Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 41
BETAPAPUN juga, Joko Pramono dan Pusporini yang menang angin ini andaikata dapat merobohkan masing-masing lawannya, masih dinanti oleh lawan yang lebih berat lagi, yaitu pengeroyokan beratus-ratus orang pengawal!
Keadaan keluarga sakti itu benar terhimpit. Mereka berada di tengah-tengah kepungan ribuan orang pengawal, dan di situ selain Wasi Bagaspati, Ki Kolohangkoro yang melawan secara terang-terangan dibantu orang-orang yang bergerak seperti arca hidup tak kenal lelah dan tak kenal takut, juga masih terdapat orang-orang seperti Warutama yang mengatur barisan secara sembunyi. Memang benar ucapan Wasi Bagaspati tadi bahwa pintu gerbang itu merupakan pintu gerbang maut bagi kedelapan anggota keluarga sakti, karena mereka dapat masuk akan tetapi akan sukar sekali untuk dapat keluar.
"Huah-ha-ha-ha, Bagus Seta, sampai berapa lama keluargamu akan dapat bertahan? Dapat membunuh semua pengawal yang ribuan orang banyaknya? Dan di luar masih ada lebih banyak lagi, ha-ha-ha!" Wasi Bagaspati tertawa-tawa dan pertandingan antara dia dan Bagus Seta masih terjadi dengan serunya. Karena gerakan mereka berdua ini didorong oleh kekuatan gaib dari ilmu batin, maka pertandingan ini merupakan pertandingan yang amat aneh.
Kadang-kadang mereka berdua berkelebat lenyap berubah menjadi sinar merah dan putih pakaian mereka, kadang-kadang hanya berdiri tegak dan saling pandang mengadu kekuatan sihir yang keluar dari pandang mata, atau hanya melakukan gerakan-gerakan mendorong dari jarak jauh untuk mengadu tenaga sakti mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan pintu gerbang depan ambrol disusul masuknya barisan Panjalu bersama rakyat yang sama besar jumlahnya, rakyat Jenggala yang sepanjang jalan makin lama makin bertambah banyak menggabung pada barisan Panjalu yang hendak membebaskan mereka daripada belenggu penindasan mereka yang berkuasa di Jenggala pada waktu itu.
Masuknya barisan ini disertai sorak-sorai gegap-gempita seolah-olah menjawab ucapan yang keluar dari mulut Wasi Bagaspati tadi. Ternyata barisan yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Darmokusumo itu telah melihat tanda panah api yang dilepas Endang Patibroto ketika keluarga sakti itu terancam bahaya.
Wasi Bagaspati terkejut sekali dan tak terasa ia mundur-mundur dengan mata terbelalak. Tiba-tiba terdengar raung yang mengejutkan, seperti suitan harimau marah, dan mendengar ini, Wasi Bagaspati terkejut dan cepat menengok. Wajahnya yang merah itu kini agak berubah ketika ia melihat pembantunya yang amat diandalkan, yaitu Ki Kolohangkoro, sedang berkutetan dengan maut yang hendak merenggut nyawanya melalui senjata nenggala yang menancap di perut Ki Kolohangkoro sendiri, menancap sampai tampak sedikit ujungnya di belakang perut !
Ternyata bahwa akhirnya kesaktian Joko Pramono terlalu berat bagi Ki Kolohangkoro. Kakek penyembah Bathoro Kolo ini selalu terdesak dan lebih banyak mengelak dan menangkis daripada menyerang. Bahkan beberapa kali pukulan ampuh dari tangan Joko Pramono telah mengenal tubuhnya dan hanya kekebalannya yang luar biasa kuatnya sajalah yang menjaga sehingga Ki Kolohangkoro tidak roboh.
Ketika mendengar ambruknya pintu gerbang dan sorak-sorainya tentara Panjalu yang menyerbu ke dalam, Ki Kolohangkoro terkejut sekali. ia menengok dan wajahnya berubah pucat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Joko Pramono untuk menerjang dengan pukulan Cantuka Sakti yang amat hebat dan mengenai dada Ki Kolohangkoro. Dada yang bidang itu tidak pecah akan tetapi tubuh si kakek raksasa terjengkang ke belakang.
Joko Pramono menubruk maju, akan tetapi disambut dari bawah oleh tusukan senjata nenggala di tangan Ki Kolohangkoro. Joko Pramono cukup waspada, mengerakkan tubuhnya miring sehingga nenggala itu lewat di dekat pinggangnya. Secepat kilat ia menangkap pergelangan tangan lawan dan dengan gerakan tiba-tiba membalikkan senjata nenggala dan mendorongnya ke perut Ki Kolohangkoro!
Joko Pramono meloncat ke belakang dan Ki Kolohangkoro mengeluarkan suara meraung keras, berusaha mencabut nenggalanya, bangkit terhuyung-huyung, menggunakan kedua tangannya memegang nenggala, mencabut sambil mengerahkan tenaga. Nenggala dapat tercabut, darah muncrat keluar didahului ususnya, matanya terbelalak, kedua tangannya yang berlumuran darah mengangkat nenggala tinggi-tinggi di atas kepala lalu ia menubruk maju menyerang Joko Pramono dengan dahsyatnya! Joko Pramono mengelak dengan lompatan ke kiri dan tubuh kakek raksasa itu terjungkal ke depan dan roboh, berkelojotan sebentar lalu terdiam.
Melihat tewasnya Ki Kolohangkoro, sedangkan Ni Dewi Nilamanik juga terdesak sedangkan para perajurit Panjalu sudah mengamuk, Wasi Bagaspati meloncat ke atas dan melayang ke arah Ni Dewi Nilamanik sambil berseru, "Dewi, kita pergi....!"
Ni Dewi Nilamanik menggerakkan lengan kirinya dan asap hitam mengebul, menyambar ke arah Pusporini. Gadis perkasa ini cepat melompat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan Ni Dewi untuk meloncat jauh, mengikuti Wasi Bagaspati yang hendak melarikan diri.
"Kejar....!!" Tejolaksono berseru keras dan berlombalah keluarga sakti itu melakukan pengejaran.
Bagus Seta hendak berseru mencegah, namun terlambat karena semua keluarganya sudah mengejar, maka ia pun lalu menggerakkan kaki meluncur ke depan ikut melakukan pengejaran pula. Tangan kiri Wasi Bagaspati menggandeng tangan Ni Dewi Nilamanik ketika berlari ia menengok dan tertawa ketika melihat keluarga sakti mengejarnya. Tangan kanannya bergerak dan jari-jari tangannya terbuka.
"Awas senjata rahasia....!" Bagus Seta berseru dari belakang.
Keluarga sakti terkejut dan benar saja dari tangan Wasi Bagaspati itu menyambar sinar berwarna hijau dan bagaikan hujan datangnya benda-benda kecil menyerang mereka dengan kecepatan yang luar biasa sekali. Tejolaksono dan keluarganya cepat menggerakkan tangan mengibas sambil berlompatan menghindar, bahkan dari jauh Bagus Seta sudah mendorongkan tangannya sehingga sebagian besar sinar hijau itu runtuh ke pinggir, akan tetapi karena cepat dan kuatnya benda-benda kecil hijau itu menyambar maka beberapa orang di antara mereka terkena senjata rahasia bersinar hijau itu.
Pangeran Panji Sigit terkena pipinya, Ayu Candra terkena pada bahunya, Pusporini terkena pundaknya, dan Setyaningsih juga terkena senjata rahasla pada lengannya. Akan tetapi mereka menjadi lega ketika melihat bahwa senjata-senjata rahasia bersinar hijau itu hanyalah duri-duri berwarna hijau seperti duri kembang mawar, dan hanya menancap setengahnya sehingga ketika dicabut, hanya menimbulkan luka kecil yang mengeluarkan setetes darah saja dan tidak terasa apa-apa.
"Untung tidak berbahaya. Kita harus lekas menyerbu ke dalam istanal" kata Tejolaksono.
"Harus kutangkap Sindupati manusia jahanam!" kata Endang Patibroto.
"Aku akan membekuk batang leher Suminten siluman betina itu!" kata Pusporini.
"Saya harap Kakangmas Patih suka lebih dulu menyelamatkan kanjeng rama...." Pangeran Panji Sigit berkata.
Mendengar ini, semua orang baru sadar dan ingat bahwa mereka melupakan hal yang terpenting.
"Ah, benar sekali. Kita harus menyelamatkan gusti sinuwun," kata Tejolaksono. "Bagus Seta dan aku sendiri akan menemani Pangeran Panji Sigit menyelamatkan gusti sinuwun. Yang lain membantu rakanda Pangeran Darmokusumo melakukan pembersihan! Ingat, kurangi pembunuhan terhadap perajurit Jenggala. Musuh kita hanyalah kaki tangan penjahat-penjahat itu!"
"Marilah Rakanda Patih....!" kata Pangeran Panji Sigit yang merasa gelisah mengingat akan keselamatan ramandanya yang dikabarkan sakit keras itu.
Tejolaksono dan Bagus Seta lalu bergerak mengikuti Panji Sigit dan berlari menuju ke istana. Perang telah terjadi merata di seluruh kota raja. Hal ini tadi sesuai dengan siasat Pangeran Darmokusumo yang lebih dahulu telah menyelundupkan beberapa orang ke dalam kota raja, menguasai pintu gerbang dan membagi tentaranya menjadi beberapa kelompok sehingga mereka dapat menyerbu ke dalam kota raja melalui beberapa pintu gerbang. Tentara Panjalu yang dibantu oleh rakyat Jenggala sendiri telah menyusup ke dalam sehingga di depan istana itu sendiri telah terjadi pertempuran. Namun Pangeran Panji Sigit tidak memperdulikan pertempuran itu, terus saja berlari memasuki istana.
Beberapa pengawal yang masih setia kepada Suminten dan Pangeran Kukutan menyambut mereka dengan tombak di tangan, namun dengan mudah Tejolaksono merobohkan mereka. Pangeran Panji Sigit yang sudah hafal akan keadaan di istana ini, bergagas lari menuju kamar tidur ramandanya.
Pintu berukiran indah dari kamar tidur itu tertutup. Pintu yang tebal dan indah, berukuran besar. Pangeran Panji Sigit mengetuk daun pintu. Tidak ada jawaban dan tidak ada suara dari dalam, sunyi sekali. Amat mengherankan karena selamanya kamar Ini pasti dijaga pengawal dan di sebelah dalam ada abdi dalem yang melayani segala keperluan yang dibutuhkan sri baginda. Pangeran Panji Sigit mendorong daun pintu, akan tetapi tak dapat dibuka.
"Dikunci dari dalam...." katanya cemas.
"Dalam keadaan seperti ini, tidak ada pilihan lain. Kita paksa saja pintu ini terbuka. Bagaimana pendapatmu, Bagus?"
"Harap Ramanda membiarkan saya membuka pintu ini. Mungkin sekali di sebelah dalam ada sesuatu yang berbahaya dan tidak tersangka-sangka."
Ki Patih Tejolaksono mengangguk dan melangkah mundur, bersama Pangeran Panji Sigit berdiri di belakang Bagus Seta. Tejolaksono sudah maklum bahwa puteranya amat sakti, akan tetapi sekali ini ia ingin melihat dengan aji pukulan apa puteranya hendak memaksa daun pintu terbuka. Ia melihat tangan kiri Bagus Seta, sebuah tangan yang berkulit halus dan lembut, seperti tangan Ayu Candra, bergerak mendorong perlahan, seperti tidak bertenaga. Akan tetapi terdengar suara keras di sebelah dalam kamar di balik pintu itu, seolah-olah palang pintu patah-patah dan daun pintu bergerak terbuka dengan cepat sekali.
"Celaka !!"
Tejolaksono dan Pangeran Panji Sigit berteriak dengan hati penuh kengerian. Kiranya daun pintu itu adanya terbuka sedemikian cepatnya karena dipasangi tambang yang mengikat daun pintu, terus ke atas balok melintang di bawah atap dan ujung tambang itu mengikat sebuah batu sebesar kerbau yang tadinya tergantung di atas pembaringan di mana sang prabu yang sudah tua itu tampak berbaring dan tidur pulas. Tentu saja jika pintu itu dibuka dengan paksa dari luar, palangnya patah, daun pintu itu terbuka dan karena tarikan batu yang tidak ada penahannya dan meluncur ke bawah, daun pintu terbuka cepat sekali, sama cepatnya dengan batu sebesar kerbau yang kini jatuh menimpa sang prabu, hanya tinggal beberapa jengkal lagi sehingga seorang sakti seperti Tejolaksono sekali pun hanya dapat berteriak dan tak berdaya menolong.
Akan tetapi Bagus Seta sudah menggerakkan lengan kanannya didorongkan ke depan dan batu sebesar kerbau itu terhenti di udara, hanya dua jengkal di atas tubuh sang prabu! Melihat ini, cepat Tejolaksono melompat maju dan mendorong batu besar itu dengan kedua tangannya sehingga batu itu kemudian jatuh menimpa meja yang menjadi hancur berkeping-keping!
"Kanjeng Rama....!" Pangeran Panji Sigit lalu menubruk ramandanya, sedangkan Bagus Seta melangkah maju, menyembah lalu mengusap wajah sri baginda yang tua keriputan dan pucat itu.
Terdengar sri baginda raja mengeluh dan membuka matanya. Ketika melihat Panji Sigit, wajah raja tua itu berseri, lalu bangkit dan memeluk kepala puteranya yang sesungguhnya amat disayangnya itu.
"Duh para Dewata yang Maha Murah.... terima kasih bahwa engkau masih hidup dalam keadaan sehat, puteraku, Sigit...!"
"Kanjeng Rama, hamba mendengar berita bahwa paduka gering...."
"Ahhh, sakit parah sekali, Puteraku. Sakit jiwa.... bukan raga yang sudah tua ini.... eh, siapakah satria ini? Seperti pernah aku melihatnya....." Sri baginda memandang kepada Tejolaksono yang berlutut.
"Hamba Tejolaksono, gusti."
"Wah benar! Tejolaksono yang gagah perkasa! Sekarang patih dalam di Panjalu, bukan? Dan.... pemuda ini.... pemuda luar biasa.... begitu lembut pandang matanya, siapakah andika, wahai bocah bagus?"
"Hamba Bagus Seta, putera kanjeng rama Tejolaksono."
"Ah, kalian semua datang terlambat. Aku pun sadar setelah terlambat.... aduh, Puteraku, betapa besar dosa-dosaku, betapa ringkih batinku. Ahhh, kini terlambat sudah segalanya, kerajaan ini telah berada dalam cengkeraman mereka...."
"Hamba sudah mengetahui semua itu, Kanjeng Rama. Hamba sudah tahu akan persekutuan jahat antara Suminten, Pangeran Kukutan dan Patih Warutama...."
"Bukan itu saja, Puteraku. Melainkan orang-orang sakti dari Cola.... ahhh, betapa kejinya bersekutu dengan musuh negara.... dan aku.... aku tak berdaya lagi, setelah aku dipisahkan dengan semua orang yang setia kepadaku...."
"Hamba juga sudah tahu akan hal itu, Kanjeng Rama. Dan berkat pertolongan satria-satria perkasa seperti rakanda patih dan puteranya inilah maka kerajaan Paduka Kanjeng Rama tertolong...."
"Apa? Bagaimana kalian dapat masuk ke sini dan.... dan.... batu itu.... ah, aku tahu mereka memasang batu itu di atasku sehingga kalau ada yang memaksa membuka pintu, aku.... aku...."
"Harap Paduka suka menenangkan hati, Sinuwun. Kini bahaya sudah lewat bagi keselamatan Paduka," Bagus Seta berkata, suaranya halus dan ramah, mengandung pengaruh menenangkan hati yang mujijat.
"Andika benar, Bagus Seta, dan terima kasih atas bantuan kalian. Akan tetapi, bagaimana....? Mereka telah mencengkeram kerajaan ini, tidak hanya di istana, juga di luar istana, di seluruh kerajaan, ponggawa-ponggawa diganti, pengawal-pengawal diganti...."
