Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 12

Cersil Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa
Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 12

"Ah, siapakah orang itu? Dan mengapa pula dia menutupi mukanya dan menghilang setelah menolong kita?" Ki Mertoloyo berkata dengan nada menyesal. Kemudian dia teringat kepada Sutejo dan menghadapi pemuda itu sambil berkata, "Kami ayah dan anak merasa beruntung sekali bahwa Gusti Allah masih memberi perlindungan kepada kami sehingga dalam keadaan yang gawat muncul andika, orang muda, dan muncul pula orang ber topeng itu. Kalau tidak andika yang membantu, kami sudah menderita malapetaka ketika dikeroyok di luar hutan itu. Kami amat berterima kasih kepadamu, orang muda, Winarti cepat ucapkan terima kasih kepada ki sanak ini!"

Winarti membungkuk kepada Sutejo dan memandang pemuda itu dengan sepasang mata yang bersinar terang dan wajahnya yang cantik itu menjadi kemerahan. "Kakangmas, saya mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu kepada kami."

"Ah, sudahlah, paman dan nimas, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Sudah semestinya dan menjadi kewajiban kita untuk saling menolong kalau menghadapi ancaman kejahatan." jawab Sutejo dengan lembut.

"Perkenalkan, anak mas, aku bernama Ki Mertoloyo, senopati Mataram dan ini adalah puteriku yang kau tadi sudah mendengar namanya kusebut, yaitu Winarti."

"Ah, kirannya paman adalah seorang senopati Mataram? Maafkan kalau saya bersikap kurang hormat."

"Sudahlah, tidak perlu penghormatan itu, anakmas. Akan tetapi siapakah anak mas yang masih begini muda sudah memiliki kesaktian yang demikian tinggi?"

"Saya bernama Sutejo, paman."

"Siapa gurumu, anak mas Sutejo?"

"Guru saya adalah mendiang Bapa Bhagawan Sidik Paningal."

"Ahhh! Bhagawan Sidik Paningal dari Gunung Kawi? Dan beliau sudah meninggal dunia?" tanya Ki Mertoloyo dengan kaget. "Dan andika sendiri berasal dari mana dan siapa pula orang tuamu, anak mas Sutejo?"

Sutejo menghela napas panjang karena setiap kali ada orang bertanya tentang orang tuanya, dia merasa sedih. "Saya sendiri tidak atau belum tahu siapa orang tua saya, paman. Sejak kecil saya dipelihara oleh mendiang Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal."

"Hemmm, begitukah? Maafkan pertanyaanku tadi kalau begitu. Akan tetapi aku teringat bahwa Bhagawan Sidik Paningal masih ada hubungan perguruan dengan Sang Bhagawan Sindusakti, ketua perguruan Jatikusumo di daerah Pacitan, bukan? Tentu andika mengenal pula Sang Puteri Wandansari yang menjadi murid perguruan itu?"

Sutejo mengangguk. "Saya sudah mendapat kehormatan bertemu dengan Gusti Puteri Wandansari, paman." katanya merendah, tidak berani menyebut nama Wandansari dengan diajeng di depan senopati itu.

"Tidak heran kalau engkau demikian digdaya, anak mas Sutejo. Dan agaknya engkau tadi mengenal mereka, baik Bhagawan Jaladara maupun Tumenggung Janurmendo."

"Paman Senopati... Sang Bhagawan Jaladara itu sebetulnya masih paman guru saya sendiri karena dia adalah adik seperguruan mendiang bapa guru, akan tetapi dia bersama Tumenggung Janurmendo yang telah membunuh bapa guru dan eyang guru."

"Eh ? Akan tetapi kenapa?" tanya Senopati Ki Mertoloyo dengan kaget dan heran.

"Dia telah menyeleweng dari kebenaran, paman. Dia menjadi antek Kadipaten Wirosobo. Karena mendiang bapa guru dan eyang guru tidak mau membantu Wirosobo, maka dia lalu melakukan pengeroyokan sehingga bapa guru dan eyang guru terluka parah dan meninggal dunia."

"Hemm, pantas kalau begitu dia bekerja sama dengan Tumenggung Janurmendo yang menjadi senopati Wirosobo untuk membunuhku kalau aku tidak mau menakluk dan menjadi pembantu Kadipaten Wirosobo."

"Mereka itu jahat dan licik, bapa! Sebagai senopati, mengapa mereka menghadang dan mengeroyok kita, bukan berhadapan dalam perang sebagai watak senopati yang gagah perkasa" kata Winarti penasaran, kemudian ia memandang kepada Sutejo dan berkata kepada pemuda itu. "Kakangmas Sutejo dan andika adalah seorang yang gagah perkasa dan sakti mandraguna, kenapa andika tidak mempergunakan kepandaianmu itu untuk mengabdi kepada Mataram?"

Sutejo tersenyum mendengar ucapan itu dan tahu bahwa puteri senopati Mataram ini memiliki watak yang gagah. "Nimas Winarti, aku pasti akan mengabdikan diriku kepada Kerajaan Mataram kalau sudah selesai semua tugas yang harus kulakukan. Banyak tugas yang harus kulaksaaakan, di antaranya mencari orang tuaku dan merampas kembali sebuah pusaka yang telah dirampas oleh Bhagawan Jaladara."

"Bagus! Aku akan merasa senang sekali kalau kita menjadi rekan dalam membela Kerajaan Mataram, anak mas Sutejo. Sekarang, andika hendak pergi ke manakah?"

"Saya hendak melakukan pengejaran terhadap Bhagawan Jaladara untuk merampas kembali pusaka saya yang berada di tangannya, paman senopati. Akan tetapi, paman berdua berada di dekat perbatasan dengan Wirosobo. Hal ini berbahaya sekali. Saya tahu betapa kejam dan jahatnya Bhagawan Jaladara. Belum tentu dia mau sudah begitu saja setelah gagal membunuh paman. Saya khawatir kalau dia dan kawan-kawannya akan melakukan percobaan lagi, maka sebelum paman meninggalkan daerah berbahaya ini biarkan saya menemani paman."

Ki Mertoloyo yang kebetulan memandang puterinya, melihat betapa wajah puterinya itu menjadi berseri-seri, sinar matanya menari-nari dan bibirnya terhias senyum merekah mendengar ucapan Sutejo ini, dan dari pandang mata puterinya itu kepada Sutejo, menatap wajah pemuda itu sedemikian rupa, dia yang sudah banyak asam-garamnya dalam kehidupan ini, dapat mengerti apa yang menjadi gejolak hati puterinya. Dia tahu bahwa puterinya itu amat kagum terhadap Sutejo dan sudah jatuh hati kepadanya.

"Bagus sekali kalau begitu, dan terima kasih banyak, anak mas Sutejo. Aku sedang melaksanakan tugas dari kerajaan untuk menghubungi para demang dan lurah untuk menyusun kekuatan di sepanjang tapal batas antara Mataram dan Wirosobo. Hanya tinggal beberapa buah dusun lagi yang harus kudatangi, dan aku gembira sekali kalau andika mau menemani kami, anak mas. Mari kita melanjutkan perjalanan."

Mereka bertiga lalu mencari dua ekor kuda tunggangan Ki Mertoloyo dan Winarti tadi, akan tetapi tidak dapat menemukan kuda-kuda itu. Agaknya kuda-kuda itu tadi ketakutan dan melarikan diri, atau mungkin juga ditunggangi para penjahat untuk melarikan diri. Terpaksa mereka berjalan kaki meninggalkan tempat itu.

Matahari telah condong rendah di ufuk Barat ketika mereka bertiga memasuki kademangan Wonojati. Ki Demang Wonojati menyambut dengan hormat ketika mengetahui bahwa yang datang adalah seorang senopati dari Mataram. Dia menjamu tiga orang tamunya, menyediakan tiga ekor kuda untuk mereka pakai besok kalau mereka melanjutkan perjalanan dan menyediakan tiga buah kamar untuk mereka pergunakan tidur pada malam hari itu. Bahkan ketika mendengar bahwa senopati Mataram dan puterinya itu telah kehilangan kuda yang membawa kabur buntalan pakaian bekal mereka, Ki Demang lalu mencarikan beberapa rangkap pakaian baru untuk ayah dan puterinya itu. Tentu saja Ki Mertoloyo menjadi girang dan berterima kasih sekali.

Setelah makan malam, Ki Mertoloyo mengajak Winarti dan Sutejo untuk duduk mencari hawa udara segar di taman belakang gedung kademangan. Hawa udara malam itu memang panas. Taman itu diterangi dua lampu gantung sehingga cuaca di situ remang-remang. Hawanya pun jauh lebih sejuk dibandingkan hawa di dalam rumah yang agak panas.

"Anak mas Sutejo, apakah andika sudah menikah?" Ki Mettoloyo bertanya dengan suara ramah dan bersahabat.

"Belum, paman." jawab Sutejo sejujurnya.

鈥淎kan tetapi anak mas tentu sudah mempunyai tunangan atau calon isteri, bukan?"

Sutejo tersenyum. "Paman, orang seperti saya ini yang hidup sebatang kara, bagaimana ada kesempatan untuk memikirkan hal perjodohan? Saya belum mempunyai calon isteri dan sama sekali belum mempunyai keinginan untuk mengikatkan diri dengan perjodohan." Dia mencoba untuk mengusir bayangan dua orang dara yang tampak dalam ingatannya, yaitu Puteri Wandansari dan Retno Susilo.

Winarti yang tadinya hanya mendengarkan dengan penuh perhatian, kini berkata, "Kakangmas Sutejo, bolehkah aku menanyakan sesuatu kepadamu?"

Sutejo menoleh kepada dara itu dan tersenyum. "Tentu saja boleh, nimas."

"Engkau tidak akan marah?"

Sutejo merasa lucu dan tertawa. "Kenapa mesti marah? Tanyakanlah saja, sedapat mungkin aku akan menjawab semua pertanyaanmu."

"Kakangmas, engkau pernah mengatakan bahwa engkau sendiri tidak tahu siapa orang tuamu karena sejak kecil engkau dipelihara oleh gurumu. Bagaimanakah ini? Apa yang terjadi dengan engkau dan orang tuamu? Mengapa engkau sampai berpisah dari mereka?"

Sutejo menarik napas panjang. Dia menjadi serba salah. Gadis ini dan ayahnya begitu baik kepadanya dan dia sudah terlanjur mengatakan bahwa dia tidak mengenal ayah ibunya. Kini gadis itu mengejarnya dengan pertanyaan ini, mau tidak mau terpaksa dia harus menjawab. Bagaimanapun juga, ayah dan puterinya ini adalah orang-orang terhormat dan baik hati, maka diapun tidak ragu lagi untuk berterus terang.

"Panjang ceritanya," akhirnya dia berkata, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ki Mertoloyo dan Winani. "Ketika aku berusia tiga tahun, agaknya aku diculik oleh seorang wanita. Guruku, Bhagawan Sidik Paningal bertemu dengan wanita itu dan membebaskan aku setelah mengalahkan wanita itu. Nah, sejak itulah Bapa Bhagawan Sidik Paningal memeliharaku sebagai murid dan juga sebagai anak angkat. Sejak itu, dalam usia tiga tahun, aku tinggal di Gunung Kawi bersama Bapa Bhagawan, mempelajari ilmu sampai Bapa Bhagawan meninggal dunia dan aku lalu pergi merantau untuk mencari orang tuaku dan merampas pusaka yang diambil oleh Paman Bhagawan Jaladara."

"Ah, kasihan sekali engkau, kakangmas Sutejo." kata Winarti dengan terharu. "Akan tetapi, bagaimana engkau akan dapat menemukan orang tuamu kalau engkau tidak mengetahui siapa mereka?"

"Memang aku tidak tahu mereka itu siapa. Mendiang Bapa Bhagawan juga tidak tahu siapa dan di mana mereka berada."

"Habis, bagaimana engkau akan dapat mencari mereka, kakangmas?"

"Hemm, aku tahu!" kata Ki Mertoloyo. "Satu-satunya jalan hanya mencari wanita yang telah menculikmu, anak mas Sutejo. Siapakah wanita itu?"

"Benar pendapat paman. Mendiang Bapa Guru juga mengatakan demikian. Wanita itu bernama Ken Lasmi. Akan tetapi Bapa Bhagawan juga tidak tahu di mana tempat tinggal wanita itu."

"Ken Lasmi?" Ki Mertoloyo mengingat-ingat. "Menurut gurumu, berapa kira-kira usia wanita itu ketika menculikmu, anak mas Sutejo?"

"Menurut mendiang Bapa Bhagawan, usianya ketika itu sekitar empat puluh lima tahun."

"Bagaimana wajahnya? Apakah ada ciri-ciri tertentu?"

"Bapa Guru hanya mengatakan bahwa ia seorang wanita setengah tua yang masih cantik dan galak, ilmu kepandaiannya tinggi sehingga dengan susah payah baru Bapa Guru dapat mengalahkannya."

"Hemm Ken Lasmi? Sekitar dua puluh tahun yang lalu? Rasanya aku pernah mendengar nama itu. Pernah nama Ken Lasmi itu menggegerkan daerah Mataram barat, seorang wanita yang gagah perkasa namun ganas dan kejam. Akan tetapi agaknya sudah belasan tahun ia tidak pernah lagi muncul di dunia ramai sehingga aku sendiripun tidak tahu di mana ia berada sekarang, sudah mati ataukah masih hidup."

"Sayang sekali, bapa tidak tahu di mana adanya wanita itu Akan tetapi aku akan membantumu, kakangmas Sutejo! Aku akan menyelidiki dan bertanya-tanya, barangkali di kota raja ada yang tahu tentang wanita itu! Aku akan membantumu mendapatkan ayah bundamu, kakangmas!" kata Winarti penuh semangat.

