Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 09

Cersil online kho ping hoo
Sonny Ogawa
Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 09

PRIYADI merasa betapa ringannya tubuh kakek itu, seringan tubuh kanak-kanak saja. Akan tetapi, sungguh luar biasa, betapa kuat tenaganya ketika memukulnya tadi. Dan kakek ini tentu seorang yang amat jahat! Pikiran ini tiba-tiba saja timbul dalam benaknya. Selain wataknya yang jahat dapat dirasakannya ketika kakek itu memaksanya membawa keluar dari situ, juga kenyataan bahwa eyang gurunya melumpuhkan kakinya dan memenjarakannya di sumur tua tentu karena orang ini jahat sekali. Akan tetapi, biarpun jahat, dia amat sakti mandraguna. Dan hal ini menguntungkan dirinya kalau saja kakek itu mau menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya. Mendadak dia mendapat pikiran yang dianggapnya amat baik. Setelah tiba di dasar sumur, dia berhenti dan berkata.

"Eyang, aku tidak mau membawamu naik!" Cengkeraman pada tengkuknya menguat. "Keparat, mengapa tidak mau?" bentak kakek itu.

"Sama saja eyang mau bunuh saya di sini atau di atas. Aku yakin bahwa kalau kita sudah sampai ke atas sumur, eyang akan membunuhku juga."

"Ha-ha-ha, engkau pandai membaca pikiran orang. Memang tadinya aku berpikir begitu. Akan tetapi sekarang tidak. Kalau engkau mau membawaku keluar dari semua ini, aku tidak akan membunuhmu!"

"Bersumpahlah dulu, eyang!" Priyadi berani menuntut karena dia yakin bahwa kakek itu membutuhkan dia, maka tentu tidak akan membunuhnya.

"Jahanam berani engkau tidak percaya kepadaku? Ingat, aku ini jelek-jelek adalah uwa eyang gurumu. Limut Manik adalah adik seperguruanku, tahu?"

"Biar tenang hatiku, eyang. Bersumpahlah dulu."

"Hemm, baiklah. Aku bersumpah tidak akan membunuhmu setelah engkau membawa aku keluar dari sumur ini."

"Masih ada lagi, eyang. Aku minta agar setelah eyang kubawa keluar dari sumur, eyang akan mengangkat aku sebagai murid."

"Apa? Engkau sudah mempelajari semua aji dari Jatikusumo? Apa lagi yang dapat kuajarkan?"

"Aji pukulan yang eyang pergunakan tadi, aku ingin eyang mengajarkannya kepadaku setelah aku membawa eyang keluar dari sini."

"Gila! Aji pukulan Margapati yang kulatih selama puluhan tahun kuajarkan kepadamu? Enak saja!”

"Dengan Aji Margapati ini, aku ingin menjadi pendekar nomor satu di dunia! Dan aku dapat menjadi pembantu eyang yang setia, pembantu dan murid yang akan mengangkat nama eyang tinggi-tinggi!"

"Tidak, aku tidak akan mengajarkan Aji Margapati kepada siapapun juga. Kepadamu pun tidak." kata kakek itu dengan kukuh.

"Kalau begitu aku tidak mau membawamu, naik dan keluar dari neraka ini!" kata Priyadi sama kukuhnya.

Cengkeraman tangan di tengkuknya itu menguat. "Kau akan kubunuh!"

"Biarlah aku mati bersamamu di neraka ini, eyang. Kalau eyang mau berjanji dengan sumpah bahwa eyang akan mengajarkan Aji Margapati kepadaku, baru aku akan membawa eyang naik." Hening sejenak dan tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Engkau penuh keberanian! Engkau juga licik. Engkau seperti aku, di luarnya tampak bodoh akan tetapi sebetulnya mengandung kecerdikan luar biasa. Baiklah, aku akan mengajarkan Margapati kepadamu, Priyadi,"

"Bersumpahlah dulu, eyang agar kalau eyang nanti melanggar sumpah dan membunuhku, biar aku mati, akan tetapi Eyang akan dikejar-kejar sumpah sendiri sehingga hidupmu tidak akan tenteram."

"Sialan! baiklah. Aku bersumpah akan mengajarkan Margapati kepadamu setelah engkau membawaku keluar dari sini."

"Nah, begitu baru baik, eyang. Kita sama-sama untung. Apa eyang berpikir akan dapat hidup sendiri di luar sana? Eyang lumpuh, dan tidak mempunyai apa-apa. Siapa yang akan merawat dan melayanimu. Akan tetapi kalau eyangmengangkatku sebagai murid, aku akan mencari kan tempat tinggal yang tersembunyi bagi eyang, aku yang akan mencarikan makanan dan minuman untuk eyang, dan mencarikan pakaian untuk melindungi tubuh eyang dari bawa dingin."

"Heh-heh-ha-ha, untung engkau mengingatkan aku akan halitu, Priyadi. Kalau aku sudah ter buru - buru membunuhmu, tentu aku akan rugi besar, Hayo kita naik!"

"Pegang pundakku kuat-kuat, eyang!" kata Priyadi, lalu dia memegang tali itu dan merayap naik dengan cepat. Beban tubuh kakek itu seperti tidak terasa olehnya. Dengan waktu cepat dia sudah tiba di atas sumur tua. Tiba-tiba kakek itu membuat gerakan dan tubuhnya sudah meloncat turun dari atas punggung Priyadi.

Di bawah sinar bulan yang cukup terang Priyadi kini dapat melihat kakek itu dengan jelas. Keadaan kakek itu memang mengerikan. Tubuh yang seperti jerangkong itu saja sudah mengerikan. Wajahnya seperti tengkorak hidup, akan tetapi sepasang matanya mencorong. Kini Priyadi dapat melihat dia berdiri, bukan berdiri di atas kedua kaki seperti biasa, melainkan bersimpuh. Kedua kakinya ditekuk tidak berdaya. Agaknya dia lumpuh dari paha ke bawah. Akan tetapi ketika dia mendekati Priyadi, tubuhnya mencelat seperti seekor katak saja, ringan dan cepat. Kiranya kakek ini dapat leluasa bergerak dengan berloncatan, akan tetapi tentu saja kemampuan itu tidak cukup untuk membuat dia dapat keluar dari dalam sumur yang cukup dalam itu.

"Priyadi, aku harus tinggal di mana? Jangan sampai terlihat orang lain, aku tidak ingin menjadi perhatian orang sebelum dapat berpakaian dan muncul secara wajar di depan orang banyak." kata kakek itu, agak bingung.

"Nah, jelaslah bahwa eyang membutuhkan aku, bukan? Jangan khawatir, eyang. Mari kita pergi ke balik bukit. Di sana terdapat banyak guha dan tempat itu jarang didatangi orang. Eyang dapat tinggal di sebuah di antara guha-guba itu untuk sementara waktu. Apakah eyang minta digendong lagi?"

"Tidak perlu. Setelah berada di sini, aku dapat bergerak sendiri. Apa kau kira akan dapat berlari lebih cepat daripada aku? Hayo tunjukkan ke mana kita akan menuju!"

Priyadi menunjuk ke puncak bukit. "Kita akan melalui puncak bukit itu. lalu turun ke balik puncak"

"Bagus. Mari kita berlomba, siapa yang dapat sampai ke puncak itu lebih dulu!"

Tentu saja Priyadi memandang rendah kepada kakek itu. Sesakti-saktinya, kakek yang kedua kakinya sudah lumpuh itu mana mampu berlari cepat? "Engkau akan kalah, eyang. Aku sudah mempelajari Aji Harina Legawa dandapat berlari cepat seperti seekor kijang."

"Ha-ha-ha. Aji Harina Legawa? Aku menguasai aji kecepatan yang jauh lebih dari itu. Kusebut aji itu Aji Tunggang Maruto. Hayo kita berlumba. Berangkatlah engkau lebih dulu, nanti kususul!"

Priyadi tidak percaya akan tetapi juga merasa girang. Kalau benar kata kakek itu, berarti dia akan dapat mempelajari banyak ilmu yang hebat-hebat dari kakek ini! Maka dia mengerahkan tenaganya, menggunakan Aji Harina Legawa dan tubuhnya sudah melesat bagaikan kijang melompat ke depan dan dia berlari cepat ke arah puncak bukit. Akan tetapi ketika dia berada di puncak bukit dengan napas agak terengah karena dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, dia melihat kakek lumpuh itu sudah berdiri atau duduk di atas sebuah batu sambil tertawa tawa.

"Ha-ha-ha, larimu lambat sekali, Priyadi!"

Priyadi yang cerdik langsung saja menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu sambil menyembah. "Saya yang bodoh mohon banyak petunjuk dari eyang yang sakti mandraguna."

"Ha-ha-ha, jangan khawatir, bocah bagus. Dalam waktu yang tidak lama engkau akan menjagoi di seluruh nusantara!"

Mereka lalu menuruni puncak dan menuju ke balik bukit itu. Priyadi membawa kakek itu ke daerah yang berbatu-batu dan benar saja di dinding bukit itu terdapat banyak guha. Mereka memilih sebuah guha terbesar dan di situlah kakek itu tinggal untuk sementara waktu. Priyadi lain mengumpulkan rumput dan jerami kering untuk dijadikan tilam di lantai gua, membersihkan guha itu dan menjelang subuh dia berpamit

"Eyang, sekarang saya mohon diri lebih dulu, karena kalau saya tidak pulang, tentu bapak guru dan para saudara seperguruan akan mencari saya dan mencurigai saya. Siang nanti saya akan mencari kesempatan untuk berkunjung kesini membawa makanan dan minuman untuk eyang, juga akan saya bawakan seperangkat pakaian untuk eyang. Sebelum saya pergi, bolehkah saya mengetahui nama eyang?"

