Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 46
J0K0 PRAMONO yang mulai mendesak Cekel Wisangkoro, dapat melihat dari jauh betapa isterinya mendapatkan lawan yang amat tangguh, maka ia lalu mengeluarkan pekik sakti yang dahsyat sekali, menubruk maju memapaki sambaran tongkat Cekel Wisangkoro.
Tongkat yang menyambar ke arah kepalanya itu ditangkis oleh Joko Pramono dengan lengan tangan terus dicengkeram dan ditekuk ke bawah lengan, dikempit sehingga tongkat itu tidak dapat ditarik kembali oleh pemiliknya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cekel Wisangkoro untuk menggerakkan tangan kirinya yang terbuka jarinya, menampar ke arah pelipis Joko Pramono.
Pemuda sakti yang menjadi Patih Jenggala ini maklum bahwa kalau ia tidak cepat dapat merobohkan lawan tangguh ini maka pertempuran akan berlarut-larut dan ia mengkhawatirkan keselamatan isterinya yang menghadapi Ni Dewi Nilamanik yang sakti. Maka ketika pukulan atau tamparan tangan kiri Cekel Wisangkoro menyambar pelipisnya dari atas, ia tidak mengelak atau menangkis melainkan miringkan kepala dan menyambut tamparan itu dengan pundaknya, akan tetapi pada detik itu juga, tangan kanannya sendiri menghantam dengan telapak tangan dengan pengerahan Aji Cantuka-sekti, ke arah perut lawan.
"Dessss.... Ngekkk.... !!" Tubuh Cekel Wisangkoro terpental dan kakek ini roboh dan tewas seketika dengan darah mengucur dari semua lubang di tubuhnya, isi perutnya hancur oleh pukulan Joko Pramoiio. Patih muda ini sendiri terhuyung ke belakang akan tetapi tidak terluka dan beberapa menit kemudian ia telah meloncat dan
membantu isterinya menghadapi Ni Dewi Nilamanik.
Melihat majunya Joko Pramono, Ni Dewi Nilamanik menjadi gugup. Kebutannya diputar, akan tetapi karena perhatiannya ia tujukan kepada Joko Pramono, ia menjadi kurang waspada terhadap serangan Pusporini yang menampar dengan Aji Pethit Nogo. Biarpun Ni Dewi Nilamanik berhasil mengelak, namun ia terhuyung dan saat itu dipergunakan oleh Joko Pramono untuk mencengkeram kebutannya dan menyendalnya tiba-tiba. Ni Dewi Nilamanik mempertahankan.
"Bretttt!" Kebutan itu putus di tengah-tengah dan tubuh Ni Dewi Nilamanik terjengkang. Pusporini dan Joko Pramono menerjang maju untuk menghabisi wanita itu, akan tetapi tiba-tiba ada angin besar menyambar dari depan, membuat mereka terhuyung ke belakang! Kiranya di situ telah berdiri scorang dara muda jelita yang matanya seperti berapi dan keningnya dikerutkan, sikapnya angkuh dan garang.
"Kau.... kau.... Retna Wilis !" Pusporini berkata, menduga-duga, sedangkan Joko Pramono juga memandang dengan kagum akan tetapi juga penasaran karena hatinya tidak senang mendengar betapa puteri Endang Patibroto ini menentang semua keluarga termasuk ibunya sendiri.
"Kalian tentu Bibi Pusporini dan Paman Joko Pramono, lebih baik Andika berdua mundur." Dara jelita yang bukan lain adalah Retna Wilis sendiri ini menoleh kepada Ni Dewi Nilamanik dan berkata, "Andika mundurlah"
Ni Dewi Nilamanik menjadi merah mukanya. ia amat tidak suka menyaksikan sikap Ratu Wilis yang tidak pernah menghormat siapa pun juga ini, akan tetapi karena ia tadi telah ditolong, diselamatkan dari bahaya maut, ia tidak membantah dan mundur, menyelinap di antara para perajurit.
Pusporini yang memiliki hati keras dan galak, segera menudingkan telunjuknya kepada Retna Wilis dan membentak, "Bocah kurang ajar! Begiriikah sikapmu terhadap bibi dan pamanmu? Kami adalah perajurit-perajurit sejati, lebih baik mati di medan laga daripada mundur!"
Retna Wilis tersenyum mengejek. "Kalau aku yang maju, Andika berdua mau apa? Melawanku? Tiada gunanya!"
"Bocah murtad! Durhaka!" Pusporini sudah menerjang maju dan menghantam dengan Pethit Nogo mengarah kepala Retna Wilis. Akan tetapi dengan tenang Retna Wilis menggerakkan tangan, menangkap pergelangan Pusporini sehingga wanita ini tak dapat bergerak, kemudian sekali ia mendorong, tubuh Pusporini terlempar sampai lima meter lebih, menimpa dua orang perajurit yang roboh terpelanting.
"Keparat....!" Pusporini maju lagi, akan tetapi suaminya mencegahnya.
Terdengar sorak-sorai riuh dan kini perang makin menghebat. Majunya Retna Wilis dibarengi majunya Wasi Bagaspati dan pasukan ini dari depan, sedangkan dari kanan maju pasukan yang dipimpin Wasi Bagaskolo, dan dari kiri maju pasukan yang dipimpin Patih Adiwijaya. Bala tentara Jenggala mawut tidak karuan, banyak yang tewas dan sisanya lari mundur!
Tiba-tiba di antara hiruk-pikuk pasukan kedua pihak yang berperang campuh, terdengar melengking suara Retna Wilis, "Pasukan Wilis, dengar ratumu bicara! Tarik mundur semua perajurit dan jangan bergerak sebelum kuberi komando!"
Hebat memang suara Retna Wilis ini. Terdengar sampai jauh dan hebat pula ketaatan para pasukan Wilis yang serentak menghentikan pengejaran bahkan mundur dan tidak mengeluarkan suara berisik. Retna Wilis mengeluarkan pekik ini karena ia melihat munculnya beberapa orang menghadapinya, di antarnya adalah ibu kandungnya, Endang Patibroto! Ia memandang tajam, meneliti seorang demi seorang. Akan tetapi yang maju mendekatinya hanya empat orang dan karena ia sudah mengenal ibunya, Joko Pramono, dan Pusporini, maka dengan mudah ia dapat menduga bahwa pria gagah perkasa setengah tua yang berpemandangan tajam sekali dan berdiri di samping ibunya itu tentulah orang yang disebutkan sebagai ayah kandungnya, yaitu Ki Patih Tejolaksono, Patih Muda Panjalu!
"Retna! Engkau lanjutkan perbuatanmu yang laknat ini?" Endang Patibroto sudah tidak dapat menahan lagi kemarahannya, mukanya merah matanya menyinarkan api dan kedua tangannya mengepal tinju.
"Ibu, sudah kukatakan bahwa apa pun juga tidak akan dapat menghentikan aku mengejar dan mencapai cita-citaku," jawab Retna Wilis dengan sikap tenang, sedangkan di samping dan belakangnya berdiri Wasi Bagaspati, Wasi Bagaskolo, dan Ni Dewi Nilamanik. Mereka bertiga ini, terutama sekali Wasi Bagaspati, merasa kecewa dan tidak senang hatinya mengapa Retna Wilis menahan pasukannya yang sudah hampir berhasil menaklukkan Jenggala.
"Engkau bersekutu dengan orang jahat, dan demi mengejar cita-citamu yang gila untuk menjadi ratu terbesar, engkau sampai hati untuk mengorbankan nyawa laksaan orang bahkan sampai hati menentang aku, ibumu sendiri dan Ki Patih Tejolaksono, ayah kandungmu ini?"
Retna Wilis memandang ayahnya itu dengan sinar mata memandang rendah, kemudian berkata, "Kalau Ibu tidak menghendaki jatuh banyak korban yang sudah menjadi hal wajar dalam perang, Ibu usahakan agar Jenggala dan Panjalu menakluk kepadaku tanpa perang. Kalau mereka itu mau mengakui Ratu Wilis sebagai ratu terbesar dan menjadi kerajaan-kerajaan bawahanku, aku tidak akan menyerang. Adapun mengenai ayahku, aku merasa tidak mempunyai seorang ramanda yang sejak kecil bahkan sejak lahir tidak pernah menjengukku, seorang yang telah menyia-nyiakan Ibu. Orang seperti itu sepatutnya menjadi musuhku, bukan ayahku!" Ucapan ini mengandung kepahitan yang membuat wajah Tejolaksono menjadi pucat. Endang Patibroto marah bukan main.
"Retna Wilis! Biarlah engkau atau aku yang mati di sini!" ia sudah akan bergerak menyerang, akan tetapi lengannya dipegang oleh Ki Patih Tejolaksono.
"Bersabarlah, Diajeng." Kemudian dengan tenang Tejolaksono menghadapi Retna Wilis dan berkata, "Retna Wilis, tidak perlu kiranya kami membela diri, karena memang setiap orang manusia itu tentu mempunyai sifat-sifat buruk yang dilakukan di waktu ia lupa di samping sifat-sifat baiknya. Kalau engkau menentang ayah bunda dan keluargamu, hal itu hanya merupakan penyelewengan pribadi saja. Akan tetapi apa yang kaulakukan ini, hendak menaklukkan Jenggala dan Panjalu, keturunan Mataram, dan bersekutu dengan orang-orang dari kerajaan asing Cola, benar-benar merupakan pengkhianatan terhadap bangsa dan tanah air. Apakah gurumu tidak pernah memberi ajaran tentang ini?"
"Ha-ha-ha! Tejolaksono sejak dahulu sombong dan keminter (tinggi hati)! Sang Ratu, ayahmu yang tidak patut menjadi ayah ini malah berani menghina gurumu, Nini Bumigarba yang mulia!" kata Wasi Bagaspati sambil tertawa-tawa.
Muka Retna Wilis menjadi merah sekali. "Kehadiranku di sini membawa bala tentara Wilis yang jaya bukan untuk mengobrol tentang keluarga, melainkan sebagai Ratu Wilis yang mengadakan perang terhadap Jenggala! Pendeknya, harap kalian sampaikan pesanku kepada kedua Raja Jenggala dan Panjalu, bahwa kalau dalam waktu tiga bulan sejak hari ini kedua raja itu tidak datang menghadap padaku di Wilis menyatakan takluk, aku akan memimpin barisan dan menggempur Jenggala dan Panjalu yang akan kujadikan karang abang (lautan api)!"
Saking marah dan duka hatinya, tiba-tiba Endang Patibroto mengeluh dan roboh pingsan dalam pelukan suaminya yang cepat merangkulnya. "Retna Wilis, beginikah engkau membalas budi orang yang menjadi ibu kandungmu? Engkau menghancurkan hati ibumu." Tejolaksono berkata sambil memandang penuh penyesalan.
"Bukan aku yang menyuruh dia seperti itu. Mengapa ibu sendiri tidak membantu aku agar cita-cita anaknya tercapai?" Retna Wilis mendengus, sedikit pun tidak kelihatan kasihan atau terharu menyaksikan keadaan ibunya.
Wasi Bagaspati tertawa bergelak, sungguhpun hatinya amat tidak setuju akan sikap yang diambil Retna Wilis mengenai Jenggala dan Panjalu. Jenggala sudah hampir takluk, kalau penyerbuan dilanjutkan, besok pagi tentu Jenggala sudah terjatuh ke tangan mereka, tinggal meneruskan penyerbuan ke Panjalu. Akan tetapi daging yang sudah berada di depan mulut dilepas lagi oleh Retna Wilis, bahkan diberi waktu tiga bulan. Tentu saja waktu itu dapat dipergunakan oleh Jenggala dan Panjalu untuk memperkuat penjagaan!
Pusporini melangkah maju, dan menudingkan telunjuknya, kemarahan besar membuat dadanya yang membusung itu naik turun, matanya seperti mengeluarkan sinar berapi.
"Retna! Tidak ada kejahatan manusia yang melebihi kejahatan seorang anak mendurhakai terhadap orang tua, terutama terhadap ibu kandungnya! Perbuatanmu ini akan dikutuk para Dewata !"
"Dinda Pusporini! Jangan berkata demikian!" Tejolaksono membentak dan Joko Pramono juga menarik tangan isterinya, disuruh mundur.
Joko Pramono maklum betapa sakit dan hancur hati Tejolaksono dan Endang Patibroto. Betapa pun juga, Retna Wilis adalah anak mereka! Retna Wilis hanya tersenyum dingin mendengar kutukan bibinya itu, ia lalu mundur dan memerintahkan semua pasukannya untuk kembali ke Wilis. Biarpun hatinya merasa kecewa sekali, apalagi kalau diingat bahwa dalam perang yang singkat itu ia telah kehilangan muridnya, Cekel Wisangkoro, Wasi Bagaspati terpaksa membawa pula sisa pasukannya kembali ke Wilis. Betapapun juga tiga bulan bukanlah waktu yang lama dan kalau sampai kelak Cola berhasil menguasai Jawadwipa dengan jalan ini, tentu dia akan menjadi seorang yang amat besar jasanya bagi negaranya.
Di sepanjang jalan mundur ke Wilis, Pasukan yang merasa sebagai bala tentara yang menang perang, berpesta pora dengan perampokan harta benda dan perkosaan wanita di sepanjang jalan keluar masuk dusun. Sebaliknya, Jenggala berkabung karena kematian banyak perajurit dan senopatinya, juga berduka dan cepat mengingat akan ancaman Retna Wilis yang akan menjadikan Jenggala dan Panjalu karang abang kalau dalam waktu tiga bulan raja kedua kerajaan itu tidak datang menghadap ke Wilis menyatakan takluk!
Yang paling prihatin menghadapi ancaman adalah Tejolaksono dan Endang Patibroto. Tiga hari kemudian, datanglah Bagus Seta menghadap ramandanya di Jenggala dan kedatangannya disambut girang oleh Endang Patibroto yang menyandarkan harapannya kepada pemuda ini, akan tetapi Tejolaksono menyambut puteranya dengan penyesalan,
"Bagus Seta! Bagaimana baru sekarang engkau datang? Bagaimana hasilmu membujuk adikmu Retna Wilis? Dia datang menyerbu dan mendatangkan banyak korban dalam perang setengah hari lamanya! Ke mana saja engkau pergi?"
Dengan sabar dan tenang Bagus Seta lalu menceritakan usaha pembujukannya yang gagal, kemudian berkata, "Kanjeng Rama, segala peristiwa yang terjadi memang telah digariskan dan dikehendaki oleh Hyang Widdhi. Malapetaka takkan menimpa manusia kalau tidak dikehendaki oleh Hyang Widdhi, sungguhpun sebab-sebabnya timbul dari perbuatan manusia sendiri. Sekarang, lebih penting kita membiarkan hal yang akan datang dengan ikhtiar kita sebagai manusia, sekuatnya untuk mencegah terjadinya hal-hal yang merupakan malapetaka besar."
"Dia mengancam hendak membikin Jenggala dan Panjalu menjadi karang abang kalau dalam waktu tiga bulan raja-raja kedua negara ini tidak datang menghadapnya di Wilis dan menyatakan takluk. Betapa kurang ajarnya bocah itu!" kata Endang Patibroto. "Ah, puteraku angger Bagus Seta, hanya engkaulah harapan kami. Apa yang harus kami lakukan? Dia amat sakti mandraguna, ditambah bantuan Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo yang sukar ditandingi."
"Menurut pendapat hamba, Retna Wilis telah melakukan penyelewengan besar dan dia bersama sekutunya merupakan ancaman bagi Jenggala dan Panjalu. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban Kanjeng Rama dan Ibu untuk menyelamatkan negara. Jalan terbaik adalah mempersiapkan pasukan gabungan dari Jenggala dan Panjalu, kemudian mendahului mereka menyerbu ke Wilis sebagai barisan kerajaan yang hendak menumpas daerah yang memberontak. Dengan demikian, lebih mudah menghancurkan mereka dalam sarang mereka sendiri. Kalau hamba tidak salah menafsir, yang menjadi biang keladi daripada kesemuanya adalah utusan-utusan Cola dan di samping adinda Retna Wilis tentu ada orang yang mengatur kesemuanya ini. Hamba akan menyertai barisan penumpas pemberontak ini."