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai di luar dan sang prabu bangkit berdiri. "Apakah itu? Jangan-jangan mereka datang menyerbu. Puteraku, lekas kau bersembunyi, lekas keluar dari kamar ini. Aku tidak ingin melihat karena kelalimanku engkaupun menjadi korban. Tejolaksono, tolonglah selamatkan puteraku keluar dari sini....!"
Pangeran Pinji Sigit bangkit berdiri dan menggandeng tangan ramandanya sambil berkata, "Harap paduka jangan khawatir, Kanjeng Rama. Suara itu adalah suara kemenangan dari barisan Panjalu yang membantu kita, yang menghalau dan membasmi oknum-oknum jahat yang mencengkeram Jenggala. Marilah, mari kita sama menyaksikannya, Kanjeng Rama." Pangeran itu menuntun ramandanya keluar dari kamar, dan terus keluar menuju ke ruangan depan istana.
"Barisan Panjalu? Sampai menyerang untuk menolongku? Aduh, kasihan rakyatku.... perang selalu berarti penderitaan bagi rakyat jelata....!!"
"Akan tetapi perang sekali ini bahkan akan membebaskan mereka daripada penderitaan, Kanjeng Rama. Selama ini mereka tertindas dan diperas oleh para pengacau yang kini sedang kita basmi."
Sang prabu yang sudah tua itu melihat pertempuran besar, hatinya penuh keprihatinan dan ia minta kepada Pangeran Panji Sigit untuk membawanya ke panggung depan istana di mana ia dapat melihat pertempuran yang terjadi di alun-alun.
"Berhenti....! Semua kawulaku yang masih setia kepadaku. Berhenti dan jangan melawan pasukan-pasukan Panjalu....!!" Sang prabu berteriak-teriak, tetapi teriakannya hilang ditelan suara perang yang amat gaduh.
"Gusti Sinuwun, bolehkan hamba mewakili Paduka menghentikan mereka?" Bagus Seta bertanya halus.
Sri baginda mengangguk penuh harapan karena hatinya terasa perih sekali menyaksikan betapa kawulanya sendiri, rakyat Jenggala, membantu barisan Panjalu dan membunuhi perajurit-perajurit Jenggala sendiri! Bagus Seta lalu berdiri di dekat raja dan terdengar suaranya, biasa saja seperti orang bicara, tidak berteriak-teriak dan jelas terdengar mengandung wibawa,
"Saudara sekalian yang sedang bertempur, hentikanlah pertempuran dan lihatlah ke sini, gusti sinuwun telah berkenan keluar dan hendak bicara kepada Andika sekalian. Barisan Panjalu diminta menghentikan pertempuran pula!"
Sri baginda sendiri bersangsi apakah suara pemuda ini akan dapat terdengar oleh mereka yang sedang bertempur. Suaranya sendiri yang ia teriakkan keras-keras tadi hilang ditelan kegaduhan, apalagi suara pemuda ini yang hanya perlahan saja. Mana mungkin terdengar oleh semua orang yang sedang bertempur? Akan tetapi, sang prabu melihat keanehan terjadi. Semua orang yang sedang bertanding itu berhenti secara tiba-tiba dan menengok ke arah panggung. Kemudian terdengarlah suara-suara mereka,
"Gusti sinuwun...!"
"Sesungguhnya gusti sinuwun yang hadir!"
"Setelah sekian lamanya! Betapa kurus beliau...!"
Dan berlututlah para rakyat dan perajurit Jenggala menghadap raja mereka yang sudah amat lama tidak pernah keluar dari dalam kamar itu. Kini kelompok manusia di bawah itu terbagi dua. Yang berlutut tentulah rakyat Jenggala, adapun yang tetap berdiri namun tidak lagi menggerakkan senjata adalah perajurit-perajurit Panjalu.
Keadaan menjadi sunyi senyap dan melihat sekian banyaknya orang yang tadi bertempur mati-matian itu kini tidak ada yang bergerak, benar-benar mempesonakan. Tiba-tiba tampak ada beberapa orang bergerak, bahkan berlarian menuju panggung. Mereka itu adalah Pangeran Darmokusumo yang diikuti oleh Endang Patibroto, Ayu Candra, Pusporini, Setyaningsih, dan Joko Pramono. Mereka ini bergegas menaiki panggung dan berlutut menyembah di depan sang prabu yang menerima mereka dengan senyum terharu.
"Ah, puteraku mantu Darmokusumo, untung ada engkau yang membantu. Dan andika, Endang Patibroto.... ah, betapa bertumpuk-tumpuk budi yang telah Andika lakukan untuk Jenggala."
"Mohon beribu ampun, Kanjeng Rama." Pangeran Darmokusumo sebenarnya adalah keponakan Raja Jenggala, akan tetapi karena ia menikah dengan puteri Jenggala yang bernama Maya Galuh, maka pamannya ini menjadi ayah mertuanya dan ia menyebutnya kanjeng rama. "Terpaksa hamba mengerahkan perajurit Panjalu untuk membantu Paduka menghadapi kekuasaan jahat yang mencengkeram Jenggala. Perkenankanlah hamba kini memerintahkan barisan Panjalu untuk menghentikan pertempuran dan keluar dari kota raja agar jangan sampai terjadi kesalahpahaman antara perajurit-perajurit Panjalu dan perajurit-perajurit Jenggala."
"Baik sekali usulmu, Puteraku. Lakukanlah."
Pangeran Darmokusumo menyembah lalu bangkit berdiri dan mengeluarkan perintah dengan suara keras agar semua pasukan Panjalu mengundurkan diri di luar dinding kota raja, menanti perintah lebih lanjut, dan agar membawa teman-temannya yang terluka atau tewas.
Mendengar ini, barisan Panjalu bergerak bagaikan semut, lalu keluar kota raja dengan aman, sementara itu, para perajurit dan rakyat Jenggala tetap berlutut di alun-alun menanti amanat raja mereka yang telah sekian lamanya seolah-olah lenyap itu. Setelah semua pasukan Panjalu mundur dan keadaan sunyi kembali, sri baginda lalu berkata dengan suara lantang,
"Wahai semua kawulaku, dengarlah baik-baik. Selama ini aku, raja kalian yang tua ini, telah tenggelam ke dalam kelalaian, menderita sakit jiwa sehingga mengabaikan urusan pemerintahan dan mengabaikan rakyatku. Kuminta maaf kepada seluruh rakyatku dan syukur kepada Dewata bahwa hari ini aku terbebas daripada keadaan itu. Kerajaan kita untuk beberapa lama dicengkeram kekuasaan jahat sehingga banyak ponggawa setia terhukum mati dan digantikan oleh ponggawa-ponggawa yang sesungguhnya adalah musuh-musuh negara. Karena itu, kuminta kepada mereka yang tadinya terseret atau terpaksa mengabdi kepada kekuasaan jahat itu untuk sadar kembali dan menyatakan kesetiaan kepada kerajaan dengan jalan menghalau atau membasmi mereka yang menjadi kaki tangan kekuasaan jahat yang kelak akan diganti dengan ponggawa-ponggawa setia di antara kalian. Pengangkatan raja baru, mengingat akan usiaku yang telah lanjut, tetap akan diadakan, akan tetapi yang akan menggantikan aku bukanlah si Kukutan yang palsu itu, melainkan puteraku, Pangeran Panji Sigit!"
Sorak-sorai menyambut ucapan sri baginda ini dan terjadilah kegaduhan ketika para perajurit bergerak menangkapi perwira-perwira mereka sendiri yang tadinya diangkat oleh Pangeran Kukutan dan Suminten. Tanpa dikomando lagi mereka itu bergerak dan mengadakan pembersihan di kalangan mereka sendiri.
Sang prabu menghela napas, tidak sampai hati menyaksikan akibat daripada kelemahannya sendiri dan mengajak semua orang yang berada di panggung untuk memasuki istana dan di saat itu juga sang prabu membuka persidangan.
Tak lama kemudian bermunculanlah ponggawa-ponggawa lama yang tadinya terpaksa atau terpikat menjadi kaki tangan kekuasaan baru. Mendengar anjuran sang prabu tadi untuk sadar dan kembali, mereka ini memberanikan diri berturut-turut maju dengan tubuh gemetar dan kedua tangan dirangkapkan seperti serombongan anjing melipat ekornya karena takut digebuk!
Bagus Seta dan Tejolaksono mengajukan permohonan untuk mencari dan menangkap biang keladi semua kekacauan, yaitu Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama. Akan tetapi setelah memperkenankan dan baru saja mereka berdiri, tiba-tiba Pangeran Panji Sigit roboh terguling, disusul robohnya Ayu Candra dan Setyaningsih!
Tiga orang itu roboh dan merintih-rintih di atas lantai, Pangeran Panji Sigit menggaruk-garuk pipinya, Ayu Candra menggaruk-garuk bahunya, dan Setyaningsih menggaruk-garuk lengannya. Keadaan mereka amat aneh karena sambil menggaruk-garuk muka mereka menjadi merah sekali dan mulut mereka yang tadinya merintih-rintih itu kini berbisik-bisik!
"Setyaningsih, kekasihku, isteriku....." Bisik Pangeran Panji Sigit.
"Rakanda Pangeran, pujaanku, junjunganku...." Setyaningsih juga merintih-rintih dan berbisik mesra, kemudian kedua orang itu merangkak menghampiri dan berpelukan, berciuman!
"Kakangmas Tejolaksono.... ah, Kakangmas.... yang tercinta....!" Ayu Candra juga menubruk dan merangkul leher Tejolaksono yang terbelalak keheranan.
Sri baginda memandang semua ini dengan muka merah dan mata melotot. Beginikah tingkah laku puteranya yang baru saja ia umumkan akan dijadikan penggantinya? Akan tetapi Bagus Seta cepat melangkah maju dan tiga kali menepuk ia membuat tiga orang itu mengeluh dan pingsan. Mereka dibaringkan di lantai dan Bagus Seta lalu berkata, setelah mememriksa sejenak,
"Mereka ini terkena racun yang terbawa duri-duri yang dipergunakan Wasi Bagaspati tadi. Racun ini jahat sekali, mula-mula merangsang akan tetapi karena racunnya sudah memasuki jalan darah, kalau tidak cepat tertolong dapat membawa maut. Agaknya hamba harus cepat pergi mencari obatnya untuk memunahkan racun Ular Wilis ini...." Bagus Seta sudah bangkit, akan tetapi tiba-tiba Pusporini dan Joko Pramono berseru hampir berbareng,
"Ular Wilis....??"
Semua orang memandang mereka, dan Pusporini cepat berkata, "Ah, sekarang hamba mengerti mengapa kalau mereka bertiga terpengaruh racun, hamba sendiri yang juga terkena duri itu di pundak hamba, tidak apa-apa! Karena racun Ular Wilis dan karena hamba memakai mustika Ular Wilis, maka selamat!"
Bagus Seta menoleh kepadanya. "Sungguh Dewata adil dan penuh kasih kepada yang benar! Bibi Pusporini mempunyai mustika Ular Wilis?"
Pusporini sudah mengeluarkan mustika ular yang bercahaya hijau itu. Memang semenjak Resi Mahesapati memberikan mustika itu kepadanya, ia mengalungkannya dan tak pernah mustika itu terpisah dari tubuhnya. Bagus Seta menerima mustika itu dan berkata lirih,
"Kehendak Hyang Wisesa selalu terjadilah! Betapa akan kecelik rasa hati Wasi Bagaspati kalau dia mengetahui bahwa di antara kita ada yang mempunyai batu mustika Ular Wilis!" Pemuda sakti ini lalu menggunakan batu mustika ditempelkan sebentar di bagian tubuh ketiga orang yang menjadi korban senjata rahasia itu. Setelah mereka disadarkan kembali, ketiga orang itu menjadi terheran-heran dan bertanya, "Mengapa.... mengapa aku rebah di sini....?"
Tejolaksono lalu menceritakan bahwa mereka menjadi korban racun senjata rahasia Wasi Bagaspati, dan tertolong oleh mustika Ular Wilis. Hati mereka menjadi lega, dan sri baginda yang tadinya marah dan kecewa, setelah tahu duduknya perkara, juga tersenyum kembali dan mengutuk kejahatan Wasi Bagaspati.
Ketika Tejolaksono dan Bagus Seta melakukan penggeledahan dan pemeriksaan, diantar oleh Pangeran Panji Sigit yang mengenal semua tempat di istana, tentu saja mereka tidak menemukan jejak Suminten, Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama.
Kemanakah perginya tiga orang yang merupakan persekutuan yang menjadi biang keladi semua kekacauan itu? Begitu mendengar akan penyerbuan barisan Panjalu, mendengar betapa Ki Kolohangkoro tewas, Ni Dewi Nilamanik dan Wasi Bagaspati melarikan diri, para perwira kaki tangan mereka tewas dan barisan mereka terdesak kocar-kacir, tiga orang itu tentu saja tidak tinggal diam.
Tergesa-gesa mereka itu berunding untuk melarikan diri bersama melalui jalan rahasia dari belakang istana. Warutama bergegas pulang ke kepatihan untuk meninggalkan pesan kepada kedua isterinya. Akan tetapi apakah yang ia dapatkan? Kedua isterinya itu, Wulandari dan Dyah Handini, ibu dan anak, sedang bertengkar ramai! Ucapan terakhir yang didengarnya ketika ia masuk adalah ucapan isterinya yang tua, Wulandari,
"Tahukah engkau siapa dia itu? Dia adalah ayahmu sendiri, ayah kandungmu! Nah, sekarang engkau ketahui manusia macam apa adanya suamimu, suami kita. Dia manusia terkutuk yang telah memperisteri anaknya sendiri! Betapa maluku nanti menghadapi dimas Panji Sigit dan para pangeran lainnya, betapa aku telah terperosok ke lembah kehinaan dengan menjadi barang permainan manusia macam Sindupati! Ya, menjadi benda permainanlah kita berdua ini, Anakku. Ingat saja apa yang biasa ia lakukan kepada kita berdua selama ini. Tak tahu malu! Ahhh, lebih baik aku mati saja....!"
"Ibu....!" Dyah Handini menjerit. "Kalau dia ayahku, mengapa ibu tidak memberi tahu dahulu? Ahh, kalau aku tahu.... hemm, akan kubunuh dia !"
Tiba-tiba daun pintu terbuka dan Warutama atau Sindupati muncul di depan ibu dan anak yang menjadi pucat wajahnya itu. Tak lama kemudian terdengar jerit-jerit mengerikan di dalam kamar itu dan ketika Sindupati keluar dari istana kepatihan membawa benda-benda emas dan intan yang berharga, ia melirik untuk terakhir kalinya kepada dua batang tubuh wanita yang menggeletak tak bernyawa lagi di dalam kamar itu dan ia menyeringai ke arah mayat Wulandari dan Dyah Handini! Kalau saja ia tidak mendengar percakapan mereka, tidak perlu ia membunuh mereka, demikian ia menghibur diri sendiri ketika ia bergegas pergi ke taman sari milik pribadi Suminten untuk berkumpul dengan dua orang rekannya di sana kemudian bersama-sama melarikan diri.
Suminten dan Pangeran Kukutan muncul dengan tergesa-gesa pula. Pangeran Kukutan membawa sebuah buntalan besar dan berat, agaknya penuh dengan benda-benda berharga dan melihat kedua orang itu, Sindupati tertawa. Dia tidaklah seperti Suminten dan Pangeran Kukutan yang kelihatan ketakutan. Dalam keadaan seperti itu, kehilangan kemuliaan dan kemewahan sebagai patih, Sindupati masih mampu tertawa, mentertawakan Suminten dan Pangeran Kukutan yang berpakaian seperti petani-petani biasa!
"Lebih aman memakai pakaian rakyat biasa dalam pelarian," kata Pangeran Kukutan menangkis tertawaan Sindupati ketika mereka mulai berjalan memasuki lorong rahasia yang menembus keluar kota raja tanpa melalui pintu gerbang, melainkan keluar melalui terowongan yang dibuat menembus di bawah pintu gerbang itu.
"Memang kalian amat pantas berpakaian seperti itu," kata Sindupati.
