Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 37
SETELAH keadaan menjadi sunyi dan merasa yakin bahwa semua penjaga telah pulas, Joko Pramono berbisik kepada Pusporini dan Setyaningsih, "Andika berdua menjaga di luar sini, biarkan saya sendiri menyelidiki ke dalam."
Pusporini mengangguk, Memang sebaiknya demikian. Merurut apa yang mereka dengarkan dalam percakapan antara tiga orang tokoh sakti tadi, tempat tahanan ini dipasangi alat-alat rahasia yang amat berbahaya. Jika mereka semua masuk, sekali terjebak, mereka semua akan celaka. Kalau hanya seorang, andaikata terjadi sesuatu, yang berada di luar dapat saja sewaktu-waktu menolong. Sebaliknya, jika ada bahaya yang datangnya dari luar, dia dapat menyambutnya untuk melindungi Joko Pramono yang bertugas di dalam. Akan tetapi Setyaningsih membantah,
"Saya akan ikut masuk mencari Kakangmas Pangeran..."
"Harap Ayunda suka menjaga saja di luar bersama Pusporini," kata Joko Pramono.
"Bergerak seorang diri di dalam akan lebih leluasa, pula kita belum tahu bahaya apa yang mengancam di dalam."
"Betul, Ayunda. Tugasnya sudah amat berat, dan dia harus dapat menemukan dan membebaskan Rakanda Pangeran. Kita sudah mendengar tadi akan percakapan mereka. Di dalam banyak terdapat alat-alat rahasia yang berbahaya. Pula, keadaan. di luar sini tidak kurang pentingnya. Kalau ada musuh-musuh sakti menyerbu, Ayunda dapat membantuku menghadapi mereka."
Setyaningsih terdesak dan terpaksa menyerah sungguhpun hatinya sudah ingin sekali bertemu dengan suaminya yang tercinta. Setyaningsih tidak membantah lagi, mulailah Joko Pramono memasuki bangunan besar yang dijadikan tempat tahanan itu.
Dengan tenaga saktinya, mudah saja Joko Pramono mendorong pintu gerbang terbuka dan ia merasa lega ketika melihat empat orang penjaga menggeletak di balik pintu gerbang dalam keadaan pulas. Untuk mencegah kalau-kalau ada musuh datang dari luar dan melihat pintu gerbang terbuka, ia menutupkan lagi daun pintu gerbang sehingga kini Setyaningsih dan Pusporini yang berada dl luar tidak dapat melihatnya, lagi. Joko Pramono melangkah maju terus dengan hati-hati sekali, matanya memandang ke depan dan kanan-kiri.
Untung baginya bahwa bangunan itu cukup terang mendapat cahaya lampu-lampu gantung yang cukup banyak di tempat itu, Pintu ke dua merupakan pintu dari baja, akan tetapi ketika ia mendorongnya, ternyata pintu itu tidak terpalang hanya ditutupkan saja, maka mudah terbuka. Ketika ia melihat para penjaga malang-melintang tidur pulas di bawah pengaruh aji penyirepannya tadi. Banyak sekali penjaga di sebelah dalam ini, ada belasan orang.
Di antara mereka terdapat seorang kakek tinggi besar yang bersandar dinding, suara dengkurnya keras seperti macan menggereng. Joko Pramono maklum bahwa penjaga yang seorang ini bukanlah sembarang penjaga, tentu setidak-tidaknya kepala penjaga. Tubuh penjaga ini kuat sekali tampaknya, bahkan menyeramkan. Akan tetapi karena penjaga ini pun pulas, la tidak memperhatikannya lagi dan melangkah maju terus.
Di depan terdapat ruangan yang luas, lantainya dari papan tebal. Ia berlaku hati-hati, tidak segera meloncat maju, melainkan mencoba lantai papan itu dengan cara menekan-nekannya dengan sebelah kakinya. Ia khawatir kalau-kalau lantai itu dapat bergerak. Akan tetapi lantai itu kokoh kuat dan Joko Pramono melangkah terus, matanya mencari-cari bagian mana kiranya yang akan dimasukinya untuk mencari Pangeran Panji Sigit. la telah tiba di tengah-tengah ruangan itu.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa di sebelah belakangnya dan ketika secepat kilat ia membalikkan tubuh, kiranya penjaga yang tinggi besar seperti raksasa itu telah berdiri di depannya! Kini tampak jelas betapa penjaga yang tua ini tubuhnya benar-benar mengejutkan, seperti raksasa. Telinganya dihias anting-anting dan tangan kanannya memegang sebuah senjata nenggala, tombak kecil yang runcing kedua ujungnya, dipegang di tengah-tengah. Melihat keadaan kakek ini, terkejutlah hati Joko Pramono karena ia segera mengenalnya. Inilah Ki Kolohangkoro! Pernah ia bersama Pusporini menghadapi kakek ini dan Ni Dewi Nilamanik, bahkan akhirnya dia ditawan Ni Dewi Nilamanik sedangkan Pusporini ditawan kakek ini. Untung dia dan Pusporini tertolong oleh guru mereka, Resi Mahesapati!
"Ah, kiranya andika menjadi seorang di antara tikus-tikus yang menggerogoti Kerajaan Jenggala, Ki Kolohangkoro!"
Joko Pramono berkata tenang dan ia bersiap-siap dengan penuh kewaspadaan karena maklum bahwa lawan ini bukanlah seorang yang lemah.
"Ha-ha-ha-ha! Engkau Joko Pramono? Apakah yang engkau andalkan maka berani memasuki sarang harimau? Hendak membebaskan Pangeran Panji Sigit? Ha-ha-ha, jangan mimpi, orang muda. Lebih baik menyerah sebelum nenggalaku yang sudah lama tidak mencium darah ini menggelogok darahmu!"
"Manusia raksasa seperti engkau berhati iblis! Jangan mengira akan mudah mengalahkan Joko Pramono seperti lima tahun yang lalu. Sambutlah ini!" Joko Pramono cepat menerjang maju dengan pukulan kepalan kanannya. Dahsyat sekali gerakannya akan tetapi sambil tertawa Ki Kolohangkoro menggerakkan nenggalanya menyambut terjangan pemuda itu dengan terjangan balasan, yaitu ia menusukkan nenggalanya ke arah dada Joko Pramono.
"Plakk!" Dengan gerakan indah, Joko Pramono sudah membuka kepalannya tadi, merubah pukulan menjadi gerakan tangan terbuka melingkar dari kiri ke kanan, diputar sedemikian rupa sehingga ia berhasil menangkap pergelangan tangan lawan yang memegang nenggala itu dari samping. Sedetik dua tenaga raksasa bertemu, saling betot, dan tiba-tiba Joko Pramono berseru keras dan menyendal tangan lawan itu dengan gentakan kuat sekali sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuh raksasa itu kehilangan keseimbangan, kuda-kudanya tergempur dan tubuhnya terbanting ke kanan.
Hal ini amat mengejutkan hati Ki Kolohangkoro. Hampir ia tidak percaya bahwa pemuda yang lima tahun lalu masih amat lemah dan hanya memiliki kepandaian yang tidak ada artinya, kini dapat memiliki tenaga sakti yang sedemikian kuatnya sehingga hampir-hampir ia tidak kuat menahan nenggalanya. Untung ia masih dapat mempertahankan senjatanya itu sehingga tidak terampas biarpun tubuhnya hampir terbanting roboh.
"Babo-babo, kiranya engkau telah memperoleh kemajuan yang lumayan. Makanlah senjataku!" Raksasa itu menerjang lagi, kini lebih hebat dengan memutar pergelangan tangannya sehingga nenggala itu berputar seperti kitiran, mendatangkan angin dan mengeluarkan suara berdesing. Hebat memang Ki Kolohangkoro yang memiliki tenaga gajah, sedangkan senjata nenggala di tangannya itu pun merupakan sebuah nenggala yang amat ampuh.
Akan tetapi Joko Pramono sekarang sama sekali berbeda dengan Joko Pramono lima tahun yang lalu. Setelah mendapatkan gemblengan dari Resi Mahesapati yang sakti mandraguna, kedigdayaannya menjadi berlipat ganda dan kini menghadapi tendangan Ki Kolohangkoro itu, ia dapat melihat dengan jelas gerakan lawan sehingga dapat dengan mudah pula mengelak ke kiri, secepat kilat kakinya menyambar dari samping ke arah lambung lawan.
Andaikata tadi Ki Kolohangkoro belum merasakan betapa kuatnya pemuda ini tentu dengan memandang rendah ia berani menerima tendangannya itu karena ia dapat mengandalkan kekebalannya yang akan melindungi lambungnya. Akan tetapi ia tahu bahwa tendangan pemuda sekuat itu tenaga saktinya, apalagi yang ditujukan ke arah lambung, amatlah berbahaya.
Maka ia lalu memutar pergelangan tangan, membuat nenggala yang luput sasaran tadi membalik ke kanan untuk memapaki kaki lawannya dengan senjatanya yang ampuh ini. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat perkembangan selanjutnya. Ternyata kaki itu tidak dilanjutkan menendang lambung, melainkan meluncur ke bawah dan menendang ke arah lututnya!
Ki Kolohangkoro berusaha untuk meloncat agar terhindar dari tendangan yang dapat membuat sambungan lututnya terlepas itu, akan tetapi masih kurang cepat sehingga kakinya masih tercium tendangan lawan, mengenai betisnya sehingga kuda-kudanya tergempur dan ia roboh terguling! Biarpun merasa amat kaget, namun Ki Kolohangkoro adalah seorang yang sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran, maka ia cepat menggerakkan tubuhnya bergulingan sehingga Joko Pramono yang sudah datang menerjang dengan tendangan susulan itu tidak berhasil.
Cepat sekali Ki Kolohangkoro bergulingan lalu meloncat dan menghilang melalui sebuah pintu ruangan itu. Joko Pramono yang ingin mencari di mana adanya kamar tahanan Pangeran Panji Sigit, cepat meloncat pula mengejar. Dia berada di ruangan lain yang dindingnya berwarna hijau, akan tetapi tidak melihat bayangan Ki Kolohangkoro yang telah lenyap entah lari ke mana. Dengan hati-hati ia melangkahkan kakinya maju ke ruangan hijau yang kosong itu, siap menjaga kalau-kalau ada serangan lawan atau kalau-kalau ada jebakan rahasia. Ruangan itu kosong dan sunyi. Hanya terdapat sebuah pintu kecil di sebelah kanan ruangan. Karena itu, tentu dari pintu itulah larinya Ki Kolohangkoro.
Joko Pramono menghampiri pintu, tidak sembrono melainkan dengan hati-hati sekali ia mendorong daun pintu sambil menyelinap untuk menjaga kalau-kalau ada senjata rahasia menyambutnya. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan kini daun pintu terbuka lebar, selebar mata Joko Pramono yang memandang terbelalak ke dalam ruangan ke tiga ini. Ruangan di balik pintu itu berwarna merah muda dan di ujungnya terdapat sebuah pembaringan di mana tampak Pangeran Panji Sigit rebah terlentang tak bergerak, entah tidur ataukah pingsan.
Dan di pinggir pembaringan, membelakanginya, duduk bersimpuh seorang wanita yang mengelus-elus rambut kepala pangeran itu dengan jari-jari tangan mesra. Dari belakang tampak bahwa wanita itu adalah Suminten. Melihat ini, bangkit kemarahan Joko Pramono. Wanita iblis itulah yang menjadi biang keladi semua peristiwa yang terjadi. Wanita itulah yang mengatur siasat mengadu domba sehingga hampir saja Pusporini membunuhnya. Kebetulan sekali ia mendapatkan wanita itu di situ. Ia dapat membebaskan Pangeran Panji Sigit dan sekalian menangkap wanita itu. Ia dapat menangkap Suminten. Kalau wanita ini ditangkap dan diseret ke Panjalu, tentu akan hancur persekutuan jahat yang mencengkeram Jenggala.
"Perempuan iblis!" bentaknya dan tubuhnya sudah meloncat ke dalam ruangan itu, siap untuk menangkap Suminten. Ia maklum bahwa yang terpenting menawan wanita ini karena hal itu akan dapat dipergunakan untuk perisai dan untuk memaksa kaki tangan Suminten memberi kebebasan kepada Pangeran Panji Sigit.
"Wirrrr... tar-tar... hi-hihik!" Joko Pramono mengeluarkan suara tertahan dan cepat sekali membalikkan tubuh berjungkir balik menghindar diri dari sambaran pengebut lalat berwarna merah yang digerakkan oleh wanita itu yang kini telah membalikkan tubuh.
Ia terluput dari serangan maut dan kini berdiri di tengah ruangan, memandang wanita yang disangkanya Suminten itu, akan tetapi yang ternyata adalah Ni Dewi Nilamanik yang dahulu pernah menawannya! Yang disangkanya Suminten adalah wanita iblis itu yang agaknya sengaja menyamar sebagai Suminten dan karena wanita yang usianya sudah empat puluh tahun lebih ini memang masih cantik dan bertubuh ramping, maka dari belakang tidak jauh bedanya dengan Suminten.
"Ah, kiranya andika juga berada di sini? Kalau begitu lengkaplah sudah. Jenggala, tepat di dalam istananya, dijadikan sarang sekumpulan iblis bertubuh manusia!" Joko Pramono berseru marah.
"Hi-hi-hik, bocah bagus, engkau terlalu sombong!"
"Ha-ha-ha, kematian sudah di depan mata!" Terdengar suara Ki Kolohangkoro dari belakangnya.
Joko Pramono cepat membalik dan ternyata raksasa itu kini sudah berdiri di ambang pintu di belakangnya. Joko Pramono tidak menjadi gentar menghadapi dua orang musuh lama ini. Ia hanya cemas melihat keadaan Pangeran Panji Sigit yang rebah tak bergerak, agaknya pingsan karena pangeran itu sama sekali tidak terganggu oleh keributan di situ. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah menegang dan siap untuk mengadu kesaktian melawan dua orang manusia iblis itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berderit keras di atas kepalanya. Karena mengira bahwa tentu ada alat rahasia yang akan menyambarnya dari atas, Joko Pramono memandang ke atas dan sebagian besar perhatiannya tertuju ke langit-langit ruangan itu. Dan memang inilah yang dikehendaki oleh ahli pembuat alat rahasia di tempat tahanan istana Jenggala itu.
Begitu orang mengarahkan perhatiannya ke atas, tentu saja perhatiannya ke bawah berkurang dan tiba-tiba lantai yang diinjak Joko Pramono terkuak ke bawah! Pemuda itu terkejut sekali, namun terlambat. Tubuhnya sudah meluncur ke bawah dan lantai yang tadi terkuak ke bawah, itu telah menutup kembali diiringi suara tertawa Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik. Joko Pramono maklum bahwa la telah terjebak.
Akan tetapi sebagai seorang satria perkasa, ia pantang menyerah terhadap keadaan. Ia mengerahkan hawa saktinya sehingga biarpun tubuhnya meluncur ke bawah, namun ia masih menguasai dirinya dan tidak akan terbanting ke dasar sumur itu. Begitu kakinya menyentuh lantai, tubuhnya sudah bergerak seperti per sehingga daya luncuran tertahan dan sekali meloncat ia telah mematahkan daya luncuran tadi.
Ia berdiri di tengah ruangan di bawah tanah itu dan memaksa matanya untuk menembus kegelapan di situ. Akan tetapi keadaan gelap pekat, tidak tampak sesuatu sehingga akhirnya Joko Pramono terpaksa harus menggunakan kaki tangannya untuk meraba-raba. Kiranya ia telah terkurung oleh dinding yang kuat dan yang bentuknya bundar. Tidak ada pintu maupun jendelanya, sedangkan ketika ia menengadah, lantai jebakan yang kini menjadi langit-langit itu tidak tampak, hanya gelap dan hitam saja yang membayang di matanya.
