Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Sepasang Garuda Putih Jilid 01
SUARA ombak mendesis, mendidih dan menggelegar di sepanjang Pantai Laut Kidul. Tiada henti-hentinya, siang malam, Bagaikan tetabuhan yang mengiringi kiprah alam seisinya. Ombak menepis di pantai pasir mendesis-desis, tampak ombak memanjang berkepala putih berlenggang-lenggok seperti seekor naga disusul naga lain, kemudian memecah di pantai yang berpasir mendesis-desis. Di sana sini terdengar ombak menggelegar menghantam batu karang, mengguncangkan batu karang itu dan air muncrat menjadi atom, kalau tersinar matahari menciptakan pelangi. Alangkah perkasanya alam, alangkah indah, juga alangkah buasnya ulah ombak di pantai, menggulung pasir yang dimuntahkan di pantai.
Pemuda ini memiliki tubuh yang sedang namun tegap, berdirinya tegak dan lenggangnya seperti langkah harimau lapar. Wajahnya amat tampan dan manis, dengan dahi lebar dan sepasang matanya mencorong namun mengandung kelembutan, hidungnya mancung dan mulutnya selalu terhias senyum yang menarik dan menyejukkan hati yang memandang. Dagunya yang sedikit berlekuk menunjukkan kejantanan dan kegagahan. Kulitnya kuning bersih, seorang pemuda yang ganteng seperti Arjuna.
Wanita yang berjalan di sampingnya juga tidak kalah menariknya, ia seorang dara yang usianya paling banyak dua puluh tahun. Rambutnya panjang sampai ke pinggang, namun digelung di belakang kepala dengan rapi. Pakaiannya juga dari kain putih bersih. Dara ini memiliki tubuh yang ramping padat dengan lekuk lengkung tubuh yang sempurna, bagaikan seorang dewi dari kahyangan. Dahinya tertutup sinom melingkar-lingkar, alisnya kecil melengkung dan hitam seperti dilukis, matanya seperti sepasang bintang kejora dengan kerling tajam menghunjam, hidungnya mancung dan mulutnya amat manis dengan bibir yang merah membasah, dihias lesung pipit di pipi kiri, dagunya runcing dan lehernya agak panjang berkulit putih mulus.
Orang yang bersua dengan mereka di tempat hening itu tentu akan mengira bahwa mereka penjelmaan Bathara Komajaya dan Bathari Komaratih, yaitu Dewa dan Dewi Asmara. Akan tetapi kalau orang memperhatikan sinar mencorong dari mata mereka, apalagi melihat adanya sebatang pedang di punggung dara itu, maka pandangan orang itu akan menjadi kagum dan juga jerih.
Siapakah gerangan jaka bagus dan perawan ayu ini? Mereka adalah kakak beradik tiri, satu ayah berlainan ibu. Ksatria gagah dan tampan itu bernama Bagus Seto, putera dari Adipati Tejolaksono dan Ayu Candra. Sejak kecil Bagus Seto telah digembleng oleh orang-orang yang maha sakti. Mula-mula dijadikan murid oleh Ki Tunggaljiwo selama sepuluh tahun, kemudian dijadikan murid seorang pertapa yang maha sakti dengan julukan Bhagawan Ekadenta, juga disebut Ki Jitendryo dan Bhagawan Sirnasariro.
Setelah menerima gemblengan Bhagawan Ekadenta, Bagus Seto menjadi seorang pemuda yang maha sakti, memiliki kekuatan lahir batin yang dahsyat. Takkan ada seorangpun dapat mengira bahwa dalam diri seorang pemuda tampan halus seperti Bagus Seto itu terdapat kekuatan yang amat dahsyat.
Dara jelita yang kelihatan gagah itu bernama Retno Wilis. Ia juga puteri Adipati Tejolaksono akan tetapi ibunya adalah Endang Patibroto. Walaupun kedua ayah ibunya merupakan orang-orang sakti, akan tetapi sejak kecil ia digembleng oleh seorang nenek maha sakti yang berjuluk Nini Bumigarbo. Sejak kecil ia berpakaian serba hijau, sesuai dengan namanya Retno Wilis (Dara Hijau), akan tetapi setelah ia merantau dengan kakaknya, Bagus Seto menganjurkan agar adiknya memakai pakaian serba putih seperti yang dipakainya.
Dari Nenek sakti Nini Bumigarbo, Retno Wilis menerima gemblengan banyak ilmu, di antaranya yang hebat adalah Aji Wisolangking, semacam ilmu pukulan mangandung hawa beracun panas, Aji Argoselo yang membuat ia dapat membikin tubuhnya menjadi berat sekali, lalu Aji Pancaroba ilmu silat yang mengandalkan kecepatan gerak. Iapun menerima dua macam senjata yang ampuh, pertama Pedang Sapudento yang ampuh sekali dan senjata rahasia Pasir Sekti, semacam pasir yang juga mengandung racun yang mematikan.
Demikianlah, kedua kakak beradik yang tampak demikian tampan dan cantik, demikian lemah lembut, sesungguhnya merupakan sepasang orang muda yang sakti, dan kedatangan mereka dari barat menuju ke timur itu dapat diumpamakan Sepasang Garuda Putih yang melayang-layang datang sebagai sepasang pendekar yang tujuan perjalanan hidupnya hanya untuk berdharma-bakti kepada rakyat jelata, menegakkan kebenaran dan keadilan membela yang lemah tertindas, dan menentang yang kuat menindas, memihakyang baik dan menentang yang jahat. Selama melakukan perantauan dengan kakaknya, Retno Wilis banyak mendapat petunjuk kakaknya itu tentang keadaan hidup dan cara-cara menegakkan Kebenaran dan keadilan.
"Kakang Bagus," ia pernah bertanya, "engkau selalu mengatakan bahwa aku harus memihak yang baik dan benar menentang yang salah dan jahat. Akan tetapi, kakang, bukankah baik dan jahat itu hanya merupakan pendapat dari pada si penilai belaka? Dan engkau pernah mengatakan bahwa penilaian adalah palsu karena penilaian itu berdasarkan rasa suka tidak suka yang timbul dari diri merasa diuntungkan atau dirugikan. Bagaimana kalau penilaianku keliru? Kalau yang kuanggap benar itu sebetulnya salah?"
"Bagus, pertanyaanmu ini bagus dan menunjukkan bahwa engkau sudah mulai dewasa dalam menelaah tentang kehidupan, adikku yang ayu" jawab Bagus Seto sambil tersenyum. "Memang tidak salah, penilaian itu palsu sepanjang penilaian itu diberlakukan untuk diri sendiri. Setiap orang akan selalu menilai orang lain yang menguntungkannya dan menyenangkannya sebagai orang baik, dan akan selalu menilai orang lain yang merugikan atau menyusahkan sebagai orang jahat. Akan tetapi kita menilai bukan demi kepentingan diri pribadi, melainkan demi kepentingan mereka yang tertindas. Dengan demikian, menilai seseorang itu tidaklah sukar. Kalau dia adigang-adigung-adiguna, mengandalkan kekuatan dan kekuasaannya untuk menyengsarakan orang lain, menyusahkan orang lain, menindas orang lain dengan keangkara murkaannya, nah orang demikian itulah yang kita anggap jahat dan perlu kita menentangnya. Namun orang-orang lemah tak berdaya, tanpa kesalahan mengalami penekanan dari orang-orang jahat itu, merekalah yang harus kita lindungi dan bela. Adapun orang baik adalah mereka yang bijaksana dan yang selalu berusaha untuk menolong orang lain, menyenangkan orang lain, akan tetapi yang tidak menyadari bahwa dia berbuat kebaikan, yang tidak menganggap perbuatannya itu sebagai suatu kebaikan."
"Wah, di sini aku agak bingung, kakang. Orang berbuat kebaikan tanpa menyadari bahwa dia berbuat kebaikan dan tidak menganggap bahwa perbuatannya itu suatu kebaikan. Bagaimana ini?"
"Kebaikan adalah perbuatan yang wajar, tidak dibuat-buat dan timbul dari sanubari yang penuh welas asih. Kalau aku sengaja melakukan kebaikan, dengan sadar bahwa aku telah berbuat baik, maka kesengajaan itu pasti berpamrih, Retno. Itu bukan kebaikan lagi namanya, karena dia mengharapkan imbalan, setidaknya imbalan senang hati atau puas diri karena telah berbuat baik."
"Lalu bagaimana orang harus melakukan kebaikan tanpa menyadari bahwa yang dilakukan itu kebaikan?"
"Dengan mawas diri, adikku. Dengan menganggap bahwa segala yang kita lakukan adalah suatu kewajiban dalam kehidupan. Menolong sesama hidup adalah suatu kewajiban, bukan kebaikan. Menentang kejahatan adalah suatu kewajiban, bukan kebencian. Mengertikah engkau adikku?"
Retno Wilis mengangguk-angguk. "Mengerti, akan tetapi aku tidak yakin apakah aku dapat melaksanakan itu. Bagaimana mungkin aku dapat terhindar dari perasaan khawatir, susah, marah, senang dan benci?"
"Ikuti saja apabila engkau sedang dikuasai perasaan-perasaan itu, Retno, dan engkau akhirnya akan mengenal mereka dan yakin bahwa mereka itu BUKAN ENGKAU, melainkan nafsu daya-daya rendah yang berlomba untuk menguasai jiwamu."
Kalau kakaknya sudah bicara setinggi itu, Retno Wilis hanya mengangguk saja dan diam seribu bahasa.
"Aku tahu bahwa engkau masih bimbang dan belum mengerti benar, adikku. Memang engkau benar, seorang manusia tidak akan dapat berpisah dari nafsu daya rendah yang menjadi pesertanya dalam kehidupan ini. Tanpa adanya nafsu-nafsu itu kita tidak akan dapat hidup seperti sekarang ini, adikku. Berkat dorongan nafsu-nafsu itulah maka kita manusia dapat membuat segala macam barang untuk keenakan hidup kita. Akan tetapi, yang harus dijaga adalah agar daya-daya rendah itu tetap menjadi peserta dan membantu kita, jangan sampai mereka itu menjadi najikan yang memperhamba kita, karena kalau demikian halnya kita akan menjadi permainan nafsu kita sendiri dan akan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kebijakan."
"Kalau begitu, kita berada dalam keadaan yang serba sulit, kakang. Kita tidak dapat hidup tanpa nafsu, akan tetapi kita dapat celaka oleh nafsu itu sendiri. Lalu apa yang dapat kita lakukan? Mengedalikan nafsu kita sendiri agar tidak menjadi majikan yang memperhamba diri kita?"
"Mengedalikan nafsu merupakan pekerjaan yang hanya mudah diucapkan, namun amat sukar dilakukan. Nafsu itu seperti api. Kalau terkendali, amatlah berguna bagi kehidupan kita manusia, akan tetapi kalau dibiarkan bebas, ia akan mengamuk dan membakar segala apapun sampai ludes. Akan tetapi hampir tidak munkin bagi kita untuk mengendalikan peserta kita yang satu ini, karena nafsu telah menguasai diri kita sampai ke tulang sumsum. Satu-satunya jalan adalah iman dan penyerahan diri kepada kekuasaan Hyang Widi, karena hanya kekuasaan Hyang Widi yang akan mampu menundukkan nafsu dan mengendalikan nafsu dalam kedudukan yang sebenarnya, yaitu menjadi peserta dan pembantu bagi manusia. Menyerah dengan penuh keikhlasan dan kepasrahan kepada Hyang Widi dan Hyang Widi akan mengulurkan tanganNya untuk membimbing kita sehingga kita akan mampu menguasai nafsu kita sendiri."
Retno Wilis mengangguk-angguk, sudah sering kakangnya itu menasehatkan kepadanya agar ia selalu ingat kepada Hyang Widi, selalu menyerah pasrah kepadaNya, dan iapun maklum betapa sukarnya pekerjaan pasrah yang kelihatannya hanya sepele itu. Nafsu selalu mengamuk dan berbisik agar ia tidak mudah pasrah begitu saja, nafsu selalu berusaha agar ia menjauhkan diri dari Hyang Widi.
Mereka kini tiba di sebuah pantai yang indah, penuh dengan hutan dan tebing karang yang merupakan dinding yang membendung air laut yang setiap saat bergelora. Ada pula bagian yang mengandung pasir putih yang bersih dan lembut.
"Matahari mulai terik, di sana ada pohon-pohon dan kulihat terdapat pula pohon kelapa. Mari kita mengaso di tempat yang teduh sambil mencari dawegan (kelapa muda), Retno."
Mereka lalu duduk di bawah sebatang pohon yang besar yang lebat daunnya, kemudian Retno Wilis menggunakan dua potong batu sebesar kepalan tangannya, menyambit ke arah buah-buah kelapa muda yang bergantungan di pohon. Sambitannya tepat mengenai gagang buah dan runtuhlah dua butir buah kelapa muda.
Retno Wilis lalu menggunakan jari-jari tangannya yang mungil dan halus itu, dengan mudahnya ia mengupas kulitnya seperti orang mengupas kulit pisang saja, kemudian dengan telunjuknya ia melubang buah-buah itu dan memberikan sebutir kepada kakaknya. Bagus Seta tersenyum melihat ulah adiknya dan keduanya lalu minum buah kelapa muda itu dengan nikmat sekali.
Mereka berdua tidak tahu bahwa di seberang hutan itu terdapat sebuah dusun nelayan dan di dusun itu terjadi peristiwa yang menggegerkan penduduk. Pagi itu, entah dari mana datangnya, muncul lima orang laki-laki yang berwajah bengis, bertubuh kokoh kekar di dusun itu. Mereka lalu menghampiri rumah Ki Wirodemung, sesepuh dusun itu yang oleh penduduk sudah dianggap pemimpin mereka. Lima orang itu dengan sikap kasar memasuki rumah dan menanyakan di mana adanya tuan rumah. Beberapa orang pemuda yang kebetulan berada di situ menegur para tamu yang tidak sopan itu, akan tetapi seorang di antara mereka sudah meloncat ke depan dan menghajar empat orang pemuda itu dengan kaki tangannya. Empat orang pemuda itu mencoba melawan, namun sia-sia karena orang itu ternyata kuat dan tangkas sekali.
