Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Sepasang Garuda Putih Jilid 04
DEWI CANDRAMANIK termenung seorang diri dalam kamarnya. Apa yang dialami sore tadi ketika ia mempelajari ilmu memanah dari Joko Wilis sungguh membuat jantungnya berdebar penuh ketegangan. Selama beberapa hari ini ia memang merasakan ada sesuatu yang aneh pada diri Joko Wilis. Naluri kewanitaannya membuat ia sadar bahwa ada suatu kalainan pada diri pemuda yang membuat ia kasmaran itu.
Kalau ia belajar membidik, Joko Wilis berdiri di belakangnya dan merangkulkan kedua lengan untuk mengajarinya menarik busur dan membidik, ia mencium keharuman yang seperti bunga, keharuman seperti yang terdapat pada tubuh wanita! Pula, jari-jari tangannya demikian kecil meruncing, sentuhan lengannya demikian lembut. Juga rambutnya mengeluarkan bau harum. Makin lama, hatinya menjadi semakin curiga karena Joko Wilis bergerak demikian indah dan luwes seperti seorang wanita.
"Aku harus mendapat kepastian besok pagi," akhirnya puteri itu mengambil keputusan.
Sementara itu, senja itu Retno Wilis mendapat kesempatan untuk berjalan-jalan keluar dari kadipaten. Ia terus menuju ke pintu gerbang dan keluar dari kota kadipaten, memasuki daerah berhutan dari pulau itu. Tentu saja maksudnya hanya satu, yaitu hendak menemui kakaknya. Kalau kakaknya berada di kadipaten dan melihat ia keluar dari kota, tentu kakaknya akan membayanginya. Dugaannya benar. Belum lama ia berjalan di jalan yang sunyi di tepi hutan itu, ia melihat seorang pemuda berpakaian putih di sebelah depan. Ketika ia mendekat, melihat bahwa orang itu adalah Bagus Seto.
"Kakangmas Bagus Seto!" ia memanggil.
"Diajeng Retno Wilis, engkau keluar dari kota raja untuk menemui aku, bukan?"
"Benar, kakangmas," Retno Wilis Lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa setelah berhasil memenangkan sayembara, telah mendapat banyak keterangan tentang Nusabarung dari Dyah Candramanik.
"Diajeng, sebaiknya kita sekarang lari saja meninggalkan pulau. Kalau engkau terlalu lama di sini, akhirnya engkau akan menemui halangan. Permainanmu terlalu berbahaya, diajeng."
"Nanti dulu, kakangmas. Hari ini terjadi hal yang penting. Ada dua orang utusan dari Blambangan tiba di sini dan mereka itu adalah orang-orang yang pandai. Bahkan seorang di antara mereka telah mencoba untuk mempengaruhi aku dengan ilmu sihirnya. Aku harus menyelidiki dulu apa maksud mereka datang berkunjung. Setelah itu, baru kita melarikan diri."
"Engkau telah menipu Dyah Candramanik, kalau ia mengetahui kepalsuanmu, tentu ia akan sakit hati. Karena itu berhati-hatilah, diajeng."
"Jangan khawatir, kakang. Aku akan bersikap hati-hati. Dyah Candramanik itu tidak merupakan bahaya karena ia sudah tergila-gila kepadaku, ia memang cantik, kakang. Kalau saja engkau yang mengikuti sayembara dan menikah dengannya, tentu serasi sekali!"
"Hushh, jangan bicara yang bukan-bukan, diajeng. Jangan terlalu lama engkau menyelidiki dua orang pendeta dari Blambangan itu. Kita harus cepat pergi dari sini. Hasil penyelidikanmu itu sudah cukup."
"Baik, kakangmas. Berilah waktu seminggu lagi kepadaku. Seminggu kemudian kita akan bertemu di sini, di waktu senja dan kita lari bersama."
Setelah bercakap-cakap melepas kerinduan, mereka lalu kembali ke kadipaten, mengambil jalan masing-masing. Menurut cerita Bagus Seto kepada Retno Wilis, pemuda itu mondok di rumah seorang duda tua yang hidup menyendiri di sudut kota.
Pada keesokan harinya, Retno Wilis memasuki taman-sari seperti biasa untuk menemui Dyah Candramanik mengajarkan ilmu memanah. Hatinya lega karena ia telah bertemu dengan kakaknya dan dengan wajah berseri ia bertemu dengan puteri itu. Ia melihat betapa Dyah Candramanik mengenakan pakaian baru yang merah muda sehingga tampak lebih cantik dari biasanya. Retno Wilis yang sedang senang hatinya, memuji kecantikan puteri itu.
"Wahai, diajeng Candramanik, engkau kelihatan secantik bidadari dari kahyangan."
Wajah Dyah Candramanik menjadi kemerahan dan ia berkata manja. "Ah, kakangmas, harap jangan terlalu memujiku." Ia menggapai kepada seorang pelayan dan minta agar pelayan mengambilkan minuman untuk Joko Wilis. Setelah minum, Dyah Candramanik lalu berkata, "Kakangmas Joko Wilis, mengapa aku amat bodoh? Mempelajari ilmu memanah, sampai sekarang aku belum juga pandai memanah."
"Siapa bilang, diajeng? Engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Bukankah kemarin tiga kali anak panahmu mengenai sasaran. Itu sudah cukup bagus!"
"Kalau setiap kali melepas anak panah mengenai sasaran, itu baru dapat dibilang bagus, kakangmas. Aku masih lemah dalam hal membidik, dan ketika melepaskan anak panah, jari tangan kananku kurang tenang. Aku minta diajar membidik lagi yang lebih baik kakangmas!"
"Baiklah, diajeng. Hari ini akan kuajarkan engkau membidik ke arah sasaran agar tepat dan bagaimana engkau harus mengerahkan tenaga agar anak panahmu dapat meluncur dengan lurus."
Mulailah mereka berlatih memanah. Untuk mengajarkan bagaimana membidik dengan baik, terpaksa Joko Wilis harus memegang kedua lengan puteri itu dan untuk dapat melakukan ini, dia harus berdiri mepet di belakang puteri itu dan merangkulnya untuk membimbing kedua tangan yang memegang busur dan anak panah. Dengan cara begini, punggung puteri itu dekat sekali dengan dada Joko Wilis. Ketika mereka berdua sedang asyik belajar membidik, tidak ada orang lain yang menyaksikan karena pelayan telah disuruh pergi oleh Dyah Candramanik, tiba tiba ketika ia menarik gendewa dan membidik, puteri itu mengeluh dan tubuhnya condong ke belakang seperti hendak jatuh. Joko Wilis yang tidak menyangka, menjadi terkejut ketika siku lengan puteri itu telah mendesak buah dadanya.
"Ihh.... !" Dyah Candramanik terkejut dan kini yakin bahwa Joko Wilis adalah seorang perempuan, ia membalik dan memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Engkau... engkau seorang wanita... !" bisiknya dengan napas terengah-engah karena tegang hatinya.
Retno Wilis juga terkejut sekali, tidak mengira bahwa rahasianya akan dapat diketahui puteri itu. Ia tidak dapat mengelak lagi dan demi kebaikan puteri itu sendiri ia harus berterus terang agar puteri itu tidak terus tergila-gila kepadanya.
"Maafkan saya, diajeng, terus terang saja saya memang seorang perempuan."
"Gila kau! Kenapa engkau mempermainkan aku seperti ini? Mengapa engkau mengikuti sayembara itu, bahkan memenangkannya dan bersedia dijodohkan dengan aku?"
"Sekali lagi maafkan saya. Saya seorang petualang dan dalam perantauan saya, saya melihat sayembara itu. Melihat para pengikut sayembara yang sombong-sombong dan kasar-kasar, saya tidak tega membiarkan diajeng menjadi isteri seorang di antara mereka. Karena itu aku lalu memasuki sayembara untuk mengalahkan mereka semua sehingga andika terhindar dari pada bahaya menjadi jodoh orang-orang kasar itu."
Akan tetapi Dyah Candramanik tidak menjawab dan ia menangis, lalu bangkit berdiri dan lari meninggalkan Retno Wilis, kembali ke gedung kadipaten. Sejenak Retno Wilis bimbang. Apa yang harus ia lakukan? Apa pula yang akan dilakukan puteri itu? Apakah ia harus cepat melarikan diri? Retno Wilis menanti di taman sari sampai lama, mengharapkan sang puteri akan kembali ke situ. Akan tetapi setelah dinanti-nanti sampai agak lama sang puteri tidak juga muncul, ia lalu kembali ke kamarnya dan mengambil keputusan untuk melarikan diri pada waktu senja nanti.
Sementara itu, Dyah Candramanik berlari ke dalam gedung kadipaten sambil menangis. Ia mencari ayahnya dan melihat ayahnya sedang berada di ruangan tamu bersama dua orang tamu kakek dari Blambangan itu, ia tidak perduli dan terus lari memasuki ruangan itu dan langsung menubruk ayahnya sambil menangis.
"Duh, kanjeng Romo.... !" ia menangis.
"Eh, Dyah Candramanik, ada apakah? Apa yang terjadi dan mengapa engkau menangis seperti ini?"
"Aduh celaka, kanjeng Romo, kita telah tertipu dan terhina....!" Kata-katanya terhenti karena tangisnya yang tersedu-sedu. "Tenanglah, anakku. Ceritakan dengan tenang dan jelas apa yang telah terjadi."
"Kanjeng Romo, Joko Wilis itu.... dia itu.... ternyata adalah seorang wanita.... !"
"Apa?" Adipati Martimpang bangkit berdiri dengan mata terbelalak. "Di mana si bedebah itu? Berani ia mempermainkan kita!"
"Aku meninggalkannya di taman-sari, kanjeng Romo."
"Kanjeng Adipati, biarlah kami berdua yang akan menangkapnya!" kata Wasi Karangwolo yang sudah bangkit berdiri bersama adik seperguruannya, Wasi Surengpati.
"Akan kukerahkan pasukan untuk membantu andika berdua!"
Terjadi kesibukan. Tidak kurang dari tigapuluh orang dikerahkan untuk mengawal dua orang pendeta yang akan menangkap Retno Wilis itu. Mereka lalu mencari dara yang menyamar sebagai pemuda itu. Akan tetapi Retno Wilis sudah meninggalkan taman-sari dan berada di dalam kamar nya. Ketika itu Retno Wilis masih merasa bimbang. Ia masih ingin menyelidiki kehadiran dua orang pendeta utusan Blambangan itu, akan tetapi tidak disangkanya sama sekali rahasianya akan terbuka oleh sang puteri. Sama sekali ia tidak tahu bahwa dirinya sudah dibayangi oleh dua orang pendeta itu, bahkan kini kamarnya sudah dikepung oleh tigapuluh orang perajurit yang membawa gendewa dan anak panah!
Ketika ia mendengar gerakan orang-orang di luar kamarnya, Retno Wilis lalu mengintai dari balik jendela. Alangkah terkejutnya melihat banyak perajurit sudah menodongkan anak panah mereka ke arah pintu, juga jendela kamarnya. Kalau ia berusaha keluar dari pintu atau jendela itu, tentu hujan anak panah akan menyambutnya dan itu berbahaya sekali. Mana mungkin menangkis puluhan batang anak panah yang dihujamkan ke arahnya.
"Joko Wilis, keluar dan menyerahlah. Engkau sudah dikepung!" terdengar bentak nyaring dan Retno Wilis mengenal suara ini sebagai suara Adipati Martimpang sendiri.
Maklumlah ia bahwa rahasianya tentu sudah dibuka oleh Dyah Candramanik sehingga sang adipati itu juga sudah tahu bahwa ia seorang wanita yang menyamar pria. Ia harus dapat meloloskan diri dari situ karena bahaya besar mengancamnya! Jalan melalui pintu atau jendela sudah tertutup, tak mungkin ia keluar dari situ. Satu-satunya jalan adalah menerobos atap rumah! Setelah menghadapi ancaman bahaya ini baru ia merasa menyesal mengapa ia tidak menurut nasihat Bagus Seto untuk melarikan diri kemarin, dan lebih menyesal lagi bahwa ia tidak membawa pedang pusakanya. Dengan pedang itu mungkin ia dapat menerobos keluar dan memutar pedangnya menangkis hujan anak panah. Sekarang ia bertangan kosong, tidak mungkin ia menempuh bahaya itu.
Setelah mengambil keputusan, Retno Wilis lalu mengerahkan tenaga saktinya dan ia meloncat naik melalui atap yang diterobosnya dengan kedua tangannya. Ia berhasil menerobos atap dan berada di atas atap. Akan tetapi sama sekali ia tidak mengira bahwa di situ sudah menanti Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati! Dua orang pendeta ini sudah menduga bahwa Retno Wilis mungkin mengambil jalan menerobos atap, maka begitu tubuh dara perkasa itu muncul, Wasi Karangwolo sudah menyambutnya dengan sambitan tepung berwarna kuning ke arah muka Retno Wilis dan Wasi Surengpati menyodokkan tongkat ularnya ke arah lehernya !
Retno Wilis menangkis sodokan tongkat ular itu, akan tetapi ia tidak dapat menghindar ketika bubuk kuning itu sebagian mengenai mukanya! Matanya tiba-tiba menjadi pedih dan tidak dapat dibuka, dan hidungnya mencium bau yang amis dan keras. Tiba-tiba ia merasa napasnya sesak dan terpelantinglah Retno Wilis di atas atap ! Dengan mudah Wasi Karangwolo menyambut tubuhnya dan menelikung sehingga Retno Wilis yang jatuh pingsan itu tidak berdaya lagi. Wasi Karangwolo membawanya loncat ke bawah. Melihat Joko Wilis sudah tertawan, Adipati Martimpang menghunus kerisnya dan hendak menusukkan keris itu ke dada Joko Wilis.
"Biar kubunuh penipu dan pengacau ini!" hardiknya.
Akan tetapi Wasi Karangwolo menghalangi. "Sabar dulu, Kanjeng Adipati. Jangan tergesa-gesa membunuhnya. Mungkin saja ia dapat mengaku terus terang siapa sebenarnya ia ini, mungkin telik sandi yang dilepaskan Panjalu atau Jenggala untuk menyelidiki keadaan kita. Kalau ia sudah membuat pengakuan, nah, baru boleh ia dibunuh di depan rakyat jelata agar mereka takut membuat kacau seperti dara ini."
Adipati Martimpang mengangguk-angguk dan menyarungkan kembali kerisnya. "Sesuka andika berdua sajalah untuk memeriksanya, kalau perlu boleh menyiksanya agar ia mengaku."
Wasi Karangwolo tersenyum. "Kamu mempunyai cara yang lebih baik untuk membuat ia mengaku, bukan dengan penyiksaan karena boleh jadi dara ini cukup tangguh untuk membungkam mulut dan menahan segala siksaan. Dengan cara kami ia akan dengan sendirinya membuat pengakuan. Akan tetapi ia telah menghisap bubuk racun kuning kami dan mungkin sore nanti baru sadar. Kami hanya minta sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat untuk mengurung dirinya."
Retno Wilis lalu diangkat ke dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari batu dan pintunya terbuat dari besi tebal dengan jeruji di bagian atasnya. Setelah kedua kaki dan tangannya diikat dengan tali yang kuat, ditelikung seperti seekor domba yang hendak disembelih, Retno Wilis lalu dilempar ke dalam kamar tahanan itu.
Wasi Karangwolo dan Resi Surengpati minta kepada para penjaga untuk meninggalkan mereka bertiga saja dengan tawanan itu. Setelah semua orang pergi, mereka lalu mengerahkan tenaga batin mereka untuk melakukan sihir atas diri Retno Wilis. Dalam keadaan tidak sadar, Retno Wilis dibuka kedua pelupuk matanya dan kedua orang pendeta itu memandang dengan sinar mata mencorong ke dalam mata Retno Wilis.
"Hei, wanita muda yang menyamar sebagai Joko Wilis. Engkau akan menuruti semua kehendak kami! Kalau sudah sadar engkau harus menjawab semua pertanyaan kami dengan sebenarnya!" Kalimat itu di ulang-ulang dan beberapa mantera dibisikkan oleh kedua Wasi itu sampai akhirnya Retno Wilis yang masih pingsan itu mengangguk-angguk.
Mereka melepaskan lagi Retno Wilis yang rebah tak berdaya diatas lantai dan barulah mereka keluar dari kamar tahanan itu. Gadis itu sudah dikuasai dan dikendalikan pikirannya dengan ilmu sihir dan kedua kaki tangannya juga terikat kuat, sedikitpun tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri. Belum lagi keadaan kamar tahanan itu yang kokoh kuat dan di luar kamar tahanan terdapat belasan orang perajurit yang menjaganya. Biar ditambah sepasang sayap di pundak dara itu tak mungkin ia dapat meloloskan diri.
