Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Sepasang Garuda Putih Jilid 03
TIGA orang perwira itu memandang heran kepada Retno Wilis ketika ia menghampiri meja. Mereka memandang penuh perhatian dan seorang di antara mereka bertanya.
"Orang muda, engkau mau apakah?"
"Saya hendak mendaftarkan diri sebagai peserta sayembara!" jawab Retno Wilis dengan suara tegas.
Tiga orang perwira itu saling pandang lalu mereka tertawa, "Andika? Hendak menjadi peserta sayembara? Eh, orang muda, apakah andika sudah tahu syarat-syaratnya?"
"Sudah, bukankah pertama mengangkat arca batu itu, dan kedua memanah sasaran di ujung bambu itu?"
"Benar, dan sesudah lulus dengan syarat-syarat itu, harus dapat bertahan menandingi Ki Wisokolo sampai seribu hitungan!"
"Aku sudah tahu."
"Dan andika nekat mau ikut?"
"Benar."
Tiga orang perwira itu agaknya merasa kasihan kepada pemuda remaja yang tampan ini, akan tetapi karena pemuda itu nekat, merekapun hanya menggerakkan pundak mereka.
"Siapa nama andika?" tanya seorang dari mereka yang bertugas mencatat nama-nama para peserta.
"Namaku Joko Wilis."
"Berasal dari mana?"
"Dari lereng Gunung Wilis."
"Baiklah, nama andika sudah kami catat. Tunggu di sana seperti para peserta lainnya."
Dengan girang Retno Wilis lalu menuju ke bawah panggung di mana sudah berkumpul lima orang pemuda lain. Mereka ini semua memiliki perawakan yang gagah, tinggi besar dan nampak kokoh kuat. Ketika lima orang itu melihat Retno Wilis menghampiri mereka ikut menunggu di situ, mereka memandang dengan terheran-heran.
"Eh, ki sanak, apakah andika juga ikut menjadi peserta sayembara?" tanya seorang di antara mereka yang mukanya penuh kumis jenggot cambang bertubuh tinggai besar dan matanya terbelalak lebar."
"Benar, ki sanak," jawab Retno Wilis sambil tersenyum.
"Ha-ha-ha-ha!" Si brewok itu tertawa sambil berdongak sehingga perutnya turun naik ketika dia tertawa. "Ah, kenapa andika begini nekat? Sayembara ini berat sekali. Baru mengangkat arca itu saja, mana andika kuat? Jangan-jangan malah arca batu itu akan jatuh menimpa tubuhmu sehingga gepeng, ha-ha-ha!" Empat orang peserta lainnya ikut tertawa.
"Jangan andika sekalian menertawakan kisanak ini. Siapa tahu di tubuhnya yang kecil tersimpan kedigdayaan yang hebat!" tiba-tiba seorang pemuda yang baru saja masuk berkata. Agaknya diapun seorang peserta baru yang mendaftarkan diri sesudah Retno Wilis. Mendengar ucapan itu, Retno Wilis memandang dan ia melihat seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, tubuhnya jangkung agak kurus, wajahnya biasa saja akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam sekali. Retno Wilis memandang kepadanya dengan berterima kasih. Akan tetapi hatinya tetap merasa penasaran karena ia dijadikan bahan ejekan dan dipandang rendah. Kalau tadinya ia berniat untuk menjadi peserta yang gagal, kini ia mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepada mereka semua bahwa ia dapat mengangkat arca batu itu dengan mudah melebihi kekuatan mereka. Ia juga akan mengikuti ujian memanah sampai berhasil. Masih belum terlambat baginya untuk mundur setelah berhadapan dengan Ki Wisokolo, berpura-pura kalah.
Dengan demikian ia tidak akan dicurigai dan akan dapat melakukan penyelidikan tentang Nusabarung dengan leluasa. Setelah matahari naik tinggi, pendaftaran dihentikan dan ternyata jumlah peserta yang mendaftarkan diri ada sepuluh orang. Setelah pendaftaran ditutup, terdengar bunyi tetabuhan dan muncullah Sang Adipati Martimpang bersama lima orang senopatinya dan di sampingnya berjalan isteri pertamanya dan Dyah Candramanik. Sepuluh orang peserta sayembara itu memandang kepada Dyah Candramanik dengan sinar mata kagum. Mereka berbisik-bisik memuji dan munculnya dara jelita ini membuat semangat mereka menjadi semakin besar.
Retno Wilis dalam kesempatan waktu menanti itu, secara sambil lalu memperkenalkan diri kepada para peserta. Ia tahu siapa adanya mereka itu, akan tetapi hanya si brewok tinggi besar yang sombong itu dan pemuda yang tadi membelanya yang menjadi pusat perhatiannya. Si brewok itu bernama Kalinggo datang dari Blambangan, bahkan dia mengaku sebagai putera seorang senopati di Blambangan. Adapun pemuda yang jangkung agak kurus bermata tajam itu bernama Ngurah Pranawa, seorang peserta yang datang dari Bali-dwipa. Bukan orangnya yang menarik hati Retno Wilis untuk mendekatinya, melainkan asal mereka itulah. Ia hendak menyelidiki hubungan antara Nusabarung, Blambangan dan Bali-dwipa. Ia dapat memancing pembicaraan dengan Kalinggo tentang keadaan dirinya.
"Tentu aku yang akan menangkan sayembara ini," bual si tinggi besar brewok itu. "Aku datang dari Blambangan, tentu akan mendapatkan kehormatan dan perhatian. Apalagi ayahku seorang senopati terkenal di Blambangan."
"Akan tetapi apa hubungannya antara ayahmu menjadi senopati di Blambangan dengan sayembara ini?" Retno Wilis mendesak dengan sikap sambil lalu untuk sekedar mengobrol saja.
"Hubungannya erat sekali!" kata Kalinggo. "Nusabarung membutuhkan bantuan Blambangan, maka Sang Adipati tentu akan mempertimbangkan keadaanku dan akan lebih senang bermantukan seorang putera senopati Blambangan dari pada pemuda lain! Andika lihat saja nanti!"
Retno Wilis sudah merasa puas mendengar semua itu dan tidak bertanya lagi karena ia khawatir kalau-kalau pemuda sombong itu akan menjadi curiga, ia lalu mendekati Ngurah Pranawa yang mengaku sebagai seorang pemuda dari Bali-dwipa.
"Saudara Ngurah Pranawa, andika datang jauh dari Balidwipa. Ah, sudah lama aku mendengar tentang Bali-dwipa yang indah, akan tetapi belum pernah aku berkunjung ke sana. Siapakah yang duduk menjadi raja di tempat andika?"
"Di Bali-dwipa terdapat banyak raja yang menjadi sesembahan. Adapun yang berkuasa di tempat tinggal saya adalah Ki Gusti Ngurah Jelantik yang menjadi raja muda di Telibeng."
"Andika sendiri putera siapakah?"
"Ah, saya hanya putera seorang pendeta yang tinggal di lereng bukit, dan saya memang suka merantau. Dalam perantauan di sini aku mendengar tentang sayembara ini dan mencoba untuk mengikutinya. Siapa tahu para dewata menjodohkan saya dengan puteri Sang Adipati."
"Tentu ada hubungan dekat antara para raja di Bali-dwipa dengan Nusabarung, bukankah begitu, saudara Ngurah Pranawa?"
"Aku hanya mendengar bahwa Adipati di Nusabarung suka mengirim upeti setiap tahun kepada Dalem Bali (Sribaginda Raja di Bali), tentu ada hubungan antara Bali-dwipa dan Nusabarung. Akan tetapi mengapa andika menanyakan hal itu, saudara Joko Wilis?"
"Ah, hanya ingin tahu saja karena aku merasa heran mengapa andika jauh-jauh dari Bali-dwipa datang ke sini memasuki sayembara."
Karena pemuda dari Bali itu mulai tampak curiga, Retno Wilis tidak bertanya lebih lanjut. Pada saat itu terdengar bunyi gong dan seorang juru bicara berdiri di atas panggung, lalu berkata dengan suara lantang.
"Dengan ini kami mengumumkan atas nama Kanjeng Gusti Adipati bahwa jumlah peserta sayembara ada sepuluh orang. Dan kini dimulailah syarat pertama dari sayembara ini, yaitu mengangkat arca raksasa ini sampai melewati kepala. Dipersilakan para peserta untuk menguji kekuatan masing-masing satu demi satu. Kami akan memanggil nama peserta satu demi satu dan yang terpanggil namanya dipersilakan naik ke panggung dan memperlihatkan kekuatannya. Pertama kami panggil nama peserta Kalinggo dari Blambangan."
Terdengar tepuk tangan dan sorak sorai menyambut Kalinggo yang melompat keatas panggung dengan gerakan yang ringan dan cekatan. Setelah tiba di atas panggung, Kalinggo menanggalkan baju bagian atas sehingga tampaklah tubuh atasnya yang kokoh kuat, dengan otot besar melingkar-lingkar. Dia memandang ke arah tempat duduk Dyah Candramanik seolah-olah hendak memamerkan otot-ototnya kepada dara jelita itu, akan tetapi Dyah Candramanik membuang muka, bahkan jijik melihat tubuh yang berotot dan dada bidang yang berambut itu.
Dengan sikap pongah Kalinggo menghampiri arca batu sebesar tubuhnya itu, memegang dengan kedua tangannya dan mencoba beratnya dengan mengangkatnya sedikit. Kemudian dia memandang kembali ke arah Dyah Candramanik dan tersenyum. Setelah itu dia membungkuk, memegang arca itu dan mengerahkan tenaganya mengangkat dan ternyata dia bukan hanya membual belaka. Arca besar dan berat itu terangkat oleh kedua tangannya, diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya, lalu dibawanya berkeliling panggung itu, baru dia turunkan kembali ke tempatnya yang tadi.
Tepuk sorak menyambutnya dan tampaknya dada raksasa muda brewok dari Blambangan itu semakin membesar dan membengkak. Dengan jari-jari tangannya, dia mengusap peluh yang membasahi leher dan dadanya.
"Peserta Kalinggo telah lulus dari ujian kekuatan. Harap turun dari panggung dan kami panggil nama peserta Purwanto dari Pasuruan!"
Dari bawah meloncat seorang pemuda yang juga bertubuh tinggi tegap seperti Raden Gatotkaca, dan para penonton juga menyambutnya dengan tepuk sorak. Pemuda ini membungkuk-bungkuk tanda menghormati semua orang yang menyambutnya dengan tepuk sorak, kemudian dia menghampiri arca raksasa tanpa membuka bajunya. Dia memeluk arca itu dan mengerahkan tenaganya. Arca terangkat, akan tetapi ketika dia hendak mengangkat arca itu ke atas kepalanya, kedua lengannya gemetar dan terpaksa dia melepaskan lagi arca itu ke atas panggung. Dia mencoba sekali lagi, akan tetapi kembali dia gagal. Ternyata tenaganya tidak cukup untuk mengangkat arca itu ke atas kepalanya! Dengan tersipu dia mendengarkan juru bicara mengumumkan bahwa dia gagal, lalu dia turun dari atas panggung. Penonton menyambutnya dengan tawa mengejek.
Berturut-turut para peserta dipersilakan naik dan akhirnya nama Joko Wilis dipanggil sebagai peserta terakhir. Kebanyakan dari para peserta gagal mengangkat arca itu dan yang berhasil hanya Kalinggo, Ngurah Pranawa dan dua orang lagi. Jadi empat orang sudah berhasil mengangkat arca itu di atas kepala.
"Kini peserta terakhir, Joko Wilis dari Gunung Wilis kami persilakan naik panggung!" demikian juru bicara mengumumkan.
Para peserta, baik yang berhasil maupun yang tidak, sudah tertawa sebelum Retno Wilis meloncat naik. Melihat betapa wajah mereka tertawa-tawa memandang kepadanya, makin panaslah hati Retno Wilis. Apa lagi mendengar Kalinggo berkata sambil menyeringai.
"Hati-hati, kawan. Jangan-jangan arca itu akan menghimpit tubuhmu sampai gepeng!"
Retno Wilis tidak memperdulikan lagi ejekan mereka, dan iapun meloncat ke atas panggung. Sambutan para penonton tidak jauh bedanya dari sambutan para peserta sayembara tadi. Banyak di antara penonton yang tertawa melihat pemuda remaja yang kelihatan lemah dengan kedua lengan kecil itu naik ke panggung.
"Heiii, bocah cilik begitu mau ikut-ikutan sayembara?" teriak seseorang.
"Bocah yang masih hijau! Lebih baik engkau pulang kepada ibumu!" ejek yang lain.
Para penonton banyak yang tertawa mendengar ini dan memandang kepada Retno Wilis dengan senyum menyejek atau senyum kasihan. Semua orang menduga bahwa pemuda remaja itu tentu tidak akan mampu mengangkat arca yang demikian beratnya. Lima orang di antara para peserta yang bertubuh kuat, dengan lengan yang besar berotot, tidak kuat mengangkat arca itu, apa lagi pemuda remaja yang kedua lengannya kecil dan tampak lemah itu.
Makin diejek dan ditertawakan, makin panaslah hati Retno Wilis dan ia lupa bahwa ia mengikuti sayembara hanya sebagai sarana agar ia dapat melakukan penyelidikan dengan leluasa saja. Kini ia mengambil keputusan untuk memberi pelajaran kepada mereka semua yang mencemoohkannya dengan memperlihatkan kepandaiannya yang hebat! Biarlah, aku mengalahkan mereka semua dalam ujian kekuatan dan kepandaian memanah, baru nanti kalau diharuskan bertanding melawan Ki Wisokolo ia akan mengalah agar ia tidak lulus dalam sayembara itu!
Ia memandang ke sekeliling dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah Dyah Candramanik, ia melihat bahwa dara jelita itu sama sekali tidak ikut menertawakannya, bahkan memandang kepadanya dengan sinar mata tajam dan seolah mengandung harapan agar ia berhasil! Maka iapun membungkuk dengan hormat kearah puteri itu. Hal ini menyenangkan hati Sang Adipati dan keluarganya yang mengira bahwa pemuda remaja itu memberi hormat kepada mereka. "Seorang pemuda yang pandai membawa diri dan tahu sopan santun," pikir mereka.
Retno Wilis lalu menghampiri arca itu. Dengan kedua tangannya ia mencoba dulu berat arca itu. Karena hanya mengangkatnya sedikit saja, semua orang melihat bahwa dia seakan-akan tidak kuat mengangkatnya. Orang-orang sudah mulai tertawa-tawa lagi penuh ejekan. Akan tetapi, suara ejekan dan semua suara tiba-tiba terhenti sama sekali, semua mata terbelalak memandang ketika Retno Wilis mengangkat arca batu itu dengan sebelah tangan saja ke atas kepalanya! Mula-mula tangan kanannya yang mengangkat arca itu, lalu dilontarkannya ke atas, diterimanya dengan tangan kiri dan ia membawa arca itu berkeliling panggung, bukan satu kali, melainkan tiga kali!
Setelah suasana hening sejenak dan orang-orang memandang dengan mata terbelalak tidak percaya, baru setelah Retno Wilis meletakkan kembali arca ditempat semula, pecah sorak sorai yang riuh rendah menggetarkan seluruh alun-alun itu. Bahkan Sang Adipati, isterinya dan Dyah Candramanik juga ikut pula bertepuk tangan. Wajah Dyah Candramanik berseri-seri dan kedua telapak tangannya sampai terasa panas karena ia bertepuk keras-keras dan lama. Suara juru bicara hampir tertelan oleh sisa sorak sorai gemuruh itu.
"Peserta ke sepuluh, Joko Wilis, dinyatakan berhasil dengan ujian kekuatan dan ia dipersilakan turun dulu dari panggung. Dengan demikian, yang berhasil lulus tingkat pertama ada lima orang peserta sayembara. Sekarang tiba saatnya diadakan ujian tingkat kedua bagi lima orang yang telah lulus tadi. Dimulai dari peserta pertama, Kalinggo dari Blambangan, untuk memperlihatkan ketangkasannya melepas anak panah agar mengenai sasaran, yaitu buah kelapa yang berada di ujung bambu. Diharapkan para peserta dapat meruntuhkan buah kelapa sehingga jatuh ke bawah, dan sedikitnya anak panah harus mengenai buah kelapa, baru di anggap lulus!"
