Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Alap Alap Laut Kidul
Jilid 04
SINGOWIRO dapat menduga bahwa tentu kakek ini yang tadi telah membebaskan Warsiyem dari pundaknya, Akan tetapi dia sungguh tidak mengerti bagaimana caranya dan sukar dipercaya bahwa kakek yang tampak begini lemah, seolah tertiup anginpun akan roboh, dapat membebaskan Warsiyem dari panggulannya.
“Hei, kakek tua bangka pikun! Engkaukah yang melepaskan isteriku dari pondonganku tadi?” bentaknya sambil melotot.
Pelototan matanya ini biasanya sudah cukup untuk membuat orang ketakutan dan tidak berani menentangnya. “Dia bohong! Saya sama sekali bukan isterinya! Dia malah menculik saya dan hendak memaksa saya menjadi isterinya yang ke tiga!” teriak Warsiyem.
“Ki sanak, sadarlah bahwa berbuat jahat sama dengan menanam benih beracun dan kelak andika sendirilah yang akan memetik buahnya yang beracun juga. Sadarlah sebelum terlanjur.” kata kakek itu, suaranya lembut dan ramah.
“Babo-babo, tua Bangka busuk. Jangan mencampuri urusanku. Minggat kau!” bentak Singowiro marah.
Akan tetapi kakek itu berdiri tegak dengan tangan kiri di belakang pinggul dan tangan kanan memegangi tongkat yang ditekankan ke atas tanah. “Kisanak, semoga Gusti Allah mengampunimu.” kata pula kakek itu.
“Jahanam, engkau sudah bosan hidup!” bentak Singowiro dengan marah sekali.
Warsiyem merasa ngeri. Ia meremas-remas tangan sendiri di depan dadanya, merasa khawatir sekali akan keselamatan kakek yang tua renta itu. Ngeri hatinya menyaksikan wajah yang tua itu dihancurkan Singowiro yang kuat dan kejam. Singowiro sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia menghantam dengan kepalan tangan kanannya ke arah muka tua itu.
“Wuuuussss..!!” Pukulan itu menyambar ke arah muka kakek itu dan Warsiyem memejamkan matanya, tidak tahan melihat muka itu dipukul. Akan tetapi telinganya tidak mendengar apa-apa, tidak mendengar kakek itu roboh atau berteriak kesakitan, melainkan mendengar suara Singowiro berseru seperti orang heran.
“Ehhh...??” Singowiro memang merasa heran bukan main. jelas kepalan tangannya menyambar ke arah muka kakek itu yang berada dekat di depannya, akan tetapi aneh, pukulannya tidak mengenai muka kakek itu, melainkan lewat saja di depannya seolah tangannya tidak sampai. Dia merasa penasaran dan kembali dia memukul, kini kepalannya menonjok ke arah dada yang kerempeng itu.
“Wuuuttt....!” Pukulan itu meluncur kuat tetapi ketika hampir mengenai dada kakek itu, tiba-tiba Singowiro merasa kepalan tangannya seperti bertemu sesuatu yang lunak akan tetapi kuat sekali, seperti ada hawa yang kuat menerima pukulannya dan membuat pukulan tangannya membalik sehingga dia terhuyung ke belakang.
Warsiyem yang telah membuka matanya juga melihat peristiwa ini dan ia memandang bengong. Betapapun juga, hatinya kembali merasa ngeri ketika ia melihat Singowiro mencabut goloknya. Melihat golok yang mengkilat saking tajamnya itu ia bergidik. teringat ia akan ayahnya yang dahulu juga tewas karena bacokan golok orang ini. Biarpun sudah dua kali pukulannya tidak mengenai sasaran dan secara aneh pukulannya membalik pada hal kakek itu tidak membuat gerakan apa-apa, melainkan hanya berdiri tegak. Singowiro tidak mundur bahkan menjadi semakin penasaran dan marah.
“Setan! Mampuslah!” bentaknya dan kini menyerang dengan goloknya membacok sekuat tenaga ke arah leher kakek itu. Kakek itu diam saja dan bahkan memejamkan mata seolah tidak terjadi sesuatu. Golok di tangan kanan singowiro itu menyambar ke arah leher dengan kuat sekali. kembali Warsiyem memejamkan matanya karena tidak tega melihat darah muncrat dari leher yang terbacok. Akan tetapi ketika golok sudah menyambar dekat sekali dengan leher, tiba-tiba golok itupun membalik dengan kuat sekali.
Saking kuatnya golok itu terpental membalik, tubuh Singowiro terbawa dan diapun terjengkang dan terbanting ke atas tanah sampai terguling-guling. Sekali ini Singowiro bangkit dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dia merasa tengkuknya meremang dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi dia lalu lari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu! Setan, pikirnya. Dia bertemu setan di tengah hari!
Warsiyem menghampiri kakek itu, menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. “Paman, terima kasih atas pertolongan paman yang telah membebaskan saya dari malapetaka...“ Kata Warsiyem dengan terharu dan penuh hormat.
“Bangkitlah, nini dan bersyukurlah kepada Gusti Allah karena hanya kekuasaan Gusti Allah yang telah menolongmu. Aku sendiri tidak berbuat apa-apa dan tidak bisa apa-apa. Mari kuantar engkau pulang ke rumahmu, nini.”
Setelah berhenti bicara, kakek itu batuk-batuk tiga kali dan napasnya terengah-engah. Warsiyem bangkit dan memandang dengan penuh kekhawatiran. “Paman... maafkan, apakah... paman sakit...?”
Kakek itu mengangguk. “Benar, dan beginilah jasmani seorang yang sudah tua, nini. Mari... kuantar engkau“
Warsiyem mengangguk dan berjalan. Kakek itu mengikutinya dan langkahnya tertatih-tatih, gemetaran, wajahnya pucat dan napasnya terengah-engah. Melihat keadaan kakek itu, Warsiyem merasa heran bukan main. Kakek ini sudah tua renta dan sedang sakit, begitu ringkih dan lemahnya, akan tetapi bagaimana mungkin seorang yang kuat dan jahat seperti Singowiro dibuat lari tunggang langgang? Ia juga merasa iba sekali, maka ia lalu mendekat dan berkata,
“Paman, mari saya tuntun. Paman kelihatan lemah sekali.” Tanpa menanti jawaban ia lalu memegang tangan kiri kakek itu dan menuntunnya. telapak tangan kiri itu demikian halus dan juga agak dingin. “Tangan paman dingin sekali, tentu paman masuk angin,” kata Warsiyem sambil menuntun kakek itu dan perlahan-lahan mereka berjalan menuju ke dusun Gampingan.
“Nini, andika seorang yang baik hati. Siapakah namamu dan bagaimana andika sampai dilarikan orang tadi?” Tanya kakek itu dengan suara lirih dan gemetar.
“Nama saya Warsiyem, paman. Saya seorang janda dan hidup berdua dengan anak saya. Saya tinggal di dusun Gampingan di depan itu membuka warung nasi. Orang jahat tadi adalah Singowiro. Dia memang jahat sekali, paman, dahulupun pernah hendak memaksa saya menjadi isterinya, enam belas tahun yang lalu. Bahkan dialah yang telah membunuh ayah saya. Setelah suami saya meninggal tiga bulan yang lalu. dia muncul lagi dan menculik saya.”
Kakek itu diam saja dan mereka berjalan terus. akhirnya mereka sampai di dusun Gampingan. Ketika mereka tiba di depan warung nasi Warsiyem, di situ sudah berkumpul empat orang tetangga laki-laki yang sudah mendengar bahwa Warsiyem dilarikan orang jahat. mereka menjadi girang sekali dan juga heran melihat Warsiyem yang dikabarkan telah diculik penjahat itu kini pulang dalam keadaan selamat bersama seorang kakek tua renta yang dituntunnya!
Pada saat itu, dari jauh Lindu Aji datang berlari lari dan melihat ibunya berdiri di depan warung bersama seorang kakek tua renta, dia segera merangkul ibunya. “Ibu... apa yang terjadi? Aku tadi disusul Kimin dan Sarjo yang bilang bahwa warung kita kedatangan tiga orang penjahat. Apa yang terjadi, ibu? Dan di mana mereka sekarang?” Aji menengok ke arah warung dan dilihatnya yang berada di warung adalah orang-orang dusun Gampingan yang dia kenal baik sebagai para langganan ibunya.
Akan tetapi sebelum Warsiyem menjawab, kakek itu berkata kepadanya, “Nini, andika sudah pulang dengan selamat, sekarang aku hendak melanjutkan perjalananku.” Kakek itu lalu melangkah hendak pergi.
“Paman, silakan masuk dan duduk dulu, paman sedang sakit“ Warsiyem menahan.
“Aku... aku tidak ingin merepotkan“ kakek itu tetap melangkah pergi dari situ. Akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba tubuhnya terkulai dan diapun roboh.
Trengginas aji melompat dan berhasil menyangga punggung kakek itu seningga kepalanya tidak sampai terbanting ke atas tanah. Dia memegang tangan kiri kakek itu yang duduk dengan kedua kaki terjulur dan punggung bersandar pada rangkulan tangan kanan Aji. Warsiyem mendekati dan membujuk dengan halus, “Paman, marilah singgah dulu di rumah kami. Paman sedang sakit dan memerlukan perawatan dan pengbatan. Biarlah kami merawat paman sampai sembuh.”
“Ibu, dia pingsan, tak dapat diajak bicara,” kata Aji.
“Ohh...! Cepat angkat dia ke dalam, Aji. Kasihan dia“
Tanpa diperintah ibunyapun, Aji sudah berniat menolong kakek itu. Maka dia lalu memondong tubuh tua itu dan mengangkatnya, membawanya masuk ke dalam rumah dan merebahkan kakek itu di atas pembaringan di dalam kamarnya sendiri. Setelah memeriksa keadaan kakek itu, Aji berpendapat bahwa tubuh kakek itu lemah sekali dan agaknya dia kelaparan, Juga tubuhnya panas sekali.
“Ibu. dia perlu diberi makan bubur tajin karena agaknya dia kelaparan. Tubuhnya panas seperti terkena demam. Tolong ibu buatkan bubur tajin dan aku akan mencarikan jamu untuknya. sementara ini akan kubasahi kepalanya dengan perasan jeruk nipis dan brambang agar panasnya turun.”
Warsiyem mengangguk lalu keluar menuju ke warungnya. Warung itu memang juga menjadi dapurnya. Ketika ia membuatkan bubur tajin, di warung itu sudah berkumpul belasan orang tetangga laki-laki. Ia dihujani pertanyaan. Sambil bekerja membikin bubur tajin, Warsiyem menceritakan dengan singkat bahwa tadi ia diculik Singowiro dan dua orang kawannya. Akan tetapi di tengah perjalanan ia ditolong dan diselamatkan kakek tua yang sedang sakit itu.
Semua orang terheran-heran mendengar cerita Warsiyem, akan tetapi mereka juga marah sekali. siapa yang belum mendengar nama Singowiro? Di daerah pegunungan selatan sampai ke daerah pesisiran nama gegedug (jagoan) yang sering kali memaksakan kehendaknya dengan kekerasan dan sudah banyak mencelakai orang. Ketika Warsiyem menceritakan kepada mereka betapa Singowiro itu belasan tahun yang lalu juga sudah menculiknya dan penjahat itu dikalahkan mendiang suaminya, Harun, semua orang timbul semangatnya.
“Agaknya selama ini dia tidak berani mengganggu mereka karena takut kepada kakang Harun. Akan tetapi setelah kakang Harun meninggal, dia muncul lagi mengganggu, mungkin disangkanya bahwa tidak ada orang di Gampingan yang berani menentangnya.” Warsiyem menutup ceritanya dengan nada sedih karena teringat kepada suaminya.
Parto, sahabat karib Harun, menjadi panas hatinya. dia bangkit berdiri dan berseru kepada teman-temannya. “Kita hadapi jahanam itu! Biarkan dia datang lagi, kita keroyok dia sampai mampus. Hayo kawan-kawan, kita mengadakan pertemuan, kumpulkan semua laki-laki yang berani dan kita siap menghadapi jahanam itu sewaktu-waktu dia berani datang ke dusun kita!”
Semua orang menyatakan setuju dan merekapun keluar dari warung itu untuk mengadakan pertemuan dengan warga yang lain. Aji sudah menyiapkan jamu dari Daun Kendal, Daun Jintan, dan Akar Alang-alang lalu merebusnya. Setelah kekek itu sadar dari pingsannya, dia membuka mata dan batuk-batuk kecil beberapa kali. Aji dan ibunya cepat menghampiri. Kakek itu memandang kepada mereka dan tersenyum!
Senyum dan pandang matanya demikian tenang, sedikitpun tidak tampak sedih atau kesal, sama sekali tidak seperti orang yang sedang menderita sakit. Aji merasa semakin kagum. Tadi, ketika kakek itu belum siuman, ibunya sudah menceritakan semua apa yang telah terjadi, menceritakan keanehan ketika kakek berpenyakitan ini secara aneh membuat Ki Singowiro lari tunggang langgang! Dia merasa penasaran sekali karena dahulu ibunya pernah menceritakan tentang Singowiro yang telah membunuh kakeknya, ayah dari ibunya yang bernama Sutowiryo.
“Setelah bapak meninggal dia berani datang lagi mengganggu ibu? Sungguh keparat!” Aji berkata marah, akan tetapi pada saat itu kakek tadi siuman dan bergerak sehingga mereka menghentikan percakapan tentang Singowiro itu.
“Ah, tepat seperti yang kukhawatirkan. Orang tua tiada guna ini hanya membikin repot orang saja“ katanya dengan suara lemah seperti berbisik.
Aji segera membungkuk mendekatkan mukanya dan berkata kirih. “Eyang, mohon eyang jangan berkata demikian. Eyang adalah penyelamat ibu saya, sudah sepatutnya kalau kami merawat eyang, bahkan mengorbankan apa saja untuk membalas budi kebaikan eyang. Bahkan kalau eyang tidak pernah melakukan apapun juga kepada kami untuk membantu seorang tua yang sebatang kara dan sedang menderita sakit.”
Kakek itu memandang kepada Aji, tersenyum lebar dan ternyata biarpun dia sudah tua sekali, ketika tersenyum lebar itu masih tampak deretan gigi yang sehat. akan tetapi sebelum dia bicara, Warsiyem mendahuluinya.
“Paman, sebaiknya paman jangan banyak bicara dulu. Paman harus minum jamu yang sudah disediakan anak saya, dan makan bubur tajin yang sudah saya persiapkan.”
“Mari, eyang, silakan minum jamu ini lebih dulu. Eyang tentu akan sehat kembali.” kata Aji dan dia mendekatkan secangkir jamu itu ke mulut kakek itu sedangkan dia membantunya bangkit duduk.
Kakek itu tidak menolak dan minum jamu itu sampai habis. setelah itu, Aji merebahkannya kembali dan kini Warsiyem yang duduk di tepi pembaringan dekat kakek itu sambil membawa semangkok bubur tajin dan sendok. “Paman, silakan makan bubur tajin agar tubuh paman menjadi kuat kembali.” katanya dan iapun menyuapi kakek itu dengan hati-hati.
Kakek itupun tidak menolak dan semangkok bubur tajin itupun dihabiskannya. Setelah itu, dia memandang kepada ibu dan anak itu dan dia tersenyum. “Kalian berdua ibu dan anak sungguh baik sekali. Semoga Gusti allah akan selalu memberi berkah dan bimbingan kepada kalian.”
“Paman, bukankah paman juga baik sekali kepada kami, kepada saya? Budi paman tidak akan saya lupakan selama hidup, saya akan selalu berterima kasih, paman,” kata Warsiyem.
“Ah, nini Warsiyem. Sudah kukatakan bahwa bukan aku yang menolongmu, melainkan kekuasaan Gusti Allah, maka kalau hendak berterima kasih, bersyukurlah kepada Gusti Allah.”
“Maafkan kami, eyang. Sesungguhnya kami inipun sama sekali tidak menolong eyang, melainkan hanya melaksanakan kewajiban kami sebagai manusia. Yang menolong eyang adalah Gusti Allah. Tidakkah begitu, eyang?”
