Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Sepasang Garuda Putih Jilid 10
PENDUDUK perkampungan itu semua berpakaian serba hitam, akan tetapi muka mereka tidak memakai topeng. Ada kanak-kanak, ada pula wanita, tidak berbeda dengan perkampungan biasa. Hanya yang menyolok adalah pakaian mereka, semua mengenakan pakaian serba hitam. Orang-orang yang tadi menangkap Bagus Seto dan Retno Wilis, setelah tiba di perkampungan itu, segera melepaskan topeng mereka dan mengantongi topeng itu.
Agaknya topeng itu hanya dipakai kalau mereka keluar dari perkampungan mereka. Banyak orang menyambut kedatangan duapuluh lebih orang yang membawa dua tawanan itu. Mereka yang menyambut itu mengeluarkan suara pujian akan kecantikan Retno Wilis dan ketampanan Bagus Seto dan sikap mereka seperti penduduk kampung biasa, tidak seperti penjahat.
Dua orang tawanan itu dibawa masuk ke rumah besar dan di sebuah ruangan yang luas, mereka dihadapkan seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwajah gagah. Empat orang anggauta yang tadi membawa Bagus Seto dan Retno Wilis masuk memberi hormat dengan sembah kepada laki-laki berpakaian hitam akan tetapi mewah itu. Kedua lengannya yang kokoh memakai gelang emas, lehernya juga mengenakan rantai besar dari emas, pakaiannya yang hitam juga terbuat dari kain yang halus.
"Denmas Haryosakti, kami mendapatkan kedua orang ini melanggar hutan wilayah kekuasaan kita, maka kami menangkap mereka dan membawa mereka menghadap paduka untuk mendapat keputuan." Seorang diantara empat orang itu melapor.
Orang yang disebut Denmas Haryosakti itu memandang kepada Bagus Seto, kemudian memandang kepada Retno Wilis dan dia tertawa bergelak sambil memuntir kumisnya yang mencuat ke kanan kiri. Dia melirik ke arah seorang wanita yang sebaya dengannya, wanita yang cantik dan berpakaian hitam tapi mewah. Belum habis dia tertawa, muncullah dua orang dari arah belakang. Mereka adalah seorang pemuda berusia duapuluh tahun lebih yang tampan dan gagah perkasa, dan seorang gadis berusia kurang lebih delapanbelas tahun yang cantik jelita. Mereka segera mengambil tempat duduk di kanan kiri orang tua mereka.
Retno Wilis menduga, bahwa kedua orang ini tentu putera puteri ketua gerombolan itu. Dan melihat wajah mereka yang elok, ia tahu bahwa mereka menuruni wajah ibu mereka yang cantik.
"Ayah, siapakah kedua orang asing ini?" tanya si pemuda kepada kepala gerombolan itu.
"Kenapa mereka dibelenggu, ayah?"tanya si gadis cantik.
"Kasihan kalau mereka dibelenggu, sebaiknya belenggu mereka itu dibuka saja ayah."
"Ha-ha-ha, engkau benar, Sarmini. Hai, Blendong, bukakan tali pengikat tangan mereka, kemudian keluarlah kalian dari sini."
Seorang di antara empat anggota itu bangkit, lalu menghampiri Bagus Seto dan Retno Wilis dan membuka pengikat tangan mereka. Blendong, pemimpin rombongan yang menangkap kedua orang muda itu, lalu menyerahkan sebatang pedang, yaitu pedang Sapudenta yang tadi dia rampas dari ikat pinggang Bagus Seto.
"Ini adalah pedang yang tadinya dibawa pemuda ini. Denmas." katanya.
Kepala gerombolan yang bernama Haryosakti itu menerima pedang dan memberi isarat kepada empat orang itu untuk keluar. Dia mengamati pedang yang sudan dihunusnya itu dan tampak kaget.
"Ah, pedang pusaka yang ampuh sekali!" katanya lalu meletakkan pedang bersarung itu ke atas meja di depannya. Setelah itu, dia memandang kepada Bagus Seto dan Retno Wilis yang masih berdiri di hadapannya. "Silakan kalian berdua duduk. Kalian tidak kami anggap sebagai tawanan, melainkan sebagai tamu. Maafkan kekasaran anak buah kami, karena kalian telah melanggar wilayah kami." kata Haryosakti dengan suaranya yang dalam dan nyaring.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, karena kami juga bersalah telah melanggar wilayah andika tanpa kami ketahui." jawab Bagus Seto.
"Kisanak, siapakah namamu dan dari mana andika datang?"
"Nama saya Bagus Seto dan saya datang dari Panjalu."
"Dari Panjalu? Pantas andika demikian tampan. Orang-orang Panjalu terkenal tampan dan cantik. Dan gadis cantik ini apamu?"
"Ia bernama Retno Wilis dan ia adalah adik saya." Kata Bagus Seto terus terang.
"Ha-ha-ha, adikmu? Bagus, bagus sekali. Tadinya kusangka ia ini isterimu. Adikmu, ya? Bagus sekali, ia cantik dan menarik." Dia lalu menoleh kepada isterinya dan bertanya, "Ibune, tidakkah pantas kalau ia menjadi madumu?"
Isterinya tidak menjawab, akan tetapi pemuda dan gadis itu tampak terkejut dan dengan berbareng mereka berseru, "Kanjeng rama.!"
Akan tetapi Ki Haryosakti melambaikan tangan ke arah kedua orang anaknya dan membentak, "Diam kalian!" Setelah itu dia kembali memandang Bagus Seto dan berkata.
"Anakmas Bagus Seto, sekali lagi maafkan anak buah kami tadi yang telah bersikap kasar kepada kalian. Ketahuilah bahwa kami adalah orang-orang perkumpulan Jambuko Cemeng (Srigala Hitam) dan aku adalah pemimpin mereka, namaku Ki Haryosakti. Sekarang kalian berdua menjadi tamu kehormatan kami dan untuk menghormati kedatangan kalian, kami akan menyambutnya dengan sedikit pesta." Ki Haryosakti lalu memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan hidangan untuk pesta mereka.
Tentu saja Retno Wilis dan Bagus Seto juga mendengar ketika Ki Haryosakti tadi bertanya kepada isterinya apakah tidak sudah pantas kalau Retno Wilis menjadi madunya. Akan tetapi karena Retno Wilis melihat kakaknya diam dan tenang saja, iapun pura-pura tidak tahu. Bagus Seto memang ingin mengetahui apa yang akan dilakukan kepala gerombolan itu kepada dia dan adiknya. Diapun dapat menduga bahwa Ki Haryosakti itu tentulah seorang yang sakti. Sinar matanya saja mencorong penuh wibawa. Dan mengingat betapa anak buahnya juga rata-rata memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, maka dapat dipastikan bahwa pemimpin mereka ini memiliki kesaktian. Dia lalu mengajak Bagus Seto dan Retno Wilis bercakap-cakap. Dia bertanya tentang Panjalu, siapa yang menjadi rajanya, dan siapa pula patihnya.
"Patih Panjalu adalah Ki Patih Tejalaksono, yaitu ayah kandung kami!" kata Retno Wilis sambil meninggikan suaranya.
Mendengar ini, Ki Haryosakti memandang dengan mata terbelalak dan terkejut. "Ah, jadi andika berdua ini putera puteri Ki Patih Tejolaksono yang amat terkenal itu. Sungguh kebetulan sekali, kalau begitu kami tahu siapa adanya dua orang tamu agung kami."
Pada saat itu, seorang anggauta datang menghadap. "Hei, mau apa kamu menghadap tanpa diperintah?" Ki Haryosakti membentak dan mengerutkan alisnya.
"Ampun, denmas." kata orang itu sambil menyembah. "Saya akan melaporkan bahwa lima orang anggauta bajak laut Bala Cucut telah dapat menerobos penjagaan kami dan sekarang mereka mangamuk di depan pintu gerbang."
"Bodoh! Hanya menghadapi lima orang saja kalian tidak mampu menundukkan mereka?"
"Mereka tangguh sekali, denmas. Banyak anggauta kita yang sudah tewas melawan mereka."
"Babo-babo, iblis laknat! Pergilah dan aku sendiri yang akan menandingi mereka!"
Anggauta itu bergegas pergi dan Ki Haryosakti sudah bangkit dari tempat duduknya. Dia berkata kepada Bagus Seto dan Retno Wilis.
"Kebetulan sekali ada pengacau mengganggu kesenangan kita, mari andika berdua menyaksikan bagaimana kami memberi hajaran kepada para pengacau."
Bagus Seto dan Retno Wilis ingin tahu apa yang telah terjadi maka mereka juga bangkit dan mengikuti Ki Haryosakti yang melangkah keluar dari rumah besar itu dengan langkah lebar. Setelah tiba diluar rumah, mereka melihat penduduk pedusunan itu seperti dalam keadaan panik, dan Ki Haryosakti terus berjalan menuju ke pintu gerbang pedusunan yang menjadi sarangnya itu. Dari jauh sudah terdengar pertempuran itu.
Orang-orang dari perkumpulan Jambuko Cemeng yang jumlahnya belasan orang sedang bertempur melawan lima orang yang gerakannya gesit dan sepak terjang mereka membuat para pengepung itu kocar kacir. Lima orang itu terdiri dari lima orang laki-laki yang tinggi besar dan kelimanya bersenjatakan golok besar yang mereka mainkan dengan hebat. Mudah dilihat betapa amukan lima orang itu membuat para pengeroyok terdesak dan di antara mereka sudah banyak yang roboh malang melintang. Sedikitnya ada tujuh orang anggauta Jambuko Cemeng yang roboh dan terluka hebat atau mungkin tewas.
"Tahan semua senjata dan mundur!" Ki Haryosakti membentak dengan suara nyaring.
Mendengar bentakan suara yang amat dikenalnya itu semua pengeroyok menahan senjata mereka dan berloncatan mundur dengan hati lega. Ketua mereka sudah tiba sehingga mereka terbebas dari ancaman lima golok dari pihak musuh yang amat tangguh itu.
Bagus Seto dan Retno Wilis juga melihat betapa ilmu golok lima orang itu memang hebat dan tangguh sekali. Lima orang itu setelah melihat para pengeroyok mundur juga menahan golok mereka dan menghadapi Ki Haryosakti dengan golok melintang di dada dan sikap mereka menantang sekali.
"Babo-babo, kalian orang-orang Bala Cucut mengapa mengamuk dan membikin kacau di sini?" bentak Ki Haryosakti. "Siapakah kalian yang telah berani memasuki perkampungan kami?"
Seorang di antara lima orang itu yang matanya lebar dan rambut kepalanya diikat dengan kain merah, melangkah maju dan menjawab dengan suara lantang, "Kami adalah Lima Naga dari perkumpulan Bala Cucut. Kami hendak membikin perhitungan karena sebulan yang lalu, beberapa orang anak buah kami telah dilukai oleh orang-orang Jambuka Cemeng. Kami tidak terima!"
"Hemmm!" kata Ki Haryosakti. "Pihak Bala Cucut yang bersalah, kini bahkan hendak menuntut kami! Ketahuilah, pada waktu itu belasan orang anak buah Bala Cucut telah merampok penduduk dusun di tepi pantai. Dusun itu termasuk wilayah kekuasaan kami. Tentu saja kami turun tangan menghajar para bajak yang merampok itu. Bukankah Bala Cucut biasanya bertindak di lautan? Kenapa menyerang dusun di pantai?"
"Kami mencari rejeki di lautan atau di darat, apa hubungannya dengan Jambuko Cemeng? Belasan anak buah kami luka, bahkan ada tiga orang yang tewas, maka hari ini kami Lima Naga dari Bala Cucut datang menagih hutang kalian. Sekarang andika keluar, apakah andika yang menjadi ketuanya?"
"Benar, akulah Ki Haryosakli, ketua Jambuko Cemeng!"
"Kalau begitu, berlututlah dan menyembah kepada kami untuk minta maaf, dan baru kami akan menghabisi permusuhan ini. Juga sediakan upeti untuk kami bawa kepada ketua kami, atau kalau andika menolak, kami akan membuat perkampungan Jambuko Cemeng ini menjadi lautan api dan kami tumpas semua anggautanya!"
"Babo-babo, sumbarmu seperti dapat mengeringkan lautan meruntuhkan gunung! Kita sama lihat saja siapa yang berlutut dan menyembah minta ampun!" kata Ki Haryosakti dan mendadak dia mengangkat kedua tangannya ke atas membentuk cakar setan dan dia mengeluarkan suara yang demikian gemuruh dan menggetarkan semua orang yang berada di situ.
"Lima Naga perkumpulan Bala Cucut, kuperintankan kalian untuk berlutut dan menyembah kepada kami. Hayo berlutut!!"
Bentakan itu mempunyai wibawa yang Kuat sekali dan hal ini terasa oleh Bagus Seto dan Retno Wilis yang mengerahkan tenaga sakti mereka agar mereka tidak terpengaruh. Akan tetapi lima orang jagoan dari perkumpulan bajak laut Bala Cucut itu tampak gemetaran seluruh tubuh mereka. Agaknya mereka hendak melawan pula akan tetapi kalah kuat dan dengan serentak mereka berlima menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Ki Haryosakti! Melihat ini, Ki Haryosakti tertawa bergelak dan semua anak buahnya ikut pula tertawa.
Setelah mereka semua tertawa, agaknya pengaruh ilmu sihir itupun membuyar dan Lima Naga dari perkumpulan bajak Bala Cucut itu kelihatan seperti orang terkejut dan heran melihat diri sendiri berlutut menyembah-nyembah. Mereka berloncatan berdiri dan mengayun-ayun golok di atas kepala.
"Ki Haryosakti jahanam! Jangan pergunakan ilmu setanmu, kalau memang andika gagah, majulah dan lawan kami dengan menggunakan aji kanuragan!" tantang orang yang bermata lebar dan agaknya menjadi pimpinan lima orang itu.
"Kalian berlima hendak melawan aku? Ha-ha-ha, agaknya kalian sudah bosan hidup. Hayo majulah, tidak usah satu-satu, majulah kalian berlima mengeroyok aku!" kata Ki Haryosakti dan dia sudah menyambar tombaknya yang dibawakan oleh seorang pengawalnya dari dalam.
Tombak itu matanya mencorong dan mengandung hawa yang menggiriskan. Retno Wilis dan Bagus Seto maklum bahwa tombak itu merupakan pusaka yang ampuh. Mereka berdua menghadapi dua pihak yang bermusuhan dan tidak ingin mencampuri walaupun Retno Wilis merasa khawatir kalau pihak tuan rumah yang akan dikeroyok lima itu akan kalah. Ia tadi sudah melihat gerakan lima orang dari perkumpulan bajak Bala Cucut itu yang cukup tangguh dan gerakan golok mereka berbahaya sekali.
Setelah menyambar tombaknya, Ki Haryosakti menghadapi lima orang lawannya. Akan tetapi pada saat itu, dua orang anaknya, pemuda tampan yang bernama Saroji dan gadis cantik yang bernama Sarmini, sudah dengan tangkasnya melompat ke depan ayahnya.
"Ayah, ini tidak adil namanya. Masa lima orang mengeroyok ayah seorang? Kalau mau main keroyokan, kita bias mengerahkan seluruh anak buah kita! Tidak, ayah. Kalau hendak mengadakan pertandingan, biar maju satu demi satu. Aku sendiri akan melawan seorang di antara mereka!" kata Sarmini dengan lembut namun gagah dan ia menghadapi lima orang itu tanpa rasa gentar sedikitpun.
"Sarmini berkata benar, ayah. Akupun ingin menghadapi seorang di antara mereka, baru nanti selebihnya ayah yang menandinginya."
Ki Haryosakti tertawa bergelak, agaknya merasa bangga sekali dengan penampilan kedua orang anaknya.
"Ha-ha-ha, Lima Naga, kalian sudah mendengar sendiri usul kedua orang anakku. Nah, sekarang puteriku Sarmini yang akan maju lebih dulu. Siapa diantara kalian berlima yang sanggup melawannya?" Tentu saja Ki Haryosakti sudah pula mengukur kepandaian lima orang itu ketika mengamuk tadi dan dia yakin bahwa puterinya akan mampu mengalahkan seorang di antara mereka.
Orang termuda dari Lima Naga itu lalu melangkah ke depan. "Aku yang akan menandinginya!" Setelah berkata demikian dia mengayun goloknya di atas kepala hendak menakut-nakuti gadis cantik itu dengan sikapnya yang bengis. Sarmini melangkah ke depan menghadapi orang itu. Sambil menatap wajah orang itu dengan tajam, ia bertanya,
"Engkau hendak bertanding menggunakan senjata atau tangan kosong?"
Retno Wilis tersenyum dan kagum juga akan ketenangan gadis itu. Melihat sikapnya yang demikian tenang sudah dapat ia menduga bahwa gadis itu bukan sekedar berlagak, melainkan memiliki aji kanuragan yang boleh diandalkan. Orang ke lima dari Lima Naga itu adalah seorang laki-laki berusia empatpuluhan tahun yang memiliki watak mata keranjang. Karena watak inilah maka ketika gadis cantik itu maju menantang, dia segera maju menghadapinya. Sekarang mendengar pertanyaan gadis itu, dia pikir kalau bertanding dengan tangan kosong, lebih banyak kesempatan baginya untuk beradu lengan, mencolek atau mengusap gadis yang berwajah cantik dan bertubuh sintal itu.
"Ha-ha-ha, melawan seorang gadis cilik seperti andika tidak perlu menggunakan golok," katanya sambil menyelipkan goloknya di punggung. "Mari kita bertanding dengan tangan kosong saja!"
