Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Alap Alap Laut Kidul
Jilid 16
SULASTRI tentu tewas, hal itu tidak dapat diragukan lagi. Orang yang terjatuh dari tempat begitu tinggi, biar ia seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekalipun, sulitlah akan dapat terlepas dari cengkeraman maut. Tentu saja ada kekecualian, yaitu kalau Kekuasaan Gusti Allah bekerja, maka tidak ada yang tidak mungkin bagi Kekuasaan gusti Allah untuk melakukan kemujijatan yang menurut ukuran pikiran manusia bagaimana tidak masuk akal dan anehpun.
Sekarang dia harus melanjutkan perjalanannya seperti yang telah direncanakan menurut petunjuk Senopati Suroantani, dia harus melanjutkan perjalanannya sampai di Jayakarta atau Batavia, pusat benteng Kumpeni Belanda dan siap menanti di sana untuk membantu Mataram apabila pasukan Mataram mulai menyerang benteng Kumpeni Belanda di Batavia. Akan tetapi sebelum melanjutkan perjalanan ke sana, dia harus lebih dulu mencari ayah Sulastri untuk mengabarkan tentang diri Sulastri itu. Dia sudah mendengar dari Sulastri bahwa ayahnya bernama Ki Subali, seorang sasterwan, seniman dan dalang yang tinggal di dermayu. Apapun akibatnya, dia harus menceritakan sejujurnya tentang nasib yang menimpa diri gadis itu.
Benarkah Sulastri mati seperti yang dikhawatirkan Aji? Atau apakah yang terjadi dengannya sehingga ia lenyap tak meninggalkan bekas? Memang, kalau diukur dengan logika pikiran manusia, rasanya tidak mungkin kalau seseorang yang terjatuh dari atas tebing yang demikian curamnya, yang ratusan meter tingginya, akan dapat tinggal hidup. Akan tetapi, banyak sekali kenyataan dalam kehidupan manusia membuktikan bahwa kalau Gusti Allah menghendaki seseorang tinggal hidup, biar seribu satu macam ancaman maut menyerbunya, dia akan terbebas dari kematian.
Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang mati, biarpun ada seribu satu perisai tidak akan mampu menghindarkannya dari sengatan maut yang mematikannya. Sudah menjadi kenyataan bahwa Gusti Allah menghendaki Sulastri hidup. Buktinya, ia tidak mati walaupun terjatuh dari atas tebing yang begitu tinggi. Ia jatuh membentur-bentur dinding karang, bahkan kepalanya terbentur keras sehingga ia pingsan sebelum mencapai dasar tebing.
Dan anehnya, beberapa meter sebelum terbanting remuk di atas batu di dasar tebing, tiba-tiba luncuran tubuhnya terhenti karena bajunya tersangkut pada akar pohon besar yang mencuat dari dinding tebing seperti sebuah ujung tombak yang ada kaitannya! Tubuhnya tergantung di situ, bajunya terkait dan ia sama sekali tidak bergerak karena dalam keadaan pingsan. Dahinya dekat pelipis kiri berdarah.
"Heh-heh-heh, bocah denok ayu kok menggantung diri di situ!" terdengar suara orang terkekeh. Dia seorang kakek yang usianya tentu sudah hampir tujuh puluh tahun, tubuhnya kurus kering dan bongkok, tangan kirinya ceko dan mukanya mengingatkan orang akan tokoh Pendito Durno penasihat kerajaan Ngastino. Akan tetapi biarpun tangan kirinya ceko dan kaki kanannya agak pincang seperti tokoh Gareng dalam cerita wayang, dia dapat bergerak dengan cekatan sekali ketika mendaki tebing. Gerakannya ringan dan sebentar saja dia sudah sampai di tempat di mana Sulastri tergantung pada akar pohon.
Uh-uh, perawan kinyis-kinyis, sayang sekali kalau mati di sini!" kata pula kakek itu. Kemudian dengan tangan kanannya dia melepaskan baju Sulastri dari kaitan akar pohon dan memondongnya lalu turun lagi seperti seekor monyet. Kalau ada yang melihatnya tentu akan terheran-heran. Bagaimana mungkin seorang kakek yang ceko dan pincang dapat memanjat tebing terjal seperti itu, bahkan ketika turun memondong tubuh seorang gadis dari gerakan-gerakannya ini saja sudah dapat diketahui bahwa kakek itu tentu bukan orang biasa, melainkan seorang kakek yang memiliki kesaktian.
Setelah turun, kakek itu melanjutkan perjalanannya sambil memondong tubuh Sulastri. Ketika melihat mayat Ki Munding Bodas, dia berhenti dan mengamati mayat itu sambil berdiri. "Uh-uh, Munding Bodas, engkau tewas terkena pukulan ampuh. Salahmu sendiri! Berapa kali sudah kuingatkan agar jangan membuat kekacauan di Cirebon karena Sang Adipati adalah keturunan mendiang Sunan Gunung Jati yang sakti mandraguna. Nah, sekarang engkau tewas dan akupun tidak dapat menghidupkanmu kembali. Tentu perawan ini ada hubungannya dengan kematianmu!"
Setelah berkata demikian, kakek itu meninggalkan mayat itu dan dengan berlari cepat dia memanggul tubuh sulastri menuruni lereng Gunung Careme ke arah selatan. Luar biasa cepatnya kakek itu berlari, melompati jurang-jurang seperti seekor kijang saja. Dia sama sekali tidak tampak keberatan memanggul tubuh Sulastri yang masih pingsan. Setelah tiba di kaki gunung, dia memasuki sebuah hutan cemara dan ditengah-tengah hutan itu terdapat sebuah pondok kayu. Dia membuka pintu pondok dan membawa Sulastri memasuki pondok. direbahkannya tubuh gadis itu ke atas sebuah dipan bambu, lalu diperiksanya keadaan Sulastri.
Melihat bahwa gadis itu terluka dahinya dekat pelipis, dia lalu mengomel. "Ah, luka ini parah juga. Untung ia memiliki kepala yang keras dan kuat sehingga tidak sampai pecah. Kasihan engkau perawan denok ayu, aku akan mengobatimu!" Dia lalu keluar dari pondok dan mencari Widoro Upas, lalu dibawanya kembali ke pondok. Dengan jari-jari tangannya dia meremas Widoro Upas itu sampai hancur, lalu mencampurkannya dengan beberapa tetes madu dan mengoleskan campuran itu ke luka di dahi Sulastri.
Setelah itu dia duduk di tepi dipan dan mengamati wajah yang cantik jelita itu. Biarpun rambut Sulastri terurau lepas dan pakaiannya cabik-cabik dan awut-awutan, namun kecantikannya bahkan tampak lebih menonjol. "Huh-huh, sungguh ayu manis, kinyis-kinyis merak ati..!" Kakek itu berkata, matanya bersinar-sinar penuh gairah, beberapa kali menelan air liurnya dan dia sudah menggerakkan kedua tangannya untuk menggerayangi tubuh muda yang menggairahkan hati dan menimbulkan nafsunya itu.
"Puuuunten...!" Terdengar suara orang beruluk salam dari luar pintu.
Kedua tangan yang sudah bergerak ke depan itu tertahan dan kakek itu bangkit, bersungut-sungut. "Hemmm, siapa yang datang menggangguku?" Agaknya orang yang datang itu mendengar gerutunya.
"Bapa Guru, saya yang datang!"
"Uh-huh, kiranya engkau, munding hideung. Masuklah!" Yang datang itu memang Munding hideung. Dia masuk pondok itu dengan langkah terhuyung dan ketika sudah masuk di ruangan depan, dia segera menjatuhkan diri duduk di atas kursi sambil mengerang kesakitan. kakek itu keluar dari dalam kamar dan melihat wajah yang hitam itu kini tampak agak pucat dan wajah muridnya ang tinggi besar itu menyeringai kesakitan, dia segera menghampiri.
"Uh-uh, apa yang telah terjadi denganmu, Munding Hideung? Engkau agaknya terluka!" kata kakek itu. Kakek itu adalah Panembahan Kolo Srenggi, seorang pertapa di hutan cemara yang berada di kaki Gunung Careme dan dia adalah guru dari Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas.
"Aduh, celaka, bapa guru. kami mengalami malapetaka. Adi Munding Bodas telah tewas..."
"Huh-huh, aku sudah tahu. aku melihat mayatnya di bawah tebing. Dan engkau sendiri kenapakah?"
"Pundak saya ini... kedua pundak saya, agaknya patah tulangnya, bapa guru..." Munding Hideung mengeluh.
Panembahan Kolo Srenggi terkekeh lalu menghampiri muridnya, menggerakkan kedua tangan dan memegang kedua pundak muridnya itu. 鈥淎duh...!" Ki Munding hideung mengeluh kesakitan. "Uh-uh, tulang kedua pundakmu retak. Akan tetapi jangan khawatir. Obatku akan menyembuhkannya dalam waktu beberapa hari saja."
Setelah berkata demikian, kakek itu pergi ke sebuah kamar di belakang di mana dia menyimpan bermacam-macam rempa-rempa untuk bahan jamu. Dia mengambil Tangkai Cikal Tulang, ditumbuk halus dan dicampur dengan Daun Srigi, setelah itu tumbukan itu dicampur dengan sedikit garam. Dia lalu membawanya ke ruangan depan di mana Munding Hideung masih menunggu sambil mengeluh kesakitan. Panembahan Kolo Srenggi membuka baju atas muridnya itu, kemudian jari-jari tangannya yang panjang kurus namun kuat itu memijat-mijat dan menekan-nekan, membetulkan kembali letak tulang pundak yang patah.
Ki Munding Hideung menggigit bibir menahan sakit sampai peluh keluar dari mukanya. Setelah itu, kakek itu mengoleskan bubukan obat itu ke kedua pundaknya, lalu membebatnya dengan kulit pohon randu dan diikat dengan kain. Memang hebat sekali kemanjuran pengobatan kakek itu. Biarpun tulang-tulang pundaknya masih belum pulih, namun Ki Munding Hideung sudah mampu menggerakkan kedua lengannya!
"Nah, ceritakan apa yang terjadi" kata Panembahan Kolo Srenggi sambil duduk di kursi depan Munding Hideung.
Ki Munding Hideung menghela napas panjang. "Kami mengalami kesialan, bapa guru. Dua orang utusan Adipati Cirebon, seorang pemuda dan seorang gadis, tiba-tiba menyerbu perkampungan kami. Mereka itu sakti mandraguna sehingga banyak anak buah kami yang tewas dan terluka. bahkan Adi Munding Bodas juga terjatuh ke bawah tebing. Kami berhasil membuat gadis itu terjungkal ke bawah tebing dan tentu mampus. Akan tetapi pemuda itu sakti sekali sehingga kedua tulang pundakku patah oleh serangannya dan terpaksa kami melarikan diri karena kalau tidak kami semua habis dibunuhnya."
"Wah-wah, hanya dua orang saja dan kalian yang puluhan orang banyaknya sampai kalah? Siapakah dua orang utusan Adipati Cirebon itu?" "Pemuda itu bernama Lindu Aji dan gadis itu bernama Sulastri."
"Hemmm, sudah berapa kali kuperingatkan kalian agar tidak membuat kekacauan di daerah Cirebon. Sang Adipati Pangeran Ratu adalah keturunan mendiang Sunan Gunung Jati, bagaimana kalian berani main-main? Akan tetapi mengenai gadis itu, kau katakan tadi bahwa ia terjatuh ke bawah tebing?"
"Benar, bapa guru. saya melihat sendiri. gadis itu memukul Adi Munding Bodas dengan pukulan jarak jauh dan Adi Munding Bodas terjungkal ke bawah tebing. Akan tetapi pada saat itu, serangan anak buah kami dengan panah berhasil. Sebatang anak panah mengenai pundak gadis itu dan iapun terjungkal jatuh ke bawah tebing pula."
"Uh-uh, aku belum memeriksa pundak itu. Munding Hideung, dengan siapa engkau datang ke sini?"
"Ada lima orang pembantu saya ikut lari dan kini mereka menanti di luar pondok, bapa guru."
"Biarkan mereka menunggu di sana dan marilah kau ikut aku dan lihat, siapa yang berada dalam kamarku?"
Ki Munding Hideung memandang heran, akan tetapi dia bangkit dan mengikuti gurunya menuju ke sebuah kamar. Mereka memasuki kamar itu dan melihat gadis yang rebah telentang di atas dipan itu. Munding Hideung berseru kaget. "Itulah ia, gadis itu! dan ia belum mati?"
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Tubuhnya tersangkut pada akar pohon dan aku menolongnya. Luka di dahinya cukup berat, akan tetapi aku belum melihat luka anak panah di pundaknya." Dia lalu menghampiri Sulastri dan melihat betapa baju di pundak gadis itupun berdarah. Akan tetapi anak panah itu telah tidak ada, agaknya patah ketika tubuh itu terjatuh dan terbentur-bentur dinding tebing.
"Rrrrttt...!" Panembahan Kolo Srenggi merobek baju di pundak kiri gadis itu. Kulit pundak yang putih mulus itu tampak. Ada darah berlepotan di situ, akan tetapi anak panahnya sudah tidak ada, tentu telah terlepas ketika gadis itu terbentur-bentur dinding tebing. Luka itu tidak terlalu dalam dan Panembahan Kolo Srenggi lalu mengobatinya dengan ramuan Widoro Upas dan Madu yang masih tersisa.
"Bapa Guru, berikan gadis ini kepada saya! Saya akan memperisterinya, selain untuk kesenanganku karena saya belum mempunyai pendamping yang begini cantik dan sakti, juga untuk membalas dendam atas kematian Adi Munding Bodas di tangannya!"
"Heh-heh-heh, engkau mau enaknya saja!" kata Panembahan Kolo Srenggi. Akan tetapi karena aku sekarang sudah terlalu tua dan tidak tertarik lagi kepada yang denok ayu, boleh engkau memiliki dia, sekedar untuk menghibur hatimu yang berduka karena malapetaka yang menimpa diri dan perkumpulanmu."
"Terima kasih, bapa guru, terima kasih!" kata Munding Hideung dan bagaikan seekor singa kelaparan melihat seekor domba betina muda yang lunak dagingnya, dia segera membuat gerakan ke arah dipan seperti hendak menubruk tubuh Sulastri. Agaknya dorongan gairah nafsunya membuat dia lupa diri, tidak perduli lagi bahwa di situ terdapat gurunya dan dia hendak menyalurkan gairah nafsunya pada saat itu juga. Panembahan Kolo Srenggi, yang di waktu mudanya juga seorang hamba nafsu yang tersesat jauh dari jalan benar, hanya terkekeh seolah merasa lucu, bahkan ingin menikmati kejadian lucu dan menyenangkan yang akan terjadi di depan matanya.
Pada saat jari-jari kedua tangan Munding Hideung sudah hampir menyentuh dada Sulastri, tiba-tiba tubuh gadis itu berbalik, menelungkup lalu seperti merangkak dan terdengarlah lengkingan yang demikian kuatnya sehingga seluruh pondok seperti terguncang hebat! Gadis itu telah sadar dari pingsannya dan ia melakukan hal ini dengan tiba-tiba sehingga mengejutkan Munding Hideung. Raksasa bermuka hitam ini segera melangkah mundur dengan kaget dan jerih. Dia tahu betapa saktinya gadis itu dan pada saat itu, kedua pundaknya masih belum sembuh, baru saja diobati dan tidak mungkin dia akan menandingi gadis itu. Juga Panembahan Kolo Srenggi terkejut karena ia dapat merasakan kekuatan dahsyat terkandung dalam lengkingan itu. Pada saat kedua orang itu terkejut dan tertegun, tubuh Sulastri melompat keluar dari kamar itu.
