Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 15
MEREKA semua menonton dengan hati tegang. Padmosari, Pusposari, Retno Susilo, Cangak Awu dan para murid Nogo Dento. Pandang mata mereka kabur ketika dua orang itu mengerahkan aji meringankan tubuh dan berkelebatan seperti dua ekor burung walet sedang berkelahi. Harjodento menjadi semakin kaget dan khawatir. Dia merasa bahwa agaknya dia tidak akan mampu mengalahkan pemuda itu. Dan kalau dia sampai kalah, tentu nyawa dia dan isterinya akan terancam di tangan gadis yang hendak membalaskan sakit hati gurunya itu.
Dia harus mendapatkan kemenangan, karena hanya dengan itulah dia akan dapat menyelamatkan nyawa keluarganya. Akan tetapi pemuda ini demikian digdaya! Bahkan beberapa kali tamparannya menyentuh dada pemuda itu seolah tidak terasa, menunjukkan bahwa pemuda itu memiliki aji kekebalan yang amat kuat. Terpaksa dia harus mengeluarkan aji pamungkasnya, yaitu Aji Nogo Dento seperti yang telah dipergunakannya terhadap Retno Susilo dan yang telah merobohkan gadis itu tadi. Tadi, ketika dia menggunakan aji itu untuk menyambut pukulan gadis itu, dia hanya mengerahkan sebagian tenaganya saja. Akan tetapi, menghadapi pemuda yang luar biasa tangguhnya ini, dia harus mengerahkan tenaga aji itu sepenuhnya kalau dia ingin keluar sebagai pemenang.
Setelah memperhitungkannya Harjodento lalu melangkah ke belakang, memasang kuda-kuda dan mengerahkan seluruh tenaganya menggunakan Aji Nogo Dento mendorong ke depan sambil membentak nyaring. "Aji Nogo Dento......!!!"
Sutejo terkejut dan maklum betapa hebatnya tenaga ini. Tadipun Retno Susilo roboh oleh tenaga sakti ini, maka diapun cepat mengeluarkan ajinya yang diandalkan, mendorongkan kedua tangan ke depan sambil membentak. "Aji Bromokendali!!" Akan tetapi Sutejo tidak ingin mencelakai lawannya, maka dia membatasi tenaganya dan hanya dipergunakan untuk bertahan saja.
"Wuuuuttt... blaarrrrrr...!!" Dua tenaga sakti raksasa bertemu di udara dan akibatnya, kedua orang itu terlempar ke belakang dan terbanting keras ke atas tanah! Baik Harjodento maupun Sutejo, keduanya muntah darah! Sutejo yang tidak mempergunakan seluruh tenaganya terguncang dadanya dan muntah darah, sedangkan Harjodento terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik demikian kerasnya sehingga dia juga muntah darah, akan tetapi keadaannya jauh lebih parah dibandingkan Sutejo. Keduanya tidak mampu segera bangkit hanya mendeprok dan menekan dada sendiri.
"Kakangmas Sutejo.....!" Biarpun ia sendiri terluka, Retno Susilo bangkit dan lari menghampiri Sutejo yang sudah bergerak bangkit dengan lemah, duduk bersila lalu mengatur pernapasannya.
"Bapa.....!" Pusposari dan juga Padmosari juga berlari dan bersimpuh di dekat Harjodento yang masih setengah rebah, belum mampu bangkit. Cangak Awu juga berjongkok dekat ketua Nogo Dento ini. Tiba-tiba terdengar suara terkekeh nyaring, suara tawa seorang wanita dan di situ telah muncul Nyi Rukmo Petak!
"Heh-heh-heh-heh-heh! Harjodento dan Padmosari, sekarang mampuslah kalian! Heh-heh-hi-hi-hik, Harjodento! Engkau masih dapat mendengar suaraku?"
Harjodento dan Padmosari menoleh dan semua orang juga memandang kepada nenek itu. "Ken Lasmi...!! teriak Harjodento dan Padmosari berbareng.
"Heh-heh-heh, kalian masih mengenal aku? Dan kau lihat siapa yang telah merobohkanmu, Harjodento? Siapa yang mewakili aku mengalahkanmu dan melukaimu? Siapa pemuda yang kini terluka hampir mati karena tanganmu? Heh-heh-heh! Engkau saling bunuh dengan anakmu sendiri. Harjodento! Sekarang puaslah hatiku telah menghancurkan hati kalian berdua, membuat kalian berkelahi mati-matian melawan anakmu sendiri. Nah, sekarang bersiaplah kalian untuk mati di tanganku!"
Setelah berkata demikian, sambil tersenyum mengerikan wanita berambut putih ini melompat mendekati Harjodento dan Padmosari yang sudah tidak berdaya karena menderita luka dan kedua tangannya membentuk cakar untuk membunuh suami isteri itu dengan cengkeraman maut.
Akan tetapi Pusposari dan Cangak Awu yang tidak terluka berat, cepat melompat berdiri dan kedua orang ini seperti dikomando saja sudah menerjang Nyi Rukmo Petak. Bahkan Pusposari telah mencabut kerisnya dan Cangak Awu mendapatkan sepotong kayu yang dipergunakan Sebagai senjata tongkat. Akan tetapi, Nyi Rukmo Petak bergerak dengan cepat dan kuat sekali. Tusukan keris yang dilakukan Pusposari dapat ditangkis dengan kuatnya. Jari-jari tangan yang hanya tulang terbungkus kulit itu amat kerasnya mengetuk pergelangan tangan Pusposari yang memegang keris sehingga keris itu terlepas dan terpental dari tangannya.
Sebelum Pusposari dapat menghindar, kaki kiri Nyi Rukmo Petak menyambar dan menendang pahanya, membuat gadis itu terpelanting jauh. Pada saat itu, tongkat di tangan Cangak Awu menyambar ke arah kepala Nyi Rukmo Petak. Akan tetapi nenek ini dengan beraninya mengulurkan tangan menyambut tongkat itu. direnggutnya terlepas dari tangan Cangak Awu dan sekali ia membalikkan tongkat, bahu kanan Cangak Awu sudah dihajar keras sekali dengan tongkat itu sehingga tubuh raksasa muda inipun terpental dan terbanting keras.
Empat orang murid Nogo Dento bergerak maju, akan tetapi Sebelum mereka sempat menyerang, baru mendekat saja kedua lengan Nyi Rukmo Petak sudah bergerak dan empat orang itupun terpelanting keras. Melihat ini, Sutejo yang tadinya masih duduk bersila, lalu bangkit berdiri dan berseru nyaring, ditujukan kepada semua murid Nogo Dento yang sudah bergerak hendak maju mengeroyok wanita berambut putih itu. "Semua mundur! Biarkan aku menghadapinya!"
Biarpun dengan agak terhuyung, Sutejo menghampiri dan menghadapi Nyi Rukmo Petak. Pada saat itu, Retno Susilo juga bangkit dan berdiri disamping Sutejo. Gadis ini marah bukan main. Alisnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan sinar seperti bercahaya ketika ia memandang kepada gurunya. Ia kini tahu bahwa Nyi Rukmo Petak adalah Ken Lasmi, wanita yang menculik Sutejo ketika pemuda itu masih kecil, berusia tiga tahun. Kemudian, Nyi Rukmo Petak dapat menduga bahwa Sutejo adalah anak yang diculiknya ketika Sutejo memberitahu bahwa dia adalah murid Sang Bhagawan Sidik Paningal yang dulu merampas Sutejo dari tangan Ken Lasmi.
Karena itulah maka gurunya itu berkeras membujuk agar Sutejo membantunya menghadapi Harjodento dan Padmosari. Gurunya itu berhati keji, sengaja mengadu antara anak dan orang tuanya. Kini ia dapat menduga bahwa permusuhan antara gurunya dan ketua Nogo Dento itu, tentu kesalahannya berada di pihak gurunya.
Melihat Sutejo menghampirinya dengan mata mengandung kemarahan, Nyi Rukmo Petak tertawa. "Heh heh-heh apa yang akan kau lakukan, Sutejo? Engkaupun akan mampus di tanganku, apakah engkau hendak mendahului orang tuamu?"
"Akulah yang akan menghadapimu!" Tiba-tiba Retno Susilo membentak nyaring. Nyi Rukmo Petak terbelalak memandang muridnya. "Apa katamu? Retno Susilo, lupakah engkau dengan siapa engkau berhadapan?"
"Aku tidak lupa! Aku berhadapan dengan seorang iblis betina yang amat jahat! Nyi Dewi, mengingat akan budi kebaikan yang pernah kau limpahkan kepadaku, ku nasehatkan engkau, pergilah dari sini dan jangan menganggu orang yang tidak bersalah. Kalau engkau nekat, terpaksa aku melupakan budimu dan akan melawanmu mati-matian.
"Heh-heh-heh engkau hendak melawanku pula? Kalau begitu, engkaupun akan mampus. Kalian semua sudah terluka. Aku akan membunuh kalian semua dengan mudah. Hari ini aku akan membasmi Nogo Dento, membunuh semua orang termasuk mereka yang berada di sini dan yang membelanya."
"Keparat, wanita berhati iblis! Jadi engkau kiranya Ken lasmi yang telah menculikku dan memisahkan aku dari orang tuaku, bahkan kini mengelabui aku sehingga aku bertanding melawan orang tuaku sendiri! Iblis macam engkau ini sudah sepatutnya dienyahkan dari permukaan bumi!" bentak Sutejo.
"Engkaulah yang akan mampus lebih dulu!" Nyi Rukmo Petak berteriak dan ia sudah menerjang ke arah Sutejo sambil menyerang dengan menggunakan Aji Wiso Sarpo yang ganas dan dahsyat. Tampak uap hitam yang berbau amis keluar dari kedua telapak tangannya ketika ia menyerang kepada Sutejo. Pemuda ini juga mengerahkan Aji Bromo kendali menyambut serangan itu.
"Wuuuuttt....dessss!!" Biarpun tubuh Nyi Rukmo Petak terpental ke belakang sampai lima langkah, namun karena Sutejo yang telah terluka itu hanya dapat mengerahkan tenaganya sebagian saja, maka dia sendiripun terpental ke belakang dan terhuyung-huyung. Dari mulutnya mengalir darah segar lagi karena lukanya yang tadi belum sembuh.
Retno Susilo membentak nyaring. "Hyaaaatt....!" Dan sinar kehijauan menyambar ke arah dada Nyi Rukmo Petak. Itulah pedang Nogo Wilis yang telah dicabut oleh gadis itu dan dipergunakan untuk menyerang setelah nenek itu bersama Sutejo masing-masing terpental ke belakang.
Namun Nyi Rukmo Petak yang tadi telah mengintai dan tahu bahwa muridnya itupun telah menderita luka ketika mengadu tenaga sakti melawan Harjodento, dapat mengelak dengan mudah dan menyerang muridnya dengan Aji Wiso Sarpo. Retno Susilo tidak berani menerima pukulan ampuh itu. Ia melompat ke kiri untuk menghindar, Nyi Rukmo Petak mengejar dan kembali mengirim pukulan dengan Aji Wiso Sarpo. Ia tidak perduli akan rasa nyeri di dadanya Sebagai akibat dari pertemuan tenaganya dengan Sutejo tadi. Akan tetapi tiba-tiba Sutejo yang sudah bersiap kembali maju dan menyambut pukulan yang ditujukan kepada Retno Susilo itu dengan Aji Bromo kendali pula.
"Wuuuttt..... desss.... !" Kembali Sutejo terjengkang dan terguling-guling di atas tanah. Akan tetapi Nyi Rukmo Petak juga terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat itu, puluhan orang murid Nogo Dento dipimpin oleh Pusposari dan Cangak Awu dengan senjata di tangan, telah maju untuk mengepung dan mengeroyok Nyi Rukmo Petak.
Nenek ini merasa kecewa sekali. Tidak disangkanya sama sekali bahwa Sutejo dan Retno Susilo yang sudah terluka parah itu masih mampu menandinginya, bahkan benturan tenaga sakti Sutejo membuat ia terluka di sebelah dalam dadanya. Kini tidak mungkin lagi ia membunuh Harjodento dan Padmosari. Demikian banyaknya orang yang mengeroyoknya, di antaranya Retno Susilo dan Sutejo yang merupakan lawan berat. Kini bahkan puluhan orang murid Nogo Dento siap untuk mengeroyoknya. Maklumlah Nyi Rukmo Petak bahwa kalau ia nekat, tentu ia yang akan tewas di situ. Ia lalu menggunakan Aji Kluwung Sakti, tubuhnya berkelebat cepat sekali, lenyap dan kepungan para murid Nogo Dento dan ia sudah melarikan diri. Hanya suara tawanya saja yang terdengar semakin jauh, suara tawa yang seperti juga suara tangis.
Setelah wanita itu pergi, Sutejo yang menderita luka berat itu masih berdiri tubuhnya bergoyang-goyang dan dia memandang kepada Harjodento dan Padmosari. Suami isteri itu juga berdiri, menguatkan diri karena merekapun menderita luka dalam yang cukup parah, memandang kepada pemuda itu dengan wajah diliputi penuh ketegangan, keraguan dan harapan. Sepasang mata Padmosari sudah menitikkan air mata, sedangkan Harjodento memandang pemuda itu seperti orang berada dalam mimpi.
Padmosari menghampiri Sutejo dengan langkah kaki yang gemetar, ia memandang pemuda itu melalui genangan air matanya dan suaranya terdengar lirih gemetar. "Engkau... engkau... benarkah kata Ken Lasmi tadi... bahwa... bahwa engkau adalah anakku...?"
Sutejo juga merasa betapa sesuatu mengganjal kerongkongnya. Keharuan membuat dia hampir tidak mampu mengeluarkan suara dia sudah yakin bahwa dia berhadapan dengan ayah dan ibunya. Kini terasa olehnya betapa wajah wanita di depannya ini demikian akrab di hatinya, sama sekali tidak asing. Dia tidak mampu bicara dan perlahan-lahan, sambil mengerahkan sisa tenaga untuk melawan rasa nyeri di dalam dadanya, kedua tangannya lalu membuka bajunya, Kedua tangan itu gemetar dan sepasang mata Sutejo juga sudah basah. Dia memandang Harjodento yang terhuyung-huyung menghampiri pula, lalu berpegang pada lengan isterinya agar tidak terkulai jatuh.
Suami isteri ini memandang Sutejo yang kini sudah menanggalkan bajunya dan melepaskan baju itu ke atas tanah. "Andika berdua... kenal ini...?" katanya lirih dengan suara gemetar, lalu membalikkan tubuh memperlihatkan punggungnya, di mana terdapat sebuah noda tembong kebiruan selebar tiga jari tangan. Kemudian dia memutar tubuhnya menghadapi suami isteri itu kembali dan memperlihatkan kalung dengan bandul ukiran naga putih yang tergantung di lehernya.
Harjodento dan Padmosari terbelalak memandang ke tanda tembong dipunggung Sutejo kemudian mata mereka melekat pada kalung dengan bandul naga putih itu. Otomatis tangan Harjodento yang gemetar itu meraba lehernya dan mengeluarkan bandul kalung yang tergantung di lehernya, bandul yang presis sama dengan yang tergantung di leher Sutejo.
"Tejomanik anakku...!!" Suami isteri itu menjerit dan menubruk.
"Bapa... ibuuu...!!" Sutejo juga menubruk dan mereka bertiga berangkulan di antara isak tangis memilukan. Ketika berangkulan itu, tiba-tiba tubuh Sutejo dan Harjodento terkulai dan kedua.orang laki-laki yang menderita luka parah ini roboh pingsan.
Retno Susilo lari menghampiri dan memapah Sutejo."Kakangmas Sutejo...!" ia memanggil dengan hati teharu dan kedua matanya mengeluarkan air mata.
Pusposari dan Cangak Awu juga mendekat dan membantu Padmosari untuk memapah Harjodento. "Bawa mereka masuk kedalam." perintah Padmosari yang teluh mampu menekan keharuan hatinya dan kini ia merasa khawatir sekali akan keselamatan suami dan puteranya.
Beberapa orang murid Nogo Dento datang membantu dan tubuh ayah dan anak itu lalu digotong masuk kedalam perkampungan, langsung kerumah induk, tempat tinggal keluarga Harjodento. Dengan cekatan sekali Padmosari lalu menyiapkan rempa-rempa untuk membuatkan jamu dan mengobati suami dan anaknya. Ternyata selain ilmu kanuragan, wanita inipun seorang ahli pengobatan, ia juga membuatkan jamu untuk diri sendiri, untuk Pusposari dan Canguk Awu.
Retno Susilo membantu Padmosari merawat Sutejo. Kehadiran gadis ini diterima dengan baik oleh keluarga Nogo Dento. Biarpun tadinya Retno Susilo melakukan tugas yang diperintahkan gurunya memusuhi dan ingin membunuh Harjodento dan Padmosari, akan tetapi semua itu ia lakukan karena ia dibohongi gurunya. Ia melakukan perintah itu hanya untuk menanti gurunya dan setelah ia menyadari akan kejahatan gurunya, gadis ini membalik, bahkan melawan gurunya mati-matian dan hampir saja ia sendiri tewas di tangan gurunya. Bahkan Pusposari yang tadinya amat membenci Retno Susilo, dapat memaafkannya dan Retno Susilo diterima sebagai seorang sahabat baik, dan terutama sekali sebagai sahabat Sutejo.
Mereka semua duduk menghadapi meja besar, mengelilingi meja itu. Pagi hari itu Harjodento dan Sutejo sudah sembuh dan kesehatan mereka telah pulih kembali. Juga Padmosari, Pusposari dan Cangak Awu yang menderita luka ringan, sudah sembuh sama sekali. Kini mereka semua, untuk pertama kalinya setelah sepekan mereka yang terluka dirawat, duduk bersama di sekeliling meja untuk bercakap-cakap, Sutejo duduk diapit ayah ibunya, Padmosari tampak rindu sekali kepada puteranya yang baru saja ditemukan setelah menjadi seorang perjaka dewasa itu. Pusposari duduk di sebelah ibunya. Retno Susilo duduk berhadapan dengan Sutejo dan Cangak Awu duduk di sebelah Pusposari. Pagi yang cerah itu tampak semakin cerah karena hati mereka semua bergembira.
"Nah. sekarang ceritakanlah, anakku. Apa yang kau alami selama engkau diculik dari kami ketika engkau berusia tiga tahun itu." kata Padmosari kepada Sutejo.
"Ibu saya sendiri sudah tidak ingat apa-apa karena ketika itu saya masih terlalu kecil. Seingat saya hanya bahwa saya adalah murid mendiang Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal yang juga menjadi pengganti ayah ibu karena beliau yang merawat dan mendidik saya. Kemudian, setelah Bapa Guru terluka parah dan menghadap kematiannya, barulah beliau nenceritakan kepada saya tentang keadaan diri saya, ketika beliau temukan. Menurut cerita Bapa Guru itu, saya dirampas oleh Bapa Guru dari tangan seorang wanita bernama Ken Lasmi setelah melalui perkelahian sengit. Akhirnya Ken Lasmi melarikan diri dan saya dibawa pulang Bapa Guru Sidik Paningal. Menurut beliau, ketika itu saya mengaku bernama Tejo, maka Bapa Guru menamakan saya Sutejo dan tanda-tanda yang ada pada diri saya adalah tembong di punggung dan seuntai kalung naga putih ini."
"Angger, namamu sebenarnya adalah Tejomanik!" kata Padmosari terharu.
"Lalu bagaimana Tejo?" tanya Harjodento "Lanjutkan ceritamu."
"Karena mendiang Bapa Guru sendiri tidak tahu siapa orang tua saya, maka saya harus dapat menemukan Ken Lasmi karena ialah sumber satu-satunya yang dapat memberitahu kepada saya siapa orang tua saya yang sebenarnya. Akan tetapi, Ken Lasmi tidak pernah dapat saya temukan. Bahkan setelah saya bertemu dengan diajeng Retno Susilo dan berhadapan dengan Ken Lasmi. saya tidak tahu bahwa sebenarnya Nyi Rukmo Petak guru diajeng Retno Susilo itu adalah Ken Lasmi."
"Bahkan saya sendiripun tidak pernah tahu bahwa ia adalah Ken Lasmi." kata Retno Susilo.
Harjodento menghela napas panjang. "Tidak pernah kusangka bahwa yang menolong anakku adalah Sang Bhagawan Sidik Paningal yang telah kukenal dengan baik! Kalau saja aku tahu, tentu sudah sejak dahulu kami dapat menemukan engkau kembali! Ah, akan tetapi agaknya memang Gusti menghendaki demikian. Aku percaya bahwa pendidikan yang kau terima dari mendiang Bhagawan Sidik Paningal tentu membuat engkau menjadi seorang pendekar berjiwa ksatria. Akan tetapi mengapa engkau dapat membantu Ken Lasmi yang kejam dan ganas itu?"
Sutejo atau yang nama aselinya Tejomanik itu mengerling ke arah Retno Susilo, tidak mau menyalahkan gadis itu. Sebetulnya bukan Ken Lasmi atau Nyi Rukmo Petak yang dibantunya, melainkan Retno Susilo.
"Sebetulnya semua itu salahku. Paman Harjodento!" kata Retno Susilo dengan lantang. "Aku menaati guruku yang memberi tugas kepadaku untuk membunuh paman berdua. Usaha itu telah kulakukan akan tetapi aku gagal ketika untuk pertama kali aku dalang ke sini. Kemudian aku bertemu dengan Kakangmas Sutejo dan aku minta bantuannya. Kakangmas Sutejo membantu aku untuk menghadapi paman sekalian, bukan membantu guruku."
"Bapa dan ibu, dalam hal ini, diajeng Retno Susilo hanya bertindak karena ia berhutang budi kepada gurunya dan hendak membalas budi dengan menaati pesannya. Ia tidak tahu sama sekali bahwa gurunya itu jahat. Bahkan ketika saya bertemu dengan Ken Lasmi sayapun tidak menduga bahwa ia yang jahat melainkan mengira bahwa ia menjadi korban kejahatan seperti yang ia ceritakan kepada kami." Sutejo membela Retno susilo.
"Kami dapat menduga akan hal itu." kata Harjodento. "Kami tidak menyalahkan nak Retno yang ternyata kemudian setelah ia mengetahui akan kejahatan gurunya, ia malah membela dan membantu kami. Akan tetapi apakah yang diceritakan oleh Ken Lasmi kepada kalian sehingga kalian mau membantunya untuk membunuh kami?"
"Diajeng Retno Susilo, engkau saja yang memberitahu ayah dan ibuku tentaug apa yang diceritakan Ken Lasmi kepada kita tempo hari." kata Sutejo yang merasa tidak enak terhadap gadis itu.
Retno Susilo mengangguk, menghela napas dan berkata, "Sesungguhnya berat rasa hatiku untuk membeberkan kebusukan seorang yang telah melimpahkan budi kebaikan kepada diriku. Akan tetapi, demi kebenaran, apa boleh buat. Beginilah cerita guruku itu kepada kami Paman Harjodento dan Bibi. Menurut guruku, ketika masih muda terjalin pertalian cinta kasih antara Ken Lasmi dan Paman Harjodento. Akan tetapi katanya, Paman Harjodento mengkhianati cintanya dan menikah dengan bibi Padmosari. Ketika Ken Lasmi mendatangi paman berdua untuk menuntut, katanya paman berdua malah memukul dan mengusirnya. Ken Lasmi merasa sakit hati dan memperdalam ilmunya, akan tetapi berkali-kali ia selalu dapat dikalahkan oleh paman berdua. Nah, demikianlah ceritanya mengapa ia mendendam kepada paman berdua. Sama sekali ia tidak pernah bercerita bahwan telah menculik putera paman berdua."
"Memang demikianlah yaug diceritakan Ken Lasmi atau Nyi Rukmo Petak kepada kami berdua, bapa." kata Sutejo membenarkan keteranganRetno Susilo.
"Hemm, ia telah memutar balikkan kenyataan. Tidak aneh, karena memang sejak muda ia memiliki watak yang curang, ganas dan keji. Sesungguhnya beginilah ceritanya. Memang ketika kami masih muda, aku bertemu dan berkenalan dengan Ken Lasmi. Dengan terus terang ia menyatakan cinta kepadaku dan mengharapkan untuk menjadi isteriku. Akan tetapi biarpun pada waktu itu ia adalah seorang wanita yang cantik jelita dan gagah perkasa menarik hati, namun ia memiliki watak yang kejam, culas dan ganas. Karena itulah, maka aku tidak dapat membalas cintanya dan aku menikah dengan wanita pilihan hatiku, yaitu Padmosari. Pada malam pengantin, malam-malam ia datang sebagai pencuri dan berusaha untuk membunuh Padmosari. Akan tetapi kami berdua dapat mencegahnya dan mengusirnya. Setelah itu, berulang kali dalam waktu tiga tahun ia berusaha untuk membunuh kami namun selalu dapat kami gagalkan. Nah, ketika itu kami telah mempunyai seorang putera, yaitu Tejomanik atau yang sekarang disebut Sutejo. Pada suatu hari, anak kami itu hilang dan kami tahu bahwa penculiknya bukan lain tentulah Ken Lasmi. Kami sudah berusaha mencarinya. Bertahun-tahun kami mencari, akan tetapi Ken Lasmi seperti lenyap ditelan bumi. Tidak ada kabar ceritanya lagi sampai sekarang. Tidak tahunya ia telah mengubah namanya menjadi Nyi Rukmo Petak. Itulah sebabnya, ketika nak Retno yang datang menyerang kami mengatakan bahwa ia disuruh oleh gurunya yang bernama Nyi Rukmo Petak, kami menjadi bingung karena merasa tidak pernah mendengar nama itu, apalagi bermusuhan. Baru setelah ia sendiri muncul tempo hari. kami mengenalnya sebagai Ken Lasmi. Gusti masih melindungi kita semua sehingga ia kembali gagal membunuh kita berkat ketangkasan nak Retno Susilo dan engkau sendiri, Tejo."
Sutejo menghela napas panjang "Kita semua sepatutnya bersyukur kepada Gusti Yang Maha Kasih yang telah melindungi kita semua, terutama saya amat bersyukur dan berterima kasih karena sudah dipertemukan kembali dengan orang tua saya. Selesailah sudah satu di antara beberapa buah tugas yang barus saya lakukan dan penuhi dalam hidup ini, sesuai dengan petunjuk mendiang bapa Guru."
