Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Alap Alap Laut Kidul
Jilid 15
UNTUNG bahwa dalam kamar mandi di rumah itu masih tersedia banyak air dalam bak sehingga Aji dan Sulastri dapat mandi sepuasnya. Setelah mandi dan sarapan bubur, mereka berdua membuka pintu depan dan memandang ke luar. Cuaca masih remang-remang dan keadaan di dusun itu sunyi sekali. Yang terdengar hanya keruyuk ayam jago di sana sini dan burung-burung gereja berceloteh riang. Mereka berdua keluar dari dalam rumah, buntalan pakaian mereka telah bertengger di punggung masing-masing.
Ketika mereka mencari-cari, ternyata seperti yang sudah mereka duga dan khawatirkan, dua ekor kuda tunggangan mereka yang kemarin sore mereka tambatkan pada batang pohon di pekarangan rumah, sudah tidak tampak. Dua ekor kuda mereka telah dicuri orang! "Jahanam keparat Ki Sajali itu!" Sulastri mengepal tangan kanannya. “Awas kamu, sekali tertangkap olehku, akan tahu rasa kamu!"
"Sabar dan tenanglah, Lastri. Agaknya kita berhadapan dengan gerombolan yang teratur, licik dan berbahaya. Lihat, dusun ini agaknya telah kosong. Kurasa dugaanmu semalam tepat sekali. Dusun ini adalah perkampungan gerombolan dan besar sekali kemungkinan mereka adalah anak buah gerombolan pimpinan Munding Hideung."
"Barangkali Ki Sajali itu pimpinan mereka." kata Sulastri.
Aji menggeleng kepalanya. "Kurasa bukan. Menurut keterangan Gusti Pangeran Ratu, Munding Hideung pemimpin gerombolan itu digdaya sehingga berulang kali serbuan pasukan Cirebon gagal. Sedangkan Ki Sajali tadi, kulihat tidak berapa tangguh. Mungkin dia hanya seorang di antara para pembantunya saja."
"Mari kita kejar dan cari mereka, kakangmas! Tanganku sudah gatal-gatal untuk segera menhajar mereka!" kata Sulastri yang merasa tidak sabar lagi. Kini gadis itu bukan hanya menjadi utusan Adipati Cirebon untuk membasmi gerombolan munding hideung, melainkan juga hendak membalas dendam karena nyaris ia tewas oleh gerombolan itu.
"Nanti dulu, Lastri. Lihat, cuaca masih remang-remang, apa lagi di atas sana, di dalam hutan, tentu lebih gelap lagi. Amat berbahaya bagi kita untuk memasuki daerah yang asing itu dalam keadaan gelap. Gerombolan licik itu mungkin memasang jebakan-jebakan yang berbahaya. Kita tunggu sebentar sampai sinar matahari mengusir kegelapan dan halimun tebal ini."
Sulastri tidak membantah karena iapun melihat kebenaran pendapat Aji itu. Mereka duduk di atas bangku di depan pondok itu sambil menanti munculnya sinar matahari. Setelah sinar matahari mulai menyentuh tanah pedusunan itu, Aji berkata, "Lastri, mari kita memeriksa keadaan dusun ini sambil menanti matahari naik lebih tinggi."
Mereka berdua meninggalkan halaman rumah itu dan berjalan-jalan di sepanjang jalan dusun itu. Benar seperti yang mereka sangka, tidak ada seorangpun manusia yang berada di dusun itu. Dusun itu telah ditinggalkan orang dan ternyata pondok-pondok itupun isinya sederhana sekali. Setelah selesai memeriksa semua pondok yang telah kosong, matahari sudah menjadi semakin terang. mereka siap untuk meninggalkan dusun itu dan mendaki gunung.
Akan tetapi ketika mereka berdua berjalan menuju ke pintu gerbang dusun itu, tiba-tiba terdengar suara gaduh dan sekitar dua puluh orang laki-laki yang memegang parang (golok) berserabutan memasuki dusun itu dan mereka mengepung Aji dan Sulastri! Baru melihat cara mereka bergerak mengepung itu saja Aji dan Sulastri sudah maklum bahwa mereka merupakan sekelompok orang yang terlatih, merupakan pasukan yang tangguh.
Di antara mereka yang sekitar dua puluh orang jumlahnya itu tampak pula Ki Sajali dan seorang laki-laki tinggi besar yang mengenakan celana dan baju loreng terbuat dari kulit harimau loreng. Laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun itu memegang sebatang tombak yang berwarna hitam dan berlekuk-lekuk, mengerikan sekali. Aji menudingkan telunjuk kirinya kepada Ki Sajali dan berkata dengan lantang.
"Ki Sajali, kiranya dusun ini menjadi sarang gerombolan. tentu engkau dan semua penduduk dusun ini adalah kaki tangan gerombolan yang dipimpin Munding Hideung!"
Ki Sajali yang memegang sebatang golok tidak menjawab, akan tetapi laki-laki gagah yang memegang tombak itu yang menjawab dengan suaranya yang besar dan parau. "bagus kalau andika sudah tahu bahwa kami adalah Gerombolan Mundung Hideung! Dan aku, Ki Manggala, yang memimpin pasukan ini. Kalian anak-anak menyerah dan berlututlah agar dengan baik-baik kami bawa menghadap pimpinan kami!"
"Gerombolan busuk! Gerombolan licik! Kalian pengecut, hanya berani menggunakan racun dan main keroyokan! Ki Sajali, engkau sudah berani meracuni aku, sekarang engkau harus menebus perbuatanmu yang curang dan keji itu!” bentak Sulastri dan secepat kilat tangan kanannya sudah mencabut Pedang Nogo Wilis.
Sinar kehijauan tampak menyilaukan mata dan gadis itu dengan gerakan yang cepat dan ringan sekali sudah melompat ke depan. Gulungan sinar hijau pedangnya menyambar ke arah leher Ki Sajali. Orang tinggi kurus itu terkejut bukan main melihat sinar hijau menyambar sedemikian dahsyatnya seperti kilat saja. Dia cepat menggerakkan goloknya menangkis, dibantu oleh dua orang di kanan kirinya yang juga ikut menangkis sambaran sinar hijau itu.
"Trang-cring-trakkk...!" Golok Ki Sajali terpental, juga golok kawannya yang berada dikirinya, akan tetapi golok seorang lagi di sebelah kanannya, yang menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaga untuk mematahkan pedang hijau itu sebaliknya malah patah menjadi dua potong!
Pada saat itu, orang yang mengaku bernama Ki Manggala, yang memimpin gerombolan itu, mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menusukkan tombak hitamnya ke arah dada Sulastri!
"Tranggg!!" Tombak itu terpental dan Ki Manggala terkejut melihat bahwa yang menangkis dan membuat tombaknya terpental itu hanya sebatang keris yang digerakkan Aji untuk menangkis tombaknya tadi. Sementara itu, Sulastri sudah mengamuk, dikeroyok oleh Ki Sajali dengan kawan-kawannya. Dikeroyok belasan orang itu, Sulastri sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan ia seperti mendapat kegembiraan, dengan penuh semangat ia bergerak ringan dan cepat bagaikan bayang-bayang, berkelebatan ke sana sini dan pedangnya digerakkan cepat, berubah menjadi sinar kehijauan yang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar.
Dalam waktu beberapa menit saja terdengar teriakan-yeriakan disusul robohnya empat orang pengeroyok, menjadi korban Pedang Nogo Wilis. Aji juga sudah dikeroyok. Mula-mula Ki Manggala menggerakkan tombaknya. menyerang secara bertubi-tubi. namun dengan mudah Aji dapat menghindarkan diri dari serangkaian serangan tombak itu. Tubuhnya seperti tubuh seekor burung alap-alap ketika dihujani serangan patukan ular, mengelak dengan cepat dan ringan sehingga serangan tombak itu selalu mengenai tempat kosong belaka.
Kemudian dia bergerak sambil membalas, dengan tamparan tangan kiri dan tendangan kedua kakinya silih berganti. Dia tidak menggunakan kerisnya karena Aji sama sekali tidak ingin membunuh lawannya. Akan tetapi serangan balasan itu cukup hebat sehingga akhirnya Ki Manggala tidak mampu menghindarkan diri dari sambaran kaki kiri Aji.
"Bukk!!" pinggangnya menjadi sasaran tendangan yang dilakukan dengan tubuh miring dan Ki Manggala terpental dan roboh terbanting. Akan tetapi dia memang cukup tangguh. Dia melompat bangun dan menyerang semakin ganas, kini dibantu oleh lima orang anak buahnya, sisa dari mereka yang mengeroyok Sulastri. Terjadilah pertempuran yang hebat di dekat pintu gerbang perkampungan gerombolan itu.
Sulastri mengamuk dan pedangnya bergerak semakin ganas, Gulungan sinar kehijauan itu menyambar-nyambur dan terdengar bentakan-bentakannya yang nyaring. Lima belas orang yang mengeroyok kini tinggal delapan orang saja karena yang lain telah roboh terluka oleh pedangnya. Ketika Sulastri mempercepat gerakannya, delapan orang termasuk Ki Sajali itu bergabung menjadi satu dan selalu main mundur.
Demikian cepat gerakan pedang sinar hijau itu sehingga mereka hampir tidak memiliki kesempatan untuk menyerang! Biarpun Ki Manggala merupakan lawan yang cukup tangguh dan masih dibantu lima orang pula, namun Aji merupakan lawan yang terlalu berat bagi mereka. Sambaran kaki Aji telah merobohkan dua orang pengeroyok dari tangkisan Keris Nogo Welang telah membuat buntung dua batang golok para pengeroyok.
Ki Manggala menjadi gentar juga dan melihat betapa Ki Sajali yang mengeroyok gadis itupun kini terdesak hebat bahkan banyak yang roboh mandi darah, Ki Manggala memberi aba-aba sambil melompat ke belakang untuk melarikan diri.
"Kita pergi....!!" Dia sendiri sudah berlari cepat meninggalkan tempat itu. Mendengar ini, para anak buah yang memang sejak tadi sudah merasa gentar, cepat berlompatan untuk melarikan diri meninggalkan kawan-kawan yang terluka. ketika melihat Ki Sajali melarikan diri, sulastri cepat membungkuk dan mengambil sebatang golok yang terlepas dari tangan anggota gerombolan yang dirobohkannya dan sambil mengerahkan tenaganya, ia melontarkan golok itu kearah Ki Sajali yang melarikan diri.
"Singgg...!!" Golok itu mengeluarkan suara berdesing saking kuatnya lontaran itu dan tak dapat dihindarkan lagi, golok itu tepat mengenai punggung Ki Sajali, menancap sampai setengahnya. Ki Sajali mengeluarkan teriakan mengerikan dan tubuhnya roboh menelungkup, tewas seketika!
"Mari kita kejar mereka, Mas Aji!" seru Sulastri.
"Tunggu dulu, Lastri!" kata Aji.
"Tunggu apa lagi?" gadis itu mencela.
"Jangan biarkan mereka semua lolos. Kita harus membasmi mereka semua!"
"Mereka hanya anak buah, Lastri. Lebih baik kita mencari seorang yang dapat membawa kita ke sarang mereka dan bertemu dengan pimpinan mereka. Kita dapat memaksa seorang di antara mereka yang terluka itu."
Pada saat itu, seorang diantara para anak buah gerombolan yang roboh terluka, bangkit berdiri dan dia melarikan diri. Akan tetapi dengan lebih cepat lagi Aji melompat dan tiba di depan orang itu. Ternyata orang itu tidak terluka. Tapi dia roboh pingsan ketika tengkuknya terkena pukulan tangan Aji dan setelah siuman dia berusaha untuk melarikan diri. Akan tetapi alangkah kagetnya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Aji sudah berada di depannya. Karena tidak melihat jalan lain, dia menjadi nekat dan menyerang dengan pukulan ke arah dada Aji.
"Wuuuttt.... plakkk!" Tangan kanan yang memukul itu tertahan dan telah ditangkap tangan kiri Aji yang segera mengerahkan tenaga untuk mencengkeram pergelangan tangan lawan itu
"Aduhhh... aduhhh... ampun...!" Orang itu berteriak-teriak kesakitan. Sulastri sudah meloncat dekat dan pedangnya menodong lambung orang itu disusul bentakannya.
"Dengar! Engkau harus menunjukkan sarang gerombolan Munding Hideung kepada kami. Awas kalau engkau menipu kami, pedangku akan membuntungi semua kaki tanganmu!"
Merasa betapa ujung pedang itu menempel di lambungnya orang itu terbelalak dengan wajah pucat. Dia menangguk-angguk dan berkata dengan takut. "baik... baik... akan saya antar...!"
Sulastri menarik kembali pedangnya dan Aji melepaskan cengkeraman tangannya. Orang itu memijit-mijit pergelangan tangan kanannya yang masih terasa nyeri berdenyut-denyut.
"Hayo cepat antar kami ke sarang itu!" bentak pula Sulastri dan dengan wajah ketakutan orang itu lalu mengangguk-angguk dan berjalan mendaki lereng bukit. Diam-diam Sulastri harus membenarkan pendapat Aji. Ternyata pendakian Gunung Careme itu tidaklah mudah dan lerengnya penuh dengan hutan dan semak belukar. Tanpa penunjuk jalan, mereka berdua tentu akan mendapatkan kesukaran untuk dapat menemukan jalan setapak yang membawa mereka ke atas. Lereng yang penuh dengan jurang-jurang yang curam dan jalannya melalui semak belukar dan licin sekali. Akan tetapi anggota gerombolan yang menjadi penunjuk jalan itu agaknya sudah hafal akan keadaan di situ. Dia melangkah tanpa ragu. Agaknya dia mengambil jalan pintas karena hanya dalam waktu sekitar dua jam mereka sudah tiba di lereng paling atas, dekat puncak
“Berhenti dulu!” kata Aji. Orang itu berhenti melangkah dan Sulastri memandang kepada Aji, tidak mengerti apa kehendak Aji menghentikan perjalanan mereka itu.
“Ada apakah, mengapa kita berhenti di sini?” Tanya Sulastri dan juga tawanan mereka itu memandang wajah Aji dengan sinar mata bertanya.
“Kita sudah hampir tiba di puncak, mengapa belum juga sampai di sarang kalian?” Tanya Aji kepada orang itu.
“Di manakah sarang gerombolan itu? Jangan coba-coba untuk menipu kami!"
Orang itu menggeleng kepala, apa lagi ketika Sulastri memandang kepadanya dengan sinar mata marah dan penuh ancaman. Dia merasa lebih takut terhadap gadis itu daripada Aji. Dia tadi melihat betapa banyak kawan-kawannya yang mengeroyok gadis itu roboh dan mandi darah, terluka parah atau tewas, bahkan Ki Sajali juga tewas oleh gadis itu. Sedangkan para pengeroyok Aji yang roboh tidak terluka parah seperti dia, dan agaknya tidak ada yang tewas.
"Tidak, saya tidak berani menipu. dahulu, sarang kami memang berada di hutan sebelah bawah itu. Akan tetapi setelah dua kali kami diserang pasukan Kadipaten Cirebon, pimpinan kami lalu memindahkan sarang kami di lereng balik gunung, di seberang sebuah danau kecil yang terdapat di sana."
"Cepat antar kami ke sana! Ingat, kalau engkau berani menipu kami, aku akan menyayat-nyayat seluruh kulit tubuhmu agar engkau mati dengan tersiksa sekali!" bentak Sulastri.
