Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Alap Alap Laut Kidul
Jilid 09
HE-HE-HE, agaknya engkau juga sudah terkena pengaruh Mataram! Ketahuilah, Adi Sumali, semua yang kau katakan itu sebetulnya hanya merupakan akal licik Sultan Agung saja untuk mencari alasan agar keangkara murkaannya tidak tampak. Dia menggunakan dalih untuk mengusir Belanda. Padahal, apa sih kesalahan Belanda? Mereka datang untuk berdagang. Kedatangan mereka di Nusantara menguntungkan bangsa kita. Mereka membawa kepandaian yang perlu kita pelajari. Mereka datang membawa kemakmuran karena mereka itu kaya raya. Karena itu, Adi Sumali, kita dapat mempergunakan kepandaian dan kekuatan Belanda untuk membendung keangkara murkaan Sultan Agung di Mataram!”
“Maksudmu, saya harus berbuat apa, Kakang Somad?” Tanya Ki Sumali, menahan perasaan hatinya yang panas mendengar kata-kata yang jelas bernada memusuhi Mataram itu.
“Begini, Adi Sumali. Kami telah lama membantu pihak Belanda yang berjanji untuk membebaskan kami dari kekuasaan Mataram. Kami telah berhasil menggagalkan usaha pasukan Mataram yang melakukan penyerangan ke Jayakarta. Untuk itu, Kumpeni Belanda berterima kasih kepada kami dan memberikan banyak hadiah. Akan tetapi, Kumpeni Belanda minta agar kami waspada karena mereka percaya bahwa pihak Mataram tentu akan melakukan penyerbuan lagi. Maka, kami ditugaskan untuk menghimpun tenaga, membujuk para pejabat dan pamong praja di daerah Kadipaten Banyumas dan lain-lain, juga di daerah Loano ini, untuk menghimpun kekuatan dan menghalangi gerakan Mataram kalau mereka hendak melakukan penyerbuan ke barat lagi. Untuk itu, semua biayanya akan diberikan oleh pihak Belanda dan kita akan mendapat hadiah harta kekayaan yang besar. Bahkan besar kemungkinannya, kalau kumpeni Belanda dapat mengalahkan Mataram, kita akan mendapatkan kedudukan tinggi. Bukan tidak mungkin, dan kami akan mengusulkan kepada Kompeni kelak, engkau sendiri akan diangkat menjadi Adipati yang menguasai Loano dan daerahnya, Adi Sumali.”
Sejak tadi Ki Sumali sudah menahan kesabaran dan menekan kemarahannya. “Maksud Kakang Somad agar saya... memberontak kepada Mataram?”
“Ya, memberontak terhadap raja yang lalim, Adi Sumali! Dan ini merupakan tugas seorang satria seperti adi! Menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang si angkara murka!”
Ki Sumali tersenyum dan menggeleng kepala. “Kakang Somad telah salah duga! Kanjeng Sultan Agung di Mataram adalah seorang raja yang adil dan arif bijaksana, sama sekali bukan lalim. Yang lalim dan palsu adalah Belanda dan agaknya Kakang Somad telah dipengaruhi racun bujukan Belanda yang mempergunakan harta benda untuk membujuk orang agar menjadi pengkhianat! Tidak, Kakang Somad, maafkan saja, saya tidak dapat membantu kakang dalam hal ini!”
“Adi Sumali! engkau ingin mengorbankan persahabatan kita dengan menolak tawaran kerja sama itu?” Aki Somad berseru marah.
“Apa boleh buat, Kakang Somad. Bagaimanapun juga, sampai mati saya tidak mau mengkhianati Mataram dan akan tetap setia kepada kanjeng Sultan!”
Aki Somad bangkit berdiri dengan marah. “Babo-babo, Ki Sumali! Kalau kelak Kumpeni Belanda menggilasmu, aku tidak akan menolongmu dan persahabatan antara kita putus sampai di sini!” Dia menggerakkan tongkat ularnya, dihantamkan ke atas meja. “Brakkk !!” Meja itu pecah berantakan dan semua hidangan yang berada di atas meja berloncatan dan jatuh berserakan di atas lantai!
Ki Sumali juga bangkit berdiri, akan tetapi dia masih bersikap tenang dan waspada. “Terserah kepadamu, Kakang Somad! Engkau yang memutuskan, bukan aku.”
Aki somad mendengus marah lalu memutar tubuh dan meninggalkan rumah itu dengan langkah lebar. Mendengar suara ribut-ribut itu Winarsih berlari memasuki ruangan dan ia terbelalak memandang meja yang sudah remuk dan hidangan yang berserakan di atas lantai. Akan tetapi hatinya lega melihat suaminya berdiri di situ dalam keadaan selamat.
“Kakang, ada terjadi apakah? Di mana tamunya dan semua ini“ Ia menuding ke arah meja dan hidangan yang berserakan. Melihat mata terbelalak dan wajah pucat isterinya, Ki sumali mendekati dan merangkul pundaknya.
“Tenanglah dan jangan kaget, Narsih. Panggil saja Mbok Ginah dan Pak Karto agar mereka menyingkirkan dan membersihkan semua ini.”
Winarsih menurut, memanggil dua orang pembantunya. Suami isteri yang usianya sekitar lima puluh tahun itu masuk dan mereka segera membersihkan ruangan itu tanpa banyak bertanya. Ki Sumali mengajak isterinya masuk ke ruangan dalam.
“Kakang, aku khawatir sekali. Aki Somad itu... menyeramkan dan aku mendapat perasaan yang tidak enak, seolah ada bahaya besar mengancam kita, kakang.”
“Tenanglah, Narsih, Gusti Allah akan selalu melindungi orang yang tidak bersalah. Kakang Somad tadi memang marah karena aku tidak mau diajak untuk memberontak terhadap Mataram. Kelak dia tentu merasa akan kesalahannya dan menyesal atas sikapnya hari ini.”
Setelah menceritakan semua yang telah dialaminya kepada Aji, Ki Sumali memandang kepada pemuda itu dan menghela napas panjang. “Demikianlah, anakmas Aji. Sejak hari itu, aku selalu waspada dan menjaga segala kemungkinan. Akan tetapi dua hari yang lalu kami kecolongan juga! Aku masih tidur ketika Winarsih meninggalkan rumah pada waktu fajar, mencuci pakaian di sungai belakang rumah. Hal ini kuanggap aman saja karena di sana ada kedua orang pelayan kami yang juga sudah bangun. Aku sama sekali tidak menduga bahwa kesempatan itu dipergunakan orang-orang jahat itu untuk menculiknya.”
“Dua orang itu menepuk tengkukku dan aku tidak mampu megeluarkan suara. Dalam keadaan tidak mampu bersuara itu aku dilarikan kemudian dibawa perahu. Setelah beberapa lamanya, baru aku dapat mengeluarkan suara kembali dan melihat seorang pemuda berkelahi melawan anak buah penjahat itu, aku lalu berteriak minta tolong. Akhirnya dimas Aji berhasil menyelamatkan aku.”
“Paman Sumali dan Mbakayu Winarsih, andika berdua sudah menceritakan semua itu kepadaku. Sekarang Mbakayu Winarsih telah pulang dengan selamat. Lalu bantuan apa lagi yang paman kehendaki dariku?”
“Begini, anak mas Aji. Engkau adalah orang kepercayaan Kanjeng Sultan Agung. tentu tidak akan tinggal diam melihat ada usaha pengkhianatan dan pemberontakan. Aku yakin bahwa penculikan atas diri Winarsih itu ada hubungannya dengan kemarahan Aki Somad kepadaku. Usahanya untuk membujuk para pamong praja untuk mengkhianati Mataram, untuk kelak menghalangi Mataram kalau pasukan Mataram hendak menyerbu ke Jayakarta atau Batavia, haruslah ditentang dan digagalkan.”
“Paman Sumali, apakah engkau mengenal nama Ki Blekok Ireng?”
“Ehh?” Ki Sumali memandang heran. “Mengapa engkau menanyakan nama itu? Apakah engkau mengenal nama-nama kepala bajak dan rampok yang terkenal di seluruh Kadipaten Kedu itu?”
“Orang bernama Ki Blekok Ireng itulah yang memimpin penculikan atas diri Mbakayu Winarsih. Dia mengakui namanya ketika bertanding denganku dalam air.”
“Ah, sudah kuduga! Dan ini menjadi bukti kebenaran kecurigaanku terhadap Aki Somad. Jelas sekarang, dialah dalang penculikan ini dengan niat untuk menghancurkan aku. Ketahuilah, anak mas Aji. Ki Blekok Ireng itu adalah ketua dari gerombolan Gagak Rodra yang terkenal bersikap menentang dan memusuhi Mataram. Bukan aneh kalau gerombolan itu kini diperalat oleh Kompeni Belanda, dan aku sudah mendengar bahwa Aki Somad menjalin hubungan dengan gerombolan itu. Hal itulah yang membuat aku enggan bersahabat lagi dengan dia. Kalau sekarang ketua gerombolan itu yang menculik Winarsih, mudah diduga bahwa Aki Somad berada di belakang peristiwa itu.”
Aji mengangguk-angguk. “Agaknya dugaan paman itu tidak salah. lalu, apa yang akan paman lakukan sekarang?”
“Kita harus hancurkan gerombolan Gagak rodra itu. Ya, kita. Engkau dan aku, anak mas Aji. Hancurnya gerombolan itu berarti lenyapnya penghalang dan gangguan bagi Mataram, juga berarti hancurnya segerombolan antek Belanda di daerah ini!”
Pada saat itu, seorang wanita memasuki ruangan itu. Ia berusia sekitar lima puluh tahun, rambutnya sudah berwarna dua dan pakaiannya yang sederhana menunjukkan bahwa ia seorang pelayan. Memang wanita itu adalah Mbok Ginah pembantu keluarga Ki Sumali. Ia membawa sebuah piring besar berisi singkong rebus yang masih mengepul panas. “Silakan makan singkong rebusnya raden.” katanya kepada Aji. Setelah berkata demikian, ia keluar dari ruangan itu.
Winarsih tersenyum. “Silakan, dimas Aji. Selagi masih hangat, singkong rebus ini gurih sekali.” Ia menawarkan.
“Ya, silakan, anak mas Aji! Ini makanan desa, seadanya saja.” kata pula Ki Sumali mempersilakan.
Aji tersenyum. “Ah, saya juga biasa makan singkong rebus seperti ini, paman.” Dia menggerakkan tangan kanan untuk mengambil makanan itu. Akan tetapi terjadi keanehan. Tangannya itu seperti bergerak di luar kehendaknya dan mendorong piring berisi singkong rebus itu sehingga piring itu terdorong jatuh dari atas meja dan isinya berserakan di atas lantai.
Ki Sumali dan Winarsih memandang heran dan keduanya hendak bangkit dari tempat duduknya untuk mengambil makanan yang terjatuh berserakan itu. Akan tetapi tiba-tiba Aji menjulurkan kedua tangan dan memegang lengan mereka. “Harap kalian jangan bergerak dan biarkan ayam itu makan singkong rebus!” bisiknya.
Tentu saja suami isteri itu merasa heran sekali dan mereka memandang kepada seekor ayam, ayam mereka, yang memasuki ruangan itu dari pintu depan. Agaknya ayam itu tertarik melihat singkong rebus berceceran dan binatang itu lari mendekat dan mematuk sepotong singkong, terus memakannya dengan asyik. Aji dan suami isteri itu memandang, Aji dengan penuh perhatian, dan suami istri itu dengan heran dan tidak mengerti akan sikap Aji yang amat aneh itu. Kemudian terjadi hal yang membuat suami isteri itu terbelalak dan Winarsih menahan jerit di balik tangannya. mereka berdua melihat ayam itu tiba-tiba terguling dan berkelojotan, lalu mati!
Aji bangkit dari duduknya dan mengangguk-angguk. “Sudah kuduga. Paman Sumali dan Mbakayu Winarsih. Singkong rebus itu mengandung racun yang amat berbahaya.”
“Apa? Bagaimana mungkin?” Ki Sumali berseru heran, lalu memandang ke arah dalam rumah dan berteriak memanggil “Mbok Ginah...! Ke sinilah...!”
Terdengar langkah kaki berlari-larian dari dalam dan muncullah Pak Karto dan Mbok ginah. Suami isteri pelayan ini agaknya terkejut mendengar panggilan Ki Sumali yang berteriak keras itu. “Ada... apakah...?” Pak Karto bertanya gagap.
“Andika memanggil saya...?” Mbok Ginah bertanya kepada ki Sumali yang memandang kepadanya dengan alis berkerut.
Aji cepat mengambil dua potong singkong rebus dari atas tanah dan menyerahkan dua potong singkong rebus itu kepada Pak Karto dan Mbok Ginah. “Kami bertiga minta agar kalian bedua makan singkong rebus ini, sekarang juga, di muka kami!” kata Aji dengan nada memaksa.
Suami isteri tua itu menerima sepotong singkong rebus dan mereka tampak bingung dan heran, lalu keduanya saling pandang dan kemudian memandang kepada Ki Sumali dan Winarsih. Ki Sumali yang maklum bahwa Aji mencurigai kedua orang pelayan itu menaruh racun pada singkong rebus dan kini sengaja menyuruh mereka makan, mengangguk dan berkata, “Turuti saja permintaan anak mas Aji.”
Winarsih memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ketika suami isteri itu dengan tenang membawa singkong rebus ke mulut mereka dan hendak menggigitnya. Melihat ini, tiba-tiba tangan Aji menyambar dan kedua orang tua itu berseru kaget, singkong rebus di tangan mereka terpental dan jatuh ke atas tanah. “Ah, apa artinya ini...?” keduanya berseru heran.
Ki sumali melihat mereka tadi benar-benar hendak makan singkong rebus itu, merasa lega karena hal itu membuktikan bahwa mereka berdua tidak tahu menahu tentang racun yang berada di singkong rebus. Kalau mereka tahu tidak mungkin mereka mau memakannya. “Begini, Pak Karto dan Mbok Ginah, kami mendapatkan kenyataan bahwa singkong rebus ini mengandung racun yang mematikan.”
“Racun...?” Suami istri pelayan itu berseru kaget.
“Lihat ayam itu,” kata Ki Sumali. “Ayam itu segera mati setelah makan singkong yang tercecer.”
“Akan tetapi... kenapa den mas ini menyuruh kami memakannya kalau sudah tahu bahwa singkong itu beracun?” Tanya Mbok Ginah menasaran, “dan kemudian mencegah kami memakannya?”
“Ah, saya tahu sekarang!” kata Pak Karto.
“Mbokne, denmas ini agaknya mencurigai kita yang meracuni singkong itu dan hendak menguji kita!”
“Sebenarnyalah.” kata Aji, “memang aku tadi mencurigai kalian dan maafkan aku ternyata bukan kalian yang menaruh racun dalam singkong rebus itu. Akan tetapi ceritakanlah, siapa yang merebus singkong ini?”
“Saya yang merebusnya, denmas!” kata Mbok Ginah.
“Apakah ketika merebusnya, engkau menjaganya, ataukah kau tinggalkan pergi, mbok?”
“Tentu saja saya tinggalkan untuk melakkan pekerjaan lain, denmas. Mosok nggodok singkong saja harus dijaga?”
“Dan apakah tadi kalian tidak melihat ada orang memasuki dapur, atau masuk ke pekarangan rumah ini?”
“Tidak ada, denmas.” kata Mbok Ginah.
“Nanti dulu!” kata Pak Karto. “Ketika tadi saya menyirami bunga, saya seperti melihat bayangan orang berkelebat di samping rumah. Karena heran dan tertarik, saya mengejar dan mencarinya di sekitar rumah. Akan tetapi tidak menemukan orang. Maka saya kira saya hanya salah lihat. Jangan-jangan“
“Hemmm, tentu ada orang lain menyelinap masuk!” kata Ki Sumali. “Sudahlah, kalian bawa singkong ini cepat tanam dalam tanah. Hati-hati, jangan tercecer. Bisa mati semua ayam kita. Dan jangan lupa bawa bangkai ayam itu, juga kubur bangkai itu.”
