Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 07
KETIKA kakek itu membawanya ke dalam sebuah hutan yang lebat di lereng sebuah bukit, ia mulai merasa khawatir. Kalau memang kakek ini bermaksud untuk menolongnya, mengapa ia dibiarkan terikat saja dan tidak dibebaskan? "Paman yang baik, harap suka lepaskan aku." kata Retno Susilo dengan suara lembut. Ia belum tahu orang macam apakah kakek yang menolongnya.
"Heh-heh-heh-heh...." Kakek ini hanya terkekeh dan tidak menjawab, membawanya masuk lebih dalam ke hutan yang lebat itu.
Karena kakek itu tidak menjawab, hanya terkekeh saja, Retno Susilo merasa semakin khawatir. Jangan-jangan kakek yang membawanya pergi itu seorang yang tidak waras! Akan tetapi jelas bahwa dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ketika ia dipanggul keluar rumah tadi ia melihat Mahesa Meta sudah menggeletak menjadi mayat dan belasan orang tukang pukul masih mengaduh dan merintih, tubuh mereka berserakan. Tentu kakek itu yang telah merobohkan mereka lalu membawanya pergi. Ia menanti sampai beberapa lama, akan tetapi kakek itu tetap diam saja.
"Paman yang baik, aku hendak dibawa ke manakah?" tanyanya lagi.
Kembali kakek Itu terkekeh dan tidak menjawab. Tentu saja hati Retno Susilo menjadi semakin tegang dan gelisah. Jangan-jangan ia seperti terlepas dari mulut harimau terjatuh ke mulut srigala!
"Paman, tolonglah lepaskan ikatan kaki tanganku, aku akan berterima kasih sekali." kembali ia membujuk dengan suara lembut.
"Heh-heh belum waktunya, ha-ha-ha, belum saatnya......"
Biarpun kakek itu menolaknya, namun setidaknya dia sudah menjawab dan ini sedikit banyak melegakan hati Retno Susilo. Makin besar dugaannya bahwa kakek ini tidak waras atau miring otaknya. Ia harus dapat mengajaknya bercakap-cakap dan membujuknya agar suka melepaskan, ikatan tangan kakinya. Karena ia dipanggul dengan kepala di depan ia dapat melihat bahwa pedang pusakanya terselip di pinggang kakek itu padahal ini menggirangkan hatinya. Kalau saja ia dapat terlepas dari ikatan dan dapat menguasai pedang itu. Ia memutar otak mencari akal. Setiap orang tentu memiliki kelemahan, pikirnya. Kakek ini yang agaknya tidak waras adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mungkin ia lemah terhadap pujian, pikirnya.
"Paman, andika memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sakti mandraguna. Paman pasti seorang tokoh besar dalam dunia ini, dengan nama yang amat terkenal, dihormati kawan disegani lawan. Siapakah gerangan nama besar paman?
"Ha-ha-ha! Dugaanmu benar sekali, anak manis. Aku adalah Ki Klabangkolo yang menguasai sebagai bahurekso Pegunungan Ijen!"
Retno Susilo merasa senang bahwa perkiraannya tidak meleset. Kakek ini seorang yang gila hormat dan gila sanjungan! "Ah, Paman Klabangkolo, aku merasa girang dan bangga sekali mendapat pertolongan dari seorang yang gagah perkasa dan sakti mandraguna, juga amat terkenal seperti paman! Lepaskan tali pengikat kaki tanganku paman, agar aku dapat menghaturkan terima kasih dan sembah kepadamu." Retno membujuk.
"Hemm, melepaskanmu dan membiarkan engkau melarikan diri dariku? Tidak, belum saatnya aku melepaskanmu dari ikatan, anak manis!" Kakek itu melangkah terus dengan cepatnya dan kembali Retno merasa gelisah. Biarpun gila hormat dan gila sanjungan, ternyata kakek ini cerdik dan tidak mudah dibujuk.
"Paman Klabangkolo, engkau hendak membawaku ke manakah?"
"Ha-ha, diam sajalah, sebentar engkau akan mengetahuinya sendiri. Diam saja dan menurut sajalah, engkau pasti akan senangi" kata kakek itu Retno melihat bahwa merekatiba di depan sebuah guha yang besar di tengah hutan belantara itu.
"Nah, inilah tempat tinggalku. Bagus, bukan?" Kakek itu menurunkan tubuh Retno dari panggulan dan merebahkannya dengan lembut ke dalam gua di mana lantainya bertilamkan rumput kering dan tikar pandan. Retno yang rebah telentang memandang dengan mata terbelalak ketika kakek itu mencabut Pedang Nogo Wilis yang diselipkan di pinggangnya lalu mengangkat pedang itu ke atas seolah hendak dibacokkan kepadanya. Pedang itu menyambar turun.
"Wuuuttt.... cappp!" Pedang itu tidak membacok Retno, melainkan menancap di atas lantai sampai amblas ke gagangnya!
"Ha-ha-ha, katakan, engkau senang tinggal di sini bersamaku bukan? Katakan!" Kakek itu menghardik.
Retno Susilo menjadi makin panik. Kakek itu jelas gila dan kalau ia tidak menyenangkan hatinya dengan jawaban-jawabannya, bukan tidak mungkin ia akan dibunuhnya begitu saja!
"Senang, paman, senang! Akan tetapi mengapa paman tidak melepaskan ikatan kaki tanganku? "Apa yang akan paman lakukan terhadap diriku?"
"Apa yang akan, ku lakukan? Ha-ha-ha, engkau seorang wanita yang amat cantik dan gagah berani. Dan sudah belasan tahun aku hidup menyendiri di tempat ini setelah aku pergi dari Pegunungan Ijen karena kehilangan isteriku. Engkaulah yang pantas menjadi penggantinya, menjadi isteriku. Engkau yang mau menjadi isteriku, bukan? Mau?"
Sekali ini Retno tidak menjawab. Wajahnya berubah pucat. Ia seorang dara perkasa yang tidak takut menghadapi kematian, Akan tetapi ia menghadapi keadaan yang lebih mengerikan dari pada kematian! Ia akan diperisteri kakek ini yang tentu tidak segan menggunakan kekerasan. Ia akan diperkosa! Karena itu, ia hanya memandang kakek itu dengan mata terbelalak dan tidak dapat menjawab.
"Ha-ha-ha, setelah engkau menjadi isteriku malam ini, barulah ikatan kaki tanganmu akan kulepaskan. Setelah menjadi isteriku, engkau tentu tidak akan melarikan diri lagi. Kita harus merayakan pernikahan kita dengan pesta. Ya, aku akan menangkap seekor kijang muda. Kita berpesta makan daging kijang muda, kemudian kita menikah, ha-ha-ha! Tinggallah di sini dulu, sayang, aku akan pergi menangkap kijang muda dan mencari buah-buahan untukmu!" Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah keluar dari gua sambil tertawa terkekeh-kekeh, agaknya dia girang sekali.
Setelah kakek itu pergi, Retno berusaha melepaskan diri dari ikatan. Ia mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi ia tidak berhasil. Ikatan itu terlampau kuat. Sampai nyeri semua rasa kulit pergelangan tangan dan kakinya ketika ia meronta-ronta. Tali yang kuat itu menggigiti kulitnya. Terdengar langkah kaki memasuki gua. Jantung Retno berdegup penuh ketegangan dan ketakutan. Kakek itu kembali dan ia akan diperkosa!
Tidak dapat ia membayangkannya dan ia memejamkan matanya yang mulai basah dengan air mata. Ingin ia menjerit dan menangis, akan tetapi keinginan ini ditahannya, ia tidak akan memperlihatkan kelemahannya kepada kakek gila itu! Ia memang tidak berdaya. Ia merasa lebih baik mati dibunuh daripada diperkosa. Akan tetapi ia tidak berdaya. Kalau sampai ia di perkosa, ia akan tetap bertahan hidup untuk dapat membalas kakek itu. Ia harus dapat membunuh kakek itu sebelum ia membunuh diri sendiri!
Ia mendengar langkah kaki itu berhenti di dekatnya, lalu mendengar gerakan orang itu berjongkok. Jantungnya berdebar. Hampir ia pingsan saking merasa ngeri dan takut. Ketika ada jari-jari tangan menyentuh kakinya, ia demikian terkejut seperti dipagut ular sehingga ia terjingkat. Akan tetapi apa ini?Jari-jari tangan itu mulai melepas kan ikatan kakinya! Bagus! Kalau begitu ia akan dapat melawan. Ia akan melawan mati-matian, mempertahankan diri sampai mati kalau mau diperkosa. Ia membuka matanya dan ia terbelalak memandang keheran-heranan kepada wajah itu.
Wajah itu tampan dan gagah sekali. Wajah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh enam tahun. Wajah tampan itu tersenyum. Tubuhnya sedang dan tegap. Sebatang keris terselip dipinggangnya. Jari-jari tangan itu demikian kuatnya ketika melepaskan ikatan kakinya, kemudian ikatan tangannya.
"Tenanglah, nimas. Aku datang untuk membebaskanmu. Kebetulan sekali kakek jahat itu pergi." kata pemuda itu, suaranya lembut dan sopan.
Jantung dalam dada Retno berdebar saking gembiranya. "Harap cepat sedikit. Kalau dia datang kembali...."
"Kalau dia datang kembali, kita hadapi bersama. Aku telah melihat tadi akan kegagahanmu. kurasa kalau kita berdua maju bersama, kita tidak usah takut menghadapi kakek gila itu."
Tak lama kemudian Retno bebas. Digosok-gosoknya kedua pergelangan kaki dan tangannya, kemudian dicabutnya Pedang Nogo Wilis yang tertancap di atas lantai. Ia bangkit berdiri dan sudah siap. Di pandangnya pemuda yang berdiri di depannya itu penuh perhatian.
"Ki Sanak, terima kasih kuucapkan kepadamu atas pertolonganmu ini. Bolehkah aku bertanya, andika dan bagaimana andika dapat datang ke tempat ini dan menolongku?"
"Ha-ha-ha-ha-ha! Manis, aku datang membawa seekor kijang muda untukmu, ha-ha ha!" Suara lantang ini membuat pemuda itu tidak jadi menjawab pertanyaan Retno. Dia lalu menyambar lengan tangan dara itu dan ditariknya, diajak keluar.
"Mari kita keluar, menghadapinya di luar yang lebih luas." Mereka berdua berloncatan keluar.
Ternyata Ki Klabangkolo belum tampak dan ternyata suaranya tadi diteriakkan dari jauh. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebat ilmu kepandaian orang itu, dapat melontarkan suara dari jauh dengan dorongan tenaga saktinya. Retno Susilo sudah siap dengan Pedang Nogo Wilis di tangannya sedangkan pemuda itu masih berdiri tenang namun sepasang matanya mencorong dan memandang ke sekeliling dengan penuh kewaspadaan karena dia tidak tahu dari arah mana pemilik suara tadi akan muncul.
Akhirnya muncullah orang yang ditunggu-tunggu itu. Kemunculannya mengejutkan. Ki Klabangkolo tahu-tahu terjun ke depan mereka dalam jarak sepuluh meter sambil tertawa-tawa. Akan tetapi suara tawanya tiba-tiba terhenti ketika dia melihat Retno Susilo sudah berdiri di depan gua dengan pedang di tangan dan sepasang mata dara itu bersinar-sinar penuh kebencian memandangnya. Akan terapi ketika Ki Klabangkolo menoleh dan memandang ke arah pemuda itu, maklumlah apa yang terjadi, Calon korbannya itu tentu ditolong dan dibebaskan oleh pemuda itu!
Mukanya berubah bengis. Matanya mencorong seperti mengeluarkan api dan tiba-tiba dia mengangkat bangkai kijang yang tadi dipanggulnya dan melontarkannya ke arah pemuda itu. Bangkai kijang itu cukup berat dan dilontarkan dengan tenaga yang dahsyat, maka tentu saja lontaran itu merupaka serangan yang amat berbahaya.
Namun, pemuda itu ternyata cekatan sekali. Dengan gerakan ringan dan cepat, mudah saja dia menghindarkan diri dengan elakan sehingga bangkai kijang itu meluncur lewat dan melayang sampai jauh. Melihat betapa lontarannya tidak mengenai sasaran. Ki Klabangkolo semakin marah. Dia mengeluarkan gerengan-gerengan seperti seekor harimau marah, memandang kepada Retno dan pemuda itu bergantian, kemudian tiba-tiba dia menubruk ke arah Retno Susilo dengan kedua lengan dikembangkan. Tubrukannya itu cepat sekali datangnya dan mendatangkan angin yang menyambar. Retno meloncat ke samping untuk mengelak dan dari samping pedangnya, menyam颅bar ke arah leher Ki Klabangkolo. Kakek itu menggerakan tangan kirinya dan ujung lengan bajunya yang lebar itu menangkis pedang.
"Wuuutt.....tranggg....!" Retno terkejut bukan main karena ia merasa betapa pedangnya seolah bertemu dengan benda keras dan pedang itu terpental. Akan tetapi ia masih dapat mempertahankan sehingga pedangnya tidak terlepas dari pegangan tangannya. Ki Klabangkolo menggunakan kesempatan itu untuk menubruk lagi ke samping.
"Plakk!" Tangannya terbentur dengan sebuah tangan lain yang kuat sehingga dia terdorong ke belakang. Ketika dilihatnya bahwa pemuda tampan itu yang menangkis tangannya, dia menjadi semakin marah. Dia mengeluarkan teriakan melengking dan kini dia menerjang kepada pemuda itu dengan tamparan tangan yang mengandung hawa panas!
Pemuda itu maklum akan datangnya serangan yang berbahaya sekali, maka dia juga menggunakan kegesitannya antuk mengelak sehingga tamparan itu hanya mengenai tempat kosong. Ketika kakek itu memutar tubuh dan mengejar, menerjang lagi kepada pemuda itu, Retno sudah menyerangnya dengan tusukan pedangnya dari belakang.
"Ting.....!" Kakek itu cepat memutar tubuhnya mengelak dari tusukan pedang dan kini menyerang Retno dan mendesak dara itu dengan cengkeraman-cengkeraman kedua tangannya. Kembali pemuda itu yang membantu Retno dengan pukulan tangan dari belakang. Pukulan tangan pemuda itu juga mengandung tenaga sakti yang kuat sehingga Ki Klabangkolo terpaksa membalik lagi dan menangkis. Akan tetapi pemuda itu kini telah mencabut kerisnya dan menggunakan senjata itu untuk menyerang, membantu Retno Susilo yang juga menggunakan Pedang Nogo Wilis untuk menyerang. Dalam keadaan bertangan kosong kakek itu dikeroyok dua dan dihujani serangan pedang dan keris. Akan tetapi Ki Klabangkolo memang tangguh sekali. Hanya dengan kedua ujung lengan baju dia mampu menangkis kedua senjata dua orang pengeroyok itu. Akan tetapi dia terdesak dan kurang leluasa untuk membalas.
Tiba-tiba dia melengking nyaring dan menubruk ke arah pemuda itu sambil melancarkan pukulan yang amat dahsyat dengan tangan kanannya. Pemuda itu terkejut dan melompat ke kiri. Ki Klabangkolo tak dapat menahan tangannya yang memukul dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Tangan itu terus meluncur ke depan dan mengenai sebatang pohon yang tadi berada di belakang pemuda itu.
"Dess.....braaakkk....!" Pohon sebesar paha orang itu terkena pukulan tangannya langsung patah dan tumbang! Melihat ini, Ki Klabangkolo menyambar batang pohon itu dan mempergunakannya sebagai senjata untuk menyerang kedua pengeroyoknya!
Tentu saja Retno dan pemuda itu menjadi kalang kabut diserang batang pohon berikut cabang dan daun daunnya itu. Mereka berlompatan ke sana sini untuk menghindarkan diri dari serangan itu. Retno berlaku cerdik. Ia mulai menggerakkan pedangnya untuk membacok! cabang-cabang pohon yang menyambar nyambar. Terdengar bunyi "crak-crok" ketika Pedang Nogo Wilis membabati cabang-cabang pohon itu sehingga terbabat putus semua. Setelah tinggal cabangnya yang dipegang kakek itu, iapun mulai membabati cabang pohon itu.
Pedang Nogo Wilis adalah sebatang pedang yang ampuh dan tajam bukan main. Begitu bertemu dengan pedang itu, batang pohon yang dijadikan senjata Ki Klabangkolo terbabat putus. Sementara itu, pemuda yang memegang keris itupun menyerang Ki Klabangkolo dengan tusukan-tusukan maut, diseling dengan tamparan tangan kirinya yang amat kuat. Kembali Ki Klabangkolo terdesak hebat.
"Wuuuttt.....plakk!" Tangan kiri pemuda itu berhasil menampar pundak kiri Ki Klabangkolo. Kakek itu terhuyung akan tetapi masih sempat memutar batang pohon yang tinggal pendek untuk melindungi tubuhnya. Pada saat itu, pedang berkelebat membacok ke arah batang pohon yang kini menjadi tongkat yang panjangnya tinggal satu setengah meter lagi.
"Crakkk......!" Kembali batang pohon itu terpotong dan pada saat itu kaki kanan Retno mencuat dengan amat cepatnya ke arah perut Ki Klabangkolo.
"Wuuuut...... desss......!!" Ki Klabangkolo terpental ke belakang. Akan tetapi ternyata dia kebal dan tidak roboh, hanya terhuyung dan agaknya dia kini menyadari bahwa dia tidak akan mampu menandingi dua orang. Pengeroyok yang tangguh itu, maka sambil mengeluarkan Suara teriakan yang mirip tawa juga mirip tangis, dia lalu melarikan diri meninggalkan tempat itu dengan cepat seperti terbang menuruni lereng.
Pemuda itu dan Retno Susilo tidak mengejar, Mereka terengah-engah dan mandi keringat. Kakek itu sungguh tangguh bukan main. Setelah mengeluarkan semua kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga, barulah mereka dapat mengusir kakek itu.
"Berbahaya sekali....! Dia sungguh digdaya!" kata pemuda itu sambil mengusap keringatnya.
"Hemm, dia sungguh tangguh dan berbahaya, akan tetapi juga amat jahat!"
"Akan tetapi, dia sepertiseorangyang tidak waras pikirannya. Seperti orang gila" kata pemuda itu.
Retno Susilo menatap wajah yang tampan itu dan ia berkata, "Ki Sanak, engkau tadi belum menjawab pertanyaanku. Siapakan andika ini dan bagaimana dapat datang ke sini dan menolongnya?"
Pemuda itu tersenyum dan wajahnya sungguh tampan kalau dia tersenyum. "Namaku Priyadi. Aku seorang murid perguruan Jatikusumo yang berada di Pantai Laut Selatan di daerah Pacitan. Tadi secara kebetulan aku lewat di dusun di mana diadakan pesta pernikahan itu dan aku melihat keributan yang terjadi ketika engkau dikeroyok orang. Aku masih ragu untuk membantumu karena aku tidak tahu apa urusannya. Akan tetapi aku melihat engkau ditawan oleh mereka mempergunakan jaring itu. Sewaktu aku hendak menolong, kakek itu telah turun tangan menolongmu bahkan telah membunuh orang tinggi kurus yang mempergunakan senjata rantai baja itu, dan merobohkan banyak pengeroyok. Melihat dia memasuki rumah dan keluar lagi memanggulmu yang berada dalam keadaan terikat kaki tanganmu, aku menjadi curiga terhadap kakek itu dan diam-diam aku membayangi dan mengikutinya masuk ke dalam hutan ini. Aku mendengar semua kata-katanya dan ketika dia meninggalkanmu di guha ini, aku lalu datang menolongmu."