Tejolaksono setuju sekali, lalu Patih Panjalu ini menghadap adik iparnya, raja di Jenggala untuk berunding. Raja Jenggala yang muda tentu saja menurut akan siasat penumpasan pemberontak Wilis ini, dan ketika Tejolaksono menghadap Raja Panjalu, kerajaan ini pun setuju. Maka dalam waktu sebulan saja terbentuklah barisan gabungan yang terdiri dari pasukan-pasukan pilihan dari Panjalu dan Jenggala, dipimpin oleh Tejolaksono dan Endang Patibroto sebagai senopati Panjalu, dan Joko Pramono berdua isterinya Pusporini sebagai senopati Jenggala. Jumlah bala tentara gabungan ini tidak kurang dari tiga laksa orang.
Berbeda dengan penyerbuan tentara Wilis ke Jenggala yang cepat terdengar oleh pihak Jenggala, kini gerakan pasukan gabungan yang menyerbu ke Wilis ini terjadi dengan diam-diam dan tidak sampai diketahui pihak Wilis. Hal ini adalah karena rakyat di sepanjang perjalanan barisan itu semua mendukung bala tentara Jenggala dan Panjalu yang bersikap tertib dan tidak pernah mengganggu rakyat sehingga rakyat malah membantu dan menumpas setiap mata-mata yang menyelidik.
Karena itu, dapat dibayangkan betapa kagetnya Retna Wilis, Wasi Bagaspati dan sekutunya ketika tiba-tiba mendengar pelaporan penjaga di kaki gunung yang bermuka pucat bahwa gunung Wilis telah dikurung oleh barisan yang amat besar jumlahnya dari Jenggala dan Panjalu!
Wasi Bagaspati membanting kaki dengan penuh kegemasan ketika mendengar laporan ini. "Aahhh!" Bentaknya mencela Retna Wilis. "Inilah akibatnya! Paduka telah bersikap terlalu lunak terhadap mereka dan ini gara-garanya karena Paduka masih memandang muka ayah bunda Paduka. Kalau dahulu kita terus menyerbu Jenggala, tentu tidak akan terjadi hal seperti yang terjadi sekarang!"
Retna Wilis memandang tajam dan berkata dingin, "Sang Wasi Bagaspati! Akulah pemimpin tertinggi di Wilis dan Andika hanya membantuku. Segala keputusan datang dariku, dan aku yang bertanggung jawab. Kalau kita sekarang dikurung oleh barisan Jenggala dan Panjalu, apa Andika kira bahwa kita pasti kalah? Biar aku menemui pimpinan mereka. Paman Adiwijaya, persiapkan pasukan pengawal dan perintahkan agar seluruh pasukan siap untuk menggempur begitu ada perintah dariku!"
"Siap melaksanakan perintah Paduka!" jawab Patih Adiwijaya yang cepat pergi untuk mentaati perintah junjungannya.
Wasi Bagaspati menjadi merah, akan tetapi ia hanya memberi isyarat mata kepada Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik untuk menemani Retna Wilis turun dari puncak menghadapi para pimpinan barisan musuh sambil mempersiapkan sisa pasukan mereka yang selama sebulan ini telah digembleng oleh Wasi Bagaspati sendiri sehingga pasukan yang hanya terdiri dari lima ratus orang itu merupakan pasukan siluman yang menggiriskan.
Ketika rombongan Ratu Wilis bersama pasukan pengawalnya ini menuruni puncak, tiba-tiba terdengar suara halus yang terdengar jelas oleh mereka, datang seperti dibawa angin lalu, "Retna Wilis, sebelum kami memerintahkan barisan yang mengurung menyerbu, engkau diberi kesempatan terakhir untuk berunding dengan Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu. Turunlah!"
Suara yang halus lirih namun amat jelas itu membuktikan bahwa pemiliknya adalah orang yang sakti mandraguna. Rombongan Retna Wilis mengenal suara ini dan wajah Wasi Bagaspati berubah.
"Itulah suara Bagus Seta," suaranya agak gemetar. Dia tidak tahu bahwa Retna Wilis pernah berjumpa dengan kakaknya ini, "Sang Ratu, dia memiliki kesaktian yang luar biasa dan kiranya hanya Padukalah yang akan sanggup menandinginya, dibantu oleh adikku Wasi Bagaskolo. Adapun mengenai tokoh-tokoh yang lain, serahkan saja kepada saya. Kalau kita serentak turun tangan apabila berhadapan dan berhasil membunuh para pimpinan, dengan sendirinya barisan yang besar itu takkan ada gunanya lagi dan akan dapat kita hancurkan dengan mudah."
Retna Wilis cemberut. "Sang Wasi, aku akan menemui mereka dan bagaimana nanti keputusanku, Andika tunggu dan dengarlah saja."
Wasi Bagaspati tidak membantah lagi, akan tetapi ia berjalan mendekati Ni Dewi Nilamanik dan Wasi Bagaskolo, berbisik-bisik merundingkan sesuatu tanpa diperdulikan oleh Retna Wilis. Sungguhpun ia setuju dengan siasat kakek itu, akan tetapi hatinya yang angkuh dan keras tidak menginginkan orang lain mendahuluinya seolah-olah dia yang harus taat dan dipimpin.
Tak lama kemudian mereka telah saling berhadapan, para pimpinan Wilis yang turun dari puncak dengan para pimpinan barisan penyerbu yang menanti di lereng bawah. Retna Wilis berdiri tegak, rambutnya berkibar tertiup angin, sikapnya dingin sekali namun sepasang matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan kilat. Di sampingnya berdiri Wasi Bagaspati, Wasi Bagaskolo, dan Ni Dewi Nilamanik.
Adiwijaya tidak nampak karena patih yang takut sekali bertemu dengan Endang Patibroto itu sudah menyelinap di belakang rombongan dan hanya melihat dan mendengarkan dari tempat aman dan tidak tampak. Adapun yang berdiri di bawah adalah Ki Patih Tejolaksono bersama isterinya, Endang Patibroto. Di sebelah kanan berdiri Bagus Seta dan sebelah kiri berdiri Joko Pramono dan Pusporini. Barisan kedua pihak sudah slap siaga dan setiap saat mereka tentu akan saling gempur begitu ada aba-aba dari atasan mereka. Keadaan amat gawat dan tegang sehingga tidak ada suara berisik terdengar.
"Retna Wilis!" Terdengar suara Ki Patih Tejolaksono penuh wibawa. "Wilis telah terkurung rapat oleh barisan Panjalu dan Jenggala yang jumlahnya jauh lebih besar daripada seluruh pasukanmu. Akan tetapi, mengingat bahwa engkau masih muda dan perlu disadarkan, kami tidak langsung menyerbu, melainkan ingin mengingatkan bahwa usahamu memberontak ini adalah jalan sesat. lnsyaflah dan menakaluklah. Kami akan menanggungmu agar engkau mendapat hukuman ringan dari gusti sinuwun."
"Ki Tejolaksono! Akulah Perawan Lembah Wilis, yang kini menjadi Ratu Kerajaan Wilis yang jaya! Jangan mengira aku takut akan kepungan barisanmu. Hanya kematian yang akan dapat menghentikan aku mencapai cita-citaku!"
"Bocah keparat, tak tahu disayang orang tua! Biarlah aku akan melihat kematianmu sebagai melihat pecahnya sebutir telur!" Endang Patibroto berseru, mengangkat tangan kanannya ke atas dan memekik dengan suara melengking dahsyat, "Serbu...!"
Retna Wilis juga mengangkat tangan kanan ke atas, kemudian terdengar suara lengkingnya yang jauh lebih nyaring dan tinggi daripada pekik ibunya, "Serbu...!!!"
Bagaikan rombongan-rombongan semut pindah yang ditiup, barisan kedua pihak bergerak, pasukan-pasukan Wilis menyerbu dari atas sedangkan pasukan gabungan Panjalu dan Jenggala menyerbu dari bawah. Pecahlah perang campuh yang amat hebat, suaranya menggegap-gempita, seolah-olah menimbulkan gempa bumi di seluruh permukaan pegunungan Wilis. Dengan didahului Endang Patibroto, Joko Pramono dan Pusporini menerjang maju menyerang Retna Wilis. Sejenak Tejolaksono ragu-ragu dan mengeluh sambil menengadah,
"Ya Dewa Yang Maha Agung! Anakku.... mengapa begini? Dewa.... ampuni dosa-dosa hamba !" kemudian, teringat akan kewajibannya, ia pun mengeraskan hati dan ikut menerjang maju.
Retna Wilis menyambut terjangan empat orang keluarganya itu dengan kelincahan tubuhnya yang mengelak ke kanan kiri. Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo, sesuai dengan rencana mereka, cepat maju untuk menandingi Tejolaksono dan keluarganya, akan tetapi tiba-tiba menyambar bayangan putih dan terdengar suara halus, "Orang luar tidak boleh mencampuri pertikaian antara keluarga. Akulah lawan kalian, Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo!"
Melihat Bagus Seta menghadang di depannya, kedua orang kakek ini menjadi marah. Wasi Bagaspati maklum akan kesaktian pemuda ini yang pernah mengalahkannya, akan tetapi karena sekarang di sampingnya ada adik seperguruannya, dia tidak takut. Apalagi melihat bahwa di situ terdapat pula Retna Wilis yang tentu akan membantunya menghadapi lawan tangguh ini. Maka ia berteriak keras dan bersama adik seperguruannya ia menerjang maju, disambut dengan tenang oleh Bagus Seta.
Adapun Ni Dewi Nilamanik yang maklum pula bahwa dia bukanlah tandingan Bagus Seta, segera maju menyerbu dan membantu Retna Wilis menghadapi empat orang keluarganya sendiri.
Joko Pramono yang merasa agak segan untuk ikut mengeroyok Retna Wilis karena ia merasa bahwa dia hanyalah paman luar dari dara itu, cepat menyambut Ni Dewi Nilamanik sehingga terjadi pertandingan seru di antara mereka, sedangkan Retna Wilis dikeroyok oleh ayah bunda dan bibinya.
Adiwijaya yang tidak berani memperlihatkan diri di depan Endang Patibroto, merasa gelisah sekali, akan tetapi ia sibuk mengatur barisan untuk menyambut serbuan pasukan musuh yang datang bergelombang seperti angin taufan mengamuk. Namun ia tidak pernah terlalu jauh meninggalkan Retna Wilis dan selalu memperhatikan keadaan junjungannya yang dipuja dan dikasihinya itu.
Namun segera ternyata bahwa barisan Wilis kewalahan menghadapi serbuan barisan yang jauh lebih besar jumlahnya itu. Apalagi karena di antara barisan Panjalu terdapat tiga orang tokoh Wilis, yaitu Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis yang telah memberi gambaran dan penjelasan kepada pasukannya tentang keadaan di pegunungan ini sehingga barisan yang mereka pimpin dapat maju dengan mudah karena telah mengenal keadaan pegunungan itu. Mulailah terjadi banjir darah dan mayat bertumpuk-tumpuk, ada yang terguling ke dalam jurang. Pekik dan sorak bercampur aduk membubung tinggi ke angkasa.
Ni Dewi Nilamanik terdesak hebat oleh terjangan-terjangan Joko Pramono Wanita sakti ini telah menggunakan sebuah kebutan baru dan ia berusaha membendung serangan Joko Pramono yang membanjir, namun tetap saja ia terdesak hebat dan tidak mampu membalas sedikit pun juga terhadap patih muda dari Jenggala ini. Bahkan dua kali ia telah kena diserempet pukulan pada pundaknya sehingga ia terhuyung dan hampir roboh.
"Retna Wilis, bantulah aku....!" Berkali-kali ia berteriak minta bantuan Ratu Wilis yang bertempur tak jauh dari situ.
Akan tetapi Retna Wilis seolah-olah tidak mendengarnya, atau tidak memperdulikannya. Retna Wilis sendiri bertanding seperti orang mimpi, seperti orang bingung. Melihat pukulan-pukulan ampuh yang dipergunakan ayah bunda dan bibinya terhadap dirinya, ia hanya mengelak dan kadang-kadang kalau terpaksa karena tidak sempat mengelak, ia mengangkat tangan menangkis. Setiap kali menangkis, Tejolaksono atau Endang Patibroto, bahkan Pusporini sendiri yang memiliki kesaktian hebat, tentu terpelanting dan merasa lengan yang tertangkis seperti lumpuh. Kalau Retna Wilis menghandaki, tentu dengan mudah ia akan dapat merobohkan dan menewaskan tiga orang pengeroyoknya. Apalagi kalau ia mau mencabut pedang pusaka Sapudenta. Akan tetapi, dara perkasa ini tidak mau melakukannya, bahkan ia menjadi bingung dan segan. Berkali-kali ia berkata lirih,
"Aku tidak suka menyakiti kalian.... tidak mau membunuh kalian....!" Ucapannya berkali-kali yang keluar dari lubuk hatinya ini tidak diperdulikan oleh Tejolaksono, Endang Patibroto, dan Pusporini yang sudah marah sekali.
Dara ini, biarpun merupakan anak dan keponakan yang dekat, yang mereka sayang, harus dibinasakan karena telah menimbulkan bencana perang yang hebat. Kini mereka bertiga berjuang untuk mengalahkan seorang musuh yang jahat dan berbahaya, bukan lagi merasa berhadapan dengan seorang anak dan keponakan. Karena pihak Retna Wilis hanya mengelak dan kadang-kadang menangkis tanpa balas menyerang, maka pertandingan itu berlangsung lama dan aneh. Yang tiga orang terus menerjang dan mengirim serangan maut, yang dikeroyok hanya meloncat ke sana-sini dan menagkis, seolah-olah mempermainkan tiga orang pengeroyoknya.
Pertandingan antara Bagus Seta yang dikeroyok dua oleh Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo, juga terjadi amat seru dan hebatnya, bahkan lebih hebat daripada perang campuh itu sendiri karena masing-masing selain mengeluarkan kedigdayaan, juga mengerahkan aji kesaktian yang mujijat.
Wasi Bagaspati mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan dan asap hitam bergumpal-gumpal menyambar ke arah Bagus Seta. Namun pemuda ini dengan tenang juga mendorongkan telapak tangan kirinya dan asap hitam itu membuyar lenyap, bahkan menyambar kembali ke arah Wasi Bagaspati sendiri.
Wasi Bagaskolo memekik dan dari mulutnya menyambar uap panas, namun Bagus Seta menghalau uap panas dengan tiupan mulutnya. Ketika Wasi Bagaspati memekik dan mengeluarkan api menyala-nyala dari mulut dan kedua tangannya, lidah api menjilat-jilat ke arah Bagus Seta, panasnya melebihi kawah, Bagus Seta meloncat ke atas dan kedua telapak tangannya mengeluarkan hawa dingin yang serentak memadamkan api itu.
Karena selalu dapat dipunahkan segala ilmu yang dikeluarkan, bahkan mereka itu beberapa kali terdorong mundur oleh hawa pukulan yang panas dan ampuh, yang menyambar keluar dari telapak kedua tangan Bagus Seta, berkali-kali, seperti halnya Ni Dewi Nilamanik, Wasi Bagaspati berteriak-teriak, "Retna Wilis, lekas bantu kami....!"
Namun teriak-teriakannya tidak didengar atau tidak diperdulikan oleh Retna Wilis yang masih selalu mengelak dan menangkis hujan serangan ayah bunda dan bibinya. Melihat ini. Wasi Bagaspati berseru marah, "Retna Wilis, engkau berpihak kepada siapakah? Robohkan mereka dan bantu kami menewaskan bocah ini, baru cita-citamu berhasil!"
"Hemm, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu. Beginikah sikap seorang perajurit?" Bagus Seta mencela.
"Babo-babo, Bagus Seta! Jangan sombong, lihat senjataku!" Tangan Wasi Bagaspati bergerak dan senjata cakra yang mencorong cahayanya telah dipegangnya. Juga Wasi Bagaskolo telah mencabut keluar sebuah senjata keris berwarna hitam yang bereluk tiga dan gagangnya diukir gambar kepala Bathara Kala. Keris hitam ini tidak mencorong cahayanya, akan tetapi begitu tercabut, tercium bau yang amis seperti darah dan busuk seperti bangkai.
"Sungguh sayang senjata yang ampuh disalahgunakan!" kata Bagus Seta dan ketika kedua tangannya bergerak, tangan kirinya telah memegang setangkai bunga cempaka putih dan tangan kanannya telah melolos tali sutera pengikat rambutnya. Kini rambut yang tadinya digelung ke atas itu terlepas dan terurai di kanan kiri kepalanya, menutupi pundak, sebagian ke depan dan sebagian ke belakang. Wajah yang tampan itu kelihatan agung dan berwibawa, namun penuh ketenangan dan kehalusan.
