Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Sepasang Garuda Putih Jilid 11
Ki Bajramusti kini marah bukan main. Dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, dia lalu menyerang, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri hendak menerkam tubuh gadis itu. Akan tetapi tubrukannya luput dan tiba-tiba saja gadis itu lenyap. Kemudian dari belakang dia mendengar ada angin menyambar. Cepat dia merendahkan diri untuk mengelak. Ternyata gadis itu sudah berada di belakangnya.
Demikian cepatnya gerakan gadis itu seolah-olah pandai menghilang saja. Dia menjadi semakin marah dan dengan mengeluarkan gerengan-gerengan seperti seekor harimau marah, dia melanjutkan gerakannya, menyerang secara bertubi-tubi, mencakar, menampar, menghantam bahkan kakinya yang panjang besar itu beberapa kali menendang. Namun, dia seperti menyerang angin saja. Semua serangannya tidak mengenai sasaran.
Retno Wilis telah mempergunakan ilmu silat Pancaroba yang membuat tubuhnya bergerak seperti seekor burung walet, menyambar-nyambar menghindar kesana-sini dan berputaran. Bajramusti ikut pula berputaran sampai kepalanya menjadi pening dan beberapa kali dia terhuyung! Ketika mendapat kesempatan, Retno Wilis kembali menampar dan tamparannya mengenai leher Bajramusti.
"Wuuuttt..... plak....!" Biarpun yang menampar hanya tangan yang kecil mungil, akan tetapi Bajramusti merasa seperti disambar petir. Hanya kekebalannya yang luar biasa saja yang masih melindunginya. Tubuhnya berputaran, kepalanya pening dan akhirnya diapun roboh untuk yang kedua kalinya.
Akan tetapi dia memang kebal dan kuat. Dari keadaan roboh itu dia melompat dan kedua tangannya yang besar itu berhasil menangkap pinggang yang ramping itu. Dia mengeluarkan suara tawa girang dan dengan sepenuh tenaga dia hendak mengangkat tubuh yang pinggangnya sudah dilingkari jari-jarinya yang panjang dan besar itu.
Akan tetapi Retno Wilis yang tadi lengah sehingga pinggangnya dapat disambar, mengerahkan Aji Argoselo yang membuat tubuhnya seberat batu gunung. Bajramusti mengerahkan tenaga untuk mengangkat, namun tubuh itu tidak bergeming sedikitpun juga. Dia merasa terkejut dan penasaran, lalu mengerahkan lagi tenaga sampai mulutnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, namun tetap saja sia-sia. Dan Retno Wilis yang marah karena pinggangnya dipegang orang, lalu menggerakkan kakinya menendang, mengenai perut yang gendut itu.
"Wuuuttt.....ngekkk....!" Pegangan Bajramusti terlepas dan tubuhnya terlempar dan terjengkang ke belakang, terbanting keras.
Kini agak lambat dia merangkak bangun karena kepalanya terasa pening. Dan setelah dia bangkit, dia sudah merampas golok yang dibawa pembantunya. Sikapnya amat menyeramkan. Rambutnya awut-awutan, mukanya menjadi merah sekali, matanya melotot dan mengeluarkan busa. Dia mengangkat goloknya tinggi di atas kepala.
Ki Haryosakti dan dua orang anaknya yang tadinya terkagum-kagum melihat Retno Wilis berulang kali merobohkan Bajramusti, kini memandang dengan hati khawatir sekali. Akan tetapi Retno Wilis tetap bersikap tenang, ia meloloskan pedang Sapudenta dan menanti serangan lawan dengan pedang di tangan. Ketika Bajramusti melihat gadis itu sudah memegang sebatang pedang yang baginya amat kecil tidak berarti, dia lalu menggereng seperti seekor harimau terluka dan tubuhnya sudah menerjang maju, goloknya menyambar-nyambar bagaikan cakar maut ke arah Retno Wilis.
Akan tetapi gadis ini dengan mudahnya mengelak ke sana sini, kemudian ketika golok itu dengan cepat menyambar ke arah kepalanya, iapun menggerakkan pedang Sapudenta untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Singgg..... trakkk....!!" Golok itu putus menjadi dua potong!
Ki Haryosakti sampai bersorak melihat kehebatan gadis itu. Sebaliknya Ki Bajramusti terkejut bukan main. Dia melemparkan gagang golok ke arah Retno Wihs. Gadis ini menangkis dengan pedangnya dan sisa golok itu meluncur ke bawah dan menancap ke atas tanah. Tiba-tiba Ki Bajramusti mengangkat kedua tangan ke atas, mulutnya berkemak kemik membaca mantra dan tiba-tiba saja ada asap hitam bergulung-gulung keluar dari kedua tangannya dan asap itu menyerbu ke arah Retno Wilis.
Gadis ini menyimpan pedangnya dan menggunakan kedua tangannya untuk memukul dengan Aji Wisolangking. Akan tetapi asap itu hanya membuyar dan tetap menyerbu ke arahnya.
''Diajeng, mundurlah!" seru Bagus Seto dan Retno Wilis menaati perintah kakaknya. Tubuhnya mencelat ke arah Bagus Seto dan sudah berdiri di samping kakaknya.
Bagus Seto melompat ke depan menghadapi Ki Bajramusti yang menggunakan sihir itu. Ketika gulungan asap itu menyelubunginya, Bagus Seto mengambil setangkai bunga cempaka putih dan mengangkatnya ke atas. Seketika asap hitam itu membalik dan bergulung-gulung seperti melarikan diri kembali ke arah kedua tangan Ki Bajramusti! Kakek ini terkejut bukan main dan memandang kepada Bagus Seto dengan mata mencorong.
"Siapakah andika?" bentaknya marah.
"Namaku Bagus Seto dan karena andika menggunakan ilmu hitam, akulah yang mewakili adikku menghadapimu," kata Bagus Seto dengan lembut. "Lebih baik andika pergi saja dari sini dan bawa semua anak buahmu, Ki Bajramusti. Tempatmu di lautan, bukan di daratan yang menjadi wilayah Jambuko Cemeng."
Ki Bajramusti merasa penasaran bukan main. Tadi dalam pertandingan tangan kosong maupun dengan senjata dia telah dikalahkan seorang gadis muda! Dan sekarang dia mengandalkan ilmu sihirnya, dia bertemu dengan seorang pemuda yang dapat menandinginya. Dia masih merasa penasaran dan ingin mengeluarkan ilmunya yang terakhir dan yang diandalkannya.
"Bagus Seto, lihat baik-baik siapa yang kau lawan. Aku adalah Rajanya segala harimau!" Setelah berkata demikian, Ki Bajramusti melompat jungkir balik tiga kali dan berubahlah dia menjadi seekor harimau yang amat besar, harimau jadi-jadian itu besarnya hampir seperti seekor lembu! Sambil mengeluarkan suara gerengan, harimau itu membuka mulutnya dan mengancam Bagus Seto.
Semua orang yang melihat ini menjadi miris hatinya, kecuali tentu saja Retno Wilis. Gadis ini hanya tersenyum karena maklum bahwa dalam menghadapi ilmu sihir, tidak ada orang yang lebih tangguh dari pada kakaknya. Dengan gerengan yang menggetarkan seluruh perkampungan itu, harimau jadi-jadian itu kini menubruk ke arah Bagus Seto yang kelihatan diam saja, tidak mengelak maupun menangkis. Semua orang melihat betapa harimau besar itu menerkam Bagus Seto.
Sarmini sampai menjerit saking ngerinya melihat pemuda yang dikagumi itu diterkam harimau besar. Juga semua orang memandang kaget dan cemas. Akan tetapi ketika harimau itu menerkam dan berusaha menggigit dan merobek-robek tubuh itu, ternyata bahwa yang diterkamnya tadi adalah sebuah batu yang keras! Dan semua orang melihat Bagus Seto sudah berdiri dengan kedua tangan bersilang di dada, tak jauh dari situ.
Harimau jadi-jadian agaknya baru sadar bahwa yang diterkamnya adalah batu setelah taring dan cakarnya menyerang benda keras. Dia menggereng dan memutar tubuh, melihat Bagus Seto yang sudah berdiri di belakangnya. Kembali dia menerjang, menubruk dan menerkam dibarengi auman yang menggetarkan hati. Kembali dia telah menerkam Bagus Seto seperti tadi, akan tetapi setelah yang diterkamnya roboh di atas tanah dan dicakarnya, pemuda itu berubah menjadi batu. Setelah mempermainkan harimau jadi-jadian itu beberapa kali, Bagus Seto lalu mengeluarkan setangkai bunga cempaka putih dan begitu harimau itu untuk sekian kalinya menubruk, dia memukulkan bunga cempaka pulih itu ke kepala harimau.
"Dar....!" terdengar ledakan dan harimau itupun lenyap, berubah menjadi Ki Bajramusti yang mendekam di atas tanah sambil mengeluh.
"Aduh, tobaaattt.....!" Dia memegangi kepalanya yang rasanya seperti remuk.
"Benarkah andika telah bertobat, Ki Bajramusti?" Tanya Bagus Seto dengan lembut.
"Aku sudah menerima kalah, denmas. Aku sudah bertobat dan hendak menaati semua perintah andika. Aduhaduhhh.....!"
Bagus Seto lalu berkata, "Kalau begitu berjanjilah bahwa engkau tidak akan mengganggu penduduk pantai, menghentikan perbuatanmu yang jahat dan engkau berjanjilah untuk membantu Panjalu jika saatnya tiba"
"Baik, denmas....aku berjanji...."
Bagus Seto menyentuh kepalanya dengan bunga cempaka putih sambil berkata, "Kalau begitu, sembuhlah dan pergilah membawa anak buahmu kembali ke lautan."
Terkena sentuhan bunga itu, seketika Ki Bajramusti sembuh dan dia segera bangkit berdiri. Akan tetapi sekarang dia telah kehilangan kegarangannya. Dia memandang kepada Bagus Seto dan Retno Wilis yang berdiri di samping kakaknya dengan sikap hormat.
"Aduh, paduka berdua telah mengalahkan aku. Sebetulnya siapakah paduka berdua dan mengapa pula menyuruh aku kelak membantu Panjalu?" tanyanya dengan suara tetap kasar akan tetapi dengan sikap menghormat. Memang seorang seperti dia mana dapat berbicara halus?
"Namaku Bagus Seto dan ini adikku Retno Wilis. Kami adalah putera Kanjeng Patih Tejolaksono di Panjalu"
"Ah, maafkan aku yang telah berani melawan paduka. Baiklah, aku akan menaati segala perintah paduka. Hayo kawan-kawan, kita kembali ke lautan!" Dia lalu memutar tubuhnya dan diiringkan semua anak buahnya meninggalkan tempat itu.
Ki Haryosakti juga membubarkan semua anak buahnya. Ketika tinggal dia sendiri bersama Saroji dan Sarmini, sambil membungkuk hormat kepada kedua orang muda itu dia berkata,
"Mari silakan, anakmas berdua, kita bicara di dalam"
Bagus Seto saling pandang dengan Retno Wilis dan mereka tanpa berkata apa-apa ikut masuk ke ruangan dalam rumah gedung itu. Setelah tiba di dalam, Ki Haryosakti lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Bagus Seto dan Retno Wilis.
"Mata saya seperti telah buta dan tidak melihat bahwa paduka berdua adalah orang-orang yang sakti mandraguna. Saya mohon ampun atas semua perbuatan saya terhadap den-ajeng"
Bagus Seto cepat membangunkan ketua Jambuko Cemeng itu dan berkata,
"Sudahlah, paman, adalah baik sekali kalau paman sudah menyadari kesalahan dan tidak akan berbuat lagi. Silakan berdiri"
Ki Haryosakti bangkit berdiri dan mempersilakan kedua orang muda itu untuk duduk. Saroji dan Sarmini juga duduk dan mereka memandang kepada kedua orang muda itu dengan takjub.
"Saya telah berbuat salah besar. Saya sungguh tidak tahu diri, akan tetapi sekarangpun saya masih mengharapkan agar paduka berdua suka menerima permohonan saya."
Bagus Seto tersenyum. "Permintaan apakah itu, paman? Kalau memang permintaan itu pantas dan kami berdua dapat melakukannya, tentu kami tidak akan keberatan untuk memenuhinya."
"Ah, sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih, denmas. Akan tetapi harap paduka berdua sudi memaafkan kalau apa yang hendak saya kemukakan itu dianggap lancang."
"Katakan sajalah, paman, jangan sungkan-sungkan. Memang sebaiknya kalau ada uneg-uneg di hati dikeluarkan dari pada disimpan menjadi dendam."
"Karena sekarang ini paduka berdua berada di sini dan saya memperoleh kesempatan yang amat baik, kapan lagi saya kemukakan niat saya ini kalau tidak sekarang karena mungkin saya tidak akan dapat bertemu dengan paduka berdua lagi."
"Paman Haryosakti, kenapa bicara berputar-putar? Katakanlah apa yang kaukehendaki!" kata Retno Wilis yang merasa tidak sabar lagi mendengar kata-kata yang melingkar lingkar itu.
Mendapat bentakan dari Retno Wilis, ketua Jambuko Cemeng yang biasanya bersikap gagah itu menjadi pucat wajahnya. Kemudian dia memberanikan diri berkata,
"Niat saya inipun untuk menebus dosa saya terhadap den-ajeng.... kalau paduka berdua sudi menerimanya, saya.... saya ingin sekali menjodohkan anak saya Saroji dengan denajeng Retno Wilis, dan saya ingin menyerahkan anak saya Sarmini menjadi jodoh denmas Bagus Seto. Nah, legalah hati saya sudah mengeluarkan isi hati saya ini dan terserah kepada paduka berdua."
Kakak beradik itu saling pandang, seperti juga Saroji dan Sarmini saling pandang. Akan tetapi kalau Sarmini memandang kakaknya lalu tersipu malu dan Saroji juga menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan, Retno Wilis memandang kepada kakaknya dengan alis berkerut dan muka berubah merah.
Melihat sinar mata adiknya yang marah itu, Bagus Seto menggelengkan kepalanya kepada adiknya sehingga Retno Wilis terpaksa menelan lagi ucapan bernada keras yang hendak dilontarkan dari mulutnya. Bagus Seto tersenyum memandang pada Ki Haryosakti lalu berkata dengan suara lembut,
"Permintaan paman untuk menjodohkan kami berdua dengan putera puteri paman adalah permintaan yang pantas. Akan tetapi terus terang saja kami tidak dapat memenuhi permintaan itu, paman. Bukan sekali-kali kami menolak karena tidak suka. Putera dan puteri paman adalah dua orang pemuda dan gadis yang elok dan juga gagah. Akan tetapi kami terpaksa menolak karena pada saat ini kami berdua sama sekali belum mempunyai pikiran untuk berjodoh. Kami masih ingin hidup sendiri dan melanjutkan perantauan kami. Karena itu harap paman maafkan dan kami percaya bahwa adimas Saroji dan diajeng Sarmini dapat mengerti alasan kami dan tidak menjadi kecil hati dan merasa ditolak"
Biarpun merupakan penolakan, namun kalau dikeluarkan dengan kata-kata halus dan sopan seperti itu, bagaimana Ki Haryosakti dan kedua anaknya dapat merasa tersinggung dan tidak senang hati? Mereka memang merasa kecewa, akan tetapi dapat memaklumi alasan kedua orang muda sakti itu. Pada hari itu juga, Bagus Seto dan Retno Wilis berpamit kepada Ki Haryosakti. Bagus Seto berkata,
"Paman Haryosakti, kami berdua mohon pamit hendak melanjutkan perantauan kami. Hanya ada satu harapan dari kami, mudah-mudahan saja paman akan dapat memenuhi harapan kami itu"
"Apakah itu, denmas? Katakan, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi harapan itu."
"Nanti kalau sudah tiba waktunya Panjalu dan Jenggala menggerakkan pasukan untuk menundukkan kembali daerah-daerah yang bergolak, maukah paman membawa anggota Jambuko Cemeng membantu Panjalu?"
"Ah, tentu saja, denmas. Harap jangan khawatir. Biarpun bagaimana juga, kami bukan pemberontak dan masih mengakui kekuasaan Jenggala dan Panjalu. Kalau kelak tiba saatnya, tentu kami akan membantu dengan senang hati..."
"Terima kasih, paman..."