Suminten melerok marah, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ia diam saja hanya mengerutkan alisnya penuh keprihatinan. Diam-diam ia mengutuk Wasi Bagaspati dan kaki tangannya yang ternyata tidak mampu mempertahankan Jenggala, dan diam-diam ia mengutuk Pangeran Kukutan yang begitu tidak sabar untuk cepat-cepat menjadi raja sehingga mereka harus memaksa sang prabu untuk menobatkan Pangeran Kukutan menjadi raja.
Kalau saja tidak terlalu tergesa-gesa dan membiarkan keadaan berjalan seperti biasa, tentu tidak akan memancing datangnya serbuan dari Panjalu. Kalau saja.... kalau.... kalau.... ah, tidak perlu segala penyesalan itu. Yang penting sekarang melarikan diri agar jangan sampai tertangkap. ia ngeri memikirkan kalau sampai dia ditawan oleh Kerajaan Jenggala. Masa depannya tidak terlalu gelap. Pangeran Kukutan adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan dan mencintanya. Dan mereka membawa bekal yang cukup banyak untuk kebutuhan mereka.
Kini mereka telah tiba di luar kota raja. Sunyi di sini karena pertempuran beralih ke dalam kota raja yang masih terdengar dari situ. Hanya mayat-mayat bergelimpangan dan rintihan mereka yang terluka saja yang terdapat di luar dinding kota raja. Suminten bergidik dan mereka melanjutkan perjalanan ke barat. Setelah agak jauh dari kota raja, dan tiba di pinggir persawahan yang juga sunyi karena para penduduknya pergi mengungsi begitu terjadi perang, hati Suminten agak lapang. Tiba-tiba Sindupati berkata, "Berikan buntalan itu kepadaku!"
Ucapan ini terdengar oleh Suminten dan Pangeran Kukutan seperti suara halilintar di tengah hari! Mereka memandang kepada Sindupati atau Warutama dengan wajah pucat dan mata terbelalak. Pangeran Kukutan bertanya kasar dan marah, "Apakah maksudmu dengan ucapan itu?"
"Apa maksudku? Maksudku jelas! Tidak patut seorang petani miskin seperti Andika ini membawa-bawa sebuntal barang-barang berharga milik istana pula. Kesinikan, berikan kepadaku!"
"Jangan main-main, Paman patih....."
"Aku bukan patih lagi dan Andika bukan pula pangeran, melainkan orang-orang pelarian, ha-ha-ha! Ayo berikan, ataukah harus kupaksa?"
"Tidak! Tidak boleh! Milikku sekarang hanya tinggal ini.... tidak boleh!"
Suminten tak dapat berkata apa-apa, hanya memandang kepada Sindupati penuh kebencian.
"Berani engkau membantah Sindupati? Ha-ha-ha!" Sindupati meraih untuk merampas buntalan, akan tetapi Pangeran Kukutan mengelak, bahkan lalu memukul ke arah lambung Sindupati dengan nekat.
Sindupati cepat menangkis dan balas memukul. Maka berkelahilah kedua orang bekas sekutu itu memperebutkan sebuntal barang-barang berharga! Akan tetapi, Pangeran Kukutan tentu saja bukanlah lawan seimbang dari Sindupati yang telah memiliki kesaktian, maka dalam beberapa belas gebrakan saja, buntalan dapat dirampas dan tubuh Pangeran Kukutan menggeletak di galengan sawah dengan kepala pecah. Pangeran yang tadinya sudah menjadi putera mahkota, yang nyaris menjadi raja di Jenggala dalam waktu beberapa pekan lagi, kini menggeletak mati sebagai seorang petani di pinggir sawah!
Suminten menghampiri Sindupati dan merangkul pinggang pria itu, menggeser-geserkan tubuh depannya dan berbisik, "Tepat sekali apa yang kau lakukan ini, Warutama... eh, ataukah Kakang Sindupati? Kakang Sindupati lebih gagah terdengarnya. Tadi memang aku sudah ada pikiran untuk minta kepada Andika melenyapkan saja pangeran menyebalkan ini. Mari kita lekas pergi dari sini, kekasih pujaan hatiku....!"
Sindupati menunduk dan memandang rambut yang halus dan harum itu dengan mata terbelalak. Ia bergidik dan muak. Alangkah berbahayanya perempuan ini, melebihi seekor ular welang! Akan tetapi ia tertawa bergelak.
"Ha-haha-ha, engkau boleh ikut bersamaku, Suminten. Engkau masih banyak gunanya bagiku, bukankah begitu, manis?" Ia menunduk dan mencium pipi wanita itu, akan tetapi Suminten merangkulnya dan membalas dengan mencium bibirnya amat mesra dan penuh nafsu berahi.
"Tentu saja, Kakang Sindupati, kita dapat saling bekerja sama dengan mesra dan cocok untuk waktu yang lama sekali."
Kedua orang itu melangkah lagi ke barat tanpa menengok satu kali pun kepada mayat Pangeran Kukutan yang mengelatak di pinggir sawah dengan hidung, mulut dan telinga mengalirkan darah itu. Dan tak jauh dari situ, di sebelah barat, kini mulailah mereka bertemu dengan rombongan-rombongan tentara yang melarikan diri! Tentara Jenggala yang lari kacau-balau karena kehilangan pimpinan.
Kalau pasukan sudah tidak ada yang memimpin, tidak ada yang ditakuti lagi, tidak ada disiplin dan hukum, tentu saja terjadi perbuatan-perbuatan pelanggaran yang akibatnya mendatangkan derita bagi rakyat. Demikian pula sisa-sisa pasukan Jenggalla yang melarikan diri ini, di sepanjang jalan tentu saja mengganggu dusun-dusun, mengambil makanan dengan paksa, mengangkut benda-benda berharga, menculik dan memperkosa gadis-gadis remaja. Pendeknya, tidak ada perbuatan kekerasan yang menjadi pantangan bagi mereka.
"Eh.... Gusti Patih, nih! Hendak pergi ke manakah, Gusti Patih?" Seorang di antara mereka yang agaknya mabuk tuak yang dirampasnya dari penduduk dusun, bertanya secara kurang ajar kepada Sindupati yang segera dikurung oleh dua puluh orang perajurit yang menyeringai dan memandang dengan penuh nafsu dan kekaguman kepada Suminten.
"Wah, Gusti Patih pandai sekali mendapatkan seorang yang begini denok!" seorang lain berkata.
"Dan bekalnya banyak benar, sebuntal besar. Bagi-bagi dong, Gusti Patih!"
Sindupati tertawa. Ia mengenal baik orang-orang kasar seperti ini sehingga tidak perlu ia tersinggung. Ia malah tertawa dan berkata, "Kita sudah kalah, tidak perlu main patih-patihan lagi. Ha-ha-ha!"
"Ha-ha-ha-ha!" Mereka semua tertawa bergelak, mulut mereka terbuka lebar-lebar sehingga Suminten dapat melihat rongga mulut yang lebar-lebar dan merah di balik gigi yang kuning-kuning.
"Buntalan ini tak dapat kubagi, kalian boleh mencari sendiri di jalan. Adapun ini.... kalau kalian suka, boleh kalian miliki. Aku sudah bosan dengan dia!" Sindupati mendorong tubuh Suminten sehingga terhuyung-huyung dan belasan pasang lengan menerimanya dengan penuh gairah.
"Tidak.... tidak.... jangan.... Sindupati....ah, jangan...."
Sindupati menengok dan tertawa, lalu pergi tanpa menoleh lagi biarpun ia mendengar jerit Suminten, malah berlari makin cepat sehingga akhirnya ia tidak mendengar apa-apa lagi, baru ia melanjutkan perjalanan dengan berjalan biasa, memutar otak ke mana ia akan menujukan kakinya mencari petualangan baru tanpa menyesali kegagalannya di Jenggala setelah ia hampir tiba di puncak tertinggi. Ia tidak perlu menyesal, tidak perlu kecewa, hanya sebuah hal yang selalu menjadi ganjalan hatinya, yaitu dendam Endang Patibroto terhadap dirinya. Hal inilah yang membuat ia selalu gelisah dan tidak dapat menikmati hidup. Ia merasa menyesal sekali dan menyumpahi kekeliruannya ketika ia tidak dapat menahan nafsu dan berani memperkosa wanita sakti yang baru mengingatnya saja sudah membuat bulu tengkuknya meremang itu.
"Jangan.... Mundur semua kalian, manusia-manusia biadab! Tidak tahukah kalian siapa aku? Butakah mata kalian tidak mengenal junjungan kalian? Bedebah kamu semua, kurang ajar, lepaskan tanganku!" Suminten menjerit dan memaki.
Dua puluh orang laki-laki kasar itu terbelalak, lalu tertawa bergelak dan menganggap lucu sikap wanita dusun yang amat cantik jelita ini. Biarpun kulitnya tetap agak hitam seperti kulit wanita petani, namun halus bukan main.
"Duhai puteri jelita, mohon beribu ampun kalau hamba sekalian tidak mengenal siapa gerangan paduka puteri ini. Sudilah kiranya paduka puteri berkenan memperkenalkan diri agar hamba sekalian dapat memberi hormat sebagaimana layaknya," demikian berkata seorang di antar mereka dengan suara dan sikap dibuat-buat sehingga semua temannya tertawa geli dan juga berpura-pura dengan sembah hormat sambil cekikikan seperti sekumpulan anak-anak nakal.
"Oohhh, kalian ini bukankah para perajurit Jenggala? Apakah benar kalian tidak mengenal aku ataukah sudah buta matamu? Aku adalah junjunganmu, selir kinasih (tersayang) sang prabu, Suminten."
Kembali dua puluh orang itu tertawa bergelak. Suminten? Baru pakaiannya saja pakaian sederhana, pakaian wanita dusun, wanita petani, mengaku sebagai Suminten?
"Wah, jadi paduka ini Gusti Puteri Suminten? Kalau begitu kebetulan sekali, karena Gusti Puteri terkenal paling doyan pria-pria muda dan kuat. Kebetulan kami dua puluh orang adalah pria-pria yang kuat, ha-ha-ha!"
Kembali mereka berebut maju, berlomba dulu untuk memeluk dan menggerayang tubuh yang padat itu. Suminten menjerit-jerit, kemaki-maki, meronta-ronta, akan tetapi apakah dayanya menghadapi dua puluh orang laki-laki yang kasar? Akhirnya ia menjerit-jerit dan menangis, namun apapun yang dilakukan malah seakan-akan menambah gairah dua puluh orang pria yang memperkosanya berganti-ganti itu. Sampai malam tiba barulah mereka melepaskan Suminten yang menggeletak pingsan di pinggir hutan, meninggalkan perempuan ini sambil tertawa-tawa puas dan memuji-muji. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan untuk mengacau kampung-kampung, mencari rampasan-rampasan baru, mencari calon korban mereka, wanita-wanita baru.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Suminten merangkak sambil merintih-rintih, pakaiannya robek-robek, pakaian yang direnggutkan secara kasar oleh banyak tangan, yang terpaksa dipakainya untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bulat, untuk menahan serangan hawa dingin pagi itu. Kemudian, setelah merangkak seperti seekor anjing sakit untuk beberapa lamanya, kadang-kadang jatuh dan menangis, akhirnya ia dapat bangkit berdiri, berjalan terhuyung-huyung. Tiba-tiba ia berhenti, menengadah dan tertawa kecicikan, kemudian menangis lagi, tertawa lagi. Menjelang tengah hari ia bertemu dengan dua orang pemburu di dalam hutan, dua orang pemburu yang lebih pantas disebut orang hutan daripada manusia, liar dan kasar karena lebih sering berada di hutan memburu binatang dari pada hidup di masyarakat ramai.
"Hi-hik, ke sinilah, wong bagus! Ke sinilah kalian berdua! Lihat, apakah tubuhku tidak denok dan montok? Apakah rambutku tidak hitam panjang dan halus? Wajahku cantik dan tubuhnya hangat! Ke sinilah kalian....!"
Sejenak dua orang pria itu saling pandang, akan tetapi kemudian mereka terbelalak memandang ketika Suminten menanggalkan pakaiannya yang compang-camping, memperlihatkan tubuh yang benar-benar mempesonakan dua orang pemburu itu. Sungguh, selama hidup mereka, belum pernah mereka menyaksikan bentuk tubuh seindah ini! Dan wajah itu, biarpun agak kotor dan rambutnya kusut, namun harus mereka akui cantik manis dan rambutnya benar-benar hitam panjang dan berombak. Setankah wanita itu? Siluman yang menggoda mereka? Peri? Andaikata mereka tidak berdua, tentu seorang diri saja mereka akan lari saking ngeri. Akan tetapi karena mereka berdua, mereka kini malah menghampiri dan begitu tangan mereka menyentuh lengan Suminten dan mendapat kenyataan bahwa si cantik itu benar-benar seorang manusia, keduanya lalu berebut untuk mendapatkan wanita menggairahkan ini lebih dulu!
Suminten menyambut mereka dengan pelukan mesra dan tertawa terkekeh-kekeh. Beberapa hari kemudian, setiap orang pria yang berjumpa dengan Suminten tentu lari dan dikejar-kejarnya sambil tertawa-tawa dan mengeluarkan kata-kata merayu, menawarkan tubuhnya. Akan tetapi setiap orang laki-laki yang melihatnya menjadi amat jijik dan melarikan diri. Siapa orangnya sudi berdekatan dengan seorang wanita yang kurus kotor, bermuka pucat dan jelas miring otaknya?
Akhirnya, tidak sampai sebulan kemudian, orang mendapatkan tubuh Suminten yang telanjang bulat dan kurus kering menggeletak mati di dekat sungai, agaknya kelaparan atau kedinginan. Suminten, bekas selir terkasih, bahkan bekas orang yang paling berkuasa di Jenggala, mati sebagai seorang pengemis gila yang tak dikenal orang, dan dikuburkan orang hanya karena orang lain tidak mau terganggu mayat membusuk, tidak ada yang berkabung untuknya, tidak ada yang menangisi kematiannya, bahkan tidak ada yang mengenal siapakah wanita terlantar yang mati itu. Sungguh akhir hidup yang menyedihkan.
Menyedihkankah? Tentu saja menyedihkan diukur pendapat manusia umumnya. Benarkah pendapat ini? Belum tentu benar, akan tetapi juga belum tentu benar pendapat umum bahwa ketika menjadi orang yang paling berkuasa di Jenggala, Suminten menikmati kehidupan yang bahagia!
Suka atau duka, menyenangkan atau menyedihkan, hanyalah merupakan hasil pendapat dari pandangan orang lain! Bulan ini menjadi orang yang paling berkuasa di Jenggala, bulan berikutnya mati seperti seekor anjing kelaparan di pinggir sungai. Inilah keadaan Suminten.
Demikian pula dengan keadaan hidup manusia ini. Hari ini tertawa, esok menangis atau sebaliknya. Hari ini berhasil dan menang, esok bisa saja gagal dan kalah. Memang isi daripada hidup hanya satu di antara dua yang selalu berselingan, yang sudah semestinya begitu, seperti kemestian bahwa yang hidup menghadapi mati. Tak dapat diubah lagi.
Karena itu, manusia yang sadar selalu ingat akan dua kata-kata yang berbunyi, OJO DUMEH yang artinya manusia tidak boleh takabur, tidak boleh sombong, tidak boleh mengandalkan kekayaan, kedudukan dan kekuasaan karena semua itu hanyalah sekedar BARANG PINJAMAN belaka. Kesemuanya itu, kalau Tuhan menghendaki, dapat lenyap meninggalkan manusia atau ditinggalkan manusia.
Orang yang sadar akan menganggap kesemuanya itu hanya sebagai suatu anugerah yang patut dinikmati namun yang sama sekali bukan merupakan tujuan hidupnya, dan sekali-kali tidak boleh menguasai dan memperhamba batinnya. Orang yang mabuk akan kemenangan, akan menjadi amat sengsara hatinya kalau sekali waktu dikalahkan. Orang yang terlalu menyayang akan keduniawian yang didapatnya, akan sengsara hatinya kalau kehilangan semua itu.
