dapat hidup lagi karena mengalami gegar otak yang amat hebat! Pada saat yang hamper bersamaan, Pangeran Panji Sigit juga sudah berhasil memukul roboh seorang pengeroyok dengan tulang pundak remuk, dan membanting seorang pengeroyok lain sehingga kedua orang itu pun tidak mampu bertanding lagi.

"Wah, kiranya kalian juga memiliki sedikit kepandaian?" bentak Gagak Kroda, benar-benar terkejut karena tak disangkanya sama sekali bahwa suami isteri itu akan dapat merobohkan tujuh orang anak buahnya, terutama isteri pangeran itu yang telah merobohkan lima orang sedemikian mudahnya.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Majulah, Gagak Dwipa dan Gagak Kroda! Inilah Setyaningsih dan ketahuilah bahwa aku adalah adik kandung Endang Patibroto! Suami ayundaku, Pangeran Panjirawit tewas oleh para perajurit Jenggala sendiri, dan kini suamiku, juga seorang Pangeran Jenggala, kini hendak ditangkap oleh perajurit-perajurit Jenggala sendiri! Akan tetapi, kalian hanya akan dapat melakukan hal itu melalui mayatku! Benar ucapan Ayunda Endang Patibroto bahwa di Jenggala banyak terdapat iblis-iblis menyamar sebagai ponggawa kerajaan!" Setyaningsih biasanya pendiam dan tidak banyak cakap, akan tetapi kini kemarahannya memuncak ketika ia melihat suaminya hendak diganggu orang.

Mendengar disebutnya nama Endang Patibroto, kedua orang pentolan Gagak Serayu itu saling pandang dengan mata terbelalak dan muka berubah. Tentu saja mereka sudah mendengar akan kehebatan sepak terjang wanita sakti yang bernama Endang Patibroto dan kini mereka berhadapan dengan adik kandung wanita sakti itu! Pantas saja tandangnya begini hebat!

Selama, petualangan mereka, dua orang bersaudara ini baru satu kali berhadapan dengan orang yang sakti dan yang telah merobohkan mereka, bahkan telah menghancurkan kesatuan Lima Gagak Serayu sehingga tiga orang adik mereka roboh tewas, yaitu Tejolaksono. Dan mereka sudah mendengar bahwa Endang Patlbroto memiliki kedigdayaan yang setingkat dengan Tejolaksono! Maka begitu mendengar bahwa gadis yang cantik jelita dan berkulit kuning langsat, yang menjadi isteri Pangeran Panji Sigit ini adalah adik kandung Endang Patibroto, tentu saja mereka terkejut dan gentar.

"Gagak Dwipa dan Gagak Kroda, kenapa kalian tidak lekas menangkap dua orang ini? Perlukah aku melaporkan kepada Gusti Pangeran Kukutan bahwa kalian jerih terhadap seorang gadis" Terdengar Cekel Wisangkoro berkata mengejek.

Mendengar ini, dua orang kakek tinggi besar itu menjadi merah mukanya. Mereka hanya terkejut mendengar disebutnya Endang Patibroto, akan tetapi tentu saja mereka tidak takut menghadapi pangeran muda itu dan isterinya yang hanya merupakan seorang gadis muda. Serempak mereka berdua lalu menerjang maju dengan suara gerengan mereka. Karena maklum bahwa suami isteri muda itu memiliki ilmu kepandaian yang tak boleh dipandang ringan, maka Gagak Dwipa sudah mengerjakan bedok atau pedangnya yang panjang dan kuat itu untuk menerjang Setyaningsih, sedangkan Gagak Kroda sudah menubruk Pangeran Panji Sight untuk menggelut dan menangkapnya.

Perintah yang mereka terima adalah menangkap Pangeran Panji Sigit, maka tentu saja mereka tidak berani membunuh pangeran ini. Karena ini, maka Gagak Kroda yang kuat dan kebal tubuhnya itulah yang menghadapi Pangeran Panji Sigit dengan tangan kosong, adapun Gagak Dwipa menerjang Setyaningsih dengan senjata tajam untuk merobohkannya, kalau perlu membunuhnya! Membunuh wanita ini tidak menjadi larangan bagi mereka.

Dua orang kakek itu adalah kepala-kepala perampok yang semenjak muda sudah berkecimpung dalam dunia kekerasan. Mereka dahulunya menjadi pimpinan gerombolan Gagak Serayu dan selain kepandaian mereka cukup tinggi, juga pengalaman mereka dalam bertempur sudah matang. Apalagi semenjak kesatuan mereka, Lima Gagak Serayu dihancurkan oleh Tejolaksono dan tinggal mereka berdua yang hidup, dua orang ini sudah menggembleng dirinya lebih rajin lagi dan kini mereka merupakan lawan yang tangguh bagi suami isteri muda itu. Apalagi Pangeran Panji Sigit yang biarpun sejak kecil mempelajari olah keperajuritan, namun tidaklah sesakti Setyaningsih yang memang terlahir dalam keluarga sakti.

Pangeran ini yang mempergunakan kerisnya, didesak hebat oleh Gagak Kroda yang tandangnya seperti sang raksasa Kumbokarno, menubruk sambil menggereng, kedua lengannya yang besar panjang berbulu itu menyambar-nyambar dengan cengkeraman-cengkeraman kuat, kalau tubrukannya dielakkan sehingga tubuhnya terdorong ke depan, ia terus menggulingkan tubuhnya dan sambil bergulingan ini ia mengejar terus hendak menangkap kaki pangeran muda itu!

Pangeran Panji Sigit terdesak hebat dan menjadi agak ngeri dan jijik melihat cara berkelahi yang tidak pakai aturan ini. Beberapa kali ujung kerisnya berhasil mencium kulit lawan, bahkan dua kali ia berhasil menusuk dada kanan dan lambung kiri, akan tetapi tusukan kerisnya mental, seolah-olah ia menusuk segumpal karet tebal yang amat ulet dan keras! Tentu saja pangeran ini terkejut sekali dan maklum bahwa lawannya memiliki kekebalan yang amat kuat, maka ia berlaku hati-hati sekali dan menujukan serangan kerisnya pada bagian-bagian yang berbahaya dan tidak dilindungi kekebalan.

Namun, ia tidak diberi kesempatan karena Gagak Kroda sudah mendesaknya dengan rangsekan bertubi-tubi dan pangeran ini pun maklum bahwa sekali tubuhnya kena dicengkeram jari-jari tangan yang sebesar buah pisang ambon itu, tentu sukar baginya untuk dapat meloloskan diri! Maka ia kini hanya mengandalkan kelincahan gerak tubuhnya untuk menghindar dengan loncatan ke sana ke mari dan karena tubuh Gagak Kroda yang tinggi besar itu tidak dapat bergerak segesit dia, maka untuk sementara waktu Pangeran Panji Sigit masih dapat bertahan.

Pertandingan antara Setyaningsih melawan Gagak Dwipa lebih hebat lagi karena Gagak Dwipa sepak terjangnya dalam penyerangan tidak seperti Gagak Kroda yang berusaha menangkap hidup-hidup Pangeran Panji Sigit. Gagak Dwipa yang mempergunakan pedangnya berusaha untuk mengalahkan wanita muda yang sakti mandraguna itu dengan bacokan-bacokan dan tusukan-tusukan mematikan. Akan tetapi Setyaningsih yang memegang keris melakukan perlawanan gigih dan gerakan-gerakannya amat cepat memusingkan kepala Gagak Dwipa.

Setiap serbuan pedang dapat dielakkan atau ditangkis dengan tenaga yang kuat, dan di samping membalas dengan tusukan kerisnya, juga tangan kiri Setyaningsih kadang-kadang mengirim pukulan-pukulan sakti yang amat ampuh. Biarpun pukulan tangan kiri belum ada yang mengenai tubuh Gagak Dwipa, akan tetapi angin pukulannya itu saja sudah membuat Gagak Dwipa terdesak dan kadang-kadang terhuyung mundur.

