Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 35
AJI Pasir Sekti yang sedemikian ampuhnya masih ia susul dengan serangan Aji Pancaroba dan pukulan-pukulan maut, sungguh sekali ini Retna Wilis mengerahkan seluruh kepandaiannya karena ia bermaksud untuk sekali terjang merobohkan kakek itu di depan kaki gurunya!
Akan tetapi suara pekik nyaring mulutnya berubah teriakan kaget dan kesakitan. Pasir-pasir hitam itu telah runtuh sebelum mengenai tubuh si kakek, bahkan terjangannya sendiri bertemu dengan tenaga tak tampak yang melindungi kakek itu dalam jarak tiga kaki! Tubuh Retna Wilis terbanting sehingga kulit sikunya babak serta daging pinggulnya terasa panas sesenutan. Ia tak dapat lagi menguasai hatlnya yang marah.
Begitu bangkit, dara remaja ini menerjang lagi, menghantam dengan kedua tangan bertubi-tubi. Akan tetapi kembali ia terpelanting karena tubuhnya bertemu dengan tenaga tak tampak. Berkali-kali ia bangkit lagi dan mengirim serangan seperti menggila, namun selalu ia terpelanting dan terbanting jatuh ke atas tanah, padahal kakek itu sedikitpun tidak bergerak, hanya memandang kepadanya dengan senyum dan sinar mata penuh iba.
Retna Wilis hampir menjerit-jerit saking marahnya dan ia terus bangkit dan menerjang lagi. Tiada bedanya dengan seekor ayam menyerang ayam lain yang berada dalam kurungan. Setiap kali menerjang dari luar, sebelum menyentuh ayam di dalam, telah bertumbukan dengan kurungan dan terpelanting jatuh.
"Retna Wilis, mundurlah!" tiba-tiba Nini Bumigarba berseru.
Retna Wilis masih penasaran, akan tetapi dia pun maklum bahwa dia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap musuh gurunya yang benar-benar luar biasa ini, maka ia lalu mundur dengan muka merah. Ia masih tidak mau menerima kalah dan andaikata tidak ada gurunya yang menyuruhnya mundur, tentu ia akan menyerang terus sampai lawannya roboh atau sampai dia sendiri yang roboh kehabisan tenaga dan napas!
"Ekadenta, tidak malukah engkau tua bangka menghina orang muda?" Nini Bumigarba menghardik dengan sikap seperti seekor ayam biang membela anaknya.
Kakek itu menoleh dan membalikkan tubuhnya kepada Nini Bumigarba, lalu terdengar suaranya, "Sarilangking, tidak ada yang menghina atau terhina. Aku hanya mencegah kesesatan yang lebih parah. Mengapa engkau menjadikan dia seperti itu? Apa gunanya bagi dunia dan manusia?"
"Wah-wah, sombongnya si kepala batu! Aku menggembleng muridku sendiri, apa sangkut pautnya denganmu? Engkau sendiri juga telah menggembleng seorang murid! Aku hanya menandingimu karena dialah yang kelak akan menandingi muridmu. Suruh dia ke sini, kita adu mereka. Hayo, kita sama lihat siapa di antara murid kita yang lebih digdaya!"
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Sari, sungguh sayang sampai kini engkau masih belum mau berusaha untuk berpaling ke arah kebenaran. Aku mendidik seorang murid untuk mewakili aku, menyumbangkan tenaga demi untuk kebahagiaan manusia, demi untuk ketenteraman hidup, demi untuk menentang kejahatan."
"Benar! Aku yang jahat dan harus ditentang, ya? Aku tidak menyangkal! Aku malah sebaliknya darimu. Muridku akan mewakili aku, merusak kebahagiaan manusia sombong macam engkau, mendatangkan kekacauan untuk meramaikan dunia, dan menentang manusia-manusia yang menganggap diri suci dan baik!"
"Muridku akan berusaha membawa penerangan bagi manusia..."
"Dan muridku akan membawa kegelapan!"
"Muridku akan mewakili kebajikan .
"Dan muridku akan menjadi ratu kejahatan!"
"Sari, mengapa engkau tidak mau sadar juga? Lupakah engkau bahwa kita ini hanyalah manusia-manusia biasa, manusia yang tidak dapat menguasai mati hidupnya sendiri? Sari, ingatlah, betapa ketika kita dilahirkan, kita tanya bisa menangis, itu pun terjadi di luar kehendak kita? Kita lahir kecil dan lemah, tanpa pikiran, tanpa kehendak, tanpa pendapat, hanya menyerahkan diri di luar kesadaran, hanya bergerak sesuai dengan kehendak Hyang Widi Wisesa. Kita dikaruniai segala perlengkapan, sampai pengertian dan akal budi, akan tetapi mengapa semua itu membuat kita lupa akan asal mula diri kita? Sari, kau lihatlah baik-baik. Kau pandanglah aku... dan kau sadarlah Sari...!"
Nenek itu tidak menjawab, hanya memandang bagaikan kena pesona. Sampai lama mereka berpandangan, maka nenek itu makin lama makin terbelalak lebar, penuh takjub, penuh kagum, penuh takluk dan takut, kemudian nenek ini menjatuhkan diri berlutut, menyembah dan menangis!
"Ekadenta... aku... aku... terlampau jauh tersesat... aku hanyut... tolonglah aku, Ekadenta..."
Kakek itu melangkah perlahan-lahan, seakan-akan tidak memperdulikan nenek itu, mulutnya mengeluarkan suara seperti orang bertembang, halus dan merdu, seperti bisikan angin lalu,
"Yang pahit dan getir itu banyak manfaatnya, yang manis dan lezat itu banyak bahayanya. Namun manusia membenci yang pahit getir, tergila-gila kepada yang lezat manis. Akibatnya, banyak derita duka nestapa. Tak baik terpengaruh oleh keindahan lahir, kupaslah kulit dan periksa isi karena kulit yang buruk menyembunyikan isi yang berguna, sebaliknya kulit yang indah seringkali menyembunyikan isi yang tak berguna."
Perlahan-lahan Nini Bumigarba bangkit dan melangkah pula mengikuti Bhagawan Ekadenta. Kakek itu berjalan di depan sambil bertembang nenek itu melangkah di belakangnya, mata memandang jauh ke depan seperti orang dalam mimpi. Mereka berdua berjalan terus menuju ke laut!
"Eyang...! Retna Wilis berseru perlahan, akan tetapi gurunya sama sekali tidak menjawab, menoleh pun tidak. Mereka berdua kini telah tiba di pantai yang disentuh ombak, akan tetapi keduanya berjalan terus, seolah-olah tidak melihat gelombang yang datang dari depan.
"Eyang...!!" Kini Retna Wilis menjerit keras dan meloncat maju mengejar gurunya. Akan tetapi ia berdiri terbelalak di pinggir laut, membiarkan air laut bermain di kakinya sampai setinggi lutut. Ia tidak merasa ini semua karena sedang terpesona memandang ke selatan, memandang tubuh kakek dan nenek itu yang terus melangkah dengan tenangnya, melangkah di atas gelombang laut kidul yang datang bergulung-gulung!
Retna Wilis berdiri tanpa berkedip memandang dua orang itu yang terus melangkah seakan-akan mereka itu sedang berjalan-jalan di dalam taman saja. Kadang-kadang ombak menggunung menutup mereka, dan kadang-kadang mereka muncul lagi. Mereka terus bergerak ke selatan sampai akhirnya bayangan mereka lenyap di antara gelombang lautan yang makin bergelora.
Retna Wilis menahan isak saking kagum, terharu dan juga terheran-heran. Kemudian baru ia merasa betapa air telah membasahi kainnya sampai ke paha, maka cepat ia menjauhi air dan duduk di atas pasir, termenung memandang ke arah selatan, mengharapkan sewaktu-waktu gurunya akan muncul dari selatan. Ia ingin sekali mengetahui apa yang tampak oleh gurunya ketika memandang kakek itu, dan mengapa gurunya lalu berlutut dan takluk, kemudian ia ingin tahu ke mana dua orang sakti itu pergi. Namun, selamanya hal ini takkan pernah dapat dijawabnya, takkan pernah dapat dijawab oleh siapa pun juga kecuali oleh manusia-manusia yang telah terbuka mata batinnya akan hakekat hidup.
Retna Wilis termenung sampai lama di tepi laut, kemudian sadar bahwa gurunya takkan kembali lagi, sadar bahwa dia kini berada seorang diri di atas permukaan dunia ini. Hatinya mengeras, keberaniannya timbul dan ia lalu mengingat-ingat apa yang dipesankan gurunya. Hawa Wisalangking telah berada di tubuhnya dan menurut pesan gurunya, ia harus melatih diri, melatih aji kesaktian Wisalangking, cara mempergunakannya seperti yang telah diterangkan gurunya. Dan ia harus pula mengambil pedang Sapudenta dari dalam guha di bawah permukaan air laut. Kemudian, setelah ada tanda lenyapnya bintang di atas puncak Gunung Cengger Jago, ia harus meninggalkan pantai ini dan pergi ke Wilis.
Retna Wilis membulatkan tekadnya dan mulailah ia berlatih Aji Wisalangking yang amat dahsyat. Aji kesaktian ini adalah aji yang paling dahsyat di antara semua ilmu yang dipelajarinya dari Nini Bumigarba. Setahun kemudian, ia telah dapat melatih ilmu itu dengan baik, sungguhpun belum sempurna benar, namun ia sudah dapat menguasai hawa Wisalangking di tubuhnya.
Menurut petunjuk gurunya, sesuai dengan cita-cita gurunya dahulu untuk mengalahkan Ekadenta dengan Aji Wisalangking ditambah penggunaan pedang Sapudenta, Retna Wilis lalu mendatangi pantai di sebelah barat. Ia sudah tahu di mana adanya air ulekan di bawah karang Kukura, yaitu batu karang di mana agaknya menjadi sarang binatang kura-kura raksasa karena kura-kura raksasa yang mendarat untuk bertelur selalu muncul dari air ulekan ini.
Setelah ia tiba di pantai itu, ia berdiri memandang air yang berpusing itu dengan hati penuh gairah. Retna Wilis maklum bahwa sekuat-kuatnya tenaga manusia, tak mungkin akan dapat melawan air berpusing seperti itu. Bagian ini merupakan teluk kecil yang bentuknya bundar, sehingga ombak yang bergelombang datang memasuki teluk kecil ini, airnya berputar dan membentuk pusingan air yang hebat dan kuat. Dan dia diharuskan terjun menyelam karena gua di mana tersimpan pedang pusaka Sapudenta terdapat di bawah batu karang Kukura yang ia injak sekarang, berada di dinding karang yang tertutup air yang kadang-kadang tenang apabila ombak berhenti menderu.
Retna Wilis tidak merasa ngeri menyaksikan air berpusing itu. Semenjak berada di situ, ia seringkali bermain-main dengan air dan ombak, menggoda ikan-ikan hiu yang ganas dan dia merupakan seorang ahli renang yang kuat, kuat menahan napas dan dapat membuka mata di dalam air sehingga dapat melihat ikan-ikan di bawah permukaan air.
Memang belum pernah ia mandi di bawah karang Kukura ini karena tempat itu memang berbahaya, akan tetapi sedikit pun tidak ada rasa takut di hatinya ketika Retna Wilis berdiri di atas batu karang, siap untuk terjun. Dia sudah meraba-raba bajunya seperti biasa kalau hendak mandi di laut, hendak membuka pakaiannya. Akan tetapi ketika teringat akan sesuatu, ia menghela napas dan tidak melanjutkan gerakan jari tangannya.
Semenjak ia melatih Wisalangking, bahkan semenjak ia menerima pemindahan hawa Wisalangking dari gurunya, ia menjadi malu kepada diri sendiri untuk bertelanjang bulat seperti biasa. Dahulu, sebelum ia memiliki aji kesaktian itu, tubuhnya berkulit putih kuning dan mulus tanpa cacad. Akan tetapi semenjak ia memiliki hawa Wisalangking, la melihat betapa kulit di sekeliling pusarnya diliputi lingkaran warna menghitam! Ia merasa malu dan tak senang dengan cacad ini, akan tetapi betapapun ia berusaha, lingkaran warna menghitam di sekeliling pusarnya itu tak dapat lenyap. Karena itu pula dia sekarang tidak jadi membuka pakaiannya dan setelah menarik napas, menghimpun hawa segar ke dalam rongga dadanya, dara perkasa ini membelitkan sarungnya ke belakang, mengikatnya kemudian meloncat terjun ke dalam air!
Begitu tubuh dara itu menyentuh air, langsung ia dicengkeram oleh pusaran air dan Retna Wilis cepat menjungkirkan tubuhnya, menyelam mempergunakan gerakan kaki tangannya dengan sekuatnya. Namun, kembali ia dikuasai oleh air berpusing dan betapapun ia melawan, tetap saja tubuhnya dihanyutkan oleh tenaga sakti yang tak mungkin dapat ia lawan. Betapapun saktinya, Retna Wilis adalah seorang manusia dan manusia ditakdirkan hidup di darat sehingga dalam melawan pusaran air, dara yang sakti mandraguna itu akan kalah jauh dibandingkan dengan seekor ikan kecil.
Sampai pening rasa kepala Retna Wilis karena tubuhnya hanyut dan dibawa berputar terus, makin diseret ke bawah di mana pusingan air itu menjadi makin kuat. Dia maklum bahwa kalau tidak segera dapat melepaskan diri dari pusingan air, ia akan terancam bahaya maut, yaitu dapat terbanting pada batu karang dengan kekuatan yang amat dahsyat. Maka ia cepat mengerahkan seluruh tenaga, menahan kekuatan dahsyat itu dan matanya terbelalak memandang melalui air yang sudah mulai gelap karena pusingan air membawanya sampai dalam.
Tiba-tiba ia melihat bayangan seekor kura-kura raksasa lewat. Kura-kura ini hanya sedikit saja terpengaruh oleh pusingan air karena tentu saja dalam hal bermain di air, dia seratus kali lebih pandai daripada Retna Wilis! Kura-kura adalah seekor binatang yang tidak buas, tidak suka menyerang manusia apabila tidak diganggu, dan tidak suka pula makan daging manusia. Dia mendekati Retna Wilis hanya karena tertarik melihat benda aneh yang bergerak-gerak melawan pusingan air. Akan tetapi, begitu binatang ini lewat dekat, kedua lengan Retna Wilis menyambar ke depan dan ia berhasil merangkap dua kaki belakang kura-kura itu yang menjadi terkejut sekali dan meronta sekuatnya. Sia-sia saja usahanya ini karena kedua tangan Retna Wilis sudah mencengkeramnya dengan kekuatan yang luar biasa, bahkan gadis itu dapat terus merayap dan menerkam binatang itu di atas punggungnya, bertelungkup dan merangkul leher binatang itu dengan kedua lengan!
Kura-kura itu menyelam dan menjungkir-balikkan tubuhnya dalam air, namun Retna Wilis tetap berada di punggungnya, bahkan kini dara perkasa itu mencekik leher kura-kura sehingga binatang itu akhirnya tidak meronta lagi, maklum bahwa makluk yang berada di punggungnya itu amat kuat. Ia hanya berenang menjauhi pusaran air karena dalam keadaan tidak berdaya dalam cengkeraman mahluk kuat di punggungnya itu, pusaran air menjadi berbahaya baginya.
Retna Wilis yang masih menelungkup di punggung kura-kura raksasa menjadi lega setelah kura-kura itu menjadi jinak, maka ia lalu menggunakan tangannya menekuk leher kura-kura ke arah kiri. Kura-kura itu kesakitan dan otomatis membelok ke kiri untuk menyelamatkan lehernya. Dengan demikian, dara itu kini dapat menyetir binatang raksasa itu menuju ke bawah karang Kukura. Dengan kekuatan pandang mata dan dengan rabaan tangan kiri, akhirnya Retna Wilis berhasil menemukan gua dan ketika kura-kura itu membawanya memasuki gua, ternyata bahwa gua itu penuh dengan kura-kura besar!