"Heh-heh-heh, anak baik. Aku girang tidak membunuhmu. Ternyata engkau memang amat berguna bagiku. Ketahuilah, aku masih terhitung kakak seperguruan mendiang Resi Limut Manik, adapun nama julukanku dahulu adalah Resi Ekomolo. Nama besarku terkenal di seluruh Mataram, bahkan di Mataram aku dijuluki orang Alap-alap Mataram. Nah, pergilah dan cepat kembali membawa makanan yang enak-enak. Di neraka itu, aku hanya makan jamur-jamur mentah dan lumut lumut dan hanya setiap malam Jumat gurumu mengirimkan makanan yang pantas. Aku ingin sekali makan daging sapi atau daging kambing."

Priyadi meninggalkan tempat itu, menyeberangi puncak bukit dan sebelum ayam berkokok dia sudah kembali ke dalam kamar di pondoknya. Dia bekerja di ladang bersama para murid lain seperti biasa dan setelah dia memperoleh kesempatan, dia membawa makanan dan juga seperangkat pakaiannya sendiri untuk diberikan kepada Resi Ekomolo.

Resi Ekomolo gembira sekali. Pakaian bersih segera dikenakan di tubuhnya dan diapun makan minum dengan lahapnya. Setelah kenyang, diapun memandang kepada pemuda itu dan berkata, "Aku suka padamu, Priyadi. Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku yang hebat kepadamu. Mulai sekarang engkau harus mempelajari dan melatih ilmu-ilmu yang kuajarkan dengan baik."

"Terima kasih, eyang. Akan tetapi saya harus mencari waktu yang luang. Sebaiknya setiap malam, kalau semua orang sudah tidur, saya datang ke sini dan belajar ilmu dari eyang. Kalau tidak demikian, tentu akan ada orang yang mengetahuinya."

"Baik, memang aku tidak ingin ada orang mengetahuinya. Engkau adalah murid Jatikusumo dan kulihat engkau sudah mempelajari ilmu-ilmu aliran Jatikusumo dengan baik. Karena ilmu-ilmu yang kurangkai juga berdasarkan aliran Jatikusumo, maka aku yakin dalam waktu cepat engkau akan dapat menguasainya. Kalau engkau sudah mewarisi ilmu-ilmu yang kuajarkan, engkau harus menjadi ketua Jatikusumo, karena tidak akan ada orang di Jatikusumo yang akan mampu menandingimu. Bahkan gurumu sendiri Bhagawan Sindusakti tidak akan dapat mengalahkanmu!"

"Akan tetapi, eyang!" seru Priyadi dengan mata terbelalak karena terkejut mendengar kata-kata Itu. Bagaimana mungkin saya akan mampu mengalahkan Bapa Guru?"

"Ha-ha-ha. engkau masih meragukan kemampuanku? Dengar! Dahulu, di antara perguruan kami, tingkat kepandaianku yang paling tinggi! Sampai kemudian guru kami menurunkan dua pu­saka berikut ilmunya kepada Resi Limut Manik sehingga terpaksa aku kalah olehnya. Resi Limut Manik dapat mengalahkan aku berkat dua ilmu yang dirahasiakan guru kami dan kemudian diturunkan kepada Resi Limut Manik. Kalau tidak oleh kedua ilmu itu, tidak ada yang mampu menandingiku!"

"Dua pusaka dan ilmunya itu, apa saja, eyang?"

"Ada dua buah pusaka yang oleh Bapa Guru diberikan kepada Resi Limut Manik berikut ilmunya. Yang pertama adalah Pedang Kartika Sakti berikut ilmu pedangnya dan yang kedua adalah Pecut Bajrakirana berikut ilmu pecutnya. Ilmu-ilmu dan pusaka itu merupakan pusaka dan ilmu rahasia, maka tentu Resi Limut Manik tidak akan memberikan kepada para muridnya dan gurumu tentu juga tidak memiliki pusaka dan menguasai ilmunya. Akan tetapi tentang ilmu pedang Kartiko Sakti, engkau tidak perlu khawatir karena aku telah merangkai ilmu Margapati yang mampu mengalahkan ilmu pedang Kartika Sakti. Hanya yang kukhawatirkan Pecut Sakti Bajrakirana itu! Pecut itu hebat sekali, demikian pula ilmu pecutnya dan agaknya akan sukar sekali dapat mengalahkan ilmu itu. Karena itu, engkau harus menyelidiki di mana adanya dua pusaka berikut ilmu-ilmunya yang tertulis dalam kitab. Kalau engkau mampu menguasai kedua ilmu itu, bukan saja semua murid Jatikusumo tidak mampu menandingimu, bahkan seluruh pendekar di nusantara tidak ada yang akan mampu mengalahkanmu!"

Priyadi teringat akan Cerita Maheso Seto dan Rahmmi tentang kedua macam pusaka dan ilmu-ilmunya itu. Setelah Sang Resi Limut Manik meninggal dunia dua macam pusaka dan ilmunya itu telah terjatuh ke tangan dua orang cucu muridnya, yaitu Puteri Wandansari dan seorang pemuda bernama Sutejo! Pedang dan ilmu pedang Kartika Sakti telah dikuasai oleh Puteri Wandansari, adik seperguruannya sendiri, sedangkan pecut sakti Bajrakirana berikut kitabnya telah dikuasai Sutejo! Akan tetapi hal ini tidak diceritakannya kepada Resi Ekomolo dan disimpannya sendiri sebagai rahasia hatinya. Kalau disampaikan sekarang, hal itu tentu akan meresahkan sang resi dan jangan-jangan akan mengubah niatnya untuk mewariskan ilmu-ilmunya kepadanya. Karena itu diapun menyembah dan menjawab.

"Baik, eyang. Semua pesan eyang akan saya perhatikan dan junjung tinggi. Setelah menerima ilmu-ilmu dari eyang, saya akan berusaha untuk mencari dan mendapatkan dua pusaka dan ilmunya itu."

"Mulai malam nanti, datanglah ke sini. Aku akan mulai mengajarkan ilmu-ilmu simpananku kepadamu. Akan tetapi pesanku yang tidak boleh kau langgar, yaitu sebelum aku menyatakan ilmu-ilmumu sudah sempurna dan tamat belajar, engkau tidak boleh sekali-kali mempergunakan ilmu itu untuk bertanding dengan orang lain sehingga ilmu itu akan diketahui orang "

"Baiklah, eyang saya berjanji akan melaksanakan perintah eyang."

Demikianlah, mulai malam hari itu Priyadi digembleng oleh Resi Ekomolo dan karena memang dia telah menguasai dasar ilmu silat aliran Jatikusumo, sedangkan ilmu-ilmu yang dirangkai oleh kakek itu juga berdasarkan aliran Jatikusumo, maka dia dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan dengan mudah.

Memang pada dasarnya pemuda ini juga memiliki bakat yang amat baik. Dia menerima ilmu-ilmu yang langka, seperti ilmu keringanan dan kecepatan tubuh Tunggang Maruto yang membuat dia dapat bergerak seperti angin cepatnya. Aji Pukulan Margopati yang hebat bukan kepalang karena angin pukulannya saja sudah cukup untuk membunuh lawan.

Selain itu, yang membuat Priyadi girang bukan main adalah ketika kakek itu mengajarkaa dia Aji Pengasihan Mimi Muntuno dan Aji Penyirepan Begonondo! Juga dia diberi Aji Jerit Nogo, yaitu semacam ilmu pekik yang dapat membuat lawan runtuh semangatnya dan juga membuat semua serangan sihir menjadi punah. Setiap malam Priyadi mendatangi guha itu dan berlatih dengan tekun, juga di waktu siang, apa bila terdapat kesempatan menyendiri di kamarnya, dia berlatih dengan rajin sekali.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Bhagawan Sindusakti dihadapan keempat orang muridnya, yaitu Maheso Seto, Rahmini, Priyadi dan Cangak Awu. Bhagawan Sindusakti yang sudah tua, berusia hampir tujuh puluh tahun itu sudah mulai lemah dan sakit-sakitan. Menyadari akan hal ini, dia lalu memanggil semua muridnya, yaitu murid kepala yang semua berjumlah lima orang bersama Puteri Wandansari. Karena sang puteri tidak berada di situ dan sudah pulang ke Mataram, maka dia hanya memanggil empat orang muridnya itu. Mereka berkumpul di ruangan depan yang luas. Bhagawan Sindusakti duduk bersila di atas sebuah dipan dan empat orang muridnya duduk bersimpuh di atas lantai.

"Murid-muridku, sekarang kukira sudah tiba saatnya bagi kita untuk membicarakan soal perguruan kita Jatikusumo. Aku sudah mulai tua dan lemah, tidak bersemangat lagi untuk bekerja keras, padahal untuk memajukan perguruan, kita membutuhkan semangat muda yang bernyala-nyala. Akan tetapi sebelum kedudukan ketua kuserahkan kepada kalian murid-muridku, terutama sekali tentu saja kepada Maheso Seto sebagai murid kepala yang pertama, aku ingin membicarakan tentang pusaka-pusaka Jatikusumo yang kini telah lepas dari tangan mendiang eyang guru kalian Resi Limut Manik. Kalian sudah yakinkah, Maheso Seto, Rahmini dan Cangak Awu, bahwa pusaka Pedang Kartika Sakti dan kitab pelajaran ilmu pedang Kartika Sakti berada di tangan Puteri Wandansari, dan kitab pelajaran ilmu pecut Bajrakirana berada di tangan murid mendiang Adi Bhagawan Sidik Paningal yang bernama Sutejo?"