Orang itu mengangguk dan melanjutkan perjalanan. Aji menegerling kepada Sulastri dan mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia tidak setuju dengan sikap dan sepak terjang Sulastri yang demikian ganas, akan tetapi dia tidak berani menegurnya, maklum bahwa teguran akan membuat gadis itu marah dan tersinggung. Mereka berdua jalan berdampingan di belakang penunjuk jalan itu. Kini mereka menuruni lereng di balik gunung. Dari atas sudah tampak sebuah danau kecil di lereng bawah puncak. Air danau berkilauan tertimpa sinar matahari yang mulai meninggi, putih seperti cermin.
"Di seberang danau itulah sarang kami yang baru!” kata penunjuk jalan itu.
Mereka bertiga menuruni puncak dengan cepat. setelah tiba di tepi danau, Aji bertanya. "Di mana sarang itu?" Penunjuk jalan itu menunjuk ke seberang danau. Danau itu tidak serapa luas dan keadaan di situ sunyi sekali. Di seberang sana tampak hutan lebat.
"Bagaimana kita harus menyeberangi danau ini?" Tanya pula Aji.
"Tidak ada jalan lain menuju ke sana kecuali dengan menyeberang. Biasanya terdapat perahu-perahu kami di sini. akan tetapi sekarang tidak tampak sebuahpun perahu. Tentu para pimpinan kami sudah mendengar dari teman-teman kami yang melarikan diri dan mereka menarik semua perahu ke darat agar andika tidak dapat mendatangi sarang kami. Aku... aku takut, karena kalau Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas melihat bahwa aku telah menjadi penunjuk jalan, mereka pasti akan menyiksa dan membunuhku." Orang itu memandang ke arah seberang dengan muka pucat.
Aji memandang keadaan sekeliling danau. memang tidak ada jalan lain menuju ke seberang danau di mana terdapat hutan luas. Danau itu dikelilingi tebing yang tinggi sehingga untuk menuju ke hutan di seberang itu jalan satu-satunya hanya menyeberangi danau. Kalau mengambil jalan memutari tebing itu tentu akan makan waktu lama dan juga amat sukar karena terdapat jalan setapak. "sarang kalian berada di hutan seberang danau itu?" tanyanya.
"Benar, denmas," kata orang itu. "Lihat itu ada asap mengepul. tentu asap dari dapur umum kami." Dia menuding ke seberang.
Aji dan Sulastri melihat itu dan mereka percaya. "Berapa banyaknya anggauta gerombolan?” tanya Sulastri.
"Ada lima puluh orang lebih, den roro."
"Siapa saja yang menjadi pemimpin mereka?" Aji bertanya.
"Pemimpin kami adalah Ki Munding Hideung dan adiknya, Ki Munding Bodas, dibantu oleh lima orang. Kami membangun pondok-pondok kayu di dalam hutan itu." Matahari telah naik tinggi. "Lastri, kita harus menyeberang." kata Aji.
"Kurasa juga begitu. Akan tetapi dengan apa? Tidak ada perahu di sini."
"Mudah saja. banyak bambu besar tumbuh di sana." Aji menuding ke kiri.
Sulastri maklum. "Heh kamu! Cepat tebang tiga batang pohon bambu besar dan buatkan rakit untuk kami" bentaknya kepada orang itu. Orang itu mengangguk.
"Baik, denroro. akan tetapi... saya tidak mempunyai alat menebang." Sulastri mencabut pedang Nogo Wilis. "Aku yang akan menebang. Engkau harus membuatkan rakit untuk kami!"
Setelah berkata demikian, gadis itu mengajak anak buah gerombolan itu menghampiri rumpun bambu. Dengan tiga kali sabetan saja, tiga batang bambu yang besar dan sudah tua tumbang. Sulastri lalu memotong-motong tiga batang bambu itu sesuai dengan prtunjuk orang itu. Karena orang itu memang ahli dalam pekerjaan itu, sebentar saja dia telah merampungkan pembuatan rakit yang kokoh, terdiri dari bambu-bambu disejajarkan dan diikat dengan tali bambu yang kuat. Aji membantu anak buah gerombolan mengangkat rakit ke tepi danau.
Setelah mereka siap menyeberang danau dengan rakit, orang itu memandang Aji dan mukanya pucat sekali, tubuhnya gemetar. "denmas... denroro... kasihanilah saya... saya tidak berani ikut... mereka tentu akan mencincangku melihat saya membawa andika berdua ke sana. Kasihanilah saya.... jangan ajak saya ke sana..."
"Engkau harus ikut! Kalau engkau tidak ikut, bagaimana kami tahu apakah engkau menipu kami atau tidak? Hayo ikut kami menyeberang!" Sulastri membentaknya.
Orang itu ketakutan dan memandang Aji dengan sinar mata penuh permohonan. "Ikutlah, aku akan melindungimu dari mereka," kata Aji yang tidak dapat menyalahkan sikap Sulastri karena memang orang itu perlu ikut untuk menjamin bahwa dia tidak akan menipu mereka.
Mendengar ucapan Aji itu, anggauta gerombolan itu tampak lega dan dia lalu ikut naik ke atas rakit sambil membawa dua potong kayu yang dibentuk sebagai dayung. Dia menyerahkan sepotong kepada Aji, kemudian dua orang laki-laki itu mulai menggerakkan dayung. Sulastri berdiri didepan sambil mengamati keadaan depan dengan waspada. Karena rakit itu didayung dua orang dan tenaga Aji yang mendayung amat kuat, rakit meluncur cepat. Danau itu termasuk kecil sehingga sebentar saja rakit itu sudah hampir mencapai seberang.
Tiba-tiba tampak bayangan banyak orang bermunculan dari balik batang-batang pohon dan meluncurlah puluhan batang anak panah menyambar ke arah tiga orang yang berada di atas rakit! Karena Sulastri berdiri di bagian depan rakit, tentu saja ia yang lebih dulu menjadi sasaran hujan anak panah itu. Ia memutar pedangnya dan tampak gulungan sinar hijau menjadi perisai dan semua anak panah yang menerjang perisai gulungan sinar hijau itu runtuh dan terlempar ke kanan kiri.
Anak buah gerombolan yang melihat penyerangan anak panah ini, berseru ketakutan dan dia sudah melompat ke dalam air, berenang sekuatnya berusaha menjauhi pantai itu. Akan tetapi beberapa batang anak panah menyambar ke arahnya. Terdengar dia menjerit dan dia tenggelam. Tampak gelembung-gelembung di permukaan air yang berwarna agak kemerahan.
"Putar terus pedangmu, Lastri!" kata Aji dan pemuda ini mengerahkan tenaganya mendayung sehingga rakit itu meluncur dengan cepatnya ke tepi danau. Anak panah semakin gencar meluncur dan menyerang, namun tidak sebatangpun mampu menerobos gulungan sinar hijau dari Pedang Nogo Wilis yang diputar cepat sekali olah Sulastri. Puluhan batang anak panah itu terlempar ke sana sini, banyak di antaranya patah ketika bertemu sinar hijau.
Setelah rakit meluncur dekat, dalam jarak dua tiga meter dari darat, Aji berseru kepada Lastri. "Lastri, kita mendarat!" Aji melompat ke darat sambil memutar dayungnya sedangkan Sulastri melompat sambil memutar pedangnya. Mereka menangkis anak panah yang masih menyerang seperti hujan. Akhirnya mereka tiba dan berdiri di atas tanah. Tidak ada anak panah lagi menyerang, akan tetapi puluhan orang mengepung mereka. Orang-orang itu tampak terbelalak, kagum dan heran. Sama sekali mereka tidak mengira bahwa yang 'menyerbu' sarang mereka itu hanya dua orang muda, yang seorang malah seorang gadis remaja!
Ketika mendengar laporan-laporan para anak buah yang melarikan diri dari dusun Kapayun, mereka tidak mau percaya begitu saja. Akan tetapi sekarang mereka melihat buktinya, juga melihat betapa gadis remaja itu mampu menangkis semua anak panah dengan pedangnya! Yang berdiri paling depan adalah dua orang yang jelas merupakan pimpinan mereka. bahkan Aji dan Sulastri yang sudah mendengar dari anak buah gerombolan yang mereka tawan tadi siapa yang menjadi pemimpin mereka, segera dapat menduga siapa dua orang tinggi besar yang mengenakan pakaian seorang senopati yang gagah dan mewah. Selain pakaian mereka terbuat dari kain halus dan potongannya seperti pakaian seorang senopati, juga mereka memakai kalung dan gelang yang terbuat dari emas!
Begitu kakinya mendarat dan saling adu pandang dengan dua orang laki-laki tinggi besar itu, Sulastri segera bertolak pinggang dengan tangan kiri dan pedangnya kini menuding ke arah muka dua orang itu. "Heh, kalian berdua manusia-manusia curang dan licik! Kelihatannya saja kalian ini gagah perkasa dan tinggi besar, tidak tahunya kalian hanya pengecut-pengecut besar yang kalau berhadapan dengan musuh beraninya menggunakan racun dan main keroyokan! Aku mengenal siapa kalian. Kamu yang bermuka hitam tentulah si kerbau hitam (Munding Hideung) dan kamu yang bermuka putih tentulah si kerbau putih (Munding Bodas). Hayo, kutantang kalian untuk bertanding satu lawan satu! Kalau main keroyokan ternyata kalian memang hanya kerbau-kerbau tolol yang pengecut!"
Semua anggota gerombolan itu terbelalak. Belum pernah selama hidup mereka menyaksikan seorang gadis remaja seberani dan segalak ini! Menantang Munding Hideung dan Munding Bodas! Dan menghina mereka lagi, menghina secara keterlaluan dan tidak kepalang tanggung! Bahkan Aji sendiri merasa betapa Sulastri telah menghina orang secara berlebihan, akan tetapi tentu saja dia diam dan hanya waspada, siap menghadapi segala kemungkinan. Akan tetapi diam-diam diapun kagum karena dia dapat menduga bahwa kegalakan sikap Sulastri itu memang disengaja untuk memanaskan perut dua orang pemimpin gerombolan agar mereka menyambut tantangannya demi harga diri mereka!
Hal ini menunjukkan betapa cerdiknya Sulastri. Dugaan Aji memang tepat dan ternyata akal Sulastri itupun berhasil baik. Wajah Munding Hideung yang hitam itu berubah menjadi semakin hitam dan wajah Munding Bodas yang putih itu kini tampak kemerahan. Dari sinar mata mereka tampak bahwa dua orang benggolan perampok itu marah bukan main mendengar ucapan Sulastri yang amat menghina mereka. Dua orang itu, kakak beradik Munding Hideung dan Munding Bodas, adalah tokoh-tokoh yang mewarisi aji kesaktian dari peninggalan Kerajaan Pajajaran. Guru mereka adalah mendiang Ki Mahesa Sura, seorang datuk yang berasal dari kerajaan Pakuwan (Bogor).
Mereka memang digdaya sehingga tidak aneh kalau dua kali serangan pasukan Cirebon dapat mereka pukul mundur. Selain aji kanuragan, yaitu ilmu pencak silat yang disertai penggunaan tenaga sakti, juga mereka mempelajari ilmu sihir dari mendiang guru mereka. Kakek dari Ki Mahesa Sura yang bernama Mahesa Badag, dahulu terkenal sebagai seorang datuk Kerajaan Pakuwan yang kemudian merajalela sampai ke Kerajaan Pajajaran sukar dicari tandingnya.
Mendiang Ki Mahesa Badag ini memiliki aji kesaktian yang dapat membuat dirinya berubah menjadi berbagai binatang buas. Dapat berubah menjadi seekor harimau, atau seekor kerbau liar yang amat ganas. Bertahun-tahun dia merajalela di Kerajaan Pajajaran. Akhirnya, dia bertemu juga dengan seorang lawan yang sakti mandraguna, yang bukan lain adalah Sunan Gunung Jati yang semula dikenal dengan banyak nama, antara lain Nurullah, atau Syekh Ibnu Molana. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Faletehan atau Tagaril. Dia dikenal sebagai Sunan Gunung Jati karena setelah wafat dia dimakamkan di sebuah gunung yang disebut Gunung Jati dekat ibu kota Cirebon.
Ketika kebetulan Sunan Gunung Jati berada di Kerajaan Pajajaran, dia bertemu dengan kakek bernama ki Mahesa Badag ini. Mereka bertanding, kabarnya sampai sehari semalam lamanya dan akhirnya Ki Mahesa Badag harus mengakui keunggulan Sunan Gunung Jati, penyebar agama baru Islam itu. Semenjak itu, Ki Mahesa Badag mengundurkan diri ke Pegunungan Careme sampai anak cucunya yang hidup sebagai petani juga tidak pernah meninggalkan Pegunungan Careme. Dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada keturunannya, akan tetapi setelah ilmu-ilmu itu dipelajari oleh dua orang buyutnya, yaitu Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas, ilmu-ilmu itu hanya tinggal kurang lebih setengahnya saja.
Pada jaman itu, seorang guru menurunkan ilmu kepada muridnya tidak sepenuhnya sehingga makin lama ilmu itu semakin merosot tingkatnya. Biarpun demikian Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas masih mewarisi aji kesaktian yang cukup hebat, diantaranya mengubah diri menjadi harimau besar yang ganas! Maka, tentu saja mereka menjadi marah sekali ketika ada seorang gadis remaja menghina mereka di depan anak buah mereka. Kemarahan membuat mereka menjadi lengah, kemarahan membuat mereka lupa betapa pembantu mereka, Ki Sajali dikabarkan tewas di tangan gadis ini dan dua puluh lebih anak buah mereka dibuat kocar-kacir, ada yang tewas dan ada yang terluka, sisanya melarikan diri dan melapor kepada mereka berdua.
Mereka lupa bahwa mereka kini sedang berhadapan dengan lawan yang sakti mandraguna. Mereka terlalu takabur dan mengandalkan kekuatan sendiri, memandang rendah kepada orang lain. Dua kakak beradik itu saling pandang dan maklumlah mereka akan isi hati masing-masing, bahwa mereka harus membunuh gadis remaja yang telah melontarkan penghinaan yang amat menyakitkan hati mereka itu. Mereka berkemak-kemik membaca mantera, lalu keduanya mengeluarkan suara gerengan yang menyeramkan. Bukan suara manusia lagi, melainkan suara harimau yang menggereng-gereng marah, lalu suara itu makin meninggi menjadi auman harimau yang menggetarkan hati.
Tiba-tiba mereka berdua menurunkan kedua tangan ke atas tanah, seperti merangkak, berjungkir balik tiga kali dan dua orang kakak beradik itu seketika berubah menjadi dua ekor harimau sebesar anak lembu! Dua ekor harimau itu mengaum-aum, mendesis memperlihatkan taring dan mencakar-cakar tanah dengan kedua kaki depan membuat tanah dan batu berhamburan! Sulastri tidak merasa gentar. Gadis itu melintangkan pedangnya dan siap melawan dua ekor harimau itu dengan pedangnya. Akan tetapi Aji lalu melangkah ke depan.
"Mundurlah, Lastri. Biarkan aku yang menghadapi permainan mereka ini!" Aji kini maju menghadapi dua ekor harimau yang tampaknya menjadi semakin ganas. Auman mereka menggetarkan seluruh tepi danau, bergema di dalam hutan di belakang mereka. Akan tetapi Aji tenang-tenang saja, lalu dia membungkuk, meraup tanah dengan kedua tangannya lalu menyambit dua ekor harimau itu dengan tanah yang digenggamnya. "Demi Asma Gusti Allah, yang palsu akan lebur, dari tanah kembali menjadi tanah! Mahluk jadi-jadian, kembalilah kalian ke asalmu!"