"Terima kasih, nimas Winarti. Engkau baik sekali."

"Ah, aku belum melakukan apa-apa sudah kau katakan baik sedangkan engkau sudah menyelamatkan nyawa bapa dan aku tidak mau menerima terima kasih kami."

Ki Mertoloyo bangkit dari tempat duduknya dan berkata, "Harap kalian berdua bicara dulu di sini, aku ada keperluan untuk dibicarakan dengan Ki Demang!" Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, bergegas dia pergi meninggalkan dua orang muda itu. Tentu saja senopati ini tidak mempunyai urusan apapun dengan Ki Demang. Dia hanya mencari alasan untuk meninggalkan puterinya berdua dengan Sutejo, memberi kesempatan kepada mereka berdua untuk bicara empat mata saja. Dia tadi sudah melihat dan mendengar sikap dan kata-kata Winarti yang jelas menyuarakan isi hatinya untuk membantu pemuda itu! Tentu saja Ki Demang menyambutnya ketika senopati itu mengajak Ki Demang bercakap-cakap di pendopo.

Perbuatan Ki Mertoloyo yang meninggalkan mereka berdua saja di taman itu mendatangkan suasana yang membuat dua orang muda itu tersipu dan salah tingkah. Mendadak saja Winarti kehilangan kelancaran bicaranya dan ia hanya menundukkan mukanya yang berubah kemerahan, tanpa disadarinya jari tangannya menggurat-gurat papan bangku yang didudukinya dan kadang saja matanya mencuri pandang mengerling ke arah Sutejo.

Pemuda itu sendiri juga tiba-tiba merasa canggung dan malu. Dia seolah kehabisan bahan untuk bicara, dan tidak tahu harus berkata dan berbuat apa. Apa lagi ketika melihat gadis itu menundukkan kepala menyembunyikan muka dan tampak betapa mulut gadis itu tersenyum malu-malu, dia menjadi lebih tegang dan serba salah sehingga tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Sutejo juga menunduk dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

"Kakangmas Sutejo..." Setelah berdiam diri sampai lama, akhirnya Winarti yang mendahului membuka mulut memanggil dengan suara lirih setengah berbisik. Sutejo bagaikan ditarik kembali ke alam kasunyatan setelah tadi pikirannya mengambang dan terapung tak tentu tujuan.

"Ya....? Ada apakah, nimas?" tanyanya seperti orang terkejut. Dia mengangkat muka dan melihat betapa gadis itu sudah memandang kepadanya dengan matanya yang bening. Sesaat dua pasang mata saling tatap, bertaut dan Sutejo yang lebih dulu menundukkan pandang matanya. Dia melihat sesuatu yang aneh terpancar keluar dari sepasang mata bening itu, yang membuat dia tidak berani menentang langsung lebih lama lagi.

"Kakangmas, kenapa engkau sejak tadi berdiam saja? Setelah bapa pergi meninggalkan kita, mendadak percakapan kita terhenti dan engkau diam seribu bahasa!"

Mendengar teguran itu, Sutejo menjadi bingung, akan tetapi dia memaksa diri menjawab juga agak gagap, "Aku... aku kehabisan bahan pembicaraan, nimas, semua tentang diriku telah habis kuceritakan. Aku bahkan menanti engkau untuk bicara. Ceritakanlah tentang dirimu dan keluargamu, nimas."

Kedua orang muda itu mendapatkan kembali ketenangan mereka dan dapat saling pandang de ngan sinar mata wajar. Winarti tersenyum. Manis sekali kalau ia tersenyum, timbul lesung pipit di pipi kirinya dan ketika ia tersenyum, sepasang mata bintangnya ikut pula tersenyum.

"Ah, tidak ada sesuatu yang menarik tentang diriku dan keluarga bapaku, kakangmas. Ayah dan Ibuku hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu aku. Sejak kecil aku telah digembleng oleh ayah dalam olah kanuragan walaupun aku seorang wanita. Sejak aku lahir, ayah telah menjadi seorang senopati Mataram. Ayah seorang senopati yang setia dan dia amat mengagumi dan berbakti kepada Kanjeng Gusti Sultan Agung yang arif bijaksana. Beliau amat percaya kepada bapa dan sekarangpun kami sedang melakukan tugas perjalanan atas perintah beliau. Hanya itulah yang dapat kuceritakan tentang keluarga kami! Tidak ada yang menarik, bukan?"

Sutejo teringat kepada Puteri Wandansari, puteri Sultan Agung. Maka dia lalu memancing kepada Winarti agar gadis itu suka bicara tentang keluarga Sultan Agung. "Nimas Winarti, sebagai puteri senopati yang dipercaya, tentu engkau memiliki hubungan dekat dengan keluarga Kanjeng Gusti Sultan, bukan? Ceritakanlah tentang keluarga agung itu. Apakah engkau juga mengenal Puteri Wandansari yang menjadi murid perguruan Jatikusumo itu?"

Wajah Winarti berseri dan ia mengangguk bangga. "Tentu saja aku mengenal baik keluarga kerajaan, terutama sekali Puteri Wandansari. Ia seorang puteri yang cantik jelita dan memiliki kesaktian tinggi. Sungguh ia pantas menjadi pu颅teri Kanjeng Gusti Sultan yang sakti mandraguna."

"Siapakah yang menjadi calon mantu Sang Prabu, nimas? Tentu dia seorang yang berkedudukan tinggi pula," tanya Sutejo dengan suara yang tampaknya sambil lalu, pada hal dengan hati berdebar dia menantikan jawabannya.

"Calon mantu Sang Prabu? Kau maksudkan calon suami Sang Puteri?"

Sutejo mengangguk tanpa menjawab karena merasa jantungnya berdebar tegang.

"Sepanjang pengetahuanku. Sang Puteri belum mempunyai calon suami, belum bertunangan. Kalau hal itu terjadi, tentu kami semua mendengar dan mengetahuinya."

Aneh sekali. Sutejo merasa betapa hatinya lega, seolah-olah ada ganjalan yang disingkirkan dari lubuk hatinya. Dia merasa heran sendiri kepada hati dan perasaannya. Mengapa dia merasakan demikian? Mengapa dia mengharapkan sang puteri itu masih bebas, belum memiliki tambatan hati? Ah, diam-diam hatinya masih mengharapkan jatuhnya bulan ke pangkuannya! Betapa bodohnya. Harapan yang terlalu muluk, mengapung di awang-awang. Keinginan yang tak mungkin terpenuhi, Cita-cita yang rapuh dan tidak berlandaskan dasar yang kuat. Dia seorang laki-laki biasa, rakyat kecil, bahkan tidak diketahui keturunan siapa, merindukan puteri Sang Prabu yang begitu tinggi kedudukannya.

Sebuah tangan yang berkulit halus dan hangat menyentuh lengannya. Dia terkejut dan ketika memandang, ternyata yang menyentuh lengannya itu adalah tangan kanan Winarti. "Kakangmas Sutejo, engkau melamun lagi?" bisik gadis itu tanpa melepaskan jari-jari tangannya dari atas lengan Sutejo. "Dan wajahmu tampak begitu sedih. Kakangmas, apakah engkau teringat akan ayah ibumu? Aku... aku kasihan kepadamu, kakangmas. Aku akan membantumu. Mari kita pergi mencari ayah ibumu itu, aku akan membantumu sampai engkau dapat menemukan mereka." Suara itu menggetar penuh perasaan.

Sutejo menatap wajah gadis itu yang menggeser duduknya dekat dengannya dan dia terkejut. Wajah gadis itu. Mata dan mulut itu! Seolah begitu terbuka memperlihatkan isi hatinya. Gadis itu mencintanya! Hal ini dia rasakan benar dan Sutejo lalu bangkit berdiri, melangkah mundur.

"Terima kasih atas kebaikanmu nimas Winarti. Maafkan aku, kepalaku terasa pening, aku permisi hendak mengaso lebih dulu..." tanpa menanti jawaban, dia lalu meninggalkan gadis itu, keluar dari taman menuju ke rumah dan langsung dia pergi ke kamar yang disediakan untuknya, lalu merebahkan diri di atas pembaringan dan termenung.

Wajah beberapa orang wanita berganti-ganti terbayang dalam benaknya. Wajah Sarminten, ledek genit yang pernah merayunya dan ketika ditolaknya dan suami Sarminten datang, ledek itu berbalik menuduh dia hendak memperkosanya! Sungguh wanita yang berbahaya seperti ular kepala dua yang berbisa. Kemudian terbayang wajah Retno Susilo dan tanpa disadari wajah Sutejo membayangkan senyuman.

Perasaan hatinya selalu merasa gembira kalau dia teringat akan Retno Susilo, gadis yang amat lincah jenaka, juga gagah perkasa itu. Pikirannya melayang-layang mengenangkan semua pengalamannya dengan Retno Susilo, semenjak gadis itu menyamar sebagai Joko Susilo sampai ia membuka penyamarannya. Ada penyesalan timbul di dalam hatinya mengingat betapa dia meninggalkan Retno Susilo menangis sedih karena gadis itu tidak dia perbolehkan untuk ikut merantau bersama dia.

Setelah agak lama mengenang dan membayangkan Retno Susilo, bayangan itu terganti lagi dengan wajah Puteri Wandansari. Sutejo menghela napas berulang kali ketika dia membayangkan sang puteri itu. Betapa cantik jelitanya. Betapa gagah perkasanya. Betapa anggun dan agung sikapnya. Dan dia jatuh cinta. Cinta sepihak. Bertepuk sebelah tangan. Mana mungkin seorang puteri bangsawan besar seperti Sang Puteri Wandansari akan sudi menerima uluran cintanya? Mana mungkin seekor cenderawasih yang indah sudi menanggapi cumbu rayu seekor itik yang buruk dan kotor?

Sutejo mengeluh dalam helaan napasnya dan berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan bayangan Puteri Wandansari. Kemudian dia teringat kepada Jayanti, puteri Joyosudiro pendekar dari Kediri yang gagah itu. Jayanti, Gadis yang cantik manis dan juga gagah. Teringat dia betapa Joyosudiro hendak menjodohkan dia dengan Jayanti dan agaknya gadis itupun setuju. Akan tetapi penawaran perjodohan itu terpaksa ditolaknya dengan halus. Dia kagum dan suka kepada Jayanti, akan tetapi dia tidak mencintanya dan pula, pada waktu itu dia sama sekali tidak mempunyai niat untuk mengikatkan diri dengan perjodohan.

Kemudian bayangan Jayanti menghilang dan muncullah bayangan Sumarni, gadis dusun yang hampir saja membuat dia terhuyung mempertahankan diri dari godaan suara iblis yang membujuknya agar dia menggauli gadis yang ditolongnya itu. Gadis yang telah menjadi korban rayuan seorang pemuda bernama Permadi yang telah menodainya kemudian meninggalkannya pergi begitu saja. Kalau dia bertemu dengan Permadi kelak tentu akan dihajarnya pemuda itu dan dipaksanya untuk pergi menemui Sumarni. Bayangan Sumarni menghilang dan muncullah bayangan Winarti, gadis terakhir yang terlibat dalam hidupnya. Gadis gagah perkasa yang agaknya juga menaruh hati kepadanya.

Mengapa dalam hidupnya demikian banyak wanita terlibat dengannya? Akan tetapi semua bayangan itu lenyap dan tinggal bayangan dan wajah yang selalu terbayang dalam benaknya silih berganti, yaitu bayangan wajah Puteri Wandansari dan bayangan wajah Retno Susilo! Akhirnya diapun tertidur pulas dan bermimpi tentang Puteri Wandansari dan Retno Susilo.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Winarti gelisah di dalam kamarnya. Ia tidak dapat tidur. Bayangan Sutejo terus menggodanya. Beberapa kali ia bangkit duduk, kadang berjalan-jalan hilir mudik di dalam kamarnya berputar-putar, lalu duduk dan rebah kembali. Miring ke sana miring ke sini, akan tetapi matanya tidak mau juga terpejam. Ia menyadari benar bahwa ia telah jatuh cinta kepada Sutejo, pemuda yang amat mendatangkan kekaguman dalam hatinya itu. Selama hidupnya belum pernah ia merasakan hal seperti ini. Ia ingin terus berdekatan dengan Sutejo, ingin terus mendampinginya, membela dan dibelanya. Ingin bersama Sutejo menghadapi semua musuhnya.

Cinta memang aneh. Permainannya adalah tawa dan tangis. Hati yang sedang dilanda cinta mudah tertawa gembira dan mudah berubah menjadi tangis sedih. Mudah puas dan mudah kecewa. Cinta membubungkan cita-cita seperti gelembung sabun penuh udara, membubung ke angkasa. Namun betapa mudahnya gelembung itu meletus dan sirna.

Cinta seperti membangun istana di awang-awang, mudah lenyap terbawa angin. Demikianlah sifat cinta asmara, yang berdasarkan nafsu berahi. Segala macam nafsu merupakan mimpi yang amat indah, yang lenyap begitu kita tersadar. Akan tetapi, rasanya hidup ini hampa dan kurang berarti tanpa adanya pengalaman cinta asmara! Setiap orang pasti sesekali waktu akan mengalaminya dan menjadi korban permainannya. Diombang-ambingkan antara senang dan susah oleh ulah cinta asmara.


Winarti berada di ambang keraguan. Ia mencinta Sutejo akan tetapi ia tidak tahu apakah pemuda itu juga mencintanya. Apakah pemuda itu menyambut cintanya. Ia berada dalam harap-harap cemas. Hatinya penuh harapan untuk dapat hidup bersama sama Sutejo, sebagai pasangan yang saling mencinta, Akan tetapi dalam harapan ini terselip kecemasan kalau-kalau Sutejo akan menolak cintanya sehingga cintanya seperti bertepuk sebelah tangan.