Terbuktilah dugaannya bahwa tempat itu memang menjadi sarang kura-kura. Ada beberapa ekor kura-kura yang dengan gerakan ganas datang menyerang, akan tetapi dengan dorongan tangan kirinya Retna Wilis membuat beberapa ekor kura-kura ini terjengkang sehingga akhirnya mereka menjadi ketakutan dan berenang menjauhkan diri, keluar dari dalam gua.
Retna Wilis turun dari punggung kura-kura dan binatang ini yang ternyata merupakan kura-kura terbesar di situ, mendekam di sudut, agaknya dia mulai jinak dan maklum bahwa manusia yang sakti itu tidak berniat jahat, buktinya tidak membunuhnya. Retna Wilis cepat mencari dan dengan mudah menemukan peti kecil panjang yang terjepit di sela-sela batu karang dalam gua. Ia menarik peti kecil itu, membuka dan matanya silau menyaksikan sebatang pedang yang indah di dalam peti, pedang yang tertarik sedikit gagangnya sehingga tampak sedikit mata pedang yang putih mengkilap.
Tanpa membuang waktu, ia mengambil pedang yang sudah lengkap dengan sarung pedang dan talinya itu, mengalungkan talinya di pundak sehingga pedang itu berada di punggungnya. Kemudian ia menghampiri kura-kura raksasa dan naik lagi ke punggungnya. Dengan menepuk-nepuk kepala kura-kura, binatang ini berenang keluar dan seperti tadi, Retna Wilis mengemudikan binatang ini sampai dapat melalui pusaran air dan timbul di permukaan air dengan selamat. Retna Wilis cepat menghirup napas, menyedot hawa segar dan duduk bersila di atas punggung kura-kura.
"Kura-kura, bawa aku mendarat!" teriaknya riang dan kura-kura itu cepat meluncur ke pantai.
Dengan wajah berseri Retna Wilis membiarkan dirinya dibawa kura-kura raksasa itu ke pantai, duduk bersila dengan tenangnya, dengan pedang di punggung, gagah perkasa dan cantik jelita seperti dewi laut. Kalau ada orang melihat dara ini duduk bersila di atas punggung kura-kura raksasa, muncul dari dalam laut, tentu orang itu takkan ragu-ragu mengatakan bahwa dia telah melihat dewi atau peri penjaga Segoro Kidul!
Setelah Retna Wilis meloncat turun, kura-kura itu dengan gerakan lamban berjalan atau merangkak kembali ke air, menoleh satu kali memandang ke arah Retna Wilis, kemudian menyelam ditelan ombak mendatang. Retna Wilis melambaikan tangan sambil tertawa. "Terima kasih, Kukura!"
Mulai hari itu, Retna Wilis lalu makin tekun melatih diri, kini ia menggerakkan dan mainkan pedang pusaka Sapudenta yang memiliki sinar putih seperti perak dalam latihan-latihannya sesuai dengan pelajaran yang ia terima dari Nini Bumigarba. Kalau ada orang melihat dari jauh ketika dara ini sedang berlatih pedang, tentu akan mengira bahwa di pantai itu ada kilat menyambar-nyambar karena pedang itu ketika dimainkan dengan dorongan tenaga sakti Wisalangking, berkelebatan seperti kilat menyambar, mengeluarkan sinar putih menyilaukan mata.
Setiap malam Retna Wilis tak pernah lupa untuk memandang ke angkasa, ke atas gunung yang berbentuk cengger jago, dan setiap kali melihat bintang kehijauan masih bersinar-sinar di angkasa, ia menghela napas dan merasa menyesal bahwa waktunya belum tiba untuk meninggalkan tempat itu. Setelah gurunya tiada, dara ini merasa kesepian dan bosan tinggal seorang diri di situ. Akan tetapi ia selalu taat akan pesan gurunya dan ia tiada akan meninggalkan pantai itu sebelum ada tanda yang dipesankan gurunya, yaitu lenyapnya bintang kehijauan yang menjadi lambang kejayaan kekuasaan yang mencengkeram Jenggala di waktu itu.
Kita tinggalkan dulu dara perkasa Retna Wilis yang setiap malam menanti datangnya tanda seperti yang dipesankan gurunya dan mari kita menjenguk keadaan di Jenggala sendiri. Telah dituturkan di bagian depan bahwa Pangeran Panji Sigit bersama isterinya Setyaningsih, telah tinggal di Jenggala, di lingkungan istana. Juga Pusporini dan Joko Pramono tinggal di istana Jenggala.
Mereka, empat orang muda perkasa ini, gagal dalam penyelidikan mereka tentang diri Nini Bumigarba yang melarikan Retna Wilis. Kemudian mereka lebih menujukan perhatian mereka terhadap keadaan di Jenggala dan bertekad untuk membantu perjuangan dari Panjalu yang dipimpin oleh Pangeran Darmokusumo dan Ki Patih Tejolaksono, yaitu untuk membebaskan sang prabu dan Kerajaan Jenggala dari cengkeraman persekutuan jahat yang telah mereka ketahui siapa orang-orangnya itu.
Makin jelaslah kini bagi Pangeran Panji Sigit dan isterinya, juga Pusporini dan Joko Pramono, akan keadaan di kerajaan ini. Sang prabu yang sudah tua itu benar-benar telah terlalu dalam tenggelam dan semua kekuasaan telah dicengkeram oleh Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama. Empat orang muda ini maklum bahwa persekutuan ini amat licin dan cerdik, tidak memperlihatkan kekuasaan namun sudah mutlak mengoper kekuasaan Jenggala di tangan mereka sehingga kalau sewaktu-waktu sang prabu yang sudah tua itu meninggal, otomatis Pangeran Kukutan yang menggantikan menjadi Raja Jenggala, Ki Patih Warutama tetap menjadi patih, dan Suminten menjadi ibu suri!
Pangeran Panji Sigit maklum bahwa untuk menyelamatkan kerajaan harus dilakukan sekarang juga selagi ramandanya masih hidup. Mulailah pangeran ini mendekati ramandanya, mulailah mencari kesempatan untuk memberi ingat kepada ramandanya akan bahaya yang mengancam bagi Kerajaan Jenggala. Menurut penyelidikan Joko Pramono dan Pusporini, tidak hanya para ponggawa yang diganti oleh orang-orang baru, juga para emban dan pendeta Agama Wishnu telah didesak dan kini telah dibangun candi-candi besar untuk keperluan beberapa orang pendeta penyembah Shiwa yang agaknya mendapat tempat istimewa dan dianak emaskan oleh Ki Patih Warutama dan Pangeran Kukutan.
Dalam pertemuan rahasia mereka, Pangeran Panji Sigit memutuskan untuk mengirim Joko Pramono dan Pusporini ke Panjalu dan memberi kabar kepada Ki Patih Tejolaksono dan Pangeran Darmokusumo tentang hasil penyelidikan mereka, dan tentang gagalnya penyelidikan mereka mengenai diri Nini Bumigarba. Empat orang muda ini tidak tahu bahwa rencana mereka telah diketahui Suminten, bahwa Suminten telah mengatur siasat yang telah lama direncanakan dan yang kini dipercepat pelaksanaannya untuk mendahului rencana Pangeran Panji Sigit yang hendak mengutus dua orang muda itu membuat laporan ke Panjalu.
Malam itu terang bulan dan langit cerah sekali. Langit yang membiru dihias beberapa buah bintang, terang oleh sinar bulan yang sejuk. Ketika Pangeran Panji Sigit sedang bercakap-cakap dengan isterinya di luar kamar sambil memandang bulan purnama yang indah, tiba-tiba seorang pelayan wanita datang menghadap dan menyampaikan permintaan gusti selir yang minta kepada Setyaningsih untuk menemaninya di dalam taman keputren. Gusti selir hendak menikmati cahaya bulan di taman dan minta agar Setyaningsih suka menemaninya bercakap-cakap.
Tentu saja hal yang wajar ini sukar ditolak oleh Setyaningsih, bahkan Pangeran Panji Sigit yang tidak ingin menimbulkan kecurigaan di hati Suminten musuh utama yang paling berbahaya itu, membujuk isterinya untuk berdandan dan segera berangkat bersama pelayan itu untuk memenuhi panggilan ibunda selir. Biarpun di dalam hatinya Setyaningsih merasa segan dan tidak senang karena sesungguhnya ia muak melihat Suminten, namun ia tidak berani menolak dan setelah cepat berdandan, berangkatlah ia bersama pelayan wanita yang diutus memanggilnya itu memasuki keputren dan langsung menuju ke taman yang indah, milik pribadi Suminten. Sementara itu, Joko Pramono yang sedang duduk bersamadhi di dalam kamarnya, mendapat kunjungan Ki Mitra. Kakek ini berindap-indap mengetuk daun jendela kamar Joko Pramono.
"Raden...! Raden... keluarlah..." la berbisik.
Joko Pramono turun dari pembaringannya dan membuka daun jendela. "Paman Mitra, bagaimana engkau bisa masuk...?" Pemuda ini merasa heran karena orang tua ini menjadi juru taman di luar istana dan untuk memasuki daerah istana bukanlah hal yang mudah.
"Ssttt... hamba mengenal seorang pengawal setia. Dia yang memanggil hamba karena terjadi urusan yang gawat sekali!"
Joko Pramono menarik kakek itu memasuki kamarnya. "Apakah yang terjadi?"
"Lekas paduka bertindak, Raden, kalau tidak... bisa terlambat...! Hamba mendengar dari pengawal setia bahwa Gusti Puteri Setyaningsih malam ini diundang ke taman bunga di taman sari oleh Gusti Selir Suminten..."
Joko Pramono memandang tajam, "Hemm, urusan begitu saja, apa salahnya?"
"Ah, paduka terlalu memandang rendah Gusti Selir Suminten! Menurut laporan-laporan yang hamba dengar, malam ini Gusti Puteri Setyaningsih sengaja dipancing untuk diajak makan minum dan... akan diracun!"
"Apa...???" Joko Pramono terkejut sekali.
"Lekaslah paduka menolongnya sebelum terlambat!"
"Di manakah Kakangmas Pangeran Panji Sigit? Dia harus diberi tahu, dan Pusporini..."
"Ah, Raden, mengapa menyia-nyiakan waktu? Gusti selir banyak memasang mata-mata, dan kalau kita ribut-ribut... dapat terlambat dan celaka! Lebih baik sekarang juga paduka cepat memasuki taman sari dan menolong Gusti Puteri Setyaningsih sebelum terlambat terkena racun. Hamba yang akan memberi tahu kepada Gusti Pangeran Panji Sigit dan Raden-ayu Pusporini."
Karena mengkhawatirkan keadaan Setyaningsih, Joko Pramono mengangguk setuju, kemudian ia meloncat keluar dari jendela kamarnya, menghilang ke dalam gelap untuk cepat-cepat menolong Setyaningsih yang terancam bahaya maut di tangan Suminten yang jahat. Ki Mitra juga berindap-indap menuju ke pondok keputren di mana terdapat kamar Pusporini.
Pada saat itu, Pangeran Panji Sigit yang masih duduk di serambi depan pondoknya, merasa tidak enak mengapa isterinya belum juga pulang. Andaikata bukan Suminten yang mengajak isterinya bersenang-senang di taman, andaikata selir lain dari ramandanya yang sekarang sudah terasing, tentu ia tidak gelisah seperti itu.
"Pangeran..."
Pangeran Panji Sigit tersentak kaget ketika mendengar suara ini dan melihat orangnya yang muncul dari pintu tembusan ke belakang. Ternyata orang yang dikhawatirkan akan mencelakakan isterinya, Suminten, berada di situ! Cantik jelita dan seluruh pembawaannya mengandung tantangan yang merangsang dan genit. Wanita ini memang cantik manis sekali, hal ini tak dapat disangkal oleh Pangeran Panji Sigit, dan terutama sekali mulut dan mata itu mengundang cinta kasih pria dan tentu akan mudah menjatuhkan hati pria yang bagaimana keras pun. Akan tetapi Pangeran Panji Sigit yang sudah mengenaI watak dan isi dada membusung itu, isi yang amat keji dan kotor, menjadi terkejut dan cepat-cepat ia bangkit berdiri sambil menghormat.
"Ibunda selir... mengapa berada di sini... Di mana isteriku, Setyaningsih?"
"Aduh Pangeran... karena dialah aku bersusah payah datang mencarimu. Marilah kau ikut bersamaku melihat dia. Lihat apa yang dilakukan isterimu dan sahabat baikmu, si keparat Joko Pramono."
"Apa... apa yang terjadi... Tipu muslihat apalagi yang kaulakukan?" Pangeran Panji Sigit serta-merta menuduh ibu tirinya ini dan memandang dengan kening berkerut dan jantung berdebar penuh kegelisahan akan keselamatan isterinya dan sahabat baiknya.
Bibir yang merah semringah itu menahan senyum mengejek, bibir bawah yang penuh bergerak-gerak, dagunya berguncang-guncang karena di dalam rongga mulut lidahnya bergerak-gerak. Dalam keadaan begini, Suminten tampak amat menarik hati dan menggemaskan hati pria, apalagi disertai pandang mata yang redup sayu seperti mata orang yang mengantuk, benar-benar memikat. Sang Arjuna sendiri biarpun sedang bertapa, kalau digoda seorang wanita seperti Suminten, agaknya belum tentu akan kuat bertahan! Kalau dalam ceritera Arjuna Mintaraga, Sang Arjuna yang bertapa digoda oleh tujuh orang bidadari dapat bertahan, bukanlah aneh karena bidadari-bidadari yang suci mana mungkin bisa membangkitkan nafsu berahi seorang satria!
"Aduh, Pangeran, paduka juga puteraku dan saya adalah ibumu... ah begitu keras dan kejamkah hatimu sehingga kesalahan kecil yang pernah saya lakukan dahulu itu masih saja tak terlupakan? Saya tidak melakukan fitnah... tadinya isterimu bersamaku di taman. Karena sesuatu urusan, saya terpaksa meninggalkannya sebentar di taman dan... ah, kau lihat sendiri sajalah. Saya sudah mempersiapkan pengawal mengepung taman, akan tetapi saya tidak membolehkan mereka turun tangan sebelum paduka menyaksikan dengan mata sendiri agar kelak jangan menuduh saya menjatuhkan fitnah terhadap isteri dan sahabatmu. Marilah, Pangeran..."
Pangeran Panji Sigit menjadi pucat wajahnya dan jantungnya berdebar keras sekali. Bagaimana dia dapat menolak? lsterinya belum kembali dan dia amat khawatir. Tidak, sama sekali bukan khawatir bahwa berita yang dibawa Suminten ini mengandung kebenaran. Isterinya dan Joko Pramono? Wah, biar dunia kiamat dia tidak akan dapat percaya akan hal ini isterinya memang cantik jelita dan dapat meruntuhkan hati setiap orang pria, akan tetapi Joko Pramono adalah seorang satria sejati, seorang gagah perkasa dan seorang pria yang mencinta Pusporini.
Sebaliknya, biarpun Joko Pramono adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa dan pasti akan mudah menjatuhkan hati setiap orang wanita, akan tetapi isterinya, Setyaningsih, tentu saja amat setia dalam cinta kasihnya dan sampai mati pun ia tidak akan meragukan kesetiaan isterinya sedikit pun juga isterinya dituduh tidak setia oleh wanita hina yang gila laki-laki ini? Ah, betapa ingin ia menampar atau mencekik wanita ini di saat itu juga!
"Ibunda selir... saya akan melihat dan... kalau ini hanya fitnah... demi para dewata, saya takkan mendiamkan saja penghinaan ini...!" desisnya dengan gigi terkancing.
Suminten tersenyum, bibirnya merekah sehingga mututnya terbuka seperti sebuah luka yang tampak dagingnya memerah, dan sebelum Pangeran Panji Sigit dapat menolaknya, wanita itu telah menyambar lengannya dan ditariknya lengan pemuda bangsawan itu keluar dari situ melalui pintu belakang.
"Marilah, Pangeran. Saksikan saja sendiri dan buktikan kebenaran omongan Suminten...!" Ketika menyebutkan namanya sendiri ini, terdengar seperti bisikan mesra sekali.
