Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 33
DEMIKIANLAH, Raja yang tua ini pun tidak membantah ketika ia menerima kedatangan putera yang dikasihinya itu dalam ruangan yang dihadiri pula oleh Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama! Sang prabu memandang dengan wajah berseri ketika Pangeran Panji Sigit datang menghadap bersama Setyaningsih, Pusporini, dan Joko Pramono. Pandang matanya melekat pada wajah puteranya, dan kepada tiga orang lain yang berlutut dan menyembah, ia hanya memandang sekilas saja.
"Kanjeng Rama, hamba Panji Sigit menghaturkan sembah sujud...."
"Sigit, Puteraku... kenapa lama benar kau pergi? Ke mana saja engkau pergi?"
Mendengar suara ramandanya yang gemetar, melihat wajah yang tua dan pucat, hati Pangeran Panji Sigit seperti disayat. "Hamba pergi merantau, mencari pengalaman..."
"Puteraku wong bagus, majulah Panji Sigit, mendekatIah ke sini..."
Pangeran Panji Sigit bergerak maju sampai di depan ramandanya. Sang prabu menyentuh rambut puteranya, kemudian rasa girang dan haru menyelimuti hatinya sehingga raja tua itu membungkuk dan merangkul. Panji Sigit tak dapat menahan keharuannya dan ia memeluk kaki ramandanya, menitikkan air mata dan berkata lirih,
"Kanjeng Rama... apakah yang telah terjadi? Hamba mendengar hal-hal yang amat hebat terjadi di sin!... dan... dan..."
"Husssshhh... jangan menyebut-nyebut tentang itu, Puteraku. Engkau tidak tahu betapa banyaknya orang-orang yang kelihatan setia namun sesungguhnya berhati palsu. Masih untung bahwa sampai sekarang ramandamu dapat mengalahkan mereka semua. Engkau tidak boleh mendengarkan bisikan-bisikan fitnah yang bukan-bukan, Puteraku. Percayalah bahwa semua yang terjadi di sini adalah sudah seadil-adilnya dan semestinya. Memang sepintas lalu kelihatan hebat, akan tetapi engkau belum tahu betapa sukar menjenguk isi hati manusia..."
Pangeran Panji Sigit mengerling ke arah Suminten yang duduk anteng di sebelah kiri sang prabu. Wanita itu kelihatan makin cantik jelita, dengan tubuh yang matang menggairahkan. Timbul rasa muak dan benci di hati Panji Sigit, akan tetapi ia hanya mundur dan berkata,
"Paduka benar, Kanjeng Rama. Sukar sekali menjenguk isi hati manusia. Orang yang kelihatan sebaik-baiknya, yang di luarnya manis budi dan menyenangkan, belum tentu memiliki hati yang beriktikad baik terhadap kita. Karena itu, sebaiknya Kanjeng Rama juga jangan terlalu mudah menjatuhkan kepercayaan kepada seseorang...."
"Waduh, Adimas Pangeran! Masa benar demikian? Kurasa harus melihat orangnya! Seperti aku ini terhadapmu, Dimas, apakah Andika juga mempunyai anggapan bahwa mungkin hatiku terhadapmu palsu?" Tiba-tiba Pangeran Kukutan mencela sambil tersenyum.
Panji Sigit mengerling ke arah kakak tirinya itu, pandang matanya tajam menusuk. "Biarpun saudara, tetap saja kita tidak dapat saling menjenguk isi hati masing-masing, Rakanda Pangeran. Hanya diri sendiri dan Hyang Maha Agung sajalah yang mengetahui akan isi hati sendiri!"
Sang prabu tersenyum. "Cukup kiranya tentang filsafat dan prasangka yang bukan-bukan. Kita di antara keluarga sendiri. Eh, Panji Sigit, aku mendengar bahwa engkau pulang bersama isterimu. Mana dia? Mana mantuku?"
Setyaningsih menyembah, "Hamba Setyaningsih menghaturkan sembah bakti kepada Paduka, Gusti"
"Engkaukah isterinya? Wah, cantik jelita dan gagah perkasa... aku mendengar bahwa engkau adik kandung mantuku Endang Patibroto. Betulkah?"
"Sesungguhnyalah, Gusti..."
"Setyaningsih, engkau mantuku, jangan menyebut gusti kepadaku. Aku ramandamu juga! Panji Sigit, senang sekali hatiku melihat isterimu. Mulai sekarang, jangan engkau pergi-pergi lagi meninggalkan Jenggala. Engkau sudah dewasa, sudah beristeri, seharusnya tinggal di sini dan melakukan tugasmu sebagai seorang pangeran, membantu kakakmu Pangeran Kukutan demi ketenteraman Jenggala. Aku sudah tua, kalau bukan putera-puteraku seperti Kukutan dan engkau yang mewakili aku memegang kendali pemerintahan, habis siapa lagi?? Bukankah benar begitu, Patih?"
Semua mata memandang kepada Ki Patih Warutama yang duduk di sebelah kiri dan yang sejak tadi seperti halnya Suminten, duduk dengan anteng dan penuh hormat sebagai seorang ponggawa yang baik. Ki Patih Warutama dengan tenang menyembah, sedikit pun tidak memperlihatkan reaksi terhadap pandang mata penuh selidik dari empat orang muda itu, kemudian terdengar suaranya yang tenang dan penuh pengertian,
"Tiada seujung rambut pun selisihnya kebenaran wawasan dan sabda Paduka yang amat bijaksana, Gusti! Seorang pangeran muda sudah seyogyanya memperluas pengalaman dan mengejar ilmu dalam tapa brata, akan tetapi semua itu dilakukan dengan cita-cita agar kelak semua ilmunya dapat dipergunakan untuk berdharma bakti kepada orang tua dan negara! Hamba merasa girang sekali mendengar bahwa Gusti Pangeran Panji Sigit membantu tugas Gusti Pangeran Mahkota, ada pun hamba hanya siap untuk melayani dan membantu."
"Ha-ha-ha-ha, kau lihat sendiri, Panji Sigit. Bukankah patihku ini hebat? Engkau akan senang sekali mendapat bantuan seorang yang setia, cerdik pandai, dan memiliki kesaktlan yang amat hebat seperti Ki Patih Warutama ini."
Pandang mata Panji Sigit bertemu dengan pandang mata Warutama dan pangeran muda ini tertegun. Alangkah hebatnya orang ini! Alangkah berbahayanya. Sudah jelas baginya bahwa orang yang menjadi patih ramandanya ini adalah penjahat busuk yang pernah menyelundup ke Wilis dan yang pernah menculik Retna Wilis bersama dua orang kawannya yang mengerikan, yaitu Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro. Kalau dahulu tidak ada gurunya, Ki Datujiwa yang menolong dan merampas kembali Retna Wilis, tentu anak ayundanya itu telah dibawa pergi. Patih ini adalah seorang jahat, dan tentu saja tahu bahwa dia mengenalnya. Akan tetapi patih itu masih bersikap begitu tenang seolah-olah merasa belum pernah bertemu sebelumnya! Alangkah beraninya!
Namun, apa yang dapat ia lakukan? Dia berada di sarang harimau, sungguhpun hal ini aneh kalau diingat bahwa dia berada di istana ramandanya sendiri! Pula, urusan penculikan Retna Wilis adalah urusan pribadi yang tidak ada sangku-pautnya dengan ramandanya, maka tentu saja tidak perlu baginya untuk membeberkan persoalan itu di depan ramandanya. Sungguhpun ia mempunyai keyakinan bahwa Nini Bumigarba yang kini berhasil menculik Retna Wilis dan membunuh Ki Datujiwa itu tentulah mempunyai hubungan dengan Patih Warutama, namun tentu saja ia tidak dapat menanyakannya begitu saja.
Adanya Ki Patih Warutama di istana itu, di samping Pangeran Kukutan dan Suminten, membuat Pangeran Panji Sigit menjadi lebih hati-hati lagi. Untuk beberapa detik lamanya, perasaan yang sama mengaduk hati Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih, dan Pusporini kagum. Pantas saja kalau Warutama dapat menyelundup dan menjadi patih. Orang itu amat cerdik dan berbahaya melebihi seekor ular welang! Hanya ada dua kemungkinan. Ki Patih Warutama ini seorang cerdik yang amat berbahaya kalau benar apa yang diceritakan oleh Ki Wiraman, atau sebaliknya, dia seorang yang gagah perkasa dan bijaksana kalau cerita Ki Wiraman itu tidak betul. Terhadap orang seperti ini, mereka harus berhati-hati sekali.
"Hamba merasa girang sekali bahwa Paduka telah mendapatkan seorang patih yang pandai dan bijaksana, Kanjeng Rama. Semoga dengan adanya Paman Patih ini, kerajaan Paduka akan terbebas daripada orang-orang munafik yang hanya di luarnya saja baik namun di sebelah dalam dadanya mengandung niat yang laknat, seperti ular-ular berkedok domba."
Sambil berkata demikian, dengan pandang mata tajam penuh selidik Pangeran Panji Sigit memandang wajah ki patih itu. Namun tusukan yang terkandung dalam ucapan ini agaknya sama sekali tidak dirasai oleh Ki Patih Warutama. Wajah yang sudah matang dan masih tampan menarik itu tetap tenang dan bersih, seperti wajah orang yang tidak mempunyai dosa apa-apa, bahkan mulut itu tersenyum dan pandang matanya tenang lembut.
"Harap Paduka jangan khawatir, Gusti Pangeran. Hamba akan membela Jenggala dengan taruhan jiwa raga hamba sebagai imbalan atas kebijaksanaan dan segala anugerah yang telah dilimpahkan oleh Gusti Sinuwun kepada hamba."
Kalau saja Pangeran Panji Sigit belum pernah mendengar cerita ratu, dan Joko Pramono belum mendengar cerita Ki Wiraman, tentu mereka itu akan dapat terbujuk oleh sikap dan kata-kata patih ini. Hanya Setyaningsih dan Pusporini dengan perasaan wanitanya dapat menangkap sifat-sifat yang jauh lebih buas dan keji terhadap wanita dalam pribadi patih ini, dibandingkan dengan Pangeran Kukutan. Ketampanan dan kematangan sifat jantan ki patih ini benar-benar membuat mereka berdebar dan penuh kengerian, juga menimbulkan kemuakan yang mendatangkan benci tanpa sebab.
"Kanjeng Rama, perkenankan hamba memperkenalkan dua orang sahabat yang datang menghadap bersama hamba. Gadis ini bukan orang lain, melainkan adik tiri Diajeng Setyaningsih, bernama Pusporini. Adapun sahabat ini bernama Joko Pramono, saudara seperguruan Adinda Pusporini. Hamba mohon agar mereka ini diperkenankan tinggal di sini dan diberi tugas pekerjaan membantu hamba."
"Ah, gadis yang cantik dan pemuda yang perkasa. Tentu saja boleh, Puteraku, dan biarlah tentang tugas mereka ini kuserahkan kepada Patih Warutama yang akan mengaturnya."
Setelah bercakap-cakap sebentar dan Pangeran Panji Sigit menceritakan pengalamannya semenjak meninggalkan istana tanpa menyinggung-nyinggung persoalan yang didengarnya tentang Jenggala, pertemuan dibubarkan dan selanjutnya, Pangeran Panji Sigit dan isterinya mendapat tempat tinggal di lingkungan istana, adapun Joko Pramono dan Pusporini untuk sementara tinggal di padepokan tamu istana sehingga mereka berempat sewaktu-waktu dapat mengadakan pertemuan karena tempat mereka itu hanya terpisah oleh taman sari yang luas dan indah.
Tanpa mereka sangka sama sekali, semua ini telah direncanakan oleh Suminten yang menghendaki empat orang itu dekat dengannya, tidak saja untuk pelaksanaan siasatnya, akan tetapi juga agar lebih mudah kaki tangannya mengadakan pengawasan.
Dengan hati-hati sekali empat orang muda yang sudah berhasil menyelundup dan diterima di istana Jenggala itu berusaha untuk menyelidiki keadaan Nini Bumigarba. Namun ternyata sama sekali tidak berhasil. Bahkan ketika Pangeran Panji Sigit mendapat kesempatan menyinggung nama ini di depan sang prabu, ramandanya juga mengerutkan alisnya dan menyatakan tidak mengenal nama itu. Sama sekali. Juga Ki Patih Warutama menyatakan tidak mengenal nama itu. Hanya Pangeran Kukutan ketika ditanya oleh Pangeran Panji Sigit, membelalakkan matanya dan berkata,
"Aku hanya pernah mendengar nama itu, nama seorang nenek yang sakti mandraguna seperti dewi katon, tiada lawannya di dunia ini. Akan tetapi aku belum pernah melihatnya dan tentu saja tidak tahu di mana tempat tinggalnya."
Pangeran Panji Sigit menjadi bingung dan gelisah, karena agaknya tidak ada harapan untuk mencari keterangan tentang Nini Bumigarba yang telah menculik Retna Wilis. Di samping menyelidiki tentang Nini Bumigarba, tentu saja mereka juga menyelidiki tentang keadaan Kerajaan Jenggala dan apa yang mereka dapatkan membuat Pangeran Panji Sigit menarik napas panjang berkali-kali dengan hati penuh duka dan gelisah.
Ternyata bahwa para ponggawa yang setia dari ramandanya, kalau tidak hilang tanpa bekas tentu telah berubah seratus persen dan kini menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan. Para ponggawa yang dahulunya setia kepada ramandanya, kini telah habis. Yang jiwanya gagah perkasa dan satria sejati, sudah hilang atau tewas secara aneh dalam pertempuran-pertempuran.
Adapun mereka yang kini menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan dan menduduki tempat-tempat penting, adalah orang-orang baru dari luar daerah, atau mereka yang dahulunya setia akan tetapi berjiwa plin-plan yang menunjukkan pribadi orang-orang yang rendah budi, yang tidak segan-segan dan malu-malu menjadi penjilat demi untuk kesenangan diri pribadi. Orang-orang seperti inilah yang paling berbahaya.
Akan tetapi, diam-diam Pangeran Panji Sigit menjadi girang melihat bahwa betapapun juga masih ada di antara mereka yang benar-benar masih setia kepada ramandanya, dan bukan merupakan kaki tangan Pangeran Kukutan, sungguhpun mereka ini menentang Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama di dalam hati mereka saja karena sama sekali tidak berdaya. Di antara mereka yang setia ini, Pangeran Panji Sigit mengenal Ki Pawitra, guru seni tari yang sudah tua. Ketika bertemu dengan Joko Pramono dan Pusporini dan mendengar cerita murid-murid Sang Resi Mahesapati ini tentang Ki Wiraman dan Widawati, betapa dahulu Widawati diselamatkan ketika seluruh keluarga Ki Patih Brotomenggala dibasmi, yaitu dilarikan oleh Ki Mitra yang menjadi juru taman keluarga guru seni tari itu, hati Pangeran Panji Sigit menjadi girang sekali.
"Bagus kalau begitu!" kata Pangeran Panji Sigit kepada Joko Pramono, didengarkan pula oleh Setyaningsih dan Pusporini. "Kita harus dapat menghubungi Ki Mitra dan mungkin dari teman-teman setia Ki Pawitra kita akan dapat mengetahui keadaan sesungguhnya dari Jenggala, bahkan siapa tahu di antara mereka ada yang dapat mengetahui di mana adanya Nini Bunigraba dan tahu pula sebetulnya golongan manakah yang secara rahasia membantu persekutuan Suminten dan Warutamal"
Memang patut dikagumi kegigihan dan kebesaran semangat juang empat orang muda ini yang seakan-akan telah memasuki gua harimau. Akan tetapi patut dikasihani pula mereka karena mereka tidak tahu bahwa sebenarnya mereka telah terperosok ke dalam lubang jebakan yang diatur oleh Suminten yang cerdik licin. Mereka berempat sama sekali tidak tahu bahwa tempat mereka berunding, yaitu di ruangan tempat tinggal Pangeran Panji Sigit, telah dipasangi lubang-lubang rahasia di mana dipasang kaki tangan Suminten yang tugasnya hanya bersembunyi dan mendengarkan semua percakapan empat orang itu yang dilakukan di ruangan itu. Bahkan semua percakapan antara Pangeran Panji Sigit dan isterinya di dalam kamar pun tidak ada yang terlepas dari telinga kaki tangan itu yang selalu bersembunyi dan mendengarkan!