Tiba-tiba terdengar suara dan jendela kamarnya terbuka dari luar. Winarti terkejut dan heran, lalu bangkit dari pembaringan, akan tetapi tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan seseorang melompat memasuki kamarnya melalui jendela yang terbuka. Gerakan orang itu sedemikian cepatnya sehingga Winarti tidak sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu orang itu telah menodongkan sebatang pedang. Cepat sekali gerakannya dan Winarti merasa betapa kulit lehernya ditempel benda yang dingin. Ia tahu bahwa sekali tangan yang memegang pedang itu bergerak, lehernya akan tertembus atau terpenggal! Ia terbelalak memandang dan menjadi lebih heran lagi melihat bahwa yang menodongnya adalah seorang wanita muda yang amat cantik. Wajah yang jelita dengan mata dan mulut yang indah, akan tetapi sinar matanya dingin dan menyeramkan.

"Siapa engkau? Mau apa engkau?" tanya Winarti sambil menenangkan hatinya. Ia memang seorang yang tabah. Biarpun nyawanya berada di ujung pedang lawan, namun ia tidak merana gugup atau gentar. Ia menentang pandang mata gadis itu dengan berani dan penuh selidik.

Gadis itu mengedipkan kepalanya dan bicara dengan suara yang dingin dan ketus, "Tidak perlu kau tahu siapa aku. Yang perlu kau tahu, aku datang kesini untuk memperingatkan kau. Jangan sekali-kali kau berani mencoba untuk merayu Sutejo. Jangan coba-coba untuk merebut hati Sutejo! Kalau kamu nekat melakukan itu, pedangku ini akan memenggal lehermu seperti ini!" Pedang berkelebat mengeluarkan sinar kehijauan.

"Crak-crak-crakk!" Tiga kali pedang membacok dan meja di dalam kamar itu telah terbelah menjadi empat potong! Ketika potongan-potongan meja itu runtuh, wanita itu berkelebat dan lenyap melalui jendela seperti ketika ia datang.

Winarti sejenak tertegun. Akan tetapi karena pada dasarnya ia seorang gadis pemberani, segera ia dapat memulihkan ketenangannya dan cepat ia pun melompat keluar dari jendela itu sambil berteriak nyaring. "Ada penjahat! Tangkap!" dan iapun berusaha mengejar. Akan tetapi ketika ia tiba di luar kamarnya, bayangan wanita itu tidak tampak lagi.

Teriakannya yang nyaring membuat Sutejo dan Ki Mertoloyo terbangun dan cepat kedua orang ini sudah keluar dari kamar mereka. Winarti yang merasa penasaran melakukan pengejaran keluar dari rumah Ki Demang dan melihat ini. Sutejo juga mengejarnya dengan cepat. Seluruh isi rumah Ki Demang terbangun dan Ki Demang bertanya kepada Ki Mertoloyo apa yang telah terjadi.

"Agaknya ada penjahat memasuki rumah. Sekarang sedang dikejar oleh puteriku dan anak mas Sutejo." kata Ki Mertoloyo yang tidak ikut mengejar karena dia yakin bahwa puterinya dan Sutejo cukup untuk menandingi musuh yang bagaimanapun juga tangguhnya.

Akan tetapi Winarti dan Sutejo kehilangan jejak. Mereka tidak dapat menemukan Wanita yang mengganggu Winarti tadi dan terpaksa berhenti di luar dusun itu. Sutejo juga berhenti ketika melihat Winarti tidak melakukan pengejaran lagi.

"Nimas Winarti, apakah sesungguhnya yang terjadi?" tanya Sutejo ketika mereka berdiri di luar dusun, di bawah sinar bulan yang cukup terang.

Sinar bulan yang redup tidak dapat memperlihatkan warna merah di wajah Winarti. Gadis ini marah dan mendongkol sekali kepada wanita yang mengancamnya tadi dan ia mendongkol pula kepada Sutejo, dengan perkiraan bahwa tentu wanita itu tadi kekasih Sutejo yang merasa cemburu kepadanya.

"Kakangmas Sutejo, kenapa engkau tidak mengajarkan sopan santun kepada kekasihmu itu?" Ia menegur dengan marah.

Sutejo tertegun dan memandang bingung. "Apa maksudmu, nimas? Mengajar sopan santun kepada siapa? Kekasihku? Kekasihku yang mana? Aku tidak mempunyai kekasih, nimas!" Kemudian dia meninggikan suaranya bertanya, "Kenapa engkau berkata seperti itu?"

"Tadi ada seorang wanita muda memasuki kamarku, mengancam akan membunuhku kalau aku berani merebut hatimu, kakangmas! Siapa lagi orang yang menaruh cemburu seperti itu kepadaku kalau ia bukan kekasihmu?"

"Sungguh mati! Aku tidak mempunyai kekasih, nimas. Entah siapa wanita yang berbuat seperti itu terhadap dirimu."

"Apakah tidak ada wanita yang kau cinta?"

Sutejo meragu dan wajah Puteri Wandansari dan Retno Susilo berkelebat di dalam benaknya. Akan tetapi tidak mungkin dia membuka rahasia hatinya ini kepada Winarti atau kepada siapapun juga. Dia menggeleng kepalanya tanpa menjawab.

"Biarpun engkau tidak mencinta wanita manapun, akan tetapi aku percaya bahwa ada wanita yang mencintaimu. Wanita yang mengancamku tadi pasti mencintaimu, dan aku...."

"Engkau, kenapa nimas Winarti?" tanya Sutejo melihat Winarti tiba-tiba menundukkan mukanya dan pundaknya berguncang sedikit. Gadis itu menangis! Sutejo maju selangkah menghampiri gadis itu. "Nimas, ada apakah?" tanyanya.

Winarti menahan isaknya dan sambil tetap menunduk ia berkata, "Aku... aku akan malu sekali... setelah peristiwa malam ini, setelah aku diancam.... kalau aku tidak dapat merebut cintamu, kakangmas. Seolah-olah aku takut terhadap ancaman itu... aku harus dapat menjadi calon isterimu !"

Sutejo demikian terkejut sampai dia mundur lagi tiga langkah. "Nimas Winarti...!"

"Kakangmas Sutejo. Tidak pantaskah bagi seorang wanita untuk mengaku cinta? Apakah engkau tidak dapat menerima cintaku? Apakah cinta itu sudah dimiliki wanita yang mengancamku tadi?"

"Nimas, aku masih ingin bebas, belum mau mengikatkan diri dengan perjodohan. Tugasku masih amat banyak karena itu, aku tidak mau bicara tentang cinta dan perjodohan. Akan tetapi, wanita yang mengancam mu itu, seperti apakah ia!"

"Orangnya cantik, usianya sebaya dengan aku, matanya ganas dan ia membawa pedang yang mengeluarkan sinar kehijauan, yang ia pakai untuk menodong dan mengancam aku! Ah, kalau saja aku dapat bertemu kembali dengannya, tentu akan kuajak bertanding sampai seorang di antara kami mati!" kata Winarti dengan gemas.

Sutejo terkejut sekali. Retno Susilo! Siapa lagi kalau bukan gadis itu yang menggunakan pedang bersinar hijau! Pedang Pusaka Nogo Wilis tentu saja, milik Retno Susilo.

"Terlalu sekali orang itu! Nimas Winarti. aku akan mencari orang itu! Tolong sampaikan dan pamitkan kepada Paman Mertoloyo!" Sutejo membalikkan tubuhnya dan hendak lari.

"Kakangmas Sutejo! Engkau hendak ke manakah?" Winarti mengejar.

"Aku akan melanjutkan perjalanan dan mencari orang tadi. Aku akan mengambil pakaianku dulu!" kata pula Sutejo dan diapun lalu mengerahkan tenaganya, menggunakan Aji Harina Legawa dan berlari seperti kijang cepatnya meninggalkan gadis itu. Dia tidak mendengar lagi betapa beberapa kali Winarti memanggil namanya.

Tanpa diketahui siapapun, Sutejo memasuki kamarnya, mengambil buntalan pakaiannya dan keluar lagi, berlari cepat pergi ke arah larinya gadis yang tadi mengganggu Winarti. Dia hampir yakin bahwa gadis itu tentu Retno Susilo dan ia ingin menyusul dara itu dan menegur perbuatannya terhadap Winarti.

Ki Mertoloyo terheran-heran dan khawatir ketika dia melihat Winarti pulang ke rumah Ki Demang dengan mata basah dan merah. Gadis itu tampak berduka.

"Bagaimana, Winarti? Dapat tersusulkah orang itu? Dan mana anak mas Sutejo ?" tanya Ki Mertoloyo. Akan tetapi yang ditanya tidak menjawab melainkan langsung saja pergi ke kamarnya. Ki Mertoloyo cepat mengikuti puterinya dan ketika dia memasuki kamar puterinya, dia melihat Winarti rebah menelungkup di atas pembaringan dan menangis!

"Nini apakah yang terjadi? Kenapa engkau menangis ?" tanya ayah itu dengan heran dan khawatir, lalu duduk di tepi pembaringan. Winarti tidak menjawab melainkan terus menangis sesenggukan. Ki Mertoloyo yang sudah berpengalaman itu membiarkan puterinya menangis karena hanya tangis yang dapat menjadi penyalur kedukaan yang menyesak di dada. Setelah tangis gadis itu mereda, Ki Mertoloyo berkata sambil mengelus kepala anaknya.

"Winarti, katakanlah kepada bapa, apakah yang terjadi dan mengapa engkau menangis. Apakah engkau dan anak mas Sutejo tidak berhasil mengejar penjahat itu?"

Winarti bangkit duduk lalu menghapus air mata yang membasahi pipinya.

"Sebetulnya apa yang tadi terjadi dalam kamarmu ini? Kulihat meja telah terpotong- potong. Siapakah penjahat itu?"

Setelah dapat menenangkan hatinya, Winarti lalu berkata, "Bapa, tadi aku belum tidur ketika tiba-tiba daun jendela dibuka orang dari luar. Sebelum aku dapat berbuat sesuatu, seorang gadis dengan amat cepatnya melompat masuk dan telah menodongkan pedangnya di leherku sehingga aku tidak berdaya."

"Siapa dia? Apa maunya?" Ki Mertoloyo bertanya khawatir. "Apakah ia anak buah orang Wirosobo?"

"Aku tidak tahu, bapa. ia tidak mau mengaku namanya. Akan tetapi ia mengancam kepadaku...." Gadis itu kembali menghapus air matanya dan berhenti bercerita.

"Mengancam bagaimana?"

"Ia memperingatkan aku agar tidak merebut hati kakangmas Sutejo. Ia mengancam dan dengan pedangnya ia membacoki meja itu, mengatakan bahwa kalau aku tidak menurut, ia akan membunuhku. Kemudian ia melompat keluar dan aku lalu mengejarnya sambil berteriak tadi."

"Dan anak mas Sutejo ikut mengejarnya. Aku tidak ikut mengejar karena aku yakin engkau dan anak mas Sutejo akan mampu menangkapnya. Jadi kalian berdua tidak dapat menangkapnya?"

"Kami kehilangan jejak, bapa. Orang itu menghilang dan kami tidak tahu ke arah mana ia lari."

"Akan tetapi kenapa engkau menangis?"

Winarti tidak menjawab hanya menundukkan mukanya. Tentu saja sukar baginya untuk mengatakan mengapa ia menangis.

"Dan engkau pulang seorang diri. Ke mana anak mas Sutejo?"

"Ia telah pergi..." jawab Winarti lirih dan datar.

"Pergi? Pergi ke mana?"

"Katanya hendak mencari gadis itu dan dia minta disampaikan pamit kepadamu, bapa." "Pamit? Jadi dia tidak akan kembali ke sini?"

Winarti menggeleng kepalanya, "Tidak, dia... katanya akan melanjutkan perjalanannya..."

Ki Mertoloyo mengangguk-angguk, Kini mengertilah dia. Puterinya menangis sedih karena ditinggalkan Sutejo! "Nini, engkau mencintai anak mas Sutejo?" tanyanya sambil memegang kedua pundak, Winarti menangis lagi di atas dada ayahnya.

********************

Retno Susilo berjalan seorang diri di pagi hari itu, mendaki bukit dengan langkah santai, indah nian suasana dan pemandangan di pagi hari itu, di kala matahari muda memuntahkan sinarnya yang masih lembut kemerahan ke permukaan bumi, mengusir kabut yang membumbung dari tanah yang basah oleh embun. Burung-burung sibuk membuat persiapan untuk bekerja pada hari itu, mendendangkan puja-puji kepada Yang Maha Pencipta dengan kicau mereka yaug saling sahutan.

Jauh di depan sana, melalui bentangan sawah yang luas di depan kakinya, Retno Susilo melihat sebuah dusun dan dari dusun itu sudah terdengar suara-suara yang tidak asing bagi telinganya, suara-suara yang mendatangkan rasa damai di hati. Suara ayam berkeruyuk, berkokok dan berkotek, diseling suara kambing mengembik dan suara lembu. Sayup sampai terdengar pula suara kanak-kanak berteriak. Dusun itu agaknya sudah mulai hidup dan sibuk pula menyambut datangnya hari, siap untuk melakukan pekerjaan masing-masing.

Retno Susilo berhenti melangkah dan menggeliat memutar-mutar pinggangnya yang terasa pegal, semalam terpaksa ia harus melewatkan malam di dalam sebuah gubuk bambu di tengah sawah. Ia kemalaman di jalan sebelum dapat sampai ke sebuah dusun, maka ia terpaksa bermalam di gubuk kecil itu. la harus rebah di atas lantai bambu yang kasar sehingga kini pinggangnya terasa pegal.

