Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Alap Alap Laut Kidul
Jilid 08
JUGA baru sekarang dia melihat betapa tubuh yang berkulit putih mulus itu bentuknya indah menggairahkan. Sadar akan hal ini, barulah Aji merasa rikuh dan jantungnya berdebar tegang membuatnya salah tingkah. Akan tetapi dengan kekuatan batinnya dia menenangkan kembali hatinya, kemudian dia mengurut bagian tengkuk wanita itu. Mulut yang bibirnya merah dan mungil itu bergerak, mengeluh lirih.
Mata itu terbuka dan bertemu dengan pandang mata Aji. Agaknya ia teringat dan cepat ia bangkit duduk, otomatis kedua tangannya hinggap didadanya yang indah untuk merasa yakin bahwa ikatan kainnya tidak terlepas. Kemudian matanya yang dibuka lebar-lebar memandang ke kanan kiri, melihat ke arah sungai lalu melihat lima orang masih menggeletak di situ, ada yang diam saja dan ada yang mengaduh kesakitan.
“Ah... aku... aku telah tertolong...!” Ia menggerakkan tubuh menghadap Aji yang sudah bangkit berdiri, lalu menyembah. “Kisanak, terima kasih... andika telah menyelamatkan diriku"
Aji memutar tubuhnya, tidak mau menerima sembah itu. “Sudahlah, nimas, jangan berlebihan. Berterima kasih saja kepada Gusti Allah dan mari kita tinggalkan tempat ini. Kuantar andika pulang ke tempat tinggal andika.”
Wanita itu teringat akan para perampok itu dan ia cepat bangkit berdiri memandangi ke arah mereka. “Apa yang akan kau lakukan kepada mereka, kisanak?” ia bertanya.
Tahu bahwa wanita itu telah bangkit berdiri, Aji membalikkan tubuhnya dan mendengar pertanyaan itu, dia memandang ke arah lima orang itu. “Aku tidak melakukan apa-apa terhadap mereka. Mudah-mudahan saja mereka telah mendapat peringatan dan akan menyadari kesesatan mereka dan kembali ke jalan yang bersih. Tidak baik kita berlama-lama di sini. Tunjukkanlah jalan ke tempat tinggalmu, nimas, aku akan mengantarmu sampai ke rumahmu.” Aji lalu mengambil buntalan pakaiannya dan menuntun kudanya.
Wanita ayu itu menunjuk ke arah utara. “Rumahku disana, di dusun Loano.”
“Andika naik dan duduklah di atas pelana kuda ini, nimas.” kata Aji.
“Aku tidak bisa menunggang kuda, ki sanak.” kata wanita itu, kini sudah mulai dapat tersenyum karena hatinya sudah merasa tenang dan Aji melihat betapa indah dan manisnya senyum itu!
“Duduklah saja seperti duduk di atas bangku, nimas. Tidak apa-apa, tidak akan jatuh. aku akan menjagamu. dengan duduk di atas pelana kuda andika tidak akan terlalu lelah. Apa lagi andika baru saja mengalami hal-hal yang melelahkan dan mencemaskan.”
Wanita itu meragu dan dipandangnya kuda itu. Seekor kuda besar dan tinggi karena kuda itu pemberian Sultan Agung. “Bagaimana aku dapat naik dan duduk di atas punggung kuda yang begini tinggi? aku tidak bisa, kisanak. Biarlah aku berjalan saja.”
Aji mengerutkan alisnya, lalu berkata. “Kalau begitu, maafkan aku, nimas. Biar aku membantumu naik.” Tiba-tiba dia menggunakan kedua tangannya untuk memegang pinggang wanita itu dan sekali angkat, dia telah mendudukkan wanita itu di atas punggung kuda, duduk miring. “Nah, berpeganglah pada pelana kuda, aku akan menuntunnya.” kata Aji yang lalu menuntun kuda itu meninggalkan tempat itu.
Wanita itu tidak berkata-kata, hanya kedua pipinya berubah agak kemerahan. Ia duduk di atas pelana dan memandang Aji berjalan di depan kuda dengan alis berkerut, diam-diam merasa heran, bukan saja atas ketangguhan pemuda itu yang telah mengalahkan para perampok, akan tetapi juga atas sikap yang lembut dan sopan itu.
“Jauhkah Loano dari sini, nimas?” Tanya Aji tanpa menoleh.
“Jauh sekali. mereka itu membawaku sejak fajar tadi dengan perahu yang mereka dayung cepat-cepat.” jawab wanita itu.
Aji berpikir. Berperahu mengikuti aliran air sungai ditambah dengan tenaga dayung tentu cepat sekali, jauh lebih cepat dari pada orang berjalan kaki. Pada hal, wanita itu dilarikan dengan perahu sejak fajar tadi. Sudah setengah hari lebih. Kini, kalau dia mengantar wanita itu pulang, tentu sedikitnya akan makan waktu lebih dari satu hari, atau bahkan sampai dua hari. Tiba-tiba angin semilir dan Aji merasa tubuhnya dingin. Baru dia ingat bahwa seluruh tubuh dan pakaiannya basah kuyup, demikian pula wanita itu. Dia cepat menoleh dan melihat wanita itu menggigil kedinginan di atas kuda. Dia berhenti dan kuda itupun ikut berhenti.
“Ah, andika kedinginan, nimas?” Wanita itu menaruh kedua tangan di kedua pundaknya.
“Ya, dingin sekali.”
“Andika harus berganti pakaian, kalau tidak dapat terserang masuk angin!” Aji lalu menurunkan buntalan pakaiannya dari punggung, membantu wanita itu turun dari atas kuda dengan memegang pinggang yang ramping itu seperti tadi ketika membantunya naik.
“Akan tetapi aku tidak membawa ganti pakaian.”
“Aku ada membawanya, sementara boleh andika pakai dulu.” kata Aji sambil melepaskan buntalan dan mengeluarkan sehelai sarung dan baju, diberikannya kepada wanita itu. “Di sana ada semak tebal, andika dapat berganti pakaian di sana. Aku juga akan berganti pakaianku yang basah ini.”
Dia mengambil seperangkat pakaian terdiri dari celana dan baju, kemudian pergi ke belakang sebuah batu besar yang letaknya berlawanan arah dengan semak belukar itu. Wanita itu agak ragu sejenak, kemudian setelah melihat Aji menghilang di balik batu besar, iapun melangkah menuju ke semak belukar dan menghilang di balik semak. Aji telah selesai berganti pakaian. Dia kembali ke kudanya, memeras pakaiannya yang basah lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol dan menanti wanita yang berganti pakaian itu. Duduknya membelakangi semak-semak.
Tak lama kemudian dia mendengar langkah lembut dari arah belakangnya. Aji bangkit dan memutar tubuhnya. Wanita itu telah berganti pakaian. Sarung itu melibat tubuhnya dari dada ke bawah. Bagian atasnya tertutup baju putih yang terlalu besar. Rambutnya sudah disanggul sederhana. Tampak lucu sekali, akan tetapi bersih, kering dan tidak mengurangi keayuannya. Kedua pipi itu kemerahan, mulutnya tersenyum malu-malu dibantu sinar matanya.
“Aku... aku tentu kelihatan lucu sekali.” katanya lirih.
“Ah, tidak! Andika kelihatan seperti seorang pemuda“
“yang jelek dan tidak patut tentu!”
“Sebaliknya malah. Andika tampak tampan dan patut sekali.”
Wanita itu menghela napas dan duduk di atas akar pohon, lalu memeras pakaiannya yang basah. Aji berjongkok dan merapikan buntalannya lagi. Wanita itu membawa pakaiannya di tempat yang terbuka lalu menjemur pakaiannya di atas batu. Tanpa diminta ia mengambil pakaian Aji yang basah dan sudah diperas dari atas akar pohon dan menjemurnya pula.
“Sebaiknya kita berhenti di sini sebentar sampai pakaian kita itu menjadi kering.” katanya.
Aji mengangguk saja, kemudian mereka duduk di atas akar pohon, di bawah pohon yang teduh.
“Kisanak, aku belum mengenal namamu, padahal andika sudah menyelamatkan aku dari bencana.” kata wanita itu sambil menatap wajah Aji.
“Namaku Lindu Aji, aku seorang perantau.” jawab Aji pendek. “Akupun ingin sekali mengetahui siapa andika dan bagaimana sampai andika terjatuh ke tangan orang-orang jahat tadi?”
“Lindu Aji? Ahhh, nama yang aneh, langka, indah dan mengandung kegagahan, sesuai dengan orangnya yang gagah perkasa dan berjiwa satria.” Wanita itu memuji. “Dan masih begitu muda remaja!”
Aji tersenyum. “Muda remaja? Usiaku sudah dua puluh tahun!”
“Masih muda sekali. Aku lebih tua setahun. Karena itu, tidak semestinya andika menyebut aku nimas.”
“Habis, harus menyebut apa?”
“Sepatutnya menyebut mbakayu. Mbakayu Winarsih, itu namaku. Dan aku menyebutmu adimas, Adimas Aji. Bukan saja karena aku lebih tua, akan tetapi juga karena aku sudah mempunyai suami, jadi sudah jauh lebih dewasa.”
Aji menekan perasaan herannya. “Akan tetapi... andika kelihatan masih begini muda. Tadinya kukira baru berusia delapan belas tahun!”
Winarsih tersenyum dan deretan giginya yang rapi dan putih tampak, membuat wajah itu tampak semakin menarik dan manis. “Dan andika yang baru berusia dua puluh tahun tampak bijaksana dan matang sikapmu, seperti orang yang jauh lebih tua, padahal wajahmu masih tampak muda sekali. andika tentu seorang satria, murid seorang yang sakti mandraguna. Suamiku banyak bercerita tentang orang-orang yang sakti mandraguna.”
“Mbakayu Winarsih,” setelah menyebut wanita itu dengan mbakayu, Aji merasa lebih akrab dan tidak canggung lagi, merasa seolah bicara dengan mbakayunya sendiri. Setelah tahu bahwa wanita itu lebih tua bahkan telah bersuami, dia merasa lega dan tidak rikuh. “Kalau suamimu mengenal orang-orang sakti mandraguna, tentu suamimu juga seorang yang digdaya. Betulkah dugaanku ini?”
Winarsih menghela napas panjang. “Tidak keliru dugaanmu, dimas Aji. Suamiku bernama Ki Sumali dan dia adalah seorang yang memiliki aji kadigdayaan. Akan tetapi semenjak aku menjadi isterinya, dia menyatakan ingin hidup tenang dan damai, tidak pernah lagi mencampuri urusan dunianya orang-orang yang suka mengadu ilmu kadigdayaan. Kami hidup bertani di Loano, hidup tenang dan tenteram.”
“Akan tetapi bagaimana mbakayu tadi sampai ditawan mereka?”
“Itulah, dimas. Kukira ini juga ada hubungan dengan cara hidup suamiku ketika masih menjadi pendekar dahulu. Aku sendiri tidak mengenal dia orang yang menculikku. Pada waktu fajar tadi, seperti biasa aku mencuci pakaian di sungai yang berada dekat dengan rumahku. Tiba-tiba dua orang laki-laki tadi menangkap aku dan melarikan aku dengan perahu mereka. Di darat masih ada empat orang kawan mereka yang mengikuti perahu sambil berlari-lari. Aku tidak mengenal mereka, akan tetapi pernah aku mendengar orang yang tinggi kurus dan yang menelikung aku itu menyebut nama suamiku. Dia berkata sambil tertawa. “Rasakan sekarang pembalasan kami, Ki Sumali!” Maka aku menduga bahwa tentu perbuatan menculikku itu mereka lakukan untuk membalas dendam. Mungkin mereka dahulu pernah bermusuhan dengan suamiku.”
Aji mengangguk-angguk, diam-diam merasa heran mengapa seorang pendekar yang masih muda sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri untuk memanfaatkan ilmu-ilmu yang dengan susah payah dipelajarinya. “Mendengar ceritamu, melihat keadaannya aku merasa yakin bahwa suamimu sebagai pendekar tentu pernah bentrok dengan mereka. Maksudku bukan bentrok dengan dua orang penculikmu itu, melainkan dengan Gerombolan Gagak Rodra.”
“Mungkin dugaanmu benar, adimas Aji. Nanti kalau sudah tiba di rumah, tentu suamiku akan dapat menceritakan tentang permusuhannya itu. Sekarang tentang dirimu, adimas. Engkau tadi mengatakan bahwa engkau seorang perantau? Bagaiman dapat berada di sini?”
Aji tersenyum dan Winarsih memandang kagum. Pemuda itu memang tampak manis sekali kalau tersenyum. “Aku memang seorang kelana, mbakayu. Dan kebetulan sekali aku ingin berkelana ke daerah barat. Aku berasal dari Gampingan, sebuah dusun kecil di dekat Laut Kidul. Kebetulan saja ketika aku berhenti mengaso di tepi sungai menanti orang lewat untuk bertanya bagaimana aku dapat menyeberangi sungai, muncul empat orang yang merampok kuda dan buntalan ini. Kemudian muncul pula dua orang dengan perahu yang menawanmu. Karena menduga bahwa engkau tentu diculik, maka setelah merobohkan para perampok, aku lalu berenang dan mengejar perahu itu.”
“Aku juga ingin segera dapat berjumpa dengan suamimu, mbakayu. Mari kita lanjutkan perjalanan agar dapat tiba di sebuah dusun sebelum hari menjadi gelap.”
“Baiklah, adimas.” Kini sikap Winarsih juga lebih akrab dan tidak canggung lagi karena iapun merasa seolah berhadapan dengan seorang adik sendiri. “akan tetapi biar aku berjalan kaki saja, rasanya tidak enak menunggang kuda sedangkan engkau berjalan kaki.”
“Akan tetapi kalau engkau berjalan kaki, selain engkau akan menjadi lelah sekali, juga perjalanan menjadi semakin lambat. Ah, kalau saja engkau dapat menunggang kuda dan melarikannya, tentu kita akan dapat tiba di rumahmu dengan cepat, mbakayu. Kalau dudukmu menghadap ke depan, tentu kuda dapat dilarikan lebih cepat dan aku dapat berlari sambil menuntun kuda.”
“Wah, membiarkan engkau berlari-lari sambil menuntun kuda yang kutunggangi? Tak mungkin aku dapat membiarkan hal itu. Terlalu enak untukku dan tidak enak untukmu! Lagi pula, andaikata aku dapat duduk menghadap ke depan, akupun tidak berani kalau kuda berlari kencang. Aku takut jatuh. Eh, bukankah kudamu ini cukup besar dan kuat, adimas? Kulihat berbeda dengan kuda biasa yang pernah kulihat. apa kuda ini tidak kuat kalau kita tunggangi berdua? Kalau berboncengan denganmu, aku tidak takut!”
Tiba-tiba Aji menjadi rikuh kembali. “Akan tetapi... tidak apa-apakah kalau... kalau kita berboncengan? Kalau dilihat orang... apakah hal itu pantas?”
Winarsih tersenyum lebar, senyum yang tulus dan pandang matanya kagum. Pemuda ini jujur dan polos, juga amat tahu kesusilaan. “Adimas Aji, aku mengerti apa yang kau maksudkan, mengerti apa yang kau ragukan. Engkau khawatir kalau-kalau orang yang melihat kita berboncengan lalu menuduh yang bukan-bukan. Akan tetapi kita berdua yakin benar akan alasan dan keadaan kita. Pertama, kita berboncengan karena kita ingin cepat-cepat sampai ke tempat tinggalku dan tidak ada cara lain yang lebih cepat kecuali berboncengan menunggang kuda. Kedua, kita berdua yakin benar bahwa kita tidak melakukan, bahkan tidak pernah membayangkan hal yang tidak pantas atau melanggar kesusilaan. Nah, kalau dua kenyataan itu masih belum dapat menghilangkan kekhawatiranmu, biarlah kita berjalan kaki saja. Kalau aku disuruh menunggang kuda sendiri dan engkau berjalan kaki, aku tidak mau.”
