Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Sepasang Garuda Putih Jilid 15
PADA saat itu terdengar suara gemuruh dan dari jauh tampak datang ratusan orang perajurit Blambangan. Hal ini memang telah diatur sebelumnya oleh Wasi Shiwamurti. Setelah tadi melihat bahwa pihaknya kalah tiga dua melawan pihak Retno Wilis, sebelum dia sendiri maju sebagai jago terakhir, dia telah membisiki Senopati Kurdolangit untuk mendatangkan bala bantuan pasukan untuk mengepung dan menangkap enam orang itu.
Melihat datangnya demikian banyak perajurit dan melihat pula betapa belasan orang perajurit yang berada di situ mulai mengepung mereka, pihak Retno Wilis menjadi terkejut sekali. juga Bagus Seto melihat ini maka dia melayang turun. Ketika tongkat kepala naga menyambar ke arahnya, dia menangkis dengan kain pengikat kepala yang melibat tongkat itu sehingga tongkat itu tidak mampu digerakkan lagi. Bagus Seto menyimpan bunga cempaka dan pada saat itu, Wasi Shiwamurti menghantamnya dengan tangan kiri yang terbuka. Pukulan ini dahsyat sekali mengandung hawa sakti yang amat kuat. Melihat ini, Bagus Seto juga mendorongkan telapak tangan kirinya menyambut.
"Blarrrr....!" Dua tenaga sakti yang amat dahsyat bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Wasi Shiwamurti terhuyung ke belakang dan tongkatnya terlepas dari libatan kain pengikat kepala yang dipegang Bagus Seto.
Pada saat itu, Endang Patibroto yang melihat datangnya pasukan, segera berteriak kepada putera puterinya.
"Bagus! Retno! Cepat lari....! Mereka curang, mendatangkan pasukan. Lari...!"
Retno Wilis menyambar pergelangan tangan kiri Jayawijaya dan mengajaknya lari dari tempat itu. Harjadenta dan Jarot juga melihat bahaya, maka merekapun melompat dan merobohkan perajurit yang berani menghalangi mereka, lalu melarikan diri. Endang Patibroto menggerakkan kaki tangannya dan empat orang perajurit pengepung berpelantingan dan tidak ada lagi yang berani menghalangi wanita ini lari. Demikian pula Retno Wilis. Biarpun sebelah tangannya ia menarik tangan Jayawijaya, namun dengan kaki dan tangan kirinya ia merobohkan dua orang perajurit lalu berlari cepat sambil menarik Jayawijaya. Bagus Seto sendiri juga melompat dan lari paling belakang untuk melindungi yang lari di depannya.
Pasukan itu telah datang dan dua orang senopati, Rajah Beling dan Kurdolangit, segera mengerahkan mereka untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi Wasi Shiwamurti dan para pembantunya tidak melakukan pengejaran. Sebetulnya para pembantu itu melihat Wasi Shiwamurti tidak melakukan pengejaran, merekapun tidak berani mengejar karena mereka merasa jerih terhadap Endang Patibroto, Retno Wilis, dan terutama Bagus Seto. Wasi Shiwamurti sendiri tidak melakukan pengejaran karena merasa malu kalau harus ikut mengeroyok. Diapun maklum dari pertemuan tenaganya dengan tenaga Bagus Seto tadi bahwa dia tidak akan menang melawan pemuda luar biasa itu.
Enam orang itu melarikan diri dengan cepat sekali sehingga pengejaran pasukan Blambangan itu menjadi sia-sia. Mereka tertinggal jauh. Setelah tiba di luar batas Blambangan, baru mereka berhenti berlari. Endang Patibroto lalu berkata kepada kedua orang putera putrinya.
"Bagus Seto dan engkau Retno Wilis, aku sudah mendengar bahwa kalian sudah melakukan penyelidikan ke Nusabarung dan sekarang juga berada di daerah Blambangan. Kita semua sudah tahu belaka bahwa Blambangan dan Nusabarung telah mengadakan persiapan untuk memberontak terhadap Jenggala. Selain itu juga mereka mendatangkan pendeta-pendeta dari Cola yang menyebarkan agama sesat kepada rakyat jelata dengan paksaan. Semua ini sudah cukup untuk dijadikan laporan kepada Sang Prabu di Panjalu. Oleh karena itu, mari kita pulang ke Panjalu melapor kepada ayah kalian."
"Kanjeng Ibu, saya menduga bahwa setelah mendengar laporan ini, Panjalu dan Jenggala tentu akan mengirim pasukan untuk menundukkan Nusabarung dan Blambangan. Akan terjadi perang dan kalau sudah begitu, saya tidak suka terlibat dalam perang."
"Aku juga tidak suka ikut berperang," kata Retno Wilis dan pernyataan puterinya ini mengherankan hati Endang Patibroto.
Biasanya, puterinya ini adalah seorang yang suka berperang dan merobohkan sebanyak mungkin musuh. Sekarang ia menyatakan tidak suka ikut berperang. Ia tahu bahwa tentu puterinya sedikit banyak telah terpengaruh kakaknya yang biarpun amat sakti namun tidak suka akan kekerasan.
"Urusan perang adalah urusan ayah kalian. Kalian tidak perlu mencampuri. Akan tetapi keadaan di Nusabarung dan Blambangan harus dilaporkan karena kalau dibiarkan saja, dapat membahayakan Panjalu dan Jenggala. Marilah kita pulang dan melaporkan kepada ayah kalian agar ayah kalian dapat melapor kepada Sang Prabu dan dapat diambil tindakan terhadap Nusabarung dan Blambangan sebelum terlambat," kata Endang Patibroto.
Retno Wilis menoleh dan memandang kepada Bagus Seto seolah hendak minta keputusan dari kakaknya itu. Bagus Seto mengangguk dan berkata kepada adiknya,
"Diajeng, sudah semestinya kalau kita menuruti kata-kata kanjeng ibu dan kembali ke Panjalu menghadap kanjeng romo."
"Kalau begitu, marilah kita segera pergi sebelum mereka mengejar sampai di sini Anakmas Jayawijaya, anakmas Harjadenta, dan anakmas Jarot, kami bertiga hendak kembali ke Panjalu. Andika bertiga hendak ke mana?"
"Saya akan pulang ke kadipaten Pasisiran, melapor kepada kanjeng romo agar mengadakan persiapan dan kalau tiba saatnya kami akan membantu gerakan pasukan Panjalu dan Jenggala," kata jarot. "Setelah Nusabarung dan Blambangan dapat ditundukkan, barulah saya akan pergi ke Panjalu dan mengunjungi keluarga kanjeng bibi."
"Baik sekali anakmas Jarot. Bantuan dari Pasisiran tentu akan sangat berguna bagi kami. Dan Andika, anakmas Harjadenta?"
Harjadenta memandang kepada Retno Wilis. "Sayapun ingin sekali berkunjung ke Panjalu menyambung persahabatan saya dengan kakangmas Bagus Seto dan diajeng Retno Wilis, akan tetapi tentu saja saya akan menunggu sampai akhirnya perang terhadap Nusabarung dan Blambangan yang memberontak. Sekarang saya akan pulang dulu ke Gunung Raung menghadap Eyang Empu Gandawijaya."
"Baiklah, kami tunggu kunjunganmu kelak, anakmas Harjadenta. Dan bagaimana dengan andika, anakmas Jayawijaya?"
Jayawijaya memandang kepada Retno Wilis. Rasanya berat untuk berpisah dari gadis itu, akan tetapi dia tersenyum dan memberi hormat kepada Endang Patibroto dan berkata,
"Kanjeng Bibi Endang Patibroto, saya telah mendapat kehormatan besar sekali dapat berkenalan dengan kanjeng bibi sekeluarga. Sekarang saya akan kembali ke Pegunungan Tengger menceritakan pengalaman saya kepada kanjeng romo dan setelah keadaan damai saya akan mengajak kanjeng romo untuk berkunjung kepada kanjeng bibi sekeluarga."
"Jangan lupa aku selalu menunggu kunjunganmu, kakang Jaya," kata Retno tanpa malu-malu karena ucapannya ini sedikit banyak membuka rahasia hatinya terhadap pemuda itu.
Jarot mengerutkan alisnya dan memandang kepada Jayawijaya, akan tetapi Harjadenta menundukkan mukanya. Pemuda ini pernah menyatakan cintanya kepada Retno Wilis namun ditolak dengan halus oleh gadis itu dan diapun tahu diri, tidak berani lagi mengharapkan dara perkasa itu untuk menjadi jodohnya.
"Mari kita berpencar dan pergi dari sini sekarang juga, jangan sampai keburu mereka yang mengejar kita sampai di sini!" kata Endang Patibroto dan setelah saling memberi salam perpisahan, mereka semua meninggalkan tempat itu, mengambil jalan masing-masing.
Ki Patih Tejolaksono, Patih Anom dari Panjalu, menyambut kembalinya isteri, putera dan puterinya dengan gembira. Apa lagi melihat perubahan pada sikap Retno Wilis, dia menjadi gembira sekali. Kalau dulu Retno Wilis bersikap dingin, kini ia berubah menjadi seorang puteri yang hangat dan ramah, penuh hormat kepada ayah bundanya. Sifat keliarannya menghilang dan Ki Patih Tejolaksono mengerti bahwa ini berkat bimbingan Bagus Seto, puteranya yang luar biasa itu. Menghadapi puteranya sendiri ini, Ki Patih Tejolaksono merasa seolah menghadapi seorang yang tingkatannya lebih tinggi sehingga menimbulkan rasa hormat dan kagum dalam hatinya.
Dengan penuh perhatian Ki Patih Tejolaksono mendengarkan Endang Patibroto dan Retno Wilis yang menceritakan pengalaman mereka. Dia mengerutkan alisnya ketika mendengar akan keadaan di Nusabarung dan Blambangan, apalagi tentang cara-cara para tokoh dari Cola menyebarkan agama sesat itu.
"Hemm, berita ini penting sekali! Perlu segera kulaporkan kepada Sang Prabu. Memang telah diketahui bahwa Nusabarung dan Blambangan tampaknya menyusun kekuatan dan hendak memberontak, akan tetapi baru sekarang aku tahu bahwa mereka itu bersekutu dan ada usaha melemahkan Panjalu dan Jenggala. Sekarang juga aku harus menghadap Sang Prabu untuk memberi laporan tentang hasil perjalanan dan penyelidikan kalian,"
Hari itu juga Ki Patih Tejolaksono pergi menghadap dan diterima oleh Sang Prabu Sri Jayawarshe Digdaya Shastraprabu. Persidangan itu lengkap dihadiri para pembantu Sang Prabu, di antaranya Senopati Sepuh Suryoyudo dan yang lain-lain. Dengan suara yang tenang dan lancar, Ki Patih Tejolaksono melaporkan apa yang didengarnya dari isteri dan anak-anaknya, tentang hasil penyelidikan mereka. Laporan tentang persiapan perang yang dilakukan kadipaten Nusabarung dan Blambangan tidak mengejutkan karena semua orang sudah mendengar akan hal itu. Akan tetapi keterangan bahwa Nusabarung dan Blambangan didukung oleh Bali-dwipa, dan bahwa ada usaha dari kedua kadipaten itu untuk menimbulkan pertentangan di antara rakyat Jenggala dengan menyebar agama baru yang sesat, mengejutkan Sang Prabu dan para hulabalangnya.
