Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Sepasang Garuda Putih Jilid 05
KAKEK itu sudah tua sekali, sedikitnya tentu sudah delapanpuluh tahun usianya. Pakaiannya seperti seorang pertapa, amat sederhana, hanya merupakan kain yang dililit-lilitkan pada tubuhnya yang kurus kerempeng. Rambut, jenggot dan kumisnya sudah putih semua seperti kapas. Seluruh anggauta tubuhnya sudah menunjukkan ketuaannya, kecuali sinar matanya. Mata yang penuh keriput dan dihias alis mata yang sudah putih semua itu, memiliki sinar yang tajam sekali dan mata itu masih bening seperti mata kanak-kanak!
Kakek itu adalah seorang Empu pembuat keris, juga seorang pertapa yang telah lama meninggalkan dunia ramai, bertapa di lereng Gunung Raung yang terkenal sebagai gunung yang angker. Jarang ada orang berani mendaki Gunung Raung, karena gunung ini terkenal dengan hutan-hutannya yang penuh dengan binatang liar dan buas, juga dikenal sebagai tempat pelarian orang-orang jahat yang menjadi buruan pemerintah, dan lebih dari itu, dikabarkan banyak bagian dari gunung itu dijadikan sarang para demit dan setan bekasakan yang suka mengganggu manusia.
Akan tetapi kakek itu merasa tenang dan damai tinggal di lereng gunung itu. Nama kakek ini adalah Empu Gandawijaya. Semenjak sepuluh tahun yang lalu, kakek itu tidak tinggal seorang diri di lereng Gunung Raung, melainkan ditemani seorang muridnya. Pemuda ini ditemukan oleh Empu Gandawijaya ketika pemuda itu berusia tiga belas tahun dan hidup menyendiri, karena kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Melihat anak remaja yang hidup kapiran seorang diri ini, dan melihat pula betapa anak muda itu memiliki bakat yang baik sekali untuk menjadi seorang satria, Empu Gandawijaya lalu membawa dan mengajaknya ke Gunung Raung dan menjadi muridnya yang dianggap sebagai anak sendiri.
Pemuda itu bernama Harjadenta dan selama sepuluh tahun dia hidup bersama mpu Gandawijaya, bekerja di sawah ladang dan mempelajari banyak ilmu dari Sang Empu. Bukan hanya ilmu pembuatan keris, akan tetapi juga mempelajari sastera dan aji kanuragan. Kini dia sudah berusia dua puluh tiga tahun, menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh sedang, berdada bidang dan berwajah tampan gagah. Sinar matanya penuh kejujuran dan keterbukaan, dan mulutnya selalu tersenyun ramah kepada siapapun juga. Biarpun dia hidup di tempat sunyi bersama gurunya, namun Harjadenta inilah yang kadang pergi ke dusun-dusun untuk mencari segala keperluan untuk dia dan gurunya.
Pada suatu pagi, baru saja Harjadenta terbangun dari tidurnya dan terdengar ayam jantan berkeruyuk, dia sudah melihat gurunya duduk bersila di ruangan depan pondok mereka yang tidak begitu besar.
"Bapa guru, sepagi ini bapa sudah bangun tidur." Harjadenta bertanya dengar heran. Biasanya, selalu dia yang lebih dulu terbangun dan setelah dia memasak air baru gurunya keluar dari kamarnya.
Empu Gandawijaya membuka kedua matanya dan mengeluh. "Denta, ke sinilah dan duduk di sini. Aku mempunyai urusan yang harus kita bicarakan sekarang juga."
Dengan penuh keheranan Harjadenta lalu duduk bersila di depan gurunya dan menanti apa yang akan disampaikan orang tua itu kepadanya.
"Denta, semalam telah ada pencuri yang sakti masuk ke pondok kita dan mencuri Ki Carubuk."
Terkejutlah Harjadenta mendengar ini. Ki Carubuk adalah sebatang keris pusaka buatan gurunya yang belum lama ini dirampungkan, sebatang keris yang amat ampuh menurut gurunya.
"Seorang pencuri telah mengambil Ki Carubuk, bapa. Akan tetapi mengapa hal itu dapat terjadi, bahkan saya sama sekali tidak mendengar ada orang masuk ke dalam pondok?"
Empu Gandawijaya menghela napas panjang. "Itulah maka kukatakan bahwa pencuri itu sakti. Dia pasti seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan semalam dia telah dapat melepas Aji Penyirepan, membuat kita berdua tertidur nyenyak dan tidak tahu bahwa dia memasuki pondok ini dan mengambil keris pusaka KiCarubuk."
Harjadenta lalu menyembah dan berkata penuh penyesalan. "Ampunkan saya, Bapa. Hal itu menunjukkan bahwa saya kurang waspada, sama sekali tidak pernah mengira bahwa ada orang berani memasuki pondok kita dan mencuri pusaka."
"Bukan salahmu, Denta. Aku sendiri saja dapat terkena Aji Penyirepannya yang hebat itu, apa lagi engkau."
"Lalu bagaimana baiknya, Bapa? Saya menunggu perintah Bapa Guru."
"Kulup, aku sekarang sudah tua, tubuhku sudah tidak kuat untuk melakukan perjalanan jauh, apa lagi untuk mengejar pencuri. Akan tetapi aku tidak mau menambahi dosa-dosaku, karena itu engkau harus pergi mencari pencuri itu dan merampas kembali Ki Carubuk."
Pemuda itu merasa heran. "Mengapa Bapa Guru merasa berdosa dengan hilangnya Ki Carubuk, Bapa? Hal itu bukan kesalahan Bapa."
"Ketahuilah, Denta. Ki Carubuk adalah sebatang keris yang amat ampuh. Keris itu akan menjadi pusaka yang amat berguna kalau terjatuh ke tangan seorang satria atau seorang yang mulia hatinya, akan tetapi kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat, keris itu dapat menimbulkan malapetaka dan kesengsaraan kepada rakyat banyak. Aku khawatir pencuri itu seorang jahat dan keris itu akan dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Kalau demikian halnya, berarti aku telah menambah dosaku dengan pembuatan keris itu. Karena itu, carilah pusaka itu agar dapat kembali kepada kita dan jangan engkau kembali ke sini sebelum berhasil menemukan Ki Carubuk itu, anakku. Ingat, Ki Carubuk itu berluk tujuh dengan ricikan Lambe Gajah, kembang kacang, sraweyan, dan Greneng, sinarnya kehitaman, agak kelabu, di ujungnya ada sinar keemasan."
Mendengar perintah ini, Harjadenta merasa terharu. Dia harus meninggalkan kakek itu seorang diri di tempat sunyi ini. Setelah selama sepuluh tahun tinggal bersama gurunya, dia sudah menganggap gurunya sebagai pengganti orang tuanya sendiri dan kini tiba-tiba saja dia diharuskan pergi meninggalkan gurunya untuk mencari keris pusaka Ki Carubuk dan tidak boleh pulang kalau keris itu belum ditemukan!
"Akan tetapi, Bapa. Kalau saya pergi, lalu siapa yang akan menemani Bapa di sini? Siapa yang akan mengerjakan sawah ladang, siapa yang akan memasak makanan dan minuman untuk Bapa? Siapa yang akan mencuci pakaian dan siapa pula yang akan membersihkan tempat ini setiap hari?"
Empu Gandawijaya tertawa memperlihatkan mulut yang sudah tidak bergigi lagi. "Kulup, sebelum engkau tinggal di sini, aku sudah puluhan tahun hidup menyendiri, jangan khawatir, biarpun sudah tua, aku dapat menjaga dan merawat diriku sendiri. Ki Cambuk itu terlalu penting bagiku, jangan sampai terjatuh ke tangan orang jahat. Nah, berangkatlah, Harjadenta dan pergunakan semua ilmu yang pernah kau pelajari di sini untuk dapat merebut kembali Ki Cambuk. Doa restuku mengiringi perjalananmu."
Harjadenta tidak dapat membantah lagi. Dia lalu berkemas dan pada hari itu juga dia berangkat setelah dia minta doa restu dan minta petunjuk dari gurunya.
"Bapa, saya mohon petunjuk, seperti apa kiranya pencuri itu dan ke mana saja harus mencarinya. Tanpa petunjuk Bapa, saya merasa tidak berdaya dan tidak tahu mencari ke mana."
Sejenak kakek itu diam dan menundukkan kepalanya. Kemudian dia mengangkat kepalanya dan berkata, "Kalau perhitunganku tidak keliru, Denta, pencuri itu seorang wanita yang sakti mandraguna, cantik dan pandai ilmu sihir dan guna-guna. Hanya petunjuk itu yang dapat kuberikan dan engkau naiklah perahu itu di sepanjang Kali Mayang. Turutlah aliran sungai itu sampai ke muaranya di Laut Kidul. Mudah-mudahan dengan menempuh jalan itu engkau akan dapat menemukan pencuri itu."
Dengan bekal petunjuk gurunya itu, Harjadenta menuruni lereng Gunung Raung. Dia melalui dusun-dusun di kaki gunung di mana dia sering datang menukar hasil hutan dengan barang-barang yang dibutuhkan dia dan gurunya, kemudian dia terus melakukan perjalanan ke selatan sampai dia bertemu dengan mata air Kali Mayang.
Dia menyusuri sungai itu sampai sungai itu menjadi cukup besar untuk melanjutkan perjalanannya dengan perahu. Di sebuah dusun di pantai sungai Mayang, dia membuat sebuah perahu dari batang bambu dan kayu, kemudian melanjutkanperjalanannya dengan perahu sederhana ini. Karena perahu itu meluncur terbawa aliran sungai dan ditambah dengan dorongan dayung, maka perjalanan dapat berjalan lebih cepat dari pada kalau dia berjalan menyusuri sungai yang kadang bertemu dengan bagian yang rimbun dan sulit dilalui sehingga dia harus mengambil jalan memutar.
Dalam perjalanan ini, Harjadenta seringkali berhenti di sebuah dusun dan melakukan penyelidikan, bertanya-tanya kalau-kalau ada penduduk yang melihat seorang wanita cantik melakukan perjalanan seorang diri lewat di dusun itu. Akan tetapi, sampai jauh dia melakukan perjalanan itu, setelah lewat beberapa minggu, belum juga dia mendapatkan keterangan tentang wanita yang dicarinya.
Pada suatu hari perahunya melewati sebuah dusun, yaitu dusun Grobokan. Dusun itu cukup ramai karena daerah itu merupakan daerah yang menghasilkan palawija yang melimpah ruah. Dia mengambil keputusan untuk singgah di Grobokan, untuk menyelidiki kalau-kalau ada wanita asing yang cantik singgah di tempat itu. Dia menambatkan perahunya di sebatang pohon di tepi sungai dan memasuki dusun Grobokan. Karena daerah itu subur dan menghasilkan banyak palawija, maka penduduknya juga lebih baik keadaannya dengan dusun-dusun lainnya. Rumah-rumah disitu cukup besar dan terbuat dari kayu.
Seperti biasa, kalau hendak menginap di sebuah dusun, Harjadenta mencari rumah penduduk yang sekiranya dapat menerima dirinya untuk bermalam. Dicarinya rumah yang tampak sunyi, tidak banyak penghuninya dan dia menemukan seorang laki-laki setengah tua duduk seorang diri di depan rumah sambil menyambung tali-tali jala yang berlubang. Agaknya kakek ini suka menjala ikan di Kali Mayang. Melihat di sana tidak ada orang lain, Harjadenta lalu menghampirinya.
"Kulonuwun.... !" Harjadenta memberi salam.
Kakek itu mengangkat mukanya memandang dan merasa heran melihat seorang pemuda yang berpakaian bersih dan berwaiah tampan berdiri di depannya.
"Mari silakan, denmas. Ada keperluan apakah denmas mengunjungi saya?"
"Maaf, paman. Saya adalah seorang perantau yang tiba di dusun ini dan ingin mencari tempat untuk melewatkan malam ini. Kalau sekiranya paman tidak berkeberatan, bolehkah saya menumpang di sini semalam?"
Laki-laki itu memandang Harjadenta dengan penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki dan agaknya hatinya puas meneliti pemuda itu. Seperti penduduk dusun umumnya, dengan senang hati dia tentu saja suka menolong orang lain dan tidak keberatan kalau pemuda yang sopan dan bersih ini hendak menginap di rumahnya untuk semalam.
"Tentu saja kalau paman dan para penghuni ini yang lainnya tidak berkeberatan."
"Ah, tidak denmas. Aku tidak keberatan dan yang tinggal di sini hanya aku, isteriku dan seorang anak perempuanku. Kami tidak berkeberatan asal denmas sudi tinggal di tempat kami yang kotor dan buruk."
"Paman terlalu merendahkan diri. Rumah ini cukup bagus dan bersih, dan sayapun tidak memilih-milih tempat. Dipan bambu yang paman duduki itu saja sudah cukup bagiku untuk melewatkan malam di luar rumah ini."
"Ah, tidak, denmas, tidak boleh begitu. Kami masih ada bilik di dalam rumah yang kosong, bekas bilik anak laki-laki kami yang sekarang telah pergi untuk selamanya." Wajah kakek itu tampak berduka.
"Maksud paman, anak laki-laki itu....?"
"Dia sudah meninggal dunia tiga bulan yang lalu, denmas. Terserang penyakit panas. Sekarang tinggal isteriku dan anak perempuan kami. Silakan duduk, denmas."
"Terima kasih, paman." Harjadenta lalu mengambil tempat duduk di sudut dipan bambu itu. "Namaku Harjadenta, paman, aku datang jauh dari lereng Gunung Raung."
"Namaku Dirun, denmas." Dia lalu melongok ke arah pintu rumahnya yang terbuka. "Las.... ! Lasmini, keluarlah ke sini!" Dia memanggil.
Terdengar suara lembut menjawab dan keluarlah dari pintu itu seorang perawan dusun yang manis. Rambutnya ikal, kulitnya hitam manis, matanya lebar dan lugu, mulutnya manis sekali, seorang dara yang usianya paling banyak enambelas tahun. Gadis itu tampak terkejut dan malu-malu ketika melihat ada seorang pemuda duduk di situ bersama ayahnya.
"Ada.... ada apa, bapak?" tanyanya dan suaranya lembut jernih, sejernih sinar matanya. Kini ia menunduk, tidak berani menatap wajah pemuda tampan gagah itu,
"Denmas, ini anak kami, Lasmini. Las, ini adalah denmas Harjadenta yang menjadi tamu kita. Cepat kau keluarkan wedang teh dan ubi rebus itu."
"Baik, pak."
"Ah, paman, harap jangan repot-repot." kata Harjadenta dengan sungkan.
"Tidak, denmas. Wong wedang dan ubi rebus itu sudah ada, kok."
Dara manis itu menghilang ke dalam rumah. Tuan rumah itu ternyata ramah sekali dan tanpa diminta dia menceritakan keadaan dirinya kepada Harjadenta.
"Dulu, ketika puteraku masih hidup, keadaan kami lumayan, aku tidak perlu bekerja keras, denmas. Akan tetapi setelah anakku mati, terpaksa aku bekerja keras, berladang dan kadang mencari ikan. Isteriku kadang membantu dan yang bekerja di rumah adalah anakku Lasmini tadi."
"Gadis yang manis dan rajin" pikir Harjadenta.
"Kalau begitu tentu kehidupan keluargamu di sini tenteram, paman."
Orang itu mengerutkan alisnya. "Mestinya begitu. Tidak banyak kebutuhan kami dan semua kebutuhan dapat tercukupi. Bahkan anakku telah bertunangan dengan seorang pemuda yang rajin dan tinggal di ujung dusun ini. Kami merencanakan untuk melangsungkan pernikahan mereka bulan depan."
"Kalau begitu, aku mengucapkan selamat, paman. Anakmu telah hampir menikah apa lagi yang paman susahkan."
"Akan tetapi, ah, aku khawatir sekali, denmas."
Harjadenta memandang penuh perhatian kepada kakek itu. Wajah kakek berusia limapuluhan tahun itu tiba-tiba tampak khawatir dan alisnya berkerut, matanya memandang ke kanan kiri seolah ada bahaya mengancamnya.
"Apa yang paman khawatirkan?"
"Seminggu yang lalu, kami kedatangan tamu. Dia itu utusan Ki Demang yang berkuasa di dusun Grobokan ini. Dan kedatangannya itu adalah untuk meminang Lasmini yang akan dijadikan isteri ke enam Ki Demang."
"Hemm, lalu bagaimana engkau menjawab. Paman Dirun?"
"Menolak dengan keras tentu saja aku tidak berani, denmas Harjadenta. Akan tetapi, menerima pinangan itupun tentu saja kami tidak bisa karena anakku telah bertunangan. Maka kami hanya memberitahu kepada utusan itu bahwa Lasmini telah bertunangan dan bulan depan akan menikah. Kami minta dengan hormat kepada utusan itu agar memberitahukan hal ini kepada Ki Demang."
"Lalu bagaimana kata mereka?"