Sang Wasi Bagaspati menerjang maju dengan senjata cakra di tangan, menghantam dada, sedangkan dari sebelah kanan, Wasi Bagaskolo menusukkan kerisnya ke lambung kanan pemuda itu. Bagus Seta tidak bergerak dari tempatnya, hanya mengembangkan kedua tangan, kembang cempaka putih menangkis cakra, sutera pengikat rambut melecut dan menangkis keris. Empat buah senjata aneh itu tidak sampai bersentuhan, akan tetapi seolah-olah ada hawa yang amat kuat keluar dari benda-benda keramat itu dan bertumbukan sehingga terdengar suara meledak-ledak.
Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo terdorong mundur, memandang dengan mata terbelalak, hampir tidak kuat menentang lama-lama sinar yang memancar dari sepasang mata Bagus Seta, mereka menggerakkan kaki mundur-mundur perlahan. Pada saat itu terdengar teriakan nyaring yang keluar dari mulut Ni Dewi Nilamanik, "Retna Wilis.... tolong.... !!!"
Ni Dewi Nilamanik telah jatuh terjengkang disambar tendangan Joko Pramono, kebuatannya mencelat dan kini Joko Pramono sudah meloncat maju untuk mengirim pukulan maut yang terakhir ketika Ni Dewi Nilamanik menjerit minta tolong kepada Retna Wilis saking takutnya menyaksikan jangkauan tangan maut yang hendak mencabut nyawanya.
Jerit melengking itu seolah-olah menyadarkan Retna Wilis dari keadaannya yang seperti dalam mimpi. ia terkejut, sekaligus menangkis pukulan tiga orang pengeroyoknya sehingga Tejolaksono, Endang Patibroto dan Pusporini terlempar ke belakang, kemudian tubuh Retna Wilis melesat ke dekat Ni Dewi Nilamanik dan sekali tangannya mendorong ke depan, tidak saja pukulan maut Joko Pramono tertangkis, bahkan tubuh Patih Muda Jenggala ini pun terlempar dan terbanting ke atas tanah dalam keadaan nanar dan matanya berkunang!
Endang Patibroto memekik marah, lalu bersama-sama Tejolaksono dan Pusporini, ia menerjang maju menghantam Retna Wilis dengan aji pukulannya yang paling ampuh, yaitu Wisangnolo, sedangkan Tejolaksono memukul dengan pukulan Bojrodahono, dan Pusporini menampar dengan aji pukulan Pethit Nogo. Kini dalam keadaan marah sekali, tiga orang gagah ini sekaligus menyerang dengan sepenuh tenaga.
"Buk, plak, plak!" Tiga pukulan itu diterima oleh Retna Wilis yang mengerahkan kesaktiannya, dan kedua tangannya mendorong. Tubuhnya terkena hantaman tiga pukulan sakti itu dan tergetar, akan tetapi tiga orang lawannya terlempar seperti daun kering tertiup angin dan terbanting roboh keras sekali dalam keadaan pingsan!
"Terlalu...!" Bagus Seta berkelebat datang, namun terlambat karena tiga orang sakti itu telah terlempar. Melihat kedatangan Bagus Seta, Retna Wilis kembali mendorongkan kedua tangannya. Bagus Seta menerima dengan telapak tangan pula.
"Dessss!" Kini tubuh Retna Wilis yang terpental ke belakang dan roboh terguling. Pada saat itu terdengar pekik nyaring sekali yang keluar dari mulut Wasi Bagaspati dan tiba-tiba tempat itu menjadi gelap oleh uap hitam seperti mendung tebal. Para perajurit Jenggala dan Panjalu menjadi panik, apalagi ketika dari gumpalan uap hitam itu menyambar-nyambar kilat yang merobohkan banyak orang, dan terdengar desis menyeramkan dari ratusan ekor ular yang merayap-rayap dan menyerang perajurit-perajurit itu!
Mereka menjadi ketakutan, menjerit-jerit dan ada pula yang lari. Bagus Seta cepat memejamkan mata mengerahkan kekuatan batinnya, kemudian bertepuk tangan tiga kali. Tepukan tangan ini menimbulkan bunyi seperti Guntur menggelepar dan seketika lenyaplah uap hitam yang ditimbulkan oleh ilmu hitam Wasi Bagaspati, dan ular-ular yang diciptakan Wasi Bagaskolo kini ternyata hanya segenggam daun kamboja kering!
Para perajurit tidak panik lagi dan dengan penuh semangat mereka menyerbu ke atas. Bagus Seta memandang dan ternyata Retna Wilis, Wasi Bagaspati, Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik telah lenyap dari situ. Akan tetapi dia tidak ingin mengejar karena ia harus cepat menolong Tejolaksono, Endang Patibroto dan Pusporini yang masih pingsan. Joko Pramono juga cepat menghampiri isterinya. Setelah memeriksa sebentar, Bagus Seta menarik napas panjang.
"Hebat sekali tenaga saktinya, akan tetapi syukur kepada Dewata bahwa dia tidak sampai membunuh ayah bundanya sendiri. Paman, harap jangan khawatir. Mereka hanya pingsan oleh getaran hawa sakti, sebentar lagi tentu siuman kembali."
Benar saja, tak lama kemudian tiga orang sakti itu siuman dan tidak mengalami luka. Mereka lalu memimpin pasukan menyerbu terus ke puncak Wilis. Bala tentara Wilis yang kehilangan pimpinan, bahkan Patih Adiwijaya juga lenyap tanpa pamit, segera membuang senjata dan berlutut, menakluk.
Tejolaksono lalu memerintahkan Limanwilis, Lembuwilis, dan Nogowilis untuk mengatur keadaan Wilis dan memulihkan keamanan, karena ketiga orang tokoh itu lebih mengenal keadaan. Kemudian ia membicarakan tentang lenyapnya Retna Wilis.
"Apakah yang terjadi, Puteraku?" tanyanya kepada Bagus Seta. "Bagaimana Retna Wilis dapat lenyap?"
Bagus Seta menceritakan keadaan tadi dan dia sendiri tidak tahu ke mana perginya Retna Wilis, kedua orang Wasi, dan Ni Dewi Nilamanik. Seorang di antara Para perajurit taklukan yang ditanya segera mengaku bahwa tadi ia melihat Retna Wilis dalam keadaan pingsan dipondong pergi oleh Wasi Bagaspati yang melarikan diri bersama Wasi Bagaskolo, Ni Dewi Nilamanik dan Ki Patih Adiwijaya, memimpin pasukan siluman yang terdiri dari beberapa ratus orang, menuju ke selatan.
"Kita harus mengejarnya! Aku amat mengkhawatirkan keadaan Retna Wilis," kata Tejolaksono mengerutkan kening.
"Hemm, bocah durhaka macam itu perlu apa ditolong? Biarkan dia bersama sekutunya yang jahat!" dengus Endang Patibroto dengan hati sakit.
Tejolaksono memegang kedua pundak isterinya dan memaksa isterinya bertemu pandang dengan dia.
"Diajeng, betapa mungkin hati orang tua menegakan anaknya? Aku tahu bahwa engkau pun hanya terdorong oleh kemarahan, akan tetapi di dasar hatimu, engkau amat mencinta puteri kita itu...."
Endang Patibroto tersedu dan menyembunyikan muka di dada suaminya, menangis terisak-isak. Joko Pramono dan Pusporini memandang penuh keharuan. Bagus Seta menghela napas panjang.
"Memang tepat apa yang diucapkan Kanjeng Rama. Kita harus menolongnya, bukan semata-mata karena dia keluarga kita, melainkan terutama sekali untuk menghalangi perbuatan keji manusia sesat seperti Wasi Bagaspati dan kawan-kawannya. Marilah kita mengejar ke selatan sebelum terlambat."
Serentak keluarga yang sakti itu berangkat mengejar, menuju ke selatan, tidak ingat lagi akan tubuh mereka yang lelah sehabis mengalami pertandingan yang dahsyat itu.
Apakah yang telah terjadi dengan Retna Wilis? Ke mana perginya? Seorang yang memiliki watak keras, angkuh dan aneh sekali seperti dara perkasa itu memang tidak mungkin kalau melarikan diri menghadapi kekalahan dalam pertandingan. Endang Patibroto maklum akan hal ini karena dia sendiri pun dahulu merupakan seorang wanita keras hati yang tidak pernah mau kalah atau menyerah apalagi melarikan diri! Padahal watak puterinya lebih keras lagi dan jauh lebih aneh.
Memang Retna Wilis sama sekali tidaklah melarikan diri, melainkan dilarikan oleh Wasi Bagaspati. Kakek ini sejak pertama kali dikecewakan Retna Wilis, yaitu ketika mereka menyerbu ke Jenggala dan Retna Wilis tidak mau terus menduduki Kota Raja Jenggala, telah menaruh curiga kepada Retna Wilis. Diam-diam ia menyatakan ketidakpuasan hatinya itu kepada Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik, menyatakan bahwa sungguhpun Retna Wilis memiliki kesaktian yang boleh diandalkan, namun dara itu bukan merupakan sekutu yang baik dan masih mempunyai hati sungkan dan sayang kepada keluarganya, maka ia memesan agar pembantu-pembantunya berhati-hati.
Ketika barisan Jenggala dan Panjalu datang menyerbu, diam-diam ia sudah mengatur siasat dengan para pembantunya, menyatakan bahwa apabila keadaan tidak menguntungkan, agar melarikan diri dan ia akan berusaha menculik Retna Wilis. Maka ketika ia melihat bahwa tepat seperti dugaannya, Retna Wilis yang menghadapi ayah buda dan bibinya itu tidak bertanding sungguh-sungguh, tidak mau membunuh mereka, bahkan tidak mau membantu kedua orang kakek melawan Bagus Seta, apalagi ketika ternyata betapa barisan Wilis tidak mampu membendung penyerbuan barisan musuh yang jauh lebih kuat, Wasi Bagaspati lalu mempergunakan siasat. Dia harus mengakui bahwa menculik seorang yang sakti mandraguna seperti Retna Wilis bukanlah hal yang mudah.
Akan tetapi ia melihat kesempatan yang baik ketika Retna Wilis terlempar dalam benturan tenaga sakti melawan Bagus Seta. Maka ia menggunakan ilmu hitamnya, membuat tempat itu menjadi gelap oleh awan hitam, kemudian secepat kilat ia mendekati Retna Wilis yang roboh terguling dan masih pening itu dan menggunakan kesaktiannya untuk mengetok tengkuk Retna Wilis dengan jari tangannya sehingga dara perkasa yang sudah nanar dan tidak menyangka-nyangka karena mengira bahwa kakek itu hendak menolongnya, menjadi pingsan.
Dengan mudah Wasi Bagaspati lalu memondong tubuh Retna Wilis, kemudian pergi melarikan diri bersama Wasi Bagaskolo, Ni Dewi Nilamanik, dan Adiwijaya yang telah berhasil menarik kepercayaan Wasi Bagaspati. Karena kakek ini menganggap bahwa Adiwijaya seorang yang cerdik dan pandai mengatur siasat, pula yang telah ia ketahui "sepak terjangnya" semenjak menjadi Patih Warutama di Jenggala, maka ia tidak ragu-ragu lagi bahwa Adiwijaya bukanlah orang setia kepada Retna Wilis. Dalam hal ini, Wasi Bagaspati telah salah duga dan kembali membuktikan pandainya Adiwijaya bermain sandiwara sehingga seorang seperti Wasi Bagaspati yang sudah kawakan dan berpengalaman pun dapat ia kelabui.
Sebelah utara pantai laut selatan terdapat barisan gunung-gunung, yang memanjang dari barat sampai ke utara dan lajim disebut pegunungan Seribu. Memang amat banyak gunung-gunung dalam barisan ini, sukar dihitung jumlahnya dan mungkin lebih dari seribu gunung kecil-kecil yang sebagian besar adalah gunung batu gamping. Kekuasaan alam memang hebat dan aneh. Barisan gunung Seribu ini seolah-olah merupakan tanggul yang menjaga daratan Pulau Jawa agar jangan sampai diamuk ombak laut kidul yang dahsyat!
Sisa pasukan yang melarikan diri bersama Wasi Bagaspati bersembunyi di sebuah di antara pegunungan ini, di daerah yang tidak begitu tandus sehingga mereka dapat tinggal di situ tanpa dapat dilihat orang dari jauh. Retna Wilis yang dilarikan Wasi Bagaspati juga dibawa ke gunung kecil ini. Dalam perjalanan melarikan diri, Retna Wilis telah diberi minum jamu buatan Ni Dewi Nilamanik yang disebut "madu perampas semangat", sehingga ketika Retna Wilis siuman dari pingsannya, ia seperti orang yang tidak mempunyai semangat dan kemauan lagi. Ia lupa segala dan hanya menurut apa yang dikatakan Ni Dewi Nilamanik atau Wasi Bagaspati.
Adiwijaya yang menyaksikan keadaan junjungannya itu, menjadi gelisah dan prihatin sekali. Akan tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa dan ia setiap saat memutar otak untuk mencari akal agar dapat membebaskan Retna Wilis. Kalau saja tidak untuk membela gadis itu, tentu dia tidak sudi ikut melarikan diri bersama Wasi Bagaspati dan sudah pergi sendiri merantau ke tempat jauh. Namun, tak mungkin ia dapat meninggalkan Retna Wilis dan kalau perlu ia berani mempertaruhkn nyawa untuk menyelamatkan dara itu. Tentu saja ia tidak mau berbuat sembrono mempergunakan kekerasan, karena kalau hal ini ia lakukan, ia tidak akan berhasil menyelamatkan Retna Wilis, juga berarti ia hanya akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia belaka. Ia harus menggunakan akal dan memang amatlah sukar untuk melawan orang-orang yang sakti dan cerdik seperti Wasi Bagaspati dan kawan-kawannya.Ia harus menanti kesempatan baik untuk itu.
Retna Wilis bersandar di batang pohon dalam keadaan terikat. Ia menundukkan mukanya yang agak pucat, tubuhnya lemas dan pandangan matanya tidak hidup, seperti mata orang mimpi atau termenung dalam sekali. Ia berada dalam pengaruh jamu yang setiap hari diminumkan kepadanya secara paksa oleh Ni Dewi Nilamanik. Biarpun dara perkasa ini sudah tidak berdaya karena semangatnya tertutup atau seperti dirampas ramuan jamu mujijat itu, namun Ni Dewi Nilamanik yang gentar menghadapi kesaktian Retna Wilis masih merasa perlu untuk membelenggunya.
Pada saat itu, Ni Dewi Nilamanik duduk di atas batang pohon yang telah ditebang, bersama Wasi Bagaspati di depan Retna Wilis yang terikat di pohon. Wasi Bagaspati kelihatan muram wajahnya dan ia mendengarkan keterangan yang diberikan oleh Ni Dewi Nilamanik.
"Dia ini memang hebat sekali, Kakangmas Wasi! Semangat dan kemauannya dapat kupengaruhi, akan tetapi nafsunya tak dapat kubangkitkan. Sudah banyak jamu kuminumkan, bahkan madu asmara sudah banyak ia minum, akan tetapi keadaannya sama saja. Ia tidak terangsang. Lalu bagaimana baiknya?"
Dengan wajah murung Wasi Bagaspati mengelus jenggotnyaa. "Sudah tiga hari kita berada di sini. Kalau sampai mereka datang menyusul, kita bisa celaka. Aku harus dapat menguasai bocah ini, karena dengan bantuan kesaktiannya, baru aku akan dapat menghadapi si keparat Bagus Seta, bersama adi Bagaskolo. Akan tetapi kalau dia ini tidak dapat dikuasai, tentu celaka. Hemm.... siapa tahu keadaan hati bocah ini. Kalau ia membalik, mengkhianati dan melawan kita, bisa konyol kita! Daripada demikian, lebih baik kubunuh saja dia sekarang!"
Ni Dewi Nilamanik mengerlingkan matanya yang indah dan bibirnya yang merah merekah. "Kakangmas Wasi, dari dulu juga aku tidak suka kepadanya dan menaruh curiga. Memang kurasa lebih baik dibunuh saja bocah ini, karena kelak hanya akan menimbulkan kesusahan saja bagi kita."
Tiba-tina Wasi Bagaspati menoleh ke arah pohon-pohon di belakangnya dan membentak, "Siapa di sana??"
Pendengaran kakek ini memang tajam sekali sehingga ia dapat mendengar suara napas Adiwijaya yang tersentak kaget mendengar betapa Retna Wilis akan dibunuh. Adiwijaya cepat muncul keluar dan menghadap mereka, duduk di atas tanah.