Aji mendengar dengan kagum. Wanita lemah ini ternyata memiliki pandangan luas dan batin yang kuat. Dia teringat akan satu diantara petuah gurunya, “Aji, kita harus selalu ingat dan waspada. Ingat setiap detik akan Gusti Allah, dan waspada setiap saat akan pikiran, kata-kata dan perbuatan kita sendiri. Yang terpenting dalam kewaspadaan itu adalah mawas diri. Biarpun orang sejagad menuduh kita pencuri, kalau, kita tidak mencuri, maka biarkan sajalah orang menuduh. Sebaliknya, biarpun tidak ada orang yang tahu, kalau kita waspada dan merasa telah melakukan pencurian, hal inilah yang amat penting agar kita mawas diri dan mengubah kesalahan kita.”
“Engkau benar, mbakyu Winarsih. Kita terpaksa harus berboncengan karena ingin agar engkau dapat segera sampai dirumahmu dan kita tidak melakukan atau memikirkan hal-hal yang tidak baik. Mengapa harus malu dan khawatir akan pendapat orang lain?”
Dia lalu membuka lagi buntalan pakaiannya dan mengeluarkan celan hitam dan memberikannya kepada Winarsih. “Nah, kau kenakan calana ini mbakyu agar engkau leluasa menunggang kuda.”
Winarsih tersenyum, menerima celana itu dan pergi lagi ke balik semak-semak untuk mengenakan celana itu di balik sarungnya. Ia berterima kasih sekali kepada Aji yang demikian penuh pengertian. Setelah selesai mengenakan celana dan keluar, ia melihat Aji sudah mengambil pakaian yang tadi dijemur dan dimasukkan dalam buntalannya.
“Sekarang kita berangkat, mbakayu,” kata Aji yang sudah menggendong buntalan pakaiannya. Dia lalu membantu Winarsih naik ke atas pelana kuda. Wanita itu duduk menghadap ke depan dan tentu saja merasa lebih enak dan lebih mudah daripada ketika ia menunggang kuda dengan duduk miring. Aji lalu melompat ke belakang wanita itu, menjaga jarak agar tubuhnya tidak berhimpitan dengan tubuh Winarsih.
Demikianlah dengan berboncengn seperti itu, Aji memegang kendali kuda dan perjalanan kini dapat dilakukan jauh lebih cepat. Semula Winarsih merasa rikuh juga dengan adanya seorang laki-laki duduk di belakangnya berdempetan. Belum pernah ia begitu dekat dengan seorang pria kecuali dengan suaminya. Akan tetapi ia merasa lega ketika tidak merasa tubuh pemuda itu menghimpit tubuh belakang dan ia menjadi semakin kagum saja kepada pemuda itu. Seorang pemuda yang benar-benar sopan dan berhati bersih.
Ketika malam tiba. mereka memasuki dusun Dadapan. Dusun di tepi Kali Bogawanta ini kecil, akan tetapi Winarsih pernah berkunjung ke dusun ini bersama suaminya dan ia mengenal Ki Wirobandi, kepala dusun itu. Maka ia mengajak Aji berkunjung ke rumah kepala dusun. Ki Wirobandi mengenal dan menghormati Ki Sumali sebagai seorang pendekar gagah perkasa. Maka, melihat Winarsih, dia mengenal istri pendekar itu dan menyambutnya dengan hormat. Tadinya dia merasa heran melihat isteri Ki Sumali berboncengan dengan kuda bersama seorang pemuda tampan, akan tetapi setelah Winarsih memperkenalkan Lindu Aji sebagai seorang adiknya, diapun menyambut pemuda itu dengan ramah dan hormat.
Mereka berdua dijamu makan malam dan bermalam di rumah kepala dusun itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, setelah dijamu sarapan pagi, mereka mengucapkan terima kasih kepada Ki Wirobandi dan keluarganya, berpamit dan melanjutkan perjalanan dan berboncengan kuda. Perjalanan dilakukan dengan cepat dan menjelang tengah hari mereka sudah tiba di luar dusun Loano. “Kita berhenti di sini, dimas Aji.” kata Winarsih.
Aji menahan kudanya lalu melompat turun. Dia membantu Winarsih, memegang pinggangnya yang ramping dengan kedua tangannya lalu menurunkannya dari atas pelana kuda. “Kenapa berhenti di sini, mbakayu?”
Winarsih memandang ke sekeliling. Kali Bogawanto berada di sebelah kiri dan sebelah kanan jalan itu tampak sawah luas membentang dan ada gubuk di sana sini. “Kita sampai di luar dusun Loano. Itu dusunnya sudah tampak di depan.” Ia menuding ke depan di mana tampak gerombolan pohon dan atap-atap rumah. “Semua penduduk mengenalku dan aku merasa rikuh kalau mereka melihat kita berboncengan kuda. Juga pakaian ini memalukan, tentu akan menjadi buah tertawaan orang. Sebaiknya kalau aku berganti pakaianku yang kemarin.”
Aji tak berkata apa-apa. Dia membuka buntalannya dan mengeluarkan pakaian Winarsih terdiri dari tapih (kain panjang) dan baju yang sudah robek di bagian pundak dan punggung. “Masih agak lembab, belum kering benar, mbakayu.” katanya. Winarsih menerima pakaiannya.
“Tidak mengapa. nanti kalau sampai di rumah aku berganti lagi pakaian kering.” Ia mencari-cari dengan pandang matanya , kemudian menghampiri sebuah gubuk terdekat di persawahan itu untuk berganti pakaian. Aji diam saja, duduk di atas batu di tepi jalan, membelakangi gubuk itu. Kudanya dibiarkan makan rumput yang tumbuh di tepi jalan. Tak lama kemudian dia mendengar suara Winarsih di belakangnya.
“Ini kukembalikan pakaianmu, dimas aji. Terima kasih!”
Aji bangkit dan memutar tubuhnya. Winarsih sudah berdiri di depannya, berpakaian wanita, biarpun pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan, namun ia tampak ayu manis. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara melengking-lengking, merdu sekali namun suara suling yang mendayu-dayu itu mengandung suara yang membayangkan kemarahan. hal ini terasa benar oleh Aji yang juga pandai meniup dan memainkan suling. Dia tahu bahwa peniup suling itu biasanya untuk mengiringi tembang orang yang sedang marah dan menantang!
Mendengar suling itu, Winarsih membelalakkan matanya, memutar tubuh menghadapi arah dari mana datangnya suara itu, melihat sebuah gubuk ditengah sawah agak jauh dari situ, lalu ia berseru “Dia di sana...!” kemudian lari ke arah gubuk itu.
Aji tak tahu siapa yang dimaksudkan Winarsih. Karena khawatir kalau keselamatan wanita itu terancam, maka dia lalu mengikutinya dari belakang. Setelah tiba di depan gubuk, Aji melihat bahwa peniup suling itu seorang laki-laki yang sedang duduk bersila dipanggung gubuk itu. seorang laki-laki berusia lima puluh empat tahun, rambutnya sudah bercampur banyak uban, mengenakan kain pengikat kepala bewarna biru, pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi, bercelana hitam sebatas lutut, bajunya lurik berlengan panjang, sarungnya dilibatkan di pundak dan sebatang gagang keris tampak terselip di pinggangnya.
Orang ini bertubuh sedang namun masih tampak tegap. Wajahnya yang setengah tua itu masih ganteng dan gagah. Kedua tangannya memegang sebatang suling bambu yang sedang ditiup dan dimainkannya, dan dia duduk bersila dengan tubuh tegak.
“Kakang...!” Aji melihat Winarsih berseru dan wanita itu berlari menghampiri panggung gubug, tangannya dijulurkan hendak menyentuh pria itu. Akan tetapi tiba-tiba pria itu menghentikan tiupan sulingnya dan sekali tangan kirinya bergerak seperti mendorong, ada angin keras menyambar dan tubuh Winarsih terpental ke belakang! Ia tentu akan terjengkang roboh kalau saja Aji tidak cepat bergerak dan menahan dengan kedua tangan menangkap pundak Winarsih.
“Jangan sentuh aku!” Pria itu membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Winarsih. “Jangan kotori aku dengan tubuhmu yang ternoda dan hina!”
Mendengar ucapan ini, seperti lemas kaki Winarsih dan ia terkulai, menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah sawah depan gubuk, air matanya bercucuran lalu berkata di antara isak tangisnya. “Kakang... engkau kenapakah, kakang? Apa... apa dosaku kepadamu?”
Pria itu tersenyum mengejek dan pandang matanya yang tajam membayangkan kejijikan. “Engkau masih berpura-pura menanyakan dosamu, perempuan tak tahu malu? Engkau pergi dua hari satu malam tanpa pamit. Kucari ke mana-mana tidak ada, tanpa meninggalkan jejak dan sekarang engkau muncul bersama seorang pemuda tampan, menunggang kuda berboncengan, berhimpitan, bahkan mengenakan pakaian pria, tentu milik pemuda itu. Baru ganti pakaian setelah tiba di sini. Aku melihat semua itu dan kini engkau masih bertanya tentang apa dosamu?”
Ketika tadi melihat pria itu, Aji menduga-duga siapa gerangan dia. baru dia dapat menduga bahwa pria itu tentu suami Winarsih ketika ia menyebut kakang kepada pria tua itu. tentu pria inilah yang bernama Ki Sumali, pendekar itu. Dari dorongan jarak jauh yang membuat Winarsih terpental tadi saja dia tahu bahwa pria itu memiliki tenaga sakti yang kuat. Mendengar betapa pria itu mencaci maki Winarsih, Aji menjadi penasaran dan cepat berkata.
“Paman, mbakayu Winarsih sama sekali tidak bersalah! Sama sekali tidak kotor ternoda seperti dugaan paman! Paman keterlaluan, mabok cemburu!”
Ki Sumali melotot ketika mendengar ucapan itu dan dia memandang wajah pemuda itu dengan tajam. kemudian tiba-tiba tubuhnya yang tadinya duduk bersila itu melompat dan bagaikan seekor burung tahu-tahu dua sudah berdiri di depan Aji. “Keparat! Dengan usia muda dan ketampananmu engkau berani menggoda isteri orang dan sekarang masih berani membuka suara seperti itu? Orang semacam engkau ini tidak patut hidup!”
Setelah berkata demikian, tangan kanannya bergerak ke arah kepala Aji. Aji maklum betapa dahsyat dan berbahaya serangan ini, maka diapun mengerahkan tenaga dan menggerakkan tangan kiri untuk mengangkis.
“Wuuttt... dukkkk!” Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu melalui kedua lengan itu dan akibatnya Aji merasakan getaran hebat mengguncangkannya, akan tetapi Ki Sumali terhuyung ke belakang sampai tiga langkah. Pria itu terbelalak kaget.
“Babo-babo, kiranya engkau seorang yang digdaya juga. Bagus! Kalau begitu, mari kita selesaikan pertentangan ini di hutan sebelah timur itu!”
“Kakang...! Dengarlah dulu keteranganku. Aku diculik orang dan adimas Lindu Aji ini yang menolongku“
“Tutup mulutmu!” Ki Sumali memotong. “Tiada gunanya semua alasan yang kau cari-cari itu. Aku takkan percaya! Orang muda, pantang bagi orang gagah untuk berkelahi di depan wanita dan memperebutkannya. Demi membela kehormatan, aku tantang engkau untuk mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang di hutan sana. Kalau engkau tidak berani, berarti engkau seorang pengecut besar dan aku pasti akan mencarimu dan membunuhmu!”
Setelah berkata demikian, Ki Sumali sudah melompat dan lari menuju hutan yang berada di ujung persawahan sebelah timur, tidak perduli akan jerit tangis Winarsih. Mendengar ucapan itu, Aji merasa tersinggung kehormatannya. Selain harus mempertahankan kehormatannya, juga dia merasa berkewajiban untuk menyadarkan pemarah itu dan membela Winarsih agar nama wanita itu kembali bersih dan suaminya menyadari kekeliruannya.
Maka, diapun pergi ke jalan, meloncat ke atas punggung kudanya dan mengejar Ki Sumali yang sudah berlari cepat sekali ke hutan. Setelah tiba di dalam hutan, Aji melihat Ki Sumali sudah berdiri sambil memegang suling bambunya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang. Wajahnya yang gagah itu tampak kemerahan. Aji melompat turun dari punggung kudanya, dengan tenang menambatkan kendali kuda pada sebatang pohon kemudian menghampiri kakek itu. Mereka kini berdiri saling berhadapan, hanya disaksikan pohon-pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu. Dengan sikap tenang Aji berkata,
“Paman Sumali, kita baru saja saling berjumpa dan diantara kita tidak ada permusuhan apapun. Akan tetapi mengapa paman memusuhi aku?”
“Hemmm, orang muda, Siapa namamu tadi?”
“Lindu Aji”
“Ya, Lindu Aji. Aku memusuhimu bukan sekali-kali untuk memperebutkan wanita, melainkan untuk membela kehormatanku yang sudah kau injak-injak. Engkau mengandalkan ketampanan dan kedigdayaanmu untuk merusak pagar ayu (melanggar kesusilaan), berarti mencoreng arang di mukaku dan menginjak-injak kehormatanku. Karena itu, sebagai orang-orang yang menghargai kegagahan, engkau atau aku yang harus mati!”
“nanti dulu, Paman Sumali. Sabar dan tenanglah, dengarkan dulu penjelasanku. Isterimu diculik penjahat. Aku hanya membebaskannya dari tangan orang-orang jahat kemudian mengantarkannya pulang. sama sekali kami tidak melakukan hal-hal yang melanggar kesusilaan.”
“Cukup! Ia mengenakan pakaianmu, ia berboncengan kuda denganmu, kalian tampak begitu akrab dan mesra. Semua itu kulihat sendiri! Aku belum buta untuk dapat melihat bahwa kalian berdua saling menyukai! Engkau masih berani menyangkal bahwa engkau suka dan mencinta Winarsih?”
“Tidak kusangkal bahwa aku kagum dan suka kepada mbakayu Winarsih! Akan tetapi itu bukan berarti bahwa aku mencintanya dan bahwa kami telah melakukan hal-hal yang tidak patut. Aku bukan seorang laki-laki yang suka menggoda isteri orang lain! Kalau aku suka kepadanya karena ia seorang wanita yang bijaksana dan baik budi dan kalau ia suka kepadaku karena aku telah menyelamatkannya dan bersikap sopan kepadanya, apakah itu salah? Pikiranmu sudah dikotori bayangan nafsu, Paman Sumali, sehingga engkau membayangkan yang bukan-bukan. Rasa suka, bahkan cinta sekalipun, tidak selalu harus dikotori dengan perjinahan ulah nafsu!” Panas juga rasa hati Aji karena dia dituduh sebagai perusak pagar ayu.
“Engkau boleh mengoceh apapun, akan tetapi mataku tidak buta. Winarsih pasti jatuh hati kepadamu dan hal itu apa anehnya? Engkau masih muda, tampan, dan pandai mengambil hati. sedangkan aku“
“Paman, kiranya tuduhanmu itu timbul dari rasa rendah dirimu! Engkau merasa sudah tua dan sebagainya! Sungguh engkau keliru, paman. Aku merasa yakin bahwa mbakayu Winarsih adalah seorang isteri yang mencinta suaminya, seorang isteri yang setia“
“Cukup! Katakan saja engkau takut dan aku akan membunuhmu sebagai seorang perusak pagar ayu yang berjiwa pengecut!”
Marahlah Aji mendengar ini. “Dan engkau seorang laki-laki yang keras kepala, ingin benar dan menang sendiri, seorang suami yang sudah menjadi buta karena cemburu yang tak berdasar. Bodoh dan tolol, percuma saja menganggap diri sebagai seorang pendekar!”