Sambitan itu dengan tepat mengenai kepala dua ekor harimau yang mengaum-aum dan sungguh aneh. Dua ekor harimau besar yang kelihatan amat liar dan kuat itu, begitu terkena hantaman tanah itu, roboh terguling-guling dan ketika mereka bangkit kembali, mereka telah berubah menjadi Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas! Dua orang itu membelalakkan mata dan memandang kepada Aji dengan penuh kemarahan.
"Keparat!" Bentak Ki Munding Hideung sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah Aji dan Sulastri yang kini sudah melangkah maju di samping Aji. "Katakan siapa kalian dan mengapa kalian berdua mambuat kacau di wilayah kami!"
Dengan sikap tenang namun suaranya yang lembut penuh wibawa, Aji menjawab. "Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas! Benarkah kalian yang bernama demikian dan menjadi pimpinan gerombolan yang suka mengacau di Kadipaten Cirebon selama ini?"
"Benar, kamilah pimpinan gerombolan Munding Hideung! Siapa kalian?"
"Aku bernama Lindu Aji dan gadis ini adalah Sulastri. Kami berdua merupakan utusan dari Gusti Pangeran Ratu di Cirebon untuk menangkap kalian yang mendatangkan kekacauan."
"Hoa-ha-ha-ha!” Ki Munding Hideung tertawa bergelak. "Adi Munding Bodas, kamu dengar ocehan bocah ini? Mereka hanya datang berdua tanpa pasukan dan katanya hendak menangkap kita. Ha-ha-ha!" Ki Munding Bodas juga tertawa bergelak.
"Heh, kalian dua ekor kerbau gila yang tolol! Apa kalian berani menerima tantanganku tadi untuk bertanding satu lawan satu? Atau kalian adalah pengecut-pengecut yang hendak melakukan pengeroyokan? Kalau begitupun kami berdua tidak takut dan akan membasmi kalian semua!"
"Gadis sombong! Aku yang akan menandingimu dan kalau engkau tertawan olehku, engkau harus menghiburku sampai aku merasa bosan dan membunuhmu!" teriak Ki Munding Bodas dan dia sudah menerjang gadis itu menggunakan sebatang senjata ruyung, yakni sebuah penggada terbuat dari galih asem (bagian tengah pohon asam) yang diberi benjol-benjol runcing. Senjata yang menggiriskan ini berat sekali, akan tetapi Ki Munding Bodas dapat menggerakkannya dengan cepat seolah senjata itu hanya seringan kayu. Angin mengiuk dan menyambar ketika dia menyerang Sulastri dengan ruyungnya.
"Wuuuttt... wesss!!" pukulan ruyung ke arah kepala Sulastri itu dapat dielakkan gadis itu dengan mudah ke kiri dan dari bawah pedangnya mencuat dan menusuk ke arah perut lawan. Ki Munding Bodas terkejut sekali melihat betapa serangannya dibalas secara langsung oleh gadis itu. Dia memutar pergelangan tangannya. Ruyungnya yang tadi luput menghantam kepala gadis itu membalik ke bawah dan menangkis pedang bersinar hijau itu. Ki Munding Bodas mengerahkan seluruh tenaganya dengan maksud untuk memukul patah pedang lawan atau setidaknya membuat pedang itu terlepas dari pegangan tangan Sulastri.
"Cringggg...!!" Biarpun ruyung itu terbuat dari kayu asam, akan tetapi keras sekali dan bertemunya ruyung dengan pedang itu sampai menimbulkan bunga api yang berpijar. Alangkah kaget hati Ki Munding Bodas ketika melihat bahwa pedang hijau di tangan gadis itu sama sekali tidak patah atau terlepas, bahkan sebaliknya dia merasa tangan kanannya tergetar hebat, tanda bahwa tangan kecil lembut putih mulus yang memegang pedang itu memiliki tenaga sakti yang dahsyat! Barulah dia menyadari bahwa gadis itu bukan sekedar sombong melainkan benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh. Maka diapun segera memutar ruyungnya dan mengamuk dengan mengerahkan semua tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu silatnya.
Namun, Sulastri tidak menjadi gentar dan dapat mengimbangi permainan senjata lawan, bahkan iapun tidak mau mengalah melainkan membalas serangan dengan serangan yang berbahaya dan mematikan. Terjadilah pertandingan yang seru dan mati-matian. Sementara itu, melihat adiknya sudah saling serang dengan gadis berpedang sinar hijau itu, Ki Munding Hideung lalu mencabut senjatanya, sebatang parang (golok) yang besar dan berat. "Bocah lancing, mampus kau!" bentaknya dan parangnya yang sudah menyambar dengan amat cepat dan kuatnya ke arah leher Aji. Agaknya dia ingin memenggal kepala pemuda itu dengan satu kali bacokan! "Singggg...!" Golok itu menyambar lewat atas kepala Aji ketika pemuda ini mengelak dengan merendahkan tubuhnya. Akan tetapi dengan amat cepat, golok itu seperti terbang membalik dan sudah menyambar lagi ke arah dadanya. Bukan main cepatnya gerakan golok di tangan Munding Hideung itu.
Namun Aji lebih cepat lagi. Dia sudah melangkah ke belakang sehingga ujung golok menyambar lewat di depan dadanya. Akan tetapi kembali golok itu membalik dan sudah menyerang lagi dengan cepat, menyambar ke arah kedua kaki pemuda itu. Bertubi-tubi datangnya serangan golok, namun Aji yang segera menghadapi serbuan golok itu dengan ilmu silat Wanara Sakti, dapat bergerak lincah dan cepat luar biasa, berloncatan mengelak ke sana-sini sehingga golok itu sama sekali tidak pernah dapat menyentuh tubuhnya.
Diam-diam Aji harus mengakui bahwa lawannya ini benar-benar memiliki ilmu golok yang amat dahsyat. Maka dia berhati-hati sekali dan menggunakan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri sambil mencari kesempatan dan lowongan untuk merobohkan Ki Munding Hideung. Dia belum merasa perlu untuk mempergunakan pusakanya, yaitu Keris Nogo Welang. Pertandingan antara Ki Munding Bodas dan Sulastri mencapai puncaknya. Setelah saling serang dengan sengit dan berulang-ulang ruyung bertemu pedang, Sulastri mengubah gerakan pedangnya yang kini berubah menjadi sinar hijau bergulung-gulung dan dari gulungan sinar ini kadang menyambar serangan kilat yang membuat Ki Munding Bodas menjadi terkejut dan beberapa kali hampir saja dia menjadi korban.
Mulailah si muka putih itu terdesak dan main mundur. Akan tetapi Sulastri terus mengejar. Ki Munding Bodas agaknya menjadi jerih dan dia terus mundur mendaki tebing, akan tetapi sambil mundur dia memutar ruyungnya untuk melindungi tubuhnya. Tiba-tiba mulutnya mengeluarkan bunyi bersuit nyaring. sulastri tidak perduli dan mendesak terus. Suitan itu merupakan isyarat sandi bagi para anak buah gerombolan untuk turun tangan mengeroyok. Kini puluhan orang itu bergerak, sebagian mengeroyok Aji dan sebagian lagi mengejar Sulastri yang mendaki tebing untuk terus mendesak Ki Munding Bodas.
Melihat dia terpisah dari sulastri, Aji cepat berseru. "Lastri, jangan kejar! Kembali ke sini!"
Teriakannya nyaring karena Aji melihat adanya bahaya yang mengancam gadis itu. Kalau gadis itu terpisah jauh darinya, dia tidak akan dapat melindunginya lagi kalau sampai terancam bahaya. Akan tetapi agaknya Sulastri tidak mau mengacuhkan peringatan Aji dan ia sudah mengejar Ki Munding Bodas sampai puncak tebing. Pada saat itu, melihat para anak buah gerombolan yang jumlahnya puluhan orang mengejarnya, Sulastri lalu mengeluarkan pekik dan memukul dengan tangan kirinya, Tangan itu terbuka dan seperti mendorong ke arah tubuh Ki Munding Bodas.
"Haiiiitttt...!" Kebetulan Aji mendapat kesempatan melompat ke belakang dan memandang ke arah gadis itu. Mereka dapat terlihat dengan mudah karena berada di puncak tebing. Aji tertegun. Dia mengenal pukulan tangan kiri Sulastri itu. Itu adalah Aji Margopati! Aji yang dikuasai gurunya, akan tetapi yang oleh Ki Tejobudi sengaja tidak diajarkan kepadanya karena aji itu terlalu dahsyat, terlalu ganas, sesuai dengan namanya, Margopati (Jalan Maut). Pukulan itu adalah pukulan maut jarak jauh dan tidak sembarang orang mampu bertahan atau menghindarkan diri dari pukulan maut itu.
"Aahhhh...!" Tubuh Ki Munding Bodas terjengkang roboh, terjungkal ke bawah tebing sebelah sana. Aji terpaksa mengelak dengan lompatan ke kiri ketika beberapa buah golok menyerangnya. Para anak buah gerombolan sudah mulai mengeroyolnya. Akan tetapi dia sengaja melompat jauh kesamping untuk melihat keadaan Sulastri. Alangkah terkejutnya ketika dia melihat apa yang terjadi di atas puncak tebing itu.
Pada saat Sulastri menggunakan Aji Margopati memukul roboh Ki Munding Bodas, belasan orang anak buah gerombolan menyerang Sulastri dengan hujan anak panah! Gadis itu cepat memutar pedang di tangan kanannya, akan tetapi agaknya ia sedikit terlambat karena tadi perbuatannya tercurah kepada Ki Munding Bodas sehingga sebatang anak panah mengenai pundak kirinya dan gadis itu terhuyung ke belakang, tidak menyadari bahwa di belakangnya adalah akhir puncak tebing maka tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuh dara itu terjatuh ke bawah tebing.
Aji tidak melihat lagi, hanya mendengar lengkingan suara Sulastri yang bergema panjang. Perasaan kaget khawatir, dan sedih membangkitkan amarah dalam hati Aji. Sulastri telah terjatuh ke bawah tebing! Sulastri telah tewas! Pikiran ini membuat dia bergerak seperti seekor burung alap-alap yang mengamuk. Tubuhnya melompat tinggi dan ketika turun, kedua tangannya menyambar ke arah pundak Ki Munding Hideung. Kepala geombolan ini mencoba untuk menyambut tubuh pemuda yang meluncur ke arahnya itu dengan bacokan goloknya.
Akan tetapi, sebelum bertemu dengan tangan Aji, ada hawa yang amat kuat menyambut golok itu sehingga terpental dan terlepas dari pegangan tangan Ki Munding Hideung, sementara itu kedua tangan Aji dengan jari-jari terbuka sudah menghantam kedua pundaknya. "Krek-krek!" Tulang kedua pundak itu patah. Saking nyerinya, Ki Munding Hideung berteriak parau dan diapun jatuh terduduk, goloknya terlepas dan dia mengerang kesakitan dengan kedua lengan tergantung lemas, terkulai lepas karena digerakkan sedikit saja pundaknya terasa nyeri bukan main. Para anak buah gerombolan menjadi marah dan menerjang, mengeroyok Aji!
Pemuda ini dalam kekhawatirannya akan nasib Sulastri, mengamuk. Dia bagaikan seekor alap-alap yang menyambar-nyambar dan ke manapun dia melomapat seperti terbang dan menyambar, tentu ada satu atau dua orang anak buah gerombolan terpelanting dan tersungkur! Keadaan menjadi kacau dan anak buah gerombolan menjadi gentar menghadapi pengamukan Aji itu. Walaupun kini anak buah gerombolan yang tadi mengeroyok Sulastri turun dari puncak tebing dan ikut mengeroyok, tetap saja mereka dihajar sampai kocar-kacir oleh Aji.
Belum pernah selama hidupnya hati Aji dicengkeram kemarahan seperti itu, kemarahan yang timbul karena kekhawatiran hatinya terhadap Sulastri. Akan tetapi, betapapun marah dan sakit hatinya, tetap saja Aji membatasi tenaganya sehingga para anggota gerombolan yang dirobohkannya itu tidak ada yang sampai tewas. Mereka hanya menderita patah tulang dan tidak mampu melanjutkan pengeroyokan. Setelah lebih dari tiga puluh orang gerombolan roboh oleh tamparan dan tendangan Aji, sisanya menjadi gentar dan mereka menghentikan pengeroyokan, bahkan mundur menjauhkan diri.
Aji tidak memperdulikan mereka lagi. Dia cepat mendaki puncak, dia menjenguk ke bawah tebing sebelah sana dan matanya terbelalak, wajahnya menjadi pucat. tebing itu ternyata curam bukan main! Orang yang terjatuh ke bawah tebing tak mungkin dapat lolos dari maut. Tentu tubuhnya remuk-remuk terhempas ke batu-batu gunung, terguling-guling dan akhirnya terhenti di dasar tebing dalam keadaan remuk!
"Sulastri...!" Dia mngeluh lirih lalu cepat mencari jalan menuruni tebing. Jalan turun sungguh tidak mudah dan kadang dia harus merayap berpegangan kepada batu-batu gunung yang menonjol dan akar-akar pohon, seperti seekor kera. Tinggi tebing itu tidak kurang dari tiga ratus meter! Di bawah sana, dasarnya tidak tampak karena tertutup daun-daun pohon dan semak-semak belukar. Setelah tiba di bawah, mulailah Aji mencari-cari. Hatinya terasa seperti diremas-remas dan dia merasa ngeri membayangkan akan menemukan tubuh Sulastri dalam keadaan luka-luka parah, berdarah-darah dan remuk, dan tentu saja sudah tewas. Tidak mungkin ada manusia yang memiliki kekuasaan untuk menyelamatkan diri setelah terjatuh dari atas tebing yang sedemikian curamnya!
Tentu saja kalau Gusti Allah menghendaki, tidak mustahil sama sekali kalau Kekuasaan Gusti Allah menyelamatkan manusia yang terjatuh itu. Kekuasaan Gusti Allah! Aji menyesali diri sendiri! Kenapa dia, dicekam kekhawatiran dan kesedihan tadi, sejenak melupakan hal yang mutlak tak dapat dibantah ini? Kenapa iman dan penyerahannya kepada Gusti Allah tadi goyah sehingga dia menjadi putus asa? Padahal, mendiang gurunya sudah dapat menanamkan keyakinan di dalam hatinya bahwa segala sesuatu yang telah, sedang dan akan terjadi, hanya dapat terjadi kalau semua itu sudah diperkenankan dan dikehendaki oleh Gusti Allh! Semua milik Gusti Allah dan kalau Gusti Allah menghendaki untuk mengambil apa yang menjadi milikNya, siapa yang akan mampu mencegahnya? Seperti segala apa yang berada di seluruh alam mayapada ini, diri Sulastri juga milik Gusti Allah! Karena itu, dia harus pasrah dengan sepenuh penyerahan hatinya kepada kekuasaan Gusti Allah!
"Duh Gusti, ampunilah hamba...!" Aji berdoa dalam hatinya, sadar akan kesalahan dan kelengahannya sehingga tadi dia lupa diri. Kekhawatiran dan kedukaan yang mencekam membuat dia sejenak terlupa akan penyerahannya.
Setelah batinnya mengucapkan doa itu, hatinya menjadi tenteram dan dia mulai mencari-cari lagi dengan hati yang telah siap untuk menghadapi segala yang akan ditemukannya. Ketika dia menyibak semak belukar dengan sepotong ranting kayu dan melihat tubuh Ki Munding Bodas terkapar di antara semak, telentang dengan pakaian cabik-cabik dan tubuh penuh darah, matanya melotot, dari mulut dan hidungnya keluar darah menghitam, Aji tidak terkejut lagi. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat dada yang tidak tertutup baju lagi itu ada tanda telapak tangan menghitam. Itulah aji pukulan Margopati!