"Kami bertiga mendengar sendiri pengakuan mereka berdua. Bapa Guru. Pedang dan kitab Kartika Sakti berada di tangan diajeng Wandansari dan kitab Bajrakirana berada di tangan Sutejo murid mendiang Paman Bhagawan Sidik Paningal itu. Sedangkan Pecut Sakti Bajrakirana menurut keterangan mereka berdua di tangan Paman Bhagawan Jaladara."

"Hemm, aku masih merasa heran dan aneh sekali mendengar betapa Adi Bhagawan Jaladara mengeroyok dan membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik" kata Bhagawan Sindusakti sambil mengelus jenggotnya yang putih. "Akan tetapi, kedua pusaka dan kitabnya itu seharusnya berada di sini, karena dua benda berharga itu merupakan pusaka perguruan Jatikusumo. Karena itu kalian berempat mempunyai kewajiban untuk mendapatkan kembali benda-benda itu agar perguruan Jatikusumo tidak kehilangan pusakanya. Untuk mendapatkan kembali Pedang Kartika Sakti dan kitabnya, kurasa tidaklah sukar karena kedua benda itu berada di tangan Puteri Wandansari, adik seperguruan kalian sendiri. Kalian dapat membujuknya untuk mengembalikannya ke sini. Adapun tentang Pecut Bajrakirana, kalian temuilah paman kalian Bhagawan Jaladara dan katakan bahwa aku yang minta agar dia menyerahkan pecut pusaka itu kepada perguruan kita, sedangkan kitab pelajaran Pecut Bajrakirana dapat kalian minta dari tangan Sutejo. Kalau dia tidak mau menyerahkannya, kalian boleh menggunakan kekerasan, karena dia sebagai murid aliran Jatikusumo berarti telah menentang perguruan sendiri."

"Ketika itu, saya dan diajeng Rahmini juga sudah ingin merampas kedua kitab dan pedang Kartika Sakti dari tangan Sutejo dan diajeng Wandansari dengan kekerasan, akan tetapi Adi Cangak Awu mencegah dan mengatakan bahwa tidak baik ribut dengan saudara seperguruan sendiri dan menyarankan agar kami melapor kepada Bapa Guru."

"Hemm, memang benar pendapat Cangak Awu. Akan tetapi kalau mereka tidak mau menyerahkan pusaka dan kitab yang sudah menjadi hak perguruan Jatikusumo itu, terpaksa kita harus mempergunakan kekerasan! Nah, sekarang selagi kita berkumpul, kalau sekiranya ada sesuatu yang hendak kalian tanyakan, maka katakanlah?"

"Saya hendak bertanya, Bapa Guru untuk membujuk diajeng Wandansari mengembalikan pedang dan kitabnya, tentu saja merupakan hal yang mudah dilakukan. Apa lagi kalau kami katakan bahwa Bapa Guru yang memerintahkan, tentu ia akan menurut dan menyerahkan pusaka itu. Untuk mengambil kembali kitab Bajrakirana dari tangan Sutejo juga bukan hal yang sukar karena kalau pemuda itu tidak mau menyerahkan, dan kami menggunakan kekerasan, tentu dia tidak dapat menolak lagi dan tidak akan mampu melawan kami. Akan tetapi bagaimana kalau Paman Bhagawan Jaladara menolak untuk memberikan pecut Bajrakirana kepada kami? Kami tidak berani melawannya dan tentu akan kalah."kata Mahesa Seto.

Kata-kata bantahan sudah berada di ujung lidah Priyadi. Hampir saja dia mengatakan bahwa dia sanggup untuk menandingi dan menang melawan paman guru mereka, Bhagawan Jaladara. Akan tetapi segera dia teringat akan pesan Resi Ekomolo, maka dia menahan diri dan diam saja sambil menundukkan mukanya.

"Hemm, kalau pamanmu Bhagawan Jaladara menolak untuk menyerahkan pecut Bajrakirana, biar aku sendiri yang akan menghadapinya." kata Bhagawan Sindusakti. "Akan tetapi aku sungguh tidak mengerti dan masih merasa heran sekali mendengar bahwa mendiang Bapa Guru Limut Manik menyerahkan kitab-kitab pelajaran pecut Bajrakirana dan pedang Kartika Sakti kepada Sutejo dan Wandansari. Pada hal Bapa Guru pernah bercerita bahwa kedua ilmu simpanan dari aliran Jatikusumo itu tidak akan diturunkan kepada siapapun Juga. karena kedua ilmu itulah yang sanggup menundukkan iblis itu."

Priyadi terkejut dan teringat akan gurunya yang masih menjadi rahasia. "Bapa Guru, siapa yang Bapa Guru maksudkan dengan iblis yang hanya dapat ditundukkan oleh kedua ilmu pusaka itu?" tanyanya.

Bhagawan Sindusakti tampak terkejut, dan dia merasa bahwa dia telah kelepasan bicara. "Ah, tidak... dia adalah seorang jahat yang sakti mandraguna, akan tetapi telah ditundukkan oleh mendiang eyang guru kalian," jawabnya mengelak.

Akan tetapi Priyadi tidak merasa puas. Dia yakin bahwa apa yang disinggung gurunya itu mengenai diri Resi Ekomolo, maka diapun mengejar dengan hati-hati agar jangan membocorkan rahasianya. "Bapa guru, saya telah mengenal saudara-saudara seperguruan Bapa guru, yaitu mendiang Paman Bhagawan Sidik Paningal dan Paman Bhagawan Jaladara. Akan tetapi saya tidak mengenal siapa saudara seperguruan mendiang Eyang Resi Limut Manik. Jatikusumo adalah sebuah perguruan besar, kiranya tidak mungkin kalau yang mewarisi hanya mendiang Eyang Guru seorang. Saya kira perlu sekali bagi saya untuk mengenal siapa adanya para paman eyang guru agar kelak kalau bertemu dengan murid-murid dan keturunan mereka tidak akan menjadi asing. Bapa Guru."

Bhagawan Sindusakti menghela napas dan sampai beberapa lamanya tidak dapat menjawab. "Apa yang dikatakan Kakang Priyadi itu ada benarnya, Bapa Guru. Saya sendiri juga ingin sekali mengetahui siapa adanya para paman eyang guru saya." kata Cangak Awu, raksasa muda itu.

"Kami berdua juga ingin sekali mendengar riwayatnya, Bapa Guru.' kata Muheso seto dan isterinya, Rahmini mengangguk menyetujui.

Beberapa kali BhagawanSindusakti menghela nafas panjang. "Hemm, agaknya riwayat itu memang sudah semestinya kalian ketahui agar dapat kalian jadikan contoh. Baiklah, akan kuceritakan semuanya mengapa kedua pusaka itu tidak diajarkan kepada para murid, dan mengapa pula Pecut Sakti Bajrakirana menjadi pusaka lambang kebesaran Jatikusumo" Kembali Bhagawan Sindusakti berhenti sampai lama dan beberapa kali menghela napas panjang. Sementara itu, empat orang muridnya menunggu dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

Dengan suaranya yang lembut dia lalu bercerita, "Beginilah ceritanya. Resi Jatikusumo pendiri dari perguruan Jatikusumo, memiliki dua orang murid kepala, yaitu Resi Limut Manik dan Resi Ekomolo. Biarpun Resi Ekomolo merupakan murid tertua dan memiliki ilmu kepandaian tertinggi, namun Maha Resi Jatikusumo tidak begitu menyukainya karena wataknya yang keras dan juga akhir-akhir ini menunjukkan bahwa dia seorang yang masih menjadi hamba nafsu-nafsunya sendiri. Oleh karena itu, diam-diam Resi Jatikusumo memberikan dua buah pusaka berikut ilmunya kepada Resi Limut Manik. Dua buah pusaka itu pertama adalah Pecut Bajrakirana berikut ilmunya dan Pedang Kartika Sakti berikut ilmunya. Bahkan Pecut Sakti Bajrakirana dijadikan lambang kebesaran perguruan Jatikusumo dan Resi Jatikusumo mengumumkan kepada semua muridnya bahwa barang siapa memegang dan memiliki pecut itu, maka berarti dia memiliki kekuasaan penuh di Jatikusumo dan harus, ditaati semua murid lain!

Sebagai pemilik Pecut Sakti Bajrakirana dan Pedang Kartika Sakti Sang Resi Limut Manik menggantikan kedudukan sebagai ketua perguruan Jatikusumo setelah Resi Jatikusuma meninggal dunia. Resi Ekomolo yang menjadi murid tertua, tentu saja merasa tidak senang, iri hati dan marah sekali, Akan tetapi karena hal itu sudah menjadi peraturan yang dipesankan guru mereka, dia tidak dapat menentangnya, Akan tetapi, setelah gurunya meninggal dunia, Resi Ekomolo semakin menjadi liar. Dia semakin dalam terperosok ke dalam cengkeraman nafsu-nafsunya sehingga dia melakukan segala macam perbuatan sesat. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak ada yang dapat menghalangi perbuatannya. Merampas harta benda orang, merampas isteri atau anak gadis orang, bahkan memperkosa wanita menjadi kebiasaannya sehingga namanya tersohor sebagai seorang penjahat yang amat kejam, mudah saja membunuhi orang yang tidak berdosa.