“Bagus kalau engkau berani melawanku. nah, sambut seranganku ini!” Ki Sumali lalu menyerang dengan sulingnya. Biarpun senjata itu hanya sebatang suling bambu, akan tetapi ditangan seorang sakti dapat menjadi senjata yang ampuh dan berbahaya sekali. Ketika suling itu digerakkan untuk memukul ke arah kepala Aji dan menyambar, terdengar suara melengking seolah suling itu ditiup! Akan tetapi Aji sudah waspada. Dia maklum bahwa orang ini memiliki kesaktian dan dia tahu benar betapa dahsyat dan berbahayanya serangan suling itu. Maka diapun cepat bergerak seperti kera, memainkan ilmu silat Wanara Sakti dan dengan mudahnya dia mengelak dari serangkaian serangan suling yang berisi tujuh kali serangan bertubi-tubi itu.
Ki Sumali terkejut juga melihat betapa serangkai serangannya itu dengan mudah dapat dielakkan oleh lawannya yang masih begitu muda. Padahal, serangkai serangan itu merupakan serangan andalannya dan jarang ada lawan mampu mengelak secara berturut-turut tujuh kali. Diam-diam dia berkemak kemik membaca manteram, tiba-tiba dia mendorongkan tangan kirinya ke depan dan mulutnya mengeluarkan pekik melengking.
Lengkingan suara itu mengandung getaran yang amat dahsyat, membuat jantung Aji seperti diguncang dan dari telapak tangan kiri yang didorongkan itu keluar asap hitam yang panas! Inilah Aji Jerit Bairawa, semacam pekik ditambah serangan asap hitam yang mengandung tenaga sihir yang amat berbahaya. Jerit mengerikan itu dapat memecahkan jantung dan asap hitam itupun dapat membakar tubuh lawan!
Aji dapat menduga penyerangan semacam apa yang mengancam dirinya. Serangan itu mengandung dua macam kekuatan. Kekuatan sihir terkandung dalam pekik dahsyat itu yang dapat menyerang jantung dan melumpuhkan lawan, sedangkan serangan tangan kiri mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Maka diapun mengerahkan tenaga saktinya dan tiba-tiba dia berjongkok, kedua tangannya menyentuh tanah sambil menggebrak tanah dia mengeluarkan bentakan nyaring.
Dia telah mengerahkan tenaga Surya Candra dan mengeluarkan Aji Guruh Bumi yang dahsyat. Dua kekuatan dahsyat bertemu di udara dan akibatnya, Ki Sumali kembali terhuyung! Wajahnya berubah pucat, sama sekali tidak mengira bahwa pemuda itu mampu melawan ilmunya sehebat itu. Saking merasa penasaran, dia menjadi marah dan sambil menggereng kembali dia melompat dan menerjang Aji dengan sulingnya! Akan tetapi sekali ini Aji tidak hanya mengandalkan kelincahan gerakan ilmu silat Wanara Sakti untuk mengelak, melainkan untuk balas menyerang.
Terjadilah pertempuran yang amat seru. Aji harus mengakui bahwa lawannya memang hebat, memiliki ilmu silat aneh yang dimainkan dengan senjata suling, yang dapat mengimbangi ilmu silatnya Wanara sakti. Di lain pihak, Ki Sumali juga terheran-heran. Belum pernah dia bertemu tanding seorang yang masih begini muda namun memiliki kepandaian yang demikian tinggi. Mereka saling serang, balas membalas. Hanya bedanya, kalau Aji hanya menyerang untuk merobohkan lawan tanpa membunuhnya, sebaliknya Ki Sumali menyerang dengan jurus-jurus maut!
Puluhan jurus lewat dan pertandingan itu masih berlangsung seru. Tiba-tiba Winarsih datang berlari-lari. Wanita ini merasa khawatir sekali melihat suaminya dan Aji pergi ke hutan itu. Ia lalu melakukan pengejaran dan ketika tiba di dalam hutan itu ia melihat suaminya sedang berkelahi mati-matian dengan Aji. Cepat ia nekat memasuki arena perkelahian dan mencabut sebatang pisau belati yang tadi diambilnya dari rumah sebelum mengejar ke hutan.
“Kalian berhenti atau aku akan membunuh diri!” Teriakan ini mengejutkan hati Aji dan cepat ia melompat ke belakang sehingga Ki Sumali terpaksa menghentikan gerakannya juga. Dia sudah mandi keringat sendiri dan pernapasannya agak terengah. “Kakang Sumali, engkau telah menuduhku secara keji sekali. Aku adalah isterimu yang sudah beberapa tahun mendapat bimbinganmu sehingga aku mengerti tentang harga diri seorang wanita! Harga diri seorang isteri adalah kesetiaannya terhadap suami. Aku bersumpah bahwa aku tetap setia kepada suamiku. Biarlah aku dikutuk para dewa kalau aku melanggar kesetiaanku dan bertindak jina dengan pria lain! Kakang Sumali, engkau boleh saja menuduh aku sesat, akan tetapi engkau berdosa besar sekali kalau kau menuduh adimas Aji. Dia telah menyelamatkan aku, aku berhutang budi dan nyawa kepadanya, dan apa balasanmu? Engkau malah hendak membunuhnya! Kalau dia mati di tanganmu, kakang, aku akan membunuh diri untuk menebus dosamu kepadanya. Adimas Aji, jangan lanjutkan perkelahian ini. Kalau sampai Kakang sumali tewas dalam perkelahian ini, apa gunanya aku hidup? Hanya dia seorang gantungan hidupku, kebahagiaanku, dan hanya dialah pria yang kucinta. Maka kalau dia tewas, aku akan membunuh diri pula!” Setelah berkata demikian, Winarsih mengancam dengan menempelkan ujung belati di dadanya dan menangis sesenggukan.
“Paman Sumali, apakah engkau belum insaf betapa setia dan besar cinta kasih isterimu kepadamu? Apakah engkau belum juga mau mendengar penjelasanku?” Tanya Aji dengan alis berkerut merasa iba kepada Winarsih dan merasa gemas kepada Ki Sumali.
Ki Sumali memandang kepada Winarsih dengan alis berkerut, lalu memandang kepada Aji. Terbayang lagi dalam ingatannya keika ia melihat istrinya itu duduk berhimpitan dengan pemuda itu, berboncengan di atas punggung seekor kuda. Teringat betapa pemuda itu membantu Winarsih turun dari kuda dengan mengangkatnya pada pinggangnya, lalu betapa isterinya bertukar pakaian dalam sebuah gubuk, dan sikap dan pandang mata dari kedua orang muda itu ketika saling bicara dan berhadapan.
Cemburu merupakan api yang berkobar membakar segalanya, merupakan racun yang menggerogoti hati, mengacaukan pertimbangan akal dan menggelapkan pandangan. Ki Sumali menghela napas panjang, menyelipkan suling di pinggangnya. Akan tetapi ketika Aji dan Winarsih sudah merasa lega melihat gerakan Ki Sumali ini, mereka dikejutkan ketika tiba-tiba tangan kanan Ki Sumali menghunus kerisnya!
Keris itu berluk Sembilan dan bentuknya seperti ular, warnanya hitam legam. Itulah keris pusaka Sarpo Langking (Ular Hitam) yang mengandung bisa amat mematikan! “Hayo, Lindu Aji, jangan kepalang tanggung. engkau atau aku yang harus mati!” kata ki Sumali.
Aji menjadi marah sekali. Bukan main kerasnya hati orang ini! Sungguh buta mata batinnya, tidak tahu memiliki isteri yang demikian setia dan mencinta! Orang macam ini harus diberi pelajaran keras. Akan tetapi keris pusaka yang dipegangnya itu tampak ampuh dan berbahaya sekali. Maka diapun segera menghampiri buntalan pakaiannya, membukanya dan mencabut keris pusaka Kyai Nagawelang pemberian Sultan Agung untuk menandingi keris hitam di tangan lawannya. “Kalau itu kehendakmu, Paman Sumali, aku hanya ingin melayanimu!” kata Aji.
Akan tetapi tiba-tiba Ki Sumali membelalakkan matanya memandang ke arah keris Kyai Nagawelang yang berada di tangan Aji. Suaranya terdengar gemetar ketika dia berkata lirih, “pusaka itu... luk tiga belas berkepala naga terhias jamang... berlapis emas... ahhh... bukankah itu Kyai Nagawelang? Keris pusaka Mataram buatan Paman Empu Supa?”
Aji merasa heran akan perubahan sikap Ki Sumali yang tiba-tiba tampak jinak dan tenang, juga memandang keris pusakanya dengan sikap hormat. “Benar sekali, paman. Pusakaku ini adalah Kyai Nagawelang.”
“Akan tetapi... pusaka itu milik Gusti Sultan agung! Bagaimana bisa berada di tanganmu?” tanyanya sambil memandang kepada Aji dengan sinar mata penuh selidik.
“Aku menerimanya sebagai anugerah dari Gusti Sultan, sebagai tanda bahwa aku adalah utusan beliau yang mendapatkan kekuasaan.” jawab Aji sejujurnya.
Tiba-tiba Ki Sumali menekuk lututnya dan menyembah kepada Aji! “Mohon beribu ampun, Raden. Saya tidak tahu bahwa Raden adalah utusan Gusti Sultan yang diberi kekuasaan memiliki Kyai Nagawelang! Saya berdosa besar telah tidak percaya kepada Raden!”
Aji tersenyum dan tahulah dia bahwa orang ini, betapapun keras hatinya, ternyata adalah seorang yang setia dan menghormati Sultan Agung sebagai junjungannya. Dia cepat membungkuk, memegang kedua pangkal lengan Ki Sumali, mengangkatnya dan berkata, “Ah, Paman Sumali, aku hanya seorang utusan, harap jangan menghormati aku secara berlebihan. Bersikaplah wajar saja dan jangan sebut aku raden agar kita dapat bicara dengan leluasa tanpa rikuh rikuh.” Diam-diam Aji mengerahkan tenaga saktinya.
Ki Sumali dapat merasakan getaran kuat melalui telapak tangan pemuda itu yang memegang kedua bahunya. Sekali lagi mereka ingin saling menguji dan dia mengerahkan aji kesaktiannya membuat tubuhnya menjadi berat sekali. Akan tetapi tetap saja tubuh atasnya terangkat dan dia terpaksa berdiri. Dia memandang wajah pemuda itu penuh kagum dan kini wajahnya cerah berseri dan mulutnya menyungging senyuman. “Anakmas Aji, kini aku tidak merasa heran mengapa Gusti sultan Agung mengangkat engkau menjadi utusan dengan membekali Keris Pusaka Kyai Nagawelang sebagai tanda pengenal. Nah, sekarang ceritakanlah, anakmas, apa yang sesungguhnya terjadi dengan istriku Winarsih?”
“Isterimu Mbakayu winarsih, tadi telah berkata sebenarnya. Ia diculik orang dan dilarikan dari Loano dengan menggunakan perahu menuju ke hilir. Aku yang sedang melakukan perjalanan berkelana melihat ia dengan dua orang laki-laki penculiknya. Aku hendak dirampok oleh anak buah orang itu, bahkan yang seorang juga ikut mengeroyok. Setelah merobohkan lima orang yang mengeroyokku, aku lalu terjun ke air dan mengejar perahu yang didayung seorang pemimpin perampok dan yang melarikan Mbakayu Winarsih. Aku berhasil menyusul dan mengalahkan pemimpin perampok itu setelah berkelahi didalam air. Akan tetapi perahu itu dia gulingkan. Untung Mbakayu Winarsih belum sampai hanyut. Aku menolongnya dan membawanya berenang ke tepi sungai. Nah, karena kami basah kuyup, untuk mencegah ia masuk angin, aku lalu meminjamkan seperangkat pakaian untuk ia pakai sebagai pengganti pakaiannya yang basah kuyup. Kemudian aku mengantar ia pulang ke Loano. Karena perjalanan cukup jauh dan Mbakayu Winarsih ingin sekali segera dapat pulang dan bertemu denganmu, maka kami lalu berboncengan di atas kuda. percayalah, paman, aku cukup menghayati aturan tata susila yang pernah diajarkan mendiang bapa dan eyang guruku dan Mbakayu Winarsih adalah seorang wanita yang bersusila, baik budi dan setia kepada suami sehingga biarpun kami berboncengan, akan tetapi kami saling menjaga sehingga kami tidak berhimpitan. Karena itu tuduhanmu tadi terhadap isterimu sungguh tidak pantas dan amat menyakiti hati Mbakayu Winarsih yang kesetiaan dan kasih sayangnya kepadamu murni dan bersih.”
Ki Sumali mengerutkan alisnya, matanya menunjukkan penyesalan besar ketika dia memandang kepada Winarsih yang masih bersimpuh di atas tanah dan menangis tersedu-sedu. Wanita itu masih menggenggam gagang pisau belati dan mendengar pembelaan Aji, hatinya terasa perih seperti disayat-sayat sehingga tangisnya semakin mengguguk.
“Aduh, diajeng Winarsih...!” Ki Sumali berlutut dan merangkul isterinya. “Maafkan aku, diajeng. Mataku seperti buta, telingaku seperti tuli sehingga aku tega mengotori kesucianmu dengan tuduhan-tuduhan keji! Sudah sepatutnya kalau engkau tanamkan cundrik (belati) itu kedadaku, diajeng... !”
“Kakang Sumali... !” Winarsih melepaskan belatinya dan iapun menangis dalam dekapan suaminya. Kedua orang suami isteri itu bertangisan dan pada saat itu terasa benar oleh mereka betapa mereka itu sesungguhnya saling mencinta.
Aji melangkah mundur dan mengalihkan pandangan sambil tersenyum. Hatinya girang bukan main melihat sepasang suami isteri itu telah rukun kembali. Betapa bahagianya seorang pria seperti Ki Sumali yang sudah tua itu memiliki seorang isteri seperti Winarsih yang masih muda, ayu manis dan baik budi penuh kasih sayang pula! Diam-diam dia mengharapkan agar kelak dia dapat memperoleh jodoh seorang wanita seperti ini!
Setelah keharuan mereka agak mereda, Ki Sumali merangkul isterinya dan diajak bangkit berdiri. “Ah, benar seperti yang dikatakan anak mas Aji tadi. Aku telah mabok, bahkan gila karena cemburu buta. Akan tetapi, anakmas Aji, dapatkah perasaan cemburu itu dihilangkan dari hati yang lemah ini? Aku jauh lebih tua dari diajeng Winarsih, bahkan ia sepantasnya kalau menjadi anakku. Bagaimana perasaan cemburu tidak akan menggoda hatiku kalau ia bertemu dengan pria lain yang jauh lebih muda dan tampan dariku?” Ki Sumali bertanya sambil memandang wajah Aji.
Pemuda itu tersenyum. Dia adalah seorang pemuda yang sama sekali belum mempunyai pengalaman tentang cinta dan cemburu. Akan tetapi dia sudah memiliki dasar pengertian yang luas tentang kehidupan. Dari mendiang Ki Tejobudi dia mendapat gemblengan batin dan diperkenalkan dengan nafsu-nafsu daya rendah dan segala macam ulahnya yang selalu mencoba untuk menguasai manusia.
“Paman Sumali, sesungguhnya saya pribadi belum pernah merasakan apa yang dinamakan cinta terhadap wanita dan bagaimana rasanya cemburu itu. Akan tetapi saya dapat menduga dan membayangkan. Paman, kalau saya tidak salah, cemburu timbul karena ketidak percayaan. Adalah keliru sekali kalau paman tidak percaya kepada Mbakayu Winarsih. Ia seorang wanita dan isteri yang kiranya sukar paman dapatkan keduanya di jagad ini. Berilah kepercayaan sepenuhnya kepadanya, paman, percaya dengan penuh keyakinan bahwa ia tidak akan sudi melakukan penyelewengan. Kepercayaan penuh keyakinan itu pasti akan mampu melenyapkan racun cemburu yang mengeram di dalam hati paman.”