"Kanjeng Gusti, dengan seijin paduka, perkenankan hamba sekarang juga memimpin pasukan untuk menundukkan Nusabarung dan Blambangan, juga membasmi para penyebar agama sesat itu!" terdengar Ki Patih Suryoyudo dengan suara lantang.
Patih yang usianya sudah tujuh puluhan tahun ini memang masih gagah dan penuh semangat. Sang Prabu menoleh kepadanya dan berkata dengan lembut.
"Paman Patih Suryoyudo, kami tidak ragu akan kemampuan andika. Akan tetapi andika sudah tua dan sebaiknya menemani kami di istana dan menjaga ketenteraman dalam kotaraja. Mengenai penalukan Nusabarung dan Blambangan, juga pembasmian para penyebar agama sesat itu, kami serahkan kepada Ki Patih Tejolaksono."
"Sendiko dawuh paduka, Kanjeng Gusti," kata Ki Patih Suryoyudo dengan patuh.
Dia patuh dan tidak kecewa karena diapun maklum bahwa patih anom itu memiliki kesaktian yang bahkan melebihi kesaktiannya sendiri dan diapun tidak ragu bahwa kalau Ki patih Tejolaksono yang maju memimpin pasukan, Nusabarung dan Blambangan pasti akan dapat ditundukkan.
"Hamba siap melaksanakan perintah paduka, Kanjeng Gusti," kata Ki Patih Tejolaksono sambil menghaturkan sembah.
"Kakang Patih Tejolaksono, buatlah persiapan dengan membawa pasukan secukupnya, kemudian berangkatlah segera ke Nusabarung dan Blambangan. Bujuk kedua adipati itu untuk menakluk dan datang menghadap. Kalau mereka menolak, beri hajaran kepada mereka, taklukkan mereka dengan kekuatan. Jangan lupa, cari biang keladi penyebaran agama sesat itu dan basmi mereka."
"Sendiko dawuh paduka, Kanjeng Gusti. Hamba mohon doa restu."
"Kami bekali puja pangestu yang berlimpah, Kakang Patih."
"Terima kasih, Gusti."
Persidangan dibubarkan dan Ki Patih Tejolaksono segera pulang ke gedungnya untuk memberitahu kedua isterinya, Endang Patibroto dan Ayu Candra, dan kedua orang anaknya. Keluarga ini lalu berkumpul untuk membicarakan tugas yang oleh Sang Prabu diberikan kepada Ki Patih Tejolaksono. Setelah dia menceritakan hasil laporannya kepada Sang Prabu dan tentang tugas yang harus dipikulnya, Endang Patibroto lalu berkata,
"Aku akan menemanimu kakangmas. Aku akan membantumu menaklukkan kedua kadipaten itu dan menghadapi para wasi penyebar agama sesat itu." Ucapan Endang Patibroto itu diucapkan penuh semangat.
Ayu Candra yang lemah lembut itupun berkata halus, "Akupun ingin ikut membantumu dan diajeng Endang Patibroto, kakang mas."
"Jangan kalian berdua pergi semua, lalu siapa yang akan berjaga di kepatihan ini?" kata Ki Patih Tejolaksono. "Diajeng Ayu Chandra, lebih baik andika berjaga di rumah saja. Biarlah diajeng Endang Patibroto ikut, sekalian menjadi petunjuk jalan karena ia sudah menyelidiki ke Nusabarung dan Blambangan."
"Apa yang dikatakan kakangmas itu betul, mbakayu. Engkau menjaga rumah karena keamanan di kepatihan juga amat penting. Biarlah aku yang pergi membantu suami kita, juga Retno Wilis dan Bagus Seto membantu ayah mereka."
"Kanjeng ibu, saya tidak ingin melibatkan diri dalam perang," kata Bagus Seto dengan lembut.
"Sayapun tidak mau ikut berperang di mana saya harus membunuh banyak orang," kata pula Retno Wilis.
"Kalian berdua tidak perlu ikut berperang. Akan tetapi para wasi dari Cola itu amat sakti. Kalau kalian berdua tidak membantu, ayah kalian dan aku tentu akan kewalahan menghadapi mereka," kata Endang Patibroto.
"Bagus Seto dan Retno Wilis," kata Ki Patih Tejolaksono dengan tenang, "kalian tentu ingat bahwa kehidupan ini baru ada manfaatnya kalau kita melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam kehidupan ini. Hidup berarti melaksanakan kewajiban-kewajiban itu. Kewajiban sebagai seorang ayah atau ibu, kewajiban sebagai seorang suami atau isteri, sebagai anak, sebagai sahabat, sebagai bawahan, sebagai atasan, sebagai kawula. Mempertahankan negara termasuk kewajiban suci dari seorang kawula. Lalu apa artinya menjadi kawula Negara kalau tidak mau membela negara? Membunuh orang berdasarkan kebencian dan permusuhan pribadi memang tidak baik dan tidak benar, anak-anakku. Akan tetapi membunuh musuh dalam perang merupakan tugas kewajiban seorang kawula yang membela negaranya, bebas dari pada rasa benci perorangan. Nah, sebagai kawula Panjalu, kalian juga berkewajiban untuk membela negara."
"Sudahlah," Endang Patibroto berkata, "Kalau kedua orang anak kita ini tidak mau terlibat perang, terserah kepada mereka. Akan tetapi mereka harus membantu dalam menghadapi para wasi penyebar agama sesat itu, kecuali kalau mereka rela melihat rakyat dipaksa memeluk agama sesat dan kalau mereka tega melihat ayah ibunya menghadapi para wasi yang sakti mandraguna itu tanpa membantu."
"Kakang, kita harus membantu ayah menghadapi mereka!" Retno Wilis berkata sambil memegang tangan Bagus Seto dan mengguncangnya.
Bagus Seto tersenyum dan mengangguk. "Baiklah dan kita lihat saja. Kalau memang amat diperlukan, kita turun tangan membantu."
Ki Patih Tejolaksono dan Endang Patibroto merasa girang sekali. Hati suami isteri ini menjadi besar melihat kedua orang anak mereka yang boleh diandalkan itu mau ikut. Ayu Chandra yang tadi merasa tidak enak melihat Bagus Seto tidak mau ikut, kini lega juga hatinya mendengar kesanggupan Bagus Seto.
"Aku merasa ikut girang kalau engkau mau ikut, anakku. Semoga Sang Hyang Widhi memberi kekuatan kepadamu untuk menanggulangi semua rintangan yang dihadapi ayah dan ibumu."
Demikianlah, Ki Patih Tejolaksono membuat persiapan, memilih pasukan istimewa dan keesokan harinya, berangkatlah pasukan itu dipimpin Ki Tejolaksono yang diiringkan isterinya Endang Patibroto dan kedua orang anaknya, Bagus Seto dan Retno Wilis. Mereka bertiga menunggang kuda dan di sepanjang jalan mereka dielu-elukan rakyat jelata yang memandang kagum kepada empat orang itu yang tampak gagah perkasa. Ki Patih Tejolaksono yang berusia lima puluh dua tahun menunggang kuda pancal panggung yang berkaki putih, masih tampak muda dan gagah perkasa. Di pinggangnya terselip sebatang keris pusaka pemberian Sang Prabu. Di sisinya, Endang Patibroto menunggang seekor kuda hitam, sudah berusia lima puluh tahun akan tetapi masih tampak cantik dan anggun, dengan sebatang keris terselip di pinggangnya, gagah perkasa seperti Woro Srikandi.
Pasangan yang sudah amat dikenal rakyat ini mendatangkan rasa kagum di hati penonton yang mengelu-elukan mereka. Di Belakang pasangan ini, juga menunggang seekor kuda coklat, tampak Bagus Seto yang berpakaian serba putih, lemah lembut dengan sinar matanya yang penuh kesabaran, gerak geriknya halus, seperti Raden Arjuna yang tidak tampak gagah perkasa melainkan lembut namun di balik kelembutan itu terkandung kekuatan yang maha dahsyat yang membuat orang memandang dengan hati tunduk.
Di sampingnya, duduk di atas seekor kuda berbulu putih adalah Retno Wilis yang menjadi pusat perhatian penonton. Seorang gadis yang juga berpakaian serba putih dari sutera, cantik jelita dan gagah perkasa, dengan sebatang pedang di punggungnya, bertubuh sempurna dengan lekuk lengkung yang menggairahkan. Sinom yang melingkar-lingkar di dahinya bergerak-gerak tertiup angin, alisnya yang hitam melengkung dan matanya seperti bintang kejora. Mulutnya tersenyum dan lesung pipit di sebelah kiri mulutnya menambah kemanisannya.
Hati para pria muda yang memandang menjadi terpesona oleh kecantikan dan keanggunan yang amat menawan itu. Sepasang orang muda yang berpakaian serba putih itu benar-benar membuat hati mereka yang menonton berdebar penuh kebanggaan dan kekaguman. Bangga karena mereka adalah putera puteri Ki Patih Tejolaksono yang telah lama menjadi kebanggaan mereka.
Lima losin barisan pengawal menunggang kuda di depan, diikuti oleh Sang Patih dan isteri serta dua orang puteranya dan di belakang mereka berbaris pasukan berkuda, lalu diikuti pasukan pejalan kaki. Jumlah mereka tidak kurang dari selaksa orang.
Sesuai dengan perintah Sang Prabu di Panjalu, Ki Patih Tejolaksono membawa pasukannya singgah di Kerajaan Jenggala. Pasukan berhenti di luar kadipaten, dan Ki Patih Tejolaksono, diikuti Endang Patibroto, Retno Wilis dan Bagus Seto memasuki kadipaten menghadap Sri Samarotsoha Karnake shana Dharmawangsa Kirtisinga Jayantaka Tungga Dewa, raja di Jenggala yang dahulunya bernama Pangeran Sigit dan pernah menjadi teman seperjuangan Ki Patih Tejolaksono dan Endang Patibroto. Bahkan Setyaningsih yang kini menjadi permaisuri Raja Jenggala adalah saudara kandung Endang Patibroto. Maka kedatangan keluarga Ki Patih Tejolaksono ini disambut dengan gembira dan meriah oleh keluarga Raja Jenggala. Tentu saja Sang Prabu Jenggala sudah mendengar akan gerakan pasukan yang dilakukan Panjalu untuk menundukkan Nusabarung dan Blambangan dan untuk itu diapun sudah mempersiapkan pasukan sebanyak dua ribu orang untuk diikut sertakan dan membantu pasukan Panjalu. Bantuan ini dengan senang hati diterima oleh Ki Patih Tejolaksono.
