Sepasang Garuda Putih Jilid 08

Cerita silat Indonesia online karya Kho Ping Hoo. Sepasang Garuda Putih Jilid 08
Sonny Ogawa

Sepasang Garuda Putih Jilid 08 karya Kho Ping Hoo - RETNO WILIS menghampiri pembaringan itu dan dengan kakinya ia mendorong pembaringan itu, sehingga pembaringan terguncang keras. Sang demang terkejut dan terbangun dari tidurnya. Dia menggosok matanya dengan punggung tangan dan bangkit duduk, akan tetapi tiba-tiba saja ada sebatang pedang ditodongkan pada dadanya.

Dia terbelalak memandang dan melihat bahwa yang menodong dadanya dengan pedang adalah seorang wanita yang cantik jelita akan tetapi matanya mencorong menakutkan.

"Apa... ada apa ini... siapa andika?" tanya sang demang.

"Jangan mencoba untuk berteriak karena pedang ini tentu akan menembus dadamu!" Retno Wilis mengancam.

Kini Demang Kebolinggo sudah sadar sepenuhnya bahwa kamarnya kemasukan maling wanita yang mangancamnya. Dia adalah seorang laki-laki yang sedikit banyak memiliki ilmu bela diri. Dia menganggap bahwa wanita itu berani karena memegang pedang. Tiba-tiba dia membuang tubuh ke kiri sehingga terlepas dari todongan lalu kakinya menendang ke arah tangan Retno Wilis yang memegang pedang.

Retno Wilis terkejut, tidak mengira bahwa demang itu akan melakukan perlawanan. Maka ia lalu menarik pedangnya dan ketika melihat kaki demang itu mencuat dalam tendangan, ia mengetuk kaki itu dengan tangan kiri yang dimiringkan.

"Dukk... !" Kaki itu terpental kembali dan Demang Kebolinggo mengeluh kesakitan. Kakinya terasa seperti patah. Namun dia masih belum mau mengalah. Setelah melompat turun dari pembaringan, dia lalu menubruk dan memukul dengan tangannya.

Dengan cepat Retno Wilis menghindar dan tangan kirinya menampar, mengenai leher demang itu dan tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh demang itu terpelanting roboh.

"Hemm, apakah engkau ingin kubunuh dengan pedang ini?" bentak Retno Wilis, sambil menodongkan pedangnya di dada Demang Kebolinggo yang sudah bangkit duduk sambil menggosok-gosok lehernya yang terasa nyeri sekali.

Baru sekarang dia maklum bahwa wanita itu adalah seorang yang digdaya. Diapun tahu bahwa wanita itu tidak ingin membunuhnya. Kalau demikian halnya, tentu dia sudah mati sekarang. Wanita itu hanya merobohkannya dengan tangan saja, bukan menyerang dengan pedang.

Pada saat itu, Harjadenta yang mendengar suara gedebukan dalam kamar, merasa khawatir dan diapun melompat masuk melalui jendela. Hati Demang Kebolinggo menjadi lebih gentar lagi melihat masuknya seorang pemuda ke dalam kamarnya. Dia tahu bahwa dia telah kalah dan harus menurut apa yang dikehendaki mereka.

"Ada apakah?" tanya Harjadenta kepada Retno Wilis.

"Dia mencoba untuk melawanku," jawab Retno Wilis sambil tetap menodongkan pedangnya ke dada Demang Kebolinggo.

Melihat munculnya seorang pemuda membuat Demang Kebolinggo merasa semakin tidak berdaya. Akan tetapi dia merasa bahwa selama ini dia tidak melakukan kesalahan apapun, maka dengan tabah dia lalu menegur, "Andika berdua ini orang-orang muda mempunyai keperluan apakah? Mengapa masuk ke rumahku dan memaksaku seperti dua orang maling?"

"Hemm, andika sudah berbuat kesalahan besar masih berpura-pura bersih dan menggertak kami?" bentak Retno Wilis.

"Kesalahan besar apakah yang kulakukan? Aku selama menjadi demang bersikap bijaksana dan adil terhadap rakyatku."

"Bagus! Sekarang aku hendak bertanya, apakah engkau mendukung pendirian candi baru para penyembah Bathara Shiwa, Bathari Durga dan Bathara Kala di ujung padukuhan ini?"

"Benar, aku mendukungnya, akan tetapi kenapa? Mereka mendirikan agama baru, bukan melakukan kejahatan dan pendirian mereka itu telah mendapat restu pula dari Sang Adipati di Nusabarung." Demang Kebolinggo membantah.

"Bukan pendirian candi itu yang kumaksudkan, melainkan tindakan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda terhadap para muda mudi di Bulumanik!"

"Mereka berdua hanya memimpin pembangunan candi! Tindakan apa yang mereka lakukan?"

"Andika tidak mendengar apakah telingamu yang tuli, tidak melihat ataukah matamu yang buta. Setiap malam Respati mereka mengadakan pesta cab*l di candi itu dan mengorbankan banyak pemuda dan gadis yang bodoh sehingga mereka menurut saja kehendak dua pimpinan yang cab*l itu. Mustahil kalau andika tidak mengetahui hal itu!" Retno Wilis menghardik.

Wajah ki demang menjadi merah dan dia menundukkan mukanya. "Mereka mengadakan pesta itu... kukira itu adalah upacara keagamaan mereka... dan tentang para muda itu, mereka tidak dipaksa, mereka malakukan dengan sukarela. Apa yang dapat kuperbuat?"

"Andika bodoh dan tidak patut menjadi pemimpin rakyat. Mereka melakukan kecab*lan itu bukan dengan sukarela, melainkan karena bujukan dan kekuatan sihir. Relakah andika melihat para warga Bulumanik diseret ke dalam kesesatan seperti itu? Dua orang pimpinan pembangunan candi itu adalah manusia-manusia iblis yang sesat dan cabul, yang membawa para muda itu ke dalam kesesatan pula. Apakah hal demikian itu akan andika biarkan saja?"

"Habis, apakah yang harus kami lakukan? Kalau aku melarang pembangunan candi baru itu, berarti aku menentang perintah Kanjeng Adipati di Nusabarung!" Ki Demang itu membantah.

"Bukan melarang pembangunan candi, melainkan melarang diadakannya pesta cab*l itu. Kalau andika tidak melarang, berarti andika ikut menjerumuskan para muda di sini untuk menjadi sesat dan jahat. Dan kalau demikian halnya, percuma andika menjadi demang di sini, lebih baik andika dibunuh saja!" gertak Retno Wilis dan kini dara perkasa itu menempelkan pedang Sapudenta di leher Ki Demang Kebolinggo.

"Ampunkan aku. Baik, aku akan melarang pesta gila-gilaan itu."

"Bagus! Andika telah berjanji. Untuk sementara kutitipkan kepalamu kepadamu, akan tetapi kalau lain hari kami lewat disini dan melihat bahwa pesta cab*l itu masih diadakan, aku akan mengambil kepalamu!" Retno Wilis menggerakkan pedangnya.

"Wirrr... sratt... !" Sebagian rambut kepala Ki Demang Kebolinggo putus dan berhamburan ke bawah. Wajah demang itu menjadi pucat sekali.

"Aku akan mengadakan pemeriksaan, kalau benar mereka merusak para muda di Bulumanik, tentu akan kularang dan kulaporkan kepada Sang Adipati di Nusabarung."

Ucapan Ki Demang Kebolinggo ini bukan hanya karena dia diancam, akan tetapi memang keluar dari hatinya. Kalau tadinya dia mendiamkan saja orang-orang itu mengadakan pesta pora di candi, hal itu adalah karena dia tidak mau mencampuri urusan agama baru dan merasa tidak berhak. Akan tetapi kalau mereka itu merusak para pemuda dan gadis daerah kekuasaannya, bagaimanapun juga dia harus bertindak dan kalau perlu melarang kegiatan cab*l itu.

"Baik, kami percaya kepadamu!" kata Retno Wilis dan gadis ini lalu menyarungkan kembali pedangnya. Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan-teriakan banyak orang.

"Tangkap maling!"

"Tangkap penjahat!"

