Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Alap Alap Laut Kidul
Jilid 07
SILAHKAN, Gusti Puteri!” kata Aji dengan nada suara gembira. Ratu Wandansari mengangguk dan ia lalu memutar pedangnya dan menerjang ke arah Wiku Menak Koncar yang sedang dikeroyok perwira pasukan pengawal, sais kereta dan beberapa orang prajurit. Sambaran pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar itu mengejutkan Wiku menak Koncar dan terpaksa dia memutar ruyungnya untuk melindungi dirinya.
Ki Harya Baka Wulung marah bukan main ketika mengenal Aji sebagai pemuda yang tadi dilihatnya tidur bersandar batang pohon. Dia telah gagal membunuh Ratu Wandansari karena dihalangi dan ditangkis pemuda ini! “Heh, bocah keparat! Siapakah engkau, berani mencampuri urusan kami?”
Pada saat itu, entah mengapa, mungkin karena dia merasa gugup berhadapan dengan keadaan yang menegangkan seperti itu, juga karena dia tidak ingin memperkenalkan diri, Aji teringat kepada alap-alapnya. Dia merasa bahwa keadaannya seperti alap-alap itu, maka begitu saja keluar pengakuan dari mulutnya. “Aku? Aku Alap-alap dari Laut Kidul!”
Dia sendiri terkejut dan heran atas pengakuannya itu, akan tetapi juga geli sendiri sehingga dia tersenyum memandang kepada Ki Harya Baka Wulung. Datuk Madura itu mengerutkan alisnya. Dia menjadi semakin marah karena merasa dipermainkan. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihir pada pandang mata dan dalam suaranya. Matanya mencorong menatap wajah Aji, kemudian terdengar suaranya menggelegar.
“Orang muda! Aku Ki Harya Baka Wulung adalah sesembahanmu! Berlutut dan menyembahlah kepadaku!” bentakan ini mengandung kekuatan sihir amat kuat. Lawan biasa saja pasti tidak akan kuat bertahan dan terpaksa menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
Akan tetapi Aji sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kakek ini sakti mandraguna, maka sejak tadi dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala macam penyerangan. Begitu dia merasa adanya daya kekuatan dalam sinar mata kakek itu, dia sudah cepat melindungi dirinya dengan Aji Tirta Bantala. Dengan ilmu ini dirinya mempunyai sifat seperti tirta (air) dan bantala (tanah) yang dapat menerima dan menyerap segala macam serangan tanpa perlawanan. Serangan itu akan lewat begitu saja.
“Orang tua, sesembahanku hanyalah Gusti Allah. Orang yang mengandalkan ilmunya untuk melakukan kejahatan tidak patut dihormati. Sadarlah, sadarlah dan hentikan perbuatanmu yang sesat!”
Ki Harya Baka Wulung terkejut. Sihirnya sama sekali tidak mempengaruhi pemuda itu! Pada hal pemuda itu tidak melakukan apa-apa untuk menangkis serangan sihirnya. Belum pernah dia menghadapi lawan seperti ini. Apakah kekuatan sihirnya yang sudah punah? Dia berkemak-kemik membaca mantera, lalu membentak lagi, “Orang muda, kedukaan hebat mencengkeram hatimu. menangislah engkau!”
Akan tetapi pemuda itu malah tersenyum geli. “Orang tua, apakah engkau sudah menjadi pikun? Ataukah pikiranmu sudah tidak waras lagi?”
Wajah Ki Harya Baka Wulung menjadi merah sekali, merah karena malu dan terutama karena marah. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu berjongkok dan menyerang dengan dorongan pukulan kedua telapak tangannya sambil membentak. “Aji Cantuka Sakti...!”
Dari perutnya terdengar bunyi nyaring. Serangkum hawa panas yang berbau amis menyambar keluar dari kedua telapak tangannya, menyerang ke arah Aji. Biarpun dia belum mempunyai banyak pengalaman dalam perkelahian, namun Aji sudah seringkali mendengar penjelasan dari mendiang gurunya, maka dia selalu waspada. Maka ketika kakek itu melancarkan pukulannya, dia sudah bergerak cepat dan mengelak dengan gerakan seperti seekor kera karena memang dia memainkan ilmu silat Wanara Sakti.
Melihat pukulan mautnya luput, Ki Harya Baka Wulung menjadi penasaran dan mendesak terus dengan serangkaian serangan. Tubuhnya melompat-lompat dalam kedudukan berjongkok dan setiap kali memukul, dia mendorongkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka dan dari perutnya keluar suara berkokok nyaring. Aji mempergunakan kecepatan gerakannya untuk selalu menghindar, kadang membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga sakti Aji Surya Candra yang kuat.
Dari sambaran angin pukulan berupa tamparan ini, maklumlah Ki Harya Baka Wulung bahwa tamparan pemuda itupun ampuh sekali maka dia tidak berani menerimanya dengan mengandalkan ilmu kebalnya. Terjadi pertandingan yang hebat antara kedua orang ini. Kakek itu bergerak seperti seekor katak raksasa dan Aji bergerak lincah tiada ubahnya seekor kera, atau seperti tarian Sang Hanoman di kera putih dalam kisah Ramayana. Ilmu silat Wanara Sakti yang diajarkan oleh mendiang Ki Tejobudi kepada Aji lebih merupakan ilmu silat untuk menghindarkan diri dari serangan lawan.
Ilmu ini memang ampuh untuk menyelamatkan diri karena gerakannya yang gesit dan penuh dengan gerakan menghindar sehingga sukar sekali terkena serangan lawan. Akan tetapi ilmu silat ini kurang ampuh dalam penyerangan, hanya berupa tamparan-tamparan saja yang dilakukan cepat pula, inipun tidak mengesampingkan data pertahanannya. Kalau saja tamparan itu tidak disertai Aji Surya Chandra, tentu hanya merupakan tepukan-tepukan main-main saja.
Akan tetapi melihat kenyataan betapa dengan ilmu silatnya ini dia dapat membela diri dengan baik, Aji merasa gembira sekali. Tak disangkanya bahwa ilmunya ini dapat ia pergunakan untuk menandingi orang yang sakti mandraguna seperti kakek itu. Timbul kegembiraannya dan dia lalu mencoba untuk mempraktekkan ilmu silat yang dia rangkai sendiri berdasarkan gerakan burung alap-alap dan ular ketika kedua binatang itu berkelahi.
Dia mengubah gerakan kera itu menjadi gerakan alap-alap dan ular yang selain kuat dalam bertahan juga kuat pula serangan-serangannya. Bagaikan ular menggeliat dan kadang seperti gerakan alap-alap terbang meliuk, dia dapat menghindarkan serangan-serangan Ki Harya Baka Wulung. Tiba-tiba Aji mengeluarkan pekik yang ditirunya dari suara alap-alap ketika melayang-layang di atas Laut Kidul dan tubuhnya yang meliuk ke kiri menghindarkan pukulan lawan mendadak melompat seperti terbang ke atas!
Datuk Madura itu terkejut dan dia tidak berjongkok dan mengerahkan tenaga sakti Cantuka Sakti membuat dia lelah bukan main. Akan tetapi baru saja dia bangkit berdiri dan memandang ke atas, dia melihat pemuda itu sudah menukik ke bawah bagaikan seekor alap-alap (elang) menyambar ke arah kepalanya! Kedua tangan pemuda itu menyerang dengan membantuk cakar, mencengkeram ke arah kedua pelipis kepalanya! Ki Harya Baka Wulung mengenal serangan maut ini. Karena serangan itu datangnya cepat sekali, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menyambut serangan itu dengan kedua tangannya pula.
“Wuuuttt... plakkk!” Dua pasang tangan itu saling bertemu di udara. akan tetapi pada saat itu, kaki Aji yang tadinya ada di atas itu turun dan dengan kecepatan kilat kedua kakinya menghantam kakek yang ada di bawahnya.
“Dessss...!!” Ki Harya Baka Wulung berteriak mengaduh dan tubuhnya terjengkang keras lalu terbanting ke atas tanah. Akan tetapi dia memang tangguh. Dia bergulingan lalu melompat bangkit berdiri lagi. Sekilas pandang tahulah dia bahwa keadaan teman-temannya juga dalam bahaya. Wiku Menak Koncar repot menghadapi Ratu Wandansari yang dibantu perwira pengawal, sais kereta dan dua orang prajurit pengawal. Datuk Blambangan itu hanya dapat memutar ruyungnya untuk menangkis serangan lima orang pengeroyoknya itu tanpa sempat membalas lagi. Juga lima orang warok itu kini tinggal tiga orang, yang dua orang sudah roboh. Tiga orang warok itu menghadapi pengeroyokan enam orang prajurit yang juga kehilangan empat orang rekan mereka yang sudah roboh dalam pertempuran itu.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan bahkan membahayakan dirinya sendiri itu, Ki Harya Baka Wulung maklum bahwa usahanya membunuh Ratu Wandansari telah gagal. Bahkan kalau dia tidak cepat melarikan diri, bukan mustahil kalau dia yang akan terbunuh. Ratu Wandansari dan pasukannya itu sudah tangguh, ditambah lagi munculnya pemuda yang mengaku sebagai Alap-alap Laut Kidul dan yang ternyata sakti mandraguna ini, maka keadaan pihak musuh terlalu kuat baginya.
Melihat Ki Harya Baka Wulung roboh oleh tendangannya tadi, sebuah jurus dari gerakan alap-alap, Aji menjadi girang sekali. Akan tetapi kakek itu bangkit kembali dengan cepat, maka diapun segera melangkah cepat menghampiri. Akan tetapi tiba-tiba Ki harya Baka Wulung mempergunakan Aji Kukus Langking. Begitu kedua tangannya bergerak mendorong, asap hitam tebal mengepul dan menyerang ke arah Aji. Pemuda ini cepat menghindar ke belakang dan kesempatan itu dipergunakan Ki Harya Baka Wulung untuk melompat dan melarikan diri, menghilang dalam hutan yang lebat.
Dia tidak memperdulikan lagi teman-temannya yang masih bertempur! Dia tidak ingat lagi atau tidak mau perduli bahwa Wiku Menak Koncar dan lima orang warok itu bertanding mati-matian untuk membantunya! Wiku Menak Koncar sedang terdesak hebat. Ilmu pedang Kartika sakti yang dimainkan Ratu wandansari memang ampuh sekali, apalagi sang puteri ini dibantu perwira dan sais yang memiliki kedigdayaan yang cukup tinggi, ditambah dua orang prajurit pengawal. Kalau saja sang puteri itu maju sendiri, tentu dia masih dapat menandinginya. kini dia terdesak hebat dan menjadi bingung.
Apalagi ketika dia melihat Ki Harya Baka Wulung melarikan diri begitu saja tanpa memperdulikan dirinya! Tiba-tiba tiga orang warok yang juga dikeroyok dan didesak, berturut-turut roboh. Tinggal dia seorang diri! Wiku menak Koncar mengeluarkan gerengan yang mengandung getaran hebat sehingga empat orang yang membantu Ratu Wandansari yang mengeroyoknya terhuyung ke belakang. Hanya sang puteri yang mampu bertahan terhadap serangan daya suara itu. Wiku Menak Koncar tidak berpikir panjang lagi. Dia sudah amat lelah dan panik, maka dia menggunakan kesempatan ini untuk melompat dan melarikan diri.
“Jahanam, hendak lari ke mana kau?” Ratu Wandansari membentak dan ia melakukan jurus serangan terakhir dari ilmu pedang Kartika Sakti. Ia mengerahkan tenaganya, dengan suara bentakan ia melontarkan pedangnya ke arah tubuh Wiku Menak Koncar yang melarikan diri. Bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya, pedang itu meluncur cepat sekali dan tepat mengenai punggung kakek itu.
“Capp...!” Pedang itu menusuk sampai setengahnya dan tubuh Wiku Menak Koncar roboh menelungkup dan tak bergerak lagi. Ratu Wandansari melompat ke dekat mayat itu dan mencabut pedangnya, lalu dibersihkannya pedang itu dengan mengusap-usapkannya pada pakaian lawannya yang telah tewas.
Setelah menyarungkan kembali pedangnya, Ratu Wandansari menyapu keadaan sekitarnya dengan pandang matanya. Ia melihat betapa selain Wiku Menak Koncar, lima orang warok itupun sudah roboh dan tewas. Adapun di pihaknya, empat orang prajurit tewas dan dua orang lainnya terluka. Kemudian ia memandang ke arah Lindu Aji yang masih berdiri memandang ke arah para korban dengan mata terbelalak. Dia merasa kagum kepada sang puteri, akan tetapi juga merasa ngeri.
Baru dua kali selama hidupnya dia melihat orang terbunuh. Pertama kali ketika tiga orang penjahat yang mengganggu ibunya dikeroyok penduduk dusun dan dipukuli sampai mati dengan tubuh hancur. Ketika itupun dia sudah merasa ngeri. Dan sekarang, dia melihat sepuluh orang tewas dengan tubuh berlumuran darah.
Pada saat itu, ia menoleh ke kiri dan bertemu pandang dengan Ratu Wandansari! Sinar mata wanita itu demikian tajam penuh wibawa dan Aji segera menundukkan pandang matanya karena merasa rikuh. Ratu Wandansari melangkah menghampirinya. Setelah saling berhadapan dan melihat pemuda itu menundukkan mukanya, wanita itu berkata,
“Kisanak, aku berterima kasih sekali kepadamu yang telah membantuku menghadapi musuh yang berniat membunuhku. Kalau tidak ada andika yang membantu, kukira kami semua telah tewas oleh orang-orang jahat itu.”
Aji teringat akan semua nasihat mendiang gurunya. Dia memberi hormat dengan sembah lalu berkata, “Yang menolong paduka dan kita semua adalah Gusti Allah, dan kita semua hanya berusaha untuk melaksanakan kewajiban kita masing-masing sebaik mungkin, Gusti Puteri.”
Ratu Wandansari melebarkan sepasang matanya yang jeli, merasa heran sekali mendengar ucapan itu keluar dari mulut seorang pemuda yang berpakaian demikian sederhana. “Andika tahu siapa aku, ki sanak?”
“Saya mendengar percakapan tadi. Saya tahu bahwa paduka adalah Gusti Puteri Ratu Wandansari, puteri Kanjeng Gusti Sultan Agung dan garwa Adipati Surabaya.”
Ratu Wandansari tersenyum, manis sekali. Dari logat bicara pemuda itu, yang bicara dengan teratur menunjukkan bahwa dia tahu tata susila, ia dapat menduga bahwa pemuda itu berasal dari daerah selatan. “Kalau andika sudah tahu siapa aku, lalu kenapa andika membantuku menghadapi orang-orang yang memusuhiku tadi?” ia sengaja memancing.
“Mendiang bapa dan terutama sekali mendiang eyang guru saya memesan agar saya membela Mataram dan membantu Kanjeng Gusti Sultan Agung. Karena paduka adalah puterinya, maka tanpa ragu-ragu lagi saya membantu paduka. Apalagi karena dari pecakapan tadi saya menganggap bahwa kakek tadi yang jahat.”
“Hemmm, begitukah? Lalu, siapa mendiang bapamu dan mendiang eyang gurumu itu? Dan siapa pula andika?”
Biarpun hatinya ingin mengatakan bahwa dia “Alap-alap Laut Kidul” akan tetapi dia tidak berani main-main di depan puteri itu. “Mendiang bapa saya bernama Harun Hambali dan mendiang eyang guru saya bernama Ki Tejobudi“
“Ki Tejobudi? Hemmm.... kami pernah mengenal nama Resi Tejo Wening, Kyai Tejo Langit, dan bukankah Ki Tejobudi itu masih saudara seperguruan mereka?”
Aji mengangguk. “Mendiang eyang guru pernah bercerita tentang Eyang Resi Tejo Wening dan Eyang Kyai Tejo Langit.”