Dengan sikapnya yang sombong, Kalinggo naik pula ke atas panggung. Dia memilih busur yang terbesar dan terberat karena busur seperti itu, makin berat semakin baik dan semakin cepat meluncurkan anak panah. Diapun memilih sebatang anak panah yang lurus, kemudian memasang anak panah pada busurnya dan mulailah dia membidik ke atas, ke arah buah kelapa yang tergantung di ujung bambu. Ada sepuluh buah kelapa yang tergantung di sepuluh batang pohon bambu. Dia memilih yang terdekat dan setelah membidik beberapa saat, dia lalu melepaskan tali busurnya. Anak panah itu melesat dengan cepat sekali dan menancap di buah kelapa itu, persis di tengah-tengahnya! Sorak sorai menyambut keberhasilan ini dan dengan mengangkat dada Kalinggo menuruni panggung.
Dua orang peserta berturut-turut mencoba dan mereka hanya berhasil mengenai buah kelapa pada sisinya karena buah kelapa itu bergoyang-goyang ketika batang bambu tertiup angin. Mereka dinyatakan gagal karena sedikitnya harus dapat mengenai buah kelapa tepat di tengah-tengahnya.
Kini tiba giliran Ngurah Pranawa, pemuda dari Bali-dwipa. Dia memegang busur seperti seorang ahli, bidikannya tetap, tangannya tidak bergoyang sedikitpun dan ketika anak panahnya melesat, anak panah itu pun telah menusuk sebutir kelapa tepat di tengahnya. Jadi ada dua orang yang sudah berhasil lulus ujian kedua.
Ketika nama Joko Wilis disebut dipersilakan naik, para penonton kini tidak ada yang menertawakannya, bahkan mereka bersorak sorai menyambut karena dalam pandangan mereka, Joko Wilis kini menjadi yang terhebat di antara mereka semua. Sambutan para penonton ini membanggakan hati dan membesarkan semangat Retno Wilis untuk menang. Akan ia perlihatkan sekali lagi kehebatannya, pikirnya, agar jangan ada lagi orang berani memandang rendah kepadanya!
Ia memilih gendewa yang kecil saja, lalu memasang dua batang anak panah pada busurnya, membidik cepat dan begitu dua batang anak panah melesat ke atas, semua orang memandang dan menahan napas dan kembali mereka bersorak sorai ketika melihat dua butir buah kelapa jatuh dari puncak batang-batang bambu. Ternyata sekali melepas dua anak panah, Joko Wilis telah dapat menjatuhkan dua butir buah kelapa, dua batang anak panah itu tepat mengenai tangkai buah kelapa!
Kembali Dyah Candramanik bertepuk tangan sampai terasa panas dan kelelahan. Juga Sang Adipati mengangguk-angguk dan harus memuji ketangkasan pemuda remaja itu. Suara juru bicara tidak terdengar sama sekali, lenyap ditelan sorak sorai yang menggegap gempita. Baru setelah sorak sorai mereda dan Retno Wilis sudah turun kembali dari panggung, juru bicara mengumumkan hasil ujian itu.
"Peserta Joko Wilis telah lulus dengan sempurna sekali. Kini yang telah lulus dari uji kekuatan dan ketangkasan terdapat tiga orang, yaitu Kalinggo dari Blambangan, Ngurah Pranawa dari Bali-dwipa, dan Joko Wilis dari Gunung Wilis. Dan sekarang tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi ujian terakhir, yaitu masing-masing harus mampu bertahan melayani berkelahi dengan Ki Wisokolo selama hitungan sampai seribu. Dalam uji tanding ini, tidak boleh menggunakan senjata dan apabila terjadi ada yang terluka atau bahkan tewas dalam pertandingan ini, hal itu sudah dianggap wajar dan tidak akan diadakan pengadilan. Kita mulai dari peserta pertama, Kalinggo dari Blambangan!"
Ki Wisokolo sudah menanti di atas panggung. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, tinggi besar seperti Werkudara, kumisnya melintang sekepal sebelah, pundaknya bidang, kedua lengannya kekar, demikian pula kedua kakinya. Inilah senopati nomor satu di Nusabarung, juga jagoan yang tak pernah terkalahkah!
Sambil bersikap tenang Ki Wisokolo menoleh ke arah para penabuh gamelan dan memberi isyarat agar gamelan dibunyikan. Segera terdengar bunyi gamelan yang bernada gagah, pengiring perang! Ki Wisokolo berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan matanya mencorong memandang kepada Kalinggo ketika jagoan dari blambangan ini naik ke pentas.
Ki Wisokolo mengangguk ramah kepada Kalinggo karena dia mengenal putera senopati Blambangan ini, dan dalam hatinya dia sudah condong memenangkan jagoan muda dari Blambangan ini agar dapat berjodoh dengan Dyah Candramanik. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia harus menguji kepandaian pemuda ini untuk melihat apakah memang patut menjadi mantu Sang Adipati.
Juru bicara memberi aba-aba, "Satu...dua...tiga, mulai!" dan diapun dengan lantang mulai menghitung, "Satu...dua...tiga...empat..." dan seterusnya sementara gamelan dipukul bertalu-talu membuat suasana menjadi semakin bersemangat.
"Mulailah, anak mas Kalinggo!" kata Ki Wisokolo dan Kalinggo tidak sungkan-sungkan lagi segera maju menyerang dengan pukulan yang kuat. Akan tetapi Ki Wisokolo dengan mudah mengelak sambil membalas dengan sapuan kakinya untuk membuat tubuh lawan terpelanting. Akan tetapi Kalinggo cukup tangkas untuk mengelak pula. Kemudian Kalinggo menyerang terus bertubi-tubi, ditangkis atau dielakkan oleh Ki Wisokolo, bahkan kadang dia menerima pukulan itu dan dengan tubuhnya yang kebal. Sementara itu, juru bicara terus menghitung dengan suara lantang.
Retno Wilis ikut nonton pertandingan itu dan ia mengerutkan alisnya. Di sini terjadi kecurangan, pikirnya. Dari ketangkasannya ketika mengelak dan menangkis, juga kekebalannya, jelas bahwa tingkat kepandaian Wisokolo jauh lebih tinggi dari pada Kalinggo. Akan tetapi Ki Wisokolo ini hanya mempertahankan diri saja, jarang sekali menyerang dan kalau menyerangpun tidak dengan sungguh-sungguh. Jelas tampak olehnya bahwa Ki Wisokolo agaknya hendak memberi kesempatan kepada Kalinggo untuk memenangkan sayembara itu!
Sementara itu, Kalinggo menjadi penasaran sekali dan dia mengamuk makin hebat. Segala kepandaian dan tenaganya dikerahkan untuk menyerang dan merobohkan lawan, namun semua usahanya sia-sia. Sampai basah seluruh tubuhnya oleh keringat dan sampai hitungan ke delapanratus, napasnya sudah terengah-engah.
Namun dia terus menyerang, walaupun tidak lagi sehebat tadi. Dalam keadaan ini, kalau Ki Wisokolo hendak merobohkan lawannya, tentu saja amat mudah. Akan tetapi dia tidak ingin merobohkan lawan yang satu ini. Ketika hitungan sampai ke seribu, Ki Wisokolo meloncat ke belakang dan tersenyum menyeringai, memandang kepada Kalinggo yang sudah bermandi keringat dan napasnya terengah-engah. Akan tetapi dia lulus dan penonton menyambutnya dengan sorak sorai memuji.
Kalinggo mengangkat kedua tangan ke atas saking gembiranya. Dia lulus ujian, berarti dia telah menang dalam sayembara. Akan tetapi masih ada dua orang peserta lain! Harus dilihat dulu bagaimana hasil ujian kedua peserta ini. Menurut peraturan, kalau pemenangnya lebih dari seorang, maka kedua pemenang itu akan diadu dan siapa yang keluar sebagai pemenang dialah yang dianggap memenangkan sayembara dan mendapatkan hadiahnya.
"Peserta Kalinggo telah lulus ujian terakhir, harap menanti di bawah panggung dan kini dipersilakan peserta Ngurah Pranawa untuk maju menandingi Ki Wisokolo selama seribu hitungan!"
Ngurah Pranawa lalu meloncat ke atas panggung, disambut sorak sorai penonton, terutama yang menjagoi pemuda dari Bali-dwipa ini. Ki Wisokolo sudah siap lagi dan mempersilakan pemuda Bali itu untuk mulai menyerangnya, sementara juru bicara mulai menghitung dari satu dan seterusnya.
Ngurah Pranawa segera maju menyerang, disambut dengan tangkisan oleh Ki Wisokolo. Terjadi pertandingan yang seru seperti juga tadi ketika Ki Wisokolo menguji Kalinggo. Akan tetapi Retno Wilis melihat bahwa pertandingan kali ini berbeda dari tadi. Kalau tadi Ki Wisokolo hanya bertahan saja, sekarang dia membalas setiap serangan Ngurah Pranawa.
Retno Wilis tahu bahwa tingkat kepandaian Ngurah Pranawa masih belum mampu menandingi kepandaian Ki Wisokolo. Biarpun Ngurah Pranawa juga kuat dan gesit, namun setelah hitungan ke enamratus lebih, tiba-tiba sebuah tendangan kaki Ki Wisokolo mengenai perutnya dan membuat tubuhnya terpental keluar panggung. Ngurah Pranawa dapat mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tidak terbanting dan dapat jatuh sambil berdiri. Akan tetapi sudah jelas bahwa dia telah gagal dalam pertandingan itu.
"Peserta Ngurah Pranawa telah gagal menandingi Ki Wisokolo sampai seribu hitungan. Dan sekarang tinggal peserta terakhir, yaitu Joko Wilis dipersilakan naik ke panggung untuk bertanding melawan Ki Wisokolo!"
Belum juga Retno Wilis naik ke panggung, tepuk sorak sorai penonton sudah menyambut ketika namanya disebut. Retno Wilis melompat naik ke atas panggung sambil tersenyum. Ada keraguan dalam hatinya. Mestinya ia mengalah dalam pertandingan ini, akan tetapi, ia merasa kasihan kalau mengecewakan penonton yang demikian banyak mendukungnya itu. Setelah berhadapan dengan Ki Wisokolo dan sorak sorai penonton mereda, Retno Wilis berkata dengan suara lantang
kepada Ki Wisokolo,
"Paman, andika telah dua kali melayani dua orang peserta, tentu telah lelah sekali. Tidak adil kalau sekarang harus melayani aku pula. Sebaiknya paman beristirahat dan minum-minum dulu sebelum bertanding lagi."
Ki Wisokolo tertawa. Dia sama sekali tidak merasa lelah. Untuk apa dia beristirahat? Apa lagi kalau hanya menghadapi seorang pemuda remaja seperti ini. Dalam segebrakan saja tentu dia akan mampu merobohkan pemuda ini. Dan dia harus merobohkannya kalau dia hendak melihat Kalinggo dari Blambangan itu yang menang.
"Ha-ha-ha, Joko Wilis. Biar harus menghadapi lima orang seperti andikapun aku tidak perlu beristirahat dulu. Apalagi hanya andika seorang. Jangan-jangan sekali tendang aku sudah akan melemparkanmu keluar panggung! Ha-ha-ha!"
Merah kedua pipi Retno Wilis. Ia sudah mengambil keputusan untuk mengalah sekali ini, akan tetapi ucapan Ki Wisokolo yang sombong itu membuatnya marah sekali. Ia harus memberi pelajaran kepada manusia sombong ini, pikirnya.
"Hemm, sombongnya! Kalau aku tidak dapat mengalahkanmu selama hitungan seratus saja, anggaplah aku kalah!"
Ucapan yang lantang ini tentu saja membuat semua orang terkejut sekali. Melawan selama hitungan seribu saja belum tentu dapat menang, sekarang pemuda itu malah menantang untuk mengalahkan dalam hitungan seratus! Seorang di antara para penonton, seorang pemuda tampan berpakaian serba putih, mengerutkan alisnya dan berkata kepada diri sendiri,
"Hemm, ia mencari penyakit!" Pemuda ini tentu saja adalah Bagus Seto yang merasa bingung sekali melihat ulah adiknya. Dia maklum bahwa tentu Retno Wilis akan dapat mengalahkan Ki Wisokolo sebelum hitungan ke seratus, akan tetapi itu berarti bahwa ia menangkan sayembara dan harus menikah dengan Dyah Candramanik!
Ki Wisokolo sendiri terperangah mendengar tantangan itu. Dia menganggap pemuda itu sombong bukan main.
"Bukan aku, melainkan engkaulah yang akan kurobohkan sebelum seratus hitungan!" katanya dan segera dia menubruk maju dengan kedua lengan dipentang, seperti seekor biruang menyerang korbannya.
"Ggrrrrrr.... !" Dari kerongkongannya keluar gerengan seperti seekor binatang buas.
"Haiiiiiitt.... !" Retno Wilis berseri melengking dan tubuhnya sudah lenyap dari depan Ki Wisokolo.
Raksasa ini terkejut dan cepat memutar tubuhnya. Ternyata pemuda remaja itu telah berada di belakangnya dan dia lalu menyerang lagi dengan cepat dan dahsyat. Akan tetapi lagi-lagi dia menyerang angina karena tubuh Retno Wilis sudah mengelak dengan cepat. Ki Wisokolo menjadi marah dan menyerang membabi buta, dengan cepat dan dengan pengerahan seluruh tenaganya.
Namun, sambil kadang-kadang melengking Retno Wilis mengelak dengan gerakan yang indah dan lucu, bagaikan seekor burung walet yang gesit sekali sehingga semua serangan Ki Wisokolo mengenai angin belaka. Sementara itu, juru hitung sudah menghitung sampai tigapuluh, dan semua penonton terpesona oleh gerakan Retno Wilis yang demikian cepatnya. Jangankan tubuhnya, ujung bajunyapun tidak dapat disentuh oleh Ki Wisokolo yang menjadi semakin marah. Mulailah para penonton tertawa dan bersorak ketika tiba-tiba kaki Retno Wilis menendang pantat lawannya. Debu mengebul dari pantat yang ditendang dan tubuh Ki Wisokolo terhuyung ke depan.
"Aku di sini, Ki Wisokolo!" kata Retno Wilis mengejek ketika lawannya mencari-carinya. Begitu tahu bahwa pemuda itu berada di belakangnya, Ki Wisokolo membalikkan tubuhnya sambil memukul-mukul dengan kedua tangannya diseling tendangan-tendangan kedua kakinya. Namun, semua pukulan dan tendangan itu tidak ada yang mengenai tubuh Retno Wilis yang berlompatan ke sana sini untuk menghindar. Kembali tangannya menampar, sekali ini mengenai belakang telinga raksasa itu.
"Aduh.... !" Ki Wisokolo berseru dan tubuhnya berputar-putar.
Akan tetapi dia masih dapat mengatur keseimbangan sehingga tidak roboh dan kini matanya terbelalak liar dan menjadi merah. Hitungan sudah sampai enampuluh dan dia sama sekali belum mampu menyentuh pemuda itu, bahkan dia telah merasakan sekali tendangan dan sekali tamparan!
"Bedebah!" bentaknya dan kini tubuhnya bergulingan ke arah Retno Wihs, terus menubruk. Dielakkan, menubruk lagi seperti seekor harimau kelaparan. Keringatnya bercucuran, napasnya terengah-engah karena dia telah mengerahkan seluruh tenaganya.
"Ah, keringatmu bau, lekas pergi dari sini!" tiba-tiba Retno Wilis berseru dan begitu kakinya menendang, kini dengan pengerahan tenaga, kaki kiri itu telah bertemu dengan dada Ki Wisokolo.
"Bukk.... !!"
"Aughh.... !" Ki Wisokolo mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya melayang, terlempar keluar panggung dan jatuh berdebuk di atas tanah di bawah panggung. Kawan-kawannya segera menolong dan menggotongnya karena dia telah jatuh pingsan!
Sorak sorai gegap gempita menyambut kemenangan Joko Wilis ini. Hitungan baru sampai delapan puluh dan jagoan nomor satu dari Nusabarung itu telah roboh. Retno Wilis tersenyum dan memandang kepada keluarga Sang Adipati. Ia melihat Dyah Candramanik bangkit dari kursinya dan bertepuk tangan dengan wajah berseri-seri.
"Cari penyakit.... !" Kembali Bagus Seto berkata kepada diri sendiri melihat Retno Wilis mengalahkan Ki Wisokolo seperti yang sudah disangkanya tadi.