Wanita ini sudah menyebutkan nama sendiri, tidak lagi bersikap sebagai seorang ibu tiri, dan andaikata hati Pangeran Panji Sigit tidak sedang diliputi kegelisahan hebat, tentu ia akan merasakan ketidakwajaran dan sikap yang jelas menantang asmara ini. Bergegas Suminten yang menarik tangan pangeran itu menyelinap melalui taman-taman istana menuju ke taman sari miliknya sendiri. Beberapa sosok bayangan menyambut mereka di tempat gelap, di belakang semak-semak. Mereka itu ternyata adalah pengawal-pengawal yang telah mengadakan pengurungan di taman itu.
"Di mana mereka...?" Suminten berbisik.
Seorang pengawal menyembah dan dengan ibu jarinya menunjuk ke depan. Jantung Pangeran Panji Sigit makin berdebar dan ia menurut saja ketika Suminten kembali menggandengnya, menyusup di belakang pohon-pohon dan akhirnya mereka dapat melihat bayangan dua orang di dekat pondok merah di taman. Pangeran Panji Sigit berdiri dengan muka pucat, mata terbelalak dan mulut ternganga, tidak percaya kepada pandang mata sendiri ketika ia melihat bahwa bayangan itu adalah Joko Pramono dan Setyaningsih. Seolah-olah berhenti denyut jantungnya, lehernya seperti tercekik, mulutnya menjadi kering dan napasnya terengah-engah.
Tanpa berkedip ia melihat betapa Joko Pramono memondong tubuh isterinya, melihat jelas betapa otot-otot lengan Joko Pramono melingkar-lingkar kuat menyangga kedua paha Setyaningsih, lengan sebelah lagi merangkul punggung. Hal ini masih tidak berarti karena memang sudah semestinya demikian kalau sedang memondong orang. Akan tetapi mengapa Joko Pramono memondong Setyaningsih? Kalau saja ia melihat isterinya itu pingsan atau menderita seperti orang sakit atau terluka, ia tentu akan cepat berlari menghampiri mereka dan tidak melihat sesuatu yang aneh kalau Joko Pramono memondong isterinya. Akan tetapi justeru keadaan Setyaningsih di saat itu tidak seperti orang sakit, apalagi pingsan!
Memang Setyaningsih seperti orang gelisah, akan tetapi gelisah diamuk nafsu berahi! Kedua lengan yang lunak halus hangat dari isterinya itu, kedua lengan yang biasanya merangkulnya, yang biasa diciuminya sehingga ia hampir mengenal di luar kepala segala bentuk lekuk-lengkung kedua lengan itu, hafal betapa di sebelah dalam pangkal lengan kiri isterinya, di antara bulu-bulu halus mengeriting, terdapat sebuah tahi lalat. Hafal pula betapa di dekat siku kanan yang meruncing itu terdapat segores bekas luka. Kedua lengan itu kini dengan kemesraan yang sama seperti kalau memeluknya, bahkan agaknya lebih mesra lagi, sedang melingkari leher Joko Pramono!
Dan jari-jari tangan isterinya yang kecil panjang dan halus itu! Jari-jari tangan itu menjambak-jambak rambut kepala Joko Pramono, menjambak mesra yang sesungguhnya merupakan belaian khas dari Setyaningsih karena seringkali isterinya itu membelai seperti itu, menjambak-jambak halus rambut kepalanya di waktu mereka berdua berada dalam keadaan semesra-mesranya. Kini kedua tangan itu, sepuluh jari-jari meruncing itu terbenam ke dalam rambut kepala Joko Pramono dan wajah isterinya diangkat-angkat mendekati wajah Joko Pramono seperti hendak menciumnya!
"Percayakah paduka Pangeran?" bisik Suminten di dekat telinganya.
Pangeran Panji Sigit kehilangan suaranya, hampir kehilangan napasnya, kehilangan pula semangat dan kemauannya. Ia diam saja.
"Akan kuperintahkan pengawal menangkap bedebah yang mengkhianatimu itu, bagaimana?" kembali bibir yang diharumkan sari bunga mawar itu berhembus membisikkan kata-kata dekat telinganya.
Pangeran Panji Sigit hampir pingsan saking marah dan sakit hatinya. Ia tidak buta! Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Isterinya Setyaningsih Begitu bergelora dalam nafsu berahi! Jelas sekali olehnya karena ia telah mengenal betul keadaan isterinya dan biarpun dia jauh, ia melihat jelas betapa saat itu Setyaningsih seperti terbakar nafsu berahi dalam pondongan dan pelukan Joko Pramono. Biarpun saat itu wajah Joko Pramono tidak membayangkan gairah yang sama, akan tetapi jelas pemuda itu memondong isterinya, dan ia yakin bahwa Setyaningsih belum begitu gila untuk bersikap seperti itu kalau tidak ada uluran cinta kasih dari pihak Joko Pramono! Keji! Hina! Dan Pangeran Panji Sigit yang mendengar pertanyaan Suminten itu hanya menganggukkan mukanya tanpa mengalihkan pandangnya yang sejak tadi tak pernah berkedip.
Suminten mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan dari segala jurusan berloncatan keluarlah pasukan pengawal dengan senjata tombak, golok, atau pedang. Jumlah mereka itu tidak kurang dari tiga puluh orang dan mereka semua segera membuat gerakan mengurung Joko Pramono yang kelihatan kaget dan marah.
Pangeran Panji Sigit dapat melihat jelas betapa dengan setengah memaksa Joko Pramono melepaskan pondongannya dan betapa Setyaningsih meronta-ronta seolah-olah tidak mau dilepaskan. Akhirnya, karena para pengawal sudah menubruk maju, Joko Pramono membuat gerakan melempar sehingga tubuh Setyaningsih terguling di atas tanah, kemudian pemuda itu menerjang maju dan robohlah dua orang pengawal terdepan terkena hantaman kedua tangannya. Akan tetapi, dua orang roboh yang maju ada belasan orang, menubruknya dari kanan kiri, depan dan belakang.
Joko Pramono mengeluarkan suara bentakan keras, tubuhnya berkelebat mengelak dan menangkis, bahkan senjata yang berhasil mengenai tubuhnya hanya merobek pakaiannya saja karena kulitnya kebal oleh pengerahan hawa sakti tubuhnya, kemudian ia merobohkan lagi empat orang pengeroyok.
Pada saat itu menyambar sesosok bayangan yang amat lincah. Sekali terjang, bayangan ini sudah merobohkan dua orang pengawal yang mendekati Setyaningsih yang masih duduk setengah rebah di atas tanah dan kelihatan bingung. Bayangan itu ternyata adalah Pusporini yang cepat menyambar tubuh Setyaningsih, dikempit dengan
lengan kiri sedangkan tangan kanan dara perkasa ini menghajar roboh berturut-turut dua orang pengawal lain. Joko Pramono yang dikeroyok banyak pengawal, melihat munculnya Pusporini segera berseru,
"Bagus, Rini. Kau bantu aku membasmi jahanam-jahanam ini!"
"Cih, laki-laki ceriwis, cabul dan mata keranjang!" Pusporini memaki dan tubuhnya berkelebat pergi membawa Setyaningsih yang hanya mengeluarkan suara keluhan panjang.
Joko Pramono kaget sekali, cepat ia mengerjakan tangannya dengan cepat sekali dan kembali enam orang pengawal roboh terpelanting. Melihat ini, Pangeran Kukutan yang sejak tadi pun telah bersembunyi di situ berteriak,
"Hayo maju semua, bunuh keparat itu!"
Makin banyak lagi pengawal berdatangan dan melihat gelagat buruk ini, Joko Pramono mengeluarkan suara pekik keras tubuhnya agak merendah, kedua tangannya didorong ke depan dan hawa pukulan seperti angin lesus menyambar ke depan, membuat belasan orang pengawal yang berada terdepan, terjengkang dan terpelanting. Ketika para pengawal memandang ke depan, pemuda perkasa itu ternyata telah lenyap dari tempat itu. Joko Pramono telah mempergunakan Aji Cantuka Sekti untuk memukul roboh para pengeroyoknya, kemudian ia meloncat dan pergi secepatnya menyusul Pusporini yang telah lebih dulu membawa Setyaningsih.
Pangeran Kukutan menjadi penasaran sekali ketika melihat Joko Pramono dapat meloloskan diri, terutama sekali Setyaningsih dan Pusporini. Dia sudah mendapat janji dari Suminten bahwa kalau siasat mereka berhasil dan empat orang muda itu terjatuh ke tangan mereka, dia boleh memiliki dua orang wanita muda jelita itu! Setyaningsih dan Pusporini! Betapa dia sudah tergila-gila, kalau malam sering bermimpi memangku dua orang wanita itu, dan kalau dikenang membuat ia mengilar.
Kini, dikepung oleh puluhan orang pengawal pilihan, dua orang wanita itu dan Joko Pramono masih dapat lobos! Ah, dia dan Suminten terlalu memandang rendah mereka. Terlalu memandang rendah Joko Pramono dan Pusporini yang ternyata benar-benar amat sakti. Kalau mereka tahu betapa hebat kesaktian dua orang muda itu, tentu Pangeran Kukutan sudah minta bantuan Ki Patih Warutama sehingga malam itu dapat diundang beberapa orang sakti dari luar untuk membantu.
Karena penasaran, Pangeran Kukutan lalu mengerahkan barisan pengawal, sedikitnya ada lima losin jumlahnya, melakukan pengejaran di malam terang bulan itu. Akan tetapi, ilmu berlari cepat kedua orang murid Sang Resi Mahesapati ini jauh lebih tinggi daripada Pangeran Kukutan dan para pengawalnya sehingga para pengejar itu tertinggal jauh sekali.
Dua orang muda perkasa itu maklum bahwa fihak istana pasti takkan membiarkan mereka pergi seenaknya, maka mereka pun tak pernah berhenti berlari dan semalam suntuk itu Pusporini yang berlari di depan sambil memondong tubuh Setyaningsih, telah jauh meninggalkan kota raja, memasuki hutan besar dan baru menjelang pagi, ia menghentikan larinya dan melepaskan tubuh Setyaningsih ke atas tanah yang bertilam rumput.
"Pusporini... aduhh... kepalaku..." Setyaningsih mengeluh akan tetapi ia segera terguling lemas dan tertidur pulas!"
"Hemm... kau lemah dan keji terhadap suamimu, Setyaningsih!" kata Pusporini, nada suaranya marah dan tiba-tiba gadis yang keras hati yang gagah perkasa dan yang tak pernah mengenal takut itu menangis tersedu-sedu sambil berjongkok di dekat Setyaningsih yang tidur nyenyak.
"Rini... engkau mengapakah? Mengapa menangis? Dan mengapa pula kau tadi marah-marah dan memaki-maki aku tidak karuan?"
Pertanyaan Joko Pramono ini diajukan dengan suara halus karena dia melihat gadis itu menangis, akan tetapi mengandung rasa mendongkol dan penasaran karena ia merasa betapa dia dimaki-maki tidak karuan tanpa salah. Mengapa Pusporini secara tiba-tiba memaki dia ceriwis, cabul, dan mata keranjang? Maki-makian keji yang dilontarkan di depan orang banyak pula. Bahkan gadis ini tidak mau membantunya yang dikeroyok banyak pengawal. Apakah sebabnya?
Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba Pusporini mencelat bangun dan serta-merta menerjangnya dengan pukulan maut tanpa mengeluarkan suara ba atau bu lagi! Pukulan dengan tangan kanan yang ditujukan ke arah dada Joko Pramono dengan penuh tenaga terdorong kemarahan dan kebencian!
"Eiiiitttt... sembrono kau, Rini!" Joko Pramono terkejut sekali dan cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan sampai jauh. Hanya dengan cara itulah ia dapat menyelamatkan diri dari hantaman maut yang amat dahsyat itu.
Pusporini yang memang berwatak keras dan tidak pernah mau kalah, menjadi penasaran dan terus menerjang lagi dengan dahsyatnya, tanpa memberi kesempatan kepada Joko Pramono untuk bicara atau balas menyerang, bahkan ia tidak hendak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk bernapas! Dia ingin membunuh pemuda ini yang telah menyakitkan hatinya malam tadi!
Mengapa Pusporini secara tiba-tiba marah kepada Joko Pramono? Memang tidak mengherankan kalau diketahui apa yang diucapkan Ki Mitra malam tadi ketika kakek ini menghadap dara perkasa ini.
"Paduka harus cepat-cepat menolong Raden Ayu... kalau tidak, akan celakalah semua..." kata kakek itu dengan muka pucat dan berkeringat.
"Ki Mitra... ada apakah?" Pusporini bertanya kaget...
Kakek itu menghela napas panjang, menghapus peluhnya, kemudian menggeleng-geleng kepala dan berkata,
"Ah, kalau orang muda... kaduk wani kurang dugo (menonjolkan keberanian tanpa perhitungan), semua ini gara-gara Raden Joko mengadakan pertemuan rahasia dengan Gusti Puteri Setyaningsih..."
"Apa... Apa kau bilang...? Jaga baik-baik mulutmu, Ki Mitra!" Pusporini marah sekali dan tangannya sudah gatal-gatal hendak menampar kakek itu kalau saja ia tidak ingat bahwa kakek ini adalah orang yang setia dan tentu ada sebabnya mengapa mengeluarkan kata-kata seperti itu.
"Hamba tidak menyalahkan paduka. Memang, biasanya yang terdekat malah tidak mengetahui. Sudah beberapa kali mereka berdua mengadakan pertemuan rahasia, ahh... hamba tidak heran, yang puteri cantik jelita yang putera tampan perkasa. Akan tetapi sekali ini mereka terkena jebakan, mengadakan pertemuan di pondok dalam taman sari milik gusti selir dan mereka ketahuan, tertangkap basah! Mereka kini telah dikurung pasukan pengawal..."
Demikianlah, mendengar ucapan ini, tanpa menanti sampai habis penuturan Ki Mitra, tubuh Pusporini sudah berkelebat dan ia berlari cepat memasuki taman sari itu. Dan apa yang dilihatnya? Sama dengan yang dilihat Pangeran Panji Sigit! Ia melihat betapa pria yang dicintanya itu sedang memondong tubuh Setyaningsih dan wanita itu, kakak tirinya yang amat dikasihinya, yang ia kagumi dan yang ia anggap sebagai seorang wanita sejati, seorang wanita yang patut dijadikan tauladan, dengan mesra membelai rambut kepala Joko Pramono, bersikap mesra penuh gelora nafsu berahi yang amat memalukan dan memuakkan perutnya!
Ketika para pengawal keluar menyerbu, Pusporini membatalkan niatnya menyerang Joko Pramono, sebaliknya ia lalu menyambar tubuh Setyaningsih dan membawanya pergi karena betapapun juga, dia tidak mungkin dapat membiarkan kakak tirinya itu tertimpa aib dan malu, tertangkap basah melakukan perjinahan dengan Joko Pramono.
Tentu saja, dalam kedukaan dan kecewanya, dalam penderitaan akibat hancurnya kebahagiaan cinta kasihnya dengan Joko Pramono yang sekaligus dihancurkan oleh penglihatan di taman sari tadi, begitu melihat Joko Pramono, dara perkasa ini tak dapat menahan kebencian dan kemarahannya lagi dan langsung menerjang dan menyerang pemuda itu dengan pukulan-pukulan maut secara bertubi-tubil
"Wah... heiiitt... berhenti dulu! Aihhhh...!" Joko Pramono yang hanya menangkis dan mengelak itu akhirnya kena diserempet pundaknya sehingga ia roboh terpelanting. Baiknya ia memiliki tubuh yang terlatih dan kebal sehingga sebelum kaki Pusporini yang melayang datang itu sempat menghajar dan meremukkan kepalanya, Joko Pramono sudah menekankan kedua tangan ke atas tanah, mendorong dan tubuhnya mencelat jauh sehingga terhindar dari tendangan maut.
"Rini, jangan... berhenti dulu dan mari kita bicara...!"
"Keparat, manusia tak berbudi, tidak perlu bicara lagi. Engkau atau aku yang harus mati!" bentak Pusporini yang terus menyerang sehingga kembali Joko Pramono yang terheran-heran itu dan yang selalu mengalah, terdesak hebat dan tamparan Pusporini menyerempet pipinya sehingga pinggir bibir pemuda itu pecah berdarah. Melihat darah, Pusporini seperti menjadi semakin buas dan serangannya makin ganas.