"Utusan itu kelihatan tidak senang dan mengatakan bahwa dia memberi waktu sepekan kepada kami untuk menyatakan menerima atau menolak pinangan itu. Kami khawatir sekali, denmas. Ki Demang terkenal galak dan mempunyai banyak tukang pukul. Kami khawatir dia akan memaksa kami agar memenuhi permintaannya itu."
"Kalau begitu sebaiknya pernikahan anakmu itu dipercepat saja, paman. Kalau anakmu sudah menikah tentu Ki Demang itu tidak akan dapat memaksa."
Dirun menghela napas panjang. "Mudah-mudahan saja begitu, akan tatapi kami merasa khawatir sekali. Ki Demang itu terkenal mata keranjang. Dulu, lima tahun yang lalu dia tergila-gila kepada seorang wanita yang sudah bersuami. Entah bagaimana, tiba-tiba saja suami wanita itu meninggal dunia tanpa sakit, dan jandanya segera diambil sebagai isteri ke empat oleh Ki Demang. Ah, betapa gelisah hati kami. Kalau saja anak kami tidak cantik, tentu tidak akan ada malapetaka yang menimpa kami. Apa yang harus kami lakukan, denmas?"
"Apakah paman sudah memberitahukan hal ini kepada tunangan anak paman? Siapa nama calon mantu itu, paman?"
"Namanya Martono, diapun hanya seorang petani biasa, dan kami sudah menceritakan kepadanya, akan tetapi diapun tidak dapat berdaya. Maklum rakyat kecil, kami dapat berbuat apakah terhadap Ki Demang?"
"Utusan Ki Demang itu mengatakan akan kembali sepekan lagi? Kapankah itu, paman Dirun?"
"Tepat pada hari ini, denmas. Sejak pagi hatiku sudah tidak karuan rasanya karena hari ini dia akan kembali."
"Dan apa yang akan kau katakan nanti?"
"Aku akan berterus terang saja, denmas, bahwa pernikahan anakku dengan Martono akan kami laksanakan dua pekan lagi sehingga kami terpaksa tidak dapat melaksanakan perintah Ki Demang."
"Bagus, paman. Memang begitulah seharusnya jawabanmu."
"Akan tetapi kami khawatir... aku takut..."
"Jangan takut, paman. Ada aku di sini, dan akulah yang akan mencegah kalau mereka akan melakukan kekerasan."
Melihat sikap yang tegas dari pemuda tampan gagah itu, Ki Dirun merasa agak lega, akan tetapi dia tetap was-was mengingat bahwa Ki Demang merupakan orang yang paling berkuasa di dusun itu. Seorang wanita setengah tua keluar bersama Lasmini menghidangkan air teh dan ubi rebus. Dirun memperkenalkan isterinya kepada Harjadenta yang cepat memberi hormat.
"Bibi, aku sudah mendengar semua cerita Paman Dirun tentang adik Lasmini dan utusan Ki Demang. Harap bibi, dan juga andika, adik Lasmini, tidak khawatir. Akulah yang akan menghadapi mereka kalau mereka menggunakan kekerasan. Syukur kalau mereka mau mengerti dan mengurungkan pinangan paksaan itu."
Isteri Ki Dirun mengucapkan terima kasih dan Lasminpun hanya mengangguk ke arah Harjadenta sambil tersenyum kecil. Kemudian kedua orang ibu dan anak itu masuk lagi ke dalam rumah. Mereka berdua lalu makan minum sambil bercakap-cakap. Matahari sudah mulai condong ke barat dan tiba-tiba Ki Dirun tampak gelisah sekali sambil memandang kedepan.
Harjadenta juga memandang dan melihat dua orang laki-laki berpakaian mewah memasuki pelataran rumah itu. Sikap mereka angkuh dan garang, dan Ki Dirun cepat bangkit dari tempat duduknya ketika melihat mereka, sambil membungkuk menanti mereka dengan sikap takut-takut.
"Silakan duduk dan terimalah suguhan kami yang sederhana, denmas berdua," katanya sambil mempersilakan dua orang itu duduk di dipan bambu dengan mengacungkan ibu jarinya dengan sikap hormat sekali.
Dua orang utusan itu keduanya bertubuh gendut. Yang seorang memiliki kumis melintang seperti tanduk, dan orang kedua memiliki hidung besar sekali. Si kumis melintang meraba-raba kumisnya dan si hidung besar mendengus dengan hidungnya, tidak menghargai sikap Dirun yang
demikian merendah dan penuh hormat.
"Kami datang bukan untuk minum wedangmu dan makan ubimu. Heh, Pak Dirun, siapa pemuda ini? Calon mantumukah?"
"Bukan, aku bukan calon mantu Paman Dirun, melainkan seorang keponakannya." jawab Harjadenta sambil bangkit berdiri memandang kedua orang itu.
"Hei Dirun!" kata lagi si kumis melintang sambil melotot ke arah tuan rumah. "Kami datang untuk mendengar jawabanmu atas pinangan Juragan kami kepada anakmu. Bagaimana?"
"Ampun, denmas. Bagaimana saya dapat memenuhi permintaan Ki Demang yang terhormat ? Anak kami itu, dua pekan lagi sudah akan menikah."
"Hah? Menikah? Dengan siapa?"
"Dengan Martono, pemuda yang tinggal di ujung dusun ini."
"Kalau begitu, berani engkau menolak pinangan Ki Demang? Petani busuk, apakah nyawamu rangkap maka engkau berani membantah perintah Ki Demang?" Bentak si hidung besar dengan suara agak sengau.
"Dirun, kamu harus menyerahkan Lasmini sekarang juga kepada Ki Demang atau terpaksa kami harus menggunakan kekerasan, menangkap engkau sekeluarga dan merampas Lasmini untuk menjadi selir Ki Demang!"
Saking takutnya, Dirun tidak dapat berkata apa-apa lagi, hanya menunduk dengan muka pucat dan tubuh gemetar. Melihat ini, Harjadenta lalu melangkah maju dan menudingkan telunjuknya kepada kedua orang itu.
"Heh, kalian utusan Ki Demang! Tidak ada aturannya di dunia ini untuk memaksa orang menyerahkan anak gadisnya. Kalian bersikap melebihi perampok saja!"
Dua orang utusan Ki Demang itu hampir tidak dapat percaya kepada telinganya sendiri. Mana mungkin ada orang berani bicara seperti itu kepada mereka, dua orang kepercayaan Ki Demang, orang yang paling berkuasa di Grobokan? Dengan muka merah dan mata melotot mereka memandang kepada Harjadenta dan si kumis melintang sudah melangkah maju menghampiri Harjadenta dengan marah.
"Bocah setan, berani kau berkata demikian kepadaku?"
Setelah berkata demikian, tangan kanannya menyambar untuk menampar muka pemuda itu. Akan tetapi Harjadenta yang juga sudah marah menyaksikan sikap mereka, menangkap pergelangan tangan kanan yang besar itu dan sekali putar, lengan itu sudah dipuntir ke belakang punggung.
"Pergilah!" bentak Harjadenta dan sekali dia mendorong dengan kuatnya, tubuh si kumis melintang itu terdorong dan jatuh menelungkup dengan kuatnya. Dia terbanting dan perutnya yang lebih dulu menimpa tanah. Perut yang gendut itu terbanting keras, membuat dia terengah-engah dan merangkak bangun dengan susah payah.
Si hidung besar marah bukan main. Dia lalu menerjang dengan pukulan tangan kanannya ke arah muka Harjadenta. Akan tetapi pemuda inipun memperlakukan dia seperti kawannya tadi, lengannya ditangkap dipuntir lalu didorong kuat. Si hidung besar terdorong kedepan dan jatuh menelungkup dan sial baginya, yang mengenai tanah lebih dulu adalah hidungnya yang besar sehingga hidung itu bercucuran darah ketika dengan terengah-engah dia mencoba untuk bangkit berdiri. Agaknya dua orang itu hanya lagaknya saja yang besar dan galak. Begitu bertemu lawan yang kuat, mereka sudah menjadi jerih. Sambil mundur-mundur mereka berdua memaki-maki.
"Bangsat? Keparat! Tunggu engkau akan pembalasan kami!"
Dan setelah memaki, mereka takut kalau-kalau pemuda itu akan mengejar maka mereka lalu melarikan diri pontang panting meninggalkan rumah Dirun. Dirun dan isteri serta anaknya yang keluar mendengar ribut-ribut, tidak menjadi gembira oleh pertolongan Harjadenta. Bahkan mereka menjadi pucat dan ketakutan.
"Aduh, bagaimana ini, denmas! Mereka tentu akan dating bersama tukang-tukang pukul Ki Demang dan celakalah kita!" kata Dirun, isteri dan anak perempuannya saling rangkul dan menangis ketakutan.
"Paman, bibi dan engkau Lasmini, sudah jangan menangis. Tenanglah saja. Di sini ada aku yang bertanggung jawab. Aku yang memukul, bukan kalian dan aku akan rampungkan urusan ini sampai tuntas. Sekarang jangan bingung, Paman Dirun. Engkau pergilah kepada calon mantumu, ajak dia dan orang tuanya mengungsi ke sini karena aku khawatir kalau dia akan diganggu oleh mereka."
"Dia hanya tinggal berdua dengan ibunya yang sudah janda, denmas." kata Dirun.
"Lebih baik lagi kalau begitu. Panggil mereka berdua ke sini agar mudah aku melindungi kalian. Dan andika, bibi dan adik lasmini, masuklah ke dalam dan jangan keluar kalau mendengar suara ribut-ribut. Percayalah, aku yang akan menanggulangi semua urusan ini."
Ki Dirun lalu pergi untuk memanggil calon mantunya, sedangkan Lasmini dan ibunya segera bersembunyi ke dalam kamar mereka. Harjadenta dengan sikap tenang duduk kembali ke atas dipan bambu dan makan ubi rebus. Dia maklum bahwa sikapnya menentang utusan Ki Demang tadi tentu akan berekor dan mungkin benar sangkaan Ki Dirun bahwa mereka akan datang lagi membawa tukang-tukang pukul. Akan tetapi Harjadenta sudah mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada mereka.
Tak lama kemudian Ki Dirun sudah kembali bersama calon mantunya, Martono, seorang pemuda petani yang bertubuh tegap berkulit kecoklatan karena terbakar sinar matahari bersama ibunya yang sudah setengah tua. Harjadenta menyuruh mereka berdua masuk pula ke dalam rumah dan hanya Ki Dirun yang menemaninya di luar rumah, menanti apa yang akan datang dengan tenangnya.
"Denmas Harjadenta, sesungguhnya kami merasa tidak enak sekali kepadamu. Kami telah membuat denmas repot dan menghadapi bahaya. Kalau sampai denmas terseret dan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, sungguh kami akan merasa menyesal sekali."
"Ah, paman. Harap jangan berkata demikian. Semua ini terjadi karena kehendakku. Aku tidak suka melihat perbuatan sewenang-wenang. Harap jangan khawatir, paman. Aku yang akan menyelesaikan urusan ini."
Tiba-tiba tampak dua orang gendut utusan Ki Demang tadi memasuki pekarangan rumah itu, diikuti oleh lima orang laki-laki yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap bengis.
"Itulah dia! Itulah jahanam yang telah berani memukuli kami. Kalian hajarlah dia!" kata si kumis melintang kepada lima orang itu sambil menunjuk kepada Harjadenta.
Harjadenta sudah bangkit berdiri dan keluar menyambut mereka. Lima orang itu agaknya memandang rendah kepada pemuda yang lembut itu, dan mereka segera mengepungnya.
"Orang muda, siapakah engkau yang telah berani memukuli utusan Ki Demang?" tanya seorang di antara lima orang tukang pukul itu sambil bertolak pinggang.
"Namaku Harjadenta. Aku berani memukuli mereka karena mereka bertindak sewenang-wenang terhadap Paman Dirun." jawab Harjadenta dengan tenang.
"Babo-babo, keparat! Sekarang cepatlah engkau berlutut dan minta ampun kepada mereka berdua atau terpaksa kami berlima akan memberi hajaran kepadamu." kata pula orang itu dengan lagak sombong.
"Hemm, kenapa aku yang harus minta ampun? Semestinya mereka berdua yang harus minta ampun kepada Paman Dirun sekeluarganya." jawab Harjadenta tegas.
"Apa? Engkau berani membantah kami? Rasakan ini!" kata orang itu sambil menggerakkan tangan kanannya menampar ke arah pipi Harjadenta.
Tamparan itu cepat dan kuat sekali, tanda bahwa penampar itu memiliki tenaga yang kuat. Akan tetapi tentu saja Harjadenta tidak rnenghendaki pipinya ditampar orang. Hanya dengan menarik tubuh atas ke belakang saja, tamparan itu luput.
"Ehhh....??" Tukang pukul itu marah dan penasaran sekali, dan dia lalu menerjang maju dengan pukulan-pukulan kedua tangannya. Melihat ini Harjadenta cepat menggerakkan tangannya, yang kiri menangkis dan yang kanan mendorong ke arah dada penyerangnya itu.
"Plak... bukkk... !" Tukang pukul itu terjengkang keras dan roboh terbanting.
Tentu saja empat orang kawannya menjadi marah sekali dan tanpa banyak cakap lagi mereka serentak menyerang Harjadenta dari empat penjuru. Bahkan orang pertama yang tadi roboh kini sudah bangkit kembali dan ikut pula menyerang.
Akan tetapi Harjadenta tidak merasa gentar sedikitpun. Tenaga para tukang pukul yang besar itu baginya biasa saja, bahkan baginya mereka itu bergerak dengan amat lamban. Dengan mudah dia berloncatan ke sana sini untuk mengelak dari serangan mereka, dan kadang ditangkisnya. Dan setiap kali dia menangkis, para tukang pukul itu tentu menyeringai kesakitan, merasa betapa lengannya seperti bertemu dengan sepotong linggis besi!
Sementara itu, Ki Dirun yang menonton perkelahian itu, hanya dapat berdiri dengan muka pucat dan tubuh gemetaran. Tentu saja dia khawatir sekali kalau penolongnya kalah. Dapat dia bayangkan apa akan jadinya dengan dia dan keluarganya kalau Harjadenta sampai kalah. Tentu Lasmini akan dibawa oleh tukang pukul itu dengan paksa dan dia serta isterinya, dan Martono serta ibunya akan menerima hajaran.
Akan tetapi Ki Dirun tidak perlu khawatir lagi. Kini Harjadenta mulai membalas serangan mereka dan begitu kaki tangannya bergerak-gerak cepat membagi-bagi pukulan dan tendangan, terdengar suara bak-bik-buk disusul teriakan-teriakan kesakitan dari lima orang pengeroyok dan tubuh mereka berpelantingan ke kanan kiri! Lima orang itu terkejut bukan main, akan tetapi juga marah sekali. Sambil meringis kesakitan mereka bangkit lagi dan kini lima orang itu mencabut kelewang dari pinggang mereka. Kelewang atau golok itu tajam dan berkilauan menggiriskan hati Ki Dirun yang semakin ketakutan.
Namun Harjadenta hanya tersenyum sambil menanti serangan mereka. Lima orang tukang pukul itu mengepung, lalu serentak mereka menyerang dengan kelewang mereka. Senjata golok itu menyambar-nyambar haus darah. Akan tetapi semua sabetan itu dapat dielakkan oleh Harjadenta dan kini dia tidak mau memberi hati lagi. Setelah mengelak atau menangkis dia langsung membalas dengan cepat dan kini dia menambah tenaga tamparan dan tendangannya. Berturut-turut lima orang itu terpelanting roboh dan golok mereka yang terlepas dari pegangan mencelat ke kanan kiri dan mereka tidak dapat segera bangkit kembali. Mereka mengaduh-aduh dan mencoba untuk merangkak menjauhi pemuda yang digdaya itu.
Sementara itu, dua orang utusan Ki Demang yang bertubuh gendut, ketika melihat betapa lima orang tukang pukul itu roboh semua, memandang dengan mata terbelalak dan mereka sudah siap untuk melarikan diri. Melihat ini, dengan beberapa kali loncatan Harjadenta sudah dapat membekuk mereka. Dia menangkap tengkuk mereka dan dua orang itu menjadi ketakutan. Kaki mereka terasa lemas dan tanpa diperintah lagi mereka segera berlutut dan menyembah-nyembah kepada pemuda perkasa itu.
"Ampun, denmas.... ampunkan kami yang hanya menjadi orang suruhan Ki Demang.... " mereka meratap dan menyembah-nyembah.
Harjadenta melepaskan tengkuk mereka, mendorong mereka dengan muak. "Dengar kalian orang-orang sombong. Katakan kepada Ki Demang bahwa kalau dia masih berani memaksakan kehendaknya untuk merampas anak gadis orang, aku akan datang kepadanya dan membunuhnya. Juga kalian dan semua tukang pukulnya akan kubasmi sampai habis!"
"Ampun, denmas.... !"
"Pergilah!" Harjadenta menendang dua kali dan dua orang itu terguling-guling, lalu merangkak bangun dan seperti lima orang tukang pukul mereka, mereka lari tunggang langgang. Harjadenta menghampiri Ki Dirun yang masih berdiri dengan tubuh gemetar di dekat dipan bambu. "Nah, paman, sekarang bahaya sudah lewat. Kurasa mereka tidak akan berani mengganggumu lagi."