Suami isteri itu lalu mengumpulkan singkong rebus yang tercecer dan mengambil bangkai ayam lalu meninggalkan ruangan itu. Setelah mereka pergi, Ki Sumali berkata kepada Aji. “Nah, anak mas Aji. Engkau melihat sendiri betapa mereka itu berusaha untuk mencelakai dan membunuh kami. Karena itu, aku harus mendatangi gerombolan Gagak rodra, menuntut mereka yang telah menculik Winarsih. Kalau mereka tidak berterus terang siapa yang menyuruh mereka atau mendalangi semua ini, aku akan membasmi perkumpulan itu yang menjadi pengkhianat bangsa dan antek belanda. Dan aku mengharap engkau akan suka membantuku, mengingat bahwa engkau adalah orang kepercayaan Kanjeng sultan!”
Aji mengangguk. “Setelah mendengar semua ceritamu dan melihat kenyataan tentang penculikan atas diri Mbakayu Winarsih dan usaha meracuni kita tadi, aku tahu bahwa aku harus membantumu, Paman Sumali. Pertama untuk menentang kejahatan, kedua untuk membela Mataram.”
“Bagus!” Ki Sumali berseru girang sekali. “Terima kasih, anak mas Aji. Dengan bantuanmu, aku tidak takut menghadapi Kakang somad, seandainya benar-benar dia yang berdiri di belakang gerombolan Gagak Rodra. Sekarang sebaiknya kita mengaso dulu. Malam ini kita harus mengumpulkan tenaga dan besok pagi-pagi barulah kita akan berkunjung ke sarang geombolan Gagak Rodra.”
“paman tahu di mana sarang gerombolan itu?” tanya Aji.
“Aku tahu. Mereka memiliki sebuah perkampungan yang menjadi sarang mereka di Lembah Kali Bogawanta.” kata Ki Sumali.
“Akan tetapi jumlah mereka tentu banyak sekali. Bagaimana kalian yang hanya berdua akan menentang mereka? Tentu kalian akan di keroyok banyak orang!” kata Winarsih dengan khawatir sekali.
“Jangan khawatir, Narsih. Aku mendengar bahwa di sarang mereka itu terdapat keluarga mereka, isteri dan anak-anak mereka. Para anggota gerombolan itupun manusia-manusia yang menyayangi anak isteri mereka. Kami berdua hanya akan menentang para pimpinan mereka saja. Kalau pimpinan mereka sudah dapat kami tundukkan, anak buahnya tentu akan tunduk pula. Selain itu, akupun akan mengumpulkan para muda di Loano untuk ikut dengan aku. Mereka adalah orang-orang yang setia kepada Mataram dan disamping itu, mereka tentu siap kalau diajak menggempur gerombolan perampok yang sering mengganggu penduduk di daerah Kedu dan sekitarnya. Sekarang harap engkau suka beristirahat dulu, anak mas Aji. Aku bersama mbakayumu akan pergi mengunjungi para pemuda di Loano dan mempersiapkan mereka untuk ikut dengan kita besok pagi.”
“Baiklah, paman. Aku akan beristirahat.”
“Engkau pakailah kamar di sebelah ini, Dimas Aji. Jangan sungkan, minta saja kepada Mbok Ginah.” kata Winarsih ramah.
“Terima kasih, Mbakayu Winarsih.”
Suami isteri itu meninggalkan rumah dan Aji lalu memasuki kamar yang disediakan untuknya. Ketika dia teringat akan kuda yang tadi ditungganginya bersama Winarsih, dia keluar dari kamar lalu menuju ke belakang untuk melihat keadaan kuda itu. Diapun hendak melihat suami isteri pembantu rumah tangga itu. Dia melangkah perlahan memasuki dapur. Akan tetapi, suara bisik-bisik di dapur segera terhenti. Ini menunjukkan bahwa langkah kakinya yang perlahan itu dapat tertangkap oleh pendengaran mereka yang berada di dalam dapur. Dia memasuki dapur dan melihat suami isteri pelayan itu duduk di bangku berhadapan dan menengok kepadanya. Mereka sudah menghentikan percakapan mereka.
“Ah. denmas Aji... apa yang dapat kami lakukan untukmu?” Tanya Mbok Ginah dan mereka berdua bangkit berdiri.
“Aku hendak bertanya kepada Pak Karto apakah kuda itu sudah dirawat dengan baik.” kata Aji.
“Oh, jangan khawatir, den mas. Kuda itu sudah saya guyang (mandikan), sudah saya beri makan rumput.“ kata Pak Karto.
“Syukurlah kalau begitu dan terima kasih, Pak Karto.” Aji lalu masuk kembali dan di dalam kamarnya dia duduk termenung di atas pembaringan. Dia merasa curiga kepada suami isteri tua itu. Pertama, sikap dan ucapan mereka terkadang rapi teratur, tidak seperti orang dusun dan sikap ketololan itu agaknya dibuat-buat. Kedua, tadi ketika disuruh makan singkong rebus, dia melihat Pak Karto memberi isyarat kedipan mata yang tidak kentara kepada isterinya, dan sikap mereka yang keheranan itupun dibuat-buat karena pandang mata mereka sama sekali tidak membayangkan keheranan melainkan penasaran.
Dan ketiga, baru saja kedua orang itu membuktikan bahwa mereka bukan orang sembarangan karena mereka berdua dapat menangkap langkah kakinya yang dibuat dengan hati-hati. Dua orang itu patut dicurigai, biarpun belum ada bukti yang nyata. Setelah jauh malam, Ki Sumali dan Winarsih pulang. Ki Sumali tampak gembira ketika Aji keluar dari kamar menyambut mereka.
“Eh, anak mas Aji, engkau belum tidur?” Tanya Ki Sumali. “Kenapa engkau tidak mengaso, dimas Aji?”Tanya pula Winarsih. Aji tersenyum.
“Aku belum mengantuk, paman. Bagaimana hasilnya?”
“Wah, baik sekali! Para pemuda itu penuh semangat dan menyatakan untuk membantu kita besok. sedikitnya lima puluh orang pemuda akan ikut dengan kita!”
“Bagus.” kata Aji. “Akan tetapi kuharap paman memberi tahu kepada mereka agar tidak terburu nafsu turun tangan menyerang kalau keadaan tidak memaksa. Seperti paman katakan tadi, kalau bisa kita tundukkan para pemimpinnya agar anak buah mereka tidak melakukan perlawanan. Kalau sampai terjadi pertempuran, aku khawatir akan jatuh banyak korban di kedua pihak.”
“Tepat sekali, cocok dengan jalan pikiranku, anak mas Aji. Aku memang sudah memesan demikian kepada mereka. Aku mengajak kepada merekapun hanya untuk menggertak agar para anak buah gerombolan Gagak Rodra tidak akan dapat melakukan perlawanan. Akan tetapi seandainya mereka nekat, apa boleh buat. Para pemuda Loano juga bukan orang-orang lemah. Mereka sedikit banyak sudah mempelajari ilmu kanuragan dan mereka bersemangat tinggi untuk membela Mataram dan menentang para penjahat yang mengganggu keamanan.”
“Syukur, kalau begitu, paman.”
“Sekarang sudah larut malam. Mari kita mengaso, anak mas Aji. Besok pagi kita berangkat.” Mereka lalu memasuki kamar masing-masing.
Aji segera merebahkan dirinya untuk tidur. Akan tetapi dia tetap memasang kewaspadaannya karena dalam hati kecil dia tetap curiga kepda Pak Karto dan Mbok Ginah. Biarpun dia tidur pulas, namun pendengaran telinganya tetap peka dan siap menangkap suara yang tidak wajar. Saat itu jauh lewat tengah malam, bahkan sudah menjelang fajar. Pada saat seperti itu, orang-orang sedang pulas-pulasnya tidur. Bahkan ayam jantan pun belum ada yang bersuara. Suasana sunyi sekali dan hawa udara amat dinginnya. Rumah Ki Sumali juga masih sunyi sekali. Agaknya semua penghuninya masih tidur pulas.
Dua sosok bayangan manusia bergerak dengan cepat dan ringan sekali dalam rumah itu. Dua pasang kaki itu bergerak demikian ringan seperti kaki kucing saja. Mereka menghampiri jendela kamar yang ditempati Aji. Daun jendela yang cukup lebar itu mereka buka dengan mudah sekali, hanya ditarik begitu saja sudah terbuka. Agaknya memang tidak dipalang dari dalam, hanya ditutupkan begitu saja. Dua orang itu mencabut senjata, seorang mencabut sebatang parang dan yang seorang lagi mencabut sebatang pisau belati.
Setelah melongok ke dalam kamar yang gelap dan sunyi itu, mereka lalu bergerak melompat ke dalam kamar melalui lobang jendela. Gerakan mereka yang gesit membuktikan bahwa kedua orang itu memiliki ketangkasan. Dua orang itu tanpa ragu segera menghampiri pembaringan di mana Aji tidur. Agaknya mereka sudah hafal benar akan keadaan dalam kamar itu. Buktinya mereka dapat bergerak dalam kegelapan tanpa menabrak meja kursi.
Setelah tiba di tepi pembaringan, kedua orang itu dengan gerakan cepat dan kuat membacokkan parang dan menusukkan pisau belati ke atas pembaringan. Mereka merasa yakin bahwa sekali serang, orang yang tidur di atas pembaringan itu tentu tewas seketika tanpa dapat mengeluarkan suara lagi.
“Wuuuttt... brakkkk...!” Dua orang itu terkejut bukan main. Senjata mereka mengenai papan pembaringan sehingga menimbulkan suara keras. Agaknya tidak ada orang tidur di atas pembaringan itu! Dua orang itu terkejut dan cepat mereka berloncatan ke luar dari kamar itu melalui jendela. Di luar kamar tidak segelap dalam kamar karena tempat itu diterangi sebuah lampu gantung. ketika mereka tiba di luar kamar, Aji sudah berdiri menunggu mereka.
“Pak Karto dan Mbok Ginah, kiranya kalian benar-benar mempunyai niat buruk untuk membunuh seperti yang kuduga!” kata Aji kepada dua orang yang bukan lain adalah Pak Karto dan Mbok Ginah. Kini Pak Karto dan Mbok Ginah tidak tampak loyo seperti biasa. mereka mengenakan pakaian ringkas dan tampak gesit dan bersemangat. Ucapan Aji itu mereka sambut dengan serangan parang dan pisau belati mereka!
Melihat gerakan mereka yang tangkas dan serangan yang mengandung tenaga kuat itu, maklumlah Aji bahwa dua orang itu memiliki kepandaian tinggi. Mereka yang menyamar sebagai pembantu itu ternyata adalah orang-orang yang digdaya. Dia sudah bersiap siaga. memang dia sudah menaruh curiga, apa lagi ketika semalam dia melihat bahwa jendela kamarnya hanya ditutup begitu saja, tidak dipalang. Agaknya memang ada orang yang sengaja melakukan hal ini dan karena itu maka dia cepat bersiap ketika tadi mendengar suara gerakan mereka yang ringan.
Dia sudah meninggalkan pembaringan dan bersembunyi di balik almari di sudut. Ketika dua bayangan itu masuk, diapun diam-diam ke luar melalui pintu dan menghadang mereka di luar jendela. Kini, melihat serangan kedua orang itu, Aji cepat menggerakkan tubuhnya, bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti. Tebasan parang ke arah lehernya itu dielakkan dngan merendahkan tubuhnya dan tusukan pisau belati ke arah perutnya dia tepis dengan tangan kirinya sehingga tangan Mbok Ginah terpental. Akan tetapi dua orang itu cepat menyerang lagi dengan lebih ganas, bahkan kini serangan mereka bertubi-tubi.
Aji mempergunakan kecepatan gerakannya, mengelak dan tubuhnya berkelebat, tidak pernah dapat tersentuh dua senjata itu. Dia melihat bahwa gerakan Pak Karto jauh lebih cepat dan lebih bertenaga dibandingkan gerakan Mbok Ginah. Setelah menghindarkan diri dari serangan mereka selama belasan jurus, Aji menggerakkan kaki kirinya, menendang ke arah samping. Dia tidak ingin melukai dua orang itu, dan kakinya hanya menyembar pergelangan tangan Mbok Ginah yang memegang pisau belati. Wanita itu berteriak kesakitan dan pisau belatinya terlepas dari pegangannya dan terlempar, jatuh berkerontangan d atas lantai.
Suara ribut-ribut itu membangunkan Ki Sumali dan Winarsih. “Heiii... ada apakah ini...?” Ki Sumali keluar dari kamarnya dan berseru heran ketika melihat Aji diserang Pak Karto dengan parang.
Melihat munculnya Ki Sumali, Pak Karto yang sudah merasa gentar melihat ketangguhan Aji, segera melontarkan parangnya ke arah Aji, lalu dia melompat pergi, diikuti oleh Mbok Ginah. Parang itu meluncur cepat ke arah dada Aji karena dilontarkan dari jarak dekat dengan tenaga yang kuat. Akan tetapi Aji tidak menjadi gugup. Dengan tenang dia miringkan tubuhnya dan sekali tangan bergerak, dia telah berhasil menangkap gagang parang itu.
Ki Sumali masih merasa terkejut dan heran sekali. “Anak mas Aji, ada apakah? Mengapa Pak Karto dan Mbok Ginah tadi bersikap demikian aneh?” Winarsih juga keluar dari kamar dan wanita ini tampak gelisah.
“Apa... apa yang terjadi...?”
“Tenanglah, Mbakayu Winarsih. Tidak ada apa-apa, bahaya telah lewat. Mari kita duduk, akan kuceritakan apa yang terjadi.”
Mereka semua duduk di ruangan dalam. “Seperti sudah kuduga, ternyata Pak Karto dan Mbok Ginah itu hanyalah pelayan-pelayan palsu, bahkan mungkin nama mereka bukan Karto dan Ginah. Mereka adalah orang-orang yang digdaya dan agaknya sengaja menyamar menjadi pelayan kalian, tentu dengan niat buruk. Apakah mereka telah lama menjadi pelayanmu, Paman Sumali?”
“Belum, baru beberapa bulan. mereka mengaku pengungsi karena kampung mereka kebanjiran dan karena merasa iba kami lalu menerima mereka menjadi pembantu-pembantu kami.” kata Ki Sumali.
“Mereka itu memang sengaja diselundupkan ke sini, tentu untuk memata-mataimu, paman. Ketika aku datang dan kita merundingkan perlawanan terhadap Gagak Rodra, mereka berdua mencoba untuk membunuh kita dengan singkong beracun.”
“Akan tetapi ketika engkau menyuruh mereka makan singkong itu, mereka tidak menolak dan hampir saja mereka memakannya.” kata Winarsih.
“Memang benar aku ingin menguji mereka. Kalau mereka menaruh racun pada singkong, tentu mereka tidak akan mau memakannya. Maka ketika melihat mereka mau memakannya, aku lalu mencegahnya. Pada waktu itu aku juga meragu apakah mereka sengaja meracuni singkong itu. Akan tetapi ada hal-hal yang mencurigakan hatiku. Pertama, sikap dan kata-kata mereka yang kadang-kadang teratur rapi itu menunjukkan bahwa mereka bukan orang-orang dusun yang bodoh, Kedua, ketika aku menyuruh mereka makan singkong, aku melihat Pak Karto memberi isyarat berkedip kepada Mbok Ginah.”
“Akan tetapi kalau ketika itu engkau tidak melarangnya, tentu mereka sudah mati karena makan singkong beracun itu, Dimas Aji!” kata Winarsih
“Belum tentu, mbakayu. Baru semalam aku teringat bahwa orang yang pandai mempergunakan racun, tentu juga memiliki obat penawarnya. Aku yakin dua orang itu sudah makan obat penawar ketika mereka ku uji untuk makan singkong beracun itu. Kecurigaanku semakin kuat ketika aku melihat bahwa jendela kamarku tidak terpalang, hanya ditutup begitu saja sehingga mudah dibuka dari luar. Karena itu, aku telah siap siaga sehingga ketika mereka berdua memasuki kamar lewat jendela dan menyerang dengan senjata ke pembaringan, aku sudah meninggalkan pembaringan itu dan menghadang mereka di luar jendela. Maka terjadilah perkelahian itu.”