"Pusporini...! Eh, Joko Pramono...! Mengapa kalian berkelahi? Berhenti... berhentilah... apakah yang terjadi...??" Setyaningsih yang telah sadar dari tidurnya tadi sejenak terbelalak menyaksikan betapa Pusporini menyerang dan mendesak Joko Pramono. Kemudian ia melompat bangun dan cepat melerai mereka, menghadang di depan Pusporini yang sudah seperti seekor harimau betina direbut anaknya itu.
Pusporini dengan alis berdiri memandang Setyaningsih, napasnya terengah dan dua titik air mata membasahi pipinya.
"Engkau... engkau hendak membela kekasihmu ini...??"
Ucapan ini bagi Setyaningsih dan Joko Pramono merupakan tuduhan yang amat mengejutkan, bagaikan halilintar menyambar di atas kepala mereka.
"Rini...! Apa yang kau katakan ini...??" teriak Joko Pramono.
Wajah Setyaningsih menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak memandang adik tirinya.
"Pusporini adikku...! mengapa kau mengeluarkan ucapan sekeji itu? Apakah yang telah terjadi...? Mengapa aku berada di sini...dan... dan mengapa kalian bertempur...?"
Muka Pusporini menjadi makin merah, dadanya menjadi makin bergelombang karena rongga dadanya dibakar api kemarahan.
"Hemmm, sungguh tak tahu malu dan pengecut! Sudah berani berbuat tidak berani mengaku! Kedua mataku sendiri telah melihat betapa engkau dalam pondongannya mengerang-erang manja dan penuh nafsu. Mataku belum buta! Semalam kumelihat sendiri dan sekarang kalian berdua masih berpura-pura lagi? Aduh, sungguh kasihan Kakangmas Pangeran Panji Sigit... dikhianati isteri dan sahabat palsu...!!" Pusporini lalu menangis terisak.
Setyaningsih memandang kepada Pusporini, lalu kepada Joko Pramono berganti-ganti dengan muka pucat, kemudian ia berkata setengah menjerit.
"Di mana suamiku? Mengapa aku berada di sini? Apa yang terjadi? Lekas ceritakan, kalian berdua. Lekas ceritakan... ah, aku bisa menjadi gila karena gelisah...!!"
Pusporini menghentikan tangisnya dan ia memandang wajah kakak tirinya itu dengan pandang mata tajam penuh selidik. Ia mulai meragu akan kebenaran dugaannya. Pada saat itu, Joko Pramono berkata,
"Ah, tidak salah lagi. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, dan kita semua telah masuk perangkap keji. Pusporini, harap kau bersabar dan lebih baik kita secara terang-terangan saling menceritakan pengalaman malam tadi. Kalau kemudian terbukti bahwa aku telah melakukan hal keji terhadap Ayunda Setyaningsih seperti yang kautuduhkan, biarlah aku memberikan leherku untuk kaupenggal!"
Pusporini memandang kepada pria yang dicintanya akan tetapi sekarang dibencinya itu dengan mata penuh amarah, alisnya tetap berkerut, dan ia tidak menjawab. Hatinya masih terlalu sakit dan rongga dadanya masih terlalu panas penuh hawa amarah.
"Adinda Joko, ceritakanlah apa yang telah terjadi..." Setyaningsih berkata dengan suara penuh permohonan sambil merangkul pundak Pusporini untuk mencegah adiknya yang galak ini menyerang lagi pemuda itu.
Joko Pramono menghela napas panjang, kemudian memandang lagi kepada Pusporini lalu bercerita, "Malam tadi, selagi saya duduk sendiri dalam kamar bersamadhi, datanglah Ki Mitra yang menceritakan dengan muka penuh kekhawatiran bahwa Ayunda Setyaningsih sedang diajak makan minum oleh selir Suminten dan bahwa Ayunda akan diracun. Ki Mitra minta kepada saya agar cepat menolong Ayunda yang katanya setiap saat terancam dan bahwa Ayunda bersama selir Suminten berada di taman sari. Dia mencegah saya memberitahukan kepada Pusporini atau Rakanda Pangeran karena dia khawatir tidak akan keburu dan berjanji bahwa dialah yang akan memberitahu kepada Pusporini dan Rakanda Pangeran. Karena saya percaya kepadanya, saya lalu bersicepat memasuki taman sari. Di dalam taman sari itu amat sunyi dan saya melihat Ayunda seorang diri di dalam pondok merah. Saya terkejut melihat keadaan Ayunda karena Ayunda terhuyung-huyung dan hampir roboh. Saya mengira bahwa tentu Ayunda telah keracunan, maka cepat saya menyambar dan memondong tubuh Ayunda untuk saya bawa pergi kembali ke tempat Rakanda Pangeran agar dapat diusahakan pertolongan. Akan tetapi pada saat itu, saya diserbu puluhan orang pengawal. Terpaksa saya menurunkan tubuh Ayunda dan pada saat itu... Pusporini muncul akan tetapi hanya menyelamatkan Ayunda dan tidak membantu saya, bahkan memaki saya! Tentu saja saya menjadi penasaran dan mengejar terus. Siapa kira, begitu tiba di sini, dia bersungguh-sungguh hendak membunuh saya...!" Joko Pramono menghapus darah yang masih keluar dari ujung bibirnya yang kini menjendol.
Wajah Pusporini yang tadinya merah kini perlahan-lahan berubah menjadi pucat. Kemarahan yang membayang di matanya mulai terganti keraguan kemudian kegelisahan, dan tatapan matanya pada Joko Pramono menjadi gugup dan bingung. Ia memegang pundak Setyaningsih dan mendesak, "Ayunda... ceritakanlah... apa yang telah terjadi dengan Ayunda di taman itu...!" Pusporini membayangkan betapa Setyaningsih ketika dalam pondongan Joko Pramono, kelihatan begitu penuh nafsu berahi, jari-jari tangannya membelai muka dan rambut pemuda itu, mukanya diangkat-angkat hendak mencium!
Setyaningsih yang rambutnya kusut dan wajahnya masih pucat itu memijit-mijit pelipisnya. "Aku sendiri, tidak mengingat sesuatu... kepalaku masih pening sekali. Hanya sedikit yang kuingat. Malam tadi aku duduk berdua dengan suamiku, lalu datang seorang pelayan ibunda selir yang mengundangku untuk menemaninya makan minum sambil menikmati terang bulan di taman sari. Aku dan suamiku merasa sungkan untuk menolak, terpaksa pergi juga bersama pelayan itu. Di dalam taman sari, di pondok merah itu, aku menemani ibunda selir makan minum. Kemudian ibunda selir menyuguhkan secangkir anggur. Aku menolak, akan tetapi katanya anggur itu amat baik untuk seorang isteri muda yang belum mempunyai anak. Aku didesak, lalu dikatakan apakah aku takut diracun sehingga terpaksa untuk menghilangkan kecurigaan aku minum anggur itu yang rasanya manis dan berbau harum sekali. Setelah itu... aku seperti dalam mimpi yang kacau... seperti hanya berdua dengan Kakangmas Pangeran... ah, aku tidak tahu lagi apa yang telah terjadi. Tahu-tahu aku sadar dan telah berada di sini, berbaring di atas tanah dan melihat kalian berdua berkelahi seperti kemasukan setan!"
"Aha! Sudah mulai kelihatan belangnya sekarang!" Tiba-tiba Joko Pramono berkata sambil menepuk pahanya sendiri. 'Pusporini, ceritakanlah pengalamanmu agar kita dapat membandingkan!"
Dengan suara trenyuh karena ia pun mulai dapat menduga akan jalannya tipu muslihat musuh dan hatinya penuh keharuan karena sikapnya tadi terhadap Joko Pramono, Pusporini lalu bercerita, "Ki Mitra datang kepadaku malam tadi dan mengatakan bahwa Ayunda dan... Joko.... mengadakan... eh, per... temuan rahasia di taman sari, bahkan Ayunda dan Joko sudah lama mengadakan hubungan percintaan dan malam tadi bertemu di taman sari akan tetapi tertangkap basah dan akan ditangkap para pengawal yang dikerahkan oleh... perempuan iblis itu...! Aku datang ke sana dan melihat Ayunda dalam pondongan... ahhh, sudahlah... aku memang bersalah... mataku seperti buta...!" Pusporini menangis, kini tangisnya sukar dikatakan, apakah tangis itu karena menyesali perbuatannya ataukah tangis girang bahwa Joko Pramono tidak jadi direbut orang, ataukah kedua-duanya!
"Wah, jelas sudah sekarang! Ini tentu tipu daya keji Suminten yang jahanam itu! Sengaja diatur, mungkin sudah lama diaturnya dan dicari kesempatan ini. Siasat untuk memecah-belah di antara kita dan sekaligus menghancurkan kita dengan dalih pelanggaran susila dan melawan para pengawal! Dan hampir saja siasatnya berhasil." Kembali pemuda ini meraba bibirnya yang menyendol dan pecah pinggirnya. "Kalau tidak cepat-cepat aku menghindar, tentu kepalaku telah pecah sekarang dan andika berdua hanya akan menangisi sebuah mayat tiada gunanya lagi!"
"Joko...!" Pusporini menubruk pemuda itu dan menangis sesenggukan di atas dadanya.
Joko Pramono mengejap-ngejapkan matanya menahan dua butir air matanya yang akan menitik turun saking terharu dan girangnya hati. Pusporini yang penuh penyesalan, seperti lupa diri, lupa bahwa di situ terdapat Setyaningsih yang memandang dengan mata basah air mata. Dia mengangkat mukanya dan dengan terisak-isak ia meraba pinggir bibir yang pecah itu, meraba dan membelainya, kemudian mengecup luka di bibir dengan halus.
"Joko, maafkan aku, Joko... maafkan aku dan kau pukullah aku sebagai hukuman...!"
Joko Pramono tersenyum lebar dan mendekap muka itu ke dadanya, erat-erat seolah-olah ia hendak menyimpan kepala dan wajah yang amat dicintanya itu ke dalam dadanya, dan takkan diperbolehkan keluar lagi. Kemudian ia mencium dahi Pusporini dan memegang dagu gadis itu, diangkatnya muka yang basah itu menghadap mukanya, lalu ia berkata,
"Engkau...? Dihukum pukulan? Wah, eman-eman (sayang)...! Kalau aku tadi tahu upahnya akan sebesar ini, mau rasanya aku menerima sebuah pukulanmu lagi...!"
"Kau memang ceriwis!" Pusporini berkata, akan tetapi dengan sikap manja dan tangannya menampar lirih ke arah pipi Joko Pramono.
Pemuda itu tertawa dan menunduk, dengan mesra dan sepenuh cinta kasih hatinya ia mengambung pipi kiri Pusporini dengan hidungnya. Sejenak Pusporini terlena dalam belaian mesra ini, akan tetapi tiba-tiba ia melepaskan diri dan mencela,
"Ihhh... tak tahu malu. Ada ayunda melihat kita!"
Joko Pramono yang sadar dari buaian asmara yang memabukkan, seakan-akan baru timbul dari keadaan tenggelam ke dalam perasaan bahagia yang tadi membuatnya lupa akan segala. Cepat ia menghadapi Setyaningsih dan berkata,
"Maafkan kami, Ayunda, karena terharu kami sampai lupa diri, lupa akan kegawatan keadaan. Kita semua telah menjadi korban siasat buruk Suminten, dan sungguh mengkhawatirkan kalau mengingat akan keadaan Kakangmas Pangeran yang masih tertinggal di sana."
"Aku akan kembali ke sana dan membantu Kakangmas Pangeran lolos keluar istana!" Pusporini yang agaknya ingin menebus kesalahan, kini mengajukan diri dengan suara tetap dan tabah.
"Biarkan aku saja yang pergi, Rini, engkau perlu menjaga dan menemani Ayunda di sini..." kata Joko Pramono yang sebetulnya tentu saja merasa khawatir kalau Pusporini dibiarkan pergi sendirian memasuki tempat yang penuh dengan musuh-musuh itu dan yang ia tahu amat berbahaya.
Sebaliknya, Pusporini juga mengkhawatirkan keselamatan pria yang dicintanya karena tadi malam pun para pengawal hendak membunuh Joko Pramono. Kalau pemuda itu kembali ke istana, bukanlah sama halnya dengan menyerahkan nyawanya?
"Tidak, Joko. Mereka semalam memusuhimu, belum tentu akan memusuhi aku!"
Melihat betapa kedua orang muda itu berebut, Setyaningsih menghela napas, merangkul leher Pusporini sambil berkata, "Kalian berdua tidak boleh kembali ke sana lagi setelah berhasil lolos. Karena suamiku berada di sana, maka akulah yang akan kembali ke sana. Aku harus berada di samping Kakangmas Pangeran, dalam keadaan bagaimanapun juga. Kalian berdua sebaiknya lekas pergi ke Panjalu dan memberi laporan kepada Rakanda Patih Tejolaksono dan Pangeran Darmokusumo."
"Ah, berbahaya sekali, Ayunda!" Joko Pramono berseru keras.
"Setelah iblis betina itu melakukan siasat fitnah keji, tentu dia tidak akan segansegan melakukan hal yang lebih jahat lagi. Siapa tahu, Kakangmas Pangeran juga terjeblos ke dalam perangkap seperti kita, dan celakanya kalau Kakangmas Pangeran juga tertipu seperti halnya Diajeng Pusporini tadi. Jangan-jangan dia akan... akan menganggap Ayunda tidak setia..."
Setyaningsih menggeleng kepala dan tersenyum penuh keyakinan. "Suamiku tidak akan meragukan kesetiaanku seujung rambutpun. Kakangmas Pangeran percaya penuh akan cinta kasih yang kami pupuk bersama."
"Yunda, aku akan ikut kembali ke sana karena aku tidak terima, aku akan menghancurkan kepala perempuan iblis Suminten!" kata Pusporini penuh amarah dan dendam terhadap selir raja yang amat cerdik dan keji itu.
"Benar, Ayunda. Biarkan kami ikut, selalu menemani dan mengawal Ayunda, juga kita bersama akan dapat lebih kuat melindungi dan membela Kakangmas Pangeran di sana. Selain itu, aku harus pula menangkap Ki Mitra yang entah mengapa telah menjadi palsu laporannya itu!"
Baru Pusporini teringat akan hal ini. "Ki Mitra! Ah, dia tentu menjadi kaki tangan iblis betina itu, dan telah berkhianat! Aku pun ingin membagi sebuah tamparan di kepalanya!"
"Dia bukan Ki Mitra..." Suara ini terdengar tiba-tiba dari batik semak-semak, kemudian muncullah dua orang dari balik semak-semak itu. Mereka adalah seorang pria setengah tua yang gagah perkasa dan seorang wanita muda yang berwajah manis. Setyaningsih tidak mengenal mereka ini, akan tetapi Joko Pramono dan Pusporini berseru kaget dan girang,
"Paman Wiraman dan Widawati...!!" Ki Wiraman lalu melangkah maju bersama Widawati dan bekas pengawal pilihan dari Jenggala ini cepat memberi hormat:
"Harap maafkan kami berdua. Sebetulnya telah lama kami berdua berada di balik semak-semak itu, memimpin belasan orang anak buah penyelidik. Akan tetapi melihat betapa andika berdua tadi bertanding hebat, kami tidak berani melerai dan baru setelah mendengar percakapan, hati kami lega dan berani keluar."
"Ah, tidak mengapa, Paman. Paman Wiraman, apa artinya ucapanmu tadi bahwa dia bukan Ki Mitra?" Juga Pusporini memandang penuh pertanyaan, sedangkan Setyaningsih juga memandang penuh perhatian.
Ki Wiraman sebagai seorang pejuang yang banyak pengalaman tidak segera menjawab, melainkan memandang kepada Setyaningsih dengan sinar mata meragu dan penuh kecurigaan. Dia tidak mengenal puteri cantik ini dan dia harus berhati-hati untuk menceritakan rahasia yang diketahuinya.
"Jangan khawatir, Paman. Ini adalah Ayundaku, Setyaningsih, isteri dari Rakanda Pangeran Panji Sigit yang kini masih tertinggal di istana Jenggala."