Kakek itu tertawa lirih. Sepasang matanya yang bersinar lembut itu terpejam lucu ketika dia tertawa. “Heh-heh-heh-heh, engkau sudah mengerti akan kenyataan itu, kulup. bagus sekali. siapa namamu, angger?”
“Nama saya lindu Aji, eyang.”
“Eh? Lindu...?” kakek itu memandang heran.
“Begini, paman. Ketika saya mengandung tua, terjadi gempa bumi yang hebat di sini, sampai rumah kami ini ambruk. Untung kami selamat dan anak saya inipun terlahir dengan selamat. Maka kami beri nama Lindu Aji.”
Kakek itu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan dia memejamkan mata, tertidur. Aji memberi tanda dengan telunjuknya di depan bibir agar mereka tidak bicara lagi, kemudian memberi isyarat agar ibunya keluar dengan dia dari kamar itu. Setelah tiba di luar kamar dia berbisik, “Dia tentu akan sembuh, ibu. Dia perlu istirahat , biarkan dia tidur.” Ibu dan anak itu keluar dan Warsiyem mulai melayani para langganan yang mulai berdatangan karena sudah ada beberapa orang yang pulang dari sawah ladang atau lautan.
Aji lalu berbaring di kamar ibunya karena dia merasa lelah sekali. Selain semalam tidak tidur, juga dia banyak mengenang kematian bapaknya, ditambah lagi peristiwa tadi yang sempat mengguncang perasaannya mendengar ibunya diganggu orang jahat. Dia rebah mengasokan badan, juga pikirannya agar bebas dari ketegangan. Seperti biasa, setelah melakukan sesuatu demi kepentingan orang lain, misalnya seperti ketika dia membantu ayahnya dahulu kalau mengobati orang, kini ada perasaan bahagia di dalam hatinya bahwa dia dan ibunya telah menolong kakek itu.
Perasaan seperti itu juga dirasakan oleh Warsiyem, bahkan tentu oleh semua orang yang telah melakukan kebaikan secara tulus, menolong orang tanpa pamrih, semata-mata berdasarkan kasih kepada sesama yang menimbulkan perasaan belas kasihan kepada orang lain yang menderita. Tanpa disadarinya, Aji jatuh pulas. tubuhnya yang lelah dan pikirannya yang selama ini berat memikirkan kematian bapaknya, membuat dia letih lahir batin dan tidur merupakan obat yang ampuh baginnya.
Beberapa jam lamanya dia pulas sampai sore dan tiba-tiba dia terbangun oleh suara ribut-ribut yang datangnya dari luar rumah. Aji terbangun menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan, kemudian dia teringat akan ibunya dan seketika dia sadar sepenuhnya. Dia melompat turun dari pembaringannya dan berlari keluar. Dan alisnya berkerut, wajahnya berubah merah ketika melihat keadaan di luar rumahnya.
Tiga orang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam, masing-masing memegang sebatang golok, berdiri di pekarangan, mengayun-ayun golok mereka dan di atas tanah menggeletak tiga orang yang terluka dan berlepotan darah. belasan orang laki-laki tetangga berdiri di sekitar situ, akan tetapi mereka mundur-mundur ketakutan dan hanya ada Parto dan dua orang tetangga lain yang berada di depan warung, akan tetapi mereka tampak jerih.
“Hayo siapa lagi yang berani menghalangi kami!” bentak seorang di antara tiga orang berpakaian hitam itu, yang perutnya gendut dan mukanya brewok sambil mengangkat goloknya ke atas, “Aku adalah Singowiro gegedug Gunung Kidul! Warsiyem adalah isteriku dan tak seorangpun boleh menghalangi aku membawa pergi isteriku!” Kemudian dia menghampiri pintu rumah dan berseru ke arah dalam. “Hei, Warsiyem isteriku, keluarlah kau dan ikut denganku, atau akan kurobohkan rumah ini!”
Akan tetapi tiba-tiba ada sebuah bangku mendorongnya dari dalam dan Singowiro cepat melompat ke belakang, melotot memandang kepada seorang pemuda remaja yang memegang sebuah bangku dan dipergunakan untuk mendorongnya tadi. Aji melompat ke pekarangan menghadapi tiga orang berpakaian hitam itu. Mendengar laki-laki gendut brewok itu tadi menyebut namanya, tahulah dia bahwa orang ini yang telah menculik ibunya, dan orang ini pula yang telah membunuh kakeknya belasan tahun yang lalu. Hatinya dipenuhi kemarahan dan matanya mencorong ketika dia memandang kepada Singowiro.
“Aji...! Jangan mendekati mereka...!” Teriakan Warsiyem yang sudah muncul dari dalam ini membuat Aji menoleh.
Hatinya merasa lega bahwa ibunya tidak apa-apa, maka ia berkata lantang, “Ibu, jangan khawatir. Aku akan menghajar penjahat-penjahat ini.”
Sementara itu, mendengar teriakan Warsiyem, Singowiro juga memandang dan dia tertawa. “Ha-ha-ha, Warsiyem calon isteriku! Jadi pemuda remaja ini anakmu? Heh-heh, bocah bagus. Ibumu benar, jangan coba-coba untuk menentang kami. Aku adalah calon ayahmu dan aku suka menerimamu menjadi anakku asalkan engkau menaati semua omonganku, heh-heh!”
Aji menatap wajah Singowiro dengan sinar mata mencorong dan dia berkata lantang, “Heh, Singowiro! Engkau selalu mengganggu ibuku, dan engkau sudah beberapa kali dihajar oleh bapakku Harun Hambali! Sekarang karena bapak telah meninggal, akulah yang menjadi penggantinya untuk menghajarmu! Akan kubalaskan kakekku Sutowiryo yang dulu kau bunuh.”
Tentu saja Singowiro menjadi marah sekali. “Bocah sombong, kalau engkau menjadi penghalang, aku akan membunuhmu lebih dulu!”
Setelah berkata demikian, dia menggerakkan goloknya menyerang dengan dahsyat. Aji memang tidak mempunyai pengalaman berkelahi, akan tetapi ilmu-ilmu silat yang dipelajari dan dilatihnya sejak kecil telah mendarah daging dengan dirinya. Gerakannya menjadi otomatis dan ketika golok itu menyambar ke arah kepalanya, dia mengelak dengan gesit sekali.
Singowiro menjadi penasaran dan marah melihat bacokannya tidak mengenai sasaran. dia memutar goloknya dan menyerang secara bertubi-tubi, membacok, menusuk, membabat. Namun, semua serangan itu sia-sia, seperti menyerang bayangan saja karena gerakan Aji ketika mengelak jauh lebih gesit dan cepat.
“Singggg...!” Golok menyambar lagi membabat ke arah leher Aji. Pemuda ini merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya. Golok meluncur cepat di atas kepalanya dan pada detik itu juga, bangku ditangannya menyambar dari samping ke arah tubuh lawannya.
“Wuuuttt... desss...!” Bangku itu menghantam pinggang Singowiro sehingga tubuhnya terpelanting. “Aduh...!” Singowiro roboh dan dia bergulingan menjauh, lalu meloncat bangun sambil meringis karena pinggangnya terasa nyeri. Aji berdiri tegak, menanti. Dia tak pernah menggunakan bangku itu untuk menagkis, maklum bahwa hal itu dia lakukan, tentu bangkunya akan hancur.
Singowiro baru maklum bahwa ternyata pemuda itu tangkas sekali dan menguasai ilmu silat. Dia teringat akan Harun Hambali yang dulu pernah mengalahkannya, bahkan yang memperisteri Warsiyem. Selama ada Harun di samping Warsiyem, dia tidak berani mencoba-coba untuk merampas wanita yang membuatnya tergila-gila itu. Kini setelah Harun meninggal dunia, ternyata puteranya menggantikannya melindungi Warsiyem dan menjadi penghalang baginya.
“Bunuh dia!” teriaknya kepada dua orang kawannya dan kini tiga orang itu mengepung Aji dari tiga jurusan. Singowiro di depan dan dua orang kawan jagoan itu di kanan kiri. Mereka bertiga mengamangkan golok dengan wajah bengis. Akan tetapi Aji tak merasa gentar sedikitpun. Dia tetap tenang.
Pada saat terdengar jerit ibunya. “Aji...!” Suara itu mengandung penuh kekhawatiran. Ngeri rasa hati ibu ini melihat puteranya diancam tiga orang jahat yang memegang golok itu. Mendengar jeritan ibunya, Lindu Aji menjadi marah kepada tiga orang itu. Dia mengambil keputusan untuk segera merobohkan mereka agar ibunya tidak dicekam kekhawatiran lagi.
Sementara itu, Singowiro sudah mulai dengan serangannya. Goloknya menyambar dahsyat dari atas ke bawah membacok ke arah kepala Aji. “Yaaaahhhh !” Dia membentak dan membacok sekuat tenaga. Akan tetapi hanya dengan miringkan tubuhnya Aji mengelak dari bacokan itu. dari kanan kiri menyambar pula golok kedua kawan Singowiro.
Aji melompat ke belakang sehingga bacokan merekapun hanya mengenai tempat kosong. Tiga orang itu mengejar dan kembali mereka sudah mengepung dari tiga jurusan. Aji sudah memperhitungkan dengan baik. Ketika tiga orang itu mengangkat golok masing-masing, siap menyerangnya, dia mengeluarkan teriakan nyaring sekali.
“Haaaiiiiittt... !!” Dia membuat gerakan memutar sambil menyerang dengan bangku yang dipegang kakinya dengan kedua tangannya dan pada saat itu juga, kaki kanannya mencuat dan menendang ke arah tubuh Singowiro yang berada di depannya.
“Dukkk.... ! Takkk... ! Bluggg... !” Dua orang kawan Singowiro terkena hantaman ujung bangku pada muka mereka sedangkan perut gendut Singowiro diterjang kaki kanan Aji.
“Aduhhh... aduhhh... hekkk... !” Tiga orang itu terpelanting dan terjengkang. Aji yang sudah marah sekali tidak berhenti sampai disitu saja. Melihat tiga orang lawannya itu merangkak hendak bangkit, diapun melompat dan bangkunya menari-nari, menyambar dan menghantami tiga orang itu berganti-ganti sampai mereka jatuh bangun terguling-guling dan tidak mampu bangkit lagi.
“Aji...!” tiba-tiba Warsiyem lari menghampiri anaknya dan merangkulnya, menariknya ke rumah menjauhi tiga orang yang masih mendekam sambil mengaduh-aduh itu. muka mereka berdarah-darah karena beberapa kali dihantam bangku. Aji tidak membantah dan menurut saja ketika ditarik ibunya.
Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan puluhan orang laki-laki penduduk dusun Gampingan yang telah berkumpul di situ serentak bergerak maju dan mengeroyok tiga orang penjahat yang sudah tidak berdaya itu. agaknya melihat betapa Aji mampu merobohkan tiga orang itu, timbul keberanian dalam hati penduduk dusun Gampingan yang marah itu dan mereka kini mengeroyok dan memukuli tiga orang itu dengan senjata apa saja yang berada di yangan mereka. Ada yang menggunakan parang, linggis, pacul, bahkan ada yang menggunakan batu atau tangan saja.
Tiga orang itu menjerit-jerit ketakutan dan kesakitan, minta-minta ampun, akan tetapi puluhan orang yang sudah kesetanan itu tidak mau berhenti sampai akhirnya tiga orang itu tewas dengan tubuh lumat! Aji berangkulan dengan ibunya. Warsiyem menutupi kedua telinganya dan memejamkan matanya, dirangkul oleh Aji yang seolah hendak melindunginya. Tiba-tiba terdengan suara lembut namun demikian jelas terdengar mengatasi keributan orang-orang yang sedang mengamuk itu.
“Saudara-saudara sekalian, hentikan semua itu...!” Suara yang lembut itu mengandung wibawa yang demikian kuat, membuat semua orang menghentikan amukan mereka dan mereka menghadap ke arah kakek yang muncul di ambang pintu warung, berdiri ditopang tongkatnya. tubuhnya tegak, wajahnya masih membayangkan kelembutan namun sepasang matanya kini mencorong mengandung teguran sehingga orang-orang yang berada di situ tidak berani menentang pandang matanya melainkan menundukkan pandang mata.
“Ya Allah, gusti...! Saudara-saudara, apa yang kalian lakukan ini? Tidak sadarkah andika sekalian bahwa kalian telah dikuasai iblis melalui nafsu amarah dan kebencian sehingga tega melakukan kekejaman yang amat mengerikan ini? Lupakah kalian bahwa mereka bertiga juga manusia-manusia seperti andika, manusia-manusia yang tidak sempurna dan berdosa? Ampun, Gusti, semoga Paduka mengampuni kita semua ”
Hening mengikuti ucapan kakek itu seolah menyusup ke dalam hati sanubari mreka. Mereka tidak menyesal atas apa yang mereka lakukan terhadap tiga orang yang mereka anggap kejam dan jahat itu, akan tetapi kini mereka merasa malu kepada kakek itu. Parto mewakili kawan-kawannya dan berkata, “Akan tetapi, paman. Tiga orang ini adalah pembunuh-pembunuh yang kejam.”
“Benar, mereka bertiga adalah pembunuh-pembunuh yang kejam. Akan tetapi sekarang pandanglah sisa tubuh mereka itu dan lihatlah tangan kalian sendiri. Bukankah kalian juga membunuh dengan cara yang kejam sekali? Lalu apa bedanya antara mereka dan kalian?"
Wajah Parto menjadi pucat dan dia tidak membantah lagi. Akan tetapi seorang penduduk lain berkata, “Akan tetapi, paman. Mereka itu datang membuat kekacauan di dusun kami, hendak menculik Warsiyem, dan melukai tiga orang teman kami yang mencoba untuk mengingatkan mereka. Apakah kita harus diam berpangku tangan saja melihat tiga orang itu melakukan kejahatan membiarkan mereka menculik wanita dan membiarkan mereka melukai atau membunuh orang?”
Semua orang diam-diam menyetujui pertanyaan itu dan kini semua mata memandang ke arah kakek itu yang tampak tersenyum. Kakek itu mengangguk-angguk. “Bagus, bagus ! pertanyaan dan sikap kalian ini menunjukkan bahwa kalian mempunyai rasa keadilan, menentang yang jahat dan melindungi yang lemah. Akan tetapi cara yang kalian pakai itu keliru. kejahatan tidak boleh dibalas dengan kejahatan. Kalau kalian belum mampu menghadapi kejahatan dengan kebaikan, maka hadapilah kejahatan dengan keadilan. Akan tetapi bukan keadilan yang ngawur, bukan keadilan yang dilaksanakan seenak hatinya sendiri. Harus dilaksanakan oleh pengadilan berdasarkan hukum pemerintah yang berwenang. Apa artinya mempunyai pemerintah kalau kita bertindak sendiri? Apa gunanya ada hukum dan pengadilan kalau kita melaksanakan hukum sendiri? Ini namanya sewenang-wenang. tugas kita membantu pemerintah menjaga ketenteraman dan keamanan. Kalau kalian menangkap, tiga orang itu dan menyerahkan kepada petugas pemerintah untuk mengadilinya, itu sudah tepat dan benar namanya.”
Kini Aji maju menghampiri kakek itu dan berkata, “Kami telah bertindak salah menuruti kemarahan dan kebencian, eyang. Biarlah saya yang menanggung semua kesalahan ini, jangan salahkan kepada saudara-saudara ini karena tadi sayalah yang merobohkan tiga orang itu.”
Kakek itu menatap wajah Aji dan mengangguk-angguk. “mengakui kesalahan dan mempertanggung jawabkan perbuatan merupakan langkah yang benar. Sudahlah, semua telah terjadi. Lapor saja kepada ketua dusun dan kubur tiga jenasah itu baik-baik.” Kakek itu lalu masuk kembali ke dalam rumah, diikuti oleh Warsiyem dan Aji.