Dia sudah mendengar banyak tentang aji itu dari mendiang Ki Tejobudi dan kakek itu memang sengaja tidak mengajarkan aji pukulan yang amat keji kepadanya. Agaknya tubuh Ki Munding Bodas terhempas jatuh, terguling-guling dan akhirnya masuk ke dalam semak belukar yang lebat itu, yang kini seolah mengubur jasadnya. Dia melepaskan kuakan pada semak itu yang menutup kembali menyembunyikan mayat itu, dan melanjutkan pencariannya. Akan tetapi, setelah menjelajahi seluruh dasar tebing, memeriksa setiap semak belukar, menjenguk ke jurang-jurang yang berada di bawah tebing, dia tidak dapat menemukan Sulastri!
Harapan mulai memenuhi hatinya. Kalau tidak dapat ditemukan jenazahnya, hal itu hanya berarti bahwa gadis itu masih hidup! Akan tetapi, andaikan atas kehendak Gusti Allah Sulastri masih hidup, setidaknya ia tentu terluka dan tidak dapat pergi jauh. Harapan yang timbul ini menggembirakan hatinya dan mulailah dia berteriak memanggil. "Lastri...! Nimas Sulastr... !"
Karena dia memanggil dengan pengerahan tenaga saktinya, suaranya bergaung di sekeliling lembah. Dia menanti sampai gema suaranya menghilang lalu mengerahkan pendengarannya. Tidak ada jawaban, tidak terdengar gerakan. "Nimas Lastri....! Di mana engkau...?" Kembali dia berteriak, bahkan lebih kuat daripada tadi karena dia mengerahkan seluruh tenaganya. Gaung suaranya juga lebih panjang daripada tadi. Akan tetapi tetap tidak terdengar jawaban. Aji terus mencari-cari dan memanggil-manggil, namun sia-sia. Sulastri bagaikan lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas.
Setelah matahari condong jauh ke barat, Aji terpaksa meninggalkan tempat itu, kini melalui pendakian tebing yang amat sukar, dia kembali ke atas tebing. Puncak tebing sudah sepi. Akan tetapi sarang gerombolan itu sudah tampak dari situ. Dia lalu menuruni tebing dan menuju ke sarang gerombolan yang berada tidak jauh dari danau kecil itu. Dengan tabah dan tenang Aji memasuki perkampungan yang pondok-pondoknya masih baru, terbuat dari kayu dan bambu itu. Begitu dia masuk, tampak beberapa orang gerombolan itu berlarian memasuki sebuah pondok besar. Dari dalam pondok-pondok itu terdengar suara-suara rintihan kesakitan maka tahulah Aji bahwa para anggota gerombolan yang luka-luka berada di perkampungan itu. Melihat para anggota gerombolan yang tadinya berada di luar pondok kini berlarian masuk dan bersembunyi dalam pondok, Aji lalu berseru nyaring.
"Kalian semua keluarlah dari pondok, atau haruskah aku membakar semua pondok ini lebih dulu untuk memaksa kalian keluar?"
Teriakan dan ancaman ini berhasil. Berbondong-bondong para anggauta gerombolan keluar dari dalam pondok. Bahkan yang terluka dipapah oleh yang sehat keluar pula. Agaknya mereka merasa takut bahwa pondok-pondok akan dibakar oleh pemuda yang sakti mandraguna itu. Aji melihat sekitar empat puluh orang keluar dari pondok dan mereka berjongkok, tanda bahwa mereka tidak akan melawannya. Sebagian yang lain melarikan diri, pikirnya. Akan tetapi dia tidak melihat Ki Munding Hideung yang hendak ditangkap dan dibawanya ke Kadipaten Cirebon, diserahkan kepada Sang Adipati.
"Di mana Ki Munding Hideung dan para pemimpin yang lain?" Aji bertanya, suaranya mengandung wibawa kuat. "Suruh mereka keluar! Aku ingin bicara dengan mereka." Aji memandang dan melihat para anggota gerombolan itu berdiam diri dan hanya menundukkan muka dengan sikap takut-takut. Dia menunggu, akan tetapi sampai lama tidak ada yang berani menjawab pertanyaan itu. Aji menjadi penasaran. Dia dapat menduga bahwa sikap diam mereka itu sama sekali bukan hendak menentang, melainkan karena ketakutan. "Hayo, seorang di antara kalian katakan, di mana adanya para pimpinan kalian itu? jangan takut! Kalau para pimpinan kalian marah, aku yang akan melindungi kalian!"
Setelah orang-orang itu saling pandang dan saling berbisik sehingga gaduh, akhirnya seorang anggota gerombolan yang usianya sekitar lima puluh tahun bergerak maju sambil berjongkok lalu berkata dengan lirih seolah takut kalau sampai terdengar para pemimpinnya. "Denmas, harap ampuni kami. Para pemimpin kami sudah lari meninggalkan kami di sini. Ki Munding Bodas telah terjatuh ke dalam jurang bawah tebing. Ki Munding Hideung dan lima orang pembantunya melarikan diri."
"Ke mana? Ke mana mereka melarikan diri?" tanya Aji.
"Kami tidak tahu, denmas. Mereka pergi tanpa pesan dan tidak memberitahukan ke mana mereka melarikan diri."
Aji percaya bahwa para anak buah gerombolan itu tidak berani membohonginya, akan tetapi untuk meyakinkan hatinya, dia lalu memeriksa dan menggeledah seluruh pondok. Benar saja, dia tidak menemukan Ki Munding Hideung dan para pembantunya. Maka dia keluar lagi dan mendapatkan puluhan orang anak buah gerombolan masih berjongkok di luar rumah induk yang tadinya menjadi tempat tinggal Ki Munding Hideung dan para pembantunya. Gerombolan itu ternyata tidak ada yang berkeluarga dan tidak terdapat seorangpun wanita atau anak-anak dalam perkampungan gerombolan itu. Aji sendiri menghadapi mereka.
"Hei, kalian semua, anak buah gerombolan Munding Hideung yang telah banyak membuat kekacauan dan kejahatan di daerah Kadipaten Cirebon. Sebenarnya aku telah diberi wewenang oleh Gusti Adipati untuk membasmi kalian semua dan kalau sekarang aku membunuh kalian semua sebagai hukuman, hal itu sudah semestinya dan sewajarnya!"
Anggota gerombolan tua tadi cepat menyembah-nyembah dan berkata, "Ampun, denmas, harap denmas sudi mengampuni kami. Kami hanya melaksanakan perintah pimpinan kami." "Dan sekarang apakah kalian juga masih akan melanjutkan perbuatan kalian menjarah rayah rakyat yang tidak berdosa?"
"Kami sudah kapok, denmas!" teriakan ini keluar dari banyak mulut.
"Kalian adalah orang-orang yang bertubuh kuat, sepatutnya malu kalau menggunakan kekuatan kalian hanya untuk menjarah rayah (merampok) rakyat yang tidak berdosa, mengganggu dan mengacau bangsa sendiri! Padahal, bangsa dan negara kini sedang menghadapi musuh yang paling besar dan berbahaya, yaitu Kumpeni Belanda. Kenapa kalian tidak mempergunakan kekuatan kalian untuk membela nusa bangsa, untuk membantu Sultan Agung di Mataram, menentang Kumpeni Belanda? Kalaupun hal itu masih belum dapat kalian lakukan, setidaknya kalian harus bekerja baik-baik, kembali ke jalan benar dan tidak mengganggu rakyat bangsa sendiri. Sekali ini aku mengampuni kalian, akan tetapi kalau lain kali aku masih mendapatkan kalian merampok, aku tidak akan mengampuni lagi dan akan membasmi dan membunuh kalian semua!"
"Terima kasih atas kebijaksanaan denmas!" kata anggota tua itu dan semua anggota gerombolan itupun bergumam menghaturkan terima kasih mereka.
"Sekarang aku minta bantuan kalian." kata Aji. "Kalian yang tidak terluka, harap mencari jalan menuruni tebing ini dan mencari temanku, gadis yang terjungkal ke bawah tebing tadi sampai dapat kalian temukan. Aku akan menanti di sini dan tinggal di rumah ini." Dia menunjuk rumah bekas tempat tinggal Ki Munding Hideung.
Para anggota gerombolan menjadi girang bukan main karena mereka diampuni, maka mendengar permintaan Aji itu, berbondong-bondong mereka lalu mencari jalan untuk menuruni tebing, tentu saja dengan jalan memutar karena menuruni tebing seperti yang dilakukan Aji tadi, tak sanggup mereka melakukannya. Aji lalu memasuki rumah induk gerombolan itu dan mengaso. Dia duduk bersila dan termenung. Wajah Sulastri selalu terbayang di depan matanya, apa lagi bayangan yang menggambarkan jatuhnya gadis itu ke bawah tebing.
Dia selalu gagal dalam Samadhi karena pikirannya tak pernah dapat menghilangkan bayangan gadis itu. Perasaan hatinya tertindih duka yang mendalam, disertai kegelisahan membayangkan nasib Sulastri. Benarkah gadis itu tewas dengan tubuh remuk di bawah tebing? Sungguh sukar dapat dipercaya bahwa gadis yang lincah jenaka, gagah perkasa dan cantik jelita itu kini menjadi mayat yang rusak dan remuk. Aji merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk.
"Duh Gusti Allah, hamba mohon kekuatan iman dan bimbingan." dia berbisik dan mnyerahkan segalanya dengan sepenuh jiwa kepada Gusti Allah Yang maha Kuasa. penyerahan secara total itu seketika menghapus semua duka. Semua ini milik Gusti Allah, juga Sulastri adalah milikNya. Karena itu terserah kepadaNya untuk memutuskan apa yang akan terjadi dengan gadis itu. Kalau Gusti Allah sudah memutuskan, tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mengubahnya. Dan semua keputusan Gusti Allah sudah pasti baik dan benar, sudah pasti yang terbaik baginya dan bagi Sulastri.
"Duh Gusti, hamba menyerahkan Sulastri dan diri hamba sendiri ke tangan Paduka. semoga Paduka sudi mengampuni semua dosa dan kesalahan Sulastri dan hamba." demikian suara hatinya keluar melalui pernapasannya. Penyerahan ini bukan sekedar kata-kata atau sekedar pemikiran, melainkan tembus keluar dari jiwanya dan Aji merasa perasaannya tenteram kembali. Apapun yang akan terjadi pada diri Sulastri dia sudah menyerahkannya kepada Gusti Allah dan dia yakin bahwa apapun yang terjadi pada diri Sulastri, hal itu tentu yang terbaik bagi gadis itu karena sudah dikehendaki Gusti Allah.
Sampai dua hari lamanya Aji tinggal di perkampungan gerombolan itu, membiarkan para anak buah gerombolan setiap hari mencari-cari jejak Sulastri. Akan tetapi ternyata sia-sia belaka. Para anggauta gerombolan hanya menemukan mayat Ki Munding Bodas saja. Akan tetapi seorang dari mereka menemukan pedang Sulastri dan menyerahkan kepada Aji. Aji menerima Pedang Nogo Wilis itu, mengamatinya dengan hati penuh tanda tanya. Pedang dapat ditemukan, berarti Sulastri tentu terjatuh di sana pula, tak jauh dari pedangnya. Akan tetapi kenapa mereka tidak dapat menemukan Sulastri?
Secercah sinar harapan menerangi hatinya. Sulastri tidak ada, juga tidak ditemukan bekas-bekas darah. ini hanya mempunyai satu arti, yakni bahwa gadis itu tentu masih hidup dan pergi dari dasar tebing itu. Akan tetapi kenapa pedang pusakanya ditinggalkan? Dan kenapa gadis itu tidak mendaki tebing lagi untuk menemuinya? Dia yakin, Sulastri pasti masih hidup. Akan tetapi bagaimana caranya gadis itu menyelamatkan diri, dan ke mana kini berada, menjadi pertanyaan yang selalu bergema dalam benaknya dan tidak dapat dia menjawabnya. Aji membawa Pedang Nogo Wilis dan memasuki rumah, tepekur di dalam rumah itu sampai lama. Berbagai pertanyaan mengaduk benaknya. Sulastri hilang secara aneh. Sulastri mampu melakukan pukulan dengan Aji Mardopati!
Sungguh aneh sekali. Dia lalu merenung tentang kematian, dan tentang kedukaan karena ditinggal mati orang yang dikasihi. Dia merasa yakin bahwa kematian bukan merupakan akhir segalanya. Memang kehidupan sebagai manusia dengan jasmani ini berakhir setelah mati, akan tetapi kematian adalah kelanjutan dari kehidupan ini. Kematian di dunia ini merupakan awal suatu keadaan yang baru. Suatu kehidupan baru dalam alam lain yang merupakan awal suatu keadaan yang baru. Suatu kehidupan baru dalam alam lain yang merupakan rahasia manusia yang masih hidup dalam alam ini. Karena itu, mengapa menyedihkan orang yang telah mati?
Bagaimana kita dapat merasa sedih kalau kita tidak tahu apa jadinya dengan orang yang kematiannya kita tangisi itu? Bukankah sudah jelas bahwa tangisan itu sebetulnya merupakan bukti kedukaan terhadap diri sendiri? Aku menangisi kematian orang yang kucinta, karena aku kehilangan dia, aku ditinggalkan sendiri, aku tidak bisa mendapatkan kesenangan lagi darinya, aku merasa kesepian dan aku merana. Karena itulah sebetulnya aku menangis!
Melihat semua kenyataan ini membuat Aji menghela napas dan melayangkan puji kepada Gusti Allah, mohon kemurahanNya agar apapun yang terjadi dengan diri Sulastri, Gusti Allah akan selalu melindungi dan membimbingnya. Akhirnya Aji mengambil keputusan untuk meninggalkan perkampungan gerombolan itu. Sekali lagi dia memperingatkan para anggota gerombolan agar meninggalkan kejahatan mereka yang lama dan mulai kehidupan baru yang tidak menyimpang dari kebenaran.
Setelah meninggalkan Gunung Careme, Aji lalu pergi ke Kadipaten Cirebon menghadap Pangeran Ratu. Adipati Cirebon itu merasa girang mendengar dari Aji bahwa gerombolan pengacau telah dapat dikalahkan. Ki Munding Hideung melarikan diri dan Ki Munding Bodas telah tewas, sedangkan para anak buahnya sudah menyatakan bertaubat dan tidak akan melakukan kekacauan lagi. Akan tetapi sang adipati itu juga merasa berduka mendengar bahwa Sulastri terjatuh ke bawah tebing dan lenyap.
Ketika sang adipati hendak memberi ganjaran, Aji menolak dengan halus dan diapun berpamit, meninggalkan kadipaten, menunggang kuda pemberian sang adipati yang kedua kalinya. Biarpun dia sudah menerima musibah yang menimpa Sulastri denngan segala kepasrahan, namun tetap saja dia merasa kesepian dan kehilangan sekali ketika meninggalkan pintu gerbang Kadipaten Cirebon. Dia merasa seolah ada sesuatu yang hilang, yang membuat hidup ini rasanya tidak lengkap lagi. Bahkan ada rasa penyesalan besar dalam hatinya, seolah dia merasa bahwa dialah yang menyebabkan Sulastri mati.