"Tangkap! Tangkap gadis itu!" teriak Munding Hideung. Teriakan ini ditujukan kepada lima orang pembantunya yang berada di depan pintu. Dan dia sendiri, bahkan didahului Panembahan Kolo Srenggi, melakukan pengejaran keluar pondok itu. Lima orang pembantu Munding Hideung yang berada di luar pondok, mendengar dan mengenal suara teriakan pemimpin mereka. Mereka serentak bangkit menghadang di luar pintu dan mencabut golok masing-masing dan ketika Sulastri melompat keluar, ia segera disambut serangan lima orang itu.
Gadis itu memandang heran seperti orang yang kaget dan tidak mengerti, akan tetapi nalurinya memperingatkan bahwa ia terancam bahaya, maka iapun bergerak cepat mengelak sambil membalas dengan tamparan dan tendangan. Akan tetapi lima orang itu adalah para pembantu Munding Hideung, rata-rata memiliki kepandaian silat yang lumayan sehingga mereka dapat menghindarkan diri dari serangan Sulastri dan mengepung ketat. Ki Munding Hideung dan Panembahan Kolo Srenggi juga sudah muncul.
Munding Hideung tidak dapat ikut mengeroyok karena tulang pundaknya belum sembuh, akan tetapi Panembahan Kolo Srenggi sudah menggerakkan sebuah tongkat berbentuk ular yang panjangnya sama dengan tubuhnya. Gerakan tongkat ular ini cepat sekali dan mengandung tenaga sakti. Sulastri melawan mati-matian. Ia tidak bersenjata dan kepalanya masih terasa pening karena luka di dahi dan pundaknya. Bahkan luka di pundak kiri membuat gerakannya menjadi kaku dan lambat. Dan pada saat itu gadis itu bergerak menurutkan naluri saja karena ia tidak mampu mempergunakan akal pikirannya.
Semua tampak tak berarti dan tidak dimengerti, membuatnya bingung, hanya nalurinya mengatakan bahwa ia berhadapan dengan musuh-musuh yang berbahaya dan yang hendak mencelakainya, maka ia melawan mati-matian. Bagaimanapun juga, karena ternyata Panembahan Kolo Srenggi itu sakti dan gerakan tongkat ularnya amat berbahaya, sedangkan lima orang pembantu itupun cukup tangguh, maka Sulastri terdesak hebat dan sudah dua kali pinggang dan pahanya terkena gebukan tongkat kakek itu.
Untung baginya bahwa berkali-kali Ki Munding Hideung berteriak kepada para pembantu dan gurunya agar jangan membunuh gadis itu, melainkan menangkapnya. Tentu saja Sulastri yang masih pening dan lemas itu, juga seluruh tubuhnya terasa nyeri karena tadi terbentur-bentur dinding karang, menjadi sibuk sekali dikeroyok enam orang itu.
Pada saat itu tampak berkelebat bayangan orang dan muncullah seorang laki-laki muda. Usianya masih muda sekali, paling banyak dua puluh dua tahun. Pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi. Bentuk tubuhnya sedang saja namun gerak geriknya sigap. Wajahnya tampan dan sinar matanya mengandung kegagahan. Sepasang alisnya tebal, matanya bersinar-sinar, kadang mencorong penuh wibawa, hidungnya mancung dan bibirnya mempunyai lekukan yang membayangkan kekerasan hati. Setitik tahi lalat kecil menghias dagunya, menambah manis wajah yang tampan itu. Di pinggangnya terselip sebatang keris yang gagangnya terbuat dari kayu cendana hitam.
Melihat seorang gadis yang pakaiannya cabik-cabik, rambutnya terurai lepas, dan tampaknya kelelahan dikeroyok enam orang laki-laki yang memegang golok dan tongkat, pemuda itu mengerutkan alisnya yang hitam tebal dan dia membentak. "Sungguh tidak tahu malu sekali! Enam orang laki-laki bersenjata mengeroyok seorang gadis bertangan kosong yang sedang menderita luka dan tidak sehat. Kalian ini tentulah orang-orang jahat, karena hanya orang jahat saja yang tidak malu melakukan kecurangan seperti ini!" teriaknya dan tubuhnya sudah menerjang ke depan.
Begitu kaki tangannya bergerak, dua orang pemegang golok terpelanting dan mengaduh, tidak mampu bangkit kembali karena yang seorang kepalanya retak terkena tamparan tangan pemuda itu dan yang seorang lagi dadanya terkena tendangan. Keduanya roboh dan setelah mengaduh-aduh lalu tewas! Pemuda itu melihat bahwa yang paling berbahaya adalah kakek bungkuk yang memegang tongkat ular panjang. Maka diapun cepat mencabut kerisnya dan menerjang Panembahan Kolo Srenggi.
"Trak-trang...!" Bunga api berpijar ketika tongkat bertemu keris dan alangkah kaget rasa hati kakek itu ketika melihat betapa tongkat ularnya telah terpotong ujungnya! Dia memutar tongkatnya, namun pemuda itu dengan tangkas telah menyerangnya mendesaknya dengan hebat. Bukan hanya keris di tangan kanan pemuda itu yang amat tangguh, akan tetapi tangan kirinya juga memukul dengan tenaga pukulan yang dahsyat sekali.
Sementara itu, Sulastri yang kini hanya tinggal menghadapi tiga orang pengeroyok, mengamuk hebat. Ia dapat menyambar golok yang terlepas dari tangan seorang di antara dua orang yang roboh tewas di tangan pemuda itu dan dengan golok ini iapun mengamuk. Gerakannya ganas dan cepat sekali dan dalam waktu singkat goloknya yang menyambar-nyambar ganas itu berturut-turut merobohkan tiga orang pengeroyoknya. Tiga orang pengeroyok itu roboh mandi darah dan tewas.
Sementara itu, pertandingan antara Panembahan Kolo Srenggi melawan Pemuda itupun berlangsung seru. Akan tetapi kini jelas tampak betapa kakek itu terdesak hebat, terutama sekali oleh dorongan tangan kiri pemuda itu yang mendatangkan angin pukulan yang dahsyat. "Heh, mampus kau!" kakek itu membentak dan tongkat ularnya yang sudah putus itu menyambar dahsyat.
Pemuda itu tidak menghindar ke belakang, bahkan maju mendekat dan tangan kirinya berhasil menangkap tongkat, lalu tangan kanan yang memegang keris menusuk. Keris pusakanya tepat menghunjam ke dada yang kerempeng itu. Panembahan Kolo Srenggi menjerit dan melepaskan tongkatnya, menggunakan tangan kiri mendekap dadanya yang terluka dan diapun terhuyung roboh telentang, tewas tak lama kemudian. Melihat betapa lima orangnya sudah roboh semua, bahkan gurunya juga tewas, Ki Munding hideung cepat menggerakkan kakinya melarikan diri. Akan tetapi karena kedua pundaknya masih nyeri sekali kalau dipakai berlari, maka larinya juga tidak cepat. melihat dia lari, sulastri yang memandang semua itu dengan mata bingung lalu melontarkan golok rampasannya.
Syuuuttt... cappp...!" Golok meluncur bagaikan anak panah dan menancap di punggung Munding Hideung. Raksasa muka hitam ini menjerit dan roboh tertelungkup, tewas seketika karena golok itu menancap dalam sekali.
Pemuda itu cepat menghampiri. Kini mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak dua meter dan saling pandang. Pemuda itu memandang dengan sinar mata mengandung iba dan kagum. Dia melihat betapa dahi gadis itu dekat pelipis luka dan kebiruan, akan tetapi luka itu sudah tertutup bobok jamu. Juga pundak kiri yang kulitnya putih mulus itu terluka dan sudah diobati. Mata gadis itu indah sekali dan amat tajam, akan tetapi pada saat itu memandang kepadanya dengan heran dan bingung. Dia melihat gadis itu masih sangat muda sekali, akan tetapi tadi memiliki sepak terjang yang amat hebat, padahal tubuhnya sudah terluka.
"Nimas." Dia menyebut nimas karena yakin bahwa gadis itu lebih muda dari padanya dan malihat sikap, wajah dan pakaiannya, gadis itupun bukan seorang gadis dusun yang sederhana dan bodoh. "Dahi dan pundak andika terluka. Tentu orang-orang jahat ini yang telah melukaimu." Sulastri memandang pemuda itu dengan heran. Ia tahu bahwa pemuda ini tadi telah menolongnya, membantunya melawan orang-orang yang mengeroyoknya, akan tetapi ia tidak mengenal siapa pemuda itu.
"Terima kasih atas petolonganmu, ki sanak. Akan tetapi luka-luka ini..." Ia meraba dahi dan pundak kirinya yang terluka. "kukira bukan mereka yang melukaiku. Ketika bertempur tadi aku tidak merasa dilukai mereka..."
"Kalau begitu, mengapa dahi dan pundakmu terluka? Siapa yang telah melukaimu?"
Sulastri mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu..."
Pemuda itu menatap wajah Sulastri dengan heran. Bagaimana orang sampai tidak tahu apa yang menyebabkan ia terluka seperti ini? Dia lalu memandang kepada mayat orang-orang yang tadi mengeroyok gadis itu. "Siapakah mereka ini? Dan mengapa mereka mengeroyokmu?"
Sulastri memandangi mayat-mayat itu satu demi satu dengan penuh perhatian, akan tetapi alisnya berkerut dan ia memandang kembali kepada pemuda itu lalu menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengenal mereka dan tidak tahu mengapa mereka mengeroyokku..."
Pemuda itu menjadi semakin heran, "Ah, aneh sekali. Andika tidak mengenal mereka akan tetapi mengapa mereka mengeroyok andika? Sungguh jahat orang-orang ini. Akan tetapi, kalau boleh aku mengetahui, nona. Siapakah namamu dan bagaimana bisa sampai bisa sampai ke tempat ini?"
Mendengar pertanyaan itu, Sulastri memandang pemuda itu dengan bingung. melihat sikap Sulastri, pemuda itu tersenyum maklum. Memang tidak pantas kalau seorang gadis memperkenalkan diri lebih dulu kepada seorang pemuda. "perkenalkanlah, nimas, aku bernama Jatmika dari Banten, akan tetapi sekarang aku telah pindah dan tinggal di dermayu. Nah, setelah andika mengenal namaku, bolehkah aku mengetahui siapa nama andika dari mana andika berasal?"
Mendengar pertanyaan ini, Sulastri menjadi semakin bingung. Ia meraba kepalanya dan menjawab lirih. "aku... aku tidak tahu..! Ah, aku tidak... ingat siapa namaku... tidak ingat dari mana aku berasal... tidak tahu mengapa berada di sini!" Ia menjatuhkan diri berlutut dan masih memegangi kepalanya. "Ah, di mana aku sekarang ini? Siapa aku ini...? Ki sanak... eh, kakangmas Jatmika, tolonglah, beritahu aku, siapa aku ini...?"
Pemuda itu adalah Jatmika, putera tunggal Ki Sudrajat. seperti telah diceritakan di bagian depan, Ki Sudrajat adalah putera kandung mendiang Ki Tejo Budi, akan tetapi semenjak kecil Ki Sudrajat menjadi putera tiri Ki Tejo Langit yang kemudian mengubah namanya menjadi Ki Ageng Pasisiran. Semenjak kecil Ki Sudrajat dipelihara dan dididik oleh Ki Tejo Langit yang dianggap ayah kandungnya sendiri dan tinggal di Banten. Kemudian Ki Sudrajat menikah dan mempunyai seorang anak, yaitu Jatmika. Sejak kecil Jatmika dididik oleh ayahnya, bahkan juga dibimbing dalam olah kanuragan oleh kakeknya di pantai Dermayu.
Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit yang amat sayang kepada cucunya ini lalu minta agar Jatmika tinggal bersamanya. Akan tetapi pemuda ini tidak betah untuk tinggal menganggur saja di pondok kakeknya. Dia berpamit untuk merantau dan pada hari itu secara kebetulan saja dia tiba di kaki Gunung Careme dan lewat di hutan cemara itu sehingga melihat Sulastri yang dikeroyok enam orang, maka cepat dia membantu. Kini melihat kedaan gadis yang lupa akan namanya sendiri itu, yang berlutut dan memegangi kepalanya, wajahnya tampak sedih sekali dan minta tolong kepadanya untuk memberi tahu siapa ia.
Jatmika segera dapat menduga apa yang telah terjadi dan menimpa gadis itu. Mungkin luka di dekat pelipis itu, pikirnya. Gadis itu tentu telah menerima pukulan keras didahinya sehingga isi kepalanya mengalami guncangan hebat dan agaknya hal itu membuatnya melupakan segala hal! Dia merasa iba sekali dan kecerdikannya membuat Jatmika cepat mengambil keputusan ketika dia menjawab dengan sura lembut menghibur. "Ah, sekarang aku ingat, nimas! Namamu adalah Listyani dan biasa engkau dipanggil Eulis! dan aku tahu bahwa engkau datang dari daerah Cirebon walaupun aku tidak tahu tepatnya di mana karena aku belum pernah berkunjung ke rumahmu."
"Listyani...? Eulis...?" sulastri berkata perlahan seolah hendak menghafalkan nama itu. "kenapa aku dapat melupakan nama sendiri? Ah, engkau tentu benar, kakangmas Jatmika. Engkau telah menyelamatkan aku. Engkau baik sekali kepadaku, tentu engkau tidak berbohong! Namaku Listyani, biasa disebut Eulis. Ya-ya... namaku bagus! akan tetapi siapa orang tuaku? Apa yang telah terjadi denganku selama ini? Aku telah lupa sama sekali!"
Jatmika tidak menjadi bingung. Dia tersenyum. "Mana aku tahu, nimas Eulis? Kita baru saja berkenalan dan aku hanya mengetahui namamu saja. Engkau belum pernah menceritakan padaku tentang orang tuamu dan segala hal mengenai dirimu. Engkau agaknya mengalami pukulan yang cukup parah. Aku mengerti sedikit tentang pengobatan. Mari, biarkan aku memeriksa luka-lukamu, nimas. Akan tetapi jangan di sini. Tempat ini menyeramkan dengan mayat-mayat ini. Kita mencari tempat lain yang lebih bersih dan nyaman. Akan tetapi tunggu dulu aku harus membereskan mayat-mayat ini."
Melihat pemuda itu menyeret mayat-mayat yang berserakan itu ke dalam pondok, Sulastri atau agar memudahkan mulai sekarang kita sebut saja nama panggilannya, yaitu Eulis, memandang dengan heran. Biarpun benturan pada kepalanya membuat ia lupa akan segala hal yang lalu, namun pikirannya masih bekerja dengan baik, dan kecerdikannya tidak berkurang. "Kakangmas Jatmika, apa yang hendak kaulakukan dengan mayat-mayat itu?" tanyanya.
Pada saat itu Jatmika sudah menyeret mayat Munding Hideung yang letaknya paling jauh dari pondok lalu memasukkannya ke dalam pondok, kemudian dia memasuki pondok, menemukan seguci minyak dan dituangkan minyak itu diatas mayat-mayat itu, lalu dia mengumpulkan kayu-kayu dan daun-daun kering, ditimbunkannya semua itu pada mayat-mayat, barulah ditutupkannya pintu pondok. "Aku akan membakar pondok ini, nimas. Kasihan mayat-mayat itu kalau tidak ada yang mengurusnya, maka biarlah mereka itu terbakar bersama pondok ini agar sempurna."
Sulastri mengangguk-angguk. Pemuda yang bijaksana, pikirnya. Sakti mandraguna dan bijaksana, inilah kesan hatinya terhadap Jatmika, di samping ia harus mengakui bahwa pemuda itu tampan, lembut dan menarik hati. Ia hanya memandang ketika Jatmika mengerjakan semua persiapan itu.
Setelah pemuda itu membakar pondok, dia lalu berkata kepada Eulis, "Marilah kita meninggalkan tempat ini, mencari tempat yang lebih bersih untuk bercakap-cakap."
