Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 34
IA MELOMPAT ke sini, lari ke sana, melayang ke atas pohon-pohon, menyambit runtuh buah-buah kelapa, nyambar buah-buah nangka dan menangkap seekor kelinci gemuk. Ketika ia melemparkan semua buah dan kelinci yang sudah ia bunuh itu ke atas tanah kemudian ia melompat naik ke atas pohon sawo yang besar, memilih-milih sawo yang sudah masak, tiba-tiba ia mendengar suara orang bercakap-cakap. Retna Wilis yang berada di atas pohon itu cepat memandang dan tampaklah olehnya empat orang laki-laki berjalan mendatangi tempat itu.
Mereka adalah empat orang laki-laki yang bersikap gagah, yang tiga orang berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang seorang masih muda, paling banyak dua puluh tujuh tahun usianya. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap dan ketika mereka tiba di bawah pohon, Retna Wilis mendengar seorang di antara mereka, yang menggantungkan sebuah penggada besar di pinggangnya, berkata,
"Ki Warok Surobledug boleh dipercaya seratus prosen. Dia seorang satria sejati yang pada waktu ini menjadi ketua sekalian warok di Ponorogo. Dia boleh diajak berkawan dalam membela Jenggala. Kalau tidak sekarang orang-orang gagah bergerak untuk berdarma bhakti kepada Jenggala, menunggu sampai kapan?"
Tiba-tiba orang yang termuda, seorang yang bertubuh jangkung dan berwajah tampan menghentikan langkahnya, memandang ke arah buah-buah dan bangkai kelinci sambil berkata, "Ssttt... ada orang..."
Tiga orang kawannya berhenti juga. Tadi mereka asyik bercakap-cakap sehingga tidak melihat buah-buahan itu. Kini mereka menghentikan percakapan dan kesemuanya berhenti di bawah pohon sawo, memandang ke kanan kiri. Pemuda itu tiba-tiba menengadah lalu tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha! Kiranya ada seekor monyet betina di atas pohon!"
Tiga orang kawannya memandang ke atas dan mereka pun tertawa. "Jayus! Jangan bicara sembarangan!" bentak laki-laki yang membawa penggada ketika ia melihat bahwa yang dikatakan monyet betina itu adalah seorang gadis remaja yang amat jelita. Karena melihat seorang dara berada di atas pohon sehingga dari bawah tampak betis memadi bunting dan sebagian paha yang berkulit halus putih di balik kain yang tersingkap, empat orang laki-laki itu tidak dapat mengalihkan pandang matanya.
Retna Wilis adalah seorang dara yang menjadi besar di tempat sunyi. Biarpun perasaan wanitanya membisikkan rasa tidak suka kepada empat orang laki-laki yang tersenyum-senyum menyeringai dan memandangnya dengan sinar mata panas penuh gairah, namun ia tidak tahu apa yang mereka pikirkan. la menekan kemarahannya ketika mendengar betapa orang muda itu tadi menyebutnya monyet betina. Lamurkah mata pemuda itu yang mengira dia monyet? Biarpun memanjat pohon, jelas bahwa dia berpakaian dan sama sekali bukan monyet!
"Ha-ha-ha, Paman Brojol, memang dia betina tetapi tentu saja bukan monyet, melainkan seorang dara jelita. Tadi kusangka monyet karena mana ada seorang perawan cantik memanjat pohon seperti monyet? Eh, perawan gunung yang jelita dan berkulit kuning, berbetis padi bunting dan berpaha... wah, engkau benar hebat. Turunlah!" kata Jayus, orang muda itu.
Retna Wilis mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak sudi turun. "Kalian mau apakah? Aku tidak ada urusan dengan kalian. Pergilah, jangan sampai aku kehilangan kesabaranku."
Suara Retna Wilis dingin, juga pandang matanya dingin sekali. Akan tetapi karena sebagian wajahnya terhalang daun-daun sawo, hal ini agaknya tidak tampak oleh Jayus yang tergila-gila melihat betis dan pahanya, sedangkan tiga orang laki-laki yang lebih tua, sungguhpun mereka bukan golongan mata keranjang dan pengganggu wanita, namun mereka maklum akan darah muda Jayus, hanya tersenyum saja, maklum pula bahwa Jayus hanya menggoda dara itu, tidak mempunyai niat yang buruk.
"Waduh-waduh, galaknya... Eh, genduk bocah ayu, turunlah dan mari kita bicara baik-baik. Kakangmu ini bernama Jayus, ingin berwawancara denganmu, bocah ayu. Kenapa mengusir kami pergi? Kalau engkau kehilangan kesabaran, engkau mau apakah?"
"Tidak mau apa-apa, hanya mau membunuh kalian!" jawab Retna Wilis, mulai jengkel, apalagi ia teringat nasehat gurunya bahwa semua pria di dunia ini tidak ada yang baik dan tidak ada yang boleh dipercaya omongannya. "Ingat, muridku. Pria-pria itu seperti sekawanan kumbang yang berhati palsu. Sebelum berhasil mendapatkan sari bunga, mereka beterbangan di sekeliling bunga, berdendang bernyanyi dengan suara merdu, membujuk rayu sehingga sang kembang akhirnya membuka kelopaknya. Celakalah sang kembang yang dengan mudah tunduk akan rayuan mereka dan membuka kelopaknya, karena kumbang-kumbang buas itu akan memasukinya dan menghisap habis sampai kering madu sari bunga dan setelah bunga itu mengering dan melayu, kumbang-kumbang itu pergi meninggalkannya tanpa pamit dan terima kasih, paling-paling meninggalkan kotorannya di kelopak bunga!" Demikianlah nasehat Nini Bumigarba sehingga di sudut hati dara jelita ini telah bertumbuh benih kebencian terhadap kaum pria.
Empat orang pria itu terkejut dan memandang terbelalak ke arah dara remaja yang berada di atas pohon sawo. Gilakah perawan ini? Mengancam hendak membunuh mereka, jagoan-jagoan terkenal dari Gunung Kelud? Empat orang ini terutama sekali si pemegang penggada adalah tokoh-tokoh Gunung Kelud, murid-murid Sang Panembahan Ki Ageng Kelud yang terkenal sakti mandraguna dan juga berwatak satria-satria perkasa.
Dan kini mereka diancam hendak dibunuh oleh seorang perawan yang baru berusia belasan tahun? Tiga orang yang sudah berusia hamper empat puluh tahun itu terbelalak dan terheran-heran, juga menjadi curiga karena sebagai orang-orang yang perpengalaman mereka dapat menduga bahwa perawan itu tentu tidak lancang begitu saja berani mengancam hendak membunuh mereka. Akan tetapi Jayus, yang masih muda dan darahnya lebih panas, tertawa bergelak dengan hati panas.
"Ha-ha-ha, perawan gunung bermulut besar! Engkau hendak membunuh kami? Wah-wah-wah, seekor kadal sekali pun akan mati karena tertawa mendengar kesombonganmu. Hayo turunlah dan bunuh aku kalau memang mampu. Apa engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan? Inilah Jayus, jangankan engkau, biar ada seorang raksasa betina sekali pun, sekali pegang dapat kulontarkan sampai terjatuh ke laut kidul. Haa-ha!"
"Engkau minta mati?" Tiba-tiba Retna Wilis melayang turun bagaikan gerakan seekor burung srikatan melayang dan tahu-tahu telah berada di depan Jayus yang memandang kagum akan tetapi tetap memandang rendah. "Engkau minta mati dan dilempar jauh? Boleh!" Setelah berkata demikian, dengan gerakan sembarangan Retna Wilis melangkah maju
Jayus cepat menggerakkan kedua tangan hendak menangkap dara yang baru sekarang ia lihat amat jelita seperti puteri kahyangan itu, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika kedua tangannya itu tak dapat ia gerakkan lagi karena ada angin yang menyambar dari perawan itu. Di lain saat, tangan kiri Retna Wilis menampar ke arah kepalanya.
"Prakkk!" Darah dan otak muncrat dari kepala yang pecah terkena tamparan dahsyat itu dan tangan kanan Retna Wilis mencengkeram pinggang, membuat gerakan melempar dan mayat Jayus melayang jauh sekali, terbanting ke atas tanah tak mampu bergerak lagi!
Tiga orang kawan Jayus berdiri seperti terkena hikmat, tak mampu bergerak, kemudian Ki Brojol, yaitu laki-laki brewok yang memegang penggada, sekali melompat telah mengejar tubuh Jayus yang dilontarkan. Ia berlutut sebentar dekat mayat itu, kemudian melompat lagi menghadapi Retna Wilis, mukanya merah, matanya melotot dan napasnya terengah-engah saking marahnya.
"Kau... kau... perawan iblis... kau telah membunuhnya...!!"
Dua orang kawannya juga marah sekali, yang memegang tombak sudah mengangkat tombaknya, yang memegang pedang sudah mencabut pedangnya sedangkan Ki Brojol sendiri sudah melepas penggadanya.
Retna Wilis berdiri dengan tenang menghadapi tiga orang laki-laki tinggi besar yang marah-marah dan siap menerjangnya itu. "Dia minta mati sendiri, aku hanya memenuhi tantangannya. Kalian ini mau apa? Apakah juga minta mati seperti dia?"
Mendengar ucapan yang demikian tenang seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu, Ki Brojol dan dua orang kawannya bergidik, akan tetapi juga kemarahan mereka berkobar. Jayus telah tewas, padahal kawan mereka yang muda itu tidak melakukan sesuatu, hanya mengucapkan kata-kata menggoda kepada gadis ini.
"Perawan iblis! Siluman keji! Engkaulah yang harus mampus agar tidak mengotorkan dunia!" bentak Ki Brojol yang menjagli marah sekali.
Makiannya ini seolah-olah menjadi aba-aba bagi kedua orang kawannya karena mereka bertiga langsung menyerang Retna Wilis dengan tiga macam senjata mereka. Biarpun mereka itu adalah satria perkasa yang tentu saja tidak sudi mengeroyok seorang perawan bertangan kosong dengan menggunakan senjata, namun kematian kawan mereka terlalu hebat dan terlalu menyakitkan hati sehingga saking marah, mereka lupa akan sifat-sifat satria.
Gerakan mereka cepat dan kuat sekali, bagaikan kilat-kilat menyambar, tombak yang runcing menusuk ke arah lambung Retna Wilis, pedang menyambar ke lehernya dari belakang dan penggada di tangan Ki Brojol menghantam kepalanya! Namun Retna Wilis hanya berdiri diam tak bergerak, hanya masih bersikap seperti tadi, lengan kanan terangkat dengan siku ditekuk dan tangan kanan terbuka miring di depan dada, tangan kiri terkepal di pinggang kiri, kedua kaki terpentang ke depan belakang, sedikit pun tidak bergerak atau bergoyang, matanya terbelalak, berkedip pun tidak menghadapi datangnya serangan tiga senjata dahsyat itu. Biarpun kelihatannya tidak bergoyang, namun sesungguhnya ia telah mengerahkan aji kesaktian Argoselo yang membuat tubuhnya kebal dan kokoh kuat seperti batu hitam di gunung!
"Aahhhh...!"
"Hemm...."
"Celaka...!"
Seruan-seruan ini keluar dari mulut tiga orang pria itu. Mereka adalah satria-satria perkasa, tentu saja terkejut menyaksikan betapa lawan mereka, hanya seorang perawan remaja, sama sekali tidak mengelak atau menangkis serangan mereka. Mereka merasa tidak enak hati dan berbalik khawatir kalau-kalau serangan mereka akan mencelakakan dara yang tidak melawan ini, akan tetapi untuk menarik kembali senjata sudah terlambat sehingga mereka hanya mampu mengurangi tenaganya saja.
Namun, begitu tiga buah senjata itu secara berbareng menimpa lambung, leher dan kepala, mereka bertiga terkejut bukan main karena senjata mereka membalik keras dan pada saat itu tubuh Retna Wilis bergerak, tangan kanannya dengan jari terbuka berkelebat menyambar tiga kali menempiling kepada tiga orang lawannya dengan kecepatan yang tak dapat diikuti pandangan mata sehingga tak mungkln dielakkan lagi. Tamparan-tamparan itu tidak keras, seperti menyentuh saja, namun akibatnya mengerikan karena tiga orang laki-laki tinggi besar itu terpelanting roboh dengan mata mendelik dan napas putus, sedangkan muka mereka berubah menjadi hitam!
"Aduh Dewata pengatur jagat! Apa yang kau lakukan ini...?" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah seorang kakek yang agaknya datang tergesa-gesa dan berlari cepat.
Dari jauh, kakek ini sudah menyaksikan pertandingan-pertandingan itu, dan ia mempercepat larinya, namun ia terlambat dan ia masih berkesempatan menyaksikan betapa perawan remaja itu membunuh tiga orang lawannya dengan sekali gerakan saja.
Retna Wilis membalikkan tubuh memandang. Yang datang adalah seorang kakek tinggi besar bermuka kehitaman, bercambang bauk, matanya besar-besar menyinarkan keheranan, usianya sekitar enam puluh tahun, pakaiannya serba hitam, ikat pinggangnya atau kolornya berwarna merah, di pinggangnya terselip gagang senjata, sikapnya gagah dan berwibawa.
Retna Wilis tetap tenang saja dan ia memang bukan berpura-pura. Ia menganggap peristiwa itu biasa saja. Empat orang itu ingin mati, menantangnya, maka ia turun tangan membunuh mereka. Apa anehnya dalam hal ini? Kini kakek ini datang bertanya dan memandang penuh keheranan, maka ia menjawab,
"Engkau melihat sendiri apa yang kulakukan. Mereka minta mati dan aku memenuhi permintaan mereka. Engkau mau apa?"
"Babo-babo...! Selama hidupku, aku Ki Warok Surobledug baru sekali ini menyaksikan kekejaman yang melewati batas! Banyak sudah kumelihat pembunuhan, akan tetapi tidak ada yang sekeji ini! Banyak sudah kumelihat orang aneh dan sakti, akan tetapi baru sekarang aku melihat orang, apalagi seorang perawan remaja, seorang bocah dengan enak membunuhi orang dan bersikap tenang seperti habis menginjak semut-semut saja. Engkau siapakah, nini? Kulihat gerakanmu luar biasa sekali dan apa salahnya Ki Brojol dan saudara-saudaranya maka engkau membunuh mereka secara keji? Aku bukan seorang berpikiran dangkal, biarpun mereka ini sahabat-sahabat baikku dan kutahu mereka ini satria-satria perkasa, akan tetapi kalau mereka bersalah dan sudah selayaknya dibunuh, aku tidak akan membela mereka."
Retna Wilis mengerutkan alisnya. Ucapan kakek raksasa ini sukar dimengerti, akan tetapi dia merasa tidak senang mendengar orang ini banyak bicara dan ribut-ribut hanya karena dia membunuh empat orang kasar tadi!
"Aku tidak ada waktu banyak bicara, kau pergilah. Kecuali kalau engkau seperti empat orang itu minta mati, tentu. akan kupenuhi permintaanmu!"
Sepasang mata yang lebar itu makin terbelalak. Ki Warok Surobledug adalah seorang tokoh besar di Ponorogo, sakti mandraguna dan tak pernah merasa gentar menghadapi lawan yang bagaimana pun juga. Akan tetapi sekali ini, melihat dari jauh betapa dara remaja ini sekali bergerak membunuh sahabat-sahabatnya yang sakti, kemudian melihat dara remaja yang cantik jelita ini bersikap dingin dan tenang, setenang batu karang, bertanya dengan suara dingin apakah dia minta mati, benar-benar membuat bulu tengkuknya meremang. Bahkan ia diam-diam menduga apakah dara ini bukan manusia melainkan iblis betina sendiri yang suka mengganggu manusia.
"Biar aku sudah tua bangka, akan tetapi tentu saja aku tidak minta mati nini! Aku hanya ingin mendengar mengapa engkau membunuh sahabat-sahabatku itu dan...."
"Engkau ini laki-laki cerewet amat! Aku tidak ada waktu melayanimu...!" Retna Wilis memunguti buah-buah dan bangkai kelinci, kemudian tanpa menoleh lagi meninggalkan Ki Warok Sirobledug yang berdiri melongo.