Resi Limut Manik sebagai ketua Jatikusumo dengan segala kesabarannya berusaha untuk memberi nasihat dan peringatan kepada kakak seperguruannya yang menyeleweng itu. Namun semua nasihatnya tidak diturut, bahkan perbuatan jahat Resi Ekomolo semakin nekat dan liar. Ketika Resi Ekomolo memperkosa beberapa orang murid wanita Jatikusumo dan membunuh beberapa orang murid pria, kesabaran Resi Limut Manik sudah di batas kemampuannya. Siapapun yang menjadi penghalang bagi Resi Ekomolo tentu dibunuhnya dan Resi Limut Manik tahu bahwa kalau hal itu dibiarkannya saja, maka akan semakin banyak jatuh korban yang tidak berdosa. Yang paling akhir dari kejahatan Resi Ekomolo dan yang membuat Resi Limut Manik tidak dapat bersabar lagi adalah ketika Resi Ekomolo berusaha menggagahi isteri Resi Limut Manik namun gagal karena wanita itu lebih dulu membunuh diri dengan sebatang keris. Wanita itu memilih mati daripada tubuhnya dijamah Resi Ekomolo."

"Wah, jahat sekali....!! seru Rahmini ketika mendengar penuturan gurunya itu.

"Sungguh kejam!" kata pula Cangak Awu.

Maheso Seto diam saja dan Priyadi yang mendengarkan ini membayangkan keadaan Resi Ekomolo sekarang, yang sudah menjadi gurunya.

"Memang jahat dan kejam sekali Resi Ekomolo seolah telah berubah menjadi iblis karena merasa tidak ada yang berani menghalangi perbuatannya. Bapa Guru Resi Limut Manik yang kematian isterinya itu lalu bertindak, menegur kakak seperguruannya itu akan tetapi Uwa Resi Ekomolo malah menantangnya. Terjadilah perkelahian yang dahsyat. Keduanya sama sakti mandraguna, bahkan Bapa Guru Resi Limut Manik nyaris kalah karena saktinya Uwa Resi Ekomolo. Mereka bertanding sampai setengah hari dan akhirnya Bapa Guru terdesak. Karena dirinya terancam bahaya maut Bapa Guru lalu mengeluarkan Aji Bajrakirana, menggunakan pecut sakti itu. Dengan aji kesaktian yang amat hebat ini, barulah Uwa Resi Ekomolo dapat dikalahkan. Kedua kakinya terkena lecutan pecut sakti dan menjadi lumpuh. Bapa Guru Resi Limut Manik masih tidak tega untuk membunuhnya, hanya menyingkirkannya dari dunia ramai agar dia tidak membuat ulah yang jahat lagi karena biarpun kedua kakinya sudah lumpuh, namun dia tetap saja memiliki kesaktian yang tidak sembarang orang mampu menandinginya. Nah, begitulah ceritanya. Karena itu, maka untuk berjaga-jaga, Bapa Guru Limut Manik tidak menurunkan kedua ilmu yang merupakan pusaka itu kepada para muridnya. Bahkan aku sendiri tidak diajari kedua ilmu itu."

Setelah Bhagawan Sindusakti selesai bercerita, suasana menjadi hening sekali. Empat orang murid itu terkesan sekali oleh cerita itu. Tak disangkanya bahwa di perguruan Jatikusumo ada riwayat yang demikian mencemarkan nama besar perguruan mereka.

"Dan sekarang, di mana adanya Uwa Eyang Guru yang bernama Resi Ekomolo itu, Bapa Guru?" tanya Priyadi dengan suara yang wajar.

Sampai lama Bhagawan Sindusakti tidak menjawab, melainkan menghela napas panjang. Akhirnya dia berkata dengan suara datar. "Tidak ada yang tahu di mana dia berada, sudah meninggal dunia ataukah masih hidup. Sudahlah, kita tidak perlu memikirkan dia yang sudah menerima hukumannya dan mudah-mudahan cerita ini dapat menjadi contoh bagi kalian agar jangan sampai melakukan tindakan yang menyimpang dari kebenaran dan kebaikan."

Diam-diam Priyadi mencatat bahwa orang lumpuh yang kini menjadi gurunya adalah seorang yang amat jahat, licik dan juga kejam. Dia harus berhati-hati menghadapi orang Seperti itu, walaupun orang itu telah menjadi gurunya dan kini sedang menurunkan ilmu-ilmu simpanannya kepadanya.

Pada saat itu terdengar suara orang-orang bicara di depan pondok dan muncullah seorang murid Jatikusumo melapor kepada Bhagawan Sindusakti. "Paman Guru Bhagawan Jaladara datang berkunjung!"

Mendengar laporan ini, Bhagawan Sindusakti mengangguk-angguk dan berkata, "Kebetulan sekali dia, datang! Silakan masuk!"

Murid Jatikusumo itu lalu keluar dan tak lama kemudian Bhagawan Jaladara muncul. Melihat betapa dia disambut pandang mata yang tajam menyelidik dan alis berkerut dari kakak seperguruan dan para murid keponakannya, Bhagawan Jaladara hanya tersenyum lebar. Mukanya yang hitam itu tidak membayangkan sesuatu dan tubuhnya yang tinggi besar melangkah dengan tegapnya ke dalam ruangan itu.

"Kakang Sindusakti, aku mengucapkan salam!" kata Bhagawan Jaladara dengan suara lantang dan ramah.

"Terima kasih, Adi Jaladara. Kebetulan sekali engkau datang. Kami memang sedang membicarakan tentang engkau dan perbuatanmu yang membuat aku sungguh merasa heran dan tidak mengerti."

"Eh? Perbuatanku yang manakah yang membuat engkau merasa heran dan tidak mengerti, Kakang Sindusakti?" tanya Bhagawan Jaladara dengan mata terbelalak dan pandang mata penuh pertanyaan.

"Mengapa engkau begitu tega hati mengeroyok dan membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik?" tanya Bhagawan Sindusakti dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Bhagawan Jaladara terlonjak dari tempat duduknya. "Hei! Siapa yang mengatakah hal itu?" teriaknya penasaran.

"Tiga orang muridku ini yang menceritakan kepadaku, yaitu Maheso Seto, Rahmini, dan Cangak Awu."

Bhagawan Jaladara memandang kepada mereka bertiga dan berseru kepada Maheso Seto. "Maheso Seto. aku selama ini mengenalmu sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Kenapa sekarang engkau menceritakan kebohongan di depan gurumu? Apakah engkau menyaksikan sendiri aku membunuh Bapa Guru Limut Manik?"

"Sesungguhnya kami bertiga tidak melihatnya sendiri, Paman Bhagawan Jaladara. Kami hanya mendengar keterangan dari Sutejo dan diajeng Puteri Wandansari bahwa paman dan tiga orang lain telah mengeroyok Eyang Resi sehingga Eyang Resi terluka dan meninggal dunia."

"Itu fitnah besar! Kakang Sindusakti, sekarang aku mengerti para muridmu hanya mendengar fitnah itu dari Sutejo dan Wandansari. Hal ini tidak aneh karena sebetulnya yang membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik, bukan lain adalah Sutejo dan Wandansari sendiri!"

Ucapan ini tentu saja membuat Bhagawan Sindusakti dan empat orang muridnya menjadi terkejut bukan main. Kalau mendengar Sutejo yang membunuh, hal itu tidaklah amat mengherankan karena pemuda itu bukan langsung murid Jatikusumo. Akan tetapi Puteri Wandansari? Membunuh eyang gurunya sendiri?

"Adi Jaladara! Bagaimana engkau bisa menuduh Wandansari yang melakukan pembunuhan terhadap Bapa Guru? Apa buktinya? Jangan sembarangan menuduh tanpa bukti!" kata Bhagawan Sindusakti yang tentu saja membela muridnya.

"Tenanglah, kakang Sindusakti. Aku bukan hanya sembarangan menuduh tanpa alasan yang kuat. Dengarkan ceritaku. Engkau tentu sudah mendengar betapa Mataram bersikap sewenang-wenang terhadap para adipati dan bupati di daerah timur, di antaranya Wirosobo. Karena itu Wirosobo berusaha untuk membebaskan diri dari cengkeraman Matarama. Sebagai kawula Wirosobo tentu saja aku membela Wirosobo. Aku menghadap Bapa Guru dan engkaupun tahu bahwa Bapa Guru Resi Limut Manik berasal dari daerah Wirosobo, sehingga dia menjadi kawula Wirosobo pula. Maka sudah sepatutnya kalau Bapa Guru juga membela dan berpihak kepada Wirosobo. Beliau menyatakan ini kepadaku, bahkan Bapa Guru menyerahkan Pecut Sakti Bajrakirana untuk disampaikan kepada Kakang Sindusakti sebagai ketua Jatikusumo dan untuk dipergunakan berjuang membela Wirosobo dari penjajah Mataram!" Kata-kata Jaladara ini diucapkan penuh semangat.

"Akan tetapi mana pusaka itu? Kenapa engkau tidak juga menyerahkannya kepadaku?" tuntut Bhagawan Sindusakti.

