Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Alap Alap Laut Kidul
Jilid 05
SETELAH Ki Tejobudi wafat, ibu dan anak itu setiap hari bekerja seperti biasa. Warsiyem tetap berjualan nasi di warungnya dan Aji bekerja di sawah ladang milik mereka. semua berjalan seperti biasa dan Aji melihat betapa sikap tetangga mereka, Parto, tetap baik dan ramah kepada mereka. bahkan sikapnya terhadap ibunya tampak melindungi dan dalam percakapan dengan duda berusia lima puluh tahun itu, jelas terbayang bahwa laki-laki itu menganggap Warsiyem sebagai adiknya sendiri. Hal ini membahagiakan hati Aji, karena bagaimanapun juga, hatinya merasa lebih bahagia kalau ibunya tetap setia kepada ayahnya dan tidak menikah lagi dengan pria lain.
Pagi itu Aji dan ibunya sudah sibuk. Sebagai penjual nasi dan segala lauk pauknya, makanan dan minuman, sejak sebelum fajar mereka berdua sudah bangun dan sibuk di dapur, mempersiapkan masakan dan minuman. Setiap pagi aji buka warung nasi dan menyapu pekarangan membersihkan rumah, barulah dia pergi ke ladang. Setelah membantu ibunya membuka warung, pada pagi hari yang cerah itu Aji menyapu pekarangan. dua batang pohon mangga di pekarangan itu mulai berbunga lebat.
Tiba-tiba terdengar jerit seorang wanita, “anak-anakku...! Tolong anak-anakku... aduhhh... tolong...!” suara itu bercampur tangis, datangnya dari arah selatan. Aji melepaskan sapunya dan berlari keluar dari pekarangan menuju ke jalan di depan. Warsiyem juga mendengarnya dan iapun keluar dari warungnya, berlari menuju selatan.
Seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun, gelung rambutnya sepanjang punggung itu awut-awutan, pakaiannya kusut dan mukanya basah air mata, berlari terhuyung-huyung memasuki dusun Gampingan dari selatan. Karena rumah Warsiyem berada di ujung selatan dusun itu, maka ia dan Aji yang lebih dulu mendengar jerit tangis wanita itu.
“Bibi, ada apakah, bibi?” Tanya Aji sambil menghadang di tengah jalan.
Melihat ada orang menegurnya, wanita itu mulai menangis tersedu-sedu dan yang keluar dari mulutnya hanyalah kata-kata “anak-anakku... tolong anak-anakku...“ Akan tetapi kata-katanya itu tertutup oleh tangisnya dan matanya liar penuh rasa takut berulang kali memandang ke belakang, ke arah selatan.
Warsiyem sudah tiba di situ dan ia merangkul wanita itu. “Tenanglah, dik dan ceritakan apa yang telah terjadi dengan anak-anakmu.” Rangkulan dan ucapan Warsiyem itu agaknya dapat menenangkan hati wanita itu.
“Aduh, mbakyu... anak-anakku... dua orang anakku diculik orang.”
“Diculik orang? Di mana?” Tanya Aji.
Wanita itu menghadap ke selatan dan menudingkan telunjuknya. “Ketika kami berjalan sampai di luar dusun ini, tiba-tiba ada seorang perempuan berpakaian mewah bertemu dengan kami. Ia memandang anak-anakku, seorang anak laki-laki dan perempuan berusia tujuh dan lima tahun, dan bilang ia mau membeli anak-anakku. Tentu saja aku menolaknya dan tiba-tiba ia memondong kedua orang anakku dan membawa mereka lari menuju selatan. Tolong... tolonglah mereka"
“Ibu, ajak bibi ini ke rumah, aku akan mencoba melakukan pengejaran!” kata Aji dan diapun sudah melompat dan lari ke arah selatan.
“Aji...! Hati-hatilah... !” seru ibunya.
“Baik ibu!” jawab Aji tanpa menghentikan larinya. Dia pernah melatih diri dengan ilmu meringankan tubuh dan lari cepat yang disebut Aji Bayu Sakti. Setelah mempergunakan aji itu, dia berlari cepat sekali seolah kedua kakinya tidak lagi menginjak bumi. Bagaikan terbang tubuhnya meluncur ke arah selatan, ke arah Laut Kidul! Akan tetapi dia tidak melihat orang. Sejak tadi ia memperhatikan kalau-kalau ada orang di sepanjang perjalanan. Akan tetapi daerah itu sepi saja. Mungkin hari masih terlalu pagi. Sampai dia tiba di pantai laut, dia tidak melihat seorangpun. Dia termangu-mangu menyusuri pantai menuju ke arah bukit karang yang menjulang di tepi pantai.
Tiba-tiba hatinya tertarik sekali melihat ada jejak kaki memasuki pantai berpasir dan menuju ke bukit karang. Dia sudah mengenal betul daerah pantai ini. seringkali dia mencari ikan, bermain-main seorang diri, berenang dan berlatih silat kalau tidak ada orang melihatnya. Karena sering bermain di laut inilah dia juga pandai sekali berenang. Dia tahu bahwa di atas bukit karang itu terdapat banyak gua besar kecil yang tidak pernah dikunjungi orang, gua yang menjadi sarang burung-burung walet.
Dia merasa ragu, Apakah penculik dua orang anak itu mendaki bukit? Jejaknya berhenti di kaki bukit. Ini menunjukkan bahwa penculik itu tentu membawa dua orang anak yang diculiknya ke atas bukit. Tetapi untuk apa? Dan mengapa? Dia belum tahu siapa wanita itu yang mengaku dua orang anaknya diculik. Akan tetapi melihat sekelebatan saja dia tahu bahwa ia hanya seorang wanita dusun biasa. Dari pakaiannya ia adalah seorang wanita tani. Apanya yang berharga atau menarik minat seorang penculik akan diri dari dua orang anak petani miskin?
Sungguh aneh, mengherankan sekali. Aji mulai mendaki bukit batu karang itu, perlahan-lahan sambil memandang ke sekeliling dan memperhatikan dengan pendengarannya. tiba-tiba dia mendengar teriakan anak-anak, hanya satu kali lalu suara itu bungkam kembali. suara itu terdengar dari arah atas, sebelah kirinya. Dia lalu berloncatan menuju ke arah dari mana datangnya suara tadi. Tidak tampak sesuatu yang mencurigakan di sana.
Selagi dia mencari-cari dengan pandang matanya, dia memutar tubuhnya memandang ke bawah kembali dan dia melihat bayangan seorang berkelebat, lari menuruni bukit batu karang itu. Dia terkejut dan menjadi penasaran sekali, merasa tertipu oleh suara jerit kanak-kanak tadi. Kiranya selagi dia berlari naik mendaki bukit, ada orang yang melarikan diri menuruni bukit batu karang itu. Dia mengerahkan tenaga dan berloncatan turun. Karena dia mengerahkan semua ilmunya berlari cepat berdasarkan ilmu meringankan tubuh, maka dia dapat berlari secepat terbang menuruni bukit itu.
Ketika dia tiba di kaki bukit karang, dia melihat seorang wanita berlari di atas pantai berpasir. Larinya cepat sekali walaupun dia memondong dua orang anak kecil di kedua pundaknya. Dua orang anak itu tampak diam saja dan tidak meronta lagi, seperti tertidur di atas pundak wanita itu. Aji merasa tegang hatinya ketika timbul dugaan bahwa kedua orang anak itu jangan-jangan sudah mati! Dia mengerahkan tenaga sekuatnya sehingga larinya cepat sekali dan akhirnya dia dapat menyusul wanita itu.
“Sobat, berhenti dulu!” seru Aji sambil melompat mendahului dan memutar tubuhnya menghadapi wanita itu.
Dia tertegun juga melihat seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun namun lagaknya seperti seorang gadis belasan tahun, rambutnya panjang ikal mayang dan hitam, dibiarkan terurai dan kepalanya terhias semacam tiara dari emas berhiaskan intan permata. Wajah yang bentuknya bulat itu cantik sekali, kulitnya putih mulus, sepasang matanya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya memiliki daya tarik luar biasa, bibirnya penuh dan merah membasah. Mata dan mulut itu mengandung daya tarik dan memikat, senyum dan kerling matanya genit. Tubuhnya yang ramping padat itu mengenakan pakaian mewah dari sutera halus, telinganya memakai hiasan telinga, lehernya berkalung emas, dan kedua lengannya juga terhias gelang emas.
Pantasnya ia seorang puteri bangsawan yang kaya raya! Akan tetapi sinar matanya yang tajam dan genit itu mengandung kekerasan, kekejaman yang mengerikan. Sejenak Aji bertatap pandang dengan mata wanita itu dan hatinya merasa lega ketika dia dapat melihat bahwa dua orang anak itu tidak mati melainkan tidur atau lebih mungkin sekali, pingsan.
Sepasang bibir berbentuk indah dan merah itu terbuka membentuk senyum dan tampak kilatan gigi yang berderet rapi dan putih bersih. “Aeh, pemuda tampan, siapakah andika dan kenapa andika berlari-lari mengejarku?”
Senyum itu melebar dan mata itu mengamati Aji dari kepala sampai ke kaki seperti mata seorang pedagang kuda mengamati seekor kuda yang hendak dibelinya! Agak canggung dan rikuh juga rasa hati Aji berhadapan dengan seorang wanita cantik berpakaian mewah itu. Biasanya dia hanya bergaul dengan para wanita dusun yang sederhana. Dia menelan ludah menenagkan hatinya yang gugup, lalu menjawab sambil memandang kepada dua orang anak yang berada di atas kedua pundak wanita itu.
“Aku bernama Lindu Aji dan tadi aku bertemu dengan seorang ibu yang mengatakan bahwa dua orang anaknya diculik seorang wanita. tentu andika penculiknya dan kuharap andika suka membebaskan dua orang anak yang tidak berdosa itu agar mereka dapat kukembalikan kepada ibu mereka.”
Wanita itu tertawa dan mulutnya terbuka semakin lebar sehingga kini giginya yang berderet rapi dan putih itu tampak lebih banyak. Juga tampak lidahnya yang merah muda berujung runcing. “Heh-heh-hi-hi-hik! Lindu Aji, pemuda tampan, engkau menghendaki dua orang anak ini, boleh, akan kubebaskan mereka akan tetapi sebagai gantinya engkau harus ikut aku bersenang-senang selama tiga hari tiga malam!”
Wanita itu lalu melepaskan dua orang anak yang dipanggulnya ke atas tanah. Dua orang anak itu rebah miring di atas tanah dan kini Aji merasa yakin bahwa mereka itu pingsan. Wajah Aji menjadi merah mendengar ucapan itu. Biarpun dia belum pernah akrab dengan wanita, namun dia sudah cukup dewasa untuk dapat menangkap apa yang dimaksudkan wanita itu.
“Aku hanya menghendaki agar engkau menyerahkan dua orang anak itu kepadaku untuk dikembalikan kepada ibunya. Aku tidak menginginkan apapun darimu!” katanya dengan suara tegas dan jelas mengandung penolakan atas ajakan wanita itu.
“Hei pemuda tampan tapi tolol! Engkau belum mengenal siapa aku, ya? Aku adalah Nyi Maya Dewi. di seluruh Pejajaran, dari puncak gunung-gunung sampai ke tepi laut selatan, tidak ada seorangpun laki-laki yang tidak merindukan diriku. Mereka akan berebutan untuk menjadi pilihanku, mereka akan rela mati asal dapat bersamaku semalam saja. Para muda bangsawan dan hartawan, semua merindukan aku dan sekarang andika berani menolak ajakanku?” Nyi Maya Dewi mengerutkan alisnya dan marah karena merasa terhina. Belum pernah selama hidupnya ia ditolak laki-laki, apalagi hanya seorang pemuda berpakaian petani seperti ini!
Aji juga mengerutkan alisnya. “Nyi Maya Dewi, bagaimanapun juga, aku bukan seorang di antara laki-laki yang kau maksudkan tadi. Sudahlah, sekarang aku hendak mengembalikan anak-anak ini kepada ibu mereka, aku tidak ada waktu untuk melayanimu lebih lama lagi.” Setelah berkata demikian, Aji menghampiri dua orang anak yang masih rebah miring di atas tanah itu.
Akan tetapi tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar. Semua ilmu silat yang pernah dilatih oleh Aji sudah mendarah daging di tubuhnya, maka diapun segera mengetahui bahwa ada serangan dahsyat mengancamnya. dengan gerakan lincah dia melompat ke belakang dan tendangan kaki Nyi Maya Dewi hanya mengenai tempat kosong. Aji terheran-heran, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa seorang wanita cantik seperti Nyi Maya Dewi itu dapat menyerang dengan tendangan kaki yang demikian kuatnya sehingga angin tendangan itu menyambar dengan dahsyatnya.
Sebaliknya Nyi Maya Dewi juga terbelalak heran. Tadi ia sudah yakin bahwa sekali tendang saja ia akan dapat merobohkan pemuda yang dianggapnya sombong itu. Akan tetapi ternyata tendangannya luput dan dapat dielakkan pemuda itu. Tentu saja ia menjadi penasaran. Cepat ia melangkah maju mengejar dan kembali kaki kanannya mencuat dalam tendangan yang lebih kuat daripada tadi. Kaki kecil mungil itu dengan kuatnya menyambar ke arah perut Aji.
Pemuda itu maklum betapa kuatnya tendangan itu dan dapat membahayakan dirinya kalu sampai perutnya terkena tendangan. Dia mundur selangkah dan tangan kirinya bergerak ke bawah untuk menangkis kaki yang menendangitu. Karena maklum bahwa wanita itu memiliki tenaga besar, maka diapun mengerahkan tenaga ke dalam tangan kirinya yang menangkis.
“Syuuuttt... dukkkk!!” Dengan tangan miring Aji menangkis tendangan itu. Nyi Maya Dewi mengeluarkan teriakan kaget. Kakinya yang tertangkis tadi terpental dan terasa nyeri. Dengan gerakan ringan ia melangkah empat kali ke belakang. Kaki kanannya terasa berdenyut-denyut nyeri seolah tadi bertemu dengan sepotong baja. Maklumlah ia bahwa yang disangkanya hanya seorang pemuda petani biasa yang lemah itu ternyata seorang pemuda yang memiliki kegesitan dan tenaga besar.
Hatinya semakin tertarik dan gairahnya semakin besar untuk dapat memiliki pemuda itu. Ia lalu berkemak kemik, megerahkan kekuatan sihirnya dan sepasang matanya mencorong menatap titik di antara kedua alis Aji lalu mulutnya berkata dengan suara mengandung wibawa. “Lindu Aji, aku perintahkan ke padamu, berlututlah andika ke padaku!” tangannya digerakkan, telunjuknya menuding ke arah Aji.
Pemuda itu mendadak dikuasai tenaga aneh yang mendorongnya untuk menjatuhkan diri berlutut kepada wanita itu. Akan tetapi saat itu dia teringat akan semua gemblengan yang diterimanya dari mendiang Ki Tejobudi dan tahulah dia bahwa ada kuasa gelap menyerangnya. Dia segera mengangkat kedua tangan ke atas dan membaut gerakan menyembah di depan dada. Perasaan sejuk, tenteram dan kuat sekali memasuki dirinya dan mengusir dorongan tidak wajar tadi, Dia memandang wanita itu, tersenyum dan berkata dengan lembut dan penuh kesabaran.
“Nyi Maya Dewi, kalau andika ingin berlutut, mengapa tidak andika lakukan saja sendiri?” Terjadi keanehan. Mendadak saja wanita cantik itu menekuk kedua lututnya dan ia sudah berlutut menghadap Aji!
Akan tetapi hal ini terjadi hanya sebentar saja karena Nyi Maya Dewi segera menyadari akan keadaannya. Ia memekik marah dan melompat berdiri. Matanya mencorong seperti mengeluarkan api ketika ia memandang Aji. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemuda ini selain bertenaga besar, juga mampu menolak sihirnya bahkan membalikkan daya sihirnya menyerang dirinya sendiri!
“Keparat, engkau sudah bosan hidup!” bentak wanita itu dengan suara melengking saking marahnya dan tangan kanannya melepaskan sehelai sabuk sutera berwarna emas yang panjangnya tidak kurang dari dua meter, Inilah senjata wanita itu, senjata yang aneh tetapi amat ampuh, disebut Sabuk Cinde Kencana. Begitu ia menggerakkan sabuk sutera itu, tampak sinar emas berkelebat di udara dan terdengar bunyi ledakan nyaring, “ Tar-tar-tar...!!”