Pemandangan dari lereng bukit Itu sungguh indah. Matahari tampak masih lembut, belum terlalu menyilaukan dan sinarnya juga hangat nyaman, belum menyengat. Hawa udara sejuk segar dan hangat. Pemandangan dan suasana seperti itu mendatangkan rasa damai dan tenteram di hati. Retno Susilo lalu duduk di atas sebuah batu dan melayangkan penglihatannya ke bawah di mana terbentang luas tanah persawahan dan tegalan.

Pemandangan itu membuat hatinya terhibur dan ia telah lupa akan kegelisahan dan kemurungan yaug menggodanya semalam dan membuatnya tidak dapat tidur nyenyak di gubuk itu. Semalam hatinya terasa panas seperti dibakar. Siapa yang tidak akan panas hatinya melihat Sutejo bermesraan berdua dengan seorang gadis dalam taman kademangan itu?

Pemuda yang dicari-carinya, dengan penuh kerinduan dan juga penuh penasaran, tahu-tahu telah didapatinya bermesraan dengan seorang gadis lain! Menurutkan panasnya hati sebetulnya ingin ia membunuh gadis itu. Akan tetapi ia masih ragu, belum yakin benar bahwa Sutejo bercinta-cintaan dengan gadis itu, maka setelah berhasil memasuki kamar gadis itu, ia hanya mengancam saja.

Kemudian ia melarikan diri dan setelah keluar dari kademangan Wonojati. memasuki hutan dan setelah keluar dari dalam hutan dan tiba di persawahan ia berhenti dan bermalam di sebuah gubuk itu. Hatinya panas dan gelisah sehingga malam itu ia merasa tersiksa lahir batinnya. Gubuk itu merupakan tempat yang sama sekali tidak enak untuk ditiduri dan hatinya demikian panas memikirkan Sutejo.

Akan tetapi ketika ia duduk di atas batu itu, tenggelam ke dalam suasana penuh kedamaian dan ketenteraman yang indah itu, ia sudah melupakan semuanya itu dan meneguk kenikmatan suasana pagi yang permai itu sepuasnya. Bukit Ular sudah tampak dari situ, sebuah bukit di Pegunungan Anjasmoro. Melihat bukit itu, teringatlah ia akan gurunya dan semua kedamaian dan keindaban itupun lenyap.

Pikirannya sudah disibukkan lagi oleh ingatan dan kenangan. Ia telah gagal melaksanakan tugas yang diberikan gurunya itu. Gurunya, Nyi Rukmo Petak, Setelah menurunkan semua ilmu simpanannya kepadanya, menugaskan agar ia membunuh musuh gurunya yang bernama Harjodento dan isterinya bernama Padmosari yang tinggal di daerah Ngawi, di tepi Bengawan Solo. Akan tetapi ia telah gagal! Ia telah menghadapi dan menantang mereka, akan tetapi ia harus mengakui ketangguhan dan keunggulan Harjodento. Ia telah kalah dan gagal melaksanakan tugas yang diberikan gurunya kepadanya!

Bahkan hampir saja ia celaka di tangan suami isteri itu dan anak buah mereka. Untung muncul seorang pemuda yang menolongnya, yaitu Priyadi. Akan tetapi ia merasa tidak suka kepada pemuda yang tampan dan digdaya itu karena ada sesuatu dalam pandang matanya yang mendatangkan rasa tidak suka dan tidak percaya dalam hatinya. Teringat akan semua ini, terutama sekali akan kegagalannya melaksanakan tugas yang diperintahkan gurunya, kedukaan timbul dalam hati gadis itu dan segala keindahan dan kebahagiaan yang tadi menyelimuti perasaannyapun menghilang!

Pikiranlah yang meniadakan kebahagiaan! Kebahagiaan adalah anugerah Tuhan kepada manusia yang mengalir tiada hentinya. Kebahagiaan itu selalu sudah ada dalam batin manusia. Akan tetapi pikiran yang mengingat-ingat, mengenangkan masa lalu, membayangkan masa depan, menimbulkan persoalan-persoalan, problema-problema yang meresahkan hati, menimbulkan duka dan kekhawatiran dan kalau semua problema yang didatangkan pikiran itu sudah menguasai batin, maka dengan sendirinya kebahagiaanpun tidak terasa lagi.

Bagaikan sinar matahari yang selalu ada, namun tertutup mendung sehingga tidak tampak lagi, pikiran ini selalu menghantui kita. Bahkan dalam tidur sekalipun, keadaan yang sesungguhnya membuat kita berbahagia, pikiran masih mengulurkan kuku-kukunya berupa mimpi-mimpi yang terkadang buruk sehingga amat mengganggu ketenteraman batin kita. Hati akal pikiran yang telah dicengkeram napsu itu selalu merasa tidak puas, selalu mengejar apa yang kita anggap menyenangkan. Pada akhirnya bahkan menjerumuskan kita ke dalam kedukaan dan kesengsaraan.

Hati akal pikiran memang merupakan alat hidup yang mutlak perlu, bahkan membantu sekali kepada kita, karena tanpa hati akal pikiran, kita akan hidup seperti binatang. Namun hati akal pikiran menjadi sarangnya nafsu dan kalau kita tidak waspada dan membiarkannya merajalela, kita akan diperhamba. Kita tidak akan dapat berdaya sama sekali karena pengaruh hati akal pikiran yang bergelimang nafsu memang teramat kuat. Satu-satunya jalan untuk membebaskan diri dari pengaruh hati akal pikiran yang bergelimang nafsu hanyalah dengan penyerahan diri yang sepenuhnya dan tulus ikhlas kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, memohon bimbinganNya.

Karena hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu menundukkan kemurkaan nafsu, Tuhan yang memberi nafsu kepada kita, menjadi peserta kita sejak kita lahir. Tuhan yang mengadakan nafsu, maka hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu menundukkan nafsu dan mengembalikan nafsu ke dalam tugasnya semula, yaitu menjadi peserta dan pembantu manusia yang berguna dan mengandung kebaikan, bukan menjadi penggoda yang membuat manusia, mengerjakan kejahatan dan menjerumuskan manusia ke dalam kesengsaraan.


"Diajeng Retno Susilo?"

Retno Susilo tersentak dari lamunannya. Ia melompat turun dari atas batu sambil membalikkan tubuhnya dan ia telah berhadapan dengan Sutejo! Sejenak kedua orang itu berdiri saling berhadapan dalam jarak lima meter dan saling berpandangan tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Berbagai macam perasaan bergejolak dalam hati Retno Susilo. Ada perasaan gembira yang luar biasa bertemu dengan pemuda yang amat dirindukannya itu, akan tetapi ada pula perasaan menyesal bahwa pemuda itu meninggalkannya dan tidak mau mengajaknya pergi merantau, ada pula perasaan marah teringat akan gadis dalam taman kademangan Wonojati yang pada malam tadi bercakap-cakap dengan mesra dengan Sutejo.

Semua perasaan ini teraduk menjadi satu membuatnya tidak mampu bicara. Sedangkan dalam dada Sutejo juga terjadi pergolakan. Dia melihat betapa Retno Susilo menjadi semakin cantik jelita dan memiliki daya tarik yang amat kuat. Tak dapat disangkal bahwa hatinya bergembira sekali bertemu dengan gadis ini. Akan tetapi juga terdapat perasaan marah kalau dia teringat akan perbuatan gadis ini terhadap Winarti yang tidak berdosa. Bagaimanapun juga, di sudut hatinya terdapat kesadaran bahwa apa yang dilakukan Retno Susilo itu adalah akibat dari kecemburuan hatinya vang menandakan bahwa gadis ini amat mencintanya!

"Kau... kakang Sutejo....!" Akhirnya Retno Susilo berkata lirih

"Sudah kuduga, tentu engkau orangnya yang mengancam nimas Winarti dan membikin ribut di kademangan Wonojati." kata Sutejo sambil tersenyum, memandang gagang pedang yang tersembul di belakang pundak gadis itu.

Mendengar ucapan itu, Retno Susilo mengedikkan kepalanya dan membusungkan dadanya, sikapnya menantang sekali. "Benar! Aku yang melakukannya! Apakah engkau datang mencariku untuk membalaskan dendam nimasmu yang bernama Winarti itu! Aku tidak takut!"

Melihat gadis itu wajahnya merah dan matanya seperti bernyala karena marahnya dan menantang, Sutejo tersenyum "Sabar dan tenanglah, diajeng Retno Susilo. Aku sama sekali bukan mencarimu untuk membalaskan dendam. Aku hanya ingin memberitahukan kepadamu bahwa apa yang kau lakukan semalam itu sesungguhnya tidak benar. Ketahuilah bahwa engkau mengancam dan membikin kaget seorang gadis yang sama sekali tidak berdosa. Ia tidak bersalah apa-apa." Dia meragu sebentar lalu melanjutkan, "Ia tidak bermaksud merebut hatiku..."

"Huh, apa kau kira aku ini sudah buta? Aku telah mengintai ketika kalian berdua bercakap-cakap dalam taman itu. Suaranya ketika bicara kepadamu, tatapan matanya ketika memandang kepadamu, jelas sekali menunjukkan bahwa ia telah jatuh cinta kepadamu!"

"Akan tetapi andaikata benar begitu, kenapa engkau menjadi marah kepadanya dan mengancam hendak membunuhnya?"

Sepasang mata itu mencorong marah. "Aku membunuh ia atau siapapun juga, engkau perduli apa? Kakang Sutejo, kebetulan sekali engkau datang, karena sesungguhnya telah lama aku mencarimu. Aku hendak menantangmu bertanding, aku ingin membalas kekalahanku darimu tempo lalu!" Setelah berkata demikian Retno Susilo sudah mencabut pedang Nogo Wilis dari sarung pedangnya di belakang punggungnya. Tampak sinar kehijauan berkelebat ketika ia mencabut pedangnya itu dan gerakannya sedemikian cepatnya sehingga diam-diam Sutejo merasa kagum dan juga terkejut.

"Eh, diajeng. Kenapa begini? Kenapa engkau menantangku bertanding? Di antara kita tidak terdapat permusuhan, bahkan aku bersahabat dengan orang tuamu, bersahabat denganmu."

"Aku menantangmu bertanding untuk melihat siapa di antara kita yang lebih unggul untuk menebus kekalahanku yang lalu, bukan untuk bermusuhan. Hayo, keluarkan senjatamu, kakang Sutejo?"

"Tidak, aku tidak akan bertanding melawanmu, diajeng. Biarlah aku mengaku kalah kepadamu."

"Tidak bisa! Kelakuanmu ini berarti penghinaan bagiku. Aku ingin menguji kepandaianku sendiri yang dengan susah payah kuusuhakan untuk memperoleh kemajuan. Mari, kakang Sutejo, atau aku akan menyerangmu begitu saja!"

Sutejo merasa tertarik. Jadi selama ini Retno Susilo telah memperdalam ilmunya dengan maksud untuk dapat mengalahkannya? Ingin sekali dia melihat sampai di mana kemajuan yang diperoleh gadis berwatak liar penuh Keberanian dan kegagahan ini.

Sambil tersenyum dan timbul kegembiraannya karena Retno Susilo sendiri mengatakan dengan tegas bahwa pertandingan ini hanya untuk menguji Kepandaian, bukan bermusuhan. Sutejo lalu meloloskan kain pengikat rambutnya. Dia berdiri di depan gadis itu dan berkata, "Nah, aku sudah siap untuk bertanding denganmu, saling menguji kemampuan masing-masing, diajeng Retno Susilo!"

Retno Susilo yang sudah siap sejak tadi, bergerak cepat sambil berseru, "Awas seranganku!" Dan pedangnya sudah menyambar dengan kecepatan seperti kilat sehingga yang tampak hanya sinar kehijauan meluncur ke arah leher Sutejo! Pemuda itu kembali terkejut dan kagum. Gerakan ini benar-benar cepat bukan main! Namun dia dapat mengelak dengan merendahkan tubuhnya sehingga pedang menyambar di atas kepalanya. Akan tetapi cepat sekali pedang itu membalik dan menyambar dari kiri ke arah perutnya! Sutejo mengelak lagi dengan langkah mundur sehingga ujung pedang menyambar lewat di depan perutnya. Akan tetapi dengan gerakan yang lincah bukan main pedang itu bagaikan seekor burung srikatan kembali telah meluncur dan kini merupakan serangan tusukan ke arah dadanya!

"Bagus!" Sutejo memuji karena gerakan ini benar-benar indah dan juga berbahaya sekali bagi lawannya. Demikian cepatnya perubahan serangan itu, tadinya menyambar dan kiri ke kanan berupa bacokan, kini tiba-tiba saja sudah meluncur datang menusuk dadanya. Dia mengerahkan tenaga dan menggunakan kain pengikat kepalanya untuk menangkis. Dengan penyaluran tenaga saktinya, kain yang lemas itu berubah menjadi kaku dan keras, seperti sebatang pedang saja menangkis pedang Nogo Wilis di tangan gadis itu.

"Plakk!" pedang di tangan Retno Susilo terpental, akan tetapi Sutejo juga merasa betapa tangannya yang memegang kain pengikat rambut itu tergetar keras, menandakan bahwa tenaga dalam gadis itupun kini menjadi kuat bukan main. Tangkisan Sutejo itu membuat Retno Susilo menjadi penasaran sekali. Ia lalu menggerakkan pedangnya dengan cepat sehingga senjata itu berubah menjadi sinar kehijauan yang bergulung-gulung dan dari dalam gulungan sinar pedang itu kadang-kadang mencuat sinar kilat dari serangan pedangnya. Akan tetapi selalu Sutejo dapat menghindarkan diri dengan elakan atau tangkisan kain pengikat rambutnya.