Sebaliknya, orang yang mendendam kekalahan akan menjadi mata gelap dan tersiksa oleh dendamnya sendiri. Berbahagialah dia yang dapat tersenyum di kala kehilangan, dan bersahaja di kala mendapatkan hasil baik, tidak iri hati kepada yang di atas selagi dia berada di bawah, juga tidak menghina kepada yang di bawah selagi dia berada di atas.
Suminten adalah orang yang selalu mengejar kesenangan, oleh karena itu, mengherankankah kalau dia bertemu dengan kesusahan? Kesenangan dan kesusahan tak terpisahkan, ada senang tentu ada susah, mencari senang berarti mencari susah. Orang yang diperhamba oleh nafsu akan kesenangan takkan dapat menikmati kesenangan, karena dia selalu haus dan takkan dapat terpuaskan sehingga akhirnya ia akan tersiksa oleh kehausan akan kesenangan, dan menjadi mata gelap, tidak segan-segan melakukan perbuatan kejam terhadap manusia lain yang bagaimanapun demi untuk mengejar dan mendapatkan cita-cita yang dianggapnya menjadi sumber kesenangan hidupnya. Sama sekali tidak tahu atau sadar bahwa yang dikejar-kejar itu kosong melompong, bagaikan mengejar bayangan sendiri, makin dikejar makin menjauh, dikata jauh tak pernah terpisah dari tubuh sendiri! Betapa patut dikasihani manusia seperti Suminten ini!
Retna Wilis berseru girang sekali ketika ia melihat bintang yang setiap malam dipandangnya itu melayang jatuh menjadi sinar yang panjang. Itulah tanda bagi dia untuk diperbolehkan meninggalkan pantai yang sunyi ini seperti yang dipesankan gurunya, Nini Bumigarba yang telah lenyap bersama Bhagawan Ekadenta di Laut Selatan.
Setelah merasa yakin bahwa bintang yang dimaksudkan gurunya itu betul-betul telah runtuh dan tidak tampak lagi di angkasa, Retna Wilis lalu melangkah perlahan menuju tepi laut. Sampai lama ia memandang ke arah laut, seolah-olah ia hendak minta doa restu gurunya. Ia termenung seperti telah berubah menjadi arca dewi menjaga pantai dan baru sadar ketika ada benda berat menindih kakinya. Ia menunduk dan melihat seekor kura-kura besar di depan kakinya. Kiranya kura-kura yang pernah membantunya mengambil pedang pusaka Sapudenta itulah yang tadi mendekam di kakinya.
"Eh, Kukura yang baik, malam ini adalah malam terakhir aku berada di sini. Bawalah aku berjalan di sepanjang pantai, Kukura." Retna Wilis lalu duduk di atas punggung kura-kura raksasa itu dan dengan mendorong-dorong leher binatang itu, ia dapat mengendarai binatang itu berjalan-jalan bersama Kukura menikmati angin laut dan pemandangan indah ombak-ombak laut ditimpa sinar bulan yang keemasan.
Ketika matahari muncul kemerahan di permukaan laut sebelah timur, barulah Retna Wilis menyuruh kukura pergi yang kembali ke laut, kemudian ia pun mandi sampai puas dan berganti pakaiannya yang serba hijau. Rambutnya yang hitam panjang ia gelung sebagian di atas kepala dan membiarkan sisa rambut itu terurai ke belakang.
Pakaiannya ringkas dan ketat, pedangnya ia ikat di belakang punggung, wajahnya berseri dan segar ketika akhirnya gadis remaja ini meninggalkan pantai dan berjalan ke utara. Ia hanya ingat bahwa letak Gunung Wilis adalah di barat dan bahwa untuk menuju ke Gunung Wilis ia harus meninggalkan pantai itu menuju ke utara, kemudian ia akan membelok ke barat.
Apakah ibunya masih berada di puncak Wilis? Apakah Padepokan Wilis masih berdiri dan ibunya masih menjadi pemimpin Padepokan Wilis? Dia teringat akan nasehat gurunya,
"Kelak engkau harus menjadi puteri yang menguasai seluruh jagad. Dengan demikian, tidak percuma engkau berpayah-payah belajar di sini dan tidak percuma menjadi murid Nini Bumigarba. Engkau pergilah ke Wilis, himpun kekuatan barisanmu dari Wilis dan kemudian taklukkan semua kerajaan sampai bertekuk di depan kakimu. Ajaklah ibumu, akan tetapi kalau Endang Patibroto menghalangi cita-citamu, tantanglah dia! Biar ibu sendiri kalau menghalangi cita-citamu, tak perlu ditaati, karena engkau adalah seorang puteri yang paling sakti di dunia ini, bukan seorang kanak-kanak yang harus menurut apa saja yang dikatakan ibumu!"
Di dalam sudut hatinya, Retna Wilis tidak setuju kalau dia harus menentang ibunya, namun sanjungan-sanjungan gurunya menghidupkan sebuah tekad di hatinya, yaitu bahwa dia harus menguasai jagad sebagai seorang ratu yang tiada bandingnya! Kalau ibunya menentang, hemm.... bagaimana nanti sajalah.
la sudah mendengar dari ibunya betapa ayahnya adalah Adipati Tejolaksono dan betapa ibunya terpaksa meninggalkan ayahnya itu karena ibunya hanyalah seorang selir! Ibunya hidup merana, mengasingkan diri di Wilis. Karena itu, ia akan mengangkat derajat ibunya, akan membuka mata ayahnya yang bernama Adipati Tejolaksono itu bahwa ibunya bukan seorang wanita sembarangan, melainkan seorang wanita yang menjadi ibu Ratu Dunia! Ayahnya dan isteri ayahnya itu kelak akan ia taklukkan dan ia paksa untuk bertekuk lutut di depan ibunya, untuk minta ampun!
Dengan semangat menyala-nyala dan wajah berseri penuh keyakinan bahwa semua cita-citanya pasti akan berhasil, Retna Wilis melakukan perjalanan cepat ke utara. Akan tetapi sebagai seorang yang bertahun-tahun hidup di pantai, kini di sepanjang memasuki hutan-hutan dan melihat buah-buahan, Retna Wilis yang sesungguhnya hanyalah seorang gadis remaja itu seringkali berhenti memetik buah-buah dan kembang-kembang!
Ketika Retna Wilis sedang duduk di bawah pohon dan dengan nikmatnya makan buah semangka yang dipetiknya di jalan tadi, tiba-tiba ia mengerutkan keningnya dan menghentikan sebentar gerakannya makan semangka. Akan tetapi ia segera melanjutkan menggerogoti semangka yang merah dan manis itu, tidak peduli akan bayangan banyak orang yang sedang memasuki hutan itu dan menuju ke tempat ia duduk.
Rombongan orang itu terdiri dari tiga puluh orang lebih laki-laki yang kasar dan memegang bermacam senjata tajam. Mereka berjalan sambil berkelakar dengan suara kasar dan yang mereka bicarakan adalah pengalaman-pengalaman mereka di sepanjang perjalanan melarikan diri dari Jenggala, pengalaman membakar rumah penduduk, merampok dan terutama sekali tentang wanita-wanita yang mereka perkosa.
"Ha-ha-ha, lebih senang begini, kawan-kawan!" Terdengar suara yang parau dan paling kasar di antara yang lainnya.
"Dahulu yang manis-manis dihabiskan oleh para pangeran sendiri dan para perwira. Kini kita bebas dan setiap menginginkan wanita tinggal ambil saja, ha-ha-ha!"
"Benar! Selama menjadi perajurit di Jenggala aku tidak pernah mendapat kesempatan menikmati wanita seperti malam tadi, ha-ha-ha!"
Mendengar ini, bangkit perhatian Retna Wilis. Hemm, jadi mereka ini perajurit-perajurit Jenggala yang melarikan diri! Dia membutuhkan anak buah dan mereka ini baik sekali dijadikan anak buah ibunya di Wilis. Akan tetapi ia melanjutkan menghabiskan semangka di tangannya.
"Wahhhh.... peri kahyangan.... !!"
Seketika suara ribut-ribut tadi berhenti dan tiga puluh orang laki-laki itu mengurung Retna Wilis dengan mata terbelalak kagum dan mulut mengilar seperti macan-macan kelaparan melihat seekor domba gemuk. Retna Wilis hanya melirik sebentar, terus menghabiskan semangkanya. Kemudian sambil memegang kulit semangka ia berdiri dan kembali terdengar seruan "wah-wah-wah!" saking kagum mereka. Setelah gadis itu berdiri, bukan hanya wajah cantik itu yang mereka kagumi, melainkan juga bentuk tubuh yang ramping padat dan denok.
"Kalian ini perajurit-perajurit pelarian dari Jenggala? Apakah mereka yang berkuasa di Jenggala benar sudah hancur dan kalian kehilangan pekerjaan? Kalau kalian mau, mulai saat ini boleh kalian menghambakan diri kepadaku dan kelak kalian akan dapat menjadi perajurit-perajurit dari kerajaan terbesar di seluruh dunia!"
Sejenak tiga puluh orang laki-laki kasar itu tercengang, kemudian saling pandang dan meledaklah suara ketawa mereka. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, wajahnya tampan juga dan dia terkenal paling jagoan di antara teman temannya, juga paling ganas menghadapi wanita di sepanjang jalan pelarian mereka yang mereka ganggu, melangkah maju dan memandang Retna Wilis penuh perhatian, dengan sepasang mata berkilat penuh nafsu dan mulut menyeringai.
"Eh-eh, engkau ini perawan dari mana bicara begini besar?"
Retna Wilis tidak marah, bahkan tersenyum. "Aku adalah Perawan Lembah Wilis, atau calon ratu yang akan menundukkan seluruh kerajaan di Nusa Jawa, termasuk Jenggala dan Panjalu!"
Kembali mereka tertegun dan kembali meledaklah suara ketawa mereka. Jagoan yang bertanya tadi lalu berkata, "Waduh, denok. Apakah otakmu miring? Sayang kalau miring, engkau begini cantik manis dan denok. Mari kuobati penyakitmu, ditanggung engkau akan sembuh dari penyakit gilamu. Marilah manis!" Setelah berkata demikian, laki-laki itu mengulur tangan kirinya ke arah dada Retna Wilis sedangkan tangan kanannya hendak merangkul leher. Akan tetapi Retna Wilis melangkah mundur, memandang dengan muka merah dan alisnya mulai berkerut.
"Hemm, apakah kalian ini sudah bosan hidup? Lekas berlutut minta ampun dan menyatakan takluk, atau.... hemm, kubunuh kalian semua!"
"Aduh-aduh, hebat sekali kesombonganmu, cah manis! Biarlah, aku memilih mati, mati dalam pelukanmu, ha-haha!" Jagoan itu mengejek lagi dan semua kawannya tertawa-tawa.
"Kardi, lekas bereskan dia, setelah engkau baru aku! Ah, sudah gemas aku ingin menggigit bibirnya yang kenes itu!" Teriak seorang laki-laki yang berkumis tebal, sekepal sebelah sambil mengelus kumisnya dan lidahnya menjilat-jilat bibir seperti orang yang kehausan melihat semangka.
Jagoan yang bernama Kardi itu tertawa, kini meloncat ke depan menubruk Retna Wilis. Gadis ini marah sekali, marah yang timbul dari kekecewaan mengapa orang-orang ini tidak mau mentaati perintahnya. Tangan kirinya yang memegang kulit semangka itu menyambar ke depan.
"Pratttt!!!"
Kardi menjerit dan roboh bergulingan, mengaduh-aduh berusaha melepas kulit semangka yang melekat di pipinya. Akan tetapi begitu ditarik, darahnya menyemprot keluar dan ia menjerit-jerit kesakitan. Ternyata kulit semangka itu telah menghancurkan kulit dan menempel pada tulang rahangnya menggantikan kulitnya sehingga kalau dibeset sama halnya dengan mengupas kulit mukanya. Saking nyerinya, Kardi roboh dan mengerang kesakitan.
Sejenak kawannya laki-laki kasar itu terkejut dan tercengang. Akan tetapi kemarahan mereka bangkit dan dua orang, satu di antaranya adalah si jenggot tebal tadi, sudah menubruk maju dengan kedua tangan terpentang untuk menangkap perawan yang mereka anggap selain cantik manis denok juga sombong dan galak itu. Ingin mereka merobek-robek pakaian gadis itu dan beramai-ramai melahapnya seperti sekumpulan serigala kelaparan melahap dan merobek-robek daging seekor domba muda.
"Plak-plak !!"
Kembali tangan kiri Retna Wilis bergerak tanpa ia menggerakkan kedua kakinya yang masih terpentang dengan tubuh tegak. Karena sekali ini yang menyambut dada dan kepala kedua orang itu bukan kulit semangka melainkan jari tangannya, si kumis tebal roboh dengan tulang dada patah-patah sedangkan kawannya roboh dengan kepala pecah dan otaknya muncrat bersama darah. Keduanya tewas seketika dengan mata mendelik dan dalam keadaan yang mengerikan sekali.
"Hayoh, siapa lagi yang bosan hidup?" Retna Wilis membentak, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi, kedua tangannya bertolak pinggang dan ia berdiri tegak, sikapnya gagah dan garang sekali.
Akan tetapi sekumpulan perajurit Jenggala itu adalah orang-orang kasar yang tidak dapat mengenal orang sakti. Melihat tiga orang kawan mereka roboh, mereka menjadi marah sekali. Kesempatan itu dipergunakan oleh empat orang anggota gerombolan yang berdiri terdekat di belakang Retna Wilis untuk menggerakkan golok mereka menyerbu dari belakang, membacokkan senjata mereka ke arah tubuh belakang dan kepala Retna Wilis.
"Syuuuutttt... plak-plak-plak-plakk!!" Tubuh Retna Wilis diputar membalik, kedua tangannya dengan jari terbuka menyambar empat kali. Empat batang golok lawan terbang disusul robohnya tubuh mereka yang tak mungkin dapat bangun kembali karena sekali tampar saja cukup bagi Retna Wilis untuk membuat kepala mereka retak dan dada mereka pecah!
Robohnya empat orang ini seolah-olah merupakan tanda bagi semua laki-laki di situ untuk menerjang maju. Retna Wilis mengeluarkan seruan marah dan kecewa, akan tetapi ia tidak pernah menggeser kedua kakinya, hanya tubuh atasnya saja berputar ke sana ke mari dan kedua tangannya membagi-bagi tamparan maut. Tidak ada yang harus dipukul dua kali karena sekali tampar saja nyawa mereka dipaksa meninggalkan raga. Bagaikan sekumpulan laron menerjang api, Para bekas perajurit Jenggala itu menyerbu untuk mati.
Setelah lebih dari setengah jumlah mereka roboh binasa, barulah sisanya seperti terbuka mata mereka, dan serta merta mereka menjatuhkan diri berlutut, melempar golok dan menyembah minta ampun. Retna Wilis berdiri di tengah-tengah tumpukan mayat yang berserakan, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum puas, kedua tangan di pinggang Ia mengugguk-angguk.
"Bagus, baru kalian mengenal kesaktian Perawan Lembah Wilis, ya? Mulai sekarang, kalian menjadi anak buahku, calon anak buah Kerajaan Wilis dan kalian harus menyebut aku Gusti Puteri Retna Wilis. Sekarang kalian ikuti aku ke Gunung Wilis, tidak melakukan sesuatu tanpa ijinku. Siapa membantah?"
Tidak ada yang berani membantah, hanya ada seorang di antara mereka yang agak tua memandang mayat-mayat itu dan bertanya dengan suara gemetar.
"Maaf, Gusti Puteri. Bagaimana dengan mayat-mayat ini....?"
"Bagaimana lagi? Tinggalkan saja. Mereka menjadi bagian binatang-binatang hutan. Hayo berangkat!"
Lima belas orang bekas perajurit Jenggala itu bangkit berdiri dan memanang junjungan baru itu dengan penuh kagum dan rasa takut. Tahulah mereka, bahwa wanita muda, gadis remaja ini adalah seorang yang selain sakti mandrauna, juga memiliki kekerasan hati yang menggiriskan.
Retna Wilis dahulu seringkali mendapat nasehat-nasehat gurunya tentang memimpin anak buah. Maka kini pun, biar dia sendiri dapat menahan tidak makan minum sampai berhari-hari, dia memperhatikan keperluan anak buahnya dan membolehkan mereka itu mengambil hasil-hasil sawah di luar dusun-dusun untuk dimakan.