“Bagus sekali kalau begitu. Andika murid seorang yang sakti mandraguna. Dan nama bapamu itu? Harun Hambali? Seperti nama seorang dari daerah Pasundan.”
Aji kagum akan pengetahuan sang puteri yang amat luas itu. “Memang benar, Gusti Puteri. Mendiang bapa berasal dari Galuh.”
“Dan andika sendiri, siapakah nama andika?” Tanya sang puteri sambil mengamati wajah pemuda itu penuh perhatian. “Nama saya Lindu Aji.”
“Lindu Aji? Nama yang aneh akan tetapi bagus.” Ratu Wandansari lalu menghadapi perwira pasukan pengawal yang menghampirinya dan memberi hormat kepadanya.
“Gusti Puteri, apakah yang harus hamba lakukan dengan mayat-mayat itu? Menanti perintah.”
“Engkau dan sisa anak buahmu tinggal di sini. Urus mereka semua. Kubur baik-baik semua jenazah, kemudian pulanglah ke Surabaya dan laporkan kepada suamiku tentang apa yang terjadi di sini. Aku akan melanjutkan perjalanan ke Mataram bersama sais dan pemuda ini.” Ia lalu menghampiri Aji.
“Lindu Aji, maukah andika mengawal aku sampai ke Mataram? Andika tadi mengatakan hendak membantu Kanjeng Rama Sultan Agung. Nah, aku akan membawamu menghadap kalau andika memang hendak mengabdi kepada Mataram.”
Aji mengangguk. “Saya akan senang sekali, Gusti Puteri.”
“Bagus.” Sang puteri lalu berkata kepada perwira pengawal. “Pilihkan seekor kuda terbaik untuk Lindu Aji. Dia yang akan mengawalku sampai ke Mataram.”
Perwira itu memberikan kuda tungganganya sendiri kepada Aji. Ketika tinggal di dusun Gampingan, Aji sering menunggang kuda milik kepala dusun sehingga menunggang kuda bukan merupakan kesulitan baginya. Dengan hati senang dia menunggang kuda dan berangkatlah sang puteri, menunggang kereta yang dikusiri sais dan Aji menunggang kuda di belakang kereta. Di sepanjang perjalanan ke arah barat ini, Aji termenung.
Secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Puteri Wandansari bahkan telah menolongnya dari ancaman bahaya. Kini dia mengawal sang puteri menuju ke Mataram. Dia dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Sang Puteri akan membawanya menghadap Sultan Agung! dia akan menghadap Sri Baginda Raja Sultan Agung yang sudah sering dia dengar dari cerita eyang gurunya.
Mendiang Ki Tejobudi banyak bercerita tentang Sultan Agung yang dipujinya sebagai seorang raja yang bijaksana dan juga sakti mandraguna. Dan eyang gurunya itu wanti-wanti memesan agar dia dapat membantu raja itu. Tentu saja keadaan dirinya ini cocok sekali dengan pesan eyang gurunya. Akan tetapi ada satu hal yang mengganjal hatinya. Kalau dia dihadapkan Kanjeng Sultan Agung dan karena jasanya menolong sang puteri dia diangkat menjadi pejabat, lalu bagaimana dengan keinginannya untuk merantau seperti yang dia bayangkan?
Dia ingin hidup bebas, dapat merantau kemanapun dia suka, seperti seekor alap-alap terbang melayang di udara dengan bebasnya. Kalau dia diangkat menjadi pejabat tentu dia akan terikat akan ugas-tugas yang dibebankan kepadanya. lalu bagaimana dia akan dapat mencari putera eyang gurunya yang bernama Sudrajat, dan mencari kakak tirinya yang bernama Hasanudin?
Juga dia ingin mencari Raden Banuseta yang telah membunuh ayahnya. Bukan untuk membalas dendam kematian ayahnya, melainkan untuk melihat apakah orang itu melakukan kejahatan. Kalau benar dia seorang penjahat, tentu akan ditentangnya!
Semua inilah yang mengganggu pikirannya sehingga membuat dia melamun. Di samping rasa gembira akan dapat menghadap Sultan Agung, juga ada rasa khawatir dalam hatinya. Tiba-tiba dia teringat akan cerita mendiang Ki Tejobudi bahwa Sultan Agung adalah seorang yang arif bijaksana. Ingatan ini membesarkan hatinya dan mengusir kakhawatirannya. Mengapa khawatir? Kalau Sri Sultan demikian bijaksana, tentu dapat memaklumi keadaannya dan dapat mempertimbangkannya. Dia akan mengaku terus terang tentang keadaan dan keinginan hatinya.
Setelah hatinya mengambil keputusan ini, Aji tidak merasa khawatir lagi dan dia dapat menikmati perjalanannya mengawal Puteri Wandansari itu. Puteri Wandansari singgah di Kadipaten Madiun dan ia diterima dengan penuh penghormatan oleh Adipati Madiun. Sang puteri menceritakan kepada adipati itu apa yang telah terjadi di hutan Caruban yang masih termasuk daerah Madiun. Setelah bermalam di Kadipaten Madiun semalam.
Pada keesokan harinya puteri Wandansari melanjutkan perjalanannya. Kuda-kuda yang menarik kereta diganti dengan kuda baru agar tidak terlalu lelah. Juga Aji diberi seekor kuda baru yang masih segar dan kuat. Tawaran Adipati Madiun untuk memberi pengawalan ditolak oleh sang puteri. Perjalanan dilakukan seperti hari-hari yang lalu, tidak tergesa-gesa agar kereta tidak sangat terguncang dan melelahkan. Sang puteri berhenti di Sukowati dan setelah melewatkan malam di situ, keesokan harinya perjalanan dilanjutkan sampai ke kota raja Mataram.
Aji memasuki kota raja Mataram dengan hati penuh kagum dan heran. Sejak lahir dia berada di sebuah dusun yang sederhana. Rumah terbesar dan paling megah di dusunnya adalah rumah kepala dusun yang terbuat dari kayu jati. Ketika dia melakukan perjalanan melewati kota-kota kadipaten, dia melihat rumah-rumah yang lebih besar dan lebih megah. Juga ketika dia yang mengawal Puteri Wandansari memasuki gedung kadipaten, dia merasa kagum bukan main.
Akan tetapi kini dia memasuki kota raja Mataram dan dia merasa dirinya kecil sekali. akan tetapi, dia adalah seorang pemuda yang sudah digembleng sejak kecil, digembleng lahir batinnya. Oleh karena itu, biarpun dia merasa takjub dan seperti dalam mimpi, namun keheranannya itu tidak tampak pada sikap atau wajahnya. Dia tetap bersikap tenang seolah semua pemandangan itu sudah biasa dilihatnya!
Ketakjubannya mencapai puncaknya ketika dia diajak memasuki istana dan menghadap Sri Baginda Sultan Agung. Jantungnya berdebar tegang, matanya melahap semua keindahan yang mempesona itu. Tak pernah dia dapat membayangkan sebuah rumah sebesar dan seindah ini. Puteri Wandansari membawanya menghadap Sri Baginda. Melihat keagungan yang memancarkan wibawa kuat sekali dari pribadi Sang Sultan, Aji berlutut, lalu duduk bersila dan menyembah dengan sikap hormat. Dia tidak berani mengangkat muka menatap wajah Sultan Agung, hanya menunduk dengan sikap menanti.
Dengan suaranya yang lembut dan merdu, Ratu Wandansari menghaturkan sembah sujud kepada ayahandanya, kemudian dengan singkat menceritakan keadaan Kadipaten Surabaya yang berkeadaan tertib dan tenteram. Kemudian ia menceritakan tentang perjalanannya dan terutama tentang Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar bersama lima orang warok yang menghadangnya dan bermaksud membunuhnya. Ia menceritakan betapa ketika ia terancam bahaya dalam pertempuran itu, muncul Lindu Aji yang telah membantu dan menyelamatkannya.
“Dengan bantuan pemuda ini, akhirnya hamba berhasil menewaskan Wiku Menak Koncar juga lima orang warok itu dapat dirobohkan. Hanya Ki Harya Baka Wulung seorang yang berhasil lolos setelah dia mengeluarkan ajinya yang mengeluarkan asap hitam tebal, kanjeng rama,” demikian Puteri Wandansari mengakhiri laporannya.
“Hemmmm. tentu dia mempergunakan Aji Kukus Langking.” kata Sultan Agung. “Tokoh Arisbaya itu memang sakti, kalau tidak salah dia adalah guru Raden Prasena yang telah kami angkat menjadi Pangeran Cakraningrat. Untung engkau dapat lolos dari tangannya.”
“Karena pertolongan Lindu Aji inilah, kanjeng rama. Pemuda ini mampu menandingi dan membuat Ki Harya Baka Wulung melarikan diri. Dia adalah murid mendiang Ki Tejobudi. Dia seorang kawula yang setia dan siap membantu Mataram, kanjeng rama.”
Sultan Agung mengangguk-angguk dan wajahnya yang masih tampak tampan dan anggun itu berseri. Walaupun usianya sudah lima puluh tahun, namun raja yang bijaksana ini masih tampak anggun. “Engkau tentu lelah, Wandansari. Masuk dan istirahatlah, temui para ibu dan saudaramu.”
Mendengar ucapan ayahandanya, ratu Wandansari menghaturkan terima kasih lalu meninggalkan ruangan itu menuju ke bagian dalam istana itu. Sultan Agung melayangkan pandang matanya kepada belasan orang yang duduk menghadapnya. Hari itu bukan merupakan hari sebo (menghadap raja) yang biasa dilakukan pada setiap hari Senin dan Kamis. Dalam hari sebo biasa itu, Sultan Agung dihadap para ponggawa besar kecil yang jumlahnya mencapai seratus orang lebih!
Akan tetapi pada saat itu yang menghadap hanya lima belas orang, terdiri dari patih, menteri dan senopati yang memang datang menghadap karena dipanggil untuk membicarakan urusan penting. Di antara para senopati terdapat pula Tumenggung Wiroguno, Kyai Juru Kiting, Ki Mertoloyo, Suroantani dan lain senopati yang sudah berjasa besar dalam perang menundukkan daerah Jawa Timur yang tadinya menentang Mataram. Mereka tampak gagah dalam pakaian kebesaran masing-masing. Kemudian Sultan Agung memandang kepada Lindu Aji.
Pemuda itu tampak sederhana sekali duduk di antara para menteri dan senopati itu. Berpakaian sederhana seperti seorang pemuda tani dan selalu menundukkan muka dengan sikap hormat. Begitu sederhana, begitu polos dan sama sekali tidak tampak tanda-tanda bahwa dia seorang pemuda yang memiliki kesaktian. Akan tetapi pemuda ini telah mampu menandingi bahkan mengalahkan Ki Harya Bak Wulung, datuk dari Madura yang sudah tersohor akan kesaktiannya itu! Luar biasa sekali!
“Orang muada, siapakah namamu seperti yang dikatakan Puteri Wandansari tadi?” sultan agung bertanya kepada Aji.
Tanpa memandang Aji tahu bahwa dialah yang ditanya, karena di ruangan itu tidak ada orang mudanya, kecuali dia seorang. Para ponggawa yang hadir di situ rata-rata sudah berusia lima puluh tahun lebih. Dia menyembah sebelum menjawab, “Nama hamba Lindu Aji dan hamba biasa disebut Aji, Gusti.”
Sultan Agung makin memperhatikan. Sikap dan cara bicara pemuda ini tidak menunjukkan bahwa dia seorang pemuda dusun yang kurang pendidikan, pikirnya. Dia tahu tatakrama. Dan nama itupun bukan nama sembarangan. tentu orang tuanya, pemberi nama itu, seorang pemberani yang tidak lagi terpengaruh pendapat penduduk dusun bahwa memberi nama yang terlalu “tinggi” buat anak akan mendatangkan bencana bagi si anak karena tidak kuat!
“Benarkah engkau murid Ki tejobudi, orang sakti dari banten itu?”
“Benar sekali, Gusti. Guru hamba adalah mendiang Eyang Tejobudi.”
“Siapa orang tuamu dan di mana engkau tinggal?”
“Bapa hamba sudah meninggal dunia, namanya Harun Hambali. Ibu hamba bernama Warsiyem, sekarang tinggal di dusun Gampingan dekat Laut Kidul. Hamba berasal dari dusun itu, Gusti.”
"Hemm, Gampingan. Sebuah dusun kecil di Pegunungan Kidul, pikir sultan Agung. Kalau begitu benar, seorang pemuda dusun. “Aji, coba angkat mukamu dan pandang kami!” perintahnya.
Aji tidak berani menolak. Dengan jantung berdebar dia mengangkat muka dan memandang wajah yang yang anggun dan agung itu. Pandang matanya bertemu dengan sepasang mata yang demikian tajam penuh wibawa. Sebaliknya, Sultan Agung juga terkejut. Sepasang mata pemuda itu begitu lembut, penuh pengertian, namun juga mencorong dan membayangkan kekuatan batin yang hebat. Aji tidak berani memandang lebih lama lagi dan perlahan-lahan dia menundukkan kembali mukanya. Rasa kagum dan suka memenuhi hati Sultan Agung, Puterinya benar. Pemuda ini seorang yang hebat dan dapat dijadikan pembantu yang boleh diandalkan.
“Aji, engkau tinggal di Gampingan yang berada di sebelah selatan kota raja. Bagaimana engkau dapat berada di hutan Caruban dan menolong puteri kami?”
“Hamba sedang melakukan perjalanan merantau, Gusti.”
“Merantau? Tujuanmu ke mana?”
“Hamba tidak mempunyai tujuan tertentu. Hamba hanya mengikuti arah terbangnya Alap-alap Laut Kidul.”
“Alap-alap Laut Kidul? Apa maksudmu?”
“Seekor burung alap-alap yang sering kali hamba lihat terbang melayang-layang di atas Laut Kidul. Hamba ingin merantau, bebas seperti alap-alap itu. Melihat alap-alap itu terbang ke arah timur, maka hamba lalu menuju ke timur di sepanjang pantai laut Kidul. Pada suatu hari hamba melihat alap-alap itu terbang ke utara, maka hamba lalu ke utara dan tiba di dalam hutan Caruban dan melihat Gusti Puteri diserbu gerombolan itu. Setelah mendengar bahwa yang diserang itu puteri paduka, Gusti Puteri Wandansari, hamba lalu membantu.”
Sultan Agung mengangguk-angguk. “Aji, kenapa engkau membantu puteri kami?” Pertanyaan itu diajukan seperti hendak menyelidik.
Aji merasakan benar persamaan antara Sultan Agung dan Puteri Wandansari. Pertanyaan yang sama. “Mendiang bapa dan eyang guru hamba meninggalkan pesan dan memberi tugas kepada hamba, antara lain agar hamba membela Mataram dan membantu Paduka, Gusti. Karena itulah maka hamba membantu puteri paduka.”
“Tanpa pamrih apapun di balik pertolonganmu itu?” Sulatan Agung bertanya.
“Tanpa pamrih apapun, Gusti.”
Sultan agung lalu menyapukan pandangannya ke arah ponggawanya. “Bagaimana pendapat kalian, para menteri dan senopati?”
Ki Mertoloyo menyembah kepada Sultan Agung, lalu menoleh kepada Aji dan bertanya, “Anakmas Aji, apakah andika tidak mengharapkan ganjaran apapun dari Gusti Sultan? Kalau ada, beritahukan saja. Gusti Sultan arif bijaksana, tentu akan memberimu ganjaran besar kepadamu.”
“Maaf, paman. Sesungguhnya saya tidak mengharapkan ganjaran apapun juga. Saya hanya melaksanakan tugas saya seperti yang dipesan oleh mendiang bapa dan mendiang eyang guru.”
Senopati Suroantani menyembah kepada Sultan Agung. “Ampunkan hamba, Gusti. Hamba hendak mengusulkan kalau paduka menyetujui agar anakmas Lindu Aji diangkat menjadi seorang senopati muda, mengingat dia mampu menandingi dan mengalahkan Ki Harya Baka Wulung.”
