Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Sepasang Garuda Putih Jilid 07
WANITA yang kehilangan anaknya itu lalu bertanya-tanya di mana ia dapat menemui Ni Dewi, dan akhirnya ia diberitahu bahwa Ni Dewi berada di bagian belakang candi dan sedang memberi petunjuk kepada para pekerja yang mengerjakan ukir-ukiran pada batu relief, ia pergi ke belakang candi dan benar saja, di situ ia dapat bertemu dengan Ni Dewi Durgomala. Mbok Rondo Gati memandang wanita itu dengan mata terbelalak dan alis berkerut. Ia merasa ragu-ragu. Wanita yang semalam memanggul Sularko mirip wanita ini, akan tetapi juga ada perbedaannya. Kalau yang semalam bersikap mengerikan, yang sekarang berhadapan dengannya itu merupakan seorang wanita yang ramah, murah senyum dan lemah lembut.
"Bibi mencari siapakah?" Ni Dewi, Durgomala yang di antara para pekerja dan para anggauta disebut Ni Dewi saja, bertanya sambil tersenyum manis.
"Saya... saya mencari dua orang anak saya, yang laki-laki bernama Sularko dan yang perempuan bernama Sawitri. Saya mendengar bahwa malam tadi mereka ikut pesta di sini." Kata Mbok Rondo Gati dengan suara penuh harap akan tetapi juga lirih karena merasa segan berhadapan dengan wanita yang pandang matanya amat berwibawa itu.
Ni Dewi Durgomala mengerutkan sepasang alisnya yang hitam panjang dan berkata,
"Sularko dan Sawitri? Aha, aku ingat sekarang. Mereka adalah dua orang kakak beradik yang menjadi anggauta baru perkumpulan kami. Memang benar, bibi, mereka semalam ikut berpesta dengan kami."
Bukan main girang dan leganya hati Mbok Rondo Gati mendengar keterangan ini. "Den ajeng, di mana adanya mereka sekarang? Semalam mereka tidak pulang," tanyanya.
Ni Dewi Durgomala mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Tidak pulang? Akan tetapi pagi tadi mereka sudah meninggalkan tempat ini, seperti para anggauta lain, kecuali mereka yang bekerja di sini."
"Sudah meninggalkan tempat ini? Akan tetapi mengapa mereka tidak pulang?"
"Barangkali ketika andika ke sini, mereka sudah sampai di rumah, bibi. Kami tidak tahu, akan tetapi mereka pagi tadi sudah meninggalkan tempat ini," setelah berkata demikian, Ni Dewi Durgomala menoleh kepada para pekerja dan memberi petunjuk ini itu, seolah memberi tanda kepada Mbok Rondo Gati bahwa ia sedang sibuk bekerja dan bahwa kehadiran wanita setengah tua itu hanya mengganggu saja.
Mendengar jawaban itu, Mbok Rondo Gati timbul pula harapannya. Mungkin saja kedua anaknya itu sudah pulang sekarang. Maka ia mengucapkan terima kasih dan segera meninggalkan tempat itu. Bergegas ia pulang ke rumahnya dengan harapan akan melihat kedua orang anaknya sudah pulang, begitu tiba di rumah, ia sudah memanggil-manggil sambil berlari masuk.
"Sularko... ! Sawitri... ! Di mana kalian?" Akan tetapi, biarpun ia sudah mencari sampai ke dapur dan kebun belakang, ia tidak melihat kedua orang anaknya itu. Tentu saja harapan tipis itu segera membuyar lagi dan ia mulai menangis lagi sambil meratap, memanggil-manggil kedua orang anaknya. Akan tetapi tidak ada yang menjawab. Kini tidak ada tetangga yang datang menjenguknya. Mereka semua sudah pergi bekerja, ke sawah ladang atau ke sungai mencari ikan.
Mbok Rondo Gati tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menangis. Hendak mencari, harus dicari ke mana? Ia tadi sudah mencari di seluruh pelosok Bulumanik. Ia menangis terus sampai hari menjadi siang, air matanya sudah habis dan ia menjadi bingung tidak tahu harus berbuat apa. Ia lupa makan, lupa segala, kadang duduk, kadang berdiri atau merebahkan diri di atas bale-bale sambil terus menangis. Tiba-tiba ia mendengar suara memanggilnya dari luar rumah.
"Mbok Rondo Gati! Mbok Rondo Gati!"
Mendengar ada suara orang memanggilnya, ia cepat keluar. Biarpun tubuhnya terasa lemas karena sejak semalam ia tidak makan atau minum dan hatinya yang sedih dan gelisah membuat tubuhnya lemas sekali, namun kini ia bangkit dan berlari keluar, muncul harapannya akan mengetahui di mana adanya kedua anaknya. Setibanya di luar rumah, ia melihat seorang pemuda kawan Sularko berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak.
"Mbok Rondo Gati, aku... aku melihat Sularko dan Sawitri...!"
Tentu saja wanita setengah tua itu menjadi girang sekali, ia lari menghampiri pemuda itu dan memegang lengannya.
"Di mana? Di mana engkau melihat mereka?"
"Aku... aku... ah ... !" Pemuda itu menggagap dan agaknya sukar sekali bicara.
Mbok Rondo Gati menjadi bingung. "Kenapa? Ada apa? Mari minumlah dulu, engkau kelihatan begitu tegang." Ia menuntun pemuda itu memasuki rumah dan menyerahkan sebuah kendi.
Pemuda itu menerima kendi dengan kedua tangan menggigil lalu dia menuangkan air dari mulut kendi ke dalam mulutnya yang ternganga. Setelah minum air kendi, pemuda itu tampak lebih tenang dan dia meletakkan kendi kembali ke atas meja dan memandang kepada Mbok Rondo Gati.
"Nah, sekarang ceritakan di mana engkau melihat kedua anakku itu," kata Mbok Rondo Gati.
Pemuda itu menghela napas panjang, dua kali, memandang wajah wanita itu dan mulai bercerita, "Begini, Mbok Rondo, tadi pagi-pagi sekali aku sudah mendayung perahuku ke hilir sungai dan menjala ikan. Sialnya aku tidak berhasil, maka aku terus mendayung perahuku ke hilir, mencari tempat sepi untuk mendapatkan ikan lebih banyak. Kemudian tadi... aku melihat ada dua benda terapung di sungai... dan ketika aku mendayung perahuku mendekat... kulihat... kulihat dua benda terapung itu adalah Sularko dan Sawitri... sudah menjadi mayat... "
Mbok Rondo Gati mengeluarkan suara jeritan yang menyayat hati dan iapun jatuh pingsan! Tentu saja pemuda itu menjadi bingung, mengguncang-guncang dan memanggil-manggil Mbok Rondo Gati. Akhirnya Mbok Rondo Gati siuman dari pingsannya dan ia lalu menangis lagi dengan sedihnya.
"Apakah engkau sudah membawa mereka ke tepi sungai?" tanyanya memelas dengan suara lirih.
Pemuda itu menggeleng kepalanya. "Aku seorang diri, Mbok. Dan saking takut dan tegang hatiku, aku lalu mendayung perahuku kuat-kuat untuk kembali dan cepat memberitahu kepadamu. Aku belum memberitahu kepada siapapun juga kecuali kepadamu."
Wanita itu menangis lagi. "Ah, mengapa tidak kau bawa ke tepi? Kau biarkan mereka hanyut terus... ?"
Mbok Rondo Gati lalu mengajak pemuda itu ke sungai. Iapun memiliki sebuah perahu, yang biasa dipergunakan Sularko untuk mencari ikan.
"Hayo tunjukkan kepadaku dimana engkau milihat mereka," katanya dan iapun mengikuti perahu pemuda itu ke hilir.
Akan tetapi, tentu saja mereka tidak menemukan dua jenazah yang hanyut itu, entah sudah sampai di mana. Mungkin saja sudah sampai di Laut Kidul. Saking bingung dan takutnya karena ditanya terus oleh Mbok Rondo Gali, pemuda itu lalu kembali ke Bulumanik untuk minta bantuan orang-orang mencari dua jenazah itu. Sedangkan wanita itu melanjutkan sendiri pencariannya. Akan tetapi ia tidak berhasil menemukan dua mayat anaknya itu, dan Mbok Rondo Gati terus mendayung hilir mudik sambil menangis dan kadang seperti orang yang sudah berubah pikirannya, ia memanggil-manggil nama kedua anaknya.
"Sularko... ! Sawitri... Di mana kalian, anak-anakku... ?" ia memanggil-manggil.
Tiba-tiba ada suara dari tepi sungai. "Mbok, ada apakah, mbok?"
Mbok Rondo Gati menoleh dan memandang ke arah tepi sungai dan wajahnya tiba-tiba berseri, matanya terbelalak dan mulutnya tersenyum.
"Sularko! Sawitri! Anak-anakku... !" Dan dengan cepat ia mendayung perahunya ke tepi sungai di mana berdiri sepasang orang muda itu. Setelah tiba di pantai, ia meninggalkan perahunya dan lari ke arah dua orang muda. "Sawitri anakku... !" ia menjerit dan menubruk, merangkul gadis itu.
Gadis itu terheran-heran, akan tetapi ia membiarkan wanita itu merangkul dan menciumnya. Ia merasa terharu sekali. Pemuda itu menyentuh pundak Mbok Rondo Gati sambil berkata,
"Mbok, tenanglah, mbok dan waspadakan siapa sebetulnya kami berdua."
Suara pemuda itu lembut sekali. Mbok Rondo Gati melepaskan rangkulannya dari gadis itu dan kini ia merangkul pemuda itu sambil menangis, "Sularko... anakku Sularko... !"
Pemuda itu membiarkan dirinya dipeluk, akan tetapi dia mengusap ke arah dahi wanita tua itu dan berkata lagi dengan suara lembut, "Mbok, sadarlah, mbok. Kami bukan anak-anakmu."
Mbok Rondo Gati tampak terkejut, memandang wajah pemuda yang tersenyum lembut itu, lalu melepaskan rangkulannya dan mundur tiga langkah. Kemudian ia menoleh ke arah gadis itu, matanya penuh keheranan dan juga kekagetan, digosok-gosoknya kedua matanya dengan punggung tangan akan tetapi matanya yang merah dan basah itu tidak menipunya. Yang berdiri di depannya memang seorang gadis dan seorang pemuda yang sebaya kedua anaknya, yang bentuk tubuhnya juga sama, akan tetapi jelas mereka itu bukan anak-anaknya. Pemuda itu seorang pemuda tampan berpakaian serba putih, dan gadis itupun berpakaian serba putih akan tetapi bukan Sawitri. Tubuhnya seketika menjadi lemas, ia terhuyung dan tentu sudah terpelanting jatuh kalau saja gadis itu tidak dengan cepat merangkulnya.
Gadis itu adalah Retno Wilis dan pemuda itu adalah Bagus Seto. Seperti telah kita ketahui, Bagus Seto dan Retno Wilis naik perahu bersama Harjadenta menuju ke hilir. Harjadenta dalam usahanya mencari keris pusaka Ki Carubuk milik gurunya yang hilang dicuri orang dan menurut gurunya dia harus mencari sampai ke muara Kali Mayang. Adapun Retno Wilis dan Bagus Seto ikut naik perahu itu karena mereka hendak kembali ke pantai laut Kidul untuk melanjutkan perjalanan mereka ke timur. Ketika perahu sudah mendekati muara Kali Mayang, tepat pada pertemuan antara Kali Mayang dan Kali Sanen, Bagus Seto berkata kepada Harjadenta.
"Adimas Harjadentra, kurasa sudah cukup sampai di sini saja kami mendarat dan melanjutkan perjalanan kami dengan jalan kaki. Engkaupun harus melakukan penyelidikanmu sampai kemuara Kali Mayang, bukan?"
"Betul, kakangmas. Akan tetapi aku tidak tahu ke mana aku harus melakukan penyelidikan di tempat sunyi ini," kata Harjadenta yang tiba-tiba merasa sedih karena harus berpisah dengan kakak beradik itu, terutama harus berpisah dari Retno Wilis. Akan tetapi biarpun dia berkata demikian, dia mendayung perahunya ke pinggir seperti yang diminta oleh Bagus Seto.
Pada saat kakak beradik itu mendarat itulah mereka mendengar tangis Mbok Rondo Gati yang naik perahu seorang diri. Bagus Seto lalu menegur wanita malang itu. Harjadenta juga belum menengahkan perahunya lagi, dan mereka belum sempat berpamitan. Dia juga tertarik sekali melihat wanita yang menangis dan yang mengira Bagus Seto dan Retno Wilis anaknya, maka Harjadenta juga ikut mendarat dan mengikat perahunya pada sebatang pohon. Dia lalu menghampiri dan melihat wanita itu pingsan dalam rangkulan Retno Wilis.
"Ia kenapakah, diajeng Retno?" tanyanya sambil menghampiri.
"Kami belum tahu, akan tetapi ia pingsan setelah mengetahui bahwa kami bukan anak-anaknya. Kasihan sekali orang ini."
Retno Wilis lalu merebahkan tubuh wanita itu di atas rumput. Bagus Seto memijit-mijit tengkuk Mbok Rondo Gati dan wanita itupun siuman dari pingsannya. Tubuhnya amat lemah karena sehari semalam ia sama sekali tidak makan atau minum dan terus-menerus menangis. Kini begitu siuman dari pingsannya dan melihat tiga orang muda berjongkok di dekatnya. Ia memandang mereka lalu matanya mencari-cari, ia bangkit dan bertanya, "Di mana mereka?"
"Mereka siapa? Andika mencari siapa, Mbok?" tanya Retno Wilis.
"Anakku... anak-anakku, Sularko dan Sawitri, di manakah mereka? Ya Gusti...kalau mereka benar-benar sudah mati, di mana mayat mereka? Kalau masih hidup, di mana mereka?" Wanita itu kembali menangis teringat akan cerita pemuda yang mengabarkan bahwa dia melihat mayat Sularko dan Sawitri.
"Tenanglah, mbok, dan ceritakan kepada kami apa yang terjadi dengan anak-anakmu. Siapa andika dan di mana andika tinggal dan apa yang terjadi dengan mereka berdua?"
Harjadenta ikut bertanya karena hatinya tertarik sekali. Dia tahu bahwa gurunya adalah seorang Empu yang sakti dan gurunya itu menyuruh dia mencari jejak pencuri di tempat itu. Siapa tahu ada hubungan antara peristiwa wanita kehilangan anak-anaknya ini dengan hilangnya Ki Carubuk. Mendengar ucapan orang-orang muda yang tenang sabar itu, Mbok Rondo Gati merasa agak tenang juga. Setelah menyusut air matanya yang hampir kering, iapun bercerita.
"Saya adalah Mbok Rondo Gati dari Bulumanik, kademangan di hulu sana. Saya mempunyai dua orang anak bernama Sularko dan Sawitri, yang usianya sebaya dengan andika bertiga. Malam tadi ... malam yang menyeramkan... saya melihat dua orang anak saya itu diculik orang... eh, diculik mahluk halus."
"Diculik makhluk halus? apa maksudmu, mbok?" Tanya Retno Wilis penasaran sekali.
"Saya melihat sendiri Sularko dipanggul seorang wanita cantik dan Sawitri dipanggul seorang laki-laki seperti raksasa. Ketika saya berteriak wanita itu hanya menggerakkan tangan ke arah saya dan saya terjengkang seperti disambar halilintar. Mereka lalu lenyap membawa kedua oranganak saya itu... " Wanita itu mulai menyusuti air matanya lagi yang sudah jatuh bercucuran.
"Tenanglah, mbok. Kami bertiga akan membantu. Lalu bagaimana lanjutan ceritamu?" tanya Bagus Seto dengan lembut.
"Semalam saya menangis, tidak berani keluar karena malam tadi malam Respati terang bulan purnama. Saya takut kepada setan-setan yang berkeliaran di luar rumah. Baru tadi pagi saya keluar dari rumah dan mencari-cari anak saya sampai ke seluruh pelosok kademangan Bulumanik."
"Lalu?" desak Retno Wilis yang tertarik sekali oleh cerita itu.
"Saya tidak dapat menemukan mereka. Lalu saya datang ke candi yang baru dibangun. Seperti biasa, pada malam Respati di candi itu diadakan pesta pada malam harinya dan saya mencari ke situ kalau-kalau kedua orang anak saya berada di sana. Dari beberapa orang pekerja di candi itu saya mendapat kabar bahwa semalam memang kedua anak saya ikut berpesta, katanya mereka menjadi anggota-anggota baru agama itu."
"Hemm, agama apakah itu, mbok?"
"Saya sendiri tidak tahu, hanya kabarnya, agama baru itu didukung oleh Ki Demang dan kabarnya yang disembah adalah arca Bathara Shiwa, Bathari Durgo, dan Bathara Kala...."
Retno Wilis dan Bagus Seto saling pandang dan mereka menjadi tertarik sekali. Mereka berdua sudah pernah mengalami bentrok dengan tokoh-tokoh penyembah tiga bathara dan bathari itu. Harjadenta yang belum mempunyai pengalaman mengenai agama baru itu, bertanya, "Lalu bagaimana, mbok?"
