Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Alap Alap Laut Kidul
Jilid 13
AJI juga memandang orang yang baru memasuki ruangan itu dengan penuh perhatian. Dia tidak tertarik oleh bentuk tubuh seperti raksasa itu. Baginya, tubuh yang tampak kokoh kuat tidak berarti apa-apa. Aji lebih memperhatikan sikap raksasa itu, terutama pandang matanya. Hatinya merasa lega. Pandang mata raksasa itu membayangkan kebodohan, seorang yang biasa mengandalkan okol (tenaga) daripada akal. Orang seperti ini bukan merupakan lawan berbahaya baginya, walaupun untuk merobohkannya juga tidak mudah karena melihat bentuk tubuhnya, orang itu tentu memiliki tenaga gajah dan tubuhnya itu agaknya berkulit tebal tahan pukul!
Dalam bahasa Belanda yang totok raksasa itu bertanya kepada Kapten De Vos, “Kapten, ada tugas apa untukku?”
“Hendrik, kami mengadakan taruhan untuk mengadu kamu dengan pemuda ini. Pertandingan boksen satu lawan satu, tanpa senjata apapun. Jangan sampai kamu kalah olehnya. Hendrik karena yang kupertaruhkan ini penting sekali!”
Sepasang mata yang lebar memandang kepada Aji yang masih duduk dan dia terbelalak lalu memandang atasannya. “Kapten! Aku hendak diadu dengan kleine jongen (bocah kecil) ini?”
“Ya, siapa yang roboh dan tidak mampu melanjutkan pertandingan dianggap kalah.”
“Hua-ha-ha-ha! Ah, kapten, jangan bergurau! Aku takut melawan anak ini, ha-ha-ha!”
“Takut? Apa maksudmu, Hendrik?” Tanya De Vos heran.
“Aku takut kalau pukulanku akan membuat kepalanya remuk atau dadanya pecah, kapten!” kata raksasa itu serius.
“Ohh! Jangan keluarkan semua tenagamu, Hendrik. Dia ini orang penting, tidak boleh dibunuh, hanya boleh dikalahkan agar aku menang bertaruh.”
Hendrik mengangguk-angguk. “Kalau begitu aku mengerti, kapten.”
Kapten De Vos menoleh kepada Aji. “Nah, bagaimana, orang muda? Apakah kamu tetap bersedia dan berani melawan Hendrik De Haan ini?”
Sambil tetap duduk tenang Aji menjawab, “Saya siap dan berani, tuan.”
“Bagus, kalau begitu mari kita semua pergi keluar ruangan. Pertandingan dilakukan di atas dek luar yang luas.” kata De Vos.
Semua orang bangkit berdiri. Juga Aji dan Sulastri bangkit berdiri dan mereka berdua mengikuti keluar dari ruangan itu menuju ke dek kapal yang luas. Sebentar saja berita tentang diadakannya pertandingan itu sudah terdengar semua anak buah kapal. Mereka menjadi gembira sekali. Bagi para anak buah kapal, perkelahian merupakan satu di antara kesenangan mereka. Mereka adalah orang-orang kasar yang sudah terbiasa hidup keras menghadapi ancaman bahaya di tengah lautan, biasa bekerja keras dan suka pula akan kekerasan. Bahkan setiap kali mendarat mereka selalu saja terlibat perkelahian karena hal itu mereka anggap sebagai kejantanan mereka.
Kini, mendengar bahwa Hendrik De Haan, raksasa jagoan itu akan diadu melawan seorang pemuda pribumi yang menjadi tawanan, mereka tentu saja merasa geli, menertawakan Aji. Tadi mereka sudah melihat betapa pemuda itu seorang yang tubuhnya termasuk kecil dan ringkih sekali dibandingkan Hendrik dan berat tubuhnya belum tentu ada setengah berat tubuh raksasa itu. Bagaimana mereka akan dipertandingkan? Mereka semua sudah berkumpul di dek, membentuk lingkaran lebar. Mereka bukan tertarik untuk menonton perkelahian yang seimbang, melainkan hendak menonton bagaimana Hendrik akan menggilas dan membantai lawan tak seimbang itu.
Kursi-kursi kecil telah dikeluarkan. Kapten De Vos duduk di atas sebuah kursi. Para pembantunya, Ki Warga, Nyi Maya Dewi, Raden Banuseta, Ki Harya Baka Wulung, dan Aki Somad juga sudah dipersilahkan duduk di atas kursi yang berderet-deret. Sulastri juga diberi sebuah kursi, akan tetapi ia tidak mau duduk. Ia hanya berdiri saja dengan hati mulai merasa tegang dan gelisah. Bagaimanapun juga, raksasa itu menyeramkan. Ia khawatir kalau-kalau Aji akan tewas di tangan raksasa itu.
Kalau Aji sampai tewas, hilanglah harapan baginya untuk dapat lolos dari tangan mereka. Ia tidak takut mati, akan tetapi ia merasa ngeri membayangkan dirinya dihina dan diperkosa. Kalau Aji sampai tewas di tangan raksasa itu, iapun akan mengamuk. Tidak perduli apakah racun di tubuhnya akan menewaskannya, ia pasti akan mengamuk sampai mati. Karena itu, ia tidak mau duduk, melainkan berdiri dan bersiap siaga.
Raksasa bule bernama Hendrik de Haan itu kini telah menanggalkan baju kaosnya dan tinggal mengenakan sebuah selana pendek. Tubuh atas yang telanjang itu tampak besar dan kokoh sekali, dengan otot yang menggelembung dan melingkar-lingkar. Aji maklum bahwa tubuh itu memiliki tenaga otot atau tenaga kasar yang amat kuat, namun orang itu tidak mempunyai “isi”, hanya mngandalknan tenaga otot sehingga tiada bedanya dengan seekor kerbau. Diapun melangkah maju menghampiri tempat yang dilingkari para anak buah kapal itu, berhadapan dengan Hendrik. Sikapnya tenang saja dan dia hanya mengiktkan kain sarungnya agar jangan terlepas atau berkibar kalau dipakai bergerak. Aji tampak berdiri santai saja di depan calon lawannya, seolah dia sama sekali tidak membuat persiapan.
Namun dari sinar matanya Sulastri tahu bahwa seluruh syaraf dalam tubuh pemuda itu dalam kedaan siap siaga. “Sebelumnya kamu harus tahu akan aturannya!” kata Kapten de Vos kepada Aji. “Pertandingan ini namanya boksen. Kamu hanya boleh memukul bagian pinggang ke atas. Bagian pinggang ke bawah tidak boleh dipukul. Juga dilarang menggunakan tendangan, dilarang menangkap dengan tangan, mendorong atau menarik!”
Aji mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mengenal aturan seperti itu. Dia tidak mengenal permainan tinju. “Ah, aturan macam apa itu? Bertanding dalam perkelahian tidak boleh memukul pinggang ke bawah, tidak boleh menendang, tidak boleh menangkap, menarik atau mendorong. Kalau tidak boleh ini tidak boleh itu, mengapa bertanding berkelahi? Lebih baik tidak saja!”
Hendrik yang tidak paham bahasa Indonesia, bertanya kepada Kapten De Vos melihat Aji berdiri membelakanginya. Setelah De Vos menceritakan keberatan Aji tentang peraturan pertandingan, Hendrik tertawa. “Ha-ha-ha, kalau tidak memakai larangan dan berkelahi dengan sebenarnya, bagaimana aku dapat menjaga agar dia tidak sampai mati terbunuh?” De Vos berkata kepada Aji.
“Aji, peraturan itu diadakan justeru untuk menjaga agar kamu tidak sampai terpukul mati. Kalau tanpa batas, dan Hendrik boleh menggunakan segala cara untuk menyerangmu, bagaimana kamu akan dapat terhindar dari maut?”
“Tuan, aku sudah berani menerima tantangan berkelahi, berarti aku tidak takut akan kematian. Terluka atau mati adalah resiko dalam pertandingan adu kanuragan, siapa yang takut mati? Kalau berkelahi bebas tanpa larangan, aku mau melayaninya. Kalau memakai segala macam aturan dan larangan, aku tidak mau berkelahi!” jawab Aji dengan tegas.
Ucapan ini diterjemahkan De Vos kepada Hendrik dan kembali Hendrik tertawa. “Kalau begitu aku tidak tanggung kalau sampai dia terpukul atau tertendang mati, kapten. Akan tetapi aku akan berusaha agar jangan sampai membunuhnya. Kapten De Vos mengangguk-angguk. Memang dia menghendaki pertandingan itu dilakukan dengan peraturan tinju karena dia tidak ingin kalau Aji sampai terpukul tewas. Dia amat membutuhkan keterangan dan pengakuan pemuda itu tentang Mataram.
“Baiklah, Aji. Kamu boleh melawan Hendrik dengan cara bebas.” Mendengar ini, Aji memutar tubuh dan kembali menghadapi Hendrik. Bagaikan dua ekor ayam jantan hendak berlaga, kedua orang itu kini saling berhadapan dan saling pandang. Sungguh bukan merupakan lawan seimbang. Hendrik hampir dua kali lebih besar dan lebih tinggi daripada Aji. Kedua kakinya juga memakai sepatu kulit yang tebal. Raksasa bule ini sudah memasang kuda-kuda. Kaki kanannya ditarik ke belakang, kaki kiri ke depan, kedua tangan dikepal dan siap memukul, tergantung di depan dada. Sebaliknya Aji berdiri tenang dan santai saja, hanya sepasang matanya yang dengan tajam mengikuti semua gerak tubuh lawan.
“Mulailah!” perintah De Vos yang menonton dengan mata bersinar-sinar. Semua orang yang menonton, kecuali Sulastri, memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar. Semua orang merasa gembira seperti biasa kalau mereka menonton adu tinju. Mendengar perintah ini, Hendrik mulai menyerang. Karena pertandingan itu tidak dibatasi dengan peaturan tinju, maka kedua tangannya menyambar dari kanan kiri. Maksudnya dia hendak menangkap tubuh kecil itu kemudian akan dibantingnya sehingga dia akan keluar sebagai pemenang dalam satu gebrakan saja tanpa harus membunuh lawan yang kecil itu. Kedua tangan itu menyambarnya dengan cepat dari kanan kiri dan gerakannya yang didorong tenaga besar itu mendatangkan angin yang kuat.
“Wuuuttt... plakkkk!” Dengan menimbulkan suara tepukan nyaring dua telapak tangan besar itu saling bertemu di udara karena kedua tangan itu luput menangkap sasarannya. Tubuh Aji dengan gesitnya telah mengelak dan condong ke belakang.
“Verdomme... !” Hendrik memaki dengan marah dan penasaran, Bagaimana mungkin cengkeraman kedua tangannya itu luput begitu saja? Dia cepat mengejar, melangkah ke depan dan karena sudah terbiasa, kini kedua tangannya dikepal dan membuat pasangan kuda-kuda orang bertinju, Dua kepalan tangan itu kini cepat menyerang secara bertubi-tubi ke arah kepala dan dada Aji. Pukulannya cepat dan kuat sekali. Pukulan swing dan long hook yang cepat sekali, diseling pukulan upper cut yang mematikan.
Namun, semua pukulan bertubi-tubi itu hanya mendatangkan suara mengiuk dan bersuitan, sedikitpun tidak pernah mengenai sasarannya. Apa lagi kena, menyerempet sedilitpun tidak! Semua pukulan itu dapat dielakkan dengan amat mudahnya oleh Aji yang sudah bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti. Semua penonton terbelalak dan suasana riuh karena mereka mengeluarkan seruan heran dan juga kaget. Mereka melihat pemuda itu membuat gerakan yang lucu seperti gerakan seekor monyet. Akan tetapi anehnya, semua pukulan hebat dari jagoan mereka itu tidak pernah mengenai sasaran.
Pukulan yang dilakukan dengan sepenuh tenaga, kalau mengenai tempat kosong dapat menguras tenaga. Setelah pukulan-pukulan keras itu tidak ada yang mengenai sasaran sampai puluhan kali, mulailah Hendrik berkeringat dan dia merasa penasaran dan marah sekali. Dia tahu bahwa ada orang yang pandai berkelit dan memiliki gerakan gesit sekali, akan tetapi belum pernah dia dapat membayangkan ada orang yang mampu menghindarkan diri dari serangkaian serangannya sampai puluhan kali, hanya dengan elakan dan tidak pernah menangkis. demikian gesitkah orang ini, atau serangannya yang lamban?
“Verrek, zeg...!” Dia memaki dan kini kedua kakinya yang berbulu, besar dan panjang itu menyambar-nyambar dengan tendangan sekuat tendangan pemain sepak bola yang mahir. Agaknya, tak pelak lagi, tubuh Aji akan terlempar seperti bola kalau sampai terkena tendangan dahsyat itu. Namun, Aji yang bergerak dengan ilmu silat Wanara Sakti itu menjadi cekatan sekali, tidak ubahnya seekor kera. Hanya dengan sedikit memutar tubuh saja tendangan lawan itu dapat dielakkan dan ketika tendangan demi tendangan susul menyusul datang bertubi-tubi, tubuhnya berputaran dan tak sebuahpun tendangan mampu menyentuh tubuhnya!
Keringat telah membanjiri seluruh tubuh Hendrik. Dia mulai panik. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu keanehan seperti ini. Kini dia sudah mempergunakan segala daya. Dia tidak hanya meninju seperti seorang petinju, akan tetapi dia juga menampar, menjotos, mencengkeram, menendang, namun semua itu sama sekali tidak pernah menyentuh lawan. Dia merasa seolah bertanding melawan bayangan saja! Kini semua penonton menjadi terbelalak dan mulut mereka ternganga. Tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Hendrik, raksasa jagoan mereka itu kini diperlakukan seperti seorang anak kecil saja oleh pemuda itu.
Semua serangannya, kebanyakan serangan maut karena kalau mengenai sasaran tentu membuat tulang-tulang remuk dan kepala atau dada dapat pecah, sama sekali tidak pernah dapat menyentuh lawan. Hanya Sulastri yang tersenyum senang, akan tetapi ia mengerutkan alisnya melihat kenyataan betapa Aji sama sekali tidak pernah membalas, pada hal ia yakin bahwa kalau Aji menghendakinya, sejak tadi raksasa itu sudah dapat dirobohkam. “Mas Aji, apa maksudmu main-main seperti ini? Cepat kalahkan dia!” Akhirnya Sulastri tak dapat menahan diri dan berseru nyaring. Mendengar teriakan gadis itu, Aji juga merasa bahwa sudah cukup ia mempermainkan lawannya, membiarkan lawan menyerang sampai kehabisan teaga. Ketika kedua tangan raksasa itu menyambar lagi dengan pukulan, dia mengelak ke samping, menekuk lutut kiri dan dari bawah kaki kanannya menyambar cepat sekali. Kaki kanan itu menyambar dua kali ke arah lutut Hendrik, seperti ular memagut dan tepat sekali mengenai sasaran.
“Tuk! Tuk!” Tepat sekali sambungan lutut kedua kaki Hendrik tercium tendangan dan tak mungkin dapat dipertahankan lagi, kedua kaki raksasa itu terasa lumpuh dan diapun jatuh bertekuk lutut. Aji tidak membuang kesempatan ini. Tangan kirinya menyambar dengan jari terbuka ke arah tengkuk raksasa itu.
“Wuuuttt... dukkkk!” Tubuh yang besar itu terkulai roboh dan tak mampu bergerak lagi karena pingsan. Seruan-seruan kaget terdengar dan para anak buah kapal yang membawa bedil sudah siap menodongkan bedil mereka ke arah Aji. Akan tetapi Nyi Maya Dewi yang duduk dekat Kapten De Vos memberi isyarat kepada pembesar Kumpeni itu dan De Vos memberi aba-aba kepada para anak buahnya untuk mundur. Beberapa orang anak buah kapal lalu menggotong tubuh raksasa yang pingsan itu pergi dari situ.