Akan tetapi Aji tidak menjadi gentar. Biarpun selama hidupnya baru satu kali berkelahi, yaitu ketika melawan mendiang Singowiro dan dua orang kawannya, namun ilmu-ilmu yang dipelajarinya telah mendarah daging sehingga setiap saat dapat saja dia pergunakan untuk membela diri dari ancaman bahaya yang menyerangnya. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang, lutut agak ditekuk sedikit, seluruh syaraf di tubuhnya siap namun tubuhnya tidak kaku melainkan lentur, kedua kakinya ringan dan sepasang matanya mencorong menatap wajah wanita itu.
“Nyi Maya Dewi, aku tidak ingin bermusuhan dan berkelahi denganmu. Akan tetapi katakanlah, mengapa engkau menculik dua orang anak ini? Apakah kesalahan mereka atau ibu mereka kepadamu. Dan akan engkau apakan mereka?” kata Aji sambil mengalihkan pandang matanya kepada dua orang anak itu. Dua orang anak itu ternyata sudah sadar dan duduk diatas pasir. Anak laki-laki yang berusia kurang lebih tujuh tahun itu merangkul adiknya, anak perempuan yang berusia lima tahun dan yang menangis lirih.
“Lindu Aji, apa perdulimu dengan urusan pribadiku! Aku hendak menculik atau membunuh siapapun juga, apa urusanmu?” bentak wanita itu dan kini bagi Aji, kecantikan wanita itu berubah menyeramkan, cantik akan tetapi wajah itu penuh sinar mengerikan, kejam dan jahat sekali, seperti wajah iblis betina! Mata itu seperti mata seekor anjing gila yang pernah dia lihat di dusun kemudian dibunuh ramai-ramai oleh penduduk.
“Aku tidak akan perduli kalau urusan pribadimu tidak menyangkut orang lain. Engkau boleh jungkir balik, gulung koming (bergulingan), jatuh bangun atau terjun ke laut, aku tidak akan perduli. Akan tetapi kalau engkau menculik dua orang anak yang tidak berdosa, urusan itu sudah menyangkut keselamatan dua orang anak. Terpaksa aku harus mencampuri dan turun tangan.”
“Hemm. begitukah, bocah sombong? Memangnya engkau ini seorang pendekar, seorang pahlawan, seorang kesatria?” wanita itu mengejek sambil memegang sabuk sutera emasnya, direntang melintang di depan dadanya yang membukit.
Aji teringat akan pesan mendiang ayahnya dan juga mendiang gurunya dan dia menjawab gagah, “Aku akan selalu berusaha untuk menjadi seorang penegak kebenaran dan keadilan, pembela mereka yang tertindas, dan penentang mereka yang jahat dan sewenang-wenang seperti engkau!”
“Babo-babo, Lindu Aji! Engkau bocah kemarin sore yang masih berbau brambang dan kencur! Engkau berani menentang aku, Nyi Maya Dewi yang terkenal sebagai jago betina tanpa tanding di sepanjang sungai Ci Sadea sampai ke muaranya di Laut Kidul?”
Aji tentu saja sama sekali belum pernah mendengar akan nama dan juga tempat itu yang berada jauh di barat, yang termasuk daerah Parahiyangan karena dia belum pernah beranjak dari dusunnya. Akan tetapi dia sudah banyak mendengar dari cerita mendiang bapaknya, juga mendiang gurunya bahwa di seluruh Nusantara terdapat banyak sekali orang-orang yang sakti mandraguna, baik dari golongan bersih, yaitu para pendekar, maupun dari golongan kotor, yaitu para penjahat. Dan agaknya wanita ini termasuk golongan kotor yang tidak segan melakukan perbuatan jahat mengandalkan kesaktiannya.
“Sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan denganmu, Nyi Maya Dewi. Serahkan dua orang anak itu kepadaku dan aku akan minta maaf kepadamu atas sikapku ini.”
“Engkau tidak ingin bemusuhan, akan tetapi aku ingin membunuhmu! Mampuslah! Tarrr....!” Sabuk di tangannya itu tiba-tiba berkelebat menyambar bagaikan kilat ke arah kepala Aji!
Aji merendahkan tubuhnya dan menggeser kakinya sehingga sambaran Sabuk Cinde Kencana itu luput mengenai kepalanya dan meluncur lewat di atas kepalanya. Akan tetapi dengan cepat sekali sabuk bersinar keemasan itu datang menyambar lagi. Aji mengelak lagi, hanya untuk dikejar oleh sambaran lain. Sabuk itu bergerak cepat bukan main, menyambar-nyambar bagaikan seekor burung menyerang mangsanya.
Namun, Aji lalu memainkan ilmu silat Wanara Sakti (kera Sakti). Sikap tubuhnya seperti seekor kera saja, berloncatan dan bergulingan, cekatan bukan main sehingga semua smbaran ujung sabuk itu tidak ada yang pernah menyentuh tubuhnya! Mendiang Ki Tejobudi melatih Aji dengan ilmu silat yang mengandalkan kejelian penglihatan, ketajaman pendengaran, dan keringanan tubuh ini. Ketika berlatih, Ki Tejobudi menyerangnya dengan sebatang ranting secara bertubi-tubi, makin lama semakin cepat dan Aji harus dapat mengelak dari semua serangan itu.
Bahkan lalu mempergunakan butir kacang untuk menghujaninya dengan sambitan dan pemuda itu harus mampu mengelak dari semua kacang yang menyambar. Latihan ketajaman pendengaran dilatih dengan duduk di tepi laut mendengarkan suara air yang beraneka ragam, mencoba untuk menangkap satu-satu semua suara yang berbeda-beda itu, dan di waktu malam mendengarkan penuh perhatian akan suara kutu-kutu walang-atogo (binatang-binatang yang berbunyi di waktu malam), membedakan satu-satu semua suara yang bercampur aduk itu.
Melatih kejeliaan mata dengan menampung air hujan lalu mempergunakan air dalam tempayan yang dipercik-percikkan dengan tangan ke arah kedua mata yang tetap dibuka. Latihan seperti ini dilakukan bertahun-tahun lamanya, barulah Aji dapat melakukan ilmu silat Wanara Sakti dengan baik.
Nyi Maya Dewi menjadi penasaran bukan main. Ia sudah menyerang dengan mengerahkan seluruh tenaganya sehingga sabuk cinde itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar keemasan yang menyambar-nyambar. Namun tak pernah senjatanya itu menyentuh pemuda yang bergerak seperti monyet sehingga tubuhnya berkelebatan dengan amat gesitnya.
Ilmu silat Wanara Sakti ini memang harus dilengkapi dengan sikap nakal seekor monyet, maka Aji lalu mengejek, “Hayo, Nyi Maya Dewi, perlihatkan kepandaianmu. masa seorang jago betina begini lambat gerakannya? Heh-heh!”
Ejekan ini mengena. Wanita itu menjadi marah bukan main. “Jahanam, mampus kau!” ia membentak dan sabuknya menyambar dengan kuat sekali. Akan tetapi kemarahan membuat ia lengah. Sabuknya menyambar dari atas ke bawah, ketika luput ujung sabuk menhantam batu karena tadi Aji melompat dan berdiri mengejek di atas batu itu.
“Pyarr...!” Batu itu pecah ketika dihantam ujung sabuk. Kesempatan ini dipergunakan Aji untuk membalas menyerang. Cepat sekali tangan kirinya menyambar ujung sabuk yang terhenti gerakannya sejenak setelah menghantam batu. Dia mengerahkan tenaga saktinya untuk menahan sabuk itu dan tangan kanannya lalu bergerak mendorong ke depan, ke arah dada lawan. Pukulan ini juga masih merupakan jurus Wanara Sakti, akan tetapi dorongan tangan kanan itu diisi dengan tenaga sakti Surya Candra yang dahsyat. maka ketika dia memukul, dorongan telapak tangan kanan itu mendatangkan sambaran hawa pukulan yang amat kuat.
Nyi Maya Dewi terkejut bukan main. Tangan kanannya masih menahan dan mencoba untuk membetot lepas sabuk cindenya yang ujungnya tertangkap lawan. Kini, melihat serangan lawan dengan dorongan tangan kanan yang mendatangkan hawa pukulan dahsyat itu, iapun cepat mendorongkan telapak tangan kirinya untuk menyambut. inilah aji pukulannya yang ampuh, disebut Aji Wisa Sarpa (Ilmu Pukulan Bisa Ular). Dua tenaga sakti yang keluar dari dua telapak tangan itu bertemu di udara dengan hebatnya.
“Dessss... pratttt !!” tubuh Nyi Maya dewi terjengkang dan terhuyung sedangkan Aji hanya mundur dua langkah. Wanita itu terkejut bukan main ketika melihat betapa sabuk di tangan kanannya tinggal sepotong. ternyata sabuk itu putus di tengah-tengah! Aji melempar potongan sabuk ke atas tanah dan berkata lembut.
“Nyi Maya Dewi, sudah kukatakan padamu bahwa aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Tinggalkan anak-anak itu dan pergilah, jangan ganggu orang lagi.”
Akan tetapi Aji kecelik kalau dia menduga wanita itu akan mau sudah begitu saja. Nyi Maya Dewi adalah seorang wanita keturunan bangsawan Pajajaran yang telah menyeleweng dan tersesat ke dalam kesesatan golongan hitam. Ia dikenal sebagai seorang datuk wanita yang ditakuti, memiliki banyak macam ilmu kanuragan, sudah banyak pengalaman berkelahi dan banyak pula tipu muslihatnya. Akan tetapi ia memiliki kelemahan, yaitu mata keranjang. Ia tidak tahan melihat pria tampan, apa lagi yang gagah perkasa. Ia tidak akan berhenti berusaha sebelum dapat memperoleh pria itu dalam pelukannya.
Tentu saja hal ini tidak begitu sukar baginya karena ia memiliki kecantikan wajah dan keindahan tubuh yang membuat banyak pria tergila-gila. Kalau sang pria menolak, ia masih dapat mengandalkan ilmu sihirnya untuk menundukkan pria itu, atau bahkan menggunakan kesaktiannya untuk memaksakan kehendaknya. Kalau semua usaha gagal, ia akan membunuh pria itu! Dan kalau berhasil, iapun hanya akan menjadikan pria itu sebagai permainan selama beberapa hari saja karena Nyi Maya Dewi adalah seorang wanita pembosan dan selalu haus akan laki-laki baru.
Mendengar ucapan Aji itu, tiba-tiba Nyi Maya Dewi tersenyum, manis sekali dan menghampiri Aji. Dihampiri wanita itu yang makin mendekat, tentu saja Aji menjadi rikuh diapun mundur beberapa langkah. “Aji, mengapa engkau menjauh? Aku kagum sekali padamu, Aji. Aku jatuh cinta padamu. Tidak maukah engkau menjadi sahabat baikku? Bukan saja aku akan menyerahkan anak-anak itu kepadamu, bahkan aku akan membantumu dalam segala hal. Akan tetapi bersikaplah manis padaku, jangan memusuhi aku, Aji.”
Suaranya demikian merdu merayu dan memang dalam suaranya itu terkandung Aji pengasihan yang dapat menundukkan hati kaum pria. Sejenak hati pemuda iti terguncang dan tiba-tiba dia merasa kasihan kepada wanita itu. Akan tetapi dia tetap waspada dan menyadari bahwa perasaannya inipun tidak wajar. Untung baginya bahwa dia telah banyak mempelajari tentang bahaya serangan ilmu sihir dan tenung dan dia telah memiliki kekuatan dasar, yaitu Aji Tirta Bantala yang berdasarkan penyerahan kepada kekuasaan Gusti Allah.
Begitu dia menyerah dan membiarkan kekuasaan gaib ini melindunginya, maka perasaan kasihan yang tidak wajar itupun lenyap. Wajah wanita itu yang tadinya memelas tampak mengerikan kembali, wajah yang penuh rangsangan nafsu berahi. “Nyi Maya Dewi, aku tidak memusuhimu. Pergilah dengan damai...“
“Hyaaaatttt...!” Tiba-tiba wanita itu menyerangnya dengan dahsyat sekali. Kedua tangannya membentuk cakar dan sepuluh buah kuku tangannya berubah menghitam. Bagaikan seekor kucing iapun menyerang dengan kedua cakarnya dan Aji mencium bau amis keluar dari kedua tangan itu. Nyi Maya Dewi sudah menyerang dengan Aji Sarpa Naka (Kuku Ular) dan setiap kuku jarinya mengandung racun ular yang mematikan. Sekali kena guratan kuku itu sudah cukup menewaskan lawan.
Aji yang selalu waspada, cepat mengelak dan otomatis dia sudah bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti. Akan tetapi ketika dia melompat ke belakang, wanita itu cepat menubruk ke arah dua orang anak itu. Anak laki-laki itu berteriak, akan tetapi ia sudah diringkus dan dipondong Nyi Maya Dewi dan dibawa lari ke arah laut! Anak perempuan yang direnggut lepas dari kakaknya itu menjerit-jerit ketakutan melihat kakaknya dilarikan wanita itu. Aji tertegun sejenak.
Sama sekali tidak mengira bahwa serangan wanita yang dahsyat tadi hanya pancingan saja agar perhatiannya terpecah sehingga dengan mudah wanita itu dapat melarikan anak laki-laki yang tadi berpelukan dengan adiknya. “Heii ! Berhenti, kembalikan anak itu!” Aji berteriak marah dan dia lalu mengejar dan berlari cepat. Akan tetapi Nyi Maya Dewi ternyata tidak berlari menyusuri pantai, melainkan terus ke arah lautan, menerjang ombak besar yang datang bergulung-gulung!
Tentu saja Aji merasa heran dan kaget, akan tetapi demi keselamatan anak laki-laki itu, dia mengejar terus. Ketika gelombang menggulungnya, dia menyelam dan berenang. Setelah ombak lewat, dia melihat Nyi Maya Dewi berenang ke tengah, memiting anak itu. Aji tidak mau kalah dan diapun berenang secepatnya. Untung bahwa dia juga mahir sekali berenang karena sudah terbiasa bermain-main di laut yang bergelombang itu.
“Nyi Maya Dewi, lepaskan anak itu atau aku akan terpaksa memusuhimu!” teriak Aji setelah dekat.
Wanita itu tertawa dan tiba-tiba ia membalik dan berenang menhampiri Aji. Setelah dekat, ia melemparkan anak laki-laki itu ke arah Aji. “Terimalah anak ini, hi-hi-hik!”
Aji menjulurkan kedua lengan dan menerima anak itu. ternyata ank itupun dapat bergerak dan berenang. Dia lalu mendorong anak itu ke arah pantai dan berkata, “Adik, cepat berenang ke tepi. Cepat!” anak itu menurut, berenang ke arah pantai. Untuk melindunginya menghadang.
Kini mereka berhadapan dan Nyi Maya dewi tertawa-tawa. Di air, dengan rambutnya berderai dan pakaiannya basah kuyup melekat ketat di tubuhnya, ia Nampak seperti seekor ikan duyung atau bahkan seperti puteri Ratu Laut Kidul yang terkenal dalam dongeng.Akan tetapi suara tawa dan sinar matanya tetap mengerikan bagi Aji dan diapun bersiap-siap karena jelas tampak olehnya bahwa wanita itu pandai sekali bergerak di dalam air, tiada ubahnya seekor ikan saja!
“Hi-hi-hik, di darat engkau masih mampu menandingi aku, akan tetapi di sini? Dalam air segara kidul ini, nyawamu berada di tanganku, Aji!” Wanita itu tertawa-tawa gembira.
Biarpun ada perasaan khawatir dalam hati Aji melihat betapa lincahnya wanita itu bergerak dalam air, namun dia berkata tegas, “nyawaku selalu berada di Tangan Gusti Allah!”
“Hi-hik, kita lihat saja!” Dan tiba-tiba wanita itu menghilang! aji tahu bahwa wanita itu menyelam.
Ini berbahaya karena wanita itu tentu dapat menyerangnya dari bawah dan sukar baginya untuk melindungi dirinya. Maka diapun menarik napas sampai dadanya penuh, lalu diapun menyelam. Untung sudah terbiasa baginya menyelam smbil membuka mata kalau dia bermain-main di air untuk melihat ikan. Matanya sudah terbiasa dan tidak pedas lagi terkena air laut. Dia melihat bayangan wanita itu yang meluncur cepat ke arahnya dengan kedua tangan dijulurkan.