Mereka tidak pernah mimpi bahwa Suminten telah mengetahui semua rahasia, rencana dan langkah-langkah yang akan mereka ambil, dan bahwa pedang malapetaka telah tergantung di atas kepala mereka. Pada malam hari itu juga, seorang kakek datang menghadap Pangeran Panji Sigit, dilaporkan oleh seorang penjaga.
Ketika tiba di depan pangeran itu, kakek itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan menyembah, kemudian menengok kanan kin dan berbisik, "Gusti Pangeran... hamba Ki... Mitra, mohon bicara..."
Pangeran Panji Sigit terkejut dan memandang penuh perhatian. Kakek ini usianya sudah enam puluh tahunan, pakaiannya sederhana seperti pakaian pelayan, sikapnya cerdik. Cepat pangeran itu memberi isyarat kepada Ki Mitra untuk mengikutinya. Setyaningsih yang berada di dalam, menjadi heran melihat suaminya menuntun masuk seorang kakek yang tidak ia kenal. Sebelum ia membuka mulut bertanya, Pangeran Panji Sigit sudah mendahuluinya memperkenalkan,
"Diajeng, dia inilah Ki Mitra yang kita bicarakan kemarin."
"Ahh, kebetulan sekali. Akan tetapi, apakah yang kau kehendaki, paman? Mengapa engkau datang mencari gusti pangeran?" Pertanyaan ini mencerminkan kecerdikan dan kewaspadaan Setyaningsih.
Ki Mitra yang melihat bahwa dia telah berada di sebelah dalam dan tidak akan terlihat orang lain, sudah menjatuhkan diri bersila kembali, kemudian berkata dengan sikap penuh hormat,
"Hamba dahulu melarikan cucu puteri mendiang ,gusti patih yang malang, dan setelah berhasil menyerahkan puteri itu kepada Ki Wiraman, hamba segera pulang ke sini dan tetap bekerja sebagai juru taman di rumah guru seni tari. Hamba yang banyak melihat dan mendengar keadaan di kota raja umumnya dan di istana khususnya, yang bersumpah di dalam hati untuk bersetia kepada gusti sinuwun sampai mati, tentu saja hamba dapat meIasa bahwa Paduka Gusti Pangeran Panji Sigit sependapat dengan hamba dan karena itu hamba memberanikan diri lancang menghadap Paduka. Hamba siap melakukan segala perintah Paduka, Gusti."
"Bagus sekali kalau begitu!?" Pangeran muda itu berseru girang. "Mari kau ikut bersamaku ke taman sari, Paman Mitra."
"Mengapa tidak bicara di sini saja, Gusti?"
"Hush, jangan membantah. Kau tidak tahu, di sini pun mungkin tidak aman. Aku mulai curiga karena tadi aku mendapatkan lubang-lubang di dinding kamar itu dan mungkin telingaku salah dengar, akan tetapi aku seperti mendengar napas orang di balik dinding. Mari kita bicara di taman sari. Di tempat terbuka itu takkan mungkin ada yang mengintai atau mendengarkan pembicaraan kita. Engkau adalah seorang abdi ponggawa istana, dan kenalanku di luar istana amat banyaknya sehingga tidak akan mengherankan hati orang kalau engkau menghadap dan bercakap-cakap denganku di taman sari, apalagi karena engkau adalah seorang ahli juru taman."
"Baiklah, Gusti."
Keluarlah suami isteri muda itu diikuti si juru taman tua dan mereka berjalan ke taman sari seenaknya sambil bercakap-cakap, menuding-nuding ke arah pelbagai tanaman sehingga kelihatan dari jauh seperti bercakap-cakap tentang tanaman. Padahal Pangeran Panji Sigit bertanya tentang keadaan di Jenggala.
"Bagaimana pendapatmu tentang peristiwa yang menimpa keluarga Paman Patih Brotomenggala, Paman?" Sambil menuding ke arah sekumpulan kembang menur, Pangeran Panji Sigit bertanya dan mereka berhenti di depan kelompok kembang menur itu. Ki Mitra menjawab,
"Peristiwa itu patut disesalkan, Gusti. Hamba sendiri masih merasa heran mengapa gusti patih yang semenjak dahulu terkenal setia itu tiba-tiba saja dapat melakukan hal yang amat keji itu, berusaha hendak membunuh gusti sinuwun."
Pangeran Panji Sigit menghela napas. Kakek juru taman ini tentu saja banyak melihat dan mendengar, akan tetapi tentu saja tidak dapat mengetahui rahasia apa yang mungkin tersembunyi di balik semua peristiwa mengerikan yang terjadi dl Jenggala.
"Bagaimana dengan dibuangnya Ibu Ratu?"
"Wah, tentang itu... Paduka tentu dapat memaklumi perasaan wanita-wanita yang bersaing dan bertentangan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat perang dingin antara gusti ratu dan gusti selir muda sehingga tentu saja keduanya berusaha saling menjatuhkan. Paduka tentu mengerti pula betapa kejamnya hati yang sudah dipenuhi oleh cemburu dan iri hati sehingga mungkin saja kalau gusti ratu menjadi lupa sehingga menjatuhkan fitnah. Justeru pertentangan antara kedua wanita itulah yang menimbulkan perpecahan sehingga timbul dua fihak."
Setyaningsih mengerutkan keningnya, akan tetapi Pangeran Panji Sigit hanya menarik napas panjang. Seorang juru taman seperti Ki Mitra ini boleh jadi memiliki kesetiaan besar sehingga untuk membela junjungannya bersedia mengorbankan nyawa, bahkan sudah berjasa menyelundupkan cucu puteri Ki Patih Brotomenggala dari kota raja. Akan tetapi mana mungkin dapat berpemandangan luas dan dapat mengerti akan persoalan-persoalan yang pelik dan penuh rahasia yang menimpa istana?
"Begini Ki Mitra. Yang penting sekarang, engkau ini setia kepada pihak mana? Kepada siapa?"
"Tentu saja kepada gusti sinuwun dan kepada Paduka Gusti Pangeran. Paduka boleh memerintahkan tugas apa saja dan hamba akan melaksanakannya dengan taruhan nyawa!"
Makin yakin hati Pangeran Panji Sigit bahwa kakek ini hanyalah seorang pelaksana yang setia, akan tetapi hanya terbatas pada tugas-tugas yang kasar dan ringan saja. Betapapun juga, kesetiaan seorang dipercaya yang bodoh dan jujur seperti ini boleh
"Baiklah, Ki Mitra. Engkau tentu mengenal atau tahu akan ponggawa-ponggawa baru yang telah diangkat oleh paman patih dan rakanda pangeran mahkota, ,yang kabarnya memiliki kesaktian hebat."
"Tentu saja, Gusti. Hamba mendengar berita bahwa gusti patih sendiri memiliki ilmu kesaktian yang tidak lumrah manusia. Ketika gusti sinuwun dahulu diserang perampok, dengan tangan kosong saja gusti patih merobohkan mereka semua. Kemudian, ketika kota raja diserang angin taufan, nyaris bagian kiri istana hancur tertimpa pohon beringin yang roboh tumbang oleh angin, gusti patih pula yang membuktikan kesaktiannya yang luar biasa dengan menahan batang pohon raksasa itu dan mendorongnya sehingga pohon itu roboh di bagian lain, tidak menimpa bangunan istana! Tentu masih banyak ponggawa yang sakti, sungguhpun tidak sehebat gusti patih, seperti misalnya Gusti Tumenggung Wirokeling, Gusti Tumenggung Sosrogali dan masih banyak lagi yang hamba tidak ketahui sampai di mana kedigdayaan mereka. Akan tetapi yang jelas, para ponggawa sekarang ini terdiri dari orang sakti yang dapat dikumpulkan oleh gusti patih dan gusti pangeran mahkota."
"Ki Mitra, pernahkah kau mendengar akan nama Nini Bumigarba?"
Kakek itu kelihatan terkejut. "Pernah Gusti dan... huhh, masih meremang bulu tengkuk hamba kalau mendengar nama itu. Hamba mendengar berita angin di antara para ponggawa yang dahulu pernah bercakap-cakap sambil menonton latihan seni tari para puteri istana di tempat kediaman majikan hamba. Kabarnya pada suatu malam Jum'at, manusia sakti seperti dewi yang berjuluk Nini Bumigarba, atau juga Dewi Sarilangking itu, yang pandai menghilang, muncul dan menemui gusti patih yang kabarnya masih menjadi buyut muridnya..."
"Betulkah itu?" Pangeran Panji Sigit terkejut dan girang.
"Entahlah, Gusti. Hanya kabarnya, kedatangan nenek sakti itu adalah untuk mengusir dan melenyapkan hawa siluman yang kabarnya mengotorkan angkasa di atas kota raja."
"Tahukah engkau, di mana tempat tinggal nenek itu?"
Ki Mitra menggeleng kepalanya. "Hamba rasa tidak ada seorang pun yang tahu. Kabarnya, kalau tidak dikehendaki tak seorang pun dapat melihatnya karena dia pandai menghilang atau terbang ke angkasa..."
Pangeran Panji Sigit kecewa. "Kiranya cukuplah, Paman. Engkau kembalilah ke tempat kerjamu. Sewaktu-waktu kalau aku memerlukanmu, akan kupanggil engkau."
Ki Mitra menyembah. "Hamba siap melaksanakan segala perintah Paduka. Andaikata Paduka hendak mengirim berita-berita rahasia ke Panjalu atau ke mana saja, hamba sanggup melaksanakannya."
"Baiklah, akan tetapi untuk sekarang belum ada tugas untukmu. Pergilah."
Setelah kakek itu pergi, Pangeran Panji Sigit saling pandang dengan isterinya dan pangeran itu menarik napas panjang, agaknya merasa kecewa akan keterangan-keterangan yang ia dapat dari Ki Mitra. Isterinya maklum akan isi hati suaminya, maka segera mendekati dan berkata halus,
"Memang tidak mudah menyelidiki keadaan seorang nenek yang sifatnya tidak seperti manusia biasa Kakanda. Akan tetapi hal ini memerlukan kesabaran besar sekali. Kita tahu bahwa dia adalah di fihak musuh, dan saya kira, dia pun sudah tahu akan keadaan kita. Karena dia selalu menyembunyikan diri, maka sebaliknya kita menanti sampai dan kaki tangannya turun tangan terhadap kita. Nah, di saat itulah, pasti musuh-musuh kita takkan mampu menyembunyikan diri lagi."
Pangeran muda itu mengangguk-angguk, lalu merangkul pinggang isterinya yang ramping dan mengajaknya masuk ke dalam kamar mereka.
"Engkau benar, dan memang kita harus berani menghadapi bahaya. Mereka itu ternyata amat pandai dan halus, biarpun mereka telah berhasil menguasai kerajaan dan menancapkan kuku-kuku mereka di mana-mana, mengganti para ponggawa dengan orang-orang mereka, namun pada lahirnya tidak tampak sedikit pun kesalahan mereka, bahkan kelihatannya seolah-olah mereka itu merupakan abdi-abdi yang amat setia dan baik dari kanjeng rama!"
Dan memang tepat sekali pendapat Pangeran Panji Sigit. Akan tetapi pangeran ini pun hanya tahu satu tidak tahu banyak hal lain, hanya melihat belangnya kulit harimau saja, tidak melihat seluruh tubuh, kepala dan ekornya! Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa bahaya hebat bukan disebabkan semata karena pengkhianatan beberapa gelintir manusia yang menginginkan kedudukan. Sama sekali bukan! Melainkan diatur dan dikemudikan secara halus dan pandai oleh dua orang tokoh dari Sriwijaya dan Cola, yaitu Sang Biku Janapati utusan Sriwijaya yang halus dan sakti mandraguna, dan Sang Wasi Bagaspati yang kasar dan amat cerdik panda! lagi sakti.
Mereka berdua inillah, dibantu oleh orang-orang sakti yang menjadi kaki tangan mereka, yang sebetulnya mengemudikan segala macam peristiwa yang terjadi di Jenggala, dengan mempergunakan kesempatan baik selagi di situ terdapat seorang seperti Suminten, dan muncul pula seorang seperti Warutama dan seorang seperti Pangeran Kukutan. Dan di atas dari semua pembantu-pembantu ini, kedua orang pendeta dari Sriwijaya dan Cola itu masih mempunyai seorang yang mereka andalkan, yang memiliki kesaktian yang amat hebat, jauh melampaui kesaktian mereka sendiri, yaitu Nini Bumigarba.
Mereka maklum bahwa ada orang-orang sakti bermunculan dan berusaha menentang mereka membela Jenggala, dan bahwa di antara lawan-lawan sakti itu terdapat seorang yang amat mereka segani dan takuti, yaitu Sang Bhagawan Ekadenta atau Sang Sakti Jitendrya, juga Sang Bhagawan Sirnasarira. Maka mereka berdua lalu mohon bantuan Nini Bumigarba untuk mengimbangi pihak lawan.
Pangeran Panji Sigit tidak mengetahui akan hal ini semua, hanya mengira bahwa semua itu digerakkan oleh Suminten dan Pangeran Kukutan yang menginginkan kedudukan dan kekuasaan, dibantu oleh Warutama yang ia anggap seorang petualang yang haus kedudukan dan kemuliaan. Adapun orang-orang sakti seperti Nini Bumigarba itulah menjadi tokoh-tokoh undangan semua.
Pangeran Panji Sigit, Setyanringsih, Joko Pramono, dan Pusporini sama sekali tidak menduga bahwa semenjak mereka menginjakkan kaki di bumi Jenggala mereka telah memasuki perangkap yang sengaja diatur oleh Suminten secara cerdik sekali. Suminten yang begitu melihat Pangeran Panji Sigit menghadap, melihat wajah tampan yang serupa benar dengan wajah pria yang pertama kali dipujanya, yaitu mendiang Pangeran PanjIrawit, hatinya seperti diremas dan cinta kasihnya cinta kasih lama yang tadinya hampir terpendam kini tergali kembali dan makin menggelora. Juga ketlka melihat Joko Pramono yang selain tampan gagah juga membayangkan kejantanan yang kuat, watak gila prianya bangkit dan nafsu berahinya berkobar.
Biarpun empat orang muda itu tinggal di istana, hidup mewah dan serba kecukupan, terhormat dan terjaga, namun mereka ini sesungguhnya merupakan tawanan-tawanan yang setiap saat dapat di jadikan korban keganasan iblis-iblis yang berkuasa di Jenggala pada waktu itu!
Penuturan tentang Nini Bumigarba yang didengar oleh Pangeran Panji Sigit dan isterinya dari mulut Ki Mitra bukan semata-mata bohong. Memang sesungguhnyalah, biarpun pernah Biku Janapati dan Wasi Bagaspati mohon pertolongan nenek sakti mandraguna ini untuk menghadapi Ki Tunggaljiwa dan hampir saja nenek ini dapat membunuh Ki Tunggaljiwa dan Tejolaksono kalau tidak ditolong oleh Sang Bhagawan Ekadenda, namun Nini Bumigarba tidak mengikatkan dirinya secara langsung dengan kedua orang pendeta itu.