Setelah berpamit kepada Saroji dan Sarmini, kedua kakak beradik itu lalu meninggalkan perkampungan Jambuko Cemeng, diantar oleh keluarga pimpinan Jambuko Cemeng itu sampai keluar perkampungan. Saroji dan Sarmini berdiri bagaikan patung memandang dua bayangan yang semakin jauh itu dan merasa seolah-olah semangat mereka ikut terbawa pergi. Diam-diam Saroji jatuh cinta kepada Retno Wilis dan Sarmini juga kagum sekali kepada Bagus Seto. Akan tetapi mereka merasa seperti pungguk merindukan bulan.
Cinta asmara memang menjadi sumber kesedihan kalau hanya bertepuk tangan sebelah. Dan perasaan itu diderita Saroji dan Sarmini. Mereka merasa betapa hidup ini menjadi sunyi dengan perginya orang yang mereka cinta, dan hati terasa perih sekali mengingat bahwa cinta mereka tidak dibalas.
Ki Haryosakti juga menyadari akan semua kesalahannya dan semenjak peristiwa itu wataknya berubah, tidak selalu hendak memaksakan kehendaknya seperti yang sudah-sudah.
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Wasi Shiwamurti ketika menerima laporan dari Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda telah bertemu dan bertanding dan dikalahkan oleh Bagus Seto dan Retno Wilis. Ketika itu, Wasi Shiwamurti berada di Blambangan karena dia dianggap sebagai tamu agung oleh Adipati Blambangan, yaitu Adipati Menak Sampar. Blambangan dijadikan pusat penyebaran agama Shiwa-Durgo-Kolo yang dipimpin oleh Wasi Shiwamurti. Dia menjadi marah sekali ketika mendengar betapa penyebaran agama itu terhalang oleh Bagus Seto dan Retno Wilis.
"Bodoh!" Dia memaki kedua orang muridnya itu. "Bodoh sekali kalian! Dapat dikalahkan oleh seorang pemuda dan seorang gadis muda! Membikin malu saja kepadaku! Kalau kalian kalah dalam hal kadigdayaan, apakah kalian tidak dapat mengalahkannya dengan ilmu sihir? Apa gunanya aku mengajarkan segala macam ilmu sihir kepada kalian kalau tidak dapat mengalahkan dua orang muda?"
'"Maafkan kami, Kanjeng Rama," kata Ki Shiwananda kepada ayah angkatnya yang marah itu. "Kami sudah mempergunakan sihir, akan tetapi semua ilmu sihir kami dipunahkan oleh pemuda yang bernama Bagus Seto itu. Ilmu kedua orang kakak beradik itu memang luar biasa hebatnya"
"Hal itu tidaklah aneh sekali, karena mereka adalah anak-anak dari Endang Patibroto," kata pula Ni Dewi Durgomala kepada Wasi Shiwamurti yang selain menjadi gurunya juga menjadi kekasihnya.
"Apa? Anak-anak Endang Patibroto?" bentak Wasi Shiwamurti. "Kalau begitu mereka adalah musuh-musuh kita yang harus dibasmi!"
Selagi Wasi Shiwamurti marah-marah, datanglah Wasi Karangwolo yang menjadi penasihat Blambangan dan bersama dia datang pula Wasi Surengpati penasihat dari kadipaten Nusabarung. Sang Wasi Shiwamurti menerima kedatangan dua orang rekannya ini dan alangkah marahnya ketika dia mendengar pula dari mereka bahwa dua orang rekannya itu telah bertemu dengan Endang Patibroto, bertanding dan mereka kalah!
"Babo-babo, Endang Patibroto keparat! Kembali engkau yang menghalangi pekerjaan kami, bersama kedua orang anakmu. Aku tidak akan kembali ke Cola sebelum dapat membunuh engkau dan anak-anakmu!" Wasi Shiwamurti memukulkan tongkat naganya ke atas lantai dan pecahlah lantai itu.
"Di mana mereka sekarang? Di mana wanita jahanam itu dan anak-anaknya?" tanya Wasi Shiwamurti.
"Endang Patibroto datang ke Nusabarung untuk mencari kedua orang anaknya," kata Wasi Surengpati.
"Dan kedua orang muda itu agaknya pergi ke timur dan kalau tidak salah perhitungan kami, sekarang mereka tentu sudah berada di daerah Blambangan," kata Ni Dewi Durgomala.
"Bagus! Biarkan mereka semua masuk ke Blambangan sehingga mudah kita mencarinya. Aku sendiri yang akan turun tangan membasmi mereka!" kata Wasi Shiwamurti yang marah bukan main.
"Sebaiknya kalau kita melapor kepada Kanjeng Adipati agar diadakan persiapan untuk mencari mereka di daerah Blambangan. Siapa yang melihat mereka diwajibkan memberi laporan secepatnya, dengan cara demikian kita akan mudah menemukan mereka," kata Wasi Karangwolo.
Semua rekannya setuju dan mereka berlima lalu pergi menghadap Adipati Menak Sampar. Adipati Menak Sampar menerima kedatangan lima orang tokoh yang dihormatinya itu.
"Paman Wasi Karangwolo sudah pulang?" tanyanya kepada penasihatnya itu. "Bagaimana kabarnya dengan usaha andika menyebar agama, dan agaknya ada keperluan penting sekali maka andika menghadap, didampingi oleh Wasi Surengpati, Wasi Shiwamurti, Ki Shiwananda dan Ni Dewi Durgomala"
"Sesungguhnya ada peristiwa penting yang telah terjadi, Kanjeng Adipati. Agaknya daerah Blambangan telah kemasukan telik-sandi (mata-mata) yang amat berbahaya, yaitu Endang Patibroto dan kedua orang anaknya yang bernama Bagus Seto dan Retno Wilis..."
"Ahhhh.....!" Wajah sang adipati berubah pucat mendengar nama itu. Endang Patibroto dan Retno Wilis adalah nama-nama yang amat terkenal di Blambangan sebagai nama dua orang wanita yang memiliki kesaktian hebat dan amat berbahaya.
"Benarkah? Bagaimana andika dapat mengetahuinya?" tanyanya.
"Saya sendiri dan adi Wasi Surengpati sudah bertemu dan bertanding dengan Endang Patibroto, sedangkan anakmas Shiwananda dan Ni Dewi Durgomala sudah bertemu dengan Bagus Seto dan Retno Wilis dan juga sudah bertanding dengan mereka"
Orang-orang yang bersangkutan itu lalu menceritakan pengalaman mereka secara terperinci, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Adipati Menak Sampar.
"Karena itulah maka kami datang melapor kepada paduka, Kanjeng Adipati, agar dapat diambil langkah-langkah yang perlu untuk dapat menemukan tiga orang itu," kata Wasi Karangwolo.
Adipati Menak Sampar mengangguk-angguk lalu memberi tanda memanggil seorang pengawal. Setelah pengawal menghadap, dia lalu memerintahkan,
"Kamu pergilah dan panggil Senopati Rajahbeling dan Senopati Kurdolangit untuk sekarang juga datang menghadap ke sini!"
Tak lama kemudian dua orang senopati Blambangan itu muncul dan menghadap Sang Adipati sambil menyembah. Senopati Rajahbeling adalah seorang senopati yang berusia limapuluhan tahun yang bertubuh tinggi besar dan tampak gagah sekali. Dia adalah ayah dari Kalinggo, pemuda Blambangan yang pernah mengikuti sayembara tanding di Nusabarung. Adapun yang kedua bernama Senopati Kurdolangit, orangnya tinggi kurus akan tetapi dia seorang yang digdaya dan amat terkenal di Blambangan.
"Kedua kakang senopati! Andika berdua terkejut kami panggil?"
"Benar, Kanjeng Adipati. Ini bukan waktunya bersidang, maka kami tentu saja heran mendapat panggilan ini," jawab Senopati Rajahbeling.
"Ketahuilah, kakang senopati. Ternyata di daerah kita Blambangan ini telah kemasukan tiga orang telik sandi yang berbahaya. Bahkan mereka pernah mengacau di Nusabarung dan kini mereka menuju ke Blambangan. Tahukah kalian siapa mereka?"
Dua orang senopati itu saling pandang dan menggelengkan kepala. "Kami tidak dapat menduganya, gusti"
"Ketahuilah bahwa telik sandi itu adalah Endang Patibroto, Retno Wilis dan Bagus Seto..."
Dua orang senopati itu sudah mendengar nama Endang Patibroto dan Retno Wilis, bahkan sudah tahu bahwa mereka itu adalah dua orang wanita yang sakti dari Panjalu.
"Di mana mereka, Kanjeng Adipati? Kami akan mengerahkan perajurit untuk menangkap mereka."
"Inilah persoalannya. Kami belum tahu mereka kini berada di mana. Karena itu kutugaskan kalian untuk menyebar perajurit dan mata-mata. Kalau ada yang melihatnya agar cepat memberi kabar kepada Paman Wasi Karangwolo sekalian para Paman Wasi yang berada di sini agar mereka dapat ditangkap. Mereka itu sakti dan pandai menyamar, maka setiap ada orang asing memasuki wilayah Blambangan, harus diperiksa dengan cermat."
Dua orang senopati itu menyatakan kesanggupannya, kemudian memberi hormat kemudian mengundurkan diri. Adipati Menak Sampar masih bercakap-cakap dengan para pimpinan agama Shiwa-Durgo-Kala itu, membicarakan persiapan dan rencana mereka untuk penyebaran agama dan kemudian untuk memberontak terhadap Panjalu dan Jenggala. Masuknya Endang Patibroto dan Retno Wilis merupakan bahan pembicaraan mereka yang penting dan Wasi Shiwamurti sendiri mengatakan bahwa dia akan turun tangan sendiri terhadap kedua orang wanita sakti itu.
"Mereka adalah orang-orang yang memiliki kesaktian tinggi, dan kiranya hanya saya yang akan dapat mengatasi mereka," kata Wasi Shiwamurti dan hal ini dibenarkan oleh yang lain, yang telah merasakan kehebatan ilmu kepandaian dua orang wanita itu.
"Jangan dilupakan pemuda yang bernama Bagus Seto itu, kakang Wasi," kata Wasi Karangwolo. "Biarpun kami belum mengetahui benar tingkat kadigdayaannya, namun dalam hal menghadapi ilmu sihir dia tangguh bukan main." Wasi Surengpati membenarkan pendapat Wasi Karangwolo ini dengan mengangguk-angguk.
"Heh-heh-heh, jangan khawatir. Selama ini ilmu sihirku tidak pernah gagal terhadap siapapun juga. Pendeknya, kalau sudah diketahui dimana adanya Endang Patibroto, Retno Wilis, dan Bagus Seto, beritahulah kepadaku dan aku akan menangkap mereka bertiga..."
Ucapan Wasi Shiwamurti ini bukan sekedar bualan belaka. Wasi yang satu ini adalah saudara seperguruan dari mendiang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo yang memiliki kesaktian tinggi. Bahkan setelah mendengar betapa dua orang kakak seperguruannya ini tewas, dia memperdalam ilmunya sehingga kini ilmu kesaktiannya sudah melebihi kesaktian kedua orang kakak seperguruannya itu. Terutama sekali dalam hal ilmu sihir, dia jauh melebihi kedua orang wasi yang telah tewas itu.
Mulai hari itu, ratusan orang perajurit disebar dan di mana-mana diadakan penjagaan. Bahkan sampai jauh ke luar kota kadipaten Blambangan para perajurit itu mencari Endang Patibroto, Retno Wilis dan Bagus Seto, memeriksa semua orang asing yang kebetulan lewat di situ.
Bagus Seto dan Retno Wilis yang sedang mengadakan perjalanan dan tiba di perbatasan daerah Blambangan segera mendengar cerita para penduduk dusun bahwa pasukan Blambangan sedang mengadakan pencarian terhadap telik sandi dari Panjalu dan banyak orang yang dicurigai sebagai pendatang baru dari luar daerah Blambangan ditangkapi.
"Ah, mereka tentu sedang mencari kita, kakangmas Bagus Seto. Tentu Adipati Blambangan telah mendengar tentang diri kita dari Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati ketika kita berada di kadipaten Nusabarung."
"Kukira bukan hanya kedua orang wasi itu saja, diajeng. Akan tetapi Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda telah melapor pula ke sana. Agaknya, pusat penyebaran agama baru itu berasal dari Blambangan."
"Kalau begitu bagaimana baiknya, kakang. Agaknya akan sukar untuk melakukan perjalanan ke dalam daerah Blambangan dan menyelidiki keadaan di sana."
"Akan lebih mudah mereka ketahui kalau kita mengadakan perjalanan berdua. Sebaiknya kita berpencar saja dan masuk ke Blambangan. Kita saling bertemu di Blambangan. Bagaimana pendapatmu?"
"Begitu juga baik dan aku akan menyamar sebagai seorang pemuda."
"Akan tetapi engkau harus dapat menahan diri, jangan menimbulkan keributan, Retno. Pertahankan perasaanmu agar tidak mudah terpancing untuk berkelahi karena hal itu akan mudah mengenal kita."
"Sebaiknya kalau di luar pakaian kita yang putih, kita memakai pakaian lain yang berwarna sehingga tidak menarik perhatian. Dan jangan memakai nama Joko Wilis karena nama itu sudah dikenal baik oleh mereka."
"Lalu aku harus memakai nama apa, kakang?"
"Kita menggunakan nama sederhana saja dan menyamar sebagai pemuda dusun. Aku akan memakai nama Joko Slamet dan engkau memakai nama Joko Waras."
Retno Wilis tersenyum. "Wah, nama yang mudah sekali diingat. Baiklah, kakang Slamet, mulai sekarang aku memakai nama Joko Waras."
Setelah membeli beberapa potong pakaian dari penduduk dusun, Retno Wilis berdandan sebagai seorang pemuda dusun. Juga Bagus Seto mengenakan pakaian biasa berwarna biru untuk menutupi pakaiannya yang serba putih. Setelah selesai berdandan, Retno Wilis berdiri di depan kakaknya dan bertanya,
"Bagaimana pendapatmu, kakang? sudah pantaskah aku menjadi Joko Waras"
Bagus Seto memandang wajah adiknya dan tersenyum. "Engkau pandai sekali menyamar. Aku sendiri tentu akan pangling kalau tidak kauberitahu lebih dulu. Ingat, jangan mencari keributan, adikku, dan kita saling bertemu di Blambangan."
"Akan tetapi, Blambangan itu besar. Di mana kita akan bertemu, kakang?"
"Pada hari Respati sore, datang saja ke alun-alun kadipaten dan aku akan berada di bawah pohon waringin yang berada di sana."
Setelah mengingatkan kepada adiknya agar waspada dan sabar, tidak membiarkan diri terpancing ke dalam perkelahian, Bagus Seto lalu berpisah dari Retno Wilis, mengambil jalan masing-masing memasuki daerah Blambangan. Sebagai seorang pemuda remaja dusun yang lincah, tidak ada orang yang mencurigai Joko Waras. Di mana-mana dia diterima dengan baik sebagai seorang perjaka yang ramah dan juga pandai membawa diri. Jika malam tiba dia bermalam di rumah penduduk yang hanya hidup berdua dengan isterinya sehingga dia mendapat tempat tidur tersendiri. Kalau siang Joko Waras melakukan perjalanan menuju ke kadipaten Blambangan dan di sepanjang perjalanan dia mencari keterangan tentang keadaan kadipaten Blambangan.
Dalam perjalanannya ini, Joko Waras melihat bahwa di dusun-dusun yang dilewatinya, banyak dibangun candi-candi kecil yang baru, di mana hanya terdapat arca Shiwa-Durgo-Kala. Kalau teringat akan perbuatan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda, rasanya ingin ia menghancurkan candi-candi itu. Akan tetapi ia teringat akan pesan kakaknya bahwa ia tidak boleh mencari keributan. Pula, apa salahnya candi-candi itu? Itu hanya tempat pemujaan, dan orang boleh memuja dewa mana saja asalkan dalam pemujaan itu tidak mengganggu orang lain.
Iapun beberapa kali melihat serombongan perajurit Blambangan menghadang dan memeriksa orang-orang yang berlalu lalang, menanyai mereka, ada pula yang menggeledah kalau-kalau mereka menyimpan senjata. Ia sendiri yang bersikap wajar seperti seorang pemuda dusun yang masih muda, lolos dari kecurigaan. Pernah pula dia ditanyai mereka seperti seorang pesakitan,
"Siapa namamu?"