Para penduduk Gampingan lalu bekerja. Meraka melapor kepada kepala dusun yang tidak menyalahkan mereka. Membunuh penjahat pada waktu itu tidaklah melakukan pelanggaran besar, apa lagi kalau pelakunya adalah rakyat banyak. Jenasah tiga orang itu lalu dikuburkan sebagaimana mestinya, walaupun di tempat terpisah dari kuburan umum.
Mereka bertiga duduk di ruangan depan dekat warung. Ketika itu tengah hari dan seperti biasa pada siang hari, warung itu sepi. Warsiyem, Lindu Aji, dan kakek itu duduk bercakap-cakap sehabis makan siang, duduk saling berhadapan di atas bangku. Sudah tiga hari kakek itu tinggal di situ, sejak dia jatuh sakit dan ditolong oleh Aji dan ibunya. Dia kini sudah sembuh benar. Wajahnya yang kurus tampak kemerahan. Bajunya lurik dan celana kuning yang dipakainya tampak bersih karena sudah dicuci oleh Warsiyem dan kakek itu diberi pakaian peninggalan Harun untuk penggantinya. Akan tetapi setelah pakaiannya sendiri bersih dan kering, kakek itu berganti lagi dengan pakaiannya sendiri.
“Paman. maafkan pertanyaan saya. Sejak paman berada di sini, kami sudah merasa seolah paman ini keluarga kami sendiri, seperti bapakku sendiri atau seperti kakeknya Aji. Akan tetapi paman belum pernah bercerita tentang diri paman. bahkan nama pamanpun belum kami ketahui. Paman, bolehkah kami mengetahui nama paman yang mulia?”
“Ibu benar, eyang. Semua orang di dusun ini bertanya kepada saya siapa nama eyang, akan tetapi saya tidak dapat menjawabnya.” kata Aji yang menjadi berani setelah ibunya lebih dulu menyinggung soal itu. entah mengapa, sikap kakek yang halus budi dan penyabar itu bahkan membuat Aji merasa segan, hormat dan takut mengeluarkan kata-kata yang salah di depan kakek itu. Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya yang sudah putih seperti benang-benang perak.
“Nini Warsiyem dan engkau angger Aji, terus terang saja, selama bertahun-tahun ini aku tidak pernah memperkenalkan nama kepada siapapun juga sehingga aku sendiri hampir tidak mengenal namaku sendiri. Dahulu aku ingin membebaskan diri dari segala ikatan, tanpa keluarga, tanpa tempat tinggal, tanpa nama. Namun agaknya Gusti Allah menentukan lain sehingga mempertemukan aku dengan kalian ibu dan anak yang memberiku ikatan kekeluargaan, sandang, pangan dan papan. Karena itu sudah sepantasnya kalau aku memperkenalkan namaku. Dahulu, aku biasanya disebut orang Ki Tejobudi.”
“Di mana adanya keluarga paman? Isteri, saudara, anak, atau cucu?” Tanya Warsiyem.
Ki Tejobudi menggeleng kepalanya. “Tidak, tidak ada, aku hidup seorang diri. Atau... Lebih tepat lagi, bukankah manusia sedunia ini sesungguhnya adalah keluarga kita?”
Mendengar jawaban ini, Aji dan ibunya memandang dan Ki Tejobudi tertawa. “kalian heran? Yang ada hanyalah sebangsa manusia, yang berbeda dengan mahluk lain. Di antara manusia yang berbeda hanya warna kulit dan rambut terpengaruh iklim, pakaian dan bahasa terpengaruh kebudayaan setempat. Suara batinnya sama persis. dengarkan suara tawa dan tangis mereka. Dari golongan atau bangsa apapun dia datang, suara tawa dan tangisnya, suara batin itu, tentu sama. bahkan pada saat lahir, suara pertama manusia, yaitu tangis, tiada bedanya sama sekali.”
“Maaf, eyang. menurut penuturan ibu saya, ketika eyang menghadapi mendiang Singowiro dan eyang yang diserang olehnya, semua serangan Singowiro tidak mengenai tubuh eyang sehingga dia lari tunggang langgang. Saya percaya bahwa eyang tentu seorang yang sakti mandraguna.”
Ki Tejobudi tersenyum. “Apa sih yang dinamakan sakti mandraguna itu, kulup? Berapa kuat dan pintarnya seseorang, pasti ada yang melebihinya. Kekuatan manusia itu terbatas, sesuai dengan kodrat dan kemampuannya. Kekuatan yang tidak sesuai dengan kodrat, yang mengambil dari luar alam manusia, hanya sementara dan lebih banyak mendatangkan malapetaka bagi diri sendiri daripada kebaikan. Yang Maha Sakti adalah Gusti Allah. Semua kekuatan dan kesaktian berasal dari Kekuasaan Gusti Allah. Kalau dipergunakan untuk kejahatan menjadi kekuatan iblis. Kalau kekuasaan Gusti Allah melindungi seorang manusia, kekuatan apakah di dunia ini yang akan mampu mengganggunya? Aku manusia biasa yang terikat oleh kodrat Yang maha sakti adalah Gusti Allah dan aku berlindung di dalam kekuasaanNya.”
Pada saat itu, ada tiga orang memasuki warung dan Warsiyem bergegas memasuki warung untuk melayani pembelinya. aji ditinggalkan berdua dengan Ki Tejobudi. Kakek itu mengamati wajah pemuda itu dan bertanya dengan suara lembut. “Aji, aku tadi mendengar bahwa engkau telah mengalahkan tiga orang yang membuat keributan itu. Agaknya engkau menguasai ilmu pencak silat. Dari siapakah engkau mempelajari ilmu itu?”
“Dahulu saya mempelajarinya dari bapak, eyang. Bapakku adalah seorang Sunda dan dia menguasai ilmu pencak silat aliran Cimande.”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Pantas kalau begitu. Aliran itu mengandalkan kecepatan gerak, mengubah tangkisan menjadi serangan dan terutama ampuh dalam penggunaan kaki menyerang lawan.”
“Wah... eyang tentu menguasai banyak ilmu silat yang tangguh. Saya percaya bahwa eyang tentu seorang yang sakti mandraguna.”
Ki Tejobudi menghela napas panjang. “Dahulu, puluhan tahun yang lalu memang kesukaanku mempelajari dan memperdalam olah kanuragan.”
“Akan tetapi, maat, eyang. Eyang demikian sakti mengapa sampai menjadi sakit dan lemah? Bagaimana bisa begitu, eyang?”
Ki Tejobudi tertawa. “Heh-heh, kenapa tidak begitu, Aji? Sudah kukatakan tadi bahwa kekuatan dan kepandaian manusia itu terbatas. Manusia tidak mungkin dapat membebaskan diri dari kodratnya. Sudah menjadi kodrat manusia bahwa tubuhnya akan menjadi tua, digerogoti usia menjadi lemah dan mudah diserang penyakit. Tidak ada kesaktian yang mampu mencegah datangnya penyakit dan datangnya usia tua, kulup. Pada akhirnya semua orang harus tunduk kepada kekuasaan Gusti Allah dan bertekuk lutut kepada kodratnya. Seberapa sih kepandaian manusia? Menghitung rambut jenggotnya sendiripun tidak mampu! Seberapa kekuatannya? Menghentikan detak jantungnya sendiripun tidak dapat! Jasmani yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah juga, kotor dan lemah. Kalau aku menjadi lemah dan sakit, apa anehnya itu.”
Aji teringat akan ucapan mendiang ayahnya dulu yang menyatakan bahwa betapa tinggipun tingkat jiwa seseorang, kalau dia masih hidup di dunia ini, dia tidak akan terbebas daripada usia tua, penyakit, dan kematian. Kakek ini sakti mandraguna, akan tetapi sikapnya demikian rendah hati. Dia menjadi semakin kagum dan entah kekuasaan apa yang mendorongnya, tiba-tiba saja dia turun dari bangkunya dan menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Ki Tejobudi.
“Eyang, saya mohon sudilah kiranya eyang menerima saya sebagai murid eyang dan mengajarkan ilmu-ilmu eyang kepada saya agar saya dapat menjadi seorang manusia yang berguna.”
Ki Tejobudi tersenyum dan menghampiri Aji, menepuk-nepuk pundaknya. “Engkau ingin menjadi seorang manusia yang berguna, Aji? Kalau begitu, tanyalah kepada dirimu sendiri lebih dulu, engkau ingin berguna untuk siapa? Untuk dirimu sendiri, untuk keuntunganmu dan kesenanganmu sendiri?”
“Tidak, eyang. Saya ingin menjadi seorang manusia yang berguna bagi Tuhan.”
Ki Tejobudi terkekeh. “Heh-heh-heh, lalu apa yang kau lakukan agar engkau berguna bagi Gusti Allah?”
Dengan cerdik Aji mengambil sikap rendah hati dan bodoh. “Untuk menjawab itu saya mohon petunjuk dari eyang.”
“Aji, Gusti Allah itu Maha Ada, Maha Punya, dan Maha Cukup. Gusti Allah tidak pernah kekurangan, tidak pernah membutuhkan, apa yang dapat kau haturkan kepadaNya? Jadilah manusia yang beguna bagi keluargamu, lalu berkembang menjadi berguna bagi semua orang, bagi bangsamu dan negaramu. Yang terakhir, menjadi berguna bagi manusia dan dunia. dengan begitu berarti engkau menjadi manusia yang berguna bagi Gusti allah, karena engkau menjadi alatNya yang baik dan berguna.”
“Terima masih, eyang. Untuk dapat menjadi manusia berguna seperti yang eyang terangkan tadi, maka saya mohon eyang sudi mengajarkan ilmu-ilmu kepada saya. Tanpa ilmu bagaimana saya dapat berguna bagi orang lain?”
“Heh-heh-heh, agaknya Gusti allah telah menghendaki demikian. Baik, aku suka menerimamu menjadi murid, suka mewariskan semua yang kuketahui kepadamu agar jerih payahku mempelajari semua itu di masa lalu tidak sia-sia dan tidak hilang begitu saja. akan tetapi hanya satu syarat, yaitu ibumu harus menyetujuinya.”
“Saya setuju! Saya setuju sepenuh hati saya, paman!” kata Warsiyem yang baru saja memasuki ruangan itu dan mendengar ucapan Ki Tejobudi. Ia lalu menghampiri dan ikut berlutut menembah di samping anaknya.
“Baiklah, aku menerima Aji sebagai muridku. Sekarang kalian bangkit dan duduklah.”
Ibu dan anak itu lalu bangkit dan duduk di atas bangku, akan tetapi kembali Warsiyem harus memasuki warung karena ada lagi tamu yang hendak makan. “Aji, dengarkan baik-baik. Ilmu kanuragan baik saja dilatih dan dikuasai untuk menguatkan tubuh dan untuk melindungi diri dari ancaman kekerasan yang datang dari luar. Akan tetapi ingat, ilmu ini hanyalah ilmu jasmani yang amat terbatas sekali. Betapapun tingginya ilmu kanuragan ini, pasti ada yang mengunggulinya. Ilmu kanuragan baru menjadi ilmu yang baik kalau kau pergunakan ilmu itu demi kepentingan negara dan bangsa. Mengertikah engkau, Aji?”
Dari tempat duduknya Aji menyembah. “Saya mengerti, eyang. Mendiang bapak juga seringkali mengingatkan saya agar mempergunakan semua ilmu yang diajarkan bapak untuk membela kebenaran dan keadilan, dan menentang kejahatan.”
“Bagus, kalau begitu. Aku percaya bahwa mendiang bapakmu tentu seorang yang bijaksana sehingga kebijaksanaannya itu masih tampak pada isteri dan puteranya. Sekarang ketahuilah, Aji bahwa ada ilmu, yaitu ilmu menyerah, pasrah sepenuhnya dan sebulat-bulatnya kepada Gusti Allah.”
“Ilmu menyerah, eyang? Apa itu dan bagaimana?” Aji tidak mengerti.
“Menyerah atau pasrah kepada kekuasaan Gusti Allah yang akan bekerja dalam dirimu, membimbingmu dan melindungimu. Kalau sudah begini, kekuasaan apakah yang akan mampu mengganggumu? Jadi ingatlah, Aji. Semua ikhtiarmu, semua usaha yang dilakukan badan dan hati akal pikiranmu harus disandarkan kepada kepasrahan yang mutlak kepada Gusti Allah. Dengan demikian maka semua usaha dan tindakanmu pasti mendapat tuntunan. Dan Ingat dengan penuh keyakinan bahwa tidak ada apapun yang tidak mungkin bagi Gusti Allah. KekuasaanNya bekerja di mana saja, setiap saat dan abadi. Mau dan siapkah engkau untuk membuka hati nuranimu, menyerahkan jiwa ragamu dalam kekuasaan dan bimbingan Gusti Allah dengan sepenuh iman, ikhlas, dan tawakal?”
“Saya mau dan siap, eyang!” kata Aji dengan tegas.
“Kalau begitu, mari kita masuk ke dalam kamar dan pesan kepada ibumu agar jangan mengganggu kita sebelum kita keluar dari dalam kamar.”
Aji lalu berlari keluar, ke warung nasi ibunya. “Ibu, Eyang Guru minta agar ibu tidak mengganggu kami berdua yang berada dalam kamar. Eyang hendak memberi pelajaran kepadaku.”
Warsiyem mengangguk-angguk dan tersenyum senang. “Baiklah, Aji. Taati semua perintah dan petunjuk gurumu dengan sepenuh hati.”
“Baik, ibu.” Aji memasuki kamarnya yang kini diperuntukkan Ki Tejobudi.
“AJi, berdirilah di dekatku dan tirukan gerakan tanganku dan ulangi ucapanku. Lakukan dengan seluruh perasaan hatimu dan dengan segala kerendahan hati karena kita menghadap ke hadirat Gusti Allah.”
Aji lalu berdiri, di samping kakek itu agak dibelakangnya dan mengheningkan cipta seperti yang pernah diajarkan mendiang bapaknya. Seluruh cita rasa dan batinnya dia tujukan kepada keberadaan Gusti Allah. Dia mengikuti gerakan kakek itu ketika Ki Tejobudi mengangkat kedua tangannya dan menirukan kata-kata yang diucapkan dengan lirih dan dengan suara menggetar oleh kakek itu.
“Duh Gusti Allah sesembahan dan pujaan hamba. Disaksikan langit dan bumi beserta segala isinya, hamba berjanji bahwa akan mempergunakan segala kepandaian yang Paduka karuniakan kepada hamba untuk prikemanusiaan sejalan dengan kehendak Paduka. Hamba menyerahkan jiwa dan raga hamba ke dalam kekuasaan Paduka, semoga Paduka menerima dan memberi bimbingan dan perlindungan kepada setiap langkah dalam kehidupan hamba. Amin!”
Ki Tejobudi menggerakkan kedua tangan bertemu di depan dada membentuk sembah. Setelah diam beberapa saat lamanya, di mana Aji merasa seperti tenggelam ke dalam kehampaan yang mendatangkan perasaan seolah dia sedang melayang-layang mulailah Ki Tejobudi menggerakkan kedua tangannya dalam gerakan silat yang lembut sekali. Gerakannya seperti orang menari saja, sama sekali tidak mengandung kekerasan seperti gerakan silat pasa umumnya.
Aji memperhatikan dan meniru gerakan kakek itu dengan seksama. Dari bekal ilmu silat yang dipelajarinya dari mendiang ayahnya dan dia tahu bahwa ilmu silat harus dilakukan dengan gerakan sempurna, setiap gerak jari dan pergelangan tangan harus tepat dan setiap gerakan harus diikuti oleh perasaan sehingga gerakan itu tidak menjadi kaku dan dapat menyatu dengan seluruh anggauta tubuh, Dengan latihan yang tekun, menyatukan perasaan dengan setiap gerakan, maka gerakan itu akan menjadi gerakan otomatis, merupakan gerakan yang dipimpin oleh reflex sehingga gerakan itu dalam menaggapi gangguan dari luar amat cepatnya, lebih cepat daripada jalannya pancaindera ke pikiran.
Ki Tejobudi hanya bergerak selama lima jurus saja. “Ingat baik-baik lima gerakan pertama tadi, Aji. Sekarang coba engkau bergerak sendiri.”