Akan tetapi tiba-tiba Ki Dirun menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Harjadenta sambil berkata dengan suara penuh permohonan,
"Denmas, saya menghaturkan terima kasih kepada denmas akan tetapi kami semua mohon kepadamu, janganlah tinggalkan kami. Kalau denmas pergi, tentu mereka akan datang lagi dan celakalah kami karena sudah tidak ada denmas yang melindungi. Karena itu tinggallah di sini, denmas sampai bahaya benar-benar lewat. Saya takut... "
Harjadenta tersenyum. "Baiklah, untuk semalam ini saja. Besok aku akan mendatangi Ki Demang dan akan mengancamnya agar dia tidak mengganggu keluargamu lagi. Kalau perlu akan kuberi hajaran keras dia!"
Akan tetapi, yang ditakuti Ki Dirun terjadilah. Sore hari itu, menjelang senja, belasan orang datang memasuki pekarangan rumah Ki Dirun dan mereka semua kelihatan bengis. Lima orang tukang pukul yang siang hari tadi dihajar Harjadenta juga tampak berada di antara mereka dan mereka mengiringkan seorang laki-laki berusia empatpuluhan tahun yang bertubuh seperti raksasa, mukanya penuh brewok, matanya besar dan orang itu mengenakan pakaian yang serba hitam. Celana hitamnya sampai di bawah lutut dan di pinggangnya terdapat sehelai ikat pinggang atau kolor yang besar, sebesar lengan tangan. Kolor itu berwarna merah dan panjangnya tidak kurang dari satu setengah meter. Ikat kepalanya juga berwarna hitam dan raksasa ini Nampak kokoh kuat seperti seekor gajah!
"Ho-ho-ha-ha! Siapakah orang yang bernama Harjadenta? Majulah ke sini menghadapi aku kalau engkau memang seorang jantan!" kata raksasa itu sambil tertawa-tawa.
Ki Dirun sudah mendekam di atas lantai, tak berani bergerak saking takutnya. Harjadenta dengan langkah tenang keluar dari ruangan depan dan menghampiri raksasa berpakaian hitam itu.
"Akulah yang bernama Harjadenta. Andika siapakah dan ada keperluan apa mencariku?" tanya Harjadenta dengan tenang dan tabah.
Raksasa itu memandang Harjadenta dari kepala sampai ke kaki, lalu tertawa bergelak dan memandang wajah pemuda yang tingginya hanya sepundaknya itu.
"Ho-ho-ha-ha! Kukira seorang yang gagah perkasa, kiranya hanya seorang pemuda remaja yang masih berbau pupuk! Heh, Harjadenta bocah kemarin sore! Engkau berhadapan dengan Suropekik, warok yang paling gemblengan dari Ponorogo. Hayo engkau cepat menyerah untuk kubawa dan kuhadapkan Ki Demang Grobokan. Kalau engkau melawan, akan kupatahkan semua tulangmu kemudian kuseret ke depan Ki Demang!"
Harjadenta marah sekali mendengar ini. Raksasa itu amat sombong dan diapun melayani kesombongannya itu, tidak mau kalah gertak.
"Suropekik, ketahuilah bahwa aku adalah seorang yang biasa membasmi warok-warok yang jahat seperti engkau! Aku tidak takut padamu, biar kaugerakkan semua pengikutmu ini untuk mengeroyokku, aku tidak akan undur selangkahpun!"
Tantangan Harjadenta ini benar-benar mengejutkan semua orang dan membuat wajah yang tertutup brewok itu berubah merah saking marahnya. Ki Suropekik adalah seorang jagoan yang sukar dicari tandingannya dan selama merajalela di dunia ramai, jarang menemukan tandingan yang sama kuatnya. Kini mendengar tantangan Harjadenta yang demikian berani, tentu saja dia merasa terhina. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya yang besar berotot itu seolah-olah tangannya sudah terasa gatal-gatal untuk segera melaksanakan ancamannya, yaitu mematahkan semua tulang pemuda itu, dari suaranya terdengar parau dan kasar.
"Babo-babo! Sumbarmu seperti dapat meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan! Majulah, Harjadenta dan jangan engkau nanti bersambat kepada ibumu kalau kuhajar sampai tulang-tulangmu patah semua!"
"Suropekik, engkau yang datang mencari permusuhan, bukan aku. Maka engkaulah yang harus maju lebih dulu. Aku siap menghadapi sumbarmu yang seperti gentong kosong!"
Suropekik menggereng seperti seekor harimau dan dari mulutnya mengepul uap putih. Agaknya, saking marahnya maka dari dalam dadanya keluar uap panas! Kemudian bagaikan seekor biruang, dia sudah menerjang maju dengan kedua lengan terbuka dan agaknya dia hendak menangkap pemuda itu dan meremukkan tulang-tulangnya dalam dekapannya.
Akan tetapi dia hanya menubruk angin saja karena yang ditubruk dengan gesitnya sudah mengelak ke samping. Dari samping Harjadenta mengirim tamparan tangan kiri ke arah pelipis raksasa itu. Akan tetapi, ternyata Suropekik yang besar tubuhnya itu dapat bergerak dengan gesit pula. Tangan kanannya menangkis tamparan Harjadenta dengan kuatnya.
"Dukkk.... !!" Dua lengan bertemu dengan kerasnya dan Harjadenta merasa betapa lengannya terpental dan tergetar, tanda bahwa lawannya memiliki tenaga yang amat besar. Suropekik tertawa bergelak dan kini dia menyerang dengan hebat dan cepatnya, mengirim pukulan dengan kedua tangannya secara bertubi-tubi, bahkan kakinyapun kadang menyelingi pukulannya mengirim tendangan yang kalau mengenai sasaran tentu akan membuat tubuh Harjadenta terlempar jauh. Akan tetapi gerakan Harjadenta amat cepat dan lincah. Dia dapat meloloskan diri dari semua sergapan ini, bahkan kadang membalas dengan tamparan tangannya.
"Wuuuutttt.... desss!" Sebuah tamparan tangan kanan Harjadenta mengenai dada raksasa itu, akan tetapi tidak membuatnya roboh. Tamparan yang dilakukan dengan sepenuh tenaga itu ternyata bertemu dengan dada yang kokoh kuat seperti dinding baja dan hanya membuat Suropekik melangkah mundur dua langkah saja! Ternyata warok itu memiliki tubuh yang kebal. Harjadenta terkejut dan tahulah dia bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh. Karena pukulannya tidak mampu merobohkan lawan, Harjadenta lalu mencabut sebatang keris yang tadinya terselip di pinggangnya. Keris itu adalah pemberian gurunya, bernama Ki Mengeng, sebatang keris berluk tujuh.
"Ho-ho-ha-ha, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, engkau sudah mencabut pusaka!" kata Suropekik yang tahu bahwa keris itu sebuah pusaka ampuh melihat dari pamornya yang mencorong. Diapun merasa miris untuk melawan pusaka itu dengan tangan kosong saja, maka diapun meloloskan sabuknya, yaitu kolor yang besar dan panjang itu.
"Akan tetapi aku tidak takut kepada pusakamu itu, dan rasakanlah ini kehebatan pusakaku Kyai Gunturgeni!" Dia menggerakkan kolornya dan kolor itu menjadi seperti sebatang pecut dan terdengarlah ledakan-ledakan ketika dia mengayun kolor itu ke atas. Tampak asap mengepul mengikuti suara ledakan.
Harjadenta semakin waspada. Diapun mengenal pusaka ampuh, maka ketika kolor itu menyambar, dia cepat mengelak dan mencari kesempatan untuk menusukkan kerisnya! Akan tetapi lawannya yang juga gentar untuk menerima keris itu dengan kekebalan tubuhnya, memutar-mutar kolornya dan membuat Harjadenta tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk memasukkan kerisnya dalam serangan.
Terjadilah pertandingan yang menegangkan. Semua sambaran kolor dapat dielakkan atau ditangkis dengan keris oleh Harjadenta, akan tetapi juga tusukan-tusukan kerisnya tidak dapat mengenai sasaran karena selalu dihalau oleh sambaran kolor. Kolor yang diputar-putar itu berubah menjadi sinar merah bergulung-gulung yang kadang mengeluarkan ledakan, dan perlahan namun tentu Harjadenta mulai terdesak!
Suropekik merasa penasaran sekali karena sebegitu jauh dia belum dapat merobohkan pemuda itu. Diapun ingin dapat menangkap Harjadenta hidup-hidup untuk dapat memamerkan dan membanggakan keunggulannya. Akan tetapi ternyata pemuda itu sukar sekali dirobohkan. Dia mulai merasa khawatir kalau pemuda itu meloncat dan menggunakan kecepatan gerakannya untuk melarikan diri. Karena itu, dia lalu berseru nyaring,
"Kawan-kawan, mari bantu aku menangkap bocah liar ini!"
Belasan orang itu kini menyergap ke depan, menggerakkan senjata mereka yang berupa golok atau keris. Tentu saja Harjadenta yang tadinya memang sudah terdesak, menjadi semakin repot. Dia telah dikepung ketat dan sama sekali tidak ada jalan keluar baginya untuk melarikan diri. Pula, bagaimana dia dapat dan mau melarikan diri dengan meninggalkan Ki Dirun sekeluarga yang terancam. Tidak, dia tidak akan lari, dan akan melawan sampai titik darah penghabisan. Ki Dirun menjadi cemas sekali. Wajahnya pucat dan tubuhnya yang mendekam itu menggigil ketakutan. Kemudian ia teringat akan anak bininya yang berada di dalam rumah.
"Melarikan diri!" Demikian terlintas dalam pikirannya.
Selagi semua orang itu mengeroyok Harjadenta, dia memiliki kesempatan untuk membawa lari anak isterinya. Maka, biarpun tubuhnya menggigil, dengan merangkak, berhasil juga dia memasuki rumahnya. Dia melihat Lasmini saling rangkul dengan ibunya dan menangis tanpa suara, sedangkan Martono juga berdiri bingung menghibur ibunya yang juga menangis.
"Martono, cepat bawa ibumu lari dari sini. Lari dan bersembunyilah. Aku dan anak biniku juga akan melarikan diri. Kita berpisah dulu, agar dapat menyelamatkan diri masing-masing. Cepat sebelum terlambat!" Dia lalu memegang tangan Lasmini dan tangan isterinya, ditarik dan dibawanya lari keluar dari rumah itu melalui pintu belakang. Martono yang kebingungan juga menirunya, menarik tangan ibunya dan dibawa lari melalui pintu belakang rumah.
Setelah tiba di kebun belakang, mereka lalu melarikan diri cepat-cepat dan menuju ke sungai yang berada tak jauh dari dusun Grobokan. Ki Dirun yang kadang bekerja sebagai nelayan memiliki sebuah perahu, maka dia menarik isteri dan anaknya kedalam perahu. Martono dan ibunya tidak memiliki perahu dan untuk ikut dalam perahu Ki Dirun, perahu itu terlalu kecil.
"Engkau bawalah ibumu menyusuri sungai ini, pendeknya kemana saja asal jauh dari Grobokan. Kelak kita akan dapat bertemu kembali!" kata Ki Dirun dan dia segera mendayung perahunya ke tengah sungai dan perahu itu hanyut oleh aliran sungai, ditambah tenaga dayung Ki Dirun sehingga perahu itu meluncur cepat.
Martono masih menggandeng tangan ibunya dan terseok-seok mereka melarikan diri, menyusuri sungai, masuk keluar hutan dalam cuaca yang mulai gelap itu. Ibu Martono menangis terisak-isak sambil berlari. Tangisnya ini menarik perhatian dua orang yang kebetulan berada di tepi hutan itu. Mereka adalah Bagus Seto dan Retno Wilis. Tertarik akan keindahan pemandangan di sepanjang Kali Mayang, kedua orang muda itu menyusuri sungai itu arah ke hulu. Makin jauh mereka mengikuti hulu sungai, pemandangan semakin indah dan mereka terus menyusuri sungai itu. Setelah berbulan-bulan melihat pemandangan pantai Laut Kidul, pemandangan yang baru ini tampak lain dan memiliki keindahan yang khas. Dan sore itu mereka tiba di hutan di mana mereka mendengar tangis wanita yang terisak-isak.
Mereka tentu saja menjadi tertarik dan segera menghampiri dari mana datangnya tangis itu. Dan mereka menjumpai Martono dan ibunya yang sedang melarikan diri. Melihat seorang wanita setengah tua ditarik-tarik oleh seorang pemuda dan wanita itu menangis, Retno Wilis menjadi marah. Sekali melompat ia telah berada di depan Martono dan ia membentak.
"Manusia jahanam! Kenapa engkau menyeret-nyeret wanita ini! Lepaskan!"
Martono terkejut sekali ketika tiba-tiba saja ada seorang gadis muda yang luar biasa cantiknya berada di depannya dan membentaknya. Juga ibunya terkejut. Akan tetapi ibu ini segera mengerti bahwa gadis itu salah paham, maka ia cepat berkata.
"Den ajeng, dia ini anakku dan kami berdua sedang melarikan diri dari ancaman bahaya maut."
Retno Wills merasa mukanya panas saking rikuhnya. Ia telah mengira yang bukan-bukan. Ternyata pemuda itu sama sekali bukan orang jahat. Ia lalu bertanya dengan suara lembut,
"Bahaya maut apakah yang mengancam kalian sehingga kalian melarikan diri?"
Dengan tergesa-gesa Martono lalu bercerita. "Ki Demang Grobokan hendak merampas tunangan saya dan dia mengirim tukang-tukang pukulnya untuk merampas Lasmini, tunangan saya. Kami dibela seorang denmas yang sakti bernama Harjadenta, akan tetapi sekarang dia dikeroyok oleh belasan orang tukang pukul di depan rumah orang tua Lasmini. Kini Lasmini dan ayah ibunya sudah melarikan diri dan saya mengajak ibu melarikan diri pula karena terancam."
"Hemm, di mana penolong itu dikeroyok?" tanya Retno Wilis.
"Di rumah Paman Dirun di dusun Grobokan, tak jauh dari sini, itu diluar hutan ini. Permisi, kami harus melarikan diri." Martono lalu menggandeng tangan ibunya lagi dan diajak lari.
Retno Wilis menoleh kepada Bagus Seto yang sejak tadi hanya mendengarkan saja.
"Kakang, aku khawatir akan nasib penolong itu yang dikeroyok para tukang pukul. Mari kita ke sana, kakang."
"Baiklah!" kata kakaknya sambil tersenyum.
Retno Wilis lalu mengerahkan ilmunya berlari cepat. Tubuhnya melesat seperti angin menuju ke dusun Grobokan dan Bagus Seto mengikutinya dari belakang. Setelah tiba di dusun itu, dengan mudah Retno Wilis dapat mencari rumah Lasmini karena dusun itu sudah gempar dengan adanya perkelahian itu. Dengan cepat Retno Wilis dan Bagus Seto tiba di tempat itu dan Retno Wilis melihat seorang pemuda yang memegang keris dikeroyok belasan orang yang memegang golok.
Terutama sekali seorang raksasa yang bersenjatakan kolor merupakan lawan yang amat tangguh sehingga pemuda itu kini main mundur, bahkan sudah ada beberapa batang golok yang mengenai tubuhnya. Paha dan pundaknya sudah terluka, namun pemuda itu tidak gentar sedikitpun juga, masih tetap melakukan perlawanan gigih dengan kerisnya. Ada pula lima orang di antara para pengeroyok yang sudah roboh oleh pemuda itu, dan mereka hanya merintih dan menonton dari pinggiran, tidak dapat ikut mengeroyok lagi.
Mudah bagi Retno Wilis untuk berpihak apa lagi ia telah mendengar dari Martono bahwa pemuda itu merupakan penolong keluarga Lasmini. Ia mengeluarkan suara panjang melengking dan tubuhnya sudah meloncat ke dalam pertempuran, tangannya bergerak menampar ke arah raksasa yang memutar kolornya secara dahsyat.
"Wuuuttt.... plakk.... !!" Biarpun hanya ditampar pundaknya yang kebal, namun tubuh Suropekik terhuyung dan dia merasa seolah dirinya disambar petir! Dia terhuyung dan melihat siapa orangnya yang berani menyerangnya sehebat itu dengan tangan kosong dan ketika dia melihat seorang wanita muda yang amat cantik berdiri di depannya, ia terbelalak dan juga marah.
Sementara itu, ketika tidak lagi didesak oleh Suropekik, Harjadenta leluasa mengamuk menghadapi anak buah warok itu sehingga para pengeroyoknya menjadi kocar kacir. Diam-diam Harjadenta memperhatikan Retno Wilis dan dia terkejut, juga kagum. Akan tetapi timbul kecurigaan dalam hatinya. Yang mencuri keris pusaka Carubuk adalah seorang wanita cantik yang sakti. Jangan-jangan ini orangnya? Akan tetapi karena wanita itu kini bertanding melawan Suropekik, diapun diam saja dan hanya mengamuk menghadapi pengeroyokan belasan orang lawannya.