Tubuh dalam kamar tahanan itu bergerak-gerak, menggerakkan kaki tangannya akan tetapi ia tidak mampu bangkit. Kedua kaki dan tangannya sudah terbelenggu kuatkuat. Retno Wilis mulai sadar dari pingsannya, akan tetapi ia tidak dapat menggerakkan kaki tangannya. Kepalanya terasa pening sekali. Ketika membuka matanya, ia melihat bahwa dirinya menggeletak di atas lantai yang dingin. Ketika ia mencoba menggerakkan kaki tangannya, ia tidak dapat.
Tubuhnya terasa lemas sekali. Ia tidak dapat mengingat dengan jelas apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia kini hanya tahu bahwa ia telah dibelenggu kaki tangannya dan berada dalam sebuah kamar yang tidak berapa luas, yang hanya mempunyai sebuah pintu baja yang bagian atasnya ada terali besinya yang amat kuat. Ia telah ditawan! Pikiran ini membingungkannya. Ketika timbul niatnya untuk mematahkan belenggu pada kaki tangannya, mendadak di dalam kepalanya terdengar suara yang amat berwibawa.
"Engkau tidak dapat membebaskan diri dari belenggu karena semua tenagamu habis. Engkau merasa tubuhmu tidak berdaya, lemah lunglai!"
Ia harus membenarkan kata-kata yang terngiang di dalam telinganya ini. Tidak mungkin ia membebaskan diri dari belenggu yang demikian kuatnya, sedangkan tubuhnya demikian lemas tak berdaya.
"Aku lemah.... tubuhku lemah tak berdaya...." katanya membenarkan, dan iapun tidak berani mencoba mengerahkan tenaganya lagi, melainkan rebah miring tak berdaya.
Tiba-tiba Retno Wilis melihat dua muka orang muncul di luar terali besi itu. Ia tidak ingat lagi siapa mereka, akan tetapi yang tampak olehnya hanya dua pasang mata yang mencorong seperti api dan yang seolah-olah mengikatnya. Ia menjadi gelisah menatap dua pasang mata itu.
"Wanita muda, siapakah namamu? Jawab yang benar!"
Retno Wilis merasa aneh sekali. Mengapa ada orang bertanya seperti itu dan ia merasa tak berdaya, merasa bahwa ia harus menjawab sejujurnya? Akan tetapi ia tidak mampu menahan diri dan ia harus menjawab sejujurnya, seolah ada sesuatu yang amat kuat mendorongnya untuk menjawab.
"Namaku Retno Wilis."
Dua orang kakek itu adalah Wasi Surengpati dan Wasi Karangwolo. Mendengar jawaban itu, mereka saling pandang. Wasi Karangwolo lalu bertanya lagi sambil mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi Rara Wilis.
"Dari mana engkau datang?"
"Dari Panjalu."
Kembali dua orang kakek itu saling pandang dan pada saat itu, Adipati Martimbangpun datang dan ikut menjenguk lewat terali besi di bagian atas pintu. Melihat kehadiran adipati Martimpang, Wasi Karangwolo mengulang lagi pertanyaannya.
"Wanita muda, katakan siapa namamu dan darimana engkau datang!"
Bagaikan seorang yang sedang mimpi, jawaban itu meluncur dari mulut Retno Wilis di luar kehendaknya sendiri.
"Namaku Retno Wilis dan aku datang dari Panjalu."
Adipati Martimpang terkejut. Dia tidak mengenal nama Retno Wilis akan tetapi pengakuan gadis itu bahwa ia datang dari Panjalu mengejutkan hatinya. Kiranya benar bahwa gadis ini seorang telik-sandi yang dikirim oleh Kerajaan Panjalu!
"Siapa yang mengutusmu datang ke Nusabarung?"
"Tidak ada yang mengutusku."
"Apa maksudmu datang ke Nusabarung?"
"Hendak melihat-lihat keadaan, menentang kejahatan, membela yang benar dengan adil!" kata-kata terakhir itu adalah tugas yang selalu didengungkan oleh Bagus Seto kepada Retno Wilis, maka sekarang kata-kata itu keluar dengan sendirinya."
"Siapa ayah bundamu?" Wasi Karangwolo kembali bertanya untuk dapat mengetahui lebih banyak tentang gadis yang menjadi tawanan itu.
"Ayahku Patih Panjalu Tejolaksono dan ibuku Endang Patibroto!"
Dua orang kakek dan adipati itu terkejut setengah mati. Mata mereka terbelalak ketika mereka saling pandang. Kalau nama Retno Wilis tidak mereka kenal, maka nama Tejolaksono dan Endang Patibroto itu tentu saja telah mereka kenal dengan baik! Dua orang yang sakti mandraguna, yang pernah menggegerkan Nusabarung dan Blambangan.
Wasi Karangwolo selain terkejut juga girang sekali. Dia menganggap Tejolaksono dan Endang Palibroto sebagai musuh besarnya. Kakek ini adalah guru dari para senopati di Blambangan yang dulu terbunuh oleh Endang Patibroto. Para muridnya itu adalah Mayangkrudo, Kolonarmodo, dan Haryo Baruno. Bahkan Adipati Blambangan di waktu itu, Menak Linggo juga terbunuh oleh wanita sakti itu. Dan kini puteri Endang Patibroto dan Tejolaksono berada di dalam tangannya! Sungguh merupakan balas dendam yang terasa manis sekali bagi Wasi Kawangwolo. Adipati Martimpang kini yakin pula bahwa puteri patih Panjalu itu pasti datang untuk menyelidiki keadaan dan kekuatan Nusabarung. Gadis ini merupakan orang yang berbahaya sekali.
"Ia seorang yang berbahaya sekali!" kata Adipati Martimpang. "Kita bunuh saja ia sebelum ia dapat memberi keterangan tentang Nusabarung kepada Raja Panjalu!"
"Nanti dulu, Kanjeng Adipati. Kita kuras dulu keterangan darinya sebanyak-banyaknya," kata Wasi Karangwolo. Dia lalu memandang lagi kepada Retno Wilis dan suaranya menggetar penuh wibawa ketika dia bertanya, "Retno Wilis, dengan siapa saja engkau datang ke Nusabarung?"
"Dengan kakakku."
"Siapa kakakmu itu?" tanya Wasi Karangwolo, semakin penasaran.
"Kakangmas Bagus Seto."
"Di mana dia sekarang?"
"Di Nusabarung."
"Ya, tapi di mana?"
Retno Wilis tidak menjawab karena memang ia tidak tahu di mana kakaknya berada.
"Retno Wilis, jawab, atau aku akan membikin pecah kepalamu. Engkau merasa kepalamu nyeri sekali, seperti dipukuli dari dalam!"
Mendadak Retno Wilis memejamkan matanya dan mengerang kesakitan, menggeleng-gelengkan kepalanya yang terasa nyeri sekali.
"Hayo katakan, di mana adanya Bagus Seto?"
Tiba-tiba tampak uap putih, dan sesosok bayangan putih berkelebat, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda, berpakaian serba putih.
"Aku berada di sini!" kata Bagus Seto yang dengan kepandaiannya yang tinggi sudah dapat memasuki tempat itu.
Dia lalu melemparkan tangkai bunga cempaka putih ke arah kepala Retno Wilis dan dia berkata lembut namun penuh getaran yang berwibawa.
"Diajeng Retno Wilis, sadarlah! Engkau telah bebas dari pengaruh jahat yang menguasaimu, tenagamu telah pulih kembali seperti sedia kala!"
Adipati Martimpang terkejut sekali dan berteriak memanggil para senopatinya yang masih berada di luar.
"Tangkap pemuda itu!" bentaknya dan dia sendiri lalu menyelinap dan pergi dari tempat itu.
Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati juga merasa marah sekali melihat munculnya pemuda berpakaian putih itu.
"Keparat, menyerahlah!" bentak mereka sambil mengerahkan ilmu sihir mereka untuk menundukkan Bagus Seto. Akan tetapi pemuda itu tersenyum dan berkata kepada dua orang kakek itu. "Sayang sekali mempelajari ilmu hanya untuk melakukan kejahatan!"
Dua orang kakek itu menyerang dan menubruk maju, akan tetapi sekali berkelebat Bagus Seto telah lenyap dari tempat itu. Sementara itu, Retno Wilis seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk. Ia merasa betapa tenaganya sudah pulih kembali dan kini ia sadar betul bahwa ia telah tertawan dan terbelenggu. Dengan marah Retno Wilis lalu mengeluarkan suara melengking tinggi dan sekali menggerakkan kaki tangannya, dara perkasa ini telah membuat belenggu kaki tangannya patah-patah! Ia meloncat berdiri dan mengerahkan tenaganya menerjang daun pintu dari besi itu.
"Wuuuuuut.... braaaakkkk!" Pintu itu jebol dan Retno Wilis sudah melompat keluar dari dalam kamar tahanan.
Melihat ini, semua orang terkejut dan belasan orang penjaga, juga dua orang kakek itu, mundur dan keluar dari tempat tahanan itu. Retno Wilis mengejar mereka dan ketika ia tiba di luar, ia telah terkepung oleh para perajurit yang bersenjatakan tombak dan golok. Dara itu mengamuk!
"Retno, jangan membunuh orang! Aku menunggumu di dalam guha di mana engkau menyimpan pakaianmu!" terdengar suara kakaknya berdengung di dekat telinga Retno Wilis, akan tetapi kakaknya itu tidak tampak berada di situ.
Biarpun ia marah sekali dan mengamuk seperti seekor naga betina, namun peringatan kakaknya ini diturutnya dengan patuh. Ia menggerakkan kaki tangannya, menampar dan menendang merobohkan para pengeroyok, akan tetapi tidak ada seorangpun yang ia bunuh. Ia membatasi tenaganya dalam setiap tamparan dan tendangan sehingga yang terkena tidak sampai tewas, hanya terlukai yang membuat mereka tidak dapat mengeroyok lagi. Akan tetapi Adipati Martimpang sendiri kini memimpin lima orang senopatinya yang tangguh untuk mengeroyok Retno Wilis,
"Bunuh wanita ini!" bentaknya kepada Ki Wisokolo dan empat orang rekannya! Lima orang itu lalu membentak para perajurit supaya mundur dan mereka berlima mengepung Retno Wilis.
Dara yang sakti mandraguna itu tidak menjadi gentar. Biarpun lima orang senopati itu menyerangnya dari lima penjuru, akan tetapi dengan kegesitannya ia mampu mengelak dan menangkis sehingga serangan mereka itu semua gagal. Bahkan ketika ia menangkis dengan lengannya, ia mengerahkan tenaga saktinya sehingga lima orang lawannya merasa lengan mereka tergetar hebat dan nyeri seperti telah bertemu dengan lengan baja! Di belakang lima orang senopati itu tampak puluhan orang perajurit yang telah mengepung dara itu.
Retno Wilis merasa heran dan agak kesal hatinya mengapa kakaknya tidak turun tangan membantunya, ia maklum bahwa kakaknya itu seorang yang tidak suka berkelahi, akan tetapi melihat adiknya dikeroyok seperti ini, mengapa dia tidak membantu? Ia maklum bahwa tidak mungkin ia melawan terus. Pasukan itu bisa datang beratus-ratus, tak mungkin dengan tenaganya seorang diri ia harus melawan mereka.
Ketika melihat Adipati Martimpang di belakang Ki Wisokolo sambil memerintahkan anak buahnya untuk mengepung dan Retno Wilis menemukan ia membalik dan menyerang Ki Wisokolo dengan Aji Wisolangking. Tubuh Ki Wisokolo terpental dan terjengkang oleh pukulan ini dan secepat kilat Retno Wilis sudah melompat dan dilain saat ia telah menangkap lengan kanan Adipati Martimpang dan menekuknya ke belakang tubuh.
"Hayo perintahkan mereka semua mundur kalau engkau tidak ingin mati dengan kepala remuk!" kata Retno Wilis dan ia menekuk lengan itu lebih kuat ke belakang punggung sang adipati sehingga Adipati Martimpang mengeluh kesakitan.
Sedikit lagi Retno Wilis mendorong tangannya ke atas di belakang punggungnya, sambungan tulang pundaknya bias terlepas!
"Baik, jangan bunuh aku.... !"
Adipati Martimpang lalu berseru nyaring. "Semua orang mundur, jangan menyerang lagi!"
Melihat betapa dara itu telah menangkap majikan mereka, semua pengeroyok bergerak mundur. Juga keduaWasi itu mundur dengan khawatir. Mereka maklum bahwa dara itu bukan hanya menggertak saja. Mungkin sang adipati akan benar-benar dibunuh oleh dara yang sakti mandraguna itu kalau mereka tidak mau mundur. Terpaksa mereka juga mundur sampai agak jauh. Retno Wilis berkata kepada adipati yang telah ditawannya.
"Mari temani aku untuk pergi dari sini. Aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi kalau orang-orangmu menyerangku, aku akan lebih dulu membunuhmu kemudian mengamuk dan membunuh semua orangmu!"
Sang Adipati Martimpang juga bukan seorang yang lemah. Akan tetapi ketika dia berusaha untuk meronta dan melepaskan tangannya dari pegangan dara itu, dia sama sekali tidak mampu berkutik. Bukan main kuatnya tangan yang memegang pergelangan tangannya itu. Karena takut, akan ancaman Retno Wilis, diapun berteriak,
"Kalian jangan menghalangi Retno Wilis! Mundur dan jangan ada yang mencoba menyerangnya!"
Retno Wilis merasa lega. Ia telah menemukan cara yang terbaik untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu. Ini jauh lebih mudah dan baik dari pada ia harus melawan sekian banyaknya pengeroyok. Ia lalu mendorong tubuh sang adipati dan mengajaknya keluar dari kota kadipaten, terus ke hutan di luar pintu gerbang. Hari telah hampir gelap dan ketika Retno Wilis tiba di depan gua, ia melihat Bagus Seto telah berada di sana, berdiri sambil menyilangkan lengan di depan dada dan tersenyum.
"Bagus sekali, kakangmas! Andika enak-enak saja di sini membiarkan aku menghadapi pengeroyokan ratusan orang perajurit!" kata Retno Wilis dengan suara kesal.
"Suatu latihan yang baik bagimu, terutama untuk menahan kesabaranmu, diajeng. Ini buntalan pakaianmu, tukarlah pakaian di dalam gua dan tinggalkan sang adipati disini. Dia tidak akan begitu bodoh untuk mencoba melarikan diri." Bagus Seto menyerahkan buntalan pakaian Retno Wilis. Dara itu menerimanya lalu menghilang ke dalam gua yang sudah gelap.
Kini Adipati Martimpang berdiri di depan gua, hanya berdua saja dengan Bagus Seto. Adipati itu mempertimbangkan keinginannya untuk melarikan diri. Biarpun adiknya amat sakti, pemuda ini belum tentu memiliki kesaktian seperti dara itu, pikirnya. Dia akan mencoba-coba. Cuaca sudah mulai gelap dan dia lebih mengenal medan dari pada pemuda asing ini. Dia dapat menghilang ke dalam hutan yang lebat itu. Melihat pemuda itu sama sekali tidak memperhatikan dia dan memandang ke arah lain, Adipati Martimpang menggunakan kesempatan itu untuk mengerahkan seluruh tenaganya meloncat dan melarikan diri. Dan betapa lega hatinya ketika dia tidak melihat pemuda itu berteriak atau mengejarnya. Dia telah lolos! Dengan sekuat tenaga diapun berloncatan sambil berlari cepat.
Tiba-tiba dia terbelalak, memandang ke depan. Di sana, di depannya, telah berdiri pemuda berpakaian putih tadi, tersenyum sambil menyilangkan kedua lengan di depan dadanya seperti tadi ketika dia meninggalkannya di depan gua! Adipati Martimpang cepat memutar tubuhnya dan berlari cepat ke lain jurusan. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat pemuda itu sudah berdiri pula di depannya tanpa bicara hanya tersenyum saja. Dia bergidik ngeri, lalu timbul kenekatannya. Dia segera menerjang maju dan mengirim pukulan ke arah dada pemuda itu. Pemuda itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak.
"Wuuutt.... bukkk!" Pukulan itu tepat mengenai dada pemuda itu, akan tetapi pemuda itu tidak bergoyang sedikitpun juga. Sebaliknya, Adipati Martimpang menahan teriakannya karena tangan kanan yang memukul itu seperti remuk rasanya, seolah dia memukul sebuah dinding baja. Dia hanya dapat memegangi kepalan tangan kanan dengan tangan kirinya dan mendesis-desis menahan rasa nyeri.