"Namaku Joko Waras. Ketika masih bayi sakit-sakitan maka lalu namaku diubah menjadi Joko Waras dan sejak itu aku waras terus, tidak pernah sakit," katanya dengan suara lemah akan tetapi nadanya kasar seperti biasa sikap dan kata-kata seorang dusun yang tidak terpelajar.
"Apa pekerjaanmu?"
"Penggembala kerbau atau sapi. Aku sudah berpengalaman sejak kecil menggembala kerbau atau sapi. Kalau andika membutuhkan penggembala yang baik, aku bersedia..."
"Sudah, sana! Jangan banyak cerewet!" hardik seorang penanya dan Joko Waras bergegas pergi sambil menyeringai.
Akan tetapi pada suatu pagi ketika dia tiba di suatu dusun yang sudah masuk perbatasan Blambangan, dusun yang cukup ramai, dia melihat banyak sekali orang berkumpul dan mereka itu sedang diperiksa oleh serombongan perajurit Blambangan yang dipimpin seorang senopati yang bertubuh tinggi kurus dengan pandang mata yang tajam bersinar-sinar.
Di antara banyak orang yang dihentikan perjalanan mereka itu terdapat tiga orang wanita muda yang cantik manis. Melihat tiga orang wanita itu, senopati yang tinggi kurus segera berkata, "Biarkan aku yang memeriksa mereka. Siapa tahu di antara mereka terdapat orang yang kita cari."
Senopati itu adalah Kurdolangit, senopati Blambangan berusia limapuluh tahun yang terkenal sakti, akan tetapi juga terkenal mata keranjang. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya seperti tengkorak, akan tetapi sepasang matanya menunjukkan kecerdikan dan kepandaiannya. Senopati Kurdolangit lalu duduk di atas bangku dan menggapai tiga orang gadis itu. Setelah menanyakan nama mereka, tempat tinggal mereka, dia lalu menggeledah tubuh tiga orang gadis itu, menggerayangi dengan jari-jari tangannya secara kasar dan kurang ajar sekali. Tentu saja tiga orang gadis dusun itu merintih dan menjerit kecil ketika diperlakukan seperti itu.
Tiga orang laki-laki setengah tua, ayah dari para gadis itu, melangkah maju mendekat dan mohon kepada Senopati Kurdolangit untuk melepaskan tiga orang puteri mereka. Mendengar permohonan ini, Kurdolangit menjadi marah. Dia bangkit berdiri dan tiga kali tubuhnya bergerak, tiga orang laki-laki itu telah ditamparnya dan mereka terpelanting dan terbanting keras. Pipi mereka menjadi bengkak oleh tamparan tadi.
"Jangan mencampuri urusanku, atau kalian akan kuhukum mati! Aku sedang menjalankan tugas dan siapapun yang kucurigai akan kugeledah. Tak seorangpun boleh mencegahnya!" Dan kembali tangannya dengan nakal menggerayangi tubuh tiga orang gadis itu yang menggeliat-geliat sambil merintih.
Tiba-tiba seorang laki-laki keluar dari rombongan orang dusun itu. Joko Waras melihat laki-laki itu masih muda, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, pakaiannya sederhana akan tetapi wajahnya tampan dan terutama sekali matanya demikian terang dan mengandung wibawa. Pemuda tampan itu bukan lain adalah Jayawijaya, pemuda dari pegunungan Tengger itu. Seperti kita ketahui, pemuda ini telah berpisah dari Endang Patibroto setelah dia ditolong oleh wanita sakti itu.
Pada pagi hari itu, perjalanannya sampai di tempat itu. Diapun mendengar bahwa di banyak tempat diadakan pencegatan dan pemeriksaan oleh pasukan Blambangan dan kadang pemeriksaan itu dilakukan dengan sewenang-wenang. Kini Jayawijaya melihat dengan mata kepala sendiri perlakuan yang kurang ajar dari Kurdolangit terhadap tiga orang gadis itu. Tentu saja dia menjadi marah sekali dan segera menghampiri senopati Kurdolangit yang tinggi kurus bermuka seperti tengkorak itu.
"Begitukah cara memeriksa wanita? Sungguh tidak sopan dan kurang ajar sekali, tidak patut dilakukan seorang senopati, pantasnya dilakukan seorang anggauta perampok jahat!" Jayawijaya berkata demikian sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka senopati itu.
Kurdolangit terbelalak dan mukanya berubah merah. Dia dimaki seorang pemuda di depan umum! Dia menghentikan pemeriksaannya, mendorong tiga orang gadis itu ke luar dari tempat pemeriksaan, lalu bangkit berdiri dan bertolak pinggang, memandang kepada Jayawijaya dengan mata melotot. "Kau bilang apa?"
Agaknya Jayawijaya tidak tahu bahwa senopati itu marah sekali. Dia berkata dengan tegas. "Aku bilang bahwa engkau melakukan pemeriksaan terhadap wanita secara kurang ajar dan tidak sopan sama sekali. Tidak tahu malu!"
"Jahanam, apakah engkau bosan hidup?" bentak Kurdolangit dengan muka berubah kemerahan seperti udang direbus.
Joko Waras melihat betapa senopati itu marah sekali dan dia ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pemuda tampan itu kelihatan pemberani bukan main dan tentu pemuda itu mempunyai kepandaian yang dapat diandalkan maka dia berani menegur seorang senopati seperti itu. Kurdolangit yang sudah tidak dapat menahan rasa malunya dimaki orang di depan umum, sudah menerjang maju dan kedua tangannya yang kurus panjang itu menyambar ke arah kepala Jayawijaya. Pemuda ini agaknya tidak tahu bahwa dia diserang, dia berdiri tenang-tenang saja dan memandang senopati itu dengan matanya yang mencorong penuh wibawa dan kelembutan.
Kedua tangan itu menyambar ke arah kepala dengan tenaga yang dahsyat. Akan tetapi, tiba-tiba kedua tangan itu seperti bertemu dengan tenaga yang tidak tampak dan tubuh Kurdolangit terpelanting roboh!
Joko Waras terbelalak! Pemuda itu ternyata seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Kalau tadinya dia sudah bersiap untuk membantu agar pemuda yang pemberani itu tidak sampai celaka, kini diapun hanya menonton saja dengan terheran-heran. Pemuda itu seolah tidak pernah merobohkan orang dan berdiri dengan sikap masih tenang saja.
Kurdolangit yang merasa betapa pukulan kedua tangannya tadi seperti bertemu dengan tenaga dahsyat yang membuatnya terpelanting, menjadi semakin malu dan marah. Dia melompat bangkit kembali dan sudah mencabut sebatang kerisnya yang panjang dan dahsyat.
"Bocah kurang ajar! Engkau minta mati!" bentak Kurdolangit dan kini dia menggerakkan kerisnya dengan tangan kanan, menusuk ke arah dada Jayawijaya dengan keris yang besar panjang itu.
Joko Waras kini memandang penuh perhatian kepada pemuda yang diserang itu. Dia melihat betapa pemuda itu tidak membuat gerakan menangkis atau menghindar, melainkan mengangkat kedua tangannya ke atas seperti orang hendak menyembah dan terjadilah keanehan yang kedua kalinya. Keris seperti bertemu dengan tangkisan kuat sekali dan membalik, melukai lengan kanan Kurdolangit sendiri, Senopati ini terhuyung mundur dan memegangi lengannya yang berdarah. Kurdolangit masih penasaran walaupun lengan kanannya sudah mengucurkan darah terkena kerisnya sendiri. Dia bangkit lagi dan menubruk dengan kerisnya, kini serangannya dilakukan dengan tenaga sepenuhnya sambil menggereng seperti seekor harimau terluka!
Joko Waras mengamati lagi dengan penuh kewaspadaan. ia melihat pemuda itu hanya membuat gerakan seperti mendorong ke depan dan tubuh senopati itu terpelanting seperti layang-layang putus talinya, terbanting jatuh dan bergulingan sampai jauh !
Kini tanpa malu-malu Ki Kurdolangit lalu memberi aba-aba kepada anak-buahnya yang belasan orang banyaknya untuk melakukan pengeroyokan kepada Jayawijaya. Melihat ini, Joko Waras menjadi marah dan dia-pun melompat dan tubuhnya berkelebatan ke sana ke mari, membagi-bagi tamparan dan tendangan sehingga belasan orang anak buah Ki Kurdolangit itu jatuh bangun dan akhirnya tidak ada yang berani melawan lagi. Joko Waras yang merasa kagum dan heran kepada Jayawijaya segera memegang tangan pemuda itu dan menariknya, berkata,
"hayo kita cepat lari dari sini!"
Jayawijaya tadi melihat betapa pemuda dusun berpakaian sederhana, bertubuh ramping kecil namun tampan sekali itu mengamuk dan merobohkan para perajurit. Dia membiarkan dirinya ditarik dan ikut lari bersama Joko Waras. Joko Waras ingin menguji ilmu kepandaian Jayawijaya dan berlari mempergunakan aji kesaktiannya sehingga kedua telapak kakinya seolah tidak menyentuh bumi. Akan tetapi, Jayawijaya tertinggal jauh dan ketika tangannya digandeng pemuda itu terseret-seret! Joko Waras menjadi semakin heran. Pemuda ini tidak mahir ilmu meringankan tubuh dan tidak memiliki aji berlari kencang. Dia lalu berlari biasa lagi sehingga Jayawijaya dapat mengimbanginya. Setelah melalui beberapa dusun, dengan terengah-engah Jayawijaya bertanya,
"Ki sanak, kenapa kita berlari terus? Sampai kapankah kita harus berlari seperti ini?”
Joko Waras tersenyum dan berhenti berlari. Mereka, tiba di luar sebuah dusun dan saat itu sudah menjelang senja,
"Kita harus melarikan diri dari pasukan tadi, ki sanak," katanya.
"Kenapa harus lari? Kita tidak bersalah," bantah Jayawijaya.
"Hemm, mungkin kita menganggap diri kita tidak bersalah. akan tetapi senopati itu dan anak buahnya tidak akan menganggap demikian. Kita tentu dianggap melawan dan memberontak.”
Mereka berjalan memasuki dusun itu. Di tepi dusun itu terdapat sebuah warung nasi yang ramai dikunjungi orang. Belasan orang pengunjung itu semua laki-laki dan kebanyakan masih muda. Dari cara mereka bercakap-cakap sambil tertawa menunjukkan bahwa mereka sedang bergembira. Joko Waras mengajak temannya untuk duduk di bangku paling ujung. Sekarang mengertilah Joko Waras mengapa para pengunjung itu semua laki-laki muda dan suasananya Nampak gembira. Kiranya penjaga warung nasi yang melayani mereka itu adalah seorang perawan dusun yang cantik manis. Biarpun dandanannya sederhana sekali namun gadis itu memang manis sekali dan memiliki daya tarik yang amat kuat.
"Ki sanak, siapakah nama andika?" tanya Joko Waras berbisik.
Jayawijaya menengok dan memandang Joko Waras sambil tersenyum. Mereka telah lari bersama dan tiba di tempat itu, memasuki warung itu bersama namun belum saling mengenal nama!
"Namaku Jayawijaya, dan siapa nama andika?"
"Aku Joko Waras dari dusun Selogiri di Gunung Kidul. Dan andika?"
"Aku dari Gunung Tengger."
Pada saat kedua orang muda itu saling bercakap dengan berbisik, kini pelayan warung yang manis itu menunjukkan perhatiannya kepada mereka. Melihat dua orang muda yang demikian tampan, Saritem, demikian nama pemilik atau pelayan warung nasi itu, merasa kagum dan senang. Sikap kedua orang muda yang bicara dengan bisik-bisik dan sopan itu saja menunjukkan bahwa mereka bukanlah dua orang muda dusun sembarangan.
"Ki sanak, andika berdua ingin makan dan minum apakah?" tanya Saritem kepada mereka sambil memandang wajah Joko Waras dengan penuh perhatian. Ketampanan pemuda ini sungguh menggerakkan hatinya.
"Oh, aku minta sepiring nasi sayur lodeh dan minum teh manis," kata Jayawijaya.
"Aku juga sama dengan permintaan kakang Jaya," kata Joko Waras sambil memandang kepada pelayan itu yang tersenyum manis memperlihatkan deretan gigi putih bersih dan indah.
"Kakang, yang jualan nasi ayu, ya?" kata Joko Waras.
Saritem tersipu dan kedua pipinya berubah kemerahan, lalu ia menyibukkan diri melayani mereka seolah tidak mendengar pujian itu. Padahal, jantungnya berdebar keras dan ia sendiri merasa heran. Sudah setiap hari ia mendengar pujian yang keluar dari mulut pria, akan tetapi mengapa pujian perjaka tampan ganteng ini membuatnya tersipu malu ?
"Hushh, adi Waras, jangan keras-keras memuji orang. Lihat, ia tersipu malu," tegur Jayawijaya lirih.
Retno Wilis memang seorang gadis yang lincah dan nakal. Sebagai Joko Waras, dia sengaja mengerlingkan matanya dan melirik tajam kepada Saritem, disertai senyum manis menawan dan ketika Saritem menjulurkan tangan menyerahkan piring nasi lodeh, dengan sengaja Joko Waras menerima piring itu dan menyentuhkan tangannya kepada tangan yang lunak lembut dan hangat itu. Saritem tidak marah, malah tersenyum dan tersipu menarik tangannya dengan lembut.
Joko Waras tersenyum lebar dan ia melihat betapa Jayawijaya yang melihat perbuatannya itu mengerutkan alisnya. Seorang pemuda yang alim, pikirnya. Akan tetapi ia merasa seperti menghadapi teka-teki besar terhadap Jayawijaya. Sudah terbukti betapa pemuda itu dapat menghindarkan semua serangan yang berbahaya dari senopati yang mata keranjang itu. Akan tetapi ketika diajaknya berlari, pemuda itu sama sekali tidak mampu berlari kencang.
Dan juga ketika menarik tangan pemuda itu, tenaganya biasa-biasa saja seperti tenaga orang yang tidak memiliki kepandaian tinggi. Pemuda macam apakah ini, yang tampaknya tidak memiliki ilmu kepandaian akan tetapi yang berani menentang kejahatan yang dilalakukan belasan orang pasukan pemerintah yang dipimpin oleh seorang senopati yang digdaya? Dan sekarang, dalam menghadapi Saritem, Jayawijaya memperlihatkan sikap seorang pemuda yang alim dan tidak suka menggoda wanita cantik!
Selagi mereka berdua makan nasi sayur lodeh yang hangat dan gurih itu, perhatian Joko Waras tidak pernah terlepas dari keadaan sekelilingnya. Belasan orang laki-laki muda berada di warung itu, duduk berserakan di bangku-bangku di dalam dan luar warung. Sebagian besar telah selesai makan dan kini bercakap-cakap gembira sambil kadang mengerling ke arah Saritem. Tapi ada seorang pemuda yang tidak sedang makan dan yang duduk di sebelah dalam warung itu amat memperhatikan mereka berdua. Joko Waras, memperhatikan pemuda ini.
Dia seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun. Tampangnya ganteng dan tubuhnya juga tegap kokoh seperti Raden Gatutkaca. Kumis tipisnya menambah kejantanannya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam dan berwibawa. Sejak Saritem melayani Joko Waras dan Jayawijaya, pemuda itu terus mengamati mereka berdua, terutama sekali Joko Waras. Hal yang membuat Joko Waras diam-diam merasa jengkel karena tidak enak sekali selagi makan ditonton orang seperti itu. Seolah-olah setiap dia mengunyah makanan, laki-laki itu mengikuti setiap gerak mulutnya. Tidak enak sekali!
Karena hatinya mendongkol, setelah nasi itu dimakan habis dan melihat pemuda itu masih saja memperhatikan dia dan Jayawijaya, Joko Waras memandang kepadanya kemudian mengedipkan sebelah matanya seperti memberi isarat dengan kedip-kedipan. Melihat mata Joko Waras berkedip-kedip kepadanya, pemuda gagah itu terbelalak lalu alisnya berkerut dan matanya menyinarkan kemarahan. Akan tetapi Joko Waras hanya tersenyum kepadanya.
"Semua berapa, nimas ayu ?" tanya Joko Waras dan sengaja meninggikan suaranya sehingga terdengar semua orang.
Saritem yang disebut nimas ayu itu tersenyum semringah. "Tidak ditambah tehnya, kakangmas?" tanya Saritem dengan suaranya yang merdu ditambah kerling tajam dan senyum memikat.