“Apa yang dikatakan dimas Aji itu tepat dan benar sekali. Kakang Sumali. Hal itu telah terbukti dalam hatiku. Aku percaya dengan penuh keyakinan bahwa engkau tidak akan menyeleweng dengan wanita lain dan selama ini aku tidak pernah merasa cemburu kepadamu, kakang, biarpun aku tahu bahwa engkau amat terkenal di Loano dan banyak wanita terkagum-kagum kepadamu.”
Ki Sumali mengangguk-angguk dan memandang kepada Aji dengan pandang mata penuh kagum. “Anakmas Aji, sungguh tak kusangka engkau yang semuda ini memiliki pandangan seluas itu. Akan tetapi, kiranya tidak dapat disangkal bahwa seorang pemuda setampan dan segagah engkau tentu mempunyai daya tarik kuat bagi wanita dan aku dapat merasakan bahwa isteriku tentu kagum dan suka kepadamu.”
Ucapan ini sama sekali tidak mengandung amarah atau curiga, membuktikan bahwa dia tidak lagi dipengaruhi cemburu. “Suka dan tertarik kepada orang lain, apalagi yang berlawanan jenis, merupakan hal yang wajar, paman. Akupun mengaku bahwa aku tertarik, suka dan kagum kepada Mbakyu Winarsih, seperti aku akan kagum terhadap seseorang atau sesuatu yang indah, baik dan menarik perhatian menimbulkan kagum. Mungkin saja Mbakyu Winarsih suka dan kagum kepadaku karena aku telah menyelamatkannya dari tangan orang-orang jahat. Apa salahnya dengan rasa kagum dan suka itu, paman? Kita adalah manusia, mahluk beradab yang dibatasi oleh tata susila dan tata hukum. Rasa kagum dan suka kita itu terbatas oleh kesusilaan dan hukum, tidak mendorong kita untuk memiliki apa yang kita kagumi dan sukai, apalagi kalau yang kita sukai dan kagumi itu telah menjadi milik orang lain. Kalau aku kagum melihat bunga yang indah dan timbul rasa suka, bukan berarti aku ingin memetik dan memilikinya, apalagi kalau bunga itu menjadi milik orang lain. Bukan rasa suka dan kagum, melainkan nafsu binatanglah yang mendorong orang melakukan penyelewengan. Coba paman renungkan lalu jawab dengan sejujurnya. Apakah paman tidak akan tertarik melihat wanita lain yang cantik, pandai, bijaksana dan memiliki sifat-sifat baik lain yang mengagumkan? Apakah paman tidak akan menjadi kagum dan suka?”
Ki Sumali memejamkan kedua matanya, mengerutkan alisnya, lalu tersenyum dan mengangguk-angguk. “Nah, itu jujur namanya. Laki-laki melihat wanita cantik menarik menjadi kagum dan suka atau sebaliknya wanita melihat pria tampan menarik menjadi kagum dan suka adalah suatu perasaan yang wajar dan sama sekali tidak perlu menjadikan malu. Kalau ada pria atau wanita mengaku bahwa dia tidak tertarik melihat lawan jenisnya yang mengagumkan, maka dia itu berbohong atau tidak normal. Suka dan kagum bukan berarti lalu menuruti nafsu dan menyeleweng. Semua itu tergantung pada pribudi manusianya, paman. siapa sih yang tidak akan tertarik melihat sesuatu, baik manusia atau benda, yang indah mengagumkan?”
Ki Sumali tersenyum lebar, senyum lega dan menandakan bahwa hatinya terbuka dan pandang matanya kepada isterinya penuh kasih sayang dan pengertian. Betapapun juga, dia masih belum puas akan kebenaran yang telah dilihatnya, mengingat apa yang dialami dan dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. “Akan tetapi, anakmas Aji. Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, orang condong mengatakan bahwa kalau orang mudah tertarik melihat wanita cantik, dia disebut sebagai mata keranjang. Bagaimana ini?”
“Aku juga mendengar akan sesuatu itu, paman. Kukira sebutan itu hanya patut diberikan kepada seorang pria yang menjadi budak dari nafsu berahinya sendiri. Kalau seorang pria suka dan kagum melihat wanita yang menarik, lalu menyimpan rasa suka dan kagum itu dalam hati maka hal itu adalah wajar saja. Akan tetapi kalau rasa suka dan kagum itu lalu menimbulkan nafsu berahi dan mendorongnya untuk melakukan usaha untuk mendapatkan wanita itu sebagai pelampiasan nafsunya, maka pria seperti itulah yang pantas disebut mata keranjang. demikian pula kebalikannya dengan wanita. bukankah kau pikir demikian, paman?”
Kembali Ki Sumali mengangguk-angguk. “Sungguh heran! Aku, laki-laki berusia lima puluh empat tahun yang banyak pengalaman, mendengarkan kebenaran ini keluar dari mulut seorang pemuda remaja seperti engkau, Anakmas Aji.”
“Kakang Sumali dan Dimas Aji, kalian ini bagaimana sih? Bercakap-cakap di tengah hutan. Kakang, apakah tidak sebaiknya kalau kita undang Adimas Aji berkunjung ke rumah kita di mana kalian dapat bercakap-cakap lebih leluasa dan enak?”
“Ah, engkau benar sekali, diajeng! Aku masih ingin bercakap-cakap lebih banyak dengan Anakmas Aji. Mari, anakmas, kami persilakan anakmas berkunjung ke gubuk kami. Perkenalan ini harus dipererat!”
Aji tidak dapat menolak. Mereka bertiga keluar dari hutan. Winarsih dibantu suaminya naik ke atas punggung kuda dan dua orang pria itu berjalan kaki.
Rumah Ki Sumali cukup besar bagi keluarga yang belum mempunyai anak itu. Yang tinggal di situ hanya mereka berdua, seorang pelayan wanita setengah tua dan seorang pelayan pria juga mengurus kebun mereka. Hari telah menjelang senja ketika mereka tiba di rumah Ki Sumali. Aji dipersilakan mandi. Setelah mereka semua mandi dan menikmati hidangan makan malam, Ki Sumali dan Winarsih lalu mengajak Aji bercakap-cakap di ruangan dalam. Aji sudah dibujuk suami isteri itu untuk menginap di rumah mereka dan pemuda itu tidak dapat menolak keramahan mereka.
“Nah, sekarang kita dapat mengobrol dengan enak. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin sekali mengenalmu lebih baik lagi dan mengetahui banyak tentang dirimu. anak mas Lindu Aji, kami hanya mengetahui bahwa engkau adalah seorang pemuda yang sakti mandraguna, berbudi mulia dan sebegini muda telah menjadi kepercayaan Gusti Sultan Agung sehingga diberi Pusaka Kyai Nagawelang. Akan tetapi kami tidak mengetahui siapa sebenarnya engkau, anak mas, dari mana asalmu, siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu yang mulia? Maukah engkau menceritakannya kepada kami?”
“Saya anak dusun, hidup bersama ibu yang telah menjadi janda di pantai Laut Kidul, dusun Gampingan. Guru saya juga sudah meninggal dunia, nama mendiang guru saya Ki Tejobudi. Pada suatu hari, secara kebetulan saya bertemu dengan Gusti Puteri Wandansari yang berkelahi dengan orang-orang jahat yang sakti mandraguna. Setelah saya mengetahui bahwa wanita itu adalah Sang Puteri yang namanya sudah saya dengar, saya langsung membantunya dan akhirnya orang-orang jahat itu dapat dikalahkan. Gusti Puteri Ratu Wandansari mengajak saya menghadap Gusti Sultan Agung dan saya dianugerahi pusaka ini, paman.”
Keterangan Aji itu singkat saja karena memang dia tidak ingin banyak bercerita tentang dirinya. akan tetapi agaknya keterangan itu, terutama sekali mendengar bahwa Aji pernah membantu Ratu Wandansari dan menghadap Sultan Agung, membuat Ki Sumali tampak bersemangat dan gembira. “Sungguh pertemuanku dengan engkau ini merupakan berkah dari Gusti Allah, anak mas Aji! Bukan saja engkau telah menyelamatkan isteriku dari bencana, akan tetapi agaknya Gusti Allah mengirim engkau datang untuk membantu aku menghadapi musuh-musuhku, Kuharap engkau tidak menolak kalau aku minta bantuanmu untuk menghadapi musuh-musuhku, anak mas Aji.”
Aji mengerutkan keningnya. “Paman, maafkan aku. Kalau paman mempunyai musuh-musuh, aku tidak dapat mencampuri. Aku tidak tahu, siapa musuh paman itu dan apa urusannya dengan paman. Bagaimana aku dapat mencampuri urusan pribadi paman dan ikut-ikut memusuhi orang-orang yang aku tidak mengenalnya sama sekali?”
“Ha-ha-ha, aku mengerti apa yang kau pikirkan, anak mas Aji. Aku tidak menyalahkanmu. Memang sudah sepatutnya kalau engkau meragu dan menolak permintaan bantuanku karena engkau tidak mengenal siapa musuh-musuhku dan apa kesalahan mereka. Engkau tentu tidak mau salah tindak dan memusuhi orang-orang yang tidak berdosa. Baiklah kuceritakan persoalannya dan setelah engkau mendengar ceritaku, baru engkau boleh memutuskan apakah engkau mau membantuku menhadapi mereka atau tidak.”
Ki Sumali lalu bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Lindu Aji. Ki Sumali adalah penduduk asli Loano dan sejak dilahirkan dia tinggal di Loano. Akan tetapi sejak muda dia suka berkelana dan mempelajari ilmu-ilmu kanuragan sehingga dia terkenal sebagai pendekar Loano yang disegani dan dihormati banyak orang. Dia selalu menolong yang lemah dan menentang yang jahat. Ketika Loano pada suatu ketika diserbu bajak sungai, Ki Sumali seorang diri membela dan mengamuk, menewaskan banyak anggota gerombolan bajak dan perampok.
Dalam peristiwa itu dia menyelamatkan seorang perawan dusun yang diculik gerombolan. Perawan itu adalah Winarsih yang ketika itu berusia delapan belas tahun. Sejak itu nama Ki Sumali menjadi makin terkenal dan yang merupakan hadiah terbesar bagi Ki Sumali adalah Winarsih yang jatuh cinta kepadanya karena pertolongan itu. Winarsih yang berusia delapan belas tahun itu dengan suka rela dan senang hati menjadi isterinya padahal waktu itu usianya sudah lima puluh satu tahun. Ki Sumali yang tadinya seorang perjaka tua itu menikmati kebahagiaan berumah tangga dengan isterinya tersayang.
Ki Sumali yang namanya terkenal itu masih juga belum puas dengan ilmu kanuragan yang telah dikuasainya. Dia masih ingin memperdalam ilmunya. Untuk ini dia mengadakan hubungan dengan orang-orang yang memiliki kedigdayaan untuk bertukar pikiran dan menambah pengalaman. Satu di antara kenalannya adalah Aki Somad, seorang pertapa yang sakti mandraguna dan berdiam di Nusa Kambangan.
Perkenalannya dengan Aki Somad yang berusia enam puluh tahun itu memperkaya ilmu kanuragan yang dimiliki Ki Sumali. Biarpun mereka bersahabat, namun karena banyak yang dipelajarinya dari Aki Somad, maka Ki Sumali menganggap Aki Somad seperti seorang gurunya. Akan tetapi persahabatan itu menjadi agak renggang, atau lebih tepat lagi, Ki Sumali yang sengaja menjauhkan diri setelah melihat betapa Aki Somad menjalin hubungan dengan Gerombolan Gagak Rodra yang dikenal oleh penduduk sebagai gerombolan yang condong untuk memusuhi Mataram.
Padahal, Gerombolan Gagak Rodra inilah yang dulu, tiga tahun yang lalu, pernah menyerbu dusun Loano. Ketika pada suatu hari dia melihat beberapa orang anggota gerombolan itu berada di Nusa Kambangan, mengantarkan bahan makanan dan barang-barang berharga untuk Aki Somad, Ki Sumali merasa tidak senang dan dia tidak pernah lagi mengunjungi Aki Somad yang tadinya dia anggap sebagai sahabat, bahkan sebagai guru itu.
Pada suatu hari, kurang lebih sebulan sebelum pertemuannya dengan Aji, Ki Sumali kedatangan tamu. Yang datang itu bukan lain adalah Aki Somad. Kakek berusia sekitar enam puluh tahun ini bertubuh kurus dan agak bongkok, tangan kanannya selalu memegang sebatang tongkat dari ular kering. Mukanya meruncing ke depan seperti muka kuda, matanya yang sipit itu bersinar tajam penuh wibawa. Pakaiannya serba hitam dan berkalung sarung yang masih baru. Kedua lengannya mengenakan gelang akar bahar hitam dan jari-jari tangannya penuh cincin bermata akik yang besar-besar.
Ki Sumali dan Winarsih yang sudah tiga tahun menjadi isterinya menyambut Aki Somad dengan hormat. Diam-diam Winarsih yang baru sekali itu berjumpa dengan Aki Somad, merasa ngeri melihat betapa sinar mata kakek itu menggerayangi tubuhnya dengan genit dan nakal. Akan tetapi melihat suaminya amat menghormati kakek itu, iapun bersikap ramah dan hormat.
“Heh-heh, Adi Sumali. Inikah isterimu yang kabarnya masih amat muda itu? Hemm, engkau benar-benar beruntung, mendapatkan isteri yang muda, bahenol dan cantik!” kakek itu terkekeh. Ki Sumali tersenyum dan tidak merasa tersinggung karena dia mengenal sahabat yang juga dianggap gurunya ini memang seorang yang berwatak terbuka sehingga kadang-kadang terdengar kasar dan kurang ajar. Akan tetapi Winarsih menjadi sebal, mukanya berubah merah dan ia lalu mengundurkan diri, tidak mau keluar lagi.
Bahkan ketika menyuguhkan hidangan, ia menyuruh Mbok Ginah, pembantu yang baru dua bulan bekerja kepadanya, untuk membawa hidangan itu ke ruangan tamu. Mbok Ginah yang berusia kurang lebih lima puluh tahun itu bekerja bersama suaminya, Pak Karto yang menjadi tukang kebun dan terkadang juga bekerja di ladang mereka. Suami isteri tua ini tadinya memasuki Loano sebagai orang-orang yang terlantar meninggalkan kampung halaman di tepi sungai Bogawanta yang kebanjiran. Ki Sumali menampung mereka yang sedang menderita itu dan menerima mereka sebagai pembantu.
“Kakang Somad, angin apakah yang meniup kakang berkunjung ke gubuk kali ini?” Tanya Ki Sumali setelah mempersilahkan tamunya minum. “Terus terang saja, saya agak kaget menerima kunjungan kakang yang saya tahu tidak pernah meninggalkan Nusa Kambangan.”
“Heh-heh, benar apa yang kau katakan itu, Adi Sumali. Memang, kalau tidak karena urusan penting sekali, aku tidak pernah mau meninggalkan Nusa Kambangan. Akan tetapi, kedatanganku ini membawa urusan yang penting sekali. Aku ingin mengajak engkau untuk bekerja sama, atau lebih tepat lagi, aku ingin minta bantuanmu.”
“Kerja sama? Bantuan? Saya akan merasa senang sekali kalau dapat membantumu, kakang. Katakanlah, urusan penting apakah itu yang membutuhkan bantuanku?”
“Begini, Adi Sumali. Engkau tentu sudah mendengar akan sepak terjang Sultan Agung di Mataram yang penuh angkara murka itu! Dia menggunakan kekerasan menaklukkan seluruh kabupaten dan kadipaten yang berada di JawaTimur, bahkan telah menaklukkan Madura, Surabaya dan Giri! Tentu engkau sudah mendengar akan hal itu, bukan?”
Ki Sumali mengangguk-angguk, akan tetapi sepasang alisnya berkerut. “Tentu saja saya sudah mendengar bahwa Mataram telah berhasil menundukkan seluruh kadipaten di Jawa timur, Madura, Surabaya dan Giri, Kakang Somad. Akan tetapi yang saya ketahui, hal itu dilakukan Kanjeng Gusti Sultan Agung sama sekali bukan karena sifat angkara murka. Beliau menghendaki agar seluruh kadipaten di Nusantara ini bersatu padu untuk menghadapi ancaman yang berbahaya yaitu Kumpeni Belanda. Tanpa adanya persatuan, kiranya tidak mungkin untuk dapat mengusir Balanda dari Nusantara.”
