Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 08
MAHESO KRODA memandang kepada Sutejo dengan sinar mata penuh kemarahan. Dia mendengar tadi betapa pemuda itu menyebutnya raksasa jahat! Dia mengepal kedua tangannya dengan geram, memandang kepada Sutejo yang berdiri didepannya lalu suaranya terdengar parau dan kaku.
"Heh, bocah cilik! Mau apa engkau maju menghadapiku? Siapakah engkau dan mau apa engkau mencampuri urusanku?"
"Maheso Kroda, andika adalah seorang kepala perampok yang suka mengganggu siapa saja yang lewat di tempat ini. Aku Sutejo, dan melihat kejahatan yang kau lakukan ini, tentu saja aku tidak dapat tinggal diam saja. Hentikanlah perbuatan jahatmu ini, bubarkan anak buahmu dan bertaubatlah agar tidak sampai terpaksa aku menghajarmu!"
"Babo-babo, Sutejo keparat Ubun-ubunmu masih berbau kencur dan engkau berani menantang Maheso Kroda? Agaknya engkau sudah bosan hidup!"
"Majulah, Maheso Kroda. Akulah lawanmu!"
"Keparat, kulumatkan kepalamu!" Maheso Kroda sudah menyerang dengan tamparan tangan kanannya yang lebar dan besar. Tamparan itu kuat sekali dan tangan itu terisi tenaga sakti yang mampu menghancurkan batu karang. Bukan tidak mungkin bahwa tangan itu akan melumatkan kepala orang yang kena dihantamnya. Namun dengan gerakan ringan dan mudah saja Sutejo mengelak. Hanya sedikit saja dia membuat gerakan dengan kepalanya yang ditundukkan dan tamparan itu sudah lewat di atas kepalanya, Begitu tangan itu menyambar lewat, Sutejo menggerakkan tangan kirinya ke atas. jari-jari tangannya mengetuk lengan yang besar itu, tepat di bawah sikunya.
"Tuk...." Dua jari tangan mengetuk bawah siku.
"Aduh.....!" Tak tertahankan lagi Maheso Kroda berteriak karena lengannya seketika menjadi lumpuh. Uratnya telah kena ditotok sehingga terasa nyeri bukan main. Akan tetepi hanya sebentar rasa nyeri dan kelumpuhan itu. Dia sudah pulih kembali karena tubuhnya terlindung aji kekebalan yang cukup kuat. Marahlah dia. Sambil menggereng seperti seekor singa, dia menerkam dengan kedua lengan dikembangkan. Namun dia hanya menubruk angin karena pemuda itu sudah dapat menyelinap dan mengelak, dengan lebih cepat dari pada terkamannya. Maheso Kroda yang sudah marah sekali, melancarkan serangan secara bertubi-tubi, namun semua serangannya itu luput, dapat dielakkan oleh Sutejo yang bergerak lincah sekali.
Tubuh Maheso Kroda sampai berputaran saking terlalu bernafsu untuk dapat merobohkan lawannya, namun ke manapun dia menyerang, selalu dia menghantam atau menubruk tempat kosong. Ketika kembali dia menubruk Sutejo yang berada di depannya, pemuda itu menggeser kaki ke samping sehingga tubrukan itu luput, selagi tubuh Maheso Kroda condong ke depan karena daya tubrukannya tadi kaki Sutejo menendang lututnya.
"Aduhhh......!" Nyeri sekali rasanva sambungan lutut yang tertendang itu dan tak dapat dicegah lagi tubuh yang tinggi besar itu. roboh.
Sutejo tidak menyusulkan serangan, melainkan berdiri memandang sambil tersenyum. Bukan main kagumnya hati Joyosudiro dan Jayanti melibat betapa dengan mudahnya Sutejo mempermainkan dan merobohkaa lawan. Sepasang mata Jayanti berbinar-binar takjub. Akan tetapi Maheso Kroda sudah menjadi semakin marah. Dicabutnya senjatanya yang menyeramkan, yaitu sebatang keris yang besar dan panjang.
"Sutejo, lihatlah apa yang kupegang. Engkau akan mampus dengan usus terburai!" bentak Maheso Kroda dengan sepasang mata berubah kemerahan.
"Hemm, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, engkau sudah mengeluarkan pusaka. Majulah dengan kerismu itu, Maheso Kroda. Aku tidak takut menghadapi keris pemotong leher ayam itu!"
"Keparat, mampuslah kau!" Maheso Kroda membentak marah. "Majuuu....!" Dia memberi aba-aba dan semua anak buahnya bergerak maju dengan senjata masing-masing untuk mengeroyok Sutejo.
Maheso Kroda sendiri sudah menubruk dan menyerang dengan tusukan kerisnya ke arah perut Sutejo. Pemuda ini mengelak cepat sehingga tusukan itu mengenal tempat kosong. Melihat Maheso Kroda mengerahkan anak buahnya untuk mengeroyok, Joyosudiro dan Jayanti tidak tinggal diam Mereka berdua segera berloncatan maju dan mengamuk di antara para anak buah perampok. Terjadilah pertempuran yang seru dan kacau. Sutejo juga marah melihat kecurangan Maheso Kroda. Ketika kepala perampok itu menusukkan kerisnya lagi, dia menghindar ke samping dan ketika keris meluncur lewat, dia cepat menampar dengan Aji Gelap Musti.
"Wuuuttt...... dess......!" Biarpun tubuh kepala perampok itu kebal, namun ketika pundaknya dihajar pukulan itu tubuhnya terpelanting berputar dan diapun roboh!
Dia merasa pundak kanannya seperti remuk dan kerisnya yang besar panjang itu telah terlempar entah ke mana. Habislah semua nyali dalam hati perampok itu dan tanpa banyak cakap lagi, dia meloncat berdiri lalu melarikaa diri, tidak memperdulikan lagi kepada anak buahnya. Akan tetapi para anak buah perampok itu melihat betapa kepala perampok itu melarikan diri, maka seperti dikomando saja, mereka semua lari cerai berai den tunggang langgang! Mereka meninggalkan teman-teman yang terluka.
Sutejo tidak mengejar Maheso Kroda. Ketika Jayanti yang marah hendak melakukan pengejaran terhadap para perampok. Ki Joyosudiro mencegahnya. "Tidak perlu dikejar, biarkan saja mereka melarikan diri"
Para perampok yang terluka dan ditinggalkan lari teman-temannya, kini merangkak bangkit dan menyusul teman, teman mereka, berjalan terhuyung-huyung tanpa diganggu oleh Sutejo, Ki Joyosudiro dan Jayanti. Ayah dan anak itu kini berdiri menghadapi Sutejo dengan pandang mata bersukur dan kagum. "Anakmas Sutejo, kami ayah dan anak sungguh beruntung sekali mendapat bantuan andika sehingga kami terlepas dari ancaman bahaya di tangan para perampok itu. Kami sangat berterima kasih kepadamu, anakmas Sutejo." kata Joyosudiro sambil mengamati wajah yang tampan itu.
"Paman, harap jangan berterima kasih kepada saya. Kalau hendak mengucap syukur dan terima kasih, katakanlah itu kepada Allah Yang Maha Kasih, yang selalu melindungi orang yang melangkah di jalan yang benar."
"Engkau benar, anakmas Sutejo. Akan tetapi Allah Yang Maha Kuasa telah memberi pertolonganNya lewat tenaga anakmas sehingga kami dapat tertolong dan selamat." kata pula Joyosudiro.
"Semua apa yang sayalakukan adalah kewajiban saya, paman. Melihat paman dan puteri paman diganggu penjahat,maka sudah menjadi kewajiban saya untuk turun tangan membantu paman berdua menentang penjahat."
"Lhadalah.......! Bijaksana benar tindakan dan ucapanmu, anakmas Sutejo. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah orang tuamu dan siapa pula gurumu?
"Maafkan saya, paman Joyosudiro, Semenjak kecil saya berpisah dari orang tua saya sehingga saya belum sempat mengenal nama dan wajah mereka. Adapun guru yang selama ini membimbing saya adalah mendiang Bapa Bhagawan Sidik Paningal dari Gunung Kawi."
"Bhagawan Sidik Paningal, tokoh dari Perguruan Jatikusumo itu? Apakah beliau telah meninggal dunia?"
"Benar, paman, belum lama ini bapa guru telah meninggal dunia."
"Dan kalau boleh kami mengetahui, andika hendak pergi ke manakah, anakmas Sutejo? Kenapa kebetulan dapat lewat di sini?"
"Saya sedang merantau, paman." jawab Sutejo yang tentu saja tidak ingin menceritakan semua tugas kewajiban yang dipikulnya.
"Apakah andika hendak mengunjungi pesta ulang tahun Perguruan Welut Ireng yang berada di Pegunungan Wilis?"
"Perguruan Welut ireng? Saya tidak mengetahuinya, paman. Apakah paman berdua hendak pergi ke sana?"
Ki Joyosudiro tersenyum. "Ah, aku hanya menghujanimu dengan pertanyaan sehingga lupa untuk menceritakan tentang diri kami sendiri. Ketahuilah, anakmas Sutejo. Aku bernama Joyosudiro dan di daerah Kediri namaku setidaknya cukup dikenal sebagai seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan. Ini adalah anakku satu-satunya, bernama Jayanti Kami berdua memang menerima undangan dari Perguruan Welut Ireng yang merayakan hari ulang tahunnya yang ke lima puluh dan kami sengaja ke sana, selain untuk memenuhi undangan, juga dengan maksud lain, yaitu mencarikan jodoh untuk puteriku Jayanti ini."
"Ihhh, bapa......!" Jayanti mencela dan wajahnya berubah kemerahan.
Akan tetapi Ki Joyosudiro tidak memperdulikan protes puterinya dan melanjutkan, "Sebetulnya, di Kediri terdapat banyak pemuda yang telah mengajukan pinangan terhadap puteriku, anakmas Sutejo. Akan tetapi di antara mereka tidak ada seorangpun yang memenuhi selera kami. Kami, terutama aku menghendaki agar Jayanti berjodoh dengan seorang pendekar muda yang digdaya dan budiman. Dan setelah kami bertemu denganmu, anakmas, hemmm.... agaknya kami telah menemukan orangnya. Anakmas Sutejo, maafkan kelancanganku, akan tetapi, apakah anakmas sudah beristeri?"
Wajah Sutejo berubah kemerahan dan dia menggeleng kepalanya.
"Bagus sekali kalau begitu! Anakmas Sutejo, kami akan berbahagia sekali kalau anakmas mau menerima Jayanti menjadi jodohmu. Engkau tentu setuju, bukan, Jayanti?"
"Ah, bapa.....!" Jayanti menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali, akan tetapi dari senyum yang menghias mulutnya mudah diketahui bahwa gadis itu setuju sekali.
"Maafkan saya, paman. Bukan sekali-kali saya menolak maksud baik dari paman, akan tetapi saya masih ingin merantau meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan. Saya sama sekali belum memikirkan tentang perjodohan. Karena itu, maafkan kalau saya terpaksa tidak dapat menerima uluran tangan paman dan saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati paman."
"Oh, tidak apa-apa. anakmas Sutejo. Ini hanya pernyataan yang jujur dan setulusnya dari hati kami. Tentu saja kami tidak memaksa. Bagaimanapun juga aku percaya akan takdir Ilahi, anakmas. Jodoh adalah takdir, maka kalau memang sudah berjodoh, kelak tentu akan dipertemukan, juga. Untuk sementara itu, cukup kalau anakmas mengetahui bahwa kami akan selalu mengharapkan anakmas menerima uluran tangan kami."
"Terima kasih atas pengertian paman yang bijaksana. Sekarang saya mohon diri, paman, hendak melanjutkan perjalanan perantauan saya."
"Nanti dulu, anakmas Sutejo. Andika tadi mengatakan bahwa andika merantau untuk menambah pengalaman dan pengetahuan. Nah, sekarang ini kesempatan baik sekali untuk menambah pengalaman dengan mengunjungi pesta ulang tahun Perkumpulan Welut Ireng di Pegunungan Wilis yang sudah tidak berapa jauh dari sini itu,"
"Pengalaman dan pengetahuan apa yang bisa saya dapatkan di sana, paman?" tanya Sutejo yang memang kurang pengalaman.
"Wah, di sana andika akan dapat bertemu dengan semua pendekar dari empat penjuru dan yang lebih dari itu, biasanya dalam pesta seperti, itu ada saja pihak-pihak yang menggunakan kesempatan itu untuk mencari nama sehingga timbul persaingan, pertentangan dan adu kedigdayaan. Dengan demikian, bukankah hal itu menarik sekali dan menambah luasnya pengalamanmu? Juga biasanya golongan sesat menggunakan arena itu untuk mengukur kekuatan mereka berhadapan dengan pihak yang menentang mereka, yaitu kaum pendekar."
"Hemm, kedengarannya menarik sekali." kata Sutejo, tertarik."Akan tetapi saya tidak mendapatkan undangan, bagaimana saya dapat berkunjung, paman?"
Tiba-tiba Jayanti berkata dan suaranya agak malu-malu. "Undangan seperti itu tidak terbatas, kakangmas Sutejo. Kita boleh datang dalam rombongan berapa orang saja dan engkau dapat menjadi anggauta rombongan kami yang hanya dua orang."
"Itu benar sekali, anakmas Sutejo. Marilah engkau ikut dengan kami." bujuk Ki Joyosudiro yang sebetulnya ingin menahan pemuda itu agar lebih lama bersama mereka dan memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk mengenal Jayanti lebih baik. Kalau pemuda itu bergaul lebih dekat dengan Jayanti dan persahabatan mereka menjadi akrab, mustahil kalau pemuda itu tidak jatuh hati kepada puterinya yang ayu manis. Bukankah cinta kasih tumbuh di atas pergaulan yang akrab?
Sutejo memang sudah tertarik sekali mendengar tentang pertemuan antara para pendekar itu, maka dia menyambut tawaran itu dengan gembira. "Baiklah, paman, asalkan saja tidak akan merepotkan paman dan diajeng Jayanti."
"Ah, merepotkan apa, kakangmas Sutejo? Bukankah engkau berjalan di atas kedua kakimu sendiri?" kata Jayanti yang sudah mulai hilang rasa rikuhnya dan menjadi agak berani.
Mereka bertiga lalu meninggalkan hutan itu dan mulai melakukan perjalanan ke perkampungan Welut Ireng di lereng Pegunungan Wilis.
Perguruan Welut Ireng adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang sudah terkenal di daerah Madiun sebagai sebuah perkumpulan yang tua. Perguruan ini mempunyai nama baik karena para muridnya bersikap sebagai pendekar-pendekar yang menentang kejahatan. Pada waktu itu, yang menjadi ketuanya adalah Ki Bargowo yang berusia lima puluh lima tahun, Dia hidup berdua dengan isterinya dan tidak mempunyai keturunan. Akan tetapi kehidupan kedua orang suami isteri ini tidak kesepian karena mereka mempunyai banyak murid dari anak-anak sampai dewasa sehingga mereka merasa seolah-olah mempunyai banyak anak. Para murid yang masih belajar dan tinggal di perkampungan Welut Ireng tidak kurang dari lima puluh orang banyaknya.
Pada hari itu, sejak pagi sekali, para murid Welut Ireng sibuk menghias perkampungan mereka, terutama rumah besar tempat tinggal Ki Bargowo. Semua orang tampak sibuk dan bergembira karena hari itu di perkampungan mereka akan diadakan pesta ulang tahun ke lima puluh dari perkumpulan Welut Ireng Di sepanjang lorong mulai dari pintu gapura serupai ke rumah Ki Bargowo dihiasi dengan janur kuning. Umbul-umbul, bunga dan kain beraneka warna menghias perkampungan itu sehingga tampak meriah.
Mengapa perguruan silat itu memakai nama yang aneh seperti itu? Perguruan Welut Ireng (Be璴ut Hitam) mengambil nama itu dari ilmu silat yang diajarkan di situ, yang berdasarkan dari Aji Welut Ireng. Ilmu Silat ini mengandalkan kecepatan dan kelincahan gerakan sehingga membuat pesilatnya licin bagaikan belut yang sukar ditangkap ataupun diserang.
Sejak pagi suasana di depan rumah Ki Bargowo tampak meriah dan wajah wajah para murid tampak gembira. Di depan rumah itu, dipekarangan yang luas didirikan tarub dan di tengah-tengah didirikan sebua panggung. Bagian kiri panggung ditempati para penabuh gamelan berikut tiga orang waranggana (pesinden) yang cantik-cantik. Sejak pagi, gamelan itu sudah dimainkan para penabuhnya, perlahan dan lambat, belum mengiringi para pesinden yang belum mulai bertembang.
Setelah matahari mulai menerangi tanah, mulailah para tamu berdatangan. Perguruan Welut Ireng adalah perguruan yang terpandang, dan surat undangan yang disebar cukup banyak, maka banyaklah tamu yang berdatangan. Selain para pamong praja di sekitar Madiun, juga para jagoan dan pendekar sama berdatangan, baik para pendekar golongan bersih maupun para jago silat golongan kotor. Gamelan ditabuh bertalu talu untuk menyambut datangnya para tamu.
Ki Bargowo sendiri bersama lima orang murid kepala menyambut di depan tarup, dan para murid lain mengantar para tamu menuju ke tempat duduk mereka yang sudah disediakan menurut kedudukan dan derajat mereka. Para pamong praja di suatu sisi panggung, para datuk persilatan dan para ketua perkumpulan silat yang besar di sisi yang lain, Sisanya untuk para tamu yang lain. Suasananya amat ramai, karena suara gamelan itu bertumbuk dengan suara para tamu yang riuh rendah saling bersalam-salaman dalam pertemuan di tempat itu.
Setelah para tamu memenuhi tempat itu, Ki Bargowo lalu naik ke atas panggung. Semua mata para tamu menatapnya dan suasana menjadi tenang karena para tamu menghentikan pembicaraan mereka, juga para penabuh gamelan menghentikan permainan mereka. Ki Bargowo tampak berwibawa ketika berdiri di tengah panggung itu. Tubuhnya tinggi kurus, berdiri tegak dan tampak masih kokoh kuat walaupun usianya sudah lima puluh lima tahun. Di pinggangnya terselip sebatang keris dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Wajahnya berwibawa dengan sepasang mata yang tajam berpengaruh, dan kumisnya yang melintang. Dengan suara lantang dia berkata untuk menyambut kedatangan para tamu.
"Para pini sepuh, para datuk, para pendekar dan saudara sekalian yang kami hormati! Hari ini kami keluarga Welut Ireng merayakan ulang tahun yang ke lima puluh. Atas kunjungan andika sekalian yang telah memenuhi undangan kami, kami mengucapkan selamat datang, salam hormat dan terima kasih kami. Juga terima kasih kami ucapkan atas segala macam sumbangan yang diberikan kepada kami. Kami persilakan andika sekalian untuk bergembira bersama kami, menikmati sekadar hidangan yang kami suguhkan dan sebentar lagi akan diadakan tayuban untuk menggembirakan suasana. Sementara itu, kalau terdapat kekurangan dalam sambutan dan pelayanan kami, kami mohon maaf sebesar-besarnya."
Sambutan yang singkat dari ketua Welut Ireng ini disambut tepuk sorak oleh para tamu, terutama mereka yang duduk di bawah panggung, yang sebagian besar adalah orang-orang muda. Mereka yang duduk di tempat terhormat, di panggung sisi kanan dan kiri, hanya mengangguk-angguk. Ketika Ki Joyosudiro, Jayanti dan Sutejo datang, mereka disambut dengan gembira oleh Ki Bargowo yang sudah mengenal Ki Joyosudiro dengan baik dan karena Ki Joyosudiro dianggap sebagai seorang pendekar ternama dari Kediri, maka mereka bertiga mendapatkan tempat terhormat di atas panggung. Dari tempat duduknya di atas itu Sutejo dapat melihat ke arah para tamu yang berada di bagian bawah, dan melihat pula siapa-siapa yang datang menjadi tamu. Setelah Ki Bargowo berbicara di atas panggung, maka yang bertugas menyambut tamu yang mungkin masih datang terlambat adalah para murid kepala. Adapun Ki Bargowo sendiri juga duduk di atas panggung, melayani bicara dengan para pamong praja dan para datuk yang dihormati.
Tiba-tiba Sutejo terkejut melihat datangnya serombongan tamu. Mereka terdiri dari tiga orang. Yang seorang adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh enam tahun, pemuda tampan gagah yang tidak dikenalnya. Akan tetapi dua orang lain segera dikenalnya karena mereka itu bukan lain adalah Maheso Seto dan isterinya, Rahmini, dua orang murid perguruan Jatikusumo atau masih terhitung kakak-kakak seperguruannya yang galak itu. Orang ketiga yang tidak dikenal Sutejo itu bukan lain adalah Priyadi, pemuda gagah perkasa yang sudah kita kenal. Setelah kembali ke perguruan Jatikusumo di pantai Laut Kidul, kebetulan datang undangan dari Welut Ireng, maka Priyadi. lalu menemani kedua kakak seperguruannya, Maheso Seto dan Rahmini, untuk mewakili perguruan Jatikusumo menghadiri pesta ulang tahun itu. Cangak Awu, saudara termuda mereka, tidak ikut dan bertugas melatih para murid tingkat rendahan.
Sutejo melihat betapa Maheso Seto dan Rahmini mengerutkan alisnya ketika para murid kepala Welut Ireng mempersilakan mereka bertiga duduk di bawah panggung bersama para tamu lain. Akan tetapi pemuda tampan yang datang bersama suami isteri itu hanya tersenyum saja.
Sutejo merasa senang bahwa dia duduk diatas panggung, jauh dari para murid Jatikusumo itu. Kalau dia duduk di bawah dan terlihat oleh mereka, tentu dia akan merasa tidak enak sekali. Dia dapat menduga betapa tak senang rasa hati Mahesa Seto dan Rahmini yang berwatak angkuh itu diberi tempat duduk di bawah panggung. Agaknya para murid kepala Welut Ireng tidak mengenal siapa mereka. Padahal perguruan Jati kusumo adalah sebuah perguruan yang besar dan terkenal sekali.
Sekalilagi Sutejo memandang penuh perhatian ketika dua orang tampak baru datang dan disambut para murid kepala Welut Ireng di pintu depan, Sutejo tidak mengenal dua orang itu, akan tetapi keadaan mereka sungguh menarik hati. Yang seorang adalah seorang kakek berusia kurang lebih lima puluh tahun, mukanya penuh brewok seperti seekor singa, tubuhnya tinggi besar dan pakaiannya jubah seperti pakaian pertapa atau pendeta. Sepasang mata kakek itu mencorong penuh kekuatan dalam sehingga Sutejo dapat menduga bahwa aorang ini tentu memiliki kesaktian.
Adapun orang kedua yang datang bersamanya adalah seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah cantik dan pesolek, tubuhnya padat menggairahkan dengan pinggang yang kecil sekali dan pinggul yang bulat menonjol besar seperti juga dadanya yang menonjol dan menantang. Pakaiannya pesolek, akan tetapi adanya sebatang pedang di punggungnya menunjukkan bahwa wanita ini bukan seorang yang lemah. Kembali para murid kepala Welut Ireng yang tidak mengenal keduanya, mempersilakan mereka duduk di bawah panggung.