"Hei! Tunggu...!!" Kakek Itu meloncat dan seperti Sang Harya Werkudara ia melangkah lebar dan cepat sekali telah menyusul Retna Wilis yang berjalan seenaknya, menghadang di depan dara itu.
Retna Wilis makin tak senang hatinya. Kedua tangannya penuh dengan bawaan dan kini kakek itu menghadang jalan. Ia melangkah terus, kemudian menggerakkan sikunya mendorong tubuh kakek itu sambil berkata. "Minggir! Mau apa menghadang jalan?"
Ki Warok Surobledug adalah seorang gagah perkasa yang sudah banyak pengalamannya. Melihat sepak terjang Retna Wilis tadi, ia sudah maklum bahwa perawan ini memiliki kedigdayaan yang menggiriskan, maka kini melihat dara itu menyikunya, ia tidak berani memandang ringan dan cepat ia memasang aji kekebatan untuk mengukur tenaga sakti dara yang patut menjadi cucunya itu.
"Dukkk!"
Siku kecil meruncing halus bertemu dengan perut gendut yang penuh hawa kekebalan dan akibatnya tubuh Ki Warok Surobledug terjengkang dan roboh! Retna Wilis berjalan terus seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ki Warok Surobledug yang merasa betapa perutnya seperti diseruduk tanduk banteng, meloncat bangun, agak terengah dan merasa terheran-heran bercampur rasa penasaran. Hal yang kelihatannya tak mungkin sama sekali telah terjadi. Kekebalannya yang amat kuat, tubuhnya yang biasanya sanggup menerima hantaman senjata apa pun juga, kini bobol hanya oleh pukulan siku seorang perawan remaja!
"Eh, tunggu dulu, nini...!" Dengan hati penasaran ia mengejar lagi.
Retna Wilis menjadi kesal hatinya. Ia menoleh dan melihat raksasa itu mengejar. Ia lalu mengerahkan tangan kiri, berseru, "Engkau menjemukan!"
Ki Warok Surobledug melihat datangnya sinar hitam menyambar. Ia cepat menggerakkan tangan kiri, membuka tangan itu dan telapak tangannya yang penuh hawa sakti dan kebal, yang biasanya sanggup meremas hancur sebatang golok tajam lawan, mencengkeram benda hitam yang ia sangka tentu senjata rahasia lawan. Ia bergerak sigap dan berhasil menangkap benda itu, akan tetapi tak terasa mulutnya mengeluarkan teriakan karena telapak tangannya terasa sakit bukan main.
Ketika ia melihat tangannya, ia terkejut dan hatinya berdebar tegang melihat telapak tangannya luka parah, kulit telapak tangannya pecah dan ada tiga buah benda hitam menancap di telapak tangan sedangkan seluruh tangan itu basah oleh darahnya sendiri dan oleh benda kuning yang lembek dan hancur. Ia mencium bau yang amat dikenalnya, akan tetapi masih ragu-ragu dan mendekatkan tangannya ke depan hidung.
"Ya Dewata Yang Maha Agung...!" Ia berseru, hampir tidak percaya, keheranannya mengatasi rasa nyeri.
Ternyata bahwa yang dipakai dara itu menyerangnya adalah sebutir buah sawo yang sudah masak! Sawo yang lunak karena sudah masak itu pecah di telapak tangannya dan tiga buah biji sawo melukai telapak tangannya, sedangkan daging dan kulit sawo itu biarpun lunak, ternyata dapat membuat telapak tangannva pecah-pecah! Ia mengangkat muka memandang dan lebih terheran-heran lagi dia ketika melihat bayangan dara itu seperti terbang saja bergerak ke arah selatan, "Jagad Dewa Bathara... adakah dia penjelmaan Kanjeng Ratu Roro Kidul...?"
Hati Ki Warok Surobledug yang biasanya tak pernah mengenal takut itu kini menjadi gentar. Ia maklum bahwa kalau gadis itu tadi menyerangnya dengan senjata keras, dengan batu misalnya, tentu dia tak hidup lagi. Baru sebutir sawo saja sudah membuat tangannya yang kebal pecah-pecah! Berkali-kali kakek ini menghela napas, kemudian dengan memaksakan diri mengatasi rasa nyeri tangan kirinya, ia menggali lubang dan mengubur jenazah empat orang sahabatnya itu di tempat itu juga. Kemudian, setelah berkali-kali memandang ke arah selatan, ia lalu pergi dengan cepat menuju ke Gunung Kelud yang berada di utara melaporkan peristiwa mengerikan itu kepada Ki Ageng Kelud.
Bagi Retna Wilis, peristiwa yang terjadi tadi bukan apa-apa, sama sekali tidak ia pikirkan lagi, bahkan setelah ia tiba di pantai dan menyuguhkan buah-buahan kepada Nini Bumigarba, ia telah lupa akan pembunuhan-pembunuhan yang ia lakukan di hutan itu.
"Retna Wilis muridku yang denok, muridku yang tercinta!" kata Nini Bumigarba yang sudah duduk bersila dalam guha batu karang ketika nenek ini melihat datangnya muridnya membawa buah-buah sawo dan kelapa. "Ah, hal ini berarti bahwa tak lama lagi kita akan saling berpisah."
Retna Wilis memandang nenek itu, hatinya merasa tak enak, akan tetapi ia menekan batinnya yang sudah amat kuat sehingga rasa tak enak ini segera lenyap di bawah kekuatan kemauannya yang membaja.
"Mengapa Eyang berkata demikian? Aku hanya bermain-main di hutan, mengambil buah, membunuh kelinci dan babi hutan!" Terbayang wajah empat orang laki-laki tinggi kasar yang dibunuhnya. Memang mereka itu tidak lebih hanyalah babi-babi hutan berkaki dua, pikirnya.
"Sudah menjadi kehendak Hyang Sukma, muridku. Sepandai-pandainya manusia, tak mungkin ia dapat menguasai nyawanya sendiri. Aku sudah merasakan getaran firasat dan sudah siap menghadapi segala yang mungkin terjadi."
"Apakah yang Eyang maksudkan?"
"Engkau tak perlu tahu. Dapat mengetahui sebelum terjadi merupakan ilmu yang hanya akan menimbulkan sengsara dalam hati sendiri. Cukup kalau kau ketahui bahwa kita takkan lama lagi tinggal bersama di sini. Karena itu, perhatikanlah pesanku baik-baik. Selama lima tahun ini aku telah menurunkan semua aji-ajiku kepadamu dan biarpun murid Ekadenta sendiri tidak akan mudah menandingimu."
"Siapakah murid Ekadenta, Eyang?"
"Kelak engkau akan mengetahui sendiri. Ingat baik-baik bahwa engkau kelak harus dapat mengalahkan murid Ekadenta. Dengarkah engkau? Kalahkan dia. Tunjukkan bahwa murid Sarilangking atau Bumigarba tidak kalah oleh murid Ekadenta. Kalau perlu, untuk mengalahkannya, engkau boleh membunuh dia!"
"Apakah dia sakti sekali, Eyang?"
"Tidak ada yang dapat melebihi kesaktianmu, muridku. Memang dia mewarisi ilmu-ilmu kesaktian, akan tetapi sebelum berpisah, aku akan menurunkan hawa Wisalangking ke tubuhmu dan dengan hawa itu, engkau akan dapat mengalahkan lawan yang memiliki kesaktian melebihimu! Akan tetapi, untuk menerima Wisalangking engkau harus berpuasa membersihkan lahir batinmu selama tiga hari tiga malam."
"Baik, Eyang, akan kulakukan mulai sekarang juga."
"Dengarlah dulu pesanku ini. Setelah aku pergi dan engkau sudah memiliki hawa Wisalangking, engkau harus berlatih mempergunakan hawa itu di sini, seorang diri, selama belum ada tanda yang akan tampak olehmu. Engkau ingat akan bintang kehijauan di sebelah timur laut yang tampak tiap malam tanpa bulan?"
"Yang Eyang katakan sebagai bintang yang berkuasa di Jenggala pada saat ini dan tampak tersembul di puncak yang seperti cengger jago itu?"
"Benar. Kau lihat baik-baik. Selama bintang itu masih ada di langit, engkau tidak boleh pergi dari sini. Akan tetapi, begitu kau lihat bahwa bintang itu lenyap dari angkasa, engkau harus cepat pergi meninggalkan tempat ini, kembali ke tempat kelahiranmu."
"Di Wilis?"
"Benar. Kembalilah ke puncak Wilis dan engkau taklukkan semua penduduk di seluruh wilayah Gunung Wilis. Engkau harus menjadi seorang ratu, seorang puteri yang disembah-sembah di Wilis dan tak seorang pun boleh melanggar wilayahmu. Ingat, siapa pun adanya dia, yang berani mencoba untuk mengganggu wilayahmu, boleh kau bunuh. Tidak perduli dia itu mengaku ibumu, atau ayahmu, atau siapa saja. Engkau akan menjadi Ratu Wilis dan mengumpulkan kekuatan, menyusun pasukan sehingga kelak engkau akan menyerang kerajaan keturunan Mataram! Inilah cita-citaku mengapa aku bersusah payah mendidikmu, Retna Wilis. Mengertikah engkau?"
"Aku mengerti, Eyang."
"Dan engkau akan mentaati pesanku? Kalau engkau tidak sanggup, sekarang juga engkau akan kulenyapkan dari muka bumi!"
"Aku taat dan sanggup melaksanakan semua perintahmu."
"Bagus, engkau memang muridku yang amat baik. Dan jangan lupa. Di bawah karang Kukura di barat itu, di bawah air ulekan (air berpusing) terdapat gua di dalam lautan, gua yang bersambung dengan karang Kukura, menjadi dasar karang. Setelah aku pergi dan setelah hawa Wisalangking di tubuhmu kuat benar, kau pergilah ke sana, menyelam dan masuki gua di bawah air laut. Di sana terdapat sebuah peti kecil berisi sebatang pedang pusaka. Pedang itu adalah pedang pusaka Sapudenta, setelah kupakai sampai seratus tahun, kusimpan di sana agar dapat menyedot hawa sakti Segoro Kidul. Pedang itu tadinya kusediakan untuk menundukkan Ekadenta, akan tetapi sekarang terlambat dan engkaulah yang akan menggunakannya untuk menundukkan murid Ekadenta."
"Baiklah, Eyang. Masih ada pesan lagi?"
"Ingat akan dua nama ini. Biku Janapati dan Wasi Bagaspati. Mereka itu adalah dua orang bekas sekutuku, boleh kau jadikan sahabat karena mereka mewakili negara-negara yang kuat dan yang kelak perlu kau dekati agar dapat membantumu menundukkan seluruh bumi Jawa di mana engkau akan menjadi ratunya. Akan tetapi tentu saja engkau tidak perlu tunduk kepada mereka, hanya permintaan-permintaan mereka itu asal pantas dan tidak memberatkan hatimu, boleh kau penuhi, boleh kau bantu agar kelak mereka tidak segan-segan untuk mendatangkan pasukan-pasukan Negara mereka dan membantu tercapainya cita-citamu."
Di dalam hatinya Retna Wilis tidak setuju dengan ucapan terakhir ini. Ia sama sekali tidak bercita-cita untuk menjadi ratu dan cita-cita itu hanyalah merupakan idaman hati gurunya dan kalau kelak ia laksanakan juga semata untuk memenuhi permintaan gurunya. Pada saat ini, dia sama sekali tidak mempunyai cita-cita untuk menjadi ratu!
"Dan yang terpenting daripada semua pesanku adalah pesanku yang telah berulang kali kukatakan kepadamu, yaitu jangan sampai engkau jatuh cinta kepada seorang pria! Gurumu ini merana dan menderita lahir batin hanya karena telah berbuat bodoh sekali, yaitu jatuh cinta kepada seorang pria."
"Kepada Ekadenta?"
"Ih, bagaimana kau bisa tahu?"
"Mudah saja, Eyang. Eyang sendiri berkali-kali menasehati agar aku tidak mencinta, tidak pula membenci. Akan tetapi Eyang kelihatannya amat membenci Ekadenta sehingga Eyang menciptakan pedang pusaka dan mendidik aku untuk kelak mengalahkan muridnya. Eyang amat membenci Ekadenta, tentu karena amat mencintanya."
"Wah-wah, kiranya perasaan wanitamu masih halus dan peka! Aku khawatir sekali, Retna Wilis."
"Tak perlu khawatir, Eyang. Aku tidak akan pernah jatuh cinta kepada siapa pun juga. Laki-laki seperti babi hutan!" Ia teringat akan Jayus dan tiga orang kawannya yang dibunuhnya di hutan.
Demikianlah, sejak hari tadi sampai tiga hari tiga malam lamanya, Retna Wilis berpuasa dan yang dilakukannya selama tiga hari tiga malam ini hanya duduk bersila memejamkan mata, bersamadhi mengheningkan cipta, ditujukan untuk membersihkan dan membuka lahir batinnya untuk menerima ilmu yang oleh gurunya disebut dengan nama Aji Wisalangking.
Memang amat mengagumkan dan patut dipuji keteguhan hati dan kekuatan kemauan dara ini. Selama lima tahun ia selalu berada di pantai dan setiap hari hanya makan tetumbuhan laut dan ikan. Kini, baru saja ia mendapatkan buah-buahan dan daging kelinci, sebelum menikmati sedikit pun, ia telah berpuasa, namun sama sekali ia tidak terseret oleh selera dan nafsunya!
Buah nangka yang dibawanya pulang, makin masak dan kalau malam mengeluarkan bau yang sedap menggugah selera. Namun, perasaan Retna Wilis sedikit pun juga tidak terpengaruh karena dalam keadaan samadhi seperti itu, penciumannya, seperti juga inderanya yang lain, seolah-olah mati untuk sementara, semua pancaindria telah "ditarik" ke dalam sehingga tidak terpengaruh oleh keadaan di luar tubuh.
Tiga hari kemudian, Nini Bumigarba menyadarkan muridnya dari samadhi. Begitu Retna Wilis membuka mata dan pandang matanya kembali memasuki dunia, ia lalu diangkat bangun oleh gurunya, digandeng tangannya diajak pergi ke pantai sebelah barat di mana terdapat batu-batu licin dan di pantai ini, air laut amat bersih, tidak bercampur pasir.
Pada waktu itu, hari telah menjelang senja, langit gelap oleh awan mendung yang bunting tua dan bergerak-gerak seperti hidup, merupakan barisan raksasa-raksasa hitam yang tiada kunjung habis, bergerak dari selatan ke utara. Angkasa yang gelap oleh mendung itu kadang-kadang dibakar kilat berceleret, seperti senjata-senjata pusaka para pemimpin barisan itu.
Keadaan di angkasa yang menyeramkan ini mempengaruhi air laut pula karena air laut tampak makin mengganas, suaranya bergemuruh dan ombak-ombak kecil tiada hentinya bergerak seolah-olah laut sendiri merasa gentar. menghadapi ancaman serangan barisan raksasa di angkasa itu. Alam sepenuhnya memperlihatkan kehebatan dan kekuasaannya yang maha besar dan menggiriskan hati manusia.
Dan dalam keadaan seperti inilah, Nini Bumigarba menyuruh muridnya berlutut di atas batu karang yang licin, sedangkan dia sendiri berdiri tegak di depan muridnya, dengan kedua kaki terpentang. Retna Wilis disuruh membuka tubuh bagian dalam untuk menerima hawa sakti.
Gadis ini berlutut dengan kedua lengan bergantung lepas, tubuh lemas karena selain berpuasa, juga ia melolos semua tenaga melawan agar dapat menerima hawa sakti dari gurunya. Air laut bergerak datang dan pergi lagi. Mula-mula hanya menyentuh lutut Retna Wilis dan mata kaki Nini Bumigarba, akan tetapi makin lama makin membesar sehingga ada kalanya air sampai merendam tubuh Retna Wilis sampai ke leher dan Nini Bumigarba sampai ke pinggang! Namun, dua orang itu tetap tidak bergerak, seolah-olah tidak merasakan ini semua.
