Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Alap Alap Laut Kidul
Jilid 06
PADA suatu senja Aji masih rebah telentang di atas pasir seperti yang biasa dilakukan. Sudah kampir enam bulan sejak gurunya meninggal dunia dan dia selalu terkenang akan semua nasihat gurunya. Gurunya meninggalkan pesan sebelum wafat. Pesan pertama adalah agar dia mencari putera gurunya yang bernama Sudrajat atau panggilannya Ajat yang ikut dengan ayah tirinya yang bernama Ki Tejo Langit dan hidup di Banten dan mengabarkan tentang kematian gurunya itu.
Adapun pesan kedua dari gurunya adalah agar dia pergi merantau dan memanfaatkan semua ilmu yang telah dipelajarinya untuk kepentingan manusia, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menentang segala macam kejahatan yang dilakukan orang. Juga agar dia membela nusa bangsa, membela Mataram dan membantu Sultan Agung menghadapi bangsa Belanda.
Kemudian pesan ketiga yang dianggap amat penting oleh mendiang gurunya, akan tetapi justeru ini kadang memberatkan hatinya, yaitu agar dia tidak mendendam kepada Raden Banuseta, pembunuh ayahnya! Aji menghela napas panjang. Sebetulnya sejak gurunya meninggal dunia, hatinya ingin sekali pergi merantau. Diapun ingin mencari kakaknya, putera ayahnya yang bernama Hasanudin, selain untuk mengabarkan tentang kematian ayahnya, juga untuk membujuk kakak tirinya itu agar tidak membenci ayah mereka.
Sudah berbulan-bulan dia menahan keinginannya untuk meninggalkan dusun, pergi merantau. Akan tetapi selama ini keinginan itu selalu ditahan-tahannya, bahkan tidak diberitahukan kepada ibunya karena dia merasa tidak tega untuk meninggalkan ibunya hidup seorang diri. Akan tetapi sekarang ibunya tidak sendirian lagi. Ada bibi Juminten di sana, bahkan ada dua orang anak yang mungil dan rajin, yaitu Priyadi dan Wulandari. Ibunya tidak akan kesepian lagi, bahkan mendapatkan bantuan dari ibu dan dua orang anaknya itu! Dia kini dapat pergi merantau, meninggalkan ibunya dengan hati ringan.
Tiba-tiba Aji yang rebah telentang itu melihat titik hitam melayang di angkasa. Alap-alap itu! Dengan pandang matanya dia mengikuti gerakan indah di angkasa. Kini burung itu menukik turun dan melayang lagi berkeliling. Gerakan sayapnya begitu kokoh dan indah, kepalanya mengamati keadaan di bawah, mencari mangsa. Kemudian, burung itu terbang ke utara dan menghilang di balik puncak bukit.
Aji merasa kehilangan dan kesepian. Makin mendesak keinginan hatinya untuk merantau, terbang melayang seperti alap-alap itu. Dia bangkit duduk, mengatupkan mulutnya. hatinya telah mengambil keputusan. Dia harus pergi meninggalkan dusunnya, pergi merantau memenuhi pesan terakhir gurunya. Bangkitlah dia, kemudian dengan langkah tegap dia meninggalkan pantai berpasir dan menuju ke dusun Gampingan, tempat tinggal ibunya. Mereka telah menantinya untuk makan malam.
Melihat nasi dan lauk pauknya telah tersedia di atas meja dan mereka semua belum makan, Aji berkata kepada ibunya, “Ibu, kenapa ibu dan bibi Juminten tidak makan saja dulu?”
“Ah, anak ini! Bagaimana makan bisa enak kalau kami meninggalkanmu? Hayo cepat pergi mandi lalu makan bersama!” tegur Warsiyem sambil tersenyum.
Aji cepat membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah itu, mereka makan bersama. Aji, ibunya, Juminten dan dua orang anaknya. Biarpun lauknya hanya jangan (sayur) asem, sambal trasi, dan tempe goreng, mereka makan dengan sedap dan lahapnya. Sehabis makan, minum air kendi juga terasa segar dan sejuk.
Kita akan selalu dapat menikmati apa yang ada pada kita dan bersyukur atas semua berkah yang dilimpahkan Gusti Allah kepada kita kalau saja kita tidak dikuasai nafsu angkara murka. Nafsu akan selalu menggoda kita, menimbulkan keinginan untuk menjangkau yang lebih sehingga apa yang ada pada kita tidak akan tampak cukup dan menyenangkan. Nafsu keinginan untuk mendapatkan yang lebih, melenyapkan kebahagiaan, melenyapkan kenikmatan saat ini, mendatangkan kekecewaan dan penasaran, menimbulkan rasa iba diri dan duka.
Berbahagialah orang yang dapat menerima dan menikmati segala macam keadaan di mana dirinya berada dan mengucapkan puji syukur atas berkah Yang Maha Kasih. Kalau kita mengerahkan pandangan kita ke bawah, kita akan melihat betapa banyaknya orang yang keadaannya lebih payah daripada kita, mereka yang lebih miskin daripada kita, mereka yang sedang sakit, mereka yang sedang kacau rumah tangganya, mereka yang sedang berduka cita karena kematian atau mengalami musibah.
Melihat semua yang berada di bawah kita itu akan menyadarkan bahwa sesungguhnya kita sepatutnya memuji sukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah atas segala berkahNya. Sebaliknya kalau kita memandang ke atas, kita akan melihat orang-orang yang lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya, tampaknya lebih senang dan lebih berbahagia dari kita, melihat semua yang berada di atas kita itu akan timbul rasa iri hati dan iba diri dan membuat hidup ini tampak mengecewakan.
Kenyataannya adalah, betapapun tinggi keadaan kita, pasti ada yang lebih tinggi dan betapapun rendahnya keadaan kita, ada yang lebih rendah. Orang yang berjalan menunduk akan melihat segala halangan dan rintangan, akan menjadi waspada. Sebaliknya kalau berjalan sambil memandang ke atas, kita mudah tersandung dan terjatuh!
Setelah mereka selesai makan dengan nikmatnya karena mensyukuri keadaan seperti apa adanya. Aji mengajak ibunya bicara berdua saja dalam kamar ibunya. juminten dan dua orang anaknya berada di serambi depan. Janda yang tahu diri ini sengaja menjauhkan diri agar tidak mengganggu percakapan ibu dan anak itu.
“Ibu tentu masih ingat akan pesan terakhir dari mendiang Eyang Guru Ki Tejobudi kepadaku dulu.” Aji memulai. Warsiyem memandang wajah puteranya.
“pesan mana yang kau maksudkan?”
“Eyang guru berpesan agar aku pergi merantau, mencari puteranya yang bernama Sudrajat, kemudian aku harus berjuang membela nusa dan bangsa, membantu Kanjeng sultan Agung. Juga aku ingin mencari kakak tiriku, putera ayah yang bernama Hasanudin itu.”
Warsiyem mengeritkan alisnya. “Akan tetapi dia mengancam ayahmu dan hendak membunuhnya!”
“Justru itulah sebabnya mengapa aku harus menemuinya, ibu. Aku ingin menyadarkan kakakku itu dari kesalahannya, menyadarkan bahwa ayah tidak bersalah, bahwa ayah meninggalkannya karena terpaksa keadaan.”
Kini Warsiyem mengamati wajah puteranya. jantungnya berdebar tegang. Saat seperti ini memang selalu dikhawatirkannya, saat yang tidak akan mungkin lolos. suatu saat tentu ia harus bepisah dari puteranya. Anaknya kini sudah menjadi seorang pemuda dewasa dan tentu saja ia tidak berhak untuk mengikat anaknya seperti memingit seorang anak perawan.
“Aji... engkau... engkau akan meninggalkan ibumu ini?” akhirnya ia bertanya lirih.
Aji memandang ibunya. keduanya saling bertemu pandang. Aji melihat wajah yang dibayangi kekhawatiran dan kesedihan itu. “Kalau ibu mengijinkan...“ katanya lirih pula dan Warsiyem melihat betapa kekecewaan besar membayangi wajah puteranya di balik sikapnya yang berbakti kepadanya itu.
“Aji...“ Ia mengeluh dan kedua orang ibu dan anak itu saling rangkul.
Sambil memeluk ibunya, Aji berkata, “Sudah berbulan-bulan keinginan yang timbul sejak kematian Eyang Guru ini kutahan, ibu. Bagaimanapun juga aku tidak akan membiarkan ibu hidup seorang diri dan kutinggalkan. Akan tetapi, sekarang ada bibi Juminten, ada adik-adik Priyadi dan Wulandari“
Warsiyem menyusut air matanya dan merenggangkan diri, lalu duduk di atas kursi. Ia sudah tenang kembali. “Engkau benar, anakku,“ katanya sambil tersenyum. “Sekarang di sini ada Juminten dan anak-anaknya yang menemani aku dan aku merasa berbahagia sekali karena mereka adalah orang-orang yang baik dan sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Engkau memang harus pergi merantau memenuhi pesan gurumu, Aji. Pergilah dengan hati senang, anakku. Aku akan tinggal di rumah bersama adik Juminten dan dua orang anaknya, dan aku akan selalu mendoakan agar engkau selalu mendapat tuntunan dan perlindungan Gusti Allah.”
“Terima kasih, ibu. Engkau memang seorang ibu yang paling baik dan bijaksana di dunia ini.” kata Aji yang lalu mencium kedua pipi ibunya.
Mulai sore hari itu Aji bersiap-siap. Ibunya sengaja membuatkan beberapa perangkat pakaian baru untuk Aji dan menyerahkan semua simpanan uang yang ada kepada puteranya itu untuk bekal dalam perjalanan. Tiga hari kemudian, aji berkemas hendak berangkat. Dia menggendong pakaiannya yang dibuntal sarung, disampingkan dibelakang pundaknya. “Ibu, aku berangkat, ibu. Mohon doa restu.” kata Aji sambil mencium tangan ibunya.“
Warsiyem memaksa diri tersenyum walaupun air matanya menetes netes. Ia merangkul dan mencium dahi puteranya itu. “Aji, berhati-hatilah, nak. Jangan lupa untuk pulang. Ibu akan selalu menunggu kedatanganmu,” katanya lirih.
“Bibi, tolonglah bibi menjaga dan menemani ibuku agar ia tidak kesepian,” kata Aji sambil berpamit kepada wanita itu.
“Jangan khawatir, anak mas Aji. Aku sudah menganggap ibumu sebagai kakakku sendiri,” kata Juminten.
“Priyadi, engkau satu-satunya laki-laki di rumah ini. Jadilah seorang anak laki-laki yang jantan. Sementara aku pergi, gantikanlah aku untuk menjaga ibuku dan ibumu, juga adikmu,”
Aji lalu mencium pipi Wulandari dan diapun berangkat, diantar sampai ke pintu gerbang dusun itu oleh ibunya, Juminten, Priyadi dan Wulandari. Mereka yang mengantarnya ini baru kembali ke rumah setelah bayangan Lindu Aji tidak tampak lagi dan menghilang di sebuah tikungan jalan, tertutup pohon-pohon.
Setelah berusaha dan melakukan perang selama belasan tahun sejak memegang tampuk kerajaan Mataram, akhirnya Sultan Agung berhasil menaklukkan daerah Jawa Timur dan Madura. Hanya Blambangan saja yang belum dapat ditundukkan. Daerah terakhir yang ditundukkan adalah Surabaya, kemudian Giri. Akan tetapi, sesuai dengan politiknya yang hendak dan mempersatukan semua daerah dan menyusun kekuatan untuk menghadapi musuh utamanya, yaitu Kompeni Belanda.
Sultan Agung sama sekali tidak menghukum para adipati dan bupati daerah-daerah yang ditundukkan itu. Dia menghendaki agar daerah-daerah itu dapat membantu Mataram untuk menghadapi Kompeni Belanda. Karena itu, setelah menundukkan Madura, dia lalu mengangkat putera Bupati Arisbaya yang bernama Prasena menjadi adipati yang menguasai seluruh Madura dengan gelar Pangeran Cakraningrat, berkedudukan di Sampang.
Demikian pula setelah Sultan Agung menundukkan Surabaya yang dipimpin adipatinya, Pangeran Pekik, dia tetap mengangkat Pangeran Pekik menjadi Adipati Surabaya, bahkan menikahkannya dengan puterinya, yaitu Ratu Wandansari. Bahkan ketika dia berhasil menundukkan Sunan Giri, Sultan Agung tetap mengijinkannya untuk memimpin Giri, hanya tidak lagi bergelar Sunan, melainkan Panembahan Giri saja.
Semua ini membuktikan bahwa Sultan Agung bukan hendak memperluas kekuasaannya, melainkan hendak mempersatukan seluruh daerah yang sejak jaman eyangnya menjadi raja Mataram yaitu Panembahan Senopati, telah menjadi daerah kekuasaan Mataram. Penyatuan seluruh daerah ini penting untuk menyusun kekuatan guna menghadapi kekuasaan Kompeni Belanda yang berpusat di Jayakarta yang kini disebut Batavia oleh orang Belanda.
Demikianlah, perang antara balatentara Mataram melawan para penguasa daerah telah padam. Semua daerah, kecuali Blambangan, telah ditundukkan. Perang selesai dan rakyat hidup aman kembali. Beberapa tokoh daerah yang tidak mau tunduk kepada Mataram, melarikan diri dan mengungsi ke Blambangan. Di antara para tokoh yang melarikan diri ke Blambangan ini, tidak mau tunduk kepada Mataram biarpun penguasa daerahnya sudah menakluk, adalah Ki Harya Baka Wulung.
Dia adalah seorang tokoh sakti yang dikenal sebagai datuk di Madura. Usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, namun semangatnya menentang Mataram masih amat kuat. Setelah mati-matian membantu kadipaten Madura ketika melawan pasukan Mataram dan akhirnya pasukan Madura kalah. Ki Harya Baka Wulung mengungsi ke Surabaya. Ketika Surabaya jatuh, dia melarikan diri ke Giri. Di sana diapun membantu Sunan Giri ketika Giri diserbu balatentara Mataram. Akan tetapi Giri jatuh pula dan kembali Ki Harya Baka Wulung melarikan diri, kini dia mengungsi ke Blambangan.
Dengan tubuh tuanya yang kelelahan, lelah lahir batin, dengan hati yang mengandung dendam kebencian terhadap Mataram, Ki Harya Baka Wulung memasuki daerah Kadipaten Blambangan. Biarpun seluruh Madura sudah takluk kepada Mataram, akan tetapi dia pribadi tidak sudi tunduk. Ada dendam sakit hati pribadi dalam hatinya terhadap kerajaan Mataram, setelah putera tunggalnya tewas dalam perang terhadap Mataram. Kini harapan satu-satunya hanya pada Kadipaten Blambangan karena adipatinya belum takluk kepada Mataram dan di sana terdapat seorang kawan baiknya, yaitu Wiku Menak Kuncar, datuk kenamaan di Blambangan.
Ketika Ki Harya Baka Wulung, kakek berusia hampir tjuh puluh tahun yang bertubuh tinggi besar kokoh kuat seperti raksasa, rambut dan kumis jenggotnya yang kaku seperti kawat itu sudah berwarna dua, matanya lebar dan liar, memasuki Blambangan, melangkah kelelahan dengan kepala menunduk, tidak ada orang yang memperhatikannya. Dengan terhuyung-huyung karena kelelahan, Ki Harya Baka Wulung memasuki pekarangan sebuah rumah gedung yang berdiri di pinggir kota raja. Rumah itu berdiri tegak agak terpencil dan keadaannya sunyi sekali. Pekarangan, kebun dikanan kiri dan belakang rumah itu, luas dan ditanami bermacam sayuran.