Sultan Agung mengangguk-angguk. “Luhur budi anak ini! Sudah sepantasnyalah kalau menjadi senopati muda Mataram. Aji, bersediakah engkau kalau kami angkat menjadi seorang senopati muda Mataram?”
Hal inilah yang dikhawatirkan Aji dalam perjalanan mengawal Puteri Wandansari. Akan tetapi dia sudah mengambil keputusan tetap untuk tidak mengikatkan diri dengan jabatan. Dari pertanyaan itupun dia tahu akan kebijaksanaan Sultan Agung. Raja itu tidak memerintahkan dia menjadi senopati, melainkan bertanya apakah dia bersedia! Maka dengan didahului sembah dia menjawab dengan hormat.
“Mohon beribu ampun, Gusti. Bukan sekali-kali hamba menolak anugerah yang paduka berikan kepada hamba. Akan tetapi, pada waktu ini hamba masih harus melaksanakan tugas-tugas yang dipesan mendiang bapak dan eyang guru. Tugas itu mengharuskan hamba melakukan perjalanan ke daerah Galuh dan Banten.”
Sultan Agung mengangguk-angguk. “Baik sekali keputusan hatimu itu, Aji. Memang sudah menjadi kewajibanmu untuk menjunjung tinggi pesan terakhir mendiang bapak dan eyang gurumu. Itu menandakan bahwa engkau seorang yang setia dan berbakti. Engkau hendak merantau ke Galuh dan Banten? Sungguh kebetulan sekali. Maukah engkau sambil melaksanakan tugasmu itu juga membantu kami?”
“Hamba bersedia dan siap mengabdikan diri membantu paduka kalau sudah selesai hamba melaksanakan tugas-tugas hamba itu, Gusti.”
“Bukan demikian maksud kami, Aji. Engkau dapat melanjutkan pelaksanaan tugas-tugas pribadimu itu, akan tetapi dalam perjalananmu, engkau dapat pula membantu kami.”
Aji merasa heran. Kalau dia merantau ke Galuh dan Banten untuk mencari Hasanudin dan Sudrajat, bagaimana dia akan dapat membantu Sultan Agung? “Ampun Gusti. Hamba mohon penjelasan. Bagaimana caranya hamba dapat membantu paduka kalau hamba merantau ke daerah Pasundan dan Banten?”
“Aji, tahukah engkau bahwa pada waktu ini Mataram mempunyai musuh yang amat kuat dan berbahaya, yaitu Kumpeni Belanda yang berkedudukan di Jayakarta?”
Aji menyembah. “Hamba pernah mendengar keterangan mendiang Eyang Guru tentang Kumpeni belanda, Gusti.”
“Baik sekali kalau begitu. Engkau tahu bahwa Kumpeni Belanda merupakan ancaman bahaya bagi rakyat dan tanah air kita. Mereka angkara murka, hendak memperluas cengkeraman mereka, menguasai daerah Nusantara kita dan menguasai perdagangan. Mereka juga mempengaruhi rakyat, meyebar telik sandi (mata-mata), bahkan mempengaruhi banyak tokoh sakti untuk membantu meraka dengan menggunakan umpan harta benda. Selain itu mereka juga berusaha untuk mengadu domba dengan membujuk para bupati dan adipati agar menentang Mataram. Paman Kyai Juru Kiting, ceritakanlah kepada Aji tentang usaha kita menyerbu kumpeni yang telah mengalami kegagalan agar dia mengetahui duduknya perkara.”
Sultan Agung menoleh kepada senopati tua itu. Senopati Kyai Juru Kiting yang sudah berusia enam puluh tahun itu menyembah lalu dengan suara yang lembut namun jelas dia menceritakan kepada Lindu Aji tentang usaha Mataram yang baru saja dilakukan dan mengalami kegagalan. Aji mendengarkan dengan penuh perhatian. Demikianlah cerita senopati itu.
Setelah Sultan Agung berhasil menundukkan para adipati dan bupati yang tadinya melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, memundukkan hampir seluruh daerah Jawa Timur kecuali Blambangan yang belum dapat dikalahkan, berhasil mempersatukan kekuatan seluruh Madura, Surabaya, Giri dan daerah Jawa Timur, Mataram lalu mengadakan penyerangan menuju Jayakarta atau Batavia.
Penyerangan besar-besaran pertama itu terjadi dalam tahun 1628. Balatentara Mataram itu dipimpin oleh Senopati Baurekso dan dibantu pula oleh pasukan dari Madura dan Surabaya. Juga setelah tiba di Pasundan, pasukan Mataram itu dibantu oleh pasukan Pasundan yang dipimpin oleh Dipati Ukur. Pasukan pertama ini segera disusul oleh pasukan kedua yang cukup besar jumlahnya pula, dipimpin oleh tiga orang senopati terkenal, yaitu Suro Agul-agul, Kyai Adipati Mandurejo, dan Adipati Uposonto. Pasukan kedua ini dipersiapkan untuk membantu pasukan pertama dari belakang, kalau diperlukan.
Serbuan itu hebat sekali. Pasukan Kumpeni Belanda terkejut dan melakukan perlawanan mati-matian. Pertempuran terjadi setiap hari karena pasukan Mataram dengan gigih mengepung perbentengan Belanda. Pertempuran hebat itu terjadi sampai lebih dari dua bulan lamanya. Akan tetapi pihak Kompeni Belanda memang licik. Selain mereka memiliki persenjataan yang lebih lengkap dengan meriam-meriam dan senapan-senapan, mereka juga dapat membujuk para pendekar yang memiliki kedigdayaan untuk membantu mereka dengan memberi banyak harta benda.
Selain itu, juga Kumpeni Belanda menyebar banyak mata-mata. Bahkan berhasil menarik pihak Banten untuk membantu mereka karena memang sudah terdapat persaingan dan permusuhan antara Banten dan Mataram. Di samping itu, terjadi malapetaka ketika penyakit menular menjalar di antara para prajurit Mataram. Ada desas desus yang mengatakan bahwa penyakit menular ini bukan lain adalah kekuatan sihir dan guna-guna yang dilepaskan oleh para ahli tenung dari Banten. Penyerbuan tentara Mataram itu gagal, bahkan Senopati Baurekso yang kedudukannya adalah Adipati Kendal, gugur dalam peperangan itu. Terpaksa sisa pasukan Mataram ditarik mundur meninggalkan Batavia. Biarpun penyerbuan itu gagal, namun sempat mngejutkan Balanda dan menjatuhkan banyak korban pula di pihak Kumpeni.
“Demikianlah, anak mas Lindu Aji, penyerbuan pertama pasukan kita itu mengalami kegagalan.” Kyai Juru Kiting mengakhiri ceritanya.
“Nah, engkau sudah mendengar semua, Aji. Ketahuilah bahwa kami tidak akan berhenti berusaha sebelum Kumpeni Belanda dapst diusir dari Nusantara. Biarpun penyerbuan pertama kami itu gagal, namun kami merencanakan penyerbuan selanjutnya. Kami telah menusun kekuatan di daerah barat dan kami telah menyebar telik sandi untuk mengadakan persiapan di sekitar Batavia. Juga Kerajaan Galuh siap membantu. Karena itu, Aji, dalam perantauanmu ke daerah Pasundan, engkau dapat membantu kami. Engkau kami angkat menjadi telik sandi untuk membantu semua pihak yang mendukung Mataram dan menentang mereka yang menjadi antek Kumpeni Belanda. Nah, sanggupkah engkau di samping melaksanakan tugas pribadimu, membantu kami?”
Aji menjawab. “Hamba sanggup dan siap membantu, Gusti.”
“Bagus sekali kalau begitu!” kata Sultan Agung dan dia mengambil sebatang keris dengan warangka terukir indah, lalu diserahkannya keris itu kepada Aji.
“Terimalah pusaka ini, Aji. Semua pejabat daerah dan semua telik sandi Mataram akan mengenal pusaka ini kalau engkau cabut dari sarungnya. Keris ini adalah satu diantara serangkaian pusaka Naga yang menjadi pusaka-pusaka khas kami. Namanya Kyai Nagawelang satu di antara pusaka-pusaka buatan Empu Warihanom yang terbaik.”
Aji menerima pusaka itu dan menghaturkan terima kasih. Selain keris pusaka ampuh itu, Aji juga mendapatkan seekor kuda dan sekantong uang untuk bekal dalam perjalanan. Setelah persidangan dibubarkan Aji lalu berangkat meninggalkan ibu kota Mataram, menuju ke barat, memulai dengan pengembaraannya melaksanakan perintah bapak dan eyang gurunya, sekalian untuk membantu usaha gerakan Mataram menentang Kumpeni Belanda.
Siang itu udara cerah sekali. Matahari bersinar sepenuhnya tanpa terhalang awan, menyengat segala sesuatu dengan sinarnya yang panas. Aji menjalankan kudanya perlahan karena kuda itu sudah lelah, tubuhnya berpeluh dan sering mendengus-dengus. Ketika di depannya tampak sebatang sungai, dia menghentikan kudanya, turun dari atas punggung kuda dan melepaskan kendali memberi kesempatan kepada kuda itu untuk makan rumput gemuk yang tumbuh disepanjang tepi sungai.
Aji sendiri duduk mengaso di bawah sebatang pohon mahoni. Dia membuka kancing bajunya, membiarkan dadanya terbuka. Semilir angin membelainya membuat dia mengantuk. Perutnya juga sudah mulai lapar. Akan tetapi tempat itu sunyi. Agaknya jauh dari pedusunan. Bahkan perjalanannya terhadang sebuah sungai yang cukup lebar. Tidak ada tempat penyeberangan di situ, tidak pula tampak adanya perahu yang akan dapat menyeberangkannya.
Dia harus dapat menyeberangi sungai ini kalau hendak melanjutkan perjalanannya. Biarlah dia membiarkan kudanya makan dan mengaso. Nanti tentu ada orang dan dia dapat bertanya bagaimana biasanya penduduk di sekitar situ menyeberang ke barat. Sambil menunggu orang lewat di tempat itu, Aji duduk bersandar pada batang pohon itu dan melenggut. Semilir angin mengipasinya dan membuat dia merasa nyaman. Tanpa disadari Aji jatuh pulas sambil duduk bersandar batang pohon mahoni itu, Dia terbangun oleh suara kuda meringkik nyaring.
Ketika membuka matanya, Aji melihat dua orang laki-laki tinggi besar berpakaian hitam sedang berusaha keras untuk menenangkan kudanya yang meringkik-ringkik sambil mengangkat kedua kakinya ke atas. Dua orang laki-laki lain, juga berpakaian hitam, sedang membuka dan memeriksa buntalan pakaiannya. Pada saat itu, sebuah perahu meluncur di atas sungai. Di atas perahu duduk dua orang laki-laki berpakaian hitam pula dan seorang di antara mereka, yang usianya kurang lebih lima puluh tahun bertubuh tinggi kurus, menelikung dan memeluk seorang wanita yang meronta-ronta dan menangis. Laki-laki kedua usianya agak lebih muda dan memegang dayung, mendayung perahu ke tepi, lalu berseru kepada empat orang yang sedang menangkap kuda dan membuka buntalan.
“Heii, kenapa kalian berhenti di situ? Ada apakah?” “Ha-ha-ha-ha, lihat, kakang Jalak Uren! Apa yang kami dapatkan di sini? Rejeki nomplok! Seekor kuda yang besar dan bagus, tentu harganya amat mahal!” kata laki-laki yang kini sudah memegangi kendali kuda.
“Dan kini lihat! Ha-ha-ha-ha, sekantung uang emas! Wah, kita menjadi kaya raya tanpa bersusah payah!” kata seorang laki-laki yang telah menemukan kantung uang pemberian Sultan Agung dalam buntalan pakaian Aji.
Aji yang tadi keheranan itu kini menyadari bahwa mereka itu adalah perampok-perampok yang hendak merampas kuda dan buntalan pakaiannya. Cepat dia melompat bangkit menghampiri mereka yang telah membawa buntalan dan kudanya. “Hai... kisanak! Itu adalah kudaku dan buntalan pakaianku! Kembalikan milikku itu kepadaku!” teriak Aji.
Seorang di antara empat orang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam itu melompat ke depan Aji. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, tampak kokoh kuat seperti raksasa. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan dia memiliki kumis yang tebalnya sekepal sebelah. Dengan bertolak pinggang dia berkata dengan suaranya yang dalam dan parau.
“Heh, bocah sial! Jangan banyak cerewet. mengingat bahwa engkau telah memberi sumbangan yang lumayan untuk kami, aku mau mengampuni nyawamu dan cepat minggat dari sini!” Aji mengerutkan alisnya.
“Kuda dan barang-barang itu adalah milikku. kembalikan kepadaku!” Dia hendak menghampiri orang yang membawa pundi-pundi uangnya.
Akan tetapi orang berkumis tebal itu menjadi marah sekali. “Kalau begitu, kau ingin mampus!” Tangan kanannya membentuk kepalan sebesar buah kelapa dan menyambar ke arah kepala Aji.
Serangan pukulan itu cepat dan kuat sekali, mendatangkan angin mengiuk. Namun dengan mudahnya Aji miringkan tubuh mengelak dan ketika lengan itu menyambar lewat, dia cepat menangkap lengan itu, memutar tubuhnya dan sekali sentakan tubuh orang berkumis tebal itu terangkat, berjungkir balik dan terbanting ke atas tanah.
“Bres... ngekkkk!” Demikian kerasnya sentakan Aji sehingga orang yang terbanting itu seketika pingsan dan tulang pundak kanannya patah! Aji tidak berhenti sampai di situ saja, dia sudah menerjang cepat ke arah orang yang masih memegang pundi-pundi uangnya. “Kembalikan barang itu!” bentaknya dan bagaikan seekor burung alap-alap, tubuhnya menyambar, tangan kirinya mencengkeram dan di lain saat pundi-pundi uang itu telah berpindah ke tangannya sebelum lawannya itu menyadari apa yang terjadi.
Orang itu marah sekali. Kini dia melihat betapa seorang kawannya roboh dan tak dapat bangkit kembali, dan pundi-pundi uang itu telah berpindah ke tangan pemuda yang kelihatan biasa saja itu. Dia cepat mencabut sebatang golok yang tergantung di pinggangnya. Aji melemparkan pundi-pundi itu ke arah buntalan pakaiannya yang masih terbuka dan terletak di atas tanah. Ketika melihat sinar golok menyambar, dia mengelak dengan cepat ke kiri. Akan tetapi lawannya itu agaknya mahir juga memainkan goloknya, karena begitu bacokannya luput, dia sudah membalikkan lagi goloknya dan menyerang dari lain jurusan. Golok menyambar ke arah leher Aji.
Kembali Aji mengelak ke belakang sehingga golok hanya mengenai tempat kosong. Orang itu mengejar dan tiba-tiba kaki kanannya mencuat, menyambar dengan tendangan kuat ke arah tubuh Aji. Tendangan yang demikian berbahayanya dibandingkan serangan golok tadi. “Wuuuttt...!” aji miringkan tubuhnya dan ketika kaki yang besar dan kokoh itu menyambar ke atas, secepat kilat tangannya menyangga kaki itu dan dengan sentakan tenaga dahsyat dia mendorong ke atas. tenaga tendangan kaki tadi kini ditambah tenaga dorongan aji, membuat si penendang itu tidak lagi dapat mempertahankan dirinya dan tubuhnya terdorong dan terlempar ke atas!
Dia mengeluarkan teriakan kaget ketika tubuhnya terbanting dengan kaki di atas dan kepala lebih dulu menhantam tanah. “Dukk... bresss...!” Orang kedua itu roboh dan tidak mampu berkutik lagi, pingsan karena kepalanya menumbuk tanah keras.