“Tuan, jagomu telah kalah. Harap tuan suka memegang janji.” kata Aji kepada De Vos. Melihat kekalahan Hendrik tadi, De Vos mengerutkan alisnya dan tahulah dia bahwa Maya Dewi tidak berbohong atau melebih-lebihkan. pemuda yang tampak lemah itu sungguh berbahaya sekali. Kalau gadis cantik itu juga sama tangguhnya, maka mereka berdua sungguh merupakan orang-orang berbahaya, apa lagi mereka adalah orang-orang Mataram!
“Oh tentu, tentu saja. kami selalu memenuhi janji. Bukankah begitu, Warga?” De Vos menoleh kepada pembantu utamanya yang amat dipercaya itu. Warga adalah seorang yang amat cerdik. Dia sudah mendengar dari Maya Dewi akan keadaan Aji dan Sulastri. Gadis sakti itu telah keracunan dan hal itu membuat Aji dan Sulastri menyerah dan tunduk kepada mereka, menuruti kemauan mereka. Dia yakin bahwa Aji dan Sulastri berada dalam keadaan keracunan dan belum diberi obat penawarnya. Maka, ketika De Vos bertanya kepadanya, tanda bahwa kapten itu merasa gelisah dan bingung, merasa ragu apa yang harus diperbuatnya, diapun segera menjawab.
“Tentu saja, tuan kapten. Aji dan Sulastri berhak untuk mengadakan perundingan berdua saja malam ini dan besok pagi baru mereka akan memberi keterangan tentang kekuatan pasukan Mataram dan tentang rencana penyerbuan ke Batavia. Aji telah menangkan pertandingan dan sudah sepantasnya kalau kita menghormat seorang pendekar gagah perkasa seperti dia dan merayakan kemenangannya. Sekalian kita merayakan untuk menyambut kedatangan Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad yang terhormat dan telah berjasa besar bagi Kumpeni!”
“Goed,heel goed! (Baik, sangat baik)! Kita berpesta untuk menyambut mereka!” Pesta perjamuan diadakan dengan meriah. Aji dan Sulastri duduk pula bersama mereka semua, menghadapi meja makan besar yang penuh hidangan bermacam masakan. Mereka tidak merasa sungkan karena mereka memang membutuhkan makan cukup agar tubuh mereka tetap kuat. Juga mereka tidak takut keracunan makanan karena semua orang ikut makan. Kapten De Vos yang ingin sekali menarik dua orang muda itu agar dapat menjadi pembantunya, memperlihatkan sikap ramah dan hormat.
Dia sendiri menuangkan anggur ke dalam gelas dan menghidangkannya kepada Aji dan sulastri. Akan tetapi ketika dua orang ini mencium bau anggur yang keras dan yang belum pernah mereka rasakan, Aji menolak dan minta agar mereka diberi minuman air teh saja. Permintaan ini dipenuhi dan Kapten De Vos mengangkat gelas anggurnya. “Mari kita minum untuk mengucapkan selamat datang kepada Tuan Lindu Aji dan Nona Sulastri, juga mengucapkan selamat atas kemenangannya!"
Tiba-tiba Sulastri yang selama ini berdiam diri saja karena merasa tidak berdaya, berkata, “Nanti dulu, tuan. Sebelum kita minum, aku ingin mendengar dulu darimu. Apakah setelah kami berdua menceritakan apa yang kita ketahui, kami akan dibebaskan tanpa gangguan apapun?”
Kapten De Vos merasa heran dan kagum. Tadinya dia mengira bahwa Sulastri yang tadinya diam saja itu seorang gadis pemalu. Kiranya kini bicara dengan lancar dan pandang matanya kepadanya demikian mencorong penuh selidik dan wajah yang jelita itu tampak cerdik sekali! “Ya, tentu, tentu! Tentu kami akan membebaskan kamu berdua tanpa gangguan!” kata De Vos sambil mengangguk angguk.
“Akan tetapi, kami telah diracuni oleh Maya Dewi dan ia berjanji akan memberikan obat penawarnya kepadaku kalau aku dan Mas Aji sudah memberikan keterangan. Apakah tuan berani menanggung bahwa Maya Dewi akan memegang janjinya?” Tanya pula Sulastri sambil melirik ke arah Maya Dewi. “Terus terang saja, aku tidak mungkin dapat mempercayai janjinya. Saya minta agar tuan berjanji. Saya lebih percaya kepadamu. Tuan adalah seorang yang mempunyai kedudukan tinggi, kiranya mustahil kalau tuan akan bertindak curang dan pengecut, menjilat ludah sendiri, menelan dan mengingkari janji!”
Aji diam-diam kagum akan kata-kata dan sikap Sulastri. Dia memperhatikan dan melihat betapa wajah Maya Dewi berubah kemerahan dan wanita ini bertukar pandang dngan pria jangkung yang menjadi kekasihnya dan yang telah menyimpan obat penawar untuk Sulastri.
Sementara itu, mendengar ucapan Sulastri, De Vos juga megangguk-angguk dan melirik ke arah Maya Dewi. Baru sekarang dia mengetahui benar mengapa orang-orang digdaya seperti Aji dan Sulastri mudah saja dibawa ke kapal dihadapkan kepadanya dan dipaksa membuka rahasia tentang Mataram. Kiranya gadis jelita itu telah keracunan dan obat penawarnya ada pada Maya Dewi! Sungguh suatu siasat yang amat cerdik dari pembantunya yang cantik dan terpercaya ini. “O, begitukah? Maya, apa kamu menyimpan obat penawar itu?” tanyanya sambil menoleh kepada Maya Dewi. Wanita itu mengangguk membenarkan. “Nou... kalau begitu, geen problem (tiada masalah)! Biar kami yang berjanji bahwa kalau memberi keterangan yang sejelasnya tentang kekuatan pasukan Mataram dan rencana mereka menyerbu Batavia, kamu berdua akan dibebaskan tanpa gangguan dan obat penawar untuk Nona Sulastri akan kami berikan!”
“Bersumpahlah, tuan, agar kami mau percaya.” kata pula Sulastri.
“Bersumpah? Wat bedoel je (apa maksudmu)?” Ki Warga yang ternyata pandai berbahasa Belanda segera menerangkan apa yang dimaksudkan Sulastri dengan bersumpah. “Oo, is dat zo (begitukah)? Baik, kami bersumpah akan memenuhi janji-janji kami tadi. Kalau kami berbohong, biarlah kami mati tenggelam bersama kapal kami!”
Setelah selesai makan, seperti yang telah dijanjikan, Aji dan Sulastri memperoleh kebebasan berdua saja dalam sebuah bilik di kapal itu. Sebelum bicara, keduanya meneliti keadaan kamar itu. Setelah melihat semua penjuru dan merasa yakin bahwa pembicaraan mereka tidak disadap atau diintai, mulailah mereka bercakap-cakap dengan suara berbisik sehingga andaikata ada yang mendengarkan dari luar kamar sekalipun, pendengarnya tidak akan dapat menangkap suara mereka.
“Gertakanmu kepada kapten itu tadi sehingga memaksanya bersumpah sungguh baik dan tepat sekali, Lastri. Dengan demikian tentu dia sekarang tidak ragu lagi bahwa kita memang menyimpan rahasia Mataram.” bisik Aji.
“Akan tetapi sesungguhnya aku masih tidak mengerti, Mas Aji. Mengapa engkau katakan kepada mereka bahwa kita mengerti akan rahasia Mataram? Rahasia apakah itu?” Aji tersenyum.
“Itu hanya siasatku saja, Lastri. Kalau kita benar-benar mengetahui akan rahasia Mataram, apa kau kira aku akan sudi membocorkan rahasia itu kepada mereka? Tidak, lebih baik mati dari pada mengkhianati Mataram. Akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu apa-apa, hanya kukatakan bahwa aku tahu akan besarnya kekuatan pasukan Mataram dan bahwa engkau tahu akan rencana penyerbuan Mataram ke Batavia.”
“akan tetapi kenapa? Untuk apa kebohongan itu?”
“Itu hanya siasatku agar kita tidak dibunuh karena aku sudah terpaksa menyerah melihat engkau roboh pingsan dan mereka tawan.”
“Ahh, engkau berkorban untuk aku, kakangmas. Mengapa engkau menyerah dan tidak mengamuk dan kalau mereka terlalu kuat, tidak melarikan diri saja. Karena aku engkau tertawan pula.” kata Sulastri dan penyesalan ini sungguh-sungguh.
“Ah, nimas, bagaimana mungkin aku melarikan diri dan membiarkan engkau terjatuh ke tangan manusia-manusia berwatak iblis itu? Aku menyerah dan aku segera bersiasat memberi harga yang tinggi sekali kepada kita, yaitu bahwa aku dan engkau tahu akan rahasia yang amat penting dari Mataram, rahasia itu penting sekali bagi Kumpeni. Siasatku berhasil. Mereka tidak berani mengganggu kita dan menghadapkan kita kepada Kapten De Vos.”
“Akan tetapi nenek genit itu meracuni aku sehingga kita sama sekali tidak berdaya. Andaikata mereka ingkar janji dan tidak menyerahkan obat penawar kepadaku, maka segala usaha untuk menolongku sia-sia saja, mas. Apa tidak lebih baik kita mengamuk saja, membunuh mereka semua dan engkau berusaha menyelamatkan diri?”
“Dan engkau?”
“Aku? Biarkan aku mati keracunan, aku tidak takut mati!”
“Tidak mungkin! Dengar, aku sudah mengatur siasat lain, karena itu aku minta agar diberi waktu sampai besok pagi agar kita dapat berunding dan bergerak malam ini.”
“Apa yang kita lakukan, Mas Aji?”
“Ketika kita berada di rumah Ki Warga, aku berhasil mendengar percakapan antara Maya Dewi dan pria jangkung itu. Aku tidak tahu siapa namanya.”
“Aku juga hanya mendengar orang-orang menyebutnya raden saja.” kata Sulastri. “Apa yang kau dengar?”
“Maya Dewi menyerahkan obat penawar untukmu itu kepada jahanam itu!”
“Eh, kenapa?”
“Jahanam keparat itu agaknya tergila-gila kepadamu, nimas. Dia menginginkan dirimu dan dia minta obat penawar itu agar dia dapat memaksamu. Kalau obat penawar itu berada ditangannya berarti nyawamu berada di tangannya.”
“Si kunyuk babi anjing kurang ajar itu!” Sulastri memaki dan karena dalam amarahnya ia mengeluarkan suara keras, maka Aji cepat memberi isyarat agar gadis itu tidak berteriak-teriak.
“Lastri, tenang dan sabarlah. Dalam keadaan terancam seperti ini kita harus dapat bersikap tenang. Aku sengaja minta agar kita berdua mendapat kesempatan untuk berunding dan siasatku berhasil. Kita dapat bicara sekarang. Tunggu sebenatar!” Aji kembali memeriksa keadaan sekitar luar bilik kapal itu. Tidak ada orang mengintai. Dia kembali lagi, duduk dekat Sulastri dan melanjutkan pembicaraan dengan suara berbisik. “Malam nanti kita harus bergerak, harus bertindak cepat.”
“Apa yang akan kita lakukan?”
”Kita harus membuat kekacauan di kapal ini malam nanti.”
“Bagus! Aku suka itu. Akan tetapi... ah, racun di tubuhku membuat aku tidak mungkin mengerahkan tenaga sakti. Apa yang dapat kulakukan untuk membantumu, Mas Aji? Aku ingin sekali membantu. Berilah tugas padaku!” Sulastri bergairah sekali. Ia sudah hampir tidak tahan berada dalam keadaan tidak berdaya dan menjadi tawanan seperti itu.
“Tugasmu penting sekali, Lastri. Untuk membuat suasana menjadi ribut dan kacau, engkau harus membuat kebakaran di kapal ini! Aku melihat anak buah kapal mengambil minyak dari bilik kecil di sudut sana itu. Agaknya bilik itu gudang untuk menyimpan alat-alat, di antaranya minyak. Nah, kalau engkau dapat melempar api ke dalam bilik itu, pasti akan terjadi kebakaran dan suasana menjadi ribut dan kacau.”
Gadis itu mengangguk-angguk. “Itu mudah, aku dapat melakukannya. Akan tetapi sesudah itu bagaimana?”
“Engkau sudah tahu pula bahwa Kapten De Vos itu merupakan orang penting dari Kumpeni Belanda dan agaknya amat berkuasa, dihormati semua orang dan juga ditaati. Bahkan Maya dewi dan orang penuh rahasia bernama Ki Warga itu tampaknya amat tunduk kepadanya. Nah, dalam kekacauan itu aku akan mencari kesempatan untuk menawan dan menyandera Kapten De Vos. Kalau usahaku itu berhasil, kita pasti dapat menuntut apa yang kita perlukan. Selanjutnya serahkan saja kepadaku. Engkau harus selalu dekat denganku setelah melakukan pembakaran itu. Dengan Kapten De Vos sebagai sandera, mereka pasti tidak akan berani bertindak sembarangan dan akan mematuhi semua tuntutan kita.”
Sulastri mengangguk-angguk dan sepasang alis yang kecil hitam berbentuk indah itu berkerut memikir. Kemudian ia bertanya. “Semua itu baik sekali, Mas Aji. Akan tetapi bagaimana seandainya rencana kita gagal? Andaikata aku tidak dapat melaksanakan pembakaran dan engkau tidak berhasil menyandera De Vos? Bagaimana? Mereka tentu akan memaksa kita untuk memberi keterangan tentang Mataram yang tidak kita ketahui sama sekali. Kalau begitu, bagaimana?”
“Kalau kita gagal, masih ada harapan bagi kita. Selama mereka masih yakin bahwa kita berdua menyimpan rahasia tentang Mataram, aku yakin mereka tidak akan begitu bodoh untuk mengganggu kita. Rahasia itu masih dapat kita pergunakan sebagai perisai dan pelindung diri. Kita masih dapat mencari kesempatan dan akal lain. Kalaupun terpaksa kita harus bicara, kita dapat saja memberi keterangan secara ngawur. Kita dapat mengarang sesuka kita asal masuk di akal. Misalnya aku. Aku dapat mengatakan bahwa besar kekuatan pasukan Mataram ada lima puluh laksa (lima ribu) orang dan masih ada cadangannya sebanyak itu pula. Aku dapat mengatakan bahwa seluruh kadipaten di Nusa Jawa siap membantu Mataram dan banyak lagi yang dapat kukatakan untuk membuat Belanda menjadi panik.”
“Dan aku, bagaimana? Aku tidak mengerti tentang siasat perang!” kata Sulastri bingung.
“Ah, katakan saja bahwa balatentara Mataram akan dipecah menjadi empat bagian. Tiga bagian akan menyerang dari barat, selatan dan timur Batavia, sedangkan yang sebagian akan menyerang dengan menggunakan perahu-perahu dan mengepung di utara. Dengan demikian Batavia akan dikepung dari semua penjuru. Kalau ditanya tentang ransum, katakan saja rakyat di sekitar Batavia sudah siap membantu. Juga Banten akan datang pula menyerang. Dengan demikian Kumpeni Belanda akan menjadi semakin panik dan ketakutan. Akan tetapi semua keterangan ini tidak perlu kita ceritakan kalau keadaan kita tidak terpaksa sekali. Maka, usaha kita malam nanti harus berhasil baik.”
Mereka lalu mengatur siasat dan merundingkan dengan teliti. Agar tidak mendatangkan kecurigaan kepada pihak musuh, setelah mandi dan makan malam, mereka tinggal di bilik masing-masing yang memang disediakan untuk mereka. Bilik kecil mereka berdampingan. Malam itu gelap dan sunyi. Kapal yang berlabuh tak jauh dari pantai itu bergoyang-goyang sedikit karena air laut pasang. Kapten De Vos mengadakan rapat dengan Ki Warga, Nyi Maya Dewi, Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad dan Raden Banuseta.
