Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Sepasang Garuda Putih Jilid 09
JAYAWIJAYA berjalan seorang diri dengan langkah tenang. Dia merasa girang sudah dapat mencegah Wasi Karangwolo membujuk para penduduk dusun. Munculnya Endang Patibroto mempertebal iman kepercayaannya kepada kekuasaan Sang Hyang Widhi. Tentu hanya Hyang Widhi yang menggerakkan seorang wanita sakti seperti Endang Patibroto sehingga dapat membantunya menghadapi Wasi Karangwolo. Kalau Hyang Widhi hendak menolong, tidak kurang jalannya. Karena itu, sedetikpun dia tidak pernah kendur penyerahannya kepada Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Kasih. Sedetikpun dia tidak pernah menyangsikan bimbingan dan perlindungan Hyang Widhi kepadanya.
Hari telah menjelang senja ketika dia tiba di dekat sebuah hutan lebat. Tiba-tiba saja dari dalam hutan berlompatan tujuh orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan mereka menghadang jalan sambil menyeringai menakutkan. Jayawijaya terpaksa berhenti melangkah karena tujuh orang itu sengaja menghadang di depannya. Pemuda itu dengan sabar hendak mengambil jalan memutari mereka, akan tetapi tujuh orang itu kembali menghadangnya dan kemanapun dia melangkah, mereka tentu menghadang di depannya.
"Andika sekalian ini mau apakah? Saya sedang melakukan perjalanan, tidak mengganggu kalian dan tidak mengenal kalian. Harap membuka jalan dan biarkan aku lewat," katanya dengan nada suara halus.
Tujuh orang itu dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh brewok. Sejak tadi dia memandang ke arah buntalan di punggung Jayawijaya. Mendengar ucapan pemuda itu, dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, orang muda. Ketahuilah bahwa daerah ini adalah daerah kekuasaan kami. Andika lewat disini, boleh saja akan tetapi tinggalkan dulu buntalan di punggungmu itu!"
"Akan tetapi mengapa? Buntalan ini berisi pakaian yang menjadi bekalku dalam perjalanan. Aku memerlukan untuk pengganti pakaianku," Jayawijaya membantah dengan suara halus.
"Kau berani membantah? Serahkan pakaian dan barang-barangmu, atau serahkan nyawamu! Kau boleh pilih, harta atau nyawa!" kata kepala perampok itu dengan suara garang.
"Hemm, jadi kalian ini adalah perampok?"
"Benar, kami adalah perampok yang menguasai daerah ini. Jangan banyak membantah kalau engkau menyayangi nyawamu!"
"Sobat, tidak tahukah kalian bahwa merampok adalah pekerjaan yang amat tidak patut dan merugikan orang lain? Sebaiknya kalau kalian cepat menyadari hal itu dan mengubah jalan hidup kalian agar tidak menumpuk dosa yang akan berat pertanggunganjawabnya."
Tujuh orang laki-laki itu saling pandang dan tertawa bergelak. Mereka merasa lucu ada seorang pemuda yang memberi Wejangan kepada mereka seperti lagak seorang pendeta saja!
"Orang muda, jangan banyak cerewet! Serahkan buntalanmu itu kalau engkau ingin hidup!" bentak pemimpin perampok yang berewokan.
"Kalian menginginkan buntalan pakaianku ini? Boleh, kalau kalian memang membutuhkan pengganti pakaian, ambillah."
Dia melepaskan buntalannya dan menyerahkannya kepada kepala perampok. Si brewok itu menyambar buntalan itu dengan tangannya, lalu membuka buntalan. Ternyata benar hanya terisi beberapa stel pakaian yang sederhana, tidak dapat dibilang mewah dan tidak berharga. Dia mengerutkan alisnya dengan kecewa dan melemparkan buntalan pakaian itu ke atas tanah. Karena agaknya tidak bisa mendapatkan barang berharga dari pemuda itu, dia bermaksud untuk menghinanya saja sebagai tindakan bersenang-senang dan iseng untuk menebus kekecewaannya.
"Sekarang lepaskan semua pakaianmu, itupun harus diserahkan kepada kami!" bentaknya.
"Sobat, ini sudah keterlaluan namanya! Aku sudah menyerahkan semua pakaianku, akan tetapi andika masih menghendaki yang kupakai. Apa andika ingin agar aku bertelanjang bulat?"
"Ha-ha-ha, tidak perduli engkau akan bertelanjang seperti monyet, yang penting taatilah perintah kami. Hayo, cepat lucuti pakaianmu atau kami akan menggunakan kekerasan!"
"Tidak, terpaksa aku tidak dapat menuruti permintaanmu yang keterlaluan itu," jawab Jayawijaya sambil mengerutkan alisnya dan menentang pandang mata tujuh orang itu dengan berani.
"Apa?" Kepala rampok membentak sambil melolot. "Berani andika menolak perintahku? Apa andika ingin mampus?"
Sambil berkata demikian dia melangkah maju dan menggunakan lengan tangannya yang besar itu untuk mendorong dada Jayawijaya. Dorongan itu kuat sekali tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Jayawijaya terjengkang roboh. Akan tetapi dia tidak merasakan nyeri dan segera dia bangkit berdiri, matanya dengan berani menentang mereka.
"Kalian jahat! Kalian tentu akan memetik buah dari perbuatan kalian sendiri!" katanya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka si brewok.
Sikap dan kata-kata pemuda ini membuat para perampok itu menjadi marah sekali. Srat-srat-srat! Mereka mencabut golok yang tergantung di pinggang. Pemuda itu roboh hanya oleh dorongan tangan, akan tetapi bersikap demikian berani menentang mereka!
"Monyet tak berguna! Sekarang aku akan mencabut nyawamu!" bentak si brewok sambil mengangkat goloknya tinggi-tinggi dengan sikap mengancam.
Jayawijaya tetap berdiri tenang dan sedikitpun dia tidak berkedip menghadapi ancaman tujuh orang yang memegang golok itu.
"Kalau Sang Hyang Widhi belum menghendaki aku mati, golok-golokmu itu tak ada artinya dan tidak akan mampu membunuhku!" katanya dengan penuh keyakinan.
Tentu saja tujuh orang itu merasa ditantang. Si brewok lalu menerjang maju, goloknya ditebaskan ke arah leher pemuda itu dengan maksud sekali serang akan membikin putus leher itu. Akan tetapi, ketika golok itu sudah dekat sekali dengan leher Jayawijaya yang sama sekali tidak mengelak, golok itu terpental kembali dengan kuatnya sehingga hampir terlepas dari pegangan kepala perampok, seolah ada hawa yang amat kuat melindungi leher itu! Jayawijaya hanya mundur selangkah. Kepala perampok menjadi heran dan penasaran sekali, bersama enam orang anak buahnya dia menyerang lagi. Tujuh golok menyambar-nyambar ke tubuh Jayawijaya namun semua golok terpental kembali setelah mendekat tubuh pemuda itu.
Endang Patibroto yang mengintai peristiwa itu, berdiri terlongong dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Belum pernah ia melihat hal yang seaneh itu. Jayawijaya jelas tidak memiliki ilmu kepandaian atau kesaktian. Buktinya ketika didorong tadi ia terjengkang roboh. Akan tetapi mengapa golok-golok itu tidak dapat melukainya, bahkan tidak dapat menyentuh tubuhnya? Ia tidak melihat pemuda itu menggunakan anggota tubuhnya untuk menangkis atau mengelak, akan tetapi golok-golok itu terpental membuat penyerangnya terhuyung ke belakang.
Sungguh suatu penglihatan yang luar biasa anehnya. Ia teringat kata-kata pemuda itu bahwa dia tidak mempunyai ilmu apa-apa dan satu-satunya ilmu yang menjadi pegangannya hanya penyerahan kepada Sang Hyang Widhi! Benarkah penyerahan dapat menciptakan suatu pengaruh tidak tampak yang dapat melindunginya dari malapetaka?
Endang Patibroto tidak dapat membayangkan hal ini. Ia sendiri percaya akan kekuasaan Hyang Widhi, Yang Maha Pencipta atau Yang Maha Kuasa yang kekuasaannya tergabung dalam Trimurti. Yang Maha Pencipta, Yang Maha Melindungi dan Yang Maha Pembasmi. Akan tetapi kalau ia disuruh menyerah dengan ancaman seperti itu di depan mata, kiranya penyerahannya akan menghilang dan ia tentu akan mempergunakan segala kesaktiannya untuk melindungi dirinya. Akan tetapi pemuda itu dapat melindungi dirinya dengan iman dan penyerahan yang mutlak dan hasilnya, Hyang Widhi agaknya melindunginya dengan suatu kemujijatan!
Setelah membacok dan menusukkan golok mereka tanpa hasil dari yang mengakibatkan golok mereka terpental dan tubuh mereka terhuyung ke belakang, para perampok itu menjadi ketakutan. Mereka menduga bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang sakti mandraguna, maka mereka lalu memutar tubuh dan melarikan diri pontang panting dengan ketakutan.
Jayawijaya tersenyum dan mengambil buntalannya dari atas tanah, menggendong lagi buntalannya setelah membersihkannya dari tanah. Kemudian, dia melanjutkan perjalanannya seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dengan dirinya. Karena yakin sepenuhnya bahwa Hyang Widhi yang melindunginya, maka dia sama sekali tidak merasa sombong, karena dia sendiri tidak melakukan sesuatu. Hanya di dalam hatinya dia tiada hentinya mengucapkan puji syukur kepada Hyang Widhi yang sudah melindunginya dari marabahaya.
Sudah seringkali dia mengalami hal seperti itu, yakni selalu terlepas dari bahaya secara ajaib. Dia sudah terbiasa dan karenanya, keyakinan imannya dan penyerahannya menjadi semakin mendalam. Dia percaya sepenuhnya bahwa Yang Menciptakannya tidak akan membiarkan dia terancam malapetaka. Dia tidak menggantungkan kepada perlindungan Hyang Widhi, dia akan berusaha sekuat mungkin untuk melindungi diri sendiri, akan tetapi kalau usahanya itu telah sampai di puncaknya dan tidak berhasil, dia hanya menyerahkan diri kepada Hyang Widhi. Semua usahanya selalu berlandaskan penyerahan yang ikhlas dan sepenuh iman.
Dia tidak tahu bahwa Endang Patibroto masih terus membayanginya dari jauh, karena wanita ini tertarik sekali dan ingin melihat perkembangannya dan apa yang akan dialami oleh pemuda yang luar biasa itu. Ia sendiri harus mengakui bahwa beberapa kali ia terhindar dari marabahaya secara yang tidak disangka-sangka, akan tetapi ia menganggap hal itu sebagai suatu kebetulan saja. Tidak seperti pemuda itu yang seolah-olah melihat Tangan Sang Hyang Widhi selalu melindunginya!
Jayawijaya melanjutkan perjalanannya. Hari telah menjelang senja dan melihat sebuah dusun di depan, dia bermaksud untuk mencari tempat untuk mondok dan melewatkan malam. Di sudut dusun itu, agak terpencil, dia melihat sebuah rumah yang lumayan besarnya. Dia segera memasuki pekarangan rumah itu. Ruangan depan rumah itu sunyi saja, tidak tampak seorang-pun, akan tetapi lampu gantung di ruangan itu sudah dinyalakan orang.
"Kulonuwun.... !" Jayawijaya mengucapkan salam.
Ada jawaban dari dalam dan keluarlah seorang laki-laki dan seorang wanita yang usianya sudah limapuluh tahunan. Dua orang itu menyambut kedatangan Jayawijaya dengan ramah.
"Anakmas siapakah dan ada keperluan apakah mengunjungi rumah kami?" tanya yang pria.
"Nama saya Jayawijaya dan karena kemalamn di jalan, saya mohon kepada paman dan bibi agar dapat menerima saya bermalam di sini untuk malam ini."
Dua orang itu mengamati wajah Jayawijaya dan melirik ke arah buntalan di punggungnya. "Ah, boleh saja, anakmas. Silakan masuk, akan tetapi maaf, tempat kami kotor dan jelek."
"Paman terlalu merendahkan diri. Rumah ini cukup bersih dan indah. Apakah paman dan bibi hanya berdua saja tinggal di rumah ini?"
"Ya, kami hanya tinggal berdua. Kebetulan ada sebuah kamar kosong untuk andika bermalam. Silakan duduk. Kami tadi sedang siap untuk makan malam, maka marilah andika bersama kami makan malam, anakmas Jayawijaya."
"Terima kasih, paman dan bibi baik sekali," kata Jayawijaya dan diapun ikut masuk ke ruangan dalam.
"Duduklah dulu sebentar, anakmas. Kami berdua akan mempersiapkan hidangan malam untuk kita bertiga," kata laki-laki itu dan dia bersama isterinya lalu meninggalkan Jayawijaya seorang diri saja di ruangan itu.
Jayawijaya duduk di atas bangku dan menanti dengan hati senang. Beruntung, pikirnya, sekali ketuk sebuah rumah sudah diterima dengan ramah. Sementara itu, Endang Patibroto mendekati rumah itu dan mengintai dari belakang. Ia melihat sepasang suami isteri setengah tua itu sedang sibuk di dapur.
"Dia tentu seorang priyayi," kata yang wanita kepada yang pria.
"Buntalannya itu tentu mengandung isi yang berharga."
"Sekali ini kita akan untung besar."
"Akan tetapi di mana kita taruh racun ini?" tanya si pria sambil mengeluarkan sebuah bungkusan kain berwarna hitam.
"Jangan ditaburkan pada makanan karena kita akan makan bersama. Sebaiknya dimasukkan ke dalam air teh dan kita suguhi dia air teh itu dulu sebelum makan. Dia tentu haus dan akan minum air teh itu." Pria itu lalu membuka bungkusan dan ternyata di dalamnya terdapat bubuk berwarna biru. Dia lalu menuangkan isi bungkusan itu ke dalam sebuah poci minuman.
"Apa itu tidak akan terasa olehnya?"
"Tidak akan terasa. Kita beri teh yang kental sehingga rasa pahitnya akan disangka pahitnya teh."
Endang Patibroto terkejut sekali. Dua orang pemilik rumah itu bermaksud untuk meracuni Jayawijaya! Ia mengambil keputusan untuk terus mengamati dan nanti akan turun tangan mencegah kalau pemuda itu hendak minum air teh karena betapapun juga, ia tidak ingin pemuda itu keracunan. Apakah penyerahannya akan dapat menolak bekerjanya racun? Endang Patibroto tidak mau membiarkan ini terjadi. Setelah hidangan dan minuman selesai dipersiapkan, suami isteri itu lalu membawa hidangan ke ruangan tengah di mana pemuda itu masih duduk di atas bangku.
"Ah, kami hanya mempunyai suguhan sederhana ini, anakmas. Nasi jagung dan sayur lodeh. Mari silakan minum dulu, karena andika tentu kehausan!" kata tuan rumah sambil menuangkan air teh dari poci itu dalam sebuah cangkir dan memberikannya kepada Jayawijaya.
Pemuda itu menerima cangkir teh dan menghaturkan terima kasih lalu membawa cangkir itu ke mulutnya tanpa ragu. Di luar jendela, Endang Patibroto sudah siap dengan sebuah batu kecil untuk ditimpukkan kalau pemuda itu benar-benar hendak minum air teh dari dalam cangkir. Akan tetapi ia tidak tergesa-gesa karena hendak melihat perkembangannya. Cangkir itu sudah menempel di bibir Jayawijaya akan tetapi tiba-tiba Jayawijaya menjauhkan cangkir dan mengerutkan hidung dan alisnya. Dia menaruh kembali cangkir teh itu ke atas meja. Suami isteri yang memandang dengan mata penuh harap menjadi kecewa melihat pemuda itu tidak jadi minum air tehnya dan meletakkan cangkir di atas meja.
"Ada apa, anakmas?" tanya si wanita. "Mengapa andika tidak minum air teh yang kami suguhkan?"
Jayawijaya menggelengkan kepalanya. "Entah mengapa, bibi. Akan tetapi mulutku tidak mau minum air teh itu," katanya dengan polos.
Memang ketika dia hendak minum tadi, mulutnya menolak dan air teh itu seperti mengeluarkan bau yang memuakkan.
"Denmas!" tuan rumah itu berkata dengan nada suara kasar. "Kami dengan sungguh hati menerima kedatanganmu dan menyuguhkan makanan dan minuman seadanya. Kalau andika tidak mau minum air teh kami, berarti andika menghina dan memandang rendah kepada kami!"
"Ayo minumlah, denmas!" isterinya juga membujuk Jayawijaya.
Pemuda itu merasa tidak enak untuk menolak. Sekali lagi dia mengambil cangkir itu dan menempelkan di mulutnya. Akan tetapi, baru saja air teh menyentuh bibirnya, dia sudah menyemburkan keluar dan menaruh cangkir itu di atas meja kembali.
"Ada apakah, denmas? Apakah air teh kami tidak enak?" tanya si wanita.
Jayawijaya menggeleng kepala. "Bukan tidak enak, entah mengapa mulutku tidak dapat menerimanya." Dia sendiripun merasa heran mengapa ketika air teh menyentuh bibirnya, bibir itu seperti terkena api rasanya.
Tiba-tiba laki-laki tuan rumah itu menjadi marah. "Orang muda, andika sungguh menghina kami! Aku tidak terima diperhina seperti ini. Andika ternyata seorang yang tidak mengenal budi dan sudah sepatutnya dihajar!" Berkata demikian, orang itu menyambar sebatang arit dari dinding.
Isterinyajuga segera memegangi kedua tangan Jayawijaya dan berkata, "Engkau seorang pemuda yang tidak tahu diri! Cepat, pakne, hajar dia!" Ia memegangi kedua pergelangan tangan pemuda itu dengan kuatnya.