Betapapun juga, Joko Pramono tidak menjadi putus asa menghadapi kenyataan bahwa dirinya benar-benar terancam bahaya maut ini. Ia melakukan hal yang terpenting, yaitu duduk bersila di tengah-tengah ruangan gelap itu untuk mengumpulkan tenaga sakti dan menenangkan pikirannya. Ia maklum bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya harus diterima dalam keadaan tenang dan wajar, karena hanya ketenangan jiwanya sajalah yang akan mampu membuat ia kuat menghadapi segala kepahitan dan kemudian mengatasinya dengan langkah-langkah yang tepat. Teringatlah pemuda ini kepada sebuah di antara wejangan-wejangan Resi Mahesapati yang pada saat itu terngiang di telinganya.
"Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, yang menimpa dirimu, adalah sesuai dengan hukum yang ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu, kita harus dapat menerimanya sebagai suatu kewajaran dan bersandarkan kesabaran dan ketenangan, kita harus berani memandang ke depan. Segala macam peristiwa yang menimpa diri kita, apabila sudah dikehendaki demikian oleh Sang Jagad Nata (Pengatur Dunia) takkan dapat dihindarkan oleh manusia, betapapun saktinya manusia itu. Maka, jalan satu-satunya bagi manusia mahluk lemah ini hanyalah bersandar kepada Hyang Widi Wisesa dengan penuh ketulusan hati, dengan penuh pasrah namun tidak melepaskan segala ikhtiar yang menjadi kewajiban manusia yang telah diberi perlengkapan sempurna untuk kewajiban itu."
Joko Pramono tekun mengheningkan cipta dan ia menanti datangnya kesempatan baik untuk menolong dirinya sendiri. Dia tidak takut, tidak gentar karena dia telah menyandarkan dirinya kepada kekuasaan Dewa, sehingga andaikata kematian akan menjemputnya sekalipun, ia tidak merasa gentar karena maklum bahwa semua itu sudah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa.
Tiba-tiba terdengar bunyi seperti desis ular. Joko Pramono bangkit berdiri, bersikap tenang waspada, bersiap-siap menghadapi hal yang seburuknya, tenaga sakti telah menjalar ke arah kedua lengannya. Akan tetapi tiba-tiba ia terbatuk karena mencium bau yang amat harum namun menyengat hidung, dan tahulah ia bahwa pihak lawan telah menyerangnya dengan asap yang entah masuk di ruangan itu dari mana. la menahan napas, lalu menggerak-gerakkan kedua lengannya untuk mengusir asap harum menyengat hidung itu.
Asap yang masuk berwarna putih dan menjadi buyar terkena sambaran angin pukulan Joko Pramono. Akan tetapi asap masuk makin banyak dan makin tebal, sedangkan Joko Pramono, biarpun telah menjadi pemuda sakti, namun tak mungkin dapat menahan napas selamanya. Akhirnya ia tersedak, terengah dan cepat ia duduk bersila, menghentikan perlawanan dan mengosongkan pikiran, siap untuk menerima datangnya maut yang tak dapat ia hindarkan lagi.
Sungguh patut dikagumi Joko Pramono ini, biarpun masih amat muda akan tetapi sudah dapat menghadapi bahaya maut dengan sikap yang tenang, bahkan dapat mengatur diri sehingga andaikata ia mati, pikiran dan hatinya kosong, sikap yang amat sempurna.
Sementara itu, Pusporini dan Setyaningsih yang menjaga di luar bangunan tempat tahanan itu menjadi gelisah. Menanti adalah pekerjaan yang amat sukar dan berat. Apalagi menanti seperti mereka lakukan itu, menanti Joko Pramono yang memasuki tempat tahanan, yang mereka tahu amat berbahaya. Sukar ditentukan siapa yang lebih gelisah antara kedua orang wanita muda cantik itu, karena Setyaningsih cemas memikirkan suaminya, sedangkan Pusporini tentu saja gelisah memikirkan keselamatan kekasihnya yang memasuki "gua iblis" seorang diri. Setelah lewat satu jam lebih belum juga Joko Pramono kembali, dan keadaan tetap sunyi senyap, Setyaningsih tak dapat lagi menahan kegelisahan hatinya.
"Pusporini, mari kita masuk menyusul Dimas Joko Pramono, mencari Kakangmas Pangeran," kata Setyaningsih dengan suara perlahan.
Pusporini mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. "Tidak baik kalau kita pun pergi menyusulnya, Ayunda. Bukankah tadi Joko Pramono sudah meninggalkan pesan agar kita berdua menanti dan menjaga di sini?"
"Ah, sudah begini lama dia pergi dan masih juga belum ada tanda-tanda dia kembali. Sampai kapan kita menanti di sini, adikku? Tepatkah kalau kita membiarkan dia menempuh bahaya untuk menolong Kakangmas Pangeran seorang diri? Bagaimana kalau Adimas Joko Pramono tertangkap pula? Kita harus menyusul, Rini, dan kalau kau tidak mau, biarlah aku pergi sendiri menyusul Joko Pramono dan menolong suamiku."
Pusporini menghela napas panjang. Memang sesungguhnya kekhawatiran hatinya tidak kalah besar, dan jawabannya tadipun hanya untuk menutupi kekhawatirannya, atau untuk menghibur dirinya sendiri saja. Maka is berkata,
"Baiklah, Ayunda. Memang aku pun merasa heran mengapa dia belum juga kembali. Marilah, akan tetapi biar saya jalan di depan dan Ayunda di belakang. Kita harus berhati-hati sekali, Ayunda. Musuh kita terlampau keji dan curang."
"Jangan khawatir, Pusporini. Untuk menolong suamiku, aku siap menghadapi apapun juga."
Kedua orang wanita ini melangkah masuk melalui pintu gerbang yang tadi sudah dibuka Joko Pramono. Mereka berjalan dengan hati-hati, melihat pula para penjaga yang masih tertidur pulas di bawah pengaruh aji penyirepan mereka tadi, dan terus memasuki ruangan depan. Seperti halnya Joko Pramono tadi, mereka pun tiba di dalam ruangan yang berwarna hijau. Hanya bedanya, kalau tadi di sebelah belakang itu terdapat sebuah pintu kecil, kini pintu itu lenyap menjadi dinding rata, dan di sebelah kiri muncul sebuah pintu lain. Pusporini yang berjalan di depan dalam keadaan siap itu memberi tanda kepada ayundanya dan mereka mendorong pintu sebelah kiri itu sehingga terbuka.
"Kakangmas Pangeran...!"
Setyaningsih menjerit lirih dan berlari memasuki kamar itu ketika melihat suaminya duduk bersila di atas sebuah pembaringan di sudut kamar.
"Ayunda, jangan...!" Pusporini berseru.
"Isteriku...jangan masuk..!
Pangeran Panji Sigit juga berseru ketika melihat isterinya dan Pusporini muncul di pintu. Akan tetapi Setyaningsih tidak perduli dan sudah berlari masuk, lalu menubruk suaminya dan mereka berpelukan. Pada saat itu terdengar suara ketawa di belakang Pusporini yang cepat menengok, akan tetapi Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik telah menyerangnya dari belakang menggunakan senjata mereka.
Pusporini cepat meloncat ke belakang, ke dalam kamar itu karena tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri dari serangan senjata nenggala dan kebutan yang ampuh itu. Akan tetapi begitu kedua kakinya menginjak lantai, pintu itu tertutup sendiri dan hanya terdengar suara ketawa Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro di luar pintu.
"Ah, kalian terjebak...!"
Pangeran Panji Sigit berseru cemas. Pusporini menjadi marah sekali. Ia mengerahkan aji kesaktiannya, menyalurkan tenaga sakti ke dalam lengannya, kemudian sambil memekik ia meloncat ke depan menghantam pintu itu.
"Desss!!"
Hebat bukan main hantaman dara perkasa ini sehingga seluruh dinding kamar itu tergetar, akan tetapi daun pintu hijau itu ternyata terbuat daripada baja yang kuat sekali dan tertutup oleh gerakan alat rahasia sehingga hanya tergetar saja dan tidak terpecahkan. Kembali Pusporini menghantam, sampai tiga kali tanpa hasil. Ia menjadi makin marah, bertolak pinggang menghadapi daun pintu lalu membentak,
"Iblis-iblis laknat! Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro, kalau memang kalian orang-orang sakti, bukalah pintu dan mari bertanding melawan Pusporini yang akan menghancurkan kepala kalian dan memecahkan dada kalian!!"
Namun, yang menjawab tantangannya hanyalah asap putih yang masuk melalui dua buah lubang kecil di lantai. Asap itu masuk mengeluarkan suara mendesis seperti ular menyambar dan sebentar saja kamar itu penuh oleh asap yang berbau harum bercampur bau amis yang menyengat hidung.
"Awas asap beracun! Rakanda, Ayunda, bertiarap!" seru Pusporini.
Pangeran Panji Sigit yang merangkul isterinya itu menarik tubuh Setyaningsih dan mereka segera bertiarap di atas lantai, menelungkup. Adapun Pusporini, seperti juga yang dilakukan Joko Pramono tadi, menahan napas dan mengerahkan hawa sakti untuk mengayun-ayun lengannya, mendorong dengan maksud mengusir asap itu keluar dari kamar. Sambaran angin pukulannya membuat asap itu buyar dan bergerak-gerak.
Akan tetapi karena kamar itu agaknya memang tidak diberi lubang, asap yang buyar dan membubung ke atas itu menurun kembali, bersatu dengan asap baru yang keluar terus dari lantai sehingga menjadi tebal memenuhi kamar. Setelah melihat usahanya gagal, Pusporini melirik ke arah Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih, melihat mereka itu telah roboh pingsan sambil berpelukan. Dia menarik napas panjang lalu. duduk bersila dalam keadaan samadhi, seperti yang dilakukan Joko Pramono tadi sehingga tak lama kemudian dia pun menjadi pingsan dalam keadaan duduk bersila!
"Tak-tak, herrr... Hayolah, kerbau goblok, kerbau malas! Plak-plak! Tarr!" Kerbau yang menarik luku di sawah itu tetap mogok dan mendekam di atas lumpur yang begitu sejuk dan nikmat rasanya di bawah terik sinar matahari di siang hari.
"Kerbau tolol, kubunuh engkau!" bentak petani setengah tua itu yang sudah lelah memaki-maki kerbaunya dan kini mulai mencambukinya sekuat tenaga.
Seorang pria muda yang berpakaian serba putih sederhana menghentikan langkahnya menyaksikan peristiwa ini. Ia lalu memutar tubuh menghampiri pinggir sawah dan matanya sayu memandang ke arah kerbau yang digebuki. Pria ini masih muda sekali, usianya paling banyak dua puluh satu tahun, akan tetapi ia memiliki sepasang mata yang selain tajam berpengaruh, juga demikian penuh pengertian seperti yang hanya dimiliki oleh kakek-kakek pendeta yang sudah memiliki ilmu batin yang kuat!
Pakaiannya sederhana sekali, akan tetapi tidak mengurangi ketampanan wajahnya yang berkulit putih halus seperti kulit tubuh wanita. Alisnya yang tebal hitam dan kelihatan garang itu tidak dapat menandingi kelembutan pandang matanya, sedangkan bibirnya seperti yang selalu tersenyum maklum, seperti senyum seorang ayah melihat tingkah laku anaknya yang nakal dan masih kecil.
"Sudah, Paman. Tiada gunanya menyiksa pembantumu dan tiada baiknya menurut hati yang digelapkan nafsu amarah."
Suara pemuda aneh ini demikian penuh ketenangan dan kesabaran, begitu halus dan lemah lembut sehingga laki-laki yang marah dan menggebuki kerbaunya itu menghentikan perbuatannya dan menoleh dengan heran, siap untuk menimpakan kemarahan dan kemendongkolan hatinya kepada orang yang berani mencegah dia menggebuki kerbaunya sendiri.
Akan tetapi begitu bertemu pandang dengan mata pemuda itu, seolah-olah ada tetesan embun dingin yang memadamkan semua api kemarahannya, bahkan membuat dia menjadi malu dan merah mukanya. Akan tetapi, ia hendak membela diri dan mengusir rasa malunya dengan bantahan, sungguhpun kata bantahannya tidak terdorong kemarahan lagi,
"Orang muda, mudah saja maido (mencela). Kerbau ini malas dan bodoh, dia tidak mau menarik luku, habis kalau tidak digebuki apakah harus kutimang-timang?"
Pemuda itu memperlebar senyumnya yang sudah selalu siap di bibir, kemudian ia duduk di atas galengan sawah. "Maaf, Paman. Aku tidak mencela atau maido, hanya ingin mengingatkan Paman bahwa kerbau itu adalah pembantu Paman. Dia mogok bekerja karena lelah dan kurasa bukan hanya hari ini dia membantu Paman meluku sawah. Manusia telah dikurniai akal budi sedangkan kerbau dikurniai tenaga, sehingga dengan akalnya manusia dapat mempergunakan tenaga kerbau untuk membantunya meluku sawah. Padahal, meluku sawah atau bekerja untuk mencari pengisi perut adalah menjadi kewajiban si manusia sendiri.
Setelah dapat mempergunakan akal sehingga kerbau dapat membantu, manusia seharusnya berterima kasih, tidak hanya kepada Sang Hyang Wisesa yang berkahnya begitu melimpah-limpah kepada manusia, juga kepada kerbau yang membantunya. Kerbau mogok bekerja tentu ada sebabnya, mungkin dia lelah, mungkin dia sakit, karena kerbau termasuk binatang, mahluk yang selalu bergerak berdasar kewajaran, tidak seperti manusia yang lebih condong kepalsuan dan tidak wajar. Seperti tidak wajarnya perbuatan Paman menggebuki kerbau yang selalu menjadi pembantu Paman."
Petani itu melongo dan hanya bisa menangkap sedikit saja dari ucapan yang mengandung arti dalam dan sukar itu. "Akan tetapi dia tidak mau menarik luku, berarti membuat pekerjaan terbengkalai, padahal tanah ini perlu dibuka cepat-cepat agar jangan terlambat kalau hujan turun!"
"Sifat manusia memang tidak mengenal budi, berdasar watak ingin senang sendiri, Paman. Kurasa sudah ribuan kali kerbau ini membantu Paman meluku sawah, akan tetapi satu kali saja dia mogok, yang ribuan kali itu tak teringat lagi oleh Paman sehingga Paman tega untuk menyiksanya."
Petani itu kini melepaskan gagang lukunya dan membalikkan tubuh, menghadapi langsung pemuda itu, tidak seperti tadi yang hanya sambil menoleh saja.
"Eh, Kisanak, engkau masih muda akan tetapi bicaramu seperti seorang pendeta saja! Bicara sih mudah, hanya menggoyang lidak menggerakkan bibir, akan tetapi yang menjalankan ini yang sukar. Kalau kerbaunya tidak mau membantu, habis aku harus berbuat bagaimana?"
"Paman keliru. Bicara tidaklah mudah, kalau kita tahu bagaimana harus bicara. Apa yang masuk ke dalam mulut haruslah yang baik dan bersih agar kesehatan kita selalu terjamin. Sebaliknya apa yang keluar dalam mulut pun harus selalu yang baik dan bermanfaat bagi orang lain. Kalau kerbau Paman mogok bekerja karena lelah atau sakit, sebaiknya dia dibiarkan beristirahat dan makan, sedangkan soal pekerjaan dapat Paman lanjutkan dengan cangkul."
Petani itu melototkan matanya. "Orang muda, engkau merasa pintar, ya? Kalau cuma begitu, tak perlu kau nasehati. Tidak urung aku yang disuruh bekerja, sedangkan untuk menyelesaikan sawah ini hanya dengan sebuah pacul, tentu tidak selesai dalam tiga hari!"
"Paman butuh bantuan? Biarlah aku membantumu, Paman." Pemuda itu menyingsingkan lengan baju dan celananya, kemudian turun ke sawah.
"Hemm, andika seorang pemuda yang aneh. Apa maksudmu mencampuri urusan orang lain, mencela dan membantu? Apakah pamrihmu hendak membantuku, orang muda?"