Aji mengingat-ingat, lalu bergerak seperti tadi. Mula-mula kedua tangan diangkat ke atas, lalu membuat sembah dan mulailah dia bergerak seperti tadi. Ki tejobudi memperhatikan dan kadang memberi petunjuk apabila ada gerakan Aji yang dianggapnya kurang sempurna.
“Nah, kau latih lima gerakan itu sampai menjadi gerakan otomatis, Aji. Sekarang dengarkanlah baik-baik. Semua gerakan itu adalah olah raga, namun herus didasari kepasrahan kepada kekuasaan Gusti Allah, tidak lagi dikendalikan oleh pikiran. Mulai sekarang, seperti yang sudah kau janjikan tadi, engkau harus menyerahkan segala sesuatunya kepada kekuasaan Gusti Allah, biarlah kekuasaan Gusti Alah yang akan membimbingmu dalam segala langkah hidupmu.”
“Apakah Eyang guru maksudkan bahwa saya tidak lagi boleh berusaha dengan kemauan sendiri, melainkan menyerah secara bulat kepada Gusti Allah?”
“Jangan salah mengerti penyerahan, Aji. bukan berarti penyerahan secara mandeg dan mati, membiarkan Gusti Allah bekerja sendiri dan kita tinggal enak-enak saja! Itu berarti malah menentang kehendak Gusti Allah. Manusia dilahirkan disertai alat-alat yang serba lengkap. anggota tubuh yang sempurna, hati akal pikiran dan disertai nafsu-nafsu, semua itu untuk membantu kita dalam hidup ini dan dapat menikmati hidup. Sudah menjadi kehendak Gusti Allah bahwa semua perlengkapan itu harus kita pergunakan, harus kita kerjakan! Manusia hidup wajib berikhtiar, berusaha sekuat kemampuannya, menggunakan anggauta tubuhnya dan hati akal pikirannya. Kita tidak boleh menggantungkan kepada kekuasaan Gusti Allah semata, melainkan harus membantu! Akan tetapi, segala ikhtiar itu kita landaskan kepada penyerahan dengan keyakinan bahwa hasil keputusan terakhir berada dalam kekuasaanNya. bukan tergantung kepada usaha kita. mengertikah engkau, Aji?”
“Saya berusaha untuk mengerti, Eyang. Akan tetapi Eyang mengajarkaan agar saya menyerah kepada kekuasaan Tuhan, di samping itu mengajarkan agar saya beusaha sekuat kemampuan saya. Bukankah dua hal ini berlawanan?”
“Sama sekali tidak, Aji. Kalau engkau sudah dapat berpasrah diri secara total, pasrah lahir batin, kepasrahan yang mendasari semua langkah hidupmu, maka Gusti Allah akan manunggal dengan jiwamu dan kekuasaan itu atau Sang Dewa Ruci (Roh Suci) yang akan menuntun semua hati akal pikiranmu, ucapanmu, dan tindakanmu. Sudahlah, Aji, hal ini amat gawat, tidak dapat kau jangkau dengan hati akal pikiranmu. Menyerah saja dengan ikhlas, beriman dan tawakal, dan Gusti Allah akan membuatmu mengerti sendiri.”
Demikianlah, mulai hari itu Ki Tejobudi memberi gemblengan kepada Lindu Aji, bukan saja penggemblengan olah raga, melainkan juga olah jiwa. Selain ilmu-ilmu silat yang tinggi tingkatnya, Aji juga memperdalam ilmu pencak silat yang dipelajari dari mendiang ayahnya dengan petunjuk Ki Tejobudi.
Dan sebagai puncaknya, dia menerima pelajaran yang disebut Aji Tirta Bantala (Ilmu Air dan Bumi) yaitu dua unsur yang pada hakekatnya selalu mengalah dan menyerah, namun yang pada akhirnya mengandung kekuatan yang luar biasa, mengalahkan segala yang tampak kuat dan keras. Aji Tirta Bantala ini yang didasari penyerahan kepada kekuasaan kepada Gusti Allah seperti yang diajarkan Ki Tejobudi.
Adapun ilmu-ilmu silat yang diajarkan kepada Lindu Aji adalah apa yang disebut Aji Surya Candra (Matahari dan Rembulan), Aji Guruh Bumi yang berdasarkan tenaga sakti, dan ilmu pencak silat Wanara Sakti (kera Sakti). Selama lima tahun Aji belajar dengan tekun di bawah bimbingan Ki Tejobudi. Sang Bathara Kala (sang Waktu) berlalu cepat sekali tanpa terasa dan kini Lindu Aji telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun.
Tubuhnya jangkung tegap, wajahnya tampan manis, sikapnya sederhana dan rendah hati, sama sekali tidak berkesan seorang jagoan, akan tetapi langkahnya seperti seekor harimau dan sepasang matanya yang bersinar lembut itu kadang dapat mencorong penuh wibawa. Ki Tejobudi kini semakin tua dan sakit-sakitan. Akhirnya dia jatuh sakit dan tidak dapat turun lagi dari atas pembaringannya. Aji merawatnya dengan penuh kebaktian, Juga ibunya, Warsiyem merawat kakek itu seperti kepada ayah sendiri sehingga Ki Tejobudi merasa berterima kasih dan terharu sekali.
Ketika penyakitnya semakin parah, pada suatu pagi Ki Tejobudi memanggil Warsiyem dan Lindu Aji ke dalam kamarnya. Ibu dan anak itu duduk di tepi pembaringan di mana tubuh yang kurus kering kakek itu rebah dan napasnya tinggal satu-satu.
“Nini Warsiyem,” kata Ki Tejobudi dengan suara yang lemah dan lirih, namun cukup jelas bagi ibu dan anak itu. “Andika seorang wanita dan ibu yang baik budi. semoga Gusti Allah memberkahimu. Selama lima tahun andika menerima dan menganggap diriku seperti orang tua sendiri. Andika seorang janda dan aku melihat Ki Parto yang telah menjadi duda sejak tiga tahun yang lalu itu seorang yang baik, dia sahabat baik mendiang suamimu dahulu, dan aku dapat melihat bahwa dia mencintamu dan juga sayang kepada Aji. Kenapa andika menolak pinangannya? akan baik sekali kalau andika dapat menjadi isterinya.”
“Paman, harap jangan berkata begitu“ Warsiyem menundukkan muka dan kedua air matanya menjadi basah. Memang, beberapa bulan yang lalu Parto pernah meminangnya. Parto tetangganya itu kini sudah menjadi duda, kematian isterinya tiga tahun yang lalu dan dia tidak mempunyai anak. Ia sendiri seorang janda berusia kurang lebih tiga puluh delapan tahun, masih manis menarik karena sudah empat kali ia dipinang orang dan selalu ditolaknya dengan halus.
Pinangan terakhir datang dari Parto yang juga ditolaknya dan sekarang, dalam keadaan gawat penyakitnya itu, kakek yang sudah dianggapnya sebagai pengganti orang tuanya, menganjurkan ia menikah dengan Parto.
“Paman, saya sudah berjanji kepada diri saya sendiri, berjanji kepada Akang Uun bahwa saya tidak akan menikah lagi. Tidak mungkin saya dapat melayani laki-laki lain, paman. Kang Uun adalah satu-satunya pria yang saya cinta, ngeri dan tidak dapat saya membayangkan harus berdua saja dengan anakku Aji, paman.” Teringat akan suaminya, Warsiyem menyeka air matanya.
“Ibu, apa yang dikatakan Eyang Guru tadi benar. Paman Parto itu orangnya amat baik kepada kita, Ibu masih muda dan aku sama skali tidak keberatan kalau ibu menikah dengan Paman Parto. Dia sudah seperti ayahku sendiri dan aku yakin, bapak tentu juga rela kalau ibu menjadi isteri Paman Parto.” kata Aji dengan lembut.
Dia mengira bahwa penolakan ibunya itu karena merasa rikuh kepadanya. “Aji, cukup, jangan bicara lagi. Sampai mati aku tidak akan menikah lagi. Aku akan setia kepada bapakmu sampai ajal membawaku berkumpul kembali dengan bapakmu. Aku sudah bicara dengan Kang Parto. Ia kuanggap sebagai kakakku sendiri dan ia menerimaku sebagai adiknya. Maafkan saya, Paman. saya tidak dapat menaati anjuran paman tadi.”
Ki Tejobudi menghela napas panjang. “Demi Tuhan! Andika seorang wanita yang baik dan setia, nini. Aku kagum dan bangga. Mendiang suamimu sungguh beruntung mempunyai seorang isteri sepertimu dan Aji juga berbahagia sekali mempunyai seorang ibu sepertimu. Sudahlah, lupakan anjuranku tadi, keputusanmu itu baik sekali. Aku tadi menganjurkan demikian karena puteramu Aji harus pergi mengabdikan diri kepada nusa dan bangsa, nini sehingga andika akan ditinggal seorang diri di sini.”
“Kalau memang sudah seharusnya anakku pergi melaksanakan perintah Paman, saya sanggup hidup seorang diri. Bukankah di sebelah masih ada kang Parto yang sudah kuanggap sebagai kakak sendiri?”
“Bagus sekali kalau begitu. Sekarang, Aji, dengarkan baik-baik kata-kataku. Ini merupakan pesan terakhir dariku.”
“Eyang...“
“Paman...!” Ibu dan anak itu terkejut.
“Kalian tenanglah. Aku bersyukur kepada Gusti Allah bahwa pada saat terakhir ini ada kalian berdua yang menungguiku dengan kasih sayang. Dahulu aku juga mempunyai isteri, akan tetapi tidak sebaik nini Warsiyem. Aji, aku meninggalkan seorang anak, namanya Sudrajat, panggilannya Ajat. Dia ikut saudara tunggal guru denganku yang kini menjadi ayah tirinya yang namanya Ki Tejo Langit dan hidup di Banten tempat asalku. Carilah Ajat dan beritahukan bahwa aku, ayah kandungnya, telah meninggal dunia dengan tenteram dan bahagia.”
“Akan saya ingat pesan eyang dan akan saya laksanakan.” kata Aji sambil menahan keharuan hatinya. Di dalam hatinya telah tumbuh rasa hormat, segan dan sayang kepada orang tua ini yang selain mewariskan ilmu-ilmu kedigdayaan kepadanya, juga telah membantunya dalam kebangkitan jiwanya.
“Pesanku yang kedua, angger, jangan membiarkan semua yang telah kau pelajari menjadi sia-sia. Segala macam kepandaian kalau tidak dipergunakan untuk perikemanusiaan, tidak ada gunanya dan mati. Karena itu, pergilah merantau dan di mana saja engkau berada, berjuanglah untuk kepentingan manusia, bela mereka yang lemah tertindas, dan tentanglah segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan orang. Engkau adalah kawula Mataram, membantu Sang Prabu Pandan Cokrokusumo, Sultan Agung, raja yang arif bijaksana dari Mataram yang sedang menghadapi sang angkara murka, Kumpeni Belanda.”
Aji sudah mendengar penuturan gurunya itu tentang gerakan Kumpeni Belanda, maka diapun mengangguk-angguk. “Pesan kedua eyang akan saya laksanakan sekuat kemampuan saya, Eyang.”
“Bagus, engkau tentu masih ingat. Segala tindakan lakukanlah dengan sekuat kemampuanmu, namun harus dilandasi kepasrahan kepada kekuasaan Gusti allah.”
“Saya mengerti dan masih ingat akan semua pelajaran Eyang.”
“Nah, sekarang pesanku yang ketiga, terakhir dan juga terpenting. Kalian berdua pernah bercerita padaku tentang kematian Harun yang terbunuh oleh seorang jagoan dari Galuh bernama Raden Banuseta, putera dari mendiang Aom Bahrudin yang dahulu dibunuh oleh Harun.” Kakek itu menghela napas panjang. “Aaahhh, hukum karma, dendam mendendam, balas membalas... terima kasih kepada Gusti Allah bahwa aku tidak sampai terjerat oleh rantai karma. Aji, ingat dan taatilah nasihatku, jangan sekali-kali engkau mendendam kepada Raden Banuseta atas kematian ayahmu”
“Akan tetapi, Paman!” Warsiyem membantah. “Bagaimana kami tidak boleh mendendam? Raden Banuseta itu telah membunuh suamiku tercinta, membunuh ayah Lindu Aji!”
“Ibu benar, Eyang. Eyang sendiri mengajarkan kepada saya untuk menentang orang yang bertindak jahat. Banuseta itu telah membunuh bapak saya, bukankah sudah menjadi kewajiban saya untuk menentangnya?”
Kakek itu menghela napas lagi dan suaranya kini semakin lirih dan agak sukar, seolah dia harus megeluarkan seluruh sisa tenaganya untuk dapat berbicara. “dendam mendendam, benci membenci, balas membalas, bunuh membunuh! Rantai beracun ciptaan iblis itu tidak akan ada hentinya kalau kita tidak berani memutusnya! Banuseta membunuh Harun karena Harun membunuh Aom Bahrudin. Kalau kemudian engkau membunuhnya, apa kau kira tidak ada anaknya, ataupun saudara dan sanak keluarganya yang tidak akan mendendam lalu berusaha untuk membalas dan membunuhmu? Kemudian mungkin keturunanmu atau kerabatmu kembali mendendam dan membalas. Tidak akan ada habisnya saling bunuh itu, membiarkan iblis menggunakan nafsu amarah dan kebencian untuk mempermainkan manusia.”
“Eyang, lalu apa yang harus saya lakukan? Apakah saya tidak boleh menentang Banuseta yang melakukan kejahatan? Apakah saya harus mendiamkan saja orang itu melakukan kejahatan dan membunuhi orang ?”
Kembali kakek itu menghela napas panjang seperti hendak mengumpulkan tenaga. “Sama sekali tidak, angger. Kalau ternyata dia jahat, tentu saja sudah menjadi kewajibanmu untuk menentangnya. Akan tetapi penentanganmu iu semata-mata berdasarkan karena dia jahat dan mengganggu orang lain yang tidak berdosa. Jangan sekali-kali penentanganmu itu berdasarkan kemarahan, kebencian dan dendam pribadi. mengertikah engkau, Aji?”
Lindu Aji menundukkan mukanya dan menjawab lirih dan patuh, “Saya mengerti, Eyang.”
“Jangan sekali-kali membiarkan kebencian dan dendam tumbuh dan berkembang dalam hatimu karena peasaan itu merupakan nafsu setan yang merupakan racun berbahaya dan yang akan menyeretmu ke dalam perbuatan yang tidak diridhoi Gusti Allah. Kalau engkau belum mampu menghadapi perbuatan kejahatan dengan kebaikan, maka hadapi kejahatan dngan keadilan yang bebas dari marah, benci dan dendam. engkau masih ingat bagaimana jika iblis menggodamu dan membangkitkan kemarahan dan kebencian dalam hatimu, Aji?”
“Masih, Eyang. Saya akan berpasrah diri kepada Gusti Allah dan mohon petunjuk dan bimbinganNya.”
“Bagus, wah, aku merasa berbahagia sekali. Nini warsiyem dan Lindu Aji, sudah cukup pesanku, sekali lagi aku berterima kasih kepada kalian... semoga Gusti Allah selalu memberi berkah dan tuntunan kepada kalian berdua... amin, amin, ya rabbal alamin!”
Kakek itu memejamkan kdua matanya, melipat kedua lengan di atas dada dan bibirnya bergerak-gerak, terdengar bisikan berulang-ulang “Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...“ makin lama suaranya semakin lemah sehingga akhirnya tak terdengar lagi, hanya bibirnya yang bergerak-gerak, kemudian bibir itupun terdiam dan kakek itu menghembuskan napas terakhir.
Ibu dan anak itu merasakan benar bahwa kakek itu telah wafat, mereka berbisik-bisik, “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun..!”
Para tetangga datang melayat. Hampir semua penduduk dusun Gampingan datang melayat sampai jenasah itu dikebumikan. Biarpun semua orang di Gampingan mengetahui bahwa kakek yang tua renta dan tampak lemah berpenyakitan itu menjadi guru Lindu Aji, akan tetapi tidak seorangpun menyangka bahwa dari kakek itu Aji telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi dan hebat. Hal ini adalah karena Aji tidak pernah menonjolkan diri dan tidak pernah memperlihatkan ilmunya kepada orang lain.