Sayang bahwa perhatian Setyaningsih terpecah kepada pertandingan suaminya. Ia tahu bahwa suaminya terdesak oleh lawannya, maka kadang-kadang ia meninggalkan Gagak Dwipa yang sedang terhuyung, menggunakan kesempatan itu untuk menerjang ke arah Gagak Kroda yang sudah mendesak suaminya. Inilah yang menyebabkan Gagak Dwipa belum juga dapat dikalahkannya.

Pangeran Panji Sigit makin terdesak. Gagak Kroda terlalu kebal dan kuat sehingga tusukan kerisnya tidak melukai kulit raksasa itu. Dengan penasaran dan juga marah karena isterinya yang terpaksa membantunya itu kadang-kadang bahkan terancam keselamatannya oleh Gagak Dwipa, pangeran ini berseru keras dan membalas serangan lawan dengan menujukan kerisnya ke arah mata. Kemarahan pangeran ini memperlipat gandakan kekuatannya sehingga sesaat lamanya Gagak Kroda terdesak dan mundur karena matanya selau terancam ujung keris yang runcing.

Juga Setyaningsih menjadi marah karena kegelisahannya melihat suaminya yang terdesak. Biarpun belum sempurna karena hawa sakti di tubuhnya belum kuat benar, Setyaningsih pernah belajar aji kesaktian yang hebat dari Endang Patibroto, yaitu pekik sakti Sardulo Bairowo. Mulailah ia mengeluarkan pekik sakti ini dan suaranya membuat Gagak Dwipa menjadi terkejut sekali dan ketika ia terhuyung, tamparan tangan kiri Setyaningsih mampir di pundaknya, membuat tubuh raksasa ini terpelanting.

Kalau saja pada saat itu Pangeran Panji Sigit tidak sedang terdesak dan Setyaningsih mengirim serangan susulan pasti Gagak Dwipa akan terpukul tewas. Akan tetapi kembali Setyaningsih meloncat ke arah lawan suaminya dengan pekik pendek-pendek melengking tinggi ia menerjang Gagak Kroda. Sebuah tamparan tangan kirinya mengenai dada kanan Gagak Kroda. Tubuh raksasa ini amat kebal, apalagi dadanya yang setiap hari "sarapan" bacokan golok dan tusukan ujung tombak.

Tadi pun tusukan-tusukan keris di tangan Pangeran Panji Sigit tak pernah dapat menggores kulit dadanya. Akan tetapi kini kena diserempet tamparan Pethit Nogo tangan kiri Setyaningsih, raksasa ini mengaduh dan terhuyung ke belakang sambil memegang dadanya yang serasa panas terbakar.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara terkekeh dan bagaikan menyambarnya halilintar, tampak sinar hitam seperti ular hidup menyambar ke arah kepala Setyaningsih. Wanita muda ini terkejut sekali karena hawa pukulan yang keluar dari sinar hitam ini amat kuatnya. Ia menangkis dengan kerisnya, terdengar suara nyaring dan kerisnya terpental dari tangannya!

Setyaningsih memekik nyaring, pekik Sardulo Bairowo, tubuhnya mencelat ke samping ketika sinar hitam itu terus mengejarnya. Alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa sinar hitam itu adalah tongkat di tangan kakek yang berpakaian pendeta dan bernama Cekel Wisangkoro! Kiranya kakek itu seorang yang amat sakti. Hatinya penuh kekhawatiran, apalagi ketika ia melirik dan melihat betapa suaminya kini telah kena diringkus oleh kedua lengan Gagak Kroda yang amat kuat.

Suaminya meronta-ronta namun tak dapat terlepas. Tentu suaminya dikalahkan karena pengeroyokan Gagak Kroda dan Gagak Dwipa selagi dia terdesak sinar hitam itu. Karena kini ia mengerahkan perhatian kepada suaminya, ketika tiba-tiba sinar hitam kembali menyambar, Setyaningsih agak terlambat melompat dan pundaknya kena diserempet tongkat ular, membuat wanita ini terhuyung. Dan pada saat itu Gagak Dwipa sudah melompat maju dan mengirim tusukan dengan pedangnya ke arah dada Setyaningsih, tusukan yang agaknya sukar untuk dapat ia hindarkan dalam keadaan terhuyung seperti itu.

Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih itu, tiba-tiba terdengar pekik melengking tinggi yang hampir sama dengan pekik Setyaningsih akan tetapi jauh lebih kuat dan sebuah lengan yang halus melayang, menampar ke arah kepala Gagak Dwipa.

Angin pukulannya. amat kuat sehingga Gagak Dwipa terkejut bukan main. Namun bekas pimpinan Gagak Serayu ini cepat menarik kembali pedangnya yang tadi menusuk Setyaningsih dan terus ia babatkan ke atas menangkis lengan halus itu.

"Krakkk!" Pedang itu patah menjadi tiga potong bertemu dengan tangan Pusporini yang mengandung tenaga mujijat Pethit Nogo, bahkan tangan itu masih dapat mendorong pundak Gagak Dwipa yang terpental ke belakang.

Setyaningsih hanya sekelebatan saja melihat datangnya seorang wanita cantik yang menolongnya, akan tetapi pada saat itu perhatiannya terpusat kepada suaminya, maka tubuhnya berkelebat ke depan dan tangannya menampar ke arah Gagak Kroda yang masih mendekap tubuh suaminya yang tak mampu bergerak. Gagak Kroda yang maklum akan keampuhan pukulan Setyaningsih, yang tadi membuat dadanya terasa seperti pecah, cepat melepaskan dekapannya dan menjatuhkan diri ke belakang lalu bergulingan menjauh sehingga ia terbebas daripada pukulan maut.

Dua orang saudara Gagak itu benar-benar amat kuat. Mereka sudah bangkit lagi dan bersiap-siap. Akan tetapi pada saat itu, dua orang wanita yang sama muda sama cantik rupawan, akan tetapi sama-sama ganas dan penuh kemarahan telah menerjang mereka dan keduanya mengeluarkan pekik-pekik melengking yang dahsyat. Gagak Kroda menjadi pucat ketika ia melihat Setyaningsih menerjangnya dengan tamparan-tamparan sakti, dan ia berusaha mengelak dan menangkis sambil terhuyung mundur.

Di lain pihak, Gagak Dwipa juga merasa ngeri ketika melihat wanita muda yang cantik dan berkulit hitam manis itu sambil tersenyum-senyum manis sekali menerjangnya dengan tamparan yang seolah-olah menghembuskan api kawah Gunung Bromo! Yang membuat kedua orang raksasa ini merasa ngeri adalah pekik-pekik melengking yang keluar dari mulut mereka.

Kedua orang tokoh Serayu ini mundur-mundur dan wajah mereka membayangkan ketakutan hebat. Cekel Wisangkoro yang melihat para pembantunya terdesak dan terancam, segera berkelebat maju dengan tongkat hitamnya, akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan orang dan seorang pemuda tampan gagah perkasa yang datang bersama wanita cantik itu telah berdiri menghadapinya sambil tersenyum-senyum.

"Pendeta palsu, dua orang kawanmu itu adalah laki-laki raksasa yang melawan dua orang wanita muda, sesungguhnya mereka itu sudah tak tahu malu sekali. Masa masih akan kaubantu lagi? Engkau ini pendeta dukun lepus sungguh tak tahu malu!"

Cekel Wisangkoro adalah murid Wasi Bagaspati yang amat sakti, tentu saja menjadi marah dan tidak memandang sebelah mata kepada pemuda ini. Ia menyeringai, memperlihatkan mulut ompong dan berkata,

"Hemm, biarlah kubunuh engkau lebih dulu sebelum menundukkan dua orang wanita galak itu!" Sambil berkata demikian, Cekel Wisangkoro berteriak keras dan tongkatnya menyambar, berubah menjadi sinar hitam yang amat kuat dan cepat gerakannya. Akan tetapi Joko Pramono, pemuda itu, dengan mudah mengelak sambil mengejek,

"Luput! Engkau ini pendeta manakah?Rambutmu sudah penuh uban akan tetapi kaubiarkan panjang terurai dan mengkilap oleh minyak, tanda bahwa pada lahirnya engkau sudah tua bangka, akan tetapi hatimu masih ingin bersolek! Badanmu kurus kering seperti cecak mati pada usia tua, akan tetapi mukamu menyinarkan nafsu duniawi, jubahmu kuning berhiaskan benang emas akan tetapi kakimu telanjang, tanda bahwa engkau suka akan kemuliaan dan kemewahan akan tetapi tidak tahu akan tata susila seorang pendeta! Bicaramu seperti pribumi akan tetapi hidungmu seperti kakatua, tanda bahwa engkau bukanlah orang tanah Jawa. Eh, dukun lepus, engkau siapa dan orang mana?"