Mereka membicarakan tentang hasil para anggota jaringan mata-mata Kumpeni Belanda dan dalam hal ini yang banyak memberi keterangan adalah Ki Warga sebagai pemimpin jaringan mata-mata dan Maya Dewi yang bertugas sebagai pengawas dan banyak melakukan peninjauan di daerah-daerah. Juga dalam kesempatan itu Kapten De Vos memuji siasat Maya Dewi yang telah meracuni Sulastri sehingga dua orang muda yang sakti dan tangguh itu dapat dibuat tidak berdaya dan dipaksa untuk membuka rahasia gerakan Mataram.
“Siasatmu itu benar-benar hebat, Maya. Keadaan mereka berdua sudah tersudut dan terpaksa, mau tidak mau mereka tentu akan membuka rahasia itu. Betapa setiapun mereka kepada Mataram, tentu mereka lebih sayang kepada nyawa mereka. Ha-ha-ha, kita akan berhasil! Kalau kita sudah tahu akan kekuatan dan rencana siasat Mataram menyerang Batavia, akan mudah bagi kita unuk menghancurkan mereka!”
Kapten De Vos yang sudah mulai mabok anggur sehingga mukanya yang biasanya sudah kemerahan itu kini menjadi merah sekali, tertawa-tawa gembira. Tiba-tiba suara yang tenang serius Ki Warga menghentikan suara tawa Kapten De Vos.
“Saya harap tuan kapten tidak terlalu gembira lebih dulu.”
Kapten De Vos menghentikan tawanya dan pada saat itu, Hendrik De Haan memasuki ruangan itu. “Aha, Hendrik, kebetulan kamu datang. Duduklah dan ikut berunding. Mungkin kami membutuhkan pendapatmu!”
Raksasa itu lalu menyeret sebuah kursi dan duduk di tempat yang lowong, di depan Ki Harya Baka Wulung, terhalang meja. Tanpa diperintah dia meraih botol minuman anggur dan menuangkan ke dalam sebuah gelas besar yang kosong, lalu minum dengan lahap sekali. Melihat sikap itu, kapten De Vos dan yang lain-lain tidak memperdulikannya. Memang demikianlah sifat dan watak raksasa ini, atau watak pelaut kulit putih pada umumnya, keras dan kasar.
“Tuan Warga, apa yang kau katakan tadi? Kenapa kamu mencegah kami terlalu gembira? Apakah masalahnya?”
“Begini, tuan kapten. Tuan bergembira karena dua orang tawanan itu, Lindu Aji dan Sulastri, akan membuka rahasia Mataram, memberi keterangan tentang kekuatan balatentara Mataram dan rencana siasat mereka menggempur Batavia sebagai pengulangan serangan mereka pertama yang berhasil kita gagalkan.”
“Ya, tentu saja. Apa salahnya itu?”
“Tidak salah, tuan. Akan tetapi kalau bergembira sekarang, itu terlalu terburu-buru namanya. belum waktunya untuk bergembira.”
“Hei, Tuan Warga. Apa maksudmu?”
“Saya hanya hendak bertanya, tuan. Bagaimana seandainya besok pagi itu kedua orang tawanan kita memberi keterangan yang palsu? Keterangan yang sama sekali tidak benar, tidak sesuai dengan kenyataan? Kalau mereka itu berbohong, bukankah pihak kita yang akan menderita rugi besar?”
Mendengar ucapan itu, semua orang tertegun dan baru ingat akan kemungkinan besar itu. Kapten De Vos termenung dan tampak bingung dan khawatir. Kemudian dia mengepal tinju dan memukul meja. “Brakk! God Verdomme, zeg!” dia memaki. “Benar sekali omonganmu itu, Tuan Warga. Untung kamu mengingatkan kami akan kemungkinan itu. Natuurlijk (tentu saja), bisa saja mereka berbohong, bahkan lebih banyak kemungkinannya mereka itu berbohong! Lalu bagaimana baiknya, Tuan Warga?”
“Mudah saja mengatasinya, tuan kapten. Besok pagi biarkan mereka menerangkan tentang rahasia itu, akan tetapi kita tidak boleh membebaskan mereka dulu. Kita tunggu sampai penyerangan Mataram itu benar terjadi. Kalau memang benar seperti yang mereka laporkan, nah, baru kita bebaskan mereka. Kalau sebaliknya laporan itu palsu dan tidak benar, kita hukum dan bunuh mereka.”
“Oho, bagus, bagus! Kami setuju dan sebaiknya diatur begitu. Kamu memang pandai, Tuan Warga. Maya, besok engkau dan para pembantumu yang baru ini, Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad, harus siap siaga dan menjaga kalau-kalau dua orang tawanan itu akan memberontak. Kita biarkan mereka memberikan laporan, akan tetapi tetap menahan mereka sampai terbukti benar tidaknya laporan mereka seperti dikatakan Tuan Warga tadi.”
“Baik, tuan.” kata Nyi Maya dewi patuh. Tiba-tiba Ki Harya Baka Wulung berseru nyaring.
“Aku tidak setuju!”
Tentu saja semua orang terkejut dan memandang kepadanya. “Apa maksudmu dengan ucapan itu, Tuan Harya?” tanya Kapten De Vos sambil memandang penuh selidik dengan sepasang matanya yang kebiruan.
“Tuan Kapten, aku Ki Harya Baka Wulung adalah seorang tokoh besar Madura yang gagah perkasa. Bangsa kami terkenal keras namun terbuka dan sekali berjanji, akan memenuhinya dengan taruhan nyawa. Aku tidak suka kalau diajak utuk mengingkari janji, biarpun terhadap dua orang muda yang menjadi musuhku. Aku tidak setuju dengan cara yang curang itu.”
Mendengar ucapan yang nadanya keras itu, Hendrik De Haan yang menjadi pengawal pribadi dan jagoan Kapten De Vos menjadi marah. Dia bangkit berdiri mengepal tinjunya yang besar diamangkan ke arah Ki Harya Baka Wulung. “Harya Baka Wulung!” Dia berteriak dengan suara cedal lalu melanjutkan kata-kata dalam bahasa Belanda karena tidak mahir berbahasa daerah. Ki Warga segera menyalin dalam bahasa daerah agar dapat dimengerti Ki Harya Baka Wulung. “Harya Baka Wulung, kamu mengaku tokoh Madura yang gagah perkasa akan tetapi buktinya Madura sudah jatuh ke tangan Mataram. Kamu sekarang ini menjadi pembantu Kumpeni Belanda dan kewajibanmu adalah untuk menaati semua perintah Kapten De Vos! Tidak sepatutnya kamu bersikap kasar seperti ini!”
Terbelalak sepasang mata Ki Harya Baka Wulung mendengar terjemahan Ki Warga itu. Diapun mengamangkan tinjunya ke arah muka raksasa bule itu dan membentak. “Hendrik De Haan! kau kira aku takut kepadamu? Kamu hanya tukang pukul murahan! Ketika aku bergabung dngan Nyi Maya Dewi, aku hanya mau karena ingin melihat Mataram jatuh, bukan berarti aku menjadi antek Belanda. Aku hanya mau bekerja sama untuk menjatuhkan Mataram!”
Hendrik De Haan tidak dapat bicara bahasa daerah, akan tetapi karena dia sudah lama juga mengikuti Kapten De Vos, kalau hanya mendengar saja dia dapat mengerti artinya. Maka, mendengar jawaban itu, dia lalu meninggalkan kursinya, berdiri di tengah ruangan itu dan menantang. Dia hanya menggapai dengan tangan kiri dan mengamangkan tinju kanan ke arah Ki Harya Baka Wulung. Tokoh Madura itu adalah seorang yang berwatak keras, maka diapun segera melompat menghampiri. Dua orang ini sudah berhadapan dengan mata melotot. Biarpun Ki Harya Baka Wulung sudah berusia hampir tujuh puluh tahun, dia masih tampak gagah dan kokoh dengan tubuhnya yang tinggi tegap. Walaupun tubuhnya tidak sebesar tubuh Hendrik, namun dia dapat disebut seorang bertubuh raksasa di antara bangsanya. Kumisnya yang tebal itu seolah berdiri saking marahnya.
“Majulah, setan bule!” Ki Harya Baka Wulung menantang.
“Paman Harya, jangan membunuh orang!” Nyi Maya Dewi berseru khawatir.
“Aku hanya ingin menghajar si keparat ini!” kata Ki Harya Baka Wulung. Sementara itu, Hendrik De Haan yang sudah agak banyak minum anggur dan hawa panas sudah mulai naik ke kepalanya, tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia sudah menerjang ke depan, menyerang bagaikan seekor biruang. Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung adalah seorang sakti yang memiliki kemahiran pencak silat yang sudah matang. Melihat serangan kedua tangan dari kanan kiri atas itu, diapun menangkis dari dalam dengan kedua lengannya.
“Dukkk!” Dua pasang lengan bertemu dan pada saat itu, kaki kanan Harya Baka Wulung menyapu kaki lawan dan pada saat yang sama, lengan kanannya yang menangkis dan sikunya menhunjam ke depan dengan kuat sekali.
“Desss... dukkk!” Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh Hendrik terjengkang. Akan tetapi dia bukan orang lemah. Ketika tubuhnya terdorong ke belakang dan kakinya terjegal, dia malah membuang diri ke belakang dan berjungkir balik sehingga dia tidak sampai terbanting roboh. Hantaman siku kanan Harya Baka Wulung yang mengenai dadanya tadi seolah tidak dirasakannya. Hendrik menjadi marah dan sambil mengeluarkan gerengan dari mulutnya yang berbau arak itu, dia menerjang lagi.
Kedua lengannya yang besar panjang itu kini tidak memukul melainkan bagaikan dua ekor ular cepatnya tahu-tahu telah menangkap kedua lengan lawan. Gerakannya cepat sekali karena dia mempergunakan ilmu gulat yang pernah dipelajarinya. Harya Baka Wulung terkejut dan tidak mampu menghindar, tahu-tahu kedua lengannya telah ditangkap dan raksasa bule itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengangkat tubuh Harya Baka Wulung dan membantingnya.
Hendrik biasa berlatih mengangkat besi yang beratnya dua kali berat tubuh Harya Baka Wulung, maka dia merasa yakin akan mampu mengangkat tubuh lawan itu tinggi-tinggi kemudian dibantingnya agar tulang-tulang itu menjadi patah-patah. Akan tetapi raksasa Belanda itu terlalu memandang rendah lawannya. Harya Baka Wulung seorang tokoh besar Madura yang memiliki banyak aji kesaktian dan dia merupakan seorang ahli tapa yang telah menguasai banyak ilmu yang hebat-hebat.
Ketika dia maklum akan niat lawan, yaitu mengangkatnya ke atas, cepat dia mengerahkan Aji Selatantra. Dengan aji yang dahsyat itu, tubuh Harya Baka Wulung seolah menjadi seberat gunung batu! Hendrik de Haan mengerahkan seluruh tenaganya, namun sia-sia, sama sekali dia tidak mampu mengangkat tubuh kakek tua itu! Dia bekah-bekuh, menahan napas dan mengerahkan segenap tenaganya, otot-ototnya sampai menggembung, tulang-tulangnya berkerotokan, bahkan hawa dalam perutnya yang didorong keluar sehingga terdengar suara memberebet!
Namun, setelah ber ah-ah-uh-uh beberapa lama tetap saja tubuh lawan tidak dapat diangkatnya. Ketika kedua lengannya bagian atas siku itu dipegang lawan, kedua tangan Ki Harya Baka Wulung berada di sebelah dalam. Kini, dia menggerakkan kedua tangan ke depan dan dia mengangkap pinggang Hendrik. Dia mengerahkan tenaga Cantuka Sakti yang luar biasa dahsyatnya itu dan sambil mengeluarkan suara nyaring dia mengangkat tubuh Hendrik ke atas. “Kok-kok-kokkk!” Terdengar suara berkokok itu dari dalam perutnya dan tubuh Hendrik yang tinggi besar itu telah diangkatnya ke atas kepalanya.
“Paman Harya, jangan membunuh!” kembali Maya dewi berteriak. Mendengar teriakan ini, Harya Baka Wulung teringat. Diapun bukan seorang bodoh yang menurutkan nafsu amarah. Dia tahu bahwa kalau dia membunuh, bukan saja nyawanya terancam oleh Kapten De Vos dan anak buahnya yang mempunyai senjata api, akan tetapi juga usahanya bekerja sama dengan Belanda untuk membalas dendamnya kepada Mataram akan gagal. Maka, dia tidak membanting tubuh raksasa itu. Kalau dibantingnya dengan tenaga Cantuka Sakti tentu akan remuk tulang-tulang tubuh itu atau akan pecah kepalanya. Dia lalu melemparkan saja tubuh Hendrik ke atas.
“Bressss.... !” Tubuh itu melayang ke atas lalu terbanting jatuh ke atas lantai kapal. Memang tidak sampai tewas atau patah-patah tulangnya, namun cukup membuat kepalanya pening dan pinggulnya nyeri, perutnya mulas. Hendrik merasa malu sekali dan hal ini membuatnya marah besar. Biarpun pandang matanya masih berkunang, namun dia segera mencabut sebuah pistol besar yang terselip di pinggangnya dan siap untuk menembakkan pistol itu ke arah Harya Baka Wulung. Akan tetapi, datuk besar Madura ini sudah siap. Dia sudah mengerahkan ajinya yang amat dahsyat yaitu Aji Kukus Langking (Asap Hitam). Begitu dia mendorongkan kedua tangannya, asap tebal hitam menyambar ke arah Hendrik dan terdengar kakek itu berseru dengan suara menggetar mengandung penuh wibawa.
“Lepaskan senjata api itu!” Terjadi keanehan. Bentakan yang mengandung kekuatan sihir itu membuat Hendrik melepaskan pistolnya sebelum dia sempat menarik pelatuknya. Pistol jatuh berdetak di atas lantai dan asap hitam itu membuatnya terhuyung ke belakang sehingga dia terjengkang dan terjatuh. Ki Harya Baka Wulung menarik kembali ajinya. Asap hitam lenyap dan tubuh Hendrik terkapar di atas lantai kapal dan muka berubah menghitam seperti hangus.
Akan tetapi. dia masih untung karena Harya Baka Wulung tidak berniat membunuhnya sehingga tubuhnya tidak sampai melepuh terbakar, hanya hangus seolah-olah dia berjemur matahari dari pagi sampai petang! Ketika Harya Baka Wulung memandang ke sekeliling, kiranya dia sudah terkepung belasan orang anak buah kapal yang menodongkan bedil mereka ke arahnya. Dengan sikap tenang Harya Baka Wulung menghadapi Kapten De Vos dan berkata,
“Aku tidak membunuhnya, dan aku ingin bekerja sama dengan Kumpeni untuk mengalahkan Mataram, bukan untuk menjadi antek Belanda, juga bukan untuk bermusuhan dengan Belanda!”
Ki Warga cepat berkata kepada Kapten De Vos dalam bahasa Belanda, “Tuan Kapten, orang ini amat berguna bagi kita.” Kapten De Vos segera memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menghentikan penodongan mereka dan mengundurkan diri keluar dari ruangan itu. Para anak buah itu untuk kedua kalinya, menggotong tubuh Hendrik dan meninggalkan ruangan itu.
Kapten De Vos tersenyum lebar, memandang Harya Baka Wulung. “Kami mengerti maksudmu, Tuan Harya. Maafkan kelancangan Hendrik tadi. Memang Maya Dewi sudah melaporkan kepada kami bahwa Tuan Harya dan Tuan Somad ingin bekerja sama dengan kami, bukan menjadi pegawai kami. Silahkan duduk kembali, Tuan Harya. Kita bicara dan berunding sebagai sahabat, bukan sebagai atasan kepada bawahan. Silakan.”
Kapten De Vos adalah seorang pejabat yang bertugas sebagai intelejen Belanda dan dia memang sudah mendapat pendidikan mendalam sehingga dia mampu menyesuaikan diri demi keuntungan Kumpeni. Menghadapi sikap sabar dan ramah ini, mereda kemarahan Harya Baka wulung dan dia pun duduk kemabli ke atas kursinya yang tadi. Kapten De Vos menuangkan sendiri anggir ke dalam gelas di depan Harya Baka Wulung, lalu dia mengajaknya minum anggur sambil berkata.