Setelah menyerang selama lima puluh jurus lebih dan tidak pernah satu kalipun serangannya mengenai sasaran, selalu terelakkan atau tertangkis oleh pemuda itu, Retno Susilo menjadi penasaran sekali. Biarpun hanya merupakan sehelai kain pengikat rambut, namun setelah berada di tangan Sutejo benda itu menjadi sebuah senjata yang ampuh bukan main dapat menjaga tubuh pemuda itu melebihi perisai yang terbaik. Sementara itu, biarpun dia tidak pernah membalas, namun diam-diam harus mengakui bahwa kegesitan dan tenaga Retno Susilo telah memperoleh kemajuan pesat dan besar sekali sehingga dia menjadi kagum.

Tiba-tiba Retno Susilo melompat ke belakang dan menyarungkan pedangnya di belakang punggung. Matanya bersinar-sinar menatap wajah Sutejo. Melihat ini, Sutejo juga mengikatkan kain yang dijadikan senjata tadi di kepalanya sambil tersenyum senang karena agaknya Retno Susilo akan mengakhiri pertandingan itu.

"Kakang Sutejo, biarpun senjata pedangku tidak pernah depat menyentuhmu, akan tetapi aku belum mengaku kalah. Aku tidak akan mau mengaku kalah kalau belum kau robohkan. Sekarang sambutlah ajiku ini!" Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang, lutut agak ditekuk kedua tangan membuat gerakan seperti menyembah dengan kedua telapak tangan dipertemukan di depan hidung, lalu kedua tangan itu dikembangkan ke kanan kiri, lengannya lurus dengan pundak, kemudian kedua tangan itu dari kanan kiri mendorong atau memukul ke depan dengan telapak tangan menghadap ke depan dan mulutnya mengeluarkan teriakan melengking. "Aji Gelap Sewu..."

Sutejo terkejut bukan main. Serangan dari jarak jauh itu hebat bukan main. Mendatangkan angin dahsyat dan ada hawa pukulan yang ganas menyambar ke arah dirinya. "Aji Gelap Musti...!"

Diapun berteriak sambil mengerahkan aji itu, kedua tangannya juga didorongkan ke depan menyambut serangan gadis itu. Dua tenaga sakti bertemu di udara "Wuuuttt... desss...!!" Retno Susilo terpental dan untung baginya bahwa Sutejo tidak mengerahkan seluruh tenaganya sehingga gadis itu tidak sampai menderita luka dalam, hanya terpental dan terkejut saja Ia terhuyung ke belakang. Sutejo cepat melangkah maju menghampiri.

"Diajeng Retno Susilo.... engkau tidak apa-apa, bukan?"

"Tidak, aku belum mengaku kalah, kakang Sutejo. Mari kita lanjutkan!"

"Sudahlah, diajeng. Untuk apa kita bertanding terus? Tingkat kepandaianmu telah maju pesat dan biarlah aku yang mengaku kalah."

"Tidak! Sekarang coba sambut aji pamungkasku ini!" Gadis itu merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok, kedua lengannya membuat gerakan seperti dua ekor ular mengeliat-geliat. Itulah gerakan untuk menghimpun tenaga sakti dari Aji Wiso Sarpo yang baru saja dipelajarinya dari Nyi Rukmo Petak, aji pukulan yang mengandung hawa beracun dari ular-ular berbisa. Setelah menggerakkan kedua lengan menggeliat-geliat seperti ular. kedua tangan itu lalu memukul ke depan. "Aji Wiso Sarpo...!" teriaknya melengking.

Kembali Sutejo terkejut. Ada hawa panas menerpanya dan tercium bau wengur seolah-olah di situ terdapat banyak ular berbisa! Maklumlah dia bahwa pukulan jarak jauh yang dilakukan Retno Susilo itu berbisa dan amat berbahaya. Karena dia harus melindungi tubuhnya dan khawatir kalau-kalau Aji Gelap Musti tidak akan mampu menolak serangan berbisa itu, diapun lalu berseru dengan nyaring. "Aji Bromo kendali!" Dari kedua tangan yang didorongkan itu mengalir keluar hawa yang panas sekali menyambut hawa pukulan Retno Susilo dan dua tenaga sakti kembali bertemu di udara.

"Wuuuuttt... blaarrrr....!" Tubuh Retno Susilo terlempar ke belakang dan ia terbanting jatuh ke atas tanah! Sutejo terkejut dan cepat meloncat mendekati gadis itu. Suaranya tergetar ketika dia bicara.

"Diajeng...! Diajeng Retno Susilo...! Aku... aku tidak melukaimu, bukan?"

Retno Susilo bangkit duduk, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan ia menangis! Menangis sesenggukan, pundaknya bergoyang-goyang dan air matanya mengalir melalui celah-celah jari tangan yang menutupi mukanya. Sutejo merasa menyesal sekali telah membuat gadis itu roboh. Mengapa dia tadi tidak mengalah saja dan membiarkan dirinya yang roboh oleh pukulan Retno Susilo?

"Diajeng Retno Susilo, maafkan aku. Aku menyesal sekali, maafkan aku, diajeng" katanya lembut, tangannya sudah bergerak hendak menyentuh pundak gadis itu, akan tetapi sebelum menyentuhnya, dia menarik kembali tangannya karena takut kalau-kalau gadis itu akan menjadi semakin marah kalau pundaknya tersentuh tangannya. Akan tetapi ucapannya itu membuat Retno Susilo menangis semakin sedih sampai terisak-isak. Setelah tangisnya agak reda, ia berkata dengan suara terputus-putus,

"... bunuh saja aku... aku tidak mampu membalaskan sakit hati guruku... dan sekarang aku kalah olehmu.... tidak ada gunanya lagi hidupku di dunia ini... bunuhlah saja aku...!!" Ia menangis lagi sesenggukan seperti seorang anak kecil.

"Diajeng Retno Susilo, kalah olehku bukan berarti habis segala-segalanya. Ilmu kepandaianmu sudah tinggi sekali. Tadi aku hampir saja tidak kuat menahan seranganmu yang terakhir itu. Kedua ajimu, Gelap Sewu dan Wiso Sarpo itu hebat dan dahsyat. Agaknya tidak banyak orang yang akan mampu menandingimu, diajeng."

"Tidak perlu membujuk! Aku sudah kalah bertanding melawan musuh guruku. Aku, tidak akan mampu membalaskan sakit hati guruku. Aku murid yang tidak ada gunanya...!" Ia menutupi lagi mukanya dan menangis lagi.

鈥淛angan menangis, diajeng. Siapakah musuh gurumu itu? Kalau memang dia itu jahat, aku pasti mau membantumu untuk menandinginya." kata Sutejo menghibur.

Tiba-tiba terdengar suara lantang bersama dengan berkelebatnva sesosok bayangan orang. "Tentu saja dia jahat! Dia sejahat jahatnya orang, lelaki yang paling jahat dan palsu di dunia ini!"

Sutejo cepat membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang nenek yang rambutnya sudah putih semua seperti kapas, namun wajah itu masih bebas dari keriput dan dapat dilihat bahwa wanita tua ini dahulunya tentu cantik sekali.

Retno Susilo juga menoleh dan melihat bahwa yang datang adalah Nyi Rukmo Petak, ia lalu menubruk Ke arah kaki nenek itu dan menangis lagi sambil berkata, "Maafkan saya... saya tidak dapat memenuhi tugas... saya telah kalah melawan Harjodento dan isterinya..."

Nyi Rukmo Petak mengangguk-angguk. "Bangkitlah, Retno. Aku tidak merasa heran kalau engkau telah dikalahkannya pula mereka memang tangguh. Akan tetapi pemuda ini telah menyanggupi untuk membantumu dan kulihat tadi bahwa dia memiliki kemampuan yang cukup untuk menandingi Harjodento dan Padmosari. Dan dia sudah berjanji untuk membantumu, Eh, orang muda yang gagah perkasa, siapakah namamu?"

"Nama saya Sutejo, bibi."

"Nama yang bagus! Aku senang sekali mendengar andika bersedia membantu Retno Susilo untuk menandingi musuh besar kami itu. Benarkah?"

"Saya sudah berjanji dan tentu akan saya pegang teguh janji itu, bibi. Akan tetapi saya mau membantu menghadapi orang-orang itu dengan satu syarat, yaitu kalau orang-orang itu jahat. Saya hanya menentang orang-orang yang jahat, bibi, tidak mau memusuhi orang baik-baik."

"Jahat? Mereka jahat? Ahh, si Harjodento dengan isterinya, Padmosari, bukan hanya jahat. Mereka keji dan kejam! Mereka telah merusak hatiku, merusak kebahagiaanku, merusak kehidupanku!" Nyi Rukmo Petak berseru dan membanting-banting kaki kanannya seperti orang yang merasa gemas sekali.

"Apakah yang telah mereka perbuat sehingga bibi dapat mengatakan bahwa mereka itu jahat dan kejam?" tanya Sutejo yang tidak mau menerima keterangan sepihak begitu saja.

"Apa yang telah mereka perbuat terhadap diriku sehingga aku mendendam dan ingin agar muridku Retno Susilo membalaskan sakit hati ini? Wah, perbuatan Harjodento itu kejam dan keji sekali. Dengar ceritaku. Dua puluh tahun lebih yang lalu, aku dan Harjodento merupakan pasangan yang selalu hidup bersama walaupun kami belum terikat pernikahan yang sah. Di mana ada dia tentu ada aku dan di mana ada aku tentu ada dia. Kami tidak terpisahkan oleh apapun juga. Suka sama dinikmati duka sama ditanggung, setiap tantangan sama ditanggulangi. Kami saling mencinta dan bersumpah untuk hidup bersama sampai mati. Kami telah hidup bersama selama belasan tahun, saling mencinta dan saling setia sampai kami berdua berusia empat puluh tahun lebih. Kami malang melintang membuat nama besar di dunia disegani kawan ditakuti lawan. Akan tetapi pada suatu hari dia bertemu dengan seorang gadis berusia dua puluh tahun lebih bernama Padmosari dan dia tergila-gila. Dia jatuh cinta, bahkan meminang Padmosari lalu menikah dengannya. Ketika aku datang memprotes, Harjodento dibantu oleh Padmosari malah mengusir dan menyerangku. Hampir mati aku dipukuli mereka dan mereka menghinaku dengan kata-kata yang kotor. Mereka mengatakan aku perampas suami orang wanita tak tahu malu dan sebagainya lagi. Sampai berbulan-bulan aku jatuh sakit karena siksaan mereka. Setelah sembuh aku memperdalam ilmu silat dan beberapa kali aku berusaha untuk membalas dendam, akan tetapi aku selalu dikalahkan mereka. Karena aku merasa diri sudah tua dan lemah, maka aku menugaskan muridku Retno Susilo untuk membalaskan sakit hatiku, akan tetapi apa daya, ternyata iapun gagal dan kalah." Sampai di sini, Nyi Rukmo Petak berhenti dan terisak menangis.

Retno Susilo menghampiri dan memeluk gurunya. "Nyi Dewi, ampunkan aku muridmu yang tiada guna, telah gagal membalaskan sakit hatimu."

Melihat keadaan mereka, Sutejo merasa iba juga. "Hemm, agaknya mereka itu sewenang-wenang dan kejam " katanya.

Mendengar ucapan Sutejo, Nyi Rukmo Petak mengusap air matanya dan memandang kepada pemuda itu, "Anak mas Sutejo, aku yakin, kalau andika mau membantu Retno Susilo menghadapi mereka, pasti engkau akan mampu menandingi dan mengalahkan mereka. Aku melihat tadi ilmu kepandaianmu tinggi sekali. Siapakah gurumu, anak mas Sutejo?"

"Guru saya adalah mendiang Bhagawan Sidik Paningal"

"Ah, Bhagawan Sidik Paningal dari Gunung Kawi?"

"Benar, bibi. Apakah bibi sudah mengenalnya?"

Sepasang mata Nyi Rukmo Petak yang masih tajam sinarnya itu mengamati wajah Sutejo penuh perhatian. "Bhagawan Sidik Paningal? Siapa tidak mengenalnya? Pantas andika digdaya anak mas Sutejo. Kiranya andika adalah muridnya!" Tiba-tiba suaranya menjadi lembut penuh permohonan.

"Anak mas Sutejo, kalau andika suka membantu kami mengalahkan mereka aku akan selalu berterima kasih kepadamu, takkan kulupakan seumur hidupku. Anak mas Sutejo, andika tentu tidak tega membiarkan seorang wanita tua seperti aku ini tersiksa dan menanggung derita batin yang sudah kutanggung selama puluhan tahun lamanya ini" Kembali wanita itu menangis terisak-isak.

Retno Susilo sendiri sampai menjadi terheran-heran. Selama bertahun-tahun menjadi murid wanita berambut putih itu, belum pernah ia melihat gurunya ini menangis. Gurunya bahkan memperlihatkan kekerasan hati yang luar biasa. Akan tetapi kini gurunya itu menangis terisak-isak seperti anak kecil! Ia merasa iba dan ia menghadapi Sutejo lalu berkata dengan lembut sambil menentang pandang mata pemuda itu.

"Kakangmas Sutejo, maukah engkau membantu Nyi Dewi? Kalau engkau tidak mau membantu guruku, aku yang minta tolong kepadamu. Bantulah aku menghadapi Harjodento dan isterinya, serta anak buah mereka. Apakah sekali ini engkau juga akan menolak permintaanku ini, kakangmas Sutejo?"