"Tugas lain apa lagi yang barus kau laksanakan, Tejo?' tanya Harjodento.
"Pertama, saya harus merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan pencurinya dan kedua saya harus mempergunakan pusaka itu untuk berjuang membantu dan membela Mataram dalam menghadapi para pemberontak" jawab Sutejo
Ayahnya mengangguk-angguk. "Tentang membela Mataram itu aku setuju sepenuhnya, karena memang sudah menjadi kewajiban setiap orang kawula Mataram untuk membela negaranya dari ancaman para pemberontak. Akan tetapi tentang Pecut Sakti Bajrakirana itu, aku tidak mengerti. Pusaka apakah itu dan siapa pencurinya?"
"Ceritanya panjang, Bapa. Pecut Sakti Bajrakirana adalah sebuah pusaka yang dikeramatkan dan dijunjung tinggi oleh para murid Jatikusumo, perguruan yang dahulu didirikan oleh Eyang Guru Resi Limut Manik. Pusaka itu tadinya disimpan oleh Eyang Resi, akan tetapi pada suatu hari, Paman Guru Bhagawan Jaladara telah mencurinya dari Padepokan Eyang Resi."
"Kalau begitu Bhagawan Jaladara itu adalah saudara dari mendiang gurumu, Bhagawan Sidik Paningal?" tanya Harjodento.
"Benar, Bapa. Eyang Guru Resi Limut Manik mempunyai tiga orang murid. Yang pertama adalah Uwa Guru Bhagawan Sindusakti yang menjadi ketua perguruan Jatikusumo menggantikan Eyang Resi, dan Kakang Cangak Awu ini adalah murid beliau. Yang kedua adalah mendiang Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal yang merawat dan mendidik saya, kemudian yang ketiga adalah Paman Bhagawan Jaladara itulah."
Ayahnya mengangguk-angguk. "Lalu, bagaimana kelanjutannya ?"
"Setelah mencuri Pusaka Bajrakirana, Paman Bhagawan Jaladara yang menjadi ponggawa Kadipaten Wirosobo itu mengajak teman- temannya dari Wirosobo mendatangi mendiang Bapa Guru. Dia membujuk Bapa Guru untuk membantu Kadipaten Wirosobo yang hendak memberontak terhadap Mataram. Bapa Guru menolak dan Paman Bhagawan Jaladara lalu mempergunakan Pecut Sakti Bajrakirana untuk menyerang Bapa Guru. Melihat pecut yang menjadi pusaka perguruannya itu, Bapa Guru tidak berani melawan dan membiarkan dirinya disiksa oleh Paman Bhagawan Jaladara yang juga menyiksa saya yang mencoba untuk membela Bapa Guru. Kemudian dia pergi Setelah mengancam bahwa kalau selama satu bulan Bapa Guru belum Juga mau tunduk dan menuruti kehendaknya, dia akan kembali dan membunuh kami."
"Kenapa ada bhagawan yang begitu jahat?" seru Pusposari penasaran.
"Baik buruknya seseorang tidak dapat diukur dari Jubahnya atau kedudukannya. Banyak pendeta palsu di dunia ini, diajeng Pusposari." kata Retno Susilo.
"Hemm, dia tentu mempunyai pandangan sendiri dan berdasarkan pandangannya itu, dia tentu merasa bahwa dirinya baik dan benar." kata Harjodento. "Teruskan ceritamu, Tejo."
"Bapa Guru mengutus saya menghadap Eyang Guru Resi Limut Manik. Dari beliau saya tahu bahwa pecut pusaka itu dicuri oleh Paman Jaladara. Setelah mendengar laporan saya, Eyang Resi lalu memindahkan tenaga saktinya kepada saya dan memerintahkan saya untuk merampas kembali pusaka itu untuk dipergunakan membantu Mataram. Akhirnya saya berhasil bertemu dengan Paman Jaladara dan merampas pecut pusaka itu dari tangannya. Pada waktu itulah saya bertemu dan berkenalan dengan diajeng Retno Susilo."
"Dan selanjutnya kami menjadi sahabat baik." Sambung Retno Susilo yang takut kalau-kalau pemuda itu akan menceritakan tentang kenakalannya sebagai seorang "pemuda". Akan tetapi tentu saja Sutejo tidak mau menceritakan peristiwa itu.
"Dengan membawa Pecut Bajrakirana saya pulang ke lereng Kawi, ke padepokan Bapa Guru. Akan tetapi setelah tiba di sana saya melibat Bapa Guru sudah terluka parah. Paman Jaladara mengancam akan membunuh Bapa Guru kalau saya tidak menyerahkan pecut pusaka itu, terpaksa untuk menyelamatkan Bapa Guru, saya menyerahkan pecut pusaka kepadanya dan mereka melepaskan Bapa Guru. Saya lalu mengamuk dan mereka melarikan diri. membawa pecut pusaka itu bersama mereka."
"Hemm, sayang sekali pecut pusaka itu terjatuh lagi ke tangan mereka." kata Harjodento.
"Kemudian bagaimana?" Dia merasa tertarik sekali akan cerita puteranya itu.
"Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal akhirnya tewas karena luka-lukanya. Saya lalu pergi ke puncak Semeru untuk menghadap Eyang Guru Resi Limut Manik akan tetapi setibanya di sana saya melihat Eyang Resi telah terluka parah dikeroyok Paman Jaladara dan tiga orang kawannya, dan agaknya Eyang Resi Juga tidak melawan karena Bhagawan Jaladara memegang Pecut Sakti Bajrakirana yang dikeramatkan. Akan tetapi saya melihat ada seorang pemuda perkasa yang membela Eyang Resi sehingga Eyang Resi belum terbunuh. Pemuda Itu ternyata adalah Sang Puteri Wandansari yang Juga merupakan murid termuda dari Jatikusumo."
"Diajeng Wandansari memang adik seperguruan saya." kata Cangak Awu yang juga mendengarkan semua cerita Sutejo dengan penuh perhatian dan tertarik sekali. Kini semakin yakinlah dia bahwa Sutejo sama sekali tidak membunuh Eyang Resi Limut Manik seperti yang dituduhkan Bhagawan Jaladara, melainkan paman gurunya itu sendirilah yang jahat dan licik.
"Saya segera membantu pemuda itu dan akhirnya kami dapat memukul mundur mereka yang melarikan diri. Dua orang cantrik padepokan terbunuh oleh Bhagawan Jaladara dan Eyang Resi terluka parah sekali, Akun tetapi Eyang Resi dapat menahan diri sampai dua pekan lamanya dan selama dua pekan itu Eyang Resi melatih saya dengan ilmu pecut Bajrakirana dan melatih Sang Puteri Wandansari dengan ilmu pedang Kartika Sakti. Eyang Resi juga menyerahkan pedang Kartika Sakti kepada Sang Puteri, dan menyerahkan kitab pelajaran ilmu pecut Bajrakirana kepada saya. Eyang Resi berpesan kepada saya agar saya merampas kembali Pecut Barjakirana dan mempergunakannya untuk membela Mataram. Demikianlah kisahnya, Bapa. Dan dalam perjalanan saya untuk mencari Paman Jaladara untuk merampas kembali pecut pusaka, saya bertemu dengan diajeng Retno Susilo yang minta agar saya suka membantunya menghadapi musuh-musuh gurunya. Untung saya memenuhi permintaannya itu sehingga dengan jalan itu saya dapat bertemu kembali dengan Bapa dan Ibu."
Harjodento menghela napas panjang, "Hemm, semua itu gara-gara Kadipaten Wirosobo yang hendak memberontak. Kalau saja Bhagawan Jaladara tidak menjadi pejabat di Wirosobo dan kadipaten itu tidak memberontak, agaknya tidak akan terjadi semua peristiwa menyedihkan ini. Bahkan Bhagawan Jaladara tega untuk menghancurkan Jatikusumo."
"Apa maksud Bapa ? Menghancurkan Jatikusumo ?" tanya Sutejo heran.
"Biarlah anak mas Cangak Awu yang akan menceritakan peristiwa itu yang menyebabkan anak mas Cangak Awu sekarang berada di sini." kata Harjodento.
"Kakang Cangak Awu, apakah yang telah terjadi dengan Jatikusumo ?" tanya Sutejo.
"Adi Sutejo, malapetaka besar telah menimpa Jatikusumo sehingga mengakibatkan tewasnya Bapa Guru Sindusakti, Kakang Maheso Seto, Mbakayu Rahmini dan mungkin semua murid Jatikusumo yang berada di perguruan itu mati semua." kata Cangak Awu dan wajahnya berubah merah sekali, kedua matanya sayu dan seperti orang yang hendak manangis.
Saking kagetnya Sutejo sampai melompat berdiri dengan mata terbelalak. "Apa....? Siapa yang melakukan perbuatan keji itu?"
"Duduklah, Adi Sutejo. Urusan ini memang dapat membuat orang mati penasaran. Kakang Priyadi telah murtad. Dia menuntut agar kedudukan ketua Jatikusumo diserahkan kepadanya. Dia datang dibantu oleh Paman Jaladara yang datang bersama kawan-kawannya para Jagoan Wirosobo itu. Juga dibantu oleh dua orang datuk sesat yang bernama Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo. Si jahanam murtad Priyadi itu membunuh Bapa Guru, Juga Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini tewas oleh kawan-kawannya yang amat sakti."
"Tapi... tapi bagaimana mungkin Priyadi mampu membunuh Uwa Guru Bhagawan Sindusakti? Aku pernah melihat ketika dia melawan wanita iblis bernama Sekarsih itu, ilmu kepandaiannya tidak sangat tinggi."
"Memang demikian, akan tetapi entah bagaimana. Ketika dia datang menyerbu, dia bukanlah Priyadi yang biasa. Kepandaiannya hebat sekali seperti iblis, dan dia telah dapat pula menarik Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo dan wanita iblis itu menjadi sekutunya. Juga Pecut Bajrakirana telah berada di tangannya. Aku Juga melakukan perlawanan mati-matian, akan tetapi aku terkena tendangan Ki Klabangkolo sehingga terluka berat. Lalu aku melarikan diri karena tekadku, aku harus hidup untuk dapat membalaskan semua sakit hati itu, Adi Sutejo! Kalau aku terus melawan, tentu aku akan mati pula. dan kalau aku mati, siapa yang kelak akan membalaskan dendam ini?"
Sutejo mengangguk. "Aku mengerti pendirianmu itu, Kakang Cangak Awu. Akan tetapi bagaimana engkau dapat datang ke sini? Sungguh merupakan suatu hal yang kebetulan sekali!"
"Aku jatuh pingsan di tepi bengawan dan diajeng Pusposari yang menolongku, membawaku ke sini dan di sini aku diobati sampai sembuh. Aku berhutang nyawa kepada keluarga pimpinan Nogo Dento yang ternyata adalah keluargamu juga. Aku merasa girang sekali engkau telah bertemu dengan ayahbunda dan adikmu."
"Adikku...?" Sutejo memandang kepada ayah dan ibunya dan wajahnya berseri.
"Pusposari ini adalah anak angkat kami, akan tetapi sudah kam ianggap sebagai anak kandung sendiri. Dialah adikmu, Tejo." kata Padmosari.
Sutejo memandang kepada Pusposari dan wajahnya berseri gembira."Wah, untung sekali aku! Tahu-tahu telah mempunyai seorang adik yang sudah begini besar dan cantik manis!"
"Aaahh, Kakang Tejo, kata-katamu membuat aku menjadi malu!" kata Pusposari sambil menundukkan mukanya yang berubah kemerahan, akan tetapi mulutnya terhias senyuman senang. Hati gadis mana yang tidak akan menjadi bangga dan senang kalau menerima pujian bahwa ia can璽ik manis?
"Sekarang kita telah mendengarkan semua pengalaman dan mengetahui keadaan masing-masing. Bahkan kami telah mengetahui keadaan anak mas Cangak Awu yang sudah sebatang kara. Akan tetapi kami belum mengetahui tentang keluarga nak Retno Susilo. Siapakah keluargamu, nak Retno dan di mana mereka berada?"
"Ayah ibuku masih hidup dan mereka tinggal di kaki Gunung Kelud dalam Hutan Kebojambe. Ayahku bernama Ki Mundingsosro dan dia adalah Ketua perkumpulan Sardulo Cemeng." Retno Susilo menerangkan dengan singkat.
"Bapa, diajeng Retno Susilo adalah puteri Paman Mundingsosro yang gagah perkasa. Perkumpulan Sardulo Cemeng adalah perkumpulan yang menampung para pelarian dari tanah timur yang tidak mau tunduk terhadap para pemberontak" Sutejo menjelaskan.
"Bagus sekali. Sekarang kita semua sudah mengetahui keadaan masing-masing. Kita berada di antara keluarga sendiri Biarpun anak mas Cangak Awu dan Retno Susilo merupakan orang luar, namun sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Aku ingin membicarakan masalah yang serius dan terus terang." kata Padmosari dengan wajah serius dan ia memandangi wajah orang-orang muda itu satu demi satu dengan sepasang matanya yang bersinar tajam.
Sutejo, memandang kepada ibunya sambil tersenyum. Hatinya dipenuhi kemesraan dan kekaguman, kasih sayang yang mendalam terhadap wanita yang dikenal sebagai ibu kandungnya ini dan dia merasa bangga memiliki ibu yang demikian anggun dan cantik.
"Wah, Ibu agaknya hendak berteka teki. Ada rahasia apakah gerangan yang hendak ibu sampaikan kepada kami?"
"Aku adalah seorang tua, tidak main-main dan juga tidak berteka-teki. melainkan mengharapkan kejujuran kalian orang-orang muda. Pertama kuajukan pertanyaanku kepada puteraku sendiri, engkau, Tejo. Semua pertanyaan yang akan kuajukan kepada kalian ini sudah kurundingkan dengan suamiku dengan matang. Nah, Tejo, jawablah. Apakah sejauh ini engkau telah mengikatkan dirimu dengan seorang wanita? Maksudku, apakah engkau telah memiliki pilihan seorang wanita untuk menjadi isterimu?"
Ditanya seperti itu, Tejo merasa seolah seperti ditodong ujung keris sehingga dia gelagapan juga. Dan sepasang mata ibunya mencorong Seperti hendak menembus dadanya dan menjenguk isi hatinya. Segera terbayang sebuah wajah yang cantik jelita dengan sepasang mata yang bersinar tajam berwibawa, wajah yang anggun dan agung, wajah Puteri Wandansari! Dia memandang kosong ke depan dan wajah elok itu tersenyum kepadanya. Barulah dia menyadari bahwa wajah Puteri Wandansari itu telah berubah menjadi wajah Retno Susilo yang memandangnya dengan senyum simpul karena gadis itu duduk berhadapan dengan dia sehingga kini pandang mata mereka bertemu!
Seketika itu teringatlah dia bahwa tidak pantas bagi seorang pemuda biasa seperti dia mencinta seorang dara bangsawan tinggi, puteri sang prabu Pandan Cokrokusumo atau Sultan Agung di Mataram. Bagaimana mungkin seekor burung gagak merindukan seekor burung cenderawasih? Dia cepat melupakan Puteri Wandansari dan sebagai gantinya, Seluruh hati akal pikirannya tertuju kepada Retno Susilo. Hanya gadis inilah, sesudah Puteri Wandansari, yang menyentuh perasaan cintanya. Dan dia tahu benar bahwa Retno Susilo mencintanya, mencintanya dengan tulus dan murni seperti yang telah dia rasakan benar dan terlihat dalam gerak-geriknya, tutur sapanya dan pandang matanya.
"Bagaimana, Tejo?" Ibunya mendesak melihat puteranya seperti orang melamun. Pertanyaan ini menarik Sutejo kembali ke alam sadar dan dia menjawab gugup.
"Ah, apa ibu.... ah, saya belum memikirkan soal itu?"
"Jadi engkau belum mempunyai pasangan atau kekasih hati?" tanya ibunya.
Dengan wajah kemerahan Sutejo menggeleng kepala tanpa menjawab, lalu menundukkan mukanya.
"Bagus, itu yang kuharapkan!" seru Padmosari gembira. "Sekarang aku memindahkan pertanyaan kepada nak Retno Susilo. "Maafkan, ya nak Retno, aku memang hendak bicara blak-blakan dalam suasana kekeluargaan dan mengharapkan jawaban yang blak-blakan dan jujur pula. Nah, aku hendak bertanya kepadamu. Apakah sampai sekarang engkau belum terikat oleh seorang pria? Ataukah sudah ada pasangan atau pilihan hatimu? Barangkali oleh orang tuamu engkau sudah ditunangkan dengan seorang pemuda?"
"Ihh, bibi ini!" jawab Retno Susilo dan kedua pipinya kemerahan, akan tetapi matanya mengerling kepada Sutejo. "Aku... aku belum bertunangan...."
"Tapi sudah mempunyai pilihan hati?" kejar Padmosari.
Retno Susilo tersipu dan menunduk akan tetapi matanya mengerling berkali-kali ke arah Sutejo yang duduk di depannya, lalu ia menggeleng kepala dan menjawab lirih. "Aku tidak tahu..." Padmosari dan suaminya, Harjodento, memandang kepada putera mereka dan kepada Retno Susilo bergantian dan mereka tersenyum maklum melihat kedua orang muda itu menundukkan muka.
"Baik sekali kalau begitu, nak Retno. Sekarang aku ingin menyatakan rencana kami. Kami menghendaki agar kalian berdua dapat berjodoh. Bagaimana pendapatmu, Tejo? Engkau tentu setuju kalau kami menjodobkanmu dengan Retno Susilo, bukan?"
Sutejo memandang kepada Retno Susilo yang masih menundukkan mukanya dan dia menghela napas panjang. "Hal perjodohan saya serahkan saja kepada kebijaksanaan bapa dan ibu. Akan tetapi saya sama sekali belum berpikir tentang pernikahan. Seperti telah saya katakan tadi, Saya masih mengemban tugas-tugas yang teramat penting. Saya harus merampas kembali Pecut Bajrakirana, dan saya juga tidak boleh tinggal diam saja membiarkan Kakang Priyadi berbuat sewenang wenang mengkhianati Jatikusumo. Saya harus membalas atas kematian Bapa Guru bhagawan Sidik Paningal, kematian Eyang Guru Resi Limut Manik, kematian Uwa Guru Bhagawan Sindusakti. Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini. Saya harus menghukum orang-orang jahat seperti Bhagawan Jaladara dan Priyadi. Kemudian saya harus membela Mataram menghadapi Kadipaten Wirosobo dan para bupati dan adipati yang memberontak. Sebelum semua kewajiban itu terlaksana, bagaimana saya dapat mengikatkan diri dengan sebuah pernikahan, ibu?"
"Tentu saja semua tugas mulia itu harus dilaksanakan dan dipenuhi, anakku. Pelaksanaan pernikahan dapat diadakan kemudian, akan tetapi yang penting engkau sudah menyetujui ikatan perjodohan ini. Bagaimana ?"
Sutejo menundukkan mukanya,"terserah kepada bapa dan ibu, saya akan menaatinya."
Padmosari tersenyum senang dan ia lalu memandang kepada Retno Susilo. "Nak Retno Susilo. Kami sebagai orang tua dapat melihat betapa hubungan persahabatanmu dengan anak kami Tejo amatlah akrabnya, karena itu kami ingin mengikat dan mengekalkan hubungan antara kalian, dari sahabat menjadi suami isteri. Bagaimana kalau kami berkunjung kerumah orang tuamu dan mengajukan pinangan atas dirimu untuk menjadi jodoh anak kami Tejomanik? Engkau setuju, bukan?"
Retno Susilo sudah dapat mengatasi rasa malunya. Ia tidak akan menyembunyikan perasaannya terhadap Sutejo. Ia memang mencinta pemuda itu, mencinta mati-matian sejak pertama kali berjumpa dengan Sutejo. Orang tuanya memang mempunyai niat untuk menjodohkan ia dengan Sutejo. Kalau dilamar, tentu orang tuanya akan menerimanya dengan senang hati. "Paman dan bibi, aku adalah seorang anak perempuan. Dalam soal perjodohan tentu saja aku hanya menurut apa yang dikehendaki orang tuaku. Maka hal itu aku serahkan saja untuk diselesaikan antara paman berdua dan orang tuaku. Untuk sekarang ini, keinginanku hanya satu, yaitu, membantu kakangmas Sutejo untuk menunaikan tugas-tugasnya."
"Hal itu bagus sekali!" puji Harjodento. "Dengan tingkat kepandaianmu yang sudah tinggi, engkau akan merupakan bantuan yang amat berharga dan boleh diandalkan bagi Sutejo Kalau kalian berdua maju bersama, kukira segala persoalan akan dapat diselesaikan."
Retno Sasilo mengangguk dan memandang kepada Sutejo. Kebetulan pemuda itupun sedang memandangnya sehingga dua pasang mata bertemu pandang, penuh pengertian, akan tetapi keduanya membungkam. Di dalam hatinya, Retno Susilo merasa berbahagia sekali. Selama ini ia sudah menyatakan perasaan cintanya terhadap Sutejo, akan tetapi pemuda itu bersikap biasa-biasa saja, menganggapnya sebagai seorang sahabat biasa. Dan kini, orang tua pemuda itu sudah menyatakan hendak menjodohkan mereka dan Sutejo tidak menolak! Tentu saja ia merasa berbahagia sekali!
Akan tetapi, dalam hati Sutejo terdapat keraguan atas perasaan hatinya sendiri. Dia tahu bahwa dia mencinta Puteri Wandansari. Kalau saja tidak ada sang puteri itu, tentu akan mudah sekali baginya untuk jatuh cinta kepada Retno Susilo yang juga amat disukainya dan yang membuatnya merasa kagum dan tertarik. Akan tetapi, dia melihat bahwa tidak mungkin bagi dia untuk mempersunting sang puteri. Karena itulah maka dia tidak menolak usul Orang tuanya untuk berjodoh dengan Retno Susilo yang dia tahu amat mencintainya.
"Hatiku senang sekali karena kalian berdua, Tejo dan Retno Susilo, telah menyetujui ikatan perjodohan ini. Kami tinggal pergi berkunjung ke perkampungan Sardulo Cemeng untuk mengajukan pinangan kepada orang tua Retno Susilo, sekarang kami hendak membicarakan hal lain. Sekali ini kami hendak membicarakan ikatan perjodohan lagi. Anak mas Cangak Awu, kami sudah tahu bahwa andika sekarang sudah yatim piatu dan hidup sebatang kara, oleh karena itu keputusannya terletak di tangan andika sendiri. Anak mas Cangak Awu, kami hendak bicara blak-blakan saja. Bagaimana tanggapan andika kalau kami mengusulkan ikatan perjodohan antara andika dan puteri kami Pusposari?"
Cangak Awu adalah seorang laki laki yang jantan dan jujur, tidak suka memakai banyak tata krama. Mendengar pertanyaan dari Padmosari itu, dia menoleh dan memandang sebentar kepada Pusposari, kemudian memandang kepada Harjodento dan Padmosari, lalu berucap dengan nada suara lantang terbuka.
"Paman Harjodento sekeluarga telah menolong dan menyelamatkan saya. Budi itu teramat besar dan sekarang paman berdua bahkan hendak memberi penghormatan yang besar sekali kepada saya dengan menjodohkan saya dengan Nimas Pusposari. Bagaimana saya berani menolaknya? Saya hanya dapat mengucap syukur dan menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, bahwa saya seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan papa, telah mendapatkan kehormatan dan kemuliaan yang demikian besar."
"Ah, anak mas Cangak Awu. bukan itu yang kami kehendaki. Kami tidak ingin kalau andika menyetujui ikatan pernikahan ini sebagai balas budi terhadap kami. Kami hanya menghendaki Ikatan perjodohan ini terjadi karena rasa cinta kedua pihak. Sekarang katakan terus terang, anak mas Cangak Awu. Apakah engkau setuju menjadi calon suami Pusposari karena andika mencintanya?" tanya Harjodento dengan blak-blakan.
Sutejo, yang mendengarkan semua ini, merasa kagum dan bangga sekali kepada ayah ibunya. Sepasang suami isteri yang gagah perkasa dan bijaksana sekali, yang bicara secara jujur dan blak-blakan demi kebaikan mereka semua!
Mendengar pertanyaan yang langsung dari Harjodento, Cangak Awu tentu saja merasa rikuh. Akan tetapi pemuda ini lalu membusungkan dada menegakkan kepalanya dan menjawab dengan tegas. "Ya benar, saya mencintanya, paman!"
"Bagus, kami menghargai kejujuranmu, anak mas Cangak Awu!" kata Padmosari yang kemudian menoleh kepada puterinya."Nah, Pusposari, bagaimana pendapatmu tentang usul ikatan perjodohanmu dengan anak mas Cangak Awu?"
Sebagai seorang dara yang baru berusia delapan belas tahun, tentu saja Pusposari tersipu malu mendengar pertanyaan blak-blakan tentang perjodohan itu. Ia menundukkan mukanya dan berkata dengan suara lirih seperti berbisik. "Ibu, saya hanya menurut dan menaati kehendak bapa dan ibu dalam urusan Ini. Terserah kepada bapa dan ibu saja."
Harjodento tersenyum dan berkata, "Pusposari, kami tidak menghendaki jawaban seperti itu. Kami tidak menghendaki kelak dikatakan memaksakan kehendak kami sendiri kepada anak. Kami telah melihat sikap dan gerak gerik kalian berdua, karena itu kami menghendaki agar engkau menjawab dengan tegas Ya atau tidak engkau mencinta anak mas Cangak Awu?"
Muka Pusposari menjadi merah sekali. Ingin rasanya ia menghilang agar terbebas dari perasaan rikuh dan malu seperti itu. Mau tidak mau ia harus menjawab. Ingin rasanya ia menutupi rasa malunya dengan jawaban tidak, namun hal itu akan bertentangan dengan suara hatinya. Maka, ia lalu mengangguk dan kepalanya semakin menunduk!
"Bagus! Cukuplah jawaban itu! Jadi kalian berdua sudah sama menyetujui! Tinggal menanti saat peresmiannya." kata Harjodento dengan gembira. "Nah, kalau semua persoalan dibicarakan dari hati ke bati, dengan jujur dan blak-blakan, lebih enak, bukan? Kita mempunyai hak dan kewajiban masing-masing, hak menentukan pendapat dan kewajiban untuk memenuhi apa yang telah kita utarakan."