Pada waktu itu, dusun sedang sepi karena kaum prianya sebagian besar sudah berangkat bekerja di ladang, sebagian lagi pergi mencari ikan di laut. Ki Wirodemung yang sudah berusia limapuluh tahun itu tergopoh-gopoh keluar mendengar keributan di depan rumahnya. Dia melihat empat orang pemuda babak belur dihajar seorang bertubuh tinggi besar dan berotot kekar. Dia menghampiri lima orang itu dan bertanya,
"Eh, Kisanak, andika sekalian siapa dan dari manakah? Perlu apa mencari saya dan mengapa pula memukuli orang-orang ini?"
Seorang di antara mereka, yang berkumis melintang, melangkah maju dan tertawa bergelak sambil bertolak pinggang.
"Ha -ha-ha, andika yang bernama Ki Wirodemung? Kami mendengar bahwa andika orang yang terkaya di dusun ini, dan lebih dari itu, andika mempunyai seorang anak perawan ayu. Nah, untuk itulah kami datang. Serahkan harta dan anak perawanmu kepada kami dengan baik-baik agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan!" Empat orang kawannya tersenyum menyeringai dengan sikap menakutkan.
Mendengar ucapan ini dan melihat sikap mereka, Ki Wirodemung mengerutkan alisnya dan cepat dia berlari ke sudut ruangan depan lalu dengan gencar memukul kentongan bambu yang tergantung di s itu. Lima orang itu saling pandang sambil tertawa-tawa. Sebentar saja banyak orang datang berlarian dan kurang lebih duapuluh orang laki-laki penduduk dusun itu yang kebetulan belum pergi meninggalkan rumah, sudah datang berkumpul. Melihat penduduk sudah berdatangan, Ki Wirodemung menuding ke arah lima orang itu dan membentak,
"Orang-orang kurang ajar, lekas kalian minggat dari sini kalau tidak ingin kami hajar!"
Melihat duapuluh orang penduduk itu berkumpul dan kini mengepung mereka, si kumis melintang tertawa lagi bergelak.
"Ha-ha-ha, kalian penduduk dusun bodoh hendak melawan kami, Lima Macan Hutan Suro? Apa kalian ingin mampus?"
Ki Wirodemung sudah menyambar sebatang tombak dari ruangan depan dan menudingkan telunjuknya kepada si kumis melintang dan berteriak,
"Saudara-saudara, mereka berlima adalah perampok-perampok jahat, mari kita basmi mereka!"
Orang-orang dusun itu memang sudah membawa alat apa saja untuk dapat dijadikan senjata ketika mereka mendengar kentongan dipukul tanda bahaya tadi. Kini mereka mengacungkan arit, pecok, linggis atau pacul dan menyerbu ke arah lima orang itu. Akan tetapi, lima orang itu menyambut mereka dengan pukulan dan tendangan sambil tertawa-tawa dan ternyata mereka itu kuat bukan main. Senjata para penduduk dusun terlepas dari pegangan dan beterbangan disusul tubuh mereka yang terlempar berpelantingan terkena pukulan dan tendangan lima orang yang menyebut diri sebagai Lima Macan hutan Suro itu. Dalam waktu singkat saja, duapuluh orang itu sudah roboh semua termasuk Ki Wirodemung yang tombaknya patah dan mukanya bengkak membiru terkena pukulan tangan si kumis melintang.
Setelah rnerobohkan duapuluh lebih orang itu, lima orang perampok itu lalu memasuki rumah sambil tertawa-tawa. Mereka memilih barang-barang yang berharga dari rumah itu dan tak lama kemudian mereka sudah keluar lagi membawa barang-barang rampasan mereka. Akan tetapi si kumis melintang tidak membawa barang melainkan memanggul tubuh seorang gadis remaja yang meronta-ronta dan menjerit-jerit.
Agaknya bagi telinga si kumis melintang, jerit tangis itu terdengar seperti suara nyanyian merdu. Makin hebat gadis itu meronta dan menangis, makin senang pula hatinya. Sambil tertawa-tawa lima orang itu lalu keluar dari dusun dan memasuki hutan di dekat dusun itu. Orang-orang dusun yang sudah terpukul roboh itu tidak berani mengejar dan Ki Wirodemung bersama isterinya hanya dapat menangisi puteri mereka yang dibawa pergi para perampok.
Sementara itu, Bagus Seto dan Retno Wilis masih duduk sambil makan daging dawegan yang manis dan gurih. Tiba-tiba mereka mendengar jerit tangis yang datangnya dari dalam hutan. Retno Wilis segera melepaskan dawegannya dan bangkit berdiri.
"Ada yang perlu ditolong, kakang," katanya sambil melompat ke dalam hutan.
Bagus Seto juga bangkit dengan tenang dan mengejar adiknya sambil berkata, "Tenanglah, Retno dan ingat, jangan membunuh orang!"
Kakak beradik ini berlompatan dan lari mempergunakan ilmu mereka sehingga gerakan lari mereka seperti terbang cepatnya. Retno Wilis berada di depan dan ketika ia tiba di tengah hutan, matanya mencorong dan alisnya berkerut melihat seorang laki-laki berkumis melintang bertubuh tinggi besar sedang duduk di bawah pohon memangku seorang gadis remaja yang meronta-ronta dan menjerit-jerit.
"Jahanam busuk!" Retno Wilis memaki dengan suara melengking tajam. "Hayo lepaskan gadis itu!"
Si Kumis melintang terkejut dan mengangkat mukanya. Ketika melihat Retno Wilis yang demikian cantik jelita, matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan suara tertawa bergelak, "Waduh, cantiknya! Engkau malah lebih cantik dari pada gadis ini! Baik, aku lepaskan gadis dusun ini akan tetapi engkau sebagai gantinya harus duduk di atas pangkuanku ini!"
Retno Wilis yang mendengar ucapan kurang ajar itu sudah melompat dekat dan tangan kirinya menampar ke arah kepala si kumis melintang. Orang itu menangkis dengan tangan kanan sambil siap mencengkeram tangan Retno Wilis.
"Dess.... !" Ketika lengannya menangkis dan bertemu dengan lengan Retno Wilis tubuhnya terguncang dan diapun terpelanting. Gadis dusun itu terlepas dari pangkuannya dan ikut terpelanting. Gadis itu lalu bangkit berdiri dan mundur menjauhi si kumis melintang.
"Babo-babo keparat!" teriak si kumis melintang-sambil bangkit berdiri dan menghadapi Retno Wilis. "Berani andika memukulku?" Mendengar teriakannya, empat orang kawannya yang duduk tidak jauh dari situ sudah berlarian datang dan mereka mengepung Retno Wilis.
"Wah, ia cantik sekali, cantik manis!"
"Seperti dewi dari kahyangan!"
"Tangkap ia hidup-hidup!" bentak si kumis melintang dengan penasaran dan marah. Ia sendiri lalu menubruk maju sambil membentangkan kedua lengannya untuk merangkul gadis berpakaian putih itu. Empat orang kawannya juga menubruk maju.
Retno Wilis tidak sudi membiarkan dirinya tersentuh tangan-tangan kasar itu, ia membuat gerakan tendangan melingkar dengan kecepatan luar biasa.
"Duk-duk-duk-duk-duk!" Lima orang itu terpelanting, masing-masing terkena sebuah tendangan.
Mereka merangkak bangun dengan penasaran dan tidak percaya bahwa gadis itu mampu merobohkan mereka hanya dalam segebrakan saja.
"Tangkap dia!" si kumis melintang kembali berteriak. Ingin sekali ia menguasai gadis cantik jelita yang pandai berkelahi ini. Kembali dia bersama empat orang kawannya menerjang maju, akan tetapi sekali ini Retno Wilis menyambut mereka dengan tamparan, menggunakan kedua tangannya.
Terdengar teriakan beruntun lima kali dan lima orang perampok itu roboh dengan tubuh terputar. Mereka merasakan bumi bergoyang dan sekali ini mereka tidak segera dapat bangun. Mereka merangkak dan setelah dapat bangun si kumis melintang sudah mencabut goloknya, diikuti oleh empat orang kawannya.
"Bunuh perempuan ini!" komandonya dan mereka berlima sudah menerjang ke depan, golok mereka menyambar-nyambar dari segala jurusan.
Akan tetapi golok mereka hanya menyambar tempat kosong karena gadis berpakaian putih itu telah lenyap dari kepungan mereka! Ketika mereka membalikkan tubuh ternyata gadis itu telah berdiri di sana dan sebelum mereka sempat gerak, Retno Wilis kembali sudah menggerakkan kedua tangannya membagi-bagi tamparan.
"Des-des-des-des-des!" Lima kali beruntun mereka terkena tamparan, sekali ini lebih kuat dari tadi, membuat mereka melepaskan golok dan tubuh mereka berputar-putar lalu roboh, mengaduh-aduh dan sukar untuk bangkit kembali. Si kumis melintang mencoba untuk bangkit dengan cepat, namun begitu dia bangkit, dia terjatuh lagi karena sekelilingnya berputar.
"Kalian masih belum menyerah? Bangkitlah, aku tunggu!" tantang Retno Wilis.
Si kumis melintang dan empat orang kawannya kini sadar betul bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang sakti, maka mereka menjadi gentar dan setelah mampu bangkit, mereka merangkak dan berlutut menghadap Retno Wilis.
"Ampun, kami tidak berani melawan lagi, kanjeng dewi.... " kata si kumis melintang, menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang dewi dari kahyangan yang sakti.
"Apakah kalian sudah sadar akan kejahatan kalian dan kini bertaubat?"
"Kami sadar dan kami menyesal, kami bertaubat, kanjeng dewi.... "
"Bagus, kalau kalian bertaubat, katakan apa saja yang kalian lakukan tadi dan darimana gadis ini kalian bawa?"
"Kami baru saja merampok di rumah Ki Wirodemung di dusun sebelah utara hutan ini dan gadis itu adalah puterinya... ampunkan kami!"
"Sekarang, antarkan kembali gadis itu dan kembalikan barang rampokan. Mintalah maaf kepada orang-orang dusun itu. Hayo jalan!" Retno Wilis lalu menggiring para perampok itu sambil menghibur gadis yang masih ketakutan kembali ke rumah orang tuanya.
Di depan orang-orang dusun, Lima Macan Suro itu minta maaf kepada Ki Wirodemung dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatan mereka. Bagus Seto kini juga mendampingi Retno Wilis dan pemuda itu menjadi gembira melihat sepak terjang adiknya. Dulu, tidak mungkin Retno Wilis mau mengampuni mereka dan lima orang itu tentu sudah dibunuhnya!
Ki Wirodemung dan para penduduk dusun menghaturkan terima kasih kepada Retno Wilis dan Bagus Seto. Akan tetapi kedua orang kakak beradik ini tidak lama berada di dusun itu. Mereka lalu mengajak Lima Macan Suro itu ke dalam hutan lagi dan di sini Retno Wilis mengancam kepada mereka.
"Mulai sekarang kalian harus mengubah jalan hidup kalian, jangan lagi merampok, jangan mengganggu penduduk dusun yang sudah hidup serba kekurangan itu."
"Kami sudah bertaubat," kata si kumis melintang....
"Kalau kalian masih melakukan perbuatan jahat lagi, lain waktu aku akan datang ke sini dan tidak akan memberi ampun lagi kepada kalian. Sudah, pergilah dan pergunakan kekuatan tubuh kalian untuk bekerja!"
Lima orang perampok itu memberi hormat kepada Retno Wilis, kemudian mereka pergi dengan kepala menunduk. Mereka merasa ngeri mendengar ancaman gadis yang sakti itu. Setelah lima orang perampok itu pergi, Retno Wilis bertanya kepada kakaknya.
"Kakang Bagus Seto, Bagaimana pendapatmu dengan tindakanku tadi? Sudah benarkah?"
Bagus Seto mengangguk-angguk dan tersenyum. "Baik sekali, Retno. Memang demikianlah yang harus kaulakukan, mengalahkan yang jahat dan berusaha membujuk mereka agar mengubah jalan hidup mereka yang sesat. Walaupun sedikit sekali kemungkinan para penjahat itu benar-benar menjadi sadar kembali dan berubah menjadi orang baik, namun engkau telah melaksanakan kewajibanmu dengan baik dan itu sudah cukup."
Kakak beradik ini melanjutkan perjalanan mereka, menyusuri sepanjang pantai Laut Selatan. Memang mengherankan sekali keadaan kakak beradik ini. Mereka adalah putera dan puteri Ki Patih Tejolaksono, patih Panjalu yang amat terkenal, sakti mandraguna dan berkedudukan tinggi di Kerajaan Panjalu. Kenapa mereka tidak berdiam bersama ayah mereka dan hidup mulia di Kepatihan Panjalu? Banyak sebab yang membuat kedua orang muda kakak beradik ini sekarang lelana-brata, meluaskan pengalaman dan pengetahuan dengan jalan merantau.
Bagus Seto adalah seorang pemuda yang sejak kecil digembleng oleh orang-orang maha sakti dan dia menjadi seorang pemuda yang seolah-olah telah menjauhkan diri dari keramaian dan kesenangan dunia sehingga dia tidak tertarik kemuliaan dan kemewahan duniawi. Adapun adiknya, Retno Wilis, yang digembleng oleh seorang sakti yang tersesat, pernah menjadi seorang gadis perkasa yang berwatak keras sebagai besi dan tidak pernah mengenal ampun kepada musuhnya, dapat bertindak kejam, seperti golongan sesat.