"Kanjeng Adipati, mari kita kembali ke gua." kata pemuda itu dengan suara yang lemah lembut.
Adipati Martimpang maklum bahwa dia menghadapi seorang yang bahkan lebih sakti dari pada Retno Wilis, maka diapun tidak banyak membantah, seperti seekor domba dituntun dia mengikuti pemuda itu kembali ke tempat tadi. Retno Wilis keluar dari dalam guha dan di bawah sinar matahari yang hampir tenggelam, sang adipati memandang dengan bengong! Dia melihat seorang gadis berpakaian serba putih yang cantik jelita seperti dewi kahyangan! Sukar untuk dapat percaya bahwa dara secantik ini dapat menjadi seorang yang amat sakti!
"Kanjeng Adipati Martimpang, sekarang andika harus mengawal kami sampai menyeberang ke daratan sana. Mari, kakangmas Bagus, kita tinggalkan pulau ini."
Mereka bertiga lalu keluar dari dalam hutan itu. Dari jauh tampak banyak perajurit, dipimpin oleh lima orang senopati dengan senjata lengkap seperti hendak maju perang. Akan tetapi mereka hanya berani mengawasi dari jauh saja. Ketika tiga orang itu berjalan menuju keselatan, merekapun hanya berani membayangi dari jauh. Demikian pula, ketika Retno Wilis memaksa Adipati Martimpang mencarikan sebuah perahu dan mereka bertiga dengan naik perahu menyeberang ke daratan, para senopati Nusabarung juga sibuk mencari perahu dan membayangi dari jarak jauh.
Retno Wilis cukup cerdik untuk tidak melepaskan sang adipati ketika ia telah memperoleh perahu. Kalau begitu halnya, tentu anak buah Nusabarung itu akan beramai-ramai mengejar dengan perahu dan kalau sampai mereka tersusul, celakalah ia dan kakaknya. Kalau perahu mereka digulingkan, mereka akan tidak berdaya berada dalam air sehingga akhirnya tentu dapat tertangkap atau terbunuh. Baru setelah tiba di pantai daratan, Retno Wilis berkata kepada Adipati Martimpang.
"Sekarang kami bebaskan andika, Adipati Martimpang. Aku hanya berpesan agar andika tidak menjodohkan puterimu dengan orang-orang kasar dan sombong seperti Kalinggo. Kasihan sekali sang puteri kalau terjatuh ke tangan orang-orang seperti itu. Nah, selamat tinggal!" Retno Wilis lalu pergi bersama kakaknya.
Adipati Martimpang hanya dapat memandang kepada dua bayangan putih itu yang menuju ke timur, perlahan-lahan ditelan kegelapan malam. Ketika orang-orangnya mendarat, Adipati Martimpang tidak menyuruh mereka melakukan pengejaran, melainkan memerintahkan mereka kembali ke pulau Nusabarung.
Persidangan di kadipaten Blambangan itu berlangsung dengan tertib. Adipati Menak Sampar dari Blambangan adalah seorang yang bertubuh tinggi besar, bermuka merah dan berkumis melintang sehingga tampak berwibawa sekali. Memang dia memegang tampuk pemerintahan dengan tangan besi, dengan galak dan tak mengenal ampun dia menghukum hamba sahaya yang berbuat kesalahan, menghukum pula para pamong praja yang bertindak salah. Karena itu, Adipati Menak Sampar ditakuti semua orang. Usia Adipati Menak Sampar sudah empat puluh tahun, akan tetapi dari sekian banyak isterinya, dia hanya mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Dyah Ayu Kerti, seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik jelita. Ibu gadis ini juga seorang puteri dari Bali-dwipa yang cantik jelita, maka tidak mengherankan kalau anaknyapun demikian cantiknya.
Dalam persidangan itu, para pamong praja memberi laporan tentang tugas mereka masing-masing. Setelah Sang Adipati memberi nasihat dan usul-usul kepada pembantunya, persidangan itu dibubarkan karena ada laporan dari para pengawal bahwa di luar kadipaten ada beberapa orang tamu penting mohon menghadap Adipati Menak Sampar. Mendengar bahwa pimpinan para tamu itu adalah utusan yang datang dari negeri Cola di India, Sang Adipati bergegas membubarkan persidangan dan tak lama kemudian dia sudah menanti para tamunya di ruangan tamu.
Setelah para tamu dipersilakan masuk ke dalam ruangan tarnu, maka bermunculanlah seorang kakek yang berusia kurang lebih enampuluh lima tahun bersama seorang wanita yang usianya sudah empatpuluh tahun namun masih tampak cantik jelita dan genit, dan seorang laki-laki gagah perkasa bertubuh raksasa berusia empatpuluhan tahun. Setelah mempersilakan tiga orang tamunya untuk mengambil tempat duduk, Adipati Menak Sampar lalu berkata,
"Selamat datang di kadipaten Blambangan paman pendeta." Dia menyebut pendeta karena kakek itu memang berpakaian jubah panjang seperti seorang pendeta. "Kami merasa belum mengenal paman, siapakah nama paman yang mulia dan dari mana paman datang?"
"Heh-heh-heh, Kanjeng Adipati yang gagah perkasa! Saya bernama Wasi Siwamurti dan saya datang ke Blambangan sebagai utusan Sang Mahaprabu di Negeri Cola."
Adipati Menak Sampar mengangguk-angguk. "Biarpun letaknya amat jauh, Negeri Cola adalah sahabat kami. Tidak tahu ada urusan apakah paman datang ke Blambangan?"
"Sebelum saya menjelaskan maksud kunjungan saya ini, perkenalkan lebih dulu wanita ini adalah Ni Dewi Durgomala yang menjadi murid saya, dan ini adalah Ki Siwananda putera saya."
Adipati Menak Sampar memandang kepada keduanya dan berkata, "Selamat datang di Blambangan." Yang dijawab oleh keduanya dengan hormat menyatakan terima kasih mereka.
Wasi Siwamurti lalu mengeluarkan sepucuk surat dari saku jubahnya dan menyerahkannya kepada Adipati Menak Sampar.
"Kedatangan saya ini diantar oleh sepucuk surat dari Sang Prabu untuk paduka, Kanjeng Adipati."
Adipati Menak Sampar menerima surat itu dan membacanya. Isinya adalah surat pengantar dari Raja Cola yang menyatakan bahwa Wasi Siwamurti adalah seorang pendeta yang diutus ke Jawadwipa untuk menyebar Agama Siwa.
"Akan tetapi untuk menyebar-luaskan Agama Siwa, kenapa paman wasi datang ke Blambangan?" tanya Adipati Menak Sampar.
"Saya ingin menyebar agama kami di daerah Panjalu dan Jenggala sampai ke Blambangan dan Bali-dwipa. Dan terutama sekali karena di sini saya mempunyai saudara yang telah lama membantu paduka, yaitu Wasi Karangwolo."
Wajah Adipati Menak Sampar menjadi berseri ketika mendengar ucapan itu. "Ah, paman Wasi masih saudara dengan pamanda Wasi Karangwolo?"
"Dia adalah adik-seperguruan saya, Kanjeng Adipati. Kabar terakhir yang saya dapat mengatakan bahwa dia telah menjadi penasihat paduka di sini. Benarkah itu dan di mana dia berada?"
"Benar sekali, paman. Paman Wasi Karangwolo adalah penasihat kami dan dia sedang menjadi utusan Blambangan pergi ke Nusabarung bersama adik seperguruannya yang bernama Wasi Surengpati."
"Ahh, jadi Surengpati juga sudah berada di sini? Bagus sekali. Kalau begitu saya akan mendapat pembantu-pembantu yang dapat diandalkan."
"Yang ingin kami ketahui, mengapa paman Wasi hendak menyebar luaskan agama Siwa ke Panjalu dan Jenggala."
"Seperti Kanjeng Adipati tentu telah memaklumi, kerajaan yang kini telah menjadi dua itu adalah musuh besar Negeri Cola. Kami hendak menyebar luaskan agama Siwa untuk memecah belah. Kalau sudah terjadi pemecah belahan kepercayaan, maka tentu Panjalu dan Jenggala akan menjadi lemah dan mudah diserbu dan ditundukkan."
"Bagus sekali! Hal itu cocok dengan keinginan kami, paman Wasi. Sejak dahulupun kami bermusuhan dengan Panjalu dan biarpun kami pernah ditundukkan dan dikalahkan, namun kami tidak pernah mau mengakui mereka sebagai kerajaan yang menguasai kami. Bahkan kami mengutus Paman Wasi Karangwolo juga untuk mengadakan persekutuan dengan Nusabarung untuk menentang kerajaan Jenggala yang mengakui Blambangan sebagai daerah kekuasaannya."
"Akan tetapi, kerajaan Jenggala cukup kuat, apa lagi kalau dibantu oleh Panjalu. Pasukan mereka kuat sekali dan mereka memiliki banyak senopati yang sakti mandraguna."
"Kami tahu, paman Wasi. Akan tetapi kami sudah mendapatkan janji dari Bali-dwipa untuk membantu kami."
"Bagus kalau begitu. Akan tetapi, gerakan senjata itu sebaiknya ditunda dulu. Baru setelah dengan penyebar-luasan agama yang dapat memecah belah mereka, kita pukul dengan kekuatan senjata."
Selagi mereka bercakap-cakap, masuklah seorang pengawal yang melaporkan bahwa Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati telah datang dan mohon menghadap Sang Adipati Menak Sampar. Mendengar laporan ini, Adipati Menak Sampar menjadi gembira sekali.
"Bagus, persilakan mereka langsung menghadap ke sini!" Setelah pengawal pergi dia berkata kepada Wasi Siwamurti, "Paman Wasi, kebetulan sekali dua orang adik seperguruan andika yang kami utus ke Nusabarung telah datang kembali."
Pertemuan antara ke tiga pendeta dan dua orang murid itu amat menggembirakan. Setelah saling memberi salam dan menanyakan keselamatan masing-masing, mereka lalu duduk dan kesempatan ini dipergunakan oleh Adipati Menak Sampar untuk bertanya kepada kedua orang utusannya itu.
"Bagaimana kabarnya dengan tugas andika berdua, Paman Wasi Karangwolo?"
"Kami sudah bercakap-cakap dengan Sang Adipati Martimpang tentang kerja-sama kita dan kami melihat bahwa Kadipaten Nusabarung juga sudah mengadakan persiapan dengan baik. Nusabarung sudah menghimpun pasukan dan menambah jumlah perajurit mereka, bahkan sebagian pasukan sudah dipersiapkan di pantai daratan untuk menjaga kalau-kalau ada gerakan pasukan Jenggala ke sana."
"Bagus sekali kalau begitu. Dengan adanya Nusabarung yang sudah siap, kita sudah mempunyai sekutu di garis depan. Nusabarung dapat menjadi benteng pertama kita untuk membendung kalau-kalau ada pasukan dari barat menyerang daerah kita."
"Akan tetapi ada berita buruk, Kanjeng Adipati. Biarpun Nusabarung sudah mengadakan persiapan, ternyata telah ada dua orang sakti dari Panjalu yang dapat menyelinap masuk dan membikin kacau Nusabarung."
Adipati Menak Sampar terkejut, demikian pula tiga orang tamunya yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Ah, bagaimana mereka begitu ceroboh sehingga ke masukan telik sandi? Siapakah dua orang sakti dari Panjalu itu?"
"Ceritanya begini, Kanjeng Adipati. Ketika kami berdua tiba di Nusabarung, Adipati Martimpang sedang mengadakan sayembara tanding untuk mencarikan jodoh puterinya. Banyak orang muda yang memasuki sayembara, di antaranya bahkan Kalinggo, putera Senopati Rajahbeling dari Blambangan. Akan tetapi yang keluar sebagai pemenang sayembara adalah seorang pemuda bernama Joko Wilis yang datang dari pegunungan Wilis. Joko Wilis ini mengalahkan semua peserta, bahkan mengalahkan Senopati Wisokolo dari Nusabarung yang menjadi penguji dalam sayembara itu. Pemuda itu tangguh dan sakti mandraguna. Dialah yang diterima menjadi calon mantu dan pengganti Adipati Martimpang. Kami berdua merasa penasaran sekali mengapa Adipati Martimpang memilih dia, bukan Kalinggo. Kami datang agak terlambat sehingga tidak sempat membekali dengan aji yang dapat mengalahkan Joko Wilis."
"Kemudian bagaimana, Paman Karangwolo?" tanya Sang Adipati dengan hati tertarik.
Wasi Karangwolo melanjutkan. "Setelah menangkan sayembara, Joko Wilis tidak bersedia dinikahkan dengan Dyah Candramanik, akan tetapi minta ditangguhkan setahun lagi. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, Dyah Candramanik melaporkan kepada ayahnya bahwa Joko Wilis itu sesungguhnya seorang wanita yang menyamar!"
"Ah, seorang wanita? Mengapa ia menyamar dan mengikuti sayembara memilih jodoh itu?"
"Hal itulah yang mendatangkan kecurigaan dan kami lalu membantu Adipati Nusabarung untuk menangkapnya. Kami berdua berhasil menawannya dan mempengaruhinya dengan sihir, ia mengaku bernama Retno Wilis dan siapakah gadis itu? Bukan lain adalah puteri Ki Patih Tejolaksono dan puteri Endang Patibroto."
Semua orang terkejut mendengar nama sepasang suami isteri itu. Mereka semua menganggap dua orang itu sebagai musuh besar. Bahkan Wasi Siwamurti juga mendendam kepada mereka yang dianggap telah menyebabkan kematian mendiang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo, rekan-rekannya yang menjadi utusan Negeri Cola dan sama-sama penyembah Bathara Siwa.
"Adi Wasi Karangwolo, kemudian bagaimana kelanjutannya?" tanya Wasi Siwamurti kepada adik seperguruannya.
Wasi Karangwolo menceritakan selanjutnya. "Kami berdua sudah menguasai Retno Wilis dan ketika kami sedang mengorek keterangan darinya apakah ia datang sebagai utusan Panjalu dan menjadi telik-sandi, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang bernama Bagus Seto dan diakui sebagai kakak Retno Wilis. Pemuda itu ternyata sakti mandraguna. Dengan lemparan setangkai cempaka putih dia dapat menyadarkan Retno Wilis yang dapat membebaskan diri dan mengamuk. Kami sudah mengerahkan pasukan untuk menangkapnya kembali, akan tetapi tiba-tiba ia dapat menangkap dan menyandera Adipati Martimpang sehingga ia dapat meloloskan diri ke pantai daratan sambil menyandera sang adipati. Kami tidak berdaya dan terpaksa membiarkan ia lolos."
Semua yang mendengar cerita ini tertegun. "Tidak salah lagi, Retno Wilis dan Bagus Seto itu tentulah telik-sandi yang dikirim Panjalu atau Jenggala untuk menyelidiki keadaan di Nusabarung. Kalau begitu lebih baik kita mendahului mereka, bergabung dengan Nusabarung dan menyerang Jenggala," kata Sang Adipati Menak Sampar.
"Nanti dulu, Kanjeng Adipati," kata Wasi Karangwolo.
"Adipati Nusabarung juga menghendaki demikian, akan tetapi kami mencegahnya. Kini belum tiba waktunya kita menyerang Jenggala. Kami akan lebih dulu bertindak menyebar-luaskan agama kami untuk menarik rakyat berpihak kepada kami. Kalau terjadi perpecahan di antara mereka karena agama, tentu keadaan mereka lemah dan itulah saatnya bagi kita untuk melakukan penyerbuan."
"Apa yang dikatakan Adi Karangwolo benar, Kanjeng Adipati. Pasukan Jenggala dan Panjalu kuat sekali. Kita harus membuatnya lemah lebih dulu melalui penyebaran agama. Saya, murid saya Ni Dewi Durgomolo dan anak saya Ki Siwananda akan membantu agar mereka memasuki agama kami dan kalau sudah begitu halnya, maka akan mudah membujuk rakyat Jenggala dan Panjalu untuk berpihak kepada kita."
Adipati Menak Sampar mengangguk-angguk tanda setuju. Dia mengerti bahwa agama penyembah Bathara Siwa, Bathara Kala dan Bathari Durga ini, mudah berkembang biak dan para pendetanya memiliki pengaruh yang amat besar terhadap umatnya.
"Kalau begitu, kami dapat menyetujui dan kami serahkan kepada Paman Wasi Karangwolo dan Paman Wasi Surengpati, dibantu oleh Paman Wasi Siwamurti dan dua orang muridnya. Andika bertiga dapat menggunakan bantuan pasukan setiap waktu andika bertiga memerlukannya," kata Adipati Menak Sampar.
Perundingan ditutup dengan jamuan makan bagi para tamu, yaitu Wasi Siwamurti, Ki Siwananda dan Ni Dewi Durgamolo.