"Bagus! Mari kita mulai pertandingan ini!" kata Sarmini dan iapun sudah memasang kuda-kuda yang indah dan gagah sekali. Kaki kanan di depan dengan lutut agak di bengkokan, kaki kiri di belakang, tangan kanan yang dikepal ditaruh di pinggang sedangkan tangan kiri dengan jari terbuka di depan dada!
Melihat kuda-kuda yang dipasang gadis itu, orang ke lima dari Lima Naga yang memelihara jenggot seperti kambing tertawa dan memandang rendah.
"Engkau maju dan mulailah dulu, aku akan melayanimu!" katanya sambil tersenyum dan berlagak.
"Lihat serangan!" tiba-tiba Sarmini membentak dan tubuhnya sudah cepat bergerak maju menyerang. Kaki kirinya dilangkahkan ke depan dan tangan kirinya membuat gerakan mencengkeram ke arah mata lawan, sedangkan tangan kanannya menyusul dengan pukulan ke arah perut! Serangan ini cepat dan dari sambaran anginnya dapat diketahui bahwa pukulan-pukulan itu mengandung tenaga yang kuat.
"Haiiiit... !" Dengan berlagak si jenggot kambing itu memutar tubuh menghindari cengkeraman ke arah matanya dan tangan kirinya digerakkan dari samping untuk menangkis dan sekaligus menangkap tangan kanan gadis itu yang memukul ke arah perutnya.
Namun Sarmini gesit sekali. Ia sudah menarik kembali tangan kanannya yang hendak ditangkap itu, kemudian ia mengirim tendangan dengan kaki kiri. Kakinya mencuat tinggi menuju dada lawan.
"Eeh... ?" Si Jenggot kambing terkejut sekali karena hampir saja ulu hatinya tercium ujung kaki. Terpaksa dia melompat ke belakang, lalu membalas serangan gadis itu yang datangnya bertubi-tubi. Namun Sarmini amat gesitnya dan selalu dapat menghindarkan diri dari serangan balasan itu dengan jalan mengelak.
Pertandingan sudah berlangsung empatpuluh jurus dan keadaan mereka seimbang. Si Jenggot kambing itu memiliki pukulan yang lebih mantap akan tetapi Sarrnini jelas lebih cepat gerakannya sehingga ia yang lebih banyak menekan dan mendesak. Tiba-tiba Sarmini menerjang lagi dan sekali ini ia bergerak sambil, mengeluarkan teriakan melengking tinggi.
Mendengar lengking nyaring ini, si jenggot kambing terkejut bukan main dan saking kagetnya, gerakannya menjadi lambat dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba Sarmini meloncat dan kedua kakinya mendarat di dadanya!
"Bresss... !!" Si jenggot kambing terjengkang dan terbanting keras ke atas tanah. Sebelum Sarmini dapat menyusulkan serangan lanjutan, dia sudah mencabut goloknya dan memutar golok itu melindungi tubuhnya. Sarmini meloncat ke belakang.
"Pengecut! Kau menggunakan senjata!"
Si jenggot kambing itu bangkit berdiri,dengan muka merah dan dia berkata,
"Aku memang terdesak dalam pertandingan dengan tangan kosong. Akan tetapi bukan berarti bahwa aku telah kalah. Aku tantang padamu untuk bertanding dengan senjata!"
Ucapannya dikeluarkan dengan suara lantang untuk menutupi rasa malunya karena dalam pertandingan tangan kosong tadi jelas bahwa dia sudah kalah. Sarmini tersenyum manis.
"Engkau yang menentukan, kalau nanti engkau mampus di ujung kerisku jangan menyalahkan aku!" katanya sambil mencabut sebatang keris dari ikat pinggangnya.
Keris itu kecil saja, hanya dua jengkal panjangnya dan tidak berluk, namun ada sinar mencuat keluar ketika ia mencabutnya. Setelah melihat gadis itu mancabut kerisnya, si jenggot kambing tidak berlagak lagi seperti tadi, melainkan segera memutar goloknya di atas kepala sehingga golok itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan mengeluarkan suara bercuitan. Melihat ini, Retno Wilis mengkhawatirkan Sarmini, akan tetapi Bagus Seto yang berdiri di dekatnya berbisik, "Ia tidak akan kalah."
Si jenggot kambing sudah menyerang dengan sambaran goloknya ke arah leher Sarmini. Namun gadis ini dengan lincah dan dengan gerakan indah mengelak dengan loncatan ke kiri dan dari situ ia membalas dengan tusukan kerisnya ke lambung lawan. Lawannya dapat mengelak sambil memutar golok melindungi lambungnya, kemudian menusukkan goloknya ke arah dada Sarmini. Namun serangan inipun dengan mudah dapat dihindarkan Sarmini dengan miringkan tubuhnya.
Terjadilah serang menyerang yang lebih ramai dan menegangkan dari pada pertandingan tangan kosong tadi. Kini si jenggot kambing tidak lagi membiarkan hatinya terpikat kecantikan gadis itu, melainkan dia berusaha keras untuk menebus kekalahannya. Kalau perlu melukai atau bahkan membunuh lawannya. Setiap kali golok bertemu keris, terdengar suara berdencing nyaring dan tampak bunga api berpijar menyilaukan mata dan menegangkan hati.
Kembali tiga puluh jurus telah lewat dan belum ada yang tampak mendesak atau terdesak. Ketika golok itu kembali meluncur dan membacoknya dari atas ke bawah, ke arah kepalanya, seolah hendak membelah tubuh gadis itu menjadi dua, dengan indahnya Sarmini mengelak kekanan dan kini secepat kilat kerisnya menyambar ke arah tangan yang memegang golok.
"Lepaskan... !" bentaknya nyaring dan si jenggot kambing mengeluarkan teriakan mengaduh dan goloknya terlepas dari tangannya yang kini sudah berdarah, terluka oleh tusukan keris Sarmini.
Sarmini menyusulkan tendangannya yang mengenai dada lawan dan tak dapat dihindarkan lagi tubuh si jenggot kambing itu untuk ke dua kalinya terjengkang! Dia merangkak bangun, terhuyung dan kembali ke rombongannya, wajahnya merah karena malu. Sarmini menggunakan kakinya untuk menendang golok yang terjatuh itu sehingga golok itu mencelat ke dekat kaki pemilik yang memungutnya dengan muka ditundukkan.
Tepuk sorak menyambut kemenangan Sarmini itu dan semua anak buah Jambuko Cemeng merasa girang dengan kemenangan puteri ketua mereka. Kini Saroji melangkah maju menggantikan adiknya. Sambil tersenyum dia menantang.
"Siapa yang akan melawan aku?"
Sementara itu, Sarmini sudah kembali ke dekat ayahnya. Ia mendekati Bagus Seto dan Retno Wilis, tersenyum bangga.
"Waduh, diajeng, ternyata engkau seorang gadis yang sakti!" Retno Wilis memuji.
"Ah, lawanku itu saja yang hanya besar mulut akan tetapi tidak berisi." jawab Sarmini sambil mengerling ke arah Bagus Seto. Karena beberapa kali dilirik, Bagus Seto merasa tidak enak kalau berdiam saja.
"Andika memang hebat, dapat mengalahkan seorang yang digdaya seperti dia."
Dipuji demikian, Sarmini tersipu dan senyumnya semakin manis. Ia lalu mendekati ayahnya yang merasa girang dan merangkul puterinya dengan bangga. Agaknya kini baru terbuka mata lima orang dari perkumpulan bajak Bala Cucut itu betapa hebatnya kepandaian pimpinan Jambuko Cemeng. Melihat kehebatan gadis yang telah mengalahkan saudara termudanya, pimpinan Lima Naga itu tidak mau bertindak gegabah. Dia dapat menduga bahwa tingkat kepandaian pemuda itu tentu lebih tinggi dari pada tingkat adiknya. Oleh karena itu, dia sendiri yang melangkah maju menghadapi Saroji.
"Akulah yang akan menghadapimu, orang muda. Aku tantang engkau untuk bertanding dengan senjata!" Dia memutar-mutar goloknya di atas kepala sehingga mengeluarkan bunyi berdesing-desing menyeramkan.
"Baik,..." kata Saroji dan dia menoleh kepada ayahnya.
Ki Haryosakti tertawa dan dia melemparkan tombak yang dipegangnya kepada puteranya sambil berseru,
"Pergunakan tombakku!"
Saroji menerima lontaran tombak itu dengan cekatan dan dia melintangkan tombak itu di depan dadanya dan berseru, "Silakan maju, aku sudah siap!"
Si mata lebar juga tidak sungkan lagi. Begitu melihat pemuda itu menggunakan tombak yang dilontarkan ayahnya, dia lalu menerjang maju sambil memutar goloknya. Pemuda itu menangkis dengan tombaknya.
"Trang-cring-tranggg... !!" Terdengar bunyi nyaring berdenting berulang kali disusul muncratnya bunga api yang berpijar.
Mereka merasa betapa senjata mereka bertemu dengan tenaga yang kuat. Mereka menarik kembali senjata masing-masing untuk memeriksa. Setelah melihat bahwa senjata mereka tidak rusak, mereka lalu saling serang lagi dengan hebatnya. Ilmu kepandaian si mata lebar ini memang setingkat lebih tinggi dari pada kepandaian rekan-rekannya, akan tetapi Saroji juga telah memiliki ilmu kepandaian tinggi yang diwarisi dari ayahnya. Kedua orang yang bertanding mati-matian itu bergerak cepat sekali sehingga tubuh mereka berkelebatan di antara sinar golok dan tombak.
Retno Wilis memandang kagum. Pemuda itu cukup tangguh, pikirnya dan ia dapat menduga bahwa bajak bermata lebar itu tentu akan kalah. Pertandingan sudah berlangsung limapuluh jurus dan mulai tampak tanda-tanda bahwa bajak itu mulai terdesak mundur dan pernapasannya sudah ngos-ngosan. Sebaliknya, gerakan tombak Saroji semakin mantap. Ketika mendapat kesempatan baik, Saroji mengeluarkan bentakan nyaring. Bentakan ini sama dengan bentakan adiknya tadi, mengandung wibawa dan pengaruh kuat sehingga Retno Wilis dan Bagus Seto tahu bahwa dua orang kakak beradik itu sudah menerima latihan kekuatan bathin dari ayahnya.
Si mata lebar juga terkejut. Dia tahu bahwa lawannya yang muda mengerahkan aji lewat bentakannya. Dia mengerahkan tenaga untuk menolak, akan tetapi kekagetannya yang hanya sejenak itu merugikannya. Kesempatan selagi dia terkejut tadi sudah dipergunakan oleh Saroji untuk menggerakkan tombaknya menyapu kedua kaki lawan. Si mata lebar tidak mampu mengelak dan kedua kakinya kena diserampang, membuat dia roboh terpelanting dan pada saat dia roboh, Saroji sudah menusukkan ujung tombaknya pada tangan kanannya yang memegang golok. Tangannya terluka dan golok itupun terlepas dari pegangannya. Dia hendak melompat bangun, akan tetapi secepat kilat ujung tombak sudah menodong dadanya sehingga terpaksa dia diam tidak berani bergerak.
"Engkau telah kalah!" kata Saroji kepada pemimpin Lima Naga itu.
Si mata lebar menjadi pucat mukanya, lalu berubah merah dan dengan suara berat dia mengakui. "Aku sudah kalah!"
Saroji menarik kembali tombaknya dan tersenyum sambil mundur mendekati ayahnya dan mengembalikan tombak itu. Bagus Seto merasa senang melihat sikap Sarmini dan Saroji. Dua orang muda ini berhati baik, tidak kejam terhadap musuh sehingga tidak membunuh atau melukai berat. Dua sifat baik ini dia catat dalam hatinya.
"Bagus ilmu tombaknya," Retno Wilis juga memuji dan Bagus Seto melirik ke arah adiknya yang memandang ke arah pemuda itu dengan kagum.
"Wataknya juga baik," kata Bagus Seto sambil tersenyum.
Kini Ki Haryosakti melangkah maju membawa tombaknya. "Dua orang di antara kalian berlima sudah kalah. Sekarang tinggal tiga orang lagi di antara kalian. Kalian bertiga boleh maju kalau masih penasaran, dan kalian bertiga boleh maju bersama untuk mengeroyok aku! Dua orang yang sudah kalah, kalau tidak mengenal malu, boleh maju pula membantu!"
Tantangan ini hebat. Lima Naga itu jelas memiliki ilmu kepandaian tinggi dan biarpun mereka tidak akan menang melawan Ki Haryosakti kalau maju satu-satu, akan tetapi ketua Jambuko Cemeng ini menantang mereka bertiga, bahkan berlima!"
Akan tetapi ucapannya membuat si mata lebar dan si jenggot kambing merasa malu untuk maju lagi karena mereka memang sudah kalah. Kini tiga orang dari mereka melompat maju sambil menggerakkan golok, dan mereka merasa berbesar hati. Biarpun kedua orang rekan mereka sudah kalah, mereka bertiga belum kalah. Dan biarpun kini yang dihadapi adalah ketua Jambuko Cemeng sendiri yang tentu lebih tinggi tingkat kepandaiannya, namun mereka maju bertiga. Tidak mungkin mereka bertiga kalah oleh seorang lawan saja!
"Kakang, mengapa dia begitu berani?" bisik Retno Wilis kepada kakaknya sambil memandang kepada tiga orang yang sudah berhadapan dengan Ki Haryosakti.
Bagus Seto tersenyum. "Dia sudah melihat tingkat kepandaian mereka, tentu saja dia menjadi berani karena sebelumnya sudah tahu bahwa dia akan menang."
Kini berlangsunglah pertandingan yang mendebarkan hati. Ki Haryosakti melawan tiga orang pengeroyok yang mempergunakan golok mereka. Dan tiga orang itu tidak hanya main-main, melainkan mengeroyok dengan niat membunuh. Golok mereka menyambar-nyambar bagaikan kilat dari segala jurusan. Akan tetapi Ki Haryosakti ternyata memiliki ilmu tombak yang amat hebat. Gerakannya sama dengan yang dimainkan Saroji tadi, akan tetapi lebih cepat dan jauh lebih kuat dari pada tadi. Kini, setiap kali golok lawan bertemu dengan tombak, golok itu pasti terpental dan hampir terlepas dari pegangan pemiliknya. Perkelahian itu seperti tiga ekor anjing mengeroyok seekor harimau. Tak pernah tiga orang pengeroyok itu mampu mendesak Ki Haryosakti.
Bagus Seto dan Retno Wilis memandang kagum. Mereka berdua maklum bahwa Ketua Jambuko Cemeng itu memang benar-benar amat tangguh. Kedigdayaan ini masih ditambah lagi dengan kekuatan ilmu sihirnya yang dapat menguasai orang lain melalui bentakan.
"Perkelahian itu tidak akan lama." pikir Retno Wilis.
Dan memang demikianlah belum sampai tigapuluh jurus, Ki Haryosakti berseru tiga kali, sinar tombaknya menyambar-nyambar dan tiga orang itu terjengkang dan terkapar tewas dengan dada tertembus tomhak! Seperti tadi ketika Sarmini dan Saroji keluar sebagai pemenang, kini kemenangan Ki Haryosakti disambut sorak sorai para anggauta Jambuko Cemeng.
Dua orang di antara lima orang penyerbu yang sudah kalah tadi, memandang dengan muka pucat kepada tiga orang rekannya yang sudah tidak bernyawa. Ki Haryosakti tertawa dan berkata kepada mereka berdua yang bermuka pucat.
"Ha-ha-ha-ha! Kami sengaja membiarkan kalian berdua hidup untuk dapat membawa pergi tiga mayat ini dan melaporkan kekalahanmu kepada ketuamu. Kalau Ketua Bala Cucut tidak terima, dia boleh datang untuk mengantar nyawanya ke sini. Ha-ha-ha!"
Mendengar ucapan itu, si mata lebar dan si jenggot kambing cepat-cepat mengangkat tiga mayat rekan-rekan mereka dan segera pergi dari tempat itu. Mereka tidak dapat berkata apa-apa lagi dan mereka meninggalkan pintu gerbang perkampungan Jambuko Cemeng.
Ki Haryosakti memandang kepada Bagus Seto dan Retno Wilis lalu tertawa bangga, "Bagaimana pendapat andika berdua dengan peristiwa tadi?"
Retno Wilis tidak menjawab, maka Bagus Seto yang menjawab. "Peristiwa tadi membuktikan bahwa kepandaian andika dan kedua putera andika amat tinggi. Akan tetapi sayang, sikap andika hanya akan mendatangkan keributan dan pertengkaran."
"Eh, kenapa begitu, anakmas?" tanya Ki Haryosakti sambil memandang kepada Bagus Seto dengan penasaran.
"Paman telah membunuh tiga orang tokoh Bala Cucut dan membiarkan yang dua orang pulang melapor kepada pimpinan mereka, maka tentu pimpinan Bala Cucut tidak akan tinggal diam dan akan menyerang ke sini."
"Ha-ha-ha, kalau benar, dia berani datang, takut apa? Aku akan membunuhnya. Memang Bala Cucut sudah lama mencari perkara, berani merampoki dusun di sekitar pantai yang masih termasuk wilayah kami. Mari kita lanjutkan pesta kita yang tadi terganggu." Dia mengajak dua orang tamunya untuk memasuki rumah besarnya dan ditemani isterinya, Saroji dan Sarmini, mereka lalu makan minum.
"Terima kasih atas kebaikan paman," kata Bagus Seto. "Setelah kami dijamu makanan dan diterima dengan hormat, kini kami akan mohon diri untuk melanjutkan perjalanan kami."
"Eh-eh, nanti dulu. Dan jangan menyebut aku dengan sebutan paman. Terus terang saja setelah melihat diajeng Retno Wilis, timbul keinginan hatiku untuk mengangkatnya menjadi isteriku. Bagaimana pendapatmu, adimas Bagus Seto?"
"Ayah ... !" kembali Sarmini berseru penasaran.