Sementara itu, sukarlah bagi juru bicara untuk membuat pengumuman karena penonton yang begitu gaduh membicarakan pertandingan yang baru saja mereka tonton. Mereka semua begitu kagum kepada Joko Wilis, pemuda yang kelihatan masih remaja dan tampak lemah itu. Akhirnya, setelah berdiri di atas panggung dan melambai-lambaikan tangan memberi isyarat kepada semua penonton agar jangan gaduh, juru bicara itu dapat mengelukan kata-kata yang lantang.
"Peserta Joko Wilis dinyatakan lulus dengan sempurna. Karena sekarang ternyata ada dua orang peserta yang lulus, yaitu Joko Wilis dan Kalinggo, maka sesuai dengan peraturan yang berlaku, kini akan diadakan pertandingan antara kedua orang pemenang itu. Siapa di antara mereka berdua yang keluar sebagai pemenang, dinyatakan memenangkan sayembara ini!"
Ucapan ini disambut sorak sorai dari para penonton yang menjadi gembira sekali karena mereka kembali akan menonton pertandingan yang tentu akan hebat sekali. Ada yang menjagoi Kalinggo, akan tetapi ada banyak pula yang menjagoi Joko Wilis sehingga diantara mereka ada yang bertaruhan!
"Kini dipersilakan peserta Kalinggo dari Blambangan naik ke panggung untuk bertanding melawan Joko Wilis dari Gunung Wilis!" Juru bicara berteriak kembali lalu turun dari panggung.
Kalinggo naik ke panggung dan membusungkan dadanya. Biarpun dia melihat sendiri betapa Ki Wisokolo dikalahkan pemuda itu, namun dia tidak merasa gentar. Bahkan dia yakin akan mampu mengalahkan pemuda yang kecil itu. Dia harus membikin gentar nyali pemuda itu, pikirnya. Begitu berhadapan dengan Retno Wilis yang memandangnya dengan senyum simpul, Kalinggo berkata dengan suara lantang,
"Joko Wilis, ini adalah sebuah pertandingan untuk menentukan siapa yang menjadi pemenang di antara kita. Karena itu, kalau ada kulit robek dan tulang patah, jangan salahkan aku!"
Retno Wilis tersenyum. Pada saat itu, Retno Wilis meraba paha kirinya. Ada kerikil kecil sekali mengenai paha kirinya dan ia tahu apa artinya itu. Kakaknya sudah berada di situ! Dan kakaknya tentu hendak memperingatkan kepadanya agar ia tidak berlaku kejam terhadap lawan, tidak boleh membunuh! Ia tersenyum dan mengangguk ke arah dari mana datangnya kerikil kecil tadi.
"Jangan khawatir! Aku tidak akan merobek kulitmu atau mematahkan tulangmu!" Retno Wilis berkata sambil memandang kepada Kalinggo, akan tetapi sebetulnya ia menujukan kata-katanya itu kepada Bagus Seto.
"Payah, ia benar-benar mencari penyakit!" kembali Bagus Seto mengeluh karena dalam ucapan Retno Wilis itu dia dapat menduga bahwa tentu Retno Wilis tidak mau mengalah. Kalau keluar dari sayembara sebagai pemenang, engkau akan dikawinkan dengan Dyah Candramanik dan baru engkau tahu sendiri betapa bingungnya engkau! Demikian Bagus Seto berkata kepada dirinya sendiri.
Sementara itu, mendengar jawaban Retno Wilis, Kalinggo sudah menjadi marah sekali. Dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang perlahan-lahan berubah kemerahan seperti berdarah. Itulah Aji Hasta-rudita (Tangan Berdarah)! Pukulan dari tangan merah itu sungguh hebat dan mengerikan karena berhawa panas dan kalau mengenai tubuh orang, tubuh itu dapat menjadi hangus seperti dibakar api!
Akan tetapi Retno Wilis yang melihat itu hanya tersenyum saja, seolah ia tidak tahu akan keampuhan telapak tangan darah itu. Ia malah tersenyum dan bertanya, "Eh, Kalinggo, engkau ingin roboh dalam hitungan ke berapa?"
"Untuk pertandingan ini tidak memakai hitungan. Akan tetapi aku akan merobohkanmu secepat mungkin!" kata Kalinggo dan dia mengeluarkan teriakan yang mengguncang tempat itu, kemudian bagaikan seekor srigala, dia sudah menyerang dengan kedua tangan terbuka seperti hendak mencengkeram ke arah kepala Retno Wilis!
"Haiiiiittt.... !" Retno Wilis berseru dan Kalinggo sudah kehilangan lawannya. Begitu cepat gerakan Retno Wilis sehingga dia tidak melihat kemana lawannya berkelebat. Tahu-tahu Retno Wilis sudah berada di belakangnya. Dia membalik dan menyerang lagi, makin lama serangannya semakin cepat dan kuat. Akan tetapi semua itu tidak ada gunanya karena tidak ada yang dapat mengenai tubuh pemuda remaja itu. Ketika Kalinggo mempergunakan kecepatan, tubuh Retno Wilis berkelebatan sehingga yang tampak hanya bayangannya saja. Kalinggo menghentikan serangannya dan berdiri dengan napas memburu dan mata melotot marah.
"Bukan laki-laki kalau hanya mengelak saja!" bentaknya. "Kalau memang berani, hayo hadapi seranganku dengan tangkisan, jangan hanya berlari seperti seorang pengecut!"
Mendengar ini, Retno Wilis mengerutkan alisnya. "Kalinggo, manusia tak tahu diri. Kau kira aku takut menghadapi pukulanmu? Nah, seranglah, aku tidak akan mengelak lagi!"
Kalinggo mengerahkan tenaga dalam dikedua telapak tangannya yang merah dan dia sudah girang sekali. Kalau lawannya itu menangkis, tentu akan celaka. Bertemu dengan tangan merahnya, tentu tangan pemuda itu akan hangus dan dia akan keluar sebagai pemenangnya. Dia menubruk dan mencengkeram dengan kedua tangannya. Gerakannya cepat dan kuat sekali.
Dengan tenang Retno Wilis menangkis dengan kedua tangannya pula, gerakannya memutar dari kiri ke kanan. Dalam gerakan menangkis ini iapaun mengerahkan Aji Wisolangking dan hanya tampak sinar hitam ketika kedua tangannya menangkis.
"Plak-dukk.... !" Tangkisan itu sedemikian kuatnya dan aji Wisolangking dapat menahan pengaruh Hasta-rudita, dan akibatnya, tubuh Kalinggo terpelanting dan terhuyung hamper saja roboh. Bukan main kagetnya Kalinggo. Lawannya benar-benar dapat menangkisnya, bahkan tangkisan itu mengandung tenaga yang demikian kuatnya sampai dia hampir roboh. Penonton bersorak riuh rendah ketika Kalinggo terpelanting itu, terutama mereka yang bertaruh memihak Retno Wilis. Sebaliknya yang memihak Kalinggo menjadi pucat wajahnya dan memandang penuh kekhawatiran.
Karena maklum bahwa pemuda remaja itu benar-benar amat tangguh, Kalinggo menjadi nekat dan kembali dia menyerang, sekali ini dia menggunakan kedua tangan, yang kanan menghantam ke arah dada lawan, yang kiri menyusul mencengkeram ke arah muka.
Tenang saja Retno Wilis menyambut serangan ini. Pukulan tangan kanan ditangkisnya dengan tangan kiri, sedangkan cengkeraman tangan kiri itu disambutnya dengan tangkapan pada pergelangan tangan. Ketika ia mengerahkan tenaga dalam tangkapan itu, Kalinggo berteriak kesakitan. Seperti remuk rasa pergelangan tangan kirinya yang ditangkap tangan pemuda itu. Pada saat itu, Retno Wilis menendang ke arah lutut, tidak kuat benar akan tetapi cukup membuat Kalinggo terpelanting dan roboh bertekuk lutut.
"Ah, sudahlah, tidak perlu berlutut minta ampun!" kata Retno Wilis dan para penonton bersorak gembira, ada yang tertawa melihat betapa Kalinggo jatuh berlutut seperti hendak minta ampun kepada pemuda remaja yang lincah itu.
Kalinggo adalah seorang jagoan yang jarang menerima kekalahan seperti itu. Dia merasa dipermainkan dan terhina sekali, maka dia menggunakan kesempatan sekali lagi Retno Wilis lengah, tiba-tiba dalam keadaan berlutut itu dia menubruk ke depan dan sudah berhasil menangkap kaki kanan Retno Wilis. Dengan girang dia mengerahkan tenaga untuk menarik kaki itu dan membuat tubuh lawan terbanting. Akan tetapi dia tidak mengenal siapa Retno Wilis!
Cepat dara perkasa ini menggunakan aji Argo-selo (Batu Gunung) dan tubuhnya menjadi seberat batu gunung sehingga betapapun Kalinggo mengerahkan tenaganya, kaki yang kecil itu tidak tergeser sedikitpun juga! Para penonton kini terdiam, mengira bahwa pemuda remaja itu tentu akan celaka melihat kakinya sudah tertangkap Kalinggo. Akan tetapi mereka melihat Kalinggo ber-ah-uh-uh mengerahkan tenaga menarik, namun tetap saja pemuda itu tidak bergerak.
Kaki itu seolah telah berakar pada papan panggung. Selagi Kalinggo bersusah payah mengerahkan segala tenaganya, kaki kiri Retno Wilis menyambar, mengenai jalan darah pundaknya sehingga seketika Kalinggo merasa kedua tangannya lemas tak bertenaga dan tangkapannya terlepas. Retno Wilis menendang lagi dan tubuh Kalinggo melayang, terlempar keluar panggung.
Tepuk sorak sekali ini menggegap gempita, membuat panggung seolah-olah akan ambruk. Dyah Candramanik juga bangkit berdiri dan bertepuk tangan. Baru setelah Sang Adipati Martimpang sendiri yang naik ke atas panggung dan memberi isyarat dengan tangannya agar semua orang diam, suasana menjadi hening dan suara adipati itu terdengar lantang.
"Dengan ini kami umumkan bahwa pemenang sayembara ini adalah Joko Wilis dari Gunung Wilis!"
Kembali sorak sorai pecah dan semua penonton bersorak-sorak, kecuali mereka yang kalah dan terpaksa membayar kepada lawan bertaruh. Sang Adipati menghadapi Retno Wilis.
"Andika telah menangkan sayembara, dan berhak menerima hadiah yang disayembarakan."
Retno Wilis merasa tengkuknya meremang. baru sekarang ia teringat bahwa pemenang sayembara akan dijodohkan dengan Dyah Candramanik dan kelak menggantikan kedudukan adipati di Nusabarung! Ia cepat memberi hormat kepada Adipati Martimpang dan berkata dengan gagap.
"Akan tetapi saya.... saya tidak.... menghendaki hadiah...."
Kata-kata ini bahkan menyenangkan hati sang adipati, karena dianggapnya pemuda ini rendah hati. Pemuda yang sudah mengalahkan Ki Wisokolo, senopatinya yang paling tangguh! Pantas menjadi mantunya. Juga pemuda ini amat tampan, seperti Arjuna sehingga serasi sekali kalau menjadi suami puterinya yang cantik, Dyah Candra-manik.
"Berdirilah dan mari andika ikut dengan kami masuk ke kadipaten, di sana kita bicara!" perintahnya.
Retno Wilis menjadi bingung. Akan tetapi tak mungkin ia melarikan diri begitu saja. Ia justeru hendak mengadakan penyelidikan sehingga sebetulnya baik sekali kalau ia diterima masuk ke kadipaten. Akan tetapi bagaimana nanti kalau ia harus menikah dengan Dyah Candramanik? Ia masih belum dapat memikirkan bagaimana baiknya dan baru sekarang ia teringat akan kata-kata kakaknya. Bahkan kakaknya tadi telah memberi peringatan dengan sambitan kerikil kecil. Tentu maksud kakaknya agar ia mengalah sehingga tidak menjadi pemenang sayembara. Akan tetapi bagaimana ia dapat mengalah menghadapi Kalinggo yang demikian sombong? Ah, biarlah ia mengikuti saja kehendak sang adipati. Tentang pernikahan itu bagaimana nanti saja. Ia akan melihat perkembangannya. Sewaktu-waktu ia dapat meloloskan diri.
Kalau sekarang, di mana terdapat demikian banyaknya perajurit dan para penonton, sulit rasanya untuk melarikan diri. Juga kalau ia melarikan diri sekarang, bagaimana dengan penyelidikannya? Adipati Martimpang tiba di tempat di mana dia tadi duduk bersama isteri dan puterinya. Dyah Candramanik menyambut kedatangan ayahnya dengan muka kemerahan. Ia hanya mengerling sekali kepada Retno Wilis, lalu menundukkan muka dengan ke malu-maluan. Setelah kini berhadapan dengan Dyah Candramanik, Retno Wilis harus mengakui bahwa gadis itu cantik sekali. Wanita setengah tua yang duduk di dekatnya itu tentulah ibunya karena wanita itupun amat cantik.
Adipati Martimpang mengajak mereka semua memasuki gedung, diiringkan oleh para perajurit pengawal. Retno Wilis berjalan di belakang, dan ia memandang ke kanan kiri ketika memasuki ruangan depan pendopo gedung itu. Sebuah istana yang cukup mewah. Setelah tiba di ruangan dalam, Adipati Martimpang duduk di atas kursi bersama para isterinya yang sudah keluar menyambut Dyah Candramanik juga duduk di dekat ibunya. Retno Wilis menghadap dan duduk bersila di atas lantai.
"Joko Wilis," kata sang adipati dengan ramah, "sesuai dengan isi sayembara, andika yang telah lulus dengan baik akan kami jodohkan dengan puteriku ini, Dyah Candramanik."
Retno Wilis mengangkat muka memandang ke arah Dyah Candramanik yang juga memandang kepadanya. Dua pasang mata yang sama indahnya bertemu pandang dan Dyah Candramanik tersenyum, mukanya menjadi kemerahan dan ia menundukkan mukanya.
"Banyak terima kasih saya haturkan kepada paduka, kanjeng gusti adipati. Akan tetapi mohon beribu maaf bahwa saya masih terlalu muda untuk menikah," kata Retno Wilis dengan hati berdebar karena ia khawatir adipati itu akan marah kepadanya.
Adipati Martimpang memandang penuh selidik kepadanya. "Joko Wilis, apa artinya ini? Andika sudah tahu bahwa sayembara ini diadakan untuk mencarikan jodoh puteriku, bukan? Apakah andika hendak mengatakan bahwa masukmu mengikuti sayembara itu hanya untuk main-main belaka?" Suara adipati itu jelas mengandung nada kemarahan.
"Tidak sama sekali, gusti. Saya merasa berbahagia sekali, hanya saya mengatakan bahwa saya masih terlalu muda. Kalau paduka mengijinkan, berilah waktu kepada saya selama satu tahun lagi."
"Nanti dulu. Kami akan bertanya kepada puteri kami. Eh, Dyah Candramanik puteriku yang cantik, bagaimana pendapatmu dengan Joko Wilis ini? Apakah engkau sudah setuju kalau kami jodohkan dengan dia?"
Dyah Candramanik tersenyum sambil menundukkan mukanya, lalu terpaksa ia menjawab, "Ah, aku menurut bagaimana keputusan kanjeng rama saja."
Adipati Martimpang tertawa. "Ha-ha, itu artinya engkau setuju. Nah, kami pikir permintaanmu itu pantas juga. Joko Wilis. Memang andika kelihatan masih terlalu muda. Baiklah, andika tinggal di sini selama setahun, dan setelah itu baru kalian kami nikahkan."
"Terima kasih, gusti."
"Selama berada di sini, andika boleh menggembleng pasukan khusus agar mereka pun memiliki kadigdayaan. Dan andika tinggal di dalam istana ini, sebagai calon mantu kami.
"Terima kasih, kanjeng gusti adipati."
Tentu saja hati Retno Wilis gembira sekali. Kalau ia diperbolehkan menanti sampai setahun tinggal di situ, tentu banyak kesempatan baginya untuk melakukan penyelidikan akan rencana Nusabarung, apakah benar hendak memberontak dan bersekutu dengan Blambangan. Ia akan mempunyai banyak waktu dan sebelum setahun lewat, dengan mudah ia akan meloloskan diri dari pulau itu. Ia yakin bahwa kakaknya, Bagus Seto, juga telah masuk ke Nusabarung dan sekarang entah berada di mana. Sewaktu-waktu tentu kakaknya akan menghubunginya, kalau tidak ia dapat berjalan-jalan di pulau itu untuk mencarinya.