Retno menghela napas panjang. "Untung engkau datang, kakangmas Priyadi. Kalau tidak, entah bagaimana dengan nasib diriku. Kakek itu agaknya memang tidak waras pikirannya. Dia gila dan mengerikan. Akan tetapi, pernahkah engkau mendengar akan nama Ki Klabangkolo yang mengaku sebagai bahurekso Pegunungan Ijen?"
Priyadi menggeleng kepalanya. "Tidak, aku tidak pernah mendengarnya. Mungkin dia seorang tokoh sesat yang telah lama menyembunyikan dirinya. Akan tetapi dia jahat dan berbahaya. Orang seperti itu sepatutnya dienyahkan dari muka bumi ini."
"Akan tetapi dia tangguh sekali, dia sakti mandraguna. Aku sendiri rasanya tidak akan mampu menandinginya." kata Retno.
"Akupun akan sukar mengalahkannya. Akan tetapi kita berdua berhasil mengalahkannya dan mengusirnya. Kalau kita bekerja sama, dan dia tidak melarikan diri, pasti kita dapat membunuhnya. Nimas, engkau belum menceritakan siapa namamu dan bagaimana engkau sampai dikeroyok di rumah yang mengadakan pesta pernikahan itu."
"Namaku Retno Susilo, aku puteri ayahku yang menjadi ketua perkumpulan Sardulo Cemeng di Hutan Kebojambe Aku sedang dalam perjalanan ke daerah Ngawi ketika aku melihat rombongan pengantin wanita, yang hendak diboyongke dusun tempat tinggal Prabowo hartawan yang mengadakan pesta pernikahan itu. Karena aku mendengar pengantin wanita menangis denganse dih aku lalu menahan rombongan itu dan menghajar lima orang pengawalnya. Kemudian aku menanyai pengantin wanita yang mengaku bahwa ia hendak dipaksa menjadi selir yang ke lima. Ia tidak mau, akan tetapi terpaksa karena ayahnya telah mempunyai banyak hutang kepada Raden Prabowo. Aku lalu menyuruh gadis itu pulang dan menggantikan kedudukannya dalam joli dan aku membiarkan diriku dibawa ke rumah yang sedang mengadakan pesta pernikahan itu. Di sana aku lalu mengamuk akan tetapi dikeroyok kemudian ditangkap secara curang oleh mereka dengan menggunakan jaring. Aku dibawa ke dalam kamar dan diikat kaki tanganku sampai muncul kakek itu yang membawaku pergi dengan memanggulku. Nah, selanjutnya engkau sudah mengetahui, kakangmas Priyadi."
"Nimas Retno Susilo aku melihat ketika engkau dikeroyok itu, dan ketika tadi engkau bersamaku menandingi Ki klabangkolo, ilmu pedangmu hebat dan dahsyat sekali. Apakah engkau mempelajari ilmumu dari ayahmu? Tentu beliau memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali"
"Selain mempelajari dari ayah sendiri,akupun mempunyai seorang guru lain, kakangmas,"
"Guruku berjuluk Nyi Rukmo Petak yang tinggal di Bukit Ular pegunungan Anjasmoro."
Priyadi mengerutkan alisnya, mengingat-ingat lalu menggeleng kepalanya. "Aku tidak pernah mendengar nama julukan gurumu itu. Akan tetapi, guruku tentu mengenalnya, atau para kakak seperguruanku."
"Siapakah gurumu yang menjadi ketua perguruan Jatikusumo itu, kakangmas Priyadi ?"
"Guruku bernama Bhagawan Sindusakti."
"Tentu seorang pendeta yang sakti mandraguna." kata Retno.
"Sekarang engkau hendak ke mana nimas?"
"Ketika tertawan, pakaian ku dalam buntalan ikut terampas, tentu masih berada di kamar rumah Prabowo itu. Aku akan mengambilnya dan sekalian memberi hajaran kepada Prabowo dan anak buahnya. Aku sekarang telah mengetahui tentang jaring-jaring itu dan tidak akan dapat dicurangi lagi. Aku harus menghajar Prabowo yang jahat itu!"
"Aku akan menemanimu, nimas. Kalau ada bahaya menghadang, biarlah kita hadapi bersama."
"Baiklah, kakangmas Priyadi. Akan tetapi terhadap Prabowo bia raku sendiri yang akan menghajarnya. Hartawan mata keranjang itu harus kuhajar sampai taubat betul dan tidak berani lagi mempergunakan hartanya untuk memaksa seorang gadis menjadi selirnya"
"Baik, nimas Retno Susilo. Terserah kepadamu."
Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dan keluar dari dalam hutan menuju ke dusun di mana tinggal Raden Prabowo, adik lurah dusun Sintren, Ketika mereka tiba di depan rumah itu, keadaan di situ sunyi. Agaknya penduduk dusun itu masih panik oleh kejadian siang tadi di mana terjadi perkelahian di dalam tempat pesta. Rumah Prabowo juga tampak sunyi, akan tetapi di bagian depan dan di pekarangan terdapat belasan orang penjaga yang merupakan tukang-tukang pukul atau jagoan-jagoan Prabowo.
Setelah tiba d luar rumah itu, Retno berbisik kepada Priyadi. "Kakangmas, harap engkau saja yang masuk pekarangan dan menghadapi para tukang pukul. Hajar mereka kalau mereka berani menyerangmu. Aku akan mengambil jalan memutar dari belakang karena aku khawatir kalau-kalau Prabowo akan melarikan diri lewat pintu belakang."
Priyadi mengangguk dan merasa kagum akan kecerdikan dara itu yang memperhitungkan segala kemungkinan. Maka, setelah Retno menyelinap melalui jalan samping, diapun memasuki pekarangan dan terus maju ke arah pendopo. Belasan orang penjaga segera menghadangnya dan mereka tampak bengis. Mereka itu masih panik dengan peristiwa siang tadi, maka untuk menutupi rasa jerihnya, mereka bersikap bengis kepada orang-orang luar. Melihat seorang pemuda tampan memasuki pekarangan dan menuju ke pendopo, seorang yang bermata juling, pemimpin para penjaga, segera melangkah maju menghadapinya dan menghardik.
"KiSanak, siapakah andika dan mau apa datang ke sini?"
"Aku bernama Priyadi dan ingin bertemu dengan Prabowo."
"Andika maksudkan Raden Prabowo? Mau apa ingin bertemu dengan Raden Prabowo?"
"Pendeknya aku ingin bertemu dengan dia, ingin menegur agar dia jangan lagi-lagi berani mempergunakan harta kekayaannya untuk memaksa seorang gadis menjadi selir barunya!" Sengaja Priyadi mengeluarkan kata-kata itu dengan suara lantang agar terdengar oleh Prabowo yang dia yakin tentu berada didalam rumah.
Para tukang pukul itu memang jerih terhadap Retno Susilo, akan tetapi pemuda ini tidak mereka kenal dan tentu saja mereka sama sekali tidak takut. Serentak mereka mencabut senjata golok dari pinggang mereka dan mengepung Priyadi. Akan tetapi begitu tubuhnya bergerak, Priyadi telah menerjang mereka, mempergunakan kaki tangannya dan setiap kali kakinya atau tangannya menyambar, tentu ada seorang pengeroyok yang terpelanting jatuh.
Prabowo yang mengintai dari dalam, melihat kehebatan pemuda itu menghajar, para tukang pukulnya, menjadi ketakutan dan dia segera melarikan diri melalui pintu belakang. Akan tetapi baru saja dia tiba di taman belakang rumah, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Retno Susilo telah berdiri di depannya sambil bertolak pinggang dan tersenyum dingin.
"Hendak lari ke mana kau, jahanam Prabowo?" bentak Rento Susilo.
Prabowo memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Cepat dia memutar tubuhnya hendak melarikan diri akan tetapi kaki kiri Retno mencuat dan Prabowo tertendang pinggangnya, roboh terpelanting. Karena tidak dapat melarikan diri, Prabowo lain bangkit berlutut dan menyembah-nyembah ketakutan. "Ampun.... ampunkan saya...." ratapnya.
"Enak saja minta ampun Engkau selalu mempergunakan harta dan kekuasaanmu untuk bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang dusun yang miskin dan bodoh, engkau merampasi gadis-gadis untuk kau paksa menjadi setirmu. Orang macam engkau ini sepatutnya dibasmi dari muka bumi!"
Retno Susilo mencabut pedangnya. Melihat hal ini, Prabowo menangis dan saking takutnya dia sampai terkencing-kencing. "Ampunkan saya.... jangan bunuh saya....."
Pedang di tangan Retno Susilo berkelebat menyambar dan putuslah sebagian bukit hidung Prabowo. "Aduhh....!" Darah bercucuran dari hidung itu dan Prabowo mempergunakan kedua tangannya untuk mendekap mukanya.
"Sekali ini aku hanya memotong hidungmu agar menjadi pelajaran dan peringatan bagimu. Akan tetapi kalau lain kali aku lewat di sini dan mendapatkan bahwa engkau masih juga melakukan perbuatan sewenang-wenang, aku akan memotong lehermu!"
"Ampun...... ampunkan saya......" Dengan suara sengau Prabowo menangis ketakutan dan kesakitan.
"Mulai sekarang engkau harus menjadi seorang hartawan yang dermawan. Pergunakan sebagian hartamu untuk menolong orang-orang miskin, bebaskan semua hutang para penduduk dusun dan jangan sekali-kali berani lagi memaksa seorang gadis menjadi selirmu!"
"Baik...... baik......!" Prabowo berjanji dan menyembah-nyembah saking takutnya. Ketika dia mengangkat muka, dia hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu gadis perkasa itu telah lenyap dari depannya.
Sambil menutupi hidungnya yang berdarah dengan kedua tangannya, Prabowo lari masuk ke dalam rumah terus ke bagian depan untuk memanggil para tukang pukulnya. Akan tetapi dia terbelalak melihat betapa para tukang pukulnya dihajar habis-habisan oleh Priyadi dan Retno Susilo yang ternyata sudah tiba di depan rumah dan membantu Priyadi mengamuki. Baru menghadapi Priyadi seorang saja para tukang pukul itu sudah kewalahan. Apa lagi kini muncul Retno yang mengamuk seperti seekor harimau betina. Akan tetapi kedua orang ini tidak membunuh para tukang pukul dan hal ini dapat terjadi karena Retno Susilo meneriaki Priyadi agar jangan membunuh orang! Gadis ini memang banyak berkurang keganasannya setelah bergaul dengan Sutejo, tidak lagi suka membunuh orang dengan seenaknya.
Dengan tamparan dan tendangan, Retno dan Priyadi menghajar belasan orang tukang pukul itu sehingga mereka kocar kacir dan akhirnya, sambil terpincang-pincang dan babak belur para tukang pukul itu melarikan diri. Melihat ini, Prabowo menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi hatinya lega ketika dia melihat kedua orang itu pergi. Didalam hatinya, dia telah bertaubat dan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya yang memaksa gadis menjadi selirnya dengan kekuatan uangnya. Pula, gadis mana yang sudi menjadi selirnya? Hidungnya sudah terpotong dan dia akan menjadi seorang yang wajahnya mengerikan dan menjijikkan.
Mereka berhenti dibawah pohon yang lebat daunnya sehingga tempat di bawah pohon itu teduh sekali terlindung dari sengatan terik matahari. Mereka duduk diatas batu besar yang berada di bawah pohon itu. Priyadi mengangkat muka memandang Retno Susilo. Gadis itu sedang mempergunakan sehelai saputangan untuk menyusut keringatnya yang membasahi leber dan muka. Mata yang tampak semringah kemerahan sehingga menjadi semakin ayu dan manis. Mulut yang menggairahkan bentuknya itu tersenyum ketika Retno juga memandang kepada pemuda itu sehingga mereka saling bertemu pandang.
"Hatiku sudah puas dapat menghajar Prabowo dan antek-anteknya! Mudah-mudahan dia sudah benar-benar bertaubat sekarang dan tidak lagi berani mengganggu gadis-gadis dusun anak orang miskin." kata Retno dengan wajah berseri dan sepasang matanya ikut tersenyum.
"Kau apakan dia, nimas Retno?" tanya Priyadi.
"Kubuntungi bukit hidungnya. Sekarang dia menjadi seorang laki laki yang berwajah menyeramkan dan buruk. Kalau tadinya dia seorang laki-laki hidung belang, sekarang menjadi setan hidung buntung!" Retno tersenyum senang. Dalam keadaan seperti itu, Retno tampak demikian jelitanya sehingga Priyadi memandang terpesona dan bengong.
Karena Priyadi diam saja tidak bersuara, Retno menatap wajahnya dan melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. "Eh, kakangmas Priyadi, kenapa engkau memandangku sepeni itu?" Retno menegur heran.
Priyadi tersadar dari pesona. "Eh.....ohh..... tidak apa apa, nimas, akan tetapi engkau..... hemm..... engkau begini cantik jelita, amat mengagumkan hatiku....."
Retno Susilo tersenyum, wajahnya berubah semakin kemerahan. "Ah, kakangmas Priyadi, engkau terlalu memuji."
"Tidak, nimas, Belum pernah aku melihat seorang wanita seperti engkau ini selama hidupku. Engkau gagah perkasa, digdaya, cantik jelita, agaknya semua kebaikan dalam diri wanita kau borong semua. Engkau membuat aku terpesona, nimas dan aku merasakan sesuatu dalam hatiku yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kukira beginilah yang dikatakan orang kalau jatuh cinta. Agaknya aku...... aku telah jatuh cinta kepadamu, nimas Retno Susilo."
Retno tersenyum lebar. "Wah, kakangmas Priyadi. Jangan berkata begitu, kita baru saja saling jumpa dan berkenalan!"
"Tidak, nimas, bagiku engkau seakan-akan telah kukenal lama sekali. Engkaulah wanita seperti yang selalu kubayangkan, wanita yana memenuhi semua harapan dan seleraku. Selama ini aku tidak pernah tertarik kepada wanita, akan tetapi setelah bertemu denganmu, seolah-olah aku telah bertemu dengan wanita yang selalu menjadi idaman hatiku, menjadi bunga mimpiku. Nimas Retno Susilo, sudikah engkau menerima uluran tanganku, memenuhi harapan hatiku? Sudikah engkau menerima cintaku?"
"Aku tidak tahu, kakangmas. Engkau kuanggap sebagai seorang sahabat baru yang baik dan yang telah menyelamatkan diriku dari ancaman yang lebih mengerikan dari pada maut. Aku berterima kasih kepadamu, akan tetapi mengenai cinta, aku belum memikirkan dan tidak sempat mempertimbangkan karena kita baru saja saling bertemu.Jangan bicarakan tentang itu, Kakangmas. Engkau membuat aku bingung."
"Maafkan aku, nimas. Baiklah, untuk sementara aku tidak akan membicarakan dan menyinggung soal perasaan hatiku kepadamu. Biarlah kita berkenalan lebih lama dan untuk memperdalam persahabatan kita, aku akan menemanimu dalam perjalananmu sehingga kita berkesempatan untuk saling mengenal lebih baik lagi. Engkau pernah mengatakan bahwa engkau sedang dalam perjalanan ke Ngawi, hendak ke manakah engkau nimas?"
"Kakangmas Priyadi, aku mempunyai urusan pribadi yang tidak dapat dicampuri orang lain, karena itu tidak dapat kuceritakan kepadamu. Sebaiknya kita berpisah di sini saja dulu kangmas. Mudah-mudahan kita akan dapat saling berjumpa lagi dan aku mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu."
"Nimas Retno Susilo, aku ingin lebih dalam mengenalmu. Apakah kita tidak dapat melakukan perjalanan bersama selama beberapa hari sebelum kita saling berpisah?" desak Priyadi sambil memandang wajah dara itu penuh gairah. Memang dia tidak berbohong Selama ini belum pernah dia tertarik kepada wanita. Akan tetapi entah mengapa, sekali ini dia seperti tergila-gila kepada dara ini. Seolah ada daya tarik yang luar biasa pada diri Retno Susilo yang membuat dia ingin terus berdekatan.
"Maaf. kakangmas Priyadi. Terpaksa kita harus berpisah dan aku halus segera berangkat pergi karena urusan pribadiku itu penting sekali. Sudah, selamat tinggal Kakangmas!" Setelah berkata demikian, Retno Susilo segera, memutar tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan menggunakan Aji Kluwung Sakti yang membuat tubuhnya menjadi ringan sekali sehingga ia dapat berlari amat cepatnya.
Berulang kali Priyadi menghela napas panjang untuk menekan perasaan kecewanya. Dia merasa kehilangan sekali ketika Retno Susilo berlari pergi. Akhirnya dia tidak dapat menahan desakan hatinya dan diapun melompat cepat dan lari mengejar dan membayangi Retno Susilo!
Perguruan silat Nogo Dento berpusat di tepi Bengawan Solo tak jauh dari Ngawi. Perguruan Nogo Dento memilih tempat di lereng sebuah bukit, jauh dari dusun dan merupakan perkampungan tersendiri di mana murid muridnya yang berjumlah kurang lebih lima puluh orang dan masih belajar tinggal di perkampungan itu. Mereka tinggal di pondok-pondok kecil yang berada di sebelah belakang sebuah rumah besar yang menjadi tempat tinggal guru atau ketua mereka.
Ketua perguruan silat Nogo Dento adalah seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun,berwajah tampan dan gagah perkasa, bertubuh tinggi besar. Namanya adalah Harjodento dan dia terkenal sekali sebagai seorang pendekar besar yang ditakuti lawan disegani kawan. Dia tidak pernah mencampuri urusan orang-orang kalangan persilatan, namun dia disegani orang karena gagah perkasa, bijaksana dan terkenal sakti mandraguna.
Bukan banya Harjodento yang terkenal gagah perkasa, namun isterinya yang bernama Padmosari juga terkenal sebagai seorang wanita yang digdaya, walaupun kemampuannya tidak setinggi kemampuan suaminya. Namun suami isteri ini hanya hidup berdua tanpa anak dan mereka menganggap para murid sebagai anak-anak mereka sendiri.
Namun sayang, di antara sekian banyaknya murid, tidak ada seorangpun yang memiliki bakat besar sehingga tidak ada, yang menonjol. Karena itu belum ada seorangpun yang dapat mewarisi aji-aji simpanan kedua suami isteri itu, melainkan hanya mempelajari ilmu-ilmu silat yang tingkatnya hanya pertengahan saja. Walaupun demikan, para murid Nogo Dento juga disegani orang karena para murid itu rata-rata patuh kepada guru mereka dan bersikap baik sekali diluaran, tidak pernah membuat ribut dan bersikap gagah menentang kejahatan. Karena itu. para penduduk di dusun-dusun sekitarnya amat menghormati per kumpulan Nogo Dento, bahkan nama Nogo Dento terkenal sampai ke Ngawi, bahkan ke kadipaten-kadipaten lain sebagai perkumpulan orang orang yang pantas disebut pendekar.
Perguruan silat Nogo Dento terletak di lereng bukit yang indah dan tanahnya subur. Para murid yang tinggal mondok di perguruan itu, setiap hari bekerja sebagai petani atau kadang-kadang juga menjala ikan di bengawan, yaitu dimusim kemarau di mana ikan-ikan berkumpul dikedung-kedung. Hasil pertanian itu cukup untuk biaya kehidupan mereka setiap hari dan sebagai sekadar bayaran mereka kepada guru mereka yang mengajarkan ilmu kanuragan.