Laki-laki itu lalu melangkah maju dan aritnya diayun ke arah kepala Jayawijaya.
"Wuuuttt... crok ... ! Aduuhhh... !"
Wanita itu menjerit dan pundaknya terluka mengeluarkan darah. Ternyata ketika arit tadi menyambar ke arah kepala Jayawijaya, entah bagaimana arit itu menyimpang dan mengenai pundak wanita itu! Pria itu terbelalak melihat aritnya melukai isterinya sendiri. Dia menjadi marah dan sekali lagi membacokkan aritnya ke arah kepala Jayawijaya. Pemuda itu hanya berdiri tenang saja dan arit yang menyambar ke kepalanya itu pun tiba-tiba menyeleweng, bahkan terlepas dari tangan pria itu dan meluncur turun melukai pahanya sendiri!
Pria dan wanita itu mengaduh-aduh akan tetapi mereka agaknya menduga bahwa pemuda itu tentu memiliki ilmu yang tinggi, maka keduanya lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah-nyembah minta ampun.
"Ampunkan kami yang telah berani mengganggu paduka..." kata laki-laki itu ketakutan.
"Ampunkan saya, kanjeng... " Isterinya juga meratap.
Jayawijaya mengerti apa yang terjadi. Minuman itu tentu mengandung racun, maka Kekuasaan Hyang Widhi yang menghalangi mulutnya untuk minum kemudian ketika kakek itu menyerangnya, Kekuasaan Gaib itu pula yang membuat arit itu melukai suami isteri itu sendiri. Diam-diam dia mengucap syukur dan memuji Sang Hyang Widhi yang sudah melindunginya.
"Paman dan bibi. Kalau andika berdua tidak suka menerima kedatangan saya,mengapa tidak mengatakan terus terang saja? Mengapa harus menggunakan daya upaya untuk mencelakakan saya? Kalau andika berdua ingin minta ampun, mintalah ampun kepada Sang Hyang Widhi, karena perbuatan andika berdua itu merupakan dosa terhadap Sang Hyang Widhi, bukan terhadap saya." Dia lalu mengambil pula buntalan pakaian yang tadi diletakkan di atas meja, mengikatkan di punggungnya dan melangkah keluar dari rumah itu dengan lenggang seenaknya, seolah tidak pernah terjadi sesuatu dalam rumah itu.
Suami isteri itu masih terus berlutut menyembah-nyembah dengan ketakutan. Endang Patibroto yang mengintai dan menyaksikan semua itu, kembali menjadi bengong terlongong. Seorang pemuda yang hebat! Belum pernah selama hidupnya dia melihat atau mendengar akan adanya seorang pemuda yang berada dalam perlindungan Yang Maha Kuasa sedemikian ajaibnya. Pemuda yang sukar dicari bandingannya. Pemuda seperti itulah yang patut menjadi suami puterinya, Retno Wilis! Dengan pikiran ini, Endang Patibroto lalu berlari menyusul pemuda itu.
"Anakmas Jayawijaya!" tegurnya.
Pemuda itu menoleh dan melihat Endang Patibroto, dia tersenyum. Senyum itu demikian lembut dan penuh pengertian, pikir Endang Patibroto.
"Wah, kita bertemu lagi, kanjeng bibi Endang Patibroto!" kata Jayawijaya dengan girang.
"Aku kebetulan lewat di sini juga dan melihat andika," kata Endang Patibroto. "Dan andika darimana sajakah?" tanyanya untuk memancing pemuda itu menceritakan peristiwa yang tadi dialaminya. Akan tetapi pemuda itu tersenyum.
"Aku hendak mencari tempat untuk melewatkan malam, kanjeng bibi."
"Akupun demikian. Akan tetapi tidak enak kiranya kalau kita mengganggu penduduk dusun. Mungkin mereka malah mencurigai kita."
"Habis, kanjeng bibi hendak bermalam di mana?"
"Seorang pengembara seperti aku ini tidur di manapun boleh saja. Aku melihat ada gubuk di tengah ladang, bagaimana kalau kita melewatkan malam di sana?"
"Baiklah, aku akan senang sekali, kanjeng bibi."
Mereka berdua lalu keluar dari dusun itu dan benar saja, di luar dusun terdapat ladang yang luas dan tampak beberapa buah gubuk di tengah ladang.
"Nah, aku dapat bermalam di gubuk ini, dan andika bermalam di gubuk yang berada di sana itu. Bukankah tempat ini cukup menyenangkan?"
"Menyenangkan sekali, kanjeng bibi..."
"Sekarang buatlah api unggun, selain untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin, juga aku ingin memanggang juadah (uli). Aku tadi membelinya dari dusun sana. Lumayan untuk menghilangkan lapar." Endang Patibroto lalu membuka buntalan pakaiannya dan dari situ dia mengeluarkan sebuah bungkusan daun pisang dan ternyata di dalamnya terdapat juadah yang putih dan besar.
Jayawijaya lalu sibuk membuat api unggun di dekat gubuk, dan Endang Patibroto lalu menusuk beberapa potong juadah dengan sebilah bambu lalu memanggang sate juadah itu. Jayawijaya yang melihat bahwa Endang Patibroto tidak membawa minuman lalu berkata sambil bangkit berdiri.
"Kanjeng bibi, biar aku memanjat pohon kelapa itu untuk mengambil buah kelapa untuk kita minum."
Endang Patibroto tersenyum. Ia hendak melihat bagaimana caranya pemuda itu mengambil buah kelapa. Kalau ia kehendaki, dengan sekali sambit saja ia akan dapat meruntuhkan dua butir buah kelapa.
"Baik sekali, anakmas Jayawijaya."
Jayawijaya lalu menghampiri pohon kelapa yang berada tak jauh dari situ dan memanjat pohon kelapa dengan perlahan. Endang Patibroto mengamati dan menjadi semakin heran. Pemuda itu benar-benar seorang pemuda lemah yang tidak memiliki kadigdayaan, pikirnya. Mengambil buah kelapa saja dengan cara memanjat seperti orang biasa. Akan tetapi dia mendiamkannya saja dan mendengar suara berdebuk dua kali ketika pemuda itu menjatuhkan dua butir buah kelapa dari atas.
Setelah juadah yang dipanggangnya menjadi matang, mereka berdua lalu makan. Endang Patibroto tidak mau memperlihatkan kesaktiannya, maka ia menggunakan sebilah pisau yang dibawanya untuk melubangi buah kelapa. Mereka makan juadah panggang dan minum dawegan (kelapa muda) dan terasa nikmat sekali. Setelah makan, mereka duduk menghadapi api unggun. Endang Patibroto menatap wajah yang tampan itu, yang kelihatan aneh karena ada sinar merah api unggun bermain-main di wajah itu. Ia melihat betapa sinar mata pemuda itu amat lembut dan penuh pengertian. Ia merasa seolah-olah pemuda itu mengetahui semua yang terkandung dalam hatinya melalui pandang mata yang lugu itu.
"Anakmas Jayawijaya, bolehkah aku mengetahui, berapa usiamu sekarang?" tanya Endang Patibroto sambil lalu.
"Sudah dua puluh tiga tahun, kanjeng bibi."
"Engkau tentu sudah menikah atau bertunangan?"
Jayawijaya tersenyum dan mukanya yang tersinar api unggun itu menjadi semakin kemerahan. "Ah, belum kanjeng bibi. Dalam keadaan seperti saya sekarang ini, sama sekali saya tidak mempunyai pikiran untuk menikah."
"Kenapa? Bukankah pernikahan itu suatu hal yang lumrah bahkan menjadi kewajiban setiap orang manusia untuk memperoleh keturunan?"
"Benar apa yang kanjeng bibi katakan. Akan tetapi saya kira urusan perjodohan adalah ketentuan dari Hyang Widhi. Pula, berkumpulnya seorang suami dan seorang isteri bukan sekedar untuk memperoleh keturunan belaka, melainkan untuk membentuk sebuah rumah tangga yang bahagia. Dan syaratnya, di antaranya adalah tercukupinya sandang-pangan-papan. Sedangkan orang seperti saya ini, seorang perantau yang tidak mempunyai papan tertentu, panganpun sedapatnya dan sandangpun yang hanya saya bawa ini. Bagaimana saya dapat mempunyai pikiran untuk berjodoh, kanjeng bibi?"
Endang Patibroto tersenyum senang, "Pemuda yang berpikiran luas" pikirnya. "Akan tetapi kalau andika mendapatkan seorang isteri yang baik, kalian berdua akan dapat bekerja sama menanggulangi segala kesulitan hidup, anakmas."
"Agaknya saya masih belum memikirkan jodoh saya, dan saya hanya menyerahkan kepada Hyang Widhi untuk mengaturnya."
"Anakmas Jayawijaya, apakah engkau masih mempunyai seorang ibu?"
"Kanjeng ibu sudah meninggal dunia ketika saya berusia sepuluh tahun. Semenjak itu saya hanya tinggal berdua dengan kanjeng rama di sebuah puncak dari pegunungan Tengger."
"Ah, kasihan sekali, andika, anakmas. Sejak berusia sepuluh tahun sudah ditinggal mati ibu."
Jayawijaya tersenyum. "Tidak ada yang perlu dikasihani, kanjeng bibi. Ibu meninggal dunia sudah menjadi kehendak Hyang Widhi dan apapun yang ditentukan Hyang Widhi adalah baik dan benar, mengandung hikmah yang mendalam. Saya hidup berdua dengan kanjeng rama dan merasa cukup berbahagia, kanjeng bibi."
"Hemm, seorang muda seperti andika, bagaimana mengerti akan bahagia? Bahagia itu apakah, anakmas?"
"Bahagia itu adalah suatu perasaan, kanjeng bibi. Kalau seseorang sudah merasai cukup dengan segala yang ada, yang menganggap bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Sang Hyang Widhi, kalau sudah tidak ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak berbahagia, nah, orang itulah yang dapat merasakan bahagia."
Endang Patibroto tersenyum. Teringat dia akan pendapat suaminya, Tejalaksono. Seperti itu pulalah pendapat suaminya, akan tetapi agaknya suaminya belum menemukan intinya seperti yang diperoleh pemuda luar biasa ini.
"Wah, kalau begitu, anakmas Jayawijaya ini tidak pernah merasa berduka atau kecewa, selalu merasa bahagia?"
"Kanjeng bibi Endang Patibroto, saya hanyalah seorang manusia biasa, tiada bedanya dengan orang lain. Bagaimana saya dapat terlepas dari semua perasaan itu? Akan tetapi, kalau saya mengalami kedukaan, hal itu tidak akan berlangsung lama karena saya percaya dengan penuh keyakinan, bahwa segala keadaan itu hanya dapat terjadi kalau dikehendaki oleh Hyang Widhi. Dan kalau sudah demikian, maka saya dapat menerima apa saja yang terjadi dengan diri saya tidak menganggapnya sebagai hal yang mendukakan atau menggirangkan. Saya manusia biasa yang lemah dan dengan segalakurangan saya, kanjeng bibi. Tidak seperti kanjeng bibi yang sakti mandraguna."
"Anakmas Jayawijaya, sekarang aku mulai percaya bahwa tidak ada ilmu yang lebih hebat dari pada ilmu menyerah dengan penuh keimanan kepada Hyang Widhi seperti yang andika lakukan. Aku kagum sekali, anakmas."
"Setiap orang manusia dapat bersikap seperti itu, kanjeng bibi. Tidak ada yang patut dikagumi."
"Dengar, anakmas Jayawijaya. Sudah kuceritakan kepadamu bahwa aku sedang mencari anak-anakku Retno Wilis dan Bagus Seto. Setelah bertemu dan berkenalan denganmu, timbul niat di hatiku untuk menjodohkan anakku Retno Wilis dengan andika! Bagaimana pendapatmu, anakmas Jayawijaya?"
"Bagaimana saya harus menjawabnya, kanjeng bibi? Saya sama sekali belum mempunyai pikiran untuk berjodoh, karena itu saya tidak dapat menyanggupi atau menolak uluran tangan bibi yang memberi kehormatan sebesar itu kepada saya."
'"Percayalah, anakmas. Puteriku itu seorang dara yang cantik jelita luar biasa, dan ia sakti mandraguna, lebih sakti dari pada aku Sendiri. Andika tentu akan jatuh cinta kalau bertemu dengannya."
Jayawijaya tersenyum ramah. "Mungkin saja saya akan jatuh cinta kepadanya, akan tetapi bagaimana kalau ia tidak cinta pada saya? Cinta dua orang yang akan menjadi suami isteri tidak dapat hanya bertepuk tangan sebelah, kanjeng bibi. Akan tetapi, bagaimanapun juga, saya percaya akan kekuasaan Hyang Widhi. Kalau memang antara kami dijodohkan oleh Hyang Widhi, tidak akan ada rintangan yang dapat menghalanginya, akan tetapi kalau Hyang Widhi tidak menghendaki perjodohan kami, tiada ada sesuatupun yang dapat mendorong atau memaksa. Nah, kita semua lihat saja jalannya kekuasaan Hyang Widhi yang sempurna dan ajaib."
"Mudah-mudahan saja Hyang Widhi akan memenuhi harapanku dan akan mempertemukan kalian berdua, anakmas. Sekarang, anakmas mengaso dan tidurlah di gubuk sana itu, aku akan tidur di gubuk ini."
"Baik, selamat tidur, kanjeng bibi." Pemuda itu lalu bangkit dan berjalan menuju ke gubuk yang tidak berapa jauh dari gubuk itu, bayangannya diikuti pandang mata Endang Patibroto. Wanita perkasa ini merasa kagum bukan main. Akan tetapi diam-diam iapun merasa khawatir. Seorang seperti Jayawijaya, apakah sekali waktu tidak akan celaka oleh perbuatan manusia jahat? Apakah selanjutnya kekuasaan Hyang Widhi akan terus melindunginya? Dia sendiri tidak mempunyai kadigdayaan untuk melindungi diri sendiri.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Jayawijaya sudah bangun dari tidurnya dan membersihkan tubuhnya dengan air bersih yang mengalir di dekat pematang ladang itu. Ketika dia berjalan mendekati gubuk yang semalam menjadi tempat tidur Endang Patibroto, ternyata wanita itupun sudah bangun dari tidurnya, bahkan sudah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu.
"Andika sudah bangun, anakmas? Aku hendak melanjutkan perjalananku menuju ke Nusabarung. Aku akan mengunjungi Nusa Barung untuk mencari anak-anakku." Lalu ia menatap, wajah pemuda itu dan bertanya, "Andika sendiri hendak kemana, anakmas?"
"Mungkin saya juga akan mengunjungi Nusabarung. Sudah lama saya mendengar tentang pulau itu, dan melihat bahwa dusun Pandakan juga termasuk daerah Nusabarung, maka saya pikir tentu penyebaran agama baru yang dipaksakan itu datangnya dari sana."
"Kalau benar datangnya dari sana, apa yang akan andika lakukan, anakmas? Tentu para pimpinan agama itu merupakan orang-orang yang berilmu tinggi. Apa yang akan andika perbuat untuk menghalangi mereka?"
"Setidaknya saya dapat menyadarakan mereka bahwa cara yang mereka tempuh itu tidak benar. Mereka boleh saja menyebarluaskan agama mereka akan tetapi dengan cara yang benar dan penuh damai. Rakyat kan dapat menilai mana agama yang baik dan mana yang tidak baik. Kalau memakai cara paksaan, akibatnya para pemeluk agama itupun hanya berpura-pura saja karena takut."
"Andika akan menegur mereka dan mengatakan begitu?"
"Benar, kanjeng bibi. Saya tidak mempunyai cara lain untuk menyadarkan mereka."
"Kalau mereka menolak caramu menyadarkannya dan bahkan menyerangmu, bagaimana?"
"Saya bermaksud baik bagi mereka sendiri, kalau sampai terjadi hal itu, saya hanya menyerah kepada kekuasaan Hyang Widhi saja."
Endang Patibroto menggeleng kepalanya, akan tetapi ia merasa tidak berhak untuk melarang. "Kalau begitu, mudah-mudahan usahamu itu berhasil baik, anakmas Jayawijaya. Nah, selamat tinggal, aku pergi dulu."
"Selamat jalan, kanjeng bibi."
Endang Patibroto meninggalkan pemuda itu melakukan perjalanan ke Nusabarung.
Adipati Martimpang membuka persidangan itu, dihadap oleh para ponggawa, termasuk lima orang senopatinya yang digdaya, yaitu Ki Wisokolo, Ki Wisangnogo, Ki Krendomolo, Ki Damarpati dan Ki Surodiro. Selain para ponggawa dan senopati, di-situ terdapat pula Wasi Surengpati, tokoh dari Gua Iblis itu yang kini oleh Adipati Martimpang diangkat menjadi seorang penasihat.
Mereka membicarakan tentang penyusunan kekuatan di Nusabarung dengan bertambahnya perajurit yang kini jumlahnya sudah mencapai tiga ribu orang. Setengah jumlah itu dipusatkan di pantai daratan untuk menjaga pintu depan Nusabarung dan setengahnya lagi berada di pulau itu. Seorang penyelidik melaporkan bahwa di Jenggala atau Panjalu belum terlihat ada gerakan pasukan yang bergerak ke timur, bahkan pasukan Panjalu banyak yang dikerahkan ke selatan dan barat untuk menundukkan para raja muda dan adipati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Panjalu.
"Bagaimana dengan usaha para wasi untuk menyebarkan agama baru kalian itu? Sampai di mana perkembangan dan hasilnya, kakang Wasi Surengpati?" tanya Adipati Martimpang kepada penasihatnya.