Setelah beberapa hari tinggal di kadipaten Nusabrung, Retno Wilis sudah mulai menyelidiki keadaan di Nusabarung dan ia mendengar bahwa Nusabarung baru bersiap-siap menghimpun kekuatan, namun belum ada tanda-tandanya hendak memberontak. Yang membuat hatinya tidak tenang adalah sikap Dyah Candramanik. Pada suatu pagi puteri itu menyuruh biyung emban untuk memanggilnya ke taman-sari. Tentu saja ia tidak berani menolak dan memasuki taman-sari. Dyah Candramanik telah berada di situ, hanya berdua dengan biyung emban. Setelah Retno Wilis datang, biyung emban yang tahu diri itu tanpa diperintah sudah pergi meninggalkan mereka berdua saja di taman-sari.
Retno Wilis tersenyum melihat sang puteri malu-malu menundukkan mukanya. Diam-diam ia merasa kasihan kepada puteri ini. Agaknya sang puteri memang jatuh cinta kepadanya. Melihat sang puteri diam saja, Retno Wilis mendahului bicara.
"Gusti puteri ... "
"Ah, kenapa engkau menyebut aku gusti? Engkau bukan hambaku dan aku bukan gustimu," Dyah Candramanik menegur tanpa memandang muka Retno Wilis.
"Lalu, saya harus menyebut apa?"
"Lupakah engkau bahwa kita telah ditunangkan? Tentu engkau tahu apa yang harus kausebut terhadap calon isterimu?" Sang puteri berkata lagi, kini memandang wajah Retno Wilis dan sikapnya mulai agak tabah.
"Ahh ... kalau begitu, apakah aku harus menyebutmu diajeng?"
"Memang begitu seharusnya, kakangmas Joko Wilis."
"Baiklah, diajeng Dyah Candramanik. Akan tetapi pagi ini engkau memanggilku ada keperluan apakah?"
"Aku hanya ingin bertemu dan bercakap-cakap denganmu. Kakangmas, engkau menolak untuk dinikahkah denganku sekarang, minta mundur setahun lagi. Aku heran sekali, kalau engkau tidak ingin menikah, mengapa engkau memasuki sayembara dan menghadapi bahaya maut untuk memperebutkan aku?"
"Aku.... aku.... ah, aku sebetulnya belum memikirkan tentang perjodohan diajeng."
"Akan tetapi aneh! Mengapa mengikuti sayembara?"
"Karena aku melihat para peserta itu sombong-sombong dan tidak ada yang sesuai untuk menjadi jodohmu. Aku hendak mencegah engkau menikah dengan seorang dari mereka. Kalau aku tidak ikut sayembara, tentu engkau sudah dipersunting Kalinggo dari Blambangan itu. Apakah engkau akan suka kalau dijodohkan dengan orang sekasar itu?"
"Tentu saja tidak! Akan tetapi engkau yang menang. Engkau yang berhak menikah dengan aku. Apakah.... apakah engkau tidak cinta kepadaku, kakangmas Joko Wilis?"
Retno Wilis menjadi bingung. "Tentu saja aku mencintamu, diajeng. Engkau seorang puteri yang cantik jelita, siapa tidak mencintamu? Aku hanya minta waktu, tidak ingin buru-buru menikah."
"Baiklah, kanjeng Rama sudah menyetujuinya. Dan akupun tidak marah, hanya kuminta selama setahun menunggu ini, engkau seringlah datang ke sini untuk bercakap-cakap dengan aku, untuk mengajariku memanah."
"Baiklah, diajeng. Akan tetapi engkau juga harus banyak memberitahu padaku tentang Nusabarung dan pemerintahannya. Engkau tentu maklum bahwa kelak kanjeng Ramamu akan mengangkat aku sebagai penggantinya. Bagaimana aku dapat memerintah dengan baik kalau tidak mengenal keadaan Nusabarung?"
"Tentu saja aku akan menceritakan semua yang kuketahui, kakangmas. Soal apakah yang ingin kauketahui?"
"Segala hal yang menyangkut Nusabarung dan pemerintahannya, diajeng. Aku mendengar bahwa Nusabarung berada dibawah kekuasaan Jenggala, benarkah itu diajeng?" kata Retno Wilis sambil duduk di bangku panjang, di sebelah Dyah Candra-manik.
"Dahulu memang benar begitu, kakang-mas. Akan tetapi kanjeng Romo tidak suka membiarkan hal itu. Katanya Nusabarung harus terlepas dari kekuasaan Jenggala."
"Ah, kalau begitu berarti Nusabarung hendak menentang Jenggala. Padahal Jenggala adalah sebuah kerajaan besar. Bagaimana Nusabarung hendak menentangnya, diajeng? Apakah itu tidak berbahaya?"
"Karena itu kanjeng rama mulai menghimpun kekuatan, menghimpun pasukan yang besar. Selain itu, kanjeng rama juga berhubungan baik dengan Blambangan, bahkan kalau perlu, kita dapat minta bantuan dari Bali-dwipa. Mereka semua juga tidak suka ditundukkan oleh Jenggala dan Panjalu."
"Kalau begitu ada rencana dari Nusabarung untuk menyerang Jenggala? Ini berbahaya sekali!"
"Bukan menyerang, melainkan menjaga diri dan melakukan perlawanan kalau Jenggala berani menyerang ke sini. Kita semua sudah siap, kakangmas. Karena itulah kanjeng Rama mengadakan sayembara untukku, untuk mendapatkan seorang mantu yang sakti mandraguna seperti kakangmas. Dan karena itu pula aku ingin belajar memanah agar kalau saatnya tiba, aku dapat pula menjaga diri."
"Wahai, diajeng, siapa orangnya yang berani mengganggu andika? Selain tidak berani, juga tidak mau karena siapa yang melihat andika tentu akan merasa sayang dan tidak akan mengganggumu."
"Dalam keadaan perang, siapa yang akan memperdulikan, kakangmas? Sudahlah, apa lagi yang kakangmas tanyakan?"
Dengan cerdik Retno Wilis menghentikan pertanyaan-pertanyaannya dan mengajarkan ilmu memanah kepada dara jelita itu. Tentu saja tangan mereka bersentuhan dan Retno Wilis berlaku hati-hati sekali agar jangan sampai dara itu mengetahui rahasianya. Sikapnya yang lemah lembut, ramah dan sopan ini bahkan membuat Dyah Candramanik semakin tergila-gila.
Pada hari-hari berikutnya, secara sambil lalu sambil mengajarkan memanah, Retno Wilis berhasil mengorek banyak keterangan dari puteri itu. Ia tahu bahwa Nusabarung mempunyai lima orang senopati yang gagah perkasa, yaitu Ki Wisokolo, Ki Wisangnogo, Ki Krendomolo, Ki Damarpati, dan Ki Surodiro. Mereka semua adalah senopati-senopati yang pandai berperang dan juga sakti. Juga ia mendengar dari sang puteri yang tergila-gila kepadanya itu bahwa Nusabarung tadinya mempunyai pasukan yang lebih sedikit dari seribu orang banyaknya, akan tetapi kini dengan masuknya orang-orang muda di sekitar Nusabarung, jumlah itu meningkat menjadi kurang lebih dua ribu orang. Sebagian dari jumlah itu kini berjaga di pantai daratan. Pada suatu pagi, selagi Retno Wilis melatih Dyah Candramanik yang belajar memanah, muncullah seorang petugas. Dyah Candramanik memandang dengan marah kepada petugas jaga itu.
"Mau apa engkau ke sini tanpa dipanggil? Berani engkau memasuki taman ini?"
"Maafkan hamba, gusti puteri. Hamba diutus oleh Kanjeng Gusti Adipati untuk menemui Raden Joko Wilis di sini."
"Mau apa dengan kakangmas Joko Wilis?"
"Kanjeng Gusti Adipati memanggilnya untuk menghadap sekarang juga."
Mendengar ini, Retno Wilis mendekati orang itu dengan senyum ramah dan bertanya dengan lembut, "Paman, ada urusan apakah Kanjeng Adipati memanggilku?"
"Hamba tidak tahu, raden. Hanya yang hamba ketahui, Kanjeng Gusti Adipati sedang menerima tamu dari Blambangan."
"Tamu dari Blambangan? Siapakah mereka?"
"Hamba tidak tahu, hanya ada dua orang kakek yang berpakaian mewah datang bertamu dan tak lama kemudian Kanjeng Gusti Adipati memerintahkan saya untuk mengundang paduka."
"Baiklah, paman. Saya akan menghadap sekarang. Diajeng Dyah Candramanik, agaknya ada keperluan penting sekali maka kanjeng Ramamu memanggil aku. Aku pergi dulu."
Dyah Candramanik hanya mengangguk dengan muka bersungut-sungut karena merasa betapa kesenangannya terganggu.
Retno Wilis dan utusan itu lalu meninggalkan taman-sari. Setelah memasuki tempat persidangan di mana Sang Adipati menerima para tamunya, Retno Wilis melihat bahwa di situ duduk dua orang kakek berpakaian mewah sedang duduk berhadapan dengan Adipati Martimpang. Yang seorang adalah seorang kakek berusia enampuluh tahun lebih, pakaiannya mentereng dan bersih, rambutnya tersisir rapi dan jenggotnya juga terpelihara baik-baik.
Seorang kakek yang rapi dan pesolek, mukanya bundar dan mulutnya selalu tersenyum, wajahnya yang juga lembut dan tampan itu tampak seperti kewanitaan. Adapun kakek ke dua, biarpun pakaiannya juga mewah, namun pakaian itu dekil dan kotor. Rambutnya juga awut-awutan tidak tersisir, matanya lebar hidungnya pesek dan mulutnya selalu menyeringai seperti menertawakan orang. Sekali pandang saja Retno Wilis dapat menduga bahwa kedua orang kakek itu bukan orang sembarangan. Ia dapat melihat ini dari sikap mereka yang seperti orang memandang rendah dan sinar mata mereka yang tajam berpengaruh.
"Joko Wilis! Ke sinilah, hendak kuperkenalkan dengan dua orang yang datang dari Blambangan." Dia menunjuk kepada kakek yang pakaiannya rapi dan pesolek. "Ini adalah Sang Wasi Karangwolo, seorang pendeta yang menjadi penasihat dari Sang Adipati di Blambangan. Adapun yang kedua ini adalah Sang Wasi Surengpati, juga seorang pertapa yang kini membantu Wasi Karangwolo yang menjadi saudara seperguruannya. Paman Wasi berdua, inilah Joko Wilis yang kumaksudkan. Dialah yang memenangkan sayembara tanding itu, mengalahkan Kalinggo, bahkan mengalahkan Ki Wisokolo."
Sang Wasi Karangwolo memandang kepada Joko Wilis dengan tajam penuh selidik, senyumnya melebar dan dia berkata, "Sungguh seorang pemuda yang ganteng sekali!"
Sang Wasi Surengpati juga memandang dan dia mengerutkan alisnya. "Seorang bocah seperti ini keluar sebagai pemenang? Sungguh mengherankan sekali. Joko Wilis, engkau telah bertemu dengan kami, hayo cepat berlutut dan menyembah!"
Retno Wilis terkejut. Perintah itu diucapkan dengan suara dalam dan berpengaruh sekali, ia merasa seolah-olah ada tenaga yang mendorongnya untuk berlutut dan menyembah... Maklum bahwa ini merupakan teriakan yang mengandung tenaga sihir, iapun memejamkan mata mengerahkan kekuatan batinnya untuk menolak perintah itu dan berkata dengan suara tenang namun juga penuh tantangan.
"Paman Wasi, tidak ada peraturan yang mengharuskan saya berlutut dan menyembah kepada orang yang belum saya ketahui benar keadaannya. Saya hanya menyembah kepada Kanjeng Adipati, akan tetapi tidak kepada kalian berdua!"
Wasi Surengpati tercengang. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda remaja itu ternyata mampu menolak sihirnya yang kuat! Sang Adipati juga terkejut mendengar perintah Wasi Surengpati dan dia menegur,
"Apa maksud Kakang Wasi Surengpati dengan perintah yang tidak pada tempatnya itu? Mengapa Joko Wilis harus menyembah kepada kalian berdua yang menjadi tamu kami?"
Wasi Karangwolo yang menjawab sambil tertawa, "Ha-haha, Kanjeng Adipati, adi Wasi Surengopati hanya ingin menguji saja kepada Joko Wilis dan ternyata pemuda remaja ini mampu menolak ujiannya. Sungguh mengagumkan sekali, seorang pemuda yang ganteng dan juga sakti mandraguna!"
Barulah Adipati Martimpang mengerti dan dia tersenyum bangga. "Sudah kami katakan bahwa dia sakti mandraguna. Sungguh hati kami merasa girang dan bangga, seperti andika berdua saksikan sendiri, kami telah memperoleh tenaga yang amat tangguh dan boleh diandalkan!"
"Akan tetapi, Kanjeng Adipati, apa artinya tenaga seorang saja dibandingkan tenaga limaribu orang pasukan gemblengan yang kokoh kuat!" tanya Wasi Karangwolo.
Mendengar ucapan ini, Adipati Martimpang mengerutkan alisnya dan berkata kepada Joko Wilis, "Joko Wilis, kembalilah engkau ke taman-sari dan lanjutkan beri latihan memanah kepada Dyah Candramanik."
Retno Wilis merasa kecewa dalam hatinya karena ia ingin sekali mendengar apa yang akan dibicarakan oleh dua orang tamu dari Blambangan ini. Akan tetapi tentu saja ia tidak dapat membantah dan pergilah ia meninggalkan ruangan itu dan kembali ke taman-sari di mana Dyah Candrarnanik menyambutnya dengan gembira. Setelah Retno Wilis pergi, Adipati Martimpang bertanya dengan nada suara tidak senang kepada Wasi Karangwolo.
"Paman Wasi Karangwolo, apa artinya ucapan paman tadi? Apa yang paman maksudkan?"
"Maksud saya, Kanjeng Adipati, bahwa Kalinggo jauh lebih baik untuk menjadi mantu paduka dari pada Joko Wilis tadi. Betapa pun saktinya, Joko Wilis hanya seorang diri saja. Bagaimana dia akan mampu menanggulangi keadaan kalau Nusabarung diserbu pasukan dari Jenggala? Sebaliknya, kalau Kalinggo menjadi mantu paduka, tentu Blambangan akan lebih dekat dengan Nusabarung dan limaribu orang pasukan Blambangan yang kokoh kuat tentu jauh lebih berharga dari pada bantuan tenaga seorang Joko Wilis."
"Pula, harus diingat bahwa Gunung Wilis terletak di wilayah kekuasaan Panjalu. Siapa tahu kalau-kalau pemuda itu merupakan telik sandi yang hendak mengadakan penyelidikan di Nusabarung!" kata pula Wasi Surengpati.
Mendengar ucapan kedua orang tamunya itu, Adipati Martimpang mengerutkan alisnya dan hatinya menjadi gelisah. Teringatlah dia bahwa sebelum diadakan sayembara, dia sama sekali tidak mengenal Joko Wilis. Bukan tidak mungkin kalau Joko Wilis merupakan seorang mata-mata atau telik sandi yang sedang menyelidiki keadaan di Nusabarung! Dan teringat pula dia betapa Joko Wilis menolak untuk segera menikah dengan Dyah Candramanik, melainkan minta diundur selama satu tahun.
"Kalau begitu, bagaimana baiknya, Paman Wasi berdua? Dia sudah terlanjur kami terima sebagai calon mantu, karena memang dia yang memenangkan sayembara itu. Dan agaknya puteriku Dyah Candramanik juga sudah menyetujui."
"Mana yang harus diutamakan, kepentingan hati puteri paduka ataukah keselamatan kadipaten Nusabarung? Kalau paduka menghendaki, biarlah kami berdua yang akan melakukan penyelidikan terhadap diri Joko Wilis, kalau ternyata dia seorang telik sandi, kami berdua yang akan sanggup menangkapnya!" kata Wasi Karangwolo.
"Baik, paman Wasi. Akan tetapi kami harap andika berdua berhati-hati, jangan sampai membuat puteriku berduka. Kalau benar Joko Wilis seorang telik sandi dari Panjalu atau Jenggala, tentu dengan mudah kami sendiri yang akan memberitahu kepada puteriku Dyah Candramanik."