Perkampungan itu cukup luas dan dikelilingi pagar bambu yang kokoh. Di bagan depan terdapat sebuah pintu gapura besar dan di atas gardu penjagaan di depan pintu gapura terdapat sebuah bendera yang berwarna hitam dengan lukisan seekor naga putih di tengahnya. Siang malam ada Sedikitnya lima orang murid berjaga digardu itu. Tempat itu tampak sejuk menyenangkan karena perguruan yang sudah hampir dua puluh lima tahun berada disitu, telah menanam banyak pohon-pohon yang kini telah menjadi besar. Banyak pohon buah-buahan sehingga selain dapat memberi kesejukan dan kesegaran, setiap musim buah juga dapat menghasilkan buah untuk makan sendiri dan selebihnya dijual.
Kehidupan di perkampungan perkumpulan Nogo Dento tampak tenteram dan sejahtera. Latihan-latihan silat yang dilakukan oleh para murid lebih dimaksudkan untuk menjaga kesehatan, Sebagai olah raga dari pada untuk bekal berkelahi. Sudah bertahun-tahun lamanya tidak pernah ada di antara mereka yang berkelahi dengan pihak lain. Bahkan di sekitar perkampungan Nogo Dento tidak pernah ada penjahat berani beraksi karena mereka merasa jerih akan nama besar Nogo Dento yang selalu menentang perbuatan jahat.
Pada suatu siang yang cerah dan matahari bersinar dengan teriknya, di depan pintu gapura perkampungan Nogo Dento muncul seorang wanita muda yang cantik jelita. Melihat sebatang pedang tergantung di punggungnya, mudah diduga bahwa gadis itu adalah seorang wanita yang biasa merantau seorang diri dan memiliki ilmu kanuragan. Dugaan itu memang tepat karena gadis itu bukan lain adalah Retno Susilo.
Ketika baru saja berpisah dari Priyadi, Retno Susilo terkenang kepada pemuda itu. Di dalam hatinya ia mengakui bahwa pemuda itu ganteng, gagah perkasa dan sikapnya amat sopan dan menarik hati. Alangkah mudahnya untuk jatuh cinta kepada Priyadi. Akan tetapi di dalam hatinya telah penuh dengan bayangan Sutejo. Kalau saja tidak ada Sutejo yang sudah membuat ia jatuh cinta agaknya iapun akan mudah menerima cinta pemuda seperti Priyadi! Teringat akan Sutejo, bayangan Priyadi segera menghilang dari lamunannya. Setelah berkeliaran di sepanjang daerah Ngawi beberapa hari lamanya dan bertanya-tanya, akhirnya pada siang hari itu ia berhasil menemukan tempat yang dicari-carinya, yaitu tempat tinggal Harjodento, ketua dari perkumpulan Nogo Dento.
Empat orang pemuda yang berjaga di gardu yang berdiri di samping pintu gerbang, memandang dengan heran dan keempatnya berdiri dari bangku yang mereka duduki. Empat orang murid Nogo Dento ini adalah pemuda-pemuda gagah perkasa yang selalu menentang kejahatan. Mereka selalu bersikap sopan. Akan tetapi bagaimanapun juga mereka adalah orang-orang muda sedangkan Retno Susilo adalah seorang dara yang amat cantik jelita. Maka tidaklah mengherankan kalau empat orang pemuda itu kini berdiri melongo dan terpesona Sehingga sejenak mereka tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya memandang dengan mata terbelalak.
Setelah kemudian mereka sadar, empat orang itu lalu menjadi salah tingkah dan masing-masing berusaha untuk bergaya agar menarik perhatian! Yang berkumis mengelus kumisnya, ada pula yang merapikan rambutnya, ada yang membusungkan dadanya yang bidang dan ada pula yang merapikan pakaiannya. Kemudian seperti berlomba mereka keluar dari gardu untuk menyambut Retno Susilo, memasang senyum Semanis mungkin dan denganlangkah segagah mungkin. Sikap ini sama sekali tidak berarti bahwa mereka adalah pemuda-pemuda yang kurang ajar, melainkan sudah lajim dirasakan oleh pemuda yang manapun juga. Mereka tertarik, terpesona dan berusaha untuk menarik hati gadis itu.
"Selamat siang nona. Dapatkah saya membantu nona?" tanya mereka dengan suara saling sahutan.
Retno Susilo sudah terbiasa, menghadapi sikap para pria yang bertema dengannya maka Iapun menganggap hal itu biasa saja. Ia memandang ke arah bendera yang bergambar seekor naga putih itu dan bertanya. "Apakah di sini tempat perkumpulan Nogo Dento?"
"Benar sekali, nona," jawab yang berkumis, "Ini adalah perkampungan Nogo Dento."
"Apakah ketuanya bernama Harjodento?" tanya pula Retna Susilo.
"Kembali dugaanmu benar, nona, Ada keperluan apakah nona datang berkunjung?"
"Aku ingin bertemu dengan Harjodento, harap kalian suka laporkan kepadanya dan minta dia menemuiku."
"Akan tetapi apakah keperluan nona?" T anya sikumis melintang.
Retno Susilo mengerutkan alisnya. "Engkau tidak perlu tahu!"
"Akan tetapi, agar kami dapat memberi laporan yang lengkap kepada bapa guru, harap nona memberitahukan kepada kami apa keperluan nona."
"Katakan saja bahwa aku ingin bertemu dan bicara dengan dia. Urusannya akan kubicarakan sendiri dengan dia, kalian tidak perlu tahu!" kata pula Retno Susilo dan suaranya terdengar ketus. Melihat sikap yang kaku ini, si kumis tidak berani membantah lagi.
"Baiklah, silakan duduk menanti di sini, nona. Aku hendak melaporkan kepada bapa guru di dalam." Si kumis lalu melangkah memasuki pintu gapura. Tiga orang murid yang lain dengan ramah dan sopan lalu mempersilakan Retno duduk menanti di atas bangku yang terdapat dalam gardu penjagaan. Karena melihat sikap mereka ramah dan sopan. Retno juga tidak menolak dan duduklah ia menanti di situ.
Murid Nogo Dento yang berkumis itu melaporkan kepada Harjodento yang sedang duduk bercakap-cakap dengan isterinya. Harjodento adalah seorang pria berusia enam puluh lima tahun yang gagah perkasa, dan isterinya berusia jauh lebih muda, kurang lebih empat puluh lima tahun,cantik dan gerak geriknya menakjubkanbahwa ia seorang wanita yang tangkas. Mendengar laporan muridnya bahwa di luar pintu gapura datang, seorang gadis cantik yangingin bertemu dan bicara dengannya, Harjodento mengerutkan alisnyayang tebal dan diamenegur muridnya. "Apa keperluannya?"
"Sudah saya tanyakanakantetapi ia tidak, mau mengaku, bapa guru. Iahanya mengatakan bahwa iaingin bertemu dan bicara sendiri dengan, bapa guru. Dantampaknya iabukan, seorang gadis biasa, karena iamembawa sebatang pedang di punggungnya."
"Hemmm, aneh dan mencurigakan benar." Harjodento bergumam. "Siapakah ia?"
"Daripada menduga-duga, lebih baik kita keluar dan lihat siapaadanya gadisitu." kata Padmosari. Suaminya mengangguk. Mereka bangkit berdiri dan keluar dari rumah, didahului oleh si kumis.
Setelah tiba di luar pintu gapura, Harjodento dan Padmosari memandang Retno Susilo yang sudah keluar dari gardu penjagaan. Mereka menjadi semakin herankarena merasa tidak pernahmengenal gadis cantik jelita itu. Sebaliknya Retno Susilo memandang kepada suami isteri itu dengan sinar mata penuh selidik. Kemudian Retno Susilo melangkah maju menghampiri mereka dan dengan lantang bertanya.
"Apakah andika yang bernama Harjodento, dan ia itu bernama Padmosari?" Biarpun sikapnya dibuat kaku karena kedatangannya adalah untuk membunuh kedua orang itu, namun di lubuk hatinya Retno merasa tidak enak sekali. Dua orang itu tampak demikian gagah dan anggun, sama sekali bukan macam orang-orang jahat dan ia harus membunuh mereka! Akan tetapi ini adalah tugas yang diberikan oleh gurunya dan ia harus mengakui bahwa ia telah berhutang banyak budi dari Nyi Rukmo Petak.
"Benar sekali, nona. Andika ini siapakah dan ada keperluan apakah datang berkunjung?" tanya Harjodento dengan heran sambil mengamati wajah yang ayu itu.
"Aku bernama Retno Susilo dan kedatanganku ini adalah untuk menantang kalian!" kata Retno Susilo secara langsung dan terus terang.
Suami isteri itu terbelalak, lalu saling pandang dan Padmosari juga menggeleng kepala kepada suaminya sebagai pernyataan bahwa iapun tidak mengerti.
"Nona, agaknya ada kesalah-pahaman di sini. Marilah kita masuk ke dalam rumah kami dan di sana kita dapat bicara dengan baik." kata Padmosari untuk mendinginkan suasana.
Akan tetapi RetnoSusilo menggeleng kepalanya."Tidak usah, di sinipun kita dapat bicara dan menyelesaikan persoalan di antara kita."
Harjodento mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, nona. Kenapa engkau datang-datang menantang kami?"
"Karena aku harus membunuh kalian berdua." jawab Retno dengan Jujur. Hatinya merasa tidak enak dan ia ingin cepat-cepat menyelesaikan tugasnya yang tidak menyenangkan hatinya ini.
Kembali suami isteri itu membelalakkan mata dan saling pandang. Padmosari lalu menatap wajah Retno dengan alis berkerut dan wanita ini mulai panas hatinya. Bagaimana hatinya tidak akan panas mendengar dirinya ditantang dan akan dibunuh tanpa alasan sama sekali?
"Hei, gadis muda! Enak saja engkau membuka mulut hendak membunuh kami! Apakah engkau sudah menjadi gila? Kalau tidak, tentu engkau mau menceritakan sebab sebabnya mengapa engkau menantang dan hendak membunuh kami yang sama sekali tidak mengenalmu!"
"Aku juga tidak mengenal kalian dan baru kali ini aku bertemu dengan kalian." kata Retno tenang.
"Nona, siapakah yang sedang mimpi? Engkau ataukah kami? Kalau engkau tidak mengenal Kami , kamipun tidak mengenalmu, berarti di antara kita tidak terdapat persoalan apapun. Bagaimana engkau datang-datang hendak membunuh kami? Apakah kesalahan kami terhadap dirimu? Jelaskan dululah, nona. Sebelum engkau membunuh kami" kata Harjodento sambil tersenyum, akan tetapi nada suaranya sungguh sungguh tidak bermaksud mengejek.
"Aku memang tidak mempunyai urusan dengan kalian, akan tetapi aku mendapat tugas dari guruku untuk membunuh kalian. Sudahlah, Harjodento dan Padmosari, bersiaplah kalian untuk menandingi aku dan tewas di tanganku." Setelah berkata demikian, Retno Susilo mencabut pedang Nogo Wilis sehingga tampak sinar kehijauan berkelebat.
Tadinya Harjodento dan isterinya masih menganggap bahwa gadis itu tidak bicara serius dan hanya main-main saja. Akan tetapi melihat gadis itu mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kehijauan, mereka terkejut bukan main. "Nanti dulu, nona! Siapa nama gurumu itu dan mengapa dia menyuruh engkau membunuh kami?" tanya Harjodento.
"Guruku adalah Nyi Rukmo Petak dari Guha Tengkorak Bukit Ular pegunungan Anjasmoro. Ia mengutus aku untuk membunuh kalian karena kalian telah menyakiti hatinya.
"Akan tetapi, kami tidak mengenal Nyi Rukmo Petak, apa lagi menyakiti hatinya!" seru Harjodento.
Retno Susilo tertegun sejenak mendengar Jawaban itu. Akan tetapi ia tidak perduli dan mengelebatkan pedangnya. "Masa bodoh, aku tidak tahu akan hal itu, aku hanya menaati perintah guruku. Sudahlah. Harjodento dan Padmosari, bersiaplah kalian untuk menandingiaku!"
"Retno Susilo, engkau seorang gadis muda yang keras hati. Akan tetapi karena engkau memenuhi perintah gurumu, akupun tidak menyalahkanmu. Aku tidak ingin bertanding dengan siapapun. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku takut menandingi siapapun juga. Engkau telah menantangku, tentu saja akan kulayani kehendakmu Kami tidak perlu maju berdua, biarlah aku saja yang menandingimu!"
Setelah berkata demikian. Harjodento mengambil sebatang diantara beberapa batang tombak yang berada di depan pondok, bersandar pada bangku. Tombak itu diputar beberapa kali di antara kedua tangannya, kemudian dia berdiri dengan gagahnya, kakinya terpentang dan tombak itu didirikan di depannya, dipegang dengan tangan kiri.
"Nah, aku sudah siap, Retno Susilo!" katanya lantang.
"Bagus, sambutlah seranganku! Retno berseru dan pedangnya berkelebat menyerang dengan dahsyatnya. Ia sudah menduga bahwa lawan ini tentu tangguh sekali, hal ini dapat dilihat dari cara dia menggunakan dan memainkan tombak tadi. Karena itu, begitu menyerang, Retno sudah menyerang dengan dahsyat. Gerakannya amat cepat dan ringan, sedangkan pedangnya didukung oleh tenaga sakti yang amat kuat.
Harjodento adalah seorang pendekar yang tangguh. Dia terkejut melihat serangan pedang Retno Susilo karena dia mengenal serangan yang amat berbahaya. Tak disangkanya seorang gadis yang masih demikian muda telah memiliki ilmu pedang yang demikian hebat dan juga tenaga sakti yang membuat pedang itu menyambar bagaikan kilat, berdesing dan mendengung!
Harjodento cepat melangkah mundur untuk mengelak, akan tetapi begitu pedang luput mengenai sasaran, dengan cepat sekali pedang itu sudah membalik dan menyerang lagi, kini membabat ke arah leher! Melihat ini, Harjodento tidak berani memandang ringan dan diapun memutar tombaknya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Tranggg......!!" Bunga api berpijar ketika dua senjata bertemu, Retno merasakan tangan kanannya yang memegang pedang tergetar hebat, akan tetapi Harjodento juga terkejut karena ujung tombaknya patah ketika bertemu dengan pedang kehijauan itu. Maklumlah bahwa lawannya menggunakan sebatang pedang pusaka. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar. Dari pertemuan senjata tadi dia tahu bahwa dalam hal tenaga sakti, dia masih lebih kuat. Maka, diapun tetap memainkan tombak yang sudah buntung itu dengan cepat mengimbangi permainan pedang Retno.
Retno sendiri juga menyerang dengan hati-hati. Ia maklum akan kehebatan tenaga lawan, maka ia berjaga-jaga agar senjatanya tidak bertemu dengan senjata lawan, agar ia tidak usah mengadu tenaga. Hal inipun dikehendaki oleh Harjodento yang tidak ingin tombaknya terpotong lagi. Demikianlah, kedua orang itu bertanding dengan hebatnya, saling serang dengan cepat sekali sehingga para murid Nogo Dento yang kini berdatangan mengurung tempat itu dan menonton menjadi pening.
Begitu cepat gerakan kedua orang itu sehingga yang nampak hanya dua bayangan berkelebatan di antara gulungan sinar kehijauan dan sinar tombak yang berwarna abu-abu. Mereka merasa heran sekali mengapa guru mereka yang selama ini tidak pernah berkelahi, kini bertanding melawan seorang gadis cantik jelita dan lebih heran lagi melihat betapa gadis yang masih muda itu dapat mengimbangi kedigdayaan guru mereka.
Padmosari yang juga memiliki kedigdayaan dan ilmu kanuragaan yang hanya kalah sedikit dari pada suaminya, juga merasa heran dan kagum melihat gadis yang masih muda itu mampu melawan suaminya. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir karena ia yakin bahwa suaminya pasti akan dapat mengalahkan gadis itu. Dari sikap Retno yang selalu menghindarkan beradu tenaga, ia dapat maklum bahwa gadis itu jerih akan tenaga sakti suaminya dan biarpun gadis itu dapat bergerak dengan tangkas dan lincah seperti seekor burung walet, namun suaminya dapat mengimbanginya.
Dugaan Padmosari memang tepat karena setelah lewat lima puluh jurus mulailah Retno Susilo terdesak. Ketika pedangnya menyambar dari atas untuk membacok kepala lawan Harjodento sengaja memalangkan tongkatnya, menerima bacokan itu pada tengah-tengah tongkatnya.
"Tranggg....!" Tongkat itu patah menjadi dua potong dan memang hal ini yang dikehendaki oleh Harjodento. Kini dia memegang dua potong gagang tombak itu sebagai seorang yang memainkan sepasang golok! Dan ternyata permainannya dengan sepasang senjata ini lebih hebat daripada permainan tombaknya tadi. Dia menyerang dengan kedua senjatanya, memukul dan menusuk sehingga Retno Susilo kini sibuk menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan. Gadis itu terdesak dan main mundur.
Pada saat itu terdengar bentakan, "Diajeng Retno Susilo jangan khawatir aku datang membantumu!"
Sesosok bayangan berkelebat dan seorang pemuda sudah terjun ke dalam gelanggang pertandingan. Pemuda itu bukan lain adalah Priyadi! Begitu kakinya menginjak tanah, pemuda itu sudah mencabut kerisnya dan menyerang Harjodento yang sedang mendesak Retno!
Harjodento terkejut bukan main. Tusukan itu bukan main dahsyatnya, amat berbahaya, Terpaksa dia membuang diri ke belakang dan berjungkir balik tiga kali. Pada saat itu pedang Retno Susilo menyambar lalu disusul tamparan tangan kiri gadis itu yang menggunakan Aji Gelap Sewu!
"Wuuuuttt.....!" Hawa panas menyambar ke arah muka Harjodento yang menjadi terkejut sekali.Dia mengenal pukulan sakti, maka diapun mengelak lagi. Namun keris di tangan Priyadi sudah menyambutnya dan sekali ini Harjodento menangkis dengan potongan tombaknya.
"Tranggg.....!" Hebat bukan main pertemuan antara kedua senjata itu dan keduanya sama-sama terhuyung ke belakang.
Priyadi terkejut dan maklum akan kehebatan lawan, maka diapun cepat menubruk dan menyerang lagi. Harjodento mengelak dan balas menyerang. Di dalam hatinya. Retno merasa tidak senang mengeroyok Harjodento, akan tetapi karena Priyadi sudah turun tangan dan bertanding melawan Harjodento, iapun tidak dapat tinggal diam dan menggunakan pedangnya untuk menyerang lagi. Harjodento menjadi kewalahan dan dia terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya, memainkan sepasang potongan tombak untuk membela diri.
Melihat suaminya dikeroyok dua. Padmosari menjadi marah. Ia mencabut sebatang keris lalu terjun ke dalam gelanggang perkelahian. Ia menyerang Retno dengan hebat. Retno menangkis dan kedua orang wanita ini saling serang dengan seru. Perkelahian terbagi dua. Retno melawan Padmosari dan Priyadi melawan Harjodento.
Para murid Nogo Dento kini sudah berkumpul di situ. Jumlah mereka ada tiga puluhan orang karena yang lain sedangbekerjadi ladang sehingga tidak melihat adanya perkelahian itu. Tiga puluh lebih murid Nogo Dento iut sudah bersiap-siap, ada yang memegang tombak, ada yang memegang golok atau keris, siap untuk mengeroyok dua orang muda yang mengacau itu. Mereka telah mengepung tempat itu, Priyadi melihat ini. Lawannya amat tangguh, juga wanita yang dilawan Retno amat tangguh sehingga gadis itu belum juga dapat mendesaknya. Kalau para murid Nogo Dento itu maju mengeroyok, tentu mereka berdua akan celaka. Oleh karena itu, dia mengerahkan tenaga sakti dari Aji Gelap Musti, melancarkan pukulan itu sambil berteriak nyaring, "Hyaaaaattt......!!!"