Bukan hanya Sutejo yang memperhatikan dua orang itu. Akan tetapi juga Priyadi. Pemuda ini terkejut bukan main ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Ki Klabangkolo yang pernah ditandinginya ketika dia menolong Retno Susilo yang ditawan kakek itu. Akan tetapi dia tidak mengenal wanita cantik yang mata dan mulutnya amat genit itu. Mungkin ia murid atau anak Ki Klabangkolo? Begitu kakek itu muncul Priyadi menduga bahwa tentu di tempat itu akan terjadi keributan, mengingat akan watak kakek itu yang liar dan ganas. Akan tetapi sekali ini dia tidak merasa gentar. Biarpun kakek itu berbahaya dan sakti mandraguna, akan tetapi dia datang bersama kedua orang kakak seperguruannya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, yaitu Maheso Seto dan Rahmini, maka dia memandang dengan sikap tenang.
Ketika Ki Klabangkolo dan wanita cantik itu dipersilahkan duduk di bagian bawah panggung, wanita itu menyapu ruangan dengan kerling matanya. Kebetulan sekali ia memandang wajah Pri瓂adi dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dan tanpa berkata sesuatu ia sudah melangkah menghampiri Priyadi dan duduk di dekatnya! Dan setelah du璬uk, ia memainkan matanya, memandang kepada Priyadi, mengedip-ngedipkan matanya, atau me璴empar kerling yang menyambar wajah Priyadi dan tersenyum manis sekali. Priyadi mengerutkan alis璶ya dan setelah yakin bahwa wanita itu menga璲aknya main mata, diapun menundukkan mukanya, kemudian memperhatikan ke depan, ke arah panggung.
Akan tetapi tidak seperti wanita itu yapg segera mengambil tempat duduk di dekat Priyadi, Ki Klabangkolo tidak duduk dan seperti sudah dikhawatirkan Priyadi, dia membuat ulah. Dengan langkah tegap dia maju mendekati panggung, lalu berseru dengan lantang sekali karena dia menggunakan Aji Pekik Singanada sehingga suaranya bagaikan auman seekor singa.
"Ki Bargowo ketua Welut Ireng sungguh tidak menghormati orang. Dia memberi tempat kehormatan hanya kepada para bangsawan dan hartawan saja, Sebaliknya berani memandang rendah kepadaku yang hanya disambut para murid dan disuruh duduk di bawah, Apakah Ki Bargowo sudah mempunyai tiga kepala dan enam tangan maka berani memandang rendah kepada Klabangkolo?"
Teriakan lantang ini amat mengejutkan para tamu. Priyadi yang membenci Klabangkolo atas apa yang dilakukannya terhadap Retno Susilo, hampir saja menodai gadis itu, segera bangkit berdiri dan berseru lantang sekali karena diapun mengerahkan tenaga saktinya.
"Seorang tamu yang tidak menurut aturan tuan rumah adalah seorang yang tidak tahu aturan dan tidak layak menjadi tamu. Sebaiknya dia pergi saja dari ruangan ini!"
Kembali semua orang terkejut dan memandang kepada Priyadi yang sudah bangkit berdiri. Maheso Seto dan Rahmini juga terkejut dan heran melihat sikap adik seperguruan mereka itu.
"Adi Priyadi, mengapa engkau mencampuri urusan orang lain?" Rahmini mencela.
"Priyadi, engkau mencari gara-gara!" cela pula Maheso Seto.
"Kakang Maheso Seto dan mbakayu Rahmini, orang itu adalah Klabangkolo, seorang yang amat jahat dan sudah pernah bentrok dengan aku. Aku tidak senang dia membuat keributan di tempat ini." jawab Priyadi.
Sementara itu, ketika Klabangkolo mendengar orang mencelanya di depan banyak orang, mukanya berubah merah dan matanya terbelalak memandang ke arah pembicara. Agaknya dia lupa kepada Priyadi yang pernah bertanding dengannya ketika menolong Retno Susilo. Dia marah dan menantang.
"Bagus! Orang muda yang lancang mulut. Engkau sudah bosan hidup!"
Akan tetapi pada saat itu, wanita cantik yang duduk dekat Priyadi sudah melompat ke dekat Ki Klabangkolo dan dengan suara lantang ia berkata kepada kakek bermuka singa itu.
"Bapa Guru, biarkan aku yang menghadapi pemuda itu. Setelah berkata demikian, ia menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melayang seperti terbang saja ke atas panggung! Gerakannya amat indah dan menunjukkan ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Setelah berada di atas panggung wanita itu memandang ke arah Priyadi yang masih berdiri.
"Aku bernama Sekarsih dan Ki Klabangkolo adalah guruku. Orang muda yang lancang mulut, kalau engkau memiliki kepandaian, naiklah ke panggung ini dan mari kita bertanding, dari pada banyak bicara di sana!"
Ditantang begitu tentu saja Priyadi menjadi marah. Pantang bagi seorang satria untuk menolak sebuah tantangan, apa lagi datangnya tantangan dari seorang wanita.
"Adi Priyadi mau apa kau?" Maheso seto menegur Priyadi yang sudah melangkah.
"Aku ditantang kakang. Tak mungkin diam saja." Priyadi sudah menuju ke panggung dan setelah tiba di bawah panggung dia meloncat ke atas. Sebagai seorang yang mengenal aturan, Priyadi tidak berani meninggalkan tata cara sopan santun sebagai seorang tamu. maka dia lalu lebih dulu menghadap ke arah Ki Bargowo yang duduk bersama para pejabat dan para datuk di tempat kehormatan, membungkuk sambil merangkap kedua tangan melakukan sembah.
"Paman Bargowo, saya adalah seorang murid Perguruan Jatikusumo bernama Priyadi. Perkenankanlah saya menyambut tantangan wanita ini yang hendak mengganggu ketenangan pesta."
Ki Bargowo tersenyum dan mengangguk, senang dengan sikap yang sopan itu. Dia sudah terbiasa menghadapi pertandingan adu kepandaian seperti itu. Merupakan hal biasa saja dah alasannya memang macam-macam, Biasanya, yang menjadi alasan pertandingan adalah perebutan penari pada waktu tayuban. Akan tetapi sekali ini, pesta belum dimulai sudah akan ada pertandingan. Dan alasannya juga luar biasa. Kakek bernama Klabangkolo itu mencacinya dan wanita cantik itu adalah murid Klabangkolo yang kini memandang Priyadi yang berada di pihaknya, mencela perbuatan Klabangkolo. Karena itu dapat dibilang, bahwa Priyadi mewakilinya memberi hajaran kepada tamu yang kurang ajar itu.
"Silakan, anakmas Priyadi. Pertandingan bahkan akan menyemarakkan pesta ini." Dia lalu memerintahkan para penabuh gamelan untuk memainkan gamelan mereka untuk mengiringi pertandingan antara Priyadi dan wanita yang mengaku bernama Sekarsih. Gamelan ditabuh dan suasana menjadi meriah namun menegangkan. Semua mata ditujukan ke arah dua orang di atas panggung itu dengan penuh perhatian.
Dua orang itu bagaikan dua orang pemain wayang yang sedang berlagak di atas panggung. Yang pria ganteng dan gagah, juga gerak geriknya lemah lembut bagaikan Arjuna, sedangkan wanitanya cantik jelita, manis dan cekatan bagaikan Srikandi. Keduanya saing berhadapan dan yang membuat Priyadi merasa rikuh dan tidak enak adalah sikap wanita itu yang tersenyum manis dan mengerling tajam.
Di antara suara gamelan, suara wanita itu tidak dapat terdengar jelas oleh para tamu, akan tetapi tentu saja dapat terdengar jelas oleh Priyadi yang berdiri di depannya. "Aku girang sekali engkau mau maju dan naik ke sini, wong bagus! Aku dapat menduga bahwa seorang murid Perguruan Jatikusumo. Seperti engkau tentu memiliki kedigdayaan. Karena itu aku ingin sekali bertanding denganmu untuk sekedar berkenalan dan main-main."
"Main-main? Tidak, aku tidak main-main, Kalau engkau menantangku, jangan dikira aku takut! Sebagai tamu, gurumu sungguh tidak tahu aturan!
"Priyadi, namamu Priyadi. bukan? Nama yang bagus, seperti orangnya. Sebetulnya kita lebih cocok untuk menjadi kawan, bukan menjadi lawan."
"Sudahlah Sekarsih, jangan banyak cakap. Aku sudah datang memenuhi tantanganmu!"
"Berhati-hatilah. Priyadi, sungguh sayang kalau engkau sampai tewas atau terluka parah terkena aji pukulanku yang ampuh"
"Keluarkan semua kepandaianmu, aku siap melayanimu!" kata Priyadi yang sudah marah.
"Haiiiittt.....!!" Sekarsih mengeluarkan teriakan melengking dan mulailah ia menyerang. Serangannya cukup dahsyat sehingga Priyadi tidak berani memandang ringan. Dia mengelak cepat dan balas menyerang yang juga dapat dihindarkan dengan elakan oleh Sekarsih yang bergerak gesit sekali.
Terjadilah serang menyerang yang seru. Tukang penabuh gendang sibuk memainkan gendangnya. Dia memang pandai sehingga dapat menyesuaikan hentakan gendangnya dengan gerakan kedua orang itu sehingga setiap serangan tampak semakin mantap dan dahsyat. Gamelanpun dipukul gencar dan para tamu yang menonton menjadi semakin bersemangat dan tegang. Ternyata Priyadi dan Sekarsih memiliki kecepatan gerakan yang seimbang, bahkan ketika kedua tangan kanan mereka bertemu, keduanya terpental ke belakang, menunjukkan bahwa dalam hal kekuatan tenaga dalam, merekapun seimbang.
Diam-diam Sutejo yang mengikuti gerakan kedua orang itu penuh perhatian, menjadi kagum. Dari gerakan Priyadi, tahulah dia bahwa Priyadi adalah seorang murid perguruan, Jatikusumo yang tangguh. Priyadi dapat menggunakan Aji Harina Legawa dengan baik sehingga tubuhnya demikian lincah dan cekatan seperti seekor kijang muda. dan kedua tangannya mengandung tenaga sakti yang cukup kuat ketika dia bersilat dengan Aji Gelap Musti.
Priyadi merupakan seorang murid aliran Jatikusumo yang baik. Akan tetapi Sutejo mengerutkan alisnya menyaksikan sepak terjang lawan pemuda itu, yaitu Sekarsih. Sama sekali tidak disangkanya bahwa wanita cantik dan genit itu ternyata lincah bukan main dan juga memiliki tenaga yang cukup hebat sehingga mampu menandingi Priyadi! Dan yang lebih mengkhawatirkan hatinya, wanita itu agaknya mengalah dan tidak sungguh-sungguh menyerang Priyadi, lebih banyak mempertahankan diri saja. Agaknya kalau wanita itu membalas dengan serangan sungguh-sungguh seperti yang dilakukan Priyadi, pemuda itu ada kemungkinan besar akan kalah.
Yang paling gembira menyaksikan pertandingan ini adalah para tamu muda yang memang senang melihat pertandingan silat. Bahkan di antara mereka banyak yang diam-diam bertaruh. Akan tetapi Ki Klabangkolo mengerutkan alisnya. Dia merasa sama sekali tidak senang karena melihat betapa sampai demikian lamanya Sekarsih belum juga mampu mengalahkan pemuda itu. Dan dia memang ingin menonjolkan diri di tempat pesta yang dikunjungi para jagoan dari empat penjuru itu. ingin memperlihatkan diri siapa dia, kalau perlu dengan mengalahkan banyak lawan, Akan tetapi sebagai permulaan, Sekarsih mengecewakan, Padahal dia dapat melihat bahwa kalau Sekarsih mau, tentu akan dapat merobohkan pemuda itu dengan pukulan ampuh dan berbahaya. Karena sudah tidak dapat menahan rasa penasaran dan kemarahannya lagi. menduga bahwa Sekarsih memang sengaja mengalah terhadap pemuda yang tampan dan ganteng itu, Ki Klabangko lalu menggerakkan tubuhnya dan dia sudah melayang naik ke atas panggung, begitu dia menggerakkan tubuhnya, menyelinap di antara keduanya sambil mendorongkan kedua tangan ke kanan kiri, Priyadi dan Sekarsih berloncatan mundur dan menghentikan pertandingan mereka.
"Sekarsih! memalukan sekali engkau, tidak dapat merobohkan pemuda seperti ini. Hayo turunlah, biar aku sendiri yang turun tangan!" bentaknya marah dan melihat kemarahan gurunya, Sekarsih tidak berani membantah. Ia melempar kerling dan senyuman kepada Priyadi lalu melompat turun dari atas panggung.
Kini Priyadi berhadapan dengan Ki Klabangkolo. Priyadi berkata dengan lantang, mengatasi suara gamelan yang kini ditabuh perlahan karena pertandingan telah terhenti, dengan maksud agar dapat terdengar semua tamu yang hadir di situ. "Ki Klabangkolo, di mana-mana engkau hanya mendatangkan kekacauan dengan perbuatan jahatmu!"
Kini Ki Klabangkolo teringat kepada pemuda yang pernah menggagalkan dia memiliki gadis cantik dan gagah yang telah ditawannya dan dibawa ke dalam gua tengah hutan itu. Bukan main marahnya setelah dia mengenal Priyadi.
"Jadi engkaukah itu, engkau murid Jatikusumo berani menentangku?" Dia membuat gerakan ke depan,tubuhnya condong kedepan, kedua tangannya didorongkan ke arah dada Priyadi dan mulutnya mengeluarkan pekik yang menggetarkan seluruh tempat pesta.
"Aurrghhh......!" Kedua tangan yang didorongkan itu mendatangkan angin yang amat kuat dan itulah Aji Singorodra yang menjadi andalannya. Tadi Sekarsih pun sudah mengeluarkan aji ini, akan tetapi kehebatannya tidak seperti sekarang ketika dikerahkan oleh Ki Klabangkolo. Priyadi terkejut sekali dan cepat dia menghindar dengan loncatan ke samping. Dari samping dia membalas dengan pukulan Aji Gelap Musti, akan tetapi pukulannya ini dapat ditangkis oleh Ki Klabangkolo sehingga tangannya yang memukul terpental ke samping. Terjadi pertandingan yang seru dan gamelanpun ditabuh kembali dengan kerasnya mengiringi pertandingan kedua orang itu.
Sutejo menonton dengan penuh perhatian. Dia tahu bahwa kakek itu tangguh sekali dan agaknya pemuda yang dia yakin adalah seorang tokoh Jatikusumo yang tangguh itupun agaknya terdesak hebat. Dia merasa khawatir. Untuk kesekian kalinya Ki Klabangkolo menyerang dengan Aji Singorodra disertai pekik yang menggetarkan jantung lawan, pekik yang disebut Aji Singanada. Priyadi mengerahkan tenaga saktinya untuk melawan pengaruh pekik itu, akan tetapi kedudukannya tidak memungkinkan baginya untuk mengelak lagi. Karena itu terpaksa dia menyambut pukulan itu dengan dorongan kedua tangannya pula sambil mengerahkan Aji Gelap Musti.
"Wuuuuttt...... desss.....!!"Hebat sekali pertemuan antara dua tenaga sakti itu. Akan tetapi kalau tubuh Ki Klabangkolo hanya terdorong mundur tiga langkah, tubuh Priyadi terpental sampai keluar dari panggung! Pemuda itu merasa dadanya sesak, akan tetapi dia masih cukup gesit untuk mematahkan luncuran tubuhnya kebawah panggung dengan berjungkir balik. Ketika kedua kakinya menginjak tanah, dia terhuyung dan terpaksa dia harus mengakui keunggulan Ki Klabangkolo dan dia kembali kepada kedua orang kakaknya.
Klabangkolo tertawa bergelak di atas panggung dan dia berteriak nyaring, "Ha-ha-ha, kiranya hanya sebegitu saja kedigdayaan murid Jatikusumo? Kalau hanya sebegitu, biar sepuluh orang murid Jatikusumo maju, aku akan sanggup menandingi dan mengalahkan mereka!"
Sutejo mengerutkan alisnya dan hatinya menjadi panas. Biarpun tidak secara langsung, dia sendiripun murid aliran Jatikusumo sehingga ucapan Ki Klabangkolo itu juga menusuk perasaannya dan membuat dia merasa penasaran sekali. Dia bangkit berdiri dari tempat duduknya.
"Anakmas Sutejo, engkau hendak kemana?" tanya Ki Joyosudiro.
"Aku akan menghadapi raksasa yang sombong dan besar mulut itu, paman" jawab Sutejo dan dia sudah melangkah lebar ke tengah panggung.
Melihat seorang pemuda datang dan menghadapinya, Ki Klabangkolo tertawa mengejek, "Ha-ha-ha, engkau ini anak kecil maju kesini mau apa?"
"Mau menutup mulutmu yang terlalu lebar!" jawab Sutejo.
"Babo-babo, pulang sajalah ke pangkuan ibumu. Panggil ayahmu untuk melawan aku. Engkau masih terlalu muda dan lunak ha-ha!"
Pada saat itu tampak dua bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu Maheso Seto dan Rahmini telah berada di atas panggung. Maheso Seto memandang Sutejo dan berkata angkuh, "Sutejo, mundurlah. Engkau bukan lawannya, hanya akan membikin malu nama besar Jatikusumo, Biar kami yang menghadapi si sombong ini!"
Sutejo tidak berani membantah dan hanya dapat mengangguk lalu kembali ke tempat duduknya semula. Ki Joyosudiro menyambutnya dengan hati lega karena tadi dia khawatir sekali akan keselamatan pemuda itu.
"Siapakah mereka itu, anakmas?"tanyanya sambil memandang ke arah panggung. "Mereka berdua adalah kakak-kakak seperguruanku, paman."
"Ahh......!" Ki Joyosudiro memandang Sutejo sudah begitu tangguh apalagi kakak se perguruannya. Sementara itu, Maheso Seto yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu bersama isterinya sudah berhadapan dengan Ki Klabangkolo. Pendekar itu berkata suaranya tegas dan nyaring. "Ki Klabangkolo, benarkah bahwa tadi engkau menantang para murid Jatikusumo?"
Ki Klabangkolo yang mata keranjang itu memandang kepada Rahmini dengan sinar mata seperti hendak melahap wanita cantik itu, lalu berkata sambil tertawa. "Benar sekali, siapakah kalian ini!"
"Aku adalah Maheso Seto, murid kepala dari perguruan Jatikusumo dan ini adalah isteriku, Juga murid Jatikusumo! Kami berdua menerima tantanganmu, ataukah engkau takut menghadapi kami berdua?"
"Ha-ha-ha!" Ki Klabangkolo tertawa sombong. "Kalian boleh maju berdua, bertiga atau berlima! Atau guru kalian boleh maju, semua akan kuhajar!"
Maheso Seto adalah seorang yang berwatak keras, juga isterinya, Rahmini memiliki watak galak sekali. Mendengar ucapan itu, keduanya sudah menjadi marah bukan main.
"Raksasa busuk, engkau sudah bosan hidup!" teriak Rahmini. "Sambutlah seranganku!" Wanita itu sudah menyerang dan begitu menyerang ia sudah menggunakan Aji Gelap Musti yang merupakan aji andalan dari perguruan Jatikusumo.
"Wuuuttt......plakk!" Ki Klabangkolo menangkis dan dia merasa betapa lengannya tergetar, sama seperti yang dirasakan Rahmini sehingga keduanya maklum akan kebesaran tenaga lawan.
Akan tetapi Ki Klabangkolo masih juga menyombong. "Ha-ha ha, lunak sekali lenganmu, manis!"
Tentu saja Maheso Seto menjadi marah sekali. Dia menyerang dengan dahsyat dan tahu akan kehebatan pukulan itu, Ki Klabangkolo menghindarkan diri dengan mengelak. Terjadilah pertandingan yang amat seru. Ki Klabangkolo kini tidak lagi dapat mengumbar suaranya karena desakan dua orang suami isteri itu menyita seluruh perhatiannya dan dia harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya, mengerahkan seluruh tenaganya untuk dapat membendung gelombang serangan yang dilakukan mereka berdua. Diapun membalas dengan pukulan-pukulan ampuh. Namun, yang dihadapinya kini adalah murid pertama dan kedua dari Bhagawan Sindusakti. Tingkat kepandaian mereka sudah tinggi, mendekati tingkat guru mereka. Bahkan Maheso Seto sudah mencapai tingkat yang seimbang dengan gurunya!
Kalau saja mereka berdua itu harus menandingi Ki Klabangkolo satu lawan satu, kiranya merekapun akan mengalami kesukaran menundukkan raksasa itu. Akan tetapi karena mereka maju berdua, Ki Klabangkolo yang kini terdesak hebat. Ketika terdesak mundur, tiba-tiba Ki Klabangkolo memutar-mutar tubuhnya sehingga berpusing seperti gasing dan dari pusingan itu kadang mencuat kaki atau tangannya melakukan penyerangan. Gaya silat seperti ini membuat suami isteri itu berhati-hati dan mereka terpaksa mengubah serangan menjadi pertahanan sambil mengamati dan mempelajari gerakan lawan yang aneh itu.
Sementara itu, Priyadi yang duduk seorang diri dihampiri Sekarsih yang dengan beraninya kini duduk di atas kursi yang tadidi duduki Maheso Seto, tepat di samping Priyadi. "Priyadi, ternyata engkau tidak mampu mengalahkan guruku." kata Sekarsih sambil tersenyum ramah, sama sekali bukan senyum mengejek dan sikapnya seperti seorang sahabat saja.
"Hemm, akan tetapi aku tidak kalah olehmu!" kata Priyadi yang merasa diejek.
"Eh? Benarkah engkau tidak merasa kalah olehku? Tadi engkau sudah hampir kalah olehku ketika guruku naik ke panggung."
"Siapa bilang? Engkaulah yang hampir kalah olehku!" bantah Priyadi.
"Ah, agaknya engkau masih penasaran. Bagaimana kalau kita buktikan sekarang?"
"Maksudmu?"
"Kita lanjutkan pertarungan yang tadi terhenti karena munculnya guruku."
"Aku tidak ingin membikin ribut di sini dengan bertanding melawanmu."
"Tentu saja tidak di sini. Kita keluar, mencari tempat yang sepi. Hayo ikuti aku kalau memang engkau berani!" tantang Sekarsih sambil bangkit dan melangkah keluar.
Ditantang demikian, hati Priyadi yang masih panas karena kekalahannya melawan Ki Klabangkolo tadi, tidak dapat menahan lagi kemarahannya. Apa lagi ketika melirik ke atas panggung, dia melihat bahwa dua orang kakak seperguruannya tidak kalah bahkan dapat mendesak lawan. Dia yakin bahwa kedua orang kakaknya itu akan menang mengingat bahwa dulu, dia dan Retno Susilo yang mengeroyok raksasa tua itupun dapat mengusirnya. Diapun yakin akan mampu mengalahkan Sekarsih yang sama sombongnya dengan Ki Klabangkolo. Maka diapun mengejar keluar dari situ. Semua tamu yang sedang memperhatikan pertandingan di atas panggung, tidak melihat kepergian dua orang itu.
Pertandingan di atas panggung berjalan semakin seru. Gaya silat Ki Klabangkolo dengan tubuh berpusing itu tidak menguntungkannya setelah sepasang suami isteri itu mengubah daya serang mereka dengan daya tahan suami isteri itu tidak lagi menyerang, melainkan hanya mengelak atau menangkis kalau dari tubuh yang berpusing itu mencuat kaki atau tangan yang menyerang. Karena tidak mendapat sambutan, Ki Klabangkolo menjadi pusing sendiri dan membuang tenaga sia-sia. Maka dia menghentikan gerakan berpusing itu dan tiba-tiba dia mencondongkan tubuhnya ke depan dan melancarkan serangan Aji Singorodro kearah sepasang suami isteri itu. Melihat ini, Maheso Seto dan Rahmini juga menekuk lutut mereka dan keduanya mendorongkan tenaga ke depan menyambut seraDgan lawan dengan menyatukan tenaga.