Retna Wilis tetap berlutut menundukkan muka, adapun Nini Bumigarba masih berdiri tegak dan menengadahkan muka ke atas, seolah-olah sedang asyik menonton awan mendung berarak atau sedang memohon kepada para dewata yang dianggap bertempat tinggal di atas! Retna Wilis tetap menanti dengan penuh kesabaran, penuh kepasrahan dan penuh kepercayaan.
Tiba-tiba seluruh tubuh nenek tua itu menggigil, mula-mula seperti orang kedinginan, makin lama makin hebat dan perlahan-lahan nenek ini mengangkat kedua tangannya, terus digerakkan ke atas dengan sikap seolah-olah ia sedang menerima sesuatu dari atas, dari tangan yang tak tampak. Kemudian, perlahan-lahan ia meletakkan tangan kirinya menyentuh ubun-ubun kepala Retna Wilis, sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka tergetar hebat dan muncul-lah getaran-gataran hawa sakti menuju ke muka dan dada Retna Wilis.
"Muridku, terimalah hawa sakti Wisalangking...!" Suara Nini Bumigarba terdengar seakan-akan dari angkasa menghitam dan dari tangan kanannya yang mengeluarkan hawa mujijat itu tampak sinar menguap hitam, makin lama makin tebal menutup wajah Retna Wilis.
Ada sejam lamanya mereka berdua dalam keadaan seperti itu, tidak bergerak dan Retna Wilis merasa betapa seluruh tubuhnya penuh oleh hawa panas bergetar yang membuat tubuhnya menggigil. Akan tetapi dengan penuh kepasrahan ia tetap "membuka" dirinya untuk nenerima hawa sakti itu sebanyak dan sepenuhnya.
Setelah mendengar suara nenek itu mengeluh panjang, barulah Retna Wilis "menutup" dirinya dan membuka mata. Ia melihat nenek itu telah berlutut dengan lemas bahkan hampir terbawa hanyut oleh ombak yang datang. Cepat ia menyambar tubuh gurunya dan memondongnya, dibawa meloncat ke darat, kemudian dibawa kembali ke dalam guha di mana biasanya nenek itu duduk bersamadhi. Tubuh nenek itu lemas sekali, akan tetapi ketika Retna Wilis merebahkannya di atas tanah, ia tersenyum dan berkata lemah, "Berhasil baik... Wisalangking telah kupindahkan ke tubuhmu..."
Tiba-tiba Retna Wilis merasa perutnya mual dan ada hawa membumbung dari pusarnya, membawa bau yang amis sekali sehingga ia hampir muntah-muntah.
"Jangan khawatir... kerahkan hawa sakti di tubuh, tekan pusarmu, jangan membiarkannya keluar. Itulah pengaruh dari wisa (racun) Wisalangking. Biarkan dia terbiasa di tubuhmu, kalau kau sudah dapat menundukkannya, takkan terasa apa-apa..."
Mendengar ini, cepat Retna Wilis duduk bersila dan mengerahkan tenaga mengatur napas. Benar saja, rasa muak dan mual lenyap, bau amis pun hilang. Setelah keadaan diri sendiri baik kembali, mulailah Retna Wilis merawat gurunya yang kelihatan lemah sekali. Sampai semalam suntuk dara remaja ini merawat gurunya tanpa banyak cakap, menyuapkan pisang ke dalam mulut gurunya dan ia sendiri pun mulai mengisi perutnya dengan buah-buah yang ia ambil dari hutan tiga hari yang lalu.
Pada keesokan harinya, Retna Wilis melihat betapa wajah gurunya telah banyak berubah. Kini nenek itu kehilangan seri wajahnya, kehilangan sinar yang membayangkan semangat, tampak layu dan juga kentara sekali ketuaannya. Akan tetapi kesehatannya agaknya sudah pulih dan nenek itu sudah dapat keluar dari guha dan seperti biasa, bersama muridnya ia duduk berjemur matahari pagi di atas pasir.
"Kau ingat baik-baik pesanku kemarin dulu," nenek itu berkata. "Terutama sekali jangan pergi dari sini sebelum melihat tanda bintang. Sekarang perhatikan bagaimana engkau harus melatih diri untuk membangkitkan Wisalangking dalam tubuhmu dan mempergunakan hawa sakti itu dalam serangan pukulan." Nenek itu lalu memberi petunjuk-petunjuk yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Retna Wilis sehingga setelah matahari naik tinggi, dia sudah hafal akan semua teori penggunaan Aji Wisalangking. Setelah ia mengerti benar bagaimana harus melatih diri, Retna Wilis bertanya, "Eyang, mengapa Eyang kelihatan tergesa-gesa seperti ini? Eyang masih sehat dan kita tidak akan saling berpisah."
Nenek itu tersenyum, senyum yang menambah tua wajahnya, dan menoleh ke belakang, ke arah utara. "Tidak lama lagi... tidak lama lagi... lihat siapa yang datang itu!"
Retna Wilis dengan tenang menoleh dan ketika Ia melihat bahwa yang datang adalah Ki Warok Surobledug yang tempo hari ia lukai bersama seorang kakek tua berambut putih dan tubuhnya gemuk pendek, ia lalu bangkit berdiri.
"Eyang, dialah babi hutan tua yang pernah kujumpai di hutan dan kulukai. Dia datang lagi bersama seorang kakek tua, entah mau apa dia!"
"Hi-hi-hik, jadi ketika kau bilang telah membunuh empat ekor babi hutan kemarin dulu, kau maksudkan empat orang laki-laki? He-he-heh, sekarang kau boleh hadapi mereka, hendak kulihat bagaimana sepak terjang muridku!" Nenek itu memutar tubuh menghadap ke utara, masih duduk bersila dan wajahnya yang tadinya keruh dan kusut itu mendapatkan kembali semangat dan agak berseri.
Retna Wilis sudah mengebutkan pakaiannya untuk membersihkannya dari pasir dan ia melangkah maju tiga tindak lalu berdiri menanti datangnya dua orang kakek itu. Dia tidak memandang kepada Ki Warok Surobledug yang dianggapnya ringan, melainkan memandang kakek rambut putih yang datang bersama warok itu. Kakek ini pendek dan gemuk sekali, wajahnya bersih tanpa kumis dan jenggot, mulutnya tersenyum penuh kesabaran, dan usianya tentu sudah mencapai sedikitnya tujuh puluh tahun. Jubahnya berwarna kuning, dengan lengan baju lebar sekali sehingga kedua tangannya tertutup. Langkahnya ringan dan halus, namun dapat mengimbangi kecepatan langkah Ki Warok Surobledug yang lebar-lebar. Begitu tiba di tempat itu, kakek rambut putih itu lalu membungkuk kepada Nini Bumigarba dan berkata dengan suara halus,
"Duhai Sang Hyang Wishnu pengatur seluruh jagat raya yang maha sakti! Kiranya Paduka berada di sini, Nini Bumigarba? Ah, sekarang tidak heran lagi aku mengapa keempat orang muridku tewas di daerah ini. Akan tetapi, mengapa setelah berusia sepuh sekali Paduka masih membiarkan murid Paduka mengganas dan melakukan pembunuhan secara keji?"
Nini Bumigarba menyeringai, sepasang matanya kelihatan berseri seperti orang merasa geli dan gembira. "Wah, andika telah mengenalku, akan tetapi siapakah andika ini, yang berbau pertapa di gunung?"
"Saya yang bodoh adalah Panembahan Ki Ageng Kelud, tentu saja Paduka tidak pernah mendengar nama saya yang kecil dan tidak terkenal, sebaliknya siapakah yang tidak mengenal nama besar Ni Dewi Sarilangking atau Nini Bumigarba?" jawab kakek itu, sikapnya penuh hormat. "Tidak sekali-kali saya berani mengotorkan tempat Paduka dengan kaki saya kalau saja empat orang murid saya tidak terbunuh secara kejam oleh dara ini yang kalau saya tidak salah menduga adalah Murid Paduka."
"Memang benar, dia ini muridku bernama Retna Wilis, Perawan Lembah Wilis dan calon ratu di Wilis!"
"Kalau begitu, saya mohon keadilan Paduka, dan ingin mengetahui mengapa empat orang murid saya terbunuh oleh murid Paduka. Padahal, sepanjang ingatan saya, dengan penuh ketelitian saya mendidik murid-murid saya sehingga berkat bimbingan dan berkah Sang Hyang Wishnu, mereka telah menjadi satria-satria yang menjunjung kebenaran dan keadilan, menjadi pahlawan-pahlawan pembela nusa bangsa."
"Heh-heh-heh, Ki Ageng Kelud. Ucapanmu seperti omongan bocah yang masih ingusan! Seorang pertapa tua seperti andika ini masih bertanya mengapa mereka mati? Heh-heh, tentu saja mereka mati karena sudah semestinya mati! Kalau Sang Hyang Shiwa tidak menghendaki, bagaimana mereka dapat mati? Mengapa seorang seperti andika, yang kuduga telah puluhan tahun bertapa dan mengejar ilmu, masih bertanya tentang mati dan hidup? Apakah andika sudah sedemikian sakti mandraguna sehingga hendak mengingkari dan melawan kehendak Sang Trimurti?"
Kakek berambut putih itu mengangguk dan berkata lagi, suaranya masih penuh dengan kehalusan yang mencerminkan kesabaran yang sudah mendalam, "Sama sekali tidak, Nini Bumigarba. Akan tetapi manusia terikat oleh kewajiban-kewajiban sebagai manusia, yang dinamai peri kemanusiaan dan saya hanyalah seorang manusia biasa yang tentu saja tak dapat melepaskan diri daripada ikatan kemanusiaan. Hidup dan mati berada di tangan Dewata, hal ini tak dapat disangkal lagi. Segala akibat adalah urusan dan tugas para dewata. Akan tetapi sebab-sebabnya berada di tangan manusia karena kewajiban untuk berikhtiar, untuk berjaga dan mengatur segala perbuatannya akan menjadi sebab timbulnya akibat. Empat orang muridku sudah mati, hal itu tidak saya ributkan karena saya mengerti bahwa kematian mereka sudah dikehendaki oleh Dewata. Akan tetapi, yang saya uruskan adalah sebab kematian mereka, karena sebab ini tentu diperbuat oleh manusia! Andaikata empat orang muridku itu tewas dalam perang membela nusa bangsa, saya akan tersenyum puas karena sebab kematiannya adalah sebab yang luhur dan utama. Andaikata mereka tewas dalam membela kebenaran, hal itupun akan memuaskan hati. Akan tetapi, saya mendengar dari Ki Warok Surobledug ini bahwa empat orang murid saya mati secara sia-sia, tanpa sebab yang patut mereka tebus dengan nyawa. Sudah menjadi kewajiban saya sebagai guru mereka dan sebagai manusia untuk mengurus hal ini, Nini Burrugarba."
"Heh-he-he-he! Agaknya puluhan tahun andika bertapa hasilnya mendapatkan ilmu berdebat! Kematian murid-muridmu disebabkan oleh perbuatan muridku. Nah, dia berada di depanmu, kau uruslah dengan dia!"
Ki Ageng Kelud membungkuk kepada nenek itu. "Terima kasih atas izin yang Paduka berikan, Nini Bumigarba." Kemudian ia menoleh dan menghadapi Retna Wilis yang masih berdiri dengan sikap tenang dan tak bergerak-gerak. "Nini, andika seorang dara yang masih remaja, masih bocah, harap andika suka memberi keterangan sejujurnya. Percayalah, aku adalah seorang tua yang tidak menurutkan nafsu hati dan sama sekali tidak ada nafsu amarah yang mendorongku menghadapimu. Katakanlah, mengapa andika membunuh empat orang muridku? Kalau memang mereka itu bersalah, yakinlah bahwa aku akan menerimanya dengan penuh pengertian dan keprihatinan."
Sampai lama Retna Wilis menatap wajah kakek itu dan Ki Ageng Kelud melihat betapa sinar mata dara itu mengandung hawa maut dan hawa dingin yang mendirikan bulu roma sehingga diam-diam kakek ini dapat menduga bahwa kelak tentu dara ini akan merupakan tokoh yang akan menggegerkan dunia, seperti gurunya di waktu muda. Diam-diam ia memanjatkan doa kepada para dewata untuk keselamatan bocah ini sambil menunggu jawaban yang akan keluar dari bibir yang berbentuk indah dan kemerahan itu.
"Ki Ageng Kelud, tidak ada apa-apa yang perlu diributkan. Empat ekor babi hutan yang menjadi muridmu itu pun tidak ada kesalahan apa-apa, hanya mereka itu minta mati dan aku meluluskan permintaan mereka. Apa sih anehnya?"
Ki Ageng Kelud terbelalak kaget. Dara itu masih bocah, akan tetapi jawabannya begitu dingin dan lebih menyeramkan daripada sikap dan kata-kata Nini Bumtgarba sendiri! Dunia diancam malapetaka hebat yang merupakan diri bocah ini, pikirnya dan dia akan menghabiskan sisa hidup dan tenaganya untuk menentang ancaman bagi ketenteraman dunia ini.
"Nini, ceritakanlah. Bagaimana asal mulanya maka murid-muridku minta mati di tanganmu?"
Retna Wilis tidak sabar lagi, akan tetapi karena ia melihat betapa tadi gurunya melayani kakek ini, ia berpendapat bahwa kakek ini tentulah bukan orang sembarangan dan patut pula ia layani bercakap-cakap. Maka setelah menghela napas panjang ia berkata,
"Aku sedang memetik buah sawo ketika mereka datang. Yang paling muda memaksaku menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan menyuruh aku turun. Aku bilang bahwa mereka sebaiknya pergi saja karena kalau kesabaranku habis, mereka akan kubunuh. Yang paling muda itu menertawakan aku dan menantang supaya aku membunuhnya. Nah, karena dia sendiri yang minta mati, aku lalu turun dan membunuhnya. Tiga orang kawannya marah-marah dan menyerangku. Kutanya apakah mereka juga ingin mati, dan mereka menjawab dengan serangan senjata mereka. Kuanggap mereka itu hendak berbelapati, maka aku turun tangan membunuhnya. Kemudian muncul kakek ini, akan tetapi karena dia tidak minta mati, aku pun tidak membunuhnya, hanya menyambitnya dengan buah sawo agar dia tidak menggangguku lagi."
Ki Ageng Kelud memandang dan tertegun. Bukan main! Dara ini liar dan ganas sekali dan ia dapat membayangkan peristiwa itu. Murid-muridnya tewas dalam keadaan penasaran. Dara seperti ini kalau tidak dibasmi, kelak akan merupakan malapetaka bagi manusia-manusia lain. Ia menghela napas panjang dan berkata, "Nini Retna Wilis! Kalau aku si tua bangka ini minta mati di tanganmu, apakah engkau juga hendak membunuhku?"
Berkerut alis yang hitam menjelirit itu. "Sesungguhnya aku bukan algojo tukang membunuh orang, Ki Ageng Kelud. Akan tetapi, kalau engkau menghendaki demikian dan berusaha membalas dendam kematian murid-muridmu, silahkan, aku tidak akan mundur selangkah, sekarang maupun kapan saja."
"Heh-he-heh, pertapa gemblung (pandir)! Andika berani bertanding melawan Retna Wilis muridku yang sakti mandraguna? Heh-heh-heh!"
Ucapan ini jelas merupakan ejekan, karena sesungguhnya amat memalukan kalau seorang tokoh besar seperti Ki Ageng Kelud bertanding melawan seorang dara remaja yang masih bocah!
"Saya bertindak membela kematian murid-muris saya, kalau Paduka hendak membela murid Paduka, dan berkenan menamatkan hidup saya, silahkan, Nini Bumigarba," jawab kakek itu dengan suara halus. Ia maklum bahwa dia sama sekali bukanlah lawan Nini Bumigarba, akan tetapi kalau perlu, ia akan lawan juga, bukan hanya demi membalas kematian murid-muridnya, melainkan terutama sekalI untuk menghalau bahaya yang mengancam ketenteraman dunia.
"Heh-heh, apa kau kira akan dapat mengalahkan muridku? Ki Ageng Kelud, kalau andika bisa mengalahkan Retna Wilis, berarti andika telah mengalahkan aku pula!"