Harjodento terkejut sekali, pukulan itu sungguh dahsyat dan angin pukulannya saja terasa amat kuat menghantamnya. Maklum bahwa dia menghadapi pukulan maut yang amat berbahaya. Harjodento melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Priyadi untuk melompat ke dekat Retno, menangkap tangan kiri gadis itu dan ditariknya, diajak lari.
"Kita pergi, diajeng!" katanya sambil menarik.
Retno Susilo terpaksa mengikutinya karena tarikan tangan itu kuat sekali. Empat orang murid Nogo Dento yang menghadang di depan, mereka robohkan dengan tendangan kaki sehingga yang lain mundur dan jerih. Mereka berlompatan dan melarikan diri dari situ, tidak dikejar oleh Harjodento dan isterinya.
Harjodento berdiri bertolak pinggang melihat bayangan dua orang muda itu melarikan diri. Setelah kedua bayangan itu hilang dari penglihatannya, dia menghela napas panjang dan berkata, "Sungguh aneh. Dua orang muda yang berilmu tinggi. Datang untuk membunuh kita. Siapa gerangan Nyi Rukmo Petak yang mengutus mereka itu?"
Padmosari mengerutkan alisnya. "Tentu seorang di antara musuh-musuh kita. Akan tetapiselama ini tidak ada orang yang mengganggu kita. Sayang kita tidak dapat menangkap mereka untuk ditanyai lebih jelas lagi"
"Aku seperti mengenal pukulan sakti yang dilancarkan pemuda tadi kepadaku. Kalaumelihat dia memutar pergelangan tangan sebelum mendorong, gerakan itu seperti pukulan sakti Gelap Musti."
"Gelap Musti?" tanya isterinya. "Pukulan sakti dari aliran mana itu?"
"Gelap Musti adalah aji pukulan dari perguruan Jatikusumo. Akan tetapi di antara perguruan Jatikusumo dan perguruan kita tidak pernah terdapat keributan tidak pernah bertentangan dan bahkan selama ini di antara kita terdapat tali persahabatan. Mengapa pula murid Jatikusumo memusuhiku? Rasanya tidak mungkin. Kalau ada ganjalan atau urusan, tentu Bhagawan Sindusakti yang menjadi pemimpin perguruan Jatikusumo akan langsung bertemu dengan aku dan membicarakan permasalahan itu Bukan menyuruh seorang dua orang muridnya untuk menyerangku."
"Apakah gadis itupun murid perguruan Jatikusumo?"
"Entahlah, akan tetapi kurasa bukan. Gerakannya sama sekali berlainan dengan gerakan pemuda itu. Bahkan ketika ia melancarkan pukulan sakti dengan tangan kiri yang mendatangkan hawa panas, gerakannya berbeda dari Aji Gelap Musti. Entah dari aliran mana gadis itu."
Suami isteri itu merasa penasaran sekali. Mulai hari itu. mereka memesan kepada pada murid untuk melakukan penjagaan lebih ketat dan memesan agar mereka tidak mencari keributan atau berkelahi di luaran. Priyadi menggandeng dan menarik tangan Retno Susilo melarikan diri dari perkampungan Nogo Dento. Mereka lari di sepanjang bengawan dan setelah tiba di tempat yang cukup jauh dari perkampungan itu, barulah dia melepaskan tangan Retno.
Retno berhenti berlari, diturut oleh Priyadi. Mereka duduk di atas batu di tepi bengawan dan Retno memandang kepada pemuda itu dengan alis berkerut dan mulut cemberut. "Kakangmas Priyadi, kenapa engkau menarik aku dan mengajakku melarikan diri?" tanyanya dengan penasaran.
Priyadi maklum dan sikap Retno bahwa gadis itu marah kepadanya. Dia tersenyum dan berkata lembut, "Maafkan aku diajeng. Akan tetapi aku melihat bahaya besar mengancam kita. Selain suami isteri itu tangguh sekali, juga aku melihat puluhan orang anak buah mereka sudah siap untuk mengeroyok. Kalau terjadi demikian, bagaimana mungkin kita dapat menandingi mereka?"
"Salahmu, kakangmas. Kalau engkau tidak datang membantuku dan mengeroyok Harjodento belum tentu mereka akan mengeroyok!"
"Sekali lagi maafkan aku, diajeng Retno. Aku bermaksud baik. Aku tahu siapa Paman Harjodento.Diaadalah ketua Nogo Dento dan seorang yang digdaya sekali. Karena aku khawatirengkau akan celaka atau terluka di tangannya, maka aku lancang turun tangan membantumu. Akan tetapi mengapa engkau memusuhi ketua Nogo Dento itu, diajeng? Setahuku, dia adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, dihormati kawan disegani lawan. Mengapa engkau berkelahi dengannya? Apakah ini yang kau maksudkan dengan urusan pribadimu itu?"
Retno Susilo menjawab singkat. "Ini adalah urusan pribadi, kakangmas. Tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain."
"Akan tetapi aku bukan orang lain, diajeng! Bukankah kita telah bersahabat?"
Retno Susilo memandang kepada pemuda itu dengan alis berkerut dan pandang mata tajam. "Jadi engkau membayangi aku sampai ke tempat ini kakangmas?"
"Maafkan aku. Terus terang saja, setelah kita berpisah, aku seperti kehilangan semangat hidup, kehidupan terasa hambar dan sunyi sepi. Aku tidak tahan lagi lalu diam-diam membayangimu, diajeng, Maafkan aku. Ketika aku melihat engkau bertanding melawan Paman Harjodento, tadinya aku mendiamkannya saja karena aku merasa bimbang. Di satu pihak aku mendengar bahwa Paman Harjodento bukan orang jahat, di lain pihak tentu saja aku condong membantumu. Setelah aku merasa yakin bahwa engkau dapat terancam bahaya, baru aku membantumu karena kebetulan Paman Harjodento tidak mengenalku. Akupun belum pernah bertemu dengannya hanya mendengar namanya saja. Sekali lagi, diajeng Aku bukan orang lain. Karena itu, kalau Sekiranya engkau mempunyai persoalan dengan Paman Harjodento. katakanlah kepadaku dan akulah yang akan menghadap dia dan akan menyelesaikan masalah ini dengan cara damai"
"Engkau tidak perlu membantu aku kakangmas. Aku tidak membutuhkan bantuanmu." kata pula Retno Susilo dengan ketus.
"Tapi aku akan membantumu diajeng. Aku harus membantumu, biarpun untuk itu aku berkorban nyawa sekalipun!"
"Hemm, apakah engkau juga akan membantuku kalau aku hendak membunuh Harjodento dan isterinya?"
Priyadi membelalakkan matanya dan terkejut sekali. "Membunuh mereka? Akan tetapi mengapa?"
"Nah, engkau tentu mundur kalau aku hendak membunuh mereka, bukan?"
"Tidak diajeng. Aku tadi hanya heran sekali mendengar engkau hendak membunuh mereka. Bahkan untuk itupun aku akan membantumu! Akan tetapi engkau tentu tidak berkeberatan untuk menjelaskan mengapa engkau hendak membunuh mereka?"
"Sudahlah kakangmas Priyadi Ini adalahUrus an pribadiku. Engkau tidak boleh mencampurinya. Aku telah gagal dalam tugasku. Selamat tinggal!" Retno Susilo lalu melompat dan melarikan diri.
"Diajeng.....! Tunggu...!" Priyadi mengejar.
Retno tiba-tiba berhenti dan memutar tubuhnya menghadapi pemuda itu. "Kakangmas Priyadi. Hentikan pengejaranmu ini. Kalau engkau nekat membayangku, aku akan benci kepadamu!"Setelah berkata demikian Retno susilo mengerahkan Aji Kluwung Sakti dan tubuhnya seperti diterbangkan angin, demikian cepat larinya. Priyadi termangu-mangu, tidak berani mengejar setelah diancam bahwa kalau dia membayangi, gadis itu akan menbencinya. Dia lalu menarik napas panjang dan memutar tubuhnya, pergi dari situ dengan lemas dan dia merasa kehilangan dan kesepian sekali.
Sutejo berjalan seorang diri di jalan raya itu. Di kanan kirinya terbentang sawah yang amat luasnya. Siang hari itu panasnya bukan main, dan dia melihat beberapa orang pelani mengaso setelah sejak pagi menggarap sawah. Mereka itu makan minum bawaan isteri mereka yang mengantarnya ke sawah. Mereka makan dengan lahap sambil bercakap-cakap, suasananya gembira sekali. Orang-orang miskin itu tampak begitu bahagia, pikirnya. Kenapa dia tidak dapat seperti mereka?
Menggarap sawah, setelah siang menerima kiriman nasi dengan lauk sekadarnya, kemudian berhenti bekerja untuk makan nasi sederhana dan minum air dari kendi yang terasa sejuk segar dan nikmat? Tidak, dia hurus memenuhi tugas kewajibannya yang masih banyak. Mencari ayah bundanya, mencari dan merampas kembali pecut Bajrakirana, menuntut balas atas kematian bapa guru dan eyang gurunya yang keduanya mati di tangan paman gurunya sendiri, yaitu Bhagawan Jaladara dan kawan kawannya, terutama Tumenggung Janurmendo. Kemudian, kewajibannya yang terakhir adalah menghambakan dirinya kepada Mataram untuk membantu Mataram menghadapi para adipati dan bupati yang memberontak. Tidak, belum waktunya untuk hidup penuh tenteram dan damai seperti para petani itu!
Setelah meninggalkan daerah persawahan itu, dia memasuki sebuah hutan. Jalan itu memang melalui sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon raksasa. Jalan di dalam hutan itu teduh karena daun-daunan menjadi perisai terhadap sinar matahari yang terik.
Tiba-tiba dia mendengar suara Orang-orang berkelahi dari arah kiri. Suara teriakan-teriakan bercampur degan berdentingnya senjata yang beradu dan teriakan kesakitan. Dia merasa tertarik sekali dan cepat menuju ke tempat dari mana datangnya suara perkelahian itu. Dengan menggunakan kecepatannya, dia lari menyusup semak-semak dan akhirnya tibalah dia di tempat terbuka, dimana terdapat dua orang sedang dikeroyok oleh belasan orang. Dia segera menonton dengan hati tertarik.
Dua orang yans dikeroyok itu adalah seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun dan seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun. Kedua orang itu memegang sebatang Keris dan menghadapi pengeroyokan lima belas orang laki-laki kasar yang tampaknya bengis dan kuat. Sutejo melihat bahwa kakek dan gadis itu keduanya dapat memainkan keris mereka dengan baik untuk menghadapi pengeroyokan belasan orang yang memegang golok itu, bahkan sudah melukai beberapa orang. Akan tetapi tetap saja mereka terdesak hebat.
Akhirnya kedua orang itu saling membelakangi untuk menghindarkan serangan dari belakang dan dengan repot sekali mereka menghalau semua serangan yang datang bagaikan hujan dari depan, kanan dan kiri. Melihat segerombolan orang kasar Itu mengeroyok dan sikap mereka bengis seperti segerombolan srigala, Sutejo mengerutkan alisnya dan dia tidak perlu berpikir terlalu lama untuk berpihak yang mana. Akan tetapi sebelum dia turun tangan, tiba-tiba terdengar bentakan dari belakang gerombolan pengeroyok itu.
"Mundur semua!" Mendengar bentakan ini, para pengeroyok itu berloncatan kebelakang dan menghentikan pengeroyokan mereka. Kini kakek dan gadis itu berhadapan dengan orang yang berseru tadi, seorang laki-laki berusia empat puluh dua tahun yang bertubuh tinggi besar, Sepasang matanya besar dan bulat hidungnya pesek dan mulutnya lebar. Raksasa ini memandang kepada kedua orang itu, kemudian pandang matanya berhenti dan seolah mengerayangi tubuh gadis yang cantik manis itu. Kemudian dia tertawa bergelak sehingga tubuhnya terguncang semua, Tangan kirinva mengurut kumisnya yang jarang dan pendek.
"Ha-ha-ha-ha! Ki Sanak siapakah andika yang berani melawan pengeroyokan anak buahku?"
Kakek itu berdiri tegak dan menjawab dengan lantang, maklum bahwa dia berhadapan dengan kepala gerombolan itu. "Aku adalah Joyosudiro dari Kediri dan ini anakku bernama Jayanti. Kami berdua tidak melakukan kesalahan apa-apa kebetulan lewat di jalan dalam hutan ini. tiba-tiba saja kami dihadang belasan orang anak buahmu. Mereka minta agar semua barang bawaan kami ditinggalkan berikut pakaian yang kami pakai. Tentu saja kami tidak menuruti permintaan mereka lalu kami dikeroyok!"
"Hem, hal itu sudah merupakan peraturan disini. Siapa lewat disini, harus membayar pajak kepada kami!"
"Peraturan siapa itu?" tanya Joyosudiro, sedikitpun tidak merasa gentar walaupun tadi dia dan puterinya sudah dikeroyok dan didesak.
"Ha-ha-ha, akulah. Maheso Kroda, yang membuat peraturan itu dan siapapun juga orangnya yang melewati jalan dalam hutan ini harus menaatinva, Akan tetapi aku akan memberi kelonggaran kepadamu. Joyosudiro. Biarpun usiaku sudah empat puluh tahun lebih, aku belum beristeri, dan aku melihat puterimu ini begini ayu menarik. Maka kami tidak akan mengganggumu, bahkan ingin menarikmu sebagai ayah mertuaku, dan puterimu menjadi isteriku!"
"Maheso Kroda, tutup mulutmu yang busukitu! Aku tidak sudi menjadi isterimu!" tiba-tiba Jayanti berseru, suaranya juga lantang dan penuh keberanian.
"Ha-ha-ha, sekarang begini saja, Joyosudiro. Mari kita tentukan melalui pertandingan. Kita bertanding dan kalau aku kalah, kalian boleh lewat tanpa gangguan, akan tetapi kalau engkau yang kalah, puterimu harus diberikan kepadaku untuk menjadi isteriku. Bagaimana?"
"Bapa. biar kuhajar mulut yang lancang itu!" Jayanti berseru sambil mengacungkan kerisnya. Akan tetapi Joyosudiro melambaikan tangan menyuruh puterinya mundur.
"Mundurlah dan jaga saja jangan sampai aku dikeroyok," kata Joyosudiro sambil menyarungkan kerisnya, lalu menghadapi Maheso Kroda "Maheso Kroda, biar apapun juga yang terjadi, puteriku tidak sudi menjadi isterimu. Apa yang hendak kau lakukan, terserah, akan kulayani!"
"Babo-babo.... engkau belum mengenal kehebatan Maheso Kroda! Marilah Joyosudiro, kita mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang!"
"Sesukamu, Maheso Kroda, aku tidak takut menandingimu!"
"Pecah dadamu!" bentak Maheso Kroda sambil menyerang dengan pukulan yang dahsyat ke arah dada Joyosudiro. Pendekar dari Kediri ini melihat datangnya pukulan yang dahsyat, kuat dan cepat, maka diapun cepat mengelak ke kiri dan dari kiri dia membalas dengan hantaman menggunakan telapak tangannya ke arah lambung lawan. Maheso Kroda yang pukulan pertamanya luput, cepat menarik kembali tangannya dan ditekuk untuk menangkis serangan balasan Joyosudiro.
"Dukkk......!!" Dua lengan bertemu dengan kuatnya dan akibat pertemuan dua tenaga raksasa ini, Joyosudiro terpental ke belakang! Akan tetapi dia tidak sampai terjatuh dan pada saat itu Maheso Kroda sudah menerjangnya lagi dengan tamparan ke arah kepala. Joyosudiro maklum bahwa lawannya memiliki tenaga yang amat besar maka dia tidak berani menangkis dan mengadu tenaga, melainkan mengelak dengan cepat, lalu membalas dengan kaki kanan menyerampang kaki lawan. Maheso Kroda yang bertubuh tinggi besar itu ternyata memiliki kegesitan juga. Dia melompat ke atas sehingga serampangan kaki lawan lewat dan dari atas. kembali lengannya yang panjang terjulur dan tangan kirinya menyambar dengan tamparan keras ke arah kepala lawan.
Terjadilah serang menyerang yang seru, akan tetapi karena Joyosudiro tidak berani mengadu tenaga, maka dia menjadi terdesak dan harus berloncatan ke sana sini untuk menghindarkan tamparan, pukulan dan tendangan kaki Maheso Kroda yang datang secara bertubi-tubi. Dia terdesak mundur. Melihat betapa ayahnya terdesak hebat, Jayanti mengerutkan alisnya dan ia mengikuti jalannya pertandingan dengan khawatir sekali.
Kepala perampok itu ternyata tangguh sekali sehingga ayahnya kewalahan. Untuk maju membantu ayahnya ia tidak berani, karena kalau ia lakukan hai itu tentu belasan orang anak buah perampok itu akan maju mengeroyok pula sehingga keadaan ia dan ayahnya akan menjadi semakin berbahaya. Ia bergidik ngeri kalau teringat akan ucapan Maheso Kroda yang ingin mengambilnya sebagai isteri. Ia tidak sudi dan seandainya ayahnya kalah, ia tetap tidak akan sudi diambil isteri, dan untuk itu ia bersiap untuk mempertahankan kehormatannya sampai titik darah terakhir! Berpikir demikian, dara itu meraba gagang kerisnya.
Sementara itu, ketika mendengar percakapan mereka tadi. Sutejo sudah menjadi marah. Dia tahu bahwa Maheso Kroda adalah seorang kepala perampok yang hendak memaksakan kehendaknya, hendak mengambil gadis yang ayu manis itu sebagai isterinya. Akan tetapi dia menahan diri karena ingin melibat bagaimana perkembangannya apakah Joyosudiro yang kelihatannya juga tangguh itu akan mampu menandingi Maheso Kroda. Setelah pertandingan berlangsung dan dia melihat betapa Joyosudiro terdesak hebat. Sutejo lalu muncul keluar dari balik semak belukar di mana dia bersembunyi dan mengintai dan sekali meloncat dia sudah tiba di dekat dua orang yang sedang bertanding.
Pada saat itu, Maheso Kroda melakukan serangan dahsyat, tubuhnya merendah dengan menekuk kedua lututnya dan kedua tangannya didorongkan ke arah dada Jovosudiro. Dia mengeluarkan hantaman dahsyat ketika kedua tangan itu mendorong. Angin pukulan itu menyambar dengan kuatnya. Joyosudiro terkejut, tidak sempat mengelak. Terpaksa diapun menyambut pukulan itu dengan kedua tangannya yang Juga didorongkan dengan kedua telapak tangan terbuka.
"WUuuuttt..... desss......" Tubuh Joyosudiro terpental ke belakang dan tentu dia akan terpelanting roboh kalau tidak ada tangan yang menyambar lengannya sehingga dia tidak terjatuh. Dia merasa dadanya sesak, akan tetapi untung tidak sampai terluka parah. Ketika dia melihat bahwa yang menyambar tangannya itu seorang pemuda tampan yang entah kapan telah berada di situ, dia menjadi heran.
"Paman, silakan mundur. Biarkan saya yang akan menandingi raksasa jahat ini."