Kalau gadis itu tidak ikut dengannya tidak melakukan perjalanan bersamanya, belum tentu gadis itu akan tewas. Sejak gadis itu ikut melakukan perjalanan bersama dia, Sulastri selalu mengalami ancaman maut dan menderita. Ia pernah diserang racun penghancur tulang oleh Nyi Maya Dewi yang jahat. Kemudian ia juga keracunan oleh air yang disuguhkan Ki Sajali pembantu Ki Munding Hideung itu, dan sekarang dia bahkan terkena anak panah dan terjungkal ke bawah tebing yang amat tinggi.
Ketika mereka mencari-cari, ternyata seperti yang sudah mereka duga dan khawatirkan, dua ekor kuda tunggangan mereka yang kemarin sore mereka tambatkan pada batang pohon di pekarangan rumah, sudah tidak tampak. Dua ekor kuda mereka telah dicuri orang! "Jahanam keparat Ki Sajali itu!" Sulastri mengepal tangan kanannya. “Awas kamu, sekali tertangkap olehku, akan tahu rasa kamu!"
"Sabar dan tenanglah, Lastri. Agaknya kita berhadapan dengan gerombolan yang teratur, licik dan berbahaya. Lihat, dusun ini agaknya telah kosong. Kurasa dugaanmu semalam tepat sekali. Dusun ini adalah perkampungan gerombolan dan besar sekali kemungkinan mereka adalah anak buah gerombolan pimpinan Munding Hideung."
"Barangkali Ki Sajali itu pimpinan mereka." kata Sulastri.
Aji menggeleng kepalanya. "Kurasa bukan. Menurut keterangan Gusti Pangeran Ratu, Munding Hideung pemimpin gerombolan itu digdaya sehingga berulang kali serbuan pasukan Cirebon gagal. Sedangkan Ki Sajali tadi, kulihat tidak berapa tangguh. Mungkin dia hanya seorang di antara para pembantunya saja."
"Mari kita kejar dan cari mereka, kakangmas! Tanganku sudah gatal-gatal untuk segera menhajar mereka!" kata Sulastri yang merasa tidak sabar lagi. Kini gadis itu bukan hanya menjadi utusan Adipati Cirebon untuk membasmi gerombolan munding hideung, melainkan juga hendak membalas dendam karena nyaris ia tewas oleh gerombolan itu.
"Nanti dulu, Lastri. Lihat, cuaca masih remang-remang, apa lagi di atas sana, di dalam hutan, tentu lebih gelap lagi. Amat berbahaya bagi kita untuk memasuki daerah yang asing itu dalam keadaan gelap. Gerombolan licik itu mungkin memasang jebakan-jebakan yang berbahaya. Kita tunggu sebentar sampai sinar matahari mengusir kegelapan dan halimun tebal ini."
Sulastri tidak membantah karena iapun melihat kebenaran pendapat Aji itu. Mereka duduk di atas bangku di depan pondok itu sambil menanti munculnya sinar matahari. Setelah sinar matahari mulai menyentuh tanah pedusunan itu, Aji berkata, "Lastri, mari kita memeriksa keadaan dusun ini sambil menanti matahari naik lebih tinggi."
Mereka berdua meninggalkan halaman rumah itu dan berjalan-jalan di sepanjang jalan dusun itu. Benar seperti yang mereka sangka, tidak ada seorangpun manusia yang berada di dusun itu. Dusun itu telah ditinggalkan orang dan ternyata pondok-pondok itupun isinya sederhana sekali. Setelah selesai memeriksa semua pondok yang telah kosong, matahari sudah menjadi semakin terang. mereka siap untuk meninggalkan dusun itu dan mendaki gunung.
Akan tetapi ketika mereka berdua berjalan menuju ke pintu gerbang dusun itu, tiba-tiba terdengar suara gaduh dan sekitar dua puluh orang laki-laki yang memegang parang (golok) berserabutan memasuki dusun itu dan mereka mengepung Aji dan Sulastri! Baru melihat cara mereka bergerak mengepung itu saja Aji dan Sulastri sudah maklum bahwa mereka merupakan sekelompok orang yang terlatih, merupakan pasukan yang tangguh.
Di antara mereka yang sekitar dua puluh orang jumlahnya itu tampak pula Ki Sajali dan seorang laki-laki tinggi besar yang mengenakan celana dan baju loreng terbuat dari kulit harimau loreng. Laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun itu memegang sebatang tombak yang berwarna hitam dan berlekuk-lekuk, mengerikan sekali. Aji menudingkan telunjuk kirinya kepada Ki Sajali dan berkata dengan lantang.
"Ki Sajali, kiranya dusun ini menjadi sarang gerombolan. tentu engkau dan semua penduduk dusun ini adalah kaki tangan gerombolan yang dipimpin Munding Hideung!"
Ki Sajali yang memegang sebatang golok tidak menjawab, akan tetapi laki-laki gagah yang memegang tombak itu yang menjawab dengan suaranya yang besar dan parau. "bagus kalau andika sudah tahu bahwa kami adalah Gerombolan Mundung Hideung! Dan aku, Ki Manggala, yang memimpin pasukan ini. Kalian anak-anak menyerah dan berlututlah agar dengan baik-baik kami bawa menghadap pimpinan kami!"
"Gerombolan busuk! Gerombolan licik! Kalian pengecut, hanya berani menggunakan racun dan main keroyokan! Ki Sajali, engkau sudah berani meracuni aku, sekarang engkau harus menebus perbuatanmu yang curang dan keji itu!” bentak Sulastri dan secepat kilat tangan kanannya sudah mencabut Pedang Nogo Wilis.
Sinar kehijauan tampak menyilaukan mata dan gadis itu dengan gerakan yang cepat dan ringan sekali sudah melompat ke depan. Gulungan sinar hijau pedangnya menyambar ke arah leher Ki Sajali. Orang tinggi kurus itu terkejut bukan main melihat sinar hijau menyambar sedemikian dahsyatnya seperti kilat saja. Dia cepat menggerakkan goloknya menangkis, dibantu oleh dua orang di kanan kirinya yang juga ikut menangkis sambaran sinar hijau itu.
"Trang-cring-trakkk...!" Golok Ki Sajali terpental, juga golok kawannya yang berada dikirinya, akan tetapi golok seorang lagi di sebelah kanannya, yang menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaga untuk mematahkan pedang hijau itu sebaliknya malah patah menjadi dua potong!
Pada saat itu, orang yang mengaku bernama Ki Manggala, yang memimpin gerombolan itu, mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menusukkan tombak hitamnya ke arah dada Sulastri!
"Tranggg!!" Tombak itu terpental dan Ki Manggala terkejut melihat bahwa yang menangkis dan membuat tombaknya terpental itu hanya sebatang keris yang digerakkan Aji untuk menangkis tombaknya tadi. Sementara itu, Sulastri sudah mengamuk, dikeroyok oleh Ki Sajali dengan kawan-kawannya. Dikeroyok belasan orang itu, Sulastri sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan ia seperti mendapat kegembiraan, dengan penuh semangat ia bergerak ringan dan cepat bagaikan bayang-bayang, berkelebatan ke sana sini dan pedangnya digerakkan cepat, berubah menjadi sinar kehijauan yang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar.
Dalam waktu beberapa menit saja terdengar teriakan-yeriakan disusul robohnya empat orang pengeroyok, menjadi korban Pedang Nogo Wilis. Aji juga sudah dikeroyok. Mula-mula Ki Manggala menggerakkan tombaknya. menyerang secara bertubi-tubi. namun dengan mudah Aji dapat menghindarkan diri dari serangkaian serangan tombak itu. Tubuhnya seperti tubuh seekor burung alap-alap ketika dihujani serangan patukan ular, mengelak dengan cepat dan ringan sehingga serangan tombak itu selalu mengenai tempat kosong belaka.
Kemudian dia bergerak sambil membalas, dengan tamparan tangan kiri dan tendangan kedua kakinya silih berganti. Dia tidak menggunakan kerisnya karena Aji sama sekali tidak ingin membunuh lawannya. Akan tetapi serangan balasan itu cukup hebat sehingga akhirnya Ki Manggala tidak mampu menghindarkan diri dari sambaran kaki kiri Aji.
"Bukk!!" pinggangnya menjadi sasaran tendangan yang dilakukan dengan tubuh miring dan Ki Manggala terpental dan roboh terbanting. Akan tetapi dia memang cukup tangguh. Dia melompat bangun dan menyerang semakin ganas, kini dibantu oleh lima orang anak buahnya, sisa dari mereka yang mengeroyok Sulastri. Terjadilah pertempuran yang hebat di dekat pintu gerbang perkampungan gerombolan itu.
Sulastri mengamuk dan pedangnya bergerak semakin ganas, Gulungan sinar kehijauan itu menyambar-nyambur dan terdengar bentakan-bentakannya yang nyaring. Lima belas orang yang mengeroyok kini tinggal delapan orang saja karena yang lain telah roboh terluka oleh pedangnya. Ketika Sulastri mempercepat gerakannya, delapan orang termasuk Ki Sajali itu bergabung menjadi satu dan selalu main mundur.
Demikian cepat gerakan pedang sinar hijau itu sehingga mereka hampir tidak memiliki kesempatan untuk menyerang! Biarpun Ki Manggala merupakan lawan yang cukup tangguh dan masih dibantu lima orang pula, namun Aji merupakan lawan yang terlalu berat bagi mereka. Sambaran kaki Aji telah merobohkan dua orang pengeroyok dari tangkisan Keris Nogo Welang telah membuat buntung dua batang golok para pengeroyok.
Ki Manggala menjadi gentar juga dan melihat betapa Ki Sajali yang mengeroyok gadis itupun kini terdesak hebat bahkan banyak yang roboh mandi darah, Ki Manggala memberi aba-aba sambil melompat ke belakang untuk melarikan diri.
"Kita pergi....!!" Dia sendiri sudah berlari cepat meninggalkan tempat itu. Mendengar ini, para anak buah yang memang sejak tadi sudah merasa gentar, cepat berlompatan untuk melarikan diri meninggalkan kawan-kawan yang terluka. ketika melihat Ki Sajali melarikan diri, sulastri cepat membungkuk dan mengambil sebatang golok yang terlepas dari tangan anggota gerombolan yang dirobohkannya dan sambil mengerahkan tenaganya, ia melontarkan golok itu kearah Ki Sajali yang melarikan diri.
"Singgg...!!" Golok itu mengeluarkan suara berdesing saking kuatnya lontaran itu dan tak dapat dihindarkan lagi, golok itu tepat mengenai punggung Ki Sajali, menancap sampai setengahnya. Ki Sajali mengeluarkan teriakan mengerikan dan tubuhnya roboh menelungkup, tewas seketika!
"Mari kita kejar mereka, Mas Aji!" seru Sulastri.
"Tunggu dulu, Lastri!" kata Aji.
"Tunggu apa lagi?" gadis itu mencela.
"Jangan biarkan mereka semua lolos. Kita harus membasmi mereka semua!"
"Mereka hanya anak buah, Lastri. Lebih baik kita mencari seorang yang dapat membawa kita ke sarang mereka dan bertemu dengan pimpinan mereka. Kita dapat memaksa seorang di antara mereka yang terluka itu."
Pada saat itu, seorang diantara para anak buah gerombolan yang roboh terluka, bangkit berdiri dan dia melarikan diri. Akan tetapi dengan lebih cepat lagi Aji melompat dan tiba di depan orang itu. Ternyata orang itu tidak terluka. Tapi dia roboh pingsan ketika tengkuknya terkena pukulan tangan Aji dan setelah siuman dia berusaha untuk melarikan diri. Akan tetapi alangkah kagetnya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Aji sudah berada di depannya. Karena tidak melihat jalan lain, dia menjadi nekat dan menyerang dengan pukulan ke arah dada Aji.
"Wuuuttt.... plakkk!" Tangan kanan yang memukul itu tertahan dan telah ditangkap tangan kiri Aji yang segera mengerahkan tenaga untuk mencengkeram pergelangan tangan lawan itu
"Aduhhh... aduhhh... ampun...!" Orang itu berteriak-teriak kesakitan. Sulastri sudah meloncat dekat dan pedangnya menodong lambung orang itu disusul bentakannya.
"Dengar! Engkau harus menunjukkan sarang gerombolan Munding Hideung kepada kami. Awas kalau engkau menipu kami, pedangku akan membuntungi semua kaki tanganmu!"
Merasa betapa ujung pedang itu menempel di lambungnya orang itu terbelalak dengan wajah pucat. Dia menangguk-angguk dan berkata dengan takut. "baik... baik... akan saya antar...!"
Sulastri menarik kembali pedangnya dan Aji melepaskan cengkeraman tangannya. Orang itu memijit-mijit pergelangan tangan kanannya yang masih terasa nyeri berdenyut-denyut.
"Hayo cepat antar kami ke sarang itu!" bentak pula Sulastri dan dengan wajah ketakutan orang itu lalu mengangguk-angguk dan berjalan mendaki lereng bukit. Diam-diam Sulastri harus membenarkan pendapat Aji. Ternyata pendakian Gunung Careme itu tidaklah mudah dan lerengnya penuh dengan hutan dan semak belukar. Tanpa penunjuk jalan, mereka berdua tentu akan mendapatkan kesukaran untuk dapat menemukan jalan setapak yang membawa mereka ke atas. Lereng yang penuh dengan jurang-jurang yang curam dan jalannya melalui semak belukar dan licin sekali. Akan tetapi anggota gerombolan yang menjadi penunjuk jalan itu agaknya sudah hafal akan keadaan di situ. Dia melangkah tanpa ragu. Agaknya dia mengambil jalan pintas karena hanya dalam waktu sekitar dua jam mereka sudah tiba di lereng paling atas, dekat puncak
“Berhenti dulu!” kata Aji. Orang itu berhenti melangkah dan Sulastri memandang kepada Aji, tidak mengerti apa kehendak Aji menghentikan perjalanan mereka itu.
“Ada apakah, mengapa kita berhenti di sini?” Tanya Sulastri dan juga tawanan mereka itu memandang wajah Aji dengan sinar mata bertanya.
“Kita sudah hampir tiba di puncak, mengapa belum juga sampai di sarang kalian?” Tanya Aji kepada orang itu.
“Di manakah sarang gerombolan itu? Jangan coba-coba untuk menipu kami!"
Orang itu menggeleng kepala, apa lagi ketika Sulastri memandang kepadanya dengan sinar mata marah dan penuh ancaman. Dia merasa lebih takut terhadap gadis itu daripada Aji. Dia tadi melihat betapa banyak kawan-kawannya yang mengeroyok gadis itu roboh dan mandi darah, terluka parah atau tewas, bahkan Ki Sajali juga tewas oleh gadis itu. Sedangkan para pengeroyok Aji yang roboh tidak terluka parah seperti dia, dan agaknya tidak ada yang tewas.
"Tidak, saya tidak berani menipu. dahulu, sarang kami memang berada di hutan sebelah bawah itu. Akan tetapi setelah dua kali kami diserang pasukan Kadipaten Cirebon, pimpinan kami lalu memindahkan sarang kami di lereng balik gunung, di seberang sebuah danau kecil yang terdapat di sana."
"Cepat antar kami ke sana! Ingat, kalau engkau berani menipu kami, aku akan menyayat-nyayat seluruh kulit tubuhmu agar engkau mati dengan tersiksa sekali!" bentak Sulastri.
Orang itu mengangguk dan melanjutkan perjalanan. Aji menegerling kepada Sulastri dan mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia tidak setuju dengan sikap dan sepak terjang Sulastri yang demikian ganas, akan tetapi dia tidak berani menegurnya, maklum bahwa teguran akan membuat gadis itu marah dan tersinggung. Mereka berdua jalan berdampingan di belakang penunjuk jalan itu. Kini mereka menuruni lereng di balik gunung. Dari atas sudah tampak sebuah danau kecil di lereng bawah puncak. Air danau berkilauan tertimpa sinar matahari yang mulai meninggi, putih seperti cermin.