"Pamrih? Perbuatan yang berpamrih bergelimang kepalsuan, Paman. Membantu orang lain didasari pamrih, bukanlah bantuan namanya, melainkan usaha tercapainya pamrih itu sendiri. Bagiku, membantumu bekerja adalah wajar, Paman. Andika membutuhkan bantuan karena kerbaumu mogok, dan aku datang membantu, itu sudah wajar, sudah tepat, seperti tepatnya orang lapar makan dan orang haus minum. Ada pamrih apa lagi?"
Pemuda itu lalu menuntun kerbau yang mogok tadi dan anehnya kerbau itu menurut saja dituntun minggir, tidak seperti tadi, digebuki masih tetap mendekam. Setelah kerbau dan lukunya dibawa ke pinggir, pemuda itu lalu mengambil cangkul dan tanpa banyak cakap lagi mulailah mencangkuli tanah yang belum terluku.
Petani itu memandang dengan mata lebar, lalu menggeleng-geleng kepala tidak mengerti akan sikap pemuda ini, akan tetapi diam-diam girang juga hatinya mendapat seorang pembantu suka rela yang melihat caranya mengayun cangkul boleh diharapkan akan dapat mengejar ketinggalan pekerjaannya karena kerbau mogok tadi. Ia pun lalu menyambar cangkul sebuah lagi dan bekerja tekun seperti lajimnya para petani bekerja di sawah. Kelihatannya biasa saja pemuda itu bekerja, akan tetapi betapa girang dan herannya petani itu ketika melihat bahwa hasil cangkulnya pemuda itu empat lima kali lebih cepat dan banyak daripada hasil pekerjaannya sendiri. Dengan demikian maka dibantu pemuda ini tidaklah lebih lambat daripada kalau dibantu kerbaunya menarik luku!
Lewat tengah hari, seorang gadis ke sawah itu, membawa sebuah bakul berisi nasi bersama sambel wijen dan ikan lele bakar. Bakul itu disunggi di atas kepala, dipegangi tangan kiri sedangkan tangan kanannya mencangking sebuah kendi berisi air.
"Pak, berhenti dulu. Mengaso dan makan!" serunya dengan suara yang renyah melengking.
"Wah, kau sudah datang, Mil Siapkan dua pincuk (pining daun pisang), kami sudah lapar sekali!"
Gadis yang usianya paling banyak tujuh belas tahun, bertubuh ramping padat berkulit hitam manis dengan wajah yang manis sekali itu mengangkat muka memandang ke arah pemuda berkulit putih yang membantu ayahnya. Kebetulan pada saat itu si pemuda juga menengok ke arahnya dan si gadis tersenyum malu-malu, kemudian menjawab,
"Baik, Pak!"
"Hayo mengaso dan makan dulu, Nak."
Pemuda itu mengangguk, melepas cangkulnya dan menghapus peluh di dahi dengan lengannya. Kemudian mereka berdua mencuci tangan dengan air kendi lalu duduk di atas galengan sawah. Pemuda itu mendapat kenyataan betapa gadis petani ini benar-benar manis dan cantik sekali, kecantikan aseli tanpa bantuan bedak dan mangir sehingga ia memandang kagum.
"Paman, anak daramu cantik dan manis sekali!" kata pemuda itu.
Kembali petani itu terbelalak melihat sikap dan ucapan yang blak-blakan dan tulus ini, akan tetapi Bagus Seta sebagai seorang pria yang sudah banyak pengalaman ia tidak melihat adanya pandang mata kurang ajar sehingga kembali ia tertegun. Pemuda ini benar-benar seorang manusia aneh dan tidak lumrah! Akan tetapi pujian yang membuat gadis itu tiba-tiba melengos dan menyembunyikan mukanya yang menjadi merah itu membikin hati kakek petani ini gembira, akan tetapi berbareng juga mengingatkan kakek itu akan kesulitan yang dihadapinya.
"Itulah yang membikin aku tadi menggebuki kerbauku, Nak."
"Pak...! Si Wage kau gebuki? Kenapa?" tiba-tiba gadis itu bertanya sambil memandang bapaknya.
"Dia mogok, mungkin sakit...!"
"Ah, kasihan Si Wage...!" Gadis itu lalu bangkit berdiri dan berlari menghampiri kerbau yang kini makan rumput di pinggir sawah. Ketika berlari, tubuh ramping padat itu mendatangkan pemandangan yang amat mempesonakan.
"Paman, apakah artinya ucapanmu tadi?" tanya si pemuda sambil mengepal nasi dicocol sambel dan ditemani secuwil daging ikan lele panggang, lalu memasukkannya ke mulut.
Petani itu mengunyah nasi yang memenuhi mulutnya dan menelan dengan anggukan kepala, kelihatan nikmat sekali. Memang sesungguhnyalah bahwa kenikmatan makan seorang petani yang telah bekerja keras dan lelah di bawah terik panas matahari biarpun hanya nasi dengan sambal, mengatasi kenikmatan makan seorang raja yang menghadapi hidangan puluhan macam banyaknya!
"Memang demikian, Nak. Sutarmi anakku itu amat cantik, kembangnya dusun ini, dan kecantikannya itulah yang memaksa aku tadi naik darah menggebuki kerbauku. Soalnya Kepala dusun menjatuhkan pajak yang amat besar berupa hasil sawahku, lebih setengahnya diharuskan untuk disetorkan kepadanya. Karena tahun-tahun yang lalu hasil sawahku kurang baik dan mendiang isteriku pada waktu itu sakit-sakit saja sehingga mengeluarkan banyak biaya, maka aku jadi berhutang banyak pajak. Akhir-akhir ini, melihat kecantikan anakku, ketua dusun menyatakan bahwa kalau panen depan ini aku tidak dapat melunasi hutang, jalan satu-satunya agar gusti patih, yaitu yang menguasai daerah pertanian di sini, tidak marah, aku harus menyerahkan Sutarmi kepada kepala dusun untuk dipersembahkan kepada gusti patih. Katanya untuk dijadikan abdi dalem, akan tetapi aku sudah tua dan sudah banyak mendengar bahwa..." Petani itu menunda kata-katanya dan celingukan ke kanan kiri.
"Bahwa bagaimana, Paman?"
"Bahwa gusti patih paling gemar akan gadis-gadis muda yang cantik, untuk diselir tentunya," kakek itu berbisik. "Demikianlah, aku harus bekerja keras agar panen depan dapat melunasi hutang atau akan menjadi korbanlah anakku karena kecantikannya. Ketika Si Wage mogok, aku menjadi marah tadi..."
Pemuda itu mengangguk-angguk. "Ahh, tepatlah pendapat orang-orang pandai di jaman dahulu bahwa setiap hal yang mendatangkan kesenangan, pasti dapat pula mendatangkan kesusahan, seperti halnya engkau mempunyai seorang anak gadis cantik, Paman. Di samping mendatangkan kesenangan dan kebanggaan, sekarang ternyata mendatangkan kesusahan dan kesulitan. Akan tetapi, tidak ada hal yang tak dapat diatasi dengan akal budi. Paman."
"Akal budi bagaimana? Satu-satunya jalan harus membayar hutang..."
Kakek itu menghela napas dan melanjutkan makannya. Gadis hitam manis itu, Sutarmi, kini kembali ke situ setelah tadi mengelus-elus leher dan kepala Si Wage.
"Pak, lain kali jangan menggebugi Si Wage, kasihan!" katanya merengut.
"Memang, Mi seharusnya engkaulah yang kugebuki karena kecantikanmu. Kalau saja engkau tidak secantik ini tentu tidak akan terpilih sebagai abdi dalem gusti patih," ayahnya mengomel.
"Ah, Bapak kembali membingungkan hal itu. Sudah kukatakan bahwa panen depan ini kita pasti akan dapat melunasi pajak. Kalau tidak pun, aku akan bekerja keras di kepatihan, tidak akan mengecewakan Bapak. Pula, apa sih jeleknya menjadi abdi dalem kepatihan, Pak?"
Ayahnya menggeleng-geleng kepala. "Aahhh, engkau tidak tahu... engkau tidak tahu dan kalau sudah tahu akan terlambat. Lebih baik engkau bermuka buruk akan tetapi terhindar daripada malapetaka..."
"Paman, kurasa kalau Paman hanya menghendaki adik ini menjadi buruk mukanya, mudah sekali."
"Apa kau bilang? Apa maksudmu?" tanya petani itu menghentikan cucuran air kendi yang tengah digelogoknya.
"Aku mempunyai semacam obat yang akan membuat muka adik Sutarmi menjadi belang-belang dan hitam-hitam sehingga ketua dusun akan jijik melihatnya..."
"Aku tidak mau! Aku tidak mau mukaku menjadi menjijikkan!" Sutamni berkata dan memandang wajah pemuda tampan itu dengan marah. Pemuda itu tersenyum.
"Bukan menjadi buruk seterusnya, Dik. Melainkan buruk dan belang-belang menghitam karena obatku dan untuk menghindarkan Adik daripada incaran ketua dusun. Kalau bahaya telah lewat, dengan obat lain wajah Adik akan menjadi bersih dan halus kembali."
"Ehh...? Betulkah?"
Ayah dan anak itu memandang pemuda itu penuh keheranan, juga penuh harapan.
"Paman dan Adik Sutarmi membutuhkan jalan keluar untuk menghindarkan hal yang tidak kalian sukai dan aku dapat memberi jalan itu, tentu saja aku tidak berbohong. Aku akan membuat muka Adik Sutarmi menjadi buruk sekali dan Paman dapat mengatakan bahwa dia terkena penyakit. Kutanggung tidak akan ada dukun yang mampu mengobatinya. Kemudian, kalau bahaya sudah lewat, atau sebaiknya kalau Paman dan Adik pindah saja ke daerah lain, dengan obat lain, muka yang menghitam itu akan dapat bersih kembali."
Petani itu berseri wajahnya. "Ah, akal ini bagus sekali! Anak muda yang aneh dan budiman. Lekas kauberikan obat pemunah muka cantik menjadi muka buruk itu!"
"Obatnya ada pada telapak tanganku, Paman. Adapun obat penawarnya, cukup dipupuri tanah sawah. Bolehkah kucoba sekarang?"
"Cobalah... cobalah...!" petani itu mendesak.
Pemuda itu menghampiri Sutarmi yang duduk bersimpuh. "Tengadahkan mukamu dan pejamkan matamu, Dik. Aku akan mengubah kulit mukamu menjadi buruk."
Sejenak mata gadis itu menatap wajah si pemuda, akan tetapi ketika pandang mereka bertemu, gadis itu mendapat perasaan yang aneh, yang membuat ia menaruh kepercayaan besar dan perasaan pasrah. Ia mengangguk, kemudian mengangkat muka dan memejamkan matanya. Akan tetapi hanya sebentar karena ia membuka matanya kembali dan bertanya, "Sakitkah?"
Pemuda itu tersenyum lebar dan menggeleng kepala. Setelah Sutarmi memejamkan matanya kembali, pemuda itu lalu menggunakan tangan kiri untuk memegang dagu kecil meruncing manis itu, dan mengusapkan telapak tangan kanannya di seluruh muka Sutarmi. Terdengar napas tersentak ketika si petani melihat betapa muka anaknya secara mendadak telah berubah hitam!
Kalau hanya hitam saja dan merata, tidak apa. Akan tetapi hitamnya tidak rata, totol-totol sehingga membuat muka itu menjadi buruk sekali. Pemuda itu melangkah mundur dan duduk lagi sambil berkata, "Sudah selesai, Dik."
Sutarmi membuka matanya, memandang pemuda itu yang tersenyum-senyum dan mengira bahwa tentu pemuda itu membohonginya karena ia sama sekali tidak merasakan apa-apa. Akan tetapi ketika ia memandang wajah ayahnya yang melotot matanya dan melongo mulutnya, gadis ini cepat lari mendekati kali kecil di pinggir sawah untuk melihat bayangannya sendiri di air. Ia menjenguk dan... tiba-tiba ia menangis.
"Aku tidak mau begini... hii hiii... aku tidak mau...!"
Kembali ia menjenguk dan memandang ke air dengan air mata bercucuran dan kembali menjerit-jerit dan menangis. Kemudian Sutarmi lalu menggunakan air kali untuk mencuci mukanya, menggosok-gosoknya dengan tangan dan ujung kemben. Ketika ia bercermin lagi di air dan melihat mukanya masih tetap belang-belang hitam, ia lalu mengambil batu dan menggosok-gosok mukanya dengan batu dan mencucinya kembali. Akan tetapi hasilnya tidak ada, mukanya tetap totol-totol hitam dan buruk sekali.
"Aku tidak mau...! Ah, engkau manusia kejam... mengapa membikin mukaku menjadi begini...?"
Dalam kesedihan dan kemarahannya, Sutarmi lalu berlari menghampiri pemuda itu dan menggunakan kedua tangannya hendak memukul dan mencakar.
"Tarmi, jangan!" teriak ayahnya yang maju dan memegangi kedua tangan anaknya.
Sutarmi menangis mengguguk. "Pak, lebih baik aku mati saja... hii-hiii... mukaku menjadi begini buruk menjijikkan...!"
"Jangan khawatir, Dik Tarmi. Sudah kukatakan tadi bahwa segala macam obat atau air tidak akan mampu menghilangkan warna hitam itu, dan segala dukun takkan mampu mengobati. Akan tetapi kalau engkau menghendaki kulit mukamu pulih kembali, kau pupuri dengan tanah sawah, jika Sang Hyang Widhi menghendaki, pasti akan pulih kembali."
Mendengar ini, Sutarmi merenggutkan tangannya terlepas dari ayahnya, lari ke tengah sawah, mengambil lumpur dan memupuri mukanya dengan lumpur sampai rata. Saking tergesa-gesa, matanya kemasukan lumpur dan ia tersandung-sandung ketika lari ke air untuk mencuci mukanya yang penuh lumpur. Sekali saja ia menyiramkan air ke mukanya, warna hitam itu lenyap sama sekali. Tarmi bercermin dan melihat mukanya sudah pulih kembali, ia... menangis lagi saking girangnya!
"Wah-wah, Tarmi. Apakah engkau sudah menjadi gemblung (gila)? Mukamu menjadi hitam menangis, sekarang sudah pulih menangis juga!"
"Berduka mengeluarkan air mata, bersuka juga mengeluarkan air mata. Duka maupun suka bagi air mata memang sama saja, Paman, hanya merupakan permainan hati manusia." Kemudian pemuda itu berkata kepada Tarmi yang sudah berhenti menangis, "Bagaimana, Dik. Sudah percayakah engkau? Apakah sekarang engkau suka membiarkan mukamu kubikin hitam lagi untuk menghindarkan dirimu daripada bahaya dan menghindarkan ayahmu dari kesusahan?"
"Harus kau lakukan, Anakku. Sampai urusan ini beres dan bahaya lewat, kelak mudah saja mengobati mukamu, di mana-mana di dunia ini terdapat tanah sawah!"
Sutarmi memandang pemuda itu, mengangguk sambil tersenyum. Kini ia mengangkat mukanya dengan muka berseri dan memejamkan matanya ketika pemuda itu mengusap mukanya dengan telapak tangan kanan sehingga muka gadis itu kembali menjadi belang-belang menghitam, buruk dan menjijikkan dalam pandangan pria yang matanya bernapsu. Seperti tadi, Sutarmi bercermin di air dan kini ia tertawa geli.
"Paman, dan Dik Tarmi, sekarang perkenankan aku pergi."
Tanpa menanti jawaban pemuda itu menghampiri kerbau dan menepuk-nepuk pundaknya. "Kerbau, bantulah majikanmu. Memang sudah menjadi nasibmu harus membantu manusia, berbahagialah dalam menunaikan kewajibanmu." Ia lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari pinggir sawah, diikuti pandang mata Tarmi dan pandang mata petani itu yang terbelalak keheranan melihat kini kerbaunya bangkit berdiri dan tampak segar bersemangat.
"Nanti dulu, Nak! Perkenalkanlah namamu...!"
Pemuda itu menghentikan langkah, menoleh dan berkata sambil tersenyum, "Namaku Bagus Seta, Paman!"