"Bercakap-cakap?" Sulastri bertanya karena ia sendiri bingung, sama sekali tidak ingat akan apa yang telah dilakukan, dan tidak tahu apa yang sedang dan akan dilakukan. Ia sama sekali lupa akan segala hal mengenai dirinya. "Ya, bercakap-cakap... maksudku... aku harus memeriksa luka-lukamu dan mencoba untuk mengobatinya. Marilah, nimas," kata Jatmika dengan lembut.
Eulis mengangguk dan mengikuti pemuda itu meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian tibalah mereka di tepi sebuah sungai kecil. Sungai itu tidak banyak airnya, akan tetapi air yang mengalir di antara batu-batu itu jernih sekali. Sawah ladang membentang luas dan dari jauh tampak beberapa orang petani mencangkul di sawah. "Nah, mari kita duduk di sini dan aku akan memeriksa luka-lukamu, nimas," kata Jatmika. Eulis mengangguk lalu duduk di atas sebuah batu yang rata. Jatmika menghampiri. "Maafkan aku, nimas," katanya sopan sebelum dia memeriksa luka di dahi dekat pelipis itu.
Luka itu memang tidak terlalu besar, akan tetapi cukup dalam dan melihat warna biru kehitaman di sekeliling luka, mudah diduga bahwa dahi itu terkena pukulan benda yang keras dan kuat sekali sehingga menggetarkan otaknya. "Bagaimana rasanya luka di dahi ini, Nimas Eulis?" "Rasanya agak pusing dan panas" kata Eulis.
"Hemm, panas, ya?" Jatmika mengerutkan alisnya. "Tunggu, aku hendak mencari daun bayam dan madu. Dan luka di pundak ini... hemm, maafkan kelancanganku, nimas" kata Jatmika dan tidak jadi menyentuh luka itu yang berada di pundak agak ke bawah sehingga mendekati kaki bukit dada gadis itu. "Agaknya luka ini karena tertusuk benda tajam. Ingatkah engkau apa yang melukai pundakmu ini?"
Eulis menggeleng kepala. "Aku tidak tahu, tidak ingat lagi." "Hemm, luka terkena tusukan benda dari logam ada bahayanya terkena racun dan membusuk. Tunggulah sebentar, nimas. Pesediaan obat yang berada dalam bungkusan pakaianku tidak cukup. Aku harus mencari ke dusun di depan. Atau sebaliknya engkau ikut saja. aku khawatir kalau engkau kutinggalkan sendiri di sini, ada orang-orang jahat yang muncul lagi."
"Aku tidak takut!鈥� kata Eulis. ternyata watak sulastri yang keras dan pemberani itu masih belum berubah.
"Aku percaya, nimas. Akan tetapi engkau sedang menderita luka. Marilah..."
Suara lembut yang membujuk dari Jatmika itu membuat Eulis menurut dan pergilah mereka ke dusun yang sudah tampak dari situ. Jatmika mencari ramuan Asam Kawak (Asam lama), garam, daun Jarong dan Madu. Ramuan ini untuk dikompreskan pada luka di pundak, sedangkan untuk mengobati luka di dahi, dia menumbuk daun Bayam Duri, lalu dicampur madu dan ditempelkan pada luka itu. selain itu, Jatmika juga menggodok Temulawak dan Gadung untuk diminumkan kepada gadis itu. Sikap Jatmika yang berwibawa dan lembut, juga karena dia membawa bekal uang yang cukup untuk semua biaya itu, membuat Ki Lurah di dusun itu menerima mereka dengan hormat dan senang.
Selama tiga hari mereka berdua tinggal di rumah Ki Lurah. Obat itu ternyata manjur sekali. Dalam waktu tiga hari saja luka-luka itu telah sembuh dan Eulis tidak merasa nyeri lagi. Hanya ingatannya yang belum kembali. Ia sama sekali lupa akan masa lalunya. Ia seolah hidup baru dan kehidupannya mulai dari pertemuannya dengan Jatmika! Ia hanya ingat bahwa ia dikeroyok enam orang lalu ditolong Jatmika, sejak saat itu sampai sekarang. Itulah saja yang dapat diingatnya!
Setelah melihat keadaan Eulis sudah sembuh benar, mulailah Jatmika merasa bingung sendiri. Apa yang harus dilakukan terhadap gadis itu? Gadis itu kehilangan ingatan, tidak ingat lagi siapa dirinya dan siapa pula orang tuanya, tidak tahu di mana tempat tinggalnya. Tentu saja dia tidak dapat meninggalkan Eulis begitu saja! Gadis itu akan menjadi terlantar walaupun ia sakti dan tampaknya juga cerdik. Sore pada hari ketiga di rumah Ki Lurah itu, Jatmika mengajak Eulis untuk duduk berdua saja di dalam kebun belakang rumah Ki Lurah. Tuan rumah dan keluarganya tidak berani mengganggu.
Mereka semua menaruh hormat kepada Jatmika dan Eulis, bukan hanya karena sikap kedua orang muda itu, melainkan juga karena Jatmika tidak mau menyusahkan mereka dan selalu mengeluarkan uang untuk membiayai semua keperluan mereka berdua. Untuk Eulispun Jatmika telah membeli beberapa perangkat pakaian pengganti. Mereka berdua duduk berhadapan di atas bangku yang berada di kebun merangkap taman itu.
"Nimas Eulis.." Jatmika mulai membuka percakapan. Selama ini dia selalu bersikap sopan, bahkan jarang mengajak gadis itu bercakap-cakap karena tidak ingin menambah kebingungan pikiran gadis itu. Dia merasa kasihan kepada gadis itu, bahkan diam-diam dia harus mengaku bahwa dia tertarik sekali dan jatuh cinta kepada gadis yang lupa akan namanya sendiri itu.
"Ya, kakangmas Jatmika. Ada apakah?"
"Nimas, kulihat kesehatanmu sudah pulih. Luka-lukamu hampir sembuh dan engkau tidak merasa nyeri lagi, bukan?"
"Tidak, kakangmas. Aku sudah sembuh dan semua ini berkat kebaikan hati dan pertolonganmu." Eulis memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata bersyukur dan berterima kasih.
"Jangan disebut lagi tentang pertolongan itu, nimas. Sekarang yang ingin kubicarakan adalah, bagaimana selanjutnya dengan dirimu? Ke mana engkau hendak pergi setelah kita meninggalkan rumah Ki Lurah ini?"
Ditanya begitu, sulastri atau Eulis merasa seperti orang ditodong keris. Ia termangu-mangu, matanya sejenak menatap wajah Jatmika, lalu memandang ke kanan kiri seperti ingin minta bantuan dari mana saja, kemudian tampak bingung dan akhirnya ia menghela napas dan menggeleng kepalanya.
"Aku sungguh tidak tahu, kakangmas. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tidak tahu ke mana aku harus pergi. Akan tetapi yang jelas, aku harus pergi meninggalkan rumah Ki Lurah ini dan aku akan pergi, entah ke mana. Aku akan menghadapi ketidakpastian itu dengan berani!"
"Engkau akan mencari orang tua dan tempat tinggalmu?"
"Aku tidak ingat siapa orang tuaku dan di mana tempat tinggalku, akan tetapi aku tahu bahwa namaku Listyani dan panggilanku Eulis. Siapa tahu akan ada yang mengenalku dan memberitahu di mana dan siapa orang tuaku."
Jatmika menatap wajah ayu itu dan merasa kasihan sekali. Dia tidak tega untuk mengatakan bahwa nama Listyani atau Eulis itu sesungguhnya hanyalah nama pemberiannya, bukan nama aseli gadis itu! "Nimas Eulis, aku bersedia untuk membantumu, mencari orang tua dan tempat tinggalmu sampai dapat. Akan tetapi sungguh sayang, saat ini aku terpaksa tidak dapat menyertaimu karena aku mempunyai tugas kewajiban yang teramat penting."
Tadinya hati Eulis merasa girang sekali mendengar pemuda itu hendak membantunya mencari orang tuanya, akan tetapi ia kecewa mendengar lanjutan kalimat itu bahwa Jatmika tidak dapat menyertainya karena mempunyai tugas yang penting sekali. "Tugas penting apakah itu, kakangmas Jatmika? Engkau sudah menolongku, maka aku akan merasa girang sekali kalau dapat membalasmu dan membantumu dalam melaksanakan tugasmu itu."
Wajah yang tampan itu berseri. "Benarkah, nimas? Akan tetapi tugasku berbahaya sekali." Eulis tersenyum lebar dan jantung dalam dada Jatmika berdebar keras, matanya terpesona memandang keindahan wajah ketika tersenyum itu. Manisnya!
"Apa artinya bahaya, kakangmas? Ketika engkau menolongku melawan kakek bertongkat ular yang sakti dan para pembantunya itupun berbahaya. Bahaya merupakan makanan bagi kita yang menentang kejahatan. Bukankah begitu?"
Jatmika semakin kagum. Biarpun dia tidak tahu benar siapa sebenarnya gadis ini, namun dari sikapnya jelas mudah diketahui bahwa gadis ini mempunyai watak pendekar yang gagah perkasa. "Aku merasa girang dan berterima kasih sekali kalau engkau mau membantuku, Nimas Eulis. Dengan bantuan seorang yang digdaya sepertimu, pekerjaanku akan menjadi lebih mudah. Akan tetapi bukankah amat perlu bagimu untuk mencari orang tuamu agar dapat memulihkan ingatanmu?"
Sulastri menggeleng kepalanya. "Bagaimana aku dapat mencari meraka kalau aku tidak ingat siapa nama mereka, bagaimana rupa mereka dan di mana mereka tinggal? Biarkan aku ikut denganmu dan membantumu, kakangmas, karena saat ini hanya engkaulah satu-satunya orang yang kukenal dan kupercaya kebaikannya. Nah, ceritakan, apa sih tugasmu itu?"
"Begini, nimas. Sebenarnya aku mengembara ini membawa pesan dan tugas yang diberikan ayahku dan eyangku (kakekku). Mereka adalah dua orang yang paling kuhormati dan kupatuhi di dunia ini, maka aku harus menaati pesan dan perintah mereka."
Sulastri memandang wajah pemuda itu dengan kagum. "Ah, ternyata engkau seorang yang berbakti sekali, kakangmas. Siapakah ayah dan eyangmu itu?"
"Ayahku bernama Ki Sudrajat. Ibuku telah meninggal dunia dua tahun yang lalu. Tadinya ayah dan aku tinggal di Banten. Akan tetapi sekarang kami tinggal di pantai Dermayu untuk menemani eyang yang sudah tua sekali. Tadinya ayah sendiri yang pergi ke Dermayu, aku menyusul tak lama kemudian. Setelah tinggal di sana beberapa minggu, aku merasa tidak betah karena menganggur, maka aku berpamit hendak pergi merantau. Lalu ayah dan eyang memberi tugas ini kepadaku."
"Engkau belum mengatakan siapa nama eyangmu, kakangmas."
"Oya, eyang bernama Ki Ageng Pasisiran dan dia sudah tua sekali, maka perlu ditemani ayahku."
Ingatan Sulastri ternyata telah terhapus sama sekali sehingga nama gurunya inipun sama sekali tidak teringat olehnya. Ia seperti seorang hidup baru dan yang diketahuinya hanyalah bahwa ia bernama Listyani atau Eulis dan satu-satunya orang yang dikenalnya hanyalah Jatmika! "Dan apa tugas yang penting itu?" tanyanya.
"Menurut ayah dan eyang, pada saat ini Kadipaten Sumedang sedang menghadapi pemberontakan yang kabarnya dipimpin oleh orang-orang yang sakti. karena antara eyang dan Sang Adipati di Sumedang masih ada hubungan sanak keluarga walaupun sudah jauh, maka eyang menyuruh aku agar pergi ke Sumedang dan membantu Kadipaten Sumedang menghancurkan para pemberontak itu."
"Sumedang? Di manakah itu, kakangmas?"
Jatmika menghela napas dan memandang dengan sinar mata penuh iba. Gadis ini bagaikan seorang asing yang baru datang dari luar negeri dan baru saja berada di Nusantara sehingga tidak mengenal apa-apa, bahkan Kadipaten Sumedang tidak tahu. Padahal, kalau menurut logat bicaranya, jelas bahwa gadis ini tentu berasal dari daerah Cirebon. "Kadipaten Sumedang terletak di sebelah barat sana. Kalau memang engkau mau ikut dan membantuku, nimas, marilah kita berangkat sekarang juga. Tidak enak kalau kita terlalu lama mengganggu Ki Lurah."
"Baiklah, kakangmas. Aku memang ingin sekali membantumu, akan tetapi kelak engkau harus membantu aku mencari orang tuaku."
"Tentu saja! Jangan khawatir, nimas Eulis. Aku pasti akan membantumu sampai engkau dapat bertemu kembali keluargamu." Dalam hatinya Jatmika merasa khawatir. Bagaimana mungkin dia dapat menemukan orang tua gadis ini yang tidak diketahui namanya, bahkan wajahnyapun tidak dikenal oleh Eulis sendiri? Dan pula, hal ini yang merisaukan hatinya, siapa tahu gadis yang telah menjatuhkan hatinya ini telah memiliki suami atau calon suami! Setelah berpamit kepada Ki Lurah sekeluarga dan mengucapkan banyak terima kasih, Jatmika dan Eulis lalu meninggalkan dusin itu, melakukan perjalanan ke barat.
Ketika Aji memasuki kadipaten Cirebon, dia melihat keadaan kota itu ramai dan makmur, seperti keadaan kota-kota pasisir pada waktu itu. Perdagangan agak ramai di kota Cirebon dan terdapat toko-toko bangsa Cina yang menjual berbagai barang yang tidak tedapat di pedalaman. Juga keadaan kota itu biasa saja, seolah tidak ada persiapan menghadapi perang besar yang direncanakan Sultan Agung untuk menyerang Kumpeni Belanda di Batavia.
Pada hal, menurut keterangan yang dia dengar dari Suroantani, Adipati atau Raja di Cirebon sudah merupakan sekutu yang mengakui kekuasaan Mataram. Dia mencari keterangan dari penduduk tentang kota Dermayu dan setelah mendapat petunjuk lengkap, berangkatlah dia ke Dermayu dengan maksud mencari Ki Subali, ayah Sulastri. Setelah memasuki Dermayu (Indramayu), dia bertanya-tanya dan semua orang tahu siapa ki subali dan di mana rumahnya. Ki Subali adalah seorang dalang, satrawan dan seniman yang terkenal, bukan hanya Dermayu, bahkan terkenal sampai ke kota raja Cirebon.
Setelah mendapat keterangan, siang hari itu Aji langsung saja berkunjung ke rumah Ki Subali. Rumah itu cukup besar dan terbuat dari kayu jati. Hal ini menunjukkan bahwa pemiliknya seorang yang memiliki penghasilan cukup. Di pekarangan depan terdapat taman bunga yang terawat oleh tangan-tangan mungil Sulastri! Dia memasuki pintu pagar yang tidak terjaga, melangkah di atas jalan berkerikil di tengah taman pekarangan. Keharuman bunga mawar daan melati menyambutnya dan kembali keharuman ini mengingatkan dia akan Sulastri yang suka menyelipkan bunga mawar dan melati ke rambutnya.
Setelah tiba di serambi depan, dia berhenti, berdiri menghadap pintu depan yang terbuka, lalu berseru dengan lembut namun disertai tenaga dalam sehingga suaranya dapat terdengar sampai jauh. "Kulo nuwun...!!"
Tidak ada jawaban. Aji teringat bahwa di tempat itu mungkin cara memberi salam lain lagi karena bahasanya juga sudah banyak menggunakan bahasa Sunda. Maka di menyusulkan salam dalam bahasa Sunda. "Puuuunnnnten...!"
Kembali dia menanti dan tidak terdengar jawaban. Kemudian dia teringat. Orang-orang pesisiran ini sudah banyak yang beragama Islam, berbeda dengan di daerah pedalaman yang belum begitu banyak umat Islam. Maka sekali lagi dia memberi salam. "Assalaamualaikum...!" Benar saja. Tak lama kemudian terdengar jawaban dari dalam, suaranya agak lemah, tanda bahwa yang menjawab itu berada jauh di bagian dalam rumah.