Dalam suara gadis itu terkandung kesedihan dan Sutejo merasa iba sekali. Dia pernah mengecewakan gadis ini dengan menolaknya ketika ia minta agar diperbolehkan ikut. Bagaimana kini dia dapat menolak permintaannya, sedangkan tadi dia telah menyatakan kesanggupannya antuk membantu? Memang dia meragu untuk membantu Nyi Rukmo Petak yang sama sekali tidak dikenalnya dan dia tidak tahu presis bagaimana sebenarnya persoalan antara nenek itu dan keluarga Harjodento. Dia hanya mendengarkan keterangan sepihak saja. Akan tetapi kalau Retno Susilo yang meminta kepadanya untuk membantu, dia tidak dapat menolak.

"Baiklah, diajeng Retno Susilo. Seperti kukatakan tadi, aku akan membantumu menghadapi mereka."

Mendengar ini, Nyi Rukmo Petak kelihatan girang sekali. Wajahnya berseri-seri, matanya bersinar-sinar "Aduh, terima kasih banyak, anak mas Sutejo!" serunya dan ia lalu maju merangkul Retno Susilo dan mencium kening gadis itu. "Retno, terima kasih, aku merasa berbahagia sekali sekarang! Anak mas Sutejo akan menentang dan melawan mereka! Ah, betapa senang dan puas rasa hatiku membayangkan mereka berdua itu kalah dan roboh di tangan anak mas Sutejo!" Nenek itu kelihatan demikian girang luar biasa sehingga Retno Susilo kembali merasa heran. Biasanya gurunya ini adalah seorang wanita tua yang berhati dingin, tidak mudah tertawa, apa lagi menangis. Pertemuannya dengan Sutejo membuatnya demikian berubah. Akan tetapi iapun ikut bergembira melihat betapa gurunya tampak begitu berbahagia.

"Kalau begitu, kami akan berangkat sekarang juga, Nyi Dewi. Kami mohon pamit." kata gadis itu. "Mari, kakangmas Sutejo, kita berangkat."

"Selamat jalan kalian berdua! Selamat bertugas. Aku mengiringkan dengan doa restuku!" kata nenek itu dengan suara gembira.

"Marilah, kakangmas Sutejo!" kata Retno Susilo dan suara gadis itupun terdengar amat bergembira karena di dalam hatinya, ia merasa senang sekali karena kini ia mendapat kesempatan untuk melakukan perjalanan bersama pria yang telah menaklukkan hatinya, satu-satunya pria yang pernah dicintanya. Sesungguhnya kegirangan hatinya itu bukan karena Sutejo mau membantu gurunya untuk membalaskan sakit hati, melainkan karena pemuda itu mau melakukan perjalanan bersamanya! Karena takut membayangkan bahwa ia baru segera berpisah lagi dari Sutejo, Retno Susilo yang menjadi penunjuk jalan, berjalan dengan santai dan seenaknya. Bahkan ia sengaja mengambil jalan memutar agar perjalanan itu memakan waktu lebih lama sehingga ia dapat lebih lama pula melakukan perjalanan bersama Sutejo!

"Kakangmas Sutejo, itu di depan ada warung, nasi. Kita berhenti dulu dan makan di sana, perutku sudah terasa lapar." kata Retno Susilo kepada Sutejo ketika mereka memasuki sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Di tepi jalan itu, sebelah kiri, terdapat sebuah kedai nasi dan di waktu senja itu tidak binyak tamu yang berada di warung itu. Hanya ada empat orang saja yang sedang makan. Penjaga kedai nasi itu seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun.

Sutejo dan Retno Susilo memasuki kedai itu, disambut dengan senyuman ramah oleh penjaga kedai. Biarpun Sutejo mengenakan pakaian sederhana, akan tetapi melihat Retno Susilo yang cantik jelita dengan pakaian yang cukup indah, penjaga warung itu menyambut dengan hormat.

"Den mas dan den roro, silakan duduk. Andika berdua hendak makan? Atau hanya minum?"

"Kami mau makan," kata Retno Susilo, "harap hidangkan nasi dua dan air teh dua"

Penjaga warung itu mengangguk dan melangkah masuk ke bagian dalam rumah itu, ke dapur untuk menyediakan pesanan tamunya. Retno Susilo dan Sutejo duduk di atas bangku menghadapi meja.

Di dapur rumah yang bagian depannya dijadikan warung nasi itu duduk seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun. Ia adalah anak perempuan pemilik warung nasi itu.

"sarti buatkan air teh untuk dua orang." kata ibunya.

"Baik, ibu." jawab anak itu sambil turun dari bangku yang tadi didudukinya. Akan tetapi tiba-tiba pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat masuk dari pintu belakang dan seorang wanita cantik sudah menyambar ke arah anak itu. Tangan kirinya menangkap pundak itu dan begitu tangan kanannya menekan tengkuk, anak itu terkulai pingsan. Pemilik warung terbelalak dan hendak berteriak, akan tetapi wanita cantik itu menghardik dengan suara setengah berbisik.

"Jangan berteriak atau aku akan bunuh anakmu ini!" katanya sambil mencabut pedang dan menempelkan pedang yang berkilauan saking tajamnya itu ke leher Sarti, anak perempuan itu. Tentu saja ibunya menjadi ketakutan dan seluruh tubuhnya menggigil.

"Jangan... jangan bunuh anak saya..." ia meratap.

"Aku tidak akan membunuh anakmu asal saja engkau menaati perintahku." kata wanita cantik itu.

"Baik, saya akan mentati...." kata pemilik warung nasi itu dengan suara gemetar.

Wanita cantik itu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil, lalu berkata, "Cepat sediakan dua piring nasi seperti yang dipesan pemuda dan gadis itu!"

Dengan kedua tangan gemetar penjaga warung nasi itu segera menyediakan dua piring nasi dengan lauk pauknya, serta dua gelas air teh. Wanita cantik itu menuangkan isi bungkusan kecil, yaitu bubuk berwarna putih ke dalam sebuah di antara dua piring nasi itu.

"Ingat!" katanya mengancam. "Engkau harus memberikan piring nasi yang ini kepada pemuda itu dan yang lain kepada si gadis. Awas jangan sampai tertukar. Kalau engkau sudah melaksanakan perintahku itu dengan baik dan nasi dalam piring yang ini termakan oleh pemuda itu, baru anakmu akan kubebaskan. Untuk sementara ini aku menahan anakmu di sini. Cepat hidangkan dan awas jangan tertukar, jangan keliru!"

Wanita itu hanya dapat mangangguk-angguk, lalu menggunakan baki untuk membawa hidangan itu keluar. Ia menaruh piring nasi yang sudah diberi bubuk putih itu di sebelah kiri agar tidak sampai tertukar. Setelah ia melirik ke arah anak perempuannya yang masih pingsan lalu membawa hidangan itu keluar. Wajahnya menjadi agak pucat dan kedua tangannya agak gemetar ketika ia meletakkan dua piring nasi dan dua gelas air teh itu ke atas meja, di depan kedua orang tamunya itu. Keadaannya ini tidak terlepas dari pengamatan kedua orang muda yang digdaya itu.

"Mbakayu, apakah engkau sakit? Wajahmu pucar dan Kedua tanganmu gemetar." tegur Retno Susilo sambil mengamati wajah pemilik warung nasi itu.

"Ah. tidak, den roro, saya tidak sakit, hanya mungkin... masuk angin saja..." kata wanita itu sambil melangkah mnsuk lagi ke belakang.

"Mari, kakangms. Kita makan, setelah itu baru kita mencari tempat untuk menginap dan melewatkan malam ini." ajak Retno Susilo. Sutejo mengangguk dan kedua orang itu lalu makan. Karena mereka tidak makan sejak pasi tadi dan perut mereka memang lapar, keduanya makan dengan enak walaupun sayur teman nasi yang mereka makan amat sederhana. Sesungguhnyalah. Perut lapar dan hati tenteram merupakan lauk pauk yang amat melezatkan segala macam makanan!

Sehabis makan Retno Susilo segera membayar harga makanan dan cepat mereka meninggalkan warung itu karena mereka tidak ingin kemalaman sebelum mendapatkan tempat untuk menginap. Wanita pemilik warung itu merasa lega bukan main. Anaknya telah dibebaskan, wanita cantik yang mengancamnya itu telah pergi, dan dua orang tamunya tidak apa-apa seperti yang ia khawatirkan.

Ketika Sutejo dan Retno Susilo tiba di jalan di luar warung nasi itu, tiba-tiba Sutejo mengangkat kedua tangannya, memegangi kepalanya dan mengeluh, menghentikan langkahnya.

"Eh, kenapakah engkau, kakangmas Sutejo?" tanya Retno Susilo dengan heran dan juga khawatir.

"Kepalaku... tiba-tiba pening sekali..." Sutejo mengambil napas panjang dan tiba-tiba saja dia menyadari keadaannya. "Celaka... Aku... agaknya aku keracunan..."

"Kakangmas...!" Retno Susilo terkejut bukan main melihat Sutejo tiba-tiba terhuyung lalu roboh pingsan! Ia cepat melompat untuk menolongnya, akan tetapi pada saat itu muncul empat orang laki-laki yang tinggi besar dan kasar menubruknya seperti empat ekor harimau memperebutkan seekor domba. Jelas bahwa mereka itu menyerang untuk menangkapnya, sambil menyeringai kurang ajar. Retno Susilo cepat melompat ke samping, mengelak dan menghadapi empat orang itu dengan alis berkerut dan mata mencorong.

"Heii! Siapa kalian dan apa yang kalian lakukan ini?" bentaknya.

"Ha-ha-ha, manis! Mari ikut saja dengan kami dan engkau tentu akan hidup senang!" kata seorang di antara mereka dan dia sudah menubruk lagi untuk meringkus Retno Susilo diikuti oleh tiga orang kawannya. Agaknya empat orang ini sama sekali belum mengenal siapa Retno Susilo maka mereka berempat memandang rendah dan mengira bahwa mereka akan dapat dengan mudah menangkap gadis itu.

Akan tetapi empat orang itu kecelik karena tubrukan mereka hanya mengenai tempat kosong saja karena Retno Susilo sudah bergerak dengan amat cepatnya mengelak dari terkaman mereka. Sambil melompat ke samping untuk mengelak, Retno Susilo tidak memberi kesempatan kepada mereka, tidak membiarkan mereka menyerang tanpa dibalas. Tangannya menampar, kakinya menendang dan empat orang itu terpelanting ke kanan kiri!

Empat orang itu terkejut dan agaknya baru menyadari bahwa gadis cantik jelita itu bukanlah mangsa yang empuk. Mereka sudah mencabut golok yang bergantung di pinggang mereka dan kini mereka menerjang Retno Susilo, tidak lagi bermaksud menangkap, melainkan berniat membunuh! Empat batang golok itu menyambar-nyambar, menghujani tubuh Retno Susilo. Namun tidak ada serangan yang mengenai sasaran semua hanya mengenai udara kosong saja. Tubuh gadis itu berkelebatan amat cepatnya, menyusup di antara gulungan sinar empat batang golok. Empat orang itu merasa seolah-olah mereka berhadapan dengan seekor burung walet yang amat cepat gerakannya sehingga semua serangan mereka sia-sia belaka.

Pada saat itu, tampak sesosok bayangan berkelebat dan Retno Susilo melihat betapa ada seorang wanita cantik menyambar tubuh Sutejo yang pingsan dan membawanya lari cepat meninggalkan tempat itu. Tentu saja ia menjadi terkejut dan marah sekali. Akaa tetapi empat orang pengeroyoknya mengepung dan menyerangnya dengan semakin gencar sehingga terpaksa ia harus mencurahkan perhatiannya kepada mereka yang mengeroyoknya. Karena marah sekali melihat Sutejo yang pingsan diculik orang, Retno Susilo mengamuk. Sebetulnya, dengan ilmu biasa saja yang ia kuasai, ia sudah akan dapat merobohkan empat orang pengeroyoknya. Akan tetapi dalam kemarahannya, Retno Susilo mengerahkan ajinya yang paling ampuh, aji pamungkasnya, yaitu Aji Gelap Sewu.

"Yaaahh!" Berbareng dengan terlontarnya pekik melengking ini, kedua tangannya mendorong ke depan dan empat orang pengeroyoknya itu terlempar dan terbanting jatuh seperti disambar petir! Tiga orang tewas seketika dan yang seorang lagi masih dapat bergerak dan mencoba untuk bangkit duduk.

Retno Susilo menggerakkan kedua kakinya dan sekali melompat ia sudah tiba dekat orang yang belum tewas itu, menjambak rambutnya dan menghardik, "Hayo katakan, siapa yang menculik pemuda tadi dan di mana ia berada!"

Orang yang sudah setengah mati itu menjadi ketakutan dan harus mengerahkan seluruh sisa tenaganya yang masih ada untuk menjawab. "Ia... Ia... Ni Dewi Sekarsih... ia berada dihutan lereng itu..." Dia menuding.

"Tunjukkan kepadaku di mana tempat itu Hayo!" Ia menjambak rambut orang itu sehingga bangkit berdiri dan memaksanya untuk berjalan cepat melakukan pengejaran terhadap wanita yang telah menculik Sutejo yang dalam keadaan pingsan.

Biarpun dia telah menderita luka parah akibat pukulan Gelap Sewu yang dilakukan Retno Susilo dan membuat tiga orang rekannya tadi tewas seketika. Orang itu yang kebetulan tidak terkena pukulan secara telak dan menderita luka parah, akan tetapi karena rasa takutnya terhadap Retno Susilo dia memaksa diri menjadi penunjuk jalan. Ternyata dia agaknya hafal benar dengan tempat itu karena biarpun cuaca mulai gelap, dia dapat melangkah maju tanpa ragu menyusup di antara pohon-pohon dan semak belukar.