Tidak lama mereka singgah di Jenggala dan pada hari itu juga, pasukan diberangkat kan menuju ke timur. Kini jumlahnya bertambah menjadi dua belas ribu orang. Jauh sebelum mereka tiba di pesisir yang menjadi tapal batas kadipaten Nusabarung, pihak Nusabarung sudah mendengar lebih dulu dari para telik sandi mereka dan sudah membuat persiapan untuk melakukan perlawanan. Bahkan mereka telah mendapat balabantuan dari Blambangan sebanyak seribu orang perajurit sehingga jumlah mereka semua ada enam ribu perajurit. Sebagian besar para perajurit itu berjaga di sekitar pantai Nusabarung dan sebagian lagi menjaga di luar kadipaten yang berada di tengah-tengah pulau.
Ki Patih Tejolaksono menghentikan pasukannya di pantai Laut Kidul, membuat perkemahan di situ. Lalu semua alat pembuatan perahu yang telah dipersiapkan lebih dulu dikeluarkan dan sibuklah para ahli pembuat perahu bekerja siang malam membuat perahu. Karena banyaknya orang yang bekerja, dan alat-alat sudah lengkap juga di situ banyak pohon-pohon yang dapat ditebang dan kayunya dibuat papan perahu, maka dalam waktu dua pekan saja selesailah sudah ratusan buah perahu yang akan menyeberangkan pasukan itu ke Nusabarung. Pasukan itu telah membawa selain perlengkapan pembuatan perahu, juga tukang-tukang perahu yang ahli melayarkan perahu-perahu itu menyeberang lautan.
Akan tetapi pelayaran menuju Nusabarung itu tidak mudah karena di tengah Lautan mereka dihadang banyak perahu dari para perajurit Nusabarung sehingga terjadi pertempuran di tengah lautan. Perang anak panah terjadi dan setelah perahu-perahu saling mendekat, terjadilah perang campuh di atas perahu. Ahli-ahli berlayar dari Panjalu dan Jenggala mengemudikan perahu dengan sibuk dan hati-hati ketika perahu-perahu itu bertabrakan dan di atas perahu terjadi pertempuran seru.
Akan tetapi karena jumlah perajurit kalah banyak, dan kalah dalam hal ketangkasan bertempur, pasukan Nusabarung mundur dan melarikan diri dengan sisa perahu-perahu mereka ke pulau, lalu membentuk barisan di pantai pulau itu menanti datangnya perahu-perahu musuh.
Setelah pasukan Panjalu dan Jenggala mendarat, terjadilah pertempuran di darat, di pantai pulau Nusabarung. Dalam pertempuran itu, Ki Patih Tejolaksono dan Endang Patibroto melihat betapa di bagian kiri para perajurit mereka menjadi kacau dan banyak yang berpelantingan, tidak kuat menghadapi amukan lima orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan mereka ini mengamuk dengan golok mereka. Bahkan dua orang senopati dari Jenggaia yang menjaga bagian itu kabarnya sudah roboh pula. Mendengar ini, Endang Patibroto lalu meloncat dan berlari ke bagian itu, diikuti oleh suaminya.
Adapun Bagus Seto dan Retno Wilis hanya menonton dari tempat tinggi, tidak mencampuri perang itu. Akan tetapi kalau ada perajurit musuh yang datang menyerbu, mereka hanya merobohkan mereka dengan tamparan dan tendangan yang cukup mengusir mereka menjauh dengan gentar dan tidak membunuh mereka.
Ketika Endang Patibroto dan Ki Patih Tejolaksono tiba di tempat pertempuran bagian sayap kiri itu, tampaklah oleh mereka lima orang senopati tinggi besar. Mereka itu bukan lain adalah Senopati Wisokolo, Senopati Wisangnogo, Senopati Krendomolo, Senopati Damarpati, dan Senopati Surodiro, lima orang senopati jagoan dari Nusabarung yang terkenal digdaya.
Sepak terjang lima orang senopati jagoan Nusabarung ini sudah hebat, merobohkan banyak perajurit Panjalu, akan tetapi di bagian lain, ada lagi seorang kakek yang mengamuk lebih hebat lagi. Dia seorang kakek berusia enam puluhan tahun, berpakaian serba kuning, rambutnya gimbal akan tetapi dihias tusuk sanggul terbuat dari emas permata, matanya lebar hidungnya pesek dan mulutnya selalu menyeringai. Hebatnya, bukan saja tangan kakinya yang mengamuk dengan tongkat ularnya, juga mulutnya mengeluarkan bentakan-bentakan dan para perajurit yang terkena bentakan itu berpelantingan seperti terdorong tenaga yang dahsyat!
Endang Patibroto marah sekali melihat kakek ini karena ia mengenalnya sebagai Wasi Surengpati. Kalau dahulu Wasi Surengpati berpakaian butut, kini biarpun pakaiannya masih dekil namun dia memakai banyak perhiasan yang mewah! Hal ini karena dia sekarang telah menjadi penasihat Nusabarung.
"Kakangmas, hajarlah lima senopati dari Nusabarung itu, aku akan menghadapi kakek itu!" kata Endang Patibroto kepada suaminya,
"Hati-hati diajeng. Kakek itu kelihatan sakti, biar aku saja yang menghadapinya!" kata Tejolaksono khawatir.
"Jangan Khawatir, kakangmas. Aku pernah melawannya dan aku mampu mengatasinya. Lima orang senopati itupun digdaya, harap kakangmas waspada," kata Endang Pati broto yang segera berlari menghampiri tempat di mana Wasi Surengpati mengamuk.
"Wasi Surengpati, sekali ini engkau tidak akan terlepas dari tanganku!" bentak Endang Patibroto, sambil melompat dan tiba di depan kakek yang sedang mengamuk itu.
Melihat tiba-tiba muncul wanita yang ditakuti itu, wajah Wasi Surengpati menjadi pucat lalu merah sekali karena dia sudah menjadi marah. Untuk melarikan diri sudah tidak sempat lagi, maka diapun membentak.
"Endang Patibroto, engkaulah yang akan mampus di tanganku!" Dan diapun segera menerjang sambil mengeluarkan pekik yang dapat menggetarkan jantung lawan.
Akan tetapi, Endang Patibroto sudah mengerahkan kekuatan batinnya dan ia mengelak dari sambaran tongkat ular, lalu mencabut kerisnya dan membalas dengan serangan kerisnya yang berada di tangan kanannya. Tusukan itu cepat dan kuat sekali. Wasi Surengpati terkejut dan mengelak sambil memukulkan tongkatnya untuk menangkis. Endang Patibroto menarik kembali kerisnya dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar ke depan dengan aji pukulan Pethit Nogo yang amat ampuh.
"Wuuuuuuttt........ desss!!" Wasi Surengpati sudah mencoba untuk menangkis pukulan itu, akan tetapi tangkisannya terpental dan dadanya terkena sambaran pukulan yang amat ampuh itu sehingga dia terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Dia cepat melompat bangun, akan tetapi Endang Patibroto yang menggunakan gerakan dengan ilmu Bayu tantra, membuat tubuhnya dapat mengejar dengan cepat dan sebuah pukulan dengan Aji Gelap Musti menyambar ke arah kepala Wasi Surengpati. Sang wasi cepat miringkan kepala untuk mengelak dan pukulan itu mengenai pundaknya.
Namun, hebat sekali pukulan Aji Gelap Musti itu. Tubuh Wasi Surengpati terpelanting keras dan bergulingan, tiba di dekat para perajurit Panjalu. Para perajurit yang melihat musuh yang sakti ini bergulingan di dekat kaki mereka, segera menghujamkan senjata mereka. Sang wasi yang sudah terkena pukulan dua kali dengan hebatnya, tidak lagi mampu mengerahkan ilmu kekebalannya dan tubuhnya hancur lebur di bawah hujan senjata para perajurit itu. Tewaslah dia dalam keadaan tubuh hancur.
Sementara itu, Tejolaksono menerjang lima orang senopati yang segera terdesak ke belakang. Amukan Tejolaksono dengan aji Bajra Dahono amatlah dahsyatnya. Kedua tangannya seolah mengeluarkan api panas dan lima orang ini terhuyung ke belakang. Dengan gerakan Bayu Sakti, Tejolaksono dapat bergerak secepat angin dan selagi lima orang itu belum pulih keadaan mereka, Tejolaksono sudah menerjang dengan amukan Aji Dirodometo. Seperti seekor gajah mengamuk kaki tangannya bergerak dan lima orang itu satu demi satu berpelantingan dan segera dikeroyok oleh para perajurit Panjalu. Lima orang senopati itupun tewas semua di bawah hujan senjata.
Setelah lima orang senopati dan Wasi Surengpati tewas, para perajurit Nusabarung yang kehilangan pimpinan menjadi kacau balau dan kalang kabut, tunjang palang melari kan diri ke tengah pulau! Mereka bergabung dengan pasukan yang berjaga di luar kadipaten. Terjadi lagi pertempuran hebat, akan tetapi karena kalah dalam jumlah dan kekuatan, apalagi mereka tidak lagi mempunyai pimpinan yang tangguh, pasukan Nusabarung tidak kuat menahan serangan para perajurit Panjalu dan Jenggala dan akhirnya para perajurit dapat membobolkan gapura Nusabarung dan dipimpin oleh Tejolaksono dan Endang Patibroto, pasukan pengawal memasuki kadipaten!
Di tengah ruangan kadipaten mereka mendapatkan Adipati Martimpang berikut tujuh orang puterinya dan semua isteri dan selirnya berkumpul. Sang Adipati sudah kehilangan kewibawaannya dan menundukkan mukanya ketika Tejolaksono memasuki ruangan itu bersama Endang Patibroto dan kedua orang putera puteri mereka mengikuti dari belakang. Dyah Candramanik, puteri sulung sang Adipati Martimpang ketika melihat Retno Wilis ikut masuk ke ruangan itu, memandang dengan mata berapi. Dara jelita ini masih merasa sakit hati karena dulu pernah ditipu oleh Retno Wilis yang menyamar sebagai Joko Wilis sehingga ia jatuh cinta kepada "pemuda" itu.