Bagus Seto dan Retno Wilis melakukan perjalanan dengan santai menuju ke timur. Pada suatu siang yang cerah, mereka berhenti dan beristirahat di bawah sebatang pohon asam yang besar. Mereka duduk di atas batu-batu yang banyak berserakan di bawah pohon, menggunakan saputangan untuk menghapus keringat yang membasahi leher mereka. Matahari amat terik dan sinarnya menyengat tubuh.
Nyaman memang mengaso di bawah pohon asam itu. Angin semilir seperti mengipasi tubuh mereka dan Retno Wilis memandang ke atas. Banyak buah asam bergantungan di dahan. Tiba-tiba ia melihat sepasang burung sedang bercumbu di atas dahan. Ia tersenyum geli sehingga Bagus Seto juga memandang ke atas. Diapun melihat sepasang burung itu dan tersenyum juga, bukan menertawakan burung-burung itu melainkan menertawakan adiknya yang tersenyum melihat burung-burung itu bercumbu.
"Burung-burung tak tahu malu," kata Retno Wilis melihat kakaknya tersenyum.
"Eh? Kenapa, diajeng? Burung-burung itu berkasih-kasihan, sudah sewajarnya, dan sudah sesuai dengan kehendak Hyang Widhi. Mengapa kau katakan tidak tahu malu?"
"Apakah itu yang dinamakan cinta, kakangmas?"
"Benar, dan cinta itu suci adanya, walaupun di dalam cinta itu terkandung nafsu berahi."
"Apakah cinta manusia juga mengandung nafsu, kakang?"
"Tentu saja. Di dunia ini, di antara tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, cintanya tentu mengandung nafsu berahi, cinta semua makhluk mengandung pamrih karena disenangkan hatinya. Tidak ada cinta tanpa pamrih, karena itu semua cinta bergelimang nafsu."
"Akan tetapi cinta antara suami-isteri adalah suci, bukan kakang? Suami isteri kadang mengalah demi membahagiakan masing-masing pihak, tanpa pamrih."
Bagus Seto tersenyum. "Biarpun dengan menyesal, terpaksa harus kukatakan, bahwa cinta antara suami isteri juga tidak terbebas daripada nafsu, akan tetapi hal itu adalah sewajarnya karena nafsu berahi inilah yang merupakan syarat berkembang biaknya manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan. Berarti bahwa sejak kita lahir, kita sudah disertai nafsu, jadi sudah sesuai dengan kehendak Hyang Widhi."
"Aku menjadi bingung, kakang. Kalau semua cinta dilumuri nafsu, maka cinta itu kotor, kakang. Bukankah nafsu itu merupakan sesuatu yang buruk dan dapat menyeret manusia ke jurang kesengsaraan?"
"Sama sekali tidak demikian, adikku. Nafsu berahi, seperti juga nafsu lain, merupakan hal yang amat berguna bagi kehidupan manusia. Tanpa adanya nafsu berahi dalam cinta kasih, maka manusia tidak akan berkembang biak seperti sekarang ini. Akan tetapi seperti juga nafsu lain, nafsu berahi juga amat berbahaya kalau sudah menguasai dan memperhamba manusia. Kalau seseorang telah diperhamba nafsu berahi maka dia akan mengejar kesenangan melalui nafsu berahinya sedemikian rupa sehingga dia dapat melakukan hal-hal yang sesat, seperti perkosaan, perjinaan, pelacuran dan lain-lain."
"Ah, aku menjadi ngeri memikirkan soal cinta-kasih kalau begitu. Akan tetapi benar-benarkah tidak ada cinta-kasih yang bersih dari pada nafsu bagi manusia?"
"Tidak ada, adikku. Tidak akan ada cinta kalau tidak ada nafsu. Nafsu itu menyenangkan, nafsu itu hendak memuaskan diri, hendak menyenangkan diri sendiri. Seorang baru mencinta kalau yang dicinta itu menarik hatinya, menyenangkan hatinya melalui kecantikan, keluhuran budi, kepandaian, harta benda dan sebagainya. Pendeknya, orang disenangkan dulu hatinya baru jatuh cinta. Dapatkah seorang wanita mencinta seorang pria atau seorang pria mencinta seorang wanita kalau yang dicintanya itu ternyata tidak dapat melakukan hubungan badan? Tentu saja tidak. Betapapun buruknya kenyataan ini, betapapun sarunya, namun kenyataannya demikianlah. Oleh karena itu, banyak terjadi bahwa cinta seseorang dapat berubah dan berbalik menjadi benci, mengapa? Karena kalau disenangkan dia mencinta, kalau sekali waktu dia disusahkan, dia menjadi marah dan cintanya berubah menjadi benci. Demikianlah ulah nafsu, adikku. Berbahagialah orang yang dapat mengikuti dan mengerti akan gerak-gerik nafsu yang menguasai diri sendiri."
Retno Wilis mengerutkan alisnya yang kecil hitam melengkung indah itu. Ia teringat akan mendiang Adiwijaya. Orang yang dianggap sebagai pamannya atau bahkan pengganti orang tuanya sendiri itu mencintanya tanpa pamrih, mencintanya dengan hati bersih dan suci, bahkan rela mengorbankan dirinya untuknya!
"Akan tetapi, kakang. Bukankah terdapat cinta-kasih antara sahabat yang benar-benar bersih dari nafsu, cinta-kasih murni antara dua orang sahabat yang setia?"
"Tidak ada, adikku. Cinta antara dua orang sahabat juga bergelimang nafsu, walaupun bukan nafsu berahi. Cinta seorang sahabat itu tentu didorong karena dia menganggap orang yang dicintanya itu baik terhadapnya, menyenangkan dan menguntungkan. Selama ada penilaian antara baik dan buruk, tentu cinta yang timbul karena penilaian itu ditunggangi nafsu."
"Kalau begitu di dunia ini tidak terdapat cinta-kasih sejati, cinta-kasih yang suci dan murni?"
"Tentu saja ada, diajeng Retno Wilis.Tengoklah ke sekelilingmu. Semua yang tampak ini berguna bagi kehidupan manusia. Pohon-pohon, bahkan pohon asam ini amat berguna bagi manusia. Buahnya untuk masak, daunnya untuk jamu dan kayunya masih dapat digunakan untuk membangun rumah dan kayu bakar. Lihat bunga-bunga indah itu. Tampak oleh mata manusia demikian indah menyenangkan. Baunya juga harum amat menyegarkan bagi penciuman. Lihat sinar matahari, demikian indah dan mendatangkan terang, juga menghidupkan. Rasakan semilirnya angin yang demikian menyejuk dan menyegarkan. Lihatlah, di sekeliling kita. Tanah tersedia untuk kita, menghasilkan segala macam kebutuhan hidup manusia. Semua itu diberikan tanpa pamrih, tanpa memandang bulu dan terus menerus. Bukan hanya manusia yang mendapat limpahan berkah ini, melainkan juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Nah, semua itulah cinta kasih, adikku. Itulah sifat Hyang Widhi, yaitu Kasih."
Retno Wilis memandang kakaknya dan mata yang indah itu terbelalak, berseri. "Kakang, engkau membuka mataku! Betapa buta aku selama ini tidak melihat dan tidak merasakan lagi adanya berkah dan cinta-kasih suci yang berlimpah ruah diberikan kepadaku!"
"Itulah, adikku. Itulah pekerjaan nafsu yang selalu menarik perhatian kita sehingga kita selalu mengejar kesenangan, mengejar sesuatu yang tidak ada pada kita. Nafsu tidak mengenal puas, tidak mengenal cukup, akan selalu mendorong kita untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Akhirnya nafsu menyeret kita ke dalam perbuatan yang sesat dan jahat. Aku girang bahwa engkau merasa terbuka matamu, diajeng."
Setelah bercakap-cakap dan tidak merasa gerah lagi, kedua orang kakak beradik itu hendak melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi pada saat itu terdengar orang bertembang dengan suara yang berat dan dalam.
"Rumangsane mung nalongso
Susah sajeroning urip
Sakabehing kang tinuju
Olehe namun kuciwo
Sing dioyak-oyak teko luput
Luwih becik s ing narimo
Opo paringing Hyang Widhi"
Arti tembang itu adalah
Rasanya hanya nelangsa,
susah dalam kehidupan,
semua yang diharapkan,
hanya mendapat kecewa,
yang dikejar-kejar tak dapat,
lebih baik yang menerima,
apa yang diberikan Hyang Widhi.
Bagus Seto dan Retno Wilis tidak jadi meninggalkan tempat di bawah pohon asam itu dan menanti orang yang bertembang itu datang dekat. Dia seorang paman tani berusia hampir limapuluh tahun, bercelana hitam tak berbaju, bajunya berada di atas singkong yang dipikulnya dalam dua buah keranjang. Orang itu bertubuh kurus, tulang-tulangnya menonjol di bawah kulitnya yang coklat karena banyak terbakar sinar matahari. Otot-ototnya juga menonjol, menunjukkan bahwa otot-otot itu sering dipergunakan untuk memikul berat dan bekerja keras. Kakinya telanjang. Seluruh penampilan kakek ini, dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya, memperlihatkan kesederhaan yang polos, tidak dibuat-buat, kesederhanaan yang mendekati kemiskinan.
Namun wajah itu berseri, matanya memandang polos ke depan, kosong dan tidak perduli. Ketika tiba dekat pohon asam yang lebat itu, dia berhenti melangkah, lalu menghampiri tempat teduh itu, melepaskan pikulannya yang berat. Dengan tangan kanannya dia menanggalkan sebuah caping dari kepalanya dan mengipasi dadanya yang berkeringat dengan caping itu, kemudian dia memandang kepada Bagus Seto dan Retno Wilis dan tampak keheranan dalam sinar matanya.
Bagus Seto tersenyum kepadanya dan bertanya, ''Paman, Kidung Pangkur yang kau tembangkan tadi indah sekali!"
Kakek itu tersenyum dan seketika wajahnya yang penuh keriput itu tampak segar dan muda. "Wah, denmas, tembangku hanya tembang orang dusun."
"Benar, paman, aku tertarik sekali, terutama isi tembang itu. Apakah engkau merasa setuju kalau ada orang yang mempunyai cita-cita untuk meraih keadaan yang lebih baik?"
Petani itu menggunakan baju hitamnya yang tadi ditaruh di atas singkong untuk menghapus keringat dari leher dan mukanya.
"Mengharapkan sesuatu yang tidak ada hanya merupakan penyiksaan diri belaka, denmas. Kalau hasilnya luput, kita akan merasa nelangsa dan kecewa, sebaliknya kalau dapat, kita tetap saja tidak puas dan mengharapkan yang lebih baik atau lebih banyak. Dari pada mengharapkan yang tidak-tidak, lebih baik menerima apa yang diberikan oleh Hyang Widhi." Petani itu memandang ke arah pikulannya, mungkin menaksir-naksir berapa yang akan didapatnya dari penjualan sepikul singkong itu.
"Akan tetapi kalau begitu hidup ini tidak akan ada kemajuan, paman. Siapa lagi kalau bukan kita sendiri yang berusaha untuk memperbaiki kehidupan kita? Dengan usaha keras tentunya."
"Oooh, tentu saja, denmas. Kita harus bekerja setiap hari, karena apakah artinya hidup ini tanpa bekerja? Kita bekerja sekuat tenaga setiap hari, tanpa mengharapkan apa-apa dan apa yang datang sebagai hasil pekerjaan kita itu, itulah anugerah dan berkah Hyang Widhi yang harus kita terima dengan penuh rasa sukur, tanpa mengharapkan yang bukan-bukan." Petani itu bicara dengan bahasa yang bersahaja, akan tetapi menyentuh perasaan Bagus Seto.
"Kalau begitu pandangan hidup paman, maka paman menyerah dengan penuh kepasrahan kepada Hyang Widhi untuk menentukan keadaan hidup paman?"
"Tentu saja, denmas. Hyang Widhi kuasa mengatur segalanya. Kita tidak mempunyai kemampuan untuk menolak apa yang telah ditentukan Hyang Widhi. Tugas kita hanya bekerja sebaik mungkin dan setelah itu maka aku pasrah kepada Hyang Widhi. Apapun yang diberikan kepadaku akan kuterima dengan penuh rasa sukur. Kalau sudah begitu, maka kehidupan ini terasa nikmatnya nikmat dari berkah Hyang Widhi yang tidak ada henti-hentinya kepada kita."
"Diajeng Retno, inilah contohnya seorang yang berbahagia!" kata Bagus Seto kepada adiknya.
Biarpun ucapan petani singkong itu amat sederhana, namun ucapannya mengandung arti yang amat dalam sehingga Retno Wilis masih belum mengerti benar. Ia memandang kepada kakek itu dengan kagum lalu bertanya,
"Paman, bahagiakah paman dalam hidup paman."
Kakek itu memandang kepada Retno Wilis dengan sinar mata tidak mengerti. "Apa maksud andika, den ajeng? Apa itu bahagia? Saya tidak membutuhkan bahagia."
Retno Wilis terbelalak. Kalau kata bahagia saja tidak mengerti, bagaimana mungkin orang hidup berbahagia? Akan tetapi Bagus Seto tersenyum kepada adiknya.
"Diajeng, justeru karena paman ini tidak membutuhkan bahagia, itu berarti bahwa dia telah berbahagia! Kebahagiaan hanya dikejar-kejar orang yang hidupnya tidak bahagia, yang hidupnya diganggu persoalan-persoalan yang menyusahkan dan menggelisahkan hatinya. Kalau gangguan itu tidak ada lagi, maka orangpun tidak butuh bahagia karena sesungguhnya dia sudah berbahagia! Seperti orang yang sakit saja yang membutuhkan kesehatan, kalau orang itu tidak sakit lagi, dia tidak butuh akan kesehatan karena sesungguhnya dia sudah sehat. Mengertikah engkau, adikku?"
Retno Wilis baru mengerti setengah-setengah saja. Semua orang di dunia ini mengejar kebahagiaan, bagaimana petani miskin ini dikatakan oleh kakaknya sebagai orang yang berbahagia karena dia tidak mengejar, bahkan tidak mengerti apa itu kebahagiaan?
"Wah, matahari sudah naik tinggi, saya harus berangkat sekarang, denmas. Nanti pasarnya keburu sepi dan tidak ada yang membeli singkongku ini! Selamat tinggal, denmas dan den-ajeng."
"Selamat jalan, paman. Semoga Hyang Widhi selalu memberkahimu seperti yang andika nikmati selama ini," kata Bagus Seto dan petani itu lalu memikul lagi dua keranjang singkong itu dan meninggalkan tempat itu.
Retno Wilis mengikuti petani itu dengan pandang matanya. Betapa tubuh kurus itu terseok-seok memikul beban yang berat, akan tetapi betapa lincahnya kedua tangannya itu berlenggang dan kedua kaki itu melangkah seperti orang menari-nari gembira.
"Hayo, diajeng, kita lanjutkan perjalanan kita," kata Bagus Seto dan Retno Wilis mengangguk, lalu mereka berdua melangkah ke arah timur meninggalkan pohon asam itu.
"Kakang, aku masih memikirkan pembahasan tentang cinta-kasih tadi. Aku masih merasa ngeri melihat kenyataan bahwa tidak ada cinta-kasih yang murni, semua cinta-kasih manusia bergelimang nafsu. Aku ngeri, kakang dan tidak mau jatuh cinta!"
Bagus Seto tertawa. "Ha-ha, mudah saja engkau berkata demikian, adikku. Akan tetapi sekali waktu akan tiba saatnya engkau bertemu seseorang dan jatuh cinta kepadanya, baik kau kehendaki maupun tidak. Jodoh manusia ditentukan oleh Hyang Widhi, dan sekali engkau bertemu dengan calon jodohmu yang sudah ditentukan, engkau akan jatuh cinta padanya dan dia akan jatuh cinta padamu."
"Mencinta dengan dorongan nafsu?"
"Tentu saja, karena Hyang Widhi menghendaki demikian. Ingat, engkau diciptakan untuk kelak menjadi seorang ibu yang melahirkan anak-anakmu, dan untuk itu engkau harus lebih dulu jatuh cinta kepada seorang pria dan menjadi isterinya."
"Ih, ngeri aku memikirkan dan membayangkan hal itu. Saling jatuh cinta dengan nafsu. Aku tidak ingin jatuh cinta, kakangmas. Biar selama hidupku aku begini saja, hidup seorang diri."
"Hemm, kalau cinta berahi sudah menyelubungi hatimu, engkau tidak akan mampu melawan hatimu sendiri. Akan tetapi sudahlah, semua itu sudah diatur oleh Hyang Widhi, dan manusia tidak akan mampu mengubahnya. Mari kita lanjutkan perjalanan kita."