Muka kakek itu memang kemerahan, akan tetapi sekarang menjadi lebih merah karena marah. "Bocah bermulut lancang! Mampuslah di tangan Cekel Wisangkoro!" bentaknya sambil menyerang kembali, menusukkan tongkatnya ke arah tenggorokan Joko Pramono. Namun kembali pemuda ini miringkan tubuh dan dari samping tangannya menangkis.

"Plakk!" Cekel Wisangkoro terkejut bukan main dan mengeluarkan teriakan nyaring karena tongkatnya itu terpukul miring dan telapak tangannya menjadi perih. Hal ini hanya menandakan bahwa pemuda itu memiliki hawa sakti yang luar biasa kuatnya. Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang pemuda yang usianya paling banyak dua puluh dua tahun itu dapat menangkis tongkatnya sampai miring!

"Heh keparat, rasakan kesaktianku!" katanya dan kini ia memutar tongkatnya seperti kitiran sehingga tongkat Itu berubah menjadi sinar hitam yang bergulung-gulung dan membentuk lingkaran lebar. Dari dalam lingkaran ini menyambar keluar hawa pukulan yang mengandung daya ampuh dan berbau amis, tanda bahwa pukulan ini adalah aji kesaktian yang mengandung hawa beracun!

"Dukun keji!!" Joko Pramono berseru keras sekali dan tubuh pemuda ini agak merendah, setengah berjongkok, kemudian ia mendorongkan kedua tangannya ke depan. Itulah aji pukulan Cantuko Sakti yang menjadi ilmunya yang khas! Bukan main dahsyatnya dorongan ini dan Joko Pramono mempergunakannya karena makIum bahwa lawannya tak boleh dipandang ringan.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Auuggghhhh...!" Tubuh pendeta itu terlempar ke belakang seperti disambar angin puyuh. Biarpun ia berusaha untuk mempertahankan diri dengan tongkat yang ia dorong-dorongkan ke tanah, tetap saja ia terjengkang dan dari mulutnya menyembur darah segar! Cekel WIsangkoro yang sudah banyak pengalaman nya itu maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang benar-benar luar biasa, maka cepat ia merogoh sakunya dan melarikan diri secepat kedua kakinya mampu meloncat!

"Dukun lepus hendak lari ke mana?" Joko Pramono meloncat pula melakukan pengejaran.

Pangeran Panji Sigit yang menonton sepak terjang Joko Pramono, menjadi kagum bukan main. Akan tetapi kini pemuda perkasa itu mengejar si pendeta yang melarikan diri, maka kembali ia memperhatikan sepak terjang isterinya dan wanita muda itu yang tadi membuatnya bengong terlongong. Dua orang wanita itu seperti dua orang kembar, sama-sama tangkas dan dahsyat, sama-sama mengeluarkan pekik, dan pukulan-pukulan mereka adalah Aji Pethit Nogo yang sudah ia kenal gerakannya.

Akan tetapi ia dapat menilai bahwa hawa pukulan Aji Pethit Nogo wanita hitam manis itu jauh lebih kuat daripada isterinya. Ia melihat betapa dua orang kakek itu kini melakukan perlawanan hanya untuk mempertahankan nyawa. Beberapa kali mereka terpelanting hanya terkena hawa pukulan Pethit Nogo, bergulingan dan berusaha lari. Namun selalu lawannya telah menantinya untuk menyambut dengan pukulan lain.

Gagak Kroda sudah tak dapat tahan lagi menghadapi desakan-desakan Setyaningsih. Ia hendak melarikan diri, namun Setyaningsih yang marah sekali melihat betapa suaminya tadi terancam bahaya di tangan kakek ini, menyambutnya dengan nukulan-pukulan dahsyat. Ketika untuk kesekian kalinya Gagak Kroda berusaha menangkap tangan wanita itu untuk digelutnya, untuk dihancurkan dengan kedua lengannya yang kuat, Setyaningsih sengaja membiarkan pergelangan tangan kirinya ditangkap.

Pangeran Panji Sigit menahan teriakan kaget melihat isterinya dapat ditangkap lengannya, akan tetap pada saat itu terdengar suara "prakk...!" disusul robohnya tubuh Gagak Kroda yan pecah kepalanya terkena tamparan tangan kanan Setyaningsih!

"Prakkk!" Pada detik berikutnya, Gagak Dwipa juga roboh dengan kepala remuk terkena tamparan tangan Pusporini. Kiranya tadi Setyaningsih sengaja membiarkan tangan kirinya tertangkap lawan sehingga ia dapat kesempatan untuk melancarkan tamparan Pethit Nogo dari dekat yang akibatnya memecahkan kepala Gagak Kroda. Adapun Pusporini agaknya hendak menjaga perasaan saudaranya sehingga ia sengaja menanti dan baru menurunkan tangan maut kepada Gagak Dwipa setelah Setyaningsih berhasil merobohkan lawannya.

"Bagus sekali! Kalian telah berhasil! Sayang dukun lepus itu tak dapat tertangkap. Ia menghilang menggunakan asap hitam, si keparat!" Ucapan ini keluar dari mulut Joko Pramono yang sudah tiba kembali dengan tangan kosong.

Tadi ia mengejar Cekel Wisangkoro, akan tetapi tiba-tiba kakek pendeta itu membanting beberapa buah benda yang meledak dan menimbulkan asap hitam tebal sehingga Joko Pramono yang khawatir kalau-kalau asap hitam itu beracun, cepat menghindar dan setelah asap membuyar, ia telah kehilangan jejak pendeta itu. Akan tetapi hanya Pangeran Panji Sigit yang memandang dan memperhatikannya, karena Pusporini dan Setyaningsih yang kini berdiri saling pandang dan merasa seperti dalam mimpi, dengan wajah penuh keharuan dan air mata menitik turun melalui pipi mereka yang masih kemerahan karena pertempuran tadi, tidak memperhatikan hal lain di sekeliling mereka.

"Yunda Setyaningsih...!"

"Dinda Pusporini...!"

Dua orang wanita muda itu berlari maju dan saling menubruk, berpelukan dan menangis penuh kebahagiaan dan keharuan. Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono hanya berdiri memandang. Mereka ini dapat merasakan keharuan yang menguasai kedua orang wanita yang mereka cinta itu, maka mereka hanya menonton saja, bahkan Joko Pramono yang biasanya gembira itu pun tak berani membuka mulut. Setelah keharuan mereka mereda, dua orang wanita itu lalu melepaskan rangkulan, saling berpandangan dengan mulut tersenyum akan tetapi mata masih berlinang air mata. Barulah Joko Pramono membuka mulut dengan suara gembira.

"Pusporini, apakah engkau sudah lupa kepadaku? Mengapa aku tidak diperkenalkan?"

Mereka semua tersenyum. Ucapan Joko Pramono yang mengandung kegembiraan itu sekaligus membuyarkan keharuan yang mencekam dan menimbulkan kegembiraan yang timbul dari kebahagiaan perempuan itu.

"Ayunda Setyaningsih, dia ini adalah.... saudara seperguruanku, namanya Joko Pramono. Sebetulnya bukan orang lain karena dia adalah keponakan mendiang Ki Adibroto ayah Ayunda Ayu Candra."

"Oohh..."' Setyaningsih terkejut juga akan tetapi melihat betapa pandang mata pemuda tampan itu periang dan sama sekali tidak membayangkan permusuhan, hatinya menjadi lega. Tentu saja Setyaningsih sudah tahu akan riwayat keluarganya dan tahu bahwa di antara keluarganya dan keluarga Ayu Candra pernah terjadi pertentangan yang hebat.

"Engkau sudah tahu dia ini Ayunda Setyaningsih, kakak tiriku, adik kandung Ayunda Endang Patibroto." Pusporini melanjutkan perkenalannya kepada Joko Pramono yang segera menjura dengan hormat kepada Setyaningsih.