“Hei, kakek tua bangka pikun! Engkaukah yang melepaskan isteriku dari pondonganku tadi?” bentaknya sambil melotot.
Pelototan matanya ini biasanya sudah cukup untuk membuat orang ketakutan dan tidak berani menentangnya. “Dia bohong! Saya sama sekali bukan isterinya! Dia malah menculik saya dan hendak memaksa saya menjadi isterinya yang ke tiga!” teriak Warsiyem.
“Ki sanak, sadarlah bahwa berbuat jahat sama dengan menanam benih beracun dan kelak andika sendirilah yang akan memetik buahnya yang beracun juga. Sadarlah sebelum terlanjur.” kata kakek itu, suaranya lembut dan ramah.
“Babo-babo, tua Bangka busuk. Jangan mencampuri urusanku. Minggat kau!” bentak Singowiro marah.
Akan tetapi kakek itu berdiri tegak dengan tangan kiri di belakang pinggul dan tangan kanan memegangi tongkat yang ditekankan ke atas tanah. “Kisanak, semoga Gusti Allah mengampunimu.” kata pula kakek itu.
“Jahanam, engkau sudah bosan hidup!” bentak Singowiro dengan marah sekali.
Warsiyem merasa ngeri. Ia meremas-remas tangan sendiri di depan dadanya, merasa khawatir sekali akan keselamatan kakek yang tua renta itu. Ngeri hatinya menyaksikan wajah yang tua itu dihancurkan Singowiro yang kuat dan kejam. Singowiro sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia menghantam dengan kepalan tangan kanannya ke arah muka tua itu.
“Wuuuussss..!!” Pukulan itu menyambar ke arah muka kakek itu dan Warsiyem memejamkan matanya, tidak tahan melihat muka itu dipukul. Akan tetapi telinganya tidak mendengar apa-apa, tidak mendengar kakek itu roboh atau berteriak kesakitan, melainkan mendengar suara Singowiro berseru seperti orang heran.
“Ehhh...??” Singowiro memang merasa heran bukan main. jelas kepalan tangannya menyambar ke arah muka kakek itu yang berada dekat di depannya, akan tetapi aneh, pukulannya tidak mengenai muka kakek itu, melainkan lewat saja di depannya seolah tangannya tidak sampai. Dia merasa penasaran dan kembali dia memukul, kini kepalannya menonjok ke arah dada yang kerempeng itu.
“Wuuuttt....!” Pukulan itu meluncur kuat tetapi ketika hampir mengenai dada kakek itu, tiba-tiba Singowiro merasa kepalan tangannya seperti bertemu sesuatu yang lunak akan tetapi kuat sekali, seperti ada hawa yang kuat menerima pukulannya dan membuat pukulan tangannya membalik sehingga dia terhuyung ke belakang.
Warsiyem yang telah membuka matanya juga melihat peristiwa ini dan ia memandang bengong. Betapapun juga, hatinya kembali merasa ngeri ketika ia melihat Singowiro mencabut goloknya. Melihat golok yang mengkilat saking tajamnya itu ia bergidik. teringat ia akan ayahnya yang dahulu juga tewas karena bacokan golok orang ini. Biarpun sudah dua kali pukulannya tidak mengenai sasaran dan secara aneh pukulannya membalik pada hal kakek itu tidak membuat gerakan apa-apa, melainkan hanya berdiri tegak. Singowiro tidak mundur bahkan menjadi semakin penasaran dan marah.
“Setan! Mampuslah!” bentaknya dan kini menyerang dengan goloknya membacok sekuat tenaga ke arah leher kakek itu. Kakek itu diam saja dan bahkan memejamkan mata seolah tidak terjadi sesuatu. Golok di tangan kanan singowiro itu menyambar ke arah leher dengan kuat sekali. kembali Warsiyem memejamkan matanya karena tidak tega melihat darah muncrat dari leher yang terbacok. Akan tetapi ketika golok sudah menyambar dekat sekali dengan leher, tiba-tiba golok itupun membalik dengan kuat sekali.
Saking kuatnya golok itu terpental membalik, tubuh Singowiro terbawa dan diapun terjengkang dan terbanting ke atas tanah sampai terguling-guling. Sekali ini Singowiro bangkit dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dia merasa tengkuknya meremang dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi dia lalu lari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu! Setan, pikirnya. Dia bertemu setan di tengah hari!
Warsiyem menghampiri kakek itu, menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. “Paman, terima kasih atas pertolongan paman yang telah membebaskan saya dari malapetaka...“ Kata Warsiyem dengan terharu dan penuh hormat.
“Bangkitlah, nini dan bersyukurlah kepada Gusti Allah karena hanya kekuasaan Gusti Allah yang telah menolongmu. Aku sendiri tidak berbuat apa-apa dan tidak bisa apa-apa. Mari kuantar engkau pulang ke rumahmu, nini.”
Setelah berhenti bicara, kakek itu batuk-batuk tiga kali dan napasnya terengah-engah. Warsiyem bangkit dan memandang dengan penuh kekhawatiran. “Paman... maafkan, apakah... paman sakit...?”
Kakek itu mengangguk. “Benar, dan beginilah jasmani seorang yang sudah tua, nini. Mari... kuantar engkau“
Warsiyem mengangguk dan berjalan. Kakek itu mengikutinya dan langkahnya tertatih-tatih, gemetaran, wajahnya pucat dan napasnya terengah-engah. Melihat keadaan kakek itu, Warsiyem merasa heran bukan main. Kakek ini sudah tua renta dan sedang sakit, begitu ringkih dan lemahnya, akan tetapi bagaimana mungkin seorang yang kuat dan jahat seperti Singowiro dibuat lari tunggang langgang? Ia juga merasa iba sekali, maka ia lalu mendekat dan berkata,
“Paman, mari saya tuntun. Paman kelihatan lemah sekali.” Tanpa menanti jawaban ia lalu memegang tangan kiri kakek itu dan menuntunnya. telapak tangan kiri itu demikian halus dan juga agak dingin. “Tangan paman dingin sekali, tentu paman masuk angin,” kata Warsiyem sambil menuntun kakek itu dan perlahan-lahan mereka berjalan menuju ke dusun Gampingan.
“Nini, andika seorang yang baik hati. Siapakah namamu dan bagaimana andika sampai dilarikan orang tadi?” Tanya kakek itu dengan suara lirih dan gemetar.
“Nama saya Warsiyem, paman. Saya seorang janda dan hidup berdua dengan anak saya. Saya tinggal di dusun Gampingan di depan itu membuka warung nasi. Orang jahat tadi adalah Singowiro. Dia memang jahat sekali, paman, dahulupun pernah hendak memaksa saya menjadi isterinya, enam belas tahun yang lalu. Bahkan dialah yang telah membunuh ayah saya. Setelah suami saya meninggal tiga bulan yang lalu. dia muncul lagi dan menculik saya.”
Kakek itu diam saja dan mereka berjalan terus. akhirnya mereka sampai di dusun Gampingan. Ketika mereka tiba di depan warung nasi Warsiyem, di situ sudah berkumpul empat orang tetangga laki-laki yang sudah mendengar bahwa Warsiyem dilarikan orang jahat. mereka menjadi girang sekali dan juga heran melihat Warsiyem yang dikabarkan telah diculik penjahat itu kini pulang dalam keadaan selamat bersama seorang kakek tua renta yang dituntunnya!
Pada saat itu, dari jauh Lindu Aji datang berlari lari dan melihat ibunya berdiri di depan warung bersama seorang kakek tua renta, dia segera merangkul ibunya. “Ibu... apa yang terjadi? Aku tadi disusul Kimin dan Sarjo yang bilang bahwa warung kita kedatangan tiga orang penjahat. Apa yang terjadi, ibu? Dan di mana mereka sekarang?” Aji menengok ke arah warung dan dilihatnya yang berada di warung adalah orang-orang dusun Gampingan yang dia kenal baik sebagai para langganan ibunya.
Akan tetapi sebelum Warsiyem menjawab, kakek itu berkata kepadanya, “Nini, andika sudah pulang dengan selamat, sekarang aku hendak melanjutkan perjalananku.” Kakek itu lalu melangkah hendak pergi.
“Paman, silakan masuk dan duduk dulu, paman sedang sakit“ Warsiyem menahan.
“Aku... aku tidak ingin merepotkan“ kakek itu tetap melangkah pergi dari situ. Akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba tubuhnya terkulai dan diapun roboh.
Trengginas aji melompat dan berhasil menyangga punggung kakek itu seningga kepalanya tidak sampai terbanting ke atas tanah. Dia memegang tangan kiri kakek itu yang duduk dengan kedua kaki terjulur dan punggung bersandar pada rangkulan tangan kanan Aji. Warsiyem mendekati dan membujuk dengan halus, “Paman, marilah singgah dulu di rumah kami. Paman sedang sakit dan memerlukan perawatan dan pengbatan. Biarlah kami merawat paman sampai sembuh.”
“Ibu, dia pingsan, tak dapat diajak bicara,” kata Aji.
“Ohh...! Cepat angkat dia ke dalam, Aji. Kasihan dia“
Tanpa diperintah ibunyapun, Aji sudah berniat menolong kakek itu. Maka dia lalu memondong tubuh tua itu dan mengangkatnya, membawanya masuk ke dalam rumah dan merebahkan kakek itu di atas pembaringan di dalam kamarnya sendiri. Setelah memeriksa keadaan kakek itu, Aji berpendapat bahwa tubuh kakek itu lemah sekali dan agaknya dia kelaparan, Juga tubuhnya panas sekali.
“Ibu. dia perlu diberi makan bubur tajin karena agaknya dia kelaparan. Tubuhnya panas seperti terkena demam. Tolong ibu buatkan bubur tajin dan aku akan mencarikan jamu untuknya. sementara ini akan kubasahi kepalanya dengan perasan jeruk nipis dan brambang agar panasnya turun.”
Warsiyem mengangguk lalu keluar menuju ke warungnya. Warung itu memang juga menjadi dapurnya. Ketika ia membuatkan bubur tajin, di warung itu sudah berkumpul belasan orang tetangga laki-laki. Ia dihujani pertanyaan. Sambil bekerja membikin bubur tajin, Warsiyem menceritakan dengan singkat bahwa tadi ia diculik Singowiro dan dua orang kawannya. Akan tetapi di tengah perjalanan ia ditolong dan diselamatkan kakek tua yang sedang sakit itu.
Semua orang terheran-heran mendengar cerita Warsiyem, akan tetapi mereka juga marah sekali. siapa yang belum mendengar nama Singowiro? Di daerah pegunungan selatan sampai ke daerah pesisiran nama gegedug (jagoan) yang sering kali memaksakan kehendaknya dengan kekerasan dan sudah banyak mencelakai orang. Ketika Warsiyem menceritakan kepada mereka betapa Singowiro itu belasan tahun yang lalu juga sudah menculiknya dan penjahat itu dikalahkan mendiang suaminya, Harun, semua orang timbul semangatnya.
“Agaknya selama ini dia tidak berani mengganggu mereka karena takut kepada kakang Harun. Akan tetapi setelah kakang Harun meninggal, dia muncul lagi mengganggu, mungkin disangkanya bahwa tidak ada orang di Gampingan yang berani menentangnya.” Warsiyem menutup ceritanya dengan nada sedih karena teringat kepada suaminya.
Parto, sahabat karib Harun, menjadi panas hatinya. dia bangkit berdiri dan berseru kepada teman-temannya. “Kita hadapi jahanam itu! Biarkan dia datang lagi, kita keroyok dia sampai mampus. Hayo kawan-kawan, kita mengadakan pertemuan, kumpulkan semua laki-laki yang berani dan kita siap menghadapi jahanam itu sewaktu-waktu dia berani datang ke dusun kita!”
Semua orang menyatakan setuju dan merekapun keluar dari warung itu untuk mengadakan pertemuan dengan warga yang lain. Aji sudah menyiapkan jamu dari Daun Kendal, Daun Jintan, dan Akar Alang-alang lalu merebusnya. Setelah kekek itu sadar dari pingsannya, dia membuka mata dan batuk-batuk kecil beberapa kali. Aji dan ibunya cepat menghampiri. Kakek itu memandang kepada mereka dan tersenyum!
Senyum dan pandang matanya demikian tenang, sedikitpun tidak tampak sedih atau kesal, sama sekali tidak seperti orang yang sedang menderita sakit. Aji merasa semakin kagum. Tadi, ketika kakek itu belum siuman, ibunya sudah menceritakan semua apa yang telah terjadi, menceritakan keanehan ketika kakek berpenyakitan ini secara aneh membuat Ki Singowiro lari tunggang langgang! Dia merasa penasaran sekali karena dahulu ibunya pernah menceritakan tentang Singowiro yang telah membunuh kakeknya, ayah dari ibunya yang bernama Sutowiryo.
“Setelah bapak meninggal dia berani datang lagi mengganggu ibu? Sungguh keparat!” Aji berkata marah, akan tetapi pada saat itu kakek tadi siuman dan bergerak sehingga mereka menghentikan percakapan tentang Singowiro itu.
“Ah, tepat seperti yang kukhawatirkan. Orang tua tiada guna ini hanya membikin repot orang saja“ katanya dengan suara lemah seperti berbisik.
Aji segera membungkuk mendekatkan mukanya dan berkata kirih. “Eyang, mohon eyang jangan berkata demikian. Eyang adalah penyelamat ibu saya, sudah sepatutnya kalau kami merawat eyang, bahkan mengorbankan apa saja untuk membalas budi kebaikan eyang. Bahkan kalau eyang tidak pernah melakukan apapun juga kepada kami untuk membantu seorang tua yang sebatang kara dan sedang menderita sakit.”
Kakek itu memandang kepada Aji, tersenyum lebar dan ternyata biarpun dia sudah tua sekali, ketika tersenyum lebar itu masih tampak deretan gigi yang sehat. akan tetapi sebelum dia bicara, Warsiyem mendahuluinya.
“Paman, sebaiknya paman jangan banyak bicara dulu. Paman harus minum jamu yang sudah disediakan anak saya, dan makan bubur tajin yang sudah saya persiapkan.”
“Mari, eyang, silakan minum jamu ini lebih dulu. Eyang tentu akan sehat kembali.” kata Aji dan dia mendekatkan secangkir jamu itu ke mulut kakek itu sedangkan dia membantunya bangkit duduk.
Kakek itu tidak menolak dan minum jamu itu sampai habis. setelah itu, Aji merebahkannya kembali dan kini Warsiyem yang duduk di tepi pembaringan dekat kakek itu sambil membawa semangkok bubur tajin dan sendok. “Paman, silakan makan bubur tajin agar tubuh paman menjadi kuat kembali.” katanya dan iapun menyuapi kakek itu dengan hati-hati.
Kakek itupun tidak menolak dan semangkok bubur tajin itupun dihabiskannya. Setelah itu, dia memandang kepada ibu dan anak itu dan dia tersenyum. “Kalian berdua ibu dan anak sungguh baik sekali. Semoga Gusti allah akan selalu memberi berkah dan bimbingan kepada kalian.”
“Paman, bukankah paman juga baik sekali kepada kami, kepada saya? Budi paman tidak akan saya lupakan selama hidup, saya akan selalu berterima kasih, paman,” kata Warsiyem.
“Ah, nini Warsiyem. Sudah kukatakan bahwa bukan aku yang menolongmu, melainkan kekuasaan Gusti Allah, maka kalau hendak berterima kasih, bersyukurlah kepada Gusti Allah.”
“Maafkan kami, eyang. Sesungguhnya kami inipun sama sekali tidak menolong eyang, melainkan hanya melaksanakan kewajiban kami sebagai manusia. Yang menolong eyang adalah Gusti Allah. Tidakkah begitu, eyang?”
Kakek itu tertawa lirih. Sepasang matanya yang bersinar lembut itu terpejam lucu ketika dia tertawa. “Heh-heh-heh-heh, engkau sudah mengerti akan kenyataan itu, kulup. bagus sekali. siapa namamu, angger?”