Mendengar ini, Ki Ageng Kelud diam-diam terperanjat sekali. Ia makium bahwa Nini Bumigarba adalah seorang yang kesaktiannya sukar dicari tandingnya dan bahwa seorang dengan kesaktian seperti nenek itu tidak ada alasan untuk bicara besar, maka ucapannya tadi berarti bahwa semua aji kesaktian nenek itu telah diwariskan kepada muridnya ini! Dia telah mendengar penuturan Ki Warok Surobledug akan kesaktian dara remaja itu yang amat luar biasa, dan kini ia baru benar-benar yakin bahwa dara ini merupakan lawan yang amat berbahaya dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
"Bagus! Saya menyerahkan nyawa di tangan Dewata kalau saya gagal membasmi pengaruh buruk yang mengotorkan dunia. Nini, bersiaplah engkau!"
"Majulah, Ki Ageng Kelud, aku siap membunuhmu seperti yang kau minta!" kata Retna Wilis, sikapnya dingin dan sama sekali tidak kelihatan tegang, seolah-olah dia tidak sedang menghadapi tantangan seorang lawan yang sakti.
Ketenangannya amat mengerikan sehingga Ki Warok Surobledug yang berdiri menonton di situ menjadi tegang dan merinding bulu tengkuknya. Biarpun dia sudah cukup yakin akan kesanggupan dan kedigdayaan Ki Ageng Kelud, namun kini ia merasa ragu apakah kakek yang dipujanya itu akan sanggup menandingi bocah yang tidak lumrah manusia, melainkan lebih tepat disebut wanita iblis ini.
Ki Ageng Kelud bersedakap dan menundukkan muka, mengheningkan cipta sejenak untuk berdoa kepada Dewata bahwa kini ia menghadapi sebuah pertandingan mati-matian tanpa pamrih untuk diri pribadi, tanpa dikendalikan nafsu, baik nafsu amarah maupun dendam, melainkan semata karena sadar dan yakin bahwa jika dara berwatak iblis ini tidak dibasmi, kelak akan mendatangkan malapetaka bagi manusia. Setelah ia mengangkat muka lagi, sepasang matanya mengeluarkan sinar bersemangat, kemudian ia melangkah maju menghampiri Retna Wilis.
Dara sakti itu memandang tak acuh, kemudian tubuhnya berkelebat maju dan tangan kirinya menampar secara sembarangan. Biarpun gerakannya sembarangan saja, namun di dalam kesederhanaan ini terkandung kekuatan dahsyat, seperti dahsyatnya pukulan ombak samudera menghamtam karang yang kelihatannya juga sembarangan saja namun dapat menggetarkan gunung karang!
Ki Ageng Kelud dapat merasa datangnya angin pukulan hawa sakti yang terbawa oleh tamparan itu. Ia menjadi kaget dan kagum sekali. Dalam detik itu maklumlah ia mengapa empat orang muridnya bukan lawan dara ini yang sesungguhnya memiliki tangan yang ampuhnya menggila. Namun, sebagai seorang tokoh tua, ia merasa tidak semestinya mengelak seperti orang takut menghadapi tamparan pertama lawannya yang masih bocah, maka dengan niat mencoba dan mengukur tenaga, Ia mengangkat lengan kanannya menangkis.
"Plakk!" Dua tenaga sakti bertemu melalui kedua lengan itu dan akibatnya, Retna Wilis dipaksa melangkah mundur tiga tindak, akan tetapi di, lain fihak, kakek itu terhuyung ke belakang sampai tubuhnya mendoyong miring.
Makin kagetlah Ki Ageng Kelud. Kini ia yakin bahwa tenaga sakti dara itu benar-benar hebat dan dia tidak perlu menaruh sungkan lagi karena biarpun masih bocah, namun dara ini merupakan lawan paling tangguh yang pernah ia hadapi. Cepat ia mengatur keseimbangan tubuhnya dan sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melayang ke atas dan bagaikan seekor burung garuda, ia telah menubruk dengan kedua lengan dipentang dan kedua tangan seperti sepasang cakar garuda mencengkeram ke arah pundak dan kepala Retna Wilis.
Hebat bukan main serangan balasan kakek ini. Ki Ageng Kelud memiliki sebuah ilmu yang amat dahsyat, ciptaannya sendiri selama dia bertapa di Gunung Kelud sampai puluhan tahun lamanya, ilmu yang belum pernah ia ajarkan kepada murid-muridnya karena selain terlalu dahsyat, juga ilmu ini amat sukar dipelajari, membutuhan tenaga sakti yang sudah mencapai puncak tinggi. Ilmu ini disebut Garuda Manang yang ia ciptakan dari gerakan seekor burung garuda yang sedang marah karena sarangnya yang berada di puncak randu alas digerumut seekor ular.
Menyaksikan gerakan garuda menyambar-nyambar dan akhirnya membunuh ular besar itu menimbulkan ilham bagi kakek sakti ini sehingga ia berhasil mencipta sebuah gerak silat yang selain dahsyat, juga amat sukar dipelajari, yaitu Aji Garuda Manang. Kini, menghadapi seorang lawan yang ia tahu amat tangguh, tanpa meragu lagi kakek ini menggunakan ilmu yang sudah dilatih masak-masak namun belum pernah ia pergunakan dalam pertandingan itu.
Retna Wilis adalah seorang dara gemblengan yang luar biasa, digembleng oleh seorang manusia yang memiliki kesaktian tidak lumrah, akan tetapi dia masih belum berpengalaman, amat percaya kepada diri sendiri dan tidak mengenal takut, juga tidak memandang sebelah mata kepada lawan yang mana pun juga. Kini, menghadapi terjangan Ki Ageng Kelud yang tubuhnya melayang di udara itu, Retna Wilis tidak bergerak, tidak menangkis tidak mengelak, melainkan diam menanti datangnya serangan sambil mengerahkan Aji Argoselo yang membuat tubuhnya kokoh kuat dan kebal seperti batu gunung atau batu karang yang sanggup menerima hantaman ombak samudera.
"Desss.... !!"
Betapapun sudah teguh dan bulat tekat di hati Ki Ageng Kelud untuk menewaskan gadis yang dianggapnya merupakan ancaman bagi ketenteraman dunia itu, namun hati kakek ini sudah penuh dengan welas asih yang dipupuknya selama puluhan tahun. Oleh karena itu, melihat Retna Wilis tidak mengelak maupun menangkis terjangan yang dahsyat, ia terkejut sendiri dan otomatis timbul dari sifat welas asihnya, ia merubah cengkeramannya, tidak menyerang kepala melainkan mencengkeram kedua pundak dara itu. Akan tetapi, terjangannya yang dahsyat itu tertumbuk dengan tubuh yang keras dan kebal melebihi baja dan yang mengeluarkan tenaga dahsyat pula menggempur tenaganya sendiri.
Tubuh Retna Wilis hanya bergetar dan berguncang seperti batu karang diterjang ombak, sebaliknya, seperti air laut pula tubuh Ki Ageng Kelud terpelanting dan roboh terguling-guling!
Retna Wilis yang merasa betapa tubuhnya tergetar hebat sehingga ia harus mengerahkan seluruh hawa sakti di tubuhnya agar jangan roboh, menjadi terkejut juga dan timbullah kemarahannya yang ditahan-tahan. Baru sekali ini ia merasakan serangan yang demikian dahsyatnya, dan hal ini membuat hatinya penasaran. Ketika melihat tubuh lawan bergulingan dan wajah kakek itu menjadi pucat, ia mengeluarkan pekik melengking, dan menerjang maju, menggunakan tumit kaki kanannya untuk menginjak hancur kepala kakek itu!
Ki Ageng Kelud maklum akan datangnya ancaman maut, cepat ia yang masih pening menggulingkan diri mengelak dan kaki Retna Wilis amblas memasuki tanah sampai sebetis dalamnya! Dapat dibayangkan betapa mengerikan kalau kaki yang mengandung kekuatan itu tadi mengenai kepala Ki Ageng Kelud, tentu akan remuk dan pecah berantakan. Ki Ageng Kelud cepat melompat bangun, menggoyang kepalanya mengusir kepeningan sambil siap-siap menghadapi lawannya yang amat tangguh itu.
"Hi-hi-hik, sebentar lagi engkau mampus, pertapa tua!" Terdengar Nini Bumigarba tertawa mengejek, hatinya girang menyaksikan kehebatan sepak terjang muridnya.
Mendengar suara gurunya ini, Retna Wilis "mendapat hati" dan segera ia memekik lagi sambil menerjang dengan gerakan cepat sekali. Bagi mata biasa, tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan berputaran yang membawa debu beterbangan, sedangkan bagi pandang mata Ki Ageng Kelud, ia melihat betapa gerakan tubuh dara itu amat cepatnya, berputaran dengan kedua lengan dikembangkan dan dari putaran tubuhnya itu melancarkanlah pukulan-pukulan yang dashyat dan mendatangkan angin berpusingan. Inilah Aji Pancaroba yang hebatnya seperti amukan angin taufan!
Maklum akan hebatnya serangan ini, Ki Ageng Kelud bersikap tenang dan mencurahkan segenap tenaga dan kepandaiannya untuk bertahan dan membela serta melindungi dirinya. Untung bahwa ia seorang tokoh yang berpengalaman dan gerakannya mantap dan tenang, kalau tidak tentu dia tidak akan dapat bertahan lama menghadapi Aji Pancaroba yang hebatnya bukan main ini.
Betapapun juga, dia segera terdesak dan terus mundur-mundur dan berputaran, sama sekali tidak lagi mampu membalas. Dia sudah tua, tenaganya sudah banyak berkurang dan napasnya tidak sepanjang puluhan tahun yang lalu, daya tahannya berkurang. Sebaliknya, Retna Wilis makin lama makin hebat dan cepat gerakannya.
Kalau kakek ini berhasil menyusupkan satu dua pukulan, tubuh Retna Wilis menahannya dan sama sekali tidak merasai pukulan itu, seolah-olah dipijat tangan lunak saja. Sebaliknya, setiap kaki tangan dara itu menyerempet pundak atau bahu, tubuh kakek itu tergetar dan terhuyung-huyung. Ki Ageng Kelud terdesak hebat, setiap saat tentu roboh dan terdengarlah Nini Bumigarba terkekeh-kekeh mentertawakan kakek itu.
Ki Warok Surobledug berdiri dengan muka pucat, maklum bahwa sebentar lagi tentu ia akan menyaksikan pertapa yang dijunjungnya tinggi-tinggi itu rebah tak bernyawa. Dia menjadi gelisah dan bingung, hendak membantu maklum bahwa tenaganya tidak ada artinya bahkan merupakan bunuh diri, tidak membantu, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Kekhawatiran Ki Warok Surobledug segera terjadi. Ketika tubuh Ki Ageng-Kelud untuk ke sekian kalinya terhuyung oleh dorongan angin pukulan dahsyat, Retna Wilis memekik dan mengirim pukulan dengan jari tangan ke arah muka kakek itu. Ki Ageng Kelud berusaha mengelak dengan miringkan tubuh dan menarik kepala ke belakang akan tetapi jari-jari tangan yang lunak halus dan kecil menyambar cepat dan menimpa
pundak kirinya.
"Krekkk....!" Remuklah tulang pundak Ki Ageng Kelud dan tubuh kakek itu terguling.
Retna Wilis menubruk maju mengirim pukulan maut ke arah kepala kakek itu yang sudah meramkan matanya menanti datangnya maut sambil tersenyum tenang. Juga Ki Warok Surobledug meramkan mata, tidak tahan menyaksikan kematian kakek itu.
"Ganas...!" Suara ini perlahan dan halus, dibarengi bayangan putih seperti asap datang bertiup dan tahu-tahu tubuh Retna Wilis terdorong ke belakang seperti ditiup angin yang tak tertahankan saking kuatnya.
Seluruh tubuh dara ini menggigil ketika ia merasa betapa pukulannya tadi bertemu dengan telapak tangan halus yang membuat hawa saktinya seolah-olah tenggelam ke dalam lautan yang dingin melebihi ampak-ampak! Ketika ia dapat menguasai dirinya dan memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang kakek yang amat tua, berpakaian serba putih, berambut dan berkumis jenggot panjang putih pula, wajahnya tertutup uap bersinar putih dan kakek ini berdiri tak bergerak seperti sebuah arca. Akan tetapi dia bukan arca karena pada saat itu, kakek itu berkata kepada Ki Ageng Kelud, "Ki Ageng dan Ki Warok, sebaiknya andika berdua kembali ke tempat andika."
Ki Ageng Kelud biarpun sudah remuk tulang pundaknya, namun dengan kekuatan batinnya dapat mengatasi rasa nyeri. Sejenak ia memandang ke arah wajah yang terselimut uap putih, kemudian berkata lirih penuh hormat, "Omm... sadhu-sadhu-sadhu..." Ia berdiri menyembah lalu membalikkan tubuhnya, mengangguk kepada Ki Warok Surobledug yang tadi terpesona dan terbelalak, sambil menahan nafas lalu mengikuti Ki Ageng Kelud.
Setelah mereka pergi jauh sehingga tak tampak lagi dari tempat itu, sambil terengah-engah Ki Warok Surobledug bertanya, "Paman panembahan ....dia.... dia itu siapakah? Dewatakah?"
Ki Ageng Kelud menghela napas panjang dan menggeleng kepala. "Dia manusia biasa, manusia yang terlalu biasa, manusia wajar... manusia sejati..." Ki Ageng Kelud tidak bicara lagi, di dalam hatinya ia dapat menduga siapa gerangan kakek yang luar biasa tadi, namun mulutnya tidak kuasa menyebut namanya karena hatinya yang penuh dengan keharuan membuat lehernya tercekik, mulutnya terkancing.
Sementara itu, Retna Wilis yang telah berhasil menguasai dirinya, memandang kakek itu dengan alis berkerut. Hatinya panas dan penuh penasaran, juga tidak puas. Siapakah orang ini yang berani menentangnya, berani menggagalkan pukulan mautnya? Bahkan berani seenaknya saja menyuruh pergi dua orang kakek tadi? Seluruh urat syarat di tubuhnya menegang, dan ia sudah siap untuk menerjang kakek yang lancang ini.
Tadinya ia tidak dapat melihat muka yang tertutup halimun putih, akan tetapi setelah ia mengerahkan hawa sakti dari pusarnya, disalurkan kepada pandang matanya, ia dapat menembus halimun atau uap putih itu dan tampaklah dengan jelas wajah seorang pria yang tampan. Wajah yang membayangkan kesabaran tiada batasnya, dengan sepasang mata yang seperti mata bayi baru dapat melek, begitu indah dan tanpa pencerminan perasaan sedikitpun, wajar dan tulus.
Tiba-tiba Nini Bumigarba meloncat maju, wajah nenek itu tidak seperti biasanya, tampak beringas penuh kemarahan, sepasang matanya menyorotkan kekejaman seolah-olah ia hendak menelan hidup-hidup kakek di depannya itu. Kemudian ia menudingkan telunjuknya kepada kakek itu dan berkata dengan suara serak dan kasar.
"Ekadenta! Engkau benar-benar seorang yang keterlaluan sekali! Telah puluhan tahun aku mencuci tangan, tak pernah mengganggumu, akan tetapi engkau selalu menjadi batu penghalang bagiku! Setelah aku mengasingkan diri di tempat sunyi ini, engkau masih saja menggangguku!"
Kakek itu diam saja, hanya memandang dengan sinar matanya yang lembut penuh welas asih dan penuh pengertian. Ketika Retna Wilis mendengar suara gurunya, ia terkejut bukan main. Jadi dia inikah yang bernama Ekadenta? Inikah musuh besar gurunya dan murid orang inikah yang kelak harus ia kalahkan? Mengapa harus menanti sampai bertemu muridnya? Gurunya pun dia tidak gentar untuk menandinginya.
Kini musuh ini telah membikin marah gurunya pula, maka dengan suara pekik melengking dahsyat, Retna Wilis sudah meloncat maju dan tangannya telah menyambar segenggam pasir, kemudian ia mengerahkan aji kesaktiannya, menggenggam pasir sampai pasir itu menjadi hitam kebiruan lalu menyambitkan pasir itu ke arah muka si kakek disusul terjangannya dengan Aji Pancaroba!