"Dan ini adalah suamiku, Pangeran Panji Sigit dari Jenggala," Setyaningsih memperkenalkan suaminya kepada dua orang muda itu, kemudian sambil menoleh kepada suaminya ia berkata, "Kakangmas, ini adalah adikku Pusporini yang sering kuceritakan, sungguh tak terduga dapat kita jumpai di sini, malah bersama saudara seperguruannya menjadi penolong kita."

Sebagai orang-orang yang mengerti akan tata susila, Joko Pramono dan Pusporini berlutut dengan hormat dan hendak menghaturkan sembah, akan tetapi Pangeran Panji Sigit cepat-cepat membangunkan mereka dan berkata, "Ah, harap jangan banyak menggunakan peradatan. Kita adalah orang-orang sendiri, keluarga sendiri. Bahkan kami berdua yang merasa bersyukur dan berteima kasih kepada andika yang telah menyelamatkan nyawa kami daripada ancaman bahaya maut." Kemudian memandang ke sekelilingnya.

Gagak Kroda dan Gagak Dwipa telah menjadi mayat, dan bukan hanya dua orang itu saja, bahkan tujuh orang perajurit pengawal yang tadi ia robohkan bersama isterinya telah tewas. Ia menghela napas dan berkata, "Mari kita mencari tempat yang bersih dan di sana kita bercakap-cakap."

Mereka berempat meninggalkan tempat yang mengerikan karena penuh mayat orang itu, memasuki hutan dan berhenti di bagian hutan yang bersih dan teduh, juga sinar bulan dapat menerangi tempat itu karena pohon-pohonnya tidaklah amat rapat. Mereka berempat duduk di atas akar-akar pohon, kemudian dengan gembira mereka bercakap-cakap menuturkan riwayat masing-masing.

Sebetulnya yang bicara hanya dua orang wanita itu yang menceritakan pengalaman masing-masing semenjak mereka berpisah, sepuluh tahun yang lalu ketika Setyaningsih diajak pergi meninggalkan Selopenangkep oleh Endang Patibroto. Ketika Setyaningsih menceritakan keadaan keluarga mereka, apalagi ketika menceritakan betapa ibu Pusporini, yaitu Roro Luhito tewas di tangan musuh yang mengepung Selopenangkep, Pusporini menjerit lirih dan terguling pingsan!

Tiga orang itu menjadi terharu dan sibuk. Sambil menangis Setyaningsih memeluk tubuh Pusporini, mengguncang-guncangnya dan memanggil-manggil namanya. Pangeran Panji Sigit hanya menarik napas panjang dan berdiam diri karena ia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu dia tidak dapat berdaya. Joko Pramono merasa kasihan sekali kepada gadis yang dicintanya, maka ia berjongkok dan berbisik kepada Setyaningsih, "Perkenankanlah saya menyadarkannya"

Setyaningsih maklum akan kesaktian pemuda teman adik tirinya itu, maka ia lalu melepaskan Pusporini lalu mundur. Bersama suaminya ia melihat Joko Pramono menyentuh punggung Pusporini, menekannya dan menempelkan telapak tangan kini ke ubun-ubun gadis itu. Pusporini mengeluarkan rintihan perlahan lalu membuka matanya dan bangkit duduk. Begitu melihat Joko Pramono, lalu tersedu dan merangkul, mulutnya menjerit lirih,

"Ibu... Ah, Joko Pramono... ibuku... ibuku..."

Joko Pramono terharu, mengelus rambut kepala gadis yang dicintanya itu. Dalam keadaan berduka seperti itu, Pusporini tanpa disadarinya jelas memperlihatkan perasaan hatinya kepada Joko Pramono sehingga Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit memaklumi keadaan dua orang muda itu dan mereka hanya saling pandang penuh rasa haru. Setelah sadar kembali, Pusporini cepat melepaskan pelukannya dan mukanya menjadi merah. Setyaningsih cepat memegang tangannya dan berkata,

"Adikku yang baik, teguhkanlah hatimu. Ibuku dan ibumu telah gugur dalam perang, gugur sebagai kusuma bangsa, sebagai wanita-wanita berjiwa satria yang gagah perkasa. Kita patut merasa bangga dan kita harus mencontoh mereka. Musuh-musuh yang menewaskan ibu-ibu kita adalah musuh-musuh kita yang sekarang juga."

Pusporini mengangguk. Dengan kekuatan batinnya ia sudah dapat mengatasi kedukaannya dan dengan tenang ia mendengarkan cerita Setyaningsih lebih Ianjut tentang keadaan keluarganya.

"Sekarang Kakangmas Tejolaksono telah menjadi patih muda di Panjalu dan tinggal di kota raja bersama Ayunda Ayu Candra. Mereka hanya berdua saja di sana karena sampai sekarang, Bagus Seta belum juga pulang..." Setyaningsih menarik napas panjang mengingat akan nasib buruk Tejolaksono. "Untung bahwa belum lama ini Ayunda Endang Patibroto juga datang ke Panjalu dan sekarang telah bersatu dengan Rakanda Patih Tejolaksono."

Pusporini menjadi girang mendengar ini, wajahnya mulai berseri kembali. "Syukurlah. Hanya sayang bahwa Bagus Seta masih belum juga pulang. Ke mana sajakah perginya bocah itu?"

"Menurut penuturan rakanda patih, Bagus Seta diambil murid oleh seorang maha sakti yang berjuluk Bhagawan Ekadenta, entah dibawa pergi ke mana oleh gurunya itu."

Mendengar ini, Pusporini dan Joko Pramono saling pandang sejenak karena mereka teringat akan pesan guru mereka bahwa kelak mereka akan membantu seorang pemuda sakti mandraguna. Jangan-jangan Bagus Seta anak yang disebut-sebut guru mereka itu!

"Selanjutnya bagaimana, Yunda?" Pusporini kembali menghadapi Setyaningsih yang kini mulai menceritakan pengalamannya semenjak ia meninggalkan Selopenangkep. Ketika mendengar bahwa Endang Patibroto melahirkan seorang anak perempuan, Pusporini girang sekali.

"Wah, sekarang sudah berapa usianya keponakanku itu? Siapa namanya?"

"Namanya Retna Wilis dan sekarang usianya sudah lebih sepuluh tahun. Akan tetapi.... ah, sungguh menyedihkan kalau diingat nasib Rakanda Patih Tejolaksono. Bagus Seta belum pulang dan tidak diketahui berada di mana, sedangkan puterinya yang belum pernah dilihatnya itu, Retna Wilis keponakan kita..."

"Mengapa dia? Mengapa...?" Pusporini bertanya penuh kekhawatiran.

"Dia baru-baru ini terculik oleh Nini Bumigarba..."

"Apa...? Terculik? Dari tangan Ayunda Endang Patibroto? Sungguh mengherankan! Siapa berani melakukan hal itu? Siapakah itu Nini Bumigarba?" Pusporini terkejut, heran, dan marah sekali mendengar ada orang berani menculik puteri ayundanya yang demikian sakti mandraguna!

"Aku pun hanya mendengar penuturan Ayunda Endang Patibroto. Penculiknya bukan manusia biasa. Yang bernama Nini Bumigarba itu memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia. Jangankan Ayunda Endang Patibroto yang sama sekali tidak mampu melawannya, bahkan Eyang Datujiwa yang sakti mandraguna dan sudah menjadi guru Retna Wilis sekali pun tidak mampu melawannya, bahkan tewas di tangan Nini Bumigarba yang menggiriskan itu."

Pusporini dan Joko Pramono terkejut sekali. Mereka itu melongo ketika mendengarkan penuturan Setyaningsih tentang kehebatan Nini Bumigarba, dan diam-diam mereka ikut prihatin dan marah sekali.