"Ah, maafkan keraguan hamba," kata Ki Wiraman sambil menyembah dengan hormat, diturut pula oleh Widawati.
Akan tetapi suara pekik nyaring mulutnya berubah teriakan kaget dan kesakitan. Pasir-pasir hitam itu telah runtuh sebelum mengenai tubuh si kakek, bahkan terjangannya sendiri bertemu dengan tenaga tak tampak yang melindungi kakek itu dalam jarak tiga kaki! Tubuh Retna Wilis terbanting sehingga kulit sikunya babak serta daging pinggulnya terasa panas sesenutan. Ia tak dapat lagi menguasai hatlnya yang marah.
Begitu bangkit, dara remaja ini menerjang lagi, menghantam dengan kedua tangan bertubi-tubi. Akan tetapi kembali ia terpelanting karena tubuhnya bertemu dengan tenaga tak tampak. Berkali-kali ia bangkit lagi dan mengirim serangan seperti menggila, namun selalu ia terpelanting dan terbanting jatuh ke atas tanah, padahal kakek itu sedikitpun tidak bergerak, hanya memandang kepadanya dengan senyum dan sinar mata penuh iba.
Retna Wilis hampir menjerit-jerit saking marahnya dan ia terus bangkit dan menerjang lagi. Tiada bedanya dengan seekor ayam menyerang ayam lain yang berada dalam kurungan. Setiap kali menerjang dari luar, sebelum menyentuh ayam di dalam, telah bertumbukan dengan kurungan dan terpelanting jatuh.
"Retna Wilis, mundurlah!" tiba-tiba Nini Bumigarba berseru.
Retna Wilis masih penasaran, akan tetapi dia pun maklum bahwa dia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap musuh gurunya yang benar-benar luar biasa ini, maka ia lalu mundur dengan muka merah. Ia masih tidak mau menerima kalah dan andaikata tidak ada gurunya yang menyuruhnya mundur, tentu ia akan menyerang terus sampai lawannya roboh atau sampai dia sendiri yang roboh kehabisan tenaga dan napas!
"Ekadenta, tidak malukah engkau tua bangka menghina orang muda?" Nini Bumigarba menghardik dengan sikap seperti seekor ayam biang membela anaknya.
Kakek itu menoleh dan membalikkan tubuhnya kepada Nini Bumigarba, lalu terdengar suaranya, "Sarilangking, tidak ada yang menghina atau terhina. Aku hanya mencegah kesesatan yang lebih parah. Mengapa engkau menjadikan dia seperti itu? Apa gunanya bagi dunia dan manusia?"
"Wah-wah, sombongnya si kepala batu! Aku menggembleng muridku sendiri, apa sangkut pautnya denganmu? Engkau sendiri juga telah menggembleng seorang murid! Aku hanya menandingimu karena dialah yang kelak akan menandingi muridmu. Suruh dia ke sini, kita adu mereka. Hayo, kita sama lihat siapa di antara murid kita yang lebih digdaya!"
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Sari, sungguh sayang sampai kini engkau masih belum mau berusaha untuk berpaling ke arah kebenaran. Aku mendidik seorang murid untuk mewakili aku, menyumbangkan tenaga demi untuk kebahagiaan manusia, demi untuk ketenteraman hidup, demi untuk menentang kejahatan."
"Benar! Aku yang jahat dan harus ditentang, ya? Aku tidak menyangkal! Aku malah sebaliknya darimu. Muridku akan mewakili aku, merusak kebahagiaan manusia sombong macam engkau, mendatangkan kekacauan untuk meramaikan dunia, dan menentang manusia-manusia yang menganggap diri suci dan baik!"
"Muridku akan berusaha membawa penerangan bagi manusia..."
"Dan muridku akan membawa kegelapan!"
"Muridku akan mewakili kebajikan .
"Dan muridku akan menjadi ratu kejahatan!"
"Sari, mengapa engkau tidak mau sadar juga? Lupakah engkau bahwa kita ini hanyalah manusia-manusia biasa, manusia yang tidak dapat menguasai mati hidupnya sendiri? Sari, ingatlah, betapa ketika kita dilahirkan, kita tanya bisa menangis, itu pun terjadi di luar kehendak kita? Kita lahir kecil dan lemah, tanpa pikiran, tanpa kehendak, tanpa pendapat, hanya menyerahkan diri di luar kesadaran, hanya bergerak sesuai dengan kehendak Hyang Widi Wisesa. Kita dikaruniai segala perlengkapan, sampai pengertian dan akal budi, akan tetapi mengapa semua itu membuat kita lupa akan asal mula diri kita? Sari, kau lihatlah baik-baik. Kau pandanglah aku... dan kau sadarlah Sari...!"
Nenek itu tidak menjawab, hanya memandang bagaikan kena pesona. Sampai lama mereka berpandangan, maka nenek itu makin lama makin terbelalak lebar, penuh takjub, penuh kagum, penuh takluk dan takut, kemudian nenek ini menjatuhkan diri berlutut, menyembah dan menangis!
"Ekadenta... aku... aku... terlampau jauh tersesat... aku hanyut... tolonglah aku, Ekadenta..."
Kakek itu melangkah perlahan-lahan, seakan-akan tidak memperdulikan nenek itu, mulutnya mengeluarkan suara seperti orang bertembang, halus dan merdu, seperti bisikan angin lalu,
"Yang pahit dan getir itu banyak manfaatnya, yang manis dan lezat itu banyak bahayanya. Namun manusia membenci yang pahit getir, tergila-gila kepada yang lezat manis. Akibatnya, banyak derita duka nestapa. Tak baik terpengaruh oleh keindahan lahir, kupaslah kulit dan periksa isi karena kulit yang buruk menyembunyikan isi yang berguna, sebaliknya kulit yang indah seringkali menyembunyikan isi yang tak berguna."
Perlahan-lahan Nini Bumigarba bangkit dan melangkah pula mengikuti Bhagawan Ekadenta. Kakek itu berjalan di depan sambil bertembang nenek itu melangkah di belakangnya, mata memandang jauh ke depan seperti orang dalam mimpi. Mereka berdua berjalan terus menuju ke laut!
"Eyang...! Retna Wilis berseru perlahan, akan tetapi gurunya sama sekali tidak menjawab, menoleh pun tidak. Mereka berdua kini telah tiba di pantai yang disentuh ombak, akan tetapi keduanya berjalan terus, seolah-olah tidak melihat gelombang yang datang dari depan.
"Eyang...!!" Kini Retna Wilis menjerit keras dan meloncat maju mengejar gurunya. Akan tetapi ia berdiri terbelalak di pinggir laut, membiarkan air laut bermain di kakinya sampai setinggi lutut. Ia tidak merasa ini semua karena sedang terpesona memandang ke selatan, memandang tubuh kakek dan nenek itu yang terus melangkah dengan tenangnya, melangkah di atas gelombang laut kidul yang datang bergulung-gulung!
Retna Wilis berdiri tanpa berkedip memandang dua orang itu yang terus melangkah seakan-akan mereka itu sedang berjalan-jalan di dalam taman saja. Kadang-kadang ombak menggunung menutup mereka, dan kadang-kadang mereka muncul lagi. Mereka terus bergerak ke selatan sampai akhirnya bayangan mereka lenyap di antara gelombang lautan yang makin bergelora.
Retna Wilis menahan isak saking kagum, terharu dan juga terheran-heran. Kemudian baru ia merasa betapa air telah membasahi kainnya sampai ke paha, maka cepat ia menjauhi air dan duduk di atas pasir, termenung memandang ke arah selatan, mengharapkan sewaktu-waktu gurunya akan muncul dari selatan. Ia ingin sekali mengetahui apa yang tampak oleh gurunya ketika memandang kakek itu, dan mengapa gurunya lalu berlutut dan takluk, kemudian ia ingin tahu ke mana dua orang sakti itu pergi. Namun, selamanya hal ini takkan pernah dapat dijawabnya, takkan pernah dapat dijawab oleh siapa pun juga kecuali oleh manusia-manusia yang telah terbuka mata batinnya akan hakekat hidup.
Retna Wilis termenung sampai lama di tepi laut, kemudian sadar bahwa gurunya takkan kembali lagi, sadar bahwa dia kini berada seorang diri di atas permukaan dunia ini. Hatinya mengeras, keberaniannya timbul dan ia lalu mengingat-ingat apa yang dipesankan gurunya. Hawa Wisalangking telah berada di tubuhnya dan menurut pesan gurunya, ia harus melatih diri, melatih aji kesaktian Wisalangking, cara mempergunakannya seperti yang telah diterangkan gurunya. Dan ia harus pula mengambil pedang Sapudenta dari dalam guha di bawah permukaan air laut. Kemudian, setelah ada tanda lenyapnya bintang di atas puncak Gunung Cengger Jago, ia harus meninggalkan pantai ini dan pergi ke Wilis.
Retna Wilis membulatkan tekadnya dan mulailah ia berlatih Aji Wisalangking yang amat dahsyat. Aji kesaktian ini adalah aji yang paling dahsyat di antara semua ilmu yang dipelajarinya dari Nini Bumigarba. Setahun kemudian, ia telah dapat melatih ilmu itu dengan baik, sungguhpun belum sempurna benar, namun ia sudah dapat menguasai hawa Wisalangking di tubuhnya.
Menurut petunjuk gurunya, sesuai dengan cita-cita gurunya dahulu untuk mengalahkan Ekadenta dengan Aji Wisalangking ditambah penggunaan pedang Sapudenta, Retna Wilis lalu mendatangi pantai di sebelah barat. Ia sudah tahu di mana adanya air ulekan di bawah karang Kukura, yaitu batu karang di mana agaknya menjadi sarang binatang kura-kura raksasa karena kura-kura raksasa yang mendarat untuk bertelur selalu muncul dari air ulekan ini.
Setelah ia tiba di pantai itu, ia berdiri memandang air yang berpusing itu dengan hati penuh gairah. Retna Wilis maklum bahwa sekuat-kuatnya tenaga manusia, tak mungkin akan dapat melawan air berpusing seperti itu. Bagian ini merupakan teluk kecil yang bentuknya bundar, sehingga ombak yang bergelombang datang memasuki teluk kecil ini, airnya berputar dan membentuk pusingan air yang hebat dan kuat. Dan dia diharuskan terjun menyelam karena gua di mana tersimpan pedang pusaka Sapudenta terdapat di bawah batu karang Kukura yang ia injak sekarang, berada di dinding karang yang tertutup air yang kadang-kadang tenang apabila ombak berhenti menderu.
Retna Wilis tidak merasa ngeri menyaksikan air berpusing itu. Semenjak berada di situ, ia seringkali bermain-main dengan air dan ombak, menggoda ikan-ikan hiu yang ganas dan dia merupakan seorang ahli renang yang kuat, kuat menahan napas dan dapat membuka mata di dalam air sehingga dapat melihat ikan-ikan di bawah permukaan air.
Memang belum pernah ia mandi di bawah karang Kukura ini karena tempat itu memang berbahaya, akan tetapi sedikit pun tidak ada rasa takut di hatinya ketika Retna Wilis berdiri di atas batu karang, siap untuk terjun. Dia sudah meraba-raba bajunya seperti biasa kalau hendak mandi di laut, hendak membuka pakaiannya. Akan tetapi ketika teringat akan sesuatu, ia menghela napas dan tidak melanjutkan gerakan jari tangannya.
Semenjak ia melatih Wisalangking, bahkan semenjak ia menerima pemindahan hawa Wisalangking dari gurunya, ia menjadi malu kepada diri sendiri untuk bertelanjang bulat seperti biasa. Dahulu, sebelum ia memiliki aji kesaktian itu, tubuhnya berkulit putih kuning dan mulus tanpa cacad. Akan tetapi semenjak ia memiliki hawa Wisalangking, la melihat betapa kulit di sekeliling pusarnya diliputi lingkaran warna menghitam! Ia merasa malu dan tak senang dengan cacad ini, akan tetapi betapapun ia berusaha, lingkaran warna menghitam di sekeliling pusarnya itu tak dapat lenyap. Karena itu pula dia sekarang tidak jadi membuka pakaiannya dan setelah menarik napas, menghimpun hawa segar ke dalam rongga dadanya, dara perkasa ini membelitkan sarungnya ke belakang, mengikatnya kemudian meloncat terjun ke dalam air!
Begitu tubuh dara itu menyentuh air, langsung ia dicengkeram oleh pusaran air dan Retna Wilis cepat menjungkirkan tubuhnya, menyelam mempergunakan gerakan kaki tangannya dengan sekuatnya. Namun, kembali ia dikuasai oleh air berpusing dan betapapun ia melawan, tetap saja tubuhnya dihanyutkan oleh tenaga sakti yang tak mungkin dapat ia lawan. Betapapun saktinya, Retna Wilis adalah seorang manusia dan manusia ditakdirkan hidup di darat sehingga dalam melawan pusaran air, dara yang sakti mandraguna itu akan kalah jauh dibandingkan dengan seekor ikan kecil.
Sampai pening rasa kepala Retna Wilis karena tubuhnya hanyut dan dibawa berputar terus, makin diseret ke bawah di mana pusingan air itu menjadi makin kuat. Dia maklum bahwa kalau tidak segera dapat melepaskan diri dari pusingan air, ia akan terancam bahaya maut, yaitu dapat terbanting pada batu karang dengan kekuatan yang amat dahsyat. Maka ia cepat mengerahkan seluruh tenaga, menahan kekuatan dahsyat itu dan matanya terbelalak memandang melalui air yang sudah mulai gelap karena pusingan air membawanya sampai dalam.
Tiba-tiba ia melihat bayangan seekor kura-kura raksasa lewat. Kura-kura ini hanya sedikit saja terpengaruh oleh pusingan air karena tentu saja dalam hal bermain di air, dia seratus kali lebih pandai daripada Retna Wilis! Kura-kura adalah seekor binatang yang tidak buas, tidak suka menyerang manusia apabila tidak diganggu, dan tidak suka pula makan daging manusia. Dia mendekati Retna Wilis hanya karena tertarik melihat benda aneh yang bergerak-gerak melawan pusingan air. Akan tetapi, begitu binatang ini lewat dekat, kedua lengan Retna Wilis menyambar ke depan dan ia berhasil merangkap dua kaki belakang kura-kura itu yang menjadi terkejut sekali dan meronta sekuatnya. Sia-sia saja usahanya ini karena kedua tangan Retna Wilis sudah mencengkeramnya dengan kekuatan yang luar biasa, bahkan gadis itu dapat terus merayap dan menerkam binatang itu di atas punggungnya, bertelungkup dan merangkul leher binatang itu dengan kedua lengan!
Kura-kura itu menyelam dan menjungkir-balikkan tubuhnya dalam air, namun Retna Wilis tetap berada di punggungnya, bahkan kini dara perkasa itu mencekik leher kura-kura sehingga binatang itu akhirnya tidak meronta lagi, maklum bahwa makluk yang berada di punggungnya itu amat kuat. Ia hanya berenang menjauhi pusaran air karena dalam keadaan tidak berdaya dalam cengkeraman mahluk kuat di punggungnya itu, pusaran air menjadi berbahaya baginya.
Retna Wilis yang masih menelungkup di punggung kura-kura raksasa menjadi lega setelah kura-kura itu menjadi jinak, maka ia lalu menggunakan tangannya menekuk leher kura-kura ke arah kiri. Kura-kura itu kesakitan dan otomatis membelok ke kiri untuk menyelamatkan lehernya. Dengan demikian, dara itu kini dapat menyetir binatang raksasa itu menuju ke bawah karang Kukura. Dengan kekuatan pandang mata dan dengan rabaan tangan kiri, akhirnya Retna Wilis berhasil menemukan gua dan ketika kura-kura itu membawanya memasuki gua, ternyata bahwa gua itu penuh dengan kura-kura besar!
Terbuktilah dugaannya bahwa tempat itu memang menjadi sarang kura-kura. Ada beberapa ekor kura-kura yang dengan gerakan ganas datang menyerang, akan tetapi dengan dorongan tangan kirinya Retna Wilis membuat beberapa ekor kura-kura ini terjengkang sehingga akhirnya mereka menjadi ketakutan dan berenang menjauhkan diri, keluar dari dalam gua.