"Saya lalu pergi menemui pimpinan agama itu yang disebut Ni Dewi, akan tetapi ia mengatakan bahwa memang semalam kedua anak saya ikut berpesta, akan tetapi pagi tadi telah pergi lagi seperti para anggauta lain yang tidak ikut bekerja membangun candi."
"Kalau begitu, kedua anakmu tentu masih selamat dan yang perlu kita ketahui, ke mana mereka pergi," kata Retno Wilis.
Tiba-tiba wanita itu menangis lagi. "Ada berita buruk sekali... aduh Gusti... kuatkanlah hamba..."
"Tenang, mbok. Ceritakanlah kepada kami apa yang terjadi selanjutnya," kata Bagus Seto dan suara pemuda itu menenangkan hati Mbok Rondo Gati.
"Ketika saya sedang bingung dan berada di rumah karena tidak tahu harus mencari ke mana, tiba-tiba datang seorang pemuda dusun, seorang kawan dari Sularko. Dia memberitahu kepada saya bahwa ketika dia sedang mencari ikan, dia melihat mayat kedua orang anakku terapung di tengah sungai... ! Saya sudah mencari-carinya, akan tetapi tidak dapat saya temukan..."
"Kenapa ketika pemuda itu melihat mayat anak-anakmu, dia tidak mengambilnya?" tanya Retno Wilis.
"Dia bilang... dia kaget dan ketakutan, karena seorang diri, dan dia cepat-cepat mendayung perahunya untuk memberitahu kepada saya."
"Jadi mbok tadi sedang mencari-cari kedua orang anak yang dikabarkan sudah mati itu ketika mendengar Kami memanggil?"
Mbok Rondo Gati mengangguk. "Saya sudah hampir gila, ketika andika berdua memanggil, saya kira andika adalah Sularko dan Sawitri anak saya, maka... maafkanlah saya..."
"Mbok, apakah keterangan pemuda, kawan anak andika itu boleh dipercaya kebenarannya?"
Mbok Rondo Gati menghapus air matanya dan mengangguk. "Dia sahabat Sularko, dia pasti tidak berbohong walaupun saya mengharap mudah-mudahan keterangannya tentang kematian anak saya tidak benar."
"Sudahlah, mbok. Sekarang sebaiknya mbok pulang saja dan kami bertiga yang akan melakukan penyelidikan dan mencari ke mana hilangnya kedua orang anakmu itu." Retno Wilis membujuk.
Akhirnya Mbok Rondo Gati menurut nasihat itu dan Retno Wilis naik perahu janda itu, sedangkan Bagus Seto kembali naik perahu Harjadenta. Mereka berempat lalu mendayung perahu untukkembali ke Bulumanik.
Untuk sementara tiga orang muda perkasa itu tinggal mondok di rumah Mbok Rondo Gati dan hal ini merupakan hiburan besar bagi janda yang berduka kehilangan dua orang anaknya itu. Tiga orang muda yang berjanji untuk menyelidiki hilangnya dua orang anaknya itu mendatangkan harapan dalam hatinya. Akan tetapi harapan untuk bertemu kembali dengan dua orang anaknya sudah hilang ketika Bagus Seto mengundang pemuda yang mengabarkan akan adanya dua mayat anak Mbok Rondo Gati dan pemuda itu menyatakan dengan sumpah bahwa dia tidak berbohong. Mbok Rondo Gati hanya mengharapkan untuk dapat mengetahui siapa yang menculik anaknya dan siapa pula yang membunuhnya. Maka ia melayani tiga orang muda itu dengan baik, memasakkan makan dan minum sederhana untuk mereka. Malam itu mereka bertiga berunding.
"Biar malam ini aku sendiri yang mengadakan penyelidikan ke candi yang baru dibangun itu. Kita harus mencurigai mereka karena sejak dahulu, penyembah Bathari Durgo dan Bathara Kala itu selalu melakukan penyelewengan-penyelewengan. Sebaiknya kalian mengaso dulu dan menanti hasil penyelidikanku."
Retno Wilis dan Harjadenta menyetujui pendapat Bagus Seto ini. Mereka berdua tentu saja maklum akan kesaktian pemuda itu dan tidak mengkhawatirkan kepergiannya seorang diri. Malam itu, bulan masih bersinar terang, bagus Seto menggunakan kepandaiannya, berkelebat di antara baying-bayang pohon dan tak lama kemudian tibalah dia di candi yang sedang dibangun itu. Malam itu tidak ada yang bekerja dan juga tidak diadakan pesta seperti pada malam Respati. Keadaan di sekitar candi itu sunyi.
Bagus Seto mengadakan pemeriksaan dari atas atap, akan tetapi dia tidak menemui sesuatu yang mencurigakan. Dia melihat para pekerja pria berkumpul dan bermalam di sebuah bangunan besar dan para pembantu wanita berkumpul dan bermalam di sebuah bangunan lain. Tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Memang menjadi peraturan agama itu, kecuali pada hari Respati malam, tidak diperbolehkan mereka saling berhubungan atau saling mengganggu dengan ancaman hukuman berat yaitu dikutuk.
Di bagian belakang candi itu terdapat belasan buah kamar yang kebanyakan kosong dan di dalam dua kamar di antaranya, Bagus Seto melihat seorang wanita cantik duduk bersamadhi. Dari hawa di sekitar kamar itu saja tahulah Bagus Seto bahwa wanita itu adalah seorang yang memiliki kesaktian. Dia mendapatkan pula seorang laki-laki bertubuh raksasa, juga sedang bersamadhi. Laki-laki inipun memiliki kesaktian. Bagus Seto membayangkan cerita Mbok Rondo Gati. Apakah dua orang ini yang menculik Sularko dan Sawitri? Akan tetapi, mereka kelihatan sebagai orang-orang yang berilmu, rasanya tidak masuk akal kalau mereka melakukan kejahatan seperti itu.
Setelah puas melakukan penyelidikan keadaan candi yang baru dibangun, sebuah candi yang indah dan di mana-mana terdapat arca Bathara Shiwa, Bathara Kala dan Bathari Durgo. Bagus Seto lalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumah Mbok Rondo Gati.
"Aku tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan di sana," katanya kepada Retno Wilis dan Harjadenta. "Kecuali dua orang yang sakti, yaitu seorang perempuan cantik dan seorang pria raksasa."
"Hemm, jangan-jangan mereka itu yang menculik Sularko dan Sawitri!" kata Harjadenta.
"Rasanya sukar dipercaya orang-orang yang memiliki kesaktian seperti mereka melakukan penculikan," kata Bagus Seto.
"Akan tetapi kita harus menyelidiki dua orang itu!" kata Retno Wilis.
"Tidak ada lain jalan. Kita harus menanti sampai datangnya hari Respati malam di waktu mereka mengadakan pesta dan kita lihat saja apa yang terjadi di sana."
"Hari Respati malam masih kurang sepekan lagi," kata Retno Wilis.
"Kita harus bersabar kalau ingin berhasil" kata kakaknya.
"Dan untuk memancing mereka mengulangi lagi perbualan mereka, kita perlu mengadakan umpan."
"Akan tetapi itu berbahaya sekali!" kata Retno Wilis. "Aku sendiri sudah pernah menjadi korban ilmu sihir dan guna-guna mereka."
"Justeru itulah, kita harus memancing. Dan sebaiknya adimas Harjadenta yang menjadi umpan. Beranikah engkau menjadi umpan untuk mereka, adimas?"
Harjadenta tersenyum. walaupun agak masam karena hatinya agak gentar juga mendengar betapa Retno Wilis saja menganggap hal ini berbahaya.
"Tentu saja aku berani. Bukankah di sini terdapat anda berdua yang pasti akan melindungiku?"
"Tentu saja kami akan melindungimu, adimas."
"Lalu bagaimana pemasangan umpan itu dilakukan kakang?" tanya Retno Wilis.
"Pada hari Respati, sebaiknya kalau adimas Harjadenta datang ke sana dan minta pekerjaan membangun candi. Engkau tentu dapat melakukan pekerjaan memahat dan mengukir, adimas?"
"Walaupun bukan ahli, akan tetapi aku dapat membantu pekerjaan mereka."
"Bagus, nanti pada hari Respati, engkau minta pekerjaan di sana dan aku yakin pasti akan diterima. Nah, malamnya tentu engkau akan kebagian pesta pula. Dan aku mengharap pada malam hari itu akan terjadi sesuatu yang akan mengungkap rahasia ini."
"Apakah tidak sebaiknya kalau akupun menjadi umpan, kakang? Ingat, yang menjadi korban, anak-anak Mbok Rondo Gati, adalah seorang pemuda dan seorang pemudi. Biarlah akupun ikut memancing mereka dan engkau yang melindungi aku dan kakangmas Harjadenta."
Bagus Seto menggeleng kepalanya. "Aku tidak setuju dengan pendapatmu itu. Ingat, engkau bukanlah gadis yang tidak terkenal. Aku khawatir kalau di antara mereka yang sakti itu mengenalmu dan kalau mereka mengenalmu, tentu gagal usaha kita untuk memancing. Berbeda dengan adimas Harjadenta, dia belum lama turun gunung dan tidak pernah berurusan dengan orang-orang dari golongan itu. Sudahlah, pada Respati malam nanti, kalau dalam pesta, engkau mengintai dan menyelidiki bagian wanita, dan aku menyelidiki bagian pria. Akan tetapi hati-hati diajeng, di sana ada wanita yang cantik dan sakti yang berbahaya sekali."
"Wanita cantik yang sakti? Aku jadi ingat akan pesan guruku." kata Harjadenta.
Retno Wilis tersenyum dan memandangnya. "Tentu engkau menduga ia menjadi pencuri Ki Carubuk, bukan?"
Bagus Seto berkata, "Bukan tidak mungkin ia yang mencuri pusaka itu! Di sekitar kamarnya aku mencium adanya kekuatan tersembunyi seperti kekuatan sihir dan guna-guna."
"Bagus! Kalau begitu aku menjadi lebih bersemangat pula untuk melakukan penyelidikan. Biar aku yang menjadi umpannya untuk menangkap si pencuri laknat itu!" kata Harjadenta.
Demikianlah, tiga orang itu tinggal di rumah Mbok Rondo Gati dan setelah hari Respati tiba, Harjadenta pagi-pagi benar telah pergi mengunjungi candi yang baru dibangun. Ketika dia mengatakan pada para pekerja dan penjaga bahwa kedatangannya adalah untuk minta pekerjaan membantu pembangunan candi, dia segera dihadapkan kepada Ni Dewi Durgomolo. Wanita yang masih cantik dan genit itu menyambut kunjungan Harjadenta dengan wajah berseri dan matanya yang tajam itu meneliti Harjadenta dari kepala sampai ke kaki dan agaknya ia merasa puas dengan apa yang dilihatnya. Seorang pemuda yang tegap tampan dan gagah, wajahnya riang dan terang penuh senyum. Bukan seperti pemuda dusun kebanyakan, melainkan lebih pantas menjadi seorang pemuda kota atau pemuda bangsawan.
"Siapa namamu?" tanyanya ketika Harjadenta menghadapnya.
Pemuda yang tampak amat hormat itu mengangkat mukanya. Dia duduk bersila di atas lantai sedangkan Ni Dewi Durgomala duduk di atas sebuah kursi. Harjadenta memandang wanita itu dan jantungnya berdebar. Wanita yang cantik, pikirnya. Usianya sukar ditaksir. Melihat wajah dan bentuk tubuhnya, agaknya ia baru berusia dua puluhan tahun, akan tetapi pandang matanya yang tajam demikian matang dan penuh pengertian seperti pandang mata seorang wanita yang lebih tua. Matanya mengerling tajam dan genit, senyumnya memikat dan sehabis bicara ia menggunakan ujung lidahnya yang merah untuk menjilat bibirnya sendiri. Seperti seekor ular yang cantik, pikir Harjadenta, menduga-duga apakah wanita ini yang dimaksudkan gurunya, yang telah mencuri Ki Carubuk.
"Nama saya Harjadenta, "jawabnya sederhana, lalu menundukkan mukanya karena pandang wanita itu penuh selidik, seolah hendak menjenguk isi hatinya melalui pertemuan pandang mata.
"Dari mana engkau datang, siapa orang tuamu?" tanya pula Ni Dewi Durgomala penuh selidik. Kalau yang minta pekerjaan itu seorang pemuda dusun, ia tidak akan bertanya sebanyak itu.
"Saya datang dari hulu Kali Manyar dari dusun Manukan," dia membohong. Dia tidak berani mengaku bahwa dia berasal dari Gunung Raung karena kalau benar wanita ini yang mencuri Ki Carubuk, tentu wanita ini akan menjadi curiga kepadanya. "Saya sudah tidak mempunyai orang tua lagi, sudah yatim piatu."
Wanita cantik itu berseri, girang mendengar bahwa pemuda itu sudah yatim piatu. "Dan engkau datang ke tempat ini mau apa?" tanyanya lagi sambil memandang dengan tersenyum manis.
"Saya adalah seorang pengembara yang mencari pengalaman hidup dan disini saya mendengar bahwa pembangunan candi ini membutuhkan banyak tenaga. Nah, kalau sekiranya saya dapat diterima, saya akan senang sekali bekerja di sini, membantu pembangunan candi ini."
"Engkau dapat membuat arca, memahat dan mengukir"
"Sedikit-sedikit, dan saya dapat belajar dari ahli-ahli yang berada di sini."
"Bagus sekali! Engkau diterima, akan tetapi kalau menjadi pekerja di sini, engkau juga harus menjadi anggauta perkumpulan agama kami. Sanggupkah engkau?"
"Kalau memang itu persyaratannya, tentu saja saya sanggup."
"Baik sekali, Harjadenta. Malam ini adalah malam Respati, malam nanti ada pesta di sini dan pada kesempatan ini engkau dapat menerima pengangkatan sebagai seorang anggauta baru." Ni Dewi Durgomala memandang kepada Harjadenta dengan sinar mata penuh arti. Pemuda ini diam-diam bergidik. Pandang mata itu begitu penuh tantangan, penuh rayuan, penuh daya tarik maka dia cepat-cepat menundukkan mukanya.
"Saya bersedia, den ajeng..."
"Hemm, jangan sebut aku den ajeng, tetapi sebut aku Ni Dewi begitu saja. Ketahuilah bahwa aku yang memimpin pembangunan di sini, dan wakilku adalah Ki Shiwananda. Kalau engkau bekerja dengan baik dan penurut, engkau tentu akan dapat menemukan kebahagiaan di sini. Agama kami bertujuan membahagiakan semua anggautanya."
"Terima kasih."
Harjadenta lalu diajak pergi menemui para tukang membuat arca dan diperbantukan di bagian ini. Mulai pagi itu Harjadenta sudah bekerja ikut membangun candi.
"Andika diterima sendiri oleh Ni Dewi dan diberi pekerjaan di sini? Ah, andika beruntung sekali," kata seorang di antara mereka, seorang laki-laki muda yang mukanya penuh noda hitam bekas cacar. "Aku tidak seberuntung andika."
"Mengapa engkau mengatakan aku beruntung?" Tanya Harjadenta.
"Engkau tentu diterima menjadi anggauta agama baru, bukan?"
"Benar."
"Nah, engkau akan mengerti sendiri malam nanti. Engkau sungguh beruntung dan aku iri kepadamu" kata pula pria yang mukanya bernoda itu. Dia sudah menutup mulut dan tidak mau bercerita lebih banyak dan mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pekerjaannya mengukir dan memahat.
Berdebar tegang juga hati Harjadenta menanti datangnya malam. Apa yang akan terjadi dengan dirinya? Mengapa laki-laki bopeng itu mengatakan bahwa dia beruntung? Siang dan sore itu para pekerja mendapatkan makan yang cukup banyak dan enak. Harjadenta juga ikut makan dan dia mendapat kenyataan betapa para pekerja itu bekerja dengan rajin dan agaknya patuh sekali kepada atasan mereka.
Mereka bekerja sambil bernyanyi dan bersenandung. Kalau Ni Dewi datang menjenguk, mereka semua menganggukan wajah mereka berseri gembira. Wanita cantik itupun bersikap ramah sekali kepada para pekerja, kalau ada yang bekerja benar, ia memuji-muji dan kalau ada yang pekerjaannya tidak benar, ia memberi petunjuk dengan sabar. Tidak mengherankan kalau mereka bekerja dengan senang, pikir Harjadenta. Para pekerja diperlakukan dengan ramah dan mendapat makan yang cukup memadai.
Malam Respati itupun tibalah. Bulan muncul dan masih cukup terang karena bulan masih muncul tiga perempatnya. Gamelan sudah dibunyikan dan para pekerja dan para anggauta agama baru itu sudah mandi dan bersiap-siap untuk ikut dalam pesta. Harjadenta disuruh mandi dan bertukar pakaian. Lalu dia dipanggil oleh Ni Dewi Durgomala. Setelah dia menghadap, wanita itu berkata dengan ramah.
"Sudah siapkah, engkau untuk melakukan upacara pengangkatan sebagai anggauta baru dari agama kami?"
Harjadenta mengangguk dan menjawab, "Saya sudah siap, Ni Dewi."