Dua orang perampok yang tadinya memegang kuda, terkejut dan marah melihat betapa dua orang kawan mereka roboh dan tak dapat bangun lagi. Mereka mengira bahwa dua orang kawan itu telah tewas terbunuh pemuda itu. Mereka melupakan kuda yang mereka rampas dan dengan marah mereka mencabut golok lalu lari menghampiri Aji dengan golok diacungkan di atas kepala. Aji siap menanti dengan sikap tenang. ketika dua orang itu menerjang dengan golok mereka, Aji menggerakkan tubuhnya dengan kecepatan luar biasa sehingga dua orang penyerang itu hanya melihat bayangan berkelebat dan serangan mereka luput!
Karena tidak melihat pemuda itu di depan mereka, keduanya memutar tubuh dan melihat bahwa pemuda itu telah berdiri di belakaang mereka sambil tersenyum. Dua orang itu menjadi penasaran dan kembali mereka menggunakan golok untuk menyerang. Akan tetapi, Aji tidak mau memberi kesempatan lagi kepada dua orang lawannya. Dia melihat keadaan yang tidak wajar dari wanita di atas perahu dan dapat menduga bahwa wanita itu tentu ditawan atau diculik. Dia harus cepat dapat merobohkan orang-orang ini agar dia dapat menyelamatkan wanita yang ditawan itu.
Maka, sebelum dua orang pengeroyoknya itu sempat menggerakkan golok untuk melakukan penyerangan yang kedua kalinya, dia mengukur jarak dan kemudian kedua kakinya mencuat ke kanan kiri, tepat menendang ke arah bawah pusar!
“Desss...! Desss...!” Dua orang itu terbelalak dan mengaduh-aduh melepaskan golok dan kedua tangan meraba-raba bawah pusar dan mereka berjingkrak-jingkrak menahan rasa nyeri yang menusuk isi perut. Aji menggerakkan tangan kirinya dua kali, menampar ke arah tengkuk dan dua orang itupun terpelanting dan roboh pingsan. Empat orang perampok itu sudah roboh semua dan pingsan.
“Keparat, berani engkau menganiaya anak buahku?” bentak laki-laki yang mendayung perahu tadi dan disebut Kakang Jalak Uren oleh empat orang yang merampok. Dengan marah dia meninggalkan kawannya yang masih menelikung wanita itu dan melompat ke daratan sambil mencabut sebatang golok yang berkilauan saking tajamnya. Sebentar saja orang yang bertubuh tinggi ini sudah berhadapan dengan Aji. Melihat betapa empat orang anak buahnya masih menggeletak tak bergerak, dia mengira mereka telah tewas maka kemarahannya memuncak.
“Babo-babo, bocah keparat! Berani engkau membunuh empat orang anak buah perkumpulan para pendekar Gagak Rodra?” bentak Ki Jalak Uren, wakil ketua Gerombolan Gagak Rodra itu sambil menudingkan goloknya ke arah muka Aji.
“Aku tidak membunuh mereka, hanya membuat mereka pingsan agar mereka tidak dapat merampas kuda dan barang-barangku.” kata Aji dengan sikap tenang. Dia lalu berjongkok dan membungkus lagi pakaian dan pundi-pundi uangnya dalam buntalan kain.
Mendengar ucapan ini, Ki Jalak Uren menghampiri empat orang anak buahnya itu dan mendapat kenyataan bahwa yang diucapkan pemuda itu benar. Mereka tidak tewas melainkan pingsan. Akan tetapi kenyataan ini tidak mengurangi kemarahannya. Dia menghampiri lagi Aji yang telah selesai membungkus barang-barangnya dan kini berdiri dengan sikap tenang namun waspada. “Heh, pemuda yang kurang ajar! Siapa engkau, berani sekali engkau menentang Perkumpulan Gagak Rodra?”
“Aku tidak menentang siapa-siapa, hanya mempertahankan kuda dan barang-barangku yang hendak dirampas oleh empat orang ini. Namaku Lindu Aji.”
“Keparat! Sepanjang Kali Bogawanta ini adalah menjadi wilayah kekuasaan kami dan siapa saja yang lewat di sini harus menaati peraturan kami. Akan tetapi engkau malah berani melawan dan merobohkan empat orang anak buah kami, berarti engkau sudah bosan hidup! Engkau sekarang berhadapan dengan Ki Jalak Uren, gembong Kali Bogawanta. Menyerahlah untuk kuringkus dan kuhadapkan ketua kami, daripada engkau menjadi bangkai makanan buaya di kali ini!”
“Hemmm, Ki Jalak Uren. Andika mengatakan bahwa andika sekalian adalah orang-orang gagah dari perkumpulan para pendekar Gagak Rodra. Akan tetapi mengapa para pendekar bersikap dan bertindak seperti segerombolan perampok dan penjahat yang suka mengganggu orang? Aku melihat di perahu itu kalian juga menawan seorang wanita. Apakah perbuatan kalian itu termasuk watak para pendekar, ataukah ulah para penjahat?”
“Babo-babo, keparat! berani engkau menghina kami? Berani engkau melawan aku, Ki Jalak Uren gembong Kali Bogawanta?”
“Jangankan hanya gembong Kali Bogawanta, biarpun setannya sekalipun, kalau berbuat jahat pasti akan kulawan!”
“Jahanam sombong! Ambrol dadamu!” bentak Ki Jalak Uren dan tiba-tiba saja kakinya yang besar dan panjang itu sudah mencuat melakukan tendangan kilat ke arah dada Aji. Akan tetapi pemuda ini sudah waspada. Latihan yang ditekuninya di bawah bimbingan mendiang Ki Tejobudi telah membuat ilmu silatnya mendarah daging dengan dirinya dan gerakannya sudah otomatis tanpa dikendalikan pikiran lagi. Maka, ketika angin tendangan menyambar, dia sudah mengelak mundur ke samping kanan sehingga kaki lawan yang menyambar ke arah dadanya itu luput.
Namun Ki Jalak Uren ternyata bukan orang lemah. Dia jauh lebih tangguh dibandingkan dengan anak buahnya tadi. Orang ini adalah wakil ketua ke dua di Gerombolan Gagak Rodra, maka tentu saja lmu silat dikuasainya dengan baik di samping tubuhnya yang kebal dan kokoh kuat. Begitu tendangannya luput dan kaki yang menendang itu sudah turun, tubuhnya sudah menerjang maju dan goloknya menyambar dahsyat. Saking cepat dan kuatnya golok itu menyambar, golok lenyap bentuknya berubah menjadi sinar putih yang menyambar ke arah leher Aji.
“Singggg...!!” Aji merendahkan tubuhnya dan sinar golok itu lewat di atas keplanya. Akan tetapi Ki Jalak Uren sudah menyusulkan serangan dengan tangan kirinya. Jari-jari tangan kirinya membentuk cakar dan mencemngkeram ke arah perut Aji dari bawah! Aji cepat menggerakkan lengan kanannya menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Wuuuttt... dukkk !” Dua lengan bertemu dan akibatnya, Ki Jalak Uren terdorong mundur dan terhuyung. Dia terkejut sekali. Dia adalah seorang yang kebal dan bertenaga besar, akan tetapi pertemuan kedua lengan itu bukan saja membuat dia terhuyung menandakan bahwa dia kalah kuat, akan tetapi juga lengannya terasa nyeri menunjukkan bahwa kekebalannya dapat ditembus oleh lengan pemuda itu! Maklumlah dia bahwa pemuda yang sederhana ini ternyata memiliki kesaktian. Dia menjadi semakin marah dan penasaran. Sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa dia sudah menerjang lagi, menyerang dengan goloknya.
Aji bergerak dengan gerak silat Wanara Sakti. Tubuhnya lincah dan trengginas, mengelak dan berlompatan ke sana sini dengan cepat sekali sehingga ke manapun sinar golok menyambar, selalu hanya mengenai tempat kosong. Tiba-tiba dia mendengar jerit dari arah sungai.
“Tolooongggg...!” Aji melompat ke belakang dan menoleh. Dia melihat laki-laki tinggi kurus yang tadi menelikung wanita itu kini mendayung perahunya ke tengah, agaknya hendak melarikan diri dengan perahu sambil membawa wanita itu. Melihat ini, Aji bertekad untuk menolong wanita itu. Dia harus merobohkan dulu Ki Jalak Uren kalau hendak mengejar laki-laki yang melarikan wanita itu.
Pada saat itu Ki Jalak Uren yang sudah merasa penasaran sekali kembali mengirim bacokan dengan goloknya. Sekali ini Aji sudah mengambil keputusan untuk menyudahi perkelahian ini secepatnya karena dia harus menolong wanita yang dilarikan penjahat. Begitu golok menyambar, dia tidak mengelak melainkan menyambut dengan sambaran tangan kirinya mendahului dan memegang golok, sementara tangan kanannya cepat menyambar ke depan, dengan jari-jari terbuka dia menotok ke depan.
“Dukkk... ngekkk!!” Ki Jalak Uren terjengkang dan roboh, tak mampu bergerak lagi karena diapun sudah klenger (pingsan)! Aji tidak memperdulikannya lagi. Cepat dia melompat ke tepi sungai dan melihat betapa perahu itu sudah tiba di tengah sungai. Wanita itu masih menangis dan menjerit, meronta di bawah tekanan kaki laki-laki itu yang dilintangkan di atas pinggangnya. Sedangkan kedua tangan itu menggerakkan dayung, mendayung perahu melawan arus menuju seberang. Aji melompat ke air.
“Byurrrr...!” Air muncrat dan Aji cepat berenang. Seperti seekor ikan saja dia meluncur di permukaan air. Sebentar saja dia dapat menusul perahu itu. Wanita itu kebetulan mukanya menghadap ke belakang perahu, melihat Aji lebih dulu. Melihat seorang pemuda yang tadi dilihatnya berkelahi melawan para perampok kini sudah berenang dekat perahu, wanita itu berseru, “Kisanak, tolonglah aku, tolong...!”
Laki-laki tinggi kurus yang mendayung perahu itu menoleh dan diapun melihat Aji yang sudah berenang dekat sekali dengan perahu. Aji sudah berada di belakang perahu dan tangan kirinya meraih pinggiran perahu. Melihat ini, laki-laki itu bangkit berdiri mengangkat dayungnya. “Ha-ha-ha, engkau berani menggangguku? Aku Blekok Ireng, akan menjadikan engkau makanan ikan!”
Dayungnya menyambar ke arah tangan Aji yang berpegang pada perahu. Terpaksa Aji melepaskan tangannya dari perahu agar jangan sampai terpukul. Ki Blekok Ireng adalah wakil ketua pertama dari Gerombolan Gagak Rodra dan tentu saja tingkat ketangguhannya melebihi tingkat Ki Jalak Uren. Bahkan diapun seorang ahli bermain di air, maka melihat Aji mengejar perahunya, dia menertawakannya.
“Ha-ha-ha, mampuslah!” katanya lagi dengan dayungnya dia memukul-mukul ke arah kepala Aji yang berenang di belakang perahu. Sambil berenang Aji mengelak ke kanan kiri, mencari kesempatan. Ketika mendapatkan kesempatan, cepat sekali tangannya menyambar dan dia sudah berhasil menangkap dayung yang dipukul-pukulkan kearahnya. Setelah dapat menangkap ujung dayung, Aji mengerahkan tenaga dan menarik dayung itu dengan tenaga sentakan kuat.
“Byurrrr...!!” air muncrat dan kedua orang itu saling tarik dayung. Saking kuatnya tenaga mereka, dayung patah tengahnya, menjadi dua potong! Dan terjadilah perkelahian di air, menggunakan potongan dayung. Saling pukul dan saling tangkis. Sementara itu, perahu yang tidak dikuasai orang itu terbawa arus air yang mengalir perlahan. Aji menggunakan kepandaiannya dan tiba-tiba dia menyelam. Ki Blekok Ireng melihat ini juga segera menyelam dan perkelahian dilanjutkan dalam air! Seperti dua ekor ikan saling serang. Akan tetapi segera terbukti bahwa Aji jauh lebih kuat. Berulang kali ketika dua tangan beradu, tubuh Ki Blekok Ireng terpental. Akhirnya wakil ketua Gerombolan Gagak Rodra ini maklum bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, akhirnya dia akan kalah dan hal ini berbahaya baginya.
Maka, tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya dan berenang mengejar perahu! Melihat ini Aji juga cepat berenang mengejar karena khawatir akan keselamatan wanita itu. Ki Blekok Ireng berhasil menangkap perahu itu dan ketika dia melihat bahwa Aji sudah berada di belakangnya, tanpa ragu-ragu lagi dia membalikkan perahu.
“Aiiiihhh... byurrr !” Tubuh wanita yang menjerit itu terjatuh ke air. Ternyata ia tidak pandai berenang dan megap-megap, kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi. Melihat ini, tentu saja Aji tidak membiarkannya tenggelam. Dia lalu berenang mendekati dan menangkap pangkal lengan kiri wanita itu lalu mengangkatnya sehingga kepalanya berada di atas permukaan air. Karena panik dan ketakutan, wanita itu merangkul leher Aji dengan kedua tangannya, merangkul erat-erat takut terlepas.
Tentu saja hal ini merepotkan Aji, menghalanginya untuk bergerak dengan leluasa. hal inilah yang agaknya dimaksudkan oleh Ki Blekok Ireng ketika dia menggulingkan perahu. Melihat aji kerepotan karena dirangkul erat-erat oleh kedua tangan wanita itu, Ki Blekok ireng cepat berenang menghampiri. Dia sudah mencabut goloknya yang tadi belum sempat dia gunakan. Aji melihat bahaya. Wanita itu merangkulnya erat-erat karena takut terlepas sehingga tentu saja dia tidak dapat bergerak dengan leluasa. Untuk dapat berenang dengan baikpun sukar baginya, apalagi menghadapi serangan Ki Blekok Ireng yang sudah memegang sebatang golok!
Dia dan juga wanita itu berada dalam ancaman bahaya maut! Untuk melepaskan diri mereka berdua dari ancaman maut, tanpa ragu-ragu lagi Aji menekan tengkuk wanita itu dengan ibu jari dan telunjuk tangan kirinya. Tekanan yang amat kuat itu membuat wanita itu terkulai, pingsan. Setelah wanita itu pingsan, Aji menjambak rambut wanita itu yang terlepas sanggulnya dan terurai sehingga wajah wanita itu dapat tetap berada di atas permukaan air tanpa dia harus menggunakan banyak tenaga.
Dalam keadaan seperti itu dia menghadapi serangan Ki Blekok Ireng. Wakil ketua pertama Gerombolan Gagak Rodra itu menyerang dengan bacokan goloknya. Akan tetapi Aji menggerakkan kakinya yang meluncur ke depan, tepat menyambut lengan kanan itu sehingga bacokan tertahan. Kemudian Aji melepaskan rambut wanita itu dan membalik, kedua tangannya bergerak cepat memukul tangan memegang golok, sedangkan tangan yang satu lagi menampar leher lawan. Ki Blekok Ireng berteriak kaget, goloknya terlepas dari tangan dan dia berusaha mengelak dari tamparan ke arah lehernya.
Namun, tetap saja tangan kanan Aji mengenai pundaknya dan Ki Blekok Ireng merasa pundaknya panas dan nyeri bukan main. Dia menjadi gentar dan cepat berenang menjauh ke hilir. Aji tidak memperdulikannya lagi. Dia membalik dan melihat wanita itu tenggelam. Cepat dia menyelam dan tak lama kemudian dia sudah membawa wanita itu berenang ke tepi sungai di mana lima orang perampok masih rebah, ada yang masih pingsan, dan ada yang sudah siuman akan tetapi belum mampu bangkit.
Setibanya di daratan, Aji merebahkan tubuh wanita itu menelungkup lalu dia menekan-nekan punggung wanita itu. Air mengalir keluar dari mulut wanita yang masih pingsan itu. Aji lalu membalikkan tubuh itu telentang dan melihat kain yang membalut tubuh itu hampir terlepas ikatannya, Aji lalu mengikatnya kembali. Dia baru merasa rikuh ketika memandang wanita itu lebih teliti. Ternyata wanita itu masih amat muda, sekitar dua puluh tahun dan wajahnya yang basah kuyup dengan rambut terurai lepas tampak ayu dan manis sekali.