"Diam kau!" bentak ayahnya, lalu berkata kepada Retno Wilis. "Diajeng Retno Wilis, maukah andika menjadi isteriku. Aku adalah seorang yang suka berterus terang dan jujur, maka kusampaikan keinginan hatiku itu tanpa pura-pura lagi. Bagaimana pendapat andika berdua?"
Sepasang mata Retno Wilis sudah mencorong tanda bahwa ia marah sekali, akan tetapi Bagus Seto tersenyum kepadanya.
"Urusan perjodohan adalah urusan yang penting sekali, oleh karena itu, perkenankan kami kakak beradik untuk merundingkan hal ini lebih dulu berdua saja."
"Ah, tentu saja! Tentu saja boleh, hanya asal andika berdua mengetahui saja bahwa aku, Ki Haryosakti kalau sudah menghendaki sesuatu, harus tercapai kehendakku itu, dan bahwa aku adalah seorang laki-laki yang bertanggung-jawab, maka jangan khawatir kalau kelak aku akan menyia-nyiakan diajeng Retno Wilis."
Hati Retno Wilis sudah menjadi panas sekali, akan tetapi Bagus Seto lalu memegang tangannya dan mengajak gadis itu menyingkir ke ruangan lain agar dapat berbicara berdua saja.
"Aduh, kakang. Tidak kuat hatiku, kalau engkau tidak membawaku ke sini tentu sudah kuhajar si mata keranjang itu!" kata Retno Wilis.
"Sabar dan tenanglah, diajeng. Dia bukan seorang jahat, hanya mata keranjang. Akan tetapi dia jujur, mengaku terus terang di depan isteri dan anak-anaknya. Dan kurasa dia tidak membual saja ketika mengatakan bahwa apa yang diinginkan harus tercapai."
"Apa? Apa maksudmu, kakang? Apakah aku harus menerima saja... !"
"Sabar dulu, jangan terburu nafsu. Kalau engkau marah dan menyerangnya, kita akan berhadapan dengan seluruh anak buah Jambuko Cemeng yang jumlahnya amat banyak. Pula, bukankah kedua puteranya itu merupakan muda mudi yang baik? Sayang kalau sampai kita bermusuhan pula dengan mereka."
"Lalu apa maksudmu sebenarnya?"
"Begini, diajeng. Kita harus menghadapi urusan ini dengan halus. Kita harus menyadarkan Ki Haryosakti dengan cara halus pula. Serahkan saja kepadaku, dan aku yang akan mengatur semuanya. Engkau hanya menyatakan menyerah saja dan nanti kalau diadakan pesta pernikahan, aku yang akan mengatur agar engkau lolos dari urusan ini. Dengan cara ini tidak sampai terjadi keributan dengan dia dan anak buahnya. Mereka ini merupakan kekuatan yang lumayan, kalau kita dapat menariknya agar setia kepada Panjalu, tentu amat menguntungkan."
Retno Wilis cemberut. "Kalau menurutkan kata hatiku, ingin aku menghajar dia sampai dia bertaubat, dan kalau anak buahnya mengeroyok, akan kuhajar semua!"
"Jangan, diajeng. Turutilah nasihatku dan semua ini akan terlewat dengan aman dan baik."
"Baik, sesukamulah, kakang. Aku serahkan kepadamu untuk mengaturnya, akan tetapi aku tetap tidak sudi kalau harus menjawab sendiri dan menyatakan persetujuanku untuk menjadi isteri mudanya!"
"Baik, jangan khawatir, biar aku yang menghadapinya."
Setelah berkata demikian Bagus Seto menggandeng tangan adiknya ke luar dari situ memasuki ruangan di mana Ki Haryosakti masih menanti. Ketika mereka masuk, Saroji dan Sarmini memandang kepada mereka dengan alis berkerut. Isteri Ki Haryosakti juga memandang akan tetapi hanya sebentar. Wanita ini agaknya tidak mempunyai hak suara dalam urusan ini dan hanya tunduk saja menurut apa yang dikehendaki suaminya.
"Ha-ha, kalian telah kembali? Dan bagaimana dengan keputusan jawaban kalian? Aku hanya mengharap agar jawaban itu tidak mengecewakan!" kata Ki Haryosakti sambil memandang kepada Retno Wilis dengan matanya yang lebar.
"Diajeng Retno Wilis, bagaimana jawabanmu terhadap pinanganku?" Dengan terus terang dia bertanya kepada gadis itu.
Retno Wilis terpaksa menundukkan mukanya agar jangan tampak betapa ia marah sekali. "Jawabannya kuserahkan kepada kakangmas Bagus Seto," katanya lirih.
"Bagus, memang seharusnya urusan perjodohan diatur oleh orang tua, dan kakakmu dapat saja mewakili kedua orang tuamu. Bagaimana, adimas Bagus Seto, sudahkah kau menentukan jawaban atas pinanganku?"
"Sudah, kakangmas Haryosakti dan kami berdua setuju dan menyerah saja atas kehendak andika," jawab Bagus Seto dengan suara bersungguh-sungguh.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Kalau begitu, sekarang juga akan kuperintahkan kepada anak buahku untuk bersiap-siap. Pernikahan akan dilangsungkan lusa atau keesokan harinya!"
"Ayah, sudah tepatkah apa yang menjadi keputusan ayah itu?" tiba-tiba Saroji berkata kepada ayahnya dengan suara lantang.
"Saroji, apa maksudmu?"
"Ayah, diajeng Retno Wilis masih begini muda, pantaskah menjadi isteri ayah?"
"Tutup mulutmu! Ini bukan urusanmu melainkan urusanku pribadi. Kalau engkau tidak setuju, engkau boleh pergi dari sini!"
"Ayah... !" Sarmini berseru.
"Sudah, kalian dua orang anak-anak tahu apa! Diamlah dan jangan membuat aku marah!" Ki Haryosakti membentak.
Isterinya hanya menundukkan mukanya, tidak berani mencampuri. "Sambil menanti datangnya hari pernikahan, kalian berdua menjadi tamu kehormatan di sini, Saroji, Sarmini, antar mereka ke kamar samping. Berikan dua kamar untuk mereka dan layani mereka baik-baik!"
Dua orang anaknya yang diperintah itu lalu bangkit berdiri. Saroji menghampiri Bagus Seto sedangkan Sarmini menghampiri Retno Wilis. Bagus Seto dan Retno Wilis juga berdiri dan mengikuti mereka berdua. Setelah mereka tiba di jajaran kamar di samping rumah besar itu, Saroji tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan bertanya kepada Bagus Seto.
"Kakangmas Bagus Seto, apa artinya semua ini? Kenapa andika setuju saja diajeng Retno Wilis diperisteri oleh ayah?" pertanyaan ini diajukan dengan suara tidak senang.
"Dan andika ini bagaimana, mbakyu Retno Wilis. Mengapa tidak menolak untuk diperisteri ayah?" tanya pula Sarmini kepada Retno Wilis.
Retno Wilis hanya melirik kepada kakaknya. Kalau menurutkan kata hatinya ingin ia meneriakkan bahwa ia tidak sudi diperisteri Ki Haryosakti.
Bagus Seto tersenyum. "Ki Haryosakti adalah seorang yang gagah perkasa dan sakti. Kalau kehendaknya tidak dipenuhi tentu dia akan marah kepada kami. Kami terpaksa menerimanya."
"Terpaksa menerima?" kata Saroji. "Kenapa terpaksa? Kalau kalian menolak, kami akan melindungi kalian. Ayah kami tidak pernah berbuat jahat, tentu tidak akan menggunakan kekerasan. Dia hanya tertarik oleh diajeng Retno Wilis dan menyatakan perasaannya itu dengan terus terang. Akan tetapi dia tidak akan memaksa kalau diajeng Retno Wilis menolak!"
Bagus Seto tersenyum. Dia tahu bahwa pemuda ini kurang pengalaman. Betapapun baiknya Ki Haryosakti, kalau dia sudah tergila-gila kepada Retno Wilis, maka penolakannya tentu akan mendatangkan keributan dan mungkin Ki Haryosakti tidak akan malu-malu lagi untuk melakukan pemaksaan.
"Tapi ini tidak pantas!" Sarmini berkata marah. "Kalau ayah meminang mbakayu Retno Wilis untuk kakang Saroji, ini namanya pantas. Bukan untuk diri sendiri!"
Wajah Seroji menjadi kemerahan mendengar ucapan adiknya itu. "Adikku Sarmini, engkaupun pantas sekali kalau menjadi isteri kakangmas Bagus Seto!" Dia membalas.
Sarmini memandang kakaknya dengan pipi merah. "Ihh, engkau ada-ada saja, kakang!" berkata demikian gadis manis itu lalu berlari pergi meninggalkan mereka.
"Jangan khawatir, adimas Saroji. Kalau benar-benar andika tidak setuju dengan niat ayahmu memperisteri adikku, kami akan mengusahakan agar hal itu tidak akan terjadi, dan mudah-mudahan ayahmu dapat menyadari kesalahannya," kata Bagus Seto.
Saroji memandang dengan alis berkerut. Pemuda itu sudah menyanggupi, sudah menyetujui adiknya menikah dengan ayahnya, bagaimana mungkin hal itu dibatalkan?
"Membatalkan janji merupakan kesalahan besar," katanya. "Kalau penolakan itu adalah hak kalian. Kenapa tidak menolak saja tadi?"
"Andika tidak mengerti. Sudahlah, harap tidak risaukan hal itu. Aku yang menanggung bahwa pernikahan itu tidak akan terjadi."
Saroji meninggalkan kakak beradik itu dengan hati bertanya-tanya. Apakah yang akan dilakukan dua orang itu untuk membatalkan pernikahan itu? Sementara itu, dengan hati senang sekali Ki Haryosakti memimpin para anggautanya untuk membuat persiapan pesta besar-besaran untuk merayakan pernikahannya dengan Retno Wilis.
Perayaan itu diadakan pada senja hari. Yang menghadiri adalah seluruh penduduk perkampungan itu dan mereka semua mengenakan pakaian baru serba hitam. Semua penduduk bergembira mendengar ketua mereka hendak menikah dengan gadis jelita yang menjadi tamu agung di perkampungan itu.
Retno Wilis dibawa oleh isteri Ki Haryosakti ke dalam kamar pengantin dan di situ Retno Wilis didandani dengan pakaian pengantin. Selain seorang wanita yang biasa mendadani pengantin, di situ hadir pula Sarmini dan ibunya. Isteri KiHaryosakti ini agaknya menerima nasib, tidak tampak berduka walaupun suaminya hendak menikah lagi. Semua orang sibuk berlalu lalang untuk membantu persiapan pesta. Tiga ekor sapi dipotong dan entah berapa puluh ekor ayam.
Di dapur, para wanita sibuk memasak dan para pria masih ada yang sibuk menghias ruangan depan yang akan dipakai sebagai tempat pertemuan sepasang mempelai dan tempat duduk para anggauta Jambuka Cemeng. Karena kini akan menjadi isteri ketua Jambuko Cemang, Retno Wilis juga diharuskan memakai pakaian pengantin yang terbuat dari kain sutera berwarna hitam! Mukanya memakai kerudung hitam pula sehingga hanya Nampak sedikit dari balik cadar hitam itu. Bagus Seto sejak tadi tidak tampak akan tetapi hal ini tidak dipedulikan orang.
Gamelan yang berada di ruangan depan sudah dipukul orang sejak sore tadi. Anak-anak dengan gembira bermain-main di dekat situ sambil menonton gamelan yang mengiringi suara merdu tiga orang penyanyi. Tempat upacara pertemuan pengantin dan tempat duduk para tamu sudah dirias dengan janur-janur dan kain warna-warni.
Setelah waktunya tiba, pengantin wanita yang memakai cadar itu dibawa keluar kamar pengantin dan dipertemukan dengan pengantin pria sebagaimana mestinya diiringi suara gamelan yang memainkan lagu-lagu pertemuan pengantin, disaksikan oleh semua anggauta Jambuka Cemeng. Beberapa orang pini sepuh dari perkampungan itu yang melakukan upacara pernikahan itu semua orang mengikuti dengan gembira. Akhirnya, sepasang pengantin duduk bersanding dan semua tahu mulai berpesta makan minum dengan penuh kegembiraan.
Saroji menghampiri adiknya. "Eh, kemana perginya kakangmas Bagus Seto? Sejak sore tadi aku tidak melihatnya."
Sarmini mengerutkan alisnya. "Sejak tadi aku juga mencarinya, akan tetapi dia tidak ada. Jangan-jangan dia pergi meninggalkan tempat ini dengan diam-diam?"
"Mana mungkin?" Saroji menoleh ke arah pengantin wanita yang duduk dekat ayahnya dengan pandang mata penasaran.
"Tidak mungkin dia meninggalkan adiknya."
"Eh, kakang Saroji, apakah engkau melihat ibu?"
"Tidak, apakah tadi tidak bersama kita?"
"Memang tadi bersama kita semua, ikut membawa pengantin keluar kamar, akan tetapi setelah itu ia tidak tampak lagi. Jangan-jangan ibu menyembunyikan diri untuk melampiaskan kedukaannya, kakang!"
"Selama beberapa hari ini ibu tidak ada perubahan. Ibu telah menerima kenyataan itu dengan sabar. Sungguh mengherankan, kenapa ibu tidak tampak dan kakangmas Bagus Seto juga tidak tampak."
"Mari kita berdua mencari kakangmas Bagus Seto!" Ajak Sarmini. "Bagaimanapun juga, dia harus ikut merayakan pesta ini."
Kakak beradik itu lalu keluar dari tempat pesta. Di luar sunyi, perkampungan itu sunyi karena semua orang pergi ke tempat pesta. Mereka mencari ke mana-mana namun percuma. Mereka tidak dapat menemukan Bagus Seto juga tidak tampak ibu mereka di mana-mana. Tentu saja hal ini membuat mereka berdua terheran-heran dan terpaksa mereka kembali ke tempat pesta yang sudah mulai bubaran karena pesta makan minum sudah selesai.
Sepasang mempelai memasuki kamar mereka dan karena ibunya tidak ada, Sarmini mewakili ibunya mengantar sepasang mempelai ke kamar mereka. Setelah pintu kamar ditutup, Sarmini masih berdiri termangu di depan kamar itu, pikirannya kacau dan gelisah karena ia tidak melihat ibunya.
Kemana perginya orang tua itu? Dan mengapa pula Bagus Seto tidak menghadiri pesta perayaan pernikahan adiknya? Ia teringat akan pembicaraan kakaknya dengan Bagus Seto dan Retno Wilis. Bagus Seto menyatakan bahwa ia dan kakaknya tidak mengerti, dan menyatakan bahwa dialah yang akan mengurusnya agar pernikahan itu tidak sampai terjadi, bahkan pemuda itu berjanji akan menyadarkan ayahnya. Akan tetapi setelah tiba saatnya, pemuda itu pemuda yang amat dikaguminya, ternyata tidak muncul. Betapa kecewa hatinya! Tiba-tiba terdengar ayahnya berteriak-teriak dan suara ibunya menangis dari dalam kamar pengantin itu.
"Jahanam, aku telah tertipu! Keluar kau, cari di mana ia!" terdengar ayahnya berteriak dan pintu kamar itu terbuka.
Ibunya keluar dan Sarmini terbelalak. Wanita yang bercadar, berpakaian pengantin itu, adalah ibunya! Pengantin wanitanya adalah ibunya! Kemudian Ki Haryosakti meloncat keluar dan melihat Sarmini, dia lalu merangkulnya.
"Ah, kiranya engkau di sini, diajeng Retno Wilis!" Sarmini hendak dipondongnya.
Sarmini meronta. "Ayah, ini aku, Sarmini! Lepaskan aku!"
Ki Haryosakti juga terbelalak dan bagaikan baru habis mimpi, dia menggosok-gosok kedua matanya. "Permainan apakah ini? Tiba-tiba ibumu yang menjadi pengantin wanita, dan engkau tadi kulihat seperti Retno Wilis! Siapa yang bermain-main seperti ini?" Karena dia sendiri seorang yang ahli dalam ilmu sihir, tahulah dia bahwa dia menjadi permainan sihir yang amat kuat.
"Aku tidak tahu... tadi tahu-tahu mereka merias aku, dan aku sama sekali tidak mampu mengeluarkan suara..." Isteri Ki Haryosakti menangis dengan sedih.
"Apa engkau melihat Retno Wilis?" tanya suaminya.
"Tidak, aku sama sekali tidak melihatnya. Tahu-tahu ia telah lenyap dari dalam kamar pengantin dan kulihat hanya Bagus Seto, itupun hanya sebentar. Dia berdiri di luar pintu dan memandangku dengan sinar mata aneh."
"Huh, jangan-jangan ini permainan mereka! Mereka telah mempermainkan aku, jahanam!"
Pada saat itu terdengar sorak sorai riuh rendah yang datangnya dari luar perkampungan. Lalu datang tergopoh-gopoh tiga orang lari menghampiri Ki Haryosakti.
"Celaka, denmas. Celaka, Bala Cucut datang menyerang dengan jumlah yang besar. Pimpinannya kini menantang-nantang di luar pintu gerbang!"
Mendengar ini, Sarmini sudah berlari cepat keluar dari tempat itu. Ia hampir bertubrukan dengan Saroji yang juga keluar membawa senjata tombak.
"Ada apa ribut-ribut itu?" tanya Saroji.
"Bala Cucut datang menyerbu, kakang. Mari kita ke sana!"