"Kalau begitu, engkau ikutilah para peserta lainnya mendekati panggung dan kalau nanti aku dan Ki Shiwananda sudah muncul di panggung, engkau harus naik ke panggung dan berlutut memberi hormat kepadaku. Pada waktu itu engkau harus minum anggur kebahagiaan sebagai tanda bahwa engkau telah menerima agama baru sebagai agamamu, dan engkau telah menjadi anggauta kami. Dan selanjutnya, sebagai seorang anggauta yang baik dan taat, engkau harus melaksanakan segala perintahku. Mengertikah engkau, Harjadenta?"
Harjadenta mengangguk. "Saya mengerti."
"Bagus, nah sekarang bersiaplah dengan para anggauta yang lain. Malam ini, untuk menghormati kemunculan Sang Bathari Durgo dan Sang Bathara Kala yang menjelma menjadi aku dan Ki Shiwananda, kita semua akan mengadakan pesta seperti biasa, engkau boleh ikut bersenang-senang dan mendapatkan kebahagiaan."
Harjadenta tidak mengerti apa yang dimaksudkan wanita itu, akan tetapi dia mengangguk dan tidak banyak bertanya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dia akan menghadap apa yang datang nanti sambil mencari kesempatan untuk menyelidiki tentang pusaka Ki Carubuk, dan juga tentang nasib Sularko dan Sawitri. Ketika dia bercampur dengan para anggauta agama itu, berkumpul dibawah panggung sambil mendengarkan gamelan yang mengiringkan nyanyian seorang pesinden yang suaranya merdu, dia mencari si muka bopeng yang siang tadi dibantunya bekerja.
"Tampaknya kita semua akan bersenang-senang, kawan." katanya.
"Tentu saja, setiap malam Respati kita semua bersenang-senang, dan inilah yang membuat kita semua senang bekerja di sini dan menjadi anggauta agama baru ini." jawab si muka bopeng. Agaknya dia bergembira sekali sehingga mau banyak bicara secara terbuka. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Harjadenta untuk memperoleh keterangan sebanyak-banyaknya.
"Menurut Ni Dewi, aku akan diangkat menjadi anggauta baru malam ini. Apa yang akan terjadi denganku nanti. Aku belum mengerti dan tidak dapat membayangkan apa yang terjadi sehingga aku merasa agak gugup."
Si muka bopeng tertawa. "Ha ha, tidak perlu gugup, kawan. Engkau akan mendapatkan kesenangan luar biasa. Engkau tinggal menaati saja dan biasanya dalam pengangkatan anggauta baru di malam Respati biasa, bukan kalau sedang bulan purnama di mana Sang Hyang Bathara Shiwa sendiri hadir dalam tubuh Wasi Shiwamurti, engkau hanya akan disuruh minum secawan tuak yang sudah diberi mantera dan engkau akan merasa bahagia sekali. Jangan khawatir kawan. Engkau akan mendapat kehormatan dan kesenangan yang luar biasa malam ini dan melihat gelagatnya, Bathari Durgo akan memilih engkau menjadi pelayannya malam ini."
"Bathari Durgo....?"
"Penjelmaan Bathari Durgo, yaitu Ni Dewi. Apakah engkau belum mengerti?"
"Belum. Maukah engkau menerangkan sejelasnya, kawan?"
"Agama kami menyembah Tritunggal, yaitu Sang Bathara Shiwa, Bathari Durgo dan Bathara Kala yang menjelma menjadi Sang Wasi Shiwamurti, Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda. Nah, kita memuja tiga dewa dewi itu melalui mereka bertiga yang akan mengajarkan tentang agama ini kepada kita."
"Hemm, begitukah? Kawan, apakah pada malam Respati yang lalu juga ada anggauta-anggauta baru yang diangkat?" tanya Harjadenta sambil lalu, seolah pertanyaan itu tidak penting, pada hal dia mau mencari keterangan tentang Sularko dan Sawitri.
"Oh, ada. Mereka itu adalah kakak beradik dari Bulumanik sini saja, bernama Sularko dan adiknya yang bernama Sawitri."
"Lalu apa yang terjadi dengan mereka?"
Si muka bopeng menyeringai. "Tentu saja mereka menjadi pilihan Ni Dewi dan Ki Shiwananda. Mereka tentu hidup berbahagia sekarang."
Harjadenta tidak mendesak lebih jauh. "Bagaimana kalau ada orang berani menentang agama ini?"
"Siapa berani menentang? Ki Demang Kebolinggo sendiri menunjang didirikannya candi baru ini. Bahkan Kadipaten Nusabarung juga mendukungnya. Yang menentang tentu akan celaka oleh kutukan!"
"Kutukan?"
"Ya, tiga orang pimpinan kami adalah orang-orang sakti dan kalau mereka diserang dan menjadi marah, maka cukup dengan kutukan saja mereka yang berani mengganggu akan celaka hidupnya."
"Celaka bagaimana?"
"Sedikitnya tentu akan diserang penyakit berat atau bahkan dapat mati."
Percakapan itu terhenti karena di panggung telah muncul Ni Dewi Durgamala dan Ki Shiwananda. Harjadenta memandang ke atas panggung dan dengan penuh perhatian dia memandang ke arah Shiwananda. Seorang laki-laki yang bertubuh raksasa, tinggi besar dan kokoh kuat. "Seorang lawan yang tangguh," pikirnya. Melihat semua orang berlutut dan menyembah ke arah kedua orang itu, Harjadenta juga ikut berlutut dan menyembah. Akan telapi dia segera teringat pesan Ni Dewi bahwa kalau Ni Dewi sudah muncul di panggung, dia harus naik ke panggung menghadapnya. Maka, diapun lalu naik ke panggung melalui tangga yang tersedia di situ. Setelah berada di atas panggung, dia berlutut di depan Ni Dewi dan menyembah.
Ni Dewi Durgomala tertawa melihat dia. Ni Dewi lalu bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang, "Saudara-saudara, malam ini ada seorang anggauta baru. Inilah dia orangnya dan namanya adalah Harjadenta!" Ia memberi isyarat dan dua orang gadis lalu naik ke panggung membawa seguci tuak dan cawan-cawannya. Ni Dewi sendiri menuangkan tuak ke dalam sebuah guci, lalu membaca mantera dan menyerahkan cawan itu kepada Harjadenta.
"Harjadenta, sebagai tanda bahwa engkau mulai malam ini menjadi anggauta agama kami, minumlah anggur bahagia ini sampai habis!" Matanya memandang dengan mencorong ke arah muka Harjadenta.
Harjadenta terkejut sekali ketika merasa betapa jantungnya berdebar dan ketika dia balas memandang, ada pengaruh hebat menguasai pikirannya. Dia berusaha menolak pengaruh itu, akan tetapi dia mendengar suara berwibawa dan memerintah.
"Minumlah anggur kebahagiaan ini!"
Seperti dalam mimpi, Harjadenta tidak dapat melawan atau menolak sama sekali. Seolah bergerak dengan sendirinya, kedua tangannya menerima cawan itu dan dia segera minum tuak itu. Hampir dia tersedak karena pemuda ini tidak biasa minum-minuman keras seperti tuak itu. Akan tetapi ditahannya dan tuak secawan itupun habis diminumnya.
Terdengar sorak sorai dan setelah semua orang memberi hormat kepada Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda dengan nyanyian pujian yang aneh terdengarnya, pestapun dimulailah. Hidangan yang enak-enak disuguhkan dan tuak berlimpah-limpah. Semua orang makan dan minum dengan gembira, gamelan dibunyikan, makin lama semakin cepat dan keras iramanya dan orang-orang itupun mulai berjoget! Berlenggang-lenggok dengan gerakan-gerakan yang menunjukkan berkobarnya nafsu. Para wanitanya tanpa sungkan dan malu menggoyang-goyangkan pinggulnya sambil tertawa-tawa dan merekapun mendapatkan pasangan masing-masing. Ni Dewi Durgomala bangkit dari kursinya, menghampiri Harjadenta dan menjulurkan tangan sambil berkata,
"Harjadenta, mari kita bersenang-senang. Mari menari dengan aku!"
Harjadenta merasa heran sendiri ketika melihat betapa dia tidak mempunyai tenaga untuk menolak sama sekali. Bahkan hatinya merasa ikut bergembira dan kegembiraan yang meluap ini dapat disalurkan melalui tarian. Dia melihat Ni Dewi sudah menari di depannya, tariannya liar dan bernafsu, tubuhnya yang montok itu berlenggang-lenggok, pinggulnya bergoyang-goyang dankedua tangannya seperti mengajak Harjadenta. Tanpa dapat ditahannya lagi Harjadenta pun mulai ikut menari menurutkan irama gamelan yang panas! Ki Shiwananda juga sudah memperoleh pasangan seorang gadis yang cantik dan agaknya ia adalah seorang anggota yang sudah lama. Ia tidak canggung lagi menari-nari bersama raksasa itu sambil tertawa-tawa genit.
Makin malam, pesta tari-tarian itu semakin panas memuncak dan akhirnya mereka berpasang-pasangan meninggalkan panggung. Ki Shiwananda juga sudah menggandeng pasangannya menghilang dari panggung. Ni dewi Durgomala sambil tertawa-tawa menggandeng tangan Harjadenta menuruni panggung dan menuju ke belakang candi. Harjadenta bagaikan seekor domba yang dituntun ke tempat penjagalan, hanya menurut saja.
Dia bagaikan sedang mimpi dan sama sekali tidak menolak ketika ditarik memasuki sebuah kamar di belakang candi. Ketika pintu kamar itu dibuka dan Ni Dewi Durgomala menarik tangan Harjadenta untuk masuk, tiba-tiba saja ada sinar putih menyambar dan benda putih itu mengenai muka Harjadenta. Harjadenta terkejut dan merasa seperti kepalanya disiram air dingin yang membuat dia seketika menyadari keadaannya, benda putih itu ternyata setangkai kembang cempaka yang kini menyusup ke rambutnya.
"Ah, tidak... !!" Dia meronta dan melepaskan diri dari pegangan tangan Ni Dewi Durgomala. Wanita inipun terkejut dan memandang pemuda itu dengan matanya yang berapi penuh nafsu.
"Harjadenta, wong bagus, mari kita bersenang-senang" katanya dan ia hendak meraih untuk menangkap lagi tangan pemuda itu. Akan tetapi kini Harjadenta sudah sadar sama sekali akan keadaannya yang luar biasa, bahkan dia teringat betapa tadi dia ikut menari-nari seperti orang gila, tahu pula bahwa semua ini akibat pengaruh wanita yang kini berada di depannya.
"Iblis betina, engkau tidak bisa memaksaku!" katanya lagi dan dia mengelak dari sambaran tangan Ni Dewi Durgomala dan melompat keluar dari kamar itu. Ni Dewi Durgomala menjadi marah dan juga heran sekali. Bagaimana mungkin pemuda itu sudah terlepas dari pengaruh sihirnya? Ia lalu mengerahkan tenaga sihirnya, menggerakkan kedua tangan ke arah muka Harjadenta dan ia membentak dengan suara yang mengandung penuh wibawa,
"Harjadenta, ke sini kau! Engkau menurut atas segala kehendakku! Engkau telah menjadi anggota perkumpulan agamaku, dan engkau telah menjadi budakku. Kesinilah!"
Harjadenta merasakan ada tarikan yang amat kuat mencengkeram dirinya dan seperti memaksa dirinya untuk masuk ke kamar itu dan berlutut menyembah wanita itu. Akan tetapi ada kekuasaan lain di belakangnya dan terdengar bisikan.
"Adimas Harjadenta. Tolak pengaruh iblis itu!" Bisikan itu amat lembut namun mengandung kekuatan yang demikian hebatnya sehingga mengalahkan daya tarik dari wanita itu.
"Iblis betina, aku tidak akan tunduk ke padamu!"
Harjadenta berkata sambil melangkah mundur menjauhi pintu kamar itu. Bukan main marahnya Ni Dewi Durgomala mendengar dan melihat sikap ini. Dengan teriakan marah ia melompat keluar dan sudah tiba di depan Harjadenta.
"Keparat! Kalau begitu, apakah engkau lebih memilih mati dari pada menaati perintahku?"
"Ah, Ni Dewi Durgomala, beginikah engkau telah membunuh Sularko?" Harjadenta balas membentak.
Ni Dewi Durgomala terkejut bukan main mendengar ucapan itu dan tanpa banyak cakap tubuhnya sudah meluncur ke depan, tangan kirinya menampar ke arah kepala Harjadenta. Pemuda yang pernah menerima gemblengan ilmu kanuragan dari Empu Gandawijaya, cepat menangkis dengan memutar lengan kanannya.
"Dukkk... !" Harjadenta yang menangkis pukulan itu terpental dan terhuyung ke belakang sampai beberapa langkah.
"Mampuslah!" Ni Dewi Durgomala yang sudah marah sekali, melompat dan mengirim pukulan susulan yang sangat dahsyat dan cepat sehingga agaknya pukulan ini tidak akan dapat dihindarkan lagi oleh Harjadenta.
"Wuuuuuttt.... plakkkk!!" Kini tubuh Ni Dewi Durgomala yang terhuyung ke belakang. Ternyata pukulannya tadi ada yang menangkis, seorang yang muncul dari belakang Harjadenta, seorang pemuda yang berpakaian serba putih dan bersikap sederhana. Ketika tadi menangkis pukulan Ni Dewi Durgomala, diapun tampak tenang dan menangkis sembarangan saja, akan tetapi ternyata telah membuat Ni Dewi Durgomala terhuyung ke belakang.
Ni Dewi Durgomala tertegun dan bukan main kagumnya melihat seorang pemuda yang demikian tenang dan tampan, seperti Sang Harjuna saja! Jantungnya berdebar keras dan biarpun ia tadi ditangkis sampai terhuyung, ia tidak marah kepada pemuda itu, bahkan kini ia mengerling dan tersenyum manis sekali. Ia sendiri ketika itu sedang dilanda nafsu berahi yang memuncak, maka begitu melihat Bagus Seto yang demikian tampan, ia segera mengerahkan aji pengasihan untuk mengguna-gunai dan menarik hati perjaka yang tampan ini.
"Teja-teja sulaksana tejanya orang yang baru tampak! Satria bagus, siapakah andika, wong ganteng?" Ia bertanya sambil tersenyum.
Saking kuatnya aji pengasihan yang ia kerahkan, bahkan Harjadenta yang sudah terlepas dari pengaruh sihirnya, kini memandang terlongong penuh kagum kepada Ni Dewi Durgomala yang mendadak kelihatan demikian cantik jelita dan menarik seperti seorang dewi yang baru turun dari kahyangan!
Akan tetapi Bagus Seto tersenyum tenang. Sebelum dia menjawab, terdengar suara ribut-ribut di kamar sebelah dan Retno Wilis yang berpakaian serba putih itu melompat keluar dari kamar itu dikejar oleh Ki Shiwananda! Apakah yang terjadi di kamar itu? Ternyata Retno Wilis membagi tugas dengan kakaknya. Bagus Seto membayangi Ni Dewi Durgomala dan Retno Wilis membayangi Ki Shiwananda. Gadis perkasa ini tadi mengintai pesta liar di atas panggung dan ia pun teringat akan pengalamannya dahulu. Pernah ia terlibat dalam pesta seperti itu di bawah pengaruh orang-orang sesat yang menggunakan sihir kepadanya, ia merasa ngeri dan juga marah bukan main. Ia melihat pula betapa Harjadenta terpengaruh sihir dan ikut menari-nari liar, akan tetapi karena Bagus Seto yang akan mengawasinya, maka ia terus mengamati Ki Shiwananda yang kemudian menarik tangan seorang gadis yang tadi menjadi pasangannya menari menuju ke belakang candi dan memasuki sebuah kamar!
Retno Wilis merasa malu untuk ikut masuk kamar itu, maka ia mengambil jalan memutar dan tiba di luar jendela kamar itu. Dengan tenaga Argoselo, ia menggunakan tangan kanannya untuk mendorong daun jendela kamar itu. Jendela itu jebol dan Retno Wilis meloncat masuk dengan maksud untuk menghajar laki-laki raksasa itu sambil membentak, "Jahanam busuk, apa yang telah kau lakukan terhadap Sawitri?"
Ki Shiwananda terkejut bukan main ketika jendela jebol dan ia melihat berkelebatnya bayangan putih memasuki kamar, apalagi mendengar bentakan yang menanyakan tentang Sawitri itu. Akan tetapi diapun maklum bahwa wanita yang masuk kamarnya itu tentu seorang yang sakti, maka untuk menyelamatkan diri, dia sudah merangkul gadis pasangannya tadi dengan tangan kiri dan memasangnya di depan tubuh seperti perisai! Melihat ini, tentu saja Retno Wilis terkejut dan tidak jadi menyerang. Ia melihat betapa sarunya kalau dilihat orang ia berada di kamar seorang pria, maka ia lalu mendorong daun pintu dan melompat keluar.
Ki Shiwananda yang sudah terhindar dari serangan mendadak itupun timbul keberaniannya dan diapun lompat mengejar. Ketika tiba di luar, Retno Wilis melihat bahwa kakaknya bersama Harjadenta juga sudah berhadapan dengan wanita cantik itu, maka ia mengulang pertanyaannya kepada Ki Shiwananda.
"Shiwananda, engkau tentu telah membunuh Sawitri, bukan? Engkau jahanam busuk, pendiri agama yang sesat! Setelah bertemu dengan Retno Wilis, jangan harap engkau akan dapat melarikan diri!"