"Di seberang danau itulah sarang kami yang baru!” kata penunjuk jalan itu.
Mereka bertiga menuruni puncak dengan cepat. setelah tiba di tepi danau, Aji bertanya. "Di mana sarang itu?" Penunjuk jalan itu menunjuk ke seberang danau. Danau itu tidak serapa luas dan keadaan di situ sunyi sekali. Di seberang sana tampak hutan lebat.
"Bagaimana kita harus menyeberangi danau ini?" Tanya pula Aji.
"Tidak ada jalan lain menuju ke sana kecuali dengan menyeberang. Biasanya terdapat perahu-perahu kami di sini. akan tetapi sekarang tidak tampak sebuahpun perahu. Tentu para pimpinan kami sudah mendengar dari teman-teman kami yang melarikan diri dan mereka menarik semua perahu ke darat agar andika tidak dapat mendatangi sarang kami. Aku... aku takut, karena kalau Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas melihat bahwa aku telah menjadi penunjuk jalan, mereka pasti akan menyiksa dan membunuhku." Orang itu memandang ke arah seberang dengan muka pucat.
Aji memandang keadaan sekeliling danau. memang tidak ada jalan lain menuju ke seberang danau di mana terdapat hutan luas. Danau itu dikelilingi tebing yang tinggi sehingga untuk menuju ke hutan di seberang itu jalan satu-satunya hanya menyeberangi danau. Kalau mengambil jalan memutari tebing itu tentu akan makan waktu lama dan juga amat sukar karena terdapat jalan setapak. "sarang kalian berada di hutan seberang danau itu?" tanyanya.
"Benar, denmas," kata orang itu. "Lihat itu ada asap mengepul. tentu asap dari dapur umum kami." Dia menuding ke seberang.
Aji dan Sulastri melihat itu dan mereka percaya. "Berapa banyaknya anggauta gerombolan?” tanya Sulastri.
"Ada lima puluh orang lebih, den roro."
"Siapa saja yang menjadi pemimpin mereka?" Aji bertanya.
"Pemimpin kami adalah Ki Munding Hideung dan adiknya, Ki Munding Bodas, dibantu oleh lima orang. Kami membangun pondok-pondok kayu di dalam hutan itu." Matahari telah naik tinggi. "Lastri, kita harus menyeberang." kata Aji.
"Kurasa juga begitu. Akan tetapi dengan apa? Tidak ada perahu di sini."
"Mudah saja. banyak bambu besar tumbuh di sana." Aji menuding ke kiri.
Sulastri maklum. "Heh kamu! Cepat tebang tiga batang pohon bambu besar dan buatkan rakit untuk kami" bentaknya kepada orang itu. Orang itu mengangguk.
"Baik, denroro. akan tetapi... saya tidak mempunyai alat menebang." Sulastri mencabut pedang Nogo Wilis. "Aku yang akan menebang. Engkau harus membuatkan rakit untuk kami!"
Setelah berkata demikian, gadis itu mengajak anak buah gerombolan itu menghampiri rumpun bambu. Dengan tiga kali sabetan saja, tiga batang bambu yang besar dan sudah tua tumbang. Sulastri lalu memotong-motong tiga batang bambu itu sesuai dengan prtunjuk orang itu. Karena orang itu memang ahli dalam pekerjaan itu, sebentar saja dia telah merampungkan pembuatan rakit yang kokoh, terdiri dari bambu-bambu disejajarkan dan diikat dengan tali bambu yang kuat. Aji membantu anak buah gerombolan mengangkat rakit ke tepi danau.
Setelah mereka siap menyeberang danau dengan rakit, orang itu memandang Aji dan mukanya pucat sekali, tubuhnya gemetar. "denmas... denroro... kasihanilah saya... saya tidak berani ikut... mereka tentu akan mencincangku melihat saya membawa andika berdua ke sana. Kasihanilah saya.... jangan ajak saya ke sana..."
"Engkau harus ikut! Kalau engkau tidak ikut, bagaimana kami tahu apakah engkau menipu kami atau tidak? Hayo ikut kami menyeberang!" Sulastri membentaknya.
Orang itu ketakutan dan memandang Aji dengan sinar mata penuh permohonan. "Ikutlah, aku akan melindungimu dari mereka," kata Aji yang tidak dapat menyalahkan sikap Sulastri karena memang orang itu perlu ikut untuk menjamin bahwa dia tidak akan menipu mereka.
Mendengar ucapan Aji itu, anggauta gerombolan itu tampak lega dan dia lalu ikut naik ke atas rakit sambil membawa dua potong kayu yang dibentuk sebagai dayung. Dia menyerahkan sepotong kepada Aji, kemudian dua orang laki-laki itu mulai menggerakkan dayung. Sulastri berdiri didepan sambil mengamati keadaan depan dengan waspada. Karena rakit itu didayung dua orang dan tenaga Aji yang mendayung amat kuat, rakit meluncur cepat. Danau itu termasuk kecil sehingga sebentar saja rakit itu sudah hampir mencapai seberang.
Tiba-tiba tampak bayangan banyak orang bermunculan dari balik batang-batang pohon dan meluncurlah puluhan batang anak panah menyambar ke arah tiga orang yang berada di atas rakit! Karena Sulastri berdiri di bagian depan rakit, tentu saja ia yang lebih dulu menjadi sasaran hujan anak panah itu. Ia memutar pedangnya dan tampak gulungan sinar hijau menjadi perisai dan semua anak panah yang menerjang perisai gulungan sinar hijau itu runtuh dan terlempar ke kanan kiri.
Anak buah gerombolan yang melihat penyerangan anak panah ini, berseru ketakutan dan dia sudah melompat ke dalam air, berenang sekuatnya berusaha menjauhi pantai itu. Akan tetapi beberapa batang anak panah menyambar ke arahnya. Terdengar dia menjerit dan dia tenggelam. Tampak gelembung-gelembung di permukaan air yang berwarna agak kemerahan.
"Putar terus pedangmu, Lastri!" kata Aji dan pemuda ini mengerahkan tenaganya mendayung sehingga rakit itu meluncur dengan cepatnya ke tepi danau. Anak panah semakin gencar meluncur dan menyerang, namun tidak sebatangpun mampu menerobos gulungan sinar hijau dari Pedang Nogo Wilis yang diputar cepat sekali olah Sulastri. Puluhan batang anak panah itu terlempar ke sana sini, banyak di antaranya patah ketika bertemu sinar hijau.
Setelah rakit meluncur dekat, dalam jarak dua tiga meter dari darat, Aji berseru kepada Lastri. "Lastri, kita mendarat!" Aji melompat ke darat sambil memutar dayungnya sedangkan Sulastri melompat sambil memutar pedangnya. Mereka menangkis anak panah yang masih menyerang seperti hujan. Akhirnya mereka tiba dan berdiri di atas tanah. Tidak ada anak panah lagi menyerang, akan tetapi puluhan orang mengepung mereka. Orang-orang itu tampak terbelalak, kagum dan heran. Sama sekali mereka tidak mengira bahwa yang 'menyerbu' sarang mereka itu hanya dua orang muda, yang seorang malah seorang gadis remaja!
Ketika mendengar laporan-laporan para anak buah yang melarikan diri dari dusun Kapayun, mereka tidak mau percaya begitu saja. Akan tetapi sekarang mereka melihat buktinya, juga melihat betapa gadis remaja itu mampu menangkis semua anak panah dengan pedangnya! Yang berdiri paling depan adalah dua orang yang jelas merupakan pimpinan mereka. bahkan Aji dan Sulastri yang sudah mendengar dari anak buah gerombolan yang mereka tawan tadi siapa yang menjadi pemimpin mereka, segera dapat menduga siapa dua orang tinggi besar yang mengenakan pakaian seorang senopati yang gagah dan mewah. Selain pakaian mereka terbuat dari kain halus dan potongannya seperti pakaian seorang senopati, juga mereka memakai kalung dan gelang yang terbuat dari emas!
Begitu kakinya mendarat dan saling adu pandang dengan dua orang laki-laki tinggi besar itu, Sulastri segera bertolak pinggang dengan tangan kiri dan pedangnya kini menuding ke arah muka dua orang itu. "Heh, kalian berdua manusia-manusia curang dan licik! Kelihatannya saja kalian ini gagah perkasa dan tinggi besar, tidak tahunya kalian hanya pengecut-pengecut besar yang kalau berhadapan dengan musuh beraninya menggunakan racun dan main keroyokan! Aku mengenal siapa kalian. Kamu yang bermuka hitam tentulah si kerbau hitam (Munding Hideung) dan kamu yang bermuka putih tentulah si kerbau putih (Munding Bodas). Hayo, kutantang kalian untuk bertanding satu lawan satu! Kalau main keroyokan ternyata kalian memang hanya kerbau-kerbau tolol yang pengecut!"
Semua anggota gerombolan itu terbelalak. Belum pernah selama hidup mereka menyaksikan seorang gadis remaja seberani dan segalak ini! Menantang Munding Hideung dan Munding Bodas! Dan menghina mereka lagi, menghina secara keterlaluan dan tidak kepalang tanggung! Bahkan Aji sendiri merasa betapa Sulastri telah menghina orang secara berlebihan, akan tetapi tentu saja dia diam dan hanya waspada, siap menghadapi segala kemungkinan. Akan tetapi diam-diam diapun kagum karena dia dapat menduga bahwa kegalakan sikap Sulastri itu memang disengaja untuk memanaskan perut dua orang pemimpin gerombolan agar mereka menyambut tantangannya demi harga diri mereka!
Hal ini menunjukkan betapa cerdiknya Sulastri. Dugaan Aji memang tepat dan ternyata akal Sulastri itupun berhasil baik. Wajah Munding Hideung yang hitam itu berubah menjadi semakin hitam dan wajah Munding Bodas yang putih itu kini tampak kemerahan. Dari sinar mata mereka tampak bahwa dua orang benggolan perampok itu marah bukan main mendengar ucapan Sulastri yang amat menghina mereka. Dua orang itu, kakak beradik Munding Hideung dan Munding Bodas, adalah tokoh-tokoh yang mewarisi aji kesaktian dari peninggalan Kerajaan Pajajaran. Guru mereka adalah mendiang Ki Mahesa Sura, seorang datuk yang berasal dari kerajaan Pakuwan (Bogor).
Mereka memang digdaya sehingga tidak aneh kalau dua kali serangan pasukan Cirebon dapat mereka pukul mundur. Selain aji kanuragan, yaitu ilmu pencak silat yang disertai penggunaan tenaga sakti, juga mereka mempelajari ilmu sihir dari mendiang guru mereka. Kakek dari Ki Mahesa Sura yang bernama Mahesa Badag, dahulu terkenal sebagai seorang datuk Kerajaan Pakuwan yang kemudian merajalela sampai ke Kerajaan Pajajaran sukar dicari tandingnya.
Mendiang Ki Mahesa Badag ini memiliki aji kesaktian yang dapat membuat dirinya berubah menjadi berbagai binatang buas. Dapat berubah menjadi seekor harimau, atau seekor kerbau liar yang amat ganas. Bertahun-tahun dia merajalela di Kerajaan Pajajaran. Akhirnya, dia bertemu juga dengan seorang lawan yang sakti mandraguna, yang bukan lain adalah Sunan Gunung Jati yang semula dikenal dengan banyak nama, antara lain Nurullah, atau Syekh Ibnu Molana. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Faletehan atau Tagaril. Dia dikenal sebagai Sunan Gunung Jati karena setelah wafat dia dimakamkan di sebuah gunung yang disebut Gunung Jati dekat ibu kota Cirebon.
Ketika kebetulan Sunan Gunung Jati berada di Kerajaan Pajajaran, dia bertemu dengan kakek bernama ki Mahesa Badag ini. Mereka bertanding, kabarnya sampai sehari semalam lamanya dan akhirnya Ki Mahesa Badag harus mengakui keunggulan Sunan Gunung Jati, penyebar agama baru Islam itu. Semenjak itu, Ki Mahesa Badag mengundurkan diri ke Pegunungan Careme sampai anak cucunya yang hidup sebagai petani juga tidak pernah meninggalkan Pegunungan Careme. Dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada keturunannya, akan tetapi setelah ilmu-ilmu itu dipelajari oleh dua orang buyutnya, yaitu Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas, ilmu-ilmu itu hanya tinggal kurang lebih setengahnya saja.
Pada jaman itu, seorang guru menurunkan ilmu kepada muridnya tidak sepenuhnya sehingga makin lama ilmu itu semakin merosot tingkatnya. Biarpun demikian Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas masih mewarisi aji kesaktian yang cukup hebat, diantaranya mengubah diri menjadi harimau besar yang ganas! Maka, tentu saja mereka menjadi marah sekali ketika ada seorang gadis remaja menghina mereka di depan anak buah mereka. Kemarahan membuat mereka menjadi lengah, kemarahan membuat mereka lupa betapa pembantu mereka, Ki Sajali dikabarkan tewas di tangan gadis ini dan dua puluh lebih anak buah mereka dibuat kocar-kacir, ada yang tewas dan ada yang terluka, sisanya melarikan diri dan melapor kepada mereka berdua.
Mereka lupa bahwa mereka kini sedang berhadapan dengan lawan yang sakti mandraguna. Mereka terlalu takabur dan mengandalkan kekuatan sendiri, memandang rendah kepada orang lain. Dua kakak beradik itu saling pandang dan maklumlah mereka akan isi hati masing-masing, bahwa mereka harus membunuh gadis remaja yang telah melontarkan penghinaan yang amat menyakitkan hati mereka itu. Mereka berkemak-kemik membaca mantera, lalu keduanya mengeluarkan suara gerengan yang menyeramkan. Bukan suara manusia lagi, melainkan suara harimau yang menggereng-gereng marah, lalu suara itu makin meninggi menjadi auman harimau yang menggetarkan hati.
Tiba-tiba mereka berdua menurunkan kedua tangan ke atas tanah, seperti merangkak, berjungkir balik tiga kali dan dua orang kakak beradik itu seketika berubah menjadi dua ekor harimau sebesar anak lembu! Dua ekor harimau itu mengaum-aum, mendesis memperlihatkan taring dan mencakar-cakar tanah dengan kedua kaki depan membuat tanah dan batu berhamburan! Sulastri tidak merasa gentar. Gadis itu melintangkan pedangnya dan siap melawan dua ekor harimau itu dengan pedangnya. Akan tetapi Aji lalu melangkah ke depan.
"Mundurlah, Lastri. Biarkan aku yang menghadapi permainan mereka ini!" Aji kini maju menghadapi dua ekor harimau yang tampaknya menjadi semakin ganas. Auman mereka menggetarkan seluruh tepi danau, bergema di dalam hutan di belakang mereka. Akan tetapi Aji tenang-tenang saja, lalu dia membungkuk, meraup tanah dengan kedua tangannya lalu menyambit dua ekor harimau itu dengan tanah yang digenggamnya. "Demi Asma Gusti Allah, yang palsu akan lebur, dari tanah kembali menjadi tanah! Mahluk jadi-jadian, kembalilah kalian ke asalmu!"
Sambitan itu dengan tepat mengenai kepala dua ekor harimau yang mengaum-aum dan sungguh aneh. Dua ekor harimau besar yang kelihatan amat liar dan kuat itu, begitu terkena hantaman tanah itu, roboh terguling-guling dan ketika mereka bangkit kembali, mereka telah berubah menjadi Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas! Dua orang itu membelalakkan mata dan memandang kepada Aji dengan penuh kemarahan.