Retna Wilis turun dari punggung kura-kura dan binatang ini yang ternyata merupakan kura-kura terbesar di situ, mendekam di sudut, agaknya dia mulai jinak dan maklum bahwa manusia yang sakti itu tidak berniat jahat, buktinya tidak membunuhnya. Retna Wilis cepat mencari dan dengan mudah menemukan peti kecil panjang yang terjepit di sela-sela batu karang dalam gua. Ia menarik peti kecil itu, membuka dan matanya silau menyaksikan sebatang pedang yang indah di dalam peti, pedang yang tertarik sedikit gagangnya sehingga tampak sedikit mata pedang yang putih mengkilap.
Tanpa membuang waktu, ia mengambil pedang yang sudah lengkap dengan sarung pedang dan talinya itu, mengalungkan talinya di pundak sehingga pedang itu berada di punggungnya. Kemudian ia menghampiri kura-kura raksasa dan naik lagi ke punggungnya. Dengan menepuk-nepuk kepala kura-kura, binatang ini berenang keluar dan seperti tadi, Retna Wilis mengemudikan binatang ini sampai dapat melalui pusaran air dan timbul di permukaan air dengan selamat. Retna Wilis cepat menghirup napas, menyedot hawa segar dan duduk bersila di atas punggung kura-kura.
"Kura-kura, bawa aku mendarat!" teriaknya riang dan kura-kura itu cepat meluncur ke pantai.
Dengan wajah berseri Retna Wilis membiarkan dirinya dibawa kura-kura raksasa itu ke pantai, duduk bersila dengan tenangnya, dengan pedang di punggung, gagah perkasa dan cantik jelita seperti dewi laut. Kalau ada orang melihat dara ini duduk bersila di atas punggung kura-kura raksasa, muncul dari dalam laut, tentu orang itu takkan ragu-ragu mengatakan bahwa dia telah melihat dewi atau peri penjaga Segoro Kidul!
Setelah Retna Wilis meloncat turun, kura-kura itu dengan gerakan lamban berjalan atau merangkak kembali ke air, menoleh satu kali memandang ke arah Retna Wilis, kemudian menyelam ditelan ombak mendatang. Retna Wilis melambaikan tangan sambil tertawa. "Terima kasih, Kukura!"
Mulai hari itu, Retna Wilis lalu makin tekun melatih diri, kini ia menggerakkan dan mainkan pedang pusaka Sapudenta yang memiliki sinar putih seperti perak dalam latihan-latihannya sesuai dengan pelajaran yang ia terima dari Nini Bumigarba. Kalau ada orang melihat dari jauh ketika dara ini sedang berlatih pedang, tentu akan mengira bahwa di pantai itu ada kilat menyambar-nyambar karena pedang itu ketika dimainkan dengan dorongan tenaga sakti Wisalangking, berkelebatan seperti kilat menyambar, mengeluarkan sinar putih menyilaukan mata.
Setiap malam Retna Wilis tak pernah lupa untuk memandang ke angkasa, ke atas gunung yang berbentuk cengger jago, dan setiap kali melihat bintang kehijauan masih bersinar-sinar di angkasa, ia menghela napas dan merasa menyesal bahwa waktunya belum tiba untuk meninggalkan tempat itu. Setelah gurunya tiada, dara ini merasa kesepian dan bosan tinggal seorang diri di situ. Akan tetapi ia selalu taat akan pesan gurunya dan ia tiada akan meninggalkan pantai itu sebelum ada tanda yang dipesankan gurunya, yaitu lenyapnya bintang kehijauan yang menjadi lambang kejayaan kekuasaan yang mencengkeram Jenggala di waktu itu.
********************
Kita tinggalkan dulu dara perkasa Retna Wilis yang setiap malam menanti datangnya tanda seperti yang dipesankan gurunya dan mari kita menjenguk keadaan di Jenggala sendiri. Telah dituturkan di bagian depan bahwa Pangeran Panji Sigit bersama isterinya Setyaningsih, telah tinggal di Jenggala, di lingkungan istana. Juga Pusporini dan Joko Pramono tinggal di istana Jenggala.
Mereka, empat orang muda perkasa ini, gagal dalam penyelidikan mereka tentang diri Nini Bumigarba yang melarikan Retna Wilis. Kemudian mereka lebih menujukan perhatian mereka terhadap keadaan di Jenggala dan bertekad untuk membantu perjuangan dari Panjalu yang dipimpin oleh Pangeran Darmokusumo dan Ki Patih Tejolaksono, yaitu untuk membebaskan sang prabu dan Kerajaan Jenggala dari cengkeraman persekutuan jahat yang telah mereka ketahui siapa orang-orangnya itu.
Makin jelaslah kini bagi Pangeran Panji Sigit dan isterinya, juga Pusporini dan Joko Pramono, akan keadaan di kerajaan ini. Sang prabu yang sudah tua itu benar-benar telah terlalu dalam tenggelam dan semua kekuasaan telah dicengkeram oleh Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama. Empat orang muda ini maklum bahwa persekutuan ini amat licin dan cerdik, tidak memperlihatkan kekuasaan namun sudah mutlak mengoper kekuasaan Jenggala di tangan mereka sehingga kalau sewaktu-waktu sang prabu yang sudah tua itu meninggal, otomatis Pangeran Kukutan yang menggantikan menjadi Raja Jenggala, Ki Patih Warutama tetap menjadi patih, dan Suminten menjadi ibu suri!
Pangeran Panji Sigit maklum bahwa untuk menyelamatkan kerajaan harus dilakukan sekarang juga selagi ramandanya masih hidup. Mulailah pangeran ini mendekati ramandanya, mulailah mencari kesempatan untuk memberi ingat kepada ramandanya akan bahaya yang mengancam bagi Kerajaan Jenggala. Menurut penyelidikan Joko Pramono dan Pusporini, tidak hanya para ponggawa yang diganti oleh orang-orang baru, juga para emban dan pendeta Agama Wishnu telah didesak dan kini telah dibangun candi-candi besar untuk keperluan beberapa orang pendeta penyembah Shiwa yang agaknya mendapat tempat istimewa dan dianak emaskan oleh Ki Patih Warutama dan Pangeran Kukutan.
Dalam pertemuan rahasia mereka, Pangeran Panji Sigit memutuskan untuk mengirim Joko Pramono dan Pusporini ke Panjalu dan memberi kabar kepada Ki Patih Tejolaksono dan Pangeran Darmokusumo tentang hasil penyelidikan mereka, dan tentang gagalnya penyelidikan mereka mengenai diri Nini Bumigarba. Empat orang muda ini tidak tahu bahwa rencana mereka telah diketahui Suminten, bahwa Suminten telah mengatur siasat yang telah lama direncanakan dan yang kini dipercepat pelaksanaannya untuk mendahului rencana Pangeran Panji Sigit yang hendak mengutus dua orang muda itu membuat laporan ke Panjalu.
Malam itu terang bulan dan langit cerah sekali. Langit yang membiru dihias beberapa buah bintang, terang oleh sinar bulan yang sejuk. Ketika Pangeran Panji Sigit sedang bercakap-cakap dengan isterinya di luar kamar sambil memandang bulan purnama yang indah, tiba-tiba seorang pelayan wanita datang menghadap dan menyampaikan permintaan gusti selir yang minta kepada Setyaningsih untuk menemaninya di dalam taman keputren. Gusti selir hendak menikmati cahaya bulan di taman dan minta agar Setyaningsih suka menemaninya bercakap-cakap.
Tentu saja hal yang wajar ini sukar ditolak oleh Setyaningsih, bahkan Pangeran Panji Sigit yang tidak ingin menimbulkan kecurigaan di hati Suminten musuh utama yang paling berbahaya itu, membujuk isterinya untuk berdandan dan segera berangkat bersama pelayan itu untuk memenuhi panggilan ibunda selir. Biarpun di dalam hatinya Setyaningsih merasa segan dan tidak senang karena sesungguhnya ia muak melihat Suminten, namun ia tidak berani menolak dan setelah cepat berdandan, berangkatlah ia bersama pelayan wanita yang diutus memanggilnya itu memasuki keputren dan langsung menuju ke taman yang indah, milik pribadi Suminten. Sementara itu, Joko Pramono yang sedang duduk bersamadhi di dalam kamarnya, mendapat kunjungan Ki Mitra. Kakek ini berindap-indap mengetuk daun jendela kamar Joko Pramono.
"Raden...! Raden... keluarlah..." la berbisik.
Joko Pramono turun dari pembaringannya dan membuka daun jendela. "Paman Mitra, bagaimana engkau bisa masuk...?" Pemuda ini merasa heran karena orang tua ini menjadi juru taman di luar istana dan untuk memasuki daerah istana bukanlah hal yang mudah.
"Ssttt... hamba mengenal seorang pengawal setia. Dia yang memanggil hamba karena terjadi urusan yang gawat sekali!"
Joko Pramono menarik kakek itu memasuki kamarnya. "Apakah yang terjadi?"
"Lekas paduka bertindak, Raden, kalau tidak... bisa terlambat...! Hamba mendengar dari pengawal setia bahwa Gusti Puteri Setyaningsih malam ini diundang ke taman bunga di taman sari oleh Gusti Selir Suminten..."
Joko Pramono memandang tajam, "Hemm, urusan begitu saja, apa salahnya?"
"Ah, paduka terlalu memandang rendah Gusti Selir Suminten! Menurut laporan-laporan yang hamba dengar, malam ini Gusti Puteri Setyaningsih sengaja dipancing untuk diajak makan minum dan... akan diracun!"
"Apa...???" Joko Pramono terkejut sekali.
"Lekaslah paduka menolongnya sebelum terlambat!"
"Di manakah Kakangmas Pangeran Panji Sigit? Dia harus diberi tahu, dan Pusporini..."
"Ah, Raden, mengapa menyia-nyiakan waktu? Gusti selir banyak memasang mata-mata, dan kalau kita ribut-ribut... dapat terlambat dan celaka! Lebih baik sekarang juga paduka cepat memasuki taman sari dan menolong Gusti Puteri Setyaningsih sebelum terlambat terkena racun. Hamba yang akan memberi tahu kepada Gusti Pangeran Panji Sigit dan Raden-ayu Pusporini."
Karena mengkhawatirkan keadaan Setyaningsih, Joko Pramono mengangguk setuju, kemudian ia meloncat keluar dari jendela kamarnya, menghilang ke dalam gelap untuk cepat-cepat menolong Setyaningsih yang terancam bahaya maut di tangan Suminten yang jahat. Ki Mitra juga berindap-indap menuju ke pondok keputren di mana terdapat kamar Pusporini.
Pada saat itu, Pangeran Panji Sigit yang masih duduk di serambi depan pondoknya, merasa tidak enak mengapa isterinya belum juga pulang. Andaikata bukan Suminten yang mengajak isterinya bersenang-senang di taman, andaikata selir lain dari ramandanya yang sekarang sudah terasing, tentu ia tidak gelisah seperti itu.
"Pangeran..."
Pangeran Panji Sigit tersentak kaget ketika mendengar suara ini dan melihat orangnya yang muncul dari pintu tembusan ke belakang. Ternyata orang yang dikhawatirkan akan mencelakakan isterinya, Suminten, berada di situ! Cantik jelita dan seluruh pembawaannya mengandung tantangan yang merangsang dan genit. Wanita ini memang cantik manis sekali, hal ini tak dapat disangkal oleh Pangeran Panji Sigit, dan terutama sekali mulut dan mata itu mengundang cinta kasih pria dan tentu akan mudah menjatuhkan hati pria yang bagaimana keras pun. Akan tetapi Pangeran Panji Sigit yang sudah mengenaI watak dan isi dada membusung itu, isi yang amat keji dan kotor, menjadi terkejut dan cepat-cepat ia bangkit berdiri sambil menghormat.
"Ibunda selir... mengapa berada di sini... Di mana isteriku, Setyaningsih?"
"Aduh Pangeran... karena dialah aku bersusah payah datang mencarimu. Marilah kau ikut bersamaku melihat dia. Lihat apa yang dilakukan isterimu dan sahabat baikmu, si keparat Joko Pramono."
"Apa... apa yang terjadi... Tipu muslihat apalagi yang kaulakukan?" Pangeran Panji Sigit serta-merta menuduh ibu tirinya ini dan memandang dengan kening berkerut dan jantung berdebar penuh kegelisahan akan keselamatan isterinya dan sahabat baiknya.
Bibir yang merah semringah itu menahan senyum mengejek, bibir bawah yang penuh bergerak-gerak, dagunya berguncang-guncang karena di dalam rongga mulut lidahnya bergerak-gerak. Dalam keadaan begini, Suminten tampak amat menarik hati dan menggemaskan hati pria, apalagi disertai pandang mata yang redup sayu seperti mata orang yang mengantuk, benar-benar memikat. Sang Arjuna sendiri biarpun sedang bertapa, kalau digoda seorang wanita seperti Suminten, agaknya belum tentu akan kuat bertahan! Kalau dalam ceritera Arjuna Mintaraga, Sang Arjuna yang bertapa digoda oleh tujuh orang bidadari dapat bertahan, bukanlah aneh karena bidadari-bidadari yang suci mana mungkin bisa membangkitkan nafsu berahi seorang satria!
"Aduh, Pangeran, paduka juga puteraku dan saya adalah ibumu... ah begitu keras dan kejamkah hatimu sehingga kesalahan kecil yang pernah saya lakukan dahulu itu masih saja tak terlupakan? Saya tidak melakukan fitnah... tadinya isterimu bersamaku di taman. Karena sesuatu urusan, saya terpaksa meninggalkannya sebentar di taman dan... ah, kau lihat sendiri sajalah. Saya sudah mempersiapkan pengawal mengepung taman, akan tetapi saya tidak membolehkan mereka turun tangan sebelum paduka menyaksikan dengan mata sendiri agar kelak jangan menuduh saya menjatuhkan fitnah terhadap isteri dan sahabatmu. Marilah, Pangeran..."
Pangeran Panji Sigit menjadi pucat wajahnya dan jantungnya berdebar keras sekali. Bagaimana dia dapat menolak? lsterinya belum kembali dan dia amat khawatir. Tidak, sama sekali bukan khawatir bahwa berita yang dibawa Suminten ini mengandung kebenaran. Isterinya dan Joko Pramono? Wah, biar dunia kiamat dia tidak akan dapat percaya akan hal ini isterinya memang cantik jelita dan dapat meruntuhkan hati setiap orang pria, akan tetapi Joko Pramono adalah seorang satria sejati, seorang gagah perkasa dan seorang pria yang mencinta Pusporini.
Sebaliknya, biarpun Joko Pramono adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa dan pasti akan mudah menjatuhkan hati setiap orang wanita, akan tetapi isterinya, Setyaningsih, tentu saja amat setia dalam cinta kasihnya dan sampai mati pun ia tidak akan meragukan kesetiaan isterinya sedikit pun juga isterinya dituduh tidak setia oleh wanita hina yang gila laki-laki ini? Ah, betapa ingin ia menampar atau mencekik wanita ini di saat itu juga!
"Ibunda selir... saya akan melihat dan... kalau ini hanya fitnah... demi para dewata, saya takkan mendiamkan saja penghinaan ini...!" desisnya dengan gigi terkancing.
Suminten tersenyum, bibirnya merekah sehingga mututnya terbuka seperti sebuah luka yang tampak dagingnya memerah, dan sebelum Pangeran Panji Sigit dapat menolaknya, wanita itu telah menyambar lengannya dan ditariknya lengan pemuda bangsawan itu keluar dari situ melalui pintu belakang.
"Marilah, Pangeran. Saksikan saja sendiri dan buktikan kebenaran omongan Suminten...!" Ketika menyebutkan namanya sendiri ini, terdengar seperti bisikan mesra sekali.
Wanita ini sudah menyebutkan nama sendiri, tidak lagi bersikap sebagai seorang ibu tiri, dan andaikata hati Pangeran Panji Sigit tidak sedang diliputi kegelisahan hebat, tentu ia akan merasakan ketidakwajaran dan sikap yang jelas menantang asmara ini. Bergegas Suminten yang menarik tangan pangeran itu menyelinap melalui taman-taman istana menuju ke taman sari miliknya sendiri. Beberapa sosok bayangan menyambut mereka di tempat gelap, di belakang semak-semak. Mereka itu ternyata adalah pengawal-pengawal yang telah mengadakan pengurungan di taman itu.