Ketika dia memasuki pekarangan, tampak seorang laki-laki setengah tua berlarian menyambutnya. Laki-laki berusia lima puluh tahun ini berpakaian seperti seorang petani dan sebetulnya dia bekerja di situ sebagai tukang kebun. Melihat pendatang itu seorang kakek yang asing baginya, tukang kebun bertanya, “Kisanak, siapakah andika dan apakah maksud kunjungan andika ke sini?”
Ki Harya Baka Wulung adalah seorang yang berwatak keras kaku dan biasanya dia dahulu di Madura amat dihormati orang. Bahkan Adipati Madura sendiri amat menghormatinya. Semua bangsawan di Madura takut dan hormat kepadanya. kebiasaan ini membentuk watak keras dan tinggi hati kepadanya. Karena itu, biarpun kini dalam keadaan lari mengungsi dan sengsara, ketika ditegur seorang tukang kebun seperti itu dia menjadi marah. Seorang tukang kebun sudah bersikap tidak hormat kepadanya!
“Hemm, apakah Wiku Menak Koncar berada di rumah?” tanyanya sambil menahan kemarahannya.
“Ada, sang Wiku berada di rumah. Siapakah andika dan ada keperluan apa?”
“Hemm, laporkan saja kepada Wiku menak Koncar bahwa Ki Harya Baka Wulung datang berkunjung!” katanya agak menghardik karena kesabarannya hampir habis.
Tukang kebun itu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya “Tidak mungkin, Kisanak, Sang Wiku sedang bersamadhi kalau hari senja begini, sama sekali tidak berani mengganggunya.”
Marahlah Ki Harya Baka Wulung, “Cerewet benar kau ini! sudahlah, biar aku yang masuk dan mencarinya!” Dia lalu melangkah lebar menuju ke serambi rumah, walaupun langkahnya agak terhuyung karena dia memang sudah lelah sekali. Akan tetapi tukang kebun yang setia itu melompat dan berdiri menghadang di depan kakek itu. Sebagai seorang Blambangan asli, tukang kebun inipun memiliki watak keras, apalagi kesetiaannya menuntut dia untuk membela majikannya.
“Nanti dulu! Kalau hendak menghadap Sang Wiku, harus sabar menanti dulu di sini sampai beliau selesai bersamadhi. Tidak boleh sembarangan memasuki rumah mengganggu Sang Wiku!”
“Hemm, siapa yang melarang?” hardik Ki Harya Baka Wulung.
“Saya yang melarang!” kata tukang kebun itu, sikapnya menantang, dan dia membusungkan dadanya di depan Ki harya Baka Wulung.
“Hemm, keparat!” Tiba-tiba tangan kiri kakek itu menyambar ke depan.
Tukang kebun itu yang agaknya juga pernah mempelajari ilmu kanuragan, menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Agaknya dia memandang rendah kepada penyerangnya yang sudah tua renta dan melangkahkan kakipun sudah terhuyung-huyung itu. Disangkanya dengan tangkisannya itu dia akan mampu membuat kakek itu terpelanting. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika lengannya bertemu dengan tangan kakek itu, seluruh tubuhnya seperti dibakar rasanya dan tubuhnya terlempar sampai dua tombak jauhnya dan terbanting keras ke atas tanah sampai kepalanya terasa pening dan pinggulnya yang terbanting berdenyut-denyut nyeri sekali! Dia mencoba untuk bangkit dan merangkak.
“Tolol, kalau aku tidak ingat bahwa engkau ini adalah pembantu Wiku Menak Koncar, sekarang engkau tentu sudah menjadi mayat!” kata ki Harya Baka Wulung.
Pada saat itu, di pintu serambi rumah itu muncul seorang kakek yang usianya juga sudah hampir tujuh puluh tahun. Tubuh yang sedang dan banyak keriput itu berwarna hitam seperti arang. Pakaiannya mewah seperti seorang bangsawan. Matanya agak sipit dan hidungnya pesek, bibirnya tebal sehingga muka itu agak menyeramkan. Akan tetapi suaranya tinggi seperti suara wanita ketika dia berkata.
“Hei, Jaris, ada apakah ini?” dia melangkah keluar memandang kepada tukang kebun yang masih belum dapat bangkit berdiri. Tukang kebun yang namanya Jaris itu menoleh kepada Ki Harya Baka Wulung, lalu menuding dengan telunjuk kanannya tanpa berani bicara karena merasa takut. Sekarang baru dia menyadari bahwa kakek tua renta raksasa itu adalah seorang yang sakti mandraguna. Kakek berkulit hitam arang itu menoleh dan memandang kepada Ki Harya Baka Wulung. Setelah saling tatap sejenak, kakek itu melebarkan matanya yang sipit, lalu berseru dengan kaget dan girang.
“Kakang Harya Baka Wulung! Andikakah ini?” teriaknya sambil bergegas melangkah maju.
“Adi Wiku Menak Koncar, aku datang untuk minta bantuanmu!” kata Ki Harya Baka Wulung sambil mengembangkan kedua lengan. Mereka berpelukan dan Wiku Menak Koncar, kakek berkulit hitam itu, menggandeng tangan sahabatnya.
“Ah, sahabatku. Beritanya dari Giri sudah sampai ke sini. Kami ikut prihatin. Mari masuk, kita bicara di dalam.”
Mereka berdua lalu memasuki rumah itu. Tukang kebun itu akhirnya dapat bangkit berdiri, menggaruk-garuk kepalanya dan dia bersyukur bahwa dia masih hidup. Kini dia tahu bahwa kalau saja tamu tadi tidak bersahabat baik dengan Sang Wiku, tentu dia sudah mati. Ucapan kakek tadi bukan sekedar omong kosong. Apa lagi setelah dia melihat sikap Sang Wiku terhadap kakek itu. Diapun pergi ke belakang dengan jalan agak terpincang karena pinggulnya masih terasa nyeri. Dia harus cepat-cepat menyuguhkan minuman untuk tamu terhormat itu, untuk menebus kesalahan sikapnya tadi.
Sementara itu, setelah masuk ke ruangan dalam rumah itu, Ki Harya Baka Wulung segera menjatuhkan diri di atas lantai bertilam babut tebal. Dia duduk bersila, memejamkan mata dan mengatur pernapasan untuk memulihkan kekuatannya. dia lelah sekali, lelah lahir batin. Melihat keadaan sahabatnya itu, Wiku Menak Koncar tersenyum dan mendiamkannya saja, tidak mengganggu karena dia tahu bahwa sahabatnya itu sedang menghimpun hawa murni dan memulihkan tenaganya.
Dia sudah lama sekali menjadi sahabat baik Ki Harya Baka Wulung. Bahkan beberapa tahun yang lalu mereka berdua bersama Kyai Sidhi Kawasa tokoh sakti Kerajaan Banten, bekerja sama menentang Mataram untuk membela Surabaya. Ketika itu, daerah-daerah lain di Jawa Timur, kecuali Surabaya, Giri dan Blambangan, sudah jatuh ke tangan Mataram. Mereka bertiga, tokoh-tokoh dari Madura, Blambangan, dan Banten itu membantu Surabaya jatuh juga karena Pangeran pekik bersikap lunak dan akhirnya Pangeran Pekik sebagai Adipati Surabaya malah menjadi mantu Sultan Agung.
Setelah Surabaya jatuh, Ki Harya Baka Wulung melarikan diri ke Giri, Wiku Menak Koncar kembali ke Blambangan dan Kyai Sidhi Kawasa juga kembali ke Banten. Wiku Menak Koncar yang berada di Blambangan sebagai penasihat Adipati Blambangan mendengar akan jatuhnya Giri di tangan Sultan Agung. Dia ikut prihatin namun tak dapat berbuat sesuatu. Maka ketika tanpa disangka-sangka Ki Harya Baka Wulung muncul di pekaranganrumahnya, dia menyambutnya dengan girang. Dia dapat melihat keadaan sahabatnya itu dan tahu bahwa Ki Harya Baka Wulung sedang dalam keadaan lelah lahir batin. Maka dia lalu pergi menemui para abdinya dan memerintahkan mereka mempersiapkan hidangan makanan.
Setelah Ki Harya Baka Wulung menghentikan usahanya untuk memulihkan tenaga dan membuka mata, Wiku Menak Koncar lalu mengajaknya makan bersama. “Kita makan dulu, baru nanti bercakap-cakap.” katanya.
Ki Harya Baka Wulung mengangguk dan mereka makan bersama. Setelah selesai makan, mereka bercakap-cakap di ruangan depan yang lebih luas dan lebih sejuk karena bagian depan ruangan itu terbuka sehingga hawa udara dari luar dapat masuk dengan bebas. Mereka duduk berhadapan di atas kursi menghadapi meja dan di atasnya tergantung sebuah lampu yang cukup terang.
“Aku sudah mendengar bahwa Giri akhirnya jatuh juga ke tangan Sultan Agung. Kakang Harya. Bagaimana hal itu bisa terjadi? bukankah Kanjeng Sunan Giri seorang yang sakti mandraguna? Bahkan andikapun berada di sana membantunya?” Ki Harya Baka Wulung menghela napas dan mengepalkan tinju kanannya dengan gemas.
“Menyebalkan sekali, Adi Wiku! Sebetulnya pasukan Mataram dan Surabaya tidak mungkin dapat mengalahkan Giri. Akan tetapi Sultan Agung licik! Dia mengangkat puterinya, Ratu Wandansari, menjadi senopati. Menghadapi musuh seorang puteri, Kanjeng Sunan Giri menjadi lemah, apalagi mengingat bahwa puteri itu telah menjadi isteri Pangeran Pekik, muridnya yang tersayang. Apalagi Pangeran Pekik juga memihak Sultan Agung yang sudah menjadi mertuanya. Ah, aku merasa menyesal sekali dan dendam pribadiku terhadap Sultan Agung semakin mendalam. Karena itulah maka aku datang mengunjungimu, Adi Wiku. Aku ingin minta bantuanmu untuk membalas dendam kepada Sultan Agung!”
“Akan tetapi bagaimana caranya. Kakang Harya? Kedudukan Mataram semakin kuat dan Kadipaten Blambangan belum siap untuk melakukan srangan ke sana. Kami di sini hanya memperkuat diri untuk melakukan penjagaan dan pertahanan saja.”
“Asalkan andika mau membantuku, Adi Wiku, tentu akan dapat mencari jalan. Marilah andika bantu aku dan kita menyeberang ke Madura. Aku akan membujuk Anakmas Raden Praseno yang kini diangkat oleh Sultan Agung menjadi Adipati Madura dan berkedudukan di Sampang. Dia adalah muridku, tentu akan mendengar bujukanku untuk memberontak terhadap kekuasaan Mataram membalaskan kekalahan lima kabupaten Arisbaya, Pamekasan, Sumenp, Sampang dan Balega.”
Wiku Menak Koncar mengerutkan alisnya, berpikir sejenak, kemudian dia mengangguk-angguk. “Kukira rencanamu itu cukup baik, Kakang Haryo. Kalau benar-benar seluruh kabupaten di Madura serentak bangkit dan melawan, kami dari Blambangan akan mengirim bala bantuan dan dengan mempersatukan tenaga, kurasa kita akan dapat mengalahkan Mataram.”
“Kalau begitu, andika mau membantuku, Adi Wiku?”
Wiku Menak Koncar mengangguk, “Baik, aku akan membantumu, Kakang Harya. Biar kusuruh mempersiapkan perahu yang baik, kita berangkat besok setelah menghadap Adipati Blambangan.”
Harya Baka Wulung menjadi girang sekali. Bangkit kembali semangatnya karena kini muncul harapan baru yang memberi jalan kepadanya untuk membalaskan dendamnya kepada Mataram. Pada keesokan harinya mereka menghadap Adipati Blambangan yang menyatakan persetujuannya akan rencana dua orang datuk itu. Setelah itu berangkatlah mereka berdua, berperahu melalui selat Bali terus ke utara kemudian menyeberangi selat Madura, menuju ke Sampang.
Ki Harya Baka Wulung adalah guru Raden Praseno yang kini menjadi adipati di Madura bergelar Pangeran Cakraningrat. tentu saja kedatangan kedua datuk itu diterima dengan hormat oleh sang adipati. juga Pangeran Cakraningrat menerima Wiku Menak Koncar dengan hormat. Dia mengenal baik kakek itu apalagi Wiku Menak Koncar membawa salam dari Adipati Blambangan. Untuk menghormati dua orang datuk itu Pangeran Cakraningrat mengadakan perjamuan makan.
Setelah selesai perjamuan, mereka bercakap-cakap dalam sebuah ruangan tertutup karena Ki Harya Baka Wulung minta kepada bekas muridnya itu untuk membicarakan urusan penting secara rahasia. Setelah mereka bertiga duduk di ruangan tertutup Ki Harya Baka Wulung menceritakan rencananya, mengajak sang adipati untuk menghimpun kekuatan seluruh kabupaten di Madura untuk memerangi Mataram.
“Jangan khawatir, Anakmas Adipati, Sang Adipati Blambangan juga sudah siap untuk membantu gerakan kita. Kalau seluruh kekuatan di Madura dihimpun, kemudian dibantu oleh pasukan Blambangan, mustahil kita tidak mampu mengalahkan Mataram.” Ki Harya Baka Wulung menutup bicaranya.
Sejak tadi Pangeran Cakraningrat hanya mendengarkan saja. Walaupun hatinya merasa terkejut bukan main, namun dia bersikap tenang dan hanya mendengarkan sampai bekas gurunya itu berhenti bicara. Setelah itu baru dia berkata. “Akan tetapi, Bapa Guru, itu berarti pemberontakan terhadap Mataram! Tidak mungkin saya memberontak terhadap Kanjeng Sultan Agung! Beliau tidak berniat menguasai Madura, melainkan hendak mempersatukan semua daerah untuk menghadapi Kumpeni Belanda. Untuk mempersatukan seluruh Madura beliau malah mengangkat saya menjadi Adipati Madura. Bagaimana sekarang Bapa Guru menganjurkan saya untuk memberontak terhadap Kanjeng Sultan Agung?”
“Heh-heh-heh!” Ki Harya Baka Wulung memaksa diri tertawa sungguhpun di dalam hatinya dia marah mendengar ucapan bekas murid yang kini menjadi adipati itu. “Anakmas Praseno! Semua itu hanya siasat licik Sultan Agung saja! Lupakah anakmas betapa banyaknya sanak keluarga kita yang tewas ketika Mataram datang menyerbu? Bukankah banyak para paman dan saudara anakmas yang juga terbunuh? Sultan Agung mengangkat anakmas sebagai adipati agar hanya anakmas melupakan semua itu! Lain waktu kalau saatnya tiba, tentu anakmas yang akan dibunuhnya. Lebih baik kita mendahului daripada didahului oleh raja Mataram yang kejam itu!”
Pangeran Cakraningrat menghela napas dalam. “Bapa Guru, urusan ini bukanlah urusan kecil dan sepele. Harus dipikirkan masak-masak dan disepakati oleh semua bupati. Saya kira tidak ada bupati yang akan menerima dan menyetujui pemberontakan, Bapa Guru. Maafkan saya, saya tidak mau menyengsarakan rakyat Madura dengan lain peperangan lagi. Kanjeng sultan Agung bukanlah musuh kita, melainkan pemimpin kita untuk menghadapi keserakahan Kumpeni Belanda.”
Bukan main marahnya hati Harya Baka Wulung mendengar ucapan bekas muridnya itu. Dia masih mencoba untuk membujuk, dibantu oleh Wiku menak Koncar, akan tetapi sama sekali kesetiaan Pangeran Cakraningrat terhadap Sultan Agung tidak goyah. Dengan putus harapan dan marah Ki Harya Baka Wulung mengajak Wiku Menak Koncar untuk meninggalkan Sampang.