Dia mengelak ke samping san lengannya bergerak menangkap lengan lawan. Memukul dalam air tiada gunanya karena tenaga pukulannya akan habis kekuatannya tertahan air. Maka dia berusaha untuk menangkap lengan wanita itu. Akan tetapi wanita itu dapat bergerak gesit bukan main. Bukan saja telah dapat menarik kembali lengannya sehingga tidak dapat tertangkap, bahkan tubuhnya sudah meluncur melalui bawah tubuh Aji dan tiba di belakangnya!
Aji cepat bergerak membalik, akan tetapi di kalah cepat. Sebuah tamparan mengenai pelipisnya. Tamparan itu itu tidak terlalu keras karena tertahan air, namun tetap saja membuat dia terpelanting. Sebelum dia dapat mengtur kedudukan tubuhnya, tiba-tiba kedua kakinya dipegang kedua tangan wanita itu. Kuat sekali pegangannya. Aji menendang-nendangkan kedua kakinya. Akan tetapi wanita itu tetap menempel dengan memegangi kedua pergelangan kakinya seperti seekor lintah!
Pada saat itu, Aji sudah mulai kehabisan napas. Hawa yang disedot dan ditampung dalam paru-parunya tadi sudah dihembuskan keluar semua. Dan hampir tidak tahan lagi dan dia mengerahkan seluruh tenaga pada kaki dan tangannya sehingga tubuhnya meluncur ke atas. Akan tetapi kedua tangan itu masih tetap memegangi kedua kakinya. Aji berhasil muncul di permukaan air sebatas lehernya. Paru-parunya yang kehausan itu mengisap hawa sebanyaknya. akan tetapi baru satu kali dia menghirup udara, tubuhnya sudah ditarik lagi ke bawah!
Kembali mereka berdua bergulat dalam air. Akan tetapi Aji harus mengakui bahwa lawannya amat mahir dan juga kuat menahan napas. Setelah meronta-ronta dengan sia-sia, kembali dia kehabisan napas dan sudah beberapa kali terpaksa menelan air. Dia gelagapan dan kepalanya menjadi pening. Ketika akhirnya dengan sisa tenaganya dia berhasil munculkan kepalanya di permukaan air dan menghirup udara, tiba-tiba sebuah tamparan menghantam tengkuknya.
“Plakk” kuat sekali hanyaman itu dan Aji terkulai, pingsan. Tamparan mengenai tengkuk itu dilakukan oleh tangan yang terlatih baik sehingga tepat mengenai sasaran, tidak mematikan, tidak mendatangkan luka dalam yang parah, namun membuat orang pingsan seketika. Nyi Maya dewi lalu berenang ke tepi sambil merangkul Aji yang telentang. Cara Nyi Maya Dewi menyeret Aji yang pingsan menunjukkan bahwa ia memang ahli bermain di air. Aji diseret dengan dijambak pada rambutnya sehingga muka pemuda itu berada di atas permukaan air.
Tak lama kemudian Nyi Maya Dewi sudah tiba di pantai. Ia menyeret Aji ke pinggir dan setelah tiba di kedalaman selutut ia memondong tubuh pemuda itu dengan ringannya dan membawanya ke pantai berpasir. Ia terus naik sampai tiba di kaki bukit karang. Ia mencari-cari dengan pandang matanya akan tetapi tidak menemukan dua orang anak yang tadi diculiknya. Nyi Maya Dewi tertawa.
“Hi-hik, tidak apa aku kehilangan mereka berdua. Masih banyak anak yang lebih mungil dan sehat untuk kudapatkan sebagai penggantinya. Akan tetapi mendapatkan seorang pemuda setampan dan segagah ini sungguh amat sukar,” katanya. Ia lalu mendekatkan mukanya dan mencium muka pemuda itu, kemudian ia merebahkan Aji di bawah sebatang pohon kelapa. Setelah itu, tanpa malu dan tanpa khawatir kalau-kalau ada orang yang melihatnya, wanita itu lalu menanggalkan pakaiannya satu demi satu.
Dalam keadaan telanjang bulat ia memeras semua pakaiannya yang basah kuyup, mengebut-ngebutkannya agar cepat kering. Kemudian ia mengenakan lagi pakaiannya dan menghampiri Aji yang masih menggeletak telentang di atas tanah. “Kasep (bagus), sekali ini engkau harus menuruti keinginanku,” kata Nyi Maya Dewi mengeluarkan sebuah botol kecil yang tadi ia selipkan di ikat pinggangnya. Botol kecil itu berisi cairan merah. Ia membuka tutup botol kecil itu dan tangan kirinya membuka mulut Aji, siap hendak menuangkan isi botol ke dalam mulut pemuda itu.
Pada saat itu, Aji sadar dari pingsannya. Biarpun kepalanya masih agak pening dan pikirannya masih gelap, namun dengan nalurinya yang tajam dia segera dapat merasakan adanya bahaya yang mengancam dirinya. Maka, tiba-tiba saja tangannya bergerak memukul botol kecil yang sudah ditempelkan dibibirnya itu, meronta dan menggulingkan tubuhnya ke kiri. Nyi Maya Dewi terkejut sekali. Botol itu terlempar dan isinya tumpah, juga pegangannya pada kepala pemuda itu terlepas.
Melihat pemuda itu menjauhkan diri sambil bergulingan, ia cepat bangkit dan hendak mengejar dan menyerang. Akan tetapi Aji yang kini sudah sadar betul, ingat bahwa dirinya tadi terpukul pingsan dan tertawan, maklum akan datangnya bahaya. Dengan tubuh menelungkup, kaki tangan di atas tanah seperti merangkak, tiba-tiba dia mengeluarkan sura gerengan yang dahsyat sekali. Gerengan itu menggetarkan tanah disekitarnya dan Nyi Maya Dewi juga tergetar dan terhuyung seolah-olah terjadi gempa bumi!
Itulah ilmu yang disebut aji Guruh Bumi yang kekuatannya hebat bukan main. Nyi Maya Dewi terkejut melihat pemuda itu kini sudah bangkit berdiri, ia menjadi jerih. Tadinya ia sudah merasakan kehebatan pemuda ini. Ia telah memandang rendah dan merasa menyesal mengapa ketika pemuda itu pingsan, ia tidak mengikatnya agar dia tidak berdaya. Kini, ia merasa jerih untuk melawan lagi dan sambil mengeluarkan suara melengking mirip tangis akan tetapi juga tawa, ia lalu melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Aji tidak mau mengejar. Dia lalu mencari-cari dua orang anak yang ditolongnya tadi, Mereka tidak mungkin berlari jauh, pikirnya. Kalau mereka melarikan diri, hendak lari ke mana? Mungkin mereka masih bersembunyi di sekitar tempat ini. Aji lalu mengerahkan tenaga, berteriak nyaring, “Adik-adik, di mana kalian? ke sinilah, akan kuantar kalian kepada ibu kalian!”
Teriakannya melengking dan bergema di empat penjuru. Dugaannya tidak salah. Dua orang anak itu masih bersembunyi, tak jauh dari situ, di balik batu-batu karang. Mendengar seruan itu, mereka mengintai dari balik batu karang dan melihat bahwa yang berteriak dan berada di pantai berpasir hanya laki-laki yang tadi menolong mereka dan wanita iblis yang menculik mereka tadi tidak tampak lagi, mereka lalu bergandeng tangan dan berlari keluar menghampiri Aji.
Aji menyambut mereka dengan kedua lengan dikembangkan dan wajah penuh senyum gembira. Hatinya merasa girang sekali melihat mereka dalam keadaan selamat. Usahanya menolong mereka telah berhasil baik dan dia merasakan suatu kegembiraan yang luar biasa. Inilah yang dimaksudkan mendiang Ki Tejobudi ketika dia mengatakan bahwa kepentingan orang lain merupakan kebahagiaan menolong orang itu. Dua orang anak itu berlari menghampirinya dan setelah dekat, Aji merangkul kedua orang anak itu.
“Kami menghaturkan terima kasih atas pertolongan kakangmas kepada kami.” kata anak laki-laki itu dan Aji memandang heran. kedua orang anak itu berpakaian lusuh seperti anak dusun. Dan anak laki-laki itu baru berusia tujuh tahun, akan tetapi cara dia bicara sama sekali bukan seperti anak dusun. Bahasanya begitu teratur dan rapi, juga hormat seperti seorang anak yang berpendidikan. Juga setelah kini dia mengamati, dua orang anak itu berwajah tampan dan manis.
“Adik-adik yang baik, siapakah nama kalian?” “Nama saya Priyadi, dan ini adik saya bernama Wulandari,” jawab anak laki-laki itu.
Aji mengangguk-angguk. Tidak salah dugaannya, mereka ini bukan anak-anak dusun biasa. Baru nama mereka saja sudah menunjukkan bahwa mereka ini anak “priyayi”, nama mereka begitu indah.
“Kakangmas yang telah menyelamatkan kami, siapakah nama andika?” Tanya anak laki-laki yang mengaku bernama Priyadi itu.
“Namaku Lindu Aji, sebut saja aku Mas Aji.”
“Mas Aji, di mana ibuku?” Tanya anak perempuan berusia lima tahun yang bernama Wulandari itu. Anak inipun tidak pemalu dan kata-katanya juga teratur.
“Ia berada di rumahku, mari kalian kuantar menemui ibu kalian,” kata Aji yang lalu menggandeng dua orang anak itu dan berjalan menju pulang.
Sementara itu, ibu kedua orang anak yang diculik itu dihibur oleh Warsiyem. Mereka berdua duduk di warung dan wanita itu sudah berhenti menangis setelah dihibur oleh Warsiyem. Warsiyem melihat bahwa wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang berpakaian lusuh seperti orang dusun itu sebenarnya cukup cantik dan berkulit bersih, juga sikapnya tidak seperti orang dusun.
“Tenangkan hatimu, dik. Anakku Aji itu tangkas dan pemberani. Aku percaya dia akan dapat menemukan dan membawa kembali kedua orang anakmu itu.”
“Mudah-mudahan begitu, mbakyu. Tanpa mereka, rasanya aku tidak akan dapat hidup sendiri. Hanya mereka berdua itulah yang kumiliki,” kata wanita itu sambil menyeka air mata.
Warsiyem menuangkan air teh. “Minumlah agar tenang hatimu, kemudian ceritakan siapa adik ini kalau tidak keberatan. Adik tentu bukan orang daerah sini dan mengapa adik dapat berada di sini.”
Wanita itu menarik napas panjang, “Namaku Jumintan, mbakyu. Sebaliknya, siapakah nama mbakyu yang telah menolongku?”
“Aku Warsiyem, suamiku telah tiada. aku tinggal hidup berdua di sini bersama anakku tadi, Dia bernama Lindu Aji.”
“Aku juga seorang janda, mbakyu Warsiyem. Suamiku seorang perwira, meninggal dunia setengah tahun yang lalu, gugur dalam perang melawan pasukan Giri. Suamiku seorang perwira Mataram. Tadinya kami tinggal di kota raja Mataram. Setelah suamiku gugur, aku hanya hidup bertiga dengan dua orang anakku, Priyadi dan Wulandari yang diculik orang itu.”
“Wah, kalau begitu engkau adalah seorang priyayi!” seru Warsiyem. “Suamimu seorang perwira kerajaan Mataram!”
“Ah, tidak juga, mbakyu. Aku dulu seorang gadis dusun, kemudian menikah dengan suamiku yang memang keturunan prajurit Mataram. Sama sekali kami bukan trahing kusumo rembesing madu (berdarah bangsawan), melainkan rakyat biasa saja.”
Mendengar ini, Warsiyem tersenyum dan teringatlah ia akan pendapat suaminya tentang kebangsawanan yang disebutnya keturunan “menak”. “kebangsawanan seseorang sama sekali tidak ditentukan oleh darah keturunannya, melainkan oleh sepak terjangnya dalam hidup ini.” Demikian pendapat suaminya.
“Lalu bagaimana engkau sampai meninggalkan kota raja bersama anak-anakmu sehingga terjadi penculikan itu, dik Juminten?”
Janda muda itu menghela napas panjang, lalu mengamati majah Warsiyem, “Sudah berapa lamakah mbakyu menjadi janda?”
“Hem, sudah lima tahun lebih, kenapa?”
“Kalau begitu, ketika mbakyu menjadi janda, tentu hanya lebih tua sedikit daripada aku. Mbakyu seorang wanita yang cantik, tentu telah merasakan betapa susahnya menjadi janda, banyak godaan datang menganggu.”
“Benar sekali, dik juminten. memang aku juga pernah mendapat gangguan besar, Akan tetapi apakah yang telah terjadi denganmu?”
“Setelah suamiku gugur, ada seorang perwira lain, masih rekan mendiang suamiku, menggodaku dan mengejar-ngejar aku, bahkan hendak memaksaku untuk menjadi isterinya yang kedua. Dia menggunakan segala daya, halus maupun kasar untuk membujuk aku. Aku selalu menolak karena aku sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk menikah lagi. Tidak ada laki-laki yang akan dapat menggantikan suamiku dalam hatiku, dan aku bertekad untuk hidup bertiga saja dengan kedua orang anakku. Karena perwira itu nekat hendak memaksaku, terpaksa pada suatu malam aku melarikan diri bersama kedua anakku, meninggalkan kota raja.”
“Hemm, laki-laki memang dapat menjadi binatang buas kalau sudah dikuasai nafsunya tergila-gila kepada seorang perempuan. siapakah nama durjana itu, dik Juminten?”
“Dia bernama Raden Kuncoro, entah radennya asli atau palsu. Dia seorang perwira atasan suamiku dan di kota raja dia memang terkenal sebagai laki-laki mata keranjang. setelah melarikan diri keluar kota raja, aku lau pergi ke dusun tempat kelahiranku di lembah Kali Progo. Akan tetapi setelah tiba di sana, ternyata kakakku yang merupakan satu-satunya keluargaku telah setahun lebih meninggalkan dusun kami dan tidak ada orang mengetahui ke mana pindahnya. Orang tuaku sudah lama meninggal dunia. Di dusun itu aku tidak mempunyai seorang keluargapun. Dan calakanya.... ah, nasibku sungguh buruk, mabkyu, di dusun kelahiranku itu, lurah dusun yang tadinya tampak baik dan menampungku, ternyata kemudian berniat menjadikan aku isteri mudanya. Diapun hendak menggunakan paksaan sehingga aku melarikan diri dari dusun itu.”
Warsiyem memegang pundak juminten yang duduk di atas bangku, di sebelahnya. “Ah, kasihan engkau, dik Juminten, digoda banyak laki-laki tanpa ada yang membelamu. Aku, biarpun digoda laki-laki, selalu ada yang membela. Pertama laki-laki yang kemudian menjadi suamiku, kemudian anakku si Aji itu. Lalu bagaimana, dik Juminten?”
“Berbulan-bulan kami merantau, semua bekal yang kubawa telah habis kujual sehingga seringkali kami bertiga kekurangan makan. Ketika pagi tadi kami tiba di luar dusun ini, kami bertemu dengan seorang wanita cantik dan berpakaian seperti seorang bangsawan. ia tadinya hendak membeli anak-anakku, ketika kutolak, ia lalu menyambar dan memondong mereka dan lari ke selatan.“ Juminten terisak lagi, teringat akan kedua orang anaknya. “Aahh... Priyadi, Wulandari, anak-anakku“
“Kenapa engkau tadi tidak mengejarnya dan berusaha merampas mereka kembali? Penculik itu kan hanya seorang perempuan seperti kia?” Tanya Warsiyem penasaran. Kalau ia yang dirampas anaknya seperti itu tentu ia akan mengamuk dan melawan mati-matian!“
Sambil menahan isak Juminten berkata, "Sudah kukejar, mbakyu, akan tetapi... ia berlari seperti terbang.... cepat sekali sehingga sebentar saja aku kehilangan bayangannya. Maka aku lalu berlari memasuki dusun ini dan minta tolong“
“Jangan khawatir, Aji tentu akan dapat menemukan mereka...“
Ucapan Warsiyem ini terputus oleh teriakan suara dua orang anak, “Ibu...!”
“Ibu....!!”
Dua orang wanita itu terkejut dan menoleh ke luar. “Anak-anakku...!” Juminten menjerit dan bangkit lalu keluar, menyambut kedua anaknya yang juga berlari menghampiri ibunya. Mereka bertemu di pekarangan dan Juminten merangkul kedua anaknya sambil menangis sesenggukan saking bahagianya. Warsiyem juga keluar dan sambil tersenyum ia memandang puteranya yang berdiri dengan pakaian masih basah.