"Di mana mereka...?" Suminten berbisik.
Seorang pengawal menyembah dan dengan ibu jarinya menunjuk ke depan. Jantung Pangeran Panji Sigit makin berdebar dan ia menurut saja ketika Suminten kembali menggandengnya, menyusup di belakang pohon-pohon dan akhirnya mereka dapat melihat bayangan dua orang di dekat pondok merah di taman. Pangeran Panji Sigit berdiri dengan muka pucat, mata terbelalak dan mulut ternganga, tidak percaya kepada pandang mata sendiri ketika ia melihat bahwa bayangan itu adalah Joko Pramono dan Setyaningsih. Seolah-olah berhenti denyut jantungnya, lehernya seperti tercekik, mulutnya menjadi kering dan napasnya terengah-engah.
Tanpa berkedip ia melihat betapa Joko Pramono memondong tubuh isterinya, melihat jelas betapa otot-otot lengan Joko Pramono melingkar-lingkar kuat menyangga kedua paha Setyaningsih, lengan sebelah lagi merangkul punggung. Hal ini masih tidak berarti karena memang sudah semestinya demikian kalau sedang memondong orang. Akan tetapi mengapa Joko Pramono memondong Setyaningsih? Kalau saja ia melihat isterinya itu pingsan atau menderita seperti orang sakit atau terluka, ia tentu akan cepat berlari menghampiri mereka dan tidak melihat sesuatu yang aneh kalau Joko Pramono memondong isterinya. Akan tetapi justeru keadaan Setyaningsih di saat itu tidak seperti orang sakit, apalagi pingsan!
Memang Setyaningsih seperti orang gelisah, akan tetapi gelisah diamuk nafsu berahi! Kedua lengan yang lunak halus hangat dari isterinya itu, kedua lengan yang biasanya merangkulnya, yang biasa diciuminya sehingga ia hampir mengenal di luar kepala segala bentuk lekuk-lengkung kedua lengan itu, hafal betapa di sebelah dalam pangkal lengan kiri isterinya, di antara bulu-bulu halus mengeriting, terdapat sebuah tahi lalat. Hafal pula betapa di dekat siku kanan yang meruncing itu terdapat segores bekas luka. Kedua lengan itu kini dengan kemesraan yang sama seperti kalau memeluknya, bahkan agaknya lebih mesra lagi, sedang melingkari leher Joko Pramono!
Dan jari-jari tangan isterinya yang kecil panjang dan halus itu! Jari-jari tangan itu menjambak-jambak rambut kepala Joko Pramono, menjambak mesra yang sesungguhnya merupakan belaian khas dari Setyaningsih karena seringkali isterinya itu membelai seperti itu, menjambak-jambak halus rambut kepalanya di waktu mereka berdua berada dalam keadaan semesra-mesranya. Kini kedua tangan itu, sepuluh jari-jari meruncing itu terbenam ke dalam rambut kepala Joko Pramono dan wajah isterinya diangkat-angkat mendekati wajah Joko Pramono seperti hendak menciumnya!
"Percayakah paduka Pangeran?" bisik Suminten di dekat telinganya.
Pangeran Panji Sigit kehilangan suaranya, hampir kehilangan napasnya, kehilangan pula semangat dan kemauannya. Ia diam saja.
"Akan kuperintahkan pengawal menangkap bedebah yang mengkhianatimu itu, bagaimana?" kembali bibir yang diharumkan sari bunga mawar itu berhembus membisikkan kata-kata dekat telinganya.
Pangeran Panji Sigit hampir pingsan saking marah dan sakit hatinya. Ia tidak buta! Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Isterinya Setyaningsih Begitu bergelora dalam nafsu berahi! Jelas sekali olehnya karena ia telah mengenal betul keadaan isterinya dan biarpun dia jauh, ia melihat jelas betapa saat itu Setyaningsih seperti terbakar nafsu berahi dalam pondongan dan pelukan Joko Pramono. Biarpun saat itu wajah Joko Pramono tidak membayangkan gairah yang sama, akan tetapi jelas pemuda itu memondong isterinya, dan ia yakin bahwa Setyaningsih belum begitu gila untuk bersikap seperti itu kalau tidak ada uluran cinta kasih dari pihak Joko Pramono! Keji! Hina! Dan Pangeran Panji Sigit yang mendengar pertanyaan Suminten itu hanya menganggukkan mukanya tanpa mengalihkan pandangnya yang sejak tadi tak pernah berkedip.
Suminten mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan dari segala jurusan berloncatan keluarlah pasukan pengawal dengan senjata tombak, golok, atau pedang. Jumlah mereka itu tidak kurang dari tiga puluh orang dan mereka semua segera membuat gerakan mengurung Joko Pramono yang kelihatan kaget dan marah.
Pangeran Panji Sigit dapat melihat jelas betapa dengan setengah memaksa Joko Pramono melepaskan pondongannya dan betapa Setyaningsih meronta-ronta seolah-olah tidak mau dilepaskan. Akhirnya, karena para pengawal sudah menubruk maju, Joko Pramono membuat gerakan melempar sehingga tubuh Setyaningsih terguling di atas tanah, kemudian pemuda itu menerjang maju dan robohlah dua orang pengawal terdepan terkena hantaman kedua tangannya. Akan tetapi, dua orang roboh yang maju ada belasan orang, menubruknya dari kanan kiri, depan dan belakang.
Joko Pramono mengeluarkan suara bentakan keras, tubuhnya berkelebat mengelak dan menangkis, bahkan senjata yang berhasil mengenai tubuhnya hanya merobek pakaiannya saja karena kulitnya kebal oleh pengerahan hawa sakti tubuhnya, kemudian ia merobohkan lagi empat orang pengeroyok.
Pada saat itu menyambar sesosok bayangan yang amat lincah. Sekali terjang, bayangan ini sudah merobohkan dua orang pengawal yang mendekati Setyaningsih yang masih duduk setengah rebah di atas tanah dan kelihatan bingung. Bayangan itu ternyata adalah Pusporini yang cepat menyambar tubuh Setyaningsih, dikempit dengan
lengan kiri sedangkan tangan kanan dara perkasa ini menghajar roboh berturut-turut dua orang pengawal lain. Joko Pramono yang dikeroyok banyak pengawal, melihat munculnya Pusporini segera berseru,
"Bagus, Rini. Kau bantu aku membasmi jahanam-jahanam ini!"
"Cih, laki-laki ceriwis, cabul dan mata keranjang!" Pusporini memaki dan tubuhnya berkelebat pergi membawa Setyaningsih yang hanya mengeluarkan suara keluhan panjang.
Joko Pramono kaget sekali, cepat ia mengerjakan tangannya dengan cepat sekali dan kembali enam orang pengawal roboh terpelanting. Melihat ini, Pangeran Kukutan yang sejak tadi pun telah bersembunyi di situ berteriak,
"Hayo maju semua, bunuh keparat itu!"
Makin banyak lagi pengawal berdatangan dan melihat gelagat buruk ini, Joko Pramono mengeluarkan suara pekik keras tubuhnya agak merendah, kedua tangannya didorong ke depan dan hawa pukulan seperti angin lesus menyambar ke depan, membuat belasan orang pengawal yang berada terdepan, terjengkang dan terpelanting. Ketika para pengawal memandang ke depan, pemuda perkasa itu ternyata telah lenyap dari tempat itu. Joko Pramono telah mempergunakan Aji Cantuka Sekti untuk memukul roboh para pengeroyoknya, kemudian ia meloncat dan pergi secepatnya menyusul Pusporini yang telah lebih dulu membawa Setyaningsih.
Pangeran Kukutan menjadi penasaran sekali ketika melihat Joko Pramono dapat meloloskan diri, terutama sekali Setyaningsih dan Pusporini. Dia sudah mendapat janji dari Suminten bahwa kalau siasat mereka berhasil dan empat orang muda itu terjatuh ke tangan mereka, dia boleh memiliki dua orang wanita muda jelita itu! Setyaningsih dan Pusporini! Betapa dia sudah tergila-gila, kalau malam sering bermimpi memangku dua orang wanita itu, dan kalau dikenang membuat ia mengilar.
Kini, dikepung oleh puluhan orang pengawal pilihan, dua orang wanita itu dan Joko Pramono masih dapat lobos! Ah, dia dan Suminten terlalu memandang rendah mereka. Terlalu memandang rendah Joko Pramono dan Pusporini yang ternyata benar-benar amat sakti. Kalau mereka tahu betapa hebat kesaktian dua orang muda itu, tentu Pangeran Kukutan sudah minta bantuan Ki Patih Warutama sehingga malam itu dapat diundang beberapa orang sakti dari luar untuk membantu.
Karena penasaran, Pangeran Kukutan lalu mengerahkan barisan pengawal, sedikitnya ada lima losin jumlahnya, melakukan pengejaran di malam terang bulan itu. Akan tetapi, ilmu berlari cepat kedua orang murid Sang Resi Mahesapati ini jauh lebih tinggi daripada Pangeran Kukutan dan para pengawalnya sehingga para pengejar itu tertinggal jauh sekali.
Dua orang muda perkasa itu maklum bahwa fihak istana pasti takkan membiarkan mereka pergi seenaknya, maka mereka pun tak pernah berhenti berlari dan semalam suntuk itu Pusporini yang berlari di depan sambil memondong tubuh Setyaningsih, telah jauh meninggalkan kota raja, memasuki hutan besar dan baru menjelang pagi, ia menghentikan larinya dan melepaskan tubuh Setyaningsih ke atas tanah yang bertilam rumput.
"Pusporini... aduhh... kepalaku..." Setyaningsih mengeluh akan tetapi ia segera terguling lemas dan tertidur pulas!"
"Hemm... kau lemah dan keji terhadap suamimu, Setyaningsih!" kata Pusporini, nada suaranya marah dan tiba-tiba gadis yang keras hati yang gagah perkasa dan yang tak pernah mengenal takut itu menangis tersedu-sedu sambil berjongkok di dekat Setyaningsih yang tidur nyenyak.
"Rini... engkau mengapakah? Mengapa menangis? Dan mengapa pula kau tadi marah-marah dan memaki-maki aku tidak karuan?"
Pertanyaan Joko Pramono ini diajukan dengan suara halus karena dia melihat gadis itu menangis, akan tetapi mengandung rasa mendongkol dan penasaran karena ia merasa betapa dia dimaki-maki tidak karuan tanpa salah. Mengapa Pusporini secara tiba-tiba memaki dia ceriwis, cabul, dan mata keranjang? Maki-makian keji yang dilontarkan di depan orang banyak pula. Bahkan gadis ini tidak mau membantunya yang dikeroyok banyak pengawal. Apakah sebabnya?
Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba Pusporini mencelat bangun dan serta-merta menerjangnya dengan pukulan maut tanpa mengeluarkan suara ba atau bu lagi! Pukulan dengan tangan kanan yang ditujukan ke arah dada Joko Pramono dengan penuh tenaga terdorong kemarahan dan kebencian!
"Eiiiitttt... sembrono kau, Rini!" Joko Pramono terkejut sekali dan cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan sampai jauh. Hanya dengan cara itulah ia dapat menyelamatkan diri dari hantaman maut yang amat dahsyat itu.
Pusporini yang memang berwatak keras dan tidak pernah mau kalah, menjadi penasaran dan terus menerjang lagi dengan dahsyatnya, tanpa memberi kesempatan kepada Joko Pramono untuk bicara atau balas menyerang, bahkan ia tidak hendak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk bernapas! Dia ingin membunuh pemuda ini yang telah menyakitkan hatinya malam tadi!
Mengapa Pusporini secara tiba-tiba marah kepada Joko Pramono? Memang tidak mengherankan kalau diketahui apa yang diucapkan Ki Mitra malam tadi ketika kakek ini menghadap dara perkasa ini.
"Paduka harus cepat-cepat menolong Raden Ayu... kalau tidak, akan celakalah semua..." kata kakek itu dengan muka pucat dan berkeringat.
"Ki Mitra... ada apakah?" Pusporini bertanya kaget...
Kakek itu menghela napas panjang, menghapus peluhnya, kemudian menggeleng-geleng kepala dan berkata,
"Ah, kalau orang muda... kaduk wani kurang dugo (menonjolkan keberanian tanpa perhitungan), semua ini gara-gara Raden Joko mengadakan pertemuan rahasia dengan Gusti Puteri Setyaningsih..."
"Apa... Apa kau bilang...? Jaga baik-baik mulutmu, Ki Mitra!" Pusporini marah sekali dan tangannya sudah gatal-gatal hendak menampar kakek itu kalau saja ia tidak ingat bahwa kakek ini adalah orang yang setia dan tentu ada sebabnya mengapa mengeluarkan kata-kata seperti itu.
"Hamba tidak menyalahkan paduka. Memang, biasanya yang terdekat malah tidak mengetahui. Sudah beberapa kali mereka berdua mengadakan pertemuan rahasia, ahh... hamba tidak heran, yang puteri cantik jelita yang putera tampan perkasa. Akan tetapi sekali ini mereka terkena jebakan, mengadakan pertemuan di pondok dalam taman sari milik gusti selir dan mereka ketahuan, tertangkap basah! Mereka kini telah dikurung pasukan pengawal..."
Demikianlah, mendengar ucapan ini, tanpa menanti sampai habis penuturan Ki Mitra, tubuh Pusporini sudah berkelebat dan ia berlari cepat memasuki taman sari itu. Dan apa yang dilihatnya? Sama dengan yang dilihat Pangeran Panji Sigit! Ia melihat betapa pria yang dicintanya itu sedang memondong tubuh Setyaningsih dan wanita itu, kakak tirinya yang amat dikasihinya, yang ia kagumi dan yang ia anggap sebagai seorang wanita sejati, seorang wanita yang patut dijadikan tauladan, dengan mesra membelai rambut kepala Joko Pramono, bersikap mesra penuh gelora nafsu berahi yang amat memalukan dan memuakkan perutnya!
Ketika para pengawal keluar menyerbu, Pusporini membatalkan niatnya menyerang Joko Pramono, sebaliknya ia lalu menyambar tubuh Setyaningsih dan membawanya pergi karena betapapun juga, dia tidak mungkin dapat membiarkan kakak tirinya itu tertimpa aib dan malu, tertangkap basah melakukan perjinahan dengan Joko Pramono.
Tentu saja, dalam kedukaan dan kecewanya, dalam penderitaan akibat hancurnya kebahagiaan cinta kasihnya dengan Joko Pramono yang sekaligus dihancurkan oleh penglihatan di taman sari tadi, begitu melihat Joko Pramono, dara perkasa ini tak dapat menahan kebencian dan kemarahannya lagi dan langsung menerjang dan menyerang pemuda itu dengan pukulan-pukulan maut secara bertubi-tubil
"Wah... heiiitt... berhenti dulu! Aihhhh...!" Joko Pramono yang hanya menangkis dan mengelak itu akhirnya kena diserempet pundaknya sehingga ia roboh terpelanting. Baiknya ia memiliki tubuh yang terlatih dan kebal sehingga sebelum kaki Pusporini yang melayang datang itu sempat menghajar dan meremukkan kepalanya, Joko Pramono sudah menekankan kedua tangan ke atas tanah, mendorong dan tubuhnya mencelat jauh sehingga terhindar dari tendangan maut.
"Rini, jangan... berhenti dulu dan mari kita bicara...!"
"Keparat, manusia tak berbudi, tidak perlu bicara lagi. Engkau atau aku yang harus mati!" bentak Pusporini yang terus menyerang sehingga kembali Joko Pramono yang terheran-heran itu dan yang selalu mengalah, terdesak hebat dan tamparan Pusporini menyerempet pipinya sehingga pinggir bibir pemuda itu pecah berdarah. Melihat darah, Pusporini seperti menjadi semakin buas dan serangannya makin ganas.