“Ih, mengerikan sekali! Kalau diingat bahwa selama berbulan ini kami memelihara dua orang pembunuh ditengah-tengah kami!” kata Winarsih.
“Kukira anak mas Aji betul. Mereka itu sengaja diselundupkan ke sini hanya untuk memata-matai aku. Mereka masih mengharapkan aku mau bekerja sama dengan mereka. Baru setelah dua orang mata-mata itu melihat aku dan anak mas Aji bertekad untuk menentang mereka, maka dua orang itu berusaha untuk membunuh,” kata Ki Sumali.
“Sayang sekali kita tidak dapat menangkap mereka, anak mas Aji. Kalau mereka dapat ditangkap tentu kita dapat memaksa mereka mengaku siapa yang mengirim mereka ke sini.”
“Aku memang tidak tega melukai mereka, paman. Akan tetapi agaknya tak dapat diragukan lagi bahwa mereka berdua itu pasti ada hubungan dengan Gerombolan Gagak Rodra. Menurut apa yang paman ceritakan, Gerombolan Gagak Rodra memang mempunyai dendam permusuhan dengan paman. Pertama tentu saja ketika dahulu mereka menyerbu dusun ini dan paman memusuhi mereka dan kedua mungkin karena mereka itu menentang Mataram padahal paman bersikap setia kepada Mataram.”
“Kurasa pendapatmu itu benar, anak mas Aji. Sekarang fajar hampir menyingsing. Sebaiknya kita bersiap-siap. Anak-anak sudah kupesan untuk berkumpul di luar dusun dan setelah matahari terbit, kita berangkat.” kata Ki Sumali.
“Baiklah, paman.” Winarsih lalu sibuk di dapur mempersiapkan sarapan pagi agar sebelum berangkat, kedua orang itu dapat makan lebih dulu. Setelah sarapan, Ki Sumali mengajak Winarsih pergi ke rumah kepala dusun Loano. Dia menitipkan isterinya di rumah kepala dusun itu agar isterinya aman selagi dia pergi bersama Aji. Setelah menitipkan isterinya, Ki Sumali lalu mengajak Aji berangkat, Di luar dusun telah berkumpul kurang lebih lima puluh orang pemuda. Mereka telah mempersiapkan diri, membawa senjata tajam apa saja yang mereka miliki. Mereka semua sudah siap dan bertekad untuk bertempur melawan para gerombolan orang jahat itu.
Gerombolan Gagak Rodra mempunyai sebuah perkampungan di lembah Sungai Bogawanta. Perkampungan yang khusus dihuni para anggauta gerombolan ini terpencil dari dusun-dusun lain dan menjadi sarang gerombolan itu. Kurang lebih lima puluh orang anak buah gerombolan tinggal di perkampungan itu dan anak istri merekapun tinggal di situ sehingga seluruh penghuni perkampungan itu berjumlah hampir dua ratus orang.
Pada pagi hari itu, pagi-pagi sekali perkampungan Gerombolan Gagak Rodra kedatangan seorang tamu istimewa. Tamu itu seorang wanita cantik yang cantik jelita. Usianya tampak masih jauh lebih muda walaupun usianya sudah tiga puluh tahun. Rambutnya panjang hitam ngandan-andan (berombak) sampai ke punggung dan dibiarkan terurai. Pakaiannya mewah sekali. Wajahnya yang berbentuk bulat itu memang ayu manis dengan mata lebar dan hidung mancung. Mulutnya memiliki bibir yang bentuknya indah dan menantang, menggairahkan hati setiap orang pria yang melihatnya. Mata dan mulutnya mempunyai daya tarik yang kuat sekali, mulut yang selalu tersenyum manis dan mata jeli yang dapat mengerling dengan genit. Tubuhnya yang berkulit putih mulus itupun ramping dan padat. Akan tetapi.
Kedatangan wanita ayu ini ternyata disambut penuh kehormatan oleh dua orang pimpinan Gagak Rodra, yaitu Ki Blekok Ireng dan Ki Jalak Uren. Bagi anak buah Gagak rodra pun, wanita ini sudah amat dikenalnya juga ditakutinya. mereka semua tahu bahwa wanita itu adalah seorang yang sakti mandraguna dan berwatak kejam sekali. Kalau marah, siapa saja akan dibunuhnya dengan darah dingin.
Dan wanita itupun oleh mereka dianggap sebagai seorang iblis betina. Walaupun cantik menarik, tak seorangpun diantara para anggauta Gagak Rodra yang kasar itu berani bersikap kurang ajar. Bahkan begitu wanita itu muncul, para ibu yang menyusui anak-anak segera menyembunyikan anak mereka karena mereka tahu bahwa wanita cantik itu mempunyai kebiasaan seperti iblis sendiri, yaitu suka menghisap darah anak-anak sampai habis!
Kita sudah mengenal wanita itu. Ia adalah Nyi Maya Dewi, datuk wanita dari daerah Parahiyangan yang mempelajari ilmu sesat. Di dunia hitam, yaitu dunianya para penjahat, Nyi Maya Dewi dikenal baik dan ditakuti. Semua orang menghormatinya karena takut. Maka, ketika wanita itu muncul di perkampungan Gerombolan Gagak Rodra, ia disambut dengan penuh penghormatan oleh Blekok Ireng dan Jalak Uren, dua orang pimpinan gerombolan Gagak Rodra.
“Selamat datang di perkampungan kami, Nyi Maya Dewi yang kami hormati. Apakah kiranya yang dapat kami lakukan untuk andika?” Tanya Blekok Ireng setelah mempersilakan wanita itu mengambil tempat duduk. Mereka berdua, ditemani oleh Jalak Uren, duduk dipendopo rumah besar yang menjadi tempat tinggal kedua orang pimpinan gerombolan itu.
“Ki Blekok Ireng dan Jalak Uren, kalian berdua adalah pimpinan Gagak Rodra dan kalian berdualah yang bertanggung jawab atas kemajuan di daerah Kedu dan disepanjang Kali Bogawanta. Nah, laporkan kepadaku bagaimana kemajuan usaha kalian.”
Dua orang pimpinan Gagak Rodra itu saling pandang dengan heran. Mereka memang mengenal datuk wanita ini sebagai seorang tokoh besar yang ditakuti dan dihormati. Akan tetapi itu bukan berarti bahwa datuk wanita itu menjadi pemimpin mereka, bahkan mereka tidak merasa pernah menjadi anak buah Nyi Maya Dewi. Bagaimana sekarang tiba-tiba wanita itu minta mereka memberi laporan? Tentang kemajuan usaha apakah?
“Maafkan kami, Nyi Maya Dewi. Sesungguhnya kami masih belum mengerti apa yang andika maksudkan. Laporan apakah yang harus kami berikan? kemajuan dalam usaha apakah?”
“Hemmm, aku lupa bahwa kalian belum mengenal benar siapa aku. Lihatlah ini. kenalkah kalian dengan ini?” Wanita itu mengeluarkan sebuah uang emas yang bergambar sepasang singa. Melihat itu, dua orang pemimpin.
Gerombolan Gagak Rodra itu terbelalak, lalu cepat mereka bangkit berdiri dan memberi hormat dengan menyembah kepada Nyi Maya Dewi. “Mohon maaf karena kami tidak mengetahui maka kami menyambut andika yang ternyata adalah seorang diantara para pengawas yang mendapat kekuasaan dari Jenderal Kumpeni di Batavia. Selama ini, yang menjadi pengawas dan memberi prtunjuk kepada kami adalah Aki somad di Nusa Kambangan.”
“Aku mengenal Aki Somad dan pagi ini diapun akan datang kesini karena sudah ku undang dia untuk datang. Aku membawa pesan khusus dari Tuan Jenderal Kumpeni sendiri untuknya. Nah, sekarang cepat kalian memberi laporan. Apakah kalian sudah berhasil membujuk para pamong praja di daerah Kedu dan di sepanjang Kali Bogawanta, khususnya di Loano?”
“Kami telah berusaha keras, Nyi Maya Dewi. Akan tetapi hasilnya belum memuaskan. mereka itu kebanyakan takut dan setia kepada Sultan Agung di Mataram, terutama sekali karena mereka itu terpengaruh oleh seorang pendekar yang dihormati di Loano.”
“Hemmm, seorang pendekar menjadi penghalang? siapakah dia?” Tanya Nyi Maya Dewi penasaran.
“Namanya Ki Sumali, seorang yang sakti mandraguna.”
“Ahh, lalu apa kerjanya Aki Somad? Apakah dia tidak mampu menanggulangi orang itu?”
“Aki Somad sudah berusaha membujuk Ki Sumali untuk diajak bekerja sama, akan tetapi tidak berhasil. Bahkan dia lalu mengutus kami untuk bertindak menculik isteri Ki Sumali.”
“Bagus siasat itu untuk memaksa dia tunduk. Lalu bagaimana hasilnya?”
“Kami sedang sial. Kami telah berhasil menculik wanita itu, akan tetapi kami bertemu seorang pemuda yang digdaya dan pemuda itu menggagalkan penculikan kami dan menolong wanita itu.”
“Tolol benar kalian.” Nyi Maya Dewi mamaki.
“Akan tetapi kami tidak putus harapan dan kami masih mempunyai cara lain untuk menundukkan dia atau kalau perlu membunuh dia sekeluarga agar tidak menjadi penghalang bagi kami.”
“Bagaimana caranya?”
“Kami tidak kekurangan akal, Nyi Maya Dewi!” kata Ki Blekok Ireng dengan nada suara bangga.
“Benar, Nyi Maya Dewi. Kami tanggung Ki Sumali akan mampus di tangan kami!” sambung Ki Jalak Uren untuk menghibur karena kegagalan usaha mereka.
“Hemm, bagaimana akal itu? Cepat katakan!”
“Jauh hari sebelumnya, sudah beberapa bulan ini kami berhasil menyelundupkan dua orang yang kini diterima menjadi pembantu-pembantu rumah tangga Ki Sumali. Mereka telah dipercaya dan melalui kedua orang pembantu itu kami akan dapat mencelakai Ki Sumali.”
“Bagus! Sungguh bagus sekali akal itu. Kalau siasat kalian ini berhasil, aku akan mencatat jasa kalian!” kata Nyi Maya Dewi girang.
Tiba-tiba terdengar suara dua orang berlari-lari masuk ke dalam ruangan itu. Mereka itu bukan lain adalah laki-laki dan wanita yang mengaku bernama Pak Karto dan Mbok Ginah pelayan rumah Ki Sumali!
“Eh, kalian bardo dan Sumi, kalian sudah datang? Bagaimana dengan tugas kalian, sudah beres dan berhasil baik, bukan?” tegur Ki Blekok Ireng.
“Wah, celaka, Kakang Blekok ireng, celaka sekali... !!” kata Karto alias Bardo.
“Celaka bagaimana? Hayo kalian katakan, celaka bagaimana?” Ki Blekok Ireng membentak, alisnya berkerut marah.
“kami telah gagal...!” kata pula Mbok Ginah alias Sumi.
“Keparat! Kalian layak dihukum!” bentak Ki Blekok ireng dan dia sudah melangkah maju hendak memukul dua orang pembantunya itu.
“Tahan! Jangan pukul dulu. Biarkan mereka menceritakan mengapa mereka sampai gagal!” tiba-tiba Nyi Maya Dewi berseru dan Ki Blekok Ireng menahan diri lalu duduk kembali. Dua orang pembantu itu berlutut di atas lantai, tampak ketakutan.
“Kau dengan itu? Bardo, cepat seritakan apa yang terjadi!” kata Ki blekok Ireng.
“Ceritakan sejujurnya bagaimana kalian sampai gagal, Kakang Bardo, agar hukumanmu ringan.” Ki Jalak Uren ikut bicara.
“Begini kejadiannya. Kami berdua melihat Winarsih pulang dalam keadaan selamat diantar seorang pemuda. kami tahu bahwa usaha kita menculiknya berarti telah gagal. Kami mengintai dan mendengar percakapan antara Ki Sumali dan pemuda penolong itu. Rupanya mereka hendak membongkar rahasia kita membantu Kumpeni dan hendak menentang kita. Karena itu, kami melaksanakan rencana selanjutnya, yaitu meracuni mereka. Kami telah mencampurkan racun ke dalam singkong rebus dan menghidangkannya kepada mereka. Akan tetapi, lagi-lagi pemuda itu yang menggagalkan usaha kami itu. bahkan pemuda itu mengetahui bahwa singkong rebus itu beracun! Dia minta kepada kami untuk memakannya. Kami tahu bahwa dia curiga kepada kami dan hendak menguji kami. Karena kami sudah menelan obat penawar, kami siap memakannya. Akan tetapi pemuda itu mencegah kami memakannya. Agaknya kesediaan kami makan singkong itu menghilangkan kecurigaannya. Akan tetapi kami menganggap pemuda itu berbahaya sekali. Maka kami melakukan usaha terakhir. Jauh lewat tengah malam tadi, sebelum fajar, kami berdua memasuki kamar pemuda itu dengan niat membunuhnya. Akan tetapi ketika kami menyerang pembaringan, ternyata pembaringan itu kosong dan ketika kami keluar, pemuda itu sudah menghadang di luar kamar! Kami berdua menyerangnya, akan tetapi dia benar-benar sakti mandraguna. Kami berdua yang bersenjata tidak mampu mengalahkan dia yang bertangan kosong. Karena Ki Sumali terbangun, kami berdua lalu melarikan diri dan cepat lari ke sini.”
“Nanti dulu” kata Nyi Maya Dewi. “Pemuda yang sakti mandraguna itu, siapakah dia? Bagaimana orangnya?"
Bardo dan Sumi tentu saja sudah mengenal Nyi Maya Dewi, maka Bardo menjawab, “Dia masih muda sekali, jangkung tegap, wajahnya tampan dan pakaiannya sederhana.”
“Namanya! Siapa namanya?” Tanya datuk wanita itu.
“Kami tidak tahu, akan tetapi kami dengar Ki Sumali menyebut dia anak mas Aji, dan Winarsih menyebutnya Dimas Aji.”
“Ahhh.... dia kiranya?” Nyi Maya Dewi berseru kaget. Teringatlah ia akan pengalaman di pantai Laut Kidul, ketika ia menculik dua orang bocah yang dianggapnya berdarah bersih untuk dijadikan korbannya. Anak-anak itu diselamatkan oleh seorang pemuda yang sakti mandraguna. Tentu pemuda itu yang kini menolong Ki Sumali! Siapa lagi kalau bukan pemuda itu?
“Andika sudah mengenal pemuda itu?” Ki Blekok ireng bertanya.
“Mungkin. Bagaimanapun juga, kita harus bersiap siaga. Alangkah baiknya kalau sekarang Aki Somad sudah berada di sini agar kedudukan kita lebih kuat.”
“Kakang Blekok Ireng, kita memang harus bersiap siaga. Ki Sumali semalam telah mengumpulkan pemuda-pemuda Loano dan agaknya dia hendak menyerbu ke sini.” kata Bardo.
“Benarkah? Ah. kalau begitu, cepat siapkan kawan-kawan. Kita semua harus menjaga di luar perkampungan agar mereka tidak sampai menyerbu ke dalam untuk melindungi keluarga kita!” kata Blekok Ireng.
Ki Blekok Ireng dan Ki Jalak Uren segera mengumpulkan semua anak buahnya, berjumlah lima puluh orang lebih dan mereka semua menghadang di depan perkampungan dengan senjata di tangan, siap bertempur. Hati kedua orang pimpinan gerombolan Gagak Rodra ini menjadi agak tenang karena di situ terdapat Nyi Maya Dewi yang dapat mereka andalkan.