Bukan saja pelajaran kesaktian yang diwarisinya dari Nini Bumigarbo, melainkan juga wataknya yang kejam dan ganas. Setelah bertemu dengan kakak tirinya, Bagus Seto, maka dara ini menjadi sadar dan selanjutnya ia tidak mau tinggal di Kepatihan, melainkan hendak ikut kakaknya mengembara untuk digembleng menjadi orang yang baik. Watak Retno Wilis ini sebagian diwarisinya dari ibunya, Endang Patibroto yang juga terkenal sebagai seorang wanita perkasa yang keras hati.
Demikianlah, Bagus Seto dan Retno Wilis melanjutkan perjalanan mereka menuju ke timur menyusuri sepanjang pantai Laut Kidul.
Kerajaan Jenggala baru saja pulih dari kekacauan ketika rajanya dipengaruhi orang-orang jahat. Raja baru diangkat, yaitu Pangeran Sigit dengan permaisuri Setyaningsih. Setelah menjadi Raja Jenggala Pangeran Sigit menggunakan nama julukan yang panjang, yaitu Sri Samarotsaha Karnakeshana Dharmawangsa Kirtisinga Jayantaka-tunggadewa!
Biarpun raja baru ini berusaha keras untuk memulihkan kejayaan Jenggala, namun luka oleh perang saudara itu terlalu parah sehingga keadaan Jenggala menjadi lemah. Bahkan banyak para adipati di daerah-daerah, terutama daerah selatan, melepaskan diri dari pengaruh Jenggala dan tidak mengakui kekuasaan Jenggala lagi.
Karena maklum bahwa kekuatan Jenggala sudah mulai surut, Sang Prabu lalu mohon bantuan dari Kerajaan Panjalu, di mana yang menjadi rajanya adalah Sri Dayawarsha Digjaya Sastraprabu. Yang menjadi patih dari Kerajaan Panjalu adalah Ki Patih Tejolaksana. Panjalu mengirim bantuan dan dengan bantuan Panjalu yang memiliki banyak senopati yang sakti, barulah Jenggala dapat memulihkan kembali kedaulatannya atas kadipaten-kadipaten itu. Namun sejak itu, Jenggala tergantung kepada Panjalu yang menjadi semakin besar, kuat dan makmur.
Akan tetapi perang saudara itu membuat Panjalu juga kehilangan banyak daerah yang dipimpin oleh adipati-adipati. Memang banyak yang telah dikuasai kembali, akan tetapi di bagian timur, seperti Nusabarung, Blambangan dan lain-lain telah memisahkan diri dan tidak mengakui kekuasaan Panjalu dan Jenggala. Mereka menyusun kekuatan dan siap sedia untuk perang melawan dua kerajaan bersaudara itu. Blambangan sendiri menjadi kuat karena memperoleh dukungan dari Bali-dwipa.
Pada suatu sore, Patih Tejolaksono sedang berbincang-bincang dengan kedua isterinya, yaitu Ayu Chandra dan Endang Patibroto. Mereka duduk di dalam taman bunga di belakang gedung tempat tinggal mereka di Kepatihan Anom karena Tejolaksono diangkat menjadi Patih Anom yang membantu pekerjaan Patih Sepuh yang bernama Suryoyudo.
"Aku mendengar di timur terjadi pergolakan, kakangmas. Kenapa kakangmas tidak diutus Sang Prabu untuk memadamkan api pemberontakan di sana?" tanya Endang Patibroto kepada suaminya, Patih Tejolaksono.
"Sang Prabu belum memberi perintah, diajeng. Dan menurut keterangan kakang Patih Suryoyudo, Sang Prabu memang hendak melihat dulu perkembangan di daerah Blambangan dan kadipaten-kadipaten di ujung timur itu. Kalau mereka tidak mengadakan serangan melanggar perbatasan, maka kitapun tidak bergerak, akan tetapi kalau mereka mengadakan pengacauan di daerah perbatasan, barulah kita akan memukulnya. Sang Prabu berpendapat bahwa perang baru saja selesai dan perlu memberi istirahat kepada pasukan."
"Akan tetapi kalau dibiarkan saja Blambangan, Nusa Barung dan yang lain-lain itu bergolak dan tidak mengakui kekuasaan Panjalu dan Jenggala, berarti Panjalu akan kehilangan kedaulatannya. Kalau menurut aku, sebaiknya digempur saja mereka itu. Sebaiknya memadamkan api sebelum menjalar dan menjadi besar. Bukankah begitu, mbakayu Ayu Chandra?"
"Aku sendiri tidak tahu, diajeng Endang Patibroto. Kita kaum wanita bagaimana dapat mencampuri urusan pemerintahan."
"Ah, mana bisa begitu! Biarpun kita ini wanita, namun kita dapat berperan besar dalam pemerintahan. Kalau untuk menghadapi para pengacau, aku sendiripun sanggup untuk menanggulangi," kata Endang Patibroto.
Wanita yang berusia kurang dari limapuluh tahun ini masih tampak cantik jelita dan gagah, berbeda dengan Ayu Chandra yang tampak anggun dan lembut.
Patih Tejolaksono yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, tersenyum. Wajahnya yang tampan gagah itu tampak jauh lebih muda ketika dia tersenyum lebar. Matanya bersinar tajam dan sikapnya lembut, namun dagunya yang berlekuk itu membayangkan kekuatan yang pantang mundur.
"Diajeng Endang Patibroto. Agaknya kehidupan yang makmur dan tenteram ini tidak dapat kau nikmati. Apakah andika lebih senang kalau terjadi pertempuran di mana andika dapat berkiprah melawan musuh?"
Endang Patibroto memandang suaminya dengan sinar mata tajam. Suaminya dapat menyelami jiwanya. Ia memang seorang wanita ksatria yang keras hati dan suka akan pertempuran.
"Sesungguhnyalah, kakangmas. Kehidupan penuh damai ini membuat hatiku gelisah. Aku teringat akan anak kita. Kemana perginya Retno Wilis dan bagaimana keadaannya sekarang? Aku khawatir sekali."
"Mengapa engkau khawatir, diajeng? Retno Wilis pergi bersama kakaknya, Bagus Seto dan aku yakin Bagus Seto akan mampu menjaga dan melindunginya."
"Hemm, tanpa perlindunganpun Retno Wilis mampu untuk menjaga diri sendiri. Aku tidak khawatir kalau terjadi sesuatu dengannya. Hanya aku khawatir kalau-kalau ia tidak mau kembali kepada kita. Aku sudah rindu kepadanya dan aku ingin sekali pergi merantau dan mencarinya. Sungguh tidak enak sekali rasa hati ini kalau diam menanti saja tanpa mengetahui kapan ia akan pulang."
Patih Tejolaksono menghela napas panjang. Dia mengenal betul isterinya yang satu ini. Ia seorang petualang dan hanya kalau hidupnya menghadapi penuh tantangan ia dapat merasa senang.
"Akan tetapi ke mana engkau akan mencari kedua orang anak kita itu, diajeng? Engkau tidak tahu ke mana mereka pergi, ke selatan atau utara, timur atau barat. Lalu engkau hendak menyusul ke mana?"
"Akan kucari jejak mereka dan aku yakin akhirnya aku akan dapat menemukan mereka."
"Aku juga akan merasa bahagia sekali kalau puteraku Bagus Seto mau pulang ke sini, diajeng. Akan tetapi bagaimana kalau kedua orang anak itu menolak kau ajak pulang?"
"Kalau mereka menolak, aku akan menemani mereka merantau. Aku memang suka merantau dan mengalami hal-hal yang hebat!" kata Endang Patibroto sambil tersenyum. "Bagaimana, kakangmas? Engkau tidak keberatan kalau aku pergi mencari mereka, bukan?"
"Kalau memang itu yang kau kehendaki, diajeng, tentu saja aku tidak berkeberatan. Akan tetapi tentukanlah waktunya, sampai berapa lama engkau mencari mereka agar hatiku tidak gelisah memikirkan kalian bertiga."
"Aku akan mencari mereka, berilah waktu setahun, kakangmas. Dalam waktu setahun, bertemu dengan mereka atau tidak, aku tentu akan pulang."
"Sayang aku tidak dapat menyertaimu mencari mereka, diajeng. Di sini aku terikat oleh kedudukan dan pekerjaanku."
"Akupun pergi bukan percuma, kakangmas. Sambil mencari dua orang putera kita, aku juga akan menyelidiki daerah-daerah yang sedang bergolak. Siapa tahu jejak anak-anak kita itu menuju ke timur, sehingga aku dapat menyelidiki dan mencari mereka di daerah timur, sekalian menyelidiki keadaan di Nusabarung dan Blambangan."
"Sebaiknya engkau mencari mereka di daerah Jenggala dulu, diajeng. Siapa tahu mereka berada di sana, dan engkau sekalian menengok adikmu Setyaningsih yang kini menjadi permaisuri di Jenggala."
"Tentu aku akan singgah di sana kakangmas."
Demikianlah, setelah mendapat perkenan suaminya, dengan girang Endang Pati Broto lalu berkemas dan tiga hari kemudian berangkatlah wanita perkasa ini meninggalkan kota raja Panjalu. Ia berpakaian ringkas dan tidak membawa senjata. Wanita ini memiliki banyak ilmu kedigdayaan yang cukup untuk melindungi dirinya, maka ia tidak membawa senjata apapun. Sebuah buntalan digendongnya di punggung, buntalan berisi pakaian dan bekal uang untuk biaya perjalanannya. Endang Patibroto ini di waktu mudanya banyak merantau dan banyak sekali pengalamannya bertanding. Di antara ilmu-ilmunya yang terampuh adalah pukulan-pukulan Aji Gelap Musti, Aji Pethit Nogo dan Wisangmolo. Selain itu ia mempunyai pula Aji Bayutantra yang membuat ia dapat bergerak cepat sekali dan berlari cepat seperti angin. Ajinya Pekik Sardulo Bairowo juga amat dahsyat karena pekik ini dapat melumpuhkan lawan, menggetarkan jantung.
Terakhir kalinya Endang patibroto bertemu dengan puterinya adalah ketika ia dan suaminya menyerang pasukan yang dipimpin oleh mendiang Wasi Bagaspati pemuja Bathara Siwa dan utusan Negeri Cola. Setelah mengalahkan musuh-musuh mereka, Retno Wilis meninggalkannya, pergi bersama Bagus Seto, berjalan menyusuri Laut Kidul menuju ke timur. Akan tetapi ia tidak pergi ke pantai Laut Kidul, melainkan pergi ke Jenggala lebih dahulu untuk mengunjungi adiknya, Setyaningsih yang kini menjadi permaisuri di Jenggala. Ia diterima dengan gembira oleh adiknya. Bahkan Raja Jenggala juga menyambutnya dengan gembira.
Endang Patibroto hanya dua hari tinggal di istana Jenggala dan setelah mendapat keterangan bahwa adiknya dan Sang Prabu juga tidak pernah mendengar berita tentang puterinya, iapun pergi dan kini mengunjungi pantai Laut Kidul dan mulailah ia pergi ke timur untuk mencari puterinya dan Bagus Seto.
Kakek itu berusia kurang lebih enampuluh tahun, rambutnya yang sudah berwarna dua itu dibiarkan terjurai sampai ke punggung. Pakaiannya amat sederhana, dari kain berwarna hitam yang seperti kain melilit tubuhnya saja. Kumis dan jenggotnya panjang, juga berwarna dua. Biarpun amat sederhana, namun kakek itu tampak bersih, dari rambutnya sampai pakaiannya. Dia duduk bersila di atas sebuah dipan bambu, dan seorang pemuda bersila di atas lantai, menghadapnya.
"Jarot, hari belum sore benar engkau telah berada di rumah. Apakah pekerjaanmu di ladang telah selesai? Apakah sepetak tegalan milik kita itu telah kau paculi semua,siap untuk menanam kentang?"
"Sudah selesai semua, Bapa Bhagawan," jawab pemuda itu.
Pemuda itu berusia kurang lebih duapuluh tahun, berwajah lembut dan tampan, berkulit hitam manis, tubuhnya padat dan tegap membayangkan kekuatan. Siapakah pemuda dan kakek itu? Kakek itu adalah seorang pendeta yang mengasingkan diri di lereng Gunung Semeru, bernama Bhagawan Dewondaru, seorang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna, dan hidup sebagai seorang petani biasa yang selalu mengenakan pakaian serba hitam. Usianya sudah enampuluh tahun, akan tetapi tubuhnya masih tegak dan kokoh kuat, masih kuat untuk mencangkul sehari penuh selama berhari-hari.
Pemuda itu bernama Jarot, sudah kurang lebih tujuh tahun Jarot menjadi murid Bhagawan Dewondaru, mempelajari segala ilmu kesaktian sambil bekerja sebagai petani. Tujuh tahun yang lalu, Bhagawan Dewondaru menemukan Jarot dalam keadaan hampir mati hanyut di Kali Rejali yang bermata air di Lereng Semeru. Bagaimana Jarot yang ketika itu baru berusia lima belas tahun hanyut di Kali Rejali dalam keadaan hampir mati?
Jarot sebetulnya adalah putera Adipati yang berkuasa di Pasisiran, yaitu daerah di pantai Laut Kidul sebelah barat pulau Nusa Barung. Jarot adalah putera yang lahir dari seorang selir, akan tetapi sejak kecil pemuda ini amat disayang oleh ayahnya. Dia seorang anak yang selain tampan dan lembut, juga amat berbakti dan patuh kepada Sang Adipati Pasisiran sehingga ayahnya ini amat menyayangnya lebih dari pada putera-putera lainnya.
Hal ini membuat putera permaisuri yang bernama Lembu Alun menjadi iri hati dan diam-diam dia membenci adik tirinya itu. Karena khawatir bahwa kelak kedudukan adipati akan diserahkan kepada Jarot setelah ayah mereka mengundurkan diri, maka Lembu Alun segera mengatur jalan sesat untuk mengenyahkan adik tirinya.