"Alaikum salaam...!" Suara wanita. Berdebar rasa jantung Aji. Kalau yang muncul ibu Sulastri, bagaimana dia akan dapat menceritakan apa yang telah menimpa diri Sulastri? Dia menunggu dan terdengar langkah lembut menuju ke luar. Seorang wanita muncul. Tubuhnya masih ramping dan wajahnya masih meninggalkan bekas kecantikan. Pakaiannya sederhana namun sopan dan rapi. Melihat bahwa tamunya seorang pemuda tampan, wanita itu memandang ragu karena tidak merasa kenal pemuda itu.
"Andika siapakah, ki sanak? Dan keperluan apakah yang membawa andika datang berkunjung?" Pertanyaan itupun lembut dan sopan, membuat Aji harus hati-hati untuk bersikap.
"Maafkan saya, bibi. Saya bernama Lindu Aji dan kalau diperkenankan, saya mohon bertemu dengan Paman Subali. Benarkah ini rumah kediaman Paman Subali?"
Wanita itu adalah istri ki subali. Ia senang melihat sikap dan mendengar jawaban Aji yang demikian lembut dan sopan. "Benar, anakmas, ini adalah rumah kediaman Ki Subali dan aku adalah isterinya."
"Ah, maaf, kanjeng bibi. Terimalah, hormat saya" kata Aji sambil membungkuk dengan sikap hormat.
"Andika hendak bertemu dengan Ki Subali? Masuklah dan duduklah, anak mas. Tunggulah sebentar, aku akan memberitahu kepadanya." Wanita itu mempersilakan Aji duduk di atas kursi yang terdapat di serambi itu.
"Terima kasih, kanjeng bibi" kata Aji dan diapun duduk di atas kursi serambi, menghadap ke arah pintu yang menembus ke dalam yang dimasuki wanita itu. Tak lama kemudian muncullah seorang laki-laki di ambang pintu. Usianya sekitar lima puluh tahun, beberapa tahun lebih tua dari wanita tadi, tubuhnya agak jangkung kurus, wajahnya membayangkan kesabaran dan sinar matanya tajam. Gerak-geriknya lembut ketika dia keluar dari pintu, memandang kepada Aji dengan mulut terhias senyum lembut. Aji cepat bangkit berdiri dan membungkuk hormat kepada pria itu.
"Maafkan saya kalau kedatangan saya ini mengganggu, paman. Apakah kanjeng paman ini yang bernama Ki Subali, ayah dari nimas Sulastri?"
Wajah itu berseri gembira. "Ah, andika mengenal Sulastri? Benar, ia adalah anak tunggal kami dan sudah agak lama pergi merantau meninggalkan rumah. Andika mengenalnya? Di mana ia sekarang, anakmas?"
Aji tidak mau langsung mengejutkan hati pria itu dengan berita tentang musibah yang menimpa Sulastri, maka dia lalu berkata. "Kanjeng paman, ceritanya agak panjang. Sebaiknya kalau saya ceritakan dari pemulaan saya bertemu dan berkenalan dengan Nimas Sulastri."
"Ah, sebaiknya begitu. Mari, silakan duduk, anak mas... eh siapa namamu tadi? Ibunya Sulastri tadi memberi tahu, akan tetapi aku lupa."
"Nama saya Lindu Aji, kanjeng paman." "Lindu Aji? Nama yang jarang kutemui, akan tetapi nama yang bagus, Nak Aji."
"Terima kasih, paman." Mereka lalu duduk, saling berhadapan dan sejenak Ki Subali mengamati wajah pemuda itu dan agaknya dia merasa suka.
"Nah, sekarang ceritakan apa yang kauketahui tentang anak kami Sulastri, Anakmas Aji."
Pada saat itu, Nyi Subali keluar membawa baki yang terisi cangkir-cangkir dan sebuah teko tempat air teh. Ia menaruh semua itu di atas meja. "Kebetulan engkau datang, bune. Anakmas Aji akan bercerita tentang anak kita dan engkau berhak pula mendengarnya. duduklah." kata Ki Subali kepada isterinya.
Wanita itu memandang Aji dengan wajah berseri lalu duduk di sebelah suaminya. Aji tahu bahwa ceritanya akan membuat kedua orang suami esteri itu terkejut dan berduka, maka dia harus berhati-hati menceritakannya. "Begini, kanjeng paman dan kanjeng bibi. Saya datang dari Mataram dan sedang melakukan perjalanan merantau. Aku tiba di Loano dan berkenalan dengan adik paman yang bernama Ki Sumali, dan kami menjadi sahabat. Saya membantu Paman Sumali melawan orang-orang jahat yang hendak memaksanya bersekutu dengan mereka untuk menentang Mataram. Paman Sumali menolak dan terjadi pertempuran. Saya membantunya dan pada saat itu muncul Nimas Sulastri yang segera membantu kami. Akhirnya musuh dapat diusir pergi dan kami kembali ke rumah Paman Sumali.
"Ah, jadi Lastri telah bertemu dengan pamannya dengan selamat. Bagus sekali kalau begitu." kata Ki Subali. "Kemudian bagaiman, anakmas? Apakah masih berada di rumah Adi Sumali?" Tanya Nyi Subali.
Aji menghela napas. Saat yang paling sulit untuk bicara tiba. Akan tetapi dia harus menceritakannya, tak mungkin mengelak lagi. "Ketika saya berpamit kepada Paman Sumali untuk melanjutkan perjalanan saya ke barat, tiba-tiba Nimas Sulastri menyatakan untuk melakukan perjalanan bersama karena katanya iapun hendak pulang ke Dermayu. Paman Sumali dan isterinya tidak mampu menahannya, dan saya sendiri tentu saja tidak dapat menolak keinginannya. Maka, kami berdua lalu melakukan perjalanan bersama." Ki Subali tersenyum.
"Ah, Adi Sumali telah menikah? Bagus sekali! Dan mana kalian semua mampu menghalangi kehendak Sulastri? Anak itu kalau sudah mempunyai keinginan, siapapun tidak akan dapat mencegahnya! Lalu bagaimana, anakmas? Kalau kalian melakukan perjalanan bersama, bagaimana sekarang engkau datang ke sini tanpa Sulastri?" Pertanyaan terakhir ini mulai dilontarkan Ki Subali dengan alis berkerut karena dia mulai merasa heran dan penasaran. Juga isterinya memandang Aji dengan mata terbelalak penuh pertanyaan.
Aji menguatkan hatinya dan sedapat mungkin bersikap tenang. "Ketika kami berdua melaksanakan perjalanan, di tengah perjalanan kami dihadang oleh orang-orang yang pernah kami kalahkan ketika kami membantu Paman Sumali. Mereka adalah orang-orang sakti yang kemudian ternyata adalah antek-antek Kumpeni Belanda, diantara mereka terdapat Nyi Maya dewi, Ki Harya Baka Wulung, dan Aki Somad yang sakti mandraguna. Kami berdua melawan, akan tetapi kalah kuat dan kami berdua ditawan oleh mereka."
"Ooh... Allah...! Lalu bagaimana dengan anakku Sulastri?" Tanya Nyi Subali dengan kaget. "Tenanglah, bune. Biarkan Anakmas melanjutkan ceritanya" kata Ki Subali yang lebih tenang. "Lanjutkan, anakmas!"
"Kami berdua ditawan dan dibawa ke Tegal, ke rumah seorang yang bernama Ki Warga, yang saya kira tentu merupakan orang penting dari Kumpeni Belanda. Kemudian kami dibawa ke atas sebuah kapal Belanda yang berlabuh di laut sebelah utara Tegal. Oleh Kapten De Vos, kami dipaksa mengaku tentang rencana penyerbuan Mataram ke Batavia. Kami menggunakan siasat untuk menjawab keesokan harinya dan malamnya kami mencari jalan untuk meloloskan diri."
"Akan tetapi mengapa kalian tidak melawan?" Tanya Ki Subali penasaran.
"Tidak mungkin, paman. Perempuan jahat itu, Nyi Maya Dewi, telah memberi racun kepada tubuh Nimas Sulastri dan tanpa obat pemunah darinya, nyawa Nimas Sulastri takkan dapat tertolong lagi."
"Ah, jahat sekali perempuan itu!" teriak Nyi Subali. "Karena itu kami berdua tak berdaya dan terpaksa menurut saja ketika ditawan dan dibawa ke kapal. Setelah merencanakan siasat, malam itu kami berdua bergerak. Kami membakar kapal dan saya menangkap Kapten de Vos! Dengan kapten itu sebagai sandera, saya dapat memaksa Nyi Maya Dewi menyerahkan obat penawar bagi racun di tubuh Nimas Sulastri dan kami dapat melarikan diri dengan perahu yang mereka sediakan sambil membawa Kapten de Vos sebagai sandera."
"Bagus! Siasat yang bagus sekali!" seru Ki Subali gembira. "Dan bagaimana dengan keracunan anakku? Apakah dapat disembuhkan? Tanya Nyi Subali.
"Kami mendapat obat penawar itu dan ternyata manjur. Nimas Sulastri dapat disembuhkan."
"Dan bagaimana dengan Belanda tawananmu itu?" Tanya Ki Subali.
"Sulastri tentu membunuhnya!"
"Tidak, paman. Saya mencegahnya dan kami membebaskannya, sesuai dengan yang telah kami janjikan ketika kami menawannya dan minta obat penawar."
Ki Subali mengangguk-angguk. "Bagus, memang kita harus memegang janji. Akan tetapi di mana Sulastri sekarang?"
"Setelah kami berdua bebas, kami melanjutkan perjalanan dan setibanya di Kadipaten Cirebon, kami pergi menghadap Gusti Pangeran Ratu, adipati Cirebon untuk menceritakan tentang kapal Kumpeni itu dan tentang nama orang-orang yang menjadi antek Kumpeni Belanda agar Kadipaten Cirebon siap menghadapi orang-orang berbahaya yang mengkhianati nusa dan bangsa itu."
Ki Subali mengangguk-angguk. "Tindakan kalian itu benar. Lalu bagaimana?"
"Setelah mendengar laporan kami, Gusti Adipati lalu minta bantuan kami berdua untuk menangkap pemimpin gerombolan Munding Hideung yang mengacau di sekitar Gunung Careme. Sebagai seorang hamba Mataram yang mengemban tugas Gusti Sultan Agung untuk membantu daerah-daerah menghadapi kejahatan, saya menerima tugas itu dan Nimas Sulastri juga menyatakan sanggup membantu. Gusti Adipati senang mendengar bahwa Nimas Sulastri adalah puteri paman, karena katanya beliau sudah mengenal paman."
"Ya, aku pernah mendalang di Kadipaten Cirebon," kata Ki Subali mengangguk.
"Akan tetapi, lalu bagaimana kelanjutannya?"
Dalam suaranya terdengar kekhawatiran. "Kami berdua pergi melakukan penyelidikan ke Gunung Careme, paman. Kami berhasil menemukan sarang gerombolan yang dipimpin oleh Munding Hideung dan Munding Bodas dan terjadi pertempuran. Kami dikeroyok banyak anak buah gerombolan, akan tetapi Nimas sulastri dan saya dapat merobohkan banyak di antara mereka. Bahkan nimas sulastri berhasil menewaskan Munding Bodas, akan tetapi"
Sukar sekali Aji melanjutkan ceritanya mengenai malapetaka yang menimpa diri gadis itu. "Akan tetapi apa, Anakmas Aji? Tanya nyi Subali setengah berteriak. "Apa yang terjadi dengan anakku?"
"Ketika itu Nimas Sulastri mengejar Munding Bodas ke puncak tebing. Saya sudah berseru dan berusaha mencegahnya, akan tetapi ia nekat mengejar dan berhasil memukul roboh Munding Bodas sehingga terjatuh ke bawah tebing yang curam. Akan tetapi pada saat itu, Nimas Sulastri dihujani anak panah oleh anak buah gerombolan. Saya melihat sebatang anak panah mengenai pundaknya dan ia... ia..."
"Ia mengapa?" Ki Subali membentak dan wajah isterinya menjadi pucat sekali. "Kenapa anakku sulastri?鈥� teriak wanita itu, bangkit berdiri.
Aji menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata mereka dan berkata lirih. "ia ...... terjatuh ke bawah tebing itu"
"Aaaaiiiihhhh..." jerit melengking ini disusul robohnya tubuh Nyi Subali. Suaminya cepat merangkulnya sehingga wanita yang pingsan itu tidak sampai terbanting roboh. Dengan bantuan Aji, wanita yang pingsan itu lalu diangkat dan direbahkan di atas sebuah dipan.
"Biarkan saya menolongnya, paman." kata Aji dan dia segera memijit lekukan bibir atas tepat di bawah hidung nyi Subali dan mengurut tengkuknya beberapa kali.
Wanita itu siuman dan mengeluh lirih. Ia membuka mata dan segera teringat. Ia serentak bangkit dan memandang kepada Aji dengan mata terbelalak dan wajahnya pucat sekali. 鈥渁nakku... Sulastri... bagaimana dengan ia...?" ia bertanya lirih dan suaranya yang gemetar itu sudah diselingi isak tangis.
"Saya cepat turun ke bawah tebing untuk mencarinya, Saya hanya menemukan mayat Munding Bodas dan juga pedang Nogo Wilis milik Nimas Sulastri ditemukan orang-orang yang membantu saya. Nimas Sulastri lenyap tanpa meninggalkan bekas..."
"Sulastri...! O allah, anakku...!" Nyi Subali menangis tersedu-sedu. Ki Subali segera bangkit menghampiri isterinya yang duduk di atas kursi sambil mengguguk dalam tangisnya. Dia meletakkan tangannya di pundak isterinya, menghiburnya.
"Tenanglah, ibune dan jangan putus asa. Bagaimanapun juga, belum ada buktinya bahwa anak kita tewas."
"Itu benar, kanjeng bibi. Saya sudah mencari, bahkan dibantu puluhan orang namun tidak ada tanda-tandanya bahwa Nimas Sulastri tewas di dasar tebing itu. Masih besar sekali harapan dan kemungkinan bahwa ia masih hidup, kanjeng bibi."
Ucapan dua orang laki-laki meredakan tangis Nyi Subali. Ia menyusut air matanya dan memandang kepada suaminya dengan sepasang mata yang kemerahan. "Akan tetapi, kalau ia masih hidup, ke mana ia pergi? Kenapa ia tidak menemui Anakmas Aji?"
Ki Subali tentu saja tidak mampu menjawab dan dia menghadapi Aji, berkata. "anakmas Aji, bukankah tebing itu tinggi sekali? Bagaimana mungkin Sulastri yang terjatuh ke bawah tebing itu dapat lolos dari maut?"
"Memang tampaknya aneh sekali, kanjeng paman. Sesungguhnya, kalau menurut perhitungan akal kita, saya juga tidak dapat percaya bahwa orang yang terjatuh ke bawah tebing yang demikian curam dan tinggi, dapat lolos dari kematian. Munding Bodas yang terjatuh itupun tewas dengan tulang patah-patah." Dia teringat akan tanda telapak tangan hitam di dada mayat Munding Bodas. "Akan tetapi kenyataannya, tidak dapat ditemukan jenazah Nimas Sulastri. Karena itu saya yakin, kanjeng paman dan kanjeng bibi, bahwa Sulastri pasti masih hidup!" Ucapan Aji yang penuh keyakinan ini menghidupkan harapan dalam hati suami isteri itu.
"Akan tetapi bagaimana mungkin, Anakmas Aji." Tanya Ki Subali.
"Paman Subali, apakah paman percaya akan kekuasaan Gusti Allah yang mujijat?" Tanya Aji.
"Tentu saja!"