"Ah, senang hatiku!" kata Padmosari. "Bukan saja aku mendapatkan kembali puteraku yang hilang, akan tetapi sekaligus aku mendapatkan dua orang mantu!"
Semua orang tersenyum dan Sutejo berkata kepada Cangak Awu dengan hati geli. "Lalu bagaimana hubunganku dengan Kakang Cangak Awu? Dia terhitung kakak seperguruanku dan lebih tua dariku, akan tetapi dia akan menjadi adik iparku. Aku harus menyebutmu kakang atau adi?"
"Karena Cangak Awu akan menjadi adik iparmu, tentu saja engkau menjadi kakaknya." kata Harjodento dengan gembira.
"Paman dan bibi, ada satu hal yang ingin saya sampaikan kepada paman dan bibi, yaitu bahwa di dalam hati saya telah mengambil keputusan untuk membalas si jahanam Priyadi dan orang-orang yang telah membunuh Bapa Guru dan saudara-saudara seperguruan saya. Karena itu, saya ingin membantu Kakangmas Sutejo lebih dulu sebelum... sebelum dilangsungkan pernikahan."
"Adimas Cangak Awu," kata Sutejo dengan suara serius. "Aku mempunyai pendapat lain. Engkau bahkan lebih dibutuhkan di sini untuk menjaga keselamatan orang tuaku. Siapa tahu Ken Lasmi masih belum berhenti dan kalau ia datang menyerang lagi, engkau dapat membantu keluarga di sini untuk menghadapinya. Biarlah aku yang akan membereskan jahanam Priyadi itu, bersama diajeng Retno Susilo."
"Apa yang dikatakan kakangmas Tejo itu benar sekali. Kakang Cangak Awu. Kalau engkau hendak membantu Kakangmas Tejo dan Mbakayu Retno Susilo, akupun ingin membantu mereka. Lalu siapa yang akan membantu bapa dan ibu kalau iblis wanita itu datang lagi ?" kata Pusposari yang kini sudah tidak lagi merasa canggung dan malu.
Harjodento dan Padmosari saling pandang, kemudian Harjodento berkata. "Sebetulnya kami berdua tidak berhak menghalangi niat, kalian semua untuk menentang orang-orang jahat itu dan mendapatkan kembali pecut pusaka yang dirampas orang, walaupun dalam penunaian tugas itu kalian akan menghadapi lawan-lawan yang tangguh dan membahayakan keselamatan kalian. Seorang pendekar harus berani menghadapi bahaya demi memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Dan mengenai kami berdua di sini, tidak perlu kalian khawatirkan, Kami berdua dapat menjaga diri, andaikata Ken Lasmi berani datang lagi mengacau. Kiranya kami berdua masih sanggup untuk menandingi Ken Lasmi. Pula, menurut keterangan anak mas Cangak Awu, Priyadi yang telah menguasai Jatikusumo itu bergabung dengan orang-orang sakti dari Wirosobo, bahkan dibantu datuk sesat Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo dengan Sekarsih yang kesemuanya merupakan lawan yang amat tangguh. Bagaimana kalian berdua saja, atau bahkan berempat akan mampu menandingi mereka? Belum lagi diperhitungkan anak buah mereka yang banyak. Kami harap engkau akan bertindak bijaksana dan cerdik, angger Tejo dan jangan sembrono. Tidak boleh nekat mengandalkan keberanian belaka melawan pihak musuh yang jauh lebih kuat keadaannya. Kenekatan tanpa perhitungan seperti itu bukan merupakan perbuatan yang gagah berani, melainkan merupakan sebuah kebodohan, angger."
"Lalu, apa yang harus saya lakukan, bapa?"
"Engkau harus memperkuat keadaanmu. Biarlah anak mas Cangak Awu dan adikmu Pusposari membantu engkau dan Retno Susilo, dengan berempat keadaanmu akan lebih kuat lagi. Dan bukan hanya itu. Untuk menghadapi anak buah mereka, biarlah para murid Nogo Dento mengikutimu. Ada lima puluh orang murid Nogo Dento yang dapat dikerahkan untuk membantumu.
"Kakangmas Sutejo, apa yang dikatakan ayahmu memang benar. Kita harus memperkuat diri, dan akupun akan minta bantuan para murid Sardulo Cemeng. Aku dapat mengerahkan sedikitnya lima puluh orang untuk memperkuat pasukan kita."
"Dan aku akan pergi ke Mataram melaporkan tentang pemberontakan Priyadi dan hancurnya Jatikusumo kepada diajeng Puteri Wandansari. Ia tentu tidak akan tinggal diam begitu saja mendengarakan kematian Bapa Guru dan kehancuran Jatikusumo"
Harjodento mengangguk-angguk. "Bagus sekali kalau begitu, kalian melakukan tugas masing-masing. Jangan tergesa-gesa pergi ke Jatikusumo, Tejo. Kita menanti sampai bala bantuan itu datang berkumpul di sini Baru kita berangkat dan mengerahkan semua kekuatan untuk menghancurkan Priyadi dan sekutunya itu."
"Kita.....?" Padmosari bertanya, memandang kepada suaminya dengan wajah berseri.
"Ya, kita. Termasuk engkau dan aku! Bagaimana mungkin kita berdiam diri saja dan membiarkan anak-anak sendiri menanggulangi kejahatan orang-orang yang hendak memberontak terhadap Mataram itu?"
"Baik, paman. Akan tetapi, sebelum kita melakukan penyerbuan kesana, kupikir lebih baik kalau Kakangmas Sutejo dan aku pergi melakukan penyelidikan terlebih dulu." kata Retno susilo.
"Apa yang dikatakan diajeng Retno itu benar, bapa Kami akan menyelidiki lebih dulu. melihat keadaan pihak musuh dan kalau mungkin saya akan berusaha untuk merampas Pecut Bajrakirana."
"Akan tetapi kalian berdua harus berhati-hati sekali dan Jangan nekat melawan pengeroyokan mereka." pesan Harjodento.
"Kami akan berhati-hati, bapa." Mereka semua membuat persiapan. Dan pada keesokan harinya, Sutejo dan Retno Susilo berangkat untuk melakukan penyelidikan ke Jatikusumo dan juga mereka hendak singgah ke tempat tinggal Ki Mundingsosro untuk minta bantuan pengerahan para anggota Sardulo Cemeng. Cangak Awu sendiri pergi ke kota raja Mataram untuk menemui Puteri Wandansari dan melaporkan tentang pengkhianatan Priyadi. Betapa saudara seperguruan itu bersekongkol dengan orang-orang Wirosobo, Harjodento dan Padmosari bersama puteri merekapun mengadakan persiapan di perkampungan Nogo Dento dan mempersiapkan pasukan yang dilatih untuk menghadapi pertempuran.
Seorang pemuda berjalan menyusuri sungai itu bersama seorang kakek yang berusia enam puluh lima tahun. Pemuda itu adalah Priyadi dan kakek itu bukan lain adalah Resi Wisangkolo yang sudah menjadi sekutu pemuda itu. Kini, pakaian kedua orang itu mewah, seperti pakaian bangsawan saja layaknya. Mereka berdua itu baru saja datang dari sebuah hutan di lereng Gunung Wilis.
Hanya berdua saja mereka menghadapi gerombolan Gagak Abang, sebuah gerombolan penjahat yang berjumlah tiga puluh orang lebih dan mereka menaklukkan gerombolan itu sehingga ketua gerombolan menyatakan tunduk dan takluk berjanji untuk membantu perguruan Jatikusumo yang dipimpin Priyadi. Dua orang ini terlalu tangguh bagi gerombolan Gagak Abang.
Priyadi memang mengajak Resi Wisangkolo, sekutunya yang paling boleh diandalkan karena sakti mandraguna, dan mereka berdua mendatangi perkumpulan-perkumpulan dan gerombolan orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan untuk mencari kekuasaan dan menaklukkan mereka. Dengan cara demikian Priyadi dapat memperoleh banyak sekutu yang siap membantunya memperkuat pasukan Wirosobo kalau waktunya sudan tiba bagi Kadipaten Wirosobo untuk bergerak dan berperang melawan Mataram.
Melihat kekuatan yang dihimpun Priyadi, bekas murid keponakannya yang kini memiliki ilmu kepandaian yang hebat itu, Bhagawan Jaladara merasa senang sekali. Priyadi dan para sekutunya merupakan kekuatan besar yang akan berguna sekali bagi Wirosobo. Karena itu, Bhagawan Jaladara dengan senang hati menyerahkan Pecut Bajrakirana kepada Priyadi, ditambah lagi harta benda yang diberikan oleh Sang Adipati Wirosobo kepada pemuda itu.
Priyadi telah mengangkat diri sendiri menjadi ketua Jatikusumo. Akan tetapi tidak ada seorangpun murid Jatikusumo yang lama. Para murid Jatikusumo itu sebagian besar telah terbunuh ketika Priyadi dan kawan-kawannya menyerbu dan sisanya melarikan diri cerai berai. Kini Jatikusumo memang memiliki anak buah baru, akan tetapi kesemuanya adalah anak buah yang sama sekali baru. yaitu anak buah yang diberikan oleh Bhagawan Jaladara, yaitu pasukan dari Wirosobo, bercampur dengan anak buah Sekarsih dan Ki Klabangkolo.
Jumlah anak buah Jatikusumo yang baru ada seratus lima puluh orang, di antaranya ada belasan orang wanita bekas anak buah Sekarsih. Seratus lima puluh orang ini merupakan orang-orang gemblengan yang sudah terlatih, rata-rata memiliki kedigdayaan. Dan Priyadi sudah menggembleng mereka semua dengan mengajarkan Aji Gelap Musti yang menjadi ciri khas aji pukulan Jatikusumo.
Kini Priyadi bersama Resi Wisangkolo sedang berjalan untuk kembali ke Pantai Selatan yang menjadi perkampungan Jatikusumo setelah selama berpekan-pekan mereka berdua pergi menalukkan banyak perkumpulan dan gerombolan penjahat, menarik mereka menjadi sekutu mereka. Priyadi tampak gagah dan tampan dengan pakaiannya sebagai seorang bangsawan muda. Resi Wisangkolo juga berpakaian mewah. Kakek yang sudah enam puluh lima tahun usianya ini, yang bertubuh tinggi kurus, berambut putih dan mukanya seperti muka orang muda tampak pesolek, jauh berbeda dengan sebelum dia bergabung dengan Priyadi. Akan tetapi dia masih tetap memegang tongkat andalannya, yaitu tongkat ular hitam.
Ketika mereka tiba di luar dusun Jaten, di tepi sungai, Priyadi berhenti melangkah. Dia memandang ke arah sungai itu dan melayangkan pandang matanya ke arah beberapa buah batu hitam yang tersembul di permukaan sungai, di bagian pinggirnya. Dia termenung seperti ada yang dipikirkan. Melihat sikap pemuda ini, Resi Wisangkolo menjadi heran.
"Anak mas Priyadi, kenapa andika berhenti dan termenung? Apa yang andika pikirkan?" Resi Wisangkolo adalah seorang yang sakti mandraguna. Akan tetapi terhadap pemuda itu dia bersikap hormat karena dia tahu benar bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan, melainkan memiliki kedigdayaan yang mampu menandingi bahkan mengatasinya.
Priyadi sadar dari lamunannya dan menoleh, memandang wajah kakek itu dan menghela napas panjang, "Paman Resi Wisangkolo, begitu tiba di tempat ini teringatlah aku akan pengalamanku dahulu, beberapa bulan yang lalu, Aku teringat akan seorang gadis yang denok ayu bernama Sumarni...."
Resi Wisangkolo terkekeh. "Heh-heh-heh, tentu gadis itu hebat sekali maka andika sampai tidak dapat melupakannya."
Priyadi tersenyum. "Ia memang manis sekali, paman. Andika sendiri tentu akan kagum kalau melihatnya."
"Wah, kalau sampai aku dapat menjadi kagum, itu berarti bahwa gadis itu tentu menarik sekali. Tidak banyak wanita di dunia ini yang dapat menimbulkan kekaguman dalam hatiku."
"Kalau begitu, mari kita mencarinya paman. Aku yakin pamanpun akan terpesona melihat gadis itu!" kata Priyadi penuh semangat dan mereka berdua lalu memasuki dusun Jaten yang terletak di dekat sungai itu.
Tidak sukar bagi Priyadi untuk mendapatkan keterangan dari penduduk dusun Jaten di mana rumah gadis bernama Sumarni. Dua orang itu segera menuju ke rumah yang ditunjukkan orang. Kebetulan sekali pada pagi hari itu Sumarni sedang menyapu pekarangan depan. Gadis ini berpakaian sederhana sekali, rambutnya juga tidak tersisir rapi, akan tetapi kesederhanaannya itu bahkan lebih menonjolkan kecantikannya yang asli.
Sumarni memang seorang gadis yang denok dan ayu, tubuhnya sedang tumbuh bagaikan setangkai bunga sedang mekar dan wajahnya yang manis itu amat menarik. Biarpun ia seotang dusun namun kulitnya putih kuning mulus, rambutnya ngandan-andan, matanya bening dan terutama sekali, mulutnya berbibir indah sekali, kemerahan berbentuk gendewa. Resi Wisangkolo sendiri menelan ludah bagaikan seekor srigala melihat sepotong daging kelinci yang segar.
Sumarni yang sedang menyapu itu mendengar kedatangan dua orang itu. Ia menghentikan pekerjaannya dan mengangkat muka memandang. Semula ia mengerutkan alis karena heran melihat ada dua orang asing berpakaian seperti bangsawan memasuki pekarangannya. Akan tetapi ketika ia melihat wajah Priyadi, sepasang mata yang jeli dan bening itu terbelalak, mulut yang mungil itupun terbuka dan sapu itu terlepas dari tangannya. Ia meragu akan tetapi mulutnya mengeluarkan seruan yang hampir berupa bisikan penuh harap, "kakangmas... Permadi...??"
Priyadi tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya. "Sumarni, manisku, andika masih ingat kepadaku?"
"paduka... kakangmas... Permadi.....?" kembali gadis itu berseru, kini suaranya lebih nyaring dan ia melangkah maju.
"Benar, aku kekasihmu Permadi!" kata Priyadi.
"Ahh... kakangmas Permadi... akhirnya paduka datang juga....!" Sumarni lari menghampirinya, menubruk dan tenggelam ke dalam dekapan Priyadi. Gadis itu menangis terisak-isak, menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda itu.
"kakangmas Permadi... berbulan-bulan saya menunggu, kenapa paduka tidak kunjung datang....?" Sumarni mengusap air matanya. "katanya paduka hendak meminang saya...?"
Priyadi merangkul lebih erat. "Sekarang aku sudah datang untuk menjemputmu, sayang. Mari engkau ikut denganku, sekarang juga."
Setelah berkata demikian, Priyadi melepaskan rangkulannya dan menggandeng tangan gadis itu, menariknya untuk diajak pergi dari situ. Akan tetapi Sumarni menahan diri dengan ragu. "Akan tetapi, kakangmas, saya harus memberi tahu bapa ibu lebih dulu....!"
"Tidak usah ! Engkau mau ikut denganku atau tidak?" Priyadi mendesak "Saya mau... saya mau.... akan tetapi Ayah ibu..."
Priyadi menarik tangan Sumarni. "Sudahlah, jangan pikirkan ayah ibumu. Mari ikut denganku dan engkau akan hidup mulia di sampingku." Dia setengah memaksa gadis itu mengikutinya dengan menggandeng tangannya.
"Sumarni, engkau hendak pergi ke mana?" Tiba-tiba terdengar seruan suara Wanita dari muncullah seorang wanita setengah baya, berusia kurang lebih empat puluh tahun, keluar dari pintu rumah itu. Di belakangnya keluar pula seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih. Mereka bergegas keluar menghampiri Sumarni yang digandeng seorang pemuda tampan berpakaian mewah.
"Bapak! simbok! Aku mau pergi, diajak oleh kakangmas Permadi ini" Sumarni berseru.
"Hai... berhenti dulu! ayah Sumarni membentak sambil mengejar. Ketika Priyadi berhenti dan memutar tubuh menghadapinya, petani itu menegur. "Orang muda, Siapakah andika dan andika tidak boleh membawa anak kami pergi begitu saja!"
"Bapak, jangan halangi kami. Dia ini adalah Kakangmas Permadi. Dia adalah Dewa penjaga Sungai dan sudah menjadi suamiku" kata Sumarni.
"Tidak, engkau tidak boleh dibawa pergi begitu saja!" Ayah gadis itu berkeras dan melangkah kedepan untuk memegang lengan puterinya dan hendak merenggutnya dari gandengan Priyadi. Melihat ini, Resi Wisangkolo menggerakkan tangan ke depan mendorong. Angin yang kuat menyambar dan membuat suami isteri itu terdorong ke belakang dan roboh.
"Apa kalian sudah bosan hidup!" bentak kakek itu.
Suami isteri itu terkejut dan ketakutan. Priyadi memberi isyarat agar Resi Wisangkolo tidak menyerang lagi. Dia mengeluarkan sekantung uang dan melemparkan ke atas tanah di depan suami isteri yang mencoba untuk merangkak bangun itu.
"Terimalah ini Sebagai pengganti anak kalian!" Setelah berkata demikian Priyadi menyambar tubuh Sumarni dan memondongnya lalu membawanya lari dengan mengerahkan ilmunya sehingga dia dapat berlari secepat terbang. Resi Wisangkolo mengikutinya sambi tertawa-tawa.
Suami isteri itu hanya bengong memandang dua orang yang berkelebatan demikian cepat, sebentar saja sudah lenyap dari situ. Bahkan mereka berdua masin tetap berlutut dengan mata terbelalak. Mereka mulai percaya bahwa pemuda tampan yang membawa Sumarni adalah seorang dewa, bukan manusia biasa seperti yang dikatakan anak mereka tadi. Apa yang mampu mereka lakukan terhadap seorang Dewa? Suami isteri yang sederhana dan bodoh itu tidak mampu berbuat apapun kecuali menangis karena kehilangan anak mereka yang dibawa "dewa" entah kemana. Sekantung uang yang ditinggalkan dewa memang cukup banyak bagi ukuran keluarga dusun seperti mereka, namun pemberian itu tidak dapat melenyapkan kesedihan mereka kehilangan anak yang mereka sayang.
Dua orang itu melangkah perlahan-lahan dengan sikap waspada. Matahari telah naik tinggi dan hari itu amatlah teriknya. Retno Susilo berhenti melangkah ketika mereka tiba di bawah sebatang pohon asem, yang besar.
"Kita berhenti dulu" katanya kepada Sutejo. "Panasnya bukan main dan di sini teduh dan sejuk."Ia mengusap keringatnya yang membasahi leher.
Sutejo tersenyum."Baiklah, kita mengaso di sini sebentar. Akan tetapi tidak boleh terlalu lama. Kita sudah dekat dengan perkampungan Jatikusumo. Kalau sampai kita ketahuan, tentu kita akan dikepung dan dikeroyok."
"Hemm, aku tidak takut!" kata Retno Susilo yang berwatak keras dan pemberani.
Sutejo tersenyum menatap wajah yang ayu itu. "Akupun tidak takut, diajeng Retno, Akan tetapi Ingat, kini belum waktunya bagi kita untuk menyerbu. Kita hanya bertugas melakukan penyelidikan untuk mengetahui kekuatan mereka. Pula, kalau kita nekat menghadapi pengeroyokan mereka, bagaimana mungkin kita akan dapat menang?"
Angin semilir mengipasi tubuh mereka. Nyaman memang setelah tadi terbakar teriknya matahari siang, kini berada di tempat yang teduh dihembus angin semilir. Membuat mata menjadi mengantuk. Mereka duduk di atas batu yang berada di bawah pohon.
Sutejo dan Retno Susilo tiba di luar perkampungan Jatikusumo itu setelah mereka lebih dulu singgah di Hutan Kebojambe di kaki Gunung Kelud untuk menghadap Ki Mundingsosro ketua perkumpulan Sardulo Cemeng. Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo menyambut kedatangan mereka dengan gembira dan keluarga Itu mengadakan sebuah pesta keluarga untuk menyambut Sutejo dan Retno Susilo. Apa lagi ketika mendengar bahwa Sutejo sudah bertemu dengan orang tuanya, malah orang tua pemuda itu akan datang untuk meminang Retno Susilo, Ki Mudingsosro yang memang sudah berhasrat untuk bermenantukan Sutejo, menjadi girang bukan main.
Setelah kedua orang muda itu menceritakan tentang keinginan mereka untuk menyerbu Jatikusumo dimana si murid durhaka Priyadi menjadi ketua dan bersekongkol dengan orang-orangWirosobo, segera Ki Mundingsosro menyatakan kesediaannya untuk mengerahkan seluruh anggota Sardula Cemeng untuk membantu. Retno Susilo minta kepada ayahnya untuk mempersiapkan pasukan Sardula Cemeng itu agar sewaktu-waktu dapat diperbantukan.
Setelah tinggal selama tiga hari di Hutan Kebojambe untuk melepas rindu, kedua orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan dan pada siang hari itu tibalah mereka di luar daerah perkampungan Jatikusumo.
"Hemm, kalau saja aku bertemu sendiri dengan jahanam Priyadi itu, aku ingin menandinginya satu lawan satu dan akan menghajar jahanam itu!" kata Retno Susilo yang merasa gemas dan benci sekali kepada pemuda yang pernah membantunya menghadapi Harjodento, bahkan yang pernah mengaku cinta kepadanya!
"Kalau dia muncul seorang diri, tanpa keroyokan, akulah yang akan menandinginya, diajeng. Aku ingin membalas kematian Uwa Guru Bhagawan Sindusakti, Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini serta para murid Jatikusumo. Juga aku ingin menandingi Bhagawan Jaladara untuk membalaskan kematian Bapa Guru dan Eyang Guru!"
"Aku heran sekali, ketika dia dulu membantu melawan ayah ibumu, tingkat kepandaian Priyadi itu masih belum terlalu tinggi, tidak akan melebihi tingkatku sendiri. Akan tetapi bagaimana dia tiba-tiba dapat demikian sakti sehingga mampu mengalahkan dan membunuh ketua Jatikusumo yang menjadi gurunya sendiri?"
"Tentu ada rahasianya, diajeng. Kita tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Perubahan tiba-tiba mungkin saja terjadi pada diri seseorang. Contohnya aku sendiri. Tanpa kusangka-sangka, aku menerima aji kesaktian dari mendiang Eyang Guru Resi Limut Manik. Seperti juga engkau yang tadinya hanya menerima pelajaran dari ayahmu, lalu bertemu dengan Nyi Rukmo Petak yang memberi gemblengan kepadamu sehingga engkau memiliki ilmu kepandaian tinggi"
"Mungkin saja begitu. Apa lagi sekarang dia memiliki Pecut Bajrakirana, tentu dia menjadi semakin tangguh. Kalau saja dia berani melawan satu sama satu, aku berani menghadapinya!"
"Sudahlah, diajeng Retno Susilo. Kalau terjadi pertempuran, engkau boleh menghadapi yang lain, akan tetapi yang satu ini. Priyadi, harus kau serahkan kepadaku untuk menandinginya. Mari kita lanjutkan perjalanan. Kita mengambil jalan mengitari daerah perkampungan Jatikusumo ini untuk melihat bagian mana yang lemah dan dapat diserbu kelak"
Mereka lalu turun dari atas batu dan melanjutkan perjalanan mereka. Mereka melakukan perjalanan dengan hati-hati dan waspada, setiap kali bertemu orang mereka lalu bersembunyi di balik semak-semak atau batang pohon dan batu besar. Mereka melihat betapa perkampungan Jatikusumo terjaga ketat oleh puluhan orang yang rata rata tampak kuat. Juga perkampungan itu dikitari dinding dan kayu yang ujungnya dibikin runcing seperti tombak, tingginva tidak kurang dari dua setengah meter. Di pintu gerbang, terdapat kurang lebih tiga puluh orang penjaga dan juga di pintu belakang perkampungan itu terdapat belasan orang penjaga. Sering ada empat orang penjaga melakukan perondaan mengelilingi bagian luar dinding itu.
Hari sudah menjelang sore ketika Sutejo dan Retno Susilo akhirnya menghentikan perjalanan mereka melakukan penyelidikan dan mereka berada di pantai berpasir, tak jauh dari perkampungan Jatikusumo yang memang terletak di pantai Laut Kidul itu.
"Ke mana kita sekarang, kakangmas?"
"Sudah cukup kita menyelidiki. Akan tetapi aku masih ingin. mengetahui siapa saja yang berada di perkampungan Jatikusumo itu. Siapa yang membantu Priyadi untuk memperkuat perkumpulannya dan sejauh mana hubungannya dengan Wirosobo."
"Akan tetapi bagaimana caranya? Engkaukan tidak akan menyelundup masuk ke perkampungan itu?"
"Ah, tidak. Semua tentu sudah mengenalku dan tentu akan ketahuan. Kita harus menangkap seorang anggota mereka. Kita tangkap dan kita paksa dia untuk menceritakan semua keadaan diperkampungan Jatikusumo itu."
"Ah,bagus sekali akal itu, kakangmas! Aku tahu! peronda-peronda itu. Mereka setiap kali mengitari perkampungan dengan berempat. Kalau malam telah tiba dan mereka berempat melakukan perondaan, kita dapat menyergap mereka dan menangkap seorang di antaranya. Begitu, bukan?"
"Tepat! Engkau cerdik, diajeng Nah, mari kita siap untuk melakukan penyergapan itu begitu malam tiba dan cuaca menjadi gelap."
"Akan tetapi malam ini terang bulan. Kalau tidak salah, malam ini bahkan bulan purnama akan muncul."
"Kita jangan menanti sampai bulan menjadi terang betul. Lewat senja nanti keadaan tentu masih gelap dan kita bergerak... ssstt... itu ada orang!" tiba-tiba Sutejo menarik tangan Retno Susilo danrnengajak gadis itu melompat dan bersembunyi dibalik sebuah batu besar yang berada di atas pantai berpasir itu. Mereka lalu mengintai dari balik batu itu. Dua orang sedang berjalan menuju ke tempat itu. Mereka berjalan menyusuri pantai sambil bercakap-cakap.