"Adipati Martimpang, pasukanmu sudah hancur, apakah sekarang andika sudah rnenakluk kepada Kerajaan Jenggala?" tanya Ki Patih Tejolaksono dengan tegas namun cukup hormat.
Adipati Martimpang mengangkat muka, bertemu pandang dengan Tejolaksono dan menarik napas panjang.
"Kami sudah kalah, terserah apa yang akan andika lakukan, Ki Patih."
"Untuk sementara, andika sekeluarga menjadi tawanan di sini dan kadipaten Nusabarung akan diawasi oleh para wakil dari Jenggala. Setelah kami nanti kembali ke kerajaan Panjalu dan Jenggala, andika sekeluarga akan menjadi tawanan dan kami bawa ke Jenggala."
Adipati Martimpang yang sudah merasa kalah hanya mengangguk dan dia bersama keluarganya lalu digiring ke pedalaman kadipaten dan ditawan dalam kamar masing masing dan dijaga oleh para perajurit Jenggala.
Ki Patih Tejolaksono lalu memanggil semua perwira Jenggala dan memerintahkan kepada mereka dan sisa duaribu pasukan mereka untuk menguasai dan menjaga Nusabarung. Dia sendiri bersama pasukan Panjalu yang tadinya sebanyak selaksa orang akan melanjutkan ekspidisinya ke Blambangan. Hanya tiga hari pasukan itu dibiarkan beristirahat di Nusabarung dan pada hari ke empat pasukan itu menyeberang ke daratan lalu melanjutkan perjalanan menuju ke barat, ke Blambangan.
Akan tetapi belum lama mereka bergerak, dari depan menghadang pasukan yang berjumlah lebih kurang limaratus orang. Pasukan ini dipimpin oleh Sang Adipati Kertajaya, yaitu adipati dari Pasisiran, bersama puteranya, Jarot. Ternyata pasukan ini siap membantu gerakan pasukan dari Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Ki Patih Tejolaksono menerima mereka dengan senang hati, bahkan menganjurkan agar Jarot saja yang memimpin limaratus pasukan dari Pasisiran itu untuk membantu sedangkan Adipati Kertajaya menjaga ketenteraman di Pasisiran.
"Tidak baik kalau andika sekalian ikut pergi karena kadipaten Pasisiran akan menjadi kosong dari pimpinan," kata pula Endang Patibroto. "Kami rasa anakmas Jarot sudah cukup untuk membantu kami."
Adipati Kertajaya akhirnya menurut dan membiarkan puteranya seorang diri yang memimpin limaratus orang pasukan Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Pasukan itu melanjutkan perjalanan mereka dan kembali di tengah perjalanan mereka dihadang dua pasukan yang terdiri dari masing-masing seratus orang. Mereka itu bukan lain adalah Ki Haryosakti dan Bajramusti, dua orang sakti yang menjadi pimpinan Jambuko Cemeng dan ketua Bala Cucut, dua orang yang pernah ditalukkan oleh Retno Wilis dan Bagus Seto dan kepada dua orang kakak beradik ini mereka sudah berjanji untuk kelak membantu Panjalu. Setelah mendengar bahwa pasukan Panjalu dan Jenggala sudah mengadakan ekspidisi ke timur dan sudah menaklukkan Nusabarung, kini sedang menuju ke Blambangan. Mereka lalu membawa anak buah masing-masing dan menghadang di tengah perjalanan. Retno Wilis lalu memperkenalkan mereka kepada ayah ibunya.
"Paman ini adalah Ki Haryosakti, ketua dari Jambuko Cemeng yang sudah berjanji kepada kakangmas Bagus Seto dan aku untuk membantu Panjalu. Dan yang ini adalah paman Bajramusti, ketua Bala Cucut yang juga berjanji membantu pasukan Panjalu," demikian Retno Wilis melaporkan kepada ayahnya.
Tejolaksono mengangguk senang dan menerima mereka dengan baik, menempatkan mereka di tengah pasukannya. Hal ini menunjukkan bahwa Ki Patih Tejolaksono adalah seorang panglima yang berpengalaman. Biarpun sudah diperkenalkan oleh puterinya, namun dia tidak kekurangan kewaspadaan dan menempatkan dua kepala gerombolan itu di tengah-tengah pasukannya sehingga mereka tidak akan dapat berkhianat kalau terjadi perang melawan pasukan Blambangan. Kalau ditaruh di depan, mereka akan dapat berbalik membantu Blambangan dan kalau ditempatkan di belakang, mereka juga dapat membokong dan menyerang dari belakang untuk membantu Blambangan. Akan tetapi kalau mereka ditaruh di tengah mereka tidak berdaya dan mau tidak mau harus membantu pasukan Panjalu!
Tentu saja pihak Blambangan sudah mendengar akan jatuhnya Nusabarung ke tangan pasukan dari Panjalu dan Jenggala, bahkan pasukan yang mereka perbantukan ke Nusabarung juga sudah melarikan diri pulang, meninggalkan kawan-kawan yang gugur, akan tetapi membawa pula banyak pasukan yang melarikan diri. Kini mereka bergabung dengan pasukan Blambangan dan melakukan penjagaan di perbatasan Blambangan, dipimpin sendiri oleh Senopati Kurdolangit dan senopati Rajah Beling, dibantu para senopati lainnya termasuk Raden Kalinggo, putera Senopati Rajah Beling yang tinggi besar dan brewokan itu.
Raden Kalinggo ini dulu pernah ikut sayembara untuk memperebutkan Dyah Candramanik puteri Adipati Martimpang dari Nusabarung, namun dia dikalahkan oleh Joko Wilis. Jumlah pasukan Blambangan ditambah sisa pasukan Nusabarung tidak kurang dari delapan ribu orang. Begitu pasukan Panjalu muncul, mereka segera diserbu oleh pasukan Blambangan yang masih segar, berbeda dengan keadaan pasukan Panjalu yang baru tiba dari perjalanan yang cukup melelahkan.
Namun, pasukan Panjalu melawan dengan gigih. Amukan Senopati Kurdolangit segera di bendung dan dihadapi oleh Ki Bajramusti ketua Bala Cucut yang diperintahkan Ki Patih Tejolaksono untuk maju. Hal ini dinasihatkan oleh Retno Wilis yang sudah maklum akan kesaktian ketua Bala Cucut ini. Adapun amukan Rajah Beling dihadapi oleh Ki Haryosakti yang juga maju atas anjuran Retno Wilis. Ketika Raden Kalinggo maju, maka yang menghadapinya adalah Jarot!
Terjadilah perang pupuh yang amat seru. Tepat sekali perhitungan Retno Wilis yang mengajukan jago-jagonya. Senopati Kurdolangit memang sakti. Senopati yang tinggi kurus ini memainkan pedangnya dengan tangkas dan kuat. Namun yang menandingi adalah Ki Bajramusti yang memegang golok besar. Selain ilmu silat yang tangguh, juga Ki Bajramusti memiliki kekuatan sihir yang cukup hebat.
Setelah bertempur dengan serunya, Ki Bajramusti berulang kali mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, dan pekik ini yang mengguncangkan jantung Senopati Kurdolangit dan membuat permainan pedangnya menjadi kacau. Pada saat dia terlengah, golok besar di tangan Ki Bajramusti menyambar dan mengenai pahanya, membuat tubuh Senopati Kurdolangit terpelanting roboh. Golok besar di tangan Ki Bajramusti menyambar ganas dan putuslah leher Senopati Kurdolangit, disambut sorak sorai para perajurit atau anak buah Bala Cucut yang mendukung ketua mereka.
Senopati Rajah Beling mendengar sorak sorai itu dan segera dia mengetahui bahwa rekannya, Senopati Kurdolangit telah roboh dan tewas. Hal ini tentu saja membuat hatinya menjadi gentar. Akan tetapi tidak ada jalan lain baginya kecuali mengamuk dengan tombak cagaknya. Lawannya, Ki Haryosakti juga bersenjata tombak sehingga ramailah pertandingan di antara mereka. Akan tetapi setelah Senopati Rajah Beling mendengar akan tewasnya Senopati Kurdolangit, hatinya yang gentar membuat permainan tombaknya menjadi kacau.
"Haiiittt.....!" Dia mencoba untuk mengeluarkan gertakan dan tombak cagaknya menyambar ke arah perut Ki Haryosakti.
"Tranggg......!"
Tombak Ki Haryosakti menangkis, akan tetapi ujung tombak itu terjepit di antara cagak tombak di tangan Senopati Rajahbeling. Mereka bersitegang mengadu kekuatan karena tombak mereka sudah saling jepit. Dan dalam adu tenaga ini Senopati Rajahbeling masih kalah setingkat. Tombak Ki Haryosakti mendorong maju dan tanpa dapat dielakkan lagi oleh lawan, tombaknya menusuk ke arah dada lawan.
"Creppp.... auhhh....!" Tubuh Senopati Rajah Beling terjengkang dan dia tewas seketika karena jantungnya tertembus ujung tombak Ki Haryosakti.
Kalinggo yang bertanding dekat ayahnya melihat robohnya ayahnya. Dia menjadi kaget, sedih dan marah besar. Akan tetapi lawannya adalah Jarot, seorang pemuda sakti murid Bhagawan Dewondaru. Sejak tadi mereka berkelahi dengan tangan kosong dan dia sudah terdesak terus. Sekarang, melihat ayahnya roboh dia menjadi nekat dan mencabut sebatang keris yang besar dan berwarna keemasan. Dengan keris di tangan dia menubruk dan menyerang ke arah dada Jarot. Pemuda Pasisiran ini mengelak cepat dan keris itu meluncur di sampingnya. Cepat dia membalik dan mengetuk lengan kanan Raden Kalinggo dengan tepi tangannya yang miring.
"Dukk..... !" Akan tetapi Raden Kalinggo hanya meringis kesakitan. Kerisnya tidak terlepas dari pegangannya. Memang pemuda ini memiliki kekebalan dan kekuatan yang cukup hebat. Dia bahkan mengamuk semakin hebat dan menghujani Jarot dengan serangan kerisnya secara bertubi-tubi. Jarot mengelak ke sana sini dan merasa bahwa kalau dilanjutkan, mungkin dia akan kewalahan karena lawannya sudah mengamuk membabi buti. Maka diapun lalu menghunus kerisnya dan tampak sinar hitam berkelebat. Itulah keris pusaka Nogo lreng yang berwarna hitam.
"Trangg....!" Ketika keris keemasan ditangan Raden Kalinggo menusuk lagi ke arah perut Jarot, pemuda ini dengan trengginas menangkis dari samping sehingga keris Kalinggo menyimpang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Jarot untuk memukulkan tangan kirinya ke depan, tepat mengenai dada Kalinggo.
"Bukk!" Kalinggo terhuyung ke belakang, tangan kirinya menekan dadanya yang terasa nyeri dan napasnya terengah.