"Bagiku sudah cukup, nimas. Ah tehmu manis sekali, semanis penjualnya. Akan tetapi entah kalau kakang Jaya ingin minta tambah air tehnya."
"Aku juga sudah cukup," kata Jayawijaya yang segera bangkit dan mengambil uang receh dari saku bajunya dan membayar harga makanan dan minuman.
"Aih, kakangmas bisa saja memuji orang. Air teh buatan dusun begini mana bisa lezat dan manis," kata Saritem agak genit sambil tersenyum.
"Sungguh mati, nasi lodehnya hangat pulen dan gurih, air tehnya hangat sedap dan manis. Andika bukan saja cantik jelita dan manis, akan tetapi juga amat pandai memasak. Beruntunglah kelak orang yang menjadi suamimu, nimas ayu!" Joko Waras kembali memuji, kini agak berlebihan karena dia melihat betapa pemuda tadi memandangnya dengan mata mengandung kemarahan dan bahkan kini telah bangkit berdiri dari tempat duduknya.
Ucapan Joko Waras itupun terdengar oleh para pemuda lainnya dan empat orang pemuda yang duduk di luar warung tertawa-tawa mendengar ini. "Wah, Saritem tentu berkembang cuping hidungnya mendengar pujian setinggi langit itu!"
"Ha-ha, ia memang pantas mendapat pujian!"
"Siapa yang tidak akan memujinya? Ia cantik, manis dan dagangannya juga serba enak dan murah!"
"Aku sendiri kalau sehari saja tidak jajan di sini rasanya kangen sekali!"
Pemuda yang seperti Raden Gatutkaca itu melompat dari tempat duduknya dan sudah tiba di luar warung. Sekali dia menggerakkan kakinya, meja yang dihadapi empat orang itu terbang terlempar jauh.
"Babo-babo! Siapa berani main-main dengan Saritem? Apakah kalian berempat hendak menantangku? Majulah kalian berempat, keroyoklah aku, aku tidak takut menghadapi kalian untuk mempertahankan kehormatan Saritem kekasihku!"
Empat orang pemuda itu tampak ketakutan dan seorang diantara mereka berkata, "Saptoko, kenapa engkau marah-marah? Bukankah kita semua adalah kawan-kawan sedusun? Kalau kami memuji-muji Saritem, hal itu bukan karena kami ingin kurang ajar, melainkan memuji dengan wajar. Siapa orangnya tidak memuji kecantikan Saritem?"
"Aku melarang kalian sembarangan memuji Saritem seperti hendak mempermainkannya. Kalian semua harus menghormatinya atau kalian boleh berantem melawan aku!" kata pemuda yang bernama Saptoko itu dengan bertolak pinggang, akan tetapi matanya kini menatap ke arah Joko Waras.
Seorang pemuda tinggi besar, seorang di antara empat orang pemuda tadi melangkah maju menghampiri Saptoko, "Saptoko, jangan bersikap seperti itu. Saritem membuka warung nasi dan kami semua adalah langganannya yang baik, suka memuji-mujinya akan tetapi tidak ada yang pernah berkurang ajar kepadanya. Kenapa engkau marah-marah? Kalau tidak ingin Saritem dipuji orang, jangan perbolehkan ia membuka warung dan biarkan ia bersembunyi terus di dalam rumahnya."
Saptoko maju dan sekali mendorong dengan tangan kanannya, pemuda yang bertubuh tinggi besar dan tampak kuat itu terdorong mundur sampai terjengkang. "Pendeknya, aku melarang siapa saja yang berani main-main dengan Saritem, termasuk pemuda yang asing dan berdiri di sana itu!" katanya sambil menudingkan telunjuknya kepada Joko Waras.
Joko Waras terbelalak dan mengerutkan alisnya. Dengan lincahnya dia melompat dan menghampiri Saptoko. "Eh, ki sanak. Kenapa engkau menuding-nuding aku? Apa salahku kepadamu, heh?"
Saptoko marah sekali dan menudingkan telunjuknya ke arah Joko Waras. "Andika tadi berani memuji-muji dan menyebut Saritem nimas ayu, berarti engkau menantangku!" Saptoko membuka kancing bajunya dan memperlihatkan dadanya yang kokoh dan bidang.
"Eh-eh, apa-apaan ini? Aku menyebut nimas ayu Saritem, sedangkan orangnya merasa senang dan tidak marah, kenapa engkau mencak-mencak seperti orang kebakaran kumis? Aku datang dan membeli makanan minuman, beramah-tamah dengan penjualnya, dengan sopan dan tidak melanggar kesusilaan, apa perdulimu?"
"Apa perduliku? Saritem adalah kekasihku, calon isteriku!" bentak Saptoko.
"Kalau engkau tidak ingin ia bicara dengan orang lain, kenapa memperbolehkan berjualan nasi? Suruh ia bersembunyi dikamarnya seperti kata saudara tadi."
"Kakang Saptoko, jangan begitu, kakang!" Saritem kini keluar dari warungnya dan berdiri di depan Saptoko dengan alis berkerut dan mulut cemberut. "Engkau ini ada apakah, tiada hujan tiada angin mengamuk seperti orang tidak waras?"
Orang tinggi besar yang tadi didorong jatuh, karena merasa tidak senang lalu berkata,
"Kalau saja Ki Blekok yang datang mengganggu, tentu dia tidak berani apa-apa."
Saptoko menjadi semakin marah mendengar ini.
"Aku memang kalah oleh Ki Blekok, akan tetapi terhadap pemuda cilik ini, siapa takut? Kalau dia berani banyak cakap, akan kurobek mulutnya!" Marah benar Saptoko ini sehingga mengeluarkan ancaman yang demikian mengerikan.
Joko Waras juga menjadi marah. Siapa tidak akan marah mendengar mulutnya akan dirobek orang? Dia melompat lagi dan tiba di hadapan Saptoko.
"Apa kau bilang? Engkau mau merobek mulutku? Aku berani bertaruh bahwa sebelum engkau mampu menyentuh mulutmu yang akan lebih dulu robek!"
Saptoko menjadi semakin marah. Dia mengepal kedua tangannya dan bersikap hendak menyerang. Akan tetapi Saritem menghalanginya dan memegangi tangannya.
"Kakang Saptoko, jangan berkelahi. Aku akan bersedih kalau engkau seperti ini dan berkelahi dengan orang lain. Kakangmas ini sama sekali tidak bersalah, jangan pukul dia!"
Jayawijaya yang melihat Saptoko hendak menyerang Joko Waras, juga maju menghalangi. "Ki sanak, bersabarlah. Adi Joko Waras ini tidak mempunyai niat buruk. Tenangkanlah hatimu."
Akan tetapi Saptoko mengira bahwa Jayawijaya hendak mengeroyok, maka dia memegang tangan Jayawijaya dan menariknya dengan sentakan. Tubuh Jayawijaya terhuyung dan dia tentu akan tersungkur jatuh kalau Joko Waras tidak cepat memegang tangannya dan menahannya.
"Kakang Saptoko, aku akan marah kepadamu!" teriak Saritem.
"Aih, Saritem, setidaknya berilah kesempatan kepadaku untuk melindungimu dari godaan pria lain!"
Joko Waras sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Boleh jadi Saptoko bukan orang jahat, melainkan hanya seorang kekasih yang pencemburu, akan tetapi laki-laki kasar seperti itu pantas dihajar.
"Saptoko, masihkah engkau ada keberanian untuk bertanding dengan aku? Tanpa keroyokan?"
"Aku seorang laki-laki! Tidak sudi aku melakukan pengeroyokan."
"Kakang Saptoko...!"
"Saritem, berilah aku kesempatan untuk menandingi pemuda ini," pinta Saptoko kepada Saritem dengan suara minta dikasihani. Terhadap gadis itu suara pemuda gagah ini begitu lembut dan merayu.
Saritem kini menghadapi Joko Waras. "Kakangmas, harap jangan layani Kakang Saptoko. Dia memang keras hati, akan tetapi hatinya baik sekali. Engkau akan kalah kalau melawan dia. Dia seorang kuat dan digdaya, kakangmas."
Joko Waras tersenyum. "Saritem, jangan khawatir. Aku tidak akan merobek mulut pemuda kasar ini, hanya akan membuktikan kepadanya bahwa di dunia ini masih terdapat banyak orang yang lebih pandai dari pada dia. Hayolah, Saptoko. Majulah dan lawanlah aku!" Joko Waras menantang.
"Baik, sambut seranganku ini!"
Saptoko lalu menyerang dengan pukulan tangan kanannya. Pukulannya itu dilakukan dengan mantap dan cepat menurut ilmu pencak silat yang baik. Namun, gerakan itu masih terlampau lamban bagi Joko Waras dan dengan gerakan indahnya dia menangkis sambil memutar tubuh dan tangan kirinya menampar ke arah kepala lawan.
Saptoko dapat mengelak pula dan kembali dia menyerang dengan secepat dan sekuatnya. Namun, sernua serangannya dapat dielakkan oleh Joko Waras. Sampai belasan jurus Saptoko menyerang, namun tanpa hasil. Semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh Joko Waras.
"Adi Joko Waras, jangan lukai orang!" kata Jayawijaya yang menonton pertandingan itu dengan sikap tenang. Dia sudah maju, bahwa Joko Waras adalah seorang pemuda yang digdaya, dapat mengalahkan belasan orang perajurit Blambangan, maka dia dapat menduga bahwa Saptoko bukanlah lawanya dan dia khawatir kalau-kalau Joko Waras akan melukainya.
Semua orang muda yang berada di situ kini membentuk lingkaran dan menonton pertandingan itu. Semua orang terkagum-kagum kepada Joko Waras. Pemuda yang tampaknya masih remaja itu ternyata mampu menandingi Saptoko, pemuda dusun itu yang dianggap paling jagoan. Setelah belasan jurus dan Saptoko belum mampu menyentuh ujung baju Joko Waras yang memperlihatkan kegesitannya seperti seekor burung srikatan, tiba-tiba Saptoko menggerakkan kaki kanannya menendang dengan sekuat tenaga.
"Wuuuuttt....!" Kaki kanan itu menyambar akan tetapi dengan enaknya Joko Waras mengelak dan sebelum Saptoko menarik kembali kakinya yang menendang, kaki itu telah dapat ditangkap oleh Joko Waras dan didorong ke atas lalu dilontarkan!
Tubuh Saptoko melayang ke atas dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh itu terbanting jatuh dan sialnya, dia jatuh telungkup sehingga ketika dia bangkit kembali, bibirnya yang ujung pecah mengeluarkan darah!
Saptoko berdiri dengan kedua kaki terpentang. Dia masih belum sadar benar apa yang telah terjadi dengan dirinya. Baru dia menyadari ketika para pemuda di situ bertepuk tangan memuji Joko Waras yang berdiri di depannya sambil tersenyum manis.
"Bagaimana, Saptoko. Apakah engkau masih penasaran?" tanya Joko Waras. "Aku bukan musuh, akan tetapi kalau engkau menantangku, tentu akan kulayani. Minta berkelahi sampai berapa hari akan kulayani!"
Saptoko tercengang dan kini teringatlah dia akan perkelahian tadi. Baru tiga hari yang lalu, ketika orang yang menamakan dirinya Ki Blekok menggoda Saritem secara kurang ajar lalu berkelahi dengannya, dia dikalahkan oleh Ki Blekok. Akan tetapi dia kalah setelah melalui perkelahian yang ramai dan seru. Biarpun dia kalah akan tetapi setidaknya dia dapat mengimbangi kedigdayaan Ki Blekok yang katanya merupakan jagoan dari dusun di lereng bukit. Sedangkan apa yang dia baru saja alami amatlah mengherankan. Dia sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh Joko Waras bagian manapun juga, apa lagi hendak merobek mulutnya! Dan tadi ketika dia mengirim tendangan, sebuah ilmu serangan yang biasanya tidak pernah gagal, tendangan itu luput dan tiba-tiba saja tubuhnya terlempar ke atas dan jatuh, terbanting keras!
Saptoko adalah seorang yang berjiwa gagah, dan tahu diri. Dia tahu pada saatnya dia kalah berhadapan dengan orang yang lebih kuat, hanya yang membuat dia penasaran, mengapa dia kalah oleh seorang perjaka tanggung seperti Joko Waras!
"Aku mengaku kalah!" katanya sambil melangkah lebar keluar dari lingkaran orang-orang itu, memasuki malam yang hampir tiba.
"Kakang Saptoko...!" Saritem keluar dari warungnya dan mengejar, memanggil. Akan tetapi Saptoko hanya menengok sebentar dan berkata singkat.
"Aku telah kalah dua kali. Aku tidak ada gunanya, Saritem!" dan diapun melanjutkan langkahnya yang lebar.
Saritem terisak, tak kembali ke dalam warungnya. Para pemuda yang makan di warung itu ikut merasa tidak enak dan setelah membayar harga makanan dan minuman, mereka meninggalkan tempat itu, agaknya merasa curiga dan tidak nyaman bersama dua orang pemuda asing yang telah mengalahkan jagoan mereka itu.
Joko Waras dan Jayawijaya berdua tinggal di warung. "Saritem, sebetulnya siapakah Saptoko itu? Dia itu kekasih hatimu, calon suamimu?"
"Dahulu memang begitu, kakangmas. Aku mengharapkan dia untuk menjadi suamiku karena dia baik budi dan mencintaiku, walaupun wataknya jujur dan kasar. Akan tetapi semenjak muncul Ki Blekok itu, hubungan kami terganggu karena dia merasa telah dikalahkan Ki Blekok dan tidak akan mampu merebut aku dari tangan Ki Blekok."
"Hemmm, dan siapa itu Ki Blekok?" tanya Joko Waras penasaran.
"Dia jagoan dari dusun Benang di lereng bukit itu, orangnya berusia empatpuluh tahun, galak sombong dan mata keranjang. Tiga hari yang lalu dia makan di sini dan langsung saja dia melamarku. Aku menolak dan kakang Saptoko marah sehingga terjadi perkelahian antara kakang Saptoko dan Ki Blekok. Akan tetapi kakang Saptoko kalah dan Ki Blekok pergi setelah berkata bahwa seminggu lagi dia akan datang untuk memboyongku ke dusunnya."
"Dan engkau mau?"
"Aku tidak sudi, kakangmas. Akan tetapi apa dayaku? Aku hanya hidup berdua dengan ibuku yang sudah janda. Ibu juga tidak mampu berbuat sesuatu. Kami hanya mengandalkan perlindungan kakang Saptoko, akan tetapi kakang Saptoko bahkan tadi kalah olehmu. Harga dirinya tentu telah terpukul parah dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan nanti kalau Ki Blekok muncul." Gadis manis itu lalu menangis sesenggukan.
"Jangan menangis, Saritem, dan jangan khawatir. Kalau Ki Blekok datang dan hendak memaksamu menjadi isterinya di luar kehendakmu, aku yang akan mencegah dan menegurnya. Tidak ada aturan yang membenarkan seseorang memaksa seorang wanita untuk menjadi isterinya diluar kehendaknya!" kata Jayawijaya dengan suaranya yang lembut dan ucapan ini tentu saja merupakan hiburan besar bagi Saritem.
"Benarkah andika akan melakukan hal itu, kakangmas? Ah, terima kasih sekali!" kata gadis itu dengan girang.
"Tentu saja kakang Jayawijaya akan melakukan hal itu. Dia seorang laki-laki sejati yang sekali berjanji pasti akan dipenuhi. Perkenalkanlah, Saritem. Dia ini kakang Jayawijaya dan aku adalah JokoWaras. Pekerjaan kami berdua memang menegakkan yang lurus dan meluruskan yang bengkok, membela kebenaran dan keadilan dan menentang yang tidak benar."
"Ah... ah... terima kasih, kakangmas berdua. Sekarang aku akan menutup warung ini dan segera menemui kakang Saptoko untuk memberitahu kepadanya agar hatinya ikut pula menjadi tenang."
"Mari kami bantu, Saritem!" kata Joko Waras dan diapun segera membantu tanpa diminta.
Melihat ini, Jayawijaya terpaksa membantu juga. Pada mulanya Jayawijaya merasa tidak senang menyaksikan Joko Waras seperti bermanis muka dan merayu si gadis manis itu, akan tetapi melihat kesungguhan hatinya untuk membantu gadis itu dan kekasihnya, rasa tidak senangnyapun hilang. Dia percaya lagi bahwa teman barunya itu bukan golongan pemuda yang mata keranjang dan suka mengganggu wanita cantik...