"Itu dia... Priyadi bersama Ki Klabangkolo...!" seru Retno Susilo lirih sambil memegang lengan Sutejo dongan tegang. Sutejo juga sudah melihat dan mengenal mereka.
Hatinya juga merasa tegang dan berdebar. Inilah Kesempatan baik sekali. Mereka itu hanya berdua, tidak sempat untuk melakukan pengeroyokan. Apa lagi, seorang yang telah berani mengangkat diri menjadi ketua Jatikusumo seperti Priyadi, tentu memiliki keangkuhan dan akan menerima kalau dia tantang untuk bertanding satu lawan satu.
Setelah mengambil keputusan tetap, dia lalu mengajak Retno Susilo untuk keluar dari persembunyian mereka dan melompat ke depan dua orang yang sedang berjalan seenaknya di tepi laut itu Priyadi dan Ki Klabangkolo juga terkejut sekali setelah mengenal siapa orangnya yang melompat dan menghadang di depan mereka. Akan tetapi begitu melihat Retno Susilo, Priyadi merasa lega dan tersenyum.
Dalam pandangannya, gadis itu tampak semakin ayu saja sehingga jantungnya berdebar penuh kerinduan dan gairah. Dia tidak memperdulikan Sutejo dan melangkah maju menghampiri Retno Susilo.
"Nimas Retno Susilo...! Ah, betapa sudah lama sekali aku mengharapkan pertemuan ini betapa setengah mati aku merindukanmu nimas! Engkau tentu datang untuk mengunjungi aku, bukan? Engkau tentu belum melupakanaku yang pernah menolong dan membantumu, bukan?" kata pemuda itu dan dia menatap wajah Retno Susilo dengan sinar mata penuh kasih sayang dan kerinduan!
Akan tetapi gadis itu melangkah mundur dua tindak menjauhi pemuda itu dan matanya mencorong marah. Melihat ini, Priyadi menjadi kecewadan heran. "Nimas Retno Susilo, apakah engkau lupa kepadaku? Aku Priyadi yang dulu membantumu dan menolongmu ketika engkau ditawan Ki Klabangkolo! Inilah dia orangnya yang dulu menawanmu, nimas. Lupakah engkau?
Sekarang Ki Klabangkolo telah menjadi seorang pembantuku. Ingatkah engkau ketika dahulu aku membantumu lari menyelamatkan diri dari perkampungan Nogo Dento? Aku Priyadi!"
"Aku tahu siapa engkau! Seorang manusia berhati iblis yang telah membunuh guru sendiri dan saudara-saudara seperguruan sendiri. Aku tidak sudi menjadi sahabatmu!"
"Akan tetapi, nimas Retno Susilo....! Aku... aku cinta padamu...!" Priyadi melangkah maju. Akan tetapi Sutejo sudah, maju ke depan dan menghadapinya. "Priyadi!" bentak Sutejo.
"Aku sengaja menghadang di sini dan aku ingin bicara denganmu!"
Kini seolah baru sekarang Priyadi melihat Sutejo dan dia memandang kerada pemuda itu dengan alis berkerut dan mata mencorong marah. "Engkaukan Sutejo, murid Paman Bhagawan Sidik Paningal itu? Mau apa engkau? Minggirlah dan jangan mengganggu aku bicara dengan nimas Retno Susilo, Engkau anak kecil tahu apa!"
"Priyadi! Dahulu engkau memang terhitung kakak seperguruanku. Akan tetapi sekarang aku tidak sudi mengakui engkau sebagai saudara seperguruan lagi. Engkau murid murtad, manusia jahanam yang berkhianat, telah membunuh guru dan saudara seperguruan sendiri. Aku tantang engkau untuk bertanding satu lawan satu kalau memang engkau seorang laki-laki!"
Marahlah Priyadi. "Babo-babo keparat Sutejo! Setelah memiliki sedikit kepandaian, engkau menjadi sombong! Kau kira aku takut kepadamu? Agaknya engkau sudah bosan hidup. Kalau engkau hendak menyusul Bhagawan Sindusakti dan para muridnya yang telah tewas, biar aku mengantarmu!"
"Kakangmas Sutejo, jangan takut dikeroyok! Kalau celeng (babi hutan) brewok tua bangka itu hendak maju mengeroyok, biar aku yang membunuhnya!" bentak Retno Susilo yang masih merasa marah sekali kepada Ki Klabangkolo yang pernah menawannya dengan niat keji terhadap dirinya.
"Keparat Sutejo! Hari ini engkau akan mampus di tanganku dan engkau nimas Retaa Susilo, mau tidak mau engkau harus ikut aku dan hidup mulia bersamaku di perkampungan Jatikusumo!"
"Sudahlah, Priyadi! Seorang jantan tidak perlu banyak bicara. Kalau memang engkau berani, mari kita tentukan siapa di antara kita yang akan mendapatkan perlindungan Sang Hyang Widhi Wasa!" tantang Sutejo.
Mendengar tantangan ini. Priyadi marah sekali."Paman Klabangkolo, jangan ikut-ikut. Andika menjadi saksi saja dan lihat bagaimana aku akan menghukum bocah banyak tingkah ini!" Setelah berkata demikian, tubuhnya menggeliat dan kedua lengannya terulur ke atas lalu melengkung ke depan dan dari mulutnya terdengar suara yang amat dahsyat. Suara itu menggeram dan membuat keadaan di pantai itu seperti tergetar.
"Aauuurrrgghhh....!" Itulah Aji Jerit Nogo yang amat dahsyat. Aji yang mengeluarkan suara yang mengandung tenaga sakti sepenuhnya ini bukan saja dapat menangkis semua kekuatan sihir, namun juga memiliki daya serang membuat lawan terguncang jantungnya dan dapat membuat lawan lumpuh.
Sutejo sudah waspada dan diapun tahu akan kedahsyatan aji yang dikeluarkan oleh Priyadi. Maka diapun segera mengerahkan tenaga saktinya yang dia dapatkan dari mendiang Resi Limut Manik sehingga aji kekebalan Kawoco yang melindungi seluruh tubuhnya menjadi berlipat ganda kuatnya. Gelombang pekik sakti yang dikeluarkan Priyadi itu bagaikan gelombang lautan yang menerpa batu karang yang kokoh kuat sehingga gelombang itu terpecah dan batu karang itu tidak bergeming sedikitpun!
Melihat ini, Priyadi menjadi terkejut dan juga penasaran yang membuatnya menjadi semakin marah. Dia menyilangkan kedua lengannya, membuat gerakan aneh lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Sutejo sambil mengeluarkan bentakan nyaring, "Aji Margopati....!! "
"Aji Bromo kendali....!"Sutejo juga mendorongkan kedua telapak tangannya seolah membuat gerakan menyembah ke atas.
"Wuuuuttt...! blaarrrr...!!" Dua tenaga sakti yang amat dahsyat bertemu di udara dan kedua orang muda yang sakti mandraguna itu terpental ke belakang dan napas mereka agak memburu saking kuatnya tenaga mereka sendiri yang terpental dan membalik. Keduanya maklum bahwa mereka memiliki tenaga sakti yang sama kuatnya dan menghamburkan tenaga sakti ini sungguh membahayakan diri sendiri kalau tidak berhasil merobohkan lawan. Maka Priyadi lalu melompat dan menerkam, mengirim pukulan dengan kedua tangannya bertubi-tubi ke arah bagian tubuh Sutejo yang berbahaya.
Namun Sutejo telah siap dan diapun mengelak dan menangkis lalu membalas sehingga dua orang jagoan muda itu sudah saling serang dengan hebatnya. Mereka saling pukul, saling tangkis, saling tendang, dorong mendorong bagaikan dua ekor singa muda bergumul dan berkelahi mati-matian. Keadaan di sekeliling mereka tergetar, pasir berhamburan dan angin menyambar-nyambar dari pukulan mereka.
Ki Klabangkolo dan Retno Susilo yang menjadi penonton, memandang dengan mata terbelalak. Hampir gadis itu tidak pernah berkedip. Berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Kagum, tegang dan juga khawatir. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang demikian hebatnya. Dia semakin kagum kepada Sutejo. Baru sekarang dia menyaksikan kesaktian Sutejo yang dikeluarkan semua. Akan tetapi yang membuat dia khawatir adalah ketika dia melihat betapa Priyadi juga tangkas sekali, dan juga kebal.
Mereka itu saling memukul dan kadang-kadang pukulan mereka mengenai sasaran, akan tetapi tubuh lawan yang terpukul seperti terbuat dari karet dan pukulan itu terpental! Mereka itu hanya saling mengelak kalau pukulan mengarah bagian tubuh yang lemah dan berbahaya, atau menangkis. Suara lengan mereka yang beradu berulang kali itu mengeluarkan suara dak-duk dak-duk yang menggetarkan, seolah bukan tulang daging kulit yang diadu, melainkan dua baja yang amat kuat.
"Keparat, ambrol dadamu!" Priyadi membentak dan tubuhnya melayang dengan kedua kaki terlebih dulu. Dua batang kaki itu mengandung tenaga dahsyat menghantam ke arah dada Sutejo. Serangan itu demikian cepatnya sehingga Sutejo tidak sempat mengelak atau menangkis, terpaksa menyambut dengan dadanya sambil mengerahkan aji kekebalan Kawoco.
"Wuuuuttt.....desss .... !" Sutejo tidak terluka karena dadanya dilindungi aji kekebalan, akan tetapi saking kuatnya tendangan terbang itu, tubuhnya terjengkang dan terguling-guling sampai beberapa meter!
"Ha-ha-ha!" Priyadi yang sudah hinggap di atas tanah menertawakannya, akan tetapi tiba-tiba tubuh Sutejo yang tadinya bergulingan, sudah melompat dan meluncur ke depan, kedua tangannya menerkam ke arah tubuh Priyadi! Priyadi terkejut, akan tetapi pinggangnya sudah dapat dicengkeram, tubuhnya diangkat oleh Sutejo lalu dibanting.
"Desss......!"Tubuh Priyadi terbanting dan dia terguling-guling sampai beberapa meter, akan tetapi diapun sudah melompat berdiri lagi dengan mata bersinar penuh kemarahan .Tak disangkanya bahwa Sutejo dapat bergerak secepat dan sekuat itu.
Pertandingan itu sudah berlangsung hampir satu jam dan mereka baru satu kali saling menjatuhkan, akan tetapi tidak dapat saling melukai.
"Srattt.....!" Tampak sinar berkilat ketika Priyadi mencabut sebatang keris dari pinggangnya. Itulah keris pusaka Liat Nogo. pemberian Adipati Wirosobo sebagai tanda bahwa Priyadi telah menjadi seorang senopati Wirosobo! Keris pusaka yang ampuh karena liat Nogo berarti Lidah Naga. Tentu saja ujung keris itu mengandung racun yang panas dan dapat membuat kulit lawan melepuh kalau sampai tergores sedikit saja!
"Hemm, Priyadi. Belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, engkau sudah mengeluarkan pusaka!" kata Sutejo mencela.
"Pusaka liat Nogo ini yang akan mengantarmu ke alam baka!" bentak Priyadi sambil mengacungkan kerisnya yang berluk sembilan berbentuk lidah naga yang rupanya kemerahan.
Sutejo melolos kain pengikat rambut kepalanya dan menggerakkan kain itu. dengan tangan kanan, kain itu yang tadinya lemas berubah menjadi kaku seperti terbuat dari logam yang kuat.
"Majulah kau dengan kerismu itu, Priyadi. Aku sama sekali tidak gentar menghadapinya!" sahut Sutejo dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan, berbeda dengan sikap Priyadi yang dipenuhi kemarahan.
"Mampus kau...!!" Priyadi mulai menyerang dengan kerisnya. Gerakannya amat cepat dan juga mengandung tenaga yang amat kuat. Sutejo maklum akan bahayanya serangan itu. Selain cepat dan mengandung tenaga sakti yang amat kuat. juga keris itu sendiri merupakan senjata yang amat ampuh. Dia tidak berani mengandalkan aji kekebalannya untuk menerima tikaman keris pusaka itu. Dengan gerakan ringan dia melompat ke samping sehingga tusukan keris itu luput dan dan samping kain ikat kepalanya menyambar ke arah pelipis kiri Priyadi.
Priyadi juga tidak berani memandang rendah serangan dengan keris itu karena dia tahu bahwa lawannya mempergunakan Aji Sihung Nila, dan agaknya aji-aji dari perguruan Jatikusumo yang dikuasai Sutejo sudah sampai ke tingkat paling atas. Dari sambaran angin serangan itu saja maklumlah dia bahwa dia tidak boleh mengandalkan aji kekebalan untuk menghadapi sambaran kain itu. Diapun cepat menundukkan kepala mengelak, lalu melangkah satu tindak ke belakang dan kembali kerisnya menghunjam ke arah perut Sutejo. Sutejo menangkis dengan sabetan tangan kirinya ke arah lengan Priyadi.
"Plakk....!" Tangan Priyadi yang memegang keris terpental dan saat itu, Sutejo melecutkan ujung kain kepalanya ke arah muka Priyadi, mengancam mata!
"Plakk!" Priyadi membalas dengan tangkisan tangan kirinya sehingga kain itu terpental. Keduanya melangkah mundur untuk mengambil pasangan kuda-kuda lalu saling menyerang lagi dengan cepat dan ganasnya. Retno Susilo hampir tak pernah berkedip. Pertandingan itu hebat bukan main. Gerakan kedua orang itu sangat cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata dan iatidak tahu pihak manakah yang unggul atau pihakmana yang terdesak. Agaknya mereka saling serang bergantian, kadang dari jarak dekat sekali dan terkadang dari jarak agak jauh.
Lebih setengah jam mereka bertanding mempergunakan keris dan ikat kepala dan tanpa terasa cuaca menjadi semakin gelap sehingga kedua orang yang bertanding itu lebih banyak mengandalkan ketajaman pendengaran mereka dari pada ketajaman penglihatan mereka. Dari sambaran angin serangan, mereka dapat mengetahui dari arah mana serangan datang menyambar. Sementara itu, Retno Susilo yang menonton menjadi semakin tegang dan gelisah, mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya.
"Anakmas Priyadi, kenapa tidak mempergunakan Pecut Sakti Bajrakirana?" tiba-tiba Ki Klabangkolo berseru nyaring.
Agaknya Priyadi baru teringat akan senjata pusaka keramat ini. Dia melompat ke belakang, menyarungkan kerisnya dan melolos pecut sakti itu yang tadinya dilibatkan di pinggangnya. Pecut yang panjang itu digerakkan ke atas dan terdengar bunyi meledak-ledak seperti halilintar menyambar-nyambar. Sutejo terkejut sekali. Hatinya menjadi terguncang dan dia merasa agak gentar karena dia tahu benar keampuhan pecut sakti itu.
"Sutejo! Kau melihat pusaka ini? Berlututlah karena setiap orang murid Jatikusumo harus menaati pemegang pecut pusaka ini" bentak Priyadi.
"Hemm, Priyadi. Pecut pusaka itu sesungguhnya telah menjadi milikku, diberikan oleh mendiang Resi Limut Manik. Bhagawan Jaladara secara licik telah mencuri kemudian merebut pecut pusaka itu dari tanganku, kemudian dia memberikannya kepadamu. Pecut itu adalah milikku. Penghormatan bukan dilakukan terhadap pecut pusaka, melainkan terhadap pemegangnya. Dan engkau adalah seorang durjana yang tidak patut untuk dihormati. Kembalikan pecut Bajrakirana itu kepadaku?"
"Mampuslah engkau!" Priyadi membentak dan menggerakkan cambuk itu yang melecut-lecut ke arah kepala Sutejo. "Tar-tar-tar-tarrrr...!"
Sutejo terpaksa harus berloncatan ke sana sini untuk menghindarkan diri. Lecutan Pecut Bajrakirana itu berbahaya sekali dan kalau mengenai kepalanya, mungkin dia akan roboh tewas. Dia lalu menggerakkan kain pengikat kepalanya, memainkannya dengan Aji Bajrakirana. Akan tetapi karena yang dimainkan hanya sehelai kain sedangkan aji itu harus dimainkan dengan sebatang pecut dan pecut itupun harus Pecut Bajrakirana, maka permainannya tidaklah begitu hebat. Sedangkan penyerangan Priyadi bertubi-tubi, pecut menyambar-nyambar. Terpaksa Sutejo harus mengerahkanseluruh ilmunya untuk meringankan tubuhnya yaitu Aji Harina Legawa.
Tubuhnya bergerak seperti seekor burung srikatan, dan sudah cepat menghindar sebelum ujuug cambuk menyentuh tubuhnya. Dua kali dia mencoba untuk menangkis dengan kain pengikat kepalanya, akan tetapi setiap kali bertemu ujung pecut, kain pengikat kepalanya itu terobek ujungnya! Setelah dua kali senjatanya yang istimewa itu hancur ujungnya bertemu dengan Pecut Sakti Bajrakirana, Sutejo tidak berani menangkis lagi dan hanya mengandalkan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri.
Dia berusaha membalas serangan-serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya itu dengan kain itu yang sudah remuk pinggirnya dan memang ilmu silat pecut Bajrakirana yang dimainkannya sempat membuat Priyadi terkejut dan memutar pecutnya melindungi diri. Akan tetapi kain pengikat kepala itu bukan pecut. Kurang panjang dan tidak ada gagangnya. Tentu saja gerakan Sutejo menjadi terbatasdan ilmu yang hebat itu tidak dapat dimainkan sepenuhnya.
Malam telah tiba. Cuaca amat gelapnya. Tiba-tiba Priyadi yaag tadinya sempat dikejutkan oleh permainan silat Sutejo yang aneh, melompat ke belakang. "Tahan dulu!" serunya lantang. "Sutejo! Malam telah tiba. Cuaca terlalu gelap bagi kita untuk melanjutkan pertandingan. Kalau engkau memang jantan, aku menantangmu untuk melanjutkan pertandingan besok pagi setelah matahari muncul, tempatnya di sini juga. Kalau engkau tidak datang, maka itu berarti bahwa engkau adalah seorang pengecut dan penakut yang hina dan rendah!"
"Priyadi!" Bentak Sutejo. "Siapa takut kepadamu? Sekarang ataupun besok pagi, aku selalu siap menghadapimu! Besok pagi aku akan datang ke sini memenuhi tantanganmu karena sudah menjadi kewajibanku untuk membasmi seorang manusia berhati iblis seperti kamu!"
"Hati-hati, kakangmas Sutejo. Manusia iblis macam dia tentu tidak segan bertindak curang!" kata RetnoSusilo.
"Nimas Retno Susilo, ingatlah bahwa hatiku masih tetap terbuka untukmu. Nah,sampai besok pagi kita berjumpa lagi. Mari, paman klabangkolo!" Priyadi lalu meninggalkan tempat itu bersama Ki Klabangkolo, meninggalkan Sutejo dan Retno Susilo.
"Bagaimana, kakangmas? Apakah kiranya engkau mampu menandinginya? Aku tadi bingung, tidak tahu siapa yang lebih unggul antara kalian berdua," kata Retno Susilo sambil menghampiri Sutejo. Sutejo menghela napas panjang dan mengikatkan kembali kain yang tadi dipergunakan sebagai senjata di kepalanya.
"Wah, dia memang hebat sekali. Akan tetapi aku masih dapat mengimbanginya. Hanya setelah dia mempergunakan Pecut Bajrakirana, aku merasa kewalahan. Pusaka itu ampuh sekali sehingga kain pengikat kepalaku menjadi remuk ujungnya. Ah. kalau saja pecut itu dapat kurampas dan berada di tanganku, aku yakin akan mampu mengalahkan dan merobohkannya!" Sutejo merasa yakin sekali karena kalau pecut itu berada di tangannya dan dia memainkannya dengan Aji Bajrakirana, agaknya Priyadi tidak akan mampu menandinginya.
"Akan tetapi, bagaimana jadinya besok pagi kalau dia mempergunakan pecut itu? Apakah... tidak berbahaya bagimu, kakangmas?" tanya Retno Susilo dengan suara mengandung kekhawatiran.
"Jangan khawatir, diajeng. Dia tidak akan mudah untuk mengalahkan aku! Aku akan menggunakan segala daya untuk menandinginya."
"Kakangmas, aku merasa khawatir sekali. Apakah tidak sebaiknya kalau kita pergi saja dari sini? Kelak, kalau kita sudah siap dan melakukan penyerbuan ke sini, baru engkau hadapi lagi dia."
"Ah, bagaimana mungkin aku dapat melakukan hal itu, diajeng? Tentu Priyadi akan menganggap aku pengecut dan penakut. Tidak, aku harus menyambut tantangannya. Kurasa aku masih sanggup untuk menandinginya, walaupun dia mempergunakan Pecut Bajrakirana. Nah, sekarang kita harus mencari tempat untuk beristirahat dan melewatkan malam ini, diajeng. Aku harus menghimpun tenaga untuk menghadapi Priyadi besok pagi."
Retno Susilo tidak mau membantah lagi dan mereka lalu menyusuri pantai itu. Akhirnya mereka menemukan sebuah gua di antara batu-batu karang di pantai itu dan mereka lalu memasuki gua dengan mempergunakan seikat kayu yang dibakar sebagai penerangan. Gua itu cukup lebar dan lantainya pun rata. Sutejo lalu membuat api unggun di mulut gua dan merekapun beristirahat.
"Engkau tidurlah, kakangmas. Engkau perlu beristirahat untuk memulihkan tenagamu agar besok pagi engkau dapat menghadapi musuh dalam keadaan segar. Biar aku yang melakukanpenjagaan agar api unggun tidak sampai padam."
Sutejopun tidak sungkan-sungkan lagi. "Baiklah, diajeng, dan terima kasih." Dia lalu memasuki gua dan merebahkan dirinya di sudut gua, tidur telentang dan mengendurkan seluruh urat syarafnya untuk beristirahat.
Bulan purnama muncul dengan cahayanya yang lembut dan terang menciptakan pemandangan yang amat indah penuh rahasia di sepanjang pantai Laut Selatan yang luas itu. Deru dan desis air yang menipis di pantai pasir, debur ombak yang menggelegar menghantam dinding karang, menambah aneh suasana di malam hari itu. Tiba-tiba Retno Susilo memandang ke arah pantai berpasir dengan mata terbelalak.
"Kakangmas Sutejo...!" Ia memanggil dengan suara tertahan. Sutejo yang belum pulas karena baru saja merebahkan diri, bangkit duduk. "Ada apakah, diajeng ?"
"Ada orang di sana, kakangmas. Mencurigakan sekali!"
Sutejo menghampiri Retno Susilo dimulut gua dan diapun kini melihat adasosok tubuh seseorang terbungkuk bungkuk menuju ke air. "Celaka, agaknya orang itu hendak membunuh diri" kata Sutejo dan diapun melompat bangun lalu berlari, diikuti Retno susilo, Mereka menghampiri orang yang kini sudah masuk ke dalam air dan sudah berada di bagian yang sepinggang dalamnya! Agaknya ia hendak terus ke tengah!
Sutejo cepat berloncatan dalam air dan akhirnya ia dapat meraih pinggang orang itu dan menariknya ke daratan kembali. Dia merasa heran sekali mendapatkan kenyataan bahwa yang hendak membunuh diri itu adalah seorang wanita. Seorang wanita muda yang cantik manis walaupun rambutnya awut-awutan. Dan di bawah sinar bulan purnama, dia dapat melihat wajah itu dengan jelas. Sutejo tertegun ketika dia mengenal wajah gadis itu.
"Sumarni....! Kau... kau... Sumarni?" Retno Susilo sudah berada pula di sampingnya dan gadis ini tentu saja juga terheran mendengar betapa Sutejo agaknya telah mengenal gadis yang hendak membunuh diri.
Gadis itu memang Sumarni. Tadinya ia meronta dalam rangkulan Sutejo, akan tetapi ketika ia mendengar Sutejo menyebut namanya, iapun segera mengenal pemuda itu dan iapun menjatuhkan dirinya berlutut di atas pasir dan menangis tersedu-sedu dengan sedih sekali.
"Kakangmas Sutejo, siapakah gadis ini?" Retno Susilo bertanya dengan alis berkerut.
"IaSumarni. Pernah aku menolongnya dari tangan orang-orang jahat. Sumarni, mengapa engkau berada di sini dan apa yang hendak kau lakukan tadi?"
Ditanya begini, Sumarni menangis semakin sedih.
"Sumarni, lupakah engkau kepadaku? Tidak percayakah engkau kepadaku?" tanya Sutejo.
Di antara isak tangisnya, Sumarni berkata, "Saya mengenal andika, denmas Sutejo. Akan tetapi mengapa denmas menolong saya? Biarkan saya tenggelam dan mati saja..."
"Akan tetapi kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Sutejo.
"Denmas ingat cerita saya dahulu tentang pemuda bernama Permadi itu?"
"Hemm, yang meninggalkanmu begitu saja?"
"Benar, denmas, Akhirnya dia datang dan dengan paksa dia membawa saya ke sini. Ternyata dia bukan dewa penjaga sungai, melainkan seorang ketua perkumpulan yang bernama Priyadi. Tadinya saya rela mengikutinya, saya cinta padanya, akan tetapi... ahhhh..."
Retno Susilo tertarik ketika mendengar bahwa yang diceritakan gadis itu adalah mengenai Priyadi "Akan tetapi apakah? Apa yang dia lakukan terhadap dirimu?" Retno Susilo membantu Sumarni untuk bangkit. Gadis dusun Jaten itu mengusap pipinya dengan kedua tangan.
"Ternyata dia seorang yang kejam dan jahat sekali, denmas Sutejo. Dia hanya menganggap aku sebagai barang permainan belaka dan yang lebih menghancurkan hatiku, dia... dia... menyuguhkan dan menyerahkan aku kepada Ki Klabangkolo...."
"Keparat jahanam!" Sutejo mengepal tangannya dengan marah. Dia dapat membayangkan bagaimana hancur dan sengsara rasa hati gadis itu yang dipaksa untuk melayani Ki Kiabangkolo, disuguhkan sendiri oleh Priyadi yang dicintanya!
"Aku cinta padanya, denmas. akan tetapi aku juga benci padanya... kalau saja aku dapat, aku ingin membunuhnya... akan tetapi tidak mungkin, dia berkuasa dan sakti. Lebih baik aku mati tenggelam saja...." Gadis itu menangis lagi.