"Wuuuuttt.... dessss....!!" Tenaga dorongan Singorodro bertemu dengan dua tenaga dorongan Gelap Musti. Kalau satu lawan satu, tentu Ki Klabangkolo lebih kuat. Akan tetapi sekali ini dikeroyok dua tenaga yang disatukan, dia terdorong mundur terus sampai terpaksa melompat turun dari atas panggung! Karena maklum bahwa kalau dilanjutkan dia tidak akan menang, Ki Klabangkolo meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi dan dengaa langkah lebar. Tidak ada orang yang berani menghalanginya.
Melihat betapa sepasang suami isteri itu dapat mengalahkan dan mengusir Ki Klabangkolo, Ki Bargowo sebagai tuan rumah segera menghampiri suami isteri itu dengan sikap hormat.
"Andika berdua telah dapat mengusir perusuh dan membikin terang muka kami. kami mengucapkan terima kasih dan silakan andika berdua mengambil tempat duduk di panggung kehormatan."
"Hemm, pantaskah bagi kami untuk duduk di panggung kehormatan, paman Bargowo?" kata Maheso Seto dengan suara yang angkuh mengandung teguran.
"Harap anakmas suka memaafkan saya. Karena tidak tahu siapa anakmas berdua, maka saya tidak mempersilakan andika berdua duduk di sini, Sekarang, silakah duduk di panggung kehormatan."
Dengan langkah angkuh Maheso Seto dan Rahmini melangkah ke arah panggung kehormatan, diantar oleh Ki Bargowo. Ketika tiba di depan Sutejo, Rahmini berkata kepada pemuda itu, "Untung engkau belum sempat bertanding tadi, kalau sudah, tentu engkau hanya akan membikin malu kepada kami dan merendahkan nama besar Jatikusumo!"
Sutejo tidak menjawab, hanya tersenyum saja. Setelah suami isteri itu duduk, agak jauh dari tempat duduk Sutejo, Jayanti yang duduk di sebelah ayahnya berkata lirih kepada Sutejo. "Kakangmas Sutejo, engkau mendapat marah dari kakak seperguruanmu?"
Sutejo tersenyum, "Tidak mengapa. Sudah sepantasnya seorang kakak seperguruan memberi teguran kepada adik seperguruannya bukan?"
Maheso Seto dan Rahmini mencari-cari dengan pandang matanya ke bawah panggung untuk mencari Priyadi, akan tetapi mereka tidak melihat adik seperguruan mereka itu. Mengira Priyadi sudah meninggalkan tempat pesta karena malu atas kekalahannya tadi, merekapun tidak memperdulikannya lagi.
Pesta dilanjutkan dalam suasana gembira. Ketika diadakan tayuban, mereka menari bergantian dengan meriah, akan tetapi tidak terjadi lagi keributan. Agaknya mereka yang suka membuat ribut segan melakukan keributan di situ setelah melihat betapa Ki Klabangkolo yang demikian saktinya dapat dikalahkan dan diusir dari tempat itu ketika mengadakan keributan.
Sampai pesta bubar Priyadi tidak tampak kembali. Semua tamu bubaran dan ketika Sutejo bersama Ki Joyosudiro dan Jayanti keluar dari tempat pesta, dia menggunakan kesempatan itu untuk mengatakan selamat berpisah dari Joyosudiro dan puterinya.
"Paman Joyosudiro dan diajeng Jayanti, sekarang saya mohon diri untuk melanjutkan perjalanan saya. Terima kasih atas ajakan paman sehingga saya dapat menghadiri pesta ulang tahun ini. Selamat tinggal."
Berat hati mereka, apa lagi Jayanti untuk berpisah dari pemuda yang membangkitkan rasa kagum dalam hati mereka itu. Akan terapi karena tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk menahannya, maka merekapun tidak dapat mencegah.
"Selamat berpisah, anakmas Sutejo. Kami hanya mengharap agar anakmas tidak melupakan kami dan tidak lupa akan usul perjodohan yang pernah kunyatakan kepadamu."
"Selamat jalan, kakangmas Sutejo. Semoga kelak kita akan dapat bertemu kembali." kata pula Jayanti.
Merekapun berpisahan. Kalau Sutejo berjalan lurus ke depan tanpa menengok lagi, adalah Jayanti yang beberapa kali memutar tubuh dan menoleh ke belakang untuk memandang ke arah perginya Sutejo. Dara ini merasa kehilangan sekali dan ia tahu benar bahwa ia telah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda perkasa yang pendiam dan lembut itu.
Mari kita ikuti Priyadi yang pergi dan tidak kembali lagi ke dalam tempat pesta sampai pesta dirumah Ki Bargowo itu bubaran. Seperti kita ketahui, dia ditantang oleh Sekarsih dan ketika wanita itu pergi meninggalkan tempat pesta, diapun mengikuti karena hatinya panas dan marah ditantang wanita itu.
Sekarsih berjalan cepat setengah berlari dan Priyadi terus mengikutinya dengan berjalan cepat pula. Sekarsih memasuki sebuah hutan di lereng bukit yang sunyi. Agaknya ia sudah hafal benar akan keadaan di situ sehingga larinya tanpa ragu lagi menuju ke tengah hutan. Priyaditerus meng ikutinya. Setelah tiba di tengah hutan, ternyata disitu terdapat sebuah tempat terbuka dan terdapat sebuah gubuk dari bambu yang agaknya belum lama didirikan orang. Sampai di situ, Sekarsih berhenti berlari, memutar tubuh dan menanti datangnya Priyadi sambil tersenyum dan matanya memandang genit.
Priyadi tiba di situ dan berdiri berhadapan dengan Sekarsih. Sambil tersenyum manis Sekarsih berkata, "Nah, kita sekarang telah berada di sini, hanya kita berdua saja di sini dan tidak ada orang lain. Sekarang apa yang akan kita lakukan, Priyadi?"
Priyadi mengerutkan alisnya. "Apa yang akan kita lakukan? Tentu saja bertanding sampai seorang di antara kita kalah. Bukankah engkau tadi menantangku?"
"Priyadi, tadi kita sudah bertanding dan ternyata kemampuan kita seimbang. Untuk apalagi kita bertanding? Anggap saja tidak ada yang menang maupun kalah di antara kita. Kita ini sama kuat dan kita serasi benar, bukan? Daripada kita bermusuhan, lebih baik kita bersahabat, bukankah akan lebih menyenangkan? Priyadi, engkau sungguh tampan dan ganteng, aku suka sekali padamu.�
Priyadi melangkah mundur dengan sendirinya ketika melihat wanita itu melangkah maju mendekatinya. Selama hidupnya belum pernah dia bergaulan dengan wanita, dan pertama kali dia tertarik dan merasa jatuh cinta kepada wanita hanyalah kepada Retno Susilo. Maka, sikap menantang Sekarsih itu membuat dia merasa ngeri.
"Sekarsih, apa yang kau kehendaki? Engkau tadi telah menghinaku, bahkan menantangku. Nah, marilah kita bertanding untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih tangguh!"
"Tidak, aku tidak ingin melukaimu atau kau lukai. Bukankah lebih baik kita bermesraan daripada berkelahi? Priyadi, aku Sekarsih amat suka kepadamu, aku kagum dan cinta padamu, ingin menjadi sahabat baikmu." Wanita itu melangkah maju dan mengulurkan kedua tangannya, seperti hendak memeluk.
"Jangan main gila! Aku bukan macam laki-laki yang mudah terjatuh ke dalam rayuanmu. Aku tidak sudi melayani kehendakmu yang mesum!" Priyadi mendamprat.
"Hi-hi-hik, engkau malu-malu dan takut? Agaknya engkau seorang perjaka sejati. Aku menjadi semakin kagum. Engkau belum pernah berdekatan dengan wanita? Mari, sayang. Tidak ada orang lain yang melihatnya, kita dapat bersenang-senang sepuasnya di sini." kembali Sekarsih maju dan menubruk.
Akan tetapi Priyadi mengelak lalu mengirim tamparan keras ke arah muka wanita itu, Hampir saja pipi kanan Sekarsih kena disambar tangan kiri Priyadi. Akan tetapi Sekarsih sudah mengelak dengan menarik kepalanya ke belakang ia mengeluarkan sebuah botol kecil dan cepat membuka tutupnya lalu menyiramkan isi botol ke muka Priyadi. Gerakannya amat cepat dan Priyadi sama sekali tidak menyangka akan diserang dengan isi botol yang merupakan cairan seperti air. Mukanya terkena percikan air yang terasa dingin dan tiba-tiba dia tertegun, memandang kepada wanita di depannya itu dengan mata terbelalak, seperti orang terpesona.
Dia tidak tahu bahwa isi botol itu adalah semacam alat guna-guna atau aji pengasihan yang disebut Tirta Asmara. Disertai kekuatan sihir atau guna-guna yang memancar keluar melalui mata Sekarsih, begitu muka Priyadi terkena percikan Tirta Asmara, dia seperti linglung, kehilangan kesadarannya. Dalam pandang matanya, Sekarsih tampak sebagai seorang dewi dari kahyangan yang teramat cantik jelita, membuat dia terkagum-kagum dan sekaligus jatuh cinta. Daya tarik wanita di depannya itu jauh lebih kuat dari pada daya tarik Retno Susilo yang pernah membuatnya jatuh cinta.
Sekarsih yang melihat serangannya berhasil baik, tersenyum lebar sehingga tampak deretan gigi putih di antara sepasang bibir yang merah menantang. Priyadi menjadi silau oleh kecantikan itu dan dia menjadi lemas dan tidak berdaya ketika Sekarsih mendekatinya dan memegang kedua tangannya.
"Priyadi, wong bagus kekasihku.....!" bisiknya dan dia merangkul leher Priyadi, ditariknya ke bawah sehingga muka Priyadi menunduk dan wanita itu menciumnya dengan penuh kemesraan dan penuh gairah nafsu. Priyadi yang selama hidupnya belum pernah berdekatan dengan wanita merasa dirinya melayang-layang dan dia menurut saja seperti seekor kerbau dituntun memasuki tempat penyembelihan ketika Sekarsih menuntunnya masuk ke dalam gubuk itu.
Nafsu daya rendah bagaikan harimau yang sudah siap untuk sewaktu-waktu menerkam kita kalau kita lengah. Priyadi adalah seorang pemuda yang berbatin kuat. Akan tetapi terkena Aji Tirta Asmara, pertahanannya ambruk dan dia membiarkan dirinya dikuasai nafsu. Ketika berada di dalam gubuk, daya pengaruh Tirta Asmara mulai menipis, akan tetapi Priyadi sudah berada dalam kekuasaan nafsunya sendiri, terbuai nafsu asmara sehingga dia lupa diri dan yang ada hanyalah menikmati anggur asmara yang memabokkan. Apa lagi dia mendapatkan seorang guru dalam permainan asmara yang pandai dan berpengalaman seperti Sekarsih, maka membuat dia semakin dalam tenggelam dan mabok.
Selama dua hari dua malam mereka berdua tenggelam ke dalam lautan asmara, membiarkan diri dibuai dan dipermainkan nafsu. Setelah pada hari ketiga, pagi-pagi benar mereka sudah terbangun dan Priyadi teringat akan dua orang kakak seperguruannya.
"Sekarsih, aku harus pergi sekarang. Kalau tidak, dua orang kakak seperguruanku tentu akan menjadi curiga dan mencariku. Aku harus kembali ke Pacitan."
Sekarsih tersenyum dan merangkul pemuda itu, ia sudah mempermainkan pemuda itu sepuas hatinya. Ia sudah biasa mencari dan mendapatkan pemuda-pemuda tampan untuk memuaskan nafsu berahinya yang tidak dapat disalurkan melalui hubungannya dengan Ki Klabangkolo yang menjadi gurunya dan juga kekasihnya itu. Ki Klabangkolo tahu akan kebiasaan murid dan kekasihnya itu, akan tetapi diapun tidak perduli karena diapun sewaktu waktu dapat mengambil wanita mana saja Untuk dijadikan kekasihnya. Cara hidup guru dan murid ini memang sudah bejat.
Sambil mengusap dagu Priyadi Sekarsih berkata, "Kalau memang begitu, pergilah Priyadi. Akan tetapi kuharap engkau tidak pernah melupakan Sekarsih dan mudah-mudahan saja kita akan dapat sering saling bertemu untuk melampiaskan kerinduan hati."
Setelah puas bermesraan sebagai perpisahan, Priyadi lalu meninggalkan hutan itu. Dia sibuk memikirkan alasan kalau nanti bertemu dua orang kakak seperguruannya yang galak, yang tentu akan bertanya ke mana saja dia pergi setelah meninggalkan tempat pesta ulang tahun perkumpulan Welut Ireng di daerah Madiun. Akan tetapi hanya sebentar saja dia memikirkan kakak seperguruannya dan mengkhawatirkan dirinya sendiri. Segera semua pengalaman dengan Sekarsih terbayang di pelupuk matanya. Semua yang dialaminya terbayang dari hal yang sekecil-kecilnya dan bayangan itu menimbulkan gairah.
Ingatan adalah alat nafsu. Dengan pikiran yang mengingat-ingat pengalaman yang menyenangkan dan dinikmati, maka pikiran seakan-akan mengunyah kembali makanan yang enak itu sehingga menimbulkan gairah baru untuk mengulang apa yang pernah dialami dan yang menimbulkan kenikmatan itu. Bahkan biasanya kenangan ini terasa lebih nikmat dari pada pengalaman yang sesungguhnya. Pikiran yang mengingat-ingat ini yang merupakan dorongan kuat untuk mengejar pelaksanaan dan pemuasan gairah nafsu.
Adalah wajar dan alami kalau seorang pemuda seperti Priyadi yang sudah berusia dua puluh enam tahun mulai terusik oleh nafsu berahi yang timbul dari dalam dirinya. Selama menjadi murid Jatikusumo, dia dapat bertahan terhadap godaan nafsu berahi, terutama sekali karena tidak mendapatkan peluang. Akan tetapi setelah bertemu dengan Sekarsih yang menyeretnya ke dalam pemuasan nafsu berahi, maka nafsu itu membakar dirinya sehingga berkobar-kobar, mendatangkan gairah nafsu yang menuntut pemuasan.
Seperti juga segala macam nafsu daya rendah lainnya, maka nafsu berahi merupakan anugerah dari Tuhan yang sepatutnya kita syukuri, karena tanpa adanya nafsu berahi ini, bagaimana mungkin manusia akan dapat berkembang biak? Nafsu berahi mempunyai tugas yang teramat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia di permukaan bumi. Dan Tuhan telah demikian Maha Kasih dan Maha Murah sehingga nafsu berahi mengandung kenikmatan bagi manusia sehingga manusia suka melakukan hubungan badan sebagai pelampiasan nafsu berahi.
Namun, di samping tugasnya yang suci dan tujuannya yang baik, sebagai peserta dalam kehidupan manusia yang amat berguna bagi perkembangan manusia, di lain pihak seperti juga semua nafsu, memiliki sifat merusak yang amat hebat. Seperti juga dengan nafsu daya rendah lainnya, nafsu berahi dapat menyeret manusia ke dalam perbuatan yang penuh kemaksiatan dan kejahatan. Hal ini terjadi kalau manusia tidak dapat menguasai nafsu berahinya dan sebaliknya nafsu berahi yang menguasainya sehingga manusia menjadi budak nafsu berahi.
Kalau sudah begini keadaannya, manusia dapat saja diseret oleh nafsu berahi untuk melakukan perbuatan sesat sehingga terjadilah perjinaan, pelacuran dan pemerkosaan. Tidak ada lagi pantangan bagi nafsu berahi yang sudah mendesak dan menuntut pemuasan dan manusia yang telah menjadi budaknya telah kehilangan kesadarannya, kehilangan pertimbangannya! Kalau sudah begitu, nafsu tidak lagi menjadi peserta atau pembantu yang baik, melainkan menjadi musuh yang paling jahat dan paling berbahaya bagi manusia.
Satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya hal ini kalau kita mampu mengendalikan nafsu sehingga tidak menjadi liar melainkan jinak dan menjadi pelayan kita yang baik. Akan tetapi sayangnya, mengendalikan nafsu ini lebih mudah dibicarakan dari pada dilaksanakan, Hati akal pikiran kita sejak kita kecil sudah dikuasai nafsu sehingga kita hampir tidak mungkin menggunakan hati akal pikiran untuk menundukkan dan mengen璬alikan nafsu.
Lalu bagaimana baiknya? Apa yang dapat kita manusia yang lemah ini lakukan untuk dapat mengembalikan nafsu ke tugasnya yang semula, yaitu menjadi peserta dan pelayan kita? Siapa yang akan mampu mengendalikan nafsu yang liar dan kuat itu? Tiada lain yang dapat menundukkan nafsu kecuali kekuasaan Tuban Sang Maha pencipta, Tuhan yang menciptakan nafsu, maka Tuhan sajalah yang akan mampu menundukkannya. Oleh karena itu, bagi kita manusia, jalan satu-satunya hanyalah berserah diri kepada Tuhan secara total, lahir batin dan sepenuhnya, mohon bimbingan Tuhan karena hanya dengan bimbingan Tuhan sajalah maka kita akan dapat mengendalikan nafsu, atau dengan kekuasaan Tuhan, nafsu dalam diri kita tidak akan menjadi liar lagi.
Priyadi tidak dapat mengusir bayangan-bayangan yang mendatangkan kenikmatan itu, bahkan makin diusahakan untuk mengusirnya bayangan-bayangan itu menjadi semakin jelas sehingga gairahnya terbakar, berkobar-kobar dan timbul keinginan besar sekali dalam dirinya untuk mengulang semua pengalaman yang nikmat bersama Sekarsih itu. Karena pikirannya melayang-layang itulah dia tidak memperdulikan lagi ke mana kakinya melangkah. Niatnya semula hendak pulang ke perkampungan Jatikusumo di daerah Pacitan, akan tetapi tanpa disadari lagi kakinya melangkah menuju ke timur!
Ketika dia tiba di tepi sungai yang mengalir ke timur, dia menyusuri sungai itu seperti orang yang sedang mimpi, tidak menyadari bahwa dia menyimpang jauh dari tujuannya hendak pulang ke perkampungan Jatikusumo! Tiba-tiba dia mendengar suara tawa merdu dan kecipak air, suara wanita-wanita sedang bersenda-gurau, tertawa dan menjerit kecil.
Priyadi tertarik dan cepat dia menyelinap di antara pohon-pohon, mendekati tepi sungai dari mana suara itu datang dan bersembunyi di balik semak-semak sambil mengintai, Jantungnya berdebar aneh ketika dia melihat lima orang gadis sedang mandi di sungai. Gadis-gadis itu mengenakan kain sebatas dada dan mereka bergembira sekali, saling memercikkan air dan mereka tertawa-tawa, menjerit-jerit kalau muka mereka terpercik air. Di tepi sungai terdapat keranjang-keranjang berisi pakaian yang habis dicuci.
Dahulu sebelum bertemu dengan Sekarsih. menghadapi penglihatan seperti ini dia tentu akan membuang muka dan menyingkir karena dianggapnya tidak sopan untuk mengintai wanita yang sedang mandi. Akan tetapi sekarang, sungguh aneh dan dia sendiri tidak menyadari akan perubahan pada dirinya ini dia merasa tertarik sekali dan jantungnya berdebar penuh gairah dan ketegangan ketika dia melihat tubuh-tubuh wanita muda itu.
Setiap kali mereka bangkit berdiri, tampak kain yang basah itu mencetak dada mereka sehingga seolah mereka tidak mengenakan pakaian. Pandang mata Priyadi segera melekat pada seorang di antara mereka yang paling manis dan berkulit putih mulus. Dalam pandangannya, gadis itu tampak demikian cantik Jelitanya sehingga dia merasa tertarik sekali.
Muncul bayangan dalam benaknya betapa akan senangnya merangkul dan mencumbu gadis itu. Bayangan ini seolah minyak yang disiramkan kepada api gairah berahinya sehingga berulang kali dia menelan ludah dan lehernya menjadi basah oleh keringat. Dari percakapan mereka yang bersenda gurau itu dia mendengar bahwa nama gadis yang menarik perhatiannya itu bernama Sumarni.
Bagaikan seorang anak kecil yang mendapatkan sebuah mainan baru, Priyadi terus mengintai para gadis dusun itu selesai mandi dan menukar kain mereka yang basah kuyup dengan kain yang baru, lalu mencuci kain yang basah itu, kemudian sambil tertawa-tawa riang mereka naik ke daratan dan sambil menjinjing keranjang pakaian mereka pergi meninggalkan sungai.
Priyadi diam-diam membayangi mereka, terutama gadis bernama Sumarni tadi. Dapat dibayangkan betapa senang hatinya ketika melihat bahwa Sumarni berpisah dari kawan-kawannya dan menuju ke sebuah dusun yang sudah tampak dari situ. Sumarni melenggang seorang diri, tidak tahu bahwa dia diamati orang dari belakang.
Lenggangnya yang santai dan wajar itu sungguh menarik hati Priyadi dan menimbulkan gairah. Pemuda itu membayangkan dia bermesraan dengan Sumarni seperti ketika dia bermesraan dengan Sekarsih dan bayangan ini memacu berahinya. Dia mempercepat langkahnya dan sebentar saja dia sudah menyusul Sumarni, mendahuluinya lalu memutar tubuh menghadangnya. Gadis dusun bermata bening itu terbelalak ketika melihat seorang pemuda tampan, berpakaian bukan seperti pemuda dusun, menghadang perjalanannya. Saking heran, terkejut, takut dan malu ia hanya berdiri terbelalak menatap wajah yang tampan itu.
Priyadi tersenyum dan wajahnya tampak semakin tampan. "Nimas, jangan kaget atau takut, aku ingin bercakap-cakap denganmu." katanya dengan lembut sehingga lenyap rasa takut dari hati Sumarni terganti rasa heran dan malu. Karena maklum bahwa dia berhadapan dengan orang kota, mungkin bangsawan, iapun hormat.
"Denmas.....mau... apakah menghadang perjalanan saya....?"
"Namamu Sumarni, bukan? Nama yang indah, seindah orangnya"
Sumarni terbelalak heran. "Bagaimana denmas dapat mengetahuinya?"
Priyadi tersenyum lebar. "Tentu saja aku tahu, Sumarni. Aku adalah dewa menjaga sungai, seringkali aku melihat engkau mandi di sungai."
"Ahhh.....!" Gadis itu terkejut dan terbelalak. Orang sedusunnya adalah orang yang percaya akan tahyul, maka kini dia memandang dewa itu dengan sinar mata takjub dan takut. "Denmas.... main-main....!" Ia masih membantah.
Priyadi tersenyum, menghampiri sebatang pohon sebesar paha orang dan sekali dia mengayun tangan ke arah batang pohon itu, terdengar suara keras dan batang pohon itu tumbang! "Kau percaya sekarang, cah ayu?"
Sumarni memandang terbelalak dan sekarang ia tidak ragu-ragn lagi. Pria tampan dan halus di depannya ini memang benar dewa penjaga sungai! "Ampunkan saya.... kalau saya membuat kesalahan disungai...." Ia melepaskan keranjang pakaiannya dan menyembah.
"Jangan engkau takut. Sumarni. Aku tidak marah kepadamu, sebaliknya, aku suka sekali kepadamu. Sumarni, aku menginginkan engkau untuk menjadi isteriku." Priyadi melangkah maju mendekat.