Wasi Surengpati sekarang tidak lagi berpakaian kotor dekil seperti dulu. Pakaiannya serba indah dan baru, rambutnya yang mengkilat karena diminyaki dan disisir, matanya yang lebar itu bersinar-sinar dan hidungnya yang pesek tampak lebih pesek lagi ketika dia menyeringai.
"Ah, heh-heh-heh, sudah mendapat banyak kemajuan, Kanjeng Adipati. Banyak orang dusun yang sudah menjadi anggota perkumpulan kami dan banyak candi didirikan orang. Mereka yang sudah menjadi anggota agama kami itu merupakan kekuatan yang dengan mudah dapat kita pergunakan untuk menyerang musuh atau untuk mencetuskan pertentangan antara para pemeluk agama lain. Dengan demikian, maka keadaan di wilayah Jenggala dan Panjalu akan menjadi lemah."
"Bagus, kalau begitu. Apakah andika tidak menemui halangan?"
Wasi Surengpati menghela napas panjang. "Wah, baru-baru ini memang ada beberapa orang di antara para penduduk dusun yang mencoba untuk menentang kami, akan tetapi dengan mudah kami singkirkan mereka. Hampir di setiap dusun yang termasuk wilayah Nusabarung sudah ada perwakilan agama kami, ha-ha-ha."
"Kalau begitu, kita harus cepat memberi kabar kepada Kadipaten Blambangan agar Wasi Karangwolo dan terutama Wasi Shiwamurti mengetahui bahwa gerakan kita di Nusabarung sudah berhasil."
"Harap jangan khawatir, Kanjeng Adipati. Saya sudah mengirim utusan ke sana, karena Kakang Wasi Shiwamurti perlu mengangkat kepala-kepala agama untuk memimpin mereka yang berada di dusun-dusun. Dan pengangkatan itu baru sah kalau dilakukan oleh Sang Wasi Shiwamurti."
Tiba-tiba seorang pengawal masuk ke ruangan itu. Melihat ini, Adipati Martimpang menegurnya, "Heh, pengawal, mau apa engkau menghadap tanpa kami panggil?"
"Ampunkan hamba, Kanjeng Adipati. Di luar terdapat seorang wanita yang hendak menghadap paduka, dan ketika kami larang, ia mengamuk dan merobohkan banyak pengawal!"
"Kakang Wasi Surengpati, coba andika keluar dan lihat siapa wanita itu. Kalau ia hanya seorang pengacau, tangkap dan hajar." Adipati Martimpang memerintah dengan marah.
Wasi Surengpati lalu keluar sambil membawa tongkat ularnya. Langkahnya menunjukkan betapa ia sadar akan harga dirinya, dadanya dibusungkan dan langkahnya dibuat segagah mungkin. Seolah dia berteriak kepada semua orang agar melihat bahwa dia yang ditugaskan menangkap pengacau dan kalau dia turun tangan, semua tentu akan menjadi beres!
Siapakah wanita yang mengamuk di luar itu? Ia bukan lain adalah Endang Patibroto! Setelah dengan perahu ia tiba di pulau Nusabarung, ia langsung saja datang ke kadipaten. Kepada para pengawal yang berjaga di luar, ia mengatakan bahwa ia ingin bicara dengan Adipati Martimpang. Akan tetapi para pengawal melarangnya karena tidak semua orang dapat menghadap sang adipati, apa lagi pada saat itu sang adipati sedang mengadakan persidangan. Karena itu, para pengawal melarangnya dan hal ini membuat Endang Patibroto menjadi marah sekali. Ia nekat untuk memasuki gedung kadipaten, akan tetapi para pengawal menghalanginya sehingga terjadilah perkelahian. Para pengawal itu dilempar-lemparkan, ditampar dan ditendang sehingga mereka berpelantingan dan seorang di antara mereka cepat melapor ke dalam.
Ketika Wasi Surengpati tiba di luar, Endang Patibroto sudah berhenti mengamuk karena para pengawal tidak ada yang berani maju lagi. Hampir semua dari belasan orang itu sudah berkenalan dengan tamparan dan tendangannya yang kuat. Wasi Surengpati memandang dengan penuh perhatian. Matanya yang berpengalaman dapat melihat seorang wanita berusia limapuluhan yang masih amat cantik dan bertubuh ramping padat dan dari kilatan matanya dia dapat menduga bahwa wanita itu tentu saorang yang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
"Teja-teja sulaksana! Andika siapakah dan mengapa pula membuat kacau di sini?" tanya Wasi Surengpati dan lagaknya angkuh, seolah dia yang menjadi adipati di situ. Apa lagi melihat wanita itu demikian cantik, dia lalu berulah dan bergaya.
Endang Patibroto tidak menganal siapa adanya laki-laki itu, akan tetapi ia dapat menduga bahwa bukan itu adipatinya karena pakaiannya, biarpun mewah, tidak seperti pakaian seorang adipati.
"Aku hanya ingin bertemu dan bicara dengan Sang adipati Nusabarung. Biarkan aku masuk menghadapnya!" katanya merasa tidak senang dengan sikap kakek yang matanya lebar hidungnya pesek itu karena lagaknya demikian angkuh.
"Tidak mudah menghadap Sang Adipati kalau kami belum mengetahui apa yang menjadi kehendakmu. Karena itu, katakan dulu kepadaku siapa andika dan apa keperluan andika hendak menghadap Sang Adipati. Baru akan kami pertimbangkan apakah andika dapat diterima menghadap atau tidak!"
"Aku tidak mau bicara denganmu! Biarkan aku masuk kalau begitu!" kata Endang Patibroto dan iapun melangkah maju untuk memasuki kadipaten.
Wasi Surengpati memalangkan tongkat ularnya menghalangi Endang Patibroto.
"Hemm, tidak mudah masuk tanpa seijinku!" Bentaknya marah.
Pada saat itu muncul Adipati Martimpang sendiri. Dia tertarik mendengar ada wanita yang hendak memaksa bertemu dengannya maka diapun menyusul ke depan.
"Kakang Wasi, siapakah yang membikin ribut di sini?" tanyanya.
Melihat munculnya Sang Adipati, Wasi Surengpati menurunkan lagi tongkatnya. "Ia belum mau mengaku siapa dirinya, Kanjeng Adipati," katanya menahan marah.
Adipati Martimpang maju selangkah lagi dan dia bertanya dengan suara lantang.
"Eh, wanita, siapakah andika dan apa maksud andika hendak menghadap kami?"
Endang Patibroto memandang adipati itu dengan penuh perhatian. Seorang laki-laki berusia limapuluh tahunan, bertubuh tinggi besar dengan muka hitam buruk.
"Apakah andika adipati Nusabarung ini?" Endang Patibroto balas bertanya.
"Benar, akulah Adipati Martimpang yang menguasai Nusabarung," kata sang adipati itu sambil memberi isyarat dengan matanya kepada lima orang senopatinya yang sudah menyusul keluar untuk bersiap-siap.
Lima orang senopati itu sudah tanggap dan mereka berdiri melindungi sang adipati. "Bagus sekali kalau andika sudah keluar sendiri menemuiku, Sang Adipati. Para pengawalmu ini menjemukan sekali. Mereka menghalangi dan mengeroyok aku yang ingin bertemu dengan andika, maka terpaksa aku menghajar mereka."
"Maafkan mereka. Sekarang kita sudah berhadapan, katakanlah apa keperluanmu dengan kami?"
"Aku perlu bertanya kepadamu, Sang Adipati. Aku mempunyai seorang puteri yang sedang mengadakan perjalanan merantau. Apakah ia lewat di sini? Namanya adalah Retno Wilis. Ia melakukan perjalanan bersama seorang puteraku bernama Bagus Seto. Apakah mereka pernah singgah di pulau ini?"
Mendengar pertanyaan ini, Adipati Martimpang terbelalak, demikian pula para senopatinya. Wasi Surengpati bahkan mengeluarkan suara geraman marah.
"Ah, kalau begitu apakah andika yang bernama Endang Patibroto?" tanya sang Adipati dengan muka berubah kemerahan karena dia marah sekali teringat akan pengalamannya ketika dijadikan sandera oleh Retno Wilis yang melarikan diri.
"Benar, akulah Endang Patibroto! Apakah anak-anakku itu lewat di sini?"
"Bukan hanya lewat! Anakmu yang keparat itu telah menipu dan menghina kami!"
Endang Patibroto mengerutkan alisnya. "Hemm, anakku bukan seorang penipu! Jangan andika berbohong kepadaku!"
"Bukan penipu? Ia menyamar sebagai pria dan mengikuti sayembara yang kami adakan dan memenangkan sayembara itu sehingga ia kami terima sebagai calon mantuku. Baru kemudian kami mengetahui bahwa ia seorang wanita dan ia lalu melarikan diri. Keparat gadis yang mengaku sebagai Joko Wilis itu!" Ketika mengucapkan kata-kata ini, sang adipati marah sekali.
Endang Patibroto tidak dapat menahan geli hatinya dan ia tertawa mendengar ulah Retno Wilis itu. Ia dapat membayangkan betapa anaknya itu telah membuat geger Nusabarung. Menyamar sebagai pria dan memenangkan sayembara untuk mendapatkan seorang puteri!
"He-he-heh-hi-hik, betapa lucunya! Apakah kalian semua telah menjadi buta tidak melihat bahwa ia seorang wanita?" Girang hatinya karena mendapat keterangan bahwa anaknya pernah berada di pulau ini. "Setelah dari sini, ia pergi kemanakah?"
"Siapa tahu? Kami tidak mengetahuinya."
"Kalau begitu, aku harus meninggalkan tempat ini untuk menyusulnya."
"Babo-babo, nanti dulu, Endang Patibroto! Setelah andika berani datang ke sini, kami tidak akan melepaskanmu begitu saja. Tinggalkan dulu kepalamu di sini, baru boleh engkau pergi!" kata Wasi Surengpati sambil melintangkan tongkat ularnya.
Lima orang senopati Nusabarung melihat Wasi Surengpati sudah siap menyerang Endang Patibroto, juga lalu mengepung wanita itu.
"Endang Patibroto, andika telah terkepung. Lebih baik menyerahkan diri untuk kami tawan!" kata Wasi Surengpati yang mengerahkan kekuatan sihirnya, lalu menuding dengan tongkat ularnya ke arah muka Endang Patibroto dan dia membentak! "Endang Patibroto, berlututlah andika!"
Endang Patibroto merasa betapa ada kekuatan aneh yang seolah memaksanya untuk berlutut. Ia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menolak dan ia lalu mengeluarkan teriakan melengking yang mengejutkan semua orang. Itulah pekik dengan aji Sardulo Bairowo. Suara melengking ini mengandung pengaruh yang amat hebat dan sekaligus membuyarkan kekuatan sihir yang dikerahkan Wasi Surengpati.
Setelah melihat kakek itu menggerakkan tongkat ular dan mengerahkan kekuatan sihir, baru Endang Patibroto teringat. Ketika ia menolong Jarot, putera Adipati Pasisiran yang hendak dibunuh dua orang kakak tirinya, pendeta inipun membantu kedua kakak tiri yang jahat itu! Ia melawan pendeta itu dan pendeta yang memegang tongkat ular ini melarikan diri. Kiranya pendeta itu kini muncul di Kadipaten Nusabarung dan berlagak sombong karena dia kini dibantu oleh banyak orang!
"Pendeta jahanam, kiranya engkau yang berlagak di sini!" bentaknya dan ia sudah menerjang ke depan untuk mengirim pukulan mautnya kepada pendeta itu.
Wasi Surengpati yang sudah pula teringat akan wanita perkasa yang dulu membantu Jarot itu, menjadi marah sekali.
"Kita basmi wanita jahat ini?" bentaknya seperti memberi isyarat kepada lima orang senopati yang sudah mengepung Endang Patibroto.
Ki Wisokolo, senopati pertama dari Nusabarung, agaknya dapat menduga bahwa wanita itu tentu berilmu tinggi, maka ia pun segera berteriak kepada anak buahnya untuk mengepung. Sedikitnya tigapuluh orang perajurit sudah mengepung tempat itu dengan senjata di tangan. Namun Endang Patibroto tidak gentar sedikitpun.
"Aku datang hanya hendak bertanya tentang kedua orang anakku, akan tetapi kalian menyambut dengan senjata terhunus. Baiklah, kalau begitu aku tidak akan memberi ampun kepadamu!" Begitu ia bergerak maju, empat orang perajurit telah menyambutnya dengan tombak. Akan tetapi, sekali menggerakkan tangan kiri menolak, empat batang tombak itu terpental dan tangan kanannya menampar ke depan. Empat orang itu berteriak dan terpelanting roboh, tak dapat bangkit kembali! Lima orang senopati itu kini menerjang ke depan dengan golok mereka, mengeroyok Endang Patibroto, sedangkan Wasi Surengpati sendiripun sudah menggerakkan tongkat ularnya. Pada saat terdengar seruan orang, nyaring sekali.
"Tahan semua senjata. Apakah orang-orang Nusabarung telah menjadi pengecut semua!"
Semua orang terkejut mendengar ucapan lantang ini dan untuk menghentikan pengeroyokan mereka sambil menoleh untuk memandang siapa yang mengeluarkan kata-kata itu. Mereka melihat seorang pemuda yang berpakaian sederhana telah berdiri disitu sambil mengangkat tangannya. Melihat pemuda itu, Wasi Surengpati menjadi marah.
"Orang muda lancang mulut. Apa maksudmu mengatakan kami pengecut?"
Pemuda itu bukan lain adalah Jayawijaya. Endang Patibroto terkejut dan diam-diam sesalkan kelancangan pemuda itu. Apakah dia tidak melihat bahwa kemunculannya dengan sikap seperti itu akan membahayakan dirinya sendiri?
"Kalian ini semua laki-laki yang gagah perkasa. Akan tetapi kalian sungguh tidak tahu malu dan curang mengeroyok seorang wanita! Apakah hal itu tidak membuat kalian menjadi pengecut? Tidak malukah kalian?"
Wajah Wasi Surengpati berubah kemerahan. "Tangkap pemuda lancang mulut itu!" bentaknya dan seorang perajurit lalu meringkus Jayawijaya.
Dengan mudahnya dia dapat menangkap pemuda itu dan mengikat kedua tangannya dengan tali kepada sebuah tiang rumah. Jayawijaya tidak mampu melawan dan menyerah saja ditelikung. Akan tetapi mulutnya masih mengeluarkan kata-kata lantang.
"Perbuatan kalian ini jahat dan ingat siapa yang jahat akhirnya akan kalah. Yang jahat tidak akan mendapatkan perlindungan Hyang Widhi! Kanjeng Bibi, larilah selagi ada kesempatan!" Diapun berseru kepada Endang Patibroto.
Pemuda itu lebih mengkhawatirkan Endang patibroto dari pada dirinya sendiri. Akan tetapi, Wasi Surengpati kembali sudah menggerakkan tongkat ularnya menyerang Endang Patibroto. Cepat sekali serangannya itu dan tahu-tahu ujung tongkat itu telah menyambar dan menusuk ke arah dada Endang Patibroto. Akan tetapi wanita perkasa ini tidak menjadi gugup dengan serangannya itu. Tangan kirinya ditekuk dan diputar untuk menangkis sehingga tongkat itu terpental.
Pada saat itu, lima orang senopati juga sudah menyerangnya dengan golok mereka yang datang menyambar dari segala jurusan. Endang Patibroto mengetahui dari sambaran angin serangan golok itu bahwa lima orang senopati itu bukan merupakan lawan yang lemah. Gerakan golok mereka cepat sekali dan juga mengandung tenaga yang kuat. Kini ia dikeroyok oleh enam orang yang merupakan lawan tangguh. Ia lalu mengerahkan aji Bayutantra yang membuat tubuhnya dapat bergerak seperti seekor burung Srikatan cepatnya, berkelebatan di antara sinar golok dan tongkat. Ia tidak hanya mengelak saja, melainkan juga membalas serangan enam orang pengeroyoknya dengan tamparan jari tangan dengan Aji Petni Nogo.
Melihat betapa sambaran tangan wanita itu mengeluarkan suara angin berciutan enam pengeroyok itu menjadi gentar dan mereka mengeroyok dengan hati-hati. Puluhan perajurit tidak berani maju mengeroyok setelah empat orang di antara mereka roboh tadi. Pula, pengeroyokan enam orang itu sudah rapat dan tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk ikut mengeroyok.
Pertandingan berlangsung seru bukan main. Enam orang itu dapat saling melindungi. Kalau Endang Patibroto membalas dengan tamparannya, tentu ada saja lawan yang mencoba untuk menangkis tamparan itu dengan senjata mereka. Dengan cara begini, sampai lewat limapuluh jurus, Endang Patibroto belum juga dapat merobohkan seorang di antara mereka. Bahkan ia terdesak oleh serangan bertubi-tubi dari enam orang pengeroyoknya itu.
Sementara itu, diam-diam Wasi Surengpati merasa kagum dan juga penasaran bukan main. Harus diakuinya bahwa kalau dia sendiri yang maju melawan Endang Patibroto, tentu dia akan kalah. Bahkan dengan bantuan lima orang senopati yang terkenal sakti itupun dia masih belum mampu mengalahkan wanita itu.
Jayawijaya yang sudah diikat kepada tiang itu tidak mampu bergerak, akan tetapi dia masih dapat bersuara lantang.
"Curang, pengecut curang! Kalau memang berani, hadapilah kanjeng bibi satu lawan satu! Heii, apakah kalian semua tidak tahu malu dan bukan laki-laki sejati?"
Melihat pemuda itu masih ribut terus, perajurit yang tadi menangkapnya dan kini menjaganya, lalu menampar mulutnya.