Matahari telah naik tinggi ketika rombongan pemuda Loano yang dipimpin oleh ki sumali tiba di luar perkampungan gerombolan Gagak rodra. Para pemuda itu sudah dipesan oleh Ki Sumali agar jangan bertindak sembrono dan tidak melakukan penyerangan sebelum diperintah. Pesan ini sesuai dengan permintaan Aji yang tidak menghendaki terjadi pertempuran besar-besaran yang menjatuhkan banyak korban di kedua pihak. Kalau mungkin, dia hendak menyadarkan Gerombolan Gagak Rodra itu. Yang perlu ditundukkan adalah para pemimpinnya, karena kalau para pemimpinnya sudah dapat ditundukkan, tentu anak buahnya mudah di atur.
Ki Sumali dan Aji berjalan di depan rombongan pemuda itu dan setelah berhadapan dengan gerombolan itu di depan perkampungan, mereka berhenti dan saling pandang. Ki Sumali melihat dua orang pimpinan Gagak Rodra berdiri dengan sikap angkuh dan di sebelahnya berdiri seorang wanita cantik. Juga dia melihat Pak Karto dan Mbok Ginah berdiri di depan. Ini membuktikan bahwa dugaannya benar. Dua orang itu memang diselundupkan oleh Gagak Rodra untuk menjadi pembantu di rumahnya, tentu untuk memata-matai dan kemudian berusaha membunuhnya.
Ki Sumali menjadi marah sekali. Dia belum pernah berhadapan langsung dengan Ki Blekok Ireng dan Ki Jalak Uren, akan tetapi dia sudah pernah mendengar nama dua orang pimpinan Gagak Rodra ini dan dapat menduga bahwa tentu dua orang laki-laki yang tampak gagah itu yang menjadi pimpinan Gagak Rodra. Sementara itu, Aji mengenal dua orang kepala gerombolan yang pernah bentrok dengannya itu. Dan diapun diam-diam terkejut melihat Nyi Maya Dewi berada di situ, berdiri di pihak gerombolan Gagak Rodra, Juga dia melihat Mbok Ginah dan Pak Karto di sana.
Akan tetapi Aji bersikap tenang dan membiarkan Ki Sumali yang berhadapan dan bicara dengan mereka. Di lain pihak, Ki Blekok Ireng dan Ki Jalak Uren juga terkejut ketika mereka mengenal Aji. Mereka sudah merasakan betapa saktinya pemuda ini. akan tetapi kehadiran Nyi Maya dewi di situ membesarkan hati mereka dan mereka bersikap congkak. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa pada saat itu, Nyi Maya Dewi juga terkejut sekali. Tentu saja ia mengenal Aji, akan tetapi ia diam saja dan diam-diam memutar otaknya mencari akal untuk dapat mengatasi pemuda yang sakti mandraguna itu.
Blekok Ireng melangkah maju menghadapi Ki Sumali dan dengan sikap congkak, bertolak pinggang dan berkata. “Kalau tidak keliru, andika tentu Ki Sumali dari Loano. Apa kehendakmu mengajak puluhan orang dan datang ke perkampungan kami?”
Ki Sumali memandang kepada dua orang laki-laki bertubuh tinggi itu, kemudian menjawab. “Tidak salah lagi kiranya, kalian berdua tentu yang bernama Blekok Ireng dan Jalak Uren, pimpinan gerombolan Gagak Rodra!”
“Tidak salah dugaanmu, aku adalah Ki Blekok Ireng dan ini adalah Ki Jalak Uren. Kami pimpinan Perkumpulan Gagak Rodra. Heh, Ki Sumali, apa kehendakmu datang ke perkampungan kami?”
Ki Sumali tersenyum mengejek. “Perlukah kalian bertanya lagi? Mengapa kalian masih berpura-pura tidak mengerti? Kalian telah mencoba untuk menculik isteriku Winarsih. Kemudian kalian menyelundupkan dua orang hina yang mengaku Karto dan Ginah itu untuk mencoba membunuh kami, dan kini kalian masih bertanya apa maksudku datang ke sini? Kalian bukan laki-laki sejati, mempergunakan cara yang curang dan pengecut. Kalau kalian memang hendak memusuhi aku, sekarang aku datang untuk menantang kalian bertanding seperti laki-laki jantan!”
“Ki Sumali manusia sombong! Sikapmu yang sombong itu yang memancing permusuhan. Kalau engkau menuruti kehendak Aki Somad, tentu kami tidak akan memusuhimu dan kita dapat bekerja sama dan sama-sama hidup mulia dan senang. Apa yang kami lakukan kepadamu itu adalah sesuai dengan perintah Aki Somad. Oleh karena itu, kalau engkau hendak bertanya tentang itu, tanyailah saja kepada Aki Somad!”
“Hemm, tak salah dugaanku. Kalian gerombolan Gagak Rodra juga sudah menjadi antek-antek Belanda! hei orang-orang Gagak Rodra, tidak malukah kalian? Lupakah kalian bahwa kalian adalah orang-orang Jawa dan tinggal di Nusa Jawa? Apakah kalian begitu hina untuk mengkhianati bangsa sendiri, hendak menjual tanah air kepada bangsa Belanda? Sadarlah kalian, orang-orang lembah Kali Bogawanta dan mari kita membantu Mataram untuk menentang Kumpeni Belanda!”
Blekok Ireng marah sekali, khawatir kalau di antara anak buahnya ada yang terpengaruh. “Tutup mulutmu, Ki Sumali! Engkaulah yang tidak tahu malu! Engkau yang sudah menjadi antek Sultan Agung yang telah menindas dan menaklukkan daerah kami. Kami akan selalu menentang Mataram yang angkara murka dan Kumpeni Belanda hanya membantu kami!”
“Sudahlah, Blekok Ireng. tidak perlu banyak cakap lagi. kedatanganku ini untuk membuat perhitungan karena kalian telah berusaha menculik isteriku, kemudian berusaha membunuh kami. Aku tantang engkau untuk bertanding satu lawan satu sebagai seorang jantan. Kalau engkau tidak berani, jangan banyak cakap lagi. Engkau harus membubarkan gerombolan Gagak Rodra dan tidak lagi membantu Kumpeni Belanda atau aku dan kawan-kawan akan membasmi kalian semua!”
Merah muka kedua orang pimpinan Gagak Rodra. Jalak uren melompat ke depan sambil menghunus sebatang klewang (semacam golok) yang berkilauan saking tajamnya. “Ki Sumali, akulah yang hendak melawanmu!"
Akan tetapi Blekok Ireng juga melompat ke sisi Jalak Uren dan berkata. “Ki Sumali, kami sebagai pimpinan Gagak Rodra menyambut tantanganmu, tentu saja kalau engkau berani melawan kami berdua!” berkata demikian, Blekok Ireng juga mencabut senjatanya, sebatang pedang besar panjang yang berkilauan tajam.
Ki Sumali mengerling kepada Aji dan melihat pemuda itu mengangguk, dia tersenyum dan melangkah maju menghadapi dua orang pimpinan Gagak rodra itu. Aji sudah pernah bertanding melawan dua orang ketua gerombolan itu, dan diapun pernah bertanding melawan Ki Sumali maka dia dapat menilai kepandaian masing-masing dan merasa yakin bahwa Ki Sumali mampu menandingi pengeroyokan dua orang itu. Anak buah kedua pihak hanya menonton dan siap siaga menanti perintah.
Aji berdiri menonton dengan sikap tenang namun waspada. Dia tahu bahwa wanita cantik yang berdiri di sana itu merupakan seorang yang amat berbahaya, curang dan juga kejam sekali. Di lain pihak, Nyi Maya Dewi juga hanya berdiri menonton. Baginya, ia tidak perduli apakah pihak Gagak Rodra akan kalah atau menang karena mereka itu bukan anak buahnya. Mereka itu hanya antek-antek kecil saja. Akan tetapi kehadiran Aji di situ membuat perasaan hatinya tidak enak. Ia memandang pemuda itu dengan penasaran dan juga membencinya karena ia pernah dikalahkan. Akan tetapi ia juga merasa agak jerih di samping kagum. Kalau saja ia dapat memiliki seorang kekasih sesakti pemuda itu, masih amat muda dan tampan lagi, hatinya akan merasa puas! Ia berdiri menonton dengan sikap yang tampaknya tenang, namun dalam hatinya ia sedang mencari-cari cara untuk menghadapi pemuda itu, atau mungkin mengalahkannya, bahkan lebih baik lagi kalau ia dapat menarik pemuda itu menjadi sahabatnya, bukan musuhnya!
Melihat dua orang lawannya sudah menghunus parang dan pedang, Ki sumali tidak mau bersikap sembrono dan kedua tangannya bergerak ke arah pinggang dan di lain saat tangan kanannya sudah mencabut sebatang keris yang berlekuk-lekuk panjang seperti seekor ular dan berwarna hitam. Itulah keris pusaka Kyai Sarpo Langking (Ular hitam) dan tangan kirinya memegang sebatang suling dari bambu, akan tetapi berada di tangan Ki Sumali, benda lemah itu dapat menjadi senjata yang ampuh sekali dan hal ini sudah dibuktikan oleh Aji ketika dia bertanding melawan pendekar Loano itu.
“Blekok Ireng dan Jalak Uren, aku sudah siap. Kalian mulailah!” tantang Ki Sumali sambil menyilangkan keris dan suling di depan dadanya. Sikapnya tenang namun waspada dan dia tampak gagah sekali. Dua oang pemimpin Gagak Rodra itu juga bukan orang lemah. Meraka berdua sudah terkenal digdaya, apalagi kini keduanya maju bersama. mereka menggeser kaki, perlahan-lahan Ki Blekok ireng menggeser ke sebelah kanan Ki Sumali, sedangkan Ki Jalak Uren menggeser ke sebelah kirinya. Mereka hendak mengepung lawan itu dari kanan kiri.
Tiba-tiba Jalak Uren membentak dari sebelah kiri. “Haaahhh... !!” Bentakannya itu disusul menyambarnya senjata klewang yang berkilauan tajam itu ke arah leher Ki Sumali. Klewang itu tajam bukan main. Para anggota Gagak Rodra melihat sendiri betapa klewang itu mampu mencukur bersih brewok muka Ki Jalak Uren. Kalau sudah dapat dipakai mencukur brewok, dapat dibayangkan tajamnya klewang ini. Sekali babat saja, leher tentu akan putus! Juga sabetan itu mengandung tenaga yang amat kuat. Buktinya ketika disabetkan, klewang itu mengeluarkan bunyi berdesing.
Namun dengan gerakan yang ringan dan lincah, Ki Sumali sudah merendahkan tubuhnya sehingga sabetan klewang itu lewat di atas kepalanya. akan tetapi pada detik berikutnya pedang yang runcing di tangan Blekok Ireng sudah meluncur dan menusuk ke arah dadanya. ki sumali mengangkat lagi tubuhnya dan menggerakkan keris di tagan kanan dengan gerakan memutar untuk menangkis tusukan pedang sambil mengerahkan tenaganya.
“Trangggg...!” Pedang itu terpental tertangkis keris dan tampak bunga api berpijar ketika dua senjata itu beradu. Blekok ireng terkejut karena pertemuan dua buah senjata itu membuat telapak tangannya yang memegang pedang menjadi panas dan pedang itu terpental seperti bertemu dengan benda keras yang kuat sekali. Dua orang Pimpinan Gagak Rodra itu menjadi penasaran sekali ketika serangan pertama mereka gagal.
“Hoosssss...!” Kembali klewang menyambar ganas, kini menyerampang ke arah kaki Ki Sumali. Jalak Uren menyerang sambil berjongkok. Ki Sumali melompat ke atas sehingga serampangan klewang itu menyambar lewat di bawah kedua kakinya. Pada saat itu, pedang di tangan Blekok Ireng sudah menyambar lagi, kini menyerang dengan bacokan dari atas ke bawah mengarah kepala.
“Hyaaaatttt...!” Blekok Ireng mengeluarkan teriakan nyaring ketika pedangnya membacok. Namun dengan gerakan gesit sekali tubuh Ki Sumali yang masih belum menginjak tanah itu bergerak ke samping lalu berjungkir balik. Dia sudah dapat menghindarkan diri dari bacokan pedang itu. Dua orang lawannya menjadi semakin penasaran. mereka mendesak terus. Sampai enam tujuh kali Ki Sumali selalu mengelak atau mengakis sambil mempelajari gerakan dua orang pengeroyoknya. Setelah mulai mengenal dasar gerakan dua orang pengeroyoknya, mulailah Ki Sumali melakukan serangan pembalasan.
Namun sepasang senjatanya terlalu pendek dibandingkan senjata kedua orang pengeroyoknya yang lebih panjang. Ketika klewang dan pedang itu membacok dari kanan kiri, keduanya mengarah kepalanya, Ki Sumali cepat menyambut dengan keris dan sulingnya sambil mengerahkan tenaganya. “Trakkk!” Empat senjata bertemu dan seperti melekat dan pada saat itu, tubuh Ki Sumali melompat, kedua kakinya mencuat ke kanan kiri menendang ke arah dada lawan.
“Bukk! Bukk!” Tepat sekali kedua kaki Ki Sumali menghantam dada Blekok Ireng dan Jalak Uren. Dua orang itu terjengkang dan terbanting roboh. Akan tetapi dua orang pimpinan Gagak Rodra itu memiliki tubuh yang kuat juga. Tendangan itu tidak membuat mereka terluka. Mereka segera bangkit kembali dan melakukan pengeroyokan dengan lebih ganas. Ki Sumali mengandalkan kecepatan gerakan untuk menyambut kedua orang pengeroyoknya dan membalas serangan mereka. Serang menyerang terjadi dengan serunya.
Aji menonton dengan hati tenang. Dia dapat melihat bahwa Ki Sumali tidak akan kalah menghadapi pengeroyokan dua orang itu. Karena menonton perkelahian itu dengan penuh perhatian, Aji tidak tahu bahwa sejak tadi Nyi Maya Dewi sudah tidak menonton pertandingan itu, melainkan mencurahkan perhatian kepadanya. Wanita itu agaknya juga dapat melihat bahwa kedua orang pimpinan Gagak Rodra itu sukar sekali akan dapat keluar sebagai pemenang.
Maka ia mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada Aji. Biarpun Ki Sumali cukup sakti, namun ia masih merasa yakin bahwa ia akan mampu mengalahkan pendekar Loano itu. Yang berbahaya baginya adalah pemuda sederhana itu. Maka ia harus dapat mendahuluinya, sebelum kedua orang pimpinan Gagak Rodra kalah. Karena kalau kedua orang itu sudah kalah, kedudukannya menjadi sulit dan berat sekali kalau ia harus melawan Ki Sumali dan Lindu Aji.
Selagi perhatian Aji tertarik kepada pertandingan itu, Nyi Maya Dewi sejak tadi diam-diam telah menghimpun seluruh tenaga batinnya, mulutnya berkemak kemik membaca mantera dan ia mengerahkan aji pengasihan yang disebut Aji Pelet Mimi-mintuno. Setelah merasa bahwa kekuatan aji pengasiham itu sudah mencapai puncak kekuatannya, ia lalu melangkah perlahan menghampiri Aji. Setelah berdiri dalam jarak kurang lebih empat meter di sebelah kiri pemuda itu, ia lalu memasang aji pengasihan itu, suaranya merdu merayu ketika ia berkata lirih namun mengandung getaran aneh dan cukup keras untuk terdengar oleh Aji yang berdiri dekat.
“Aji, wong bagus! Inilah aku jodohmu! Kita sehidup semati, atut runtut berkasih-kasihan seperti Mimi dan Mintuno! Ke sinilah, sayang, aku rindu kepadamu.”