Mereka berdua lalu berlari cepat untuk memimpin anak buahnya ke luar dari perkampungan. Ternyata di depan pintu gerbang sudah berdiri seorang kakek tinggi besar yang mukanya penuh brewok dan mata kirinya ditutup dengan kain hitam, yang dilibatkan di kepalanya. Kakek brewok itu berusia kurang lebih limapuluh tahun dan dia memegang sebatang golok besar yang tajam sekali dan ke lihatannya berat. Tempat itu disinari obor-obor yang dibawa para penyerbu dan juga banyak anak buah Jambuko Cemeng yang membawa obor bernyala. Jumlah mereka tidak kurang dari seratus orang dan mereka semua bersenjatakan golok. Kepala mereka diikat dengan kain merah dan wajah mereka semua tampak buas.
"Suruh Ki Haryosakti, ketua kalian keluar untuk mengadu ilmu dengan aku. Katakan ini Brajamusti ketua Bala Cucut telah datang untuk menantangnya! Cepat suruh dia keluar, atau kami akan membikin perkampungan Jambuko Cemeng menjadi karang abang (lautan api)!"
Mendengar ini, Saroji dan Sarmini menjadi marah sekali. Mereka tahu bahwa ketua Bala Cucut ini hendak menuntut balas kematian tiga orang pembantunya.
"Tidak perlu ayah, kami berdua sanggup untuk mengirimmu ke neraka!" bentak Sarmini sambil menyerang dengan kerisnya. Pada saat itu, Saroji juga menyerang dengan tombaknya. Akan tetapi, Brajamusti menggerakkan goloknya dan sekali golok bergerak, dia sudah menangkis kedua senjata itu dengan kuat sekali. Tombak dan keris itu terpental dan hampir terlepas dari tangan kedua orang muda itu. Tentu saja mereka terkejut bukan main.
"Ha-ha-ha, jangan anak kecil yang maju. Panggil ayah kalian!" kembali Brajamusti menantang.
Akan tetapi Saroji sudah menyerang lagi dengan menusukkan tombak ke dada orang tinggi besar itu dan Sarmini juga sudah menubruk dan menikamkan kerisnya ke perut yang gendut itu.
"Tak... ! Tak... !" Keris dan tombak itu terpental seolah bertemu dengan dinding baja! Ternyata kakek itu memiliki kekebalan yang hebat.
"Ha-ha-ha-ha!" Brajamusti tertawa bergelak.
"Kalian berdua mundurlah!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Ki Haryosakti telah berdiri di situ, menyuruh kedua orang anaknya mundur.
Mendengar ini, dan melihat betapa saktinya pemimpin Bala Cucut, dua orang muda itu lalu mundur dan menonton dengan hati tegang. Mereka tahu bahwa ayahnya kini berhadapan dengan lawan yang benar-benar amat tangguh. Ki Haryosakti beradu pandang dengan Brajamusti.
"Andika inikah pemimpin Bala Cucut?" tanyanya dengan lantang.
"Ha-ha-ha, benar akulah pemimpin Bala Cucut. Namaku Brajamusti dan kalau benar engkau ini yang bernama Haryosakti pemimpin Jambuko Cemeng, bersiaplah engkau untuk mampus di tanganku!"
"Babo-babo, sumbarmu seperti dapat memecahkan gunung! Aku adalah Haryosakti dan selama hidupku belum pernah aku mundur menghadapi lawan. Apa maksudmu malam-malam begini datang dengan anak buahmu ke perkampungan kami?"
"Ha-ha-ha, pertanyaan yang bodoh! Andika telah membunuh tiga orang anak buahku, tentu saja aku dating untuk membalas dendam!"
"Brajamusti, kalau benar engkau seorang gagah perkasa, datanglah di waktu matahari telah bersinar sehingga kita dapat berhadapan dalam cuaca terang. Tidak datang seperti maling malam-malam begini. Kalau engkau berani, aku tantang engkau bertanding besok pagi setelah matahari terbit, di tempat ini! Dan tidak boleh ada yang membawa pembantu. Kita bertanding satu lawan satu. Kalau aku kalah, maka aku akan menyerah dan engkau boleh berbuat sesuka hatimu. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus minggat dari sini bersama anak buahmu!"
Tidak ada yang tahu bahwa tantangan Ki Haryosakti ini mengandung kecerdikan. Dia tadi sudah banyak minum tuak, menjadi setengah mabok dan tentu saja dalam keadaan seperti itu dia tidak dapat bertanding dengan baik. Selain itu, pihak Bala Cucut datang pada malam hari dan tentu sudah mempunyai perhitungan dengan baik, sedangkan pihaknya yang mendapat serangan tiba-tiba di tengah malam itu belum dapat melakukan atau mengatur siasat. Dan lebih dari itu, baru saja dia mengalami guncangan batin yang hebat melihat bahwa pengantin wanita yang dinikahinya ternyata adalah isterinya sendiri sedangkan Retno Wilis entah ke mana.
Di lain pihak, Brajamusti yang ditantang untuk bertanding besok pagi, tentu merasa malu untuk menolak. Menolak tantangan dapat diartikan tidak berani. Dan diapun mengira bahwa pihak tuan rumah tentu dapat mengatur siasat pertahanan lebih baik dari pada pasukannya yang tidak mengenal medan. Kalau pertandingan dilakukan besok di pagi hari, dia tidak khawatir musuh mengatur jebakan-jebakan yang tidak terlihat di waktu malam.
"Babo-babo, siapa takut padamu, Haryosakti! Besok pagi diwaktu matahari muncul, aku akan datang ke sini untuk mengambil nyawamu, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian, dia lalu meneriakkan anak buahnya agar mundur dan membuat perkemahan agak jauh dari kampung untuk melewatkan malam itu.
Sementara itu, Ki Haryosakti segera mengatur anak buahnya untuk melakukan penjagaan dan menyusun pertahanan kalau besok musuh datang menyerang. Setelah itu, kembali dia mencari Retno Wilis, bahkan mengerahkan orang-orangnya untuk mencari di perkampungan itu, namun segala usahanya sia-sia. Retno Wilis dan Bagus Seto tidak dapat mereka temukan!
Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai bersinar mengusir kabut pagi, muncullah Brajamusti bersama belasan orang pembantunya yang menjadi pasukan pengawalnya dan di belakangnya datang berbondong-bondong anak buahnya yang semua sudah membawa golok telanjang. Sikap mereka itu menantang dan bengis sekali.
Ki Haryosakti menyambut musuh, diiringkan Saroji dan Sarmini bersama pasukan pengawal yang belasan orang banyaknya. Akan tetapi pemuda dan gadis ini tidak berani sernbarangan maju karena mereka berdua sudah mengenal kesaktian Brajamusti yang memiliki kekebalan yang luar biasa sehingga tombak dan keris mereka tidak mampu melukainya. Ki Haryosakti yang sudah mendengar keterangan dua orang anaknya tentang kesaktian Brajamusti juga melarang mereka maju. Dia sendiri yang akan menghadapi Ki Bajramusti yang tangguh itu.
"Ha-ha-ha, bagus sekali. Kiranya Ki Brajamusti ternyata memiliki kegagahan dan memenuhi tantanganku. Apakah andika telah siap untuk menghadapi kekalahan?" Ki Haryosakti berkata mengejek untuk menjatuhkan nyali lawan.
Ki Brajamusti tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, masih untung semalam aku menitipkan nyawamu kepadamu, Haryosakti. Akan tetapi pagi ini aku akan mengambilnya dan semua orang-orangmu harus tunduk kepadaku atau akan kubasmi semua!"
"Babo-babo! Jangan omong besar. Sekarang tentukan bagaimana pertandingan diadakan. Kita berdua satu lawan satu, ataukah main keroyokan? Kami sudah siap!"
"Jangan seperti anak kecil, Haryosakti. Kita berdua adalah orang-orang tua yang memegang teguh janji. Kita bertanding satu lawan satu dan siapa yang kalah harus menaati kehendak yang menang. Bagaimana, setujukah engkau dengan peraturan ini?"
"Bagus, itulah yang kukehendaki. Mari kita mulai!" jawab Ki Haryosakti yang sudah membawa senjata pusakanya, yaitu tombak pusaka yang ampuh. Dia melintangkan tombak di depan dada dan sikapnya menantang, kuda-kudanya teguh.
Melihat ini, Ki brajamusti mengeluarkan suara tawa bergelak, kemudian dia memutar golok besarnya ke atas kepala sambil berseru, "Akupun sudah siap, mari kita mulai!"
Ki Haryosakti tidak sungkan lagi, berteriak lantang, "Lihat tombakku!"
Tombaknya sudah menyambar ke depan dengan tusukan kilat ke arah perut lawan. Brajamusti menggerakkan goloknya menangkis serangan tombak yang amat berbahaya itu. Kini tentu saja dia tidak berani mengandalkan kekebalan tubuhnya. Tombak itu sebatang tombak pusaka dan kini digerakkan oleh seorang yang memiliki tenaga sakti kuat. Goloknya menangkis dari samping.
"Trangg... !!" Bunga api berpijar ketika dua senjata bertemu dan keduanya merasa betapa telapak tangan mereka panas ketika senjata mereka saling bertemu.
Haryosakti menyusulkan serangan bertubi dengan tombaknya. Brajamusti memutar-mutar goloknya dan beberapa kali tombak itu tertangkis golok. Ketika mendapat kesempatan, Brajamusti membalas serangan lawan, goloknya menyambar dengan serangan maut. Namun, Ki Haryosakti cukup gesit untuk mengelak dan ketika golok itu terus menerjang dengan ganasnya, diapun menangkis dengan tombaknya dan kembali dua senjata bertemu dengan kuatnya.
Serang menyerang terjadi dan kedua orang itu masing-masing merasa terkejut karena ternyata tingkat kepandaian mereka seimbang. Mereka mengeluarkan semua ilmu mereka dan mengerahkan seluruh tenaga untuk mendapatkan kemenangan. Gerakan kedua orang itu demikian cepatnya sehingga bentuk golok dan tombak lenyap, berubah menjadi dua gulung sinar yang saling mendesak dan saling menekan.
Satu jam lebih mereka bertanding dan belum tampak ada yang akan menang atau kalah. Entah sudah berapa puluh kali senjata mereka saling bertemu. Akan tetapi diam-diam Haryosakti terkejut. Dia merasa betapa kedua tangannya lelah sekali karena benturan-benturan antara kedua senjata itu. Ternyata tenaga lawan luar biasa kuatnya. Karena maklum bahwa akhirnya dia akan kalah kalau pertandingan dengan senjata itu dilanjutkan, tiba-tiba dia melompat ke belakang dan berseru nyaring, "Tahan senjata!"
Brajamusti menghentikan gerakannya dan tertawa.
"Ha-haha, belum lecet kulitmu engkau mengajak berhenti. Apakah engkau hendak mengaku kalah, Haryosakti?"
"Siapa yang kalah? Aku tidak kalah. Akan tetapi karena dalam pertandingan adu senjata kita sama kuat, bagaimana kalau sekarang diganti dengan pertandingan tangan kosong? Kita mengadu tebalnya kulit dan kerasnya tulang, tidak lagi mengandalkan senjata melainkan mengandalkan kadigdayaan. Beranikah engkau?"
Brajamusti kembali tertawa. Dia sendiri sudah merasa bingung tadi karena sekian lamanya tidak mampu mendesak lawan. Kini lawannya mengusulkan untuk bertanding tanpa senjata, maka tentu saja dia merasa senang sekali. Dia memiliki tubuh yang kebal dan tenaga yang besar.
"Bagus, siapa takut padamu? Mari kita lanjutkan dengan tangan kosong!" Dia lalu menyerahkan goloknya kepada seorang pengawal.
Haryosakti juga menyerahkan tombaknya kepada Saroji dan kedua orang ketua jagoan ini kini saling berhadapan lagi dengan tangan kosong. Diam-diam keduanya mengerahkan tenaga sakti disalurkan ke dalam ke dua lengan, dan Haryosakti berteriak,
"Lihat pukulan!" dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, tangan kanannya menampar ke arah dagu lawan sedangkan tangan kirinya sudah siap menyusulkan serangan kalau tamparannya tidak berhasil.
"Hemm.... !" Brajamusti mengelak dengan menarik mukanya ke belakang hingga tamparan itu luput dan ketika tangan kiri Haryosakti menyusulkan tonjokan ke arah dadanya, tangan kanannya membuat gerakan berputar dan dia sudah menangkis pukulan ke arah dadanya itu.
"Dukk... !" Kedua lengan bertemu dan keduanya mundur selangkah. Kini Brajamusti membalas serangan lawan dengan tendangan kakinya yang mencuat dengan cepat sekali ke arah perut Haryosakti, akan tetapi ketua Jambuko Cemeng inipun sudah dapat mengelak. Serang menyerang kembali terjadi di antara keduanya. Mereka mengerahkan tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh mereka dalam usahanya untuk merobohkan lawan.
Saroji dan Sarmini menonton dengan alis berkerut. Mereka berdua maklum bahwa pihak lawan sungguh amat tangguh dan mereka tadi sudah melihat keringat membasahi leher ayah mereka ketika berhenti sebentar. Mereka berdua tidak dapat membantu ayah mereka karena hal itu akan dianggap curang. Maka dengan jantung berdebar tegang mereka hanya dapat menonton.
Kekhawatiran dua orang muda itu ternyata terbukti tidak lama kemudian. Setelah pertandingan berlangsung lima puluh jurus lebih, mulai tampaklah betapa Ki Haryosakti terdesak mundur. Sudah beberapa kali dia terkena tamparan dan pukulan lawan yang membuat dia terhuyung. Dan beberapa kali pukulannya juga bersarang kepada tubuh lawan, akan tetapi ternyata tubuh itu kebal, membuat pukulannya mental kembali seperti mengenai benda dari karet saja.
"Robohlah!" Tiba-tiba Bajramusti berseru dan sebuah tendangan kakinya mengenai perut lawan.
Ki Haryosakti tidak dapat menghindar. Perutnya tertendang dan diapun roboh terjengkang! Bajramusti bertolak pinggang sambil menertawakan lawannya. Para pembantunya ikut pula tertawa dan anak buahnya yang berada di belakang bersorak melihat kemenangan ketua mereka. Sebaliknya, di pihak Jambuko Cemeng orang-orangnya hanya berdiam saja dengan hati tegang.
"Ha-ha, Ki Haryosakti. Engkau sudah kalah! Akuilah kekalahanmu dan mulai sekarang kalian semua harus menaati perintahku!"
Tiba-tiba Saruji dengan tombak ayahnya di tangan melompat maju. Ayah sudah kalah akan tetapi aku belum! Aku yang akan melawanmu, Bajramusti!"
Melihat majunya pemuda itu, Bajramusti tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, ayahnya sudah kalah kini maju anaknya. Heh, orang muda, engkau bukan tandinganku, apakah engkau sudah bosan hidup?"
Melihat puteranya maju, Ki Haryosakti juga berseru, "Saroji, mundur kau!" Dia tahu bahwa kalau puteranya maju, sama halnya dengan membunuh diri.
Pada saat itu terdengar seruan suara wanita, "Ki Bajraniusti, akulah lawanmu!"
Ki Haryosakti dan kedua orang anaknya terkejut mendengar suara Retno Wilis, dan kini mereka melihat Retno Wilis muncul bersama Bagus Seto! Retno Wilis sudah melompat ke depan dan berkata kepada Saroji,
"Lebih baik andika mundur, biar aku yang menghadapi raksasa brewok ini!"
Saroji ragu-ragu, tidak tega membiarkan Retno Wilis melawan ketua Bala Cucut itu, akan tetapi sekali lagi Haryosakti menghardik kepada puteranya untuk mundur. Saroji lalu mundur dan menonton bersama adik dan ayahnya dengan hati tegang dan juga heran. Bagaimana Retno Wilis akan mampu menghadapi raksasa yang amat sakti itu. Bagus Seto juga memandang sambil tersenyum dan pemuda ini menonton di satu pinggiran, tidak mendekati keluarga Haryosakti.
Sementara itu, ketika Brajamusti melihat majunya seorang gadis yang cantik jelita, dia tertawa bergelak sambil menengadahkan kepalanya.
"Hoa-ha-ha-ha! Jambuko Cemeng sudah kehabisan jago dan mengajukan seorang perawan cantik untuk melawan aku. Wong ayu, jangan andika yang maju sayang kecantikanmu, sayang kulitmu yang halus kalau sampai lecet. Lebih baik andika ikut bersamaku dan kujadikan selir, ha ha-ha!"
"Brajamusti, tidak perlu bermulut besar. Kalau andika dapat mengalahkan aku, barulah andika berhak untuk bermulut besar! Atau barangkali andika takut melawan aku?"
"Takut? Ha-ha, takut? Aku takut kalau sampai membunuh atau melukaimu, cah ayu."
"Kalau begitu, bersiaplah andika!"
"Ha-ha-ha, aku sudah siap, ha-ha-ha!"
"Lihat seranganku! Haiiiittt...!" Retno Wilis menerjang ke depan, tangan kirinya menampar ke arah dada raksasa itu.
Brajamusti hendak memamerkan kekebalannya maka diapun membiarkan saja dadanya terbuka untuk dihantam. Jari-jari tangan Retno Wilis yang kecil mungil itu bertemu dengan dada yang bidang dan kokoh kuat itu. Akan tetapi ia mempergunakan aji Wisolangking.
"Wuuuttt.... dess...!!"
"Aduh.... mati aku....!!" Tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan roboh terguling-guling. Brajamusti merasa dadanya seperti pecah. Untung dia tadi mengerahkan ilmu kekebalannya sehingga dia tidak mati terpukul. Dia melompat bangun, menggosok-gosok dadanya dengan telapak tangan kiri sambil memandang kepada Retno Wilis dengan mata mencorong penuh kemarahan.