"Saya sengaja mencari Paduka, karena merasa cemas mengapa sampai sekarang masih belum diambil keputusan mengenai bocah liar ini." Ia menuding ke arah Retna Wilis yang masih menunduk seolah-olah tidak mendengar apa yang dibicarakan di depannya. "Kalau tidak segera diambil keputusan mengenai dirinya, tentu akan berbahaya sekali. Saya berani bertaruh bahwa saat ini pihak Panjalu dan Jenggala tentu sedang berusaha keras untuk mencari kita dan menolongnya."
Wasi Bagaspati termenung dan mengomel, "Memang aku dan Ni Dewi sedang membicarakan tentang dia. Aku mengambil keputusan untuk membunuh saja bocah ini!"
Sambil berkata demikian, kakek itu menatap wajah Adiwijaya dengan penuh perhatian, amat tajam dah seolah-olah hendak menjenguk isi hati Adiwijaya. Laki-laki ini menekan keras batinnya yang terguncang dan dia menggeleng-geleng kepala.
"Kalau saja ia tidak berguna, memang lebih baik dibunuh. Akan tetapi kalau dia dibunuh, rencana kita akan macet semua, Sang Wasi. Kita sudah kehilangan banyak tenaga pembantu yang cakap, bahkan Cekel Wisangkoro pun sudah gugur. Bocah ini merupakan tenaga yang amat cakap, memiliki kesakitan yang kiranya akan dapat menandingi Bagus Seta. Kalau dibunuh, berarti kita merugikan diri sendiri."
"Hemm, kalau begitu, menurut pendapatmu bagaimana baiknya?"
Sejenak Adiwijaya bingung. Dia pun tidak tahu bagaimana baiknya dan tadi ia mengeluarkan kata-kata itu hanya untuk mencegah gadis ini dibunuh. Otaknya bekerja cepat. Pokoknya asal gadis ini terhindar daripada bahaya maut lebih dulu, pikirnya.
"Bukankah saya telah menganjurkan agar Paduka menundukkan dia dengan pengaruh kesaktian Paduka, agar dia menjadi isteri Paduka sehingga dengan demikian dia akan membantu segala usaha Paduka dengan penuh kesetiaan?"
"Aahhh, usaha itu telah kami lakukan," kata Ni Dewi Nilamanik sambil memandang wajah Adiwijaya yang masih tampan dan gagah itu. "Sudah banyak obat guna-guna kumasukkan, akan tetapi agaknya dasar hati bocah ini masih terlalu kosong dan bersih sehingga tidak mempan. Jamu-jamu perangsang pun tidak ada gunanya, agaknya dia tidak mempunyai nafsu berahi!"
Adiwijaya memandang Ni Dewi Nilamanik dengan hati ngeri dan bulu tengkuk meremang. Betapa cantiknya wanita ini dan dia sendiri sudah beberapa kali merasakan kelembutan dan kenikmatan bersama wanita cantik ini berenang dalam cinta, bersama-sama mereguk madu asmara yang memabukkan. Betapa indah sepasang mata itu, betapa menggairahkan dan menantang mulut yang merah itu, betapa halus kuning kulitnya. Akan tetapi betapa keji hatinya. Teringat Adiwijaya akan buah mangga yang melihat kehalusan dan warna kulitnya menimbulkan gairah, akan tetapi yang kemudian ternyata betapa di balik kulit yang halus kemerahan dan sedap maunya itu tersembunyi daging busuk yang masam dan banyak ulatnya! Betapapun benci hatinya mendengar perlakuan wanita ini terhadap Retna Wilis, ia memaksa diri tersenyum dan berkata,
"Ni Dewi, dan Sang Wasi. Betapapun juga, harus diusahakan agar bocah liar ini dapat tunduk dan menurut kepada Paduka. Dengan kekerasan kita gagal, namun kalau dia ini dapat dikuasai, kemudian secara halus Paduka dibantu oleh Sang Wasi Bagaskolo, dan Retna Wilis ini mendatangi Panjalu dan Jenggala, membunuh para tokoh yang berkuasa di sana, saya kira tidak akan sukar lagi kalau kemudian kita mengerahkan barisan untuk menaklukkan dua kerajaan itu. Saya sendiri sanggup untuk menghimpun pasukan yang cukup besar."
"Akan tetapi bagaimana? Dia tidak mudah dipengaruhi guna-guna...." kata kakek itu kehilangan akal karena belum pernah ia menghadapi seorang korban yang begini ulet seperti Retna Wilis.
"Mengapa tidak dapat, Sang Wasi? Saya pernah menyaksikan pengaruh gaib yang datang mempengaruhi jiwa para wanita di waktu diadakan upacara pemujaan Sang Bathari Durgo. Mengapa tidak mengandalkan kekuasaan dan bantuan Sang Bathari? Andaikata pengaruh gaib itu masih tidak mempan, Paduka dapat melakukan kekerasan dan saya rasa, sekali dia ini telah Paduka renggut kehormatan tubuhnya, kemudian saya sendiri akan mempengaruhinya dengan nasehat-nasehat, percayalah, dia boleh dibebaskan dari pengaruh jamu perampas semangat dan dalam keadaan sadar itu dia tentu akan tunduk. Kalau dia biarpun terjadi di luar kehendaknya, telah menjadi isteri Paduka, dan mendengarkan nasehat-nasehat saya, kiranya dia akan melihat kenyataan bahwa tidak ada jalan lain baginya kecuali melanjutkan cita-citanya dengan bantuan Paduka Sang Wasi."
Wasi Bagaspati mengangguk-angguk dan lenyaplah sedikit kecurigaannya terhadap Adiwijaya yang muncul secara tiba-tiba itu.
"Kurasa benar apa yang ia katakan itu, Ni Dewi Buatlah persiapan, malam nanti kita adakan upacara pemujaan Sang Bathari dan kita lihat hasilnya!"
"Akan tetapi, malam hari ini bulan belum purnama, Kakangmas Wasi, dan pengaruh hikmat itu tidaklah amat kuat"
"Tidak apa. Kalau terlalu lama ditunda, khawatir terlambat. Siapa tahu Bagus Seta sudah mencari sampai dekat tempat ini. Andaikata tidak berhasil, masih belum terlambat untuk membunuhnya!"
Demikianlah, pada malam hari itu, di sebuah lapangan terbuka di puncak gunung kecil, dikelilingi pohon-pohon jarang yang tumbuhnya tidak subur di daerah kapur itu, diadakan tari-tarian seperti biasa dilakukan pada upacara pemujaan Sang Bathari Durgo. Sebuah arca Bathari Durgo berdiri di sudut, di samping kiri kursi tempat duduk Sang Wasi Bagaspati. Karena mereka tidak ingin menarik perhatian, maka dalam upacara tari-tarian ini tidak diiringi suara gamelan, melainkan diiringi suara wanita-wanita cantik bertembang dengan tepuk tangan dan berkerincingnya gelang kaki.
Upacara tari-tarian ini amat sederhana, akan tetapi karena sekali ini yang menari-nari di samping tiga orang gadis cantik, juga diikuti oleh Ni Dewi Nilamanik sendiri yang ternyata amat pandai menari dengan pakaian setengah telanjang sehingga tampak lekuk-lengkung tubuhnya yang menggairahkan dan amat mengherankan karena usianya yang sudah tua itu ternyata tidak menghilangkan keindahan tubuhnya, maka tari-tarian itu amat menggairahkan.
Selain Ni Dewi Nilamanik dan tiga orang pembantunya, juga tampak seorang gadis yang amat cantik jelita, kecantikannya cemerlang dan menyuramkan kecantikan wanita lain, bahkan Ni Dewi Nilamanik kelihatan tidak menarik. Akan tetapi sungguh sayang, kalau Ni Dewi Nilamanik dan tiga orang pembantunya menari-nari dengan gerakan lemah-gemulai dan menimbulkan rangsangan berahi dengan gerakan-gerakan leher, pundak, perut, dan pinggul, adalah dara cantik ini menari-nari dengan gerakan lucu dan kaku. Dia bukan menari, melainkan bersilat!
Kalau empat orang penari lain melakukan gerakan dengan lengan lemas seperti orang melambai dan mengajak disertai senyum memikat, dara ini menggerakkan tangan ke depan dengan kaku, jari-jarinya terbuka dan bukan melambai, melainkan lebih tepat memukul atau menampar musuh! Kalau penari yang membuang sampur ke sisi dengan gerakan lincah dan mata mengerling mulut tersenyum, dara ini membuang lengan ke sisi dengan gerakan cepat seperti orang menangkis pukulan atau tendangan lawan! Dara cantik jelita yang memiliki tubuh indah menggairahkan seperti bunga sedang mekar atau buah sedang ranum ini bukan lain adalah Retna Wilis.
Ni Dewi Nilamanik menari-nari di depan Retna Wilis, membujuk-bujuk dan memberi contoh gerakan tari yang dikuti dengan patuh oleh Retna Wilis dengan gerakannya yang kaku.
Dari tempat duduknya, Wasi Bagaspati yang mengenakan pakaian merah serba baru itu memandang penuh perhatian dan ia tersenyum gembira. Biarpun tarian dara perkasa itu tidak indah, namun gerakan-gerakan tubuhnya membayangkan kelemasan dan kelembutan yang tersembunyi tenaga mujijat. Melihat betapa mulut yang segar dan manis itu mulai tersenyum-senyum, dengan hati girang Wasi Bagaspati mengerti bahwa biarpun tidak sepenuhnya, namun dara itu mulai terkena pengaruh hikmat gairah nafsu berahi yang amat merangsang di saat itu, terbawa oleh asap dupa dan dibangkitkan oleh tari-tarian yang membayangkan dorongan nafsu berahi. Ia akan berhasil, pikirnya. Kalau Retna Wilis menyerahkan kehormatannya tanpa paksaan, tentu dara ini setelah sadar akan tunduk dan mudah ia kuasai.
Tari-tarian mencapai puncaknya menjelang tengah malam. Ni Dewi Nilamanik yang mengerahkan aji mantera guna-guna sambil menari-nari menyentuh, mengelus dan membelai bagian tubuh Retna Wilis yang mudah terangsang, untuk membangkitkan berahi gadis itu. Suasana di situ penuh dengan pengaruh mujijat sehingga Adiwijaya sendiri yang duduk menonton, tak dapat menahan getaran yang merangsang dan membangkitkan nafsu. Ia memandangi penari-penari itu dengan mata lapar dan liar seolah-olah hendak dilahapnya tubuh-tubuh yang montok setengah telanjang itu.
Akan tetapi kalau ia melihat Retna Wilis, seketika nafsu berahinya lenyap terganti rasa gelisah. Ia menanti saat sebaiknya untuk bertindak. Sampai malam ini, ia telah berhasil menyelamatkan nyawa gadis pujaannya itu, sehingga tidak sampai dibunuh. Akan tetapi ia tahu bahwa nasib yang lebih mengerikan menanti diri Retna Wilis dan ia harus merenggut dara itu dari tangan Wasi Bagaspati, kalau perlu ia akan berkorban nyawa.
Retna Wilis yang menjadi murid Nini Bumigarba dan sudah digembleng dengan segala macam ilmu, yang keras hati dan berperasaan dingin, betapapun juga hanya seorang manusia dari darah daging. Kini ia berada di bawah kekuasaan yang tidak wajar, di bawah pengaruh jamu perampas semangat sehingga ia seperti orang kehilangan ingatan dan kemauan. Kemudian, di bawah hikmat malam pemujaan Sang Bathari Durgo yang seperti ayunan ombak laut memabukkan, perlahan-lahan ia hanyut dan terbawa, apalagi ditambah belain-belaian tangan Ni Dewi Nilamanik, mendengarkan bisikan-bisikan tentang cinta nafsu, tentang kenikmatan badani, ia makin hanyut dan sepasang matanya mulai bersinar-sinar dan seperti mata orang mengantuk, tanda bahwa ia mulai terangsang.
Sambil menari, Ni Dewi Nilamanik memberi isyarat kepada Wasi Bagaspati yang tertawa lebar, bangkit berdiri dan menghampiri tempat tarian, mendekati Retna Wilis dan memegang tangan gadis itu yang memandangnya dengan mata sayu.
"Marilah, Retna Wilis, marilah isteriku yang tercinta. Mari kuberikan cintaku untuk memuaskan dahaga hatimu...." ia berkata lalu menuntun Retna Wilis turun dari tempat tarian menuju ke sebuah pondok yang dibangun di tempat itu.
Retna Wilis hanya menurut saja, kedua lengannya masih bergerak-gerak seperti orang menari, tidak membantah sedikit pun juga seperti seekor domba yang dituntun ke tempat penyembelihan!
Perbuatan Wasi Bagaspati ini seolah-olah merupakan pertanda bagi para penari dan yang hadir di situ untuk mulai dengan pesta gila-gilaan. Tiga puluh orang wanita anggauta pasukan Ni Dewi Nilamanik menyerbu ke tempat tari-tarian diikuti anggauta pasukan pria dan mereka mulai menari sambil berpelukan, berdekapan dan berciuman. Ni Dewi Nilamanik sendiri yang sudah terangsang hebat, mencari-cari dengan pandang matanya. Akan tetapi Adiwijaya yang dicarinya tidak tampak di situ, maka ketika Wasi Bagaskolo sambil tertawa memeluk pinggangnya, ia pun balas memeluk leher kakek itu sambil mengeluarkan suara merintih seperti seekor kucing dielus-elus punggungnya!
"Sang Wasi Bagaspati.... ! Celaka.... !!" Pintu pondok itu didorong terbuka dari luar oleh Adiwijaya.
Wasi Bagaspati yang sudah membuka jubahnya itu cepat membalikkan tubuh dengan sikap marah karena terganggu. ia mengikatkan lagi ikat pinggangnya di luar jubah dan membentak, "Keparat, Adiwijaya! Apa kehendakmu?"
Adiwijaya melirik ke arah Retna Wilis yang tergolek terlentang di atas pembaringan dan diam-diam mengucap syukur bahwa ia tidak terlambat, hanya selendang yang tadi menutupi dada Retna Wilis yang sudah terbuka. Gadis ini memejamkan mata dan bibirnya tersenyum lebar!
"Celaka, Sang Wasi.... ada serbuan dipimpin oleh Bagus Seta. Mereka..... mereka datang dari lereng di timur.... cepat biar saya berusaha menyadarkan Retna Wilis dan membujuknya agar ia dapat membantu kita!"
"Sialan....!" Wasi Bagaspati mendengus, lalu melompat ke pintu, akan tetapi ia teringat, mengeluarkan sebungkus obat dari saku jubahnya kepada Adiwijaya, "Nih, kau sadarkan dia dan bujuk sampai dia dapat membantu!" lalu tubuhnya berkelebat keluar dari pondok.
Adiwijaya cepat menghampiri Retna Wilis, dengan jari-jari tangan gemetar ia memasangkan kembali selendang menutupi dada yang terbuka itu, kemudian membuka bungkusan obat dan setengah memaksa membuka mulut Retna Wilis, menuangkan isi bungkusan yang berwarna bubuk putih ke mulut dara itu. Retna Wilis tidak membantah, dan sambil tersenyum menelan obat itu dan lengannya yang halus itu merangkul leher AdiwiJaya.
"Aduh.... Gusti Puteri.... sadarlah.... ahhh, lekas sadar dan mari lari bersama hamba !" Dengan halus ia melepaskan rangkulan lengan itu dari lehernya, menarik tangan Retna Wilis bangkit dan turun dari pembaringan, kemudian terus menyeretnya keluar.
Ketika Retna Wilis terhuyung seperti orang lemas, bahkan kini matanya dipejamkan dan napasnya menjadi panjang teratur seperti orang tidur, ia cepat memondong tubuh Retna Wilis dan membawanya lari keluar, menghilang di tempat gelap.
Wasi Bagaspati dengan marah menendangi para pengikut yang sedang bermain asmara secara tidak tahu malu di sembarang tempat, bahkan menyeret bangun Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik dari bawah pohon di mana kedua orang itu tenggelam dalam lautan cinta berahi.
"Bedebah semua! Keparat sembrono, tidak tahu ada musuh menyerbu! Cepat, siapkan semua orang. Bagus Seta dan pasukannya menyerbu dari lereng di timur. Cepat!" Bentakan Wasi Bagaspati ini mengagetkan semua orang.