“Bagaimana kalau kita mencoba untuk membujuk Pangeran Pekik, adipati di Surabaya?” Wiku Menak Koncar berkata kepada Ki Harya Baka Wulung ketika perahu mereka sudah meninggalkan pantai Madura dan memasuki selat Madura.
Ki Harya Baka Wulung yang muram wajahnya itu menjawab kesal. “Pangeran Pekik? Seperti mengharapkan matahari bersinar di malam hari! Tidak mungkin sama sekali. Setelah dia menikah dengan Ratu Wandansari, menjadi mantu Sultan Agung, mana mungkin dia diajak memberontak terhadap mertuanya?”
“Kalau begitu, apa yang akan andika lakukan sekarang, Kakang Harya? Kalau sudah tidak ada sesuatu lagi yang dapat kubantu, lebih baik aku kembali saja ke Blambangan,” kata Wiku Menak Koncar.
“Nanti duku, Adi Wiku,” kata Ki Harya Baka Wulung. Dia tampak mengerutkan alisnya, termenung, termenung dan mengolah pikirannya. Kemudian dia mengepal tangan kanannya dan memukul pahanya sendiri. “Ah, inilah jalan terbaik! Kita harus dapat memberi pukulan yang tepat sekali untuk menghancurkan hati Sultan Agung dan melemahkan kedudukannya, merenggangkan hubungan Mataram dengan Surabaya dan Giri! dengan demikian, kita dapat membalas dendam kepada Sultan Agung!”
“Bagaimana caranya?” Tanya Wiku Menak Koncar, ingin tahu sekali.
“Kita harus membunuh Ratu Wandansari!”
“Membunuh Ratu Wandansari? Mengapa? Dan apa untungya bagi kita?”
“Adi Wiku, jatuhnya Surabaya dan Giri karena puteri Sultan Agung itu. Pangeran Pekik menjadi lemah dan perlawanannya berhenti karena dia dinikahkan dengan Ratu Wandansari. Kemudian Giri jatuh karena Ratu Wandansari yang menjadi senopati memimpin pasukan menyerbu Giri. Sekarang, hubungan antara Surabaya dan Mataram menjadi kuat karena ada Ratu Wandansari dan Giri juga tunduk karena melihat Surabaya juga tidak lagi memusuhi Mataram. Nah, kalau Ratu Wandansari dibunuh, selain hati sultan Agung menjadi hancur karena kehilangan puterinya yang amat dikasihi, juga Pangeran Pekik tidak terikat lagi kepada Mataram. Setelah begitu, tentu Surabaya dan Giri siap untuk menentang Mataram. Bukankah siasat ini baik sekali?”
Wiku Menak Koncar mengangguk-angguk dan memandang kepada sahabatnya dengan kagum. “Hebat! Siasat itu memang bagus sekali, Kakang Harya. akan tetapi, bagaimana kita akan dapat membunuh Ratu Wandansari? Ia adalah seorang wanita sakti mandraguna.”
Ki Harya Baka Wulung tersenyum lebar. “Aku tahu bahwa Ratu Wandansari adalah murid mendiang Bhagawan Sindusakti yang dulu menjadi ketua perguruan silat Jatikusumo. Akan tetapi betapapun saktinya, tidak mungkin dia dapat mengalahkan andika atau aku, apalagi kalau kita berdua melawannya.”
“Akan tetapi, Kakang Harya. Ia telah menjadi isteri Pangeran Pekik. Ia tentu berada di istana Kadipaten Surabaya dan terjaga kuat. Bagaimana kita mendekatinya, apalagi membunuhnya?” “Inilah yang harus kita selidiki, Adi Wiku. Kita selidiki ke Surabaya dan begitu ada kesempatan, kita bertindak. Bagaimana? apakah andika masih mau membantuku?”
“Baiklah, aku akan membantumu, Kakang Harya.”
“Bagus, terima kasih, Adi Wiku.”
“Tidak perlu berterima kasih karena kalau usaha kita berhasil berarti suatu keuntungan besar pula bagi Kabupaten Blambangan. Mereka lalu memerintahkan anak buah untuk mengarahkan perahu ke Surabaya.
Setelah meninggalkan dusun Gampingan, Aji berhenti di persimpangan jalan, meragu sejenak. Dia merasa bingung harus mengambil jurusan mana. Biarpun ia mengemban tugas untuk mencari putera mendiang gurunya yang berada di Banten, yaitu daerah yang menurut gurunya berada jauh di barat, juga keinginannya mencari Hasanudin putera ayahnya mengharuskan dia pergi ke daerah Galuh di utara lalu ke barat, namun keinginannya merantau dapat dilakukan ke arah mana saja.
Tiba-tiba teringatlah dia akan burung alap-alap yang sering dilihatnya di atas pantai Laut Kidul. Teringat akan ini, langkahnya membawanya ke selatan, ke arah laut. Tak lama kemudian Aji Sudah berdiri di atas pantai berpasir, memandang ke arah laut yang begelombang. Ombak besar bergulung-gulung, memanjang seperti naga, kepala ombak yang putih itu berkejaran, lalu bertumbukan dan pecah menimbulkan suara menggelegar. Air laut bergerak dan bergelora, siang malam tak pernah berhenti.
Aji menengadah, memandang ke angkasa, mencari-cari. Tiba-tiba dia tersenyum dan matanya bersinar-sinar karena dia melihat apa yang dicarinya. Titik hitam melayang-layang di antara awan itu. Alap-alap Laut Kidul, demikian dia memberi nama burung yang telah menjadi kesayangannya itu. Titik hitam itu semakin membesar, semakin turun sehingga akhirnya dia dapat melihat dengan jelas. Alap-alap yang gagah perkasa, melayang-layang berputaran seolah-olah menyambutnya. Kemudian burung itu terbang pergi ke arah timur.
Aji mengangguk-angguk. “Baiklah, Alap-alap Laut Kidul, aku akan mengikuti ke arah mana engkau terbang!” katanya.
Burung itu seolah memberi prtunjuk kepadanya bahwa dia harus memulai perantauannya ke arah timur. Mulailah Aji dengan perjalanannya. Dia menuju ke timur. Naik turun bukit-bukit yang seolah tiada habisnya itu. Dari ketinggian bukit-bukit itu dia kadang dapat melihat Laut Kidul. Dari jauh tampak tenang membiru. Diam dan tenang. Padahal dia tahu benar bahwa laut itu tidak pernah diam. Berhari-hari Aji melakukan perjalanan melalui Pegunungan Kidul atau Pegunungan Seribu yang memanjang dari barat ke timur itu. Di waktu malam dia bermalam di dusun yang dilewatinya, kadang juga terpaksa harus bermalam di sebuah gua yang gelap.
Beberapa hari kemudian tibalah dia di sebuah dusun di tepi pantai. Dusun Wonocolo yang terletak dipantai teluk Panggul. Karena hari telah menjelang senja, Aji mengambil keputusan untuk bermalam di dusun itu. Pada saat dia memasuki dusun itu, tiba-tiba tampaklah olehnya seekor burung alap-alap melayang-layang di angkasa. Aji merasakan jantungnya berdebar gembira. Entah bagaimana, setiap kali melihat burung alap-alap terbang di angkasa, penglihatan itu begitu akrab dalam hatinya.
Penglihatan yang tidak asing. seolah-olah yang melayang-layang itu adalah alap-alap yang dulujuga, yang suka melayang di atas pantai berpasir di sebelah selatan dusun tempat lahirnya, alap-alap yang pernah dilihatnya berkelahi melawan ular dan memenangkan perkelahian itu. Alap-alap yang dengan perkelahian itu telah mengajarkan ilmu tata kelahi yang baru kepadanya. Dan kini alap-alap itu terbang pergi, menuju ke utara! Seolah menjadi pertanda baginya bahwa perjalanan selanjutnya adalah utara.
Demikianlah, setelah bermalam di rumah seorang petani tua di dusun Wonocolo itu selama satu malam, pada keesokan harinya Aji melanjutkan perjalanannya. Kini dia melakukan perjalanan ke arah utara! Dia merasa dirinya seekor burung alap-alap yang terbang bebas di udara, menuju ke manapun hati dan kakinya membawanya. Beberapa hari kemudian tibalah dia di daerah Caruban. Pada saat itu matahari sedang panas-panasnya dan tepat beradadi atas kepala. Aji melepas lelah dan duduk di bawah sebatang pohon dadap.
Tempat itu sejuk sekali karena terlindung banyak pohon yang tumbuh di tepi jalan. Agaknya dia telah tiba di jalan raya yang membentang dari timur ke barat. Simpang tiga itu berada di daerah berhutan dan keadaan di situ sepi, agaknya jauh dari dusun. Padahal perutnya sudah terasa lapar. Dia harus bisa menemukan sebuah dusun untuk dapat memperoleh makanan.
Tiba-tiba dia mendengar suara orang dari arah timur. Dia menoleh dan tak lama kemudian, dari jalan yang menikung itu muncul tujuh orang laki-laki yang sedang berjalan menuju ke barat. Entah mengapa, melihat tujuh orang laki-laki itu, timbul perasaan curiga dan tidak enak dalam hati Aji. Maka dia cepat bersandar ke batang pohon itu dan dia memejamkan kedua matanya, pura-pura tertidur.
Dengan sedikit membuka matanya, melalui bulu matanya dia dapat memperhatikan mereka. Yang menarik perhatiannya adalah dua orang kakek yang berjalan di depan dalam rombongan tujuh orang itu. seorang kakek bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Rambut dan brewoknya kaku seperti kawat, sudah berwarna dua. Matanya lebar dan liar. Kepalanya memakai kain pengikat kepala wulung. Kakek yang tampak gagah dan kokoh kuat ini walaupun usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, membawa sebatang keris dengan warangka dan gagang terukir indah, terselip di pinggangnya.
Kakek kedua yang berjalan di samping kakek pertama, juga menarik perhatian Aji. Usia kakek ini sebaya dengan kakek petama. tubuhnya sedang saja, akan tetapi kulitnya amat menarik perhatian karena kulit itu hitam sekali, seperti arang. Pakaiannya mewah dan wajahnya buruk dengan matanya yang sipit, hidungnya yang pesek dan bibirnya yang tebal. Kakek ini membawa sebatang senjata ruyung atau penggada yang tergantung di pinggang kirinya. Juga kakek kedua ini, biarpun tubuhnya tidak sekokoh kakek pertama, menunjukkan kegagahan.
Sikap dan pandang mata dua orang kakek yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun ini menunjukkan bahwa mereka “berisi”, yaitu dua orang yang memiliki kesaktian. Lima orang laki-laki yang berjalan di belakang mereka juga merupakan orang-orang yang bersikap gagah. Usia mereka dari empat puluh sampai lima puluh tahun dan Aji melihat keanehan pada pakaian mereka. Lima orang itu mengenakan baju dan celana hitam.
Mereka membiarkan baju itu terbuka di bagian dada, dan celana hitam mereka sampai ke bawah lutut. Yang menarik adalah ikat pinggang mereka. Ikat pinggang itu merupakan kolor yang besar, hampir sebesar lengannya, panjang hampir menyentuh tanah dan bermacam-macam warnanya. Aji yang belum pernah keluar dari dusun tempat lahirnya, paling jauh dia hanya pergi ke tepi laut, dan sama sekali belum berpengalaman. sama sekali tidak tahu bahwa lima orang itu adalah para warok, yaitu jagoan dari daerah Ponorogo.
Ketika dalam perjalanannya beberapa hari yang lalu dia melewati Ponorogo, dia juga melihat banyak kaum pria yang berpakaian seperti lima orang itu, akan tetapi karena tidak pernah terjadi sesuatu, diapun tidak tahu siapa mereka, sama sekali tidak mengira bahwa mereka adalah para jagoan dan bahwa kolor yang besar itu merupakan senjata mereka yang ampuh. Ketika rombongan itu tiba di dekat tempat Aji tersandar pada batang pohon, dua orang kakek itu menghentikan langkah mereka. Lima orang itupun berhenti dan mereka mengamati Aji dengan penuh perhatian.
Kemudian terdengar kakek berkulit hitam arang itu berkata dengan suara tinggi seperti suara wanita. Ah, untuk apa perhatikan dia? Dia hanya seorang bocah yang kelelahan dan mungkin kelaparan. Hayo jalan terus dan kita mencari tempat baik untuk menghadang.”
Logat bicara kakek itu terdengar aneh bagi Aji, namun dia masih dapat mengerti artinya. Tujuh orang itu melanjutkan perjalanan mereka. Hati Aji sudah tergerak dan dia tertarik sekali. Sikap mereka itu tidak seperti orang-orang biasa yang kebetulan lewat di jalan ini. Mereka tentu mempunyai niat tertentu. Kakek hitam tadi bicara tentang penghadangan! Jangan-jangan mereka mempunyai niat buruk terhadap orang yang akan dihadang!
Setelah rombongan itu menghilang di tikungan jalan, Aji cepat bangkit, menggendong lagi buntalan pakaiannya dan diapun menyelinap di antara pohon-pohon dan membayangi rombongan itu dari jarak agak jauh sambil bersembunyi di balik pohon-pohon. Setelah tiba di bagian hutan yang lebat, tujuh orang itu berhenti dan mereka lalu berpencar, bersembunyi di balik pohon besar atau semak-semak sehingga tidak tampak dari jalan.
Melihat ini, berdebar rasa jantung Aji. Dugannya tidak keliru. mereka itu tentu berniat buruk terhadap orang yang sedang mereka hadang. Dia pun bersembunyi di balik semak belukar dan melakukan pengintaian. Dua orang kakek itu bukan lain adalah Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar. Seperti kita ketahui, dua orang datuk dari Madura dan Blambangan ini telah gagal membujuk Pangeran Cakraningrat untuk memberontak terhadap Mataram.
Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung tidak putus asa. Dendamnya terhadap Mataram sedemikian besarnya sehingga dia tidak akan berhenti sebelum dapat membalas dendam. Dia berhasil membujuk Wiku Menak koncar, untuk membantunya mencari kesempatan untuk membunuh Ratu Wandansari, puteri Sultan Agung atau isteri Pangeran Pekik dalam usahanya membalas kematian anaknya.
Dengan membunuh Ratu Wandansari, dia dapat menghancurkan hati Sultan Agung dan sekaligus merenggangkan hubungan antara Mataram dan Surabaya, juga Giri. Beberapa lamanya mereka menanti dan mengintai kesempatan dan sekarang kesempatan itu tiba! Dari beberapa orang anak buah yang mereka sebar di Kadipaten Surabaya untuk melakukan penyelidikan, mereka mendengar bahwa pada hari itu Ratu Wandansari akan melakukan perjalanan menuju Mataram, seorang diri, tidak dengan Pangeran Pekik.
Dan seperti biasanya, puteri yang digdaya, sakti mandraguna dan memiliki kelebihan, mampu melindungi diri sendiri. Mendengar berita ini, Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar menjadi girang bukan main. Saat yang ditunggu-tunggu selama berpekan-pekan itu akhirnya tiba. Kesempatan itu akhirnya terbuka. Mereka cepat mendahului perjalanan sang puteri dan di daerah Madiun mereka berhasil menemui lima orang warok bersaudara yang terkenal sebagai Lima Macan Nganjuk.