“Mari kita masuk!” ajak Warsiyem kepada Juminten dan kedua orang anaknya. “Kenapa pakaianmu basah semua, Aji?” dia bertanya kepada puteranya.
“Nanti kuceritakan di dalam sesudah aku berganti pakaian, ibu. Juga adik Priyadi itu pakaiannya basah semua. Biar dia berganti pakaianku, agar jangan masuk angin.”
Setelah Aji berganti pakaian dan Priyadi juga mengenakan pakaian Aji yang tentu saja terlalu besar untuknya, mereka semua duduk di ruangan dalam. Aji lalu menceritakan semua pengalamannya ketika menolong dua orang anak itu. Dia tidak bercerita banyak tentang perkelahiannya melawan Nyi Maya Dewi, Wanita yang sakti mandraguna itu. “Perempuan yang menculik dua orang adik itu mengaku dari Pasundan dan bernama Nyi Maya Dewi. Ia tangguh sekali, dan untung Gusti Allah melindungi aku sehingga aku dapat mengusirnya dan membawa kedua orang adik ini pulang.”
“Kenalkah engkau dengan wanita bernama Nyi Maya Dewi itu, dik Juminten?” Tanya Warsiyem.
Juminten mengerutkan alisnya mengingat-ingat, lalu ia menggeleng kepalanya. “Tidak, aku tidak pernah mendengar nama itu, juga belum pernah bertemu dengannya. Akan tetapi, mungkin sengaja ia disuruh oleh Raden Kuncoro untuk menculik anak-anakku sehingga ia dapat memaksaku menuruti kehendaknya.”
“Raden Kuncoro? Siapakah dia, bibi?” tanya Aji heran.
Warsiyem lalu menceritakan riwayat Juminten kepada Aji. Aji mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian dia berkata, “Mungkin saja wanita itu utusan Raden Kuncoro, akan tetapi mengapa ia mengaku datang dari Pasundan? Dan logat bicaranya memang menunjukkan bahwa ia adalah seorang Sunda.”
“Sudahlah, tidak perlu dipikirkan lagi hal itu. Perempuan jahat itu sudah pergi dan anak-anakmu sudah selamat, adik Juminten.” Warsiyem menghibur, melihat Juminten masih menahan isak sambil merangkul kedua anaknya, wajahnya diliputi kegelisahan. mendengar kata-kata hiburan ini, Juminten malah menangis tersedu-sedu. Warsiyem menjadi bingung dan saling pandang dengan Aji.
“Bibi, ada apakah lagi yang menyusahkan hati bibi? Katakanlah, kami akan berusaha membantumu sedapat kami,” kata Aji.
“Benar apa yang dikatakan anakku, dik Juminten. Kenapa engkau masih kelihatan sedih dan khawatir pada hal kedua orang anakmu sudah kembali kepadamu dengan selamat?” Tanya Warsiyem.
Juminten menyusut air matanya. Setelah menghela napas panjang berulang kali, barulah ia dapat bicara, suaranya lirih penuh kesedihan, mukanya menunduk. “Bagaimana saya tidak akan menjadi sedih dan bingung, mbakyu Warsiyem? kami bertiga tidak punya apa-apa lagi, tidak tahu ke mana harus pergi dan sekarang terancam... tidak ada sanak saudara yang dapat menolong dan menampung kami... tidak ada orang yang dapat kuharapkan, bahkan Gusti Allah pun agaknya tidak sudi mendengar rintihan dan keluh kesah kami...! Mbakyu Warsiyem, ke manakah kami harus pergi?”
Ibu dan Anak itu kembali bertemu pandang. Demikian kuat hubungan batin antara ibu dan anak ini, membuat mereka saling peka terhadap satu sama lain. Tanpa bicarapun, melalui pandang mata mereka, keduanya dapat mengerti isi hati masing-masing. Warsiyem seolah minta pendapat dan persetujuan puteranya dan Aji seolah menyetujui maksud hati ibunya. Pemuda itu tersenyum dan mengangguk pasrah, ada sinar mata bangga dalam pandang matanya terhadap ibunya yang dia tahu memiliki hati yang penuh welas asih. Warsiyem menyentuh pundak juminten yang masih sesenggukan dan berkata lirih, menghibur.
“Hentikan tangismu dan jangan bersedih atau gelisah lagi, dik Juminten. Aku juga seorang janda, hanya hidup berdua dengan anakku Aji dan rumah kami cukup besar. Kalau engkau mau bekerja sama denganku, membantu aku berjualan nasi dan mengurus rumah tangga, kami dapat menyingget sebuah kamar lagi untuk engkau dan anak-anakmu dan kalian bertiga boleh hidup dan tinggal bersama kami di rumah ini, tentu saja kalau engkau suka.”
Mendengar ini, tiba-tiba Juminten mengangkat mukanya, matanya terbelalak, bergantian memandang ternganga penuh keheranan, seolah tidak percaya akan apa yang didengarnya, kemudian mulutnya mewek-mewek menangis lagi. “kalau aku mau...? Duh gusti...! Mbakayu Warsiyem... anakmas Aji... apa yang dapat kukatakan?” Ia memegang tangan kedua anaknya dan menyeret mereka sehingga mereka bertiga menjatuhkan diri berlutut di depan ibu dan anak itu, menyembah-nyembah. “anakmas Aji telah menyelamatkan anak-anakku... dan sekarang... kalian sudi menerima kami tinggal di sini...? Terima kasih... terima kasih atas pertolongan dan budi kebaikan kalian yang amat besar...!” Ia menyembah sambil menangis.
Warsiyem merasa terharu dan kedua matanya juga basah. Ia cepat membungkuk, merangkul dan menarik Juminten agar duduk kembali. Juga Aji menarik kedua anak itu yang ikut ibunya menangis karena mereka juga mengerti bahwa mereka mendapat pertolongan sehingga mereka bertiga kini duduk kembali dengan air mata masih mengalir di pipi mereka.
“Dik Juminten, tidak usah berterima kasih kepada kami. Apa yang kami lakukan ini memang menjadi kewajiban kami. Kukira engkau sendiripun akan melakukan perbuatan yang sama kalau keadaanmu mengijinkan. Kita manusia memang sudah sepatutnya saling tolong menolong, bukan? kami membantumu memberikan tempat tinggal kepadamu, dan engkau juga membantu kami dalam mengurus rumah tangga ini. Berarti kita saling bantu dan saling menguntungkan. Akan tetapi kita ini bukan hartawan dan kita hanya dapat hidup sederhana, dik.”
“Ibu berkata benar, bibi Juminten. Bibi tadi keliru kalau mengatakan bahwa Gusti Allah tidak sudi mendengarkan keluh kesahmu. Nah, sekarang berterima kasihlah kepada Gusti Allah, bukan kepada kami, karena sesungguhnya hanya Gusti Allah yang dapat menolong kita semua dan sekarang Gusti Allah telah mengulurkan tanganNya yang suci dan penuh cinta kasih kepada bibi bertiga melalui kami. Kami hanyalah merupakan alat yang kebetulan dipakai oleh Gusti Allah untuk membantu bibi yang berada dalam kesusahan.”
Dengan air mata bercucuran dan diseling isak Juminten merangkap kedua tangan membentuk sembah di depan dada dan berbisik, “Duh Gusti... hamba menghaturkan terima kasih dan mengucap syukur bahwa Paduka pada hari ini telah mempertemukan hamba dengan manusia-manusia bijaksana ini. hayo anak-anakku, haturkan terima kasih kepada Bude Warsiyem dan Mas Aji!” juminten lalu memberi salam kepada Warsiyem, lalu kepada aji, diikuti kedua orang anaknya. “Matur sembah nuwun, bude Warsiyem! Matur sembah nuwun mas Aji!” kata mereka.
Aji dan ibunya merangkul kedua orang anak itu. Hati mereka segera terpikat oleh sikap kedua orang anak yang pandai membawa diri dan sopan santun itu. Demikianlah, mulai hari itu Juminten dan kedua anaknya tinggal dalam rumah Warsiyem. Aji menggunakan bilik bambu dan membuat sebuah kamar untuk mereka. Warsiyem memperkenalkan Juminten sebagai adik angkatnya kepada para tetangga.
Para penduduk di dusun Gampingan, terutama kaum prianya, berbisik-bisik dengan senyum penuh arti bahwa dusun mereka bertambah seorang janda yang masih muda lagi cantik manis! Ternyata Juminten juga tahu diri. Ia bekerja keras membantu Warsiyem dan semenjak ia tinggal di situ, rumah itu tampak lebih terawat dan bersih. Iapun pandai masak, pandai membuat penganan dan gorengan yang lezat sehingga warung itu menjadi semakin ramai dikunjungi pembeli.
Semenjak pengalamannya bertanding melawan Nyi Maya Dewi yang membuat dia kewalahan, apalagi perkelahian dalam air yang membuat dia hampir saja celaka di tangan wanita itu, Aji seringkali pergi ke pantai berpasir yang sunyi. Apalagi sekarang di rumah ada Juminten yang membantu ibunya. Bahkan dua orang anak itupun rajin membantu, menyapu dan membersihkan rumah sehingga dia mempunyai banyak waktu untuk bermain di pantai berpasir.
Selain berlatih silat di pantai yang sunyi itu, juga Aji berlatih renang dan bermain-main dalam air. Dia memperdalam ilmunya ini setelah mengalami kekalahan ketika bertanding dalam air melawan Nyi Maya Dewi. Dia tahu bahwa kekalahannya itu karena dia kalah bertahan napas dalam air. Maka kini hampir setiap hari dia berlatih pernapasan dan melatih paru-parunya untuk menampung hawa sepadat mungkin sehingga dia dapat bertahan lebih lama tanpa bernapas di dalam air.
Pada suatu sore, setelah lelah berlatih menyelam dan bersilat, dia merebahkan diri telentang di atas pasir sambil mengeringkan celana pendeknya yang tadi dia pakai untuk berlatih menyelam dan bermain dengan gelombang lautan. Matahari telah condong ke barat dan sinarnya tidaklah sekuat siang tadi. Tiba-tiba matanya tertarik oleh sebuah titik hitam yang melayang-layang di udara. makin lama, titik hitam itu semakin membesar dan setelah pandang matanya menangkap, ternyata titik hitam itu adalah seekor burung yang besar dan gagah sekali.
Penduduk di situ menyebutnya alap-alap, semacam burung elang yang gagah bentuknya dan indah sekali kalau melayang dan terbang di angkasa. Aji memandang dengan kagum sekali. karena dia rebah telentang, maka dengan enaknya dia dapat mengikuti gerak gerik alap-alap itu. Burung itu berkeliling, kemudian semakin menurun ke arah bukit. Dia semakin tertarik. Mungkin sarangnya di bukit karang itu, pikirnya. karena dia sudah tidak akan berlatih lagi, tinggal pulang, maka diapun bangkit dan cepat mendaki bukit sambil terus mengamati alap-alap tadi.
Dia ingin mengetahui di mana sarang burung itu. Siapa tahu ada anak-anaknya dan kalau dapat, dia ingin menangkap anaknya untuk dipelihara. Setelah dia tiba di lereng bukit, di antara batu-batu karang di bukit itu, dia melihat pemandangan yang amat menarik hatinya. Seekor burung alap-alap yang besar, sebesar ayam jago, menyambar turun dan menyerang seekor ular yang sebesar lengannya dan panjangnya tidak kurang dari satu meter.
Ular itu mendesis dan menyambut sambaran alap-alap itu dengan patukan moncongnya yang terbuka lebar. dengan cepat alap-alap itu mengelak dan menyampok dengan sayapnya sebagai tangkisan lalu menyerang lagi, kini dengan paruhnya yang melengkung dan runcing kuat. Namun dengan gerakan yang lentur kepala ular itu mengelak sehingga serangan paruh itupun luput. Ular itu membalas menyerang dengan patukan ke arah leher alap-alap sambil mendesis. Namun alap-alap itupun melompat ke atas sambil mengembangkan sayapnya.
Terjadilah perkelahian mati-matian antara ular dan burung alap-alap itu. Aji menonton sambil bersembunyi di balik batu karang agar tidak membikin takut dua ekor binatang yang sedang berkelahi itu. Alap-alap itu agaknya menyerang untuk memangsa ular itu, sebaliknya ular itupun membela diri dan balas menyerang karena burung alap-alap itupun dapat menjadi mangsanya yang mengenyangkan. Aji menonton penuh perhatian dan dia merasa kagum sekali.
Gerakan dua ekor binatang itu sungguh hebat, mereka itu hanya binatang-binatang yang tidak berakal budi. Akan tetapi gerakan naluri mereka dalam mempertahankan hidup sungguh indah dan mengandung kekuatan sepenuhnya. Gerakan itu dapat ditiru dan akan menjadi gerakan silat yang tangguh. Alap-alap itu bergerak dengan tangkas dan garang, serangan paruh dan kedua cakarnya dibantu kibasan kedua sayapnya membayangkan kelenturan, keluwesan, kelicikan dan menghadapi kekerasan dengan kelenturan yang mematikan.
Aji tahu bahwa sekali saja patukan moncong ular itu mengenai leher alap-alap itu, tentu gigitan itu tidak akan dilepaskan lagi yang membahayakan keselamatan nyawa burung itu. Akan tetapi alap-alap itu sungguh tangkas. Setiap patukan ular itu dielakkan sambil ditangkis dengan kibasan sayapnya yang juga kuat. Perkelahian mati-matian itu berlangsung sampai setengah jam lebih. Beberapa kali tubuh alap-alap itu terbelit tubuh ular, akan tetapi selalu terlepas lagi karena dengan paruhnya yang kuat burung itu menyerang dan melukai tubuh ular.
Tubuh ular itu mulai terluka dan berdarah. Akhirnya alap-alap itu berhasil mematuk kepala ular dengan paruhnya. Paruh itu seperti catut baja yang amat kuat, sekali menangkap kepala ular itu tidak dilepaskannya lagi. Ular menggunakan tubuhnya untuk membelit tubuh alap-alap dan dihimpitnya. Akan tetapi burung itu mengguncang-guncang kepala ular yang digigitnya itu dan memukul-mukulnya kepada batu karang yang tajam sehingga kepala ular itu menjadi pecah-pecah berdarah. Libatan itupun mengendur dan akhirnya terlepas dari tubuh alap-alap.
Burung itu lalu mencengkeram perut ular itu dengan cakarnya yang runcing tajam. Matilah ular itu. Burung alap-alap itu masih mencengkeram tubuh ular dengan kedua cakarnya dan diam tak bergerak. Agaknya burung itu hendak melepaskan lelah dan mengumpulkan tenaga beru. Kemudia ia mementang sayapnya dan terbang ke atas, membawa bangkai ular dalam cengkeraman kedua kakinya. Akan tetapi Aji melihat bahwa terbangnya seperti terhuyung-huyung, agaknya beban yang dibawanya itu terlalu berat baginya.
Akhirnya setelah sampai tinggi sekali, Aji melihat betapa burung itu melepaskan bebannya dan bangkai ular itu meluncur jatuh ke air laut yang bergelombang. Agaknya burung itu tidak kuat membawa mangsanya yang terlalu besar dan berat. perjuangan yang sia-sia, pikir Aji. Akan tetapi dia telah menyaksikan sebuah perkelahian yang sangat hebat. Dia memandang terus sampai burung alap-alap itu terbang jauh, menjadi sebuah titik hitam yang lambat laun menghilang.
Aji pulang ke dusunnya. Pikirannya terus membayangkan perkelahian itu. Semalam itu dia mengingat-ingat dan di dalam kamarnya dia menirukan beberapa gerakan alap-alap ketika berkelahi melawan ular. Kedua lengannya bergerak menirukan gerakan sayap burung, kedua tangannya kadang-kadang meluncur ke depan dengan serangan tangan terbuka menirukan gerakan paruh alap-alap itu. Juga kedua kakinya menendang-nendang seperti gerakan cakar. Juga dia menggerakkan tubuh dengan putaran seperti gerakan burung tadi.