Karena pantai Laut Kidul di tempat itu merupakan daerah pegunungan kapur yang sukar dilalui, terpaksa kedua orang muda ini melakukan perjalanan agak ke utara, melalui dusun-dusun...
Kalau ia belajar membidik, Joko Wilis berdiri di belakangnya dan merangkulkan kedua lengan untuk mengajarinya menarik busur dan membidik, ia mencium keharuman yang seperti bunga, keharuman seperti yang terdapat pada tubuh wanita! Pula, jari-jari tangannya demikian kecil meruncing, sentuhan lengannya demikian lembut. Juga rambutnya mengeluarkan bau harum. Makin lama, hatinya menjadi semakin curiga karena Joko Wilis bergerak demikian indah dan luwes seperti seorang wanita.
"Aku harus mendapat kepastian besok pagi," akhirnya puteri itu mengambil keputusan.
Sementara itu, senja itu Retno Wilis mendapat kesempatan untuk berjalan-jalan keluar dari kadipaten. Ia terus menuju ke pintu gerbang dan keluar dari kota kadipaten, memasuki daerah berhutan dari pulau itu. Tentu saja maksudnya hanya satu, yaitu hendak menemui kakaknya. Kalau kakaknya berada di kadipaten dan melihat ia keluar dari kota, tentu kakaknya akan membayanginya. Dugaannya benar. Belum lama ia berjalan di jalan yang sunyi di tepi hutan itu, ia melihat seorang pemuda berpakaian putih di sebelah depan. Ketika ia mendekat, melihat bahwa orang itu adalah Bagus Seto.
"Kakangmas Bagus Seto!" ia memanggil.
"Diajeng Retno Wilis, engkau keluar dari kota raja untuk menemui aku, bukan?"
"Benar, kakangmas," Retno Wilis Lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa setelah berhasil memenangkan sayembara, telah mendapat banyak keterangan tentang Nusabarung dari Dyah Candramanik.
"Diajeng, sebaiknya kita sekarang lari saja meninggalkan pulau. Kalau engkau terlalu lama di sini, akhirnya engkau akan menemui halangan. Permainanmu terlalu berbahaya, diajeng."
"Nanti dulu, kakangmas. Hari ini terjadi hal yang penting. Ada dua orang utusan dari Blambangan tiba di sini dan mereka itu adalah orang-orang yang pandai. Bahkan seorang di antara mereka telah mencoba untuk mempengaruhi aku dengan ilmu sihirnya. Aku harus menyelidiki dulu apa maksud mereka datang berkunjung. Setelah itu, baru kita melarikan diri."
"Engkau telah menipu Dyah Candramanik, kalau ia mengetahui kepalsuanmu, tentu ia akan sakit hati. Karena itu berhati-hatilah, diajeng."
"Jangan khawatir, kakang. Aku akan bersikap hati-hati. Dyah Candramanik itu tidak merupakan bahaya karena ia sudah tergila-gila kepadaku, ia memang cantik, kakang. Kalau saja engkau yang mengikuti sayembara dan menikah dengannya, tentu serasi sekali!"
"Hushh, jangan bicara yang bukan-bukan, diajeng. Jangan terlalu lama engkau menyelidiki dua orang pendeta dari Blambangan itu. Kita harus cepat pergi dari sini. Hasil penyelidikanmu itu sudah cukup."
"Baik, kakangmas. Berilah waktu seminggu lagi kepadaku. Seminggu kemudian kita akan bertemu di sini, di waktu senja dan kita lari bersama."
Setelah bercakap-cakap melepas kerinduan, mereka lalu kembali ke kadipaten, mengambil jalan masing-masing. Menurut cerita Bagus Seto kepada Retno Wilis, pemuda itu mondok di rumah seorang duda tua yang hidup menyendiri di sudut kota.
Pada keesokan harinya, Retno Wilis memasuki taman-sari seperti biasa untuk menemui Dyah Candramanik mengajarkan ilmu memanah. Hatinya lega karena ia telah bertemu dengan kakaknya dan dengan wajah berseri ia bertemu dengan puteri itu. Ia melihat betapa Dyah Candramanik mengenakan pakaian baru yang merah muda sehingga tampak lebih cantik dari biasanya. Retno Wilis yang sedang senang hatinya, memuji kecantikan puteri itu.
"Wahai, diajeng Candramanik, engkau kelihatan secantik bidadari dari kahyangan."
Wajah Dyah Candramanik menjadi kemerahan dan ia berkata manja. "Ah, kakangmas, harap jangan terlalu memujiku." Ia menggapai kepada seorang pelayan dan minta agar pelayan mengambilkan minuman untuk Joko Wilis. Setelah minum, Dyah Candramanik lalu berkata, "Kakangmas Joko Wilis, mengapa aku amat bodoh? Mempelajari ilmu memanah, sampai sekarang aku belum juga pandai memanah."
"Siapa bilang, diajeng? Engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Bukankah kemarin tiga kali anak panahmu mengenai sasaran. Itu sudah cukup bagus!"
"Kalau setiap kali melepas anak panah mengenai sasaran, itu baru dapat dibilang bagus, kakangmas. Aku masih lemah dalam hal membidik, dan ketika melepaskan anak panah, jari tangan kananku kurang tenang. Aku minta diajar membidik lagi yang lebih baik kakangmas!"
"Baiklah, diajeng. Hari ini akan kuajarkan engkau membidik ke arah sasaran agar tepat dan bagaimana engkau harus mengerahkan tenaga agar anak panahmu dapat meluncur dengan lurus."
Mulailah mereka berlatih memanah. Untuk mengajarkan bagaimana membidik dengan baik, terpaksa Joko Wilis harus memegang kedua lengan puteri itu dan untuk dapat melakukan ini, dia harus berdiri mepet di belakang puteri itu dan merangkulnya untuk membimbing kedua tangan yang memegang busur dan anak panah. Dengan cara begini, punggung puteri itu dekat sekali dengan dada Joko Wilis. Ketika mereka berdua sedang asyik belajar membidik, tidak ada orang lain yang menyaksikan karena pelayan telah disuruh pergi oleh Dyah Candramanik, tiba tiba ketika ia menarik gendewa dan membidik, puteri itu mengeluh dan tubuhnya condong ke belakang seperti hendak jatuh. Joko Wilis yang tidak menyangka, menjadi terkejut ketika siku lengan puteri itu telah mendesak buah dadanya.
"Ihh.... !" Dyah Candramanik terkejut dan kini yakin bahwa Joko Wilis adalah seorang perempuan, ia membalik dan memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Engkau... engkau seorang wanita... !" bisiknya dengan napas terengah-engah karena tegang hatinya.
Retno Wilis juga terkejut sekali, tidak mengira bahwa rahasianya akan dapat diketahui puteri itu. Ia tidak dapat mengelak lagi dan demi kebaikan puteri itu sendiri ia harus berterus terang agar puteri itu tidak terus tergila-gila kepadanya.
"Maafkan saya, diajeng, terus terang saja saya memang seorang perempuan."
"Gila kau! Kenapa engkau mempermainkan aku seperti ini? Mengapa engkau mengikuti sayembara itu, bahkan memenangkannya dan bersedia dijodohkan dengan aku?"
"Sekali lagi maafkan saya. Saya seorang petualang dan dalam perantauan saya, saya melihat sayembara itu. Melihat para pengikut sayembara yang sombong-sombong dan kasar-kasar, saya tidak tega membiarkan diajeng menjadi isteri seorang di antara mereka. Karena itu aku lalu memasuki sayembara untuk mengalahkan mereka semua sehingga andika terhindar dari pada bahaya menjadi jodoh orang-orang kasar itu."
Akan tetapi Dyah Candramanik tidak menjawab dan ia menangis, lalu bangkit berdiri dan lari meninggalkan Retno Wilis, kembali ke gedung kadipaten. Sejenak Retno Wilis bimbang. Apa yang harus ia lakukan? Apa pula yang akan dilakukan puteri itu? Apakah ia harus cepat melarikan diri? Retno Wilis menanti di taman sari sampai lama, mengharapkan sang puteri akan kembali ke situ. Akan tetapi setelah dinanti-nanti sampai agak lama sang puteri tidak juga muncul, ia lalu kembali ke kamarnya dan mengambil keputusan untuk melarikan diri pada waktu senja nanti.
Sementara itu, Dyah Candramanik berlari ke dalam gedung kadipaten sambil menangis. Ia mencari ayahnya dan melihat ayahnya sedang berada di ruangan tamu bersama dua orang tamu kakek dari Blambangan itu, ia tidak perduli dan terus lari memasuki ruangan itu dan langsung menubruk ayahnya sambil menangis.
"Duh, kanjeng Romo.... !" ia menangis.
"Eh, Dyah Candramanik, ada apakah? Apa yang terjadi dan mengapa engkau menangis seperti ini?"
"Aduh celaka, kanjeng Romo, kita telah tertipu dan terhina....!" Kata-katanya terhenti karena tangisnya yang tersedu-sedu. "Tenanglah, anakku. Ceritakan dengan tenang dan jelas apa yang telah terjadi."
"Kanjeng Romo, Joko Wilis itu.... dia itu.... ternyata adalah seorang wanita.... !"
"Apa?" Adipati Martimpang bangkit berdiri dengan mata terbelalak. "Di mana si bedebah itu? Berani ia mempermainkan kita!"
"Aku meninggalkannya di taman-sari, kanjeng Romo."
"Kanjeng Adipati, biarlah kami berdua yang akan menangkapnya!" kata Wasi Karangwolo yang sudah bangkit berdiri bersama adik seperguruannya, Wasi Surengpati.
"Akan kukerahkan pasukan untuk membantu andika berdua!"
Terjadi kesibukan. Tidak kurang dari tigapuluh orang dikerahkan untuk mengawal dua orang pendeta yang akan menangkap Retno Wilis itu. Mereka lalu mencari dara yang menyamar sebagai pemuda itu. Akan tetapi Retno Wilis sudah meninggalkan taman-sari dan berada di dalam kamar nya. Ketika itu Retno Wilis masih merasa bimbang. Ia masih ingin menyelidiki kehadiran dua orang pendeta utusan Blambangan itu, akan tetapi tidak disangkanya sama sekali rahasianya akan terbuka oleh sang puteri. Sama sekali ia tidak tahu bahwa dirinya sudah dibayangi oleh dua orang pendeta itu, bahkan kini kamarnya sudah dikepung oleh tigapuluh orang perajurit yang membawa gendewa dan anak panah!
Ketika ia mendengar gerakan orang-orang di luar kamarnya, Retno Wilis lalu mengintai dari balik jendela. Alangkah terkejutnya melihat banyak perajurit sudah menodongkan anak panah mereka ke arah pintu, juga jendela kamarnya. Kalau ia berusaha keluar dari pintu atau jendela itu, tentu hujan anak panah akan menyambutnya dan itu berbahaya sekali. Mana mungkin menangkis puluhan batang anak panah yang dihujamkan ke arahnya.
"Joko Wilis, keluar dan menyerahlah. Engkau sudah dikepung!" terdengar bentak nyaring dan Retno Wilis mengenal suara ini sebagai suara Adipati Martimpang sendiri.
Maklumlah ia bahwa rahasianya tentu sudah dibuka oleh Dyah Candramanik sehingga sang adipati itu juga sudah tahu bahwa ia seorang wanita yang menyamar pria. Ia harus dapat meloloskan diri dari situ karena bahaya besar mengancamnya! Jalan melalui pintu atau jendela sudah tertutup, tak mungkin ia keluar dari situ. Satu-satunya jalan adalah menerobos atap rumah! Setelah menghadapi ancaman bahaya ini baru ia merasa menyesal mengapa ia tidak menurut nasihat Bagus Seto untuk melarikan diri kemarin, dan lebih menyesal lagi bahwa ia tidak membawa pedang pusakanya. Dengan pedang itu mungkin ia dapat menerobos keluar dan memutar pedangnya menangkis hujan anak panah. Sekarang ia bertangan kosong, tidak mungkin ia menempuh bahaya itu.
Setelah mengambil keputusan, Retno Wilis lalu mengerahkan tenaga saktinya dan ia meloncat naik melalui atap yang diterobosnya dengan kedua tangannya. Ia berhasil menerobos atap dan berada di atas atap. Akan tetapi sama sekali ia tidak mengira bahwa di situ sudah menanti Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati! Dua orang pendeta ini sudah menduga bahwa Retno Wilis mungkin mengambil jalan menerobos atap, maka begitu tubuh dara perkasa itu muncul, Wasi Karangwolo sudah menyambutnya dengan sambitan tepung berwarna kuning ke arah muka Retno Wilis dan Wasi Surengpati menyodokkan tongkat ularnya ke arah lehernya !
Retno Wilis menangkis sodokan tongkat ular itu, akan tetapi ia tidak dapat menghindar ketika bubuk kuning itu sebagian mengenai mukanya! Matanya tiba-tiba menjadi pedih dan tidak dapat dibuka, dan hidungnya mencium bau yang amis dan keras. Tiba-tiba ia merasa napasnya sesak dan terpelantinglah Retno Wilis di atas atap ! Dengan mudah Wasi Karangwolo menyambut tubuhnya dan menelikung sehingga Retno Wilis yang jatuh pingsan itu tidak berdaya lagi. Wasi Karangwolo membawanya loncat ke bawah. Melihat Joko Wilis sudah tertawan, Adipati Martimpang menghunus kerisnya dan hendak menusukkan keris itu ke dada Joko Wilis.
"Biar kubunuh penipu dan pengacau ini!" hardiknya.
Akan tetapi Wasi Karangwolo menghalangi. "Sabar dulu, Kanjeng Adipati. Jangan tergesa-gesa membunuhnya. Mungkin saja ia dapat mengaku terus terang siapa sebenarnya ia ini, mungkin telik sandi yang dilepaskan Panjalu atau Jenggala untuk menyelidiki keadaan kita. Kalau ia sudah membuat pengakuan, nah, baru boleh ia dibunuh di depan rakyat jelata agar mereka takut membuat kacau seperti dara ini."
Adipati Martimpang mengangguk-angguk dan menyarungkan kembali kerisnya. "Sesuka andika berdua sajalah untuk memeriksanya, kalau perlu boleh menyiksanya agar ia mengaku."
Wasi Karangwolo tersenyum. "Kamu mempunyai cara yang lebih baik untuk membuat ia mengaku, bukan dengan penyiksaan karena boleh jadi dara ini cukup tangguh untuk membungkam mulut dan menahan segala siksaan. Dengan cara kami ia akan dengan sendirinya membuat pengakuan. Akan tetapi ia telah menghisap bubuk racun kuning kami dan mungkin sore nanti baru sadar. Kami hanya minta sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat untuk mengurung dirinya."
Retno Wilis lalu diangkat ke dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari batu dan pintunya terbuat dari besi tebal dengan jeruji di bagian atasnya. Setelah kedua kaki dan tangannya diikat dengan tali yang kuat, ditelikung seperti seekor domba yang hendak disembelih, Retno Wilis lalu dilempar ke dalam kamar tahanan itu.
Wasi Karangwolo dan Resi Surengpati minta kepada para penjaga untuk meninggalkan mereka bertiga saja dengan tawanan itu. Setelah semua orang pergi, mereka lalu mengerahkan tenaga batin mereka untuk melakukan sihir atas diri Retno Wilis. Dalam keadaan tidak sadar, Retno Wilis dibuka kedua pelupuk matanya dan kedua orang pendeta itu memandang dengan sinar mata mencorong ke dalam mata Retno Wilis.
"Hei, wanita muda yang menyamar sebagai Joko Wilis. Engkau akan menuruti semua kehendak kami! Kalau sudah sadar engkau harus menjawab semua pertanyaan kami dengan sebenarnya!" Kalimat itu di ulang-ulang dan beberapa mantera dibisikkan oleh kedua Wasi itu sampai akhirnya Retno Wilis yang masih pingsan itu mengangguk-angguk.
Mereka melepaskan lagi Retno Wilis yang rebah tak berdaya diatas lantai dan barulah mereka keluar dari kamar tahanan itu. Gadis itu sudah dikuasai dan dikendalikan pikirannya dengan ilmu sihir dan kedua kaki tangannya juga terikat kuat, sedikitpun tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri. Belum lagi keadaan kamar tahanan itu yang kokoh kuat dan di luar kamar tahanan terdapat belasan orang perajurit yang menjaganya. Biar ditambah sepasang sayap di pundak dara itu tak mungkin ia dapat meloloskan diri.