Demikian cepatnya gerakan gadis itu seolah-olah pandai menghilang saja. Dia menjadi semakin marah dan dengan mengeluarkan gerengan-gerengan seperti seekor harimau marah, dia melanjutkan gerakannya, menyerang secara bertubi-tubi, mencakar, menampar, menghantam bahkan kakinya yang panjang besar itu beberapa kali menendang. Namun, dia seperti menyerang angin saja. Semua serangannya tidak mengenai sasaran.
Retno Wilis telah mempergunakan ilmu silat Pancaroba yang membuat tubuhnya bergerak seperti seekor burung walet, menyambar-nyambar menghindar kesana-sini dan berputaran. Bajramusti ikut pula berputaran sampai kepalanya menjadi pening dan beberapa kali dia terhuyung! Ketika mendapat kesempatan, Retno Wilis kembali menampar dan tamparannya mengenai leher Bajramusti.
"Wuuuttt..... plak....!" Biarpun yang menampar hanya tangan yang kecil mungil, akan tetapi Bajramusti merasa seperti disambar petir. Hanya kekebalannya yang luar biasa saja yang masih melindunginya. Tubuhnya berputaran, kepalanya pening dan akhirnya diapun roboh untuk yang kedua kalinya.
Akan tetapi dia memang kebal dan kuat. Dari keadaan roboh itu dia melompat dan kedua tangannya yang besar itu berhasil menangkap pinggang yang ramping itu. Dia mengeluarkan suara tawa girang dan dengan sepenuh tenaga dia hendak mengangkat tubuh yang pinggangnya sudah dilingkari jari-jarinya yang panjang dan besar itu.
Akan tetapi Retno Wilis yang tadi lengah sehingga pinggangnya dapat disambar, mengerahkan Aji Argoselo yang membuat tubuhnya seberat batu gunung. Bajramusti mengerahkan tenaga untuk mengangkat, namun tubuh itu tidak bergeming sedikitpun juga. Dia merasa terkejut dan penasaran, lalu mengerahkan lagi tenaga sampai mulutnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, namun tetap saja sia-sia. Dan Retno Wilis yang marah karena pinggangnya dipegang orang, lalu menggerakkan kakinya menendang, mengenai perut yang gendut itu.
"Wuuuttt.....ngekkk....!" Pegangan Bajramusti terlepas dan tubuhnya terlempar dan terjengkang ke belakang, terbanting keras.
Kini agak lambat dia merangkak bangun karena kepalanya terasa pening. Dan setelah dia bangkit, dia sudah merampas golok yang dibawa pembantunya. Sikapnya amat menyeramkan. Rambutnya awut-awutan, mukanya menjadi merah sekali, matanya melotot dan mengeluarkan busa. Dia mengangkat goloknya tinggi di atas kepala.
Ki Haryosakti dan dua orang anaknya yang tadinya terkagum-kagum melihat Retno Wilis berulang kali merobohkan Bajramusti, kini memandang dengan hati khawatir sekali. Akan tetapi Retno Wilis tetap bersikap tenang, ia meloloskan pedang Sapudenta dan menanti serangan lawan dengan pedang di tangan. Ketika Bajramusti melihat gadis itu sudah memegang sebatang pedang yang baginya amat kecil tidak berarti, dia lalu menggereng seperti seekor harimau terluka dan tubuhnya sudah menerjang maju, goloknya menyambar-nyambar bagaikan cakar maut ke arah Retno Wilis.
Akan tetapi gadis ini dengan mudahnya mengelak ke sana sini, kemudian ketika golok itu dengan cepat menyambar ke arah kepalanya, iapun menggerakkan pedang Sapudenta untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Singgg..... trakkk....!!" Golok itu putus menjadi dua potong!
Ki Haryosakti sampai bersorak melihat kehebatan gadis itu. Sebaliknya Ki Bajramusti terkejut bukan main. Dia melemparkan gagang golok ke arah Retno Wihs. Gadis ini menangkis dengan pedangnya dan sisa golok itu meluncur ke bawah dan menancap ke atas tanah. Tiba-tiba Ki Bajramusti mengangkat kedua tangan ke atas, mulutnya berkemak kemik membaca mantra dan tiba-tiba saja ada asap hitam bergulung-gulung keluar dari kedua tangannya dan asap itu menyerbu ke arah Retno Wilis.
Gadis ini menyimpan pedangnya dan menggunakan kedua tangannya untuk memukul dengan Aji Wisolangking. Akan tetapi asap itu hanya membuyar dan tetap menyerbu ke arahnya.
''Diajeng, mundurlah!" seru Bagus Seto dan Retno Wilis menaati perintah kakaknya. Tubuhnya mencelat ke arah Bagus Seto dan sudah berdiri di samping kakaknya.
Bagus Seto melompat ke depan menghadapi Ki Bajramusti yang menggunakan sihir itu. Ketika gulungan asap itu menyelubunginya, Bagus Seto mengambil setangkai bunga cempaka putih dan mengangkatnya ke atas. Seketika asap hitam itu membalik dan bergulung-gulung seperti melarikan diri kembali ke arah kedua tangan Ki Bajramusti! Kakek ini terkejut bukan main dan memandang kepada Bagus Seto dengan mata mencorong.
"Siapakah andika?" bentaknya marah.
"Namaku Bagus Seto dan karena andika menggunakan ilmu hitam, akulah yang mewakili adikku menghadapimu," kata Bagus Seto dengan lembut. "Lebih baik andika pergi saja dari sini dan bawa semua anak buahmu, Ki Bajramusti. Tempatmu di lautan, bukan di daratan yang menjadi wilayah Jambuko Cemeng."
Ki Bajramusti merasa penasaran bukan main. Tadi dalam pertandingan tangan kosong maupun dengan senjata dia telah dikalahkan seorang gadis muda! Dan sekarang dia mengandalkan ilmu sihirnya, dia bertemu dengan seorang pemuda yang dapat menandinginya. Dia masih merasa penasaran dan ingin mengeluarkan ilmunya yang terakhir dan yang diandalkannya.
"Bagus Seto, lihat baik-baik siapa yang kau lawan. Aku adalah Rajanya segala harimau!" Setelah berkata demikian, Ki Bajramusti melompat jungkir balik tiga kali dan berubahlah dia menjadi seekor harimau yang amat besar, harimau jadi-jadian itu besarnya hampir seperti seekor lembu! Sambil mengeluarkan suara gerengan, harimau itu membuka mulutnya dan mengancam Bagus Seto.
Semua orang yang melihat ini menjadi miris hatinya, kecuali tentu saja Retno Wilis. Gadis ini hanya tersenyum karena maklum bahwa dalam menghadapi ilmu sihir, tidak ada orang yang lebih tangguh dari pada kakaknya. Dengan gerengan yang menggetarkan seluruh perkampungan itu, harimau jadi-jadian itu kini menubruk ke arah Bagus Seto yang kelihatan diam saja, tidak mengelak maupun menangkis. Semua orang melihat betapa harimau besar itu menerkam Bagus Seto.
Sarmini sampai menjerit saking ngerinya melihat pemuda yang dikagumi itu diterkam harimau besar. Juga semua orang memandang kaget dan cemas. Akan tetapi ketika harimau itu menerkam dan berusaha menggigit dan merobek-robek tubuh itu, ternyata bahwa yang diterkamnya tadi adalah sebuah batu yang keras! Dan semua orang melihat Bagus Seto sudah berdiri dengan kedua tangan bersilang di dada, tak jauh dari situ.
Harimau jadi-jadian agaknya baru sadar bahwa yang diterkamnya adalah batu setelah taring dan cakarnya menyerang benda keras. Dia menggereng dan memutar tubuh, melihat Bagus Seto yang sudah berdiri di belakangnya. Kembali dia menerjang, menubruk dan menerkam dibarengi auman yang menggetarkan hati. Kembali dia telah menerkam Bagus Seto seperti tadi, akan tetapi setelah yang diterkamnya roboh di atas tanah dan dicakarnya, pemuda itu berubah menjadi batu. Setelah mempermainkan harimau jadi-jadian itu beberapa kali, Bagus Seto lalu mengeluarkan setangkai bunga cempaka putih dan begitu harimau itu untuk sekian kalinya menubruk, dia memukulkan bunga cempaka pulih itu ke kepala harimau.
"Dar....!" terdengar ledakan dan harimau itupun lenyap, berubah menjadi Ki Bajramusti yang mendekam di atas tanah sambil mengeluh.
"Aduh, tobaaattt.....!" Dia memegangi kepalanya yang rasanya seperti remuk.
"Benarkah andika telah bertobat, Ki Bajramusti?" Tanya Bagus Seto dengan lembut.
"Aku sudah menerima kalah, denmas. Aku sudah bertobat dan hendak menaati semua perintah andika. Aduhaduhhh.....!"
Bagus Seto lalu berkata, "Kalau begitu berjanjilah bahwa engkau tidak akan mengganggu penduduk pantai, menghentikan perbuatanmu yang jahat dan engkau berjanjilah untuk membantu Panjalu jika saatnya tiba"
"Baik, denmas....aku berjanji...."
Bagus Seto menyentuh kepalanya dengan bunga cempaka putih sambil berkata, "Kalau begitu, sembuhlah dan pergilah membawa anak buahmu kembali ke lautan."
Terkena sentuhan bunga itu, seketika Ki Bajramusti sembuh dan dia segera bangkit berdiri. Akan tetapi sekarang dia telah kehilangan kegarangannya. Dia memandang kepada Bagus Seto dan Retno Wilis yang berdiri di samping kakaknya dengan sikap hormat.
"Aduh, paduka berdua telah mengalahkan aku. Sebetulnya siapakah paduka berdua dan mengapa pula menyuruh aku kelak membantu Panjalu?" tanyanya dengan suara tetap kasar akan tetapi dengan sikap menghormat. Memang seorang seperti dia mana dapat berbicara halus?
"Namaku Bagus Seto dan ini adikku Retno Wilis. Kami adalah putera Kanjeng Patih Tejolaksono di Panjalu"
"Ah, maafkan aku yang telah berani melawan paduka. Baiklah, aku akan menaati segala perintah paduka. Hayo kawan-kawan, kita kembali ke lautan!" Dia lalu memutar tubuhnya dan diiringkan semua anak buahnya meninggalkan tempat itu.
Ki Haryosakti juga membubarkan semua anak buahnya. Ketika tinggal dia sendiri bersama Saroji dan Sarmini, sambil membungkuk hormat kepada kedua orang muda itu dia berkata,
"Mari silakan, anakmas berdua, kita bicara di dalam"
Bagus Seto saling pandang dengan Retno Wilis dan mereka tanpa berkata apa-apa ikut masuk ke ruangan dalam rumah gedung itu. Setelah tiba di dalam, Ki Haryosakti lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Bagus Seto dan Retno Wilis.
"Mata saya seperti telah buta dan tidak melihat bahwa paduka berdua adalah orang-orang yang sakti mandraguna. Saya mohon ampun atas semua perbuatan saya terhadap den-ajeng"
Bagus Seto cepat membangunkan ketua Jambuko Cemeng itu dan berkata,
"Sudahlah, paman, adalah baik sekali kalau paman sudah menyadari kesalahan dan tidak akan berbuat lagi. Silakan berdiri"
Ki Haryosakti bangkit berdiri dan mempersilakan kedua orang muda itu untuk duduk. Saroji dan Sarmini juga duduk dan mereka memandang kepada kedua orang muda itu dengan takjub.
"Saya telah berbuat salah besar. Saya sungguh tidak tahu diri, akan tetapi sekarangpun saya masih mengharapkan agar paduka berdua suka menerima permohonan saya."
Bagus Seto tersenyum. "Permintaan apakah itu, paman? Kalau memang permintaan itu pantas dan kami berdua dapat melakukannya, tentu kami tidak akan keberatan untuk memenuhinya."
"Ah, sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih, denmas. Akan tetapi harap paduka berdua sudi memaafkan kalau apa yang hendak saya kemukakan itu dianggap lancang."
"Katakan sajalah, paman, jangan sungkan-sungkan. Memang sebaiknya kalau ada uneg-uneg di hati dikeluarkan dari pada disimpan menjadi dendam."
"Karena sekarang ini paduka berdua berada di sini dan saya memperoleh kesempatan yang amat baik, kapan lagi saya kemukakan niat saya ini kalau tidak sekarang karena mungkin saya tidak akan dapat bertemu dengan paduka berdua lagi."
"Paman Haryosakti, kenapa bicara berputar-putar? Katakanlah apa yang kaukehendaki!" kata Retno Wilis yang merasa tidak sabar lagi mendengar kata-kata yang melingkar lingkar itu.
Mendapat bentakan dari Retno Wilis, ketua Jambuko Cemeng yang biasanya bersikap gagah itu menjadi pucat wajahnya. Kemudian dia memberanikan diri berkata,
"Niat saya inipun untuk menebus dosa saya terhadap den-ajeng.... kalau paduka berdua sudi menerimanya, saya.... saya ingin sekali menjodohkan anak saya Saroji dengan denajeng Retno Wilis, dan saya ingin menyerahkan anak saya Sarmini menjadi jodoh denmas Bagus Seto. Nah, legalah hati saya sudah mengeluarkan isi hati saya ini dan terserah kepada paduka berdua."
Kakak beradik itu saling pandang, seperti juga Saroji dan Sarmini saling pandang. Akan tetapi kalau Sarmini memandang kakaknya lalu tersipu malu dan Saroji juga menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan, Retno Wilis memandang kepada kakaknya dengan alis berkerut dan muka berubah merah.
Melihat sinar mata adiknya yang marah itu, Bagus Seto menggelengkan kepalanya kepada adiknya sehingga Retno Wilis terpaksa menelan lagi ucapan bernada keras yang hendak dilontarkan dari mulutnya. Bagus Seto tersenyum memandang pada Ki Haryosakti lalu berkata dengan suara lembut,
"Permintaan paman untuk menjodohkan kami berdua dengan putera puteri paman adalah permintaan yang pantas. Akan tetapi terus terang saja kami tidak dapat memenuhi permintaan itu, paman. Bukan sekali-kali kami menolak karena tidak suka. Putera dan puteri paman adalah dua orang pemuda dan gadis yang elok dan juga gagah. Akan tetapi kami terpaksa menolak karena pada saat ini kami berdua sama sekali belum mempunyai pikiran untuk berjodoh. Kami masih ingin hidup sendiri dan melanjutkan perantauan kami. Karena itu harap paman maafkan dan kami percaya bahwa adimas Saroji dan diajeng Sarmini dapat mengerti alasan kami dan tidak menjadi kecil hati dan merasa ditolak"
Biarpun merupakan penolakan, namun kalau dikeluarkan dengan kata-kata halus dan sopan seperti itu, bagaimana Ki Haryosakti dan kedua anaknya dapat merasa tersinggung dan tidak senang hati? Mereka memang merasa kecewa, akan tetapi dapat memaklumi alasan kedua orang muda sakti itu. Pada hari itu juga, Bagus Seto dan Retno Wilis berpamit kepada Ki Haryosakti. Bagus Seto berkata,
"Paman Haryosakti, kami berdua mohon pamit hendak melanjutkan perantauan kami. Hanya ada satu harapan dari kami, mudah-mudahan saja paman akan dapat memenuhi harapan kami itu"
"Apakah itu, denmas? Katakan, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi harapan itu."
"Nanti kalau sudah tiba waktunya Panjalu dan Jenggala menggerakkan pasukan untuk menundukkan kembali daerah-daerah yang bergolak, maukah paman membawa anggota Jambuko Cemeng membantu Panjalu?"
"Ah, tentu saja, denmas. Harap jangan khawatir. Biarpun bagaimana juga, kami bukan pemberontak dan masih mengakui kekuasaan Jenggala dan Panjalu. Kalau kelak tiba saatnya, tentu kami akan membantu dengan senang hati..."
"Terima kasih, paman..."