“Marilah kita minum anggur ini sebagai pernyataan persahabatan ini dan sebagai permintaan maaf kami atas kelancangan Hendrik tadi.” Harya Baka Wulung menyambut dan minum anggurnya. Suasana menjadi akrab kembali.
“Tuan Harya, kalau boleh kami bertanya, kenapa kamu begitu membenci Mataram? Apakah karena Mataram telah menaklukkan seluruh Madura dan sekarang kamu ingin membebaskan Madura dari kekuasaan Mataram?” Tanya Kapten De Vos.
Harya Baka Wulung menggeleng kepala dan menghela napas panjang. “Kekalahan Madura terhadap Mataram tidak perlu dipersoalkan lagi. Madura telah membuat perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena memang kalah kuat maka dapat ditundukkan, kini malah dapat dipersatukan di bawah pimpinan Pangeran Cakraningrat yang berkedudukan di Sampang, diangkat oleh Sultan Agung. Pangeran Cakraningrat itu dahulunya adalah Raden Praseno, putera Bupati Arisbaya, dan dia adalah muridku. Tidak, tidak ada alasan bagiku untuk mendendam kepada Mataram karena kekalahan Madura.”
“Kalau begitu, kenapa kamu begitu membenci Mataram sehingga bersedia bekerja sama dengan kami untuk menjatuhkan Mataram?” desak Kapten De Vos. Dia merasa perlu mengetahui latar belakang orang yang akan bekerja sama dengan Kumpeni menghadapi Mataram.
Mendengar pertanyaan itu, Harya Baka Wulung seperti diingatkan kembali akan segala suka dukanya, terutama sekali kedukaan yang teramat besar sehubungan dengan tewasnya putera tercinta. Dia hanya mempunyai seorang putera yang diberi nama Raden Dibyasakti, seorang pemuda yang menurut penilaiannya sendiri amat tampan gagah dan patut dibanggakan. Seluruh cinta kasihnya tercurah kepada puteranya itu. Akan tetapi puteranya itu tewas ketika perang sedang panas-panasnya terjadi antara Madura dan Mataram. Kematian Raden Dibyasakti itu menghancurkan hatinya dan menanamkan bibit dendam kebencian yang teramat besar terhadap Mataram umumnya dan Sultan Agung pada khususnya. Dia harus membalas dendam kematian puteranya itu, apapun yang terjadi!
Setelah menghela napas panjang, Harya Baka Wulung mejawab pertanyaan Kapten De Vos itu. “Sebetulnya ini urusan pribadi. Aku sudah bersumpah dalam hati untuk membalas kepada Sultan Agung untuk dengan cara apapun juga menghancurkan Mataram. Mataram telah merenggut nyawa puteraku yang tunggal, telah menghancurkan semua kebahagiaanku.” Melihat wajah Harya Baka Wulung yang penuh duka dan kini kakek itu menunduk lesu, suasana menjadi hening.
Akhirnya Kapten De Vos berseru, “Mari kita minum lagi. Kita lupakan kenangan masa lalu dan mari kita bersiap untuk menghancurkan Mataram, musuh kita bersama!” Mereka minum anggur lagi. Setelah ketegangan mereda, De Vos bertanya kepada Harya Baka Wulung. “Tuan Harya, kalau tuan tidak setuju untuk tetap menahan dua orang tawanan sampai terbukti bahwa laporan mereka benar, lalu kalau menurut tuan, apa yang harus kita lakukan agar kita tidak sampai menderita rugi oleh kebohongan mereka?”
“Kalau mereka besok pagi memberi keterangan, kita harus membebaskan mereka seperti yang telah dijanjikan. Untuk mencegah agar mereka tidak berbohong, kita minta mereka bersumpah lebih dulu sebelum memberi keterangan mereka. Orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan seperti mereka pasti tidak akan mau melanggar sumpah sendiri. Kalau hal ini masih meragukan, kita beri mereka racun yang akan bertahan sampai saat terjadinya penyerbuan Mataram seperti yang mereka katakan. Setelah ternyata keterangan mereka kelak benar, mereka kelak boleh datang minta obat penawar kepada kita.”
Kapten De Vos melihat betapa semua pembantunya mengangguk-angguk menyetujui siasat itu, maka diapun berkata gembira, “Bagus, bagus sekali. Dengan begitu, kita tidak melanggar janji, juga kita tetap mengikat mereka sehingga mereka pasti tidak berani berbohong!” Dengan gembira dia lalu mengajak semua orang untuk menambah minuman anggur.
Sementara itu, setelah menunggu cukup lama, membiarkan musuh-musuh mereka berpesta dan makan minum sepuasnya, sesuai dengan yang sudah mereka atur dalam pembicaraan mereka siang tadi, Sulastri menerima ketukan pada dinding kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Aji. Ketukan tiga kali, berarti ia harus mulai dengan tugasnya. Ia membalas dengan ketukan tiga kali sebagai isyarat bahwa ia telah mengerti dan siap melaksanakan tugasnya. Ia mengintai dari balik daun pintu kamarnya. Ada dua orang penjaga duduk di depan, di antara kamarnya dan kamar Aji.
Dua orang kulit putih dan bertubuh tinggi kurus, bermuka merah dan hidung mereka panjang seperti hidung Petruk. Sulastri segera memasang aksi, tersenyum manis sekali ketika ia membuka pintu kamarnya dan menghampiri dua orang anak buah kapal yang memegang bedil itu. Melihat gadis cantik itu tersenyum-senyum dan menghampiri mereka dengan langkah yang lemah gemulai, dua orang laki-laki kulit putih itu tentu saja merasa senang, Mereka juga tersenyum dan menyambut Sulastri dengan bahasa daerah yang patah-patah.
“Selamat malam, nona manis. Belum tidurkah?” tegur seorang.
“Nona manis hendak pergi ke manakah?” Tanya yang kedua.
Sulastri memperlebar senyumnya sehingga sinar lampu gantung menimpa deretan giginya yang putih mengkilap. “Aku kesepian sekali, tuan-tuan. Aku ingin mengajak kalian bercakap-cakap.” kata Sulastri dan sengaja ia menggunakan jari-jari tangannya yang lentik untuk menyentuh tangan mereka. tentu saja dua orang anak buah kapal itu yang seperti hmpir semua pelaut, selalu haus akan hiburan dan gila perempuan.
“Ah, kami senang sekali, nona!” kata yang kedua lebih berani. Tangannya hendak merangkul. Akan tetapi Sulastri melangkah mundur lalu menoleh ke kanan kiri dan berkata lirih.
“Jangan di sini, tuan. Aku takut dan malu kalau ketahuan orang lain. Mari kita bicara dalam kamarku saja.”
Dua orang anak buah kapal yang usianya sekitar tiga puluh tahun itu saling pandang, terbelalak dan tersenyum. Hati mereka melonjak dan rasanya ingin bersorak gembira. Ketika melihat gadis itu dengan lenggang memikat sehingga pinggulnya menari-nari melangkah menuju kembali ke kamarnya, dua orang itu seperti berebut mengikuti dari belakang. Karena seluruh perhatian mereka tertuju kepada tubuh belakang Sulastri yang menggairahkan, mereka sama sekali tidak tahu bahwa pintu kamar sebelah terbuka dan sesosok bayangan berkelebat keluar dari kamar itu.
Ketika dua orang penjaga itu tiba di luar kamar Sulastri yang daun pintunya terbuka lebar, Sulastri berkata dengan manis, “Masuklah saja, tuan-tuan, jangan ragu dan malu!”
Dua orang itu melangkah masuk dan pada saat itu, Aji melompat ke belakang mereka. Kedua tangannya menyambar ke arah tengkuk dua orang anak buah kapal itu. “Ngek-ngek!” Dua orang itu terkulai. Sulastri cepat menyambut bedil mereka yang terlepas dari pegangan agar tidak menimbulkan suara gaduh. Aji sudah menangkap lengan kedua orang itu sehingga tidak sampai terguling roboh. Dia lalu menyeret dua tubuh yang sudah tak dapat bergerak karena pingsan itu ke dalam kamar. Menggunakan kain alas pembaringan yang dirobek, aji mengikat kaki tangan kedua orang itu dan menyumbat mulut mereka. Kemudian, tanpa mengeluarkan suara, kedua orang muda itu berindap ke luar.
Mereka tidak perlu bicara lagi karena siang tadi mereka telah mengatur rencana dengan matang. Setelah membuat dua orang penjaga itu tidak berdaya, Sulastri menyelinap dan menuju ke buritan kapal. Sedangkan Aji sudah menyelinap dan bersembunyi di balik tiang. Sulastri tiba di luar bilik yang menjadi gudang kapal itu. Ia mengambil lampu gantung yang berada di luar bilik, kemudian mendorong daun jendela dengan kekuatan tangannya. Ia tidak berani mengerahkan tenaga sakti karena hal itu akan menimbulkan nyeri hebat dalam dadanya. Akan tetapi kedua tangannya yang terlatih itu memiliki tenaga otot yang cukup kuat untuk membuat daun jendela yang tidak begitu kokoh itu terbuka.
Setelah jendela terbuka, ia lalu melemparkan dan membanting lampu gantung ke dalam gudang. Terdengar ledakan kecil dan gudang itu segera terbakar. Minyak yang tersimpan dalam gudang itu segera disambar api dan bernyala besar. Setelah berhasil membakar gudang, Sulastri cepat berlari dan terengah-engah ia mendekam di samping Aji, di belakang tiang besar.
Brand! Brand! (Kebakaran, kebakaran!)” Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dan banyak kaki berlari-larian. Mereka yang sedang berpesta terkejut bukan main. Mereka yang tidak mengerti bahasa Belanda, saling pandang dengan heran. Ki Warga cepat memberitahu mereka, “Ada kebakaran!”
“Cepat, kita lihat! Maya Dewi, Tuan Harya dan Tuan Somad, juga kamu Tuan Warga dan Tuan Banuseta, pergilah kamu ke kamar dua orang tawanan itu!” kata Kapten De Vos.
Mereka semua menghambur ke luar dari ruangan di mana mereka tadi berpesta. Lima orang pembantu itu berlari ke arah dua buah kamar di mana dua orang tawanan itu berada, sedangkan De Vos sendiri berlari ke arah buritan kapal karena di sanalah terjadinya kebakaran. Semua anak buah kapal sibuk berusaha untuk memadamkan kebakaran. Sebetulnya, dengan tenaga banyak orang, kebakaran tentu mudah dipadamkan. Akan tetapi karena persediaan minyak dalam bilik gudang itu terbakar, maka agak sukarlah kebakaran itu dipadamkan, Kapten De Vos yang marah-marah memberi petunjuk dan aba-aba kepada anak buahnya. Dia berjalan mondar-mandir sambil berteriak memberi komando.
Tiba-tiba, lengan kanannya ditangkap sebuah tangan yang amat kuat dan lengan itu ditelikung ke belakang tubuhnya. Sebelum dia sempat meronta, sebatang ujung pisau belati yang runcing tajam menempel dilehernya. Aji yang menangkap kapten itu berseru, “Diam, jangan bergerak, atau lehermu akan kupenggal!” Sulastri yang berada di dekat Aji, cepat mengambil pistol yang tergantung di pinggang Kapten De Vos dan membuang senjata api itu ke luar kapal. Kemudian mereka berdua mengundurkan diri ke pagar kapal. Aji menarik dan memaksa De Vos ikut dengan menyeretnya.
Sementara itu, lima orang pembantu yang berlari menuju je dua buah kamar tawanan, tentu saja menjadi terkejut melihat dua orang penjaga berada di kamar Sulastri dalam keadaan terikat dan tersumbat mulut mereka, sedangkan dua orang tawanan itu tidak tampak. Ki Warga cepat membebaskan mereka dan bertanya apa yang telah terjadi.
“Perempuan itu... ia memanggil kami dan tahu-tahu kami dipukul dari belakang dan tidak ingat apa-apa lagi. Ketika kami siuman, kami telah berada di sini dalam keadaan begini.” Dua orang itu bercerita.
“Tawanan lolos! Tentu mereka yang melakukan pembakaran itu. Mari cepat keluar dan cari mereka!” kata Ki Warga. Semua orang berlari keluar. Mereka berlari ke arah buritan dan membantu mereka yang memadamkan api. Tak lama kemudian api dapat dipadamkan.
“Di mana Kapten de Vos?” Tanya Ki Warga. Barulah semua orang merasa heran dan panik. Pimpinan mereka itu tidak tampak batang hidungnya, pada hal tadi sibuk memimpin anak buahnya memadamlan api. Tiba-tiba mereka mendengar suara yang nyaring yang datangnya dari bagian tengah di atas dek itu.
“Heii, kalian semua lihatlah! kapten De Vos berada di sini!” Semua orang berlarian menuju ke arah suara dan setelah tiba di dekar tihang layar besar mereka tertegun, berdiri mematung dengan mata terbelalak. Di sana, dekat pagar di pinggir, Kapten De Vos berdiri tak berdaya dengan muka pucat. Di belakangnya berdiri Lindu Aji dan Sulastri, keduanya memegang sebatang pisau belati yang runcing dan tajam. Aji menempelkan belatinya di leher De Vos sedangkan Sulastri menodongkan belatinya di lambungnya!
Melihat ini, para anak buah kapal sudah menodongkan bedil mereka ke arah dua orang tawanan itu, akan tetapi Aji cepat membentak. “Lepaskan bedil kalian atau kami akan membunuh Kapten De Vos lebih dulu!” Dia dan Sulastri menekan pisau belati yang mereka rampas dari dua orang penjaga tadi lebih kuat sehingga ujung pisau yang runcing itu mulai menembus kulit dan kulit di leher dan lambung terluka dan mengeluarkan darah.
“Stop! Lepaskan semua bedil itu, kalian goblok!!” Kapten De Vos berteriak kepada anak buahnya. Anak buah kapal itu tak dapat berbuat lain kecuali menaati perintah atasan mereka. Kalau mereka nekat menembak, tentu Kapten De Vos akan mati dan kalau hal ini terjadi, berarti malapetaka besar bagi mereka! Ditangkapnya De Vos oleh dua orang tawanan itu benar-benar membuat mereka tidak berdaya. Terpaksa mereka melepaskan bedil masing-masing ke atas dek.
Nyi Maya Dewi berkata dan suaranya terdengar penuh ancaman. “Lindu Aji, apa yang kau lakukan ini? Bukankah kita sudah berjanji bahwa engkau besok akan melaporkan keterangan kepada kami dan sebagai gantinya kami akan membebaskan kalian dan memberi obat penawar kepada Sulastri yang akan mati tersiksa beberapa hari lagi?”
“Maya Dewi, siapa percaya akan janji-janji kalian? Sekarang bukan saatnya bagi kalian menuntut. Bukan kalian yang berhak menentukan, melainkan kami! Kalian harus memenuhi permintaan kami sebagai pengganti nyawa Kapten De Vos!”
Melihat beberapa orang di antara mereka ada yang membuat gerakan seolah hendak menyerang, Aji berteriak lantang. “Jangan bergerak atau aku akan memenggal leher Kapten De Vos! Jangan kira bahwa kami tidak akan berani melakukan itu. Kami akan membunuhnya dulu kemudian mengamuk sampai mati!”
“Tahan... !” Ki Warga berseru. “Aji, apa yang kau kehendaki? Akan tetapi bersumpahlah dulu bahwa engkau akan membebaskan Kapten De Vos kalau kami memenuhi permintaanmu.”