Lima orang jagoan bersaudara ini berasal dari Ponorogo dan dulu pernah memperdalam aji kanuragan dari Ki Harya Baka Wulung sehingga mereka boleh disebut murid-murid datuk ini, walaupun mereka tidak menyerap seluruh kepandaian Ki Harya Baka Wulung, melainkan hanya memperdalam ilmu mereka sendiri menurut petunjuk datuk itu. Akan tetapi hal ini sudah cukup untuk membuat mereka menaati perintah Ki Harya Baka Wulung yang mereka anggap sebagai guru mereka. Ketika datuk itu minta bantuan mereka, dengan senang hati lima orang warok itu menyanggupi dan berangkatlah mereka bersama dua orang datuk itu, mencari tempat penghadangan yang baik di dalam hutan daerah Caruban.
Demikianlah pada siang hari itu mereka menanti dan menghadang di dalam hutan sambil bersembunyi. Mereka telah memperhitungkannya dengan seksama bahwa kereta sang puteri pasti akan lewat di tempat itu pada siang hari ini. Mereka tahu dengan pasti bahwa perhitungan mereka tidak akan meleset dan Ki Harya Baka Wulung sudah menggosok-gosok kedua telapak tangannya membayangkan bahwa sebentar lagi dia akan berhasil membalas dendam kematian puteranya!
Kurang lebih satu jam kemudian, terdengarlah derap kaki kuda dan roda kereta datang dari arah timur. Aji yang berada di sebelah timur gerombolan yang menghadang kereta itu dapat melihat lebih dulu rombongan yang datang dari arah timur itu. Sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda berjalan di depan, kusirnya seorang laki-laki setengah tua yang mengenakan pakaian khas sais kadipaten. Yang duduk dalam kereta itu tidak tampak karena tirai pintu kereta itu tertutup. Di belakang kereta terdapat dua belas orang prajurit menunggang kuda. Rombongan itu berjalan sedang saja, tampaknya tidak tergesa-gesa. Mungkin perjalanan lambat itu dilakukan agar kereta tidak terlalu terguncang.
Aji memandang dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Dia tidak tahu siapa yang berada dalam kereta akan tetapi dapat menduga bahwa mungkin sekali rombongan inilah yang dihadang oleh tujuh orang itu. Bagaimanapun juga, hatinya merasa agak lega melihat bahwa kereta itu dikawal dua belas orang prajurit berkuda yang tampaknya gagah dan kuat. Dengan hati-hati dia menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak untuk mendekat agar dapat melihat lebih jelas.
Perhitungan Ki Harya Baka Wulung dan kawan-kawannya tidaklah salah. Ratu Wandansari yang berada dalam kereta yang dikawal selosin prajurit itu. Siang itu hawanya panas sekali dan perjalanan jauh itu melelahkan, maka Ratu Wandansari yang duduk dalam kereta itu mengantuk dan melenggut. Sedikitpun ia tidak merasa khawatir akan menemui halangan dalam perjalanan. Ia adalah puteri Sultan Agung dan isteri Pangeran Pekik. Siapa yang akan berani mengganggunya? Pula, andaikata ada yang begitu berani mengganggu, ada selosin perajurit pilihan mengawalnya, dan dia sendiri tidak takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun.
Tiba-tiba sais kereta itu menahan empat ekor kuda penarik kereta. Karena dia menarik kendali secara mendadak, maka kereta berhenti dengan tiba-tiba pula dan hal ini membuat Ratu Wandansari tersentak bangun dari keadaan setengah tidur. Dua belas orang prajurit berloncatan turun dari atas kuda mereka dan berlari ke depan kereta untuk melindungi sang puteri. Mereka melihat tujuh orang tiba-tiba berloncatan dari kanan kiri jalan dan berdiri menghadang dengan sikap mengancam.
Aji sudah menyelinap cukup dekat dan dia menonton dengan hati tegang. Dia menghadapi pertentangan, mungkin pertempuran kedua pihak yang tidak dikenalnya, tidak tahu siapa di antara kedua pihak itu yang benar atau salah, siapa yang harus dibantu atau ditentang.
Perwira pasukan pengawal itu, seorang laki-laki tinggi tegap berkumis tebal seperti Raden Gatutkaca, menghadapi tujuh orang itu dan berkata dengan suara lantang berwibawa. “Siapa kalian, berani mati menghadang perjalanan rombongan kami! Apakah kalian tidak tahu siapa yang berada dalam kereta? Beliau adalah Gusti Ratu Wandansari, puteri dari Kanjeng Gusti Sultan Agung, garwa (isteri) Pangeran Pekik Adipati Surabaya!”
“Heh-heh-heh, perwira precil (anak katak)! Apakah matamu sudah buta sehingga tidak mengenal lagi siapa kami berdua?” Ki Harya Baka Wulung membentak setelah tertawa mengejek.
Sementara itu, dalam pengintaiannya, Aji terkejut bukan main ketika mendengar pengakuan perwira itu bahwa yang berada di dalam kereta adalah Ratu Wandansari, puteri Sultan Agung atau isteri Pangeran Pekik. Nama-nama ini sudah didengarnya baik-baik dari mendiang gurunya. bahkan gurunya juga memberitahu kepadanya bahwa yang namanya Ratu Wandansari itu adalah puteri Sultan Agung yang selain amat cantik, juga sakti mandraguna walaupun kesaktiannya tentu saja belum mampu menyamai kesaktian Sultan Agung sendiri. Dan mendiang gurunya dulu memesan agar dia mengabdi dan membantu Sultan Agung. Dengan sendirinya sekarang dia harus pula membantu Ratu Wandansari kalau sekiranya puteri itu membutuhkan bantuan. Sekarang dia tahu di pihak siapa dia harus berdiri.
Kini agaknya perwira pasukan pengawal itu baru mengenal dua orang datuk yang dulu pernah membantu Pangeran Pekik ketika Surabaya berperang melawan Mataram. Dia segera memberi hormat dengan membungkuk dan berkata kaget dan heran. “Ah, kiranya Paman Harya Baka Wulung dan Paman Wiku Menak Koncar! Maafkan kalau saya tidak mengenal paman berdua tadi. Akan tetapi apa kehendak paman menghadang perjalanan kami yang mengawal Gusti Puteri Wandansari?”
“Sudah, minggirlah! Kami tidak ingin berbicara dengan orang-orang kecil macam kalian! Minggir! Kami hendak bicara langsung dengan puteri Wandansari!” kata Ki Harya Baka Wulung dengan lagak angkuh.
Pada saat itu, tirai kereta itu tersingkap dari dalam dan keluarlah seorang wanita dari dalam kereta. Aji memandang dengan mata terbelalak kagum. Belum pernah selama hidupnya dia melihat seorang wanita yang demikian anggun. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Pakaiannya indah. tubuhnya ramping padat. Kepala dan tubuhnya tegak ketika ia berdiri sehingga tampak gagah dan berwibawa. Rambutnya hitam panjang digelung dan dihias tusuk sanggul dari emas permata. Sepasang matanya tajam dan mengandung wibawa yang kuat. Sebatang pedang dengan sarung berukir indah tergantung di punggungnya, membuat wanita itu tampak semakin gagah.
Aji yang selama ini hanya bertemu dengan wanita dusun yang sederhana, tentu saja kini merasa seolah-olah sedang bermimpi dan bertemu dengan seorang puteri kahyangan atau bertemu dengan tokoh Srikandi, wanita perkasa dalam cerita wayang!
Ketika wanita itu bicara, suaranya merdu namun lantang dan berwibawa. “Kiranya Paman Harya Baka Wulung dan Paman Wiku Menak koncar yang menghadang perjalananku. Seingatku, kami tidak mempunyai urusan apapun dengan andika berdua! Ada kepentingan apakah paman berdua menghadang perjalananku?”
“Heh-heh-heh, Ratu Wandansari! Andika harus mati di tanganku untuk menebus dosa ayahmu, Sultan Agung!” Setelah berkata demikian, Ki Harya Baka Wulung memberi isyarat kepada lima orang warok yang sudah siap siaga. Lima orang warok itu sambil memegangi kolor, memutar senjata itu dan menerjang maju.
Akan tetapi perwira yang memimpin pasukan pengawal tidak tinggal diam. Dia meneriakkan aba-aba dan para perajurit segera menyambut terjangan lima orang warok itu, menggunakan pedang mereka. Pasukan pengawal yang terdiri dari tiga belas orang berikut perwira tadi memang merupakan pengawal istimewa yang bersenjatakan pedang. Mereka rata-rata pandai bersilat pedang dan tangguh sehingga para warok itu bertemu dengan lawan yang cukup tangguh. Melihat ini, Wiku Menak Koncar mengambil ruyungnya dan dengan penggada ini dia membantu lima orang warok menghadapi pengeroyokan para perajurit pengawal.
“Ratu Wandansari, bersiaplah untuk mati di tanganku!” bentaknya sambil melompat ke depan puteri itu.
“Harya Baka Wulung keparat kau! Dahulu kanjeng rama masih mengampunimu, tidak membunuhmu dan membiarkan engkau lari dari Surabaya bersama Wiku Menak Koncar. Juga ketika aku memimpin pasukan menundukkan Giri, aku tidak menyuruh pasukan menangkapmu, membiarkan engkau melarikan diri mengingat engkau seorang tua yang dihormati di Madura! Akan tetapi hari ini engkau bertindak khianat dan curang, menghadangku di tengah hutan! Jangan mengira bahwa aku takut menghadapimu!”
“Babo-babo! Baru puas rasa hatiku kalau sudah dapat membunuhmu!” teriak Ki Harya Baka Wulung sambil menyerang dengan tusukan kerisnya. Serangannya dahsyat bukan main karena tenaga tusukannya diperkuat tenaga sakti, didorong gerengan seperti seekor katak buduk. Akan tetapi dengan gerakan tangkas sekali, Ratu Wandansari sudah melompat ke belakang dan begitu tangan kanannya meraba punggung, tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu ia sudah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar mengkilap. Ki Harya Baka Wulung menerjang lagi, menyerang dengan kerisnya. Sekali ini, Ratu Wandansari menggerakkan pedangnya menangkis.
“Wuuuutttt... trang...!” Pedang bertemu keris. Bunga api berpijar menyilaukan mata akibat benturan dua senjata yang didorong tenaga sakti dahsyat itu membuat sang puteri terhuyung ke belakang. Ternyata ia masih kalah kuat! Akan tetapi gerakannya trengginas sekali sehingga ketika Ki Harya Baka Wulung mendesak, ia sudah mampu mengendalikan diri dan mempergunakan kegesitannya dan menghindarkan serangan susulan. Mulailah puteri perkasa ini bersilat dengan ilmu pedang Kartika Sakti, sebuah ilmu pedang yang amat ampuh, yang dipelajarinya dari mendiang Resi Limut Manik, pertapa di puncak Semeru.
Terjadilah pertempuran yang amat hebat antara Ki Harya Baka Wulung itu melawan Ratu Wandansari. Sebetulnya, sang puteri masih kalah dalam hal tenaga sakti dan pengalaman bertanding, akan tetapi karena ia memiliki ilmu pedang yang amat ampuh itu, maka untuk sementara ia mampu mengimbangi serangan datuk dari Madura itu.
Aji menonton pertempuran dengan hati tegang. Dia melihat betapa tiga belas orang prajurit, dibantu pula oleh sais kereta yang ternyata juga seorang yang digdaya, menggunakan cambuknya sebagai senjata, tetap saja mereka kewalahan menghadapi Wiku Menak Koncar dan lima orang warok. Terutama sekali Sang Wiku amat hebat sepak terjangnya. Penggada di tangannya itu amat ampuh.
Setiap kali ada perajurit berani menangkis sambaran ruyungnya, perajurit itu tentu terpental dan terpelanting! Juga amukan lima orang warok itu amat ganas. Untung bahwa para perajurit itu merupakan pasukan yang dapat bekerja sama dengan baik karena terlatih sehingga mereka dapat saling bantu dan sebegitu lama masih mampu menandingi amukan Wiku Menak Koncar dan lima orang warok itu. Akan tetapi menurut pandangan Aji, kalau pertempuran itu dilanjutkan, akhirnya tentu para perajurit akan kalah.
Demikian pula, sang puteri agaknya akan sulit mengalahkan kakek tinggi besar yang amat tangguh itu. Akan tetapi dia masih merasa ragu untuk keluar membantu puteri itu. Gurunya pernah menasihatinya agar dia tidak sembarangan mencampuri urusan orang lain dan juga banyak pendekar atau kesatria yang merasa tidak senang dibantu dalam perkelahian, apalagi kalau dia belum terancam oleh lawan.
Pada saat itu terdengar seruan-seruan lantang dan penuh daya getaran. Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar mengeluarkan ilmu mereka yang dahsyat. Datuk Madura itu dalam keadaan tubuh direndahkan mengembangkan kedua lengannya lalu mendorong ke depan. Dari gerakannya itu tiba-tiba saja tampak asap hitam mengepul tebal menyerang ke arah sang puteri. Itulah Aji Kukus Langking yang amat hebat. Ratu Wandansari adalah seorang wanita yang sakti mandraguna. Ia maklum akan bahayanya serangan yang menggunakan tenaga sakti dan kekuatan sihir itu. Iapun lalu mengerahkan tenaga sakti dan mendorong dengan kedua tangannya, menggunakan Aji Gelap Musti.
“Aji Kukus Langking... !” Ki Harya Baka Wulung berseru dan memperkuat tenaga.
“Aji Gelap Musti!” Ratu Wandansari juga berteriak melengking. Dua tenaga sakti bertemu dan akibatnya, sang puteri terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung. Jelas bahwa ia kalah kuat dalam pertandingan adu tenaga sakti ini.
Sementara itu, dalam saat yang hampir bersamaan, Wiku Menak Koncar juga mendorongkan kedua tangannya ke depan sambil berseru nyaring. “Aji Bayu Bajra...!”
Begitu dia berseru dan kedua tangannya mendorong, ada angin yang amat kuat menyambar ke arah para perajurit pengawal. Demikian kuatnya dorongan angin ini sehingga lima orang perajurit terpelanting dan terguling-guling! Tentu saja rekan-rekannya menjadi panik sehingga mereka terdesak mundur.
Melihat Ratu Wandansari terhuyung, Ki Harya Baka Wulung menjadi girang sekali. Saatnya tiba baginya untuk membunuh sang puteri. Dia sudah menyarungkan kerisnya kemudian dia melompat ke depan, berjongkok dan mendorongkan kedua tangan ke arah Ratu Wandansari, dari dalam perutnya yang menjadi gendut sekali itu keluar bunyi “kok-kok-kok!” nyaring sekali dan mulutnya berteriak nyaring lagi. “Aji Cantuka Sakti...!!”
Melihat hawa pukulan menyambar dahsyat, Ratu Wandansari kembali menyambut dengan Aji Gelap Musti, akan tetapi tubuhnya masih terhuyung.
“Wuuuutttt... blarrrr...!!” Tubuh Ki Harya Baka Wulung terpental ke belakang. Dia terbelalak kaget melihat betapa pukulan mautnya tadi disambut sepasang tangan yang amat kuat. Ketika dia memandang, dia melihat seorang pemuda berpakaian seperti seorang petani dusun berdiri di depannya. Akan tetapi pemuda yang tadi menangkis pukulannya itu seperti tidak memperdulikannya.
Pemuda itu bahkan menghadapi Ratu Wandansari dan berkata dengan sikap hormat. “Maafkan kalau saya mengganggu dan terpaksa mencampuri, Gusti Puteri. Saya tidak mungkin membiarkan kakek itu membunuh paduka.”
Ratu Wandansari memandang heran dan kagum, kemudian ia melirik ke arah pasukan pengawal yang terdesak oleh Wiku Menak Koncar dan lima orang warok setelah datuk Blambangan itu mengeluarkan ajinya yang mendatangkan angin kuat. “Kisanak, andika berani melawan Ki Harya Baka Wulung?” tanyanya cepat.