Mendengar gadis berpakaian putih itu menyebut namanya, Ki Shiwananda terkejut bukan main, bahkan juga Ni Dewi Durgomala terkejut sekali. Ni Dewi Durgomala telah mendengar bahwa rekannya yang bernama Ni Dewi Nilamanik dahulu juga tewas secara mengerikan di tangan seorang dara yang bernama Retno Wilis! Dan gadis ini menurut penuturan Wasi Karangwolo dan Surengpati, gadis ini adalah puteri dari KiPatih Tejolaksono dan Puteri Endang Patibroto yang terkenal sakti. Sementara itu, Bagus Seto menjawab pertanyaan Ni Dewi Durgomala yang tadi diajukan kepadanya,
"Ni Dewi Durgomala, aku bernama Bagus Seto. Katakanlah, apa yang kalian lakukan terhadap Sularko dan Sawitri?"
Melihat betapa Bagus Seto sama sekali tidak terpengaruh oleh aji pengasihannya, Ni Dewi Durgomala maklum bahwa ia berhadapan dengan orang yang sakti mandraguna, tidak terpengaruh oleh ilmu sihirnya. Akan tetapi ia masih hendak mencoba dan mulutnya berkemak-kemik, lalu ia membungkuk, mengambil segenggam pasir dan menaburkan pasir itu ke atas dan mendadak saja pemandangan menjadi gelap. Entah dari mana datangnya, ada asap hitam menutupi sinar bulan dan Hartjadenta sendiri terkejut dan merasa jerih. Akan tetapi Retno Wilis segera mengeluarkan lengkingan panjang, dan Bagus Seto berkata dengan lembut,
"Ni Dewi Durgomala, simpan saja ilmu setanmu yang hanya dapat dipakai menakut-nakuti anak kecil!" Bagus Seto menggerakkan tangan kirinya ke arah asap hitam itu menjadi buyar dan lenyap dan keadaan menjadi terang kembali.
"Augghhh.... !!" Ki Shiwananda telah mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang dan tubuhnya sudah menerjang maju, menyerang ke arah Retno Wilis. Namun gadis itu dengan tangkasnya sudah mengelak sehingga lawannya hanya menubruk angin kosong. Segera terjadi pertandingan yang amat seru di antara mereka. Ki Shiwananda adalah murid Wasi Shiwamurti yang tercinta, bahkan diangkat menjadi anaknya, maka ilmu kepandaiannya amat tinggi. Bahkan dia lebih tangguh dibanding Ni Dewi Durgomala, hanya bedanya wanita ini menguasai segala macam ilmu sihir dan guna-guna. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan Retno Wilis, maka terjadilah perkelahian yang amat dahsyat.
Sementara itu, Ni Dewi Durgomala menjadi pucat wajahnya ketika ilmu sihirnya demikian mudah dipunahkan oleh bagus Seto. Maka ia tidak mau mencoba lagi ilmu sihirnya dan secepat kilat ia mencabut senjatanya, sebatang keris dan menubruk Bagus Seto mengirim serangan maut.
"Kakangmas, itu Ki Carubuk yang dipegangnya!" Harjadenta berteriak ketika mengenal keris yang berada di tangan Ni Dewi Durgomala.
Jelaslah bahwa yang mencuri Ki Carubuk adalah wanita iblis itu. Mendengar seruan ini, Ni Dewi Durgomala tidak perduli dan menyerang terus. Kerisnya seperti berubah menjadi seekor naga yang menyambar-nyambar, mengeluarkan hawa panas yang terasa oleh Harjadenta yang berdiri di pinggir. Namun tubuh Bagus Seto bagaikan telah berubah menjadi bayangan, selalu menghindar dengan lembut dan cepat sekali, terbebas dari semua tusukan keris.
Harjadenta hanya menonton perkelahian itu. Dia maklum bahwa ilmu kepandaiannya belum cukup untuk menandingi seorang lawan seperti Ni Dewi Durgomala atau Ki Shiwananda. Maka dia hanya menonton dengan hati tertarik. Pada saat itu, muncul puluhan anak buah atau anggauta kumpulan agama itu dan melihat betapa Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda berkelahi dengan seorang pemuda dan seorang gadis, mereka beramai-ramai segera maju untuk mengeroyok Bagus Seto dan Retno Wilis.
Harjadenta merasa mendapat tugas. Dia melompat ke depan dan mengamuk di antara para anggauta agama itu. Akan tetapi karena dia tahu bahwa mereka ini adalah orang-orang yang tidak bersalah, hanya ikut-ikutan saja dan terdiri dari orang-orang dusun yang lugu, maka dia tidak mau menggunakan senjata, hanya membagi-bagi pukulan dan tendangan saja untuk mencegah mereka mengeroyok Retno Wilis atau Bagus Seto.
Pertandingan antara Bagus Seto dan Ni Dewi Durgomala seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus saja. Bagus Seto hanya mengelak dan ketika keris itu menyambar lagi ke arah dadanya, dia berkata, "Keris ini harus dikembalikan kepada pemiliknya!" Setelah berkata demikian, dia menyambut tusukan itu dengan tangannya, menangkap Keris itu dan sekali renggut, keris itu telah terlepas dari tangan Ni Dewi Durgomala.
Wanita ini terkejut bukan main. Hampir tidak percaya bahwa ada orang berani menangkap keris pusaka ampuh itu dengan tangannya begitu saja dan merenggutnya lepas dari tangannya, ia marah akan tetapi juga jerih, maklum bahwa ia tidak akan menang melawan pemuda berpakaian serba putih itu. Sambil berteriak ia lalu mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebuah kebutan berbulu hitam yang tadi terselip di pinggangnya.
"Haittt.... tar-tar!" Kebutan itu digerakkan sedemikian rupa sehingga ujung bulu-bulunya dapat meledak di atas kepala Bagus Seto. Namun pemuda itu tenang-tenang saja dan ketika ia menangkis ke atas, beberapa helai bulu kebutan putus! Ni Dewi Durgomala kini hanya berputar-putar dan menyerangkan kebutannya ke arah muka Bagus Seto dan selalu dielakkan oleh pemuda itu.
Sementara itu, pertandingan antara Retno Wilis melawan Ki Shiwananda berjalan seimbang. Ki Shiwananda memang tangguh sekali. Raksasa ini selain memiliki tenaga yang tidak lumrah manusia, juga dapat bercorak cepat biarpun tubuhnya demikian besarnya. Sepak terjangnya seperti seorang raksasa saja, kasar dan keras. Kadang dia bergulingan dan menyerang lawan dari bawah. Kedua lengannya yang panjang besar itu mencuat dan menyambar-nyambar ke arah segala bagian tubuh Relno Wilis.
Namun, Retno Wilis segera mainkan ilmu silat Pancaroba dan tubuhnya berkelebat melebihi burung walet cepatnya, sukar diraih tangan yang besar itu. Akan tetapi, Retno Wilis juga mengalami kesukaran untuk dapat merobohkan lawannya. Sudah dua kali tangan dan kakinya mengenai tubuh lawan, akan tetapi hanya membuat lawan terhuyung saja, tidak merobohkannya. Kiranya raksasa itupun memiliki tubuh yang kebal sekali.
Karena kesal sampai sekian lamanya tidak mampu merobohkan lawannya, Retno Wilis mencabut pedang pusakanya, yaitu pedang Sapudenta! Tampak sinar terang berkelebat menyilaukan mata ketika pedang itu berada di tangan kanannya.
"Babo-babo keparat, belum lecet kulitmu sudah mengeluarkan pusaka!" bentak Ki Shiwananda dan diapun mengeluarkan senjatanya yang berat, yaitu sebatang ruyung yang tadi tergantung di pinggangnya. Ruyung ini terbuat dari baja hitam, berat dan kuatnya bukan main. Sebongkah batu besar-pun akan pecah berantakan kalau sekali kena pukulannya dengan ruyung ini, apa lagi kalau mengenai kepala manusia!
Akan tetapi begitu dia menggerakkan ruyungnya, Retno Wilis telah mengerahkan aji Wisolangking di tangan kirinya. Aji Wisolangking ini membuat tangan kirinya panas sekali dan kalau mengenai tubuh lawan dapat menghanguskan bagian yang terkena pukulan!
Melihat sepak terjang adiknya yang begitu menggiriskan, Bagus Seto lalu menyambut serangan Ni Dewi Durgomala. Ketika kebutan itu menyambar ke arah kepalanya, ia menyambut dengan tangan kanannya dan sekali tangan itu menyambar, dia telah berhasil merampas kebutan dari tangan Ni Dewi Durgomala! Wanita ini memekik marah dan juga gentar.
"Ki Shiwananda, sudah saatnya kita pergi!" bentaknya kepada raksasa itu yang sedang bertanding seru melawan Retno Wilis.
Bagus Seto juga melompat ke dekat adiknya. "Diajeng, hati-hati dengan pusakamu!" Dia menggerakkan tangan menahan ruyung Ki Shiwananda yang dihantamkan.
"Plakkkkk!" Ki Shiwananda merasa betapa tenaga pada tangan kanannya seperti tenggelam dan lenyap. Dia terkejut sekali. Menarik kembali ruyungnya dan maklumlah dia bahwa seruan Ni Dewi Durgomala tadi benar. Baru melawan Retno Wilis saja dia kerepotan dan tidak mampu menang, apa lagi kalau Bagus Seto maju. Tangan pemuda itu dapat menyambut ruyungnya! Dia merasa gentar dan segera mengayun dan memutar ruyungnya. Ketika Bagus Seto dan Retno Wilis mundur, mereka berdua melompat dan lenyap di kegelapan malam.
Harjadenta masih mengamuk, merobohkan para pengeroyok. Melihat ini, Bagus Seto lalu melompat ke atas atap candi dari berseru, "Saudara sekalian, hentikan pengeroyokan itu!" Lalu dia melayang ke bawah.
Melihat ini, apa lagi melihat betapa dua orang pemimpin mereka telah melarikan diri, merekapun menghentikan pengeroyokan dan berdiri bingung seperti sekawanan domba kehilangan penggembalanya. Harjadenta juga berhenti mengamuk dan melompat kebelakang, dekat Bagus Seto dan Retno Wilis. Dia menjadi semakin kagum kepada dua orang kakak beradik ini, yang demikian mudah mengalahkan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda sehingga dua orang sakti itu melarikan diri. Dan dia girang bukan main ketika Bagus Seto menyerahkan keris pusaka Ki Carubuk kepadanya.
"Ini keris gurumu, kembalikanlah kepadanya," kata Bagus Seto.
"Terima kasih banyak, kakangmas Bagus Seto," katanya sambil menerima dan menyelipkan keris pusaka itu di pinggangnya.
"Kakang, kenapa kita tidak basmi saja perkumpulan agama ini?" kata Retno Wilis sambil memandang kepada para anggauta agama baru itu dengan alis berkerut.
"Jangan, diajeng. Agama mereka itu samasekali tidak bersalah. Sang Hyang Bathara Shiwa yang mereka sembah adalah Yang Kuasa Membasmi di alam mayapada ini, dan sudah selayaknya kalau disembah dan dipuja. Adapun Bathari Durgo adalah isterinya dan Bathara Kala adalah puteranya. Tidak ada salahnya dengan mereka yang disembah-sembah. Semua kesalahan terletak kepada manusianya yang menyelewengkan pelajaran agama itu untuk tujuan buruk. Mereka bebas menentukan agama mereka sendiri. Kita tidak boleh menentangnya dan mereka boleh mendirikan candi seperti yang mereka kehendaki. Yang kita tentang adalah manusianya yang melakukan tindakan menyeleweng dan jahat. Para anggauta agama ini tidak bersalah. Mereka bahkan menjadi korban, korban penyelewengan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda. Setelah kekalahan mereka malam ini, kurasa mereka tidak akan berani lagi melakukan kejahatan mereka di antara penduduk Bulumanik."
Harjadenta yang mendengarkan ucapan Bagus Seto ini, menjadi semakin kagum. "Saya rasa apa yang diucapkan kakangmas Bagus Seto itu benar, diajeng Retno. Orang-orang itu tidak berdosa. Mereka melakukan segala itu karena mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan adalah suatu perbuatan jahat. Mereka seperti mabuk atau terbius, seperti yang kualami tadi. Aku sendiri tidak sadar bahwa aku ikut menari-nari seperti orang yang gila. Mereka tidak salah bahkan patut dikasihani."
"Kalau begitu kesalahan ini selain terletak pada pundak kedua orang pimpinan agama itu, juga terletak di pundak Demang Kebolinggo. Sebagai seorang kepala daerah, dia tidak seharusnya memberi ijin kepada orang-orang seperti Ni Dewi Durgomala dan Ki Suwananda itu untuk membangun candi dan mempengaruhi penduduk. Tidak mungkin kalau dia tidak tahu apa yang telah terjadi di candi ini," kata pula Retno Wilis dengan gemas. "Orang seperti dia tidak patut menjadi pemimpin dan harus mendapat peringatan keras!"
Bagus Seto mengangguk-angguk. "Pendapatmu itu ada benarnya, diajeng. Silakan saja kalau engkau ingin memperingatkan dia, akan tetapi ingat, jangan menggunakan kekerasan, apa lagi membunuhi orang."
"Diajeng Retno Wilis memang benar, dan kalau boleh, aku akan senang kalau menemanimu pergi ke rumah demang dan memberi peringatan kepadanya."
"Kalau begitu lebih baik lagi agar Demang Kebolinggo lebih terkesan dan menaati nasihat kalian," kata Bagus Seto.
RetnoWilis terpaksa tidak dapat menolak permintaan Harjadenta. Ia sendiri memang kagum juga kepada pemuda yang berani dan telah membantu ia dan kakaknya menghadapi pimpinan agama baru itu.
"Baiklah, dan sebaiknya kita lakukan itu malam ini juga," kata Retno Wilis.
"Pergilah kalian, aku akan lebih dulu pulang ke pondokan Mbok Rondo Gati."
Tiga orang itu lalu berpisah. Retno Wilis dan Harjadenta pergi meninggalkan Bagus Seto dan mencari rumah Demang Kebolinggo, penguasa di Bulumanik. Tidak sukar bagi mereka untuk menemukan rumah yang paling besar di Bulumanik itu. Mereka berdua melihat bahwa ada tujuh orang penjaga di gardu penjagaan depan gedung itu. Akan tetapi Retno Wilis dan Harjadenta tidak mengganggu mereka. Mereka lalu mengambil jalan dari belakang rumah besar itu. Dengan mudah mereka melompat pagar tembok yang mengitari rumah itu dan menyusup ke arah gedung melalui taman bunga yang berada di bagian belakang. Malam telah larut dan suasana sunyi sekali. Agaknya semua penghuni gedung itu sudah tidur nyenyak. Akan tetapi mereka menemui kesulitan untuk mencari di mana kamar tidur sang demang.
"Biar aku yang mencari keterangan," bisik Harjadenta kepada Retno Wilis.
Gadis itu mengangguk. Harjadenta mengintai dari lubang di jendela sebuah kamar dan melihat seorang laki-laki tidur dalam kamar itu. Melihat kamar itu hanya kecil dan sederhana, maka dia dapat menduga bahwa laki-laki yang berada di dalam kamar seorang diri itu tentulah hanya seorang pelayan. Dengan mudah dia dapat membuka jendela itu dan melompat ke dalam. Retno Wilis hanya menanti di luar kamar, bersembunyi di balik tikungan dinding. Setelah berada di dekat pembaringan laki-laki setengah tua itu, Harjadenta lalu mengguncang tubuhnya. Laki-laki itu terbangun dan sebelum dia dapat membuka mulut, Harjadenta telah menempelkan keris pusaka Ki Mengeng di leher orang itu.
"Jangan bergerak dan jangan berteriak kalau engkau sayang nyawamu!" bisiknya.
Laki-laki itu ketakutan dan membelalakkan matanya, menggeleng kepala menyatakan bahwa dia tidak akan berteriak atau bergerak.
"Aku hanya ingin engkau menunjukkan di mana kamar Sang Demang Kebolinggo!" kembali Harjadenta menggertak, dan menempelkan kerisnya lebih ketat ke leher orang itu.
"Ampunkan saya... kamar... kamarnya berada di ruangan tengah... jangan bunuh saya..." kata orang itu dengan tubuh menggigil dan suara gemetar.
"Hayo turun dan tunjukkan aku kamar itu!" kembali Harjadenta berkata, dan dengan tubuh gemetar ketakutan orang itu lalu turun dari pembaringannya. Dia didorong ke pintu oleh Harjadenta, membuka pintu dan mereka keluar.
Retno Wilis melihat mereka, lalu ia mengikuti dari belakang. Setelah tiba di ruangan tengah dan orang itu menudingkan telunjuknya ke arah sebuah pintu kamar yang besar, tiba-tiba Harjadenta mengetuk tengkuknya dengan tangan kiri. Orang itu mengeluh lirih dan roboh pingsan.
"Sekarang giliranku untuk memasuki kamar sang demang lebih dulu," kata Retno Wilis dan Harjadenta mengangguk.