Kurang lebih duapuluh orang perajurit mengepung tempat itu dengan senjata di tangan. Melihat ini, Retno Wilis dan Harjadenta sudah siap pula untuk menyambut pengeroyokan mereka. Akan tetapi Ki Demang Kebolinggo sudah melompat ke depan dan mengangkat kedua tangannya ke atas, lalu berseru,

"Tahan... ! Jangan kalian salah paham. Kedua orang ini bukan maling bukan pula penjahat, mereka adalah sahabat-sahabatku yang datang berkunjung padaku."

Tentu saja para perajurit itu terkejut dan surut. "Pergilah kalian dan jangan ganggu kami!" kata pula Ki Demang Kebolinggo dan semua perajurit lalu pergi.

Tentu saja mereka semua merasa heran karena tadi ada seorang penjaga yang melihat atasannya itu berkelahi, dan kalau kedua orang itu benar sahabat yang datang bertamu, mengapa mereka tahu-tahu telah berada di dalam? Dari mana mereka lewat? Akan tetapi karena Ki Demang Kebolinggo sendiri yang melarang mereka, tentu saja mereka tidak berani membantah dan tidak berani pula banyak bertanya.

Retno Wilis mengangguk-angguk senang. "Melihat sikapmu ini, kami percaya bahwa andika tentu akan memegang teguh janji untuk mengadakan pemeriksaan dan melarang perbuatan cabul yang merusak para muda."

"Percayalah, karena aku sendiri tidak suka akan kejahatan." kata Ki Demang Kebolinggo dengan suara mantap.

"Kalau begitu, kami sekarang hendak pergi. Selamat tinggal, Ki Demang!" Sekali melompat, Retno Wilis telah lenyap dari depan demang itu, disusul Harjadenta yang sekali lompat sudah menghilang ditelan kegelapan.

Ki Demang Kebolinggo menghela napas panjang. Dia tahu bahwa dua orang muda itu adalah orang-orang gagah perkasa untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, orang-orang yang memiliki kesaktian. Akan tetapi dia juga sudah mendengar bahwa para pimpinan agama baru itu merupakan orang-orang sakti pula. Dia menjadi serba salah.

Akan tetapi di dalam hatinya, dia sudah mengambil keputusan untuk membujuk para anggauta dan pimpinan agama baru itu agar tidak lagi melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan. Kalau perlu dia akan melaporkan kepada Adipati di Nusabarung.

Dua orang muda itu berjalan berdampingan di bawah sinar bulan yang masih terang. Beberapa kali Harjadenta ingin membuka mulut bicara, akan tetapi dibatalkannya. Begitu sukar dia bicara setelah berdampingan dengan Retno Wilis. Semua kata-kata yang telah disusunnya semenjak dia bertemu dengan gadis perkasa itu, seolah runtuh semua dan dia tidak tahu harus bicara dari mana dan bagaimana.

"Andika diam saja sejak tadi. Ada apakah, kakangmas Harjadenta?" akhirnya Retno Wilis yang bertanya. Mereka sedang berjalan kembali ke pondokan Mbok Rondo Gati.

"Ah, aku.... aku mengenang kembali peristiwa di candi itu, diajeng. Kalau tidak ada engkau dan kakangmas Bagus Seto,entah bagaimana jadinya dengan diriku."

Retno Wilis tersenyum. "Engkau tentu akan jadi pengikut dan teman yang baik sekali dari Ni Dewi Durgomala." Ia menggoda.

"Ihhh! Amit-amit! Aku tentu akan mencari jalan untuk membunuh perempuan iblis itu!" kata Harjadenta dengan marah.

"Kenapa? Ia cantik sekali." kembali Retno Wilis menggoda.

"Aku benci sekali pada perempuan itu. Ia telah mencuri pusaka guruku, dan ia seorang wanita tak tahu malu."

"Engkau tentu tidak mau mengkhianati gadis yang menjadi tunanganmu, bukan?"

"Wah, diajeng, aku tidak mempunyai tunangan!"

"Akan tetapi engkau tentu telah mempunyai gadis pilihan hati yang menjadi kekasihmu." Retno Wilis berkata dengan lugu dan terus terang.

"Sungguh mati aku tidak mempunyai kekasih. Dan tentang gadis pilihan hati, memang ada, akan tetapi aku tidak berani mengakuinya."

"Eh, kenapa kakangmas?"

"Aku merasa rendah diri. Aku, seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan bodoh, sungguh tidak berhak dan tidak pantas mencintai seorang dara seperti itu. Pantasnya ia menjadi jodoh seorang pangeran atau seorang pria yang benar-benar sepadan dengan dirinya."

Retno Wilis berhenti melangkah. "Hemm, apakah gadis pilihan hatimu itu seorang puteri istana, kakangmas?"

"Lebih dari sekedar puteri istana biasa."

Retno Wilis mengerutkan alisnya. "Kalau begitu ia tentu puteri kahyangan?"

"Juga lebih dari sekedar puteri kahyangan. Ia seorang dara yang tiada cacat, seorang wanita yang sempurna, baik keelokan lahirnya maupun batinnya. Ia cantik jelita, gagah perkasa, bijaksana dan budi pekertinya seperti dewi. Ia tiada keduanya di dunia ini... "

"Huh, wanita seperti itu hanya terdapat dalam angan-anganmu saja, kakangmas, bukan seorang manusia dari darah daging!" Retno Wilis merasa penasaran sekali.

"Tidak diajeng. Ia seorang manusia seperti juga kita, hanya ia manusia pilihan."

"Hemm, ingin aku bertemu dengan wanita seperti itu. Di mana ia berada? Di awang-awang? Atau di antara bintang-bintang?" Retno Wilis mengejek.

"Kalau dibilang jauh, ia jauh sekali, di luar jangkauanku, akan tetapi kalau dibilang dekat, ia dekat sekali berada di hadapanku." kata Harjadenta dengan jantung berdebar tegang karena dia sudah membuka rahasia hatinya dan merasa takut kalau-kalau Retno Wilis akan marah.

"Ehh... ?" Retno Wilis memandang tajam dan mukanya berubah merah, bukan karena marah melainkan karena jengah, "Kau... kau maksudkan diriku?"

cerita silat online karya kho ping hoo

Harjadenta merasa kedua kakinya lemas tak bertenaga dan dia menjatuhkan dirinya berlutut. "Ampunkan aku, diajeng... tidak semestinya aku bersikap lancang, aku tahu betapa tidak pantasnya bagi seorang seperti aku mencintaimu, akan tetapi itulah kenyataannya. Kalau engkau marah nah, makilah aku, pukullah aku... "

Retno Wilis membalikkan tubuhnya membelakangi pemuda itu. "Kakang Harjadenta, kuminta jangan sekali-kali engkau membicarakan tentang hal ini lagi kepadaku. Aku tidak menyalahkanmu, akan tetapi aku... sama sekali aku tidak mempunyai pikiran tentang cinta." Setelah berkata demikian, gadis itu berlari cepat meninggalkan pemuda itu.

Harjadenta menghela napas panjang, merasa tidak enak hati, akan tetapi juga lega karena sudah mengeluarkan isi hatinya. Dan memang tidak mengharapkan bahwa cintanya akan diterima oleh Retno Wilis. Dia merasa bahwa dirinya tidak berharga untuk mempersunting bunga yang amat mulia itu.

Retno Wilis puteri Patih Panjalu, ia seorang wanita yang sakti mandraguna, namanya terkenal sekali. Sedangkan dia hanya seorang pemuda yatim piatu yang miskin, keturunan orang tua dari dusun, sungguh ibarat burung dia hanya seekor burung gagak dan Retno Wilis adalah seekor burung merak yang amat indah!

Dengan lemas diapun bangkit berdiri dan berjalan perlahan menuju ke pondokan Mbok Rondo Gati. Setibanya di rumah sederhana itu, dia mendengar berita yang mengejutkan. Para tetangga berkumpul di rumah itu dan ternyata Mbok Rondo Gati telah mati menggantung diri setelah mendapat kenyataan bahwa kedua orang anaknya mati dan hanyut di Kali Mayang.

Agaknya ia tidak lagi dapat menahan kesedihan hatinya. Ia hanya memiliki kedua orang anaknya itu, dan kini mereka telah mati dalam keadaan amat menyedihkan, mayat mereka hanyut di Kali Mayang dan tidak dapat ditemukan. Saking sedihnya, setelah tiga orang muda yang menjadi tamunya pergi, ia lalu menggunakan sabuk pinggangnya untuk menggantung diri sampai mati!