Sementara itu, Ki Haryosakti dan kedua orang anaknya, juga para anggota Jambuko Cemeng, menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga! Baru sekarang mereka mengetahui bahwa gadis itu memiliki kesaktian yang hebat sehingga sekali pukul saja dapat membuat raksasa itu roboh terguling-guling! Terutama sekali Ki Haryosakti. Wajahnya berubah pucat lalu kemerahan. Dan dia sudah hendak memperisteri gadis itu! Sekarang baru dia merasa bahwa dia dipermainkan!
Agaknya topeng itu hanya dipakai kalau mereka keluar dari perkampungan mereka. Banyak orang menyambut kedatangan duapuluh lebih orang yang membawa dua tawanan itu. Mereka yang menyambut itu mengeluarkan suara pujian akan kecantikan Retno Wilis dan ketampanan Bagus Seto dan sikap mereka seperti penduduk kampung biasa, tidak seperti penjahat.
Dua orang tawanan itu dibawa masuk ke rumah besar dan di sebuah ruangan yang luas, mereka dihadapkan seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwajah gagah. Empat orang anggauta yang tadi membawa Bagus Seto dan Retno Wilis masuk memberi hormat dengan sembah kepada laki-laki berpakaian hitam akan tetapi mewah itu. Kedua lengannya yang kokoh memakai gelang emas, lehernya juga mengenakan rantai besar dari emas, pakaiannya yang hitam juga terbuat dari kain yang halus.
"Denmas Haryosakti, kami mendapatkan kedua orang ini melanggar hutan wilayah kekuasaan kita, maka kami menangkap mereka dan membawa mereka menghadap paduka untuk mendapat keputuan." Seorang diantara empat orang itu melapor.
Orang yang disebut Denmas Haryosakti itu memandang kepada Bagus Seto, kemudian memandang kepada Retno Wilis dan dia tertawa bergelak sambil memuntir kumisnya yang mencuat ke kanan kiri. Dia melirik ke arah seorang wanita yang sebaya dengannya, wanita yang cantik dan berpakaian hitam tapi mewah. Belum habis dia tertawa, muncullah dua orang dari arah belakang. Mereka adalah seorang pemuda berusia duapuluh tahun lebih yang tampan dan gagah perkasa, dan seorang gadis berusia kurang lebih delapanbelas tahun yang cantik jelita. Mereka segera mengambil tempat duduk di kanan kiri orang tua mereka.
Retno Wilis menduga, bahwa kedua orang ini tentu putera puteri ketua gerombolan itu. Dan melihat wajah mereka yang elok, ia tahu bahwa mereka menuruni wajah ibu mereka yang cantik.
"Ayah, siapakah kedua orang asing ini?" tanya si pemuda kepada kepala gerombolan itu.
"Kenapa mereka dibelenggu, ayah?"tanya si gadis cantik.
"Kasihan kalau mereka dibelenggu, sebaiknya belenggu mereka itu dibuka saja ayah."
"Ha-ha-ha, engkau benar, Sarmini. Hai, Blendong, bukakan tali pengikat tangan mereka, kemudian keluarlah kalian dari sini."
Seorang di antara empat anggota itu bangkit, lalu menghampiri Bagus Seto dan Retno Wilis dan membuka pengikat tangan mereka. Blendong, pemimpin rombongan yang menangkap kedua orang muda itu, lalu menyerahkan sebatang pedang, yaitu pedang Sapudenta yang tadi dia rampas dari ikat pinggang Bagus Seto.
"Ini adalah pedang yang tadinya dibawa pemuda ini. Denmas." katanya.
Kepala gerombolan yang bernama Haryosakti itu menerima pedang dan memberi isarat kepada empat orang itu untuk keluar. Dia mengamati pedang yang sudan dihunusnya itu dan tampak kaget.
"Ah, pedang pusaka yang ampuh sekali!" katanya lalu meletakkan pedang bersarung itu ke atas meja di depannya. Setelah itu, dia memandang kepada Bagus Seto dan Retno Wilis yang masih berdiri di hadapannya. "Silakan kalian berdua duduk. Kalian tidak kami anggap sebagai tawanan, melainkan sebagai tamu. Maafkan kekasaran anak buah kami, karena kalian telah melanggar wilayah kami." kata Haryosakti dengan suaranya yang dalam dan nyaring.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, karena kami juga bersalah telah melanggar wilayah andika tanpa kami ketahui." jawab Bagus Seto.
"Kisanak, siapakah namamu dan dari mana andika datang?"
"Nama saya Bagus Seto dan saya datang dari Panjalu."
"Dari Panjalu? Pantas andika demikian tampan. Orang-orang Panjalu terkenal tampan dan cantik. Dan gadis cantik ini apamu?"
"Ia bernama Retno Wilis dan ia adalah adik saya." Kata Bagus Seto terus terang.
"Ha-ha-ha, adikmu? Bagus, bagus sekali. Tadinya kusangka ia ini isterimu. Adikmu, ya? Bagus sekali, ia cantik dan menarik." Dia lalu menoleh kepada isterinya dan bertanya, "Ibune, tidakkah pantas kalau ia menjadi madumu?"
Isterinya tidak menjawab, akan tetapi pemuda dan gadis itu tampak terkejut dan dengan berbareng mereka berseru, "Kanjeng rama.!"
Akan tetapi Ki Haryosakti melambaikan tangan ke arah kedua orang anaknya dan membentak, "Diam kalian!" Setelah itu dia kembali memandang Bagus Seto dan berkata.
"Anakmas Bagus Seto, sekali lagi maafkan anak buah kami tadi yang telah bersikap kasar kepada kalian. Ketahuilah bahwa kami adalah orang-orang perkumpulan Jambuko Cemeng (Srigala Hitam) dan aku adalah pemimpin mereka, namaku Ki Haryosakti. Sekarang kalian berdua menjadi tamu kehormatan kami dan untuk menghormati kedatangan kalian, kami akan menyambutnya dengan sedikit pesta." Ki Haryosakti lalu memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan hidangan untuk pesta mereka.
Tentu saja Retno Wilis dan Bagus Seto juga mendengar ketika Ki Haryosakti tadi bertanya kepada isterinya apakah tidak sudah pantas kalau Retno Wilis menjadi madunya. Akan tetapi karena Retno Wilis melihat kakaknya diam dan tenang saja, iapun pura-pura tidak tahu. Bagus Seto memang ingin mengetahui apa yang akan dilakukan kepala gerombolan itu kepada dia dan adiknya. Diapun dapat menduga bahwa Ki Haryosakti itu tentulah seorang yang sakti. Sinar matanya saja mencorong penuh wibawa. Dan mengingat betapa anak buahnya juga rata-rata memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, maka dapat dipastikan bahwa pemimpin mereka ini memiliki kesaktian. Dia lalu mengajak Bagus Seto dan Retno Wilis bercakap-cakap. Dia bertanya tentang Panjalu, siapa yang menjadi rajanya, dan siapa pula patihnya.
"Patih Panjalu adalah Ki Patih Tejalaksono, yaitu ayah kandung kami!" kata Retno Wilis sambil meninggikan suaranya.
Mendengar ini, Ki Haryosakti memandang dengan mata terbelalak dan terkejut. "Ah, jadi andika berdua ini putera puteri Ki Patih Tejolaksono yang amat terkenal itu. Sungguh kebetulan sekali, kalau begitu kami tahu siapa adanya dua orang tamu agung kami."
Pada saat itu, seorang anggauta datang menghadap. "Hei, mau apa kamu menghadap tanpa diperintah?" Ki Haryosakti membentak dan mengerutkan alisnya.
"Ampun, denmas." kata orang itu sambil menyembah. "Saya akan melaporkan bahwa lima orang anggauta bajak laut Bala Cucut telah dapat menerobos penjagaan kami dan sekarang mereka mangamuk di depan pintu gerbang."
"Bodoh! Hanya menghadapi lima orang saja kalian tidak mampu menundukkan mereka?"
"Mereka tangguh sekali, denmas. Banyak anggauta kita yang sudah tewas melawan mereka."
"Babo-babo, iblis laknat! Pergilah dan aku sendiri yang akan menandingi mereka!"
Anggauta itu bergegas pergi dan Ki Haryosakti sudah bangkit dari tempat duduknya. Dia berkata kepada Bagus Seto dan Retno Wilis.
"Kebetulan sekali ada pengacau mengganggu kesenangan kita, mari andika berdua menyaksikan bagaimana kami memberi hajaran kepada para pengacau."
Bagus Seto dan Retno Wilis ingin tahu apa yang telah terjadi maka mereka juga bangkit dan mengikuti Ki Haryosakti yang melangkah keluar dari rumah besar itu dengan langkah lebar. Setelah tiba diluar rumah, mereka melihat penduduk pedusunan itu seperti dalam keadaan panik, dan Ki Haryosakti terus berjalan menuju ke pintu gerbang pedusunan yang menjadi sarangnya itu. Dari jauh sudah terdengar pertempuran itu.
Orang-orang dari perkumpulan Jambuko Cemeng yang jumlahnya belasan orang sedang bertempur melawan lima orang yang gerakannya gesit dan sepak terjang mereka membuat para pengepung itu kocar kacir. Lima orang itu terdiri dari lima orang laki-laki yang tinggi besar dan kelimanya bersenjatakan golok besar yang mereka mainkan dengan hebat. Mudah dilihat betapa amukan lima orang itu membuat para pengeroyok terdesak dan di antara mereka sudah banyak yang roboh malang melintang. Sedikitnya ada tujuh orang anggauta Jambuko Cemeng yang roboh dan terluka hebat atau mungkin tewas.
"Tahan semua senjata dan mundur!" Ki Haryosakti membentak dengan suara nyaring.
Mendengar bentakan suara yang amat dikenalnya itu semua pengeroyok menahan senjata mereka dan berloncatan mundur dengan hati lega. Ketua mereka sudah tiba sehingga mereka terbebas dari ancaman lima golok dari pihak musuh yang amat tangguh itu.
Bagus Seto dan Retno Wilis juga melihat betapa ilmu golok lima orang itu memang hebat dan tangguh sekali. Lima orang itu setelah melihat para pengeroyok mundur juga menahan golok mereka dan menghadapi Ki Haryosakti dengan golok melintang di dada dan sikap mereka menantang sekali.
"Babo-babo, kalian orang-orang Bala Cucut mengapa mengamuk dan membikin kacau di sini?" bentak Ki Haryosakti. "Siapakah kalian yang telah berani memasuki perkampungan kami?"
Seorang di antara lima orang itu yang matanya lebar dan rambut kepalanya diikat dengan kain merah, melangkah maju dan menjawab dengan suara lantang, "Kami adalah Lima Naga dari perkumpulan Bala Cucut. Kami hendak membikin perhitungan karena sebulan yang lalu, beberapa orang anak buah kami telah dilukai oleh orang-orang Jambuka Cemeng. Kami tidak terima!"
"Hemmm!" kata Ki Haryosakti. "Pihak Bala Cucut yang bersalah, kini bahkan hendak menuntut kami! Ketahuilah, pada waktu itu belasan orang anak buah Bala Cucut telah merampok penduduk dusun di tepi pantai. Dusun itu termasuk wilayah kekuasaan kami. Tentu saja kami turun tangan menghajar para bajak yang merampok itu. Bukankah Bala Cucut biasanya bertindak di lautan? Kenapa menyerang dusun di pantai?"
"Kami mencari rejeki di lautan atau di darat, apa hubungannya dengan Jambuko Cemeng? Belasan anak buah kami luka, bahkan ada tiga orang yang tewas, maka hari ini kami Lima Naga dari Bala Cucut datang menagih hutang kalian. Sekarang andika keluar, apakah andika yang menjadi ketuanya?"
"Benar, akulah Ki Haryosakli, ketua Jambuko Cemeng!"
"Kalau begitu, berlututlah dan menyembah kepada kami untuk minta maaf, dan baru kami akan menghabisi permusuhan ini. Juga sediakan upeti untuk kami bawa kepada ketua kami, atau kalau andika menolak, kami akan membuat perkampungan Jambuko Cemeng ini menjadi lautan api dan kami tumpas semua anggautanya!"
"Babo-babo, sumbarmu seperti dapat mengeringkan lautan meruntuhkan gunung! Kita sama lihat saja siapa yang berlutut dan menyembah minta ampun!" kata Ki Haryosakti dan mendadak dia mengangkat kedua tangannya ke atas membentuk cakar setan dan dia mengeluarkan suara yang demikian gemuruh dan menggetarkan semua orang yang berada di situ.
"Lima Naga perkumpulan Bala Cucut, kuperintankan kalian untuk berlutut dan menyembah kepada kami. Hayo berlutut!!"
Bentakan itu mempunyai wibawa yang Kuat sekali dan hal ini terasa oleh Bagus Seto dan Retno Wilis yang mengerahkan tenaga sakti mereka agar mereka tidak terpengaruh. Akan tetapi lima orang jagoan dari perkumpulan bajak laut Bala Cucut itu tampak gemetaran seluruh tubuh mereka. Agaknya mereka hendak melawan pula akan tetapi kalah kuat dan dengan serentak mereka berlima menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Ki Haryosakti! Melihat ini, Ki Haryosakti tertawa bergelak dan semua anak buahnya ikut pula tertawa.
Setelah mereka semua tertawa, agaknya pengaruh ilmu sihir itupun membuyar dan Lima Naga dari perkumpulan bajak Bala Cucut itu kelihatan seperti orang terkejut dan heran melihat diri sendiri berlutut menyembah-nyembah. Mereka berloncatan berdiri dan mengayun-ayun golok di atas kepala.
"Ki Haryosakti jahanam! Jangan pergunakan ilmu setanmu, kalau memang andika gagah, majulah dan lawan kami dengan menggunakan aji kanuragan!" tantang orang yang bermata lebar dan agaknya menjadi pimpinan lima orang itu.
"Kalian berlima hendak melawan aku? Ha-ha-ha, agaknya kalian sudah bosan hidup. Hayo majulah, tidak usah satu-satu, majulah kalian berlima mengeroyok aku!" kata Ki Haryosakti dan dia sudah menyambar tombaknya yang dibawakan oleh seorang pengawalnya dari dalam.
Tombak itu matanya mencorong dan mengandung hawa yang menggiriskan. Retno Wilis dan Bagus Seto maklum bahwa tombak itu merupakan pusaka yang ampuh. Mereka berdua menghadapi dua pihak yang bermusuhan dan tidak ingin mencampuri walaupun Retno Wilis merasa khawatir kalau pihak tuan rumah yang akan dikeroyok lima itu akan kalah. Ia tadi sudah melihat gerakan lima orang dari perkumpulan bajak Bala Cucut itu yang cukup tangguh dan gerakan golok mereka berbahaya sekali.
Setelah menyambar tombaknya, Ki Haryosakti menghadapi lima orang lawannya. Akan tetapi pada saat itu, dua orang anaknya, pemuda tampan yang bernama Saroji dan gadis cantik yang bernama Sarmini, sudah dengan tangkasnya melompat ke depan ayahnya.
"Ayah, ini tidak adil namanya. Masa lima orang mengeroyok ayah seorang? Kalau mau main keroyokan, kita bias mengerahkan seluruh anak buah kita! Tidak, ayah. Kalau hendak mengadakan pertandingan, biar maju satu demi satu. Aku sendiri akan melawan seorang di antara mereka!" kata Sarmini dengan lembut namun gagah dan ia menghadapi lima orang itu tanpa rasa gentar sedikitpun.
"Sarmini berkata benar, ayah. Akupun ingin menghadapi seorang di antara mereka, baru nanti selebihnya ayah yang menandinginya."
Ki Haryosakti tertawa bergelak, agaknya merasa bangga sekali dengan penampilan kedua orang anaknya.
"Ha-ha-ha, Lima Naga, kalian sudah mendengar sendiri usul kedua orang anakku. Nah, sekarang puteriku Sarmini yang akan maju lebih dulu. Siapa diantara kalian berlima yang sanggup melawannya?" Tentu saja Ki Haryosakti sudah pula mengukur kepandaian lima orang itu ketika mengamuk tadi dan dia yakin bahwa puterinya akan mampu mengalahkan seorang di antara mereka.
Orang termuda dari Lima Naga itu lalu melangkah ke depan. "Aku yang akan menandinginya!" Setelah berkata demikian dia mengayun goloknya di atas kepala hendak menakut-nakuti gadis cantik itu dengan sikapnya yang bengis. Sarmini melangkah ke depan menghadapi orang itu. Sambil menatap wajah orang itu dengan tajam, ia bertanya,
"Engkau hendak bertanding menggunakan senjata atau tangan kosong?"
Retno Wilis tersenyum dan kagum juga akan ketenangan gadis itu. Melihat sikapnya yang demikian tenang sudah dapat ia menduga bahwa gadis itu bukan sekedar berlagak, melainkan memiliki aji kanuragan yang boleh diandalkan. Orang ke lima dari Lima Naga itu adalah seorang laki-laki berusia empatpuluhan tahun yang memiliki watak mata keranjang. Karena watak inilah maka ketika gadis cantik itu maju menantang, dia segera maju menghadapinya. Sekarang mendengar pertanyaan gadis itu, dia pikir kalau bertanding dengan tangan kosong, lebih banyak kesempatan baginya untuk beradu lengan, mencolek atau mengusap gadis yang berwajah cantik dan bertubuh sintal itu.
"Ha-ha-ha, melawan seorang gadis cilik seperti andika tidak perlu menggunakan golok," katanya sambil menyelipkan goloknya di punggung. "Mari kita bertanding dengan tangan kosong saja!"
"Bagus! Mari kita mulai pertandingan ini!" kata Sarmini dan iapun sudah memasang kuda-kuda yang indah dan gagah sekali. Kaki kanan di depan dengan lutut agak di bengkokan, kaki kiri di belakang, tangan kanan yang dikepal ditaruh di pinggang sedangkan tangan kiri dengan jari terbuka di depan dada!
Melihat kuda-kuda yang dipasang gadis itu, orang ke lima dari Lima Naga yang memelihara jenggot seperti kambing tertawa dan memandang rendah.