Nini Bumigarba tidak mau terikat, apalagi setelah ia melihat betapa di pihak musuh terdapat kakek sakti Bhagawan Ekadenta! Karena itu, tak seorang pun di antara para anak buah kedua orang pendeta itu tahu di mana adanya Nini Bumigarba yang bagi manusia biasa seolah-olah merupakan dewa atau iblis! Hanya Biku Janapati dan Wasi Bagaspati, dua orang manusia yang telah mencapai tingkat tinggi sekali ilmunya, yang mengetahui di mana adanya Nini Bumigarba, akan tetapi mereka pun tidak berani memberitahukan kepada orang lain. Mereka mendapat janji dari Nini Bumigarba bahwa nenek itu akan muncul dan menandingi Bhagawan Ekadenda jika kakek itu mencampuri urusan kerajaan!
"Kalian tak usah khawatir," demikian pesan nenek itu kepada Biku Janapati dan Wasi Bagaspati, "semenjak dahulu aku tidak suka kepada Mataram dan keturunannya. Semenjak dahulu Ekadenta membantu Mataram! Akan tetapi sudah ada perjanjian pribadi antara dia dan aku bahwa kami berdua tidak akan mencampuri secara langsung urusan kerajaan. Dia tidak akan membantu Mataram dan aku tidak akan memusuhi Mataram! Kalau dia berani muncul dan langsung membantu Mataram, percayalah, aku akan siap menandinginya sampai napas terakhir! Kulihat dia mempunyai murid yang baik, tentu muridnya yang akan maju. Karena itu, aku pun harus mencari seorang murid yang baik pula. Dalam segala macam hal, aku tidak mau kalah oleh Ekadenta!"
Biarpun mereka berdua orang-orang sakti mandraguna, Biku Janapati dan Wasi Bagaspati tidak tahu rahasia apa yang tersembunyi di balik kebencian nenek ini terhadap kakek sakti Bhagawan Ekadenta. Namun mereka menjadi girang karena Bhagawan Ekadenta saja yang mereka takuti.
Karena itu, perbuatan Nini Bumigarba di puncak Wilis, yaitu menculik Retna Wilis dan karena perbuatan ini terpaksa bertanding dengan Ki Datujiwa dan membunuh kakek sakti itu, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan kerajaan, tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan pribadi, baik terhadap Endang Patibroto maupun terhadap Tejolaksono. Nenek sakti ini menculik Retna Wilis karena dia suka kepada anak ini yang dianggapnya merupakan calon murid terbaik yang penah dilihatnya. Dia sedang mencari murid untuk menandingi murid Bhagawan Ekadenta, maka melihat Retna Wilis dia menjadi girang sekali dan merasa yakin bahwa kalau digembleng anak ini akan menjadi orang yang tiada tandingan di dunia ini, biar murid Bhagawan Ekadenta sekali pun!
Siapakah sebenarnya nenek yang amat luar biasa kesaktiannya ini? Untuk mengenalnya, kita membuka lembaran riwayatnya secara singkat. Nini Bumigarba ini sekarang usianya sudah amat banyak, sukar untuk diketahui, mungkin seratus tahun lebih, mungkin juga dua ratus tahun!
Dahulu dia merupakan seorang puteri cantik jelita dan sakti mandraguna dari kerajaan kecil Umbul-tirta yang bergabung dengan Kerajaan Wengker menentang Kerajaan Mataram. Namanya sebagai puteri cantik adalah Dewi Sarilanking, selain cantik jelita, juga memiliki kesaktian yang tiada tandingnya di waktu itu. Akan tetapi, karena pasukan kerajaan-kerajaan kecil itu tidak mampu menandingi barisan-barisan besar Mataram, kedua kerajaan itu selalu terpukul mundur.
Kemudian, muncullah seorang ksatria perkasa dan tampan di pihak Mataram, seorang kelana yang memakai nama Joko Ekadenta. Ksatria inilah yang dapat menentang dan menandingi kesaktian Dewi Sarilangking sehingga puteri ini tidak saja kalah dalam bertanding, juga jatuh hatinya terhadap ksatria yang tampan dan perkasa itu. Namun, Joko Ekadenta yang dapat meneropong keadaan puteri itu melihat sifat-sifat yang tidak baik sehingga biarpun dia sebagai seorang pria juga amat kagum dan jatuh hati terhadap Dewi Sarilangking, namun dia mundur dan tidak mau melayani cinta kasih puteri itu.
Hal ini merubah cinta kasih Dewi Sarilangking menjadi kebencian sehingga ia selalu mencari gara-gara untuk dapat bertanding melawan Joko Ekadenta yang selalu pula diakhiri dengan kekalahan di pihaknya. Satu-satunya bukti bahwa Ekadenta masih mencintanya adalah kenyataan bahwa dalam setiap pertandingan, kalau Dewi Sarilangking menyerang dengan sungguh-sungguh dan dengan serangan maut, namun sebaliknya Ekadenta selalu merobohkannya dengan hati-hati agar tidak melukainya.
Setelah Dewi Sarilangking dapat dikalahkan dan menemui tandingannya, Kerajaan Umbul-tirta yang kecil itu dengan mudah dapat ditaklukkan oleh Mataram. Dewi Sarilangking mengumpat caci dan mengutuk Joko Ekadenta karena kehancuran kerajaan ayahnya. Semua keluarganya terbasmi dalam perang, hanya dia sendiri, berkat kesaktiannya, dapat menyelamatkan diri dan menghilang untuk bertapa dan memperdalam ilmunya.
Joko Ekadenta juga maklum bahwa semenjak itu, dia menanam bibit permusuhan yang hebat dan akan selalu terancam oleh Dewi Sarilangking, yang membencinya karena dua hal, pertama karena dia menolak cinta kasihnya atau tidak suka menyambung pertalian cinta yang ada di antara mereka, ke dua karena Joko Ekadenta membantu Mataram memukul kerajaannya. Karena maklum akan hal ini, Joko Ekadenta tidak mau kalah, juga pergi mengasingkan diri, bertapa dan mengejar ilmu kesaktian sebagai bekal untuk melindungi diri terhadap ancaman Dewi Sarilangking.
Kekhawatirannya terbukti. Kemana pun dia bertapa, selalu Dewi Sarilangking dapat mencarinya dan entah berapa puluh kali selama belasan tahun wanita itu selalu berusaha untuk membunuhnya dalam pertandingan-pertandingan yang amat dahsyat. Akan tetapi selalu Ekadenta dapat mengalahkan puteri itu dan selalu membujuknya agar menyudahi permusuhan mereka.
Namun Sarilangking tetap berkeras kepala dan setiap dikalahkan, bertapa dan menggembleng diri lagI untuk kelak dipakai dalam pertandingan lanjutan! Melihat ini, Ekadenta mengalah dan pergi ke barat, melintasi lautan dan merantau sampai ke Pegunungan Himalaya di mana ia memperdalam ilmunya dan juga terutama sekali untuk menjauhkan diri dari Sarilangking!
Dewi Sarilangking yang makin sakti mandraguna itu kehilangan musuhnya dan dia lalu menggunakan ilmunya untuk membantu Kerajaan Wengker, bahkan kemudian dia menjadi guru dari Dewi Mayangsari yang menjadi permaisuri di Wengker, permaisuri Sang Prabu Boko, Raja Kerajaan Wengker yang sakti sekali itu!
Demikianlah sedikit riwayat Dewi Sarilangking yang kemudian dikenal dengan julukan Nini Bumigarba, menjadi seorang nenek yang amat hebat, seorang wanita yang tidak pernah menikah, akan tetapi biarpun sudah menjadi nenek tua renta, ia masih mendendam kepada Ekadenta yang kini pun sudah menjadi seorang kakek tua sekali yang amat sakti, yaitu Sang Bhagawan Ekadenta atau juga disebut Sang Sakti Jitendrya atau Sang Bhagawan Sirnasarira.
Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, ketika Nini Bumigarba yang memenuhi permintaan bantuan Biku Janapati dan Wasi Bagaspati, datang menyerang Ki Tunggaljiwa, nenek sakti ini tidak berhasil membunuh Ki Tunggaljiwa dan Bagus Seta karena muncul secara tiba-tiba kakek sakti yang menjadi musuhnya semenjak muda sehingga terpaksa nenek ini melarikan diri. Kemudian Nini Bumigarba pergi mencari murid untuk menandingi murid kakek itu kelak dan di puncak Wilis dia berhasil menculik Retna Wilis setelah membunuh Ki Datujiwa.
Mungkin tanpa disadari oleh Endang Patibroto sendiri, wataknya yang aneh dan keras, suka akan kesaktian, menurun kepada puterinya. Biarpun menyaksikan dengan mata sendiri betapa Nini Bumigarba telah membunuh gurunya, Ki Datujiwa, namun Retna Wilis malah menjadi kagum dan suka sekali menjadi murid nenek itu!
Hal ini bukan sekali-kali karena Retna Wilis tidak menyayang gurunya itu, melainkan karena dalam anggapan anak ini, pertandingan antara gurunya dan nenek itu adalah pertandingan adu kesaktian yang adil sehingga kalau gurunya kalah dan tewas dalam pertandingan itu, sudahlah sewajarnya. Bahkan ia merasa gembira sekali, biarpun ia harus meninggalkan ibunya, karena ketika ia dipondong dan dibawa lari nenek itu, ibunya sendiri menyatakan dengan suara yang jelas bahwa ibunya rela dia menjadi murid Nini Bumigarba. Pula, ketika ia dibawa lari, ia merasa seolah-olah dibawa terbang, demikian cepatnya nenek itu melarikannya.
Nini Bumigarba melakukan perjalanan yang amat cepat sampai tiga hari lamanya dan baru berhenti setelah tiba di tepi Laut Selatan! Pantai Laut Selatan di daerah ini sunyi tak tampak seorang pun manusia dalam jarak puluhan kilometer. Pantai itu sendiri merupakan lautan pasir dan memang oleh penduduk di pedalaman, daerah yang merupakan daerah tandus ini disebut Segoro Wedi (Lautan Pasir).
Adapun di pantai, gunung-gunung karang menjulang tinggi, seolah-olah merupakan perisai yang menentang amukan badai Laut Selatan sehingga air tidak sampai meluap dan merendam seluruh Nusa Jawa! Sunyi dan tidak subur seperti neraka, penuh dengan bahaya dan menyeramkan. Bahkan binatang-binatang darat tak tampak di daerah yang tandus ini, burung-burung pun tidak tampak, kecuali burung laut yang memang hidup dari ikan-ikan laut.
Mahluk-mahluk hidup yang tampak di daerah ini hanyalah binatang pantai yang kecil seperti undur-undur, kepompong, kepiting, dan yang besar-besar hanyalah kura-kura laut yang kadang-kadang mendarat di pantai penuh pasir untuk bertelur. Kura-kura laut yang amat besar-besar, sedemikian besarnya sehingga takkan dapat terpikul oleh empat orang dan sedemikian kuatnya sehingga dua tiga orang dewasa saja yang menduduki punggungnya masih akan terangkut olehnya.
Sunyi sekali di situ, sunyi dari suara-suara yang biasa terdengar di darat. Akan tetapi sedetik pun tak pernah berhenti dari suara bising ombak laut bertanding kekuatan melawan batu-batu karang yang menggunung di pantai, suaranya berdeburan, berkerosakan, seperti air mendidih, kadang-kadang bergelegar seperti halilintar mengamuk.
Ketika Nini Bumigarba menurunkan Retna Wilis dari pondongannya dan gadis cilik ini berdiri memandang ke arah laut bergelombang, nenek ini melirik dan tersenyum gembira menyaksikan betapa wajah muridnya itu berseri, pandang mata yang tajam itu bersinar-sinar penuh kekaguman memandang air laut yang bergelora. Nenek itu kagum melihat betapa muridnya itu setelah melakukan perjalanan lama yang amat melelahkan, tidak tampak kehilangan semangatnya dan senang hatinya melihat muridnya tidak kecewa menyaksikan daerah yang akan menjadi tempat tinggalnya.
"Retna Wilis, bagaimana pendapatmu dengan tempat ini? Engkau dan aku akan tinggal di daerah ini dan di sini engkau akan kugembleng dengan kesaktian sehingga kelak engkau akan menjadi seorang muda yang sakti tanpa tanding!"
Tanpa menoleh dari laut yang bergelombang, anak itu menjawab, "Aku senang sekali tinggal di sini, Eyang."
Nini Bumigarba tertawa, hatinya senang disebut eyang dan ia makin suka melihat sikap yang polos itu, tidak menjilat-jilat, tidak takut, melainkan sikap sewajarnya mencerminkan watak yang keras hati, angkuh, dan tidak mau merendahkan diri. Inilah calon muridnya yang cocok. Kalau saja ia dahulu di waktu mudanya memiliki watak seperti ini, angkuh dan tidak mau merendahkan tentu ia akan hidup bahagia. Akan tetapi dia telah menjatuhkan hatinya kepada Ekadenta yang mengakibatkan hidupnya penuh dengan kekecewaan, merana dan sengsara!
"Muridku bocah manis. Kenapa engkau suka tinggal di sini? Mengapa tempat ini yang amat sunyi dan tandus menyenangkan hatimu?"
"Aku senang, Eyang. Aku kagum menyaksikan kedahsyatan laut dan ombaknya yang setinggi gunung! Betapa dahsyatnya, betapa ganasnya, dan betapa kuatnya! Dan aku terpesona menyaksikan batu-batu karang menggunung. Betapa tenang menerima hantaman ombak yang begitu ganas, dan betapa kokoh kuatnya! Sungguh hebat dan besar laut dan gunung karang, dan betapa kecilnya kita ini!"
"Heh-he-he-he-he! Tepat sekali pendapatmu, muridku. Dan engkau akan kugembleng agar kelak engkau dapat memiliki kedahsyatan dan keganasan gelombang laut kidul, memiliki ketenangan yang dingin dan daya tahan yang kokoh kuat dari gunung-gunung karang! Ha-ha-ha!"
Demikianlah, tanpa diketahui oleh seorang manusia pun, Nini Bumigarba yang telah mendapatkan seorang murid yang mencocoki hatinya, mulai menggembleng Retna Wilis dengan pelbagai ilmu dan aji kesaktian di pantai laut kidul yang sunyi itu.
Ternyata Retna Wilis amat suka tinggal di tempat ini. Selama hidupnya anak ini belum pernah melihat laut, semenjak lahir selalu berada di puncak Gunung Wilis. Kini, sekali berhadapan dengan laut dan gunung karang, ia terpesona dan menerima kesan yang menggetarkan jiwanya. Ia merasa seolah-olah lautan luas itu hidup, seolah-olah dapat melihat dewa-dewa penjaga laut yang perkasa, dapat melihat dewa-dewa penjaga gunung karang yang maha sakti dan ia ingin sekali dapat menjadi seperti mereka. Karena itu, ia tekun sekali belajar ilmu, mentaati segala perintah gurunya dan tidak ada perintah yang terlampau berat baginya.
Seringkali ia menerima latihan-latihan bertapa yang amat berat dari gurunya. Latihan bersamadhi duduk di atas pasir di tepi pantai sampai kalau air laut sedang pasang, ombak yang datang menenggelamkan tubuhnya dan kadang-kadang pasir itu sampai membenamnya sepinggang lebih. Namun, sedetik pun ia tidak pernah undur, tidak pernah meragu karena selain ia merasa yakin bahwa perintah gurunya itu demi untuk memperkuat dirinya, jasmani dan rohani, juga ia yakin bahwa gurunya tidak akan membiarkan dia mati dalam berlatih!
Kadang-kadang sampai dua hari dua malam ia dibiarkan saja oleh gurunya dalam keadaan seperti itu sehingga tubuhnya serasa membeku dan seolah-olah telah berubah menjadi batu karang sendiri yang kuat dan kokoh dalam menerima terjangan ombak! Ada kalanya Ia diharuskan bersamadhi di atas batu karang menerima gempuran gelombang, tak pernah berhenti tertimpa hujan dari air yang pecah berhamburan menghantam karang.