Disebutnya nama Bagus Seta sekaligus mengusir semua rangsangan berahi yang mempengaruhi mereka dan kini mereka sudah meloncat bangun dan siap bertempur...
Tongkat yang menyambar ke arah kepalanya itu ditangkis oleh Joko Pramono dengan lengan tangan terus dicengkeram dan ditekuk ke bawah lengan, dikempit sehingga tongkat itu tidak dapat ditarik kembali oleh pemiliknya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cekel Wisangkoro untuk menggerakkan tangan kirinya yang terbuka jarinya, menampar ke arah pelipis Joko Pramono.
Pemuda sakti yang menjadi Patih Jenggala ini maklum bahwa kalau ia tidak cepat dapat merobohkan lawan tangguh ini maka pertempuran akan berlarut-larut dan ia mengkhawatirkan keselamatan isterinya yang menghadapi Ni Dewi Nilamanik yang sakti. Maka ketika pukulan atau tamparan tangan kiri Cekel Wisangkoro menyambar pelipisnya dari atas, ia tidak mengelak atau menangkis melainkan miringkan kepala dan menyambut tamparan itu dengan pundaknya, akan tetapi pada detik itu juga, tangan kanannya sendiri menghantam dengan telapak tangan dengan pengerahan Aji Cantuka-sekti, ke arah perut lawan.
"Dessss.... Ngekkk.... !!" Tubuh Cekel Wisangkoro terpental dan kakek ini roboh dan tewas seketika dengan darah mengucur dari semua lubang di tubuhnya, isi perutnya hancur oleh pukulan Joko Pramoiio. Patih muda ini sendiri terhuyung ke belakang akan tetapi tidak terluka dan beberapa menit kemudian ia telah meloncat dan
membantu isterinya menghadapi Ni Dewi Nilamanik.
Melihat majunya Joko Pramono, Ni Dewi Nilamanik menjadi gugup. Kebutannya diputar, akan tetapi karena perhatiannya ia tujukan kepada Joko Pramono, ia menjadi kurang waspada terhadap serangan Pusporini yang menampar dengan Aji Pethit Nogo. Biarpun Ni Dewi Nilamanik berhasil mengelak, namun ia terhuyung dan saat itu dipergunakan oleh Joko Pramono untuk mencengkeram kebutannya dan menyendalnya tiba-tiba. Ni Dewi Nilamanik mempertahankan.
"Bretttt!" Kebutan itu putus di tengah-tengah dan tubuh Ni Dewi Nilamanik terjengkang. Pusporini dan Joko Pramono menerjang maju untuk menghabisi wanita itu, akan tetapi tiba-tiba ada angin besar menyambar dari depan, membuat mereka terhuyung ke belakang! Kiranya di situ telah berdiri scorang dara muda jelita yang matanya seperti berapi dan keningnya dikerutkan, sikapnya angkuh dan garang.
"Kau.... kau.... Retna Wilis !" Pusporini berkata, menduga-duga, sedangkan Joko Pramono juga memandang dengan kagum akan tetapi juga penasaran karena hatinya tidak senang mendengar betapa puteri Endang Patibroto ini menentang semua keluarga termasuk ibunya sendiri.
"Kalian tentu Bibi Pusporini dan Paman Joko Pramono, lebih baik Andika berdua mundur." Dara jelita yang bukan lain adalah Retna Wilis sendiri ini menoleh kepada Ni Dewi Nilamanik dan berkata, "Andika mundurlah"
Ni Dewi Nilamanik menjadi merah mukanya. ia amat tidak suka menyaksikan sikap Ratu Wilis yang tidak pernah menghormat siapa pun juga ini, akan tetapi karena ia tadi telah ditolong, diselamatkan dari bahaya maut, ia tidak membantah dan mundur, menyelinap di antara para perajurit.
Pusporini yang memiliki hati keras dan galak, segera menudingkan telunjuknya kepada Retna Wilis dan membentak, "Bocah kurang ajar! Begiriikah sikapmu terhadap bibi dan pamanmu? Kami adalah perajurit-perajurit sejati, lebih baik mati di medan laga daripada mundur!"
Retna Wilis tersenyum mengejek. "Kalau aku yang maju, Andika berdua mau apa? Melawanku? Tiada gunanya!"
"Bocah murtad! Durhaka!" Pusporini sudah menerjang maju dan menghantam dengan Pethit Nogo mengarah kepala Retna Wilis. Akan tetapi dengan tenang Retna Wilis menggerakkan tangan, menangkap pergelangan Pusporini sehingga wanita ini tak dapat bergerak, kemudian sekali ia mendorong, tubuh Pusporini terlempar sampai lima meter lebih, menimpa dua orang perajurit yang roboh terpelanting.
"Keparat....!" Pusporini maju lagi, akan tetapi suaminya mencegahnya.
Terdengar sorak-sorai riuh dan kini perang makin menghebat. Majunya Retna Wilis dibarengi majunya Wasi Bagaspati dan pasukan ini dari depan, sedangkan dari kanan maju pasukan yang dipimpin Wasi Bagaskolo, dan dari kiri maju pasukan yang dipimpin Patih Adiwijaya. Bala tentara Jenggala mawut tidak karuan, banyak yang tewas dan sisanya lari mundur!
Tiba-tiba di antara hiruk-pikuk pasukan kedua pihak yang berperang campuh, terdengar melengking suara Retna Wilis, "Pasukan Wilis, dengar ratumu bicara! Tarik mundur semua perajurit dan jangan bergerak sebelum kuberi komando!"
Hebat memang suara Retna Wilis ini. Terdengar sampai jauh dan hebat pula ketaatan para pasukan Wilis yang serentak menghentikan pengejaran bahkan mundur dan tidak mengeluarkan suara berisik. Retna Wilis mengeluarkan pekik ini karena ia melihat munculnya beberapa orang menghadapinya, di antarnya adalah ibu kandungnya, Endang Patibroto! Ia memandang tajam, meneliti seorang demi seorang. Akan tetapi yang maju mendekatinya hanya empat orang dan karena ia sudah mengenal ibunya, Joko Pramono, dan Pusporini, maka dengan mudah ia dapat menduga bahwa pria gagah perkasa setengah tua yang berpemandangan tajam sekali dan berdiri di samping ibunya itu tentulah orang yang disebutkan sebagai ayah kandungnya, yaitu Ki Patih Tejolaksono, Patih Muda Panjalu!
"Retna! Engkau lanjutkan perbuatanmu yang laknat ini?" Endang Patibroto sudah tidak dapat menahan lagi kemarahannya, mukanya merah matanya menyinarkan api dan kedua tangannya mengepal tinju.
"Ibu, sudah kukatakan bahwa apa pun juga tidak akan dapat menghentikan aku mengejar dan mencapai cita-citaku," jawab Retna Wilis dengan sikap tenang, sedangkan di samping dan belakangnya berdiri Wasi Bagaspati, Wasi Bagaskolo, dan Ni Dewi Nilamanik. Mereka bertiga ini, terutama sekali Wasi Bagaspati, merasa kecewa dan tidak senang hatinya mengapa Retna Wilis menahan pasukannya yang sudah hampir berhasil menaklukkan Jenggala.
"Engkau bersekutu dengan orang jahat, dan demi mengejar cita-citamu yang gila untuk menjadi ratu terbesar, engkau sampai hati untuk mengorbankan nyawa laksaan orang bahkan sampai hati menentang aku, ibumu sendiri dan Ki Patih Tejolaksono, ayah kandungmu ini?"
Retna Wilis memandang ayahnya itu dengan sinar mata memandang rendah, kemudian berkata, "Kalau Ibu tidak menghendaki jatuh banyak korban yang sudah menjadi hal wajar dalam perang, Ibu usahakan agar Jenggala dan Panjalu menakluk kepadaku tanpa perang. Kalau mereka itu mau mengakui Ratu Wilis sebagai ratu terbesar dan menjadi kerajaan-kerajaan bawahanku, aku tidak akan menyerang. Adapun mengenai ayahku, aku merasa tidak mempunyai seorang ramanda yang sejak kecil bahkan sejak lahir tidak pernah menjengukku, seorang yang telah menyia-nyiakan Ibu. Orang seperti itu sepatutnya menjadi musuhku, bukan ayahku!" Ucapan ini mengandung kepahitan yang membuat wajah Tejolaksono menjadi pucat. Endang Patibroto marah bukan main.
"Retna Wilis! Biarlah engkau atau aku yang mati di sini!" ia sudah akan bergerak menyerang, akan tetapi lengannya dipegang oleh Ki Patih Tejolaksono.
"Bersabarlah, Diajeng." Kemudian dengan tenang Tejolaksono menghadapi Retna Wilis dan berkata, "Retna Wilis, tidak perlu kiranya kami membela diri, karena memang setiap orang manusia itu tentu mempunyai sifat-sifat buruk yang dilakukan di waktu ia lupa di samping sifat-sifat baiknya. Kalau engkau menentang ayah bunda dan keluargamu, hal itu hanya merupakan penyelewengan pribadi saja. Akan tetapi apa yang kaulakukan ini, hendak menaklukkan Jenggala dan Panjalu, keturunan Mataram, dan bersekutu dengan orang-orang dari kerajaan asing Cola, benar-benar merupakan pengkhianatan terhadap bangsa dan tanah air. Apakah gurumu tidak pernah memberi ajaran tentang ini?"
"Ha-ha-ha! Tejolaksono sejak dahulu sombong dan keminter (tinggi hati)! Sang Ratu, ayahmu yang tidak patut menjadi ayah ini malah berani menghina gurumu, Nini Bumigarba yang mulia!" kata Wasi Bagaspati sambil tertawa-tawa.
Muka Retna Wilis menjadi merah sekali. "Kehadiranku di sini membawa bala tentara Wilis yang jaya bukan untuk mengobrol tentang keluarga, melainkan sebagai Ratu Wilis yang mengadakan perang terhadap Jenggala! Pendeknya, harap kalian sampaikan pesanku kepada kedua Raja Jenggala dan Panjalu, bahwa kalau dalam waktu tiga bulan sejak hari ini kedua raja itu tidak datang menghadap padaku di Wilis menyatakan takluk, aku akan memimpin barisan dan menggempur Jenggala dan Panjalu yang akan kujadikan karang abang (lautan api)!"
Saking marah dan duka hatinya, tiba-tiba Endang Patibroto mengeluh dan roboh pingsan dalam pelukan suaminya yang cepat merangkulnya. "Retna Wilis, beginikah engkau membalas budi orang yang menjadi ibu kandungmu? Engkau menghancurkan hati ibumu." Tejolaksono berkata sambil memandang penuh penyesalan.
"Bukan aku yang menyuruh dia seperti itu. Mengapa ibu sendiri tidak membantu aku agar cita-cita anaknya tercapai?" Retna Wilis mendengus, sedikit pun tidak kelihatan kasihan atau terharu menyaksikan keadaan ibunya.
Wasi Bagaspati tertawa bergelak, sungguhpun hatinya amat tidak setuju akan sikap yang diambil Retna Wilis mengenai Jenggala dan Panjalu. Jenggala sudah hampir takluk, kalau penyerbuan dilanjutkan, besok pagi tentu Jenggala sudah terjatuh ke tangan mereka, tinggal meneruskan penyerbuan ke Panjalu. Akan tetapi daging yang sudah berada di depan mulut dilepas lagi oleh Retna Wilis, bahkan diberi waktu tiga bulan. Tentu saja waktu itu dapat dipergunakan oleh Jenggala dan Panjalu untuk memperkuat penjagaan!
Pusporini melangkah maju, dan menudingkan telunjuknya, kemarahan besar membuat dadanya yang membusung itu naik turun, matanya seperti mengeluarkan sinar berapi.
"Retna! Tidak ada kejahatan manusia yang melebihi kejahatan seorang anak mendurhakai terhadap orang tua, terutama terhadap ibu kandungnya! Perbuatanmu ini akan dikutuk para Dewata !"
"Dinda Pusporini! Jangan berkata demikian!" Tejolaksono membentak dan Joko Pramono juga menarik tangan isterinya, disuruh mundur.
Joko Pramono maklum betapa sakit dan hancur hati Tejolaksono dan Endang Patibroto. Betapa pun juga, Retna Wilis adalah anak mereka! Retna Wilis hanya tersenyum dingin mendengar kutukan bibinya itu, ia lalu mundur dan memerintahkan semua pasukannya untuk kembali ke Wilis. Biarpun hatinya merasa kecewa sekali, apalagi kalau diingat bahwa dalam perang yang singkat itu ia telah kehilangan muridnya, Cekel Wisangkoro, Wasi Bagaspati terpaksa membawa pula sisa pasukannya kembali ke Wilis. Betapapun juga tiga bulan bukanlah waktu yang lama dan kalau sampai kelak Cola berhasil menguasai Jawadwipa dengan jalan ini, tentu dia akan menjadi seorang yang amat besar jasanya bagi negaranya.
Di sepanjang jalan mundur ke Wilis, Pasukan yang merasa sebagai bala tentara yang menang perang, berpesta pora dengan perampokan harta benda dan perkosaan wanita di sepanjang jalan keluar masuk dusun. Sebaliknya, Jenggala berkabung karena kematian banyak perajurit dan senopatinya, juga berduka dan cepat mengingat akan ancaman Retna Wilis yang akan menjadikan Jenggala dan Panjalu karang abang kalau dalam waktu tiga bulan raja kedua kerajaan itu tidak datang menghadap ke Wilis menyatakan takluk!
Yang paling prihatin menghadapi ancaman adalah Tejolaksono dan Endang Patibroto. Tiga hari kemudian, datanglah Bagus Seta menghadap ramandanya di Jenggala dan kedatangannya disambut girang oleh Endang Patibroto yang menyandarkan harapannya kepada pemuda ini, akan tetapi Tejolaksono menyambut puteranya dengan penyesalan,
"Bagus Seta! Bagaimana baru sekarang engkau datang? Bagaimana hasilmu membujuk adikmu Retna Wilis? Dia datang menyerbu dan mendatangkan banyak korban dalam perang setengah hari lamanya! Ke mana saja engkau pergi?"
Dengan sabar dan tenang Bagus Seta lalu menceritakan usaha pembujukannya yang gagal, kemudian berkata, "Kanjeng Rama, segala peristiwa yang terjadi memang telah digariskan dan dikehendaki oleh Hyang Widdhi. Malapetaka takkan menimpa manusia kalau tidak dikehendaki oleh Hyang Widdhi, sungguhpun sebab-sebabnya timbul dari perbuatan manusia sendiri. Sekarang, lebih penting kita membiarkan hal yang akan datang dengan ikhtiar kita sebagai manusia, sekuatnya untuk mencegah terjadinya hal-hal yang merupakan malapetaka besar."
"Dia mengancam hendak membikin Jenggala dan Panjalu menjadi karang abang kalau dalam waktu tiga bulan raja-raja kedua negara ini tidak datang menghadapnya di Wilis dan menyatakan takluk. Betapa kurang ajarnya bocah itu!" kata Endang Patibroto. "Ah, puteraku angger Bagus Seta, hanya engkaulah harapan kami. Apa yang harus kami lakukan? Dia amat sakti mandraguna, ditambah bantuan Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo yang sukar ditandingi."
"Menurut pendapat hamba, Retna Wilis telah melakukan penyelewengan besar dan dia bersama sekutunya merupakan ancaman bagi Jenggala dan Panjalu. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban Kanjeng Rama dan Ibu untuk menyelamatkan negara. Jalan terbaik adalah mempersiapkan pasukan gabungan dari Jenggala dan Panjalu, kemudian mendahului mereka menyerbu ke Wilis sebagai barisan kerajaan yang hendak menumpas daerah yang memberontak. Dengan demikian, lebih mudah menghancurkan mereka dalam sarang mereka sendiri. Kalau hamba tidak salah menafsir, yang menjadi biang keladi daripada kesemuanya adalah utusan-utusan Cola dan di samping adinda Retna Wilis tentu ada orang yang mengatur kesemuanya ini. Hamba akan menyertai barisan penumpas pemberontak ini."
Tejolaksono setuju sekali, lalu Patih Panjalu ini menghadap adik iparnya, raja di Jenggala untuk berunding. Raja Jenggala yang muda tentu saja menurut akan siasat penumpasan pemberontak Wilis ini, dan ketika Tejolaksono menghadap Raja Panjalu, kerajaan ini pun setuju. Maka dalam waktu sebulan saja terbentuklah barisan gabungan yang terdiri dari pasukan-pasukan pilihan dari Panjalu dan Jenggala, dipimpin oleh Tejolaksono dan Endang Patibroto sebagai senopati Panjalu, dan Joko Pramono berdua isterinya Pusporini sebagai senopati Jenggala. Jumlah bala tentara gabungan ini tidak kurang dari tiga laksa orang.