Ia lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi lagi dengan langkah ringan. Bagus Seta kini telah menjadi seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan mempunyai wibawa yang aneh. Gerak-geriknya halus, sikapnya bersahaya, sama sekali tidak membayangkan kekuatan, akan tetapi sepasang matanya yang jernih itu mengandung pengaruh halus yang akan melemahkan hati orang yang keras, dan akan mendatangkan rasa segan karena seolah-olah pandang mata itu dapat menjenguk di dasar yang paling dalam dari hati orang. Ia baru beberapa pekan turun dari puncak Gunung Bromo, puncak terakhir di mana ia dibawa gurunya, Sang Sakti Bhagawan Ekadenta, setelah selama lima tahun gurunya membawanya ke puncak-puncak gunung hampir di seluruh tanah Jawa. Masih bergema di telinganya pesan gurunya ketika menyuruhnya meninggalkan puncak,
"Kulup Bagus Seta, kini telah tiba saatnya engkau harus turun gunung dan tiba saatnya kita harus saling berpisah. Kiranya tidak perlu lagi kuulangi semua wejangan dan pelajaran yang telah kuberikan kepadamu selama ini. Dan aku pun tidak akan memaksamu melakukan sesuatu karena segala sesuatu yang akan kau lakukan adalah bebas dan terserah atas keputusanmu sendiri, Kulup. Hanya satu hal saja yang kuingin ingatkan kepadamu agar kau camkan di dalam hati sanubarimu."
"Hamba siap mendengarkan petunjuk Eyang dan siap pula melaksanakan segala perintah Eyang," kata Bagus Seta ketika kakek itu berhenti sebentar untuk menghirup udara sejuk bersih puncak Gunung Bromo.
"Ingatlah selalu bahwa tidaklah sia-sia manusia dihidupkan di dunia ini. Hidup adalah perjuangan yang tak kunjung henti, perjuangan manuju ke titik terakhir yang menjadi puncak kesempurnaan. Hidup barulah tidak sia-sia dan berhasil apabila engkau selalu sadar bahwa perjuangan itu adalah pelaksanaan kewajiban. Tanamkan dalam sanubarimu bahwa setiap gerak hidup harus didasari pelaksanaan kewajiban itulah. Apakah kewajiban manusia hidup? Tengoklah di sekelilingmu, Kulup. Pandanglah Sang Surya dan kenalilah sifat-sifatnya, pandanglah bulan dan bintang, awan dan angin, segala macam tetumbuhan dan segala mahluk. Adakah mahluk yang tiada manfaat atau kegunaannya dalam dunia, yaitu kegunaan atau kemanfaatannya bagi benda atau mahluk lain? Kalau toh ada kautemukan benda atau mahluk yang tidak berguna bagi yang lain, hal itu hanya karena engkau belum mengerti akan kegunaannya, masih belum terbuka rahasia alam yang ada pada benda atau mahluk yang kauanggap tidak berguna itu. Semua Benda dan mahluk di dunia ini bermanfaat bagi makhluk dan Benda lain. Dan itulah kewajiban diciptakannya semua alam mayapada dan isinya. BERGUNA BAGI BENDA DAN MAHLUK LAIN. Lebih mudah lagi, bagi manusia kewajibannya adalah berguna bagi manusia lain! Dengan demikian, maka engkau berarti telah hidup sesuai dengan kehendak alam, berarti sudah wajar dan dapat menuju ke titik kesempurnaan itu. Nah, selamat berjuang, Kulup Bagus Seta."
Wejangan-wejangan gurunya masih teringat semua oleh Bagus Seta. Semuda itu ia telah digembleng oleh gurunya dalam hal ilmu-ilmu kesaktian dan wejangan-wejangan kebatinan yang dalam. Semuda itu ia sudah dapat menangkap inti sari wejangan gurunya. Bahwa ia harus memanfaatkan hidupnya bagi kepentingan orang lain, karena inilah kewajibannya, inilah tugas hidup dia sebagai manusia. Adapun apa dan bagaimana pilihannya dalam sepak terjangnya, oleh gurunya diserahkan kepada dirinya sendiri, berarti diserahkan kepadanya untuk menilai dan memilih.
Bagus Seta adalah putera seorang satria. Adipati Tejolaksono, seorang sakti yang berjiwa patriot, yang rela berkorban untuk nusa dan bangsanya. Sifat ini, sifat ayahnya, ibunya, bahkan sifat nenek-neneknya yang juga semua berjiwa patriot, membekas di dalam sanubarinya.
Karena itu, ada juga niatnya untuk menghambakan diri kepada nusa dan bangsanya, menentang kekuasaan-kekuasaan yang hendak menyengsarakan nusa bangsanya. Pertemuannya dengan petani yang menyinggung soal watak Ki Patih Jenggala, yang sewenang-wenang dan suka sekali mempermainkan anak gadis orang, membangkitkan pula semangat patriotiknya ini.
Dia harus meninjau ke Jenggala sebelum ia mencari ayah bundanya. Harus meninjau Jenggala karena keadaan paman tadi mencerminkan kelaliman yang berkuasa di kerajaan itu. Dan Jenggala termasuk kerajaan yang harus pula dibelanya, karena Jenggala adalah kerajaan keturunan Mataram.
Pertemuannya dengan petani ayah Sutarmi itulah yang menggerakkan hati Bagus Seta sehingga menggerakkan pula kakinya untuk membelok menuju Kerajaan Jenggala. Di sepanjang perjalanan, makin dekat dengan Kota Raja Jenggala, makin banyaklah mendengar keluh-kesah rakyat akan kelaliman para pamong praja Jenggala.
Bukan ini raja yang menarik hatinya, melainkan kenyataan bahwa kini rakyat setengah dipaksa oleh para pamong praja untuk mengganti Agama Wishnu menjadi Agama Syiwa dan Agama Buddha. Bahkan ada didengarnya berita bahwa para pendeta Wishnu banyak yang lenyap secara aneh, dan bahwa sebagian kecil sisa pendeta-pendeta Wishnu kini terpaksa melarikan diri dan bersembunyi ke gunung-gunung yang sunyi.
Kita tinggalkan dulu Bagus Seta untuk menjenguk keadaan di dalam tempat tahanan di istana Jenggala. Di dalam sebuah ruangan tahanan yang berbentuk persegi dan terbuat daripada dinding batu-batu tebal tampak empat orang muda terbelenggu dengan rantai-rantai baja yang amat tebal dan kuat.
Kedua lengan mereka, pada pergelangan tangan, terbelenggu dan karena rantai itu dikaitkan pada besi pengait yang dipasang di dinding di atas kepala mereka, maka mereka berempat terpaksa mengangkat kedua lengan mereka di kanan kiri dan dalam keadaan seperti itu sukar sekali bagi mereka untuk mencoba melarikan diri atau mempergunakan kekerasan. Mereka dibelenggu pada dinding itu berjajar.
Paling kanan adalah Pusporini, di sebelah kirinya Joko Pramono,. Kemudian Setyaningsih dan paling kiri adalah Pangeran Panji Sigit. Ketika mereka berempat itu siuman dari pingsan, mereka mendapatkan diri mereka telah berada di dalam kamar tahanan ini. Pangeran Panji Sigit menoleh ke kanan, terkejut melihat Joko Pramono juga terbelenggu di sebelah kanan isterinya bersama Pusporini, mereka berpandangan mata dan pangeran itu berkata dengan suara dingin dan tajam melebihi pedang habis diasah,
"Joko Pramono, setelah engkau berhasil memikat burung, mengapa tidak memelihara dan menjaga burung itu baik-baik akan tetapi membiarkannya celaka dan terancam maut?"
Tentu saja Joko Pramono tahu apa makna ucapan ini, akan tetapi ia sudah maklum betapa pangeran ini, seperti halnya Pusporini, juga menjadi korban tipu muslihat keji dan curang dari Suminten, maka dengan sikap sabar dan bibir tersenyum ia menjawab,
"Kakangmas Pangeran, burung itu suci, tidak terpikat dan juga tidak pernah kupikat, melainkan sedang gelisah mencari pasangannya yang terkurung dan aku bersama Pusporini hanya membantunya untuk berusaha menolong pasangannya..."
"Joko Pramono! Sungguhpun rayuanmu berhasil menjatuhkan hati isteri orang, jangan harap akan dapat menjatuhkan hatiku, setelah mataku sendiri menyaksikan semua yang terjadi. Aku tidak mendendam, aku rela menyerahkannya kepadamu, rela mengalah kalau memang dia cinta kepadamu, aku... aku..."
"Kakangmas Pangeran!" Terdengar Setyaningsih menjerit lirih di sampingnya, sedangkan Pusporini berbisik kepada Joko Pramono, "Kau maafkanlah dia seperti engkau memaafkan aku, Joko." Joko Pramono tersenyum dan memandang ke depan.
"Tidak ada yang dimaafkan, Rini, karena memang seperti engkau juga, dia tidak bersalah. Melainkan si iblis betina itulah yang bersalah."
"Rakanda Pangeran, jangan menuduh yang bukan-bukan terhadap Joko Pramono. Dia telah mengerahkan seluruh daya dan tenaganya untuk menolong kita, bahkan rela mempertaruhkan nyawa untuk kita. Dia bersama Pusporini sekarang ikut pula tertawan, untuk siapa lagi kalau bukan untuk membela kita? Paduka telah khilaf, terjebak menjadi korban tipu muslihat keji yang juga mengorbankan Pusporini. Tahukah paduka, bahwa karena kesalahfahaman yang sama seperti paduka, Pusporini hampir saja membunuh Joko Pramono yang tidak berdosa?"
Dengan singkat namun jelas Setyaningsih lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi di dalam taman, kemudian tentang pertemuan mereka dengan Ki Wiraman dan Widawati, tentang Ki Mitra yang mereka percaya itu sesungguhnya Ki Mitra palsu, mata-mata yang sengaja dipergunakan oleh Suminten untuk memalsu Ki Mitra yang telah dibunuh.
Pangeran Panji Sigit mendengarkan dengan mata terbelalak, mukanya menjadi berubah-ubah, sebentar merah sebentar pucat. Apalagi ketika ia mendengar penjelasan dari Pusporini kemudian dari Joko Pramono, tak tertahankan olehnya lagl dua titik air mata membasahi pelupuk matanya ketika ia memandang kepada Joko Pramono.
"Dimas... Dimas Joko Pramono... maukah andika mengampuni aku yang seperti buta mata ini?" katanya dengan suara menggetar saking terharu. Joko Pramono tersenyum lebar.
"Kakangmas Pangeran, paduka tidak bersalah apa-apa, bahkan saya merasa terharu sekali mendengar ucapan dan menyaksikan sikap paduka tadi. Sungguh sikap yang bijaksana dan saya sendiri tak mungkin dapat bersikap sebijaksana paduka andaikata saya yang tertipu seperti paduka. Sekarang tidak perlu kiranya persoalan itu dibicarakan karena sudah jelas bahwa kita semua menjadi korban tipu muslihat keji wanita iblis itu dan bahwa semenjak kita berempat menjejakkan kaki di kota raja ini, kita telah berada dalam cengkeraman mereka, sudah diawasi seluruh gerak-gerik kita. Sekarang kita tertawan, jalan satu-satunya hanya dapat menyerahkan diri dalam tangan Dewata sambil bersikap waspada akan gerak-gerik mereka selanjutnya."
"Andika hebat dan mengagumkan sekali, Dimas. Apa pun yang terjadi, aku tidak menyerah terhadap bujukan Suminten yang berusaha menarik kita menjadi sekutunya. Daripada mengkhianati Kanjeng Rama, lebih baik aku tewas di tangan iblis betina itu."
"Tepat sekali, Kakanda. Saya pun rela tewas di samping Kakanda sebagai dharma bakti kita terhadap Kanjeng Rama Prabu dan terhadap kerajaan paduka, Jenggala," kata Setyaningsih.
"Kita lihat saja apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh wanita iblis itu terhadap kita," kata Joko Pramono.
Dan apa yang dilakukan selanjutnya oleh Suminten segera dihadapi oleh empat orang muda itu. Suminten adalah seorang wanita yang kukuh dalam mengejar hasrat hatinya. Ia masih tergila-gila kepada Pangeran Panji Sigit, dan takkan puaslah hatinya kalau hasrat itu belum terpenuhi. Daya upaya dengan muslihat yang betapa rendah dan keji sekali pun akan ditempuhnya untuk mencapai cita-cita hatinya. Tidak sampai lama setelah mereka berempat sadar, pintu kamar tawanan yang kokoh kuat itu terbuka dan tampaklah Suminten yang dikawal oleh enam orang pengawal bersenjata tombak.
"Kalian menanti dan menjaga di luar!" kata Suminten dengan suaranya yang serak basah mengandung penuh getaran nafsu berahi.
Enam orang pengawal yang muda-muda dan kelihatan gagah dan kuat itu membungkuk dengan hormat dan menjaga di luar pintu, sedang Suminten lalu melangkah masuk dan menutupkan daun pintunya. Ia melangkah maju dan berdiri dalam jarak yang cukup aman, sejauh dua meter sehingga andaikata empat orang tawanan itu yang hanya dapat menggunakan kaki menyerangnya takkan dapat mencapai tubuhnya. Ia tersenyum manis sekali, lalu menggeleng kepalanya dan berkata,
"Sungguh sayang sekali bahwa empat orang muda belia yang gagah perkasa, wanitanya cantik-cantik dan prianya tampan-tampan akhirnya harus mengakhiri hidup dalam keadaan begini menyedihkan. Aku sendiri ikut terharu dan bersedih, akan tetapi apakah yang dapat kulakukan setelah kalian berempat menjadi pemberontak-pemberontak yang membahayakan Kerajaan Jenggala?"
"Suminten, wanita iblis yang kelak menjadi intip neraka jahanam!" Pangeran Panji Sigit memaki penuh kemarahan karena ia teringat betapa wanita itu telah mengatur tipu muslihat keji sehingga ia sampai kehilangan kepercayaan akan kesetiaan isterinya, bahkan telah menjatuhkan tuduhan rendah terhadap Joko Pramono. "Tak perlu memutar lidahmu yang seperti lidah ular bercabang! Kami tidak akan mendengarkan dan kalau kau hendak membunuh kami, lakukanlah, kami adalah orang-orang berjiwa satria yang tidak gentar menghadapi kematian!"
"Duh Pangeran yang bagus seperti Harjuna, yang gagah perkasa seperti Gatutkaca, betapa gagah beraninya engkau. Suminten takkan pernah meragukan kegagahanmu, Pangeran. Akan tetapi kau lihatlah baik-baik keadaan isterimu, keadaan Joko Pramono dan Pusporini. Tidakkah engkau merasa kasihan kepada mereka bertiga ini, Pangeran? Mengapa engkau begini kukuh mempertahankan kegagahan dan kekesatriaan sendiri tanpa mengingat akan kehidupan mereka bertiga ini? Engkau menyerahlah dan menjadi pengeran terhormat di sini, menghentikan permusuhanmu denganku dan aku berjanji akan membebaskan mereka bertiga ini. Tidakkah ini amat murah hati dariku? Tiga orang yang kauhormati dan kaukasihi ini kubebaskan dan sebagai tebusannya, engkau bersekutu dengan aku, meraih kebahagiaan bergelimang kesenangan di sini sebagai seorang pangeran... ah, tidak, sebagai pangeran mahkota di sini!"
Hebat dan muluk bukan main bujuk rayu ini sehingga hati Setyaningsih menjadi amat khawatir, akan tetapi karena ia percaya penuh kepada suaminya, ia tidak berkata sesuatu, hanya memandang Suminten dengan sinar mata penuh kebencian. Memang sejenak Pangeran Panji Sigit termenung dan memikirkan penawaran ini. Ia tidak berpikir demi keselamatan dan kepentingan dirinya sendiri. Sama sekali tidak! Jauh daripada itu. Yang dipikirkan sekarang adalah kemungkinan membebaskan tiga orang muda itu, terutama sekali isterinya, Setyaningsih! Kalau ia berpura-pura menurut dan menyerah, kemudian isterinya Joko Pramono dan Pusporini sudah dibebaskan, bukankah dia dapat memberontak sampai terbunuh mati?