Aji menoleh dan dalam pandangan matanya, wanita itu tampak ayu manis, cantik jelita seperti seorang dewi kahyangan. Mata itu demikian jeli indah, sinarnya sayu lembut setengah terpejam mengandung gairah membangkitkan rangsangan berahi, hidung kecil mancung itu cupingnya bergerak-gerak lembut mengembang kempis, mulut itu sedikit ternganga, sepasang bibir yang tipis, penuh, lembut dan merah membasah itu seperti terengah, merekah menantang. Tubuh yang ramping padat, mengkal lembut itu seolah menuntut untuk didekap dan dibelai.
“Maksudmu, saya harus berbuat apa, Kakang Somad?” Tanya Ki Sumali, menahan perasaan hatinya yang panas mendengar kata-kata yang jelas bernada memusuhi Mataram itu.
“Begini, Adi Sumali. Kami telah lama membantu pihak Belanda yang berjanji untuk membebaskan kami dari kekuasaan Mataram. Kami telah berhasil menggagalkan usaha pasukan Mataram yang melakukan penyerangan ke Jayakarta. Untuk itu, Kumpeni Belanda berterima kasih kepada kami dan memberikan banyak hadiah. Akan tetapi, Kumpeni Belanda minta agar kami waspada karena mereka percaya bahwa pihak Mataram tentu akan melakukan penyerbuan lagi. Maka, kami ditugaskan untuk menghimpun tenaga, membujuk para pejabat dan pamong praja di daerah Kadipaten Banyumas dan lain-lain, juga di daerah Loano ini, untuk menghimpun kekuatan dan menghalangi gerakan Mataram kalau mereka hendak melakukan penyerbuan ke barat lagi. Untuk itu, semua biayanya akan diberikan oleh pihak Belanda dan kita akan mendapat hadiah harta kekayaan yang besar. Bahkan besar kemungkinannya, kalau kumpeni Belanda dapat mengalahkan Mataram, kita akan mendapatkan kedudukan tinggi. Bukan tidak mungkin, dan kami akan mengusulkan kepada Kompeni kelak, engkau sendiri akan diangkat menjadi Adipati yang menguasai Loano dan daerahnya, Adi Sumali.”
Sejak tadi Ki Sumali sudah menahan kesabaran dan menekan kemarahannya. “Maksud Kakang Somad agar saya... memberontak kepada Mataram?”
“Ya, memberontak terhadap raja yang lalim, Adi Sumali! Dan ini merupakan tugas seorang satria seperti adi! Menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang si angkara murka!”
Ki Sumali tersenyum dan menggeleng kepala. “Kakang Somad telah salah duga! Kanjeng Sultan Agung di Mataram adalah seorang raja yang adil dan arif bijaksana, sama sekali bukan lalim. Yang lalim dan palsu adalah Belanda dan agaknya Kakang Somad telah dipengaruhi racun bujukan Belanda yang mempergunakan harta benda untuk membujuk orang agar menjadi pengkhianat! Tidak, Kakang Somad, maafkan saja, saya tidak dapat membantu kakang dalam hal ini!”
“Adi Sumali! engkau ingin mengorbankan persahabatan kita dengan menolak tawaran kerja sama itu?” Aki Somad berseru marah.
“Apa boleh buat, Kakang Somad. Bagaimanapun juga, sampai mati saya tidak mau mengkhianati Mataram dan akan tetap setia kepada kanjeng Sultan!”
Aki Somad bangkit berdiri dengan marah. “Babo-babo, Ki Sumali! Kalau kelak Kumpeni Belanda menggilasmu, aku tidak akan menolongmu dan persahabatan antara kita putus sampai di sini!” Dia menggerakkan tongkat ularnya, dihantamkan ke atas meja. “Brakkk !!” Meja itu pecah berantakan dan semua hidangan yang berada di atas meja berloncatan dan jatuh berserakan di atas lantai!
Ki Sumali juga bangkit berdiri, akan tetapi dia masih bersikap tenang dan waspada. “Terserah kepadamu, Kakang Somad! Engkau yang memutuskan, bukan aku.”
Aki somad mendengus marah lalu memutar tubuh dan meninggalkan rumah itu dengan langkah lebar. Mendengar suara ribut-ribut itu Winarsih berlari memasuki ruangan dan ia terbelalak memandang meja yang sudah remuk dan hidangan yang berserakan di atas lantai. Akan tetapi hatinya lega melihat suaminya berdiri di situ dalam keadaan selamat.
“Kakang, ada terjadi apakah? Di mana tamunya dan semua ini“ Ia menuding ke arah meja dan hidangan yang berserakan. Melihat mata terbelalak dan wajah pucat isterinya, Ki sumali mendekati dan merangkul pundaknya.
“Tenanglah dan jangan kaget, Narsih. Panggil saja Mbok Ginah dan Pak Karto agar mereka menyingkirkan dan membersihkan semua ini.”
Winarsih menurut, memanggil dua orang pembantunya. Suami isteri yang usianya sekitar lima puluh tahun itu masuk dan mereka segera membersihkan ruangan itu tanpa banyak bertanya. Ki Sumali mengajak isterinya masuk ke ruangan dalam.
“Kakang, aku khawatir sekali. Aki Somad itu... menyeramkan dan aku mendapat perasaan yang tidak enak, seolah ada bahaya besar mengancam kita, kakang.”
“Tenanglah, Narsih, Gusti Allah akan selalu melindungi orang yang tidak bersalah. Kakang Somad tadi memang marah karena aku tidak mau diajak untuk memberontak terhadap Mataram. Kelak dia tentu merasa akan kesalahannya dan menyesal atas sikapnya hari ini.”
Setelah menceritakan semua yang telah dialaminya kepada Aji, Ki Sumali memandang kepada pemuda itu dan menghela napas panjang. “Demikianlah, anakmas Aji. Sejak hari itu, aku selalu waspada dan menjaga segala kemungkinan. Akan tetapi dua hari yang lalu kami kecolongan juga! Aku masih tidur ketika Winarsih meninggalkan rumah pada waktu fajar, mencuci pakaian di sungai belakang rumah. Hal ini kuanggap aman saja karena di sana ada kedua orang pelayan kami yang juga sudah bangun. Aku sama sekali tidak menduga bahwa kesempatan itu dipergunakan orang-orang jahat itu untuk menculiknya.”
“Dua orang itu menepuk tengkukku dan aku tidak mampu megeluarkan suara. Dalam keadaan tidak mampu bersuara itu aku dilarikan kemudian dibawa perahu. Setelah beberapa lamanya, baru aku dapat mengeluarkan suara kembali dan melihat seorang pemuda berkelahi melawan anak buah penjahat itu, aku lalu berteriak minta tolong. Akhirnya dimas Aji berhasil menyelamatkan aku.”
“Paman Sumali dan Mbakayu Winarsih, andika berdua sudah menceritakan semua itu kepadaku. Sekarang Mbakayu Winarsih telah pulang dengan selamat. Lalu bantuan apa lagi yang paman kehendaki dariku?”
“Begini, anak mas Aji. Engkau adalah orang kepercayaan Kanjeng Sultan Agung. tentu tidak akan tinggal diam melihat ada usaha pengkhianatan dan pemberontakan. Aku yakin bahwa penculikan atas diri Winarsih itu ada hubungannya dengan kemarahan Aki Somad kepadaku. Usahanya untuk membujuk para pamong praja untuk mengkhianati Mataram, untuk kelak menghalangi Mataram kalau pasukan Mataram hendak menyerbu ke Jayakarta atau Batavia, haruslah ditentang dan digagalkan.”
“Paman Sumali, apakah engkau mengenal nama Ki Blekok Ireng?”
“Ehh?” Ki Sumali memandang heran. “Mengapa engkau menanyakan nama itu? Apakah engkau mengenal nama-nama kepala bajak dan rampok yang terkenal di seluruh Kadipaten Kedu itu?”
“Orang bernama Ki Blekok Ireng itulah yang memimpin penculikan atas diri Mbakayu Winarsih. Dia mengakui namanya ketika bertanding denganku dalam air.”
“Ah, sudah kuduga! Dan ini menjadi bukti kebenaran kecurigaanku terhadap Aki Somad. Jelas sekarang, dialah dalang penculikan ini dengan niat untuk menghancurkan aku. Ketahuilah, anak mas Aji. Ki Blekok Ireng itu adalah ketua dari gerombolan Gagak Rodra yang terkenal bersikap menentang dan memusuhi Mataram. Bukan aneh kalau gerombolan itu kini diperalat oleh Kompeni Belanda, dan aku sudah mendengar bahwa Aki Somad menjalin hubungan dengan gerombolan itu. Hal itulah yang membuat aku enggan bersahabat lagi dengan dia. Kalau sekarang ketua gerombolan itu yang menculik Winarsih, mudah diduga bahwa Aki Somad berada di belakang peristiwa itu.”
Aji mengangguk-angguk. “Agaknya dugaan paman itu tidak salah. lalu, apa yang akan paman lakukan sekarang?”
“Kita harus hancurkan gerombolan Gagak rodra itu. Ya, kita. Engkau dan aku, anak mas Aji. Hancurnya gerombolan itu berarti lenyapnya penghalang dan gangguan bagi Mataram, juga berarti hancurnya segerombolan antek Belanda di daerah ini!”
Pada saat itu, seorang wanita memasuki ruangan itu. Ia berusia sekitar lima puluh tahun, rambutnya sudah berwarna dua dan pakaiannya yang sederhana menunjukkan bahwa ia seorang pelayan. Memang wanita itu adalah Mbok Ginah pembantu keluarga Ki Sumali. Ia membawa sebuah piring besar berisi singkong rebus yang masih mengepul panas. “Silakan makan singkong rebusnya raden.” katanya kepada Aji. Setelah berkata demikian, ia keluar dari ruangan itu.
Winarsih tersenyum. “Silakan, dimas Aji. Selagi masih hangat, singkong rebus ini gurih sekali.” Ia menawarkan.
“Ya, silakan, anak mas Aji! Ini makanan desa, seadanya saja.” kata pula Ki Sumali mempersilakan.
Aji tersenyum. “Ah, saya juga biasa makan singkong rebus seperti ini, paman.” Dia menggerakkan tangan kanan untuk mengambil makanan itu. Akan tetapi terjadi keanehan. Tangannya itu seperti bergerak di luar kehendaknya dan mendorong piring berisi singkong rebus itu sehingga piring itu terdorong jatuh dari atas meja dan isinya berserakan di atas lantai.
Ki Sumali dan Winarsih memandang heran dan keduanya hendak bangkit dari tempat duduknya untuk mengambil makanan yang terjatuh berserakan itu. Akan tetapi tiba-tiba Aji menjulurkan kedua tangan dan memegang lengan mereka. “Harap kalian jangan bergerak dan biarkan ayam itu makan singkong rebus!” bisiknya.
Tentu saja suami isteri itu merasa heran sekali dan mereka memandang kepada seekor ayam, ayam mereka, yang memasuki ruangan itu dari pintu depan. Agaknya ayam itu tertarik melihat singkong rebus berceceran dan binatang itu lari mendekat dan mematuk sepotong singkong, terus memakannya dengan asyik. Aji dan suami isteri itu memandang, Aji dengan penuh perhatian, dan suami istri itu dengan heran dan tidak mengerti akan sikap Aji yang amat aneh itu. Kemudian terjadi hal yang membuat suami isteri itu terbelalak dan Winarsih menahan jerit di balik tangannya. mereka berdua melihat ayam itu tiba-tiba terguling dan berkelojotan, lalu mati!
Aji bangkit dari duduknya dan mengangguk-angguk. “Sudah kuduga. Paman Sumali dan Mbakayu Winarsih. Singkong rebus itu mengandung racun yang amat berbahaya.”
“Apa? Bagaimana mungkin?” Ki Sumali berseru heran, lalu memandang ke arah dalam rumah dan berteriak memanggil “Mbok Ginah...! Ke sinilah...!”
Terdengar langkah kaki berlari-larian dari dalam dan muncullah Pak Karto dan Mbok ginah. Suami isteri pelayan ini agaknya terkejut mendengar panggilan Ki Sumali yang berteriak keras itu. “Ada... apakah...?” Pak Karto bertanya gagap.
“Andika memanggil saya...?” Mbok Ginah bertanya kepada ki Sumali yang memandang kepadanya dengan alis berkerut.
Aji cepat mengambil dua potong singkong rebus dari atas tanah dan menyerahkan dua potong singkong rebus itu kepada Pak Karto dan Mbok Ginah. “Kami bertiga minta agar kalian bedua makan singkong rebus ini, sekarang juga, di muka kami!” kata Aji dengan nada memaksa.
Suami isteri tua itu menerima sepotong singkong rebus dan mereka tampak bingung dan heran, lalu keduanya saling pandang dan kemudian memandang kepada Ki Sumali dan Winarsih. Ki Sumali yang maklum bahwa Aji mencurigai kedua orang pelayan itu menaruh racun pada singkong rebus dan kini sengaja menyuruh mereka makan, mengangguk dan berkata, “Turuti saja permintaan anak mas Aji.”
Winarsih memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ketika suami isteri itu dengan tenang membawa singkong rebus ke mulut mereka dan hendak menggigitnya. Melihat ini, tiba-tiba tangan Aji menyambar dan kedua orang tua itu berseru kaget, singkong rebus di tangan mereka terpental dan jatuh ke atas tanah. “Ah, apa artinya ini...?” keduanya berseru heran.
Ki sumali melihat mereka tadi benar-benar hendak makan singkong rebus itu, merasa lega karena hal itu membuktikan bahwa mereka berdua tidak tahu menahu tentang racun yang berada di singkong rebus. Kalau mereka tahu tidak mungkin mereka mau memakannya. “Begini, Pak Karto dan Mbok Ginah, kami mendapatkan kenyataan bahwa singkong rebus ini mengandung racun yang mematikan.”
“Racun...?” Suami istri pelayan itu berseru kaget.
“Lihat ayam itu,” kata Ki Sumali. “Ayam itu segera mati setelah makan singkong yang tercecer.”
“Akan tetapi... kenapa den mas ini menyuruh kami memakannya kalau sudah tahu bahwa singkong itu beracun?” Tanya Mbok Ginah menasaran, “dan kemudian mencegah kami memakannya?”
“Ah, saya tahu sekarang!” kata Pak Karto.
“Mbokne, denmas ini agaknya mencurigai kita yang meracuni singkong itu dan hendak menguji kita!”
“Sebenarnyalah.” kata Aji, “memang aku tadi mencurigai kalian dan maafkan aku ternyata bukan kalian yang menaruh racun dalam singkong rebus itu. Akan tetapi ceritakanlah, siapa yang merebus singkong ini?”
“Saya yang merebusnya, denmas!” kata Mbok Ginah.
“Apakah ketika merebusnya, engkau menjaganya, ataukah kau tinggalkan pergi, mbok?”
“Tentu saja saya tinggalkan untuk melakkan pekerjaan lain, denmas. Mosok nggodok singkong saja harus dijaga?”
“Dan apakah tadi kalian tidak melihat ada orang memasuki dapur, atau masuk ke pekarangan rumah ini?”
“Tidak ada, denmas.” kata Mbok Ginah.
“Nanti dulu!” kata Pak Karto. “Ketika tadi saya menyirami bunga, saya seperti melihat bayangan orang berkelebat di samping rumah. Karena heran dan tertarik, saya mengejar dan mencarinya di sekitar rumah. Akan tetapi tidak menemukan orang. Maka saya kira saya hanya salah lihat. Jangan-jangan“
“Hemmm, tentu ada orang lain menyelinap masuk!” kata Ki Sumali. “Sudahlah, kalian bawa singkong ini cepat tanam dalam tanah. Hati-hati, jangan tercecer. Bisa mati semua ayam kita. Dan jangan lupa bawa bangkai ayam itu, juga kubur bangkai itu.”