"Nah, kalau benar demikian, mengapa kanjeng paman masih merasa sangsi dan heran kalau Nimas Sulastri tidak tewas, biarpun ia telah terjatuh ke bawah tebing? Kalau Gusti Allah menghendaki ia hidup, apa sukar dan anehnya bagi Kekuasaan Gusti Allah untuk menyelamatkannya?"
Sekarang dia harus melanjutkan perjalanannya seperti yang telah direncanakan menurut petunjuk Senopati Suroantani, dia harus melanjutkan perjalanannya sampai di Jayakarta atau Batavia, pusat benteng Kumpeni Belanda dan siap menanti di sana untuk membantu Mataram apabila pasukan Mataram mulai menyerang benteng Kumpeni Belanda di Batavia. Akan tetapi sebelum melanjutkan perjalanan ke sana, dia harus lebih dulu mencari ayah Sulastri untuk mengabarkan tentang diri Sulastri itu. Dia sudah mendengar dari Sulastri bahwa ayahnya bernama Ki Subali, seorang sasterwan, seniman dan dalang yang tinggal di dermayu. Apapun akibatnya, dia harus menceritakan sejujurnya tentang nasib yang menimpa diri gadis itu.
********************
Benarkah Sulastri mati seperti yang dikhawatirkan Aji? Atau apakah yang terjadi dengannya sehingga ia lenyap tak meninggalkan bekas? Memang, kalau diukur dengan logika pikiran manusia, rasanya tidak mungkin kalau seseorang yang terjatuh dari atas tebing yang demikian curamnya, yang ratusan meter tingginya, akan dapat tinggal hidup. Akan tetapi, banyak sekali kenyataan dalam kehidupan manusia membuktikan bahwa kalau Gusti Allah menghendaki seseorang tinggal hidup, biar seribu satu macam ancaman maut menyerbunya, dia akan terbebas dari kematian.
Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang mati, biarpun ada seribu satu perisai tidak akan mampu menghindarkannya dari sengatan maut yang mematikannya. Sudah menjadi kenyataan bahwa Gusti Allah menghendaki Sulastri hidup. Buktinya, ia tidak mati walaupun terjatuh dari atas tebing yang begitu tinggi. Ia jatuh membentur-bentur dinding karang, bahkan kepalanya terbentur keras sehingga ia pingsan sebelum mencapai dasar tebing.
Dan anehnya, beberapa meter sebelum terbanting remuk di atas batu di dasar tebing, tiba-tiba luncuran tubuhnya terhenti karena bajunya tersangkut pada akar pohon besar yang mencuat dari dinding tebing seperti sebuah ujung tombak yang ada kaitannya! Tubuhnya tergantung di situ, bajunya terkait dan ia sama sekali tidak bergerak karena dalam keadaan pingsan. Dahinya dekat pelipis kiri berdarah.
"Heh-heh-heh, bocah denok ayu kok menggantung diri di situ!" terdengar suara orang terkekeh. Dia seorang kakek yang usianya tentu sudah hampir tujuh puluh tahun, tubuhnya kurus kering dan bongkok, tangan kirinya ceko dan mukanya mengingatkan orang akan tokoh Pendito Durno penasihat kerajaan Ngastino. Akan tetapi biarpun tangan kirinya ceko dan kaki kanannya agak pincang seperti tokoh Gareng dalam cerita wayang, dia dapat bergerak dengan cekatan sekali ketika mendaki tebing. Gerakannya ringan dan sebentar saja dia sudah sampai di tempat di mana Sulastri tergantung pada akar pohon.
Uh-uh, perawan kinyis-kinyis, sayang sekali kalau mati di sini!" kata pula kakek itu. Kemudian dengan tangan kanannya dia melepaskan baju Sulastri dari kaitan akar pohon dan memondongnya lalu turun lagi seperti seekor monyet. Kalau ada yang melihatnya tentu akan terheran-heran. Bagaimana mungkin seorang kakek yang ceko dan pincang dapat memanjat tebing terjal seperti itu, bahkan ketika turun memondong tubuh seorang gadis dari gerakan-gerakannya ini saja sudah dapat diketahui bahwa kakek itu tentu bukan orang biasa, melainkan seorang kakek yang memiliki kesaktian.
Setelah turun, kakek itu melanjutkan perjalanannya sambil memondong tubuh Sulastri. Ketika melihat mayat Ki Munding Bodas, dia berhenti dan mengamati mayat itu sambil berdiri. "Uh-uh, Munding Bodas, engkau tewas terkena pukulan ampuh. Salahmu sendiri! Berapa kali sudah kuingatkan agar jangan membuat kekacauan di Cirebon karena Sang Adipati adalah keturunan mendiang Sunan Gunung Jati yang sakti mandraguna. Nah, sekarang engkau tewas dan akupun tidak dapat menghidupkanmu kembali. Tentu perawan ini ada hubungannya dengan kematianmu!"
Setelah berkata demikian, kakek itu meninggalkan mayat itu dan dengan berlari cepat dia memanggul tubuh sulastri menuruni lereng Gunung Careme ke arah selatan. Luar biasa cepatnya kakek itu berlari, melompati jurang-jurang seperti seekor kijang saja. Dia sama sekali tidak tampak keberatan memanggul tubuh Sulastri yang masih pingsan. Setelah tiba di kaki gunung, dia memasuki sebuah hutan cemara dan ditengah-tengah hutan itu terdapat sebuah pondok kayu. Dia membuka pintu pondok dan membawa Sulastri memasuki pondok. direbahkannya tubuh gadis itu ke atas sebuah dipan bambu, lalu diperiksanya keadaan Sulastri.
Melihat bahwa gadis itu terluka dahinya dekat pelipis, dia lalu mengomel. "Ah, luka ini parah juga. Untung ia memiliki kepala yang keras dan kuat sehingga tidak sampai pecah. Kasihan engkau perawan denok ayu, aku akan mengobatimu!" Dia lalu keluar dari pondok dan mencari Widoro Upas, lalu dibawanya kembali ke pondok. Dengan jari-jari tangannya dia meremas Widoro Upas itu sampai hancur, lalu mencampurkannya dengan beberapa tetes madu dan mengoleskan campuran itu ke luka di dahi Sulastri.
Setelah itu dia duduk di tepi dipan dan mengamati wajah yang cantik jelita itu. Biarpun rambut Sulastri terurau lepas dan pakaiannya cabik-cabik dan awut-awutan, namun kecantikannya bahkan tampak lebih menonjol. "Huh-huh, sungguh ayu manis, kinyis-kinyis merak ati..!" Kakek itu berkata, matanya bersinar-sinar penuh gairah, beberapa kali menelan air liurnya dan dia sudah menggerakkan kedua tangannya untuk menggerayangi tubuh muda yang menggairahkan hati dan menimbulkan nafsunya itu.
"Puuuunten...!" Terdengar suara orang beruluk salam dari luar pintu.
Kedua tangan yang sudah bergerak ke depan itu tertahan dan kakek itu bangkit, bersungut-sungut. "Hemmm, siapa yang datang menggangguku?" Agaknya orang yang datang itu mendengar gerutunya.
"Bapa Guru, saya yang datang!"
"Uh-huh, kiranya engkau, munding hideung. Masuklah!" Yang datang itu memang Munding hideung. Dia masuk pondok itu dengan langkah terhuyung dan ketika sudah masuk di ruangan depan, dia segera menjatuhkan diri duduk di atas kursi sambil mengerang kesakitan. kakek itu keluar dari dalam kamar dan melihat wajah yang hitam itu kini tampak agak pucat dan wajah muridnya ang tinggi besar itu menyeringai kesakitan, dia segera menghampiri.
"Uh-uh, apa yang telah terjadi denganmu, Munding Hideung? Engkau agaknya terluka!" kata kakek itu. Kakek itu adalah Panembahan Kolo Srenggi, seorang pertapa di hutan cemara yang berada di kaki Gunung Careme dan dia adalah guru dari Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas.
"Aduh, celaka, bapa guru. kami mengalami malapetaka. Adi Munding Bodas telah tewas..."
"Huh-huh, aku sudah tahu. aku melihat mayatnya di bawah tebing. Dan engkau sendiri kenapakah?"
"Pundak saya ini... kedua pundak saya, agaknya patah tulangnya, bapa guru..." Munding Hideung mengeluh.
Panembahan Kolo Srenggi terkekeh lalu menghampiri muridnya, menggerakkan kedua tangan dan memegang kedua pundak muridnya itu. 鈥淎duh...!" Ki Munding hideung mengeluh kesakitan. "Uh-uh, tulang kedua pundakmu retak. Akan tetapi jangan khawatir. Obatku akan menyembuhkannya dalam waktu beberapa hari saja."
Setelah berkata demikian, kakek itu pergi ke sebuah kamar di belakang di mana dia menyimpan bermacam-macam rempa-rempa untuk bahan jamu. Dia mengambil Tangkai Cikal Tulang, ditumbuk halus dan dicampur dengan Daun Srigi, setelah itu tumbukan itu dicampur dengan sedikit garam. Dia lalu membawanya ke ruangan depan di mana Munding Hideung masih menunggu sambil mengeluh kesakitan. Panembahan Kolo Srenggi membuka baju atas muridnya itu, kemudian jari-jari tangannya yang panjang kurus namun kuat itu memijat-mijat dan menekan-nekan, membetulkan kembali letak tulang pundak yang patah.
Ki Munding Hideung menggigit bibir menahan sakit sampai peluh keluar dari mukanya. Setelah itu, kakek itu mengoleskan bubukan obat itu ke kedua pundaknya, lalu membebatnya dengan kulit pohon randu dan diikat dengan kain. Memang hebat sekali kemanjuran pengobatan kakek itu. Biarpun tulang-tulang pundaknya masih belum pulih, namun Ki Munding Hideung sudah mampu menggerakkan kedua lengannya!
"Nah, ceritakan apa yang terjadi" kata Panembahan Kolo Srenggi sambil duduk di kursi depan Munding Hideung.
Ki Munding Hideung menghela napas panjang. "Kami mengalami kesialan, bapa guru. Dua orang utusan Adipati Cirebon, seorang pemuda dan seorang gadis, tiba-tiba menyerbu perkampungan kami. Mereka itu sakti mandraguna sehingga banyak anak buah kami yang tewas dan terluka. bahkan Adi Munding Bodas juga terjatuh ke bawah tebing. Kami berhasil membuat gadis itu terjungkal ke bawah tebing dan tentu mampus. Akan tetapi pemuda itu sakti sekali sehingga kedua tulang pundakku patah oleh serangannya dan terpaksa kami melarikan diri karena kalau tidak kami semua habis dibunuhnya."
"Wah-wah, hanya dua orang saja dan kalian yang puluhan orang banyaknya sampai kalah? Siapakah dua orang utusan Adipati Cirebon itu?" "Pemuda itu bernama Lindu Aji dan gadis itu bernama Sulastri."
"Hemmm, sudah berapa kali kuperingatkan kalian agar tidak membuat kekacauan di daerah Cirebon. Sang Adipati Pangeran Ratu adalah keturunan mendiang Sunan Gunung Jati, bagaimana kalian berani main-main? Akan tetapi mengenai gadis itu, kau katakan tadi bahwa ia terjatuh ke bawah tebing?"
"Benar, bapa guru. saya melihat sendiri. gadis itu memukul Adi Munding Bodas dengan pukulan jarak jauh dan Adi Munding Bodas terjungkal ke bawah tebing. Akan tetapi pada saat itu, serangan anak buah kami dengan panah berhasil. Sebatang anak panah mengenai pundak gadis itu dan iapun terjungkal jatuh ke bawah tebing pula."
"Uh-uh, aku belum memeriksa pundak itu. Munding Hideung, dengan siapa engkau datang ke sini?"
"Ada lima orang pembantu saya ikut lari dan kini mereka menanti di luar pondok, bapa guru."
"Biarkan mereka menunggu di sana dan marilah kau ikut aku dan lihat, siapa yang berada dalam kamarku?"
Ki Munding Hideung memandang heran, akan tetapi dia bangkit dan mengikuti gurunya menuju ke sebuah kamar. Mereka memasuki kamar itu dan melihat gadis yang rebah telentang di atas dipan itu. Munding Hideung berseru kaget. "Itulah ia, gadis itu! dan ia belum mati?"
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Tubuhnya tersangkut pada akar pohon dan aku menolongnya. Luka di dahinya cukup berat, akan tetapi aku belum melihat luka anak panah di pundaknya." Dia lalu menghampiri Sulastri dan melihat betapa baju di pundak gadis itupun berdarah. Akan tetapi anak panah itu telah tidak ada, agaknya patah ketika tubuh itu terjatuh dan terbentur-bentur dinding tebing.
"Rrrrttt...!" Panembahan Kolo Srenggi merobek baju di pundak kiri gadis itu. Kulit pundak yang putih mulus itu tampak. Ada darah berlepotan di situ, akan tetapi anak panahnya sudah tidak ada, tentu telah terlepas ketika gadis itu terbentur-bentur dinding tebing. Luka itu tidak terlalu dalam dan Panembahan Kolo Srenggi lalu mengobatinya dengan ramuan Widoro Upas dan Madu yang masih tersisa.
"Bapa Guru, berikan gadis ini kepada saya! Saya akan memperisterinya, selain untuk kesenanganku karena saya belum mempunyai pendamping yang begini cantik dan sakti, juga untuk membalas dendam atas kematian Adi Munding Bodas di tangannya!"
"Heh-heh-heh, engkau mau enaknya saja!" kata Panembahan Kolo Srenggi. Akan tetapi karena aku sekarang sudah terlalu tua dan tidak tertarik lagi kepada yang denok ayu, boleh engkau memiliki dia, sekedar untuk menghibur hatimu yang berduka karena malapetaka yang menimpa diri dan perkumpulanmu."
"Terima kasih, bapa guru, terima kasih!" kata Munding Hideung dan bagaikan seekor singa kelaparan melihat seekor domba betina muda yang lunak dagingnya, dia segera membuat gerakan ke arah dipan seperti hendak menubruk tubuh Sulastri. Agaknya dorongan gairah nafsunya membuat dia lupa diri, tidak perduli lagi bahwa di situ terdapat gurunya dan dia hendak menyalurkan gairah nafsunya pada saat itu juga. Panembahan Kolo Srenggi, yang di waktu mudanya juga seorang hamba nafsu yang tersesat jauh dari jalan benar, hanya terkekeh seolah merasa lucu, bahkan ingin menikmati kejadian lucu dan menyenangkan yang akan terjadi di depan matanya.
Pada saat jari-jari kedua tangan Munding Hideung sudah hampir menyentuh dada Sulastri, tiba-tiba tubuh gadis itu berbalik, menelungkup lalu seperti merangkak dan terdengarlah lengkingan yang demikian kuatnya sehingga seluruh pondok seperti terguncang hebat! Gadis itu telah sadar dari pingsannya dan ia melakukan hal ini dengan tiba-tiba sehingga mengejutkan Munding Hideung. Raksasa bermuka hitam ini segera melangkah mundur dengan kaget dan jerih. Dia tahu betapa saktinya gadis itu dan pada saat itu, kedua pundaknya masih belum sembuh, baru saja diobati dan tidak mungkin dia akan menandingi gadis itu. Juga Panembahan Kolo Srenggi terkejut karena ia dapat merasakan kekuatan dahsyat terkandung dalam lengkingan itu. Pada saat kedua orang itu terkejut dan tertegun, tubuh Sulastri melompat keluar dari kamar itu.
"Tangkap! Tangkap gadis itu!" teriak Munding Hideung. Teriakan ini ditujukan kepada lima orang pembantunya yang berada di depan pintu. Dan dia sendiri, bahkan didahului Panembahan Kolo Srenggi, melakukan pengejaran keluar pondok itu. Lima orang pembantu Munding Hideung yang berada di luar pondok, mendengar dan mengenal suara teriakan pemimpin mereka. Mereka serentak bangkit menghadang di luar pintu dan mencabut golok masing-masing dan ketika Sulastri melompat keluar, ia segera disambut serangan lima orang itu.