“Baik, aku bersumpah akan membebaskan Kapten De Vos kalau kalian memenuhi semua permintaan kami.” kata Aji. “Permintaan kami yang pertama, serahkan obat penawar bagi Sulastri!” Berkata demikian, Aji memandang kepada Nyi Maya Dewi. Dia tahu bahwa obat itu ada pada kekasih wanita itu yang kini berdiri di sebelah kiri Maya Dewi. Dia akan tahu bahwa kalau obat itu diberikan oleh Maya Dewi, berarti obat itu palsu. Ki Warga dan semua orang kini menoleh dan memandang kepada Maya Dewi. mereka tahu bahwa yang dapat memberikan obat yang diminta itu hanyalah Maya Dewi.
Dalam bahasa Belanda yang totok raksasa itu bertanya kepada Kapten De Vos, “Kapten, ada tugas apa untukku?”
“Hendrik, kami mengadakan taruhan untuk mengadu kamu dengan pemuda ini. Pertandingan boksen satu lawan satu, tanpa senjata apapun. Jangan sampai kamu kalah olehnya. Hendrik karena yang kupertaruhkan ini penting sekali!”
Sepasang mata yang lebar memandang kepada Aji yang masih duduk dan dia terbelalak lalu memandang atasannya. “Kapten! Aku hendak diadu dengan kleine jongen (bocah kecil) ini?”
“Ya, siapa yang roboh dan tidak mampu melanjutkan pertandingan dianggap kalah.”
“Hua-ha-ha-ha! Ah, kapten, jangan bergurau! Aku takut melawan anak ini, ha-ha-ha!”
“Takut? Apa maksudmu, Hendrik?” Tanya De Vos heran.
“Aku takut kalau pukulanku akan membuat kepalanya remuk atau dadanya pecah, kapten!” kata raksasa itu serius.
“Ohh! Jangan keluarkan semua tenagamu, Hendrik. Dia ini orang penting, tidak boleh dibunuh, hanya boleh dikalahkan agar aku menang bertaruh.”
Hendrik mengangguk-angguk. “Kalau begitu aku mengerti, kapten.”
Kapten De Vos menoleh kepada Aji. “Nah, bagaimana, orang muda? Apakah kamu tetap bersedia dan berani melawan Hendrik De Haan ini?”
Sambil tetap duduk tenang Aji menjawab, “Saya siap dan berani, tuan.”
“Bagus, kalau begitu mari kita semua pergi keluar ruangan. Pertandingan dilakukan di atas dek luar yang luas.” kata De Vos.
Semua orang bangkit berdiri. Juga Aji dan Sulastri bangkit berdiri dan mereka berdua mengikuti keluar dari ruangan itu menuju ke dek kapal yang luas. Sebentar saja berita tentang diadakannya pertandingan itu sudah terdengar semua anak buah kapal. Mereka menjadi gembira sekali. Bagi para anak buah kapal, perkelahian merupakan satu di antara kesenangan mereka. Mereka adalah orang-orang kasar yang sudah terbiasa hidup keras menghadapi ancaman bahaya di tengah lautan, biasa bekerja keras dan suka pula akan kekerasan. Bahkan setiap kali mendarat mereka selalu saja terlibat perkelahian karena hal itu mereka anggap sebagai kejantanan mereka.
Kini, mendengar bahwa Hendrik De Haan, raksasa jagoan itu akan diadu melawan seorang pemuda pribumi yang menjadi tawanan, mereka tentu saja merasa geli, menertawakan Aji. Tadi mereka sudah melihat betapa pemuda itu seorang yang tubuhnya termasuk kecil dan ringkih sekali dibandingkan Hendrik dan berat tubuhnya belum tentu ada setengah berat tubuh raksasa itu. Bagaimana mereka akan dipertandingkan? Mereka semua sudah berkumpul di dek, membentuk lingkaran lebar. Mereka bukan tertarik untuk menonton perkelahian yang seimbang, melainkan hendak menonton bagaimana Hendrik akan menggilas dan membantai lawan tak seimbang itu.
Kursi-kursi kecil telah dikeluarkan. Kapten De Vos duduk di atas sebuah kursi. Para pembantunya, Ki Warga, Nyi Maya Dewi, Raden Banuseta, Ki Harya Baka Wulung, dan Aki Somad juga sudah dipersilahkan duduk di atas kursi yang berderet-deret. Sulastri juga diberi sebuah kursi, akan tetapi ia tidak mau duduk. Ia hanya berdiri saja dengan hati mulai merasa tegang dan gelisah. Bagaimanapun juga, raksasa itu menyeramkan. Ia khawatir kalau-kalau Aji akan tewas di tangan raksasa itu.
Kalau Aji sampai tewas, hilanglah harapan baginya untuk dapat lolos dari tangan mereka. Ia tidak takut mati, akan tetapi ia merasa ngeri membayangkan dirinya dihina dan diperkosa. Kalau Aji sampai tewas di tangan raksasa itu, iapun akan mengamuk. Tidak perduli apakah racun di tubuhnya akan menewaskannya, ia pasti akan mengamuk sampai mati. Karena itu, ia tidak mau duduk, melainkan berdiri dan bersiap siaga.
Raksasa bule bernama Hendrik de Haan itu kini telah menanggalkan baju kaosnya dan tinggal mengenakan sebuah selana pendek. Tubuh atas yang telanjang itu tampak besar dan kokoh sekali, dengan otot yang menggelembung dan melingkar-lingkar. Aji maklum bahwa tubuh itu memiliki tenaga otot atau tenaga kasar yang amat kuat, namun orang itu tidak mempunyai “isi”, hanya mngandalknan tenaga otot sehingga tiada bedanya dengan seekor kerbau. Diapun melangkah maju menghampiri tempat yang dilingkari para anak buah kapal itu, berhadapan dengan Hendrik. Sikapnya tenang saja dan dia hanya mengiktkan kain sarungnya agar jangan terlepas atau berkibar kalau dipakai bergerak. Aji tampak berdiri santai saja di depan calon lawannya, seolah dia sama sekali tidak membuat persiapan.
Namun dari sinar matanya Sulastri tahu bahwa seluruh syaraf dalam tubuh pemuda itu dalam kedaan siap siaga. “Sebelumnya kamu harus tahu akan aturannya!” kata Kapten de Vos kepada Aji. “Pertandingan ini namanya boksen. Kamu hanya boleh memukul bagian pinggang ke atas. Bagian pinggang ke bawah tidak boleh dipukul. Juga dilarang menggunakan tendangan, dilarang menangkap dengan tangan, mendorong atau menarik!”
Aji mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mengenal aturan seperti itu. Dia tidak mengenal permainan tinju. “Ah, aturan macam apa itu? Bertanding dalam perkelahian tidak boleh memukul pinggang ke bawah, tidak boleh menendang, tidak boleh menangkap, menarik atau mendorong. Kalau tidak boleh ini tidak boleh itu, mengapa bertanding berkelahi? Lebih baik tidak saja!”
Hendrik yang tidak paham bahasa Indonesia, bertanya kepada Kapten De Vos melihat Aji berdiri membelakanginya. Setelah De Vos menceritakan keberatan Aji tentang peraturan pertandingan, Hendrik tertawa. “Ha-ha-ha, kalau tidak memakai larangan dan berkelahi dengan sebenarnya, bagaimana aku dapat menjaga agar dia tidak sampai mati terbunuh?” De Vos berkata kepada Aji.
“Aji, peraturan itu diadakan justeru untuk menjaga agar kamu tidak sampai terpukul mati. Kalau tanpa batas, dan Hendrik boleh menggunakan segala cara untuk menyerangmu, bagaimana kamu akan dapat terhindar dari maut?”
“Tuan, aku sudah berani menerima tantangan berkelahi, berarti aku tidak takut akan kematian. Terluka atau mati adalah resiko dalam pertandingan adu kanuragan, siapa yang takut mati? Kalau berkelahi bebas tanpa larangan, aku mau melayaninya. Kalau memakai segala macam aturan dan larangan, aku tidak mau berkelahi!” jawab Aji dengan tegas.
Ucapan ini diterjemahkan De Vos kepada Hendrik dan kembali Hendrik tertawa. “Kalau begitu aku tidak tanggung kalau sampai dia terpukul atau tertendang mati, kapten. Akan tetapi aku akan berusaha agar jangan sampai membunuhnya. Kapten De Vos mengangguk-angguk. Memang dia menghendaki pertandingan itu dilakukan dengan peraturan tinju karena dia tidak ingin kalau Aji sampai terpukul tewas. Dia amat membutuhkan keterangan dan pengakuan pemuda itu tentang Mataram.
“Baiklah, Aji. Kamu boleh melawan Hendrik dengan cara bebas.” Mendengar ini, Aji memutar tubuh dan kembali menghadapi Hendrik. Bagaikan dua ekor ayam jantan hendak berlaga, kedua orang itu kini saling berhadapan dan saling pandang. Sungguh bukan merupakan lawan seimbang. Hendrik hampir dua kali lebih besar dan lebih tinggi daripada Aji. Kedua kakinya juga memakai sepatu kulit yang tebal. Raksasa bule ini sudah memasang kuda-kuda. Kaki kanannya ditarik ke belakang, kaki kiri ke depan, kedua tangan dikepal dan siap memukul, tergantung di depan dada. Sebaliknya Aji berdiri tenang dan santai saja, hanya sepasang matanya yang dengan tajam mengikuti semua gerak tubuh lawan.
“Mulailah!” perintah De Vos yang menonton dengan mata bersinar-sinar. Semua orang yang menonton, kecuali Sulastri, memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar. Semua orang merasa gembira seperti biasa kalau mereka menonton adu tinju. Mendengar perintah ini, Hendrik mulai menyerang. Karena pertandingan itu tidak dibatasi dengan peaturan tinju, maka kedua tangannya menyambar dari kanan kiri. Maksudnya dia hendak menangkap tubuh kecil itu kemudian akan dibantingnya sehingga dia akan keluar sebagai pemenang dalam satu gebrakan saja tanpa harus membunuh lawan yang kecil itu. Kedua tangan itu menyambarnya dengan cepat dari kanan kiri dan gerakannya yang didorong tenaga besar itu mendatangkan angin yang kuat.
“Wuuuttt... plakkkk!” Dengan menimbulkan suara tepukan nyaring dua telapak tangan besar itu saling bertemu di udara karena kedua tangan itu luput menangkap sasarannya. Tubuh Aji dengan gesitnya telah mengelak dan condong ke belakang.
“Verdomme... !” Hendrik memaki dengan marah dan penasaran, Bagaimana mungkin cengkeraman kedua tangannya itu luput begitu saja? Dia cepat mengejar, melangkah ke depan dan karena sudah terbiasa, kini kedua tangannya dikepal dan membuat pasangan kuda-kuda orang bertinju, Dua kepalan tangan itu kini cepat menyerang secara bertubi-tubi ke arah kepala dan dada Aji. Pukulannya cepat dan kuat sekali. Pukulan swing dan long hook yang cepat sekali, diseling pukulan upper cut yang mematikan.
Namun, semua pukulan bertubi-tubi itu hanya mendatangkan suara mengiuk dan bersuitan, sedikitpun tidak pernah mengenai sasarannya. Apa lagi kena, menyerempet sedilitpun tidak! Semua pukulan itu dapat dielakkan dengan amat mudahnya oleh Aji yang sudah bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti. Semua penonton terbelalak dan suasana riuh karena mereka mengeluarkan seruan heran dan juga kaget. Mereka melihat pemuda itu membuat gerakan yang lucu seperti gerakan seekor monyet. Akan tetapi anehnya, semua pukulan hebat dari jagoan mereka itu tidak pernah mengenai sasaran.
Pukulan yang dilakukan dengan sepenuh tenaga, kalau mengenai tempat kosong dapat menguras tenaga. Setelah pukulan-pukulan keras itu tidak ada yang mengenai sasaran sampai puluhan kali, mulailah Hendrik berkeringat dan dia merasa penasaran dan marah sekali. Dia tahu bahwa ada orang yang pandai berkelit dan memiliki gerakan gesit sekali, akan tetapi belum pernah dia dapat membayangkan ada orang yang mampu menghindarkan diri dari serangkaian serangannya sampai puluhan kali, hanya dengan elakan dan tidak pernah menangkis. demikian gesitkah orang ini, atau serangannya yang lamban?
“Verrek, zeg...!” Dia memaki dan kini kedua kakinya yang berbulu, besar dan panjang itu menyambar-nyambar dengan tendangan sekuat tendangan pemain sepak bola yang mahir. Agaknya, tak pelak lagi, tubuh Aji akan terlempar seperti bola kalau sampai terkena tendangan dahsyat itu. Namun, Aji yang bergerak dengan ilmu silat Wanara Sakti itu menjadi cekatan sekali, tidak ubahnya seekor kera. Hanya dengan sedikit memutar tubuh saja tendangan lawan itu dapat dielakkan dan ketika tendangan demi tendangan susul menyusul datang bertubi-tubi, tubuhnya berputaran dan tak sebuahpun tendangan mampu menyentuh tubuhnya!
Keringat telah membanjiri seluruh tubuh Hendrik. Dia mulai panik. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu keanehan seperti ini. Kini dia sudah mempergunakan segala daya. Dia tidak hanya meninju seperti seorang petinju, akan tetapi dia juga menampar, menjotos, mencengkeram, menendang, namun semua itu sama sekali tidak pernah menyentuh lawan. Dia merasa seolah bertanding melawan bayangan saja! Kini semua penonton menjadi terbelalak dan mulut mereka ternganga. Tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Hendrik, raksasa jagoan mereka itu kini diperlakukan seperti seorang anak kecil saja oleh pemuda itu.
Semua serangannya, kebanyakan serangan maut karena kalau mengenai sasaran tentu membuat tulang-tulang remuk dan kepala atau dada dapat pecah, sama sekali tidak pernah dapat menyentuh lawan. Hanya Sulastri yang tersenyum senang, akan tetapi ia mengerutkan alisnya melihat kenyataan betapa Aji sama sekali tidak pernah membalas, pada hal ia yakin bahwa kalau Aji menghendakinya, sejak tadi raksasa itu sudah dapat dirobohkam. “Mas Aji, apa maksudmu main-main seperti ini? Cepat kalahkan dia!” Akhirnya Sulastri tak dapat menahan diri dan berseru nyaring. Mendengar teriakan gadis itu, Aji juga merasa bahwa sudah cukup ia mempermainkan lawannya, membiarkan lawan menyerang sampai kehabisan teaga. Ketika kedua tangan raksasa itu menyambar lagi dengan pukulan, dia mengelak ke samping, menekuk lutut kiri dan dari bawah kaki kanannya menyambar cepat sekali. Kaki kanan itu menyambar dua kali ke arah lutut Hendrik, seperti ular memagut dan tepat sekali mengenai sasaran.
“Tuk! Tuk!” Tepat sekali sambungan lutut kedua kaki Hendrik tercium tendangan dan tak mungkin dapat dipertahankan lagi, kedua kaki raksasa itu terasa lumpuh dan diapun jatuh bertekuk lutut. Aji tidak membuang kesempatan ini. Tangan kirinya menyambar dengan jari terbuka ke arah tengkuk raksasa itu.
“Wuuuttt... dukkkk!” Tubuh yang besar itu terkulai roboh dan tak mampu bergerak lagi karena pingsan. Seruan-seruan kaget terdengar dan para anak buah kapal yang membawa bedil sudah siap menodongkan bedil mereka ke arah Aji. Akan tetapi Nyi Maya Dewi yang duduk dekat Kapten De Vos memberi isyarat kepada pembesar Kumpeni itu dan De Vos memberi aba-aba kepada para anak buahnya untuk mundur. Beberapa orang anak buah kapal lalu menggotong tubuh raksasa yang pingsan itu pergi dari situ.
“Tuan, jagomu telah kalah. Harap tuan suka memegang janji.” kata Aji kepada De Vos. Melihat kekalahan Hendrik tadi, De Vos mengerutkan alisnya dan tahulah dia bahwa Maya Dewi tidak berbohong atau melebih-lebihkan. pemuda yang tampak lemah itu sungguh berbahaya sekali. Kalau gadis cantik itu juga sama tangguhnya, maka mereka berdua sungguh merupakan orang-orang berbahaya, apa lagi mereka adalah orang-orang Mataram!