Setiap detik ia terancam bahaya, terhempaskan dari atas karang dan kalau hal ini terjadi, tentu tubuhnya akan diangkat oleh gelombang dan dibanting hancur ke atas batu-batu karang! Namun, Retna Wilis tetap mentaati semua perintah gurunya dan keyakinan ini memang bukan membuta karena sesungguhnya, setiap saat Nini Bumigarba menjaga muridnya dengan wajah berseri penuh kegembiraan dan kebanggaan!
Kalau matahari sedang teriknya, dan pantai pasir itu seolah-olah terbakar mengeluarkan uap dari bawah, Retna Wilis diharuskan bersamadhi di atas pasir yang panas sekali. Di bawah tubuhnya, pasir panas dan uap dari bawah itu seolah-olah memanggang tubuhnya, adapun dari atas, sinar matahari secara langsung menimpa tubuhnya sehingga kalau habis berlatih seperti ini, kulit tubuhnya menjadi gosong dan menghitam!
"Muridku, Retna Wilts yang tersayang," kata Nini Bumigarba setelah setahun lebih muridnya digembleng menghimpun kekuatan dengan cara bersamadhi yang aneh-aneh dan amat sukar. "Engkau mulai dapat menerima inti tenaga sakti yang timbul dari gelombang lautan dan ketenangan batu karang yang mengandung hawa dingin. Secara langsung engkau dapat menahan hawa dingin yang timbul dari latihan melawan ombak laut. Sebaliknya, berlatih di atas pasir panas di bawah terik matahari, engkau dapat menerima inti tenaga sakti dari matahari dan dari uap bumi. Latihan-latihan itu berat, namun manfaatnya besar sekali, muridku. Dengan dasar tenaga sakti yang kau terima intinya dari kekuatan alam ini, kau akan dapat menghadapi aji-aji pukulan lawan yang hanya mempunyai dasar dua itu pula, dan engkau akan dapat kelak menerima latihan-latihan aji pukulan yang hebat-hebat. Tahukah engkau, aji-aji pukulan apa yang dimiliki ibumu dan yang telah diajarkan atau diterangkan kepadamu?"
Retna Wilts mengangkat mukanya. Bocah ini usianya baru sebelas dua belas tahun, dan baru setahun lebih berada di situ, namun pandang matanya kini sudah jauh bedanya dengan setahun yang lalu. Pandang matanya penuh kesungguhan, sikapnya penuh ketenangan, tarikan bibirnya penuh keangkuhan dan kepercayaan kepada diri sendiri, sehingga ia telah memiliki himpunan sifat-sifat batu karang, lautan, dan pasir panas di bawah timpaan sinar matahari!
"Biarpun aku belum banyak menerima pelajaran aji pukulan dari ibu, akan tetapi menurut keterangan ibu, dia memiliki aji pukulan ampuh seperti Pethit Nogo, Wisangnolo, dan Gelap Musti, Eyang."
Nenek itu mengangguk-angguk. "Engkau telah menyaksikan dahulu ketika ibumu mencoba memukulku sampai dua kali dan aku sama sekali tidak roboh, bahkan ibumu yang terpental. Mengapa? Pertama ibumu menggunakan aji pukulan Pethit Nogo yang biarpun belum kukenal, akan tetapi dapat kuketahui dasarnya, yaitu dengan dasar hawa sakti yang panas. Tentu saja dengan mudah aku dapat menerimanya karena inti tenaga sakti panas di dalam tubuhku jauh lebih kuat, sehingga pukulannya itu seperti setitik air memasuki jembangan penuh air, amblas tidak terasa. Demikian pula dengan pukulan ke dua. Pukulan ke dua ini kukenal baik, karena itu adalah pukulan Wisangnolo yang didapatkan ibumu dari gurunya, Si Mamangkoro! Heh-he-he! Tentu saja pukulan itu tidak ada artinya bagiku karena aji itu adalah ciptaanku sendiri! Nah, sekarang engkau mengerti betapa pentingnya melatih diri dengan Samadhi yang menghimpun hawa-hawa murni untuk menciptakan tenaga sakti. Maka, kau belajar dan berlatihlah terus dengan penuh ketekunan, setelah engkau berhasil, baru aku akan menurunkan aji-aji pukulan yang maha sakti."
Retna Wilis mengangguk. "Aku mengerti, Eyang. Aku tidak merasa puas sebelum dapat memiliki ketenangan dan kekuatan dan daya tahan seperti gunung karang."
"Heh-he-he-he, jangan khawatir. Engkau akan memiliki kedigdayaan seperti aku! Cuma satu hal yang kupesanka agar engkau ingat-ingat betul, muridku! Semua kesaktian itu akan musnah dan luntur hanya oleh satu hal..."
Retna Wilis mengerutkan keningnya. Alis itu hitam panjang dan kecil, seperti dilukis saja menghias wajahnya yang cantik jelita, yang kini mulai jelas tampak menurun wajah ibunyal
"Hemm, harusnya Eyang memberi tahu kepadaku apa pantangan itu, karena hal itu penting sekali agar jangan sampai aku melanggarnya di luar kesadaranku."
"Pantangannya adalah kelemahan batin yang tidak mampu menolak perasaan hati sendiri."
"Mengapa menurutkan perasaan dapat memusnahkan dan melunturkan kesaktianku, Eyang?"
"Perasaan hati yang dituruti amatlah berbahaya, muridku. Di antaranya adalah rasa suka, duka, takut, malu, dan marah. Manusia memang berperasaan dan di dalam hidupnya diombang-ambingkan oleh perasaan ini sehingga menjadi lemah dan menjadi hamba daripada perasaannya sendiri. Terutama sekali perasaan cinta kasih amatlah berbahaya dan segala kesaktianmu akan tiada gunanya sekali engkau dicengkeram oleh perasaan cinta ini. Maka, engkau harus memperkuat, harus dapat mengekang dan mengendalikan perasaanmu sendiri, kalau perlu engkau boleh membunuh perasaanmu!"
Retna Wilis masih terlampau kecil untuk mengetahui betapa tak mungkin ajaran ini dilaksanakan, kecuali kalau dia akan merubah diri menjadi iblis yang tidak berperasaan atau menjadi binatang. Akan tetapi karena dia hanya mempunyai satu keyakinan, yaitu bahwa di dunia ini gurunya inilah orang yang paling sakti mandraguna, paling benar, ia lalu mengangguk dan mencatat semua ajaran itu di dalam hatinya.
"Lihatlah samudera luas, muridku! Betapa dahsyatnya, betapa ganas dan garangnya, tak terlawan! Mengapa dia begitu sakti? Karena dia tidak sudi menjadi hamba perasaan, tidak mempunyai rasa sayang, atau takut, atau kasihan, atau malu mau pun marah. Karena itu hebatnya bukan kepalang. Dan lihatlah gunung karang. Dia pun tidak berperasaan, maka demikian kokoh kuat menghadapi segala macam terjangan, tak pernah mengeluh, tak perduli akan keadaan di sekelilingnya. Karena itu ia tidak suka tidak duka dan kokoh kuat!"
Pelajaran yang keluar dari mulut Nini Bumigarba ini amatlah berbahaya bagi jiwa kanak-kanak yang sedang berkembang. Memang sesungguhnya mengandung filsafat yang amat tinggi, akan tetapi oleh karena keliru cara mengajarnya dan memang cara nenek ini mengajar pamrih dan juga terpengaruh oleh pengalaman-pengalaman pahit getir di waktu mudanya, maka pelajaran ini tidak akan memberi kebekuan terhadap duniawi dan kelembutan dalam watak, melainkan akan menjadikan orang membeku dan kehilangan perasaan peri kemanusiaan!
Pelajaran semacam ini dijatuhkan ke dalam hati Retna Wilis yang pada dasarnya memang keras hati karena selama ini terpengaruh watak dan sifat ibunya. Tentu saja amat berbahaya bagi gadis itu sendiri yang tanpa disadarinya telah digembleng oleh gurunya menjadi seorang yang selain maha sakti seperti gurunya, dalam hal perasaan malah lebih mengerikan daripada gurunya!
Namun Retna Wilis menjadi amat tekun belajar semenjak menerima nasehat gurunya ini. Seringkali ia bermenung sampai berjam-jam memandang laut yang nengganas dan memandang batu karang yang kokoh kuat, menerima gempuran air yang pecah sendiri menjadi atom.
Air laut bergerak terus, sedetik pun tak pernah berhenti. Matahari dan bulan bergerak terus, kelihatan lambat namun tak pernah berhenti sedetik pun dan karena gerakan yang tiada hentinya ini maka waktu berlalu amat cepatnya, cepat akan tetapi tidak terasa dan kelihatn lambat, seperti gerakan bulan dan natahari. Seolah-olah baru kemarin dulu Retna Wilis tinggal di pantai Teluk Prigi atau Segoro Wedi. Seolah-olah baru beberapa hari ia datang di tempat itu bersama gurunya.
Padahal, telah lima tahun ia berada di tempat itu dan kini Retna Wilis bukanlah bocah lagi, melainkan telah menjadi seorang gadis remaja yang amat elok wajah dan bentuk tubuhnya. Wajahnya cantik jelita, ayu dan manis sekali, cemerlang karena bersih dan aseli, kecantikan yang wajar dan liar, seperti kecantikan setangkai bunga mawar hutan bermandi embun di antara duri-duri meruncing, seperti keindahan seekor harimau betina muda yang mengkilap bulunya, seperti keindahan ular yang bermata tajam dan berlidah merah meruncing dengan gerakannya yang lemas namun kuat, seperti Endang Patibroto di waktu muda.
Dia sendiri tidak tahu, karena ibunya tak pernah menceritakannya, bahwa keadaannya bersamaan dengan ibunya di waktu kecil. Ibunya, Endang Patibroto, di waktu kecilnya pun digembleng menuntut ilmu kesaktian di antara deburan ombak laut kidul dan batu karang yang kokoh kuat. Hanya bedanya, kalau ibunya digembleng oleh neneknya, dia digembleng oleh Nini Bumigarba yang memiliki kesaktian yang jauh lebih tinggi daripada ibunya dan neneknya, digembleng tidak hanya dengan aji kesaktian, melainkan juga dengan ilmu kebatinan yang aneh, yang membuat dia bagaikan membaja lahir batinnya.
Siapa pun orangnya yang berjumpa dengan Retna Wilis, tentu akan terpesona dan tentu akan tergetar batinnya oleh bermacam perasaan yang mengaduk hati. Ada rasa kagum tentu, terutama bagi pria, menyaksikan wajah yang demikian cantik jelita, rambut yang hitam halus dan panjang dilepas bebas, digelung sederhana di atas kepala agak ke belakang, sepasang daun telinga yang tersembul di antara ombak-ombak rambut menghitam tampak tipis dan indah lekukannya, lubang daun telinga yang kecil setiap hari berganti hiasan, ada kalanya batu karang merah, atau karang mengkilap, bahkan kadang-kadang bunga laut kering atau ujung supit udang atau kepiting! Namun, apa pun juga yang terselip dibawah daun telinga itu, selalu menambahkan manis wajah yang hebat itu!
Dahinya halus, bagian atasnya terhias sinom (anak rambut) yang halus melingkar-lingkar seperti puteri-puteri pemalu. Sepasang alisnya menjelirit kecil panjang, kedua ujungnya agak ke atas sehingga membayangkan keangkuhan, kelihatan berlawanan sekali dengan sepasang mata yang lebar memancarkan sinar bagaikan sepasang bintang di langit. Mata ini yang amat mempesona, bening dan amat tajam sinarnya, namun mengandung wibawa yang aneh, kesungguhan dan penuh pengertian seperti hanya terdapat dalam mata pendeta-pendeta yang sudah awas paningal.
Mata itu menyeramkan sinarnya, mengandung pengaruh yang merupakan ancaman, akan tetapi keseraman yang tersembunyi ini tertutup keindahan hiasan bulu mata yang hitam, panjang melentik dan demikian lebat sehingga sekeliling mata di mana bulu mata itu berakar kelihatan garis hitam seolah-olah pinggir mata itu diberi coretan hitam. Hidungnya kecil mancung, dan mulutnya merupakan imbangan keindahan matanya.
Mulut itu manis bentuknya, dengan sepasang bibir yang penuh menjendol, ukurannya kecil akan tetapi sedemikian rupa sehingga daging di bawah kulit tipis merah seolah-olah setiap saat dapat pecah. Bentuknya seperti gendewa terpentang dan amatlah sayang bahwa mulut semanis itu jarang sekali tersenyum, apalagi tertawa, padahal kalau tersenyum tentu akan membuat dunia menjadi lebih cerah! Karena bibir itu selalu tertutup, maka deretan gigi yang putih bersih dan rapi merupakan mutiara-mutiara terpendam yang jarang dapat terlihat orang.
Wajah yang seperti wajah dewi kahyangan memiliki tubuh yang padat ramping dan semampai, berkulit kuning halus dan karena sikap dan pembawaannya mengandung daya kekuatan dahsyat, maka tubuh yang indah ini menyembunyikan kegagahan di balik keluwesannya.. Sungguh alam telah bermurah hati sekali kepada Retna Wilis yang dikaruniai jasmani sedemikian indahnya!
Takkan ada seorang manusia pun yang akan dapat mengira bahwa di dalam tubuh yang denok ini tersembunyi kesaktian yang amat dahsyat dan mengerikan! Selama lima tahun tanpa mengenal lelah, secara tekun sekali menerima gemblengan Nini Bumigarba, kini Retna Wilis merupakan seorang gadis remaja yang amat digdaya, sakti mandraguna dan di dalam tubuhnya terdapat aji-aji kesaktian yang tidak lumrah manusia.
Dara remaja ini amat suka tinggal di pantai Teluk Prigi, di darat bermain-main dengan kura-kura raksasa atau berlatih aji kesaktian, kadang-kadang ia menanggalkan seluruh pakaiannya, bertelanjang bulat menerjang ombak Laut Selatan, menyelam dan berenang berkejaran dengan ikan-ikan di laut sehingga kalau pada waktu itu ada yang melihat tentu akan mengira bahwa dia adalah seorang peri Segoro Kidul, atau puteri dari Ratu Roro Kidul sendiri!
Tubuhnya sedemikian penuh terisi hawa kesaktian sehingga ikan-ikan hiu yang banyak berkeliaran di bawah ombak, sama sekali tidak dapat mengganggunya, bahkan seringkali diganggu Retna Wilis, dipegang ekornya dan dilontarkan jauh ke atas permukaan air, dicengkeram sisinya dan dipatahkan taringnya!
Kalau menyaksikan muridnya seperti itu, Nini Bumigarba tertawa terkekeh-kekeh dengan penuh kebanggaan dan kekaguman. Di waktu ia muda dahulu, harus ia akui bahwa dia tidaklah sehebat muridnya ini. Namun ada kalanya Retna Wilis memandang ke arah utara, ke daratan di balik gunung karang di mana sayup-sayup tampak gerombolan hutan di lereng Pegunungan Seribu.
Pada suatu hari yang cerah, selagi Nini Bumigarba yang kini banyak menghabiskan waktunya untuk bersamadhi dan nenek itu kelihatan kini malas, Retna Wilis tak dapat menahan keinginan hatinya dan seorang diri ia lari ke utara dengan niat hendak melihat hutan di utara itu dan mencari buah-buahan kelapa atau pisang. Dia menggunakan kedua kakinya seperti orang biasa berlari, namun hasil larinya sama sekali tak dapat dikatakan biasa!