Karena merasa bahwa dia telah kalah, Joyosudiro mengangguk dan mundur ke dekat puterinya yang juga memandang kepada Sutejo dengan heran, akan tetapi dengan pandang mata penuh harapan...
"Heh-heh-heh-heh...." Kakek ini hanya terkekeh dan tidak menjawab, membawanya masuk lebih dalam ke hutan yang lebat itu.
Karena kakek itu tidak menjawab, hanya terkekeh saja, Retno Susilo merasa semakin khawatir. Jangan-jangan kakek yang membawanya pergi itu seorang yang tidak waras! Akan tetapi jelas bahwa dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ketika ia dipanggul keluar rumah tadi ia melihat Mahesa Meta sudah menggeletak menjadi mayat dan belasan orang tukang pukul masih mengaduh dan merintih, tubuh mereka berserakan. Tentu kakek itu yang telah merobohkan mereka lalu membawanya pergi. Ia menanti sampai beberapa lama, akan tetapi kakek itu tetap diam saja.
"Paman yang baik, aku hendak dibawa ke manakah?" tanyanya lagi.
Kembali kakek Itu terkekeh dan tidak menjawab. Tentu saja hati Retno Susilo menjadi semakin tegang dan gelisah. Jangan-jangan ia seperti terlepas dari mulut harimau terjatuh ke mulut srigala!
"Paman, tolonglah lepaskan ikatan kaki tanganku, aku akan berterima kasih sekali." kembali ia membujuk dengan suara lembut.
"Heh-heh belum waktunya, ha-ha-ha, belum saatnya......"
Biarpun kakek itu menolaknya, namun setidaknya dia sudah menjawab dan ini sedikit banyak melegakan hati Retno Susilo. Makin besar dugaannya bahwa kakek ini tidak waras atau miring otaknya. Ia harus dapat mengajaknya bercakap-cakap dan membujuknya agar suka melepaskan, ikatan tangan kakinya. Karena ia dipanggul dengan kepala di depan ia dapat melihat bahwa pedang pusakanya terselip di pinggang kakek itu padahal ini menggirangkan hatinya. Kalau saja ia dapat terlepas dari ikatan dan dapat menguasai pedang itu. Ia memutar otak mencari akal. Setiap orang tentu memiliki kelemahan, pikirnya. Kakek ini yang agaknya tidak waras adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mungkin ia lemah terhadap pujian, pikirnya.
"Paman, andika memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sakti mandraguna. Paman pasti seorang tokoh besar dalam dunia ini, dengan nama yang amat terkenal, dihormati kawan disegani lawan. Siapakah gerangan nama besar paman?
"Ha-ha-ha! Dugaanmu benar sekali, anak manis. Aku adalah Ki Klabangkolo yang menguasai sebagai bahurekso Pegunungan Ijen!"
Retno Susilo merasa senang bahwa perkiraannya tidak meleset. Kakek ini seorang yang gila hormat dan gila sanjungan! "Ah, Paman Klabangkolo, aku merasa girang dan bangga sekali mendapat pertolongan dari seorang yang gagah perkasa dan sakti mandraguna, juga amat terkenal seperti paman! Lepaskan tali pengikat kaki tanganku paman, agar aku dapat menghaturkan terima kasih dan sembah kepadamu." Retno membujuk.
"Hemm, melepaskanmu dan membiarkan engkau melarikan diri dariku? Tidak, belum saatnya aku melepaskanmu dari ikatan, anak manis!" Kakek itu melangkah terus dengan cepatnya dan kembali Retno merasa gelisah. Biarpun gila hormat dan gila sanjungan, ternyata kakek ini cerdik dan tidak mudah dibujuk.
"Paman Klabangkolo, engkau hendak membawaku ke manakah?"
"Ha-ha, diam sajalah, sebentar engkau akan mengetahuinya sendiri. Diam saja dan menurut sajalah, engkau pasti akan senangi" kata kakek itu Retno melihat bahwa merekatiba di depan sebuah guha yang besar di tengah hutan belantara itu.
"Nah, inilah tempat tinggalku. Bagus, bukan?" Kakek itu menurunkan tubuh Retno dari panggulan dan merebahkannya dengan lembut ke dalam gua di mana lantainya bertilamkan rumput kering dan tikar pandan. Retno yang rebah telentang memandang dengan mata terbelalak ketika kakek itu mencabut Pedang Nogo Wilis yang diselipkan di pinggangnya lalu mengangkat pedang itu ke atas seolah hendak dibacokkan kepadanya. Pedang itu menyambar turun.
"Wuuuttt.... cappp!" Pedang itu tidak membacok Retno, melainkan menancap di atas lantai sampai amblas ke gagangnya!
"Ha-ha-ha, katakan, engkau senang tinggal di sini bersamaku bukan? Katakan!" Kakek itu menghardik.
Retno Susilo menjadi makin panik. Kakek itu jelas gila dan kalau ia tidak menyenangkan hatinya dengan jawaban-jawabannya, bukan tidak mungkin ia akan dibunuhnya begitu saja!
"Senang, paman, senang! Akan tetapi mengapa paman tidak melepaskan ikatan kaki tanganku? "Apa yang akan paman lakukan terhadap diriku?"
"Apa yang akan, ku lakukan? Ha-ha-ha, engkau seorang wanita yang amat cantik dan gagah berani. Dan sudah belasan tahun aku hidup menyendiri di tempat ini setelah aku pergi dari Pegunungan Ijen karena kehilangan isteriku. Engkaulah yang pantas menjadi penggantinya, menjadi isteriku. Engkau yang mau menjadi isteriku, bukan? Mau?"
Sekali ini Retno tidak menjawab. Wajahnya berubah pucat. Ia seorang dara perkasa yang tidak takut menghadapi kematian, Akan tetapi ia menghadapi keadaan yang lebih mengerikan dari pada kematian! Ia akan diperisteri kakek ini yang tentu tidak segan menggunakan kekerasan. Ia akan diperkosa! Karena itu, ia hanya memandang kakek itu dengan mata terbelalak dan tidak dapat menjawab.
"Ha-ha-ha, setelah engkau menjadi isteriku malam ini, barulah ikatan kaki tanganmu akan kulepaskan. Setelah menjadi isteriku, engkau tentu tidak akan melarikan diri lagi. Kita harus merayakan pernikahan kita dengan pesta. Ya, aku akan menangkap seekor kijang muda. Kita berpesta makan daging kijang muda, kemudian kita menikah, ha-ha-ha! Tinggallah di sini dulu, sayang, aku akan pergi menangkap kijang muda dan mencari buah-buahan untukmu!" Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah keluar dari gua sambil tertawa terkekeh-kekeh, agaknya dia girang sekali.
Setelah kakek itu pergi, Retno berusaha melepaskan diri dari ikatan. Ia mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi ia tidak berhasil. Ikatan itu terlampau kuat. Sampai nyeri semua rasa kulit pergelangan tangan dan kakinya ketika ia meronta-ronta. Tali yang kuat itu menggigiti kulitnya. Terdengar langkah kaki memasuki gua. Jantung Retno berdegup penuh ketegangan dan ketakutan. Kakek itu kembali dan ia akan diperkosa!
Tidak dapat ia membayangkannya dan ia memejamkan matanya yang mulai basah dengan air mata. Ingin ia menjerit dan menangis, akan tetapi keinginan ini ditahannya, ia tidak akan memperlihatkan kelemahannya kepada kakek gila itu! Ia memang tidak berdaya. Ia merasa lebih baik mati dibunuh daripada diperkosa. Akan tetapi ia tidak berdaya. Kalau sampai ia di perkosa, ia akan tetap bertahan hidup untuk dapat membalas kakek itu. Ia harus dapat membunuh kakek itu sebelum ia membunuh diri sendiri!
Ia mendengar langkah kaki itu berhenti di dekatnya, lalu mendengar gerakan orang itu berjongkok. Jantungnya berdebar. Hampir ia pingsan saking merasa ngeri dan takut. Ketika ada jari-jari tangan menyentuh kakinya, ia demikian terkejut seperti dipagut ular sehingga ia terjingkat. Akan tetapi apa ini?Jari-jari tangan itu mulai melepas kan ikatan kakinya! Bagus! Kalau begitu ia akan dapat melawan. Ia akan melawan mati-matian, mempertahankan diri sampai mati kalau mau diperkosa. Ia membuka matanya dan ia terbelalak memandang keheran-heranan kepada wajah itu.
Wajah itu tampan dan gagah sekali. Wajah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh enam tahun. Wajah tampan itu tersenyum. Tubuhnya sedang dan tegap. Sebatang keris terselip dipinggangnya. Jari-jari tangan itu demikian kuatnya ketika melepaskan ikatan kakinya, kemudian ikatan tangannya.
"Tenanglah, nimas. Aku datang untuk membebaskanmu. Kebetulan sekali kakek jahat itu pergi." kata pemuda itu, suaranya lembut dan sopan.
Jantung dalam dada Retno berdebar saking gembiranya. "Harap cepat sedikit. Kalau dia datang kembali...."
"Kalau dia datang kembali, kita hadapi bersama. Aku telah melihat tadi akan kegagahanmu. kurasa kalau kita berdua maju bersama, kita tidak usah takut menghadapi kakek gila itu."
Tak lama kemudian Retno bebas. Digosok-gosoknya kedua pergelangan kaki dan tangannya, kemudian dicabutnya Pedang Nogo Wilis yang tertancap di atas lantai. Ia bangkit berdiri dan sudah siap. Di pandangnya pemuda yang berdiri di depannya itu penuh perhatian.
"Ki Sanak, terima kasih kuucapkan kepadamu atas pertolonganmu ini. Bolehkah aku bertanya, andika dan bagaimana andika dapat datang ke tempat ini dan menolongku?"
"Ha-ha-ha-ha-ha! Manis, aku datang membawa seekor kijang muda untukmu, ha-ha ha!" Suara lantang ini membuat pemuda itu tidak jadi menjawab pertanyaan Retno. Dia lalu menyambar lengan tangan dara itu dan ditariknya, diajak keluar.
"Mari kita keluar, menghadapinya di luar yang lebih luas." Mereka berdua berloncatan keluar.
Ternyata Ki Klabangkolo belum tampak dan ternyata suaranya tadi diteriakkan dari jauh. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebat ilmu kepandaian orang itu, dapat melontarkan suara dari jauh dengan dorongan tenaga saktinya. Retno Susilo sudah siap dengan Pedang Nogo Wilis di tangannya sedangkan pemuda itu masih berdiri tenang namun sepasang matanya mencorong dan memandang ke sekeliling dengan penuh kewaspadaan karena dia tidak tahu dari arah mana pemilik suara tadi akan muncul.
Akhirnya muncullah orang yang ditunggu-tunggu itu. Kemunculannya mengejutkan. Ki Klabangkolo tahu-tahu terjun ke depan mereka dalam jarak sepuluh meter sambil tertawa-tawa. Akan tetapi suara tawanya tiba-tiba terhenti ketika dia melihat Retno Susilo sudah berdiri di depan gua dengan pedang di tangan dan sepasang mata dara itu bersinar-sinar penuh kebencian memandangnya. Akan terapi ketika Ki Klabangkolo menoleh dan memandang ke arah pemuda itu, maklumlah apa yang terjadi, Calon korbannya itu tentu ditolong dan dibebaskan oleh pemuda itu!
Mukanya berubah bengis. Matanya mencorong seperti mengeluarkan api dan tiba-tiba dia mengangkat bangkai kijang yang tadi dipanggulnya dan melontarkannya ke arah pemuda itu. Bangkai kijang itu cukup berat dan dilontarkan dengan tenaga yang dahsyat, maka tentu saja lontaran itu merupaka serangan yang amat berbahaya.
Namun, pemuda itu ternyata cekatan sekali. Dengan gerakan ringan dan cepat, mudah saja dia menghindarkan diri dengan elakan sehingga bangkai kijang itu meluncur lewat dan melayang sampai jauh. Melihat betapa lontarannya tidak mengenai sasaran. Ki Klabangkolo semakin marah. Dia mengeluarkan gerengan-gerengan seperti seekor harimau marah, memandang kepada Retno dan pemuda itu bergantian, kemudian tiba-tiba dia menubruk ke arah Retno Susilo dengan kedua lengan dikembangkan. Tubrukannya itu cepat sekali datangnya dan mendatangkan angin yang menyambar. Retno meloncat ke samping untuk mengelak dan dari samping pedangnya, menyam颅bar ke arah leher Ki Klabangkolo. Kakek itu menggerakan tangan kirinya dan ujung lengan bajunya yang lebar itu menangkis pedang.
"Wuuutt.....tranggg....!" Retno terkejut bukan main karena ia merasa betapa pedangnya seolah bertemu dengan benda keras dan pedang itu terpental. Akan tetapi ia masih dapat mempertahankan sehingga pedangnya tidak terlepas dari pegangan tangannya. Ki Klabangkolo menggunakan kesempatan itu untuk menubruk lagi ke samping.
"Plakk!" Tangannya terbentur dengan sebuah tangan lain yang kuat sehingga dia terdorong ke belakang. Ketika dilihatnya bahwa pemuda tampan itu yang menangkis tangannya, dia menjadi semakin marah. Dia mengeluarkan teriakan melengking dan kini dia menerjang kepada pemuda itu dengan tamparan tangan yang mengandung hawa panas!
Pemuda itu maklum akan datangnya serangan yang berbahaya sekali, maka dia juga menggunakan kegesitannya antuk mengelak sehingga tamparan itu hanya mengenai tempat kosong. Ketika kakek itu memutar tubuh dan mengejar, menerjang lagi kepada pemuda itu, Retno sudah menyerangnya dengan tusukan pedangnya dari belakang.
"Ting.....!" Kakek itu cepat memutar tubuhnya mengelak dari tusukan pedang dan kini menyerang Retno dan mendesak dara itu dengan cengkeraman-cengkeraman kedua tangannya. Kembali pemuda itu yang membantu Retno dengan pukulan tangan dari belakang. Pukulan tangan pemuda itu juga mengandung tenaga sakti yang kuat sehingga Ki Klabangkolo terpaksa membalik lagi dan menangkis. Akan tetapi pemuda itu kini telah mencabut kerisnya dan menggunakan senjata itu untuk menyerang, membantu Retno Susilo yang juga menggunakan Pedang Nogo Wilis untuk menyerang. Dalam keadaan bertangan kosong kakek itu dikeroyok dua dan dihujani serangan pedang dan keris. Akan tetapi Ki Klabangkolo memang tangguh sekali. Hanya dengan kedua ujung lengan baju dia mampu menangkis kedua senjata dua orang pengeroyok itu. Akan tetapi dia terdesak dan kurang leluasa untuk membalas.
Tiba-tiba dia melengking nyaring dan menubruk ke arah pemuda itu sambil melancarkan pukulan yang amat dahsyat dengan tangan kanannya. Pemuda itu terkejut dan melompat ke kiri. Ki Klabangkolo tak dapat menahan tangannya yang memukul dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Tangan itu terus meluncur ke depan dan mengenai sebatang pohon yang tadi berada di belakang pemuda itu.
"Dess.....braaakkk....!" Pohon sebesar paha orang itu terkena pukulan tangannya langsung patah dan tumbang! Melihat ini, Ki Klabangkolo menyambar batang pohon itu dan mempergunakannya sebagai senjata untuk menyerang kedua pengeroyoknya!
Tentu saja Retno dan pemuda itu menjadi kalang kabut diserang batang pohon berikut cabang dan daun daunnya itu. Mereka berlompatan ke sana sini untuk menghindarkan diri dari serangan itu. Retno berlaku cerdik. Ia mulai menggerakkan pedangnya untuk membacok! cabang-cabang pohon yang menyambar nyambar. Terdengar bunyi "crak-crok" ketika Pedang Nogo Wilis membabati cabang-cabang pohon itu sehingga terbabat putus semua. Setelah tinggal cabangnya yang dipegang kakek itu, iapun mulai membabati cabang pohon itu.
Pedang Nogo Wilis adalah sebatang pedang yang ampuh dan tajam bukan main. Begitu bertemu dengan pedang itu, batang pohon yang dijadikan senjata Ki Klabangkolo terbabat putus. Sementara itu, pemuda yang memegang keris itupun menyerang Ki Klabangkolo dengan tusukan-tusukan maut, diseling dengan tamparan tangan kirinya yang amat kuat. Kembali Ki Klabangkolo terdesak hebat.
"Wuuuttt.....plakk!" Tangan kiri pemuda itu berhasil menampar pundak kiri Ki Klabangkolo. Kakek itu terhuyung akan tetapi masih sempat memutar batang pohon yang tinggal pendek untuk melindungi tubuhnya. Pada saat itu, pedang berkelebat membacok ke arah batang pohon yang kini menjadi tongkat yang panjangnya tinggal satu setengah meter lagi.
"Crakkk......!" Kembali batang pohon itu terpotong dan pada saat itu kaki kanan Retno mencuat dengan amat cepatnya ke arah perut Ki Klabangkolo.
"Wuuuut...... desss......!!" Ki Klabangkolo terpental ke belakang. Akan tetapi ternyata dia kebal dan tidak roboh, hanya terhuyung dan agaknya dia kini menyadari bahwa dia tidak akan mampu menandingi dua orang. Pengeroyok yang tangguh itu, maka sambil mengeluarkan Suara teriakan yang mirip tawa juga mirip tangis, dia lalu melarikan diri meninggalkan tempat itu dengan cepat seperti terbang menuruni lereng.
Pemuda itu dan Retno Susilo tidak mengejar, Mereka terengah-engah dan mandi keringat. Kakek itu sungguh tangguh bukan main. Setelah mengeluarkan semua kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga, barulah mereka dapat mengusir kakek itu.
"Berbahaya sekali....! Dia sungguh digdaya!" kata pemuda itu sambil mengusap keringatnya.
"Hemm, dia sungguh tangguh dan berbahaya, akan tetapi juga amat jahat!"
"Akan tetapi, dia sepertiseorangyang tidak waras pikirannya. Seperti orang gila" kata pemuda itu.
Retno Susilo menatap wajah yang tampan itu dan ia berkata, "Ki Sanak, engkau tadi belum menjawab pertanyaanku. Siapakan andika ini dan bagaimana dapat datang ke sini dan menolongnya?"
Pemuda itu tersenyum dan wajahnya sungguh tampan kalau dia tersenyum. "Namaku Priyadi. Aku seorang murid perguruan Jatikusumo yang berada di Pantai Laut Selatan di daerah Pacitan. Tadi secara kebetulan aku lewat di dusun di mana diadakan pesta pernikahan itu dan aku melihat keributan yang terjadi ketika engkau dikeroyok orang. Aku masih ragu untuk membantumu karena aku tidak tahu apa urusannya. Akan tetapi aku melihat engkau ditawan oleh mereka mempergunakan jaring itu. Sewaktu aku hendak menolong, kakek itu telah turun tangan menolongmu bahkan telah membunuh orang tinggi kurus yang mempergunakan senjata rantai baja itu, dan merobohkan banyak pengeroyok. Melihat dia memasuki rumah dan keluar lagi memanggulmu yang berada dalam keadaan terikat kaki tanganmu, aku menjadi curiga terhadap kakek itu dan diam-diam aku membayangi dan mengikutinya masuk ke dalam hutan ini. Aku mendengar semua kata-katanya dan ketika dia meninggalkanmu di guha ini, aku lalu datang menolongmu."