“Oh tentu, tentu saja. kami selalu memenuhi janji. Bukankah begitu, Warga?” De Vos menoleh kepada pembantu utamanya yang amat dipercaya itu. Warga adalah seorang yang amat cerdik. Dia sudah mendengar dari Maya Dewi akan keadaan Aji dan Sulastri. Gadis sakti itu telah keracunan dan hal itu membuat Aji dan Sulastri menyerah dan tunduk kepada mereka, menuruti kemauan mereka. Dia yakin bahwa Aji dan Sulastri berada dalam keadaan keracunan dan belum diberi obat penawarnya. Maka, ketika De Vos bertanya kepadanya, tanda bahwa kapten itu merasa gelisah dan bingung, merasa ragu apa yang harus diperbuatnya, diapun segera menjawab.
“Tentu saja, tuan kapten. Aji dan Sulastri berhak untuk mengadakan perundingan berdua saja malam ini dan besok pagi baru mereka akan memberi keterangan tentang kekuatan pasukan Mataram dan tentang rencana penyerbuan ke Batavia. Aji telah menangkan pertandingan dan sudah sepantasnya kalau kita menghormat seorang pendekar gagah perkasa seperti dia dan merayakan kemenangannya. Sekalian kita merayakan untuk menyambut kedatangan Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad yang terhormat dan telah berjasa besar bagi Kumpeni!”
“Goed,heel goed! (Baik, sangat baik)! Kita berpesta untuk menyambut mereka!” Pesta perjamuan diadakan dengan meriah. Aji dan Sulastri duduk pula bersama mereka semua, menghadapi meja makan besar yang penuh hidangan bermacam masakan. Mereka tidak merasa sungkan karena mereka memang membutuhkan makan cukup agar tubuh mereka tetap kuat. Juga mereka tidak takut keracunan makanan karena semua orang ikut makan. Kapten De Vos yang ingin sekali menarik dua orang muda itu agar dapat menjadi pembantunya, memperlihatkan sikap ramah dan hormat.
Dia sendiri menuangkan anggur ke dalam gelas dan menghidangkannya kepada Aji dan sulastri. Akan tetapi ketika dua orang ini mencium bau anggur yang keras dan yang belum pernah mereka rasakan, Aji menolak dan minta agar mereka diberi minuman air teh saja. Permintaan ini dipenuhi dan Kapten De Vos mengangkat gelas anggurnya. “Mari kita minum untuk mengucapkan selamat datang kepada Tuan Lindu Aji dan Nona Sulastri, juga mengucapkan selamat atas kemenangannya!"
Tiba-tiba Sulastri yang selama ini berdiam diri saja karena merasa tidak berdaya, berkata, “Nanti dulu, tuan. Sebelum kita minum, aku ingin mendengar dulu darimu. Apakah setelah kami berdua menceritakan apa yang kita ketahui, kami akan dibebaskan tanpa gangguan apapun?”
Kapten De Vos merasa heran dan kagum. Tadinya dia mengira bahwa Sulastri yang tadinya diam saja itu seorang gadis pemalu. Kiranya kini bicara dengan lancar dan pandang matanya kepadanya demikian mencorong penuh selidik dan wajah yang jelita itu tampak cerdik sekali! “Ya, tentu, tentu! Tentu kami akan membebaskan kamu berdua tanpa gangguan!” kata De Vos sambil mengangguk angguk.
“Akan tetapi, kami telah diracuni oleh Maya Dewi dan ia berjanji akan memberikan obat penawarnya kepadaku kalau aku dan Mas Aji sudah memberikan keterangan. Apakah tuan berani menanggung bahwa Maya Dewi akan memegang janjinya?” Tanya pula Sulastri sambil melirik ke arah Maya Dewi. “Terus terang saja, aku tidak mungkin dapat mempercayai janjinya. Saya minta agar tuan berjanji. Saya lebih percaya kepadamu. Tuan adalah seorang yang mempunyai kedudukan tinggi, kiranya mustahil kalau tuan akan bertindak curang dan pengecut, menjilat ludah sendiri, menelan dan mengingkari janji!”
Aji diam-diam kagum akan kata-kata dan sikap Sulastri. Dia memperhatikan dan melihat betapa wajah Maya Dewi berubah kemerahan dan wanita ini bertukar pandang dngan pria jangkung yang menjadi kekasihnya dan yang telah menyimpan obat penawar untuk Sulastri.
Sementara itu, mendengar ucapan Sulastri, De Vos juga megangguk-angguk dan melirik ke arah Maya Dewi. Baru sekarang dia mengetahui benar mengapa orang-orang digdaya seperti Aji dan Sulastri mudah saja dibawa ke kapal dihadapkan kepadanya dan dipaksa membuka rahasia tentang Mataram. Kiranya gadis jelita itu telah keracunan dan obat penawarnya ada pada Maya Dewi! Sungguh suatu siasat yang amat cerdik dari pembantunya yang cantik dan terpercaya ini. “O, begitukah? Maya, apa kamu menyimpan obat penawar itu?” tanyanya sambil menoleh kepada Maya Dewi. Wanita itu mengangguk membenarkan. “Nou... kalau begitu, geen problem (tiada masalah)! Biar kami yang berjanji bahwa kalau memberi keterangan yang sejelasnya tentang kekuatan pasukan Mataram dan rencana mereka menyerbu Batavia, kamu berdua akan dibebaskan tanpa gangguan dan obat penawar untuk Nona Sulastri akan kami berikan!”
“Bersumpahlah, tuan, agar kami mau percaya.” kata pula Sulastri.
“Bersumpah? Wat bedoel je (apa maksudmu)?” Ki Warga yang ternyata pandai berbahasa Belanda segera menerangkan apa yang dimaksudkan Sulastri dengan bersumpah. “Oo, is dat zo (begitukah)? Baik, kami bersumpah akan memenuhi janji-janji kami tadi. Kalau kami berbohong, biarlah kami mati tenggelam bersama kapal kami!”
Setelah selesai makan, seperti yang telah dijanjikan, Aji dan Sulastri memperoleh kebebasan berdua saja dalam sebuah bilik di kapal itu. Sebelum bicara, keduanya meneliti keadaan kamar itu. Setelah melihat semua penjuru dan merasa yakin bahwa pembicaraan mereka tidak disadap atau diintai, mulailah mereka bercakap-cakap dengan suara berbisik sehingga andaikata ada yang mendengarkan dari luar kamar sekalipun, pendengarnya tidak akan dapat menangkap suara mereka.
“Gertakanmu kepada kapten itu tadi sehingga memaksanya bersumpah sungguh baik dan tepat sekali, Lastri. Dengan demikian tentu dia sekarang tidak ragu lagi bahwa kita memang menyimpan rahasia Mataram.” bisik Aji.
“Akan tetapi sesungguhnya aku masih tidak mengerti, Mas Aji. Mengapa engkau katakan kepada mereka bahwa kita mengerti akan rahasia Mataram? Rahasia apakah itu?” Aji tersenyum.
“Itu hanya siasatku saja, Lastri. Kalau kita benar-benar mengetahui akan rahasia Mataram, apa kau kira aku akan sudi membocorkan rahasia itu kepada mereka? Tidak, lebih baik mati dari pada mengkhianati Mataram. Akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu apa-apa, hanya kukatakan bahwa aku tahu akan besarnya kekuatan pasukan Mataram dan bahwa engkau tahu akan rencana penyerbuan Mataram ke Batavia.”
“akan tetapi kenapa? Untuk apa kebohongan itu?”
“Itu hanya siasatku agar kita tidak dibunuh karena aku sudah terpaksa menyerah melihat engkau roboh pingsan dan mereka tawan.”
“Ahh, engkau berkorban untuk aku, kakangmas. Mengapa engkau menyerah dan tidak mengamuk dan kalau mereka terlalu kuat, tidak melarikan diri saja. Karena aku engkau tertawan pula.” kata Sulastri dan penyesalan ini sungguh-sungguh.
“Ah, nimas, bagaimana mungkin aku melarikan diri dan membiarkan engkau terjatuh ke tangan manusia-manusia berwatak iblis itu? Aku menyerah dan aku segera bersiasat memberi harga yang tinggi sekali kepada kita, yaitu bahwa aku dan engkau tahu akan rahasia yang amat penting dari Mataram, rahasia itu penting sekali bagi Kumpeni. Siasatku berhasil. Mereka tidak berani mengganggu kita dan menghadapkan kita kepada Kapten De Vos.”
“Akan tetapi nenek genit itu meracuni aku sehingga kita sama sekali tidak berdaya. Andaikata mereka ingkar janji dan tidak menyerahkan obat penawar kepadaku, maka segala usaha untuk menolongku sia-sia saja, mas. Apa tidak lebih baik kita mengamuk saja, membunuh mereka semua dan engkau berusaha menyelamatkan diri?”
“Dan engkau?”
“Aku? Biarkan aku mati keracunan, aku tidak takut mati!”
“Tidak mungkin! Dengar, aku sudah mengatur siasat lain, karena itu aku minta agar diberi waktu sampai besok pagi agar kita dapat berunding dan bergerak malam ini.”
“Apa yang kita lakukan, Mas Aji?”
“Ketika kita berada di rumah Ki Warga, aku berhasil mendengar percakapan antara Maya Dewi dan pria jangkung itu. Aku tidak tahu siapa namanya.”
“Aku juga hanya mendengar orang-orang menyebutnya raden saja.” kata Sulastri. “Apa yang kau dengar?”
“Maya Dewi menyerahkan obat penawar untukmu itu kepada jahanam itu!”
“Eh, kenapa?”
“Jahanam keparat itu agaknya tergila-gila kepadamu, nimas. Dia menginginkan dirimu dan dia minta obat penawar itu agar dia dapat memaksamu. Kalau obat penawar itu berada ditangannya berarti nyawamu berada di tangannya.”
“Si kunyuk babi anjing kurang ajar itu!” Sulastri memaki dan karena dalam amarahnya ia mengeluarkan suara keras, maka Aji cepat memberi isyarat agar gadis itu tidak berteriak-teriak.
“Lastri, tenang dan sabarlah. Dalam keadaan terancam seperti ini kita harus dapat bersikap tenang. Aku sengaja minta agar kita berdua mendapat kesempatan untuk berunding dan siasatku berhasil. Kita dapat bicara sekarang. Tunggu sebenatar!” Aji kembali memeriksa keadaan sekitar luar bilik kapal itu. Tidak ada orang mengintai. Dia kembali lagi, duduk dekat Sulastri dan melanjutkan pembicaraan dengan suara berbisik. “Malam nanti kita harus bergerak, harus bertindak cepat.”
“Apa yang akan kita lakukan?”
”Kita harus membuat kekacauan di kapal ini malam nanti.”
“Bagus! Aku suka itu. Akan tetapi... ah, racun di tubuhku membuat aku tidak mungkin mengerahkan tenaga sakti. Apa yang dapat kulakukan untuk membantumu, Mas Aji? Aku ingin sekali membantu. Berilah tugas padaku!” Sulastri bergairah sekali. Ia sudah hampir tidak tahan berada dalam keadaan tidak berdaya dan menjadi tawanan seperti itu.
“Tugasmu penting sekali, Lastri. Untuk membuat suasana menjadi ribut dan kacau, engkau harus membuat kebakaran di kapal ini! Aku melihat anak buah kapal mengambil minyak dari bilik kecil di sudut sana itu. Agaknya bilik itu gudang untuk menyimpan alat-alat, di antaranya minyak. Nah, kalau engkau dapat melempar api ke dalam bilik itu, pasti akan terjadi kebakaran dan suasana menjadi ribut dan kacau.”
Gadis itu mengangguk-angguk. “Itu mudah, aku dapat melakukannya. Akan tetapi sesudah itu bagaimana?”
“Engkau sudah tahu pula bahwa Kapten De Vos itu merupakan orang penting dari Kumpeni Belanda dan agaknya amat berkuasa, dihormati semua orang dan juga ditaati. Bahkan Maya dewi dan orang penuh rahasia bernama Ki Warga itu tampaknya amat tunduk kepadanya. Nah, dalam kekacauan itu aku akan mencari kesempatan untuk menawan dan menyandera Kapten De Vos. Kalau usahaku itu berhasil, kita pasti dapat menuntut apa yang kita perlukan. Selanjutnya serahkan saja kepadaku. Engkau harus selalu dekat denganku setelah melakukan pembakaran itu. Dengan Kapten De Vos sebagai sandera, mereka pasti tidak akan berani bertindak sembarangan dan akan mematuhi semua tuntutan kita.”
Sulastri mengangguk-angguk dan sepasang alis yang kecil hitam berbentuk indah itu berkerut memikir. Kemudian ia bertanya. “Semua itu baik sekali, Mas Aji. Akan tetapi bagaimana seandainya rencana kita gagal? Andaikata aku tidak dapat melaksanakan pembakaran dan engkau tidak berhasil menyandera De Vos? Bagaimana? Mereka tentu akan memaksa kita untuk memberi keterangan tentang Mataram yang tidak kita ketahui sama sekali. Kalau begitu, bagaimana?”
“Kalau kita gagal, masih ada harapan bagi kita. Selama mereka masih yakin bahwa kita berdua menyimpan rahasia tentang Mataram, aku yakin mereka tidak akan begitu bodoh untuk mengganggu kita. Rahasia itu masih dapat kita pergunakan sebagai perisai dan pelindung diri. Kita masih dapat mencari kesempatan dan akal lain. Kalaupun terpaksa kita harus bicara, kita dapat saja memberi keterangan secara ngawur. Kita dapat mengarang sesuka kita asal masuk di akal. Misalnya aku. Aku dapat mengatakan bahwa besar kekuatan pasukan Mataram ada lima puluh laksa (lima ribu) orang dan masih ada cadangannya sebanyak itu pula. Aku dapat mengatakan bahwa seluruh kadipaten di Nusa Jawa siap membantu Mataram dan banyak lagi yang dapat kukatakan untuk membuat Belanda menjadi panik.”
“Dan aku, bagaimana? Aku tidak mengerti tentang siasat perang!” kata Sulastri bingung.
“Ah, katakan saja bahwa balatentara Mataram akan dipecah menjadi empat bagian. Tiga bagian akan menyerang dari barat, selatan dan timur Batavia, sedangkan yang sebagian akan menyerang dengan menggunakan perahu-perahu dan mengepung di utara. Dengan demikian Batavia akan dikepung dari semua penjuru. Kalau ditanya tentang ransum, katakan saja rakyat di sekitar Batavia sudah siap membantu. Juga Banten akan datang pula menyerang. Dengan demikian Kumpeni Belanda akan menjadi semakin panik dan ketakutan. Akan tetapi semua keterangan ini tidak perlu kita ceritakan kalau keadaan kita tidak terpaksa sekali. Maka, usaha kita malam nanti harus berhasil baik.”
Mereka lalu mengatur siasat dan merundingkan dengan teliti. Agar tidak mendatangkan kecurigaan kepada pihak musuh, setelah mandi dan makan malam, mereka tinggal di bilik masing-masing yang memang disediakan untuk mereka. Bilik kecil mereka berdampingan. Malam itu gelap dan sunyi. Kapal yang berlabuh tak jauh dari pantai itu bergoyang-goyang sedikit karena air laut pasang. Kapten De Vos mengadakan rapat dengan Ki Warga, Nyi Maya Dewi, Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad dan Raden Banuseta.
Mereka membicarakan tentang hasil para anggota jaringan mata-mata Kumpeni Belanda dan dalam hal ini yang banyak memberi keterangan adalah Ki Warga sebagai pemimpin jaringan mata-mata dan Maya Dewi yang bertugas sebagai pengawas dan banyak melakukan peninjauan di daerah-daerah. Juga dalam kesempatan itu Kapten De Vos memuji siasat Maya Dewi yang telah meracuni Sulastri sehingga dua orang muda yang sakti dan tangguh itu dapat dibuat tidak berdaya dan dipaksa untuk membuka rahasia gerakan Mataram.