Bagus Seto hanya berdiri menonton. Dia tidak khawatir akan adiknya karena sekali pandang saja dia tahu bahwa betapa hebatpun kolor raksasa itu, dia tidak akan mampu mengalahkan adiknya. Yang di khawatirkan malah Harjadenta. Pemuda ini mengamuk dengan kerisnya dan dia khawatir kalau kalau pemuda itu membunuh orang banyak. Sayang kalau seorang pemuda segagah itu melakukan pembunuhan terhadap banyak orang dan melihat betapa dia sudah luka-luka, bukan tidak mungkin dia menjadi mata gelap dan membunuhi para pengeroyoknya. Setelah membuat penilaian, Bagus Seto lalu menggerakkan kakinya dan tubuhnya seperti melayang ke arah Harjadenta yang sedang mengamuk.
"Tidak perlu membunuhi orang, kisanak!" katanya dan dengan tangannya dia menangkis keris pusaka Harjadenta yang menyambar-nyambar mencari korban.
Harjadenta terkejut sekali ketika ada orang menangkis keris pusakanya hanya dengan tangan kosong saja. Akan tetapi karena orang itu tidak menyerangnya, maka diapun hanya menghentikan amukannya dan memandang dengan heran. Dia melihat seorang pemuda berpakaian serba putih yang kini dikeroyok banyak orang. Tentu para pengeroyok itu mengira bahwa pemuda pakaian putih itu membantunya, maka mereka kini mengayunkan senjata mereka untuk menyerang si pemuda pakaian putih.
Melihat betapa orang-orang itu meninggalkan pemuda yang mengamuk tadi dan kini mereka menyerangnya, Bagus Seto lalu menggerakkan kedua tangannya seperti orang mendorong dan mereka yang menyerbu ke arahnya itu terjengkang seperti daun-daun kering ditiup angin. Tentu saja mereka terkejut dan belum tahu mengapa mereka tiba-tiba terdorong ke belakang oleh tenaga yang amat kuatnya. Mereka bangkit dan menyerang lagi. Kini Bagus Seto menggerakkan tangan seperti menampar dan orang-orang itu berpelantingan keras. Kini mengertilah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang amat sakti, maka tanpa banyak bicara lagi mereka lari tunggang langgang.
Harjadenta melihat ini semua dan dia terbelalak kagum. Diapun tahu bahwa pemuda berpakaian putih itu memiliki kadigdayaan yang luar biasa, seorang sakti mandraguna. Akan tetapi karena pemuda itu kini memandang ke arah pertempuran antara Suropekik dan wanita cantik itu, Harjadenta juga memandang dan menonton pertandingan yang seru dan hebat itu. Dia semakin kagum. Wanita itu bertangan kosong saja menandingi kolor di tangan Suropekik. Padahal dia melihat wanita itu membawa sebatang pedang di punggungnya. Ia tidak mau menggunakan pedang dan melawan dengan tangan kosong saja, berarti bahwa wanita itu yakin akan mampu mengalahkan lawan!
Dan apa yang dilihatnya memang demikian. Suropekik berusaha untuk menghantamkan kolornya yang ampuh, namun gadis itu dengan gerakan seperti seekor burung srikatan saja mengelak ke sana sini, bahkan kadang ia berani menangkis pukulan kolor itu dengan tangannya! Dan gadis itu membalas dengan tamparan-tamparan tangannya yang membuat Suropekik menjadi repot untuk mengelak atau menangkis dengan kolornya.
Menghadapi tamparan-tamparan itu tampaknya Suropekik merasa jerih untuk menerimanya dengan kekebalan tubuhnya. Memang demikianlah. Tadi Suropekik mengandalkan kekebalan tubuhnya, menerima tamparan Retno Wilis dengan dadanya. Ia menganggap bahwa pukulan seorang gadis itu tentu tidak berapa kuat, maka dia menerima dengan dadanya sambil mengerahkan tenaganya.
"Bukk.... !" Tubuh Suropekik terjengkang dan hampir saja dia roboh, dadanya terasa panas dan sesak. Dia menjadi marah dan mengamuk dengan kolornya, namun senjatanya itu sama sekali tidak dapat menyentuh ujung baju Retno Wilis yang bergerak dengan ilmu silat Pancaroba yang membuat tubuhnya bergerak demikian cepatnya sehingga seringkali Suropekik kehilangan lawan. Dia secara ngawur hanya memutar kolornya dan berputar-putar, mencoba menandingi kecepatan gerakan Retno Wilis dengan putaran kolornya.
Retno Wilis kini bergerak mengitari lawan dan memaksa Suropekik juga berputaran. Karena sejak tadi Suropekik mengerahkan seluruh tenaganya untuk menggerakkan kolornya dan dia harus berputar-putar, lama kelamaan pandang matanya berkunang dan kepalanya menjadi pusing. Melihat keadaan lawan sudah mulai mengendur gerakan kolornya, Retno Wilis menggerakkan kakinya menendang. Lutut Suropekik disentuh ujung kaki dara perkasa itu, membuat dia hampir roboh dan lutut kanannya ditekuk, dan pada saat itu, sebuah tamparan tangan kiri Retno Wilis hinggap di dagunya.
"Dess.... !!" Tubuh raksasa itu berputar dan diapun roboh terpelanting, kepalanya berdenyut nyeri dan dadanya sesak, akan tetapi karena dia memang kuat dan kebal, Suropekik sudah dapat bangkit kembali. Dia menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir kepeningannya dan kedua matanya yang besar berubah merah. Dia marah sekali. Biarpun dia melihat betapa semua anak buahnya sudah melarikan diri, dia tetap nekat. Dia tidak percaya bahwa dia dikalahkan oleh seorang dara yang bertangan kosong!
Dia tidak dapat menerima kenyataan ini. Dia bangkit berdiri mengerahkan aji yang dimilikinya sehingga tangan yang memegang kolor itu seperti menggigil, mulutnya mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang buas dan dia mengayun kolornya ke atas kepala, lalu menerjang maju sambil menghantamkan kolornya.
"Darr.... !" Retno Wilis menggunakan kedua tangan untuk menyambut hantaman kolor itu dengan pukulan jarak jauh dan begitu terdengar kolor itu meledak seperti sebuah cambuk, Suropekik roboh! Dia masih memegangi kolornya, akan tetapi dari mulutnya muntah darah segar, tanda bahwa dia telah terluka parah di sebelah dalam tubuhnya akibat benturan tenaganya dengan tenaga sakti dara itu.
"Pergilah kalau engkau tidak ingin mati!" kata Retno Wilis yang merasa penasaran juga melihat kenekatan orang tinggi besar itu.
Kini Suropekik benar-benar yakin bahwa dia tidak akan mampu menandingi dara itu, maka dengan lemah dia bangkit berdiri, memandang kepada Retno Wilis dengan mata mencorong, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan terhuyung-huyung pergi tanpa menengok lagi.
Harjadenta yang menonton pertandingan itu, menjadi kagum bukan main. Dia yang menggunakan keris pusakanya saja tidak mampu mengalahkan Suropekik, akan tetapi dara itu dengan bertangan kosong saja dapat mengalahkan raksasa itu hanya dalam pertempuran yang pendek. Tahulah dia bahwa dara itu, dan juga pemuda berpakaian putih seperti juga pakaian dara itu, keduanya adalah orang-orang yang memiliki kesaktian hebat. Maka dia lalu menghampiri mereka sambil membungkuk-bungkuk memberi hormat.
"Banyak terima kasih saya ucapkan atas pertolongan andika berdua," katanya sambil menatap wajah mereka. "Kalau andika berdua tidak datang membantu, tentu aku sudah mati dikeroyok mereka."
"Tidak perlu berterima kasih, sobat. Kita semua hanya melaksanakan tugas-kewajiban kita saja secara wajar. Andika juga telah menyelamatkan keluarga Ki Dirun."
"Nama saya Harjadenta. Bolehkah saya mengetahui nama andika berdua yang terhormat?"
Bagus Seto tersenyum. "Namaku Bagus Seto dan ini adalah adikku bernama Retno Wilis. Kami datang dari Panjalu. Dan andika datang dari manakah?"
"Saya datang dari Gunung Raung, hendak mencari seseorang.... barangkali andika berdua dapat membantu saya. Saya sedang mencari seorang wanita yang telah mencuri keris pusaka guru saya. Apakah andika berdua mengetahui seorang wanita cantik yang sakti, yang mencuri Pusaka Carubuk milik guru saya?" Harjadenta menatap tajam wajah Retno Wilis untuk melihat perubahan pada wajah itu. Akan tetapi Retno Wilis tidak bereaksi apa-apa terhadap ucapan itu, bahkan ia lalu berkata.
"Kita tidak boleh berhenti sampai di sini saja! Demang keparat itu harus dihajar agar jera memaksa gadis menjadi selirnya. Hayo kakang, kita cari Demang jahanam itu!"
"Terserah kepadamu, diajeng. Akan tetapi aku pesan agar engkau membatasi diri, jangan membunuh orang."
"Tadinya saya memang berniat untuk memberi hajaran kepada Demang itu, akan tetapi melihat dia mempunyai begitu banyak tukang pukul, tentu saja saya tidak berdaya. Sekarang setelah andika berdua muncul, saya akan membantu andika berdua memberi hajaran kepada Demang dan anak buahnya yang jahat dan sewenang-wenang itu." kata Harjadenta.
"Adimas Harjadenta, engkau telah terluka. Lihat, paha dan pundakmu masih berdarah. Engkau perlu merawat diri dan mengobati lukamu. Biar urusan dengan Demang ini dirampungkan oleh diajeng Retno Wilis."
"Hanya luka kecil saja, kakangmas Bagus Seto. Tidak semestinya kalau diajeng Retno Wilis melakukan tugas itu seorang diri saja. Biar aku membantu kalian."
"Marilah kita pergi. Kakangmas Harjadenta, apakah engkau sudah mengetahui di mana letak rumah Demang jahanam itu?"
"Aku sendiri belum pernah ke sana. Akan tetapi mudah saja. Kita tanya kepada penduduk, tentu mereka semua mengetahuinya."
Mereka bertiga lalu keluar dari pekarangan rumah Ki Dirun itu. Cuaca sudah mulai gelap ketika mereka bertanya kepada seorang dusun di mana rumah Demang dan segera menuju ke tempat itu. Rumah itu paling besar di dusun Grobokan. Pekarangannya juga luas dan ketika mereka bertiga tiba di pekarangan itu, sedikitnya duapuluh orang segera mengepung mereka. Selain penerangan dari lampu-lampu yang tergantung di luar rumah, juga di antara mereka ada yang membawa obor sehingga tempat menjadi terang seperti siang. Bagus Seto yang melihat para tukang pukul itu mengepung, segera maju dan berkata dengan suara lantang namun lembut.
"Saudara sekalian! Kami datang untuk bertemu dengan Ki Demang! Minta dia keluar menemui kami dan harap saudara sekalian mundur. Kami tidak ingin berkelahi dengan kalian!"
Para tukang pukul itu memang sudah merasa jerih. Di antara mereka terdapat orang-orang yang tadi membantu Suropekik dan mereka sudah mengetahui bahwa tiga orang muda itu memiliki kesaktian. Akan tetapi untuk mundur merekapun takut akan kemarahan Ki Demang, maka mereka semua hanya ragu-ragu dan tetap mengepung, biar pun tidak ada yang berani turun tangan menyerang.
"Kakangmas, aku khawatir kalau demang itu akan melarikan diri melalui pintu belakang. Biar aku menangkapnya dan membawanya keluar," kata Retno Wilis kepada kakaknya.
Bagus Seto mengangguk dan sekali berkelebat, gadis itu lenyap dari situ. Para pengepung hanya melihat berkelebatnya bayangan orang, tidak tahu bahwa yang berkelebat itu adalah dara perkasa yang telah melompat di atas kepala mereka. Retno Wilis terus masuk ke dalam gedung. Ketika tiba di ruangan belakang, ia melihat seorang laki-laki berusia limapuluhan tahun sedang hendak melarikan diri. Tangan kirinya membawa sebuah buntalan kain dan tangan kanannya memegang sebatang tombak. Dari pakaiannya saja Retno Wilis dapat menduga bahwa orang itu tentulah demang dusun Grobokan itu. Ia lalu membentak nyaring.
"Engkau tentu Demang Grobokan keparat itu! Hendak lari kemana kau?"
Orang itu memang Demang Grobokan. Kepala dusun yang kaya raya ini memang seorang yang mata keranjang, mengandalkan kekuasaannya untuk merampas wanita yang disukainya. Tidak perduli gadis, janda atau bahkan yang sudah bersuami, kalau menimbulkan seleranya, tentu akan dimintanya dengan halus maupun kasar. Dia memiliki kurang lebih tigapuluh orang anak buah atau tukang pukul yang sekarang berada di pekarangan mengepung Bagus Seto dan Harjadenta.
Ketika melihat seorang gadis cantik tahu-tahu berada di depannya, demang itu terkejut sekali. Dia memang sudah dilapori anak buahnya betapa anak buahnya kocar kacir diamuk oleh dua orang pemuda dan seorang gadis cantik yang digdaya. Kini melihat gadis itu datang membentaknya, dia dapat menduga bahwa ini tentu gadis yang dimaksudkan anak buahnya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerang dengan tombaknya. Tombak yang runcing itu dengan tepat sekali meluncur dan menusuk ke arah perut Retno Wilis!
Akan tetapi dengan sigap Retno Wilis miringkan tubuhnya dan menangkap tombak itu dengan tangan kanannya kemudian sekali tarik tombak itu telah pindah ke tangannya. Ia lalu menekuk gagang tombak dengan kedua tangan.
"Trakkk... !" Gagang tombak itu patah di tengah-tengahnya.
Melihat ini, Demang Grobokan terkejut dan ketakutan. Dia meloncat untuk berlari pergi, akan tetapi kaki Retno Wilis menyambar, menendang lututnya dan Demang Grobokan jatuh menelungkup, buntalan di tangan kirinya terlepas dan isinya tercecer. Kiranya buntalan itu berisi banyak perhiasan emas permata!
Retno Wilis sudah melangkah maju dan menginjak punggung Demang Grobokan, "Apakah engkau masih akan berani melawan?" bentak Retno Wilis sambil mengerahkan tenaga pada kakinya yang menginjak punggung.
"Uhhh.... hekkkkk.... uhhh, ampunkan saya.... !" Demang itu terengah-engah dan mengeluh.
Retno Wilis sebetulnya marah sekali kepada orang itu. Kalau saja ia tidak mendapat peringatan dari kakaknya tadi agar jangan membunuh orang, tentu ia sudah menginjak pecah dada Demang Grobokan. Ia melepaskan kakinya. Demang Grobokan merangkak untuk bangkit, akan tetapi kaki kiri Retno Wilis menyambar lehernya dan dia roboh kembali sambil merintih kesakitan. Ketika tiga kali dia mencoba bangkit selalu disambut tendangan kaki gadis itu yang membuat pipinya bengkak-bengkak dan kepala seperti pecah rasanya, dia tidak berani bangkit kembali, dan tetap menelungkup sambil mengeluarkan rintihan menangis.
Retno Wilis merasa sudah cukup memberi hajaran. Ia tadi memang sengaja menghajar Demang itu. "Hayo bangkit!" bentaknya dan Demang Grobokan dengan ketakutan, wajahnya bengkak-bengkak dan mukanya pucat tubuhnya menggigil bangkit dan terhuyung... "Hayo keluar!" Retno Wilis mendorongnya dan Demang Grobokan dengan rasa takut sekali melangkah keluar. "Perintahkan tukang-tukang pukulmu untuk mundur semua!"
Melihat di luar semua tukang pukulnya mengepung dua orang pemuda akan tetapi mereka tidak berani bergerak itu, Demang Grobokan lalu berteriak dengan suara gemetar,
"Kalian semua mundurlah. Mundur dan jangan turun tangan!"
Biarpun tidak dilarang oleh Demang Grobokan, para tukang pukul itu memang sudah tidak berani berkutik. Kini mendengar perintah majikan mereka, semua tukang pukul lalu mundur dan hanya menonton dari jauh.
"Hei, kalian anak buah Demang Grobokan. Cepat perintahkan semua penduduk Grobokan untuk berkumpul di sini. Cepat !!"
Tigapuluh orang itu lalu berpencar dan cepat mereka memanggil para penduduk Grobokan untuk berkumpul di pekarangan rumah Demang Grobokan. Para penduduk dusun itu berbondong-bondong datang di tempat itu.
"Ampunkan saya, den ajeng....!" Demang Grobokan minta ampun sambil berlutut dan menyembah-nyembah.
"Diam kau! Kita tunggu sampai semua penduduk berkumpul di sini!" kata Retno Wilis.