"Plak-plak!" Dua kali mulut Jayawijaya ditampar dan bibirnya mengeluarkan darah. Akan tetapi pemuda itu tidak menghentikan teriakan-teriakannya, bahkan dia berani mencela Sang Adipati yang sejak tadi sudah menyembunyikan diri agar jangan terulang lagi dirinya ditangkap dan dijadikan sandera, seperti yang terjadi ketika Retno Wilis dikeroyok dahulu itu.
"Hai, Sang Adipati Nusabarung! Kenapa andika mendiamkan saja orang-orang andika melakukan pengeroyokan seperti pengecut yang curang? Tidak malukah andika kalau hal ini terdengar oleh orang-orang di luar kadipaten ini?" demikian Jayawijaya berteriak lagi.
"Plak-plak-plak!" Kembali perajurit itu menampar mulutnya dan kini lebih banyak lagi darah yang keluar dari mulut pemuda itu.
Endang Patibroto mendengar teriakan-teriakan ini dan ia merasa khawatir kalau-kalu pemuda itu akan dibunuh orang. Ia sendiri juga menyadari bahwa tidak mungkin terus bertahan oleh pengeroyokan itu, maka ia lalu mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo. Enam orang pengeroyoknya terkejut, bahkan terhuyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan Endang Patibroto untuk melompat ke arah Jayawijaya dan sekali sambar, perajurit yang menjaganya itu terpelanting dan terguling-guling. Cepat tangan Endang Patibroto bergerak membikin putus tali-tali pengikat, lalu memegang lengan Jayawijaya dan berkata,
"Mari kita pergi dari sini!"
Jayawijaya membiarkan dirinya ditarik oleh Endang Patibroto. Akan tetapi bagimana mungkin dia dapat lari secepat wanita sakti itu? Akhirnya, diapun diseret dan terangkat ke atas, dibawa lari Endang Patibroto seperti sebuah layang-layang. Jayawijaya memejamkan kedua matanya ketika melihat betapa cepatnya tubuhnya meluncur ke depan dan kakinya seperti tidak menginjak bumi lagi!
Akhirnya mereka tiba di pantai di mana Endang Patibroto menyembunyikan perahunya. Ia melompat ke dalam perahunya sambil menarik tangan Jayawijaya dan di lain saat mereka sudah meluncurkan perahu ke tengah lautan. Para senopati dan anak buahnya melakukan pengejaran, akan tetapi lari mereka jauh kalah cepat sehingga ketika mereka tiba di pantai, perahu yang ditumpangi Endang Patibroto sudah pergi jauh sekali.
Sambil mendayung perahunya, Endang Patibroto mengomeli pemuda itu. "Anak-mas Jayawijaya, mengapa andika begitu lancang datang ke sana dan membahayakan diri sendiri? Semestinya andika tidak menegur mereka karena itu sama saja dengan melakukan usaha bunuh diri."
"Eh, mengapa, kanjeng bibi? Apa salahnya kalau saya menegur mereka? Mereka memang bersikap curang dan pengecut, dan pantas untuk ditegur!"
"Akan tetapi dengan berbuat seperti itu, andika memanggil bahaya maut!"
"Saya tidak berpikir demikian. Kalau Sang Hyang Widhi menghendaki teguran saya itu akan ada gunanya bagi mereka. Saya hanya ingin agar mereka itu mengubah perbuatan mereka yang tidak benar, mengubah jalan hidup mereka yang sesat."
"Aduh, anakmas. Tidakkah andika melihat bahwa engkau memanggil bahaya maut? Kalau mereka itu menyerangmu, andika akan mampu berbuat apakah? Tadi, baru menghadapi seorang perajurit saja, andika tidak mampu membela diri dan dapat diikat. Apa lagi kalau kakek bertongkat ular itu yang maju menyerangmu!"
Jayawijaya tersenyum lebar. "Saya tidak takut, kanjeng bibi."
"Akan tetapi andika seorang pemuda yang lemah."
"Saya memang lemah dan tidak biasa berkelahi, akan tetapi Hyang Widhi adalah maha sakti dan maha kuasa. Tidak ada kekuatan di dunia ini yang akan mampu melawanNya. Karena itu saya tidak takut karena saya yakin bahwa Hyang Widhi pasti akan melindungi saya dari marabahaya."
"Hemmm, aku ingin melihatnya!" kata Endang Patibroto yang merasa jengkel mendengar jawaban itu. "Kalau tadi tidak ada aku yang melepaskanmu dan menolongmu keluar dari sana, siapa yang akan dapat menyelamatkanmu?"
"Kanjeng Bibi, tidakkah andika melihat kekuasaan Hyang Widhi tadi telah bekerja? Hyang Widhi sudah menolong saya, melalui tangan kanjeng bibi! Tidakkah kanjeng bibi merasa bahwa Sang Hyang Widhi yang telah mempergunakan kanjeng bibi untuk menyelamatkan saya?"
Endang Patibroto tertegun mendengar ini. Ia teringat akan kata-kata suaminya bahwa manusia adalah mahluk yang selemah-lemahnya dan bahwa tanpa adanya kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, manusia ini tidak berdaya dalam hidupnya. Teringatlah pula ia akan keterangan suaminya bahwa semua ilmu kadigdayaan yang dikuasainya adalah anugerah dari Hyang Widhi. Kalau begitu, betapa tepat ucapan Jayawijaya bahwa ia telah dipergunakan oleh Hyang Widhi untuk bergerak menolong pemuda itu. Bukan ia yang menolong, melainkan Hyang Widhi! Betapa penuh kerendahan hati terhadap Hyang Widhi, betapa penuh dan lengkapnya iman kepercayaan kepada Hyang Widhi.
"Wah andika benar, anakmas. Aku yang telah terlupa. Agaknya seorang manusia seperti andika ini selamanya akan mendapat perlindungan Hyang Widhi. Akan tetapi setelah tiba di pantai daratan nanti, terpaksa kita harus berpisah dan aku hanya memperingatkan andika agar lebih berhati-hati. Ingatlah bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat manusia yang jahat seperti iblis, yang tidak segan-segan untuk mengganggu seorang pemuda tidak berdosa seperti anakmas."
"Saya tahu, kanjeng bibi. Karena itu, sayapun harus lebih giat memperingatkan dan menasihati mereka."
Endang Patibroto menghela napas dan mempercepat gerakan dayungnya sehingga perahu itu meluncur dengan cepatnya menuju ke daratan yang sudah tampak dari situ. Setelah tiba di daratan, Endang Patibroto berkata,
"Sekarang aku harus meninggalkan andika untuk mencari jejak kedua orang anakku. Selamat tinggal, anakmas Jayawiya. Semoga kita akan bertemu lagi kelak."
"Selamat jalan, kanjeng bibi Endang Patibroto."
Endang Patibroto menggerakan kedua kakinya dan lenyap dari depan pemuda itu karena ia menggunakan aji Bayutantra. Melihat ini, Jayawijaya menarik napas panjang dan berkata seorang diri.
"Kalau saja semua orang yang memiliki kesaktian bersikap seperti kanjeng bibi Endang Patibroto, alangkah tenteramnya dunia ini." Diapun melangkah dan melanjutkan perjalanannya, tanpa tujuan tertentu, hanya menurutkan kata hati dan langkah kakinya saja.
Kita tinggalkan dulu Endang Patibroto yang berpisah dari Jayawijaya pemuda luar biasa itu, dan mari kita ikuti perjalanan Bagus Seto dan Retno Wilis yang telah berpisah dari Harjadenta yang kembali ke pegunungan Raung. Kedua orang kakak beradik itu kembali menyusuri sepanjang pantai Laut Kidul menuju ke timur. Mereka berjalan seenaknya, santai dan tidak tergesa-gesa, sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah di sepanjang pantai Laut Kidul. Pantai itu kadang merupakan tanah yang landai ditutup pasir putih yang kemilauan terkena cahaya matahari.
Pantai pasir putih itu amat luas dan merupakan pemandangan alam yang amat indahnya. Akan tetapi kadang pantai itu berupa bukit-bukit yang menjulang tinggi dan ombak samudera terhempas pada dinding karang yang kokoh kuat. Ombak yang menghantam dinding ini menimbulkan suara dahsyat dan air pecah muncrat ke atas menimbulkan uap air yang tebal. Pemandangan ini juga teramat indahnya dan memperlihatkan kebuasan dan kedahsyatan air laut, berbeda kalau pantainya datar seperti pantai pasir putih di mana air laut menjadi menipis mengeluarkan bunyi mendesis-desis seperti air mendidih.
Ketika mereka tiba di ujung pantai pasir putih, mereka berhadapan dengan sebuah hutan di tepi pantai yang amat lebat. Pantai berhutan itu merupakan perbukitan, akan tetapi hutannya amat lebat dan gelap menyeramkan.
"Kita sekarang akan melalui jalan pendakian yang sukar karena hutannya amat lebat, diajeng. Kita harus berhati-hati karena agaknya hutan ini mengandung hawa yang angker."
Retno Wilis, gadis yang tidak pernah mengenal rasa takut itu, tersenyum. "Angker? Kau maksudkan hutan ini ada setannya kakang?"
"Setan yang masih gentayangan tidak perlu kita takuti, akan tetapi kita harus waspada terhadap setan yang sudah masuk ke dalam diri manusia. Manusia yang sudah kesetanan itu dapat melakukan perbuatan amat jahat dan keji, adikku. Karena itu kita perlu waspada dan hati-hati."
Mereka masuk menyusup-nyusup di antara pohon-pohon raksasa dan semak-semak belukar. Bagus Seto meminjam pedang Sapudenta milik adiknya untuk membabat semak yang merintangi jalan mereka. Dia berjalan di depan membabati semak sedangkan Retno Wilis berjalan di belakangnya. Hutan itu demikian lebatnya sehingga sinar matahari tidak banyak yang menerobos masuk, membuat hutan itu gelap.
Retno Wilis yang berjalan di belakang kakaknya memandang ke kanan kiri dengan penuh kewaspadaan. Ia juga dapat merasakan keadaan hutan yang angker seolah di situ terdapat banyak bahaya yang mengintai mereka. Tiba-tiba ia memegang lengan kakaknya.
"Ada apa?" tanya Bagus Seto ketika merasa betapa kuatnya cengkeraman tangan adiknya.
"Sssttt, kakang, aku merasa ada orang-orang atau entah mahluk apa mengintai kita."
"Di mana?"
"Entahlah, aku tadi seperti melihat banyak pasang mata mengintai dari balik semak belukar akan tetapi sekarang sudah lenyap lagi. Kakang, aku merasa ngeri juga."
Bagus Seto tersenyum. "Jangan katakan bahwa engkau takut, diajeng."
Retno Wilis membusungkan dadanya. "Takut? Aku tidak takut, akan tetapi bicaramu tentang setan tadi membuat aku merasa ngeri. Mari kita lanjutkan perjalanan kita."
Mereka melanjutkan perjalanan. Bagus Seto tetap membabati semak yang menghalangi perjalanan mereka, sedangkan Retno Wilis mengikuti dari belakang. Tiba-tiba, di bawah sebatang pohon randu alas yang amat besar, terdengar suara dari atas.
"Kaaak-kaak... !"
Otomatis Bagus Seto dan Retno Wilis memandang ke atas dan mata mereka terbelalak lebar ketika melihat seekor ular yang amat besar bergantung dengan ekornya pada sebatang cabang pohon dan kepalanya tergantung di bawah. Kepala itu kini dengan moncong terbuka lebar menyambar ke bawah menyerang mereka. Bagus Seto yang berada di depan cepat menangkis dengan bacokan pedangnya.
"Wuuuttt... crak... !" leher ular itu putus, kepalanya menggelinding ke bawah dan tubuhnya melepaskan lilitan pada cabang pohon dan jatuh berdebuk di atas tanah.
"Shanti-shanti-shanti... !" Bagus Seto berkata dengan penuh penyesalan. "Terpaksa aku harus membunuhmu, ular, karena engkau membahayakan keselamatan kami!"
"Kakang, kenapa engkau menyesal membunuh ular jahat itu?"
"Ia tidak jahat, diajeng."
"Tidak jahat? Kalau engkau tidak membunuhnya, tentu kita sudah ditelannya bulat-bulat! Ia buas dan liar, jahat sekali, dan kejam. Ia makan hewan yang tidak mampu melawannya, menelannya bulat-bulat, apakah itu tidak jahat dan kejam namanya?"
"Sama sekali tidak, adikku. Sudah ditakdirkan oleh Hyang Widhi bahwa ular hanya makan binatang lain yang lebih kecil. Ia tidak dapat makan daun atau rumput. Kalau ia tidak makan binatang yang lebih kecil, ia akan mati kelaparan, ia tadi menyerang kita juga untuk mengisi perutnya yang kosong. Ia tidak buas, melainkan bergerak menurut naluri dan kebutuhan badannya."
"Kalau begitu, mengapa engkau membunuhnya, kakang?" bantah Retno Wilis penasaran.
"Aku terpaksa membunuhnya untuk membela diri. Aku harus membunuhnya tadi, kalau tidak tentu seorang di antara kita menjadi mangsanya. Akan tetapi aku menyesal harus membunuhnya. Mari kita lanjutkan perjalanan ini."
Mereka bergerak maju lagi dan baru belasan langkah, mereka berhenti lagi karena terdengar suara aneh seperti raung anjing. Raung itu berkepanjangan terdengar seperti keluhan dan terdengar dari segala penjuru seolah mengepung mereka.
"Kakang, suara apakah itu?" tanya Retno Wilis. Betapapun tabahnya, ia merinding juga mendengar suara aneh itu.
"Hemm, aku tidak tahu. Agaknya seperti suara anjing meraung, atau mungkin srigala. Mari kita maju terus, mencari tempat yang lebih lapang. Kalau berada di tengah semak semak begini, akan sukar bagi kita untuk membela diri kalau muncul bahaya."
Mereka maju terus, tidak memperdulikan suara itu dan akhirnya mereka tiba di tempat terbuka. Pohon-pohon agak jarang dan tidak terdapat semak belukar. Tanahnya penuh rumput dan petak rumput ini cukup luas. Di tempat terbuka ini Retno Wilis mendapatkan kembali ketabahannya dan kembali membusungkan dadanya ia menantang dengan suara lantang.
"Heii, kalian anjing-anjing liar atau srigala atau iblis setan bekasakan! Keluarlah dan tandingilah kami, jangan hanya mengeluarkan suara seperti pengecut hendak menakut-nakuti orang! Keluarlah kalian!"
Tidak terdengar jawaban, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berkerosakan di sekeliling mereka seolah-olah banyak binatang hutan bergerak ke arah mereka. Dua orang kakak beradik itu siap siaga dan Bagus Seto masih memegang pedang pusaka Sapudenta milik Retno Wilis. Mereka berdiri, saling membelakangi untuk saling melindungi. Akan tetapi yang muncul bukan anjing atau srigala, melainkan duapuluh orang lebih yang berpakaian serba hitam! Muka mereka semua memakai topeng srigala hitam dan yang tampak hanya sepasang mata mereka yang mencorong seperti mata srigala. Mereka mengeluarkan suara seperti srigala menggereng-gereng.
Retno Wilis dan Bagus Seto memandang dengan heran. Siapakah orang-orang bertopeng ini? Mereka memiliki tubuh yang kokoh kuat dan mereka kini telah mengepung kakak beradik itu.
"Siapakah kalian? Mau apa mengepung kami?" tanya Retno Wilis yang sudah siap untuk mengamuk.
"Kami kakak beradik kebetulan lewat di sini, kami tidak bermusuhan dengan kalian!" Kata pula Bagus Seto yang sudah menyelipkan pedang Sapudenta di ikat pinggangnya agar mereka ketahui bahwa dia tidak berniat untuk berkelahi.
Akan tetapi duapuluh lebih orang bertopeng itu mengepung semakin rapat dan tiba-tiba mereka semua mengeluarkan sebuah kantung hitam, merogoh ke dalam kantung dan mereka menyambitkan bubuk hitam ke arah Bagus Seto dan Retno Wilis! Dua orang kakak beradik ini tidak dapat mengelak karena dari sekeliling mereka menyambar bubuk hitam itu. Mereka menahan napas dan memejamkan mata sambil menggerakkan tangan untuk menangkis serangan. Akan tetapi tiba-tiba sebuah jala hitam menimpa dan menutup mereka! Para pengepung itu mengeluarkan teriakan-teriakan girang melihat betapa dua orang itu telah kena terjaring. Bagus Seto berkata lirih kepada adiknya.
"Kita menyerah, lihat perkembangan!"
Retno Wilis tidak membantah dan iapun tidak meronta ketika ada tangan menelikung kedua lengannya dari luar jaring. Bagus Seto menyuruh adiknya menyerah karena dia ingin tahu apa yang akan mereka lakukan terhadap diri mereka berdua. Orang-orang ini berusaha menangkap mereka, bukannya membunuh. Dia ingin tahu mereka itu orang apa dan apa pula maksud mereka menawan dia dan adiknya.
Setelah mengikat kedua tangan BagusSeto dan Retno Wilis ke belakang punggung, orang-orang bertopeng itu lalu membuka jaring dan mendorong kedua orang tawanan itu untuk melangkah maju mengikuti beberapa orang yang berjalan di depan. Dengan kedua tangan terbelenggu, kakak beradik itupun melangkah mengikuti mereka.
"Kenapa, kakang?" tanya Retno Wilis lirih kepada kakaknya yang berjalan di sampingnya. Ia merasa heran mengapa kakaknya minta agar ia menyerah.
"Kita lihat mereka mau apa?" bisik Bagus Seto kembali.
"Diam kalian!" terdengar bentakan dari belakang dan tahulah kedua orang kakak beradik itu bahwa mereka adalah manusia-manusia biasa yang memakai topeng dan berpakaian hitam, mungkin ini menunjukkan bahwa mereka adalah anggauta-anggauta sebuah perkumpulan rahasia yang agaknya bersarang di hutan lebat itu.