Keadaan keluarga sakti itu benar terhimpit. Mereka berada di tengah-tengah kepungan ribuan orang pengawal, dan di situ selain Wasi Bagaspati, Ki Kolohangkoro yang melawan secara terang-terangan dibantu orang-orang yang bergerak seperti arca hidup tak kenal lelah dan tak kenal takut, juga masih terdapat orang-orang seperti Warutama yang mengatur barisan secara sembunyi. Memang benar ucapan Wasi Bagaspati tadi bahwa pintu gerbang itu merupakan pintu gerbang maut bagi kedelapan anggota keluarga sakti, karena mereka dapat masuk akan tetapi akan sukar sekali untuk dapat keluar.
"Huah-ha-ha-ha, Bagus Seta, sampai berapa lama keluargamu akan dapat bertahan? Dapat membunuh semua pengawal yang ribuan orang banyaknya? Dan di luar masih ada lebih banyak lagi, ha-ha-ha!" Wasi Bagaspati tertawa-tawa dan pertandingan antara dia dan Bagus Seta masih terjadi dengan serunya. Karena gerakan mereka berdua ini didorong oleh kekuatan gaib dari ilmu batin, maka pertandingan ini merupakan pertandingan yang amat aneh.
Kadang-kadang mereka berdua berkelebat lenyap berubah menjadi sinar merah dan putih pakaian mereka, kadang-kadang hanya berdiri tegak dan saling pandang mengadu kekuatan sihir yang keluar dari pandang mata, atau hanya melakukan gerakan-gerakan mendorong dari jarak jauh untuk mengadu tenaga sakti mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan pintu gerbang depan ambrol disusul masuknya barisan Panjalu bersama rakyat yang sama besar jumlahnya, rakyat Jenggala yang sepanjang jalan makin lama makin bertambah banyak menggabung pada barisan Panjalu yang hendak membebaskan mereka daripada belenggu penindasan mereka yang berkuasa di Jenggala pada waktu itu.
Masuknya barisan ini disertai sorak-sorai gegap-gempita seolah-olah menjawab ucapan yang keluar dari mulut Wasi Bagaspati tadi. Ternyata barisan yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Darmokusumo itu telah melihat tanda panah api yang dilepas Endang Patibroto ketika keluarga sakti itu terancam bahaya.
Wasi Bagaspati terkejut sekali dan tak terasa ia mundur-mundur dengan mata terbelalak. Tiba-tiba terdengar raung yang mengejutkan, seperti suitan harimau marah, dan mendengar ini, Wasi Bagaspati terkejut dan cepat menengok. Wajahnya yang merah itu kini agak berubah ketika ia melihat pembantunya yang amat diandalkan, yaitu Ki Kolohangkoro, sedang berkutetan dengan maut yang hendak merenggut nyawanya melalui senjata nenggala yang menancap di perut Ki Kolohangkoro sendiri, menancap sampai tampak sedikit ujungnya di belakang perut !
Ternyata bahwa akhirnya kesaktian Joko Pramono terlalu berat bagi Ki Kolohangkoro. Kakek penyembah Bathoro Kolo ini selalu terdesak dan lebih banyak mengelak dan menangkis daripada menyerang. Bahkan beberapa kali pukulan ampuh dari tangan Joko Pramono telah mengenal tubuhnya dan hanya kekebalannya yang luar biasa kuatnya sajalah yang menjaga sehingga Ki Kolohangkoro tidak roboh.
Ketika mendengar ambruknya pintu gerbang dan sorak-sorainya tentara Panjalu yang menyerbu ke dalam, Ki Kolohangkoro terkejut sekali. ia menengok dan wajahnya berubah pucat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Joko Pramono untuk menerjang dengan pukulan Cantuka Sakti yang amat hebat dan mengenai dada Ki Kolohangkoro. Dada yang bidang itu tidak pecah akan tetapi tubuh si kakek raksasa terjengkang ke belakang.
Joko Pramono menubruk maju, akan tetapi disambut dari bawah oleh tusukan senjata nenggala di tangan Ki Kolohangkoro. Joko Pramono cukup waspada, mengerakkan tubuhnya miring sehingga nenggala itu lewat di dekat pinggangnya. Secepat kilat ia menangkap pergelangan tangan lawan dan dengan gerakan tiba-tiba membalikkan senjata nenggala dan mendorongnya ke perut Ki Kolohangkoro!
Joko Pramono meloncat ke belakang dan Ki Kolohangkoro mengeluarkan suara meraung keras, berusaha mencabut nenggalanya, bangkit terhuyung-huyung, menggunakan kedua tangannya memegang nenggala, mencabut sambil mengerahkan tenaga. Nenggala dapat tercabut, darah muncrat keluar didahului ususnya, matanya terbelalak, kedua tangannya yang berlumuran darah mengangkat nenggala tinggi-tinggi di atas kepala lalu ia menubruk maju menyerang Joko Pramono dengan dahsyatnya! Joko Pramono mengelak dengan lompatan ke kiri dan tubuh kakek raksasa itu terjungkal ke depan dan roboh, berkelojotan sebentar lalu terdiam.
Melihat tewasnya Ki Kolohangkoro, sedangkan Ni Dewi Nilamanik juga terdesak sedangkan para perajurit Panjalu sudah mengamuk, Wasi Bagaspati meloncat ke atas dan melayang ke arah Ni Dewi Nilamanik sambil berseru, "Dewi, kita pergi....!"
Ni Dewi Nilamanik menggerakkan lengan kirinya dan asap hitam mengebul, menyambar ke arah Pusporini. Gadis perkasa ini cepat melompat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan Ni Dewi untuk meloncat jauh, mengikuti Wasi Bagaspati yang hendak melarikan diri.
"Kejar....!!" Tejolaksono berseru keras dan berlombalah keluarga sakti itu melakukan pengejaran.
Bagus Seta hendak berseru mencegah, namun terlambat karena semua keluarganya sudah mengejar, maka ia pun lalu menggerakkan kaki meluncur ke depan ikut melakukan pengejaran pula. Tangan kiri Wasi Bagaspati menggandeng tangan Ni Dewi Nilamanik ketika berlari ia menengok dan tertawa ketika melihat keluarga sakti mengejarnya. Tangan kanannya bergerak dan jari-jari tangannya terbuka.
"Awas senjata rahasia....!" Bagus Seta berseru dari belakang.
Keluarga sakti terkejut dan benar saja dari tangan Wasi Bagaspati itu menyambar sinar berwarna hijau dan bagaikan hujan datangnya benda-benda kecil menyerang mereka dengan kecepatan yang luar biasa sekali. Tejolaksono dan keluarganya cepat menggerakkan tangan mengibas sambil berlompatan menghindar, bahkan dari jauh Bagus Seta sudah mendorongkan tangannya sehingga sebagian besar sinar hijau itu runtuh ke pinggir, akan tetapi karena cepat dan kuatnya benda-benda kecil hijau itu menyambar maka beberapa orang di antara mereka terkena senjata rahasia bersinar hijau itu.
Pangeran Panji Sigit terkena pipinya, Ayu Candra terkena pada bahunya, Pusporini terkena pundaknya, dan Setyaningsih juga terkena senjata rahasla pada lengannya. Akan tetapi mereka menjadi lega ketika melihat bahwa senjata-senjata rahasia bersinar hijau itu hanyalah duri-duri berwarna hijau seperti duri kembang mawar, dan hanya menancap setengahnya sehingga ketika dicabut, hanya menimbulkan luka kecil yang mengeluarkan setetes darah saja dan tidak terasa apa-apa.
"Untung tidak berbahaya. Kita harus lekas menyerbu ke dalam istanal" kata Tejolaksono.
"Harus kutangkap Sindupati manusia jahanam!" kata Endang Patibroto.
"Aku akan membekuk batang leher Suminten siluman betina itu!" kata Pusporini.
"Saya harap Kakangmas Patih suka lebih dulu menyelamatkan kanjeng rama...." Pangeran Panji Sigit berkata.
Mendengar ini, semua orang baru sadar dan ingat bahwa mereka melupakan hal yang terpenting.
"Ah, benar sekali. Kita harus menyelamatkan gusti sinuwun," kata Tejolaksono. "Bagus Seta dan aku sendiri akan menemani Pangeran Panji Sigit menyelamatkan gusti sinuwun. Yang lain membantu rakanda Pangeran Darmokusumo melakukan pembersihan! Ingat, kurangi pembunuhan terhadap perajurit Jenggala. Musuh kita hanyalah kaki tangan penjahat-penjahat itu!"
"Marilah Rakanda Patih....!" kata Pangeran Panji Sigit yang merasa gelisah mengingat akan keselamatan ramandanya yang dikabarkan sakit keras itu.
Tejolaksono dan Bagus Seta lalu bergerak mengikuti Panji Sigit dan berlari menuju ke istana. Perang telah terjadi merata di seluruh kota raja. Hal ini tadi sesuai dengan siasat Pangeran Darmokusumo yang lebih dahulu telah menyelundupkan beberapa orang ke dalam kota raja, menguasai pintu gerbang dan membagi tentaranya menjadi beberapa kelompok sehingga mereka dapat menyerbu ke dalam kota raja melalui beberapa pintu gerbang. Tentara Panjalu yang dibantu oleh rakyat Jenggala sendiri telah menyusup ke dalam sehingga di depan istana itu sendiri telah terjadi pertempuran. Namun Pangeran Panji Sigit tidak memperdulikan pertempuran itu, terus saja berlari memasuki istana.
Beberapa pengawal yang masih setia kepada Suminten dan Pangeran Kukutan menyambut mereka dengan tombak di tangan, namun dengan mudah Tejolaksono merobohkan mereka. Pangeran Panji Sigit yang sudah hafal akan keadaan di istana ini, bergagas lari menuju kamar tidur ramandanya.
Pintu berukiran indah dari kamar tidur itu tertutup. Pintu yang tebal dan indah, berukuran besar. Pangeran Panji Sigit mengetuk daun pintu. Tidak ada jawaban dan tidak ada suara dari dalam, sunyi sekali. Amat mengherankan karena selamanya kamar Ini pasti dijaga pengawal dan di sebelah dalam ada abdi dalem yang melayani segala keperluan yang dibutuhkan sri baginda. Pangeran Panji Sigit mendorong daun pintu, akan tetapi tak dapat dibuka.
"Dikunci dari dalam...." katanya cemas.
"Dalam keadaan seperti ini, tidak ada pilihan lain. Kita paksa saja pintu ini terbuka. Bagaimana pendapatmu, Bagus?"
"Harap Ramanda membiarkan saya membuka pintu ini. Mungkin sekali di sebelah dalam ada sesuatu yang berbahaya dan tidak tersangka-sangka."
Ki Patih Tejolaksono mengangguk dan melangkah mundur, bersama Pangeran Panji Sigit berdiri di belakang Bagus Seta. Tejolaksono sudah maklum bahwa puteranya amat sakti, akan tetapi sekali ini ia ingin melihat dengan aji pukulan apa puteranya hendak memaksa daun pintu terbuka. Ia melihat tangan kiri Bagus Seta, sebuah tangan yang berkulit halus dan lembut, seperti tangan Ayu Candra, bergerak mendorong perlahan, seperti tidak bertenaga. Akan tetapi terdengar suara keras di sebelah dalam kamar di balik pintu itu, seolah-olah palang pintu patah-patah dan daun pintu bergerak terbuka dengan cepat sekali.
"Celaka !!"
Tejolaksono dan Pangeran Panji Sigit berteriak dengan hati penuh kengerian. Kiranya daun pintu itu adanya terbuka sedemikian cepatnya karena dipasangi tambang yang mengikat daun pintu, terus ke atas balok melintang di bawah atap dan ujung tambang itu mengikat sebuah batu sebesar kerbau yang tadinya tergantung di atas pembaringan di mana sang prabu yang sudah tua itu tampak berbaring dan tidur pulas. Tentu saja jika pintu itu dibuka dengan paksa dari luar, palangnya patah, daun pintu itu terbuka dan karena tarikan batu yang tidak ada penahannya dan meluncur ke bawah, daun pintu terbuka cepat sekali, sama cepatnya dengan batu sebesar kerbau yang kini jatuh menimpa sang prabu, hanya tinggal beberapa jengkal lagi sehingga seorang sakti seperti Tejolaksono sekali pun hanya dapat berteriak dan tak berdaya menolong.
Akan tetapi Bagus Seta sudah menggerakkan lengan kanannya didorongkan ke depan dan batu sebesar kerbau itu terhenti di udara, hanya dua jengkal di atas tubuh sang prabu! Melihat ini, cepat Tejolaksono melompat maju dan mendorong batu besar itu dengan kedua tangannya sehingga batu itu kemudian jatuh menimpa meja yang menjadi hancur berkeping-keping!
"Kanjeng Rama....!" Pangeran Panji Sigit lalu menubruk ramandanya, sedangkan Bagus Seta melangkah maju, menyembah lalu mengusap wajah sri baginda yang tua keriputan dan pucat itu.
Terdengar sri baginda raja mengeluh dan membuka matanya. Ketika melihat Panji Sigit, wajah raja tua itu berseri, lalu bangkit dan memeluk kepala puteranya yang sesungguhnya amat disayangnya itu.
"Duh para Dewata yang Maha Murah.... terima kasih bahwa engkau masih hidup dalam keadaan sehat, puteraku, Sigit...!"
"Kanjeng Rama, hamba mendengar berita bahwa paduka gering...."
"Ahhh, sakit parah sekali, Puteraku. Sakit jiwa.... bukan raga yang sudah tua ini.... eh, siapakah satria ini? Seperti pernah aku melihatnya....." Sri baginda memandang kepada Tejolaksono yang berlutut.
"Hamba Tejolaksono, gusti."
"Wah benar! Tejolaksono yang gagah perkasa! Sekarang patih dalam di Panjalu, bukan? Dan.... pemuda ini.... pemuda luar biasa.... begitu lembut pandang matanya, siapakah andika, wahai bocah bagus?"
"Hamba Bagus Seta, putera kanjeng rama Tejolaksono."
"Ah, kalian semua datang terlambat. Aku pun sadar setelah terlambat.... aduh, Puteraku, betapa besar dosa-dosaku, betapa ringkih batinku. Ahhh, kini terlambat sudah segalanya, kerajaan ini telah berada dalam cengkeraman mereka...."
"Hamba sudah mengetahui semua itu, Kanjeng Rama. Hamba sudah tahu akan persekutuan jahat antara Suminten, Pangeran Kukutan dan Patih Warutama...."
"Bukan itu saja, Puteraku. Melainkan orang-orang sakti dari Cola.... ahhh, betapa kejinya bersekutu dengan musuh negara.... dan aku.... aku tak berdaya lagi, setelah aku dipisahkan dengan semua orang yang setia kepadaku...."
"Hamba juga sudah tahu akan hal itu, Kanjeng Rama. Dan berkat pertolongan satria-satria perkasa seperti rakanda patih dan puteranya inilah maka kerajaan Paduka Kanjeng Rama tertolong...."
"Apa? Bagaimana kalian dapat masuk ke sini dan.... dan.... batu itu.... ah, aku tahu mereka memasang batu itu di atasku sehingga kalau ada yang memaksa membuka pintu, aku.... aku...."
"Harap Paduka suka menenangkan hati, Sinuwun. Kini bahaya sudah lewat bagi keselamatan Paduka," Bagus Seta berkata, suaranya halus dan ramah, mengandung pengaruh menenangkan hati yang mujijat.
"Andika benar, Bagus Seta, dan terima kasih atas bantuan kalian. Akan tetapi, bagaimana....? Mereka telah mencengkeram kerajaan ini, tidak hanya di istana, juga di luar istana, di seluruh kerajaan, ponggawa-ponggawa diganti, pengawal-pengawal diganti...."
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai di luar dan sang prabu bangkit berdiri. "Apakah itu? Jangan-jangan mereka datang menyerbu. Puteraku, lekas kau bersembunyi, lekas keluar dari kamar ini. Aku tidak ingin melihat karena kelalimanku engkaupun menjadi korban. Tejolaksono, tolonglah selamatkan puteraku keluar dari sini....!"