Pusporini mengangguk, Memang sebaiknya demikian. Merurut apa yang mereka dengarkan dalam percakapan antara tiga orang tokoh sakti tadi, tempat tahanan ini dipasangi alat-alat rahasia yang amat berbahaya. Jika mereka semua masuk, sekali terjebak, mereka semua akan celaka. Kalau hanya seorang, andaikata terjadi sesuatu, yang berada di luar dapat saja sewaktu-waktu menolong. Sebaliknya, jika ada bahaya yang datangnya dari luar, dia dapat menyambutnya untuk melindungi Joko Pramono yang bertugas di dalam. Akan tetapi Setyaningsih membantah,
"Saya akan ikut masuk mencari Kakangmas Pangeran..."
"Harap Ayunda suka menjaga saja di luar bersama Pusporini," kata Joko Pramono.
"Bergerak seorang diri di dalam akan lebih leluasa, pula kita belum tahu bahaya apa yang mengancam di dalam."
"Betul, Ayunda. Tugasnya sudah amat berat, dan dia harus dapat menemukan dan membebaskan Rakanda Pangeran. Kita sudah mendengar tadi akan percakapan mereka. Di dalam banyak terdapat alat-alat rahasia yang berbahaya. Pula, keadaan. di luar sini tidak kurang pentingnya. Kalau ada musuh-musuh sakti menyerbu, Ayunda dapat membantuku menghadapi mereka."
Setyaningsih terdesak dan terpaksa menyerah sungguhpun hatinya sudah ingin sekali bertemu dengan suaminya yang tercinta. Setyaningsih tidak membantah lagi, mulailah Joko Pramono memasuki bangunan besar yang dijadikan tempat tahanan itu.
Dengan tenaga saktinya, mudah saja Joko Pramono mendorong pintu gerbang terbuka dan ia merasa lega ketika melihat empat orang penjaga menggeletak di balik pintu gerbang dalam keadaan pulas. Untuk mencegah kalau-kalau ada musuh datang dari luar dan melihat pintu gerbang terbuka, ia menutupkan lagi daun pintu gerbang sehingga kini Setyaningsih dan Pusporini yang berada dl luar tidak dapat melihatnya, lagi. Joko Pramono melangkah maju terus dengan hati-hati sekali, matanya memandang ke depan dan kanan-kiri.
Untung baginya bahwa bangunan itu cukup terang mendapat cahaya lampu-lampu gantung yang cukup banyak di tempat itu, Pintu ke dua merupakan pintu dari baja, akan tetapi ketika ia mendorongnya, ternyata pintu itu tidak terpalang hanya ditutupkan saja, maka mudah terbuka. Ketika ia melihat para penjaga malang-melintang tidur pulas di bawah pengaruh aji penyirepannya tadi. Banyak sekali penjaga di sebelah dalam ini, ada belasan orang.
Di antara mereka terdapat seorang kakek tinggi besar yang bersandar dinding, suara dengkurnya keras seperti macan menggereng. Joko Pramono maklum bahwa penjaga yang seorang ini bukanlah sembarang penjaga, tentu setidak-tidaknya kepala penjaga. Tubuh penjaga ini kuat sekali tampaknya, bahkan menyeramkan. Akan tetapi karena penjaga ini pun pulas, la tidak memperhatikannya lagi dan melangkah maju terus.
Di depan terdapat ruangan yang luas, lantainya dari papan tebal. Ia berlaku hati-hati, tidak segera meloncat maju, melainkan mencoba lantai papan itu dengan cara menekan-nekannya dengan sebelah kakinya. Ia khawatir kalau-kalau lantai itu dapat bergerak. Akan tetapi lantai itu kokoh kuat dan Joko Pramono melangkah terus, matanya mencari-cari bagian mana kiranya yang akan dimasukinya untuk mencari Pangeran Panji Sigit. la telah tiba di tengah-tengah ruangan itu.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa di sebelah belakangnya dan ketika secepat kilat ia membalikkan tubuh, kiranya penjaga yang tinggi besar seperti raksasa itu telah berdiri di depannya! Kini tampak jelas betapa penjaga yang tua ini tubuhnya benar-benar mengejutkan, seperti raksasa. Telinganya dihias anting-anting dan tangan kanannya memegang sebuah senjata nenggala, tombak kecil yang runcing kedua ujungnya, dipegang di tengah-tengah. Melihat keadaan kakek ini, terkejutlah hati Joko Pramono karena ia segera mengenalnya. Inilah Ki Kolohangkoro! Pernah ia bersama Pusporini menghadapi kakek ini dan Ni Dewi Nilamanik, bahkan akhirnya dia ditawan Ni Dewi Nilamanik sedangkan Pusporini ditawan kakek ini. Untung dia dan Pusporini tertolong oleh guru mereka, Resi Mahesapati!
"Ah, kiranya andika menjadi seorang di antara tikus-tikus yang menggerogoti Kerajaan Jenggala, Ki Kolohangkoro!"
Joko Pramono berkata tenang dan ia bersiap-siap dengan penuh kewaspadaan karena maklum bahwa lawan ini bukanlah seorang yang lemah.
"Ha-ha-ha-ha! Engkau Joko Pramono? Apakah yang engkau andalkan maka berani memasuki sarang harimau? Hendak membebaskan Pangeran Panji Sigit? Ha-ha-ha, jangan mimpi, orang muda. Lebih baik menyerah sebelum nenggalaku yang sudah lama tidak mencium darah ini menggelogok darahmu!"
"Manusia raksasa seperti engkau berhati iblis! Jangan mengira akan mudah mengalahkan Joko Pramono seperti lima tahun yang lalu. Sambutlah ini!" Joko Pramono cepat menerjang maju dengan pukulan kepalan kanannya. Dahsyat sekali gerakannya akan tetapi sambil tertawa Ki Kolohangkoro menggerakkan nenggalanya menyambut terjangan pemuda itu dengan terjangan balasan, yaitu ia menusukkan nenggalanya ke arah dada Joko Pramono.
"Plakk!" Dengan gerakan indah, Joko Pramono sudah membuka kepalannya tadi, merubah pukulan menjadi gerakan tangan terbuka melingkar dari kiri ke kanan, diputar sedemikian rupa sehingga ia berhasil menangkap pergelangan tangan lawan yang memegang nenggala itu dari samping. Sedetik dua tenaga raksasa bertemu, saling betot, dan tiba-tiba Joko Pramono berseru keras dan menyendal tangan lawan itu dengan gentakan kuat sekali sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuh raksasa itu kehilangan keseimbangan, kuda-kudanya tergempur dan tubuhnya terbanting ke kanan.
Hal ini amat mengejutkan hati Ki Kolohangkoro. Hampir ia tidak percaya bahwa pemuda yang lima tahun lalu masih amat lemah dan hanya memiliki kepandaian yang tidak ada artinya, kini dapat memiliki tenaga sakti yang sedemikian kuatnya sehingga hampir-hampir ia tidak kuat menahan nenggalanya. Untung ia masih dapat mempertahankan senjatanya itu sehingga tidak terampas biarpun tubuhnya hampir terbanting roboh.
"Babo-babo, kiranya engkau telah memperoleh kemajuan yang lumayan. Makanlah senjataku!" Raksasa itu menerjang lagi, kini lebih hebat dengan memutar pergelangan tangannya sehingga nenggala itu berputar seperti kitiran, mendatangkan angin dan mengeluarkan suara berdesing. Hebat memang Ki Kolohangkoro yang memiliki tenaga gajah, sedangkan senjata nenggala di tangannya itu pun merupakan sebuah nenggala yang amat ampuh.
Akan tetapi Joko Pramono sekarang sama sekali berbeda dengan Joko Pramono lima tahun yang lalu. Setelah mendapatkan gemblengan dari Resi Mahesapati yang sakti mandraguna, kedigdayaannya menjadi berlipat ganda dan kini menghadapi tendangan Ki Kolohangkoro itu, ia dapat melihat dengan jelas gerakan lawan sehingga dapat dengan mudah pula mengelak ke kiri, secepat kilat kakinya menyambar dari samping ke arah lambung lawan.
Andaikata tadi Ki Kolohangkoro belum merasakan betapa kuatnya pemuda ini tentu dengan memandang rendah ia berani menerima tendangannya itu karena ia dapat mengandalkan kekebalannya yang akan melindungi lambungnya. Akan tetapi ia tahu bahwa tendangan pemuda sekuat itu tenaga saktinya, apalagi yang ditujukan ke arah lambung, amatlah berbahaya.
Maka ia lalu memutar pergelangan tangan, membuat nenggala yang luput sasaran tadi membalik ke kanan untuk memapaki kaki lawannya dengan senjatanya yang ampuh ini. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat perkembangan selanjutnya. Ternyata kaki itu tidak dilanjutkan menendang lambung, melainkan meluncur ke bawah dan menendang ke arah lututnya!
Ki Kolohangkoro berusaha untuk meloncat agar terhindar dari tendangan yang dapat membuat sambungan lututnya terlepas itu, akan tetapi masih kurang cepat sehingga kakinya masih tercium tendangan lawan, mengenai betisnya sehingga kuda-kudanya tergempur dan ia roboh terguling! Biarpun merasa amat kaget, namun Ki Kolohangkoro adalah seorang yang sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran, maka ia cepat menggerakkan tubuhnya bergulingan sehingga Joko Pramono yang sudah datang menerjang dengan tendangan susulan itu tidak berhasil.
Cepat sekali Ki Kolohangkoro bergulingan lalu meloncat dan menghilang melalui sebuah pintu ruangan itu. Joko Pramono yang ingin mencari di mana adanya kamar tahanan Pangeran Panji Sigit, cepat meloncat pula mengejar. Dia berada di ruangan lain yang dindingnya berwarna hijau, akan tetapi tidak melihat bayangan Ki Kolohangkoro yang telah lenyap entah lari ke mana. Dengan hati-hati ia melangkahkan kakinya maju ke ruangan hijau yang kosong itu, siap menjaga kalau-kalau ada serangan lawan atau kalau-kalau ada jebakan rahasia. Ruangan itu kosong dan sunyi. Hanya terdapat sebuah pintu kecil di sebelah kanan ruangan. Karena itu, tentu dari pintu itulah larinya Ki Kolohangkoro.
Joko Pramono menghampiri pintu, tidak sembrono melainkan dengan hati-hati sekali ia mendorong daun pintu sambil menyelinap untuk menjaga kalau-kalau ada senjata rahasia menyambutnya. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan kini daun pintu terbuka lebar, selebar mata Joko Pramono yang memandang terbelalak ke dalam ruangan ke tiga ini. Ruangan di balik pintu itu berwarna merah muda dan di ujungnya terdapat sebuah pembaringan di mana tampak Pangeran Panji Sigit rebah terlentang tak bergerak, entah tidur ataukah pingsan.
Dan di pinggir pembaringan, membelakanginya, duduk bersimpuh seorang wanita yang mengelus-elus rambut kepala pangeran itu dengan jari-jari tangan mesra. Dari belakang tampak bahwa wanita itu adalah Suminten. Melihat ini, bangkit kemarahan Joko Pramono. Wanita iblis itulah yang menjadi biang keladi semua peristiwa yang terjadi. Wanita itulah yang mengatur siasat mengadu domba sehingga hampir saja Pusporini membunuhnya. Kebetulan sekali ia mendapatkan wanita itu di situ. Ia dapat membebaskan Pangeran Panji Sigit dan sekalian menangkap wanita itu. Ia dapat menangkap Suminten. Kalau wanita ini ditangkap dan diseret ke Panjalu, tentu akan hancur persekutuan jahat yang mencengkeram Jenggala.
"Perempuan iblis!" bentaknya dan tubuhnya sudah meloncat ke dalam ruangan itu, siap untuk menangkap Suminten. Ia maklum bahwa yang terpenting menawan wanita ini karena hal itu akan dapat dipergunakan untuk perisai dan untuk memaksa kaki tangan Suminten memberi kebebasan kepada Pangeran Panji Sigit.
"Wirrrr... tar-tar... hi-hihik!" Joko Pramono mengeluarkan suara tertahan dan cepat sekali membalikkan tubuh berjungkir balik menghindar diri dari sambaran pengebut lalat berwarna merah yang digerakkan oleh wanita itu yang kini telah membalikkan tubuh.
Ia terluput dari serangan maut dan kini berdiri di tengah ruangan, memandang wanita yang disangkanya Suminten itu, akan tetapi yang ternyata adalah Ni Dewi Nilamanik yang dahulu pernah menawannya! Yang disangkanya Suminten adalah wanita iblis itu yang agaknya sengaja menyamar sebagai Suminten dan karena wanita yang usianya sudah empat puluh tahun lebih ini memang masih cantik dan bertubuh ramping, maka dari belakang tidak jauh bedanya dengan Suminten.
"Ah, kiranya andika juga berada di sini? Kalau begitu lengkaplah sudah. Jenggala, tepat di dalam istananya, dijadikan sarang sekumpulan iblis bertubuh manusia!" Joko Pramono berseru marah.
"Hi-hi-hik, bocah bagus, engkau terlalu sombong!"
"Ha-ha-ha, kematian sudah di depan mata!" Terdengar suara Ki Kolohangkoro dari belakangnya.
Joko Pramono cepat membalik dan ternyata raksasa itu kini sudah berdiri di ambang pintu di belakangnya. Joko Pramono tidak menjadi gentar menghadapi dua orang musuh lama ini. Ia hanya cemas melihat keadaan Pangeran Panji Sigit yang rebah tak bergerak, agaknya pingsan karena pangeran itu sama sekali tidak terganggu oleh keributan di situ. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah menegang dan siap untuk mengadu kesaktian melawan dua orang manusia iblis itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berderit keras di atas kepalanya. Karena mengira bahwa tentu ada alat rahasia yang akan menyambarnya dari atas, Joko Pramono memandang ke atas dan sebagian besar perhatiannya tertuju ke langit-langit ruangan itu. Dan memang inilah yang dikehendaki oleh ahli pembuat alat rahasia di tempat tahanan istana Jenggala itu.
Begitu orang mengarahkan perhatiannya ke atas, tentu saja perhatiannya ke bawah berkurang dan tiba-tiba lantai yang diinjak Joko Pramono terkuak ke bawah! Pemuda itu terkejut sekali, namun terlambat. Tubuhnya sudah meluncur ke bawah dan lantai yang tadi terkuak ke bawah, itu telah menutup kembali diiringi suara tertawa Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik. Joko Pramono maklum bahwa la telah terjebak.
Akan tetapi sebagai seorang satria perkasa, ia pantang menyerah terhadap keadaan. Ia mengerahkan hawa saktinya sehingga biarpun tubuhnya meluncur ke bawah, namun ia masih menguasai dirinya dan tidak akan terbanting ke dasar sumur itu. Begitu kakinya menyentuh lantai, tubuhnya sudah bergerak seperti per sehingga daya luncuran tertahan dan sekali meloncat ia telah mematahkan daya luncuran tadi.
Ia berdiri di tengah ruangan di bawah tanah itu dan memaksa matanya untuk menembus kegelapan di situ. Akan tetapi keadaan gelap pekat, tidak tampak sesuatu sehingga akhirnya Joko Pramono terpaksa harus menggunakan kaki tangannya untuk meraba-raba. Kiranya ia telah terkurung oleh dinding yang kuat dan yang bentuknya bundar. Tidak ada pintu maupun jendelanya, sedangkan ketika ia menengadah, lantai jebakan yang kini menjadi langit-langit itu tidak tampak, hanya gelap dan hitam saja yang membayang di matanya.