Sumarni memandang dengan mata terbelalak dan kedua pipi berubah kemerahan. Ia terkejut, heran, akan tetapi juga girang dan bangga. Seorang pria muda, tampan dan gagah seperti seorang bangsawan, bahkan ternyata dia seorang dewa sungai, jatuh cinta kepadanya dan ingin mempersuntingnya sebagai isteri. Akan tetapi ada juga rasa takut dan malu teraduk dalam hatinya. Sambil menundukkan mukanya yang kemerahan iapun menjawab lirih. "Pukulun.....!"
Mendengar sebutan untuk para dewa ini. Priyadi tertawa. "Sumarni wong manis, jangan sebut aku demikian. Aku lebih senang kalau engkau menyebut aku denmas atau kakangmas."
"....denmas.... kalau begitu... saya persilakan denmas bicara saja dengan orang tuaku..."
"Untuk meminangmu! Tentu saja, nimas Sumarni. Aku akan segera mengajukan pinangan kepada orang tuamu, akan tetapi aku ingin melepas rinduku kepadamu dulu." Setelah berkata demikian tiba-tiba dengan gerakan lembut Priyadi merangkul gadis itu.
Sumarni tersipu, seluruh tubuhnya gemetar, akan tetapi ia tidak menolak, jantungnya berdebar kencang membuat tenggorokannya seperti tersumbat. Apa lagi ketika Priyadi menciumnya, hampir pingsan ia dibuatnya, akan tetapi ada rasa bangga dan senang di sudut hatinya. Karena itu, ketika Priyadi mengangkat dan memondong tubuhnya, iapun hanya memejamkan kedua matanya.
"Marilah, manis....!" Priyadi memondong tubuh gadis itu dan membawanya ke dalam hutan yang berada di tepi sungai.
Gadis dusun yang lugu itu terlena oleh rayuan Priyadi. Yang merayunya adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, bukan pemuda dusun biasa melainkan seorang dewa! Apa lagi berulang kali Priyadi menjanjikan akan mengajukan pinangan kepada orang tuanya, maka gadis itupun jatuh dan menurut saja, pasrah saja apa yang dilakukan pe璵uda itu terhadap dirinya.
Priyadi tenggelam semakin dalam dicengkeram oleh nafsunya sendiri. Nafsu tidak pernah merasa cukup, tidak pernah kenyang. Makin dituruti, ia menjadi semakin lapar. Priyadi sudah mulai mabok dan lupa diri, lupa akan pelajaran tentang kebenaran yang dia terima dari perguruan Jatikusumo. Dia membiarkan dirinya terseret oleh nafsu berahi, bahkan dia menyeret pula orang lain untuk menjadi korban. Sumarni gadis dusun yang lugu itu jatuh oleh rayuannya dan menyerahkan diri dan kehormatannya begitu saja. Gadis itu terlalu percaya kepada DEWAnya. Bagi seorang gadis dusun seperti ia. Ia percaya bahwa mustahil seorang pemuda bangsawan yang ganteng seperti Priyadi, seorang dewa pula akan menipunya.
"Kakangmas, engkau belum memperkenalkan namamu kepadaku," bisik Sumarni lirih sambil menyandarkan kepalanya yang rambutnya terurai lepas itu ke atas dada Priyadi.
Priyadi yang memeluk Sumarni di atas pangkuannya menjawab dengan suara sungguh-sungguh. "Sumarni, namaku adalah Permadi. Sekarang engkau pulanglah lebih dulu. manis."
"Akan tetapi bukankah engkau akan pergi ke rumah orang tuaku bersamaku, kakangmas? Untuk meminangku?"
"Tentu saja aku akan menghadap orang tuamu untuk meminangmu. Akan tetapi aku harus berganti pakaian yang pantas dulu. Sebaiknya engkau pulang lebih dulu. Sudah terlalu lama engkau pergi ke sungai. Tunggulah aku, sore nanti pasti aku datang menghadap orang tuamu untuk melamarmu."
"Benarkah itu, kakangmas?" tanya Sumarni manja.
Priyadi menciumnya, lalu melepaskannya dari atas pangkuannya. "Tentu saja benar, wong ayu. Aku amat mencintamu dan aku ingin engkau menjadi isteriku. Nah, pulanglah agar orang tuamu tidak merasa khawatir. Nantikan aku sampai sore nanti."
"Baik, kakangmas. Aku akan menantimu."
Dengan langkah gontai dan tubuh lelah Sumarni membawa keranjang pakaiannya berjalan pulang, diikuti oleh pandang mata Priyadi. Ia tidak tahu betapa pemuda itu memandangnya dengan senyum kepuasan di bibirnya. Setelah Sumarni pergi, Priyadi lalu memutar tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Sore hari itu Sumarni menanti-nanti dengan hati gembira dan penuh harapan. Akan tetapi kegembiraannya makin menipis dan harapannya berubah menjadi kegelisahan setelah yang dinanti-nanti tidak kunjung muncul. Malam itu gadis dusun yang lugu ini menangis di dalam kamarnya. Penantiannya diulang sampai berhari hari berikutnya dan kalau malam ia menangis, menyesali nasibnya. Akan tetapi ia tidak berani menceritakan apa yang telah dialaminya itu kepada ayah bundanya. Tentu ayah bundanya akan marah bukan main kalau mendengar bahwa ia telah menyerahkan diri dan kehormatannya begitu saja kepada seorang pemuda yang baru saja dikenalnya.
Sumarni masih berusaha untuk bersembahyang di tepi sungai, mengharapkan kemunculan dewa penjaga sungai. Namun semua itu sia-sia belaka. Yang dinanti-nanti, diharap-harapkan tidak kunjung muncul. Setelah lewat beberapa hari barulah Sumarni kehilangan harapannya dan timbullah perasaan duka dan penyesalan yang mendalam.
Sesal kemudian tidak ada gunanya, bahkan hanya mendatangkan duka. Kejadian seperti yang dialami Sumarni itu terjadi di mana-mana sejak jaman dahulu sampai sekarang. Suatu peringatan yang harus diperhatikan oleh tiap orang wanita muda, terutama gadis-gadis, Kebanyakan dari mereka itu terlampau mudah terbujuk rayu, terlampau percaya kepada janji-janji muluk yang keluar dari mulut pria. Dengan mudahnya mereka minum secawan anggur yang disodorkan oleh pria kepadanya, menikmati anggur manis yang terasa nikmat.
Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa seteguk dua teguk anggur semanis madu itu mengandung racun yang akan merusakkan kehidupannya. Memang tidak dapat disangkal bahwa banyak pria yang bertanggung jawab, menikahi gadis yang telah dipersuntingnya sebelum menikah. Akan tetapi betapa lebih banyak lagi yang ingkar janji, habis manis sepah dibuang, seperti halnya Priyadi yang hanya ingin memiliki tubuh Sumarni untuk dinikmatinya, bukan untuk dicinta dan dijadikan isterinya.
Kalau hubungan yang sepenuhnya didorong oleh nafsu berahi itu tidak membuahkan hasil, masih mending. Akan tetapi bagaimana kalau sampai hubungan itu membuat si gadis menjadi hamil? Dan laki-laki itu pergi begitu saja tanpa pamit, tanpa tanggung jawab? Si gadislah yang akan menanggung segala resikonya. Malu dan nama buruk sebagai wanita murahan.
Priyadi berlari cepat dan baru dia berhenti berlari setelah tiba jauh dari tempat di mana dia berpisah dari Sumarni. Mulutnya menyungging senyuman, senyum kepuasan. Ada juga terasa sedikit penyesalan dalam hatinya, perasaan yang timbul dari kesadaran bahwa dia telah melakukan suatu perbuatan yapg tidak baik dan bersalah. Akan tetapi perasaan ini hanya tipis saja, dan segera lenyap tertutup oleh bayangan kemesraan yang dinikmatinya bersama Sumarni. Kepuasan memenuhi hatinya, kepuasan yang berujung kerinduan untuk mengulang kemesraan itu, untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Bukan hanya dari Sumarni atau Sekarsih, melainkan dari siapa saja, asalkan ia seorang wanita yang muda dan cantik jelita!
Dia tahu bahwa dia pulang terlambat beberapa hari dibandingkan kedua kakak seperguruannya, maka teringat ini dia segera mempercepat langkahnya menuju ke daerah Pacitan untuk pulang ke perkampungan perguruan Jatikusumo. Setelah senja barulah dia memasuki perkampungan Jatikusumo dan menghadap gurunya, Bhagawan Sindusakti yang menjadi ketua Jatikusumo. Pertapa yang berusia enam puluh tujuh tahun dan bertubuh sedang bersikap lembut ini sedang duduk dan di situ menghadap pula Maheso Seto dan Rahmi Di. Melibat kedatangan Priyadi, Maheso Seto mengerutkan alisnya dan Rahmini cemberut kepadanya. Priyadi lalu menghadap gurunya dan menghaturkan sembah.
"Engkau baru pulang, Priyadi? Ke mana sajakah engkau pergi? Mengapa tidak berbarengan dengan kedua orang kakakmu?" Sang Bhagawan Sindusakti menegurnya dengan halus.
"Maafkan saya, Bapa Guru. Saya memang meninggalkan Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini karena saya mengejar wanita jahat yang membikin kerusuhan di rumah Paman Bargowo."
"Hemm, begitukah? Dan bagaimana kesudahannya?" tanya Bhagawan Sindusakti.
Sejak menjadi murid Bhagawan Sindusakti, Priyadi belum pernah sekalipun membohongi gurunya. Akan tetapi sekarang, bagaimana dia dapat menceritakan semua pengalamannya dengan Sekarsih? Tidak ada lain jalan baginya kecuali berbohong. Satu perbuatan tidak benar biasanya memang disusul oleh perbuatan tidak benar selanjutnya. Satu kebohongan mau tidak mau disusul oleh kebohongan lain.
"Sayang sekali ia menghilang, Bapa Guru. Saya sudah mencari-carinya sampai dua hari namun tetap tidak dapat saya temukan. Barulah saya pulang."
"Priyadi," kata Bhagawan Sindusakti dan kini suaranya terdengar tegas. "Engkau telah membuat kesalahan yang besar sekali!"
Priyadi terkejut. Segera terlintas di benaknya peristiwa yang dialaminya dengan Sekarsih, kemudian dengan Sumarni. Apakah gurunya mengetahui akan hal itu? Akan tetapi tidak mungkin!
"A.... apakah maksud Bapa Guru? Kesalahan apa yang saya lakukan? Saya tidak merasa melakukan kesalahan apapun."
"Engkau berani menyangkal kesalahanmu, Adi Priyadi?" kata Rahmini dengan ketus. "Kalau saja tidak ada kami, bukankah engkau telah menghancurkan nama dan kehormatan perguruan kita Jatikusumo?"
"Adi Priyadi, engkau telah lancang memancing perkelahian dalam pesta Paman Bargowo dan engkau telah dikalahkan oleh Ki Klabangkolo. Kalau tidak ada kami berdua yang membalas kekalahanmu itu dengan mengalahkan Ki Klabangkolo, bukankah nama besar Jatikusumo akan jatuh di depan banyak pendekar? Engkau harus mengukur kemampuanmu sendiri dulu sebelum bertindak, Adi Priyadi! Lebih baik mulai sekarang engkau berlatih lebih tekun agar kemampuanmu meningkat sehingga lain kali tidak akan membikin malu Jatikusumo!"
"Apa yang dikatakan kakangmu benar, Priyadi. Jangan suka melagak di depan umum kalau engkau tidak yakin akan dapat mengatasi keadaan. Kalau engkau sampai dikalahkan orang jahat di depan umum, hal itu memang menjatuhkan nama besar Jatikusumo!" Bhagawan Sindusakti juga me璶egur.
Ditegur oleh dua orang kakak seperguruannya dan oleh gurunya, Priyadi hanya menundukkan mukanya. Akan tetapi dia merasa malu dan terpukul. Dia tahu bahwa Maheso Seto dan Rahmini, keduanya merasa iri kepadanya karena biasanya Bhagawan Sindusakti amat sayang kepadanya. Karena itu, mendapat kesempatan baik, kedua orang suami isteri itu memburukkan dirinya di depan guru mereka. Hemm, gerutunya dalam hati. Kalianpun kalau tidak maju bersama mengeroyok Ki Klabangkolo juga tidak akan dapat menandinginya. Akan tetapi mulutnya tidak mengatakan sesuatu.
Malam itu Priyadi tidak dapat tidur. Bermacam-macam bayangan bermain di benaknya. Bayangan tentang kemesraannya yang dia nikmati dari hubungannya dengan Sekarsih, kemudian dengan Sumarni yang menyenangkan. Akan tetapi diselingi bayangan ketika dia ditegur kedua orang kakak seperguruan dan juga gurunya yang membuat hatinya merasa penasaran dan tidak senang. Akhirnya dia membuka pintu kamarnya dan keluar dari dalam kamar, terus keluar dari rumah.
Hawa dingin dan sinar bulan menyambutnya di luar ramah. Dia menggigil. Bukan main dinginnya, malam mi, pikirnya. Akan tetapi suasananya menyenangkan karena sinar bulan purnama. Dia lalu berjalan-jalan menuju ke belakang pondok. Banyak pondok berdiri di belakang rumah besar tempat kediaman gurunya. Pondok-pondok ini adalah tempat tinggal para murid Jatikusumo.
Suasananya sepi sekali. Agaknya para murid sudah tidur. Memang lebih enak berdiam di dalam rumah daripada di luar yang amat dingin itu. Di belakang perkampungan Jatikusumo terdapat sebuah bukit dan seperti juga semua murid Jatikusumo, dia tahu bahwa di bukit itu terdapat sebuah sumur tua yang kering. Sumur ini dianggap keramat, oleh Bhagawan Sindusakti, dan dia, melarang para murid untuk mendekati sumur itu.
"Sumur itu telah dikutuk oleh eyang guru kalian, karena itu kalian jangan mendekatinya dan jangan mengganggunya. Sumur itu dapat mendatangkan malapetaka kepada siapa yang mendekatinya." demikian pesan Bhagawan Sindusakti.
Oleh karena itu, para murid Jatikusumo tidak ada yang berani mendekati dan menganggap sumur itu sebagai tempat tinggal iblis yang jahat. Apa lagi setiap malam Jumat Bhagawan Sindusakti menyuruh para murid melemparkan nasi kuning dan ingkung ayam yang di bungkus rapi ke dalam sumur, katanya untuk memberi hidangan kepada yang "mbaurekso" sumur itu. Semua murid menganggap sumur itu tempat yang keramat dan menyeramkan.
Akan tetapi pada malam hari yang terang dan dingin itu, seperti ada sesuatu yang mendorong Priyadi untuk mendaki bukit dan pergi ke sumur tua itu. Dia merasa penasaran dan juga berduka karena ditegur oleh kedua orang kakak seper璯uruannya dan oleh gurunya, merasa rendah diri. Ingin dia memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi di antara mereka semua agar dia jangan diperhina lagi, jangan dipandang rendah lagi.
Setelah tiba di tepi sumur tua, Priyadi duduk di atas batu besar yang terdapat di dekat sumur dan dia duduk bersila sambil termenung dengan prihatin. tiba-tiba dia mendengar suara seperti gerengan yang keluar dari dalam sumur kering yang tua itu. Tentu saja dia terkejut sekali dan bulu tengkuknya meremang, Pantasnya itu suara iblis dari dalam sumur, pikirnya. Akan tetapi kemurungannya mendatangkan keberanian yang nekat. Dia tidak melarikan diri melainkan mendengarkan lebih teliti, mencurahkan segenap perhatiannya terhadap suara itu.
"Heemmmm... hemmmm... hemmmm...!"
Suara itu berbunyi lagi, suara yang gemetar, menggigil seperti orang yang kedinginan. Priyadi turun dari atas batu, berdiri dekat sumur, menghadapinya dan siap untuk membela diri kalau ada iblis keluar dari sumur dan menyerangnya. Sementara itu, kedaa telinganya mendengarkan dengan penuh perhatian. Suara itu terdengar lagi dan alangkah herannya ketika suara gerengan itu disusul kata-kata yang menggigil kedinginan.
"Hemmm... hemm... aduh dinginnya... hemm... kejam sekali si Limut Manik....! Heemmmm.... mati aku.... mati kedinginan....!"
Priyadi merasa betapa tengkuknya menjadi tebal dan dingin. Akan tetapi ditekannya rasa takutnya dan dia lalu menjenguk ke dalam sumur. Gelap di dalam sumur karena sinar bulan masih berada di timur sehingga hanya menerangi permukaan sumur itu. Dia mempertajam pandangannya, akan tetapi tidak melihat ada gerakan dalam sumur. Dengan jantung berdebar dia lalu mengerahkan tenaga lalu berseru ke dalam sumur.
"Siapakah yang berada dalam sumur? Seorang manusiakah yang mengeluarkan kata-kata tadi?"
Hening sejenak dan terdengar gaung suaranya yang membalik setelah menyentuh dasar sumur, terdengar mengerikan seperti suara dari alam lain. Akan tetapi Priyadi telah dapat menenangkan batinnya dan dia bertekad untuk menyelidiki. Agaknya sumur ini mengandung rahasia pikirnya. Siapa tahu di dalam sumurbenar- benar ada orangnya. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam sumur.
"Siapa di atas? Engkaukah itu, Limut Manik? Jangan siksa aku lebih lama lagi. Turunlah dan bunuh saja aku, dari pada kau siksa begini, aku sudah tidak tahan lagi!"
Jantung Priyadi berdebar penuh ketegangan. Tak salah lagi. Di bawah sana ada orangnya! Orang yang ada hubungannya dengan mendiang eyang gurunya, Resi Limut Manik. Orang itu menyebut nama eyang gurunya begitu saja, tentu mempunyai hubungan yang dekat sekali!
"Tunggu, aku akan turun!" teriaknya dengan nekat dan dia lalu berlari cepat kembali ke pondok untuk mengambil gulungan tali yang cukup panjang. Lalu diikatkannya ujung tali itu ke sebatang pohon yang tumbuh dekat sumur, kemudian dengan penuh keberanian dia lalu turun ke dalam sumur melalui tali itu! Kakinya menyentuh dasar sumur yang kering, akan tetapi gelap. Ketika dia meraba-raba, dia mendapat kenyataan bahwa sumur itu menembus ke sebuah terowongan yang cukup besar.
"Ah, engkau benar-benar sudah turun ke dalam sumur? Cepat ke sinilah!" terdengar suara itu. suara yang menggigil. "Aku kedinginan dan hampir mati, tak dapat bergerak lagi....." Priyadi sambil meraba-raba lalu melangkah ke arah suara dari sebelah dalam terowongan.
Tiba-tiba, setelah melangkah agak lama dan jauh, dia melihat sebuah ruangan yang remang-remang, agaknya mendapat penerangan dari atas. Dia memasuki ruangan itu dan karena matanya sudah terbiasa, dia dapat melihat seorang kakek tua renta duduk di atas batu. Keadaan kakek itu menyedihkan sekali. Dia bertelanjang bulat, hanya mengenakan cawat dari kain yang sudah lusuh, tubuhnya kurus kering seperti jerangkong, akan tetapi sepasang matanya demikian tajam seperti mata harimau yang mencorong dalam kegelapan.
"Limut Manik, aku kedinginan tidak mampu turun dari sini, akan tetapi aku masih dapat membunuhmu!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba dua buah lengan yang tinggal tulang terbungkus kulit itu didorongkan ke depan, ke arah Priyadi dan ada hawa pukulan yang dahsyat sekali menyambar disertai suara bercuitan! Priyadi terkejut bukan main, mengenal pukulan jarak jauh yang ampuh sekali, maka diapun cepat-cepat memasang kuda-kuda dan mendorongkan kedua tangannya dengan Aji Gelap Musti.
Priyadi terlempar bagaikan daun kering tertiup angin dan tubuh belakangnya menghantam dinding terowongan dengan kuat sekali. Untung dia telah mengerahkan aji kekebalannya sehingga punggungnya tidak remuk. Akan tetapi dia merasa dadanya sesak.
"Ha-ha-ha-ha! Aku masih kuat, bukan? Engkaupun tidak mampu menahan pukulanku, padahal aku sudah sekarat, ha-ha-ha!" Jerangkong hidup itu tertawa-tawa dengan riangnya.
Priyadi merangkak bangkit, "Maaf, saya bukan Eyang Resi Limut Manik. Eyang Resi Limut Manik telah meninggal dunia." kata Priyadi, tidak berani mendekat lagi.
"Hah? Siapa andika?" tanya kakek itu dan agaknya dia baru melihat jelas bahwa orang yang datang itu bukan Resi Limut Manik seperti yang disangkanya semula. "Andika masih amat muda. Siapa andika?" Jerangkong itu bertanya dengan suara menggigil dan tubuhnya juga menggigil kedinginan. Memang hawa di dalam situ teramat dinginnya sehingga Priyadi juga merasakannya. Timbul rasa kasihan dalam hatinya. Dia mengenakan baju rangkap ketika keluar dari pondokannya tadi karena hawa amat dingin.
"Nama saya Priyadi, saya murid perguruan Jatikusumo, eyang."
"Hemmm, Siapa gurumu? Siapa ketua Jatikusumo sekarang?"
"Guru saya adalah Sang Bhagawan Sindusakti yang menjadi ketua Jatikusumo."
"Hemmm... Sindusakti? Dan engkau muridnya? Memalukan sekali, Jatikusumo hanya sebegitu saja tenaganya!"
Tiba-tiba Priyadi mendapat sebuah pikiran yang baik sekali, dia membuka baju luarnya dan menghampiri kakek itu. "Eyang, mari pakailah baju saya ini agar tidak terlalu dingin." Dia sendiri menyelimutkan baju itu di atas kedua pundak kakek itu.
"Hemm, engkau boleh juga. Akan tetapi, kaki tanganku kedinginan sampai sukar digerakkan, agaknya darahku sudah membeku...." kata kakek itu sambil menggigil. Tanpa diminta Priyadi segera memijati kaki tangan kakek itu dan mengurut-urut agar jalan darahnya normal kembali. Setelah kakek itu dapat menggerakkan kaki tangannya, tiba-tiba sekali tangan kiri kakek itu, yang hanya tinggal tulang dan kulit, telah mencengkeram tengkuk Priyadi. Kuku-kuku yang tajam runcing menusuk kulit tengkuknya.
"Namamu Priyadi? Hayo cepat bawa aku naik dan keluar dari sumur ini. Awas, sekali saja engkau membuat gerakan mencurigakan dan tidak menaati perintahku, sekali cengkeram lehermu akan patah dan engkau akan mati konyol!"
Priyadi dapat merasakan betapa kuatnya tanganyang mencengkeram tengkuk itu. Akan tetapidia masih bersikap tenang dan dia berkata, "Eyang ini sungguh aneh. Eyang seorang yang maha sakti, kalau hendak keluar dari sumur apa sih sukarnya, Mengapa harus menyuruh aku?"
"Bodoh! Kedua kakiku sudah lumpuh, dibikin lumpuh oleh si jahanam Limut Manik! Kalau kedua kakiku tidak lumpuh, apakah engkau kira aku betah tinggal di neraka ini sampai puluhan tahun lamanya? Hayo, jangan banyak cakap. Gendong aku di punggungmu dan bawa aku keluar dari sini!" Berkata demikian, kakek itu memperkuat cengkeramannya pada tengkuk sehingga Priyadi meringis kesakitan. Agaknya aji kekebalannya tidak mempan terhadap tangan kakek yang seperti jerangkong itu.
"Baiklah, eyang, akan tetapi jangan cekik saya keras-keras. Kalau kesakitan, bagaimana saya dapat menggendongmu?"