Itulah Aji Pasir Sekti yang amat mengerikan karena pasir yang digenggamnya tadi telah berubah menjadi pasir berbisa. Jangankan sampai melukai daging, baru mengenai kulit saja dapat menimbulkan keracunan yang merenggut nyawa...
Mereka adalah empat orang laki-laki yang bersikap gagah, yang tiga orang berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang seorang masih muda, paling banyak dua puluh tujuh tahun usianya. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap dan ketika mereka tiba di bawah pohon, Retna Wilis mendengar seorang di antara mereka, yang menggantungkan sebuah penggada besar di pinggangnya, berkata,
"Ki Warok Surobledug boleh dipercaya seratus prosen. Dia seorang satria sejati yang pada waktu ini menjadi ketua sekalian warok di Ponorogo. Dia boleh diajak berkawan dalam membela Jenggala. Kalau tidak sekarang orang-orang gagah bergerak untuk berdarma bhakti kepada Jenggala, menunggu sampai kapan?"
Tiba-tiba orang yang termuda, seorang yang bertubuh jangkung dan berwajah tampan menghentikan langkahnya, memandang ke arah buah-buah dan bangkai kelinci sambil berkata, "Ssttt... ada orang..."
Tiga orang kawannya berhenti juga. Tadi mereka asyik bercakap-cakap sehingga tidak melihat buah-buahan itu. Kini mereka menghentikan percakapan dan kesemuanya berhenti di bawah pohon sawo, memandang ke kanan kiri. Pemuda itu tiba-tiba menengadah lalu tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha! Kiranya ada seekor monyet betina di atas pohon!"
Tiga orang kawannya memandang ke atas dan mereka pun tertawa. "Jayus! Jangan bicara sembarangan!" bentak laki-laki yang membawa penggada ketika ia melihat bahwa yang dikatakan monyet betina itu adalah seorang gadis remaja yang amat jelita. Karena melihat seorang dara berada di atas pohon sehingga dari bawah tampak betis memadi bunting dan sebagian paha yang berkulit halus putih di balik kain yang tersingkap, empat orang laki-laki itu tidak dapat mengalihkan pandang matanya.
Retna Wilis adalah seorang dara yang menjadi besar di tempat sunyi. Biarpun perasaan wanitanya membisikkan rasa tidak suka kepada empat orang laki-laki yang tersenyum-senyum menyeringai dan memandangnya dengan sinar mata panas penuh gairah, namun ia tidak tahu apa yang mereka pikirkan. la menekan kemarahannya ketika mendengar betapa orang muda itu tadi menyebutnya monyet betina. Lamurkah mata pemuda itu yang mengira dia monyet? Biarpun memanjat pohon, jelas bahwa dia berpakaian dan sama sekali bukan monyet!
"Ha-ha-ha, Paman Brojol, memang dia betina tetapi tentu saja bukan monyet, melainkan seorang dara jelita. Tadi kusangka monyet karena mana ada seorang perawan cantik memanjat pohon seperti monyet? Eh, perawan gunung yang jelita dan berkulit kuning, berbetis padi bunting dan berpaha... wah, engkau benar hebat. Turunlah!" kata Jayus, orang muda itu.
Retna Wilis mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak sudi turun. "Kalian mau apakah? Aku tidak ada urusan dengan kalian. Pergilah, jangan sampai aku kehilangan kesabaranku."
Suara Retna Wilis dingin, juga pandang matanya dingin sekali. Akan tetapi karena sebagian wajahnya terhalang daun-daun sawo, hal ini agaknya tidak tampak oleh Jayus yang tergila-gila melihat betis dan pahanya, sedangkan tiga orang laki-laki yang lebih tua, sungguhpun mereka bukan golongan mata keranjang dan pengganggu wanita, namun mereka maklum akan darah muda Jayus, hanya tersenyum saja, maklum pula bahwa Jayus hanya menggoda dara itu, tidak mempunyai niat yang buruk.
"Waduh-waduh, galaknya... Eh, genduk bocah ayu, turunlah dan mari kita bicara baik-baik. Kakangmu ini bernama Jayus, ingin berwawancara denganmu, bocah ayu. Kenapa mengusir kami pergi? Kalau engkau kehilangan kesabaran, engkau mau apakah?"
"Tidak mau apa-apa, hanya mau membunuh kalian!" jawab Retna Wilis, mulai jengkel, apalagi ia teringat nasehat gurunya bahwa semua pria di dunia ini tidak ada yang baik dan tidak ada yang boleh dipercaya omongannya. "Ingat, muridku. Pria-pria itu seperti sekawanan kumbang yang berhati palsu. Sebelum berhasil mendapatkan sari bunga, mereka beterbangan di sekeliling bunga, berdendang bernyanyi dengan suara merdu, membujuk rayu sehingga sang kembang akhirnya membuka kelopaknya. Celakalah sang kembang yang dengan mudah tunduk akan rayuan mereka dan membuka kelopaknya, karena kumbang-kumbang buas itu akan memasukinya dan menghisap habis sampai kering madu sari bunga dan setelah bunga itu mengering dan melayu, kumbang-kumbang itu pergi meninggalkannya tanpa pamit dan terima kasih, paling-paling meninggalkan kotorannya di kelopak bunga!" Demikianlah nasehat Nini Bumigarba sehingga di sudut hati dara jelita ini telah bertumbuh benih kebencian terhadap kaum pria.
Empat orang pria itu terkejut dan memandang terbelalak ke arah dara remaja yang berada di atas pohon sawo. Gilakah perawan ini? Mengancam hendak membunuh mereka, jagoan-jagoan terkenal dari Gunung Kelud? Empat orang ini terutama sekali si pemegang penggada adalah tokoh-tokoh Gunung Kelud, murid-murid Sang Panembahan Ki Ageng Kelud yang terkenal sakti mandraguna dan juga berwatak satria-satria perkasa.
Dan kini mereka diancam hendak dibunuh oleh seorang perawan yang baru berusia belasan tahun? Tiga orang yang sudah berusia hamper empat puluh tahun itu terbelalak dan terheran-heran, juga menjadi curiga karena sebagai orang-orang yang perpengalaman mereka dapat menduga bahwa perawan itu tentu tidak lancang begitu saja berani mengancam hendak membunuh mereka. Akan tetapi Jayus, yang masih muda dan darahnya lebih panas, tertawa bergelak dengan hati panas.
"Ha-ha-ha, perawan gunung bermulut besar! Engkau hendak membunuh kami? Wah-wah-wah, seekor kadal sekali pun akan mati karena tertawa mendengar kesombonganmu. Hayo turunlah dan bunuh aku kalau memang mampu. Apa engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan? Inilah Jayus, jangankan engkau, biar ada seorang raksasa betina sekali pun, sekali pegang dapat kulontarkan sampai terjatuh ke laut kidul. Haa-ha!"
"Engkau minta mati?" Tiba-tiba Retna Wilis melayang turun bagaikan gerakan seekor burung srikatan melayang dan tahu-tahu telah berada di depan Jayus yang memandang kagum akan tetapi tetap memandang rendah. "Engkau minta mati dan dilempar jauh? Boleh!" Setelah berkata demikian, dengan gerakan sembarangan Retna Wilis melangkah maju
Jayus cepat menggerakkan kedua tangan hendak menangkap dara yang baru sekarang ia lihat amat jelita seperti puteri kahyangan itu, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika kedua tangannya itu tak dapat ia gerakkan lagi karena ada angin yang menyambar dari perawan itu. Di lain saat, tangan kiri Retna Wilis menampar ke arah kepalanya.
"Prakkk!" Darah dan otak muncrat dari kepala yang pecah terkena tamparan dahsyat itu dan tangan kanan Retna Wilis mencengkeram pinggang, membuat gerakan melempar dan mayat Jayus melayang jauh sekali, terbanting ke atas tanah tak mampu bergerak lagi!
Tiga orang kawan Jayus berdiri seperti terkena hikmat, tak mampu bergerak, kemudian Ki Brojol, yaitu laki-laki brewok yang memegang penggada, sekali melompat telah mengejar tubuh Jayus yang dilontarkan. Ia berlutut sebentar dekat mayat itu, kemudian melompat lagi menghadapi Retna Wilis, mukanya merah, matanya melotot dan napasnya terengah-engah saking marahnya.
"Kau... kau... perawan iblis... kau telah membunuhnya...!!"
Dua orang kawannya juga marah sekali, yang memegang tombak sudah mengangkat tombaknya, yang memegang pedang sudah mencabut pedangnya sedangkan Ki Brojol sendiri sudah melepas penggadanya.
Retna Wilis berdiri dengan tenang menghadapi tiga orang laki-laki tinggi besar yang marah-marah dan siap menerjangnya itu. "Dia minta mati sendiri, aku hanya memenuhi tantangannya. Kalian ini mau apa? Apakah juga minta mati seperti dia?"
Mendengar ucapan yang demikian tenang seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu, Ki Brojol dan dua orang kawannya bergidik, akan tetapi juga kemarahan mereka berkobar. Jayus telah tewas, padahal kawan mereka yang muda itu tidak melakukan sesuatu, hanya mengucapkan kata-kata menggoda kepada gadis ini.
"Perawan iblis! Siluman keji! Engkaulah yang harus mampus agar tidak mengotorkan dunia!" bentak Ki Brojol yang menjagli marah sekali.
Makiannya ini seolah-olah menjadi aba-aba bagi kedua orang kawannya karena mereka bertiga langsung menyerang Retna Wilis dengan tiga macam senjata mereka. Biarpun mereka itu adalah satria perkasa yang tentu saja tidak sudi mengeroyok seorang perawan bertangan kosong dengan menggunakan senjata, namun kematian kawan mereka terlalu hebat dan terlalu menyakitkan hati sehingga saking marah, mereka lupa akan sifat-sifat satria.
Gerakan mereka cepat dan kuat sekali, bagaikan kilat-kilat menyambar, tombak yang runcing menusuk ke arah lambung Retna Wilis, pedang menyambar ke lehernya dari belakang dan penggada di tangan Ki Brojol menghantam kepalanya! Namun Retna Wilis hanya berdiri diam tak bergerak, hanya masih bersikap seperti tadi, lengan kanan terangkat dengan siku ditekuk dan tangan kanan terbuka miring di depan dada, tangan kiri terkepal di pinggang kiri, kedua kaki terpentang ke depan belakang, sedikit pun tidak bergerak atau bergoyang, matanya terbelalak, berkedip pun tidak menghadapi datangnya serangan tiga senjata dahsyat itu. Biarpun kelihatannya tidak bergoyang, namun sesungguhnya ia telah mengerahkan aji kesaktian Argoselo yang membuat tubuhnya kebal dan kokoh kuat seperti batu hitam di gunung!
"Aahhhh...!"
"Hemm...."
"Celaka...!"
Seruan-seruan ini keluar dari mulut tiga orang pria itu. Mereka adalah satria-satria perkasa, tentu saja terkejut menyaksikan betapa lawan mereka, hanya seorang perawan remaja, sama sekali tidak mengelak atau menangkis serangan mereka. Mereka merasa tidak enak hati dan berbalik khawatir kalau-kalau serangan mereka akan mencelakakan dara yang tidak melawan ini, akan tetapi untuk menarik kembali senjata sudah terlambat sehingga mereka hanya mampu mengurangi tenaganya saja.
Namun, begitu tiga buah senjata itu secara berbareng menimpa lambung, leher dan kepala, mereka bertiga terkejut bukan main karena senjata mereka membalik keras dan pada saat itu tubuh Retna Wilis bergerak, tangan kanannya dengan jari terbuka berkelebat menyambar tiga kali menempiling kepada tiga orang lawannya dengan kecepatan yang tak dapat diikuti pandangan mata sehingga tak mungkln dielakkan lagi. Tamparan-tamparan itu tidak keras, seperti menyentuh saja, namun akibatnya mengerikan karena tiga orang laki-laki tinggi besar itu terpelanting roboh dengan mata mendelik dan napas putus, sedangkan muka mereka berubah menjadi hitam!
"Aduh Dewata pengatur jagat! Apa yang kau lakukan ini...?" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah seorang kakek yang agaknya datang tergesa-gesa dan berlari cepat.
Dari jauh, kakek ini sudah menyaksikan pertandingan-pertandingan itu, dan ia mempercepat larinya, namun ia terlambat dan ia masih berkesempatan menyaksikan betapa perawan remaja itu membunuh tiga orang lawannya dengan sekali gerakan saja.
Retna Wilis membalikkan tubuh memandang. Yang datang adalah seorang kakek tinggi besar bermuka kehitaman, bercambang bauk, matanya besar-besar menyinarkan keheranan, usianya sekitar enam puluh tahun, pakaiannya serba hitam, ikat pinggangnya atau kolornya berwarna merah, di pinggangnya terselip gagang senjata, sikapnya gagah dan berwibawa.
Retna Wilis tetap tenang saja dan ia memang bukan berpura-pura. Ia menganggap peristiwa itu biasa saja. Empat orang itu ingin mati, menantangnya, maka ia turun tangan membunuh mereka. Apa anehnya dalam hal ini? Kini kakek ini datang bertanya dan memandang penuh keheranan, maka ia menjawab,
"Engkau melihat sendiri apa yang kulakukan. Mereka minta mati dan aku memenuhi permintaan mereka. Engkau mau apa?"
"Babo-babo...! Selama hidupku, aku Ki Warok Surobledug baru sekali ini menyaksikan kekejaman yang melewati batas! Banyak sudah kumelihat pembunuhan, akan tetapi tidak ada yang sekeji ini! Banyak sudah kumelihat orang aneh dan sakti, akan tetapi baru sekarang aku melihat orang, apalagi seorang perawan remaja, seorang bocah dengan enak membunuhi orang dan bersikap tenang seperti habis menginjak semut-semut saja. Engkau siapakah, nini? Kulihat gerakanmu luar biasa sekali dan apa salahnya Ki Brojol dan saudara-saudaranya maka engkau membunuh mereka secara keji? Aku bukan seorang berpikiran dangkal, biarpun mereka ini sahabat-sahabat baikku dan kutahu mereka ini satria-satria perkasa, akan tetapi kalau mereka bersalah dan sudah selayaknya dibunuh, aku tidak akan membela mereka."
Retna Wilis mengerutkan alisnya. Ucapan kakek raksasa ini sukar dimengerti, akan tetapi dia merasa tidak senang mendengar orang ini banyak bicara dan ribut-ribut hanya karena dia membunuh empat orang kasar tadi!
"Aku tidak ada waktu banyak bicara, kau pergilah. Kecuali kalau engkau seperti empat orang itu minta mati, tentu. akan kupenuhi permintaanmu!"
Sepasang mata yang lebar itu makin terbelalak. Ki Warok Surobledug adalah seorang tokoh besar di Ponorogo, sakti mandraguna dan tak pernah merasa gentar menghadapi lawan yang bagaimana pun juga. Akan tetapi sekali ini, melihat dari jauh betapa dara remaja ini sekali bergerak membunuh sahabat-sahabatnya yang sakti, kemudian melihat dara remaja yang cantik jelita ini bersikap dingin dan tenang, setenang batu karang, bertanya dengan suara dingin apakah dia minta mati, benar-benar membuat bulu tengkuknya meremang. Bahkan ia diam-diam menduga apakah dara ini bukan manusia melainkan iblis betina sendiri yang suka mengganggu manusia.
"Biar aku sudah tua bangka, akan tetapi tentu saja aku tidak minta mati nini! Aku hanya ingin mendengar mengapa engkau membunuh sahabat-sahabatku itu dan...."
"Engkau ini laki-laki cerewet amat! Aku tidak ada waktu melayanimu...!" Retna Wilis memunguti buah-buah dan bangkai kelinci, kemudian tanpa menoleh lagi meninggalkan Ki Warok Sirobledug yang berdiri melongo.
"Hei! Tunggu...!!" Kakek Itu meloncat dan seperti Sang Harya Werkudara ia melangkah lebar dan cepat sekali telah menyusul Retna Wilis yang berjalan seenaknya, menghadang di depan dara itu.