Gadis itu memandang heran seperti orang yang kaget dan tidak mengerti, akan tetapi nalurinya memperingatkan bahwa ia terancam bahaya, maka iapun bergerak cepat mengelak sambil membalas dengan tamparan dan tendangan. Akan tetapi lima orang itu adalah para pembantu Munding Hideung, rata-rata memiliki kepandaian silat yang lumayan sehingga mereka dapat menghindarkan diri dari serangan Sulastri dan mengepung ketat. Ki Munding Hideung dan Panembahan Kolo Srenggi juga sudah muncul.
Munding Hideung tidak dapat ikut mengeroyok karena tulang pundaknya belum sembuh, akan tetapi Panembahan Kolo Srenggi sudah menggerakkan sebuah tongkat berbentuk ular yang panjangnya sama dengan tubuhnya. Gerakan tongkat ular ini cepat sekali dan mengandung tenaga sakti. Sulastri melawan mati-matian. Ia tidak bersenjata dan kepalanya masih terasa pening karena luka di dahi dan pundaknya. Bahkan luka di pundak kiri membuat gerakannya menjadi kaku dan lambat. Dan pada saat itu gadis itu bergerak menurutkan naluri saja karena ia tidak mampu mempergunakan akal pikirannya.
Semua tampak tak berarti dan tidak dimengerti, membuatnya bingung, hanya nalurinya mengatakan bahwa ia berhadapan dengan musuh-musuh yang berbahaya dan yang hendak mencelakainya, maka ia melawan mati-matian. Bagaimanapun juga, karena ternyata Panembahan Kolo Srenggi itu sakti dan gerakan tongkat ularnya amat berbahaya, sedangkan lima orang pembantu itupun cukup tangguh, maka Sulastri terdesak hebat dan sudah dua kali pinggang dan pahanya terkena gebukan tongkat kakek itu.
Untung baginya bahwa berkali-kali Ki Munding Hideung berteriak kepada para pembantu dan gurunya agar jangan membunuh gadis itu, melainkan menangkapnya. Tentu saja Sulastri yang masih pening dan lemas itu, juga seluruh tubuhnya terasa nyeri karena tadi terbentur-bentur dinding karang, menjadi sibuk sekali dikeroyok enam orang itu.
Pada saat itu tampak berkelebat bayangan orang dan muncullah seorang laki-laki muda. Usianya masih muda sekali, paling banyak dua puluh dua tahun. Pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi. Bentuk tubuhnya sedang saja namun gerak geriknya sigap. Wajahnya tampan dan sinar matanya mengandung kegagahan. Sepasang alisnya tebal, matanya bersinar-sinar, kadang mencorong penuh wibawa, hidungnya mancung dan bibirnya mempunyai lekukan yang membayangkan kekerasan hati. Setitik tahi lalat kecil menghias dagunya, menambah manis wajah yang tampan itu. Di pinggangnya terselip sebatang keris yang gagangnya terbuat dari kayu cendana hitam.
Melihat seorang gadis yang pakaiannya cabik-cabik, rambutnya terurai lepas, dan tampaknya kelelahan dikeroyok enam orang laki-laki yang memegang golok dan tongkat, pemuda itu mengerutkan alisnya yang hitam tebal dan dia membentak. "Sungguh tidak tahu malu sekali! Enam orang laki-laki bersenjata mengeroyok seorang gadis bertangan kosong yang sedang menderita luka dan tidak sehat. Kalian ini tentulah orang-orang jahat, karena hanya orang jahat saja yang tidak malu melakukan kecurangan seperti ini!" teriaknya dan tubuhnya sudah menerjang ke depan.
Begitu kaki tangannya bergerak, dua orang pemegang golok terpelanting dan mengaduh, tidak mampu bangkit kembali karena yang seorang kepalanya retak terkena tamparan tangan pemuda itu dan yang seorang lagi dadanya terkena tendangan. Keduanya roboh dan setelah mengaduh-aduh lalu tewas! Pemuda itu melihat bahwa yang paling berbahaya adalah kakek bungkuk yang memegang tongkat ular panjang. Maka diapun cepat mencabut kerisnya dan menerjang Panembahan Kolo Srenggi.
"Trak-trang...!" Bunga api berpijar ketika tongkat bertemu keris dan alangkah kaget rasa hati kakek itu ketika melihat betapa tongkat ularnya telah terpotong ujungnya! Dia memutar tongkatnya, namun pemuda itu dengan tangkas telah menyerangnya mendesaknya dengan hebat. Bukan hanya keris di tangan kanan pemuda itu yang amat tangguh, akan tetapi tangan kirinya juga memukul dengan tenaga pukulan yang dahsyat sekali.
Sementara itu, Sulastri yang kini hanya tinggal menghadapi tiga orang pengeroyok, mengamuk hebat. Ia dapat menyambar golok yang terlepas dari tangan seorang di antara dua orang yang roboh tewas di tangan pemuda itu dan dengan golok ini iapun mengamuk. Gerakannya ganas dan cepat sekali dan dalam waktu singkat goloknya yang menyambar-nyambar ganas itu berturut-turut merobohkan tiga orang pengeroyoknya. Tiga orang pengeroyok itu roboh mandi darah dan tewas.
Sementara itu, pertandingan antara Panembahan Kolo Srenggi melawan Pemuda itupun berlangsung seru. Akan tetapi kini jelas tampak betapa kakek itu terdesak hebat, terutama sekali oleh dorongan tangan kiri pemuda itu yang mendatangkan angin pukulan yang dahsyat. "Heh, mampus kau!" kakek itu membentak dan tongkat ularnya yang sudah putus itu menyambar dahsyat.
Pemuda itu tidak menghindar ke belakang, bahkan maju mendekat dan tangan kirinya berhasil menangkap tongkat, lalu tangan kanan yang memegang keris menusuk. Keris pusakanya tepat menghunjam ke dada yang kerempeng itu. Panembahan Kolo Srenggi menjerit dan melepaskan tongkatnya, menggunakan tangan kiri mendekap dadanya yang terluka dan diapun terhuyung roboh telentang, tewas tak lama kemudian. Melihat betapa lima orangnya sudah roboh semua, bahkan gurunya juga tewas, Ki Munding hideung cepat menggerakkan kakinya melarikan diri. Akan tetapi karena kedua pundaknya masih nyeri sekali kalau dipakai berlari, maka larinya juga tidak cepat. melihat dia lari, sulastri yang memandang semua itu dengan mata bingung lalu melontarkan golok rampasannya.
Syuuuttt... cappp...!" Golok meluncur bagaikan anak panah dan menancap di punggung Munding Hideung. Raksasa muka hitam ini menjerit dan roboh tertelungkup, tewas seketika karena golok itu menancap dalam sekali.
Pemuda itu cepat menghampiri. Kini mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak dua meter dan saling pandang. Pemuda itu memandang dengan sinar mata mengandung iba dan kagum. Dia melihat betapa dahi gadis itu dekat pelipis luka dan kebiruan, akan tetapi luka itu sudah tertutup bobok jamu. Juga pundak kiri yang kulitnya putih mulus itu terluka dan sudah diobati. Mata gadis itu indah sekali dan amat tajam, akan tetapi pada saat itu memandang kepadanya dengan heran dan bingung. Dia melihat gadis itu masih sangat muda sekali, akan tetapi tadi memiliki sepak terjang yang amat hebat, padahal tubuhnya sudah terluka.
"Nimas." Dia menyebut nimas karena yakin bahwa gadis itu lebih muda dari padanya dan malihat sikap, wajah dan pakaiannya, gadis itupun bukan seorang gadis dusun yang sederhana dan bodoh. "Dahi dan pundak andika terluka. Tentu orang-orang jahat ini yang telah melukaimu." Sulastri memandang pemuda itu dengan heran. Ia tahu bahwa pemuda ini tadi telah menolongnya, membantunya melawan orang-orang yang mengeroyoknya, akan tetapi ia tidak mengenal siapa pemuda itu.
"Terima kasih atas petolonganmu, ki sanak. Akan tetapi luka-luka ini..." Ia meraba dahi dan pundak kirinya yang terluka. "kukira bukan mereka yang melukaiku. Ketika bertempur tadi aku tidak merasa dilukai mereka..."
"Kalau begitu, mengapa dahi dan pundakmu terluka? Siapa yang telah melukaimu?"
Sulastri mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu..."
Pemuda itu menatap wajah Sulastri dengan heran. Bagaimana orang sampai tidak tahu apa yang menyebabkan ia terluka seperti ini? Dia lalu memandang kepada mayat orang-orang yang tadi mengeroyok gadis itu. "Siapakah mereka ini? Dan mengapa mereka mengeroyokmu?"
Sulastri memandangi mayat-mayat itu satu demi satu dengan penuh perhatian, akan tetapi alisnya berkerut dan ia memandang kembali kepada pemuda itu lalu menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengenal mereka dan tidak tahu mengapa mereka mengeroyokku..."
Pemuda itu menjadi semakin heran, "Ah, aneh sekali. Andika tidak mengenal mereka akan tetapi mengapa mereka mengeroyok andika? Sungguh jahat orang-orang ini. Akan tetapi, kalau boleh aku mengetahui, nona. Siapakah namamu dan bagaimana bisa sampai bisa sampai ke tempat ini?"
Mendengar pertanyaan itu, Sulastri memandang pemuda itu dengan bingung. melihat sikap Sulastri, pemuda itu tersenyum maklum. Memang tidak pantas kalau seorang gadis memperkenalkan diri lebih dulu kepada seorang pemuda. "perkenalkanlah, nimas, aku bernama Jatmika dari Banten, akan tetapi sekarang aku telah pindah dan tinggal di dermayu. Nah, setelah andika mengenal namaku, bolehkah aku mengetahui siapa nama andika dari mana andika berasal?"
Mendengar pertanyaan ini, Sulastri menjadi semakin bingung. Ia meraba kepalanya dan menjawab lirih. "aku... aku tidak tahu..! Ah, aku tidak... ingat siapa namaku... tidak ingat dari mana aku berasal... tidak tahu mengapa berada di sini!" Ia menjatuhkan diri berlutut dan masih memegangi kepalanya. "Ah, di mana aku sekarang ini? Siapa aku ini...? Ki sanak... eh, kakangmas Jatmika, tolonglah, beritahu aku, siapa aku ini...?"
Pemuda itu adalah Jatmika, putera tunggal Ki Sudrajat. seperti telah diceritakan di bagian depan, Ki Sudrajat adalah putera kandung mendiang Ki Tejo Budi, akan tetapi semenjak kecil Ki Sudrajat menjadi putera tiri Ki Tejo Langit yang kemudian mengubah namanya menjadi Ki Ageng Pasisiran. Semenjak kecil Ki Sudrajat dipelihara dan dididik oleh Ki Tejo Langit yang dianggap ayah kandungnya sendiri dan tinggal di Banten. Kemudian Ki Sudrajat menikah dan mempunyai seorang anak, yaitu Jatmika. Sejak kecil Jatmika dididik oleh ayahnya, bahkan juga dibimbing dalam olah kanuragan oleh kakeknya di pantai Dermayu.
Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit yang amat sayang kepada cucunya ini lalu minta agar Jatmika tinggal bersamanya. Akan tetapi pemuda ini tidak betah untuk tinggal menganggur saja di pondok kakeknya. Dia berpamit untuk merantau dan pada hari itu secara kebetulan saja dia tiba di kaki Gunung Careme dan lewat di hutan cemara itu sehingga melihat Sulastri yang dikeroyok enam orang, maka cepat dia membantu. Kini melihat kedaan gadis yang lupa akan namanya sendiri itu, yang berlutut dan memegangi kepalanya, wajahnya tampak sedih sekali dan minta tolong kepadanya untuk memberi tahu siapa ia.
Jatmika segera dapat menduga apa yang telah terjadi dan menimpa gadis itu. Mungkin luka di dekat pelipis itu, pikirnya. Gadis itu tentu telah menerima pukulan keras didahinya sehingga isi kepalanya mengalami guncangan hebat dan agaknya hal itu membuatnya melupakan segala hal! Dia merasa iba sekali dan kecerdikannya membuat Jatmika cepat mengambil keputusan ketika dia menjawab dengan sura lembut menghibur. "Ah, sekarang aku ingat, nimas! Namamu adalah Listyani dan biasa engkau dipanggil Eulis! dan aku tahu bahwa engkau datang dari daerah Cirebon walaupun aku tidak tahu tepatnya di mana karena aku belum pernah berkunjung ke rumahmu."
"Listyani...? Eulis...?" sulastri berkata perlahan seolah hendak menghafalkan nama itu. "kenapa aku dapat melupakan nama sendiri? Ah, engkau tentu benar, kakangmas Jatmika. Engkau telah menyelamatkan aku. Engkau baik sekali kepadaku, tentu engkau tidak berbohong! Namaku Listyani, biasa disebut Eulis. Ya-ya... namaku bagus! akan tetapi siapa orang tuaku? Apa yang telah terjadi denganku selama ini? Aku telah lupa sama sekali!"
Jatmika tidak menjadi bingung. Dia tersenyum. "Mana aku tahu, nimas Eulis? Kita baru saja berkenalan dan aku hanya mengetahui namamu saja. Engkau belum pernah menceritakan padaku tentang orang tuamu dan segala hal mengenai dirimu. Engkau agaknya mengalami pukulan yang cukup parah. Aku mengerti sedikit tentang pengobatan. Mari, biarkan aku memeriksa luka-lukamu, nimas. Akan tetapi jangan di sini. Tempat ini menyeramkan dengan mayat-mayat ini. Kita mencari tempat lain yang lebih bersih dan nyaman. Akan tetapi tunggu dulu aku harus membereskan mayat-mayat ini."
Melihat pemuda itu menyeret mayat-mayat yang berserakan itu ke dalam pondok, Sulastri atau agar memudahkan mulai sekarang kita sebut saja nama panggilannya, yaitu Eulis, memandang dengan heran. Biarpun benturan pada kepalanya membuat ia lupa akan segala hal yang lalu, namun pikirannya masih bekerja dengan baik, dan kecerdikannya tidak berkurang. "Kakangmas Jatmika, apa yang hendak kaulakukan dengan mayat-mayat itu?" tanyanya.
Pada saat itu Jatmika sudah menyeret mayat Munding Hideung yang letaknya paling jauh dari pondok lalu memasukkannya ke dalam pondok, kemudian dia memasuki pondok, menemukan seguci minyak dan dituangkan minyak itu diatas mayat-mayat itu, lalu dia mengumpulkan kayu-kayu dan daun-daun kering, ditimbunkannya semua itu pada mayat-mayat, barulah ditutupkannya pintu pondok. "Aku akan membakar pondok ini, nimas. Kasihan mayat-mayat itu kalau tidak ada yang mengurusnya, maka biarlah mereka itu terbakar bersama pondok ini agar sempurna."
Sulastri mengangguk-angguk. Pemuda yang bijaksana, pikirnya. Sakti mandraguna dan bijaksana, inilah kesan hatinya terhadap Jatmika, di samping ia harus mengakui bahwa pemuda itu tampan, lembut dan menarik hati. Ia hanya memandang ketika Jatmika mengerjakan semua persiapan itu.
Setelah pemuda itu membakar pondok, dia lalu berkata kepada Eulis, "Marilah kita meninggalkan tempat ini, mencari tempat yang lebih bersih untuk bercakap-cakap."
"Bercakap-cakap?" Sulastri bertanya karena ia sendiri bingung, sama sekali tidak ingat akan apa yang telah dilakukan, dan tidak tahu apa yang sedang dan akan dilakukan. Ia sama sekali lupa akan segala hal mengenai dirinya. "Ya, bercakap-cakap... maksudku... aku harus memeriksa luka-lukamu dan mencoba untuk mengobatinya. Marilah, nimas," kata Jatmika dengan lembut.