Ki Harya Baka Wulung marah bukan main ketika mengenal Aji sebagai pemuda yang tadi dilihatnya tidur bersandar batang pohon. Dia telah gagal membunuh Ratu Wandansari karena dihalangi dan ditangkis pemuda ini! “Heh, bocah keparat! Siapakah engkau, berani mencampuri urusan kami?”
Pada saat itu, entah mengapa, mungkin karena dia merasa gugup berhadapan dengan keadaan yang menegangkan seperti itu, juga karena dia tidak ingin memperkenalkan diri, Aji teringat kepada alap-alapnya. Dia merasa bahwa keadaannya seperti alap-alap itu, maka begitu saja keluar pengakuan dari mulutnya. “Aku? Aku Alap-alap dari Laut Kidul!”
Dia sendiri terkejut dan heran atas pengakuannya itu, akan tetapi juga geli sendiri sehingga dia tersenyum memandang kepada Ki Harya Baka Wulung. Datuk Madura itu mengerutkan alisnya. Dia menjadi semakin marah karena merasa dipermainkan. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihir pada pandang mata dan dalam suaranya. Matanya mencorong menatap wajah Aji, kemudian terdengar suaranya menggelegar.
“Orang muda! Aku Ki Harya Baka Wulung adalah sesembahanmu! Berlutut dan menyembahlah kepadaku!” bentakan ini mengandung kekuatan sihir amat kuat. Lawan biasa saja pasti tidak akan kuat bertahan dan terpaksa menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
Akan tetapi Aji sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kakek ini sakti mandraguna, maka sejak tadi dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala macam penyerangan. Begitu dia merasa adanya daya kekuatan dalam sinar mata kakek itu, dia sudah cepat melindungi dirinya dengan Aji Tirta Bantala. Dengan ilmu ini dirinya mempunyai sifat seperti tirta (air) dan bantala (tanah) yang dapat menerima dan menyerap segala macam serangan tanpa perlawanan. Serangan itu akan lewat begitu saja.
“Orang tua, sesembahanku hanyalah Gusti Allah. Orang yang mengandalkan ilmunya untuk melakukan kejahatan tidak patut dihormati. Sadarlah, sadarlah dan hentikan perbuatanmu yang sesat!”
Ki Harya Baka Wulung terkejut. Sihirnya sama sekali tidak mempengaruhi pemuda itu! Pada hal pemuda itu tidak melakukan apa-apa untuk menangkis serangan sihirnya. Belum pernah dia menghadapi lawan seperti ini. Apakah kekuatan sihirnya yang sudah punah? Dia berkemak-kemik membaca mantera, lalu membentak lagi, “Orang muda, kedukaan hebat mencengkeram hatimu. menangislah engkau!”
Akan tetapi pemuda itu malah tersenyum geli. “Orang tua, apakah engkau sudah menjadi pikun? Ataukah pikiranmu sudah tidak waras lagi?”
Wajah Ki Harya Baka Wulung menjadi merah sekali, merah karena malu dan terutama karena marah. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu berjongkok dan menyerang dengan dorongan pukulan kedua telapak tangannya sambil membentak. “Aji Cantuka Sakti...!”
Dari perutnya terdengar bunyi nyaring. Serangkum hawa panas yang berbau amis menyambar keluar dari kedua telapak tangannya, menyerang ke arah Aji. Biarpun dia belum mempunyai banyak pengalaman dalam perkelahian, namun Aji sudah seringkali mendengar penjelasan dari mendiang gurunya, maka dia selalu waspada. Maka ketika kakek itu melancarkan pukulannya, dia sudah bergerak cepat dan mengelak dengan gerakan seperti seekor kera karena memang dia memainkan ilmu silat Wanara Sakti.
Melihat pukulan mautnya luput, Ki Harya Baka Wulung menjadi penasaran dan mendesak terus dengan serangkaian serangan. Tubuhnya melompat-lompat dalam kedudukan berjongkok dan setiap kali memukul, dia mendorongkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka dan dari perutnya keluar suara berkokok nyaring. Aji mempergunakan kecepatan gerakannya untuk selalu menghindar, kadang membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga sakti Aji Surya Candra yang kuat.
Dari sambaran angin pukulan berupa tamparan ini, maklumlah Ki Harya Baka Wulung bahwa tamparan pemuda itupun ampuh sekali maka dia tidak berani menerimanya dengan mengandalkan ilmu kebalnya. Terjadi pertandingan yang hebat antara kedua orang ini. Kakek itu bergerak seperti seekor katak raksasa dan Aji bergerak lincah tiada ubahnya seekor kera, atau seperti tarian Sang Hanoman di kera putih dalam kisah Ramayana. Ilmu silat Wanara Sakti yang diajarkan oleh mendiang Ki Tejobudi kepada Aji lebih merupakan ilmu silat untuk menghindarkan diri dari serangan lawan.
Ilmu ini memang ampuh untuk menyelamatkan diri karena gerakannya yang gesit dan penuh dengan gerakan menghindar sehingga sukar sekali terkena serangan lawan. Akan tetapi ilmu silat ini kurang ampuh dalam penyerangan, hanya berupa tamparan-tamparan saja yang dilakukan cepat pula, inipun tidak mengesampingkan data pertahanannya. Kalau saja tamparan itu tidak disertai Aji Surya Chandra, tentu hanya merupakan tepukan-tepukan main-main saja.
Akan tetapi melihat kenyataan betapa dengan ilmu silatnya ini dia dapat membela diri dengan baik, Aji merasa gembira sekali. Tak disangkanya bahwa ilmunya ini dapat ia pergunakan untuk menandingi orang yang sakti mandraguna seperti kakek itu. Timbul kegembiraannya dan dia lalu mencoba untuk mempraktekkan ilmu silat yang dia rangkai sendiri berdasarkan gerakan burung alap-alap dan ular ketika kedua binatang itu berkelahi.
Dia mengubah gerakan kera itu menjadi gerakan alap-alap dan ular yang selain kuat dalam bertahan juga kuat pula serangan-serangannya. Bagaikan ular menggeliat dan kadang seperti gerakan alap-alap terbang meliuk, dia dapat menghindarkan serangan-serangan Ki Harya Baka Wulung. Tiba-tiba Aji mengeluarkan pekik yang ditirunya dari suara alap-alap ketika melayang-layang di atas Laut Kidul dan tubuhnya yang meliuk ke kiri menghindarkan pukulan lawan mendadak melompat seperti terbang ke atas!
Datuk Madura itu terkejut dan dia tidak berjongkok dan mengerahkan tenaga sakti Cantuka Sakti membuat dia lelah bukan main. Akan tetapi baru saja dia bangkit berdiri dan memandang ke atas, dia melihat pemuda itu sudah menukik ke bawah bagaikan seekor alap-alap (elang) menyambar ke arah kepalanya! Kedua tangan pemuda itu menyerang dengan membantuk cakar, mencengkeram ke arah kedua pelipis kepalanya! Ki Harya Baka Wulung mengenal serangan maut ini. Karena serangan itu datangnya cepat sekali, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menyambut serangan itu dengan kedua tangannya pula.
“Wuuuttt... plakkk!” Dua pasang tangan itu saling bertemu di udara. akan tetapi pada saat itu, kaki Aji yang tadinya ada di atas itu turun dan dengan kecepatan kilat kedua kakinya menghantam kakek yang ada di bawahnya.
“Dessss...!!” Ki Harya Baka Wulung berteriak mengaduh dan tubuhnya terjengkang keras lalu terbanting ke atas tanah. Akan tetapi dia memang tangguh. Dia bergulingan lalu melompat bangkit berdiri lagi. Sekilas pandang tahulah dia bahwa keadaan teman-temannya juga dalam bahaya. Wiku Menak Koncar repot menghadapi Ratu Wandansari yang dibantu perwira pengawal, sais kereta dan dua orang prajurit pengawal. Datuk Blambangan itu hanya dapat memutar ruyungnya untuk menangkis serangan lima orang pengeroyoknya itu tanpa sempat membalas lagi. Juga lima orang warok itu kini tinggal tiga orang, yang dua orang sudah roboh. Tiga orang warok itu menghadapi pengeroyokan enam orang prajurit yang juga kehilangan empat orang rekan mereka yang sudah roboh dalam pertempuran itu.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan bahkan membahayakan dirinya sendiri itu, Ki Harya Baka Wulung maklum bahwa usahanya membunuh Ratu Wandansari telah gagal. Bahkan kalau dia tidak cepat melarikan diri, bukan mustahil kalau dia yang akan terbunuh. Ratu Wandansari dan pasukannya itu sudah tangguh, ditambah lagi munculnya pemuda yang mengaku sebagai Alap-alap Laut Kidul dan yang ternyata sakti mandraguna ini, maka keadaan pihak musuh terlalu kuat baginya.
Melihat Ki Harya Baka Wulung roboh oleh tendangannya tadi, sebuah jurus dari gerakan alap-alap, Aji menjadi girang sekali. Akan tetapi kakek itu bangkit kembali dengan cepat, maka diapun segera melangkah cepat menghampiri. Akan tetapi tiba-tiba Ki harya Baka Wulung mempergunakan Aji Kukus Langking. Begitu kedua tangannya bergerak mendorong, asap hitam tebal mengepul dan menyerang ke arah Aji. Pemuda ini cepat menghindar ke belakang dan kesempatan itu dipergunakan Ki Harya Baka Wulung untuk melompat dan melarikan diri, menghilang dalam hutan yang lebat.
Dia tidak memperdulikan lagi teman-temannya yang masih bertempur! Dia tidak ingat lagi atau tidak mau perduli bahwa Wiku Menak Koncar dan lima orang warok itu bertanding mati-matian untuk membantunya! Wiku Menak Koncar sedang terdesak hebat. Ilmu pedang Kartika sakti yang dimainkan Ratu wandansari memang ampuh sekali, apalagi sang puteri ini dibantu perwira dan sais yang memiliki kedigdayaan yang cukup tinggi, ditambah dua orang prajurit pengawal. Kalau saja sang puteri itu maju sendiri, tentu dia masih dapat menandinginya. kini dia terdesak hebat dan menjadi bingung.
Apalagi ketika dia melihat Ki Harya Baka Wulung melarikan diri begitu saja tanpa memperdulikan dirinya! Tiba-tiba tiga orang warok yang juga dikeroyok dan didesak, berturut-turut roboh. Tinggal dia seorang diri! Wiku menak Koncar mengeluarkan gerengan yang mengandung getaran hebat sehingga empat orang yang membantu Ratu Wandansari yang mengeroyoknya terhuyung ke belakang. Hanya sang puteri yang mampu bertahan terhadap serangan daya suara itu. Wiku Menak Koncar tidak berpikir panjang lagi. Dia sudah amat lelah dan panik, maka dia menggunakan kesempatan ini untuk melompat dan melarikan diri.
“Jahanam, hendak lari ke mana kau?” Ratu Wandansari membentak dan ia melakukan jurus serangan terakhir dari ilmu pedang Kartika Sakti. Ia mengerahkan tenaganya, dengan suara bentakan ia melontarkan pedangnya ke arah tubuh Wiku Menak Koncar yang melarikan diri. Bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya, pedang itu meluncur cepat sekali dan tepat mengenai punggung kakek itu.
“Capp...!” Pedang itu menusuk sampai setengahnya dan tubuh Wiku Menak Koncar roboh menelungkup dan tak bergerak lagi. Ratu Wandansari melompat ke dekat mayat itu dan mencabut pedangnya, lalu dibersihkannya pedang itu dengan mengusap-usapkannya pada pakaian lawannya yang telah tewas.
Setelah menyarungkan kembali pedangnya, Ratu Wandansari menyapu keadaan sekitarnya dengan pandang matanya. Ia melihat betapa selain Wiku Menak Koncar, lima orang warok itupun sudah roboh dan tewas. Adapun di pihaknya, empat orang prajurit tewas dan dua orang lainnya terluka. Kemudian ia memandang ke arah Lindu Aji yang masih berdiri memandang ke arah para korban dengan mata terbelalak. Dia merasa kagum kepada sang puteri, akan tetapi juga merasa ngeri.
Baru dua kali selama hidupnya dia melihat orang terbunuh. Pertama kali ketika tiga orang penjahat yang mengganggu ibunya dikeroyok penduduk dusun dan dipukuli sampai mati dengan tubuh hancur. Ketika itupun dia sudah merasa ngeri. Dan sekarang, dia melihat sepuluh orang tewas dengan tubuh berlumuran darah.
Pada saat itu, ia menoleh ke kiri dan bertemu pandang dengan Ratu Wandansari! Sinar mata wanita itu demikian tajam penuh wibawa dan Aji segera menundukkan pandang matanya karena merasa rikuh. Ratu Wandansari melangkah menghampirinya. Setelah saling berhadapan dan melihat pemuda itu menundukkan mukanya, wanita itu berkata,
“Kisanak, aku berterima kasih sekali kepadamu yang telah membantuku menghadapi musuh yang berniat membunuhku. Kalau tidak ada andika yang membantu, kukira kami semua telah tewas oleh orang-orang jahat itu.”
Aji teringat akan semua nasihat mendiang gurunya. Dia memberi hormat dengan sembah lalu berkata, “Yang menolong paduka dan kita semua adalah Gusti Allah, dan kita semua hanya berusaha untuk melaksanakan kewajiban kita masing-masing sebaik mungkin, Gusti Puteri.”
Ratu Wandansari melebarkan sepasang matanya yang jeli, merasa heran sekali mendengar ucapan itu keluar dari mulut seorang pemuda yang berpakaian demikian sederhana. “Andika tahu siapa aku, ki sanak?”
“Saya mendengar percakapan tadi. Saya tahu bahwa paduka adalah Gusti Puteri Ratu Wandansari, puteri Kanjeng Gusti Sultan Agung dan garwa Adipati Surabaya.”
Ratu Wandansari tersenyum, manis sekali. Dari logat bicara pemuda itu, yang bicara dengan teratur menunjukkan bahwa dia tahu tata susila, ia dapat menduga bahwa pemuda itu berasal dari daerah selatan. “Kalau andika sudah tahu siapa aku, lalu kenapa andika membantuku menghadapi orang-orang yang memusuhiku tadi?” ia sengaja memancing.
“Mendiang bapa dan terutama sekali mendiang eyang guru saya memesan agar saya membela Mataram dan membantu Kanjeng Gusti Sultan Agung. Karena paduka adalah puterinya, maka tanpa ragu-ragu lagi saya membantu paduka. Apalagi karena dari pecakapan tadi saya menganggap bahwa kakek tadi yang jahat.”
“Hemmm, begitukah? Lalu, siapa mendiang bapamu dan mendiang eyang gurumu itu? Dan siapa pula andika?”
Biarpun hatinya ingin mengatakan bahwa dia “Alap-alap Laut Kidul” akan tetapi dia tidak berani main-main di depan puteri itu. “Mendiang bapa saya bernama Harun Hambali dan mendiang eyang guru saya bernama Ki Tejobudi“
“Ki Tejobudi? Hemmm.... kami pernah mengenal nama Resi Tejo Wening, Kyai Tejo Langit, dan bukankah Ki Tejobudi itu masih saudara seperguruan mereka?”
Aji mengangguk. “Mendiang eyang guru pernah bercerita tentang Eyang Resi Tejo Wening dan Eyang Kyai Tejo Langit.”
“Bagus sekali kalau begitu. Andika murid seorang yang sakti mandraguna. Dan nama bapamu itu? Harun Hambali? Seperti nama seorang dari daerah Pasundan.”
Aji kagum akan pengetahuan sang puteri yang amat luas itu. “Memang benar, Gusti Puteri. Mendiang bapa berasal dari Galuh.”