Ternyata kedua kaki kakek itu tergantung lemas tidak dapat digerakkan, akan tetapi sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melayang ke atas punggung Priyadi dan tangan ktn tetap mencekik tengkuk, sedangkan tangan kanan memegang pundak...
"Heh, bocah cilik! Mau apa engkau maju menghadapiku? Siapakah engkau dan mau apa engkau mencampuri urusanku?"
"Maheso Kroda, andika adalah seorang kepala perampok yang suka mengganggu siapa saja yang lewat di tempat ini. Aku Sutejo, dan melihat kejahatan yang kau lakukan ini, tentu saja aku tidak dapat tinggal diam saja. Hentikanlah perbuatan jahatmu ini, bubarkan anak buahmu dan bertaubatlah agar tidak sampai terpaksa aku menghajarmu!"
"Babo-babo, Sutejo keparat Ubun-ubunmu masih berbau kencur dan engkau berani menantang Maheso Kroda? Agaknya engkau sudah bosan hidup!"
"Majulah, Maheso Kroda. Akulah lawanmu!"
"Keparat, kulumatkan kepalamu!" Maheso Kroda sudah menyerang dengan tamparan tangan kanannya yang lebar dan besar. Tamparan itu kuat sekali dan tangan itu terisi tenaga sakti yang mampu menghancurkan batu karang. Bukan tidak mungkin bahwa tangan itu akan melumatkan kepala orang yang kena dihantamnya. Namun dengan gerakan ringan dan mudah saja Sutejo mengelak. Hanya sedikit saja dia membuat gerakan dengan kepalanya yang ditundukkan dan tamparan itu sudah lewat di atas kepalanya, Begitu tangan itu menyambar lewat, Sutejo menggerakkan tangan kirinya ke atas. jari-jari tangannya mengetuk lengan yang besar itu, tepat di bawah sikunya.
"Tuk...." Dua jari tangan mengetuk bawah siku.
"Aduh.....!" Tak tertahankan lagi Maheso Kroda berteriak karena lengannya seketika menjadi lumpuh. Uratnya telah kena ditotok sehingga terasa nyeri bukan main. Akan tetepi hanya sebentar rasa nyeri dan kelumpuhan itu. Dia sudah pulih kembali karena tubuhnya terlindung aji kekebalan yang cukup kuat. Marahlah dia. Sambil menggereng seperti seekor singa, dia menerkam dengan kedua lengan dikembangkan. Namun dia hanya menubruk angin karena pemuda itu sudah dapat menyelinap dan mengelak, dengan lebih cepat dari pada terkamannya. Maheso Kroda yang sudah marah sekali, melancarkan serangan secara bertubi-tubi, namun semua serangannya itu luput, dapat dielakkan oleh Sutejo yang bergerak lincah sekali.
Tubuh Maheso Kroda sampai berputaran saking terlalu bernafsu untuk dapat merobohkan lawannya, namun ke manapun dia menyerang, selalu dia menghantam atau menubruk tempat kosong. Ketika kembali dia menubruk Sutejo yang berada di depannya, pemuda itu menggeser kaki ke samping sehingga tubrukan itu luput, selagi tubuh Maheso Kroda condong ke depan karena daya tubrukannya tadi kaki Sutejo menendang lututnya.
"Aduhhh......!" Nyeri sekali rasanva sambungan lutut yang tertendang itu dan tak dapat dicegah lagi tubuh yang tinggi besar itu. roboh.
Sutejo tidak menyusulkan serangan, melainkan berdiri memandang sambil tersenyum. Bukan main kagumnya hati Joyosudiro dan Jayanti melibat betapa dengan mudahnya Sutejo mempermainkan dan merobohkaa lawan. Sepasang mata Jayanti berbinar-binar takjub. Akan tetapi Maheso Kroda sudah menjadi semakin marah. Dicabutnya senjatanya yang menyeramkan, yaitu sebatang keris yang besar dan panjang.
"Sutejo, lihatlah apa yang kupegang. Engkau akan mampus dengan usus terburai!" bentak Maheso Kroda dengan sepasang mata berubah kemerahan.
"Hemm, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, engkau sudah mengeluarkan pusaka. Majulah dengan kerismu itu, Maheso Kroda. Aku tidak takut menghadapi keris pemotong leher ayam itu!"
"Keparat, mampuslah kau!" Maheso Kroda membentak marah. "Majuuu....!" Dia memberi aba-aba dan semua anak buahnya bergerak maju dengan senjata masing-masing untuk mengeroyok Sutejo.
Maheso Kroda sendiri sudah menubruk dan menyerang dengan tusukan kerisnya ke arah perut Sutejo. Pemuda ini mengelak cepat sehingga tusukan itu mengenal tempat kosong. Melihat Maheso Kroda mengerahkan anak buahnya untuk mengeroyok, Joyosudiro dan Jayanti tidak tinggal diam Mereka berdua segera berloncatan maju dan mengamuk di antara para anak buah perampok. Terjadilah pertempuran yang seru dan kacau. Sutejo juga marah melihat kecurangan Maheso Kroda. Ketika kepala perampok itu menusukkan kerisnya lagi, dia menghindar ke samping dan ketika keris meluncur lewat, dia cepat menampar dengan Aji Gelap Musti.
"Wuuuttt...... dess......!" Biarpun tubuh kepala perampok itu kebal, namun ketika pundaknya dihajar pukulan itu tubuhnya terpelanting berputar dan diapun roboh!
Dia merasa pundak kanannya seperti remuk dan kerisnya yang besar panjang itu telah terlempar entah ke mana. Habislah semua nyali dalam hati perampok itu dan tanpa banyak cakap lagi, dia meloncat berdiri lalu melarikaa diri, tidak memperdulikan lagi kepada anak buahnya. Akan tetapi para anak buah perampok itu melihat betapa kepala perampok itu melarikan diri, maka seperti dikomando saja, mereka semua lari cerai berai den tunggang langgang! Mereka meninggalkan teman-teman yang terluka.
Sutejo tidak mengejar Maheso Kroda. Ketika Jayanti yang marah hendak melakukan pengejaran terhadap para perampok. Ki Joyosudiro mencegahnya. "Tidak perlu dikejar, biarkan saja mereka melarikan diri"
Para perampok yang terluka dan ditinggalkan lari teman-temannya, kini merangkak bangkit dan menyusul teman, teman mereka, berjalan terhuyung-huyung tanpa diganggu oleh Sutejo, Ki Joyosudiro dan Jayanti. Ayah dan anak itu kini berdiri menghadapi Sutejo dengan pandang mata bersukur dan kagum. "Anakmas Sutejo, kami ayah dan anak sungguh beruntung sekali mendapat bantuan andika sehingga kami terlepas dari ancaman bahaya di tangan para perampok itu. Kami sangat berterima kasih kepadamu, anakmas Sutejo." kata Joyosudiro sambil mengamati wajah yang tampan itu.
"Paman, harap jangan berterima kasih kepada saya. Kalau hendak mengucap syukur dan terima kasih, katakanlah itu kepada Allah Yang Maha Kasih, yang selalu melindungi orang yang melangkah di jalan yang benar."
"Engkau benar, anakmas Sutejo. Akan tetapi Allah Yang Maha Kuasa telah memberi pertolonganNya lewat tenaga anakmas sehingga kami dapat tertolong dan selamat." kata pula Joyosudiro.
"Semua apa yang sayalakukan adalah kewajiban saya, paman. Melihat paman dan puteri paman diganggu penjahat,maka sudah menjadi kewajiban saya untuk turun tangan membantu paman berdua menentang penjahat."
"Lhadalah.......! Bijaksana benar tindakan dan ucapanmu, anakmas Sutejo. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah orang tuamu dan siapa pula gurumu?
"Maafkan saya, paman Joyosudiro, Semenjak kecil saya berpisah dari orang tua saya sehingga saya belum sempat mengenal nama dan wajah mereka. Adapun guru yang selama ini membimbing saya adalah mendiang Bapa Bhagawan Sidik Paningal dari Gunung Kawi."
"Bhagawan Sidik Paningal, tokoh dari Perguruan Jatikusumo itu? Apakah beliau telah meninggal dunia?"
"Benar, paman, belum lama ini bapa guru telah meninggal dunia."
"Dan kalau boleh kami mengetahui, andika hendak pergi ke manakah, anakmas Sutejo? Kenapa kebetulan dapat lewat di sini?"
"Saya sedang merantau, paman." jawab Sutejo yang tentu saja tidak ingin menceritakan semua tugas kewajiban yang dipikulnya.
"Apakah andika hendak mengunjungi pesta ulang tahun Perguruan Welut Ireng yang berada di Pegunungan Wilis?"
"Perguruan Welut ireng? Saya tidak mengetahuinya, paman. Apakah paman berdua hendak pergi ke sana?"
Ki Joyosudiro tersenyum. "Ah, aku hanya menghujanimu dengan pertanyaan sehingga lupa untuk menceritakan tentang diri kami sendiri. Ketahuilah, anakmas Sutejo. Aku bernama Joyosudiro dan di daerah Kediri namaku setidaknya cukup dikenal sebagai seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan. Ini adalah anakku satu-satunya, bernama Jayanti Kami berdua memang menerima undangan dari Perguruan Welut Ireng yang merayakan hari ulang tahunnya yang ke lima puluh dan kami sengaja ke sana, selain untuk memenuhi undangan, juga dengan maksud lain, yaitu mencarikan jodoh untuk puteriku Jayanti ini."
"Ihhh, bapa......!" Jayanti mencela dan wajahnya berubah kemerahan.
Akan tetapi Ki Joyosudiro tidak memperdulikan protes puterinya dan melanjutkan, "Sebetulnya, di Kediri terdapat banyak pemuda yang telah mengajukan pinangan terhadap puteriku, anakmas Sutejo. Akan tetapi di antara mereka tidak ada seorangpun yang memenuhi selera kami. Kami, terutama aku menghendaki agar Jayanti berjodoh dengan seorang pendekar muda yang digdaya dan budiman. Dan setelah kami bertemu denganmu, anakmas, hemmm.... agaknya kami telah menemukan orangnya. Anakmas Sutejo, maafkan kelancanganku, akan tetapi, apakah anakmas sudah beristeri?"
Wajah Sutejo berubah kemerahan dan dia menggeleng kepalanya.
"Bagus sekali kalau begitu! Anakmas Sutejo, kami akan berbahagia sekali kalau anakmas mau menerima Jayanti menjadi jodohmu. Engkau tentu setuju, bukan, Jayanti?"
"Ah, bapa.....!" Jayanti menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali, akan tetapi dari senyum yang menghias mulutnya mudah diketahui bahwa gadis itu setuju sekali.
"Maafkan saya, paman. Bukan sekali-kali saya menolak maksud baik dari paman, akan tetapi saya masih ingin merantau meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan. Saya sama sekali belum memikirkan tentang perjodohan. Karena itu, maafkan kalau saya terpaksa tidak dapat menerima uluran tangan paman dan saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati paman."
"Oh, tidak apa-apa. anakmas Sutejo. Ini hanya pernyataan yang jujur dan setulusnya dari hati kami. Tentu saja kami tidak memaksa. Bagaimanapun juga aku percaya akan takdir Ilahi, anakmas. Jodoh adalah takdir, maka kalau memang sudah berjodoh, kelak tentu akan dipertemukan, juga. Untuk sementara itu, cukup kalau anakmas mengetahui bahwa kami akan selalu mengharapkan anakmas menerima uluran tangan kami."
"Terima kasih atas pengertian paman yang bijaksana. Sekarang saya mohon diri, paman, hendak melanjutkan perjalanan perantauan saya."
"Nanti dulu, anakmas Sutejo. Andika tadi mengatakan bahwa andika merantau untuk menambah pengalaman dan pengetahuan. Nah, sekarang ini kesempatan baik sekali untuk menambah pengalaman dengan mengunjungi pesta ulang tahun Perkumpulan Welut Ireng di Pegunungan Wilis yang sudah tidak berapa jauh dari sini itu,"
"Pengalaman dan pengetahuan apa yang bisa saya dapatkan di sana, paman?" tanya Sutejo yang memang kurang pengalaman.
"Wah, di sana andika akan dapat bertemu dengan semua pendekar dari empat penjuru dan yang lebih dari itu, biasanya dalam pesta seperti, itu ada saja pihak-pihak yang menggunakan kesempatan itu untuk mencari nama sehingga timbul persaingan, pertentangan dan adu kedigdayaan. Dengan demikian, bukankah hal itu menarik sekali dan menambah luasnya pengalamanmu? Juga biasanya golongan sesat menggunakan arena itu untuk mengukur kekuatan mereka berhadapan dengan pihak yang menentang mereka, yaitu kaum pendekar."
"Hemm, kedengarannya menarik sekali." kata Sutejo, tertarik."Akan tetapi saya tidak mendapatkan undangan, bagaimana saya dapat berkunjung, paman?"
Tiba-tiba Jayanti berkata dan suaranya agak malu-malu. "Undangan seperti itu tidak terbatas, kakangmas Sutejo. Kita boleh datang dalam rombongan berapa orang saja dan engkau dapat menjadi anggauta rombongan kami yang hanya dua orang."
"Itu benar sekali, anakmas Sutejo. Marilah engkau ikut dengan kami." bujuk Ki Joyosudiro yang sebetulnya ingin menahan pemuda itu agar lebih lama bersama mereka dan memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk mengenal Jayanti lebih baik. Kalau pemuda itu bergaul lebih dekat dengan Jayanti dan persahabatan mereka menjadi akrab, mustahil kalau pemuda itu tidak jatuh hati kepada puterinya yang ayu manis. Bukankah cinta kasih tumbuh di atas pergaulan yang akrab?
Sutejo memang sudah tertarik sekali mendengar tentang pertemuan antara para pendekar itu, maka dia menyambut tawaran itu dengan gembira. "Baiklah, paman, asalkan saja tidak akan merepotkan paman dan diajeng Jayanti."
"Ah, merepotkan apa, kakangmas Sutejo? Bukankah engkau berjalan di atas kedua kakimu sendiri?" kata Jayanti yang sudah mulai hilang rasa rikuhnya dan menjadi agak berani.
Mereka bertiga lalu meninggalkan hutan itu dan mulai melakukan perjalanan ke perkampungan Welut Ireng di lereng Pegunungan Wilis.
********************
Perguruan Welut Ireng adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang sudah terkenal di daerah Madiun sebagai sebuah perkumpulan yang tua. Perguruan ini mempunyai nama baik karena para muridnya bersikap sebagai pendekar-pendekar yang menentang kejahatan. Pada waktu itu, yang menjadi ketuanya adalah Ki Bargowo yang berusia lima puluh lima tahun, Dia hidup berdua dengan isterinya dan tidak mempunyai keturunan. Akan tetapi kehidupan kedua orang suami isteri ini tidak kesepian karena mereka mempunyai banyak murid dari anak-anak sampai dewasa sehingga mereka merasa seolah-olah mempunyai banyak anak. Para murid yang masih belajar dan tinggal di perkampungan Welut Ireng tidak kurang dari lima puluh orang banyaknya.
Pada hari itu, sejak pagi sekali, para murid Welut Ireng sibuk menghias perkampungan mereka, terutama rumah besar tempat tinggal Ki Bargowo. Semua orang tampak sibuk dan bergembira karena hari itu di perkampungan mereka akan diadakan pesta ulang tahun ke lima puluh dari perkumpulan Welut Ireng Di sepanjang lorong mulai dari pintu gapura serupai ke rumah Ki Bargowo dihiasi dengan janur kuning. Umbul-umbul, bunga dan kain beraneka warna menghias perkampungan itu sehingga tampak meriah.
Mengapa perguruan silat itu memakai nama yang aneh seperti itu? Perguruan Welut Ireng (Be璴ut Hitam) mengambil nama itu dari ilmu silat yang diajarkan di situ, yang berdasarkan dari Aji Welut Ireng. Ilmu Silat ini mengandalkan kecepatan dan kelincahan gerakan sehingga membuat pesilatnya licin bagaikan belut yang sukar ditangkap ataupun diserang.
Sejak pagi suasana di depan rumah Ki Bargowo tampak meriah dan wajah wajah para murid tampak gembira. Di depan rumah itu, dipekarangan yang luas didirikan tarub dan di tengah-tengah didirikan sebua panggung. Bagian kiri panggung ditempati para penabuh gamelan berikut tiga orang waranggana (pesinden) yang cantik-cantik. Sejak pagi, gamelan itu sudah dimainkan para penabuhnya, perlahan dan lambat, belum mengiringi para pesinden yang belum mulai bertembang.
Setelah matahari mulai menerangi tanah, mulailah para tamu berdatangan. Perguruan Welut Ireng adalah perguruan yang terpandang, dan surat undangan yang disebar cukup banyak, maka banyaklah tamu yang berdatangan. Selain para pamong praja di sekitar Madiun, juga para jagoan dan pendekar sama berdatangan, baik para pendekar golongan bersih maupun para jago silat golongan kotor. Gamelan ditabuh bertalu talu untuk menyambut datangnya para tamu.
Ki Bargowo sendiri bersama lima orang murid kepala menyambut di depan tarup, dan para murid lain mengantar para tamu menuju ke tempat duduk mereka yang sudah disediakan menurut kedudukan dan derajat mereka. Para pamong praja di suatu sisi panggung, para datuk persilatan dan para ketua perkumpulan silat yang besar di sisi yang lain, Sisanya untuk para tamu yang lain. Suasananya amat ramai, karena suara gamelan itu bertumbuk dengan suara para tamu yang riuh rendah saling bersalam-salaman dalam pertemuan di tempat itu.
Setelah para tamu memenuhi tempat itu, Ki Bargowo lalu naik ke atas panggung. Semua mata para tamu menatapnya dan suasana menjadi tenang karena para tamu menghentikan pembicaraan mereka, juga para penabuh gamelan menghentikan permainan mereka. Ki Bargowo tampak berwibawa ketika berdiri di tengah panggung itu. Tubuhnya tinggi kurus, berdiri tegak dan tampak masih kokoh kuat walaupun usianya sudah lima puluh lima tahun. Di pinggangnya terselip sebatang keris dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Wajahnya berwibawa dengan sepasang mata yang tajam berpengaruh, dan kumisnya yang melintang. Dengan suara lantang dia berkata untuk menyambut kedatangan para tamu.
"Para pini sepuh, para datuk, para pendekar dan saudara sekalian yang kami hormati! Hari ini kami keluarga Welut Ireng merayakan ulang tahun yang ke lima puluh. Atas kunjungan andika sekalian yang telah memenuhi undangan kami, kami mengucapkan selamat datang, salam hormat dan terima kasih kami. Juga terima kasih kami ucapkan atas segala macam sumbangan yang diberikan kepada kami. Kami persilakan andika sekalian untuk bergembira bersama kami, menikmati sekadar hidangan yang kami suguhkan dan sebentar lagi akan diadakan tayuban untuk menggembirakan suasana. Sementara itu, kalau terdapat kekurangan dalam sambutan dan pelayanan kami, kami mohon maaf sebesar-besarnya."
Sambutan yang singkat dari ketua Welut Ireng ini disambut tepuk sorak oleh para tamu, terutama mereka yang duduk di bawah panggung, yang sebagian besar adalah orang-orang muda. Mereka yang duduk di tempat terhormat, di panggung sisi kanan dan kiri, hanya mengangguk-angguk. Ketika Ki Joyosudiro, Jayanti dan Sutejo datang, mereka disambut dengan gembira oleh Ki Bargowo yang sudah mengenal Ki Joyosudiro dengan baik dan karena Ki Joyosudiro dianggap sebagai seorang pendekar ternama dari Kediri, maka mereka bertiga mendapatkan tempat terhormat di atas panggung. Dari tempat duduknya di atas itu Sutejo dapat melihat ke arah para tamu yang berada di bagian bawah, dan melihat pula siapa-siapa yang datang menjadi tamu. Setelah Ki Bargowo berbicara di atas panggung, maka yang bertugas menyambut tamu yang mungkin masih datang terlambat adalah para murid kepala. Adapun Ki Bargowo sendiri juga duduk di atas panggung, melayani bicara dengan para pamong praja dan para datuk yang dihormati.
Tiba-tiba Sutejo terkejut melihat datangnya serombongan tamu. Mereka terdiri dari tiga orang. Yang seorang adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh enam tahun, pemuda tampan gagah yang tidak dikenalnya. Akan tetapi dua orang lain segera dikenalnya karena mereka itu bukan lain adalah Maheso Seto dan isterinya, Rahmini, dua orang murid perguruan Jatikusumo atau masih terhitung kakak-kakak seperguruannya yang galak itu. Orang ketiga yang tidak dikenal Sutejo itu bukan lain adalah Priyadi, pemuda gagah perkasa yang sudah kita kenal. Setelah kembali ke perguruan Jatikusumo di pantai Laut Kidul, kebetulan datang undangan dari Welut Ireng, maka Priyadi. lalu menemani kedua kakak seperguruannya, Maheso Seto dan Rahmini, untuk mewakili perguruan Jatikusumo menghadiri pesta ulang tahun itu. Cangak Awu, saudara termuda mereka, tidak ikut dan bertugas melatih para murid tingkat rendahan.
Sutejo melihat betapa Maheso Seto dan Rahmini mengerutkan alisnya ketika para murid kepala Welut Ireng mempersilakan mereka bertiga duduk di bawah panggung bersama para tamu lain. Akan tetapi pemuda tampan yang datang bersama suami isteri itu hanya tersenyum saja.
Sutejo merasa senang bahwa dia duduk diatas panggung, jauh dari para murid Jatikusumo itu. Kalau dia duduk di bawah dan terlihat oleh mereka, tentu dia akan merasa tidak enak sekali. Dia dapat menduga betapa tak senang rasa hati Mahesa Seto dan Rahmini yang berwatak angkuh itu diberi tempat duduk di bawah panggung. Agaknya para murid kepala Welut Ireng tidak mengenal siapa mereka. Padahal perguruan Jati kusumo adalah sebuah perguruan yang besar dan terkenal sekali.
Sekalilagi Sutejo memandang penuh perhatian ketika dua orang tampak baru datang dan disambut para murid kepala Welut Ireng di pintu depan, Sutejo tidak mengenal dua orang itu, akan tetapi keadaan mereka sungguh menarik hati. Yang seorang adalah seorang kakek berusia kurang lebih lima puluh tahun, mukanya penuh brewok seperti seekor singa, tubuhnya tinggi besar dan pakaiannya jubah seperti pakaian pertapa atau pendeta. Sepasang mata kakek itu mencorong penuh kekuatan dalam sehingga Sutejo dapat menduga bahwa aorang ini tentu memiliki kesaktian.
Adapun orang kedua yang datang bersamanya adalah seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah cantik dan pesolek, tubuhnya padat menggairahkan dengan pinggang yang kecil sekali dan pinggul yang bulat menonjol besar seperti juga dadanya yang menonjol dan menantang. Pakaiannya pesolek, akan tetapi adanya sebatang pedang di punggungnya menunjukkan bahwa wanita ini bukan seorang yang lemah. Kembali para murid kepala Welut Ireng yang tidak mengenal keduanya, mempersilakan mereka duduk di bawah panggung.
Bukan hanya Sutejo yang memperhatikan dua orang itu. Akan tetapi juga Priyadi. Pemuda ini terkejut bukan main ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Ki Klabangkolo yang pernah ditandinginya ketika dia menolong Retno Susilo yang ditawan kakek itu. Akan tetapi dia tidak mengenal wanita cantik yang mata dan mulutnya amat genit itu. Mungkin ia murid atau anak Ki Klabangkolo? Begitu kakek itu muncul Priyadi menduga bahwa tentu di tempat itu akan terjadi keributan, mengingat akan watak kakek itu yang liar dan ganas. Akan tetapi sekali ini dia tidak merasa gentar. Biarpun kakek itu berbahaya dan sakti mandraguna, akan tetapi dia datang bersama kedua orang kakak seperguruannya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, yaitu Maheso Seto dan Rahmini, maka dia memandang dengan sikap tenang.