Berbeda dengan penyerbuan tentara Wilis ke Jenggala yang cepat terdengar oleh pihak Jenggala, kini gerakan pasukan gabungan yang menyerbu ke Wilis ini terjadi dengan diam-diam dan tidak sampai diketahui pihak Wilis. Hal ini adalah karena rakyat di sepanjang perjalanan barisan itu semua mendukung bala tentara Jenggala dan Panjalu yang bersikap tertib dan tidak pernah mengganggu rakyat sehingga rakyat malah membantu dan menumpas setiap mata-mata yang menyelidik.
Karena itu, dapat dibayangkan betapa kagetnya Retna Wilis, Wasi Bagaspati dan sekutunya ketika tiba-tiba mendengar pelaporan penjaga di kaki gunung yang bermuka pucat bahwa gunung Wilis telah dikurung oleh barisan yang amat besar jumlahnya dari Jenggala dan Panjalu!
Wasi Bagaspati membanting kaki dengan penuh kegemasan ketika mendengar laporan ini. "Aahhh!" Bentaknya mencela Retna Wilis. "Inilah akibatnya! Paduka telah bersikap terlalu lunak terhadap mereka dan ini gara-garanya karena Paduka masih memandang muka ayah bunda Paduka. Kalau dahulu kita terus menyerbu Jenggala, tentu tidak akan terjadi hal seperti yang terjadi sekarang!"
Retna Wilis memandang tajam dan berkata dingin, "Sang Wasi Bagaspati! Akulah pemimpin tertinggi di Wilis dan Andika hanya membantuku. Segala keputusan datang dariku, dan aku yang bertanggung jawab. Kalau kita sekarang dikurung oleh barisan Jenggala dan Panjalu, apa Andika kira bahwa kita pasti kalah? Biar aku menemui pimpinan mereka. Paman Adiwijaya, persiapkan pasukan pengawal dan perintahkan agar seluruh pasukan siap untuk menggempur begitu ada perintah dariku!"
"Siap melaksanakan perintah Paduka!" jawab Patih Adiwijaya yang cepat pergi untuk mentaati perintah junjungannya.
Wasi Bagaspati menjadi merah, akan tetapi ia hanya memberi isyarat mata kepada Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik untuk menemani Retna Wilis turun dari puncak menghadapi para pimpinan barisan musuh sambil mempersiapkan sisa pasukan mereka yang selama sebulan ini telah digembleng oleh Wasi Bagaspati sendiri sehingga pasukan yang hanya terdiri dari lima ratus orang itu merupakan pasukan siluman yang menggiriskan.
Ketika rombongan Ratu Wilis bersama pasukan pengawalnya ini menuruni puncak, tiba-tiba terdengar suara halus yang terdengar jelas oleh mereka, datang seperti dibawa angin lalu, "Retna Wilis, sebelum kami memerintahkan barisan yang mengurung menyerbu, engkau diberi kesempatan terakhir untuk berunding dengan Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu. Turunlah!"
Suara yang halus lirih namun amat jelas itu membuktikan bahwa pemiliknya adalah orang yang sakti mandraguna. Rombongan Retna Wilis mengenal suara ini dan wajah Wasi Bagaspati berubah.
"Itulah suara Bagus Seta," suaranya agak gemetar. Dia tidak tahu bahwa Retna Wilis pernah berjumpa dengan kakaknya ini, "Sang Ratu, dia memiliki kesaktian yang luar biasa dan kiranya hanya Padukalah yang akan sanggup menandinginya, dibantu oleh adikku Wasi Bagaskolo. Adapun mengenai tokoh-tokoh yang lain, serahkan saja kepada saya. Kalau kita serentak turun tangan apabila berhadapan dan berhasil membunuh para pimpinan, dengan sendirinya barisan yang besar itu takkan ada gunanya lagi dan akan dapat kita hancurkan dengan mudah."
Retna Wilis cemberut. "Sang Wasi, aku akan menemui mereka dan bagaimana nanti keputusanku, Andika tunggu dan dengarlah saja."
Wasi Bagaspati tidak membantah lagi, akan tetapi ia berjalan mendekati Ni Dewi Nilamanik dan Wasi Bagaskolo, berbisik-bisik merundingkan sesuatu tanpa diperdulikan oleh Retna Wilis. Sungguhpun ia setuju dengan siasat kakek itu, akan tetapi hatinya yang angkuh dan keras tidak menginginkan orang lain mendahuluinya seolah-olah dia yang harus taat dan dipimpin.
Tak lama kemudian mereka telah saling berhadapan, para pimpinan Wilis yang turun dari puncak dengan para pimpinan barisan penyerbu yang menanti di lereng bawah. Retna Wilis berdiri tegak, rambutnya berkibar tertiup angin, sikapnya dingin sekali namun sepasang matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan kilat. Di sampingnya berdiri Wasi Bagaspati, Wasi Bagaskolo, dan Ni Dewi Nilamanik.
Adiwijaya tidak nampak karena patih yang takut sekali bertemu dengan Endang Patibroto itu sudah menyelinap di belakang rombongan dan hanya melihat dan mendengarkan dari tempat aman dan tidak tampak. Adapun yang berdiri di bawah adalah Ki Patih Tejolaksono bersama isterinya, Endang Patibroto. Di sebelah kanan berdiri Bagus Seta dan sebelah kiri berdiri Joko Pramono dan Pusporini. Barisan kedua pihak sudah slap siaga dan setiap saat mereka tentu akan saling gempur begitu ada aba-aba dari atasan mereka. Keadaan amat gawat dan tegang sehingga tidak ada suara berisik terdengar.
"Retna Wilis!" Terdengar suara Ki Patih Tejolaksono penuh wibawa. "Wilis telah terkurung rapat oleh barisan Panjalu dan Jenggala yang jumlahnya jauh lebih besar daripada seluruh pasukanmu. Akan tetapi, mengingat bahwa engkau masih muda dan perlu disadarkan, kami tidak langsung menyerbu, melainkan ingin mengingatkan bahwa usahamu memberontak ini adalah jalan sesat. lnsyaflah dan menakaluklah. Kami akan menanggungmu agar engkau mendapat hukuman ringan dari gusti sinuwun."
"Ki Tejolaksono! Akulah Perawan Lembah Wilis, yang kini menjadi Ratu Kerajaan Wilis yang jaya! Jangan mengira aku takut akan kepungan barisanmu. Hanya kematian yang akan dapat menghentikan aku mencapai cita-citaku!"
"Bocah keparat, tak tahu disayang orang tua! Biarlah aku akan melihat kematianmu sebagai melihat pecahnya sebutir telur!" Endang Patibroto berseru, mengangkat tangan kanannya ke atas dan memekik dengan suara melengking dahsyat, "Serbu...!"
Retna Wilis juga mengangkat tangan kanan ke atas, kemudian terdengar suara lengkingnya yang jauh lebih nyaring dan tinggi daripada pekik ibunya, "Serbu...!!!"
Bagaikan rombongan-rombongan semut pindah yang ditiup, barisan kedua pihak bergerak, pasukan-pasukan Wilis menyerbu dari atas sedangkan pasukan gabungan Panjalu dan Jenggala menyerbu dari bawah. Pecahlah perang campuh yang amat hebat, suaranya menggegap-gempita, seolah-olah menimbulkan gempa bumi di seluruh permukaan pegunungan Wilis. Dengan didahului Endang Patibroto, Joko Pramono dan Pusporini menerjang maju menyerang Retna Wilis. Sejenak Tejolaksono ragu-ragu dan mengeluh sambil menengadah,
"Ya Dewa Yang Maha Agung! Anakku.... mengapa begini? Dewa.... ampuni dosa-dosa hamba !" kemudian, teringat akan kewajibannya, ia pun mengeraskan hati dan ikut menerjang maju.
Retna Wilis menyambut terjangan empat orang keluarganya itu dengan kelincahan tubuhnya yang mengelak ke kanan kiri. Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo, sesuai dengan rencana mereka, cepat maju untuk menandingi Tejolaksono dan keluarganya, akan tetapi tiba-tiba menyambar bayangan putih dan terdengar suara halus, "Orang luar tidak boleh mencampuri pertikaian antara keluarga. Akulah lawan kalian, Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo!"
Melihat Bagus Seta menghadang di depannya, kedua orang kakek ini menjadi marah. Wasi Bagaspati maklum akan kesaktian pemuda ini yang pernah mengalahkannya, akan tetapi karena sekarang di sampingnya ada adik seperguruannya, dia tidak takut. Apalagi melihat bahwa di situ terdapat pula Retna Wilis yang tentu akan membantunya menghadapi lawan tangguh ini. Maka ia berteriak keras dan bersama adik seperguruannya ia menerjang maju, disambut dengan tenang oleh Bagus Seta.
Adapun Ni Dewi Nilamanik yang maklum pula bahwa dia bukanlah tandingan Bagus Seta, segera maju menyerbu dan membantu Retna Wilis menghadapi empat orang keluarganya sendiri.
Joko Pramono yang merasa agak segan untuk ikut mengeroyok Retna Wilis karena ia merasa bahwa dia hanyalah paman luar dari dara itu, cepat menyambut Ni Dewi Nilamanik sehingga terjadi pertandingan seru di antara mereka, sedangkan Retna Wilis dikeroyok oleh ayah bunda dan bibinya.
Adiwijaya yang tidak berani memperlihatkan diri di depan Endang Patibroto, merasa gelisah sekali, akan tetapi ia sibuk mengatur barisan untuk menyambut serbuan pasukan musuh yang datang bergelombang seperti angin taufan mengamuk. Namun ia tidak pernah terlalu jauh meninggalkan Retna Wilis dan selalu memperhatikan keadaan junjungannya yang dipuja dan dikasihinya itu.
Namun segera ternyata bahwa barisan Wilis kewalahan menghadapi serbuan barisan yang jauh lebih besar jumlahnya itu. Apalagi karena di antara barisan Panjalu terdapat tiga orang tokoh Wilis, yaitu Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis yang telah memberi gambaran dan penjelasan kepada pasukannya tentang keadaan di pegunungan ini sehingga barisan yang mereka pimpin dapat maju dengan mudah karena telah mengenal keadaan pegunungan itu. Mulailah terjadi banjir darah dan mayat bertumpuk-tumpuk, ada yang terguling ke dalam jurang. Pekik dan sorak bercampur aduk membubung tinggi ke angkasa.
Ni Dewi Nilamanik terdesak hebat oleh terjangan-terjangan Joko Pramono Wanita sakti ini telah menggunakan sebuah kebutan baru dan ia berusaha membendung serangan Joko Pramono yang membanjir, namun tetap saja ia terdesak hebat dan tidak mampu membalas sedikit pun juga terhadap patih muda dari Jenggala ini. Bahkan dua kali ia telah kena diserempet pukulan pada pundaknya sehingga ia terhuyung dan hampir roboh.
"Retna Wilis, bantulah aku....!" Berkali-kali ia berteriak minta bantuan Ratu Wilis yang bertempur tak jauh dari situ.
Akan tetapi Retna Wilis seolah-olah tidak mendengarnya, atau tidak memperdulikannya. Retna Wilis sendiri bertanding seperti orang mimpi, seperti orang bingung. Melihat pukulan-pukulan ampuh yang dipergunakan ayah bunda dan bibinya terhadap dirinya, ia hanya mengelak dan kadang-kadang kalau terpaksa karena tidak sempat mengelak, ia mengangkat tangan menangkis. Setiap kali menangkis, Tejolaksono atau Endang Patibroto, bahkan Pusporini sendiri yang memiliki kesaktian hebat, tentu terpelanting dan merasa lengan yang tertangkis seperti lumpuh. Kalau Retna Wilis menghandaki, tentu dengan mudah ia akan dapat merobohkan dan menewaskan tiga orang pengeroyoknya. Apalagi kalau ia mau mencabut pedang pusaka Sapudenta. Akan tetapi, dara perkasa ini tidak mau melakukannya, bahkan ia menjadi bingung dan segan. Berkali-kali ia berkata lirih,
"Aku tidak suka menyakiti kalian.... tidak mau membunuh kalian....!" Ucapannya berkali-kali yang keluar dari lubuk hatinya ini tidak diperdulikan oleh Tejolaksono, Endang Patibroto, dan Pusporini yang sudah marah sekali.
Dara ini, biarpun merupakan anak dan keponakan yang dekat, yang mereka sayang, harus dibinasakan karena telah menimbulkan bencana perang yang hebat. Kini mereka bertiga berjuang untuk mengalahkan seorang musuh yang jahat dan berbahaya, bukan lagi merasa berhadapan dengan seorang anak dan keponakan. Karena pihak Retna Wilis hanya mengelak dan kadang-kadang menangkis tanpa balas menyerang, maka pertandingan itu berlangsung lama dan aneh. Yang tiga orang terus menerjang dan mengirim serangan maut, yang dikeroyok hanya meloncat ke sana-sini dan menagkis, seolah-olah mempermainkan tiga orang pengeroyoknya.
Pertandingan antara Bagus Seta yang dikeroyok dua oleh Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo, juga terjadi amat seru dan hebatnya, bahkan lebih hebat daripada perang campuh itu sendiri karena masing-masing selain mengeluarkan kedigdayaan, juga mengerahkan aji kesaktian yang mujijat.
Wasi Bagaspati mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan dan asap hitam bergumpal-gumpal menyambar ke arah Bagus Seta. Namun pemuda ini dengan tenang juga mendorongkan telapak tangan kirinya dan asap hitam itu membuyar lenyap, bahkan menyambar kembali ke arah Wasi Bagaspati sendiri.
Wasi Bagaskolo memekik dan dari mulutnya menyambar uap panas, namun Bagus Seta menghalau uap panas dengan tiupan mulutnya. Ketika Wasi Bagaspati memekik dan mengeluarkan api menyala-nyala dari mulut dan kedua tangannya, lidah api menjilat-jilat ke arah Bagus Seta, panasnya melebihi kawah, Bagus Seta meloncat ke atas dan kedua telapak tangannya mengeluarkan hawa dingin yang serentak memadamkan api itu.
Karena selalu dapat dipunahkan segala ilmu yang dikeluarkan, bahkan mereka itu beberapa kali terdorong mundur oleh hawa pukulan yang panas dan ampuh, yang menyambar keluar dari telapak kedua tangan Bagus Seta, berkali-kali, seperti halnya Ni Dewi Nilamanik, Wasi Bagaspati berteriak-teriak, "Retna Wilis, lekas bantu kami....!"
Namun teriak-teriakannya tidak didengar atau tidak diperdulikan oleh Retna Wilis yang masih selalu mengelak dan menangkis hujan serangan ayah bunda dan bibinya. Melihat ini. Wasi Bagaspati berseru marah, "Retna Wilis, engkau berpihak kepada siapakah? Robohkan mereka dan bantu kami menewaskan bocah ini, baru cita-citamu berhasil!"
"Hemm, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu. Beginikah sikap seorang perajurit?" Bagus Seta mencela.
"Babo-babo, Bagus Seta! Jangan sombong, lihat senjataku!" Tangan Wasi Bagaspati bergerak dan senjata cakra yang mencorong cahayanya telah dipegangnya. Juga Wasi Bagaskolo telah mencabut keluar sebuah senjata keris berwarna hitam yang bereluk tiga dan gagangnya diukir gambar kepala Bathara Kala. Keris hitam ini tidak mencorong cahayanya, akan tetapi begitu tercabut, tercium bau yang amis seperti darah dan busuk seperti bangkai.
"Sungguh sayang senjata yang ampuh disalahgunakan!" kata Bagus Seta dan ketika kedua tangannya bergerak, tangan kirinya telah memegang setangkai bunga cempaka putih dan tangan kanannya telah melolos tali sutera pengikat rambutnya. Kini rambut yang tadinya digelung ke atas itu terlepas dan terurai di kanan kiri kepalanya, menutupi pundak, sebagian ke depan dan sebagian ke belakang. Wajah yang tampan itu kelihatan agung dan berwibawa, namun penuh ketenangan dan kehalusan.