Mata itu terbuka dan bertemu dengan pandang mata Aji. Agaknya ia teringat dan cepat ia bangkit duduk, otomatis kedua tangannya hinggap didadanya yang indah untuk merasa yakin bahwa ikatan kainnya tidak terlepas. Kemudian matanya yang dibuka lebar-lebar memandang ke kanan kiri, melihat ke arah sungai lalu melihat lima orang masih menggeletak di situ, ada yang diam saja dan ada yang mengaduh kesakitan.
“Ah... aku... aku telah tertolong...!” Ia menggerakkan tubuh menghadap Aji yang sudah bangkit berdiri, lalu menyembah. “Kisanak, terima kasih... andika telah menyelamatkan diriku"
Aji memutar tubuhnya, tidak mau menerima sembah itu. “Sudahlah, nimas, jangan berlebihan. Berterima kasih saja kepada Gusti Allah dan mari kita tinggalkan tempat ini. Kuantar andika pulang ke tempat tinggal andika.”
Wanita itu teringat akan para perampok itu dan ia cepat bangkit berdiri memandangi ke arah mereka. “Apa yang akan kau lakukan kepada mereka, kisanak?” ia bertanya.
Tahu bahwa wanita itu telah bangkit berdiri, Aji membalikkan tubuhnya dan mendengar pertanyaan itu, dia memandang ke arah lima orang itu. “Aku tidak melakukan apa-apa terhadap mereka. Mudah-mudahan saja mereka telah mendapat peringatan dan akan menyadari kesesatan mereka dan kembali ke jalan yang bersih. Tidak baik kita berlama-lama di sini. Tunjukkanlah jalan ke tempat tinggalmu, nimas, aku akan mengantarmu sampai ke rumahmu.” Aji lalu mengambil buntalan pakaiannya dan menuntun kudanya.
Wanita ayu itu menunjuk ke arah utara. “Rumahku disana, di dusun Loano.”
“Andika naik dan duduklah di atas pelana kuda ini, nimas.” kata Aji.
“Aku tidak bisa menunggang kuda, ki sanak.” kata wanita itu, kini sudah mulai dapat tersenyum karena hatinya sudah merasa tenang dan Aji melihat betapa indah dan manisnya senyum itu!
“Duduklah saja seperti duduk di atas bangku, nimas. Tidak apa-apa, tidak akan jatuh. aku akan menjagamu. dengan duduk di atas pelana kuda andika tidak akan terlalu lelah. Apa lagi andika baru saja mengalami hal-hal yang melelahkan dan mencemaskan.”
Wanita itu meragu dan dipandangnya kuda itu. Seekor kuda besar dan tinggi karena kuda itu pemberian Sultan Agung. “Bagaimana aku dapat naik dan duduk di atas punggung kuda yang begini tinggi? aku tidak bisa, kisanak. Biarlah aku berjalan saja.”
Aji mengerutkan alisnya, lalu berkata. “Kalau begitu, maafkan aku, nimas. Biar aku membantumu naik.” Tiba-tiba dia menggunakan kedua tangannya untuk memegang pinggang wanita itu dan sekali angkat, dia telah mendudukkan wanita itu di atas punggung kuda, duduk miring. “Nah, berpeganglah pada pelana kuda, aku akan menuntunnya.” kata Aji yang lalu menuntun kuda itu meninggalkan tempat itu.
Wanita itu tidak berkata-kata, hanya kedua pipinya berubah agak kemerahan. Ia duduk di atas pelana dan memandang Aji berjalan di depan kuda dengan alis berkerut, diam-diam merasa heran, bukan saja atas ketangguhan pemuda itu yang telah mengalahkan para perampok, akan tetapi juga atas sikap yang lembut dan sopan itu.
“Jauhkah Loano dari sini, nimas?” Tanya Aji tanpa menoleh.
“Jauh sekali. mereka itu membawaku sejak fajar tadi dengan perahu yang mereka dayung cepat-cepat.” jawab wanita itu.
Aji berpikir. Berperahu mengikuti aliran air sungai ditambah dengan tenaga dayung tentu cepat sekali, jauh lebih cepat dari pada orang berjalan kaki. Pada hal, wanita itu dilarikan dengan perahu sejak fajar tadi. Sudah setengah hari lebih. Kini, kalau dia mengantar wanita itu pulang, tentu sedikitnya akan makan waktu lebih dari satu hari, atau bahkan sampai dua hari. Tiba-tiba angin semilir dan Aji merasa tubuhnya dingin. Baru dia ingat bahwa seluruh tubuh dan pakaiannya basah kuyup, demikian pula wanita itu. Dia cepat menoleh dan melihat wanita itu menggigil kedinginan di atas kuda. Dia berhenti dan kuda itupun ikut berhenti.
“Ah, andika kedinginan, nimas?” Wanita itu menaruh kedua tangan di kedua pundaknya.
“Ya, dingin sekali.”
“Andika harus berganti pakaian, kalau tidak dapat terserang masuk angin!” Aji lalu menurunkan buntalan pakaiannya dari punggung, membantu wanita itu turun dari atas kuda dengan memegang pinggang yang ramping itu seperti tadi ketika membantunya naik.
“Akan tetapi aku tidak membawa ganti pakaian.”
“Aku ada membawanya, sementara boleh andika pakai dulu.” kata Aji sambil melepaskan buntalan dan mengeluarkan sehelai sarung dan baju, diberikannya kepada wanita itu. “Di sana ada semak tebal, andika dapat berganti pakaian di sana. Aku juga akan berganti pakaianku yang basah ini.”
Dia mengambil seperangkat pakaian terdiri dari celana dan baju, kemudian pergi ke belakang sebuah batu besar yang letaknya berlawanan arah dengan semak belukar itu. Wanita itu agak ragu sejenak, kemudian setelah melihat Aji menghilang di balik batu besar, iapun melangkah menuju ke semak belukar dan menghilang di balik semak. Aji telah selesai berganti pakaian. Dia kembali ke kudanya, memeras pakaiannya yang basah lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol dan menanti wanita yang berganti pakaian itu. Duduknya membelakangi semak-semak.
Tak lama kemudian dia mendengar langkah lembut dari arah belakangnya. Aji bangkit dan memutar tubuhnya. Wanita itu telah berganti pakaian. Sarung itu melibat tubuhnya dari dada ke bawah. Bagian atasnya tertutup baju putih yang terlalu besar. Rambutnya sudah disanggul sederhana. Tampak lucu sekali, akan tetapi bersih, kering dan tidak mengurangi keayuannya. Kedua pipi itu kemerahan, mulutnya tersenyum malu-malu dibantu sinar matanya.
“Aku... aku tentu kelihatan lucu sekali.” katanya lirih.
“Ah, tidak! Andika kelihatan seperti seorang pemuda“
“yang jelek dan tidak patut tentu!”
“Sebaliknya malah. Andika tampak tampan dan patut sekali.”
Wanita itu menghela napas dan duduk di atas akar pohon, lalu memeras pakaiannya yang basah. Aji berjongkok dan merapikan buntalannya lagi. Wanita itu membawa pakaiannya di tempat yang terbuka lalu menjemur pakaiannya di atas batu. Tanpa diminta ia mengambil pakaian Aji yang basah dan sudah diperas dari atas akar pohon dan menjemurnya pula.
“Sebaiknya kita berhenti di sini sebentar sampai pakaian kita itu menjadi kering.” katanya.
Aji mengangguk saja, kemudian mereka duduk di atas akar pohon, di bawah pohon yang teduh.
“Kisanak, aku belum mengenal namamu, padahal andika sudah menyelamatkan aku dari bencana.” kata wanita itu sambil menatap wajah Aji.
“Namaku Lindu Aji, aku seorang perantau.” jawab Aji pendek. “Akupun ingin sekali mengetahui siapa andika dan bagaimana sampai andika terjatuh ke tangan orang-orang jahat tadi?”
“Lindu Aji? Ahhh, nama yang aneh, langka, indah dan mengandung kegagahan, sesuai dengan orangnya yang gagah perkasa dan berjiwa satria.” Wanita itu memuji. “Dan masih begitu muda remaja!”
Aji tersenyum. “Muda remaja? Usiaku sudah dua puluh tahun!”
“Masih muda sekali. Aku lebih tua setahun. Karena itu, tidak semestinya andika menyebut aku nimas.”
“Habis, harus menyebut apa?”
“Sepatutnya menyebut mbakayu. Mbakayu Winarsih, itu namaku. Dan aku menyebutmu adimas, Adimas Aji. Bukan saja karena aku lebih tua, akan tetapi juga karena aku sudah mempunyai suami, jadi sudah jauh lebih dewasa.”
Aji menekan perasaan herannya. “Akan tetapi... andika kelihatan masih begini muda. Tadinya kukira baru berusia delapan belas tahun!”
Winarsih tersenyum dan deretan giginya yang rapi dan putih tampak, membuat wajah itu tampak semakin menarik dan manis. “Dan andika yang baru berusia dua puluh tahun tampak bijaksana dan matang sikapmu, seperti orang yang jauh lebih tua, padahal wajahmu masih tampak muda sekali. andika tentu seorang satria, murid seorang yang sakti mandraguna. Suamiku banyak bercerita tentang orang-orang yang sakti mandraguna.”
“Mbakayu Winarsih,” setelah menyebut wanita itu dengan mbakayu, Aji merasa lebih akrab dan tidak canggung lagi, merasa seolah bicara dengan mbakayunya sendiri. Setelah tahu bahwa wanita itu lebih tua bahkan telah bersuami, dia merasa lega dan tidak rikuh. “Kalau suamimu mengenal orang-orang sakti mandraguna, tentu suamimu juga seorang yang digdaya. Betulkah dugaanku ini?”
Winarsih menghela napas panjang. “Tidak keliru dugaanmu, dimas Aji. Suamiku bernama Ki Sumali dan dia adalah seorang yang memiliki aji kadigdayaan. Akan tetapi semenjak aku menjadi isterinya, dia menyatakan ingin hidup tenang dan damai, tidak pernah lagi mencampuri urusan dunianya orang-orang yang suka mengadu ilmu kadigdayaan. Kami hidup bertani di Loano, hidup tenang dan tenteram.”
“Akan tetapi bagaimana mbakayu tadi sampai ditawan mereka?”
“Itulah, dimas. Kukira ini juga ada hubungan dengan cara hidup suamiku ketika masih menjadi pendekar dahulu. Aku sendiri tidak mengenal dia orang yang menculikku. Pada waktu fajar tadi, seperti biasa aku mencuci pakaian di sungai yang berada dekat dengan rumahku. Tiba-tiba dua orang laki-laki tadi menangkap aku dan melarikan aku dengan perahu mereka. Di darat masih ada empat orang kawan mereka yang mengikuti perahu sambil berlari-lari. Aku tidak mengenal mereka, akan tetapi pernah aku mendengar orang yang tinggi kurus dan yang menelikung aku itu menyebut nama suamiku. Dia berkata sambil tertawa. “Rasakan sekarang pembalasan kami, Ki Sumali!” Maka aku menduga bahwa tentu perbuatan menculikku itu mereka lakukan untuk membalas dendam. Mungkin mereka dahulu pernah bermusuhan dengan suamiku.”
Aji mengangguk-angguk, diam-diam merasa heran mengapa seorang pendekar yang masih muda sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri untuk memanfaatkan ilmu-ilmu yang dengan susah payah dipelajarinya. “Mendengar ceritamu, melihat keadaannya aku merasa yakin bahwa suamimu sebagai pendekar tentu pernah bentrok dengan mereka. Maksudku bukan bentrok dengan dua orang penculikmu itu, melainkan dengan Gerombolan Gagak Rodra.”
“Mungkin dugaanmu benar, adimas Aji. Nanti kalau sudah tiba di rumah, tentu suamiku akan dapat menceritakan tentang permusuhannya itu. Sekarang tentang dirimu, adimas. Engkau tadi mengatakan bahwa engkau seorang perantau? Bagaiman dapat berada di sini?”
Aji tersenyum dan Winarsih memandang kagum. Pemuda itu memang tampak manis sekali kalau tersenyum. “Aku memang seorang kelana, mbakayu. Dan kebetulan sekali aku ingin berkelana ke daerah barat. Aku berasal dari Gampingan, sebuah dusun kecil di dekat Laut Kidul. Kebetulan saja ketika aku berhenti mengaso di tepi sungai menanti orang lewat untuk bertanya bagaimana aku dapat menyeberangi sungai, muncul empat orang yang merampok kuda dan buntalan ini. Kemudian muncul pula dua orang dengan perahu yang menawanmu. Karena menduga bahwa engkau tentu diculik, maka setelah merobohkan para perampok, aku lalu berenang dan mengejar perahu itu.”
“Aku juga ingin segera dapat berjumpa dengan suamimu, mbakayu. Mari kita lanjutkan perjalanan agar dapat tiba di sebuah dusun sebelum hari menjadi gelap.”
“Baiklah, adimas.” Kini sikap Winarsih juga lebih akrab dan tidak canggung lagi karena iapun merasa seolah berhadapan dengan seorang adik sendiri. “akan tetapi biar aku berjalan kaki saja, rasanya tidak enak menunggang kuda sedangkan engkau berjalan kaki.”
“Akan tetapi kalau engkau berjalan kaki, selain engkau akan menjadi lelah sekali, juga perjalanan menjadi semakin lambat. Ah, kalau saja engkau dapat menunggang kuda dan melarikannya, tentu kita akan dapat tiba di rumahmu dengan cepat, mbakayu. Kalau dudukmu menghadap ke depan, tentu kuda dapat dilarikan lebih cepat dan aku dapat berlari sambil menuntun kuda.”
“Wah, membiarkan engkau berlari-lari sambil menuntun kuda yang kutunggangi? Tak mungkin aku dapat membiarkan hal itu. Terlalu enak untukku dan tidak enak untukmu! Lagi pula, andaikata aku dapat duduk menghadap ke depan, akupun tidak berani kalau kuda berlari kencang. Aku takut jatuh. Eh, bukankah kudamu ini cukup besar dan kuat, adimas? Kulihat berbeda dengan kuda biasa yang pernah kulihat. apa kuda ini tidak kuat kalau kita tunggangi berdua? Kalau berboncengan denganmu, aku tidak takut!”
Tiba-tiba Aji menjadi rikuh kembali. “Akan tetapi... tidak apa-apakah kalau... kalau kita berboncengan? Kalau dilihat orang... apakah hal itu pantas?”
Winarsih tersenyum lebar, senyum yang tulus dan pandang matanya kagum. Pemuda ini jujur dan polos, juga amat tahu kesusilaan. “Adimas Aji, aku mengerti apa yang kau maksudkan, mengerti apa yang kau ragukan. Engkau khawatir kalau-kalau orang yang melihat kita berboncengan lalu menuduh yang bukan-bukan. Akan tetapi kita berdua yakin benar akan alasan dan keadaan kita. Pertama, kita berboncengan karena kita ingin cepat-cepat sampai ke tempat tinggalku dan tidak ada cara lain yang lebih cepat kecuali berboncengan menunggang kuda. Kedua, kita berdua yakin benar bahwa kita tidak melakukan, bahkan tidak pernah membayangkan hal yang tidak pantas atau melanggar kesusilaan. Nah, kalau dua kenyataan itu masih belum dapat menghilangkan kekhawatiranmu, biarlah kita berjalan kaki saja. Kalau aku disuruh menunggang kuda sendiri dan engkau berjalan kaki, aku tidak mau.”