Bagus Seto hanya tersenyum melihat sepak terjang adiknya dan Harjadenta memandang dengan sinar mata penuh kagum. Dia ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan dara perkasa itu. Hatinya penuh kekaguman akan kehebatan sepak terjang Retno Wilis dan penuh pesona akan kecantikannya. Mimpipun belum pernah dia bertemu dengan seorang dara seperti itu! Kalau hanya mendengar cerita orang tentang seorang dara seperti Retno Wilis, tentu dia tidak akan percaya. Mana ada dara segagah dan sehebat itu? Namun Retno Wilis melampaui semua khayalnya...
Kakek itu adalah seorang Empu pembuat keris, juga seorang pertapa yang telah lama meninggalkan dunia ramai, bertapa di lereng Gunung Raung yang terkenal sebagai gunung yang angker. Jarang ada orang berani mendaki Gunung Raung, karena gunung ini terkenal dengan hutan-hutannya yang penuh dengan binatang liar dan buas, juga dikenal sebagai tempat pelarian orang-orang jahat yang menjadi buruan pemerintah, dan lebih dari itu, dikabarkan banyak bagian dari gunung itu dijadikan sarang para demit dan setan bekasakan yang suka mengganggu manusia.
Akan tetapi kakek itu merasa tenang dan damai tinggal di lereng gunung itu. Nama kakek ini adalah Empu Gandawijaya. Semenjak sepuluh tahun yang lalu, kakek itu tidak tinggal seorang diri di lereng Gunung Raung, melainkan ditemani seorang muridnya. Pemuda ini ditemukan oleh Empu Gandawijaya ketika pemuda itu berusia tiga belas tahun dan hidup menyendiri, karena kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Melihat anak remaja yang hidup kapiran seorang diri ini, dan melihat pula betapa anak muda itu memiliki bakat yang baik sekali untuk menjadi seorang satria, Empu Gandawijaya lalu membawa dan mengajaknya ke Gunung Raung dan menjadi muridnya yang dianggap sebagai anak sendiri.
Pemuda itu bernama Harjadenta dan selama sepuluh tahun dia hidup bersama mpu Gandawijaya, bekerja di sawah ladang dan mempelajari banyak ilmu dari Sang Empu. Bukan hanya ilmu pembuatan keris, akan tetapi juga mempelajari sastera dan aji kanuragan. Kini dia sudah berusia dua puluh tiga tahun, menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh sedang, berdada bidang dan berwajah tampan gagah. Sinar matanya penuh kejujuran dan keterbukaan, dan mulutnya selalu tersenyun ramah kepada siapapun juga. Biarpun dia hidup di tempat sunyi bersama gurunya, namun Harjadenta inilah yang kadang pergi ke dusun-dusun untuk mencari segala keperluan untuk dia dan gurunya.
Pada suatu pagi, baru saja Harjadenta terbangun dari tidurnya dan terdengar ayam jantan berkeruyuk, dia sudah melihat gurunya duduk bersila di ruangan depan pondok mereka yang tidak begitu besar.
"Bapa guru, sepagi ini bapa sudah bangun tidur." Harjadenta bertanya dengar heran. Biasanya, selalu dia yang lebih dulu terbangun dan setelah dia memasak air baru gurunya keluar dari kamarnya.
Empu Gandawijaya membuka kedua matanya dan mengeluh. "Denta, ke sinilah dan duduk di sini. Aku mempunyai urusan yang harus kita bicarakan sekarang juga."
Dengan penuh keheranan Harjadenta lalu duduk bersila di depan gurunya dan menanti apa yang akan disampaikan orang tua itu kepadanya.
"Denta, semalam telah ada pencuri yang sakti masuk ke pondok kita dan mencuri Ki Carubuk."
Terkejutlah Harjadenta mendengar ini. Ki Carubuk adalah sebatang keris pusaka buatan gurunya yang belum lama ini dirampungkan, sebatang keris yang amat ampuh menurut gurunya.
"Seorang pencuri telah mengambil Ki Carubuk, bapa. Akan tetapi mengapa hal itu dapat terjadi, bahkan saya sama sekali tidak mendengar ada orang masuk ke dalam pondok?"
Empu Gandawijaya menghela napas panjang. "Itulah maka kukatakan bahwa pencuri itu sakti. Dia pasti seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan semalam dia telah dapat melepas Aji Penyirepan, membuat kita berdua tertidur nyenyak dan tidak tahu bahwa dia memasuki pondok ini dan mengambil keris pusaka KiCarubuk."
Harjadenta lalu menyembah dan berkata penuh penyesalan. "Ampunkan saya, Bapa. Hal itu menunjukkan bahwa saya kurang waspada, sama sekali tidak pernah mengira bahwa ada orang berani memasuki pondok kita dan mencuri pusaka."
"Bukan salahmu, Denta. Aku sendiri saja dapat terkena Aji Penyirepannya yang hebat itu, apa lagi engkau."
"Lalu bagaimana baiknya, Bapa? Saya menunggu perintah Bapa Guru."
"Kulup, aku sekarang sudah tua, tubuhku sudah tidak kuat untuk melakukan perjalanan jauh, apa lagi untuk mengejar pencuri. Akan tetapi aku tidak mau menambahi dosa-dosaku, karena itu engkau harus pergi mencari pencuri itu dan merampas kembali Ki Carubuk."
Pemuda itu merasa heran. "Mengapa Bapa Guru merasa berdosa dengan hilangnya Ki Carubuk, Bapa? Hal itu bukan kesalahan Bapa."
"Ketahuilah, Denta. Ki Carubuk adalah sebatang keris yang amat ampuh. Keris itu akan menjadi pusaka yang amat berguna kalau terjatuh ke tangan seorang satria atau seorang yang mulia hatinya, akan tetapi kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat, keris itu dapat menimbulkan malapetaka dan kesengsaraan kepada rakyat banyak. Aku khawatir pencuri itu seorang jahat dan keris itu akan dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Kalau demikian halnya, berarti aku telah menambah dosaku dengan pembuatan keris itu. Karena itu, carilah pusaka itu agar dapat kembali kepada kita dan jangan engkau kembali ke sini sebelum berhasil menemukan Ki Carubuk itu, anakku. Ingat, Ki Carubuk itu berluk tujuh dengan ricikan Lambe Gajah, kembang kacang, sraweyan, dan Greneng, sinarnya kehitaman, agak kelabu, di ujungnya ada sinar keemasan."
Mendengar perintah ini, Harjadenta merasa terharu. Dia harus meninggalkan kakek itu seorang diri di tempat sunyi ini. Setelah selama sepuluh tahun tinggal bersama gurunya, dia sudah menganggap gurunya sebagai pengganti orang tuanya sendiri dan kini tiba-tiba saja dia diharuskan pergi meninggalkan gurunya untuk mencari keris pusaka Ki Carubuk dan tidak boleh pulang kalau keris itu belum ditemukan!
"Akan tetapi, Bapa. Kalau saya pergi, lalu siapa yang akan menemani Bapa di sini? Siapa yang akan mengerjakan sawah ladang, siapa yang akan memasak makanan dan minuman untuk Bapa? Siapa yang akan mencuci pakaian dan siapa pula yang akan membersihkan tempat ini setiap hari?"
Empu Gandawijaya tertawa memperlihatkan mulut yang sudah tidak bergigi lagi. "Kulup, sebelum engkau tinggal di sini, aku sudah puluhan tahun hidup menyendiri, jangan khawatir, biarpun sudah tua, aku dapat menjaga dan merawat diriku sendiri. Ki Cambuk itu terlalu penting bagiku, jangan sampai terjatuh ke tangan orang jahat. Nah, berangkatlah, Harjadenta dan pergunakan semua ilmu yang pernah kau pelajari di sini untuk dapat merebut kembali Ki Cambuk. Doa restuku mengiringi perjalananmu."
Harjadenta tidak dapat membantah lagi. Dia lalu berkemas dan pada hari itu juga dia berangkat setelah dia minta doa restu dan minta petunjuk dari gurunya.
"Bapa, saya mohon petunjuk, seperti apa kiranya pencuri itu dan ke mana saja harus mencarinya. Tanpa petunjuk Bapa, saya merasa tidak berdaya dan tidak tahu mencari ke mana."
Sejenak kakek itu diam dan menundukkan kepalanya. Kemudian dia mengangkat kepalanya dan berkata, "Kalau perhitunganku tidak keliru, Denta, pencuri itu seorang wanita yang sakti mandraguna, cantik dan pandai ilmu sihir dan guna-guna. Hanya petunjuk itu yang dapat kuberikan dan engkau naiklah perahu itu di sepanjang Kali Mayang. Turutlah aliran sungai itu sampai ke muaranya di Laut Kidul. Mudah-mudahan dengan menempuh jalan itu engkau akan dapat menemukan pencuri itu."
Dengan bekal petunjuk gurunya itu, Harjadenta menuruni lereng Gunung Raung. Dia melalui dusun-dusun di kaki gunung di mana dia sering datang menukar hasil hutan dengan barang-barang yang dibutuhkan dia dan gurunya, kemudian dia terus melakukan perjalanan ke selatan sampai dia bertemu dengan mata air Kali Mayang.
Dia menyusuri sungai itu sampai sungai itu menjadi cukup besar untuk melanjutkan perjalanannya dengan perahu. Di sebuah dusun di pantai sungai Mayang, dia membuat sebuah perahu dari batang bambu dan kayu, kemudian melanjutkanperjalanannya dengan perahu sederhana ini. Karena perahu itu meluncur terbawa aliran sungai dan ditambah dengan dorongan dayung, maka perjalanan dapat berjalan lebih cepat dari pada kalau dia berjalan menyusuri sungai yang kadang bertemu dengan bagian yang rimbun dan sulit dilalui sehingga dia harus mengambil jalan memutar.
Dalam perjalanan ini, Harjadenta seringkali berhenti di sebuah dusun dan melakukan penyelidikan, bertanya-tanya kalau-kalau ada penduduk yang melihat seorang wanita cantik melakukan perjalanan seorang diri lewat di dusun itu. Akan tetapi, sampai jauh dia melakukan perjalanan itu, setelah lewat beberapa minggu, belum juga dia mendapatkan keterangan tentang wanita yang dicarinya.
Pada suatu hari perahunya melewati sebuah dusun, yaitu dusun Grobokan. Dusun itu cukup ramai karena daerah itu merupakan daerah yang menghasilkan palawija yang melimpah ruah. Dia mengambil keputusan untuk singgah di Grobokan, untuk menyelidiki kalau-kalau ada wanita asing yang cantik singgah di tempat itu. Dia menambatkan perahunya di sebatang pohon di tepi sungai dan memasuki dusun Grobokan. Karena daerah itu subur dan menghasilkan banyak palawija, maka penduduknya juga lebih baik keadaannya dengan dusun-dusun lainnya. Rumah-rumah disitu cukup besar dan terbuat dari kayu.
Seperti biasa, kalau hendak menginap di sebuah dusun, Harjadenta mencari rumah penduduk yang sekiranya dapat menerima dirinya untuk bermalam. Dicarinya rumah yang tampak sunyi, tidak banyak penghuninya dan dia menemukan seorang laki-laki setengah tua duduk seorang diri di depan rumah sambil menyambung tali-tali jala yang berlubang. Agaknya kakek ini suka menjala ikan di Kali Mayang. Melihat di sana tidak ada orang lain, Harjadenta lalu menghampirinya.
"Kulonuwun.... !" Harjadenta memberi salam.
Kakek itu mengangkat mukanya memandang dan merasa heran melihat seorang pemuda yang berpakaian bersih dan berwaiah tampan berdiri di depannya.
"Mari silakan, denmas. Ada keperluan apakah denmas mengunjungi saya?"
"Maaf, paman. Saya adalah seorang perantau yang tiba di dusun ini dan ingin mencari tempat untuk melewatkan malam ini. Kalau sekiranya paman tidak berkeberatan, bolehkah saya menumpang di sini semalam?"
Laki-laki itu memandang Harjadenta dengan penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki dan agaknya hatinya puas meneliti pemuda itu. Seperti penduduk dusun umumnya, dengan senang hati dia tentu saja suka menolong orang lain dan tidak keberatan kalau pemuda yang sopan dan bersih ini hendak menginap di rumahnya untuk semalam.
"Tentu saja kalau paman dan para penghuni ini yang lainnya tidak berkeberatan."
"Ah, tidak denmas. Aku tidak keberatan dan yang tinggal di sini hanya aku, isteriku dan seorang anak perempuanku. Kami tidak berkeberatan asal denmas sudi tinggal di tempat kami yang kotor dan buruk."
"Paman terlalu merendahkan diri. Rumah ini cukup bagus dan bersih, dan sayapun tidak memilih-milih tempat. Dipan bambu yang paman duduki itu saja sudah cukup bagiku untuk melewatkan malam di luar rumah ini."
"Ah, tidak, denmas, tidak boleh begitu. Kami masih ada bilik di dalam rumah yang kosong, bekas bilik anak laki-laki kami yang sekarang telah pergi untuk selamanya." Wajah kakek itu tampak berduka.
"Maksud paman, anak laki-laki itu....?"
"Dia sudah meninggal dunia tiga bulan yang lalu, denmas. Terserang penyakit panas. Sekarang tinggal isteriku dan anak perempuan kami. Silakan duduk, denmas."
"Terima kasih, paman." Harjadenta lalu mengambil tempat duduk di sudut dipan bambu itu. "Namaku Harjadenta, paman, aku datang jauh dari lereng Gunung Raung."
"Namaku Dirun, denmas." Dia lalu melongok ke arah pintu rumahnya yang terbuka. "Las.... ! Lasmini, keluarlah ke sini!" Dia memanggil.
Terdengar suara lembut menjawab dan keluarlah dari pintu itu seorang perawan dusun yang manis. Rambutnya ikal, kulitnya hitam manis, matanya lebar dan lugu, mulutnya manis sekali, seorang dara yang usianya paling banyak enambelas tahun. Gadis itu tampak terkejut dan malu-malu ketika melihat ada seorang pemuda duduk di situ bersama ayahnya.
"Ada.... ada apa, bapak?" tanyanya dan suaranya lembut jernih, sejernih sinar matanya. Kini ia menunduk, tidak berani menatap wajah pemuda tampan gagah itu,
"Denmas, ini anak kami, Lasmini. Las, ini adalah denmas Harjadenta yang menjadi tamu kita. Cepat kau keluarkan wedang teh dan ubi rebus itu."
"Baik, pak."
"Ah, paman, harap jangan repot-repot." kata Harjadenta dengan sungkan.
"Tidak, denmas. Wong wedang dan ubi rebus itu sudah ada, kok."
Dara manis itu menghilang ke dalam rumah. Tuan rumah itu ternyata ramah sekali dan tanpa diminta dia menceritakan keadaan dirinya kepada Harjadenta.
"Dulu, ketika puteraku masih hidup, keadaan kami lumayan, aku tidak perlu bekerja keras, denmas. Akan tetapi setelah anakku mati, terpaksa aku bekerja keras, berladang dan kadang mencari ikan. Isteriku kadang membantu dan yang bekerja di rumah adalah anakku Lasmini tadi."
"Gadis yang manis dan rajin" pikir Harjadenta.
"Kalau begitu tentu kehidupan keluargamu di sini tenteram, paman."
Orang itu mengerutkan alisnya. "Mestinya begitu. Tidak banyak kebutuhan kami dan semua kebutuhan dapat tercukupi. Bahkan anakku telah bertunangan dengan seorang pemuda yang rajin dan tinggal di ujung dusun ini. Kami merencanakan untuk melangsungkan pernikahan mereka bulan depan."
"Kalau begitu, aku mengucapkan selamat, paman. Anakmu telah hampir menikah apa lagi yang paman susahkan."
"Akan tetapi, ah, aku khawatir sekali, denmas."
Harjadenta memandang penuh perhatian kepada kakek itu. Wajah kakek berusia limapuluhan tahun itu tiba-tiba tampak khawatir dan alisnya berkerut, matanya memandang ke kanan kiri seolah ada bahaya mengancamnya.
"Apa yang paman khawatirkan?"
"Seminggu yang lalu, kami kedatangan tamu. Dia itu utusan Ki Demang yang berkuasa di dusun Grobokan ini. Dan kedatangannya itu adalah untuk meminang Lasmini yang akan dijadikan isteri ke enam Ki Demang."
"Hemm, lalu bagaimana engkau menjawab. Paman Dirun?"
"Menolak dengan keras tentu saja aku tidak berani, denmas Harjadenta. Akan tetapi, menerima pinangan itupun tentu saja kami tidak bisa karena anakku telah bertunangan. Maka kami hanya memberitahu kepada utusan itu bahwa Lasmini telah bertunangan dan bulan depan akan menikah. Kami minta dengan hormat kepada utusan itu agar memberitahukan hal ini kepada Ki Demang."
"Lalu bagaimana kata mereka?"
"Utusan itu kelihatan tidak senang dan mengatakan bahwa dia memberi waktu sepekan kepada kami untuk menyatakan menerima atau menolak pinangan itu. Kami khawatir sekali, denmas. Ki Demang terkenal galak dan mempunyai banyak tukang pukul. Kami khawatir dia akan memaksa kami agar memenuhi permintaannya itu."