Demikianlah, Adipati Martimpang telah membuat persekutuan dengan dua orang pendeta yang datang dari Blambangan itu untuk menyelidiki keadaan Joko Wilis!
"Orang muda, engkau mau apakah?"
"Saya hendak mendaftarkan diri sebagai peserta sayembara!" jawab Retno Wilis dengan suara tegas.
Tiga orang perwira itu saling pandang lalu mereka tertawa, "Andika? Hendak menjadi peserta sayembara? Eh, orang muda, apakah andika sudah tahu syarat-syaratnya?"
"Sudah, bukankah pertama mengangkat arca batu itu, dan kedua memanah sasaran di ujung bambu itu?"
"Benar, dan sesudah lulus dengan syarat-syarat itu, harus dapat bertahan menandingi Ki Wisokolo sampai seribu hitungan!"
"Aku sudah tahu."
"Dan andika nekat mau ikut?"
"Benar."
Tiga orang perwira itu agaknya merasa kasihan kepada pemuda remaja yang tampan ini, akan tetapi karena pemuda itu nekat, merekapun hanya menggerakkan pundak mereka.
"Siapa nama andika?" tanya seorang dari mereka yang bertugas mencatat nama-nama para peserta.
"Namaku Joko Wilis."
"Berasal dari mana?"
"Dari lereng Gunung Wilis."
"Baiklah, nama andika sudah kami catat. Tunggu di sana seperti para peserta lainnya."
Dengan girang Retno Wilis lalu menuju ke bawah panggung di mana sudah berkumpul lima orang pemuda lain. Mereka ini semua memiliki perawakan yang gagah, tinggi besar dan nampak kokoh kuat. Ketika lima orang itu melihat Retno Wilis menghampiri mereka ikut menunggu di situ, mereka memandang dengan terheran-heran.
"Eh, ki sanak, apakah andika juga ikut menjadi peserta sayembara?" tanya seorang di antara mereka yang mukanya penuh kumis jenggot cambang bertubuh tinggai besar dan matanya terbelalak lebar."
"Benar, ki sanak," jawab Retno Wilis sambil tersenyum.
"Ha-ha-ha-ha!" Si brewok itu tertawa sambil berdongak sehingga perutnya turun naik ketika dia tertawa. "Ah, kenapa andika begini nekat? Sayembara ini berat sekali. Baru mengangkat arca itu saja, mana andika kuat? Jangan-jangan malah arca batu itu akan jatuh menimpa tubuhmu sehingga gepeng, ha-ha-ha!" Empat orang peserta lainnya ikut tertawa.
"Jangan andika sekalian menertawakan kisanak ini. Siapa tahu di tubuhnya yang kecil tersimpan kedigdayaan yang hebat!" tiba-tiba seorang pemuda yang baru saja masuk berkata. Agaknya diapun seorang peserta baru yang mendaftarkan diri sesudah Retno Wilis. Mendengar ucapan itu, Retno Wilis memandang dan ia melihat seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, tubuhnya jangkung agak kurus, wajahnya biasa saja akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam sekali. Retno Wilis memandang kepadanya dengan berterima kasih. Akan tetapi hatinya tetap merasa penasaran karena ia dijadikan bahan ejekan dan dipandang rendah. Kalau tadinya ia berniat untuk menjadi peserta yang gagal, kini ia mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepada mereka semua bahwa ia dapat mengangkat arca batu itu dengan mudah melebihi kekuatan mereka. Ia juga akan mengikuti ujian memanah sampai berhasil. Masih belum terlambat baginya untuk mundur setelah berhadapan dengan Ki Wisokolo, berpura-pura kalah.
Dengan demikian ia tidak akan dicurigai dan akan dapat melakukan penyelidikan tentang Nusabarung dengan leluasa. Setelah matahari naik tinggi, pendaftaran dihentikan dan ternyata jumlah peserta yang mendaftarkan diri ada sepuluh orang. Setelah pendaftaran ditutup, terdengar bunyi tetabuhan dan muncullah Sang Adipati Martimpang bersama lima orang senopatinya dan di sampingnya berjalan isteri pertamanya dan Dyah Candramanik. Sepuluh orang peserta sayembara itu memandang kepada Dyah Candramanik dengan sinar mata kagum. Mereka berbisik-bisik memuji dan munculnya dara jelita ini membuat semangat mereka menjadi semakin besar.
Retno Wilis dalam kesempatan waktu menanti itu, secara sambil lalu memperkenalkan diri kepada para peserta. Ia tahu siapa adanya mereka itu, akan tetapi hanya si brewok tinggi besar yang sombong itu dan pemuda yang tadi membelanya yang menjadi pusat perhatiannya. Si brewok itu bernama Kalinggo datang dari Blambangan, bahkan dia mengaku sebagai putera seorang senopati di Blambangan. Adapun pemuda yang jangkung agak kurus bermata tajam itu bernama Ngurah Pranawa, seorang peserta yang datang dari Bali-dwipa. Bukan orangnya yang menarik hati Retno Wilis untuk mendekatinya, melainkan asal mereka itulah. Ia hendak menyelidiki hubungan antara Nusabarung, Blambangan dan Bali-dwipa. Ia dapat memancing pembicaraan dengan Kalinggo tentang keadaan dirinya.
"Tentu aku yang akan menangkan sayembara ini," bual si tinggi besar brewok itu. "Aku datang dari Blambangan, tentu akan mendapatkan kehormatan dan perhatian. Apalagi ayahku seorang senopati terkenal di Blambangan."
"Akan tetapi apa hubungannya antara ayahmu menjadi senopati di Blambangan dengan sayembara ini?" Retno Wilis mendesak dengan sikap sambil lalu untuk sekedar mengobrol saja.
"Hubungannya erat sekali!" kata Kalinggo. "Nusabarung membutuhkan bantuan Blambangan, maka Sang Adipati tentu akan mempertimbangkan keadaanku dan akan lebih senang bermantukan seorang putera senopati Blambangan dari pada pemuda lain! Andika lihat saja nanti!"
Retno Wilis sudah merasa puas mendengar semua itu dan tidak bertanya lagi karena ia khawatir kalau-kalau pemuda sombong itu akan menjadi curiga, ia lalu mendekati Ngurah Pranawa yang mengaku sebagai seorang pemuda dari Bali-dwipa.
"Saudara Ngurah Pranawa, andika datang jauh dari Balidwipa. Ah, sudah lama aku mendengar tentang Bali-dwipa yang indah, akan tetapi belum pernah aku berkunjung ke sana. Siapakah yang duduk menjadi raja di tempat andika?"
"Di Bali-dwipa terdapat banyak raja yang menjadi sesembahan. Adapun yang berkuasa di tempat tinggal saya adalah Ki Gusti Ngurah Jelantik yang menjadi raja muda di Telibeng."
"Andika sendiri putera siapakah?"
"Ah, saya hanya putera seorang pendeta yang tinggal di lereng bukit, dan saya memang suka merantau. Dalam perantauan di sini aku mendengar tentang sayembara ini dan mencoba untuk mengikutinya. Siapa tahu para dewata menjodohkan saya dengan puteri Sang Adipati."
"Tentu ada hubungan dekat antara para raja di Bali-dwipa dengan Nusabarung, bukankah begitu, saudara Ngurah Pranawa?"
"Aku hanya mendengar bahwa Adipati di Nusabarung suka mengirim upeti setiap tahun kepada Dalem Bali (Sribaginda Raja di Bali), tentu ada hubungan antara Bali-dwipa dan Nusabarung. Akan tetapi mengapa andika menanyakan hal itu, saudara Joko Wilis?"
"Ah, hanya ingin tahu saja karena aku merasa heran mengapa andika jauh-jauh dari Bali-dwipa datang ke sini memasuki sayembara."
Karena pemuda dari Bali itu mulai tampak curiga, Retno Wilis tidak bertanya lebih lanjut. Pada saat itu terdengar bunyi gong dan seorang juru bicara berdiri di atas panggung, lalu berkata dengan suara lantang.
"Dengan ini kami mengumumkan atas nama Kanjeng Gusti Adipati bahwa jumlah peserta sayembara ada sepuluh orang. Dan kini dimulailah syarat pertama dari sayembara ini, yaitu mengangkat arca raksasa ini sampai melewati kepala. Dipersilakan para peserta untuk menguji kekuatan masing-masing satu demi satu. Kami akan memanggil nama peserta satu demi satu dan yang terpanggil namanya dipersilakan naik ke panggung dan memperlihatkan kekuatannya. Pertama kami panggil nama peserta Kalinggo dari Blambangan."
Terdengar tepuk tangan dan sorak sorai menyambut Kalinggo yang melompat keatas panggung dengan gerakan yang ringan dan cekatan. Setelah tiba di atas panggung, Kalinggo menanggalkan baju bagian atas sehingga tampaklah tubuh atasnya yang kokoh kuat, dengan otot besar melingkar-lingkar. Dia memandang ke arah tempat duduk Dyah Candramanik seolah-olah hendak memamerkan otot-ototnya kepada dara jelita itu, akan tetapi Dyah Candramanik membuang muka, bahkan jijik melihat tubuh yang berotot dan dada bidang yang berambut itu.
Dengan sikap pongah Kalinggo menghampiri arca batu sebesar tubuhnya itu, memegang dengan kedua tangannya dan mencoba beratnya dengan mengangkatnya sedikit. Kemudian dia memandang kembali ke arah Dyah Candramanik dan tersenyum. Setelah itu dia membungkuk, memegang arca itu dan mengerahkan tenaganya mengangkat dan ternyata dia bukan hanya membual belaka. Arca besar dan berat itu terangkat oleh kedua tangannya, diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya, lalu dibawanya berkeliling panggung itu, baru dia turunkan kembali ke tempatnya yang tadi.
Tepuk sorak menyambutnya dan tampaknya dada raksasa muda brewok dari Blambangan itu semakin membesar dan membengkak. Dengan jari-jari tangannya, dia mengusap peluh yang membasahi leher dan dadanya.
"Peserta Kalinggo telah lulus dari ujian kekuatan. Harap turun dari panggung dan kami panggil nama peserta Purwanto dari Pasuruan!"
Dari bawah meloncat seorang pemuda yang juga bertubuh tinggi tegap seperti Raden Gatotkaca, dan para penonton juga menyambutnya dengan tepuk sorak. Pemuda ini membungkuk-bungkuk tanda menghormati semua orang yang menyambutnya dengan tepuk sorak, kemudian dia menghampiri arca raksasa tanpa membuka bajunya. Dia memeluk arca itu dan mengerahkan tenaganya. Arca terangkat, akan tetapi ketika dia hendak mengangkat arca itu ke atas kepalanya, kedua lengannya gemetar dan terpaksa dia melepaskan lagi arca itu ke atas panggung. Dia mencoba sekali lagi, akan tetapi kembali dia gagal. Ternyata tenaganya tidak cukup untuk mengangkat arca itu ke atas kepalanya! Dengan tersipu dia mendengarkan juru bicara mengumumkan bahwa dia gagal, lalu dia turun dari atas panggung. Penonton menyambutnya dengan tawa mengejek.
Berturut-turut para peserta dipersilakan naik dan akhirnya nama Joko Wilis dipanggil sebagai peserta terakhir. Kebanyakan dari para peserta gagal mengangkat arca itu dan yang berhasil hanya Kalinggo, Ngurah Pranawa dan dua orang lagi. Jadi empat orang sudah berhasil mengangkat arca itu di atas kepala.
"Kini peserta terakhir, Joko Wilis dari Gunung Wilis kami persilakan naik panggung!" demikian juru bicara mengumumkan.
Para peserta, baik yang berhasil maupun yang tidak, sudah tertawa sebelum Retno Wilis meloncat naik. Melihat betapa wajah mereka tertawa-tawa memandang kepadanya, makin panaslah hati Retno Wilis. Apa lagi mendengar Kalinggo berkata sambil menyeringai.
"Hati-hati, kawan. Jangan-jangan arca itu akan menghimpit tubuhmu sampai gepeng!"
Retno Wilis tidak memperdulikan lagi ejekan mereka, dan iapun meloncat ke atas panggung. Sambutan para penonton tidak jauh bedanya dari sambutan para peserta sayembara tadi. Banyak di antara penonton yang tertawa melihat pemuda remaja yang kelihatan lemah dengan kedua lengan kecil itu naik ke panggung.
"Heiii, bocah cilik begitu mau ikut-ikutan sayembara?" teriak seseorang.
"Bocah yang masih hijau! Lebih baik engkau pulang kepada ibumu!" ejek yang lain.
Para penonton banyak yang tertawa mendengar ini dan memandang kepada Retno Wilis dengan senyum menyejek atau senyum kasihan. Semua orang menduga bahwa pemuda remaja itu tentu tidak akan mampu mengangkat arca yang demikian beratnya. Lima orang di antara para peserta yang bertubuh kuat, dengan lengan yang besar berotot, tidak kuat mengangkat arca itu, apa lagi pemuda remaja yang kedua lengannya kecil dan tampak lemah itu.
Makin diejek dan ditertawakan, makin panaslah hati Retno Wilis dan ia lupa bahwa ia mengikuti sayembara hanya sebagai sarana agar ia dapat melakukan penyelidikan dengan leluasa saja. Kini ia mengambil keputusan untuk memberi pelajaran kepada mereka semua yang mencemoohkannya dengan memperlihatkan kepandaiannya yang hebat! Biarlah, aku mengalahkan mereka semua dalam ujian kekuatan dan kepandaian memanah, baru nanti kalau diharuskan bertanding melawan Ki Wisokolo ia akan mengalah agar ia tidak lulus dalam sayembara itu!
Ia memandang ke sekeliling dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah Dyah Candramanik, ia melihat bahwa dara jelita itu sama sekali tidak ikut menertawakannya, bahkan memandang kepadanya dengan sinar mata tajam dan seolah mengandung harapan agar ia berhasil! Maka iapun membungkuk dengan hormat kearah puteri itu. Hal ini menyenangkan hati Sang Adipati dan keluarganya yang mengira bahwa pemuda remaja itu memberi hormat kepada mereka. "Seorang pemuda yang pandai membawa diri dan tahu sopan santun," pikir mereka.
Retno Wilis lalu menghampiri arca itu. Dengan kedua tangannya ia mencoba dulu berat arca itu. Karena hanya mengangkatnya sedikit saja, semua orang melihat bahwa dia seakan-akan tidak kuat mengangkatnya. Orang-orang sudah mulai tertawa-tawa lagi penuh ejekan. Akan tetapi, suara ejekan dan semua suara tiba-tiba terhenti sama sekali, semua mata terbelalak memandang ketika Retno Wilis mengangkat arca batu itu dengan sebelah tangan saja ke atas kepalanya! Mula-mula tangan kanannya yang mengangkat arca itu, lalu dilontarkannya ke atas, diterimanya dengan tangan kiri dan ia membawa arca itu berkeliling panggung, bukan satu kali, melainkan tiga kali!
Setelah suasana hening sejenak dan orang-orang memandang dengan mata terbelalak tidak percaya, baru setelah Retno Wilis meletakkan kembali arca ditempat semula, pecah sorak sorai yang riuh rendah menggetarkan seluruh alun-alun itu. Bahkan Sang Adipati, isterinya dan Dyah Candramanik juga ikut pula bertepuk tangan. Wajah Dyah Candramanik berseri-seri dan kedua telapak tangannya sampai terasa panas karena ia bertepuk keras-keras dan lama. Suara juru bicara hampir tertelan oleh sisa sorak sorai gemuruh itu.
"Peserta ke sepuluh, Joko Wilis, dinyatakan berhasil dengan ujian kekuatan dan ia dipersilakan turun dulu dari panggung. Dengan demikian, yang berhasil lulus tingkat pertama ada lima orang peserta sayembara. Sekarang tiba saatnya diadakan ujian tingkat kedua bagi lima orang yang telah lulus tadi. Dimulai dari peserta pertama, Kalinggo dari Blambangan, untuk memperlihatkan ketangkasannya melepas anak panah agar mengenai sasaran, yaitu buah kelapa yang berada di ujung bambu. Diharapkan para peserta dapat meruntuhkan buah kelapa sehingga jatuh ke bawah, dan sedikitnya anak panah harus mengenai buah kelapa, baru di anggap lulus!"