Semenjak itu kalau bermain di tepi laut, Aji bersilat menirukan gerakan burung alap-alap. Dia dapat meniru dan merangkai gerakan burung itu menjadi gerakan silat, menyerang, mengelak, menangkis, memukul atau menendang. Juga loncatan-loncatan untuk menghindar dan berbalik menyerang. Karena dia telah memiliki dasar ilmu silat yang dalam maka dia dapat merangkai semacam ilmu silat alap-alap yang tangguh. Selain itu, dia juga terus melatih diri berenang, menyelam dan bermain dalam air seperti ikan. berlatih pernapasan sehingga dia dapat lebih lama bertahan di dalam air.
Pagi itu Aji dan ibunya sudah sibuk. Sebagai penjual nasi dan segala lauk pauknya, makanan dan minuman, sejak sebelum fajar mereka berdua sudah bangun dan sibuk di dapur, mempersiapkan masakan dan minuman. Setiap pagi aji buka warung nasi dan menyapu pekarangan membersihkan rumah, barulah dia pergi ke ladang. Setelah membantu ibunya membuka warung, pada pagi hari yang cerah itu Aji menyapu pekarangan. dua batang pohon mangga di pekarangan itu mulai berbunga lebat.
Tiba-tiba terdengar jerit seorang wanita, “anak-anakku...! Tolong anak-anakku... aduhhh... tolong...!” suara itu bercampur tangis, datangnya dari arah selatan. Aji melepaskan sapunya dan berlari keluar dari pekarangan menuju ke jalan di depan. Warsiyem juga mendengarnya dan iapun keluar dari warungnya, berlari menuju selatan.
Seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun, gelung rambutnya sepanjang punggung itu awut-awutan, pakaiannya kusut dan mukanya basah air mata, berlari terhuyung-huyung memasuki dusun Gampingan dari selatan. Karena rumah Warsiyem berada di ujung selatan dusun itu, maka ia dan Aji yang lebih dulu mendengar jerit tangis wanita itu.
“Bibi, ada apakah, bibi?” Tanya Aji sambil menghadang di tengah jalan.
Melihat ada orang menegurnya, wanita itu mulai menangis tersedu-sedu dan yang keluar dari mulutnya hanyalah kata-kata “anak-anakku... tolong anak-anakku...“ Akan tetapi kata-katanya itu tertutup oleh tangisnya dan matanya liar penuh rasa takut berulang kali memandang ke belakang, ke arah selatan.
Warsiyem sudah tiba di situ dan ia merangkul wanita itu. “Tenanglah, dik dan ceritakan apa yang telah terjadi dengan anak-anakmu.” Rangkulan dan ucapan Warsiyem itu agaknya dapat menenangkan hati wanita itu.
“Aduh, mbakyu... anak-anakku... dua orang anakku diculik orang.”
“Diculik orang? Di mana?” Tanya Aji.
Wanita itu menghadap ke selatan dan menudingkan telunjuknya. “Ketika kami berjalan sampai di luar dusun ini, tiba-tiba ada seorang perempuan berpakaian mewah bertemu dengan kami. Ia memandang anak-anakku, seorang anak laki-laki dan perempuan berusia tujuh dan lima tahun, dan bilang ia mau membeli anak-anakku. Tentu saja aku menolaknya dan tiba-tiba ia memondong kedua orang anakku dan membawa mereka lari menuju selatan. Tolong... tolonglah mereka"
“Ibu, ajak bibi ini ke rumah, aku akan mencoba melakukan pengejaran!” kata Aji dan diapun sudah melompat dan lari ke arah selatan.
“Aji...! Hati-hatilah... !” seru ibunya.
“Baik ibu!” jawab Aji tanpa menghentikan larinya. Dia pernah melatih diri dengan ilmu meringankan tubuh dan lari cepat yang disebut Aji Bayu Sakti. Setelah mempergunakan aji itu, dia berlari cepat sekali seolah kedua kakinya tidak lagi menginjak bumi. Bagaikan terbang tubuhnya meluncur ke arah selatan, ke arah Laut Kidul! Akan tetapi dia tidak melihat orang. Sejak tadi ia memperhatikan kalau-kalau ada orang di sepanjang perjalanan. Akan tetapi daerah itu sepi saja. Mungkin hari masih terlalu pagi. Sampai dia tiba di pantai laut, dia tidak melihat seorangpun. Dia termangu-mangu menyusuri pantai menuju ke arah bukit karang yang menjulang di tepi pantai.
Tiba-tiba hatinya tertarik sekali melihat ada jejak kaki memasuki pantai berpasir dan menuju ke bukit karang. Dia sudah mengenal betul daerah pantai ini. seringkali dia mencari ikan, bermain-main seorang diri, berenang dan berlatih silat kalau tidak ada orang melihatnya. Karena sering bermain di laut inilah dia juga pandai sekali berenang. Dia tahu bahwa di atas bukit karang itu terdapat banyak gua besar kecil yang tidak pernah dikunjungi orang, gua yang menjadi sarang burung-burung walet.
Dia merasa ragu, Apakah penculik dua orang anak itu mendaki bukit? Jejaknya berhenti di kaki bukit. Ini menunjukkan bahwa penculik itu tentu membawa dua orang anak yang diculiknya ke atas bukit. Tetapi untuk apa? Dan mengapa? Dia belum tahu siapa wanita itu yang mengaku dua orang anaknya diculik. Akan tetapi melihat sekelebatan saja dia tahu bahwa ia hanya seorang wanita dusun biasa. Dari pakaiannya ia adalah seorang wanita tani. Apanya yang berharga atau menarik minat seorang penculik akan diri dari dua orang anak petani miskin?
Sungguh aneh, mengherankan sekali. Aji mulai mendaki bukit batu karang itu, perlahan-lahan sambil memandang ke sekeliling dan memperhatikan dengan pendengarannya. tiba-tiba dia mendengar teriakan anak-anak, hanya satu kali lalu suara itu bungkam kembali. suara itu terdengar dari arah atas, sebelah kirinya. Dia lalu berloncatan menuju ke arah dari mana datangnya suara tadi. Tidak tampak sesuatu yang mencurigakan di sana.
Selagi dia mencari-cari dengan pandang matanya, dia memutar tubuhnya memandang ke bawah kembali dan dia melihat bayangan seorang berkelebat, lari menuruni bukit batu karang itu. Dia terkejut dan menjadi penasaran sekali, merasa tertipu oleh suara jerit kanak-kanak tadi. Kiranya selagi dia berlari naik mendaki bukit, ada orang yang melarikan diri menuruni bukit batu karang itu. Dia mengerahkan tenaga dan berloncatan turun. Karena dia mengerahkan semua ilmunya berlari cepat berdasarkan ilmu meringankan tubuh, maka dia dapat berlari secepat terbang menuruni bukit itu.
Ketika dia tiba di kaki bukit karang, dia melihat seorang wanita berlari di atas pantai berpasir. Larinya cepat sekali walaupun dia memondong dua orang anak kecil di kedua pundaknya. Dua orang anak itu tampak diam saja dan tidak meronta lagi, seperti tertidur di atas pundak wanita itu. Aji merasa tegang hatinya ketika timbul dugaan bahwa kedua orang anak itu jangan-jangan sudah mati! Dia mengerahkan tenaga sekuatnya sehingga larinya cepat sekali dan akhirnya dia dapat menyusul wanita itu.
“Sobat, berhenti dulu!” seru Aji sambil melompat mendahului dan memutar tubuhnya menghadapi wanita itu.
Dia tertegun juga melihat seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun namun lagaknya seperti seorang gadis belasan tahun, rambutnya panjang ikal mayang dan hitam, dibiarkan terurai dan kepalanya terhias semacam tiara dari emas berhiaskan intan permata. Wajah yang bentuknya bulat itu cantik sekali, kulitnya putih mulus, sepasang matanya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya memiliki daya tarik luar biasa, bibirnya penuh dan merah membasah. Mata dan mulut itu mengandung daya tarik dan memikat, senyum dan kerling matanya genit. Tubuhnya yang ramping padat itu mengenakan pakaian mewah dari sutera halus, telinganya memakai hiasan telinga, lehernya berkalung emas, dan kedua lengannya juga terhias gelang emas.
Pantasnya ia seorang puteri bangsawan yang kaya raya! Akan tetapi sinar matanya yang tajam dan genit itu mengandung kekerasan, kekejaman yang mengerikan. Sejenak Aji bertatap pandang dengan mata wanita itu dan hatinya merasa lega ketika dia dapat melihat bahwa dua orang anak itu tidak mati melainkan tidur atau lebih mungkin sekali, pingsan.
Sepasang bibir berbentuk indah dan merah itu terbuka membentuk senyum dan tampak kilatan gigi yang berderet rapi dan putih bersih. “Aeh, pemuda tampan, siapakah andika dan kenapa andika berlari-lari mengejarku?”
Senyum itu melebar dan mata itu mengamati Aji dari kepala sampai ke kaki seperti mata seorang pedagang kuda mengamati seekor kuda yang hendak dibelinya! Agak canggung dan rikuh juga rasa hati Aji berhadapan dengan seorang wanita cantik berpakaian mewah itu. Biasanya dia hanya bergaul dengan para wanita dusun yang sederhana. Dia menelan ludah menenagkan hatinya yang gugup, lalu menjawab sambil memandang kepada dua orang anak yang berada di atas kedua pundak wanita itu.
“Aku bernama Lindu Aji dan tadi aku bertemu dengan seorang ibu yang mengatakan bahwa dua orang anaknya diculik seorang wanita. tentu andika penculiknya dan kuharap andika suka membebaskan dua orang anak yang tidak berdosa itu agar mereka dapat kukembalikan kepada ibu mereka.”
Wanita itu tertawa dan mulutnya terbuka semakin lebar sehingga kini giginya yang berderet rapi dan putih itu tampak lebih banyak. Juga tampak lidahnya yang merah muda berujung runcing. “Heh-heh-hi-hi-hik! Lindu Aji, pemuda tampan, engkau menghendaki dua orang anak ini, boleh, akan kubebaskan mereka akan tetapi sebagai gantinya engkau harus ikut aku bersenang-senang selama tiga hari tiga malam!”
Wanita itu lalu melepaskan dua orang anak yang dipanggulnya ke atas tanah. Dua orang anak itu rebah miring di atas tanah dan kini Aji merasa yakin bahwa mereka itu pingsan. Wajah Aji menjadi merah mendengar ucapan itu. Biarpun dia belum pernah akrab dengan wanita, namun dia sudah cukup dewasa untuk dapat menangkap apa yang dimaksudkan wanita itu.
“Aku hanya menghendaki agar engkau menyerahkan dua orang anak itu kepadaku untuk dikembalikan kepada ibunya. Aku tidak menginginkan apapun darimu!” katanya dengan suara tegas dan jelas mengandung penolakan atas ajakan wanita itu.
“Hei pemuda tampan tapi tolol! Engkau belum mengenal siapa aku, ya? Aku adalah Nyi Maya Dewi. di seluruh Pejajaran, dari puncak gunung-gunung sampai ke tepi laut selatan, tidak ada seorangpun laki-laki yang tidak merindukan diriku. Mereka akan berebutan untuk menjadi pilihanku, mereka akan rela mati asal dapat bersamaku semalam saja. Para muda bangsawan dan hartawan, semua merindukan aku dan sekarang andika berani menolak ajakanku?” Nyi Maya Dewi mengerutkan alisnya dan marah karena merasa terhina. Belum pernah selama hidupnya ia ditolak laki-laki, apalagi hanya seorang pemuda berpakaian petani seperti ini!
Aji juga mengerutkan alisnya. “Nyi Maya Dewi, bagaimanapun juga, aku bukan seorang di antara laki-laki yang kau maksudkan tadi. Sudahlah, sekarang aku hendak mengembalikan anak-anak ini kepada ibu mereka, aku tidak ada waktu untuk melayanimu lebih lama lagi.” Setelah berkata demikian, Aji menghampiri dua orang anak yang masih rebah miring di atas tanah itu.
Akan tetapi tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar. Semua ilmu silat yang pernah dilatih oleh Aji sudah mendarah daging di tubuhnya, maka diapun segera mengetahui bahwa ada serangan dahsyat mengancamnya. dengan gerakan lincah dia melompat ke belakang dan tendangan kaki Nyi Maya Dewi hanya mengenai tempat kosong. Aji terheran-heran, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa seorang wanita cantik seperti Nyi Maya Dewi itu dapat menyerang dengan tendangan kaki yang demikian kuatnya sehingga angin tendangan itu menyambar dengan dahsyatnya.
Sebaliknya Nyi Maya Dewi juga terbelalak heran. Tadi ia sudah yakin bahwa sekali tendang saja ia akan dapat merobohkan pemuda yang dianggapnya sombong itu. Akan tetapi ternyata tendangannya luput dan dapat dielakkan pemuda itu. Tentu saja ia menjadi penasaran. Cepat ia melangkah maju mengejar dan kembali kaki kanannya mencuat dalam tendangan yang lebih kuat daripada tadi. Kaki kecil mungil itu dengan kuatnya menyambar ke arah perut Aji.
Pemuda itu maklum betapa kuatnya tendangan itu dan dapat membahayakan dirinya kalu sampai perutnya terkena tendangan. Dia mundur selangkah dan tangan kirinya bergerak ke bawah untuk menangkis kaki yang menendangitu. Karena maklum bahwa wanita itu memiliki tenaga besar, maka diapun mengerahkan tenaga ke dalam tangan kirinya yang menangkis.
“Syuuuttt... dukkkk!!” Dengan tangan miring Aji menangkis tendangan itu. Nyi Maya Dewi mengeluarkan teriakan kaget. Kakinya yang tertangkis tadi terpental dan terasa nyeri. Dengan gerakan ringan ia melangkah empat kali ke belakang. Kaki kanannya terasa berdenyut-denyut nyeri seolah tadi bertemu dengan sepotong baja. Maklumlah ia bahwa yang disangkanya hanya seorang pemuda petani biasa yang lemah itu ternyata seorang pemuda yang memiliki kegesitan dan tenaga besar.
Hatinya semakin tertarik dan gairahnya semakin besar untuk dapat memiliki pemuda itu. Ia lalu berkemak kemik, megerahkan kekuatan sihirnya dan sepasang matanya mencorong menatap titik di antara kedua alis Aji lalu mulutnya berkata dengan suara mengandung wibawa. “Lindu Aji, aku perintahkan ke padamu, berlututlah andika ke padaku!” tangannya digerakkan, telunjuknya menuding ke arah Aji.
Pemuda itu mendadak dikuasai tenaga aneh yang mendorongnya untuk menjatuhkan diri berlutut kepada wanita itu. Akan tetapi saat itu dia teringat akan semua gemblengan yang diterimanya dari mendiang Ki Tejobudi dan tahulah dia bahwa ada kuasa gelap menyerangnya. Dia segera mengangkat kedua tangan ke atas dan membaut gerakan menyembah di depan dada. Perasaan sejuk, tenteram dan kuat sekali memasuki dirinya dan mengusir dorongan tidak wajar tadi, Dia memandang wanita itu, tersenyum dan berkata dengan lembut dan penuh kesabaran.
“Nyi Maya Dewi, kalau andika ingin berlutut, mengapa tidak andika lakukan saja sendiri?” Terjadi keanehan. Mendadak saja wanita cantik itu menekuk kedua lututnya dan ia sudah berlutut menghadap Aji!
Akan tetapi hal ini terjadi hanya sebentar saja karena Nyi Maya Dewi segera menyadari akan keadaannya. Ia memekik marah dan melompat berdiri. Matanya mencorong seperti mengeluarkan api ketika ia memandang Aji. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemuda ini selain bertenaga besar, juga mampu menolak sihirnya bahkan membalikkan daya sihirnya menyerang dirinya sendiri!
“Keparat, engkau sudah bosan hidup!” bentak wanita itu dengan suara melengking saking marahnya dan tangan kanannya melepaskan sehelai sabuk sutera berwarna emas yang panjangnya tidak kurang dari dua meter, Inilah senjata wanita itu, senjata yang aneh tetapi amat ampuh, disebut Sabuk Cinde Kencana. Begitu ia menggerakkan sabuk sutera itu, tampak sinar emas berkelebat di udara dan terdengar bunyi ledakan nyaring, “ Tar-tar-tar...!!”
Akan tetapi Aji tidak menjadi gentar. Biarpun selama hidupnya baru satu kali berkelahi, yaitu ketika melawan mendiang Singowiro dan dua orang kawannya, namun ilmu-ilmu yang dipelajarinya telah mendarah daging sehingga setiap saat dapat saja dia pergunakan untuk membela diri dari ancaman bahaya yang menyerangnya. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang, lutut agak ditekuk sedikit, seluruh syaraf di tubuhnya siap namun tubuhnya tidak kaku melainkan lentur, kedua kakinya ringan dan sepasang matanya mencorong menatap wajah wanita itu.