"Kalau begitu sebaiknya pernikahan anakmu itu dipercepat saja, paman. Kalau anakmu sudah menikah tentu Ki Demang itu tidak akan dapat memaksa."
Dirun menghela napas panjang. "Mudah-mudahan saja begitu, akan tatapi kami merasa khawatir sekali. Ki Demang itu terkenal mata keranjang. Dulu, lima tahun yang lalu dia tergila-gila kepada seorang wanita yang sudah bersuami. Entah bagaimana, tiba-tiba saja suami wanita itu meninggal dunia tanpa sakit, dan jandanya segera diambil sebagai isteri ke empat oleh Ki Demang. Ah, betapa gelisah hati kami. Kalau saja anak kami tidak cantik, tentu tidak akan ada malapetaka yang menimpa kami. Apa yang harus kami lakukan, denmas?"
"Apakah paman sudah memberitahukan hal ini kepada tunangan anak paman? Siapa nama calon mantu itu, paman?"
"Namanya Martono, diapun hanya seorang petani biasa, dan kami sudah menceritakan kepadanya, akan tetapi diapun tidak dapat berdaya. Maklum rakyat kecil, kami dapat berbuat apakah terhadap Ki Demang?"
"Utusan Ki Demang itu mengatakan akan kembali sepekan lagi? Kapankah itu, paman Dirun?"
"Tepat pada hari ini, denmas. Sejak pagi hatiku sudah tidak karuan rasanya karena hari ini dia akan kembali."
"Dan apa yang akan kau katakan nanti?"
"Aku akan berterus terang saja, denmas, bahwa pernikahan anakku dengan Martono akan kami laksanakan dua pekan lagi sehingga kami terpaksa tidak dapat melaksanakan perintah Ki Demang."
"Bagus, paman. Memang begitulah seharusnya jawabanmu."
"Akan tetapi kami khawatir... aku takut..."
"Jangan takut, paman. Ada aku di sini, dan akulah yang akan mencegah kalau mereka akan melakukan kekerasan."
Melihat sikap yang tegas dari pemuda tampan gagah itu, Ki Dirun merasa agak lega, akan tetapi dia tetap was-was mengingat bahwa Ki Demang merupakan orang yang paling berkuasa di dusun itu. Seorang wanita setengah tua keluar bersama Lasmini menghidangkan air teh dan ubi rebus. Dirun memperkenalkan isterinya kepada Harjadenta yang cepat memberi hormat.
"Bibi, aku sudah mendengar semua cerita Paman Dirun tentang adik Lasmini dan utusan Ki Demang. Harap bibi, dan juga andika, adik Lasmini, tidak khawatir. Akulah yang akan menghadapi mereka kalau mereka menggunakan kekerasan. Syukur kalau mereka mau mengerti dan mengurungkan pinangan paksaan itu."
Isteri Ki Dirun mengucapkan terima kasih dan Lasminpun hanya mengangguk ke arah Harjadenta sambil tersenyum kecil. Kemudian kedua orang ibu dan anak itu masuk lagi ke dalam rumah. Mereka berdua lalu makan minum sambil bercakap-cakap. Matahari sudah mulai condong ke barat dan tiba-tiba Ki Dirun tampak gelisah sekali sambil memandang kedepan.
Harjadenta juga memandang dan melihat dua orang laki-laki berpakaian mewah memasuki pelataran rumah itu. Sikap mereka angkuh dan garang, dan Ki Dirun cepat bangkit dari tempat duduknya ketika melihat mereka, sambil membungkuk menanti mereka dengan sikap takut-takut.
"Silakan duduk dan terimalah suguhan kami yang sederhana, denmas berdua," katanya sambil mempersilakan dua orang itu duduk di dipan bambu dengan mengacungkan ibu jarinya dengan sikap hormat sekali.
Dua orang utusan itu keduanya bertubuh gendut. Yang seorang memiliki kumis melintang seperti tanduk, dan orang kedua memiliki hidung besar sekali. Si kumis melintang meraba-raba kumisnya dan si hidung besar mendengus dengan hidungnya, tidak menghargai sikap Dirun yang
demikian merendah dan penuh hormat.
"Kami datang bukan untuk minum wedangmu dan makan ubimu. Heh, Pak Dirun, siapa pemuda ini? Calon mantumukah?"
"Bukan, aku bukan calon mantu Paman Dirun, melainkan seorang keponakannya." jawab Harjadenta sambil bangkit berdiri memandang kedua orang itu.
"Hei Dirun!" kata lagi si kumis melintang sambil melotot ke arah tuan rumah. "Kami datang untuk mendengar jawabanmu atas pinangan Juragan kami kepada anakmu. Bagaimana?"
"Ampun, denmas. Bagaimana saya dapat memenuhi permintaan Ki Demang yang terhormat ? Anak kami itu, dua pekan lagi sudah akan menikah."
"Hah? Menikah? Dengan siapa?"
"Dengan Martono, pemuda yang tinggal di ujung dusun ini."
"Kalau begitu, berani engkau menolak pinangan Ki Demang? Petani busuk, apakah nyawamu rangkap maka engkau berani membantah perintah Ki Demang?" Bentak si hidung besar dengan suara agak sengau.
"Dirun, kamu harus menyerahkan Lasmini sekarang juga kepada Ki Demang atau terpaksa kami harus menggunakan kekerasan, menangkap engkau sekeluarga dan merampas Lasmini untuk menjadi selir Ki Demang!"
Saking takutnya, Dirun tidak dapat berkata apa-apa lagi, hanya menunduk dengan muka pucat dan tubuh gemetar. Melihat ini, Harjadenta lalu melangkah maju dan menudingkan telunjuknya kepada kedua orang itu.
"Heh, kalian utusan Ki Demang! Tidak ada aturannya di dunia ini untuk memaksa orang menyerahkan anak gadisnya. Kalian bersikap melebihi perampok saja!"
Dua orang utusan Ki Demang itu hampir tidak dapat percaya kepada telinganya sendiri. Mana mungkin ada orang berani bicara seperti itu kepada mereka, dua orang kepercayaan Ki Demang, orang yang paling berkuasa di Grobokan? Dengan muka merah dan mata melotot mereka memandang kepada Harjadenta dan si kumis melintang sudah melangkah maju menghampiri Harjadenta dengan marah.
"Bocah setan, berani kau berkata demikian kepadaku?"
Setelah berkata demikian, tangan kanannya menyambar untuk menampar muka pemuda itu. Akan tetapi Harjadenta yang juga sudah marah menyaksikan sikap mereka, menangkap pergelangan tangan kanan yang besar itu dan sekali putar, lengan itu sudah dipuntir ke belakang punggung.
"Pergilah!" bentak Harjadenta dan sekali dia mendorong dengan kuatnya, tubuh si kumis melintang itu terdorong dan jatuh menelungkup dengan kuatnya. Dia terbanting dan perutnya yang lebih dulu menimpa tanah. Perut yang gendut itu terbanting keras, membuat dia terengah-engah dan merangkak bangun dengan susah payah.
Si hidung besar marah bukan main. Dia lalu menerjang dengan pukulan tangan kanannya ke arah muka Harjadenta. Akan tetapi pemuda inipun memperlakukan dia seperti kawannya tadi, lengannya ditangkap dipuntir lalu didorong kuat. Si hidung besar terdorong kedepan dan jatuh menelungkup dan sial baginya, yang mengenai tanah lebih dulu adalah hidungnya yang besar sehingga hidung itu bercucuran darah ketika dengan terengah-engah dia mencoba untuk bangkit berdiri. Agaknya dua orang itu hanya lagaknya saja yang besar dan galak. Begitu bertemu lawan yang kuat, mereka sudah menjadi jerih. Sambil mundur-mundur mereka berdua memaki-maki.
"Bangsat? Keparat! Tunggu engkau akan pembalasan kami!"
Dan setelah memaki, mereka takut kalau-kalau pemuda itu akan mengejar maka mereka lalu melarikan diri pontang panting meninggalkan rumah Dirun. Dirun dan isteri serta anaknya yang keluar mendengar ribut-ribut, tidak menjadi gembira oleh pertolongan Harjadenta. Bahkan mereka menjadi pucat dan ketakutan.
"Aduh, bagaimana ini, denmas! Mereka tentu akan dating bersama tukang-tukang pukul Ki Demang dan celakalah kita!" kata Dirun, isteri dan anak perempuannya saling rangkul dan menangis ketakutan.
"Paman, bibi dan engkau Lasmini, sudah jangan menangis. Tenanglah saja. Di sini ada aku yang bertanggung jawab. Aku yang memukul, bukan kalian dan aku akan rampungkan urusan ini sampai tuntas. Sekarang jangan bingung, Paman Dirun. Engkau pergilah kepada calon mantumu, ajak dia dan orang tuanya mengungsi ke sini karena aku khawatir kalau dia akan diganggu oleh mereka."
"Dia hanya tinggal berdua dengan ibunya yang sudah janda, denmas." kata Dirun.
"Lebih baik lagi kalau begitu. Panggil mereka berdua ke sini agar mudah aku melindungi kalian. Dan andika, bibi dan adik lasmini, masuklah ke dalam dan jangan keluar kalau mendengar suara ribut-ribut. Percayalah, aku yang akan menanggulangi semua urusan ini."
Ki Dirun lalu pergi untuk memanggil calon mantunya, sedangkan Lasmini dan ibunya segera bersembunyi ke dalam kamar mereka. Harjadenta dengan sikap tenang duduk kembali ke atas dipan bambu dan makan ubi rebus. Dia maklum bahwa sikapnya menentang utusan Ki Demang tadi tentu akan berekor dan mungkin benar sangkaan Ki Dirun bahwa mereka akan datang lagi membawa tukang-tukang pukul. Akan tetapi Harjadenta sudah mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada mereka.
Tak lama kemudian Ki Dirun sudah kembali bersama calon mantunya, Martono, seorang pemuda petani yang bertubuh tegap berkulit kecoklatan karena terbakar sinar matahari bersama ibunya yang sudah setengah tua. Harjadenta menyuruh mereka berdua masuk pula ke dalam rumah dan hanya Ki Dirun yang menemaninya di luar rumah, menanti apa yang akan datang dengan tenangnya.
"Denmas Harjadenta, sesungguhnya kami merasa tidak enak sekali kepadamu. Kami telah membuat denmas repot dan menghadapi bahaya. Kalau sampai denmas terseret dan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, sungguh kami akan merasa menyesal sekali."
"Ah, paman. Harap jangan berkata demikian. Semua ini terjadi karena kehendakku. Aku tidak suka melihat perbuatan sewenang-wenang. Harap jangan khawatir, paman. Aku yang akan menyelesaikan urusan ini."
Tiba-tiba tampak dua orang gendut utusan Ki Demang tadi memasuki pekarangan rumah itu, diikuti oleh lima orang laki-laki yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap bengis.
"Itulah dia! Itulah jahanam yang telah berani memukuli kami. Kalian hajarlah dia!" kata si kumis melintang kepada lima orang itu sambil menunjuk kepada Harjadenta.
Harjadenta sudah bangkit berdiri dan keluar menyambut mereka. Lima orang itu agaknya memandang rendah kepada pemuda yang lembut itu, dan mereka segera mengepungnya.
"Orang muda, siapakah engkau yang telah berani memukuli utusan Ki Demang?" tanya seorang di antara lima orang tukang pukul itu sambil bertolak pinggang.
"Namaku Harjadenta. Aku berani memukuli mereka karena mereka bertindak sewenang-wenang terhadap Paman Dirun." jawab Harjadenta dengan tenang.
"Babo-babo, keparat! Sekarang cepatlah engkau berlutut dan minta ampun kepada mereka berdua atau terpaksa kami berlima akan memberi hajaran kepadamu." kata pula orang itu dengan lagak sombong.
"Hemm, kenapa aku yang harus minta ampun? Semestinya mereka berdua yang harus minta ampun kepada Paman Dirun sekeluarganya." jawab Harjadenta tegas.
"Apa? Engkau berani membantah kami? Rasakan ini!" kata orang itu sambil menggerakkan tangan kanannya menampar ke arah pipi Harjadenta.
Tamparan itu cepat dan kuat sekali, tanda bahwa penampar itu memiliki tenaga yang kuat. Akan tetapi tentu saja Harjadenta tidak rnenghendaki pipinya ditampar orang. Hanya dengan menarik tubuh atas ke belakang saja, tamparan itu luput.
"Ehhh....??" Tukang pukul itu marah dan penasaran sekali, dan dia lalu menerjang maju dengan pukulan-pukulan kedua tangannya. Melihat ini Harjadenta cepat menggerakkan tangannya, yang kiri menangkis dan yang kanan mendorong ke arah dada penyerangnya itu.
"Plak... bukkk... !" Tukang pukul itu terjengkang keras dan roboh terbanting.
Tentu saja empat orang kawannya menjadi marah sekali dan tanpa banyak cakap lagi mereka serentak menyerang Harjadenta dari empat penjuru. Bahkan orang pertama yang tadi roboh kini sudah bangkit kembali dan ikut pula menyerang.
Akan tetapi Harjadenta tidak merasa gentar sedikitpun. Tenaga para tukang pukul yang besar itu baginya biasa saja, bahkan baginya mereka itu bergerak dengan amat lamban. Dengan mudah dia berloncatan ke sana sini untuk mengelak dari serangan mereka, dan kadang ditangkisnya. Dan setiap kali dia menangkis, para tukang pukul itu tentu menyeringai kesakitan, merasa betapa lengannya seperti bertemu dengan sepotong linggis besi!
Sementara itu, Ki Dirun yang menonton perkelahian itu, hanya dapat berdiri dengan muka pucat dan tubuh gemetaran. Tentu saja dia khawatir sekali kalau penolongnya kalah. Dapat dia bayangkan apa akan jadinya dengan dia dan keluarganya kalau Harjadenta sampai kalah. Tentu Lasmini akan dibawa oleh tukang pukul itu dengan paksa dan dia serta isterinya, dan Martono serta ibunya akan menerima hajaran.
Akan tetapi Ki Dirun tidak perlu khawatir lagi. Kini Harjadenta mulai membalas serangan mereka dan begitu kaki tangannya bergerak-gerak cepat membagi-bagi pukulan dan tendangan, terdengar suara bak-bik-buk disusul teriakan-teriakan kesakitan dari lima orang pengeroyok dan tubuh mereka berpelantingan ke kanan kiri! Lima orang itu terkejut bukan main, akan tetapi juga marah sekali. Sambil meringis kesakitan mereka bangkit lagi dan kini lima orang itu mencabut kelewang dari pinggang mereka. Kelewang atau golok itu tajam dan berkilauan menggiriskan hati Ki Dirun yang semakin ketakutan.
Namun Harjadenta hanya tersenyum sambil menanti serangan mereka. Lima orang tukang pukul itu mengepung, lalu serentak mereka menyerang dengan kelewang mereka. Senjata golok itu menyambar-nyambar haus darah. Akan tetapi semua sabetan itu dapat dielakkan oleh Harjadenta dan kini dia tidak mau memberi hati lagi. Setelah mengelak atau menangkis dia langsung membalas dengan cepat dan kini dia menambah tenaga tamparan dan tendangannya. Berturut-turut lima orang itu terpelanting roboh dan golok mereka yang terlepas dari pegangan mencelat ke kanan kiri dan mereka tidak dapat segera bangkit kembali. Mereka mengaduh-aduh dan mencoba untuk merangkak menjauhi pemuda yang digdaya itu.
Sementara itu, dua orang utusan Ki Demang yang bertubuh gendut, ketika melihat betapa lima orang tukang pukul itu roboh semua, memandang dengan mata terbelalak dan mereka sudah siap untuk melarikan diri. Melihat ini, dengan beberapa kali loncatan Harjadenta sudah dapat membekuk mereka. Dia menangkap tengkuk mereka dan dua orang itu menjadi ketakutan. Kaki mereka terasa lemas dan tanpa diperintah lagi mereka segera berlutut dan menyembah-nyembah kepada pemuda perkasa itu.
"Ampun, denmas.... ampunkan kami yang hanya menjadi orang suruhan Ki Demang.... " mereka meratap dan menyembah-nyembah.
Harjadenta melepaskan tengkuk mereka, mendorong mereka dengan muak. "Dengar kalian orang-orang sombong. Katakan kepada Ki Demang bahwa kalau dia masih berani memaksakan kehendaknya untuk merampas anak gadis orang, aku akan datang kepadanya dan membunuhnya. Juga kalian dan semua tukang pukulnya akan kubasmi sampai habis!"
"Ampun, denmas.... !"
"Pergilah!" Harjadenta menendang dua kali dan dua orang itu terguling-guling, lalu merangkak bangun dan seperti lima orang tukang pukul mereka, mereka lari tunggang langgang. Harjadenta menghampiri Ki Dirun yang masih berdiri dengan tubuh gemetar di dekat dipan bambu. "Nah, paman, sekarang bahaya sudah lewat. Kurasa mereka tidak akan berani mengganggumu lagi."