Retno menghela napas panjang. "Untung engkau datang, kakangmas Priyadi. Kalau tidak, entah bagaimana dengan nasib diriku. Kakek itu agaknya memang tidak waras pikirannya. Dia gila dan mengerikan. Akan tetapi, pernahkah engkau mendengar akan nama Ki Klabangkolo yang mengaku sebagai bahurekso Pegunungan Ijen?"
Priyadi menggeleng kepalanya. "Tidak, aku tidak pernah mendengarnya. Mungkin dia seorang tokoh sesat yang telah lama menyembunyikan dirinya. Akan tetapi dia jahat dan berbahaya. Orang seperti itu sepatutnya dienyahkan dari muka bumi ini."
"Akan tetapi dia tangguh sekali, dia sakti mandraguna. Aku sendiri rasanya tidak akan mampu menandinginya." kata Retno.
"Akupun akan sukar mengalahkannya. Akan tetapi kita berdua berhasil mengalahkannya dan mengusirnya. Kalau kita bekerja sama, dan dia tidak melarikan diri, pasti kita dapat membunuhnya. Nimas, engkau belum menceritakan siapa namamu dan bagaimana engkau sampai dikeroyok di rumah yang mengadakan pesta pernikahan itu."
"Namaku Retno Susilo, aku puteri ayahku yang menjadi ketua perkumpulan Sardulo Cemeng di Hutan Kebojambe Aku sedang dalam perjalanan ke daerah Ngawi ketika aku melihat rombongan pengantin wanita, yang hendak diboyongke dusun tempat tinggal Prabowo hartawan yang mengadakan pesta pernikahan itu. Karena aku mendengar pengantin wanita menangis denganse dih aku lalu menahan rombongan itu dan menghajar lima orang pengawalnya. Kemudian aku menanyai pengantin wanita yang mengaku bahwa ia hendak dipaksa menjadi selir yang ke lima. Ia tidak mau, akan tetapi terpaksa karena ayahnya telah mempunyai banyak hutang kepada Raden Prabowo. Aku lalu menyuruh gadis itu pulang dan menggantikan kedudukannya dalam joli dan aku membiarkan diriku dibawa ke rumah yang sedang mengadakan pesta pernikahan itu. Di sana aku lalu mengamuk akan tetapi dikeroyok kemudian ditangkap secara curang oleh mereka dengan menggunakan jaring. Aku dibawa ke dalam kamar dan diikat kaki tanganku sampai muncul kakek itu yang membawaku pergi dengan memanggulku. Nah, selanjutnya engkau sudah mengetahui, kakangmas Priyadi."
"Nimas Retno Susilo aku melihat ketika engkau dikeroyok itu, dan ketika tadi engkau bersamaku menandingi Ki klabangkolo, ilmu pedangmu hebat dan dahsyat sekali. Apakah engkau mempelajari ilmumu dari ayahmu? Tentu beliau memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali"
"Selain mempelajari dari ayah sendiri,akupun mempunyai seorang guru lain, kakangmas,"
"Guruku berjuluk Nyi Rukmo Petak yang tinggal di Bukit Ular pegunungan Anjasmoro."
Priyadi mengerutkan alisnya, mengingat-ingat lalu menggeleng kepalanya. "Aku tidak pernah mendengar nama julukan gurumu itu. Akan tetapi, guruku tentu mengenalnya, atau para kakak seperguruanku."
"Siapakah gurumu yang menjadi ketua perguruan Jatikusumo itu, kakangmas Priyadi ?"
"Guruku bernama Bhagawan Sindusakti."
"Tentu seorang pendeta yang sakti mandraguna." kata Retno.
"Sekarang engkau hendak ke mana nimas?"
"Ketika tertawan, pakaian ku dalam buntalan ikut terampas, tentu masih berada di kamar rumah Prabowo itu. Aku akan mengambilnya dan sekalian memberi hajaran kepada Prabowo dan anak buahnya. Aku sekarang telah mengetahui tentang jaring-jaring itu dan tidak akan dapat dicurangi lagi. Aku harus menghajar Prabowo yang jahat itu!"
"Aku akan menemanimu, nimas. Kalau ada bahaya menghadang, biarlah kita hadapi bersama."
"Baiklah, kakangmas Priyadi. Akan tetapi terhadap Prabowo bia raku sendiri yang akan menghajarnya. Hartawan mata keranjang itu harus kuhajar sampai taubat betul dan tidak berani lagi mempergunakan hartanya untuk memaksa seorang gadis menjadi selirnya"
"Baik, nimas Retno Susilo. Terserah kepadamu."
Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dan keluar dari dalam hutan menuju ke dusun di mana tinggal Raden Prabowo, adik lurah dusun Sintren, Ketika mereka tiba di depan rumah itu, keadaan di situ sunyi. Agaknya penduduk dusun itu masih panik oleh kejadian siang tadi di mana terjadi perkelahian di dalam tempat pesta. Rumah Prabowo juga tampak sunyi, akan tetapi di bagian depan dan di pekarangan terdapat belasan orang penjaga yang merupakan tukang-tukang pukul atau jagoan-jagoan Prabowo.
Setelah tiba d luar rumah itu, Retno berbisik kepada Priyadi. "Kakangmas, harap engkau saja yang masuk pekarangan dan menghadapi para tukang pukul. Hajar mereka kalau mereka berani menyerangmu. Aku akan mengambil jalan memutar dari belakang karena aku khawatir kalau-kalau Prabowo akan melarikan diri lewat pintu belakang."
Priyadi mengangguk dan merasa kagum akan kecerdikan dara itu yang memperhitungkan segala kemungkinan. Maka, setelah Retno menyelinap melalui jalan samping, diapun memasuki pekarangan dan terus maju ke arah pendopo. Belasan orang penjaga segera menghadangnya dan mereka tampak bengis. Mereka itu masih panik dengan peristiwa siang tadi, maka untuk menutupi rasa jerihnya, mereka bersikap bengis kepada orang-orang luar. Melihat seorang pemuda tampan memasuki pekarangan dan menuju ke pendopo, seorang yang bermata juling, pemimpin para penjaga, segera melangkah maju menghadapinya dan menghardik.
"KiSanak, siapakah andika dan mau apa datang ke sini?"
"Aku bernama Priyadi dan ingin bertemu dengan Prabowo."
"Andika maksudkan Raden Prabowo? Mau apa ingin bertemu dengan Raden Prabowo?"
"Pendeknya aku ingin bertemu dengan dia, ingin menegur agar dia jangan lagi-lagi berani mempergunakan harta kekayaannya untuk memaksa seorang gadis menjadi selir barunya!" Sengaja Priyadi mengeluarkan kata-kata itu dengan suara lantang agar terdengar oleh Prabowo yang dia yakin tentu berada didalam rumah.
Para tukang pukul itu memang jerih terhadap Retno Susilo, akan tetapi pemuda ini tidak mereka kenal dan tentu saja mereka sama sekali tidak takut. Serentak mereka mencabut senjata golok dari pinggang mereka dan mengepung Priyadi. Akan tetapi begitu tubuhnya bergerak, Priyadi telah menerjang mereka, mempergunakan kaki tangannya dan setiap kali kakinya atau tangannya menyambar, tentu ada seorang pengeroyok yang terpelanting jatuh.
Prabowo yang mengintai dari dalam, melihat kehebatan pemuda itu menghajar, para tukang pukulnya, menjadi ketakutan dan dia segera melarikan diri melalui pintu belakang. Akan tetapi baru saja dia tiba di taman belakang rumah, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Retno Susilo telah berdiri di depannya sambil bertolak pinggang dan tersenyum dingin.
"Hendak lari ke mana kau, jahanam Prabowo?" bentak Rento Susilo.
Prabowo memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Cepat dia memutar tubuhnya hendak melarikan diri akan tetapi kaki kiri Retno mencuat dan Prabowo tertendang pinggangnya, roboh terpelanting. Karena tidak dapat melarikan diri, Prabowo lain bangkit berlutut dan menyembah-nyembah ketakutan. "Ampun.... ampunkan saya...." ratapnya.
"Enak saja minta ampun Engkau selalu mempergunakan harta dan kekuasaanmu untuk bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang dusun yang miskin dan bodoh, engkau merampasi gadis-gadis untuk kau paksa menjadi setirmu. Orang macam engkau ini sepatutnya dibasmi dari muka bumi!"
Retno Susilo mencabut pedangnya. Melihat hal ini, Prabowo menangis dan saking takutnya dia sampai terkencing-kencing. "Ampunkan saya.... jangan bunuh saya....."
Pedang di tangan Retno Susilo berkelebat menyambar dan putuslah sebagian bukit hidung Prabowo. "Aduhh....!" Darah bercucuran dari hidung itu dan Prabowo mempergunakan kedua tangannya untuk mendekap mukanya.
"Sekali ini aku hanya memotong hidungmu agar menjadi pelajaran dan peringatan bagimu. Akan tetapi kalau lain kali aku lewat di sini dan mendapatkan bahwa engkau masih juga melakukan perbuatan sewenang-wenang, aku akan memotong lehermu!"
"Ampun...... ampunkan saya......" Dengan suara sengau Prabowo menangis ketakutan dan kesakitan.
"Mulai sekarang engkau harus menjadi seorang hartawan yang dermawan. Pergunakan sebagian hartamu untuk menolong orang-orang miskin, bebaskan semua hutang para penduduk dusun dan jangan sekali-kali berani lagi memaksa seorang gadis menjadi selirmu!"
"Baik...... baik......!" Prabowo berjanji dan menyembah-nyembah saking takutnya. Ketika dia mengangkat muka, dia hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu gadis perkasa itu telah lenyap dari depannya.
Sambil menutupi hidungnya yang berdarah dengan kedua tangannya, Prabowo lari masuk ke dalam rumah terus ke bagian depan untuk memanggil para tukang pukulnya. Akan tetapi dia terbelalak melihat betapa para tukang pukulnya dihajar habis-habisan oleh Priyadi dan Retno Susilo yang ternyata sudah tiba di depan rumah dan membantu Priyadi mengamuki. Baru menghadapi Priyadi seorang saja para tukang pukul itu sudah kewalahan. Apa lagi kini muncul Retno yang mengamuk seperti seekor harimau betina. Akan tetapi kedua orang ini tidak membunuh para tukang pukul dan hal ini dapat terjadi karena Retno Susilo meneriaki Priyadi agar jangan membunuh orang! Gadis ini memang banyak berkurang keganasannya setelah bergaul dengan Sutejo, tidak lagi suka membunuh orang dengan seenaknya.
Dengan tamparan dan tendangan, Retno dan Priyadi menghajar belasan orang tukang pukul itu sehingga mereka kocar kacir dan akhirnya, sambil terpincang-pincang dan babak belur para tukang pukul itu melarikan diri. Melihat ini, Prabowo menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi hatinya lega ketika dia melihat kedua orang itu pergi. Didalam hatinya, dia telah bertaubat dan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya yang memaksa gadis menjadi selirnya dengan kekuatan uangnya. Pula, gadis mana yang sudi menjadi selirnya? Hidungnya sudah terpotong dan dia akan menjadi seorang yang wajahnya mengerikan dan menjijikkan.
********************
Mereka berhenti dibawah pohon yang lebat daunnya sehingga tempat di bawah pohon itu teduh sekali terlindung dari sengatan terik matahari. Mereka duduk diatas batu besar yang berada di bawah pohon itu. Priyadi mengangkat muka memandang Retno Susilo. Gadis itu sedang mempergunakan sehelai saputangan untuk menyusut keringatnya yang membasahi leber dan muka. Mata yang tampak semringah kemerahan sehingga menjadi semakin ayu dan manis. Mulut yang menggairahkan bentuknya itu tersenyum ketika Retno juga memandang kepada pemuda itu sehingga mereka saling bertemu pandang.
"Hatiku sudah puas dapat menghajar Prabowo dan antek-anteknya! Mudah-mudahan dia sudah benar-benar bertaubat sekarang dan tidak lagi berani mengganggu gadis-gadis dusun anak orang miskin." kata Retno dengan wajah berseri dan sepasang matanya ikut tersenyum.
"Kau apakan dia, nimas Retno?" tanya Priyadi.
"Kubuntungi bukit hidungnya. Sekarang dia menjadi seorang laki laki yang berwajah menyeramkan dan buruk. Kalau tadinya dia seorang laki-laki hidung belang, sekarang menjadi setan hidung buntung!" Retno tersenyum senang. Dalam keadaan seperti itu, Retno tampak demikian jelitanya sehingga Priyadi memandang terpesona dan bengong.
Karena Priyadi diam saja tidak bersuara, Retno menatap wajahnya dan melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. "Eh, kakangmas Priyadi, kenapa engkau memandangku sepeni itu?" Retno menegur heran.
Priyadi tersadar dari pesona. "Eh.....ohh..... tidak apa apa, nimas, akan tetapi engkau..... hemm..... engkau begini cantik jelita, amat mengagumkan hatiku....."
Retno Susilo tersenyum, wajahnya berubah semakin kemerahan. "Ah, kakangmas Priyadi, engkau terlalu memuji."
"Tidak, nimas, Belum pernah aku melihat seorang wanita seperti engkau ini selama hidupku. Engkau gagah perkasa, digdaya, cantik jelita, agaknya semua kebaikan dalam diri wanita kau borong semua. Engkau membuat aku terpesona, nimas dan aku merasakan sesuatu dalam hatiku yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kukira beginilah yang dikatakan orang kalau jatuh cinta. Agaknya aku...... aku telah jatuh cinta kepadamu, nimas Retno Susilo."
Retno tersenyum lebar. "Wah, kakangmas Priyadi. Jangan berkata begitu, kita baru saja saling jumpa dan berkenalan!"
"Tidak, nimas, bagiku engkau seakan-akan telah kukenal lama sekali. Engkaulah wanita seperti yang selalu kubayangkan, wanita yana memenuhi semua harapan dan seleraku. Selama ini aku tidak pernah tertarik kepada wanita, akan tetapi setelah bertemu denganmu, seolah-olah aku telah bertemu dengan wanita yang selalu menjadi idaman hatiku, menjadi bunga mimpiku. Nimas Retno Susilo, sudikah engkau menerima uluran tanganku, memenuhi harapan hatiku? Sudikah engkau menerima cintaku?"
"Aku tidak tahu, kakangmas. Engkau kuanggap sebagai seorang sahabat baru yang baik dan yang telah menyelamatkan diriku dari ancaman yang lebih mengerikan dari pada maut. Aku berterima kasih kepadamu, akan tetapi mengenai cinta, aku belum memikirkan dan tidak sempat mempertimbangkan karena kita baru saja saling bertemu.Jangan bicarakan tentang itu, Kakangmas. Engkau membuat aku bingung."
"Maafkan aku, nimas. Baiklah, untuk sementara aku tidak akan membicarakan dan menyinggung soal perasaan hatiku kepadamu. Biarlah kita berkenalan lebih lama dan untuk memperdalam persahabatan kita, aku akan menemanimu dalam perjalananmu sehingga kita berkesempatan untuk saling mengenal lebih baik lagi. Engkau pernah mengatakan bahwa engkau sedang dalam perjalanan ke Ngawi, hendak ke manakah engkau nimas?"
"Kakangmas Priyadi, aku mempunyai urusan pribadi yang tidak dapat dicampuri orang lain, karena itu tidak dapat kuceritakan kepadamu. Sebaiknya kita berpisah di sini saja dulu kangmas. Mudah-mudahan kita akan dapat saling berjumpa lagi dan aku mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu."
"Nimas Retno Susilo, aku ingin lebih dalam mengenalmu. Apakah kita tidak dapat melakukan perjalanan bersama selama beberapa hari sebelum kita saling berpisah?" desak Priyadi sambil memandang wajah dara itu penuh gairah. Memang dia tidak berbohong Selama ini belum pernah dia tertarik kepada wanita. Akan tetapi entah mengapa, sekali ini dia seperti tergila-gila kepada dara ini. Seolah ada daya tarik yang luar biasa pada diri Retno Susilo yang membuat dia ingin terus berdekatan.
"Maaf. kakangmas Priyadi. Terpaksa kita harus berpisah dan aku halus segera berangkat pergi karena urusan pribadiku itu penting sekali. Sudah, selamat tinggal Kakangmas!" Setelah berkata demikian, Retno Susilo segera, memutar tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan menggunakan Aji Kluwung Sakti yang membuat tubuhnya menjadi ringan sekali sehingga ia dapat berlari amat cepatnya.
Berulang kali Priyadi menghela napas panjang untuk menekan perasaan kecewanya. Dia merasa kehilangan sekali ketika Retno Susilo berlari pergi. Akhirnya dia tidak dapat menahan desakan hatinya dan diapun melompat cepat dan lari mengejar dan membayangi Retno Susilo!
********************
Perguruan silat Nogo Dento berpusat di tepi Bengawan Solo tak jauh dari Ngawi. Perguruan Nogo Dento memilih tempat di lereng sebuah bukit, jauh dari dusun dan merupakan perkampungan tersendiri di mana murid muridnya yang berjumlah kurang lebih lima puluh orang dan masih belajar tinggal di perkampungan itu. Mereka tinggal di pondok-pondok kecil yang berada di sebelah belakang sebuah rumah besar yang menjadi tempat tinggal guru atau ketua mereka.
Ketua perguruan silat Nogo Dento adalah seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun,berwajah tampan dan gagah perkasa, bertubuh tinggi besar. Namanya adalah Harjodento dan dia terkenal sekali sebagai seorang pendekar besar yang ditakuti lawan disegani kawan. Dia tidak pernah mencampuri urusan orang-orang kalangan persilatan, namun dia disegani orang karena gagah perkasa, bijaksana dan terkenal sakti mandraguna.
Bukan banya Harjodento yang terkenal gagah perkasa, namun isterinya yang bernama Padmosari juga terkenal sebagai seorang wanita yang digdaya, walaupun kemampuannya tidak setinggi kemampuan suaminya. Namun suami isteri ini hanya hidup berdua tanpa anak dan mereka menganggap para murid sebagai anak-anak mereka sendiri.
Namun sayang, di antara sekian banyaknya murid, tidak ada seorangpun yang memiliki bakat besar sehingga tidak ada, yang menonjol. Karena itu belum ada seorangpun yang dapat mewarisi aji-aji simpanan kedua suami isteri itu, melainkan hanya mempelajari ilmu-ilmu silat yang tingkatnya hanya pertengahan saja. Walaupun demikan, para murid Nogo Dento juga disegani orang karena para murid itu rata-rata patuh kepada guru mereka dan bersikap baik sekali diluaran, tidak pernah membuat ribut dan bersikap gagah menentang kejahatan. Karena itu. para penduduk di dusun-dusun sekitarnya amat menghormati per kumpulan Nogo Dento, bahkan nama Nogo Dento terkenal sampai ke Ngawi, bahkan ke kadipaten-kadipaten lain sebagai perkumpulan orang orang yang pantas disebut pendekar.
Perguruan silat Nogo Dento terletak di lereng bukit yang indah dan tanahnya subur. Para murid yang tinggal mondok di perguruan itu, setiap hari bekerja sebagai petani atau kadang-kadang juga menjala ikan di bengawan, yaitu dimusim kemarau di mana ikan-ikan berkumpul dikedung-kedung. Hasil pertanian itu cukup untuk biaya kehidupan mereka setiap hari dan sebagai sekadar bayaran mereka kepada guru mereka yang mengajarkan ilmu kanuragan.