"Aku memang tidak berani membawanya, Kakang Sindusakti. Aku takut kalau-kalau Sutejo dan Wandansari akan menghadangku dan merampas Pecut Bajrakirana itu. Aku masih menyimpannya di rumahku, akan tetapi sudah pasti akan kuserahkan kepadamu. Sekarang kulanjutkan ceritaku. Ketika untuk kedua kalinya aku datang berkunjung ke padepokan Bapa Guru, aku melihat kedua cantrik Penggik dan Pungguk sudah menggeletak tewas di depan pondok, dan Bapa Guru juga telah tewas di dalam pondok. Dan di situ terdapat Sutejo dan Wandansari! Tidak salah lagi, kedua orang pengkhianat itu yang telah membunuh eyang guru mereka sendiri!"

"Akan tetapi apa sebabnya? Apa alasannya untuk memperkuat tuduhanmu itu?"

"Alasannya mudah dan wajar saja, Kakang Sindusakti. Tentu saja Wandansari membela kerajaan ayahnya dan agaknya Sutejo juga membela Mataram. Keduanya membela Mataram, maka mereka tentu saja memusuhi Bapa Guru yang membela Wirosobo! Itulah sebabnya mengapa mereka membunuh Bapa Guru."

Bhagawan Sindusakti menggeleng-geleng kepala, mengerutkan alis, hatinya masih bimbang ragu. Alasan itu belum kuat. Bagaimanapun juga, Mataram belum berperang secara terbuka melawan Wirosobo, mengapa mereka harus membunuh Bapa Guru yang berpihak kepada Wirosobo?"

"Maaf, Bapa Guru. Saya kira saya menemukan alasanya yang amat kuat untuk itu" kata Priyadi tiba-tiba kepada gurunya. Semua orang memandang kepada pemuda ini.

"Alasan apa itu, Priyadi?"

"Bapa Guru, kalau benar Sutejo dan diajeng Wandansari yang membunuh Eyang Resi Limut Manik, tentu alasannya untuk merampas dua pusaka Jatikusumo itu. Bukankah buktinya Pedang Pusaka Kartika Sakti berikut kitabnya sudah berada di tangan diajeng Wandansari, sedangkan kitab Pecut Bajrakirana berada di tangan Sutejo?"

"Tepat sekali perkiraan itu dan aku yakin memang itu juga merupakan alasan yang amat kuat selain sikap permusuhan mereka terhadap Bapa Guru karena Bapa Guru berpihak kepada Wirosobo. Kakang Sindusakti, kita harus merampas kedua kitab pusaka dan Pedang Kartika Sakti itu! Adapun Pecut Sakti Bajrakirana yang sudah berada di tanganku, akan kuserahkan kepadamu dengan pengawalan ketat agar tidak ada yang merampasnya di tengah perjalanan. Akan tetapi karena aku mengemban perintah mendiang Bapa Guru bahwa Pecut Sakti Bajrakirana itu harus dipergunakan untuk membela Wirosobo maka aku minta keyakinan dari Kakang Sindusakti bahwa kakang akan bersedia membantu Wirosobo dan menentang Mataram."

Bhagawan Sindusakti mengangguk-angguk. Mendengar alasan yang dikemukakan Priyadi itu, diapun mulai percaya bahwa Sutejo dan Wandansari yang telah membunuh Resi Limut Manik untuk menguasai dua kitab pusaka itu.

"Baiklah, Adi Jaladara. Aku berjanji akan membantu Wirosobo karena mendiang Bapa Guru telah memerintahkan demikian. Cepat bawa ke sini Pecut Sakti Bajrakirana dan aku akan mengerahkan para muridku untuk merampas kembali pusaka Kartika Sakti dan dua kitab pelajaran itu dari tangan para pengkhianat itu."

Setelah menerima jamuan makan dari kakak seperguruannya, Bhagawan Jaladara lalu berpamit dan meninggalkan perkampungan Jatikusumo di pantai Laut Kidul daerah Pacitan itu. Bhagawan Sindusakti sudah termakan hasutan Bhagawan Jaladara. Dia mulai percaya akan dugaan Priyadi bahwa yang membunuh Resi Limut Manik adalah Sutejo dan Wandansari, karena agaknya tidak mungkin kalau gurunya itu mewariskan dua pusaka itu kepada cucu muridnya Kalau hendak diwariskan dua aji yang dirahasiakan itu, tentu akan diwariskan kepadanya, bukan kepada Sutejo atau Wandansari. Dia lalu berunding lagi dengan empat orang muridnya.

"Sekarang kalian harus berbagi tugas. Maheso Seto dan Rahmini, kalian kuserahi tugas untuk mengunjungi Puteri Wandansari dan bujuklah ia dengan halus, katakan bahwa aku yang minta agar ia suka menyerahkan Pedang Kartika Sakti dan kitab pelajarannya. Ingatkan ia bahwa ia adalah murid Jatikusumo dan bahwa pusaka itu milik perguruan Jatikusumo, maka baru dikembalikan kepadaku. Dan kalian berdua, Priyadi dan Cangak Awu, kalian kuserahi tugas untuk mencari Sutejo. Kalau dapat, kalian juga bujuk dia agar menyerahkan kitab pelajaran ilmu Pecut Bajrakirana kepadaku. Kalau menolak, kalian boleh mempergunakan kekerasan untuk menundukkan dia dan merampas kitab itu."

Empat orang murid itu menyatakan kesanggupan mereka dan setelah berkemas membawa bekal perjalanan yang mungkjn memakan waktu lama dan jauh itu, mereka lalu pergi meninggalkan perkampungan Jatikusumo, Maheso Seto dan Rahmini mengambil jalan mereka sendiri karena tujuan mereka sudah pasti, yaitu kerajaan Mataram mengunjungi Puteri Wandansari yang tentu berada di istana Sultan Agung di Mataram.

Priyadi dan Cangak Awu tidak mempunyai tujuan tertentu karena mereka tidak tahu di mana adanya Sutejo. Mereka harus mencarinya. "Adi Cangak Awu," kata Priyadi setelah mereka keluar dari perkampungan Jatikusumo. "Karena dia berpihak kepada Mataram, maka aku yakin bahwa Sutejo tentu berada di daerah Mataram. Kita mencari dia ke sana, Akan tetapi karena Mataram itu luas. maka kurasa paling baik kalau kita berpencar. Dengan berpencar kita mendapat lebih banyak kemungkinan bertemu dengan Sutejo. Kurasa murid Paman Bhagawan Sidik Paningal itu bukan merupakan lawan yang terlalu kuat untuk kita, Adi Cangak Awu. Kalau engkau atau aku bertemu dengan dia, kita minta baik-baik kitab Bajrakirana, kalau dia tidak mau memberikan jangan takut, serang saja dan rampas kitabnya dari tangannya."

Cangak Awu tidak sependapat dengan kakak seperguruannya. Dia tidak berani memandang ringan kepada Sutejo. Akan tetapi karena tidak ingin dianggap takut oleh Priyadi, diapun setuju saja.

Demikianlah, keduanya berpisah. Sama sekali Cangak Awu tidak pernah menduga bahwa Priyadi sama sekali tidak pergi ke Mataram, melainkan diam-diam dia menuju ke balik bukit di belakang perkampungan Jatikusumo, menemui Resi Ekomolo. Karena dia tahu bahwa Bhagawan Sindusakti tentu mengira dia sedang melakukan perjalanan mencari Sutejo, maka kini dia dapat siang malam berada di gua bersama Resi Ekomolo, berlatih dengan rajin.

Dia bercita-cita besar, tidak saja menjadi ketua Jatikusumo, akan tetapi juga kalau ilmu-ilmunya sudah sempurna, dia akan merampas dua buah pusaka Jatikusumo bersama kitab-kitabnya. Dua pusaka berikut ajinya itu yang ditakuti Resi Ekomolo, maka dia harus menguasai kedua pusaka itu agar benar-benar menjadi jagaan nomor satu di seluruh Nusantara.

********************

"Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali, Priyadi! Puas sekali hatiku sekarang. Engkaulah yang akan mengangkat kembali nama besar Resi Ekomolo!" Kakek lumpuh itu duduk di atas batu dan bertepuk tangan saking gembiranya setelah Priyadi selesai bersilat seperti yang diajarkan selama beberapa bulan ini. Gerakan Priyadi memang tangkas bukan main karena dia sudah menguasai sepenuhnya Aji Tunggang Maruto.

"Coba kerahkan Aji Margopati pada pohon itu, Priyadi. Aku ingin melihat kekuatanmu." kata kakek yang kegirangan itu.

Priyadi lalu melakukan gerakan menyembah ke angkasa, kemudian kedua tangan yang menyembah itu turun dan dari samping kedua tangan terbuka itu mendorong ke depan, mulutnya mengeluarkan teriakan melengking.

"Hyaaaaehhhhh.... Braaakkkk!" Pohon itu tumbang disambar Aji Margopati yang amat dahsyat itu. Kembali Resi Ekomolo bertepuk tangan memuji.

"Bagus! Berlatih tekun sedikit lagi engkau sudah akan mampu mengimbangi kekuatanku, Priyadi. Aku yakin bahwa Aji Pengasihan Mimi Mintuno dan Aji Pengirepan Begonondo juga sudah kau kuasai dengan baik. Sekarang aku ingin menguji Aji Jerit Nogo yang kau kuasai. apakah sudah cukup kuat untuk menolak pengaruh sihir yang kuat. Nah, bersiaplah!"

Priyadi mempersiapkan diri, diam-diam membaca mantra dan memandang kepada gurunya dengan sinar mata mencorong. Kakek itu mengembangkan kedua lengannya, lalu dengan kedua telapak tangan menghadap Priyadi dia membentak, "Priyadi, lihat, aku adalah Sang Bathara Kolo, berlututlah engkau!"