“Nama saya lindu Aji, eyang.”
“Eh? Lindu...?” kakek itu memandang heran.
“Begini, paman. Ketika saya mengandung tua, terjadi gempa bumi yang hebat di sini, sampai rumah kami ini ambruk. Untung kami selamat dan anak saya inipun terlahir dengan selamat. Maka kami beri nama Lindu Aji.”
Kakek itu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan dia memejamkan mata, tertidur. Aji memberi tanda dengan telunjuknya di depan bibir agar mereka tidak bicara lagi, kemudian memberi isyarat agar ibunya keluar dengan dia dari kamar itu. Setelah tiba di luar kamar dia berbisik, “Dia tentu akan sembuh, ibu. Dia perlu istirahat , biarkan dia tidur.” Ibu dan anak itu keluar dan Warsiyem mulai melayani para langganan yang mulai berdatangan karena sudah ada beberapa orang yang pulang dari sawah ladang atau lautan.
Aji lalu berbaring di kamar ibunya karena dia merasa lelah sekali. Selain semalam tidak tidur, juga dia banyak mengenang kematian bapaknya, ditambah lagi peristiwa tadi yang sempat mengguncang perasaannya mendengar ibunya diganggu orang jahat. Dia rebah mengasokan badan, juga pikirannya agar bebas dari ketegangan. Seperti biasa, setelah melakukan sesuatu demi kepentingan orang lain, misalnya seperti ketika dia membantu ayahnya dahulu kalau mengobati orang, kini ada perasaan bahagia di dalam hatinya bahwa dia dan ibunya telah menolong kakek itu.
Perasaan seperti itu juga dirasakan oleh Warsiyem, bahkan tentu oleh semua orang yang telah melakukan kebaikan secara tulus, menolong orang tanpa pamrih, semata-mata berdasarkan kasih kepada sesama yang menimbulkan perasaan belas kasihan kepada orang lain yang menderita. Tanpa disadarinya, Aji jatuh pulas. tubuhnya yang lelah dan pikirannya yang selama ini berat memikirkan kematian bapaknya, membuat dia letih lahir batin dan tidur merupakan obat yang ampuh baginnya.
Beberapa jam lamanya dia pulas sampai sore dan tiba-tiba dia terbangun oleh suara ribut-ribut yang datangnya dari luar rumah. Aji terbangun menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan, kemudian dia teringat akan ibunya dan seketika dia sadar sepenuhnya. Dia melompat turun dari pembaringannya dan berlari keluar. Dan alisnya berkerut, wajahnya berubah merah ketika melihat keadaan di luar rumahnya.
Tiga orang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam, masing-masing memegang sebatang golok, berdiri di pekarangan, mengayun-ayun golok mereka dan di atas tanah menggeletak tiga orang yang terluka dan berlepotan darah. belasan orang laki-laki tetangga berdiri di sekitar situ, akan tetapi mereka mundur-mundur ketakutan dan hanya ada Parto dan dua orang tetangga lain yang berada di depan warung, akan tetapi mereka tampak jerih.
“Hayo siapa lagi yang berani menghalangi kami!” bentak seorang di antara tiga orang berpakaian hitam itu, yang perutnya gendut dan mukanya brewok sambil mengangkat goloknya ke atas, “Aku adalah Singowiro gegedug Gunung Kidul! Warsiyem adalah isteriku dan tak seorangpun boleh menghalangi aku membawa pergi isteriku!” Kemudian dia menghampiri pintu rumah dan berseru ke arah dalam. “Hei, Warsiyem isteriku, keluarlah kau dan ikut denganku, atau akan kurobohkan rumah ini!”
Akan tetapi tiba-tiba ada sebuah bangku mendorongnya dari dalam dan Singowiro cepat melompat ke belakang, melotot memandang kepada seorang pemuda remaja yang memegang sebuah bangku dan dipergunakan untuk mendorongnya tadi. Aji melompat ke pekarangan menghadapi tiga orang berpakaian hitam itu. Mendengar laki-laki gendut brewok itu tadi menyebut namanya, tahulah dia bahwa orang ini yang telah menculik ibunya, dan orang ini pula yang telah membunuh kakeknya belasan tahun yang lalu. Hatinya dipenuhi kemarahan dan matanya mencorong ketika dia memandang kepada Singowiro.
“Aji...! Jangan mendekati mereka...!” Teriakan Warsiyem yang sudah muncul dari dalam ini membuat Aji menoleh.
Hatinya merasa lega bahwa ibunya tidak apa-apa, maka ia berkata lantang, “Ibu, jangan khawatir. Aku akan menghajar penjahat-penjahat ini.”
Sementara itu, mendengar teriakan Warsiyem, Singowiro juga memandang dan dia tertawa. “Ha-ha-ha, Warsiyem calon isteriku! Jadi pemuda remaja ini anakmu? Heh-heh, bocah bagus. Ibumu benar, jangan coba-coba untuk menentang kami. Aku adalah calon ayahmu dan aku suka menerimamu menjadi anakku asalkan engkau menaati semua omonganku, heh-heh!”
Aji menatap wajah Singowiro dengan sinar mata mencorong dan dia berkata lantang, “Heh, Singowiro! Engkau selalu mengganggu ibuku, dan engkau sudah beberapa kali dihajar oleh bapakku Harun Hambali! Sekarang karena bapak telah meninggal, akulah yang menjadi penggantinya untuk menghajarmu! Akan kubalaskan kakekku Sutowiryo yang dulu kau bunuh.”
Tentu saja Singowiro menjadi marah sekali. “Bocah sombong, kalau engkau menjadi penghalang, aku akan membunuhmu lebih dulu!”
Setelah berkata demikian, dia menggerakkan goloknya menyerang dengan dahsyat. Aji memang tidak mempunyai pengalaman berkelahi, akan tetapi ilmu-ilmu silat yang dipelajari dan dilatihnya sejak kecil telah mendarah daging dengan dirinya. Gerakannya menjadi otomatis dan ketika golok itu menyambar ke arah kepalanya, dia mengelak dengan gesit sekali.
Singowiro menjadi penasaran dan marah melihat bacokannya tidak mengenai sasaran. dia memutar goloknya dan menyerang secara bertubi-tubi, membacok, menusuk, membabat. Namun, semua serangan itu sia-sia, seperti menyerang bayangan saja karena gerakan Aji ketika mengelak jauh lebih gesit dan cepat.
“Singggg...!” Golok menyambar lagi membabat ke arah leher Aji. Pemuda ini merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya. Golok meluncur cepat di atas kepalanya dan pada detik itu juga, bangku ditangannya menyambar dari samping ke arah tubuh lawannya.
“Wuuuttt... desss...!” Bangku itu menghantam pinggang Singowiro sehingga tubuhnya terpelanting. “Aduh...!” Singowiro roboh dan dia bergulingan menjauh, lalu meloncat bangun sambil meringis karena pinggangnya terasa nyeri. Aji berdiri tegak, menanti. Dia tak pernah menggunakan bangku itu untuk menagkis, maklum bahwa hal itu dia lakukan, tentu bangkunya akan hancur.
Singowiro baru maklum bahwa ternyata pemuda itu tangkas sekali dan menguasai ilmu silat. Dia teringat akan Harun Hambali yang dulu pernah mengalahkannya, bahkan yang memperisteri Warsiyem. Selama ada Harun di samping Warsiyem, dia tidak berani mencoba-coba untuk merampas wanita yang membuatnya tergila-gila itu. Kini setelah Harun meninggal dunia, ternyata puteranya menggantikannya melindungi Warsiyem dan menjadi penghalang baginya.
“Bunuh dia!” teriaknya kepada dua orang kawannya dan kini tiga orang itu mengepung Aji dari tiga jurusan. Singowiro di depan dan dua orang kawan jagoan itu di kanan kiri. Mereka bertiga mengamangkan golok dengan wajah bengis. Akan tetapi Aji tak merasa gentar sedikitpun. Dia tetap tenang.
Pada saat terdengar jerit ibunya. “Aji...!” Suara itu mengandung penuh kekhawatiran. Ngeri rasa hati ibu ini melihat puteranya diancam tiga orang jahat yang memegang golok itu. Mendengar jeritan ibunya, Lindu Aji menjadi marah kepada tiga orang itu. Dia mengambil keputusan untuk segera merobohkan mereka agar ibunya tidak dicekam kekhawatiran lagi.
Sementara itu, Singowiro sudah mulai dengan serangannya. Goloknya menyambar dahsyat dari atas ke bawah membacok ke arah kepala Aji. “Yaaaahhhh !” Dia membentak dan membacok sekuat tenaga. Akan tetapi hanya dengan miringkan tubuhnya Aji mengelak dari bacokan itu. dari kanan kiri menyambar pula golok kedua kawan Singowiro.
Aji melompat ke belakang sehingga bacokan merekapun hanya mengenai tempat kosong. Tiga orang itu mengejar dan kembali mereka sudah mengepung dari tiga jurusan. Aji sudah memperhitungkan dengan baik. Ketika tiga orang itu mengangkat golok masing-masing, siap menyerangnya, dia mengeluarkan teriakan nyaring sekali.
“Haaaiiiiittt... !!” Dia membuat gerakan memutar sambil menyerang dengan bangku yang dipegang kakinya dengan kedua tangannya dan pada saat itu juga, kaki kanannya mencuat dan menendang ke arah tubuh Singowiro yang berada di depannya.
“Dukkk.... ! Takkk... ! Bluggg... !” Dua orang kawan Singowiro terkena hantaman ujung bangku pada muka mereka sedangkan perut gendut Singowiro diterjang kaki kanan Aji.
“Aduhhh... aduhhh... hekkk... !” Tiga orang itu terpelanting dan terjengkang. Aji yang sudah marah sekali tidak berhenti sampai disitu saja. Melihat tiga orang lawannya itu merangkak hendak bangkit, diapun melompat dan bangkunya menari-nari, menyambar dan menghantami tiga orang itu berganti-ganti sampai mereka jatuh bangun terguling-guling dan tidak mampu bangkit lagi.
“Aji...!” tiba-tiba Warsiyem lari menghampiri anaknya dan merangkulnya, menariknya ke rumah menjauhi tiga orang yang masih mendekam sambil mengaduh-aduh itu. muka mereka berdarah-darah karena beberapa kali dihantam bangku. Aji tidak membantah dan menurut saja ketika ditarik ibunya.
Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan puluhan orang laki-laki penduduk dusun Gampingan yang telah berkumpul di situ serentak bergerak maju dan mengeroyok tiga orang penjahat yang sudah tidak berdaya itu. agaknya melihat betapa Aji mampu merobohkan tiga orang itu, timbul keberanian dalam hati penduduk dusun Gampingan yang marah itu dan mereka kini mengeroyok dan memukuli tiga orang itu dengan senjata apa saja yang berada di yangan mereka. Ada yang menggunakan parang, linggis, pacul, bahkan ada yang menggunakan batu atau tangan saja.
Tiga orang itu menjerit-jerit ketakutan dan kesakitan, minta-minta ampun, akan tetapi puluhan orang yang sudah kesetanan itu tidak mau berhenti sampai akhirnya tiga orang itu tewas dengan tubuh lumat! Aji berangkulan dengan ibunya. Warsiyem menutupi kedua telinganya dan memejamkan matanya, dirangkul oleh Aji yang seolah hendak melindunginya. Tiba-tiba terdengan suara lembut namun demikian jelas terdengar mengatasi keributan orang-orang yang sedang mengamuk itu.
“Saudara-saudara sekalian, hentikan semua itu...!” Suara yang lembut itu mengandung wibawa yang demikian kuat, membuat semua orang menghentikan amukan mereka dan mereka menghadap ke arah kakek yang muncul di ambang pintu warung, berdiri ditopang tongkatnya. tubuhnya tegak, wajahnya masih membayangkan kelembutan namun sepasang matanya kini mencorong mengandung teguran sehingga orang-orang yang berada di situ tidak berani menentang pandang matanya melainkan menundukkan pandang mata.
“Ya Allah, gusti...! Saudara-saudara, apa yang kalian lakukan ini? Tidak sadarkah andika sekalian bahwa kalian telah dikuasai iblis melalui nafsu amarah dan kebencian sehingga tega melakukan kekejaman yang amat mengerikan ini? Lupakah kalian bahwa mereka bertiga juga manusia-manusia seperti andika, manusia-manusia yang tidak sempurna dan berdosa? Ampun, Gusti, semoga Paduka mengampuni kita semua ”
Hening mengikuti ucapan kakek itu seolah menyusup ke dalam hati sanubari mreka. Mereka tidak menyesal atas apa yang mereka lakukan terhadap tiga orang yang mereka anggap kejam dan jahat itu, akan tetapi kini mereka merasa malu kepada kakek itu. Parto mewakili kawan-kawannya dan berkata, “Akan tetapi, paman. Tiga orang ini adalah pembunuh-pembunuh yang kejam.”
“Benar, mereka bertiga adalah pembunuh-pembunuh yang kejam. Akan tetapi sekarang pandanglah sisa tubuh mereka itu dan lihatlah tangan kalian sendiri. Bukankah kalian juga membunuh dengan cara yang kejam sekali? Lalu apa bedanya antara mereka dan kalian?"
Wajah Parto menjadi pucat dan dia tidak membantah lagi. Akan tetapi seorang penduduk lain berkata, “Akan tetapi, paman. Mereka itu datang membuat kekacauan di dusun kami, hendak menculik Warsiyem, dan melukai tiga orang teman kami yang mencoba untuk mengingatkan mereka. Apakah kita harus diam berpangku tangan saja melihat tiga orang itu melakukan kejahatan membiarkan mereka menculik wanita dan membiarkan mereka melukai atau membunuh orang?”
Semua orang diam-diam menyetujui pertanyaan itu dan kini semua mata memandang ke arah kakek itu yang tampak tersenyum. Kakek itu mengangguk-angguk. “Bagus, bagus ! pertanyaan dan sikap kalian ini menunjukkan bahwa kalian mempunyai rasa keadilan, menentang yang jahat dan melindungi yang lemah. Akan tetapi cara yang kalian pakai itu keliru. kejahatan tidak boleh dibalas dengan kejahatan. Kalau kalian belum mampu menghadapi kejahatan dengan kebaikan, maka hadapilah kejahatan dengan keadilan. Akan tetapi bukan keadilan yang ngawur, bukan keadilan yang dilaksanakan seenak hatinya sendiri. Harus dilaksanakan oleh pengadilan berdasarkan hukum pemerintah yang berwenang. Apa artinya mempunyai pemerintah kalau kita bertindak sendiri? Apa gunanya ada hukum dan pengadilan kalau kita melaksanakan hukum sendiri? Ini namanya sewenang-wenang. tugas kita membantu pemerintah menjaga ketenteraman dan keamanan. Kalau kalian menangkap, tiga orang itu dan menyerahkan kepada petugas pemerintah untuk mengadilinya, itu sudah tepat dan benar namanya.”
Kini Aji maju menghampiri kakek itu dan berkata, “Kami telah bertindak salah menuruti kemarahan dan kebencian, eyang. Biarlah saya yang menanggung semua kesalahan ini, jangan salahkan kepada saudara-saudara ini karena tadi sayalah yang merobohkan tiga orang itu.”
Kakek itu menatap wajah Aji dan mengangguk-angguk. “mengakui kesalahan dan mempertanggung jawabkan perbuatan merupakan langkah yang benar. Sudahlah, semua telah terjadi. Lapor saja kepada ketua dusun dan kubur tiga jenasah itu baik-baik.” Kakek itu lalu masuk kembali ke dalam rumah, diikuti oleh Warsiyem dan Aji.
Para penduduk Gampingan lalu bekerja. Meraka melapor kepada kepala dusun yang tidak menyalahkan mereka. Membunuh penjahat pada waktu itu tidaklah melakukan pelanggaran besar, apa lagi kalau pelakunya adalah rakyat banyak. Jenasah tiga orang itu lalu dikuburkan sebagaimana mestinya, walaupun di tempat terpisah dari kuburan umum.