Pada suatu hari, Lembu Alun mengajak adik tirinya untuk pergi berburu binatang hutan. Jarot merasa heran sekali karena biasanya, kakaknya ini menjauhinya, bahkan bicarapun jarang kepadanya. Dari gerak gerik dan pandang matanya, dia tahu bahwa kakak tirinya itu tidak senang atau membencinya. Oleh karena itu, ajakan itu sungguh membesarkan hatinya.
"Aku girang sekali, kakangmas. Dengan siapa saja kita berburu?" tanya Jarot sambil memandang kepada Lembu Alun dengan wajah berseri.
"Ah, kita pergi berdua saja, adimas. Membawa banyak orang hanya akan mengganggu kita berburu saja. Kita pergi berdua menunggang kuda dan membawa gendewa dan anak panahmu. Aku dengar di hutan sepanjang kali Rejali di lereng Semeru terdapat banyak kijang. Aku ingin sekali makan daging kijang yang gemuk. Kita pergi berdua saja, kalau sudah mendapat satu atau dua ekor kita segera pulang. Kalau kita berangkat pagi-pagi benar, sorenya kita sudah dapat pulang."
"Baik, kakangmas," kata Jarot dan kedua orang muda itu dengan tangkasnya lalu berlompatan ke atas punggung kuda mereka dan membalapkan kuda mereka ke luar dari kadipaten menuju ke utara, menyusuri sepanjang kali Rejali.
Dua orang muda itu melakukan perjalanan penuh kegembiraan, terutama sekali Jarot karena baru sekali ini dia diajak oleh kakaknya itu pergi berburu. Dia mulai merasa betapa keliru anggapannya bahwa kakaknya itu tidak senang kepadanya. Sekarang baru ternyata bahwa kakaknya itu baik sekali kepadanya. Setelah mereka memasuki hutan di lereng Gunung Semeru, Lembu Alun lalu melompat turun dari kudanya.
"Di sinilah tempatnya, adimas. Sebaiknya kita berjalan kaki saja karena kijang-kijang itu tentu akan melarikan diri kalau mendengar derap kaki kuda kita."
Jarot juga turun dari kudanya. Kedua ekor kuda itu ditambatkan di sebatang pohon dan kedua orang muda itu lalu mencari kijang dengan jalan kaki. Mereka menyusuri Kali Rejali dalam hutan itu. Akhirnya mereka menemukan jejak kaki banyak kijang di tepi sungai.
"Adimas, sebaiknya kita berpencar. Engkau mengambil jalan sepanjang sungai ini, dan aku akan mencari ke sebelah sana. Dengan cara berpencar, lebih banyak kemungkinan kita menemukan kijang."
"Baik, kakangmas. Aku akan mengambil jalan di sepanjang sungai ini."
"Mari kita berlumba, adimas. Siapa diantara kita yang dulu memperoleh kijang!"
Jarot tersenyum dan ikut bergembira seperti kakaknya. "Baik, kakangmas. Akan tetapi aku tentu kalah. Siapa yang tidak tahu bahwa kakangmas adalah seorang jago panah yang terkenal di kadipaten kita? Akan tetapi siapa tahu, aku akan lebih dulu bertemu dengan kijang."
Mereka lalu berpencar. Lembu Alun menyusup-nyusup di antara alang-alang dan menghilang ke tengah hutan. Jarot juga berindap-indap mengintai kalau-kalau ada kijang di sebelah depannya. Akan tetapi sudah sejam dia bergerak maju berindap-indap, belum juga tampak bayangan seekorpun kijang. Dia mulai merasa khawatir. Mungkin kakaknya kini telah merobohkan seekor kijang dengan anak panahnya! Jarot merasa gerah. Melihat air Kali Rejali yang jernih itu, dia tertarik lalu menuruni tebing sungai. Dia lalu mencuci mukanya. Terasa segar dan sejuk sekali ketika air membasahi muka, leher dan lengannya. Pada saat itulah, tiba-tiba dia merasa punggungnya nyeri sekali. Sebatang anak panah menancap di punggungnya. Jarot mengeluh lalu roboh terpelanting ke dalam sungai. Dia pingsan dan perlahan-lahan tubuhnya hanyut oleh air sungai itu.
Dalam keadaan seperti itulah Bhagawan Dewondaru menemukannya, hanyut pingsan di Kali Rejali. Orang tua itu segera menolongnya dan membawanya pulang ke pondoknya di lereng yang lebih tinggi. Dengan penuh kasih dia mengobati dan merawat Jarot sampai pemuda itu sembuh dan sehat kembali.
Setelah kesehatannya pulih kembali, Bhagawan Dewondaru lalu bertanya mengapa dia sampai hanyut di sungai dengan sebatang anak panah menancap di punggungnya. Jarot lalu bercerita.
"Saya sedang berburu kijang bersama kakak saya, Bapa. Karena merasa gerah, saya turun ke sungai dan membasahi muka dan leher saya. Pada saat itulah saya merasa nyeri sekali di punggung saya dan selanjutnya saya tidak ingat apa-apa lagi. Setelah saya sadar, ternyata saya telah berada di sini, mendapat pengobatan dan perawatan dari Bapa. Atas budi pertolongan Bapa, saya menghaturkan banyak te rima kasih. Kalau tidak ada Bapa yang menolong saya, tentu saya telah tewas."
"Jangan berterima kasih kepadaku angger. Akan tetapi berterima kasihlah kepada Hyang Widhi, karena Hyang Widhi yang menolongmu melalui aku yang kebetulan melihat engkau hanyut di Kali Rejali. Akan tetapi, siapakah namamu dan di mana tempat tinggalmu, angger?"
"Saya bernama Jarot dan saya tinggal di kadipaten Pasisiran. Saya adalah putera Adipati Pasisiran, Bapa."
"Jagad Dewa Bathara.... ! Kiranya andika adalah putera Sang Adipati di Pasisiran. Maafkan kalau saya bersikap kurang hormat, Raden."
"Harap jangan sungkan, Bapa. Dan jangan menyebut saya raden, sebut saja nama saya. Dan siapakah Bapa yang tinggal di tempat sunyi ini?"
"Saya bernama Bhagawan Dewondaru, angger. Agaknya ketika andika membasahi muka itu, andika diserang secara menggelap oleh seseorang. Apakah andika mempunyai musuh?"
Jarot menggeleng kepalanya. "Setahu saya tidak, Bapa Bhagawan. Saya tidak pernah bermusuhan dan agaknya di dunia ini tidak ada yang memusuhi saya."
Kakek itu mengeluarkan sebatang anak panah dan memperlihatkannya kepada Jarot. "Apakah andika mengenal anak panah ini?"
Jarot menerima anak panah itu dan menggeleng kepalanya. "Saya tidak mengenalnya, Bapa. Kakak saya selalu memakai anak panah dengan bulu merah, dan anak panah ini bulunya hitam. Saya tidak mengenalnya."
"Hemm, akan tetapi kenyataannya, andika diserang dan dipanah orang dari belakang. Apakah kakak andika itu sayang kepada andika?"
Ditanya begini, Jarot mengerutkan alisnya. "Biarpun tidak sayang, akan tetapi tidak mungkin dia yang melakukannya, Bapa. Hal ini terbukti dari anak panah ini yang sama sekali bukan miliknya."
"Angger, saya tidak menyangka siapa-siapa, akan tetapi melihat keadaanmu, engkau terancam bahaya besar. Sebaiknya andika tinggal di sini untuk sementara. Kalau andika kembali ke kadipaten, saya khawatir orang yang hendak membunuh andika itu akan mengulangi lagi perbuatannya."
Jarot membenarkan pendapat kakek itu. Kalau diingat, sekarang diapun merasa bahwa banyak orang yang membenci atau tidak senang kepadanya. Kakaknya, Lembu Alun biasanya juga tidak suka kepadanya, dan ada saudara-saudara tiri yang lain. Agaknya karena ayahnya menyayangnya, maka dia dibenci orang banyak. Para ibu tirinya juga tidak suka kepadanya. Seolah hanya ayahnya dan ibunya saja yang suka kepadanya. Akan tetapi benarkah kebencian mereka demikian besarnya sehingga mereka tega mencoba membunuhnya?
"Baiklah, Bapa. Kalau Bapa tidak berkeberatan, untuk sementara saya tinggal mondok di sini. Saya akan membantu pekerjaan Bapa bertani."
"Bagus sekali, angger. Sebagai gantinya, saya akan mengajarkan ilmu-ilmu yang kiranya berguna bagimu."
Demikianlah, mulai hari itu, Jarot tinggal di pondok Bhagawan Dewondaru. Bukan untuk sementara, bahkan berlarut-larut sampai tujuh tahun! Hal ini adalah karena dengan terkejut dan juga girang sekali Jarot mendapat kenyataan bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti mandraguna! Maka, tentu saja dia tidak mau melepaskan kesempatan baik itu dan diapun bekerja dengan rajinnya di samping mempelajari ilmu-ilmu kesaktian sampai tujuh tahun lamanya!
Pada sore hari itu, dia menghadap gurunya yang bertanya kepadanya tentang pekerjaannya di ladang, yang dijawabnya bahwa tegalan mereka telah dia paculi sampai selesai.
"Bagus sekali, angger Jarot. Mulai besok pagi, andika tidak perlu bekerja di ladang lagi. Menurut pendapatku, waktumu tinggal bekerja dan belajar di sini telah habis. Besok andika harus meninggalkan tempat ini dan kembalilah ke Kadipaten Pasisiran."
Jarot terkejut sekali dan mengangkat muka memandang wajah gurunya, lalu menyembah. "Akan tetapi, Bapa. Saya belum ingin pergi, masih ingin melanjutkan bekerja dan belajar di sini."
"Tidak, angger. Semua ilmuku sudah kuberikan kepada andika. Pula, ada pertemuan tentu ada perpisahan dan besok sudah tiba waktunya kita berpisah."
"Setidaknya, ijinkanlah saya tinggal di sini sampai selesai menanam kentang, Bapa. Saya tidak ingin melihat Bapa bersusah payah bekerja sendiri."
Bhagawan Dewondaru tersenyum. "Sebelum andika datang, pekerjaanku adalah bertani. Setelah andika berada di sini, aku menjadi seorang tua yang menganggur dan bermalasan. Tidak, angger. Engkau harus pergi dari sini besok karena akupun akan meninggalkan tempat ini besok."
"Kemanakah Bapa hendak pergi?"
"Aku sendiri belum tahu ke mana aku hendak merantau dan entah kapan aku kembali ke sini. Mungkin juga tidak akan kembali sama sekali karena telah mendapatkan tempat tinggal lain. Andika harus pulang ke Kadipaten pesisiran, bertemu dan berkumpul dengan orang tuamu. Sekarang andika tidak perlu khawatir lagi akan usaha jahat yang hendak membunuhmu. Andika cukup kuat untuk menjaga diri."
Jarot tidak berani membantah lagi. Dia menemukan kehidupan yang hening dan tenang di situ, menemukan kebahagiaan hidup bersama gurunya, digembleng ilmu dan juga pengetahuan tentang kehidupan. Kalau teringat betapa saudara-saudara dan para ibu tirinya seolah berebutan kekuasaan dan saling berlumba menyenangkan hati ayahnya agar kelak dijadikan pengganti adipati di Pasisiran, rasanya segan dia untuk pulang. Akan tetapi dia kalau teringat kepada ayah ibunya, hatinya sudah merasa rindu sekali kepada mereka yang telah ditinggalkan selama tujuh tahun. Ingin sekali dia mengetahui, apa yang diceritakan oleh kakaknya Lembu Alun tentang kehilangan dirinya kepada ayah ibunya. Lembu Alun tentu kehilangan dirinya dan pulang seorang diri dari perburuan itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi benar dia mandi biarpun semalam hampir tidak tidur, dan setelah kembali ke pondok, gurunya telah bangun, bahkan telah siap untuk pergi membawa tongkatnya dan menggendong buntalan pakaiannya.
"Sepagi ini, Bapa hendak ke manakah?"
"Seperti telah kuberitahukan kemarin, hari ini aku juga akan pergi merantau. Aku berangkat dulu, angger. Kalau andika turun gunung, jangan lupa singgah di dusun Kemanggisan di selatan itu dan beritahu kepada Ki Janur bahwa pondok dan tegalan ini kuserahkan kepadanya untuk digarap. Pondok dan tegal ini menjadi miliknya sampai aku kembali ke sini, entah kapan."
"Baik, Bapa. Akan tetapi, saya mohonBapa memberitahu kepada saya, ke mana saya harus pergi kalau saya ingin berjumpa dengan Bapa."
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. "Aku pergi menurutkan kata hati dan langkah kaki, bagaimana aku dapat tahu ke mana aku hendak pergi? Sudahlah, angger, kalau memang berjodoh, sekali waktu kita tentu akan dapat saling bertemu lagi. Selamat tinggal."
Jarot memberi hormat dengan sembah. "Selamat jalan, Bapa, harap jaga diri Bapa baik-baik," katanya terharu. Tujuh tahun hidup bersama kakek itu, dia sudah menganggapnya sebagai ayahnya sendiri.
Setelah Bhagawan Dewondaru pergi, barulah Jarot berkemas. Dia juga membungkus pakaiannya dengan sarung dan menggendong juntaian itu diatas punggungnya, kemudian setelah beberapa lamanya dia memandang pondok dan sekitarnya yang telah amat dikenalnya itu, diapun membalikkan tubuhnya dan melangkah lebar menuju ke dusun Kemanggisan. Dusun ini merupakan satu-satunya dusun di mana dia bertemu dengan manusia-manusia lain, yaitu kalau berbelanja segala keperluan mereka. Ki Janur adalah seorang penduduk dusun yang kadang diminta bantuannya menggarap tegal, seorang laki-laki yang tulus dan jujur, dan yang hidup menduda tanpa anak. Setelah tiba di dusun Kemanggisan, Jarot menemui Ki Janur dan menyampaikan pesan gurunya. Ki Janur menerimanya dengan senang karena tegalan milik Bhagawan Dewondaru merupakan tegalan yang subur sekali.