Ketika Bagus Seto yang tidak ikut Retno Wilis dan Harjadenta pergi ke rumah Ki Demang, tiba di rumah pondokan itu, dia mendapatkan Mbok Rondo Gati sudah tewas dan tergantung di ruangan belakang. Tentu saja dia terkejut sekali dan cepat menurunkan tubuh Mbok Rondo Gati dari gantungan, namun wanita tua itu telah tewas. Bagus Seto lalu memberitahu para tetangga yang berdatangan melayat.

Retno Wilis yang mendahului Harjadenta pulang ke pondokan, terkejut mendengar akan kematian Mbok Rondo Gati. Akan tetapi ia mengerti. Memang wanita itu hanya akan menderita sengsara dalam hidupnya, tanpa kedua orang anaknya yang dicintainya. Kalau ia hidup terus, tentu setiap hari ia hanya akan menangisi kematian kedua orang anaknya.

Harjadenta merasa heran sekali dan juga terkejut mendengar akan kematian Mbok Rondo Gati. "Apa yang telah terjadi?" tanyanya kepada Bagus Seto.

"Ia menggantung diri, tidak dapat menahan kesedihan hatinya mendengar kedua anaknya telah mati." jawab Bagus Seto singkat.

"Ah, kenapa ia melakukan hal ini? Kenapa ia memilih mati menggantung diri?" tanya Harjadenta yang merasa kasihan kepada janda itu.

"Ia menderita sekali dengan kematian kedua anaknya dan agaknya ia hendak mengakhiri kedukaannya itu dengan membunuh diri," kata Retno Wilis.

"Hemm, apakah dengan cara membunuh diri orang akan dapat melepaskan diri dari kedukaan? Apakah kedukaan itu terpisah dari dirinya? Kedukaan adalah ulah hati akal pikiran dan akan mengikuti orang sampai kepada kematiannya sekalipun." kata Bagus Seto lirih, seperti kepada diri sendiri.

"Akan tetapi, apa yang meyebabkan ia melakukan perbuatan nekat itu, kakangmas Bagus Seto?" Tanya Harjadenta.

"Karena kedukaan menggelapkan hati akal pikirannya. Kemilikan mendatangkan kemelekatan, dan inilah yang menjadi akar dari kedukaan. Memiliki sesuatu, baik yang dimilikinya itu berupa harta, kedudukan, atau anak, menimbulkan kemelekatan dan kalau sudah melekat, sekali dipisahkan tentu akan menimbulkan luka dihati. Padahal, memiliki tidak akan lepas dan pada perpisahan dengan yang dimilikinya. Akan tiba saatnya dia harus meninggalkan atau ditinggalkan oleh yang dimiliki, dan kalau hal ini terjadi, timbullah duka yang menggelapkan hati akal pikiran. Karena itu, orang yang bijaksana boleh mempunyai namun tidak memiliki."

"Nanti dulu, kakang! Di sini aku menjadi bingung. Apa bedanya mempunyai dan memiliki?"

"Yang kumaksudkan, mempunyai itu hanya lahiriah saja. Aku mempunyai harta, aku mempunyai kedudukan, aku mempunyai anak. Mempunyai ini hanya lahiriah dan kita bersikap dan berbuat sesuatu terhadap apa yang kita punyai secara wajar dan sesuai dengan kewajiban kita. Akan tetapi tidak memiliki, karena memiliki ini berarti melekatkan yang kita punyai itu ke dalam batin, menjadi satu dengan kita, dan kemilikan itu menguasai diri kita lahir batin. Mempunyai itu dengan kesadaran bahwa yang dipunyai itu hanyalah titipan saja, bukan miliknya. Yang memiliki hanya Hyang Widhi, dan kita ini hanya dititipi saja. Kita harus menjaga sebaiknya apa yang dititipkan kepadakita, dan kita harus rela apabila yang dititipkan kepada kita itu sewaktu-waktu diambil kembali oleh yang menitipkan, diambil kembali oleh Yang Memiliki."

"Hebat, kakangmas Bagus Seto! Keteranganmu sungguh amat jelas dan gamblang. Akan tetapi, apakah hal itu akan dapat meringankan penderitaan batin orang yang sedang berduka? Dapatkah kita melawan duka?" tanya Harjadenta.

"Duka timbul dari akal pikiran yang mengenang masa lalu. Kita teringat akan masa lalu yang penuh kesenangan, maka setelah kita dipisahkan dari kesenangan ini, timbullah iba diri yang menjadikan duka. Kalau kita senantiasa memandang saat ini, tidak mengenang masa lalu, maka segala apapun yang telah terjadi kita sadari bahwa hal ituudah dikehendaki Hyang Widhi dan tidak mungkin dapat diubah pula. Dengan kesadaran seperti itu, hanya memandang saat ini, kita akan menghadapi segala sesuatu dengan tabah dan semua ingatan ditujukan untuk menanggulangi keadaan saat ini. Iba diri tiada kesempatan untuk masuk ke dalam batin dan kita terhindar dari kedukaan yang berlarut-larut sehingga sampai membunuh diri seperti halnya Mbok Rondo Gati."

"Kalau begitu, kematian Mbok Rondo Gati ini juga sudah menjadi kehendak Hyang Widhi, kakangmas?" tanya Retno Wilis dengan nada membantah.

"Tentu saja. Apa lagi soal mati dan hidup, semua berada sepenuhnya di tangan Hyang Widhi. Akan tetapi yang kita persoalkan bukan kematiannya yang sudah sewajarnya begitu, melainkan cara kematian itu terjadi. Cara yang ditempuh Mbok Rondo Gati bukan cara yang benar dan hanya akah menjadi beban keadaannya sesudah mati. Kita harus selalu waspada terhadap daya-daya rendah yang akan menjerumuskan kita ke dalam kesesatan."

"Apakah daya-daya rendah itu, kakang?" tanya Retno Wilis.

"Daya-daya rendah adalah setan-setan nafsu yang selalu mengejar kesenangan dan kepuasan melalui badan danpikiran kita, tidak lagi memperdulikan caranya mengejar, pokoknya asal bisa mendapatkan yang diinginkan untuk memuaskan dan menyenangkan diri. Karena pengejaran tanpa pantangan itulah maka kita terseret melakukan hal-hal tercela demi mendapatkan kepuasan dan kesenangan. Dan bekerjanya nafsu menyeret kita tidak berhenti sampai terlaksana dan tercapainya yang kita kejar, karena setelah tercapai, nafsu mendorong kita untuk mengejar lain kesenangan lagi yang dianggap lebih menyenangkan dari pada yang kita peroleh. Maka, terjadilah lingkaran setan di mana kita dipermainkan tiada hentinya, terseret melakukan perbuatan tercela demi tercapainya yang kita kejar."

"Wah, jahat sekali kalau begitu. Nafsu merupakan musuh pribadi yang harus dihancurkan dan dimatikan!" kata Retno Wilis.

"Keliru pendapat itu, diajeng Retno Wilis," kata Bagus Seto. "Nafsu tidak mungkin kita matikan karena tanpa adanya nafsu, kita tidak dapat hidup. Nafsu telah ada semenjak kita lahir, menjadi peserta kita yang amat berguna bagi kelangsungan hidup. Nafsu yang membuat kita enak makan, melihat dan merasakan keindahan, mendengarkan kemerduan, bahkan nafsu pula yang menjadi sarana perkembang biakan manusia. Kita tidak dapat membunuh nafsu karena nafsu merupakan peserta penting."

"Menjadi peserta penting akan tetapi juga menjadi penggoda yang amat berbahaya?" tanya Harjadenta.

"Benar sekali. Nafsu menjadi peserta penting kalau dia berfungsi tetap sebagai peserta atau sebagai pembantu yang baik. Akan tetapi jangan biarkan dia merajalela, kalau dia merajalela dan dari pembantu berubah menjadi majikan dan kita menjadi pembantunya, celakalah kita yang akan diseret ke dalam perbuatan jahat."