Tubuh dalam kamar tahanan itu bergerak-gerak, menggerakkan kaki tangannya akan tetapi ia tidak mampu bangkit. Kedua kaki dan tangannya sudah terbelenggu kuatkuat. Retno Wilis mulai sadar dari pingsannya, akan tetapi ia tidak dapat menggerakkan kaki tangannya. Kepalanya terasa pening sekali. Ketika membuka matanya, ia melihat bahwa dirinya menggeletak di atas lantai yang dingin. Ketika ia mencoba menggerakkan kaki tangannya, ia tidak dapat.
Tubuhnya terasa lemas sekali. Ia tidak dapat mengingat dengan jelas apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia kini hanya tahu bahwa ia telah dibelenggu kaki tangannya dan berada dalam sebuah kamar yang tidak berapa luas, yang hanya mempunyai sebuah pintu baja yang bagian atasnya ada terali besinya yang amat kuat. Ia telah ditawan! Pikiran ini membingungkannya. Ketika timbul niatnya untuk mematahkan belenggu pada kaki tangannya, mendadak di dalam kepalanya terdengar suara yang amat berwibawa.
"Engkau tidak dapat membebaskan diri dari belenggu karena semua tenagamu habis. Engkau merasa tubuhmu tidak berdaya, lemah lunglai!"
Ia harus membenarkan kata-kata yang terngiang di dalam telinganya ini. Tidak mungkin ia membebaskan diri dari belenggu yang demikian kuatnya, sedangkan tubuhnya demikian lemas tak berdaya.
"Aku lemah.... tubuhku lemah tak berdaya...." katanya membenarkan, dan iapun tidak berani mencoba mengerahkan tenaganya lagi, melainkan rebah miring tak berdaya.
Tiba-tiba Retno Wilis melihat dua muka orang muncul di luar terali besi itu. Ia tidak ingat lagi siapa mereka, akan tetapi yang tampak olehnya hanya dua pasang mata yang mencorong seperti api dan yang seolah-olah mengikatnya. Ia menjadi gelisah menatap dua pasang mata itu.
"Wanita muda, siapakah namamu? Jawab yang benar!"
Retno Wilis merasa aneh sekali. Mengapa ada orang bertanya seperti itu dan ia merasa tak berdaya, merasa bahwa ia harus menjawab sejujurnya? Akan tetapi ia tidak mampu menahan diri dan ia harus menjawab sejujurnya, seolah ada sesuatu yang amat kuat mendorongnya untuk menjawab.
"Namaku Retno Wilis."
Dua orang kakek itu adalah Wasi Surengpati dan Wasi Karangwolo. Mendengar jawaban itu, mereka saling pandang. Wasi Karangwolo lalu bertanya lagi sambil mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi Rara Wilis.
"Dari mana engkau datang?"
"Dari Panjalu."
Kembali dua orang kakek itu saling pandang dan pada saat itu, Adipati Martimbangpun datang dan ikut menjenguk lewat terali besi di bagian atas pintu. Melihat kehadiran adipati Martimpang, Wasi Karangwolo mengulang lagi pertanyaannya.
"Wanita muda, katakan siapa namamu dan darimana engkau datang!"
Bagaikan seorang yang sedang mimpi, jawaban itu meluncur dari mulut Retno Wilis di luar kehendaknya sendiri.
"Namaku Retno Wilis dan aku datang dari Panjalu."
Adipati Martimpang terkejut. Dia tidak mengenal nama Retno Wilis akan tetapi pengakuan gadis itu bahwa ia datang dari Panjalu mengejutkan hatinya. Kiranya benar bahwa gadis ini seorang telik-sandi yang dikirim oleh Kerajaan Panjalu!
"Siapa yang mengutusmu datang ke Nusabarung?"
"Tidak ada yang mengutusku."
"Apa maksudmu datang ke Nusabarung?"
"Hendak melihat-lihat keadaan, menentang kejahatan, membela yang benar dengan adil!" kata-kata terakhir itu adalah tugas yang selalu didengungkan oleh Bagus Seto kepada Retno Wilis, maka sekarang kata-kata itu keluar dengan sendirinya."
"Siapa ayah bundamu?" Wasi Karangwolo kembali bertanya untuk dapat mengetahui lebih banyak tentang gadis yang menjadi tawanan itu.
"Ayahku Patih Panjalu Tejolaksono dan ibuku Endang Patibroto!"
Dua orang kakek dan adipati itu terkejut setengah mati. Mata mereka terbelalak ketika mereka saling pandang. Kalau nama Retno Wilis tidak mereka kenal, maka nama Tejolaksono dan Endang Patibroto itu tentu saja telah mereka kenal dengan baik! Dua orang yang sakti mandraguna, yang pernah menggegerkan Nusabarung dan Blambangan.
Wasi Karangwolo selain terkejut juga girang sekali. Dia menganggap Tejolaksono dan Endang Palibroto sebagai musuh besarnya. Kakek ini adalah guru dari para senopati di Blambangan yang dulu terbunuh oleh Endang Patibroto. Para muridnya itu adalah Mayangkrudo, Kolonarmodo, dan Haryo Baruno. Bahkan Adipati Blambangan di waktu itu, Menak Linggo juga terbunuh oleh wanita sakti itu. Dan kini puteri Endang Patibroto dan Tejolaksono berada di dalam tangannya! Sungguh merupakan balas dendam yang terasa manis sekali bagi Wasi Kawangwolo. Adipati Martimpang kini yakin pula bahwa puteri patih Panjalu itu pasti datang untuk menyelidiki keadaan dan kekuatan Nusabarung. Gadis ini merupakan orang yang berbahaya sekali.
"Ia seorang yang berbahaya sekali!" kata Adipati Martimpang. "Kita bunuh saja ia sebelum ia dapat memberi keterangan tentang Nusabarung kepada Raja Panjalu!"
"Nanti dulu, Kanjeng Adipati. Kita kuras dulu keterangan darinya sebanyak-banyaknya," kata Wasi Karangwolo. Dia lalu memandang lagi kepada Retno Wilis dan suaranya menggetar penuh wibawa ketika dia bertanya, "Retno Wilis, dengan siapa saja engkau datang ke Nusabarung?"
"Dengan kakakku."
"Siapa kakakmu itu?" tanya Wasi Karangwolo, semakin penasaran.
"Kakangmas Bagus Seto."
"Di mana dia sekarang?"
"Di Nusabarung."
"Ya, tapi di mana?"
Retno Wilis tidak menjawab karena memang ia tidak tahu di mana kakaknya berada.
"Retno Wilis, jawab, atau aku akan membikin pecah kepalamu. Engkau merasa kepalamu nyeri sekali, seperti dipukuli dari dalam!"
Mendadak Retno Wilis memejamkan matanya dan mengerang kesakitan, menggeleng-gelengkan kepalanya yang terasa nyeri sekali.
"Hayo katakan, di mana adanya Bagus Seto?"
Tiba-tiba tampak uap putih, dan sesosok bayangan putih berkelebat, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda, berpakaian serba putih.
"Aku berada di sini!" kata Bagus Seto yang dengan kepandaiannya yang tinggi sudah dapat memasuki tempat itu.
Dia lalu melemparkan tangkai bunga cempaka putih ke arah kepala Retno Wilis dan dia berkata lembut namun penuh getaran yang berwibawa.
"Diajeng Retno Wilis, sadarlah! Engkau telah bebas dari pengaruh jahat yang menguasaimu, tenagamu telah pulih kembali seperti sedia kala!"
Adipati Martimpang terkejut sekali dan berteriak memanggil para senopatinya yang masih berada di luar.
"Tangkap pemuda itu!" bentaknya dan dia sendiri lalu menyelinap dan pergi dari tempat itu.
Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati juga merasa marah sekali melihat munculnya pemuda berpakaian putih itu.
"Keparat, menyerahlah!" bentak mereka sambil mengerahkan ilmu sihir mereka untuk menundukkan Bagus Seto. Akan tetapi pemuda itu tersenyum dan berkata kepada dua orang kakek itu. "Sayang sekali mempelajari ilmu hanya untuk melakukan kejahatan!"
Dua orang kakek itu menyerang dan menubruk maju, akan tetapi sekali berkelebat Bagus Seto telah lenyap dari tempat itu. Sementara itu, Retno Wilis seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk. Ia merasa betapa tenaganya sudah pulih kembali dan kini ia sadar betul bahwa ia telah tertawan dan terbelenggu. Dengan marah Retno Wilis lalu mengeluarkan suara melengking tinggi dan sekali menggerakkan kaki tangannya, dara perkasa ini telah membuat belenggu kaki tangannya patah-patah! Ia meloncat berdiri dan mengerahkan tenaganya menerjang daun pintu dari besi itu.
"Wuuuuuut.... braaaakkkk!" Pintu itu jebol dan Retno Wilis sudah melompat keluar dari dalam kamar tahanan.
Melihat ini, semua orang terkejut dan belasan orang penjaga, juga dua orang kakek itu, mundur dan keluar dari tempat tahanan itu. Retno Wilis mengejar mereka dan ketika ia tiba di luar, ia telah terkepung oleh para perajurit yang bersenjatakan tombak dan golok. Dara itu mengamuk!
"Retno, jangan membunuh orang! Aku menunggumu di dalam guha di mana engkau menyimpan pakaianmu!" terdengar suara kakaknya berdengung di dekat telinga Retno Wilis, akan tetapi kakaknya itu tidak tampak berada di situ.
Biarpun ia marah sekali dan mengamuk seperti seekor naga betina, namun peringatan kakaknya ini diturutnya dengan patuh. Ia menggerakkan kaki tangannya, menampar dan menendang merobohkan para pengeroyok, akan tetapi tidak ada seorangpun yang ia bunuh. Ia membatasi tenaganya dalam setiap tamparan dan tendangan sehingga yang terkena tidak sampai tewas, hanya terlukai yang membuat mereka tidak dapat mengeroyok lagi. Akan tetapi Adipati Martimpang sendiri kini memimpin lima orang senopatinya yang tangguh untuk mengeroyok Retno Wilis,
"Bunuh wanita ini!" bentaknya kepada Ki Wisokolo dan empat orang rekannya! Lima orang itu lalu membentak para perajurit supaya mundur dan mereka berlima mengepung Retno Wilis.
Dara yang sakti mandraguna itu tidak menjadi gentar. Biarpun lima orang senopati itu menyerangnya dari lima penjuru, akan tetapi dengan kegesitannya ia mampu mengelak dan menangkis sehingga serangan mereka itu semua gagal. Bahkan ketika ia menangkis dengan lengannya, ia mengerahkan tenaga saktinya sehingga lima orang lawannya merasa lengan mereka tergetar hebat dan nyeri seperti telah bertemu dengan lengan baja! Di belakang lima orang senopati itu tampak puluhan orang perajurit yang telah mengepung dara itu.
Retno Wilis merasa heran dan agak kesal hatinya mengapa kakaknya tidak turun tangan membantunya, ia maklum bahwa kakaknya itu seorang yang tidak suka berkelahi, akan tetapi melihat adiknya dikeroyok seperti ini, mengapa dia tidak membantu? Ia maklum bahwa tidak mungkin ia melawan terus. Pasukan itu bisa datang beratus-ratus, tak mungkin dengan tenaganya seorang diri ia harus melawan mereka.
Ketika melihat Adipati Martimpang di belakang Ki Wisokolo sambil memerintahkan anak buahnya untuk mengepung dan Retno Wilis menemukan ia membalik dan menyerang Ki Wisokolo dengan Aji Wisolangking. Tubuh Ki Wisokolo terpental dan terjengkang oleh pukulan ini dan secepat kilat Retno Wilis sudah melompat dan dilain saat ia telah menangkap lengan kanan Adipati Martimpang dan menekuknya ke belakang tubuh.
"Hayo perintahkan mereka semua mundur kalau engkau tidak ingin mati dengan kepala remuk!" kata Retno Wilis dan ia menekuk lengan itu lebih kuat ke belakang punggung sang adipati sehingga Adipati Martimpang mengeluh kesakitan.
Sedikit lagi Retno Wilis mendorong tangannya ke atas di belakang punggungnya, sambungan tulang pundaknya bias terlepas!
"Baik, jangan bunuh aku.... !"
Adipati Martimpang lalu berseru nyaring. "Semua orang mundur, jangan menyerang lagi!"
Melihat betapa dara itu telah menangkap majikan mereka, semua pengeroyok bergerak mundur. Juga keduaWasi itu mundur dengan khawatir. Mereka maklum bahwa dara itu bukan hanya menggertak saja. Mungkin sang adipati akan benar-benar dibunuh oleh dara yang sakti mandraguna itu kalau mereka tidak mau mundur. Terpaksa mereka juga mundur sampai agak jauh. Retno Wilis berkata kepada adipati yang telah ditawannya.
"Mari temani aku untuk pergi dari sini. Aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi kalau orang-orangmu menyerangku, aku akan lebih dulu membunuhmu kemudian mengamuk dan membunuh semua orangmu!"
Sang Adipati Martimpang juga bukan seorang yang lemah. Akan tetapi ketika dia berusaha untuk meronta dan melepaskan tangannya dari pegangan dara itu, dia sama sekali tidak mampu berkutik. Bukan main kuatnya tangan yang memegang pergelangan tangannya itu. Karena takut, akan ancaman Retno Wilis, diapun berteriak,
"Kalian jangan menghalangi Retno Wilis! Mundur dan jangan ada yang mencoba menyerangnya!"
Retno Wilis merasa lega. Ia telah menemukan cara yang terbaik untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu. Ini jauh lebih mudah dan baik dari pada ia harus melawan sekian banyaknya pengeroyok. Ia lalu mendorong tubuh sang adipati dan mengajaknya keluar dari kota kadipaten, terus ke hutan di luar pintu gerbang. Hari telah hampir gelap dan ketika Retno Wilis tiba di depan gua, ia melihat Bagus Seto telah berada di sana, berdiri sambil menyilangkan lengan di depan dada dan tersenyum.
"Bagus sekali, kakangmas! Andika enak-enak saja di sini membiarkan aku menghadapi pengeroyokan ratusan orang perajurit!" kata Retno Wilis dengan suara kesal.
"Suatu latihan yang baik bagimu, terutama untuk menahan kesabaranmu, diajeng. Ini buntalan pakaianmu, tukarlah pakaian di dalam gua dan tinggalkan sang adipati disini. Dia tidak akan begitu bodoh untuk mencoba melarikan diri." Bagus Seto menyerahkan buntalan pakaian Retno Wilis. Dara itu menerimanya lalu menghilang ke dalam gua yang sudah gelap.
Kini Adipati Martimpang berdiri di depan gua, hanya berdua saja dengan Bagus Seto. Adipati itu mempertimbangkan keinginannya untuk melarikan diri. Biarpun adiknya amat sakti, pemuda ini belum tentu memiliki kesaktian seperti dara itu, pikirnya. Dia akan mencoba-coba. Cuaca sudah mulai gelap dan dia lebih mengenal medan dari pada pemuda asing ini. Dia dapat menghilang ke dalam hutan yang lebat itu. Melihat pemuda itu sama sekali tidak memperhatikan dia dan memandang ke arah lain, Adipati Martimpang menggunakan kesempatan itu untuk mengerahkan seluruh tenaganya meloncat dan melarikan diri. Dan betapa lega hatinya ketika dia tidak melihat pemuda itu berteriak atau mengejarnya. Dia telah lolos! Dengan sekuat tenaga diapun berloncatan sambil berlari cepat.
Tiba-tiba dia terbelalak, memandang ke depan. Di sana, di depannya, telah berdiri pemuda berpakaian putih tadi, tersenyum sambil menyilangkan kedua lengan di depan dadanya seperti tadi ketika dia meninggalkannya di depan gua! Adipati Martimpang cepat memutar tubuhnya dan berlari cepat ke lain jurusan. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat pemuda itu sudah berdiri pula di depannya tanpa bicara hanya tersenyum saja. Dia bergidik ngeri, lalu timbul kenekatannya. Dia segera menerjang maju dan mengirim pukulan ke arah dada pemuda itu. Pemuda itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak.
"Wuuutt.... bukkk!" Pukulan itu tepat mengenai dada pemuda itu, akan tetapi pemuda itu tidak bergoyang sedikitpun juga. Sebaliknya, Adipati Martimpang menahan teriakannya karena tangan kanan yang memukul itu seperti remuk rasanya, seolah dia memukul sebuah dinding baja. Dia hanya dapat memegangi kepalan tangan kanan dengan tangan kirinya dan mendesis-desis menahan rasa nyeri.
"Kanjeng Adipati, mari kita kembali ke gua." kata pemuda itu dengan suara yang lemah lembut.