Betapapun juga, Joko Pramono tidak menjadi putus asa menghadapi kenyataan bahwa dirinya benar-benar terancam bahaya maut ini. Ia melakukan hal yang terpenting, yaitu duduk bersila di tengah-tengah ruangan gelap itu untuk mengumpulkan tenaga sakti dan menenangkan pikirannya. Ia maklum bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya harus diterima dalam keadaan tenang dan wajar, karena hanya ketenangan jiwanya sajalah yang akan mampu membuat ia kuat menghadapi segala kepahitan dan kemudian mengatasinya dengan langkah-langkah yang tepat. Teringatlah pemuda ini kepada sebuah di antara wejangan-wejangan Resi Mahesapati yang pada saat itu terngiang di telinganya.
"Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, yang menimpa dirimu, adalah sesuai dengan hukum yang ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu, kita harus dapat menerimanya sebagai suatu kewajaran dan bersandarkan kesabaran dan ketenangan, kita harus berani memandang ke depan. Segala macam peristiwa yang menimpa diri kita, apabila sudah dikehendaki demikian oleh Sang Jagad Nata (Pengatur Dunia) takkan dapat dihindarkan oleh manusia, betapapun saktinya manusia itu. Maka, jalan satu-satunya bagi manusia mahluk lemah ini hanyalah bersandar kepada Hyang Widi Wisesa dengan penuh ketulusan hati, dengan penuh pasrah namun tidak melepaskan segala ikhtiar yang menjadi kewajiban manusia yang telah diberi perlengkapan sempurna untuk kewajiban itu."
Joko Pramono tekun mengheningkan cipta dan ia menanti datangnya kesempatan baik untuk menolong dirinya sendiri. Dia tidak takut, tidak gentar karena dia telah menyandarkan dirinya kepada kekuasaan Dewa, sehingga andaikata kematian akan menjemputnya sekalipun, ia tidak merasa gentar karena maklum bahwa semua itu sudah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa.
Tiba-tiba terdengar bunyi seperti desis ular. Joko Pramono bangkit berdiri, bersikap tenang waspada, bersiap-siap menghadapi hal yang seburuknya, tenaga sakti telah menjalar ke arah kedua lengannya. Akan tetapi tiba-tiba ia terbatuk karena mencium bau yang amat harum namun menyengat hidung, dan tahulah ia bahwa pihak lawan telah menyerangnya dengan asap yang entah masuk di ruangan itu dari mana. la menahan napas, lalu menggerak-gerakkan kedua lengannya untuk mengusir asap harum menyengat hidung itu.
Asap yang masuk berwarna putih dan menjadi buyar terkena sambaran angin pukulan Joko Pramono. Akan tetapi asap masuk makin banyak dan makin tebal, sedangkan Joko Pramono, biarpun telah menjadi pemuda sakti, namun tak mungkin dapat menahan napas selamanya. Akhirnya ia tersedak, terengah dan cepat ia duduk bersila, menghentikan perlawanan dan mengosongkan pikiran, siap untuk menerima datangnya maut yang tak dapat ia hindarkan lagi.
Sungguh patut dikagumi Joko Pramono ini, biarpun masih amat muda akan tetapi sudah dapat menghadapi bahaya maut dengan sikap yang tenang, bahkan dapat mengatur diri sehingga andaikata ia mati, pikiran dan hatinya kosong, sikap yang amat sempurna.
Sementara itu, Pusporini dan Setyaningsih yang menjaga di luar bangunan tempat tahanan itu menjadi gelisah. Menanti adalah pekerjaan yang amat sukar dan berat. Apalagi menanti seperti mereka lakukan itu, menanti Joko Pramono yang memasuki tempat tahanan, yang mereka tahu amat berbahaya. Sukar ditentukan siapa yang lebih gelisah antara kedua orang wanita muda cantik itu, karena Setyaningsih cemas memikirkan suaminya, sedangkan Pusporini tentu saja gelisah memikirkan keselamatan kekasihnya yang memasuki "gua iblis" seorang diri. Setelah lewat satu jam lebih belum juga Joko Pramono kembali, dan keadaan tetap sunyi senyap, Setyaningsih tak dapat lagi menahan kegelisahan hatinya.
"Pusporini, mari kita masuk menyusul Dimas Joko Pramono, mencari Kakangmas Pangeran," kata Setyaningsih dengan suara perlahan.
Pusporini mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. "Tidak baik kalau kita pun pergi menyusulnya, Ayunda. Bukankah tadi Joko Pramono sudah meninggalkan pesan agar kita berdua menanti dan menjaga di sini?"
"Ah, sudah begini lama dia pergi dan masih juga belum ada tanda-tanda dia kembali. Sampai kapan kita menanti di sini, adikku? Tepatkah kalau kita membiarkan dia menempuh bahaya untuk menolong Kakangmas Pangeran seorang diri? Bagaimana kalau Adimas Joko Pramono tertangkap pula? Kita harus menyusul, Rini, dan kalau kau tidak mau, biarlah aku pergi sendiri menyusul Joko Pramono dan menolong suamiku."
Pusporini menghela napas panjang. Memang sesungguhnya kekhawatiran hatinya tidak kalah besar, dan jawabannya tadipun hanya untuk menutupi kekhawatirannya, atau untuk menghibur dirinya sendiri saja. Maka is berkata,
"Baiklah, Ayunda. Memang aku pun merasa heran mengapa dia belum juga kembali. Marilah, akan tetapi biar saya jalan di depan dan Ayunda di belakang. Kita harus berhati-hati sekali, Ayunda. Musuh kita terlampau keji dan curang."
"Jangan khawatir, Pusporini. Untuk menolong suamiku, aku siap menghadapi apapun juga."
Kedua orang wanita ini melangkah masuk melalui pintu gerbang yang tadi sudah dibuka Joko Pramono. Mereka berjalan dengan hati-hati, melihat pula para penjaga yang masih tertidur pulas di bawah pengaruh aji penyirepan mereka tadi, dan terus memasuki ruangan depan. Seperti halnya Joko Pramono tadi, mereka pun tiba di dalam ruangan yang berwarna hijau. Hanya bedanya, kalau tadi di sebelah belakang itu terdapat sebuah pintu kecil, kini pintu itu lenyap menjadi dinding rata, dan di sebelah kiri muncul sebuah pintu lain. Pusporini yang berjalan di depan dalam keadaan siap itu memberi tanda kepada ayundanya dan mereka mendorong pintu sebelah kiri itu sehingga terbuka.
"Kakangmas Pangeran...!"
Setyaningsih menjerit lirih dan berlari memasuki kamar itu ketika melihat suaminya duduk bersila di atas sebuah pembaringan di sudut kamar.
"Ayunda, jangan...!" Pusporini berseru.
"Isteriku...jangan masuk..!
Pangeran Panji Sigit juga berseru ketika melihat isterinya dan Pusporini muncul di pintu. Akan tetapi Setyaningsih tidak perduli dan sudah berlari masuk, lalu menubruk suaminya dan mereka berpelukan. Pada saat itu terdengar suara ketawa di belakang Pusporini yang cepat menengok, akan tetapi Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik telah menyerangnya dari belakang menggunakan senjata mereka.
Pusporini cepat meloncat ke belakang, ke dalam kamar itu karena tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri dari serangan senjata nenggala dan kebutan yang ampuh itu. Akan tetapi begitu kedua kakinya menginjak lantai, pintu itu tertutup sendiri dan hanya terdengar suara ketawa Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro di luar pintu.
"Ah, kalian terjebak...!"
Pangeran Panji Sigit berseru cemas. Pusporini menjadi marah sekali. Ia mengerahkan aji kesaktiannya, menyalurkan tenaga sakti ke dalam lengannya, kemudian sambil memekik ia meloncat ke depan menghantam pintu itu.
"Desss!!"
Hebat bukan main hantaman dara perkasa ini sehingga seluruh dinding kamar itu tergetar, akan tetapi daun pintu hijau itu ternyata terbuat daripada baja yang kuat sekali dan tertutup oleh gerakan alat rahasia sehingga hanya tergetar saja dan tidak terpecahkan. Kembali Pusporini menghantam, sampai tiga kali tanpa hasil. Ia menjadi makin marah, bertolak pinggang menghadapi daun pintu lalu membentak,
"Iblis-iblis laknat! Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro, kalau memang kalian orang-orang sakti, bukalah pintu dan mari bertanding melawan Pusporini yang akan menghancurkan kepala kalian dan memecahkan dada kalian!!"
Namun, yang menjawab tantangannya hanyalah asap putih yang masuk melalui dua buah lubang kecil di lantai. Asap itu masuk mengeluarkan suara mendesis seperti ular menyambar dan sebentar saja kamar itu penuh oleh asap yang berbau harum bercampur bau amis yang menyengat hidung.
"Awas asap beracun! Rakanda, Ayunda, bertiarap!" seru Pusporini.
Pangeran Panji Sigit yang merangkul isterinya itu menarik tubuh Setyaningsih dan mereka segera bertiarap di atas lantai, menelungkup. Adapun Pusporini, seperti juga yang dilakukan Joko Pramono tadi, menahan napas dan mengerahkan hawa sakti untuk mengayun-ayun lengannya, mendorong dengan maksud mengusir asap itu keluar dari kamar. Sambaran angin pukulannya membuat asap itu buyar dan bergerak-gerak.
Akan tetapi karena kamar itu agaknya memang tidak diberi lubang, asap yang buyar dan membubung ke atas itu menurun kembali, bersatu dengan asap baru yang keluar terus dari lantai sehingga menjadi tebal memenuhi kamar. Setelah melihat usahanya gagal, Pusporini melirik ke arah Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih, melihat mereka itu telah roboh pingsan sambil berpelukan. Dia menarik napas panjang lalu. duduk bersila dalam keadaan samadhi, seperti yang dilakukan Joko Pramono tadi sehingga tak lama kemudian dia pun menjadi pingsan dalam keadaan duduk bersila!
********************
"Tak-tak, herrr... Hayolah, kerbau goblok, kerbau malas! Plak-plak! Tarr!" Kerbau yang menarik luku di sawah itu tetap mogok dan mendekam di atas lumpur yang begitu sejuk dan nikmat rasanya di bawah terik sinar matahari di siang hari.
"Kerbau tolol, kubunuh engkau!" bentak petani setengah tua itu yang sudah lelah memaki-maki kerbaunya dan kini mulai mencambukinya sekuat tenaga.
Seorang pria muda yang berpakaian serba putih sederhana menghentikan langkahnya menyaksikan peristiwa ini. Ia lalu memutar tubuh menghampiri pinggir sawah dan matanya sayu memandang ke arah kerbau yang digebuki. Pria ini masih muda sekali, usianya paling banyak dua puluh satu tahun, akan tetapi ia memiliki sepasang mata yang selain tajam berpengaruh, juga demikian penuh pengertian seperti yang hanya dimiliki oleh kakek-kakek pendeta yang sudah memiliki ilmu batin yang kuat!
Pakaiannya sederhana sekali, akan tetapi tidak mengurangi ketampanan wajahnya yang berkulit putih halus seperti kulit tubuh wanita. Alisnya yang tebal hitam dan kelihatan garang itu tidak dapat menandingi kelembutan pandang matanya, sedangkan bibirnya seperti yang selalu tersenyum maklum, seperti senyum seorang ayah melihat tingkah laku anaknya yang nakal dan masih kecil.
"Sudah, Paman. Tiada gunanya menyiksa pembantumu dan tiada baiknya menurut hati yang digelapkan nafsu amarah."
Suara pemuda aneh ini demikian penuh ketenangan dan kesabaran, begitu halus dan lemah lembut sehingga laki-laki yang marah dan menggebuki kerbaunya itu menghentikan perbuatannya dan menoleh dengan heran, siap untuk menimpakan kemarahan dan kemendongkolan hatinya kepada orang yang berani mencegah dia menggebuki kerbaunya sendiri.
Akan tetapi begitu bertemu pandang dengan mata pemuda itu, seolah-olah ada tetesan embun dingin yang memadamkan semua api kemarahannya, bahkan membuat dia menjadi malu dan merah mukanya. Akan tetapi, ia hendak membela diri dan mengusir rasa malunya dengan bantahan, sungguhpun kata bantahannya tidak terdorong kemarahan lagi,
"Orang muda, mudah saja maido (mencela). Kerbau ini malas dan bodoh, dia tidak mau menarik luku, habis kalau tidak digebuki apakah harus kutimang-timang?"
Pemuda itu memperlebar senyumnya yang sudah selalu siap di bibir, kemudian ia duduk di atas galengan sawah. "Maaf, Paman. Aku tidak mencela atau maido, hanya ingin mengingatkan Paman bahwa kerbau itu adalah pembantu Paman. Dia mogok bekerja karena lelah dan kurasa bukan hanya hari ini dia membantu Paman meluku sawah. Manusia telah dikurniai akal budi sedangkan kerbau dikurniai tenaga, sehingga dengan akalnya manusia dapat mempergunakan tenaga kerbau untuk membantunya meluku sawah. Padahal, meluku sawah atau bekerja untuk mencari pengisi perut adalah menjadi kewajiban si manusia sendiri.
Setelah dapat mempergunakan akal sehingga kerbau dapat membantu, manusia seharusnya berterima kasih, tidak hanya kepada Sang Hyang Wisesa yang berkahnya begitu melimpah-limpah kepada manusia, juga kepada kerbau yang membantunya. Kerbau mogok bekerja tentu ada sebabnya, mungkin dia lelah, mungkin dia sakit, karena kerbau termasuk binatang, mahluk yang selalu bergerak berdasar kewajaran, tidak seperti manusia yang lebih condong kepalsuan dan tidak wajar. Seperti tidak wajarnya perbuatan Paman menggebuki kerbau yang selalu menjadi pembantu Paman."
Petani itu melongo dan hanya bisa menangkap sedikit saja dari ucapan yang mengandung arti dalam dan sukar itu. "Akan tetapi dia tidak mau menarik luku, berarti membuat pekerjaan terbengkalai, padahal tanah ini perlu dibuka cepat-cepat agar jangan terlambat kalau hujan turun!"
"Sifat manusia memang tidak mengenal budi, berdasar watak ingin senang sendiri, Paman. Kurasa sudah ribuan kali kerbau ini membantu Paman meluku sawah, akan tetapi satu kali saja dia mogok, yang ribuan kali itu tak teringat lagi oleh Paman sehingga Paman tega untuk menyiksanya."
Petani itu kini melepaskan gagang lukunya dan membalikkan tubuh, menghadapi langsung pemuda itu, tidak seperti tadi yang hanya sambil menoleh saja.
"Eh, Kisanak, engkau masih muda akan tetapi bicaramu seperti seorang pendeta saja! Bicara sih mudah, hanya menggoyang lidak menggerakkan bibir, akan tetapi yang menjalankan ini yang sukar. Kalau kerbaunya tidak mau membantu, habis aku harus berbuat bagaimana?"
"Paman keliru. Bicara tidaklah mudah, kalau kita tahu bagaimana harus bicara. Apa yang masuk ke dalam mulut haruslah yang baik dan bersih agar kesehatan kita selalu terjamin. Sebaliknya apa yang keluar dalam mulut pun harus selalu yang baik dan bermanfaat bagi orang lain. Kalau kerbau Paman mogok bekerja karena lelah atau sakit, sebaiknya dia dibiarkan beristirahat dan makan, sedangkan soal pekerjaan dapat Paman lanjutkan dengan cangkul."
Petani itu melototkan matanya. "Orang muda, engkau merasa pintar, ya? Kalau cuma begitu, tak perlu kau nasehati. Tidak urung aku yang disuruh bekerja, sedangkan untuk menyelesaikan sawah ini hanya dengan sebuah pacul, tentu tidak selesai dalam tiga hari!"
"Paman butuh bantuan? Biarlah aku membantumu, Paman." Pemuda itu menyingsingkan lengan baju dan celananya, kemudian turun ke sawah.
"Hemm, andika seorang pemuda yang aneh. Apa maksudmu mencampuri urusan orang lain, mencela dan membantu? Apakah pamrihmu hendak membantuku, orang muda?"
"Pamrih? Perbuatan yang berpamrih bergelimang kepalsuan, Paman. Membantu orang lain didasari pamrih, bukanlah bantuan namanya, melainkan usaha tercapainya pamrih itu sendiri. Bagiku, membantumu bekerja adalah wajar, Paman. Andika membutuhkan bantuan karena kerbaumu mogok, dan aku datang membantu, itu sudah wajar, sudah tepat, seperti tepatnya orang lapar makan dan orang haus minum. Ada pamrih apa lagi?"