"Semua keteranganmu sudah jelas, kakangmas Bagus Seto dan aku berterima kasih sekali mendapat penerangan darimu. Kesimpulannya, kalau aku tidak salah, kita harus dapat mengendalikan nafsu sehingga dia akan tetap menjadi hamba kita. Bukankah demikian?"

"Benar, dimas. Akan tetapi mengendalikan nafsu itu lebih mudah dikatakan dari pada dikerjakan. Nafsu telah menyusup ke dalam diri kita, sampai ke hati akal pikiran, sehingga rasanya tidak mungkin bagi manusia biasa seperti kita untuk dapat mengendalikan nafsu."

"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, kakang? Nafsu pembantu penting akan tetapi juga penyeret yang jahat, dan kita tidak dapat mengendalikannya. Lalu bagaimana? Engkau membuat kita tidak berdaya!"

"Memang manusia mahluk lemah dan tidak berdaya, adikku! Baik sekali kalau dapat menyadari akan kelemahan kita ini. Akan tetapi engkau lupa, diajeng. Di dalam ketidakberdayaan kita, ada satu Kekuasaan yang mutlak, Kekuasaan yang Satu dan hanya Kekuasaan itulah yang akan dapat mengembalikan nafsu kita pada tempat semula, yaitu menjadi pembantu yang baik. Kekuasaan Mutlak itu bukan lain adalah Ke kuasaan Hyang Widhi. Kita sendiri tidak berdaya akan tetapi kita dapat menyerahkan diri kepada Hyang Widhi, mohon bimbingannya dengan penuh kepercayaan, keikhlasan dan penyerahan. Kalau Hyang Widhi sudah berkenan menjamah kita dengan sentuhan suci dari TanganNya, tidak ada hal yang tidak mungkin."

"Aduh, kakangmas Bagus Seto. Terima kasih, terima kasih atas segala petunjukmu. Hatiku lega sekarang dan makin menguatkan batinku untuk menyerahkan diri ke Tangan Hyang Widhi sebagai dasar dari segala ikhtiar kita."

"Benar, adimas. Kalau sudah menyerah kepada Hyang Widhi, bukan berarti kita lalu menganggur dan segalanya terserah kepada Hyang Widhi. Itu pandangan keliru. Kita sudah diberi kelengkapan tubuh yang sempurna, maka kita harus mempergunakan setiap anggauta tubuh sesuai dengan fungsinya. Hanya saja, segala ikhtiar itu harus dilandaskan kepasrahan dan penyerahan tadi, sehingga apapun hasil dari ikhtiar kita, akan kita terima dengan ikhlas."

Semalam itu mereka tidak tidur, hanya berbincang-bincang di sudut ruangan itu. Pada keesokan harinya, jenazah Mbok Rondo Gati dikuburkan orang dan setelah selesai pemakanan, tiga orang muda itu lalu berpamit dari para tetangga dan meninggalkan kota Bulumanik.

Mereka berjalan bersama menuju ke Kali Mayang. Matahari telah naik tinggi dan setelah tiba di tempat di mana mereka menambatkan perahu mereka, Bagus Seto berkata kepada Harjadenta.

"Adimas Harjadenta, sekarang kita harus berpisah. Engkau kembalilah ke Gunung Raung untuk menyerahkan pusaka Ki Carubuk kepada gurumu, dan kami akan melanjutkan perantauan kami ke timur."

Harjadenta mengerutkan alisnya, memandang kepada Bagus Seto lalu kepada Retno Wilis, dan berkata, "Sesungguhnya aku ingin sekali dapat pergi merantau bersama kalian untuk meluaskan pengalaman, kakangmas Bagus Seto. Aku merasa bertemu dengan guru-guru baru yang membuka kedua mataku melihat kenyataan hidup dan aku ingin banyak belajar dari kalian."

Bagus Seto tersenyum dan memegang pundak Harjadenta. "Ada waktunya kelak kita dapat bertemu kembali, adimas Harjadenta. Akan tetapi pesan gurumu itu harus kau selesaikan dulu, keris pusaka gurumu itu harus kau kembalikan dulu kepada gurumu, dan setelah urusan itu selesai, engkau dapat saja merantau seorang diri. Perbekalanmu sudah lebih dari cukup. Engkau bijaksana dan cukup tangguh untuk menjaga diri sendiri. Nah, sampai jumpa, adimas." Setelah berkata demikian, Bagus Seto berjalan menyusuri Kali Mayang menuju ke selatan.

Harjadenta menggunakan kesempatan selagi berdua dengan Retno Wilis untuk berkata, "Diajeng, sekali lagi maafkanlah kelancanganku kepadamu semalam."

"Engkau tidak bersalah, kakangmas. Sudah menjadi hakmu untuk mencintai siapa saja termasuk aku. Akan tetapi aku sendiri belum berpikir tentang cinta. Engkau akan kukenang sebagai seorang sahabatku yang baik. Selamat tinggal!" Retno Wilis melompat dan mengejar kakaknya.

Harjadenta mengikuti mereka dengan pandang matanya sampai mereka itu lenyap dari pandangannya. Dia menghela napas panjang, tiba-tiba saja merasa betapa hidupnya sepi dan kosong. Kembali dia menghela napas, kemudian mendorong perahunya ke sungai dan menaiki perahunya, mendayung ke hulu untuk kembali ke pegunungan Raung.

********************

Pemuda itu berjalan dengan santai. Lenggangnya lembut dan bebas, dan wajahnya yang tampan itu selalu dibayangi senyum yang mendalam. Senyum penuh pengertian dan pandang matanya menembus. Pemuda ini berusia dua puluh dua tahun, wajahnya masih nampak muda sekali, akan tetapi kalau melihat sinar matanya, orang akan mengira dia lebih tua dari usia sebenarnya.

Rambutnya hitam panjang yang digelung ke atas, dahinya lebar. Sepasang alis yang tebal melindungi sepasang mata yang mencorong penuh kekuatan batin namun mata itu bersinar lembut penuh sinar kasih. Hidungnya mancung dan mulutnya amat menarik, karena mulut itu selalu dihias senyum penuh kesabaran.

Dagunya yang berlekuk keras itu menunjukkan bahwa dia memiliki pendirian yang kuat. Tubuhnya sedang saja dan gerak-geriknya lembut, tidak menunjukkan kekuatan yang kasar. Siapakah pemuda yang lemah lembut itu?

Pakaiannya sederhana saja, seperti pakaian seorang petani biasa, namun melihat gerak-geriknya yang lembut, dia berbeda dari petani yang biasa bekerja kasar. Namanya Jayawijaya, seorang pemuda yang datang dari pegunungan Tengger.

Ayahnya adalah seorang pendeta yang kini bertapa mengasingkan diri di sebuah puncak pegunungan Tengger. Jayawijaya meninggalkan tempat pertapaan ayahnya karena dia hendak pergi merantau untuk meluaskan pengetahuan dan pengalaman, dan ayahnya mendukung keinginannya itu.

Jayawijaya tiba di sebuah dusun pada siang hari itu. Dia memasuki dusun itu dengan maksud mencari makanan karena perutnya terasa lapar. Akan tetapi baru saja dia memasuki dusun Pandakan itu, dia merasa heran sekali karena keadaannya sunyi sekali, seolah tidak ada penduduknya. Akan tetapi dia mendengar suara banyak orang yang datangnya dari tengah dusun. Dia segera menuju ke tempat itu.

Di tengah-tengah dusun itu terdapat sebuah balai dusun, sebuah bangunan panggung yang cukup besar dan kiranya di situlah para penduduk dusun itu berkumpul. Dia lalu ikut berdiri di luar panggung untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Di tengah-tengah panggung itu dia melihat seorang pria berusia enampuluh tahun lebih, berpakaian sebagai pendeta namun mewah, pakaiannya dari kain halus yang bersih berwarna kuning, kedua lengannya memakai hiasan lengan dari emas, rambutnya juga tersisir rapi dan mengkilap karena diberi minyak dan dia pesolek, juga gayanya agak kewanitaan ketika bicara, suka menjilat bibirnya seperti gaya seorang wanita yang centil.

Pendeta itu bukan lain adalah Wasi Karangwolo yang menjadi penasihat kadipaten Blambangan. Bersama selosin anak buahnya dia sedang mempropagandakan agama penyembah Shiwa-Durga-Kala dan membujuk penduduk dusun Pandakan itu untuk masuk menjadi anggauta agama baru itu.