“Saya berani!” jawab Aji.
“Kalau begitu, wakili aku dan lawanlah. Aku harus membantu pasukan pengawal.”
Adapun pesan kedua dari gurunya adalah agar dia pergi merantau dan memanfaatkan semua ilmu yang telah dipelajarinya untuk kepentingan manusia, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menentang segala macam kejahatan yang dilakukan orang. Juga agar dia membela nusa bangsa, membela Mataram dan membantu Sultan Agung menghadapi bangsa Belanda.
Kemudian pesan ketiga yang dianggap amat penting oleh mendiang gurunya, akan tetapi justeru ini kadang memberatkan hatinya, yaitu agar dia tidak mendendam kepada Raden Banuseta, pembunuh ayahnya! Aji menghela napas panjang. Sebetulnya sejak gurunya meninggal dunia, hatinya ingin sekali pergi merantau. Diapun ingin mencari kakaknya, putera ayahnya yang bernama Hasanudin, selain untuk mengabarkan tentang kematian ayahnya, juga untuk membujuk kakak tirinya itu agar tidak membenci ayah mereka.
Sudah berbulan-bulan dia menahan keinginannya untuk meninggalkan dusun, pergi merantau. Akan tetapi selama ini keinginan itu selalu ditahan-tahannya, bahkan tidak diberitahukan kepada ibunya karena dia merasa tidak tega untuk meninggalkan ibunya hidup seorang diri. Akan tetapi sekarang ibunya tidak sendirian lagi. Ada bibi Juminten di sana, bahkan ada dua orang anak yang mungil dan rajin, yaitu Priyadi dan Wulandari. Ibunya tidak akan kesepian lagi, bahkan mendapatkan bantuan dari ibu dan dua orang anaknya itu! Dia kini dapat pergi merantau, meninggalkan ibunya dengan hati ringan.
Tiba-tiba Aji yang rebah telentang itu melihat titik hitam melayang di angkasa. Alap-alap itu! Dengan pandang matanya dia mengikuti gerakan indah di angkasa. Kini burung itu menukik turun dan melayang lagi berkeliling. Gerakan sayapnya begitu kokoh dan indah, kepalanya mengamati keadaan di bawah, mencari mangsa. Kemudian, burung itu terbang ke utara dan menghilang di balik puncak bukit.
Aji merasa kehilangan dan kesepian. Makin mendesak keinginan hatinya untuk merantau, terbang melayang seperti alap-alap itu. Dia bangkit duduk, mengatupkan mulutnya. hatinya telah mengambil keputusan. Dia harus pergi meninggalkan dusunnya, pergi merantau memenuhi pesan terakhir gurunya. Bangkitlah dia, kemudian dengan langkah tegap dia meninggalkan pantai berpasir dan menuju ke dusun Gampingan, tempat tinggal ibunya. Mereka telah menantinya untuk makan malam.
Melihat nasi dan lauk pauknya telah tersedia di atas meja dan mereka semua belum makan, Aji berkata kepada ibunya, “Ibu, kenapa ibu dan bibi Juminten tidak makan saja dulu?”
“Ah, anak ini! Bagaimana makan bisa enak kalau kami meninggalkanmu? Hayo cepat pergi mandi lalu makan bersama!” tegur Warsiyem sambil tersenyum.
Aji cepat membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah itu, mereka makan bersama. Aji, ibunya, Juminten dan dua orang anaknya. Biarpun lauknya hanya jangan (sayur) asem, sambal trasi, dan tempe goreng, mereka makan dengan sedap dan lahapnya. Sehabis makan, minum air kendi juga terasa segar dan sejuk.
Kita akan selalu dapat menikmati apa yang ada pada kita dan bersyukur atas semua berkah yang dilimpahkan Gusti Allah kepada kita kalau saja kita tidak dikuasai nafsu angkara murka. Nafsu akan selalu menggoda kita, menimbulkan keinginan untuk menjangkau yang lebih sehingga apa yang ada pada kita tidak akan tampak cukup dan menyenangkan. Nafsu keinginan untuk mendapatkan yang lebih, melenyapkan kebahagiaan, melenyapkan kenikmatan saat ini, mendatangkan kekecewaan dan penasaran, menimbulkan rasa iba diri dan duka.
Berbahagialah orang yang dapat menerima dan menikmati segala macam keadaan di mana dirinya berada dan mengucapkan puji syukur atas berkah Yang Maha Kasih. Kalau kita mengerahkan pandangan kita ke bawah, kita akan melihat betapa banyaknya orang yang keadaannya lebih payah daripada kita, mereka yang lebih miskin daripada kita, mereka yang sedang sakit, mereka yang sedang kacau rumah tangganya, mereka yang sedang berduka cita karena kematian atau mengalami musibah.
Melihat semua yang berada di bawah kita itu akan menyadarkan bahwa sesungguhnya kita sepatutnya memuji sukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah atas segala berkahNya. Sebaliknya kalau kita memandang ke atas, kita akan melihat orang-orang yang lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya, tampaknya lebih senang dan lebih berbahagia dari kita, melihat semua yang berada di atas kita itu akan timbul rasa iri hati dan iba diri dan membuat hidup ini tampak mengecewakan.
Kenyataannya adalah, betapapun tinggi keadaan kita, pasti ada yang lebih tinggi dan betapapun rendahnya keadaan kita, ada yang lebih rendah. Orang yang berjalan menunduk akan melihat segala halangan dan rintangan, akan menjadi waspada. Sebaliknya kalau berjalan sambil memandang ke atas, kita mudah tersandung dan terjatuh!
Setelah mereka selesai makan dengan nikmatnya karena mensyukuri keadaan seperti apa adanya. Aji mengajak ibunya bicara berdua saja dalam kamar ibunya. juminten dan dua orang anaknya berada di serambi depan. Janda yang tahu diri ini sengaja menjauhkan diri agar tidak mengganggu percakapan ibu dan anak itu.
“Ibu tentu masih ingat akan pesan terakhir dari mendiang Eyang Guru Ki Tejobudi kepadaku dulu.” Aji memulai. Warsiyem memandang wajah puteranya.
“pesan mana yang kau maksudkan?”
“Eyang guru berpesan agar aku pergi merantau, mencari puteranya yang bernama Sudrajat, kemudian aku harus berjuang membela nusa dan bangsa, membantu Kanjeng sultan Agung. Juga aku ingin mencari kakak tiriku, putera ayah yang bernama Hasanudin itu.”
Warsiyem mengeritkan alisnya. “Akan tetapi dia mengancam ayahmu dan hendak membunuhnya!”
“Justru itulah sebabnya mengapa aku harus menemuinya, ibu. Aku ingin menyadarkan kakakku itu dari kesalahannya, menyadarkan bahwa ayah tidak bersalah, bahwa ayah meninggalkannya karena terpaksa keadaan.”
Kini Warsiyem mengamati wajah puteranya. jantungnya berdebar tegang. Saat seperti ini memang selalu dikhawatirkannya, saat yang tidak akan mungkin lolos. suatu saat tentu ia harus bepisah dari puteranya. Anaknya kini sudah menjadi seorang pemuda dewasa dan tentu saja ia tidak berhak untuk mengikat anaknya seperti memingit seorang anak perawan.
“Aji... engkau... engkau akan meninggalkan ibumu ini?” akhirnya ia bertanya lirih.
Aji memandang ibunya. keduanya saling bertemu pandang. Aji melihat wajah yang dibayangi kekhawatiran dan kesedihan itu. “Kalau ibu mengijinkan...“ katanya lirih pula dan Warsiyem melihat betapa kekecewaan besar membayangi wajah puteranya di balik sikapnya yang berbakti kepadanya itu.
“Aji...“ Ia mengeluh dan kedua orang ibu dan anak itu saling rangkul.
Sambil memeluk ibunya, Aji berkata, “Sudah berbulan-bulan keinginan yang timbul sejak kematian Eyang Guru ini kutahan, ibu. Bagaimanapun juga aku tidak akan membiarkan ibu hidup seorang diri dan kutinggalkan. Akan tetapi, sekarang ada bibi Juminten, ada adik-adik Priyadi dan Wulandari“
Warsiyem menyusut air matanya dan merenggangkan diri, lalu duduk di atas kursi. Ia sudah tenang kembali. “Engkau benar, anakku,“ katanya sambil tersenyum. “Sekarang di sini ada Juminten dan anak-anaknya yang menemani aku dan aku merasa berbahagia sekali karena mereka adalah orang-orang yang baik dan sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Engkau memang harus pergi merantau memenuhi pesan gurumu, Aji. Pergilah dengan hati senang, anakku. Aku akan tinggal di rumah bersama adik Juminten dan dua orang anaknya, dan aku akan selalu mendoakan agar engkau selalu mendapat tuntunan dan perlindungan Gusti Allah.”
“Terima kasih, ibu. Engkau memang seorang ibu yang paling baik dan bijaksana di dunia ini.” kata Aji yang lalu mencium kedua pipi ibunya.
Mulai sore hari itu Aji bersiap-siap. Ibunya sengaja membuatkan beberapa perangkat pakaian baru untuk Aji dan menyerahkan semua simpanan uang yang ada kepada puteranya itu untuk bekal dalam perjalanan. Tiga hari kemudian, aji berkemas hendak berangkat. Dia menggendong pakaiannya yang dibuntal sarung, disampingkan dibelakang pundaknya. “Ibu, aku berangkat, ibu. Mohon doa restu.” kata Aji sambil mencium tangan ibunya.“
Warsiyem memaksa diri tersenyum walaupun air matanya menetes netes. Ia merangkul dan mencium dahi puteranya itu. “Aji, berhati-hatilah, nak. Jangan lupa untuk pulang. Ibu akan selalu menunggu kedatanganmu,” katanya lirih.
“Bibi, tolonglah bibi menjaga dan menemani ibuku agar ia tidak kesepian,” kata Aji sambil berpamit kepada wanita itu.
“Jangan khawatir, anak mas Aji. Aku sudah menganggap ibumu sebagai kakakku sendiri,” kata Juminten.
“Priyadi, engkau satu-satunya laki-laki di rumah ini. Jadilah seorang anak laki-laki yang jantan. Sementara aku pergi, gantikanlah aku untuk menjaga ibuku dan ibumu, juga adikmu,”
Aji lalu mencium pipi Wulandari dan diapun berangkat, diantar sampai ke pintu gerbang dusun itu oleh ibunya, Juminten, Priyadi dan Wulandari. Mereka yang mengantarnya ini baru kembali ke rumah setelah bayangan Lindu Aji tidak tampak lagi dan menghilang di sebuah tikungan jalan, tertutup pohon-pohon.
********************
Setelah berusaha dan melakukan perang selama belasan tahun sejak memegang tampuk kerajaan Mataram, akhirnya Sultan Agung berhasil menaklukkan daerah Jawa Timur dan Madura. Hanya Blambangan saja yang belum dapat ditundukkan. Daerah terakhir yang ditundukkan adalah Surabaya, kemudian Giri. Akan tetapi, sesuai dengan politiknya yang hendak dan mempersatukan semua daerah dan menyusun kekuatan untuk menghadapi musuh utamanya, yaitu Kompeni Belanda.
Sultan Agung sama sekali tidak menghukum para adipati dan bupati daerah-daerah yang ditundukkan itu. Dia menghendaki agar daerah-daerah itu dapat membantu Mataram untuk menghadapi Kompeni Belanda. Karena itu, setelah menundukkan Madura, dia lalu mengangkat putera Bupati Arisbaya yang bernama Prasena menjadi adipati yang menguasai seluruh Madura dengan gelar Pangeran Cakraningrat, berkedudukan di Sampang.
Demikian pula setelah Sultan Agung menundukkan Surabaya yang dipimpin adipatinya, Pangeran Pekik, dia tetap mengangkat Pangeran Pekik menjadi Adipati Surabaya, bahkan menikahkannya dengan puterinya, yaitu Ratu Wandansari. Bahkan ketika dia berhasil menundukkan Sunan Giri, Sultan Agung tetap mengijinkannya untuk memimpin Giri, hanya tidak lagi bergelar Sunan, melainkan Panembahan Giri saja.
Semua ini membuktikan bahwa Sultan Agung bukan hendak memperluas kekuasaannya, melainkan hendak mempersatukan seluruh daerah yang sejak jaman eyangnya menjadi raja Mataram yaitu Panembahan Senopati, telah menjadi daerah kekuasaan Mataram. Penyatuan seluruh daerah ini penting untuk menyusun kekuatan guna menghadapi kekuasaan Kompeni Belanda yang berpusat di Jayakarta yang kini disebut Batavia oleh orang Belanda.
Demikianlah, perang antara balatentara Mataram melawan para penguasa daerah telah padam. Semua daerah, kecuali Blambangan, telah ditundukkan. Perang selesai dan rakyat hidup aman kembali. Beberapa tokoh daerah yang tidak mau tunduk kepada Mataram, melarikan diri dan mengungsi ke Blambangan. Di antara para tokoh yang melarikan diri ke Blambangan ini, tidak mau tunduk kepada Mataram biarpun penguasa daerahnya sudah menakluk, adalah Ki Harya Baka Wulung.
Dia adalah seorang tokoh sakti yang dikenal sebagai datuk di Madura. Usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, namun semangatnya menentang Mataram masih amat kuat. Setelah mati-matian membantu kadipaten Madura ketika melawan pasukan Mataram dan akhirnya pasukan Madura kalah. Ki Harya Baka Wulung mengungsi ke Surabaya. Ketika Surabaya jatuh, dia melarikan diri ke Giri. Di sana diapun membantu Sunan Giri ketika Giri diserbu balatentara Mataram. Akan tetapi Giri jatuh pula dan kembali Ki Harya Baka Wulung melarikan diri, kini dia mengungsi ke Blambangan.
Dengan tubuh tuanya yang kelelahan, lelah lahir batin, dengan hati yang mengandung dendam kebencian terhadap Mataram, Ki Harya Baka Wulung memasuki daerah Kadipaten Blambangan. Biarpun seluruh Madura sudah takluk kepada Mataram, akan tetapi dia pribadi tidak sudi tunduk. Ada dendam sakit hati pribadi dalam hatinya terhadap kerajaan Mataram, setelah putera tunggalnya tewas dalam perang terhadap Mataram. Kini harapan satu-satunya hanya pada Kadipaten Blambangan karena adipatinya belum takluk kepada Mataram dan di sana terdapat seorang kawan baiknya, yaitu Wiku Menak Kuncar, datuk kenamaan di Blambangan.
Ketika Ki Harya Baka Wulung, kakek berusia hampir tjuh puluh tahun yang bertubuh tinggi besar kokoh kuat seperti raksasa, rambut dan kumis jenggotnya yang kaku seperti kawat itu sudah berwarna dua, matanya lebar dan liar, memasuki Blambangan, melangkah kelelahan dengan kepala menunduk, tidak ada orang yang memperhatikannya. Dengan terhuyung-huyung karena kelelahan, Ki Harya Baka Wulung memasuki pekarangan sebuah rumah gedung yang berdiri di pinggir kota raja. Rumah itu berdiri tegak agak terpencil dan keadaannya sunyi sekali. Pekarangan, kebun dikanan kiri dan belakang rumah itu, luas dan ditanami bermacam sayuran.
Ketika dia memasuki pekarangan, tampak seorang laki-laki setengah tua berlarian menyambutnya. Laki-laki berusia lima puluh tahun ini berpakaian seperti seorang petani dan sebetulnya dia bekerja di situ sebagai tukang kebun. Melihat pendatang itu seorang kakek yang asing baginya, tukang kebun bertanya, “Kisanak, siapakah andika dan apakah maksud kunjungan andika ke sini?”