Perkampungan itu cukup luas dan dikelilingi pagar bambu yang kokoh. Di bagan depan terdapat sebuah pintu gapura besar dan di atas gardu penjagaan di depan pintu gapura terdapat sebuah bendera yang berwarna hitam dengan lukisan seekor naga putih di tengahnya. Siang malam ada Sedikitnya lima orang murid berjaga digardu itu. Tempat itu tampak sejuk menyenangkan karena perguruan yang sudah hampir dua puluh lima tahun berada disitu, telah menanam banyak pohon-pohon yang kini telah menjadi besar. Banyak pohon buah-buahan sehingga selain dapat memberi kesejukan dan kesegaran, setiap musim buah juga dapat menghasilkan buah untuk makan sendiri dan selebihnya dijual.
Kehidupan di perkampungan perkumpulan Nogo Dento tampak tenteram dan sejahtera. Latihan-latihan silat yang dilakukan oleh para murid lebih dimaksudkan untuk menjaga kesehatan, Sebagai olah raga dari pada untuk bekal berkelahi. Sudah bertahun-tahun lamanya tidak pernah ada di antara mereka yang berkelahi dengan pihak lain. Bahkan di sekitar perkampungan Nogo Dento tidak pernah ada penjahat berani beraksi karena mereka merasa jerih akan nama besar Nogo Dento yang selalu menentang perbuatan jahat.
Pada suatu siang yang cerah dan matahari bersinar dengan teriknya, di depan pintu gapura perkampungan Nogo Dento muncul seorang wanita muda yang cantik jelita. Melihat sebatang pedang tergantung di punggungnya, mudah diduga bahwa gadis itu adalah seorang wanita yang biasa merantau seorang diri dan memiliki ilmu kanuragan. Dugaan itu memang tepat karena gadis itu bukan lain adalah Retno Susilo.
Ketika baru saja berpisah dari Priyadi, Retno Susilo terkenang kepada pemuda itu. Di dalam hatinya ia mengakui bahwa pemuda itu ganteng, gagah perkasa dan sikapnya amat sopan dan menarik hati. Alangkah mudahnya untuk jatuh cinta kepada Priyadi. Akan tetapi di dalam hatinya telah penuh dengan bayangan Sutejo. Kalau saja tidak ada Sutejo yang sudah membuat ia jatuh cinta agaknya iapun akan mudah menerima cinta pemuda seperti Priyadi! Teringat akan Sutejo, bayangan Priyadi segera menghilang dari lamunannya. Setelah berkeliaran di sepanjang daerah Ngawi beberapa hari lamanya dan bertanya-tanya, akhirnya pada siang hari itu ia berhasil menemukan tempat yang dicari-carinya, yaitu tempat tinggal Harjodento, ketua dari perkumpulan Nogo Dento.
Empat orang pemuda yang berjaga di gardu yang berdiri di samping pintu gerbang, memandang dengan heran dan keempatnya berdiri dari bangku yang mereka duduki. Empat orang murid Nogo Dento ini adalah pemuda-pemuda gagah perkasa yang selalu menentang kejahatan. Mereka selalu bersikap sopan. Akan tetapi bagaimanapun juga mereka adalah orang-orang muda sedangkan Retno Susilo adalah seorang dara yang amat cantik jelita. Maka tidaklah mengherankan kalau empat orang pemuda itu kini berdiri melongo dan terpesona Sehingga sejenak mereka tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya memandang dengan mata terbelalak.
Setelah kemudian mereka sadar, empat orang itu lalu menjadi salah tingkah dan masing-masing berusaha untuk bergaya agar menarik perhatian! Yang berkumis mengelus kumisnya, ada pula yang merapikan rambutnya, ada yang membusungkan dadanya yang bidang dan ada pula yang merapikan pakaiannya. Kemudian seperti berlomba mereka keluar dari gardu untuk menyambut Retno Susilo, memasang senyum Semanis mungkin dan denganlangkah segagah mungkin. Sikap ini sama sekali tidak berarti bahwa mereka adalah pemuda-pemuda yang kurang ajar, melainkan sudah lajim dirasakan oleh pemuda yang manapun juga. Mereka tertarik, terpesona dan berusaha untuk menarik hati gadis itu.
"Selamat siang nona. Dapatkah saya membantu nona?" tanya mereka dengan suara saling sahutan.
Retno Susilo sudah terbiasa, menghadapi sikap para pria yang bertema dengannya maka Iapun menganggap hal itu biasa saja. Ia memandang ke arah bendera yang bergambar seekor naga putih itu dan bertanya. "Apakah di sini tempat perkumpulan Nogo Dento?"
"Benar sekali, nona," jawab yang berkumis, "Ini adalah perkampungan Nogo Dento."
"Apakah ketuanya bernama Harjodento?" tanya pula Retna Susilo.
"Kembali dugaanmu benar, nona, Ada keperluan apakah nona datang berkunjung?"
"Aku ingin bertemu dengan Harjodento, harap kalian suka laporkan kepadanya dan minta dia menemuiku."
"Akan tetapi apakah keperluan nona?" T anya sikumis melintang.
Retno Susilo mengerutkan alisnya. "Engkau tidak perlu tahu!"
"Akan tetapi, agar kami dapat memberi laporan yang lengkap kepada bapa guru, harap nona memberitahukan kepada kami apa keperluan nona."
"Katakan saja bahwa aku ingin bertemu dan bicara dengan dia. Urusannya akan kubicarakan sendiri dengan dia, kalian tidak perlu tahu!" kata pula Retno Susilo dan suaranya terdengar ketus. Melihat sikap yang kaku ini, si kumis tidak berani membantah lagi.
"Baiklah, silakan duduk menanti di sini, nona. Aku hendak melaporkan kepada bapa guru di dalam." Si kumis lalu melangkah memasuki pintu gapura. Tiga orang murid yang lain dengan ramah dan sopan lalu mempersilakan Retno duduk menanti di atas bangku yang terdapat dalam gardu penjagaan. Karena melihat sikap mereka ramah dan sopan. Retno juga tidak menolak dan duduklah ia menanti di situ.
Murid Nogo Dento yang berkumis itu melaporkan kepada Harjodento yang sedang duduk bercakap-cakap dengan isterinya. Harjodento adalah seorang pria berusia enam puluh lima tahun yang gagah perkasa, dan isterinya berusia jauh lebih muda, kurang lebih empat puluh lima tahun,cantik dan gerak geriknya menakjubkanbahwa ia seorang wanita yang tangkas. Mendengar laporan muridnya bahwa di luar pintu gapura datang, seorang gadis cantik yangingin bertemu dan bicara dengannya, Harjodento mengerutkan alisnyayang tebal dan diamenegur muridnya. "Apa keperluannya?"
"Sudah saya tanyakanakantetapi ia tidak, mau mengaku, bapa guru. Iahanya mengatakan bahwa iaingin bertemu dan bicara sendiri dengan, bapa guru. Dantampaknya iabukan, seorang gadis biasa, karena iamembawa sebatang pedang di punggungnya."
"Hemmm, aneh dan mencurigakan benar." Harjodento bergumam. "Siapakah ia?"
"Daripada menduga-duga, lebih baik kita keluar dan lihat siapaadanya gadisitu." kata Padmosari. Suaminya mengangguk. Mereka bangkit berdiri dan keluar dari rumah, didahului oleh si kumis.
Setelah tiba di luar pintu gapura, Harjodento dan Padmosari memandang Retno Susilo yang sudah keluar dari gardu penjagaan. Mereka menjadi semakin herankarena merasa tidak pernahmengenal gadis cantik jelita itu. Sebaliknya Retno Susilo memandang kepada suami isteri itu dengan sinar mata penuh selidik. Kemudian Retno Susilo melangkah maju menghampiri mereka dan dengan lantang bertanya.
"Apakah andika yang bernama Harjodento, dan ia itu bernama Padmosari?" Biarpun sikapnya dibuat kaku karena kedatangannya adalah untuk membunuh kedua orang itu, namun di lubuk hatinya Retno merasa tidak enak sekali. Dua orang itu tampak demikian gagah dan anggun, sama sekali bukan macam orang-orang jahat dan ia harus membunuh mereka! Akan tetapi ini adalah tugas yang diberikan oleh gurunya dan ia harus mengakui bahwa ia telah berhutang banyak budi dari Nyi Rukmo Petak.
"Benar sekali, nona. Andika ini siapakah dan ada keperluan apakah datang berkunjung?" tanya Harjodento dengan heran sambil mengamati wajah yang ayu itu.
"Aku bernama Retno Susilo dan kedatanganku ini adalah untuk menantang kalian!" kata Retno Susilo secara langsung dan terus terang.
Suami isteri itu terbelalak, lalu saling pandang dan Padmosari juga menggeleng kepala kepada suaminya sebagai pernyataan bahwa iapun tidak mengerti.
"Nona, agaknya ada kesalah-pahaman di sini. Marilah kita masuk ke dalam rumah kami dan di sana kita dapat bicara dengan baik." kata Padmosari untuk mendinginkan suasana.
Akan tetapi RetnoSusilo menggeleng kepalanya."Tidak usah, di sinipun kita dapat bicara dan menyelesaikan persoalan di antara kita."
Harjodento mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, nona. Kenapa engkau datang-datang menantang kami?"
"Karena aku harus membunuh kalian berdua." jawab Retno dengan Jujur. Hatinya merasa tidak enak dan ia ingin cepat-cepat menyelesaikan tugasnya yang tidak menyenangkan hatinya ini.
Kembali suami isteri itu membelalakkan mata dan saling pandang. Padmosari lalu menatap wajah Retno dengan alis berkerut dan wanita ini mulai panas hatinya. Bagaimana hatinya tidak akan panas mendengar dirinya ditantang dan akan dibunuh tanpa alasan sama sekali?
"Hei, gadis muda! Enak saja engkau membuka mulut hendak membunuh kami! Apakah engkau sudah menjadi gila? Kalau tidak, tentu engkau mau menceritakan sebab sebabnya mengapa engkau menantang dan hendak membunuh kami yang sama sekali tidak mengenalmu!"
"Aku juga tidak mengenal kalian dan baru kali ini aku bertemu dengan kalian." kata Retno tenang.
"Nona, siapakah yang sedang mimpi? Engkau ataukah kami? Kalau engkau tidak mengenal Kami , kamipun tidak mengenalmu, berarti di antara kita tidak terdapat persoalan apapun. Bagaimana engkau datang-datang hendak membunuh kami? Apakah kesalahan kami terhadap dirimu? Jelaskan dululah, nona. Sebelum engkau membunuh kami" kata Harjodento sambil tersenyum, akan tetapi nada suaranya sungguh sungguh tidak bermaksud mengejek.
"Aku memang tidak mempunyai urusan dengan kalian, akan tetapi aku mendapat tugas dari guruku untuk membunuh kalian. Sudahlah, Harjodento dan Padmosari, bersiaplah kalian untuk menandingi aku dan tewas di tanganku." Setelah berkata demikian, Retno Susilo mencabut pedang Nogo Wilis sehingga tampak sinar kehijauan berkelebat.
Tadinya Harjodento dan isterinya masih menganggap bahwa gadis itu tidak bicara serius dan hanya main-main saja. Akan tetapi melihat gadis itu mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kehijauan, mereka terkejut bukan main. "Nanti dulu, nona! Siapa nama gurumu itu dan mengapa dia menyuruh engkau membunuh kami?" tanya Harjodento.
"Guruku adalah Nyi Rukmo Petak dari Guha Tengkorak Bukit Ular pegunungan Anjasmoro. Ia mengutus aku untuk membunuh kalian karena kalian telah menyakiti hatinya.
"Akan tetapi, kami tidak mengenal Nyi Rukmo Petak, apa lagi menyakiti hatinya!" seru Harjodento.
Retno Susilo tertegun sejenak mendengar Jawaban itu. Akan tetapi ia tidak perduli dan mengelebatkan pedangnya. "Masa bodoh, aku tidak tahu akan hal itu, aku hanya menaati perintah guruku. Sudahlah. Harjodento dan Padmosari, bersiaplah kalian untuk menandingiaku!"
"Retno Susilo, engkau seorang gadis muda yang keras hati. Akan tetapi karena engkau memenuhi perintah gurumu, akupun tidak menyalahkanmu. Aku tidak ingin bertanding dengan siapapun. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku takut menandingi siapapun juga. Engkau telah menantangku, tentu saja akan kulayani kehendakmu Kami tidak perlu maju berdua, biarlah aku saja yang menandingimu!"
Setelah berkata demikian. Harjodento mengambil sebatang diantara beberapa batang tombak yang berada di depan pondok, bersandar pada bangku. Tombak itu diputar beberapa kali di antara kedua tangannya, kemudian dia berdiri dengan gagahnya, kakinya terpentang dan tombak itu didirikan di depannya, dipegang dengan tangan kiri.
"Nah, aku sudah siap, Retno Susilo!" katanya lantang.
"Bagus, sambutlah seranganku! Retno berseru dan pedangnya berkelebat menyerang dengan dahsyatnya. Ia sudah menduga bahwa lawan ini tentu tangguh sekali, hal ini dapat dilihat dari cara dia menggunakan dan memainkan tombak tadi. Karena itu, begitu menyerang, Retno sudah menyerang dengan dahsyat. Gerakannya amat cepat dan ringan, sedangkan pedangnya didukung oleh tenaga sakti yang amat kuat.
Harjodento adalah seorang pendekar yang tangguh. Dia terkejut melihat serangan pedang Retno Susilo karena dia mengenal serangan yang amat berbahaya. Tak disangkanya seorang gadis yang masih demikian muda telah memiliki ilmu pedang yang demikian hebat dan juga tenaga sakti yang membuat pedang itu menyambar bagaikan kilat, berdesing dan mendengung!
Harjodento cepat melangkah mundur untuk mengelak, akan tetapi begitu pedang luput mengenai sasaran, dengan cepat sekali pedang itu sudah membalik dan menyerang lagi, kini membabat ke arah leher! Melihat ini, Harjodento tidak berani memandang ringan dan diapun memutar tombaknya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Tranggg......!!" Bunga api berpijar ketika dua senjata bertemu, Retno merasakan tangan kanannya yang memegang pedang tergetar hebat, akan tetapi Harjodento juga terkejut karena ujung tombaknya patah ketika bertemu dengan pedang kehijauan itu. Maklumlah bahwa lawannya menggunakan sebatang pedang pusaka. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar. Dari pertemuan senjata tadi dia tahu bahwa dalam hal tenaga sakti, dia masih lebih kuat. Maka, diapun tetap memainkan tombak yang sudah buntung itu dengan cepat mengimbangi permainan pedang Retno.
Retno sendiri juga menyerang dengan hati-hati. Ia maklum akan kehebatan tenaga lawan, maka ia berjaga-jaga agar senjatanya tidak bertemu dengan senjata lawan, agar ia tidak usah mengadu tenaga. Hal inipun dikehendaki oleh Harjodento yang tidak ingin tombaknya terpotong lagi. Demikianlah, kedua orang itu bertanding dengan hebatnya, saling serang dengan cepat sekali sehingga para murid Nogo Dento yang kini berdatangan mengurung tempat itu dan menonton menjadi pening.
Begitu cepat gerakan kedua orang itu sehingga yang nampak hanya dua bayangan berkelebatan di antara gulungan sinar kehijauan dan sinar tombak yang berwarna abu-abu. Mereka merasa heran sekali mengapa guru mereka yang selama ini tidak pernah berkelahi, kini bertanding melawan seorang gadis cantik jelita dan lebih heran lagi melihat betapa gadis yang masih muda itu dapat mengimbangi kedigdayaan guru mereka.
Padmosari yang juga memiliki kedigdayaan dan ilmu kanuragaan yang hanya kalah sedikit dari pada suaminya, juga merasa heran dan kagum melihat gadis yang masih muda itu mampu melawan suaminya. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir karena ia yakin bahwa suaminya pasti akan dapat mengalahkan gadis itu. Dari sikap Retno yang selalu menghindarkan beradu tenaga, ia dapat maklum bahwa gadis itu jerih akan tenaga sakti suaminya dan biarpun gadis itu dapat bergerak dengan tangkas dan lincah seperti seekor burung walet, namun suaminya dapat mengimbanginya.
Dugaan Padmosari memang tepat karena setelah lewat lima puluh jurus mulailah Retno Susilo terdesak. Ketika pedangnya menyambar dari atas untuk membacok kepala lawan Harjodento sengaja memalangkan tongkatnya, menerima bacokan itu pada tengah-tengah tongkatnya.
"Tranggg....!" Tongkat itu patah menjadi dua potong dan memang hal ini yang dikehendaki oleh Harjodento. Kini dia memegang dua potong gagang tombak itu sebagai seorang yang memainkan sepasang golok! Dan ternyata permainannya dengan sepasang senjata ini lebih hebat daripada permainan tombaknya tadi. Dia menyerang dengan kedua senjatanya, memukul dan menusuk sehingga Retno Susilo kini sibuk menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan. Gadis itu terdesak dan main mundur.
Pada saat itu terdengar bentakan, "Diajeng Retno Susilo jangan khawatir aku datang membantumu!"
Sesosok bayangan berkelebat dan seorang pemuda sudah terjun ke dalam gelanggang pertandingan. Pemuda itu bukan lain adalah Priyadi! Begitu kakinya menginjak tanah, pemuda itu sudah mencabut kerisnya dan menyerang Harjodento yang sedang mendesak Retno!
Harjodento terkejut bukan main. Tusukan itu bukan main dahsyatnya, amat berbahaya, Terpaksa dia membuang diri ke belakang dan berjungkir balik tiga kali. Pada saat itu pedang Retno Susilo menyambar lalu disusul tamparan tangan kiri gadis itu yang menggunakan Aji Gelap Sewu!
"Wuuuuttt.....!" Hawa panas menyambar ke arah muka Harjodento yang menjadi terkejut sekali.Dia mengenal pukulan sakti, maka diapun mengelak lagi. Namun keris di tangan Priyadi sudah menyambutnya dan sekali ini Harjodento menangkis dengan potongan tombaknya.
"Tranggg.....!" Hebat bukan main pertemuan antara kedua senjata itu dan keduanya sama-sama terhuyung ke belakang.
Priyadi terkejut dan maklum akan kehebatan lawan, maka diapun cepat menubruk dan menyerang lagi. Harjodento mengelak dan balas menyerang. Di dalam hatinya. Retno merasa tidak senang mengeroyok Harjodento, akan tetapi karena Priyadi sudah turun tangan dan bertanding melawan Harjodento, iapun tidak dapat tinggal diam dan menggunakan pedangnya untuk menyerang lagi. Harjodento menjadi kewalahan dan dia terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya, memainkan sepasang potongan tombak untuk membela diri.
Melihat suaminya dikeroyok dua. Padmosari menjadi marah. Ia mencabut sebatang keris lalu terjun ke dalam gelanggang perkelahian. Ia menyerang Retno dengan hebat. Retno menangkis dan kedua orang wanita ini saling serang dengan seru. Perkelahian terbagi dua. Retno melawan Padmosari dan Priyadi melawan Harjodento.
Para murid Nogo Dento kini sudah berkumpul di situ. Jumlah mereka ada tiga puluhan orang karena yang lain sedangbekerjadi ladang sehingga tidak melihat adanya perkelahian itu. Tiga puluh lebih murid Nogo Dento iut sudah bersiap-siap, ada yang memegang tombak, ada yang memegang golok atau keris, siap untuk mengeroyok dua orang muda yang mengacau itu. Mereka telah mengepung tempat itu, Priyadi melihat ini. Lawannya amat tangguh, juga wanita yang dilawan Retno amat tangguh sehingga gadis itu belum juga dapat mendesaknya. Kalau para murid Nogo Dento itu maju mengeroyok, tentu mereka berdua akan celaka. Oleh karena itu, dia mengerahkan tenaga sakti dari Aji Gelap Musti, melancarkan pukulan itu sambil berteriak nyaring, "Hyaaaaattt......!!!"