"Sekarang sudah tiba saatnya andika sekalian memasuki perkumpulan agama kami yang menjanjikan kehidupan bahagia bagi kalian. Dengan memasuki agama kami ini, hasil panen kalian akan menjadi baik, dan kalian akan dijauhkan dari bencana banjir, musim kering dan sebagainya lagi. Percayalah, kalian akan mendapat berkah dari Sang Hyang Bathara Shiwa, Sang Hyang Bathari Durgo, dan Sang Hyang Bathara Kala. Dan siapa yang tidak mau masuk menjadi anggauta agama kami ini, dia akan dikutuk hidupnya dan akan menjadi sengsara seperti seekor anjing!"

Jayawijaya mendengar ini dan dia mengerutkan alisnya. Orang bebas untuk memuji-muji agama sendiri akan tetapi kalau disertai ancaman seperti itu, namanya sudah tidak benar lagi.

"Agama lain yang kalian peluk itu hanya mendatangkan kesengsaraan dan kemiskinan belaka dan kalian membuat tidak-senang hati para dewata sehingga akan mengutuk kalian. Maka, mulai sekarang jadilah anggauta agama kami dan sekalian akan hidup berbahagia."

Tiba-tiba seorang penduduk dusun yang mempunyai nyali lebih besar berkata, "Kami selama ini memeluk agama kami yang lama dan kami hidup berbahagia! Kalau belum ada bukti bahwa agama baru ini membahagiakan kami, bagaimana kami dapat percaya?"

Suara para penduduk menjadi riuh rendah mendukung pernyataan ini. Mendengar ucapan itu, Wasi Karangwolo memandang ke arah pemuda yang bertubuh tinggi besar itu dan dia berkata sambil tersenyum ramah.

"Saudara yang bicara tadi dipersilakan naik ke panggung dan kami akan membuktikan kebenaran omongan kami. Silakan naik!"

Dengan dorongan suara para penduduk, pemuda itu lalu naik ke atas panggung. "Nah, saudara sekalian, kita sekarang akan membuktikan semua omongan kami tadi. Ki sanak ini akan menjadi bukti bahwa kalau menjadi anggauta agama kami tentu akan bahagia, sebaliknya kalau menolak, akan hidup seperti anjing."

Setelah berkata demikian Wasi Karangwolo mendekati pemuda tinggi besar itu dan menyerahkan sebuah batu sebesar kepalan tangan kepadanya. Dia memperlihatkan batu itu kepada semua orang dengan mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya.

"Lihat saudara sekalian, yang akan saya berikan kepada ki sanak ini hanyalah sebuah batu biasa. Kalian lihat baik-baik, dengan kekuasaan Sang Hyang Bathara Shiwa dan isteri serta puteranya, batu di tangannya akan berubah menjadi emas!" Dia lalu menyerahkan batu itu kepada pemuda tinggi besar yang masih berdiri di depannya.

Pemuda itu menerima batu itu dan digenggamnya, dan dia tersenyum-senyum tidak percaya. Wasi Karangwolo memegang tangannya yang menggegam batu dan berkata, "Ki sanak,sekarang pejamkanlah kedua matamu dan di dalam hatimu mintalah berkah kepada Sang Hyang Bathara Shiwa dan isteri serta puteranya agar batu dalam genggamanmu ini berubah menjadi emas!"

Pemuda itu masih tersenyum dan memejamkan kedua matanya. Wasi Karangwolo lalu membaca mantera, berkemak-kemik dan menggunakan kedua tangannya mendorong dan diarahkan kepada para penduduk yang berada di bawah panggung, kemudian membentak ke arah pemuda yang menggegam batu.

"Demi nama Sang Hyang BatharaShiwa dan isteri serta puteranya, batu itu berubah menjadi emas!" teriaknya sambil menggerakkan tangan ke arah tangan pemuda yang menggegam batu itu.

"Nah, sekarang buka dan perlihatkanlah kepada semua orang!" kata Wasi Karangwolo dengan suara biasa.

Pemuda itu membuka matanya, memandang kepada batu yang digenggamnya dan dia terbelalak. Batu itu benar-benar telah berubah menjadi emas yang berkilauan!

"Ah, betul-betul berubah menjadi emas!" teriak pemuda tinggi besar itu dan dia lalu turun dari panggung dan memperlihatkan sepotong emas itu kepada siapapun yang ingin melihatnya.

Setelah itu, pemuda itu lalu melarikan diri dari situ sambil membawa emasnya. Penduduk dusun Pandakan itu tidak ada yang mengenal pemuda itu menduga bahwa pemuda itu tentu seorang yang datang dari dusun lain dan kini saking girangnya lari membawa emasnya untuk diperlihatkan kepada orang-orang di dusunnya.

Wasi Karangwolo hanya tertawa saja melihat pemuda itu melarikan diri. "Dia seorang yang beruntung mendapat berkah, dan tentu mulai saat ini dia mau menjadi anggauta agama baru kami. Sudah kami buktikan bahwa yang percaya kepada agama kami akan mendapat kebahagiaan, bahkan batu dapat diubah menjadi emas kalau Sang Hyang Bathara Shiwa menghendaki. Apakah masih ada saudara yang meragukan kebenaran ucapan kami?"

Seorang pemuda lain naik ke atas panggung dan dia berkata, "Aku masih belum percaya betul bahwa agama baru ini akan membahagiakan orang!"

Wasi Karangwolo memandang pemuda itu dengan alis berkerut dan mata mencorong. "Kisanak, tadi sudah ada buktinya dan andika masih tidak percaya? Apakah ini berarti bahwa andika menolak menjadi anggauta agama kami?"

"Benar. Aku menolak karena agama kami sudah turun-temurun menjadi kepercayaan kami dan mendatangkan berkah," kata pemuda itu dengan berani.

"Hai orang muda! Tahukah andika bahwa siapa yang tidak percaya dan menolak agama kami akan terkutuk dan hidup seperti anjing!" bentak Wasi Karangwolo dengan marah.

"Aku tidak takut! Para dewata akan melindungi aku yang tidak bersalah!"

Wasi Karangwolo menjadi semakin marah. Sepasang matanya mencorong dan dia menggerakkan kedua tangannya ke arah pemuda itu dan suaranya terdengar menggeledek dan berwibawa sekali.

"Kalau begitu,sekarang juga hidupmu seperti seekor anjing yang hanya pandai menggonggong!"

Semua mata yang memandang kepada pemuda yang pemberani itu tiba-tiba terbelalak. Pemuda itu yang tadinya berdiri tegak, tiba-tiba saja membungkuk sehingga berdiri di atas kaki tangannya dan dia lalu mengeluarkan suara menyalak-nyalak seperti seekor anjing!

"Huk-huk-huk, aung-aung ... !" Orang yang berlagak seperti anjing itu berjalan-jalan di atas panggung dengan kaki tangannya dan terus menggonggong.

"Sungguh jahat! Jahat dan tidak berprikemanusiaan!"

Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki dan orangnya lalu naik ke panggung. Dia bukan lain adalah Jayawijaya. Sejak tadi dia ikut menonton dengan para penduduk, melihat betapa Wasi Karangwolo mengubah batu menjadi emas dan kini menyumpahi seorang pemuda sehingga berubah menjadi seekor anjing!

Ia merasa tidak tahan melihat ini dan segera naik ke panggung sambil mencela. Melihat seorang pemuda tampan naik ke panggung sambil menegur perbuatannya.Wasi Karangwolo menjadi marah. Dia melangkah maju menghadapi pemuda itu.

"Hai, siapa andika, lancang berani naik ke panggung tanpa perkenan kami? Apa engkau sudah bosan hidup?"

Jayawijaya tidak memperdulikan bentakan ini dan dia lalu menghampiri pemuda yang masih merangkak dan menggonggong seperti anjing dan menepuk-nepuk pundak pemuda itu.

"Ki sanak, sadarlah. Jangan bermain-main seperti anak kecil. Sadarlah andika!"