“Dan andika sendiri, siapakah nama andika?” Tanya sang puteri sambil mengamati wajah pemuda itu penuh perhatian. “Nama saya Lindu Aji.”
“Lindu Aji? Nama yang aneh akan tetapi bagus.” Ratu Wandansari lalu menghadapi perwira pasukan pengawal yang menghampirinya dan memberi hormat kepadanya.
“Gusti Puteri, apakah yang harus hamba lakukan dengan mayat-mayat itu? Menanti perintah.”
“Engkau dan sisa anak buahmu tinggal di sini. Urus mereka semua. Kubur baik-baik semua jenazah, kemudian pulanglah ke Surabaya dan laporkan kepada suamiku tentang apa yang terjadi di sini. Aku akan melanjutkan perjalanan ke Mataram bersama sais dan pemuda ini.” Ia lalu menghampiri Aji.
“Lindu Aji, maukah andika mengawal aku sampai ke Mataram? Andika tadi mengatakan hendak membantu Kanjeng Rama Sultan Agung. Nah, aku akan membawamu menghadap kalau andika memang hendak mengabdi kepada Mataram.”
Aji mengangguk. “Saya akan senang sekali, Gusti Puteri.”
“Bagus.” Sang puteri lalu berkata kepada perwira pengawal. “Pilihkan seekor kuda terbaik untuk Lindu Aji. Dia yang akan mengawalku sampai ke Mataram.”
Perwira itu memberikan kuda tungganganya sendiri kepada Aji. Ketika tinggal di dusun Gampingan, Aji sering menunggang kuda milik kepala dusun sehingga menunggang kuda bukan merupakan kesulitan baginya. Dengan hati senang dia menunggang kuda dan berangkatlah sang puteri, menunggang kereta yang dikusiri sais dan Aji menunggang kuda di belakang kereta. Di sepanjang perjalanan ke arah barat ini, Aji termenung.
Secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Puteri Wandansari bahkan telah menolongnya dari ancaman bahaya. Kini dia mengawal sang puteri menuju ke Mataram. Dia dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Sang Puteri akan membawanya menghadap Sultan Agung! dia akan menghadap Sri Baginda Raja Sultan Agung yang sudah sering dia dengar dari cerita eyang gurunya.
Mendiang Ki Tejobudi banyak bercerita tentang Sultan Agung yang dipujinya sebagai seorang raja yang bijaksana dan juga sakti mandraguna. Dan eyang gurunya itu wanti-wanti memesan agar dia dapat membantu raja itu. Tentu saja keadaan dirinya ini cocok sekali dengan pesan eyang gurunya. Akan tetapi ada satu hal yang mengganjal hatinya. Kalau dia dihadapkan Kanjeng Sultan Agung dan karena jasanya menolong sang puteri dia diangkat menjadi pejabat, lalu bagaimana dengan keinginannya untuk merantau seperti yang dia bayangkan?
Dia ingin hidup bebas, dapat merantau kemanapun dia suka, seperti seekor alap-alap terbang melayang di udara dengan bebasnya. Kalau dia diangkat menjadi pejabat tentu dia akan terikat akan ugas-tugas yang dibebankan kepadanya. lalu bagaimana dia akan dapat mencari putera eyang gurunya yang bernama Sudrajat, dan mencari kakak tirinya yang bernama Hasanudin?
Juga dia ingin mencari Raden Banuseta yang telah membunuh ayahnya. Bukan untuk membalas dendam kematian ayahnya, melainkan untuk melihat apakah orang itu melakukan kejahatan. Kalau benar dia seorang penjahat, tentu akan ditentangnya!
Semua inilah yang mengganggu pikirannya sehingga membuat dia melamun. Di samping rasa gembira akan dapat menghadap Sultan Agung, juga ada rasa khawatir dalam hatinya. Tiba-tiba dia teringat akan cerita mendiang Ki Tejobudi bahwa Sultan Agung adalah seorang yang arif bijaksana. Ingatan ini membesarkan hatinya dan mengusir kakhawatirannya. Mengapa khawatir? Kalau Sri Sultan demikian bijaksana, tentu dapat memaklumi keadaannya dan dapat mempertimbangkannya. Dia akan mengaku terus terang tentang keadaan dan keinginan hatinya.
Setelah hatinya mengambil keputusan ini, Aji tidak merasa khawatir lagi dan dia dapat menikmati perjalanannya mengawal Puteri Wandansari itu. Puteri Wandansari singgah di Kadipaten Madiun dan ia diterima dengan penuh penghormatan oleh Adipati Madiun. Sang puteri menceritakan kepada adipati itu apa yang telah terjadi di hutan Caruban yang masih termasuk daerah Madiun. Setelah bermalam di Kadipaten Madiun semalam.
Pada keesokan harinya puteri Wandansari melanjutkan perjalanannya. Kuda-kuda yang menarik kereta diganti dengan kuda baru agar tidak terlalu lelah. Juga Aji diberi seekor kuda baru yang masih segar dan kuat. Tawaran Adipati Madiun untuk memberi pengawalan ditolak oleh sang puteri. Perjalanan dilakukan seperti hari-hari yang lalu, tidak tergesa-gesa agar kereta tidak sangat terguncang dan melelahkan. Sang puteri berhenti di Sukowati dan setelah melewatkan malam di situ, keesokan harinya perjalanan dilanjutkan sampai ke kota raja Mataram.
Aji memasuki kota raja Mataram dengan hati penuh kagum dan heran. Sejak lahir dia berada di sebuah dusun yang sederhana. Rumah terbesar dan paling megah di dusunnya adalah rumah kepala dusun yang terbuat dari kayu jati. Ketika dia melakukan perjalanan melewati kota-kota kadipaten, dia melihat rumah-rumah yang lebih besar dan lebih megah. Juga ketika dia yang mengawal Puteri Wandansari memasuki gedung kadipaten, dia merasa kagum bukan main.
Akan tetapi kini dia memasuki kota raja Mataram dan dia merasa dirinya kecil sekali. akan tetapi, dia adalah seorang pemuda yang sudah digembleng sejak kecil, digembleng lahir batinnya. Oleh karena itu, biarpun dia merasa takjub dan seperti dalam mimpi, namun keheranannya itu tidak tampak pada sikap atau wajahnya. Dia tetap bersikap tenang seolah semua pemandangan itu sudah biasa dilihatnya!
Ketakjubannya mencapai puncaknya ketika dia diajak memasuki istana dan menghadap Sri Baginda Sultan Agung. Jantungnya berdebar tegang, matanya melahap semua keindahan yang mempesona itu. Tak pernah dia dapat membayangkan sebuah rumah sebesar dan seindah ini. Puteri Wandansari membawanya menghadap Sri Baginda. Melihat keagungan yang memancarkan wibawa kuat sekali dari pribadi Sang Sultan, Aji berlutut, lalu duduk bersila dan menyembah dengan sikap hormat. Dia tidak berani mengangkat muka menatap wajah Sultan Agung, hanya menunduk dengan sikap menanti.
Dengan suaranya yang lembut dan merdu, Ratu Wandansari menghaturkan sembah sujud kepada ayahandanya, kemudian dengan singkat menceritakan keadaan Kadipaten Surabaya yang berkeadaan tertib dan tenteram. Kemudian ia menceritakan tentang perjalanannya dan terutama tentang Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar bersama lima orang warok yang menghadangnya dan bermaksud membunuhnya. Ia menceritakan betapa ketika ia terancam bahaya dalam pertempuran itu, muncul Lindu Aji yang telah membantu dan menyelamatkannya.
“Dengan bantuan pemuda ini, akhirnya hamba berhasil menewaskan Wiku Menak Koncar juga lima orang warok itu dapat dirobohkan. Hanya Ki Harya Baka Wulung seorang yang berhasil lolos setelah dia mengeluarkan ajinya yang mengeluarkan asap hitam tebal, kanjeng rama,” demikian Puteri Wandansari mengakhiri laporannya.
“Hemmmm. tentu dia mempergunakan Aji Kukus Langking.” kata Sultan Agung. “Tokoh Arisbaya itu memang sakti, kalau tidak salah dia adalah guru Raden Prasena yang telah kami angkat menjadi Pangeran Cakraningrat. Untung engkau dapat lolos dari tangannya.”
“Karena pertolongan Lindu Aji inilah, kanjeng rama. Pemuda ini mampu menandingi dan membuat Ki Harya Baka Wulung melarikan diri. Dia adalah murid mendiang Ki Tejobudi. Dia seorang kawula yang setia dan siap membantu Mataram, kanjeng rama.”
Sultan Agung mengangguk-angguk dan wajahnya yang masih tampak tampan dan anggun itu berseri. Walaupun usianya sudah lima puluh tahun, namun raja yang bijaksana ini masih tampak anggun. “Engkau tentu lelah, Wandansari. Masuk dan istirahatlah, temui para ibu dan saudaramu.”
Mendengar ucapan ayahandanya, ratu Wandansari menghaturkan terima kasih lalu meninggalkan ruangan itu menuju ke bagian dalam istana itu. Sultan Agung melayangkan pandang matanya kepada belasan orang yang duduk menghadapnya. Hari itu bukan merupakan hari sebo (menghadap raja) yang biasa dilakukan pada setiap hari Senin dan Kamis. Dalam hari sebo biasa itu, Sultan Agung dihadap para ponggawa besar kecil yang jumlahnya mencapai seratus orang lebih!
Akan tetapi pada saat itu yang menghadap hanya lima belas orang, terdiri dari patih, menteri dan senopati yang memang datang menghadap karena dipanggil untuk membicarakan urusan penting. Di antara para senopati terdapat pula Tumenggung Wiroguno, Kyai Juru Kiting, Ki Mertoloyo, Suroantani dan lain senopati yang sudah berjasa besar dalam perang menundukkan daerah Jawa Timur yang tadinya menentang Mataram. Mereka tampak gagah dalam pakaian kebesaran masing-masing. Kemudian Sultan Agung memandang kepada Lindu Aji.
Pemuda itu tampak sederhana sekali duduk di antara para menteri dan senopati itu. Berpakaian sederhana seperti seorang pemuda tani dan selalu menundukkan muka dengan sikap hormat. Begitu sederhana, begitu polos dan sama sekali tidak tampak tanda-tanda bahwa dia seorang pemuda yang memiliki kesaktian. Akan tetapi pemuda ini telah mampu menandingi bahkan mengalahkan Ki Harya Bak Wulung, datuk dari Madura yang sudah tersohor akan kesaktiannya itu! Luar biasa sekali!
“Orang muada, siapakah namamu seperti yang dikatakan Puteri Wandansari tadi?” sultan agung bertanya kepada Aji.
Tanpa memandang Aji tahu bahwa dialah yang ditanya, karena di ruangan itu tidak ada orang mudanya, kecuali dia seorang. Para ponggawa yang hadir di situ rata-rata sudah berusia lima puluh tahun lebih. Dia menyembah sebelum menjawab, “Nama hamba Lindu Aji dan hamba biasa disebut Aji, Gusti.”
Sultan Agung makin memperhatikan. Sikap dan cara bicara pemuda ini tidak menunjukkan bahwa dia seorang pemuda dusun yang kurang pendidikan, pikirnya. Dia tahu tatakrama. Dan nama itupun bukan nama sembarangan. tentu orang tuanya, pemberi nama itu, seorang pemberani yang tidak lagi terpengaruh pendapat penduduk dusun bahwa memberi nama yang terlalu “tinggi” buat anak akan mendatangkan bencana bagi si anak karena tidak kuat!
“Benarkah engkau murid Ki tejobudi, orang sakti dari banten itu?”
“Benar sekali, Gusti. Guru hamba adalah mendiang Eyang Tejobudi.”
“Siapa orang tuamu dan di mana engkau tinggal?”
“Bapa hamba sudah meninggal dunia, namanya Harun Hambali. Ibu hamba bernama Warsiyem, sekarang tinggal di dusun Gampingan dekat Laut Kidul. Hamba berasal dari dusun itu, Gusti.”
"Hemm, Gampingan. Sebuah dusun kecil di Pegunungan Kidul, pikir sultan Agung. Kalau begitu benar, seorang pemuda dusun. “Aji, coba angkat mukamu dan pandang kami!” perintahnya.
Aji tidak berani menolak. Dengan jantung berdebar dia mengangkat muka dan memandang wajah yang yang anggun dan agung itu. Pandang matanya bertemu dengan sepasang mata yang demikian tajam penuh wibawa. Sebaliknya, Sultan Agung juga terkejut. Sepasang mata pemuda itu begitu lembut, penuh pengertian, namun juga mencorong dan membayangkan kekuatan batin yang hebat. Aji tidak berani memandang lebih lama lagi dan perlahan-lahan dia menundukkan kembali mukanya. Rasa kagum dan suka memenuhi hati Sultan Agung, Puterinya benar. Pemuda ini seorang yang hebat dan dapat dijadikan pembantu yang boleh diandalkan.
“Aji, engkau tinggal di Gampingan yang berada di sebelah selatan kota raja. Bagaimana engkau dapat berada di hutan Caruban dan menolong puteri kami?”
“Hamba sedang melakukan perjalanan merantau, Gusti.”
“Merantau? Tujuanmu ke mana?”
“Hamba tidak mempunyai tujuan tertentu. Hamba hanya mengikuti arah terbangnya Alap-alap Laut Kidul.”
“Alap-alap Laut Kidul? Apa maksudmu?”
“Seekor burung alap-alap yang sering kali hamba lihat terbang melayang-layang di atas Laut Kidul. Hamba ingin merantau, bebas seperti alap-alap itu. Melihat alap-alap itu terbang ke arah timur, maka hamba lalu menuju ke timur di sepanjang pantai laut Kidul. Pada suatu hari hamba melihat alap-alap itu terbang ke utara, maka hamba lalu ke utara dan tiba di dalam hutan Caruban dan melihat Gusti Puteri diserbu gerombolan itu. Setelah mendengar bahwa yang diserang itu puteri paduka, Gusti Puteri Wandansari, hamba lalu membantu.”
Sultan Agung mengangguk-angguk. “Aji, kenapa engkau membantu puteri kami?” Pertanyaan itu diajukan seperti hendak menyelidik.
Aji merasakan benar persamaan antara Sultan Agung dan Puteri Wandansari. Pertanyaan yang sama. “Mendiang bapa dan eyang guru hamba meninggalkan pesan dan memberi tugas kepada hamba, antara lain agar hamba membela Mataram dan membantu Paduka, Gusti. Karena itulah maka hamba membantu puteri paduka.”
“Tanpa pamrih apapun di balik pertolonganmu itu?” Sulatan Agung bertanya.
“Tanpa pamrih apapun, Gusti.”
Sultan agung lalu menyapukan pandangannya ke arah ponggawanya. “Bagaimana pendapat kalian, para menteri dan senopati?”
Ki Mertoloyo menyembah kepada Sultan Agung, lalu menoleh kepada Aji dan bertanya, “Anakmas Aji, apakah andika tidak mengharapkan ganjaran apapun dari Gusti Sultan? Kalau ada, beritahukan saja. Gusti Sultan arif bijaksana, tentu akan memberimu ganjaran besar kepadamu.”
“Maaf, paman. Sesungguhnya saya tidak mengharapkan ganjaran apapun juga. Saya hanya melaksanakan tugas saya seperti yang dipesan oleh mendiang bapa dan mendiang eyang guru.”
Senopati Suroantani menyembah kepada Sultan Agung. “Ampunkan hamba, Gusti. Hamba hendak mengusulkan kalau paduka menyetujui agar anakmas Lindu Aji diangkat menjadi seorang senopati muda, mengingat dia mampu menandingi dan mengalahkan Ki Harya Baka Wulung.”
Sultan Agung mengangguk-angguk. “Luhur budi anak ini! Sudah sepantasnyalah kalau menjadi senopati muda Mataram. Aji, bersediakah engkau kalau kami angkat menjadi seorang senopati muda Mataram?”