"Kami berdua sedang bertugas menyelidiki ke mana dibawanya Retna Wilis oleh Nini Bumigarba, namun semua penyelidikan kami tidak ada hasilnya. Nenek itu seperti lenyap ditelan bumi," kata Pangeran Panji Sigit setelah isterinya menuturkan tentang pasukan rahasia yang dibentuk dan dipimpin oleh Pangeran Darmokusumo sendiri, bersama Patih Tejolaksono. "Karena itu, tidak ada jalan lain bagiku untuk kembali ke Jenggala, menghadap ramanda prabu dan kurasa di Istana aku akan dapat mendengar tentang Nini Bumigarba yang melarikan Retna Wilis. Dalam perjalanan ke Jenggala, kami bertemu dengan Gagak Dwipa dan Gagak Kroda sehingga hampir saja kami tertimpa malapetaka."

"Akan tetapi hal itu sama saja seperti menyerahkan diri ke tangan musuh!" Joko Pramono berseru. "Paduka sudah dikenal oleh semua orang dan agaknya kini para perajurit dan petugas Jenggala telah dikuasai oleh mereka yang mencengkeram Jenggala dan yang memusuhi Paduka. Sebaiknya, kami berdua saja yang pergi menyelidik ke sana karena kami tidak dikenal."

"Benar sekali apa yang dikatakan Joko Pramono. Ayunda Setyaningsih dan Rakanda Pangeran lebih baik jangan memasuki Jenggala karena hal itu akan berbahaya sekali." kata pula Pusporini.

Akan tetapi Setyaningsih tidak menjawab, hanya menoleh kepada suaminya dan menanti jawaban dan keputusan dari mulut suaminya. Pangeran Panji Sigit tersenyum akan tetapi menggelengkan kepalanya, menarik napas panjang dan berkata,

"Sungguh tepat pendapat Adimas Joko Pramono. Akan tetapi, aku ingin bertanya pendapat Adimas Joko Pramono. Bagaimana andaikata Adimas yang menjadi aku, melihat ramanda prabu di Jenggala dicengkeram pengaruh jahat, terancam keselamatan beliau oleh anasir-anasir yang menguasai kerajaan? Apa yang akan Adimas lakukan? Apakah hanya akan memandang dari jauh saja?"

Joko Pramono menghela napas panjang dan mengangguk maklum. "Maaf bukan sekali-kali saya tadi tidak percaya akan jiwa kepahlawanan Paduka, melainkan tadi saya hanya berpikir tentang bahaya-bahaya yang mengancam Paduka. Tentu saja, kalau saya menjadi Paduka, saya akan mendekati sang prabu dan akan membelanya dengan seluruh jiwa raga saya, sesuai dengan tugas dharma bakti seorang satria terhadap negaranya."

Pangeran muda itu tertawa dan memandang Joko Pramono dengan sinar mata kagum. "Sudah kuduga, takkan ada bedanya antara orang-orang yang menjunjung tinggi dharma bakti sebagai seorang manusia yang tahu akan kebesaran dan keadilan, yang tahu akan tugas-tugas kewajibannya sebagai seorang manusia, tugas di dalam mengisi hidup yang tak lama ini. Karena persamaan pendapat ini, maka makin yakinlah hatiku bahwa aku bersama isteriku harus kembali ke Jenggala, apa pun yang akan kami hadapi kelak. Tugaskulah untuk membela beliau, tugasku pula untuk mengingatkan beliau akan kelalaian dan kekhilafan beliau. Setyaningsih, isteriku, beranikah engkau mengunjungi istana Jenggala di mana banyak menanti musuh-musuh berilmu tinggi untuk mencelakakan kIta?"

Setyaningsih memandang suaminya dengan pandang mata mesra dan wajah berseri. "Sudah menjadi tugas mutlak seorang isteri untuk mengabdi suaminya, mengikuti suaminya ke mana pun juga junjungannya itu pergi. Tiada kesenangan dunia yang akan dapat menyelewengkan kesetiaannya, tiada pula kesengsaraan yang akan dapat membuat ia meninggalkan sisi suaminya!"

Pangeran muda itu tertawa terbahak, makin girang dan besar hatinya. "Tepat sekali. Engkau Setyaningsih (Kesetiaan Kasih) bukan hanya nama belaka, namun menjadi watak lahir batin!"

Pusporini dan Joko Pramono melihat dan mendengar dengan hati penuh rasa kagum dan terharu. Pusporini memeluk kakak tirinya dan berkata, "Betapa aku dapat membiarkan Ayunda pergi bersama Rakanda Pangeran menghadapi bahaya hebat di Jenggala? Tidak, Ayunda, aku tidak dapat berdiam diri saja. Aku akan menemanimu dan membantumu mencari jejak Nini Bumigarba yang melarikan Retna Wills!"

"Benar sekali! Aku pun siap membantu dan biarlah hamba menjadi pembantu Paduka, Rakanda Pangeran!" kata pula Joko Pramono dengan sikap gagah.

Pangeran Panji Sigit girang bukan main dan memegang pundak pemuda perkasa itu. "Hati kami menjadi lebih mantap, lebih besar dan tabah dengan bantuan kalian berdua yang sakti mandraguna. Sungguh bahagia hatiku dapat menjadi suami seorang seperti Adinda Setyaningsih yang memiliki keluarga gagah perkasa, dan aku yakin bahwa engkau pun akan menjadi keluarga kami Adimas Joko Pramono!"

Wajah pemuda itu menjadi merah akan tetapi lebih merah lagi kedua pipi Pusporini ketika ia bertemu pandang dengan Joko Pramono. Melihat ini, Pageran Panji Sigit tertawa bergelak dan Setyaningsih ikut tertawa sambil merangkul pundak adik tirinya.

Dengan semangat tinggi dan hati besar, empat orang muda perkasa ini lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kota Raja Jenggaia, menentang bahaya yang mereka tahu sedang menantinya di kora raja itu, bagaikan mulut lebar seorang raksasa yang siap untuk mencaplok mereka!

Ketika empat orang muda ini memasuki kota raja, semua mata memandang mereka penuh takjub dan keheranan. Akan tetapi masih banyak pula rakyat yang mengenal Pangeran Panji Sigit dan tak lama kemudian terdengar teriakan-teriakan girang mereka dan setelah beberapa orang penduduk tua menjatuhkan diri berlutut di pinggir jalan, semua orang lalu berlutut menyembah dan berderet-deret di sepanjang jalan yang mereka lalui.

"Gusti Pangeran Panji Sigit datang...!"

"Gusti Pangeran yang kita cinta telah kembali...!"

Teriakan-teriakan ini cepat sekali sampai ke istana mendahului mereka sehingga mengejutkan hati Pangeran Kukutan yang mendengar akan datangnya adik tirinya itu. Kalau Pangeran Kukutan terkejut dan khawatir, adalah Suminten yang cepat bangkit dari tempat duduknya dengan muka merah padam. Wanita itu telah menjadi seorang wanita yang masak, berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun, bertubuh padat yang tertutup pakaian yang serba indah dan ketat, wajahnya manis dan terutama sekali sepasang matanya membayangkan kecerdikan dan wibawa, dengan kerling tajam mengiris jantung, dan mulutnya yang membayangkan hamba nafsu berahi, bibir yang dapat bergerak-gerak menantang.

Begitu mendengar disebutnya nama Pangeran Panji Sigit, di dalam pandang matanya timbul api gairah yang menyala-nyala, dadanya yang membusung itu agak berombak dan ia cepat memerintahkan abdinya untuk memanggil Pangeran Kukutan. Kemudian ia mengundurkan diri memasuki ruangan belakang, sebuah ruangan rahasia yang khusus ia pergunakan untuk mengadakan pertemuan rahasia dengan sekutu-sekutunya, tempat yang rahasia dan aman daripada gangguan orang luar yang tidak dikehendaki kehadirannya.

Di sinilah ia menanti kedatangan pembantunya yang paling setia, juga kekasihnya yang terdekat di antara sekian banyaknya pria-pria muda yang menjadi kekasihnya, atau lebih tepat menjadi alat-alat permainannya menurutkan hawa nafsu. Wanita ini duduk termenung, menanti kedatangan Pangeran Kukutan dengan mata setengah dipejamkan, suatu kebiasaan jika wanita itu sedang memutar otaknya mencari siasat.