Suaranya demikian lembut dan penuh kasih sayang dan terjadilah keajaiban. Pemuda yang tadi merangkak dan menggonggong itu tiba-tiba menjadi sadar dan dia bangkit berdiri, tersipu malu dan turun dari atas panggung. Melihat ini, Wasi Karangwolo menjadi semakin marah. Dengan mengangkat tangan ke atas, memandang kepada Jayawijaya dengan sepasang mata bersinar-sinar, dia membentak,

"Orang muda, engkau juga menjadi anjing yang hanya pandai menggonggong!" Dia mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi Jayawijaya agar pemuda ini terpengaruh dan merasa dirinya seperti seekor anjing. Akan tetapi, dengan pandang matanya yang lugu dan lembut sinarnya, Jayawijaya menatap wajah kakek itu dan sama sekali dia tidak terpengaruh...

"Pendeta, perbuatanmu seperti ini sungguh tidak diridhoi Sang Hyang Widhi dan andika berdosa besar!" kata pemuda itu dengan berani. "Engkau boleh menyebarkan agama apa saja, akan tetapi tidak boleh memaksa orang untuk masuk agamamu dengan ancaman. Setiap orang berhak untuk menentukan agamanya sendiri, kenapa engkau hendak memaksa orang. Perbuatanmu ini tidak benar, sadarlah!" Suara pemuda itu lantang dan terdengar oleh semua penduduk dusun Pandakan.

Mendengar ucapan pemuda itu, banyak yang menyetujuinya dan perlahan-lahan banyak di antara mereka yang meninggalkan panggung itu, kecuali mereka yang ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Wasi Karangwolo mendengus marah seperti seekor kuda.

"Orang muda, siapa namamu, berani main-main di depan Wasi Karangwolo?"

"Namaku Jayawijaya, dan aku tidak merasa main-main di depanmu, Sang Wasi. Aku hanya mengatakan apa adanya dan mencoba untuk menyadarkanmu akan kesalahanmu."

Mendadak Wasi Karangwolo membuat gerakan dengan kedua tangannya di udara, mulutnya berkemak-kemik membaca mantera dan dia mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya lalu membentak.

"Jayawijaya, engkau berlututlah di depanku! Aku adalah penasihat Adipati Blambangan yang harus kau hormati. Berlututlah!" Perintahnya ini mengandung getaran yang amat kuat, bahkan para penonton yang tidak langsung diserang, suara itu, merasa seolah-olah ada kekuatan tersembunyi yang mendorong mereka untuk bertekuk lutut! Akan tetapi, Jayawijaya tetap berdiri dan dengan tegak dia menjawab.

"Aku bukan kawula Blambangan dan tidak ada alasannya sedikitpun juga bagiku untuk berlutut di depanmu, Wasi Karangwolo!"

Sang Wasi terkejut bukan main. Kekuatan sihirnya itu hebat sekali, kuat dan dapat melumpuhkan lawan yang kuat, akan tetapi mengapa tidak mempan terhadap pemuda yang kelihatannya lemah ini? Dia lalu melangkah maju selangkah dan tangan kirinya mendorong ke depan, disertai tenaga sakti untuk menyerang dari jarak jauh.

"Robohlah!" bentaknya.

Hawa pukulan yang kuat menyambar Jayawijaya dan pemuda itupun terjengkang roboh di atas papan panggung. Akan tetapi selain roboh, agaknya pukulan jarak jauh itu tidak melukainya karena dia segera bangkit berdiri dan berkata dengan lantang.

"Wasi Karangwolo, engkau sungguh seorang pengecut. Menyerang orang yang tidak melawan. Akan terapi pukulanmu tidak membikin aku takut dan aku tetap menentang perbuatanmu hendak memaksa penduduk dusun ini memeluk agamamu dengan semua ilmu hitammu!"

Melihat pemuda itu terjengkang roboh oleh hawa pukulannya, Wasi Karangwolo menjadi semakin berani dan marah.

"Jayawijaya, engkau patut dihajar!" Dan kini dia melompat ke depan dan menampar. Jayawijaya tidak menangkis atau mengelak karena memang dia tidak dapat bersilat sehingga tamparan itu mengenai dagunya.

"Plak.... !!" Kembali dia terpelanting keras dan roboh. Akan tetapi seolah-olah tamparan yang kuat itu tidak membuatnya merasa nyeri karena dia sudah bangkit berdiri lagi.

"Wasi Karangwolo, kekejamanmu ini tentu akan dikutuk oleh Sang Hyang Widhi!" dia mencela.

Tentu saja pendeta itu menjadi penasaran dan semakin memuncak kemarahannya. Kini dia mengerahkan tenaga sepenuhnya pada tangan kanannya, tenaga yang mengandung hawa beracun dan dia memukul ke arah dada pemuda itu. Kini dia yakin bahwa pukulannya itu tentu akan menewaskan pemuda yang berani menantangnya seperti itu.

"Wuuuuuuttt.... !" Wasi Karangwolo hampir berteriak saking kagetnya. Ketika pukulan tangannya sudah dekat dengan dada pemuda itu, tiba-tiba saja tangan itu tertahan, seolah ada hawa yang luar biasa kuatnya melindungi dada itu dan yang membuat tangannya tidak dapat menyentuhnya!

Pukulan yang demikian hebat membawa serangan maut, tidak dapat mengenai dada Jayawijaya. Wasi Karangwolo hanya melihat pemuda itu melangkah mundur selangkah. Dia menjadi penasaran dan melompat lagi menghantam dengan tangan kirinya ke arah muka pemuda itu. Akan tetapi hasilnya sama saja.

Setelah kepalan tangannya berada sejengkal dengan muka pemuda itu, pukulannya tertahan. Dia sudah siap lagi memukul. Akan tetapi pukulan ke tiga ini bertemu dengan sebuah tangan di udara dan terdengar seorang wanita berseru.

"Sungguh tak tahu malu! Seorang tua bangka menyerang seorang pemuda yang tidak melawan!"

"Dukkk.... !" Pukulan itu tertangkis dan tubuh Wasi Karangwolo terhuyung karena tangkisan itu demikian kuatnya.

Ketika dia memandang di atas panggung itu telah berdiri seorang wanita yang cantik jelita, dan usianya sudah setengah baya. Wanita itu masih cantik dan anggun, pandang matanya mencorong penuh wibawa. Wanita itu adalah Endang Patibroto yang sedang melakukan perjalanan untuk mencari Retno Wilis dan Bagus Seto.

Ketika ia tiba di dusun itu, ia juga melihat ramai-ramai di panggung dan segera datang menonton. Ia melihat betapa dengan sihirnya pendeta itu mempengaruhi orang dusun, dan melihat pula ketika Jayawijaya naik ke panggung menentang pendeta itu.

Ketika Wasi Karangwolo mempergunakan sihir untuk mempengaruhi pemuda itu, Endang Patibroto juga heran dan kagum melihat pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh, ia mengira bahwa pemuda itu tentu seorang yang memiliki kedigdayaan. Akan tetapi ketika dengan hawa pukulannya saja pendeta tak mampu merobohkan Jayawijaya sampai dua kali, Endang Patibroto tahu bahwa pemuda itu tidak memiliki aji kanuragan, maka begitu melihat tamparan datang lagi, ia cepat melompat dan menangkis.

Karena ia mengerahkan aji Bayutantra, maka gerakannya ketika melompat itu seperti terbang saja cepatnya, dan tangkisannya menggunakan tenaga aji Pethit Nogo, maka tidak heran kalau Wasi Karangwolo sampai terhuyung dan merasa lengannya tergetar hebat. Endang Patibroto memandang kepada Jayawijaya yang juga memandang kepadanya dan wanita sakti ini berkata,

"Orang muda, andika turunlah dari panggung dan biarkan aku menghadapi pendeta iblis ini!"

Jayawijaya mengamati wajah Endang Patibroto dan dengan halus dia berkata, "Kanjeng bibi, kuharap dengan sangat jangan bibi membunuhnya." Setelah berkata demikian pemuda itu lalu turun dari panggung dan membiarkan Endang Patibroto berhadapan dengan pendeta itu.

"Hemm, andika ini siapakah berani mencampuri urusan Wasi Karangwolo?" tanya pendeta itu dengan suara keras dan memberi tekanan kepada suaranya agar berpengaruh.