Mereka bertiga duduk di ruangan depan dekat warung. Ketika itu tengah hari dan seperti biasa pada siang hari, warung itu sepi. Warsiyem, Lindu Aji, dan kakek itu duduk bercakap-cakap sehabis makan siang, duduk saling berhadapan di atas bangku. Sudah tiga hari kakek itu tinggal di situ, sejak dia jatuh sakit dan ditolong oleh Aji dan ibunya. Dia kini sudah sembuh benar. Wajahnya yang kurus tampak kemerahan. Bajunya lurik dan celana kuning yang dipakainya tampak bersih karena sudah dicuci oleh Warsiyem dan kakek itu diberi pakaian peninggalan Harun untuk penggantinya. Akan tetapi setelah pakaiannya sendiri bersih dan kering, kakek itu berganti lagi dengan pakaiannya sendiri.
“Paman. maafkan pertanyaan saya. Sejak paman berada di sini, kami sudah merasa seolah paman ini keluarga kami sendiri, seperti bapakku sendiri atau seperti kakeknya Aji. Akan tetapi paman belum pernah bercerita tentang diri paman. bahkan nama pamanpun belum kami ketahui. Paman, bolehkah kami mengetahui nama paman yang mulia?”
“Ibu benar, eyang. Semua orang di dusun ini bertanya kepada saya siapa nama eyang, akan tetapi saya tidak dapat menjawabnya.” kata Aji yang menjadi berani setelah ibunya lebih dulu menyinggung soal itu. entah mengapa, sikap kakek yang halus budi dan penyabar itu bahkan membuat Aji merasa segan, hormat dan takut mengeluarkan kata-kata yang salah di depan kakek itu. Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya yang sudah putih seperti benang-benang perak.
“Nini Warsiyem dan engkau angger Aji, terus terang saja, selama bertahun-tahun ini aku tidak pernah memperkenalkan nama kepada siapapun juga sehingga aku sendiri hampir tidak mengenal namaku sendiri. Dahulu aku ingin membebaskan diri dari segala ikatan, tanpa keluarga, tanpa tempat tinggal, tanpa nama. Namun agaknya Gusti Allah menentukan lain sehingga mempertemukan aku dengan kalian ibu dan anak yang memberiku ikatan kekeluargaan, sandang, pangan dan papan. Karena itu sudah sepantasnya kalau aku memperkenalkan namaku. Dahulu, aku biasanya disebut orang Ki Tejobudi.”
“Di mana adanya keluarga paman? Isteri, saudara, anak, atau cucu?” Tanya Warsiyem.
Ki Tejobudi menggeleng kepalanya. “Tidak, tidak ada, aku hidup seorang diri. Atau... Lebih tepat lagi, bukankah manusia sedunia ini sesungguhnya adalah keluarga kita?”
Mendengar jawaban ini, Aji dan ibunya memandang dan Ki Tejobudi tertawa. “kalian heran? Yang ada hanyalah sebangsa manusia, yang berbeda dengan mahluk lain. Di antara manusia yang berbeda hanya warna kulit dan rambut terpengaruh iklim, pakaian dan bahasa terpengaruh kebudayaan setempat. Suara batinnya sama persis. dengarkan suara tawa dan tangis mereka. Dari golongan atau bangsa apapun dia datang, suara tawa dan tangisnya, suara batin itu, tentu sama. bahkan pada saat lahir, suara pertama manusia, yaitu tangis, tiada bedanya sama sekali.”
“Maaf, eyang. menurut penuturan ibu saya, ketika eyang menghadapi mendiang Singowiro dan eyang yang diserang olehnya, semua serangan Singowiro tidak mengenai tubuh eyang sehingga dia lari tunggang langgang. Saya percaya bahwa eyang tentu seorang yang sakti mandraguna.”
Ki Tejobudi tersenyum. “Apa sih yang dinamakan sakti mandraguna itu, kulup? Berapa kuat dan pintarnya seseorang, pasti ada yang melebihinya. Kekuatan manusia itu terbatas, sesuai dengan kodrat dan kemampuannya. Kekuatan yang tidak sesuai dengan kodrat, yang mengambil dari luar alam manusia, hanya sementara dan lebih banyak mendatangkan malapetaka bagi diri sendiri daripada kebaikan. Yang Maha Sakti adalah Gusti Allah. Semua kekuatan dan kesaktian berasal dari Kekuasaan Gusti Allah. Kalau dipergunakan untuk kejahatan menjadi kekuatan iblis. Kalau kekuasaan Gusti Allah melindungi seorang manusia, kekuatan apakah di dunia ini yang akan mampu mengganggunya? Aku manusia biasa yang terikat oleh kodrat Yang maha sakti adalah Gusti Allah dan aku berlindung di dalam kekuasaanNya.”
Pada saat itu, ada tiga orang memasuki warung dan Warsiyem bergegas memasuki warung untuk melayani pembelinya. aji ditinggalkan berdua dengan Ki Tejobudi. Kakek itu mengamati wajah pemuda itu dan bertanya dengan suara lembut. “Aji, aku tadi mendengar bahwa engkau telah mengalahkan tiga orang yang membuat keributan itu. Agaknya engkau menguasai ilmu pencak silat. Dari siapakah engkau mempelajari ilmu itu?”
“Dahulu saya mempelajarinya dari bapak, eyang. Bapakku adalah seorang Sunda dan dia menguasai ilmu pencak silat aliran Cimande.”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Pantas kalau begitu. Aliran itu mengandalkan kecepatan gerak, mengubah tangkisan menjadi serangan dan terutama ampuh dalam penggunaan kaki menyerang lawan.”
“Wah... eyang tentu menguasai banyak ilmu silat yang tangguh. Saya percaya bahwa eyang tentu seorang yang sakti mandraguna.”
Ki Tejobudi menghela napas panjang. “Dahulu, puluhan tahun yang lalu memang kesukaanku mempelajari dan memperdalam olah kanuragan.”
“Akan tetapi, maat, eyang. Eyang demikian sakti mengapa sampai menjadi sakit dan lemah? Bagaimana bisa begitu, eyang?”
Ki Tejobudi tertawa. “Heh-heh, kenapa tidak begitu, Aji? Sudah kukatakan tadi bahwa kekuatan dan kepandaian manusia itu terbatas. Manusia tidak mungkin dapat membebaskan diri dari kodratnya. Sudah menjadi kodrat manusia bahwa tubuhnya akan menjadi tua, digerogoti usia menjadi lemah dan mudah diserang penyakit. Tidak ada kesaktian yang mampu mencegah datangnya penyakit dan datangnya usia tua, kulup. Pada akhirnya semua orang harus tunduk kepada kekuasaan Gusti Allah dan bertekuk lutut kepada kodratnya. Seberapa sih kepandaian manusia? Menghitung rambut jenggotnya sendiripun tidak mampu! Seberapa kekuatannya? Menghentikan detak jantungnya sendiripun tidak dapat! Jasmani yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah juga, kotor dan lemah. Kalau aku menjadi lemah dan sakit, apa anehnya itu.”
Aji teringat akan ucapan mendiang ayahnya dulu yang menyatakan bahwa betapa tinggipun tingkat jiwa seseorang, kalau dia masih hidup di dunia ini, dia tidak akan terbebas daripada usia tua, penyakit, dan kematian. Kakek ini sakti mandraguna, akan tetapi sikapnya demikian rendah hati. Dia menjadi semakin kagum dan entah kekuasaan apa yang mendorongnya, tiba-tiba saja dia turun dari bangkunya dan menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Ki Tejobudi.
“Eyang, saya mohon sudilah kiranya eyang menerima saya sebagai murid eyang dan mengajarkan ilmu-ilmu eyang kepada saya agar saya dapat menjadi seorang manusia yang berguna.”
Ki Tejobudi tersenyum dan menghampiri Aji, menepuk-nepuk pundaknya. “Engkau ingin menjadi seorang manusia yang berguna, Aji? Kalau begitu, tanyalah kepada dirimu sendiri lebih dulu, engkau ingin berguna untuk siapa? Untuk dirimu sendiri, untuk keuntunganmu dan kesenanganmu sendiri?”
“Tidak, eyang. Saya ingin menjadi seorang manusia yang berguna bagi Tuhan.”
Ki Tejobudi terkekeh. “Heh-heh-heh, lalu apa yang kau lakukan agar engkau berguna bagi Gusti Allah?”
Dengan cerdik Aji mengambil sikap rendah hati dan bodoh. “Untuk menjawab itu saya mohon petunjuk dari eyang.”
“Aji, Gusti Allah itu Maha Ada, Maha Punya, dan Maha Cukup. Gusti Allah tidak pernah kekurangan, tidak pernah membutuhkan, apa yang dapat kau haturkan kepadaNya? Jadilah manusia yang beguna bagi keluargamu, lalu berkembang menjadi berguna bagi semua orang, bagi bangsamu dan negaramu. Yang terakhir, menjadi berguna bagi manusia dan dunia. dengan begitu berarti engkau menjadi manusia yang berguna bagi Gusti allah, karena engkau menjadi alatNya yang baik dan berguna.”
“Terima masih, eyang. Untuk dapat menjadi manusia berguna seperti yang eyang terangkan tadi, maka saya mohon eyang sudi mengajarkan ilmu-ilmu kepada saya. Tanpa ilmu bagaimana saya dapat berguna bagi orang lain?”
“Heh-heh-heh, agaknya Gusti allah telah menghendaki demikian. Baik, aku suka menerimamu menjadi murid, suka mewariskan semua yang kuketahui kepadamu agar jerih payahku mempelajari semua itu di masa lalu tidak sia-sia dan tidak hilang begitu saja. akan tetapi hanya satu syarat, yaitu ibumu harus menyetujuinya.”
“Saya setuju! Saya setuju sepenuh hati saya, paman!” kata Warsiyem yang baru saja memasuki ruangan itu dan mendengar ucapan Ki Tejobudi. Ia lalu menghampiri dan ikut berlutut menembah di samping anaknya.
“Baiklah, aku menerima Aji sebagai muridku. Sekarang kalian bangkit dan duduklah.”
Ibu dan anak itu lalu bangkit dan duduk di atas bangku, akan tetapi kembali Warsiyem harus memasuki warung karena ada lagi tamu yang hendak makan. “Aji, dengarkan baik-baik. Ilmu kanuragan baik saja dilatih dan dikuasai untuk menguatkan tubuh dan untuk melindungi diri dari ancaman kekerasan yang datang dari luar. Akan tetapi ingat, ilmu ini hanyalah ilmu jasmani yang amat terbatas sekali. Betapapun tingginya ilmu kanuragan ini, pasti ada yang mengunggulinya. Ilmu kanuragan baru menjadi ilmu yang baik kalau kau pergunakan ilmu itu demi kepentingan negara dan bangsa. Mengertikah engkau, Aji?”
Dari tempat duduknya Aji menyembah. “Saya mengerti, eyang. Mendiang bapak juga seringkali mengingatkan saya agar mempergunakan semua ilmu yang diajarkan bapak untuk membela kebenaran dan keadilan, dan menentang kejahatan.”
“Bagus, kalau begitu. Aku percaya bahwa mendiang bapakmu tentu seorang yang bijaksana sehingga kebijaksanaannya itu masih tampak pada isteri dan puteranya. Sekarang ketahuilah, Aji bahwa ada ilmu, yaitu ilmu menyerah, pasrah sepenuhnya dan sebulat-bulatnya kepada Gusti Allah.”
“Ilmu menyerah, eyang? Apa itu dan bagaimana?” Aji tidak mengerti.
“Menyerah atau pasrah kepada kekuasaan Gusti Allah yang akan bekerja dalam dirimu, membimbingmu dan melindungimu. Kalau sudah begini, kekuasaan apakah yang akan mampu mengganggumu? Jadi ingatlah, Aji. Semua ikhtiarmu, semua usaha yang dilakukan badan dan hati akal pikiranmu harus disandarkan kepada kepasrahan yang mutlak kepada Gusti Allah. Dengan demikian maka semua usaha dan tindakanmu pasti mendapat tuntunan. Dan Ingat dengan penuh keyakinan bahwa tidak ada apapun yang tidak mungkin bagi Gusti Allah. KekuasaanNya bekerja di mana saja, setiap saat dan abadi. Mau dan siapkah engkau untuk membuka hati nuranimu, menyerahkan jiwa ragamu dalam kekuasaan dan bimbingan Gusti Allah dengan sepenuh iman, ikhlas, dan tawakal?”
“Saya mau dan siap, eyang!” kata Aji dengan tegas.
“Kalau begitu, mari kita masuk ke dalam kamar dan pesan kepada ibumu agar jangan mengganggu kita sebelum kita keluar dari dalam kamar.”
Aji lalu berlari keluar, ke warung nasi ibunya. “Ibu, Eyang Guru minta agar ibu tidak mengganggu kami berdua yang berada dalam kamar. Eyang hendak memberi pelajaran kepadaku.”
Warsiyem mengangguk-angguk dan tersenyum senang. “Baiklah, Aji. Taati semua perintah dan petunjuk gurumu dengan sepenuh hati.”
“Baik, ibu.” Aji memasuki kamarnya yang kini diperuntukkan Ki Tejobudi.
“AJi, berdirilah di dekatku dan tirukan gerakan tanganku dan ulangi ucapanku. Lakukan dengan seluruh perasaan hatimu dan dengan segala kerendahan hati karena kita menghadap ke hadirat Gusti Allah.”
Aji lalu berdiri, di samping kakek itu agak dibelakangnya dan mengheningkan cipta seperti yang pernah diajarkan mendiang bapaknya. Seluruh cita rasa dan batinnya dia tujukan kepada keberadaan Gusti Allah. Dia mengikuti gerakan kakek itu ketika Ki Tejobudi mengangkat kedua tangannya dan menirukan kata-kata yang diucapkan dengan lirih dan dengan suara menggetar oleh kakek itu.
“Duh Gusti Allah sesembahan dan pujaan hamba. Disaksikan langit dan bumi beserta segala isinya, hamba berjanji bahwa akan mempergunakan segala kepandaian yang Paduka karuniakan kepada hamba untuk prikemanusiaan sejalan dengan kehendak Paduka. Hamba menyerahkan jiwa dan raga hamba ke dalam kekuasaan Paduka, semoga Paduka menerima dan memberi bimbingan dan perlindungan kepada setiap langkah dalam kehidupan hamba. Amin!”
Ki Tejobudi menggerakkan kedua tangan bertemu di depan dada membentuk sembah. Setelah diam beberapa saat lamanya, di mana Aji merasa seperti tenggelam ke dalam kehampaan yang mendatangkan perasaan seolah dia sedang melayang-layang mulailah Ki Tejobudi menggerakkan kedua tangannya dalam gerakan silat yang lembut sekali. Gerakannya seperti orang menari saja, sama sekali tidak mengandung kekerasan seperti gerakan silat pasa umumnya.
Aji memperhatikan dan meniru gerakan kakek itu dengan seksama. Dari bekal ilmu silat yang dipelajarinya dari mendiang ayahnya dan dia tahu bahwa ilmu silat harus dilakukan dengan gerakan sempurna, setiap gerak jari dan pergelangan tangan harus tepat dan setiap gerakan harus diikuti oleh perasaan sehingga gerakan itu tidak menjadi kaku dan dapat menyatu dengan seluruh anggauta tubuh, Dengan latihan yang tekun, menyatukan perasaan dengan setiap gerakan, maka gerakan itu akan menjadi gerakan otomatis, merupakan gerakan yang dipimpin oleh reflex sehingga gerakan itu dalam menaggapi gangguan dari luar amat cepatnya, lebih cepat daripada jalannya pancaindera ke pikiran.
Ki Tejobudi hanya bergerak selama lima jurus saja. “Ingat baik-baik lima gerakan pertama tadi, Aji. Sekarang coba engkau bergerak sendiri.”
Aji mengingat-ingat, lalu bergerak seperti tadi. Mula-mula kedua tangan diangkat ke atas, lalu membuat sembah dan mulailah dia bergerak seperti tadi. Ki tejobudi memperhatikan dan kadang memberi petunjuk apabila ada gerakan Aji yang dianggapnya kurang sempurna.