Sang Wasi Bagaspati menerjang maju dengan senjata cakra di tangan, menghantam dada, sedangkan dari sebelah kanan, Wasi Bagaskolo menusukkan kerisnya ke lambung kanan pemuda itu. Bagus Seta tidak bergerak dari tempatnya, hanya mengembangkan kedua tangan, kembang cempaka putih menangkis cakra, sutera pengikat rambut melecut dan menangkis keris. Empat buah senjata aneh itu tidak sampai bersentuhan, akan tetapi seolah-olah ada hawa yang amat kuat keluar dari benda-benda keramat itu dan bertumbukan sehingga terdengar suara meledak-ledak.
Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo terdorong mundur, memandang dengan mata terbelalak, hampir tidak kuat menentang lama-lama sinar yang memancar dari sepasang mata Bagus Seta, mereka menggerakkan kaki mundur-mundur perlahan. Pada saat itu terdengar teriakan nyaring yang keluar dari mulut Ni Dewi Nilamanik, "Retna Wilis.... tolong.... !!!"
Ni Dewi Nilamanik telah jatuh terjengkang disambar tendangan Joko Pramono, kebuatannya mencelat dan kini Joko Pramono sudah meloncat maju untuk mengirim pukulan maut yang terakhir ketika Ni Dewi Nilamanik menjerit minta tolong kepada Retna Wilis saking takutnya menyaksikan jangkauan tangan maut yang hendak mencabut nyawanya.
Jerit melengking itu seolah-olah menyadarkan Retna Wilis dari keadaannya yang seperti dalam mimpi. ia terkejut, sekaligus menangkis pukulan tiga orang pengeroyoknya sehingga Tejolaksono, Endang Patibroto dan Pusporini terlempar ke belakang, kemudian tubuh Retna Wilis melesat ke dekat Ni Dewi Nilamanik dan sekali tangannya mendorong ke depan, tidak saja pukulan maut Joko Pramono tertangkis, bahkan tubuh Patih Muda Jenggala ini pun terlempar dan terbanting ke atas tanah dalam keadaan nanar dan matanya berkunang!
Endang Patibroto memekik marah, lalu bersama-sama Tejolaksono dan Pusporini, ia menerjang maju menghantam Retna Wilis dengan aji pukulannya yang paling ampuh, yaitu Wisangnolo, sedangkan Tejolaksono memukul dengan pukulan Bojrodahono, dan Pusporini menampar dengan aji pukulan Pethit Nogo. Kini dalam keadaan marah sekali, tiga orang gagah ini sekaligus menyerang dengan sepenuh tenaga.
"Buk, plak, plak!" Tiga pukulan itu diterima oleh Retna Wilis yang mengerahkan kesaktiannya, dan kedua tangannya mendorong. Tubuhnya terkena hantaman tiga pukulan sakti itu dan tergetar, akan tetapi tiga orang lawannya terlempar seperti daun kering tertiup angin dan terbanting roboh keras sekali dalam keadaan pingsan!
"Terlalu...!" Bagus Seta berkelebat datang, namun terlambat karena tiga orang sakti itu telah terlempar. Melihat kedatangan Bagus Seta, Retna Wilis kembali mendorongkan kedua tangannya. Bagus Seta menerima dengan telapak tangan pula.
"Dessss!" Kini tubuh Retna Wilis yang terpental ke belakang dan roboh terguling. Pada saat itu terdengar pekik nyaring sekali yang keluar dari mulut Wasi Bagaspati dan tiba-tiba tempat itu menjadi gelap oleh uap hitam seperti mendung tebal. Para perajurit Jenggala dan Panjalu menjadi panik, apalagi ketika dari gumpalan uap hitam itu menyambar-nyambar kilat yang merobohkan banyak orang, dan terdengar desis menyeramkan dari ratusan ekor ular yang merayap-rayap dan menyerang perajurit-perajurit itu!
Mereka menjadi ketakutan, menjerit-jerit dan ada pula yang lari. Bagus Seta cepat memejamkan mata mengerahkan kekuatan batinnya, kemudian bertepuk tangan tiga kali. Tepukan tangan ini menimbulkan bunyi seperti Guntur menggelepar dan seketika lenyaplah uap hitam yang ditimbulkan oleh ilmu hitam Wasi Bagaspati, dan ular-ular yang diciptakan Wasi Bagaskolo kini ternyata hanya segenggam daun kamboja kering!
Para perajurit tidak panik lagi dan dengan penuh semangat mereka menyerbu ke atas. Bagus Seta memandang dan ternyata Retna Wilis, Wasi Bagaspati, Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik telah lenyap dari situ. Akan tetapi dia tidak ingin mengejar karena ia harus cepat menolong Tejolaksono, Endang Patibroto dan Pusporini yang masih pingsan. Joko Pramono juga cepat menghampiri isterinya. Setelah memeriksa sebentar, Bagus Seta menarik napas panjang.
"Hebat sekali tenaga saktinya, akan tetapi syukur kepada Dewata bahwa dia tidak sampai membunuh ayah bundanya sendiri. Paman, harap jangan khawatir. Mereka hanya pingsan oleh getaran hawa sakti, sebentar lagi tentu siuman kembali."
Benar saja, tak lama kemudian tiga orang sakti itu siuman dan tidak mengalami luka. Mereka lalu memimpin pasukan menyerbu terus ke puncak Wilis. Bala tentara Wilis yang kehilangan pimpinan, bahkan Patih Adiwijaya juga lenyap tanpa pamit, segera membuang senjata dan berlutut, menakluk.
Tejolaksono lalu memerintahkan Limanwilis, Lembuwilis, dan Nogowilis untuk mengatur keadaan Wilis dan memulihkan keamanan, karena ketiga orang tokoh itu lebih mengenal keadaan. Kemudian ia membicarakan tentang lenyapnya Retna Wilis.
"Apakah yang terjadi, Puteraku?" tanyanya kepada Bagus Seta. "Bagaimana Retna Wilis dapat lenyap?"
Bagus Seta menceritakan keadaan tadi dan dia sendiri tidak tahu ke mana perginya Retna Wilis, kedua orang Wasi, dan Ni Dewi Nilamanik. Seorang di antara Para perajurit taklukan yang ditanya segera mengaku bahwa tadi ia melihat Retna Wilis dalam keadaan pingsan dipondong pergi oleh Wasi Bagaspati yang melarikan diri bersama Wasi Bagaskolo, Ni Dewi Nilamanik dan Ki Patih Adiwijaya, memimpin pasukan siluman yang terdiri dari beberapa ratus orang, menuju ke selatan.
"Kita harus mengejarnya! Aku amat mengkhawatirkan keadaan Retna Wilis," kata Tejolaksono mengerutkan kening.
"Hemm, bocah durhaka macam itu perlu apa ditolong? Biarkan dia bersama sekutunya yang jahat!" dengus Endang Patibroto dengan hati sakit.
Tejolaksono memegang kedua pundak isterinya dan memaksa isterinya bertemu pandang dengan dia.
"Diajeng, betapa mungkin hati orang tua menegakan anaknya? Aku tahu bahwa engkau pun hanya terdorong oleh kemarahan, akan tetapi di dasar hatimu, engkau amat mencinta puteri kita itu...."
Endang Patibroto tersedu dan menyembunyikan muka di dada suaminya, menangis terisak-isak. Joko Pramono dan Pusporini memandang penuh keharuan. Bagus Seta menghela napas panjang.
"Memang tepat apa yang diucapkan Kanjeng Rama. Kita harus menolongnya, bukan semata-mata karena dia keluarga kita, melainkan terutama sekali untuk menghalangi perbuatan keji manusia sesat seperti Wasi Bagaspati dan kawan-kawannya. Marilah kita mengejar ke selatan sebelum terlambat."
Serentak keluarga yang sakti itu berangkat mengejar, menuju ke selatan, tidak ingat lagi akan tubuh mereka yang lelah sehabis mengalami pertandingan yang dahsyat itu.
********************
Apakah yang telah terjadi dengan Retna Wilis? Ke mana perginya? Seorang yang memiliki watak keras, angkuh dan aneh sekali seperti dara perkasa itu memang tidak mungkin kalau melarikan diri menghadapi kekalahan dalam pertandingan. Endang Patibroto maklum akan hal ini karena dia sendiri pun dahulu merupakan seorang wanita keras hati yang tidak pernah mau kalah atau menyerah apalagi melarikan diri! Padahal watak puterinya lebih keras lagi dan jauh lebih aneh.
Memang Retna Wilis sama sekali tidaklah melarikan diri, melainkan dilarikan oleh Wasi Bagaspati. Kakek ini sejak pertama kali dikecewakan Retna Wilis, yaitu ketika mereka menyerbu ke Jenggala dan Retna Wilis tidak mau terus menduduki Kota Raja Jenggala, telah menaruh curiga kepada Retna Wilis. Diam-diam ia menyatakan ketidakpuasan hatinya itu kepada Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik, menyatakan bahwa sungguhpun Retna Wilis memiliki kesaktian yang boleh diandalkan, namun dara itu bukan merupakan sekutu yang baik dan masih mempunyai hati sungkan dan sayang kepada keluarganya, maka ia memesan agar pembantu-pembantunya berhati-hati.
Ketika barisan Jenggala dan Panjalu datang menyerbu, diam-diam ia sudah mengatur siasat dengan para pembantunya, menyatakan bahwa apabila keadaan tidak menguntungkan, agar melarikan diri dan ia akan berusaha menculik Retna Wilis. Maka ketika ia melihat bahwa tepat seperti dugaannya, Retna Wilis yang menghadapi ayah buda dan bibinya itu tidak bertanding sungguh-sungguh, tidak mau membunuh mereka, bahkan tidak mau membantu kedua orang kakek melawan Bagus Seta, apalagi ketika ternyata betapa barisan Wilis tidak mampu membendung penyerbuan barisan musuh yang jauh lebih kuat, Wasi Bagaspati lalu mempergunakan siasat. Dia harus mengakui bahwa menculik seorang yang sakti mandraguna seperti Retna Wilis bukanlah hal yang mudah.
Akan tetapi ia melihat kesempatan yang baik ketika Retna Wilis terlempar dalam benturan tenaga sakti melawan Bagus Seta. Maka ia menggunakan ilmu hitamnya, membuat tempat itu menjadi gelap oleh awan hitam, kemudian secepat kilat ia mendekati Retna Wilis yang roboh terguling dan masih pening itu dan menggunakan kesaktiannya untuk mengetok tengkuk Retna Wilis dengan jari tangannya sehingga dara perkasa yang sudah nanar dan tidak menyangka-nyangka karena mengira bahwa kakek itu hendak menolongnya, menjadi pingsan.
Dengan mudah Wasi Bagaspati lalu memondong tubuh Retna Wilis, kemudian pergi melarikan diri bersama Wasi Bagaskolo, Ni Dewi Nilamanik, dan Adiwijaya yang telah berhasil menarik kepercayaan Wasi Bagaspati. Karena kakek ini menganggap bahwa Adiwijaya seorang yang cerdik dan pandai mengatur siasat, pula yang telah ia ketahui "sepak terjangnya" semenjak menjadi Patih Warutama di Jenggala, maka ia tidak ragu-ragu lagi bahwa Adiwijaya bukanlah orang setia kepada Retna Wilis. Dalam hal ini, Wasi Bagaspati telah salah duga dan kembali membuktikan pandainya Adiwijaya bermain sandiwara sehingga seorang seperti Wasi Bagaspati yang sudah kawakan dan berpengalaman pun dapat ia kelabui.
Sebelah utara pantai laut selatan terdapat barisan gunung-gunung, yang memanjang dari barat sampai ke utara dan lajim disebut pegunungan Seribu. Memang amat banyak gunung-gunung dalam barisan ini, sukar dihitung jumlahnya dan mungkin lebih dari seribu gunung kecil-kecil yang sebagian besar adalah gunung batu gamping. Kekuasaan alam memang hebat dan aneh. Barisan gunung Seribu ini seolah-olah merupakan tanggul yang menjaga daratan Pulau Jawa agar jangan sampai diamuk ombak laut kidul yang dahsyat!
Sisa pasukan yang melarikan diri bersama Wasi Bagaspati bersembunyi di sebuah di antara pegunungan ini, di daerah yang tidak begitu tandus sehingga mereka dapat tinggal di situ tanpa dapat dilihat orang dari jauh. Retna Wilis yang dilarikan Wasi Bagaspati juga dibawa ke gunung kecil ini. Dalam perjalanan melarikan diri, Retna Wilis telah diberi minum jamu buatan Ni Dewi Nilamanik yang disebut "madu perampas semangat", sehingga ketika Retna Wilis siuman dari pingsannya, ia seperti orang yang tidak mempunyai semangat dan kemauan lagi. Ia lupa segala dan hanya menurut apa yang dikatakan Ni Dewi Nilamanik atau Wasi Bagaspati.
Adiwijaya yang menyaksikan keadaan junjungannya itu, menjadi gelisah dan prihatin sekali. Akan tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa dan ia setiap saat memutar otak untuk mencari akal agar dapat membebaskan Retna Wilis. Kalau saja tidak untuk membela gadis itu, tentu dia tidak sudi ikut melarikan diri bersama Wasi Bagaspati dan sudah pergi sendiri merantau ke tempat jauh. Namun, tak mungkin ia dapat meninggalkan Retna Wilis dan kalau perlu ia berani mempertaruhkn nyawa untuk menyelamatkan dara itu. Tentu saja ia tidak mau berbuat sembrono mempergunakan kekerasan, karena kalau hal ini ia lakukan, ia tidak akan berhasil menyelamatkan Retna Wilis, juga berarti ia hanya akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia belaka. Ia harus menggunakan akal dan memang amatlah sukar untuk melawan orang-orang yang sakti dan cerdik seperti Wasi Bagaspati dan kawan-kawannya.Ia harus menanti kesempatan baik untuk itu.
Retna Wilis bersandar di batang pohon dalam keadaan terikat. Ia menundukkan mukanya yang agak pucat, tubuhnya lemas dan pandangan matanya tidak hidup, seperti mata orang mimpi atau termenung dalam sekali. Ia berada dalam pengaruh jamu yang setiap hari diminumkan kepadanya secara paksa oleh Ni Dewi Nilamanik. Biarpun dara perkasa ini sudah tidak berdaya karena semangatnya tertutup atau seperti dirampas ramuan jamu mujijat itu, namun Ni Dewi Nilamanik yang gentar menghadapi kesaktian Retna Wilis masih merasa perlu untuk membelenggunya.
Pada saat itu, Ni Dewi Nilamanik duduk di atas batang pohon yang telah ditebang, bersama Wasi Bagaspati di depan Retna Wilis yang terikat di pohon. Wasi Bagaspati kelihatan muram wajahnya dan ia mendengarkan keterangan yang diberikan oleh Ni Dewi Nilamanik.
"Dia ini memang hebat sekali, Kakangmas Wasi! Semangat dan kemauannya dapat kupengaruhi, akan tetapi nafsunya tak dapat kubangkitkan. Sudah banyak jamu kuminumkan, bahkan madu asmara sudah banyak ia minum, akan tetapi keadaannya sama saja. Ia tidak terangsang. Lalu bagaimana baiknya?"
Dengan wajah murung Wasi Bagaspati mengelus jenggotnyaa. "Sudah tiga hari kita berada di sini. Kalau sampai mereka datang menyusul, kita bisa celaka. Aku harus dapat menguasai bocah ini, karena dengan bantuan kesaktiannya, baru aku akan dapat menghadapi si keparat Bagus Seta, bersama adi Bagaskolo. Akan tetapi kalau dia ini tidak dapat dikuasai, tentu celaka. Hemm.... siapa tahu keadaan hati bocah ini. Kalau ia membalik, mengkhianati dan melawan kita, bisa konyol kita! Daripada demikian, lebih baik kubunuh saja dia sekarang!"
Ni Dewi Nilamanik mengerlingkan matanya yang indah dan bibirnya yang merah merekah. "Kakangmas Wasi, dari dulu juga aku tidak suka kepadanya dan menaruh curiga. Memang kurasa lebih baik dibunuh saja bocah ini, karena kelak hanya akan menimbulkan kesusahan saja bagi kita."
Tiba-tina Wasi Bagaspati menoleh ke arah pohon-pohon di belakangnya dan membentak, "Siapa di sana??"
Pendengaran kakek ini memang tajam sekali sehingga ia dapat mendengar suara napas Adiwijaya yang tersentak kaget mendengar betapa Retna Wilis akan dibunuh. Adiwijaya cepat muncul keluar dan menghadap mereka, duduk di atas tanah.