Dengan sikapnya yang sombong, Kalinggo naik pula ke atas panggung. Dia memilih busur yang terbesar dan terberat karena busur seperti itu, makin berat semakin baik dan semakin cepat meluncurkan anak panah. Diapun memilih sebatang anak panah yang lurus, kemudian memasang anak panah pada busurnya dan mulailah dia membidik ke atas, ke arah buah kelapa yang tergantung di ujung bambu. Ada sepuluh buah kelapa yang tergantung di sepuluh batang pohon bambu. Dia memilih yang terdekat dan setelah membidik beberapa saat, dia lalu melepaskan tali busurnya. Anak panah itu melesat dengan cepat sekali dan menancap di buah kelapa itu, persis di tengah-tengahnya! Sorak sorai menyambut keberhasilan ini dan dengan mengangkat dada Kalinggo menuruni panggung.
Dua orang peserta berturut-turut mencoba dan mereka hanya berhasil mengenai buah kelapa pada sisinya karena buah kelapa itu bergoyang-goyang ketika batang bambu tertiup angin. Mereka dinyatakan gagal karena sedikitnya harus dapat mengenai buah kelapa tepat di tengah-tengahnya.
Kini tiba giliran Ngurah Pranawa, pemuda dari Bali-dwipa. Dia memegang busur seperti seorang ahli, bidikannya tetap, tangannya tidak bergoyang sedikitpun dan ketika anak panahnya melesat, anak panah itu pun telah menusuk sebutir kelapa tepat di tengahnya. Jadi ada dua orang yang sudah berhasil lulus ujian kedua.
Ketika nama Joko Wilis disebut dipersilakan naik, para penonton kini tidak ada yang menertawakannya, bahkan mereka bersorak sorai menyambut karena dalam pandangan mereka, Joko Wilis kini menjadi yang terhebat di antara mereka semua. Sambutan para penonton ini membanggakan hati dan membesarkan semangat Retno Wilis untuk menang. Akan ia perlihatkan sekali lagi kehebatannya, pikirnya, agar jangan ada lagi orang berani memandang rendah kepadanya!
Ia memilih gendewa yang kecil saja, lalu memasang dua batang anak panah pada busurnya, membidik cepat dan begitu dua batang anak panah melesat ke atas, semua orang memandang dan menahan napas dan kembali mereka bersorak sorai ketika melihat dua butir buah kelapa jatuh dari puncak batang-batang bambu. Ternyata sekali melepas dua anak panah, Joko Wilis telah dapat menjatuhkan dua butir buah kelapa, dua batang anak panah itu tepat mengenai tangkai buah kelapa!
Kembali Dyah Candramanik bertepuk tangan sampai terasa panas dan kelelahan. Juga Sang Adipati mengangguk-angguk dan harus memuji ketangkasan pemuda remaja itu. Suara juru bicara tidak terdengar sama sekali, lenyap ditelan sorak sorai yang menggegap gempita. Baru setelah sorak sorai mereda dan Retno Wilis sudah turun kembali dari panggung, juru bicara mengumumkan hasil ujian itu.
"Peserta Joko Wilis telah lulus dengan sempurna sekali. Kini yang telah lulus dari uji kekuatan dan ketangkasan terdapat tiga orang, yaitu Kalinggo dari Blambangan, Ngurah Pranawa dari Bali-dwipa, dan Joko Wilis dari Gunung Wilis. Dan sekarang tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi ujian terakhir, yaitu masing-masing harus mampu bertahan melayani berkelahi dengan Ki Wisokolo selama hitungan sampai seribu. Dalam uji tanding ini, tidak boleh menggunakan senjata dan apabila terjadi ada yang terluka atau bahkan tewas dalam pertandingan ini, hal itu sudah dianggap wajar dan tidak akan diadakan pengadilan. Kita mulai dari peserta pertama, Kalinggo dari Blambangan!"
Ki Wisokolo sudah menanti di atas panggung. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, tinggi besar seperti Werkudara, kumisnya melintang sekepal sebelah, pundaknya bidang, kedua lengannya kekar, demikian pula kedua kakinya. Inilah senopati nomor satu di Nusabarung, juga jagoan yang tak pernah terkalahkah!
Sambil bersikap tenang Ki Wisokolo menoleh ke arah para penabuh gamelan dan memberi isyarat agar gamelan dibunyikan. Segera terdengar bunyi gamelan yang bernada gagah, pengiring perang! Ki Wisokolo berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan matanya mencorong memandang kepada Kalinggo ketika jagoan dari blambangan ini naik ke pentas.
Ki Wisokolo mengangguk ramah kepada Kalinggo karena dia mengenal putera senopati Blambangan ini, dan dalam hatinya dia sudah condong memenangkan jagoan muda dari Blambangan ini agar dapat berjodoh dengan Dyah Candramanik. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia harus menguji kepandaian pemuda ini untuk melihat apakah memang patut menjadi mantu Sang Adipati.
Juru bicara memberi aba-aba, "Satu...dua...tiga, mulai!" dan diapun dengan lantang mulai menghitung, "Satu...dua...tiga...empat..." dan seterusnya sementara gamelan dipukul bertalu-talu membuat suasana menjadi semakin bersemangat.
"Mulailah, anak mas Kalinggo!" kata Ki Wisokolo dan Kalinggo tidak sungkan-sungkan lagi segera maju menyerang dengan pukulan yang kuat. Akan tetapi Ki Wisokolo dengan mudah mengelak sambil membalas dengan sapuan kakinya untuk membuat tubuh lawan terpelanting. Akan tetapi Kalinggo cukup tangkas untuk mengelak pula. Kemudian Kalinggo menyerang terus bertubi-tubi, ditangkis atau dielakkan oleh Ki Wisokolo, bahkan kadang dia menerima pukulan itu dan dengan tubuhnya yang kebal. Sementara itu, juru bicara terus menghitung dengan suara lantang.
Retno Wilis ikut nonton pertandingan itu dan ia mengerutkan alisnya. Di sini terjadi kecurangan, pikirnya. Dari ketangkasannya ketika mengelak dan menangkis, juga kekebalannya, jelas bahwa tingkat kepandaian Wisokolo jauh lebih tinggi dari pada Kalinggo. Akan tetapi Ki Wisokolo ini hanya mempertahankan diri saja, jarang sekali menyerang dan kalau menyerangpun tidak dengan sungguh-sungguh. Jelas tampak olehnya bahwa Ki Wisokolo agaknya hendak memberi kesempatan kepada Kalinggo untuk memenangkan sayembara itu!
Sementara itu, Kalinggo menjadi penasaran sekali dan dia mengamuk makin hebat. Segala kepandaian dan tenaganya dikerahkan untuk menyerang dan merobohkan lawan, namun semua usahanya sia-sia. Sampai basah seluruh tubuhnya oleh keringat dan sampai hitungan ke delapanratus, napasnya sudah terengah-engah.
Namun dia terus menyerang, walaupun tidak lagi sehebat tadi. Dalam keadaan ini, kalau Ki Wisokolo hendak merobohkan lawannya, tentu saja amat mudah. Akan tetapi dia tidak ingin merobohkan lawan yang satu ini. Ketika hitungan sampai ke seribu, Ki Wisokolo meloncat ke belakang dan tersenyum menyeringai, memandang kepada Kalinggo yang sudah bermandi keringat dan napasnya terengah-engah. Akan tetapi dia lulus dan penonton menyambutnya dengan sorak sorai memuji.
Kalinggo mengangkat kedua tangan ke atas saking gembiranya. Dia lulus ujian, berarti dia telah menang dalam sayembara. Akan tetapi masih ada dua orang peserta lain! Harus dilihat dulu bagaimana hasil ujian kedua peserta ini. Menurut peraturan, kalau pemenangnya lebih dari seorang, maka kedua pemenang itu akan diadu dan siapa yang keluar sebagai pemenang dialah yang dianggap memenangkan sayembara dan mendapatkan hadiahnya.
"Peserta Kalinggo telah lulus ujian terakhir, harap menanti di bawah panggung dan kini dipersilakan peserta Ngurah Pranawa untuk maju menandingi Ki Wisokolo selama seribu hitungan!"
Ngurah Pranawa lalu meloncat ke atas panggung, disambut sorak sorai penonton, terutama yang menjagoi pemuda dari Bali-dwipa ini. Ki Wisokolo sudah siap lagi dan mempersilakan pemuda Bali itu untuk mulai menyerangnya, sementara juru bicara mulai menghitung dari satu dan seterusnya.
Ngurah Pranawa segera maju menyerang, disambut dengan tangkisan oleh Ki Wisokolo. Terjadi pertandingan yang seru seperti juga tadi ketika Ki Wisokolo menguji Kalinggo. Akan tetapi Retno Wilis melihat bahwa pertandingan kali ini berbeda dari tadi. Kalau tadi Ki Wisokolo hanya bertahan saja, sekarang dia membalas setiap serangan Ngurah Pranawa.
Retno Wilis tahu bahwa tingkat kepandaian Ngurah Pranawa masih belum mampu menandingi kepandaian Ki Wisokolo. Biarpun Ngurah Pranawa juga kuat dan gesit, namun setelah hitungan ke enamratus lebih, tiba-tiba sebuah tendangan kaki Ki Wisokolo mengenai perutnya dan membuat tubuhnya terpental keluar panggung. Ngurah Pranawa dapat mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tidak terbanting dan dapat jatuh sambil berdiri. Akan tetapi sudah jelas bahwa dia telah gagal dalam pertandingan itu.
"Peserta Ngurah Pranawa telah gagal menandingi Ki Wisokolo sampai seribu hitungan. Dan sekarang tinggal peserta terakhir, yaitu Joko Wilis dipersilakan naik ke panggung untuk bertanding melawan Ki Wisokolo!"
Belum juga Retno Wilis naik ke panggung, tepuk sorak sorai penonton sudah menyambut ketika namanya disebut. Retno Wilis melompat naik ke atas panggung sambil tersenyum. Ada keraguan dalam hatinya. Mestinya ia mengalah dalam pertandingan ini, akan tetapi, ia merasa kasihan kalau mengecewakan penonton yang demikian banyak mendukungnya itu. Setelah berhadapan dengan Ki Wisokolo dan sorak sorai penonton mereda, Retno Wilis berkata dengan suara lantang
kepada Ki Wisokolo,
"Paman, andika telah dua kali melayani dua orang peserta, tentu telah lelah sekali. Tidak adil kalau sekarang harus melayani aku pula. Sebaiknya paman beristirahat dan minum-minum dulu sebelum bertanding lagi."
Ki Wisokolo tertawa. Dia sama sekali tidak merasa lelah. Untuk apa dia beristirahat? Apa lagi kalau hanya menghadapi seorang pemuda remaja seperti ini. Dalam segebrakan saja tentu dia akan mampu merobohkan pemuda ini. Dan dia harus merobohkannya kalau dia hendak melihat Kalinggo dari Blambangan itu yang menang.
"Ha-ha-ha, Joko Wilis. Biar harus menghadapi lima orang seperti andikapun aku tidak perlu beristirahat dulu. Apalagi hanya andika seorang. Jangan-jangan sekali tendang aku sudah akan melemparkanmu keluar panggung! Ha-ha-ha!"
Merah kedua pipi Retno Wilis. Ia sudah mengambil keputusan untuk mengalah sekali ini, akan tetapi ucapan Ki Wisokolo yang sombong itu membuatnya marah sekali. Ia harus memberi pelajaran kepada manusia sombong ini, pikirnya.
"Hemm, sombongnya! Kalau aku tidak dapat mengalahkanmu selama hitungan seratus saja, anggaplah aku kalah!"
Ucapan yang lantang ini tentu saja membuat semua orang terkejut sekali. Melawan selama hitungan seribu saja belum tentu dapat menang, sekarang pemuda itu malah menantang untuk mengalahkan dalam hitungan seratus! Seorang di antara para penonton, seorang pemuda tampan berpakaian serba putih, mengerutkan alisnya dan berkata kepada diri sendiri,
"Hemm, ia mencari penyakit!" Pemuda ini tentu saja adalah Bagus Seto yang merasa bingung sekali melihat ulah adiknya. Dia maklum bahwa tentu Retno Wilis akan dapat mengalahkan Ki Wisokolo sebelum hitungan ke seratus, akan tetapi itu berarti bahwa ia menangkan sayembara dan harus menikah dengan Dyah Candramanik!
Ki Wisokolo sendiri terperangah mendengar tantangan itu. Dia menganggap pemuda itu sombong bukan main.
"Bukan aku, melainkan engkaulah yang akan kurobohkan sebelum seratus hitungan!" katanya dan segera dia menubruk maju dengan kedua lengan dipentang, seperti seekor biruang menyerang korbannya.
"Ggrrrrrr.... !" Dari kerongkongannya keluar gerengan seperti seekor binatang buas.
"Haiiiiiitt.... !" Retno Wilis berseri melengking dan tubuhnya sudah lenyap dari depan Ki Wisokolo.
Raksasa ini terkejut dan cepat memutar tubuhnya. Ternyata pemuda remaja itu telah berada di belakangnya dan dia lalu menyerang lagi dengan cepat dan dahsyat. Akan tetapi lagi-lagi dia menyerang angina karena tubuh Retno Wilis sudah mengelak dengan cepat. Ki Wisokolo menjadi marah dan menyerang membabi buta, dengan cepat dan dengan pengerahan seluruh tenaganya.
Namun, sambil kadang-kadang melengking Retno Wilis mengelak dengan gerakan yang indah dan lucu, bagaikan seekor burung walet yang gesit sekali sehingga semua serangan Ki Wisokolo mengenai angin belaka. Sementara itu, juru hitung sudah menghitung sampai tigapuluh, dan semua penonton terpesona oleh gerakan Retno Wilis yang demikian cepatnya. Jangankan tubuhnya, ujung bajunyapun tidak dapat disentuh oleh Ki Wisokolo yang menjadi semakin marah. Mulailah para penonton tertawa dan bersorak ketika tiba-tiba kaki Retno Wilis menendang pantat lawannya. Debu mengebul dari pantat yang ditendang dan tubuh Ki Wisokolo terhuyung ke depan.
"Aku di sini, Ki Wisokolo!" kata Retno Wilis mengejek ketika lawannya mencari-carinya. Begitu tahu bahwa pemuda itu berada di belakangnya, Ki Wisokolo membalikkan tubuhnya sambil memukul-mukul dengan kedua tangannya diseling tendangan-tendangan kedua kakinya. Namun, semua pukulan dan tendangan itu tidak ada yang mengenai tubuh Retno Wilis yang berlompatan ke sana sini untuk menghindar. Kembali tangannya menampar, sekali ini mengenai belakang telinga raksasa itu.
"Aduh.... !" Ki Wisokolo berseru dan tubuhnya berputar-putar.
Akan tetapi dia masih dapat mengatur keseimbangan sehingga tidak roboh dan kini matanya terbelalak liar dan menjadi merah. Hitungan sudah sampai enampuluh dan dia sama sekali belum mampu menyentuh pemuda itu, bahkan dia telah merasakan sekali tendangan dan sekali tamparan!
"Bedebah!" bentaknya dan kini tubuhnya bergulingan ke arah Retno Wihs, terus menubruk. Dielakkan, menubruk lagi seperti seekor harimau kelaparan. Keringatnya bercucuran, napasnya terengah-engah karena dia telah mengerahkan seluruh tenaganya.
"Ah, keringatmu bau, lekas pergi dari sini!" tiba-tiba Retno Wilis berseru dan begitu kakinya menendang, kini dengan pengerahan tenaga, kaki kiri itu telah bertemu dengan dada Ki Wisokolo.
"Bukk.... !!"
"Aughh.... !" Ki Wisokolo mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya melayang, terlempar keluar panggung dan jatuh berdebuk di atas tanah di bawah panggung. Kawan-kawannya segera menolong dan menggotongnya karena dia telah jatuh pingsan!
Sorak sorai gegap gempita menyambut kemenangan Joko Wilis ini. Hitungan baru sampai delapan puluh dan jagoan nomor satu dari Nusabarung itu telah roboh. Retno Wilis tersenyum dan memandang kepada keluarga Sang Adipati. Ia melihat Dyah Candramanik bangkit dari kursinya dan bertepuk tangan dengan wajah berseri-seri.
"Cari penyakit.... !" Kembali Bagus Seto berkata kepada diri sendiri melihat Retno Wilis mengalahkan Ki Wisokolo seperti yang sudah disangkanya tadi.