Wanita cantik yang memaksa pemilik warung nasi untuk menaruh obat bubuk dalam makanan yang dihidangkan kepada Sutejo itu bukan lain adalah Sekarsih, murid atau juga kekasih klabangkolo, tokoh sesat yang sakti mandraguna itu. Sekarsih adalahh seorang wanita yang telah menjadi hamba nafsunya sendiri di antaranya yang mencengkramnya adalah nafsu berahi yang membuatnya menjadi seorang wanita yang mata keranjang.

Dimanapun ia berada, ia mengumbar nafsunya mencari korban di antara pemuda-pemuda yang dirayunya mengandalkan, kecantikannya atau kalau ia mendapatkan pemuda yang menolak rayuannya, ia mempergunakan aji pengasihan dibantu obat-obat yang merupakan racun perangsang. Di samping ilmu kanuragan yang, dikuasainya, wanita inipun seorang ahli dalam mempergunakan racun. Secara kebetulan saja ia melihat Sutejo dan Retno Susilo memasuki dusun itu.

Hatinya segera tertarik oleh ketampanan dan kegagahan Sutejo, maka timbul niatnya untuk mendapatkan pemuda itu. Akan tetapi ia melihat sikap dua orang muda itu seperti orang-orang yang memiliki ilmu maka ia bersikap hati-hati. Ia menghubungi empat orang perampok yang dikenalnya dan yang bersaing di hutan luar dusun itu dan ia menyuruh mereka untuk menguasai Retno Susilo, agar ia dengan mudah dapat menangkan pemuda yang menarik hatinya itu.

Setelah empat orang anak buahnya itu siap, ia lalu memaksa pemilik warung nasi untuk menghidangkan nasi yang sudah ditaburi racun kepada pemuda itu dengan mengancam anak pemilik warung nasi. Semua berjalan mulus seperti yang dikehendakinya, Ketika ia melihat Sutejo roboh pingsan di luar warung nasi, ia segera memberi isarat kepada empat orang anak buahnya untuk menyerbu.

Empat orang itu adalah perampok-perampok keji dan kasar. Melihat Retno Susilo yang cantik jelita, dan mereka sudah mendapat ijin dari Sekarsih untuk menguasai gadis itu, tentu saja mereka bergairah sekali dan segera mereka menyergap hendak menangkap Retno Susilo. Dalam keadaan yang kacau ketika Retno Susilo dikeroyok empat orang perampok itulah Sekarsih bergerak cepat, menyambar tubuh Sutejo dan memanggulnya, dibawa lari memasuki hutan yang menjadi sarang keempat orang perampok itu.

Setelah tiba di sebuah pondok di dalam hutan itu, Sekarsih membawa tawanannya memasuki pondok yang terbuat dari kayu dan bambu itu. Ia menyalakan sebuah lampu gantung setelah merebahkan Sutejo di atas sebuah dipan kayu. Wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum senang melihat pemuda calon mangsanya itu menggeletak di situ rebah terlentang dalam keadaan tidak sadar. Akan tetapi ia bersikap hati-hati. Ia tidak ingin nanti dikecewakan oleh penolakan pemuda tampan itu, maka ia lalu mengeluarkan sebuah botol kecil, memercikkan cairan yang terdapat dalam botol kecil ke muka Sutejo.

Itulah racun perangsang yang disebut Tirto Asmoro. Racun perangsang ini kuat sekali. Baru tercium saja sudah cukup membuat seseorang terangsang nafsu teraniaya. Setelah memercikkan racun perangsang ini, Sekarsih lalu mengambil air dan memercikkan air dingin ke muka dan kepala Sutejo. Pemuda itu mengeluh dan membuka matanya. Dia masih agak nanar dan mengejap-ngejapkan matanya mengusir kepeningan.

Sutejo merasa heran dan terkejut sekali ketika melihat dirinya rebah di atas sebuah dipan, dirangkul dan dicumbu oleh seorang wanita cantik. Otomatis dia hendak meronta dan melepaskan diri, akan tetapi pada saat itu, dia merasa betapa ada dorongan kuat sekali dari dalam dirinya yang membuat dia membalas rangkulan wanita itu dan merasakan kenikmatan ketika wanita menciuminya! Sutejo merasa dirinya seperti terayun-ayun di angkasa, seperti dalam mimpi yang mengasyikkan. Tiba-tiba saja terdengar suara keras.

"Brakkkkk !!" Pintu depan pondok itu jebol diterjang Retno Susilo. Gadis ini setelah memaksa tawanannya sampai di depan pondok, lalu mengayun tangannya menampar tawanan itu yang terguling dan tewas seketika. Kemudian ia menerjang daun pintu hingga jebol dan matanya terbelalak melihat Sutejo sedang berangkulan dengan seorang wanita cantik di atas dipan! Wajahnya terasa panas, hatinya juga panas sekali.

"Perempuan iblis yang hina!" bentaknya sambil mencabut Pedang Naga Wilisdari punggungnya.

Melihat Retno Susilo. Sekarsih teringat bahwa, ia adalah gadis yang tadi makan bersama Sutejo dan yang ia serahkan kepada empat orang, perampok untuk dibuat sesuka hati mereka Kiranya gadis itu telah menyusul ke sini dan mengancamnya dengan pedang di tangan!

"Dari mana datangnya bocah yang berani menggangguku? Engkau sudah bosan hidup agaknya!" bentak Sekarsih dan pada saat itu Sutejo seperti telah menemukan Kesadarannya kembali dan cepat merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan sekarsih dan melompat turun dari pembaringan, Akan tetapi dia terhuyung-huyung karena kepalanya terasa pening. Dia cepat menjatuhkan dirinya duduk bersila di atas lantai dan mencerahkan tenaga sakti Bromo kendali untuk mengusir hawa beracun yang menguasainya.

Sekarsih yang merasa terganggu menjadi demikian marahnya sehingga ia sudah melompat dan menerjang dengan sambaran pedangnya, ke arah leher Retno Susilo. Akan tetapi Retno Susilo yang juga marah sekali itu menggerakkan pedangnya menyambut sambil mengerahkan tenaga saktinya.

"Cringggg... !!" Dua batang pedang itu bertemu di udara dan bunga api berpijar menyilaukan mata, sekilat menerangi kamar atau ruangan pondok yang remang-remang itu. Sekarsih terkejut, bukan main ketika merasa tangan kanannya tergetar hebat, ia melompat ke belakang dan dengan mata terbelalak memandang lawannya. Hampir ia tidak dapat percaya bahwa lawannya yang masih demikian muda memiliki tenaga yang demikian kuatnya. Dan pedang lawannya itu! Mencorong kehijauan dan mengerikan. Biasanya, pedang seorang lawan tentu akan patah-patah kalau bertemu dengan pedangnya yang terbuat dari baja pilihan dan ia gerakkan dengan pengerahan tenaga saktinya. Karena terkejut dan heran, ia menjadi penasaran dan semakin marah.

"Haiiittttt....!!" Ia berseru melengking dan tubuhnya sudah menerjang maju mengirim serangan kuat yang bertubi-tubi ke arah tubuh Retno Susilo. Akan tetapi gadis ini dapat bergerak dengan tangkas dan cepat bukan main, mengelak ke sana sini dan kadang pedangnya menangkis dengan kekuatan yang besar sehingga beberapa kali pedang di tangan Sekarsih terpental. Dua orang Wanita itu bertanding dengan seru di dalam ruangan pondok itu. Retno Susilo kini tidak hanya bertahan saja, melainkah juga membalas serangan lawan sehingga mereka saling serang dengan tusukan dan bacokan pedang yang dapat mendatangkah maut. Keduanya sama lincahnya dan dalam, hal tenaga sakti, biarpun Retno Susilo lebih kuat, namun selisihnya tidak banyak sehingga pertandingan itu menjadi seru sekali.

Semakin lama, hati Sekasih menjadi semakin tidak enak. Diam-diam ia mengeluh dan merasa kecelik sekali. Sama sekali tidak disangkanya bahwa sekali ini ia bertumbuk dengan batu! Gadis yang menjadi lawannya itu demikian tangguhnya dan tiba-tiba ia teringat kepada pemuda yang tadi dirayunya. Kalau gadis ini demikian tangguhnya, tentu pemuda itu juga bukan orang sembarangan! Ia mulai merasa khawatir, apa lagi setelah ia mengerling dan melihat pemuda itu duduk bersila dan uap putih mengepul dari atas kepalanya. Tahulah ia bahwa pemuda itu sedang mempergunakan tenaga saktinya untuk mengusir pengaruh hawa beracun dari tubuhnya. Hal ini merupakan tanda bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang memiliki kesaktian. Kalau dia sampai pulih kembali dan ikut maju mengeroyoknya, akan celakalah ia!

Karena hatinya mulai gentar, Sekarsih lalu mengerahkan aji andalannya, mengisi tangan kirinya dengan Aji Singarodra. kemudian ia mengeluarkan lengkingan nyaring dan mendorongkan tangan kirinya ke arah Retno Susilo. Akan tetapi gadis ini menyambut serangan pukulan jarak jauh itu dengan Aji Gelap Sewu yang amat dahsyat.

"Wuuuttt.... desss...!" Tubuh Sekarsih terpental ke arah pintu depan dan ia pun menahan rasa sesak di dadanya, terus melompat keluar dan menghilang dalam kegelapan malam. Retno Susilo mengejar keluar, akan tetapi kegelapan malam di hutan itu telah menelan lenyap bayangan lawannya. Terpaksa ia masuk kembali ke dalam rumah itu. Ketika memasuki pondok itu, Retno Susilo melihat Sutejo bangkit dari duduknya dan pemuda itu memandangnya dengan sinar mata membayangkan rasa syukur.

"Terima kasih atas pertolonganmu, diajeng Retno Susilo. Perempuan iblis itu sungguh berbahaya. Tentu ia yang telah menaruh racun ke dalam makananku. Mana sekarang iblis itu? Apakah engkau telah mengusirnya?"

Retno Susilo teringat akan pemandangan yang dilihatnya tadi, ketika Sutejo berpelukan dengan wanita iblis yang oleh perampok yang ditawannya tadi dikatakan bernama Ni Dewi Sekarsih. Kemarahan menyesak di dadanya ketika ia membayangkan penglihatan tadi.

"Engkau... engkau tidak tahu malu!" bentaknya iapun membalikkan tubuh, dengan marah melangkah keluar. Ketika melewati lampu gantung yang bergantung dekat pintu, tangannya meraih dan ia telah mengambil lampu gantung itu dan membawanya keluar.

"Diajeng Retno...!" Sutejo mengejarnya keluar. "Engkau tahu, aku berada dalam keadaan tidak sadar, keracunan...!"

Akan tetapi Retno Susilo tidak menjawab melainkan melemparkan lampu gantung ke atap pondok itu. Lampu itu meledak dan api berkobar cepat melahap pondok yang terbuat dari kayu dan bambu itu.

"Ah kenapa engkau lakukan itu, diajeng? Kita memerlukan pondok itu malam ini, untuk melewatkan malam." Sutejo menegur.

"Aku... aku benci pondok itu!" jawab Retno Susilo sambil memandang ke arah api yang berkobar besar. Sutejo mengamati wajah gadis itu yang tampak jelas di bawah sinar api yang berkobar. Wajah yang cantik jelita dan di bawah sinar api yang berkobar, wajah itu tampak seperti wajah seorang bidadari dari kahyangan!

"Diajeng Retno Susilo, sebenarnya apakah yang telah terjadi? Ketika kita keluar dari warung nasi, tiba-tiba kepalaku pening, pandang mataku gelap dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Apa yang telah terjadi? Begitu sadar aku mendapatkan diriku di dalam pondok bersama perempuan iblis itu. Aku.... aku sungguh tidak menyadari keadaan dan barulah aku sadar benar setelah aku berhasil meng usir hawa beracun yang menguasai diriku. Ceritakanlah, diajeng, apa yang telah terjadi?"

Mulut yang indah bentuknya itu masih cemberut. Matanya mengerling ke arah Sutejo sejenak, lalu ia membuang muka.

"Engkau marah kepadaku, diajeng? Maafkanlah aku kalau aku telah membuatmu tidak senang dan marah. Aku menyadari apa yang kau lihat tadi, akan tetapi aku berada dalam keadaan tidak sadar, tidak wajar dan terpengaruh racun."

Akhirnya Retno Susilo dapat memaklumi dan ia menghela napas panjang, mencoba untuk mendinginkan hatinya yang panas, menenteramkan pikirannya yang membayangkan penglihatan yang membuatnya marah tadi. "Ketika engkau jatuh pingsan, tiba-tiba muncul empat orang laki-laki kasar yang mengeroyok dan hendak menangkap aku. Tentu saja aku menghajar mereka dan selagi aku berkelahi melawan pengeroyokan empat orang itu, aku melihat wanita iblis itu membawamu lari. Aku menjadi marah dan kubunuh tiga orang pengeroyok, yang seorang lagi kutangkap dan kupaksa menunjukkan ke mana perempuan itu melarikanmu. Dia membawaku ke sini dan aku lalu membunuhnya pula. Ketika aku menjebol pintu pondok, Aku melihat engkau dan perempuan itu..." Retno Susilo tidak dapat melanjutkan ceritanya, karena hatinya sudah menjadi panas kembali.

"Aku ingat sekarang. Kemunculan dan bentakanmu itu menyadarkan aku, diajeng. Yang mengherankan aku, siapakah perempuan itu? Kulihat tadi ilmu kepandaiannya cukup tinggi."

"Aku sendiri juga tidak mengenalnya. Akan tetapi menurut orang yang kujadikan tawanan dan penunjuk jalan tadi, ia bernama Ni Dewi Sekarsih. Memang ilmu kepandaiannya cukup tinggi, dan beruntung aku dapat mengatasinya."