Ketika Ki Klabangkolo dan wanita cantik itu dipersilahkan duduk di bagian bawah panggung, wanita itu menyapu ruangan dengan kerling matanya. Kebetulan sekali ia memandang wajah Pri瓂adi dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dan tanpa berkata sesuatu ia sudah melangkah menghampiri Priyadi dan duduk di dekatnya! Dan setelah du璬uk, ia memainkan matanya, memandang kepada Priyadi, mengedip-ngedipkan matanya, atau me璴empar kerling yang menyambar wajah Priyadi dan tersenyum manis sekali. Priyadi mengerutkan alis璶ya dan setelah yakin bahwa wanita itu menga璲aknya main mata, diapun menundukkan mukanya, kemudian memperhatikan ke depan, ke arah panggung.
Akan tetapi tidak seperti wanita itu yapg segera mengambil tempat duduk di dekat Priyadi, Ki Klabangkolo tidak duduk dan seperti sudah dikhawatirkan Priyadi, dia membuat ulah. Dengan langkah tegap dia maju mendekati panggung, lalu berseru dengan lantang sekali karena dia menggunakan Aji Pekik Singanada sehingga suaranya bagaikan auman seekor singa.
"Ki Bargowo ketua Welut Ireng sungguh tidak menghormati orang. Dia memberi tempat kehormatan hanya kepada para bangsawan dan hartawan saja, Sebaliknya berani memandang rendah kepadaku yang hanya disambut para murid dan disuruh duduk di bawah, Apakah Ki Bargowo sudah mempunyai tiga kepala dan enam tangan maka berani memandang rendah kepada Klabangkolo?"
Teriakan lantang ini amat mengejutkan para tamu. Priyadi yang membenci Klabangkolo atas apa yang dilakukannya terhadap Retno Susilo, hampir saja menodai gadis itu, segera bangkit berdiri dan berseru lantang sekali karena diapun mengerahkan tenaga saktinya.
"Seorang tamu yang tidak menurut aturan tuan rumah adalah seorang yang tidak tahu aturan dan tidak layak menjadi tamu. Sebaiknya dia pergi saja dari ruangan ini!"
Kembali semua orang terkejut dan memandang kepada Priyadi yang sudah bangkit berdiri. Maheso Seto dan Rahmini juga terkejut dan heran melihat sikap adik seperguruan mereka itu.
"Adi Priyadi, mengapa engkau mencampuri urusan orang lain?" Rahmini mencela.
"Priyadi, engkau mencari gara-gara!" cela pula Maheso Seto.
"Kakang Maheso Seto dan mbakayu Rahmini, orang itu adalah Klabangkolo, seorang yang amat jahat dan sudah pernah bentrok dengan aku. Aku tidak senang dia membuat keributan di tempat ini." jawab Priyadi.
Sementara itu, ketika Klabangkolo mendengar orang mencelanya di depan banyak orang, mukanya berubah merah dan matanya terbelalak memandang ke arah pembicara. Agaknya dia lupa kepada Priyadi yang pernah bertanding dengannya ketika menolong Retno Susilo. Dia marah dan menantang.
"Bagus! Orang muda yang lancang mulut. Engkau sudah bosan hidup!"
Akan tetapi pada saat itu, wanita cantik yang duduk dekat Priyadi sudah melompat ke dekat Ki Klabangkolo dan dengan suara lantang ia berkata kepada kakek bermuka singa itu.
"Bapa Guru, biarkan aku yang menghadapi pemuda itu. Setelah berkata demikian, ia menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melayang seperti terbang saja ke atas panggung! Gerakannya amat indah dan menunjukkan ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Setelah berada di atas panggung wanita itu memandang ke arah Priyadi yang masih berdiri.
"Aku bernama Sekarsih dan Ki Klabangkolo adalah guruku. Orang muda yang lancang mulut, kalau engkau memiliki kepandaian, naiklah ke panggung ini dan mari kita bertanding, dari pada banyak bicara di sana!"
Ditantang begitu tentu saja Priyadi menjadi marah. Pantang bagi seorang satria untuk menolak sebuah tantangan, apa lagi datangnya tantangan dari seorang wanita.
"Adi Priyadi mau apa kau?" Maheso seto menegur Priyadi yang sudah melangkah.
"Aku ditantang kakang. Tak mungkin diam saja." Priyadi sudah menuju ke panggung dan setelah tiba di bawah panggung dia meloncat ke atas. Sebagai seorang yang mengenal aturan, Priyadi tidak berani meninggalkan tata cara sopan santun sebagai seorang tamu. maka dia lalu lebih dulu menghadap ke arah Ki Bargowo yang duduk bersama para pejabat dan para datuk di tempat kehormatan, membungkuk sambil merangkap kedua tangan melakukan sembah.
"Paman Bargowo, saya adalah seorang murid Perguruan Jatikusumo bernama Priyadi. Perkenankanlah saya menyambut tantangan wanita ini yang hendak mengganggu ketenangan pesta."
Ki Bargowo tersenyum dan mengangguk, senang dengan sikap yang sopan itu. Dia sudah terbiasa menghadapi pertandingan adu kepandaian seperti itu. Merupakan hal biasa saja dah alasannya memang macam-macam, Biasanya, yang menjadi alasan pertandingan adalah perebutan penari pada waktu tayuban. Akan tetapi sekali ini, pesta belum dimulai sudah akan ada pertandingan. Dan alasannya juga luar biasa. Kakek bernama Klabangkolo itu mencacinya dan wanita cantik itu adalah murid Klabangkolo yang kini memandang Priyadi yang berada di pihaknya, mencela perbuatan Klabangkolo. Karena itu dapat dibilang, bahwa Priyadi mewakilinya memberi hajaran kepada tamu yang kurang ajar itu.
"Silakan, anakmas Priyadi. Pertandingan bahkan akan menyemarakkan pesta ini." Dia lalu memerintahkan para penabuh gamelan untuk memainkan gamelan mereka untuk mengiringi pertandingan antara Priyadi dan wanita yang mengaku bernama Sekarsih. Gamelan ditabuh dan suasana menjadi meriah namun menegangkan. Semua mata ditujukan ke arah dua orang di atas panggung itu dengan penuh perhatian.
Dua orang itu bagaikan dua orang pemain wayang yang sedang berlagak di atas panggung. Yang pria ganteng dan gagah, juga gerak geriknya lemah lembut bagaikan Arjuna, sedangkan wanitanya cantik jelita, manis dan cekatan bagaikan Srikandi. Keduanya saing berhadapan dan yang membuat Priyadi merasa rikuh dan tidak enak adalah sikap wanita itu yang tersenyum manis dan mengerling tajam.
Di antara suara gamelan, suara wanita itu tidak dapat terdengar jelas oleh para tamu, akan tetapi tentu saja dapat terdengar jelas oleh Priyadi yang berdiri di depannya. "Aku girang sekali engkau mau maju dan naik ke sini, wong bagus! Aku dapat menduga bahwa seorang murid Perguruan Jatikusumo. Seperti engkau tentu memiliki kedigdayaan. Karena itu aku ingin sekali bertanding denganmu untuk sekedar berkenalan dan main-main."
"Main-main? Tidak, aku tidak main-main, Kalau engkau menantangku, jangan dikira aku takut! Sebagai tamu, gurumu sungguh tidak tahu aturan!
"Priyadi, namamu Priyadi. bukan? Nama yang bagus, seperti orangnya. Sebetulnya kita lebih cocok untuk menjadi kawan, bukan menjadi lawan."
"Sudahlah Sekarsih, jangan banyak cakap. Aku sudah datang memenuhi tantanganmu!"
"Berhati-hatilah. Priyadi, sungguh sayang kalau engkau sampai tewas atau terluka parah terkena aji pukulanku yang ampuh"
"Keluarkan semua kepandaianmu, aku siap melayanimu!" kata Priyadi yang sudah marah.
"Haiiiittt.....!!" Sekarsih mengeluarkan teriakan melengking dan mulailah ia menyerang. Serangannya cukup dahsyat sehingga Priyadi tidak berani memandang ringan. Dia mengelak cepat dan balas menyerang yang juga dapat dihindarkan dengan elakan oleh Sekarsih yang bergerak gesit sekali.
Terjadilah serang menyerang yang seru. Tukang penabuh gendang sibuk memainkan gendangnya. Dia memang pandai sehingga dapat menyesuaikan hentakan gendangnya dengan gerakan kedua orang itu sehingga setiap serangan tampak semakin mantap dan dahsyat. Gamelanpun dipukul gencar dan para tamu yang menonton menjadi semakin bersemangat dan tegang. Ternyata Priyadi dan Sekarsih memiliki kecepatan gerakan yang seimbang, bahkan ketika kedua tangan kanan mereka bertemu, keduanya terpental ke belakang, menunjukkan bahwa dalam hal kekuatan tenaga dalam, merekapun seimbang.
Diam-diam Sutejo yang mengikuti gerakan kedua orang itu penuh perhatian, menjadi kagum. Dari gerakan Priyadi, tahulah dia bahwa Priyadi adalah seorang murid perguruan, Jatikusumo yang tangguh. Priyadi dapat menggunakan Aji Harina Legawa dengan baik sehingga tubuhnya demikian lincah dan cekatan seperti seekor kijang muda. dan kedua tangannya mengandung tenaga sakti yang cukup kuat ketika dia bersilat dengan Aji Gelap Musti.
Priyadi merupakan seorang murid aliran Jatikusumo yang baik. Akan tetapi Sutejo mengerutkan alisnya menyaksikan sepak terjang lawan pemuda itu, yaitu Sekarsih. Sama sekali tidak disangkanya bahwa wanita cantik dan genit itu ternyata lincah bukan main dan juga memiliki tenaga yang cukup hebat sehingga mampu menandingi Priyadi! Dan yang lebih mengkhawatirkan hatinya, wanita itu agaknya mengalah dan tidak sungguh-sungguh menyerang Priyadi, lebih banyak mempertahankan diri saja. Agaknya kalau wanita itu membalas dengan serangan sungguh-sungguh seperti yang dilakukan Priyadi, pemuda itu ada kemungkinan besar akan kalah.
Yang paling gembira menyaksikan pertandingan ini adalah para tamu muda yang memang senang melihat pertandingan silat. Bahkan di antara mereka banyak yang diam-diam bertaruh. Akan tetapi Ki Klabangkolo mengerutkan alisnya. Dia merasa sama sekali tidak senang karena melihat betapa sampai demikian lamanya Sekarsih belum juga mampu mengalahkan pemuda itu. Dan dia memang ingin menonjolkan diri di tempat pesta yang dikunjungi para jagoan dari empat penjuru itu. ingin memperlihatkan diri siapa dia, kalau perlu dengan mengalahkan banyak lawan, Akan tetapi sebagai permulaan, Sekarsih mengecewakan, Padahal dia dapat melihat bahwa kalau Sekarsih mau, tentu akan dapat merobohkan pemuda itu dengan pukulan ampuh dan berbahaya. Karena sudah tidak dapat menahan rasa penasaran dan kemarahannya lagi. menduga bahwa Sekarsih memang sengaja mengalah terhadap pemuda yang tampan dan ganteng itu, Ki Klabangko lalu menggerakkan tubuhnya dan dia sudah melayang naik ke atas panggung, begitu dia menggerakkan tubuhnya, menyelinap di antara keduanya sambil mendorongkan kedua tangan ke kanan kiri, Priyadi dan Sekarsih berloncatan mundur dan menghentikan pertandingan mereka.
"Sekarsih! memalukan sekali engkau, tidak dapat merobohkan pemuda seperti ini. Hayo turunlah, biar aku sendiri yang turun tangan!" bentaknya marah dan melihat kemarahan gurunya, Sekarsih tidak berani membantah. Ia melempar kerling dan senyuman kepada Priyadi lalu melompat turun dari atas panggung.
Kini Priyadi berhadapan dengan Ki Klabangkolo. Priyadi berkata dengan lantang, mengatasi suara gamelan yang kini ditabuh perlahan karena pertandingan telah terhenti, dengan maksud agar dapat terdengar semua tamu yang hadir di situ. "Ki Klabangkolo, di mana-mana engkau hanya mendatangkan kekacauan dengan perbuatan jahatmu!"
Kini Ki Klabangkolo teringat kepada pemuda yang pernah menggagalkan dia memiliki gadis cantik dan gagah yang telah ditawannya dan dibawa ke dalam gua tengah hutan itu. Bukan main marahnya setelah dia mengenal Priyadi.
"Jadi engkaukah itu, engkau murid Jatikusumo berani menentangku?" Dia membuat gerakan ke depan,tubuhnya condong kedepan, kedua tangannya didorongkan ke arah dada Priyadi dan mulutnya mengeluarkan pekik yang menggetarkan seluruh tempat pesta.
"Aurrghhh......!" Kedua tangan yang didorongkan itu mendatangkan angin yang amat kuat dan itulah Aji Singorodra yang menjadi andalannya. Tadi Sekarsih pun sudah mengeluarkan aji ini, akan tetapi kehebatannya tidak seperti sekarang ketika dikerahkan oleh Ki Klabangkolo. Priyadi terkejut sekali dan cepat dia menghindar dengan loncatan ke samping. Dari samping dia membalas dengan pukulan Aji Gelap Musti, akan tetapi pukulannya ini dapat ditangkis oleh Ki Klabangkolo sehingga tangannya yang memukul terpental ke samping. Terjadi pertandingan yang seru dan gamelanpun ditabuh kembali dengan kerasnya mengiringi pertandingan kedua orang itu.
Sutejo menonton dengan penuh perhatian. Dia tahu bahwa kakek itu tangguh sekali dan agaknya pemuda yang dia yakin adalah seorang tokoh Jatikusumo yang tangguh itupun agaknya terdesak hebat. Dia merasa khawatir. Untuk kesekian kalinya Ki Klabangkolo menyerang dengan Aji Singorodra disertai pekik yang menggetarkan jantung lawan, pekik yang disebut Aji Singanada. Priyadi mengerahkan tenaga saktinya untuk melawan pengaruh pekik itu, akan tetapi kedudukannya tidak memungkinkan baginya untuk mengelak lagi. Karena itu terpaksa dia menyambut pukulan itu dengan dorongan kedua tangannya pula sambil mengerahkan Aji Gelap Musti.
"Wuuuuttt...... desss.....!!"Hebat sekali pertemuan antara dua tenaga sakti itu. Akan tetapi kalau tubuh Ki Klabangkolo hanya terdorong mundur tiga langkah, tubuh Priyadi terpental sampai keluar dari panggung! Pemuda itu merasa dadanya sesak, akan tetapi dia masih cukup gesit untuk mematahkan luncuran tubuhnya kebawah panggung dengan berjungkir balik. Ketika kedua kakinya menginjak tanah, dia terhuyung dan terpaksa dia harus mengakui keunggulan Ki Klabangkolo dan dia kembali kepada kedua orang kakaknya.
Klabangkolo tertawa bergelak di atas panggung dan dia berteriak nyaring, "Ha-ha-ha, kiranya hanya sebegitu saja kedigdayaan murid Jatikusumo? Kalau hanya sebegitu, biar sepuluh orang murid Jatikusumo maju, aku akan sanggup menandingi dan mengalahkan mereka!"
Sutejo mengerutkan alisnya dan hatinya menjadi panas. Biarpun tidak secara langsung, dia sendiripun murid aliran Jatikusumo sehingga ucapan Ki Klabangkolo itu juga menusuk perasaannya dan membuat dia merasa penasaran sekali. Dia bangkit berdiri dari tempat duduknya.
"Anakmas Sutejo, engkau hendak kemana?" tanya Ki Joyosudiro.
"Aku akan menghadapi raksasa yang sombong dan besar mulut itu, paman" jawab Sutejo dan dia sudah melangkah lebar ke tengah panggung.
Melihat seorang pemuda datang dan menghadapinya, Ki Klabangkolo tertawa mengejek, "Ha-ha-ha, engkau ini anak kecil maju kesini mau apa?"
"Mau menutup mulutmu yang terlalu lebar!" jawab Sutejo.
"Babo-babo, pulang sajalah ke pangkuan ibumu. Panggil ayahmu untuk melawan aku. Engkau masih terlalu muda dan lunak ha-ha!"
Pada saat itu tampak dua bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu Maheso Seto dan Rahmini telah berada di atas panggung. Maheso Seto memandang Sutejo dan berkata angkuh, "Sutejo, mundurlah. Engkau bukan lawannya, hanya akan membikin malu nama besar Jatikusumo, Biar kami yang menghadapi si sombong ini!"
Sutejo tidak berani membantah dan hanya dapat mengangguk lalu kembali ke tempat duduknya semula. Ki Joyosudiro menyambutnya dengan hati lega karena tadi dia khawatir sekali akan keselamatan pemuda itu.
"Siapakah mereka itu, anakmas?"tanyanya sambil memandang ke arah panggung. "Mereka berdua adalah kakak-kakak seperguruanku, paman."
"Ahh......!" Ki Joyosudiro memandang Sutejo sudah begitu tangguh apalagi kakak se perguruannya. Sementara itu, Maheso Seto yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu bersama isterinya sudah berhadapan dengan Ki Klabangkolo. Pendekar itu berkata suaranya tegas dan nyaring. "Ki Klabangkolo, benarkah bahwa tadi engkau menantang para murid Jatikusumo?"
Ki Klabangkolo yang mata keranjang itu memandang kepada Rahmini dengan sinar mata seperti hendak melahap wanita cantik itu, lalu berkata sambil tertawa. "Benar sekali, siapakah kalian ini!"
"Aku adalah Maheso Seto, murid kepala dari perguruan Jatikusumo dan ini adalah isteriku, Juga murid Jatikusumo! Kami berdua menerima tantanganmu, ataukah engkau takut menghadapi kami berdua?"
"Ha-ha-ha!" Ki Klabangkolo tertawa sombong. "Kalian boleh maju berdua, bertiga atau berlima! Atau guru kalian boleh maju, semua akan kuhajar!"
Maheso Seto adalah seorang yang berwatak keras, juga isterinya, Rahmini memiliki watak galak sekali. Mendengar ucapan itu, keduanya sudah menjadi marah bukan main.
"Raksasa busuk, engkau sudah bosan hidup!" teriak Rahmini. "Sambutlah seranganku!" Wanita itu sudah menyerang dan begitu menyerang ia sudah menggunakan Aji Gelap Musti yang merupakan aji andalan dari perguruan Jatikusumo.
"Wuuuttt......plakk!" Ki Klabangkolo menangkis dan dia merasa betapa lengannya tergetar, sama seperti yang dirasakan Rahmini sehingga keduanya maklum akan kebesaran tenaga lawan.
Akan tetapi Ki Klabangkolo masih juga menyombong. "Ha-ha ha, lunak sekali lenganmu, manis!"
Tentu saja Maheso Seto menjadi marah sekali. Dia menyerang dengan dahsyat dan tahu akan kehebatan pukulan itu, Ki Klabangkolo menghindarkan diri dengan mengelak. Terjadilah pertandingan yang amat seru. Ki Klabangkolo kini tidak lagi dapat mengumbar suaranya karena desakan dua orang suami isteri itu menyita seluruh perhatiannya dan dia harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya, mengerahkan seluruh tenaganya untuk dapat membendung gelombang serangan yang dilakukan mereka berdua. Diapun membalas dengan pukulan-pukulan ampuh. Namun, yang dihadapinya kini adalah murid pertama dan kedua dari Bhagawan Sindusakti. Tingkat kepandaian mereka sudah tinggi, mendekati tingkat guru mereka. Bahkan Maheso Seto sudah mencapai tingkat yang seimbang dengan gurunya!
Kalau saja mereka berdua itu harus menandingi Ki Klabangkolo satu lawan satu, kiranya merekapun akan mengalami kesukaran menundukkan raksasa itu. Akan tetapi karena mereka maju berdua, Ki Klabangkolo yang kini terdesak hebat. Ketika terdesak mundur, tiba-tiba Ki Klabangkolo memutar-mutar tubuhnya sehingga berpusing seperti gasing dan dari pusingan itu kadang mencuat kaki atau tangannya melakukan penyerangan. Gaya silat seperti ini membuat suami isteri itu berhati-hati dan mereka terpaksa mengubah serangan menjadi pertahanan sambil mengamati dan mempelajari gerakan lawan yang aneh itu.
Sementara itu, Priyadi yang duduk seorang diri dihampiri Sekarsih yang dengan beraninya kini duduk di atas kursi yang tadidi duduki Maheso Seto, tepat di samping Priyadi. "Priyadi, ternyata engkau tidak mampu mengalahkan guruku." kata Sekarsih sambil tersenyum ramah, sama sekali bukan senyum mengejek dan sikapnya seperti seorang sahabat saja.
"Hemm, akan tetapi aku tidak kalah olehmu!" kata Priyadi yang merasa diejek.
"Eh? Benarkah engkau tidak merasa kalah olehku? Tadi engkau sudah hampir kalah olehku ketika guruku naik ke panggung."
"Siapa bilang? Engkaulah yang hampir kalah olehku!" bantah Priyadi.
"Ah, agaknya engkau masih penasaran. Bagaimana kalau kita buktikan sekarang?"
"Maksudmu?"
"Kita lanjutkan pertarungan yang tadi terhenti karena munculnya guruku."
"Aku tidak ingin membikin ribut di sini dengan bertanding melawanmu."
"Tentu saja tidak di sini. Kita keluar, mencari tempat yang sepi. Hayo ikuti aku kalau memang engkau berani!" tantang Sekarsih sambil bangkit dan melangkah keluar.
Ditantang demikian, hati Priyadi yang masih panas karena kekalahannya melawan Ki Klabangkolo tadi, tidak dapat menahan lagi kemarahannya. Apa lagi ketika melirik ke atas panggung, dia melihat bahwa dua orang kakak seperguruannya tidak kalah bahkan dapat mendesak lawan. Dia yakin bahwa kedua orang kakaknya itu akan menang mengingat bahwa dulu, dia dan Retno Susilo yang mengeroyok raksasa tua itupun dapat mengusirnya. Diapun yakin akan mampu mengalahkan Sekarsih yang sama sombongnya dengan Ki Klabangkolo. Maka diapun mengejar keluar dari situ. Semua tamu yang sedang memperhatikan pertandingan di atas panggung, tidak melihat kepergian dua orang itu.
Pertandingan di atas panggung berjalan semakin seru. Gaya silat Ki Klabangkolo dengan tubuh berpusing itu tidak menguntungkannya setelah sepasang suami isteri itu mengubah daya serang mereka dengan daya tahan suami isteri itu tidak lagi menyerang, melainkan hanya mengelak atau menangkis kalau dari tubuh yang berpusing itu mencuat kaki atau tangan yang menyerang. Karena tidak mendapat sambutan, Ki Klabangkolo menjadi pusing sendiri dan membuang tenaga sia-sia. Maka dia menghentikan gerakan berpusing itu dan tiba-tiba dia mencondongkan tubuhnya ke depan dan melancarkan serangan Aji Singorodro kearah sepasang suami isteri itu. Melihat ini, Maheso Seto dan Rahmini juga menekuk lutut mereka dan keduanya mendorongkan tenaga ke depan menyambut seraDgan lawan dengan menyatukan tenaga.