"Terima kasih, denmas, akan saya urus baik-baik tegal dan pondok itu," katanya.
Setelah menyampaikan pesan gurunya, Jarot lalu menuruni lereng Semeru menuju ke selatan, menyusuri sepanjang Kali Rejali yang mengalir ke selatan. Muara air Kali Rejali itu berada di pinggir Kadipaten Pasisiran...
Pemuda ini memiliki tubuh yang sedang namun tegap, berdirinya tegak dan lenggangnya seperti langkah harimau lapar. Wajahnya amat tampan dan manis, dengan dahi lebar dan sepasang matanya mencorong namun mengandung kelembutan, hidungnya mancung dan mulutnya selalu terhias senyum yang menarik dan menyejukkan hati yang memandang. Dagunya yang sedikit berlekuk menunjukkan kejantanan dan kegagahan. Kulitnya kuning bersih, seorang pemuda yang ganteng seperti Arjuna.
Wanita yang berjalan di sampingnya juga tidak kalah menariknya, ia seorang dara yang usianya paling banyak dua puluh tahun. Rambutnya panjang sampai ke pinggang, namun digelung di belakang kepala dengan rapi. Pakaiannya juga dari kain putih bersih. Dara ini memiliki tubuh yang ramping padat dengan lekuk lengkung tubuh yang sempurna, bagaikan seorang dewi dari kahyangan. Dahinya tertutup sinom melingkar-lingkar, alisnya kecil melengkung dan hitam seperti dilukis, matanya seperti sepasang bintang kejora dengan kerling tajam menghunjam, hidungnya mancung dan mulutnya amat manis dengan bibir yang merah membasah, dihias lesung pipit di pipi kiri, dagunya runcing dan lehernya agak panjang berkulit putih mulus.
Orang yang bersua dengan mereka di tempat hening itu tentu akan mengira bahwa mereka penjelmaan Bathara Komajaya dan Bathari Komaratih, yaitu Dewa dan Dewi Asmara. Akan tetapi kalau orang memperhatikan sinar mencorong dari mata mereka, apalagi melihat adanya sebatang pedang di punggung dara itu, maka pandangan orang itu akan menjadi kagum dan juga jerih.
Siapakah gerangan jaka bagus dan perawan ayu ini? Mereka adalah kakak beradik tiri, satu ayah berlainan ibu. Ksatria gagah dan tampan itu bernama Bagus Seto, putera dari Adipati Tejolaksono dan Ayu Candra. Sejak kecil Bagus Seto telah digembleng oleh orang-orang yang maha sakti. Mula-mula dijadikan murid oleh Ki Tunggaljiwo selama sepuluh tahun, kemudian dijadikan murid seorang pertapa yang maha sakti dengan julukan Bhagawan Ekadenta, juga disebut Ki Jitendryo dan Bhagawan Sirnasariro.
Setelah menerima gemblengan Bhagawan Ekadenta, Bagus Seto menjadi seorang pemuda yang maha sakti, memiliki kekuatan lahir batin yang dahsyat. Takkan ada seorangpun dapat mengira bahwa dalam diri seorang pemuda tampan halus seperti Bagus Seto itu terdapat kekuatan yang amat dahsyat.
Dara jelita yang kelihatan gagah itu bernama Retno Wilis. Ia juga puteri Adipati Tejolaksono akan tetapi ibunya adalah Endang Patibroto. Walaupun kedua ayah ibunya merupakan orang-orang sakti, akan tetapi sejak kecil ia digembleng oleh seorang nenek maha sakti yang berjuluk Nini Bumigarbo. Sejak kecil ia berpakaian serba hijau, sesuai dengan namanya Retno Wilis (Dara Hijau), akan tetapi setelah ia merantau dengan kakaknya, Bagus Seto menganjurkan agar adiknya memakai pakaian serba putih seperti yang dipakainya.
Dari Nenek sakti Nini Bumigarbo, Retno Wilis menerima gemblengan banyak ilmu, di antaranya yang hebat adalah Aji Wisolangking, semacam ilmu pukulan mangandung hawa beracun panas, Aji Argoselo yang membuat ia dapat membikin tubuhnya menjadi berat sekali, lalu Aji Pancaroba ilmu silat yang mengandalkan kecepatan gerak. Iapun menerima dua macam senjata yang ampuh, pertama Pedang Sapudento yang ampuh sekali dan senjata rahasia Pasir Sekti, semacam pasir yang juga mengandung racun yang mematikan.
Demikianlah, kedua kakak beradik yang tampak demikian tampan dan cantik, demikian lemah lembut, sesungguhnya merupakan sepasang orang muda yang sakti, dan kedatangan mereka dari barat menuju ke timur itu dapat diumpamakan Sepasang Garuda Putih yang melayang-layang datang sebagai sepasang pendekar yang tujuan perjalanan hidupnya hanya untuk berdharma-bakti kepada rakyat jelata, menegakkan kebenaran dan keadilan membela yang lemah tertindas, dan menentang yang kuat menindas, memihakyang baik dan menentang yang jahat. Selama melakukan perantauan dengan kakaknya, Retno Wilis banyak mendapat petunjuk kakaknya itu tentang keadaan hidup dan cara-cara menegakkan Kebenaran dan keadilan.
"Kakang Bagus," ia pernah bertanya, "engkau selalu mengatakan bahwa aku harus memihak yang baik dan benar menentang yang salah dan jahat. Akan tetapi, kakang, bukankah baik dan jahat itu hanya merupakan pendapat dari pada si penilai belaka? Dan engkau pernah mengatakan bahwa penilaian adalah palsu karena penilaian itu berdasarkan rasa suka tidak suka yang timbul dari diri merasa diuntungkan atau dirugikan. Bagaimana kalau penilaianku keliru? Kalau yang kuanggap benar itu sebetulnya salah?"
"Bagus, pertanyaanmu ini bagus dan menunjukkan bahwa engkau sudah mulai dewasa dalam menelaah tentang kehidupan, adikku yang ayu" jawab Bagus Seto sambil tersenyum. "Memang tidak salah, penilaian itu palsu sepanjang penilaian itu diberlakukan untuk diri sendiri. Setiap orang akan selalu menilai orang lain yang menguntungkannya dan menyenangkannya sebagai orang baik, dan akan selalu menilai orang lain yang merugikan atau menyusahkan sebagai orang jahat. Akan tetapi kita menilai bukan demi kepentingan diri pribadi, melainkan demi kepentingan mereka yang tertindas. Dengan demikian, menilai seseorang itu tidaklah sukar. Kalau dia adigang-adigung-adiguna, mengandalkan kekuatan dan kekuasaannya untuk menyengsarakan orang lain, menyusahkan orang lain, menindas orang lain dengan keangkara murkaannya, nah orang demikian itulah yang kita anggap jahat dan perlu kita menentangnya. Namun orang-orang lemah tak berdaya, tanpa kesalahan mengalami penekanan dari orang-orang jahat itu, merekalah yang harus kita lindungi dan bela. Adapun orang baik adalah mereka yang bijaksana dan yang selalu berusaha untuk menolong orang lain, menyenangkan orang lain, akan tetapi yang tidak menyadari bahwa dia berbuat kebaikan, yang tidak menganggap perbuatannya itu sebagai suatu kebaikan."
"Wah, di sini aku agak bingung, kakang. Orang berbuat kebaikan tanpa menyadari bahwa dia berbuat kebaikan dan tidak menganggap bahwa perbuatannya itu suatu kebaikan. Bagaimana ini?"
"Kebaikan adalah perbuatan yang wajar, tidak dibuat-buat dan timbul dari sanubari yang penuh welas asih. Kalau aku sengaja melakukan kebaikan, dengan sadar bahwa aku telah berbuat baik, maka kesengajaan itu pasti berpamrih, Retno. Itu bukan kebaikan lagi namanya, karena dia mengharapkan imbalan, setidaknya imbalan senang hati atau puas diri karena telah berbuat baik."
"Lalu bagaimana orang harus melakukan kebaikan tanpa menyadari bahwa yang dilakukan itu kebaikan?"
"Dengan mawas diri, adikku. Dengan menganggap bahwa segala yang kita lakukan adalah suatu kewajiban dalam kehidupan. Menolong sesama hidup adalah suatu kewajiban, bukan kebaikan. Menentang kejahatan adalah suatu kewajiban, bukan kebencian. Mengertikah engkau adikku?"
Retno Wilis mengangguk-angguk. "Mengerti, akan tetapi aku tidak yakin apakah aku dapat melaksanakan itu. Bagaimana mungkin aku dapat terhindar dari perasaan khawatir, susah, marah, senang dan benci?"
"Ikuti saja apabila engkau sedang dikuasai perasaan-perasaan itu, Retno, dan engkau akhirnya akan mengenal mereka dan yakin bahwa mereka itu BUKAN ENGKAU, melainkan nafsu daya-daya rendah yang berlomba untuk menguasai jiwamu."
Kalau kakaknya sudah bicara setinggi itu, Retno Wilis hanya mengangguk saja dan diam seribu bahasa.
"Aku tahu bahwa engkau masih bimbang dan belum mengerti benar, adikku. Memang engkau benar, seorang manusia tidak akan dapat berpisah dari nafsu daya rendah yang menjadi pesertanya dalam kehidupan ini. Tanpa adanya nafsu-nafsu itu kita tidak akan dapat hidup seperti sekarang ini, adikku. Berkat dorongan nafsu-nafsu itulah maka kita manusia dapat membuat segala macam barang untuk keenakan hidup kita. Akan tetapi, yang harus dijaga adalah agar daya-daya rendah itu tetap menjadi peserta dan membantu kita, jangan sampai mereka itu menjadi najikan yang memperhamba kita, karena kalau demikian halnya kita akan menjadi permainan nafsu kita sendiri dan akan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kebijakan."
"Kalau begitu, kita berada dalam keadaan yang serba sulit, kakang. Kita tidak dapat hidup tanpa nafsu, akan tetapi kita dapat celaka oleh nafsu itu sendiri. Lalu apa yang dapat kita lakukan? Mengedalikan nafsu kita sendiri agar tidak menjadi majikan yang memperhamba diri kita?"
"Mengedalikan nafsu merupakan pekerjaan yang hanya mudah diucapkan, namun amat sukar dilakukan. Nafsu itu seperti api. Kalau terkendali, amatlah berguna bagi kehidupan kita manusia, akan tetapi kalau dibiarkan bebas, ia akan mengamuk dan membakar segala apapun sampai ludes. Akan tetapi hampir tidak munkin bagi kita untuk mengendalikan peserta kita yang satu ini, karena nafsu telah menguasai diri kita sampai ke tulang sumsum. Satu-satunya jalan adalah iman dan penyerahan diri kepada kekuasaan Hyang Widi, karena hanya kekuasaan Hyang Widi yang akan mampu menundukkan nafsu dan mengendalikan nafsu dalam kedudukan yang sebenarnya, yaitu menjadi peserta dan pembantu bagi manusia. Menyerah dengan penuh keikhlasan dan kepasrahan kepada Hyang Widi dan Hyang Widi akan mengulurkan tanganNya untuk membimbing kita sehingga kita akan mampu menguasai nafsu kita sendiri."
Retno Wilis mengangguk-angguk, sudah sering kakangnya itu menasehatkan kepadanya agar ia selalu ingat kepada Hyang Widi, selalu menyerah pasrah kepadaNya, dan iapun maklum betapa sukarnya pekerjaan pasrah yang kelihatannya hanya sepele itu. Nafsu selalu mengamuk dan berbisik agar ia tidak mudah pasrah begitu saja, nafsu selalu berusaha agar ia menjauhkan diri dari Hyang Widi.
Mereka kini tiba di sebuah pantai yang indah, penuh dengan hutan dan tebing karang yang merupakan dinding yang membendung air laut yang setiap saat bergelora. Ada pula bagian yang mengandung pasir putih yang bersih dan lembut.
"Matahari mulai terik, di sana ada pohon-pohon dan kulihat terdapat pula pohon kelapa. Mari kita mengaso di tempat yang teduh sambil mencari dawegan (kelapa muda), Retno."
Mereka lalu duduk di bawah sebatang pohon yang besar yang lebat daunnya, kemudian Retno Wilis menggunakan dua potong batu sebesar kepalan tangannya, menyambit ke arah buah-buah kelapa muda yang bergantungan di pohon. Sambitannya tepat mengenai gagang buah dan runtuhlah dua butir buah kelapa muda.
Retno Wilis lalu menggunakan jari-jari tangannya yang mungil dan halus itu, dengan mudahnya ia mengupas kulitnya seperti orang mengupas kulit pisang saja, kemudian dengan telunjuknya ia melubang buah-buah itu dan memberikan sebutir kepada kakaknya. Bagus Seta tersenyum melihat ulah adiknya dan keduanya lalu minum buah kelapa muda itu dengan nikmat sekali.
Mereka berdua tidak tahu bahwa di seberang hutan itu terdapat sebuah dusun nelayan dan di dusun itu terjadi peristiwa yang menggegerkan penduduk. Pagi itu, entah dari mana datangnya, muncul lima orang laki-laki yang berwajah bengis, bertubuh kokoh kekar di dusun itu. Mereka lalu menghampiri rumah Ki Wirodemung, sesepuh dusun itu yang oleh penduduk sudah dianggap pemimpin mereka. Lima orang itu dengan sikap kasar memasuki rumah dan menanyakan di mana adanya tuan rumah. Beberapa orang pemuda yang kebetulan berada di situ menegur para tamu yang tidak sopan itu, akan tetapi seorang di antara mereka sudah meloncat ke depan dan menghajar empat orang pemuda itu dengan kaki tangannya. Empat orang pemuda itu mencoba melawan, namun sia-sia karena orang itu ternyata kuat dan tangkas sekali.