Retna Wilis makin tak senang hatinya. Kedua tangannya penuh dengan bawaan dan kini kakek itu menghadang jalan. Ia melangkah terus, kemudian menggerakkan sikunya mendorong tubuh kakek itu sambil berkata. "Minggir! Mau apa menghadang jalan?"
Ki Warok Surobledug adalah seorang gagah perkasa yang sudah banyak pengalamannya. Melihat sepak terjang Retna Wilis tadi, ia sudah maklum bahwa perawan ini memiliki kedigdayaan yang menggiriskan, maka kini melihat dara itu menyikunya, ia tidak berani memandang ringan dan cepat ia memasang aji kekebatan untuk mengukur tenaga sakti dara yang patut menjadi cucunya itu.
"Dukkk!"
Siku kecil meruncing halus bertemu dengan perut gendut yang penuh hawa kekebalan dan akibatnya tubuh Ki Warok Surobledug terjengkang dan roboh! Retna Wilis berjalan terus seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ki Warok Surobledug yang merasa betapa perutnya seperti diseruduk tanduk banteng, meloncat bangun, agak terengah dan merasa terheran-heran bercampur rasa penasaran. Hal yang kelihatannya tak mungkin sama sekali telah terjadi. Kekebalannya yang amat kuat, tubuhnya yang biasanya sanggup menerima hantaman senjata apa pun juga, kini bobol hanya oleh pukulan siku seorang perawan remaja!
"Eh, tunggu dulu, nini...!" Dengan hati penasaran ia mengejar lagi.
Retna Wilis menjadi kesal hatinya. Ia menoleh dan melihat raksasa itu mengejar. Ia lalu mengerahkan tangan kiri, berseru, "Engkau menjemukan!"
Ki Warok Surobledug melihat datangnya sinar hitam menyambar. Ia cepat menggerakkan tangan kiri, membuka tangan itu dan telapak tangannya yang penuh hawa sakti dan kebal, yang biasanya sanggup meremas hancur sebatang golok tajam lawan, mencengkeram benda hitam yang ia sangka tentu senjata rahasia lawan. Ia bergerak sigap dan berhasil menangkap benda itu, akan tetapi tak terasa mulutnya mengeluarkan teriakan karena telapak tangannya terasa sakit bukan main.
Ketika ia melihat tangannya, ia terkejut dan hatinya berdebar tegang melihat telapak tangannya luka parah, kulit telapak tangannya pecah dan ada tiga buah benda hitam menancap di telapak tangan sedangkan seluruh tangan itu basah oleh darahnya sendiri dan oleh benda kuning yang lembek dan hancur. Ia mencium bau yang amat dikenalnya, akan tetapi masih ragu-ragu dan mendekatkan tangannya ke depan hidung.
"Ya Dewata Yang Maha Agung...!" Ia berseru, hampir tidak percaya, keheranannya mengatasi rasa nyeri.
Ternyata bahwa yang dipakai dara itu menyerangnya adalah sebutir buah sawo yang sudah masak! Sawo yang lunak karena sudah masak itu pecah di telapak tangannya dan tiga buah biji sawo melukai telapak tangannya, sedangkan daging dan kulit sawo itu biarpun lunak, ternyata dapat membuat telapak tangannva pecah-pecah! Ia mengangkat muka memandang dan lebih terheran-heran lagi dia ketika melihat bayangan dara itu seperti terbang saja bergerak ke arah selatan, "Jagad Dewa Bathara... adakah dia penjelmaan Kanjeng Ratu Roro Kidul...?"
Hati Ki Warok Surobledug yang biasanya tak pernah mengenal takut itu kini menjadi gentar. Ia maklum bahwa kalau gadis itu tadi menyerangnya dengan senjata keras, dengan batu misalnya, tentu dia tak hidup lagi. Baru sebutir sawo saja sudah membuat tangannya yang kebal pecah-pecah! Berkali-kali kakek ini menghela napas, kemudian dengan memaksakan diri mengatasi rasa nyeri tangan kirinya, ia menggali lubang dan mengubur jenazah empat orang sahabatnya itu di tempat itu juga. Kemudian, setelah berkali-kali memandang ke arah selatan, ia lalu pergi dengan cepat menuju ke Gunung Kelud yang berada di utara melaporkan peristiwa mengerikan itu kepada Ki Ageng Kelud.
Bagi Retna Wilis, peristiwa yang terjadi tadi bukan apa-apa, sama sekali tidak ia pikirkan lagi, bahkan setelah ia tiba di pantai dan menyuguhkan buah-buahan kepada Nini Bumigarba, ia telah lupa akan pembunuhan-pembunuhan yang ia lakukan di hutan itu.
"Retna Wilis muridku yang denok, muridku yang tercinta!" kata Nini Bumigarba yang sudah duduk bersila dalam guha batu karang ketika nenek ini melihat datangnya muridnya membawa buah-buah sawo dan kelapa. "Ah, hal ini berarti bahwa tak lama lagi kita akan saling berpisah."
Retna Wilis memandang nenek itu, hatinya merasa tak enak, akan tetapi ia menekan batinnya yang sudah amat kuat sehingga rasa tak enak ini segera lenyap di bawah kekuatan kemauannya yang membaja.
"Mengapa Eyang berkata demikian? Aku hanya bermain-main di hutan, mengambil buah, membunuh kelinci dan babi hutan!" Terbayang wajah empat orang laki-laki tinggi kasar yang dibunuhnya. Memang mereka itu tidak lebih hanyalah babi-babi hutan berkaki dua, pikirnya.
"Sudah menjadi kehendak Hyang Sukma, muridku. Sepandai-pandainya manusia, tak mungkin ia dapat menguasai nyawanya sendiri. Aku sudah merasakan getaran firasat dan sudah siap menghadapi segala yang mungkin terjadi."
"Apakah yang Eyang maksudkan?"
"Engkau tak perlu tahu. Dapat mengetahui sebelum terjadi merupakan ilmu yang hanya akan menimbulkan sengsara dalam hati sendiri. Cukup kalau kau ketahui bahwa kita takkan lama lagi tinggal bersama di sini. Karena itu, perhatikanlah pesanku baik-baik. Selama lima tahun ini aku telah menurunkan semua aji-ajiku kepadamu dan biarpun murid Ekadenta sendiri tidak akan mudah menandingimu."
"Siapakah murid Ekadenta, Eyang?"
"Kelak engkau akan mengetahui sendiri. Ingat baik-baik bahwa engkau kelak harus dapat mengalahkan murid Ekadenta. Dengarkah engkau? Kalahkan dia. Tunjukkan bahwa murid Sarilangking atau Bumigarba tidak kalah oleh murid Ekadenta. Kalau perlu, untuk mengalahkannya, engkau boleh membunuh dia!"
"Apakah dia sakti sekali, Eyang?"
"Tidak ada yang dapat melebihi kesaktianmu, muridku. Memang dia mewarisi ilmu-ilmu kesaktian, akan tetapi sebelum berpisah, aku akan menurunkan hawa Wisalangking ke tubuhmu dan dengan hawa itu, engkau akan dapat mengalahkan lawan yang memiliki kesaktian melebihimu! Akan tetapi, untuk menerima Wisalangking engkau harus berpuasa membersihkan lahir batinmu selama tiga hari tiga malam."
"Baik, Eyang, akan kulakukan mulai sekarang juga."
"Dengarlah dulu pesanku ini. Setelah aku pergi dan engkau sudah memiliki hawa Wisalangking, engkau harus berlatih mempergunakan hawa itu di sini, seorang diri, selama belum ada tanda yang akan tampak olehmu. Engkau ingat akan bintang kehijauan di sebelah timur laut yang tampak tiap malam tanpa bulan?"
"Yang Eyang katakan sebagai bintang yang berkuasa di Jenggala pada saat ini dan tampak tersembul di puncak yang seperti cengger jago itu?"
"Benar. Kau lihat baik-baik. Selama bintang itu masih ada di langit, engkau tidak boleh pergi dari sini. Akan tetapi, begitu kau lihat bahwa bintang itu lenyap dari angkasa, engkau harus cepat pergi meninggalkan tempat ini, kembali ke tempat kelahiranmu."
"Di Wilis?"
"Benar. Kembalilah ke puncak Wilis dan engkau taklukkan semua penduduk di seluruh wilayah Gunung Wilis. Engkau harus menjadi seorang ratu, seorang puteri yang disembah-sembah di Wilis dan tak seorang pun boleh melanggar wilayahmu. Ingat, siapa pun adanya dia, yang berani mencoba untuk mengganggu wilayahmu, boleh kau bunuh. Tidak perduli dia itu mengaku ibumu, atau ayahmu, atau siapa saja. Engkau akan menjadi Ratu Wilis dan mengumpulkan kekuatan, menyusun pasukan sehingga kelak engkau akan menyerang kerajaan keturunan Mataram! Inilah cita-citaku mengapa aku bersusah payah mendidikmu, Retna Wilis. Mengertikah engkau?"
"Aku mengerti, Eyang."
"Dan engkau akan mentaati pesanku? Kalau engkau tidak sanggup, sekarang juga engkau akan kulenyapkan dari muka bumi!"
"Aku taat dan sanggup melaksanakan semua perintahmu."
"Bagus, engkau memang muridku yang amat baik. Dan jangan lupa. Di bawah karang Kukura di barat itu, di bawah air ulekan (air berpusing) terdapat gua di dalam lautan, gua yang bersambung dengan karang Kukura, menjadi dasar karang. Setelah aku pergi dan setelah hawa Wisalangking di tubuhmu kuat benar, kau pergilah ke sana, menyelam dan masuki gua di bawah air laut. Di sana terdapat sebuah peti kecil berisi sebatang pedang pusaka. Pedang itu adalah pedang pusaka Sapudenta, setelah kupakai sampai seratus tahun, kusimpan di sana agar dapat menyedot hawa sakti Segoro Kidul. Pedang itu tadinya kusediakan untuk menundukkan Ekadenta, akan tetapi sekarang terlambat dan engkaulah yang akan menggunakannya untuk menundukkan murid Ekadenta."
"Baiklah, Eyang. Masih ada pesan lagi?"
"Ingat akan dua nama ini. Biku Janapati dan Wasi Bagaspati. Mereka itu adalah dua orang bekas sekutuku, boleh kau jadikan sahabat karena mereka mewakili negara-negara yang kuat dan yang kelak perlu kau dekati agar dapat membantumu menundukkan seluruh bumi Jawa di mana engkau akan menjadi ratunya. Akan tetapi tentu saja engkau tidak perlu tunduk kepada mereka, hanya permintaan-permintaan mereka itu asal pantas dan tidak memberatkan hatimu, boleh kau penuhi, boleh kau bantu agar kelak mereka tidak segan-segan untuk mendatangkan pasukan-pasukan Negara mereka dan membantu tercapainya cita-citamu."
Di dalam hatinya Retna Wilis tidak setuju dengan ucapan terakhir ini. Ia sama sekali tidak bercita-cita untuk menjadi ratu dan cita-cita itu hanyalah merupakan idaman hati gurunya dan kalau kelak ia laksanakan juga semata untuk memenuhi permintaan gurunya. Pada saat ini, dia sama sekali tidak mempunyai cita-cita untuk menjadi ratu!
"Dan yang terpenting daripada semua pesanku adalah pesanku yang telah berulang kali kukatakan kepadamu, yaitu jangan sampai engkau jatuh cinta kepada seorang pria! Gurumu ini merana dan menderita lahir batin hanya karena telah berbuat bodoh sekali, yaitu jatuh cinta kepada seorang pria."
"Kepada Ekadenta?"
"Ih, bagaimana kau bisa tahu?"
"Mudah saja, Eyang. Eyang sendiri berkali-kali menasehati agar aku tidak mencinta, tidak pula membenci. Akan tetapi Eyang kelihatannya amat membenci Ekadenta sehingga Eyang menciptakan pedang pusaka dan mendidik aku untuk kelak mengalahkan muridnya. Eyang amat membenci Ekadenta, tentu karena amat mencintanya."
"Wah-wah, kiranya perasaan wanitamu masih halus dan peka! Aku khawatir sekali, Retna Wilis."
"Tak perlu khawatir, Eyang. Aku tidak akan pernah jatuh cinta kepada siapa pun juga. Laki-laki seperti babi hutan!" Ia teringat akan Jayus dan tiga orang kawannya yang dibunuhnya di hutan.
Demikianlah, sejak hari tadi sampai tiga hari tiga malam lamanya, Retna Wilis berpuasa dan yang dilakukannya selama tiga hari tiga malam ini hanya duduk bersila memejamkan mata, bersamadhi mengheningkan cipta, ditujukan untuk membersihkan dan membuka lahir batinnya untuk menerima ilmu yang oleh gurunya disebut dengan nama Aji Wisalangking.
Memang amat mengagumkan dan patut dipuji keteguhan hati dan kekuatan kemauan dara ini. Selama lima tahun ia selalu berada di pantai dan setiap hari hanya makan tetumbuhan laut dan ikan. Kini, baru saja ia mendapatkan buah-buahan dan daging kelinci, sebelum menikmati sedikit pun, ia telah berpuasa, namun sama sekali ia tidak terseret oleh selera dan nafsunya!
Buah nangka yang dibawanya pulang, makin masak dan kalau malam mengeluarkan bau yang sedap menggugah selera. Namun, perasaan Retna Wilis sedikit pun juga tidak terpengaruh karena dalam keadaan samadhi seperti itu, penciumannya, seperti juga inderanya yang lain, seolah-olah mati untuk sementara, semua pancaindria telah "ditarik" ke dalam sehingga tidak terpengaruh oleh keadaan di luar tubuh.
Tiga hari kemudian, Nini Bumigarba menyadarkan muridnya dari samadhi. Begitu Retna Wilis membuka mata dan pandang matanya kembali memasuki dunia, ia lalu diangkat bangun oleh gurunya, digandeng tangannya diajak pergi ke pantai sebelah barat di mana terdapat batu-batu licin dan di pantai ini, air laut amat bersih, tidak bercampur pasir.
Pada waktu itu, hari telah menjelang senja, langit gelap oleh awan mendung yang bunting tua dan bergerak-gerak seperti hidup, merupakan barisan raksasa-raksasa hitam yang tiada kunjung habis, bergerak dari selatan ke utara. Angkasa yang gelap oleh mendung itu kadang-kadang dibakar kilat berceleret, seperti senjata-senjata pusaka para pemimpin barisan itu.
Keadaan di angkasa yang menyeramkan ini mempengaruhi air laut pula karena air laut tampak makin mengganas, suaranya bergemuruh dan ombak-ombak kecil tiada hentinya bergerak seolah-olah laut sendiri merasa gentar. menghadapi ancaman serangan barisan raksasa di angkasa itu. Alam sepenuhnya memperlihatkan kehebatan dan kekuasaannya yang maha besar dan menggiriskan hati manusia.
Dan dalam keadaan seperti inilah, Nini Bumigarba menyuruh muridnya berlutut di atas batu karang yang licin, sedangkan dia sendiri berdiri tegak di depan muridnya, dengan kedua kaki terpentang. Retna Wilis disuruh membuka tubuh bagian dalam untuk menerima hawa sakti.
Gadis ini berlutut dengan kedua lengan bergantung lepas, tubuh lemas karena selain berpuasa, juga ia melolos semua tenaga melawan agar dapat menerima hawa sakti dari gurunya. Air laut bergerak datang dan pergi lagi. Mula-mula hanya menyentuh lutut Retna Wilis dan mata kaki Nini Bumigarba, akan tetapi makin lama makin membesar sehingga ada kalanya air sampai merendam tubuh Retna Wilis sampai ke leher dan Nini Bumigarba sampai ke pinggang! Namun, dua orang itu tetap tidak bergerak, seolah-olah tidak merasakan ini semua.
Retna Wilis tetap berlutut menundukkan muka, adapun Nini Bumigarba masih berdiri tegak dan menengadahkan muka ke atas, seolah-olah sedang asyik menonton awan mendung berarak atau sedang memohon kepada para dewata yang dianggap bertempat tinggal di atas! Retna Wilis tetap menanti dengan penuh kesabaran, penuh kepasrahan dan penuh kepercayaan.