“Nah, kau latih lima gerakan itu sampai menjadi gerakan otomatis, Aji. Sekarang dengarkanlah baik-baik. Semua gerakan itu adalah olah raga, namun herus didasari kepasrahan kepada kekuasaan Gusti Allah, tidak lagi dikendalikan oleh pikiran. Mulai sekarang, seperti yang sudah kau janjikan tadi, engkau harus menyerahkan segala sesuatunya kepada kekuasaan Gusti Allah, biarlah kekuasaan Gusti Alah yang akan membimbingmu dalam segala langkah hidupmu.”
“Apakah Eyang guru maksudkan bahwa saya tidak lagi boleh berusaha dengan kemauan sendiri, melainkan menyerah secara bulat kepada Gusti Allah?”
“Jangan salah mengerti penyerahan, Aji. bukan berarti penyerahan secara mandeg dan mati, membiarkan Gusti Allah bekerja sendiri dan kita tinggal enak-enak saja! Itu berarti malah menentang kehendak Gusti Allah. Manusia dilahirkan disertai alat-alat yang serba lengkap. anggota tubuh yang sempurna, hati akal pikiran dan disertai nafsu-nafsu, semua itu untuk membantu kita dalam hidup ini dan dapat menikmati hidup. Sudah menjadi kehendak Gusti Allah bahwa semua perlengkapan itu harus kita pergunakan, harus kita kerjakan! Manusia hidup wajib berikhtiar, berusaha sekuat kemampuannya, menggunakan anggauta tubuhnya dan hati akal pikirannya. Kita tidak boleh menggantungkan kepada kekuasaan Gusti Allah semata, melainkan harus membantu! Akan tetapi, segala ikhtiar itu kita landaskan kepada penyerahan dengan keyakinan bahwa hasil keputusan terakhir berada dalam kekuasaanNya. bukan tergantung kepada usaha kita. mengertikah engkau, Aji?”
“Saya berusaha untuk mengerti, Eyang. Akan tetapi Eyang mengajarkaan agar saya menyerah kepada kekuasaan Tuhan, di samping itu mengajarkan agar saya beusaha sekuat kemampuan saya. Bukankah dua hal ini berlawanan?”
“Sama sekali tidak, Aji. Kalau engkau sudah dapat berpasrah diri secara total, pasrah lahir batin, kepasrahan yang mendasari semua langkah hidupmu, maka Gusti Allah akan manunggal dengan jiwamu dan kekuasaan itu atau Sang Dewa Ruci (Roh Suci) yang akan menuntun semua hati akal pikiranmu, ucapanmu, dan tindakanmu. Sudahlah, Aji, hal ini amat gawat, tidak dapat kau jangkau dengan hati akal pikiranmu. Menyerah saja dengan ikhlas, beriman dan tawakal, dan Gusti Allah akan membuatmu mengerti sendiri.”
Demikianlah, mulai hari itu Ki Tejobudi memberi gemblengan kepada Lindu Aji, bukan saja penggemblengan olah raga, melainkan juga olah jiwa. Selain ilmu-ilmu silat yang tinggi tingkatnya, Aji juga memperdalam ilmu pencak silat yang dipelajari dari mendiang ayahnya dengan petunjuk Ki Tejobudi.
Dan sebagai puncaknya, dia menerima pelajaran yang disebut Aji Tirta Bantala (Ilmu Air dan Bumi) yaitu dua unsur yang pada hakekatnya selalu mengalah dan menyerah, namun yang pada akhirnya mengandung kekuatan yang luar biasa, mengalahkan segala yang tampak kuat dan keras. Aji Tirta Bantala ini yang didasari penyerahan kepada kekuasaan kepada Gusti Allah seperti yang diajarkan Ki Tejobudi.
Adapun ilmu-ilmu silat yang diajarkan kepada Lindu Aji adalah apa yang disebut Aji Surya Candra (Matahari dan Rembulan), Aji Guruh Bumi yang berdasarkan tenaga sakti, dan ilmu pencak silat Wanara Sakti (kera Sakti). Selama lima tahun Aji belajar dengan tekun di bawah bimbingan Ki Tejobudi. Sang Bathara Kala (sang Waktu) berlalu cepat sekali tanpa terasa dan kini Lindu Aji telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun.
Tubuhnya jangkung tegap, wajahnya tampan manis, sikapnya sederhana dan rendah hati, sama sekali tidak berkesan seorang jagoan, akan tetapi langkahnya seperti seekor harimau dan sepasang matanya yang bersinar lembut itu kadang dapat mencorong penuh wibawa. Ki Tejobudi kini semakin tua dan sakit-sakitan. Akhirnya dia jatuh sakit dan tidak dapat turun lagi dari atas pembaringannya. Aji merawatnya dengan penuh kebaktian, Juga ibunya, Warsiyem merawat kakek itu seperti kepada ayah sendiri sehingga Ki Tejobudi merasa berterima kasih dan terharu sekali.
Ketika penyakitnya semakin parah, pada suatu pagi Ki Tejobudi memanggil Warsiyem dan Lindu Aji ke dalam kamarnya. Ibu dan anak itu duduk di tepi pembaringan di mana tubuh yang kurus kering kakek itu rebah dan napasnya tinggal satu-satu.
“Nini Warsiyem,” kata Ki Tejobudi dengan suara yang lemah dan lirih, namun cukup jelas bagi ibu dan anak itu. “Andika seorang wanita dan ibu yang baik budi. semoga Gusti Allah memberkahimu. Selama lima tahun andika menerima dan menganggap diriku seperti orang tua sendiri. Andika seorang janda dan aku melihat Ki Parto yang telah menjadi duda sejak tiga tahun yang lalu itu seorang yang baik, dia sahabat baik mendiang suamimu dahulu, dan aku dapat melihat bahwa dia mencintamu dan juga sayang kepada Aji. Kenapa andika menolak pinangannya? akan baik sekali kalau andika dapat menjadi isterinya.”
“Paman, harap jangan berkata begitu“ Warsiyem menundukkan muka dan kedua air matanya menjadi basah. Memang, beberapa bulan yang lalu Parto pernah meminangnya. Parto tetangganya itu kini sudah menjadi duda, kematian isterinya tiga tahun yang lalu dan dia tidak mempunyai anak. Ia sendiri seorang janda berusia kurang lebih tiga puluh delapan tahun, masih manis menarik karena sudah empat kali ia dipinang orang dan selalu ditolaknya dengan halus.
Pinangan terakhir datang dari Parto yang juga ditolaknya dan sekarang, dalam keadaan gawat penyakitnya itu, kakek yang sudah dianggapnya sebagai pengganti orang tuanya, menganjurkan ia menikah dengan Parto.
“Paman, saya sudah berjanji kepada diri saya sendiri, berjanji kepada Akang Uun bahwa saya tidak akan menikah lagi. Tidak mungkin saya dapat melayani laki-laki lain, paman. Kang Uun adalah satu-satunya pria yang saya cinta, ngeri dan tidak dapat saya membayangkan harus berdua saja dengan anakku Aji, paman.” Teringat akan suaminya, Warsiyem menyeka air matanya.
“Ibu, apa yang dikatakan Eyang Guru tadi benar. Paman Parto itu orangnya amat baik kepada kita, Ibu masih muda dan aku sama skali tidak keberatan kalau ibu menikah dengan Paman Parto. Dia sudah seperti ayahku sendiri dan aku yakin, bapak tentu juga rela kalau ibu menjadi isteri Paman Parto.” kata Aji dengan lembut.
Dia mengira bahwa penolakan ibunya itu karena merasa rikuh kepadanya. “Aji, cukup, jangan bicara lagi. Sampai mati aku tidak akan menikah lagi. Aku akan setia kepada bapakmu sampai ajal membawaku berkumpul kembali dengan bapakmu. Aku sudah bicara dengan Kang Parto. Ia kuanggap sebagai kakakku sendiri dan ia menerimaku sebagai adiknya. Maafkan saya, Paman. saya tidak dapat menaati anjuran paman tadi.”
Ki Tejobudi menghela napas panjang. “Demi Tuhan! Andika seorang wanita yang baik dan setia, nini. Aku kagum dan bangga. Mendiang suamimu sungguh beruntung mempunyai seorang isteri sepertimu dan Aji juga berbahagia sekali mempunyai seorang ibu sepertimu. Sudahlah, lupakan anjuranku tadi, keputusanmu itu baik sekali. Aku tadi menganjurkan demikian karena puteramu Aji harus pergi mengabdikan diri kepada nusa dan bangsa, nini sehingga andika akan ditinggal seorang diri di sini.”
“Kalau memang sudah seharusnya anakku pergi melaksanakan perintah Paman, saya sanggup hidup seorang diri. Bukankah di sebelah masih ada kang Parto yang sudah kuanggap sebagai kakak sendiri?”
“Bagus sekali kalau begitu. Sekarang, Aji, dengarkan baik-baik kata-kataku. Ini merupakan pesan terakhir dariku.”
“Eyang...“
“Paman...!” Ibu dan anak itu terkejut.
“Kalian tenanglah. Aku bersyukur kepada Gusti Allah bahwa pada saat terakhir ini ada kalian berdua yang menungguiku dengan kasih sayang. Dahulu aku juga mempunyai isteri, akan tetapi tidak sebaik nini Warsiyem. Aji, aku meninggalkan seorang anak, namanya Sudrajat, panggilannya Ajat. Dia ikut saudara tunggal guru denganku yang kini menjadi ayah tirinya yang namanya Ki Tejo Langit dan hidup di Banten tempat asalku. Carilah Ajat dan beritahukan bahwa aku, ayah kandungnya, telah meninggal dunia dengan tenteram dan bahagia.”
“Akan saya ingat pesan eyang dan akan saya laksanakan.” kata Aji sambil menahan keharuan hatinya. Di dalam hatinya telah tumbuh rasa hormat, segan dan sayang kepada orang tua ini yang selain mewariskan ilmu-ilmu kedigdayaan kepadanya, juga telah membantunya dalam kebangkitan jiwanya.
“Pesanku yang kedua, angger, jangan membiarkan semua yang telah kau pelajari menjadi sia-sia. Segala macam kepandaian kalau tidak dipergunakan untuk perikemanusiaan, tidak ada gunanya dan mati. Karena itu, pergilah merantau dan di mana saja engkau berada, berjuanglah untuk kepentingan manusia, bela mereka yang lemah tertindas, dan tentanglah segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan orang. Engkau adalah kawula Mataram, membantu Sang Prabu Pandan Cokrokusumo, Sultan Agung, raja yang arif bijaksana dari Mataram yang sedang menghadapi sang angkara murka, Kumpeni Belanda.”
Aji sudah mendengar penuturan gurunya itu tentang gerakan Kumpeni Belanda, maka diapun mengangguk-angguk. “Pesan kedua eyang akan saya laksanakan sekuat kemampuan saya, Eyang.”
“Bagus, engkau tentu masih ingat. Segala tindakan lakukanlah dengan sekuat kemampuanmu, namun harus dilandasi kepasrahan kepada kekuasaan Gusti allah.”
“Saya mengerti dan masih ingat akan semua pelajaran Eyang.”
“Nah, sekarang pesanku yang ketiga, terakhir dan juga terpenting. Kalian berdua pernah bercerita padaku tentang kematian Harun yang terbunuh oleh seorang jagoan dari Galuh bernama Raden Banuseta, putera dari mendiang Aom Bahrudin yang dahulu dibunuh oleh Harun.” Kakek itu menghela napas panjang. “Aaahhh, hukum karma, dendam mendendam, balas membalas... terima kasih kepada Gusti Allah bahwa aku tidak sampai terjerat oleh rantai karma. Aji, ingat dan taatilah nasihatku, jangan sekali-kali engkau mendendam kepada Raden Banuseta atas kematian ayahmu”
“Akan tetapi, Paman!” Warsiyem membantah. “Bagaimana kami tidak boleh mendendam? Raden Banuseta itu telah membunuh suamiku tercinta, membunuh ayah Lindu Aji!”
“Ibu benar, Eyang. Eyang sendiri mengajarkan kepada saya untuk menentang orang yang bertindak jahat. Banuseta itu telah membunuh bapak saya, bukankah sudah menjadi kewajiban saya untuk menentangnya?”
Kakek itu menghela napas lagi dan suaranya kini semakin lirih dan agak sukar, seolah dia harus megeluarkan seluruh sisa tenaganya untuk dapat berbicara. “dendam mendendam, benci membenci, balas membalas, bunuh membunuh! Rantai beracun ciptaan iblis itu tidak akan ada hentinya kalau kita tidak berani memutusnya! Banuseta membunuh Harun karena Harun membunuh Aom Bahrudin. Kalau kemudian engkau membunuhnya, apa kau kira tidak ada anaknya, ataupun saudara dan sanak keluarganya yang tidak akan mendendam lalu berusaha untuk membalas dan membunuhmu? Kemudian mungkin keturunanmu atau kerabatmu kembali mendendam dan membalas. Tidak akan ada habisnya saling bunuh itu, membiarkan iblis menggunakan nafsu amarah dan kebencian untuk mempermainkan manusia.”
“Eyang, lalu apa yang harus saya lakukan? Apakah saya tidak boleh menentang Banuseta yang melakukan kejahatan? Apakah saya harus mendiamkan saja orang itu melakukan kejahatan dan membunuhi orang ?”
Kembali kakek itu menghela napas panjang seperti hendak mengumpulkan tenaga. “Sama sekali tidak, angger. Kalau ternyata dia jahat, tentu saja sudah menjadi kewajibanmu untuk menentangnya. Akan tetapi penentanganmu iu semata-mata berdasarkan karena dia jahat dan mengganggu orang lain yang tidak berdosa. Jangan sekali-kali penentanganmu itu berdasarkan kemarahan, kebencian dan dendam pribadi. mengertikah engkau, Aji?”
Lindu Aji menundukkan mukanya dan menjawab lirih dan patuh, “Saya mengerti, Eyang.”
“Jangan sekali-kali membiarkan kebencian dan dendam tumbuh dan berkembang dalam hatimu karena peasaan itu merupakan nafsu setan yang merupakan racun berbahaya dan yang akan menyeretmu ke dalam perbuatan yang tidak diridhoi Gusti Allah. Kalau engkau belum mampu menghadapi perbuatan kejahatan dengan kebaikan, maka hadapi kejahatan dngan keadilan yang bebas dari marah, benci dan dendam. engkau masih ingat bagaimana jika iblis menggodamu dan membangkitkan kemarahan dan kebencian dalam hatimu, Aji?”
“Masih, Eyang. Saya akan berpasrah diri kepada Gusti Allah dan mohon petunjuk dan bimbinganNya.”
“Bagus, wah, aku merasa berbahagia sekali. Nini warsiyem dan Lindu Aji, sudah cukup pesanku, sekali lagi aku berterima kasih kepada kalian... semoga Gusti Allah selalu memberi berkah dan tuntunan kepada kalian berdua... amin, amin, ya rabbal alamin!”
Kakek itu memejamkan kdua matanya, melipat kedua lengan di atas dada dan bibirnya bergerak-gerak, terdengar bisikan berulang-ulang “Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...“ makin lama suaranya semakin lemah sehingga akhirnya tak terdengar lagi, hanya bibirnya yang bergerak-gerak, kemudian bibir itupun terdiam dan kakek itu menghembuskan napas terakhir.
Ibu dan anak itu merasakan benar bahwa kakek itu telah wafat, mereka berbisik-bisik, “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun..!”
Para tetangga datang melayat. Hampir semua penduduk dusun Gampingan datang melayat sampai jenasah itu dikebumikan. Biarpun semua orang di Gampingan mengetahui bahwa kakek yang tua renta dan tampak lemah berpenyakitan itu menjadi guru Lindu Aji, akan tetapi tidak seorangpun menyangka bahwa dari kakek itu Aji telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi dan hebat. Hal ini adalah karena Aji tidak pernah menonjolkan diri dan tidak pernah memperlihatkan ilmunya kepada orang lain.