Akan tetapi pukulan ini membuatnya semakin marah dan tanpa memperdulikan rasa nyeri di dadanya yang membuat napasnya sesak, dia menerjang dengan nekat, menggunakan kerisnya menusuk dada lawan dan tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Jarot! Penyerangan ini sungguh nekat tanpa memperdulikan pertahanannya sendiri yang terbuka. Jarot menghindar ke kiri dengan cepat dan keris di tangan kanannya menyambar ke samping.,
"Crott!" Keris itu menusuk lambung dan Jarot cepat mencabutnya kembali sambil melompat ke belakang agar jangan sampai terpercik darah yang menyembur keluar dari lambung Kalinggo.
Kalinggo berteriak keras dan tubuhnya terguling roboh. Kerisnya terlepas dari pegangannya dan dengan kedua tangan dia mendekap luka di lambungnya yang mengucurkan darah. Akan tetapi tidak lama dia menegang dan menghembuskan napas terakhir, tewas dalam kubangan yang dibuat darahnya sendiri.
Tejolaksono dan Endang Patibroto dikeroyok oleh para senopati lainnya. Akan tetapi suami isteri ini mengamuk seperti banteng terluka. Siapa saja yang berani menghadangnya tentu roboh terpelanting oleh tamparan atau tendangan mereka. Keduanya tidak menggunakan senjata, hanya dengan tangan kosong saja mereka merobohkan puluhan perajurit yang berani mengeroyok mereka. Amukan suami isteri ini menggetarkan semua perajurit Blambangan, akan tetapi menambah semangat para perajurit Panjalu. Juga kemenangan yang diperoleh Jarot, Ki Haryosakti dan Ki Bajramusti membuat anak buah mereka menjadi bersemangat sekali.
Mereka semua mengamuk, membuat pasukan Blambangan menjadi kocar kacir dan terdesak mundur terus sampai di pintu gapura Blambangan di mana sudah siap menjaga sebagian dari pasukan Blambangan yang diperkuat dan dipimpin Wasi Karangwolo, Adipati Menak Sampar sendiri, dibantu Wasi Shiwamurti, Ki Shiwananda, dan Ni De wi Durgomala dan beberapa orang senopati, juga belasan orang perwira Blambangan. Agaknya sekali ini Adipati Menak Sampar mengerahkan seluruh tenaganya untuk mempertahankan Blambangan!
Tak dapat dicegah lagi terjadilah pertempuran hebat, perang campuh yang gegap gempita. Para pemimpin kedua pihak juga segera saling berhadapan dan Retno Wilis sudah membisikan siasatnya untuk menghadapi para wasi sakti itu. Bagus Seto segera menghadang Wasi Shiwamurti yang menjadi musuh lamanya. Retno Wilis menghadapi Ki Shiwananda. Endang Patibroto menghadapi Ni Dewi Durgomala. Adapun Wasi Karangwolo dihadapi Jarot yang dibantu oleh Ki Haryosakti dan.Ki Bajramusti, sedangkan Adipati Menak Sampar sendiri yang juga sakti dihadapi Ki Patih Tejolaksono!
Terjadilah perang tanding yang luar biasa serunya! Wasi Shiwamurti yang maklum bahwa lawannya yang masih muda itu memiliki aji kesaktian yang amat hebat, menjauhkan diri dari yang lain dan mengajak lawannya untuk bertanding di atas sebuah bukit, agak menjauh dari perang campuh itu. Bagus Seto mengikuti ke mana Sang Wasi itu pergi dan mereka kini berhadapan di atas lereng bukit itu.
"Bagus Seto, andika ini orang muda. tidak pandai menghormati orang yang lebih tua, bahkan berani menentang aku yang datang dari negara jauh. Beginikah sikap satria di Nusa Jawa, satria dari Panjalu? Apakah gurumu mengajarkanmu untuk tidak pandai menghormati orang yang lebih tua dari-mu?"
"Paman Wasi Shiwamurti, penghormatan seseorang terhadap orang lain bukan ditinjau dari segi usianya, melainkan dari sikap dan perbuatannya. Paman wasi dating dari jauh, sepantasnya dihormati. Akan tetapi melihat bagaimana paman bersikap dan berbuat di sini, selain membantu pihak pemberontak Blambangan juga menyebar luaskan agama sesat untuk melemahkan rakyat dengan cara paksa dan kekerasan, bagaimana paman menuntut penghormatan? Sebaiknya kalau paman pulang saja ke Cola dan jangan menimbulkan kekacauan di s ini."
"Babo-babo, Bagus Seto. Jauh-jauh kami diperintahkan raja kami untuk membantu Blambangan dan mengadakan kontak dengan Bali Dwipa, menyebar agama kami untuk membahagiakan rakyat. Bagaimana andika berani mengatakan bahwa kami menyebar agama untuk mengacaukan rakyat. Buktinya, para pengikut kami mendapatkan kebahagiaan dan mereka merasa senang menjadi anggauta kami!"
"Kesenangan yang sesat, pengumbaran nafsu yang semena-mena dan yang menyeret jiwa ke dalam kegelapan. Wasi Shiwa-murti, andika yang sudah mempelajari berbagai Weda, masih berpura-pura tidak melihat hal ini? Mustahil kalau andika tidak mengetahui bahwa agama yang andika ajarkan itu sesat dan keji!"
"Bagus Seto, jangan dikira bahwa aku takut kepadamu! Sambutlah ini!" Wasi Shiwamurti mengangkat tongkat kepala naga ke atas menggerak-gerakkan ke arah langit dan seketika langit menjadi gelap tertutup mendung dan awan mendung itu menyambar turun ke arah Bagus Seto seolah hendak menelan pemuda itu!
Bagus Seto yang melihat ini, dengan tenang mengeluarkan setangkai bunga cernpaka putih dari rambut kepalanya dan mengangkat setangkai bunga itu ke atas kepalanya, lalu melontarkannya ke arah gumpalan awan hitam yang menyerang ke arahnya.
"Byarrr......!" Tampak sinar terang dan awan gelap itu ambyar dan lenyap. Bunga cempaka putih sudah turun kembali ke tangan Bagus Seto yang menyimpannya kembali ke rambut kepalanya.
Melihat serangannya dapat dipunahkan pemuda itu, Wasi Shiwamurti menjadi marah sekali. Tongkat kepala naga itu didorongkan ke arah sebuah batu sebesar kerbau.
"Sambutlah batu ini!" bentaknya dan ketika dia mengerahkan tenaganya, batu sebesar kerbau itu melayang ke arah Bagus Seto dengan cepatnya. Bagus Seto melolos ikat kepalanya dan menyambut batu besar itu dengan kebutan kain pengikat kepala.
"Darrr...!!" Batu besar itu begitu kena dikebut kain putih pengikat kepala, menjadi hancur berantakan dan pecahannya terlempar ke kanan kiril
Wasi Shiwamurti terkejut akan tetapi belum mau mengaku kalah. Dia sudah menerjang dengan tongkat kepala naga itu, menyerang dengan dahsyat. Tongkatnya menyambar-nyambar, mengeluarkan angin bersiutan sehingga menggerakkan daun-daun pohon disekitarnya, bahkan membuat pakaian putih Bagus Seto berkibar-kibar. Namun pemuda itu sama sekali tidak merasa gentar. Tubuhnya bagaikan berubah menjadi bayangan atau awan, diserang bagaimanapun oleh tongkat kepala naga itu tidak pernah dapat tersentuh, seolah sebelum hantaman tiba, angina pukulan tongkat itu telah membuat tubuhnya mengelak. Diapun membalas dengan kebutan kain putih pengikat kepalanya, namun Wasi Shiwamurti juga amat tangkas dan tubuhnya kebal sehingga serangan balasan Bagus Seto juga tidak mengenai sasaran, atau kalau hanya mengenai pundak atau bagian tubuh yang tidak berbahaya, kebutan itu meleset dan tidak melukai lawan.
Adu kesaktian yang terjadi di bukit, jauh dari perang campuh itu berlangsung amat dahsyatnya. Kalau dilihat dari jauh, yang tampak hanyalah gulungan sinar tongkat kepala naga yang bergelombang dan berlenggang-lenggok seolah-olah seekor naga yang bermain di angkasa, mengejar sesosok bayangan yang bergerak seperti awan. Penglihatan yang menakjubkan! Tiba-tiba tongkat bertemu dengan kebutan kain pengikat kepala yang berwarna putih itu.
"Plakk....!" Hebat sekali pertemuan antara dua tenaga sakti yang tersalur lewat dua senjata ampuh itu dan keduanya terdorong mundur sampai lima langkah!
Maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan pemuda itu dengan ilmu sihir atau mengadu senjata, Wasi Shiwamurti lalu mencoba untuk mengeluarkan senjata pamungkasnya. Dia menancapkan tongkatnya di atas tanah, lalu menggosok-gosokkan kedua tangannya sampai tampak asap mengepul di antara kedua telapak tangannya. Setelah itu, dalam jarak belasan langkah itu dia lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Bagus Seto.
Pemuda ini sudah menduga serangan apa yang akan dilakukan lawannya. Begitu melihat Wasi Shiwamurti menancapkan-tongkatnya lalu menggosok-gosokkan kedua tangannya, dia sudah menduga bahwa lawan hendak mempergunakan aji pukulan jarak jauh mempergunakan hawa sakti yang mungkin beracun. Maka diapun sudah menyimpan kain pengikat kepalanya dan diapun menekuk kedua lututnya, merendahkan tubuhnya dan membuka kedua tangan lalu menyambut serangan itu dengan dorongan kedua telapak tangannya yang putih ke arah depan. Dua tenaga sakti yang mujijat itu bertemu di tengah-tengah. Udara bagaikan tergetar dan terguncang hebat dengan adanya pertemuan dua hawa sakti yang amat kuat itu.
"Blarrrr.....!" Tubuh Bagus Seto bergerak-gerak terguncang akan tetapi kuda-kuda kedua kakinya masih tetap tegak, sedangkan tubuh Wasi Shiwamurti terhuyung ke belakang sampai beberapa langkah, mukanya berubah pucat dan dari kepalanya mengepul uap putih! Jelas bahwa dia masih kalah kuat setingkat dibandingkan murid Ki Tunggaljiwo dan Bhagawan Ekadenta yang sakti ini! Diapun menyadari kekalahannya, maka dengan suara agak terengah dia berkata.
"Bagus Seto, sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi jagalah andika, tak berapa lama lagi aku akan mendatangimu di Panjalu mengajak seorang kakak guruku untuk menantangmu bertanding lagi satu lawan satu untuk menentukan pihak mana yang lebih unggul!"