Aji mendengar dengan kagum. Wanita lemah ini ternyata memiliki pandangan luas dan batin yang kuat. Dia teringat akan satu diantara petuah gurunya, “Aji, kita harus selalu ingat dan waspada. Ingat setiap detik akan Gusti Allah, dan waspada setiap saat akan pikiran, kata-kata dan perbuatan kita sendiri. Yang terpenting dalam kewaspadaan itu adalah mawas diri. Biarpun orang sejagad menuduh kita pencuri, kalau, kita tidak mencuri, maka biarkan sajalah orang menuduh. Sebaliknya, biarpun tidak ada orang yang tahu, kalau kita waspada dan merasa telah melakukan pencurian, hal inilah yang amat penting agar kita mawas diri dan mengubah kesalahan kita.”
“Engkau benar, mbakyu Winarsih. Kita terpaksa harus berboncengan karena ingin agar engkau dapat segera sampai dirumahmu dan kita tidak melakukan atau memikirkan hal-hal yang tidak baik. Mengapa harus malu dan khawatir akan pendapat orang lain?”
Dia lalu membuka lagi buntalan pakaiannya dan mengeluarkan celan hitam dan memberikannya kepada Winarsih. “Nah, kau kenakan calana ini mbakyu agar engkau leluasa menunggang kuda.”
Winarsih tersenyum, menerima celana itu dan pergi lagi ke balik semak-semak untuk mengenakan celana itu di balik sarungnya. Ia berterima kasih sekali kepada Aji yang demikian penuh pengertian. Setelah selesai mengenakan celana dan keluar, ia melihat Aji sudah mengambil pakaian yang tadi dijemur dan dimasukkan dalam buntalannya.
“Sekarang kita berangkat, mbakayu,” kata Aji yang sudah menggendong buntalan pakaiannya. Dia lalu membantu Winarsih naik ke atas pelana kuda. Wanita itu duduk menghadap ke depan dan tentu saja merasa lebih enak dan lebih mudah daripada ketika ia menunggang kuda dengan duduk miring. Aji lalu melompat ke belakang wanita itu, menjaga jarak agar tubuhnya tidak berhimpitan dengan tubuh Winarsih.
Demikianlah dengan berboncengn seperti itu, Aji memegang kendali kuda dan perjalanan kini dapat dilakukan jauh lebih cepat. Semula Winarsih merasa rikuh juga dengan adanya seorang laki-laki duduk di belakangnya berdempetan. Belum pernah ia begitu dekat dengan seorang pria kecuali dengan suaminya. Akan tetapi ia merasa lega ketika tidak merasa tubuh pemuda itu menghimpit tubuh belakang dan ia menjadi semakin kagum saja kepada pemuda itu. Seorang pemuda yang benar-benar sopan dan berhati bersih.
Ketika malam tiba. mereka memasuki dusun Dadapan. Dusun di tepi Kali Bogawanta ini kecil, akan tetapi Winarsih pernah berkunjung ke dusun ini bersama suaminya dan ia mengenal Ki Wirobandi, kepala dusun itu. Maka ia mengajak Aji berkunjung ke rumah kepala dusun. Ki Wirobandi mengenal dan menghormati Ki Sumali sebagai seorang pendekar gagah perkasa. Maka, melihat Winarsih, dia mengenal istri pendekar itu dan menyambutnya dengan hormat. Tadinya dia merasa heran melihat isteri Ki Sumali berboncengan dengan kuda bersama seorang pemuda tampan, akan tetapi setelah Winarsih memperkenalkan Lindu Aji sebagai seorang adiknya, diapun menyambut pemuda itu dengan ramah dan hormat.
Mereka berdua dijamu makan malam dan bermalam di rumah kepala dusun itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, setelah dijamu sarapan pagi, mereka mengucapkan terima kasih kepada Ki Wirobandi dan keluarganya, berpamit dan melanjutkan perjalanan dan berboncengan kuda. Perjalanan dilakukan dengan cepat dan menjelang tengah hari mereka sudah tiba di luar dusun Loano. “Kita berhenti di sini, dimas Aji.” kata Winarsih.
Aji menahan kudanya lalu melompat turun. Dia membantu Winarsih, memegang pinggangnya yang ramping dengan kedua tangannya lalu menurunkannya dari atas pelana kuda. “Kenapa berhenti di sini, mbakayu?”
Winarsih memandang ke sekeliling. Kali Bogawanto berada di sebelah kiri dan sebelah kanan jalan itu tampak sawah luas membentang dan ada gubuk di sana sini. “Kita sampai di luar dusun Loano. Itu dusunnya sudah tampak di depan.” Ia menuding ke depan di mana tampak gerombolan pohon dan atap-atap rumah. “Semua penduduk mengenalku dan aku merasa rikuh kalau mereka melihat kita berboncengan kuda. Juga pakaian ini memalukan, tentu akan menjadi buah tertawaan orang. Sebaiknya kalau aku berganti pakaianku yang kemarin.”
Aji tak berkata apa-apa. Dia membuka buntalannya dan mengeluarkan pakaian Winarsih terdiri dari tapih (kain panjang) dan baju yang sudah robek di bagian pundak dan punggung. “Masih agak lembab, belum kering benar, mbakayu.” katanya. Winarsih menerima pakaiannya.
“Tidak mengapa. nanti kalau sampai di rumah aku berganti lagi pakaian kering.” Ia mencari-cari dengan pandang matanya , kemudian menghampiri sebuah gubuk terdekat di persawahan itu untuk berganti pakaian. Aji diam saja, duduk di atas batu di tepi jalan, membelakangi gubuk itu. Kudanya dibiarkan makan rumput yang tumbuh di tepi jalan. Tak lama kemudian dia mendengar suara Winarsih di belakangnya.
“Ini kukembalikan pakaianmu, dimas aji. Terima kasih!”
Aji bangkit dan memutar tubuhnya. Winarsih sudah berdiri di depannya, berpakaian wanita, biarpun pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan, namun ia tampak ayu manis. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara melengking-lengking, merdu sekali namun suara suling yang mendayu-dayu itu mengandung suara yang membayangkan kemarahan. hal ini terasa benar oleh Aji yang juga pandai meniup dan memainkan suling. Dia tahu bahwa peniup suling itu biasanya untuk mengiringi tembang orang yang sedang marah dan menantang!
Mendengar suling itu, Winarsih membelalakkan matanya, memutar tubuh menghadapi arah dari mana datangnya suara itu, melihat sebuah gubuk ditengah sawah agak jauh dari situ, lalu ia berseru “Dia di sana...!” kemudian lari ke arah gubuk itu.
Aji tak tahu siapa yang dimaksudkan Winarsih. Karena khawatir kalau keselamatan wanita itu terancam, maka dia lalu mengikutinya dari belakang. Setelah tiba di depan gubuk, Aji melihat bahwa peniup suling itu seorang laki-laki yang sedang duduk bersila dipanggung gubuk itu. seorang laki-laki berusia lima puluh empat tahun, rambutnya sudah bercampur banyak uban, mengenakan kain pengikat kepala bewarna biru, pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi, bercelana hitam sebatas lutut, bajunya lurik berlengan panjang, sarungnya dilibatkan di pundak dan sebatang gagang keris tampak terselip di pinggangnya.
Orang ini bertubuh sedang namun masih tampak tegap. Wajahnya yang setengah tua itu masih ganteng dan gagah. Kedua tangannya memegang sebatang suling bambu yang sedang ditiup dan dimainkannya, dan dia duduk bersila dengan tubuh tegak.
“Kakang...!” Aji melihat Winarsih berseru dan wanita itu berlari menghampiri panggung gubug, tangannya dijulurkan hendak menyentuh pria itu. Akan tetapi tiba-tiba pria itu menghentikan tiupan sulingnya dan sekali tangan kirinya bergerak seperti mendorong, ada angin keras menyambar dan tubuh Winarsih terpental ke belakang! Ia tentu akan terjengkang roboh kalau saja Aji tidak cepat bergerak dan menahan dengan kedua tangan menangkap pundak Winarsih.
“Jangan sentuh aku!” Pria itu membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Winarsih. “Jangan kotori aku dengan tubuhmu yang ternoda dan hina!”
Mendengar ucapan ini, seperti lemas kaki Winarsih dan ia terkulai, menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah sawah depan gubuk, air matanya bercucuran lalu berkata di antara isak tangisnya. “Kakang... engkau kenapakah, kakang? Apa... apa dosaku kepadamu?”
Pria itu tersenyum mengejek dan pandang matanya yang tajam membayangkan kejijikan. “Engkau masih berpura-pura menanyakan dosamu, perempuan tak tahu malu? Engkau pergi dua hari satu malam tanpa pamit. Kucari ke mana-mana tidak ada, tanpa meninggalkan jejak dan sekarang engkau muncul bersama seorang pemuda tampan, menunggang kuda berboncengan, berhimpitan, bahkan mengenakan pakaian pria, tentu milik pemuda itu. Baru ganti pakaian setelah tiba di sini. Aku melihat semua itu dan kini engkau masih bertanya tentang apa dosamu?”
Ketika tadi melihat pria itu, Aji menduga-duga siapa gerangan dia. baru dia dapat menduga bahwa pria itu tentu suami Winarsih ketika ia menyebut kakang kepada pria tua itu. tentu pria inilah yang bernama Ki Sumali, pendekar itu. Dari dorongan jarak jauh yang membuat Winarsih terpental tadi saja dia tahu bahwa pria itu memiliki tenaga sakti yang kuat. Mendengar betapa pria itu mencaci maki Winarsih, Aji menjadi penasaran dan cepat berkata.
“Paman, mbakayu Winarsih sama sekali tidak bersalah! Sama sekali tidak kotor ternoda seperti dugaan paman! Paman keterlaluan, mabok cemburu!”
Ki Sumali melotot ketika mendengar ucapan itu dan dia memandang wajah pemuda itu dengan tajam. kemudian tiba-tiba tubuhnya yang tadinya duduk bersila itu melompat dan bagaikan seekor burung tahu-tahu dua sudah berdiri di depan Aji. “Keparat! Dengan usia muda dan ketampananmu engkau berani menggoda isteri orang dan sekarang masih berani membuka suara seperti itu? Orang semacam engkau ini tidak patut hidup!”
Setelah berkata demikian, tangan kanannya bergerak ke arah kepala Aji. Aji maklum betapa dahsyat dan berbahaya serangan ini, maka diapun mengerahkan tenaga dan menggerakkan tangan kiri untuk mengangkis.
“Wuuttt... dukkkk!” Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu melalui kedua lengan itu dan akibatnya Aji merasakan getaran hebat mengguncangkannya, akan tetapi Ki Sumali terhuyung ke belakang sampai tiga langkah. Pria itu terbelalak kaget.
“Babo-babo, kiranya engkau seorang yang digdaya juga. Bagus! Kalau begitu, mari kita selesaikan pertentangan ini di hutan sebelah timur itu!”
“Kakang...! Dengarlah dulu keteranganku. Aku diculik orang dan adimas Lindu Aji ini yang menolongku“
“Tutup mulutmu!” Ki Sumali memotong. “Tiada gunanya semua alasan yang kau cari-cari itu. Aku takkan percaya! Orang muda, pantang bagi orang gagah untuk berkelahi di depan wanita dan memperebutkannya. Demi membela kehormatan, aku tantang engkau untuk mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang di hutan sana. Kalau engkau tidak berani, berarti engkau seorang pengecut besar dan aku pasti akan mencarimu dan membunuhmu!”
Setelah berkata demikian, Ki Sumali sudah melompat dan lari menuju hutan yang berada di ujung persawahan sebelah timur, tidak perduli akan jerit tangis Winarsih. Mendengar ucapan itu, Aji merasa tersinggung kehormatannya. Selain harus mempertahankan kehormatannya, juga dia merasa berkewajiban untuk menyadarkan pemarah itu dan membela Winarsih agar nama wanita itu kembali bersih dan suaminya menyadari kekeliruannya.
Maka, diapun pergi ke jalan, meloncat ke atas punggung kudanya dan mengejar Ki Sumali yang sudah berlari cepat sekali ke hutan. Setelah tiba di dalam hutan, Aji melihat Ki Sumali sudah berdiri sambil memegang suling bambunya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang. Wajahnya yang gagah itu tampak kemerahan. Aji melompat turun dari punggung kudanya, dengan tenang menambatkan kendali kuda pada sebatang pohon kemudian menghampiri kakek itu. Mereka kini berdiri saling berhadapan, hanya disaksikan pohon-pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu. Dengan sikap tenang Aji berkata,
“Paman Sumali, kita baru saja saling berjumpa dan diantara kita tidak ada permusuhan apapun. Akan tetapi mengapa paman memusuhi aku?”
“Hemmm, orang muda, Siapa namamu tadi?”
“Lindu Aji”
“Ya, Lindu Aji. Aku memusuhimu bukan sekali-kali untuk memperebutkan wanita, melainkan untuk membela kehormatanku yang sudah kau injak-injak. Engkau mengandalkan ketampanan dan kedigdayaanmu untuk merusak pagar ayu (melanggar kesusilaan), berarti mencoreng arang di mukaku dan menginjak-injak kehormatanku. Karena itu, sebagai orang-orang yang menghargai kegagahan, engkau atau aku yang harus mati!”
“nanti dulu, Paman Sumali. Sabar dan tenanglah, dengarkan dulu penjelasanku. Isterimu diculik penjahat. Aku hanya membebaskannya dari tangan orang-orang jahat kemudian mengantarkannya pulang. sama sekali kami tidak melakukan hal-hal yang melanggar kesusilaan.”
“Cukup! Ia mengenakan pakaianmu, ia berboncengan kuda denganmu, kalian tampak begitu akrab dan mesra. Semua itu kulihat sendiri! Aku belum buta untuk dapat melihat bahwa kalian berdua saling menyukai! Engkau masih berani menyangkal bahwa engkau suka dan mencinta Winarsih?”
“Tidak kusangkal bahwa aku kagum dan suka kepada mbakayu Winarsih! Akan tetapi itu bukan berarti bahwa aku mencintanya dan bahwa kami telah melakukan hal-hal yang tidak patut. Aku bukan seorang laki-laki yang suka menggoda isteri orang lain! Kalau aku suka kepadanya karena ia seorang wanita yang bijaksana dan baik budi dan kalau ia suka kepadaku karena aku telah menyelamatkannya dan bersikap sopan kepadanya, apakah itu salah? Pikiranmu sudah dikotori bayangan nafsu, Paman Sumali, sehingga engkau membayangkan yang bukan-bukan. Rasa suka, bahkan cinta sekalipun, tidak selalu harus dikotori dengan perjinahan ulah nafsu!” Panas juga rasa hati Aji karena dia dituduh sebagai perusak pagar ayu.
“Engkau boleh mengoceh apapun, akan tetapi mataku tidak buta. Winarsih pasti jatuh hati kepadamu dan hal itu apa anehnya? Engkau masih muda, tampan, dan pandai mengambil hati. sedangkan aku“
“Paman, kiranya tuduhanmu itu timbul dari rasa rendah dirimu! Engkau merasa sudah tua dan sebagainya! Sungguh engkau keliru, paman. Aku merasa yakin bahwa mbakayu Winarsih adalah seorang isteri yang mencinta suaminya, seorang isteri yang setia“
“Cukup! Katakan saja engkau takut dan aku akan membunuhmu sebagai seorang perusak pagar ayu yang berjiwa pengecut!”
Marahlah Aji mendengar ini. “Dan engkau seorang laki-laki yang keras kepala, ingin benar dan menang sendiri, seorang suami yang sudah menjadi buta karena cemburu yang tak berdasar. Bodoh dan tolol, percuma saja menganggap diri sebagai seorang pendekar!”
“Bagus kalau engkau berani melawanku. nah, sambut seranganku ini!” Ki Sumali lalu menyerang dengan sulingnya. Biarpun senjata itu hanya sebatang suling bambu, akan tetapi ditangan seorang sakti dapat menjadi senjata yang ampuh dan berbahaya sekali. Ketika suling itu digerakkan untuk memukul ke arah kepala Aji dan menyambar, terdengar suara melengking seolah suling itu ditiup! Akan tetapi Aji sudah waspada. Dia maklum bahwa orang ini memiliki kesaktian dan dia tahu benar betapa dahsyat dan berbahayanya serangan suling itu. Maka diapun cepat bergerak seperti kera, memainkan ilmu silat Wanara Sakti dan dengan mudahnya dia mengelak dari serangkaian serangan suling yang berisi tujuh kali serangan bertubi-tubi itu.