Tubuhnya berkelebat cepat sukar diikuti pandangan mata, dan lajunya melebihi larinya seekor kuda membalap. Sebentar saja ia sudah tiba di dalam hutan yang tampak dari Segoro Wedi. Setibanya di tempat yang penuh tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon besar itu, Retna Wilis menjadi gembira hatinya seperti seorang yang melihat benda-benda indah yang tak pernah dilihatnya.
"Kanjeng Rama, hamba Panji Sigit menghaturkan sembah sujud...."
"Sigit, Puteraku... kenapa lama benar kau pergi? Ke mana saja engkau pergi?"
Mendengar suara ramandanya yang gemetar, melihat wajah yang tua dan pucat, hati Pangeran Panji Sigit seperti disayat. "Hamba pergi merantau, mencari pengalaman..."
"Puteraku wong bagus, majulah Panji Sigit, mendekatIah ke sini..."
Pangeran Panji Sigit bergerak maju sampai di depan ramandanya. Sang prabu menyentuh rambut puteranya, kemudian rasa girang dan haru menyelimuti hatinya sehingga raja tua itu membungkuk dan merangkul. Panji Sigit tak dapat menahan keharuannya dan ia memeluk kaki ramandanya, menitikkan air mata dan berkata lirih,
"Kanjeng Rama... apakah yang telah terjadi? Hamba mendengar hal-hal yang amat hebat terjadi di sin!... dan... dan..."
"Husssshhh... jangan menyebut-nyebut tentang itu, Puteraku. Engkau tidak tahu betapa banyaknya orang-orang yang kelihatan setia namun sesungguhnya berhati palsu. Masih untung bahwa sampai sekarang ramandamu dapat mengalahkan mereka semua. Engkau tidak boleh mendengarkan bisikan-bisikan fitnah yang bukan-bukan, Puteraku. Percayalah bahwa semua yang terjadi di sini adalah sudah seadil-adilnya dan semestinya. Memang sepintas lalu kelihatan hebat, akan tetapi engkau belum tahu betapa sukar menjenguk isi hati manusia..."
Pangeran Panji Sigit mengerling ke arah Suminten yang duduk anteng di sebelah kiri sang prabu. Wanita itu kelihatan makin cantik jelita, dengan tubuh yang matang menggairahkan. Timbul rasa muak dan benci di hati Panji Sigit, akan tetapi ia hanya mundur dan berkata,
"Paduka benar, Kanjeng Rama. Sukar sekali menjenguk isi hati manusia. Orang yang kelihatan sebaik-baiknya, yang di luarnya manis budi dan menyenangkan, belum tentu memiliki hati yang beriktikad baik terhadap kita. Karena itu, sebaiknya Kanjeng Rama juga jangan terlalu mudah menjatuhkan kepercayaan kepada seseorang...."
"Waduh, Adimas Pangeran! Masa benar demikian? Kurasa harus melihat orangnya! Seperti aku ini terhadapmu, Dimas, apakah Andika juga mempunyai anggapan bahwa mungkin hatiku terhadapmu palsu?" Tiba-tiba Pangeran Kukutan mencela sambil tersenyum.
Panji Sigit mengerling ke arah kakak tirinya itu, pandang matanya tajam menusuk. "Biarpun saudara, tetap saja kita tidak dapat saling menjenguk isi hati masing-masing, Rakanda Pangeran. Hanya diri sendiri dan Hyang Maha Agung sajalah yang mengetahui akan isi hati sendiri!"
Sang prabu tersenyum. "Cukup kiranya tentang filsafat dan prasangka yang bukan-bukan. Kita di antara keluarga sendiri. Eh, Panji Sigit, aku mendengar bahwa engkau pulang bersama isterimu. Mana dia? Mana mantuku?"
Setyaningsih menyembah, "Hamba Setyaningsih menghaturkan sembah bakti kepada Paduka, Gusti"
"Engkaukah isterinya? Wah, cantik jelita dan gagah perkasa... aku mendengar bahwa engkau adik kandung mantuku Endang Patibroto. Betulkah?"
"Sesungguhnyalah, Gusti..."
"Setyaningsih, engkau mantuku, jangan menyebut gusti kepadaku. Aku ramandamu juga! Panji Sigit, senang sekali hatiku melihat isterimu. Mulai sekarang, jangan engkau pergi-pergi lagi meninggalkan Jenggala. Engkau sudah dewasa, sudah beristeri, seharusnya tinggal di sini dan melakukan tugasmu sebagai seorang pangeran, membantu kakakmu Pangeran Kukutan demi ketenteraman Jenggala. Aku sudah tua, kalau bukan putera-puteraku seperti Kukutan dan engkau yang mewakili aku memegang kendali pemerintahan, habis siapa lagi?? Bukankah benar begitu, Patih?"
Semua mata memandang kepada Ki Patih Warutama yang duduk di sebelah kiri dan yang sejak tadi seperti halnya Suminten, duduk dengan anteng dan penuh hormat sebagai seorang ponggawa yang baik. Ki Patih Warutama dengan tenang menyembah, sedikit pun tidak memperlihatkan reaksi terhadap pandang mata penuh selidik dari empat orang muda itu, kemudian terdengar suaranya yang tenang dan penuh pengertian,
"Tiada seujung rambut pun selisihnya kebenaran wawasan dan sabda Paduka yang amat bijaksana, Gusti! Seorang pangeran muda sudah seyogyanya memperluas pengalaman dan mengejar ilmu dalam tapa brata, akan tetapi semua itu dilakukan dengan cita-cita agar kelak semua ilmunya dapat dipergunakan untuk berdharma bakti kepada orang tua dan negara! Hamba merasa girang sekali mendengar bahwa Gusti Pangeran Panji Sigit membantu tugas Gusti Pangeran Mahkota, ada pun hamba hanya siap untuk melayani dan membantu."
"Ha-ha-ha-ha, kau lihat sendiri, Panji Sigit. Bukankah patihku ini hebat? Engkau akan senang sekali mendapat bantuan seorang yang setia, cerdik pandai, dan memiliki kesaktlan yang amat hebat seperti Ki Patih Warutama ini."
Pandang mata Panji Sigit bertemu dengan pandang mata Warutama dan pangeran muda ini tertegun. Alangkah hebatnya orang ini! Alangkah berbahayanya. Sudah jelas baginya bahwa orang yang menjadi patih ramandanya ini adalah penjahat busuk yang pernah menyelundup ke Wilis dan yang pernah menculik Retna Wilis bersama dua orang kawannya yang mengerikan, yaitu Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro. Kalau dahulu tidak ada gurunya, Ki Datujiwa yang menolong dan merampas kembali Retna Wilis, tentu anak ayundanya itu telah dibawa pergi. Patih ini adalah seorang jahat, dan tentu saja tahu bahwa dia mengenalnya. Akan tetapi patih itu masih bersikap begitu tenang seolah-olah merasa belum pernah bertemu sebelumnya! Alangkah beraninya!
Namun, apa yang dapat ia lakukan? Dia berada di sarang harimau, sungguhpun hal ini aneh kalau diingat bahwa dia berada di istana ramandanya sendiri! Pula, urusan penculikan Retna Wilis adalah urusan pribadi yang tidak ada sangku-pautnya dengan ramandanya, maka tentu saja tidak perlu baginya untuk membeberkan persoalan itu di depan ramandanya. Sungguhpun ia mempunyai keyakinan bahwa Nini Bumigarba yang kini berhasil menculik Retna Wilis dan membunuh Ki Datujiwa itu tentulah mempunyai hubungan dengan Patih Warutama, namun tentu saja ia tidak dapat menanyakannya begitu saja.
Adanya Ki Patih Warutama di istana itu, di samping Pangeran Kukutan dan Suminten, membuat Pangeran Panji Sigit menjadi lebih hati-hati lagi. Untuk beberapa detik lamanya, perasaan yang sama mengaduk hati Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih, dan Pusporini kagum. Pantas saja kalau Warutama dapat menyelundup dan menjadi patih. Orang itu amat cerdik dan berbahaya melebihi seekor ular welang! Hanya ada dua kemungkinan. Ki Patih Warutama ini seorang cerdik yang amat berbahaya kalau benar apa yang diceritakan oleh Ki Wiraman, atau sebaliknya, dia seorang yang gagah perkasa dan bijaksana kalau cerita Ki Wiraman itu tidak betul. Terhadap orang seperti ini, mereka harus berhati-hati sekali.
"Hamba merasa girang sekali bahwa Paduka telah mendapatkan seorang patih yang pandai dan bijaksana, Kanjeng Rama. Semoga dengan adanya Paman Patih ini, kerajaan Paduka akan terbebas daripada orang-orang munafik yang hanya di luarnya saja baik namun di sebelah dalam dadanya mengandung niat yang laknat, seperti ular-ular berkedok domba."
Sambil berkata demikian, dengan pandang mata tajam penuh selidik Pangeran Panji Sigit memandang wajah ki patih itu. Namun tusukan yang terkandung dalam ucapan ini agaknya sama sekali tidak dirasai oleh Ki Patih Warutama. Wajah yang sudah matang dan masih tampan menarik itu tetap tenang dan bersih, seperti wajah orang yang tidak mempunyai dosa apa-apa, bahkan mulut itu tersenyum dan pandang matanya tenang lembut.
"Harap Paduka jangan khawatir, Gusti Pangeran. Hamba akan membela Jenggala dengan taruhan jiwa raga hamba sebagai imbalan atas kebijaksanaan dan segala anugerah yang telah dilimpahkan oleh Gusti Sinuwun kepada hamba."
Kalau saja Pangeran Panji Sigit belum pernah mendengar cerita ratu, dan Joko Pramono belum mendengar cerita Ki Wiraman, tentu mereka itu akan dapat terbujuk oleh sikap dan kata-kata patih ini. Hanya Setyaningsih dan Pusporini dengan perasaan wanitanya dapat menangkap sifat-sifat yang jauh lebih buas dan keji terhadap wanita dalam pribadi patih ini, dibandingkan dengan Pangeran Kukutan. Ketampanan dan kematangan sifat jantan ki patih ini benar-benar membuat mereka berdebar dan penuh kengerian, juga menimbulkan kemuakan yang mendatangkan benci tanpa sebab.
"Kanjeng Rama, perkenankan hamba memperkenalkan dua orang sahabat yang datang menghadap bersama hamba. Gadis ini bukan orang lain, melainkan adik tiri Diajeng Setyaningsih, bernama Pusporini. Adapun sahabat ini bernama Joko Pramono, saudara seperguruan Adinda Pusporini. Hamba mohon agar mereka ini diperkenankan tinggal di sini dan diberi tugas pekerjaan membantu hamba."
"Ah, gadis yang cantik dan pemuda yang perkasa. Tentu saja boleh, Puteraku, dan biarlah tentang tugas mereka ini kuserahkan kepada Patih Warutama yang akan mengaturnya."
Setelah bercakap-cakap sebentar dan Pangeran Panji Sigit menceritakan pengalamannya semenjak meninggalkan istana tanpa menyinggung-nyinggung persoalan yang didengarnya tentang Jenggala, pertemuan dibubarkan dan selanjutnya, Pangeran Panji Sigit dan isterinya mendapat tempat tinggal di lingkungan istana, adapun Joko Pramono dan Pusporini untuk sementara tinggal di padepokan tamu istana sehingga mereka berempat sewaktu-waktu dapat mengadakan pertemuan karena tempat mereka itu hanya terpisah oleh taman sari yang luas dan indah.
Tanpa mereka sangka sama sekali, semua ini telah direncanakan oleh Suminten yang menghendaki empat orang itu dekat dengannya, tidak saja untuk pelaksanaan siasatnya, akan tetapi juga agar lebih mudah kaki tangannya mengadakan pengawasan.
Dengan hati-hati sekali empat orang muda yang sudah berhasil menyelundup dan diterima di istana Jenggala itu berusaha untuk menyelidiki keadaan Nini Bumigarba. Namun ternyata sama sekali tidak berhasil. Bahkan ketika Pangeran Panji Sigit mendapat kesempatan menyinggung nama ini di depan sang prabu, ramandanya juga mengerutkan alisnya dan menyatakan tidak mengenal nama itu. Sama sekali. Juga Ki Patih Warutama menyatakan tidak mengenal nama itu. Hanya Pangeran Kukutan ketika ditanya oleh Pangeran Panji Sigit, membelalakkan matanya dan berkata,
"Aku hanya pernah mendengar nama itu, nama seorang nenek yang sakti mandraguna seperti dewi katon, tiada lawannya di dunia ini. Akan tetapi aku belum pernah melihatnya dan tentu saja tidak tahu di mana tempat tinggalnya."
Pangeran Panji Sigit menjadi bingung dan gelisah, karena agaknya tidak ada harapan untuk mencari keterangan tentang Nini Bumigarba yang telah menculik Retna Wilis. Di samping menyelidiki tentang Nini Bumigarba, tentu saja mereka juga menyelidiki tentang keadaan Kerajaan Jenggala dan apa yang mereka dapatkan membuat Pangeran Panji Sigit menarik napas panjang berkali-kali dengan hati penuh duka dan gelisah.
Ternyata bahwa para ponggawa yang setia dari ramandanya, kalau tidak hilang tanpa bekas tentu telah berubah seratus persen dan kini menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan. Para ponggawa yang dahulunya setia kepada ramandanya, kini telah habis. Yang jiwanya gagah perkasa dan satria sejati, sudah hilang atau tewas secara aneh dalam pertempuran-pertempuran.
Adapun mereka yang kini menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan dan menduduki tempat-tempat penting, adalah orang-orang baru dari luar daerah, atau mereka yang dahulunya setia akan tetapi berjiwa plin-plan yang menunjukkan pribadi orang-orang yang rendah budi, yang tidak segan-segan dan malu-malu menjadi penjilat demi untuk kesenangan diri pribadi. Orang-orang seperti inilah yang paling berbahaya.
Akan tetapi, diam-diam Pangeran Panji Sigit menjadi girang melihat bahwa betapapun juga masih ada di antara mereka yang benar-benar masih setia kepada ramandanya, dan bukan merupakan kaki tangan Pangeran Kukutan, sungguhpun mereka ini menentang Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama di dalam hati mereka saja karena sama sekali tidak berdaya. Di antara mereka yang setia ini, Pangeran Panji Sigit mengenal Ki Pawitra, guru seni tari yang sudah tua. Ketika bertemu dengan Joko Pramono dan Pusporini dan mendengar cerita murid-murid Sang Resi Mahesapati ini tentang Ki Wiraman dan Widawati, betapa dahulu Widawati diselamatkan ketika seluruh keluarga Ki Patih Brotomenggala dibasmi, yaitu dilarikan oleh Ki Mitra yang menjadi juru taman keluarga guru seni tari itu, hati Pangeran Panji Sigit menjadi girang sekali.
"Bagus kalau begitu!" kata Pangeran Panji Sigit kepada Joko Pramono, didengarkan pula oleh Setyaningsih dan Pusporini. "Kita harus dapat menghubungi Ki Mitra dan mungkin dari teman-teman setia Ki Pawitra kita akan dapat mengetahui keadaan sesungguhnya dari Jenggala, bahkan siapa tahu di antara mereka ada yang dapat mengetahui di mana adanya Nini Bunigraba dan tahu pula sebetulnya golongan manakah yang secara rahasia membantu persekutuan Suminten dan Warutamal"
Memang patut dikagumi kegigihan dan kebesaran semangat juang empat orang muda ini yang seakan-akan telah memasuki gua harimau. Akan tetapi patut dikasihani pula mereka karena mereka tidak tahu bahwa sebenarnya mereka telah terperosok ke dalam lubang jebakan yang diatur oleh Suminten yang cerdik licin. Mereka berempat sama sekali tidak tahu bahwa tempat mereka berunding, yaitu di ruangan tempat tinggal Pangeran Panji Sigit, telah dipasangi lubang-lubang rahasia di mana dipasang kaki tangan Suminten yang tugasnya hanya bersembunyi dan mendengarkan semua percakapan empat orang itu yang dilakukan di ruangan itu. Bahkan semua percakapan antara Pangeran Panji Sigit dan isterinya di dalam kamar pun tidak ada yang terlepas dari telinga kaki tangan itu yang selalu bersembunyi dan mendengarkan!