Pangeran Pinji Sigit bangkit berdiri dan menggandeng tangan ramandanya sambil berkata, "Harap paduka jangan khawatir, Kanjeng Rama. Suara itu adalah suara kemenangan dari barisan Panjalu yang membantu kita, yang menghalau dan membasmi oknum-oknum jahat yang mencengkeram Jenggala. Marilah, mari kita sama menyaksikannya, Kanjeng Rama." Pangeran itu menuntun ramandanya keluar dari kamar, dan terus keluar menuju ke ruangan depan istana.
"Barisan Panjalu? Sampai menyerang untuk menolongku? Aduh, kasihan rakyatku.... perang selalu berarti penderitaan bagi rakyat jelata....!!"
"Akan tetapi perang sekali ini bahkan akan membebaskan mereka daripada penderitaan, Kanjeng Rama. Selama ini mereka tertindas dan diperas oleh para pengacau yang kini sedang kita basmi."
Sang prabu yang sudah tua itu melihat pertempuran besar, hatinya penuh keprihatinan dan ia minta kepada Pangeran Panji Sigit untuk membawanya ke panggung depan istana di mana ia dapat melihat pertempuran yang terjadi di alun-alun.
"Berhenti....! Semua kawulaku yang masih setia kepadaku. Berhenti dan jangan melawan pasukan-pasukan Panjalu....!!" Sang prabu berteriak-teriak, tetapi teriakannya hilang ditelan suara perang yang amat gaduh.
"Gusti Sinuwun, bolehkan hamba mewakili Paduka menghentikan mereka?" Bagus Seta bertanya halus.
Sri baginda mengangguk penuh harapan karena hatinya terasa perih sekali menyaksikan betapa kawulanya sendiri, rakyat Jenggala, membantu barisan Panjalu dan membunuhi perajurit-perajurit Jenggala sendiri! Bagus Seta lalu berdiri di dekat raja dan terdengar suaranya, biasa saja seperti orang bicara, tidak berteriak-teriak dan jelas terdengar mengandung wibawa,
"Saudara sekalian yang sedang bertempur, hentikanlah pertempuran dan lihatlah ke sini, gusti sinuwun telah berkenan keluar dan hendak bicara kepada Andika sekalian. Barisan Panjalu diminta menghentikan pertempuran pula!"
Sri baginda sendiri bersangsi apakah suara pemuda ini akan dapat terdengar oleh mereka yang sedang bertempur. Suaranya sendiri yang ia teriakkan keras-keras tadi hilang ditelan kegaduhan, apalagi suara pemuda ini yang hanya perlahan saja. Mana mungkin terdengar oleh semua orang yang sedang bertempur? Akan tetapi, sang prabu melihat keanehan terjadi. Semua orang yang sedang bertanding itu berhenti secara tiba-tiba dan menengok ke arah panggung. Kemudian terdengarlah suara-suara mereka,
"Gusti sinuwun...!"
"Sesungguhnya gusti sinuwun yang hadir!"
"Setelah sekian lamanya! Betapa kurus beliau...!"
Dan berlututlah para rakyat dan perajurit Jenggala menghadap raja mereka yang sudah amat lama tidak pernah keluar dari dalam kamar itu. Kini kelompok manusia di bawah itu terbagi dua. Yang berlutut tentulah rakyat Jenggala, adapun yang tetap berdiri namun tidak lagi menggerakkan senjata adalah perajurit-perajurit Panjalu.
Keadaan menjadi sunyi senyap dan melihat sekian banyaknya orang yang tadi bertempur mati-matian itu kini tidak ada yang bergerak, benar-benar mempesonakan. Tiba-tiba tampak ada beberapa orang bergerak, bahkan berlarian menuju panggung. Mereka itu adalah Pangeran Darmokusumo yang diikuti oleh Endang Patibroto, Ayu Candra, Pusporini, Setyaningsih, dan Joko Pramono. Mereka ini bergegas menaiki panggung dan berlutut menyembah di depan sang prabu yang menerima mereka dengan senyum terharu.
"Ah, puteraku mantu Darmokusumo, untung ada engkau yang membantu. Dan andika, Endang Patibroto.... ah, betapa bertumpuk-tumpuk budi yang telah Andika lakukan untuk Jenggala."
"Mohon beribu ampun, Kanjeng Rama." Pangeran Darmokusumo sebenarnya adalah keponakan Raja Jenggala, akan tetapi karena ia menikah dengan puteri Jenggala yang bernama Maya Galuh, maka pamannya ini menjadi ayah mertuanya dan ia menyebutnya kanjeng rama. "Terpaksa hamba mengerahkan perajurit Panjalu untuk membantu Paduka menghadapi kekuasaan jahat yang mencengkeram Jenggala. Perkenankanlah hamba kini memerintahkan barisan Panjalu untuk menghentikan pertempuran dan keluar dari kota raja agar jangan sampai terjadi kesalahpahaman antara perajurit-perajurit Panjalu dan perajurit-perajurit Jenggala."
"Baik sekali usulmu, Puteraku. Lakukanlah."
Pangeran Darmokusumo menyembah lalu bangkit berdiri dan mengeluarkan perintah dengan suara keras agar semua pasukan Panjalu mengundurkan diri di luar dinding kota raja, menanti perintah lebih lanjut, dan agar membawa teman-temannya yang terluka atau tewas.
Mendengar ini, barisan Panjalu bergerak bagaikan semut, lalu keluar kota raja dengan aman, sementara itu, para perajurit dan rakyat Jenggala tetap berlutut di alun-alun menanti amanat raja mereka yang telah sekian lamanya seolah-olah lenyap itu. Setelah semua pasukan Panjalu mundur dan keadaan sunyi kembali, sri baginda lalu berkata dengan suara lantang,
"Wahai semua kawulaku, dengarlah baik-baik. Selama ini aku, raja kalian yang tua ini, telah tenggelam ke dalam kelalaian, menderita sakit jiwa sehingga mengabaikan urusan pemerintahan dan mengabaikan rakyatku. Kuminta maaf kepada seluruh rakyatku dan syukur kepada Dewata bahwa hari ini aku terbebas daripada keadaan itu. Kerajaan kita untuk beberapa lama dicengkeram kekuasaan jahat sehingga banyak ponggawa setia terhukum mati dan digantikan oleh ponggawa-ponggawa yang sesungguhnya adalah musuh-musuh negara. Karena itu, kuminta kepada mereka yang tadinya terseret atau terpaksa mengabdi kepada kekuasaan jahat itu untuk sadar kembali dan menyatakan kesetiaan kepada kerajaan dengan jalan menghalau atau membasmi mereka yang menjadi kaki tangan kekuasaan jahat yang kelak akan diganti dengan ponggawa-ponggawa setia di antara kalian. Pengangkatan raja baru, mengingat akan usiaku yang telah lanjut, tetap akan diadakan, akan tetapi yang akan menggantikan aku bukanlah si Kukutan yang palsu itu, melainkan puteraku, Pangeran Panji Sigit!"
Sorak-sorai menyambut ucapan sri baginda ini dan terjadilah kegaduhan ketika para perajurit bergerak menangkapi perwira-perwira mereka sendiri yang tadinya diangkat oleh Pangeran Kukutan dan Suminten. Tanpa dikomando lagi mereka itu bergerak dan mengadakan pembersihan di kalangan mereka sendiri.
Sang prabu menghela napas, tidak sampai hati menyaksikan akibat daripada kelemahannya sendiri dan mengajak semua orang yang berada di panggung untuk memasuki istana dan di saat itu juga sang prabu membuka persidangan.
Tak lama kemudian bermunculanlah ponggawa-ponggawa lama yang tadinya terpaksa atau terpikat menjadi kaki tangan kekuasaan baru. Mendengar anjuran sang prabu tadi untuk sadar dan kembali, mereka ini memberanikan diri berturut-turut maju dengan tubuh gemetar dan kedua tangan dirangkapkan seperti serombongan anjing melipat ekornya karena takut digebuk!
Bagus Seta dan Tejolaksono mengajukan permohonan untuk mencari dan menangkap biang keladi semua kekacauan, yaitu Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama. Akan tetapi setelah memperkenankan dan baru saja mereka berdiri, tiba-tiba Pangeran Panji Sigit roboh terguling, disusul robohnya Ayu Candra dan Setyaningsih!
Tiga orang itu roboh dan merintih-rintih di atas lantai, Pangeran Panji Sigit menggaruk-garuk pipinya, Ayu Candra menggaruk-garuk bahunya, dan Setyaningsih menggaruk-garuk lengannya. Keadaan mereka amat aneh karena sambil menggaruk-garuk muka mereka menjadi merah sekali dan mulut mereka yang tadinya merintih-rintih itu kini berbisik-bisik!
"Setyaningsih, kekasihku, isteriku....." Bisik Pangeran Panji Sigit.
"Rakanda Pangeran, pujaanku, junjunganku...." Setyaningsih juga merintih-rintih dan berbisik mesra, kemudian kedua orang itu merangkak menghampiri dan berpelukan, berciuman!
"Kakangmas Tejolaksono.... ah, Kakangmas.... yang tercinta....!" Ayu Candra juga menubruk dan merangkul leher Tejolaksono yang terbelalak keheranan.
Sri baginda memandang semua ini dengan muka merah dan mata melotot. Beginikah tingkah laku puteranya yang baru saja ia umumkan akan dijadikan penggantinya? Akan tetapi Bagus Seta cepat melangkah maju dan tiga kali menepuk ia membuat tiga orang itu mengeluh dan pingsan. Mereka dibaringkan di lantai dan Bagus Seta lalu berkata, setelah mememriksa sejenak,
"Mereka ini terkena racun yang terbawa duri-duri yang dipergunakan Wasi Bagaspati tadi. Racun ini jahat sekali, mula-mula merangsang akan tetapi karena racunnya sudah memasuki jalan darah, kalau tidak cepat tertolong dapat membawa maut. Agaknya hamba harus cepat pergi mencari obatnya untuk memunahkan racun Ular Wilis ini...." Bagus Seta sudah bangkit, akan tetapi tiba-tiba Pusporini dan Joko Pramono berseru hampir berbareng,
"Ular Wilis....??"
Semua orang memandang mereka, dan Pusporini cepat berkata, "Ah, sekarang hamba mengerti mengapa kalau mereka bertiga terpengaruh racun, hamba sendiri yang juga terkena duri itu di pundak hamba, tidak apa-apa! Karena racun Ular Wilis dan karena hamba memakai mustika Ular Wilis, maka selamat!"
Bagus Seta menoleh kepadanya. "Sungguh Dewata adil dan penuh kasih kepada yang benar! Bibi Pusporini mempunyai mustika Ular Wilis?"
Pusporini sudah mengeluarkan mustika ular yang bercahaya hijau itu. Memang semenjak Resi Mahesapati memberikan mustika itu kepadanya, ia mengalungkannya dan tak pernah mustika itu terpisah dari tubuhnya. Bagus Seta menerima mustika itu dan berkata lirih,
"Kehendak Hyang Wisesa selalu terjadilah! Betapa akan kecelik rasa hati Wasi Bagaspati kalau dia mengetahui bahwa di antara kita ada yang mempunyai batu mustika Ular Wilis!" Pemuda sakti ini lalu menggunakan batu mustika ditempelkan sebentar di bagian tubuh ketiga orang yang menjadi korban senjata rahasia itu. Setelah mereka disadarkan kembali, ketiga orang itu menjadi terheran-heran dan bertanya, "Mengapa.... mengapa aku rebah di sini....?"
Tejolaksono lalu menceritakan bahwa mereka menjadi korban racun senjata rahasia Wasi Bagaspati, dan tertolong oleh mustika Ular Wilis. Hati mereka menjadi lega, dan sri baginda yang tadinya marah dan kecewa, setelah tahu duduknya perkara, juga tersenyum kembali dan mengutuk kejahatan Wasi Bagaspati.
Ketika Tejolaksono dan Bagus Seta melakukan penggeledahan dan pemeriksaan, diantar oleh Pangeran Panji Sigit yang mengenal semua tempat di istana, tentu saja mereka tidak menemukan jejak Suminten, Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama.
Kemanakah perginya tiga orang yang merupakan persekutuan yang menjadi biang keladi semua kekacauan itu? Begitu mendengar akan penyerbuan barisan Panjalu, mendengar betapa Ki Kolohangkoro tewas, Ni Dewi Nilamanik dan Wasi Bagaspati melarikan diri, para perwira kaki tangan mereka tewas dan barisan mereka terdesak kocar-kacir, tiga orang itu tentu saja tidak tinggal diam.
Tergesa-gesa mereka itu berunding untuk melarikan diri bersama melalui jalan rahasia dari belakang istana. Warutama bergegas pulang ke kepatihan untuk meninggalkan pesan kepada kedua isterinya. Akan tetapi apakah yang ia dapatkan? Kedua isterinya itu, Wulandari dan Dyah Handini, ibu dan anak, sedang bertengkar ramai! Ucapan terakhir yang didengarnya ketika ia masuk adalah ucapan isterinya yang tua, Wulandari,
"Tahukah engkau siapa dia itu? Dia adalah ayahmu sendiri, ayah kandungmu! Nah, sekarang engkau ketahui manusia macam apa adanya suamimu, suami kita. Dia manusia terkutuk yang telah memperisteri anaknya sendiri! Betapa maluku nanti menghadapi dimas Panji Sigit dan para pangeran lainnya, betapa aku telah terperosok ke lembah kehinaan dengan menjadi barang permainan manusia macam Sindupati! Ya, menjadi benda permainanlah kita berdua ini, Anakku. Ingat saja apa yang biasa ia lakukan kepada kita berdua selama ini. Tak tahu malu! Ahhh, lebih baik aku mati saja....!"
"Ibu....!" Dyah Handini menjerit. "Kalau dia ayahku, mengapa ibu tidak memberi tahu dahulu? Ahh, kalau aku tahu.... hemm, akan kubunuh dia !"
Tiba-tiba daun pintu terbuka dan Warutama atau Sindupati muncul di depan ibu dan anak yang menjadi pucat wajahnya itu. Tak lama kemudian terdengar jerit-jerit mengerikan di dalam kamar itu dan ketika Sindupati keluar dari istana kepatihan membawa benda-benda emas dan intan yang berharga, ia melirik untuk terakhir kalinya kepada dua batang tubuh wanita yang menggeletak tak bernyawa lagi di dalam kamar itu dan ia menyeringai ke arah mayat Wulandari dan Dyah Handini! Kalau saja ia tidak mendengar percakapan mereka, tidak perlu ia membunuh mereka, demikian ia menghibur diri sendiri ketika ia bergegas pergi ke taman sari milik pribadi Suminten untuk berkumpul dengan dua orang rekannya di sana kemudian bersama-sama melarikan diri.
Suminten dan Pangeran Kukutan muncul dengan tergesa-gesa pula. Pangeran Kukutan membawa sebuah buntalan besar dan berat, agaknya penuh dengan benda-benda berharga dan melihat kedua orang itu, Sindupati tertawa. Dia tidaklah seperti Suminten dan Pangeran Kukutan yang kelihatan ketakutan. Dalam keadaan seperti itu, kehilangan kemuliaan dan kemewahan sebagai patih, Sindupati masih mampu tertawa, mentertawakan Suminten dan Pangeran Kukutan yang berpakaian seperti petani-petani biasa!
"Lebih aman memakai pakaian rakyat biasa dalam pelarian," kata Pangeran Kukutan menangkis tertawaan Sindupati ketika mereka mulai berjalan memasuki lorong rahasia yang menembus keluar kota raja tanpa melalui pintu gerbang, melainkan keluar melalui terowongan yang dibuat menembus di bawah pintu gerbang itu.
"Memang kalian amat pantas berpakaian seperti itu," kata Sindupati.
Suminten melerok marah, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ia diam saja hanya mengerutkan alisnya penuh keprihatinan. Diam-diam ia mengutuk Wasi Bagaspati dan kaki tangannya yang ternyata tidak mampu mempertahankan Jenggala, dan diam-diam ia mengutuk Pangeran Kukutan yang begitu tidak sabar untuk cepat-cepat menjadi raja sehingga mereka harus memaksa sang prabu untuk menobatkan Pangeran Kukutan menjadi raja.