Adipati Martimpang maklum bahwa dia menghadapi seorang yang bahkan lebih sakti dari pada Retno Wilis, maka diapun tidak banyak membantah, seperti seekor domba dituntun dia mengikuti pemuda itu kembali ke tempat tadi. Retno Wilis keluar dari dalam guha dan di bawah sinar matahari yang hampir tenggelam, sang adipati memandang dengan bengong! Dia melihat seorang gadis berpakaian serba putih yang cantik jelita seperti dewi kahyangan! Sukar untuk dapat percaya bahwa dara secantik ini dapat menjadi seorang yang amat sakti!
"Kanjeng Adipati Martimpang, sekarang andika harus mengawal kami sampai menyeberang ke daratan sana. Mari, kakangmas Bagus, kita tinggalkan pulau ini."
Mereka bertiga lalu keluar dari dalam hutan itu. Dari jauh tampak banyak perajurit, dipimpin oleh lima orang senopati dengan senjata lengkap seperti hendak maju perang. Akan tetapi mereka hanya berani mengawasi dari jauh saja. Ketika tiga orang itu berjalan menuju keselatan, merekapun hanya berani membayangi dari jauh. Demikian pula, ketika Retno Wilis memaksa Adipati Martimpang mencarikan sebuah perahu dan mereka bertiga dengan naik perahu menyeberang ke daratan, para senopati Nusabarung juga sibuk mencari perahu dan membayangi dari jarak jauh.
Retno Wilis cukup cerdik untuk tidak melepaskan sang adipati ketika ia telah memperoleh perahu. Kalau begitu halnya, tentu anak buah Nusabarung itu akan beramai-ramai mengejar dengan perahu dan kalau sampai mereka tersusul, celakalah ia dan kakaknya. Kalau perahu mereka digulingkan, mereka akan tidak berdaya berada dalam air sehingga akhirnya tentu dapat tertangkap atau terbunuh. Baru setelah tiba di pantai daratan, Retno Wilis berkata kepada Adipati Martimpang.
"Sekarang kami bebaskan andika, Adipati Martimpang. Aku hanya berpesan agar andika tidak menjodohkan puterimu dengan orang-orang kasar dan sombong seperti Kalinggo. Kasihan sekali sang puteri kalau terjatuh ke tangan orang-orang seperti itu. Nah, selamat tinggal!" Retno Wilis lalu pergi bersama kakaknya.
Adipati Martimpang hanya dapat memandang kepada dua bayangan putih itu yang menuju ke timur, perlahan-lahan ditelan kegelapan malam. Ketika orang-orangnya mendarat, Adipati Martimpang tidak menyuruh mereka melakukan pengejaran, melainkan memerintahkan mereka kembali ke pulau Nusabarung.
********************
Persidangan di kadipaten Blambangan itu berlangsung dengan tertib. Adipati Menak Sampar dari Blambangan adalah seorang yang bertubuh tinggi besar, bermuka merah dan berkumis melintang sehingga tampak berwibawa sekali. Memang dia memegang tampuk pemerintahan dengan tangan besi, dengan galak dan tak mengenal ampun dia menghukum hamba sahaya yang berbuat kesalahan, menghukum pula para pamong praja yang bertindak salah. Karena itu, Adipati Menak Sampar ditakuti semua orang. Usia Adipati Menak Sampar sudah empat puluh tahun, akan tetapi dari sekian banyak isterinya, dia hanya mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Dyah Ayu Kerti, seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik jelita. Ibu gadis ini juga seorang puteri dari Bali-dwipa yang cantik jelita, maka tidak mengherankan kalau anaknyapun demikian cantiknya.
Dalam persidangan itu, para pamong praja memberi laporan tentang tugas mereka masing-masing. Setelah Sang Adipati memberi nasihat dan usul-usul kepada pembantunya, persidangan itu dibubarkan karena ada laporan dari para pengawal bahwa di luar kadipaten ada beberapa orang tamu penting mohon menghadap Adipati Menak Sampar. Mendengar bahwa pimpinan para tamu itu adalah utusan yang datang dari negeri Cola di India, Sang Adipati bergegas membubarkan persidangan dan tak lama kemudian dia sudah menanti para tamunya di ruangan tamu.
Setelah para tamu dipersilakan masuk ke dalam ruangan tarnu, maka bermunculanlah seorang kakek yang berusia kurang lebih enampuluh lima tahun bersama seorang wanita yang usianya sudah empatpuluh tahun namun masih tampak cantik jelita dan genit, dan seorang laki-laki gagah perkasa bertubuh raksasa berusia empatpuluhan tahun. Setelah mempersilakan tiga orang tamunya untuk mengambil tempat duduk, Adipati Menak Sampar lalu berkata,
"Selamat datang di kadipaten Blambangan paman pendeta." Dia menyebut pendeta karena kakek itu memang berpakaian jubah panjang seperti seorang pendeta. "Kami merasa belum mengenal paman, siapakah nama paman yang mulia dan dari mana paman datang?"
"Heh-heh-heh, Kanjeng Adipati yang gagah perkasa! Saya bernama Wasi Siwamurti dan saya datang ke Blambangan sebagai utusan Sang Mahaprabu di Negeri Cola."
Adipati Menak Sampar mengangguk-angguk. "Biarpun letaknya amat jauh, Negeri Cola adalah sahabat kami. Tidak tahu ada urusan apakah paman datang ke Blambangan?"
"Sebelum saya menjelaskan maksud kunjungan saya ini, perkenalkan lebih dulu wanita ini adalah Ni Dewi Durgomala yang menjadi murid saya, dan ini adalah Ki Siwananda putera saya."
Adipati Menak Sampar memandang kepada keduanya dan berkata, "Selamat datang di Blambangan." Yang dijawab oleh keduanya dengan hormat menyatakan terima kasih mereka.
Wasi Siwamurti lalu mengeluarkan sepucuk surat dari saku jubahnya dan menyerahkannya kepada Adipati Menak Sampar.
"Kedatangan saya ini diantar oleh sepucuk surat dari Sang Prabu untuk paduka, Kanjeng Adipati."
Adipati Menak Sampar menerima surat itu dan membacanya. Isinya adalah surat pengantar dari Raja Cola yang menyatakan bahwa Wasi Siwamurti adalah seorang pendeta yang diutus ke Jawadwipa untuk menyebar Agama Siwa.
"Akan tetapi untuk menyebar-luaskan Agama Siwa, kenapa paman wasi datang ke Blambangan?" tanya Adipati Menak Sampar.
"Saya ingin menyebar agama kami di daerah Panjalu dan Jenggala sampai ke Blambangan dan Bali-dwipa. Dan terutama sekali karena di sini saya mempunyai saudara yang telah lama membantu paduka, yaitu Wasi Karangwolo."
Wajah Adipati Menak Sampar menjadi berseri ketika mendengar ucapan itu. "Ah, paman Wasi masih saudara dengan pamanda Wasi Karangwolo?"
"Dia adalah adik-seperguruan saya, Kanjeng Adipati. Kabar terakhir yang saya dapat mengatakan bahwa dia telah menjadi penasihat paduka di sini. Benarkah itu dan di mana dia berada?"
"Benar sekali, paman. Paman Wasi Karangwolo adalah penasihat kami dan dia sedang menjadi utusan Blambangan pergi ke Nusabarung bersama adik seperguruannya yang bernama Wasi Surengpati."
"Ahh, jadi Surengpati juga sudah berada di sini? Bagus sekali. Kalau begitu saya akan mendapat pembantu-pembantu yang dapat diandalkan."
"Yang ingin kami ketahui, mengapa paman Wasi hendak menyebar luaskan agama Siwa ke Panjalu dan Jenggala."
"Seperti Kanjeng Adipati tentu telah memaklumi, kerajaan yang kini telah menjadi dua itu adalah musuh besar Negeri Cola. Kami hendak menyebar luaskan agama Siwa untuk memecah belah. Kalau sudah terjadi pemecah belahan kepercayaan, maka tentu Panjalu dan Jenggala akan menjadi lemah dan mudah diserbu dan ditundukkan."
"Bagus sekali! Hal itu cocok dengan keinginan kami, paman Wasi. Sejak dahulupun kami bermusuhan dengan Panjalu dan biarpun kami pernah ditundukkan dan dikalahkan, namun kami tidak pernah mau mengakui mereka sebagai kerajaan yang menguasai kami. Bahkan kami mengutus Paman Wasi Karangwolo juga untuk mengadakan persekutuan dengan Nusabarung untuk menentang kerajaan Jenggala yang mengakui Blambangan sebagai daerah kekuasaannya."
"Akan tetapi, kerajaan Jenggala cukup kuat, apa lagi kalau dibantu oleh Panjalu. Pasukan mereka kuat sekali dan mereka memiliki banyak senopati yang sakti mandraguna."
"Kami tahu, paman Wasi. Akan tetapi kami sudah mendapatkan janji dari Bali-dwipa untuk membantu kami."
"Bagus kalau begitu. Akan tetapi, gerakan senjata itu sebaiknya ditunda dulu. Baru setelah dengan penyebar-luasan agama yang dapat memecah belah mereka, kita pukul dengan kekuatan senjata."
Selagi mereka bercakap-cakap, masuklah seorang pengawal yang melaporkan bahwa Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati telah datang dan mohon menghadap Sang Adipati Menak Sampar. Mendengar laporan ini, Adipati Menak Sampar menjadi gembira sekali.
"Bagus, persilakan mereka langsung menghadap ke sini!" Setelah pengawal pergi dia berkata kepada Wasi Siwamurti, "Paman Wasi, kebetulan sekali dua orang adik seperguruan andika yang kami utus ke Nusabarung telah datang kembali."
Pertemuan antara ke tiga pendeta dan dua orang murid itu amat menggembirakan. Setelah saling memberi salam dan menanyakan keselamatan masing-masing, mereka lalu duduk dan kesempatan ini dipergunakan oleh Adipati Menak Sampar untuk bertanya kepada kedua orang utusannya itu.
"Bagaimana kabarnya dengan tugas andika berdua, Paman Wasi Karangwolo?"
"Kami sudah bercakap-cakap dengan Sang Adipati Martimpang tentang kerja-sama kita dan kami melihat bahwa Kadipaten Nusabarung juga sudah mengadakan persiapan dengan baik. Nusabarung sudah menghimpun pasukan dan menambah jumlah perajurit mereka, bahkan sebagian pasukan sudah dipersiapkan di pantai daratan untuk menjaga kalau-kalau ada gerakan pasukan Jenggala ke sana."
"Bagus sekali kalau begitu. Dengan adanya Nusabarung yang sudah siap, kita sudah mempunyai sekutu di garis depan. Nusabarung dapat menjadi benteng pertama kita untuk membendung kalau-kalau ada pasukan dari barat menyerang daerah kita."
"Akan tetapi ada berita buruk, Kanjeng Adipati. Biarpun Nusabarung sudah mengadakan persiapan, ternyata telah ada dua orang sakti dari Panjalu yang dapat menyelinap masuk dan membikin kacau Nusabarung."
Adipati Menak Sampar terkejut, demikian pula tiga orang tamunya yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Ah, bagaimana mereka begitu ceroboh sehingga ke masukan telik sandi? Siapakah dua orang sakti dari Panjalu itu?"
"Ceritanya begini, Kanjeng Adipati. Ketika kami berdua tiba di Nusabarung, Adipati Martimpang sedang mengadakan sayembara tanding untuk mencarikan jodoh puterinya. Banyak orang muda yang memasuki sayembara, di antaranya bahkan Kalinggo, putera Senopati Rajahbeling dari Blambangan. Akan tetapi yang keluar sebagai pemenang sayembara adalah seorang pemuda bernama Joko Wilis yang datang dari pegunungan Wilis. Joko Wilis ini mengalahkan semua peserta, bahkan mengalahkan Senopati Wisokolo dari Nusabarung yang menjadi penguji dalam sayembara itu. Pemuda itu tangguh dan sakti mandraguna. Dialah yang diterima menjadi calon mantu dan pengganti Adipati Martimpang. Kami berdua merasa penasaran sekali mengapa Adipati Martimpang memilih dia, bukan Kalinggo. Kami datang agak terlambat sehingga tidak sempat membekali dengan aji yang dapat mengalahkan Joko Wilis."
"Kemudian bagaimana, Paman Karangwolo?" tanya Sang Adipati dengan hati tertarik.
Wasi Karangwolo melanjutkan. "Setelah menangkan sayembara, Joko Wilis tidak bersedia dinikahkan dengan Dyah Candramanik, akan tetapi minta ditangguhkan setahun lagi. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, Dyah Candramanik melaporkan kepada ayahnya bahwa Joko Wilis itu sesungguhnya seorang wanita yang menyamar!"
"Ah, seorang wanita? Mengapa ia menyamar dan mengikuti sayembara memilih jodoh itu?"
"Hal itulah yang mendatangkan kecurigaan dan kami lalu membantu Adipati Nusabarung untuk menangkapnya. Kami berdua berhasil menawannya dan mempengaruhinya dengan sihir, ia mengaku bernama Retno Wilis dan siapakah gadis itu? Bukan lain adalah puteri Ki Patih Tejolaksono dan puteri Endang Patibroto."
Semua orang terkejut mendengar nama sepasang suami isteri itu. Mereka semua menganggap dua orang itu sebagai musuh besar. Bahkan Wasi Siwamurti juga mendendam kepada mereka yang dianggap telah menyebabkan kematian mendiang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo, rekan-rekannya yang menjadi utusan Negeri Cola dan sama-sama penyembah Bathara Siwa.
"Adi Wasi Karangwolo, kemudian bagaimana kelanjutannya?" tanya Wasi Siwamurti kepada adik seperguruannya.
Wasi Karangwolo menceritakan selanjutnya. "Kami berdua sudah menguasai Retno Wilis dan ketika kami sedang mengorek keterangan darinya apakah ia datang sebagai utusan Panjalu dan menjadi telik-sandi, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang bernama Bagus Seto dan diakui sebagai kakak Retno Wilis. Pemuda itu ternyata sakti mandraguna. Dengan lemparan setangkai cempaka putih dia dapat menyadarkan Retno Wilis yang dapat membebaskan diri dan mengamuk. Kami sudah mengerahkan pasukan untuk menangkapnya kembali, akan tetapi tiba-tiba ia dapat menangkap dan menyandera Adipati Martimpang sehingga ia dapat meloloskan diri ke pantai daratan sambil menyandera sang adipati. Kami tidak berdaya dan terpaksa membiarkan ia lolos."
Semua yang mendengar cerita ini tertegun. "Tidak salah lagi, Retno Wilis dan Bagus Seto itu tentulah telik-sandi yang dikirim Panjalu atau Jenggala untuk menyelidiki keadaan di Nusabarung. Kalau begitu lebih baik kita mendahului mereka, bergabung dengan Nusabarung dan menyerang Jenggala," kata Sang Adipati Menak Sampar.
"Nanti dulu, Kanjeng Adipati," kata Wasi Karangwolo.
"Adipati Nusabarung juga menghendaki demikian, akan tetapi kami mencegahnya. Kini belum tiba waktunya kita menyerang Jenggala. Kami akan lebih dulu bertindak menyebar-luaskan agama kami untuk menarik rakyat berpihak kepada kami. Kalau terjadi perpecahan di antara mereka karena agama, tentu keadaan mereka lemah dan itulah saatnya bagi kita untuk melakukan penyerbuan."
"Apa yang dikatakan Adi Karangwolo benar, Kanjeng Adipati. Pasukan Jenggala dan Panjalu kuat sekali. Kita harus membuatnya lemah lebih dulu melalui penyebaran agama. Saya, murid saya Ni Dewi Durgomolo dan anak saya Ki Siwananda akan membantu agar mereka memasuki agama kami dan kalau sudah begitu halnya, maka akan mudah membujuk rakyat Jenggala dan Panjalu untuk berpihak kepada kita."
Adipati Menak Sampar mengangguk-angguk tanda setuju. Dia mengerti bahwa agama penyembah Bathara Siwa, Bathara Kala dan Bathari Durga ini, mudah berkembang biak dan para pendetanya memiliki pengaruh yang amat besar terhadap umatnya.
"Kalau begitu, kami dapat menyetujui dan kami serahkan kepada Paman Wasi Karangwolo dan Paman Wasi Surengpati, dibantu oleh Paman Wasi Siwamurti dan dua orang muridnya. Andika bertiga dapat menggunakan bantuan pasukan setiap waktu andika bertiga memerlukannya," kata Adipati Menak Sampar.
Perundingan ditutup dengan jamuan makan bagi para tamu, yaitu Wasi Siwamurti, Ki Siwananda dan Ni Dewi Durgamolo.
********************
Bagus Seto dan Retno Wilis melakukan perjalanan dengan santai menuju ke timur. Pada suatu siang yang cerah, mereka berhenti dan beristirahat di bawah sebatang pohon asam yang besar. Mereka duduk di atas batu-batu yang banyak berserakan di bawah pohon, menggunakan saputangan untuk menghapus keringat yang membasahi leher mereka. Matahari amat terik dan sinarnya menyengat tubuh.