Pada waktu itu, dusun sedang sepi karena kaum prianya sebagian besar sudah berangkat bekerja di ladang, sebagian lagi pergi mencari ikan di laut. Ki Wirodemung yang sudah berusia limapuluh tahun itu tergopoh-gopoh keluar mendengar keributan di depan rumahnya. Dia melihat empat orang pemuda babak belur dihajar seorang bertubuh tinggi besar dan berotot kekar. Dia menghampiri lima orang itu dan bertanya,
"Eh, Kisanak, andika sekalian siapa dan dari manakah? Perlu apa mencari saya dan mengapa pula memukuli orang-orang ini?"
Seorang di antara mereka, yang berkumis melintang, melangkah maju dan tertawa bergelak sambil bertolak pinggang.
"Ha -ha-ha, andika yang bernama Ki Wirodemung? Kami mendengar bahwa andika orang yang terkaya di dusun ini, dan lebih dari itu, andika mempunyai seorang anak perawan ayu. Nah, untuk itulah kami datang. Serahkan harta dan anak perawanmu kepada kami dengan baik-baik agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan!" Empat orang kawannya tersenyum menyeringai dengan sikap menakutkan.
Mendengar ucapan ini dan melihat sikap mereka, Ki Wirodemung mengerutkan alisnya dan cepat dia berlari ke sudut ruangan depan lalu dengan gencar memukul kentongan bambu yang tergantung di s itu. Lima orang itu saling pandang sambil tertawa-tawa. Sebentar saja banyak orang datang berlarian dan kurang lebih duapuluh orang laki-laki penduduk dusun itu yang kebetulan belum pergi meninggalkan rumah, sudah datang berkumpul. Melihat penduduk sudah berdatangan, Ki Wirodemung menuding ke arah lima orang itu dan membentak,
"Orang-orang kurang ajar, lekas kalian minggat dari sini kalau tidak ingin kami hajar!"
Melihat duapuluh orang penduduk itu berkumpul dan kini mengepung mereka, si kumis melintang tertawa lagi bergelak.
"Ha-ha-ha, kalian penduduk dusun bodoh hendak melawan kami, Lima Macan Hutan Suro? Apa kalian ingin mampus?"
Ki Wirodemung sudah menyambar sebatang tombak dari ruangan depan dan menudingkan telunjuknya kepada si kumis melintang dan berteriak,
"Saudara-saudara, mereka berlima adalah perampok-perampok jahat, mari kita basmi mereka!"
Orang-orang dusun itu memang sudah membawa alat apa saja untuk dapat dijadikan senjata ketika mereka mendengar kentongan dipukul tanda bahaya tadi. Kini mereka mengacungkan arit, pecok, linggis atau pacul dan menyerbu ke arah lima orang itu. Akan tetapi, lima orang itu menyambut mereka dengan pukulan dan tendangan sambil tertawa-tawa dan ternyata mereka itu kuat bukan main. Senjata para penduduk dusun terlepas dari pegangan dan beterbangan disusul tubuh mereka yang terlempar berpelantingan terkena pukulan dan tendangan lima orang yang menyebut diri sebagai Lima Macan hutan Suro itu. Dalam waktu singkat saja, duapuluh orang itu sudah roboh semua termasuk Ki Wirodemung yang tombaknya patah dan mukanya bengkak membiru terkena pukulan tangan si kumis melintang.
Setelah rnerobohkan duapuluh lebih orang itu, lima orang perampok itu lalu memasuki rumah sambil tertawa-tawa. Mereka memilih barang-barang yang berharga dari rumah itu dan tak lama kemudian mereka sudah keluar lagi membawa barang-barang rampasan mereka. Akan tetapi si kumis melintang tidak membawa barang melainkan memanggul tubuh seorang gadis remaja yang meronta-ronta dan menjerit-jerit.
Agaknya bagi telinga si kumis melintang, jerit tangis itu terdengar seperti suara nyanyian merdu. Makin hebat gadis itu meronta dan menangis, makin senang pula hatinya. Sambil tertawa-tawa lima orang itu lalu keluar dari dusun dan memasuki hutan di dekat dusun itu. Orang-orang dusun yang sudah terpukul roboh itu tidak berani mengejar dan Ki Wirodemung bersama isterinya hanya dapat menangisi puteri mereka yang dibawa pergi para perampok.
Sementara itu, Bagus Seto dan Retno Wilis masih duduk sambil makan daging dawegan yang manis dan gurih. Tiba-tiba mereka mendengar jerit tangis yang datangnya dari dalam hutan. Retno Wilis segera melepaskan dawegannya dan bangkit berdiri.
"Ada yang perlu ditolong, kakang," katanya sambil melompat ke dalam hutan.
Bagus Seto juga bangkit dengan tenang dan mengejar adiknya sambil berkata, "Tenanglah, Retno dan ingat, jangan membunuh orang!"
Kakak beradik ini berlompatan dan lari mempergunakan ilmu mereka sehingga gerakan lari mereka seperti terbang cepatnya. Retno Wilis berada di depan dan ketika ia tiba di tengah hutan, matanya mencorong dan alisnya berkerut melihat seorang laki-laki berkumis melintang bertubuh tinggi besar sedang duduk di bawah pohon memangku seorang gadis remaja yang meronta-ronta dan menjerit-jerit.
"Jahanam busuk!" Retno Wilis memaki dengan suara melengking tajam. "Hayo lepaskan gadis itu!"
Si Kumis melintang terkejut dan mengangkat mukanya. Ketika melihat Retno Wilis yang demikian cantik jelita, matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan suara tertawa bergelak, "Waduh, cantiknya! Engkau malah lebih cantik dari pada gadis ini! Baik, aku lepaskan gadis dusun ini akan tetapi engkau sebagai gantinya harus duduk di atas pangkuanku ini!"
Retno Wilis yang mendengar ucapan kurang ajar itu sudah melompat dekat dan tangan kirinya menampar ke arah kepala si kumis melintang. Orang itu menangkis dengan tangan kanan sambil siap mencengkeram tangan Retno Wilis.
"Dess.... !" Ketika lengannya menangkis dan bertemu dengan lengan Retno Wilis tubuhnya terguncang dan diapun terpelanting. Gadis dusun itu terlepas dari pangkuannya dan ikut terpelanting. Gadis itu lalu bangkit berdiri dan mundur menjauhi si kumis melintang.
"Babo-babo keparat!" teriak si kumis melintang-sambil bangkit berdiri dan menghadapi Retno Wilis. "Berani andika memukulku?" Mendengar teriakannya, empat orang kawannya yang duduk tidak jauh dari situ sudah berlarian datang dan mereka mengepung Retno Wilis.
"Wah, ia cantik sekali, cantik manis!"
"Seperti dewi dari kahyangan!"
"Tangkap ia hidup-hidup!" bentak si kumis melintang dengan penasaran dan marah. Ia sendiri lalu menubruk maju sambil membentangkan kedua lengannya untuk merangkul gadis berpakaian putih itu. Empat orang kawannya juga menubruk maju.
Retno Wilis tidak sudi membiarkan dirinya tersentuh tangan-tangan kasar itu, ia membuat gerakan tendangan melingkar dengan kecepatan luar biasa.
"Duk-duk-duk-duk-duk!" Lima orang itu terpelanting, masing-masing terkena sebuah tendangan.
Mereka merangkak bangun dengan penasaran dan tidak percaya bahwa gadis itu mampu merobohkan mereka hanya dalam segebrakan saja.
"Tangkap dia!" si kumis melintang kembali berteriak. Ingin sekali ia menguasai gadis cantik jelita yang pandai berkelahi ini. Kembali dia bersama empat orang kawannya menerjang maju, akan tetapi sekali ini Retno Wilis menyambut mereka dengan tamparan, menggunakan kedua tangannya.
Terdengar teriakan beruntun lima kali dan lima orang perampok itu roboh dengan tubuh terputar. Mereka merasakan bumi bergoyang dan sekali ini mereka tidak segera dapat bangun. Mereka merangkak dan setelah dapat bangun si kumis melintang sudah mencabut goloknya, diikuti oleh empat orang kawannya.
"Bunuh perempuan ini!" komandonya dan mereka berlima sudah menerjang ke depan, golok mereka menyambar-nyambar dari segala jurusan.
Akan tetapi golok mereka hanya menyambar tempat kosong karena gadis berpakaian putih itu telah lenyap dari kepungan mereka! Ketika mereka membalikkan tubuh ternyata gadis itu telah berdiri di sana dan sebelum mereka sempat gerak, Retno Wilis kembali sudah menggerakkan kedua tangannya membagi-bagi tamparan.
"Des-des-des-des-des!" Lima kali beruntun mereka terkena tamparan, sekali ini lebih kuat dari tadi, membuat mereka melepaskan golok dan tubuh mereka berputar-putar lalu roboh, mengaduh-aduh dan sukar untuk bangkit kembali. Si kumis melintang mencoba untuk bangkit dengan cepat, namun begitu dia bangkit, dia terjatuh lagi karena sekelilingnya berputar.
"Kalian masih belum menyerah? Bangkitlah, aku tunggu!" tantang Retno Wilis.
Si kumis melintang dan empat orang kawannya kini sadar betul bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang sakti, maka mereka menjadi gentar dan setelah mampu bangkit, mereka merangkak dan berlutut menghadap Retno Wilis.
"Ampun, kami tidak berani melawan lagi, kanjeng dewi.... " kata si kumis melintang, menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang dewi dari kahyangan yang sakti.
"Apakah kalian sudah sadar akan kejahatan kalian dan kini bertaubat?"
"Kami sadar dan kami menyesal, kami bertaubat, kanjeng dewi.... "
"Bagus, kalau kalian bertaubat, katakan apa saja yang kalian lakukan tadi dan darimana gadis ini kalian bawa?"
"Kami baru saja merampok di rumah Ki Wirodemung di dusun sebelah utara hutan ini dan gadis itu adalah puterinya... ampunkan kami!"
"Sekarang, antarkan kembali gadis itu dan kembalikan barang rampokan. Mintalah maaf kepada orang-orang dusun itu. Hayo jalan!" Retno Wilis lalu menggiring para perampok itu sambil menghibur gadis yang masih ketakutan kembali ke rumah orang tuanya.
Di depan orang-orang dusun, Lima Macan Suro itu minta maaf kepada Ki Wirodemung dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatan mereka. Bagus Seto kini juga mendampingi Retno Wilis dan pemuda itu menjadi gembira melihat sepak terjang adiknya. Dulu, tidak mungkin Retno Wilis mau mengampuni mereka dan lima orang itu tentu sudah dibunuhnya!
Ki Wirodemung dan para penduduk dusun menghaturkan terima kasih kepada Retno Wilis dan Bagus Seto. Akan tetapi kedua orang kakak beradik ini tidak lama berada di dusun itu. Mereka lalu mengajak Lima Macan Suro itu ke dalam hutan lagi dan di sini Retno Wilis mengancam kepada mereka.
"Mulai sekarang kalian harus mengubah jalan hidup kalian, jangan lagi merampok, jangan mengganggu penduduk dusun yang sudah hidup serba kekurangan itu."
"Kami sudah bertaubat," kata si kumis melintang....
"Kalau kalian masih melakukan perbuatan jahat lagi, lain waktu aku akan datang ke sini dan tidak akan memberi ampun lagi kepada kalian. Sudah, pergilah dan pergunakan kekuatan tubuh kalian untuk bekerja!"
Lima orang perampok itu memberi hormat kepada Retno Wilis, kemudian mereka pergi dengan kepala menunduk. Mereka merasa ngeri mendengar ancaman gadis yang sakti itu. Setelah lima orang perampok itu pergi, Retno Wilis bertanya kepada kakaknya.
"Kakang Bagus Seto, Bagaimana pendapatmu dengan tindakanku tadi? Sudah benarkah?"
Bagus Seto mengangguk-angguk dan tersenyum. "Baik sekali, Retno. Memang demikianlah yang harus kaulakukan, mengalahkan yang jahat dan berusaha membujuk mereka agar mengubah jalan hidup mereka yang sesat. Walaupun sedikit sekali kemungkinan para penjahat itu benar-benar menjadi sadar kembali dan berubah menjadi orang baik, namun engkau telah melaksanakan kewajibanmu dengan baik dan itu sudah cukup."
Kakak beradik ini melanjutkan perjalanan mereka, menyusuri sepanjang pantai Laut Selatan. Memang mengherankan sekali keadaan kakak beradik ini. Mereka adalah putera dan puteri Ki Patih Tejolaksono, patih Panjalu yang amat terkenal, sakti mandraguna dan berkedudukan tinggi di Kerajaan Panjalu. Kenapa mereka tidak berdiam bersama ayah mereka dan hidup mulia di Kepatihan Panjalu? Banyak sebab yang membuat kedua orang muda kakak beradik ini sekarang lelana-brata, meluaskan pengalaman dan pengetahuan dengan jalan merantau.
Bagus Seto adalah seorang pemuda yang sejak kecil digembleng oleh orang-orang maha sakti dan dia menjadi seorang pemuda yang seolah-olah telah menjauhkan diri dari keramaian dan kesenangan dunia sehingga dia tidak tertarik kemuliaan dan kemewahan duniawi. Adapun adiknya, Retno Wilis, yang digembleng oleh seorang sakti yang tersesat, pernah menjadi seorang gadis perkasa yang berwatak keras sebagai besi dan tidak pernah mengenal ampun kepada musuhnya, dapat bertindak kejam, seperti golongan sesat.
Bukan saja pelajaran kesaktian yang diwarisinya dari Nini Bumigarbo, melainkan juga wataknya yang kejam dan ganas. Setelah bertemu dengan kakak tirinya, Bagus Seto, maka dara ini menjadi sadar dan selanjutnya ia tidak mau tinggal di Kepatihan, melainkan hendak ikut kakaknya mengembara untuk digembleng menjadi orang yang baik. Watak Retno Wilis ini sebagian diwarisinya dari ibunya, Endang Patibroto yang juga terkenal sebagai seorang wanita perkasa yang keras hati.