Pemuda itu lalu menuntun kerbau yang mogok tadi dan anehnya kerbau itu menurut saja dituntun minggir, tidak seperti tadi, digebuki masih tetap mendekam. Setelah kerbau dan lukunya dibawa ke pinggir, pemuda itu lalu mengambil cangkul dan tanpa banyak cakap lagi mulailah mencangkuli tanah yang belum terluku.
Petani itu memandang dengan mata lebar, lalu menggeleng-geleng kepala tidak mengerti akan sikap pemuda ini, akan tetapi diam-diam girang juga hatinya mendapat seorang pembantu suka rela yang melihat caranya mengayun cangkul boleh diharapkan akan dapat mengejar ketinggalan pekerjaannya karena kerbau mogok tadi. Ia pun lalu menyambar cangkul sebuah lagi dan bekerja tekun seperti lajimnya para petani bekerja di sawah. Kelihatannya biasa saja pemuda itu bekerja, akan tetapi betapa girang dan herannya petani itu ketika melihat bahwa hasil cangkulnya pemuda itu empat lima kali lebih cepat dan banyak daripada hasil pekerjaannya sendiri. Dengan demikian maka dibantu pemuda ini tidaklah lebih lambat daripada kalau dibantu kerbaunya menarik luku!
Lewat tengah hari, seorang gadis ke sawah itu, membawa sebuah bakul berisi nasi bersama sambel wijen dan ikan lele bakar. Bakul itu disunggi di atas kepala, dipegangi tangan kiri sedangkan tangan kanannya mencangking sebuah kendi berisi air.
"Pak, berhenti dulu. Mengaso dan makan!" serunya dengan suara yang renyah melengking.
"Wah, kau sudah datang, Mil Siapkan dua pincuk (pining daun pisang), kami sudah lapar sekali!"
Gadis yang usianya paling banyak tujuh belas tahun, bertubuh ramping padat berkulit hitam manis dengan wajah yang manis sekali itu mengangkat muka memandang ke arah pemuda berkulit putih yang membantu ayahnya. Kebetulan pada saat itu si pemuda juga menengok ke arahnya dan si gadis tersenyum malu-malu, kemudian menjawab,
"Baik, Pak!"
"Hayo mengaso dan makan dulu, Nak."
Pemuda itu mengangguk, melepas cangkulnya dan menghapus peluh di dahi dengan lengannya. Kemudian mereka berdua mencuci tangan dengan air kendi lalu duduk di atas galengan sawah. Pemuda itu mendapat kenyataan betapa gadis petani ini benar-benar manis dan cantik sekali, kecantikan aseli tanpa bantuan bedak dan mangir sehingga ia memandang kagum.
"Paman, anak daramu cantik dan manis sekali!" kata pemuda itu.
Kembali petani itu terbelalak melihat sikap dan ucapan yang blak-blakan dan tulus ini, akan tetapi Bagus Seta sebagai seorang pria yang sudah banyak pengalaman ia tidak melihat adanya pandang mata kurang ajar sehingga kembali ia tertegun. Pemuda ini benar-benar seorang manusia aneh dan tidak lumrah! Akan tetapi pujian yang membuat gadis itu tiba-tiba melengos dan menyembunyikan mukanya yang menjadi merah itu membikin hati kakek petani ini gembira, akan tetapi berbareng juga mengingatkan kakek itu akan kesulitan yang dihadapinya.
"Itulah yang membikin aku tadi menggebuki kerbauku, Nak."
"Pak...! Si Wage kau gebuki? Kenapa?" tiba-tiba gadis itu bertanya sambil memandang bapaknya.
"Dia mogok, mungkin sakit...!"
"Ah, kasihan Si Wage...!" Gadis itu lalu bangkit berdiri dan berlari menghampiri kerbau yang kini makan rumput di pinggir sawah. Ketika berlari, tubuh ramping padat itu mendatangkan pemandangan yang amat mempesonakan.
"Paman, apakah artinya ucapanmu tadi?" tanya si pemuda sambil mengepal nasi dicocol sambel dan ditemani secuwil daging ikan lele panggang, lalu memasukkannya ke mulut.
Petani itu mengunyah nasi yang memenuhi mulutnya dan menelan dengan anggukan kepala, kelihatan nikmat sekali. Memang sesungguhnyalah bahwa kenikmatan makan seorang petani yang telah bekerja keras dan lelah di bawah terik panas matahari biarpun hanya nasi dengan sambal, mengatasi kenikmatan makan seorang raja yang menghadapi hidangan puluhan macam banyaknya!
"Memang demikian, Nak. Sutarmi anakku itu amat cantik, kembangnya dusun ini, dan kecantikannya itulah yang memaksa aku tadi naik darah menggebuki kerbauku. Soalnya Kepala dusun menjatuhkan pajak yang amat besar berupa hasil sawahku, lebih setengahnya diharuskan untuk disetorkan kepadanya. Karena tahun-tahun yang lalu hasil sawahku kurang baik dan mendiang isteriku pada waktu itu sakit-sakit saja sehingga mengeluarkan banyak biaya, maka aku jadi berhutang banyak pajak. Akhir-akhir ini, melihat kecantikan anakku, ketua dusun menyatakan bahwa kalau panen depan ini aku tidak dapat melunasi hutang, jalan satu-satunya agar gusti patih, yaitu yang menguasai daerah pertanian di sini, tidak marah, aku harus menyerahkan Sutarmi kepada kepala dusun untuk dipersembahkan kepada gusti patih. Katanya untuk dijadikan abdi dalem, akan tetapi aku sudah tua dan sudah banyak mendengar bahwa..." Petani itu menunda kata-katanya dan celingukan ke kanan kiri.
"Bahwa bagaimana, Paman?"
"Bahwa gusti patih paling gemar akan gadis-gadis muda yang cantik, untuk diselir tentunya," kakek itu berbisik. "Demikianlah, aku harus bekerja keras agar panen depan dapat melunasi hutang atau akan menjadi korbanlah anakku karena kecantikannya. Ketika Si Wage mogok, aku menjadi marah tadi..."
Pemuda itu mengangguk-angguk. "Ahh, tepatlah pendapat orang-orang pandai di jaman dahulu bahwa setiap hal yang mendatangkan kesenangan, pasti dapat pula mendatangkan kesusahan, seperti halnya engkau mempunyai seorang anak gadis cantik, Paman. Di samping mendatangkan kesenangan dan kebanggaan, sekarang ternyata mendatangkan kesusahan dan kesulitan. Akan tetapi, tidak ada hal yang tak dapat diatasi dengan akal budi. Paman."
"Akal budi bagaimana? Satu-satunya jalan harus membayar hutang..."
Kakek itu menghela napas dan melanjutkan makannya. Gadis hitam manis itu, Sutarmi, kini kembali ke situ setelah tadi mengelus-elus leher dan kepala Si Wage.
"Pak, lain kali jangan menggebugi Si Wage, kasihan!" katanya merengut.
"Memang, Mi seharusnya engkaulah yang kugebuki karena kecantikanmu. Kalau saja engkau tidak secantik ini tentu tidak akan terpilih sebagai abdi dalem gusti patih," ayahnya mengomel.
"Ah, Bapak kembali membingungkan hal itu. Sudah kukatakan bahwa panen depan ini kita pasti akan dapat melunasi pajak. Kalau tidak pun, aku akan bekerja keras di kepatihan, tidak akan mengecewakan Bapak. Pula, apa sih jeleknya menjadi abdi dalem kepatihan, Pak?"
Ayahnya menggeleng-geleng kepala. "Aahhh, engkau tidak tahu... engkau tidak tahu dan kalau sudah tahu akan terlambat. Lebih baik engkau bermuka buruk akan tetapi terhindar daripada malapetaka..."
"Paman, kurasa kalau Paman hanya menghendaki adik ini menjadi buruk mukanya, mudah sekali."
"Apa kau bilang? Apa maksudmu?" tanya petani itu menghentikan cucuran air kendi yang tengah digelogoknya.
"Aku mempunyai semacam obat yang akan membuat muka adik Sutarmi menjadi belang-belang dan hitam-hitam sehingga ketua dusun akan jijik melihatnya..."
"Aku tidak mau! Aku tidak mau mukaku menjadi menjijikkan!" Sutamni berkata dan memandang wajah pemuda tampan itu dengan marah. Pemuda itu tersenyum.
"Bukan menjadi buruk seterusnya, Dik. Melainkan buruk dan belang-belang menghitam karena obatku dan untuk menghindarkan Adik daripada incaran ketua dusun. Kalau bahaya telah lewat, dengan obat lain wajah Adik akan menjadi bersih dan halus kembali."
"Ehh...? Betulkah?"
Ayah dan anak itu memandang pemuda itu penuh keheranan, juga penuh harapan.
"Paman dan Adik Sutarmi membutuhkan jalan keluar untuk menghindarkan hal yang tidak kalian sukai dan aku dapat memberi jalan itu, tentu saja aku tidak berbohong. Aku akan membuat muka Adik Sutarmi menjadi buruk sekali dan Paman dapat mengatakan bahwa dia terkena penyakit. Kutanggung tidak akan ada dukun yang mampu mengobatinya. Kemudian, kalau bahaya sudah lewat, atau sebaiknya kalau Paman dan Adik pindah saja ke daerah lain, dengan obat lain, muka yang menghitam itu akan dapat bersih kembali."
Petani itu berseri wajahnya. "Ah, akal ini bagus sekali! Anak muda yang aneh dan budiman. Lekas kauberikan obat pemunah muka cantik menjadi muka buruk itu!"
"Obatnya ada pada telapak tanganku, Paman. Adapun obat penawarnya, cukup dipupuri tanah sawah. Bolehkah kucoba sekarang?"
"Cobalah... cobalah...!" petani itu mendesak.
Pemuda itu menghampiri Sutarmi yang duduk bersimpuh. "Tengadahkan mukamu dan pejamkan matamu, Dik. Aku akan mengubah kulit mukamu menjadi buruk."
Sejenak mata gadis itu menatap wajah si pemuda, akan tetapi ketika pandang mereka bertemu, gadis itu mendapat perasaan yang aneh, yang membuat ia menaruh kepercayaan besar dan perasaan pasrah. Ia mengangguk, kemudian mengangkat muka dan memejamkan matanya. Akan tetapi hanya sebentar karena ia membuka matanya kembali dan bertanya, "Sakitkah?"
Pemuda itu tersenyum lebar dan menggeleng kepala. Setelah Sutarmi memejamkan matanya kembali, pemuda itu lalu menggunakan tangan kiri untuk memegang dagu kecil meruncing manis itu, dan mengusapkan telapak tangan kanannya di seluruh muka Sutarmi. Terdengar napas tersentak ketika si petani melihat betapa muka anaknya secara mendadak telah berubah hitam!
Kalau hanya hitam saja dan merata, tidak apa. Akan tetapi hitamnya tidak rata, totol-totol sehingga membuat muka itu menjadi buruk sekali. Pemuda itu melangkah mundur dan duduk lagi sambil berkata, "Sudah selesai, Dik."
Sutarmi membuka matanya, memandang pemuda itu yang tersenyum-senyum dan mengira bahwa tentu pemuda itu membohonginya karena ia sama sekali tidak merasakan apa-apa. Akan tetapi ketika ia memandang wajah ayahnya yang melotot matanya dan melongo mulutnya, gadis ini cepat lari mendekati kali kecil di pinggir sawah untuk melihat bayangannya sendiri di air. Ia menjenguk dan... tiba-tiba ia menangis.
"Aku tidak mau begini... hii hiii... aku tidak mau...!"
Kembali ia menjenguk dan memandang ke air dengan air mata bercucuran dan kembali menjerit-jerit dan menangis. Kemudian Sutarmi lalu menggunakan air kali untuk mencuci mukanya, menggosok-gosoknya dengan tangan dan ujung kemben. Ketika ia bercermin lagi di air dan melihat mukanya masih tetap belang-belang hitam, ia lalu mengambil batu dan menggosok-gosok mukanya dengan batu dan mencucinya kembali. Akan tetapi hasilnya tidak ada, mukanya tetap totol-totol hitam dan buruk sekali.
"Aku tidak mau...! Ah, engkau manusia kejam... mengapa membikin mukaku menjadi begini...?"
Dalam kesedihan dan kemarahannya, Sutarmi lalu berlari menghampiri pemuda itu dan menggunakan kedua tangannya hendak memukul dan mencakar.
"Tarmi, jangan!" teriak ayahnya yang maju dan memegangi kedua tangan anaknya.
Sutarmi menangis mengguguk. "Pak, lebih baik aku mati saja... hii-hiii... mukaku menjadi begini buruk menjijikkan...!"
"Jangan khawatir, Dik Tarmi. Sudah kukatakan tadi bahwa segala macam obat atau air tidak akan mampu menghilangkan warna hitam itu, dan segala dukun takkan mampu mengobati. Akan tetapi kalau engkau menghendaki kulit mukamu pulih kembali, kau pupuri dengan tanah sawah, jika Sang Hyang Widhi menghendaki, pasti akan pulih kembali."
Mendengar ini, Sutarmi merenggutkan tangannya terlepas dari ayahnya, lari ke tengah sawah, mengambil lumpur dan memupuri mukanya dengan lumpur sampai rata. Saking tergesa-gesa, matanya kemasukan lumpur dan ia tersandung-sandung ketika lari ke air untuk mencuci mukanya yang penuh lumpur. Sekali saja ia menyiramkan air ke mukanya, warna hitam itu lenyap sama sekali. Tarmi bercermin dan melihat mukanya sudah pulih kembali, ia... menangis lagi saking girangnya!
"Wah-wah, Tarmi. Apakah engkau sudah menjadi gemblung (gila)? Mukamu menjadi hitam menangis, sekarang sudah pulih menangis juga!"
"Berduka mengeluarkan air mata, bersuka juga mengeluarkan air mata. Duka maupun suka bagi air mata memang sama saja, Paman, hanya merupakan permainan hati manusia." Kemudian pemuda itu berkata kepada Tarmi yang sudah berhenti menangis, "Bagaimana, Dik. Sudah percayakah engkau? Apakah sekarang engkau suka membiarkan mukamu kubikin hitam lagi untuk menghindarkan dirimu daripada bahaya dan menghindarkan ayahmu dari kesusahan?"
"Harus kau lakukan, Anakku. Sampai urusan ini beres dan bahaya lewat, kelak mudah saja mengobati mukamu, di mana-mana di dunia ini terdapat tanah sawah!"
Sutarmi memandang pemuda itu, mengangguk sambil tersenyum. Kini ia mengangkat mukanya dengan muka berseri dan memejamkan matanya ketika pemuda itu mengusap mukanya dengan telapak tangan kanan sehingga muka gadis itu kembali menjadi belang-belang menghitam, buruk dan menjijikkan dalam pandangan pria yang matanya bernapsu. Seperti tadi, Sutarmi bercermin di air dan kini ia tertawa geli.
"Paman, dan Dik Tarmi, sekarang perkenankan aku pergi."
Tanpa menanti jawaban pemuda itu menghampiri kerbau dan menepuk-nepuk pundaknya. "Kerbau, bantulah majikanmu. Memang sudah menjadi nasibmu harus membantu manusia, berbahagialah dalam menunaikan kewajibanmu." Ia lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari pinggir sawah, diikuti pandang mata Tarmi dan pandang mata petani itu yang terbelalak keheranan melihat kini kerbaunya bangkit berdiri dan tampak segar bersemangat.
"Nanti dulu, Nak! Perkenalkanlah namamu...!"
Pemuda itu menghentikan langkah, menoleh dan berkata sambil tersenyum, "Namaku Bagus Seta, Paman!"