"Wuuuuttt.... dessss....!!" Tenaga dorongan Singorodro bertemu dengan dua tenaga dorongan Gelap Musti. Kalau satu lawan satu, tentu Ki Klabangkolo lebih kuat. Akan tetapi sekali ini dikeroyok dua tenaga yang disatukan, dia terdorong mundur terus sampai terpaksa melompat turun dari atas panggung! Karena maklum bahwa kalau dilanjutkan dia tidak akan menang, Ki Klabangkolo meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi dan dengaa langkah lebar. Tidak ada orang yang berani menghalanginya.
Melihat betapa sepasang suami isteri itu dapat mengalahkan dan mengusir Ki Klabangkolo, Ki Bargowo sebagai tuan rumah segera menghampiri suami isteri itu dengan sikap hormat.
"Andika berdua telah dapat mengusir perusuh dan membikin terang muka kami. kami mengucapkan terima kasih dan silakan andika berdua mengambil tempat duduk di panggung kehormatan."
"Hemm, pantaskah bagi kami untuk duduk di panggung kehormatan, paman Bargowo?" kata Maheso Seto dengan suara yang angkuh mengandung teguran.
"Harap anakmas suka memaafkan saya. Karena tidak tahu siapa anakmas berdua, maka saya tidak mempersilakan andika berdua duduk di sini, Sekarang, silakah duduk di panggung kehormatan."
Dengan langkah angkuh Maheso Seto dan Rahmini melangkah ke arah panggung kehormatan, diantar oleh Ki Bargowo. Ketika tiba di depan Sutejo, Rahmini berkata kepada pemuda itu, "Untung engkau belum sempat bertanding tadi, kalau sudah, tentu engkau hanya akan membikin malu kepada kami dan merendahkan nama besar Jatikusumo!"
Sutejo tidak menjawab, hanya tersenyum saja. Setelah suami isteri itu duduk, agak jauh dari tempat duduk Sutejo, Jayanti yang duduk di sebelah ayahnya berkata lirih kepada Sutejo. "Kakangmas Sutejo, engkau mendapat marah dari kakak seperguruanmu?"
Sutejo tersenyum, "Tidak mengapa. Sudah sepantasnya seorang kakak seperguruan memberi teguran kepada adik seperguruannya bukan?"
Maheso Seto dan Rahmini mencari-cari dengan pandang matanya ke bawah panggung untuk mencari Priyadi, akan tetapi mereka tidak melihat adik seperguruan mereka itu. Mengira Priyadi sudah meninggalkan tempat pesta karena malu atas kekalahannya tadi, merekapun tidak memperdulikannya lagi.
Pesta dilanjutkan dalam suasana gembira. Ketika diadakan tayuban, mereka menari bergantian dengan meriah, akan tetapi tidak terjadi lagi keributan. Agaknya mereka yang suka membuat ribut segan melakukan keributan di situ setelah melihat betapa Ki Klabangkolo yang demikian saktinya dapat dikalahkan dan diusir dari tempat itu ketika mengadakan keributan.
Sampai pesta bubar Priyadi tidak tampak kembali. Semua tamu bubaran dan ketika Sutejo bersama Ki Joyosudiro dan Jayanti keluar dari tempat pesta, dia menggunakan kesempatan itu untuk mengatakan selamat berpisah dari Joyosudiro dan puterinya.
"Paman Joyosudiro dan diajeng Jayanti, sekarang saya mohon diri untuk melanjutkan perjalanan saya. Terima kasih atas ajakan paman sehingga saya dapat menghadiri pesta ulang tahun ini. Selamat tinggal."
Berat hati mereka, apa lagi Jayanti untuk berpisah dari pemuda yang membangkitkan rasa kagum dalam hati mereka itu. Akan terapi karena tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk menahannya, maka merekapun tidak dapat mencegah.
"Selamat berpisah, anakmas Sutejo. Kami hanya mengharap agar anakmas tidak melupakan kami dan tidak lupa akan usul perjodohan yang pernah kunyatakan kepadamu."
"Selamat jalan, kakangmas Sutejo. Semoga kelak kita akan dapat bertemu kembali." kata pula Jayanti.
Merekapun berpisahan. Kalau Sutejo berjalan lurus ke depan tanpa menengok lagi, adalah Jayanti yang beberapa kali memutar tubuh dan menoleh ke belakang untuk memandang ke arah perginya Sutejo. Dara ini merasa kehilangan sekali dan ia tahu benar bahwa ia telah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda perkasa yang pendiam dan lembut itu.
********************
Mari kita ikuti Priyadi yang pergi dan tidak kembali lagi ke dalam tempat pesta sampai pesta dirumah Ki Bargowo itu bubaran. Seperti kita ketahui, dia ditantang oleh Sekarsih dan ketika wanita itu pergi meninggalkan tempat pesta, diapun mengikuti karena hatinya panas dan marah ditantang wanita itu.
Sekarsih berjalan cepat setengah berlari dan Priyadi terus mengikutinya dengan berjalan cepat pula. Sekarsih memasuki sebuah hutan di lereng bukit yang sunyi. Agaknya ia sudah hafal benar akan keadaan di situ sehingga larinya tanpa ragu lagi menuju ke tengah hutan. Priyaditerus meng ikutinya. Setelah tiba di tengah hutan, ternyata disitu terdapat sebuah tempat terbuka dan terdapat sebuah gubuk dari bambu yang agaknya belum lama didirikan orang. Sampai di situ, Sekarsih berhenti berlari, memutar tubuh dan menanti datangnya Priyadi sambil tersenyum dan matanya memandang genit.
Priyadi tiba di situ dan berdiri berhadapan dengan Sekarsih. Sambil tersenyum manis Sekarsih berkata, "Nah, kita sekarang telah berada di sini, hanya kita berdua saja di sini dan tidak ada orang lain. Sekarang apa yang akan kita lakukan, Priyadi?"
Priyadi mengerutkan alisnya. "Apa yang akan kita lakukan? Tentu saja bertanding sampai seorang di antara kita kalah. Bukankah engkau tadi menantangku?"
"Priyadi, tadi kita sudah bertanding dan ternyata kemampuan kita seimbang. Untuk apalagi kita bertanding? Anggap saja tidak ada yang menang maupun kalah di antara kita. Kita ini sama kuat dan kita serasi benar, bukan? Daripada kita bermusuhan, lebih baik kita bersahabat, bukankah akan lebih menyenangkan? Priyadi, engkau sungguh tampan dan ganteng, aku suka sekali padamu.�
Priyadi melangkah mundur dengan sendirinya ketika melihat wanita itu melangkah maju mendekatinya. Selama hidupnya belum pernah dia bergaulan dengan wanita, dan pertama kali dia tertarik dan merasa jatuh cinta kepada wanita hanyalah kepada Retno Susilo. Maka, sikap menantang Sekarsih itu membuat dia merasa ngeri.
"Sekarsih, apa yang kau kehendaki? Engkau tadi telah menghinaku, bahkan menantangku. Nah, marilah kita bertanding untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih tangguh!"
"Tidak, aku tidak ingin melukaimu atau kau lukai. Bukankah lebih baik kita bermesraan daripada berkelahi? Priyadi, aku Sekarsih amat suka kepadamu, aku kagum dan cinta padamu, ingin menjadi sahabat baikmu." Wanita itu melangkah maju dan mengulurkan kedua tangannya, seperti hendak memeluk.
"Jangan main gila! Aku bukan macam laki-laki yang mudah terjatuh ke dalam rayuanmu. Aku tidak sudi melayani kehendakmu yang mesum!" Priyadi mendamprat.
"Hi-hi-hik, engkau malu-malu dan takut? Agaknya engkau seorang perjaka sejati. Aku menjadi semakin kagum. Engkau belum pernah berdekatan dengan wanita? Mari, sayang. Tidak ada orang lain yang melihatnya, kita dapat bersenang-senang sepuasnya di sini." kembali Sekarsih maju dan menubruk.
Akan tetapi Priyadi mengelak lalu mengirim tamparan keras ke arah muka wanita itu, Hampir saja pipi kanan Sekarsih kena disambar tangan kiri Priyadi. Akan tetapi Sekarsih sudah mengelak dengan menarik kepalanya ke belakang ia mengeluarkan sebuah botol kecil dan cepat membuka tutupnya lalu menyiramkan isi botol ke muka Priyadi. Gerakannya amat cepat dan Priyadi sama sekali tidak menyangka akan diserang dengan isi botol yang merupakan cairan seperti air. Mukanya terkena percikan air yang terasa dingin dan tiba-tiba dia tertegun, memandang kepada wanita di depannya itu dengan mata terbelalak, seperti orang terpesona.
Dia tidak tahu bahwa isi botol itu adalah semacam alat guna-guna atau aji pengasihan yang disebut Tirta Asmara. Disertai kekuatan sihir atau guna-guna yang memancar keluar melalui mata Sekarsih, begitu muka Priyadi terkena percikan Tirta Asmara, dia seperti linglung, kehilangan kesadarannya. Dalam pandang matanya, Sekarsih tampak sebagai seorang dewi dari kahyangan yang teramat cantik jelita, membuat dia terkagum-kagum dan sekaligus jatuh cinta. Daya tarik wanita di depannya itu jauh lebih kuat dari pada daya tarik Retno Susilo yang pernah membuatnya jatuh cinta.
Sekarsih yang melihat serangannya berhasil baik, tersenyum lebar sehingga tampak deretan gigi putih di antara sepasang bibir yang merah menantang. Priyadi menjadi silau oleh kecantikan itu dan dia menjadi lemas dan tidak berdaya ketika Sekarsih mendekatinya dan memegang kedua tangannya.
"Priyadi, wong bagus kekasihku.....!" bisiknya dan dia merangkul leher Priyadi, ditariknya ke bawah sehingga muka Priyadi menunduk dan wanita itu menciumnya dengan penuh kemesraan dan penuh gairah nafsu. Priyadi yang selama hidupnya belum pernah berdekatan dengan wanita merasa dirinya melayang-layang dan dia menurut saja seperti seekor kerbau dituntun memasuki tempat penyembelihan ketika Sekarsih menuntunnya masuk ke dalam gubuk itu.
Nafsu daya rendah bagaikan harimau yang sudah siap untuk sewaktu-waktu menerkam kita kalau kita lengah. Priyadi adalah seorang pemuda yang berbatin kuat. Akan tetapi terkena Aji Tirta Asmara, pertahanannya ambruk dan dia membiarkan dirinya dikuasai nafsu. Ketika berada di dalam gubuk, daya pengaruh Tirta Asmara mulai menipis, akan tetapi Priyadi sudah berada dalam kekuasaan nafsunya sendiri, terbuai nafsu asmara sehingga dia lupa diri dan yang ada hanyalah menikmati anggur asmara yang memabokkan. Apa lagi dia mendapatkan seorang guru dalam permainan asmara yang pandai dan berpengalaman seperti Sekarsih, maka membuat dia semakin dalam tenggelam dan mabok.
Selama dua hari dua malam mereka berdua tenggelam ke dalam lautan asmara, membiarkan diri dibuai dan dipermainkan nafsu. Setelah pada hari ketiga, pagi-pagi benar mereka sudah terbangun dan Priyadi teringat akan dua orang kakak seperguruannya.
"Sekarsih, aku harus pergi sekarang. Kalau tidak, dua orang kakak seperguruanku tentu akan menjadi curiga dan mencariku. Aku harus kembali ke Pacitan."
Sekarsih tersenyum dan merangkul pemuda itu, ia sudah mempermainkan pemuda itu sepuas hatinya. Ia sudah biasa mencari dan mendapatkan pemuda-pemuda tampan untuk memuaskan nafsu berahinya yang tidak dapat disalurkan melalui hubungannya dengan Ki Klabangkolo yang menjadi gurunya dan juga kekasihnya itu. Ki Klabangkolo tahu akan kebiasaan murid dan kekasihnya itu, akan tetapi diapun tidak perduli karena diapun sewaktu waktu dapat mengambil wanita mana saja Untuk dijadikan kekasihnya. Cara hidup guru dan murid ini memang sudah bejat.
Sambil mengusap dagu Priyadi Sekarsih berkata, "Kalau memang begitu, pergilah Priyadi. Akan tetapi kuharap engkau tidak pernah melupakan Sekarsih dan mudah-mudahan saja kita akan dapat sering saling bertemu untuk melampiaskan kerinduan hati."
Setelah puas bermesraan sebagai perpisahan, Priyadi lalu meninggalkan hutan itu. Dia sibuk memikirkan alasan kalau nanti bertemu dua orang kakak seperguruannya yang galak, yang tentu akan bertanya ke mana saja dia pergi setelah meninggalkan tempat pesta ulang tahun perkumpulan Welut Ireng di daerah Madiun. Akan tetapi hanya sebentar saja dia memikirkan kakak seperguruannya dan mengkhawatirkan dirinya sendiri. Segera semua pengalaman dengan Sekarsih terbayang di pelupuk matanya. Semua yang dialaminya terbayang dari hal yang sekecil-kecilnya dan bayangan itu menimbulkan gairah.
Ingatan adalah alat nafsu. Dengan pikiran yang mengingat-ingat pengalaman yang menyenangkan dan dinikmati, maka pikiran seakan-akan mengunyah kembali makanan yang enak itu sehingga menimbulkan gairah baru untuk mengulang apa yang pernah dialami dan yang menimbulkan kenikmatan itu. Bahkan biasanya kenangan ini terasa lebih nikmat dari pada pengalaman yang sesungguhnya. Pikiran yang mengingat-ingat ini yang merupakan dorongan kuat untuk mengejar pelaksanaan dan pemuasan gairah nafsu.
Adalah wajar dan alami kalau seorang pemuda seperti Priyadi yang sudah berusia dua puluh enam tahun mulai terusik oleh nafsu berahi yang timbul dari dalam dirinya. Selama menjadi murid Jatikusumo, dia dapat bertahan terhadap godaan nafsu berahi, terutama sekali karena tidak mendapatkan peluang. Akan tetapi setelah bertemu dengan Sekarsih yang menyeretnya ke dalam pemuasan nafsu berahi, maka nafsu itu membakar dirinya sehingga berkobar-kobar, mendatangkan gairah nafsu yang menuntut pemuasan.
Seperti juga segala macam nafsu daya rendah lainnya, maka nafsu berahi merupakan anugerah dari Tuhan yang sepatutnya kita syukuri, karena tanpa adanya nafsu berahi ini, bagaimana mungkin manusia akan dapat berkembang biak? Nafsu berahi mempunyai tugas yang teramat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia di permukaan bumi. Dan Tuhan telah demikian Maha Kasih dan Maha Murah sehingga nafsu berahi mengandung kenikmatan bagi manusia sehingga manusia suka melakukan hubungan badan sebagai pelampiasan nafsu berahi.
Namun, di samping tugasnya yang suci dan tujuannya yang baik, sebagai peserta dalam kehidupan manusia yang amat berguna bagi perkembangan manusia, di lain pihak seperti juga semua nafsu, memiliki sifat merusak yang amat hebat. Seperti juga dengan nafsu daya rendah lainnya, nafsu berahi dapat menyeret manusia ke dalam perbuatan yang penuh kemaksiatan dan kejahatan. Hal ini terjadi kalau manusia tidak dapat menguasai nafsu berahinya dan sebaliknya nafsu berahi yang menguasainya sehingga manusia menjadi budak nafsu berahi.
Kalau sudah begini keadaannya, manusia dapat saja diseret oleh nafsu berahi untuk melakukan perbuatan sesat sehingga terjadilah perjinaan, pelacuran dan pemerkosaan. Tidak ada lagi pantangan bagi nafsu berahi yang sudah mendesak dan menuntut pemuasan dan manusia yang telah menjadi budaknya telah kehilangan kesadarannya, kehilangan pertimbangannya! Kalau sudah begitu, nafsu tidak lagi menjadi peserta atau pembantu yang baik, melainkan menjadi musuh yang paling jahat dan paling berbahaya bagi manusia.
Satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya hal ini kalau kita mampu mengendalikan nafsu sehingga tidak menjadi liar melainkan jinak dan menjadi pelayan kita yang baik. Akan tetapi sayangnya, mengendalikan nafsu ini lebih mudah dibicarakan dari pada dilaksanakan, Hati akal pikiran kita sejak kita kecil sudah dikuasai nafsu sehingga kita hampir tidak mungkin menggunakan hati akal pikiran untuk menundukkan dan mengen璬alikan nafsu.
Lalu bagaimana baiknya? Apa yang dapat kita manusia yang lemah ini lakukan untuk dapat mengembalikan nafsu ke tugasnya yang semula, yaitu menjadi peserta dan pelayan kita? Siapa yang akan mampu mengendalikan nafsu yang liar dan kuat itu? Tiada lain yang dapat menundukkan nafsu kecuali kekuasaan Tuban Sang Maha pencipta, Tuhan yang menciptakan nafsu, maka Tuhan sajalah yang akan mampu menundukkannya. Oleh karena itu, bagi kita manusia, jalan satu-satunya hanyalah berserah diri kepada Tuhan secara total, lahir batin dan sepenuhnya, mohon bimbingan Tuhan karena hanya dengan bimbingan Tuhan sajalah maka kita akan dapat mengendalikan nafsu, atau dengan kekuasaan Tuhan, nafsu dalam diri kita tidak akan menjadi liar lagi.
Priyadi tidak dapat mengusir bayangan-bayangan yang mendatangkan kenikmatan itu, bahkan makin diusahakan untuk mengusirnya bayangan-bayangan itu menjadi semakin jelas sehingga gairahnya terbakar, berkobar-kobar dan timbul keinginan besar sekali dalam dirinya untuk mengulang semua pengalaman yang nikmat bersama Sekarsih itu. Karena pikirannya melayang-layang itulah dia tidak memperdulikan lagi ke mana kakinya melangkah. Niatnya semula hendak pulang ke perkampungan Jatikusumo di daerah Pacitan, akan tetapi tanpa disadari lagi kakinya melangkah menuju ke timur!
Ketika dia tiba di tepi sungai yang mengalir ke timur, dia menyusuri sungai itu seperti orang yang sedang mimpi, tidak menyadari bahwa dia menyimpang jauh dari tujuannya hendak pulang ke perkampungan Jatikusumo! Tiba-tiba dia mendengar suara tawa merdu dan kecipak air, suara wanita-wanita sedang bersenda-gurau, tertawa dan menjerit kecil.
Priyadi tertarik dan cepat dia menyelinap di antara pohon-pohon, mendekati tepi sungai dari mana suara itu datang dan bersembunyi di balik semak-semak sambil mengintai, Jantungnya berdebar aneh ketika dia melihat lima orang gadis sedang mandi di sungai. Gadis-gadis itu mengenakan kain sebatas dada dan mereka bergembira sekali, saling memercikkan air dan mereka tertawa-tawa, menjerit-jerit kalau muka mereka terpercik air. Di tepi sungai terdapat keranjang-keranjang berisi pakaian yang habis dicuci.
Dahulu sebelum bertemu dengan Sekarsih. menghadapi penglihatan seperti ini dia tentu akan membuang muka dan menyingkir karena dianggapnya tidak sopan untuk mengintai wanita yang sedang mandi. Akan tetapi sekarang, sungguh aneh dan dia sendiri tidak menyadari akan perubahan pada dirinya ini dia merasa tertarik sekali dan jantungnya berdebar penuh gairah dan ketegangan ketika dia melihat tubuh-tubuh wanita muda itu.
Setiap kali mereka bangkit berdiri, tampak kain yang basah itu mencetak dada mereka sehingga seolah mereka tidak mengenakan pakaian. Pandang mata Priyadi segera melekat pada seorang di antara mereka yang paling manis dan berkulit putih mulus. Dalam pandangannya, gadis itu tampak demikian cantik Jelitanya sehingga dia merasa tertarik sekali.
Muncul bayangan dalam benaknya betapa akan senangnya merangkul dan mencumbu gadis itu. Bayangan ini seolah minyak yang disiramkan kepada api gairah berahinya sehingga berulang kali dia menelan ludah dan lehernya menjadi basah oleh keringat. Dari percakapan mereka yang bersenda gurau itu dia mendengar bahwa nama gadis yang menarik perhatiannya itu bernama Sumarni.
Bagaikan seorang anak kecil yang mendapatkan sebuah mainan baru, Priyadi terus mengintai para gadis dusun itu selesai mandi dan menukar kain mereka yang basah kuyup dengan kain yang baru, lalu mencuci kain yang basah itu, kemudian sambil tertawa-tawa riang mereka naik ke daratan dan sambil menjinjing keranjang pakaian mereka pergi meninggalkan sungai.
Priyadi diam-diam membayangi mereka, terutama gadis bernama Sumarni tadi. Dapat dibayangkan betapa senang hatinya ketika melihat bahwa Sumarni berpisah dari kawan-kawannya dan menuju ke sebuah dusun yang sudah tampak dari situ. Sumarni melenggang seorang diri, tidak tahu bahwa dia diamati orang dari belakang.
Lenggangnya yang santai dan wajar itu sungguh menarik hati Priyadi dan menimbulkan gairah. Pemuda itu membayangkan dia bermesraan dengan Sumarni seperti ketika dia bermesraan dengan Sekarsih dan bayangan ini memacu berahinya. Dia mempercepat langkahnya dan sebentar saja dia sudah menyusul Sumarni, mendahuluinya lalu memutar tubuh menghadangnya. Gadis dusun bermata bening itu terbelalak ketika melihat seorang pemuda tampan, berpakaian bukan seperti pemuda dusun, menghadang perjalanannya. Saking heran, terkejut, takut dan malu ia hanya berdiri terbelalak menatap wajah yang tampan itu.
Priyadi tersenyum dan wajahnya tampak semakin tampan. "Nimas, jangan kaget atau takut, aku ingin bercakap-cakap denganmu." katanya dengan lembut sehingga lenyap rasa takut dari hati Sumarni terganti rasa heran dan malu. Karena maklum bahwa dia berhadapan dengan orang kota, mungkin bangsawan, iapun hormat.
"Denmas.....mau... apakah menghadang perjalanan saya....?"
"Namamu Sumarni, bukan? Nama yang indah, seindah orangnya"
Sumarni terbelalak heran. "Bagaimana denmas dapat mengetahuinya?"
Priyadi tersenyum lebar. "Tentu saja aku tahu, Sumarni. Aku adalah dewa menjaga sungai, seringkali aku melihat engkau mandi di sungai."
"Ahhh.....!" Gadis itu terkejut dan terbelalak. Orang sedusunnya adalah orang yang percaya akan tahyul, maka kini dia memandang dewa itu dengan sinar mata takjub dan takut. "Denmas.... main-main....!" Ia masih membantah.
Priyadi tersenyum, menghampiri sebatang pohon sebesar paha orang dan sekali dia mengayun tangan ke arah batang pohon itu, terdengar suara keras dan batang pohon itu tumbang! "Kau percaya sekarang, cah ayu?"
Sumarni memandang terbelalak dan sekarang ia tidak ragu-ragn lagi. Pria tampan dan halus di depannya ini memang benar dewa penjaga sungai! "Ampunkan saya.... kalau saya membuat kesalahan disungai...." Ia melepaskan keranjang pakaiannya dan menyembah.
"Jangan engkau takut. Sumarni. Aku tidak marah kepadamu, sebaliknya, aku suka sekali kepadamu. Sumarni, aku menginginkan engkau untuk menjadi isteriku." Priyadi melangkah maju mendekat.
Sumarni memandang dengan mata terbelalak dan kedua pipi berubah kemerahan. Ia terkejut, heran, akan tetapi juga girang dan bangga. Seorang pria muda, tampan dan gagah seperti seorang bangsawan, bahkan ternyata dia seorang dewa sungai, jatuh cinta kepadanya dan ingin mempersuntingnya sebagai isteri. Akan tetapi ada juga rasa takut dan malu teraduk dalam hatinya. Sambil menundukkan mukanya yang kemerahan iapun menjawab lirih. "Pukulun.....!"