Sutejo tidak dapat berkata apa-apa. Dia menjadi bingung, harus menghibur bagaimana kepada gadis dusun yang bernasib malang itu.
"Kakangmas Sutejo, engkau kembalilah ke dalam gua dan beristirahatlah. Biarkan aku yang bicara dengan mbakayu ini" aku tahu bagaimana harus menghiburnya." kata Retno Susilo...
Dia harus mendapatkan kemenangan, karena hanya dengan itulah dia akan dapat menyelamatkan nyawa keluarganya. Akan tetapi pemuda ini demikian digdaya! Bahkan beberapa kali tamparannya menyentuh dada pemuda itu seolah tidak terasa, menunjukkan bahwa pemuda itu memiliki aji kekebalan yang amat kuat. Terpaksa dia harus mengeluarkan aji pamungkasnya, yaitu Aji Nogo Dento seperti yang telah dipergunakannya terhadap Retno Susilo dan yang telah merobohkan gadis itu tadi. Tadi, ketika dia menggunakan aji itu untuk menyambut pukulan gadis itu, dia hanya mengerahkan sebagian tenaganya saja. Akan tetapi, menghadapi pemuda yang luar biasa tangguhnya ini, dia harus mengerahkan tenaga aji itu sepenuhnya kalau dia ingin keluar sebagai pemenang.
Setelah memperhitungkannya Harjodento lalu melangkah ke belakang, memasang kuda-kuda dan mengerahkan seluruh tenaganya menggunakan Aji Nogo Dento mendorong ke depan sambil membentak nyaring. "Aji Nogo Dento......!!!"
Sutejo terkejut dan maklum betapa hebatnya tenaga ini. Tadipun Retno Susilo roboh oleh tenaga sakti ini, maka diapun cepat mengeluarkan ajinya yang diandalkan, mendorongkan kedua tangan ke depan sambil membentak. "Aji Bromokendali!!" Akan tetapi Sutejo tidak ingin mencelakai lawannya, maka dia membatasi tenaganya dan hanya dipergunakan untuk bertahan saja.
"Wuuuuttt... blaarrrrrr...!!" Dua tenaga sakti raksasa bertemu di udara dan akibatnya, kedua orang itu terlempar ke belakang dan terbanting keras ke atas tanah! Baik Harjodento maupun Sutejo, keduanya muntah darah! Sutejo yang tidak mempergunakan seluruh tenaganya terguncang dadanya dan muntah darah, sedangkan Harjodento terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik demikian kerasnya sehingga dia juga muntah darah, akan tetapi keadaannya jauh lebih parah dibandingkan Sutejo. Keduanya tidak mampu segera bangkit hanya mendeprok dan menekan dada sendiri.
"Kakangmas Sutejo.....!" Biarpun ia sendiri terluka, Retno Susilo bangkit dan lari menghampiri Sutejo yang sudah bergerak bangkit dengan lemah, duduk bersila lalu mengatur pernapasannya.
"Bapa.....!" Pusposari dan juga Padmosari juga berlari dan bersimpuh di dekat Harjodento yang masih setengah rebah, belum mampu bangkit. Cangak Awu juga berjongkok dekat ketua Nogo Dento ini. Tiba-tiba terdengar suara terkekeh nyaring, suara tawa seorang wanita dan di situ telah muncul Nyi Rukmo Petak!
"Heh-heh-heh-heh-heh! Harjodento dan Padmosari, sekarang mampuslah kalian! Heh-heh-hi-hi-hik, Harjodento! Engkau masih dapat mendengar suaraku?"
Harjodento dan Padmosari menoleh dan semua orang juga memandang kepada nenek itu. "Ken Lasmi...!! teriak Harjodento dan Padmosari berbareng.
"Heh-heh-heh, kalian masih mengenal aku? Dan kau lihat siapa yang telah merobohkanmu, Harjodento? Siapa yang mewakili aku mengalahkanmu dan melukaimu? Siapa pemuda yang kini terluka hampir mati karena tanganmu? Heh-heh-heh! Engkau saling bunuh dengan anakmu sendiri. Harjodento! Sekarang puaslah hatiku telah menghancurkan hati kalian berdua, membuat kalian berkelahi mati-matian melawan anakmu sendiri. Nah, sekarang bersiaplah kalian untuk mati di tanganku!"
Setelah berkata demikian, sambil tersenyum mengerikan wanita berambut putih ini melompat mendekati Harjodento dan Padmosari yang sudah tidak berdaya karena menderita luka dan kedua tangannya membentuk cakar untuk membunuh suami isteri itu dengan cengkeraman maut.
Akan tetapi Pusposari dan Cangak Awu yang tidak terluka berat, cepat melompat berdiri dan kedua orang ini seperti dikomando saja sudah menerjang Nyi Rukmo Petak. Bahkan Pusposari telah mencabut kerisnya dan Cangak Awu mendapatkan sepotong kayu yang dipergunakan Sebagai senjata tongkat. Akan tetapi, Nyi Rukmo Petak bergerak dengan cepat dan kuat sekali. Tusukan keris yang dilakukan Pusposari dapat ditangkis dengan kuatnya. Jari-jari tangan yang hanya tulang terbungkus kulit itu amat kerasnya mengetuk pergelangan tangan Pusposari yang memegang keris sehingga keris itu terlepas dan terpental dari tangannya.
Sebelum Pusposari dapat menghindar, kaki kiri Nyi Rukmo Petak menyambar dan menendang pahanya, membuat gadis itu terpelanting jauh. Pada saat itu, tongkat di tangan Cangak Awu menyambar ke arah kepala Nyi Rukmo Petak. Akan tetapi nenek ini dengan beraninya mengulurkan tangan menyambut tongkat itu. direnggutnya terlepas dari tangan Cangak Awu dan sekali ia membalikkan tongkat, bahu kanan Cangak Awu sudah dihajar keras sekali dengan tongkat itu sehingga tubuh raksasa muda inipun terpental dan terbanting keras.
Empat orang murid Nogo Dento bergerak maju, akan tetapi Sebelum mereka sempat menyerang, baru mendekat saja kedua lengan Nyi Rukmo Petak sudah bergerak dan empat orang itupun terpelanting keras. Melihat ini, Sutejo yang tadinya masih duduk bersila, lalu bangkit berdiri dan berseru nyaring, ditujukan kepada semua murid Nogo Dento yang sudah bergerak hendak maju mengeroyok wanita berambut putih itu. "Semua mundur! Biarkan aku menghadapinya!"
Biarpun dengan agak terhuyung, Sutejo menghampiri dan menghadapi Nyi Rukmo Petak. Pada saat itu, Retno Susilo juga bangkit dan berdiri disamping Sutejo. Gadis ini marah bukan main. Alisnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan sinar seperti bercahaya ketika ia memandang kepada gurunya. Ia kini tahu bahwa Nyi Rukmo Petak adalah Ken Lasmi, wanita yang menculik Sutejo ketika pemuda itu masih kecil, berusia tiga tahun. Kemudian, Nyi Rukmo Petak dapat menduga bahwa Sutejo adalah anak yang diculiknya ketika Sutejo memberitahu bahwa dia adalah murid Sang Bhagawan Sidik Paningal yang dulu merampas Sutejo dari tangan Ken Lasmi.
Karena itulah maka gurunya itu berkeras membujuk agar Sutejo membantunya menghadapi Harjodento dan Padmosari. Gurunya itu berhati keji, sengaja mengadu antara anak dan orang tuanya. Kini ia dapat menduga bahwa permusuhan antara gurunya dan ketua Nogo Dento itu, tentu kesalahannya berada di pihak gurunya.
Melihat Sutejo menghampirinya dengan mata mengandung kemarahan, Nyi Rukmo Petak tertawa. "Heh heh-heh apa yang akan kau lakukan, Sutejo? Engkaupun akan mampus di tanganku, apakah engkau hendak mendahului orang tuamu?"
"Akulah yang akan menghadapimu!" Tiba-tiba Retno Susilo membentak nyaring. Nyi Rukmo Petak terbelalak memandang muridnya. "Apa katamu? Retno Susilo, lupakah engkau dengan siapa engkau berhadapan?"
"Aku tidak lupa! Aku berhadapan dengan seorang iblis betina yang amat jahat! Nyi Dewi, mengingat akan budi kebaikan yang pernah kau limpahkan kepadaku, ku nasehatkan engkau, pergilah dari sini dan jangan menganggu orang yang tidak bersalah. Kalau engkau nekat, terpaksa aku melupakan budimu dan akan melawanmu mati-matian.
"Heh-heh-heh engkau hendak melawanku pula? Kalau begitu, engkaupun akan mampus. Kalian semua sudah terluka. Aku akan membunuh kalian semua dengan mudah. Hari ini aku akan membasmi Nogo Dento, membunuh semua orang termasuk mereka yang berada di sini dan yang membelanya."
"Keparat, wanita berhati iblis! Jadi engkau kiranya Ken lasmi yang telah menculikku dan memisahkan aku dari orang tuaku, bahkan kini mengelabui aku sehingga aku bertanding melawan orang tuaku sendiri! Iblis macam engkau ini sudah sepatutnya dienyahkan dari permukaan bumi!" bentak Sutejo.
"Engkaulah yang akan mampus lebih dulu!" Nyi Rukmo Petak berteriak dan ia sudah menerjang ke arah Sutejo sambil menyerang dengan menggunakan Aji Wiso Sarpo yang ganas dan dahsyat. Tampak uap hitam yang berbau amis keluar dari kedua telapak tangannya ketika ia menyerang kepada Sutejo. Pemuda ini juga mengerahkan Aji Bromo kendali menyambut serangan itu.
"Wuuuuttt....dessss!!" Biarpun tubuh Nyi Rukmo Petak terpental ke belakang sampai lima langkah, namun karena Sutejo yang telah terluka itu hanya dapat mengerahkan tenaganya sebagian saja, maka dia sendiripun terpental ke belakang dan terhuyung-huyung. Dari mulutnya mengalir darah segar lagi karena lukanya yang tadi belum sembuh.
Retno Susilo membentak nyaring. "Hyaaaatt....!" Dan sinar kehijauan menyambar ke arah dada Nyi Rukmo Petak. Itulah pedang Nogo Wilis yang telah dicabut oleh gadis itu dan dipergunakan untuk menyerang setelah nenek itu bersama Sutejo masing-masing terpental ke belakang.
Namun Nyi Rukmo Petak yang tadi telah mengintai dan tahu bahwa muridnya itupun telah menderita luka ketika mengadu tenaga sakti melawan Harjodento, dapat mengelak dengan mudah dan menyerang muridnya dengan Aji Wiso Sarpo. Retno Susilo tidak berani menerima pukulan ampuh itu. Ia melompat ke kiri untuk menghindar, Nyi Rukmo Petak mengejar dan kembali mengirim pukulan dengan Aji Wiso Sarpo. Ia tidak perduli akan rasa nyeri di dadanya Sebagai akibat dari pertemuan tenaganya dengan Sutejo tadi. Akan tetapi tiba-tiba Sutejo yang sudah bersiap kembali maju dan menyambut pukulan yang ditujukan kepada Retno Susilo itu dengan Aji Bromo kendali pula.
"Wuuuttt..... desss.... !" Kembali Sutejo terjengkang dan terguling-guling di atas tanah. Akan tetapi Nyi Rukmo Petak juga terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat itu, puluhan orang murid Nogo Dento dipimpin oleh Pusposari dan Cangak Awu dengan senjata di tangan, telah maju untuk mengepung dan mengeroyok Nyi Rukmo Petak.
Nenek ini merasa kecewa sekali. Tidak disangkanya sama sekali bahwa Sutejo dan Retno Susilo yang sudah terluka parah itu masih mampu menandinginya, bahkan benturan tenaga sakti Sutejo membuat ia terluka di sebelah dalam dadanya. Kini tidak mungkin lagi ia membunuh Harjodento dan Padmosari. Demikian banyaknya orang yang mengeroyoknya, di antaranya Retno Susilo dan Sutejo yang merupakan lawan berat. Kini bahkan puluhan orang murid Nogo Dento siap untuk mengeroyoknya. Maklumlah Nyi Rukmo Petak bahwa kalau ia nekat, tentu ia yang akan tewas di situ. Ia lalu menggunakan Aji Kluwung Sakti, tubuhnya berkelebat cepat sekali, lenyap dan kepungan para murid Nogo Dento dan ia sudah melarikan diri. Hanya suara tawanya saja yang terdengar semakin jauh, suara tawa yang seperti juga suara tangis.
Setelah wanita itu pergi, Sutejo yang menderita luka berat itu masih berdiri tubuhnya bergoyang-goyang dan dia memandang kepada Harjodento dan Padmosari. Suami isteri itu juga berdiri, menguatkan diri karena merekapun menderita luka dalam yang cukup parah, memandang kepada pemuda itu dengan wajah diliputi penuh ketegangan, keraguan dan harapan. Sepasang mata Padmosari sudah menitikkan air mata, sedangkan Harjodento memandang pemuda itu seperti orang berada dalam mimpi.
Padmosari menghampiri Sutejo dengan langkah kaki yang gemetar, ia memandang pemuda itu melalui genangan air matanya dan suaranya terdengar lirih gemetar. "Engkau... engkau... benarkah kata Ken Lasmi tadi... bahwa... bahwa engkau adalah anakku...?"
Sutejo juga merasa betapa sesuatu mengganjal kerongkongnya. Keharuan membuat dia hampir tidak mampu mengeluarkan suara dia sudah yakin bahwa dia berhadapan dengan ayah dan ibunya. Kini terasa olehnya betapa wajah wanita di depannya ini demikian akrab di hatinya, sama sekali tidak asing. Dia tidak mampu bicara dan perlahan-lahan, sambil mengerahkan sisa tenaga untuk melawan rasa nyeri di dalam dadanya, kedua tangannya lalu membuka bajunya, Kedua tangan itu gemetar dan sepasang mata Sutejo juga sudah basah. Dia memandang Harjodento yang terhuyung-huyung menghampiri pula, lalu berpegang pada lengan isterinya agar tidak terkulai jatuh.
Suami isteri ini memandang Sutejo yang kini sudah menanggalkan bajunya dan melepaskan baju itu ke atas tanah. "Andika berdua... kenal ini...?" katanya lirih dengan suara gemetar, lalu membalikkan tubuh memperlihatkan punggungnya, di mana terdapat sebuah noda tembong kebiruan selebar tiga jari tangan. Kemudian dia memutar tubuhnya menghadapi suami isteri itu kembali dan memperlihatkan kalung dengan bandul ukiran naga putih yang tergantung di lehernya.
Harjodento dan Padmosari terbelalak memandang ke tanda tembong dipunggung Sutejo kemudian mata mereka melekat pada kalung dengan bandul naga putih itu. Otomatis tangan Harjodento yang gemetar itu meraba lehernya dan mengeluarkan bandul kalung yang tergantung di lehernya, bandul yang presis sama dengan yang tergantung di leher Sutejo.
"Tejomanik anakku...!!" Suami isteri itu menjerit dan menubruk.
"Bapa... ibuuu...!!" Sutejo juga menubruk dan mereka bertiga berangkulan di antara isak tangis memilukan. Ketika berangkulan itu, tiba-tiba tubuh Sutejo dan Harjodento terkulai dan kedua.orang laki-laki yang menderita luka parah ini roboh pingsan.
Retno Susilo lari menghampiri dan memapah Sutejo."Kakangmas Sutejo...!" ia memanggil dengan hati teharu dan kedua matanya mengeluarkan air mata.
Pusposari dan Cangak Awu juga mendekat dan membantu Padmosari untuk memapah Harjodento. "Bawa mereka masuk kedalam." perintah Padmosari yang teluh mampu menekan keharuan hatinya dan kini ia merasa khawatir sekali akan keselamatan suami dan puteranya.
Beberapa orang murid Nogo Dento datang membantu dan tubuh ayah dan anak itu lalu digotong masuk kedalam perkampungan, langsung kerumah induk, tempat tinggal keluarga Harjodento. Dengan cekatan sekali Padmosari lalu menyiapkan rempa-rempa untuk membuatkan jamu dan mengobati suami dan anaknya. Ternyata selain ilmu kanuragan, wanita inipun seorang ahli pengobatan, ia juga membuatkan jamu untuk diri sendiri, untuk Pusposari dan Canguk Awu.
Retno Susilo membantu Padmosari merawat Sutejo. Kehadiran gadis ini diterima dengan baik oleh keluarga Nogo Dento. Biarpun tadinya Retno Susilo melakukan tugas yang diperintahkan gurunya memusuhi dan ingin membunuh Harjodento dan Padmosari, akan tetapi semua itu ia lakukan karena ia dibohongi gurunya. Ia melakukan perintah itu hanya untuk menanti gurunya dan setelah ia menyadari akan kejahatan gurunya, gadis ini membalik, bahkan melawan gurunya mati-matian dan hampir saja ia sendiri tewas di tangan gurunya. Bahkan Pusposari yang tadinya amat membenci Retno Susilo, dapat memaafkannya dan Retno Susilo diterima sebagai seorang sahabat baik, dan terutama sekali sebagai sahabat Sutejo.
********************
Mereka semua duduk menghadapi meja besar, mengelilingi meja itu. Pagi hari itu Harjodento dan Sutejo sudah sembuh dan kesehatan mereka telah pulih kembali. Juga Padmosari, Pusposari dan Cangak Awu yang menderita luka ringan, sudah sembuh sama sekali. Kini mereka semua, untuk pertama kalinya setelah sepekan mereka yang terluka dirawat, duduk bersama di sekeliling meja untuk bercakap-cakap, Sutejo duduk diapit ayah ibunya, Padmosari tampak rindu sekali kepada puteranya yang baru saja ditemukan setelah menjadi seorang perjaka dewasa itu. Pusposari duduk di sebelah ibunya. Retno Susilo duduk berhadapan dengan Sutejo dan Cangak Awu duduk di sebelah Pusposari. Pagi yang cerah itu tampak semakin cerah karena hati mereka semua bergembira.
"Nah. sekarang ceritakanlah, anakku. Apa yang kau alami selama engkau diculik dari kami ketika engkau berusia tiga tahun itu." kata Padmosari kepada Sutejo.
"Ibu saya sendiri sudah tidak ingat apa-apa karena ketika itu saya masih terlalu kecil. Seingat saya hanya bahwa saya adalah murid mendiang Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal yang juga menjadi pengganti ayah ibu karena beliau yang merawat dan mendidik saya. Kemudian, setelah Bapa Guru terluka parah dan menghadap kematiannya, barulah beliau nenceritakan kepada saya tentang keadaan diri saya, ketika beliau temukan. Menurut cerita Bapa Guru itu, saya dirampas oleh Bapa Guru dari tangan seorang wanita bernama Ken Lasmi setelah melalui perkelahian sengit. Akhirnya Ken Lasmi melarikan diri dan saya dibawa pulang Bapa Guru Sidik Paningal. Menurut beliau, ketika itu saya mengaku bernama Tejo, maka Bapa Guru menamakan saya Sutejo dan tanda-tanda yang ada pada diri saya adalah tembong di punggung dan seuntai kalung naga putih ini."
"Angger, namamu sebenarnya adalah Tejomanik!" kata Padmosari terharu.
"Lalu bagaimana Tejo?" tanya Harjodento "Lanjutkan ceritamu."
"Karena mendiang Bapa Guru sendiri tidak tahu siapa orang tua saya, maka saya harus dapat menemukan Ken Lasmi karena ialah sumber satu-satunya yang dapat memberitahu kepada saya siapa orang tua saya yang sebenarnya. Akan tetapi, Ken Lasmi tidak pernah dapat saya temukan. Bahkan setelah saya bertemu dengan diajeng Retno Susilo dan berhadapan dengan Ken Lasmi. saya tidak tahu bahwa sebenarnya Nyi Rukmo Petak guru diajeng Retno Susilo itu adalah Ken Lasmi."
"Bahkan saya sendiripun tidak pernah tahu bahwa ia adalah Ken Lasmi." kata Retno Susilo.
Harjodento menghela napas panjang. "Tidak pernah kusangka bahwa yang menolong anakku adalah Sang Bhagawan Sidik Paningal yang telah kukenal dengan baik! Kalau saja aku tahu, tentu sudah sejak dahulu kami dapat menemukan engkau kembali! Ah, akan tetapi agaknya memang Gusti menghendaki demikian. Aku percaya bahwa pendidikan yang kau terima dari mendiang Bhagawan Sidik Paningal tentu membuat engkau menjadi seorang pendekar berjiwa ksatria. Akan tetapi mengapa engkau dapat membantu Ken Lasmi yang kejam dan ganas itu?"
Sutejo atau yang nama aselinya Tejomanik itu mengerling ke arah Retno Susilo, tidak mau menyalahkan gadis itu. Sebetulnya bukan Ken Lasmi atau Nyi Rukmo Petak yang dibantunya, melainkan Retno Susilo.
"Sebetulnya semua itu salahku. Paman Harjodento!" kata Retno Susilo dengan lantang. "Aku menaati guruku yang memberi tugas kepadaku untuk membunuh paman berdua. Usaha itu telah kulakukan akan tetapi aku gagal ketika untuk pertama kali aku dalang ke sini. Kemudian aku bertemu dengan Kakangmas Sutejo dan aku minta bantuannya. Kakangmas Sutejo membantu aku untuk menghadapi paman sekalian, bukan membantu guruku."
"Bapa dan ibu, dalam hal ini, diajeng Retno Susilo hanya bertindak karena ia berhutang budi kepada gurunya dan hendak membalas budi dengan menaati pesannya. Ia tidak tahu sama sekali bahwa gurunya itu jahat. Bahkan ketika saya bertemu dengan Ken Lasmi sayapun tidak menduga bahwa ia yang jahat melainkan mengira bahwa ia menjadi korban kejahatan seperti yang ia ceritakan kepada kami." Sutejo membela Retno susilo.
"Kami dapat menduga akan hal itu." kata Harjodento. "Kami tidak menyalahkan nak Retno yang ternyata kemudian setelah ia mengetahui akan kejahatan gurunya, ia malah membela dan membantu kami. Akan tetapi apakah yang diceritakan oleh Ken Lasmi kepada kalian sehingga kalian mau membantunya untuk membunuh kami?"
"Diajeng Retno Susilo, engkau saja yang memberitahu ayah dan ibuku tentaug apa yang diceritakan Ken Lasmi kepada kita tempo hari." kata Sutejo yang merasa tidak enak terhadap gadis itu.
Retno Susilo mengangguk, menghela napas dan berkata, "Sesungguhnya berat rasa hatiku untuk membeberkan kebusukan seorang yang telah melimpahkan budi kebaikan kepada diriku. Akan tetapi, demi kebenaran, apa boleh buat. Beginilah cerita guruku itu kepada kami Paman Harjodento dan Bibi. Menurut guruku, ketika masih muda terjalin pertalian cinta kasih antara Ken Lasmi dan Paman Harjodento. Akan tetapi katanya, Paman Harjodento mengkhianati cintanya dan menikah dengan bibi Padmosari. Ketika Ken Lasmi mendatangi paman berdua untuk menuntut, katanya paman berdua malah memukul dan mengusirnya. Ken Lasmi merasa sakit hati dan memperdalam ilmunya, akan tetapi berkali-kali ia selalu dapat dikalahkan oleh paman berdua. Nah, demikianlah ceritanya mengapa ia mendendam kepada paman berdua. Sama sekali ia tidak pernah bercerita bahwan telah menculik putera paman berdua."
"Memang demikianlah yaug diceritakan Ken Lasmi atau Nyi Rukmo Petak kepada kami berdua, bapa." kata Sutejo membenarkan keteranganRetno Susilo.
"Hemm, ia telah memutar balikkan kenyataan. Tidak aneh, karena memang sejak muda ia memiliki watak yang curang, ganas dan keji. Sesungguhnya beginilah ceritanya. Memang ketika kami masih muda, aku bertemu dan berkenalan dengan Ken Lasmi. Dengan terus terang ia menyatakan cinta kepadaku dan mengharapkan untuk menjadi isteriku. Akan tetapi biarpun pada waktu itu ia adalah seorang wanita yang cantik jelita dan gagah perkasa menarik hati, namun ia memiliki watak yang kejam, culas dan ganas. Karena itulah, maka aku tidak dapat membalas cintanya dan aku menikah dengan wanita pilihan hatiku, yaitu Padmosari. Pada malam pengantin, malam-malam ia datang sebagai pencuri dan berusaha untuk membunuh Padmosari. Akan tetapi kami berdua dapat mencegahnya dan mengusirnya. Setelah itu, berulang kali dalam waktu tiga tahun ia berusaha untuk membunuh kami namun selalu dapat kami gagalkan. Nah, ketika itu kami telah mempunyai seorang putera, yaitu Tejomanik atau yang sekarang disebut Sutejo. Pada suatu hari, anak kami itu hilang dan kami tahu bahwa penculiknya bukan lain tentulah Ken Lasmi. Kami sudah berusaha mencarinya. Bertahun-tahun kami mencari, akan tetapi Ken Lasmi seperti lenyap ditelan bumi. Tidak ada kabar ceritanya lagi sampai sekarang. Tidak tahunya ia telah mengubah namanya menjadi Nyi Rukmo Petak. Itulah sebabnya, ketika nak Retno yang datang menyerang kami mengatakan bahwa ia disuruh oleh gurunya yang bernama Nyi Rukmo Petak, kami menjadi bingung karena merasa tidak pernah mendengar nama itu, apalagi bermusuhan. Baru setelah ia sendiri muncul tempo hari. kami mengenalnya sebagai Ken Lasmi. Gusti masih melindungi kita semua sehingga ia kembali gagal membunuh kita berkat ketangkasan nak Retno Susilo dan engkau sendiri, Tejo."
Sutejo menghela napas panjang "Kita semua sepatutnya bersyukur kepada Gusti Yang Maha Kasih yang telah melindungi kita semua, terutama saya amat bersyukur dan berterima kasih karena sudah dipertemukan kembali dengan orang tua saya. Selesailah sudah satu di antara beberapa buah tugas yang barus saya lakukan dan penuhi dalam hidup ini, sesuai dengan petunjuk mendiang bapa Guru."
"Tugas lain apa lagi yang barus kau laksanakan, Tejo?' tanya Harjodento.