Priyadi terbelalak karena tiba-tiba saja di atas batu itu bukan gurunya yang duduk dengan kaki lumpuh, melainkan seorang raksasa yang besar sekali sedang berdiri dan bersikap hendak menyerangnya. Ketika terdengar suara "berlututlah" tadi, tiba-tiba saja kedua lututnya menjadi lemas seperti tidak bertulang dan dengan sendirinya kedua lutut itu tertekuk untuk berlutut. Pada saat itulah dia teringat akan Aji Jerit Nogo yang dikuasainya dan yang tadi mantramnya sudah dia baca. Maka dia lalu mengerahkan tenaga saktinya dan tiba-tiba dia mengeluarkan pekik yang menyeramkan.

"Aaaaiiiiiigggghhhh!!" Pekik itu menggetarkan seluruh bukit dan tiba-tiba raksasa di depannya telah berubah lagi menjadi Resi Ekomolo dan kedua kakinya yang tadinya lemas itu telah pulih kembali. Hal ini berarti bahwa ajinya Jerit Nogo telah berhasil memunahkan sihir yang dikerahkan Resi Ekomolo tadi.

"Ha-ha ha-ha, bagus, bagus sekali! Engkau sudah dapat menolak dan memunahkan sihirku berarti Aji Jerit Nogo yang kau kuasai sudah cukup sempurna. Nah, sekaranglah tiba saatnya untuk engkau menguasai perguruan Jatikusumo. Hayo, Priyadi, hayo kita ke perkampungan Jatikusumo. Dengan bantuanmu, aku akan merampas kedudukan ketua dan kelak engkau yang akan menjadi penggantiku."

"Tapi, eyang......" Priyadi hendak menyatakan keberatan hatinya karena kehendak gurunya itu tidak sesuai dengan rencananya. Dia memang bermaksud menjadi ketua Jatikusumo, akan tetapi hal itu baru akan dilakukan setelah Pecut Sakti Bajrakirana berada di tangannya, berikut Pedang Kartika Sakti. Untuk mendapatkan dua pusaka itu, biarlah saudara-saudara seperguruannya yang berusaha mendapatkannya. Setelah semua pusaka berada di perguruan Jatikusumo, barulah dia akan merebut kedudukan ketua.

Sementara itu dia akan mematangkan dan menyempurnakan dulu ilmu-ilmu yang baru dipelajarinya dari Resi Ekomolo. Selain itu, dari penuturan Bhagawan Sindusakti dia dapat mengambil kesimpulan bahwa Resi Ekomolo adalah seorang yang amat jahat, licik dan kejam. Kalau kakek itu bersikap baik kepadanya, hal itu karena ada pamrihnya. Kalau dia sudah tidak dibutuhkan lagi, sangat boleh jadi kakek itu akan mendepaknya atau bahkan membunuhnya. Sukar ditebak apa yang berada dalam pikiran yang sudah tidak waras itu. Dan kakek itulah kini satu-satunya orang yang mungkin memiliki kemampuan untuk menandinginya, karena itu patut dilenyapkan agar kelak tidak menjadi penghalang baginya!

"Tidak ada tapi, Priyadi. Mari kita berangkat. Kalau Sindusakti menolak dan banyak ribut, habisi saja dia!" kata Resi Ekomolo sambil melompat turun dari atas batu. "Hayo tunjukkan jalannya, aku sudah lupa lagi jalan menuju ke perkampungan Jatikusumo!"

"Baik, marilah, eyang!" Akhirnya Priyadi tidak membantah lagi, bahkan ada kemantapan dalam suaranya. Mereka berdua lalu meninggalkan gua itu menuju ke puncak. Sekali ini biarpun Resi Ekomolo mengerahkan kekuatannya untuk bergerak cepat dengan cara melompat-lompat seperti seekor katak, Priyadi yang sudah memiliki tenaga sakti yang kuat sekali, menggunakan Aji Tunggang Maruto, mampu mengimbangi kecepatan gerakan kakek itu. Tak lama kemudian mereka berdua sudah tiba di dekat sumur tua yang disebut neraka oleh Resi Ekomolo, tempat di mana dia dipenjara sampai tiga puluh tahun lebih lamanya!

"Nanti dulu, eyang. Saya ingin menjenguk lagi sumur yang menjadi tempat tinggal eyang selama puluhan tahun itu." kata Priyadi dan dia menghampiri sumur lalu menjenguk ke dalam.

Resi Ekomolo juga tidak dapat menahan keinginannya untuk menjenguk sekali lagi tempat itu, Dengan beberapa lompatan dia sudah tiba di tepi sumur dan menjenguk ke dalamnya. Pada saat itu, tiba-tiba saja Priyadi menggunakan Aji Margapati untuk memukul punggungnya dari belakang! Bukan main kagetnya Resi Ekomolo. Tidak ada kesempatan baginya untuk mengelak karena datangnya pukulan itu demikian mendadak dan tidak terduga-duga. Satu-satunya jalan baginya untuk melindungi dirinya hanyalah dengan menggerakkan kedua tangannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkis pukulan dengan Aji Margapati yang dahsyat itu.

"Wuuuuuutttt.... desss......!!" Hebat sekali pertemuan antara kedua tenaga itu sehingga tubuh Priyadi sampai terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. Akan tetapi tubuh kakek itupun terpental dan tanpa dapat dicegah lagi dia terjatuh ke dalam sumur tua! Terdengar jerit panjang dari dalam sumur. Priyadi mengambil pernapasan untuk memulihkan getaran dalam dadanya, lalu dia melompat mendekati sumur. Lapat-lapat dia mendengar suara Resi Ekomolo yang lemah dan lirih, namun mengandung kemarahan dan kebencian yang teramat mendalam.

"Priyadi... jahanam keparat... terkutuk engkau.... terkutuk! Matimu lebih mengerikan daripada matiku....!!"

Priyadi tertawa senang. Dia sudah terbebas dari kakek yang amat berbahaya itu. Sama sekali tidak terdapat penyesalan di dalam hatinya akan apa yang telah diperbuatnya terhadap kakek itu.

Demikianlah perbuatan manusia kalau sudah diperhamba nafsunya sendiri. Segala hal yang dilakukan manusia budak nafsu adalah berdasarkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Demikian hebat kekuasaan nafsu yang telah menguasai diri manusia sehingga nafsu yang sudah mencengkeram hati akal pikiran itu membuat hati akal pikiran bahkan menjadi pembela dari pada perbuatan yang didorong nafsu. Hati akal pikiran membenarkan semua perbuatan itu dengan segala macam alasannya yang dicari-cari.

Priyadi tidak merasa berdosa, tidak merasa bersalah walaupun dia telah membalas budi Resi Ekomolo dengan pembunuhan. Dalam hati akal pikirannya hanya ada alasan yang membenarkan tindakannya itu. Dia menganggap kakek itu jahat dan kejam, maka berbahaya sekali bagi dirinya, bahkan menjadi penghalang dari semua cita-citanya, karena itu harus dilenyapkan! Dengan demikian, dia akan tetap dapat menyimpan rahasia bahwa kini kepandaiannya telah meningkat sedemikian tingginya sehingga tidak akan ada orang di Jatikusuma yang akan mampu menandinginya. Dia akan menguasai Jatikusumo berikut pusaka-pusaka dan ajiannya.

Dengan tenang saja bagaikan tidak pernah terjadi sesuatu, Priyadi melenggang, menuju ke perkampungan Jatikusumo yang telah ditinggalkan selama kurang lebih dua bulan itu. Ketika dia memasuki perkampungan dia mendengar dari para murid di situ bahwa kedua kakak seperguruannya, Maheso Seto dan Rahmini, telah kembali. Demikian pula adik seperguruannya. Cangak Awu sudah tiba kembali. Dengan sikap tenang dan biasa saja dia lalu menghadap Bhagawan Sindusakti dan tiga orang murid yang lain juga sedang menghadap guru mereka itu.

Setelah menerima sembah dari Priyadi, Bhagawan Sindusakti berkata kepada Priyadi, "Nah, ini Priyadi sudah pulang. Bagaimana hasilmu mencari Sutejo?"

Priyadi menoleh kepada Cangak Awu dan berkata, "Maaf, Bapa Guru. Setelah berpisah dari Adi Cangak Awu untuk berpencar mencari Sutejo, Saya telah melakukan perjalanan jauh mencari-cari, akan tetapi tidak menemukan jejak Sutejo, juga tidak dapat bertemu kembali dengan Adi Cangak Awu. Karena itu, saya lalu kembali saja untuk melapor kepada Bapa Guru dan ternyata Adi Cangak Awu telah berada di sini."

Cangak Awu berkata kepada Priyadi. "Ah, kakang Priyadi. Kalau saja kita tidak berpencar, tentu kita berdua sudah dapat menundukkan Sutejo dan mungkin sekali sudah dapat merampas Kitab Bajrakirana yang berada padanya."

"Ah, benarkah, Adi Cangak Awu? Engkau sudah bertemu dengan dia?" tanya Priyadi.

"Cangak Awu, ceritakanlah kembali pengalamanmu agar Priyadi mengetahuinya." kata Bhagawan Sindusakti. Cangak Awu lalu bercerita

********************

Cangak Awu melakukan perjalanan seorang diri keluar masuk kota dan dusun, naik turun gunung dan keluar masuk hutan. Pemuda perkasa yang bertubuh tinggi besar ini menuju ke daerah Mataram. Di sepanjang perjalanan diapun bertanya-tanya, barangkali ada orang yang pernah melihat atau mengenal Sutejo yang dicarinya. Namun semua usahanya sia-sia belaka, telah sebulan lebih dia merantau tanpa hasil.