Sementara itu, sukarlah bagi juru bicara untuk membuat pengumuman karena penonton yang begitu gaduh membicarakan pertandingan yang baru saja mereka tonton. Mereka semua begitu kagum kepada Joko Wilis, pemuda yang kelihatan masih remaja dan tampak lemah itu. Akhirnya, setelah berdiri di atas panggung dan melambai-lambaikan tangan memberi isyarat kepada semua penonton agar jangan gaduh, juru bicara itu dapat mengelukan kata-kata yang lantang.
"Peserta Joko Wilis dinyatakan lulus dengan sempurna. Karena sekarang ternyata ada dua orang peserta yang lulus, yaitu Joko Wilis dan Kalinggo, maka sesuai dengan peraturan yang berlaku, kini akan diadakan pertandingan antara kedua orang pemenang itu. Siapa di antara mereka berdua yang keluar sebagai pemenang, dinyatakan memenangkan sayembara ini!"
Ucapan ini disambut sorak sorai dari para penonton yang menjadi gembira sekali karena mereka kembali akan menonton pertandingan yang tentu akan hebat sekali. Ada yang menjagoi Kalinggo, akan tetapi ada banyak pula yang menjagoi Joko Wilis sehingga diantara mereka ada yang bertaruhan!
"Kini dipersilakan peserta Kalinggo dari Blambangan naik ke panggung untuk bertanding melawan Joko Wilis dari Gunung Wilis!" Juru bicara berteriak kembali lalu turun dari panggung.
Kalinggo naik ke panggung dan membusungkan dadanya. Biarpun dia melihat sendiri betapa Ki Wisokolo dikalahkan pemuda itu, namun dia tidak merasa gentar. Bahkan dia yakin akan mampu mengalahkan pemuda yang kecil itu. Dia harus membikin gentar nyali pemuda itu, pikirnya. Begitu berhadapan dengan Retno Wilis yang memandangnya dengan senyum simpul, Kalinggo berkata dengan suara lantang,
"Joko Wilis, ini adalah sebuah pertandingan untuk menentukan siapa yang menjadi pemenang di antara kita. Karena itu, kalau ada kulit robek dan tulang patah, jangan salahkan aku!"
Retno Wilis tersenyum. Pada saat itu, Retno Wilis meraba paha kirinya. Ada kerikil kecil sekali mengenai paha kirinya dan ia tahu apa artinya itu. Kakaknya sudah berada di situ! Dan kakaknya tentu hendak memperingatkan kepadanya agar ia tidak berlaku kejam terhadap lawan, tidak boleh membunuh! Ia tersenyum dan mengangguk ke arah dari mana datangnya kerikil kecil tadi.
"Jangan khawatir! Aku tidak akan merobek kulitmu atau mematahkan tulangmu!" Retno Wilis berkata sambil memandang kepada Kalinggo, akan tetapi sebetulnya ia menujukan kata-katanya itu kepada Bagus Seto.
"Payah, ia benar-benar mencari penyakit!" kembali Bagus Seto mengeluh karena dalam ucapan Retno Wilis itu dia dapat menduga bahwa tentu Retno Wilis tidak mau mengalah. Kalau keluar dari sayembara sebagai pemenang, engkau akan dikawinkan dengan Dyah Candramanik dan baru engkau tahu sendiri betapa bingungnya engkau! Demikian Bagus Seto berkata kepada dirinya sendiri.
Sementara itu, mendengar jawaban Retno Wilis, Kalinggo sudah menjadi marah sekali. Dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang perlahan-lahan berubah kemerahan seperti berdarah. Itulah Aji Hasta-rudita (Tangan Berdarah)! Pukulan dari tangan merah itu sungguh hebat dan mengerikan karena berhawa panas dan kalau mengenai tubuh orang, tubuh itu dapat menjadi hangus seperti dibakar api!
Akan tetapi Retno Wilis yang melihat itu hanya tersenyum saja, seolah ia tidak tahu akan keampuhan telapak tangan darah itu. Ia malah tersenyum dan bertanya, "Eh, Kalinggo, engkau ingin roboh dalam hitungan ke berapa?"
"Untuk pertandingan ini tidak memakai hitungan. Akan tetapi aku akan merobohkanmu secepat mungkin!" kata Kalinggo dan dia mengeluarkan teriakan yang mengguncang tempat itu, kemudian bagaikan seekor srigala, dia sudah menyerang dengan kedua tangan terbuka seperti hendak mencengkeram ke arah kepala Retno Wilis!
"Haiiiiittt.... !" Retno Wilis berseru dan Kalinggo sudah kehilangan lawannya. Begitu cepat gerakan Retno Wilis sehingga dia tidak melihat kemana lawannya berkelebat. Tahu-tahu Retno Wilis sudah berada di belakangnya. Dia membalik dan menyerang lagi, makin lama serangannya semakin cepat dan kuat. Akan tetapi semua itu tidak ada gunanya karena tidak ada yang dapat mengenai tubuh pemuda remaja itu. Ketika Kalinggo mempergunakan kecepatan, tubuh Retno Wilis berkelebatan sehingga yang tampak hanya bayangannya saja. Kalinggo menghentikan serangannya dan berdiri dengan napas memburu dan mata melotot marah.
"Bukan laki-laki kalau hanya mengelak saja!" bentaknya. "Kalau memang berani, hayo hadapi seranganku dengan tangkisan, jangan hanya berlari seperti seorang pengecut!"
Mendengar ini, Retno Wilis mengerutkan alisnya. "Kalinggo, manusia tak tahu diri. Kau kira aku takut menghadapi pukulanmu? Nah, seranglah, aku tidak akan mengelak lagi!"
Kalinggo mengerahkan tenaga dalam dikedua telapak tangannya yang merah dan dia sudah girang sekali. Kalau lawannya itu menangkis, tentu akan celaka. Bertemu dengan tangan merahnya, tentu tangan pemuda itu akan hangus dan dia akan keluar sebagai pemenangnya. Dia menubruk dan mencengkeram dengan kedua tangannya. Gerakannya cepat dan kuat sekali.
Dengan tenang Retno Wilis menangkis dengan kedua tangannya pula, gerakannya memutar dari kiri ke kanan. Dalam gerakan menangkis ini iapaun mengerahkan Aji Wisolangking dan hanya tampak sinar hitam ketika kedua tangannya menangkis.
"Plak-dukk.... !" Tangkisan itu sedemikian kuatnya dan aji Wisolangking dapat menahan pengaruh Hasta-rudita, dan akibatnya, tubuh Kalinggo terpelanting dan terhuyung hamper saja roboh. Bukan main kagetnya Kalinggo. Lawannya benar-benar dapat menangkisnya, bahkan tangkisan itu mengandung tenaga yang demikian kuatnya sampai dia hampir roboh. Penonton bersorak riuh rendah ketika Kalinggo terpelanting itu, terutama mereka yang bertaruh memihak Retno Wilis. Sebaliknya yang memihak Kalinggo menjadi pucat wajahnya dan memandang penuh kekhawatiran.
Karena maklum bahwa pemuda remaja itu benar-benar amat tangguh, Kalinggo menjadi nekat dan kembali dia menyerang, sekali ini dia menggunakan kedua tangan, yang kanan menghantam ke arah dada lawan, yang kiri menyusul mencengkeram ke arah muka.
Tenang saja Retno Wilis menyambut serangan ini. Pukulan tangan kanan ditangkisnya dengan tangan kiri, sedangkan cengkeraman tangan kiri itu disambutnya dengan tangkapan pada pergelangan tangan. Ketika ia mengerahkan tenaga dalam tangkapan itu, Kalinggo berteriak kesakitan. Seperti remuk rasa pergelangan tangan kirinya yang ditangkap tangan pemuda itu. Pada saat itu, Retno Wilis menendang ke arah lutut, tidak kuat benar akan tetapi cukup membuat Kalinggo terpelanting dan roboh bertekuk lutut.
"Ah, sudahlah, tidak perlu berlutut minta ampun!" kata Retno Wilis dan para penonton bersorak gembira, ada yang tertawa melihat betapa Kalinggo jatuh berlutut seperti hendak minta ampun kepada pemuda remaja yang lincah itu.
Kalinggo adalah seorang jagoan yang jarang menerima kekalahan seperti itu. Dia merasa dipermainkan dan terhina sekali, maka dia menggunakan kesempatan sekali lagi Retno Wilis lengah, tiba-tiba dalam keadaan berlutut itu dia menubruk ke depan dan sudah berhasil menangkap kaki kanan Retno Wilis. Dengan girang dia mengerahkan tenaga untuk menarik kaki itu dan membuat tubuh lawan terbanting. Akan tetapi dia tidak mengenal siapa Retno Wilis!
Cepat dara perkasa ini menggunakan aji Argo-selo (Batu Gunung) dan tubuhnya menjadi seberat batu gunung sehingga betapapun Kalinggo mengerahkan tenaganya, kaki yang kecil itu tidak tergeser sedikitpun juga! Para penonton kini terdiam, mengira bahwa pemuda remaja itu tentu akan celaka melihat kakinya sudah tertangkap Kalinggo. Akan tetapi mereka melihat Kalinggo ber-ah-uh-uh mengerahkan tenaga menarik, namun tetap saja pemuda itu tidak bergerak.
Kaki itu seolah telah berakar pada papan panggung. Selagi Kalinggo bersusah payah mengerahkan segala tenaganya, kaki kiri Retno Wilis menyambar, mengenai jalan darah pundaknya sehingga seketika Kalinggo merasa kedua tangannya lemas tak bertenaga dan tangkapannya terlepas. Retno Wilis menendang lagi dan tubuh Kalinggo melayang, terlempar keluar panggung.
Tepuk sorak sekali ini menggegap gempita, membuat panggung seolah-olah akan ambruk. Dyah Candramanik juga bangkit berdiri dan bertepuk tangan. Baru setelah Sang Adipati Martimpang sendiri yang naik ke atas panggung dan memberi isyarat dengan tangannya agar semua orang diam, suasana menjadi hening dan suara adipati itu terdengar lantang.
"Dengan ini kami umumkan bahwa pemenang sayembara ini adalah Joko Wilis dari Gunung Wilis!"
Kembali sorak sorai pecah dan semua penonton bersorak-sorak, kecuali mereka yang kalah dan terpaksa membayar kepada lawan bertaruh. Sang Adipati menghadapi Retno Wilis.
"Andika telah menangkan sayembara, dan berhak menerima hadiah yang disayembarakan."
Retno Wilis merasa tengkuknya meremang. baru sekarang ia teringat bahwa pemenang sayembara akan dijodohkan dengan Dyah Candramanik dan kelak menggantikan kedudukan adipati di Nusabarung! Ia cepat memberi hormat kepada Adipati Martimpang dan berkata dengan gagap.
"Akan tetapi saya.... saya tidak.... menghendaki hadiah...."
Kata-kata ini bahkan menyenangkan hati sang adipati, karena dianggapnya pemuda ini rendah hati. Pemuda yang sudah mengalahkan Ki Wisokolo, senopatinya yang paling tangguh! Pantas menjadi mantunya. Juga pemuda ini amat tampan, seperti Arjuna sehingga serasi sekali kalau menjadi suami puterinya yang cantik, Dyah Candra-manik.
"Berdirilah dan mari andika ikut dengan kami masuk ke kadipaten, di sana kita bicara!" perintahnya.
Retno Wilis menjadi bingung. Akan tetapi tak mungkin ia melarikan diri begitu saja. Ia justeru hendak mengadakan penyelidikan sehingga sebetulnya baik sekali kalau ia diterima masuk ke kadipaten. Akan tetapi bagaimana nanti kalau ia harus menikah dengan Dyah Candramanik? Ia masih belum dapat memikirkan bagaimana baiknya dan baru sekarang ia teringat akan kata-kata kakaknya. Bahkan kakaknya tadi telah memberi peringatan dengan sambitan kerikil kecil. Tentu maksud kakaknya agar ia mengalah sehingga tidak menjadi pemenang sayembara. Akan tetapi bagaimana ia dapat mengalah menghadapi Kalinggo yang demikian sombong? Ah, biarlah ia mengikuti saja kehendak sang adipati. Tentang pernikahan itu bagaimana nanti saja. Ia akan melihat perkembangannya. Sewaktu-waktu ia dapat meloloskan diri.
Kalau sekarang, di mana terdapat demikian banyaknya perajurit dan para penonton, sulit rasanya untuk melarikan diri. Juga kalau ia melarikan diri sekarang, bagaimana dengan penyelidikannya? Adipati Martimpang tiba di tempat di mana dia tadi duduk bersama isteri dan puterinya. Dyah Candramanik menyambut kedatangan ayahnya dengan muka kemerahan. Ia hanya mengerling sekali kepada Retno Wilis, lalu menundukkan muka dengan ke malu-maluan. Setelah kini berhadapan dengan Dyah Candramanik, Retno Wilis harus mengakui bahwa gadis itu cantik sekali. Wanita setengah tua yang duduk di dekatnya itu tentulah ibunya karena wanita itupun amat cantik.
Adipati Martimpang mengajak mereka semua memasuki gedung, diiringkan oleh para perajurit pengawal. Retno Wilis berjalan di belakang, dan ia memandang ke kanan kiri ketika memasuki ruangan depan pendopo gedung itu. Sebuah istana yang cukup mewah. Setelah tiba di ruangan dalam, Adipati Martimpang duduk di atas kursi bersama para isterinya yang sudah keluar menyambut Dyah Candramanik juga duduk di dekat ibunya. Retno Wilis menghadap dan duduk bersila di atas lantai.
"Joko Wilis," kata sang adipati dengan ramah, "sesuai dengan isi sayembara, andika yang telah lulus dengan baik akan kami jodohkan dengan puteriku ini, Dyah Candramanik."
Retno Wilis mengangkat muka memandang ke arah Dyah Candramanik yang juga memandang kepadanya. Dua pasang mata yang sama indahnya bertemu pandang dan Dyah Candramanik tersenyum, mukanya menjadi kemerahan dan ia menundukkan mukanya.
"Banyak terima kasih saya haturkan kepada paduka, kanjeng gusti adipati. Akan tetapi mohon beribu maaf bahwa saya masih terlalu muda untuk menikah," kata Retno Wilis dengan hati berdebar karena ia khawatir adipati itu akan marah kepadanya.
Adipati Martimpang memandang penuh selidik kepadanya. "Joko Wilis, apa artinya ini? Andika sudah tahu bahwa sayembara ini diadakan untuk mencarikan jodoh puteriku, bukan? Apakah andika hendak mengatakan bahwa masukmu mengikuti sayembara itu hanya untuk main-main belaka?" Suara adipati itu jelas mengandung nada kemarahan.
"Tidak sama sekali, gusti. Saya merasa berbahagia sekali, hanya saya mengatakan bahwa saya masih terlalu muda. Kalau paduka mengijinkan, berilah waktu kepada saya selama satu tahun lagi."
"Nanti dulu. Kami akan bertanya kepada puteri kami. Eh, Dyah Candramanik puteriku yang cantik, bagaimana pendapatmu dengan Joko Wilis ini? Apakah engkau sudah setuju kalau kami jodohkan dengan dia?"
Dyah Candramanik tersenyum sambil menundukkan mukanya, lalu terpaksa ia menjawab, "Ah, aku menurut bagaimana keputusan kanjeng rama saja."
Adipati Martimpang tertawa. "Ha-ha, itu artinya engkau setuju. Nah, kami pikir permintaanmu itu pantas juga. Joko Wilis. Memang andika kelihatan masih terlalu muda. Baiklah, andika tinggal di sini selama setahun, dan setelah itu baru kalian kami nikahkan."
"Terima kasih, gusti."
"Selama berada di sini, andika boleh menggembleng pasukan khusus agar mereka pun memiliki kadigdayaan. Dan andika tinggal di dalam istana ini, sebagai calon mantu kami.
"Terima kasih, kanjeng gusti adipati."
Tentu saja hati Retno Wilis gembira sekali. Kalau ia diperbolehkan menanti sampai setahun tinggal di situ, tentu banyak kesempatan baginya untuk melakukan penyelidikan akan rencana Nusabarung, apakah benar hendak memberontak dan bersekutu dengan Blambangan. Ia akan mempunyai banyak waktu dan sebelum setahun lewat, dengan mudah ia akan meloloskan diri dari pulau itu. Ia yakin bahwa kakaknya, Bagus Seto, juga telah masuk ke Nusabarung dan sekarang entah berada di mana. Sewaktu-waktu tentu kakaknya akan menghubunginya, kalau tidak ia dapat berjalan-jalan di pulau itu untuk mencarinya.