Setelah berpamit kepada Saroji dan Sarmini, kedua kakak beradik itu lalu meninggalkan perkampungan Jambuko Cemeng, diantar oleh keluarga pimpinan Jambuko Cemeng itu sampai keluar perkampungan. Saroji dan Sarmini berdiri bagaikan patung memandang dua bayangan yang semakin jauh itu dan merasa seolah-olah semangat mereka ikut terbawa pergi. Diam-diam Saroji jatuh cinta kepada Retno Wilis dan Sarmini juga kagum sekali kepada Bagus Seto. Akan tetapi mereka merasa seperti pungguk merindukan bulan.
Cinta asmara memang menjadi sumber kesedihan kalau hanya bertepuk tangan sebelah. Dan perasaan itu diderita Saroji dan Sarmini. Mereka merasa betapa hidup ini menjadi sunyi dengan perginya orang yang mereka cinta, dan hati terasa perih sekali mengingat bahwa cinta mereka tidak dibalas.
Ki Haryosakti juga menyadari akan semua kesalahannya dan semenjak peristiwa itu wataknya berubah, tidak selalu hendak memaksakan kehendaknya seperti yang sudah-sudah.
********************
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Wasi Shiwamurti ketika menerima laporan dari Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda telah bertemu dan bertanding dan dikalahkan oleh Bagus Seto dan Retno Wilis. Ketika itu, Wasi Shiwamurti berada di Blambangan karena dia dianggap sebagai tamu agung oleh Adipati Blambangan, yaitu Adipati Menak Sampar. Blambangan dijadikan pusat penyebaran agama Shiwa-Durgo-Kolo yang dipimpin oleh Wasi Shiwamurti. Dia menjadi marah sekali ketika mendengar betapa penyebaran agama itu terhalang oleh Bagus Seto dan Retno Wilis.
"Bodoh!" Dia memaki kedua orang muridnya itu. "Bodoh sekali kalian! Dapat dikalahkan oleh seorang pemuda dan seorang gadis muda! Membikin malu saja kepadaku! Kalau kalian kalah dalam hal kadigdayaan, apakah kalian tidak dapat mengalahkannya dengan ilmu sihir? Apa gunanya aku mengajarkan segala macam ilmu sihir kepada kalian kalau tidak dapat mengalahkan dua orang muda?"
'"Maafkan kami, Kanjeng Rama," kata Ki Shiwananda kepada ayah angkatnya yang marah itu. "Kami sudah mempergunakan sihir, akan tetapi semua ilmu sihir kami dipunahkan oleh pemuda yang bernama Bagus Seto itu. Ilmu kedua orang kakak beradik itu memang luar biasa hebatnya"
"Hal itu tidaklah aneh sekali, karena mereka adalah anak-anak dari Endang Patibroto," kata pula Ni Dewi Durgomala kepada Wasi Shiwamurti yang selain menjadi gurunya juga menjadi kekasihnya.
"Apa? Anak-anak Endang Patibroto?" bentak Wasi Shiwamurti. "Kalau begitu mereka adalah musuh-musuh kita yang harus dibasmi!"
Selagi Wasi Shiwamurti marah-marah, datanglah Wasi Karangwolo yang menjadi penasihat Blambangan dan bersama dia datang pula Wasi Surengpati penasihat dari kadipaten Nusabarung. Sang Wasi Shiwamurti menerima kedatangan dua orang rekannya ini dan alangkah marahnya ketika dia mendengar pula dari mereka bahwa dua orang rekannya itu telah bertemu dengan Endang Patibroto, bertanding dan mereka kalah!
"Babo-babo, Endang Patibroto keparat! Kembali engkau yang menghalangi pekerjaan kami, bersama kedua orang anakmu. Aku tidak akan kembali ke Cola sebelum dapat membunuh engkau dan anak-anakmu!" Wasi Shiwamurti memukulkan tongkat naganya ke atas lantai dan pecahlah lantai itu.
"Di mana mereka sekarang? Di mana wanita jahanam itu dan anak-anaknya?" tanya Wasi Shiwamurti.
"Endang Patibroto datang ke Nusabarung untuk mencari kedua orang anaknya," kata Wasi Surengpati.
"Dan kedua orang muda itu agaknya pergi ke timur dan kalau tidak salah perhitungan kami, sekarang mereka tentu sudah berada di daerah Blambangan," kata Ni Dewi Durgomala.
"Bagus! Biarkan mereka semua masuk ke Blambangan sehingga mudah kita mencarinya. Aku sendiri yang akan turun tangan membasmi mereka!" kata Wasi Shiwamurti yang marah bukan main.
"Sebaiknya kalau kita melapor kepada Kanjeng Adipati agar diadakan persiapan untuk mencari mereka di daerah Blambangan. Siapa yang melihat mereka diwajibkan memberi laporan secepatnya, dengan cara demikian kita akan mudah menemukan mereka," kata Wasi Karangwolo.
Semua rekannya setuju dan mereka berlima lalu pergi menghadap Adipati Menak Sampar. Adipati Menak Sampar menerima kedatangan lima orang tokoh yang dihormatinya itu.
"Paman Wasi Karangwolo sudah pulang?" tanyanya kepada penasihatnya itu. "Bagaimana kabarnya dengan usaha andika menyebar agama, dan agaknya ada keperluan penting sekali maka andika menghadap, didampingi oleh Wasi Surengpati, Wasi Shiwamurti, Ki Shiwananda dan Ni Dewi Durgomala"
"Sesungguhnya ada peristiwa penting yang telah terjadi, Kanjeng Adipati. Agaknya daerah Blambangan telah kemasukan telik-sandi (mata-mata) yang amat berbahaya, yaitu Endang Patibroto dan kedua orang anaknya yang bernama Bagus Seto dan Retno Wilis..."
"Ahhhh.....!" Wajah sang adipati berubah pucat mendengar nama itu. Endang Patibroto dan Retno Wilis adalah nama-nama yang amat terkenal di Blambangan sebagai nama dua orang wanita yang memiliki kesaktian hebat dan amat berbahaya.
"Benarkah? Bagaimana andika dapat mengetahuinya?" tanyanya.
"Saya sendiri dan adi Wasi Surengpati sudah bertemu dan bertanding dengan Endang Patibroto, sedangkan anakmas Shiwananda dan Ni Dewi Durgomala sudah bertemu dengan Bagus Seto dan Retno Wilis dan juga sudah bertanding dengan mereka"
Orang-orang yang bersangkutan itu lalu menceritakan pengalaman mereka secara terperinci, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Adipati Menak Sampar.
"Karena itulah maka kami datang melapor kepada paduka, Kanjeng Adipati, agar dapat diambil langkah-langkah yang perlu untuk dapat menemukan tiga orang itu," kata Wasi Karangwolo.
Adipati Menak Sampar mengangguk-angguk lalu memberi tanda memanggil seorang pengawal. Setelah pengawal menghadap, dia lalu memerintahkan,
"Kamu pergilah dan panggil Senopati Rajahbeling dan Senopati Kurdolangit untuk sekarang juga datang menghadap ke sini!"
Tak lama kemudian dua orang senopati Blambangan itu muncul dan menghadap Sang Adipati sambil menyembah. Senopati Rajahbeling adalah seorang senopati yang berusia limapuluhan tahun yang bertubuh tinggi besar dan tampak gagah sekali. Dia adalah ayah dari Kalinggo, pemuda Blambangan yang pernah mengikuti sayembara tanding di Nusabarung. Adapun yang kedua bernama Senopati Kurdolangit, orangnya tinggi kurus akan tetapi dia seorang yang digdaya dan amat terkenal di Blambangan.
"Kedua kakang senopati! Andika berdua terkejut kami panggil?"
"Benar, Kanjeng Adipati. Ini bukan waktunya bersidang, maka kami tentu saja heran mendapat panggilan ini," jawab Senopati Rajahbeling.
"Ketahuilah, kakang senopati. Ternyata di daerah kita Blambangan ini telah kemasukan tiga orang telik sandi yang berbahaya. Bahkan mereka pernah mengacau di Nusabarung dan kini mereka menuju ke Blambangan. Tahukah kalian siapa mereka?"
Dua orang senopati itu saling pandang dan menggelengkan kepala. "Kami tidak dapat menduganya, gusti"
"Ketahuilah bahwa telik sandi itu adalah Endang Patibroto, Retno Wilis dan Bagus Seto..."
Dua orang senopati itu sudah mendengar nama Endang Patibroto dan Retno Wilis, bahkan sudah tahu bahwa mereka itu adalah dua orang wanita yang sakti dari Panjalu.
"Di mana mereka, Kanjeng Adipati? Kami akan mengerahkan perajurit untuk menangkap mereka."
"Inilah persoalannya. Kami belum tahu mereka kini berada di mana. Karena itu kutugaskan kalian untuk menyebar perajurit dan mata-mata. Kalau ada yang melihatnya agar cepat memberi kabar kepada Paman Wasi Karangwolo sekalian para Paman Wasi yang berada di sini agar mereka dapat ditangkap. Mereka itu sakti dan pandai menyamar, maka setiap ada orang asing memasuki wilayah Blambangan, harus diperiksa dengan cermat."
Dua orang senopati itu menyatakan kesanggupannya, kemudian memberi hormat kemudian mengundurkan diri. Adipati Menak Sampar masih bercakap-cakap dengan para pimpinan agama Shiwa-Durgo-Kala itu, membicarakan persiapan dan rencana mereka untuk penyebaran agama dan kemudian untuk memberontak terhadap Panjalu dan Jenggala. Masuknya Endang Patibroto dan Retno Wilis merupakan bahan pembicaraan mereka yang penting dan Wasi Shiwamurti sendiri mengatakan bahwa dia akan turun tangan sendiri terhadap kedua orang wanita sakti itu.
"Mereka adalah orang-orang yang memiliki kesaktian tinggi, dan kiranya hanya saya yang akan dapat mengatasi mereka," kata Wasi Shiwamurti dan hal ini dibenarkan oleh yang lain, yang telah merasakan kehebatan ilmu kepandaian dua orang wanita itu.
"Jangan dilupakan pemuda yang bernama Bagus Seto itu, kakang Wasi," kata Wasi Karangwolo. "Biarpun kami belum mengetahui benar tingkat kadigdayaannya, namun dalam hal menghadapi ilmu sihir dia tangguh bukan main." Wasi Surengpati membenarkan pendapat Wasi Karangwolo ini dengan mengangguk-angguk.
"Heh-heh-heh, jangan khawatir. Selama ini ilmu sihirku tidak pernah gagal terhadap siapapun juga. Pendeknya, kalau sudah diketahui dimana adanya Endang Patibroto, Retno Wilis, dan Bagus Seto, beritahulah kepadaku dan aku akan menangkap mereka bertiga..."
Ucapan Wasi Shiwamurti ini bukan sekedar bualan belaka. Wasi yang satu ini adalah saudara seperguruan dari mendiang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo yang memiliki kesaktian tinggi. Bahkan setelah mendengar betapa dua orang kakak seperguruannya ini tewas, dia memperdalam ilmunya sehingga kini ilmu kesaktiannya sudah melebihi kesaktian kedua orang kakak seperguruannya itu. Terutama sekali dalam hal ilmu sihir, dia jauh melebihi kedua orang wasi yang telah tewas itu.
Mulai hari itu, ratusan orang perajurit disebar dan di mana-mana diadakan penjagaan. Bahkan sampai jauh ke luar kota kadipaten Blambangan para perajurit itu mencari Endang Patibroto, Retno Wilis dan Bagus Seto, memeriksa semua orang asing yang kebetulan lewat di situ.
********************
Bagus Seto dan Retno Wilis yang sedang mengadakan perjalanan dan tiba di perbatasan daerah Blambangan segera mendengar cerita para penduduk dusun bahwa pasukan Blambangan sedang mengadakan pencarian terhadap telik sandi dari Panjalu dan banyak orang yang dicurigai sebagai pendatang baru dari luar daerah Blambangan ditangkapi.
"Ah, mereka tentu sedang mencari kita, kakangmas Bagus Seto. Tentu Adipati Blambangan telah mendengar tentang diri kita dari Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati ketika kita berada di kadipaten Nusabarung."
"Kukira bukan hanya kedua orang wasi itu saja, diajeng. Akan tetapi Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda telah melapor pula ke sana. Agaknya, pusat penyebaran agama baru itu berasal dari Blambangan."
"Kalau begitu bagaimana baiknya, kakang. Agaknya akan sukar untuk melakukan perjalanan ke dalam daerah Blambangan dan menyelidiki keadaan di sana."
"Akan lebih mudah mereka ketahui kalau kita mengadakan perjalanan berdua. Sebaiknya kita berpencar saja dan masuk ke Blambangan. Kita saling bertemu di Blambangan. Bagaimana pendapatmu?"
"Begitu juga baik dan aku akan menyamar sebagai seorang pemuda."
"Akan tetapi engkau harus dapat menahan diri, jangan menimbulkan keributan, Retno. Pertahankan perasaanmu agar tidak mudah terpancing untuk berkelahi karena hal itu akan mudah mengenal kita."
"Sebaiknya kalau di luar pakaian kita yang putih, kita memakai pakaian lain yang berwarna sehingga tidak menarik perhatian. Dan jangan memakai nama Joko Wilis karena nama itu sudah dikenal baik oleh mereka."
"Lalu aku harus memakai nama apa, kakang?"
"Kita menggunakan nama sederhana saja dan menyamar sebagai pemuda dusun. Aku akan memakai nama Joko Slamet dan engkau memakai nama Joko Waras."
Retno Wilis tersenyum. "Wah, nama yang mudah sekali diingat. Baiklah, kakang Slamet, mulai sekarang aku memakai nama Joko Waras."
Setelah membeli beberapa potong pakaian dari penduduk dusun, Retno Wilis berdandan sebagai seorang pemuda dusun. Juga Bagus Seto mengenakan pakaian biasa berwarna biru untuk menutupi pakaiannya yang serba putih. Setelah selesai berdandan, Retno Wilis berdiri di depan kakaknya dan bertanya,
"Bagaimana pendapatmu, kakang? sudah pantaskah aku menjadi Joko Waras"
Bagus Seto memandang wajah adiknya dan tersenyum. "Engkau pandai sekali menyamar. Aku sendiri tentu akan pangling kalau tidak kauberitahu lebih dulu. Ingat, jangan mencari keributan, adikku, dan kita saling bertemu di Blambangan."
"Akan tetapi, Blambangan itu besar. Di mana kita akan bertemu, kakang?"
"Pada hari Respati sore, datang saja ke alun-alun kadipaten dan aku akan berada di bawah pohon waringin yang berada di sana."
Setelah mengingatkan kepada adiknya agar waspada dan sabar, tidak membiarkan diri terpancing ke dalam perkelahian, Bagus Seto lalu berpisah dari Retno Wilis, mengambil jalan masing-masing memasuki daerah Blambangan. Sebagai seorang pemuda remaja dusun yang lincah, tidak ada orang yang mencurigai Joko Waras. Di mana-mana dia diterima dengan baik sebagai seorang perjaka yang ramah dan juga pandai membawa diri. Jika malam tiba dia bermalam di rumah penduduk yang hanya hidup berdua dengan isterinya sehingga dia mendapat tempat tidur tersendiri. Kalau siang Joko Waras melakukan perjalanan menuju ke kadipaten Blambangan dan di sepanjang perjalanan dia mencari keterangan tentang keadaan kadipaten Blambangan.
Dalam perjalanannya ini, Joko Waras melihat bahwa di dusun-dusun yang dilewatinya, banyak dibangun candi-candi kecil yang baru, di mana hanya terdapat arca Shiwa-Durgo-Kala. Kalau teringat akan perbuatan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda, rasanya ingin ia menghancurkan candi-candi itu. Akan tetapi ia teringat akan pesan kakaknya bahwa ia tidak boleh mencari keributan. Pula, apa salahnya candi-candi itu? Itu hanya tempat pemujaan, dan orang boleh memuja dewa mana saja asalkan dalam pemujaan itu tidak mengganggu orang lain.
Iapun beberapa kali melihat serombongan perajurit Blambangan menghadang dan memeriksa orang-orang yang berlalu lalang, menanyai mereka, ada pula yang menggeledah kalau-kalau mereka menyimpan senjata. Ia sendiri yang bersikap wajar seperti seorang pemuda dusun yang masih muda, lolos dari kecurigaan. Pernah pula dia ditanyai mereka seperti seorang pesakitan,
"Siapa namamu?"
"Namaku Joko Waras. Ketika masih bayi sakit-sakitan maka lalu namaku diubah menjadi Joko Waras dan sejak itu aku waras terus, tidak pernah sakit," katanya dengan suara lemah akan tetapi nadanya kasar seperti biasa sikap dan kata-kata seorang dusun yang tidak terpelajar.