Dengan mudah sekali Retno Wilis juga membuka daun jendela kamar itu dan bagaikan seekor kucing saja ia melompat ke dalam tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Kamar itu remang-remang karena hanya diterangi sebuah lampu gantung yang kecil. Akan tetapi penglihatan Retno Wilis yang tajam dapat melihat sesosok tubuh yang tinggi kurus rebah seorang diri di atas sebuah pembaringan yang lebar dan berukir indah. Pria itu berusia kurang lebih lima puluh tahun dan dia tidur telentang dan mendengkur.
"Bibi mencari siapakah?" Ni Dewi, Durgomala yang di antara para pekerja dan para anggauta disebut Ni Dewi saja, bertanya sambil tersenyum manis.
"Saya... saya mencari dua orang anak saya, yang laki-laki bernama Sularko dan yang perempuan bernama Sawitri. Saya mendengar bahwa malam tadi mereka ikut pesta di sini." Kata Mbok Rondo Gati dengan suara penuh harap akan tetapi juga lirih karena merasa segan berhadapan dengan wanita yang pandang matanya amat berwibawa itu.
Ni Dewi Durgomala mengerutkan sepasang alisnya yang hitam panjang dan berkata,
"Sularko dan Sawitri? Aha, aku ingat sekarang. Mereka adalah dua orang kakak beradik yang menjadi anggauta baru perkumpulan kami. Memang benar, bibi, mereka semalam ikut berpesta dengan kami."
Bukan main girang dan leganya hati Mbok Rondo Gati mendengar keterangan ini. "Den ajeng, di mana adanya mereka sekarang? Semalam mereka tidak pulang," tanyanya.
Ni Dewi Durgomala mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Tidak pulang? Akan tetapi pagi tadi mereka sudah meninggalkan tempat ini, seperti para anggauta lain, kecuali mereka yang bekerja di sini."
"Sudah meninggalkan tempat ini? Akan tetapi mengapa mereka tidak pulang?"
"Barangkali ketika andika ke sini, mereka sudah sampai di rumah, bibi. Kami tidak tahu, akan tetapi mereka pagi tadi sudah meninggalkan tempat ini," setelah berkata demikian, Ni Dewi Durgomala menoleh kepada para pekerja dan memberi petunjuk ini itu, seolah memberi tanda kepada Mbok Rondo Gati bahwa ia sedang sibuk bekerja dan bahwa kehadiran wanita setengah tua itu hanya mengganggu saja.
Mendengar jawaban itu, Mbok Rondo Gati timbul pula harapannya. Mungkin saja kedua anaknya itu sudah pulang sekarang. Maka ia mengucapkan terima kasih dan segera meninggalkan tempat itu. Bergegas ia pulang ke rumahnya dengan harapan akan melihat kedua orang anaknya sudah pulang, begitu tiba di rumah, ia sudah memanggil-manggil sambil berlari masuk.
"Sularko... ! Sawitri... ! Di mana kalian?" Akan tetapi, biarpun ia sudah mencari sampai ke dapur dan kebun belakang, ia tidak melihat kedua orang anaknya itu. Tentu saja harapan tipis itu segera membuyar lagi dan ia mulai menangis lagi sambil meratap, memanggil-manggil kedua orang anaknya. Akan tetapi tidak ada yang menjawab. Kini tidak ada tetangga yang datang menjenguknya. Mereka semua sudah pergi bekerja, ke sawah ladang atau ke sungai mencari ikan.
Mbok Rondo Gati tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menangis. Hendak mencari, harus dicari ke mana? Ia tadi sudah mencari di seluruh pelosok Bulumanik. Ia menangis terus sampai hari menjadi siang, air matanya sudah habis dan ia menjadi bingung tidak tahu harus berbuat apa. Ia lupa makan, lupa segala, kadang duduk, kadang berdiri atau merebahkan diri di atas bale-bale sambil terus menangis. Tiba-tiba ia mendengar suara memanggilnya dari luar rumah.
"Mbok Rondo Gati! Mbok Rondo Gati!"
Mendengar ada suara orang memanggilnya, ia cepat keluar. Biarpun tubuhnya terasa lemas karena sejak semalam ia tidak makan atau minum dan hatinya yang sedih dan gelisah membuat tubuhnya lemas sekali, namun kini ia bangkit dan berlari keluar, muncul harapannya akan mengetahui di mana adanya kedua anaknya. Setibanya di luar rumah, ia melihat seorang pemuda kawan Sularko berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak.
"Mbok Rondo Gati, aku... aku melihat Sularko dan Sawitri...!"
Tentu saja wanita setengah tua itu menjadi girang sekali, ia lari menghampiri pemuda itu dan memegang lengannya.
"Di mana? Di mana engkau melihat mereka?"
"Aku... aku... ah ... !" Pemuda itu menggagap dan agaknya sukar sekali bicara.
Mbok Rondo Gati menjadi bingung. "Kenapa? Ada apa? Mari minumlah dulu, engkau kelihatan begitu tegang." Ia menuntun pemuda itu memasuki rumah dan menyerahkan sebuah kendi.
Pemuda itu menerima kendi dengan kedua tangan menggigil lalu dia menuangkan air dari mulut kendi ke dalam mulutnya yang ternganga. Setelah minum air kendi, pemuda itu tampak lebih tenang dan dia meletakkan kendi kembali ke atas meja dan memandang kepada Mbok Rondo Gati.
"Nah, sekarang ceritakan di mana engkau melihat kedua anakku itu," kata Mbok Rondo Gati.
Pemuda itu menghela napas panjang, dua kali, memandang wajah wanita itu dan mulai bercerita, "Begini, Mbok Rondo, tadi pagi-pagi sekali aku sudah mendayung perahuku ke hilir sungai dan menjala ikan. Sialnya aku tidak berhasil, maka aku terus mendayung perahuku ke hilir, mencari tempat sepi untuk mendapatkan ikan lebih banyak. Kemudian tadi... aku melihat ada dua benda terapung di sungai... dan ketika aku mendayung perahuku mendekat... kulihat... kulihat dua benda terapung itu adalah Sularko dan Sawitri... sudah menjadi mayat... "
Mbok Rondo Gati mengeluarkan suara jeritan yang menyayat hati dan iapun jatuh pingsan! Tentu saja pemuda itu menjadi bingung, mengguncang-guncang dan memanggil-manggil Mbok Rondo Gati. Akhirnya Mbok Rondo Gati siuman dari pingsannya dan ia lalu menangis lagi dengan sedihnya.
"Apakah engkau sudah membawa mereka ke tepi sungai?" tanyanya memelas dengan suara lirih.
Pemuda itu menggeleng kepalanya. "Aku seorang diri, Mbok. Dan saking takut dan tegang hatiku, aku lalu mendayung perahuku kuat-kuat untuk kembali dan cepat memberitahu kepadamu. Aku belum memberitahu kepada siapapun juga kecuali kepadamu."
Wanita itu menangis lagi. "Ah, mengapa tidak kau bawa ke tepi? Kau biarkan mereka hanyut terus... ?"
Mbok Rondo Gati lalu mengajak pemuda itu ke sungai. Iapun memiliki sebuah perahu, yang biasa dipergunakan Sularko untuk mencari ikan.
"Hayo tunjukkan kepadaku dimana engkau milihat mereka," katanya dan iapun mengikuti perahu pemuda itu ke hilir.
Akan tetapi, tentu saja mereka tidak menemukan dua jenazah yang hanyut itu, entah sudah sampai di mana. Mungkin saja sudah sampai di Laut Kidul. Saking bingung dan takutnya karena ditanya terus oleh Mbok Rondo Gali, pemuda itu lalu kembali ke Bulumanik untuk minta bantuan orang-orang mencari dua jenazah itu. Sedangkan wanita itu melanjutkan sendiri pencariannya. Akan tetapi ia tidak berhasil menemukan dua mayat anaknya itu, dan Mbok Rondo Gati terus mendayung hilir mudik sambil menangis dan kadang seperti orang yang sudah berubah pikirannya, ia memanggil-manggil nama kedua anaknya.
"Sularko... ! Sawitri... Di mana kalian, anak-anakku... ?" ia memanggil-manggil.
Tiba-tiba ada suara dari tepi sungai. "Mbok, ada apakah, mbok?"
Mbok Rondo Gati menoleh dan memandang ke arah tepi sungai dan wajahnya tiba-tiba berseri, matanya terbelalak dan mulutnya tersenyum.
"Sularko! Sawitri! Anak-anakku... !" Dan dengan cepat ia mendayung perahunya ke tepi sungai di mana berdiri sepasang orang muda itu. Setelah tiba di pantai, ia meninggalkan perahunya dan lari ke arah dua orang muda. "Sawitri anakku... !" ia menjerit dan menubruk, merangkul gadis itu.
Gadis itu terheran-heran, akan tetapi ia membiarkan wanita itu merangkul dan menciumnya. Ia merasa terharu sekali. Pemuda itu menyentuh pundak Mbok Rondo Gati sambil berkata,
"Mbok, tenanglah, mbok dan waspadakan siapa sebetulnya kami berdua."
Suara pemuda itu lembut sekali. Mbok Rondo Gati melepaskan rangkulannya dari gadis itu dan kini ia merangkul pemuda itu sambil menangis, "Sularko... anakku Sularko... !"
Pemuda itu membiarkan dirinya dipeluk, akan tetapi dia mengusap ke arah dahi wanita tua itu dan berkata lagi dengan suara lembut, "Mbok, sadarlah, mbok. Kami bukan anak-anakmu."
Mbok Rondo Gati tampak terkejut, memandang wajah pemuda yang tersenyum lembut itu, lalu melepaskan rangkulannya dan mundur tiga langkah. Kemudian ia menoleh ke arah gadis itu, matanya penuh keheranan dan juga kekagetan, digosok-gosoknya kedua matanya dengan punggung tangan akan tetapi matanya yang merah dan basah itu tidak menipunya. Yang berdiri di depannya memang seorang gadis dan seorang pemuda yang sebaya kedua anaknya, yang bentuk tubuhnya juga sama, akan tetapi jelas mereka itu bukan anak-anaknya. Pemuda itu seorang pemuda tampan berpakaian serba putih, dan gadis itupun berpakaian serba putih akan tetapi bukan Sawitri. Tubuhnya seketika menjadi lemas, ia terhuyung dan tentu sudah terpelanting jatuh kalau saja gadis itu tidak dengan cepat merangkulnya.
Gadis itu adalah Retno Wilis dan pemuda itu adalah Bagus Seto. Seperti telah kita ketahui, Bagus Seto dan Retno Wilis naik perahu bersama Harjadenta menuju ke hilir. Harjadenta dalam usahanya mencari keris pusaka Ki Carubuk milik gurunya yang hilang dicuri orang dan menurut gurunya dia harus mencari sampai ke muara Kali Mayang. Adapun Retno Wilis dan Bagus Seto ikut naik perahu itu karena mereka hendak kembali ke pantai laut Kidul untuk melanjutkan perjalanan mereka ke timur. Ketika perahu sudah mendekati muara Kali Mayang, tepat pada pertemuan antara Kali Mayang dan Kali Sanen, Bagus Seto berkata kepada Harjadenta.
"Adimas Harjadentra, kurasa sudah cukup sampai di sini saja kami mendarat dan melanjutkan perjalanan kami dengan jalan kaki. Engkaupun harus melakukan penyelidikanmu sampai kemuara Kali Mayang, bukan?"
"Betul, kakangmas. Akan tetapi aku tidak tahu ke mana aku harus melakukan penyelidikan di tempat sunyi ini," kata Harjadenta yang tiba-tiba merasa sedih karena harus berpisah dengan kakak beradik itu, terutama harus berpisah dari Retno Wilis. Akan tetapi biarpun dia berkata demikian, dia mendayung perahunya ke pinggir seperti yang diminta oleh Bagus Seto.
Pada saat kakak beradik itu mendarat itulah mereka mendengar tangis Mbok Rondo Gati yang naik perahu seorang diri. Bagus Seto lalu menegur wanita malang itu. Harjadenta juga belum menengahkan perahunya lagi, dan mereka belum sempat berpamitan. Dia juga tertarik sekali melihat wanita yang menangis dan yang mengira Bagus Seto dan Retno Wilis anaknya, maka Harjadenta juga ikut mendarat dan mengikat perahunya pada sebatang pohon. Dia lalu menghampiri dan melihat wanita itu pingsan dalam rangkulan Retno Wilis.
"Ia kenapakah, diajeng Retno?" tanyanya sambil menghampiri.
"Kami belum tahu, akan tetapi ia pingsan setelah mengetahui bahwa kami bukan anak-anaknya. Kasihan sekali orang ini."
Retno Wilis lalu merebahkan tubuh wanita itu di atas rumput. Bagus Seto memijit-mijit tengkuk Mbok Rondo Gati dan wanita itupun siuman dari pingsannya. Tubuhnya amat lemah karena sehari semalam ia sama sekali tidak makan atau minum dan terus-menerus menangis. Kini begitu siuman dari pingsannya dan melihat tiga orang muda berjongkok di dekatnya. Ia memandang mereka lalu matanya mencari-cari, ia bangkit dan bertanya, "Di mana mereka?"
"Mereka siapa? Andika mencari siapa, Mbok?" tanya Retno Wilis.
"Anakku... anak-anakku, Sularko dan Sawitri, di manakah mereka? Ya Gusti...kalau mereka benar-benar sudah mati, di mana mayat mereka? Kalau masih hidup, di mana mereka?" Wanita itu kembali menangis teringat akan cerita pemuda yang mengabarkan bahwa dia melihat mayat Sularko dan Sawitri.
"Tenanglah, mbok, dan ceritakan kepada kami apa yang terjadi dengan anak-anakmu. Siapa andika dan di mana andika tinggal dan apa yang terjadi dengan mereka berdua?"
Harjadenta ikut bertanya karena hatinya tertarik sekali. Dia tahu bahwa gurunya adalah seorang Empu yang sakti dan gurunya itu menyuruh dia mencari jejak pencuri di tempat itu. Siapa tahu ada hubungan antara peristiwa wanita kehilangan anak-anaknya ini dengan hilangnya Ki Carubuk. Mendengar ucapan orang-orang muda yang tenang sabar itu, Mbok Rondo Gati merasa agak tenang juga. Setelah menyusut air matanya yang hampir kering, iapun bercerita.
"Saya adalah Mbok Rondo Gati dari Bulumanik, kademangan di hulu sana. Saya mempunyai dua orang anak bernama Sularko dan Sawitri, yang usianya sebaya dengan andika bertiga. Malam tadi ... malam yang menyeramkan... saya melihat dua orang anak saya itu diculik orang... eh, diculik mahluk halus."
"Diculik makhluk halus? apa maksudmu, mbok?" Tanya Retno Wilis penasaran sekali.
"Saya melihat sendiri Sularko dipanggul seorang wanita cantik dan Sawitri dipanggul seorang laki-laki seperti raksasa. Ketika saya berteriak wanita itu hanya menggerakkan tangan ke arah saya dan saya terjengkang seperti disambar halilintar. Mereka lalu lenyap membawa kedua oranganak saya itu... " Wanita itu mulai menyusuti air matanya lagi yang sudah jatuh bercucuran.
"Tenanglah, mbok. Kami bertiga akan membantu. Lalu bagaimana lanjutan ceritamu?" tanya Bagus Seto dengan lembut.
"Semalam saya menangis, tidak berani keluar karena malam tadi malam Respati terang bulan purnama. Saya takut kepada setan-setan yang berkeliaran di luar rumah. Baru tadi pagi saya keluar dari rumah dan mencari-cari anak saya sampai ke seluruh pelosok kademangan Bulumanik."
"Lalu?" desak Retno Wilis yang tertarik sekali oleh cerita itu.
"Saya tidak dapat menemukan mereka. Lalu saya datang ke candi yang baru dibangun. Seperti biasa, pada malam Respati di candi itu diadakan pesta pada malam harinya dan saya mencari ke situ kalau-kalau kedua orang anak saya berada di sana. Dari beberapa orang pekerja di candi itu saya mendapat kabar bahwa semalam memang kedua anak saya ikut berpesta, katanya mereka menjadi anggota-anggota baru agama itu."
"Hemm, agama apakah itu, mbok?"
"Saya sendiri tidak tahu, hanya kabarnya, agama baru itu didukung oleh Ki Demang dan kabarnya yang disembah adalah arca Bathara Shiwa, Bathari Durgo, dan Bathara Kala...."
Retno Wilis dan Bagus Seto saling pandang dan mereka menjadi tertarik sekali. Mereka berdua sudah pernah mengalami bentrok dengan tokoh-tokoh penyembah tiga bathara dan bathari itu. Harjadenta yang belum mempunyai pengalaman mengenai agama baru itu, bertanya, "Lalu bagaimana, mbok?"
"Saya lalu pergi menemui pimpinan agama itu yang disebut Ni Dewi, akan tetapi ia mengatakan bahwa memang semalam kedua anak saya ikut berpesta, akan tetapi pagi tadi telah pergi lagi seperti para anggauta lain yang tidak ikut bekerja membangun candi."
"Kalau begitu, kedua anakmu tentu masih selamat dan yang perlu kita ketahui, ke mana mereka pergi," kata Retno Wilis.
Tiba-tiba wanita itu menangis lagi. "Ada berita buruk sekali... aduh Gusti... kuatkanlah hamba..."