"Pusporini...! Eh, Joko Pramono...! Mengapa kalian berkelahi? Berhenti... berhentilah... apakah yang terjadi...??" Setyaningsih yang telah sadar dari tidurnya tadi sejenak terbelalak menyaksikan betapa Pusporini menyerang dan mendesak Joko Pramono. Kemudian ia melompat bangun dan cepat melerai mereka, menghadang di depan Pusporini yang sudah seperti seekor harimau betina direbut anaknya itu.
Pusporini dengan alis berdiri memandang Setyaningsih, napasnya terengah dan dua titik air mata membasahi pipinya.
"Engkau... engkau hendak membela kekasihmu ini...??"
Ucapan ini bagi Setyaningsih dan Joko Pramono merupakan tuduhan yang amat mengejutkan, bagaikan halilintar menyambar di atas kepala mereka.
"Rini...! Apa yang kau katakan ini...??" teriak Joko Pramono.
Wajah Setyaningsih menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak memandang adik tirinya.
"Pusporini adikku...! mengapa kau mengeluarkan ucapan sekeji itu? Apakah yang telah terjadi...? Mengapa aku berada di sini...dan... dan mengapa kalian bertempur...?"
Muka Pusporini menjadi makin merah, dadanya menjadi makin bergelombang karena rongga dadanya dibakar api kemarahan.
"Hemmm, sungguh tak tahu malu dan pengecut! Sudah berani berbuat tidak berani mengaku! Kedua mataku sendiri telah melihat betapa engkau dalam pondongannya mengerang-erang manja dan penuh nafsu. Mataku belum buta! Semalam kumelihat sendiri dan sekarang kalian berdua masih berpura-pura lagi? Aduh, sungguh kasihan Kakangmas Pangeran Panji Sigit... dikhianati isteri dan sahabat palsu...!!" Pusporini lalu menangis terisak.
Setyaningsih memandang kepada Pusporini, lalu kepada Joko Pramono berganti-ganti dengan muka pucat, kemudian ia berkata setengah menjerit.
"Di mana suamiku? Mengapa aku berada di sini? Apa yang terjadi? Lekas ceritakan, kalian berdua. Lekas ceritakan... ah, aku bisa menjadi gila karena gelisah...!!"
Pusporini menghentikan tangisnya dan ia memandang wajah kakak tirinya itu dengan pandang mata tajam penuh selidik. Ia mulai meragu akan kebenaran dugaannya. Pada saat itu, Joko Pramono berkata,
"Ah, tidak salah lagi. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, dan kita semua telah masuk perangkap keji. Pusporini, harap kau bersabar dan lebih baik kita secara terang-terangan saling menceritakan pengalaman malam tadi. Kalau kemudian terbukti bahwa aku telah melakukan hal keji terhadap Ayunda Setyaningsih seperti yang kautuduhkan, biarlah aku memberikan leherku untuk kaupenggal!"
Pusporini memandang kepada pria yang dicintanya akan tetapi sekarang dibencinya itu dengan mata penuh amarah, alisnya tetap berkerut, dan ia tidak menjawab. Hatinya masih terlalu sakit dan rongga dadanya masih terlalu panas penuh hawa amarah.
"Adinda Joko, ceritakanlah apa yang telah terjadi..." Setyaningsih berkata dengan suara penuh permohonan sambil merangkul pundak Pusporini untuk mencegah adiknya yang galak ini menyerang lagi pemuda itu.
Joko Pramono menghela napas panjang, kemudian memandang lagi kepada Pusporini lalu bercerita, "Malam tadi, selagi saya duduk sendiri dalam kamar bersamadhi, datanglah Ki Mitra yang menceritakan dengan muka penuh kekhawatiran bahwa Ayunda Setyaningsih sedang diajak makan minum oleh selir Suminten dan bahwa Ayunda akan diracun. Ki Mitra minta kepada saya agar cepat menolong Ayunda yang katanya setiap saat terancam dan bahwa Ayunda bersama selir Suminten berada di taman sari. Dia mencegah saya memberitahukan kepada Pusporini atau Rakanda Pangeran karena dia khawatir tidak akan keburu dan berjanji bahwa dialah yang akan memberitahu kepada Pusporini dan Rakanda Pangeran. Karena saya percaya kepadanya, saya lalu bersicepat memasuki taman sari. Di dalam taman sari itu amat sunyi dan saya melihat Ayunda seorang diri di dalam pondok merah. Saya terkejut melihat keadaan Ayunda karena Ayunda terhuyung-huyung dan hampir roboh. Saya mengira bahwa tentu Ayunda telah keracunan, maka cepat saya menyambar dan memondong tubuh Ayunda untuk saya bawa pergi kembali ke tempat Rakanda Pangeran agar dapat diusahakan pertolongan. Akan tetapi pada saat itu, saya diserbu puluhan orang pengawal. Terpaksa saya menurunkan tubuh Ayunda dan pada saat itu... Pusporini muncul akan tetapi hanya menyelamatkan Ayunda dan tidak membantu saya, bahkan memaki saya! Tentu saja saya menjadi penasaran dan mengejar terus. Siapa kira, begitu tiba di sini, dia bersungguh-sungguh hendak membunuh saya...!" Joko Pramono menghapus darah yang masih keluar dari ujung bibirnya yang kini menjendol.
Wajah Pusporini yang tadinya merah kini perlahan-lahan berubah menjadi pucat. Kemarahan yang membayang di matanya mulai terganti keraguan kemudian kegelisahan, dan tatapan matanya pada Joko Pramono menjadi gugup dan bingung. Ia memegang pundak Setyaningsih dan mendesak, "Ayunda... ceritakanlah... apa yang telah terjadi dengan Ayunda di taman itu...!" Pusporini membayangkan betapa Setyaningsih ketika dalam pondongan Joko Pramono, kelihatan begitu penuh nafsu berahi, jari-jari tangannya membelai muka dan rambut pemuda itu, mukanya diangkat-angkat hendak mencium!
Setyaningsih yang rambutnya kusut dan wajahnya masih pucat itu memijit-mijit pelipisnya. "Aku sendiri, tidak mengingat sesuatu... kepalaku masih pening sekali. Hanya sedikit yang kuingat. Malam tadi aku duduk berdua dengan suamiku, lalu datang seorang pelayan ibunda selir yang mengundangku untuk menemaninya makan minum sambil menikmati terang bulan di taman sari. Aku dan suamiku merasa sungkan untuk menolak, terpaksa pergi juga bersama pelayan itu. Di dalam taman sari, di pondok merah itu, aku menemani ibunda selir makan minum. Kemudian ibunda selir menyuguhkan secangkir anggur. Aku menolak, akan tetapi katanya anggur itu amat baik untuk seorang isteri muda yang belum mempunyai anak. Aku didesak, lalu dikatakan apakah aku takut diracun sehingga terpaksa untuk menghilangkan kecurigaan aku minum anggur itu yang rasanya manis dan berbau harum sekali. Setelah itu... aku seperti dalam mimpi yang kacau... seperti hanya berdua dengan Kakangmas Pangeran... ah, aku tidak tahu lagi apa yang telah terjadi. Tahu-tahu aku sadar dan telah berada di sini, berbaring di atas tanah dan melihat kalian berdua berkelahi seperti kemasukan setan!"
"Aha! Sudah mulai kelihatan belangnya sekarang!" Tiba-tiba Joko Pramono berkata sambil menepuk pahanya sendiri. 'Pusporini, ceritakanlah pengalamanmu agar kita dapat membandingkan!"
Dengan suara trenyuh karena ia pun mulai dapat menduga akan jalannya tipu muslihat musuh dan hatinya penuh keharuan karena sikapnya tadi terhadap Joko Pramono, Pusporini lalu bercerita, "Ki Mitra datang kepadaku malam tadi dan mengatakan bahwa Ayunda dan... Joko.... mengadakan... eh, per... temuan rahasia di taman sari, bahkan Ayunda dan Joko sudah lama mengadakan hubungan percintaan dan malam tadi bertemu di taman sari akan tetapi tertangkap basah dan akan ditangkap para pengawal yang dikerahkan oleh... perempuan iblis itu...! Aku datang ke sana dan melihat Ayunda dalam pondongan... ahhh, sudahlah... aku memang bersalah... mataku seperti buta...!" Pusporini menangis, kini tangisnya sukar dikatakan, apakah tangis itu karena menyesali perbuatannya ataukah tangis girang bahwa Joko Pramono tidak jadi direbut orang, ataukah kedua-duanya!
"Wah, jelas sudah sekarang! Ini tentu tipu daya keji Suminten yang jahanam itu! Sengaja diatur, mungkin sudah lama diaturnya dan dicari kesempatan ini. Siasat untuk memecah-belah di antara kita dan sekaligus menghancurkan kita dengan dalih pelanggaran susila dan melawan para pengawal! Dan hampir saja siasatnya berhasil." Kembali pemuda ini meraba bibirnya yang menyendol dan pecah pinggirnya. "Kalau tidak cepat-cepat aku menghindar, tentu kepalaku telah pecah sekarang dan andika berdua hanya akan menangisi sebuah mayat tiada gunanya lagi!"
"Joko...!" Pusporini menubruk pemuda itu dan menangis sesenggukan di atas dadanya.
Joko Pramono mengejap-ngejapkan matanya menahan dua butir air matanya yang akan menitik turun saking terharu dan girangnya hati. Pusporini yang penuh penyesalan, seperti lupa diri, lupa bahwa di situ terdapat Setyaningsih yang memandang dengan mata basah air mata. Dia mengangkat mukanya dan dengan terisak-isak ia meraba pinggir bibir yang pecah itu, meraba dan membelainya, kemudian mengecup luka di bibir dengan halus.
"Joko, maafkan aku, Joko... maafkan aku dan kau pukullah aku sebagai hukuman...!"
Joko Pramono tersenyum lebar dan mendekap muka itu ke dadanya, erat-erat seolah-olah ia hendak menyimpan kepala dan wajah yang amat dicintanya itu ke dalam dadanya, dan takkan diperbolehkan keluar lagi. Kemudian ia mencium dahi Pusporini dan memegang dagu gadis itu, diangkatnya muka yang basah itu menghadap mukanya, lalu ia berkata,
"Engkau...? Dihukum pukulan? Wah, eman-eman (sayang)...! Kalau aku tadi tahu upahnya akan sebesar ini, mau rasanya aku menerima sebuah pukulanmu lagi...!"
"Kau memang ceriwis!" Pusporini berkata, akan tetapi dengan sikap manja dan tangannya menampar lirih ke arah pipi Joko Pramono.
Pemuda itu tertawa dan menunduk, dengan mesra dan sepenuh cinta kasih hatinya ia mengambung pipi kiri Pusporini dengan hidungnya. Sejenak Pusporini terlena dalam belaian mesra ini, akan tetapi tiba-tiba ia melepaskan diri dan mencela,
"Ihhh... tak tahu malu. Ada ayunda melihat kita!"
Joko Pramono yang sadar dari buaian asmara yang memabukkan, seakan-akan baru timbul dari keadaan tenggelam ke dalam perasaan bahagia yang tadi membuatnya lupa akan segala. Cepat ia menghadapi Setyaningsih dan berkata,
"Maafkan kami, Ayunda, karena terharu kami sampai lupa diri, lupa akan kegawatan keadaan. Kita semua telah menjadi korban siasat buruk Suminten, dan sungguh mengkhawatirkan kalau mengingat akan keadaan Kakangmas Pangeran yang masih tertinggal di sana."
"Aku akan kembali ke sana dan membantu Kakangmas Pangeran lolos keluar istana!" Pusporini yang agaknya ingin menebus kesalahan, kini mengajukan diri dengan suara tetap dan tabah.
"Biarkan aku saja yang pergi, Rini, engkau perlu menjaga dan menemani Ayunda di sini..." kata Joko Pramono yang sebetulnya tentu saja merasa khawatir kalau Pusporini dibiarkan pergi sendirian memasuki tempat yang penuh dengan musuh-musuh itu dan yang ia tahu amat berbahaya.
Sebaliknya, Pusporini juga mengkhawatirkan keselamatan pria yang dicintanya karena tadi malam pun para pengawal hendak membunuh Joko Pramono. Kalau pemuda itu kembali ke istana, bukanlah sama halnya dengan menyerahkan nyawanya?
"Tidak, Joko. Mereka semalam memusuhimu, belum tentu akan memusuhi aku!"
Melihat betapa kedua orang muda itu berebut, Setyaningsih menghela napas, merangkul leher Pusporini sambil berkata, "Kalian berdua tidak boleh kembali ke sana lagi setelah berhasil lolos. Karena suamiku berada di sana, maka akulah yang akan kembali ke sana. Aku harus berada di samping Kakangmas Pangeran, dalam keadaan bagaimanapun juga. Kalian berdua sebaiknya lekas pergi ke Panjalu dan memberi laporan kepada Rakanda Patih Tejolaksono dan Pangeran Darmokusumo."
"Ah, berbahaya sekali, Ayunda!" Joko Pramono berseru keras.
"Setelah iblis betina itu melakukan siasat fitnah keji, tentu dia tidak akan segansegan melakukan hal yang lebih jahat lagi. Siapa tahu, Kakangmas Pangeran juga terjeblos ke dalam perangkap seperti kita, dan celakanya kalau Kakangmas Pangeran juga tertipu seperti halnya Diajeng Pusporini tadi. Jangan-jangan dia akan... akan menganggap Ayunda tidak setia..."
Setyaningsih menggeleng kepala dan tersenyum penuh keyakinan. "Suamiku tidak akan meragukan kesetiaanku seujung rambutpun. Kakangmas Pangeran percaya penuh akan cinta kasih yang kami pupuk bersama."
"Yunda, aku akan ikut kembali ke sana karena aku tidak terima, aku akan menghancurkan kepala perempuan iblis Suminten!" kata Pusporini penuh amarah dan dendam terhadap selir raja yang amat cerdik dan keji itu.
"Benar, Ayunda. Biarkan kami ikut, selalu menemani dan mengawal Ayunda, juga kita bersama akan dapat lebih kuat melindungi dan membela Kakangmas Pangeran di sana. Selain itu, aku harus pula menangkap Ki Mitra yang entah mengapa telah menjadi palsu laporannya itu!"
Baru Pusporini teringat akan hal ini. "Ki Mitra! Ah, dia tentu menjadi kaki tangan iblis betina itu, dan telah berkhianat! Aku pun ingin membagi sebuah tamparan di kepalanya!"
"Dia bukan Ki Mitra..." Suara ini terdengar tiba-tiba dari batik semak-semak, kemudian muncullah dua orang dari balik semak-semak itu. Mereka adalah seorang pria setengah tua yang gagah perkasa dan seorang wanita muda yang berwajah manis. Setyaningsih tidak mengenal mereka ini, akan tetapi Joko Pramono dan Pusporini berseru kaget dan girang,
"Paman Wiraman dan Widawati...!!" Ki Wiraman lalu melangkah maju bersama Widawati dan bekas pengawal pilihan dari Jenggala ini cepat memberi hormat:
"Harap maafkan kami berdua. Sebetulnya telah lama kami berdua berada di balik semak-semak itu, memimpin belasan orang anak buah penyelidik. Akan tetapi melihat betapa andika berdua tadi bertanding hebat, kami tidak berani melerai dan baru setelah mendengar percakapan, hati kami lega dan berani keluar."
"Ah, tidak mengapa, Paman. Paman Wiraman, apa artinya ucapanmu tadi bahwa dia bukan Ki Mitra?" Juga Pusporini memandang penuh pertanyaan, sedangkan Setyaningsih juga memandang penuh perhatian.
Ki Wiraman sebagai seorang pejuang yang banyak pengalaman tidak segera menjawab, melainkan memandang kepada Setyaningsih dengan sinar mata meragu dan penuh kecurigaan. Dia tidak mengenal puteri cantik ini dan dia harus berhati-hati untuk menceritakan rahasia yang diketahuinya.
"Jangan khawatir, Paman. Ini adalah Ayundaku, Setyaningsih, isteri dari Rakanda Pangeran Panji Sigit yang kini masih tertinggal di istana Jenggala."
"Ah, maafkan keraguan hamba," kata Ki Wiraman sambil menyembah dengan hormat, diturut pula oleh Widawati.