Mereka tidak pernah mimpi bahwa Suminten telah mengetahui semua rahasia, rencana dan langkah-langkah yang akan mereka ambil, dan bahwa pedang malapetaka telah tergantung di atas kepala mereka. Pada malam hari itu juga, seorang kakek datang menghadap Pangeran Panji Sigit, dilaporkan oleh seorang penjaga.
Ketika tiba di depan pangeran itu, kakek itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan menyembah, kemudian menengok kanan kin dan berbisik, "Gusti Pangeran... hamba Ki... Mitra, mohon bicara..."
Pangeran Panji Sigit terkejut dan memandang penuh perhatian. Kakek ini usianya sudah enam puluh tahunan, pakaiannya sederhana seperti pakaian pelayan, sikapnya cerdik. Cepat pangeran itu memberi isyarat kepada Ki Mitra untuk mengikutinya. Setyaningsih yang berada di dalam, menjadi heran melihat suaminya menuntun masuk seorang kakek yang tidak ia kenal. Sebelum ia membuka mulut bertanya, Pangeran Panji Sigit sudah mendahuluinya memperkenalkan,
"Diajeng, dia inilah Ki Mitra yang kita bicarakan kemarin."
"Ahh, kebetulan sekali. Akan tetapi, apakah yang kau kehendaki, paman? Mengapa engkau datang mencari gusti pangeran?" Pertanyaan ini mencerminkan kecerdikan dan kewaspadaan Setyaningsih.
Ki Mitra yang melihat bahwa dia telah berada di sebelah dalam dan tidak akan terlihat orang lain, sudah menjatuhkan diri bersila kembali, kemudian berkata dengan sikap penuh hormat,
"Hamba dahulu melarikan cucu puteri mendiang ,gusti patih yang malang, dan setelah berhasil menyerahkan puteri itu kepada Ki Wiraman, hamba segera pulang ke sini dan tetap bekerja sebagai juru taman di rumah guru seni tari. Hamba yang banyak melihat dan mendengar keadaan di kota raja umumnya dan di istana khususnya, yang bersumpah di dalam hati untuk bersetia kepada gusti sinuwun sampai mati, tentu saja hamba dapat meIasa bahwa Paduka Gusti Pangeran Panji Sigit sependapat dengan hamba dan karena itu hamba memberanikan diri lancang menghadap Paduka. Hamba siap melakukan segala perintah Paduka, Gusti."
"Bagus sekali kalau begitu!?" Pangeran muda itu berseru girang. "Mari kau ikut bersamaku ke taman sari, Paman Mitra."
"Mengapa tidak bicara di sini saja, Gusti?"
"Hush, jangan membantah. Kau tidak tahu, di sini pun mungkin tidak aman. Aku mulai curiga karena tadi aku mendapatkan lubang-lubang di dinding kamar itu dan mungkin telingaku salah dengar, akan tetapi aku seperti mendengar napas orang di balik dinding. Mari kita bicara di taman sari. Di tempat terbuka itu takkan mungkin ada yang mengintai atau mendengarkan pembicaraan kita. Engkau adalah seorang abdi ponggawa istana, dan kenalanku di luar istana amat banyaknya sehingga tidak akan mengherankan hati orang kalau engkau menghadap dan bercakap-cakap denganku di taman sari, apalagi karena engkau adalah seorang ahli juru taman."
"Baiklah, Gusti."
Keluarlah suami isteri muda itu diikuti si juru taman tua dan mereka berjalan ke taman sari seenaknya sambil bercakap-cakap, menuding-nuding ke arah pelbagai tanaman sehingga kelihatan dari jauh seperti bercakap-cakap tentang tanaman. Padahal Pangeran Panji Sigit bertanya tentang keadaan di Jenggala.
"Bagaimana pendapatmu tentang peristiwa yang menimpa keluarga Paman Patih Brotomenggala, Paman?" Sambil menuding ke arah sekumpulan kembang menur, Pangeran Panji Sigit bertanya dan mereka berhenti di depan kelompok kembang menur itu. Ki Mitra menjawab,
"Peristiwa itu patut disesalkan, Gusti. Hamba sendiri masih merasa heran mengapa gusti patih yang semenjak dahulu terkenal setia itu tiba-tiba saja dapat melakukan hal yang amat keji itu, berusaha hendak membunuh gusti sinuwun."
Pangeran Panji Sigit menghela napas. Kakek juru taman ini tentu saja banyak melihat dan mendengar, akan tetapi tentu saja tidak dapat mengetahui rahasia apa yang mungkin tersembunyi di balik semua peristiwa mengerikan yang terjadi dl Jenggala.
"Bagaimana dengan dibuangnya Ibu Ratu?"
"Wah, tentang itu... Paduka tentu dapat memaklumi perasaan wanita-wanita yang bersaing dan bertentangan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat perang dingin antara gusti ratu dan gusti selir muda sehingga tentu saja keduanya berusaha saling menjatuhkan. Paduka tentu mengerti pula betapa kejamnya hati yang sudah dipenuhi oleh cemburu dan iri hati sehingga mungkin saja kalau gusti ratu menjadi lupa sehingga menjatuhkan fitnah. Justeru pertentangan antara kedua wanita itulah yang menimbulkan perpecahan sehingga timbul dua fihak."
Setyaningsih mengerutkan keningnya, akan tetapi Pangeran Panji Sigit hanya menarik napas panjang. Seorang juru taman seperti Ki Mitra ini boleh jadi memiliki kesetiaan besar sehingga untuk membela junjungannya bersedia mengorbankan nyawa, bahkan sudah berjasa menyelundupkan cucu puteri Ki Patih Brotomenggala dari kota raja. Akan tetapi mana mungkin dapat berpemandangan luas dan dapat mengerti akan persoalan-persoalan yang pelik dan penuh rahasia yang menimpa istana?
"Begini Ki Mitra. Yang penting sekarang, engkau ini setia kepada pihak mana? Kepada siapa?"
"Tentu saja kepada gusti sinuwun dan kepada Paduka Gusti Pangeran. Paduka boleh memerintahkan tugas apa saja dan hamba akan melaksanakannya dengan taruhan nyawa!"
Makin yakin hati Pangeran Panji Sigit bahwa kakek ini hanyalah seorang pelaksana yang setia, akan tetapi hanya terbatas pada tugas-tugas yang kasar dan ringan saja. Betapapun juga, kesetiaan seorang dipercaya yang bodoh dan jujur seperti ini boleh
"Baiklah, Ki Mitra. Engkau tentu mengenal atau tahu akan ponggawa-ponggawa baru yang telah diangkat oleh paman patih dan rakanda pangeran mahkota, ,yang kabarnya memiliki kesaktian hebat."
"Tentu saja, Gusti. Hamba mendengar berita bahwa gusti patih sendiri memiliki ilmu kesaktian yang tidak lumrah manusia. Ketika gusti sinuwun dahulu diserang perampok, dengan tangan kosong saja gusti patih merobohkan mereka semua. Kemudian, ketika kota raja diserang angin taufan, nyaris bagian kiri istana hancur tertimpa pohon beringin yang roboh tumbang oleh angin, gusti patih pula yang membuktikan kesaktiannya yang luar biasa dengan menahan batang pohon raksasa itu dan mendorongnya sehingga pohon itu roboh di bagian lain, tidak menimpa bangunan istana! Tentu masih banyak ponggawa yang sakti, sungguhpun tidak sehebat gusti patih, seperti misalnya Gusti Tumenggung Wirokeling, Gusti Tumenggung Sosrogali dan masih banyak lagi yang hamba tidak ketahui sampai di mana kedigdayaan mereka. Akan tetapi yang jelas, para ponggawa sekarang ini terdiri dari orang sakti yang dapat dikumpulkan oleh gusti patih dan gusti pangeran mahkota."
"Ki Mitra, pernahkah kau mendengar akan nama Nini Bumigarba?"
Kakek itu kelihatan terkejut. "Pernah Gusti dan... huhh, masih meremang bulu tengkuk hamba kalau mendengar nama itu. Hamba mendengar berita angin di antara para ponggawa yang dahulu pernah bercakap-cakap sambil menonton latihan seni tari para puteri istana di tempat kediaman majikan hamba. Kabarnya pada suatu malam Jum'at, manusia sakti seperti dewi yang berjuluk Nini Bumigarba, atau juga Dewi Sarilangking itu, yang pandai menghilang, muncul dan menemui gusti patih yang kabarnya masih menjadi buyut muridnya..."
"Betulkah itu?" Pangeran Panji Sigit terkejut dan girang.
"Entahlah, Gusti. Hanya kabarnya, kedatangan nenek sakti itu adalah untuk mengusir dan melenyapkan hawa siluman yang kabarnya mengotorkan angkasa di atas kota raja."
"Tahukah engkau, di mana tempat tinggal nenek itu?"
Ki Mitra menggeleng kepalanya. "Hamba rasa tidak ada seorang pun yang tahu. Kabarnya, kalau tidak dikehendaki tak seorang pun dapat melihatnya karena dia pandai menghilang atau terbang ke angkasa..."
Pangeran Panji Sigit kecewa. "Kiranya cukuplah, Paman. Engkau kembalilah ke tempat kerjamu. Sewaktu-waktu kalau aku memerlukanmu, akan kupanggil engkau."
Ki Mitra menyembah. "Hamba siap melaksanakan segala perintah Paduka. Andaikata Paduka hendak mengirim berita-berita rahasia ke Panjalu atau ke mana saja, hamba sanggup melaksanakannya."
"Baiklah, akan tetapi untuk sekarang belum ada tugas untukmu. Pergilah."
Setelah kakek itu pergi, Pangeran Panji Sigit saling pandang dengan isterinya dan pangeran itu menarik napas panjang, agaknya merasa kecewa akan keterangan-keterangan yang ia dapat dari Ki Mitra. Isterinya maklum akan isi hati suaminya, maka segera mendekati dan berkata halus,
"Memang tidak mudah menyelidiki keadaan seorang nenek yang sifatnya tidak seperti manusia biasa Kakanda. Akan tetapi hal ini memerlukan kesabaran besar sekali. Kita tahu bahwa dia adalah di fihak musuh, dan saya kira, dia pun sudah tahu akan keadaan kita. Karena dia selalu menyembunyikan diri, maka sebaliknya kita menanti sampai dan kaki tangannya turun tangan terhadap kita. Nah, di saat itulah, pasti musuh-musuh kita takkan mampu menyembunyikan diri lagi."
Pangeran muda itu mengangguk-angguk, lalu merangkul pinggang isterinya yang ramping dan mengajaknya masuk ke dalam kamar mereka.
"Engkau benar, dan memang kita harus berani menghadapi bahaya. Mereka itu ternyata amat pandai dan halus, biarpun mereka telah berhasil menguasai kerajaan dan menancapkan kuku-kuku mereka di mana-mana, mengganti para ponggawa dengan orang-orang mereka, namun pada lahirnya tidak tampak sedikit pun kesalahan mereka, bahkan kelihatannya seolah-olah mereka itu merupakan abdi-abdi yang amat setia dan baik dari kanjeng rama!"
Dan memang tepat sekali pendapat Pangeran Panji Sigit. Akan tetapi pangeran ini pun hanya tahu satu tidak tahu banyak hal lain, hanya melihat belangnya kulit harimau saja, tidak melihat seluruh tubuh, kepala dan ekornya! Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa bahaya hebat bukan disebabkan semata karena pengkhianatan beberapa gelintir manusia yang menginginkan kedudukan. Sama sekali bukan! Melainkan diatur dan dikemudikan secara halus dan pandai oleh dua orang tokoh dari Sriwijaya dan Cola, yaitu Sang Biku Janapati utusan Sriwijaya yang halus dan sakti mandraguna, dan Sang Wasi Bagaspati yang kasar dan amat cerdik panda! lagi sakti.
Mereka berdua inillah, dibantu oleh orang-orang sakti yang menjadi kaki tangan mereka, yang sebetulnya mengemudikan segala macam peristiwa yang terjadi di Jenggala, dengan mempergunakan kesempatan baik selagi di situ terdapat seorang seperti Suminten, dan muncul pula seorang seperti Warutama dan seorang seperti Pangeran Kukutan. Dan di atas dari semua pembantu-pembantu ini, kedua orang pendeta dari Sriwijaya dan Cola itu masih mempunyai seorang yang mereka andalkan, yang memiliki kesaktian yang amat hebat, jauh melampaui kesaktian mereka sendiri, yaitu Nini Bumigarba.
Mereka maklum bahwa ada orang-orang sakti bermunculan dan berusaha menentang mereka membela Jenggala, dan bahwa di antara lawan-lawan sakti itu terdapat seorang yang amat mereka segani dan takuti, yaitu Sang Bhagawan Ekadenta atau Sang Sakti Jitendrya, juga Sang Bhagawan Sirnasarira. Maka mereka berdua lalu mohon bantuan Nini Bumigarba untuk mengimbangi pihak lawan.
Pangeran Panji Sigit tidak mengetahui akan hal ini semua, hanya mengira bahwa semua itu digerakkan oleh Suminten dan Pangeran Kukutan yang menginginkan kedudukan dan kekuasaan, dibantu oleh Warutama yang ia anggap seorang petualang yang haus kedudukan dan kemuliaan. Adapun orang-orang sakti seperti Nini Bumigarba itulah menjadi tokoh-tokoh undangan semua.
Pangeran Panji Sigit, Setyanringsih, Joko Pramono, dan Pusporini sama sekali tidak menduga bahwa semenjak mereka menginjakkan kaki di bumi Jenggala mereka telah memasuki perangkap yang sengaja diatur oleh Suminten secara cerdik sekali. Suminten yang begitu melihat Pangeran Panji Sigit menghadap, melihat wajah tampan yang serupa benar dengan wajah pria yang pertama kali dipujanya, yaitu mendiang Pangeran PanjIrawit, hatinya seperti diremas dan cinta kasihnya cinta kasih lama yang tadinya hampir terpendam kini tergali kembali dan makin menggelora. Juga ketlka melihat Joko Pramono yang selain tampan gagah juga membayangkan kejantanan yang kuat, watak gila prianya bangkit dan nafsu berahinya berkobar.
Biarpun empat orang muda itu tinggal di istana, hidup mewah dan serba kecukupan, terhormat dan terjaga, namun mereka ini sesungguhnya merupakan tawanan-tawanan yang setiap saat dapat di jadikan korban keganasan iblis-iblis yang berkuasa di Jenggala pada waktu itu!
Penuturan tentang Nini Bumigarba yang didengar oleh Pangeran Panji Sigit dan isterinya dari mulut Ki Mitra bukan semata-mata bohong. Memang sesungguhnyalah, biarpun pernah Biku Janapati dan Wasi Bagaspati mohon pertolongan nenek sakti mandraguna ini untuk menghadapi Ki Tunggaljiwa dan hampir saja nenek ini dapat membunuh Ki Tunggaljiwa dan Tejolaksono kalau tidak ditolong oleh Sang Bhagawan Ekadenda, namun Nini Bumigarba tidak mengikatkan dirinya secara langsung dengan kedua orang pendeta itu.