Dengan tenang Bagus Seto menjawab,
"Aku selalu akan menunggu dan siap untuk menghadapimu, Paman Wasi Shiwamurti. Selama andika belum menyadari kekeliruanmu, aku akan selalu menentangmu."
"Bagus, tunggu saja pembalasanku!" Setelah berkata demikian, Wasi Shiwamurti mencabut tongkat kepala naga dari atas tanah, lalu dia melarikan diri dengan amat cepatnya ke balik bukit, tidak mau memperdulikan lagi perang campuh yang masih berlangsung di kaki bukit.
Pertandingan antara Wasi Karangwolo yang dikeroyok tiga tidak berlangsung lama. Biarpun Wasi Karangwolo adalah seorang yang sakti mandraguna, pandai pula berilmu sihir dan kerisnya amat berbahaya menyambar-nyambar, namun dia dikeroyok tiga oleh Jarot, Ki Haryosakti dan Ki Bajramusti yang ketiganya juga tidak asing dengan ilmu sihir. Semua ilmu sihir yang dikeluarkan oleh Wasi Karangwolo dapat dipunahkan tiga orang itu. Keris Nogo Ireng di tangan Jarot sudah hebat berbahaya, tombak di tangan Haryosakti juga ganas, terutama sekali golok besar di tangan Ki Bajramusti.
Tiga orang pengeroyok ini membuat Wasi Karangwolo kewalahan dan terdesak hebat. Akhirnya, sebuah bacokan golok dari Ki Bajramusti menyambar dan mengenai pundaknya. Wasi Karangwolo berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang. Dia tidak mampu menangkis atau mengelak lagi ketika tombak di tangan Ki Haryosakti menusuk dan menembus lambungnya. Ketika tombak dicabut, tubuh Wasi Karangwolo jatuh nglumpruk (terkulai) dan dia tidak bergerak lagi, tewas seketika. Tiga orang itu lalu mengamuk, merobohkan banyak perajurit Blambangan yang berani menghadapi mereka. Amukan tiga orang yang gagah perkasa ini membuat pasukan Blambangan kocar-kacir.
Sementara itu, Retno Wilis juga sudah mendesak Ki Shiwananda yang memang sudah merasa jerih menandingi dara perkasa yang sakti mandraguna ini. Permainan ruyungnya yang berat itu mulai kacau berhadapan dengan Pedang pusaka Sapudenta di tangan Retno Wilis. Beberapa kali Ki Shiwananda mencoba untuk mempengaruhi dara ini dengan sihirnya. Namun Retno Wilis yang pernah menerima gemblengan dari Nini Bumigarbo tidak miris (gentar) menghadapi semua pengerahan sihir itu dan dapat menolaknya sehingga kembali mereka harus bertanding mengadu kedigdayaan dan ilmu kanuragan.
"Trang-cringg......!" Ruyung bertemu dengan Pedang Sapudenta dengan kerasnya dan karena Retno Wilis mengerahkan seluruh tenaganya ketika beradu senjata, ruyung itu patah menjadi dua potong! Wajah Ki Shiwananda menjadi pucat sekali, akan tetapi pada saat itu Retno Wilis sudah menggerakkan kaki kanannya menendang.
"Bukkkk!" Keras sekali tendangan itu sehingga tubuh Ki Shiwananda terpental dan dia terjatuh dekat para perajurit Panjalu yang menonton pertarungan itu. Tak dapat dicegah lagi, hujan senjata menimpa tubuh Ki Shiwananda yang tidak lagi mampu mengerahkan kekebalannya karena perutnya yang tertendang tadi merasa nyeri sekali dan melenyapkan tenaganya. Tubuhnya hancur di bawah hujan bacokan itu.
Retno Wilis hanya menonton dan menahan napas. Berkat bimbingan kakaknya, ia tidak ingin membunuh lawan, akan tetapi lawannya terjatuh ke tangan para perajurit yang menghabisi nyawanya. Bagaimanapun juga, Ki Shiwananda maju berperang maka sudah lumrah kalau dia tewas dalam peperangan. Ia lalu membalikkan tubuh dan melihat Bagus Seto melangkah menuruni bukit, agaknya sudah ditinggalkan Wasi Shiwamurti. Dan dilihatnya pula bahwa Jarot, Ki Haryosakti dan Ki Bajramusti juga sedang mengamuk, agaknya sudah pula menewaskan Wasi Karangwolo yang tadi mereka keroyok.
Yang masih bertanding adalah Endang Patibroto melawan Ni Dewi Durgomala dan Ki Patih Tejolaksono sendiri yang masih bertarung melawan Adipati Menak Sampar yang masih gigih membuat perlawanan sungguhpun dia terus terdesak mundur. Endang Patibroto juga mendesak Ni Dewi Durgomala yang kelihatan sudah merasa jerih. Akan tetapi tempat itu terkepung ratusan perajurit sehingga ia tidak melihat kesempatan untuk melarikan diri lagi. Terpaksa ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk melawan Endang Patibroto.
Retno Wilis yang kini sudah berdekatan dengan Bagus Seto, hanya menonton saja dan tidak mau membantu karena mereka maklum bahwa ayahnya dan ibunya tidak akan kalah.
"Di mana Wasi Shiwamurti?" tanya Retno Wilis.
"Dia sudah melarikan diri." jawab Bagus Seto lirih. Biarpun dia tidak bertanya, Retno Wilis menerangkan.
"Ki Shiwananda tewas di bawah puluhan senjata para perajurit setelah aku merobohkannya. Aku tidak sengaja membunuhnya."
Bagus Seto menyentuh lengan adiknya. "Engkau tidak bersalah. Memang sudah tiba saatnya dia tewas dikeroyok banvak senjata. Agaknya itulah karmanya," kata Bagus Seto seperti hendak menghibur adiknya.
"Ibu tentu akan dapat mengalahkan Ni Durgomala," kata Retno Wilis sambil menuding ke arah Endang Patibroto yang mendesak lawannya dengan hebat.
Bagus Seto menghela napas panjang.
"Kanjeng Ibu Endang Patibroto memang seorang wanita yang sakti mandraguna pilih tanding. Beliau pantas untuk menjadi seorang panglima perang wanita."
"Dan kanjeng romo juga tidak akan kewalahan menandingi sang Adipati Menak Sampar," kata pula Retno Wilis sambil memandang kepada ayahnya yang masih bertanding melawan adipati Blambangan itu.
"Kanjeng romo jelas tidak akan membunuh sang adipati, melainkan hendak menawannya dan beliau bertindak benar. Sebaiknya kalau adipati Blambangan ditangkap hidup-hidup untuk dihadapkan kepada Gusti Prabu di Panjalu, atau Jenggala."
Apa yang dikatakan Retno Wilis dan kakaknya memang benar adanya. Tak lama kemudian Ni Dewi Durgomala mengeluarkan suara melengking, mirip tangis bercampur tawa dan tangan kirinya memukul dengan jari-jari terbuka dan kukunya membentuk cakar. Dari ke lima jari tangannya itu menyambar sinar menghitam dan hal ini membuat Retno Wilis terkejut dan mengkhawatirkan ibunya karena ia tahu bahwa yang dikeluarkan Ni Dewi Durgomala itu adalah ilmu yang keji dan jahat sekali. Memang Ni Dewi Durgomala telah mengeluarkan aji pamungkasnya. Aji ini kalau dikerahkan, dapat membunuh lawan dalam jarak jauh, karena angin yang menyambar dari pukulan itu membawa hawa beracun yang amat jahat.
Namun Endang Patibroto juga sudah waspada dan maklum bahwa lawan mengajak mengadu nyawa dengan mengerahkan semua aji pamungkas yang dimilikinya. Maka iapun menyambut dengan Aji Gelapmusti yang digabung dengan Aji Pethit Nogo. Tangan kanannya menyambut pukulan jarak jauh Ni Dewi Durgomala itu dengan aji Gelap Musti, sedangkan tangan kirinya membalas dengan hantaman Aji Pethit Nogo.
"Bresssss... auugghhh....!" Tubuh Ni Dewi Durgomala terlempar sampai lima meter jauhnya dan ia terbanting roboh muntah darah dan tewas seketika. Akan tetapi Endang Patibroto juga terhuyung dan mukanya menjadi pucat sekali.
Bagus Seto cepat menghampiri Endang Patibroto dan mengambil bunga cempaka putih dari rambut kepalanya. Dengan bunga cempaka di tangan, dia mendekati ibunya dan mendekatkan bunga itu di depan hidung Endang Patibroto.
"Sedotlah, kanjeng ibu. Hawa beracun itu akan tersapu bersih." Endang Patibroto menurut. Ia menyedot aroma bunga itu dengan hidungnya dan seketika napasnya terasa lega dan sesaknya menghilang.
Mereka lalu memandang ke arah Ki Patih Tejolaksono yang masih bertanding melawan Adipati Menak Sampar. Tejolaksono bertangan kosong dan Adipati Menak Sampar menggunakan sebatang keris yang besar dan panjang.
"Mampuslah engkau, Tejolaksono!" bentaknya dan untuk kesekian kalinya keris itu meluncur dan menusuk ke arah dada Tejolaksono.
Ki Patih Panjalu ini miringkan tubuhnya. Keris menancap di bawah lengannya, lalu dikempitnya dan tangannya menebak ke arah dada lawan. Tubuh Menak Sampar terjengkang dan keris itu terlepas dari tangannya. Tejolaksono membuang keris itu dan melangkah maju. "Menyerahlah, Adipati Menak Sampar!" katanya tegas.
Akan tetapi Adipati Menak Sampar mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau terluka dan dia sudah menubruk maju seperti seekor biruang menerkam mangsanya. Kedua lengan yang besar dan panjang itu menerkam dari kanan kiri untuk meringkus tubuh Ki Patih Tejolaksono yang terbilang kecil kalau dibandingkan dengan tubuhnya yang tinggi besar seperti raksasa. Namun Ki Patih Tejolaksono bergerak cepat dan sudah mengelak, kemudian dari samping dia menampar dengan Aji Bajra Dahono, mengenai pundak Sang Adipati.
"Plakkk..... aduuuhhh...!" Terkena pukulan Aji Bajra Dahono, tubuh Sang Adipati terkulai dan mendesah kepanasan, Tejolaksono lalu meringkusnya dan tanpa diperintah Jarot lalu maju membawa tali dan mengikat kedua pergelangan tangan Adipati Menak Sampar sehingga dia tidak mampu berkutik lagi.
Setelah melihat para pimpinan sudah dikalahkan semua para pasukan Blambangan menjadi kecut hatinya dan semangat perlawanan merekapun membuyar. Pada saat itu Ki Patih Tejolaksono berseru nyaring.
"Adipati Menak Sampar telah menyerah! Kalian yang melawan akan dibunuh yang menyerah akan diampuni!"