Akan tetapi tiba-tiba Ki Dirun menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Harjadenta sambil berkata dengan suara penuh permohonan,
"Denmas, saya menghaturkan terima kasih kepada denmas akan tetapi kami semua mohon kepadamu, janganlah tinggalkan kami. Kalau denmas pergi, tentu mereka akan datang lagi dan celakalah kami karena sudah tidak ada denmas yang melindungi. Karena itu tinggallah di sini, denmas sampai bahaya benar-benar lewat. Saya takut... "
Harjadenta tersenyum. "Baiklah, untuk semalam ini saja. Besok aku akan mendatangi Ki Demang dan akan mengancamnya agar dia tidak mengganggu keluargamu lagi. Kalau perlu akan kuberi hajaran keras dia!"
Akan tetapi, yang ditakuti Ki Dirun terjadilah. Sore hari itu, menjelang senja, belasan orang datang memasuki pekarangan rumah Ki Dirun dan mereka semua kelihatan bengis. Lima orang tukang pukul yang siang hari tadi dihajar Harjadenta juga tampak berada di antara mereka dan mereka mengiringkan seorang laki-laki berusia empatpuluhan tahun yang bertubuh seperti raksasa, mukanya penuh brewok, matanya besar dan orang itu mengenakan pakaian yang serba hitam. Celana hitamnya sampai di bawah lutut dan di pinggangnya terdapat sehelai ikat pinggang atau kolor yang besar, sebesar lengan tangan. Kolor itu berwarna merah dan panjangnya tidak kurang dari satu setengah meter. Ikat kepalanya juga berwarna hitam dan raksasa ini Nampak kokoh kuat seperti seekor gajah!
"Ho-ho-ha-ha! Siapakah orang yang bernama Harjadenta? Majulah ke sini menghadapi aku kalau engkau memang seorang jantan!" kata raksasa itu sambil tertawa-tawa.
Ki Dirun sudah mendekam di atas lantai, tak berani bergerak saking takutnya. Harjadenta dengan langkah tenang keluar dari ruangan depan dan menghampiri raksasa berpakaian hitam itu.
"Akulah yang bernama Harjadenta. Andika siapakah dan ada keperluan apa mencariku?" tanya Harjadenta dengan tenang dan tabah.
Raksasa itu memandang Harjadenta dari kepala sampai ke kaki, lalu tertawa bergelak dan memandang wajah pemuda yang tingginya hanya sepundaknya itu.
"Ho-ho-ha-ha! Kukira seorang yang gagah perkasa, kiranya hanya seorang pemuda remaja yang masih berbau pupuk! Heh, Harjadenta bocah kemarin sore! Engkau berhadapan dengan Suropekik, warok yang paling gemblengan dari Ponorogo. Hayo engkau cepat menyerah untuk kubawa dan kuhadapkan Ki Demang Grobokan. Kalau engkau melawan, akan kupatahkan semua tulangmu kemudian kuseret ke depan Ki Demang!"
Harjadenta marah sekali mendengar ini. Raksasa itu amat sombong dan diapun melayani kesombongannya itu, tidak mau kalah gertak.
"Suropekik, ketahuilah bahwa aku adalah seorang yang biasa membasmi warok-warok yang jahat seperti engkau! Aku tidak takut padamu, biar kaugerakkan semua pengikutmu ini untuk mengeroyokku, aku tidak akan undur selangkahpun!"
Tantangan Harjadenta ini benar-benar mengejutkan semua orang dan membuat wajah yang tertutup brewok itu berubah merah saking marahnya. Ki Suropekik adalah seorang jagoan yang sukar dicari tandingannya dan selama merajalela di dunia ramai, jarang menemukan tandingan yang sama kuatnya. Kini mendengar tantangan Harjadenta yang demikian berani, tentu saja dia merasa terhina. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya yang besar berotot itu seolah-olah tangannya sudah terasa gatal-gatal untuk segera melaksanakan ancamannya, yaitu mematahkan semua tulang pemuda itu, dari suaranya terdengar parau dan kasar.
"Babo-babo! Sumbarmu seperti dapat meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan! Majulah, Harjadenta dan jangan engkau nanti bersambat kepada ibumu kalau kuhajar sampai tulang-tulangmu patah semua!"
"Suropekik, engkau yang datang mencari permusuhan, bukan aku. Maka engkaulah yang harus maju lebih dulu. Aku siap menghadapi sumbarmu yang seperti gentong kosong!"
Suropekik menggereng seperti seekor harimau dan dari mulutnya mengepul uap putih. Agaknya, saking marahnya maka dari dalam dadanya keluar uap panas! Kemudian bagaikan seekor biruang, dia sudah menerjang maju dengan kedua lengan terbuka dan agaknya dia hendak menangkap pemuda itu dan meremukkan tulang-tulangnya dalam dekapannya.
Akan tetapi dia hanya menubruk angin saja karena yang ditubruk dengan gesitnya sudah mengelak ke samping. Dari samping Harjadenta mengirim tamparan tangan kiri ke arah pelipis raksasa itu. Akan tetapi, ternyata Suropekik yang besar tubuhnya itu dapat bergerak dengan gesit pula. Tangan kanannya menangkis tamparan Harjadenta dengan kuatnya.
"Dukkk.... !!" Dua lengan bertemu dengan kerasnya dan Harjadenta merasa betapa lengannya terpental dan tergetar, tanda bahwa lawannya memiliki tenaga yang amat besar. Suropekik tertawa bergelak dan kini dia menyerang dengan hebat dan cepatnya, mengirim pukulan dengan kedua tangannya secara bertubi-tubi, bahkan kakinyapun kadang menyelingi pukulannya mengirim tendangan yang kalau mengenai sasaran tentu akan membuat tubuh Harjadenta terlempar jauh. Akan tetapi gerakan Harjadenta amat cepat dan lincah. Dia dapat meloloskan diri dari semua sergapan ini, bahkan kadang membalas dengan tamparan tangannya.
"Wuuuutttt.... desss!" Sebuah tamparan tangan kanan Harjadenta mengenai dada raksasa itu, akan tetapi tidak membuatnya roboh. Tamparan yang dilakukan dengan sepenuh tenaga itu ternyata bertemu dengan dada yang kokoh kuat seperti dinding baja dan hanya membuat Suropekik melangkah mundur dua langkah saja! Ternyata warok itu memiliki tubuh yang kebal. Harjadenta terkejut dan tahulah dia bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh. Karena pukulannya tidak mampu merobohkan lawan, Harjadenta lalu mencabut sebatang keris yang tadinya terselip di pinggangnya. Keris itu adalah pemberian gurunya, bernama Ki Mengeng, sebatang keris berluk tujuh.
"Ho-ho-ha-ha, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, engkau sudah mencabut pusaka!" kata Suropekik yang tahu bahwa keris itu sebuah pusaka ampuh melihat dari pamornya yang mencorong. Diapun merasa miris untuk melawan pusaka itu dengan tangan kosong saja, maka diapun meloloskan sabuknya, yaitu kolor yang besar dan panjang itu.
"Akan tetapi aku tidak takut kepada pusakamu itu, dan rasakanlah ini kehebatan pusakaku Kyai Gunturgeni!" Dia menggerakkan kolornya dan kolor itu menjadi seperti sebatang pecut dan terdengarlah ledakan-ledakan ketika dia mengayun kolor itu ke atas. Tampak asap mengepul mengikuti suara ledakan.
Harjadenta semakin waspada. Diapun mengenal pusaka ampuh, maka ketika kolor itu menyambar, dia cepat mengelak dan mencari kesempatan untuk menusukkan kerisnya! Akan tetapi lawannya yang juga gentar untuk menerima keris itu dengan kekebalan tubuhnya, memutar-mutar kolornya dan membuat Harjadenta tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk memasukkan kerisnya dalam serangan.
Terjadilah pertandingan yang menegangkan. Semua sambaran kolor dapat dielakkan atau ditangkis dengan keris oleh Harjadenta, akan tetapi juga tusukan-tusukan kerisnya tidak dapat mengenai sasaran karena selalu dihalau oleh sambaran kolor. Kolor yang diputar-putar itu berubah menjadi sinar merah bergulung-gulung yang kadang mengeluarkan ledakan, dan perlahan namun tentu Harjadenta mulai terdesak!
Suropekik merasa penasaran sekali karena sebegitu jauh dia belum dapat merobohkan pemuda itu. Diapun ingin dapat menangkap Harjadenta hidup-hidup untuk dapat memamerkan dan membanggakan keunggulannya. Akan tetapi ternyata pemuda itu sukar sekali dirobohkan. Dia mulai merasa khawatir kalau pemuda itu meloncat dan menggunakan kecepatan gerakannya untuk melarikan diri. Karena itu, dia lalu berseru nyaring,
"Kawan-kawan, mari bantu aku menangkap bocah liar ini!"
Belasan orang itu kini menyergap ke depan, menggerakkan senjata mereka yang berupa golok atau keris. Tentu saja Harjadenta yang tadinya memang sudah terdesak, menjadi semakin repot. Dia telah dikepung ketat dan sama sekali tidak ada jalan keluar baginya untuk melarikan diri. Pula, bagaimana dia dapat dan mau melarikan diri dengan meninggalkan Ki Dirun sekeluarga yang terancam. Tidak, dia tidak akan lari, dan akan melawan sampai titik darah penghabisan. Ki Dirun menjadi cemas sekali. Wajahnya pucat dan tubuhnya yang mendekam itu menggigil ketakutan. Kemudian ia teringat akan anak bininya yang berada di dalam rumah.
"Melarikan diri!" Demikian terlintas dalam pikirannya.
Selagi semua orang itu mengeroyok Harjadenta, dia memiliki kesempatan untuk membawa lari anak isterinya. Maka, biarpun tubuhnya menggigil, dengan merangkak, berhasil juga dia memasuki rumahnya. Dia melihat Lasmini saling rangkul dengan ibunya dan menangis tanpa suara, sedangkan Martono juga berdiri bingung menghibur ibunya yang juga menangis.
"Martono, cepat bawa ibumu lari dari sini. Lari dan bersembunyilah. Aku dan anak biniku juga akan melarikan diri. Kita berpisah dulu, agar dapat menyelamatkan diri masing-masing. Cepat sebelum terlambat!" Dia lalu memegang tangan Lasmini dan tangan isterinya, ditarik dan dibawanya lari keluar dari rumah itu melalui pintu belakang. Martono yang kebingungan juga menirunya, menarik tangan ibunya dan dibawa lari melalui pintu belakang rumah.
Setelah tiba di kebun belakang, mereka lalu melarikan diri cepat-cepat dan menuju ke sungai yang berada tak jauh dari dusun Grobokan. Ki Dirun yang kadang bekerja sebagai nelayan memiliki sebuah perahu, maka dia menarik isteri dan anaknya kedalam perahu. Martono dan ibunya tidak memiliki perahu dan untuk ikut dalam perahu Ki Dirun, perahu itu terlalu kecil.
"Engkau bawalah ibumu menyusuri sungai ini, pendeknya kemana saja asal jauh dari Grobokan. Kelak kita akan dapat bertemu kembali!" kata Ki Dirun dan dia segera mendayung perahunya ke tengah sungai dan perahu itu hanyut oleh aliran sungai, ditambah tenaga dayung Ki Dirun sehingga perahu itu meluncur cepat.
Martono masih menggandeng tangan ibunya dan terseok-seok mereka melarikan diri, menyusuri sungai, masuk keluar hutan dalam cuaca yang mulai gelap itu. Ibu Martono menangis terisak-isak sambil berlari. Tangisnya ini menarik perhatian dua orang yang kebetulan berada di tepi hutan itu. Mereka adalah Bagus Seto dan Retno Wilis. Tertarik akan keindahan pemandangan di sepanjang Kali Mayang, kedua orang muda itu menyusuri sungai itu arah ke hulu. Makin jauh mereka mengikuti hulu sungai, pemandangan semakin indah dan mereka terus menyusuri sungai itu. Setelah berbulan-bulan melihat pemandangan pantai Laut Kidul, pemandangan yang baru ini tampak lain dan memiliki keindahan yang khas. Dan sore itu mereka tiba di hutan di mana mereka mendengar tangis wanita yang terisak-isak.
Mereka tentu saja menjadi tertarik dan segera menghampiri dari mana datangnya tangis itu. Dan mereka menjumpai Martono dan ibunya yang sedang melarikan diri. Melihat seorang wanita setengah tua ditarik-tarik oleh seorang pemuda dan wanita itu menangis, Retno Wilis menjadi marah. Sekali melompat ia telah berada di depan Martono dan ia membentak.
"Manusia jahanam! Kenapa engkau menyeret-nyeret wanita ini! Lepaskan!"
Martono terkejut sekali ketika tiba-tiba saja ada seorang gadis muda yang luar biasa cantiknya berada di depannya dan membentaknya. Juga ibunya terkejut. Akan tetapi ibu ini segera mengerti bahwa gadis itu salah paham, maka ia cepat berkata.
"Den ajeng, dia ini anakku dan kami berdua sedang melarikan diri dari ancaman bahaya maut."
Retno Wills merasa mukanya panas saking rikuhnya. Ia telah mengira yang bukan-bukan. Ternyata pemuda itu sama sekali bukan orang jahat. Ia lalu bertanya dengan suara lembut,
"Bahaya maut apakah yang mengancam kalian sehingga kalian melarikan diri?"
Dengan tergesa-gesa Martono lalu bercerita. "Ki Demang Grobokan hendak merampas tunangan saya dan dia mengirim tukang-tukang pukulnya untuk merampas Lasmini, tunangan saya. Kami dibela seorang denmas yang sakti bernama Harjadenta, akan tetapi sekarang dia dikeroyok oleh belasan orang tukang pukul di depan rumah orang tua Lasmini. Kini Lasmini dan ayah ibunya sudah melarikan diri dan saya mengajak ibu melarikan diri pula karena terancam."
"Hemm, di mana penolong itu dikeroyok?" tanya Retno Wilis.
"Di rumah Paman Dirun di dusun Grobokan, tak jauh dari sini, itu diluar hutan ini. Permisi, kami harus melarikan diri." Martono lalu menggandeng tangan ibunya lagi dan diajak lari.
Retno Wilis menoleh kepada Bagus Seto yang sejak tadi hanya mendengarkan saja.
"Kakang, aku khawatir akan nasib penolong itu yang dikeroyok para tukang pukul. Mari kita ke sana, kakang."
"Baiklah!" kata kakaknya sambil tersenyum.
Retno Wilis lalu mengerahkan ilmunya berlari cepat. Tubuhnya melesat seperti angin menuju ke dusun Grobokan dan Bagus Seto mengikutinya dari belakang. Setelah tiba di dusun itu, dengan mudah Retno Wilis dapat mencari rumah Lasmini karena dusun itu sudah gempar dengan adanya perkelahian itu. Dengan cepat Retno Wilis dan Bagus Seto tiba di tempat itu dan Retno Wilis melihat seorang pemuda yang memegang keris dikeroyok belasan orang yang memegang golok.
Terutama sekali seorang raksasa yang bersenjatakan kolor merupakan lawan yang amat tangguh sehingga pemuda itu kini main mundur, bahkan sudah ada beberapa batang golok yang mengenai tubuhnya. Paha dan pundaknya sudah terluka, namun pemuda itu tidak gentar sedikitpun juga, masih tetap melakukan perlawanan gigih dengan kerisnya. Ada pula lima orang di antara para pengeroyok yang sudah roboh oleh pemuda itu, dan mereka hanya merintih dan menonton dari pinggiran, tidak dapat ikut mengeroyok lagi.
Mudah bagi Retno Wilis untuk berpihak apa lagi ia telah mendengar dari Martono bahwa pemuda itu merupakan penolong keluarga Lasmini. Ia mengeluarkan suara panjang melengking dan tubuhnya sudah meloncat ke dalam pertempuran, tangannya bergerak menampar ke arah raksasa yang memutar kolornya secara dahsyat.
"Wuuuttt.... plakk.... !!" Biarpun hanya ditampar pundaknya yang kebal, namun tubuh Suropekik terhuyung dan dia merasa seolah dirinya disambar petir! Dia terhuyung dan melihat siapa orangnya yang berani menyerangnya sehebat itu dengan tangan kosong dan ketika dia melihat seorang wanita muda yang amat cantik berdiri di depannya, ia terbelalak dan juga marah.
Sementara itu, ketika tidak lagi didesak oleh Suropekik, Harjadenta leluasa mengamuk menghadapi anak buah warok itu sehingga para pengeroyoknya menjadi kocar kacir. Diam-diam Harjadenta memperhatikan Retno Wilis dan dia terkejut, juga kagum. Akan tetapi timbul kecurigaan dalam hatinya. Yang mencuri keris pusaka Carubuk adalah seorang wanita cantik yang sakti. Jangan-jangan ini orangnya? Akan tetapi karena wanita itu kini bertanding melawan Suropekik, diapun diam saja dan hanya mengamuk menghadapi pengeroyokan belasan orang lawannya.