Ki Harya Baka Wulung adalah seorang yang berwatak keras kaku dan biasanya dia dahulu di Madura amat dihormati orang. Bahkan Adipati Madura sendiri amat menghormatinya. Semua bangsawan di Madura takut dan hormat kepadanya. kebiasaan ini membentuk watak keras dan tinggi hati kepadanya. Karena itu, biarpun kini dalam keadaan lari mengungsi dan sengsara, ketika ditegur seorang tukang kebun seperti itu dia menjadi marah. Seorang tukang kebun sudah bersikap tidak hormat kepadanya!
“Hemm, apakah Wiku Menak Koncar berada di rumah?” tanyanya sambil menahan kemarahannya.
“Ada, sang Wiku berada di rumah. Siapakah andika dan ada keperluan apa?”
“Hemm, laporkan saja kepada Wiku menak Koncar bahwa Ki Harya Baka Wulung datang berkunjung!” katanya agak menghardik karena kesabarannya hampir habis.
Tukang kebun itu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya “Tidak mungkin, Kisanak, Sang Wiku sedang bersamadhi kalau hari senja begini, sama sekali tidak berani mengganggunya.”
Marahlah Ki Harya Baka Wulung, “Cerewet benar kau ini! sudahlah, biar aku yang masuk dan mencarinya!” Dia lalu melangkah lebar menuju ke serambi rumah, walaupun langkahnya agak terhuyung karena dia memang sudah lelah sekali. Akan tetapi tukang kebun yang setia itu melompat dan berdiri menghadang di depan kakek itu. Sebagai seorang Blambangan asli, tukang kebun inipun memiliki watak keras, apalagi kesetiaannya menuntut dia untuk membela majikannya.
“Nanti dulu! Kalau hendak menghadap Sang Wiku, harus sabar menanti dulu di sini sampai beliau selesai bersamadhi. Tidak boleh sembarangan memasuki rumah mengganggu Sang Wiku!”
“Hemm, siapa yang melarang?” hardik Ki Harya Baka Wulung.
“Saya yang melarang!” kata tukang kebun itu, sikapnya menantang, dan dia membusungkan dadanya di depan Ki harya Baka Wulung.
“Hemm, keparat!” Tiba-tiba tangan kiri kakek itu menyambar ke depan.
Tukang kebun itu yang agaknya juga pernah mempelajari ilmu kanuragan, menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Agaknya dia memandang rendah kepada penyerangnya yang sudah tua renta dan melangkahkan kakipun sudah terhuyung-huyung itu. Disangkanya dengan tangkisannya itu dia akan mampu membuat kakek itu terpelanting. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika lengannya bertemu dengan tangan kakek itu, seluruh tubuhnya seperti dibakar rasanya dan tubuhnya terlempar sampai dua tombak jauhnya dan terbanting keras ke atas tanah sampai kepalanya terasa pening dan pinggulnya yang terbanting berdenyut-denyut nyeri sekali! Dia mencoba untuk bangkit dan merangkak.
“Tolol, kalau aku tidak ingat bahwa engkau ini adalah pembantu Wiku Menak Koncar, sekarang engkau tentu sudah menjadi mayat!” kata ki Harya Baka Wulung.
Pada saat itu, di pintu serambi rumah itu muncul seorang kakek yang usianya juga sudah hampir tujuh puluh tahun. Tubuh yang sedang dan banyak keriput itu berwarna hitam seperti arang. Pakaiannya mewah seperti seorang bangsawan. Matanya agak sipit dan hidungnya pesek, bibirnya tebal sehingga muka itu agak menyeramkan. Akan tetapi suaranya tinggi seperti suara wanita ketika dia berkata.
“Hei, Jaris, ada apakah ini?” dia melangkah keluar memandang kepada tukang kebun yang masih belum dapat bangkit berdiri. Tukang kebun yang namanya Jaris itu menoleh kepada Ki Harya Baka Wulung, lalu menuding dengan telunjuk kanannya tanpa berani bicara karena merasa takut. Sekarang baru dia menyadari bahwa kakek tua renta raksasa itu adalah seorang yang sakti mandraguna. Kakek berkulit hitam arang itu menoleh dan memandang kepada Ki Harya Baka Wulung. Setelah saling tatap sejenak, kakek itu melebarkan matanya yang sipit, lalu berseru dengan kaget dan girang.
“Kakang Harya Baka Wulung! Andikakah ini?” teriaknya sambil bergegas melangkah maju.
“Adi Wiku Menak Koncar, aku datang untuk minta bantuanmu!” kata Ki Harya Baka Wulung sambil mengembangkan kedua lengan. Mereka berpelukan dan Wiku Menak Koncar, kakek berkulit hitam itu, menggandeng tangan sahabatnya.
“Ah, sahabatku. Beritanya dari Giri sudah sampai ke sini. Kami ikut prihatin. Mari masuk, kita bicara di dalam.”
Mereka berdua lalu memasuki rumah itu. Tukang kebun itu akhirnya dapat bangkit berdiri, menggaruk-garuk kepalanya dan dia bersyukur bahwa dia masih hidup. Kini dia tahu bahwa kalau saja tamu tadi tidak bersahabat baik dengan Sang Wiku, tentu dia sudah mati. Ucapan kakek tadi bukan sekedar omong kosong. Apa lagi setelah dia melihat sikap Sang Wiku terhadap kakek itu. Diapun pergi ke belakang dengan jalan agak terpincang karena pinggulnya masih terasa nyeri. Dia harus cepat-cepat menyuguhkan minuman untuk tamu terhormat itu, untuk menebus kesalahan sikapnya tadi.
Sementara itu, setelah masuk ke ruangan dalam rumah itu, Ki Harya Baka Wulung segera menjatuhkan diri di atas lantai bertilam babut tebal. Dia duduk bersila, memejamkan mata dan mengatur pernapasan untuk memulihkan kekuatannya. dia lelah sekali, lelah lahir batin. Melihat keadaan sahabatnya itu, Wiku Menak Koncar tersenyum dan mendiamkannya saja, tidak mengganggu karena dia tahu bahwa sahabatnya itu sedang menghimpun hawa murni dan memulihkan tenaganya.
Dia sudah lama sekali menjadi sahabat baik Ki Harya Baka Wulung. Bahkan beberapa tahun yang lalu mereka berdua bersama Kyai Sidhi Kawasa tokoh sakti Kerajaan Banten, bekerja sama menentang Mataram untuk membela Surabaya. Ketika itu, daerah-daerah lain di Jawa Timur, kecuali Surabaya, Giri dan Blambangan, sudah jatuh ke tangan Mataram. Mereka bertiga, tokoh-tokoh dari Madura, Blambangan, dan Banten itu membantu Surabaya jatuh juga karena Pangeran pekik bersikap lunak dan akhirnya Pangeran Pekik sebagai Adipati Surabaya malah menjadi mantu Sultan Agung.
Setelah Surabaya jatuh, Ki Harya Baka Wulung melarikan diri ke Giri, Wiku Menak Koncar kembali ke Blambangan dan Kyai Sidhi Kawasa juga kembali ke Banten. Wiku Menak Koncar yang berada di Blambangan sebagai penasihat Adipati Blambangan mendengar akan jatuhnya Giri di tangan Sultan Agung. Dia ikut prihatin namun tak dapat berbuat sesuatu. Maka ketika tanpa disangka-sangka Ki Harya Baka Wulung muncul di pekaranganrumahnya, dia menyambutnya dengan girang. Dia dapat melihat keadaan sahabatnya itu dan tahu bahwa Ki Harya Baka Wulung sedang dalam keadaan lelah lahir batin. Maka dia lalu pergi menemui para abdinya dan memerintahkan mereka mempersiapkan hidangan makanan.
Setelah Ki Harya Baka Wulung menghentikan usahanya untuk memulihkan tenaga dan membuka mata, Wiku Menak Koncar lalu mengajaknya makan bersama. “Kita makan dulu, baru nanti bercakap-cakap.” katanya.
Ki Harya Baka Wulung mengangguk dan mereka makan bersama. Setelah selesai makan, mereka bercakap-cakap di ruangan depan yang lebih luas dan lebih sejuk karena bagian depan ruangan itu terbuka sehingga hawa udara dari luar dapat masuk dengan bebas. Mereka duduk berhadapan di atas kursi menghadapi meja dan di atasnya tergantung sebuah lampu yang cukup terang.
“Aku sudah mendengar bahwa Giri akhirnya jatuh juga ke tangan Sultan Agung. Kakang Harya. Bagaimana hal itu bisa terjadi? bukankah Kanjeng Sunan Giri seorang yang sakti mandraguna? Bahkan andikapun berada di sana membantunya?” Ki Harya Baka Wulung menghela napas dan mengepalkan tinju kanannya dengan gemas.
“Menyebalkan sekali, Adi Wiku! Sebetulnya pasukan Mataram dan Surabaya tidak mungkin dapat mengalahkan Giri. Akan tetapi Sultan Agung licik! Dia mengangkat puterinya, Ratu Wandansari, menjadi senopati. Menghadapi musuh seorang puteri, Kanjeng Sunan Giri menjadi lemah, apalagi mengingat bahwa puteri itu telah menjadi isteri Pangeran Pekik, muridnya yang tersayang. Apalagi Pangeran Pekik juga memihak Sultan Agung yang sudah menjadi mertuanya. Ah, aku merasa menyesal sekali dan dendam pribadiku terhadap Sultan Agung semakin mendalam. Karena itulah maka aku datang mengunjungimu, Adi Wiku. Aku ingin minta bantuanmu untuk membalas dendam kepada Sultan Agung!”
“Akan tetapi bagaimana caranya. Kakang Harya? Kedudukan Mataram semakin kuat dan Kadipaten Blambangan belum siap untuk melakukan srangan ke sana. Kami di sini hanya memperkuat diri untuk melakukan penjagaan dan pertahanan saja.”
“Asalkan andika mau membantuku, Adi Wiku, tentu akan dapat mencari jalan. Marilah andika bantu aku dan kita menyeberang ke Madura. Aku akan membujuk Anakmas Raden Praseno yang kini diangkat oleh Sultan Agung menjadi Adipati Madura dan berkedudukan di Sampang. Dia adalah muridku, tentu akan mendengar bujukanku untuk memberontak terhadap kekuasaan Mataram membalaskan kekalahan lima kabupaten Arisbaya, Pamekasan, Sumenp, Sampang dan Balega.”
Wiku Menak Koncar mengerutkan alisnya, berpikir sejenak, kemudian dia mengangguk-angguk. “Kukira rencanamu itu cukup baik, Kakang Haryo. Kalau benar-benar seluruh kabupaten di Madura serentak bangkit dan melawan, kami dari Blambangan akan mengirim bala bantuan dan dengan mempersatukan tenaga, kurasa kita akan dapat mengalahkan Mataram.”
“Kalau begitu, andika mau membantuku, Adi Wiku?”
Wiku Menak Koncar mengangguk, “Baik, aku akan membantumu, Kakang Harya. Biar kusuruh mempersiapkan perahu yang baik, kita berangkat besok setelah menghadap Adipati Blambangan.”
Harya Baka Wulung menjadi girang sekali. Bangkit kembali semangatnya karena kini muncul harapan baru yang memberi jalan kepadanya untuk membalaskan dendamnya kepada Mataram. Pada keesokan harinya mereka menghadap Adipati Blambangan yang menyatakan persetujuannya akan rencana dua orang datuk itu. Setelah itu berangkatlah mereka berdua, berperahu melalui selat Bali terus ke utara kemudian menyeberangi selat Madura, menuju ke Sampang.
Ki Harya Baka Wulung adalah guru Raden Praseno yang kini menjadi adipati di Madura bergelar Pangeran Cakraningrat. tentu saja kedatangan kedua datuk itu diterima dengan hormat oleh sang adipati. juga Pangeran Cakraningrat menerima Wiku Menak Koncar dengan hormat. Dia mengenal baik kakek itu apalagi Wiku Menak Koncar membawa salam dari Adipati Blambangan. Untuk menghormati dua orang datuk itu Pangeran Cakraningrat mengadakan perjamuan makan.
Setelah selesai perjamuan, mereka bercakap-cakap dalam sebuah ruangan tertutup karena Ki Harya Baka Wulung minta kepada bekas muridnya itu untuk membicarakan urusan penting secara rahasia. Setelah mereka bertiga duduk di ruangan tertutup Ki Harya Baka Wulung menceritakan rencananya, mengajak sang adipati untuk menghimpun kekuatan seluruh kabupaten di Madura untuk memerangi Mataram.
“Jangan khawatir, Anakmas Adipati, Sang Adipati Blambangan juga sudah siap untuk membantu gerakan kita. Kalau seluruh kekuatan di Madura dihimpun, kemudian dibantu oleh pasukan Blambangan, mustahil kita tidak mampu mengalahkan Mataram.” Ki Harya Baka Wulung menutup bicaranya.
Sejak tadi Pangeran Cakraningrat hanya mendengarkan saja. Walaupun hatinya merasa terkejut bukan main, namun dia bersikap tenang dan hanya mendengarkan sampai bekas gurunya itu berhenti bicara. Setelah itu baru dia berkata. “Akan tetapi, Bapa Guru, itu berarti pemberontakan terhadap Mataram! Tidak mungkin saya memberontak terhadap Kanjeng Sultan Agung! Beliau tidak berniat menguasai Madura, melainkan hendak mempersatukan semua daerah untuk menghadapi Kumpeni Belanda. Untuk mempersatukan seluruh Madura beliau malah mengangkat saya menjadi Adipati Madura. Bagaimana sekarang Bapa Guru menganjurkan saya untuk memberontak terhadap Kanjeng Sultan Agung?”
“Heh-heh-heh!” Ki Harya Baka Wulung memaksa diri tertawa sungguhpun di dalam hatinya dia marah mendengar ucapan bekas murid yang kini menjadi adipati itu. “Anakmas Praseno! Semua itu hanya siasat licik Sultan Agung saja! Lupakah anakmas betapa banyaknya sanak keluarga kita yang tewas ketika Mataram datang menyerbu? Bukankah banyak para paman dan saudara anakmas yang juga terbunuh? Sultan Agung mengangkat anakmas sebagai adipati agar hanya anakmas melupakan semua itu! Lain waktu kalau saatnya tiba, tentu anakmas yang akan dibunuhnya. Lebih baik kita mendahului daripada didahului oleh raja Mataram yang kejam itu!”
Pangeran Cakraningrat menghela napas dalam. “Bapa Guru, urusan ini bukanlah urusan kecil dan sepele. Harus dipikirkan masak-masak dan disepakati oleh semua bupati. Saya kira tidak ada bupati yang akan menerima dan menyetujui pemberontakan, Bapa Guru. Maafkan saya, saya tidak mau menyengsarakan rakyat Madura dengan lain peperangan lagi. Kanjeng sultan Agung bukanlah musuh kita, melainkan pemimpin kita untuk menghadapi keserakahan Kumpeni Belanda.”
Bukan main marahnya hati Harya Baka Wulung mendengar ucapan bekas muridnya itu. Dia masih mencoba untuk membujuk, dibantu oleh Wiku menak Koncar, akan tetapi sama sekali kesetiaan Pangeran Cakraningrat terhadap Sultan Agung tidak goyah. Dengan putus harapan dan marah Ki Harya Baka Wulung mengajak Wiku Menak Koncar untuk meninggalkan Sampang.