"Jadi andika bernama Wasi Karangwolo? Andika mencoba mengelabuhi penduduk dusun Pandakan ini dengan tipu daya dan sihirmu, lalu datang pemuda bijaksana, yang mencoba untuk menyadarkanmu. Akan tetapi andika malah menyerangnya dan hendak membunuhnya. Tentu saja aku turun tangan menentang. Namaku adalah Endang Patibroto dari Panjalu!"

Mendengar disebutnya nama ini, Wasi karangwolo terbelalak, mukanya berubah merah dan hidungnya mendengus-dengus seperti seekor kerbau marah. Dia sudah mendengar akan kematian mendiang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo, dua orang rekannya yang menjadi utusan Kerajaan Cola. Kabarnya kematian mereka adalah karena perlawanan yang dilakukan oleh Endang Patibroto dan suaminya yang kini menjadi patih Panjalu bernama Tejalaksono!

"Babo-babo, kiranya andika yang bernama Endang Patibroto! Bagus sekali, tidak usah repot-repot aku mencarimu, kini engkau telah datang mengantarkan nyawa!"

Endang Patibroto merasa heran mendengar ini. "Eh? Pendeta siluman, siapakah engkau dan mengapa pula engkau memusuhi ku?"'

"Mendiang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo adalah rekan-rekanku dari Negeri Cola. Mereka tewas karena perlawanan andika dan suami andika, Tejolaksono! Sekarang andika harus menggantikan nyawa mereka dengan nyawamu. Heiiiiiiitttt...!!"

Dengan kemarahan meluap-luap Wasi Karangwolo lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Tiba-tiba saja cuaca menjadi gelap seolah ada awan hitam yang tiba-tiba menutupi sinar matahari. Dan dari dalam awan hitam itu terdengar gerengan-gerengan seperti suara binatang buas yang mengancam.

Melihat ini, penduduk Pandakan cerai berai melarikan diri ketakutan. Di bawah panggung kini tinggal Jayawijaya seorang yang berdiri dengan sikap tenang. Endang Patibroto yang tiba-tiba menghadapi cuaca yang gelap gulita itu, lalu mengerahkan tenaga sakti ke dalam dadanya, kemudian ia mengeluarkan pekik dengan aji Sardulo Baiworo.

Terdengar lengking yang amat nyaring menggetarkan panggung itu dan segera awan gelap itu membuyar dan perlahan-lahan lenyap, seolah takut mendengar lengkingan yang tinggi dan nyaring itu.

Wasi Karangwolo masih penasaran. Dia mencabut kerisnya dan tampak sinar menyambar ke atas ketika dia melepaskan kerisnya dan keris itu berubah menjadi makhluk yang menyeramkan seperti raksasa berwajah iblis yang menubruk dan menyerang ke arah Endang Patibroto.

Wanita sakti ini tidak menjadi gentar, akan tetapi merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya, kemudian kedua tangannya dari dekat pinggang didorongkan ke depan, ke arah bayangan iblis hitam itu. Itulah Aji Gelap-musti yang hebat. Bayangan itu terpelanting dan kembali menjadi keris yang melayang ke arah tangan Wasi Karangwolo.

Maklum bahwa dengan ilmu sihir dia tidak dapat mengalahkan Endang Patibroto, kakek itu lalu menerjang dengan keris di tangan, menusuk dan gerakannya tangkas sekali, cepat dan kuat.

Namun, Endang Patibroto telah siap siaga. Mendengar bahwa kakek ini adalah rekan dari mendiang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo, iapun dapat menduga bahwa kakek ini tentu memiliki kesaktian yang kuat. Maka iapun menyambut serangan itu dengan gerakannya yang lebih cepat lagi karena ia menggunakan aji Bayu-tantra sehingga gerakannya seperti angin dan setelah mengelak dari semua serangan keris lawan, ia membalas dengan pukulan Pethit Nogo, bergantian dengan pukulan Wisangmolo yang beracun.

Terjadilah perkelahian yang amat seru dan sengit. Tidak ada yang berani menonton kecuali Jayawijaya yang masih berdiri di bawah panggung dengan kagum. Diam-diam Jayawijaya kagum sekali kepada wanita setengah tua itu. Demikian cekatan gerakannya, demikian cepat dan pukulan-pukulannya mendatangkan hawa pukulan yang menggetarkan panggung. Sebuah perkelahian yang hebat!

Dia mulai khawatir kalau-kalau seorang di antara mereka akan tewas dalam perkelahian itu. Biarpun matanya juga kabur tidak dapat mengikuti jalannya perkelahian, namun di dalam hatinya Jayawijaya percaya bahwa Endang Patibroto tentu akan keluar sebagai pemenang. Karena khawatir wanita perkasa itu akan membunuh lawannya, dari bawah panggung dia lalu berseru,

"Kanjeng Bibi, harap jangan bunuh dia. Berilah kesempatan kepada orang sesat itu untuk menyadari kesesatannya dan kembali ke jalan benar."

Sementara itu, melihat betapa tangguhnya lawan, Wasi Karangwolo lalu memberi isyarat kepada duabelas orang pembantunya dan mereka semua naik ke atas panggung dan mengeroyok Endang Patibroto.

Namun pengeroyokan itu tidak membuat Endang Patibroto gentar. Ia menyambut selosin orang itu dengan amukan dan semangatnya bertambah. Jiwa petualangan wanita ini kini mendapat tempat yang luas dan dengan gembira dia menyambut pengeroyokan ini dengan tendangan dan pukulannya.

Demikian hebat sepak terjang Endang Patibroto sehingga para pengeroyok itu bergelimpangan dan ada yang terguling jatuh keluar panggung. Akan tetapi, ada sesuatu terkandung dalam ucapan pemuda di bawah panggung tadi agar dia tidak melakukan pembunuhan. Sungguh aneh.

Suara itu demikian mempengaruhinya dan selalu terngiang dalam telinganya. Tanpa disadarinya apa sebabnya, ia membatasi tenaganya dan tak seorangpun di antara para pengeroyok itu terpukul tewas. Namun cukup keras membuat mereka mengaduh-aduh dengan tulang patah dan membuat mereka tidak dapat mengeroyok lagi.

Melihat ini, Wasi Karangwolo menjadi marah sekali. Sambil mengeluarkan gerengan dahsyat, tubuhnya menerjang maju, kerisnya menyambar-nyambar seperti kilat dan setiap serangannya merupakan cengkeraman maut yang mengancam nyawa Endang Patibroto.

Akan tetapi wanita sakti ini mengelak dengan cepat. Tubuhnya berkelebatan di antara sinar keris dan iapun membalas dengan pukulan jari tangan aji Pethit Nogo yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan senjata ampuh yang mana juga.

Akan tetapi Wasi Karangwolo juga bukan seorang lawan yang lemah. Diapun dapat mengelak atau menangkis semua pukulan yang dilontarkan Endang Patibroto. Pertandingan itu berlangsung hebat sekali sehingga Jayawijaya yang berdiri di luar panggung dan menonton pertandingan itu merasa khawatir akan keselamatan Endang Patibroto.

Perkelahian itu sudah berlangsung cukup lama dan agaknya memang sekali ini Endang Patibroto menemukan lawan yang tangguh. Akan tetapi Wasi Karangwolo sendiri merasa khawatir dan sedikit jerih. Biarpun dia sudah mengerahkan semua ajiannya, namun tidak satupun ajian itu dapat merobohkan lawannya. Bahkan kalau wanita itu menangkis, pertemuan antara kedua lengan mereka membuat dia tergetar hebat dan kadang terhuyung.

Dengan marah dia lalu mengeluarkan pekik menyeramkan dan menusuk dengan kerisnya ke arah dada Endang Patibroto. Wanita ini melangkah mundur setindak sambil merendahkan diri menekuk sebelah kaki kiri, kemudian secara tiba-tiba sekali kaki kanannya mencuat dalam sebuah tendangan. Wasi Karangwolo tidak mampu menghindarkan diri lagi.

"Wuuuuutt... bukkk... !!!" Perut kakek itu terkena tendangan kaki kanan Endang Patibroto. Walaupun hanya tendangan seorang wanita setengah tua, namun tendangan itu didorong oleh tenaga sakti yang amat hebat. Wasi Karangwolo mengeluh dan tubuhnya terjengkang. Dia terhuyung ke belakang, tidak sampai roboh akan tetapi nyalinya sudah terbang. Dia maklum bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, akhirnya dia akan kalah.