"Apa pekerjaanmu?"
"Penggembala kerbau atau sapi. Aku sudah berpengalaman sejak kecil menggembala kerbau atau sapi. Kalau andika membutuhkan penggembala yang baik, aku bersedia..."
"Sudah, sana! Jangan banyak cerewet!" hardik seorang penanya dan Joko Waras bergegas pergi sambil menyeringai.
Akan tetapi pada suatu pagi ketika dia tiba di suatu dusun yang sudah masuk perbatasan Blambangan, dusun yang cukup ramai, dia melihat banyak sekali orang berkumpul dan mereka itu sedang diperiksa oleh serombongan perajurit Blambangan yang dipimpin seorang senopati yang bertubuh tinggi kurus dengan pandang mata yang tajam bersinar-sinar.
Di antara banyak orang yang dihentikan perjalanan mereka itu terdapat tiga orang wanita muda yang cantik manis. Melihat tiga orang wanita itu, senopati yang tinggi kurus segera berkata, "Biarkan aku yang memeriksa mereka. Siapa tahu di antara mereka terdapat orang yang kita cari."
Senopati itu adalah Kurdolangit, senopati Blambangan berusia limapuluh tahun yang terkenal sakti, akan tetapi juga terkenal mata keranjang. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya seperti tengkorak, akan tetapi sepasang matanya menunjukkan kecerdikan dan kepandaiannya. Senopati Kurdolangit lalu duduk di atas bangku dan menggapai tiga orang gadis itu. Setelah menanyakan nama mereka, tempat tinggal mereka, dia lalu menggeledah tubuh tiga orang gadis itu, menggerayangi dengan jari-jari tangannya secara kasar dan kurang ajar sekali. Tentu saja tiga orang gadis dusun itu merintih dan menjerit kecil ketika diperlakukan seperti itu.
Tiga orang laki-laki setengah tua, ayah dari para gadis itu, melangkah maju mendekat dan mohon kepada Senopati Kurdolangit untuk melepaskan tiga orang puteri mereka. Mendengar permohonan ini, Kurdolangit menjadi marah. Dia bangkit berdiri dan tiga kali tubuhnya bergerak, tiga orang laki-laki itu telah ditamparnya dan mereka terpelanting dan terbanting keras. Pipi mereka menjadi bengkak oleh tamparan tadi.
"Jangan mencampuri urusanku, atau kalian akan kuhukum mati! Aku sedang menjalankan tugas dan siapapun yang kucurigai akan kugeledah. Tak seorangpun boleh mencegahnya!" Dan kembali tangannya dengan nakal menggerayangi tubuh tiga orang gadis itu yang menggeliat-geliat sambil merintih.
Tiba-tiba seorang laki-laki keluar dari rombongan orang dusun itu. Joko Waras melihat laki-laki itu masih muda, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, pakaiannya sederhana akan tetapi wajahnya tampan dan terutama sekali matanya demikian terang dan mengandung wibawa. Pemuda tampan itu bukan lain adalah Jayawijaya, pemuda dari pegunungan Tengger itu. Seperti kita ketahui, pemuda ini telah berpisah dari Endang Patibroto setelah dia ditolong oleh wanita sakti itu.
Pada pagi hari itu, perjalanannya sampai di tempat itu. Diapun mendengar bahwa di banyak tempat diadakan pencegatan dan pemeriksaan oleh pasukan Blambangan dan kadang pemeriksaan itu dilakukan dengan sewenang-wenang. Kini Jayawijaya melihat dengan mata kepala sendiri perlakuan yang kurang ajar dari Kurdolangit terhadap tiga orang gadis itu. Tentu saja dia menjadi marah sekali dan segera menghampiri senopati Kurdolangit yang tinggi kurus bermuka seperti tengkorak itu.
"Begitukah cara memeriksa wanita? Sungguh tidak sopan dan kurang ajar sekali, tidak patut dilakukan seorang senopati, pantasnya dilakukan seorang anggauta perampok jahat!" Jayawijaya berkata demikian sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka senopati itu.
Kurdolangit terbelalak dan mukanya berubah merah. Dia dimaki seorang pemuda di depan umum! Dia menghentikan pemeriksaannya, mendorong tiga orang gadis itu ke luar dari tempat pemeriksaan, lalu bangkit berdiri dan bertolak pinggang, memandang kepada Jayawijaya dengan mata melotot. "Kau bilang apa?"
Agaknya Jayawijaya tidak tahu bahwa senopati itu marah sekali. Dia berkata dengan tegas. "Aku bilang bahwa engkau melakukan pemeriksaan terhadap wanita secara kurang ajar dan tidak sopan sama sekali. Tidak tahu malu!"
"Jahanam, apakah engkau bosan hidup?" bentak Kurdolangit dengan muka berubah kemerahan seperti udang direbus.
Joko Waras melihat betapa senopati itu marah sekali dan dia ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pemuda tampan itu kelihatan pemberani bukan main dan tentu pemuda itu mempunyai kepandaian yang dapat diandalkan maka dia berani menegur seorang senopati seperti itu. Kurdolangit yang sudah tidak dapat menahan rasa malunya dimaki orang di depan umum, sudah menerjang maju dan kedua tangannya yang kurus panjang itu menyambar ke arah kepala Jayawijaya. Pemuda ini agaknya tidak tahu bahwa dia diserang, dia berdiri tenang-tenang saja dan memandang senopati itu dengan matanya yang mencorong penuh wibawa dan kelembutan.
Kedua tangan itu menyambar ke arah kepala dengan tenaga yang dahsyat. Akan tetapi, tiba-tiba kedua tangan itu seperti bertemu dengan tenaga yang tidak tampak dan tubuh Kurdolangit terpelanting roboh!
Joko Waras terbelalak! Pemuda itu ternyata seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Kalau tadinya dia sudah bersiap untuk membantu agar pemuda yang pemberani itu tidak sampai celaka, kini diapun hanya menonton saja dengan terheran-heran. Pemuda itu seolah tidak pernah merobohkan orang dan berdiri dengan sikap masih tenang saja.
Kurdolangit yang merasa betapa pukulan kedua tangannya tadi seperti bertemu dengan tenaga dahsyat yang membuatnya terpelanting, menjadi semakin malu dan marah. Dia melompat bangkit kembali dan sudah mencabut sebatang kerisnya yang panjang dan dahsyat.
"Bocah kurang ajar! Engkau minta mati!" bentak Kurdolangit dan kini dia menggerakkan kerisnya dengan tangan kanan, menusuk ke arah dada Jayawijaya dengan keris yang besar panjang itu.
Joko Waras kini memandang penuh perhatian kepada pemuda yang diserang itu. Dia melihat betapa pemuda itu tidak membuat gerakan menangkis atau menghindar, melainkan mengangkat kedua tangannya ke atas seperti orang hendak menyembah dan terjadilah keanehan yang kedua kalinya. Keris seperti bertemu dengan tangkisan kuat sekali dan membalik, melukai lengan kanan Kurdolangit sendiri, Senopati ini terhuyung mundur dan memegangi lengannya yang berdarah. Kurdolangit masih penasaran walaupun lengan kanannya sudah mengucurkan darah terkena kerisnya sendiri. Dia bangkit lagi dan menubruk dengan kerisnya, kini serangannya dilakukan dengan tenaga sepenuhnya sambil menggereng seperti seekor harimau terluka!
Joko Waras mengamati lagi dengan penuh kewaspadaan. ia melihat pemuda itu hanya membuat gerakan seperti mendorong ke depan dan tubuh senopati itu terpelanting seperti layang-layang putus talinya, terbanting jatuh dan bergulingan sampai jauh !
Kini tanpa malu-malu Ki Kurdolangit lalu memberi aba-aba kepada anak-buahnya yang belasan orang banyaknya untuk melakukan pengeroyokan kepada Jayawijaya. Melihat ini, Joko Waras menjadi marah dan dia-pun melompat dan tubuhnya berkelebatan ke sana ke mari, membagi-bagi tamparan dan tendangan sehingga belasan orang anak buah Ki Kurdolangit itu jatuh bangun dan akhirnya tidak ada yang berani melawan lagi. Joko Waras yang merasa kagum dan heran kepada Jayawijaya segera memegang tangan pemuda itu dan menariknya, berkata,
"hayo kita cepat lari dari sini!"
Jayawijaya tadi melihat betapa pemuda dusun berpakaian sederhana, bertubuh ramping kecil namun tampan sekali itu mengamuk dan merobohkan para perajurit. Dia membiarkan dirinya ditarik dan ikut lari bersama Joko Waras. Joko Waras ingin menguji ilmu kepandaian Jayawijaya dan berlari mempergunakan aji kesaktiannya sehingga kedua telapak kakinya seolah tidak menyentuh bumi. Akan tetapi, Jayawijaya tertinggal jauh dan ketika tangannya digandeng pemuda itu terseret-seret! Joko Waras menjadi semakin heran. Pemuda ini tidak mahir ilmu meringankan tubuh dan tidak memiliki aji berlari kencang. Dia lalu berlari biasa lagi sehingga Jayawijaya dapat mengimbanginya. Setelah melalui beberapa dusun, dengan terengah-engah Jayawijaya bertanya,
"Ki sanak, kenapa kita berlari terus? Sampai kapankah kita harus berlari seperti ini?”
Joko Waras tersenyum dan berhenti berlari. Mereka, tiba di luar sebuah dusun dan saat itu sudah menjelang senja,
"Kita harus melarikan diri dari pasukan tadi, ki sanak," katanya.
"Kenapa harus lari? Kita tidak bersalah," bantah Jayawijaya.
"Hemm, mungkin kita menganggap diri kita tidak bersalah. akan tetapi senopati itu dan anak buahnya tidak akan menganggap demikian. Kita tentu dianggap melawan dan memberontak.”
Mereka berjalan memasuki dusun itu. Di tepi dusun itu terdapat sebuah warung nasi yang ramai dikunjungi orang. Belasan orang pengunjung itu semua laki-laki dan kebanyakan masih muda. Dari cara mereka bercakap-cakap sambil tertawa menunjukkan bahwa mereka sedang bergembira. Joko Waras mengajak temannya untuk duduk di bangku paling ujung. Sekarang mengertilah Joko Waras mengapa para pengunjung itu semua laki-laki muda dan suasananya Nampak gembira. Kiranya penjaga warung nasi yang melayani mereka itu adalah seorang perawan dusun yang cantik manis. Biarpun dandanannya sederhana sekali namun gadis itu memang manis sekali dan memiliki daya tarik yang amat kuat.
"Ki sanak, siapakah nama andika?" tanya Joko Waras berbisik.
Jayawijaya menengok dan memandang Joko Waras sambil tersenyum. Mereka telah lari bersama dan tiba di tempat itu, memasuki warung itu bersama namun belum saling mengenal nama!
"Namaku Jayawijaya, dan siapa nama andika?"
"Aku Joko Waras dari dusun Selogiri di Gunung Kidul. Dan andika?"
"Aku dari Gunung Tengger."
Pada saat kedua orang muda itu saling bercakap dengan berbisik, kini pelayan warung yang manis itu menunjukkan perhatiannya kepada mereka. Melihat dua orang muda yang demikian tampan, Saritem, demikian nama pemilik atau pelayan warung nasi itu, merasa kagum dan senang. Sikap kedua orang muda yang bicara dengan bisik-bisik dan sopan itu saja menunjukkan bahwa mereka bukanlah dua orang muda dusun sembarangan.
"Ki sanak, andika berdua ingin makan dan minum apakah?" tanya Saritem kepada mereka sambil memandang wajah Joko Waras dengan penuh perhatian. Ketampanan pemuda ini sungguh menggerakkan hatinya.
"Oh, aku minta sepiring nasi sayur lodeh dan minum teh manis," kata Jayawijaya.
"Aku juga sama dengan permintaan kakang Jaya," kata Joko Waras sambil memandang kepada pelayan itu yang tersenyum manis memperlihatkan deretan gigi putih bersih dan indah.
"Kakang, yang jualan nasi ayu, ya?" kata Joko Waras.
Saritem tersipu dan kedua pipinya berubah kemerahan, lalu ia menyibukkan diri melayani mereka seolah tidak mendengar pujian itu. Padahal, jantungnya berdebar keras dan ia sendiri merasa heran. Sudah setiap hari ia mendengar pujian yang keluar dari mulut pria, akan tetapi mengapa pujian perjaka tampan ganteng ini membuatnya tersipu malu ?
"Hushh, adi Waras, jangan keras-keras memuji orang. Lihat, ia tersipu malu," tegur Jayawijaya lirih.
Retno Wilis memang seorang gadis yang lincah dan nakal. Sebagai Joko Waras, dia sengaja mengerlingkan matanya dan melirik tajam kepada Saritem, disertai senyum manis menawan dan ketika Saritem menjulurkan tangan menyerahkan piring nasi lodeh, dengan sengaja Joko Waras menerima piring itu dan menyentuhkan tangannya kepada tangan yang lunak lembut dan hangat itu. Saritem tidak marah, malah tersenyum dan tersipu menarik tangannya dengan lembut.
Joko Waras tersenyum lebar dan ia melihat betapa Jayawijaya yang melihat perbuatannya itu mengerutkan alisnya. Seorang pemuda yang alim, pikirnya. Akan tetapi ia merasa seperti menghadapi teka-teki besar terhadap Jayawijaya. Sudah terbukti betapa pemuda itu dapat menghindarkan semua serangan yang berbahaya dari senopati yang mata keranjang itu. Akan tetapi ketika diajaknya berlari, pemuda itu sama sekali tidak mampu berlari kencang.
Dan juga ketika menarik tangan pemuda itu, tenaganya biasa-biasa saja seperti tenaga orang yang tidak memiliki kepandaian tinggi. Pemuda macam apakah ini, yang tampaknya tidak memiliki ilmu kepandaian akan tetapi yang berani menentang kejahatan yang dilalakukan belasan orang pasukan pemerintah yang dipimpin oleh seorang senopati yang digdaya? Dan sekarang, dalam menghadapi Saritem, Jayawijaya memperlihatkan sikap seorang pemuda yang alim dan tidak suka menggoda wanita cantik!
Selagi mereka berdua makan nasi sayur lodeh yang hangat dan gurih itu, perhatian Joko Waras tidak pernah terlepas dari keadaan sekelilingnya. Belasan orang laki-laki muda berada di warung itu, duduk berserakan di bangku-bangku di dalam dan luar warung. Sebagian besar telah selesai makan dan kini bercakap-cakap gembira sambil kadang mengerling ke arah Saritem. Tapi ada seorang pemuda yang tidak sedang makan dan yang duduk di sebelah dalam warung itu amat memperhatikan mereka berdua. Joko Waras, memperhatikan pemuda ini.
Dia seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun. Tampangnya ganteng dan tubuhnya juga tegap kokoh seperti Raden Gatutkaca. Kumis tipisnya menambah kejantanannya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam dan berwibawa. Sejak Saritem melayani Joko Waras dan Jayawijaya, pemuda itu terus mengamati mereka berdua, terutama sekali Joko Waras. Hal yang membuat Joko Waras diam-diam merasa jengkel karena tidak enak sekali selagi makan ditonton orang seperti itu. Seolah-olah setiap dia mengunyah makanan, laki-laki itu mengikuti setiap gerak mulutnya. Tidak enak sekali!
Karena hatinya mendongkol, setelah nasi itu dimakan habis dan melihat pemuda itu masih saja memperhatikan dia dan Jayawijaya, Joko Waras memandang kepadanya kemudian mengedipkan sebelah matanya seperti memberi isarat dengan kedip-kedipan. Melihat mata Joko Waras berkedip-kedip kepadanya, pemuda gagah itu terbelalak lalu alisnya berkerut dan matanya menyinarkan kemarahan. Akan tetapi Joko Waras hanya tersenyum kepadanya.
"Semua berapa, nimas ayu ?" tanya Joko Waras dan sengaja meninggikan suaranya sehingga terdengar semua orang.
Saritem yang disebut nimas ayu itu tersenyum semringah. "Tidak ditambah tehnya, kakangmas?" tanya Saritem dengan suaranya yang merdu ditambah kerling tajam dan senyum memikat.
"Bagiku sudah cukup, nimas. Ah tehmu manis sekali, semanis penjualnya. Akan tetapi entah kalau kakang Jaya ingin minta tambah air tehnya."