"Tenang, mbok. Ceritakanlah kepada kami apa yang terjadi selanjutnya," kata Bagus Seto dan suara pemuda itu menenangkan hati Mbok Rondo Gati.
"Ketika saya sedang bingung dan berada di rumah karena tidak tahu harus mencari ke mana, tiba-tiba datang seorang pemuda dusun, seorang kawan dari Sularko. Dia memberitahu kepada saya bahwa ketika dia sedang mencari ikan, dia melihat mayat kedua orang anakku terapung di tengah sungai... ! Saya sudah mencari-carinya, akan tetapi tidak dapat saya temukan..."
"Kenapa ketika pemuda itu melihat mayat anak-anakmu, dia tidak mengambilnya?" tanya Retno Wilis.
"Dia bilang... dia kaget dan ketakutan, karena seorang diri, dan dia cepat-cepat mendayung perahunya untuk memberitahu kepada saya."
"Jadi mbok tadi sedang mencari-cari kedua orang anak yang dikabarkan sudah mati itu ketika mendengar Kami memanggil?"
Mbok Rondo Gati mengangguk. "Saya sudah hampir gila, ketika andika berdua memanggil, saya kira andika adalah Sularko dan Sawitri anak saya, maka... maafkanlah saya..."
"Mbok, apakah keterangan pemuda, kawan anak andika itu boleh dipercaya kebenarannya?"
Mbok Rondo Gati menghapus air matanya dan mengangguk. "Dia sahabat Sularko, dia pasti tidak berbohong walaupun saya mengharap mudah-mudahan keterangannya tentang kematian anak saya tidak benar."
"Sudahlah, mbok. Sekarang sebaiknya mbok pulang saja dan kami bertiga yang akan melakukan penyelidikan dan mencari ke mana hilangnya kedua orang anakmu itu." Retno Wilis membujuk.
Akhirnya Mbok Rondo Gati menurut nasihat itu dan Retno Wilis naik perahu janda itu, sedangkan Bagus Seto kembali naik perahu Harjadenta. Mereka berempat lalu mendayung perahu untukkembali ke Bulumanik.
Untuk sementara tiga orang muda perkasa itu tinggal mondok di rumah Mbok Rondo Gati dan hal ini merupakan hiburan besar bagi janda yang berduka kehilangan dua orang anaknya itu. Tiga orang muda yang berjanji untuk menyelidiki hilangnya dua orang anaknya itu mendatangkan harapan dalam hatinya. Akan tetapi harapan untuk bertemu kembali dengan dua orang anaknya sudah hilang ketika Bagus Seto mengundang pemuda yang mengabarkan akan adanya dua mayat anak Mbok Rondo Gati dan pemuda itu menyatakan dengan sumpah bahwa dia tidak berbohong. Mbok Rondo Gati hanya mengharapkan untuk dapat mengetahui siapa yang menculik anaknya dan siapa pula yang membunuhnya. Maka ia melayani tiga orang muda itu dengan baik, memasakkan makan dan minum sederhana untuk mereka. Malam itu mereka bertiga berunding.
"Biar malam ini aku sendiri yang mengadakan penyelidikan ke candi yang baru dibangun itu. Kita harus mencurigai mereka karena sejak dahulu, penyembah Bathari Durgo dan Bathara Kala itu selalu melakukan penyelewengan-penyelewengan. Sebaiknya kalian mengaso dulu dan menanti hasil penyelidikanku."
Retno Wilis dan Harjadenta menyetujui pendapat Bagus Seto ini. Mereka berdua tentu saja maklum akan kesaktian pemuda itu dan tidak mengkhawatirkan kepergiannya seorang diri. Malam itu, bulan masih bersinar terang, bagus Seto menggunakan kepandaiannya, berkelebat di antara baying-bayang pohon dan tak lama kemudian tibalah dia di candi yang sedang dibangun itu. Malam itu tidak ada yang bekerja dan juga tidak diadakan pesta seperti pada malam Respati. Keadaan di sekitar candi itu sunyi.
Bagus Seto mengadakan pemeriksaan dari atas atap, akan tetapi dia tidak menemui sesuatu yang mencurigakan. Dia melihat para pekerja pria berkumpul dan bermalam di sebuah bangunan besar dan para pembantu wanita berkumpul dan bermalam di sebuah bangunan lain. Tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Memang menjadi peraturan agama itu, kecuali pada hari Respati malam, tidak diperbolehkan mereka saling berhubungan atau saling mengganggu dengan ancaman hukuman berat yaitu dikutuk.
Di bagian belakang candi itu terdapat belasan buah kamar yang kebanyakan kosong dan di dalam dua kamar di antaranya, Bagus Seto melihat seorang wanita cantik duduk bersamadhi. Dari hawa di sekitar kamar itu saja tahulah Bagus Seto bahwa wanita itu adalah seorang yang memiliki kesaktian. Dia mendapatkan pula seorang laki-laki bertubuh raksasa, juga sedang bersamadhi. Laki-laki inipun memiliki kesaktian. Bagus Seto membayangkan cerita Mbok Rondo Gati. Apakah dua orang ini yang menculik Sularko dan Sawitri? Akan tetapi, mereka kelihatan sebagai orang-orang yang berilmu, rasanya tidak masuk akal kalau mereka melakukan kejahatan seperti itu.
Setelah puas melakukan penyelidikan keadaan candi yang baru dibangun, sebuah candi yang indah dan di mana-mana terdapat arca Bathara Shiwa, Bathara Kala dan Bathari Durgo. Bagus Seto lalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumah Mbok Rondo Gati.
"Aku tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan di sana," katanya kepada Retno Wilis dan Harjadenta. "Kecuali dua orang yang sakti, yaitu seorang perempuan cantik dan seorang pria raksasa."
"Hemm, jangan-jangan mereka itu yang menculik Sularko dan Sawitri!" kata Harjadenta.
"Rasanya sukar dipercaya orang-orang yang memiliki kesaktian seperti mereka melakukan penculikan," kata Bagus Seto.
"Akan tetapi kita harus menyelidiki dua orang itu!" kata Retno Wilis.
"Tidak ada lain jalan. Kita harus menanti sampai datangnya hari Respati malam di waktu mereka mengadakan pesta dan kita lihat saja apa yang terjadi di sana."
"Hari Respati malam masih kurang sepekan lagi," kata Retno Wilis.
"Kita harus bersabar kalau ingin berhasil" kata kakaknya.
"Dan untuk memancing mereka mengulangi lagi perbualan mereka, kita perlu mengadakan umpan."
"Akan tetapi itu berbahaya sekali!" kata Retno Wilis. "Aku sendiri sudah pernah menjadi korban ilmu sihir dan guna-guna mereka."
"Justeru itulah, kita harus memancing. Dan sebaiknya adimas Harjadenta yang menjadi umpan. Beranikah engkau menjadi umpan untuk mereka, adimas?"
Harjadenta tersenyum. walaupun agak masam karena hatinya agak gentar juga mendengar betapa Retno Wilis saja menganggap hal ini berbahaya.
"Tentu saja aku berani. Bukankah di sini terdapat anda berdua yang pasti akan melindungiku?"
"Tentu saja kami akan melindungimu, adimas."
"Lalu bagaimana pemasangan umpan itu dilakukan kakang?" tanya Retno Wilis.
"Pada hari Respati, sebaiknya kalau adimas Harjadenta datang ke sana dan minta pekerjaan membangun candi. Engkau tentu dapat melakukan pekerjaan memahat dan mengukir, adimas?"
"Walaupun bukan ahli, akan tetapi aku dapat membantu pekerjaan mereka."
"Bagus, nanti pada hari Respati, engkau minta pekerjaan di sana dan aku yakin pasti akan diterima. Nah, malamnya tentu engkau akan kebagian pesta pula. Dan aku mengharap pada malam hari itu akan terjadi sesuatu yang akan mengungkap rahasia ini."
"Apakah tidak sebaiknya kalau akupun menjadi umpan, kakang? Ingat, yang menjadi korban, anak-anak Mbok Rondo Gati, adalah seorang pemuda dan seorang pemudi. Biarlah akupun ikut memancing mereka dan engkau yang melindungi aku dan kakangmas Harjadenta."
Bagus Seto menggeleng kepalanya. "Aku tidak setuju dengan pendapatmu itu. Ingat, engkau bukanlah gadis yang tidak terkenal. Aku khawatir kalau di antara mereka yang sakti itu mengenalmu dan kalau mereka mengenalmu, tentu gagal usaha kita untuk memancing. Berbeda dengan adimas Harjadenta, dia belum lama turun gunung dan tidak pernah berurusan dengan orang-orang dari golongan itu. Sudahlah, pada Respati malam nanti, kalau dalam pesta, engkau mengintai dan menyelidiki bagian wanita, dan aku menyelidiki bagian pria. Akan tetapi hati-hati diajeng, di sana ada wanita yang cantik dan sakti yang berbahaya sekali."
"Wanita cantik yang sakti? Aku jadi ingat akan pesan guruku." kata Harjadenta.
Retno Wilis tersenyum dan memandangnya. "Tentu engkau menduga ia menjadi pencuri Ki Carubuk, bukan?"
Bagus Seto berkata, "Bukan tidak mungkin ia yang mencuri pusaka itu! Di sekitar kamarnya aku mencium adanya kekuatan tersembunyi seperti kekuatan sihir dan guna-guna."
"Bagus! Kalau begitu aku menjadi lebih bersemangat pula untuk melakukan penyelidikan. Biar aku yang menjadi umpannya untuk menangkap si pencuri laknat itu!" kata Harjadenta.
Demikianlah, tiga orang itu tinggal di rumah Mbok Rondo Gati dan setelah hari Respati tiba, Harjadenta pagi-pagi benar telah pergi mengunjungi candi yang baru dibangun. Ketika dia mengatakan pada para pekerja dan penjaga bahwa kedatangannya adalah untuk minta pekerjaan membantu pembangunan candi, dia segera dihadapkan kepada Ni Dewi Durgomolo. Wanita yang masih cantik dan genit itu menyambut kunjungan Harjadenta dengan wajah berseri dan matanya yang tajam itu meneliti Harjadenta dari kepala sampai ke kaki dan agaknya ia merasa puas dengan apa yang dilihatnya. Seorang pemuda yang tegap tampan dan gagah, wajahnya riang dan terang penuh senyum. Bukan seperti pemuda dusun kebanyakan, melainkan lebih pantas menjadi seorang pemuda kota atau pemuda bangsawan.
"Siapa namamu?" tanyanya ketika Harjadenta menghadapnya.
Pemuda yang tampak amat hormat itu mengangkat mukanya. Dia duduk bersila di atas lantai sedangkan Ni Dewi Durgomala duduk di atas sebuah kursi. Harjadenta memandang wanita itu dan jantungnya berdebar. Wanita yang cantik, pikirnya. Usianya sukar ditaksir. Melihat wajah dan bentuk tubuhnya, agaknya ia baru berusia dua puluhan tahun, akan tetapi pandang matanya yang tajam demikian matang dan penuh pengertian seperti pandang mata seorang wanita yang lebih tua. Matanya mengerling tajam dan genit, senyumnya memikat dan sehabis bicara ia menggunakan ujung lidahnya yang merah untuk menjilat bibirnya sendiri. Seperti seekor ular yang cantik, pikir Harjadenta, menduga-duga apakah wanita ini yang dimaksudkan gurunya, yang telah mencuri Ki Carubuk.
"Nama saya Harjadenta, "jawabnya sederhana, lalu menundukkan mukanya karena pandang wanita itu penuh selidik, seolah hendak menjenguk isi hatinya melalui pertemuan pandang mata.
"Dari mana engkau datang, siapa orang tuamu?" tanya pula Ni Dewi Durgomala penuh selidik. Kalau yang minta pekerjaan itu seorang pemuda dusun, ia tidak akan bertanya sebanyak itu.
"Saya datang dari hulu Kali Manyar dari dusun Manukan," dia membohong. Dia tidak berani mengaku bahwa dia berasal dari Gunung Raung karena kalau benar wanita ini yang mencuri Ki Carubuk, tentu wanita ini akan menjadi curiga kepadanya. "Saya sudah tidak mempunyai orang tua lagi, sudah yatim piatu."
Wanita cantik itu berseri, girang mendengar bahwa pemuda itu sudah yatim piatu. "Dan engkau datang ke tempat ini mau apa?" tanyanya lagi sambil memandang dengan tersenyum manis.
"Saya adalah seorang pengembara yang mencari pengalaman hidup dan disini saya mendengar bahwa pembangunan candi ini membutuhkan banyak tenaga. Nah, kalau sekiranya saya dapat diterima, saya akan senang sekali bekerja di sini, membantu pembangunan candi ini."
"Engkau dapat membuat arca, memahat dan mengukir"
"Sedikit-sedikit, dan saya dapat belajar dari ahli-ahli yang berada di sini."
"Bagus sekali! Engkau diterima, akan tetapi kalau menjadi pekerja di sini, engkau juga harus menjadi anggauta perkumpulan agama kami. Sanggupkah engkau?"
"Kalau memang itu persyaratannya, tentu saja saya sanggup."
"Baik sekali, Harjadenta. Malam ini adalah malam Respati, malam nanti ada pesta di sini dan pada kesempatan ini engkau dapat menerima pengangkatan sebagai seorang anggauta baru." Ni Dewi Durgomala memandang kepada Harjadenta dengan sinar mata penuh arti. Pemuda ini diam-diam bergidik. Pandang mata itu begitu penuh tantangan, penuh rayuan, penuh daya tarik maka dia cepat-cepat menundukkan mukanya.
"Saya bersedia, den ajeng..."
"Hemm, jangan sebut aku den ajeng, tetapi sebut aku Ni Dewi begitu saja. Ketahuilah bahwa aku yang memimpin pembangunan di sini, dan wakilku adalah Ki Shiwananda. Kalau engkau bekerja dengan baik dan penurut, engkau tentu akan dapat menemukan kebahagiaan di sini. Agama kami bertujuan membahagiakan semua anggautanya."
"Terima kasih."
Harjadenta lalu diajak pergi menemui para tukang membuat arca dan diperbantukan di bagian ini. Mulai pagi itu Harjadenta sudah bekerja ikut membangun candi.
"Andika diterima sendiri oleh Ni Dewi dan diberi pekerjaan di sini? Ah, andika beruntung sekali," kata seorang di antara mereka, seorang laki-laki muda yang mukanya penuh noda hitam bekas cacar. "Aku tidak seberuntung andika."
"Mengapa engkau mengatakan aku beruntung?" Tanya Harjadenta.
"Engkau tentu diterima menjadi anggauta agama baru, bukan?"
"Benar."
"Nah, engkau akan mengerti sendiri malam nanti. Engkau sungguh beruntung dan aku iri kepadamu" kata pula pria yang mukanya bernoda itu. Dia sudah menutup mulut dan tidak mau bercerita lebih banyak dan mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pekerjaannya mengukir dan memahat.
Berdebar tegang juga hati Harjadenta menanti datangnya malam. Apa yang akan terjadi dengan dirinya? Mengapa laki-laki bopeng itu mengatakan bahwa dia beruntung? Siang dan sore itu para pekerja mendapatkan makan yang cukup banyak dan enak. Harjadenta juga ikut makan dan dia mendapat kenyataan betapa para pekerja itu bekerja dengan rajin dan agaknya patuh sekali kepada atasan mereka.
Mereka bekerja sambil bernyanyi dan bersenandung. Kalau Ni Dewi datang menjenguk, mereka semua menganggukan wajah mereka berseri gembira. Wanita cantik itupun bersikap ramah sekali kepada para pekerja, kalau ada yang bekerja benar, ia memuji-muji dan kalau ada yang pekerjaannya tidak benar, ia memberi petunjuk dengan sabar. Tidak mengherankan kalau mereka bekerja dengan senang, pikir Harjadenta. Para pekerja diperlakukan dengan ramah dan mendapat makan yang cukup memadai.
Malam Respati itupun tibalah. Bulan muncul dan masih cukup terang karena bulan masih muncul tiga perempatnya. Gamelan sudah dibunyikan dan para pekerja dan para anggauta agama baru itu sudah mandi dan bersiap-siap untuk ikut dalam pesta. Harjadenta disuruh mandi dan bertukar pakaian. Lalu dia dipanggil oleh Ni Dewi Durgomala. Setelah dia menghadap, wanita itu berkata dengan ramah.
"Sudah siapkah, engkau untuk melakukan upacara pengangkatan sebagai anggauta baru dari agama kami?"
Harjadenta mengangguk dan menjawab, "Saya sudah siap, Ni Dewi."
"Kalau begitu, engkau ikutilah para peserta lainnya mendekati panggung dan kalau nanti aku dan Ki Shiwananda sudah muncul di panggung, engkau harus naik ke panggung dan berlutut memberi hormat kepadaku. Pada waktu itu engkau harus minum anggur kebahagiaan sebagai tanda bahwa engkau telah menerima agama baru sebagai agamamu, dan engkau telah menjadi anggauta kami. Dan selanjutnya, sebagai seorang anggauta yang baik dan taat, engkau harus melaksanakan segala perintahku. Mengertikah engkau, Harjadenta?"
Harjadenta mengangguk. "Saya mengerti."