Kalau saja tidak terlalu tergesa-gesa dan membiarkan keadaan berjalan seperti biasa, tentu tidak akan memancing datangnya serbuan dari Panjalu. Kalau saja.... kalau.... kalau.... ah, tidak perlu segala penyesalan itu. Yang penting sekarang melarikan diri agar jangan sampai tertangkap. ia ngeri memikirkan kalau sampai dia ditawan oleh Kerajaan Jenggala. Masa depannya tidak terlalu gelap. Pangeran Kukutan adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan dan mencintanya. Dan mereka membawa bekal yang cukup banyak untuk kebutuhan mereka.
Kini mereka telah tiba di luar kota raja. Sunyi di sini karena pertempuran beralih ke dalam kota raja yang masih terdengar dari situ. Hanya mayat-mayat bergelimpangan dan rintihan mereka yang terluka saja yang terdapat di luar dinding kota raja. Suminten bergidik dan mereka melanjutkan perjalanan ke barat. Setelah agak jauh dari kota raja, dan tiba di pinggir persawahan yang juga sunyi karena para penduduknya pergi mengungsi begitu terjadi perang, hati Suminten agak lapang. Tiba-tiba Sindupati berkata, "Berikan buntalan itu kepadaku!"
Ucapan ini terdengar oleh Suminten dan Pangeran Kukutan seperti suara halilintar di tengah hari! Mereka memandang kepada Sindupati atau Warutama dengan wajah pucat dan mata terbelalak. Pangeran Kukutan bertanya kasar dan marah, "Apakah maksudmu dengan ucapan itu?"
"Apa maksudku? Maksudku jelas! Tidak patut seorang petani miskin seperti Andika ini membawa-bawa sebuntal barang-barang berharga milik istana pula. Kesinikan, berikan kepadaku!"
"Jangan main-main, Paman patih....."
"Aku bukan patih lagi dan Andika bukan pula pangeran, melainkan orang-orang pelarian, ha-ha-ha! Ayo berikan, ataukah harus kupaksa?"
"Tidak! Tidak boleh! Milikku sekarang hanya tinggal ini.... tidak boleh!"
Suminten tak dapat berkata apa-apa, hanya memandang kepada Sindupati penuh kebencian.
"Berani engkau membantah Sindupati? Ha-ha-ha!" Sindupati meraih untuk merampas buntalan, akan tetapi Pangeran Kukutan mengelak, bahkan lalu memukul ke arah lambung Sindupati dengan nekat.
Sindupati cepat menangkis dan balas memukul. Maka berkelahilah kedua orang bekas sekutu itu memperebutkan sebuntal barang-barang berharga! Akan tetapi, Pangeran Kukutan tentu saja bukanlah lawan seimbang dari Sindupati yang telah memiliki kesaktian, maka dalam beberapa belas gebrakan saja, buntalan dapat dirampas dan tubuh Pangeran Kukutan menggeletak di galengan sawah dengan kepala pecah. Pangeran yang tadinya sudah menjadi putera mahkota, yang nyaris menjadi raja di Jenggala dalam waktu beberapa pekan lagi, kini menggeletak mati sebagai seorang petani di pinggir sawah!
Suminten menghampiri Sindupati dan merangkul pinggang pria itu, menggeser-geserkan tubuh depannya dan berbisik, "Tepat sekali apa yang kau lakukan ini, Warutama... eh, ataukah Kakang Sindupati? Kakang Sindupati lebih gagah terdengarnya. Tadi memang aku sudah ada pikiran untuk minta kepada Andika melenyapkan saja pangeran menyebalkan ini. Mari kita lekas pergi dari sini, kekasih pujaan hatiku....!"
Sindupati menunduk dan memandang rambut yang halus dan harum itu dengan mata terbelalak. Ia bergidik dan muak. Alangkah berbahayanya perempuan ini, melebihi seekor ular welang! Akan tetapi ia tertawa bergelak.
"Ha-haha-ha, engkau boleh ikut bersamaku, Suminten. Engkau masih banyak gunanya bagiku, bukankah begitu, manis?" Ia menunduk dan mencium pipi wanita itu, akan tetapi Suminten merangkulnya dan membalas dengan mencium bibirnya amat mesra dan penuh nafsu berahi.
"Tentu saja, Kakang Sindupati, kita dapat saling bekerja sama dengan mesra dan cocok untuk waktu yang lama sekali."
Kedua orang itu melangkah lagi ke barat tanpa menengok satu kali pun kepada mayat Pangeran Kukutan yang mengelatak di pinggir sawah dengan hidung, mulut dan telinga mengalirkan darah itu. Dan tak jauh dari situ, di sebelah barat, kini mulailah mereka bertemu dengan rombongan-rombongan tentara yang melarikan diri! Tentara Jenggala yang lari kacau-balau karena kehilangan pimpinan.
Kalau pasukan sudah tidak ada yang memimpin, tidak ada yang ditakuti lagi, tidak ada disiplin dan hukum, tentu saja terjadi perbuatan-perbuatan pelanggaran yang akibatnya mendatangkan derita bagi rakyat. Demikian pula sisa-sisa pasukan Jenggalla yang melarikan diri ini, di sepanjang jalan tentu saja mengganggu dusun-dusun, mengambil makanan dengan paksa, mengangkut benda-benda berharga, menculik dan memperkosa gadis-gadis remaja. Pendeknya, tidak ada perbuatan kekerasan yang menjadi pantangan bagi mereka.
"Eh.... Gusti Patih, nih! Hendak pergi ke manakah, Gusti Patih?" Seorang di antara mereka yang agaknya mabuk tuak yang dirampasnya dari penduduk dusun, bertanya secara kurang ajar kepada Sindupati yang segera dikurung oleh dua puluh orang perajurit yang menyeringai dan memandang dengan penuh nafsu dan kekaguman kepada Suminten.
"Wah, Gusti Patih pandai sekali mendapatkan seorang yang begini denok!" seorang lain berkata.
"Dan bekalnya banyak benar, sebuntal besar. Bagi-bagi dong, Gusti Patih!"
Sindupati tertawa. Ia mengenal baik orang-orang kasar seperti ini sehingga tidak perlu ia tersinggung. Ia malah tertawa dan berkata, "Kita sudah kalah, tidak perlu main patih-patihan lagi. Ha-ha-ha!"
"Ha-ha-ha-ha!" Mereka semua tertawa bergelak, mulut mereka terbuka lebar-lebar sehingga Suminten dapat melihat rongga mulut yang lebar-lebar dan merah di balik gigi yang kuning-kuning.
"Buntalan ini tak dapat kubagi, kalian boleh mencari sendiri di jalan. Adapun ini.... kalau kalian suka, boleh kalian miliki. Aku sudah bosan dengan dia!" Sindupati mendorong tubuh Suminten sehingga terhuyung-huyung dan belasan pasang lengan menerimanya dengan penuh gairah.
"Tidak.... tidak.... jangan.... Sindupati....ah, jangan...."
Sindupati menengok dan tertawa, lalu pergi tanpa menoleh lagi biarpun ia mendengar jerit Suminten, malah berlari makin cepat sehingga akhirnya ia tidak mendengar apa-apa lagi, baru ia melanjutkan perjalanan dengan berjalan biasa, memutar otak ke mana ia akan menujukan kakinya mencari petualangan baru tanpa menyesali kegagalannya di Jenggala setelah ia hampir tiba di puncak tertinggi. Ia tidak perlu menyesal, tidak perlu kecewa, hanya sebuah hal yang selalu menjadi ganjalan hatinya, yaitu dendam Endang Patibroto terhadap dirinya. Hal inilah yang membuat ia selalu gelisah dan tidak dapat menikmati hidup. Ia merasa menyesal sekali dan menyumpahi kekeliruannya ketika ia tidak dapat menahan nafsu dan berani memperkosa wanita sakti yang baru mengingatnya saja sudah membuat bulu tengkuknya meremang itu.
"Jangan.... Mundur semua kalian, manusia-manusia biadab! Tidak tahukah kalian siapa aku? Butakah mata kalian tidak mengenal junjungan kalian? Bedebah kamu semua, kurang ajar, lepaskan tanganku!" Suminten menjerit dan memaki.
Dua puluh orang laki-laki kasar itu terbelalak, lalu tertawa bergelak dan menganggap lucu sikap wanita dusun yang amat cantik jelita ini. Biarpun kulitnya tetap agak hitam seperti kulit wanita petani, namun halus bukan main.
"Duhai puteri jelita, mohon beribu ampun kalau hamba sekalian tidak mengenal siapa gerangan paduka puteri ini. Sudilah kiranya paduka puteri berkenan memperkenalkan diri agar hamba sekalian dapat memberi hormat sebagaimana layaknya," demikian berkata seorang di antar mereka dengan suara dan sikap dibuat-buat sehingga semua temannya tertawa geli dan juga berpura-pura dengan sembah hormat sambil cekikikan seperti sekumpulan anak-anak nakal.
"Oohhh, kalian ini bukankah para perajurit Jenggala? Apakah benar kalian tidak mengenal aku ataukah sudah buta matamu? Aku adalah junjunganmu, selir kinasih (tersayang) sang prabu, Suminten."
Kembali dua puluh orang itu tertawa bergelak. Suminten? Baru pakaiannya saja pakaian sederhana, pakaian wanita dusun, wanita petani, mengaku sebagai Suminten?
"Wah, jadi paduka ini Gusti Puteri Suminten? Kalau begitu kebetulan sekali, karena Gusti Puteri terkenal paling doyan pria-pria muda dan kuat. Kebetulan kami dua puluh orang adalah pria-pria yang kuat, ha-ha-ha!"
Kembali mereka berebut maju, berlomba dulu untuk memeluk dan menggerayang tubuh yang padat itu. Suminten menjerit-jerit, kemaki-maki, meronta-ronta, akan tetapi apakah dayanya menghadapi dua puluh orang laki-laki yang kasar? Akhirnya ia menjerit-jerit dan menangis, namun apapun yang dilakukan malah seakan-akan menambah gairah dua puluh orang pria yang memperkosanya berganti-ganti itu. Sampai malam tiba barulah mereka melepaskan Suminten yang menggeletak pingsan di pinggir hutan, meninggalkan perempuan ini sambil tertawa-tawa puas dan memuji-muji. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan untuk mengacau kampung-kampung, mencari rampasan-rampasan baru, mencari calon korban mereka, wanita-wanita baru.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Suminten merangkak sambil merintih-rintih, pakaiannya robek-robek, pakaian yang direnggutkan secara kasar oleh banyak tangan, yang terpaksa dipakainya untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bulat, untuk menahan serangan hawa dingin pagi itu. Kemudian, setelah merangkak seperti seekor anjing sakit untuk beberapa lamanya, kadang-kadang jatuh dan menangis, akhirnya ia dapat bangkit berdiri, berjalan terhuyung-huyung. Tiba-tiba ia berhenti, menengadah dan tertawa kecicikan, kemudian menangis lagi, tertawa lagi. Menjelang tengah hari ia bertemu dengan dua orang pemburu di dalam hutan, dua orang pemburu yang lebih pantas disebut orang hutan daripada manusia, liar dan kasar karena lebih sering berada di hutan memburu binatang dari pada hidup di masyarakat ramai.
"Hi-hik, ke sinilah, wong bagus! Ke sinilah kalian berdua! Lihat, apakah tubuhku tidak denok dan montok? Apakah rambutku tidak hitam panjang dan halus? Wajahku cantik dan tubuhnya hangat! Ke sinilah kalian....!"
Sejenak dua orang pria itu saling pandang, akan tetapi kemudian mereka terbelalak memandang ketika Suminten menanggalkan pakaiannya yang compang-camping, memperlihatkan tubuh yang benar-benar mempesonakan dua orang pemburu itu. Sungguh, selama hidup mereka, belum pernah mereka menyaksikan bentuk tubuh seindah ini! Dan wajah itu, biarpun agak kotor dan rambutnya kusut, namun harus mereka akui cantik manis dan rambutnya benar-benar hitam panjang dan berombak. Setankah wanita itu? Siluman yang menggoda mereka? Peri? Andaikata mereka tidak berdua, tentu seorang diri saja mereka akan lari saking ngeri. Akan tetapi karena mereka berdua, mereka kini malah menghampiri dan begitu tangan mereka menyentuh lengan Suminten dan mendapat kenyataan bahwa si cantik itu benar-benar seorang manusia, keduanya lalu berebut untuk mendapatkan wanita menggairahkan ini lebih dulu!
Suminten menyambut mereka dengan pelukan mesra dan tertawa terkekeh-kekeh. Beberapa hari kemudian, setiap orang pria yang berjumpa dengan Suminten tentu lari dan dikejar-kejarnya sambil tertawa-tawa dan mengeluarkan kata-kata merayu, menawarkan tubuhnya. Akan tetapi setiap orang laki-laki yang melihatnya menjadi amat jijik dan melarikan diri. Siapa orangnya sudi berdekatan dengan seorang wanita yang kurus kotor, bermuka pucat dan jelas miring otaknya?
Akhirnya, tidak sampai sebulan kemudian, orang mendapatkan tubuh Suminten yang telanjang bulat dan kurus kering menggeletak mati di dekat sungai, agaknya kelaparan atau kedinginan. Suminten, bekas selir terkasih, bahkan bekas orang yang paling berkuasa di Jenggala, mati sebagai seorang pengemis gila yang tak dikenal orang, dan dikuburkan orang hanya karena orang lain tidak mau terganggu mayat membusuk, tidak ada yang berkabung untuknya, tidak ada yang menangisi kematiannya, bahkan tidak ada yang mengenal siapakah wanita terlantar yang mati itu. Sungguh akhir hidup yang menyedihkan.
Menyedihkankah? Tentu saja menyedihkan diukur pendapat manusia umumnya. Benarkah pendapat ini? Belum tentu benar, akan tetapi juga belum tentu benar pendapat umum bahwa ketika menjadi orang yang paling berkuasa di Jenggala, Suminten menikmati kehidupan yang bahagia!
Suka atau duka, menyenangkan atau menyedihkan, hanyalah merupakan hasil pendapat dari pandangan orang lain! Bulan ini menjadi orang yang paling berkuasa di Jenggala, bulan berikutnya mati seperti seekor anjing kelaparan di pinggir sungai. Inilah keadaan Suminten.
Demikian pula dengan keadaan hidup manusia ini. Hari ini tertawa, esok menangis atau sebaliknya. Hari ini berhasil dan menang, esok bisa saja gagal dan kalah. Memang isi daripada hidup hanya satu di antara dua yang selalu berselingan, yang sudah semestinya begitu, seperti kemestian bahwa yang hidup menghadapi mati. Tak dapat diubah lagi.
Karena itu, manusia yang sadar selalu ingat akan dua kata-kata yang berbunyi, OJO DUMEH yang artinya manusia tidak boleh takabur, tidak boleh sombong, tidak boleh mengandalkan kekayaan, kedudukan dan kekuasaan karena semua itu hanyalah sekedar BARANG PINJAMAN belaka. Kesemuanya itu, kalau Tuhan menghendaki, dapat lenyap meninggalkan manusia atau ditinggalkan manusia.
Orang yang sadar akan menganggap kesemuanya itu hanya sebagai suatu anugerah yang patut dinikmati namun yang sama sekali bukan merupakan tujuan hidupnya, dan sekali-kali tidak boleh menguasai dan memperhamba batinnya. Orang yang mabuk akan kemenangan, akan menjadi amat sengsara hatinya kalau sekali waktu dikalahkan. Orang yang terlalu menyayang akan keduniawian yang didapatnya, akan sengsara hatinya kalau kehilangan semua itu.
Sebaliknya, orang yang mendendam kekalahan akan menjadi mata gelap dan tersiksa oleh dendamnya sendiri. Berbahagialah dia yang dapat tersenyum di kala kehilangan, dan bersahaja di kala mendapatkan hasil baik, tidak iri hati kepada yang di atas selagi dia berada di bawah, juga tidak menghina kepada yang di bawah selagi dia berada di atas.