Bagus Seto hanya berdiri menonton. Dia tidak khawatir akan adiknya karena sekali pandang saja dia tahu bahwa betapa hebatpun kolor raksasa itu, dia tidak akan mampu mengalahkan adiknya. Yang di khawatirkan malah Harjadenta. Pemuda ini mengamuk dengan kerisnya dan dia khawatir kalau kalau pemuda itu membunuh orang banyak. Sayang kalau seorang pemuda segagah itu melakukan pembunuhan terhadap banyak orang dan melihat betapa dia sudah luka-luka, bukan tidak mungkin dia menjadi mata gelap dan membunuhi para pengeroyoknya. Setelah membuat penilaian, Bagus Seto lalu menggerakkan kakinya dan tubuhnya seperti melayang ke arah Harjadenta yang sedang mengamuk.
"Tidak perlu membunuhi orang, kisanak!" katanya dan dengan tangannya dia menangkis keris pusaka Harjadenta yang menyambar-nyambar mencari korban.
Harjadenta terkejut sekali ketika ada orang menangkis keris pusakanya hanya dengan tangan kosong saja. Akan tetapi karena orang itu tidak menyerangnya, maka diapun hanya menghentikan amukannya dan memandang dengan heran. Dia melihat seorang pemuda berpakaian serba putih yang kini dikeroyok banyak orang. Tentu para pengeroyok itu mengira bahwa pemuda pakaian putih itu membantunya, maka mereka kini mengayunkan senjata mereka untuk menyerang si pemuda pakaian putih.
Melihat betapa orang-orang itu meninggalkan pemuda yang mengamuk tadi dan kini mereka menyerangnya, Bagus Seto lalu menggerakkan kedua tangannya seperti orang mendorong dan mereka yang menyerbu ke arahnya itu terjengkang seperti daun-daun kering ditiup angin. Tentu saja mereka terkejut dan belum tahu mengapa mereka tiba-tiba terdorong ke belakang oleh tenaga yang amat kuatnya. Mereka bangkit dan menyerang lagi. Kini Bagus Seto menggerakkan tangan seperti menampar dan orang-orang itu berpelantingan keras. Kini mengertilah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang amat sakti, maka tanpa banyak bicara lagi mereka lari tunggang langgang.
Harjadenta melihat ini semua dan dia terbelalak kagum. Diapun tahu bahwa pemuda berpakaian putih itu memiliki kadigdayaan yang luar biasa, seorang sakti mandraguna. Akan tetapi karena pemuda itu kini memandang ke arah pertempuran antara Suropekik dan wanita cantik itu, Harjadenta juga memandang dan menonton pertandingan yang seru dan hebat itu. Dia semakin kagum. Wanita itu bertangan kosong saja menandingi kolor di tangan Suropekik. Padahal dia melihat wanita itu membawa sebatang pedang di punggungnya. Ia tidak mau menggunakan pedang dan melawan dengan tangan kosong saja, berarti bahwa wanita itu yakin akan mampu mengalahkan lawan!
Dan apa yang dilihatnya memang demikian. Suropekik berusaha untuk menghantamkan kolornya yang ampuh, namun gadis itu dengan gerakan seperti seekor burung srikatan saja mengelak ke sana sini, bahkan kadang ia berani menangkis pukulan kolor itu dengan tangannya! Dan gadis itu membalas dengan tamparan-tamparan tangannya yang membuat Suropekik menjadi repot untuk mengelak atau menangkis dengan kolornya.
Menghadapi tamparan-tamparan itu tampaknya Suropekik merasa jerih untuk menerimanya dengan kekebalan tubuhnya. Memang demikianlah. Tadi Suropekik mengandalkan kekebalan tubuhnya, menerima tamparan Retno Wilis dengan dadanya. Ia menganggap bahwa pukulan seorang gadis itu tentu tidak berapa kuat, maka dia menerima dengan dadanya sambil mengerahkan tenaganya.
"Bukk.... !" Tubuh Suropekik terjengkang dan hampir saja dia roboh, dadanya terasa panas dan sesak. Dia menjadi marah dan mengamuk dengan kolornya, namun senjatanya itu sama sekali tidak dapat menyentuh ujung baju Retno Wilis yang bergerak dengan ilmu silat Pancaroba yang membuat tubuhnya bergerak demikian cepatnya sehingga seringkali Suropekik kehilangan lawan. Dia secara ngawur hanya memutar kolornya dan berputar-putar, mencoba menandingi kecepatan gerakan Retno Wilis dengan putaran kolornya.
Retno Wilis kini bergerak mengitari lawan dan memaksa Suropekik juga berputaran. Karena sejak tadi Suropekik mengerahkan seluruh tenaganya untuk menggerakkan kolornya dan dia harus berputar-putar, lama kelamaan pandang matanya berkunang dan kepalanya menjadi pusing. Melihat keadaan lawan sudah mulai mengendur gerakan kolornya, Retno Wilis menggerakkan kakinya menendang. Lutut Suropekik disentuh ujung kaki dara perkasa itu, membuat dia hampir roboh dan lutut kanannya ditekuk, dan pada saat itu, sebuah tamparan tangan kiri Retno Wilis hinggap di dagunya.
"Dess.... !!" Tubuh raksasa itu berputar dan diapun roboh terpelanting, kepalanya berdenyut nyeri dan dadanya sesak, akan tetapi karena dia memang kuat dan kebal, Suropekik sudah dapat bangkit kembali. Dia menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir kepeningannya dan kedua matanya yang besar berubah merah. Dia marah sekali. Biarpun dia melihat betapa semua anak buahnya sudah melarikan diri, dia tetap nekat. Dia tidak percaya bahwa dia dikalahkan oleh seorang dara yang bertangan kosong!
Dia tidak dapat menerima kenyataan ini. Dia bangkit berdiri mengerahkan aji yang dimilikinya sehingga tangan yang memegang kolor itu seperti menggigil, mulutnya mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang buas dan dia mengayun kolornya ke atas kepala, lalu menerjang maju sambil menghantamkan kolornya.
"Darr.... !" Retno Wilis menggunakan kedua tangan untuk menyambut hantaman kolor itu dengan pukulan jarak jauh dan begitu terdengar kolor itu meledak seperti sebuah cambuk, Suropekik roboh! Dia masih memegangi kolornya, akan tetapi dari mulutnya muntah darah segar, tanda bahwa dia telah terluka parah di sebelah dalam tubuhnya akibat benturan tenaganya dengan tenaga sakti dara itu.
"Pergilah kalau engkau tidak ingin mati!" kata Retno Wilis yang merasa penasaran juga melihat kenekatan orang tinggi besar itu.
Kini Suropekik benar-benar yakin bahwa dia tidak akan mampu menandingi dara itu, maka dengan lemah dia bangkit berdiri, memandang kepada Retno Wilis dengan mata mencorong, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan terhuyung-huyung pergi tanpa menengok lagi.
Harjadenta yang menonton pertandingan itu, menjadi kagum bukan main. Dia yang menggunakan keris pusakanya saja tidak mampu mengalahkan Suropekik, akan tetapi dara itu dengan bertangan kosong saja dapat mengalahkan raksasa itu hanya dalam pertempuran yang pendek. Tahulah dia bahwa dara itu, dan juga pemuda berpakaian putih seperti juga pakaian dara itu, keduanya adalah orang-orang yang memiliki kesaktian hebat. Maka dia lalu menghampiri mereka sambil membungkuk-bungkuk memberi hormat.
"Banyak terima kasih saya ucapkan atas pertolongan andika berdua," katanya sambil menatap wajah mereka. "Kalau andika berdua tidak datang membantu, tentu aku sudah mati dikeroyok mereka."
"Tidak perlu berterima kasih, sobat. Kita semua hanya melaksanakan tugas-kewajiban kita saja secara wajar. Andika juga telah menyelamatkan keluarga Ki Dirun."
"Nama saya Harjadenta. Bolehkah saya mengetahui nama andika berdua yang terhormat?"
Bagus Seto tersenyum. "Namaku Bagus Seto dan ini adalah adikku bernama Retno Wilis. Kami datang dari Panjalu. Dan andika datang dari manakah?"
"Saya datang dari Gunung Raung, hendak mencari seseorang.... barangkali andika berdua dapat membantu saya. Saya sedang mencari seorang wanita yang telah mencuri keris pusaka guru saya. Apakah andika berdua mengetahui seorang wanita cantik yang sakti, yang mencuri Pusaka Carubuk milik guru saya?" Harjadenta menatap tajam wajah Retno Wilis untuk melihat perubahan pada wajah itu. Akan tetapi Retno Wilis tidak bereaksi apa-apa terhadap ucapan itu, bahkan ia lalu berkata.
"Kita tidak boleh berhenti sampai di sini saja! Demang keparat itu harus dihajar agar jera memaksa gadis menjadi selirnya. Hayo kakang, kita cari Demang jahanam itu!"
"Terserah kepadamu, diajeng. Akan tetapi aku pesan agar engkau membatasi diri, jangan membunuh orang."
"Tadinya saya memang berniat untuk memberi hajaran kepada Demang itu, akan tetapi melihat dia mempunyai begitu banyak tukang pukul, tentu saja saya tidak berdaya. Sekarang setelah andika berdua muncul, saya akan membantu andika berdua memberi hajaran kepada Demang dan anak buahnya yang jahat dan sewenang-wenang itu." kata Harjadenta.
"Adimas Harjadenta, engkau telah terluka. Lihat, paha dan pundakmu masih berdarah. Engkau perlu merawat diri dan mengobati lukamu. Biar urusan dengan Demang ini dirampungkan oleh diajeng Retno Wilis."
"Hanya luka kecil saja, kakangmas Bagus Seto. Tidak semestinya kalau diajeng Retno Wilis melakukan tugas itu seorang diri saja. Biar aku membantu kalian."
"Marilah kita pergi. Kakangmas Harjadenta, apakah engkau sudah mengetahui di mana letak rumah Demang jahanam itu?"
"Aku sendiri belum pernah ke sana. Akan tetapi mudah saja. Kita tanya kepada penduduk, tentu mereka semua mengetahuinya."
Mereka bertiga lalu keluar dari pekarangan rumah Ki Dirun itu. Cuaca sudah mulai gelap ketika mereka bertanya kepada seorang dusun di mana rumah Demang dan segera menuju ke tempat itu. Rumah itu paling besar di dusun Grobokan. Pekarangannya juga luas dan ketika mereka bertiga tiba di pekarangan itu, sedikitnya duapuluh orang segera mengepung mereka. Selain penerangan dari lampu-lampu yang tergantung di luar rumah, juga di antara mereka ada yang membawa obor sehingga tempat menjadi terang seperti siang. Bagus Seto yang melihat para tukang pukul itu mengepung, segera maju dan berkata dengan suara lantang namun lembut.
"Saudara sekalian! Kami datang untuk bertemu dengan Ki Demang! Minta dia keluar menemui kami dan harap saudara sekalian mundur. Kami tidak ingin berkelahi dengan kalian!"
Para tukang pukul itu memang sudah merasa jerih. Di antara mereka terdapat orang-orang yang tadi membantu Suropekik dan mereka sudah mengetahui bahwa tiga orang muda itu memiliki kesaktian. Akan tetapi untuk mundur merekapun takut akan kemarahan Ki Demang, maka mereka semua hanya ragu-ragu dan tetap mengepung, biar pun tidak ada yang berani turun tangan menyerang.
"Kakangmas, aku khawatir kalau demang itu akan melarikan diri melalui pintu belakang. Biar aku menangkapnya dan membawanya keluar," kata Retno Wilis kepada kakaknya.
Bagus Seto mengangguk dan sekali berkelebat, gadis itu lenyap dari situ. Para pengepung hanya melihat berkelebatnya bayangan orang, tidak tahu bahwa yang berkelebat itu adalah dara perkasa yang telah melompat di atas kepala mereka. Retno Wilis terus masuk ke dalam gedung. Ketika tiba di ruangan belakang, ia melihat seorang laki-laki berusia limapuluhan tahun sedang hendak melarikan diri. Tangan kirinya membawa sebuah buntalan kain dan tangan kanannya memegang sebatang tombak. Dari pakaiannya saja Retno Wilis dapat menduga bahwa orang itu tentulah demang dusun Grobokan itu. Ia lalu membentak nyaring.
"Engkau tentu Demang Grobokan keparat itu! Hendak lari kemana kau?"
Orang itu memang Demang Grobokan. Kepala dusun yang kaya raya ini memang seorang yang mata keranjang, mengandalkan kekuasaannya untuk merampas wanita yang disukainya. Tidak perduli gadis, janda atau bahkan yang sudah bersuami, kalau menimbulkan seleranya, tentu akan dimintanya dengan halus maupun kasar. Dia memiliki kurang lebih tigapuluh orang anak buah atau tukang pukul yang sekarang berada di pekarangan mengepung Bagus Seto dan Harjadenta.
Ketika melihat seorang gadis cantik tahu-tahu berada di depannya, demang itu terkejut sekali. Dia memang sudah dilapori anak buahnya betapa anak buahnya kocar kacir diamuk oleh dua orang pemuda dan seorang gadis cantik yang digdaya. Kini melihat gadis itu datang membentaknya, dia dapat menduga bahwa ini tentu gadis yang dimaksudkan anak buahnya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerang dengan tombaknya. Tombak yang runcing itu dengan tepat sekali meluncur dan menusuk ke arah perut Retno Wilis!
Akan tetapi dengan sigap Retno Wilis miringkan tubuhnya dan menangkap tombak itu dengan tangan kanannya kemudian sekali tarik tombak itu telah pindah ke tangannya. Ia lalu menekuk gagang tombak dengan kedua tangan.
"Trakkk... !" Gagang tombak itu patah di tengah-tengahnya.
Melihat ini, Demang Grobokan terkejut dan ketakutan. Dia meloncat untuk berlari pergi, akan tetapi kaki Retno Wilis menyambar, menendang lututnya dan Demang Grobokan jatuh menelungkup, buntalan di tangan kirinya terlepas dan isinya tercecer. Kiranya buntalan itu berisi banyak perhiasan emas permata!
Retno Wilis sudah melangkah maju dan menginjak punggung Demang Grobokan, "Apakah engkau masih akan berani melawan?" bentak Retno Wilis sambil mengerahkan tenaga pada kakinya yang menginjak punggung.
"Uhhh.... hekkkkk.... uhhh, ampunkan saya.... !" Demang itu terengah-engah dan mengeluh.
Retno Wilis sebetulnya marah sekali kepada orang itu. Kalau saja ia tidak mendapat peringatan dari kakaknya tadi agar jangan membunuh orang, tentu ia sudah menginjak pecah dada Demang Grobokan. Ia melepaskan kakinya. Demang Grobokan merangkak untuk bangkit, akan tetapi kaki kiri Retno Wilis menyambar lehernya dan dia roboh kembali sambil merintih kesakitan. Ketika tiga kali dia mencoba bangkit selalu disambut tendangan kaki gadis itu yang membuat pipinya bengkak-bengkak dan kepala seperti pecah rasanya, dia tidak berani bangkit kembali, dan tetap menelungkup sambil mengeluarkan rintihan menangis.
Retno Wilis merasa sudah cukup memberi hajaran. Ia tadi memang sengaja menghajar Demang itu. "Hayo bangkit!" bentaknya dan Demang Grobokan dengan ketakutan, wajahnya bengkak-bengkak dan mukanya pucat tubuhnya menggigil bangkit dan terhuyung... "Hayo keluar!" Retno Wilis mendorongnya dan Demang Grobokan dengan rasa takut sekali melangkah keluar. "Perintahkan tukang-tukang pukulmu untuk mundur semua!"
Melihat di luar semua tukang pukulnya mengepung dua orang pemuda akan tetapi mereka tidak berani bergerak itu, Demang Grobokan lalu berteriak dengan suara gemetar,
"Kalian semua mundurlah. Mundur dan jangan turun tangan!"
Biarpun tidak dilarang oleh Demang Grobokan, para tukang pukul itu memang sudah tidak berani berkutik. Kini mendengar perintah majikan mereka, semua tukang pukul lalu mundur dan hanya menonton dari jauh.
"Hei, kalian anak buah Demang Grobokan. Cepat perintahkan semua penduduk Grobokan untuk berkumpul di sini. Cepat !!"
Tigapuluh orang itu lalu berpencar dan cepat mereka memanggil para penduduk Grobokan untuk berkumpul di pekarangan rumah Demang Grobokan. Para penduduk dusun itu berbondong-bondong datang di tempat itu.
"Ampunkan saya, den ajeng....!" Demang Grobokan minta ampun sambil berlutut dan menyembah-nyembah.
"Diam kau! Kita tunggu sampai semua penduduk berkumpul di sini!" kata Retno Wilis.
Bagus Seto hanya tersenyum melihat sepak terjang adiknya dan Harjadenta memandang dengan sinar mata penuh kagum. Dia ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan dara perkasa itu. Hatinya penuh kekaguman akan kehebatan sepak terjang Retno Wilis dan penuh pesona akan kecantikannya. Mimpipun belum pernah dia bertemu dengan seorang dara seperti itu! Kalau hanya mendengar cerita orang tentang seorang dara seperti Retno Wilis, tentu dia tidak akan percaya. Mana ada dara segagah dan sehebat itu? Namun Retno Wilis melampaui semua khayalnya...