"Engkau maju dan mulailah dulu, aku akan melayanimu!" katanya sambil tersenyum dan berlagak.
"Lihat serangan!" tiba-tiba Sarmini membentak dan tubuhnya sudah cepat bergerak maju menyerang. Kaki kirinya dilangkahkan ke depan dan tangan kirinya membuat gerakan mencengkeram ke arah mata lawan, sedangkan tangan kanannya menyusul dengan pukulan ke arah perut! Serangan ini cepat dan dari sambaran anginnya dapat diketahui bahwa pukulan-pukulan itu mengandung tenaga yang kuat.
"Haiiiit... !" Dengan berlagak si jenggot kambing itu memutar tubuh menghindari cengkeraman ke arah matanya dan tangan kirinya digerakkan dari samping untuk menangkis dan sekaligus menangkap tangan kanan gadis itu yang memukul ke arah perutnya.
Namun Sarmini gesit sekali. Ia sudah menarik kembali tangan kanannya yang hendak ditangkap itu, kemudian ia mengirim tendangan dengan kaki kiri. Kakinya mencuat tinggi menuju dada lawan.
"Eeh... ?" Si Jenggot kambing terkejut sekali karena hampir saja ulu hatinya tercium ujung kaki. Terpaksa dia melompat ke belakang, lalu membalas serangan gadis itu yang datangnya bertubi-tubi. Namun Sarmini amat gesitnya dan selalu dapat menghindarkan diri dari serangan balasan itu dengan jalan mengelak.
Pertandingan sudah berlangsung empatpuluh jurus dan keadaan mereka seimbang. Si Jenggot kambing itu memiliki pukulan yang lebih mantap akan tetapi Sarrnini jelas lebih cepat gerakannya sehingga ia yang lebih banyak menekan dan mendesak. Tiba-tiba Sarmini menerjang lagi dan sekali ini ia bergerak sambil, mengeluarkan teriakan melengking tinggi.
Mendengar lengking nyaring ini, si jenggot kambing terkejut bukan main dan saking kagetnya, gerakannya menjadi lambat dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba Sarmini meloncat dan kedua kakinya mendarat di dadanya!
"Bresss... !!" Si jenggot kambing terjengkang dan terbanting keras ke atas tanah. Sebelum Sarmini dapat menyusulkan serangan lanjutan, dia sudah mencabut goloknya dan memutar golok itu melindungi tubuhnya. Sarmini meloncat ke belakang.
"Pengecut! Kau menggunakan senjata!"
Si jenggot kambing itu bangkit berdiri,dengan muka merah dan dia berkata,
"Aku memang terdesak dalam pertandingan dengan tangan kosong. Akan tetapi bukan berarti bahwa aku telah kalah. Aku tantang padamu untuk bertanding dengan senjata!"
Ucapannya dikeluarkan dengan suara lantang untuk menutupi rasa malunya karena dalam pertandingan tangan kosong tadi jelas bahwa dia sudah kalah. Sarmini tersenyum manis.
"Engkau yang menentukan, kalau nanti engkau mampus di ujung kerisku jangan menyalahkan aku!" katanya sambil mencabut sebatang keris dari ikat pinggangnya.
Keris itu kecil saja, hanya dua jengkal panjangnya dan tidak berluk, namun ada sinar mencuat keluar ketika ia mencabutnya. Setelah melihat gadis itu mancabut kerisnya, si jenggot kambing tidak berlagak lagi seperti tadi, melainkan segera memutar goloknya di atas kepala sehingga golok itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan mengeluarkan suara bercuitan. Melihat ini, Retno Wilis mengkhawatirkan Sarmini, akan tetapi Bagus Seto yang berdiri di dekatnya berbisik, "Ia tidak akan kalah."
Si jenggot kambing sudah menyerang dengan sambaran goloknya ke arah leher Sarmini. Namun gadis ini dengan lincah dan dengan gerakan indah mengelak dengan loncatan ke kiri dan dari situ ia membalas dengan tusukan kerisnya ke lambung lawan. Lawannya dapat mengelak sambil memutar golok melindungi lambungnya, kemudian menusukkan goloknya ke arah dada Sarmini. Namun serangan inipun dengan mudah dapat dihindarkan Sarmini dengan miringkan tubuhnya.
Terjadilah serang menyerang yang lebih ramai dan menegangkan dari pada pertandingan tangan kosong tadi. Kini si jenggot kambing tidak lagi membiarkan hatinya terpikat kecantikan gadis itu, melainkan dia berusaha keras untuk menebus kekalahannya. Kalau perlu melukai atau bahkan membunuh lawannya. Setiap kali golok bertemu keris, terdengar suara berdencing nyaring dan tampak bunga api berpijar menyilaukan mata dan menegangkan hati.
Kembali tiga puluh jurus telah lewat dan belum ada yang tampak mendesak atau terdesak. Ketika golok itu kembali meluncur dan membacoknya dari atas ke bawah, ke arah kepalanya, seolah hendak membelah tubuh gadis itu menjadi dua, dengan indahnya Sarmini mengelak kekanan dan kini secepat kilat kerisnya menyambar ke arah tangan yang memegang golok.
"Lepaskan... !" bentaknya nyaring dan si jenggot kambing mengeluarkan teriakan mengaduh dan goloknya terlepas dari tangannya yang kini sudah berdarah, terluka oleh tusukan keris Sarmini.
Sarmini menyusulkan tendangannya yang mengenai dada lawan dan tak dapat dihindarkan lagi tubuh si jenggot kambing itu untuk ke dua kalinya terjengkang! Dia merangkak bangun, terhuyung dan kembali ke rombongannya, wajahnya merah karena malu. Sarmini menggunakan kakinya untuk menendang golok yang terjatuh itu sehingga golok itu mencelat ke dekat kaki pemilik yang memungutnya dengan muka ditundukkan.
Tepuk sorak menyambut kemenangan Sarmini itu dan semua anak buah Jambuko Cemeng merasa girang dengan kemenangan puteri ketua mereka. Kini Saroji melangkah maju menggantikan adiknya. Sambil tersenyum dia menantang.
"Siapa yang akan melawan aku?"
Sementara itu, Sarmini sudah kembali ke dekat ayahnya. Ia mendekati Bagus Seto dan Retno Wilis, tersenyum bangga.
"Waduh, diajeng, ternyata engkau seorang gadis yang sakti!" Retno Wilis memuji.
"Ah, lawanku itu saja yang hanya besar mulut akan tetapi tidak berisi." jawab Sarmini sambil mengerling ke arah Bagus Seto. Karena beberapa kali dilirik, Bagus Seto merasa tidak enak kalau berdiam saja.
"Andika memang hebat, dapat mengalahkan seorang yang digdaya seperti dia."
Dipuji demikian, Sarmini tersipu dan senyumnya semakin manis. Ia lalu mendekati ayahnya yang merasa girang dan merangkul puterinya dengan bangga. Agaknya kini baru terbuka mata lima orang dari perkumpulan bajak Bala Cucut itu betapa hebatnya kepandaian pimpinan Jambuko Cemeng. Melihat kehebatan gadis yang telah mengalahkan saudara termudanya, pimpinan Lima Naga itu tidak mau bertindak gegabah. Dia dapat menduga bahwa tingkat kepandaian pemuda itu tentu lebih tinggi dari pada tingkat adiknya. Oleh karena itu, dia sendiri yang melangkah maju menghadapi Saroji.
"Akulah yang akan menghadapimu, orang muda. Aku tantang engkau untuk bertanding dengan senjata!" Dia memutar-mutar goloknya di atas kepala sehingga mengeluarkan bunyi berdesing-desing menyeramkan.
"Baik,..." kata Saroji dan dia menoleh kepada ayahnya.
Ki Haryosakti tertawa dan dia melemparkan tombak yang dipegangnya kepada puteranya sambil berseru,
"Pergunakan tombakku!"
Saroji menerima lontaran tombak itu dengan cekatan dan dia melintangkan tombak itu di depan dadanya dan berseru, "Silakan maju, aku sudah siap!"
Si mata lebar juga tidak sungkan lagi. Begitu melihat pemuda itu menggunakan tombak yang dilontarkan ayahnya, dia lalu menerjang maju sambil memutar goloknya. Pemuda itu menangkis dengan tombaknya.
"Trang-cring-tranggg... !!" Terdengar bunyi nyaring berdenting berulang kali disusul muncratnya bunga api yang berpijar.
Mereka merasa betapa senjata mereka bertemu dengan tenaga yang kuat. Mereka menarik kembali senjata masing-masing untuk memeriksa. Setelah melihat bahwa senjata mereka tidak rusak, mereka lalu saling serang lagi dengan hebatnya. Ilmu kepandaian si mata lebar ini memang setingkat lebih tinggi dari pada kepandaian rekan-rekannya, akan tetapi Saroji juga telah memiliki ilmu kepandaian tinggi yang diwarisi dari ayahnya. Kedua orang yang bertanding mati-matian itu bergerak cepat sekali sehingga tubuh mereka berkelebatan di antara sinar golok dan tombak.
Retno Wilis memandang kagum. Pemuda itu cukup tangguh, pikirnya dan ia dapat menduga bahwa bajak bermata lebar itu tentu akan kalah. Pertandingan sudah berlangsung limapuluh jurus dan mulai tampak tanda-tanda bahwa bajak itu mulai terdesak mundur dan pernapasannya sudah ngos-ngosan. Sebaliknya, gerakan tombak Saroji semakin mantap. Ketika mendapat kesempatan baik, Saroji mengeluarkan bentakan nyaring. Bentakan ini sama dengan bentakan adiknya tadi, mengandung wibawa dan pengaruh kuat sehingga Retno Wilis dan Bagus Seto tahu bahwa dua orang kakak beradik itu sudah menerima latihan kekuatan bathin dari ayahnya.
Si mata lebar juga terkejut. Dia tahu bahwa lawannya yang muda mengerahkan aji lewat bentakannya. Dia mengerahkan tenaga untuk menolak, akan tetapi kekagetannya yang hanya sejenak itu merugikannya. Kesempatan selagi dia terkejut tadi sudah dipergunakan oleh Saroji untuk menggerakkan tombaknya menyapu kedua kaki lawan. Si mata lebar tidak mampu mengelak dan kedua kakinya kena diserampang, membuat dia roboh terpelanting dan pada saat dia roboh, Saroji sudah menusukkan ujung tombaknya pada tangan kanannya yang memegang golok. Tangannya terluka dan golok itupun terlepas dari pegangannya. Dia hendak melompat bangun, akan tetapi secepat kilat ujung tombak sudah menodong dadanya sehingga terpaksa dia diam tidak berani bergerak.
"Engkau telah kalah!" kata Saroji kepada pemimpin Lima Naga itu.
Si mata lebar menjadi pucat mukanya, lalu berubah merah dan dengan suara berat dia mengakui. "Aku sudah kalah!"
Saroji menarik kembali tombaknya dan tersenyum sambil mundur mendekati ayahnya dan mengembalikan tombak itu. Bagus Seto merasa senang melihat sikap Sarmini dan Saroji. Dua orang muda ini berhati baik, tidak kejam terhadap musuh sehingga tidak membunuh atau melukai berat. Dua sifat baik ini dia catat dalam hatinya.
"Bagus ilmu tombaknya," Retno Wilis juga memuji dan Bagus Seto melirik ke arah adiknya yang memandang ke arah pemuda itu dengan kagum.
"Wataknya juga baik," kata Bagus Seto sambil tersenyum.
Kini Ki Haryosakti melangkah maju membawa tombaknya. "Dua orang di antara kalian berlima sudah kalah. Sekarang tinggal tiga orang lagi di antara kalian. Kalian bertiga boleh maju kalau masih penasaran, dan kalian bertiga boleh maju bersama untuk mengeroyok aku! Dua orang yang sudah kalah, kalau tidak mengenal malu, boleh maju pula membantu!"
Tantangan ini hebat. Lima Naga itu jelas memiliki ilmu kepandaian tinggi dan biarpun mereka tidak akan menang melawan Ki Haryosakti kalau maju satu-satu, akan tetapi ketua Jambuko Cemeng ini menantang mereka bertiga, bahkan berlima!"
Akan tetapi ucapannya membuat si mata lebar dan si jenggot kambing merasa malu untuk maju lagi karena mereka memang sudah kalah. Kini tiga orang dari mereka melompat maju sambil menggerakkan golok, dan mereka merasa berbesar hati. Biarpun kedua orang rekan mereka sudah kalah, mereka bertiga belum kalah. Dan biarpun kini yang dihadapi adalah ketua Jambuko Cemeng sendiri yang tentu lebih tinggi tingkat kepandaiannya, namun mereka maju bertiga. Tidak mungkin mereka bertiga kalah oleh seorang lawan saja!
"Kakang, mengapa dia begitu berani?" bisik Retno Wilis kepada kakaknya sambil memandang kepada tiga orang yang sudah berhadapan dengan Ki Haryosakti.
Bagus Seto tersenyum. "Dia sudah melihat tingkat kepandaian mereka, tentu saja dia menjadi berani karena sebelumnya sudah tahu bahwa dia akan menang."
Kini berlangsunglah pertandingan yang mendebarkan hati. Ki Haryosakti melawan tiga orang pengeroyok yang mempergunakan golok mereka. Dan tiga orang itu tidak hanya main-main, melainkan mengeroyok dengan niat membunuh. Golok mereka menyambar-nyambar bagaikan kilat dari segala jurusan. Akan tetapi Ki Haryosakti ternyata memiliki ilmu tombak yang amat hebat. Gerakannya sama dengan yang dimainkan Saroji tadi, akan tetapi lebih cepat dan jauh lebih kuat dari pada tadi. Kini, setiap kali golok lawan bertemu dengan tombak, golok itu pasti terpental dan hampir terlepas dari pegangan pemiliknya. Perkelahian itu seperti tiga ekor anjing mengeroyok seekor harimau. Tak pernah tiga orang pengeroyok itu mampu mendesak Ki Haryosakti.
Bagus Seto dan Retno Wilis memandang kagum. Mereka berdua maklum bahwa Ketua Jambuko Cemeng itu memang benar-benar amat tangguh. Kedigdayaan ini masih ditambah lagi dengan kekuatan ilmu sihirnya yang dapat menguasai orang lain melalui bentakan.
"Perkelahian itu tidak akan lama." pikir Retno Wilis.
Dan memang demikianlah belum sampai tigapuluh jurus, Ki Haryosakti berseru tiga kali, sinar tombaknya menyambar-nyambar dan tiga orang itu terjengkang dan terkapar tewas dengan dada tertembus tomhak! Seperti tadi ketika Sarmini dan Saroji keluar sebagai pemenang, kini kemenangan Ki Haryosakti disambut sorak sorai para anggauta Jambuko Cemeng.
Dua orang di antara lima orang penyerbu yang sudah kalah tadi, memandang dengan muka pucat kepada tiga orang rekannya yang sudah tidak bernyawa. Ki Haryosakti tertawa dan berkata kepada mereka berdua yang bermuka pucat.
"Ha-ha-ha-ha! Kami sengaja membiarkan kalian berdua hidup untuk dapat membawa pergi tiga mayat ini dan melaporkan kekalahanmu kepada ketuamu. Kalau Ketua Bala Cucut tidak terima, dia boleh datang untuk mengantar nyawanya ke sini. Ha-ha-ha!"
Mendengar ucapan itu, si mata lebar dan si jenggot kambing cepat-cepat mengangkat tiga mayat rekan-rekan mereka dan segera pergi dari tempat itu. Mereka tidak dapat berkata apa-apa lagi dan mereka meninggalkan pintu gerbang perkampungan Jambuko Cemeng.
Ki Haryosakti memandang kepada Bagus Seto dan Retno Wilis lalu tertawa bangga, "Bagaimana pendapat andika berdua dengan peristiwa tadi?"
Retno Wilis tidak menjawab, maka Bagus Seto yang menjawab. "Peristiwa tadi membuktikan bahwa kepandaian andika dan kedua putera andika amat tinggi. Akan tetapi sayang, sikap andika hanya akan mendatangkan keributan dan pertengkaran."
"Eh, kenapa begitu, anakmas?" tanya Ki Haryosakti sambil memandang kepada Bagus Seto dengan penasaran.
"Paman telah membunuh tiga orang tokoh Bala Cucut dan membiarkan yang dua orang pulang melapor kepada pimpinan mereka, maka tentu pimpinan Bala Cucut tidak akan tinggal diam dan akan menyerang ke sini."
"Ha-ha-ha, kalau benar, dia berani datang, takut apa? Aku akan membunuhnya. Memang Bala Cucut sudah lama mencari perkara, berani merampoki dusun di sekitar pantai yang masih termasuk wilayah kami. Mari kita lanjutkan pesta kita yang tadi terganggu." Dia mengajak dua orang tamunya untuk memasuki rumah besarnya dan ditemani isterinya, Saroji dan Sarmini, mereka lalu makan minum.
"Terima kasih atas kebaikan paman," kata Bagus Seto. "Setelah kami dijamu makanan dan diterima dengan hormat, kini kami akan mohon diri untuk melanjutkan perjalanan kami."
"Eh-eh, nanti dulu. Dan jangan menyebut aku dengan sebutan paman. Terus terang saja setelah melihat diajeng Retno Wilis, timbul keinginan hatiku untuk mengangkatnya menjadi isteriku. Bagaimana pendapatmu, adimas Bagus Seto?"
"Ayah ... !" kembali Sarmini berseru penasaran.
"Diam kau!" bentak ayahnya, lalu berkata kepada Retno Wilis. "Diajeng Retno Wilis, maukah andika menjadi isteriku. Aku adalah seorang yang suka berterus terang dan jujur, maka kusampaikan keinginan hatiku itu tanpa pura-pura lagi. Bagaimana pendapat andika berdua?"