"Keparat!" Bentak Ki Munding Hideung sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah Aji dan Sulastri yang kini sudah melangkah maju di samping Aji. "Katakan siapa kalian dan mengapa kalian berdua mambuat kacau di wilayah kami!"
Dengan sikap tenang namun suaranya yang lembut penuh wibawa, Aji menjawab. "Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas! Benarkah kalian yang bernama demikian dan menjadi pimpinan gerombolan yang suka mengacau di Kadipaten Cirebon selama ini?"
"Benar, kamilah pimpinan gerombolan Munding Hideung! Siapa kalian?"
"Aku bernama Lindu Aji dan gadis ini adalah Sulastri. Kami berdua merupakan utusan dari Gusti Pangeran Ratu di Cirebon untuk menangkap kalian yang mendatangkan kekacauan."
"Hoa-ha-ha-ha!” Ki Munding Hideung tertawa bergelak. "Adi Munding Bodas, kamu dengar ocehan bocah ini? Mereka hanya datang berdua tanpa pasukan dan katanya hendak menangkap kita. Ha-ha-ha!" Ki Munding Bodas juga tertawa bergelak.
"Heh, kalian dua ekor kerbau gila yang tolol! Apa kalian berani menerima tantanganku tadi untuk bertanding satu lawan satu? Atau kalian adalah pengecut-pengecut yang hendak melakukan pengeroyokan? Kalau begitupun kami berdua tidak takut dan akan membasmi kalian semua!"
"Gadis sombong! Aku yang akan menandingimu dan kalau engkau tertawan olehku, engkau harus menghiburku sampai aku merasa bosan dan membunuhmu!" teriak Ki Munding Bodas dan dia sudah menerjang gadis itu menggunakan sebatang senjata ruyung, yakni sebuah penggada terbuat dari galih asem (bagian tengah pohon asam) yang diberi benjol-benjol runcing. Senjata yang menggiriskan ini berat sekali, akan tetapi Ki Munding Bodas dapat menggerakkannya dengan cepat seolah senjata itu hanya seringan kayu. Angin mengiuk dan menyambar ketika dia menyerang Sulastri dengan ruyungnya.
"Wuuuttt... wesss!!" pukulan ruyung ke arah kepala Sulastri itu dapat dielakkan gadis itu dengan mudah ke kiri dan dari bawah pedangnya mencuat dan menusuk ke arah perut lawan. Ki Munding Bodas terkejut sekali melihat betapa serangannya dibalas secara langsung oleh gadis itu. Dia memutar pergelangan tangannya. Ruyungnya yang tadi luput menghantam kepala gadis itu membalik ke bawah dan menangkis pedang bersinar hijau itu. Ki Munding Bodas mengerahkan seluruh tenaganya dengan maksud untuk memukul patah pedang lawan atau setidaknya membuat pedang itu terlepas dari pegangan tangan Sulastri.
"Cringggg...!!" Biarpun ruyung itu terbuat dari kayu asam, akan tetapi keras sekali dan bertemunya ruyung dengan pedang itu sampai menimbulkan bunga api yang berpijar. Alangkah kaget hati Ki Munding Bodas ketika melihat bahwa pedang hijau di tangan gadis itu sama sekali tidak patah atau terlepas, bahkan sebaliknya dia merasa tangan kanannya tergetar hebat, tanda bahwa tangan kecil lembut putih mulus yang memegang pedang itu memiliki tenaga sakti yang dahsyat! Barulah dia menyadari bahwa gadis itu bukan sekedar sombong melainkan benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh. Maka diapun segera memutar ruyungnya dan mengamuk dengan mengerahkan semua tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu silatnya.
Namun, Sulastri tidak menjadi gentar dan dapat mengimbangi permainan senjata lawan, bahkan iapun tidak mau mengalah melainkan membalas serangan dengan serangan yang berbahaya dan mematikan. Terjadilah pertandingan yang seru dan mati-matian. Sementara itu, melihat adiknya sudah saling serang dengan gadis berpedang sinar hijau itu, Ki Munding Hideung lalu mencabut senjatanya, sebatang parang (golok) yang besar dan berat. "Bocah lancing, mampus kau!" bentaknya dan parangnya yang sudah menyambar dengan amat cepat dan kuatnya ke arah leher Aji. Agaknya dia ingin memenggal kepala pemuda itu dengan satu kali bacokan! "Singggg...!" Golok itu menyambar lewat atas kepala Aji ketika pemuda ini mengelak dengan merendahkan tubuhnya. Akan tetapi dengan amat cepat, golok itu seperti terbang membalik dan sudah menyambar lagi ke arah dadanya. Bukan main cepatnya gerakan golok di tangan Munding Hideung itu.
Namun Aji lebih cepat lagi. Dia sudah melangkah ke belakang sehingga ujung golok menyambar lewat di depan dadanya. Akan tetapi kembali golok itu membalik dan sudah menyerang lagi dengan cepat, menyambar ke arah kedua kaki pemuda itu. Bertubi-tubi datangnya serangan golok, namun Aji yang segera menghadapi serbuan golok itu dengan ilmu silat Wanara Sakti, dapat bergerak lincah dan cepat luar biasa, berloncatan mengelak ke sana-sini sehingga golok itu sama sekali tidak pernah dapat menyentuh tubuhnya.
Diam-diam Aji harus mengakui bahwa lawannya ini benar-benar memiliki ilmu golok yang amat dahsyat. Maka dia berhati-hati sekali dan menggunakan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri sambil mencari kesempatan dan lowongan untuk merobohkan Ki Munding Hideung. Dia belum merasa perlu untuk mempergunakan pusakanya, yaitu Keris Nogo Welang. Pertandingan antara Ki Munding Bodas dan Sulastri mencapai puncaknya. Setelah saling serang dengan sengit dan berulang-ulang ruyung bertemu pedang, Sulastri mengubah gerakan pedangnya yang kini berubah menjadi sinar hijau bergulung-gulung dan dari gulungan sinar ini kadang menyambar serangan kilat yang membuat Ki Munding Bodas menjadi terkejut dan beberapa kali hampir saja dia menjadi korban.
Mulailah si muka putih itu terdesak dan main mundur. Akan tetapi Sulastri terus mengejar. Ki Munding Bodas agaknya menjadi jerih dan dia terus mundur mendaki tebing, akan tetapi sambil mundur dia memutar ruyungnya untuk melindungi tubuhnya. Tiba-tiba mulutnya mengeluarkan bunyi bersuit nyaring. sulastri tidak perduli dan mendesak terus. Suitan itu merupakan isyarat sandi bagi para anak buah gerombolan untuk turun tangan mengeroyok. Kini puluhan orang itu bergerak, sebagian mengeroyok Aji dan sebagian lagi mengejar Sulastri yang mendaki tebing untuk terus mendesak Ki Munding Bodas.
Melihat dia terpisah dari sulastri, Aji cepat berseru. "Lastri, jangan kejar! Kembali ke sini!"
Teriakannya nyaring karena Aji melihat adanya bahaya yang mengancam gadis itu. Kalau gadis itu terpisah jauh darinya, dia tidak akan dapat melindunginya lagi kalau sampai terancam bahaya. Akan tetapi agaknya Sulastri tidak mau mengacuhkan peringatan Aji dan ia sudah mengejar Ki Munding Bodas sampai puncak tebing. Pada saat itu, melihat para anak buah gerombolan yang jumlahnya puluhan orang mengejarnya, Sulastri lalu mengeluarkan pekik dan memukul dengan tangan kirinya, Tangan itu terbuka dan seperti mendorong ke arah tubuh Ki Munding Bodas.
"Haiiiitttt...!" Kebetulan Aji mendapat kesempatan melompat ke belakang dan memandang ke arah gadis itu. Mereka dapat terlihat dengan mudah karena berada di puncak tebing. Aji tertegun. Dia mengenal pukulan tangan kiri Sulastri itu. Itu adalah Aji Margopati! Aji yang dikuasai gurunya, akan tetapi yang oleh Ki Tejobudi sengaja tidak diajarkan kepadanya karena aji itu terlalu dahsyat, terlalu ganas, sesuai dengan namanya, Margopati (Jalan Maut). Pukulan itu adalah pukulan maut jarak jauh dan tidak sembarang orang mampu bertahan atau menghindarkan diri dari pukulan maut itu.
"Aahhhh...!" Tubuh Ki Munding Bodas terjengkang roboh, terjungkal ke bawah tebing sebelah sana. Aji terpaksa mengelak dengan lompatan ke kiri ketika beberapa buah golok menyerangnya. Para anak buah gerombolan sudah mulai mengeroyolnya. Akan tetapi dia sengaja melompat jauh kesamping untuk melihat keadaan Sulastri. Alangkah terkejutnya ketika dia melihat apa yang terjadi di atas puncak tebing itu.
Pada saat Sulastri menggunakan Aji Margopati memukul roboh Ki Munding Bodas, belasan orang anak buah gerombolan menyerang Sulastri dengan hujan anak panah! Gadis itu cepat memutar pedang di tangan kanannya, akan tetapi agaknya ia sedikit terlambat karena tadi perbuatannya tercurah kepada Ki Munding Bodas sehingga sebatang anak panah mengenai pundak kirinya dan gadis itu terhuyung ke belakang, tidak menyadari bahwa di belakangnya adalah akhir puncak tebing maka tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuh dara itu terjatuh ke bawah tebing.
Aji tidak melihat lagi, hanya mendengar lengkingan suara Sulastri yang bergema panjang. Perasaan kaget khawatir, dan sedih membangkitkan amarah dalam hati Aji. Sulastri telah terjatuh ke bawah tebing! Sulastri telah tewas! Pikiran ini membuat dia bergerak seperti seekor burung alap-alap yang mengamuk. Tubuhnya melompat tinggi dan ketika turun, kedua tangannya menyambar ke arah pundak Ki Munding Hideung. Kepala geombolan ini mencoba untuk menyambut tubuh pemuda yang meluncur ke arahnya itu dengan bacokan goloknya.
Akan tetapi, sebelum bertemu dengan tangan Aji, ada hawa yang amat kuat menyambut golok itu sehingga terpental dan terlepas dari pegangan tangan Ki Munding Hideung, sementara itu kedua tangan Aji dengan jari-jari terbuka sudah menghantam kedua pundaknya. "Krek-krek!" Tulang kedua pundak itu patah. Saking nyerinya, Ki Munding Hideung berteriak parau dan diapun jatuh terduduk, goloknya terlepas dan dia mengerang kesakitan dengan kedua lengan tergantung lemas, terkulai lepas karena digerakkan sedikit saja pundaknya terasa nyeri bukan main. Para anak buah gerombolan menjadi marah dan menerjang, mengeroyok Aji!
Pemuda ini dalam kekhawatirannya akan nasib Sulastri, mengamuk. Dia bagaikan seekor alap-alap yang menyambar-nyambar dan ke manapun dia melomapat seperti terbang dan menyambar, tentu ada satu atau dua orang anak buah gerombolan terpelanting dan tersungkur! Keadaan menjadi kacau dan anak buah gerombolan menjadi gentar menghadapi pengamukan Aji itu. Walaupun kini anak buah gerombolan yang tadi mengeroyok Sulastri turun dari puncak tebing dan ikut mengeroyok, tetap saja mereka dihajar sampai kocar-kacir oleh Aji.
Belum pernah selama hidupnya hati Aji dicengkeram kemarahan seperti itu, kemarahan yang timbul karena kekhawatiran hatinya terhadap Sulastri. Akan tetapi, betapapun marah dan sakit hatinya, tetap saja Aji membatasi tenaganya sehingga para anggota gerombolan yang dirobohkannya itu tidak ada yang sampai tewas. Mereka hanya menderita patah tulang dan tidak mampu melanjutkan pengeroyokan. Setelah lebih dari tiga puluh orang gerombolan roboh oleh tamparan dan tendangan Aji, sisanya menjadi gentar dan mereka menghentikan pengeroyokan, bahkan mundur menjauhkan diri.
Aji tidak memperdulikan mereka lagi. Dia cepat mendaki puncak, dia menjenguk ke bawah tebing sebelah sana dan matanya terbelalak, wajahnya menjadi pucat. tebing itu ternyata curam bukan main! Orang yang terjatuh ke bawah tebing tak mungkin dapat lolos dari maut. Tentu tubuhnya remuk-remuk terhempas ke batu-batu gunung, terguling-guling dan akhirnya terhenti di dasar tebing dalam keadaan remuk!
"Sulastri...!" Dia mngeluh lirih lalu cepat mencari jalan menuruni tebing. Jalan turun sungguh tidak mudah dan kadang dia harus merayap berpegangan kepada batu-batu gunung yang menonjol dan akar-akar pohon, seperti seekor kera. Tinggi tebing itu tidak kurang dari tiga ratus meter! Di bawah sana, dasarnya tidak tampak karena tertutup daun-daun pohon dan semak-semak belukar. Setelah tiba di bawah, mulailah Aji mencari-cari. Hatinya terasa seperti diremas-remas dan dia merasa ngeri membayangkan akan menemukan tubuh Sulastri dalam keadaan luka-luka parah, berdarah-darah dan remuk, dan tentu saja sudah tewas. Tidak mungkin ada manusia yang memiliki kekuasaan untuk menyelamatkan diri setelah terjatuh dari atas tebing yang sedemikian curamnya!
Tentu saja kalau Gusti Allah menghendaki, tidak mustahil sama sekali kalau Kekuasaan Gusti Allah menyelamatkan manusia yang terjatuh itu. Kekuasaan Gusti Allah! Aji menyesali diri sendiri! Kenapa dia, dicekam kekhawatiran dan kesedihan tadi, sejenak melupakan hal yang mutlak tak dapat dibantah ini? Kenapa iman dan penyerahannya kepada Gusti Allah tadi goyah sehingga dia menjadi putus asa? Padahal, mendiang gurunya sudah dapat menanamkan keyakinan di dalam hatinya bahwa segala sesuatu yang telah, sedang dan akan terjadi, hanya dapat terjadi kalau semua itu sudah diperkenankan dan dikehendaki oleh Gusti Allh! Semua milik Gusti Allah dan kalau Gusti Allah menghendaki untuk mengambil apa yang menjadi milikNya, siapa yang akan mampu mencegahnya? Seperti segala apa yang berada di seluruh alam mayapada ini, diri Sulastri juga milik Gusti Allah! Karena itu, dia harus pasrah dengan sepenuh penyerahan hatinya kepada kekuasaan Gusti Allah!
"Duh Gusti, ampunilah hamba...!" Aji berdoa dalam hatinya, sadar akan kesalahan dan kelengahannya sehingga tadi dia lupa diri. Kekhawatiran dan kedukaan yang mencekam membuat dia sejenak terlupa akan penyerahannya.
Setelah batinnya mengucapkan doa itu, hatinya menjadi tenteram dan dia mulai mencari-cari lagi dengan hati yang telah siap untuk menghadapi segala yang akan ditemukannya. Ketika dia menyibak semak belukar dengan sepotong ranting kayu dan melihat tubuh Ki Munding Bodas terkapar di antara semak, telentang dengan pakaian cabik-cabik dan tubuh penuh darah, matanya melotot, dari mulut dan hidungnya keluar darah menghitam, Aji tidak terkejut lagi. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat dada yang tidak tertutup baju lagi itu ada tanda telapak tangan menghitam. Itulah aji pukulan Margopati!