Mendengar sebutan untuk para dewa ini. Priyadi tertawa. "Sumarni wong manis, jangan sebut aku demikian. Aku lebih senang kalau engkau menyebut aku denmas atau kakangmas."
"....denmas.... kalau begitu... saya persilakan denmas bicara saja dengan orang tuaku..."
"Untuk meminangmu! Tentu saja, nimas Sumarni. Aku akan segera mengajukan pinangan kepada orang tuamu, akan tetapi aku ingin melepas rinduku kepadamu dulu." Setelah berkata demikian tiba-tiba dengan gerakan lembut Priyadi merangkul gadis itu.
Sumarni tersipu, seluruh tubuhnya gemetar, akan tetapi ia tidak menolak, jantungnya berdebar kencang membuat tenggorokannya seperti tersumbat. Apa lagi ketika Priyadi menciumnya, hampir pingsan ia dibuatnya, akan tetapi ada rasa bangga dan senang di sudut hatinya. Karena itu, ketika Priyadi mengangkat dan memondong tubuhnya, iapun hanya memejamkan kedua matanya.
"Marilah, manis....!" Priyadi memondong tubuh gadis itu dan membawanya ke dalam hutan yang berada di tepi sungai.
Gadis dusun yang lugu itu terlena oleh rayuan Priyadi. Yang merayunya adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, bukan pemuda dusun biasa melainkan seorang dewa! Apa lagi berulang kali Priyadi menjanjikan akan mengajukan pinangan kepada orang tuanya, maka gadis itupun jatuh dan menurut saja, pasrah saja apa yang dilakukan pe璵uda itu terhadap dirinya.
Priyadi tenggelam semakin dalam dicengkeram oleh nafsunya sendiri. Nafsu tidak pernah merasa cukup, tidak pernah kenyang. Makin dituruti, ia menjadi semakin lapar. Priyadi sudah mulai mabok dan lupa diri, lupa akan pelajaran tentang kebenaran yang dia terima dari perguruan Jatikusumo. Dia membiarkan dirinya terseret oleh nafsu berahi, bahkan dia menyeret pula orang lain untuk menjadi korban. Sumarni gadis dusun yang lugu itu jatuh oleh rayuannya dan menyerahkan diri dan kehormatannya begitu saja. Gadis itu terlalu percaya kepada DEWAnya. Bagi seorang gadis dusun seperti ia. Ia percaya bahwa mustahil seorang pemuda bangsawan yang ganteng seperti Priyadi, seorang dewa pula akan menipunya.
"Kakangmas, engkau belum memperkenalkan namamu kepadaku," bisik Sumarni lirih sambil menyandarkan kepalanya yang rambutnya terurai lepas itu ke atas dada Priyadi.
Priyadi yang memeluk Sumarni di atas pangkuannya menjawab dengan suara sungguh-sungguh. "Sumarni, namaku adalah Permadi. Sekarang engkau pulanglah lebih dulu. manis."
"Akan tetapi bukankah engkau akan pergi ke rumah orang tuaku bersamaku, kakangmas? Untuk meminangku?"
"Tentu saja aku akan menghadap orang tuamu untuk meminangmu. Akan tetapi aku harus berganti pakaian yang pantas dulu. Sebaiknya engkau pulang lebih dulu. Sudah terlalu lama engkau pergi ke sungai. Tunggulah aku, sore nanti pasti aku datang menghadap orang tuamu untuk melamarmu."
"Benarkah itu, kakangmas?" tanya Sumarni manja.
Priyadi menciumnya, lalu melepaskannya dari atas pangkuannya. "Tentu saja benar, wong ayu. Aku amat mencintamu dan aku ingin engkau menjadi isteriku. Nah, pulanglah agar orang tuamu tidak merasa khawatir. Nantikan aku sampai sore nanti."
"Baik, kakangmas. Aku akan menantimu."
Dengan langkah gontai dan tubuh lelah Sumarni membawa keranjang pakaiannya berjalan pulang, diikuti oleh pandang mata Priyadi. Ia tidak tahu betapa pemuda itu memandangnya dengan senyum kepuasan di bibirnya. Setelah Sumarni pergi, Priyadi lalu memutar tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Sore hari itu Sumarni menanti-nanti dengan hati gembira dan penuh harapan. Akan tetapi kegembiraannya makin menipis dan harapannya berubah menjadi kegelisahan setelah yang dinanti-nanti tidak kunjung muncul. Malam itu gadis dusun yang lugu ini menangis di dalam kamarnya. Penantiannya diulang sampai berhari hari berikutnya dan kalau malam ia menangis, menyesali nasibnya. Akan tetapi ia tidak berani menceritakan apa yang telah dialaminya itu kepada ayah bundanya. Tentu ayah bundanya akan marah bukan main kalau mendengar bahwa ia telah menyerahkan diri dan kehormatannya begitu saja kepada seorang pemuda yang baru saja dikenalnya.
Sumarni masih berusaha untuk bersembahyang di tepi sungai, mengharapkan kemunculan dewa penjaga sungai. Namun semua itu sia-sia belaka. Yang dinanti-nanti, diharap-harapkan tidak kunjung muncul. Setelah lewat beberapa hari barulah Sumarni kehilangan harapannya dan timbullah perasaan duka dan penyesalan yang mendalam.
Sesal kemudian tidak ada gunanya, bahkan hanya mendatangkan duka. Kejadian seperti yang dialami Sumarni itu terjadi di mana-mana sejak jaman dahulu sampai sekarang. Suatu peringatan yang harus diperhatikan oleh tiap orang wanita muda, terutama gadis-gadis, Kebanyakan dari mereka itu terlampau mudah terbujuk rayu, terlampau percaya kepada janji-janji muluk yang keluar dari mulut pria. Dengan mudahnya mereka minum secawan anggur yang disodorkan oleh pria kepadanya, menikmati anggur manis yang terasa nikmat.
Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa seteguk dua teguk anggur semanis madu itu mengandung racun yang akan merusakkan kehidupannya. Memang tidak dapat disangkal bahwa banyak pria yang bertanggung jawab, menikahi gadis yang telah dipersuntingnya sebelum menikah. Akan tetapi betapa lebih banyak lagi yang ingkar janji, habis manis sepah dibuang, seperti halnya Priyadi yang hanya ingin memiliki tubuh Sumarni untuk dinikmatinya, bukan untuk dicinta dan dijadikan isterinya.
Kalau hubungan yang sepenuhnya didorong oleh nafsu berahi itu tidak membuahkan hasil, masih mending. Akan tetapi bagaimana kalau sampai hubungan itu membuat si gadis menjadi hamil? Dan laki-laki itu pergi begitu saja tanpa pamit, tanpa tanggung jawab? Si gadislah yang akan menanggung segala resikonya. Malu dan nama buruk sebagai wanita murahan.
********************
Priyadi berlari cepat dan baru dia berhenti berlari setelah tiba jauh dari tempat di mana dia berpisah dari Sumarni. Mulutnya menyungging senyuman, senyum kepuasan. Ada juga terasa sedikit penyesalan dalam hatinya, perasaan yang timbul dari kesadaran bahwa dia telah melakukan suatu perbuatan yapg tidak baik dan bersalah. Akan tetapi perasaan ini hanya tipis saja, dan segera lenyap tertutup oleh bayangan kemesraan yang dinikmatinya bersama Sumarni. Kepuasan memenuhi hatinya, kepuasan yang berujung kerinduan untuk mengulang kemesraan itu, untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Bukan hanya dari Sumarni atau Sekarsih, melainkan dari siapa saja, asalkan ia seorang wanita yang muda dan cantik jelita!
Dia tahu bahwa dia pulang terlambat beberapa hari dibandingkan kedua kakak seperguruannya, maka teringat ini dia segera mempercepat langkahnya menuju ke daerah Pacitan untuk pulang ke perkampungan perguruan Jatikusumo. Setelah senja barulah dia memasuki perkampungan Jatikusumo dan menghadap gurunya, Bhagawan Sindusakti yang menjadi ketua Jatikusumo. Pertapa yang berusia enam puluh tujuh tahun dan bertubuh sedang bersikap lembut ini sedang duduk dan di situ menghadap pula Maheso Seto dan Rahmi Di. Melibat kedatangan Priyadi, Maheso Seto mengerutkan alisnya dan Rahmini cemberut kepadanya. Priyadi lalu menghadap gurunya dan menghaturkan sembah.
"Engkau baru pulang, Priyadi? Ke mana sajakah engkau pergi? Mengapa tidak berbarengan dengan kedua orang kakakmu?" Sang Bhagawan Sindusakti menegurnya dengan halus.
"Maafkan saya, Bapa Guru. Saya memang meninggalkan Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini karena saya mengejar wanita jahat yang membikin kerusuhan di rumah Paman Bargowo."
"Hemm, begitukah? Dan bagaimana kesudahannya?" tanya Bhagawan Sindusakti.
Sejak menjadi murid Bhagawan Sindusakti, Priyadi belum pernah sekalipun membohongi gurunya. Akan tetapi sekarang, bagaimana dia dapat menceritakan semua pengalamannya dengan Sekarsih? Tidak ada lain jalan baginya kecuali berbohong. Satu perbuatan tidak benar biasanya memang disusul oleh perbuatan tidak benar selanjutnya. Satu kebohongan mau tidak mau disusul oleh kebohongan lain.
"Sayang sekali ia menghilang, Bapa Guru. Saya sudah mencari-carinya sampai dua hari namun tetap tidak dapat saya temukan. Barulah saya pulang."
"Priyadi," kata Bhagawan Sindusakti dan kini suaranya terdengar tegas. "Engkau telah membuat kesalahan yang besar sekali!"
Priyadi terkejut. Segera terlintas di benaknya peristiwa yang dialaminya dengan Sekarsih, kemudian dengan Sumarni. Apakah gurunya mengetahui akan hal itu? Akan tetapi tidak mungkin!
"A.... apakah maksud Bapa Guru? Kesalahan apa yang saya lakukan? Saya tidak merasa melakukan kesalahan apapun."
"Engkau berani menyangkal kesalahanmu, Adi Priyadi?" kata Rahmini dengan ketus. "Kalau saja tidak ada kami, bukankah engkau telah menghancurkan nama dan kehormatan perguruan kita Jatikusumo?"
"Adi Priyadi, engkau telah lancang memancing perkelahian dalam pesta Paman Bargowo dan engkau telah dikalahkan oleh Ki Klabangkolo. Kalau tidak ada kami berdua yang membalas kekalahanmu itu dengan mengalahkan Ki Klabangkolo, bukankah nama besar Jatikusumo akan jatuh di depan banyak pendekar? Engkau harus mengukur kemampuanmu sendiri dulu sebelum bertindak, Adi Priyadi! Lebih baik mulai sekarang engkau berlatih lebih tekun agar kemampuanmu meningkat sehingga lain kali tidak akan membikin malu Jatikusumo!"
"Apa yang dikatakan kakangmu benar, Priyadi. Jangan suka melagak di depan umum kalau engkau tidak yakin akan dapat mengatasi keadaan. Kalau engkau sampai dikalahkan orang jahat di depan umum, hal itu memang menjatuhkan nama besar Jatikusumo!" Bhagawan Sindusakti juga me璶egur.
Ditegur oleh dua orang kakak seperguruannya dan oleh gurunya, Priyadi hanya menundukkan mukanya. Akan tetapi dia merasa malu dan terpukul. Dia tahu bahwa Maheso Seto dan Rahmini, keduanya merasa iri kepadanya karena biasanya Bhagawan Sindusakti amat sayang kepadanya. Karena itu, mendapat kesempatan baik, kedua orang suami isteri itu memburukkan dirinya di depan guru mereka. Hemm, gerutunya dalam hati. Kalianpun kalau tidak maju bersama mengeroyok Ki Klabangkolo juga tidak akan dapat menandinginya. Akan tetapi mulutnya tidak mengatakan sesuatu.
Malam itu Priyadi tidak dapat tidur. Bermacam-macam bayangan bermain di benaknya. Bayangan tentang kemesraannya yang dia nikmati dari hubungannya dengan Sekarsih, kemudian dengan Sumarni yang menyenangkan. Akan tetapi diselingi bayangan ketika dia ditegur kedua orang kakak seperguruan dan juga gurunya yang membuat hatinya merasa penasaran dan tidak senang. Akhirnya dia membuka pintu kamarnya dan keluar dari dalam kamar, terus keluar dari rumah.
Hawa dingin dan sinar bulan menyambutnya di luar ramah. Dia menggigil. Bukan main dinginnya, malam mi, pikirnya. Akan tetapi suasananya menyenangkan karena sinar bulan purnama. Dia lalu berjalan-jalan menuju ke belakang pondok. Banyak pondok berdiri di belakang rumah besar tempat kediaman gurunya. Pondok-pondok ini adalah tempat tinggal para murid Jatikusumo.
Suasananya sepi sekali. Agaknya para murid sudah tidur. Memang lebih enak berdiam di dalam rumah daripada di luar yang amat dingin itu. Di belakang perkampungan Jatikusumo terdapat sebuah bukit dan seperti juga semua murid Jatikusumo, dia tahu bahwa di bukit itu terdapat sebuah sumur tua yang kering. Sumur ini dianggap keramat, oleh Bhagawan Sindusakti, dan dia, melarang para murid untuk mendekati sumur itu.
"Sumur itu telah dikutuk oleh eyang guru kalian, karena itu kalian jangan mendekatinya dan jangan mengganggunya. Sumur itu dapat mendatangkan malapetaka kepada siapa yang mendekatinya." demikian pesan Bhagawan Sindusakti.
Oleh karena itu, para murid Jatikusumo tidak ada yang berani mendekati dan menganggap sumur itu sebagai tempat tinggal iblis yang jahat. Apa lagi setiap malam Jumat Bhagawan Sindusakti menyuruh para murid melemparkan nasi kuning dan ingkung ayam yang di bungkus rapi ke dalam sumur, katanya untuk memberi hidangan kepada yang "mbaurekso" sumur itu. Semua murid menganggap sumur itu tempat yang keramat dan menyeramkan.
Akan tetapi pada malam hari yang terang dan dingin itu, seperti ada sesuatu yang mendorong Priyadi untuk mendaki bukit dan pergi ke sumur tua itu. Dia merasa penasaran dan juga berduka karena ditegur oleh kedua orang kakak seper璯uruannya dan oleh gurunya, merasa rendah diri. Ingin dia memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi di antara mereka semua agar dia jangan diperhina lagi, jangan dipandang rendah lagi.
Setelah tiba di tepi sumur tua, Priyadi duduk di atas batu besar yang terdapat di dekat sumur dan dia duduk bersila sambil termenung dengan prihatin. tiba-tiba dia mendengar suara seperti gerengan yang keluar dari dalam sumur kering yang tua itu. Tentu saja dia terkejut sekali dan bulu tengkuknya meremang, Pantasnya itu suara iblis dari dalam sumur, pikirnya. Akan tetapi kemurungannya mendatangkan keberanian yang nekat. Dia tidak melarikan diri melainkan mendengarkan lebih teliti, mencurahkan segenap perhatiannya terhadap suara itu.
"Heemmmm... hemmmm... hemmmm...!"
Suara itu berbunyi lagi, suara yang gemetar, menggigil seperti orang yang kedinginan. Priyadi turun dari atas batu, berdiri dekat sumur, menghadapinya dan siap untuk membela diri kalau ada iblis keluar dari sumur dan menyerangnya. Sementara itu, kedaa telinganya mendengarkan dengan penuh perhatian. Suara itu terdengar lagi dan alangkah herannya ketika suara gerengan itu disusul kata-kata yang menggigil kedinginan.
"Hemmm... hemm... aduh dinginnya... hemm... kejam sekali si Limut Manik....! Heemmmm.... mati aku.... mati kedinginan....!"
Priyadi merasa betapa tengkuknya menjadi tebal dan dingin. Akan tetapi ditekannya rasa takutnya dan dia lalu menjenguk ke dalam sumur. Gelap di dalam sumur karena sinar bulan masih berada di timur sehingga hanya menerangi permukaan sumur itu. Dia mempertajam pandangannya, akan tetapi tidak melihat ada gerakan dalam sumur. Dengan jantung berdebar dia lalu mengerahkan tenaga lalu berseru ke dalam sumur.
"Siapakah yang berada dalam sumur? Seorang manusiakah yang mengeluarkan kata-kata tadi?"
Hening sejenak dan terdengar gaung suaranya yang membalik setelah menyentuh dasar sumur, terdengar mengerikan seperti suara dari alam lain. Akan tetapi Priyadi telah dapat menenangkan batinnya dan dia bertekad untuk menyelidiki. Agaknya sumur ini mengandung rahasia pikirnya. Siapa tahu di dalam sumurbenar- benar ada orangnya. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam sumur.
"Siapa di atas? Engkaukah itu, Limut Manik? Jangan siksa aku lebih lama lagi. Turunlah dan bunuh saja aku, dari pada kau siksa begini, aku sudah tidak tahan lagi!"
Jantung Priyadi berdebar penuh ketegangan. Tak salah lagi. Di bawah sana ada orangnya! Orang yang ada hubungannya dengan mendiang eyang gurunya, Resi Limut Manik. Orang itu menyebut nama eyang gurunya begitu saja, tentu mempunyai hubungan yang dekat sekali!
"Tunggu, aku akan turun!" teriaknya dengan nekat dan dia lalu berlari cepat kembali ke pondok untuk mengambil gulungan tali yang cukup panjang. Lalu diikatkannya ujung tali itu ke sebatang pohon yang tumbuh dekat sumur, kemudian dengan penuh keberanian dia lalu turun ke dalam sumur melalui tali itu! Kakinya menyentuh dasar sumur yang kering, akan tetapi gelap. Ketika dia meraba-raba, dia mendapat kenyataan bahwa sumur itu menembus ke sebuah terowongan yang cukup besar.
"Ah, engkau benar-benar sudah turun ke dalam sumur? Cepat ke sinilah!" terdengar suara itu. suara yang menggigil. "Aku kedinginan dan hampir mati, tak dapat bergerak lagi....." Priyadi sambil meraba-raba lalu melangkah ke arah suara dari sebelah dalam terowongan.
Tiba-tiba, setelah melangkah agak lama dan jauh, dia melihat sebuah ruangan yang remang-remang, agaknya mendapat penerangan dari atas. Dia memasuki ruangan itu dan karena matanya sudah terbiasa, dia dapat melihat seorang kakek tua renta duduk di atas batu. Keadaan kakek itu menyedihkan sekali. Dia bertelanjang bulat, hanya mengenakan cawat dari kain yang sudah lusuh, tubuhnya kurus kering seperti jerangkong, akan tetapi sepasang matanya demikian tajam seperti mata harimau yang mencorong dalam kegelapan.
"Limut Manik, aku kedinginan tidak mampu turun dari sini, akan tetapi aku masih dapat membunuhmu!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba dua buah lengan yang tinggal tulang terbungkus kulit itu didorongkan ke depan, ke arah Priyadi dan ada hawa pukulan yang dahsyat sekali menyambar disertai suara bercuitan! Priyadi terkejut bukan main, mengenal pukulan jarak jauh yang ampuh sekali, maka diapun cepat-cepat memasang kuda-kuda dan mendorongkan kedua tangannya dengan Aji Gelap Musti.
Priyadi terlempar bagaikan daun kering tertiup angin dan tubuh belakangnya menghantam dinding terowongan dengan kuat sekali. Untung dia telah mengerahkan aji kekebalannya sehingga punggungnya tidak remuk. Akan tetapi dia merasa dadanya sesak.
"Ha-ha-ha-ha! Aku masih kuat, bukan? Engkaupun tidak mampu menahan pukulanku, padahal aku sudah sekarat, ha-ha-ha!" Jerangkong hidup itu tertawa-tawa dengan riangnya.
Priyadi merangkak bangkit, "Maaf, saya bukan Eyang Resi Limut Manik. Eyang Resi Limut Manik telah meninggal dunia." kata Priyadi, tidak berani mendekat lagi.
"Hah? Siapa andika?" tanya kakek itu dan agaknya dia baru melihat jelas bahwa orang yang datang itu bukan Resi Limut Manik seperti yang disangkanya semula. "Andika masih amat muda. Siapa andika?" Jerangkong itu bertanya dengan suara menggigil dan tubuhnya juga menggigil kedinginan. Memang hawa di dalam situ teramat dinginnya sehingga Priyadi juga merasakannya. Timbul rasa kasihan dalam hatinya. Dia mengenakan baju rangkap ketika keluar dari pondokannya tadi karena hawa amat dingin.
"Nama saya Priyadi, saya murid perguruan Jatikusumo, eyang."
"Hemmm, Siapa gurumu? Siapa ketua Jatikusumo sekarang?"
"Guru saya adalah Sang Bhagawan Sindusakti yang menjadi ketua Jatikusumo."
"Hemmm... Sindusakti? Dan engkau muridnya? Memalukan sekali, Jatikusumo hanya sebegitu saja tenaganya!"
Tiba-tiba Priyadi mendapat sebuah pikiran yang baik sekali, dia membuka baju luarnya dan menghampiri kakek itu. "Eyang, mari pakailah baju saya ini agar tidak terlalu dingin." Dia sendiri menyelimutkan baju itu di atas kedua pundak kakek itu.
"Hemm, engkau boleh juga. Akan tetapi, kaki tanganku kedinginan sampai sukar digerakkan, agaknya darahku sudah membeku...." kata kakek itu sambil menggigil. Tanpa diminta Priyadi segera memijati kaki tangan kakek itu dan mengurut-urut agar jalan darahnya normal kembali. Setelah kakek itu dapat menggerakkan kaki tangannya, tiba-tiba sekali tangan kiri kakek itu, yang hanya tinggal tulang dan kulit, telah mencengkeram tengkuk Priyadi. Kuku-kuku yang tajam runcing menusuk kulit tengkuknya.
"Namamu Priyadi? Hayo cepat bawa aku naik dan keluar dari sumur ini. Awas, sekali saja engkau membuat gerakan mencurigakan dan tidak menaati perintahku, sekali cengkeram lehermu akan patah dan engkau akan mati konyol!"
Priyadi dapat merasakan betapa kuatnya tanganyang mencengkeram tengkuk itu. Akan tetapidia masih bersikap tenang dan dia berkata, "Eyang ini sungguh aneh. Eyang seorang yang maha sakti, kalau hendak keluar dari sumur apa sih sukarnya, Mengapa harus menyuruh aku?"
"Bodoh! Kedua kakiku sudah lumpuh, dibikin lumpuh oleh si jahanam Limut Manik! Kalau kedua kakiku tidak lumpuh, apakah engkau kira aku betah tinggal di neraka ini sampai puluhan tahun lamanya? Hayo, jangan banyak cakap. Gendong aku di punggungmu dan bawa aku keluar dari sini!" Berkata demikian, kakek itu memperkuat cengkeramannya pada tengkuk sehingga Priyadi meringis kesakitan. Agaknya aji kekebalannya tidak mempan terhadap tangan kakek yang seperti jerangkong itu.
"Baiklah, eyang, akan tetapi jangan cekik saya keras-keras. Kalau kesakitan, bagaimana saya dapat menggendongmu?"
Ternyata kedua kaki kakek itu tergantung lemas tidak dapat digerakkan, akan tetapi sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melayang ke atas punggung Priyadi dan tangan ktn tetap mencekik tengkuk, sedangkan tangan kanan memegang pundak...