“Siasatmu itu benar-benar hebat, Maya. Keadaan mereka berdua sudah tersudut dan terpaksa, mau tidak mau mereka tentu akan membuka rahasia itu. Betapa setiapun mereka kepada Mataram, tentu mereka lebih sayang kepada nyawa mereka. Ha-ha-ha, kita akan berhasil! Kalau kita sudah tahu akan kekuatan dan rencana siasat Mataram menyerang Batavia, akan mudah bagi kita unuk menghancurkan mereka!”
Kapten De Vos yang sudah mulai mabok anggur sehingga mukanya yang biasanya sudah kemerahan itu kini menjadi merah sekali, tertawa-tawa gembira. Tiba-tiba suara yang tenang serius Ki Warga menghentikan suara tawa Kapten De Vos.
“Saya harap tuan kapten tidak terlalu gembira lebih dulu.”
Kapten De Vos menghentikan tawanya dan pada saat itu, Hendrik De Haan memasuki ruangan itu. “Aha, Hendrik, kebetulan kamu datang. Duduklah dan ikut berunding. Mungkin kami membutuhkan pendapatmu!”
Raksasa itu lalu menyeret sebuah kursi dan duduk di tempat yang lowong, di depan Ki Harya Baka Wulung, terhalang meja. Tanpa diperintah dia meraih botol minuman anggur dan menuangkan ke dalam sebuah gelas besar yang kosong, lalu minum dengan lahap sekali. Melihat sikap itu, kapten De Vos dan yang lain-lain tidak memperdulikannya. Memang demikianlah sifat dan watak raksasa ini, atau watak pelaut kulit putih pada umumnya, keras dan kasar.
“Tuan Warga, apa yang kau katakan tadi? Kenapa kamu mencegah kami terlalu gembira? Apakah masalahnya?”
“Begini, tuan kapten. Tuan bergembira karena dua orang tawanan itu, Lindu Aji dan Sulastri, akan membuka rahasia Mataram, memberi keterangan tentang kekuatan balatentara Mataram dan rencana siasat mereka menggempur Batavia sebagai pengulangan serangan mereka pertama yang berhasil kita gagalkan.”
“Ya, tentu saja. Apa salahnya itu?”
“Tidak salah, tuan. Akan tetapi kalau bergembira sekarang, itu terlalu terburu-buru namanya. belum waktunya untuk bergembira.”
“Hei, Tuan Warga. Apa maksudmu?”
“Saya hanya hendak bertanya, tuan. Bagaimana seandainya besok pagi itu kedua orang tawanan kita memberi keterangan yang palsu? Keterangan yang sama sekali tidak benar, tidak sesuai dengan kenyataan? Kalau mereka itu berbohong, bukankah pihak kita yang akan menderita rugi besar?”
Mendengar ucapan itu, semua orang tertegun dan baru ingat akan kemungkinan besar itu. Kapten De Vos termenung dan tampak bingung dan khawatir. Kemudian dia mengepal tinju dan memukul meja. “Brakk! God Verdomme, zeg!” dia memaki. “Benar sekali omonganmu itu, Tuan Warga. Untung kamu mengingatkan kami akan kemungkinan itu. Natuurlijk (tentu saja), bisa saja mereka berbohong, bahkan lebih banyak kemungkinannya mereka itu berbohong! Lalu bagaimana baiknya, Tuan Warga?”
“Mudah saja mengatasinya, tuan kapten. Besok pagi biarkan mereka menerangkan tentang rahasia itu, akan tetapi kita tidak boleh membebaskan mereka dulu. Kita tunggu sampai penyerangan Mataram itu benar terjadi. Kalau memang benar seperti yang mereka laporkan, nah, baru kita bebaskan mereka. Kalau sebaliknya laporan itu palsu dan tidak benar, kita hukum dan bunuh mereka.”
“Oho, bagus, bagus! Kami setuju dan sebaiknya diatur begitu. Kamu memang pandai, Tuan Warga. Maya, besok engkau dan para pembantumu yang baru ini, Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad, harus siap siaga dan menjaga kalau-kalau dua orang tawanan itu akan memberontak. Kita biarkan mereka memberikan laporan, akan tetapi tetap menahan mereka sampai terbukti benar tidaknya laporan mereka seperti dikatakan Tuan Warga tadi.”
“Baik, tuan.” kata Nyi Maya dewi patuh. Tiba-tiba Ki Harya Baka Wulung berseru nyaring.
“Aku tidak setuju!”
Tentu saja semua orang terkejut dan memandang kepadanya. “Apa maksudmu dengan ucapan itu, Tuan Harya?” tanya Kapten De Vos sambil memandang penuh selidik dengan sepasang matanya yang kebiruan.
“Tuan Kapten, aku Ki Harya Baka Wulung adalah seorang tokoh besar Madura yang gagah perkasa. Bangsa kami terkenal keras namun terbuka dan sekali berjanji, akan memenuhinya dengan taruhan nyawa. Aku tidak suka kalau diajak utuk mengingkari janji, biarpun terhadap dua orang muda yang menjadi musuhku. Aku tidak setuju dengan cara yang curang itu.”
Mendengar ucapan yang nadanya keras itu, Hendrik De Haan yang menjadi pengawal pribadi dan jagoan Kapten De Vos menjadi marah. Dia bangkit berdiri mengepal tinjunya yang besar diamangkan ke arah Ki Harya Baka Wulung. “Harya Baka Wulung!” Dia berteriak dengan suara cedal lalu melanjutkan kata-kata dalam bahasa Belanda karena tidak mahir berbahasa daerah. Ki Warga segera menyalin dalam bahasa daerah agar dapat dimengerti Ki Harya Baka Wulung. “Harya Baka Wulung, kamu mengaku tokoh Madura yang gagah perkasa akan tetapi buktinya Madura sudah jatuh ke tangan Mataram. Kamu sekarang ini menjadi pembantu Kumpeni Belanda dan kewajibanmu adalah untuk menaati semua perintah Kapten De Vos! Tidak sepatutnya kamu bersikap kasar seperti ini!”
Terbelalak sepasang mata Ki Harya Baka Wulung mendengar terjemahan Ki Warga itu. Diapun mengamangkan tinjunya ke arah muka raksasa bule itu dan membentak. “Hendrik De Haan! kau kira aku takut kepadamu? Kamu hanya tukang pukul murahan! Ketika aku bergabung dngan Nyi Maya Dewi, aku hanya mau karena ingin melihat Mataram jatuh, bukan berarti aku menjadi antek Belanda. Aku hanya mau bekerja sama untuk menjatuhkan Mataram!”
Hendrik De Haan tidak dapat bicara bahasa daerah, akan tetapi karena dia sudah lama juga mengikuti Kapten De Vos, kalau hanya mendengar saja dia dapat mengerti artinya. Maka, mendengar jawaban itu, dia lalu meninggalkan kursinya, berdiri di tengah ruangan itu dan menantang. Dia hanya menggapai dengan tangan kiri dan mengamangkan tinju kanan ke arah Ki Harya Baka Wulung. Tokoh Madura itu adalah seorang yang berwatak keras, maka diapun segera melompat menghampiri. Dua orang ini sudah berhadapan dengan mata melotot. Biarpun Ki Harya Baka Wulung sudah berusia hampir tujuh puluh tahun, dia masih tampak gagah dan kokoh dengan tubuhnya yang tinggi tegap. Walaupun tubuhnya tidak sebesar tubuh Hendrik, namun dia dapat disebut seorang bertubuh raksasa di antara bangsanya. Kumisnya yang tebal itu seolah berdiri saking marahnya.
“Majulah, setan bule!” Ki Harya Baka Wulung menantang.
“Paman Harya, jangan membunuh orang!” Nyi Maya Dewi berseru khawatir.
“Aku hanya ingin menghajar si keparat ini!” kata Ki Harya Baka Wulung. Sementara itu, Hendrik De Haan yang sudah agak banyak minum anggur dan hawa panas sudah mulai naik ke kepalanya, tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia sudah menerjang ke depan, menyerang bagaikan seekor biruang. Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung adalah seorang sakti yang memiliki kemahiran pencak silat yang sudah matang. Melihat serangan kedua tangan dari kanan kiri atas itu, diapun menangkis dari dalam dengan kedua lengannya.
“Dukkk!” Dua pasang lengan bertemu dan pada saat itu, kaki kanan Harya Baka Wulung menyapu kaki lawan dan pada saat yang sama, lengan kanannya yang menangkis dan sikunya menhunjam ke depan dengan kuat sekali.
“Desss... dukkk!” Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh Hendrik terjengkang. Akan tetapi dia bukan orang lemah. Ketika tubuhnya terdorong ke belakang dan kakinya terjegal, dia malah membuang diri ke belakang dan berjungkir balik sehingga dia tidak sampai terbanting roboh. Hantaman siku kanan Harya Baka Wulung yang mengenai dadanya tadi seolah tidak dirasakannya. Hendrik menjadi marah dan sambil mengeluarkan gerengan dari mulutnya yang berbau arak itu, dia menerjang lagi.
Kedua lengannya yang besar panjang itu kini tidak memukul melainkan bagaikan dua ekor ular cepatnya tahu-tahu telah menangkap kedua lengan lawan. Gerakannya cepat sekali karena dia mempergunakan ilmu gulat yang pernah dipelajarinya. Harya Baka Wulung terkejut dan tidak mampu menghindar, tahu-tahu kedua lengannya telah ditangkap dan raksasa bule itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengangkat tubuh Harya Baka Wulung dan membantingnya.
Hendrik biasa berlatih mengangkat besi yang beratnya dua kali berat tubuh Harya Baka Wulung, maka dia merasa yakin akan mampu mengangkat tubuh lawan itu tinggi-tinggi kemudian dibantingnya agar tulang-tulang itu menjadi patah-patah. Akan tetapi raksasa Belanda itu terlalu memandang rendah lawannya. Harya Baka Wulung seorang tokoh besar Madura yang memiliki banyak aji kesaktian dan dia merupakan seorang ahli tapa yang telah menguasai banyak ilmu yang hebat-hebat.
Ketika dia maklum akan niat lawan, yaitu mengangkatnya ke atas, cepat dia mengerahkan Aji Selatantra. Dengan aji yang dahsyat itu, tubuh Harya Baka Wulung seolah menjadi seberat gunung batu! Hendrik de Haan mengerahkan seluruh tenaganya, namun sia-sia, sama sekali dia tidak mampu mengangkat tubuh kakek tua itu! Dia bekah-bekuh, menahan napas dan mengerahkan segenap tenaganya, otot-ototnya sampai menggembung, tulang-tulangnya berkerotokan, bahkan hawa dalam perutnya yang didorong keluar sehingga terdengar suara memberebet!
Namun, setelah ber ah-ah-uh-uh beberapa lama tetap saja tubuh lawan tidak dapat diangkatnya. Ketika kedua lengannya bagian atas siku itu dipegang lawan, kedua tangan Ki Harya Baka Wulung berada di sebelah dalam. Kini, dia menggerakkan kedua tangan ke depan dan dia mengangkap pinggang Hendrik. Dia mengerahkan tenaga Cantuka Sakti yang luar biasa dahsyatnya itu dan sambil mengeluarkan suara nyaring dia mengangkat tubuh Hendrik ke atas. “Kok-kok-kokkk!” Terdengar suara berkokok itu dari dalam perutnya dan tubuh Hendrik yang tinggi besar itu telah diangkatnya ke atas kepalanya.
“Paman Harya, jangan membunuh!” kembali Maya dewi berteriak. Mendengar teriakan ini, Harya Baka Wulung teringat. Diapun bukan seorang bodoh yang menurutkan nafsu amarah. Dia tahu bahwa kalau dia membunuh, bukan saja nyawanya terancam oleh Kapten De Vos dan anak buahnya yang mempunyai senjata api, akan tetapi juga usahanya bekerja sama dengan Belanda untuk membalas dendamnya kepada Mataram akan gagal. Maka, dia tidak membanting tubuh raksasa itu. Kalau dibantingnya dengan tenaga Cantuka Sakti tentu akan remuk tulang-tulang tubuh itu atau akan pecah kepalanya. Dia lalu melemparkan saja tubuh Hendrik ke atas.
“Bressss.... !” Tubuh itu melayang ke atas lalu terbanting jatuh ke atas lantai kapal. Memang tidak sampai tewas atau patah-patah tulangnya, namun cukup membuat kepalanya pening dan pinggulnya nyeri, perutnya mulas. Hendrik merasa malu sekali dan hal ini membuatnya marah besar. Biarpun pandang matanya masih berkunang, namun dia segera mencabut sebuah pistol besar yang terselip di pinggangnya dan siap untuk menembakkan pistol itu ke arah Harya Baka Wulung. Akan tetapi, datuk besar Madura ini sudah siap. Dia sudah mengerahkan ajinya yang amat dahsyat yaitu Aji Kukus Langking (Asap Hitam). Begitu dia mendorongkan kedua tangannya, asap tebal hitam menyambar ke arah Hendrik dan terdengar kakek itu berseru dengan suara menggetar mengandung penuh wibawa.
“Lepaskan senjata api itu!” Terjadi keanehan. Bentakan yang mengandung kekuatan sihir itu membuat Hendrik melepaskan pistolnya sebelum dia sempat menarik pelatuknya. Pistol jatuh berdetak di atas lantai dan asap hitam itu membuatnya terhuyung ke belakang sehingga dia terjengkang dan terjatuh. Ki Harya Baka Wulung menarik kembali ajinya. Asap hitam lenyap dan tubuh Hendrik terkapar di atas lantai kapal dan muka berubah menghitam seperti hangus.
Akan tetapi. dia masih untung karena Harya Baka Wulung tidak berniat membunuhnya sehingga tubuhnya tidak sampai melepuh terbakar, hanya hangus seolah-olah dia berjemur matahari dari pagi sampai petang! Ketika Harya Baka Wulung memandang ke sekeliling, kiranya dia sudah terkepung belasan orang anak buah kapal yang menodongkan bedil mereka ke arahnya. Dengan sikap tenang Harya Baka Wulung menghadapi Kapten De Vos dan berkata,
“Aku tidak membunuhnya, dan aku ingin bekerja sama dengan Kumpeni untuk mengalahkan Mataram, bukan untuk menjadi antek Belanda, juga bukan untuk bermusuhan dengan Belanda!”
Ki Warga cepat berkata kepada Kapten De Vos dalam bahasa Belanda, “Tuan Kapten, orang ini amat berguna bagi kita.” Kapten De Vos segera memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menghentikan penodongan mereka dan mengundurkan diri keluar dari ruangan itu. Para anak buah itu untuk kedua kalinya, menggotong tubuh Hendrik dan meninggalkan ruangan itu.
Kapten De Vos tersenyum lebar, memandang Harya Baka Wulung. “Kami mengerti maksudmu, Tuan Harya. Maafkan kelancangan Hendrik tadi. Memang Maya Dewi sudah melaporkan kepada kami bahwa Tuan Harya dan Tuan Somad ingin bekerja sama dengan kami, bukan menjadi pegawai kami. Silahkan duduk kembali, Tuan Harya. Kita bicara dan berunding sebagai sahabat, bukan sebagai atasan kepada bawahan. Silakan.”
Kapten De Vos adalah seorang pejabat yang bertugas sebagai intelejen Belanda dan dia memang sudah mendapat pendidikan mendalam sehingga dia mampu menyesuaikan diri demi keuntungan Kumpeni. Menghadapi sikap sabar dan ramah ini, mereda kemarahan Harya Baka wulung dan dia pun duduk kemabli ke atas kursinya yang tadi. Kapten De Vos menuangkan sendiri anggir ke dalam gelas di depan Harya Baka Wulung, lalu dia mengajaknya minum anggur sambil berkata.
“Marilah kita minum anggur ini sebagai pernyataan persahabatan ini dan sebagai permintaan maaf kami atas kelancangan Hendrik tadi.” Harya Baka Wulung menyambut dan minum anggurnya. Suasana menjadi akrab kembali.