“Bagaimana kalau kita mencoba untuk membujuk Pangeran Pekik, adipati di Surabaya?” Wiku Menak Koncar berkata kepada Ki Harya Baka Wulung ketika perahu mereka sudah meninggalkan pantai Madura dan memasuki selat Madura.
Ki Harya Baka Wulung yang muram wajahnya itu menjawab kesal. “Pangeran Pekik? Seperti mengharapkan matahari bersinar di malam hari! Tidak mungkin sama sekali. Setelah dia menikah dengan Ratu Wandansari, menjadi mantu Sultan Agung, mana mungkin dia diajak memberontak terhadap mertuanya?”
“Kalau begitu, apa yang akan andika lakukan sekarang, Kakang Harya? Kalau sudah tidak ada sesuatu lagi yang dapat kubantu, lebih baik aku kembali saja ke Blambangan,” kata Wiku Menak Koncar.
“Nanti duku, Adi Wiku,” kata Ki Harya Baka Wulung. Dia tampak mengerutkan alisnya, termenung, termenung dan mengolah pikirannya. Kemudian dia mengepal tangan kanannya dan memukul pahanya sendiri. “Ah, inilah jalan terbaik! Kita harus dapat memberi pukulan yang tepat sekali untuk menghancurkan hati Sultan Agung dan melemahkan kedudukannya, merenggangkan hubungan Mataram dengan Surabaya dan Giri! dengan demikian, kita dapat membalas dendam kepada Sultan Agung!”
“Bagaimana caranya?” Tanya Wiku Menak Koncar, ingin tahu sekali.
“Kita harus membunuh Ratu Wandansari!”
“Membunuh Ratu Wandansari? Mengapa? Dan apa untungya bagi kita?”
“Adi Wiku, jatuhnya Surabaya dan Giri karena puteri Sultan Agung itu. Pangeran Pekik menjadi lemah dan perlawanannya berhenti karena dia dinikahkan dengan Ratu Wandansari. Kemudian Giri jatuh karena Ratu Wandansari yang menjadi senopati memimpin pasukan menyerbu Giri. Sekarang, hubungan antara Surabaya dan Mataram menjadi kuat karena ada Ratu Wandansari dan Giri juga tunduk karena melihat Surabaya juga tidak lagi memusuhi Mataram. Nah, kalau Ratu Wandansari dibunuh, selain hati sultan Agung menjadi hancur karena kehilangan puterinya yang amat dikasihi, juga Pangeran Pekik tidak terikat lagi kepada Mataram. Setelah begitu, tentu Surabaya dan Giri siap untuk menentang Mataram. Bukankah siasat ini baik sekali?”
Wiku Menak Koncar mengangguk-angguk dan memandang kepada sahabatnya dengan kagum. “Hebat! Siasat itu memang bagus sekali, Kakang Harya. akan tetapi, bagaimana kita akan dapat membunuh Ratu Wandansari? Ia adalah seorang wanita sakti mandraguna.”
Ki Harya Baka Wulung tersenyum lebar. “Aku tahu bahwa Ratu Wandansari adalah murid mendiang Bhagawan Sindusakti yang dulu menjadi ketua perguruan silat Jatikusumo. Akan tetapi betapapun saktinya, tidak mungkin dia dapat mengalahkan andika atau aku, apalagi kalau kita berdua melawannya.”
“Akan tetapi, Kakang Harya. Ia telah menjadi isteri Pangeran Pekik. Ia tentu berada di istana Kadipaten Surabaya dan terjaga kuat. Bagaimana kita mendekatinya, apalagi membunuhnya?” “Inilah yang harus kita selidiki, Adi Wiku. Kita selidiki ke Surabaya dan begitu ada kesempatan, kita bertindak. Bagaimana? apakah andika masih mau membantuku?”
“Baiklah, aku akan membantumu, Kakang Harya.”
“Bagus, terima kasih, Adi Wiku.”
“Tidak perlu berterima kasih karena kalau usaha kita berhasil berarti suatu keuntungan besar pula bagi Kabupaten Blambangan. Mereka lalu memerintahkan anak buah untuk mengarahkan perahu ke Surabaya.
********************
Setelah meninggalkan dusun Gampingan, Aji berhenti di persimpangan jalan, meragu sejenak. Dia merasa bingung harus mengambil jurusan mana. Biarpun ia mengemban tugas untuk mencari putera mendiang gurunya yang berada di Banten, yaitu daerah yang menurut gurunya berada jauh di barat, juga keinginannya mencari Hasanudin putera ayahnya mengharuskan dia pergi ke daerah Galuh di utara lalu ke barat, namun keinginannya merantau dapat dilakukan ke arah mana saja.
Tiba-tiba teringatlah dia akan burung alap-alap yang sering dilihatnya di atas pantai Laut Kidul. Teringat akan ini, langkahnya membawanya ke selatan, ke arah laut. Tak lama kemudian Aji Sudah berdiri di atas pantai berpasir, memandang ke arah laut yang begelombang. Ombak besar bergulung-gulung, memanjang seperti naga, kepala ombak yang putih itu berkejaran, lalu bertumbukan dan pecah menimbulkan suara menggelegar. Air laut bergerak dan bergelora, siang malam tak pernah berhenti.
Aji menengadah, memandang ke angkasa, mencari-cari. Tiba-tiba dia tersenyum dan matanya bersinar-sinar karena dia melihat apa yang dicarinya. Titik hitam melayang-layang di antara awan itu. Alap-alap Laut Kidul, demikian dia memberi nama burung yang telah menjadi kesayangannya itu. Titik hitam itu semakin membesar, semakin turun sehingga akhirnya dia dapat melihat dengan jelas. Alap-alap yang gagah perkasa, melayang-layang berputaran seolah-olah menyambutnya. Kemudian burung itu terbang pergi ke arah timur.
Aji mengangguk-angguk. “Baiklah, Alap-alap Laut Kidul, aku akan mengikuti ke arah mana engkau terbang!” katanya.
Burung itu seolah memberi prtunjuk kepadanya bahwa dia harus memulai perantauannya ke arah timur. Mulailah Aji dengan perjalanannya. Dia menuju ke timur. Naik turun bukit-bukit yang seolah tiada habisnya itu. Dari ketinggian bukit-bukit itu dia kadang dapat melihat Laut Kidul. Dari jauh tampak tenang membiru. Diam dan tenang. Padahal dia tahu benar bahwa laut itu tidak pernah diam. Berhari-hari Aji melakukan perjalanan melalui Pegunungan Kidul atau Pegunungan Seribu yang memanjang dari barat ke timur itu. Di waktu malam dia bermalam di dusun yang dilewatinya, kadang juga terpaksa harus bermalam di sebuah gua yang gelap.
Beberapa hari kemudian tibalah dia di sebuah dusun di tepi pantai. Dusun Wonocolo yang terletak dipantai teluk Panggul. Karena hari telah menjelang senja, Aji mengambil keputusan untuk bermalam di dusun itu. Pada saat dia memasuki dusun itu, tiba-tiba tampaklah olehnya seekor burung alap-alap melayang-layang di angkasa. Aji merasakan jantungnya berdebar gembira. Entah bagaimana, setiap kali melihat burung alap-alap terbang di angkasa, penglihatan itu begitu akrab dalam hatinya.
Penglihatan yang tidak asing. seolah-olah yang melayang-layang itu adalah alap-alap yang dulujuga, yang suka melayang di atas pantai berpasir di sebelah selatan dusun tempat lahirnya, alap-alap yang pernah dilihatnya berkelahi melawan ular dan memenangkan perkelahian itu. Alap-alap yang dengan perkelahian itu telah mengajarkan ilmu tata kelahi yang baru kepadanya. Dan kini alap-alap itu terbang pergi, menuju ke utara! Seolah menjadi pertanda baginya bahwa perjalanan selanjutnya adalah utara.
Demikianlah, setelah bermalam di rumah seorang petani tua di dusun Wonocolo itu selama satu malam, pada keesokan harinya Aji melanjutkan perjalanannya. Kini dia melakukan perjalanan ke arah utara! Dia merasa dirinya seekor burung alap-alap yang terbang bebas di udara, menuju ke manapun hati dan kakinya membawanya. Beberapa hari kemudian tibalah dia di daerah Caruban. Pada saat itu matahari sedang panas-panasnya dan tepat beradadi atas kepala. Aji melepas lelah dan duduk di bawah sebatang pohon dadap.
Tempat itu sejuk sekali karena terlindung banyak pohon yang tumbuh di tepi jalan. Agaknya dia telah tiba di jalan raya yang membentang dari timur ke barat. Simpang tiga itu berada di daerah berhutan dan keadaan di situ sepi, agaknya jauh dari dusun. Padahal perutnya sudah terasa lapar. Dia harus bisa menemukan sebuah dusun untuk dapat memperoleh makanan.
Tiba-tiba dia mendengar suara orang dari arah timur. Dia menoleh dan tak lama kemudian, dari jalan yang menikung itu muncul tujuh orang laki-laki yang sedang berjalan menuju ke barat. Entah mengapa, melihat tujuh orang laki-laki itu, timbul perasaan curiga dan tidak enak dalam hati Aji. Maka dia cepat bersandar ke batang pohon itu dan dia memejamkan kedua matanya, pura-pura tertidur.
Dengan sedikit membuka matanya, melalui bulu matanya dia dapat memperhatikan mereka. Yang menarik perhatiannya adalah dua orang kakek yang berjalan di depan dalam rombongan tujuh orang itu. seorang kakek bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Rambut dan brewoknya kaku seperti kawat, sudah berwarna dua. Matanya lebar dan liar. Kepalanya memakai kain pengikat kepala wulung. Kakek yang tampak gagah dan kokoh kuat ini walaupun usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, membawa sebatang keris dengan warangka dan gagang terukir indah, terselip di pinggangnya.
Kakek kedua yang berjalan di samping kakek pertama, juga menarik perhatian Aji. Usia kakek ini sebaya dengan kakek petama. tubuhnya sedang saja, akan tetapi kulitnya amat menarik perhatian karena kulit itu hitam sekali, seperti arang. Pakaiannya mewah dan wajahnya buruk dengan matanya yang sipit, hidungnya yang pesek dan bibirnya yang tebal. Kakek ini membawa sebatang senjata ruyung atau penggada yang tergantung di pinggang kirinya. Juga kakek kedua ini, biarpun tubuhnya tidak sekokoh kakek pertama, menunjukkan kegagahan.
Sikap dan pandang mata dua orang kakek yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun ini menunjukkan bahwa mereka “berisi”, yaitu dua orang yang memiliki kesaktian. Lima orang laki-laki yang berjalan di belakang mereka juga merupakan orang-orang yang bersikap gagah. Usia mereka dari empat puluh sampai lima puluh tahun dan Aji melihat keanehan pada pakaian mereka. Lima orang itu mengenakan baju dan celana hitam.
Mereka membiarkan baju itu terbuka di bagian dada, dan celana hitam mereka sampai ke bawah lutut. Yang menarik adalah ikat pinggang mereka. Ikat pinggang itu merupakan kolor yang besar, hampir sebesar lengannya, panjang hampir menyentuh tanah dan bermacam-macam warnanya. Aji yang belum pernah keluar dari dusun tempat lahirnya, paling jauh dia hanya pergi ke tepi laut, dan sama sekali belum berpengalaman. sama sekali tidak tahu bahwa lima orang itu adalah para warok, yaitu jagoan dari daerah Ponorogo.
Ketika dalam perjalanannya beberapa hari yang lalu dia melewati Ponorogo, dia juga melihat banyak kaum pria yang berpakaian seperti lima orang itu, akan tetapi karena tidak pernah terjadi sesuatu, diapun tidak tahu siapa mereka, sama sekali tidak mengira bahwa mereka adalah para jagoan dan bahwa kolor yang besar itu merupakan senjata mereka yang ampuh. Ketika rombongan itu tiba di dekat tempat Aji tersandar pada batang pohon, dua orang kakek itu menghentikan langkah mereka. Lima orang itupun berhenti dan mereka mengamati Aji dengan penuh perhatian.
Kemudian terdengar kakek berkulit hitam arang itu berkata dengan suara tinggi seperti suara wanita. Ah, untuk apa perhatikan dia? Dia hanya seorang bocah yang kelelahan dan mungkin kelaparan. Hayo jalan terus dan kita mencari tempat baik untuk menghadang.”
Logat bicara kakek itu terdengar aneh bagi Aji, namun dia masih dapat mengerti artinya. Tujuh orang itu melanjutkan perjalanan mereka. Hati Aji sudah tergerak dan dia tertarik sekali. Sikap mereka itu tidak seperti orang-orang biasa yang kebetulan lewat di jalan ini. Mereka tentu mempunyai niat tertentu. Kakek hitam tadi bicara tentang penghadangan! Jangan-jangan mereka mempunyai niat buruk terhadap orang yang akan dihadang!
Setelah rombongan itu menghilang di tikungan jalan, Aji cepat bangkit, menggendong lagi buntalan pakaiannya dan diapun menyelinap di antara pohon-pohon dan membayangi rombongan itu dari jarak agak jauh sambil bersembunyi di balik pohon-pohon. Setelah tiba di bagian hutan yang lebat, tujuh orang itu berhenti dan mereka lalu berpencar, bersembunyi di balik pohon besar atau semak-semak sehingga tidak tampak dari jalan.
Melihat ini, berdebar rasa jantung Aji. Dugannya tidak keliru. mereka itu tentu berniat buruk terhadap orang yang sedang mereka hadang. Dia pun bersembunyi di balik semak belukar dan melakukan pengintaian. Dua orang kakek itu bukan lain adalah Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar. Seperti kita ketahui, dua orang datuk dari Madura dan Blambangan ini telah gagal membujuk Pangeran Cakraningrat untuk memberontak terhadap Mataram.
Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung tidak putus asa. Dendamnya terhadap Mataram sedemikian besarnya sehingga dia tidak akan berhenti sebelum dapat membalas dendam. Dia berhasil membujuk Wiku Menak koncar, untuk membantunya mencari kesempatan untuk membunuh Ratu Wandansari, puteri Sultan Agung atau isteri Pangeran Pekik dalam usahanya membalas kematian anaknya.
Dengan membunuh Ratu Wandansari, dia dapat menghancurkan hati Sultan Agung dan sekaligus merenggangkan hubungan antara Mataram dan Surabaya, juga Giri. Beberapa lamanya mereka menanti dan mengintai kesempatan dan sekarang kesempatan itu tiba! Dari beberapa orang anak buah yang mereka sebar di Kadipaten Surabaya untuk melakukan penyelidikan, mereka mendengar bahwa pada hari itu Ratu Wandansari akan melakukan perjalanan menuju Mataram, seorang diri, tidak dengan Pangeran Pekik.
Dan seperti biasanya, puteri yang digdaya, sakti mandraguna dan memiliki kelebihan, mampu melindungi diri sendiri. Mendengar berita ini, Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar menjadi girang bukan main. Saat yang ditunggu-tunggu selama berpekan-pekan itu akhirnya tiba. Kesempatan itu akhirnya terbuka. Mereka cepat mendahului perjalanan sang puteri dan di daerah Madiun mereka berhasil menemui lima orang warok bersaudara yang terkenal sebagai Lima Macan Nganjuk.
Lima orang jagoan bersaudara ini berasal dari Ponorogo dan dulu pernah memperdalam aji kanuragan dari Ki Harya Baka Wulung sehingga mereka boleh disebut murid-murid datuk ini, walaupun mereka tidak menyerap seluruh kepandaian Ki Harya Baka Wulung, melainkan hanya memperdalam ilmu mereka sendiri menurut petunjuk datuk itu. Akan tetapi hal ini sudah cukup untuk membuat mereka menaati perintah Ki Harya Baka Wulung yang mereka anggap sebagai guru mereka. Ketika datuk itu minta bantuan mereka, dengan senang hati lima orang warok itu menyanggupi dan berangkatlah mereka bersama dua orang datuk itu, mencari tempat penghadangan yang baik di dalam hutan daerah Caruban.