Kini mereka tiba di tengah hutan dan jalannya mendaki. Kemudian, di tengah-tengah hutan pegunungan tepi laut itu tampak sebuah perkampungan. Ada puluhan rumah di situ, rumah-rumah sederhana dan kecil yang mengelilingi sebuah rumah besar.
Hari telah menjelang senja ketika dia tiba di dekat sebuah hutan lebat. Tiba-tiba saja dari dalam hutan berlompatan tujuh orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan mereka menghadang jalan sambil menyeringai menakutkan. Jayawijaya terpaksa berhenti melangkah karena tujuh orang itu sengaja menghadang di depannya. Pemuda itu dengan sabar hendak mengambil jalan memutari mereka, akan tetapi tujuh orang itu kembali menghadangnya dan kemanapun dia melangkah, mereka tentu menghadang di depannya.
"Andika sekalian ini mau apakah? Saya sedang melakukan perjalanan, tidak mengganggu kalian dan tidak mengenal kalian. Harap membuka jalan dan biarkan aku lewat," katanya dengan nada suara halus.
Tujuh orang itu dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh brewok. Sejak tadi dia memandang ke arah buntalan di punggung Jayawijaya. Mendengar ucapan pemuda itu, dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, orang muda. Ketahuilah bahwa daerah ini adalah daerah kekuasaan kami. Andika lewat disini, boleh saja akan tetapi tinggalkan dulu buntalan di punggungmu itu!"
"Akan tetapi mengapa? Buntalan ini berisi pakaian yang menjadi bekalku dalam perjalanan. Aku memerlukan untuk pengganti pakaianku," Jayawijaya membantah dengan suara halus.
"Kau berani membantah? Serahkan pakaian dan barang-barangmu, atau serahkan nyawamu! Kau boleh pilih, harta atau nyawa!" kata kepala perampok itu dengan suara garang.
"Hemm, jadi kalian ini adalah perampok?"
"Benar, kami adalah perampok yang menguasai daerah ini. Jangan banyak membantah kalau engkau menyayangi nyawamu!"
"Sobat, tidak tahukah kalian bahwa merampok adalah pekerjaan yang amat tidak patut dan merugikan orang lain? Sebaiknya kalau kalian cepat menyadari hal itu dan mengubah jalan hidup kalian agar tidak menumpuk dosa yang akan berat pertanggunganjawabnya."
Tujuh orang laki-laki itu saling pandang dan tertawa bergelak. Mereka merasa lucu ada seorang pemuda yang memberi Wejangan kepada mereka seperti lagak seorang pendeta saja!
"Orang muda, jangan banyak cerewet! Serahkan buntalanmu itu kalau engkau ingin hidup!" bentak pemimpin perampok yang berewokan.
"Kalian menginginkan buntalan pakaianku ini? Boleh, kalau kalian memang membutuhkan pengganti pakaian, ambillah."
Dia melepaskan buntalannya dan menyerahkannya kepada kepala perampok. Si brewok itu menyambar buntalan itu dengan tangannya, lalu membuka buntalan. Ternyata benar hanya terisi beberapa stel pakaian yang sederhana, tidak dapat dibilang mewah dan tidak berharga. Dia mengerutkan alisnya dengan kecewa dan melemparkan buntalan pakaian itu ke atas tanah. Karena agaknya tidak bisa mendapatkan barang berharga dari pemuda itu, dia bermaksud untuk menghinanya saja sebagai tindakan bersenang-senang dan iseng untuk menebus kekecewaannya.
"Sekarang lepaskan semua pakaianmu, itupun harus diserahkan kepada kami!" bentaknya.
"Sobat, ini sudah keterlaluan namanya! Aku sudah menyerahkan semua pakaianku, akan tetapi andika masih menghendaki yang kupakai. Apa andika ingin agar aku bertelanjang bulat?"
"Ha-ha-ha, tidak perduli engkau akan bertelanjang seperti monyet, yang penting taatilah perintah kami. Hayo, cepat lucuti pakaianmu atau kami akan menggunakan kekerasan!"
"Tidak, terpaksa aku tidak dapat menuruti permintaanmu yang keterlaluan itu," jawab Jayawijaya sambil mengerutkan alisnya dan menentang pandang mata tujuh orang itu dengan berani.
"Apa?" Kepala rampok membentak sambil melolot. "Berani andika menolak perintahku? Apa andika ingin mampus?"
Sambil berkata demikian dia melangkah maju dan menggunakan lengan tangannya yang besar itu untuk mendorong dada Jayawijaya. Dorongan itu kuat sekali tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Jayawijaya terjengkang roboh. Akan tetapi dia tidak merasakan nyeri dan segera dia bangkit berdiri, matanya dengan berani menentang mereka.
"Kalian jahat! Kalian tentu akan memetik buah dari perbuatan kalian sendiri!" katanya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka si brewok.
Sikap dan kata-kata pemuda ini membuat para perampok itu menjadi marah sekali. Srat-srat-srat! Mereka mencabut golok yang tergantung di pinggang. Pemuda itu roboh hanya oleh dorongan tangan, akan tetapi bersikap demikian berani menentang mereka!
"Monyet tak berguna! Sekarang aku akan mencabut nyawamu!" bentak si brewok sambil mengangkat goloknya tinggi-tinggi dengan sikap mengancam.
Jayawijaya tetap berdiri tenang dan sedikitpun dia tidak berkedip menghadapi ancaman tujuh orang yang memegang golok itu.
"Kalau Sang Hyang Widhi belum menghendaki aku mati, golok-golokmu itu tak ada artinya dan tidak akan mampu membunuhku!" katanya dengan penuh keyakinan.
Tentu saja tujuh orang itu merasa ditantang. Si brewok lalu menerjang maju, goloknya ditebaskan ke arah leher pemuda itu dengan maksud sekali serang akan membikin putus leher itu. Akan tetapi, ketika golok itu sudah dekat sekali dengan leher Jayawijaya yang sama sekali tidak mengelak, golok itu terpental kembali dengan kuatnya sehingga hampir terlepas dari pegangan kepala perampok, seolah ada hawa yang amat kuat melindungi leher itu! Jayawijaya hanya mundur selangkah. Kepala perampok menjadi heran dan penasaran sekali, bersama enam orang anak buahnya dia menyerang lagi. Tujuh golok menyambar-nyambar ke tubuh Jayawijaya namun semua golok terpental kembali setelah mendekat tubuh pemuda itu.
Endang Patibroto yang mengintai peristiwa itu, berdiri terlongong dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Belum pernah ia melihat hal yang seaneh itu. Jayawijaya jelas tidak memiliki ilmu kepandaian atau kesaktian. Buktinya ketika didorong tadi ia terjengkang roboh. Akan tetapi mengapa golok-golok itu tidak dapat melukainya, bahkan tidak dapat menyentuh tubuhnya? Ia tidak melihat pemuda itu menggunakan anggota tubuhnya untuk menangkis atau mengelak, akan tetapi golok-golok itu terpental membuat penyerangnya terhuyung ke belakang.
Sungguh suatu penglihatan yang luar biasa anehnya. Ia teringat kata-kata pemuda itu bahwa dia tidak mempunyai ilmu apa-apa dan satu-satunya ilmu yang menjadi pegangannya hanya penyerahan kepada Sang Hyang Widhi! Benarkah penyerahan dapat menciptakan suatu pengaruh tidak tampak yang dapat melindunginya dari malapetaka?
Endang Patibroto tidak dapat membayangkan hal ini. Ia sendiri percaya akan kekuasaan Hyang Widhi, Yang Maha Pencipta atau Yang Maha Kuasa yang kekuasaannya tergabung dalam Trimurti. Yang Maha Pencipta, Yang Maha Melindungi dan Yang Maha Pembasmi. Akan tetapi kalau ia disuruh menyerah dengan ancaman seperti itu di depan mata, kiranya penyerahannya akan menghilang dan ia tentu akan mempergunakan segala kesaktiannya untuk melindungi dirinya. Akan tetapi pemuda itu dapat melindungi dirinya dengan iman dan penyerahan yang mutlak dan hasilnya, Hyang Widhi agaknya melindunginya dengan suatu kemujijatan!
Setelah membacok dan menusukkan golok mereka tanpa hasil dari yang mengakibatkan golok mereka terpental dan tubuh mereka terhuyung ke belakang, para perampok itu menjadi ketakutan. Mereka menduga bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang sakti mandraguna, maka mereka lalu memutar tubuh dan melarikan diri pontang panting dengan ketakutan.
Jayawijaya tersenyum dan mengambil buntalannya dari atas tanah, menggendong lagi buntalannya setelah membersihkannya dari tanah. Kemudian, dia melanjutkan perjalanannya seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dengan dirinya. Karena yakin sepenuhnya bahwa Hyang Widhi yang melindunginya, maka dia sama sekali tidak merasa sombong, karena dia sendiri tidak melakukan sesuatu. Hanya di dalam hatinya dia tiada hentinya mengucapkan puji syukur kepada Hyang Widhi yang sudah melindunginya dari marabahaya.
Sudah seringkali dia mengalami hal seperti itu, yakni selalu terlepas dari bahaya secara ajaib. Dia sudah terbiasa dan karenanya, keyakinan imannya dan penyerahannya menjadi semakin mendalam. Dia percaya sepenuhnya bahwa Yang Menciptakannya tidak akan membiarkan dia terancam malapetaka. Dia tidak menggantungkan kepada perlindungan Hyang Widhi, dia akan berusaha sekuat mungkin untuk melindungi diri sendiri, akan tetapi kalau usahanya itu telah sampai di puncaknya dan tidak berhasil, dia hanya menyerahkan diri kepada Hyang Widhi. Semua usahanya selalu berlandaskan penyerahan yang ikhlas dan sepenuh iman.
Dia tidak tahu bahwa Endang Patibroto masih terus membayanginya dari jauh, karena wanita ini tertarik sekali dan ingin melihat perkembangannya dan apa yang akan dialami oleh pemuda yang luar biasa itu. Ia sendiri harus mengakui bahwa beberapa kali ia terhindar dari marabahaya secara yang tidak disangka-sangka, akan tetapi ia menganggap hal itu sebagai suatu kebetulan saja. Tidak seperti pemuda itu yang seolah-olah melihat Tangan Sang Hyang Widhi selalu melindunginya!
Jayawijaya melanjutkan perjalanannya. Hari telah menjelang senja dan melihat sebuah dusun di depan, dia bermaksud untuk mencari tempat untuk mondok dan melewatkan malam. Di sudut dusun itu, agak terpencil, dia melihat sebuah rumah yang lumayan besarnya. Dia segera memasuki pekarangan rumah itu. Ruangan depan rumah itu sunyi saja, tidak tampak seorang-pun, akan tetapi lampu gantung di ruangan itu sudah dinyalakan orang.
"Kulonuwun.... !" Jayawijaya mengucapkan salam.
Ada jawaban dari dalam dan keluarlah seorang laki-laki dan seorang wanita yang usianya sudah limapuluh tahunan. Dua orang itu menyambut kedatangan Jayawijaya dengan ramah.
"Anakmas siapakah dan ada keperluan apakah mengunjungi rumah kami?" tanya yang pria.
"Nama saya Jayawijaya dan karena kemalamn di jalan, saya mohon kepada paman dan bibi agar dapat menerima saya bermalam di sini untuk malam ini."
Dua orang itu mengamati wajah Jayawijaya dan melirik ke arah buntalan di punggungnya. "Ah, boleh saja, anakmas. Silakan masuk, akan tetapi maaf, tempat kami kotor dan jelek."
"Paman terlalu merendahkan diri. Rumah ini cukup bersih dan indah. Apakah paman dan bibi hanya berdua saja tinggal di rumah ini?"
"Ya, kami hanya tinggal berdua. Kebetulan ada sebuah kamar kosong untuk andika bermalam. Silakan duduk. Kami tadi sedang siap untuk makan malam, maka marilah andika bersama kami makan malam, anakmas Jayawijaya."
"Terima kasih, paman dan bibi baik sekali," kata Jayawijaya dan diapun ikut masuk ke ruangan dalam.
"Duduklah dulu sebentar, anakmas. Kami berdua akan mempersiapkan hidangan malam untuk kita bertiga," kata laki-laki itu dan dia bersama isterinya lalu meninggalkan Jayawijaya seorang diri saja di ruangan itu.
Jayawijaya duduk di atas bangku dan menanti dengan hati senang. Beruntung, pikirnya, sekali ketuk sebuah rumah sudah diterima dengan ramah. Sementara itu, Endang Patibroto mendekati rumah itu dan mengintai dari belakang. Ia melihat sepasang suami isteri setengah tua itu sedang sibuk di dapur.
"Dia tentu seorang priyayi," kata yang wanita kepada yang pria.
"Buntalannya itu tentu mengandung isi yang berharga."
"Sekali ini kita akan untung besar."
"Akan tetapi di mana kita taruh racun ini?" tanya si pria sambil mengeluarkan sebuah bungkusan kain berwarna hitam.
"Jangan ditaburkan pada makanan karena kita akan makan bersama. Sebaiknya dimasukkan ke dalam air teh dan kita suguhi dia air teh itu dulu sebelum makan. Dia tentu haus dan akan minum air teh itu." Pria itu lalu membuka bungkusan dan ternyata di dalamnya terdapat bubuk berwarna biru. Dia lalu menuangkan isi bungkusan itu ke dalam sebuah poci minuman.
"Apa itu tidak akan terasa olehnya?"
"Tidak akan terasa. Kita beri teh yang kental sehingga rasa pahitnya akan disangka pahitnya teh."
Endang Patibroto terkejut sekali. Dua orang pemilik rumah itu bermaksud untuk meracuni Jayawijaya! Ia mengambil keputusan untuk terus mengamati dan nanti akan turun tangan mencegah kalau pemuda itu hendak minum air teh karena betapapun juga, ia tidak ingin pemuda itu keracunan. Apakah penyerahannya akan dapat menolak bekerjanya racun? Endang Patibroto tidak mau membiarkan ini terjadi. Setelah hidangan dan minuman selesai dipersiapkan, suami isteri itu lalu membawa hidangan ke ruangan tengah di mana pemuda itu masih duduk di atas bangku.
"Ah, kami hanya mempunyai suguhan sederhana ini, anakmas. Nasi jagung dan sayur lodeh. Mari silakan minum dulu, karena andika tentu kehausan!" kata tuan rumah sambil menuangkan air teh dari poci itu dalam sebuah cangkir dan memberikannya kepada Jayawijaya.
Pemuda itu menerima cangkir teh dan menghaturkan terima kasih lalu membawa cangkir itu ke mulutnya tanpa ragu. Di luar jendela, Endang Patibroto sudah siap dengan sebuah batu kecil untuk ditimpukkan kalau pemuda itu benar-benar hendak minum air teh dari dalam cangkir. Akan tetapi ia tidak tergesa-gesa karena hendak melihat perkembangannya. Cangkir itu sudah menempel di bibir Jayawijaya akan tetapi tiba-tiba Jayawijaya menjauhkan cangkir dan mengerutkan hidung dan alisnya. Dia menaruh kembali cangkir teh itu ke atas meja. Suami isteri yang memandang dengan mata penuh harap menjadi kecewa melihat pemuda itu tidak jadi minum air tehnya dan meletakkan cangkir di atas meja.
"Ada apa, anakmas?" tanya si wanita. "Mengapa andika tidak minum air teh yang kami suguhkan?"
Jayawijaya menggelengkan kepalanya. "Entah mengapa, bibi. Akan tetapi mulutku tidak mau minum air teh itu," katanya dengan polos.
Memang ketika dia hendak minum tadi, mulutnya menolak dan air teh itu seperti mengeluarkan bau yang memuakkan.
"Denmas!" tuan rumah itu berkata dengan nada suara kasar. "Kami dengan sungguh hati menerima kedatanganmu dan menyuguhkan makanan dan minuman seadanya. Kalau andika tidak mau minum air teh kami, berarti andika menghina dan memandang rendah kepada kami!"
"Ayo minumlah, denmas!" isterinya juga membujuk Jayawijaya.
Pemuda itu merasa tidak enak untuk menolak. Sekali lagi dia mengambil cangkir itu dan menempelkan di mulutnya. Akan tetapi, baru saja air teh menyentuh bibirnya, dia sudah menyemburkan keluar dan menaruh cangkir itu di atas meja kembali.
"Ada apakah, denmas? Apakah air teh kami tidak enak?" tanya si wanita.
Jayawijaya menggeleng kepala. "Bukan tidak enak, entah mengapa mulutku tidak dapat menerimanya." Dia sendiripun merasa heran mengapa ketika air teh menyentuh bibirnya, bibir itu seperti terkena api rasanya.
Tiba-tiba laki-laki tuan rumah itu menjadi marah. "Orang muda, andika sungguh menghina kami! Aku tidak terima diperhina seperti ini. Andika ternyata seorang yang tidak mengenal budi dan sudah sepatutnya dihajar!" Berkata demikian, orang itu menyambar sebatang arit dari dinding.
Isterinyajuga segera memegangi kedua tangan Jayawijaya dan berkata, "Engkau seorang pemuda yang tidak tahu diri! Cepat, pakne, hajar dia!" Ia memegangi kedua pergelangan tangan pemuda itu dengan kuatnya.
Laki-laki itu lalu melangkah maju dan aritnya diayun ke arah kepala Jayawijaya.
"Wuuuttt... crok ... ! Aduuhhh... !"