Eulis mengangguk dan mengikuti pemuda itu meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian tibalah mereka di tepi sebuah sungai kecil. Sungai itu tidak banyak airnya, akan tetapi air yang mengalir di antara batu-batu itu jernih sekali. Sawah ladang membentang luas dan dari jauh tampak beberapa orang petani mencangkul di sawah. "Nah, mari kita duduk di sini dan aku akan memeriksa luka-lukamu, nimas," kata Jatmika. Eulis mengangguk lalu duduk di atas sebuah batu yang rata. Jatmika menghampiri. "Maafkan aku, nimas," katanya sopan sebelum dia memeriksa luka di dahi dekat pelipis itu.
Luka itu memang tidak terlalu besar, akan tetapi cukup dalam dan melihat warna biru kehitaman di sekeliling luka, mudah diduga bahwa dahi itu terkena pukulan benda yang keras dan kuat sekali sehingga menggetarkan otaknya. "Bagaimana rasanya luka di dahi ini, Nimas Eulis?" "Rasanya agak pusing dan panas" kata Eulis.
"Hemm, panas, ya?" Jatmika mengerutkan alisnya. "Tunggu, aku hendak mencari daun bayam dan madu. Dan luka di pundak ini... hemm, maafkan kelancanganku, nimas" kata Jatmika dan tidak jadi menyentuh luka itu yang berada di pundak agak ke bawah sehingga mendekati kaki bukit dada gadis itu. "Agaknya luka ini karena tertusuk benda tajam. Ingatkah engkau apa yang melukai pundakmu ini?"
Eulis menggeleng kepala. "Aku tidak tahu, tidak ingat lagi." "Hemm, luka terkena tusukan benda dari logam ada bahayanya terkena racun dan membusuk. Tunggulah sebentar, nimas. Pesediaan obat yang berada dalam bungkusan pakaianku tidak cukup. Aku harus mencari ke dusun di depan. Atau sebaliknya engkau ikut saja. aku khawatir kalau engkau kutinggalkan sendiri di sini, ada orang-orang jahat yang muncul lagi."
"Aku tidak takut!鈥� kata Eulis. ternyata watak sulastri yang keras dan pemberani itu masih belum berubah.
"Aku percaya, nimas. Akan tetapi engkau sedang menderita luka. Marilah..."
Suara lembut yang membujuk dari Jatmika itu membuat Eulis menurut dan pergilah mereka ke dusun yang sudah tampak dari situ. Jatmika mencari ramuan Asam Kawak (Asam lama), garam, daun Jarong dan Madu. Ramuan ini untuk dikompreskan pada luka di pundak, sedangkan untuk mengobati luka di dahi, dia menumbuk daun Bayam Duri, lalu dicampur madu dan ditempelkan pada luka itu. selain itu, Jatmika juga menggodok Temulawak dan Gadung untuk diminumkan kepada gadis itu. Sikap Jatmika yang berwibawa dan lembut, juga karena dia membawa bekal uang yang cukup untuk semua biaya itu, membuat Ki Lurah di dusun itu menerima mereka dengan hormat dan senang.
Selama tiga hari mereka berdua tinggal di rumah Ki Lurah. Obat itu ternyata manjur sekali. Dalam waktu tiga hari saja luka-luka itu telah sembuh dan Eulis tidak merasa nyeri lagi. Hanya ingatannya yang belum kembali. Ia sama sekali lupa akan masa lalunya. Ia seolah hidup baru dan kehidupannya mulai dari pertemuannya dengan Jatmika! Ia hanya ingat bahwa ia dikeroyok enam orang lalu ditolong Jatmika, sejak saat itu sampai sekarang. Itulah saja yang dapat diingatnya!
Setelah melihat keadaan Eulis sudah sembuh benar, mulailah Jatmika merasa bingung sendiri. Apa yang harus dilakukan terhadap gadis itu? Gadis itu kehilangan ingatan, tidak ingat lagi siapa dirinya dan siapa pula orang tuanya, tidak tahu di mana tempat tinggalnya. Tentu saja dia tidak dapat meninggalkan Eulis begitu saja! Gadis itu akan menjadi terlantar walaupun ia sakti dan tampaknya juga cerdik. Sore pada hari ketiga di rumah Ki Lurah itu, Jatmika mengajak Eulis untuk duduk berdua saja di dalam kebun belakang rumah Ki Lurah. Tuan rumah dan keluarganya tidak berani mengganggu.
Mereka semua menaruh hormat kepada Jatmika dan Eulis, bukan hanya karena sikap kedua orang muda itu, melainkan juga karena Jatmika tidak mau menyusahkan mereka dan selalu mengeluarkan uang untuk membiayai semua keperluan mereka berdua. Untuk Eulispun Jatmika telah membeli beberapa perangkat pakaian pengganti. Mereka berdua duduk berhadapan di atas bangku yang berada di kebun merangkap taman itu.
"Nimas Eulis.." Jatmika mulai membuka percakapan. Selama ini dia selalu bersikap sopan, bahkan jarang mengajak gadis itu bercakap-cakap karena tidak ingin menambah kebingungan pikiran gadis itu. Dia merasa kasihan kepada gadis itu, bahkan diam-diam dia harus mengaku bahwa dia tertarik sekali dan jatuh cinta kepada gadis yang lupa akan namanya sendiri itu.
"Ya, kakangmas Jatmika. Ada apakah?"
"Nimas, kulihat kesehatanmu sudah pulih. Luka-lukamu hampir sembuh dan engkau tidak merasa nyeri lagi, bukan?"
"Tidak, kakangmas. Aku sudah sembuh dan semua ini berkat kebaikan hati dan pertolonganmu." Eulis memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata bersyukur dan berterima kasih.
"Jangan disebut lagi tentang pertolongan itu, nimas. Sekarang yang ingin kubicarakan adalah, bagaimana selanjutnya dengan dirimu? Ke mana engkau hendak pergi setelah kita meninggalkan rumah Ki Lurah ini?"
Ditanya begitu, sulastri atau Eulis merasa seperti orang ditodong keris. Ia termangu-mangu, matanya sejenak menatap wajah Jatmika, lalu memandang ke kanan kiri seperti ingin minta bantuan dari mana saja, kemudian tampak bingung dan akhirnya ia menghela napas dan menggeleng kepalanya.
"Aku sungguh tidak tahu, kakangmas. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tidak tahu ke mana aku harus pergi. Akan tetapi yang jelas, aku harus pergi meninggalkan rumah Ki Lurah ini dan aku akan pergi, entah ke mana. Aku akan menghadapi ketidakpastian itu dengan berani!"
"Engkau akan mencari orang tua dan tempat tinggalmu?"
"Aku tidak ingat siapa orang tuaku dan di mana tempat tinggalku, akan tetapi aku tahu bahwa namaku Listyani dan panggilanku Eulis. Siapa tahu akan ada yang mengenalku dan memberitahu di mana dan siapa orang tuaku."
Jatmika menatap wajah ayu itu dan merasa kasihan sekali. Dia tidak tega untuk mengatakan bahwa nama Listyani atau Eulis itu sesungguhnya hanyalah nama pemberiannya, bukan nama aseli gadis itu! "Nimas Eulis, aku bersedia untuk membantumu, mencari orang tua dan tempat tinggalmu sampai dapat. Akan tetapi sungguh sayang, saat ini aku terpaksa tidak dapat menyertaimu karena aku mempunyai tugas kewajiban yang teramat penting."
Tadinya hati Eulis merasa girang sekali mendengar pemuda itu hendak membantunya mencari orang tuanya, akan tetapi ia kecewa mendengar lanjutan kalimat itu bahwa Jatmika tidak dapat menyertainya karena mempunyai tugas yang penting sekali. "Tugas penting apakah itu, kakangmas Jatmika? Engkau sudah menolongku, maka aku akan merasa girang sekali kalau dapat membalasmu dan membantumu dalam melaksanakan tugasmu itu."
Wajah yang tampan itu berseri. "Benarkah, nimas? Akan tetapi tugasku berbahaya sekali." Eulis tersenyum lebar dan jantung dalam dada Jatmika berdebar keras, matanya terpesona memandang keindahan wajah ketika tersenyum itu. Manisnya!
"Apa artinya bahaya, kakangmas? Ketika engkau menolongku melawan kakek bertongkat ular yang sakti dan para pembantunya itupun berbahaya. Bahaya merupakan makanan bagi kita yang menentang kejahatan. Bukankah begitu?"
Jatmika semakin kagum. Biarpun dia tidak tahu benar siapa sebenarnya gadis ini, namun dari sikapnya jelas mudah diketahui bahwa gadis ini mempunyai watak pendekar yang gagah perkasa. "Aku merasa girang dan berterima kasih sekali kalau engkau mau membantuku, Nimas Eulis. Dengan bantuan seorang yang digdaya sepertimu, pekerjaanku akan menjadi lebih mudah. Akan tetapi bukankah amat perlu bagimu untuk mencari orang tuamu agar dapat memulihkan ingatanmu?"
Sulastri menggeleng kepalanya. "Bagaimana aku dapat mencari meraka kalau aku tidak ingat siapa nama mereka, bagaimana rupa mereka dan di mana mereka tinggal? Biarkan aku ikut denganmu dan membantumu, kakangmas, karena saat ini hanya engkaulah satu-satunya orang yang kukenal dan kupercaya kebaikannya. Nah, ceritakan, apa sih tugasmu itu?"
"Begini, nimas. Sebenarnya aku mengembara ini membawa pesan dan tugas yang diberikan ayahku dan eyangku (kakekku). Mereka adalah dua orang yang paling kuhormati dan kupatuhi di dunia ini, maka aku harus menaati pesan dan perintah mereka."
Sulastri memandang wajah pemuda itu dengan kagum. "Ah, ternyata engkau seorang yang berbakti sekali, kakangmas. Siapakah ayah dan eyangmu itu?"
"Ayahku bernama Ki Sudrajat. Ibuku telah meninggal dunia dua tahun yang lalu. Tadinya ayah dan aku tinggal di Banten. Akan tetapi sekarang kami tinggal di pantai Dermayu untuk menemani eyang yang sudah tua sekali. Tadinya ayah sendiri yang pergi ke Dermayu, aku menyusul tak lama kemudian. Setelah tinggal di sana beberapa minggu, aku merasa tidak betah karena menganggur, maka aku berpamit hendak pergi merantau. Lalu ayah dan eyang memberi tugas ini kepadaku."
"Engkau belum mengatakan siapa nama eyangmu, kakangmas."
"Oya, eyang bernama Ki Ageng Pasisiran dan dia sudah tua sekali, maka perlu ditemani ayahku."
Ingatan Sulastri ternyata telah terhapus sama sekali sehingga nama gurunya inipun sama sekali tidak teringat olehnya. Ia seperti seorang hidup baru dan yang diketahuinya hanyalah bahwa ia bernama Listyani atau Eulis dan satu-satunya orang yang dikenalnya hanyalah Jatmika! "Dan apa tugas yang penting itu?" tanyanya.
"Menurut ayah dan eyang, pada saat ini Kadipaten Sumedang sedang menghadapi pemberontakan yang kabarnya dipimpin oleh orang-orang yang sakti. karena antara eyang dan Sang Adipati di Sumedang masih ada hubungan sanak keluarga walaupun sudah jauh, maka eyang menyuruh aku agar pergi ke Sumedang dan membantu Kadipaten Sumedang menghancurkan para pemberontak itu."
"Sumedang? Di manakah itu, kakangmas?"
Jatmika menghela napas dan memandang dengan sinar mata penuh iba. Gadis ini bagaikan seorang asing yang baru datang dari luar negeri dan baru saja berada di Nusantara sehingga tidak mengenal apa-apa, bahkan Kadipaten Sumedang tidak tahu. Padahal, kalau menurut logat bicaranya, jelas bahwa gadis ini tentu berasal dari daerah Cirebon. "Kadipaten Sumedang terletak di sebelah barat sana. Kalau memang engkau mau ikut dan membantuku, nimas, marilah kita berangkat sekarang juga. Tidak enak kalau kita terlalu lama mengganggu Ki Lurah."
"Baiklah, kakangmas. Aku memang ingin sekali membantumu, akan tetapi kelak engkau harus membantu aku mencari orang tuaku."
"Tentu saja! Jangan khawatir, nimas Eulis. Aku pasti akan membantumu sampai engkau dapat bertemu kembali keluargamu." Dalam hatinya Jatmika merasa khawatir. Bagaimana mungkin dia dapat menemukan orang tua gadis ini yang tidak diketahui namanya, bahkan wajahnyapun tidak dikenal oleh Eulis sendiri? Dan pula, hal ini yang merisaukan hatinya, siapa tahu gadis yang telah menjatuhkan hatinya ini telah memiliki suami atau calon suami! Setelah berpamit kepada Ki Lurah sekeluarga dan mengucapkan banyak terima kasih, Jatmika dan Eulis lalu meninggalkan dusin itu, melakukan perjalanan ke barat.
********************
Ketika Aji memasuki kadipaten Cirebon, dia melihat keadaan kota itu ramai dan makmur, seperti keadaan kota-kota pasisir pada waktu itu. Perdagangan agak ramai di kota Cirebon dan terdapat toko-toko bangsa Cina yang menjual berbagai barang yang tidak tedapat di pedalaman. Juga keadaan kota itu biasa saja, seolah tidak ada persiapan menghadapi perang besar yang direncanakan Sultan Agung untuk menyerang Kumpeni Belanda di Batavia.
Pada hal, menurut keterangan yang dia dengar dari Suroantani, Adipati atau Raja di Cirebon sudah merupakan sekutu yang mengakui kekuasaan Mataram. Dia mencari keterangan dari penduduk tentang kota Dermayu dan setelah mendapat petunjuk lengkap, berangkatlah dia ke Dermayu dengan maksud mencari Ki Subali, ayah Sulastri. Setelah memasuki Dermayu (Indramayu), dia bertanya-tanya dan semua orang tahu siapa ki subali dan di mana rumahnya. Ki Subali adalah seorang dalang, satrawan dan seniman yang terkenal, bukan hanya Dermayu, bahkan terkenal sampai ke kota raja Cirebon.
Setelah mendapat keterangan, siang hari itu Aji langsung saja berkunjung ke rumah Ki Subali. Rumah itu cukup besar dan terbuat dari kayu jati. Hal ini menunjukkan bahwa pemiliknya seorang yang memiliki penghasilan cukup. Di pekarangan depan terdapat taman bunga yang terawat oleh tangan-tangan mungil Sulastri! Dia memasuki pintu pagar yang tidak terjaga, melangkah di atas jalan berkerikil di tengah taman pekarangan. Keharuman bunga mawar daan melati menyambutnya dan kembali keharuman ini mengingatkan dia akan Sulastri yang suka menyelipkan bunga mawar dan melati ke rambutnya.
Setelah tiba di serambi depan, dia berhenti, berdiri menghadap pintu depan yang terbuka, lalu berseru dengan lembut namun disertai tenaga dalam sehingga suaranya dapat terdengar sampai jauh. "Kulo nuwun...!!"
Tidak ada jawaban. Aji teringat bahwa di tempat itu mungkin cara memberi salam lain lagi karena bahasanya juga sudah banyak menggunakan bahasa Sunda. Maka di menyusulkan salam dalam bahasa Sunda. "Puuuunnnnten...!"
Kembali dia menanti dan tidak terdengar jawaban. Kemudian dia teringat. Orang-orang pesisiran ini sudah banyak yang beragama Islam, berbeda dengan di daerah pedalaman yang belum begitu banyak umat Islam. Maka sekali lagi dia memberi salam. "Assalaamualaikum...!" Benar saja. Tak lama kemudian terdengar jawaban dari dalam, suaranya agak lemah, tanda bahwa yang menjawab itu berada jauh di bagian dalam rumah.