Demikianlah pada siang hari itu mereka menanti dan menghadang di dalam hutan sambil bersembunyi. Mereka telah memperhitungkannya dengan seksama bahwa kereta sang puteri pasti akan lewat di tempat itu pada siang hari ini. Mereka tahu dengan pasti bahwa perhitungan mereka tidak akan meleset dan Ki Harya Baka Wulung sudah menggosok-gosok kedua telapak tangannya membayangkan bahwa sebentar lagi dia akan berhasil membalas dendam kematian puteranya!
Kurang lebih satu jam kemudian, terdengarlah derap kaki kuda dan roda kereta datang dari arah timur. Aji yang berada di sebelah timur gerombolan yang menghadang kereta itu dapat melihat lebih dulu rombongan yang datang dari arah timur itu. Sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda berjalan di depan, kusirnya seorang laki-laki setengah tua yang mengenakan pakaian khas sais kadipaten. Yang duduk dalam kereta itu tidak tampak karena tirai pintu kereta itu tertutup. Di belakang kereta terdapat dua belas orang prajurit menunggang kuda. Rombongan itu berjalan sedang saja, tampaknya tidak tergesa-gesa. Mungkin perjalanan lambat itu dilakukan agar kereta tidak terlalu terguncang.
Aji memandang dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Dia tidak tahu siapa yang berada dalam kereta akan tetapi dapat menduga bahwa mungkin sekali rombongan inilah yang dihadang oleh tujuh orang itu. Bagaimanapun juga, hatinya merasa agak lega melihat bahwa kereta itu dikawal dua belas orang prajurit berkuda yang tampaknya gagah dan kuat. Dengan hati-hati dia menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak untuk mendekat agar dapat melihat lebih jelas.
Perhitungan Ki Harya Baka Wulung dan kawan-kawannya tidaklah salah. Ratu Wandansari yang berada dalam kereta yang dikawal selosin prajurit itu. Siang itu hawanya panas sekali dan perjalanan jauh itu melelahkan, maka Ratu Wandansari yang duduk dalam kereta itu mengantuk dan melenggut. Sedikitpun ia tidak merasa khawatir akan menemui halangan dalam perjalanan. Ia adalah puteri Sultan Agung dan isteri Pangeran Pekik. Siapa yang akan berani mengganggunya? Pula, andaikata ada yang begitu berani mengganggu, ada selosin perajurit pilihan mengawalnya, dan dia sendiri tidak takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun.
Tiba-tiba sais kereta itu menahan empat ekor kuda penarik kereta. Karena dia menarik kendali secara mendadak, maka kereta berhenti dengan tiba-tiba pula dan hal ini membuat Ratu Wandansari tersentak bangun dari keadaan setengah tidur. Dua belas orang prajurit berloncatan turun dari atas kuda mereka dan berlari ke depan kereta untuk melindungi sang puteri. Mereka melihat tujuh orang tiba-tiba berloncatan dari kanan kiri jalan dan berdiri menghadang dengan sikap mengancam.
Aji sudah menyelinap cukup dekat dan dia menonton dengan hati tegang. Dia menghadapi pertentangan, mungkin pertempuran kedua pihak yang tidak dikenalnya, tidak tahu siapa di antara kedua pihak itu yang benar atau salah, siapa yang harus dibantu atau ditentang.
Perwira pasukan pengawal itu, seorang laki-laki tinggi tegap berkumis tebal seperti Raden Gatutkaca, menghadapi tujuh orang itu dan berkata dengan suara lantang berwibawa. “Siapa kalian, berani mati menghadang perjalanan rombongan kami! Apakah kalian tidak tahu siapa yang berada dalam kereta? Beliau adalah Gusti Ratu Wandansari, puteri dari Kanjeng Gusti Sultan Agung, garwa (isteri) Pangeran Pekik Adipati Surabaya!”
“Heh-heh-heh, perwira precil (anak katak)! Apakah matamu sudah buta sehingga tidak mengenal lagi siapa kami berdua?” Ki Harya Baka Wulung membentak setelah tertawa mengejek.
Sementara itu, dalam pengintaiannya, Aji terkejut bukan main ketika mendengar pengakuan perwira itu bahwa yang berada di dalam kereta adalah Ratu Wandansari, puteri Sultan Agung atau isteri Pangeran Pekik. Nama-nama ini sudah didengarnya baik-baik dari mendiang gurunya. bahkan gurunya juga memberitahu kepadanya bahwa yang namanya Ratu Wandansari itu adalah puteri Sultan Agung yang selain amat cantik, juga sakti mandraguna walaupun kesaktiannya tentu saja belum mampu menyamai kesaktian Sultan Agung sendiri. Dan mendiang gurunya dulu memesan agar dia mengabdi dan membantu Sultan Agung. Dengan sendirinya sekarang dia harus pula membantu Ratu Wandansari kalau sekiranya puteri itu membutuhkan bantuan. Sekarang dia tahu di pihak siapa dia harus berdiri.
Kini agaknya perwira pasukan pengawal itu baru mengenal dua orang datuk yang dulu pernah membantu Pangeran Pekik ketika Surabaya berperang melawan Mataram. Dia segera memberi hormat dengan membungkuk dan berkata kaget dan heran. “Ah, kiranya Paman Harya Baka Wulung dan Paman Wiku Menak Koncar! Maafkan kalau saya tidak mengenal paman berdua tadi. Akan tetapi apa kehendak paman menghadang perjalanan kami yang mengawal Gusti Puteri Wandansari?”
“Sudah, minggirlah! Kami tidak ingin berbicara dengan orang-orang kecil macam kalian! Minggir! Kami hendak bicara langsung dengan puteri Wandansari!” kata Ki Harya Baka Wulung dengan lagak angkuh.
Pada saat itu, tirai kereta itu tersingkap dari dalam dan keluarlah seorang wanita dari dalam kereta. Aji memandang dengan mata terbelalak kagum. Belum pernah selama hidupnya dia melihat seorang wanita yang demikian anggun. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Pakaiannya indah. tubuhnya ramping padat. Kepala dan tubuhnya tegak ketika ia berdiri sehingga tampak gagah dan berwibawa. Rambutnya hitam panjang digelung dan dihias tusuk sanggul dari emas permata. Sepasang matanya tajam dan mengandung wibawa yang kuat. Sebatang pedang dengan sarung berukir indah tergantung di punggungnya, membuat wanita itu tampak semakin gagah.
Aji yang selama ini hanya bertemu dengan wanita dusun yang sederhana, tentu saja kini merasa seolah-olah sedang bermimpi dan bertemu dengan seorang puteri kahyangan atau bertemu dengan tokoh Srikandi, wanita perkasa dalam cerita wayang!
Ketika wanita itu bicara, suaranya merdu namun lantang dan berwibawa. “Kiranya Paman Harya Baka Wulung dan Paman Wiku Menak koncar yang menghadang perjalananku. Seingatku, kami tidak mempunyai urusan apapun dengan andika berdua! Ada kepentingan apakah paman berdua menghadang perjalananku?”
“Heh-heh-heh, Ratu Wandansari! Andika harus mati di tanganku untuk menebus dosa ayahmu, Sultan Agung!” Setelah berkata demikian, Ki Harya Baka Wulung memberi isyarat kepada lima orang warok yang sudah siap siaga. Lima orang warok itu sambil memegangi kolor, memutar senjata itu dan menerjang maju.
Akan tetapi perwira yang memimpin pasukan pengawal tidak tinggal diam. Dia meneriakkan aba-aba dan para perajurit segera menyambut terjangan lima orang warok itu, menggunakan pedang mereka. Pasukan pengawal yang terdiri dari tiga belas orang berikut perwira tadi memang merupakan pengawal istimewa yang bersenjatakan pedang. Mereka rata-rata pandai bersilat pedang dan tangguh sehingga para warok itu bertemu dengan lawan yang cukup tangguh. Melihat ini, Wiku Menak Koncar mengambil ruyungnya dan dengan penggada ini dia membantu lima orang warok menghadapi pengeroyokan para perajurit pengawal.
“Ratu Wandansari, bersiaplah untuk mati di tanganku!” bentaknya sambil melompat ke depan puteri itu.
“Harya Baka Wulung keparat kau! Dahulu kanjeng rama masih mengampunimu, tidak membunuhmu dan membiarkan engkau lari dari Surabaya bersama Wiku Menak Koncar. Juga ketika aku memimpin pasukan menundukkan Giri, aku tidak menyuruh pasukan menangkapmu, membiarkan engkau melarikan diri mengingat engkau seorang tua yang dihormati di Madura! Akan tetapi hari ini engkau bertindak khianat dan curang, menghadangku di tengah hutan! Jangan mengira bahwa aku takut menghadapimu!”
“Babo-babo! Baru puas rasa hatiku kalau sudah dapat membunuhmu!” teriak Ki Harya Baka Wulung sambil menyerang dengan tusukan kerisnya. Serangannya dahsyat bukan main karena tenaga tusukannya diperkuat tenaga sakti, didorong gerengan seperti seekor katak buduk. Akan tetapi dengan gerakan tangkas sekali, Ratu Wandansari sudah melompat ke belakang dan begitu tangan kanannya meraba punggung, tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu ia sudah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar mengkilap. Ki Harya Baka Wulung menerjang lagi, menyerang dengan kerisnya. Sekali ini, Ratu Wandansari menggerakkan pedangnya menangkis.
“Wuuuutttt... trang...!” Pedang bertemu keris. Bunga api berpijar menyilaukan mata akibat benturan dua senjata yang didorong tenaga sakti dahsyat itu membuat sang puteri terhuyung ke belakang. Ternyata ia masih kalah kuat! Akan tetapi gerakannya trengginas sekali sehingga ketika Ki Harya Baka Wulung mendesak, ia sudah mampu mengendalikan diri dan mempergunakan kegesitannya dan menghindarkan serangan susulan. Mulailah puteri perkasa ini bersilat dengan ilmu pedang Kartika Sakti, sebuah ilmu pedang yang amat ampuh, yang dipelajarinya dari mendiang Resi Limut Manik, pertapa di puncak Semeru.
Terjadilah pertempuran yang amat hebat antara Ki Harya Baka Wulung itu melawan Ratu Wandansari. Sebetulnya, sang puteri masih kalah dalam hal tenaga sakti dan pengalaman bertanding, akan tetapi karena ia memiliki ilmu pedang yang amat ampuh itu, maka untuk sementara ia mampu mengimbangi serangan datuk dari Madura itu.
Aji menonton pertempuran dengan hati tegang. Dia melihat betapa tiga belas orang prajurit, dibantu pula oleh sais kereta yang ternyata juga seorang yang digdaya, menggunakan cambuknya sebagai senjata, tetap saja mereka kewalahan menghadapi Wiku Menak Koncar dan lima orang warok. Terutama sekali Sang Wiku amat hebat sepak terjangnya. Penggada di tangannya itu amat ampuh.
Setiap kali ada perajurit berani menangkis sambaran ruyungnya, perajurit itu tentu terpental dan terpelanting! Juga amukan lima orang warok itu amat ganas. Untung bahwa para perajurit itu merupakan pasukan yang dapat bekerja sama dengan baik karena terlatih sehingga mereka dapat saling bantu dan sebegitu lama masih mampu menandingi amukan Wiku Menak Koncar dan lima orang warok itu. Akan tetapi menurut pandangan Aji, kalau pertempuran itu dilanjutkan, akhirnya tentu para perajurit akan kalah.
Demikian pula, sang puteri agaknya akan sulit mengalahkan kakek tinggi besar yang amat tangguh itu. Akan tetapi dia masih merasa ragu untuk keluar membantu puteri itu. Gurunya pernah menasihatinya agar dia tidak sembarangan mencampuri urusan orang lain dan juga banyak pendekar atau kesatria yang merasa tidak senang dibantu dalam perkelahian, apalagi kalau dia belum terancam oleh lawan.
Pada saat itu terdengar seruan-seruan lantang dan penuh daya getaran. Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar mengeluarkan ilmu mereka yang dahsyat. Datuk Madura itu dalam keadaan tubuh direndahkan mengembangkan kedua lengannya lalu mendorong ke depan. Dari gerakannya itu tiba-tiba saja tampak asap hitam mengepul tebal menyerang ke arah sang puteri. Itulah Aji Kukus Langking yang amat hebat. Ratu Wandansari adalah seorang wanita yang sakti mandraguna. Ia maklum akan bahayanya serangan yang menggunakan tenaga sakti dan kekuatan sihir itu. Iapun lalu mengerahkan tenaga sakti dan mendorong dengan kedua tangannya, menggunakan Aji Gelap Musti.
“Aji Kukus Langking... !” Ki Harya Baka Wulung berseru dan memperkuat tenaga.
“Aji Gelap Musti!” Ratu Wandansari juga berteriak melengking. Dua tenaga sakti bertemu dan akibatnya, sang puteri terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung. Jelas bahwa ia kalah kuat dalam pertandingan adu tenaga sakti ini.
Sementara itu, dalam saat yang hampir bersamaan, Wiku Menak Koncar juga mendorongkan kedua tangannya ke depan sambil berseru nyaring. “Aji Bayu Bajra...!”
Begitu dia berseru dan kedua tangannya mendorong, ada angin yang amat kuat menyambar ke arah para perajurit pengawal. Demikian kuatnya dorongan angin ini sehingga lima orang perajurit terpelanting dan terguling-guling! Tentu saja rekan-rekannya menjadi panik sehingga mereka terdesak mundur.
Melihat Ratu Wandansari terhuyung, Ki Harya Baka Wulung menjadi girang sekali. Saatnya tiba baginya untuk membunuh sang puteri. Dia sudah menyarungkan kerisnya kemudian dia melompat ke depan, berjongkok dan mendorongkan kedua tangan ke arah Ratu Wandansari, dari dalam perutnya yang menjadi gendut sekali itu keluar bunyi “kok-kok-kok!” nyaring sekali dan mulutnya berteriak nyaring lagi. “Aji Cantuka Sakti...!!”
Melihat hawa pukulan menyambar dahsyat, Ratu Wandansari kembali menyambut dengan Aji Gelap Musti, akan tetapi tubuhnya masih terhuyung.
“Wuuuutttt... blarrrr...!!” Tubuh Ki Harya Baka Wulung terpental ke belakang. Dia terbelalak kaget melihat betapa pukulan mautnya tadi disambut sepasang tangan yang amat kuat. Ketika dia memandang, dia melihat seorang pemuda berpakaian seperti seorang petani dusun berdiri di depannya. Akan tetapi pemuda yang tadi menangkis pukulannya itu seperti tidak memperdulikannya.
Pemuda itu bahkan menghadapi Ratu Wandansari dan berkata dengan sikap hormat. “Maafkan kalau saya mengganggu dan terpaksa mencampuri, Gusti Puteri. Saya tidak mungkin membiarkan kakek itu membunuh paduka.”
Ratu Wandansari memandang heran dan kagum, kemudian ia melirik ke arah pasukan pengawal yang terdesak oleh Wiku Menak Koncar dan lima orang warok setelah datuk Blambangan itu mengeluarkan ajinya yang mendatangkan angin kuat. “Kisanak, andika berani melawan Ki Harya Baka Wulung?” tanyanya cepat.
“Saya berani!” jawab Aji.
“Kalau begitu, wakili aku dan lawanlah. Aku harus membantu pasukan pengawal.”