Hal inilah yang dikhawatirkan Aji dalam perjalanan mengawal Puteri Wandansari. Akan tetapi dia sudah mengambil keputusan tetap untuk tidak mengikatkan diri dengan jabatan. Dari pertanyaan itupun dia tahu akan kebijaksanaan Sultan Agung. Raja itu tidak memerintahkan dia menjadi senopati, melainkan bertanya apakah dia bersedia! Maka dengan didahului sembah dia menjawab dengan hormat.
“Mohon beribu ampun, Gusti. Bukan sekali-kali hamba menolak anugerah yang paduka berikan kepada hamba. Akan tetapi, pada waktu ini hamba masih harus melaksanakan tugas-tugas yang dipesan mendiang bapak dan eyang guru. Tugas itu mengharuskan hamba melakukan perjalanan ke daerah Galuh dan Banten.”
Sultan Agung mengangguk-angguk. “Baik sekali keputusan hatimu itu, Aji. Memang sudah menjadi kewajibanmu untuk menjunjung tinggi pesan terakhir mendiang bapak dan eyang gurumu. Itu menandakan bahwa engkau seorang yang setia dan berbakti. Engkau hendak merantau ke Galuh dan Banten? Sungguh kebetulan sekali. Maukah engkau sambil melaksanakan tugasmu itu juga membantu kami?”
“Hamba bersedia dan siap mengabdikan diri membantu paduka kalau sudah selesai hamba melaksanakan tugas-tugas hamba itu, Gusti.”
“Bukan demikian maksud kami, Aji. Engkau dapat melanjutkan pelaksanaan tugas-tugas pribadimu itu, akan tetapi dalam perjalananmu, engkau dapat pula membantu kami.”
Aji merasa heran. Kalau dia merantau ke Galuh dan Banten untuk mencari Hasanudin dan Sudrajat, bagaimana dia akan dapat membantu Sultan Agung? “Ampun Gusti. Hamba mohon penjelasan. Bagaimana caranya hamba dapat membantu paduka kalau hamba merantau ke daerah Pasundan dan Banten?”
“Aji, tahukah engkau bahwa pada waktu ini Mataram mempunyai musuh yang amat kuat dan berbahaya, yaitu Kumpeni Belanda yang berkedudukan di Jayakarta?”
Aji menyembah. “Hamba pernah mendengar keterangan mendiang Eyang Guru tentang Kumpeni belanda, Gusti.”
“Baik sekali kalau begitu. Engkau tahu bahwa Kumpeni Belanda merupakan ancaman bahaya bagi rakyat dan tanah air kita. Mereka angkara murka, hendak memperluas cengkeraman mereka, menguasai daerah Nusantara kita dan menguasai perdagangan. Mereka juga mempengaruhi rakyat, meyebar telik sandi (mata-mata), bahkan mempengaruhi banyak tokoh sakti untuk membantu meraka dengan menggunakan umpan harta benda. Selain itu mereka juga berusaha untuk mengadu domba dengan membujuk para bupati dan adipati agar menentang Mataram. Paman Kyai Juru Kiting, ceritakanlah kepada Aji tentang usaha kita menyerbu kumpeni yang telah mengalami kegagalan agar dia mengetahui duduknya perkara.”
Sultan Agung menoleh kepada senopati tua itu. Senopati Kyai Juru Kiting yang sudah berusia enam puluh tahun itu menyembah lalu dengan suara yang lembut namun jelas dia menceritakan kepada Lindu Aji tentang usaha Mataram yang baru saja dilakukan dan mengalami kegagalan. Aji mendengarkan dengan penuh perhatian. Demikianlah cerita senopati itu.
Setelah Sultan Agung berhasil menundukkan para adipati dan bupati yang tadinya melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, memundukkan hampir seluruh daerah Jawa Timur kecuali Blambangan yang belum dapat dikalahkan, berhasil mempersatukan kekuatan seluruh Madura, Surabaya, Giri dan daerah Jawa Timur, Mataram lalu mengadakan penyerangan menuju Jayakarta atau Batavia.
Penyerangan besar-besaran pertama itu terjadi dalam tahun 1628. Balatentara Mataram itu dipimpin oleh Senopati Baurekso dan dibantu pula oleh pasukan dari Madura dan Surabaya. Juga setelah tiba di Pasundan, pasukan Mataram itu dibantu oleh pasukan Pasundan yang dipimpin oleh Dipati Ukur. Pasukan pertama ini segera disusul oleh pasukan kedua yang cukup besar jumlahnya pula, dipimpin oleh tiga orang senopati terkenal, yaitu Suro Agul-agul, Kyai Adipati Mandurejo, dan Adipati Uposonto. Pasukan kedua ini dipersiapkan untuk membantu pasukan pertama dari belakang, kalau diperlukan.
Serbuan itu hebat sekali. Pasukan Kumpeni Belanda terkejut dan melakukan perlawanan mati-matian. Pertempuran terjadi setiap hari karena pasukan Mataram dengan gigih mengepung perbentengan Belanda. Pertempuran hebat itu terjadi sampai lebih dari dua bulan lamanya. Akan tetapi pihak Kompeni Belanda memang licik. Selain mereka memiliki persenjataan yang lebih lengkap dengan meriam-meriam dan senapan-senapan, mereka juga dapat membujuk para pendekar yang memiliki kedigdayaan untuk membantu mereka dengan memberi banyak harta benda.
Selain itu, juga Kumpeni Belanda menyebar banyak mata-mata. Bahkan berhasil menarik pihak Banten untuk membantu mereka karena memang sudah terdapat persaingan dan permusuhan antara Banten dan Mataram. Di samping itu, terjadi malapetaka ketika penyakit menular menjalar di antara para prajurit Mataram. Ada desas desus yang mengatakan bahwa penyakit menular ini bukan lain adalah kekuatan sihir dan guna-guna yang dilepaskan oleh para ahli tenung dari Banten. Penyerbuan tentara Mataram itu gagal, bahkan Senopati Baurekso yang kedudukannya adalah Adipati Kendal, gugur dalam peperangan itu. Terpaksa sisa pasukan Mataram ditarik mundur meninggalkan Batavia. Biarpun penyerbuan itu gagal, namun sempat mngejutkan Balanda dan menjatuhkan banyak korban pula di pihak Kumpeni.
“Demikianlah, anak mas Lindu Aji, penyerbuan pertama pasukan kita itu mengalami kegagalan.” Kyai Juru Kiting mengakhiri ceritanya.
“Nah, engkau sudah mendengar semua, Aji. Ketahuilah bahwa kami tidak akan berhenti berusaha sebelum Kumpeni Belanda dapst diusir dari Nusantara. Biarpun penyerbuan pertama kami itu gagal, namun kami merencanakan penyerbuan selanjutnya. Kami telah menusun kekuatan di daerah barat dan kami telah menyebar telik sandi untuk mengadakan persiapan di sekitar Batavia. Juga Kerajaan Galuh siap membantu. Karena itu, Aji, dalam perantauanmu ke daerah Pasundan, engkau dapat membantu kami. Engkau kami angkat menjadi telik sandi untuk membantu semua pihak yang mendukung Mataram dan menentang mereka yang menjadi antek Kumpeni Belanda. Nah, sanggupkah engkau di samping melaksanakan tugas pribadimu, membantu kami?”
Aji menjawab. “Hamba sanggup dan siap membantu, Gusti.”
“Bagus sekali kalau begitu!” kata Sultan Agung dan dia mengambil sebatang keris dengan warangka terukir indah, lalu diserahkannya keris itu kepada Aji.
“Terimalah pusaka ini, Aji. Semua pejabat daerah dan semua telik sandi Mataram akan mengenal pusaka ini kalau engkau cabut dari sarungnya. Keris ini adalah satu diantara serangkaian pusaka Naga yang menjadi pusaka-pusaka khas kami. Namanya Kyai Nagawelang satu di antara pusaka-pusaka buatan Empu Warihanom yang terbaik.”
Aji menerima pusaka itu dan menghaturkan terima kasih. Selain keris pusaka ampuh itu, Aji juga mendapatkan seekor kuda dan sekantong uang untuk bekal dalam perjalanan. Setelah persidangan dibubarkan Aji lalu berangkat meninggalkan ibu kota Mataram, menuju ke barat, memulai dengan pengembaraannya melaksanakan perintah bapak dan eyang gurunya, sekalian untuk membantu usaha gerakan Mataram menentang Kumpeni Belanda.
********************
Siang itu udara cerah sekali. Matahari bersinar sepenuhnya tanpa terhalang awan, menyengat segala sesuatu dengan sinarnya yang panas. Aji menjalankan kudanya perlahan karena kuda itu sudah lelah, tubuhnya berpeluh dan sering mendengus-dengus. Ketika di depannya tampak sebatang sungai, dia menghentikan kudanya, turun dari atas punggung kuda dan melepaskan kendali memberi kesempatan kepada kuda itu untuk makan rumput gemuk yang tumbuh disepanjang tepi sungai.
Aji sendiri duduk mengaso di bawah sebatang pohon mahoni. Dia membuka kancing bajunya, membiarkan dadanya terbuka. Semilir angin membelainya membuat dia mengantuk. Perutnya juga sudah mulai lapar. Akan tetapi tempat itu sunyi. Agaknya jauh dari pedusunan. Bahkan perjalanannya terhadang sebuah sungai yang cukup lebar. Tidak ada tempat penyeberangan di situ, tidak pula tampak adanya perahu yang akan dapat menyeberangkannya.
Dia harus dapat menyeberangi sungai ini kalau hendak melanjutkan perjalanannya. Biarlah dia membiarkan kudanya makan dan mengaso. Nanti tentu ada orang dan dia dapat bertanya bagaimana biasanya penduduk di sekitar situ menyeberang ke barat. Sambil menunggu orang lewat di tempat itu, Aji duduk bersandar pada batang pohon itu dan melenggut. Semilir angin mengipasinya dan membuat dia merasa nyaman. Tanpa disadari Aji jatuh pulas sambil duduk bersandar batang pohon mahoni itu, Dia terbangun oleh suara kuda meringkik nyaring.
Ketika membuka matanya, Aji melihat dua orang laki-laki tinggi besar berpakaian hitam sedang berusaha keras untuk menenangkan kudanya yang meringkik-ringkik sambil mengangkat kedua kakinya ke atas. Dua orang laki-laki lain, juga berpakaian hitam, sedang membuka dan memeriksa buntalan pakaiannya. Pada saat itu, sebuah perahu meluncur di atas sungai. Di atas perahu duduk dua orang laki-laki berpakaian hitam pula dan seorang di antara mereka, yang usianya kurang lebih lima puluh tahun bertubuh tinggi kurus, menelikung dan memeluk seorang wanita yang meronta-ronta dan menangis. Laki-laki kedua usianya agak lebih muda dan memegang dayung, mendayung perahu ke tepi, lalu berseru kepada empat orang yang sedang menangkap kuda dan membuka buntalan.
“Heii, kenapa kalian berhenti di situ? Ada apakah?” “Ha-ha-ha-ha, lihat, kakang Jalak Uren! Apa yang kami dapatkan di sini? Rejeki nomplok! Seekor kuda yang besar dan bagus, tentu harganya amat mahal!” kata laki-laki yang kini sudah memegangi kendali kuda.
“Dan kini lihat! Ha-ha-ha-ha, sekantung uang emas! Wah, kita menjadi kaya raya tanpa bersusah payah!” kata seorang laki-laki yang telah menemukan kantung uang pemberian Sultan Agung dalam buntalan pakaian Aji.
Aji yang tadi keheranan itu kini menyadari bahwa mereka itu adalah perampok-perampok yang hendak merampas kuda dan buntalan pakaiannya. Cepat dia melompat bangkit menghampiri mereka yang telah membawa buntalan dan kudanya. “Hai... kisanak! Itu adalah kudaku dan buntalan pakaianku! Kembalikan milikku itu kepadaku!” teriak Aji.
Seorang di antara empat orang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam itu melompat ke depan Aji. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, tampak kokoh kuat seperti raksasa. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan dia memiliki kumis yang tebalnya sekepal sebelah. Dengan bertolak pinggang dia berkata dengan suaranya yang dalam dan parau.
“Heh, bocah sial! Jangan banyak cerewet. mengingat bahwa engkau telah memberi sumbangan yang lumayan untuk kami, aku mau mengampuni nyawamu dan cepat minggat dari sini!” Aji mengerutkan alisnya.
“Kuda dan barang-barang itu adalah milikku. kembalikan kepadaku!” Dia hendak menghampiri orang yang membawa pundi-pundi uangnya.
Akan tetapi orang berkumis tebal itu menjadi marah sekali. “Kalau begitu, kau ingin mampus!” Tangan kanannya membentuk kepalan sebesar buah kelapa dan menyambar ke arah kepala Aji.
Serangan pukulan itu cepat dan kuat sekali, mendatangkan angin mengiuk. Namun dengan mudahnya Aji miringkan tubuh mengelak dan ketika lengan itu menyambar lewat, dia cepat menangkap lengan itu, memutar tubuhnya dan sekali sentakan tubuh orang berkumis tebal itu terangkat, berjungkir balik dan terbanting ke atas tanah.
“Bres... ngekkkk!” Demikian kerasnya sentakan Aji sehingga orang yang terbanting itu seketika pingsan dan tulang pundak kanannya patah! Aji tidak berhenti sampai di situ saja, dia sudah menerjang cepat ke arah orang yang masih memegang pundi-pundi uangnya. “Kembalikan barang itu!” bentaknya dan bagaikan seekor burung alap-alap, tubuhnya menyambar, tangan kirinya mencengkeram dan di lain saat pundi-pundi uang itu telah berpindah ke tangannya sebelum lawannya itu menyadari apa yang terjadi.
Orang itu marah sekali. Kini dia melihat betapa seorang kawannya roboh dan tak dapat bangkit kembali, dan pundi-pundi uang itu telah berpindah ke tangan pemuda yang kelihatan biasa saja itu. Dia cepat mencabut sebatang golok yang tergantung di pinggangnya. Aji melemparkan pundi-pundi itu ke arah buntalan pakaiannya yang masih terbuka dan terletak di atas tanah. Ketika melihat sinar golok menyambar, dia mengelak dengan cepat ke kiri. Akan tetapi lawannya itu agaknya mahir juga memainkan goloknya, karena begitu bacokannya luput, dia sudah membalikkan lagi goloknya dan menyerang dari lain jurusan. Golok menyambar ke arah leher Aji.
Kembali Aji mengelak ke belakang sehingga golok hanya mengenai tempat kosong. Orang itu mengejar dan tiba-tiba kaki kanannya mencuat, menyambar dengan tendangan kuat ke arah tubuh Aji. Tendangan yang demikian berbahayanya dibandingkan serangan golok tadi. “Wuuuttt...!” aji miringkan tubuhnya dan ketika kaki yang besar dan kokoh itu menyambar ke atas, secepat kilat tangannya menyangga kaki itu dan dengan sentakan tenaga dahsyat dia mendorong ke atas. tenaga tendangan kaki tadi kini ditambah tenaga dorongan aji, membuat si penendang itu tidak lagi dapat mempertahankan dirinya dan tubuhnya terdorong dan terlempar ke atas!
Dia mengeluarkan teriakan kaget ketika tubuhnya terbanting dengan kaki di atas dan kepala lebih dulu menhantam tanah. “Dukk... bresss...!” Orang kedua itu roboh dan tidak mampu berkutik lagi, pingsan karena kepalanya menumbuk tanah keras.
Dua orang perampok yang tadinya memegang kuda, terkejut dan marah melihat betapa dua orang kawan mereka roboh dan tak dapat bangun lagi. Mereka mengira bahwa dua orang kawan itu telah tewas terbunuh pemuda itu. Mereka melupakan kuda yang mereka rampas dan dengan marah mereka mencabut golok lalu lari menghampiri Aji dengan golok diacungkan di atas kepala. Aji siap menanti dengan sikap tenang. ketika dua orang itu menerjang dengan golok mereka, Aji menggerakkan tubuhnya dengan kecepatan luar biasa sehingga dua orang penyerang itu hanya melihat bayangan berkelebat dan serangan mereka luput!