Demikianlah, Bagus Seto dan Retno Wilis melanjutkan perjalanan mereka menuju ke timur menyusuri sepanjang pantai Laut Kidul.
********************
Kerajaan Jenggala baru saja pulih dari kekacauan ketika rajanya dipengaruhi orang-orang jahat. Raja baru diangkat, yaitu Pangeran Sigit dengan permaisuri Setyaningsih. Setelah menjadi Raja Jenggala Pangeran Sigit menggunakan nama julukan yang panjang, yaitu Sri Samarotsaha Karnakeshana Dharmawangsa Kirtisinga Jayantaka-tunggadewa!
Biarpun raja baru ini berusaha keras untuk memulihkan kejayaan Jenggala, namun luka oleh perang saudara itu terlalu parah sehingga keadaan Jenggala menjadi lemah. Bahkan banyak para adipati di daerah-daerah, terutama daerah selatan, melepaskan diri dari pengaruh Jenggala dan tidak mengakui kekuasaan Jenggala lagi.
Karena maklum bahwa kekuatan Jenggala sudah mulai surut, Sang Prabu lalu mohon bantuan dari Kerajaan Panjalu, di mana yang menjadi rajanya adalah Sri Dayawarsha Digjaya Sastraprabu. Yang menjadi patih dari Kerajaan Panjalu adalah Ki Patih Tejolaksana. Panjalu mengirim bantuan dan dengan bantuan Panjalu yang memiliki banyak senopati yang sakti, barulah Jenggala dapat memulihkan kembali kedaulatannya atas kadipaten-kadipaten itu. Namun sejak itu, Jenggala tergantung kepada Panjalu yang menjadi semakin besar, kuat dan makmur.
Akan tetapi perang saudara itu membuat Panjalu juga kehilangan banyak daerah yang dipimpin oleh adipati-adipati. Memang banyak yang telah dikuasai kembali, akan tetapi di bagian timur, seperti Nusabarung, Blambangan dan lain-lain telah memisahkan diri dan tidak mengakui kekuasaan Panjalu dan Jenggala. Mereka menyusun kekuatan dan siap sedia untuk perang melawan dua kerajaan bersaudara itu. Blambangan sendiri menjadi kuat karena memperoleh dukungan dari Bali-dwipa.
Pada suatu sore, Patih Tejolaksono sedang berbincang-bincang dengan kedua isterinya, yaitu Ayu Chandra dan Endang Patibroto. Mereka duduk di dalam taman bunga di belakang gedung tempat tinggal mereka di Kepatihan Anom karena Tejolaksono diangkat menjadi Patih Anom yang membantu pekerjaan Patih Sepuh yang bernama Suryoyudo.
"Aku mendengar di timur terjadi pergolakan, kakangmas. Kenapa kakangmas tidak diutus Sang Prabu untuk memadamkan api pemberontakan di sana?" tanya Endang Patibroto kepada suaminya, Patih Tejolaksono.
"Sang Prabu belum memberi perintah, diajeng. Dan menurut keterangan kakang Patih Suryoyudo, Sang Prabu memang hendak melihat dulu perkembangan di daerah Blambangan dan kadipaten-kadipaten di ujung timur itu. Kalau mereka tidak mengadakan serangan melanggar perbatasan, maka kitapun tidak bergerak, akan tetapi kalau mereka mengadakan pengacauan di daerah perbatasan, barulah kita akan memukulnya. Sang Prabu berpendapat bahwa perang baru saja selesai dan perlu memberi istirahat kepada pasukan."
"Akan tetapi kalau dibiarkan saja Blambangan, Nusa Barung dan yang lain-lain itu bergolak dan tidak mengakui kekuasaan Panjalu dan Jenggala, berarti Panjalu akan kehilangan kedaulatannya. Kalau menurut aku, sebaiknya digempur saja mereka itu. Sebaiknya memadamkan api sebelum menjalar dan menjadi besar. Bukankah begitu, mbakayu Ayu Chandra?"
"Aku sendiri tidak tahu, diajeng Endang Patibroto. Kita kaum wanita bagaimana dapat mencampuri urusan pemerintahan."
"Ah, mana bisa begitu! Biarpun kita ini wanita, namun kita dapat berperan besar dalam pemerintahan. Kalau untuk menghadapi para pengacau, aku sendiripun sanggup untuk menanggulangi," kata Endang Patibroto.
Wanita yang berusia kurang dari limapuluh tahun ini masih tampak cantik jelita dan gagah, berbeda dengan Ayu Chandra yang tampak anggun dan lembut.
Patih Tejolaksono yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, tersenyum. Wajahnya yang tampan gagah itu tampak jauh lebih muda ketika dia tersenyum lebar. Matanya bersinar tajam dan sikapnya lembut, namun dagunya yang berlekuk itu membayangkan kekuatan yang pantang mundur.
"Diajeng Endang Patibroto. Agaknya kehidupan yang makmur dan tenteram ini tidak dapat kau nikmati. Apakah andika lebih senang kalau terjadi pertempuran di mana andika dapat berkiprah melawan musuh?"
Endang Patibroto memandang suaminya dengan sinar mata tajam. Suaminya dapat menyelami jiwanya. Ia memang seorang wanita ksatria yang keras hati dan suka akan pertempuran.
"Sesungguhnyalah, kakangmas. Kehidupan penuh damai ini membuat hatiku gelisah. Aku teringat akan anak kita. Kemana perginya Retno Wilis dan bagaimana keadaannya sekarang? Aku khawatir sekali."
"Mengapa engkau khawatir, diajeng? Retno Wilis pergi bersama kakaknya, Bagus Seto dan aku yakin Bagus Seto akan mampu menjaga dan melindunginya."
"Hemm, tanpa perlindunganpun Retno Wilis mampu untuk menjaga diri sendiri. Aku tidak khawatir kalau terjadi sesuatu dengannya. Hanya aku khawatir kalau-kalau ia tidak mau kembali kepada kita. Aku sudah rindu kepadanya dan aku ingin sekali pergi merantau dan mencarinya. Sungguh tidak enak sekali rasa hati ini kalau diam menanti saja tanpa mengetahui kapan ia akan pulang."
Patih Tejolaksono menghela napas panjang. Dia mengenal betul isterinya yang satu ini. Ia seorang petualang dan hanya kalau hidupnya menghadapi penuh tantangan ia dapat merasa senang.
"Akan tetapi ke mana engkau akan mencari kedua orang anak kita itu, diajeng? Engkau tidak tahu ke mana mereka pergi, ke selatan atau utara, timur atau barat. Lalu engkau hendak menyusul ke mana?"
"Akan kucari jejak mereka dan aku yakin akhirnya aku akan dapat menemukan mereka."
"Aku juga akan merasa bahagia sekali kalau puteraku Bagus Seto mau pulang ke sini, diajeng. Akan tetapi bagaimana kalau kedua orang anak itu menolak kau ajak pulang?"
"Kalau mereka menolak, aku akan menemani mereka merantau. Aku memang suka merantau dan mengalami hal-hal yang hebat!" kata Endang Patibroto sambil tersenyum. "Bagaimana, kakangmas? Engkau tidak keberatan kalau aku pergi mencari mereka, bukan?"
"Kalau memang itu yang kau kehendaki, diajeng, tentu saja aku tidak berkeberatan. Akan tetapi tentukanlah waktunya, sampai berapa lama engkau mencari mereka agar hatiku tidak gelisah memikirkan kalian bertiga."
"Aku akan mencari mereka, berilah waktu setahun, kakangmas. Dalam waktu setahun, bertemu dengan mereka atau tidak, aku tentu akan pulang."
"Sayang aku tidak dapat menyertaimu mencari mereka, diajeng. Di sini aku terikat oleh kedudukan dan pekerjaanku."
"Akupun pergi bukan percuma, kakangmas. Sambil mencari dua orang putera kita, aku juga akan menyelidiki daerah-daerah yang sedang bergolak. Siapa tahu jejak anak-anak kita itu menuju ke timur, sehingga aku dapat menyelidiki dan mencari mereka di daerah timur, sekalian menyelidiki keadaan di Nusabarung dan Blambangan."
"Sebaiknya engkau mencari mereka di daerah Jenggala dulu, diajeng. Siapa tahu mereka berada di sana, dan engkau sekalian menengok adikmu Setyaningsih yang kini menjadi permaisuri di Jenggala."
"Tentu aku akan singgah di sana kakangmas."
Demikianlah, setelah mendapat perkenan suaminya, dengan girang Endang Pati Broto lalu berkemas dan tiga hari kemudian berangkatlah wanita perkasa ini meninggalkan kota raja Panjalu. Ia berpakaian ringkas dan tidak membawa senjata. Wanita ini memiliki banyak ilmu kedigdayaan yang cukup untuk melindungi dirinya, maka ia tidak membawa senjata apapun. Sebuah buntalan digendongnya di punggung, buntalan berisi pakaian dan bekal uang untuk biaya perjalanannya. Endang Patibroto ini di waktu mudanya banyak merantau dan banyak sekali pengalamannya bertanding. Di antara ilmu-ilmunya yang terampuh adalah pukulan-pukulan Aji Gelap Musti, Aji Pethit Nogo dan Wisangmolo. Selain itu ia mempunyai pula Aji Bayutantra yang membuat ia dapat bergerak cepat sekali dan berlari cepat seperti angin. Ajinya Pekik Sardulo Bairowo juga amat dahsyat karena pekik ini dapat melumpuhkan lawan, menggetarkan jantung.
Terakhir kalinya Endang patibroto bertemu dengan puterinya adalah ketika ia dan suaminya menyerang pasukan yang dipimpin oleh mendiang Wasi Bagaspati pemuja Bathara Siwa dan utusan Negeri Cola. Setelah mengalahkan musuh-musuh mereka, Retno Wilis meninggalkannya, pergi bersama Bagus Seto, berjalan menyusuri Laut Kidul menuju ke timur. Akan tetapi ia tidak pergi ke pantai Laut Kidul, melainkan pergi ke Jenggala lebih dahulu untuk mengunjungi adiknya, Setyaningsih yang kini menjadi permaisuri di Jenggala. Ia diterima dengan gembira oleh adiknya. Bahkan Raja Jenggala juga menyambutnya dengan gembira.
Endang Patibroto hanya dua hari tinggal di istana Jenggala dan setelah mendapat keterangan bahwa adiknya dan Sang Prabu juga tidak pernah mendengar berita tentang puterinya, iapun pergi dan kini mengunjungi pantai Laut Kidul dan mulailah ia pergi ke timur untuk mencari puterinya dan Bagus Seto.
********************
Kakek itu berusia kurang lebih enampuluh tahun, rambutnya yang sudah berwarna dua itu dibiarkan terjurai sampai ke punggung. Pakaiannya amat sederhana, dari kain berwarna hitam yang seperti kain melilit tubuhnya saja. Kumis dan jenggotnya panjang, juga berwarna dua. Biarpun amat sederhana, namun kakek itu tampak bersih, dari rambutnya sampai pakaiannya. Dia duduk bersila di atas sebuah dipan bambu, dan seorang pemuda bersila di atas lantai, menghadapnya.
"Jarot, hari belum sore benar engkau telah berada di rumah. Apakah pekerjaanmu di ladang telah selesai? Apakah sepetak tegalan milik kita itu telah kau paculi semua,siap untuk menanam kentang?"
"Sudah selesai semua, Bapa Bhagawan," jawab pemuda itu.
Pemuda itu berusia kurang lebih duapuluh tahun, berwajah lembut dan tampan, berkulit hitam manis, tubuhnya padat dan tegap membayangkan kekuatan. Siapakah pemuda dan kakek itu? Kakek itu adalah seorang pendeta yang mengasingkan diri di lereng Gunung Semeru, bernama Bhagawan Dewondaru, seorang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna, dan hidup sebagai seorang petani biasa yang selalu mengenakan pakaian serba hitam. Usianya sudah enampuluh tahun, akan tetapi tubuhnya masih tegak dan kokoh kuat, masih kuat untuk mencangkul sehari penuh selama berhari-hari.
Pemuda itu bernama Jarot, sudah kurang lebih tujuh tahun Jarot menjadi murid Bhagawan Dewondaru, mempelajari segala ilmu kesaktian sambil bekerja sebagai petani. Tujuh tahun yang lalu, Bhagawan Dewondaru menemukan Jarot dalam keadaan hampir mati hanyut di Kali Rejali yang bermata air di Lereng Semeru. Bagaimana Jarot yang ketika itu baru berusia lima belas tahun hanyut di Kali Rejali dalam keadaan hampir mati?
Jarot sebetulnya adalah putera Adipati yang berkuasa di Pasisiran, yaitu daerah di pantai Laut Kidul sebelah barat pulau Nusa Barung. Jarot adalah putera yang lahir dari seorang selir, akan tetapi sejak kecil pemuda ini amat disayang oleh ayahnya. Dia seorang anak yang selain tampan dan lembut, juga amat berbakti dan patuh kepada Sang Adipati Pasisiran sehingga ayahnya ini amat menyayangnya lebih dari pada putera-putera lainnya.
Hal ini membuat putera permaisuri yang bernama Lembu Alun menjadi iri hati dan diam-diam dia membenci adik tirinya itu. Karena khawatir bahwa kelak kedudukan adipati akan diserahkan kepada Jarot setelah ayah mereka mengundurkan diri, maka Lembu Alun segera mengatur jalan sesat untuk mengenyahkan adik tirinya.
Pada suatu hari, Lembu Alun mengajak adik tirinya untuk pergi berburu binatang hutan. Jarot merasa heran sekali karena biasanya, kakaknya ini menjauhinya, bahkan bicarapun jarang kepadanya. Dari gerak gerik dan pandang matanya, dia tahu bahwa kakak tirinya itu tidak senang atau membencinya. Oleh karena itu, ajakan itu sungguh membesarkan hatinya.
"Aku girang sekali, kakangmas. Dengan siapa saja kita berburu?" tanya Jarot sambil memandang kepada Lembu Alun dengan wajah berseri.