Tak lama kemudian, daun pintu didorong dari luar dan masuklah Pangeran Kukutan yang langsung menghampiri wanita yang masih duduk menyandarkan punggung dan lehernya ke sandaran kursinya. Pangeran yang sudah biasa memasuki ruangan ini, yakin bahwa ruangan itu merupakan tempat yang aman, tak perlu menutupkan daun pintu karena takkan ada seorang pun manusia berani mengintai atau mendengarkan dan di sekeliling tempat itu telah terjaga kuat sekali oleh pengawal-pengawal pilihannya.

Ia langsung menghampiri Suminten yang untuk kesekian kalinya ia terpesona menyaksikan wanita ini duduk dengan kepala menengadah, mukanya yang cantik itu tampak nyata, mata yang berbulu lentik setengah terkatup, mulut yang manis itu setengah terbuka sehingga di antara sepasang bibir yang penuh, merah dan merupakan sumber kehangatan nafsu itu tampaklah ujung deretan gigi hampir menjepit ujung lidah yang kecil merah, tampak sebagian rongga mulut yang merah gelap.

Biarpun Pangeran Kukutan itu bukan seorang laki-laki alim, bahkan sebaliknya dia seorang pria yang selalu mengejar dan mendapatkan wanita-wanita cantik mempergunakan kekuasaan, kedudukan dan ketampanannya, namun setiap kali bertemu dengan Suminten, selalu gelora darahnya dipanaskan nafsu berahi.

"Duhai, Adinda Suminten... alangkah cantik jelita engkau...! Siang hari engkau memanggilku, apakah tidak dapat menahan lagi...?" Ia membungkuk dan mencium bibir ternganga itu.

Suminten baru sadar dari lamunannya dan sejenak ia membiarkan pria yang menjadi pembantunya itu menikmati ciumannya. Akan tetapi ketika tangan pangeran itu mulai menggerayang, ia cepat memegang tangan itu, merenggutkan dirinya secara halus dan berkata lirih, "Duduklah, Pangeran. Aku memanggilmu karena urusan penting. Bukan saatnya untuk bermain cinta."

Sesuatu dalam suara wanita yang sudah amat dikenalnya ini membuat Pangeran Kukutan cepat melangkah mundur. Seluruh gairah nafsunya lenyap seperti asap dihembus angin. Ia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, Suminten mempunyai persoalan pelik yang harus ia tanggapi dengan kepala dingin dan dengan penuh kesungguhan. Akan tetapi dia pun dapat menduga bahwa tentu wanita yang amat cerdik ini yang sesungguhnya telah mengangkat dirinya menjadi pangeran mahkota, calon raja, yang sesungguhnya merupakan pucuk pimpinan dalam persekutuan mereka yang kini telah menjadi kuat sekali, mencengkeram serluruh Jenggala dalam kekuasaan mereka, telah mendengar akan munculnya Pangeran Panji Sigit di kota raja.

"Pangeran, apakah engkau sudah mendengar akan munculnya ancaman bagi ketenteraman kita?"

Pangeran Kukutan tersenyum. "Apakah engkau maksudkan munculnya Panji Sigit dan tiga orang temannya di kota raja?"

Suminten mengangguk dan mengerutkan alisnya yang kecil panjang menghitam. "Pangeran, mengapa engkau memandang rendah dan menganggap hal ini sepele saja? Bukankah kemarin dulu engkau sendiri yang melaporkan akan kedatangan Paman Cekel Wisangkoro yang menceritakan betapa anak buahnya tewas oleh kesaktian Pangeran Panji Sigit dan terutama tiga orang temannya itu?"

"Harap tenangkan hatimu, Diajeng. Telah kuselidiki dan dengar dari Paman Cekel Wisangkoro bahwa Panji Sigit datang bersama isterinya yang bernama Setyaningsih dan dua orang muda laki-laki dan wanita yang tak dikenal. Memang, menurut penuturan Paman Cekel Wisangkoro, laki-laki dan wanita yang tak dikenal itu memiliki kepandaian yang lumayan sehingga Paman Cekel sendiri terdesak, akan tetapi hal ini tak perlu dikhawatirkan. Kami sudah siap sedia dan Paman Cekel Wisangkoro telah mendatangkan bantuan orang-orang sakti dan aku tanggung bahwa sebelum Panji Sigit dan teman-temannya sempat menghadap ramanda prabu, mereka berempat sudah akan menjadi mayat yang tak dikenal orang lain di mana kuburnya. Ha-ha-hal Aku hanya mengharap agar engkau dapat menahan ramanda prabu supaya tidak berkesempatan mendengar akan munculnya Panji Sigit, apalagi menemuinya."

Tiba-tiba Suminten menepukkan telapak tangannya pada lengan kursinya dan berseru marah, "Bodoh sekali rencana itu!"

Pangeran Kukutan berubah air mukanya. Ia maklum betapa bahayanya kalau wanita yang cumbu rayunya dapat membuat ia lupa akan segala itu sedang marah. Cepat ia bertanya, "Apakah yang salah? Harap suka cepat memberi tahu agar aku dapat mengatur."

"Engkau merencanakan untuk menggunakan kekerasan membunuh mereka sebelum mereka bertemu sang prabu? Dengan demiklan rakyat yang telah mengetahui kedatangan Pangeran Panji Sigit akan menjadi curiga! Alangkah bodohnya! Tidak! Hal ini, kemunculannya ini tentu merupakan siasat dari tokoh-tokoh Panjalu dan kalau kita menggunakan kekerasan membunuhnya, tentu akan mereka pergunakan untuk mengusik hati sang prabu sehingga timbul kebenciannya kepada kita. Engkau tahu betapa besar kasih sayang sang prabu kepada Pangeran Panji Sigit!"

"Apa salahnya kalau ramanda prabu mengetahuinya? Keadaan ramanda prabu sudah sedemikian lemahnya, tinggal menggencet sedikit saja tentu mati"

"Ah, engkau teryata masih dikuasai hatimu yang penuh rencana kekerasan. Apakah yang menjadikan kita berhasil sampai begini jauh kalau bukan karena siasat halusku? Dan kini hendak kau rusak dengan siasat yang kasar dan liar seperti siasat orang-orang hutan?"

Pangeran Kukutan menunduk. "Baiklah, saya akan melakukan segala petunjukmu. Sekarang bagaimana baiknya untuk menghadapi Panji Sigit dan teman-temannya Itu?"

"Siasat lawan yang harus kita balas dengan siasat lebih halus lagi. Kalau memang Panji Sigit dan teman-temannya itu memiliki kedigdayaan, mengapa kita tidak bersiasat untuk memperalat mereka demi keuntungan kita? Mendekatlah, dan dengarkan baik-baik rencana siasatku, kemudian rundingkan masak masak dengan para sakti yang membantu kita..."

Dengan penuh gairah Pangeran Kukutan melangkah maju, lalu berlutut dekat kursi wanita itu agar mulut wanita itu yang berbisik-bisik dapat mendekat telinganya. Terdengar bisikan-bisikan lirih dan hawa mulut itu meniup-niup telinganya. Kalau saja urusan itu tidak amat penting, tentu Pangeran Kukutan sudah lupa diri karena tidak dapat menahan gelora hatinya. Akan tetapi ia melawan desakan nafsu ini dan mendengarkan penuh perhatian. Sampai beberapa lama ia di ruangan itu tidak terdengar apa-apa lagi kecuali suara berbisik-bisik yang keluar dari mulut Suminten dan didengar oleh Pangeran Kukutan yang kadang-kadang mengangguk-angguk dengan sinar mata penuh kekaguman.

Sementara itu, dua pasang orang muda yang memasuki kota raja, Pangeran Panji Sigit, Setyaningsih, Joko Pramono dan Pusporini sibuk menerima sambutan penduduk yang memberi hormat kepada Pangeran Panji Sigit. Sambil tersenyum-senyum sang pangeran terpaksa memperlambat langkahnya, bahkan kadang-kadang berhenti untuk menyapa seorang dua orang penduduk tua yang telah dikenalnya. Akhirnya, mereka berempat ini dapat juga sampai di Istana, akan tetapi setibanya di pintu gerbang istana setelah melewati alun-alun yang lebar, mereka terpaksa berhenti di depan ujung tombak para penjaga pintu gerbang luar.

"Tidak ada orang yang boleh melalui pintu gerbang ini tanpa izin! Andika berempat telah mendapat izin siapakah hendak memasuki daerah istana?" bentak seorang di antara para penjaga itu.