"Bagus, nah sekarang bersiaplah dengan para anggauta yang lain. Malam ini, untuk menghormati kemunculan Sang Bathari Durgo dan Sang Bathara Kala yang menjelma menjadi aku dan Ki Shiwananda, kita semua akan mengadakan pesta seperti biasa, engkau boleh ikut bersenang-senang dan mendapatkan kebahagiaan."
Harjadenta tidak mengerti apa yang dimaksudkan wanita itu, akan tetapi dia mengangguk dan tidak banyak bertanya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dia akan menghadap apa yang datang nanti sambil mencari kesempatan untuk menyelidiki tentang pusaka Ki Carubuk, dan juga tentang nasib Sularko dan Sawitri. Ketika dia bercampur dengan para anggauta agama itu, berkumpul dibawah panggung sambil mendengarkan gamelan yang mengiringkan nyanyian seorang pesinden yang suaranya merdu, dia mencari si muka bopeng yang siang tadi dibantunya bekerja.
"Tampaknya kita semua akan bersenang-senang, kawan." katanya.
"Tentu saja, setiap malam Respati kita semua bersenang-senang, dan inilah yang membuat kita semua senang bekerja di sini dan menjadi anggauta agama baru ini." jawab si muka bopeng. Agaknya dia bergembira sekali sehingga mau banyak bicara secara terbuka. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Harjadenta untuk memperoleh keterangan sebanyak-banyaknya.
"Menurut Ni Dewi, aku akan diangkat menjadi anggauta baru malam ini. Apa yang akan terjadi denganku nanti. Aku belum mengerti dan tidak dapat membayangkan apa yang terjadi sehingga aku merasa agak gugup."
Si muka bopeng tertawa. "Ha ha, tidak perlu gugup, kawan. Engkau akan mendapatkan kesenangan luar biasa. Engkau tinggal menaati saja dan biasanya dalam pengangkatan anggauta baru di malam Respati biasa, bukan kalau sedang bulan purnama di mana Sang Hyang Bathara Shiwa sendiri hadir dalam tubuh Wasi Shiwamurti, engkau hanya akan disuruh minum secawan tuak yang sudah diberi mantera dan engkau akan merasa bahagia sekali. Jangan khawatir kawan. Engkau akan mendapat kehormatan dan kesenangan yang luar biasa malam ini dan melihat gelagatnya, Bathari Durgo akan memilih engkau menjadi pelayannya malam ini."
"Bathari Durgo....?"
"Penjelmaan Bathari Durgo, yaitu Ni Dewi. Apakah engkau belum mengerti?"
"Belum. Maukah engkau menerangkan sejelasnya, kawan?"
"Agama kami menyembah Tritunggal, yaitu Sang Bathara Shiwa, Bathari Durgo dan Bathara Kala yang menjelma menjadi Sang Wasi Shiwamurti, Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda. Nah, kita memuja tiga dewa dewi itu melalui mereka bertiga yang akan mengajarkan tentang agama ini kepada kita."
"Hemm, begitukah? Kawan, apakah pada malam Respati yang lalu juga ada anggauta-anggauta baru yang diangkat?" tanya Harjadenta sambil lalu, seolah pertanyaan itu tidak penting, pada hal dia mau mencari keterangan tentang Sularko dan Sawitri.
"Oh, ada. Mereka itu adalah kakak beradik dari Bulumanik sini saja, bernama Sularko dan adiknya yang bernama Sawitri."
"Lalu apa yang terjadi dengan mereka?"
Si muka bopeng menyeringai. "Tentu saja mereka menjadi pilihan Ni Dewi dan Ki Shiwananda. Mereka tentu hidup berbahagia sekarang."
Harjadenta tidak mendesak lebih jauh. "Bagaimana kalau ada orang berani menentang agama ini?"
"Siapa berani menentang? Ki Demang Kebolinggo sendiri menunjang didirikannya candi baru ini. Bahkan Kadipaten Nusabarung juga mendukungnya. Yang menentang tentu akan celaka oleh kutukan!"
"Kutukan?"
"Ya, tiga orang pimpinan kami adalah orang-orang sakti dan kalau mereka diserang dan menjadi marah, maka cukup dengan kutukan saja mereka yang berani mengganggu akan celaka hidupnya."
"Celaka bagaimana?"
"Sedikitnya tentu akan diserang penyakit berat atau bahkan dapat mati."
Percakapan itu terhenti karena di panggung telah muncul Ni Dewi Durgamala dan Ki Shiwananda. Harjadenta memandang ke atas panggung dan dengan penuh perhatian dia memandang ke arah Shiwananda. Seorang laki-laki yang bertubuh raksasa, tinggi besar dan kokoh kuat. "Seorang lawan yang tangguh," pikirnya. Melihat semua orang berlutut dan menyembah ke arah kedua orang itu, Harjadenta juga ikut berlutut dan menyembah. Akan telapi dia segera teringat pesan Ni Dewi bahwa kalau Ni Dewi sudah muncul di panggung, dia harus naik ke panggung menghadapnya. Maka, diapun lalu naik ke panggung melalui tangga yang tersedia di situ. Setelah berada di atas panggung, dia berlutut di depan Ni Dewi dan menyembah.
Ni Dewi Durgomala tertawa melihat dia. Ni Dewi lalu bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang, "Saudara-saudara, malam ini ada seorang anggauta baru. Inilah dia orangnya dan namanya adalah Harjadenta!" Ia memberi isyarat dan dua orang gadis lalu naik ke panggung membawa seguci tuak dan cawan-cawannya. Ni Dewi sendiri menuangkan tuak ke dalam sebuah guci, lalu membaca mantera dan menyerahkan cawan itu kepada Harjadenta.
"Harjadenta, sebagai tanda bahwa engkau mulai malam ini menjadi anggauta agama kami, minumlah anggur bahagia ini sampai habis!" Matanya memandang dengan mencorong ke arah muka Harjadenta.
Harjadenta terkejut sekali ketika merasa betapa jantungnya berdebar dan ketika dia balas memandang, ada pengaruh hebat menguasai pikirannya. Dia berusaha menolak pengaruh itu, akan tetapi dia mendengar suara berwibawa dan memerintah.
"Minumlah anggur kebahagiaan ini!"
Seperti dalam mimpi, Harjadenta tidak dapat melawan atau menolak sama sekali. Seolah bergerak dengan sendirinya, kedua tangannya menerima cawan itu dan dia segera minum tuak itu. Hampir dia tersedak karena pemuda ini tidak biasa minum-minuman keras seperti tuak itu. Akan tetapi ditahannya dan tuak secawan itupun habis diminumnya.
Terdengar sorak sorai dan setelah semua orang memberi hormat kepada Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda dengan nyanyian pujian yang aneh terdengarnya, pestapun dimulailah. Hidangan yang enak-enak disuguhkan dan tuak berlimpah-limpah. Semua orang makan dan minum dengan gembira, gamelan dibunyikan, makin lama semakin cepat dan keras iramanya dan orang-orang itupun mulai berjoget! Berlenggang-lenggok dengan gerakan-gerakan yang menunjukkan berkobarnya nafsu. Para wanitanya tanpa sungkan dan malu menggoyang-goyangkan pinggulnya sambil tertawa-tawa dan merekapun mendapatkan pasangan masing-masing. Ni Dewi Durgomala bangkit dari kursinya, menghampiri Harjadenta dan menjulurkan tangan sambil berkata,
"Harjadenta, mari kita bersenang-senang. Mari menari dengan aku!"
Harjadenta merasa heran sendiri ketika melihat betapa dia tidak mempunyai tenaga untuk menolak sama sekali. Bahkan hatinya merasa ikut bergembira dan kegembiraan yang meluap ini dapat disalurkan melalui tarian. Dia melihat Ni Dewi sudah menari di depannya, tariannya liar dan bernafsu, tubuhnya yang montok itu berlenggang-lenggok, pinggulnya bergoyang-goyang dankedua tangannya seperti mengajak Harjadenta. Tanpa dapat ditahannya lagi Harjadenta pun mulai ikut menari menurutkan irama gamelan yang panas! Ki Shiwananda juga sudah memperoleh pasangan seorang gadis yang cantik dan agaknya ia adalah seorang anggota yang sudah lama. Ia tidak canggung lagi menari-nari bersama raksasa itu sambil tertawa-tawa genit.
Makin malam, pesta tari-tarian itu semakin panas memuncak dan akhirnya mereka berpasang-pasangan meninggalkan panggung. Ki Shiwananda juga sudah menggandeng pasangannya menghilang dari panggung. Ni dewi Durgomala sambil tertawa-tawa menggandeng tangan Harjadenta menuruni panggung dan menuju ke belakang candi. Harjadenta bagaikan seekor domba yang dituntun ke tempat penjagalan, hanya menurut saja.
Dia bagaikan sedang mimpi dan sama sekali tidak menolak ketika ditarik memasuki sebuah kamar di belakang candi. Ketika pintu kamar itu dibuka dan Ni Dewi Durgomala menarik tangan Harjadenta untuk masuk, tiba-tiba saja ada sinar putih menyambar dan benda putih itu mengenai muka Harjadenta. Harjadenta terkejut dan merasa seperti kepalanya disiram air dingin yang membuat dia seketika menyadari keadaannya, benda putih itu ternyata setangkai kembang cempaka yang kini menyusup ke rambutnya.
"Ah, tidak... !!" Dia meronta dan melepaskan diri dari pegangan tangan Ni Dewi Durgomala. Wanita inipun terkejut dan memandang pemuda itu dengan matanya yang berapi penuh nafsu.
"Harjadenta, wong bagus, mari kita bersenang-senang" katanya dan ia hendak meraih untuk menangkap lagi tangan pemuda itu. Akan tetapi kini Harjadenta sudah sadar sama sekali akan keadaannya yang luar biasa, bahkan dia teringat betapa tadi dia ikut menari-nari seperti orang gila, tahu pula bahwa semua ini akibat pengaruh wanita yang kini berada di depannya.
"Iblis betina, engkau tidak bisa memaksaku!" katanya lagi dan dia mengelak dari sambaran tangan Ni Dewi Durgomala dan melompat keluar dari kamar itu. Ni Dewi Durgomala menjadi marah dan juga heran sekali. Bagaimana mungkin pemuda itu sudah terlepas dari pengaruh sihirnya? Ia lalu mengerahkan tenaga sihirnya, menggerakkan kedua tangan ke arah muka Harjadenta dan ia membentak dengan suara yang mengandung penuh wibawa,
"Harjadenta, ke sini kau! Engkau menurut atas segala kehendakku! Engkau telah menjadi anggota perkumpulan agamaku, dan engkau telah menjadi budakku. Kesinilah!"
Harjadenta merasakan ada tarikan yang amat kuat mencengkeram dirinya dan seperti memaksa dirinya untuk masuk ke kamar itu dan berlutut menyembah wanita itu. Akan tetapi ada kekuasaan lain di belakangnya dan terdengar bisikan.
"Adimas Harjadenta. Tolak pengaruh iblis itu!" Bisikan itu amat lembut namun mengandung kekuatan yang demikian hebatnya sehingga mengalahkan daya tarik dari wanita itu.
"Iblis betina, aku tidak akan tunduk ke padamu!"
Harjadenta berkata sambil melangkah mundur menjauhi pintu kamar itu. Bukan main marahnya Ni Dewi Durgomala mendengar dan melihat sikap ini. Dengan teriakan marah ia melompat keluar dan sudah tiba di depan Harjadenta.
"Keparat! Kalau begitu, apakah engkau lebih memilih mati dari pada menaati perintahku?"
"Ah, Ni Dewi Durgomala, beginikah engkau telah membunuh Sularko?" Harjadenta balas membentak.
Ni Dewi Durgomala terkejut bukan main mendengar ucapan itu dan tanpa banyak cakap tubuhnya sudah meluncur ke depan, tangan kirinya menampar ke arah kepala Harjadenta. Pemuda yang pernah menerima gemblengan ilmu kanuragan dari Empu Gandawijaya, cepat menangkis dengan memutar lengan kanannya.
"Dukkk... !" Harjadenta yang menangkis pukulan itu terpental dan terhuyung ke belakang sampai beberapa langkah.
"Mampuslah!" Ni Dewi Durgomala yang sudah marah sekali, melompat dan mengirim pukulan susulan yang sangat dahsyat dan cepat sehingga agaknya pukulan ini tidak akan dapat dihindarkan lagi oleh Harjadenta.
"Wuuuuuttt.... plakkkk!!" Kini tubuh Ni Dewi Durgomala yang terhuyung ke belakang. Ternyata pukulannya tadi ada yang menangkis, seorang yang muncul dari belakang Harjadenta, seorang pemuda yang berpakaian serba putih dan bersikap sederhana. Ketika tadi menangkis pukulan Ni Dewi Durgomala, diapun tampak tenang dan menangkis sembarangan saja, akan tetapi ternyata telah membuat Ni Dewi Durgomala terhuyung ke belakang.
Ni Dewi Durgomala tertegun dan bukan main kagumnya melihat seorang pemuda yang demikian tenang dan tampan, seperti Sang Harjuna saja! Jantungnya berdebar keras dan biarpun ia tadi ditangkis sampai terhuyung, ia tidak marah kepada pemuda itu, bahkan kini ia mengerling dan tersenyum manis sekali. Ia sendiri ketika itu sedang dilanda nafsu berahi yang memuncak, maka begitu melihat Bagus Seto yang demikian tampan, ia segera mengerahkan aji pengasihan untuk mengguna-gunai dan menarik hati perjaka yang tampan ini.
"Teja-teja sulaksana tejanya orang yang baru tampak! Satria bagus, siapakah andika, wong ganteng?" Ia bertanya sambil tersenyum.
Saking kuatnya aji pengasihan yang ia kerahkan, bahkan Harjadenta yang sudah terlepas dari pengaruh sihirnya, kini memandang terlongong penuh kagum kepada Ni Dewi Durgomala yang mendadak kelihatan demikian cantik jelita dan menarik seperti seorang dewi yang baru turun dari kahyangan!
Akan tetapi Bagus Seto tersenyum tenang. Sebelum dia menjawab, terdengar suara ribut-ribut di kamar sebelah dan Retno Wilis yang berpakaian serba putih itu melompat keluar dari kamar itu dikejar oleh Ki Shiwananda! Apakah yang terjadi di kamar itu? Ternyata Retno Wilis membagi tugas dengan kakaknya. Bagus Seto membayangi Ni Dewi Durgomala dan Retno Wilis membayangi Ki Shiwananda. Gadis perkasa ini tadi mengintai pesta liar di atas panggung dan ia pun teringat akan pengalamannya dahulu. Pernah ia terlibat dalam pesta seperti itu di bawah pengaruh orang-orang sesat yang menggunakan sihir kepadanya, ia merasa ngeri dan juga marah bukan main. Ia melihat pula betapa Harjadenta terpengaruh sihir dan ikut menari-nari liar, akan tetapi karena Bagus Seto yang akan mengawasinya, maka ia terus mengamati Ki Shiwananda yang kemudian menarik tangan seorang gadis yang tadi menjadi pasangannya menari menuju ke belakang candi dan memasuki sebuah kamar!
Retno Wilis merasa malu untuk ikut masuk kamar itu, maka ia mengambil jalan memutar dan tiba di luar jendela kamar itu. Dengan tenaga Argoselo, ia menggunakan tangan kanannya untuk mendorong daun jendela kamar itu. Jendela itu jebol dan Retno Wilis meloncat masuk dengan maksud untuk menghajar laki-laki raksasa itu sambil membentak, "Jahanam busuk, apa yang telah kau lakukan terhadap Sawitri?"
Ki Shiwananda terkejut bukan main ketika jendela jebol dan ia melihat berkelebatnya bayangan putih memasuki kamar, apalagi mendengar bentakan yang menanyakan tentang Sawitri itu. Akan tetapi diapun maklum bahwa wanita yang masuk kamarnya itu tentu seorang yang sakti, maka untuk menyelamatkan diri, dia sudah merangkul gadis pasangannya tadi dengan tangan kiri dan memasangnya di depan tubuh seperti perisai! Melihat ini, tentu saja Retno Wilis terkejut dan tidak jadi menyerang. Ia melihat betapa sarunya kalau dilihat orang ia berada di kamar seorang pria, maka ia lalu mendorong daun pintu dan melompat keluar.
Ki Shiwananda yang sudah terhindar dari serangan mendadak itupun timbul keberaniannya dan diapun lompat mengejar. Ketika tiba di luar, Retno Wilis melihat bahwa kakaknya bersama Harjadenta juga sudah berhadapan dengan wanita cantik itu, maka ia mengulang pertanyaannya kepada Ki Shiwananda.
"Shiwananda, engkau tentu telah membunuh Sawitri, bukan? Engkau jahanam busuk, pendiri agama yang sesat! Setelah bertemu dengan Retno Wilis, jangan harap engkau akan dapat melarikan diri!"