"Pertama, saya harus merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan pencurinya dan kedua saya harus mempergunakan pusaka itu untuk berjuang membantu dan membela Mataram dalam menghadapi para pemberontak" jawab Sutejo
Ayahnya mengangguk-angguk. "Tentang membela Mataram itu aku setuju sepenuhnya, karena memang sudah menjadi kewajiban setiap orang kawula Mataram untuk membela negaranya dari ancaman para pemberontak. Akan tetapi tentang Pecut Sakti Bajrakirana itu, aku tidak mengerti. Pusaka apakah itu dan siapa pencurinya?"
"Ceritanya panjang, Bapa. Pecut Sakti Bajrakirana adalah sebuah pusaka yang dikeramatkan dan dijunjung tinggi oleh para murid Jatikusumo, perguruan yang dahulu didirikan oleh Eyang Guru Resi Limut Manik. Pusaka itu tadinya disimpan oleh Eyang Resi, akan tetapi pada suatu hari, Paman Guru Bhagawan Jaladara telah mencurinya dari Padepokan Eyang Resi."
"Kalau begitu Bhagawan Jaladara itu adalah saudara dari mendiang gurumu, Bhagawan Sidik Paningal?" tanya Harjodento.
"Benar, Bapa. Eyang Guru Resi Limut Manik mempunyai tiga orang murid. Yang pertama adalah Uwa Guru Bhagawan Sindusakti yang menjadi ketua perguruan Jatikusumo menggantikan Eyang Resi, dan Kakang Cangak Awu ini adalah murid beliau. Yang kedua adalah mendiang Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal yang merawat dan mendidik saya, kemudian yang ketiga adalah Paman Bhagawan Jaladara itulah."
Ayahnya mengangguk-angguk. "Lalu, bagaimana kelanjutannya ?"
"Setelah mencuri Pusaka Bajrakirana, Paman Bhagawan Jaladara yang menjadi ponggawa Kadipaten Wirosobo itu mengajak teman- temannya dari Wirosobo mendatangi mendiang Bapa Guru. Dia membujuk Bapa Guru untuk membantu Kadipaten Wirosobo yang hendak memberontak terhadap Mataram. Bapa Guru menolak dan Paman Bhagawan Jaladara lalu mempergunakan Pecut Sakti Bajrakirana untuk menyerang Bapa Guru. Melihat pecut yang menjadi pusaka perguruannya itu, Bapa Guru tidak berani melawan dan membiarkan dirinya disiksa oleh Paman Bhagawan Jaladara yang juga menyiksa saya yang mencoba untuk membela Bapa Guru. Kemudian dia pergi Setelah mengancam bahwa kalau selama satu bulan Bapa Guru belum Juga mau tunduk dan menuruti kehendaknya, dia akan kembali dan membunuh kami."
"Kenapa ada bhagawan yang begitu jahat?" seru Pusposari penasaran.
"Baik buruknya seseorang tidak dapat diukur dari Jubahnya atau kedudukannya. Banyak pendeta palsu di dunia ini, diajeng Pusposari." kata Retno Susilo.
"Hemm, dia tentu mempunyai pandangan sendiri dan berdasarkan pandangannya itu, dia tentu merasa bahwa dirinya baik dan benar." kata Harjodento. "Teruskan ceritamu, Tejo."
"Bapa Guru mengutus saya menghadap Eyang Guru Resi Limut Manik. Dari beliau saya tahu bahwa pecut pusaka itu dicuri oleh Paman Jaladara. Setelah mendengar laporan saya, Eyang Resi lalu memindahkan tenaga saktinya kepada saya dan memerintahkan saya untuk merampas kembali pusaka itu untuk dipergunakan membantu Mataram. Akhirnya saya berhasil bertemu dengan Paman Jaladara dan merampas pecut pusaka itu dari tangannya. Pada waktu itulah saya bertemu dan berkenalan dengan diajeng Retno Susilo."
"Dan selanjutnya kami menjadi sahabat baik." Sambung Retno Susilo yang takut kalau-kalau pemuda itu akan menceritakan tentang kenakalannya sebagai seorang "pemuda". Akan tetapi tentu saja Sutejo tidak mau menceritakan peristiwa itu.
"Dengan membawa Pecut Bajrakirana saya pulang ke lereng Kawi, ke padepokan Bapa Guru. Akan tetapi setelah tiba di sana saya melibat Bapa Guru sudah terluka parah. Paman Jaladara mengancam akan membunuh Bapa Guru kalau saya tidak menyerahkan pecut pusaka itu, terpaksa untuk menyelamatkan Bapa Guru, saya menyerahkan pecut pusaka kepadanya dan mereka melepaskan Bapa Guru. Saya lalu mengamuk dan mereka melarikan diri. membawa pecut pusaka itu bersama mereka."
"Hemm, sayang sekali pecut pusaka itu terjatuh lagi ke tangan mereka." kata Harjodento.
"Kemudian bagaimana?" Dia merasa tertarik sekali akan cerita puteranya itu.
"Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal akhirnya tewas karena luka-lukanya. Saya lalu pergi ke puncak Semeru untuk menghadap Eyang Guru Resi Limut Manik akan tetapi setibanya di sana saya melihat Eyang Resi telah terluka parah dikeroyok Paman Jaladara dan tiga orang kawannya, dan agaknya Eyang Resi Juga tidak melawan karena Bhagawan Jaladara memegang Pecut Sakti Bajrakirana yang dikeramatkan. Akan tetapi saya melihat ada seorang pemuda perkasa yang membela Eyang Resi sehingga Eyang Resi belum terbunuh. Pemuda Itu ternyata adalah Sang Puteri Wandansari yang Juga merupakan murid termuda dari Jatikusumo."
"Diajeng Wandansari memang adik seperguruan saya." kata Cangak Awu yang juga mendengarkan semua cerita Sutejo dengan penuh perhatian dan tertarik sekali. Kini semakin yakinlah dia bahwa Sutejo sama sekali tidak membunuh Eyang Resi Limut Manik seperti yang dituduhkan Bhagawan Jaladara, melainkan paman gurunya itu sendirilah yang jahat dan licik.
"Saya segera membantu pemuda itu dan akhirnya kami dapat memukul mundur mereka yang melarikan diri. Dua orang cantrik padepokan terbunuh oleh Bhagawan Jaladara dan Eyang Resi terluka parah sekali, Akun tetapi Eyang Resi dapat menahan diri sampai dua pekan lamanya dan selama dua pekan itu Eyang Resi melatih saya dengan ilmu pecut Bajrakirana dan melatih Sang Puteri Wandansari dengan ilmu pedang Kartika Sakti. Eyang Resi juga menyerahkan pedang Kartika Sakti kepada Sang Puteri, dan menyerahkan kitab pelajaran ilmu pecut Bajrakirana kepada saya. Eyang Resi berpesan kepada saya agar saya merampas kembali Pecut Barjakirana dan mempergunakannya untuk membela Mataram. Demikianlah kisahnya, Bapa. Dan dalam perjalanan saya untuk mencari Paman Jaladara untuk merampas kembali pecut pusaka, saya bertemu dengan diajeng Retno Susilo yang minta agar saya suka membantunya menghadapi musuh-musuh gurunya. Untung saya memenuhi permintaannya itu sehingga dengan jalan itu saya dapat bertemu kembali dengan Bapa dan Ibu."
Harjodento menghela napas panjang, "Hemm, semua itu gara-gara Kadipaten Wirosobo yang hendak memberontak. Kalau saja Bhagawan Jaladara tidak menjadi pejabat di Wirosobo dan kadipaten itu tidak memberontak, agaknya tidak akan terjadi semua peristiwa menyedihkan ini. Bahkan Bhagawan Jaladara tega untuk menghancurkan Jatikusumo."
"Apa maksud Bapa ? Menghancurkan Jatikusumo ?" tanya Sutejo heran.
"Biarlah anak mas Cangak Awu yang akan menceritakan peristiwa itu yang menyebabkan anak mas Cangak Awu sekarang berada di sini." kata Harjodento.
"Kakang Cangak Awu, apakah yang telah terjadi dengan Jatikusumo ?" tanya Sutejo.
"Adi Sutejo, malapetaka besar telah menimpa Jatikusumo sehingga mengakibatkan tewasnya Bapa Guru Sindusakti, Kakang Maheso Seto, Mbakayu Rahmini dan mungkin semua murid Jatikusumo yang berada di perguruan itu mati semua." kata Cangak Awu dan wajahnya berubah merah sekali, kedua matanya sayu dan seperti orang yang hendak manangis.
Saking kagetnya Sutejo sampai melompat berdiri dengan mata terbelalak. "Apa....? Siapa yang melakukan perbuatan keji itu?"
"Duduklah, Adi Sutejo. Urusan ini memang dapat membuat orang mati penasaran. Kakang Priyadi telah murtad. Dia menuntut agar kedudukan ketua Jatikusumo diserahkan kepadanya. Dia datang dibantu oleh Paman Jaladara yang datang bersama kawan-kawannya para Jagoan Wirosobo itu. Juga dibantu oleh dua orang datuk sesat yang bernama Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo. Si jahanam murtad Priyadi itu membunuh Bapa Guru, Juga Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini tewas oleh kawan-kawannya yang amat sakti."
"Tapi... tapi bagaimana mungkin Priyadi mampu membunuh Uwa Guru Bhagawan Sindusakti? Aku pernah melihat ketika dia melawan wanita iblis bernama Sekarsih itu, ilmu kepandaiannya tidak sangat tinggi."
"Memang demikian, akan tetapi entah bagaimana. Ketika dia datang menyerbu, dia bukanlah Priyadi yang biasa. Kepandaiannya hebat sekali seperti iblis, dan dia telah dapat pula menarik Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo dan wanita iblis itu menjadi sekutunya. Juga Pecut Bajrakirana telah berada di tangannya. Aku Juga melakukan perlawanan mati-matian, akan tetapi aku terkena tendangan Ki Klabangkolo sehingga terluka berat. Lalu aku melarikan diri karena tekadku, aku harus hidup untuk dapat membalaskan semua sakit hati itu, Adi Sutejo! Kalau aku terus melawan, tentu aku akan mati pula. dan kalau aku mati, siapa yang kelak akan membalaskan dendam ini?"
Sutejo mengangguk. "Aku mengerti pendirianmu itu, Kakang Cangak Awu. Akan tetapi bagaimana engkau dapat datang ke sini? Sungguh merupakan suatu hal yang kebetulan sekali!"
"Aku jatuh pingsan di tepi bengawan dan diajeng Pusposari yang menolongku, membawaku ke sini dan di sini aku diobati sampai sembuh. Aku berhutang nyawa kepada keluarga pimpinan Nogo Dento yang ternyata adalah keluargamu juga. Aku merasa girang sekali engkau telah bertemu dengan ayahbunda dan adikmu."
"Adikku...?" Sutejo memandang kepada ayah dan ibunya dan wajahnya berseri.
"Pusposari ini adalah anak angkat kami, akan tetapi sudah kam ianggap sebagai anak kandung sendiri. Dialah adikmu, Tejo." kata Padmosari.
Sutejo memandang kepada Pusposari dan wajahnya berseri gembira."Wah, untung sekali aku! Tahu-tahu telah mempunyai seorang adik yang sudah begini besar dan cantik manis!"
"Aaahh, Kakang Tejo, kata-katamu membuat aku menjadi malu!" kata Pusposari sambil menundukkan mukanya yang berubah kemerahan, akan tetapi mulutnya terhias senyuman senang. Hati gadis mana yang tidak akan menjadi bangga dan senang kalau menerima pujian bahwa ia can璽ik manis?
"Sekarang kita telah mendengarkan semua pengalaman dan mengetahui keadaan masing-masing. Bahkan kami telah mengetahui keadaan anak mas Cangak Awu yang sudah sebatang kara. Akan tetapi kami belum mengetahui tentang keluarga nak Retno Susilo. Siapakah keluargamu, nak Retno dan di mana mereka berada?"
"Ayah ibuku masih hidup dan mereka tinggal di kaki Gunung Kelud dalam Hutan Kebojambe. Ayahku bernama Ki Mundingsosro dan dia adalah Ketua perkumpulan Sardulo Cemeng." Retno Susilo menerangkan dengan singkat.
"Bapa, diajeng Retno Susilo adalah puteri Paman Mundingsosro yang gagah perkasa. Perkumpulan Sardulo Cemeng adalah perkumpulan yang menampung para pelarian dari tanah timur yang tidak mau tunduk terhadap para pemberontak" Sutejo menjelaskan.
"Bagus sekali. Sekarang kita semua sudah mengetahui keadaan masing-masing. Kita berada di antara keluarga sendiri Biarpun anak mas Cangak Awu dan Retno Susilo merupakan orang luar, namun sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Aku ingin membicarakan masalah yang serius dan terus terang." kata Padmosari dengan wajah serius dan ia memandangi wajah orang-orang muda itu satu demi satu dengan sepasang matanya yang bersinar tajam.
Sutejo, memandang kepada ibunya sambil tersenyum. Hatinya dipenuhi kemesraan dan kekaguman, kasih sayang yang mendalam terhadap wanita yang dikenal sebagai ibu kandungnya ini dan dia merasa bangga memiliki ibu yang demikian anggun dan cantik.
"Wah, Ibu agaknya hendak berteka teki. Ada rahasia apakah gerangan yang hendak ibu sampaikan kepada kami?"
"Aku adalah seorang tua, tidak main-main dan juga tidak berteka-teki. melainkan mengharapkan kejujuran kalian orang-orang muda. Pertama kuajukan pertanyaanku kepada puteraku sendiri, engkau, Tejo. Semua pertanyaan yang akan kuajukan kepada kalian ini sudah kurundingkan dengan suamiku dengan matang. Nah, Tejo, jawablah. Apakah sejauh ini engkau telah mengikatkan dirimu dengan seorang wanita? Maksudku, apakah engkau telah memiliki pilihan seorang wanita untuk menjadi isterimu?"
Ditanya seperti itu, Tejo merasa seolah seperti ditodong ujung keris sehingga dia gelagapan juga. Dan sepasang mata ibunya mencorong Seperti hendak menembus dadanya dan menjenguk isi hatinya. Segera terbayang sebuah wajah yang cantik jelita dengan sepasang mata yang bersinar tajam berwibawa, wajah yang anggun dan agung, wajah Puteri Wandansari! Dia memandang kosong ke depan dan wajah elok itu tersenyum kepadanya. Barulah dia menyadari bahwa wajah Puteri Wandansari itu telah berubah menjadi wajah Retno Susilo yang memandangnya dengan senyum simpul karena gadis itu duduk berhadapan dengan dia sehingga kini pandang mata mereka bertemu!
Seketika itu teringatlah dia bahwa tidak pantas bagi seorang pemuda biasa seperti dia mencinta seorang dara bangsawan tinggi, puteri sang prabu Pandan Cokrokusumo atau Sultan Agung di Mataram. Bagaimana mungkin seekor burung gagak merindukan seekor burung cenderawasih? Dia cepat melupakan Puteri Wandansari dan sebagai gantinya, Seluruh hati akal pikirannya tertuju kepada Retno Susilo. Hanya gadis inilah, sesudah Puteri Wandansari, yang menyentuh perasaan cintanya. Dan dia tahu benar bahwa Retno Susilo mencintanya, mencintanya dengan tulus dan murni seperti yang telah dia rasakan benar dan terlihat dalam gerak-geriknya, tutur sapanya dan pandang matanya.
"Bagaimana, Tejo?" Ibunya mendesak melihat puteranya seperti orang melamun. Pertanyaan ini menarik Sutejo kembali ke alam sadar dan dia menjawab gugup.
"Ah, apa ibu.... ah, saya belum memikirkan soal itu?"
"Jadi engkau belum mempunyai pasangan atau kekasih hati?" tanya ibunya.
Dengan wajah kemerahan Sutejo menggeleng kepala tanpa menjawab, lalu menundukkan mukanya.
"Bagus, itu yang kuharapkan!" seru Padmosari gembira. "Sekarang aku memindahkan pertanyaan kepada nak Retno Susilo. "Maafkan, ya nak Retno, aku memang hendak bicara blak-blakan dalam suasana kekeluargaan dan mengharapkan jawaban yang blak-blakan dan jujur pula. Nah, aku hendak bertanya kepadamu. Apakah sampai sekarang engkau belum terikat oleh seorang pria? Ataukah sudah ada pasangan atau pilihan hatimu? Barangkali oleh orang tuamu engkau sudah ditunangkan dengan seorang pemuda?"
"Ihh, bibi ini!" jawab Retno Susilo dan kedua pipinya kemerahan, akan tetapi matanya mengerling kepada Sutejo. "Aku... aku belum bertunangan...."
"Tapi sudah mempunyai pilihan hati?" kejar Padmosari.
Retno Susilo tersipu dan menunduk akan tetapi matanya mengerling berkali-kali ke arah Sutejo yang duduk di depannya, lalu ia menggeleng kepala dan menjawab lirih. "Aku tidak tahu..." Padmosari dan suaminya, Harjodento, memandang kepada putera mereka dan kepada Retno Susilo bergantian dan mereka tersenyum maklum melihat kedua orang muda itu menundukkan muka.
"Baik sekali kalau begitu, nak Retno. Sekarang aku ingin menyatakan rencana kami. Kami menghendaki agar kalian berdua dapat berjodoh. Bagaimana pendapatmu, Tejo? Engkau tentu setuju kalau kami menjodobkanmu dengan Retno Susilo, bukan?"
Sutejo memandang kepada Retno Susilo yang masih menundukkan mukanya dan dia menghela napas panjang. "Hal perjodohan saya serahkan saja kepada kebijaksanaan bapa dan ibu. Akan tetapi saya sama sekali belum berpikir tentang pernikahan. Seperti telah saya katakan tadi, Saya masih mengemban tugas-tugas yang teramat penting. Saya harus merampas kembali Pecut Bajrakirana, dan saya juga tidak boleh tinggal diam saja membiarkan Kakang Priyadi berbuat sewenang wenang mengkhianati Jatikusumo. Saya harus membalas atas kematian Bapa Guru bhagawan Sidik Paningal, kematian Eyang Guru Resi Limut Manik, kematian Uwa Guru Bhagawan Sindusakti. Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini. Saya harus menghukum orang-orang jahat seperti Bhagawan Jaladara dan Priyadi. Kemudian saya harus membela Mataram menghadapi Kadipaten Wirosobo dan para bupati dan adipati yang memberontak. Sebelum semua kewajiban itu terlaksana, bagaimana saya dapat mengikatkan diri dengan sebuah pernikahan, ibu?"
"Tentu saja semua tugas mulia itu harus dilaksanakan dan dipenuhi, anakku. Pelaksanaan pernikahan dapat diadakan kemudian, akan tetapi yang penting engkau sudah menyetujui ikatan perjodohan ini. Bagaimana ?"
Sutejo menundukkan mukanya,"terserah kepada bapa dan ibu, saya akan menaatinya."
Padmosari tersenyum senang dan ia lalu memandang kepada Retno Susilo. "Nak Retno Susilo. Kami sebagai orang tua dapat melihat betapa hubungan persahabatanmu dengan anak kami Tejo amatlah akrabnya, karena itu kami ingin mengikat dan mengekalkan hubungan antara kalian, dari sahabat menjadi suami isteri. Bagaimana kalau kami berkunjung kerumah orang tuamu dan mengajukan pinangan atas dirimu untuk menjadi jodoh anak kami Tejomanik? Engkau setuju, bukan?"
Retno Susilo sudah dapat mengatasi rasa malunya. Ia tidak akan menyembunyikan perasaannya terhadap Sutejo. Ia memang mencinta pemuda itu, mencinta mati-matian sejak pertama kali berjumpa dengan Sutejo. Orang tuanya memang mempunyai niat untuk menjodohkan ia dengan Sutejo. Kalau dilamar, tentu orang tuanya akan menerimanya dengan senang hati. "Paman dan bibi, aku adalah seorang anak perempuan. Dalam soal perjodohan tentu saja aku hanya menurut apa yang dikehendaki orang tuaku. Maka hal itu aku serahkan saja untuk diselesaikan antara paman berdua dan orang tuaku. Untuk sekarang ini, keinginanku hanya satu, yaitu, membantu kakangmas Sutejo untuk menunaikan tugas-tugasnya."
"Hal itu bagus sekali!" puji Harjodento. "Dengan tingkat kepandaianmu yang sudah tinggi, engkau akan merupakan bantuan yang amat berharga dan boleh diandalkan bagi Sutejo Kalau kalian berdua maju bersama, kukira segala persoalan akan dapat diselesaikan."
Retno Sasilo mengangguk dan memandang kepada Sutejo. Kebetulan pemuda itupun sedang memandangnya sehingga dua pasang mata bertemu pandang, penuh pengertian, akan tetapi keduanya membungkam. Di dalam hatinya, Retno Susilo merasa berbahagia sekali. Selama ini ia sudah menyatakan perasaan cintanya terhadap Sutejo, akan tetapi pemuda itu bersikap biasa-biasa saja, menganggapnya sebagai seorang sahabat biasa. Dan kini, orang tua pemuda itu sudah menyatakan hendak menjodohkan mereka dan Sutejo tidak menolak! Tentu saja ia merasa berbahagia sekali!
Akan tetapi, dalam hati Sutejo terdapat keraguan atas perasaan hatinya sendiri. Dia tahu bahwa dia mencinta Puteri Wandansari. Kalau saja tidak ada sang puteri itu, tentu akan mudah sekali baginya untuk jatuh cinta kepada Retno Susilo yang juga amat disukainya dan yang membuatnya merasa kagum dan tertarik. Akan tetapi, dia melihat bahwa tidak mungkin bagi dia untuk mempersunting sang puteri. Karena itulah maka dia tidak menolak usul Orang tuanya untuk berjodoh dengan Retno Susilo yang dia tahu amat mencintainya.
"Hatiku senang sekali karena kalian berdua, Tejo dan Retno Susilo, telah menyetujui ikatan perjodohan ini. Kami tinggal pergi berkunjung ke perkampungan Sardulo Cemeng untuk mengajukan pinangan kepada orang tua Retno Susilo, sekarang kami hendak membicarakan hal lain. Sekali ini kami hendak membicarakan ikatan perjodohan lagi. Anak mas Cangak Awu, kami sudah tahu bahwa andika sekarang sudah yatim piatu dan hidup sebatang kara, oleh karena itu keputusannya terletak di tangan andika sendiri. Anak mas Cangak Awu, kami hendak bicara blak-blakan saja. Bagaimana tanggapan andika kalau kami mengusulkan ikatan perjodohan antara andika dan puteri kami Pusposari?"
Cangak Awu adalah seorang laki laki yang jantan dan jujur, tidak suka memakai banyak tata krama. Mendengar pertanyaan dari Padmosari itu, dia menoleh dan memandang sebentar kepada Pusposari, kemudian memandang kepada Harjodento dan Padmosari, lalu berucap dengan nada suara lantang terbuka.
"Paman Harjodento sekeluarga telah menolong dan menyelamatkan saya. Budi itu teramat besar dan sekarang paman berdua bahkan hendak memberi penghormatan yang besar sekali kepada saya dengan menjodohkan saya dengan Nimas Pusposari. Bagaimana saya berani menolaknya? Saya hanya dapat mengucap syukur dan menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, bahwa saya seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan papa, telah mendapatkan kehormatan dan kemuliaan yang demikian besar."
"Ah, anak mas Cangak Awu. bukan itu yang kami kehendaki. Kami tidak ingin kalau andika menyetujui ikatan pernikahan ini sebagai balas budi terhadap kami. Kami hanya menghendaki Ikatan perjodohan ini terjadi karena rasa cinta kedua pihak. Sekarang katakan terus terang, anak mas Cangak Awu. Apakah engkau setuju menjadi calon suami Pusposari karena andika mencintanya?" tanya Harjodento dengan blak-blakan.
Sutejo, yang mendengarkan semua ini, merasa kagum dan bangga sekali kepada ayah ibunya. Sepasang suami isteri yang gagah perkasa dan bijaksana sekali, yang bicara secara jujur dan blak-blakan demi kebaikan mereka semua!
Mendengar pertanyaan yang langsung dari Harjodento, Cangak Awu tentu saja merasa rikuh. Akan tetapi pemuda ini lalu membusungkan dada menegakkan kepalanya dan menjawab dengan tegas. "Ya benar, saya mencintanya, paman!"
"Bagus, kami menghargai kejujuranmu, anak mas Cangak Awu!" kata Padmosari yang kemudian menoleh kepada puterinya."Nah, Pusposari, bagaimana pendapatmu tentang usul ikatan perjodohanmu dengan anak mas Cangak Awu?"
Sebagai seorang dara yang baru berusia delapan belas tahun, tentu saja Pusposari tersipu malu mendengar pertanyaan blak-blakan tentang perjodohan itu. Ia menundukkan mukanya dan berkata dengan suara lirih seperti berbisik. "Ibu, saya hanya menurut dan menaati kehendak bapa dan ibu dalam urusan Ini. Terserah kepada bapa dan ibu saja."
Harjodento tersenyum dan berkata, "Pusposari, kami tidak menghendaki jawaban seperti itu. Kami tidak menghendaki kelak dikatakan memaksakan kehendak kami sendiri kepada anak. Kami telah melihat sikap dan gerak gerik kalian berdua, karena itu kami menghendaki agar engkau menjawab dengan tegas Ya atau tidak engkau mencinta anak mas Cangak Awu?"
Muka Pusposari menjadi merah sekali. Ingin rasanya ia menghilang agar terbebas dari perasaan rikuh dan malu seperti itu. Mau tidak mau ia harus menjawab. Ingin rasanya ia menutupi rasa malunya dengan jawaban tidak, namun hal itu akan bertentangan dengan suara hatinya. Maka, ia lalu mengangguk dan kepalanya semakin menunduk!
"Bagus! Cukuplah jawaban itu! Jadi kalian berdua sudah sama menyetujui! Tinggal menanti saat peresmiannya." kata Harjodento dengan gembira. "Nah, kalau semua persoalan dibicarakan dari hati ke bati, dengan jujur dan blak-blakan, lebih enak, bukan? Kita mempunyai hak dan kewajiban masing-masing, hak menentukan pendapat dan kewajiban untuk memenuhi apa yang telah kita utarakan."
"Ah, senang hatiku!" kata Padmosari. "Bukan saja aku mendapatkan kembali puteraku yang hilang, akan tetapi sekaligus aku mendapatkan dua orang mantu!"