Karena tidak melihat pemuda itu di depan mereka, keduanya memutar tubuh dan melihat bahwa pemuda itu telah berdiri di belakaang mereka sambil tersenyum. Dua orang itu menjadi penasaran dan kembali mereka menggunakan golok untuk menyerang. Akan tetapi, Aji tidak mau memberi kesempatan lagi kepada dua orang lawannya. Dia melihat keadaan yang tidak wajar dari wanita di atas perahu dan dapat menduga bahwa wanita itu tentu ditawan atau diculik. Dia harus cepat dapat merobohkan orang-orang ini agar dia dapat menyelamatkan wanita yang ditawan itu.
Maka, sebelum dua orang pengeroyoknya itu sempat menggerakkan golok untuk melakukan penyerangan yang kedua kalinya, dia mengukur jarak dan kemudian kedua kakinya mencuat ke kanan kiri, tepat menendang ke arah bawah pusar!
“Desss...! Desss...!” Dua orang itu terbelalak dan mengaduh-aduh melepaskan golok dan kedua tangan meraba-raba bawah pusar dan mereka berjingkrak-jingkrak menahan rasa nyeri yang menusuk isi perut. Aji menggerakkan tangan kirinya dua kali, menampar ke arah tengkuk dan dua orang itupun terpelanting dan roboh pingsan. Empat orang perampok itu sudah roboh semua dan pingsan.
“Keparat, berani engkau menganiaya anak buahku?” bentak laki-laki yang mendayung perahu tadi dan disebut Kakang Jalak Uren oleh empat orang yang merampok. Dengan marah dia meninggalkan kawannya yang masih menelikung wanita itu dan melompat ke daratan sambil mencabut sebatang golok yang berkilauan saking tajamnya. Sebentar saja orang yang bertubuh tinggi ini sudah berhadapan dengan Aji. Melihat betapa empat orang anak buahnya masih menggeletak tak bergerak, dia mengira mereka telah tewas maka kemarahannya memuncak.
“Babo-babo, bocah keparat! Berani engkau membunuh empat orang anak buah perkumpulan para pendekar Gagak Rodra?” bentak Ki Jalak Uren, wakil ketua Gerombolan Gagak Rodra itu sambil menudingkan goloknya ke arah muka Aji.
“Aku tidak membunuh mereka, hanya membuat mereka pingsan agar mereka tidak dapat merampas kuda dan barang-barangku.” kata Aji dengan sikap tenang. Dia lalu berjongkok dan membungkus lagi pakaian dan pundi-pundi uangnya dalam buntalan kain.
Mendengar ucapan ini, Ki Jalak Uren menghampiri empat orang anak buahnya itu dan mendapat kenyataan bahwa yang diucapkan pemuda itu benar. Mereka tidak tewas melainkan pingsan. Akan tetapi kenyataan ini tidak mengurangi kemarahannya. Dia menghampiri lagi Aji yang telah selesai membungkus barang-barangnya dan kini berdiri dengan sikap tenang namun waspada. “Heh, pemuda yang kurang ajar! Siapa engkau, berani sekali engkau menentang Perkumpulan Gagak Rodra?”
“Aku tidak menentang siapa-siapa, hanya mempertahankan kuda dan barang-barangku yang hendak dirampas oleh empat orang ini. Namaku Lindu Aji.”
“Keparat! Sepanjang Kali Bogawanta ini adalah menjadi wilayah kekuasaan kami dan siapa saja yang lewat di sini harus menaati peraturan kami. Akan tetapi engkau malah berani melawan dan merobohkan empat orang anak buah kami, berarti engkau sudah bosan hidup! Engkau sekarang berhadapan dengan Ki Jalak Uren, gembong Kali Bogawanta. Menyerahlah untuk kuringkus dan kuhadapkan ketua kami, daripada engkau menjadi bangkai makanan buaya di kali ini!”
“Hemmm, Ki Jalak Uren. Andika mengatakan bahwa andika sekalian adalah orang-orang gagah dari perkumpulan para pendekar Gagak Rodra. Akan tetapi mengapa para pendekar bersikap dan bertindak seperti segerombolan perampok dan penjahat yang suka mengganggu orang? Aku melihat di perahu itu kalian juga menawan seorang wanita. Apakah perbuatan kalian itu termasuk watak para pendekar, ataukah ulah para penjahat?”
“Babo-babo, keparat! berani engkau menghina kami? Berani engkau melawan aku, Ki Jalak Uren gembong Kali Bogawanta?”
“Jangankan hanya gembong Kali Bogawanta, biarpun setannya sekalipun, kalau berbuat jahat pasti akan kulawan!”
“Jahanam sombong! Ambrol dadamu!” bentak Ki Jalak Uren dan tiba-tiba saja kakinya yang besar dan panjang itu sudah mencuat melakukan tendangan kilat ke arah dada Aji. Akan tetapi pemuda ini sudah waspada. Latihan yang ditekuninya di bawah bimbingan mendiang Ki Tejobudi telah membuat ilmu silatnya mendarah daging dengan dirinya dan gerakannya sudah otomatis tanpa dikendalikan pikiran lagi. Maka, ketika angin tendangan menyambar, dia sudah mengelak mundur ke samping kanan sehingga kaki lawan yang menyambar ke arah dadanya itu luput.
Namun Ki Jalak Uren ternyata bukan orang lemah. Dia jauh lebih tangguh dibandingkan dengan anak buahnya tadi. Orang ini adalah wakil ketua ke dua di Gerombolan Gagak Rodra, maka tentu saja lmu silat dikuasainya dengan baik di samping tubuhnya yang kebal dan kokoh kuat. Begitu tendangannya luput dan kaki yang menendang itu sudah turun, tubuhnya sudah menerjang maju dan goloknya menyambar dahsyat. Saking cepat dan kuatnya golok itu menyambar, golok lenyap bentuknya berubah menjadi sinar putih yang menyambar ke arah leher Aji.
“Singggg...!!” Aji merendahkan tubuhnya dan sinar golok itu lewat di atas keplanya. Akan tetapi Ki Jalak Uren sudah menyusulkan serangan dengan tangan kirinya. Jari-jari tangan kirinya membentuk cakar dan mencemngkeram ke arah perut Aji dari bawah! Aji cepat menggerakkan lengan kanannya menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Wuuuttt... dukkk !” Dua lengan bertemu dan akibatnya, Ki Jalak Uren terdorong mundur dan terhuyung. Dia terkejut sekali. Dia adalah seorang yang kebal dan bertenaga besar, akan tetapi pertemuan kedua lengan itu bukan saja membuat dia terhuyung menandakan bahwa dia kalah kuat, akan tetapi juga lengannya terasa nyeri menunjukkan bahwa kekebalannya dapat ditembus oleh lengan pemuda itu! Maklumlah dia bahwa pemuda yang sederhana ini ternyata memiliki kesaktian. Dia menjadi semakin marah dan penasaran. Sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa dia sudah menerjang lagi, menyerang dengan goloknya.
Aji bergerak dengan gerak silat Wanara Sakti. Tubuhnya lincah dan trengginas, mengelak dan berlompatan ke sana sini dengan cepat sekali sehingga ke manapun sinar golok menyambar, selalu hanya mengenai tempat kosong. Tiba-tiba dia mendengar jerit dari arah sungai.
“Tolooongggg...!” Aji melompat ke belakang dan menoleh. Dia melihat laki-laki tinggi kurus yang tadi menelikung wanita itu kini mendayung perahunya ke tengah, agaknya hendak melarikan diri dengan perahu sambil membawa wanita itu. Melihat ini, Aji bertekad untuk menolong wanita itu. Dia harus merobohkan dulu Ki Jalak Uren kalau hendak mengejar laki-laki yang melarikan wanita itu.
Pada saat itu Ki Jalak Uren yang sudah merasa penasaran sekali kembali mengirim bacokan dengan goloknya. Sekali ini Aji sudah mengambil keputusan untuk menyudahi perkelahian ini secepatnya karena dia harus menolong wanita yang dilarikan penjahat. Begitu golok menyambar, dia tidak mengelak melainkan menyambut dengan sambaran tangan kirinya mendahului dan memegang golok, sementara tangan kanannya cepat menyambar ke depan, dengan jari-jari terbuka dia menotok ke depan.
“Dukkk... ngekkk!!” Ki Jalak Uren terjengkang dan roboh, tak mampu bergerak lagi karena diapun sudah klenger (pingsan)! Aji tidak memperdulikannya lagi. Cepat dia melompat ke tepi sungai dan melihat betapa perahu itu sudah tiba di tengah sungai. Wanita itu masih menangis dan menjerit, meronta di bawah tekanan kaki laki-laki itu yang dilintangkan di atas pinggangnya. Sedangkan kedua tangan itu menggerakkan dayung, mendayung perahu melawan arus menuju seberang. Aji melompat ke air.
“Byurrrr...!” Air muncrat dan Aji cepat berenang. Seperti seekor ikan saja dia meluncur di permukaan air. Sebentar saja dia dapat menusul perahu itu. Wanita itu kebetulan mukanya menghadap ke belakang perahu, melihat Aji lebih dulu. Melihat seorang pemuda yang tadi dilihatnya berkelahi melawan para perampok kini sudah berenang dekat perahu, wanita itu berseru, “Kisanak, tolonglah aku, tolong...!”
Laki-laki tinggi kurus yang mendayung perahu itu menoleh dan diapun melihat Aji yang sudah berenang dekat sekali dengan perahu. Aji sudah berada di belakang perahu dan tangan kirinya meraih pinggiran perahu. Melihat ini, laki-laki itu bangkit berdiri mengangkat dayungnya. “Ha-ha-ha, engkau berani menggangguku? Aku Blekok Ireng, akan menjadikan engkau makanan ikan!”
Dayungnya menyambar ke arah tangan Aji yang berpegang pada perahu. Terpaksa Aji melepaskan tangannya dari perahu agar jangan sampai terpukul. Ki Blekok Ireng adalah wakil ketua pertama dari Gerombolan Gagak Rodra dan tentu saja tingkat ketangguhannya melebihi tingkat Ki Jalak Uren. Bahkan diapun seorang ahli bermain di air, maka melihat Aji mengejar perahunya, dia menertawakannya.
“Ha-ha-ha, mampuslah!” katanya lagi dengan dayungnya dia memukul-mukul ke arah kepala Aji yang berenang di belakang perahu. Sambil berenang Aji mengelak ke kanan kiri, mencari kesempatan. Ketika mendapatkan kesempatan, cepat sekali tangannya menyambar dan dia sudah berhasil menangkap dayung yang dipukul-pukulkan kearahnya. Setelah dapat menangkap ujung dayung, Aji mengerahkan tenaga dan menarik dayung itu dengan tenaga sentakan kuat.
“Byurrrr...!!” air muncrat dan kedua orang itu saling tarik dayung. Saking kuatnya tenaga mereka, dayung patah tengahnya, menjadi dua potong! Dan terjadilah perkelahian di air, menggunakan potongan dayung. Saling pukul dan saling tangkis. Sementara itu, perahu yang tidak dikuasai orang itu terbawa arus air yang mengalir perlahan. Aji menggunakan kepandaiannya dan tiba-tiba dia menyelam. Ki Blekok Ireng melihat ini juga segera menyelam dan perkelahian dilanjutkan dalam air! Seperti dua ekor ikan saling serang. Akan tetapi segera terbukti bahwa Aji jauh lebih kuat. Berulang kali ketika dua tangan beradu, tubuh Ki Blekok Ireng terpental. Akhirnya wakil ketua Gerombolan Gagak Rodra ini maklum bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, akhirnya dia akan kalah dan hal ini berbahaya baginya.
Maka, tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya dan berenang mengejar perahu! Melihat ini Aji juga cepat berenang mengejar karena khawatir akan keselamatan wanita itu. Ki Blekok Ireng berhasil menangkap perahu itu dan ketika dia melihat bahwa Aji sudah berada di belakangnya, tanpa ragu-ragu lagi dia membalikkan perahu.
“Aiiiihhh... byurrr !” Tubuh wanita yang menjerit itu terjatuh ke air. Ternyata ia tidak pandai berenang dan megap-megap, kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi. Melihat ini, tentu saja Aji tidak membiarkannya tenggelam. Dia lalu berenang mendekati dan menangkap pangkal lengan kiri wanita itu lalu mengangkatnya sehingga kepalanya berada di atas permukaan air. Karena panik dan ketakutan, wanita itu merangkul leher Aji dengan kedua tangannya, merangkul erat-erat takut terlepas.
Tentu saja hal ini merepotkan Aji, menghalanginya untuk bergerak dengan leluasa. hal inilah yang agaknya dimaksudkan oleh Ki Blekok Ireng ketika dia menggulingkan perahu. Melihat aji kerepotan karena dirangkul erat-erat oleh kedua tangan wanita itu, Ki Blekok ireng cepat berenang menghampiri. Dia sudah mencabut goloknya yang tadi belum sempat dia gunakan. Aji melihat bahaya. Wanita itu merangkulnya erat-erat karena takut terlepas sehingga tentu saja dia tidak dapat bergerak dengan leluasa. Untuk dapat berenang dengan baikpun sukar baginya, apalagi menghadapi serangan Ki Blekok Ireng yang sudah memegang sebatang golok!
Dia dan juga wanita itu berada dalam ancaman bahaya maut! Untuk melepaskan diri mereka berdua dari ancaman maut, tanpa ragu-ragu lagi Aji menekan tengkuk wanita itu dengan ibu jari dan telunjuk tangan kirinya. Tekanan yang amat kuat itu membuat wanita itu terkulai, pingsan. Setelah wanita itu pingsan, Aji menjambak rambut wanita itu yang terlepas sanggulnya dan terurai sehingga wajah wanita itu dapat tetap berada di atas permukaan air tanpa dia harus menggunakan banyak tenaga.
Dalam keadaan seperti itu dia menghadapi serangan Ki Blekok Ireng. Wakil ketua pertama Gerombolan Gagak Rodra itu menyerang dengan bacokan goloknya. Akan tetapi Aji menggerakkan kakinya yang meluncur ke depan, tepat menyambut lengan kanan itu sehingga bacokan tertahan. Kemudian Aji melepaskan rambut wanita itu dan membalik, kedua tangannya bergerak cepat memukul tangan memegang golok, sedangkan tangan yang satu lagi menampar leher lawan. Ki Blekok Ireng berteriak kaget, goloknya terlepas dari tangan dan dia berusaha mengelak dari tamparan ke arah lehernya.
Namun, tetap saja tangan kanan Aji mengenai pundaknya dan Ki Blekok Ireng merasa pundaknya panas dan nyeri bukan main. Dia menjadi gentar dan cepat berenang menjauh ke hilir. Aji tidak memperdulikannya lagi. Dia membalik dan melihat wanita itu tenggelam. Cepat dia menyelam dan tak lama kemudian dia sudah membawa wanita itu berenang ke tepi sungai di mana lima orang perampok masih rebah, ada yang masih pingsan, dan ada yang sudah siuman akan tetapi belum mampu bangkit.
Setibanya di daratan, Aji merebahkan tubuh wanita itu menelungkup lalu dia menekan-nekan punggung wanita itu. Air mengalir keluar dari mulut wanita yang masih pingsan itu. Aji lalu membalikkan tubuh itu telentang dan melihat kain yang membalut tubuh itu hampir terlepas ikatannya, Aji lalu mengikatnya kembali. Dia baru merasa rikuh ketika memandang wanita itu lebih teliti. Ternyata wanita itu masih amat muda, sekitar dua puluh tahun dan wajahnya yang basah kuyup dengan rambut terurai lepas tampak ayu dan manis sekali.