"Alaikum salaam...!" Suara wanita. Berdebar rasa jantung Aji. Kalau yang muncul ibu Sulastri, bagaimana dia akan dapat menceritakan apa yang telah menimpa diri Sulastri? Dia menunggu dan terdengar langkah lembut menuju ke luar. Seorang wanita muncul. Tubuhnya masih ramping dan wajahnya masih meninggalkan bekas kecantikan. Pakaiannya sederhana namun sopan dan rapi. Melihat bahwa tamunya seorang pemuda tampan, wanita itu memandang ragu karena tidak merasa kenal pemuda itu.
"Andika siapakah, ki sanak? Dan keperluan apakah yang membawa andika datang berkunjung?" Pertanyaan itupun lembut dan sopan, membuat Aji harus hati-hati untuk bersikap.
"Maafkan saya, bibi. Saya bernama Lindu Aji dan kalau diperkenankan, saya mohon bertemu dengan Paman Subali. Benarkah ini rumah kediaman Paman Subali?"
Wanita itu adalah istri ki subali. Ia senang melihat sikap dan mendengar jawaban Aji yang demikian lembut dan sopan. "Benar, anakmas, ini adalah rumah kediaman Ki Subali dan aku adalah isterinya."
"Ah, maaf, kanjeng bibi. Terimalah, hormat saya" kata Aji sambil membungkuk dengan sikap hormat.
"Andika hendak bertemu dengan Ki Subali? Masuklah dan duduklah, anak mas. Tunggulah sebentar, aku akan memberitahu kepadanya." Wanita itu mempersilakan Aji duduk di atas kursi yang terdapat di serambi itu.
"Terima kasih, kanjeng bibi" kata Aji dan diapun duduk di atas kursi serambi, menghadap ke arah pintu yang menembus ke dalam yang dimasuki wanita itu. Tak lama kemudian muncullah seorang laki-laki di ambang pintu. Usianya sekitar lima puluh tahun, beberapa tahun lebih tua dari wanita tadi, tubuhnya agak jangkung kurus, wajahnya membayangkan kesabaran dan sinar matanya tajam. Gerak-geriknya lembut ketika dia keluar dari pintu, memandang kepada Aji dengan mulut terhias senyum lembut. Aji cepat bangkit berdiri dan membungkuk hormat kepada pria itu.
"Maafkan saya kalau kedatangan saya ini mengganggu, paman. Apakah kanjeng paman ini yang bernama Ki Subali, ayah dari nimas Sulastri?"
Wajah itu berseri gembira. "Ah, andika mengenal Sulastri? Benar, ia adalah anak tunggal kami dan sudah agak lama pergi merantau meninggalkan rumah. Andika mengenalnya? Di mana ia sekarang, anakmas?"
Aji tidak mau langsung mengejutkan hati pria itu dengan berita tentang musibah yang menimpa Sulastri, maka dia lalu berkata. "Kanjeng paman, ceritanya agak panjang. Sebaiknya kalau saya ceritakan dari pemulaan saya bertemu dan berkenalan dengan Nimas Sulastri."
"Ah, sebaiknya begitu. Mari, silakan duduk, anak mas... eh siapa namamu tadi? Ibunya Sulastri tadi memberi tahu, akan tetapi aku lupa."
"Nama saya Lindu Aji, kanjeng paman." "Lindu Aji? Nama yang jarang kutemui, akan tetapi nama yang bagus, Nak Aji."
"Terima kasih, paman." Mereka lalu duduk, saling berhadapan dan sejenak Ki Subali mengamati wajah pemuda itu dan agaknya dia merasa suka.
"Nah, sekarang ceritakan apa yang kauketahui tentang anak kami Sulastri, Anakmas Aji."
Pada saat itu, Nyi Subali keluar membawa baki yang terisi cangkir-cangkir dan sebuah teko tempat air teh. Ia menaruh semua itu di atas meja. "Kebetulan engkau datang, bune. Anakmas Aji akan bercerita tentang anak kita dan engkau berhak pula mendengarnya. duduklah." kata Ki Subali kepada isterinya.
Wanita itu memandang Aji dengan wajah berseri lalu duduk di sebelah suaminya. Aji tahu bahwa ceritanya akan membuat kedua orang suami esteri itu terkejut dan berduka, maka dia harus berhati-hati menceritakannya. "Begini, kanjeng paman dan kanjeng bibi. Saya datang dari Mataram dan sedang melakukan perjalanan merantau. Aku tiba di Loano dan berkenalan dengan adik paman yang bernama Ki Sumali, dan kami menjadi sahabat. Saya membantu Paman Sumali melawan orang-orang jahat yang hendak memaksanya bersekutu dengan mereka untuk menentang Mataram. Paman Sumali menolak dan terjadi pertempuran. Saya membantunya dan pada saat itu muncul Nimas Sulastri yang segera membantu kami. Akhirnya musuh dapat diusir pergi dan kami kembali ke rumah Paman Sumali.
"Ah, jadi Lastri telah bertemu dengan pamannya dengan selamat. Bagus sekali kalau begitu." kata Ki Subali. "Kemudian bagaiman, anakmas? Apakah masih berada di rumah Adi Sumali?" Tanya Nyi Subali.
Aji menghela napas. Saat yang paling sulit untuk bicara tiba. Akan tetapi dia harus menceritakannya, tak mungkin mengelak lagi. "Ketika saya berpamit kepada Paman Sumali untuk melanjutkan perjalanan saya ke barat, tiba-tiba Nimas Sulastri menyatakan untuk melakukan perjalanan bersama karena katanya iapun hendak pulang ke Dermayu. Paman Sumali dan isterinya tidak mampu menahannya, dan saya sendiri tentu saja tidak dapat menolak keinginannya. Maka, kami berdua lalu melakukan perjalanan bersama." Ki Subali tersenyum.
"Ah, Adi Sumali telah menikah? Bagus sekali! Dan mana kalian semua mampu menghalangi kehendak Sulastri? Anak itu kalau sudah mempunyai keinginan, siapapun tidak akan dapat mencegahnya! Lalu bagaimana, anakmas? Kalau kalian melakukan perjalanan bersama, bagaimana sekarang engkau datang ke sini tanpa Sulastri?" Pertanyaan terakhir ini mulai dilontarkan Ki Subali dengan alis berkerut karena dia mulai merasa heran dan penasaran. Juga isterinya memandang Aji dengan mata terbelalak penuh pertanyaan.
Aji menguatkan hatinya dan sedapat mungkin bersikap tenang. "Ketika kami berdua melaksanakan perjalanan, di tengah perjalanan kami dihadang oleh orang-orang yang pernah kami kalahkan ketika kami membantu Paman Sumali. Mereka adalah orang-orang sakti yang kemudian ternyata adalah antek-antek Kumpeni Belanda, diantara mereka terdapat Nyi Maya dewi, Ki Harya Baka Wulung, dan Aki Somad yang sakti mandraguna. Kami berdua melawan, akan tetapi kalah kuat dan kami berdua ditawan oleh mereka."
"Ooh... Allah...! Lalu bagaimana dengan anakku Sulastri?" Tanya Nyi Subali dengan kaget. "Tenanglah, bune. Biarkan Anakmas melanjutkan ceritanya" kata Ki Subali yang lebih tenang. "Lanjutkan, anakmas!"
"Kami berdua ditawan dan dibawa ke Tegal, ke rumah seorang yang bernama Ki Warga, yang saya kira tentu merupakan orang penting dari Kumpeni Belanda. Kemudian kami dibawa ke atas sebuah kapal Belanda yang berlabuh di laut sebelah utara Tegal. Oleh Kapten De Vos, kami dipaksa mengaku tentang rencana penyerbuan Mataram ke Batavia. Kami menggunakan siasat untuk menjawab keesokan harinya dan malamnya kami mencari jalan untuk meloloskan diri."
"Akan tetapi mengapa kalian tidak melawan?" Tanya Ki Subali penasaran.
"Tidak mungkin, paman. Perempuan jahat itu, Nyi Maya Dewi, telah memberi racun kepada tubuh Nimas Sulastri dan tanpa obat pemunah darinya, nyawa Nimas Sulastri takkan dapat tertolong lagi."
"Ah, jahat sekali perempuan itu!" teriak Nyi Subali. "Karena itu kami berdua tak berdaya dan terpaksa menurut saja ketika ditawan dan dibawa ke kapal. Setelah merencanakan siasat, malam itu kami berdua bergerak. Kami membakar kapal dan saya menangkap Kapten de Vos! Dengan kapten itu sebagai sandera, saya dapat memaksa Nyi Maya Dewi menyerahkan obat penawar bagi racun di tubuh Nimas Sulastri dan kami dapat melarikan diri dengan perahu yang mereka sediakan sambil membawa Kapten de Vos sebagai sandera."
"Bagus! Siasat yang bagus sekali!" seru Ki Subali gembira. "Dan bagaimana dengan keracunan anakku? Apakah dapat disembuhkan? Tanya Nyi Subali.
"Kami mendapat obat penawar itu dan ternyata manjur. Nimas Sulastri dapat disembuhkan."
"Dan bagaimana dengan Belanda tawananmu itu?" Tanya Ki Subali.
"Sulastri tentu membunuhnya!"
"Tidak, paman. Saya mencegahnya dan kami membebaskannya, sesuai dengan yang telah kami janjikan ketika kami menawannya dan minta obat penawar."
Ki Subali mengangguk-angguk. "Bagus, memang kita harus memegang janji. Akan tetapi di mana Sulastri sekarang?"
"Setelah kami berdua bebas, kami melanjutkan perjalanan dan setibanya di Kadipaten Cirebon, kami pergi menghadap Gusti Pangeran Ratu, adipati Cirebon untuk menceritakan tentang kapal Kumpeni itu dan tentang nama orang-orang yang menjadi antek Kumpeni Belanda agar Kadipaten Cirebon siap menghadapi orang-orang berbahaya yang mengkhianati nusa dan bangsa itu."
Ki Subali mengangguk-angguk. "Tindakan kalian itu benar. Lalu bagaimana?"
"Setelah mendengar laporan kami, Gusti Adipati lalu minta bantuan kami berdua untuk menangkap pemimpin gerombolan Munding Hideung yang mengacau di sekitar Gunung Careme. Sebagai seorang hamba Mataram yang mengemban tugas Gusti Sultan Agung untuk membantu daerah-daerah menghadapi kejahatan, saya menerima tugas itu dan Nimas Sulastri juga menyatakan sanggup membantu. Gusti Adipati senang mendengar bahwa Nimas Sulastri adalah puteri paman, karena katanya beliau sudah mengenal paman."
"Ya, aku pernah mendalang di Kadipaten Cirebon," kata Ki Subali mengangguk.
"Akan tetapi, lalu bagaimana kelanjutannya?"
Dalam suaranya terdengar kekhawatiran. "Kami berdua pergi melakukan penyelidikan ke Gunung Careme, paman. Kami berhasil menemukan sarang gerombolan yang dipimpin oleh Munding Hideung dan Munding Bodas dan terjadi pertempuran. Kami dikeroyok banyak anak buah gerombolan, akan tetapi Nimas sulastri dan saya dapat merobohkan banyak di antara mereka. Bahkan nimas sulastri berhasil menewaskan Munding Bodas, akan tetapi"
Sukar sekali Aji melanjutkan ceritanya mengenai malapetaka yang menimpa diri gadis itu. "Akan tetapi apa, Anakmas Aji? Tanya nyi Subali setengah berteriak. "Apa yang terjadi dengan anakku?"
"Ketika itu Nimas Sulastri mengejar Munding Bodas ke puncak tebing. Saya sudah berseru dan berusaha mencegahnya, akan tetapi ia nekat mengejar dan berhasil memukul roboh Munding Bodas sehingga terjatuh ke bawah tebing yang curam. Akan tetapi pada saat itu, Nimas Sulastri dihujani anak panah oleh anak buah gerombolan. Saya melihat sebatang anak panah mengenai pundaknya dan ia... ia..."
"Ia mengapa?" Ki Subali membentak dan wajah isterinya menjadi pucat sekali. "Kenapa anakku sulastri?鈥� teriak wanita itu, bangkit berdiri.
Aji menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata mereka dan berkata lirih. "ia ...... terjatuh ke bawah tebing itu"
"Aaaaiiiihhhh..." jerit melengking ini disusul robohnya tubuh Nyi Subali. Suaminya cepat merangkulnya sehingga wanita yang pingsan itu tidak sampai terbanting roboh. Dengan bantuan Aji, wanita yang pingsan itu lalu diangkat dan direbahkan di atas sebuah dipan.
"Biarkan saya menolongnya, paman." kata Aji dan dia segera memijit lekukan bibir atas tepat di bawah hidung nyi Subali dan mengurut tengkuknya beberapa kali.
Wanita itu siuman dan mengeluh lirih. Ia membuka mata dan segera teringat. Ia serentak bangkit dan memandang kepada Aji dengan mata terbelalak dan wajahnya pucat sekali. 鈥渁nakku... Sulastri... bagaimana dengan ia...?" ia bertanya lirih dan suaranya yang gemetar itu sudah diselingi isak tangis.
"Saya cepat turun ke bawah tebing untuk mencarinya, Saya hanya menemukan mayat Munding Bodas dan juga pedang Nogo Wilis milik Nimas Sulastri ditemukan orang-orang yang membantu saya. Nimas Sulastri lenyap tanpa meninggalkan bekas..."
"Sulastri...! O allah, anakku...!" Nyi Subali menangis tersedu-sedu. Ki Subali segera bangkit menghampiri isterinya yang duduk di atas kursi sambil mengguguk dalam tangisnya. Dia meletakkan tangannya di pundak isterinya, menghiburnya.
"Tenanglah, ibune dan jangan putus asa. Bagaimanapun juga, belum ada buktinya bahwa anak kita tewas."
"Itu benar, kanjeng bibi. Saya sudah mencari, bahkan dibantu puluhan orang namun tidak ada tanda-tandanya bahwa Nimas Sulastri tewas di dasar tebing itu. Masih besar sekali harapan dan kemungkinan bahwa ia masih hidup, kanjeng bibi."
Ucapan dua orang laki-laki meredakan tangis Nyi Subali. Ia menyusut air matanya dan memandang kepada suaminya dengan sepasang mata yang kemerahan. "Akan tetapi, kalau ia masih hidup, ke mana ia pergi? Kenapa ia tidak menemui Anakmas Aji?"
Ki Subali tentu saja tidak mampu menjawab dan dia menghadapi Aji, berkata. "anakmas Aji, bukankah tebing itu tinggi sekali? Bagaimana mungkin Sulastri yang terjatuh ke bawah tebing itu dapat lolos dari maut?"
"Memang tampaknya aneh sekali, kanjeng paman. Sesungguhnya, kalau menurut perhitungan akal kita, saya juga tidak dapat percaya bahwa orang yang terjatuh ke bawah tebing yang demikian curam dan tinggi, dapat lolos dari kematian. Munding Bodas yang terjatuh itupun tewas dengan tulang patah-patah." Dia teringat akan tanda telapak tangan hitam di dada mayat Munding Bodas. "Akan tetapi kenyataannya, tidak dapat ditemukan jenazah Nimas Sulastri. Karena itu saya yakin, kanjeng paman dan kanjeng bibi, bahwa Sulastri pasti masih hidup!" Ucapan Aji yang penuh keyakinan ini menghidupkan harapan dalam hati suami isteri itu.
"Akan tetapi bagaimana mungkin, Anakmas Aji." Tanya Ki Subali.
"Paman Subali, apakah paman percaya akan kekuasaan Gusti Allah yang mujijat?" Tanya Aji.
"Tentu saja!"
"Nah, kalau benar demikian, mengapa kanjeng paman masih merasa sangsi dan heran kalau Nimas Sulastri tidak tewas, biarpun ia telah terjatuh ke bawah tebing? Kalau Gusti Allah menghendaki ia hidup, apa sukar dan anehnya bagi Kekuasaan Gusti Allah untuk menyelamatkannya?"