“Tuan Harya, kalau boleh kami bertanya, kenapa kamu begitu membenci Mataram? Apakah karena Mataram telah menaklukkan seluruh Madura dan sekarang kamu ingin membebaskan Madura dari kekuasaan Mataram?” Tanya Kapten De Vos.
Harya Baka Wulung menggeleng kepala dan menghela napas panjang. “Kekalahan Madura terhadap Mataram tidak perlu dipersoalkan lagi. Madura telah membuat perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena memang kalah kuat maka dapat ditundukkan, kini malah dapat dipersatukan di bawah pimpinan Pangeran Cakraningrat yang berkedudukan di Sampang, diangkat oleh Sultan Agung. Pangeran Cakraningrat itu dahulunya adalah Raden Praseno, putera Bupati Arisbaya, dan dia adalah muridku. Tidak, tidak ada alasan bagiku untuk mendendam kepada Mataram karena kekalahan Madura.”
“Kalau begitu, kenapa kamu begitu membenci Mataram sehingga bersedia bekerja sama dengan kami untuk menjatuhkan Mataram?” desak Kapten De Vos. Dia merasa perlu mengetahui latar belakang orang yang akan bekerja sama dengan Kumpeni menghadapi Mataram.
Mendengar pertanyaan itu, Harya Baka Wulung seperti diingatkan kembali akan segala suka dukanya, terutama sekali kedukaan yang teramat besar sehubungan dengan tewasnya putera tercinta. Dia hanya mempunyai seorang putera yang diberi nama Raden Dibyasakti, seorang pemuda yang menurut penilaiannya sendiri amat tampan gagah dan patut dibanggakan. Seluruh cinta kasihnya tercurah kepada puteranya itu. Akan tetapi puteranya itu tewas ketika perang sedang panas-panasnya terjadi antara Madura dan Mataram. Kematian Raden Dibyasakti itu menghancurkan hatinya dan menanamkan bibit dendam kebencian yang teramat besar terhadap Mataram umumnya dan Sultan Agung pada khususnya. Dia harus membalas dendam kematian puteranya itu, apapun yang terjadi!
Setelah menghela napas panjang, Harya Baka Wulung mejawab pertanyaan Kapten De Vos itu. “Sebetulnya ini urusan pribadi. Aku sudah bersumpah dalam hati untuk membalas kepada Sultan Agung untuk dengan cara apapun juga menghancurkan Mataram. Mataram telah merenggut nyawa puteraku yang tunggal, telah menghancurkan semua kebahagiaanku.” Melihat wajah Harya Baka Wulung yang penuh duka dan kini kakek itu menunduk lesu, suasana menjadi hening.
Akhirnya Kapten De Vos berseru, “Mari kita minum lagi. Kita lupakan kenangan masa lalu dan mari kita bersiap untuk menghancurkan Mataram, musuh kita bersama!” Mereka minum anggur lagi. Setelah ketegangan mereda, De Vos bertanya kepada Harya Baka Wulung. “Tuan Harya, kalau tuan tidak setuju untuk tetap menahan dua orang tawanan sampai terbukti bahwa laporan mereka benar, lalu kalau menurut tuan, apa yang harus kita lakukan agar kita tidak sampai menderita rugi oleh kebohongan mereka?”
“Kalau mereka besok pagi memberi keterangan, kita harus membebaskan mereka seperti yang telah dijanjikan. Untuk mencegah agar mereka tidak berbohong, kita minta mereka bersumpah lebih dulu sebelum memberi keterangan mereka. Orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan seperti mereka pasti tidak akan mau melanggar sumpah sendiri. Kalau hal ini masih meragukan, kita beri mereka racun yang akan bertahan sampai saat terjadinya penyerbuan Mataram seperti yang mereka katakan. Setelah ternyata keterangan mereka kelak benar, mereka kelak boleh datang minta obat penawar kepada kita.”
Kapten De Vos melihat betapa semua pembantunya mengangguk-angguk menyetujui siasat itu, maka diapun berkata gembira, “Bagus, bagus sekali. Dengan begitu, kita tidak melanggar janji, juga kita tetap mengikat mereka sehingga mereka pasti tidak berani berbohong!” Dengan gembira dia lalu mengajak semua orang untuk menambah minuman anggur.
Sementara itu, setelah menunggu cukup lama, membiarkan musuh-musuh mereka berpesta dan makan minum sepuasnya, sesuai dengan yang sudah mereka atur dalam pembicaraan mereka siang tadi, Sulastri menerima ketukan pada dinding kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Aji. Ketukan tiga kali, berarti ia harus mulai dengan tugasnya. Ia membalas dengan ketukan tiga kali sebagai isyarat bahwa ia telah mengerti dan siap melaksanakan tugasnya. Ia mengintai dari balik daun pintu kamarnya. Ada dua orang penjaga duduk di depan, di antara kamarnya dan kamar Aji.
Dua orang kulit putih dan bertubuh tinggi kurus, bermuka merah dan hidung mereka panjang seperti hidung Petruk. Sulastri segera memasang aksi, tersenyum manis sekali ketika ia membuka pintu kamarnya dan menghampiri dua orang anak buah kapal yang memegang bedil itu. Melihat gadis cantik itu tersenyum-senyum dan menghampiri mereka dengan langkah yang lemah gemulai, dua orang laki-laki kulit putih itu tentu saja merasa senang, Mereka juga tersenyum dan menyambut Sulastri dengan bahasa daerah yang patah-patah.
“Selamat malam, nona manis. Belum tidurkah?” tegur seorang.
“Nona manis hendak pergi ke manakah?” Tanya yang kedua.
Sulastri memperlebar senyumnya sehingga sinar lampu gantung menimpa deretan giginya yang putih mengkilap. “Aku kesepian sekali, tuan-tuan. Aku ingin mengajak kalian bercakap-cakap.” kata Sulastri dan sengaja ia menggunakan jari-jari tangannya yang lentik untuk menyentuh tangan mereka. tentu saja dua orang anak buah kapal itu yang seperti hmpir semua pelaut, selalu haus akan hiburan dan gila perempuan.
“Ah, kami senang sekali, nona!” kata yang kedua lebih berani. Tangannya hendak merangkul. Akan tetapi Sulastri melangkah mundur lalu menoleh ke kanan kiri dan berkata lirih.
“Jangan di sini, tuan. Aku takut dan malu kalau ketahuan orang lain. Mari kita bicara dalam kamarku saja.”
Dua orang anak buah kapal yang usianya sekitar tiga puluh tahun itu saling pandang, terbelalak dan tersenyum. Hati mereka melonjak dan rasanya ingin bersorak gembira. Ketika melihat gadis itu dengan lenggang memikat sehingga pinggulnya menari-nari melangkah menuju kembali ke kamarnya, dua orang itu seperti berebut mengikuti dari belakang. Karena seluruh perhatian mereka tertuju kepada tubuh belakang Sulastri yang menggairahkan, mereka sama sekali tidak tahu bahwa pintu kamar sebelah terbuka dan sesosok bayangan berkelebat keluar dari kamar itu.
Ketika dua orang penjaga itu tiba di luar kamar Sulastri yang daun pintunya terbuka lebar, Sulastri berkata dengan manis, “Masuklah saja, tuan-tuan, jangan ragu dan malu!”
Dua orang itu melangkah masuk dan pada saat itu, Aji melompat ke belakang mereka. Kedua tangannya menyambar ke arah tengkuk dua orang anak buah kapal itu. “Ngek-ngek!” Dua orang itu terkulai. Sulastri cepat menyambut bedil mereka yang terlepas dari pegangan agar tidak menimbulkan suara gaduh. Aji sudah menangkap lengan kedua orang itu sehingga tidak sampai terguling roboh. Dia lalu menyeret dua tubuh yang sudah tak dapat bergerak karena pingsan itu ke dalam kamar. Menggunakan kain alas pembaringan yang dirobek, aji mengikat kaki tangan kedua orang itu dan menyumbat mulut mereka. Kemudian, tanpa mengeluarkan suara, kedua orang muda itu berindap ke luar.
Mereka tidak perlu bicara lagi karena siang tadi mereka telah mengatur rencana dengan matang. Setelah membuat dua orang penjaga itu tidak berdaya, Sulastri menyelinap dan menuju ke buritan kapal. Sedangkan Aji sudah menyelinap dan bersembunyi di balik tiang. Sulastri tiba di luar bilik yang menjadi gudang kapal itu. Ia mengambil lampu gantung yang berada di luar bilik, kemudian mendorong daun jendela dengan kekuatan tangannya. Ia tidak berani mengerahkan tenaga sakti karena hal itu akan menimbulkan nyeri hebat dalam dadanya. Akan tetapi kedua tangannya yang terlatih itu memiliki tenaga otot yang cukup kuat untuk membuat daun jendela yang tidak begitu kokoh itu terbuka.
Setelah jendela terbuka, ia lalu melemparkan dan membanting lampu gantung ke dalam gudang. Terdengar ledakan kecil dan gudang itu segera terbakar. Minyak yang tersimpan dalam gudang itu segera disambar api dan bernyala besar. Setelah berhasil membakar gudang, Sulastri cepat berlari dan terengah-engah ia mendekam di samping Aji, di belakang tiang besar.
Brand! Brand! (Kebakaran, kebakaran!)” Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dan banyak kaki berlari-larian. Mereka yang sedang berpesta terkejut bukan main. Mereka yang tidak mengerti bahasa Belanda, saling pandang dengan heran. Ki Warga cepat memberitahu mereka, “Ada kebakaran!”
“Cepat, kita lihat! Maya Dewi, Tuan Harya dan Tuan Somad, juga kamu Tuan Warga dan Tuan Banuseta, pergilah kamu ke kamar dua orang tawanan itu!” kata Kapten De Vos.
Mereka semua menghambur ke luar dari ruangan di mana mereka tadi berpesta. Lima orang pembantu itu berlari ke arah dua buah kamar di mana dua orang tawanan itu berada, sedangkan De Vos sendiri berlari ke arah buritan kapal karena di sanalah terjadinya kebakaran. Semua anak buah kapal sibuk berusaha untuk memadamkan kebakaran. Sebetulnya, dengan tenaga banyak orang, kebakaran tentu mudah dipadamkan. Akan tetapi karena persediaan minyak dalam bilik gudang itu terbakar, maka agak sukarlah kebakaran itu dipadamkan, Kapten De Vos yang marah-marah memberi petunjuk dan aba-aba kepada anak buahnya. Dia berjalan mondar-mandir sambil berteriak memberi komando.
Tiba-tiba, lengan kanannya ditangkap sebuah tangan yang amat kuat dan lengan itu ditelikung ke belakang tubuhnya. Sebelum dia sempat meronta, sebatang ujung pisau belati yang runcing tajam menempel dilehernya. Aji yang menangkap kapten itu berseru, “Diam, jangan bergerak, atau lehermu akan kupenggal!” Sulastri yang berada di dekat Aji, cepat mengambil pistol yang tergantung di pinggang Kapten De Vos dan membuang senjata api itu ke luar kapal. Kemudian mereka berdua mengundurkan diri ke pagar kapal. Aji menarik dan memaksa De Vos ikut dengan menyeretnya.
Sementara itu, lima orang pembantu yang berlari menuju je dua buah kamar tawanan, tentu saja menjadi terkejut melihat dua orang penjaga berada di kamar Sulastri dalam keadaan terikat dan tersumbat mulut mereka, sedangkan dua orang tawanan itu tidak tampak. Ki Warga cepat membebaskan mereka dan bertanya apa yang telah terjadi.
“Perempuan itu... ia memanggil kami dan tahu-tahu kami dipukul dari belakang dan tidak ingat apa-apa lagi. Ketika kami siuman, kami telah berada di sini dalam keadaan begini.” Dua orang itu bercerita.
“Tawanan lolos! Tentu mereka yang melakukan pembakaran itu. Mari cepat keluar dan cari mereka!” kata Ki Warga. Semua orang berlari keluar. Mereka berlari ke arah buritan dan membantu mereka yang memadamkan api. Tak lama kemudian api dapat dipadamkan.
“Di mana Kapten de Vos?” Tanya Ki Warga. Barulah semua orang merasa heran dan panik. Pimpinan mereka itu tidak tampak batang hidungnya, pada hal tadi sibuk memimpin anak buahnya memadamlan api. Tiba-tiba mereka mendengar suara yang nyaring yang datangnya dari bagian tengah di atas dek itu.
“Heii, kalian semua lihatlah! kapten De Vos berada di sini!” Semua orang berlarian menuju ke arah suara dan setelah tiba di dekar tihang layar besar mereka tertegun, berdiri mematung dengan mata terbelalak. Di sana, dekat pagar di pinggir, Kapten De Vos berdiri tak berdaya dengan muka pucat. Di belakangnya berdiri Lindu Aji dan Sulastri, keduanya memegang sebatang pisau belati yang runcing dan tajam. Aji menempelkan belatinya di leher De Vos sedangkan Sulastri menodongkan belatinya di lambungnya!
Melihat ini, para anak buah kapal sudah menodongkan bedil mereka ke arah dua orang tawanan itu, akan tetapi Aji cepat membentak. “Lepaskan bedil kalian atau kami akan membunuh Kapten De Vos lebih dulu!” Dia dan Sulastri menekan pisau belati yang mereka rampas dari dua orang penjaga tadi lebih kuat sehingga ujung pisau yang runcing itu mulai menembus kulit dan kulit di leher dan lambung terluka dan mengeluarkan darah.
“Stop! Lepaskan semua bedil itu, kalian goblok!!” Kapten De Vos berteriak kepada anak buahnya. Anak buah kapal itu tak dapat berbuat lain kecuali menaati perintah atasan mereka. Kalau mereka nekat menembak, tentu Kapten De Vos akan mati dan kalau hal ini terjadi, berarti malapetaka besar bagi mereka! Ditangkapnya De Vos oleh dua orang tawanan itu benar-benar membuat mereka tidak berdaya. Terpaksa mereka melepaskan bedil masing-masing ke atas dek.
Nyi Maya Dewi berkata dan suaranya terdengar penuh ancaman. “Lindu Aji, apa yang kau lakukan ini? Bukankah kita sudah berjanji bahwa engkau besok akan melaporkan keterangan kepada kami dan sebagai gantinya kami akan membebaskan kalian dan memberi obat penawar kepada Sulastri yang akan mati tersiksa beberapa hari lagi?”
“Maya Dewi, siapa percaya akan janji-janji kalian? Sekarang bukan saatnya bagi kalian menuntut. Bukan kalian yang berhak menentukan, melainkan kami! Kalian harus memenuhi permintaan kami sebagai pengganti nyawa Kapten De Vos!”
Melihat beberapa orang di antara mereka ada yang membuat gerakan seolah hendak menyerang, Aji berteriak lantang. “Jangan bergerak atau aku akan memenggal leher Kapten De Vos! Jangan kira bahwa kami tidak akan berani melakukan itu. Kami akan membunuhnya dulu kemudian mengamuk sampai mati!”
“Tahan... !” Ki Warga berseru. “Aji, apa yang kau kehendaki? Akan tetapi bersumpahlah dulu bahwa engkau akan membebaskan Kapten De Vos kalau kami memenuhi permintaanmu.”
“Baik, aku bersumpah akan membebaskan Kapten De Vos kalau kalian memenuhi semua permintaan kami.” kata Aji. “Permintaan kami yang pertama, serahkan obat penawar bagi Sulastri!” Berkata demikian, Aji memandang kepada Nyi Maya Dewi. Dia tahu bahwa obat itu ada pada kekasih wanita itu yang kini berdiri di sebelah kiri Maya Dewi. Dia akan tahu bahwa kalau obat itu diberikan oleh Maya Dewi, berarti obat itu palsu. Ki Warga dan semua orang kini menoleh dan memandang kepada Maya Dewi. mereka tahu bahwa yang dapat memberikan obat yang diminta itu hanyalah Maya Dewi.