“Nyi Maya Dewi, aku tidak ingin bermusuhan dan berkelahi denganmu. Akan tetapi katakanlah, mengapa engkau menculik dua orang anak ini? Apakah kesalahan mereka atau ibu mereka kepadamu. Dan akan engkau apakan mereka?” kata Aji sambil mengalihkan pandang matanya kepada dua orang anak itu. Dua orang anak itu ternyata sudah sadar dan duduk diatas pasir. Anak laki-laki yang berusia kurang lebih tujuh tahun itu merangkul adiknya, anak perempuan yang berusia lima tahun dan yang menangis lirih.
“Lindu Aji, apa perdulimu dengan urusan pribadiku! Aku hendak menculik atau membunuh siapapun juga, apa urusanmu?” bentak wanita itu dan kini bagi Aji, kecantikan wanita itu berubah menyeramkan, cantik akan tetapi wajah itu penuh sinar mengerikan, kejam dan jahat sekali, seperti wajah iblis betina! Mata itu seperti mata seekor anjing gila yang pernah dia lihat di dusun kemudian dibunuh ramai-ramai oleh penduduk.
“Aku tidak akan perduli kalau urusan pribadimu tidak menyangkut orang lain. Engkau boleh jungkir balik, gulung koming (bergulingan), jatuh bangun atau terjun ke laut, aku tidak akan perduli. Akan tetapi kalau engkau menculik dua orang anak yang tidak berdosa, urusan itu sudah menyangkut keselamatan dua orang anak. Terpaksa aku harus mencampuri dan turun tangan.”
“Hemm. begitukah, bocah sombong? Memangnya engkau ini seorang pendekar, seorang pahlawan, seorang kesatria?” wanita itu mengejek sambil memegang sabuk sutera emasnya, direntang melintang di depan dadanya yang membukit.
Aji teringat akan pesan mendiang ayahnya dan juga mendiang gurunya dan dia menjawab gagah, “Aku akan selalu berusaha untuk menjadi seorang penegak kebenaran dan keadilan, pembela mereka yang tertindas, dan penentang mereka yang jahat dan sewenang-wenang seperti engkau!”
“Babo-babo, Lindu Aji! Engkau bocah kemarin sore yang masih berbau brambang dan kencur! Engkau berani menentang aku, Nyi Maya Dewi yang terkenal sebagai jago betina tanpa tanding di sepanjang sungai Ci Sadea sampai ke muaranya di Laut Kidul?”
Aji tentu saja sama sekali belum pernah mendengar akan nama dan juga tempat itu yang berada jauh di barat, yang termasuk daerah Parahiyangan karena dia belum pernah beranjak dari dusunnya. Akan tetapi dia sudah banyak mendengar dari cerita mendiang bapaknya, juga mendiang gurunya bahwa di seluruh Nusantara terdapat banyak sekali orang-orang yang sakti mandraguna, baik dari golongan bersih, yaitu para pendekar, maupun dari golongan kotor, yaitu para penjahat. Dan agaknya wanita ini termasuk golongan kotor yang tidak segan melakukan perbuatan jahat mengandalkan kesaktiannya.
“Sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan denganmu, Nyi Maya Dewi. Serahkan dua orang anak itu kepadaku dan aku akan minta maaf kepadamu atas sikapku ini.”
“Engkau tidak ingin bemusuhan, akan tetapi aku ingin membunuhmu! Mampuslah! Tarrr....!” Sabuk di tangannya itu tiba-tiba berkelebat menyambar bagaikan kilat ke arah kepala Aji!
Aji merendahkan tubuhnya dan menggeser kakinya sehingga sambaran Sabuk Cinde Kencana itu luput mengenai kepalanya dan meluncur lewat di atas kepalanya. Akan tetapi dengan cepat sekali sabuk bersinar keemasan itu datang menyambar lagi. Aji mengelak lagi, hanya untuk dikejar oleh sambaran lain. Sabuk itu bergerak cepat bukan main, menyambar-nyambar bagaikan seekor burung menyerang mangsanya.
Namun, Aji lalu memainkan ilmu silat Wanara Sakti (kera Sakti). Sikap tubuhnya seperti seekor kera saja, berloncatan dan bergulingan, cekatan bukan main sehingga semua smbaran ujung sabuk itu tidak ada yang pernah menyentuh tubuhnya! Mendiang Ki Tejobudi melatih Aji dengan ilmu silat yang mengandalkan kejelian penglihatan, ketajaman pendengaran, dan keringanan tubuh ini. Ketika berlatih, Ki Tejobudi menyerangnya dengan sebatang ranting secara bertubi-tubi, makin lama semakin cepat dan Aji harus dapat mengelak dari semua serangan itu.
Bahkan lalu mempergunakan butir kacang untuk menghujaninya dengan sambitan dan pemuda itu harus mampu mengelak dari semua kacang yang menyambar. Latihan ketajaman pendengaran dilatih dengan duduk di tepi laut mendengarkan suara air yang beraneka ragam, mencoba untuk menangkap satu-satu semua suara yang berbeda-beda itu, dan di waktu malam mendengarkan penuh perhatian akan suara kutu-kutu walang-atogo (binatang-binatang yang berbunyi di waktu malam), membedakan satu-satu semua suara yang bercampur aduk itu.
Melatih kejeliaan mata dengan menampung air hujan lalu mempergunakan air dalam tempayan yang dipercik-percikkan dengan tangan ke arah kedua mata yang tetap dibuka. Latihan seperti ini dilakukan bertahun-tahun lamanya, barulah Aji dapat melakukan ilmu silat Wanara Sakti dengan baik.
Nyi Maya Dewi menjadi penasaran bukan main. Ia sudah menyerang dengan mengerahkan seluruh tenaganya sehingga sabuk cinde itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar keemasan yang menyambar-nyambar. Namun tak pernah senjatanya itu menyentuh pemuda yang bergerak seperti monyet sehingga tubuhnya berkelebatan dengan amat gesitnya.
Ilmu silat Wanara Sakti ini memang harus dilengkapi dengan sikap nakal seekor monyet, maka Aji lalu mengejek, “Hayo, Nyi Maya Dewi, perlihatkan kepandaianmu. masa seorang jago betina begini lambat gerakannya? Heh-heh!”
Ejekan ini mengena. Wanita itu menjadi marah bukan main. “Jahanam, mampus kau!” ia membentak dan sabuknya menyambar dengan kuat sekali. Akan tetapi kemarahan membuat ia lengah. Sabuknya menyambar dari atas ke bawah, ketika luput ujung sabuk menhantam batu karena tadi Aji melompat dan berdiri mengejek di atas batu itu.
“Pyarr...!” Batu itu pecah ketika dihantam ujung sabuk. Kesempatan ini dipergunakan Aji untuk membalas menyerang. Cepat sekali tangan kirinya menyambar ujung sabuk yang terhenti gerakannya sejenak setelah menghantam batu. Dia mengerahkan tenaga saktinya untuk menahan sabuk itu dan tangan kanannya lalu bergerak mendorong ke depan, ke arah dada lawan. Pukulan ini juga masih merupakan jurus Wanara Sakti, akan tetapi dorongan tangan kanan itu diisi dengan tenaga sakti Surya Candra yang dahsyat. maka ketika dia memukul, dorongan telapak tangan kanan itu mendatangkan sambaran hawa pukulan yang amat kuat.
Nyi Maya Dewi terkejut bukan main. Tangan kanannya masih menahan dan mencoba untuk membetot lepas sabuk cindenya yang ujungnya tertangkap lawan. Kini, melihat serangan lawan dengan dorongan tangan kanan yang mendatangkan hawa pukulan dahsyat itu, iapun cepat mendorongkan telapak tangan kirinya untuk menyambut. inilah aji pukulannya yang ampuh, disebut Aji Wisa Sarpa (Ilmu Pukulan Bisa Ular). Dua tenaga sakti yang keluar dari dua telapak tangan itu bertemu di udara dengan hebatnya.
“Dessss... pratttt !!” tubuh Nyi Maya dewi terjengkang dan terhuyung sedangkan Aji hanya mundur dua langkah. Wanita itu terkejut bukan main ketika melihat betapa sabuk di tangan kanannya tinggal sepotong. ternyata sabuk itu putus di tengah-tengah! Aji melempar potongan sabuk ke atas tanah dan berkata lembut.
“Nyi Maya Dewi, sudah kukatakan padamu bahwa aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Tinggalkan anak-anak itu dan pergilah, jangan ganggu orang lagi.”
Akan tetapi Aji kecelik kalau dia menduga wanita itu akan mau sudah begitu saja. Nyi Maya Dewi adalah seorang wanita keturunan bangsawan Pajajaran yang telah menyeleweng dan tersesat ke dalam kesesatan golongan hitam. Ia dikenal sebagai seorang datuk wanita yang ditakuti, memiliki banyak macam ilmu kanuragan, sudah banyak pengalaman berkelahi dan banyak pula tipu muslihatnya. Akan tetapi ia memiliki kelemahan, yaitu mata keranjang. Ia tidak tahan melihat pria tampan, apa lagi yang gagah perkasa. Ia tidak akan berhenti berusaha sebelum dapat memperoleh pria itu dalam pelukannya.
Tentu saja hal ini tidak begitu sukar baginya karena ia memiliki kecantikan wajah dan keindahan tubuh yang membuat banyak pria tergila-gila. Kalau sang pria menolak, ia masih dapat mengandalkan ilmu sihirnya untuk menundukkan pria itu, atau bahkan menggunakan kesaktiannya untuk memaksakan kehendaknya. Kalau semua usaha gagal, ia akan membunuh pria itu! Dan kalau berhasil, iapun hanya akan menjadikan pria itu sebagai permainan selama beberapa hari saja karena Nyi Maya Dewi adalah seorang wanita pembosan dan selalu haus akan laki-laki baru.
Mendengar ucapan Aji itu, tiba-tiba Nyi Maya Dewi tersenyum, manis sekali dan menghampiri Aji. Dihampiri wanita itu yang makin mendekat, tentu saja Aji menjadi rikuh diapun mundur beberapa langkah. “Aji, mengapa engkau menjauh? Aku kagum sekali padamu, Aji. Aku jatuh cinta padamu. Tidak maukah engkau menjadi sahabat baikku? Bukan saja aku akan menyerahkan anak-anak itu kepadamu, bahkan aku akan membantumu dalam segala hal. Akan tetapi bersikaplah manis padaku, jangan memusuhi aku, Aji.”
Suaranya demikian merdu merayu dan memang dalam suaranya itu terkandung Aji pengasihan yang dapat menundukkan hati kaum pria. Sejenak hati pemuda iti terguncang dan tiba-tiba dia merasa kasihan kepada wanita itu. Akan tetapi dia tetap waspada dan menyadari bahwa perasaannya inipun tidak wajar. Untung baginya bahwa dia telah banyak mempelajari tentang bahaya serangan ilmu sihir dan tenung dan dia telah memiliki kekuatan dasar, yaitu Aji Tirta Bantala yang berdasarkan penyerahan kepada kekuasaan Gusti Allah.
Begitu dia menyerah dan membiarkan kekuasaan gaib ini melindunginya, maka perasaan kasihan yang tidak wajar itupun lenyap. Wajah wanita itu yang tadinya memelas tampak mengerikan kembali, wajah yang penuh rangsangan nafsu berahi. “Nyi Maya Dewi, aku tidak memusuhimu. Pergilah dengan damai...“
“Hyaaaatttt...!” Tiba-tiba wanita itu menyerangnya dengan dahsyat sekali. Kedua tangannya membentuk cakar dan sepuluh buah kuku tangannya berubah menghitam. Bagaikan seekor kucing iapun menyerang dengan kedua cakarnya dan Aji mencium bau amis keluar dari kedua tangan itu. Nyi Maya Dewi sudah menyerang dengan Aji Sarpa Naka (Kuku Ular) dan setiap kuku jarinya mengandung racun ular yang mematikan. Sekali kena guratan kuku itu sudah cukup menewaskan lawan.
Aji yang selalu waspada, cepat mengelak dan otomatis dia sudah bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti. Akan tetapi ketika dia melompat ke belakang, wanita itu cepat menubruk ke arah dua orang anak itu. Anak laki-laki itu berteriak, akan tetapi ia sudah diringkus dan dipondong Nyi Maya Dewi dan dibawa lari ke arah laut! Anak perempuan yang direnggut lepas dari kakaknya itu menjerit-jerit ketakutan melihat kakaknya dilarikan wanita itu. Aji tertegun sejenak.
Sama sekali tidak mengira bahwa serangan wanita yang dahsyat tadi hanya pancingan saja agar perhatiannya terpecah sehingga dengan mudah wanita itu dapat melarikan anak laki-laki yang tadi berpelukan dengan adiknya. “Heii ! Berhenti, kembalikan anak itu!” Aji berteriak marah dan dia lalu mengejar dan berlari cepat. Akan tetapi Nyi Maya Dewi ternyata tidak berlari menyusuri pantai, melainkan terus ke arah lautan, menerjang ombak besar yang datang bergulung-gulung!
Tentu saja Aji merasa heran dan kaget, akan tetapi demi keselamatan anak laki-laki itu, dia mengejar terus. Ketika gelombang menggulungnya, dia menyelam dan berenang. Setelah ombak lewat, dia melihat Nyi Maya Dewi berenang ke tengah, memiting anak itu. Aji tidak mau kalah dan diapun berenang secepatnya. Untung bahwa dia juga mahir sekali berenang karena sudah terbiasa bermain-main di laut yang bergelombang itu.
“Nyi Maya Dewi, lepaskan anak itu atau aku akan terpaksa memusuhimu!” teriak Aji setelah dekat.
Wanita itu tertawa dan tiba-tiba ia membalik dan berenang menhampiri Aji. Setelah dekat, ia melemparkan anak laki-laki itu ke arah Aji. “Terimalah anak ini, hi-hi-hik!”
Aji menjulurkan kedua lengan dan menerima anak itu. ternyata ank itupun dapat bergerak dan berenang. Dia lalu mendorong anak itu ke arah pantai dan berkata, “Adik, cepat berenang ke tepi. Cepat!” anak itu menurut, berenang ke arah pantai. Untuk melindunginya menghadang.
Kini mereka berhadapan dan Nyi Maya dewi tertawa-tawa. Di air, dengan rambutnya berderai dan pakaiannya basah kuyup melekat ketat di tubuhnya, ia Nampak seperti seekor ikan duyung atau bahkan seperti puteri Ratu Laut Kidul yang terkenal dalam dongeng.Akan tetapi suara tawa dan sinar matanya tetap mengerikan bagi Aji dan diapun bersiap-siap karena jelas tampak olehnya bahwa wanita itu pandai sekali bergerak di dalam air, tiada ubahnya seekor ikan saja!
“Hi-hi-hik, di darat engkau masih mampu menandingi aku, akan tetapi di sini? Dalam air segara kidul ini, nyawamu berada di tanganku, Aji!” Wanita itu tertawa-tawa gembira.
Biarpun ada perasaan khawatir dalam hati Aji melihat betapa lincahnya wanita itu bergerak dalam air, namun dia berkata tegas, “nyawaku selalu berada di Tangan Gusti Allah!”
“Hi-hik, kita lihat saja!” Dan tiba-tiba wanita itu menghilang! aji tahu bahwa wanita itu menyelam.
Ini berbahaya karena wanita itu tentu dapat menyerangnya dari bawah dan sukar baginya untuk melindungi dirinya. Maka diapun menarik napas sampai dadanya penuh, lalu diapun menyelam. Untung sudah terbiasa baginya menyelam smbil membuka mata kalau dia bermain-main di air untuk melihat ikan. Matanya sudah terbiasa dan tidak pedas lagi terkena air laut. Dia melihat bayangan wanita itu yang meluncur cepat ke arahnya dengan kedua tangan dijulurkan.
Dia mengelak ke samping san lengannya bergerak menangkap lengan lawan. Memukul dalam air tiada gunanya karena tenaga pukulannya akan habis kekuatannya tertahan air. Maka dia berusaha untuk menangkap lengan wanita itu. Akan tetapi wanita itu dapat bergerak gesit bukan main. Bukan saja telah dapat menarik kembali lengannya sehingga tidak dapat tertangkap, bahkan tubuhnya sudah meluncur melalui bawah tubuh Aji dan tiba di belakangnya!