Setelah beberapa hari tinggal di kadipaten Nusabrung, Retno Wilis sudah mulai menyelidiki keadaan di Nusabarung dan ia mendengar bahwa Nusabarung baru bersiap-siap menghimpun kekuatan, namun belum ada tanda-tandanya hendak memberontak. Yang membuat hatinya tidak tenang adalah sikap Dyah Candramanik. Pada suatu pagi puteri itu menyuruh biyung emban untuk memanggilnya ke taman-sari. Tentu saja ia tidak berani menolak dan memasuki taman-sari. Dyah Candramanik telah berada di situ, hanya berdua dengan biyung emban. Setelah Retno Wilis datang, biyung emban yang tahu diri itu tanpa diperintah sudah pergi meninggalkan mereka berdua saja di taman-sari.
Retno Wilis tersenyum melihat sang puteri malu-malu menundukkan mukanya. Diam-diam ia merasa kasihan kepada puteri ini. Agaknya sang puteri memang jatuh cinta kepadanya. Melihat sang puteri diam saja, Retno Wilis mendahului bicara.
"Gusti puteri ... "
"Ah, kenapa engkau menyebut aku gusti? Engkau bukan hambaku dan aku bukan gustimu," Dyah Candramanik menegur tanpa memandang muka Retno Wilis.
"Lalu, saya harus menyebut apa?"
"Lupakah engkau bahwa kita telah ditunangkan? Tentu engkau tahu apa yang harus kausebut terhadap calon isterimu?" Sang puteri berkata lagi, kini memandang wajah Retno Wilis dan sikapnya mulai agak tabah.
"Ahh ... kalau begitu, apakah aku harus menyebutmu diajeng?"
"Memang begitu seharusnya, kakangmas Joko Wilis."
"Baiklah, diajeng Dyah Candramanik. Akan tetapi pagi ini engkau memanggilku ada keperluan apakah?"
"Aku hanya ingin bertemu dan bercakap-cakap denganmu. Kakangmas, engkau menolak untuk dinikahkah denganku sekarang, minta mundur setahun lagi. Aku heran sekali, kalau engkau tidak ingin menikah, mengapa engkau memasuki sayembara dan menghadapi bahaya maut untuk memperebutkan aku?"
"Aku.... aku.... ah, aku sebetulnya belum memikirkan tentang perjodohan diajeng."
"Akan tetapi aneh! Mengapa mengikuti sayembara?"
"Karena aku melihat para peserta itu sombong-sombong dan tidak ada yang sesuai untuk menjadi jodohmu. Aku hendak mencegah engkau menikah dengan seorang dari mereka. Kalau aku tidak ikut sayembara, tentu engkau sudah dipersunting Kalinggo dari Blambangan itu. Apakah engkau akan suka kalau dijodohkan dengan orang sekasar itu?"
"Tentu saja tidak! Akan tetapi engkau yang menang. Engkau yang berhak menikah dengan aku. Apakah.... apakah engkau tidak cinta kepadaku, kakangmas Joko Wilis?"
Retno Wilis menjadi bingung. "Tentu saja aku mencintamu, diajeng. Engkau seorang puteri yang cantik jelita, siapa tidak mencintamu? Aku hanya minta waktu, tidak ingin buru-buru menikah."
"Baiklah, kanjeng Rama sudah menyetujuinya. Dan akupun tidak marah, hanya kuminta selama setahun menunggu ini, engkau seringlah datang ke sini untuk bercakap-cakap dengan aku, untuk mengajariku memanah."
"Baiklah, diajeng. Akan tetapi engkau juga harus banyak memberitahu padaku tentang Nusabarung dan pemerintahannya. Engkau tentu maklum bahwa kelak kanjeng Ramamu akan mengangkat aku sebagai penggantinya. Bagaimana aku dapat memerintah dengan baik kalau tidak mengenal keadaan Nusabarung?"
"Tentu saja aku akan menceritakan semua yang kuketahui, kakangmas. Soal apakah yang ingin kauketahui?"
"Segala hal yang menyangkut Nusabarung dan pemerintahannya, diajeng. Aku mendengar bahwa Nusabarung berada dibawah kekuasaan Jenggala, benarkah itu diajeng?" kata Retno Wilis sambil duduk di bangku panjang, di sebelah Dyah Candra-manik.
"Dahulu memang benar begitu, kakang-mas. Akan tetapi kanjeng Romo tidak suka membiarkan hal itu. Katanya Nusabarung harus terlepas dari kekuasaan Jenggala."
"Ah, kalau begitu berarti Nusabarung hendak menentang Jenggala. Padahal Jenggala adalah sebuah kerajaan besar. Bagaimana Nusabarung hendak menentangnya, diajeng? Apakah itu tidak berbahaya?"
"Karena itu kanjeng rama mulai menghimpun kekuatan, menghimpun pasukan yang besar. Selain itu, kanjeng rama juga berhubungan baik dengan Blambangan, bahkan kalau perlu, kita dapat minta bantuan dari Bali-dwipa. Mereka semua juga tidak suka ditundukkan oleh Jenggala dan Panjalu."
"Kalau begitu ada rencana dari Nusabarung untuk menyerang Jenggala? Ini berbahaya sekali!"
"Bukan menyerang, melainkan menjaga diri dan melakukan perlawanan kalau Jenggala berani menyerang ke sini. Kita semua sudah siap, kakangmas. Karena itulah kanjeng Rama mengadakan sayembara untukku, untuk mendapatkan seorang mantu yang sakti mandraguna seperti kakangmas. Dan karena itu pula aku ingin belajar memanah agar kalau saatnya tiba, aku dapat pula menjaga diri."
"Wahai, diajeng, siapa orangnya yang berani mengganggu andika? Selain tidak berani, juga tidak mau karena siapa yang melihat andika tentu akan merasa sayang dan tidak akan mengganggumu."
"Dalam keadaan perang, siapa yang akan memperdulikan, kakangmas? Sudahlah, apa lagi yang kakangmas tanyakan?"
Dengan cerdik Retno Wilis menghentikan pertanyaan-pertanyaannya dan mengajarkan ilmu memanah kepada dara jelita itu. Tentu saja tangan mereka bersentuhan dan Retno Wilis berlaku hati-hati sekali agar jangan sampai dara itu mengetahui rahasianya. Sikapnya yang lemah lembut, ramah dan sopan ini bahkan membuat Dyah Candramanik semakin tergila-gila.
Pada hari-hari berikutnya, secara sambil lalu sambil mengajarkan memanah, Retno Wilis berhasil mengorek banyak keterangan dari puteri itu. Ia tahu bahwa Nusabarung mempunyai lima orang senopati yang gagah perkasa, yaitu Ki Wisokolo, Ki Wisangnogo, Ki Krendomolo, Ki Damarpati, dan Ki Surodiro. Mereka semua adalah senopati-senopati yang pandai berperang dan juga sakti. Juga ia mendengar dari sang puteri yang tergila-gila kepadanya itu bahwa Nusabarung tadinya mempunyai pasukan yang lebih sedikit dari seribu orang banyaknya, akan tetapi kini dengan masuknya orang-orang muda di sekitar Nusabarung, jumlah itu meningkat menjadi kurang lebih dua ribu orang. Sebagian dari jumlah itu kini berjaga di pantai daratan. Pada suatu pagi, selagi Retno Wilis melatih Dyah Candramanik yang belajar memanah, muncullah seorang petugas. Dyah Candramanik memandang dengan marah kepada petugas jaga itu.
"Mau apa engkau ke sini tanpa dipanggil? Berani engkau memasuki taman ini?"
"Maafkan hamba, gusti puteri. Hamba diutus oleh Kanjeng Gusti Adipati untuk menemui Raden Joko Wilis di sini."
"Mau apa dengan kakangmas Joko Wilis?"
"Kanjeng Gusti Adipati memanggilnya untuk menghadap sekarang juga."
Mendengar ini, Retno Wilis mendekati orang itu dengan senyum ramah dan bertanya dengan lembut, "Paman, ada urusan apakah Kanjeng Adipati memanggilku?"
"Hamba tidak tahu, raden. Hanya yang hamba ketahui, Kanjeng Gusti Adipati sedang menerima tamu dari Blambangan."
"Tamu dari Blambangan? Siapakah mereka?"
"Hamba tidak tahu, hanya ada dua orang kakek yang berpakaian mewah datang bertamu dan tak lama kemudian Kanjeng Gusti Adipati memerintahkan saya untuk mengundang paduka."
"Baiklah, paman. Saya akan menghadap sekarang. Diajeng Dyah Candramanik, agaknya ada keperluan penting sekali maka kanjeng Ramamu memanggil aku. Aku pergi dulu."
Dyah Candramanik hanya mengangguk dengan muka bersungut-sungut karena merasa betapa kesenangannya terganggu.
Retno Wilis dan utusan itu lalu meninggalkan taman-sari. Setelah memasuki tempat persidangan di mana Sang Adipati menerima para tamunya, Retno Wilis melihat bahwa di situ duduk dua orang kakek berpakaian mewah sedang duduk berhadapan dengan Adipati Martimpang. Yang seorang adalah seorang kakek berusia enampuluh tahun lebih, pakaiannya mentereng dan bersih, rambutnya tersisir rapi dan jenggotnya juga terpelihara baik-baik.
Seorang kakek yang rapi dan pesolek, mukanya bundar dan mulutnya selalu tersenyum, wajahnya yang juga lembut dan tampan itu tampak seperti kewanitaan. Adapun kakek ke dua, biarpun pakaiannya juga mewah, namun pakaian itu dekil dan kotor. Rambutnya juga awut-awutan tidak tersisir, matanya lebar hidungnya pesek dan mulutnya selalu menyeringai seperti menertawakan orang. Sekali pandang saja Retno Wilis dapat menduga bahwa kedua orang kakek itu bukan orang sembarangan. Ia dapat melihat ini dari sikap mereka yang seperti orang memandang rendah dan sinar mata mereka yang tajam berpengaruh.
"Joko Wilis! Ke sinilah, hendak kuperkenalkan dengan dua orang yang datang dari Blambangan." Dia menunjuk kepada kakek yang pakaiannya rapi dan pesolek. "Ini adalah Sang Wasi Karangwolo, seorang pendeta yang menjadi penasihat dari Sang Adipati di Blambangan. Adapun yang kedua ini adalah Sang Wasi Surengpati, juga seorang pertapa yang kini membantu Wasi Karangwolo yang menjadi saudara seperguruannya. Paman Wasi berdua, inilah Joko Wilis yang kumaksudkan. Dialah yang memenangkan sayembara tanding itu, mengalahkan Kalinggo, bahkan mengalahkan Ki Wisokolo."
Sang Wasi Karangwolo memandang kepada Joko Wilis dengan tajam penuh selidik, senyumnya melebar dan dia berkata, "Sungguh seorang pemuda yang ganteng sekali!"
Sang Wasi Surengpati juga memandang dan dia mengerutkan alisnya. "Seorang bocah seperti ini keluar sebagai pemenang? Sungguh mengherankan sekali. Joko Wilis, engkau telah bertemu dengan kami, hayo cepat berlutut dan menyembah!"
Retno Wilis terkejut. Perintah itu diucapkan dengan suara dalam dan berpengaruh sekali, ia merasa seolah-olah ada tenaga yang mendorongnya untuk berlutut dan menyembah... Maklum bahwa ini merupakan teriakan yang mengandung tenaga sihir, iapun memejamkan mata mengerahkan kekuatan batinnya untuk menolak perintah itu dan berkata dengan suara tenang namun juga penuh tantangan.
"Paman Wasi, tidak ada peraturan yang mengharuskan saya berlutut dan menyembah kepada orang yang belum saya ketahui benar keadaannya. Saya hanya menyembah kepada Kanjeng Adipati, akan tetapi tidak kepada kalian berdua!"
Wasi Surengpati tercengang. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda remaja itu ternyata mampu menolak sihirnya yang kuat! Sang Adipati juga terkejut mendengar perintah Wasi Surengpati dan dia menegur,
"Apa maksud Kakang Wasi Surengpati dengan perintah yang tidak pada tempatnya itu? Mengapa Joko Wilis harus menyembah kepada kalian berdua yang menjadi tamu kami?"
Wasi Karangwolo yang menjawab sambil tertawa, "Ha-haha, Kanjeng Adipati, adi Wasi Surengopati hanya ingin menguji saja kepada Joko Wilis dan ternyata pemuda remaja ini mampu menolak ujiannya. Sungguh mengagumkan sekali, seorang pemuda yang ganteng dan juga sakti mandraguna!"
Barulah Adipati Martimpang mengerti dan dia tersenyum bangga. "Sudah kami katakan bahwa dia sakti mandraguna. Sungguh hati kami merasa girang dan bangga, seperti andika berdua saksikan sendiri, kami telah memperoleh tenaga yang amat tangguh dan boleh diandalkan!"
"Akan tetapi, Kanjeng Adipati, apa artinya tenaga seorang saja dibandingkan tenaga limaribu orang pasukan gemblengan yang kokoh kuat!" tanya Wasi Karangwolo.
Mendengar ucapan ini, Adipati Martimpang mengerutkan alisnya dan berkata kepada Joko Wilis, "Joko Wilis, kembalilah engkau ke taman-sari dan lanjutkan beri latihan memanah kepada Dyah Candramanik."
Retno Wilis merasa kecewa dalam hatinya karena ia ingin sekali mendengar apa yang akan dibicarakan oleh dua orang tamu dari Blambangan ini. Akan tetapi tentu saja ia tidak dapat membantah dan pergilah ia meninggalkan ruangan itu dan kembali ke taman-sari di mana Dyah Candrarnanik menyambutnya dengan gembira. Setelah Retno Wilis pergi, Adipati Martimpang bertanya dengan nada suara tidak senang kepada Wasi Karangwolo.
"Paman Wasi Karangwolo, apa artinya ucapan paman tadi? Apa yang paman maksudkan?"
"Maksud saya, Kanjeng Adipati, bahwa Kalinggo jauh lebih baik untuk menjadi mantu paduka dari pada Joko Wilis tadi. Betapa pun saktinya, Joko Wilis hanya seorang diri saja. Bagaimana dia akan mampu menanggulangi keadaan kalau Nusabarung diserbu pasukan dari Jenggala? Sebaliknya, kalau Kalinggo menjadi mantu paduka, tentu Blambangan akan lebih dekat dengan Nusabarung dan limaribu orang pasukan Blambangan yang kokoh kuat tentu jauh lebih berharga dari pada bantuan tenaga seorang Joko Wilis."
"Pula, harus diingat bahwa Gunung Wilis terletak di wilayah kekuasaan Panjalu. Siapa tahu kalau-kalau pemuda itu merupakan telik sandi yang hendak mengadakan penyelidikan di Nusabarung!" kata pula Wasi Surengpati.
Mendengar ucapan kedua orang tamunya itu, Adipati Martimpang mengerutkan alisnya dan hatinya menjadi gelisah. Teringatlah dia bahwa sebelum diadakan sayembara, dia sama sekali tidak mengenal Joko Wilis. Bukan tidak mungkin kalau Joko Wilis merupakan seorang mata-mata atau telik sandi yang sedang menyelidiki keadaan di Nusabarung! Dan teringat pula dia betapa Joko Wilis menolak untuk segera menikah dengan Dyah Candramanik, melainkan minta diundur selama satu tahun.
"Kalau begitu, bagaimana baiknya, Paman Wasi berdua? Dia sudah terlanjur kami terima sebagai calon mantu, karena memang dia yang memenangkan sayembara itu. Dan agaknya puteriku Dyah Candramanik juga sudah menyetujui."
"Mana yang harus diutamakan, kepentingan hati puteri paduka ataukah keselamatan kadipaten Nusabarung? Kalau paduka menghendaki, biarlah kami berdua yang akan melakukan penyelidikan terhadap diri Joko Wilis, kalau ternyata dia seorang telik sandi, kami berdua yang akan sanggup menangkapnya!" kata Wasi Karangwolo.
"Baik, paman Wasi. Akan tetapi kami harap andika berdua berhati-hati, jangan sampai membuat puteriku berduka. Kalau benar Joko Wilis seorang telik sandi dari Panjalu atau Jenggala, tentu dengan mudah kami sendiri yang akan memberitahu kepada puteriku Dyah Candramanik."
Demikianlah, Adipati Martimpang telah membuat persekutuan dengan dua orang pendeta yang datang dari Blambangan itu untuk menyelidiki keadaan Joko Wilis!
********************