Karena mereka berada di tengah hutan dan malam itu gelap sekali, mereka tidak mungkin dapat keluar dari hutan tanpa bahaya tersesat. Maka terpaksa mereka melewatkan malam di dalam hutan itu, di dekat pondok yang kini lelah dimakan api. Akan tetapi Retno Susilo telah menemukan kegembiraannya kembali, kegembiraan dapat melakukan perjalanan bersama Sutejo. Kegembiraan ini tadi sempat terusik oleh perasaan cemburu dan marah melihat Sutejo dibelai Sekarsih. Ia kini menyadari benar bahwa ketika itu Sutejo berada dalam keadaan tidak sadar dia dipengaruhi hawa beracun.

Sutejo membuat api unggun di bawah sebatang pohon yang tumbuh tak jauh dari pondok itu. Retno Susilo mengumpulkan daun kering dan menaruhnya di bawah pohon untuk menjadi semacam tilam. Ia lalu duduk diatas rumput dan daun kering itu sambil memandang kepada Sutejo yang sedang membuat api unggun. Api yang membakar pondok masih bernyala sehingga menerangi bawah pohon itu.

Retno Susilo duduk bersandar batang pohon. Hatinya merasa senang bukan main. Ia menyadari sepenuhnya bahwa, ia amat mencinta pemuda itu. Dalam keadaan bagaimanapun juga, kalau bersama Sutejo, ia akan selalu merasa senang dan berbahagia.

Sutejo telah berhasil menyalakan api unggun dan pemuda itupun duduk di atas tumpukan daun kering, berhadapan dengan Retno susilo dalam jarak dua meter. Mereka saling pandang di bawah sinar api unggun dan api yang membakar pondok dan melihat wajah Retno Susilo yang cerah dan mulutnya yang terhias senyum manis, hati Sutejo merasa lega. Gadis itu sudah tidak marah lagi, pikirnya.

Dia merasa mukanya panas kalau membayangkan pengalamannya tadi. Biarpun tadi terpengaruh hawa beracun, namun dia lapat-lapat masih teringat betapa tadi dia hanyut dan hampir saja bertekuk lutut menyerah terhadap cengkeraman dan dorongan hasrat yang merangsangnya ketika dia dirangkul dan dicium perempuan bernama Sekarsih itu! Cepat dia mengusir kenangan itu dan mengajak Retno Susilo bercakap-cakap untuk mengalihkan perhatian.

"Diajeng... untung kita tadi telah makan. Kalau tidak, kita bisa kelaparan malam ini di sini."

Akan tetapi, ucapan itu justeru mengingatkan kembali Retno Susilo akan peristiwa vang mereka alami tadi. "Kakangmas Sutejo mbakyu penjaga warung nasi itu tentu mempunyai hubungan dengan Sekarsih itu! Ia yang meracunimu tadi, Besok aku akan mendatanginya dan memberi hajaran kepadanya!"

"Nanti dulu, diajeng. Jangan terburu nafsu. Sebaiknya besok kita selidiki dulu mengenal racun yang dicampurkan ke dalam nasi yang kumakan. Herannya, mengapa hanya dalam nasi yang disuguhkan kepadaku saja yang beracun, sedangkan yang kau makan tidak." kata Sutejo, Retno Susilo mengangguk-angguk "Engkau benar. Akupun sangsi apakah penjaga warung itu dapat melakukan kejahatan. Tampaknya ia orang baik-baik. seorang wanita penjaga warung nasi yang sederhana dan ramah."

"Sudahlah, diajeng, Tidak ada gunanya membicarakan peristiwa tadi. Besok kita tentu akan mengetahuinya. Aku ingin engkau bicara dan bercerita tentang musuh besar gurumu itu. Kita akan menghadapi mereka, maka aku ingin mengetahui keadaan mereka "

"Apa yang ingin kau tanyakan, kakangmas?"

"Siapa pula nama musuh besar gurumu itu?"

"Namanya Harjodento dan isterinya bernama Padmosari."

"Bagaimana keadaan orangnya? Berapa usianya."

"Harjodento itu seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh lima tahun, tampaknya gagah perkasa den isterinya yang bernama Padmosari berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, terutama sekali Harjodento itu. Kalau melawan isterinya aku masih mampu menandinginya, akan tetapi menghadapi Harjodento, aku harus mengakui keunggulannya. Dia tangguh sekali, dan memiliki tenaga yang amat kuat."

"Di mana mereka tinggal?"

"Mereka tinggal di tepi Bengawan Solo di daerah Ngawi."

"Benarkah mereka itu jahat sekali, diajeng?"

Retno Susilo mengerutkan alisnya. "Aku tidak tahu, kakangmas. Menurut guruku mereka jahat sekali terhadap guruku. Akan tetapi apakah mereka itu orang jahat, aku tidak tahu. Harjodento itu adalah seorang ketua dari sebuah perkumpulan yang bernama Nogo Dento. Ketika aku berhadapan dengan Harjodento aku katakan terus terang bahwa aku ingin membunuhnya untuk membalaskan sakit hati guruku, Nyi Rukmo Petak. Akan tetapi Harjodento menyangkal dan mengatakah bahwa dia tidak mengenal Nyi Rukmo Petak. Aku paksa dia bertanding. Dia hadapi pedangku dengan senjata tombak dan ternyata dia tangguh sekali. Aku terdesak oleh tombaknya yang dahsyat. Dalam keadaan terdesak itu muncul seorang pemuda yang pernah kukenal dalam perjalanan. Dia membantuku menghadapi Harjodento."

"Siapakah pemuda itu, diajeng?"

"Namanya Priyadi...."

"Ahh.....! Orangnya tampan dan gagah, gerak geriknya lembut?"

"Benar. Engkau mengenalnya, kakangmas?"

"Tentu saja. Dia itu murid perguruan Jatikusumo. Gurunya adalah uwa guruku. Lalu bagaimana setelah Kakang Priyadi muncul membantumu?"

"Kami dapat menandingi Harjodento akan tetapi isterinya, Padmosari lalu maju membantu suaminya. Aku menghadapi Padmosari dan Kakangmas Priyadi melawan Harjodento. Keadaan kami seimbang, akan tetapi karena kami dikepung anak buah Nogo Dento yang banyak jumlahnya, Kakangmas Priyadi lalu mengajakku untuk melarikan diri sebelum kami dikeroyok dan dalam bahaya."

"Hemm, agaknya keluarga itu digdaya dan sukar dikalahkan." kata Sutejo. "Apa lapi mereka mempunyai banyak anak buah."

"Kalau sudah tiba di sana, aku akan menantang mereka untuk mengadu ilmu dan bertanding satu lawan satu. Apakah engkau gentar menghadapi mereka, kakangmas Sutejo?"

Sutejo tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Tentu saja tidak, diajeng. Aku hanya meragu, khawatir salah menentang orang-orang yang tidak jahat. Akan tetapi hal itu bagaimana nanti sajalah, kita lihat kalau sudah berhadapan dengan mereka. Yang mengherankan adalah mengapa mereka itu tidak mengenal gurumu, padahal menurut gurumu, mereka telah membuat gurumu sengsara karena dikhianati cintanya. Bagaimana engkau dapat berkenalan dengan Kakangmas Priyadi diajeng?"

"Kalau kuingat peristiwa yang mengerikan itu, aku masih bergidik Ketika itu, aku menolong dan membebaskan seorang gadis dusun yang hendak dipaksa menikah dan menjadi selir seorang hartawan di Kelurahan Sintren, sebagai selir ke lima. Aku menghajar hartawan mata keranjang itu dan ketika aku dikeroyok para tukang pukulnya, aku mengamuk. Akan tetapi seorang di antara para tamu itu maju menghadapiku. Dan tahukah engkau siapa orang itu, kakangmas? Bukan lain adalah Mahesa Meta, perampok tunggal tokoh Gunung Kelud itu!"

"Ah. yang dulu memusuhi ayahmu itu?" tanya Sutejo.

"Benar dia! Agaknya dia masih ingat kepadamu, maka hendak membalas dendam dan dia bersama banyak anak buah hartawan itu berhasil menawanku menggunakan jala. Aku tertawan dan nyaris tertimpa bencana Mendadak muncul seorang kakek yang amat menggiriskan. Dia membunuh Mahesa Meta dan dia membawaku pergi dari rumah hartawam di mana aku ditawan itu dan membawaku ke dalam hutan, ke sebuah gua yang menyeramkan. Kakek itu sungguh menyeramkan dan seperti orang setengah gila yang agaknya mempunyai niat yang buruk terhadap diriku."

"Hemm, siapakah kakek itu?"

"Orangnya menyeramkan, usianya kurang lebih lima puluh tahun, mukanya brewok seperti muka singa, tinggi besar dam pakaiannya seperti pakaian pertapa."

"Ah, dia memiliki sebuah tahi lalat besar di dagunya ?

"Ya, benar"

"Dia itu Ki Klabangkolo, seorang yang sakti mandraguna."

"Memang dia sakti sekali, kakangmas. Aku sudah hampir putus asa karena tidak dapat melepaskan ikatan kaki tanganku ketika aku ditinggalkannya di gua itu dan dia katanya hendak mencari makanan. Untung pada saat dia pergi itu, muncul Kakangmas Priyadi yang membebaskan aku."

"Bagaimana dia dapat berada di hutan itu?"

"Menurut ceritanya, dia melihat ketika aku mengamuk di rumah hartawan itu dan melihat pula aku tertawan, kemudian ketika kakek itu membawaku pergi, dia membayangi sampai ke dalam hutan. Ketika kakek itu meninggalkan aku untuk mencari makan, Kakangmas Priyadi lalu muncul dan membebaskan ikatan kaki tanganku. Untung pedangku Nogo Wilis oleh kakek itu ditinggalkan di situ, maka dapat kupergunakan untuk membela diri."

"Kemudian bagaimana, diajeng? Ceritamu semakin menarik !" kata Sutejo.

"Kakek itu muncul dan aku bersama Kakangmas Priyadi mengeroyoknya. Kalau kami maju satu satu, tentu kami tidak akan mampu menandingi kakek yang amat sakti itu. Akan tetapi dengan maju bersama, kakek itu dapat kami desak dan dia melarikan diri."

"Lalu Kakangmas Priyadi menemanimu pergi menemui Harjodento?"

"Tidak! kami berpisah dan aku meninggalkannya aku lalu pergi seorang diri ke tepi Bengawan Solo dan bertemu dengan Harjodento, menantangnya bertanding. Aku terdesak dan kewalahan, dan tiba-tiba muncul Kakangmas Priyadi tanpa diminta membantuku. Seperti telah kuceritakan tadi, kami terpaksa melarikan diri karena terdesak dan akan terancam bahaya kalau anak buahnya ikut mengeroyok. Setelah itu kami saling berpisah lagi dan melakukan perjalanan hendak menghadap guruku menceritakan kegagalanku ketika aku melihat engkau menolong gadis itu!" Suaranya tersendat dan gadis itu tiba-tiba berhenti bicara. Di bawah sinar api unggun yang kemerahan, keadaan tidak begitu terang lagi karena api yang melahap pondok itu sudah hampir padam setelah menghabiskan seluruh bagian pondok, Sutejo melihat betapa mulut gadis itu cemberut dan sepasang mata itu berapi.

Sutejo tersenyum, maklum bahwa lagi-lagi Retno Susilo merasa cemburu kepada gadis itu, yaitu Winarti puteri Senopati Mertoloyo!

"Diajeng Retno, ketahuilah bahwa antara aku dan nimas Winarti tidak ada hubungan apa-apa kecuali hubungan persahabatan. Ia adalah puteri Paman Mertoloyo, seorang senopati besar dari Mataram. Kebetulan saja aku melihat Paman Mertoloyo dan puterinya dikeroyok banyak orang Wirosobo sehingga aku turun tangan membantu mereka"

"Aku tidak perduli gadis puteri senopati atau bahkan puteri raja sekalipun, akan tetapi gadis itu demikian memperhatikanmu dan engkau... engkau begitu baik kepada gadis itu, sedangkan kepadaku engkau tidak perduli sama sekali!"

"Ini tidak benar, diajeng Retno Susilo. Bukankah sekarang ini kita melakukan perjalanan bersama dan aku akan membantumu menghadapi musuh besar gurumu?"

Retno Susilo menundukkan mukanya dan suasana menjadi lengang. Yang terdengar hanya kerik jangkerik dan nyanyian kutu-kutu walang ataga diseling bunyi letupan ranting kering dimakan api unggun. Agaknya ucapan Sutejo itu menyadarkan Retno Susilo dan meredakan rasa cemburunya.

"Engkau memang bersikap baik sekarang kepadaku, kakangmas Sutejo. Kuharapkan sekali mudah-mudahan engkau selanjutnya akan bersikap baik kepadaku" katanya lirih.

"Tentu Saja, diajeng. Bukankah sudah lama sekali kita menjadi sahabat? Sudah banyak pula peristiwa penting kita alami bersama. Sekarang mengaso dan tidurlah, diajeng. Biar aku yang menjaga api unggun ini agar tidak sampai padam karena kalau sampai padam tentu banyak nyamuk akan menyerang kita."

"Baik aku akan tidur lebih dulu, kakangmas. Nanti kalau aku terbangun, aku akan menggantikanmu menjaga api unggun dan engkau boleh mengaso." kata gadis itu sambil menyandarkan tubuhnya pada batang pohon dan memejamkan matanya. Agaknya gadis itu memang lelah sekali karena sebentar saja pernapasannya menjadi halus dan teratur, tanda bahwa ia telah tertidur...


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.