Nini Bumigarba tidak mau terikat, apalagi setelah ia melihat betapa di pihak musuh terdapat kakek sakti Bhagawan Ekadenta! Karena itu, tak seorang pun di antara para anak buah kedua orang pendeta itu tahu di mana adanya Nini Bumigarba yang bagi manusia biasa seolah-olah merupakan dewa atau iblis! Hanya Biku Janapati dan Wasi Bagaspati, dua orang manusia yang telah mencapai tingkat tinggi sekali ilmunya, yang mengetahui di mana adanya Nini Bumigarba, akan tetapi mereka pun tidak berani memberitahukan kepada orang lain. Mereka mendapat janji dari Nini Bumigarba bahwa nenek itu akan muncul dan menandingi Bhagawan Ekadenda jika kakek itu mencampuri urusan kerajaan!
"Kalian tak usah khawatir," demikian pesan nenek itu kepada Biku Janapati dan Wasi Bagaspati, "semenjak dahulu aku tidak suka kepada Mataram dan keturunannya. Semenjak dahulu Ekadenta membantu Mataram! Akan tetapi sudah ada perjanjian pribadi antara dia dan aku bahwa kami berdua tidak akan mencampuri secara langsung urusan kerajaan. Dia tidak akan membantu Mataram dan aku tidak akan memusuhi Mataram! Kalau dia berani muncul dan langsung membantu Mataram, percayalah, aku akan siap menandinginya sampai napas terakhir! Kulihat dia mempunyai murid yang baik, tentu muridnya yang akan maju. Karena itu, aku pun harus mencari seorang murid yang baik pula. Dalam segala macam hal, aku tidak mau kalah oleh Ekadenta!"
Biarpun mereka berdua orang-orang sakti mandraguna, Biku Janapati dan Wasi Bagaspati tidak tahu rahasia apa yang tersembunyi di balik kebencian nenek ini terhadap kakek sakti Bhagawan Ekadenta. Namun mereka menjadi girang karena Bhagawan Ekadenta saja yang mereka takuti.
Karena itu, perbuatan Nini Bumigarba di puncak Wilis, yaitu menculik Retna Wilis dan karena perbuatan ini terpaksa bertanding dengan Ki Datujiwa dan membunuh kakek sakti itu, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan kerajaan, tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan pribadi, baik terhadap Endang Patibroto maupun terhadap Tejolaksono. Nenek sakti ini menculik Retna Wilis karena dia suka kepada anak ini yang dianggapnya merupakan calon murid terbaik yang penah dilihatnya. Dia sedang mencari murid untuk menandingi murid Bhagawan Ekadenta, maka melihat Retna Wilis dia menjadi girang sekali dan merasa yakin bahwa kalau digembleng anak ini akan menjadi orang yang tiada tandingan di dunia ini, biar murid Bhagawan Ekadenta sekali pun!
Siapakah sebenarnya nenek yang amat luar biasa kesaktiannya ini? Untuk mengenalnya, kita membuka lembaran riwayatnya secara singkat. Nini Bumigarba ini sekarang usianya sudah amat banyak, sukar untuk diketahui, mungkin seratus tahun lebih, mungkin juga dua ratus tahun!
Dahulu dia merupakan seorang puteri cantik jelita dan sakti mandraguna dari kerajaan kecil Umbul-tirta yang bergabung dengan Kerajaan Wengker menentang Kerajaan Mataram. Namanya sebagai puteri cantik adalah Dewi Sarilanking, selain cantik jelita, juga memiliki kesaktian yang tiada tandingnya di waktu itu. Akan tetapi, karena pasukan kerajaan-kerajaan kecil itu tidak mampu menandingi barisan-barisan besar Mataram, kedua kerajaan itu selalu terpukul mundur.
Kemudian, muncullah seorang ksatria perkasa dan tampan di pihak Mataram, seorang kelana yang memakai nama Joko Ekadenta. Ksatria inilah yang dapat menentang dan menandingi kesaktian Dewi Sarilangking sehingga puteri ini tidak saja kalah dalam bertanding, juga jatuh hatinya terhadap ksatria yang tampan dan perkasa itu. Namun, Joko Ekadenta yang dapat meneropong keadaan puteri itu melihat sifat-sifat yang tidak baik sehingga biarpun dia sebagai seorang pria juga amat kagum dan jatuh hati terhadap Dewi Sarilangking, namun dia mundur dan tidak mau melayani cinta kasih puteri itu.
Hal ini merubah cinta kasih Dewi Sarilangking menjadi kebencian sehingga ia selalu mencari gara-gara untuk dapat bertanding melawan Joko Ekadenta yang selalu pula diakhiri dengan kekalahan di pihaknya. Satu-satunya bukti bahwa Ekadenta masih mencintanya adalah kenyataan bahwa dalam setiap pertandingan, kalau Dewi Sarilangking menyerang dengan sungguh-sungguh dan dengan serangan maut, namun sebaliknya Ekadenta selalu merobohkannya dengan hati-hati agar tidak melukainya.
Setelah Dewi Sarilangking dapat dikalahkan dan menemui tandingannya, Kerajaan Umbul-tirta yang kecil itu dengan mudah dapat ditaklukkan oleh Mataram. Dewi Sarilangking mengumpat caci dan mengutuk Joko Ekadenta karena kehancuran kerajaan ayahnya. Semua keluarganya terbasmi dalam perang, hanya dia sendiri, berkat kesaktiannya, dapat menyelamatkan diri dan menghilang untuk bertapa dan memperdalam ilmunya.
Joko Ekadenta juga maklum bahwa semenjak itu, dia menanam bibit permusuhan yang hebat dan akan selalu terancam oleh Dewi Sarilangking, yang membencinya karena dua hal, pertama karena dia menolak cinta kasihnya atau tidak suka menyambung pertalian cinta yang ada di antara mereka, ke dua karena Joko Ekadenta membantu Mataram memukul kerajaannya. Karena maklum akan hal ini, Joko Ekadenta tidak mau kalah, juga pergi mengasingkan diri, bertapa dan mengejar ilmu kesaktian sebagai bekal untuk melindungi diri terhadap ancaman Dewi Sarilangking.
Kekhawatirannya terbukti. Kemana pun dia bertapa, selalu Dewi Sarilangking dapat mencarinya dan entah berapa puluh kali selama belasan tahun wanita itu selalu berusaha untuk membunuhnya dalam pertandingan-pertandingan yang amat dahsyat. Akan tetapi selalu Ekadenta dapat mengalahkan puteri itu dan selalu membujuknya agar menyudahi permusuhan mereka.
Namun Sarilangking tetap berkeras kepala dan setiap dikalahkan, bertapa dan menggembleng diri lagI untuk kelak dipakai dalam pertandingan lanjutan! Melihat ini, Ekadenta mengalah dan pergi ke barat, melintasi lautan dan merantau sampai ke Pegunungan Himalaya di mana ia memperdalam ilmunya dan juga terutama sekali untuk menjauhkan diri dari Sarilangking!
Dewi Sarilangking yang makin sakti mandraguna itu kehilangan musuhnya dan dia lalu menggunakan ilmunya untuk membantu Kerajaan Wengker, bahkan kemudian dia menjadi guru dari Dewi Mayangsari yang menjadi permaisuri di Wengker, permaisuri Sang Prabu Boko, Raja Kerajaan Wengker yang sakti sekali itu!
Demikianlah sedikit riwayat Dewi Sarilangking yang kemudian dikenal dengan julukan Nini Bumigarba, menjadi seorang nenek yang amat hebat, seorang wanita yang tidak pernah menikah, akan tetapi biarpun sudah menjadi nenek tua renta, ia masih mendendam kepada Ekadenta yang kini pun sudah menjadi seorang kakek tua sekali yang amat sakti, yaitu Sang Bhagawan Ekadenta atau juga disebut Sang Sakti Jitendrya atau Sang Bhagawan Sirnasarira.
Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, ketika Nini Bumigarba yang memenuhi permintaan bantuan Biku Janapati dan Wasi Bagaspati, datang menyerang Ki Tunggaljiwa, nenek sakti ini tidak berhasil membunuh Ki Tunggaljiwa dan Bagus Seta karena muncul secara tiba-tiba kakek sakti yang menjadi musuhnya semenjak muda sehingga terpaksa nenek ini melarikan diri. Kemudian Nini Bumigarba pergi mencari murid untuk menandingi murid kakek itu kelak dan di puncak Wilis dia berhasil menculik Retna Wilis setelah membunuh Ki Datujiwa.
Mungkin tanpa disadari oleh Endang Patibroto sendiri, wataknya yang aneh dan keras, suka akan kesaktian, menurun kepada puterinya. Biarpun menyaksikan dengan mata sendiri betapa Nini Bumigarba telah membunuh gurunya, Ki Datujiwa, namun Retna Wilis malah menjadi kagum dan suka sekali menjadi murid nenek itu!
Hal ini bukan sekali-kali karena Retna Wilis tidak menyayang gurunya itu, melainkan karena dalam anggapan anak ini, pertandingan antara gurunya dan nenek itu adalah pertandingan adu kesaktian yang adil sehingga kalau gurunya kalah dan tewas dalam pertandingan itu, sudahlah sewajarnya. Bahkan ia merasa gembira sekali, biarpun ia harus meninggalkan ibunya, karena ketika ia dipondong dan dibawa lari nenek itu, ibunya sendiri menyatakan dengan suara yang jelas bahwa ibunya rela dia menjadi murid Nini Bumigarba. Pula, ketika ia dibawa lari, ia merasa seolah-olah dibawa terbang, demikian cepatnya nenek itu melarikannya.
Nini Bumigarba melakukan perjalanan yang amat cepat sampai tiga hari lamanya dan baru berhenti setelah tiba di tepi Laut Selatan! Pantai Laut Selatan di daerah ini sunyi tak tampak seorang pun manusia dalam jarak puluhan kilometer. Pantai itu sendiri merupakan lautan pasir dan memang oleh penduduk di pedalaman, daerah yang merupakan daerah tandus ini disebut Segoro Wedi (Lautan Pasir).
Adapun di pantai, gunung-gunung karang menjulang tinggi, seolah-olah merupakan perisai yang menentang amukan badai Laut Selatan sehingga air tidak sampai meluap dan merendam seluruh Nusa Jawa! Sunyi dan tidak subur seperti neraka, penuh dengan bahaya dan menyeramkan. Bahkan binatang-binatang darat tak tampak di daerah yang tandus ini, burung-burung pun tidak tampak, kecuali burung laut yang memang hidup dari ikan-ikan laut.
Mahluk-mahluk hidup yang tampak di daerah ini hanyalah binatang pantai yang kecil seperti undur-undur, kepompong, kepiting, dan yang besar-besar hanyalah kura-kura laut yang kadang-kadang mendarat di pantai penuh pasir untuk bertelur. Kura-kura laut yang amat besar-besar, sedemikian besarnya sehingga takkan dapat terpikul oleh empat orang dan sedemikian kuatnya sehingga dua tiga orang dewasa saja yang menduduki punggungnya masih akan terangkut olehnya.
Sunyi sekali di situ, sunyi dari suara-suara yang biasa terdengar di darat. Akan tetapi sedetik pun tak pernah berhenti dari suara bising ombak laut bertanding kekuatan melawan batu-batu karang yang menggunung di pantai, suaranya berdeburan, berkerosakan, seperti air mendidih, kadang-kadang bergelegar seperti halilintar mengamuk.
Ketika Nini Bumigarba menurunkan Retna Wilis dari pondongannya dan gadis cilik ini berdiri memandang ke arah laut bergelombang, nenek ini melirik dan tersenyum gembira menyaksikan betapa wajah muridnya itu berseri, pandang mata yang tajam itu bersinar-sinar penuh kekaguman memandang air laut yang bergelora. Nenek itu kagum melihat betapa muridnya itu setelah melakukan perjalanan lama yang amat melelahkan, tidak tampak kehilangan semangatnya dan senang hatinya melihat muridnya tidak kecewa menyaksikan daerah yang akan menjadi tempat tinggalnya.
"Retna Wilis, bagaimana pendapatmu dengan tempat ini? Engkau dan aku akan tinggal di daerah ini dan di sini engkau akan kugembleng dengan kesaktian sehingga kelak engkau akan menjadi seorang muda yang sakti tanpa tanding!"
Tanpa menoleh dari laut yang bergelombang, anak itu menjawab, "Aku senang sekali tinggal di sini, Eyang."
Nini Bumigarba tertawa, hatinya senang disebut eyang dan ia makin suka melihat sikap yang polos itu, tidak menjilat-jilat, tidak takut, melainkan sikap sewajarnya mencerminkan watak yang keras hati, angkuh, dan tidak mau merendahkan diri. Inilah calon muridnya yang cocok. Kalau saja ia dahulu di waktu mudanya memiliki watak seperti ini, angkuh dan tidak mau merendahkan tentu ia akan hidup bahagia. Akan tetapi dia telah menjatuhkan hatinya kepada Ekadenta yang mengakibatkan hidupnya penuh dengan kekecewaan, merana dan sengsara!
"Muridku bocah manis. Kenapa engkau suka tinggal di sini? Mengapa tempat ini yang amat sunyi dan tandus menyenangkan hatimu?"
"Aku senang, Eyang. Aku kagum menyaksikan kedahsyatan laut dan ombaknya yang setinggi gunung! Betapa dahsyatnya, betapa ganasnya, dan betapa kuatnya! Dan aku terpesona menyaksikan batu-batu karang menggunung. Betapa tenang menerima hantaman ombak yang begitu ganas, dan betapa kokoh kuatnya! Sungguh hebat dan besar laut dan gunung karang, dan betapa kecilnya kita ini!"
"Heh-he-he-he-he! Tepat sekali pendapatmu, muridku. Dan engkau akan kugembleng agar kelak engkau dapat memiliki kedahsyatan dan keganasan gelombang laut kidul, memiliki ketenangan yang dingin dan daya tahan yang kokoh kuat dari gunung-gunung karang! Ha-ha-ha!"
Demikianlah, tanpa diketahui oleh seorang manusia pun, Nini Bumigarba yang telah mendapatkan seorang murid yang mencocoki hatinya, mulai menggembleng Retna Wilis dengan pelbagai ilmu dan aji kesaktian di pantai laut kidul yang sunyi itu.
Ternyata Retna Wilis amat suka tinggal di tempat ini. Selama hidupnya anak ini belum pernah melihat laut, semenjak lahir selalu berada di puncak Gunung Wilis. Kini, sekali berhadapan dengan laut dan gunung karang, ia terpesona dan menerima kesan yang menggetarkan jiwanya. Ia merasa seolah-olah lautan luas itu hidup, seolah-olah dapat melihat dewa-dewa penjaga laut yang perkasa, dapat melihat dewa-dewa penjaga gunung karang yang maha sakti dan ia ingin sekali dapat menjadi seperti mereka. Karena itu, ia tekun sekali belajar ilmu, mentaati segala perintah gurunya dan tidak ada perintah yang terlampau berat baginya.
Seringkali ia menerima latihan-latihan bertapa yang amat berat dari gurunya. Latihan bersamadhi duduk di atas pasir di tepi pantai sampai kalau air laut sedang pasang, ombak yang datang menenggelamkan tubuhnya dan kadang-kadang pasir itu sampai membenamnya sepinggang lebih. Namun, sedetik pun ia tidak pernah undur, tidak pernah meragu karena selain ia merasa yakin bahwa perintah gurunya itu demi untuk memperkuat dirinya, jasmani dan rohani, juga ia yakin bahwa gurunya tidak akan membiarkan dia mati dalam berlatih!
Kadang-kadang sampai dua hari dua malam ia dibiarkan saja oleh gurunya dalam keadaan seperti itu sehingga tubuhnya serasa membeku dan seolah-olah telah berubah menjadi batu karang sendiri yang kuat dan kokoh dalam menerima terjangan ombak! Ada kalanya Ia diharuskan bersamadhi di atas batu karang menerima gempuran gelombang, tak pernah berhenti tertimpa hujan dari air yang pecah berhamburan menghantam karang.