Harjodento terkejut sekali, pukulan itu sungguh dahsyat dan angin pukulannya saja terasa amat kuat menghantamnya. Maklum bahwa dia menghadapi pukulan maut yang amat berbahaya. Harjodento melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Priyadi untuk melompat ke dekat Retno, menangkap tangan kiri gadis itu dan ditariknya, diajak lari.
"Kita pergi, diajeng!" katanya sambil menarik.
Retno Susilo terpaksa mengikutinya karena tarikan tangan itu kuat sekali. Empat orang murid Nogo Dento yang menghadang di depan, mereka robohkan dengan tendangan kaki sehingga yang lain mundur dan jerih. Mereka berlompatan dan melarikan diri dari situ, tidak dikejar oleh Harjodento dan isterinya.
Harjodento berdiri bertolak pinggang melihat bayangan dua orang muda itu melarikan diri. Setelah kedua bayangan itu hilang dari penglihatannya, dia menghela napas panjang dan berkata, "Sungguh aneh. Dua orang muda yang berilmu tinggi. Datang untuk membunuh kita. Siapa gerangan Nyi Rukmo Petak yang mengutus mereka itu?"
Padmosari mengerutkan alisnya. "Tentu seorang di antara musuh-musuh kita. Akan tetapiselama ini tidak ada orang yang mengganggu kita. Sayang kita tidak dapat menangkap mereka untuk ditanyai lebih jelas lagi"
"Aku seperti mengenal pukulan sakti yang dilancarkan pemuda tadi kepadaku. Kalaumelihat dia memutar pergelangan tangan sebelum mendorong, gerakan itu seperti pukulan sakti Gelap Musti."
"Gelap Musti?" tanya isterinya. "Pukulan sakti dari aliran mana itu?"
"Gelap Musti adalah aji pukulan dari perguruan Jatikusumo. Akan tetapi di antara perguruan Jatikusumo dan perguruan kita tidak pernah terdapat keributan tidak pernah bertentangan dan bahkan selama ini di antara kita terdapat tali persahabatan. Mengapa pula murid Jatikusumo memusuhiku? Rasanya tidak mungkin. Kalau ada ganjalan atau urusan, tentu Bhagawan Sindusakti yang menjadi pemimpin perguruan Jatikusumo akan langsung bertemu dengan aku dan membicarakan permasalahan itu Bukan menyuruh seorang dua orang muridnya untuk menyerangku."
"Apakah gadis itupun murid perguruan Jatikusumo?"
"Entahlah, akan tetapi kurasa bukan. Gerakannya sama sekali berlainan dengan gerakan pemuda itu. Bahkan ketika ia melancarkan pukulan sakti dengan tangan kiri yang mendatangkan hawa panas, gerakannya berbeda dari Aji Gelap Musti. Entah dari aliran mana gadis itu."
Suami isteri itu merasa penasaran sekali. Mulai hari itu. mereka memesan kepada pada murid untuk melakukan penjagaan lebih ketat dan memesan agar mereka tidak mencari keributan atau berkelahi di luaran. Priyadi menggandeng dan menarik tangan Retno Susilo melarikan diri dari perkampungan Nogo Dento. Mereka lari di sepanjang bengawan dan setelah tiba di tempat yang cukup jauh dari perkampungan itu, barulah dia melepaskan tangan Retno.
Retno berhenti berlari, diturut oleh Priyadi. Mereka duduk di atas batu di tepi bengawan dan Retno memandang kepada pemuda itu dengan alis berkerut dan mulut cemberut. "Kakangmas Priyadi, kenapa engkau menarik aku dan mengajakku melarikan diri?" tanyanya dengan penasaran.
Priyadi maklum dan sikap Retno bahwa gadis itu marah kepadanya. Dia tersenyum dan berkata lembut, "Maafkan aku diajeng. Akan tetapi aku melihat bahaya besar mengancam kita. Selain suami isteri itu tangguh sekali, juga aku melihat puluhan orang anak buah mereka sudah siap untuk mengeroyok. Kalau terjadi demikian, bagaimana mungkin kita dapat menandingi mereka?"
"Salahmu, kakangmas. Kalau engkau tidak datang membantuku dan mengeroyok Harjodento belum tentu mereka akan mengeroyok!"
"Sekali lagi maafkan aku, diajeng Retno. Aku bermaksud baik. Aku tahu siapa Paman Harjodento.Diaadalah ketua Nogo Dento dan seorang yang digdaya sekali. Karena aku khawatirengkau akan celaka atau terluka di tangannya, maka aku lancang turun tangan membantumu. Akan tetapi mengapa engkau memusuhi ketua Nogo Dento itu, diajeng? Setahuku, dia adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, dihormati kawan disegani lawan. Mengapa engkau berkelahi dengannya? Apakah ini yang kau maksudkan dengan urusan pribadimu itu?"
Retno Susilo menjawab singkat. "Ini adalah urusan pribadi, kakangmas. Tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain."
"Akan tetapi aku bukan orang lain, diajeng! Bukankah kita telah bersahabat?"
Retno Susilo memandang kepada pemuda itu dengan alis berkerut dan pandang mata tajam. "Jadi engkau membayangi aku sampai ke tempat ini kakangmas?"
"Maafkan aku. Terus terang saja, setelah kita berpisah, aku seperti kehilangan semangat hidup, kehidupan terasa hambar dan sunyi sepi. Aku tidak tahan lagi lalu diam-diam membayangimu, diajeng, Maafkan aku. Ketika aku melihat engkau bertanding melawan Paman Harjodento, tadinya aku mendiamkannya saja karena aku merasa bimbang. Di satu pihak aku mendengar bahwa Paman Harjodento bukan orang jahat, di lain pihak tentu saja aku condong membantumu. Setelah aku merasa yakin bahwa engkau dapat terancam bahaya, baru aku membantumu karena kebetulan Paman Harjodento tidak mengenalku. Akupun belum pernah bertemu dengannya hanya mendengar namanya saja. Sekali lagi, diajeng Aku bukan orang lain. Karena itu, kalau Sekiranya engkau mempunyai persoalan dengan Paman Harjodento. katakanlah kepadaku dan akulah yang akan menghadap dia dan akan menyelesaikan masalah ini dengan cara damai"
"Engkau tidak perlu membantu aku kakangmas. Aku tidak membutuhkan bantuanmu." kata pula Retno Susilo dengan ketus.
"Tapi aku akan membantumu diajeng. Aku harus membantumu, biarpun untuk itu aku berkorban nyawa sekalipun!"
"Hemm, apakah engkau juga akan membantuku kalau aku hendak membunuh Harjodento dan isterinya?"
Priyadi membelalakkan matanya dan terkejut sekali. "Membunuh mereka? Akan tetapi mengapa?"
"Nah, engkau tentu mundur kalau aku hendak membunuh mereka, bukan?"
"Tidak diajeng. Aku tadi hanya heran sekali mendengar engkau hendak membunuh mereka. Bahkan untuk itupun aku akan membantumu! Akan tetapi engkau tentu tidak berkeberatan untuk menjelaskan mengapa engkau hendak membunuh mereka?"
"Sudahlah kakangmas Priyadi Ini adalahUrus an pribadiku. Engkau tidak boleh mencampurinya. Aku telah gagal dalam tugasku. Selamat tinggal!" Retno Susilo lalu melompat dan melarikan diri.
"Diajeng.....! Tunggu...!" Priyadi mengejar.
Retno tiba-tiba berhenti dan memutar tubuhnya menghadapi pemuda itu. "Kakangmas Priyadi. Hentikan pengejaranmu ini. Kalau engkau nekat membayangku, aku akan benci kepadamu!"Setelah berkata demikian Retno susilo mengerahkan Aji Kluwung Sakti dan tubuhnya seperti diterbangkan angin, demikian cepat larinya. Priyadi termangu-mangu, tidak berani mengejar setelah diancam bahwa kalau dia membayangi, gadis itu akan menbencinya. Dia lalu menarik napas panjang dan memutar tubuhnya, pergi dari situ dengan lemas dan dia merasa kehilangan dan kesepian sekali.
********************
Sutejo berjalan seorang diri di jalan raya itu. Di kanan kirinya terbentang sawah yang amat luasnya. Siang hari itu panasnya bukan main, dan dia melihat beberapa orang pelani mengaso setelah sejak pagi menggarap sawah. Mereka itu makan minum bawaan isteri mereka yang mengantarnya ke sawah. Mereka makan dengan lahap sambil bercakap-cakap, suasananya gembira sekali. Orang-orang miskin itu tampak begitu bahagia, pikirnya. Kenapa dia tidak dapat seperti mereka?
Menggarap sawah, setelah siang menerima kiriman nasi dengan lauk sekadarnya, kemudian berhenti bekerja untuk makan nasi sederhana dan minum air dari kendi yang terasa sejuk segar dan nikmat? Tidak, dia hurus memenuhi tugas kewajibannya yang masih banyak. Mencari ayah bundanya, mencari dan merampas kembali pecut Bajrakirana, menuntut balas atas kematian bapa guru dan eyang gurunya yang keduanya mati di tangan paman gurunya sendiri, yaitu Bhagawan Jaladara dan kawan kawannya, terutama Tumenggung Janurmendo. Kemudian, kewajibannya yang terakhir adalah menghambakan dirinya kepada Mataram untuk membantu Mataram menghadapi para adipati dan bupati yang memberontak. Tidak, belum waktunya untuk hidup penuh tenteram dan damai seperti para petani itu!
Setelah meninggalkan daerah persawahan itu, dia memasuki sebuah hutan. Jalan itu memang melalui sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon raksasa. Jalan di dalam hutan itu teduh karena daun-daunan menjadi perisai terhadap sinar matahari yang terik.
Tiba-tiba dia mendengar suara Orang-orang berkelahi dari arah kiri. Suara teriakan-teriakan bercampur degan berdentingnya senjata yang beradu dan teriakan kesakitan. Dia merasa tertarik sekali dan cepat menuju ke tempat dari mana datangnya suara perkelahian itu. Dengan menggunakan kecepatannya, dia lari menyusup semak-semak dan akhirnya tibalah dia di tempat terbuka, dimana terdapat dua orang sedang dikeroyok oleh belasan orang. Dia segera menonton dengan hati tertarik.
Dua orang yans dikeroyok itu adalah seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun dan seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun. Kedua orang itu memegang sebatang Keris dan menghadapi pengeroyokan lima belas orang laki-laki kasar yang tampaknya bengis dan kuat. Sutejo melihat bahwa kakek dan gadis itu keduanya dapat memainkan keris mereka dengan baik untuk menghadapi pengeroyokan belasan orang yang memegang golok itu, bahkan sudah melukai beberapa orang. Akan tetapi tetap saja mereka terdesak hebat.
Akhirnya kedua orang itu saling membelakangi untuk menghindarkan serangan dari belakang dan dengan repot sekali mereka menghalau semua serangan yang datang bagaikan hujan dari depan, kanan dan kiri. Melihat segerombolan orang kasar Itu mengeroyok dan sikap mereka bengis seperti segerombolan srigala, Sutejo mengerutkan alisnya dan dia tidak perlu berpikir terlalu lama untuk berpihak yang mana. Akan tetapi sebelum dia turun tangan, tiba-tiba terdengar bentakan dari belakang gerombolan pengeroyok itu.
"Mundur semua!" Mendengar bentakan ini, para pengeroyok itu berloncatan kebelakang dan menghentikan pengeroyokan mereka. Kini kakek dan gadis itu berhadapan dengan orang yang berseru tadi, seorang laki-laki berusia empat puluh dua tahun yang bertubuh tinggi besar, Sepasang matanya besar dan bulat hidungnya pesek dan mulutnya lebar. Raksasa ini memandang kepada kedua orang itu, kemudian pandang matanya berhenti dan seolah mengerayangi tubuh gadis yang cantik manis itu. Kemudian dia tertawa bergelak sehingga tubuhnya terguncang semua, Tangan kirinva mengurut kumisnya yang jarang dan pendek.
"Ha-ha-ha-ha! Ki Sanak siapakah andika yang berani melawan pengeroyokan anak buahku?"
Kakek itu berdiri tegak dan menjawab dengan lantang, maklum bahwa dia berhadapan dengan kepala gerombolan itu. "Aku adalah Joyosudiro dari Kediri dan ini anakku bernama Jayanti. Kami berdua tidak melakukan kesalahan apa-apa kebetulan lewat di jalan dalam hutan ini. tiba-tiba saja kami dihadang belasan orang anak buahmu. Mereka minta agar semua barang bawaan kami ditinggalkan berikut pakaian yang kami pakai. Tentu saja kami tidak menuruti permintaan mereka lalu kami dikeroyok!"
"Hem, hal itu sudah merupakan peraturan disini. Siapa lewat disini, harus membayar pajak kepada kami!"
"Peraturan siapa itu?" tanya Joyosudiro, sedikitpun tidak merasa gentar walaupun tadi dia dan puterinya sudah dikeroyok dan didesak.
"Ha-ha-ha, akulah. Maheso Kroda, yang membuat peraturan itu dan siapapun juga orangnya yang melewati jalan dalam hutan ini harus menaatinva, Akan tetapi aku akan memberi kelonggaran kepadamu. Joyosudiro. Biarpun usiaku sudah empat puluh tahun lebih, aku belum beristeri, dan aku melihat puterimu ini begini ayu menarik. Maka kami tidak akan mengganggumu, bahkan ingin menarikmu sebagai ayah mertuaku, dan puterimu menjadi isteriku!"
"Maheso Kroda, tutup mulutmu yang busukitu! Aku tidak sudi menjadi isterimu!" tiba-tiba Jayanti berseru, suaranya juga lantang dan penuh keberanian.
"Ha-ha-ha, sekarang begini saja, Joyosudiro. Mari kita tentukan melalui pertandingan. Kita bertanding dan kalau aku kalah, kalian boleh lewat tanpa gangguan, akan tetapi kalau engkau yang kalah, puterimu harus diberikan kepadaku untuk menjadi isteriku. Bagaimana?"
"Bapa. biar kuhajar mulut yang lancang itu!" Jayanti berseru sambil mengacungkan kerisnya. Akan tetapi Joyosudiro melambaikan tangan menyuruh puterinya mundur.
"Mundurlah dan jaga saja jangan sampai aku dikeroyok," kata Joyosudiro sambil menyarungkan kerisnya, lalu menghadapi Maheso Kroda "Maheso Kroda, biar apapun juga yang terjadi, puteriku tidak sudi menjadi isterimu. Apa yang hendak kau lakukan, terserah, akan kulayani!"
"Babo-babo.... engkau belum mengenal kehebatan Maheso Kroda! Marilah Joyosudiro, kita mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang!"
"Sesukamu, Maheso Kroda, aku tidak takut menandingimu!"
"Pecah dadamu!" bentak Maheso Kroda sambil menyerang dengan pukulan yang dahsyat ke arah dada Joyosudiro. Pendekar dari Kediri ini melihat datangnya pukulan yang dahsyat, kuat dan cepat, maka diapun cepat mengelak ke kiri dan dari kiri dia membalas dengan hantaman menggunakan telapak tangannya ke arah lambung lawan. Maheso Kroda yang pukulan pertamanya luput, cepat menarik kembali tangannya dan ditekuk untuk menangkis serangan balasan Joyosudiro.
"Dukkk......!!" Dua lengan bertemu dengan kuatnya dan akibat pertemuan dua tenaga raksasa ini, Joyosudiro terpental ke belakang! Akan tetapi dia tidak sampai terjatuh dan pada saat itu Maheso Kroda sudah menerjangnya lagi dengan tamparan ke arah kepala. Joyosudiro maklum bahwa lawannya memiliki tenaga yang amat besar maka dia tidak berani menangkis dan mengadu tenaga, melainkan mengelak dengan cepat, lalu membalas dengan kaki kanan menyerampang kaki lawan. Maheso Kroda yang bertubuh tinggi besar itu ternyata memiliki kegesitan juga. Dia melompat ke atas sehingga serampangan kaki lawan lewat dan dari atas. kembali lengannya yang panjang terjulur dan tangan kirinya menyambar dengan tamparan keras ke arah kepala lawan.
Terjadilah serang menyerang yang seru, akan tetapi karena Joyosudiro tidak berani mengadu tenaga, maka dia menjadi terdesak dan harus berloncatan ke sana sini untuk menghindarkan tamparan, pukulan dan tendangan kaki Maheso Kroda yang datang secara bertubi-tubi. Dia terdesak mundur. Melihat betapa ayahnya terdesak hebat, Jayanti mengerutkan alisnya dan ia mengikuti jalannya pertandingan dengan khawatir sekali.
Kepala perampok itu ternyata tangguh sekali sehingga ayahnya kewalahan. Untuk maju membantu ayahnya ia tidak berani, karena kalau ia lakukan hai itu tentu belasan orang anak buah perampok itu akan maju mengeroyok pula sehingga keadaan ia dan ayahnya akan menjadi semakin berbahaya. Ia bergidik ngeri kalau teringat akan ucapan Maheso Kroda yang ingin mengambilnya sebagai isteri. Ia tidak sudi dan seandainya ayahnya kalah, ia tetap tidak akan sudi diambil isteri, dan untuk itu ia bersiap untuk mempertahankan kehormatannya sampai titik darah terakhir! Berpikir demikian, dara itu meraba gagang kerisnya.
Sementara itu, ketika mendengar percakapan mereka tadi. Sutejo sudah menjadi marah. Dia tahu bahwa Maheso Kroda adalah seorang kepala perampok yang hendak memaksakan kehendaknya, hendak mengambil gadis yang ayu manis itu sebagai isterinya. Akan tetapi dia menahan diri karena ingin melibat bagaimana perkembangannya apakah Joyosudiro yang kelihatannya juga tangguh itu akan mampu menandingi Maheso Kroda. Setelah pertandingan berlangsung dan dia melihat betapa Joyosudiro terdesak hebat. Sutejo lalu muncul keluar dari balik semak belukar di mana dia bersembunyi dan mengintai dan sekali meloncat dia sudah tiba di dekat dua orang yang sedang bertanding.
Pada saat itu, Maheso Kroda melakukan serangan dahsyat, tubuhnya merendah dengan menekuk kedua lututnya dan kedua tangannya didorongkan ke arah dada Jovosudiro. Dia mengeluarkan hantaman dahsyat ketika kedua tangan itu mendorong. Angin pukulan itu menyambar dengan kuatnya. Joyosudiro terkejut, tidak sempat mengelak. Terpaksa diapun menyambut pukulan itu dengan kedua tangannya yang Juga didorongkan dengan kedua telapak tangan terbuka.
"WUuuuttt..... desss......" Tubuh Joyosudiro terpental ke belakang dan tentu dia akan terpelanting roboh kalau tidak ada tangan yang menyambar lengannya sehingga dia tidak terjatuh. Dia merasa dadanya sesak, akan tetapi untung tidak sampai terluka parah. Ketika dia melihat bahwa yang menyambar tangannya itu seorang pemuda tampan yang entah kapan telah berada di situ, dia menjadi heran.
"Paman, silakan mundur. Biarkan saya yang akan menandingi raksasa jahat ini."
Karena merasa bahwa dia telah kalah, Joyosudiro mengangguk dan mundur ke dekat puterinya yang juga memandang kepada Sutejo dengan heran, akan tetapi dengan pandang mata penuh harapan...