Pangeran Panji Sigit menahan kemarahannya. Dia melangkah maju dan memandang mereka dengan sinar mata tajam, kemudian berkata, "Benarkah ucapan tadi keluar dari mulut penjaga pintu gerbang luar istana Jenggala? Ataukah kalian ini perajurit penjaga yang palsu? Karena kalau perajurit-perajurit Jenggala pasti akan mengenal Pangeran Panji Sigit!"

Memang, semua penjaga dan pengawal istana kini telah diganti oleh orang-orang kepercayaan Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama. Semua petugas lama telah dienyahkan dan diganti orang-orang baru. Karena sebagian besar di antara penjaga dan pengawal baru adalah orang-orang luar, maka tentu saja mereka ini tidak mengenal Pangeran Panji Sigit. Para penjaga itu terkejut dan saling pandang, ragu-ragu menghadapi pemuda tampan yang memandang mereka penuh wibawa itu. Pada saat itu, terdengar bentakan,

cerita silat online karya kho ping hoo

"Eh, para penjaga tolol! Tidak lekas membuka pintu gerbang untuk junjungan kalian Pangeran Panji Sigit? Kalian benar-benar minta dihukum picis!"

Para penjaga itu menjadi pucat wajahnya karena yang membentak dan menegur mereka itu adalah Pangeran Kukutan sendiri! Pintu gerbang segera dibuka dan Pangeran Kukutan menyambut adik tirinya dengan penuh kegembiraan.

"Duhai Adinda Pangeran... betapa besar rasa bahagia di hatiku mendengar sorak-sorai rakyat yang mengabarkan akan kembalimu! Ah, betapa Adinda telah menyusahkan hati seluruh keluarga istana karena kepergian Adinda tanpa sebab dan tanpa pamit...!" Sambil berkata demikian, Pangeran Kukutan merangkul pundak adik tirinya itu dengan wajah berseri-seri.

Pusporini dan Joko Pramono saling bertukar pandang. Kelirukah cerita yang mereka dengar dari Pangeran Panji Sigit tentang Pangeran Kukutan yang dikatakannya berhati palsu? Ketika pangeran itu muncul tadi Panji Sigit telah membisikkan bahwa itulah Pangeran Kukutan yang kini menjadi putera mahkota. Ataukah cerita Pangeran Panji Sigit hanya merupakan fitnah yang timbul dari hati yang iri? Buktinya, kini Pangeran Kukutan yang tampan dan kelihatan gagah itu menyambut adiknya dengan sikap begitu riang. Tampak oleh mereka betapa jauh bedanya wajah kedua orang pangeran putera Raja Jenggala itu.

"Adinda Panji Sigit, mengapa tidak mengabarkan lebih dulu kalau hendak pulang? Tentu akan kami sambut dengan pesta! Ah, sekarang pun belum terlambat. Kepulangan Adinda akan kita rayakan dengan pesta yang meriah!"

"Terima kasih, Kakanda Pangeran, akan keramahan Kakanda. Akan tetapi tidak perlu kiranya diadakan penyambutan dengan pesta. Saya pulang hanya untuk menghadap kanjeng rama, untuk memperkenalkan isteri saya dan untuk mendekati beliau yang sudah sepuh."

"Garwamu (isterimu)? Ah... betapa menggembirakan! Yang manakah garwamu, Adinda?" Pangeran Kukutan berseru girang sambil memandang berganti-ganti kepada Pusporini dan Setyaningsih.

Kalau Joko Pramono menganggap pangeran itu amat ramah dan sikapnya wajar, adalah kedua orang wanita ini yang dapat menangkap pandang mata penuh gairah menyinar dari balik wajah berseri itu. Pandang mata yang seolah-olah dapat menelanjangi pakaian mereka! Adapun Pangeran Kukutan yang memandang dua orang wanita muda itu, diam-diam menelan ludah dan mengilar karena sukar baginya memilih mana yang lebih denok dan jelita di antara kedua orang wanita itu. Yang seorang ayu kuning dan yang ke dua hitam manis, namun keduannya memiliki daya penarik yang khas! Dia hanya pura-pura saja tidak tahu karena sesungguhnya pandang mata yang sudah berpengalaman sebagai seorang pelahap wanita itu sekilas pandang saja sudah mengenal mana gadis yang bersuami dan mana yang belum.

Pangeran Panji Sigit tidak heran menyaksikan penyambutan manis dari Pangeran Kukutan karena dia sudah mngenal kepalsuan kakak tirinya ini. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan bahwa kakak tirinya akan bersikap semanis itu, padahal tadinya ia mengira bahwa tentu dia akan disambut dengan ujung senjata. Betapapun juga, karena mengenal watak Pangeran Kukutan, ia tetap waspada dan menduga bahwa tentu ada maksud-maksud tersembunyi di balik penyambutan manis ini. Terpaksa ia pun lalu memperkenalkan Setyaningsih.

"Dia inilah isteriku, Kakanda Pangeran. Namanya Setyaningsih dan dia adalah adik kandung Ayunda Endang Patibroto..."

"Apa...??" Sepasang mata yang maniknya agak kebiruan itu membelalak.

Pangeran Kukutan memiliki manik mata yang agak kebiruan dan hal ini bagi sebagian besar wanita yang bertemu dengannya menjadi sebuah daya penarik yang kuat, sebaliknya bagi yang mengerti, warna itu menjadi tanda akan watak seorang pria yang gila wanita. Diam-diam Pangeran Kukutan terkejut dan gentar karena dia sesungguhnya tidak tahu bahwa isteri Pangeran Panji Sigit adalah adik kandung Endang Patibroto. Meremang bulu tengkuknya kalau ia teringat akan isteri mendiang Pangeran Panjirawit itu!

"Adik kandung Ayunda Endang Patibroto isteri mendiang Kakanda Pangeran Panjirawit yang sakti mandraguna? Ah, betapa menggirangkan hal ini...!" Ia cepat-cepat membungkuk untuk membalas penghormatan Setyaningsih, dan pada saat itu hanya dia sendiri yang tahu bahwa hatinya tidaklah segirang ucapan mulutnya.

"Dinda Pusporini ini pun adik tiri Ayunda Endang Patibroto, sedangkan Adimas Joko Pramono ini adalah sahabat baiknya tunggal guru." Pangeran Panji Sigit memperkenalkan dua orang pemuda itu dan sejenak pandang mata Pangeran Kukutan menatap kedua orang muda itu penuh selidik. Hemm, pikirnya. Jadi mereka berdua inikah yang oleh Cekel Wisangkoro dikatakan sebagai dua orang muda yang amat sakti? Kelihatannya tidak seberapa.

"Marilah, Adinda Pangeran, marilah beristirahat di tempatku. Sudah kusediakan kamar-kamar untuk kalian berempat. Tentu Adinda lelah karena perjalanan jauh dan perlu istirahat."

Mereka berlima lalu memasuki halaman istana yang lebar. "Kakanda, saya ingin segera pergi menghadap kanjeng rama. Sudah amat rindu hati saya karena lama tidak menghadap..."

"Ah, sayang sekali, Dimas. Kanjeng rama kini sudah sepuh dan kesehatan beliau banyak mundur. Kanjeng rama banyak beristirahat dan kalau tidak beliau kehendaki, siapa pun juga dilarang mengganggu. Akan tetapi, tentu saja aku akan segera menyampaikan berita kedatangan Adinda ini melalui ibunda selir. Ketahuilah bahwa kini kanjeng rama tidak suka diganggu oleh siapa juga kecuali Ibunda selir, satu-satunya orang yang diperkenankan memasuki kamar peraduannya tanpa izin. Hanya ibunda selir saja yang kini siang malam melayani dan merawat kanjeng rama."

Diam-diam hati Pangeran Panji Sigit tertusuk karena ia dapat menduga bahwa tentu Suminten itulah yang dimaksudkan ibunda selir. Dia pun tahu bahwa sebetulnya keadaan ramandanya seperti seorang tawanan sungguhpun hal ini tidak diketahui oleh siapa pun juga, oleh ramandanya pun tidak. Akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan pengetahuannya ini dan bertanya,

"Ah, sampai begitu memelas keadaan rama? Ibunda selir yang manakah yang begitu setia dan baik hati terhadap kanjeng rama?"