Wanita itu menjerit dan pundaknya terluka mengeluarkan darah. Ternyata ketika arit tadi menyambar ke arah kepala Jayawijaya, entah bagaimana arit itu menyimpang dan mengenai pundak wanita itu! Pria itu terbelalak melihat aritnya melukai isterinya sendiri. Dia menjadi marah dan sekali lagi membacokkan aritnya ke arah kepala Jayawijaya. Pemuda itu hanya berdiri tenang saja dan arit yang menyambar ke kepalanya itu pun tiba-tiba menyeleweng, bahkan terlepas dari tangan pria itu dan meluncur turun melukai pahanya sendiri!
Pria dan wanita itu mengaduh-aduh akan tetapi mereka agaknya menduga bahwa pemuda itu tentu memiliki ilmu yang tinggi, maka keduanya lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah-nyembah minta ampun.
"Ampunkan kami yang telah berani mengganggu paduka..." kata laki-laki itu ketakutan.
"Ampunkan saya, kanjeng... " Isterinya juga meratap.
Jayawijaya mengerti apa yang terjadi. Minuman itu tentu mengandung racun, maka Kekuasaan Hyang Widhi yang menghalangi mulutnya untuk minum kemudian ketika kakek itu menyerangnya, Kekuasaan Gaib itu pula yang membuat arit itu melukai suami isteri itu sendiri. Diam-diam dia mengucap syukur dan memuji Sang Hyang Widhi yang sudah melindunginya.
"Paman dan bibi. Kalau andika berdua tidak suka menerima kedatangan saya,mengapa tidak mengatakan terus terang saja? Mengapa harus menggunakan daya upaya untuk mencelakakan saya? Kalau andika berdua ingin minta ampun, mintalah ampun kepada Sang Hyang Widhi, karena perbuatan andika berdua itu merupakan dosa terhadap Sang Hyang Widhi, bukan terhadap saya." Dia lalu mengambil pula buntalan pakaian yang tadi diletakkan di atas meja, mengikatkan di punggungnya dan melangkah keluar dari rumah itu dengan lenggang seenaknya, seolah tidak pernah terjadi sesuatu dalam rumah itu.
Suami isteri itu masih terus berlutut menyembah-nyembah dengan ketakutan. Endang Patibroto yang mengintai dan menyaksikan semua itu, kembali menjadi bengong terlongong. Seorang pemuda yang hebat! Belum pernah selama hidupnya dia melihat atau mendengar akan adanya seorang pemuda yang berada dalam perlindungan Yang Maha Kuasa sedemikian ajaibnya. Pemuda yang sukar dicari bandingannya. Pemuda seperti itulah yang patut menjadi suami puterinya, Retno Wilis! Dengan pikiran ini, Endang Patibroto lalu berlari menyusul pemuda itu.
"Anakmas Jayawijaya!" tegurnya.
Pemuda itu menoleh dan melihat Endang Patibroto, dia tersenyum. Senyum itu demikian lembut dan penuh pengertian, pikir Endang Patibroto.
"Wah, kita bertemu lagi, kanjeng bibi Endang Patibroto!" kata Jayawijaya dengan girang.
"Aku kebetulan lewat di sini juga dan melihat andika," kata Endang Patibroto. "Dan andika darimana sajakah?" tanyanya untuk memancing pemuda itu menceritakan peristiwa yang tadi dialaminya. Akan tetapi pemuda itu tersenyum.
"Aku hendak mencari tempat untuk melewatkan malam, kanjeng bibi."
"Akupun demikian. Akan tetapi tidak enak kiranya kalau kita mengganggu penduduk dusun. Mungkin mereka malah mencurigai kita."
"Habis, kanjeng bibi hendak bermalam di mana?"
"Seorang pengembara seperti aku ini tidur di manapun boleh saja. Aku melihat ada gubuk di tengah ladang, bagaimana kalau kita melewatkan malam di sana?"
"Baiklah, aku akan senang sekali, kanjeng bibi."
Mereka berdua lalu keluar dari dusun itu dan benar saja, di luar dusun terdapat ladang yang luas dan tampak beberapa buah gubuk di tengah ladang.
"Nah, aku dapat bermalam di gubuk ini, dan andika bermalam di gubuk yang berada di sana itu. Bukankah tempat ini cukup menyenangkan?"
"Menyenangkan sekali, kanjeng bibi..."
"Sekarang buatlah api unggun, selain untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin, juga aku ingin memanggang juadah (uli). Aku tadi membelinya dari dusun sana. Lumayan untuk menghilangkan lapar." Endang Patibroto lalu membuka buntalan pakaiannya dan dari situ dia mengeluarkan sebuah bungkusan daun pisang dan ternyata di dalamnya terdapat juadah yang putih dan besar.
Jayawijaya lalu sibuk membuat api unggun di dekat gubuk, dan Endang Patibroto lalu menusuk beberapa potong juadah dengan sebilah bambu lalu memanggang sate juadah itu. Jayawijaya yang melihat bahwa Endang Patibroto tidak membawa minuman lalu berkata sambil bangkit berdiri.
"Kanjeng bibi, biar aku memanjat pohon kelapa itu untuk mengambil buah kelapa untuk kita minum."
Endang Patibroto tersenyum. Ia hendak melihat bagaimana caranya pemuda itu mengambil buah kelapa. Kalau ia kehendaki, dengan sekali sambit saja ia akan dapat meruntuhkan dua butir buah kelapa.
"Baik sekali, anakmas Jayawijaya."
Jayawijaya lalu menghampiri pohon kelapa yang berada tak jauh dari situ dan memanjat pohon kelapa dengan perlahan. Endang Patibroto mengamati dan menjadi semakin heran. Pemuda itu benar-benar seorang pemuda lemah yang tidak memiliki kadigdayaan, pikirnya. Mengambil buah kelapa saja dengan cara memanjat seperti orang biasa. Akan tetapi dia mendiamkannya saja dan mendengar suara berdebuk dua kali ketika pemuda itu menjatuhkan dua butir buah kelapa dari atas.
Setelah juadah yang dipanggangnya menjadi matang, mereka berdua lalu makan. Endang Patibroto tidak mau memperlihatkan kesaktiannya, maka ia menggunakan sebilah pisau yang dibawanya untuk melubangi buah kelapa. Mereka makan juadah panggang dan minum dawegan (kelapa muda) dan terasa nikmat sekali. Setelah makan, mereka duduk menghadapi api unggun. Endang Patibroto menatap wajah yang tampan itu, yang kelihatan aneh karena ada sinar merah api unggun bermain-main di wajah itu. Ia melihat betapa sinar mata pemuda itu amat lembut dan penuh pengertian. Ia merasa seolah-olah pemuda itu mengetahui semua yang terkandung dalam hatinya melalui pandang mata yang lugu itu.
"Anakmas Jayawijaya, bolehkah aku mengetahui, berapa usiamu sekarang?" tanya Endang Patibroto sambil lalu.
"Sudah dua puluh tiga tahun, kanjeng bibi."
"Engkau tentu sudah menikah atau bertunangan?"
Jayawijaya tersenyum dan mukanya yang tersinar api unggun itu menjadi semakin kemerahan. "Ah, belum kanjeng bibi. Dalam keadaan seperti saya sekarang ini, sama sekali saya tidak mempunyai pikiran untuk menikah."
"Kenapa? Bukankah pernikahan itu suatu hal yang lumrah bahkan menjadi kewajiban setiap orang manusia untuk memperoleh keturunan?"
"Benar apa yang kanjeng bibi katakan. Akan tetapi saya kira urusan perjodohan adalah ketentuan dari Hyang Widhi. Pula, berkumpulnya seorang suami dan seorang isteri bukan sekedar untuk memperoleh keturunan belaka, melainkan untuk membentuk sebuah rumah tangga yang bahagia. Dan syaratnya, di antaranya adalah tercukupinya sandang-pangan-papan. Sedangkan orang seperti saya ini, seorang perantau yang tidak mempunyai papan tertentu, panganpun sedapatnya dan sandangpun yang hanya saya bawa ini. Bagaimana saya dapat mempunyai pikiran untuk berjodoh, kanjeng bibi?"
Endang Patibroto tersenyum senang, "Pemuda yang berpikiran luas" pikirnya. "Akan tetapi kalau andika mendapatkan seorang isteri yang baik, kalian berdua akan dapat bekerja sama menanggulangi segala kesulitan hidup, anakmas."
"Agaknya saya masih belum memikirkan jodoh saya, dan saya hanya menyerahkan kepada Hyang Widhi untuk mengaturnya."
"Anakmas Jayawijaya, apakah engkau masih mempunyai seorang ibu?"
"Kanjeng ibu sudah meninggal dunia ketika saya berusia sepuluh tahun. Semenjak itu saya hanya tinggal berdua dengan kanjeng rama di sebuah puncak dari pegunungan Tengger."
"Ah, kasihan sekali, andika, anakmas. Sejak berusia sepuluh tahun sudah ditinggal mati ibu."
Jayawijaya tersenyum. "Tidak ada yang perlu dikasihani, kanjeng bibi. Ibu meninggal dunia sudah menjadi kehendak Hyang Widhi dan apapun yang ditentukan Hyang Widhi adalah baik dan benar, mengandung hikmah yang mendalam. Saya hidup berdua dengan kanjeng rama dan merasa cukup berbahagia, kanjeng bibi."
"Hemm, seorang muda seperti andika, bagaimana mengerti akan bahagia? Bahagia itu apakah, anakmas?"
"Bahagia itu adalah suatu perasaan, kanjeng bibi. Kalau seseorang sudah merasai cukup dengan segala yang ada, yang menganggap bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Sang Hyang Widhi, kalau sudah tidak ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak berbahagia, nah, orang itulah yang dapat merasakan bahagia."
Endang Patibroto tersenyum. Teringat dia akan pendapat suaminya, Tejalaksono. Seperti itu pulalah pendapat suaminya, akan tetapi agaknya suaminya belum menemukan intinya seperti yang diperoleh pemuda luar biasa ini.
"Wah, kalau begitu, anakmas Jayawijaya ini tidak pernah merasa berduka atau kecewa, selalu merasa bahagia?"
"Kanjeng bibi Endang Patibroto, saya hanyalah seorang manusia biasa, tiada bedanya dengan orang lain. Bagaimana saya dapat terlepas dari semua perasaan itu? Akan tetapi, kalau saya mengalami kedukaan, hal itu tidak akan berlangsung lama karena saya percaya dengan penuh keyakinan, bahwa segala keadaan itu hanya dapat terjadi kalau dikehendaki oleh Hyang Widhi. Dan kalau sudah demikian, maka saya dapat menerima apa saja yang terjadi dengan diri saya tidak menganggapnya sebagai hal yang mendukakan atau menggirangkan. Saya manusia biasa yang lemah dan dengan segalakurangan saya, kanjeng bibi. Tidak seperti kanjeng bibi yang sakti mandraguna."
"Anakmas Jayawijaya, sekarang aku mulai percaya bahwa tidak ada ilmu yang lebih hebat dari pada ilmu menyerah dengan penuh keimanan kepada Hyang Widhi seperti yang andika lakukan. Aku kagum sekali, anakmas."
"Setiap orang manusia dapat bersikap seperti itu, kanjeng bibi. Tidak ada yang patut dikagumi."
"Dengar, anakmas Jayawijaya. Sudah kuceritakan kepadamu bahwa aku sedang mencari anak-anakku Retno Wilis dan Bagus Seto. Setelah bertemu dan berkenalan denganmu, timbul niat di hatiku untuk menjodohkan anakku Retno Wilis dengan andika! Bagaimana pendapatmu, anakmas Jayawijaya?"
"Bagaimana saya harus menjawabnya, kanjeng bibi? Saya sama sekali belum mempunyai pikiran untuk berjodoh, karena itu saya tidak dapat menyanggupi atau menolak uluran tangan bibi yang memberi kehormatan sebesar itu kepada saya."
'"Percayalah, anakmas. Puteriku itu seorang dara yang cantik jelita luar biasa, dan ia sakti mandraguna, lebih sakti dari pada aku Sendiri. Andika tentu akan jatuh cinta kalau bertemu dengannya."
Jayawijaya tersenyum ramah. "Mungkin saja saya akan jatuh cinta kepadanya, akan tetapi bagaimana kalau ia tidak cinta pada saya? Cinta dua orang yang akan menjadi suami isteri tidak dapat hanya bertepuk tangan sebelah, kanjeng bibi. Akan tetapi, bagaimanapun juga, saya percaya akan kekuasaan Hyang Widhi. Kalau memang antara kami dijodohkan oleh Hyang Widhi, tidak akan ada rintangan yang dapat menghalanginya, akan tetapi kalau Hyang Widhi tidak menghendaki perjodohan kami, tiada ada sesuatupun yang dapat mendorong atau memaksa. Nah, kita semua lihat saja jalannya kekuasaan Hyang Widhi yang sempurna dan ajaib."
"Mudah-mudahan saja Hyang Widhi akan memenuhi harapanku dan akan mempertemukan kalian berdua, anakmas. Sekarang, anakmas mengaso dan tidurlah di gubuk sana itu, aku akan tidur di gubuk ini."
"Baik, selamat tidur, kanjeng bibi." Pemuda itu lalu bangkit dan berjalan menuju ke gubuk yang tidak berapa jauh dari gubuk itu, bayangannya diikuti pandang mata Endang Patibroto. Wanita perkasa ini merasa kagum bukan main. Akan tetapi diam-diam iapun merasa khawatir. Seorang seperti Jayawijaya, apakah sekali waktu tidak akan celaka oleh perbuatan manusia jahat? Apakah selanjutnya kekuasaan Hyang Widhi akan terus melindunginya? Dia sendiri tidak mempunyai kadigdayaan untuk melindungi diri sendiri.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Jayawijaya sudah bangun dari tidurnya dan membersihkan tubuhnya dengan air bersih yang mengalir di dekat pematang ladang itu. Ketika dia berjalan mendekati gubuk yang semalam menjadi tempat tidur Endang Patibroto, ternyata wanita itupun sudah bangun dari tidurnya, bahkan sudah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu.
"Andika sudah bangun, anakmas? Aku hendak melanjutkan perjalananku menuju ke Nusabarung. Aku akan mengunjungi Nusa Barung untuk mencari anak-anakku." Lalu ia menatap, wajah pemuda itu dan bertanya, "Andika sendiri hendak kemana, anakmas?"
"Mungkin saya juga akan mengunjungi Nusabarung. Sudah lama saya mendengar tentang pulau itu, dan melihat bahwa dusun Pandakan juga termasuk daerah Nusabarung, maka saya pikir tentu penyebaran agama baru yang dipaksakan itu datangnya dari sana."
"Kalau benar datangnya dari sana, apa yang akan andika lakukan, anakmas? Tentu para pimpinan agama itu merupakan orang-orang yang berilmu tinggi. Apa yang akan andika perbuat untuk menghalangi mereka?"
"Setidaknya saya dapat menyadarakan mereka bahwa cara yang mereka tempuh itu tidak benar. Mereka boleh saja menyebarluaskan agama mereka akan tetapi dengan cara yang benar dan penuh damai. Rakyat kan dapat menilai mana agama yang baik dan mana yang tidak baik. Kalau memakai cara paksaan, akibatnya para pemeluk agama itupun hanya berpura-pura saja karena takut."
"Andika akan menegur mereka dan mengatakan begitu?"
"Benar, kanjeng bibi. Saya tidak mempunyai cara lain untuk menyadarkan mereka."
"Kalau mereka menolak caramu menyadarkannya dan bahkan menyerangmu, bagaimana?"
"Saya bermaksud baik bagi mereka sendiri, kalau sampai terjadi hal itu, saya hanya menyerah kepada kekuasaan Hyang Widhi saja."
Endang Patibroto menggeleng kepalanya, akan tetapi ia merasa tidak berhak untuk melarang. "Kalau begitu, mudah-mudahan usahamu itu berhasil baik, anakmas Jayawijaya. Nah, selamat tinggal, aku pergi dulu."
"Selamat jalan, kanjeng bibi."
Endang Patibroto meninggalkan pemuda itu melakukan perjalanan ke Nusabarung.
********************
Adipati Martimpang membuka persidangan itu, dihadap oleh para ponggawa, termasuk lima orang senopatinya yang digdaya, yaitu Ki Wisokolo, Ki Wisangnogo, Ki Krendomolo, Ki Damarpati dan Ki Surodiro. Selain para ponggawa dan senopati, di-situ terdapat pula Wasi Surengpati, tokoh dari Gua Iblis itu yang kini oleh Adipati Martimpang diangkat menjadi seorang penasihat.
Mereka membicarakan tentang penyusunan kekuatan di Nusabarung dengan bertambahnya perajurit yang kini jumlahnya sudah mencapai tiga ribu orang. Setengah jumlah itu dipusatkan di pantai daratan untuk menjaga pintu depan Nusabarung dan setengahnya lagi berada di pulau itu. Seorang penyelidik melaporkan bahwa di Jenggala atau Panjalu belum terlihat ada gerakan pasukan yang bergerak ke timur, bahkan pasukan Panjalu banyak yang dikerahkan ke selatan dan barat untuk menundukkan para raja muda dan adipati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Panjalu.
"Bagaimana dengan usaha para wasi untuk menyebarkan agama baru kalian itu? Sampai di mana perkembangan dan hasilnya, kakang Wasi Surengpati?" tanya Adipati Martimpang kepada penasihatnya.
Wasi Surengpati sekarang tidak lagi berpakaian kotor dekil seperti dulu. Pakaiannya serba indah dan baru, rambutnya yang mengkilat karena diminyaki dan disisir, matanya yang lebar itu bersinar-sinar dan hidungnya yang pesek tampak lebih pesek lagi ketika dia menyeringai.