Mendengar bentakan yang amat nyaring itu, sebagian besar pasukan Blambangan lalu membuang senjata mereka dan menjatuhkan diri berlutut, menyerah!
Ki Patih Tejolaksono lalu menggiring Adipati Menak Sampar memasuki kadipaten yang sudah dikuasai oleh para perwira Panjalu dan para perajurit pengawal. Di tengah ruangan itu telah berkumpul keluarga Sang Adipati, lengkap dengan semua isteri dan selirnya. Juga hadir Dyah Ayu Kerti, puteri Sang Adipati yang cantik jelita. Melihat puteri ini, hati Jarot berdebar dan dia memandang penuh pesona, akan tetapi karena hatinya telah terlebih dulu terpikat kepada Retno Wilis, maka diapun menghilangkan perasaannya yang hanyut oleh kejelitaan puteri Adipati Menak Sampar itu.
"Bagaimana, Sang Adipati Menak Sampar? Apakah andika sudah takluk sekarang?" tanya Ki Patih Tejolaksono.
"Hemm, pasukanku telah hancur, aku telah kalah bertanding. Apa lagi yang dapat kulakukan selain menyerah? Aku menyerah terhadap kekuasaan kerajaan Jenggala dan Panjalu."
"Bagus kalau begitu. Anakmas Jarot, lepaskan ikatan tangan Sang Adipati" perintah Tejolaksono dan Jarot segera melaksanakan perintah itu...
Melihat datangnya demikian banyak perajurit dan melihat pula betapa belasan orang perajurit yang berada di situ mulai mengepung mereka, pihak Retno Wilis menjadi terkejut sekali. juga Bagus Seto melihat ini maka dia melayang turun. Ketika tongkat kepala naga menyambar ke arahnya, dia menangkis dengan kain pengikat kepala yang melibat tongkat itu sehingga tongkat itu tidak mampu digerakkan lagi. Bagus Seto menyimpan bunga cempaka dan pada saat itu, Wasi Shiwamurti menghantamnya dengan tangan kiri yang terbuka. Pukulan ini dahsyat sekali mengandung hawa sakti yang amat kuat. Melihat ini, Bagus Seto juga mendorongkan telapak tangan kirinya menyambut.
"Blarrrr....!" Dua tenaga sakti yang amat dahsyat bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Wasi Shiwamurti terhuyung ke belakang dan tongkatnya terlepas dari libatan kain pengikat kepala yang dipegang Bagus Seto.
Pada saat itu, Endang Patibroto yang melihat datangnya pasukan, segera berteriak kepada putera puterinya.
"Bagus! Retno! Cepat lari....! Mereka curang, mendatangkan pasukan. Lari...!"
Retno Wilis menyambar pergelangan tangan kiri Jayawijaya dan mengajaknya lari dari tempat itu. Harjadenta dan Jarot juga melihat bahaya, maka merekapun melompat dan merobohkan perajurit yang berani menghalangi mereka, lalu melarikan diri. Endang Patibroto menggerakkan kaki tangannya dan empat orang perajurit pengepung berpelantingan dan tidak ada lagi yang berani menghalangi wanita ini lari. Demikian pula Retno Wilis. Biarpun sebelah tangannya ia menarik tangan Jayawijaya, namun dengan kaki dan tangan kirinya ia merobohkan dua orang perajurit lalu berlari cepat sambil menarik Jayawijaya. Bagus Seto sendiri juga melompat dan lari paling belakang untuk melindungi yang lari di depannya.
Pasukan itu telah datang dan dua orang senopati, Rajah Beling dan Kurdolangit, segera mengerahkan mereka untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi Wasi Shiwamurti dan para pembantunya tidak melakukan pengejaran. Sebetulnya para pembantu itu melihat Wasi Shiwamurti tidak melakukan pengejaran, merekapun tidak berani mengejar karena mereka merasa jerih terhadap Endang Patibroto, Retno Wilis, dan terutama Bagus Seto. Wasi Shiwamurti sendiri tidak melakukan pengejaran karena merasa malu kalau harus ikut mengeroyok. Diapun maklum dari pertemuan tenaganya dengan tenaga Bagus Seto tadi bahwa dia tidak akan menang melawan pemuda luar biasa itu.
Enam orang itu melarikan diri dengan cepat sekali sehingga pengejaran pasukan Blambangan itu menjadi sia-sia. Mereka tertinggal jauh. Setelah tiba di luar batas Blambangan, baru mereka berhenti berlari. Endang Patibroto lalu berkata kepada kedua orang putera putrinya.
"Bagus Seto dan engkau Retno Wilis, aku sudah mendengar bahwa kalian sudah melakukan penyelidikan ke Nusabarung dan sekarang juga berada di daerah Blambangan. Kita semua sudah tahu belaka bahwa Blambangan dan Nusabarung telah mengadakan persiapan untuk memberontak terhadap Jenggala. Selain itu juga mereka mendatangkan pendeta-pendeta dari Cola yang menyebarkan agama sesat kepada rakyat jelata dengan paksaan. Semua ini sudah cukup untuk dijadikan laporan kepada Sang Prabu di Panjalu. Oleh karena itu, mari kita pulang ke Panjalu melapor kepada ayah kalian."
"Kanjeng Ibu, saya menduga bahwa setelah mendengar laporan ini, Panjalu dan Jenggala tentu akan mengirim pasukan untuk menundukkan Nusabarung dan Blambangan. Akan terjadi perang dan kalau sudah begitu, saya tidak suka terlibat dalam perang."
"Aku juga tidak suka ikut berperang," kata Retno Wilis dan pernyataan puterinya ini mengherankan hati Endang Patibroto.
Biasanya, puterinya ini adalah seorang yang suka berperang dan merobohkan sebanyak mungkin musuh. Sekarang ia menyatakan tidak suka ikut berperang. Ia tahu bahwa tentu puterinya sedikit banyak telah terpengaruh kakaknya yang biarpun amat sakti namun tidak suka akan kekerasan.
"Urusan perang adalah urusan ayah kalian. Kalian tidak perlu mencampuri. Akan tetapi keadaan di Nusabarung dan Blambangan harus dilaporkan karena kalau dibiarkan saja, dapat membahayakan Panjalu dan Jenggala. Marilah kita pulang dan melaporkan kepada ayah kalian agar ayah kalian dapat melapor kepada Sang Prabu dan dapat diambil tindakan terhadap Nusabarung dan Blambangan sebelum terlambat," kata Endang Patibroto.
Retno Wilis menoleh dan memandang kepada Bagus Seto seolah hendak minta keputusan dari kakaknya itu. Bagus Seto mengangguk dan berkata kepada adiknya,
"Diajeng, sudah semestinya kalau kita menuruti kata-kata kanjeng ibu dan kembali ke Panjalu menghadap kanjeng romo."
"Kalau begitu, marilah kita segera pergi sebelum mereka mengejar sampai di sini Anakmas Jayawijaya, anakmas Harjadenta, dan anakmas Jarot, kami bertiga hendak kembali ke Panjalu. Andika bertiga hendak ke mana?"
"Saya akan pulang ke kadipaten Pasisiran, melapor kepada kanjeng romo agar mengadakan persiapan dan kalau tiba saatnya kami akan membantu gerakan pasukan Panjalu dan Jenggala," kata jarot. "Setelah Nusabarung dan Blambangan dapat ditundukkan, barulah saya akan pergi ke Panjalu dan mengunjungi keluarga kanjeng bibi."
"Baik sekali anakmas Jarot. Bantuan dari Pasisiran tentu akan sangat berguna bagi kami. Dan Andika, anakmas Harjadenta?"
Harjadenta memandang kepada Retno Wilis. "Sayapun ingin sekali berkunjung ke Panjalu menyambung persahabatan saya dengan kakangmas Bagus Seto dan diajeng Retno Wilis, akan tetapi tentu saja saya akan menunggu sampai akhirnya perang terhadap Nusabarung dan Blambangan yang memberontak. Sekarang saya akan pulang dulu ke Gunung Raung menghadap Eyang Empu Gandawijaya."
"Baiklah, kami tunggu kunjunganmu kelak, anakmas Harjadenta. Dan bagaimana dengan andika, anakmas Jayawijaya?"
Jayawijaya memandang kepada Retno Wilis. Rasanya berat untuk berpisah dari gadis itu, akan tetapi dia tersenyum dan memberi hormat kepada Endang Patibroto dan berkata,
"Kanjeng Bibi Endang Patibroto, saya telah mendapat kehormatan besar sekali dapat berkenalan dengan kanjeng bibi sekeluarga. Sekarang saya akan kembali ke Pegunungan Tengger menceritakan pengalaman saya kepada kanjeng romo dan setelah keadaan damai saya akan mengajak kanjeng romo untuk berkunjung kepada kanjeng bibi sekeluarga."
"Jangan lupa aku selalu menunggu kunjunganmu, kakang Jaya," kata Retno tanpa malu-malu karena ucapannya ini sedikit banyak membuka rahasia hatinya terhadap pemuda itu.
Jarot mengerutkan alisnya dan memandang kepada Jayawijaya, akan tetapi Harjadenta menundukkan mukanya. Pemuda ini pernah menyatakan cintanya kepada Retno Wilis namun ditolak dengan halus oleh gadis itu dan diapun tahu diri, tidak berani lagi mengharapkan dara perkasa itu untuk menjadi jodohnya.
"Mari kita berpencar dan pergi dari sini sekarang juga, jangan sampai keburu mereka yang mengejar kita sampai di sini!" kata Endang Patibroto dan setelah saling memberi salam perpisahan, mereka semua meninggalkan tempat itu, mengambil jalan masing-masing.
********************
Ki Patih Tejolaksono, Patih Anom dari Panjalu, menyambut kembalinya isteri, putera dan puterinya dengan gembira. Apa lagi melihat perubahan pada sikap Retno Wilis, dia menjadi gembira sekali. Kalau dulu Retno Wilis bersikap dingin, kini ia berubah menjadi seorang puteri yang hangat dan ramah, penuh hormat kepada ayah bundanya. Sifat keliarannya menghilang dan Ki Patih Tejolaksono mengerti bahwa ini berkat bimbingan Bagus Seto, puteranya yang luar biasa itu. Menghadapi puteranya sendiri ini, Ki Patih Tejolaksono merasa seolah menghadapi seorang yang tingkatannya lebih tinggi sehingga menimbulkan rasa hormat dan kagum dalam hatinya.
Dengan penuh perhatian Ki Patih Tejolaksono mendengarkan Endang Patibroto dan Retno Wilis yang menceritakan pengalaman mereka. Dia mengerutkan alisnya ketika mendengar akan keadaan di Nusabarung dan Blambangan, apalagi tentang cara-cara para tokoh dari Cola menyebarkan agama sesat itu.