"Siapa lagi kalau bukan ibunda selir Suminten, Dimas Pangeran. Kiranya saya tidak berlebihan kalau mengatakan, seperti diketahui oleh semua orang, bahwa kalau tidak mendapat perawatan yang amat baik dari ibunda selir... ah... entah bagaimana jadinya dengan kanjeng rama...! Sudahlah, mari kita beristirahat di sana dan kita dapat bercengkerama seenaknya."

"Akan tetapi, mendengar keadaan kanjeng rama, saya makin tak kuat bertahan lama-lama untuk segera menghadap."

"Jangan khawatir, sebentar akan kusampaikan kepada ibunda selir agar dilaporkan kedatangan dan kehendak Adinda itu kepada kanjeng rama prabu."

Demikianlah Pangeran Kukutan mulai menjalankan siasat yang telah direncanakan oleh Suminten. Empat orang muda itu diterima dengan sambutan ramah, ditempatkan di gedung tempat tinggal Pangeran Kukutan sendiri karena keadaan di istana telah mengalami banyak perombakan sehingga tempat yang dahulu ditinggali Pangeran Panji Sigit telah lenyap pula. Mereka dijamu dengan hidangan-hidangan lezat dan dihibur dengan pertunjukan tari-tarian dan tembang-tembang yang dilakukan para seniwati pilihan di Jenggala.

Sementara itu, Suminten juga tidak tinggal diam, melainkan melaksanakan bagiannya dalam siasat itu. Suminten mengunjungi sang prabu di dalam kamarnya, seperti biasanya merayu raja tua ini dan untuk kesekian kalinya sang prabu terbuai mabuk dalam pelukan wanita ini yang merupakan tempat ia menikmati hidup terakhir, tempat ia mencurahkan kasih sayangnya dan sumber satu-satunya yang dapat menghibur segala duka nestapa dan kekosongan usia tua. Berkat rayuan-rayuan Suminten, sang prabu yang tua itu seolah-olah menjadi boneka yang semata-mata hidup untuk mengabdi nafsu berahinya terhadap Suminten, tidak ada kemauan dan semangat sedikit pun juga untuk memikirkan hal-hal lain, siang malam hanya terlena dalam buaian cinta nafsu yang tak kunjung padam, yang sengaja selalu dikobarkan dan dinyalakan oleh Suminten.

Sedemikian hebat pengaruh nafsu ini bagaikan api bernyala-nyala selalu karena mendapat makanan bahan bakar berupa tubuh Suminten dan sikapnya yang merayu mesra, sehingga sudah berbulan-bulan sang prabu tidak lagi mau memperdulikan urusan lain, bahkan jarang keluar dari dalam kamarnya yang seolah-olah disulap berubah menjadi surga dunia oleh Suminten!

Setelah untuk kesekian kalinya sang prabu terlena mabuk, penuh kepuasan dan kenikmatan, rebah berbantal paha selir yang dicintanya itu, seperti seorang pemadatan kekenyangan menghisap madat, dalam keadaan setengah sadar setengah pulas, Suminten membelai rambut penuh ubah yang panjang terurai itu sambil berkata manis,

"Gusti junjungan hamba, Paduka yang menjadi sumber kebahagiaan hamba, ada sebuah berita yang amat menyenangkan dan hamba yakin Paduka tentu akan gembira sekali mendengar berita yang hamba bawa ini..."

Kedua lengan raja tua itu merangkul pinggang yang ramping dan dengan mata terpejam mukanya dibenamkan ke perut, "Tidak ada berita lebih bahagia daripada kehadiranmu di dekatku, Suminten..."

Suminten tersenyum. "Ah, Paduka selalu melimpahkan cinta kasih Paduka kepada hamba dengan perbuatan dan kata-kata, untuk itu hamba berterima kasih dan bersyukur kepada para dewata. Akan tetapi berita ini benar-benar akan menambah kebahagiaan di hati Paduka, yaitu bahwa putera kita Pangeran Panji Sigit telah pulang..."

Sepasang mata tua itu dan wajah yang keriputan berseri. Sang prabu bangkit perlahan dari paha selirnya. "Benarkah? Di mana dia... Puteraku Panji Sigit, di mana dia? Suruh dia datang menghadap..."

"Nah, bukankah Paduka menjadi bahagia sekali?"

"Benar! Terima kasih, Suminten. Memang berita ini amat menggembirakan..."

"Akan tetapi, sebelum puteranda pangeran diminta menghadap, hendaknya Paduka mengerti pula akan hal-hal yang tidak menyedapkan hati..."

"Apakah maksudmu?"

"Sebelum pulang, dia telah menghadap sang ratu..."

"Hemmm..."

"Bukan itu saja, malah baru saja dia pulang dari Panjalu."

"Hemm... kalau begitu, mengapa? Apa salahnya dia menghadap rakanda prabu di Panjalu?"

"Bukan itu persoalannya. Akan tetapi... agaknya dia telah mendengarkan banyak bisik-bisik fitnah tentang Paduka, tentang hamba dan agaknya dia pulang membawa hati yang penasaran dan dendam. Hamba sungguh tidak menghendaki puteranda Pangeran Panji Sigit memusuhi kita, Gusti, karena hamba tahu betapa sayang hati Paduka terhadapnya. Karena itu... sebaiknya kalau Paduka melarang dia bicara tentang masa lampau, bahkan memberi kedudukan kepadanya, memerintahkan dia menjadi pembantu puteranda Pangeran Kukutan untuk menjaga ketenteraman kerajaan Paduka yang memang sudah menjadi kewajibannya."

Raja tua itu mengangguk-angguk. "Tidak aneh kalau dia yang masih muda itu dapat terpengaruh. Dan ucapanmu memang tepat sekali. Seorang muda harus diberi tugas kewajiban sehingga tertanam jiwa setia dan patuh akan perintah."

"Ada yang menggembirakan lagi akan tetapi juga mengkhawatirkan..."

"Apa lagi?"

"Dia pulang dengan... isterinya"

"Isterinya? Dia sudah beristeri? Wahh... akan tetapi hal ini menggembirakan, mengapa mengkhawatirkan?"

"Karena isterinya adalah adik kandung Endang Patibroto..."

"Haa...??" Sang prabu benar-benar terkejut dan tidak tahu apakah dia harus bergirang ataukah berkhawatir.

"Paduka tentu masih ingat akan kematian Pangeran Panjirawit, tentu dapat menyelami perasaan Endang Patibroto yang teringat akan kematian suaminya di tangan Paduka dan isteri Pangeran Panji Sigit adalah adik kandung Endang Patibroto, maka tidak akan terlalu aneh kalau dia pun mempunyal perasaan tidak manis terhadap Jenggala. Karena ini, hamba harap Paduka dapat berhati-hati dan jangan terlalu percaya akan kata-kata mereka sebelum kelak terbukti bahwa mereka ini benar-benar mempunyai niat hati yang bersih terhadap kerajaan Paduka."

Sang prabu mengangguk-angguk dan merasa kagum akan keluasan pandangan selirnya ini yang selalu mendahulukan kepentingan kerajaan dan kepentingan dia sebagai rajanya.

"Jangan khawatir. Suruh dia menghadap"

Sama sekali raja yang tua dan pikun ini tidak tahu betapa sesungguhnya bukan Endang Patibroto yang menaruh dendam atas kematian Pangeran Panjirawit karena wanita perkasa itu sudah melihat kenyataan dart sebab-sebab kematian suaminya adalah akibat fitnah yang dilakukan oleh kaki tangan Blambangan. Tidak tahu bahwa sebetulnya Sumintenlah yang menaruh dendam itu!

Pangeran Panjirawit adalah pria pertama yang dirindukan hati Suminten ketika wanita itu masih seorang perawan dahulu, cinta yang tulus. Karena kematian itu, Suminten menaruh dendam kepada Sang Prabu Jenggala sendiri yang menyebabkan kematian pangeran itu, dan menaruh dendam kepada Endang Patibroto yang memonopoli cinta kasih Pangeran Panjirawit...

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 33

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.