"Ah, heh-heh-heh, sudah mendapat banyak kemajuan, Kanjeng Adipati. Banyak orang dusun yang sudah menjadi anggota perkumpulan kami dan banyak candi didirikan orang. Mereka yang sudah menjadi anggota agama kami itu merupakan kekuatan yang dengan mudah dapat kita pergunakan untuk menyerang musuh atau untuk mencetuskan pertentangan antara para pemeluk agama lain. Dengan demikian, maka keadaan di wilayah Jenggala dan Panjalu akan menjadi lemah."
"Bagus, kalau begitu. Apakah andika tidak menemui halangan?"
Wasi Surengpati menghela napas panjang. "Wah, baru-baru ini memang ada beberapa orang di antara para penduduk dusun yang mencoba untuk menentang kami, akan tetapi dengan mudah kami singkirkan mereka. Hampir di setiap dusun yang termasuk wilayah Nusabarung sudah ada perwakilan agama kami, ha-ha-ha."
"Kalau begitu, kita harus cepat memberi kabar kepada Kadipaten Blambangan agar Wasi Karangwolo dan terutama Wasi Shiwamurti mengetahui bahwa gerakan kita di Nusabarung sudah berhasil."
"Harap jangan khawatir, Kanjeng Adipati. Saya sudah mengirim utusan ke sana, karena Kakang Wasi Shiwamurti perlu mengangkat kepala-kepala agama untuk memimpin mereka yang berada di dusun-dusun. Dan pengangkatan itu baru sah kalau dilakukan oleh Sang Wasi Shiwamurti."
Tiba-tiba seorang pengawal masuk ke ruangan itu. Melihat ini, Adipati Martimpang menegurnya, "Heh, pengawal, mau apa engkau menghadap tanpa kami panggil?"
"Ampunkan hamba, Kanjeng Adipati. Di luar terdapat seorang wanita yang hendak menghadap paduka, dan ketika kami larang, ia mengamuk dan merobohkan banyak pengawal!"
"Kakang Wasi Surengpati, coba andika keluar dan lihat siapa wanita itu. Kalau ia hanya seorang pengacau, tangkap dan hajar." Adipati Martimpang memerintah dengan marah.
Wasi Surengpati lalu keluar sambil membawa tongkat ularnya. Langkahnya menunjukkan betapa ia sadar akan harga dirinya, dadanya dibusungkan dan langkahnya dibuat segagah mungkin. Seolah dia berteriak kepada semua orang agar melihat bahwa dia yang ditugaskan menangkap pengacau dan kalau dia turun tangan, semua tentu akan menjadi beres!
Siapakah wanita yang mengamuk di luar itu? Ia bukan lain adalah Endang Patibroto! Setelah dengan perahu ia tiba di pulau Nusabarung, ia langsung saja datang ke kadipaten. Kepada para pengawal yang berjaga di luar, ia mengatakan bahwa ia ingin bicara dengan Adipati Martimpang. Akan tetapi para pengawal melarangnya karena tidak semua orang dapat menghadap sang adipati, apa lagi pada saat itu sang adipati sedang mengadakan persidangan. Karena itu, para pengawal melarangnya dan hal ini membuat Endang Patibroto menjadi marah sekali. Ia nekat untuk memasuki gedung kadipaten, akan tetapi para pengawal menghalanginya sehingga terjadilah perkelahian. Para pengawal itu dilempar-lemparkan, ditampar dan ditendang sehingga mereka berpelantingan dan seorang di antara mereka cepat melapor ke dalam.
Ketika Wasi Surengpati tiba di luar, Endang Patibroto sudah berhenti mengamuk karena para pengawal tidak ada yang berani maju lagi. Hampir semua dari belasan orang itu sudah berkenalan dengan tamparan dan tendangannya yang kuat. Wasi Surengpati memandang dengan penuh perhatian. Matanya yang berpengalaman dapat melihat seorang wanita berusia limapuluhan yang masih amat cantik dan bertubuh ramping padat dan dari kilatan matanya dia dapat menduga bahwa wanita itu tentu saorang yang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
"Teja-teja sulaksana! Andika siapakah dan mengapa pula membuat kacau di sini?" tanya Wasi Surengpati dan lagaknya angkuh, seolah dia yang menjadi adipati di situ. Apa lagi melihat wanita itu demikian cantik, dia lalu berulah dan bergaya.
Endang Patibroto tidak menganal siapa adanya laki-laki itu, akan tetapi ia dapat menduga bahwa bukan itu adipatinya karena pakaiannya, biarpun mewah, tidak seperti pakaian seorang adipati.
"Aku hanya ingin bertemu dan bicara dengan Sang adipati Nusabarung. Biarkan aku masuk menghadapnya!" katanya merasa tidak senang dengan sikap kakek yang matanya lebar hidungnya pesek itu karena lagaknya demikian angkuh.
"Tidak mudah menghadap Sang Adipati kalau kami belum mengetahui apa yang menjadi kehendakmu. Karena itu, katakan dulu kepadaku siapa andika dan apa keperluan andika hendak menghadap Sang Adipati. Baru akan kami pertimbangkan apakah andika dapat diterima menghadap atau tidak!"
"Aku tidak mau bicara denganmu! Biarkan aku masuk kalau begitu!" kata Endang Patibroto dan iapun melangkah maju untuk memasuki kadipaten.
Wasi Surengpati memalangkan tongkat ularnya menghalangi Endang Patibroto.
"Hemm, tidak mudah masuk tanpa seijinku!" Bentaknya marah.
Pada saat itu muncul Adipati Martimpang sendiri. Dia tertarik mendengar ada wanita yang hendak memaksa bertemu dengannya maka diapun menyusul ke depan.
"Kakang Wasi, siapakah yang membikin ribut di sini?" tanyanya.
Melihat munculnya Sang Adipati, Wasi Surengpati menurunkan lagi tongkatnya. "Ia belum mau mengaku siapa dirinya, Kanjeng Adipati," katanya menahan marah.
Adipati Martimpang maju selangkah lagi dan dia bertanya dengan suara lantang.
"Eh, wanita, siapakah andika dan apa maksud andika hendak menghadap kami?"
Endang Patibroto memandang adipati itu dengan penuh perhatian. Seorang laki-laki berusia limapuluh tahunan, bertubuh tinggi besar dengan muka hitam buruk.
"Apakah andika adipati Nusabarung ini?" Endang Patibroto balas bertanya.
"Benar, akulah Adipati Martimpang yang menguasai Nusabarung," kata sang adipati itu sambil memberi isyarat dengan matanya kepada lima orang senopatinya yang sudah menyusul keluar untuk bersiap-siap.
Lima orang senopati itu sudah tanggap dan mereka berdiri melindungi sang adipati. "Bagus sekali kalau andika sudah keluar sendiri menemuiku, Sang Adipati. Para pengawalmu ini menjemukan sekali. Mereka menghalangi dan mengeroyok aku yang ingin bertemu dengan andika, maka terpaksa aku menghajar mereka."
"Maafkan mereka. Sekarang kita sudah berhadapan, katakanlah apa keperluanmu dengan kami?"
"Aku perlu bertanya kepadamu, Sang Adipati. Aku mempunyai seorang puteri yang sedang mengadakan perjalanan merantau. Apakah ia lewat di sini? Namanya adalah Retno Wilis. Ia melakukan perjalanan bersama seorang puteraku bernama Bagus Seto. Apakah mereka pernah singgah di pulau ini?"
Mendengar pertanyaan ini, Adipati Martimpang terbelalak, demikian pula para senopatinya. Wasi Surengpati bahkan mengeluarkan suara geraman marah.
"Ah, kalau begitu apakah andika yang bernama Endang Patibroto?" tanya sang Adipati dengan muka berubah kemerahan karena dia marah sekali teringat akan pengalamannya ketika dijadikan sandera oleh Retno Wilis yang melarikan diri.
"Benar, akulah Endang Patibroto! Apakah anak-anakku itu lewat di sini?"
"Bukan hanya lewat! Anakmu yang keparat itu telah menipu dan menghina kami!"
Endang Patibroto mengerutkan alisnya. "Hemm, anakku bukan seorang penipu! Jangan andika berbohong kepadaku!"
"Bukan penipu? Ia menyamar sebagai pria dan mengikuti sayembara yang kami adakan dan memenangkan sayembara itu sehingga ia kami terima sebagai calon mantuku. Baru kemudian kami mengetahui bahwa ia seorang wanita dan ia lalu melarikan diri. Keparat gadis yang mengaku sebagai Joko Wilis itu!" Ketika mengucapkan kata-kata ini, sang adipati marah sekali.
Endang Patibroto tidak dapat menahan geli hatinya dan ia tertawa mendengar ulah Retno Wilis itu. Ia dapat membayangkan betapa anaknya itu telah membuat geger Nusabarung. Menyamar sebagai pria dan memenangkan sayembara untuk mendapatkan seorang puteri!
"He-he-heh-hi-hik, betapa lucunya! Apakah kalian semua telah menjadi buta tidak melihat bahwa ia seorang wanita?" Girang hatinya karena mendapat keterangan bahwa anaknya pernah berada di pulau ini. "Setelah dari sini, ia pergi kemanakah?"
"Siapa tahu? Kami tidak mengetahuinya."
"Kalau begitu, aku harus meninggalkan tempat ini untuk menyusulnya."
"Babo-babo, nanti dulu, Endang Patibroto! Setelah andika berani datang ke sini, kami tidak akan melepaskanmu begitu saja. Tinggalkan dulu kepalamu di sini, baru boleh engkau pergi!" kata Wasi Surengpati sambil melintangkan tongkat ularnya.
Lima orang senopati Nusabarung melihat Wasi Surengpati sudah siap menyerang Endang Patibroto, juga lalu mengepung wanita itu.
"Endang Patibroto, andika telah terkepung. Lebih baik menyerahkan diri untuk kami tawan!" kata Wasi Surengpati yang mengerahkan kekuatan sihirnya, lalu menuding dengan tongkat ularnya ke arah muka Endang Patibroto dan dia membentak! "Endang Patibroto, berlututlah andika!"
Endang Patibroto merasa betapa ada kekuatan aneh yang seolah memaksanya untuk berlutut. Ia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menolak dan ia lalu mengeluarkan teriakan melengking yang mengejutkan semua orang. Itulah pekik dengan aji Sardulo Bairowo. Suara melengking ini mengandung pengaruh yang amat hebat dan sekaligus membuyarkan kekuatan sihir yang dikerahkan Wasi Surengpati.
Setelah melihat kakek itu menggerakkan tongkat ular dan mengerahkan kekuatan sihir, baru Endang Patibroto teringat. Ketika ia menolong Jarot, putera Adipati Pasisiran yang hendak dibunuh dua orang kakak tirinya, pendeta inipun membantu kedua kakak tiri yang jahat itu! Ia melawan pendeta itu dan pendeta yang memegang tongkat ular ini melarikan diri. Kiranya pendeta itu kini muncul di Kadipaten Nusabarung dan berlagak sombong karena dia kini dibantu oleh banyak orang!
"Pendeta jahanam, kiranya engkau yang berlagak di sini!" bentaknya dan ia sudah menerjang ke depan untuk mengirim pukulan mautnya kepada pendeta itu.
Wasi Surengpati yang sudah pula teringat akan wanita perkasa yang dulu membantu Jarot itu, menjadi marah sekali.
"Kita basmi wanita jahat ini?" bentaknya seperti memberi isyarat kepada lima orang senopati yang sudah mengepung Endang Patibroto.
Ki Wisokolo, senopati pertama dari Nusabarung, agaknya dapat menduga bahwa wanita itu tentu berilmu tinggi, maka ia pun segera berteriak kepada anak buahnya untuk mengepung. Sedikitnya tigapuluh orang perajurit sudah mengepung tempat itu dengan senjata di tangan. Namun Endang Patibroto tidak gentar sedikitpun.
"Aku datang hanya hendak bertanya tentang kedua orang anakku, akan tetapi kalian menyambut dengan senjata terhunus. Baiklah, kalau begitu aku tidak akan memberi ampun kepadamu!" Begitu ia bergerak maju, empat orang perajurit telah menyambutnya dengan tombak. Akan tetapi, sekali menggerakkan tangan kiri menolak, empat batang tombak itu terpental dan tangan kanannya menampar ke depan. Empat orang itu berteriak dan terpelanting roboh, tak dapat bangkit kembali! Lima orang senopati itu kini menerjang ke depan dengan golok mereka, mengeroyok Endang Patibroto, sedangkan Wasi Surengpati sendiripun sudah menggerakkan tongkat ularnya. Pada saat terdengar seruan orang, nyaring sekali.
"Tahan semua senjata. Apakah orang-orang Nusabarung telah menjadi pengecut semua!"
Semua orang terkejut mendengar ucapan lantang ini dan untuk menghentikan pengeroyokan mereka sambil menoleh untuk memandang siapa yang mengeluarkan kata-kata itu. Mereka melihat seorang pemuda yang berpakaian sederhana telah berdiri disitu sambil mengangkat tangannya. Melihat pemuda itu, Wasi Surengpati menjadi marah.
"Orang muda lancang mulut. Apa maksudmu mengatakan kami pengecut?"
Pemuda itu bukan lain adalah Jayawijaya. Endang Patibroto terkejut dan diam-diam sesalkan kelancangan pemuda itu. Apakah dia tidak melihat bahwa kemunculannya dengan sikap seperti itu akan membahayakan dirinya sendiri?
"Kalian ini semua laki-laki yang gagah perkasa. Akan tetapi kalian sungguh tidak tahu malu dan curang mengeroyok seorang wanita! Apakah hal itu tidak membuat kalian menjadi pengecut? Tidak malukah kalian?"
Wajah Wasi Surengpati berubah kemerahan. "Tangkap pemuda lancang mulut itu!" bentaknya dan seorang perajurit lalu meringkus Jayawijaya.
Dengan mudahnya dia dapat menangkap pemuda itu dan mengikat kedua tangannya dengan tali kepada sebuah tiang rumah. Jayawijaya tidak mampu melawan dan menyerah saja ditelikung. Akan tetapi mulutnya masih mengeluarkan kata-kata lantang.
"Perbuatan kalian ini jahat dan ingat siapa yang jahat akhirnya akan kalah. Yang jahat tidak akan mendapatkan perlindungan Hyang Widhi! Kanjeng Bibi, larilah selagi ada kesempatan!" Diapun berseru kepada Endang Patibroto.
Pemuda itu lebih mengkhawatirkan Endang patibroto dari pada dirinya sendiri. Akan tetapi, Wasi Surengpati kembali sudah menggerakkan tongkat ularnya menyerang Endang Patibroto. Cepat sekali serangannya itu dan tahu-tahu ujung tongkat itu telah menyambar dan menusuk ke arah dada Endang Patibroto. Akan tetapi wanita perkasa ini tidak menjadi gugup dengan serangannya itu. Tangan kirinya ditekuk dan diputar untuk menangkis sehingga tongkat itu terpental.
Pada saat itu, lima orang senopati juga sudah menyerangnya dengan golok mereka yang datang menyambar dari segala jurusan. Endang Patibroto mengetahui dari sambaran angin serangan golok itu bahwa lima orang senopati itu bukan merupakan lawan yang lemah. Gerakan golok mereka cepat sekali dan juga mengandung tenaga yang kuat. Kini ia dikeroyok oleh enam orang yang merupakan lawan tangguh. Ia lalu mengerahkan aji Bayutantra yang membuat tubuhnya dapat bergerak seperti seekor burung Srikatan cepatnya, berkelebatan di antara sinar golok dan tongkat. Ia tidak hanya mengelak saja, melainkan juga membalas serangan enam orang pengeroyoknya dengan tamparan jari tangan dengan Aji Petni Nogo.
Melihat betapa sambaran tangan wanita itu mengeluarkan suara angin berciutan enam pengeroyok itu menjadi gentar dan mereka mengeroyok dengan hati-hati. Puluhan perajurit tidak berani maju mengeroyok setelah empat orang di antara mereka roboh tadi. Pula, pengeroyokan enam orang itu sudah rapat dan tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk ikut mengeroyok.
Pertandingan berlangsung seru bukan main. Enam orang itu dapat saling melindungi. Kalau Endang Patibroto membalas dengan tamparannya, tentu ada saja lawan yang mencoba untuk menangkis tamparan itu dengan senjata mereka. Dengan cara begini, sampai lewat limapuluh jurus, Endang Patibroto belum juga dapat merobohkan seorang di antara mereka. Bahkan ia terdesak oleh serangan bertubi-tubi dari enam orang pengeroyoknya itu.
Sementara itu, diam-diam Wasi Surengpati merasa kagum dan juga penasaran bukan main. Harus diakuinya bahwa kalau dia sendiri yang maju melawan Endang Patibroto, tentu dia akan kalah. Bahkan dengan bantuan lima orang senopati yang terkenal sakti itupun dia masih belum mampu mengalahkan wanita itu.
Jayawijaya yang sudah diikat kepada tiang itu tidak mampu bergerak, akan tetapi dia masih dapat bersuara lantang.
"Curang, pengecut curang! Kalau memang berani, hadapilah kanjeng bibi satu lawan satu! Heii, apakah kalian semua tidak tahu malu dan bukan laki-laki sejati?"
Melihat pemuda itu masih ribut terus, perajurit yang tadi menangkapnya dan kini menjaganya, lalu menampar mulutnya.
"Plak-plak!" Dua kali mulut Jayawijaya ditampar dan bibirnya mengeluarkan darah. Akan tetapi pemuda itu tidak menghentikan teriakan-teriakannya, bahkan dia berani mencela Sang Adipati yang sejak tadi sudah menyembunyikan diri agar jangan terulang lagi dirinya ditangkap dan dijadikan sandera, seperti yang terjadi ketika Retno Wilis dikeroyok dahulu itu.