Ki Sumali terkejut juga melihat betapa serangkai serangannya itu dengan mudah dapat dielakkan oleh lawannya yang masih begitu muda. Padahal, serangkai serangan itu merupakan serangan andalannya dan jarang ada lawan mampu mengelak secara berturut-turut tujuh kali. Diam-diam dia berkemak kemik membaca manteram, tiba-tiba dia mendorongkan tangan kirinya ke depan dan mulutnya mengeluarkan pekik melengking.
Lengkingan suara itu mengandung getaran yang amat dahsyat, membuat jantung Aji seperti diguncang dan dari telapak tangan kiri yang didorongkan itu keluar asap hitam yang panas! Inilah Aji Jerit Bairawa, semacam pekik ditambah serangan asap hitam yang mengandung tenaga sihir yang amat berbahaya. Jerit mengerikan itu dapat memecahkan jantung dan asap hitam itupun dapat membakar tubuh lawan!
Aji dapat menduga penyerangan semacam apa yang mengancam dirinya. Serangan itu mengandung dua macam kekuatan. Kekuatan sihir terkandung dalam pekik dahsyat itu yang dapat menyerang jantung dan melumpuhkan lawan, sedangkan serangan tangan kiri mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Maka diapun mengerahkan tenaga saktinya dan tiba-tiba dia berjongkok, kedua tangannya menyentuh tanah sambil menggebrak tanah dia mengeluarkan bentakan nyaring.
Dia telah mengerahkan tenaga Surya Candra dan mengeluarkan Aji Guruh Bumi yang dahsyat. Dua kekuatan dahsyat bertemu di udara dan akibatnya, Ki Sumali kembali terhuyung! Wajahnya berubah pucat, sama sekali tidak mengira bahwa pemuda itu mampu melawan ilmunya sehebat itu. Saking merasa penasaran, dia menjadi marah dan sambil menggereng kembali dia melompat dan menerjang Aji dengan sulingnya! Akan tetapi sekali ini Aji tidak hanya mengandalkan kelincahan gerakan ilmu silat Wanara Sakti untuk mengelak, melainkan untuk balas menyerang.
Terjadilah pertempuran yang amat seru. Aji harus mengakui bahwa lawannya memang hebat, memiliki ilmu silat aneh yang dimainkan dengan senjata suling, yang dapat mengimbangi ilmu silatnya Wanara sakti. Di lain pihak, Ki Sumali juga terheran-heran. Belum pernah dia bertemu tanding seorang yang masih begini muda namun memiliki kepandaian yang demikian tinggi. Mereka saling serang, balas membalas. Hanya bedanya, kalau Aji hanya menyerang untuk merobohkan lawan tanpa membunuhnya, sebaliknya Ki Sumali menyerang dengan jurus-jurus maut!
Puluhan jurus lewat dan pertandingan itu masih berlangsung seru. Tiba-tiba Winarsih datang berlari-lari. Wanita ini merasa khawatir sekali melihat suaminya dan Aji pergi ke hutan itu. Ia lalu melakukan pengejaran dan ketika tiba di dalam hutan itu ia melihat suaminya sedang berkelahi mati-matian dengan Aji. Cepat ia nekat memasuki arena perkelahian dan mencabut sebatang pisau belati yang tadi diambilnya dari rumah sebelum mengejar ke hutan.
“Kalian berhenti atau aku akan membunuh diri!” Teriakan ini mengejutkan hati Aji dan cepat ia melompat ke belakang sehingga Ki Sumali terpaksa menghentikan gerakannya juga. Dia sudah mandi keringat sendiri dan pernapasannya agak terengah. “Kakang Sumali, engkau telah menuduhku secara keji sekali. Aku adalah isterimu yang sudah beberapa tahun mendapat bimbinganmu sehingga aku mengerti tentang harga diri seorang wanita! Harga diri seorang isteri adalah kesetiaannya terhadap suami. Aku bersumpah bahwa aku tetap setia kepada suamiku. Biarlah aku dikutuk para dewa kalau aku melanggar kesetiaanku dan bertindak jina dengan pria lain! Kakang Sumali, engkau boleh saja menuduh aku sesat, akan tetapi engkau berdosa besar sekali kalau kau menuduh adimas Aji. Dia telah menyelamatkan aku, aku berhutang budi dan nyawa kepadanya, dan apa balasanmu? Engkau malah hendak membunuhnya! Kalau dia mati di tanganmu, kakang, aku akan membunuh diri untuk menebus dosamu kepadanya. Adimas Aji, jangan lanjutkan perkelahian ini. Kalau sampai Kakang sumali tewas dalam perkelahian ini, apa gunanya aku hidup? Hanya dia seorang gantungan hidupku, kebahagiaanku, dan hanya dialah pria yang kucinta. Maka kalau dia tewas, aku akan membunuh diri pula!” Setelah berkata demikian, Winarsih mengancam dengan menempelkan ujung belati di dadanya dan menangis sesenggukan.
“Paman Sumali, apakah engkau belum insaf betapa setia dan besar cinta kasih isterimu kepadamu? Apakah engkau belum juga mau mendengar penjelasanku?” Tanya Aji dengan alis berkerut merasa iba kepada Winarsih dan merasa gemas kepada Ki Sumali.
Ki Sumali memandang kepada Winarsih dengan alis berkerut, lalu memandang kepada Aji. Terbayang lagi dalam ingatannya keika ia melihat istrinya itu duduk berhimpitan dengan pemuda itu, berboncengan di atas punggung seekor kuda. Teringat betapa pemuda itu membantu Winarsih turun dari kuda dengan mengangkatnya pada pinggangnya, lalu betapa isterinya bertukar pakaian dalam sebuah gubuk, dan sikap dan pandang mata dari kedua orang muda itu ketika saling bicara dan berhadapan.
Cemburu merupakan api yang berkobar membakar segalanya, merupakan racun yang menggerogoti hati, mengacaukan pertimbangan akal dan menggelapkan pandangan. Ki Sumali menghela napas panjang, menyelipkan suling di pinggangnya. Akan tetapi ketika Aji dan Winarsih sudah merasa lega melihat gerakan Ki Sumali ini, mereka dikejutkan ketika tiba-tiba tangan kanan Ki Sumali menghunus kerisnya!
Keris itu berluk Sembilan dan bentuknya seperti ular, warnanya hitam legam. Itulah keris pusaka Sarpo Langking (Ular Hitam) yang mengandung bisa amat mematikan! “Hayo, Lindu Aji, jangan kepalang tanggung. engkau atau aku yang harus mati!” kata ki Sumali.
Aji menjadi marah sekali. Bukan main kerasnya hati orang ini! Sungguh buta mata batinnya, tidak tahu memiliki isteri yang demikian setia dan mencinta! Orang macam ini harus diberi pelajaran keras. Akan tetapi keris pusaka yang dipegangnya itu tampak ampuh dan berbahaya sekali. Maka diapun segera menghampiri buntalan pakaiannya, membukanya dan mencabut keris pusaka Kyai Nagawelang pemberian Sultan Agung untuk menandingi keris hitam di tangan lawannya. “Kalau itu kehendakmu, Paman Sumali, aku hanya ingin melayanimu!” kata Aji.
Akan tetapi tiba-tiba Ki Sumali membelalakkan matanya memandang ke arah keris Kyai Nagawelang yang berada di tangan Aji. Suaranya terdengar gemetar ketika dia berkata lirih, “pusaka itu... luk tiga belas berkepala naga terhias jamang... berlapis emas... ahhh... bukankah itu Kyai Nagawelang? Keris pusaka Mataram buatan Paman Empu Supa?”
Aji merasa heran akan perubahan sikap Ki Sumali yang tiba-tiba tampak jinak dan tenang, juga memandang keris pusakanya dengan sikap hormat. “Benar sekali, paman. Pusakaku ini adalah Kyai Nagawelang.”
“Akan tetapi... pusaka itu milik Gusti Sultan agung! Bagaimana bisa berada di tanganmu?” tanyanya sambil memandang kepada Aji dengan sinar mata penuh selidik.
“Aku menerimanya sebagai anugerah dari Gusti Sultan, sebagai tanda bahwa aku adalah utusan beliau yang mendapatkan kekuasaan.” jawab Aji sejujurnya.
Tiba-tiba Ki Sumali menekuk lututnya dan menyembah kepada Aji! “Mohon beribu ampun, Raden. Saya tidak tahu bahwa Raden adalah utusan Gusti Sultan yang diberi kekuasaan memiliki Kyai Nagawelang! Saya berdosa besar telah tidak percaya kepada Raden!”
Aji tersenyum dan tahulah dia bahwa orang ini, betapapun keras hatinya, ternyata adalah seorang yang setia dan menghormati Sultan Agung sebagai junjungannya. Dia cepat membungkuk, memegang kedua pangkal lengan Ki Sumali, mengangkatnya dan berkata, “Ah, Paman Sumali, aku hanya seorang utusan, harap jangan menghormati aku secara berlebihan. Bersikaplah wajar saja dan jangan sebut aku raden agar kita dapat bicara dengan leluasa tanpa rikuh rikuh.” Diam-diam Aji mengerahkan tenaga saktinya.
Ki Sumali dapat merasakan getaran kuat melalui telapak tangan pemuda itu yang memegang kedua bahunya. Sekali lagi mereka ingin saling menguji dan dia mengerahkan aji kesaktiannya membuat tubuhnya menjadi berat sekali. Akan tetapi tetap saja tubuh atasnya terangkat dan dia terpaksa berdiri. Dia memandang wajah pemuda itu penuh kagum dan kini wajahnya cerah berseri dan mulutnya menyungging senyuman. “Anakmas Aji, kini aku tidak merasa heran mengapa Gusti sultan Agung mengangkat engkau menjadi utusan dengan membekali Keris Pusaka Kyai Nagawelang sebagai tanda pengenal. Nah, sekarang ceritakanlah, anakmas, apa yang sesungguhnya terjadi dengan istriku Winarsih?”
“Isterimu Mbakayu winarsih, tadi telah berkata sebenarnya. Ia diculik orang dan dilarikan dari Loano dengan menggunakan perahu menuju ke hilir. Aku yang sedang melakukan perjalanan berkelana melihat ia dengan dua orang laki-laki penculiknya. Aku hendak dirampok oleh anak buah orang itu, bahkan yang seorang juga ikut mengeroyok. Setelah merobohkan lima orang yang mengeroyokku, aku lalu terjun ke air dan mengejar perahu yang didayung seorang pemimpin perampok dan yang melarikan Mbakayu Winarsih. Aku berhasil menyusul dan mengalahkan pemimpin perampok itu setelah berkelahi didalam air. Akan tetapi perahu itu dia gulingkan. Untung Mbakayu Winarsih belum sampai hanyut. Aku menolongnya dan membawanya berenang ke tepi sungai. Nah, karena kami basah kuyup, untuk mencegah ia masuk angin, aku lalu meminjamkan seperangkat pakaian untuk ia pakai sebagai pengganti pakaiannya yang basah kuyup. Kemudian aku mengantar ia pulang ke Loano. Karena perjalanan cukup jauh dan Mbakayu Winarsih ingin sekali segera dapat pulang dan bertemu denganmu, maka kami lalu berboncengan di atas kuda. percayalah, paman, aku cukup menghayati aturan tata susila yang pernah diajarkan mendiang bapa dan eyang guruku dan Mbakayu Winarsih adalah seorang wanita yang bersusila, baik budi dan setia kepada suami sehingga biarpun kami berboncengan, akan tetapi kami saling menjaga sehingga kami tidak berhimpitan. Karena itu tuduhanmu tadi terhadap isterimu sungguh tidak pantas dan amat menyakiti hati Mbakayu Winarsih yang kesetiaan dan kasih sayangnya kepadamu murni dan bersih.”
Ki Sumali mengerutkan alisnya, matanya menunjukkan penyesalan besar ketika dia memandang kepada Winarsih yang masih bersimpuh di atas tanah dan menangis tersedu-sedu. Wanita itu masih menggenggam gagang pisau belati dan mendengar pembelaan Aji, hatinya terasa perih seperti disayat-sayat sehingga tangisnya semakin mengguguk.
“Aduh, diajeng Winarsih...!” Ki Sumali berlutut dan merangkul isterinya. “Maafkan aku, diajeng. Mataku seperti buta, telingaku seperti tuli sehingga aku tega mengotori kesucianmu dengan tuduhan-tuduhan keji! Sudah sepatutnya kalau engkau tanamkan cundrik (belati) itu kedadaku, diajeng... !”
“Kakang Sumali... !” Winarsih melepaskan belatinya dan iapun menangis dalam dekapan suaminya. Kedua orang suami isteri itu bertangisan dan pada saat itu terasa benar oleh mereka betapa mereka itu sesungguhnya saling mencinta.
Aji melangkah mundur dan mengalihkan pandangan sambil tersenyum. Hatinya girang bukan main melihat sepasang suami isteri itu telah rukun kembali. Betapa bahagianya seorang pria seperti Ki Sumali yang sudah tua itu memiliki seorang isteri seperti Winarsih yang masih muda, ayu manis dan baik budi penuh kasih sayang pula! Diam-diam dia mengharapkan agar kelak dia dapat memperoleh jodoh seorang wanita seperti ini!
Setelah keharuan mereka agak mereda, Ki Sumali merangkul isterinya dan diajak bangkit berdiri. “Ah, benar seperti yang dikatakan anak mas Aji tadi. Aku telah mabok, bahkan gila karena cemburu buta. Akan tetapi, anakmas Aji, dapatkah perasaan cemburu itu dihilangkan dari hati yang lemah ini? Aku jauh lebih tua dari diajeng Winarsih, bahkan ia sepantasnya kalau menjadi anakku. Bagaimana perasaan cemburu tidak akan menggoda hatiku kalau ia bertemu dengan pria lain yang jauh lebih muda dan tampan dariku?” Ki Sumali bertanya sambil memandang wajah Aji.
Pemuda itu tersenyum. Dia adalah seorang pemuda yang sama sekali belum mempunyai pengalaman tentang cinta dan cemburu. Akan tetapi dia sudah memiliki dasar pengertian yang luas tentang kehidupan. Dari mendiang Ki Tejobudi dia mendapat gemblengan batin dan diperkenalkan dengan nafsu-nafsu daya rendah dan segala macam ulahnya yang selalu mencoba untuk menguasai manusia.
“Paman Sumali, sesungguhnya saya pribadi belum pernah merasakan apa yang dinamakan cinta terhadap wanita dan bagaimana rasanya cemburu itu. Akan tetapi saya dapat menduga dan membayangkan. Paman, kalau saya tidak salah, cemburu timbul karena ketidak percayaan. Adalah keliru sekali kalau paman tidak percaya kepada Mbakayu Winarsih. Ia seorang wanita dan isteri yang kiranya sukar paman dapatkan keduanya di jagad ini. Berilah kepercayaan sepenuhnya kepadanya, paman, percaya dengan penuh keyakinan bahwa ia tidak akan sudi melakukan penyelewengan. Kepercayaan penuh keyakinan itu pasti akan mampu melenyapkan racun cemburu yang mengeram di dalam hati paman.”
“Apa yang dikatakan dimas Aji itu tepat dan benar sekali. Kakang Sumali. Hal itu telah terbukti dalam hatiku. Aku percaya dengan penuh keyakinan bahwa engkau tidak akan menyeleweng dengan wanita lain dan selama ini aku tidak pernah merasa cemburu kepadamu, kakang, biarpun aku tahu bahwa engkau amat terkenal di Loano dan banyak wanita terkagum-kagum kepadamu.”