Dia sudah mendengar banyak tentang aji itu dari mendiang Ki Tejobudi dan kakek itu memang sengaja tidak mengajarkan aji pukulan yang amat keji kepadanya. Agaknya tubuh Ki Munding Bodas terhempas jatuh, terguling-guling dan akhirnya masuk ke dalam semak belukar yang lebat itu, yang kini seolah mengubur jasadnya. Dia melepaskan kuakan pada semak itu yang menutup kembali menyembunyikan mayat itu, dan melanjutkan pencariannya. Akan tetapi, setelah menjelajahi seluruh dasar tebing, memeriksa setiap semak belukar, menjenguk ke jurang-jurang yang berada di bawah tebing, dia tidak dapat menemukan Sulastri!
Harapan mulai memenuhi hatinya. Kalau tidak dapat ditemukan jenazahnya, hal itu hanya berarti bahwa gadis itu masih hidup! Akan tetapi, andaikan atas kehendak Gusti Allah Sulastri masih hidup, setidaknya ia tentu terluka dan tidak dapat pergi jauh. Harapan yang timbul ini menggembirakan hatinya dan mulailah dia berteriak memanggil. "Lastri...! Nimas Sulastr... !"
Karena dia memanggil dengan pengerahan tenaga saktinya, suaranya bergaung di sekeliling lembah. Dia menanti sampai gema suaranya menghilang lalu mengerahkan pendengarannya. Tidak ada jawaban, tidak terdengar gerakan. "Nimas Lastri....! Di mana engkau...?" Kembali dia berteriak, bahkan lebih kuat daripada tadi karena dia mengerahkan seluruh tenaganya. Gaung suaranya juga lebih panjang daripada tadi. Akan tetapi tetap tidak terdengar jawaban. Aji terus mencari-cari dan memanggil-manggil, namun sia-sia. Sulastri bagaikan lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas.
Setelah matahari condong jauh ke barat, Aji terpaksa meninggalkan tempat itu, kini melalui pendakian tebing yang amat sukar, dia kembali ke atas tebing. Puncak tebing sudah sepi. Akan tetapi sarang gerombolan itu sudah tampak dari situ. Dia lalu menuruni tebing dan menuju ke sarang gerombolan yang berada tidak jauh dari danau kecil itu. Dengan tabah dan tenang Aji memasuki perkampungan yang pondok-pondoknya masih baru, terbuat dari kayu dan bambu itu. Begitu dia masuk, tampak beberapa orang gerombolan itu berlarian memasuki sebuah pondok besar. Dari dalam pondok-pondok itu terdengar suara-suara rintihan kesakitan maka tahulah Aji bahwa para anggota gerombolan yang luka-luka berada di perkampungan itu. Melihat para anggota gerombolan yang tadinya berada di luar pondok kini berlarian masuk dan bersembunyi dalam pondok, Aji lalu berseru nyaring.
"Kalian semua keluarlah dari pondok, atau haruskah aku membakar semua pondok ini lebih dulu untuk memaksa kalian keluar?"
Teriakan dan ancaman ini berhasil. Berbondong-bondong para anggauta gerombolan keluar dari dalam pondok. Bahkan yang terluka dipapah oleh yang sehat keluar pula. Agaknya mereka merasa takut bahwa pondok-pondok akan dibakar oleh pemuda yang sakti mandraguna itu. Aji melihat sekitar empat puluh orang keluar dari pondok dan mereka berjongkok, tanda bahwa mereka tidak akan melawannya. Sebagian yang lain melarikan diri, pikirnya. Akan tetapi dia tidak melihat Ki Munding Hideung yang hendak ditangkap dan dibawanya ke Kadipaten Cirebon, diserahkan kepada Sang Adipati.
"Di mana Ki Munding Hideung dan para pemimpin yang lain?" Aji bertanya, suaranya mengandung wibawa kuat. "Suruh mereka keluar! Aku ingin bicara dengan mereka." Aji memandang dan melihat para anggota gerombolan itu berdiam diri dan hanya menundukkan muka dengan sikap takut-takut. Dia menunggu, akan tetapi sampai lama tidak ada yang berani menjawab pertanyaan itu. Aji menjadi penasaran. Dia dapat menduga bahwa sikap diam mereka itu sama sekali bukan hendak menentang, melainkan karena ketakutan. "Hayo, seorang di antara kalian katakan, di mana adanya para pimpinan kalian itu? jangan takut! Kalau para pimpinan kalian marah, aku yang akan melindungi kalian!"
Setelah orang-orang itu saling pandang dan saling berbisik sehingga gaduh, akhirnya seorang anggota gerombolan yang usianya sekitar lima puluh tahun bergerak maju sambil berjongkok lalu berkata dengan lirih seolah takut kalau sampai terdengar para pemimpinnya. "Denmas, harap ampuni kami. Para pemimpin kami sudah lari meninggalkan kami di sini. Ki Munding Bodas telah terjatuh ke dalam jurang bawah tebing. Ki Munding Hideung dan lima orang pembantunya melarikan diri."
"Ke mana? Ke mana mereka melarikan diri?" tanya Aji.
"Kami tidak tahu, denmas. Mereka pergi tanpa pesan dan tidak memberitahukan ke mana mereka melarikan diri."
Aji percaya bahwa para anak buah gerombolan itu tidak berani membohonginya, akan tetapi untuk meyakinkan hatinya, dia lalu memeriksa dan menggeledah seluruh pondok. Benar saja, dia tidak menemukan Ki Munding Hideung dan para pembantunya. Maka dia keluar lagi dan mendapatkan puluhan orang anak buah gerombolan masih berjongkok di luar rumah induk yang tadinya menjadi tempat tinggal Ki Munding Hideung dan para pembantunya. Gerombolan itu ternyata tidak ada yang berkeluarga dan tidak terdapat seorangpun wanita atau anak-anak dalam perkampungan gerombolan itu. Aji sendiri menghadapi mereka.
"Hei, kalian semua, anak buah gerombolan Munding Hideung yang telah banyak membuat kekacauan dan kejahatan di daerah Kadipaten Cirebon. Sebenarnya aku telah diberi wewenang oleh Gusti Adipati untuk membasmi kalian semua dan kalau sekarang aku membunuh kalian semua sebagai hukuman, hal itu sudah semestinya dan sewajarnya!"
Anggota gerombolan tua tadi cepat menyembah-nyembah dan berkata, "Ampun, denmas, harap denmas sudi mengampuni kami. Kami hanya melaksanakan perintah pimpinan kami." "Dan sekarang apakah kalian juga masih akan melanjutkan perbuatan kalian menjarah rayah rakyat yang tidak berdosa?"
"Kami sudah kapok, denmas!" teriakan ini keluar dari banyak mulut.
"Kalian adalah orang-orang yang bertubuh kuat, sepatutnya malu kalau menggunakan kekuatan kalian hanya untuk menjarah rayah (merampok) rakyat yang tidak berdosa, mengganggu dan mengacau bangsa sendiri! Padahal, bangsa dan negara kini sedang menghadapi musuh yang paling besar dan berbahaya, yaitu Kumpeni Belanda. Kenapa kalian tidak mempergunakan kekuatan kalian untuk membela nusa bangsa, untuk membantu Sultan Agung di Mataram, menentang Kumpeni Belanda? Kalaupun hal itu masih belum dapat kalian lakukan, setidaknya kalian harus bekerja baik-baik, kembali ke jalan benar dan tidak mengganggu rakyat bangsa sendiri. Sekali ini aku mengampuni kalian, akan tetapi kalau lain kali aku masih mendapatkan kalian merampok, aku tidak akan mengampuni lagi dan akan membasmi dan membunuh kalian semua!"
"Terima kasih atas kebijaksanaan denmas!" kata anggota tua itu dan semua anggota gerombolan itupun bergumam menghaturkan terima kasih mereka.
"Sekarang aku minta bantuan kalian." kata Aji. "Kalian yang tidak terluka, harap mencari jalan menuruni tebing ini dan mencari temanku, gadis yang terjungkal ke bawah tebing tadi sampai dapat kalian temukan. Aku akan menanti di sini dan tinggal di rumah ini." Dia menunjuk rumah bekas tempat tinggal Ki Munding Hideung.
Para anggota gerombolan menjadi girang bukan main karena mereka diampuni, maka mendengar permintaan Aji itu, berbondong-bondong mereka lalu mencari jalan untuk menuruni tebing, tentu saja dengan jalan memutar karena menuruni tebing seperti yang dilakukan Aji tadi, tak sanggup mereka melakukannya. Aji lalu memasuki rumah induk gerombolan itu dan mengaso. Dia duduk bersila dan termenung. Wajah Sulastri selalu terbayang di depan matanya, apa lagi bayangan yang menggambarkan jatuhnya gadis itu ke bawah tebing.
Dia selalu gagal dalam Samadhi karena pikirannya tak pernah dapat menghilangkan bayangan gadis itu. Perasaan hatinya tertindih duka yang mendalam, disertai kegelisahan membayangkan nasib Sulastri. Benarkah gadis itu tewas dengan tubuh remuk di bawah tebing? Sungguh sukar dapat dipercaya bahwa gadis yang lincah jenaka, gagah perkasa dan cantik jelita itu kini menjadi mayat yang rusak dan remuk. Aji merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk.
"Duh Gusti Allah, hamba mohon kekuatan iman dan bimbingan." dia berbisik dan mnyerahkan segalanya dengan sepenuh jiwa kepada Gusti Allah Yang maha Kuasa. penyerahan secara total itu seketika menghapus semua duka. Semua ini milik Gusti Allah, juga Sulastri adalah milikNya. Karena itu terserah kepadaNya untuk memutuskan apa yang akan terjadi dengan gadis itu. Kalau Gusti Allah sudah memutuskan, tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mengubahnya. Dan semua keputusan Gusti Allah sudah pasti baik dan benar, sudah pasti yang terbaik baginya dan bagi Sulastri.
"Duh Gusti, hamba menyerahkan Sulastri dan diri hamba sendiri ke tangan Paduka. semoga Paduka sudi mengampuni semua dosa dan kesalahan Sulastri dan hamba." demikian suara hatinya keluar melalui pernapasannya. Penyerahan ini bukan sekedar kata-kata atau sekedar pemikiran, melainkan tembus keluar dari jiwanya dan Aji merasa perasaannya tenteram kembali. Apapun yang akan terjadi pada diri Sulastri dia sudah menyerahkannya kepada Gusti Allah dan dia yakin bahwa apapun yang terjadi pada diri Sulastri, hal itu tentu yang terbaik bagi gadis itu karena sudah dikehendaki Gusti Allah.
Sampai dua hari lamanya Aji tinggal di perkampungan gerombolan itu, membiarkan para anak buah gerombolan setiap hari mencari-cari jejak Sulastri. Akan tetapi ternyata sia-sia belaka. Para anggauta gerombolan hanya menemukan mayat Ki Munding Bodas saja. Akan tetapi seorang dari mereka menemukan pedang Sulastri dan menyerahkan kepada Aji. Aji menerima Pedang Nogo Wilis itu, mengamatinya dengan hati penuh tanda tanya. Pedang dapat ditemukan, berarti Sulastri tentu terjatuh di sana pula, tak jauh dari pedangnya. Akan tetapi kenapa mereka tidak dapat menemukan Sulastri?
Secercah sinar harapan menerangi hatinya. Sulastri tidak ada, juga tidak ditemukan bekas-bekas darah. ini hanya mempunyai satu arti, yakni bahwa gadis itu tentu masih hidup dan pergi dari dasar tebing itu. Akan tetapi kenapa pedang pusakanya ditinggalkan? Dan kenapa gadis itu tidak mendaki tebing lagi untuk menemuinya? Dia yakin, Sulastri pasti masih hidup. Akan tetapi bagaimana caranya gadis itu menyelamatkan diri, dan ke mana kini berada, menjadi pertanyaan yang selalu bergema dalam benaknya dan tidak dapat dia menjawabnya. Aji membawa Pedang Nogo Wilis dan memasuki rumah, tepekur di dalam rumah itu sampai lama. Berbagai pertanyaan mengaduk benaknya. Sulastri hilang secara aneh. Sulastri mampu melakukan pukulan dengan Aji Mardopati!
Sungguh aneh sekali. Dia lalu merenung tentang kematian, dan tentang kedukaan karena ditinggal mati orang yang dikasihi. Dia merasa yakin bahwa kematian bukan merupakan akhir segalanya. Memang kehidupan sebagai manusia dengan jasmani ini berakhir setelah mati, akan tetapi kematian adalah kelanjutan dari kehidupan ini. Kematian di dunia ini merupakan awal suatu keadaan yang baru. Suatu kehidupan baru dalam alam lain yang merupakan awal suatu keadaan yang baru. Suatu kehidupan baru dalam alam lain yang merupakan rahasia manusia yang masih hidup dalam alam ini. Karena itu, mengapa menyedihkan orang yang telah mati?
Bagaimana kita dapat merasa sedih kalau kita tidak tahu apa jadinya dengan orang yang kematiannya kita tangisi itu? Bukankah sudah jelas bahwa tangisan itu sebetulnya merupakan bukti kedukaan terhadap diri sendiri? Aku menangisi kematian orang yang kucinta, karena aku kehilangan dia, aku ditinggalkan sendiri, aku tidak bisa mendapatkan kesenangan lagi darinya, aku merasa kesepian dan aku merana. Karena itulah sebetulnya aku menangis!
Melihat semua kenyataan ini membuat Aji menghela napas dan melayangkan puji kepada Gusti Allah, mohon kemurahanNya agar apapun yang terjadi dengan diri Sulastri, Gusti Allah akan selalu melindungi dan membimbingnya. Akhirnya Aji mengambil keputusan untuk meninggalkan perkampungan gerombolan itu. Sekali lagi dia memperingatkan para anggota gerombolan agar meninggalkan kejahatan mereka yang lama dan mulai kehidupan baru yang tidak menyimpang dari kebenaran.
Setelah meninggalkan Gunung Careme, Aji lalu pergi ke Kadipaten Cirebon menghadap Pangeran Ratu. Adipati Cirebon itu merasa girang mendengar dari Aji bahwa gerombolan pengacau telah dapat dikalahkan. Ki Munding Hideung melarikan diri dan Ki Munding Bodas telah tewas, sedangkan para anak buahnya sudah menyatakan bertaubat dan tidak akan melakukan kekacauan lagi. Akan tetapi sang adipati itu juga merasa berduka mendengar bahwa Sulastri terjatuh ke bawah tebing dan lenyap.
Ketika sang adipati hendak memberi ganjaran, Aji menolak dengan halus dan diapun berpamit, meninggalkan kadipaten, menunggang kuda pemberian sang adipati yang kedua kalinya. Biarpun dia sudah menerima musibah yang menimpa Sulastri denngan segala kepasrahan, namun tetap saja dia merasa kesepian dan kehilangan sekali ketika meninggalkan pintu gerbang Kadipaten Cirebon. Dia merasa seolah ada sesuatu yang hilang, yang membuat hidup ini rasanya tidak lengkap lagi. Bahkan ada rasa penyesalan besar dalam hatinya, seolah dia merasa bahwa dialah yang menyebabkan Sulastri mati.
Kalau gadis itu tidak ikut dengannya tidak melakukan perjalanan bersamanya, belum tentu gadis itu akan tewas. Sejak gadis itu ikut melakukan perjalanan bersama dia, Sulastri selalu mengalami ancaman maut dan menderita. Ia pernah diserang racun penghancur tulang oleh Nyi Maya Dewi yang jahat. Kemudian ia juga keracunan oleh air yang disuguhkan Ki Sajali pembantu Ki Munding Hideung itu, dan sekarang dia bahkan terkena anak panah dan terjungkal ke bawah tebing yang amat tinggi.
********************