Pada suatu pagi, karena perutnya terasa lapar, ketika melihat sebuah warung nasi di dalam sebuah dusun yang cukup besar dan ramai, diapun masuk ke dalam warung nasi itu, dan memesan nasi pecel dan air minum. Warung itu telah penuh tamu yang duduk berjajar di bangku panjang dan mereka sedang bercakap-cakap dengan asyiknya.

"Memang hebat sekali pemuda, itu. Dengan satu tangan saja dia mampu menahan kuda yang sedang kabur." kata seorang yang bertubuh, kurus.

"Kalau tidak ada dia, tentu putera Ki Demang itu dapat celaka!" kata yang lain, yang matanya lebar.

"Hebatnya, dia tidak mau menerima hadiah dari Ki Demang!" kata yang lain lagi.

"Ya, padahal melihat pakaiannya, dia bukanlah seorang pemuda yang kaya, agaknya seorang pemuda petani biasa saja."

"Akan tetapi jelas bukan orang daerah ini karena di antara kita tidak ada yang mengenalnya."

"Katanya dia mengaku namanya kepada Ki Demang. Betulkah? Siapa nama pemuda itu?" tanya seseorang yang agaknya tidak menyaksikan sendiri peristiwa itu.

"Namanya Sutejo."

Hampir saja nasi yang tertelan Cangak Awu membuatnya tersedak ketika dia mendengar kalimat, terakhir ini. Sutejo? Dia segera menoleh ke arah orang yang menyebutkan nama itu dan bertanya. "Ki Sanak, di manakah terjadinya peristiwa itu?"

Karena yang bertanya seorang pemuda tinggi besar yang asing bagi mereka, orang itu menjawab dengan gembira. Karena dia menyaksikan peristiwa itu, maka dia merasa bangga untuk bercerita. "Terjadi baru saja di luar dusun ini. Putera Ki Demang Gedangan yang usianya baru lima tahun, ketika menunggang kudanya yang besar, tiba-tiba dilarikan kuda itu yang membedal entah mengapa. Kami semua merasa ngeri dan tidak dapat berbuat sesuatu. Akan tetapi tiba-tiba seorang pemuda meloncat dari samping, menyambar kendali kuda dan dengan sentakan tangan kirinya yang kuat kuda itu dipaksa berhenti dan putera Ki Demang selamat."

"Dan penolong itu bernama Sutejo?"

"Demikianlah menurut pengakuannya ketika dia ditanya Ki Demang. Dia tidak mau menerima hadiah apapun."

"Bagaimana rupa dan perawakannya?" tanya pula Cangak Awu.

"Dia masih muda, paling banyak dua puluh dua tahun usianya, wajahnya tampan kulitnya kuning dan perawakannya sedang dan tegap." jawab pencerita itu.

Cukuplah sudah bagi Cangak Awu. Dia sudah pernah bertemu dan melihat bagaimana rupa dan perawakan Sutejo dan gambaran itu cocok benar dengan apa yang diceritakan orang itu.

"Ke mana sekarang Sutejo itu pergi?" tanyanya lagi dengan suara sambil lalu seolah tidak ada maksud lain dalam pertanyaannya kecuali tertarik dan ingin tahu.

"Begitu Ki Demang dan orang-orang datang mengerumuninya, orang itu langsung pergi meninggalkan tempat itu menuju ke barat."

Cangak Awu lalu membayar harga nasi dan minuman, kemudian keluar dari warung itu. Dengan langkah lebar dan cepat dia lalu Keluar dari dalam dusun dan setelah berada di luar dusun yang sunyi, dia lalu mengerahkan Aji Harina Legawa dan berlari cepat seperti terbang menuju ke barat untuk mengejar orang yang bernama Sutejo seperti diceritakan orang dalam warung nasi tadi.

Setelah dia tiba di luar sebuah hutan, di atas jalan yang sunyi sepi itu di depan dia melihat seorang pemuda sedang berjalan dengan tenang. Melihat ini, hatinya merasa girang bukan main dan dia mempercepat larinya sehingga sebentar saja dia sudah dapat menyusul pemuda itu. Dia mendahuluinya, menengok dan segera mengenal Sutejo yang pernah dilihatnya ketika dia dan dua orang kakak seperguruannya berkunjung ke padepokan eyang gurunya Resi Limut Manik. Dia lalu berhenti dan menghadang.

Sutejo tadinya merasa heran ada seorang laki-laki muda tinggi besar menghadang di tengah perjalanannya. Akan tetapi segera dia mengenal pemuda tinggi besar itu. Dia mengenal Cangak Awu yang mendatangkan kesan baik dalam hatinya karena pemuda raksasa itulah yang dulu mencegah Maheso Seto dan Rahmini yang hendak menyerang dia dan Puteri Wandansari.

"Adi Sutejo! Engkau masih mengenalku?" tanya Cangak Awu dengan suaranya yang lantang.

Sutejo tersenyum ramah. Dia membungkuk untuk menghormati pemuda tinggi besar itu dan berkata lembut, "Tentu saja aku masih mengenalmu, Kakang Cangak Awu. Sungguh kebetulan sekali kita dapat saling bertemu di sini."

"Bukan kebetulan, Adi Sutejo. Aku memang sengaja mengejarmu. Di dusun belakang sana aku mendengar tentang engkau yang menyelamatkan putera demang. Untung engkau menyebutkan namamu sehingga mereka tahu bahwa yang menolong putera demang adalah seorang pemuda bernama Sutejo. Karena aku memang sedang mencarimu, maka mendengar cerita penduduk dusun itu aku segera mengejar dan menyusulmu."

"Kakang Cangak Awu, Mengapa engkau mencari aku? Ada kepentingan apakah, kakang? Apa yang dapat kubantu untukmu?"

"Adi Sutejo. Engkau seorang yang berwatak satria, hal ini terbukti ketika engkau menolong dan menyelamatkan putera demang tanpa mau menerima hadiah. Aku percaya bahwa engkau seorang yang berbudi baik. Karena itu, engkaupun tentu akan tunduk kepada perintah para pini sepuh. Aku mencarimu karena diutus oleh Bapa Guru Bhagawan Sindusakti. Beliau sebagai ketua Jatikusumo memerintahkan aku untuk mencarimu."

"Ada maksud apakah Paman Bhagawan Sindusakti mencariku, kakang?"

"Bapa Guru Bhagawan Sindusakti minta agar engkau suka menyerahkan kitab Bajrakirana kepadaku untuk dihaturkan kepadanya."

"Akan tetapi....."

"Harap jangan membantah dulu, Adi Sutejo dan dengarkan kata-kataku. Ketahuilah bahwa Pecut Sakti Bajrakirana dan kitab pelajarannya merupakan pusaka perguruan Jatikusumo dan harus berada di perguruan Jatikusumo sebagai pusaka yang dikeramatkan. Juga Pecut Sakti Bajrakirana menjadi lambang kebesaran perguruan Jatikusumo. Karena sekarang yang menjadi ketua Jatikusumo adalah Bapa Guru Sindusakti, maka sudah sewajarnyalah kalau beliau minta agar pusaka itu diserahkan kepadanya. Engkau yang hanya murid tidak berhak memilikinya. Oleh karena itu, Adi Sutejo, aku minta dengan hormat dan sangat atas pengertianmu dan suka menyerahkan kitab itu dengan suka rela hati kepadaku untuk kusampaikan kepada Bapa Guru."

Melihat sikap dan mendengar ucapan Cangak Awu yang lembut, Sutejo agaknya juga tidak ingin memanaskan suasana dan ingin mengajaknya bicara baik-baik.

"Marilah kita duduk di bawah pohon itu dan bicara dengan santai bertukar pikiran, Kakang Cangak Awu."

Cangak Awu menganggukdan keduanya lalu berjalan menuju ke bawah sebatang pohon waru yang teduh dan duduk di atas batu besar. Setelah duduk berhadapan, Sutejo berkata,

"Kakang Cangak Awu, aku gembira sekali bertemu denganmu karena sesungguhnya di antara kita masih ada pertalian saudara seperguruan walaupun tidak secara resmi aku menjadi murid aliran Jatikusumo. Apa yang kau katakan tadi benar sekali. Engkau diutus gurumu dan tentu saja engkau harus menaatinya. Memang sebagai seorang murid Jatikusumo, walaupun tidak resmi dari perguruan Jatikusumo, aku harus menghormati dan taat kepada perintah ketua Jatikusumo, yaitu Paman Bhagawan Sindusakti. Kalau saja aku mendapatkan Kitab Bajrakirana dari tangan orang lain, atau menemukannya, maka tentu akan kuserahkan kepada yang berhak, dalam hal ini adalah Paman Bhagawan Sindusakti. Akan tetapi, kakang, coba pertimbangkan baik-baik. Aku menerima kitab itu dari tangan mendiang Eyang Resi Limut Manik sendiri. Dia memberikan kitab itu kepadaku, bahkan mengutus aku untuk merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan Paman Bhagawan Jaladara. Eyang Resi sendiri yang meninggalkan pesan terakhir sebelum kematiannya bahwa pecut dan kitabnya diberikan kepadaku. Oleh karena itu, maka kitab ini adalah milikku dan menjadi hakku. Kalau kuserahkan kepada orang lain, berarti aku mengingkari pesan terakhir Sang Resi Limut Manik."

"Jadi tegasnya tidak akan kau berikan kitab Bajrakirana itu kepadaku, Adi Sutejo?"