Aji cepat bergerak membalik, akan tetapi di kalah cepat. Sebuah tamparan mengenai pelipisnya. Tamparan itu itu tidak terlalu keras karena tertahan air, namun tetap saja membuat dia terpelanting. Sebelum dia dapat mengtur kedudukan tubuhnya, tiba-tiba kedua kakinya dipegang kedua tangan wanita itu. Kuat sekali pegangannya. Aji menendang-nendangkan kedua kakinya. Akan tetapi wanita itu tetap menempel dengan memegangi kedua pergelangan kakinya seperti seekor lintah!
Pada saat itu, Aji sudah mulai kehabisan napas. Hawa yang disedot dan ditampung dalam paru-parunya tadi sudah dihembuskan keluar semua. Dan hampir tidak tahan lagi dan dia mengerahkan seluruh tenaga pada kaki dan tangannya sehingga tubuhnya meluncur ke atas. Akan tetapi kedua tangan itu masih tetap memegangi kedua kakinya. Aji berhasil muncul di permukaan air sebatas lehernya. Paru-parunya yang kehausan itu mengisap hawa sebanyaknya. akan tetapi baru satu kali dia menghirup udara, tubuhnya sudah ditarik lagi ke bawah!
Kembali mereka berdua bergulat dalam air. Akan tetapi Aji harus mengakui bahwa lawannya amat mahir dan juga kuat menahan napas. Setelah meronta-ronta dengan sia-sia, kembali dia kehabisan napas dan sudah beberapa kali terpaksa menelan air. Dia gelagapan dan kepalanya menjadi pening. Ketika akhirnya dengan sisa tenaganya dia berhasil munculkan kepalanya di permukaan air dan menghirup udara, tiba-tiba sebuah tamparan menghantam tengkuknya.
“Plakk” kuat sekali hanyaman itu dan Aji terkulai, pingsan. Tamparan mengenai tengkuk itu dilakukan oleh tangan yang terlatih baik sehingga tepat mengenai sasaran, tidak mematikan, tidak mendatangkan luka dalam yang parah, namun membuat orang pingsan seketika. Nyi Maya dewi lalu berenang ke tepi sambil merangkul Aji yang telentang. Cara Nyi Maya Dewi menyeret Aji yang pingsan menunjukkan bahwa ia memang ahli bermain di air. Aji diseret dengan dijambak pada rambutnya sehingga muka pemuda itu berada di atas permukaan air.
Tak lama kemudian Nyi Maya Dewi sudah tiba di pantai. Ia menyeret Aji ke pinggir dan setelah tiba di kedalaman selutut ia memondong tubuh pemuda itu dengan ringannya dan membawanya ke pantai berpasir. Ia terus naik sampai tiba di kaki bukit karang. Ia mencari-cari dengan pandang matanya akan tetapi tidak menemukan dua orang anak yang tadi diculiknya. Nyi Maya Dewi tertawa.
“Hi-hik, tidak apa aku kehilangan mereka berdua. Masih banyak anak yang lebih mungil dan sehat untuk kudapatkan sebagai penggantinya. Akan tetapi mendapatkan seorang pemuda setampan dan segagah ini sungguh amat sukar,” katanya. Ia lalu mendekatkan mukanya dan mencium muka pemuda itu, kemudian ia merebahkan Aji di bawah sebatang pohon kelapa. Setelah itu, tanpa malu dan tanpa khawatir kalau-kalau ada orang yang melihatnya, wanita itu lalu menanggalkan pakaiannya satu demi satu.
Dalam keadaan telanjang bulat ia memeras semua pakaiannya yang basah kuyup, mengebut-ngebutkannya agar cepat kering. Kemudian ia mengenakan lagi pakaiannya dan menghampiri Aji yang masih menggeletak telentang di atas tanah. “Kasep (bagus), sekali ini engkau harus menuruti keinginanku,” kata Nyi Maya Dewi mengeluarkan sebuah botol kecil yang tadi ia selipkan di ikat pinggangnya. Botol kecil itu berisi cairan merah. Ia membuka tutup botol kecil itu dan tangan kirinya membuka mulut Aji, siap hendak menuangkan isi botol ke dalam mulut pemuda itu.
Pada saat itu, Aji sadar dari pingsannya. Biarpun kepalanya masih agak pening dan pikirannya masih gelap, namun dengan nalurinya yang tajam dia segera dapat merasakan adanya bahaya yang mengancam dirinya. Maka, tiba-tiba saja tangannya bergerak memukul botol kecil yang sudah ditempelkan dibibirnya itu, meronta dan menggulingkan tubuhnya ke kiri. Nyi Maya Dewi terkejut sekali. Botol itu terlempar dan isinya tumpah, juga pegangannya pada kepala pemuda itu terlepas.
Melihat pemuda itu menjauhkan diri sambil bergulingan, ia cepat bangkit dan hendak mengejar dan menyerang. Akan tetapi Aji yang kini sudah sadar betul, ingat bahwa dirinya tadi terpukul pingsan dan tertawan, maklum akan datangnya bahaya. Dengan tubuh menelungkup, kaki tangan di atas tanah seperti merangkak, tiba-tiba dia mengeluarkan sura gerengan yang dahsyat sekali. Gerengan itu menggetarkan tanah disekitarnya dan Nyi Maya Dewi juga tergetar dan terhuyung seolah-olah terjadi gempa bumi!
Itulah ilmu yang disebut aji Guruh Bumi yang kekuatannya hebat bukan main. Nyi Maya Dewi terkejut melihat pemuda itu kini sudah bangkit berdiri, ia menjadi jerih. Tadinya ia sudah merasakan kehebatan pemuda ini. Ia telah memandang rendah dan merasa menyesal mengapa ketika pemuda itu pingsan, ia tidak mengikatnya agar dia tidak berdaya. Kini, ia merasa jerih untuk melawan lagi dan sambil mengeluarkan suara melengking mirip tangis akan tetapi juga tawa, ia lalu melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Aji tidak mau mengejar. Dia lalu mencari-cari dua orang anak yang ditolongnya tadi, Mereka tidak mungkin berlari jauh, pikirnya. Kalau mereka melarikan diri, hendak lari ke mana? Mungkin mereka masih bersembunyi di sekitar tempat ini. Aji lalu mengerahkan tenaga, berteriak nyaring, “Adik-adik, di mana kalian? ke sinilah, akan kuantar kalian kepada ibu kalian!”
Teriakannya melengking dan bergema di empat penjuru. Dugaannya tidak salah. Dua orang anak itu masih bersembunyi, tak jauh dari situ, di balik batu-batu karang. Mendengar seruan itu, mereka mengintai dari balik batu karang dan melihat bahwa yang berteriak dan berada di pantai berpasir hanya laki-laki yang tadi menolong mereka dan wanita iblis yang menculik mereka tadi tidak tampak lagi, mereka lalu bergandeng tangan dan berlari keluar menghampiri Aji.
Aji menyambut mereka dengan kedua lengan dikembangkan dan wajah penuh senyum gembira. Hatinya merasa girang sekali melihat mereka dalam keadaan selamat. Usahanya menolong mereka telah berhasil baik dan dia merasakan suatu kegembiraan yang luar biasa. Inilah yang dimaksudkan mendiang Ki Tejobudi ketika dia mengatakan bahwa kepentingan orang lain merupakan kebahagiaan menolong orang itu. Dua orang anak itu berlari menghampirinya dan setelah dekat, Aji merangkul kedua orang anak itu.
“Kami menghaturkan terima kasih atas pertolongan kakangmas kepada kami.” kata anak laki-laki itu dan Aji memandang heran. kedua orang anak itu berpakaian lusuh seperti anak dusun. Dan anak laki-laki itu baru berusia tujuh tahun, akan tetapi cara dia bicara sama sekali bukan seperti anak dusun. Bahasanya begitu teratur dan rapi, juga hormat seperti seorang anak yang berpendidikan. Juga setelah kini dia mengamati, dua orang anak itu berwajah tampan dan manis.
“Adik-adik yang baik, siapakah nama kalian?” “Nama saya Priyadi, dan ini adik saya bernama Wulandari,” jawab anak laki-laki itu.
Aji mengangguk-angguk. Tidak salah dugaannya, mereka ini bukan anak-anak dusun biasa. Baru nama mereka saja sudah menunjukkan bahwa mereka ini anak “priyayi”, nama mereka begitu indah.
“Kakangmas yang telah menyelamatkan kami, siapakah nama andika?” Tanya anak laki-laki yang mengaku bernama Priyadi itu.
“Namaku Lindu Aji, sebut saja aku Mas Aji.”
“Mas Aji, di mana ibuku?” Tanya anak perempuan berusia lima tahun yang bernama Wulandari itu. Anak inipun tidak pemalu dan kata-katanya juga teratur.
“Ia berada di rumahku, mari kalian kuantar menemui ibu kalian,” kata Aji yang lalu menggandeng dua orang anak itu dan berjalan menju pulang.
Sementara itu, ibu kedua orang anak yang diculik itu dihibur oleh Warsiyem. Mereka berdua duduk di warung dan wanita itu sudah berhenti menangis setelah dihibur oleh Warsiyem. Warsiyem melihat bahwa wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang berpakaian lusuh seperti orang dusun itu sebenarnya cukup cantik dan berkulit bersih, juga sikapnya tidak seperti orang dusun.
“Tenangkan hatimu, dik. Anakku Aji itu tangkas dan pemberani. Aku percaya dia akan dapat menemukan dan membawa kembali kedua orang anakmu itu.”
“Mudah-mudahan begitu, mbakyu. Tanpa mereka, rasanya aku tidak akan dapat hidup sendiri. Hanya mereka berdua itulah yang kumiliki,” kata wanita itu sambil menyeka air mata.
Warsiyem menuangkan air teh. “Minumlah agar tenang hatimu, kemudian ceritakan siapa adik ini kalau tidak keberatan. Adik tentu bukan orang daerah sini dan mengapa adik dapat berada di sini.”
Wanita itu menarik napas panjang, “Namaku Jumintan, mbakyu. Sebaliknya, siapakah nama mbakyu yang telah menolongku?”
“Aku Warsiyem, suamiku telah tiada. aku tinggal hidup berdua di sini bersama anakku tadi, Dia bernama Lindu Aji.”
“Aku juga seorang janda, mbakyu Warsiyem. Suamiku seorang perwira, meninggal dunia setengah tahun yang lalu, gugur dalam perang melawan pasukan Giri. Suamiku seorang perwira Mataram. Tadinya kami tinggal di kota raja Mataram. Setelah suamiku gugur, aku hanya hidup bertiga dengan dua orang anakku, Priyadi dan Wulandari yang diculik orang itu.”
“Wah, kalau begitu engkau adalah seorang priyayi!” seru Warsiyem. “Suamimu seorang perwira kerajaan Mataram!”
“Ah, tidak juga, mbakyu. Aku dulu seorang gadis dusun, kemudian menikah dengan suamiku yang memang keturunan prajurit Mataram. Sama sekali kami bukan trahing kusumo rembesing madu (berdarah bangsawan), melainkan rakyat biasa saja.”
Mendengar ini, Warsiyem tersenyum dan teringatlah ia akan pendapat suaminya tentang kebangsawanan yang disebutnya keturunan “menak”. “kebangsawanan seseorang sama sekali tidak ditentukan oleh darah keturunannya, melainkan oleh sepak terjangnya dalam hidup ini.” Demikian pendapat suaminya.
“Lalu bagaimana engkau sampai meninggalkan kota raja bersama anak-anakmu sehingga terjadi penculikan itu, dik Juminten?”
Janda muda itu menghela napas panjang, lalu mengamati majah Warsiyem, “Sudah berapa lamakah mbakyu menjadi janda?”
“Hem, sudah lima tahun lebih, kenapa?”
“Kalau begitu, ketika mbakyu menjadi janda, tentu hanya lebih tua sedikit daripada aku. Mbakyu seorang wanita yang cantik, tentu telah merasakan betapa susahnya menjadi janda, banyak godaan datang menganggu.”
“Benar sekali, dik juminten. memang aku juga pernah mendapat gangguan besar, Akan tetapi apakah yang telah terjadi denganmu?”
“Setelah suamiku gugur, ada seorang perwira lain, masih rekan mendiang suamiku, menggodaku dan mengejar-ngejar aku, bahkan hendak memaksaku untuk menjadi isterinya yang kedua. Dia menggunakan segala daya, halus maupun kasar untuk membujuk aku. Aku selalu menolak karena aku sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk menikah lagi. Tidak ada laki-laki yang akan dapat menggantikan suamiku dalam hatiku, dan aku bertekad untuk hidup bertiga saja dengan kedua orang anakku. Karena perwira itu nekat hendak memaksaku, terpaksa pada suatu malam aku melarikan diri bersama kedua anakku, meninggalkan kota raja.”
“Hemm, laki-laki memang dapat menjadi binatang buas kalau sudah dikuasai nafsunya tergila-gila kepada seorang perempuan. siapakah nama durjana itu, dik Juminten?”
“Dia bernama Raden Kuncoro, entah radennya asli atau palsu. Dia seorang perwira atasan suamiku dan di kota raja dia memang terkenal sebagai laki-laki mata keranjang. setelah melarikan diri keluar kota raja, aku lau pergi ke dusun tempat kelahiranku di lembah Kali Progo. Akan tetapi setelah tiba di sana, ternyata kakakku yang merupakan satu-satunya keluargaku telah setahun lebih meninggalkan dusun kami dan tidak ada orang mengetahui ke mana pindahnya. Orang tuaku sudah lama meninggal dunia. Di dusun itu aku tidak mempunyai seorang keluargapun. Dan calakanya.... ah, nasibku sungguh buruk, mabkyu, di dusun kelahiranku itu, lurah dusun yang tadinya tampak baik dan menampungku, ternyata kemudian berniat menjadikan aku isteri mudanya. Diapun hendak menggunakan paksaan sehingga aku melarikan diri dari dusun itu.”
Warsiyem memegang pundak juminten yang duduk di atas bangku, di sebelahnya. “Ah, kasihan engkau, dik Juminten, digoda banyak laki-laki tanpa ada yang membelamu. Aku, biarpun digoda laki-laki, selalu ada yang membela. Pertama laki-laki yang kemudian menjadi suamiku, kemudian anakku si Aji itu. Lalu bagaimana, dik Juminten?”
“Berbulan-bulan kami merantau, semua bekal yang kubawa telah habis kujual sehingga seringkali kami bertiga kekurangan makan. Ketika pagi tadi kami tiba di luar dusun ini, kami bertemu dengan seorang wanita cantik dan berpakaian seperti seorang bangsawan. ia tadinya hendak membeli anak-anakku, ketika kutolak, ia lalu menyambar dan memondong mereka dan lari ke selatan.“ Juminten terisak lagi, teringat akan kedua orang anaknya. “Aahh... Priyadi, Wulandari, anak-anakku“
“Kenapa engkau tadi tidak mengejarnya dan berusaha merampas mereka kembali? Penculik itu kan hanya seorang perempuan seperti kia?” Tanya Warsiyem penasaran. Kalau ia yang dirampas anaknya seperti itu tentu ia akan mengamuk dan melawan mati-matian!“
Sambil menahan isak Juminten berkata, "Sudah kukejar, mbakyu, akan tetapi... ia berlari seperti terbang.... cepat sekali sehingga sebentar saja aku kehilangan bayangannya. Maka aku lalu berlari memasuki dusun ini dan minta tolong“
“Jangan khawatir, Aji tentu akan dapat menemukan mereka...“
Ucapan Warsiyem ini terputus oleh teriakan suara dua orang anak, “Ibu...!”
“Ibu....!!”
Dua orang wanita itu terkejut dan menoleh ke luar. “Anak-anakku...!” Juminten menjerit dan bangkit lalu keluar, menyambut kedua anaknya yang juga berlari menghampiri ibunya. Mereka bertemu di pekarangan dan Juminten merangkul kedua anaknya sambil menangis sesenggukan saking bahagianya. Warsiyem juga keluar dan sambil tersenyum ia memandang puteranya yang berdiri dengan pakaian masih basah.
“Mari kita masuk!” ajak Warsiyem kepada Juminten dan kedua orang anaknya. “Kenapa pakaianmu basah semua, Aji?” dia bertanya kepada puteranya.