Maka, tanpa malu-malu dia lalu melompat turun dari atas panggung dan melarikan diri. Melihat hal ini, duabelas orang anak buahnya yang tadi sudah dihajar oleh Endang Patibroto, segera mengikuti jejak pemimpin mereka, melarikan diri tunggang langgang.

Endang Patibroto melihat ke bawah panggung. Tidak ada seorangpun penduduk dusun yang berada di situ, semuanya telah melarikan diri pulang ke rumah masing-masing. Akan tetapi pemuda tampan itu masih berdiri di sana, memandang kepadanya dengan kagum. Endang Patibroto lalu melompat turun dari panggung itu, berhadapan dengan Jayawijaya.

"Kanjeng Bibi sungguh sakti mandraguna dan bijaksana," kata Jayawijaya dengan pandang mata kagum. "Saya sudah mendengar dari kanjeng Rama bahwa di Jenggala dan Panjalu terdapat banyak sekali orang yang sakti, dan ternyata keterangan kanjeng rama itu benar. Hari ini saya bertemu dengan seorang di antara orang-orang sakti dari Panjalu."

Endang Patibroto memandang pemuda itu dan senyumnya membayangkan rasa sukanya. Pemuda ini lembut dan agaknya lemah tidak memiliki kedigdayaan, akan tetapi memiliki keberanian luar biasa sehingga berani menentang seorang sakti seperti Wasi Karangwolo.

"Orang muda yang baik, siapakah namamu dan dari mana engkau datang?"

"Kanjeng bibi, nama saya adalah Jayawijaya dan saya datang dari pegunungan Tengger."

"Siapakah orang tuamu dan mengapa engkau dapat berada di tempat ini?"

"Saya memang sedang merantau, kanjeng bibi, untuk meluaskan pengetahuan dan pengalaman. Ayah saya yang menyuruh saya merantau. Ayah saya adalah seorang pertapa bernama Panji Kelana. Pengembaraan saya membawa saya sampai ke tempat ini dan tadi ketika melihat pendeta itu hendak memaksakan kehendaknya kepada penduduk dusun untuk memasuki agamanya, saya lalu menegurnya. Baiknya ada kanjeng bibi yang datang dan mengusirnya, kalau boleh saya mengetahui, siapakah kanjeng bibi dan bagaimana secara kebetulan berada di sini? Saya mendengar tadi bahwa kanjeng bibi datang dari Panjalu."

"Namaku Endang Patibroto dan aku adalah isteri Ki Patih Panjalu. Aku sedang melakukan perjalanan untuk mencari dua orang anakku yang juga mengembara ke daerah ini. Nama mereka Retno Wilis dan Bagus Seto. Apakah andika pernah bertemu dengan mereka atau mendengar tentang mereka?"

"Saya tidak pernah mendengar tentang mereka, kanjeng bibi."

"Anakmas Jayawijaya, aku sungguh amat heran melihat keadaanmu. Andika tidak memiliki aji kanuragan, akan tetapi bagaimana andika berani menentang seorang yang digdaya seperti Wasi Karangwolo tadi. Bagaimana kalau dia memukulmu sampai tewas?"

Jayawijaya tersenyum. "Nyawaku berada di tangan Hyang Widhi, kanjeng bibi. Apa yang harus ditakuti? Kalau Hyang Widhi belum menghendaki saya tewas, biar ada seratus orang seperti Wasi Karangwolo tadi, bagaimana dia dapat membunuhku? Kanjeng Bibi, saya sudah sejak kecil menyerahkan jiwa ragaku kepada Sang Hyang Widhi dan saya percaya sepenuhnya bahwa Sang Hyang Widhi akan melindungi saya dari pada malapetaka."

Endang Patibroto terbelalak heran. "Hanya dengan bekal kepercayaan dan penyerahan kepada Sang Hyang Widhi, andika berani menentang orang-orang jahat?"

"Tentu saja, mengapa tidak, kanjeng bibi? Biarpun andaikata saya memiliki ajian yang sakti mandraguna, kalau Sang Hyang Widhi menghendaki kematian saya, dengan mudah saja saya akan tewas."

"Akan tetapi andika berani menentang Wasi Karangwolo? Itu berbahaya sekali, anakmas Jayawijaya!"

"Saya memang diutus ayah merantau ke arah Nusabarung ini dan menurut ayah saya, di daerah ini ada golongan tertentu yang hendak menghapus agama lama dan menggantikan dengan agama baru yaitu penyembah Bathara Shiwa, Bathari Durgo dan Bathara Kala. Ayah memesan agar saya menentang usaha yang tidak baik itu. Apalagi kalau usaha penyebaran agama itu dilakukan dengan kekerasan. Maka, ketika melihat Wasi Karangwolo hendak memaksakan agama itu kepada penduduk Pandakan ini, saya merasa kewajiban untuk menegur dan menentangnya."

"Luar biasa! Apakah penyerahanmu kepada Sang Hyang Widhi sudah sedemikian mutlaknya sehingga andika tidak takut menghadapi bahaya maut, anakmas Jayawijaya?"

"Tentu saja, kanjeng Bibi. Bukankah kita ini hanya ciptaan Sang Hyang Widhi dan kita dapat hidup ini adalah berkat kemurahanNya. Saya menyerah dengan penuh kepasrahan dan keikhlasan, sehingga andaikata saya sampai tewas dalam penyerahan saya, sayapun akan ikhlas karena kematian saya sudah dikehendaki Sang Hyang Widhi."

Endang Patibaroto menghela napas panjang. Sudah banyak dia bertemu para pendeta yang sakti mandraguna dan bijaksana, namun baru sekarang dia bertemu seorang pemuda lemah yang memiliki keyakinan dan kepasrahan kepada Sang Hyang Widhi seperti pemuda ini. Ia teringat akan anak tirinya Bagus Seto.

Bagus Seto juga seorang pemuda aneh, akan tetapi dia memiliki kesaktian, bahkan dia sakti mandraguna berkat ilmu-ilmunya yang didapatkan dari gurunya, Sang Bhagawan Ekadenta. Dia dapat menghadapi lawan-lawannya yang tangguh dengan ilmu yang dikuasainya.

Akan tetapi pemuda ini, seorang lemah yang tidak pernah mempelajari ilmu kadigdayaan, akan tetapi berani sekali menentang orang-orang yang sakti mandraguna hanya dengan mengandalkan kepasrahannya kepada Sang Hyang Widhi.

"Sekarang andika hendak kemana, anakmas?"

"Saya hendak melanjutkan perantauan saya di daerah ini, kemudian menuju ke Nusabarung, sesuai dengan perintah ayah. Kalau sudah sampai di Nusabarung dan menentang penyebaran agama secara paksa, baru saya akan pulang ke pegunungan Tengger."

"Kalau begitu, selamat jalan. Kita berpisah di s ini dan harap andika berhati-hati menjaga dirimu, anak mas."

"Selamat berpisah, kanjeng bibi. Mudah mudahan kita akan dapat bertemu kembali. Senang sekali bertemu dengan seorang yang sakti mandraguna seperti kanjeng bibi. Dan kanjeng bibi sendiri hendak ke manakah?"

"Aku akan melanjutkan pencarianku terhadap kedua orang anakku itu."

"Namanya Retno Wilis dan Bagus Seto? Aku akan membantumu, kanjeng bibi. Kalau bertemu dengan mereka, akan kuberitahukan bahwa mereka dicari oleh kanjeng bibi."

"Terima kasih, anak-mas," kata Endang Patibroto sambil tersenyum. Kalau ia saja tidak berhasil mencari anak-anaknya, apa lagi seorang pemuda lemah seperti Jayawijaya!

Mereka lalu berpisah. Akan tetapi belum lama Endang Patibroto berpisah dari pemuda itu, hatinya merasa tidak enak. Membiarkan seorang pemuda lemah seperti Jayawijaya melakukan perjalanan seorang diri! Sungguh besar bahayanya mengancam pemuda itu. Ia merasa tidak tega dan diam-diam ia lalu menanti, kemudian membayangi perjalanan pemuda itu dari jauh.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.