"Hai, Sang Adipati Nusabarung! Kenapa andika mendiamkan saja orang-orang andika melakukan pengeroyokan seperti pengecut yang curang? Tidak malukah andika kalau hal ini terdengar oleh orang-orang di luar kadipaten ini?" demikian Jayawijaya berteriak lagi.
"Plak-plak-plak!" Kembali perajurit itu menampar mulutnya dan kini lebih banyak lagi darah yang keluar dari mulut pemuda itu.
Endang Patibroto mendengar teriakan-teriakan ini dan ia merasa khawatir kalau-kalu pemuda itu akan dibunuh orang. Ia sendiri juga menyadari bahwa tidak mungkin terus bertahan oleh pengeroyokan itu, maka ia lalu mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo. Enam orang pengeroyoknya terkejut, bahkan terhuyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan Endang Patibroto untuk melompat ke arah Jayawijaya dan sekali sambar, perajurit yang menjaganya itu terpelanting dan terguling-guling. Cepat tangan Endang Patibroto bergerak membikin putus tali-tali pengikat, lalu memegang lengan Jayawijaya dan berkata,
"Mari kita pergi dari sini!"
Jayawijaya membiarkan dirinya ditarik oleh Endang Patibroto. Akan tetapi bagimana mungkin dia dapat lari secepat wanita sakti itu? Akhirnya, diapun diseret dan terangkat ke atas, dibawa lari Endang Patibroto seperti sebuah layang-layang. Jayawijaya memejamkan kedua matanya ketika melihat betapa cepatnya tubuhnya meluncur ke depan dan kakinya seperti tidak menginjak bumi lagi!
Akhirnya mereka tiba di pantai di mana Endang Patibroto menyembunyikan perahunya. Ia melompat ke dalam perahunya sambil menarik tangan Jayawijaya dan di lain saat mereka sudah meluncurkan perahu ke tengah lautan. Para senopati dan anak buahnya melakukan pengejaran, akan tetapi lari mereka jauh kalah cepat sehingga ketika mereka tiba di pantai, perahu yang ditumpangi Endang Patibroto sudah pergi jauh sekali.
Sambil mendayung perahunya, Endang Patibroto mengomeli pemuda itu. "Anak-mas Jayawijaya, mengapa andika begitu lancang datang ke sana dan membahayakan diri sendiri? Semestinya andika tidak menegur mereka karena itu sama saja dengan melakukan usaha bunuh diri."
"Eh, mengapa, kanjeng bibi? Apa salahnya kalau saya menegur mereka? Mereka memang bersikap curang dan pengecut, dan pantas untuk ditegur!"
"Akan tetapi dengan berbuat seperti itu, andika memanggil bahaya maut!"
"Saya tidak berpikir demikian. Kalau Sang Hyang Widhi menghendaki teguran saya itu akan ada gunanya bagi mereka. Saya hanya ingin agar mereka itu mengubah perbuatan mereka yang tidak benar, mengubah jalan hidup mereka yang sesat."
"Aduh, anakmas. Tidakkah andika melihat bahwa engkau memanggil bahaya maut? Kalau mereka itu menyerangmu, andika akan mampu berbuat apakah? Tadi, baru menghadapi seorang perajurit saja, andika tidak mampu membela diri dan dapat diikat. Apa lagi kalau kakek bertongkat ular itu yang maju menyerangmu!"
Jayawijaya tersenyum lebar. "Saya tidak takut, kanjeng bibi."
"Akan tetapi andika seorang pemuda yang lemah."
"Saya memang lemah dan tidak biasa berkelahi, akan tetapi Hyang Widhi adalah maha sakti dan maha kuasa. Tidak ada kekuatan di dunia ini yang akan mampu melawanNya. Karena itu saya tidak takut karena saya yakin bahwa Hyang Widhi pasti akan melindungi saya dari marabahaya."
"Hemmm, aku ingin melihatnya!" kata Endang Patibroto yang merasa jengkel mendengar jawaban itu. "Kalau tadi tidak ada aku yang melepaskanmu dan menolongmu keluar dari sana, siapa yang akan dapat menyelamatkanmu?"
"Kanjeng Bibi, tidakkah andika melihat kekuasaan Hyang Widhi tadi telah bekerja? Hyang Widhi sudah menolong saya, melalui tangan kanjeng bibi! Tidakkah kanjeng bibi merasa bahwa Sang Hyang Widhi yang telah mempergunakan kanjeng bibi untuk menyelamatkan saya?"
Endang Patibroto tertegun mendengar ini. Ia teringat akan kata-kata suaminya bahwa manusia adalah mahluk yang selemah-lemahnya dan bahwa tanpa adanya kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, manusia ini tidak berdaya dalam hidupnya. Teringatlah pula ia akan keterangan suaminya bahwa semua ilmu kadigdayaan yang dikuasainya adalah anugerah dari Hyang Widhi. Kalau begitu, betapa tepat ucapan Jayawijaya bahwa ia telah dipergunakan oleh Hyang Widhi untuk bergerak menolong pemuda itu. Bukan ia yang menolong, melainkan Hyang Widhi! Betapa penuh kerendahan hati terhadap Hyang Widhi, betapa penuh dan lengkapnya iman kepercayaan kepada Hyang Widhi.
"Wah andika benar, anakmas. Aku yang telah terlupa. Agaknya seorang manusia seperti andika ini selamanya akan mendapat perlindungan Hyang Widhi. Akan tetapi setelah tiba di pantai daratan nanti, terpaksa kita harus berpisah dan aku hanya memperingatkan andika agar lebih berhati-hati. Ingatlah bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat manusia yang jahat seperti iblis, yang tidak segan-segan untuk mengganggu seorang pemuda tidak berdosa seperti anakmas."
"Saya tahu, kanjeng bibi. Karena itu, sayapun harus lebih giat memperingatkan dan menasihati mereka."
Endang Patibroto menghela napas dan mempercepat gerakan dayungnya sehingga perahu itu meluncur dengan cepatnya menuju ke daratan yang sudah tampak dari situ. Setelah tiba di daratan, Endang Patibroto berkata,
"Sekarang aku harus meninggalkan andika untuk mencari jejak kedua orang anakku. Selamat tinggal, anakmas Jayawiya. Semoga kita akan bertemu lagi kelak."
"Selamat jalan, kanjeng bibi Endang Patibroto."
Endang Patibroto menggerakan kedua kakinya dan lenyap dari depan pemuda itu karena ia menggunakan aji Bayutantra. Melihat ini, Jayawijaya menarik napas panjang dan berkata seorang diri.
"Kalau saja semua orang yang memiliki kesaktian bersikap seperti kanjeng bibi Endang Patibroto, alangkah tenteramnya dunia ini." Diapun melangkah dan melanjutkan perjalanannya, tanpa tujuan tertentu, hanya menurutkan kata hati dan langkah kakinya saja.
********************
Kita tinggalkan dulu Endang Patibroto yang berpisah dari Jayawijaya pemuda luar biasa itu, dan mari kita ikuti perjalanan Bagus Seto dan Retno Wilis yang telah berpisah dari Harjadenta yang kembali ke pegunungan Raung. Kedua orang kakak beradik itu kembali menyusuri sepanjang pantai Laut Kidul menuju ke timur. Mereka berjalan seenaknya, santai dan tidak tergesa-gesa, sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah di sepanjang pantai Laut Kidul. Pantai itu kadang merupakan tanah yang landai ditutup pasir putih yang kemilauan terkena cahaya matahari.
Pantai pasir putih itu amat luas dan merupakan pemandangan alam yang amat indahnya. Akan tetapi kadang pantai itu berupa bukit-bukit yang menjulang tinggi dan ombak samudera terhempas pada dinding karang yang kokoh kuat. Ombak yang menghantam dinding ini menimbulkan suara dahsyat dan air pecah muncrat ke atas menimbulkan uap air yang tebal. Pemandangan ini juga teramat indahnya dan memperlihatkan kebuasan dan kedahsyatan air laut, berbeda kalau pantainya datar seperti pantai pasir putih di mana air laut menjadi menipis mengeluarkan bunyi mendesis-desis seperti air mendidih.
Ketika mereka tiba di ujung pantai pasir putih, mereka berhadapan dengan sebuah hutan di tepi pantai yang amat lebat. Pantai berhutan itu merupakan perbukitan, akan tetapi hutannya amat lebat dan gelap menyeramkan.
"Kita sekarang akan melalui jalan pendakian yang sukar karena hutannya amat lebat, diajeng. Kita harus berhati-hati karena agaknya hutan ini mengandung hawa yang angker."
Retno Wilis, gadis yang tidak pernah mengenal rasa takut itu, tersenyum. "Angker? Kau maksudkan hutan ini ada setannya kakang?"
"Setan yang masih gentayangan tidak perlu kita takuti, akan tetapi kita harus waspada terhadap setan yang sudah masuk ke dalam diri manusia. Manusia yang sudah kesetanan itu dapat melakukan perbuatan amat jahat dan keji, adikku. Karena itu kita perlu waspada dan hati-hati."
Mereka masuk menyusup-nyusup di antara pohon-pohon raksasa dan semak-semak belukar. Bagus Seto meminjam pedang Sapudenta milik adiknya untuk membabat semak yang merintangi jalan mereka. Dia berjalan di depan membabati semak sedangkan Retno Wilis berjalan di belakangnya. Hutan itu demikian lebatnya sehingga sinar matahari tidak banyak yang menerobos masuk, membuat hutan itu gelap.
Retno Wilis yang berjalan di belakang kakaknya memandang ke kanan kiri dengan penuh kewaspadaan. Ia juga dapat merasakan keadaan hutan yang angker seolah di situ terdapat banyak bahaya yang mengintai mereka. Tiba-tiba ia memegang lengan kakaknya.
"Ada apa?" tanya Bagus Seto ketika merasa betapa kuatnya cengkeraman tangan adiknya.
"Sssttt, kakang, aku merasa ada orang-orang atau entah mahluk apa mengintai kita."
"Di mana?"
"Entahlah, aku tadi seperti melihat banyak pasang mata mengintai dari balik semak belukar akan tetapi sekarang sudah lenyap lagi. Kakang, aku merasa ngeri juga."
Bagus Seto tersenyum. "Jangan katakan bahwa engkau takut, diajeng."
Retno Wilis membusungkan dadanya. "Takut? Aku tidak takut, akan tetapi bicaramu tentang setan tadi membuat aku merasa ngeri. Mari kita lanjutkan perjalanan kita."
Mereka melanjutkan perjalanan. Bagus Seto tetap membabati semak yang menghalangi perjalanan mereka, sedangkan Retno Wilis mengikuti dari belakang. Tiba-tiba, di bawah sebatang pohon randu alas yang amat besar, terdengar suara dari atas.
"Kaaak-kaak... !"
Otomatis Bagus Seto dan Retno Wilis memandang ke atas dan mata mereka terbelalak lebar ketika melihat seekor ular yang amat besar bergantung dengan ekornya pada sebatang cabang pohon dan kepalanya tergantung di bawah. Kepala itu kini dengan moncong terbuka lebar menyambar ke bawah menyerang mereka. Bagus Seto yang berada di depan cepat menangkis dengan bacokan pedangnya.
"Wuuuttt... crak... !" leher ular itu putus, kepalanya menggelinding ke bawah dan tubuhnya melepaskan lilitan pada cabang pohon dan jatuh berdebuk di atas tanah.
"Shanti-shanti-shanti... !" Bagus Seto berkata dengan penuh penyesalan. "Terpaksa aku harus membunuhmu, ular, karena engkau membahayakan keselamatan kami!"
"Kakang, kenapa engkau menyesal membunuh ular jahat itu?"
"Ia tidak jahat, diajeng."
"Tidak jahat? Kalau engkau tidak membunuhnya, tentu kita sudah ditelannya bulat-bulat! Ia buas dan liar, jahat sekali, dan kejam. Ia makan hewan yang tidak mampu melawannya, menelannya bulat-bulat, apakah itu tidak jahat dan kejam namanya?"
"Sama sekali tidak, adikku. Sudah ditakdirkan oleh Hyang Widhi bahwa ular hanya makan binatang lain yang lebih kecil. Ia tidak dapat makan daun atau rumput. Kalau ia tidak makan binatang yang lebih kecil, ia akan mati kelaparan, ia tadi menyerang kita juga untuk mengisi perutnya yang kosong. Ia tidak buas, melainkan bergerak menurut naluri dan kebutuhan badannya."
"Kalau begitu, mengapa engkau membunuhnya, kakang?" bantah Retno Wilis penasaran.
"Aku terpaksa membunuhnya untuk membela diri. Aku harus membunuhnya tadi, kalau tidak tentu seorang di antara kita menjadi mangsanya. Akan tetapi aku menyesal harus membunuhnya. Mari kita lanjutkan perjalanan ini."
Mereka bergerak maju lagi dan baru belasan langkah, mereka berhenti lagi karena terdengar suara aneh seperti raung anjing. Raung itu berkepanjangan terdengar seperti keluhan dan terdengar dari segala penjuru seolah mengepung mereka.
"Kakang, suara apakah itu?" tanya Retno Wilis. Betapapun tabahnya, ia merinding juga mendengar suara aneh itu.
"Hemm, aku tidak tahu. Agaknya seperti suara anjing meraung, atau mungkin srigala. Mari kita maju terus, mencari tempat yang lebih lapang. Kalau berada di tengah semak semak begini, akan sukar bagi kita untuk membela diri kalau muncul bahaya."
Mereka maju terus, tidak memperdulikan suara itu dan akhirnya mereka tiba di tempat terbuka. Pohon-pohon agak jarang dan tidak terdapat semak belukar. Tanahnya penuh rumput dan petak rumput ini cukup luas. Di tempat terbuka ini Retno Wilis mendapatkan kembali ketabahannya dan kembali membusungkan dadanya ia menantang dengan suara lantang.
"Heii, kalian anjing-anjing liar atau srigala atau iblis setan bekasakan! Keluarlah dan tandingilah kami, jangan hanya mengeluarkan suara seperti pengecut hendak menakut-nakuti orang! Keluarlah kalian!"
Tidak terdengar jawaban, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berkerosakan di sekeliling mereka seolah-olah banyak binatang hutan bergerak ke arah mereka. Dua orang kakak beradik itu siap siaga dan Bagus Seto masih memegang pedang pusaka Sapudenta milik Retno Wilis. Mereka berdiri, saling membelakangi untuk saling melindungi. Akan tetapi yang muncul bukan anjing atau srigala, melainkan duapuluh orang lebih yang berpakaian serba hitam! Muka mereka semua memakai topeng srigala hitam dan yang tampak hanya sepasang mata mereka yang mencorong seperti mata srigala. Mereka mengeluarkan suara seperti srigala menggereng-gereng.
Retno Wilis dan Bagus Seto memandang dengan heran. Siapakah orang-orang bertopeng ini? Mereka memiliki tubuh yang kokoh kuat dan mereka kini telah mengepung kakak beradik itu.
"Siapakah kalian? Mau apa mengepung kami?" tanya Retno Wilis yang sudah siap untuk mengamuk.
"Kami kakak beradik kebetulan lewat di sini, kami tidak bermusuhan dengan kalian!" Kata pula Bagus Seto yang sudah menyelipkan pedang Sapudenta di ikat pinggangnya agar mereka ketahui bahwa dia tidak berniat untuk berkelahi.
Akan tetapi duapuluh lebih orang bertopeng itu mengepung semakin rapat dan tiba-tiba mereka semua mengeluarkan sebuah kantung hitam, merogoh ke dalam kantung dan mereka menyambitkan bubuk hitam ke arah Bagus Seto dan Retno Wilis! Dua orang kakak beradik ini tidak dapat mengelak karena dari sekeliling mereka menyambar bubuk hitam itu. Mereka menahan napas dan memejamkan mata sambil menggerakkan tangan untuk menangkis serangan. Akan tetapi tiba-tiba sebuah jala hitam menimpa dan menutup mereka! Para pengepung itu mengeluarkan teriakan-teriakan girang melihat betapa dua orang itu telah kena terjaring. Bagus Seto berkata lirih kepada adiknya.
"Kita menyerah, lihat perkembangan!"
Retno Wilis tidak membantah dan iapun tidak meronta ketika ada tangan menelikung kedua lengannya dari luar jaring. Bagus Seto menyuruh adiknya menyerah karena dia ingin tahu apa yang akan mereka lakukan terhadap diri mereka berdua. Orang-orang ini berusaha menangkap mereka, bukannya membunuh. Dia ingin tahu mereka itu orang apa dan apa pula maksud mereka menawan dia dan adiknya.
Setelah mengikat kedua tangan BagusSeto dan Retno Wilis ke belakang punggung, orang-orang bertopeng itu lalu membuka jaring dan mendorong kedua orang tawanan itu untuk melangkah maju mengikuti beberapa orang yang berjalan di depan. Dengan kedua tangan terbelenggu, kakak beradik itupun melangkah mengikuti mereka.
"Kenapa, kakang?" tanya Retno Wilis lirih kepada kakaknya yang berjalan di sampingnya. Ia merasa heran mengapa kakaknya minta agar ia menyerah.
"Kita lihat mereka mau apa?" bisik Bagus Seto kembali.
"Diam kalian!" terdengar bentakan dari belakang dan tahulah kedua orang kakak beradik itu bahwa mereka adalah manusia-manusia biasa yang memakai topeng dan berpakaian hitam, mungkin ini menunjukkan bahwa mereka adalah anggauta-anggauta sebuah perkumpulan rahasia yang agaknya bersarang di hutan lebat itu.
Kini mereka tiba di tengah hutan dan jalannya mendaki. Kemudian, di tengah-tengah hutan pegunungan tepi laut itu tampak sebuah perkampungan. Ada puluhan rumah di situ, rumah-rumah sederhana dan kecil yang mengelilingi sebuah rumah besar.