Suminten adalah orang yang selalu mengejar kesenangan, oleh karena itu, mengherankankah kalau dia bertemu dengan kesusahan? Kesenangan dan kesusahan tak terpisahkan, ada senang tentu ada susah, mencari senang berarti mencari susah. Orang yang diperhamba oleh nafsu akan kesenangan takkan dapat menikmati kesenangan, karena dia selalu haus dan takkan dapat terpuaskan sehingga akhirnya ia akan tersiksa oleh kehausan akan kesenangan, dan menjadi mata gelap, tidak segan-segan melakukan perbuatan kejam terhadap manusia lain yang bagaimanapun demi untuk mengejar dan mendapatkan cita-cita yang dianggapnya menjadi sumber kesenangan hidupnya. Sama sekali tidak tahu atau sadar bahwa yang dikejar-kejar itu kosong melompong, bagaikan mengejar bayangan sendiri, makin dikejar makin menjauh, dikata jauh tak pernah terpisah dari tubuh sendiri! Betapa patut dikasihani manusia seperti Suminten ini!
********************
Retna Wilis berseru girang sekali ketika ia melihat bintang yang setiap malam dipandangnya itu melayang jatuh menjadi sinar yang panjang. Itulah tanda bagi dia untuk diperbolehkan meninggalkan pantai yang sunyi ini seperti yang dipesankan gurunya, Nini Bumigarba yang telah lenyap bersama Bhagawan Ekadenta di Laut Selatan.
Setelah merasa yakin bahwa bintang yang dimaksudkan gurunya itu betul-betul telah runtuh dan tidak tampak lagi di angkasa, Retna Wilis lalu melangkah perlahan menuju tepi laut. Sampai lama ia memandang ke arah laut, seolah-olah ia hendak minta doa restu gurunya. Ia termenung seperti telah berubah menjadi arca dewi menjaga pantai dan baru sadar ketika ada benda berat menindih kakinya. Ia menunduk dan melihat seekor kura-kura besar di depan kakinya. Kiranya kura-kura yang pernah membantunya mengambil pedang pusaka Sapudenta itulah yang tadi mendekam di kakinya.
"Eh, Kukura yang baik, malam ini adalah malam terakhir aku berada di sini. Bawalah aku berjalan di sepanjang pantai, Kukura." Retna Wilis lalu duduk di atas punggung kura-kura raksasa itu dan dengan mendorong-dorong leher binatang itu, ia dapat mengendarai binatang itu berjalan-jalan bersama Kukura menikmati angin laut dan pemandangan indah ombak-ombak laut ditimpa sinar bulan yang keemasan.
Ketika matahari muncul kemerahan di permukaan laut sebelah timur, barulah Retna Wilis menyuruh kukura pergi yang kembali ke laut, kemudian ia pun mandi sampai puas dan berganti pakaiannya yang serba hijau. Rambutnya yang hitam panjang ia gelung sebagian di atas kepala dan membiarkan sisa rambut itu terurai ke belakang.
Pakaiannya ringkas dan ketat, pedangnya ia ikat di belakang punggung, wajahnya berseri dan segar ketika akhirnya gadis remaja ini meninggalkan pantai dan berjalan ke utara. Ia hanya ingat bahwa letak Gunung Wilis adalah di barat dan bahwa untuk menuju ke Gunung Wilis ia harus meninggalkan pantai itu menuju ke utara, kemudian ia akan membelok ke barat.
Apakah ibunya masih berada di puncak Wilis? Apakah Padepokan Wilis masih berdiri dan ibunya masih menjadi pemimpin Padepokan Wilis? Dia teringat akan nasehat gurunya,
"Kelak engkau harus menjadi puteri yang menguasai seluruh jagad. Dengan demikian, tidak percuma engkau berpayah-payah belajar di sini dan tidak percuma menjadi murid Nini Bumigarba. Engkau pergilah ke Wilis, himpun kekuatan barisanmu dari Wilis dan kemudian taklukkan semua kerajaan sampai bertekuk di depan kakimu. Ajaklah ibumu, akan tetapi kalau Endang Patibroto menghalangi cita-citamu, tantanglah dia! Biar ibu sendiri kalau menghalangi cita-citamu, tak perlu ditaati, karena engkau adalah seorang puteri yang paling sakti di dunia ini, bukan seorang kanak-kanak yang harus menurut apa saja yang dikatakan ibumu!"
Di dalam sudut hatinya, Retna Wilis tidak setuju kalau dia harus menentang ibunya, namun sanjungan-sanjungan gurunya menghidupkan sebuah tekad di hatinya, yaitu bahwa dia harus menguasai jagad sebagai seorang ratu yang tiada bandingnya! Kalau ibunya menentang, hemm.... bagaimana nanti sajalah.
la sudah mendengar dari ibunya betapa ayahnya adalah Adipati Tejolaksono dan betapa ibunya terpaksa meninggalkan ayahnya itu karena ibunya hanyalah seorang selir! Ibunya hidup merana, mengasingkan diri di Wilis. Karena itu, ia akan mengangkat derajat ibunya, akan membuka mata ayahnya yang bernama Adipati Tejolaksono itu bahwa ibunya bukan seorang wanita sembarangan, melainkan seorang wanita yang menjadi ibu Ratu Dunia! Ayahnya dan isteri ayahnya itu kelak akan ia taklukkan dan ia paksa untuk bertekuk lutut di depan ibunya, untuk minta ampun!
Dengan semangat menyala-nyala dan wajah berseri penuh keyakinan bahwa semua cita-citanya pasti akan berhasil, Retna Wilis melakukan perjalanan cepat ke utara. Akan tetapi sebagai seorang yang bertahun-tahun hidup di pantai, kini di sepanjang memasuki hutan-hutan dan melihat buah-buahan, Retna Wilis yang sesungguhnya hanyalah seorang gadis remaja itu seringkali berhenti memetik buah-buah dan kembang-kembang!
Ketika Retna Wilis sedang duduk di bawah pohon dan dengan nikmatnya makan buah semangka yang dipetiknya di jalan tadi, tiba-tiba ia mengerutkan keningnya dan menghentikan sebentar gerakannya makan semangka. Akan tetapi ia segera melanjutkan menggerogoti semangka yang merah dan manis itu, tidak peduli akan bayangan banyak orang yang sedang memasuki hutan itu dan menuju ke tempat ia duduk.
Rombongan orang itu terdiri dari tiga puluh orang lebih laki-laki yang kasar dan memegang bermacam senjata tajam. Mereka berjalan sambil berkelakar dengan suara kasar dan yang mereka bicarakan adalah pengalaman-pengalaman mereka di sepanjang perjalanan melarikan diri dari Jenggala, pengalaman membakar rumah penduduk, merampok dan terutama sekali tentang wanita-wanita yang mereka perkosa.
"Ha-ha-ha, lebih senang begini, kawan-kawan!" Terdengar suara yang parau dan paling kasar di antara yang lainnya.
"Dahulu yang manis-manis dihabiskan oleh para pangeran sendiri dan para perwira. Kini kita bebas dan setiap menginginkan wanita tinggal ambil saja, ha-ha-ha!"
"Benar! Selama menjadi perajurit di Jenggala aku tidak pernah mendapat kesempatan menikmati wanita seperti malam tadi, ha-ha-ha!"
Mendengar ini, bangkit perhatian Retna Wilis. Hemm, jadi mereka ini perajurit-perajurit Jenggala yang melarikan diri! Dia membutuhkan anak buah dan mereka ini baik sekali dijadikan anak buah ibunya di Wilis. Akan tetapi ia melanjutkan menghabiskan semangka di tangannya.
"Wahhhh.... peri kahyangan.... !!"
Seketika suara ribut-ribut tadi berhenti dan tiga puluh orang laki-laki itu mengurung Retna Wilis dengan mata terbelalak kagum dan mulut mengilar seperti macan-macan kelaparan melihat seekor domba gemuk. Retna Wilis hanya melirik sebentar, terus menghabiskan semangkanya. Kemudian sambil memegang kulit semangka ia berdiri dan kembali terdengar seruan "wah-wah-wah!" saking kagum mereka. Setelah gadis itu berdiri, bukan hanya wajah cantik itu yang mereka kagumi, melainkan juga bentuk tubuh yang ramping padat dan denok.
"Kalian ini perajurit-perajurit pelarian dari Jenggala? Apakah mereka yang berkuasa di Jenggala benar sudah hancur dan kalian kehilangan pekerjaan? Kalau kalian mau, mulai saat ini boleh kalian menghambakan diri kepadaku dan kelak kalian akan dapat menjadi perajurit-perajurit dari kerajaan terbesar di seluruh dunia!"
Sejenak tiga puluh orang laki-laki kasar itu tercengang, kemudian saling pandang dan meledaklah suara ketawa mereka. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, wajahnya tampan juga dan dia terkenal paling jagoan di antara teman temannya, juga paling ganas menghadapi wanita di sepanjang jalan pelarian mereka yang mereka ganggu, melangkah maju dan memandang Retna Wilis penuh perhatian, dengan sepasang mata berkilat penuh nafsu dan mulut menyeringai.
"Eh-eh, engkau ini perawan dari mana bicara begini besar?"
Retna Wilis tidak marah, bahkan tersenyum. "Aku adalah Perawan Lembah Wilis, atau calon ratu yang akan menundukkan seluruh kerajaan di Nusa Jawa, termasuk Jenggala dan Panjalu!"
Kembali mereka tertegun dan kembali meledaklah suara ketawa mereka. Jagoan yang bertanya tadi lalu berkata, "Waduh, denok. Apakah otakmu miring? Sayang kalau miring, engkau begini cantik manis dan denok. Mari kuobati penyakitmu, ditanggung engkau akan sembuh dari penyakit gilamu. Marilah manis!" Setelah berkata demikian, laki-laki itu mengulur tangan kirinya ke arah dada Retna Wilis sedangkan tangan kanannya hendak merangkul leher. Akan tetapi Retna Wilis melangkah mundur, memandang dengan muka merah dan alisnya mulai berkerut.
"Hemm, apakah kalian ini sudah bosan hidup? Lekas berlutut minta ampun dan menyatakan takluk, atau.... hemm, kubunuh kalian semua!"
"Aduh-aduh, hebat sekali kesombonganmu, cah manis! Biarlah, aku memilih mati, mati dalam pelukanmu, ha-haha!" Jagoan itu mengejek lagi dan semua kawannya tertawa-tawa.
"Kardi, lekas bereskan dia, setelah engkau baru aku! Ah, sudah gemas aku ingin menggigit bibirnya yang kenes itu!" Teriak seorang laki-laki yang berkumis tebal, sekepal sebelah sambil mengelus kumisnya dan lidahnya menjilat-jilat bibir seperti orang yang kehausan melihat semangka.
Jagoan yang bernama Kardi itu tertawa, kini meloncat ke depan menubruk Retna Wilis. Gadis ini marah sekali, marah yang timbul dari kekecewaan mengapa orang-orang ini tidak mau mentaati perintahnya. Tangan kirinya yang memegang kulit semangka itu menyambar ke depan.
"Pratttt!!!"
Kardi menjerit dan roboh bergulingan, mengaduh-aduh berusaha melepas kulit semangka yang melekat di pipinya. Akan tetapi begitu ditarik, darahnya menyemprot keluar dan ia menjerit-jerit kesakitan. Ternyata kulit semangka itu telah menghancurkan kulit dan menempel pada tulang rahangnya menggantikan kulitnya sehingga kalau dibeset sama halnya dengan mengupas kulit mukanya. Saking nyerinya, Kardi roboh dan mengerang kesakitan.
Sejenak kawannya laki-laki kasar itu terkejut dan tercengang. Akan tetapi kemarahan mereka bangkit dan dua orang, satu di antaranya adalah si jenggot tebal tadi, sudah menubruk maju dengan kedua tangan terpentang untuk menangkap perawan yang mereka anggap selain cantik manis denok juga sombong dan galak itu. Ingin mereka merobek-robek pakaian gadis itu dan beramai-ramai melahapnya seperti sekumpulan serigala kelaparan melahap dan merobek-robek daging seekor domba muda.
"Plak-plak !!"
Kembali tangan kiri Retna Wilis bergerak tanpa ia menggerakkan kedua kakinya yang masih terpentang dengan tubuh tegak. Karena sekali ini yang menyambut dada dan kepala kedua orang itu bukan kulit semangka melainkan jari tangannya, si kumis tebal roboh dengan tulang dada patah-patah sedangkan kawannya roboh dengan kepala pecah dan otaknya muncrat bersama darah. Keduanya tewas seketika dengan mata mendelik dan dalam keadaan yang mengerikan sekali.
"Hayoh, siapa lagi yang bosan hidup?" Retna Wilis membentak, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi, kedua tangannya bertolak pinggang dan ia berdiri tegak, sikapnya gagah dan garang sekali.
Akan tetapi sekumpulan perajurit Jenggala itu adalah orang-orang kasar yang tidak dapat mengenal orang sakti. Melihat tiga orang kawan mereka roboh, mereka menjadi marah sekali. Kesempatan itu dipergunakan oleh empat orang anggota gerombolan yang berdiri terdekat di belakang Retna Wilis untuk menggerakkan golok mereka menyerbu dari belakang, membacokkan senjata mereka ke arah tubuh belakang dan kepala Retna Wilis.
"Syuuuutttt... plak-plak-plak-plakk!!" Tubuh Retna Wilis diputar membalik, kedua tangannya dengan jari terbuka menyambar empat kali. Empat batang golok lawan terbang disusul robohnya tubuh mereka yang tak mungkin dapat bangun kembali karena sekali tampar saja cukup bagi Retna Wilis untuk membuat kepala mereka retak dan dada mereka pecah!
Robohnya empat orang ini seolah-olah merupakan tanda bagi semua laki-laki di situ untuk menerjang maju. Retna Wilis mengeluarkan seruan marah dan kecewa, akan tetapi ia tidak pernah menggeser kedua kakinya, hanya tubuh atasnya saja berputar ke sana ke mari dan kedua tangannya membagi-bagi tamparan maut. Tidak ada yang harus dipukul dua kali karena sekali tampar saja nyawa mereka dipaksa meninggalkan raga. Bagaikan sekumpulan laron menerjang api, Para bekas perajurit Jenggala itu menyerbu untuk mati.
Setelah lebih dari setengah jumlah mereka roboh binasa, barulah sisanya seperti terbuka mata mereka, dan serta merta mereka menjatuhkan diri berlutut, melempar golok dan menyembah minta ampun. Retna Wilis berdiri di tengah-tengah tumpukan mayat yang berserakan, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum puas, kedua tangan di pinggang Ia mengugguk-angguk.
"Bagus, baru kalian mengenal kesaktian Perawan Lembah Wilis, ya? Mulai sekarang, kalian menjadi anak buahku, calon anak buah Kerajaan Wilis dan kalian harus menyebut aku Gusti Puteri Retna Wilis. Sekarang kalian ikuti aku ke Gunung Wilis, tidak melakukan sesuatu tanpa ijinku. Siapa membantah?"
Tidak ada yang berani membantah, hanya ada seorang di antara mereka yang agak tua memandang mayat-mayat itu dan bertanya dengan suara gemetar.
"Maaf, Gusti Puteri. Bagaimana dengan mayat-mayat ini....?"
"Bagaimana lagi? Tinggalkan saja. Mereka menjadi bagian binatang-binatang hutan. Hayo berangkat!"
Lima belas orang bekas perajurit Jenggala itu bangkit berdiri dan memanang junjungan baru itu dengan penuh kagum dan rasa takut. Tahulah mereka, bahwa wanita muda, gadis remaja ini adalah seorang yang selain sakti mandrauna, juga memiliki kekerasan hati yang menggiriskan.
Retna Wilis dahulu seringkali mendapat nasehat-nasehat gurunya tentang memimpin anak buah. Maka kini pun, biar dia sendiri dapat menahan tidak makan minum sampai berhari-hari, dia memperhatikan keperluan anak buahnya dan membolehkan mereka itu mengambil hasil-hasil sawah di luar dusun-dusun untuk dimakan.