Ki Sumali mengangguk-angguk dan memandang kepada Aji dengan pandang mata penuh kagum. “Anakmas Aji, sungguh tak kusangka engkau yang semuda ini memiliki pandangan seluas itu. Akan tetapi, kiranya tidak dapat disangkal bahwa seorang pemuda setampan dan segagah engkau tentu mempunyai daya tarik kuat bagi wanita dan aku dapat merasakan bahwa isteriku tentu kagum dan suka kepadamu.”
Ucapan ini sama sekali tidak mengandung amarah atau curiga, membuktikan bahwa dia tidak lagi dipengaruhi cemburu. “Suka dan tertarik kepada orang lain, apalagi yang berlawanan jenis, merupakan hal yang wajar, paman. Akupun mengaku bahwa aku tertarik, suka dan kagum kepada Mbakyu Winarsih, seperti aku akan kagum terhadap seseorang atau sesuatu yang indah, baik dan menarik perhatian menimbulkan kagum. Mungkin saja Mbakyu Winarsih suka dan kagum kepadaku karena aku telah menyelamatkannya dari tangan orang-orang jahat. Apa salahnya dengan rasa kagum dan suka itu, paman? Kita adalah manusia, mahluk beradab yang dibatasi oleh tata susila dan tata hukum. Rasa kagum dan suka kita itu terbatas oleh kesusilaan dan hukum, tidak mendorong kita untuk memiliki apa yang kita kagumi dan sukai, apalagi kalau yang kita sukai dan kagumi itu telah menjadi milik orang lain. Kalau aku kagum melihat bunga yang indah dan timbul rasa suka, bukan berarti aku ingin memetik dan memilikinya, apalagi kalau bunga itu menjadi milik orang lain. Bukan rasa suka dan kagum, melainkan nafsu binatanglah yang mendorong orang melakukan penyelewengan. Coba paman renungkan lalu jawab dengan sejujurnya. Apakah paman tidak akan tertarik melihat wanita lain yang cantik, pandai, bijaksana dan memiliki sifat-sifat baik lain yang mengagumkan? Apakah paman tidak akan menjadi kagum dan suka?”
Ki Sumali memejamkan kedua matanya, mengerutkan alisnya, lalu tersenyum dan mengangguk-angguk. “Nah, itu jujur namanya. Laki-laki melihat wanita cantik menarik menjadi kagum dan suka atau sebaliknya wanita melihat pria tampan menarik menjadi kagum dan suka adalah suatu perasaan yang wajar dan sama sekali tidak perlu menjadikan malu. Kalau ada pria atau wanita mengaku bahwa dia tidak tertarik melihat lawan jenisnya yang mengagumkan, maka dia itu berbohong atau tidak normal. Suka dan kagum bukan berarti lalu menuruti nafsu dan menyeleweng. Semua itu tergantung pada pribudi manusianya, paman. siapa sih yang tidak akan tertarik melihat sesuatu, baik manusia atau benda, yang indah mengagumkan?”
Ki Sumali tersenyum lebar, senyum lega dan menandakan bahwa hatinya terbuka dan pandang matanya kepada isterinya penuh kasih sayang dan pengertian. Betapapun juga, dia masih belum puas akan kebenaran yang telah dilihatnya, mengingat apa yang dialami dan dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. “Akan tetapi, anakmas Aji. Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, orang condong mengatakan bahwa kalau orang mudah tertarik melihat wanita cantik, dia disebut sebagai mata keranjang. Bagaimana ini?”
“Aku juga mendengar akan sesuatu itu, paman. Kukira sebutan itu hanya patut diberikan kepada seorang pria yang menjadi budak dari nafsu berahinya sendiri. Kalau seorang pria suka dan kagum melihat wanita yang menarik, lalu menyimpan rasa suka dan kagum itu dalam hati maka hal itu adalah wajar saja. Akan tetapi kalau rasa suka dan kagum itu lalu menimbulkan nafsu berahi dan mendorongnya untuk melakukan usaha untuk mendapatkan wanita itu sebagai pelampiasan nafsunya, maka pria seperti itulah yang pantas disebut mata keranjang. demikian pula kebalikannya dengan wanita. bukankah kau pikir demikian, paman?”
Kembali Ki Sumali mengangguk-angguk. “Sungguh heran! Aku, laki-laki berusia lima puluh empat tahun yang banyak pengalaman, mendengarkan kebenaran ini keluar dari mulut seorang pemuda remaja seperti engkau, Anakmas Aji.”
“Kakang Sumali dan Dimas Aji, kalian ini bagaimana sih? Bercakap-cakap di tengah hutan. Kakang, apakah tidak sebaiknya kalau kita undang Adimas Aji berkunjung ke rumah kita di mana kalian dapat bercakap-cakap lebih leluasa dan enak?”
“Ah, engkau benar sekali, diajeng! Aku masih ingin bercakap-cakap lebih banyak dengan Anakmas Aji. Mari, anakmas, kami persilakan anakmas berkunjung ke gubuk kami. Perkenalan ini harus dipererat!”
Aji tidak dapat menolak. Mereka bertiga keluar dari hutan. Winarsih dibantu suaminya naik ke atas punggung kuda dan dua orang pria itu berjalan kaki.
********************
Rumah Ki Sumali cukup besar bagi keluarga yang belum mempunyai anak itu. Yang tinggal di situ hanya mereka berdua, seorang pelayan wanita setengah tua dan seorang pelayan pria juga mengurus kebun mereka. Hari telah menjelang senja ketika mereka tiba di rumah Ki Sumali. Aji dipersilakan mandi. Setelah mereka semua mandi dan menikmati hidangan makan malam, Ki Sumali dan Winarsih lalu mengajak Aji bercakap-cakap di ruangan dalam. Aji sudah dibujuk suami isteri itu untuk menginap di rumah mereka dan pemuda itu tidak dapat menolak keramahan mereka.
“Nah, sekarang kita dapat mengobrol dengan enak. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin sekali mengenalmu lebih baik lagi dan mengetahui banyak tentang dirimu. anak mas Lindu Aji, kami hanya mengetahui bahwa engkau adalah seorang pemuda yang sakti mandraguna, berbudi mulia dan sebegini muda telah menjadi kepercayaan Gusti Sultan Agung sehingga diberi Pusaka Kyai Nagawelang. Akan tetapi kami tidak mengetahui siapa sebenarnya engkau, anak mas, dari mana asalmu, siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu yang mulia? Maukah engkau menceritakannya kepada kami?”
“Saya anak dusun, hidup bersama ibu yang telah menjadi janda di pantai Laut Kidul, dusun Gampingan. Guru saya juga sudah meninggal dunia, nama mendiang guru saya Ki Tejobudi. Pada suatu hari, secara kebetulan saya bertemu dengan Gusti Puteri Wandansari yang berkelahi dengan orang-orang jahat yang sakti mandraguna. Setelah saya mengetahui bahwa wanita itu adalah Sang Puteri yang namanya sudah saya dengar, saya langsung membantunya dan akhirnya orang-orang jahat itu dapat dikalahkan. Gusti Puteri Ratu Wandansari mengajak saya menghadap Gusti Sultan Agung dan saya dianugerahi pusaka ini, paman.”
Keterangan Aji itu singkat saja karena memang dia tidak ingin banyak bercerita tentang dirinya. akan tetapi agaknya keterangan itu, terutama sekali mendengar bahwa Aji pernah membantu Ratu Wandansari dan menghadap Sultan Agung, membuat Ki Sumali tampak bersemangat dan gembira. “Sungguh pertemuanku dengan engkau ini merupakan berkah dari Gusti Allah, anak mas Aji! Bukan saja engkau telah menyelamatkan isteriku dari bencana, akan tetapi agaknya Gusti Allah mengirim engkau datang untuk membantu aku menghadapi musuh-musuhku, Kuharap engkau tidak menolak kalau aku minta bantuanmu untuk menghadapi musuh-musuhku, anak mas Aji.”
Aji mengerutkan keningnya. “Paman, maafkan aku. Kalau paman mempunyai musuh-musuh, aku tidak dapat mencampuri. Aku tidak tahu, siapa musuh paman itu dan apa urusannya dengan paman. Bagaimana aku dapat mencampuri urusan pribadi paman dan ikut-ikut memusuhi orang-orang yang aku tidak mengenalnya sama sekali?”
“Ha-ha-ha, aku mengerti apa yang kau pikirkan, anak mas Aji. Aku tidak menyalahkanmu. Memang sudah sepatutnya kalau engkau meragu dan menolak permintaan bantuanku karena engkau tidak mengenal siapa musuh-musuhku dan apa kesalahan mereka. Engkau tentu tidak mau salah tindak dan memusuhi orang-orang yang tidak berdosa. Baiklah kuceritakan persoalannya dan setelah engkau mendengar ceritaku, baru engkau boleh memutuskan apakah engkau mau membantuku menhadapi mereka atau tidak.”
Ki Sumali lalu bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Lindu Aji. Ki Sumali adalah penduduk asli Loano dan sejak dilahirkan dia tinggal di Loano. Akan tetapi sejak muda dia suka berkelana dan mempelajari ilmu-ilmu kanuragan sehingga dia terkenal sebagai pendekar Loano yang disegani dan dihormati banyak orang. Dia selalu menolong yang lemah dan menentang yang jahat. Ketika Loano pada suatu ketika diserbu bajak sungai, Ki Sumali seorang diri membela dan mengamuk, menewaskan banyak anggota gerombolan bajak dan perampok.
Dalam peristiwa itu dia menyelamatkan seorang perawan dusun yang diculik gerombolan. Perawan itu adalah Winarsih yang ketika itu berusia delapan belas tahun. Sejak itu nama Ki Sumali menjadi makin terkenal dan yang merupakan hadiah terbesar bagi Ki Sumali adalah Winarsih yang jatuh cinta kepadanya karena pertolongan itu. Winarsih yang berusia delapan belas tahun itu dengan suka rela dan senang hati menjadi isterinya padahal waktu itu usianya sudah lima puluh satu tahun. Ki Sumali yang tadinya seorang perjaka tua itu menikmati kebahagiaan berumah tangga dengan isterinya tersayang.
Ki Sumali yang namanya terkenal itu masih juga belum puas dengan ilmu kanuragan yang telah dikuasainya. Dia masih ingin memperdalam ilmunya. Untuk ini dia mengadakan hubungan dengan orang-orang yang memiliki kedigdayaan untuk bertukar pikiran dan menambah pengalaman. Satu di antara kenalannya adalah Aki Somad, seorang pertapa yang sakti mandraguna dan berdiam di Nusa Kambangan.
Perkenalannya dengan Aki Somad yang berusia enam puluh tahun itu memperkaya ilmu kanuragan yang dimiliki Ki Sumali. Biarpun mereka bersahabat, namun karena banyak yang dipelajarinya dari Aki Somad, maka Ki Sumali menganggap Aki Somad seperti seorang gurunya. Akan tetapi persahabatan itu menjadi agak renggang, atau lebih tepat lagi, Ki Sumali yang sengaja menjauhkan diri setelah melihat betapa Aki Somad menjalin hubungan dengan Gerombolan Gagak Rodra yang dikenal oleh penduduk sebagai gerombolan yang condong untuk memusuhi Mataram.
Padahal, Gerombolan Gagak Rodra inilah yang dulu, tiga tahun yang lalu, pernah menyerbu dusun Loano. Ketika pada suatu hari dia melihat beberapa orang anggota gerombolan itu berada di Nusa Kambangan, mengantarkan bahan makanan dan barang-barang berharga untuk Aki Somad, Ki Sumali merasa tidak senang dan dia tidak pernah lagi mengunjungi Aki Somad yang tadinya dia anggap sebagai sahabat, bahkan sebagai guru itu.
Pada suatu hari, kurang lebih sebulan sebelum pertemuannya dengan Aji, Ki Sumali kedatangan tamu. Yang datang itu bukan lain adalah Aki Somad. Kakek berusia sekitar enam puluh tahun ini bertubuh kurus dan agak bongkok, tangan kanannya selalu memegang sebatang tongkat dari ular kering. Mukanya meruncing ke depan seperti muka kuda, matanya yang sipit itu bersinar tajam penuh wibawa. Pakaiannya serba hitam dan berkalung sarung yang masih baru. Kedua lengannya mengenakan gelang akar bahar hitam dan jari-jari tangannya penuh cincin bermata akik yang besar-besar.
Ki Sumali dan Winarsih yang sudah tiga tahun menjadi isterinya menyambut Aki Somad dengan hormat. Diam-diam Winarsih yang baru sekali itu berjumpa dengan Aki Somad, merasa ngeri melihat betapa sinar mata kakek itu menggerayangi tubuhnya dengan genit dan nakal. Akan tetapi melihat suaminya amat menghormati kakek itu, iapun bersikap ramah dan hormat.
“Heh-heh, Adi Sumali. Inikah isterimu yang kabarnya masih amat muda itu? Hemm, engkau benar-benar beruntung, mendapatkan isteri yang muda, bahenol dan cantik!” kakek itu terkekeh. Ki Sumali tersenyum dan tidak merasa tersinggung karena dia mengenal sahabat yang juga dianggap gurunya ini memang seorang yang berwatak terbuka sehingga kadang-kadang terdengar kasar dan kurang ajar. Akan tetapi Winarsih menjadi sebal, mukanya berubah merah dan ia lalu mengundurkan diri, tidak mau keluar lagi.
Bahkan ketika menyuguhkan hidangan, ia menyuruh Mbok Ginah, pembantu yang baru dua bulan bekerja kepadanya, untuk membawa hidangan itu ke ruangan tamu. Mbok Ginah yang berusia kurang lebih lima puluh tahun itu bekerja bersama suaminya, Pak Karto yang menjadi tukang kebun dan terkadang juga bekerja di ladang mereka. Suami isteri tua ini tadinya memasuki Loano sebagai orang-orang yang terlantar meninggalkan kampung halaman di tepi sungai Bogawanta yang kebanjiran. Ki Sumali menampung mereka yang sedang menderita itu dan menerima mereka sebagai pembantu.
“Kakang Somad, angin apakah yang meniup kakang berkunjung ke gubuk kali ini?” Tanya Ki Sumali setelah mempersilahkan tamunya minum. “Terus terang saja, saya agak kaget menerima kunjungan kakang yang saya tahu tidak pernah meninggalkan Nusa Kambangan.”
“Heh-heh, benar apa yang kau katakan itu, Adi Sumali. Memang, kalau tidak karena urusan penting sekali, aku tidak pernah mau meninggalkan Nusa Kambangan. Akan tetapi, kedatanganku ini membawa urusan yang penting sekali. Aku ingin mengajak engkau untuk bekerja sama, atau lebih tepat lagi, aku ingin minta bantuanmu.”
“Kerja sama? Bantuan? Saya akan merasa senang sekali kalau dapat membantumu, kakang. Katakanlah, urusan penting apakah itu yang membutuhkan bantuanku?”
“Begini, Adi Sumali. Engkau tentu sudah mendengar akan sepak terjang Sultan Agung di Mataram yang penuh angkara murka itu! Dia menggunakan kekerasan menaklukkan seluruh kabupaten dan kadipaten yang berada di JawaTimur, bahkan telah menaklukkan Madura, Surabaya dan Giri! Tentu engkau sudah mendengar akan hal itu, bukan?”
Ki Sumali mengangguk-angguk, akan tetapi sepasang alisnya berkerut. “Tentu saja saya sudah mendengar bahwa Mataram telah berhasil menundukkan seluruh kadipaten di Jawa timur, Madura, Surabaya dan Giri, Kakang Somad. Akan tetapi yang saya ketahui, hal itu dilakukan Kanjeng Gusti Sultan Agung sama sekali bukan karena sifat angkara murka. Beliau menghendaki agar seluruh kadipaten di Nusantara ini bersatu padu untuk menghadapi ancaman yang berbahaya yaitu Kumpeni Belanda. Tanpa adanya persatuan, kiranya tidak mungkin untuk dapat mengusir Balanda dari Nusantara.”