"Saya sengaja mencari Paduka, karena merasa cemas mengapa sampai sekarang masih belum diambil keputusan mengenai bocah liar ini." Ia menuding ke arah Retna Wilis yang masih menunduk seolah-olah tidak mendengar apa yang dibicarakan di depannya. "Kalau tidak segera diambil keputusan mengenai dirinya, tentu akan berbahaya sekali. Saya berani bertaruh bahwa saat ini pihak Panjalu dan Jenggala tentu sedang berusaha keras untuk mencari kita dan menolongnya."
Wasi Bagaspati termenung dan mengomel, "Memang aku dan Ni Dewi sedang membicarakan tentang dia. Aku mengambil keputusan untuk membunuh saja bocah ini!"
Sambil berkata demikian, kakek itu menatap wajah Adiwijaya dengan penuh perhatian, amat tajam dah seolah-olah hendak menjenguk isi hati Adiwijaya. Laki-laki ini menekan keras batinnya yang terguncang dan dia menggeleng-geleng kepala.
"Kalau saja ia tidak berguna, memang lebih baik dibunuh. Akan tetapi kalau dia dibunuh, rencana kita akan macet semua, Sang Wasi. Kita sudah kehilangan banyak tenaga pembantu yang cakap, bahkan Cekel Wisangkoro pun sudah gugur. Bocah ini merupakan tenaga yang amat cakap, memiliki kesakitan yang kiranya akan dapat menandingi Bagus Seta. Kalau dibunuh, berarti kita merugikan diri sendiri."
"Hemm, kalau begitu, menurut pendapatmu bagaimana baiknya?"
Sejenak Adiwijaya bingung. Dia pun tidak tahu bagaimana baiknya dan tadi ia mengeluarkan kata-kata itu hanya untuk mencegah gadis ini dibunuh. Otaknya bekerja cepat. Pokoknya asal gadis ini terhindar daripada bahaya maut lebih dulu, pikirnya.
"Bukankah saya telah menganjurkan agar Paduka menundukkan dia dengan pengaruh kesaktian Paduka, agar dia menjadi isteri Paduka sehingga dengan demikian dia akan membantu segala usaha Paduka dengan penuh kesetiaan?"
"Aahhh, usaha itu telah kami lakukan," kata Ni Dewi Nilamanik sambil memandang wajah Adiwijaya yang masih tampan dan gagah itu. "Sudah banyak obat guna-guna kumasukkan, akan tetapi agaknya dasar hati bocah ini masih terlalu kosong dan bersih sehingga tidak mempan. Jamu-jamu perangsang pun tidak ada gunanya, agaknya dia tidak mempunyai nafsu berahi!"
Adiwijaya memandang Ni Dewi Nilamanik dengan hati ngeri dan bulu tengkuk meremang. Betapa cantiknya wanita ini dan dia sendiri sudah beberapa kali merasakan kelembutan dan kenikmatan bersama wanita cantik ini berenang dalam cinta, bersama-sama mereguk madu asmara yang memabukkan. Betapa indah sepasang mata itu, betapa menggairahkan dan menantang mulut yang merah itu, betapa halus kuning kulitnya. Akan tetapi betapa keji hatinya. Teringat Adiwijaya akan buah mangga yang melihat kehalusan dan warna kulitnya menimbulkan gairah, akan tetapi yang kemudian ternyata betapa di balik kulit yang halus kemerahan dan sedap maunya itu tersembunyi daging busuk yang masam dan banyak ulatnya! Betapapun benci hatinya mendengar perlakuan wanita ini terhadap Retna Wilis, ia memaksa diri tersenyum dan berkata,
"Ni Dewi, dan Sang Wasi. Betapapun juga, harus diusahakan agar bocah liar ini dapat tunduk dan menurut kepada Paduka. Dengan kekerasan kita gagal, namun kalau dia ini dapat dikuasai, kemudian secara halus Paduka dibantu oleh Sang Wasi Bagaskolo, dan Retna Wilis ini mendatangi Panjalu dan Jenggala, membunuh para tokoh yang berkuasa di sana, saya kira tidak akan sukar lagi kalau kemudian kita mengerahkan barisan untuk menaklukkan dua kerajaan itu. Saya sendiri sanggup untuk menghimpun pasukan yang cukup besar."
"Akan tetapi bagaimana? Dia tidak mudah dipengaruhi guna-guna...." kata kakek itu kehilangan akal karena belum pernah ia menghadapi seorang korban yang begini ulet seperti Retna Wilis.
"Mengapa tidak dapat, Sang Wasi? Saya pernah menyaksikan pengaruh gaib yang datang mempengaruhi jiwa para wanita di waktu diadakan upacara pemujaan Sang Bathari Durgo. Mengapa tidak mengandalkan kekuasaan dan bantuan Sang Bathari? Andaikata pengaruh gaib itu masih tidak mempan, Paduka dapat melakukan kekerasan dan saya rasa, sekali dia ini telah Paduka renggut kehormatan tubuhnya, kemudian saya sendiri akan mempengaruhinya dengan nasehat-nasehat, percayalah, dia boleh dibebaskan dari pengaruh jamu perampas semangat dan dalam keadaan sadar itu dia tentu akan tunduk. Kalau dia biarpun terjadi di luar kehendaknya, telah menjadi isteri Paduka, dan mendengarkan nasehat-nasehat saya, kiranya dia akan melihat kenyataan bahwa tidak ada jalan lain baginya kecuali melanjutkan cita-citanya dengan bantuan Paduka Sang Wasi."
Wasi Bagaspati mengangguk-angguk dan lenyaplah sedikit kecurigaannya terhadap Adiwijaya yang muncul secara tiba-tiba itu.
"Kurasa benar apa yang ia katakan itu, Ni Dewi Buatlah persiapan, malam nanti kita adakan upacara pemujaan Sang Bathari dan kita lihat hasilnya!"
"Akan tetapi, malam hari ini bulan belum purnama, Kakangmas Wasi, dan pengaruh hikmat itu tidaklah amat kuat"
"Tidak apa. Kalau terlalu lama ditunda, khawatir terlambat. Siapa tahu Bagus Seta sudah mencari sampai dekat tempat ini. Andaikata tidak berhasil, masih belum terlambat untuk membunuhnya!"
Demikianlah, pada malam hari itu, di sebuah lapangan terbuka di puncak gunung kecil, dikelilingi pohon-pohon jarang yang tumbuhnya tidak subur di daerah kapur itu, diadakan tari-tarian seperti biasa dilakukan pada upacara pemujaan Sang Bathari Durgo. Sebuah arca Bathari Durgo berdiri di sudut, di samping kiri kursi tempat duduk Sang Wasi Bagaspati. Karena mereka tidak ingin menarik perhatian, maka dalam upacara tari-tarian ini tidak diiringi suara gamelan, melainkan diiringi suara wanita-wanita cantik bertembang dengan tepuk tangan dan berkerincingnya gelang kaki.
Upacara tari-tarian ini amat sederhana, akan tetapi karena sekali ini yang menari-nari di samping tiga orang gadis cantik, juga diikuti oleh Ni Dewi Nilamanik sendiri yang ternyata amat pandai menari dengan pakaian setengah telanjang sehingga tampak lekuk-lengkung tubuhnya yang menggairahkan dan amat mengherankan karena usianya yang sudah tua itu ternyata tidak menghilangkan keindahan tubuhnya, maka tari-tarian itu amat menggairahkan.
Selain Ni Dewi Nilamanik dan tiga orang pembantunya, juga tampak seorang gadis yang amat cantik jelita, kecantikannya cemerlang dan menyuramkan kecantikan wanita lain, bahkan Ni Dewi Nilamanik kelihatan tidak menarik. Akan tetapi sungguh sayang, kalau Ni Dewi Nilamanik dan tiga orang pembantunya menari-nari dengan gerakan lemah-gemulai dan menimbulkan rangsangan berahi dengan gerakan-gerakan leher, pundak, perut, dan pinggul, adalah dara cantik ini menari-nari dengan gerakan lucu dan kaku. Dia bukan menari, melainkan bersilat!
Kalau empat orang penari lain melakukan gerakan dengan lengan lemas seperti orang melambai dan mengajak disertai senyum memikat, dara ini menggerakkan tangan ke depan dengan kaku, jari-jarinya terbuka dan bukan melambai, melainkan lebih tepat memukul atau menampar musuh! Kalau penari yang membuang sampur ke sisi dengan gerakan lincah dan mata mengerling mulut tersenyum, dara ini membuang lengan ke sisi dengan gerakan cepat seperti orang menangkis pukulan atau tendangan lawan! Dara cantik jelita yang memiliki tubuh indah menggairahkan seperti bunga sedang mekar atau buah sedang ranum ini bukan lain adalah Retna Wilis.
Ni Dewi Nilamanik menari-nari di depan Retna Wilis, membujuk-bujuk dan memberi contoh gerakan tari yang dikuti dengan patuh oleh Retna Wilis dengan gerakannya yang kaku.
Dari tempat duduknya, Wasi Bagaspati yang mengenakan pakaian merah serba baru itu memandang penuh perhatian dan ia tersenyum gembira. Biarpun tarian dara perkasa itu tidak indah, namun gerakan-gerakan tubuhnya membayangkan kelemasan dan kelembutan yang tersembunyi tenaga mujijat. Melihat betapa mulut yang segar dan manis itu mulai tersenyum-senyum, dengan hati girang Wasi Bagaspati mengerti bahwa biarpun tidak sepenuhnya, namun dara itu mulai terkena pengaruh hikmat gairah nafsu berahi yang amat merangsang di saat itu, terbawa oleh asap dupa dan dibangkitkan oleh tari-tarian yang membayangkan dorongan nafsu berahi. Ia akan berhasil, pikirnya. Kalau Retna Wilis menyerahkan kehormatannya tanpa paksaan, tentu dara ini setelah sadar akan tunduk dan mudah ia kuasai.
Tari-tarian mencapai puncaknya menjelang tengah malam. Ni Dewi Nilamanik yang mengerahkan aji mantera guna-guna sambil menari-nari menyentuh, mengelus dan membelai bagian tubuh Retna Wilis yang mudah terangsang, untuk membangkitkan berahi gadis itu. Suasana di situ penuh dengan pengaruh mujijat sehingga Adiwijaya sendiri yang duduk menonton, tak dapat menahan getaran yang merangsang dan membangkitkan nafsu. Ia memandangi penari-penari itu dengan mata lapar dan liar seolah-olah hendak dilahapnya tubuh-tubuh yang montok setengah telanjang itu.
Akan tetapi kalau ia melihat Retna Wilis, seketika nafsu berahinya lenyap terganti rasa gelisah. Ia menanti saat sebaiknya untuk bertindak. Sampai malam ini, ia telah berhasil menyelamatkan nyawa gadis pujaannya itu, sehingga tidak sampai dibunuh. Akan tetapi ia tahu bahwa nasib yang lebih mengerikan menanti diri Retna Wilis dan ia harus merenggut dara itu dari tangan Wasi Bagaspati, kalau perlu ia akan berkorban nyawa.
Retna Wilis yang menjadi murid Nini Bumigarba dan sudah digembleng dengan segala macam ilmu, yang keras hati dan berperasaan dingin, betapapun juga hanya seorang manusia dari darah daging. Kini ia berada di bawah kekuasaan yang tidak wajar, di bawah pengaruh jamu perampas semangat sehingga ia seperti orang kehilangan ingatan dan kemauan. Kemudian, di bawah hikmat malam pemujaan Sang Bathari Durgo yang seperti ayunan ombak laut memabukkan, perlahan-lahan ia hanyut dan terbawa, apalagi ditambah belain-belaian tangan Ni Dewi Nilamanik, mendengarkan bisikan-bisikan tentang cinta nafsu, tentang kenikmatan badani, ia makin hanyut dan sepasang matanya mulai bersinar-sinar dan seperti mata orang mengantuk, tanda bahwa ia mulai terangsang.
Sambil menari, Ni Dewi Nilamanik memberi isyarat kepada Wasi Bagaspati yang tertawa lebar, bangkit berdiri dan menghampiri tempat tarian, mendekati Retna Wilis dan memegang tangan gadis itu yang memandangnya dengan mata sayu.
"Marilah, Retna Wilis, marilah isteriku yang tercinta. Mari kuberikan cintaku untuk memuaskan dahaga hatimu...." ia berkata lalu menuntun Retna Wilis turun dari tempat tarian menuju ke sebuah pondok yang dibangun di tempat itu.
Retna Wilis hanya menurut saja, kedua lengannya masih bergerak-gerak seperti orang menari, tidak membantah sedikit pun juga seperti seekor domba yang dituntun ke tempat penyembelihan!
Perbuatan Wasi Bagaspati ini seolah-olah merupakan pertanda bagi para penari dan yang hadir di situ untuk mulai dengan pesta gila-gilaan. Tiga puluh orang wanita anggauta pasukan Ni Dewi Nilamanik menyerbu ke tempat tari-tarian diikuti anggauta pasukan pria dan mereka mulai menari sambil berpelukan, berdekapan dan berciuman. Ni Dewi Nilamanik sendiri yang sudah terangsang hebat, mencari-cari dengan pandang matanya. Akan tetapi Adiwijaya yang dicarinya tidak tampak di situ, maka ketika Wasi Bagaskolo sambil tertawa memeluk pinggangnya, ia pun balas memeluk leher kakek itu sambil mengeluarkan suara merintih seperti seekor kucing dielus-elus punggungnya!
"Sang Wasi Bagaspati.... ! Celaka.... !!" Pintu pondok itu didorong terbuka dari luar oleh Adiwijaya.
Wasi Bagaspati yang sudah membuka jubahnya itu cepat membalikkan tubuh dengan sikap marah karena terganggu. ia mengikatkan lagi ikat pinggangnya di luar jubah dan membentak, "Keparat, Adiwijaya! Apa kehendakmu?"
Adiwijaya melirik ke arah Retna Wilis yang tergolek terlentang di atas pembaringan dan diam-diam mengucap syukur bahwa ia tidak terlambat, hanya selendang yang tadi menutupi dada Retna Wilis yang sudah terbuka. Gadis ini memejamkan mata dan bibirnya tersenyum lebar!
"Celaka, Sang Wasi.... ada serbuan dipimpin oleh Bagus Seta. Mereka..... mereka datang dari lereng di timur.... cepat biar saya berusaha menyadarkan Retna Wilis dan membujuknya agar ia dapat membantu kita!"
"Sialan....!" Wasi Bagaspati mendengus, lalu melompat ke pintu, akan tetapi ia teringat, mengeluarkan sebungkus obat dari saku jubahnya kepada Adiwijaya, "Nih, kau sadarkan dia dan bujuk sampai dia dapat membantu!" lalu tubuhnya berkelebat keluar dari pondok.
Adiwijaya cepat menghampiri Retna Wilis, dengan jari-jari tangan gemetar ia memasangkan kembali selendang menutupi dada yang terbuka itu, kemudian membuka bungkusan obat dan setengah memaksa membuka mulut Retna Wilis, menuangkan isi bungkusan yang berwarna bubuk putih ke mulut dara itu. Retna Wilis tidak membantah, dan sambil tersenyum menelan obat itu dan lengannya yang halus itu merangkul leher AdiwiJaya.
"Aduh.... Gusti Puteri.... sadarlah.... ahhh, lekas sadar dan mari lari bersama hamba !" Dengan halus ia melepaskan rangkulan lengan itu dari lehernya, menarik tangan Retna Wilis bangkit dan turun dari pembaringan, kemudian terus menyeretnya keluar.
Ketika Retna Wilis terhuyung seperti orang lemas, bahkan kini matanya dipejamkan dan napasnya menjadi panjang teratur seperti orang tidur, ia cepat memondong tubuh Retna Wilis dan membawanya lari keluar, menghilang di tempat gelap.
Wasi Bagaspati dengan marah menendangi para pengikut yang sedang bermain asmara secara tidak tahu malu di sembarang tempat, bahkan menyeret bangun Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik dari bawah pohon di mana kedua orang itu tenggelam dalam lautan cinta berahi.
"Bedebah semua! Keparat sembrono, tidak tahu ada musuh menyerbu! Cepat, siapkan semua orang. Bagus Seta dan pasukannya menyerbu dari lereng di timur. Cepat!" Bentakan Wasi Bagaspati ini mengagetkan semua orang.
Disebutnya nama Bagus Seta sekaligus mengusir semua rangsangan berahi yang mempengaruhi mereka dan kini mereka sudah meloncat bangun dan siap bertempur...