Sepasang mata Retno Wilis sudah mencorong tanda bahwa ia marah sekali, akan tetapi Bagus Seto tersenyum kepadanya.
"Urusan perjodohan adalah urusan yang penting sekali, oleh karena itu, perkenankan kami kakak beradik untuk merundingkan hal ini lebih dulu berdua saja."
"Ah, tentu saja! Tentu saja boleh, hanya asal andika berdua mengetahui saja bahwa aku, Ki Haryosakti kalau sudah menghendaki sesuatu, harus tercapai kehendakku itu, dan bahwa aku adalah seorang laki-laki yang bertanggung-jawab, maka jangan khawatir kalau kelak aku akan menyia-nyiakan diajeng Retno Wilis."
Hati Retno Wilis sudah menjadi panas sekali, akan tetapi Bagus Seto lalu memegang tangannya dan mengajak gadis itu menyingkir ke ruangan lain agar dapat berbicara berdua saja.
"Aduh, kakang. Tidak kuat hatiku, kalau engkau tidak membawaku ke sini tentu sudah kuhajar si mata keranjang itu!" kata Retno Wilis.
"Sabar dan tenanglah, diajeng. Dia bukan seorang jahat, hanya mata keranjang. Akan tetapi dia jujur, mengaku terus terang di depan isteri dan anak-anaknya. Dan kurasa dia tidak membual saja ketika mengatakan bahwa apa yang diinginkan harus tercapai."
"Apa? Apa maksudmu, kakang? Apakah aku harus menerima saja... !"
"Sabar dulu, jangan terburu nafsu. Kalau engkau marah dan menyerangnya, kita akan berhadapan dengan seluruh anak buah Jambuko Cemeng yang jumlahnya amat banyak. Pula, bukankah kedua puteranya itu merupakan muda mudi yang baik? Sayang kalau sampai kita bermusuhan pula dengan mereka."
"Lalu apa maksudmu sebenarnya?"
"Begini, diajeng. Kita harus menghadapi urusan ini dengan halus. Kita harus menyadarkan Ki Haryosakti dengan cara halus pula. Serahkan saja kepadaku, dan aku yang akan mengatur semuanya. Engkau hanya menyatakan menyerah saja dan nanti kalau diadakan pesta pernikahan, aku yang akan mengatur agar engkau lolos dari urusan ini. Dengan cara ini tidak sampai terjadi keributan dengan dia dan anak buahnya. Mereka ini merupakan kekuatan yang lumayan, kalau kita dapat menariknya agar setia kepada Panjalu, tentu amat menguntungkan."
Retno Wilis cemberut. "Kalau menurutkan kata hatiku, ingin aku menghajar dia sampai dia bertaubat, dan kalau anak buahnya mengeroyok, akan kuhajar semua!"
"Jangan, diajeng. Turutilah nasihatku dan semua ini akan terlewat dengan aman dan baik."
"Baik, sesukamulah, kakang. Aku serahkan kepadamu untuk mengaturnya, akan tetapi aku tetap tidak sudi kalau harus menjawab sendiri dan menyatakan persetujuanku untuk menjadi isteri mudanya!"
"Baik, jangan khawatir, biar aku yang menghadapinya."
Setelah berkata demikian Bagus Seto menggandeng tangan adiknya ke luar dari situ memasuki ruangan di mana Ki Haryosakti masih menanti. Ketika mereka masuk, Saroji dan Sarmini memandang kepada mereka dengan alis berkerut. Isteri Ki Haryosakti juga memandang akan tetapi hanya sebentar. Wanita ini agaknya tidak mempunyai hak suara dalam urusan ini dan hanya tunduk saja menurut apa yang dikehendaki suaminya.
"Ha-ha, kalian telah kembali? Dan bagaimana dengan keputusan jawaban kalian? Aku hanya mengharap agar jawaban itu tidak mengecewakan!" kata Ki Haryosakti sambil memandang kepada Retno Wilis dengan matanya yang lebar.
"Diajeng Retno Wilis, bagaimana jawabanmu terhadap pinanganku?" Dengan terus terang dia bertanya kepada gadis itu.
Retno Wilis terpaksa menundukkan mukanya agar jangan tampak betapa ia marah sekali. "Jawabannya kuserahkan kepada kakangmas Bagus Seto," katanya lirih.
"Bagus, memang seharusnya urusan perjodohan diatur oleh orang tua, dan kakakmu dapat saja mewakili kedua orang tuamu. Bagaimana, adimas Bagus Seto, sudahkah kau menentukan jawaban atas pinanganku?"
"Sudah, kakangmas Haryosakti dan kami berdua setuju dan menyerah saja atas kehendak andika," jawab Bagus Seto dengan suara bersungguh-sungguh.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Kalau begitu, sekarang juga akan kuperintahkan kepada anak buahku untuk bersiap-siap. Pernikahan akan dilangsungkan lusa atau keesokan harinya!"
"Ayah, sudah tepatkah apa yang menjadi keputusan ayah itu?" tiba-tiba Saroji berkata kepada ayahnya dengan suara lantang.
"Saroji, apa maksudmu?"
"Ayah, diajeng Retno Wilis masih begini muda, pantaskah menjadi isteri ayah?"
"Tutup mulutmu! Ini bukan urusanmu melainkan urusanku pribadi. Kalau engkau tidak setuju, engkau boleh pergi dari sini!"
"Ayah... !" Sarmini berseru.
"Sudah, kalian dua orang anak-anak tahu apa! Diamlah dan jangan membuat aku marah!" Ki Haryosakti membentak.
Isterinya hanya menundukkan mukanya, tidak berani mencampuri. "Sambil menanti datangnya hari pernikahan, kalian berdua menjadi tamu kehormatan di sini, Saroji, Sarmini, antar mereka ke kamar samping. Berikan dua kamar untuk mereka dan layani mereka baik-baik!"
Dua orang anaknya yang diperintah itu lalu bangkit berdiri. Saroji menghampiri Bagus Seto sedangkan Sarmini menghampiri Retno Wilis. Bagus Seto dan Retno Wilis juga berdiri dan mengikuti mereka berdua. Setelah mereka tiba di jajaran kamar di samping rumah besar itu, Saroji tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan bertanya kepada Bagus Seto.
"Kakangmas Bagus Seto, apa artinya semua ini? Kenapa andika setuju saja diajeng Retno Wilis diperisteri oleh ayah?" pertanyaan ini diajukan dengan suara tidak senang.
"Dan andika ini bagaimana, mbakyu Retno Wilis. Mengapa tidak menolak untuk diperisteri ayah?" tanya pula Sarmini kepada Retno Wilis.
Retno Wilis hanya melirik kepada kakaknya. Kalau menurutkan kata hatinya ingin ia meneriakkan bahwa ia tidak sudi diperisteri Ki Haryosakti.
Bagus Seto tersenyum. "Ki Haryosakti adalah seorang yang gagah perkasa dan sakti. Kalau kehendaknya tidak dipenuhi tentu dia akan marah kepada kami. Kami terpaksa menerimanya."
"Terpaksa menerima?" kata Saroji. "Kenapa terpaksa? Kalau kalian menolak, kami akan melindungi kalian. Ayah kami tidak pernah berbuat jahat, tentu tidak akan menggunakan kekerasan. Dia hanya tertarik oleh diajeng Retno Wilis dan menyatakan perasaannya itu dengan terus terang. Akan tetapi dia tidak akan memaksa kalau diajeng Retno Wilis menolak!"
Bagus Seto tersenyum. Dia tahu bahwa pemuda ini kurang pengalaman. Betapapun baiknya Ki Haryosakti, kalau dia sudah tergila-gila kepada Retno Wilis, maka penolakannya tentu akan mendatangkan keributan dan mungkin Ki Haryosakti tidak akan malu-malu lagi untuk melakukan pemaksaan.
"Tapi ini tidak pantas!" Sarmini berkata marah. "Kalau ayah meminang mbakayu Retno Wilis untuk kakang Saroji, ini namanya pantas. Bukan untuk diri sendiri!"
Wajah Seroji menjadi kemerahan mendengar ucapan adiknya itu. "Adikku Sarmini, engkaupun pantas sekali kalau menjadi isteri kakangmas Bagus Seto!" Dia membalas.
Sarmini memandang kakaknya dengan pipi merah. "Ihh, engkau ada-ada saja, kakang!" berkata demikian gadis manis itu lalu berlari pergi meninggalkan mereka.
"Jangan khawatir, adimas Saroji. Kalau benar-benar andika tidak setuju dengan niat ayahmu memperisteri adikku, kami akan mengusahakan agar hal itu tidak akan terjadi, dan mudah-mudahan ayahmu dapat menyadari kesalahannya," kata Bagus Seto.
Saroji memandang dengan alis berkerut. Pemuda itu sudah menyanggupi, sudah menyetujui adiknya menikah dengan ayahnya, bagaimana mungkin hal itu dibatalkan?
"Membatalkan janji merupakan kesalahan besar," katanya. "Kalau penolakan itu adalah hak kalian. Kenapa tidak menolak saja tadi?"
"Andika tidak mengerti. Sudahlah, harap tidak risaukan hal itu. Aku yang menanggung bahwa pernikahan itu tidak akan terjadi."
Saroji meninggalkan kakak beradik itu dengan hati bertanya-tanya. Apakah yang akan dilakukan dua orang itu untuk membatalkan pernikahan itu? Sementara itu, dengan hati senang sekali Ki Haryosakti memimpin para anggautanya untuk membuat persiapan pesta besar-besaran untuk merayakan pernikahannya dengan Retno Wilis.
********************
Perayaan itu diadakan pada senja hari. Yang menghadiri adalah seluruh penduduk perkampungan itu dan mereka semua mengenakan pakaian baru serba hitam. Semua penduduk bergembira mendengar ketua mereka hendak menikah dengan gadis jelita yang menjadi tamu agung di perkampungan itu.
Retno Wilis dibawa oleh isteri Ki Haryosakti ke dalam kamar pengantin dan di situ Retno Wilis didandani dengan pakaian pengantin. Selain seorang wanita yang biasa mendadani pengantin, di situ hadir pula Sarmini dan ibunya. Isteri KiHaryosakti ini agaknya menerima nasib, tidak tampak berduka walaupun suaminya hendak menikah lagi. Semua orang sibuk berlalu lalang untuk membantu persiapan pesta. Tiga ekor sapi dipotong dan entah berapa puluh ekor ayam.
Di dapur, para wanita sibuk memasak dan para pria masih ada yang sibuk menghias ruangan depan yang akan dipakai sebagai tempat pertemuan sepasang mempelai dan tempat duduk para anggauta Jambuka Cemeng. Karena kini akan menjadi isteri ketua Jambuko Cemang, Retno Wilis juga diharuskan memakai pakaian pengantin yang terbuat dari kain sutera berwarna hitam! Mukanya memakai kerudung hitam pula sehingga hanya Nampak sedikit dari balik cadar hitam itu. Bagus Seto sejak tadi tidak tampak akan tetapi hal ini tidak dipedulikan orang.
Gamelan yang berada di ruangan depan sudah dipukul orang sejak sore tadi. Anak-anak dengan gembira bermain-main di dekat situ sambil menonton gamelan yang mengiringi suara merdu tiga orang penyanyi. Tempat upacara pertemuan pengantin dan tempat duduk para tamu sudah dirias dengan janur-janur dan kain warna-warni.
Setelah waktunya tiba, pengantin wanita yang memakai cadar itu dibawa keluar kamar pengantin dan dipertemukan dengan pengantin pria sebagaimana mestinya diiringi suara gamelan yang memainkan lagu-lagu pertemuan pengantin, disaksikan oleh semua anggauta Jambuka Cemeng. Beberapa orang pini sepuh dari perkampungan itu yang melakukan upacara pernikahan itu semua orang mengikuti dengan gembira. Akhirnya, sepasang pengantin duduk bersanding dan semua tahu mulai berpesta makan minum dengan penuh kegembiraan.
Saroji menghampiri adiknya. "Eh, kemana perginya kakangmas Bagus Seto? Sejak sore tadi aku tidak melihatnya."
Sarmini mengerutkan alisnya. "Sejak tadi aku juga mencarinya, akan tetapi dia tidak ada. Jangan-jangan dia pergi meninggalkan tempat ini dengan diam-diam?"
"Mana mungkin?" Saroji menoleh ke arah pengantin wanita yang duduk dekat ayahnya dengan pandang mata penasaran.
"Tidak mungkin dia meninggalkan adiknya."
"Eh, kakang Saroji, apakah engkau melihat ibu?"
"Tidak, apakah tadi tidak bersama kita?"
"Memang tadi bersama kita semua, ikut membawa pengantin keluar kamar, akan tetapi setelah itu ia tidak tampak lagi. Jangan-jangan ibu menyembunyikan diri untuk melampiaskan kedukaannya, kakang!"
"Selama beberapa hari ini ibu tidak ada perubahan. Ibu telah menerima kenyataan itu dengan sabar. Sungguh mengherankan, kenapa ibu tidak tampak dan kakangmas Bagus Seto juga tidak tampak."
"Mari kita berdua mencari kakangmas Bagus Seto!" Ajak Sarmini. "Bagaimanapun juga, dia harus ikut merayakan pesta ini."
Kakak beradik itu lalu keluar dari tempat pesta. Di luar sunyi, perkampungan itu sunyi karena semua orang pergi ke tempat pesta. Mereka mencari ke mana-mana namun percuma. Mereka tidak dapat menemukan Bagus Seto juga tidak tampak ibu mereka di mana-mana. Tentu saja hal ini membuat mereka berdua terheran-heran dan terpaksa mereka kembali ke tempat pesta yang sudah mulai bubaran karena pesta makan minum sudah selesai.
Sepasang mempelai memasuki kamar mereka dan karena ibunya tidak ada, Sarmini mewakili ibunya mengantar sepasang mempelai ke kamar mereka. Setelah pintu kamar ditutup, Sarmini masih berdiri termangu di depan kamar itu, pikirannya kacau dan gelisah karena ia tidak melihat ibunya.
Kemana perginya orang tua itu? Dan mengapa pula Bagus Seto tidak menghadiri pesta perayaan pernikahan adiknya? Ia teringat akan pembicaraan kakaknya dengan Bagus Seto dan Retno Wilis. Bagus Seto menyatakan bahwa ia dan kakaknya tidak mengerti, dan menyatakan bahwa dialah yang akan mengurusnya agar pernikahan itu tidak sampai terjadi, bahkan pemuda itu berjanji akan menyadarkan ayahnya. Akan tetapi setelah tiba saatnya, pemuda itu pemuda yang amat dikaguminya, ternyata tidak muncul. Betapa kecewa hatinya! Tiba-tiba terdengar ayahnya berteriak-teriak dan suara ibunya menangis dari dalam kamar pengantin itu.
"Jahanam, aku telah tertipu! Keluar kau, cari di mana ia!" terdengar ayahnya berteriak dan pintu kamar itu terbuka.
Ibunya keluar dan Sarmini terbelalak. Wanita yang bercadar, berpakaian pengantin itu, adalah ibunya! Pengantin wanitanya adalah ibunya! Kemudian Ki Haryosakti meloncat keluar dan melihat Sarmini, dia lalu merangkulnya.
"Ah, kiranya engkau di sini, diajeng Retno Wilis!" Sarmini hendak dipondongnya.
Sarmini meronta. "Ayah, ini aku, Sarmini! Lepaskan aku!"
Ki Haryosakti juga terbelalak dan bagaikan baru habis mimpi, dia menggosok-gosok kedua matanya. "Permainan apakah ini? Tiba-tiba ibumu yang menjadi pengantin wanita, dan engkau tadi kulihat seperti Retno Wilis! Siapa yang bermain-main seperti ini?" Karena dia sendiri seorang yang ahli dalam ilmu sihir, tahulah dia bahwa dia menjadi permainan sihir yang amat kuat.
"Aku tidak tahu... tadi tahu-tahu mereka merias aku, dan aku sama sekali tidak mampu mengeluarkan suara..." Isteri Ki Haryosakti menangis dengan sedih.
"Apa engkau melihat Retno Wilis?" tanya suaminya.
"Tidak, aku sama sekali tidak melihatnya. Tahu-tahu ia telah lenyap dari dalam kamar pengantin dan kulihat hanya Bagus Seto, itupun hanya sebentar. Dia berdiri di luar pintu dan memandangku dengan sinar mata aneh."
"Huh, jangan-jangan ini permainan mereka! Mereka telah mempermainkan aku, jahanam!"
Pada saat itu terdengar sorak sorai riuh rendah yang datangnya dari luar perkampungan. Lalu datang tergopoh-gopoh tiga orang lari menghampiri Ki Haryosakti.
"Celaka, denmas. Celaka, Bala Cucut datang menyerang dengan jumlah yang besar. Pimpinannya kini menantang-nantang di luar pintu gerbang!"
Mendengar ini, Sarmini sudah berlari cepat keluar dari tempat itu. Ia hampir bertubrukan dengan Saroji yang juga keluar membawa senjata tombak.
"Ada apa ribut-ribut itu?" tanya Saroji.
"Bala Cucut datang menyerbu, kakang. Mari kita ke sana!"
Mereka berdua lalu berlari cepat untuk memimpin anak buahnya ke luar dari perkampungan. Ternyata di depan pintu gerbang sudah berdiri seorang kakek tinggi besar yang mukanya penuh brewok dan mata kirinya ditutup dengan kain hitam, yang dilibatkan di kepalanya. Kakek brewok itu berusia kurang lebih limapuluh tahun dan dia memegang sebatang golok besar yang tajam sekali dan ke lihatannya berat. Tempat itu disinari obor-obor yang dibawa para penyerbu dan juga banyak anak buah Jambuko Cemeng yang membawa obor bernyala. Jumlah mereka tidak kurang dari seratus orang dan mereka semua bersenjatakan golok. Kepala mereka diikat dengan kain merah dan wajah mereka semua tampak buas.