Suami isteri itu lalu mengumpulkan singkong rebus yang tercecer dan mengambil bangkai ayam lalu meninggalkan ruangan itu. Setelah mereka pergi, Ki Sumali berkata kepada Aji. “Nah, anak mas Aji. Engkau melihat sendiri betapa mereka itu berusaha untuk mencelakai dan membunuh kami. Karena itu, aku harus mendatangi gerombolan Gagak rodra, menuntut mereka yang telah menculik Winarsih. Kalau mereka tidak berterus terang siapa yang menyuruh mereka atau mendalangi semua ini, aku akan membasmi perkumpulan itu yang menjadi pengkhianat bangsa dan antek belanda. Dan aku mengharap engkau akan suka membantuku, mengingat bahwa engkau adalah orang kepercayaan Kanjeng sultan!”
Aji mengangguk. “Setelah mendengar semua ceritamu dan melihat kenyataan tentang penculikan atas diri Mbakayu Winarsih dan usaha meracuni kita tadi, aku tahu bahwa aku harus membantumu, Paman Sumali. Pertama untuk menentang kejahatan, kedua untuk membela Mataram.”
“Bagus!” Ki Sumali berseru girang sekali. “Terima kasih, anak mas Aji. Dengan bantuanmu, aku tidak takut menghadapi Kakang somad, seandainya benar-benar dia yang berdiri di belakang gerombolan Gagak Rodra. Sekarang sebaiknya kita mengaso dulu. Malam ini kita harus mengumpulkan tenaga dan besok pagi-pagi barulah kita akan berkunjung ke sarang geombolan Gagak Rodra.”
“paman tahu di mana sarang gerombolan itu?” tanya Aji.
“Aku tahu. Mereka memiliki sebuah perkampungan yang menjadi sarang mereka di Lembah Kali Bogawanta.” kata Ki Sumali.
“Akan tetapi jumlah mereka tentu banyak sekali. Bagaimana kalian yang hanya berdua akan menentang mereka? Tentu kalian akan di keroyok banyak orang!” kata Winarsih dengan khawatir sekali.
“Jangan khawatir, Narsih. Aku mendengar bahwa di sarang mereka itu terdapat keluarga mereka, isteri dan anak-anak mereka. Para anggota gerombolan itupun manusia-manusia yang menyayangi anak isteri mereka. Kami berdua hanya akan menentang para pimpinan mereka saja. Kalau pimpinan mereka sudah dapat kami tundukkan, anak buahnya tentu akan tunduk pula. Selain itu, akupun akan mengumpulkan para muda di Loano untuk ikut dengan aku. Mereka adalah orang-orang yang setia kepada Mataram dan disamping itu, mereka tentu siap kalau diajak menggempur gerombolan perampok yang sering mengganggu penduduk di daerah Kedu dan sekitarnya. Sekarang harap engkau suka beristirahat dulu, anak mas Aji. Aku bersama mbakayumu akan pergi mengunjungi para pemuda di Loano dan mempersiapkan mereka untuk ikut dengan kita besok pagi.”
“Baiklah, paman. Aku akan beristirahat.”
“Engkau pakailah kamar di sebelah ini, Dimas Aji. Jangan sungkan, minta saja kepada Mbok Ginah.” kata Winarsih ramah.
“Terima kasih, Mbakayu Winarsih.”
Suami isteri itu meninggalkan rumah dan Aji lalu memasuki kamar yang disediakan untuknya. Ketika dia teringat akan kuda yang tadi ditungganginya bersama Winarsih, dia keluar dari kamar lalu menuju ke belakang untuk melihat keadaan kuda itu. Diapun hendak melihat suami isteri pembantu rumah tangga itu. Dia melangkah perlahan memasuki dapur. Akan tetapi, suara bisik-bisik di dapur segera terhenti. Ini menunjukkan bahwa langkah kakinya yang perlahan itu dapat tertangkap oleh pendengaran mereka yang berada di dalam dapur. Dia memasuki dapur dan melihat suami isteri pelayan itu duduk di bangku berhadapan dan menengok kepadanya. Mereka sudah menghentikan percakapan mereka.
“Ah. denmas Aji... apa yang dapat kami lakukan untukmu?” Tanya Mbok Ginah dan mereka berdua bangkit berdiri.
“Aku hendak bertanya kepada Pak Karto apakah kuda itu sudah dirawat dengan baik.” kata Aji.
“Oh, jangan khawatir, den mas. Kuda itu sudah saya guyang (mandikan), sudah saya beri makan rumput.“ kata Pak Karto.
“Syukurlah kalau begitu dan terima kasih, Pak Karto.” Aji lalu masuk kembali dan di dalam kamarnya dia duduk termenung di atas pembaringan. Dia merasa curiga kepada suami isteri tua itu. Pertama, sikap dan ucapan mereka terkadang rapi teratur, tidak seperti orang dusun dan sikap ketololan itu agaknya dibuat-buat. Kedua, tadi ketika disuruh makan singkong rebus, dia melihat Pak Karto memberi isyarat kedipan mata yang tidak kentara kepada isterinya, dan sikap mereka yang keheranan itupun dibuat-buat karena pandang mata mereka sama sekali tidak membayangkan keheranan melainkan penasaran.
Dan ketiga, baru saja kedua orang itu membuktikan bahwa mereka bukan orang sembarangan karena mereka berdua dapat menangkap langkah kakinya yang dibuat dengan hati-hati. Dua orang itu patut dicurigai, biarpun belum ada bukti yang nyata. Setelah jauh malam, Ki Sumali dan Winarsih pulang. Ki Sumali tampak gembira ketika Aji keluar dari kamar menyambut mereka.
“Eh, anak mas Aji, engkau belum tidur?” Tanya Ki Sumali. “Kenapa engkau tidak mengaso, dimas Aji?”Tanya pula Winarsih. Aji tersenyum.
“Aku belum mengantuk, paman. Bagaimana hasilnya?”
“Wah, baik sekali! Para pemuda itu penuh semangat dan menyatakan untuk membantu kita besok. sedikitnya lima puluh orang pemuda akan ikut dengan kita!”
“Bagus.” kata Aji. “Akan tetapi kuharap paman memberi tahu kepada mereka agar tidak terburu nafsu turun tangan menyerang kalau keadaan tidak memaksa. Seperti paman katakan tadi, kalau bisa kita tundukkan para pemimpinnya agar anak buah mereka tidak melakukan perlawanan. Kalau sampai terjadi pertempuran, aku khawatir akan jatuh banyak korban di kedua pihak.”
“Tepat sekali, cocok dengan jalan pikiranku, anak mas Aji. Aku memang sudah memesan demikian kepada mereka. Aku mengajak kepada merekapun hanya untuk menggertak agar para anak buah gerombolan Gagak Rodra tidak akan dapat melakukan perlawanan. Akan tetapi seandainya mereka nekat, apa boleh buat. Para pemuda Loano juga bukan orang-orang lemah. Mereka sedikit banyak sudah mempelajari ilmu kanuragan dan mereka bersemangat tinggi untuk membela Mataram dan menentang para penjahat yang mengganggu keamanan.”
“Syukur, kalau begitu, paman.”
“Sekarang sudah larut malam. Mari kita mengaso, anak mas Aji. Besok pagi kita berangkat.” Mereka lalu memasuki kamar masing-masing.
Aji segera merebahkan dirinya untuk tidur. Akan tetapi dia tetap memasang kewaspadaannya karena dalam hati kecil dia tetap curiga kepda Pak Karto dan Mbok Ginah. Biarpun dia tidur pulas, namun pendengaran telinganya tetap peka dan siap menangkap suara yang tidak wajar. Saat itu jauh lewat tengah malam, bahkan sudah menjelang fajar. Pada saat seperti itu, orang-orang sedang pulas-pulasnya tidur. Bahkan ayam jantan pun belum ada yang bersuara. Suasana sunyi sekali dan hawa udara amat dinginnya. Rumah Ki Sumali juga masih sunyi sekali. Agaknya semua penghuninya masih tidur pulas.
Dua sosok bayangan manusia bergerak dengan cepat dan ringan sekali dalam rumah itu. Dua pasang kaki itu bergerak demikian ringan seperti kaki kucing saja. Mereka menghampiri jendela kamar yang ditempati Aji. Daun jendela yang cukup lebar itu mereka buka dengan mudah sekali, hanya ditarik begitu saja sudah terbuka. Agaknya memang tidak dipalang dari dalam, hanya ditutupkan begitu saja. Dua orang itu mencabut senjata, seorang mencabut sebatang parang dan yang seorang lagi mencabut sebatang pisau belati.
Setelah melongok ke dalam kamar yang gelap dan sunyi itu, mereka lalu bergerak melompat ke dalam kamar melalui lobang jendela. Gerakan mereka yang gesit membuktikan bahwa kedua orang itu memiliki ketangkasan. Dua orang itu tanpa ragu segera menghampiri pembaringan di mana Aji tidur. Agaknya mereka sudah hafal benar akan keadaan dalam kamar itu. Buktinya mereka dapat bergerak dalam kegelapan tanpa menabrak meja kursi.
Setelah tiba di tepi pembaringan, kedua orang itu dengan gerakan cepat dan kuat membacokkan parang dan menusukkan pisau belati ke atas pembaringan. Mereka merasa yakin bahwa sekali serang, orang yang tidur di atas pembaringan itu tentu tewas seketika tanpa dapat mengeluarkan suara lagi.
“Wuuuttt... brakkkk...!” Dua orang itu terkejut bukan main. Senjata mereka mengenai papan pembaringan sehingga menimbulkan suara keras. Agaknya tidak ada orang tidur di atas pembaringan itu! Dua orang itu terkejut dan cepat mereka berloncatan ke luar dari kamar itu melalui jendela. Di luar kamar tidak segelap dalam kamar karena tempat itu diterangi sebuah lampu gantung. ketika mereka tiba di luar kamar, Aji sudah berdiri menunggu mereka.
“Pak Karto dan Mbok Ginah, kiranya kalian benar-benar mempunyai niat buruk untuk membunuh seperti yang kuduga!” kata Aji kepada dua orang yang bukan lain adalah Pak Karto dan Mbok Ginah. Kini Pak Karto dan Mbok Ginah tidak tampak loyo seperti biasa. mereka mengenakan pakaian ringkas dan tampak gesit dan bersemangat. Ucapan Aji itu mereka sambut dengan serangan parang dan pisau belati mereka!
Melihat gerakan mereka yang tangkas dan serangan yang mengandung tenaga kuat itu, maklumlah Aji bahwa dua orang itu memiliki kepandaian tinggi. Mereka yang menyamar sebagai pembantu itu ternyata adalah orang-orang yang digdaya. Dia sudah bersiap siaga. memang dia sudah menaruh curiga, apa lagi ketika semalam dia melihat bahwa jendela kamarnya hanya ditutup begitu saja, tidak dipalang. Agaknya memang ada orang yang sengaja melakukan hal ini dan karena itu maka dia cepat bersiap ketika tadi mendengar suara gerakan mereka yang ringan.
Dia sudah meninggalkan pembaringan dan bersembunyi di balik almari di sudut. Ketika dua bayangan itu masuk, diapun diam-diam ke luar melalui pintu dan menghadang mereka di luar jendela. Kini, melihat serangan kedua orang itu, Aji cepat menggerakkan tubuhnya, bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti. Tebasan parang ke arah lehernya itu dielakkan dngan merendahkan tubuhnya dan tusukan pisau belati ke arah perutnya dia tepis dengan tangan kirinya sehingga tangan Mbok Ginah terpental. Akan tetapi dua orang itu cepat menyerang lagi dengan lebih ganas, bahkan kini serangan mereka bertubi-tubi.
Aji mempergunakan kecepatan gerakannya, mengelak dan tubuhnya berkelebat, tidak pernah dapat tersentuh dua senjata itu. Dia melihat bahwa gerakan Pak Karto jauh lebih cepat dan lebih bertenaga dibandingkan gerakan Mbok Ginah. Setelah menghindarkan diri dari serangan mereka selama belasan jurus, Aji menggerakkan kaki kirinya, menendang ke arah samping. Dia tidak ingin melukai dua orang itu, dan kakinya hanya menyembar pergelangan tangan Mbok Ginah yang memegang pisau belati. Wanita itu berteriak kesakitan dan pisau belatinya terlepas dari pegangannya dan terlempar, jatuh berkerontangan d atas lantai.
Suara ribut-ribut itu membangunkan Ki Sumali dan Winarsih. “Heiii... ada apakah ini...?” Ki Sumali keluar dari kamarnya dan berseru heran ketika melihat Aji diserang Pak Karto dengan parang.
Melihat munculnya Ki Sumali, Pak Karto yang sudah merasa gentar melihat ketangguhan Aji, segera melontarkan parangnya ke arah Aji, lalu dia melompat pergi, diikuti oleh Mbok Ginah. Parang itu meluncur cepat ke arah dada Aji karena dilontarkan dari jarak dekat dengan tenaga yang kuat. Akan tetapi Aji tidak menjadi gugup. Dengan tenang dia miringkan tubuhnya dan sekali tangan bergerak, dia telah berhasil menangkap gagang parang itu.
Ki Sumali masih merasa terkejut dan heran sekali. “Anak mas Aji, ada apakah? Mengapa Pak Karto dan Mbok Ginah tadi bersikap demikian aneh?” Winarsih juga keluar dari kamar dan wanita ini tampak gelisah.
“Apa... apa yang terjadi...?”
“Tenanglah, Mbakayu Winarsih. Tidak ada apa-apa, bahaya telah lewat. Mari kita duduk, akan kuceritakan apa yang terjadi.”
Mereka semua duduk di ruangan dalam. “Seperti sudah kuduga, ternyata Pak Karto dan Mbok Ginah itu hanyalah pelayan-pelayan palsu, bahkan mungkin nama mereka bukan Karto dan Ginah. Mereka adalah orang-orang yang digdaya dan agaknya sengaja menyamar menjadi pelayan kalian, tentu dengan niat buruk. Apakah mereka telah lama menjadi pelayanmu, Paman Sumali?”
“Belum, baru beberapa bulan. mereka mengaku pengungsi karena kampung mereka kebanjiran dan karena merasa iba kami lalu menerima mereka menjadi pembantu-pembantu kami.” kata Ki Sumali.
“Mereka itu memang sengaja diselundupkan ke sini, tentu untuk memata-mataimu, paman. Ketika aku datang dan kita merundingkan perlawanan terhadap Gagak Rodra, mereka berdua mencoba untuk membunuh kita dengan singkong beracun.”
“Akan tetapi ketika engkau menyuruh mereka makan singkong itu, mereka tidak menolak dan hampir saja mereka memakannya.” kata Winarsih.
“Memang benar aku ingin menguji mereka. Kalau mereka menaruh racun pada singkong, tentu mereka tidak akan mau memakannya. Maka ketika melihat mereka mau memakannya, aku lalu mencegahnya. Pada waktu itu aku juga meragu apakah mereka sengaja meracuni singkong itu. Akan tetapi ada hal-hal yang mencurigakan hatiku. Pertama, sikap dan kata-kata mereka yang kadang-kadang teratur rapi itu menunjukkan bahwa mereka bukan orang-orang dusun yang bodoh, Kedua, ketika aku menyuruh mereka makan singkong, aku melihat Pak Karto memberi isyarat berkedip kepada Mbok Ginah.”
“Akan tetapi kalau ketika itu engkau tidak melarangnya, tentu mereka sudah mati karena makan singkong beracun itu, Dimas Aji!” kata Winarsih
“Belum tentu, mbakayu. Baru semalam aku teringat bahwa orang yang pandai mempergunakan racun, tentu juga memiliki obat penawarnya. Aku yakin dua orang itu sudah makan obat penawar ketika mereka ku uji untuk makan singkong beracun itu. Kecurigaanku semakin kuat ketika aku melihat bahwa jendela kamarku tidak terpalang, hanya ditutup begitu saja sehingga mudah dibuka dari luar. Karena itu, aku telah siap siaga sehingga ketika mereka berdua memasuki kamar lewat jendela dan menyerang dengan senjata ke pembaringan, aku sudah meninggalkan pembaringan itu dan menghadang mereka di luar jendela. Maka terjadilah perkelahian itu.”