"Ah, kita pergi berdua saja, adimas. Membawa banyak orang hanya akan mengganggu kita berburu saja. Kita pergi berdua menunggang kuda dan membawa gendewa dan anak panahmu. Aku dengar di hutan sepanjang kali Rejali di lereng Semeru terdapat banyak kijang. Aku ingin sekali makan daging kijang yang gemuk. Kita pergi berdua saja, kalau sudah mendapat satu atau dua ekor kita segera pulang. Kalau kita berangkat pagi-pagi benar, sorenya kita sudah dapat pulang."
"Baik, kakangmas," kata Jarot dan kedua orang muda itu dengan tangkasnya lalu berlompatan ke atas punggung kuda mereka dan membalapkan kuda mereka ke luar dari kadipaten menuju ke utara, menyusuri sepanjang kali Rejali.
Dua orang muda itu melakukan perjalanan penuh kegembiraan, terutama sekali Jarot karena baru sekali ini dia diajak oleh kakaknya itu pergi berburu. Dia mulai merasa betapa keliru anggapannya bahwa kakaknya itu tidak senang kepadanya. Sekarang baru ternyata bahwa kakaknya itu baik sekali kepadanya. Setelah mereka memasuki hutan di lereng Gunung Semeru, Lembu Alun lalu melompat turun dari kudanya.
"Di sinilah tempatnya, adimas. Sebaiknya kita berjalan kaki saja karena kijang-kijang itu tentu akan melarikan diri kalau mendengar derap kaki kuda kita."
Jarot juga turun dari kudanya. Kedua ekor kuda itu ditambatkan di sebatang pohon dan kedua orang muda itu lalu mencari kijang dengan jalan kaki. Mereka menyusuri Kali Rejali dalam hutan itu. Akhirnya mereka menemukan jejak kaki banyak kijang di tepi sungai.
"Adimas, sebaiknya kita berpencar. Engkau mengambil jalan sepanjang sungai ini, dan aku akan mencari ke sebelah sana. Dengan cara berpencar, lebih banyak kemungkinan kita menemukan kijang."
"Baik, kakangmas. Aku akan mengambil jalan di sepanjang sungai ini."
"Mari kita berlumba, adimas. Siapa diantara kita yang dulu memperoleh kijang!"
Jarot tersenyum dan ikut bergembira seperti kakaknya. "Baik, kakangmas. Akan tetapi aku tentu kalah. Siapa yang tidak tahu bahwa kakangmas adalah seorang jago panah yang terkenal di kadipaten kita? Akan tetapi siapa tahu, aku akan lebih dulu bertemu dengan kijang."
Mereka lalu berpencar. Lembu Alun menyusup-nyusup di antara alang-alang dan menghilang ke tengah hutan. Jarot juga berindap-indap mengintai kalau-kalau ada kijang di sebelah depannya. Akan tetapi sudah sejam dia bergerak maju berindap-indap, belum juga tampak bayangan seekorpun kijang. Dia mulai merasa khawatir. Mungkin kakaknya kini telah merobohkan seekor kijang dengan anak panahnya! Jarot merasa gerah. Melihat air Kali Rejali yang jernih itu, dia tertarik lalu menuruni tebing sungai. Dia lalu mencuci mukanya. Terasa segar dan sejuk sekali ketika air membasahi muka, leher dan lengannya. Pada saat itulah, tiba-tiba dia merasa punggungnya nyeri sekali. Sebatang anak panah menancap di punggungnya. Jarot mengeluh lalu roboh terpelanting ke dalam sungai. Dia pingsan dan perlahan-lahan tubuhnya hanyut oleh air sungai itu.
Dalam keadaan seperti itulah Bhagawan Dewondaru menemukannya, hanyut pingsan di Kali Rejali. Orang tua itu segera menolongnya dan membawanya pulang ke pondoknya di lereng yang lebih tinggi. Dengan penuh kasih dia mengobati dan merawat Jarot sampai pemuda itu sembuh dan sehat kembali.
Setelah kesehatannya pulih kembali, Bhagawan Dewondaru lalu bertanya mengapa dia sampai hanyut di sungai dengan sebatang anak panah menancap di punggungnya. Jarot lalu bercerita.
"Saya sedang berburu kijang bersama kakak saya, Bapa. Karena merasa gerah, saya turun ke sungai dan membasahi muka dan leher saya. Pada saat itulah saya merasa nyeri sekali di punggung saya dan selanjutnya saya tidak ingat apa-apa lagi. Setelah saya sadar, ternyata saya telah berada di sini, mendapat pengobatan dan perawatan dari Bapa. Atas budi pertolongan Bapa, saya menghaturkan banyak te rima kasih. Kalau tidak ada Bapa yang menolong saya, tentu saya telah tewas."
"Jangan berterima kasih kepadaku angger. Akan tetapi berterima kasihlah kepada Hyang Widhi, karena Hyang Widhi yang menolongmu melalui aku yang kebetulan melihat engkau hanyut di Kali Rejali. Akan tetapi, siapakah namamu dan di mana tempat tinggalmu, angger?"
"Saya bernama Jarot dan saya tinggal di kadipaten Pasisiran. Saya adalah putera Adipati Pasisiran, Bapa."
"Jagad Dewa Bathara.... ! Kiranya andika adalah putera Sang Adipati di Pasisiran. Maafkan kalau saya bersikap kurang hormat, Raden."
"Harap jangan sungkan, Bapa. Dan jangan menyebut saya raden, sebut saja nama saya. Dan siapakah Bapa yang tinggal di tempat sunyi ini?"
"Saya bernama Bhagawan Dewondaru, angger. Agaknya ketika andika membasahi muka itu, andika diserang secara menggelap oleh seseorang. Apakah andika mempunyai musuh?"
Jarot menggeleng kepalanya. "Setahu saya tidak, Bapa Bhagawan. Saya tidak pernah bermusuhan dan agaknya di dunia ini tidak ada yang memusuhi saya."
Kakek itu mengeluarkan sebatang anak panah dan memperlihatkannya kepada Jarot. "Apakah andika mengenal anak panah ini?"
Jarot menerima anak panah itu dan menggeleng kepalanya. "Saya tidak mengenalnya, Bapa. Kakak saya selalu memakai anak panah dengan bulu merah, dan anak panah ini bulunya hitam. Saya tidak mengenalnya."
"Hemm, akan tetapi kenyataannya, andika diserang dan dipanah orang dari belakang. Apakah kakak andika itu sayang kepada andika?"
Ditanya begini, Jarot mengerutkan alisnya. "Biarpun tidak sayang, akan tetapi tidak mungkin dia yang melakukannya, Bapa. Hal ini terbukti dari anak panah ini yang sama sekali bukan miliknya."
"Angger, saya tidak menyangka siapa-siapa, akan tetapi melihat keadaanmu, engkau terancam bahaya besar. Sebaiknya andika tinggal di sini untuk sementara. Kalau andika kembali ke kadipaten, saya khawatir orang yang hendak membunuh andika itu akan mengulangi lagi perbuatannya."
Jarot membenarkan pendapat kakek itu. Kalau diingat, sekarang diapun merasa bahwa banyak orang yang membenci atau tidak senang kepadanya. Kakaknya, Lembu Alun biasanya juga tidak suka kepadanya, dan ada saudara-saudara tiri yang lain. Agaknya karena ayahnya menyayangnya, maka dia dibenci orang banyak. Para ibu tirinya juga tidak suka kepadanya. Seolah hanya ayahnya dan ibunya saja yang suka kepadanya. Akan tetapi benarkah kebencian mereka demikian besarnya sehingga mereka tega mencoba membunuhnya?
"Baiklah, Bapa. Kalau Bapa tidak berkeberatan, untuk sementara saya tinggal mondok di sini. Saya akan membantu pekerjaan Bapa bertani."
"Bagus sekali, angger. Sebagai gantinya, saya akan mengajarkan ilmu-ilmu yang kiranya berguna bagimu."
Demikianlah, mulai hari itu, Jarot tinggal di pondok Bhagawan Dewondaru. Bukan untuk sementara, bahkan berlarut-larut sampai tujuh tahun! Hal ini adalah karena dengan terkejut dan juga girang sekali Jarot mendapat kenyataan bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti mandraguna! Maka, tentu saja dia tidak mau melepaskan kesempatan baik itu dan diapun bekerja dengan rajinnya di samping mempelajari ilmu-ilmu kesaktian sampai tujuh tahun lamanya!
Pada sore hari itu, dia menghadap gurunya yang bertanya kepadanya tentang pekerjaannya di ladang, yang dijawabnya bahwa tegalan mereka telah dia paculi sampai selesai.
"Bagus sekali, angger Jarot. Mulai besok pagi, andika tidak perlu bekerja di ladang lagi. Menurut pendapatku, waktumu tinggal bekerja dan belajar di sini telah habis. Besok andika harus meninggalkan tempat ini dan kembalilah ke Kadipaten Pasisiran."
Jarot terkejut sekali dan mengangkat muka memandang wajah gurunya, lalu menyembah. "Akan tetapi, Bapa. Saya belum ingin pergi, masih ingin melanjutkan bekerja dan belajar di sini."
"Tidak, angger. Semua ilmuku sudah kuberikan kepada andika. Pula, ada pertemuan tentu ada perpisahan dan besok sudah tiba waktunya kita berpisah."
"Setidaknya, ijinkanlah saya tinggal di sini sampai selesai menanam kentang, Bapa. Saya tidak ingin melihat Bapa bersusah payah bekerja sendiri."
Bhagawan Dewondaru tersenyum. "Sebelum andika datang, pekerjaanku adalah bertani. Setelah andika berada di sini, aku menjadi seorang tua yang menganggur dan bermalasan. Tidak, angger. Engkau harus pergi dari sini besok karena akupun akan meninggalkan tempat ini besok."
"Kemanakah Bapa hendak pergi?"
"Aku sendiri belum tahu ke mana aku hendak merantau dan entah kapan aku kembali ke sini. Mungkin juga tidak akan kembali sama sekali karena telah mendapatkan tempat tinggal lain. Andika harus pulang ke Kadipaten pesisiran, bertemu dan berkumpul dengan orang tuamu. Sekarang andika tidak perlu khawatir lagi akan usaha jahat yang hendak membunuhmu. Andika cukup kuat untuk menjaga diri."
Jarot tidak berani membantah lagi. Dia menemukan kehidupan yang hening dan tenang di situ, menemukan kebahagiaan hidup bersama gurunya, digembleng ilmu dan juga pengetahuan tentang kehidupan. Kalau teringat betapa saudara-saudara dan para ibu tirinya seolah berebutan kekuasaan dan saling berlumba menyenangkan hati ayahnya agar kelak dijadikan pengganti adipati di Pasisiran, rasanya segan dia untuk pulang. Akan tetapi dia kalau teringat kepada ayah ibunya, hatinya sudah merasa rindu sekali kepada mereka yang telah ditinggalkan selama tujuh tahun. Ingin sekali dia mengetahui, apa yang diceritakan oleh kakaknya Lembu Alun tentang kehilangan dirinya kepada ayah ibunya. Lembu Alun tentu kehilangan dirinya dan pulang seorang diri dari perburuan itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi benar dia mandi biarpun semalam hampir tidak tidur, dan setelah kembali ke pondok, gurunya telah bangun, bahkan telah siap untuk pergi membawa tongkatnya dan menggendong buntalan pakaiannya.
"Sepagi ini, Bapa hendak ke manakah?"
"Seperti telah kuberitahukan kemarin, hari ini aku juga akan pergi merantau. Aku berangkat dulu, angger. Kalau andika turun gunung, jangan lupa singgah di dusun Kemanggisan di selatan itu dan beritahu kepada Ki Janur bahwa pondok dan tegalan ini kuserahkan kepadanya untuk digarap. Pondok dan tegal ini menjadi miliknya sampai aku kembali ke sini, entah kapan."
"Baik, Bapa. Akan tetapi, saya mohonBapa memberitahu kepada saya, ke mana saya harus pergi kalau saya ingin berjumpa dengan Bapa."
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. "Aku pergi menurutkan kata hati dan langkah kaki, bagaimana aku dapat tahu ke mana aku hendak pergi? Sudahlah, angger, kalau memang berjodoh, sekali waktu kita tentu akan dapat saling bertemu lagi. Selamat tinggal."
Jarot memberi hormat dengan sembah. "Selamat jalan, Bapa, harap jaga diri Bapa baik-baik," katanya terharu. Tujuh tahun hidup bersama kakek itu, dia sudah menganggapnya sebagai ayahnya sendiri.
Setelah Bhagawan Dewondaru pergi, barulah Jarot berkemas. Dia juga membungkus pakaiannya dengan sarung dan menggendong juntaian itu diatas punggungnya, kemudian setelah beberapa lamanya dia memandang pondok dan sekitarnya yang telah amat dikenalnya itu, diapun membalikkan tubuhnya dan melangkah lebar menuju ke dusun Kemanggisan. Dusun ini merupakan satu-satunya dusun di mana dia bertemu dengan manusia-manusia lain, yaitu kalau berbelanja segala keperluan mereka. Ki Janur adalah seorang penduduk dusun yang kadang diminta bantuannya menggarap tegal, seorang laki-laki yang tulus dan jujur, dan yang hidup menduda tanpa anak. Setelah tiba di dusun Kemanggisan, Jarot menemui Ki Janur dan menyampaikan pesan gurunya. Ki Janur menerimanya dengan senang karena tegalan milik Bhagawan Dewondaru merupakan tegalan yang subur sekali.
"Terima kasih, denmas, akan saya urus baik-baik tegal dan pondok itu," katanya.
Setelah menyampaikan pesan gurunya, Jarot lalu menuruni lereng Semeru menuju ke selatan, menyusuri sepanjang Kali Rejali yang mengalir ke selatan. Muara air Kali Rejali itu berada di pinggir Kadipaten Pasisiran...
********************