Nyaman memang mengaso di bawah pohon asam itu. Angin semilir seperti mengipasi tubuh mereka dan Retno Wilis memandang ke atas. Banyak buah asam bergantungan di dahan. Tiba-tiba ia melihat sepasang burung sedang bercumbu di atas dahan. Ia tersenyum geli sehingga Bagus Seto juga memandang ke atas. Diapun melihat sepasang burung itu dan tersenyum juga, bukan menertawakan burung-burung itu melainkan menertawakan adiknya yang tersenyum melihat burung-burung itu bercumbu.
"Burung-burung tak tahu malu," kata Retno Wilis melihat kakaknya tersenyum.
"Eh? Kenapa, diajeng? Burung-burung itu berkasih-kasihan, sudah sewajarnya, dan sudah sesuai dengan kehendak Hyang Widhi. Mengapa kau katakan tidak tahu malu?"
"Apakah itu yang dinamakan cinta, kakangmas?"
"Benar, dan cinta itu suci adanya, walaupun di dalam cinta itu terkandung nafsu berahi."
"Apakah cinta manusia juga mengandung nafsu, kakang?"
"Tentu saja. Di dunia ini, di antara tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, cintanya tentu mengandung nafsu berahi, cinta semua makhluk mengandung pamrih karena disenangkan hatinya. Tidak ada cinta tanpa pamrih, karena itu semua cinta bergelimang nafsu."
"Akan tetapi cinta antara suami-isteri adalah suci, bukan kakang? Suami isteri kadang mengalah demi membahagiakan masing-masing pihak, tanpa pamrih."
Bagus Seto tersenyum. "Biarpun dengan menyesal, terpaksa harus kukatakan, bahwa cinta antara suami isteri juga tidak terbebas daripada nafsu, akan tetapi hal itu adalah sewajarnya karena nafsu berahi inilah yang merupakan syarat berkembang biaknya manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan. Berarti bahwa sejak kita lahir, kita sudah disertai nafsu, jadi sudah sesuai dengan kehendak Hyang Widhi."
"Aku menjadi bingung, kakang. Kalau semua cinta dilumuri nafsu, maka cinta itu kotor, kakang. Bukankah nafsu itu merupakan sesuatu yang buruk dan dapat menyeret manusia ke jurang kesengsaraan?"
"Sama sekali tidak demikian, adikku. Nafsu berahi, seperti juga nafsu lain, merupakan hal yang amat berguna bagi kehidupan manusia. Tanpa adanya nafsu berahi dalam cinta kasih, maka manusia tidak akan berkembang biak seperti sekarang ini. Akan tetapi seperti juga nafsu lain, nafsu berahi juga amat berbahaya kalau sudah menguasai dan memperhamba manusia. Kalau seseorang telah diperhamba nafsu berahi maka dia akan mengejar kesenangan melalui nafsu berahinya sedemikian rupa sehingga dia dapat melakukan hal-hal yang sesat, seperti perkosaan, perjinaan, pelacuran dan lain-lain."
"Ah, aku menjadi ngeri memikirkan soal cinta-kasih kalau begitu. Akan tetapi benar-benarkah tidak ada cinta-kasih yang bersih dari pada nafsu bagi manusia?"
"Tidak ada, adikku. Tidak akan ada cinta kalau tidak ada nafsu. Nafsu itu menyenangkan, nafsu itu hendak memuaskan diri, hendak menyenangkan diri sendiri. Seorang baru mencinta kalau yang dicinta itu menarik hatinya, menyenangkan hatinya melalui kecantikan, keluhuran budi, kepandaian, harta benda dan sebagainya. Pendeknya, orang disenangkan dulu hatinya baru jatuh cinta. Dapatkah seorang wanita mencinta seorang pria atau seorang pria mencinta seorang wanita kalau yang dicintanya itu ternyata tidak dapat melakukan hubungan badan? Tentu saja tidak. Betapapun buruknya kenyataan ini, betapapun sarunya, namun kenyataannya demikianlah. Oleh karena itu, banyak terjadi bahwa cinta seseorang dapat berubah dan berbalik menjadi benci, mengapa? Karena kalau disenangkan dia mencinta, kalau sekali waktu dia disusahkan, dia menjadi marah dan cintanya berubah menjadi benci. Demikianlah ulah nafsu, adikku. Berbahagialah orang yang dapat mengikuti dan mengerti akan gerak-gerik nafsu yang menguasai diri sendiri."
Retno Wilis mengerutkan alisnya yang kecil hitam melengkung indah itu. Ia teringat akan mendiang Adiwijaya. Orang yang dianggap sebagai pamannya atau bahkan pengganti orang tuanya sendiri itu mencintanya tanpa pamrih, mencintanya dengan hati bersih dan suci, bahkan rela mengorbankan dirinya untuknya!
"Akan tetapi, kakang. Bukankah terdapat cinta-kasih antara sahabat yang benar-benar bersih dari nafsu, cinta-kasih murni antara dua orang sahabat yang setia?"
"Tidak ada, adikku. Cinta antara dua orang sahabat juga bergelimang nafsu, walaupun bukan nafsu berahi. Cinta seorang sahabat itu tentu didorong karena dia menganggap orang yang dicintanya itu baik terhadapnya, menyenangkan dan menguntungkan. Selama ada penilaian antara baik dan buruk, tentu cinta yang timbul karena penilaian itu ditunggangi nafsu."
"Kalau begitu di dunia ini tidak terdapat cinta-kasih sejati, cinta-kasih yang suci dan murni?"
"Tentu saja ada, diajeng Retno Wilis.Tengoklah ke sekelilingmu. Semua yang tampak ini berguna bagi kehidupan manusia. Pohon-pohon, bahkan pohon asam ini amat berguna bagi manusia. Buahnya untuk masak, daunnya untuk jamu dan kayunya masih dapat digunakan untuk membangun rumah dan kayu bakar. Lihat bunga-bunga indah itu. Tampak oleh mata manusia demikian indah menyenangkan. Baunya juga harum amat menyegarkan bagi penciuman. Lihat sinar matahari, demikian indah dan mendatangkan terang, juga menghidupkan. Rasakan semilirnya angin yang demikian menyejuk dan menyegarkan. Lihatlah, di sekeliling kita. Tanah tersedia untuk kita, menghasilkan segala macam kebutuhan hidup manusia. Semua itu diberikan tanpa pamrih, tanpa memandang bulu dan terus menerus. Bukan hanya manusia yang mendapat limpahan berkah ini, melainkan juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Nah, semua itulah cinta kasih, adikku. Itulah sifat Hyang Widhi, yaitu Kasih."
Retno Wilis memandang kakaknya dan mata yang indah itu terbelalak, berseri. "Kakang, engkau membuka mataku! Betapa buta aku selama ini tidak melihat dan tidak merasakan lagi adanya berkah dan cinta-kasih suci yang berlimpah ruah diberikan kepadaku!"
"Itulah, adikku. Itulah pekerjaan nafsu yang selalu menarik perhatian kita sehingga kita selalu mengejar kesenangan, mengejar sesuatu yang tidak ada pada kita. Nafsu tidak mengenal puas, tidak mengenal cukup, akan selalu mendorong kita untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Akhirnya nafsu menyeret kita ke dalam perbuatan yang sesat dan jahat. Aku girang bahwa engkau merasa terbuka matamu, diajeng."
Setelah bercakap-cakap dan tidak merasa gerah lagi, kedua orang kakak beradik itu hendak melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi pada saat itu terdengar orang bertembang dengan suara yang berat dan dalam.
"Rumangsane mung nalongso
Susah sajeroning urip
Sakabehing kang tinuju
Olehe namun kuciwo
Sing dioyak-oyak teko luput
Luwih becik s ing narimo
Opo paringing Hyang Widhi"
Arti tembang itu adalah
Rasanya hanya nelangsa,
susah dalam kehidupan,
semua yang diharapkan,
hanya mendapat kecewa,
yang dikejar-kejar tak dapat,
lebih baik yang menerima,
apa yang diberikan Hyang Widhi.
Bagus Seto dan Retno Wilis tidak jadi meninggalkan tempat di bawah pohon asam itu dan menanti orang yang bertembang itu datang dekat. Dia seorang paman tani berusia hampir limapuluh tahun, bercelana hitam tak berbaju, bajunya berada di atas singkong yang dipikulnya dalam dua buah keranjang. Orang itu bertubuh kurus, tulang-tulangnya menonjol di bawah kulitnya yang coklat karena banyak terbakar sinar matahari. Otot-ototnya juga menonjol, menunjukkan bahwa otot-otot itu sering dipergunakan untuk memikul berat dan bekerja keras. Kakinya telanjang. Seluruh penampilan kakek ini, dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya, memperlihatkan kesederhaan yang polos, tidak dibuat-buat, kesederhanaan yang mendekati kemiskinan.
Namun wajah itu berseri, matanya memandang polos ke depan, kosong dan tidak perduli. Ketika tiba dekat pohon asam yang lebat itu, dia berhenti melangkah, lalu menghampiri tempat teduh itu, melepaskan pikulannya yang berat. Dengan tangan kanannya dia menanggalkan sebuah caping dari kepalanya dan mengipasi dadanya yang berkeringat dengan caping itu, kemudian dia memandang kepada Bagus Seto dan Retno Wilis dan tampak keheranan dalam sinar matanya.
Bagus Seto tersenyum kepadanya dan bertanya, ''Paman, Kidung Pangkur yang kau tembangkan tadi indah sekali!"
Kakek itu tersenyum dan seketika wajahnya yang penuh keriput itu tampak segar dan muda. "Wah, denmas, tembangku hanya tembang orang dusun."
"Benar, paman, aku tertarik sekali, terutama isi tembang itu. Apakah engkau merasa setuju kalau ada orang yang mempunyai cita-cita untuk meraih keadaan yang lebih baik?"
Petani itu menggunakan baju hitamnya yang tadi ditaruh di atas singkong untuk menghapus keringat dari leher dan mukanya.
"Mengharapkan sesuatu yang tidak ada hanya merupakan penyiksaan diri belaka, denmas. Kalau hasilnya luput, kita akan merasa nelangsa dan kecewa, sebaliknya kalau dapat, kita tetap saja tidak puas dan mengharapkan yang lebih baik atau lebih banyak. Dari pada mengharapkan yang tidak-tidak, lebih baik menerima apa yang diberikan oleh Hyang Widhi." Petani itu memandang ke arah pikulannya, mungkin menaksir-naksir berapa yang akan didapatnya dari penjualan sepikul singkong itu.
"Akan tetapi kalau begitu hidup ini tidak akan ada kemajuan, paman. Siapa lagi kalau bukan kita sendiri yang berusaha untuk memperbaiki kehidupan kita? Dengan usaha keras tentunya."
"Oooh, tentu saja, denmas. Kita harus bekerja setiap hari, karena apakah artinya hidup ini tanpa bekerja? Kita bekerja sekuat tenaga setiap hari, tanpa mengharapkan apa-apa dan apa yang datang sebagai hasil pekerjaan kita itu, itulah anugerah dan berkah Hyang Widhi yang harus kita terima dengan penuh rasa sukur, tanpa mengharapkan yang bukan-bukan." Petani itu bicara dengan bahasa yang bersahaja, akan tetapi menyentuh perasaan Bagus Seto.
"Kalau begitu pandangan hidup paman, maka paman menyerah dengan penuh kepasrahan kepada Hyang Widhi untuk menentukan keadaan hidup paman?"
"Tentu saja, denmas. Hyang Widhi kuasa mengatur segalanya. Kita tidak mempunyai kemampuan untuk menolak apa yang telah ditentukan Hyang Widhi. Tugas kita hanya bekerja sebaik mungkin dan setelah itu maka aku pasrah kepada Hyang Widhi. Apapun yang diberikan kepadaku akan kuterima dengan penuh rasa sukur. Kalau sudah begitu, maka kehidupan ini terasa nikmatnya nikmat dari berkah Hyang Widhi yang tidak ada henti-hentinya kepada kita."
"Diajeng Retno, inilah contohnya seorang yang berbahagia!" kata Bagus Seto kepada adiknya.
Biarpun ucapan petani singkong itu amat sederhana, namun ucapannya mengandung arti yang amat dalam sehingga Retno Wilis masih belum mengerti benar. Ia memandang kepada kakek itu dengan kagum lalu bertanya,
"Paman, bahagiakah paman dalam hidup paman."
Kakek itu memandang kepada Retno Wilis dengan sinar mata tidak mengerti. "Apa maksud andika, den ajeng? Apa itu bahagia? Saya tidak membutuhkan bahagia."
Retno Wilis terbelalak. Kalau kata bahagia saja tidak mengerti, bagaimana mungkin orang hidup berbahagia? Akan tetapi Bagus Seto tersenyum kepada adiknya.
"Diajeng, justeru karena paman ini tidak membutuhkan bahagia, itu berarti bahwa dia telah berbahagia! Kebahagiaan hanya dikejar-kejar orang yang hidupnya tidak bahagia, yang hidupnya diganggu persoalan-persoalan yang menyusahkan dan menggelisahkan hatinya. Kalau gangguan itu tidak ada lagi, maka orangpun tidak butuh bahagia karena sesungguhnya dia sudah berbahagia! Seperti orang yang sakit saja yang membutuhkan kesehatan, kalau orang itu tidak sakit lagi, dia tidak butuh akan kesehatan karena sesungguhnya dia sudah sehat. Mengertikah engkau, adikku?"
Retno Wilis baru mengerti setengah-setengah saja. Semua orang di dunia ini mengejar kebahagiaan, bagaimana petani miskin ini dikatakan oleh kakaknya sebagai orang yang berbahagia karena dia tidak mengejar, bahkan tidak mengerti apa itu kebahagiaan?
"Wah, matahari sudah naik tinggi, saya harus berangkat sekarang, denmas. Nanti pasarnya keburu sepi dan tidak ada yang membeli singkongku ini! Selamat tinggal, denmas dan den-ajeng."
"Selamat jalan, paman. Semoga Hyang Widhi selalu memberkahimu seperti yang andika nikmati selama ini," kata Bagus Seto dan petani itu lalu memikul lagi dua keranjang singkong itu dan meninggalkan tempat itu.
Retno Wilis mengikuti petani itu dengan pandang matanya. Betapa tubuh kurus itu terseok-seok memikul beban yang berat, akan tetapi betapa lincahnya kedua tangannya itu berlenggang dan kedua kaki itu melangkah seperti orang menari-nari gembira.
"Hayo, diajeng, kita lanjutkan perjalanan kita," kata Bagus Seto dan Retno Wilis mengangguk, lalu mereka berdua melangkah ke arah timur meninggalkan pohon asam itu.
"Kakang, aku masih memikirkan pembahasan tentang cinta-kasih tadi. Aku masih merasa ngeri melihat kenyataan bahwa tidak ada cinta-kasih yang murni, semua cinta-kasih manusia bergelimang nafsu. Aku ngeri, kakang dan tidak mau jatuh cinta!"
Bagus Seto tertawa. "Ha-ha, mudah saja engkau berkata demikian, adikku. Akan tetapi sekali waktu akan tiba saatnya engkau bertemu seseorang dan jatuh cinta kepadanya, baik kau kehendaki maupun tidak. Jodoh manusia ditentukan oleh Hyang Widhi, dan sekali engkau bertemu dengan calon jodohmu yang sudah ditentukan, engkau akan jatuh cinta padanya dan dia akan jatuh cinta padamu."
"Mencinta dengan dorongan nafsu?"
"Tentu saja, karena Hyang Widhi menghendaki demikian. Ingat, engkau diciptakan untuk kelak menjadi seorang ibu yang melahirkan anak-anakmu, dan untuk itu engkau harus lebih dulu jatuh cinta kepada seorang pria dan menjadi isterinya."
"Ih, ngeri aku memikirkan dan membayangkan hal itu. Saling jatuh cinta dengan nafsu. Aku tidak ingin jatuh cinta, kakangmas. Biar selama hidupku aku begini saja, hidup seorang diri."
"Hemm, kalau cinta berahi sudah menyelubungi hatimu, engkau tidak akan mampu melawan hatimu sendiri. Akan tetapi sudahlah, semua itu sudah diatur oleh Hyang Widhi, dan manusia tidak akan mampu mengubahnya. Mari kita lanjutkan perjalanan kita."
Karena pantai Laut Kidul di tempat itu merupakan daerah pegunungan kapur yang sukar dilalui, terpaksa kedua orang muda ini melakukan perjalanan agak ke utara, melalui dusun-dusun...
********************