Semua orang tersenyum dan Sutejo berkata kepada Cangak Awu dengan hati geli. "Lalu bagaimana hubunganku dengan Kakang Cangak Awu? Dia terhitung kakak seperguruanku dan lebih tua dariku, akan tetapi dia akan menjadi adik iparku. Aku harus menyebutmu kakang atau adi?"
"Karena Cangak Awu akan menjadi adik iparmu, tentu saja engkau menjadi kakaknya." kata Harjodento dengan gembira.
"Paman dan bibi, ada satu hal yang ingin saya sampaikan kepada paman dan bibi, yaitu bahwa di dalam hati saya telah mengambil keputusan untuk membalas si jahanam Priyadi dan orang-orang yang telah membunuh Bapa Guru dan saudara-saudara seperguruan saya. Karena itu, saya ingin membantu Kakangmas Sutejo lebih dulu sebelum... sebelum dilangsungkan pernikahan."
"Adimas Cangak Awu," kata Sutejo dengan suara serius. "Aku mempunyai pendapat lain. Engkau bahkan lebih dibutuhkan di sini untuk menjaga keselamatan orang tuaku. Siapa tahu Ken Lasmi masih belum berhenti dan kalau ia datang menyerang lagi, engkau dapat membantu keluarga di sini untuk menghadapinya. Biarlah aku yang akan membereskan jahanam Priyadi itu, bersama diajeng Retno Susilo."
"Apa yang dikatakan kakangmas Tejo itu benar sekali. Kakang Cangak Awu. Kalau engkau hendak membantu Kakangmas Tejo dan Mbakayu Retno Susilo, akupun ingin membantu mereka. Lalu siapa yang akan membantu bapa dan ibu kalau iblis wanita itu datang lagi ?" kata Pusposari yang kini sudah tidak lagi merasa canggung dan malu.
Harjodento dan Padmosari saling pandang, kemudian Harjodento berkata. "Sebetulnya kami berdua tidak berhak menghalangi niat, kalian semua untuk menentang orang-orang jahat itu dan mendapatkan kembali pecut pusaka yang dirampas orang, walaupun dalam penunaian tugas itu kalian akan menghadapi lawan-lawan yang tangguh dan membahayakan keselamatan kalian. Seorang pendekar harus berani menghadapi bahaya demi memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Dan mengenai kami berdua di sini, tidak perlu kalian khawatirkan, Kami berdua dapat menjaga diri, andaikata Ken Lasmi berani datang lagi mengacau. Kiranya kami berdua masih sanggup untuk menandingi Ken Lasmi. Pula, menurut keterangan anak mas Cangak Awu, Priyadi yang telah menguasai Jatikusumo itu bergabung dengan orang-orang sakti dari Wirosobo, bahkan dibantu datuk sesat Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo dengan Sekarsih yang kesemuanya merupakan lawan yang amat tangguh. Bagaimana kalian berdua saja, atau bahkan berempat akan mampu menandingi mereka? Belum lagi diperhitungkan anak buah mereka yang banyak. Kami harap engkau akan bertindak bijaksana dan cerdik, angger Tejo dan jangan sembrono. Tidak boleh nekat mengandalkan keberanian belaka melawan pihak musuh yang jauh lebih kuat keadaannya. Kenekatan tanpa perhitungan seperti itu bukan merupakan perbuatan yang gagah berani, melainkan merupakan sebuah kebodohan, angger."
"Lalu, apa yang harus saya lakukan, bapa?"
"Engkau harus memperkuat keadaanmu. Biarlah anak mas Cangak Awu dan adikmu Pusposari membantu engkau dan Retno Susilo, dengan berempat keadaanmu akan lebih kuat lagi. Dan bukan hanya itu. Untuk menghadapi anak buah mereka, biarlah para murid Nogo Dento mengikutimu. Ada lima puluh orang murid Nogo Dento yang dapat dikerahkan untuk membantumu.
"Kakangmas Sutejo, apa yang dikatakan ayahmu memang benar. Kita harus memperkuat diri, dan akupun akan minta bantuan para murid Sardulo Cemeng. Aku dapat mengerahkan sedikitnya lima puluh orang untuk memperkuat pasukan kita."
"Dan aku akan pergi ke Mataram melaporkan tentang pemberontakan Priyadi dan hancurnya Jatikusumo kepada diajeng Puteri Wandansari. Ia tentu tidak akan tinggal diam begitu saja mendengarakan kematian Bapa Guru dan kehancuran Jatikusumo"
Harjodento mengangguk-angguk. "Bagus sekali kalau begitu, kalian melakukan tugas masing-masing. Jangan tergesa-gesa pergi ke Jatikusumo, Tejo. Kita menanti sampai bala bantuan itu datang berkumpul di sini Baru kita berangkat dan mengerahkan semua kekuatan untuk menghancurkan Priyadi dan sekutunya itu."
"Kita.....?" Padmosari bertanya, memandang kepada suaminya dengan wajah berseri.
"Ya, kita. Termasuk engkau dan aku! Bagaimana mungkin kita berdiam diri saja dan membiarkan anak-anak sendiri menanggulangi kejahatan orang-orang yang hendak memberontak terhadap Mataram itu?"
"Baik, paman. Akan tetapi, sebelum kita melakukan penyerbuan kesana, kupikir lebih baik kalau Kakangmas Sutejo dan aku pergi melakukan penyelidikan terlebih dulu." kata Retno susilo.
"Apa yang dikatakan diajeng Retno itu benar, bapa Kami akan menyelidiki lebih dulu. melihat keadaan pihak musuh dan kalau mungkin saya akan berusaha untuk merampas Pecut Bajrakirana."
"Akan tetapi kalian berdua harus berhati-hati sekali dan Jangan nekat melawan pengeroyokan mereka." pesan Harjodento.
"Kami akan berhati-hati, bapa." Mereka semua membuat persiapan. Dan pada keesokan harinya, Sutejo dan Retno Susilo berangkat untuk melakukan penyelidikan ke Jatikusumo dan juga mereka hendak singgah ke tempat tinggal Ki Mundingsosro untuk minta bantuan pengerahan para anggota Sardulo Cemeng. Cangak Awu sendiri pergi ke kota raja Mataram untuk menemui Puteri Wandansari dan melaporkan tentang pengkhianatan Priyadi. Betapa saudara seperguruan itu bersekongkol dengan orang-orang Wirosobo, Harjodento dan Padmosari bersama puteri merekapun mengadakan persiapan di perkampungan Nogo Dento dan mempersiapkan pasukan yang dilatih untuk menghadapi pertempuran.
********************
Seorang pemuda berjalan menyusuri sungai itu bersama seorang kakek yang berusia enam puluh lima tahun. Pemuda itu adalah Priyadi dan kakek itu bukan lain adalah Resi Wisangkolo yang sudah menjadi sekutu pemuda itu. Kini, pakaian kedua orang itu mewah, seperti pakaian bangsawan saja layaknya. Mereka berdua itu baru saja datang dari sebuah hutan di lereng Gunung Wilis.
Hanya berdua saja mereka menghadapi gerombolan Gagak Abang, sebuah gerombolan penjahat yang berjumlah tiga puluh orang lebih dan mereka menaklukkan gerombolan itu sehingga ketua gerombolan menyatakan tunduk dan takluk berjanji untuk membantu perguruan Jatikusumo yang dipimpin Priyadi. Dua orang ini terlalu tangguh bagi gerombolan Gagak Abang.
Priyadi memang mengajak Resi Wisangkolo, sekutunya yang paling boleh diandalkan karena sakti mandraguna, dan mereka berdua mendatangi perkumpulan-perkumpulan dan gerombolan orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan untuk mencari kekuasaan dan menaklukkan mereka. Dengan cara demikian Priyadi dapat memperoleh banyak sekutu yang siap membantunya memperkuat pasukan Wirosobo kalau waktunya sudan tiba bagi Kadipaten Wirosobo untuk bergerak dan berperang melawan Mataram.
Melihat kekuatan yang dihimpun Priyadi, bekas murid keponakannya yang kini memiliki ilmu kepandaian yang hebat itu, Bhagawan Jaladara merasa senang sekali. Priyadi dan para sekutunya merupakan kekuatan besar yang akan berguna sekali bagi Wirosobo. Karena itu, Bhagawan Jaladara dengan senang hati menyerahkan Pecut Bajrakirana kepada Priyadi, ditambah lagi harta benda yang diberikan oleh Sang Adipati Wirosobo kepada pemuda itu.
Priyadi telah mengangkat diri sendiri menjadi ketua Jatikusumo. Akan tetapi tidak ada seorangpun murid Jatikusumo yang lama. Para murid Jatikusumo itu sebagian besar telah terbunuh ketika Priyadi dan kawan-kawannya menyerbu dan sisanya melarikan diri cerai berai. Kini Jatikusumo memang memiliki anak buah baru, akan tetapi kesemuanya adalah anak buah yang sama sekali baru. yaitu anak buah yang diberikan oleh Bhagawan Jaladara, yaitu pasukan dari Wirosobo, bercampur dengan anak buah Sekarsih dan Ki Klabangkolo.
Jumlah anak buah Jatikusumo yang baru ada seratus lima puluh orang, di antaranya ada belasan orang wanita bekas anak buah Sekarsih. Seratus lima puluh orang ini merupakan orang-orang gemblengan yang sudah terlatih, rata-rata memiliki kedigdayaan. Dan Priyadi sudah menggembleng mereka semua dengan mengajarkan Aji Gelap Musti yang menjadi ciri khas aji pukulan Jatikusumo.
Kini Priyadi bersama Resi Wisangkolo sedang berjalan untuk kembali ke Pantai Selatan yang menjadi perkampungan Jatikusumo setelah selama berpekan-pekan mereka berdua pergi menalukkan banyak perkumpulan dan gerombolan penjahat, menarik mereka menjadi sekutu mereka. Priyadi tampak gagah dan tampan dengan pakaiannya sebagai seorang bangsawan muda. Resi Wisangkolo juga berpakaian mewah. Kakek yang sudah enam puluh lima tahun usianya ini, yang bertubuh tinggi kurus, berambut putih dan mukanya seperti muka orang muda tampak pesolek, jauh berbeda dengan sebelum dia bergabung dengan Priyadi. Akan tetapi dia masih tetap memegang tongkat andalannya, yaitu tongkat ular hitam.
Ketika mereka tiba di luar dusun Jaten, di tepi sungai, Priyadi berhenti melangkah. Dia memandang ke arah sungai itu dan melayangkan pandang matanya ke arah beberapa buah batu hitam yang tersembul di permukaan sungai, di bagian pinggirnya. Dia termenung seperti ada yang dipikirkan. Melihat sikap pemuda ini, Resi Wisangkolo menjadi heran.
"Anak mas Priyadi, kenapa andika berhenti dan termenung? Apa yang andika pikirkan?" Resi Wisangkolo adalah seorang yang sakti mandraguna. Akan tetapi terhadap pemuda itu dia bersikap hormat karena dia tahu benar bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan, melainkan memiliki kedigdayaan yang mampu menandingi bahkan mengatasinya.
Priyadi sadar dari lamunannya dan menoleh, memandang wajah kakek itu dan menghela napas panjang, "Paman Resi Wisangkolo, begitu tiba di tempat ini teringatlah aku akan pengalamanku dahulu, beberapa bulan yang lalu, Aku teringat akan seorang gadis yang denok ayu bernama Sumarni...."
Resi Wisangkolo terkekeh. "Heh-heh-heh, tentu gadis itu hebat sekali maka andika sampai tidak dapat melupakannya."
Priyadi tersenyum. "Ia memang manis sekali, paman. Andika sendiri tentu akan kagum kalau melihatnya."
"Wah, kalau sampai aku dapat menjadi kagum, itu berarti bahwa gadis itu tentu menarik sekali. Tidak banyak wanita di dunia ini yang dapat menimbulkan kekaguman dalam hatiku."
"Kalau begitu, mari kita mencarinya paman. Aku yakin pamanpun akan terpesona melihat gadis itu!" kata Priyadi penuh semangat dan mereka berdua lalu memasuki dusun Jaten yang terletak di dekat sungai itu.
Tidak sukar bagi Priyadi untuk mendapatkan keterangan dari penduduk dusun Jaten di mana rumah gadis bernama Sumarni. Dua orang itu segera menuju ke rumah yang ditunjukkan orang. Kebetulan sekali pada pagi hari itu Sumarni sedang menyapu pekarangan depan. Gadis ini berpakaian sederhana sekali, rambutnya juga tidak tersisir rapi, akan tetapi kesederhanaannya itu bahkan lebih menonjolkan kecantikannya yang asli.
Sumarni memang seorang gadis yang denok dan ayu, tubuhnya sedang tumbuh bagaikan setangkai bunga sedang mekar dan wajahnya yang manis itu amat menarik. Biarpun ia seotang dusun namun kulitnya putih kuning mulus, rambutnya ngandan-andan, matanya bening dan terutama sekali, mulutnya berbibir indah sekali, kemerahan berbentuk gendewa. Resi Wisangkolo sendiri menelan ludah bagaikan seekor srigala melihat sepotong daging kelinci yang segar.
Sumarni yang sedang menyapu itu mendengar kedatangan dua orang itu. Ia menghentikan pekerjaannya dan mengangkat muka memandang. Semula ia mengerutkan alis karena heran melihat ada dua orang asing berpakaian seperti bangsawan memasuki pekarangannya. Akan tetapi ketika ia melihat wajah Priyadi, sepasang mata yang jeli dan bening itu terbelalak, mulut yang mungil itupun terbuka dan sapu itu terlepas dari tangannya. Ia meragu akan tetapi mulutnya mengeluarkan seruan yang hampir berupa bisikan penuh harap, "kakangmas... Permadi...??"
Priyadi tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya. "Sumarni, manisku, andika masih ingat kepadaku?"
"paduka... kakangmas... Permadi.....?" kembali gadis itu berseru, kini suaranya lebih nyaring dan ia melangkah maju.
"Benar, aku kekasihmu Permadi!" kata Priyadi.
"Ahh... kakangmas Permadi... akhirnya paduka datang juga....!" Sumarni lari menghampirinya, menubruk dan tenggelam ke dalam dekapan Priyadi. Gadis itu menangis terisak-isak, menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda itu.
"kakangmas Permadi... berbulan-bulan saya menunggu, kenapa paduka tidak kunjung datang....?" Sumarni mengusap air matanya. "katanya paduka hendak meminang saya...?"
Priyadi merangkul lebih erat. "Sekarang aku sudah datang untuk menjemputmu, sayang. Mari engkau ikut denganku, sekarang juga."
Setelah berkata demikian, Priyadi melepaskan rangkulannya dan menggandeng tangan gadis itu, menariknya untuk diajak pergi dari situ. Akan tetapi Sumarni menahan diri dengan ragu. "Akan tetapi, kakangmas, saya harus memberi tahu bapa ibu lebih dulu....!"
"Tidak usah ! Engkau mau ikut denganku atau tidak?" Priyadi mendesak "Saya mau... saya mau.... akan tetapi Ayah ibu..."
Priyadi menarik tangan Sumarni. "Sudahlah, jangan pikirkan ayah ibumu. Mari ikut denganku dan engkau akan hidup mulia di sampingku." Dia setengah memaksa gadis itu mengikutinya dengan menggandeng tangannya.
"Sumarni, engkau hendak pergi ke mana?" Tiba-tiba terdengar seruan suara Wanita dari muncullah seorang wanita setengah baya, berusia kurang lebih empat puluh tahun, keluar dari pintu rumah itu. Di belakangnya keluar pula seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih. Mereka bergegas keluar menghampiri Sumarni yang digandeng seorang pemuda tampan berpakaian mewah.
"Bapak! simbok! Aku mau pergi, diajak oleh kakangmas Permadi ini" Sumarni berseru.
"Hai... berhenti dulu! ayah Sumarni membentak sambil mengejar. Ketika Priyadi berhenti dan memutar tubuh menghadapinya, petani itu menegur. "Orang muda, Siapakah andika dan andika tidak boleh membawa anak kami pergi begitu saja!"
"Bapak, jangan halangi kami. Dia ini adalah Kakangmas Permadi. Dia adalah Dewa penjaga Sungai dan sudah menjadi suamiku" kata Sumarni.
"Tidak, engkau tidak boleh dibawa pergi begitu saja!" Ayah gadis itu berkeras dan melangkah kedepan untuk memegang lengan puterinya dan hendak merenggutnya dari gandengan Priyadi. Melihat ini, Resi Wisangkolo menggerakkan tangan ke depan mendorong. Angin yang kuat menyambar dan membuat suami isteri itu terdorong ke belakang dan roboh.
"Apa kalian sudah bosan hidup!" bentak kakek itu.
Suami isteri itu terkejut dan ketakutan. Priyadi memberi isyarat agar Resi Wisangkolo tidak menyerang lagi. Dia mengeluarkan sekantung uang dan melemparkan ke atas tanah di depan suami isteri yang mencoba untuk merangkak bangun itu.
"Terimalah ini Sebagai pengganti anak kalian!" Setelah berkata demikian Priyadi menyambar tubuh Sumarni dan memondongnya lalu membawanya lari dengan mengerahkan ilmunya sehingga dia dapat berlari secepat terbang. Resi Wisangkolo mengikutinya sambi tertawa-tawa.
Suami isteri itu hanya bengong memandang dua orang yang berkelebatan demikian cepat, sebentar saja sudah lenyap dari situ. Bahkan mereka berdua masin tetap berlutut dengan mata terbelalak. Mereka mulai percaya bahwa pemuda tampan yang membawa Sumarni adalah seorang dewa, bukan manusia biasa seperti yang dikatakan anak mereka tadi. Apa yang mampu mereka lakukan terhadap seorang Dewa? Suami isteri yang sederhana dan bodoh itu tidak mampu berbuat apapun kecuali menangis karena kehilangan anak mereka yang dibawa "dewa" entah kemana. Sekantung uang yang ditinggalkan dewa memang cukup banyak bagi ukuran keluarga dusun seperti mereka, namun pemberian itu tidak dapat melenyapkan kesedihan mereka kehilangan anak yang mereka sayang.
********************
Dua orang itu melangkah perlahan-lahan dengan sikap waspada. Matahari telah naik tinggi dan hari itu amatlah teriknya. Retno Susilo berhenti melangkah ketika mereka tiba di bawah sebatang pohon asem, yang besar.
"Kita berhenti dulu" katanya kepada Sutejo. "Panasnya bukan main dan di sini teduh dan sejuk."Ia mengusap keringatnya yang membasahi leher.
Sutejo tersenyum."Baiklah, kita mengaso di sini sebentar. Akan tetapi tidak boleh terlalu lama. Kita sudah dekat dengan perkampungan Jatikusumo. Kalau sampai kita ketahuan, tentu kita akan dikepung dan dikeroyok."
"Hemm, aku tidak takut!" kata Retno Susilo yang berwatak keras dan pemberani.
Sutejo tersenyum menatap wajah yang ayu itu. "Akupun tidak takut, diajeng Retno, Akan tetapi Ingat, kini belum waktunya bagi kita untuk menyerbu. Kita hanya bertugas melakukan penyelidikan untuk mengetahui kekuatan mereka. Pula, kalau kita nekat menghadapi pengeroyokan mereka, bagaimana mungkin kita akan dapat menang?"
Angin semilir mengipasi tubuh mereka. Nyaman memang setelah tadi terbakar teriknya matahari siang, kini berada di tempat yang teduh dihembus angin semilir. Membuat mata menjadi mengantuk. Mereka duduk di atas batu yang berada di bawah pohon.
Sutejo dan Retno Susilo tiba di luar perkampungan Jatikusumo itu setelah mereka lebih dulu singgah di Hutan Kebojambe di kaki Gunung Kelud untuk menghadap Ki Mundingsosro ketua perkumpulan Sardulo Cemeng. Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo menyambut kedatangan mereka dengan gembira dan keluarga Itu mengadakan sebuah pesta keluarga untuk menyambut Sutejo dan Retno Susilo. Apa lagi ketika mendengar bahwa Sutejo sudah bertemu dengan orang tuanya, malah orang tua pemuda itu akan datang untuk meminang Retno Susilo, Ki Mudingsosro yang memang sudah berhasrat untuk bermenantukan Sutejo, menjadi girang bukan main.
Setelah kedua orang muda itu menceritakan tentang keinginan mereka untuk menyerbu Jatikusumo dimana si murid durhaka Priyadi menjadi ketua dan bersekongkol dengan orang-orangWirosobo, segera Ki Mundingsosro menyatakan kesediaannya untuk mengerahkan seluruh anggota Sardula Cemeng untuk membantu. Retno Susilo minta kepada ayahnya untuk mempersiapkan pasukan Sardula Cemeng itu agar sewaktu-waktu dapat diperbantukan.
Setelah tinggal selama tiga hari di Hutan Kebojambe untuk melepas rindu, kedua orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan dan pada siang hari itu tibalah mereka di luar daerah perkampungan Jatikusumo.
"Hemm, kalau saja aku bertemu sendiri dengan jahanam Priyadi itu, aku ingin menandinginya satu lawan satu dan akan menghajar jahanam itu!" kata Retno Susilo yang merasa gemas dan benci sekali kepada pemuda yang pernah membantunya menghadapi Harjodento, bahkan yang pernah mengaku cinta kepadanya!
"Kalau dia muncul seorang diri, tanpa keroyokan, akulah yang akan menandinginya, diajeng. Aku ingin membalas kematian Uwa Guru Bhagawan Sindusakti, Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini serta para murid Jatikusumo. Juga aku ingin menandingi Bhagawan Jaladara untuk membalaskan kematian Bapa Guru dan Eyang Guru!"
"Aku heran sekali, ketika dia dulu membantu melawan ayah ibumu, tingkat kepandaian Priyadi itu masih belum terlalu tinggi, tidak akan melebihi tingkatku sendiri. Akan tetapi bagaimana dia tiba-tiba dapat demikian sakti sehingga mampu mengalahkan dan membunuh ketua Jatikusumo yang menjadi gurunya sendiri?"
"Tentu ada rahasianya, diajeng. Kita tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Perubahan tiba-tiba mungkin saja terjadi pada diri seseorang. Contohnya aku sendiri. Tanpa kusangka-sangka, aku menerima aji kesaktian dari mendiang Eyang Guru Resi Limut Manik. Seperti juga engkau yang tadinya hanya menerima pelajaran dari ayahmu, lalu bertemu dengan Nyi Rukmo Petak yang memberi gemblengan kepadamu sehingga engkau memiliki ilmu kepandaian tinggi"
"Mungkin saja begitu. Apa lagi sekarang dia memiliki Pecut Bajrakirana, tentu dia menjadi semakin tangguh. Kalau saja dia berani melawan satu sama satu, aku berani menghadapinya!"
"Sudahlah, diajeng Retno Susilo. Kalau terjadi pertempuran, engkau boleh menghadapi yang lain, akan tetapi yang satu ini. Priyadi, harus kau serahkan kepadaku untuk menandinginya. Mari kita lanjutkan perjalanan. Kita mengambil jalan mengitari daerah perkampungan Jatikusumo ini untuk melihat bagian mana yang lemah dan dapat diserbu kelak"
Mereka lalu turun dari atas batu dan melanjutkan perjalanan mereka. Mereka melakukan perjalanan dengan hati-hati dan waspada, setiap kali bertemu orang mereka lalu bersembunyi di balik semak-semak atau batang pohon dan batu besar. Mereka melihat betapa perkampungan Jatikusumo terjaga ketat oleh puluhan orang yang rata rata tampak kuat. Juga perkampungan itu dikitari dinding dan kayu yang ujungnya dibikin runcing seperti tombak, tingginva tidak kurang dari dua setengah meter. Di pintu gerbang, terdapat kurang lebih tiga puluh orang penjaga dan juga di pintu belakang perkampungan itu terdapat belasan orang penjaga. Sering ada empat orang penjaga melakukan perondaan mengelilingi bagian luar dinding itu.
Hari sudah menjelang sore ketika Sutejo dan Retno Susilo akhirnya menghentikan perjalanan mereka melakukan penyelidikan dan mereka berada di pantai berpasir, tak jauh dari perkampungan Jatikusumo yang memang terletak di pantai Laut Kidul itu.
"Ke mana kita sekarang, kakangmas?"
"Sudah cukup kita menyelidiki. Akan tetapi aku masih ingin. mengetahui siapa saja yang berada di perkampungan Jatikusumo itu. Siapa yang membantu Priyadi untuk memperkuat perkumpulannya dan sejauh mana hubungannya dengan Wirosobo."
"Akan tetapi bagaimana caranya? Engkaukan tidak akan menyelundup masuk ke perkampungan itu?"
"Ah, tidak. Semua tentu sudah mengenalku dan tentu akan ketahuan. Kita harus menangkap seorang anggota mereka. Kita tangkap dan kita paksa dia untuk menceritakan semua keadaan diperkampungan Jatikusumo itu."
"Ah,bagus sekali akal itu, kakangmas! Aku tahu! peronda-peronda itu. Mereka setiap kali mengitari perkampungan dengan berempat. Kalau malam telah tiba dan mereka berempat melakukan perondaan, kita dapat menyergap mereka dan menangkap seorang di antaranya. Begitu, bukan?"
"Tepat! Engkau cerdik, diajeng Nah, mari kita siap untuk melakukan penyergapan itu begitu malam tiba dan cuaca menjadi gelap."
"Akan tetapi malam ini terang bulan. Kalau tidak salah, malam ini bahkan bulan purnama akan muncul."
"Kita jangan menanti sampai bulan menjadi terang betul. Lewat senja nanti keadaan tentu masih gelap dan kita bergerak... ssstt... itu ada orang!" tiba-tiba Sutejo menarik tangan Retno Susilo danrnengajak gadis itu melompat dan bersembunyi dibalik sebuah batu besar yang berada di atas pantai berpasir itu. Mereka lalu mengintai dari balik batu itu. Dua orang sedang berjalan menuju ke tempat itu. Mereka berjalan menyusuri pantai sambil bercakap-cakap.
"Itu dia... Priyadi bersama Ki Klabangkolo...!" seru Retno Susilo lirih sambil memegang lengan Sutejo dongan tegang. Sutejo juga sudah melihat dan mengenal mereka.