Sutejo menggeleng kepalanya. "Menyesal, sekali tidak, kakang. Tidak akan kuberikan kepadamu, kepada Paman Bhagawan Sindusakti atau kepada siapapun juga."

"Hemmm.....!" Cangak Awu bangkit berdiri, tubuhnya yang tinggi besar itu berdiri dengan kaki terpentang, tangan kirinya bertolak pinggang, sikapnya gagah sekali, seperti Raden Werkudoro. Sepasang matanya mencorong dan dia berkata dengan suaranya yang lantang. "Adi Sutejo! Engkau tentu tahu akan beratnya seorang murid melaksanakan perintah gurunya, suatu kewajiban yang kalau perlu dilaksanakan dengan taruhan nyawa! Bapa Guru telah memberi wewenang kepadaku untuk mempergunakan kekerasan apa bila engkau tidak mau menyerahkan kitab Bajrakirana dengan baik. Dan penolakanmu ini memperkuat dugaan kami bahwa engkau telah bersekutu dengan diajeng Wandansari membunuh Eyang Resi Limut Manik dan mencuri pusaka dan kitab."

Sutejo melompat berdiri, alisnya berkerut mendengar tuduhan berat itu. "Kakang Cangak Awu. apa yang kau tuduhkan ini? Sungguh fitnah keji, aku dan diajeng Wandansari tidak membunuh Eyang Resi Limut Manik!"

"Membunuh atau tidak, dengan tidak mau menyerahkan kitab Bajrakirana yang menjadi pusaka Jatikusumo, berarti engkau sudah menjadi seorang murid yang khianat! Adi Sutejo, tidak perlu banyak cakap lagi. Kau serahkan kepadaku atau tidak kitab itu?"

"Tidak, Kakang Cangak Awu."

"Berani engkau melawan aku?" "Aku sama sekali tidak bermaksud untuk melawanmu, Kakang Cangak Awu, akan tetapi kalau engkau memaksa, aku harus membela diri."

"Bagus! Sambut seranganku!" Cangak Awu sudah menerjang dan begitu menyerang dia sudah menggunakan Aji Gelap Musti karena dia dapat menduga bahwa Sutejo tentu merupakan lawan yang tidak lemah karena dia telah mempelajari ilmu-ilmu aliran Jatikusumo.

Menghadapi serangan ini, terpaksa Sutejo melakukan perlawanan. Dia cepat mengelak ke kiri. Akan tetapi celakannya itu disambut dengan tendangan kaki Cangak Awu yang besar dan panjang. "Wuuuuuttt.......!" Kembali Sutejo mengelak.

Ketika serangan susulan terus mengejarnya secara bertubi-tubi, dia mengelak sampai lima kali dan ketika kembali Cangak Awu melancarkan pukulan dengan Aji Gelap Musti, diapun menangkis dengan aji yang sama. Akan tetapi karena dia tidak ingin melukai kakak seperguruannya itu, maka Sutejo hanya mengerahkan sebagian saja dari tenaganya.

"Wuuuutttt.....desss.....! Dua pasang telapak tangan yang sama-sama mengandung tenaga sakti itu bertemu di udara dan akibatnya, tubuh kedua orang muda itu terdorong ke belakang sampai lima langkah. Diam-diam Cangak Awu terkejut. Kiranya Sutejo telah memiliki tenaga sakti yang mampu menandinginya! Akan tetapi Sutejo yang tidak ingin berkelahi dengan Cangak Awu, melompat jauh ke belakang.

"Selamat tinggal, Kakang Cangak Awu. Aku tidak ingin bertanding denganmu!" katanya sambil berlari meninggalkan tempat itu.

"Nanti dulu, Sutejo! Berikan kepadaku dulu kitab Bajrakirana!" Cangak Awu mengejar.

"Kelak pada suatu hari aku akan menerangkan sendiri kepada Paman Bhagawan Sindusakti!" teriak Sutejo dan dia mempercepat larinya. Keduanya berkejaran dan menggunakan Aji Harina Legawa. Akan tetapi, Sutejo telah menghilang ke dalam hutan dan tidak dapat ditemukan Cangak Awu yang terpaksa keluar dari hutan setelah beberapa lamanya dia mencari-cari dalam hutan itu tanpa hasil.

"Demikianlah, Kakang Priyadi, aku tidak berhasil menangkapnya. Hutan itu lebat sekali dan dia telah menghilang. Aku merasa menyesal sekali. Kalau saja engkau ada bersamaku, tentu kita berdua akan dapat menangkapnya." Cangak Awu mengakhiri ceritanya.

"Akan tetapi andaikata aku ada dan kita berhasil menangkapnya, belum tentu kitab Bajrakirana berada padanya. Mungkin telah dia sembunyikan." kata Priyadi.

"Biarpun ada kemungkinan demikian, akan tetapi kalau kita sudah menangkapnya, kita dapat mengancam dan memaksanya untuk menunjukkan di mana adanya kitab itu dan menyerahkannya kepada kita." bantah Cangak Awu. Suaranya menunjukkan kekesalan hatinya bahwa karena dia berpencar dari Priyadi, maka dia tidak dapat me­nangkap Sutejo.

"Maafkan aku, Adi Cangak Awu. Siapa tahu sebelumnya bahwa secara kebetulan engkau dapat bertemu dengan Sutejo. Yang aku herankan, bagaimana dia dapat menandingimu?" kata Priyadi.

"Kami hanya bertanding selama beberapa jurus saja dan dia sudah keburu larikan diri ke dalam hutan. Aku yakin kalau kami bertanding terus, aku akan mampu mengalahkannya."

"Sudahlah, hal yang sudah lewat tidak perlu disesalkan lagi. Betapapun juga. Sutejo tidak dapat menghilang begitu saja dan pada suatu waktu kita tentu akan dapat menemukannya dan memaksanya mengembalikan kitab Bajrakirana kepada Jatikusumo." kata Bhagawan Sindusakti. "Sekarang, sebaiknya kalau engkau ceritakan lagi pengalamanmu membujuk Puteri Wandansari, Maheso Seto, agar Priyadi juga mengetahuinya."

"Baiklah. Bapa Guru, sungguhpun menceritakan kembali pengalaman itu sungguh membuat hati kami berdua merasa menyesal sekali. Adi Priyadi, beginilah pengalaman kami di istana Mataram ketika kami menemui diajeng Wandansari." Maheso Seto lalu bercerita.

Dengan melakukan perjalanan cepat, dalam waktu yang tidak terlalu lama Maheso Seto bersama isterinya. Rahmini, dapat tiba di ibu kota Mataram. Mereka segera menuju ke istana kerajaan dan langsung mengunjungi keputren di mana Puteri Wandansari tinggal. Tentu saja mereka berdua dihentikan oleh para pengawal yang berjaga di luar pintu gerbang taman keputren yang menjadi bagian depan dari keputren.

"Berhenti! Siapakah andika berdua dan ada kepentingan apa datang berkunjung ke keputren yang merupakan daerah larangan bagi orang luar?" bentak kepala jaga sambil melintangkan tombaknya menghalangi suami isteri itumemasuki pintu gapura.

"Kami adalah, suami isteri Maheso Seto dan Rahmini. Kami masih terhitung kakak-kakak seperguruan dari Puteri Wandansari dan kedatangan kami adalah untuk berkunjung kepada Puteri Wandansari."

"Hemm, tidak mudah Untuk menghadap Sang Puteri tanpa ijin dari istana. Andika berdua pergi saja menghadap para pengawal istana untuk mendapatkan ijin itu yang akan diberikan oleh Kepala Pengawal dengan restu Sang Prabu."

Rahmini mengerutkan alisnya. "Kami adalah kakak-kakak seperguruan diajeng Wandansari. Sebaiknya seorang di antara kalian pergi melapor kepada Sang Puteri dan pasti ia akan suka menerima kami. Kalau nanti Sang Puteri mendengar bahwa kalian menolak kunjungan kami, kalian tentu akan mendapat marah besar dari Sang Puteri."

Mendengar ucapaan Rahmini itu, kepala jaga memandang ragu dan akhirnya dia berpesan kepada anak buahnya untuk berjaga-jaga. "Silakan andika berdua menunggu di sini, aku akan melaporkan kepada Gusti Puteri." katanya kepada Maheso Seto dan Rahmini. Dua orang suami isteri itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

Kepala jaga itu masuk ke dalam taman, lalu ke belakang di ujung taman. Tak lama kemudian dia muncul dan bergegas keluar menemui Maheso Seto dan Rahmini.

"Gusti Puteri berkenan menerima andika berdua. Silakan masuk ke dalam taman. Di sana Gusti Puteri telah menunggu." Dia menuding ke arah bangunan bertembok putih.

"Terima kasih." kata Maheso Seto dan bersama Rahmini dia lalu melangkah, memasuki taman yang indah dan luas itu dan pergi ke arah bangunan seperti yang ditunjuk oleh kepala jaga. Dua orang laki-laki yang bekerja sebagai juru taman memandang kepada suami isteri itu dengan heran. Mereka merasa heran mengapa ada seorang pria yang diijinkan masuk, pada hal keputren itu merupakan tempat yang terlarang bagi pria dari luar. Akan tetapi karena pria itu datang bersama seorang wanita dan mereka melihat kepala jaga tadi sudah melapor ke dalam, merekapun tidak dapat berbuat sesuatu dan hanya melanjutkan pekerjaan mereka merawat tanaman bunga-bunga yang memenuhi taman itu...


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.