“Ih, mengerikan sekali! Kalau diingat bahwa selama berbulan ini kami memelihara dua orang pembunuh ditengah-tengah kami!” kata Winarsih.
“Kukira anak mas Aji betul. Mereka itu sengaja diselundupkan ke sini hanya untuk memata-matai aku. Mereka masih mengharapkan aku mau bekerja sama dengan mereka. Baru setelah dua orang mata-mata itu melihat aku dan anak mas Aji bertekad untuk menentang mereka, maka dua orang itu berusaha untuk membunuh,” kata Ki Sumali.
“Sayang sekali kita tidak dapat menangkap mereka, anak mas Aji. Kalau mereka dapat ditangkap tentu kita dapat memaksa mereka mengaku siapa yang mengirim mereka ke sini.”
“Aku memang tidak tega melukai mereka, paman. Akan tetapi agaknya tak dapat diragukan lagi bahwa mereka berdua itu pasti ada hubungan dengan Gerombolan Gagak Rodra. Menurut apa yang paman ceritakan, Gerombolan Gagak Rodra memang mempunyai dendam permusuhan dengan paman. Pertama tentu saja ketika dahulu mereka menyerbu dusun ini dan paman memusuhi mereka dan kedua mungkin karena mereka itu menentang Mataram padahal paman bersikap setia kepada Mataram.”
“Kurasa pendapatmu itu benar, anak mas Aji. Sekarang fajar hampir menyingsing. Sebaiknya kita bersiap-siap. Anak-anak sudah kupesan untuk berkumpul di luar dusun dan setelah matahari terbit, kita berangkat.” kata Ki Sumali.
“Baiklah, paman.” Winarsih lalu sibuk di dapur mempersiapkan sarapan pagi agar sebelum berangkat, kedua orang itu dapat makan lebih dulu. Setelah sarapan, Ki Sumali mengajak Winarsih pergi ke rumah kepala dusun Loano. Dia menitipkan isterinya di rumah kepala dusun itu agar isterinya aman selagi dia pergi bersama Aji. Setelah menitipkan isterinya, Ki Sumali lalu mengajak Aji berangkat, Di luar dusun telah berkumpul kurang lebih lima puluh orang pemuda. Mereka telah mempersiapkan diri, membawa senjata tajam apa saja yang mereka miliki. Mereka semua sudah siap dan bertekad untuk bertempur melawan para gerombolan orang jahat itu.
Gerombolan Gagak Rodra mempunyai sebuah perkampungan di lembah Sungai Bogawanta. Perkampungan yang khusus dihuni para anggauta gerombolan ini terpencil dari dusun-dusun lain dan menjadi sarang gerombolan itu. Kurang lebih lima puluh orang anak buah gerombolan tinggal di perkampungan itu dan anak istri merekapun tinggal di situ sehingga seluruh penghuni perkampungan itu berjumlah hampir dua ratus orang.
Pada pagi hari itu, pagi-pagi sekali perkampungan Gerombolan Gagak Rodra kedatangan seorang tamu istimewa. Tamu itu seorang wanita cantik yang cantik jelita. Usianya tampak masih jauh lebih muda walaupun usianya sudah tiga puluh tahun. Rambutnya panjang hitam ngandan-andan (berombak) sampai ke punggung dan dibiarkan terurai. Pakaiannya mewah sekali. Wajahnya yang berbentuk bulat itu memang ayu manis dengan mata lebar dan hidung mancung. Mulutnya memiliki bibir yang bentuknya indah dan menantang, menggairahkan hati setiap orang pria yang melihatnya. Mata dan mulutnya mempunyai daya tarik yang kuat sekali, mulut yang selalu tersenyum manis dan mata jeli yang dapat mengerling dengan genit. Tubuhnya yang berkulit putih mulus itupun ramping dan padat. Akan tetapi.
Kedatangan wanita ayu ini ternyata disambut penuh kehormatan oleh dua orang pimpinan Gagak Rodra, yaitu Ki Blekok Ireng dan Ki Jalak Uren. Bagi anak buah Gagak rodra pun, wanita ini sudah amat dikenalnya juga ditakutinya. mereka semua tahu bahwa wanita itu adalah seorang yang sakti mandraguna dan berwatak kejam sekali. Kalau marah, siapa saja akan dibunuhnya dengan darah dingin.
Dan wanita itupun oleh mereka dianggap sebagai seorang iblis betina. Walaupun cantik menarik, tak seorangpun diantara para anggauta Gagak Rodra yang kasar itu berani bersikap kurang ajar. Bahkan begitu wanita itu muncul, para ibu yang menyusui anak-anak segera menyembunyikan anak mereka karena mereka tahu bahwa wanita cantik itu mempunyai kebiasaan seperti iblis sendiri, yaitu suka menghisap darah anak-anak sampai habis!
Kita sudah mengenal wanita itu. Ia adalah Nyi Maya Dewi, datuk wanita dari daerah Parahiyangan yang mempelajari ilmu sesat. Di dunia hitam, yaitu dunianya para penjahat, Nyi Maya Dewi dikenal baik dan ditakuti. Semua orang menghormatinya karena takut. Maka, ketika wanita itu muncul di perkampungan Gerombolan Gagak Rodra, ia disambut dengan penuh penghormatan oleh Blekok Ireng dan Jalak Uren, dua orang pimpinan gerombolan Gagak Rodra.
“Selamat datang di perkampungan kami, Nyi Maya Dewi yang kami hormati. Apakah kiranya yang dapat kami lakukan untuk andika?” Tanya Blekok Ireng setelah mempersilakan wanita itu mengambil tempat duduk. Mereka berdua, ditemani oleh Jalak Uren, duduk dipendopo rumah besar yang menjadi tempat tinggal kedua orang pimpinan gerombolan itu.
“Ki Blekok Ireng dan Jalak Uren, kalian berdua adalah pimpinan Gagak Rodra dan kalian berdualah yang bertanggung jawab atas kemajuan di daerah Kedu dan disepanjang Kali Bogawanta. Nah, laporkan kepadaku bagaimana kemajuan usaha kalian.”
Dua orang pimpinan Gagak Rodra itu saling pandang dengan heran. Mereka memang mengenal datuk wanita ini sebagai seorang tokoh besar yang ditakuti dan dihormati. Akan tetapi itu bukan berarti bahwa datuk wanita itu menjadi pemimpin mereka, bahkan mereka tidak merasa pernah menjadi anak buah Nyi Maya Dewi. Bagaimana sekarang tiba-tiba wanita itu minta mereka memberi laporan? Tentang kemajuan usaha apakah?
“Maafkan kami, Nyi Maya Dewi. Sesungguhnya kami masih belum mengerti apa yang andika maksudkan. Laporan apakah yang harus kami berikan? kemajuan dalam usaha apakah?”
“Hemmm, aku lupa bahwa kalian belum mengenal benar siapa aku. Lihatlah ini. kenalkah kalian dengan ini?” Wanita itu mengeluarkan sebuah uang emas yang bergambar sepasang singa. Melihat itu, dua orang pemimpin.
Gerombolan Gagak Rodra itu terbelalak, lalu cepat mereka bangkit berdiri dan memberi hormat dengan menyembah kepada Nyi Maya Dewi. “Mohon maaf karena kami tidak mengetahui maka kami menyambut andika yang ternyata adalah seorang diantara para pengawas yang mendapat kekuasaan dari Jenderal Kumpeni di Batavia. Selama ini, yang menjadi pengawas dan memberi prtunjuk kepada kami adalah Aki somad di Nusa Kambangan.”
“Aku mengenal Aki Somad dan pagi ini diapun akan datang kesini karena sudah ku undang dia untuk datang. Aku membawa pesan khusus dari Tuan Jenderal Kumpeni sendiri untuknya. Nah, sekarang cepat kalian memberi laporan. Apakah kalian sudah berhasil membujuk para pamong praja di daerah Kedu dan di sepanjang Kali Bogawanta, khususnya di Loano?”
“Kami telah berusaha keras, Nyi Maya Dewi. Akan tetapi hasilnya belum memuaskan. mereka itu kebanyakan takut dan setia kepada Sultan Agung di Mataram, terutama sekali karena mereka itu terpengaruh oleh seorang pendekar yang dihormati di Loano.”
“Hemmm, seorang pendekar menjadi penghalang? siapakah dia?” Tanya Nyi Maya Dewi penasaran.
“Namanya Ki Sumali, seorang yang sakti mandraguna.”
“Ahh, lalu apa kerjanya Aki Somad? Apakah dia tidak mampu menanggulangi orang itu?”
“Aki Somad sudah berusaha membujuk Ki Sumali untuk diajak bekerja sama, akan tetapi tidak berhasil. Bahkan dia lalu mengutus kami untuk bertindak menculik isteri Ki Sumali.”
“Bagus siasat itu untuk memaksa dia tunduk. Lalu bagaimana hasilnya?”
“Kami sedang sial. Kami telah berhasil menculik wanita itu, akan tetapi kami bertemu seorang pemuda yang digdaya dan pemuda itu menggagalkan penculikan kami dan menolong wanita itu.”
“Tolol benar kalian.” Nyi Maya Dewi mamaki.
“Akan tetapi kami tidak putus harapan dan kami masih mempunyai cara lain untuk menundukkan dia atau kalau perlu membunuh dia sekeluarga agar tidak menjadi penghalang bagi kami.”
“Bagaimana caranya?”
“Kami tidak kekurangan akal, Nyi Maya Dewi!” kata Ki Blekok Ireng dengan nada suara bangga.
“Benar, Nyi Maya Dewi. Kami tanggung Ki Sumali akan mampus di tangan kami!” sambung Ki Jalak Uren untuk menghibur karena kegagalan usaha mereka.
“Hemm, bagaimana akal itu? Cepat katakan!”
“Jauh hari sebelumnya, sudah beberapa bulan ini kami berhasil menyelundupkan dua orang yang kini diterima menjadi pembantu-pembantu rumah tangga Ki Sumali. Mereka telah dipercaya dan melalui kedua orang pembantu itu kami akan dapat mencelakai Ki Sumali.”
“Bagus! Sungguh bagus sekali akal itu. Kalau siasat kalian ini berhasil, aku akan mencatat jasa kalian!” kata Nyi Maya Dewi girang.
Tiba-tiba terdengar suara dua orang berlari-lari masuk ke dalam ruangan itu. Mereka itu bukan lain adalah laki-laki dan wanita yang mengaku bernama Pak Karto dan Mbok Ginah pelayan rumah Ki Sumali!
“Eh, kalian bardo dan Sumi, kalian sudah datang? Bagaimana dengan tugas kalian, sudah beres dan berhasil baik, bukan?” tegur Ki Blekok Ireng.
“Wah, celaka, Kakang Blekok ireng, celaka sekali... !!” kata Karto alias Bardo.
“Celaka bagaimana? Hayo kalian katakan, celaka bagaimana?” Ki Blekok Ireng membentak, alisnya berkerut marah.
“kami telah gagal...!” kata pula Mbok Ginah alias Sumi.
“Keparat! Kalian layak dihukum!” bentak Ki Blekok ireng dan dia sudah melangkah maju hendak memukul dua orang pembantunya itu.
“Tahan! Jangan pukul dulu. Biarkan mereka menceritakan mengapa mereka sampai gagal!” tiba-tiba Nyi Maya Dewi berseru dan Ki Blekok Ireng menahan diri lalu duduk kembali. Dua orang pembantu itu berlutut di atas lantai, tampak ketakutan.
“Kau dengan itu? Bardo, cepat seritakan apa yang terjadi!” kata Ki blekok Ireng.
“Ceritakan sejujurnya bagaimana kalian sampai gagal, Kakang Bardo, agar hukumanmu ringan.” Ki Jalak Uren ikut bicara.
“Begini kejadiannya. Kami berdua melihat Winarsih pulang dalam keadaan selamat diantar seorang pemuda. kami tahu bahwa usaha kita menculiknya berarti telah gagal. Kami mengintai dan mendengar percakapan antara Ki Sumali dan pemuda penolong itu. Rupanya mereka hendak membongkar rahasia kita membantu Kumpeni dan hendak menentang kita. Karena itu, kami melaksanakan rencana selanjutnya, yaitu meracuni mereka. Kami telah mencampurkan racun ke dalam singkong rebus dan menghidangkannya kepada mereka. Akan tetapi, lagi-lagi pemuda itu yang menggagalkan usaha kami itu. bahkan pemuda itu mengetahui bahwa singkong rebus itu beracun! Dia minta kepada kami untuk memakannya. Kami tahu bahwa dia curiga kepada kami dan hendak menguji kami. Karena kami sudah menelan obat penawar, kami siap memakannya. Akan tetapi pemuda itu mencegah kami memakannya. Agaknya kesediaan kami makan singkong itu menghilangkan kecurigaannya. Akan tetapi kami menganggap pemuda itu berbahaya sekali. Maka kami melakukan usaha terakhir. Jauh lewat tengah malam tadi, sebelum fajar, kami berdua memasuki kamar pemuda itu dengan niat membunuhnya. Akan tetapi ketika kami menyerang pembaringan, ternyata pembaringan itu kosong dan ketika kami keluar, pemuda itu sudah menghadang di luar kamar! Kami berdua menyerangnya, akan tetapi dia benar-benar sakti mandraguna. Kami berdua yang bersenjata tidak mampu mengalahkan dia yang bertangan kosong. Karena Ki Sumali terbangun, kami berdua lalu melarikan diri dan cepat lari ke sini.”
“Nanti dulu” kata Nyi Maya Dewi. “Pemuda yang sakti mandraguna itu, siapakah dia? Bagaimana orangnya?"
Bardo dan Sumi tentu saja sudah mengenal Nyi Maya Dewi, maka Bardo menjawab, “Dia masih muda sekali, jangkung tegap, wajahnya tampan dan pakaiannya sederhana.”
“Namanya! Siapa namanya?” Tanya datuk wanita itu.
“Kami tidak tahu, akan tetapi kami dengar Ki Sumali menyebut dia anak mas Aji, dan Winarsih menyebutnya Dimas Aji.”
“Ahhh.... dia kiranya?” Nyi Maya Dewi berseru kaget. Teringatlah ia akan pengalaman di pantai Laut Kidul, ketika ia menculik dua orang bocah yang dianggapnya berdarah bersih untuk dijadikan korbannya. Anak-anak itu diselamatkan oleh seorang pemuda yang sakti mandraguna. Tentu pemuda itu yang kini menolong Ki Sumali! Siapa lagi kalau bukan pemuda itu?
“Andika sudah mengenal pemuda itu?” Ki Blekok ireng bertanya.
“Mungkin. Bagaimanapun juga, kita harus bersiap siaga. Alangkah baiknya kalau sekarang Aki Somad sudah berada di sini agar kedudukan kita lebih kuat.”
“Kakang Blekok Ireng, kita memang harus bersiap siaga. Ki Sumali semalam telah mengumpulkan pemuda-pemuda Loano dan agaknya dia hendak menyerbu ke sini.” kata Bardo.
“Benarkah? Ah. kalau begitu, cepat siapkan kawan-kawan. Kita semua harus menjaga di luar perkampungan agar mereka tidak sampai menyerbu ke dalam untuk melindungi keluarga kita!” kata Blekok Ireng.
Ki Blekok Ireng dan Ki Jalak Uren segera mengumpulkan semua anak buahnya, berjumlah lima puluh orang lebih dan mereka semua menghadang di depan perkampungan dengan senjata di tangan, siap bertempur. Hati kedua orang pimpinan gerombolan Gagak Rodra ini menjadi agak tenang karena di situ terdapat Nyi Maya Dewi yang dapat mereka andalkan.