Setiap detik ia terancam bahaya, terhempaskan dari atas karang dan kalau hal ini terjadi, tentu tubuhnya akan diangkat oleh gelombang dan dibanting hancur ke atas batu-batu karang! Namun, Retna Wilis tetap mentaati semua perintah gurunya dan keyakinan ini memang bukan membuta karena sesungguhnya, setiap saat Nini Bumigarba menjaga muridnya dengan wajah berseri penuh kegembiraan dan kebanggaan!
Kalau matahari sedang teriknya, dan pantai pasir itu seolah-olah terbakar mengeluarkan uap dari bawah, Retna Wilis diharuskan bersamadhi di atas pasir yang panas sekali. Di bawah tubuhnya, pasir panas dan uap dari bawah itu seolah-olah memanggang tubuhnya, adapun dari atas, sinar matahari secara langsung menimpa tubuhnya sehingga kalau habis berlatih seperti ini, kulit tubuhnya menjadi gosong dan menghitam!
"Muridku, Retna Wilts yang tersayang," kata Nini Bumigarba setelah setahun lebih muridnya digembleng menghimpun kekuatan dengan cara bersamadhi yang aneh-aneh dan amat sukar. "Engkau mulai dapat menerima inti tenaga sakti yang timbul dari gelombang lautan dan ketenangan batu karang yang mengandung hawa dingin. Secara langsung engkau dapat menahan hawa dingin yang timbul dari latihan melawan ombak laut. Sebaliknya, berlatih di atas pasir panas di bawah terik matahari, engkau dapat menerima inti tenaga sakti dari matahari dan dari uap bumi. Latihan-latihan itu berat, namun manfaatnya besar sekali, muridku. Dengan dasar tenaga sakti yang kau terima intinya dari kekuatan alam ini, kau akan dapat menghadapi aji-aji pukulan lawan yang hanya mempunyai dasar dua itu pula, dan engkau akan dapat kelak menerima latihan-latihan aji pukulan yang hebat-hebat. Tahukah engkau, aji-aji pukulan apa yang dimiliki ibumu dan yang telah diajarkan atau diterangkan kepadamu?"
Retna Wilts mengangkat mukanya. Bocah ini usianya baru sebelas dua belas tahun, dan baru setahun lebih berada di situ, namun pandang matanya kini sudah jauh bedanya dengan setahun yang lalu. Pandang matanya penuh kesungguhan, sikapnya penuh ketenangan, tarikan bibirnya penuh keangkuhan dan kepercayaan kepada diri sendiri, sehingga ia telah memiliki himpunan sifat-sifat batu karang, lautan, dan pasir panas di bawah timpaan sinar matahari!
"Biarpun aku belum banyak menerima pelajaran aji pukulan dari ibu, akan tetapi menurut keterangan ibu, dia memiliki aji pukulan ampuh seperti Pethit Nogo, Wisangnolo, dan Gelap Musti, Eyang."
Nenek itu mengangguk-angguk. "Engkau telah menyaksikan dahulu ketika ibumu mencoba memukulku sampai dua kali dan aku sama sekali tidak roboh, bahkan ibumu yang terpental. Mengapa? Pertama ibumu menggunakan aji pukulan Pethit Nogo yang biarpun belum kukenal, akan tetapi dapat kuketahui dasarnya, yaitu dengan dasar hawa sakti yang panas. Tentu saja dengan mudah aku dapat menerimanya karena inti tenaga sakti panas di dalam tubuhku jauh lebih kuat, sehingga pukulannya itu seperti setitik air memasuki jembangan penuh air, amblas tidak terasa. Demikian pula dengan pukulan ke dua. Pukulan ke dua ini kukenal baik, karena itu adalah pukulan Wisangnolo yang didapatkan ibumu dari gurunya, Si Mamangkoro! Heh-he-he! Tentu saja pukulan itu tidak ada artinya bagiku karena aji itu adalah ciptaanku sendiri! Nah, sekarang engkau mengerti betapa pentingnya melatih diri dengan Samadhi yang menghimpun hawa-hawa murni untuk menciptakan tenaga sakti. Maka, kau belajar dan berlatihlah terus dengan penuh ketekunan, setelah engkau berhasil, baru aku akan menurunkan aji-aji pukulan yang maha sakti."
Retna Wilis mengangguk. "Aku mengerti, Eyang. Aku tidak merasa puas sebelum dapat memiliki ketenangan dan kekuatan dan daya tahan seperti gunung karang."
"Heh-he-he-he, jangan khawatir. Engkau akan memiliki kedigdayaan seperti aku! Cuma satu hal yang kupesanka agar engkau ingat-ingat betul, muridku! Semua kesaktian itu akan musnah dan luntur hanya oleh satu hal..."
Retna Wilis mengerutkan keningnya. Alis itu hitam panjang dan kecil, seperti dilukis saja menghias wajahnya yang cantik jelita, yang kini mulai jelas tampak menurun wajah ibunyal
"Hemm, harusnya Eyang memberi tahu kepadaku apa pantangan itu, karena hal itu penting sekali agar jangan sampai aku melanggarnya di luar kesadaranku."
"Pantangannya adalah kelemahan batin yang tidak mampu menolak perasaan hati sendiri."
"Mengapa menurutkan perasaan dapat memusnahkan dan melunturkan kesaktianku, Eyang?"
"Perasaan hati yang dituruti amatlah berbahaya, muridku. Di antaranya adalah rasa suka, duka, takut, malu, dan marah. Manusia memang berperasaan dan di dalam hidupnya diombang-ambingkan oleh perasaan ini sehingga menjadi lemah dan menjadi hamba daripada perasaannya sendiri. Terutama sekali perasaan cinta kasih amatlah berbahaya dan segala kesaktianmu akan tiada gunanya sekali engkau dicengkeram oleh perasaan cinta ini. Maka, engkau harus memperkuat, harus dapat mengekang dan mengendalikan perasaanmu sendiri, kalau perlu engkau boleh membunuh perasaanmu!"
Retna Wilis masih terlampau kecil untuk mengetahui betapa tak mungkin ajaran ini dilaksanakan, kecuali kalau dia akan merubah diri menjadi iblis yang tidak berperasaan atau menjadi binatang. Akan tetapi karena dia hanya mempunyai satu keyakinan, yaitu bahwa di dunia ini gurunya inilah orang yang paling sakti mandraguna, paling benar, ia lalu mengangguk dan mencatat semua ajaran itu di dalam hatinya.
"Lihatlah samudera luas, muridku! Betapa dahsyatnya, betapa ganas dan garangnya, tak terlawan! Mengapa dia begitu sakti? Karena dia tidak sudi menjadi hamba perasaan, tidak mempunyai rasa sayang, atau takut, atau kasihan, atau malu mau pun marah. Karena itu hebatnya bukan kepalang. Dan lihatlah gunung karang. Dia pun tidak berperasaan, maka demikian kokoh kuat menghadapi segala macam terjangan, tak pernah mengeluh, tak perduli akan keadaan di sekelilingnya. Karena itu ia tidak suka tidak duka dan kokoh kuat!"
Pelajaran yang keluar dari mulut Nini Bumigarba ini amatlah berbahaya bagi jiwa kanak-kanak yang sedang berkembang. Memang sesungguhnya mengandung filsafat yang amat tinggi, akan tetapi oleh karena keliru cara mengajarnya dan memang cara nenek ini mengajar pamrih dan juga terpengaruh oleh pengalaman-pengalaman pahit getir di waktu mudanya, maka pelajaran ini tidak akan memberi kebekuan terhadap duniawi dan kelembutan dalam watak, melainkan akan menjadikan orang membeku dan kehilangan perasaan peri kemanusiaan!
Pelajaran semacam ini dijatuhkan ke dalam hati Retna Wilis yang pada dasarnya memang keras hati karena selama ini terpengaruh watak dan sifat ibunya. Tentu saja amat berbahaya bagi gadis itu sendiri yang tanpa disadarinya telah digembleng oleh gurunya menjadi seorang yang selain maha sakti seperti gurunya, dalam hal perasaan malah lebih mengerikan daripada gurunya!
Namun Retna Wilis menjadi amat tekun belajar semenjak menerima nasehat gurunya ini. Seringkali ia bermenung sampai berjam-jam memandang laut yang nengganas dan memandang batu karang yang kokoh kuat, menerima gempuran air yang pecah sendiri menjadi atom.
Air laut bergerak terus, sedetik pun tak pernah berhenti. Matahari dan bulan bergerak terus, kelihatan lambat namun tak pernah berhenti sedetik pun dan karena gerakan yang tiada hentinya ini maka waktu berlalu amat cepatnya, cepat akan tetapi tidak terasa dan kelihatn lambat, seperti gerakan bulan dan natahari. Seolah-olah baru kemarin dulu Retna Wilis tinggal di pantai Teluk Prigi atau Segoro Wedi. Seolah-olah baru beberapa hari ia datang di tempat itu bersama gurunya.
Padahal, telah lima tahun ia berada di tempat itu dan kini Retna Wilis bukanlah bocah lagi, melainkan telah menjadi seorang gadis remaja yang amat elok wajah dan bentuk tubuhnya. Wajahnya cantik jelita, ayu dan manis sekali, cemerlang karena bersih dan aseli, kecantikan yang wajar dan liar, seperti kecantikan setangkai bunga mawar hutan bermandi embun di antara duri-duri meruncing, seperti keindahan seekor harimau betina muda yang mengkilap bulunya, seperti keindahan ular yang bermata tajam dan berlidah merah meruncing dengan gerakannya yang lemas namun kuat, seperti Endang Patibroto di waktu muda.
Dia sendiri tidak tahu, karena ibunya tak pernah menceritakannya, bahwa keadaannya bersamaan dengan ibunya di waktu kecil. Ibunya, Endang Patibroto, di waktu kecilnya pun digembleng menuntut ilmu kesaktian di antara deburan ombak laut kidul dan batu karang yang kokoh kuat. Hanya bedanya, kalau ibunya digembleng oleh neneknya, dia digembleng oleh Nini Bumigarba yang memiliki kesaktian yang jauh lebih tinggi daripada ibunya dan neneknya, digembleng tidak hanya dengan aji kesaktian, melainkan juga dengan ilmu kebatinan yang aneh, yang membuat dia bagaikan membaja lahir batinnya.
Siapa pun orangnya yang berjumpa dengan Retna Wilis, tentu akan terpesona dan tentu akan tergetar batinnya oleh bermacam perasaan yang mengaduk hati. Ada rasa kagum tentu, terutama bagi pria, menyaksikan wajah yang demikian cantik jelita, rambut yang hitam halus dan panjang dilepas bebas, digelung sederhana di atas kepala agak ke belakang, sepasang daun telinga yang tersembul di antara ombak-ombak rambut menghitam tampak tipis dan indah lekukannya, lubang daun telinga yang kecil setiap hari berganti hiasan, ada kalanya batu karang merah, atau karang mengkilap, bahkan kadang-kadang bunga laut kering atau ujung supit udang atau kepiting! Namun, apa pun juga yang terselip dibawah daun telinga itu, selalu menambahkan manis wajah yang hebat itu!
Dahinya halus, bagian atasnya terhias sinom (anak rambut) yang halus melingkar-lingkar seperti puteri-puteri pemalu. Sepasang alisnya menjelirit kecil panjang, kedua ujungnya agak ke atas sehingga membayangkan keangkuhan, kelihatan berlawanan sekali dengan sepasang mata yang lebar memancarkan sinar bagaikan sepasang bintang di langit. Mata ini yang amat mempesona, bening dan amat tajam sinarnya, namun mengandung wibawa yang aneh, kesungguhan dan penuh pengertian seperti hanya terdapat dalam mata pendeta-pendeta yang sudah awas paningal.
Mata itu menyeramkan sinarnya, mengandung pengaruh yang merupakan ancaman, akan tetapi keseraman yang tersembunyi ini tertutup keindahan hiasan bulu mata yang hitam, panjang melentik dan demikian lebat sehingga sekeliling mata di mana bulu mata itu berakar kelihatan garis hitam seolah-olah pinggir mata itu diberi coretan hitam. Hidungnya kecil mancung, dan mulutnya merupakan imbangan keindahan matanya.
Mulut itu manis bentuknya, dengan sepasang bibir yang penuh menjendol, ukurannya kecil akan tetapi sedemikian rupa sehingga daging di bawah kulit tipis merah seolah-olah setiap saat dapat pecah. Bentuknya seperti gendewa terpentang dan amatlah sayang bahwa mulut semanis itu jarang sekali tersenyum, apalagi tertawa, padahal kalau tersenyum tentu akan membuat dunia menjadi lebih cerah! Karena bibir itu selalu tertutup, maka deretan gigi yang putih bersih dan rapi merupakan mutiara-mutiara terpendam yang jarang dapat terlihat orang.
Wajah yang seperti wajah dewi kahyangan memiliki tubuh yang padat ramping dan semampai, berkulit kuning halus dan karena sikap dan pembawaannya mengandung daya kekuatan dahsyat, maka tubuh yang indah ini menyembunyikan kegagahan di balik keluwesannya.. Sungguh alam telah bermurah hati sekali kepada Retna Wilis yang dikaruniai jasmani sedemikian indahnya!
Takkan ada seorang manusia pun yang akan dapat mengira bahwa di dalam tubuh yang denok ini tersembunyi kesaktian yang amat dahsyat dan mengerikan! Selama lima tahun tanpa mengenal lelah, secara tekun sekali menerima gemblengan Nini Bumigarba, kini Retna Wilis merupakan seorang gadis remaja yang amat digdaya, sakti mandraguna dan di dalam tubuhnya terdapat aji-aji kesaktian yang tidak lumrah manusia.
Dara remaja ini amat suka tinggal di pantai Teluk Prigi, di darat bermain-main dengan kura-kura raksasa atau berlatih aji kesaktian, kadang-kadang ia menanggalkan seluruh pakaiannya, bertelanjang bulat menerjang ombak Laut Selatan, menyelam dan berenang berkejaran dengan ikan-ikan di laut sehingga kalau pada waktu itu ada yang melihat tentu akan mengira bahwa dia adalah seorang peri Segoro Kidul, atau puteri dari Ratu Roro Kidul sendiri!
Tubuhnya sedemikian penuh terisi hawa kesaktian sehingga ikan-ikan hiu yang banyak berkeliaran di bawah ombak, sama sekali tidak dapat mengganggunya, bahkan seringkali diganggu Retna Wilis, dipegang ekornya dan dilontarkan jauh ke atas permukaan air, dicengkeram sisinya dan dipatahkan taringnya!
Kalau menyaksikan muridnya seperti itu, Nini Bumigarba tertawa terkekeh-kekeh dengan penuh kebanggaan dan kekaguman. Di waktu ia muda dahulu, harus ia akui bahwa dia tidaklah sehebat muridnya ini. Namun ada kalanya Retna Wilis memandang ke arah utara, ke daratan di balik gunung karang di mana sayup-sayup tampak gerombolan hutan di lereng Pegunungan Seribu.
Pada suatu hari yang cerah, selagi Nini Bumigarba yang kini banyak menghabiskan waktunya untuk bersamadhi dan nenek itu kelihatan kini malas, Retna Wilis tak dapat menahan keinginan hatinya dan seorang diri ia lari ke utara dengan niat hendak melihat hutan di utara itu dan mencari buah-buahan kelapa atau pisang. Dia menggunakan kedua kakinya seperti orang biasa berlari, namun hasil larinya sama sekali tak dapat dikatakan biasa!
Tubuhnya berkelebat cepat sukar diikuti pandangan mata, dan lajunya melebihi larinya seekor kuda membalap. Sebentar saja ia sudah tiba di dalam hutan yang tampak dari Segoro Wedi. Setibanya di tempat yang penuh tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon besar itu, Retna Wilis menjadi gembira hatinya seperti seorang yang melihat benda-benda indah yang tak pernah dilihatnya.