"Aku juga sudah cukup," kata Jayawijaya yang segera bangkit dan mengambil uang receh dari saku bajunya dan membayar harga makanan dan minuman.
"Aih, kakangmas bisa saja memuji orang. Air teh buatan dusun begini mana bisa lezat dan manis," kata Saritem agak genit sambil tersenyum.
"Sungguh mati, nasi lodehnya hangat pulen dan gurih, air tehnya hangat sedap dan manis. Andika bukan saja cantik jelita dan manis, akan tetapi juga amat pandai memasak. Beruntunglah kelak orang yang menjadi suamimu, nimas ayu!" Joko Waras kembali memuji, kini agak berlebihan karena dia melihat betapa pemuda tadi memandangnya dengan mata mengandung kemarahan dan bahkan kini telah bangkit berdiri dari tempat duduknya.
Ucapan Joko Waras itupun terdengar oleh para pemuda lainnya dan empat orang pemuda yang duduk di luar warung tertawa-tawa mendengar ini. "Wah, Saritem tentu berkembang cuping hidungnya mendengar pujian setinggi langit itu!"
"Ha-ha, ia memang pantas mendapat pujian!"
"Siapa yang tidak akan memujinya? Ia cantik, manis dan dagangannya juga serba enak dan murah!"
"Aku sendiri kalau sehari saja tidak jajan di sini rasanya kangen sekali!"
Pemuda yang seperti Raden Gatutkaca itu melompat dari tempat duduknya dan sudah tiba di luar warung. Sekali dia menggerakkan kakinya, meja yang dihadapi empat orang itu terbang terlempar jauh.
"Babo-babo! Siapa berani main-main dengan Saritem? Apakah kalian berempat hendak menantangku? Majulah kalian berempat, keroyoklah aku, aku tidak takut menghadapi kalian untuk mempertahankan kehormatan Saritem kekasihku!"
Empat orang pemuda itu tampak ketakutan dan seorang diantara mereka berkata, "Saptoko, kenapa engkau marah-marah? Bukankah kita semua adalah kawan-kawan sedusun? Kalau kami memuji-muji Saritem, hal itu bukan karena kami ingin kurang ajar, melainkan memuji dengan wajar. Siapa orangnya tidak memuji kecantikan Saritem?"
"Aku melarang kalian sembarangan memuji Saritem seperti hendak mempermainkannya. Kalian semua harus menghormatinya atau kalian boleh berantem melawan aku!" kata pemuda yang bernama Saptoko itu dengan bertolak pinggang, akan tetapi matanya kini menatap ke arah Joko Waras.
Seorang pemuda tinggi besar, seorang di antara empat orang pemuda tadi melangkah maju menghampiri Saptoko, "Saptoko, jangan bersikap seperti itu. Saritem membuka warung nasi dan kami semua adalah langganannya yang baik, suka memuji-mujinya akan tetapi tidak ada yang pernah berkurang ajar kepadanya. Kenapa engkau marah-marah? Kalau tidak ingin Saritem dipuji orang, jangan perbolehkan ia membuka warung dan biarkan ia bersembunyi terus di dalam rumahnya."
Saptoko maju dan sekali mendorong dengan tangan kanannya, pemuda yang bertubuh tinggi besar dan tampak kuat itu terdorong mundur sampai terjengkang. "Pendeknya, aku melarang siapa saja yang berani main-main dengan Saritem, termasuk pemuda yang asing dan berdiri di sana itu!" katanya sambil menudingkan telunjuknya kepada Joko Waras.
Joko Waras terbelalak dan mengerutkan alisnya. Dengan lincahnya dia melompat dan menghampiri Saptoko. "Eh, ki sanak. Kenapa engkau menuding-nuding aku? Apa salahku kepadamu, heh?"
Saptoko marah sekali dan menudingkan telunjuknya ke arah Joko Waras. "Andika tadi berani memuji-muji dan menyebut Saritem nimas ayu, berarti engkau menantangku!" Saptoko membuka kancing bajunya dan memperlihatkan dadanya yang kokoh dan bidang.
"Eh-eh, apa-apaan ini? Aku menyebut nimas ayu Saritem, sedangkan orangnya merasa senang dan tidak marah, kenapa engkau mencak-mencak seperti orang kebakaran kumis? Aku datang dan membeli makanan minuman, beramah-tamah dengan penjualnya, dengan sopan dan tidak melanggar kesusilaan, apa perdulimu?"
"Apa perduliku? Saritem adalah kekasihku, calon isteriku!" bentak Saptoko.
"Kalau engkau tidak ingin ia bicara dengan orang lain, kenapa memperbolehkan berjualan nasi? Suruh ia bersembunyi dikamarnya seperti kata saudara tadi."
"Kakang Saptoko, jangan begitu, kakang!" Saritem kini keluar dari warungnya dan berdiri di depan Saptoko dengan alis berkerut dan mulut cemberut. "Engkau ini ada apakah, tiada hujan tiada angin mengamuk seperti orang tidak waras?"
Orang tinggi besar yang tadi didorong jatuh, karena merasa tidak senang lalu berkata,
"Kalau saja Ki Blekok yang datang mengganggu, tentu dia tidak berani apa-apa."
Saptoko menjadi semakin marah mendengar ini.
"Aku memang kalah oleh Ki Blekok, akan tetapi terhadap pemuda cilik ini, siapa takut? Kalau dia berani banyak cakap, akan kurobek mulutnya!" Marah benar Saptoko ini sehingga mengeluarkan ancaman yang demikian mengerikan.
Joko Waras juga menjadi marah. Siapa tidak akan marah mendengar mulutnya akan dirobek orang? Dia melompat lagi dan tiba di hadapan Saptoko.
"Apa kau bilang? Engkau mau merobek mulutku? Aku berani bertaruh bahwa sebelum engkau mampu menyentuh mulutmu yang akan lebih dulu robek!"
Saptoko menjadi semakin marah. Dia mengepal kedua tangannya dan bersikap hendak menyerang. Akan tetapi Saritem menghalanginya dan memegangi tangannya.
"Kakang Saptoko, jangan berkelahi. Aku akan bersedih kalau engkau seperti ini dan berkelahi dengan orang lain. Kakangmas ini sama sekali tidak bersalah, jangan pukul dia!"
Jayawijaya yang melihat Saptoko hendak menyerang Joko Waras, juga maju menghalangi. "Ki sanak, bersabarlah. Adi Joko Waras ini tidak mempunyai niat buruk. Tenangkanlah hatimu."
Akan tetapi Saptoko mengira bahwa Jayawijaya hendak mengeroyok, maka dia memegang tangan Jayawijaya dan menariknya dengan sentakan. Tubuh Jayawijaya terhuyung dan dia tentu akan tersungkur jatuh kalau Joko Waras tidak cepat memegang tangannya dan menahannya.
"Kakang Saptoko, aku akan marah kepadamu!" teriak Saritem.
"Aih, Saritem, setidaknya berilah kesempatan kepadaku untuk melindungimu dari godaan pria lain!"
Joko Waras sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Boleh jadi Saptoko bukan orang jahat, melainkan hanya seorang kekasih yang pencemburu, akan tetapi laki-laki kasar seperti itu pantas dihajar.
"Saptoko, masihkah engkau ada keberanian untuk bertanding dengan aku? Tanpa keroyokan?"
"Aku seorang laki-laki! Tidak sudi aku melakukan pengeroyokan."
"Kakang Saptoko...!"
"Saritem, berilah aku kesempatan untuk menandingi pemuda ini," pinta Saptoko kepada Saritem dengan suara minta dikasihani. Terhadap gadis itu suara pemuda gagah ini begitu lembut dan merayu.
Saritem kini menghadapi Joko Waras. "Kakangmas, harap jangan layani Kakang Saptoko. Dia memang keras hati, akan tetapi hatinya baik sekali. Engkau akan kalah kalau melawan dia. Dia seorang kuat dan digdaya, kakangmas."
Joko Waras tersenyum. "Saritem, jangan khawatir. Aku tidak akan merobek mulut pemuda kasar ini, hanya akan membuktikan kepadanya bahwa di dunia ini masih terdapat banyak orang yang lebih pandai dari pada dia. Hayolah, Saptoko. Majulah dan lawanlah aku!" Joko Waras menantang.
"Baik, sambut seranganku ini!"
Saptoko lalu menyerang dengan pukulan tangan kanannya. Pukulannya itu dilakukan dengan mantap dan cepat menurut ilmu pencak silat yang baik. Namun, gerakan itu masih terlampau lamban bagi Joko Waras dan dengan gerakan indahnya dia menangkis sambil memutar tubuh dan tangan kirinya menampar ke arah kepala lawan.
Saptoko dapat mengelak pula dan kembali dia menyerang dengan secepat dan sekuatnya. Namun, sernua serangannya dapat dielakkan oleh Joko Waras. Sampai belasan jurus Saptoko menyerang, namun tanpa hasil. Semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh Joko Waras.
"Adi Joko Waras, jangan lukai orang!" kata Jayawijaya yang menonton pertandingan itu dengan sikap tenang. Dia sudah maju, bahwa Joko Waras adalah seorang pemuda yang digdaya, dapat mengalahkan belasan orang perajurit Blambangan, maka dia dapat menduga bahwa Saptoko bukanlah lawanya dan dia khawatir kalau-kalau Joko Waras akan melukainya.
Semua orang muda yang berada di situ kini membentuk lingkaran dan menonton pertandingan itu. Semua orang terkagum-kagum kepada Joko Waras. Pemuda yang tampaknya masih remaja itu ternyata mampu menandingi Saptoko, pemuda dusun itu yang dianggap paling jagoan. Setelah belasan jurus dan Saptoko belum mampu menyentuh ujung baju Joko Waras yang memperlihatkan kegesitannya seperti seekor burung srikatan, tiba-tiba Saptoko menggerakkan kaki kanannya menendang dengan sekuat tenaga.
"Wuuuuttt....!" Kaki kanan itu menyambar akan tetapi dengan enaknya Joko Waras mengelak dan sebelum Saptoko menarik kembali kakinya yang menendang, kaki itu telah dapat ditangkap oleh Joko Waras dan didorong ke atas lalu dilontarkan!
Tubuh Saptoko melayang ke atas dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh itu terbanting jatuh dan sialnya, dia jatuh telungkup sehingga ketika dia bangkit kembali, bibirnya yang ujung pecah mengeluarkan darah!
Saptoko berdiri dengan kedua kaki terpentang. Dia masih belum sadar benar apa yang telah terjadi dengan dirinya. Baru dia menyadari ketika para pemuda di situ bertepuk tangan memuji Joko Waras yang berdiri di depannya sambil tersenyum manis.
"Bagaimana, Saptoko. Apakah engkau masih penasaran?" tanya Joko Waras. "Aku bukan musuh, akan tetapi kalau engkau menantangku, tentu akan kulayani. Minta berkelahi sampai berapa hari akan kulayani!"
Saptoko tercengang dan kini teringatlah dia akan perkelahian tadi. Baru tiga hari yang lalu, ketika orang yang menamakan dirinya Ki Blekok menggoda Saritem secara kurang ajar lalu berkelahi dengannya, dia dikalahkan oleh Ki Blekok. Akan tetapi dia kalah setelah melalui perkelahian yang ramai dan seru. Biarpun dia kalah akan tetapi setidaknya dia dapat mengimbangi kedigdayaan Ki Blekok yang katanya merupakan jagoan dari dusun di lereng bukit. Sedangkan apa yang dia baru saja alami amatlah mengherankan. Dia sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh Joko Waras bagian manapun juga, apa lagi hendak merobek mulutnya! Dan tadi ketika dia mengirim tendangan, sebuah ilmu serangan yang biasanya tidak pernah gagal, tendangan itu luput dan tiba-tiba saja tubuhnya terlempar ke atas dan jatuh, terbanting keras!
Saptoko adalah seorang yang berjiwa gagah, dan tahu diri. Dia tahu pada saatnya dia kalah berhadapan dengan orang yang lebih kuat, hanya yang membuat dia penasaran, mengapa dia kalah oleh seorang perjaka tanggung seperti Joko Waras!
"Aku mengaku kalah!" katanya sambil melangkah lebar keluar dari lingkaran orang-orang itu, memasuki malam yang hampir tiba.
"Kakang Saptoko...!" Saritem keluar dari warungnya dan mengejar, memanggil. Akan tetapi Saptoko hanya menengok sebentar dan berkata singkat.
"Aku telah kalah dua kali. Aku tidak ada gunanya, Saritem!" dan diapun melanjutkan langkahnya yang lebar.
Saritem terisak, tak kembali ke dalam warungnya. Para pemuda yang makan di warung itu ikut merasa tidak enak dan setelah membayar harga makanan dan minuman, mereka meninggalkan tempat itu, agaknya merasa curiga dan tidak nyaman bersama dua orang pemuda asing yang telah mengalahkan jagoan mereka itu.
Joko Waras dan Jayawijaya berdua tinggal di warung. "Saritem, sebetulnya siapakah Saptoko itu? Dia itu kekasih hatimu, calon suamimu?"
"Dahulu memang begitu, kakangmas. Aku mengharapkan dia untuk menjadi suamiku karena dia baik budi dan mencintaiku, walaupun wataknya jujur dan kasar. Akan tetapi semenjak muncul Ki Blekok itu, hubungan kami terganggu karena dia merasa telah dikalahkan Ki Blekok dan tidak akan mampu merebut aku dari tangan Ki Blekok."
"Hemmm, dan siapa itu Ki Blekok?" tanya Joko Waras penasaran.
"Dia jagoan dari dusun Benang di lereng bukit itu, orangnya berusia empatpuluh tahun, galak sombong dan mata keranjang. Tiga hari yang lalu dia makan di sini dan langsung saja dia melamarku. Aku menolak dan kakang Saptoko marah sehingga terjadi perkelahian antara kakang Saptoko dan Ki Blekok. Akan tetapi kakang Saptoko kalah dan Ki Blekok pergi setelah berkata bahwa seminggu lagi dia akan datang untuk memboyongku ke dusunnya."
"Dan engkau mau?"
"Aku tidak sudi, kakangmas. Akan tetapi apa dayaku? Aku hanya hidup berdua dengan ibuku yang sudah janda. Ibu juga tidak mampu berbuat sesuatu. Kami hanya mengandalkan perlindungan kakang Saptoko, akan tetapi kakang Saptoko bahkan tadi kalah olehmu. Harga dirinya tentu telah terpukul parah dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan nanti kalau Ki Blekok muncul." Gadis manis itu lalu menangis sesenggukan.
"Jangan menangis, Saritem, dan jangan khawatir. Kalau Ki Blekok datang dan hendak memaksamu menjadi isterinya di luar kehendakmu, aku yang akan mencegah dan menegurnya. Tidak ada aturan yang membenarkan seseorang memaksa seorang wanita untuk menjadi isterinya diluar kehendaknya!" kata Jayawijaya dengan suaranya yang lembut dan ucapan ini tentu saja merupakan hiburan besar bagi Saritem.
"Benarkah andika akan melakukan hal itu, kakangmas? Ah, terima kasih sekali!" kata gadis itu dengan girang.
"Tentu saja kakang Jayawijaya akan melakukan hal itu. Dia seorang laki-laki sejati yang sekali berjanji pasti akan dipenuhi. Perkenalkanlah, Saritem. Dia ini kakang Jayawijaya dan aku adalah JokoWaras. Pekerjaan kami berdua memang menegakkan yang lurus dan meluruskan yang bengkok, membela kebenaran dan keadilan dan menentang yang tidak benar."
"Ah... ah... terima kasih, kakangmas berdua. Sekarang aku akan menutup warung ini dan segera menemui kakang Saptoko untuk memberitahu kepadanya agar hatinya ikut pula menjadi tenang."
"Mari kami bantu, Saritem!" kata Joko Waras dan diapun segera membantu tanpa diminta.
Melihat ini, Jayawijaya terpaksa membantu juga. Pada mulanya Jayawijaya merasa tidak senang menyaksikan Joko Waras seperti bermanis muka dan merayu si gadis manis itu, akan tetapi melihat kesungguhan hatinya untuk membantu gadis itu dan kekasihnya, rasa tidak senangnyapun hilang. Dia percaya lagi bahwa teman barunya itu bukan golongan pemuda yang mata keranjang dan suka mengganggu wanita cantik...
********************