Hatinya juga merasa tegang dan berdebar. Inilah Kesempatan baik sekali. Mereka itu hanya berdua, tidak sempat untuk melakukan pengeroyokan. Apa lagi, seorang yang telah berani mengangkat diri menjadi ketua Jatikusumo seperti Priyadi, tentu memiliki keangkuhan dan akan menerima kalau dia tantang untuk bertanding satu lawan satu.
Setelah mengambil keputusan tetap, dia lalu mengajak Retno Susilo untuk keluar dari persembunyian mereka dan melompat ke depan dua orang yang sedang berjalan seenaknya di tepi laut itu Priyadi dan Ki Klabangkolo juga terkejut sekali setelah mengenal siapa orangnya yang melompat dan menghadang di depan mereka. Akan tetapi begitu melihat Retno Susilo, Priyadi merasa lega dan tersenyum.
Dalam pandangannya, gadis itu tampak semakin ayu saja sehingga jantungnya berdebar penuh kerinduan dan gairah. Dia tidak memperdulikan Sutejo dan melangkah maju menghampiri Retno Susilo.
"Nimas Retno Susilo...! Ah, betapa sudah lama sekali aku mengharapkan pertemuan ini betapa setengah mati aku merindukanmu nimas! Engkau tentu datang untuk mengunjungi aku, bukan? Engkau tentu belum melupakanaku yang pernah menolong dan membantumu, bukan?" kata pemuda itu dan dia menatap wajah Retno Susilo dengan sinar mata penuh kasih sayang dan kerinduan!
Akan tetapi gadis itu melangkah mundur dua tindak menjauhi pemuda itu dan matanya mencorong marah. Melihat ini, Priyadi menjadi kecewadan heran. "Nimas Retno Susilo, apakah engkau lupa kepadaku? Aku Priyadi yang dulu membantumu dan menolongmu ketika engkau ditawan Ki Klabangkolo! Inilah dia orangnya yang dulu menawanmu, nimas. Lupakah engkau?
Sekarang Ki Klabangkolo telah menjadi seorang pembantuku. Ingatkah engkau ketika dahulu aku membantumu lari menyelamatkan diri dari perkampungan Nogo Dento? Aku Priyadi!"
"Aku tahu siapa engkau! Seorang manusia berhati iblis yang telah membunuh guru sendiri dan saudara-saudara seperguruan sendiri. Aku tidak sudi menjadi sahabatmu!"
"Akan tetapi, nimas Retno Susilo....! Aku... aku cinta padamu...!" Priyadi melangkah maju. Akan tetapi Sutejo sudah, maju ke depan dan menghadapinya. "Priyadi!" bentak Sutejo.
"Aku sengaja menghadang di sini dan aku ingin bicara denganmu!"
Kini seolah baru sekarang Priyadi melihat Sutejo dan dia memandang kerada pemuda itu dengan alis berkerut dan mata mencorong marah. "Engkaukan Sutejo, murid Paman Bhagawan Sidik Paningal itu? Mau apa engkau? Minggirlah dan jangan mengganggu aku bicara dengan nimas Retno Susilo, Engkau anak kecil tahu apa!"
"Priyadi! Dahulu engkau memang terhitung kakak seperguruanku. Akan tetapi sekarang aku tidak sudi mengakui engkau sebagai saudara seperguruan lagi. Engkau murid murtad, manusia jahanam yang berkhianat, telah membunuh guru dan saudara seperguruan sendiri. Aku tantang engkau untuk bertanding satu lawan satu kalau memang engkau seorang laki-laki!"
Marahlah Priyadi. "Babo-babo keparat Sutejo! Setelah memiliki sedikit kepandaian, engkau menjadi sombong! Kau kira aku takut kepadamu? Agaknya engkau sudah bosan hidup. Kalau engkau hendak menyusul Bhagawan Sindusakti dan para muridnya yang telah tewas, biar aku mengantarmu!"
"Kakangmas Sutejo, jangan takut dikeroyok! Kalau celeng (babi hutan) brewok tua bangka itu hendak maju mengeroyok, biar aku yang membunuhnya!" bentak Retno Susilo yang masih merasa marah sekali kepada Ki Klabangkolo yang pernah menawannya dengan niat keji terhadap dirinya.
"Keparat Sutejo! Hari ini engkau akan mampus di tanganku dan engkau nimas Retaa Susilo, mau tidak mau engkau harus ikut aku dan hidup mulia bersamaku di perkampungan Jatikusumo!"
"Sudahlah, Priyadi! Seorang jantan tidak perlu banyak bicara. Kalau memang engkau berani, mari kita tentukan siapa di antara kita yang akan mendapatkan perlindungan Sang Hyang Widhi Wasa!" tantang Sutejo.
Mendengar tantangan ini. Priyadi marah sekali."Paman Klabangkolo, jangan ikut-ikut. Andika menjadi saksi saja dan lihat bagaimana aku akan menghukum bocah banyak tingkah ini!" Setelah berkata demikian, tubuhnya menggeliat dan kedua lengannya terulur ke atas lalu melengkung ke depan dan dari mulutnya terdengar suara yang amat dahsyat. Suara itu menggeram dan membuat keadaan di pantai itu seperti tergetar.
"Aauuurrrgghhh....!" Itulah Aji Jerit Nogo yang amat dahsyat. Aji yang mengeluarkan suara yang mengandung tenaga sakti sepenuhnya ini bukan saja dapat menangkis semua kekuatan sihir, namun juga memiliki daya serang membuat lawan terguncang jantungnya dan dapat membuat lawan lumpuh.
Sutejo sudah waspada dan diapun tahu akan kedahsyatan aji yang dikeluarkan oleh Priyadi. Maka diapun segera mengerahkan tenaga saktinya yang dia dapatkan dari mendiang Resi Limut Manik sehingga aji kekebalan Kawoco yang melindungi seluruh tubuhnya menjadi berlipat ganda kuatnya. Gelombang pekik sakti yang dikeluarkan Priyadi itu bagaikan gelombang lautan yang menerpa batu karang yang kokoh kuat sehingga gelombang itu terpecah dan batu karang itu tidak bergeming sedikitpun!
Melihat ini, Priyadi menjadi terkejut dan juga penasaran yang membuatnya menjadi semakin marah. Dia menyilangkan kedua lengannya, membuat gerakan aneh lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Sutejo sambil mengeluarkan bentakan nyaring, "Aji Margopati....!! "
"Aji Bromo kendali....!"Sutejo juga mendorongkan kedua telapak tangannya seolah membuat gerakan menyembah ke atas.
"Wuuuuttt...! blaarrrr...!!" Dua tenaga sakti yang amat dahsyat bertemu di udara dan kedua orang muda yang sakti mandraguna itu terpental ke belakang dan napas mereka agak memburu saking kuatnya tenaga mereka sendiri yang terpental dan membalik. Keduanya maklum bahwa mereka memiliki tenaga sakti yang sama kuatnya dan menghamburkan tenaga sakti ini sungguh membahayakan diri sendiri kalau tidak berhasil merobohkan lawan. Maka Priyadi lalu melompat dan menerkam, mengirim pukulan dengan kedua tangannya bertubi-tubi ke arah bagian tubuh Sutejo yang berbahaya.
Namun Sutejo telah siap dan diapun mengelak dan menangkis lalu membalas sehingga dua orang jagoan muda itu sudah saling serang dengan hebatnya. Mereka saling pukul, saling tangkis, saling tendang, dorong mendorong bagaikan dua ekor singa muda bergumul dan berkelahi mati-matian. Keadaan di sekeliling mereka tergetar, pasir berhamburan dan angin menyambar-nyambar dari pukulan mereka.
Ki Klabangkolo dan Retno Susilo yang menjadi penonton, memandang dengan mata terbelalak. Hampir gadis itu tidak pernah berkedip. Berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Kagum, tegang dan juga khawatir. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang demikian hebatnya. Dia semakin kagum kepada Sutejo. Baru sekarang dia menyaksikan kesaktian Sutejo yang dikeluarkan semua. Akan tetapi yang membuat dia khawatir adalah ketika dia melihat betapa Priyadi juga tangkas sekali, dan juga kebal.
Mereka itu saling memukul dan kadang-kadang pukulan mereka mengenai sasaran, akan tetapi tubuh lawan yang terpukul seperti terbuat dari karet dan pukulan itu terpental! Mereka itu hanya saling mengelak kalau pukulan mengarah bagian tubuh yang lemah dan berbahaya, atau menangkis. Suara lengan mereka yang beradu berulang kali itu mengeluarkan suara dak-duk dak-duk yang menggetarkan, seolah bukan tulang daging kulit yang diadu, melainkan dua baja yang amat kuat.
"Keparat, ambrol dadamu!" Priyadi membentak dan tubuhnya melayang dengan kedua kaki terlebih dulu. Dua batang kaki itu mengandung tenaga dahsyat menghantam ke arah dada Sutejo. Serangan itu demikian cepatnya sehingga Sutejo tidak sempat mengelak atau menangkis, terpaksa menyambut dengan dadanya sambil mengerahkan aji kekebalan Kawoco.
"Wuuuuttt.....desss .... !" Sutejo tidak terluka karena dadanya dilindungi aji kekebalan, akan tetapi saking kuatnya tendangan terbang itu, tubuhnya terjengkang dan terguling-guling sampai beberapa meter!
"Ha-ha-ha!" Priyadi yang sudah hinggap di atas tanah menertawakannya, akan tetapi tiba-tiba tubuh Sutejo yang tadinya bergulingan, sudah melompat dan meluncur ke depan, kedua tangannya menerkam ke arah tubuh Priyadi! Priyadi terkejut, akan tetapi pinggangnya sudah dapat dicengkeram, tubuhnya diangkat oleh Sutejo lalu dibanting.
"Desss......!"Tubuh Priyadi terbanting dan dia terguling-guling sampai beberapa meter, akan tetapi diapun sudah melompat berdiri lagi dengan mata bersinar penuh kemarahan .Tak disangkanya bahwa Sutejo dapat bergerak secepat dan sekuat itu.
Pertandingan itu sudah berlangsung hampir satu jam dan mereka baru satu kali saling menjatuhkan, akan tetapi tidak dapat saling melukai.
"Srattt.....!" Tampak sinar berkilat ketika Priyadi mencabut sebatang keris dari pinggangnya. Itulah keris pusaka Liat Nogo. pemberian Adipati Wirosobo sebagai tanda bahwa Priyadi telah menjadi seorang senopati Wirosobo! Keris pusaka yang ampuh karena liat Nogo berarti Lidah Naga. Tentu saja ujung keris itu mengandung racun yang panas dan dapat membuat kulit lawan melepuh kalau sampai tergores sedikit saja!
"Hemm, Priyadi. Belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, engkau sudah mengeluarkan pusaka!" kata Sutejo mencela.
"Pusaka liat Nogo ini yang akan mengantarmu ke alam baka!" bentak Priyadi sambil mengacungkan kerisnya yang berluk sembilan berbentuk lidah naga yang rupanya kemerahan.
Sutejo melolos kain pengikat rambut kepalanya dan menggerakkan kain itu. dengan tangan kanan, kain itu yang tadinya lemas berubah menjadi kaku seperti terbuat dari logam yang kuat.
"Majulah kau dengan kerismu itu, Priyadi. Aku sama sekali tidak gentar menghadapinya!" sahut Sutejo dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan, berbeda dengan sikap Priyadi yang dipenuhi kemarahan.
"Mampus kau...!!" Priyadi mulai menyerang dengan kerisnya. Gerakannya amat cepat dan juga mengandung tenaga yang amat kuat. Sutejo maklum akan bahayanya serangan itu. Selain cepat dan mengandung tenaga sakti yang amat kuat. juga keris itu sendiri merupakan senjata yang amat ampuh. Dia tidak berani mengandalkan aji kekebalannya untuk menerima tikaman keris pusaka itu. Dengan gerakan ringan dia melompat ke samping sehingga tusukan keris itu luput dan dan samping kain ikat kepalanya menyambar ke arah pelipis kiri Priyadi.
Priyadi juga tidak berani memandang rendah serangan dengan keris itu karena dia tahu bahwa lawannya mempergunakan Aji Sihung Nila, dan agaknya aji-aji dari perguruan Jatikusumo yang dikuasai Sutejo sudah sampai ke tingkat paling atas. Dari sambaran angin serangan itu saja maklumlah dia bahwa dia tidak boleh mengandalkan aji kekebalan untuk menghadapi sambaran kain itu. Diapun cepat menundukkan kepala mengelak, lalu melangkah satu tindak ke belakang dan kembali kerisnya menghunjam ke arah perut Sutejo. Sutejo menangkis dengan sabetan tangan kirinya ke arah lengan Priyadi.
"Plakk....!" Tangan Priyadi yang memegang keris terpental dan saat itu, Sutejo melecutkan ujung kain kepalanya ke arah muka Priyadi, mengancam mata!
"Plakk!" Priyadi membalas dengan tangkisan tangan kirinya sehingga kain itu terpental. Keduanya melangkah mundur untuk mengambil pasangan kuda-kuda lalu saling menyerang lagi dengan cepat dan ganasnya. Retno Susilo hampir tak pernah berkedip. Pertandingan itu hebat bukan main. Gerakan kedua orang itu sangat cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata dan iatidak tahu pihak manakah yang unggul atau pihakmana yang terdesak. Agaknya mereka saling serang bergantian, kadang dari jarak dekat sekali dan terkadang dari jarak agak jauh.
Lebih setengah jam mereka bertanding mempergunakan keris dan ikat kepala dan tanpa terasa cuaca menjadi semakin gelap sehingga kedua orang yang bertanding itu lebih banyak mengandalkan ketajaman pendengaran mereka dari pada ketajaman penglihatan mereka. Dari sambaran angin serangan, mereka dapat mengetahui dari arah mana serangan datang menyambar. Sementara itu, Retno Susilo yang menonton menjadi semakin tegang dan gelisah, mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya.
"Anakmas Priyadi, kenapa tidak mempergunakan Pecut Sakti Bajrakirana?" tiba-tiba Ki Klabangkolo berseru nyaring.
Agaknya Priyadi baru teringat akan senjata pusaka keramat ini. Dia melompat ke belakang, menyarungkan kerisnya dan melolos pecut sakti itu yang tadinya dilibatkan di pinggangnya. Pecut yang panjang itu digerakkan ke atas dan terdengar bunyi meledak-ledak seperti halilintar menyambar-nyambar. Sutejo terkejut sekali. Hatinya menjadi terguncang dan dia merasa agak gentar karena dia tahu benar keampuhan pecut sakti itu.
"Sutejo! Kau melihat pusaka ini? Berlututlah karena setiap orang murid Jatikusumo harus menaati pemegang pecut pusaka ini" bentak Priyadi.
"Hemm, Priyadi. Pecut pusaka itu sesungguhnya telah menjadi milikku, diberikan oleh mendiang Resi Limut Manik. Bhagawan Jaladara secara licik telah mencuri kemudian merebut pecut pusaka itu dari tanganku, kemudian dia memberikannya kepadamu. Pecut itu adalah milikku. Penghormatan bukan dilakukan terhadap pecut pusaka, melainkan terhadap pemegangnya. Dan engkau adalah seorang durjana yang tidak patut untuk dihormati. Kembalikan pecut Bajrakirana itu kepadaku?"
"Mampuslah engkau!" Priyadi membentak dan menggerakkan cambuk itu yang melecut-lecut ke arah kepala Sutejo. "Tar-tar-tar-tarrrr...!"
Sutejo terpaksa harus berloncatan ke sana sini untuk menghindarkan diri. Lecutan Pecut Bajrakirana itu berbahaya sekali dan kalau mengenai kepalanya, mungkin dia akan roboh tewas. Dia lalu menggerakkan kain pengikat kepalanya, memainkannya dengan Aji Bajrakirana. Akan tetapi karena yang dimainkan hanya sehelai kain sedangkan aji itu harus dimainkan dengan sebatang pecut dan pecut itupun harus Pecut Bajrakirana, maka permainannya tidaklah begitu hebat. Sedangkan penyerangan Priyadi bertubi-tubi, pecut menyambar-nyambar. Terpaksa Sutejo harus mengerahkanseluruh ilmunya untuk meringankan tubuhnya yaitu Aji Harina Legawa.
Tubuhnya bergerak seperti seekor burung srikatan, dan sudah cepat menghindar sebelum ujuug cambuk menyentuh tubuhnya. Dua kali dia mencoba untuk menangkis dengan kain pengikat kepalanya, akan tetapi setiap kali bertemu ujung pecut, kain pengikat kepalanya itu terobek ujungnya! Setelah dua kali senjatanya yang istimewa itu hancur ujungnya bertemu dengan Pecut Sakti Bajrakirana, Sutejo tidak berani menangkis lagi dan hanya mengandalkan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri.
Dia berusaha membalas serangan-serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya itu dengan kain itu yang sudah remuk pinggirnya dan memang ilmu silat pecut Bajrakirana yang dimainkannya sempat membuat Priyadi terkejut dan memutar pecutnya melindungi diri. Akan tetapi kain pengikat kepala itu bukan pecut. Kurang panjang dan tidak ada gagangnya. Tentu saja gerakan Sutejo menjadi terbatasdan ilmu yang hebat itu tidak dapat dimainkan sepenuhnya.
Malam telah tiba. Cuaca amat gelapnya. Tiba-tiba Priyadi yaag tadinya sempat dikejutkan oleh permainan silat Sutejo yang aneh, melompat ke belakang. "Tahan dulu!" serunya lantang. "Sutejo! Malam telah tiba. Cuaca terlalu gelap bagi kita untuk melanjutkan pertandingan. Kalau engkau memang jantan, aku menantangmu untuk melanjutkan pertandingan besok pagi setelah matahari muncul, tempatnya di sini juga. Kalau engkau tidak datang, maka itu berarti bahwa engkau adalah seorang pengecut dan penakut yang hina dan rendah!"
"Priyadi!" Bentak Sutejo. "Siapa takut kepadamu? Sekarang ataupun besok pagi, aku selalu siap menghadapimu! Besok pagi aku akan datang ke sini memenuhi tantanganmu karena sudah menjadi kewajibanku untuk membasmi seorang manusia berhati iblis seperti kamu!"
"Hati-hati, kakangmas Sutejo. Manusia iblis macam dia tentu tidak segan bertindak curang!" kata RetnoSusilo.
"Nimas Retno Susilo, ingatlah bahwa hatiku masih tetap terbuka untukmu. Nah,sampai besok pagi kita berjumpa lagi. Mari, paman klabangkolo!" Priyadi lalu meninggalkan tempat itu bersama Ki Klabangkolo, meninggalkan Sutejo dan Retno Susilo.
"Bagaimana, kakangmas? Apakah kiranya engkau mampu menandinginya? Aku tadi bingung, tidak tahu siapa yang lebih unggul antara kalian berdua," kata Retno Susilo sambil menghampiri Sutejo. Sutejo menghela napas panjang dan mengikatkan kembali kain yang tadi dipergunakan sebagai senjata di kepalanya.
"Wah, dia memang hebat sekali. Akan tetapi aku masih dapat mengimbanginya. Hanya setelah dia mempergunakan Pecut Bajrakirana, aku merasa kewalahan. Pusaka itu ampuh sekali sehingga kain pengikat kepalaku menjadi remuk ujungnya. Ah. kalau saja pecut itu dapat kurampas dan berada di tanganku, aku yakin akan mampu mengalahkan dan merobohkannya!" Sutejo merasa yakin sekali karena kalau pecut itu berada di tangannya dan dia memainkannya dengan Aji Bajrakirana, agaknya Priyadi tidak akan mampu menandinginya.
"Akan tetapi, bagaimana jadinya besok pagi kalau dia mempergunakan pecut itu? Apakah... tidak berbahaya bagimu, kakangmas?" tanya Retno Susilo dengan suara mengandung kekhawatiran.
"Jangan khawatir, diajeng. Dia tidak akan mudah untuk mengalahkan aku! Aku akan menggunakan segala daya untuk menandinginya."
"Kakangmas, aku merasa khawatir sekali. Apakah tidak sebaiknya kalau kita pergi saja dari sini? Kelak, kalau kita sudah siap dan melakukan penyerbuan ke sini, baru engkau hadapi lagi dia."
"Ah, bagaimana mungkin aku dapat melakukan hal itu, diajeng? Tentu Priyadi akan menganggap aku pengecut dan penakut. Tidak, aku harus menyambut tantangannya. Kurasa aku masih sanggup untuk menandinginya, walaupun dia mempergunakan Pecut Bajrakirana. Nah, sekarang kita harus mencari tempat untuk beristirahat dan melewatkan malam ini, diajeng. Aku harus menghimpun tenaga untuk menghadapi Priyadi besok pagi."
Retno Susilo tidak mau membantah lagi dan mereka lalu menyusuri pantai itu. Akhirnya mereka menemukan sebuah gua di antara batu-batu karang di pantai itu dan mereka lalu memasuki gua dengan mempergunakan seikat kayu yang dibakar sebagai penerangan. Gua itu cukup lebar dan lantainya pun rata. Sutejo lalu membuat api unggun di mulut gua dan merekapun beristirahat.
"Engkau tidurlah, kakangmas. Engkau perlu beristirahat untuk memulihkan tenagamu agar besok pagi engkau dapat menghadapi musuh dalam keadaan segar. Biar aku yang melakukanpenjagaan agar api unggun tidak sampai padam."
Sutejopun tidak sungkan-sungkan lagi. "Baiklah, diajeng, dan terima kasih." Dia lalu memasuki gua dan merebahkan dirinya di sudut gua, tidur telentang dan mengendurkan seluruh urat syarafnya untuk beristirahat.
Bulan purnama muncul dengan cahayanya yang lembut dan terang menciptakan pemandangan yang amat indah penuh rahasia di sepanjang pantai Laut Selatan yang luas itu. Deru dan desis air yang menipis di pantai pasir, debur ombak yang menggelegar menghantam dinding karang, menambah aneh suasana di malam hari itu. Tiba-tiba Retno Susilo memandang ke arah pantai berpasir dengan mata terbelalak.
"Kakangmas Sutejo...!" Ia memanggil dengan suara tertahan. Sutejo yang belum pulas karena baru saja merebahkan diri, bangkit duduk. "Ada apakah, diajeng ?"
"Ada orang di sana, kakangmas. Mencurigakan sekali!"
Sutejo menghampiri Retno Susilo dimulut gua dan diapun kini melihat adasosok tubuh seseorang terbungkuk bungkuk menuju ke air. "Celaka, agaknya orang itu hendak membunuh diri" kata Sutejo dan diapun melompat bangun lalu berlari, diikuti Retno susilo, Mereka menghampiri orang yang kini sudah masuk ke dalam air dan sudah berada di bagian yang sepinggang dalamnya! Agaknya ia hendak terus ke tengah!
Sutejo cepat berloncatan dalam air dan akhirnya ia dapat meraih pinggang orang itu dan menariknya ke daratan kembali. Dia merasa heran sekali mendapatkan kenyataan bahwa yang hendak membunuh diri itu adalah seorang wanita. Seorang wanita muda yang cantik manis walaupun rambutnya awut-awutan. Dan di bawah sinar bulan purnama, dia dapat melihat wajah itu dengan jelas. Sutejo tertegun ketika dia mengenal wajah gadis itu.
"Sumarni....! Kau... kau... Sumarni?" Retno Susilo sudah berada pula di sampingnya dan gadis ini tentu saja juga terheran mendengar betapa Sutejo agaknya telah mengenal gadis yang hendak membunuh diri.
Gadis itu memang Sumarni. Tadinya ia meronta dalam rangkulan Sutejo, akan tetapi ketika ia mendengar Sutejo menyebut namanya, iapun segera mengenal pemuda itu dan iapun menjatuhkan dirinya berlutut di atas pasir dan menangis tersedu-sedu dengan sedih sekali.
"Kakangmas Sutejo, siapakah gadis ini?" Retno Susilo bertanya dengan alis berkerut.
"IaSumarni. Pernah aku menolongnya dari tangan orang-orang jahat. Sumarni, mengapa engkau berada di sini dan apa yang hendak kau lakukan tadi?"
Ditanya begini, Sumarni menangis semakin sedih.
"Sumarni, lupakah engkau kepadaku? Tidak percayakah engkau kepadaku?" tanya Sutejo.
Di antara isak tangisnya, Sumarni berkata, "Saya mengenal andika, denmas Sutejo. Akan tetapi mengapa denmas menolong saya? Biarkan saya tenggelam dan mati saja..."
"Akan tetapi kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Sutejo.
"Denmas ingat cerita saya dahulu tentang pemuda bernama Permadi itu?"
"Hemm, yang meninggalkanmu begitu saja?"
"Benar, denmas, Akhirnya dia datang dan dengan paksa dia membawa saya ke sini. Ternyata dia bukan dewa penjaga sungai, melainkan seorang ketua perkumpulan yang bernama Priyadi. Tadinya saya rela mengikutinya, saya cinta padanya, akan tetapi... ahhhh..."
Retno Susilo tertarik ketika mendengar bahwa yang diceritakan gadis itu adalah mengenai Priyadi "Akan tetapi apakah? Apa yang dia lakukan terhadap dirimu?" Retno Susilo membantu Sumarni untuk bangkit. Gadis dusun Jaten itu mengusap pipinya dengan kedua tangan.
"Ternyata dia seorang yang kejam dan jahat sekali, denmas Sutejo. Dia hanya menganggap aku sebagai barang permainan belaka dan yang lebih menghancurkan hatiku, dia... dia... menyuguhkan dan menyerahkan aku kepada Ki Klabangkolo...."
"Keparat jahanam!" Sutejo mengepal tangannya dengan marah. Dia dapat membayangkan bagaimana hancur dan sengsara rasa hati gadis itu yang dipaksa untuk melayani Ki Kiabangkolo, disuguhkan sendiri oleh Priyadi yang dicintanya!
"Aku cinta padanya, denmas. akan tetapi aku juga benci padanya... kalau saja aku dapat, aku ingin membunuhnya... akan tetapi tidak mungkin, dia berkuasa dan sakti. Lebih baik aku mati tenggelam saja...." Gadis itu menangis lagi.
Sutejo tidak dapat berkata apa-apa. Dia menjadi bingung, harus menghibur bagaimana kepada gadis dusun yang bernasib malang itu.
"Kakangmas Sutejo, engkau kembalilah ke dalam gua dan beristirahatlah. Biarkan aku yang bicara dengan mbakayu ini" aku tahu bagaimana harus menghiburnya." kata Retno Susilo...