Mendengar gadis berpakaian putih itu menyebut namanya, Ki Shiwananda terkejut bukan main, bahkan juga Ni Dewi Durgomala terkejut sekali. Ni Dewi Durgomala telah mendengar bahwa rekannya yang bernama Ni Dewi Nilamanik dahulu juga tewas secara mengerikan di tangan seorang dara yang bernama Retno Wilis! Dan gadis ini menurut penuturan Wasi Karangwolo dan Surengpati, gadis ini adalah puteri dari KiPatih Tejolaksono dan Puteri Endang Patibroto yang terkenal sakti. Sementara itu, Bagus Seto menjawab pertanyaan Ni Dewi Durgomala yang tadi diajukan kepadanya,
"Ni Dewi Durgomala, aku bernama Bagus Seto. Katakanlah, apa yang kalian lakukan terhadap Sularko dan Sawitri?"
Melihat betapa Bagus Seto sama sekali tidak terpengaruh oleh aji pengasihannya, Ni Dewi Durgomala maklum bahwa ia berhadapan dengan orang yang sakti mandraguna, tidak terpengaruh oleh ilmu sihirnya. Akan tetapi ia masih hendak mencoba dan mulutnya berkemak-kemik, lalu ia membungkuk, mengambil segenggam pasir dan menaburkan pasir itu ke atas dan mendadak saja pemandangan menjadi gelap. Entah dari mana datangnya, ada asap hitam menutupi sinar bulan dan Hartjadenta sendiri terkejut dan merasa jerih. Akan tetapi Retno Wilis segera mengeluarkan lengkingan panjang, dan Bagus Seto berkata dengan lembut,
"Ni Dewi Durgomala, simpan saja ilmu setanmu yang hanya dapat dipakai menakut-nakuti anak kecil!" Bagus Seto menggerakkan tangan kirinya ke arah asap hitam itu menjadi buyar dan lenyap dan keadaan menjadi terang kembali.
"Augghhh.... !!" Ki Shiwananda telah mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang dan tubuhnya sudah menerjang maju, menyerang ke arah Retno Wilis. Namun gadis itu dengan tangkasnya sudah mengelak sehingga lawannya hanya menubruk angin kosong. Segera terjadi pertandingan yang amat seru di antara mereka. Ki Shiwananda adalah murid Wasi Shiwamurti yang tercinta, bahkan diangkat menjadi anaknya, maka ilmu kepandaiannya amat tinggi. Bahkan dia lebih tangguh dibanding Ni Dewi Durgomala, hanya bedanya wanita ini menguasai segala macam ilmu sihir dan guna-guna. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan Retno Wilis, maka terjadilah perkelahian yang amat dahsyat.
Sementara itu, Ni Dewi Durgomala menjadi pucat wajahnya ketika ilmu sihirnya demikian mudah dipunahkan oleh bagus Seto. Maka ia tidak mau mencoba lagi ilmu sihirnya dan secepat kilat ia mencabut senjatanya, sebatang keris dan menubruk Bagus Seto mengirim serangan maut.
"Kakangmas, itu Ki Carubuk yang dipegangnya!" Harjadenta berteriak ketika mengenal keris yang berada di tangan Ni Dewi Durgomala.
Jelaslah bahwa yang mencuri Ki Carubuk adalah wanita iblis itu. Mendengar seruan ini, Ni Dewi Durgomala tidak perduli dan menyerang terus. Kerisnya seperti berubah menjadi seekor naga yang menyambar-nyambar, mengeluarkan hawa panas yang terasa oleh Harjadenta yang berdiri di pinggir. Namun tubuh Bagus Seto bagaikan telah berubah menjadi bayangan, selalu menghindar dengan lembut dan cepat sekali, terbebas dari semua tusukan keris.
Harjadenta hanya menonton perkelahian itu. Dia maklum bahwa ilmu kepandaiannya belum cukup untuk menandingi seorang lawan seperti Ni Dewi Durgomala atau Ki Shiwananda. Maka dia hanya menonton dengan hati tertarik. Pada saat itu, muncul puluhan anak buah atau anggauta kumpulan agama itu dan melihat betapa Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda berkelahi dengan seorang pemuda dan seorang gadis, mereka beramai-ramai segera maju untuk mengeroyok Bagus Seto dan Retno Wilis.
Harjadenta merasa mendapat tugas. Dia melompat ke depan dan mengamuk di antara para anggauta agama itu. Akan tetapi karena dia tahu bahwa mereka ini adalah orang-orang yang tidak bersalah, hanya ikut-ikutan saja dan terdiri dari orang-orang dusun yang lugu, maka dia tidak mau menggunakan senjata, hanya membagi-bagi pukulan dan tendangan saja untuk mencegah mereka mengeroyok Retno Wilis atau Bagus Seto.
Pertandingan antara Bagus Seto dan Ni Dewi Durgomala seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus saja. Bagus Seto hanya mengelak dan ketika keris itu menyambar lagi ke arah dadanya, dia berkata, "Keris ini harus dikembalikan kepada pemiliknya!" Setelah berkata demikian, dia menyambut tusukan itu dengan tangannya, menangkap Keris itu dan sekali renggut, keris itu telah terlepas dari tangan Ni Dewi Durgomala.
Wanita ini terkejut bukan main. Hampir tidak percaya bahwa ada orang berani menangkap keris pusaka ampuh itu dengan tangannya begitu saja dan merenggutnya lepas dari tangannya, ia marah akan tetapi juga jerih, maklum bahwa ia tidak akan menang melawan pemuda berpakaian serba putih itu. Sambil berteriak ia lalu mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebuah kebutan berbulu hitam yang tadi terselip di pinggangnya.
"Haittt.... tar-tar!" Kebutan itu digerakkan sedemikian rupa sehingga ujung bulu-bulunya dapat meledak di atas kepala Bagus Seto. Namun pemuda itu tenang-tenang saja dan ketika ia menangkis ke atas, beberapa helai bulu kebutan putus! Ni Dewi Durgomala kini hanya berputar-putar dan menyerangkan kebutannya ke arah muka Bagus Seto dan selalu dielakkan oleh pemuda itu.
Sementara itu, pertandingan antara Retno Wilis melawan Ki Shiwananda berjalan seimbang. Ki Shiwananda memang tangguh sekali. Raksasa ini selain memiliki tenaga yang tidak lumrah manusia, juga dapat bercorak cepat biarpun tubuhnya demikian besarnya. Sepak terjangnya seperti seorang raksasa saja, kasar dan keras. Kadang dia bergulingan dan menyerang lawan dari bawah. Kedua lengannya yang panjang besar itu mencuat dan menyambar-nyambar ke arah segala bagian tubuh Relno Wilis.
Namun, Retno Wilis segera mainkan ilmu silat Pancaroba dan tubuhnya berkelebat melebihi burung walet cepatnya, sukar diraih tangan yang besar itu. Akan tetapi, Retno Wilis juga mengalami kesukaran untuk dapat merobohkan lawannya. Sudah dua kali tangan dan kakinya mengenai tubuh lawan, akan tetapi hanya membuat lawan terhuyung saja, tidak merobohkannya. Kiranya raksasa itupun memiliki tubuh yang kebal sekali.
Karena kesal sampai sekian lamanya tidak mampu merobohkan lawannya, Retno Wilis mencabut pedang pusakanya, yaitu pedang Sapudenta! Tampak sinar terang berkelebat menyilaukan mata ketika pedang itu berada di tangan kanannya.
"Babo-babo keparat, belum lecet kulitmu sudah mengeluarkan pusaka!" bentak Ki Shiwananda dan diapun mengeluarkan senjatanya yang berat, yaitu sebatang ruyung yang tadi tergantung di pinggangnya. Ruyung ini terbuat dari baja hitam, berat dan kuatnya bukan main. Sebongkah batu besar-pun akan pecah berantakan kalau sekali kena pukulannya dengan ruyung ini, apa lagi kalau mengenai kepala manusia!
Akan tetapi begitu dia menggerakkan ruyungnya, Retno Wilis telah mengerahkan aji Wisolangking di tangan kirinya. Aji Wisolangking ini membuat tangan kirinya panas sekali dan kalau mengenai tubuh lawan dapat menghanguskan bagian yang terkena pukulan!
Melihat sepak terjang adiknya yang begitu menggiriskan, Bagus Seto lalu menyambut serangan Ni Dewi Durgomala. Ketika kebutan itu menyambar ke arah kepalanya, ia menyambut dengan tangan kanannya dan sekali tangan itu menyambar, dia telah berhasil merampas kebutan dari tangan Ni Dewi Durgomala! Wanita ini memekik marah dan juga gentar.
"Ki Shiwananda, sudah saatnya kita pergi!" bentaknya kepada raksasa itu yang sedang bertanding seru melawan Retno Wilis.
Bagus Seto juga melompat ke dekat adiknya. "Diajeng, hati-hati dengan pusakamu!" Dia menggerakkan tangan menahan ruyung Ki Shiwananda yang dihantamkan.
"Plakkkkk!" Ki Shiwananda merasa betapa tenaga pada tangan kanannya seperti tenggelam dan lenyap. Dia terkejut sekali. Menarik kembali ruyungnya dan maklumlah dia bahwa seruan Ni Dewi Durgomala tadi benar. Baru melawan Retno Wilis saja dia kerepotan dan tidak mampu menang, apa lagi kalau Bagus Seto maju. Tangan pemuda itu dapat menyambut ruyungnya! Dia merasa gentar dan segera mengayun dan memutar ruyungnya. Ketika Bagus Seto dan Retno Wilis mundur, mereka berdua melompat dan lenyap di kegelapan malam.
Harjadenta masih mengamuk, merobohkan para pengeroyok. Melihat ini, Bagus Seto lalu melompat ke atas atap candi dari berseru, "Saudara sekalian, hentikan pengeroyokan itu!" Lalu dia melayang ke bawah.
Melihat ini, apa lagi melihat betapa dua orang pemimpin mereka telah melarikan diri, merekapun menghentikan pengeroyokan dan berdiri bingung seperti sekawanan domba kehilangan penggembalanya. Harjadenta juga berhenti mengamuk dan melompat kebelakang, dekat Bagus Seto dan Retno Wilis. Dia menjadi semakin kagum kepada dua orang kakak beradik ini, yang demikian mudah mengalahkan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda sehingga dua orang sakti itu melarikan diri. Dan dia girang bukan main ketika Bagus Seto menyerahkan keris pusaka Ki Carubuk kepadanya.
"Ini keris gurumu, kembalikanlah kepadanya," kata Bagus Seto.
"Terima kasih banyak, kakangmas Bagus Seto," katanya sambil menerima dan menyelipkan keris pusaka itu di pinggangnya.
"Kakang, kenapa kita tidak basmi saja perkumpulan agama ini?" kata Retno Wilis sambil memandang kepada para anggauta agama baru itu dengan alis berkerut.
"Jangan, diajeng. Agama mereka itu samasekali tidak bersalah. Sang Hyang Bathara Shiwa yang mereka sembah adalah Yang Kuasa Membasmi di alam mayapada ini, dan sudah selayaknya kalau disembah dan dipuja. Adapun Bathari Durgo adalah isterinya dan Bathara Kala adalah puteranya. Tidak ada salahnya dengan mereka yang disembah-sembah. Semua kesalahan terletak kepada manusianya yang menyelewengkan pelajaran agama itu untuk tujuan buruk. Mereka bebas menentukan agama mereka sendiri. Kita tidak boleh menentangnya dan mereka boleh mendirikan candi seperti yang mereka kehendaki. Yang kita tentang adalah manusianya yang melakukan tindakan menyeleweng dan jahat. Para anggauta agama ini tidak bersalah. Mereka bahkan menjadi korban, korban penyelewengan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda. Setelah kekalahan mereka malam ini, kurasa mereka tidak akan berani lagi melakukan kejahatan mereka di antara penduduk Bulumanik."
Harjadenta yang mendengarkan ucapan Bagus Seto ini, menjadi semakin kagum. "Saya rasa apa yang diucapkan kakangmas Bagus Seto itu benar, diajeng Retno. Orang-orang itu tidak berdosa. Mereka melakukan segala itu karena mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan adalah suatu perbuatan jahat. Mereka seperti mabuk atau terbius, seperti yang kualami tadi. Aku sendiri tidak sadar bahwa aku ikut menari-nari seperti orang yang gila. Mereka tidak salah bahkan patut dikasihani."
"Kalau begitu kesalahan ini selain terletak pada pundak kedua orang pimpinan agama itu, juga terletak di pundak Demang Kebolinggo. Sebagai seorang kepala daerah, dia tidak seharusnya memberi ijin kepada orang-orang seperti Ni Dewi Durgomala dan Ki Suwananda itu untuk membangun candi dan mempengaruhi penduduk. Tidak mungkin kalau dia tidak tahu apa yang telah terjadi di candi ini," kata pula Retno Wilis dengan gemas. "Orang seperti dia tidak patut menjadi pemimpin dan harus mendapat peringatan keras!"
Bagus Seto mengangguk-angguk. "Pendapatmu itu ada benarnya, diajeng. Silakan saja kalau engkau ingin memperingatkan dia, akan tetapi ingat, jangan menggunakan kekerasan, apa lagi membunuhi orang."
"Diajeng Retno Wilis memang benar, dan kalau boleh, aku akan senang kalau menemanimu pergi ke rumah demang dan memberi peringatan kepadanya."
"Kalau begitu lebih baik lagi agar Demang Kebolinggo lebih terkesan dan menaati nasihat kalian," kata Bagus Seto.
RetnoWilis terpaksa tidak dapat menolak permintaan Harjadenta. Ia sendiri memang kagum juga kepada pemuda yang berani dan telah membantu ia dan kakaknya menghadapi pimpinan agama baru itu.
"Baiklah, dan sebaiknya kita lakukan itu malam ini juga," kata Retno Wilis.
"Pergilah kalian, aku akan lebih dulu pulang ke pondokan Mbok Rondo Gati."
Tiga orang itu lalu berpisah. Retno Wilis dan Harjadenta pergi meninggalkan Bagus Seto dan mencari rumah Demang Kebolinggo, penguasa di Bulumanik. Tidak sukar bagi mereka untuk menemukan rumah yang paling besar di Bulumanik itu. Mereka berdua melihat bahwa ada tujuh orang penjaga di gardu penjagaan depan gedung itu. Akan tetapi Retno Wilis dan Harjadenta tidak mengganggu mereka. Mereka lalu mengambil jalan dari belakang rumah besar itu. Dengan mudah mereka melompat pagar tembok yang mengitari rumah itu dan menyusup ke arah gedung melalui taman bunga yang berada di bagian belakang. Malam telah larut dan suasana sunyi sekali. Agaknya semua penghuni gedung itu sudah tidur nyenyak. Akan tetapi mereka menemui kesulitan untuk mencari di mana kamar tidur sang demang.
"Biar aku yang mencari keterangan," bisik Harjadenta kepada Retno Wilis.
Gadis itu mengangguk. Harjadenta mengintai dari lubang di jendela sebuah kamar dan melihat seorang laki-laki tidur dalam kamar itu. Melihat kamar itu hanya kecil dan sederhana, maka dia dapat menduga bahwa laki-laki yang berada di dalam kamar seorang diri itu tentulah hanya seorang pelayan. Dengan mudah dia dapat membuka jendela itu dan melompat ke dalam. Retno Wilis hanya menanti di luar kamar, bersembunyi di balik tikungan dinding. Setelah berada di dekat pembaringan laki-laki setengah tua itu, Harjadenta lalu mengguncang tubuhnya. Laki-laki itu terbangun dan sebelum dia dapat membuka mulut, Harjadenta telah menempelkan keris pusaka Ki Mengeng di leher orang itu.
"Jangan bergerak dan jangan berteriak kalau engkau sayang nyawamu!" bisiknya.
Laki-laki itu ketakutan dan membelalakkan matanya, menggeleng kepala menyatakan bahwa dia tidak akan berteriak atau bergerak.
"Aku hanya ingin engkau menunjukkan di mana kamar Sang Demang Kebolinggo!" kembali Harjadenta menggertak, dan menempelkan kerisnya lebih ketat ke leher orang itu.
"Ampunkan saya... kamar... kamarnya berada di ruangan tengah... jangan bunuh saya..." kata orang itu dengan tubuh menggigil dan suara gemetar.
"Hayo turun dan tunjukkan aku kamar itu!" kembali Harjadenta berkata, dan dengan tubuh gemetar ketakutan orang itu lalu turun dari pembaringannya. Dia didorong ke pintu oleh Harjadenta, membuka pintu dan mereka keluar.
Retno Wilis melihat mereka, lalu ia mengikuti dari belakang. Setelah tiba di ruangan tengah dan orang itu menudingkan telunjuknya ke arah sebuah pintu kamar yang besar, tiba-tiba Harjadenta mengetuk tengkuknya dengan tangan kiri. Orang itu mengeluh lirih dan roboh pingsan.
"Sekarang giliranku untuk memasuki kamar sang demang lebih dulu," kata Retno Wilis dan Harjadenta mengangguk.
Dengan mudah sekali Retno Wilis juga membuka daun jendela kamar itu dan bagaikan seekor kucing saja ia melompat ke dalam tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Kamar itu remang-remang karena hanya diterangi sebuah lampu gantung yang kecil. Akan tetapi penglihatan Retno Wilis yang tajam dapat melihat sesosok tubuh yang tinggi kurus rebah seorang diri di atas sebuah pembaringan yang lebar dan berukir indah. Pria itu berusia kurang lebih lima puluh tahun dan dia tidur telentang dan mendengkur.