“Nanti kuceritakan di dalam sesudah aku berganti pakaian, ibu. Juga adik Priyadi itu pakaiannya basah semua. Biar dia berganti pakaianku, agar jangan masuk angin.”
Setelah Aji berganti pakaian dan Priyadi juga mengenakan pakaian Aji yang tentu saja terlalu besar untuknya, mereka semua duduk di ruangan dalam. Aji lalu menceritakan semua pengalamannya ketika menolong dua orang anak itu. Dia tidak bercerita banyak tentang perkelahiannya melawan Nyi Maya Dewi, Wanita yang sakti mandraguna itu. “Perempuan yang menculik dua orang adik itu mengaku dari Pasundan dan bernama Nyi Maya Dewi. Ia tangguh sekali, dan untung Gusti Allah melindungi aku sehingga aku dapat mengusirnya dan membawa kedua orang adik ini pulang.”
“Kenalkah engkau dengan wanita bernama Nyi Maya Dewi itu, dik Juminten?” Tanya Warsiyem.
Juminten mengerutkan alisnya mengingat-ingat, lalu ia menggeleng kepalanya. “Tidak, aku tidak pernah mendengar nama itu, juga belum pernah bertemu dengannya. Akan tetapi, mungkin sengaja ia disuruh oleh Raden Kuncoro untuk menculik anak-anakku sehingga ia dapat memaksaku menuruti kehendaknya.”
“Raden Kuncoro? Siapakah dia, bibi?” tanya Aji heran.
Warsiyem lalu menceritakan riwayat Juminten kepada Aji. Aji mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian dia berkata, “Mungkin saja wanita itu utusan Raden Kuncoro, akan tetapi mengapa ia mengaku datang dari Pasundan? Dan logat bicaranya memang menunjukkan bahwa ia adalah seorang Sunda.”
“Sudahlah, tidak perlu dipikirkan lagi hal itu. Perempuan jahat itu sudah pergi dan anak-anakmu sudah selamat, adik Juminten.” Warsiyem menghibur, melihat Juminten masih menahan isak sambil merangkul kedua anaknya, wajahnya diliputi kegelisahan. mendengar kata-kata hiburan ini, Juminten malah menangis tersedu-sedu. Warsiyem menjadi bingung dan saling pandang dengan Aji.
“Bibi, ada apakah lagi yang menyusahkan hati bibi? Katakanlah, kami akan berusaha membantumu sedapat kami,” kata Aji.
“Benar apa yang dikatakan anakku, dik Juminten. Kenapa engkau masih kelihatan sedih dan khawatir pada hal kedua orang anakmu sudah kembali kepadamu dengan selamat?” Tanya Warsiyem.
Juminten menyusut air matanya. Setelah menghela napas panjang berulang kali, barulah ia dapat bicara, suaranya lirih penuh kesedihan, mukanya menunduk. “Bagaimana saya tidak akan menjadi sedih dan bingung, mbakyu Warsiyem? kami bertiga tidak punya apa-apa lagi, tidak tahu ke mana harus pergi dan sekarang terancam... tidak ada sanak saudara yang dapat menolong dan menampung kami... tidak ada orang yang dapat kuharapkan, bahkan Gusti Allah pun agaknya tidak sudi mendengar rintihan dan keluh kesah kami...! Mbakyu Warsiyem, ke manakah kami harus pergi?”
Ibu dan Anak itu kembali bertemu pandang. Demikian kuat hubungan batin antara ibu dan anak ini, membuat mereka saling peka terhadap satu sama lain. Tanpa bicarapun, melalui pandang mata mereka, keduanya dapat mengerti isi hati masing-masing. Warsiyem seolah minta pendapat dan persetujuan puteranya dan Aji seolah menyetujui maksud hati ibunya. Pemuda itu tersenyum dan mengangguk pasrah, ada sinar mata bangga dalam pandang matanya terhadap ibunya yang dia tahu memiliki hati yang penuh welas asih. Warsiyem menyentuh pundak juminten yang masih sesenggukan dan berkata lirih, menghibur.
“Hentikan tangismu dan jangan bersedih atau gelisah lagi, dik Juminten. Aku juga seorang janda, hanya hidup berdua dengan anakku Aji dan rumah kami cukup besar. Kalau engkau mau bekerja sama denganku, membantu aku berjualan nasi dan mengurus rumah tangga, kami dapat menyingget sebuah kamar lagi untuk engkau dan anak-anakmu dan kalian bertiga boleh hidup dan tinggal bersama kami di rumah ini, tentu saja kalau engkau suka.”
Mendengar ini, tiba-tiba Juminten mengangkat mukanya, matanya terbelalak, bergantian memandang ternganga penuh keheranan, seolah tidak percaya akan apa yang didengarnya, kemudian mulutnya mewek-mewek menangis lagi. “kalau aku mau...? Duh gusti...! Mbakayu Warsiyem... anakmas Aji... apa yang dapat kukatakan?” Ia memegang tangan kedua anaknya dan menyeret mereka sehingga mereka bertiga menjatuhkan diri berlutut di depan ibu dan anak itu, menyembah-nyembah. “anakmas Aji telah menyelamatkan anak-anakku... dan sekarang... kalian sudi menerima kami tinggal di sini...? Terima kasih... terima kasih atas pertolongan dan budi kebaikan kalian yang amat besar...!” Ia menyembah sambil menangis.
Warsiyem merasa terharu dan kedua matanya juga basah. Ia cepat membungkuk, merangkul dan menarik Juminten agar duduk kembali. Juga Aji menarik kedua anak itu yang ikut ibunya menangis karena mereka juga mengerti bahwa mereka mendapat pertolongan sehingga mereka bertiga kini duduk kembali dengan air mata masih mengalir di pipi mereka.
“Dik Juminten, tidak usah berterima kasih kepada kami. Apa yang kami lakukan ini memang menjadi kewajiban kami. Kukira engkau sendiripun akan melakukan perbuatan yang sama kalau keadaanmu mengijinkan. Kita manusia memang sudah sepatutnya saling tolong menolong, bukan? kami membantumu memberikan tempat tinggal kepadamu, dan engkau juga membantu kami dalam mengurus rumah tangga ini. Berarti kita saling bantu dan saling menguntungkan. Akan tetapi kita ini bukan hartawan dan kita hanya dapat hidup sederhana, dik.”
“Ibu berkata benar, bibi Juminten. Bibi tadi keliru kalau mengatakan bahwa Gusti Allah tidak sudi mendengarkan keluh kesahmu. Nah, sekarang berterima kasihlah kepada Gusti Allah, bukan kepada kami, karena sesungguhnya hanya Gusti Allah yang dapat menolong kita semua dan sekarang Gusti Allah telah mengulurkan tanganNya yang suci dan penuh cinta kasih kepada bibi bertiga melalui kami. Kami hanyalah merupakan alat yang kebetulan dipakai oleh Gusti Allah untuk membantu bibi yang berada dalam kesusahan.”
Dengan air mata bercucuran dan diseling isak Juminten merangkap kedua tangan membentuk sembah di depan dada dan berbisik, “Duh Gusti... hamba menghaturkan terima kasih dan mengucap syukur bahwa Paduka pada hari ini telah mempertemukan hamba dengan manusia-manusia bijaksana ini. hayo anak-anakku, haturkan terima kasih kepada Bude Warsiyem dan Mas Aji!” juminten lalu memberi salam kepada Warsiyem, lalu kepada aji, diikuti kedua orang anaknya. “Matur sembah nuwun, bude Warsiyem! Matur sembah nuwun mas Aji!” kata mereka.
Aji dan ibunya merangkul kedua orang anak itu. Hati mereka segera terpikat oleh sikap kedua orang anak yang pandai membawa diri dan sopan santun itu. Demikianlah, mulai hari itu Juminten dan kedua anaknya tinggal dalam rumah Warsiyem. Aji menggunakan bilik bambu dan membuat sebuah kamar untuk mereka. Warsiyem memperkenalkan Juminten sebagai adik angkatnya kepada para tetangga.
Para penduduk di dusun Gampingan, terutama kaum prianya, berbisik-bisik dengan senyum penuh arti bahwa dusun mereka bertambah seorang janda yang masih muda lagi cantik manis! Ternyata Juminten juga tahu diri. Ia bekerja keras membantu Warsiyem dan semenjak ia tinggal di situ, rumah itu tampak lebih terawat dan bersih. Iapun pandai masak, pandai membuat penganan dan gorengan yang lezat sehingga warung itu menjadi semakin ramai dikunjungi pembeli.
********************
Semenjak pengalamannya bertanding melawan Nyi Maya Dewi yang membuat dia kewalahan, apalagi perkelahian dalam air yang membuat dia hampir saja celaka di tangan wanita itu, Aji seringkali pergi ke pantai berpasir yang sunyi. Apalagi sekarang di rumah ada Juminten yang membantu ibunya. Bahkan dua orang anak itupun rajin membantu, menyapu dan membersihkan rumah sehingga dia mempunyai banyak waktu untuk bermain di pantai berpasir.
Selain berlatih silat di pantai yang sunyi itu, juga Aji berlatih renang dan bermain-main dalam air. Dia memperdalam ilmunya ini setelah mengalami kekalahan ketika bertanding dalam air melawan Nyi Maya Dewi. Dia tahu bahwa kekalahannya itu karena dia kalah bertahan napas dalam air. Maka kini hampir setiap hari dia berlatih pernapasan dan melatih paru-parunya untuk menampung hawa sepadat mungkin sehingga dia dapat bertahan lebih lama tanpa bernapas di dalam air.
Pada suatu sore, setelah lelah berlatih menyelam dan bersilat, dia merebahkan diri telentang di atas pasir sambil mengeringkan celana pendeknya yang tadi dia pakai untuk berlatih menyelam dan bermain dengan gelombang lautan. Matahari telah condong ke barat dan sinarnya tidaklah sekuat siang tadi. Tiba-tiba matanya tertarik oleh sebuah titik hitam yang melayang-layang di udara. makin lama, titik hitam itu semakin membesar dan setelah pandang matanya menangkap, ternyata titik hitam itu adalah seekor burung yang besar dan gagah sekali.
Penduduk di situ menyebutnya alap-alap, semacam burung elang yang gagah bentuknya dan indah sekali kalau melayang dan terbang di angkasa. Aji memandang dengan kagum sekali. karena dia rebah telentang, maka dengan enaknya dia dapat mengikuti gerak gerik alap-alap itu. Burung itu berkeliling, kemudian semakin menurun ke arah bukit. Dia semakin tertarik. Mungkin sarangnya di bukit karang itu, pikirnya. karena dia sudah tidak akan berlatih lagi, tinggal pulang, maka diapun bangkit dan cepat mendaki bukit sambil terus mengamati alap-alap tadi.
Dia ingin mengetahui di mana sarang burung itu. Siapa tahu ada anak-anaknya dan kalau dapat, dia ingin menangkap anaknya untuk dipelihara. Setelah dia tiba di lereng bukit, di antara batu-batu karang di bukit itu, dia melihat pemandangan yang amat menarik hatinya. Seekor burung alap-alap yang besar, sebesar ayam jago, menyambar turun dan menyerang seekor ular yang sebesar lengannya dan panjangnya tidak kurang dari satu meter.
Ular itu mendesis dan menyambut sambaran alap-alap itu dengan patukan moncongnya yang terbuka lebar. dengan cepat alap-alap itu mengelak dan menyampok dengan sayapnya sebagai tangkisan lalu menyerang lagi, kini dengan paruhnya yang melengkung dan runcing kuat. Namun dengan gerakan yang lentur kepala ular itu mengelak sehingga serangan paruh itupun luput. Ular itu membalas menyerang dengan patukan ke arah leher alap-alap sambil mendesis. Namun alap-alap itupun melompat ke atas sambil mengembangkan sayapnya.
Terjadilah perkelahian mati-matian antara ular dan burung alap-alap itu. Aji menonton sambil bersembunyi di balik batu karang agar tidak membikin takut dua ekor binatang yang sedang berkelahi itu. Alap-alap itu agaknya menyerang untuk memangsa ular itu, sebaliknya ular itupun membela diri dan balas menyerang karena burung alap-alap itupun dapat menjadi mangsanya yang mengenyangkan. Aji menonton penuh perhatian dan dia merasa kagum sekali.
Gerakan dua ekor binatang itu sungguh hebat, mereka itu hanya binatang-binatang yang tidak berakal budi. Akan tetapi gerakan naluri mereka dalam mempertahankan hidup sungguh indah dan mengandung kekuatan sepenuhnya. Gerakan itu dapat ditiru dan akan menjadi gerakan silat yang tangguh. Alap-alap itu bergerak dengan tangkas dan garang, serangan paruh dan kedua cakarnya dibantu kibasan kedua sayapnya membayangkan kelenturan, keluwesan, kelicikan dan menghadapi kekerasan dengan kelenturan yang mematikan.
Aji tahu bahwa sekali saja patukan moncong ular itu mengenai leher alap-alap itu, tentu gigitan itu tidak akan dilepaskan lagi yang membahayakan keselamatan nyawa burung itu. Akan tetapi alap-alap itu sungguh tangkas. Setiap patukan ular itu dielakkan sambil ditangkis dengan kibasan sayapnya yang juga kuat. Perkelahian mati-matian itu berlangsung sampai setengah jam lebih. Beberapa kali tubuh alap-alap itu terbelit tubuh ular, akan tetapi selalu terlepas lagi karena dengan paruhnya yang kuat burung itu menyerang dan melukai tubuh ular.
Tubuh ular itu mulai terluka dan berdarah. Akhirnya alap-alap itu berhasil mematuk kepala ular dengan paruhnya. Paruh itu seperti catut baja yang amat kuat, sekali menangkap kepala ular itu tidak dilepaskannya lagi. Ular menggunakan tubuhnya untuk membelit tubuh alap-alap dan dihimpitnya. Akan tetapi burung itu mengguncang-guncang kepala ular yang digigitnya itu dan memukul-mukulnya kepada batu karang yang tajam sehingga kepala ular itu menjadi pecah-pecah berdarah. Libatan itupun mengendur dan akhirnya terlepas dari tubuh alap-alap.
Burung itu lalu mencengkeram perut ular itu dengan cakarnya yang runcing tajam. Matilah ular itu. Burung alap-alap itu masih mencengkeram tubuh ular dengan kedua cakarnya dan diam tak bergerak. Agaknya burung itu hendak melepaskan lelah dan mengumpulkan tenaga beru. Kemudia ia mementang sayapnya dan terbang ke atas, membawa bangkai ular dalam cengkeraman kedua kakinya. Akan tetapi Aji melihat bahwa terbangnya seperti terhuyung-huyung, agaknya beban yang dibawanya itu terlalu berat baginya.
Akhirnya setelah sampai tinggi sekali, Aji melihat betapa burung itu melepaskan bebannya dan bangkai ular itu meluncur jatuh ke air laut yang bergelombang. Agaknya burung itu tidak kuat membawa mangsanya yang terlalu besar dan berat. perjuangan yang sia-sia, pikir Aji. Akan tetapi dia telah menyaksikan sebuah perkelahian yang sangat hebat. Dia memandang terus sampai burung alap-alap itu terbang jauh, menjadi sebuah titik hitam yang lambat laun menghilang.
Aji pulang ke dusunnya. Pikirannya terus membayangkan perkelahian itu. Semalam itu dia mengingat-ingat dan di dalam kamarnya dia menirukan beberapa gerakan alap-alap ketika berkelahi melawan ular. Kedua lengannya bergerak menirukan gerakan sayap burung, kedua tangannya kadang-kadang meluncur ke depan dengan serangan tangan terbuka menirukan gerakan paruh alap-alap itu. Juga kedua kakinya menendang-nendang seperti gerakan cakar. Juga dia menggerakkan tubuh dengan putaran seperti gerakan burung tadi.
Semenjak itu kalau bermain di tepi laut, Aji bersilat menirukan gerakan burung alap-alap. Dia dapat meniru dan merangkai gerakan burung itu menjadi gerakan silat, menyerang, mengelak, menangkis, memukul atau menendang. Juga loncatan-loncatan untuk menghindar dan berbalik menyerang. Karena dia telah memiliki dasar ilmu silat yang dalam maka dia dapat merangkai semacam ilmu silat alap-alap yang tangguh. Selain itu, dia juga terus melatih diri berenang, menyelam dan bermain dalam air seperti ikan. berlatih pernapasan sehingga dia dapat lebih lama bertahan di dalam air.