Tiba-tiba seluruh tubuh nenek tua itu menggigil, mula-mula seperti orang kedinginan, makin lama makin hebat dan perlahan-lahan nenek ini mengangkat kedua tangannya, terus digerakkan ke atas dengan sikap seolah-olah ia sedang menerima sesuatu dari atas, dari tangan yang tak tampak. Kemudian, perlahan-lahan ia meletakkan tangan kirinya menyentuh ubun-ubun kepala Retna Wilis, sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka tergetar hebat dan muncul-lah getaran-gataran hawa sakti menuju ke muka dan dada Retna Wilis.
"Muridku, terimalah hawa sakti Wisalangking...!" Suara Nini Bumigarba terdengar seakan-akan dari angkasa menghitam dan dari tangan kanannya yang mengeluarkan hawa mujijat itu tampak sinar menguap hitam, makin lama makin tebal menutup wajah Retna Wilis.
Ada sejam lamanya mereka berdua dalam keadaan seperti itu, tidak bergerak dan Retna Wilis merasa betapa seluruh tubuhnya penuh oleh hawa panas bergetar yang membuat tubuhnya menggigil. Akan tetapi dengan penuh kepasrahan ia tetap "membuka" dirinya untuk nenerima hawa sakti itu sebanyak dan sepenuhnya.
Setelah mendengar suara nenek itu mengeluh panjang, barulah Retna Wilis "menutup" dirinya dan membuka mata. Ia melihat nenek itu telah berlutut dengan lemas bahkan hampir terbawa hanyut oleh ombak yang datang. Cepat ia menyambar tubuh gurunya dan memondongnya, dibawa meloncat ke darat, kemudian dibawa kembali ke dalam guha di mana biasanya nenek itu duduk bersamadhi. Tubuh nenek itu lemas sekali, akan tetapi ketika Retna Wilis merebahkannya di atas tanah, ia tersenyum dan berkata lemah, "Berhasil baik... Wisalangking telah kupindahkan ke tubuhmu..."
Tiba-tiba Retna Wilis merasa perutnya mual dan ada hawa membumbung dari pusarnya, membawa bau yang amis sekali sehingga ia hampir muntah-muntah.
"Jangan khawatir... kerahkan hawa sakti di tubuh, tekan pusarmu, jangan membiarkannya keluar. Itulah pengaruh dari wisa (racun) Wisalangking. Biarkan dia terbiasa di tubuhmu, kalau kau sudah dapat menundukkannya, takkan terasa apa-apa..."
Mendengar ini, cepat Retna Wilis duduk bersila dan mengerahkan tenaga mengatur napas. Benar saja, rasa muak dan mual lenyap, bau amis pun hilang. Setelah keadaan diri sendiri baik kembali, mulailah Retna Wilis merawat gurunya yang kelihatan lemah sekali. Sampai semalam suntuk dara remaja ini merawat gurunya tanpa banyak cakap, menyuapkan pisang ke dalam mulut gurunya dan ia sendiri pun mulai mengisi perutnya dengan buah-buah yang ia ambil dari hutan tiga hari yang lalu.
Pada keesokan harinya, Retna Wilis melihat betapa wajah gurunya telah banyak berubah. Kini nenek itu kehilangan seri wajahnya, kehilangan sinar yang membayangkan semangat, tampak layu dan juga kentara sekali ketuaannya. Akan tetapi kesehatannya agaknya sudah pulih dan nenek itu sudah dapat keluar dari guha dan seperti biasa, bersama muridnya ia duduk berjemur matahari pagi di atas pasir.
"Kau ingat baik-baik pesanku kemarin dulu," nenek itu berkata. "Terutama sekali jangan pergi dari sini sebelum melihat tanda bintang. Sekarang perhatikan bagaimana engkau harus melatih diri untuk membangkitkan Wisalangking dalam tubuhmu dan mempergunakan hawa sakti itu dalam serangan pukulan." Nenek itu lalu memberi petunjuk-petunjuk yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Retna Wilis sehingga setelah matahari naik tinggi, dia sudah hafal akan semua teori penggunaan Aji Wisalangking. Setelah ia mengerti benar bagaimana harus melatih diri, Retna Wilis bertanya, "Eyang, mengapa Eyang kelihatan tergesa-gesa seperti ini? Eyang masih sehat dan kita tidak akan saling berpisah."
Nenek itu tersenyum, senyum yang menambah tua wajahnya, dan menoleh ke belakang, ke arah utara. "Tidak lama lagi... tidak lama lagi... lihat siapa yang datang itu!"
Retna Wilis dengan tenang menoleh dan ketika Ia melihat bahwa yang datang adalah Ki Warok Surobledug yang tempo hari ia lukai bersama seorang kakek tua berambut putih dan tubuhnya gemuk pendek, ia lalu bangkit berdiri.
"Eyang, dialah babi hutan tua yang pernah kujumpai di hutan dan kulukai. Dia datang lagi bersama seorang kakek tua, entah mau apa dia!"
"Hi-hi-hik, jadi ketika kau bilang telah membunuh empat ekor babi hutan kemarin dulu, kau maksudkan empat orang laki-laki? He-he-heh, sekarang kau boleh hadapi mereka, hendak kulihat bagaimana sepak terjang muridku!" Nenek itu memutar tubuh menghadap ke utara, masih duduk bersila dan wajahnya yang tadinya keruh dan kusut itu mendapatkan kembali semangat dan agak berseri.
Retna Wilis sudah mengebutkan pakaiannya untuk membersihkannya dari pasir dan ia melangkah maju tiga tindak lalu berdiri menanti datangnya dua orang kakek itu. Dia tidak memandang kepada Ki Warok Surobledug yang dianggapnya ringan, melainkan memandang kakek rambut putih yang datang bersama warok itu. Kakek ini pendek dan gemuk sekali, wajahnya bersih tanpa kumis dan jenggot, mulutnya tersenyum penuh kesabaran, dan usianya tentu sudah mencapai sedikitnya tujuh puluh tahun. Jubahnya berwarna kuning, dengan lengan baju lebar sekali sehingga kedua tangannya tertutup. Langkahnya ringan dan halus, namun dapat mengimbangi kecepatan langkah Ki Warok Surobledug yang lebar-lebar. Begitu tiba di tempat itu, kakek rambut putih itu lalu membungkuk kepada Nini Bumigarba dan berkata dengan suara halus,
"Duhai Sang Hyang Wishnu pengatur seluruh jagat raya yang maha sakti! Kiranya Paduka berada di sini, Nini Bumigarba? Ah, sekarang tidak heran lagi aku mengapa keempat orang muridku tewas di daerah ini. Akan tetapi, mengapa setelah berusia sepuh sekali Paduka masih membiarkan murid Paduka mengganas dan melakukan pembunuhan secara keji?"
Nini Bumigarba menyeringai, sepasang matanya kelihatan berseri seperti orang merasa geli dan gembira. "Wah, andika telah mengenalku, akan tetapi siapakah andika ini, yang berbau pertapa di gunung?"
"Saya yang bodoh adalah Panembahan Ki Ageng Kelud, tentu saja Paduka tidak pernah mendengar nama saya yang kecil dan tidak terkenal, sebaliknya siapakah yang tidak mengenal nama besar Ni Dewi Sarilangking atau Nini Bumigarba?" jawab kakek itu, sikapnya penuh hormat. "Tidak sekali-kali saya berani mengotorkan tempat Paduka dengan kaki saya kalau saja empat orang murid saya tidak terbunuh secara kejam oleh dara ini yang kalau saya tidak salah menduga adalah Murid Paduka."
"Memang benar, dia ini muridku bernama Retna Wilis, Perawan Lembah Wilis dan calon ratu di Wilis!"
"Kalau begitu, saya mohon keadilan Paduka, dan ingin mengetahui mengapa empat orang murid saya terbunuh oleh murid Paduka. Padahal, sepanjang ingatan saya, dengan penuh ketelitian saya mendidik murid-murid saya sehingga berkat bimbingan dan berkah Sang Hyang Wishnu, mereka telah menjadi satria-satria yang menjunjung kebenaran dan keadilan, menjadi pahlawan-pahlawan pembela nusa bangsa."
"Heh-heh-heh, Ki Ageng Kelud. Ucapanmu seperti omongan bocah yang masih ingusan! Seorang pertapa tua seperti andika ini masih bertanya mengapa mereka mati? Heh-heh, tentu saja mereka mati karena sudah semestinya mati! Kalau Sang Hyang Shiwa tidak menghendaki, bagaimana mereka dapat mati? Mengapa seorang seperti andika, yang kuduga telah puluhan tahun bertapa dan mengejar ilmu, masih bertanya tentang mati dan hidup? Apakah andika sudah sedemikian sakti mandraguna sehingga hendak mengingkari dan melawan kehendak Sang Trimurti?"
Kakek berambut putih itu mengangguk dan berkata lagi, suaranya masih penuh dengan kehalusan yang mencerminkan kesabaran yang sudah mendalam, "Sama sekali tidak, Nini Bumigarba. Akan tetapi manusia terikat oleh kewajiban-kewajiban sebagai manusia, yang dinamai peri kemanusiaan dan saya hanyalah seorang manusia biasa yang tentu saja tak dapat melepaskan diri daripada ikatan kemanusiaan. Hidup dan mati berada di tangan Dewata, hal ini tak dapat disangkal lagi. Segala akibat adalah urusan dan tugas para dewata. Akan tetapi sebab-sebabnya berada di tangan manusia karena kewajiban untuk berikhtiar, untuk berjaga dan mengatur segala perbuatannya akan menjadi sebab timbulnya akibat. Empat orang muridku sudah mati, hal itu tidak saya ributkan karena saya mengerti bahwa kematian mereka sudah dikehendaki oleh Dewata. Akan tetapi, yang saya uruskan adalah sebab kematian mereka, karena sebab ini tentu diperbuat oleh manusia! Andaikata empat orang muridku itu tewas dalam perang membela nusa bangsa, saya akan tersenyum puas karena sebab kematiannya adalah sebab yang luhur dan utama. Andaikata mereka tewas dalam membela kebenaran, hal itupun akan memuaskan hati. Akan tetapi, saya mendengar dari Ki Warok Surobledug ini bahwa empat orang murid saya mati secara sia-sia, tanpa sebab yang patut mereka tebus dengan nyawa. Sudah menjadi kewajiban saya sebagai guru mereka dan sebagai manusia untuk mengurus hal ini, Nini Burrugarba."
"Heh-he-he-he! Agaknya puluhan tahun andika bertapa hasilnya mendapatkan ilmu berdebat! Kematian murid-muridmu disebabkan oleh perbuatan muridku. Nah, dia berada di depanmu, kau uruslah dengan dia!"
Ki Ageng Kelud membungkuk kepada nenek itu. "Terima kasih atas izin yang Paduka berikan, Nini Bumigarba." Kemudian ia menoleh dan menghadapi Retna Wilis yang masih berdiri dengan sikap tenang dan tak bergerak-gerak. "Nini, andika seorang dara yang masih remaja, masih bocah, harap andika suka memberi keterangan sejujurnya. Percayalah, aku adalah seorang tua yang tidak menurutkan nafsu hati dan sama sekali tidak ada nafsu amarah yang mendorongku menghadapimu. Katakanlah, mengapa andika membunuh empat orang muridku? Kalau memang mereka itu bersalah, yakinlah bahwa aku akan menerimanya dengan penuh pengertian dan keprihatinan."
Sampai lama Retna Wilis menatap wajah kakek itu dan Ki Ageng Kelud melihat betapa sinar mata dara itu mengandung hawa maut dan hawa dingin yang mendirikan bulu roma sehingga diam-diam kakek ini dapat menduga bahwa kelak tentu dara ini akan merupakan tokoh yang akan menggegerkan dunia, seperti gurunya di waktu muda. Diam-diam ia memanjatkan doa kepada para dewata untuk keselamatan bocah ini sambil menunggu jawaban yang akan keluar dari bibir yang berbentuk indah dan kemerahan itu.
"Ki Ageng Kelud, tidak ada apa-apa yang perlu diributkan. Empat ekor babi hutan yang menjadi muridmu itu pun tidak ada kesalahan apa-apa, hanya mereka itu minta mati dan aku meluluskan permintaan mereka. Apa sih anehnya?"
Ki Ageng Kelud terbelalak kaget. Dara itu masih bocah, akan tetapi jawabannya begitu dingin dan lebih menyeramkan daripada sikap dan kata-kata Nini Bumtgarba sendiri! Dunia diancam malapetaka hebat yang merupakan diri bocah ini, pikirnya dan dia akan menghabiskan sisa hidup dan tenaganya untuk menentang ancaman bagi ketenteraman dunia ini.
"Nini, ceritakanlah. Bagaimana asal mulanya maka murid-muridku minta mati di tanganmu?"
Retna Wilis tidak sabar lagi, akan tetapi karena ia melihat betapa tadi gurunya melayani kakek ini, ia berpendapat bahwa kakek ini tentulah bukan orang sembarangan dan patut pula ia layani bercakap-cakap. Maka setelah menghela napas panjang ia berkata,
"Aku sedang memetik buah sawo ketika mereka datang. Yang paling muda memaksaku menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan menyuruh aku turun. Aku bilang bahwa mereka sebaiknya pergi saja karena kalau kesabaranku habis, mereka akan kubunuh. Yang paling muda itu menertawakan aku dan menantang supaya aku membunuhnya. Nah, karena dia sendiri yang minta mati, aku lalu turun dan membunuhnya. Tiga orang kawannya marah-marah dan menyerangku. Kutanya apakah mereka juga ingin mati, dan mereka menjawab dengan serangan senjata mereka. Kuanggap mereka itu hendak berbelapati, maka aku turun tangan membunuhnya. Kemudian muncul kakek ini, akan tetapi karena dia tidak minta mati, aku pun tidak membunuhnya, hanya menyambitnya dengan buah sawo agar dia tidak menggangguku lagi."
Ki Ageng Kelud memandang dan tertegun. Bukan main! Dara ini liar dan ganas sekali dan ia dapat membayangkan peristiwa itu. Murid-muridnya tewas dalam keadaan penasaran. Dara seperti ini kalau tidak dibasmi, kelak akan merupakan malapetaka bagi manusia-manusia lain. Ia menghela napas panjang dan berkata, "Nini Retna Wilis! Kalau aku si tua bangka ini minta mati di tanganmu, apakah engkau juga hendak membunuhku?"
Berkerut alis yang hitam menjelirit itu. "Sesungguhnya aku bukan algojo tukang membunuh orang, Ki Ageng Kelud. Akan tetapi, kalau engkau menghendaki demikian dan berusaha membalas dendam kematian murid-muridmu, silahkan, aku tidak akan mundur selangkah, sekarang maupun kapan saja."
"Heh-he-heh, pertapa gemblung (pandir)! Andika berani bertanding melawan Retna Wilis muridku yang sakti mandraguna? Heh-heh-heh!"
Ucapan ini jelas merupakan ejekan, karena sesungguhnya amat memalukan kalau seorang tokoh besar seperti Ki Ageng Kelud bertanding melawan seorang dara remaja yang masih bocah!
"Saya bertindak membela kematian murid-muris saya, kalau Paduka hendak membela murid Paduka, dan berkenan menamatkan hidup saya, silahkan, Nini Bumigarba," jawab kakek itu dengan suara halus. Ia maklum bahwa dia sama sekali bukanlah lawan Nini Bumigarba, akan tetapi kalau perlu, ia akan lawan juga, bukan hanya demi membalas kematian murid-muridnya, melainkan terutama sekalI untuk menghalau bahaya yang mengancam ketenteraman dunia.
"Heh-heh, apa kau kira akan dapat mengalahkan muridku? Ki Ageng Kelud, kalau andika bisa mengalahkan Retna Wilis, berarti andika telah mengalahkan aku pula!"