Ia lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi lagi dengan langkah ringan. Bagus Seta kini telah menjadi seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan mempunyai wibawa yang aneh. Gerak-geriknya halus, sikapnya bersahaya, sama sekali tidak membayangkan kekuatan, akan tetapi sepasang matanya yang jernih itu mengandung pengaruh halus yang akan melemahkan hati orang yang keras, dan akan mendatangkan rasa segan karena seolah-olah pandang mata itu dapat menjenguk di dasar yang paling dalam dari hati orang. Ia baru beberapa pekan turun dari puncak Gunung Bromo, puncak terakhir di mana ia dibawa gurunya, Sang Sakti Bhagawan Ekadenta, setelah selama lima tahun gurunya membawanya ke puncak-puncak gunung hampir di seluruh tanah Jawa. Masih bergema di telinganya pesan gurunya ketika menyuruhnya meninggalkan puncak,
"Kulup Bagus Seta, kini telah tiba saatnya engkau harus turun gunung dan tiba saatnya kita harus saling berpisah. Kiranya tidak perlu lagi kuulangi semua wejangan dan pelajaran yang telah kuberikan kepadamu selama ini. Dan aku pun tidak akan memaksamu melakukan sesuatu karena segala sesuatu yang akan kau lakukan adalah bebas dan terserah atas keputusanmu sendiri, Kulup. Hanya satu hal saja yang kuingin ingatkan kepadamu agar kau camkan di dalam hati sanubarimu."
"Hamba siap mendengarkan petunjuk Eyang dan siap pula melaksanakan segala perintah Eyang," kata Bagus Seta ketika kakek itu berhenti sebentar untuk menghirup udara sejuk bersih puncak Gunung Bromo.
"Ingatlah selalu bahwa tidaklah sia-sia manusia dihidupkan di dunia ini. Hidup adalah perjuangan yang tak kunjung henti, perjuangan manuju ke titik terakhir yang menjadi puncak kesempurnaan. Hidup barulah tidak sia-sia dan berhasil apabila engkau selalu sadar bahwa perjuangan itu adalah pelaksanaan kewajiban. Tanamkan dalam sanubarimu bahwa setiap gerak hidup harus didasari pelaksanaan kewajiban itulah. Apakah kewajiban manusia hidup? Tengoklah di sekelilingmu, Kulup. Pandanglah Sang Surya dan kenalilah sifat-sifatnya, pandanglah bulan dan bintang, awan dan angin, segala macam tetumbuhan dan segala mahluk. Adakah mahluk yang tiada manfaat atau kegunaannya dalam dunia, yaitu kegunaan atau kemanfaatannya bagi benda atau mahluk lain? Kalau toh ada kautemukan benda atau mahluk yang tidak berguna bagi yang lain, hal itu hanya karena engkau belum mengerti akan kegunaannya, masih belum terbuka rahasia alam yang ada pada benda atau mahluk yang kauanggap tidak berguna itu. Semua Benda dan mahluk di dunia ini bermanfaat bagi makhluk dan Benda lain. Dan itulah kewajiban diciptakannya semua alam mayapada dan isinya. BERGUNA BAGI BENDA DAN MAHLUK LAIN. Lebih mudah lagi, bagi manusia kewajibannya adalah berguna bagi manusia lain! Dengan demikian, maka engkau berarti telah hidup sesuai dengan kehendak alam, berarti sudah wajar dan dapat menuju ke titik kesempurnaan itu. Nah, selamat berjuang, Kulup Bagus Seta."
Wejangan-wejangan gurunya masih teringat semua oleh Bagus Seta. Semuda itu ia telah digembleng oleh gurunya dalam hal ilmu-ilmu kesaktian dan wejangan-wejangan kebatinan yang dalam. Semuda itu ia sudah dapat menangkap inti sari wejangan gurunya. Bahwa ia harus memanfaatkan hidupnya bagi kepentingan orang lain, karena inilah kewajibannya, inilah tugas hidup dia sebagai manusia. Adapun apa dan bagaimana pilihannya dalam sepak terjangnya, oleh gurunya diserahkan kepada dirinya sendiri, berarti diserahkan kepadanya untuk menilai dan memilih.
Bagus Seta adalah putera seorang satria. Adipati Tejolaksono, seorang sakti yang berjiwa patriot, yang rela berkorban untuk nusa dan bangsanya. Sifat ini, sifat ayahnya, ibunya, bahkan sifat nenek-neneknya yang juga semua berjiwa patriot, membekas di dalam sanubarinya.
Karena itu, ada juga niatnya untuk menghambakan diri kepada nusa dan bangsanya, menentang kekuasaan-kekuasaan yang hendak menyengsarakan nusa bangsanya. Pertemuannya dengan petani yang menyinggung soal watak Ki Patih Jenggala, yang sewenang-wenang dan suka sekali mempermainkan anak gadis orang, membangkitkan pula semangat patriotiknya ini.
Dia harus meninjau ke Jenggala sebelum ia mencari ayah bundanya. Harus meninjau Jenggala karena keadaan paman tadi mencerminkan kelaliman yang berkuasa di kerajaan itu. Dan Jenggala termasuk kerajaan yang harus pula dibelanya, karena Jenggala adalah kerajaan keturunan Mataram.
Pertemuannya dengan petani ayah Sutarmi itulah yang menggerakkan hati Bagus Seta sehingga menggerakkan pula kakinya untuk membelok menuju Kerajaan Jenggala. Di sepanjang perjalanan, makin dekat dengan Kota Raja Jenggala, makin banyaklah mendengar keluh-kesah rakyat akan kelaliman para pamong praja Jenggala.
Bukan ini raja yang menarik hatinya, melainkan kenyataan bahwa kini rakyat setengah dipaksa oleh para pamong praja untuk mengganti Agama Wishnu menjadi Agama Syiwa dan Agama Buddha. Bahkan ada didengarnya berita bahwa para pendeta Wishnu banyak yang lenyap secara aneh, dan bahwa sebagian kecil sisa pendeta-pendeta Wishnu kini terpaksa melarikan diri dan bersembunyi ke gunung-gunung yang sunyi.
********************
Kita tinggalkan dulu Bagus Seta untuk menjenguk keadaan di dalam tempat tahanan di istana Jenggala. Di dalam sebuah ruangan tahanan yang berbentuk persegi dan terbuat daripada dinding batu-batu tebal tampak empat orang muda terbelenggu dengan rantai-rantai baja yang amat tebal dan kuat.
Kedua lengan mereka, pada pergelangan tangan, terbelenggu dan karena rantai itu dikaitkan pada besi pengait yang dipasang di dinding di atas kepala mereka, maka mereka berempat terpaksa mengangkat kedua lengan mereka di kanan kiri dan dalam keadaan seperti itu sukar sekali bagi mereka untuk mencoba melarikan diri atau mempergunakan kekerasan. Mereka dibelenggu pada dinding itu berjajar.
Paling kanan adalah Pusporini, di sebelah kirinya Joko Pramono,. Kemudian Setyaningsih dan paling kiri adalah Pangeran Panji Sigit. Ketika mereka berempat itu siuman dari pingsan, mereka mendapatkan diri mereka telah berada di dalam kamar tahanan ini. Pangeran Panji Sigit menoleh ke kanan, terkejut melihat Joko Pramono juga terbelenggu di sebelah kanan isterinya bersama Pusporini, mereka berpandangan mata dan pangeran itu berkata dengan suara dingin dan tajam melebihi pedang habis diasah,
"Joko Pramono, setelah engkau berhasil memikat burung, mengapa tidak memelihara dan menjaga burung itu baik-baik akan tetapi membiarkannya celaka dan terancam maut?"
Tentu saja Joko Pramono tahu apa makna ucapan ini, akan tetapi ia sudah maklum betapa pangeran ini, seperti halnya Pusporini, juga menjadi korban tipu muslihat keji dan curang dari Suminten, maka dengan sikap sabar dan bibir tersenyum ia menjawab,
"Kakangmas Pangeran, burung itu suci, tidak terpikat dan juga tidak pernah kupikat, melainkan sedang gelisah mencari pasangannya yang terkurung dan aku bersama Pusporini hanya membantunya untuk berusaha menolong pasangannya..."
"Joko Pramono! Sungguhpun rayuanmu berhasil menjatuhkan hati isteri orang, jangan harap akan dapat menjatuhkan hatiku, setelah mataku sendiri menyaksikan semua yang terjadi. Aku tidak mendendam, aku rela menyerahkannya kepadamu, rela mengalah kalau memang dia cinta kepadamu, aku... aku..."
"Kakangmas Pangeran!" Terdengar Setyaningsih menjerit lirih di sampingnya, sedangkan Pusporini berbisik kepada Joko Pramono, "Kau maafkanlah dia seperti engkau memaafkan aku, Joko." Joko Pramono tersenyum dan memandang ke depan.
"Tidak ada yang dimaafkan, Rini, karena memang seperti engkau juga, dia tidak bersalah. Melainkan si iblis betina itulah yang bersalah."
"Rakanda Pangeran, jangan menuduh yang bukan-bukan terhadap Joko Pramono. Dia telah mengerahkan seluruh daya dan tenaganya untuk menolong kita, bahkan rela mempertaruhkan nyawa untuk kita. Dia bersama Pusporini sekarang ikut pula tertawan, untuk siapa lagi kalau bukan untuk membela kita? Paduka telah khilaf, terjebak menjadi korban tipu muslihat keji yang juga mengorbankan Pusporini. Tahukah paduka, bahwa karena kesalahfahaman yang sama seperti paduka, Pusporini hampir saja membunuh Joko Pramono yang tidak berdosa?"
Dengan singkat namun jelas Setyaningsih lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi di dalam taman, kemudian tentang pertemuan mereka dengan Ki Wiraman dan Widawati, tentang Ki Mitra yang mereka percaya itu sesungguhnya Ki Mitra palsu, mata-mata yang sengaja dipergunakan oleh Suminten untuk memalsu Ki Mitra yang telah dibunuh.
Pangeran Panji Sigit mendengarkan dengan mata terbelalak, mukanya menjadi berubah-ubah, sebentar merah sebentar pucat. Apalagi ketika ia mendengar penjelasan dari Pusporini kemudian dari Joko Pramono, tak tertahankan olehnya lagl dua titik air mata membasahi pelupuk matanya ketika ia memandang kepada Joko Pramono.
"Dimas... Dimas Joko Pramono... maukah andika mengampuni aku yang seperti buta mata ini?" katanya dengan suara menggetar saking terharu. Joko Pramono tersenyum lebar.
"Kakangmas Pangeran, paduka tidak bersalah apa-apa, bahkan saya merasa terharu sekali mendengar ucapan dan menyaksikan sikap paduka tadi. Sungguh sikap yang bijaksana dan saya sendiri tak mungkin dapat bersikap sebijaksana paduka andaikata saya yang tertipu seperti paduka. Sekarang tidak perlu kiranya persoalan itu dibicarakan karena sudah jelas bahwa kita semua menjadi korban tipu muslihat keji wanita iblis itu dan bahwa semenjak kita berempat menjejakkan kaki di kota raja ini, kita telah berada dalam cengkeraman mereka, sudah diawasi seluruh gerak-gerik kita. Sekarang kita tertawan, jalan satu-satunya hanya dapat menyerahkan diri dalam tangan Dewata sambil bersikap waspada akan gerak-gerik mereka selanjutnya."
"Andika hebat dan mengagumkan sekali, Dimas. Apa pun yang terjadi, aku tidak menyerah terhadap bujukan Suminten yang berusaha menarik kita menjadi sekutunya. Daripada mengkhianati Kanjeng Rama, lebih baik aku tewas di tangan iblis betina itu."
"Tepat sekali, Kakanda. Saya pun rela tewas di samping Kakanda sebagai dharma bakti kita terhadap Kanjeng Rama Prabu dan terhadap kerajaan paduka, Jenggala," kata Setyaningsih.
"Kita lihat saja apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh wanita iblis itu terhadap kita," kata Joko Pramono.
Dan apa yang dilakukan selanjutnya oleh Suminten segera dihadapi oleh empat orang muda itu. Suminten adalah seorang wanita yang kukuh dalam mengejar hasrat hatinya. Ia masih tergila-gila kepada Pangeran Panji Sigit, dan takkan puaslah hatinya kalau hasrat itu belum terpenuhi. Daya upaya dengan muslihat yang betapa rendah dan keji sekali pun akan ditempuhnya untuk mencapai cita-cita hatinya. Tidak sampai lama setelah mereka berempat sadar, pintu kamar tawanan yang kokoh kuat itu terbuka dan tampaklah Suminten yang dikawal oleh enam orang pengawal bersenjata tombak.
"Kalian menanti dan menjaga di luar!" kata Suminten dengan suaranya yang serak basah mengandung penuh getaran nafsu berahi.
Enam orang pengawal yang muda-muda dan kelihatan gagah dan kuat itu membungkuk dengan hormat dan menjaga di luar pintu, sedang Suminten lalu melangkah masuk dan menutupkan daun pintunya. Ia melangkah maju dan berdiri dalam jarak yang cukup aman, sejauh dua meter sehingga andaikata empat orang tawanan itu yang hanya dapat menggunakan kaki menyerangnya takkan dapat mencapai tubuhnya. Ia tersenyum manis sekali, lalu menggeleng kepalanya dan berkata,
"Sungguh sayang sekali bahwa empat orang muda belia yang gagah perkasa, wanitanya cantik-cantik dan prianya tampan-tampan akhirnya harus mengakhiri hidup dalam keadaan begini menyedihkan. Aku sendiri ikut terharu dan bersedih, akan tetapi apakah yang dapat kulakukan setelah kalian berempat menjadi pemberontak-pemberontak yang membahayakan Kerajaan Jenggala?"
"Suminten, wanita iblis yang kelak menjadi intip neraka jahanam!" Pangeran Panji Sigit memaki penuh kemarahan karena ia teringat betapa wanita itu telah mengatur tipu muslihat keji sehingga ia sampai kehilangan kepercayaan akan kesetiaan isterinya, bahkan telah menjatuhkan tuduhan rendah terhadap Joko Pramono. "Tak perlu memutar lidahmu yang seperti lidah ular bercabang! Kami tidak akan mendengarkan dan kalau kau hendak membunuh kami, lakukanlah, kami adalah orang-orang berjiwa satria yang tidak gentar menghadapi kematian!"
"Duh Pangeran yang bagus seperti Harjuna, yang gagah perkasa seperti Gatutkaca, betapa gagah beraninya engkau. Suminten takkan pernah meragukan kegagahanmu, Pangeran. Akan tetapi kau lihatlah baik-baik keadaan isterimu, keadaan Joko Pramono dan Pusporini. Tidakkah engkau merasa kasihan kepada mereka bertiga ini, Pangeran? Mengapa engkau begini kukuh mempertahankan kegagahan dan kekesatriaan sendiri tanpa mengingat akan kehidupan mereka bertiga ini? Engkau menyerahlah dan menjadi pengeran terhormat di sini, menghentikan permusuhanmu denganku dan aku berjanji akan membebaskan mereka bertiga ini. Tidakkah ini amat murah hati dariku? Tiga orang yang kauhormati dan kaukasihi ini kubebaskan dan sebagai tebusannya, engkau bersekutu dengan aku, meraih kebahagiaan bergelimang kesenangan di sini sebagai seorang pangeran... ah, tidak, sebagai pangeran mahkota di sini!"
Hebat dan muluk bukan main bujuk rayu ini sehingga hati Setyaningsih menjadi amat khawatir, akan tetapi karena ia percaya penuh kepada suaminya, ia tidak berkata sesuatu, hanya memandang Suminten dengan sinar mata penuh kebencian. Memang sejenak Pangeran Panji Sigit termenung dan memikirkan penawaran ini. Ia tidak berpikir demi keselamatan dan kepentingan dirinya sendiri. Sama sekali tidak! Jauh daripada itu. Yang dipikirkan sekarang adalah kemungkinan membebaskan tiga orang muda itu, terutama sekali isterinya, Setyaningsih! Kalau ia berpura-pura menurut dan menyerah, kemudian isterinya Joko Pramono dan Pusporini sudah dibebaskan, bukankah dia dapat memberontak sampai terbunuh mati?