********************
Matahari telah naik tinggi ketika rombongan pemuda Loano yang dipimpin oleh ki sumali tiba di luar perkampungan gerombolan Gagak rodra. Para pemuda itu sudah dipesan oleh Ki Sumali agar jangan bertindak sembrono dan tidak melakukan penyerangan sebelum diperintah. Pesan ini sesuai dengan permintaan Aji yang tidak menghendaki terjadi pertempuran besar-besaran yang menjatuhkan banyak korban di kedua pihak. Kalau mungkin, dia hendak menyadarkan Gerombolan Gagak Rodra itu. Yang perlu ditundukkan adalah para pemimpinnya, karena kalau para pemimpinnya sudah dapat ditundukkan, tentu anak buahnya mudah di atur.
Ki Sumali dan Aji berjalan di depan rombongan pemuda itu dan setelah berhadapan dengan gerombolan itu di depan perkampungan, mereka berhenti dan saling pandang. Ki Sumali melihat dua orang pimpinan Gagak Rodra berdiri dengan sikap angkuh dan di sebelahnya berdiri seorang wanita cantik. Juga dia melihat Pak Karto dan Mbok Ginah berdiri di depan. Ini membuktikan bahwa dugaannya benar. Dua orang itu memang diselundupkan oleh Gagak Rodra untuk menjadi pembantu di rumahnya, tentu untuk memata-matai dan kemudian berusaha membunuhnya.
Ki Sumali menjadi marah sekali. Dia belum pernah berhadapan langsung dengan Ki Blekok Ireng dan Ki Jalak Uren, akan tetapi dia sudah pernah mendengar nama dua orang pimpinan Gagak Rodra ini dan dapat menduga bahwa tentu dua orang laki-laki yang tampak gagah itu yang menjadi pimpinan Gagak Rodra. Sementara itu, Aji mengenal dua orang kepala gerombolan yang pernah bentrok dengannya itu. Dan diapun diam-diam terkejut melihat Nyi Maya Dewi berada di situ, berdiri di pihak gerombolan Gagak Rodra, Juga dia melihat Mbok Ginah dan Pak Karto di sana.
Akan tetapi Aji bersikap tenang dan membiarkan Ki Sumali yang berhadapan dan bicara dengan mereka. Di lain pihak, Ki Blekok Ireng dan Ki Jalak Uren juga terkejut ketika mereka mengenal Aji. Mereka sudah merasakan betapa saktinya pemuda ini. akan tetapi kehadiran Nyi Maya dewi di situ membesarkan hati mereka dan mereka bersikap congkak. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa pada saat itu, Nyi Maya Dewi juga terkejut sekali. Tentu saja ia mengenal Aji, akan tetapi ia diam saja dan diam-diam memutar otaknya mencari akal untuk dapat mengatasi pemuda yang sakti mandraguna itu.
Blekok Ireng melangkah maju menghadapi Ki Sumali dan dengan sikap congkak, bertolak pinggang dan berkata. “Kalau tidak keliru, andika tentu Ki Sumali dari Loano. Apa kehendakmu mengajak puluhan orang dan datang ke perkampungan kami?”
Ki Sumali memandang kepada dua orang laki-laki bertubuh tinggi itu, kemudian menjawab. “Tidak salah lagi kiranya, kalian berdua tentu yang bernama Blekok Ireng dan Jalak Uren, pimpinan gerombolan Gagak Rodra!”
“Tidak salah dugaanmu, aku adalah Ki Blekok Ireng dan ini adalah Ki Jalak Uren. Kami pimpinan Perkumpulan Gagak Rodra. Heh, Ki Sumali, apa kehendakmu datang ke perkampungan kami?”
Ki Sumali tersenyum mengejek. “Perlukah kalian bertanya lagi? Mengapa kalian masih berpura-pura tidak mengerti? Kalian telah mencoba untuk menculik isteriku Winarsih. Kemudian kalian menyelundupkan dua orang hina yang mengaku Karto dan Ginah itu untuk mencoba membunuh kami, dan kini kalian masih bertanya apa maksudku datang ke sini? Kalian bukan laki-laki sejati, mempergunakan cara yang curang dan pengecut. Kalau kalian memang hendak memusuhi aku, sekarang aku datang untuk menantang kalian bertanding seperti laki-laki jantan!”
“Ki Sumali manusia sombong! Sikapmu yang sombong itu yang memancing permusuhan. Kalau engkau menuruti kehendak Aki Somad, tentu kami tidak akan memusuhimu dan kita dapat bekerja sama dan sama-sama hidup mulia dan senang. Apa yang kami lakukan kepadamu itu adalah sesuai dengan perintah Aki Somad. Oleh karena itu, kalau engkau hendak bertanya tentang itu, tanyailah saja kepada Aki Somad!”
“Hemm, tak salah dugaanku. Kalian gerombolan Gagak Rodra juga sudah menjadi antek-antek Belanda! hei orang-orang Gagak Rodra, tidak malukah kalian? Lupakah kalian bahwa kalian adalah orang-orang Jawa dan tinggal di Nusa Jawa? Apakah kalian begitu hina untuk mengkhianati bangsa sendiri, hendak menjual tanah air kepada bangsa Belanda? Sadarlah kalian, orang-orang lembah Kali Bogawanta dan mari kita membantu Mataram untuk menentang Kumpeni Belanda!”
Blekok Ireng marah sekali, khawatir kalau di antara anak buahnya ada yang terpengaruh. “Tutup mulutmu, Ki Sumali! Engkaulah yang tidak tahu malu! Engkau yang sudah menjadi antek Sultan Agung yang telah menindas dan menaklukkan daerah kami. Kami akan selalu menentang Mataram yang angkara murka dan Kumpeni Belanda hanya membantu kami!”
“Sudahlah, Blekok Ireng. tidak perlu banyak cakap lagi. kedatanganku ini untuk membuat perhitungan karena kalian telah berusaha menculik isteriku, kemudian berusaha membunuh kami. Aku tantang engkau untuk bertanding satu lawan satu sebagai seorang jantan. Kalau engkau tidak berani, jangan banyak cakap lagi. Engkau harus membubarkan gerombolan Gagak Rodra dan tidak lagi membantu Kumpeni Belanda atau aku dan kawan-kawan akan membasmi kalian semua!”
Merah muka kedua orang pimpinan Gagak Rodra. Jalak uren melompat ke depan sambil menghunus sebatang klewang (semacam golok) yang berkilauan saking tajamnya. “Ki Sumali, akulah yang hendak melawanmu!"
Akan tetapi Blekok Ireng juga melompat ke sisi Jalak Uren dan berkata. “Ki Sumali, kami sebagai pimpinan Gagak Rodra menyambut tantanganmu, tentu saja kalau engkau berani melawan kami berdua!” berkata demikian, Blekok Ireng juga mencabut senjatanya, sebatang pedang besar panjang yang berkilauan tajam.
Ki Sumali mengerling kepada Aji dan melihat pemuda itu mengangguk, dia tersenyum dan melangkah maju menghadapi dua orang pimpinan Gagak rodra itu. Aji sudah pernah bertanding melawan dua orang ketua gerombolan itu, dan diapun pernah bertanding melawan Ki Sumali maka dia dapat menilai kepandaian masing-masing dan merasa yakin bahwa Ki Sumali mampu menandingi pengeroyokan dua orang itu. Anak buah kedua pihak hanya menonton dan siap siaga menanti perintah.
Aji berdiri menonton dengan sikap tenang namun waspada. Dia tahu bahwa wanita cantik yang berdiri di sana itu merupakan seorang yang amat berbahaya, curang dan juga kejam sekali. Di lain pihak, Nyi Maya Dewi juga hanya berdiri menonton. Baginya, ia tidak perduli apakah pihak Gagak Rodra akan kalah atau menang karena mereka itu bukan anak buahnya. Mereka itu hanya antek-antek kecil saja. Akan tetapi kehadiran Aji di situ membuat perasaan hatinya tidak enak. Ia memandang pemuda itu dengan penasaran dan juga membencinya karena ia pernah dikalahkan. Akan tetapi ia juga merasa agak jerih di samping kagum. Kalau saja ia dapat memiliki seorang kekasih sesakti pemuda itu, masih amat muda dan tampan lagi, hatinya akan merasa puas! Ia berdiri menonton dengan sikap yang tampaknya tenang, namun dalam hatinya ia sedang mencari-cari cara untuk menghadapi pemuda itu, atau mungkin mengalahkannya, bahkan lebih baik lagi kalau ia dapat menarik pemuda itu menjadi sahabatnya, bukan musuhnya!
Melihat dua orang lawannya sudah menghunus parang dan pedang, Ki sumali tidak mau bersikap sembrono dan kedua tangannya bergerak ke arah pinggang dan di lain saat tangan kanannya sudah mencabut sebatang keris yang berlekuk-lekuk panjang seperti seekor ular dan berwarna hitam. Itulah keris pusaka Kyai Sarpo Langking (Ular hitam) dan tangan kirinya memegang sebatang suling dari bambu, akan tetapi berada di tangan Ki Sumali, benda lemah itu dapat menjadi senjata yang ampuh sekali dan hal ini sudah dibuktikan oleh Aji ketika dia bertanding melawan pendekar Loano itu.
“Blekok Ireng dan Jalak Uren, aku sudah siap. Kalian mulailah!” tantang Ki Sumali sambil menyilangkan keris dan suling di depan dadanya. Sikapnya tenang namun waspada dan dia tampak gagah sekali. Dua oang pemimpin Gagak Rodra itu juga bukan orang lemah. Meraka berdua sudah terkenal digdaya, apalagi kini keduanya maju bersama. mereka menggeser kaki, perlahan-lahan Ki Blekok ireng menggeser ke sebelah kanan Ki Sumali, sedangkan Ki Jalak Uren menggeser ke sebelah kirinya. Mereka hendak mengepung lawan itu dari kanan kiri.
Tiba-tiba Jalak Uren membentak dari sebelah kiri. “Haaahhh... !!” Bentakannya itu disusul menyambarnya senjata klewang yang berkilauan tajam itu ke arah leher Ki Sumali. Klewang itu tajam bukan main. Para anggota Gagak Rodra melihat sendiri betapa klewang itu mampu mencukur bersih brewok muka Ki Jalak Uren. Kalau sudah dapat dipakai mencukur brewok, dapat dibayangkan tajamnya klewang ini. Sekali babat saja, leher tentu akan putus! Juga sabetan itu mengandung tenaga yang amat kuat. Buktinya ketika disabetkan, klewang itu mengeluarkan bunyi berdesing.
Namun dengan gerakan yang ringan dan lincah, Ki Sumali sudah merendahkan tubuhnya sehingga sabetan klewang itu lewat di atas kepalanya. akan tetapi pada detik berikutnya pedang yang runcing di tangan Blekok Ireng sudah meluncur dan menusuk ke arah dadanya. ki sumali mengangkat lagi tubuhnya dan menggerakkan keris di tagan kanan dengan gerakan memutar untuk menangkis tusukan pedang sambil mengerahkan tenaganya.
“Trangggg...!” Pedang itu terpental tertangkis keris dan tampak bunga api berpijar ketika dua senjata itu beradu. Blekok ireng terkejut karena pertemuan dua buah senjata itu membuat telapak tangannya yang memegang pedang menjadi panas dan pedang itu terpental seperti bertemu dengan benda keras yang kuat sekali. Dua orang Pimpinan Gagak Rodra itu menjadi penasaran sekali ketika serangan pertama mereka gagal.
“Hoosssss...!” Kembali klewang menyambar ganas, kini menyerampang ke arah kaki Ki Sumali. Jalak Uren menyerang sambil berjongkok. Ki Sumali melompat ke atas sehingga serampangan klewang itu menyambar lewat di bawah kedua kakinya. Pada saat itu, pedang di tangan Blekok Ireng sudah menyambar lagi, kini menyerang dengan bacokan dari atas ke bawah mengarah kepala.
“Hyaaaatttt...!” Blekok Ireng mengeluarkan teriakan nyaring ketika pedangnya membacok. Namun dengan gerakan gesit sekali tubuh Ki Sumali yang masih belum menginjak tanah itu bergerak ke samping lalu berjungkir balik. Dia sudah dapat menghindarkan diri dari bacokan pedang itu. Dua orang lawannya menjadi semakin penasaran. mereka mendesak terus. Sampai enam tujuh kali Ki Sumali selalu mengelak atau mengakis sambil mempelajari gerakan dua orang pengeroyoknya. Setelah mulai mengenal dasar gerakan dua orang pengeroyoknya, mulailah Ki Sumali melakukan serangan pembalasan.
Namun sepasang senjatanya terlalu pendek dibandingkan senjata kedua orang pengeroyoknya yang lebih panjang. Ketika klewang dan pedang itu membacok dari kanan kiri, keduanya mengarah kepalanya, Ki Sumali cepat menyambut dengan keris dan sulingnya sambil mengerahkan tenaganya. “Trakkk!” Empat senjata bertemu dan seperti melekat dan pada saat itu, tubuh Ki Sumali melompat, kedua kakinya mencuat ke kanan kiri menendang ke arah dada lawan.
“Bukk! Bukk!” Tepat sekali kedua kaki Ki Sumali menghantam dada Blekok Ireng dan Jalak Uren. Dua orang itu terjengkang dan terbanting roboh. Akan tetapi dua orang pimpinan Gagak Rodra itu memiliki tubuh yang kuat juga. Tendangan itu tidak membuat mereka terluka. Mereka segera bangkit kembali dan melakukan pengeroyokan dengan lebih ganas. Ki Sumali mengandalkan kecepatan gerakan untuk menyambut kedua orang pengeroyoknya dan membalas serangan mereka. Serang menyerang terjadi dengan serunya.
Aji menonton dengan hati tenang. Dia dapat melihat bahwa Ki Sumali tidak akan kalah menghadapi pengeroyokan dua orang itu. Karena menonton perkelahian itu dengan penuh perhatian, Aji tidak tahu bahwa sejak tadi Nyi Maya Dewi sudah tidak menonton pertandingan itu, melainkan mencurahkan perhatian kepadanya. Wanita itu agaknya juga dapat melihat bahwa kedua orang pimpinan Gagak Rodra itu sukar sekali akan dapat keluar sebagai pemenang.
Maka ia mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada Aji. Biarpun Ki Sumali cukup sakti, namun ia masih merasa yakin bahwa ia akan mampu mengalahkan pendekar Loano itu. Yang berbahaya baginya adalah pemuda sederhana itu. Maka ia harus dapat mendahuluinya, sebelum kedua orang pimpinan Gagak Rodra kalah. Karena kalau kedua orang itu sudah kalah, kedudukannya menjadi sulit dan berat sekali kalau ia harus melawan Ki Sumali dan Lindu Aji.
Selagi perhatian Aji tertarik kepada pertandingan itu, Nyi Maya Dewi sejak tadi diam-diam telah menghimpun seluruh tenaga batinnya, mulutnya berkemak kemik membaca mantera dan ia mengerahkan aji pengasihan yang disebut Aji Pelet Mimi-mintuno. Setelah merasa bahwa kekuatan aji pengasiham itu sudah mencapai puncak kekuatannya, ia lalu melangkah perlahan menghampiri Aji. Setelah berdiri dalam jarak kurang lebih empat meter di sebelah kiri pemuda itu, ia lalu memasang aji pengasihan itu, suaranya merdu merayu ketika ia berkata lirih namun mengandung getaran aneh dan cukup keras untuk terdengar oleh Aji yang berdiri dekat.
“Aji, wong bagus! Inilah aku jodohmu! Kita sehidup semati, atut runtut berkasih-kasihan seperti Mimi dan Mintuno! Ke sinilah, sayang, aku rindu kepadamu.”
Aji menoleh dan dalam pandangan matanya, wanita itu tampak ayu manis, cantik jelita seperti seorang dewi kahyangan. Mata itu demikian jeli indah, sinarnya sayu lembut setengah terpejam mengandung gairah membangkitkan rangsangan berahi, hidung kecil mancung itu cupingnya bergerak-gerak lembut mengembang kempis, mulut itu sedikit ternganga, sepasang bibir yang tipis, penuh, lembut dan merah membasah itu seperti terengah, merekah menantang. Tubuh yang ramping padat, mengkal lembut itu seolah menuntut untuk didekap dan dibelai.