Mendengar ini, Ki Ageng Kelud diam-diam terperanjat sekali. Ia makium bahwa Nini Bumigarba adalah seorang yang kesaktiannya sukar dicari tandingnya dan bahwa seorang dengan kesaktian seperti nenek itu tidak ada alasan untuk bicara besar, maka ucapannya tadi berarti bahwa semua aji kesaktian nenek itu telah diwariskan kepada muridnya ini! Dia telah mendengar penuturan Ki Warok Surobledug akan kesaktian dara remaja itu yang amat luar biasa, dan kini ia baru benar-benar yakin bahwa dara ini merupakan lawan yang amat berbahaya dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
"Bagus! Saya menyerahkan nyawa di tangan Dewata kalau saya gagal membasmi pengaruh buruk yang mengotorkan dunia. Nini, bersiaplah engkau!"
"Majulah, Ki Ageng Kelud, aku siap membunuhmu seperti yang kau minta!" kata Retna Wilis, sikapnya dingin dan sama sekali tidak kelihatan tegang, seolah-olah dia tidak sedang menghadapi tantangan seorang lawan yang sakti.
Ketenangannya amat mengerikan sehingga Ki Warok Surobledug yang berdiri menonton di situ menjadi tegang dan merinding bulu tengkuknya. Biarpun dia sudah cukup yakin akan kesanggupan dan kedigdayaan Ki Ageng Kelud, namun kini ia merasa ragu apakah kakek yang dipujanya itu akan sanggup menandingi bocah yang tidak lumrah manusia, melainkan lebih tepat disebut wanita iblis ini.
Ki Ageng Kelud bersedakap dan menundukkan muka, mengheningkan cipta sejenak untuk berdoa kepada Dewata bahwa kini ia menghadapi sebuah pertandingan mati-matian tanpa pamrih untuk diri pribadi, tanpa dikendalikan nafsu, baik nafsu amarah maupun dendam, melainkan semata karena sadar dan yakin bahwa jika dara berwatak iblis ini tidak dibasmi, kelak akan mendatangkan malapetaka bagi manusia. Setelah ia mengangkat muka lagi, sepasang matanya mengeluarkan sinar bersemangat, kemudian ia melangkah maju menghampiri Retna Wilis.
Dara sakti itu memandang tak acuh, kemudian tubuhnya berkelebat maju dan tangan kirinya menampar secara sembarangan. Biarpun gerakannya sembarangan saja, namun di dalam kesederhanaan ini terkandung kekuatan dahsyat, seperti dahsyatnya pukulan ombak samudera menghamtam karang yang kelihatannya juga sembarangan saja namun dapat menggetarkan gunung karang!
Ki Ageng Kelud dapat merasa datangnya angin pukulan hawa sakti yang terbawa oleh tamparan itu. Ia menjadi kaget dan kagum sekali. Dalam detik itu maklumlah ia mengapa empat orang muridnya bukan lawan dara ini yang sesungguhnya memiliki tangan yang ampuhnya menggila. Namun, sebagai seorang tokoh tua, ia merasa tidak semestinya mengelak seperti orang takut menghadapi tamparan pertama lawannya yang masih bocah, maka dengan niat mencoba dan mengukur tenaga, Ia mengangkat lengan kanannya menangkis.
"Plakk!" Dua tenaga sakti bertemu melalui kedua lengan itu dan akibatnya, Retna Wilis dipaksa melangkah mundur tiga tindak, akan tetapi di, lain fihak, kakek itu terhuyung ke belakang sampai tubuhnya mendoyong miring.
Makin kagetlah Ki Ageng Kelud. Kini ia yakin bahwa tenaga sakti dara itu benar-benar hebat dan dia tidak perlu menaruh sungkan lagi karena biarpun masih bocah, namun dara ini merupakan lawan paling tangguh yang pernah ia hadapi. Cepat ia mengatur keseimbangan tubuhnya dan sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melayang ke atas dan bagaikan seekor burung garuda, ia telah menubruk dengan kedua lengan dipentang dan kedua tangan seperti sepasang cakar garuda mencengkeram ke arah pundak dan kepala Retna Wilis.
Hebat bukan main serangan balasan kakek ini. Ki Ageng Kelud memiliki sebuah ilmu yang amat dahsyat, ciptaannya sendiri selama dia bertapa di Gunung Kelud sampai puluhan tahun lamanya, ilmu yang belum pernah ia ajarkan kepada murid-muridnya karena selain terlalu dahsyat, juga ilmu ini amat sukar dipelajari, membutuhan tenaga sakti yang sudah mencapai puncak tinggi. Ilmu ini disebut Garuda Manang yang ia ciptakan dari gerakan seekor burung garuda yang sedang marah karena sarangnya yang berada di puncak randu alas digerumut seekor ular.
Menyaksikan gerakan garuda menyambar-nyambar dan akhirnya membunuh ular besar itu menimbulkan ilham bagi kakek sakti ini sehingga ia berhasil mencipta sebuah gerak silat yang selain dahsyat, juga amat sukar dipelajari, yaitu Aji Garuda Manang. Kini, menghadapi seorang lawan yang ia tahu amat tangguh, tanpa meragu lagi kakek ini menggunakan ilmu yang sudah dilatih masak-masak namun belum pernah ia pergunakan dalam pertandingan itu.
Retna Wilis adalah seorang dara gemblengan yang luar biasa, digembleng oleh seorang manusia yang memiliki kesaktian tidak lumrah, akan tetapi dia masih belum berpengalaman, amat percaya kepada diri sendiri dan tidak mengenal takut, juga tidak memandang sebelah mata kepada lawan yang mana pun juga. Kini, menghadapi terjangan Ki Ageng Kelud yang tubuhnya melayang di udara itu, Retna Wilis tidak bergerak, tidak menangkis tidak mengelak, melainkan diam menanti datangnya serangan sambil mengerahkan Aji Argoselo yang membuat tubuhnya kokoh kuat dan kebal seperti batu gunung atau batu karang yang sanggup menerima hantaman ombak samudera.
"Desss.... !!"
Betapapun sudah teguh dan bulat tekat di hati Ki Ageng Kelud untuk menewaskan gadis yang dianggapnya merupakan ancaman bagi ketenteraman dunia itu, namun hati kakek ini sudah penuh dengan welas asih yang dipupuknya selama puluhan tahun. Oleh karena itu, melihat Retna Wilis tidak mengelak maupun menangkis terjangan yang dahsyat, ia terkejut sendiri dan otomatis timbul dari sifat welas asihnya, ia merubah cengkeramannya, tidak menyerang kepala melainkan mencengkeram kedua pundak dara itu. Akan tetapi, terjangannya yang dahsyat itu tertumbuk dengan tubuh yang keras dan kebal melebihi baja dan yang mengeluarkan tenaga dahsyat pula menggempur tenaganya sendiri.
Tubuh Retna Wilis hanya bergetar dan berguncang seperti batu karang diterjang ombak, sebaliknya, seperti air laut pula tubuh Ki Ageng Kelud terpelanting dan roboh terguling-guling!
Retna Wilis yang merasa betapa tubuhnya tergetar hebat sehingga ia harus mengerahkan seluruh hawa sakti di tubuhnya agar jangan roboh, menjadi terkejut juga dan timbullah kemarahannya yang ditahan-tahan. Baru sekali ini ia merasakan serangan yang demikian dahsyatnya, dan hal ini membuat hatinya penasaran. Ketika melihat tubuh lawan bergulingan dan wajah kakek itu menjadi pucat, ia mengeluarkan pekik melengking, dan menerjang maju, menggunakan tumit kaki kanannya untuk menginjak hancur kepala kakek itu!
Ki Ageng Kelud maklum akan datangnya ancaman maut, cepat ia yang masih pening menggulingkan diri mengelak dan kaki Retna Wilis amblas memasuki tanah sampai sebetis dalamnya! Dapat dibayangkan betapa mengerikan kalau kaki yang mengandung kekuatan itu tadi mengenai kepala Ki Ageng Kelud, tentu akan remuk dan pecah berantakan. Ki Ageng Kelud cepat melompat bangun, menggoyang kepalanya mengusir kepeningan sambil siap-siap menghadapi lawannya yang amat tangguh itu.
"Hi-hi-hik, sebentar lagi engkau mampus, pertapa tua!" Terdengar Nini Bumigarba tertawa mengejek, hatinya girang menyaksikan kehebatan sepak terjang muridnya.
Mendengar suara gurunya ini, Retna Wilis "mendapat hati" dan segera ia memekik lagi sambil menerjang dengan gerakan cepat sekali. Bagi mata biasa, tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan berputaran yang membawa debu beterbangan, sedangkan bagi pandang mata Ki Ageng Kelud, ia melihat betapa gerakan tubuh dara itu amat cepatnya, berputaran dengan kedua lengan dikembangkan dan dari putaran tubuhnya itu melancarkanlah pukulan-pukulan yang dashyat dan mendatangkan angin berpusingan. Inilah Aji Pancaroba yang hebatnya seperti amukan angin taufan!
Maklum akan hebatnya serangan ini, Ki Ageng Kelud bersikap tenang dan mencurahkan segenap tenaga dan kepandaiannya untuk bertahan dan membela serta melindungi dirinya. Untung bahwa ia seorang tokoh yang berpengalaman dan gerakannya mantap dan tenang, kalau tidak tentu dia tidak akan dapat bertahan lama menghadapi Aji Pancaroba yang hebatnya bukan main ini.
Betapapun juga, dia segera terdesak dan terus mundur-mundur dan berputaran, sama sekali tidak lagi mampu membalas. Dia sudah tua, tenaganya sudah banyak berkurang dan napasnya tidak sepanjang puluhan tahun yang lalu, daya tahannya berkurang. Sebaliknya, Retna Wilis makin lama makin hebat dan cepat gerakannya.
Kalau kakek ini berhasil menyusupkan satu dua pukulan, tubuh Retna Wilis menahannya dan sama sekali tidak merasai pukulan itu, seolah-olah dipijat tangan lunak saja. Sebaliknya, setiap kaki tangan dara itu menyerempet pundak atau bahu, tubuh kakek itu tergetar dan terhuyung-huyung. Ki Ageng Kelud terdesak hebat, setiap saat tentu roboh dan terdengarlah Nini Bumigarba terkekeh-kekeh mentertawakan kakek itu.
Ki Warok Surobledug berdiri dengan muka pucat, maklum bahwa sebentar lagi tentu ia akan menyaksikan pertapa yang dijunjungnya tinggi-tinggi itu rebah tak bernyawa. Dia menjadi gelisah dan bingung, hendak membantu maklum bahwa tenaganya tidak ada artinya bahkan merupakan bunuh diri, tidak membantu, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Kekhawatiran Ki Warok Surobledug segera terjadi. Ketika tubuh Ki Ageng-Kelud untuk ke sekian kalinya terhuyung oleh dorongan angin pukulan dahsyat, Retna Wilis memekik dan mengirim pukulan dengan jari tangan ke arah muka kakek itu. Ki Ageng Kelud berusaha mengelak dengan miringkan tubuh dan menarik kepala ke belakang akan tetapi jari-jari tangan yang lunak halus dan kecil menyambar cepat dan menimpa
pundak kirinya.
"Krekkk....!" Remuklah tulang pundak Ki Ageng Kelud dan tubuh kakek itu terguling.
Retna Wilis menubruk maju mengirim pukulan maut ke arah kepala kakek itu yang sudah meramkan matanya menanti datangnya maut sambil tersenyum tenang. Juga Ki Warok Surobledug meramkan mata, tidak tahan menyaksikan kematian kakek itu.
"Ganas...!" Suara ini perlahan dan halus, dibarengi bayangan putih seperti asap datang bertiup dan tahu-tahu tubuh Retna Wilis terdorong ke belakang seperti ditiup angin yang tak tertahankan saking kuatnya.
Seluruh tubuh dara ini menggigil ketika ia merasa betapa pukulannya tadi bertemu dengan telapak tangan halus yang membuat hawa saktinya seolah-olah tenggelam ke dalam lautan yang dingin melebihi ampak-ampak! Ketika ia dapat menguasai dirinya dan memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang kakek yang amat tua, berpakaian serba putih, berambut dan berkumis jenggot panjang putih pula, wajahnya tertutup uap bersinar putih dan kakek ini berdiri tak bergerak seperti sebuah arca. Akan tetapi dia bukan arca karena pada saat itu, kakek itu berkata kepada Ki Ageng Kelud, "Ki Ageng dan Ki Warok, sebaiknya andika berdua kembali ke tempat andika."
Ki Ageng Kelud biarpun sudah remuk tulang pundaknya, namun dengan kekuatan batinnya dapat mengatasi rasa nyeri. Sejenak ia memandang ke arah wajah yang terselimut uap putih, kemudian berkata lirih penuh hormat, "Omm... sadhu-sadhu-sadhu..." Ia berdiri menyembah lalu membalikkan tubuhnya, mengangguk kepada Ki Warok Surobledug yang tadi terpesona dan terbelalak, sambil menahan nafas lalu mengikuti Ki Ageng Kelud.
Setelah mereka pergi jauh sehingga tak tampak lagi dari tempat itu, sambil terengah-engah Ki Warok Surobledug bertanya, "Paman panembahan ....dia.... dia itu siapakah? Dewatakah?"
Ki Ageng Kelud menghela napas panjang dan menggeleng kepala. "Dia manusia biasa, manusia yang terlalu biasa, manusia wajar... manusia sejati..." Ki Ageng Kelud tidak bicara lagi, di dalam hatinya ia dapat menduga siapa gerangan kakek yang luar biasa tadi, namun mulutnya tidak kuasa menyebut namanya karena hatinya yang penuh dengan keharuan membuat lehernya tercekik, mulutnya terkancing.
Sementara itu, Retna Wilis yang telah berhasil menguasai dirinya, memandang kakek itu dengan alis berkerut. Hatinya panas dan penuh penasaran, juga tidak puas. Siapakah orang ini yang berani menentangnya, berani menggagalkan pukulan mautnya? Bahkan berani seenaknya saja menyuruh pergi dua orang kakek tadi? Seluruh urat syarat di tubuhnya menegang, dan ia sudah siap untuk menerjang kakek yang lancang ini.
Tadinya ia tidak dapat melihat muka yang tertutup halimun putih, akan tetapi setelah ia mengerahkan hawa sakti dari pusarnya, disalurkan kepada pandang matanya, ia dapat menembus halimun atau uap putih itu dan tampaklah dengan jelas wajah seorang pria yang tampan. Wajah yang membayangkan kesabaran tiada batasnya, dengan sepasang mata yang seperti mata bayi baru dapat melek, begitu indah dan tanpa pencerminan perasaan sedikitpun, wajar dan tulus.
Tiba-tiba Nini Bumigarba meloncat maju, wajah nenek itu tidak seperti biasanya, tampak beringas penuh kemarahan, sepasang matanya menyorotkan kekejaman seolah-olah ia hendak menelan hidup-hidup kakek di depannya itu. Kemudian ia menudingkan telunjuknya kepada kakek itu dan berkata dengan suara serak dan kasar.
"Ekadenta! Engkau benar-benar seorang yang keterlaluan sekali! Telah puluhan tahun aku mencuci tangan, tak pernah mengganggumu, akan tetapi engkau selalu menjadi batu penghalang bagiku! Setelah aku mengasingkan diri di tempat sunyi ini, engkau masih saja menggangguku!"
Kakek itu diam saja, hanya memandang dengan sinar matanya yang lembut penuh welas asih dan penuh pengertian. Ketika Retna Wilis mendengar suara gurunya, ia terkejut bukan main. Jadi dia inikah yang bernama Ekadenta? Inikah musuh besar gurunya dan murid orang inikah yang kelak harus ia kalahkan? Mengapa harus menanti sampai bertemu muridnya? Gurunya pun dia tidak gentar untuk menandinginya.
Kini musuh ini telah membikin marah gurunya pula, maka dengan suara pekik melengking dahsyat, Retna Wilis sudah meloncat maju dan tangannya telah menyambar segenggam pasir, kemudian ia mengerahkan aji kesaktiannya, menggenggam pasir sampai pasir itu menjadi hitam kebiruan lalu menyambitkan pasir itu ke arah muka si kakek disusul terjangannya dengan Aji Pancaroba!
Itulah Aji Pasir Sekti yang amat mengerikan karena pasir yang digenggamnya tadi telah berubah menjadi pasir berbisa. Jangankan sampai melukai daging, baru mengenai kulit saja dapat menimbulkan keracunan yang merenggut nyawa...