"Suruh Ki Haryosakti, ketua kalian keluar untuk mengadu ilmu dengan aku. Katakan ini Brajamusti ketua Bala Cucut telah datang untuk menantangnya! Cepat suruh dia keluar, atau kami akan membikin perkampungan Jambuko Cemeng menjadi karang abang (lautan api)!"
Mendengar ini, Saroji dan Sarmini menjadi marah sekali. Mereka tahu bahwa ketua Bala Cucut ini hendak menuntut balas kematian tiga orang pembantunya.
"Tidak perlu ayah, kami berdua sanggup untuk mengirimmu ke neraka!" bentak Sarmini sambil menyerang dengan kerisnya. Pada saat itu, Saroji juga menyerang dengan tombaknya. Akan tetapi, Brajamusti menggerakkan goloknya dan sekali golok bergerak, dia sudah menangkis kedua senjata itu dengan kuat sekali. Tombak dan keris itu terpental dan hampir terlepas dari tangan kedua orang muda itu. Tentu saja mereka terkejut bukan main.
"Ha-ha-ha, jangan anak kecil yang maju. Panggil ayah kalian!" kembali Brajamusti menantang.
Akan tetapi Saroji sudah menyerang lagi dengan menusukkan tombak ke dada orang tinggi besar itu dan Sarmini juga sudah menubruk dan menikamkan kerisnya ke perut yang gendut itu.
"Tak... ! Tak... !" Keris dan tombak itu terpental seolah bertemu dengan dinding baja! Ternyata kakek itu memiliki kekebalan yang hebat.
"Ha-ha-ha-ha!" Brajamusti tertawa bergelak.
"Kalian berdua mundurlah!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Ki Haryosakti telah berdiri di situ, menyuruh kedua orang anaknya mundur.
Mendengar ini, dan melihat betapa saktinya pemimpin Bala Cucut, dua orang muda itu lalu mundur dan menonton dengan hati tegang. Mereka tahu bahwa ayahnya kini berhadapan dengan lawan yang benar-benar amat tangguh. Ki Haryosakti beradu pandang dengan Brajamusti.
"Andika inikah pemimpin Bala Cucut?" tanyanya dengan lantang.
"Ha-ha-ha, benar akulah pemimpin Bala Cucut. Namaku Brajamusti dan kalau benar engkau ini yang bernama Haryosakti pemimpin Jambuko Cemeng, bersiaplah engkau untuk mampus di tanganku!"
"Babo-babo, sumbarmu seperti dapat memecahkan gunung! Aku adalah Haryosakti dan selama hidupku belum pernah aku mundur menghadapi lawan. Apa maksudmu malam-malam begini datang dengan anak buahmu ke perkampungan kami?"
"Ha-ha-ha, pertanyaan yang bodoh! Andika telah membunuh tiga orang anak buahku, tentu saja aku dating untuk membalas dendam!"
"Brajamusti, kalau benar engkau seorang gagah perkasa, datanglah di waktu matahari telah bersinar sehingga kita dapat berhadapan dalam cuaca terang. Tidak datang seperti maling malam-malam begini. Kalau engkau berani, aku tantang engkau bertanding besok pagi setelah matahari terbit, di tempat ini! Dan tidak boleh ada yang membawa pembantu. Kita bertanding satu lawan satu. Kalau aku kalah, maka aku akan menyerah dan engkau boleh berbuat sesuka hatimu. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus minggat dari sini bersama anak buahmu!"
Tidak ada yang tahu bahwa tantangan Ki Haryosakti ini mengandung kecerdikan. Dia tadi sudah banyak minum tuak, menjadi setengah mabok dan tentu saja dalam keadaan seperti itu dia tidak dapat bertanding dengan baik. Selain itu, pihak Bala Cucut datang pada malam hari dan tentu sudah mempunyai perhitungan dengan baik, sedangkan pihaknya yang mendapat serangan tiba-tiba di tengah malam itu belum dapat melakukan atau mengatur siasat. Dan lebih dari itu, baru saja dia mengalami guncangan batin yang hebat melihat bahwa pengantin wanita yang dinikahinya ternyata adalah isterinya sendiri sedangkan Retno Wilis entah ke mana.
Di lain pihak, Brajamusti yang ditantang untuk bertanding besok pagi, tentu merasa malu untuk menolak. Menolak tantangan dapat diartikan tidak berani. Dan diapun mengira bahwa pihak tuan rumah tentu dapat mengatur siasat pertahanan lebih baik dari pada pasukannya yang tidak mengenal medan. Kalau pertandingan dilakukan besok di pagi hari, dia tidak khawatir musuh mengatur jebakan-jebakan yang tidak terlihat di waktu malam.
"Babo-babo, siapa takut padamu, Haryosakti! Besok pagi diwaktu matahari muncul, aku akan datang ke sini untuk mengambil nyawamu, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian, dia lalu meneriakkan anak buahnya agar mundur dan membuat perkemahan agak jauh dari kampung untuk melewatkan malam itu.
Sementara itu, Ki Haryosakti segera mengatur anak buahnya untuk melakukan penjagaan dan menyusun pertahanan kalau besok musuh datang menyerang. Setelah itu, kembali dia mencari Retno Wilis, bahkan mengerahkan orang-orangnya untuk mencari di perkampungan itu, namun segala usahanya sia-sia. Retno Wilis dan Bagus Seto tidak dapat mereka temukan!
Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai bersinar mengusir kabut pagi, muncullah Brajamusti bersama belasan orang pembantunya yang menjadi pasukan pengawalnya dan di belakangnya datang berbondong-bondong anak buahnya yang semua sudah membawa golok telanjang. Sikap mereka itu menantang dan bengis sekali.
Ki Haryosakti menyambut musuh, diiringkan Saroji dan Sarmini bersama pasukan pengawal yang belasan orang banyaknya. Akan tetapi pemuda dan gadis ini tidak berani sernbarangan maju karena mereka berdua sudah mengenal kesaktian Brajamusti yang memiliki kekebalan yang luar biasa sehingga tombak dan keris mereka tidak mampu melukainya. Ki Haryosakti yang sudah mendengar keterangan dua orang anaknya tentang kesaktian Brajamusti juga melarang mereka maju. Dia sendiri yang akan menghadapi Ki Bajramusti yang tangguh itu.
"Ha-ha-ha, bagus sekali. Kiranya Ki Brajamusti ternyata memiliki kegagahan dan memenuhi tantanganku. Apakah andika telah siap untuk menghadapi kekalahan?" Ki Haryosakti berkata mengejek untuk menjatuhkan nyali lawan.
Ki Brajamusti tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, masih untung semalam aku menitipkan nyawamu kepadamu, Haryosakti. Akan tetapi pagi ini aku akan mengambilnya dan semua orang-orangmu harus tunduk kepadaku atau akan kubasmi semua!"
"Babo-babo! Jangan omong besar. Sekarang tentukan bagaimana pertandingan diadakan. Kita berdua satu lawan satu, ataukah main keroyokan? Kami sudah siap!"
"Jangan seperti anak kecil, Haryosakti. Kita berdua adalah orang-orang tua yang memegang teguh janji. Kita bertanding satu lawan satu dan siapa yang kalah harus menaati kehendak yang menang. Bagaimana, setujukah engkau dengan peraturan ini?"
"Bagus, itulah yang kukehendaki. Mari kita mulai!" jawab Ki Haryosakti yang sudah membawa senjata pusakanya, yaitu tombak pusaka yang ampuh. Dia melintangkan tombak di depan dada dan sikapnya menantang, kuda-kudanya teguh.
Melihat ini, Ki brajamusti mengeluarkan suara tawa bergelak, kemudian dia memutar golok besarnya ke atas kepala sambil berseru, "Akupun sudah siap, mari kita mulai!"
Ki Haryosakti tidak sungkan lagi, berteriak lantang, "Lihat tombakku!"
Tombaknya sudah menyambar ke depan dengan tusukan kilat ke arah perut lawan. Brajamusti menggerakkan goloknya menangkis serangan tombak yang amat berbahaya itu. Kini tentu saja dia tidak berani mengandalkan kekebalan tubuhnya. Tombak itu sebatang tombak pusaka dan kini digerakkan oleh seorang yang memiliki tenaga sakti kuat. Goloknya menangkis dari samping.
"Trangg... !!" Bunga api berpijar ketika dua senjata bertemu dan keduanya merasa betapa telapak tangan mereka panas ketika senjata mereka saling bertemu.
Haryosakti menyusulkan serangan bertubi dengan tombaknya. Brajamusti memutar-mutar goloknya dan beberapa kali tombak itu tertangkis golok. Ketika mendapat kesempatan, Brajamusti membalas serangan lawan, goloknya menyambar dengan serangan maut. Namun, Ki Haryosakti cukup gesit untuk mengelak dan ketika golok itu terus menerjang dengan ganasnya, diapun menangkis dengan tombaknya dan kembali dua senjata bertemu dengan kuatnya.
Serang menyerang terjadi dan kedua orang itu masing-masing merasa terkejut karena ternyata tingkat kepandaian mereka seimbang. Mereka mengeluarkan semua ilmu mereka dan mengerahkan seluruh tenaga untuk mendapatkan kemenangan. Gerakan kedua orang itu demikian cepatnya sehingga bentuk golok dan tombak lenyap, berubah menjadi dua gulung sinar yang saling mendesak dan saling menekan.
Satu jam lebih mereka bertanding dan belum tampak ada yang akan menang atau kalah. Entah sudah berapa puluh kali senjata mereka saling bertemu. Akan tetapi diam-diam Haryosakti terkejut. Dia merasa betapa kedua tangannya lelah sekali karena benturan-benturan antara kedua senjata itu. Ternyata tenaga lawan luar biasa kuatnya. Karena maklum bahwa akhirnya dia akan kalah kalau pertandingan dengan senjata itu dilanjutkan, tiba-tiba dia melompat ke belakang dan berseru nyaring, "Tahan senjata!"
Brajamusti menghentikan gerakannya dan tertawa.
"Ha-haha, belum lecet kulitmu engkau mengajak berhenti. Apakah engkau hendak mengaku kalah, Haryosakti?"
"Siapa yang kalah? Aku tidak kalah. Akan tetapi karena dalam pertandingan adu senjata kita sama kuat, bagaimana kalau sekarang diganti dengan pertandingan tangan kosong? Kita mengadu tebalnya kulit dan kerasnya tulang, tidak lagi mengandalkan senjata melainkan mengandalkan kadigdayaan. Beranikah engkau?"
Brajamusti kembali tertawa. Dia sendiri sudah merasa bingung tadi karena sekian lamanya tidak mampu mendesak lawan. Kini lawannya mengusulkan untuk bertanding tanpa senjata, maka tentu saja dia merasa senang sekali. Dia memiliki tubuh yang kebal dan tenaga yang besar.
"Bagus, siapa takut padamu? Mari kita lanjutkan dengan tangan kosong!" Dia lalu menyerahkan goloknya kepada seorang pengawal.
Haryosakti juga menyerahkan tombaknya kepada Saroji dan kedua orang ketua jagoan ini kini saling berhadapan lagi dengan tangan kosong. Diam-diam keduanya mengerahkan tenaga sakti disalurkan ke dalam ke dua lengan, dan Haryosakti berteriak,
"Lihat pukulan!" dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, tangan kanannya menampar ke arah dagu lawan sedangkan tangan kirinya sudah siap menyusulkan serangan kalau tamparannya tidak berhasil.
"Hemm.... !" Brajamusti mengelak dengan menarik mukanya ke belakang hingga tamparan itu luput dan ketika tangan kiri Haryosakti menyusulkan tonjokan ke arah dadanya, tangan kanannya membuat gerakan berputar dan dia sudah menangkis pukulan ke arah dadanya itu.
"Dukk... !" Kedua lengan bertemu dan keduanya mundur selangkah. Kini Brajamusti membalas serangan lawan dengan tendangan kakinya yang mencuat dengan cepat sekali ke arah perut Haryosakti, akan tetapi ketua Jambuko Cemeng inipun sudah dapat mengelak. Serang menyerang kembali terjadi di antara keduanya. Mereka mengerahkan tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh mereka dalam usahanya untuk merobohkan lawan.
Saroji dan Sarmini menonton dengan alis berkerut. Mereka berdua maklum bahwa pihak lawan sungguh amat tangguh dan mereka tadi sudah melihat keringat membasahi leher ayah mereka ketika berhenti sebentar. Mereka berdua tidak dapat membantu ayah mereka karena hal itu akan dianggap curang. Maka dengan jantung berdebar tegang mereka hanya dapat menonton.
Kekhawatiran dua orang muda itu ternyata terbukti tidak lama kemudian. Setelah pertandingan berlangsung lima puluh jurus lebih, mulai tampaklah betapa Ki Haryosakti terdesak mundur. Sudah beberapa kali dia terkena tamparan dan pukulan lawan yang membuat dia terhuyung. Dan beberapa kali pukulannya juga bersarang kepada tubuh lawan, akan tetapi ternyata tubuh itu kebal, membuat pukulannya mental kembali seperti mengenai benda dari karet saja.
"Robohlah!" Tiba-tiba Bajramusti berseru dan sebuah tendangan kakinya mengenai perut lawan.
Ki Haryosakti tidak dapat menghindar. Perutnya tertendang dan diapun roboh terjengkang! Bajramusti bertolak pinggang sambil menertawakan lawannya. Para pembantunya ikut pula tertawa dan anak buahnya yang berada di belakang bersorak melihat kemenangan ketua mereka. Sebaliknya, di pihak Jambuko Cemeng orang-orangnya hanya berdiam saja dengan hati tegang.
"Ha-ha, Ki Haryosakti. Engkau sudah kalah! Akuilah kekalahanmu dan mulai sekarang kalian semua harus menaati perintahku!"
Tiba-tiba Saruji dengan tombak ayahnya di tangan melompat maju. Ayah sudah kalah akan tetapi aku belum! Aku yang akan melawanmu, Bajramusti!"
Melihat majunya pemuda itu, Bajramusti tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, ayahnya sudah kalah kini maju anaknya. Heh, orang muda, engkau bukan tandinganku, apakah engkau sudah bosan hidup?"
Melihat puteranya maju, Ki Haryosakti juga berseru, "Saroji, mundur kau!" Dia tahu bahwa kalau puteranya maju, sama halnya dengan membunuh diri.
Pada saat itu terdengar seruan suara wanita, "Ki Bajraniusti, akulah lawanmu!"
Ki Haryosakti dan kedua orang anaknya terkejut mendengar suara Retno Wilis, dan kini mereka melihat Retno Wilis muncul bersama Bagus Seto! Retno Wilis sudah melompat ke depan dan berkata kepada Saroji,
"Lebih baik andika mundur, biar aku yang menghadapi raksasa brewok ini!"
Saroji ragu-ragu, tidak tega membiarkan Retno Wilis melawan ketua Bala Cucut itu, akan tetapi sekali lagi Haryosakti menghardik kepada puteranya untuk mundur. Saroji lalu mundur dan menonton bersama adik dan ayahnya dengan hati tegang dan juga heran. Bagaimana Retno Wilis akan mampu menghadapi raksasa yang amat sakti itu. Bagus Seto juga memandang sambil tersenyum dan pemuda ini menonton di satu pinggiran, tidak mendekati keluarga Haryosakti.
Sementara itu, ketika Brajamusti melihat majunya seorang gadis yang cantik jelita, dia tertawa bergelak sambil menengadahkan kepalanya.
"Hoa-ha-ha-ha! Jambuko Cemeng sudah kehabisan jago dan mengajukan seorang perawan cantik untuk melawan aku. Wong ayu, jangan andika yang maju sayang kecantikanmu, sayang kulitmu yang halus kalau sampai lecet. Lebih baik andika ikut bersamaku dan kujadikan selir, ha ha-ha!"
"Brajamusti, tidak perlu bermulut besar. Kalau andika dapat mengalahkan aku, barulah andika berhak untuk bermulut besar! Atau barangkali andika takut melawan aku?"
"Takut? Ha-ha, takut? Aku takut kalau sampai membunuh atau melukaimu, cah ayu."
"Kalau begitu, bersiaplah andika!"
"Ha-ha-ha, aku sudah siap, ha-ha-ha!"
"Lihat seranganku! Haiiiittt...!" Retno Wilis menerjang ke depan, tangan kirinya menampar ke arah dada raksasa itu.
Brajamusti hendak memamerkan kekebalannya maka diapun membiarkan saja dadanya terbuka untuk dihantam. Jari-jari tangan Retno Wilis yang kecil mungil itu bertemu dengan dada yang bidang dan kokoh kuat itu. Akan tetapi ia mempergunakan aji Wisolangking.
"Wuuuttt.... dess...!!"
"Aduh.... mati aku....!!" Tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan roboh terguling-guling. Brajamusti merasa dadanya seperti pecah. Untung dia tadi mengerahkan ilmu kekebalannya sehingga dia tidak mati terpukul. Dia melompat bangun, menggosok-gosok dadanya dengan telapak tangan kiri sambil memandang kepada Retno Wilis dengan mata mencorong penuh kemarahan.
Sementara itu, Ki Haryosakti dan kedua orang anaknya, juga para anggota Jambuko Cemeng, menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga! Baru sekarang mereka mengetahui bahwa gadis itu memiliki kesaktian yang hebat sehingga sekali pukul saja dapat membuat raksasa itu roboh terguling-guling! Terutama sekali Ki Haryosakti. Wajahnya berubah pucat lalu kemerahan. Dan dia sudah hendak memperisteri gadis itu! Sekarang baru dia merasa bahwa dia dipermainkan!