"Hemm, berita ini penting sekali! Perlu segera kulaporkan kepada Sang Prabu. Memang telah diketahui bahwa Nusabarung dan Blambangan tampaknya menyusun kekuatan dan hendak memberontak, akan tetapi baru sekarang aku tahu bahwa mereka itu bersekutu dan ada usaha melemahkan Panjalu dan Jenggala. Sekarang juga aku harus menghadap Sang Prabu untuk memberi laporan tentang hasil perjalanan dan penyelidikan kalian,"
Hari itu juga Ki Patih Tejolaksono pergi menghadap dan diterima oleh Sang Prabu Sri Jayawarshe Digdaya Shastraprabu. Persidangan itu lengkap dihadiri para pembantu Sang Prabu, di antaranya Senopati Sepuh Suryoyudo dan yang lain-lain. Dengan suara yang tenang dan lancar, Ki Patih Tejolaksono melaporkan apa yang didengarnya dari isteri dan anak-anaknya, tentang hasil penyelidikan mereka. Laporan tentang persiapan perang yang dilakukan kadipaten Nusabarung dan Blambangan tidak mengejutkan karena semua orang sudah mendengar akan hal itu. Akan tetapi keterangan bahwa Nusabarung dan Blambangan didukung oleh Bali-dwipa, dan bahwa ada usaha dari kedua kadipaten itu untuk menimbulkan pertentangan di antara rakyat Jenggala dengan menyebar agama baru yang sesat, mengejutkan Sang Prabu dan para hulabalangnya.
"Kanjeng Gusti, dengan seijin paduka, perkenankan hamba sekarang juga memimpin pasukan untuk menundukkan Nusabarung dan Blambangan, juga membasmi para penyebar agama sesat itu!" terdengar Ki Patih Suryoyudo dengan suara lantang.
Patih yang usianya sudah tujuh puluhan tahun ini memang masih gagah dan penuh semangat. Sang Prabu menoleh kepadanya dan berkata dengan lembut.
"Paman Patih Suryoyudo, kami tidak ragu akan kemampuan andika. Akan tetapi andika sudah tua dan sebaiknya menemani kami di istana dan menjaga ketenteraman dalam kotaraja. Mengenai penalukan Nusabarung dan Blambangan, juga pembasmian para penyebar agama sesat itu, kami serahkan kepada Ki Patih Tejolaksono."
"Sendiko dawuh paduka, Kanjeng Gusti," kata Ki Patih Suryoyudo dengan patuh.
Dia patuh dan tidak kecewa karena diapun maklum bahwa patih anom itu memiliki kesaktian yang bahkan melebihi kesaktiannya sendiri dan diapun tidak ragu bahwa kalau Ki patih Tejolaksono yang maju memimpin pasukan, Nusabarung dan Blambangan pasti akan dapat ditundukkan.
"Hamba siap melaksanakan perintah paduka, Kanjeng Gusti," kata Ki Patih Tejolaksono sambil menghaturkan sembah.
"Kakang Patih Tejolaksono, buatlah persiapan dengan membawa pasukan secukupnya, kemudian berangkatlah segera ke Nusabarung dan Blambangan. Bujuk kedua adipati itu untuk menakluk dan datang menghadap. Kalau mereka menolak, beri hajaran kepada mereka, taklukkan mereka dengan kekuatan. Jangan lupa, cari biang keladi penyebaran agama sesat itu dan basmi mereka."
"Sendiko dawuh paduka, Kanjeng Gusti. Hamba mohon doa restu."
"Kami bekali puja pangestu yang berlimpah, Kakang Patih."
"Terima kasih, Gusti."
Persidangan dibubarkan dan Ki Patih Tejolaksono segera pulang ke gedungnya untuk memberitahu kedua isterinya, Endang Patibroto dan Ayu Candra, dan kedua orang anaknya. Keluarga ini lalu berkumpul untuk membicarakan tugas yang oleh Sang Prabu diberikan kepada Ki Patih Tejolaksono. Setelah dia menceritakan hasil laporannya kepada Sang Prabu dan tentang tugas yang harus dipikulnya, Endang Patibroto lalu berkata,
"Aku akan menemanimu kakangmas. Aku akan membantumu menaklukkan kedua kadipaten itu dan menghadapi para wasi penyebar agama sesat itu." Ucapan Endang Patibroto itu diucapkan penuh semangat.
Ayu Candra yang lemah lembut itupun berkata halus, "Akupun ingin ikut membantumu dan diajeng Endang Patibroto, kakang mas."
"Jangan kalian berdua pergi semua, lalu siapa yang akan berjaga di kepatihan ini?" kata Ki Patih Tejolaksono. "Diajeng Ayu Chandra, lebih baik andika berjaga di rumah saja. Biarlah diajeng Endang Patibroto ikut, sekalian menjadi petunjuk jalan karena ia sudah menyelidiki ke Nusabarung dan Blambangan."
"Apa yang dikatakan kakangmas itu betul, mbakayu. Engkau menjaga rumah karena keamanan di kepatihan juga amat penting. Biarlah aku yang pergi membantu suami kita, juga Retno Wilis dan Bagus Seto membantu ayah mereka."
"Kanjeng ibu, saya tidak ingin melibatkan diri dalam perang," kata Bagus Seto dengan lembut.
"Sayapun tidak mau ikut berperang di mana saya harus membunuh banyak orang," kata pula Retno Wilis.
"Kalian berdua tidak perlu ikut berperang. Akan tetapi para wasi dari Cola itu amat sakti. Kalau kalian berdua tidak membantu, ayah kalian dan aku tentu akan kewalahan menghadapi mereka," kata Endang Patibroto.
"Bagus Seto dan Retno Wilis," kata Ki Patih Tejolaksono dengan tenang, "kalian tentu ingat bahwa kehidupan ini baru ada manfaatnya kalau kita melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam kehidupan ini. Hidup berarti melaksanakan kewajiban-kewajiban itu. Kewajiban sebagai seorang ayah atau ibu, kewajiban sebagai seorang suami atau isteri, sebagai anak, sebagai sahabat, sebagai bawahan, sebagai atasan, sebagai kawula. Mempertahankan negara termasuk kewajiban suci dari seorang kawula. Lalu apa artinya menjadi kawula Negara kalau tidak mau membela negara? Membunuh orang berdasarkan kebencian dan permusuhan pribadi memang tidak baik dan tidak benar, anak-anakku. Akan tetapi membunuh musuh dalam perang merupakan tugas kewajiban seorang kawula yang membela negaranya, bebas dari pada rasa benci perorangan. Nah, sebagai kawula Panjalu, kalian juga berkewajiban untuk membela negara."
"Sudahlah," Endang Patibroto berkata, "Kalau kedua orang anak kita ini tidak mau terlibat perang, terserah kepada mereka. Akan tetapi mereka harus membantu dalam menghadapi para wasi penyebar agama sesat itu, kecuali kalau mereka rela melihat rakyat dipaksa memeluk agama sesat dan kalau mereka tega melihat ayah ibunya menghadapi para wasi yang sakti mandraguna itu tanpa membantu."
"Kakang, kita harus membantu ayah menghadapi mereka!" Retno Wilis berkata sambil memegang tangan Bagus Seto dan mengguncangnya.
Bagus Seto tersenyum dan mengangguk. "Baiklah dan kita lihat saja. Kalau memang amat diperlukan, kita turun tangan membantu."
Ki Patih Tejolaksono dan Endang Patibroto merasa girang sekali. Hati suami isteri ini menjadi besar melihat kedua orang anak mereka yang boleh diandalkan itu mau ikut. Ayu Chandra yang tadi merasa tidak enak melihat Bagus Seto tidak mau ikut, kini lega juga hatinya mendengar kesanggupan Bagus Seto.
"Aku merasa ikut girang kalau engkau mau ikut, anakku. Semoga Sang Hyang Widhi memberi kekuatan kepadamu untuk menanggulangi semua rintangan yang dihadapi ayah dan ibumu."
Demikianlah, Ki Patih Tejolaksono membuat persiapan, memilih pasukan istimewa dan keesokan harinya, berangkatlah pasukan itu dipimpin Ki Tejolaksono yang diiringkan isterinya Endang Patibroto dan kedua orang anaknya, Bagus Seto dan Retno Wilis. Mereka bertiga menunggang kuda dan di sepanjang jalan mereka dielu-elukan rakyat jelata yang memandang kagum kepada empat orang itu yang tampak gagah perkasa. Ki Patih Tejolaksono yang berusia lima puluh dua tahun menunggang kuda pancal panggung yang berkaki putih, masih tampak muda dan gagah perkasa. Di pinggangnya terselip sebatang keris pusaka pemberian Sang Prabu. Di sisinya, Endang Patibroto menunggang seekor kuda hitam, sudah berusia lima puluh tahun akan tetapi masih tampak cantik dan anggun, dengan sebatang keris terselip di pinggangnya, gagah perkasa seperti Woro Srikandi.
Pasangan yang sudah amat dikenal rakyat ini mendatangkan rasa kagum di hati penonton yang mengelu-elukan mereka. Di Belakang pasangan ini, juga menunggang seekor kuda coklat, tampak Bagus Seto yang berpakaian serba putih, lemah lembut dengan sinar matanya yang penuh kesabaran, gerak geriknya halus, seperti Raden Arjuna yang tidak tampak gagah perkasa melainkan lembut namun di balik kelembutan itu terkandung kekuatan yang maha dahsyat yang membuat orang memandang dengan hati tunduk.
Di sampingnya, duduk di atas seekor kuda berbulu putih adalah Retno Wilis yang menjadi pusat perhatian penonton. Seorang gadis yang juga berpakaian serba putih dari sutera, cantik jelita dan gagah perkasa, dengan sebatang pedang di punggungnya, bertubuh sempurna dengan lekuk lengkung yang menggairahkan. Sinom yang melingkar-lingkar di dahinya bergerak-gerak tertiup angin, alisnya yang hitam melengkung dan matanya seperti bintang kejora. Mulutnya tersenyum dan lesung pipit di sebelah kiri mulutnya menambah kemanisannya.
Hati para pria muda yang memandang menjadi terpesona oleh kecantikan dan keanggunan yang amat menawan itu. Sepasang orang muda yang berpakaian serba putih itu benar-benar membuat hati mereka yang menonton berdebar penuh kebanggaan dan kekaguman. Bangga karena mereka adalah putera puteri Ki Patih Tejolaksono yang telah lama menjadi kebanggaan mereka.
Lima losin barisan pengawal menunggang kuda di depan, diikuti oleh Sang Patih dan isteri serta dua orang puteranya dan di belakang mereka berbaris pasukan berkuda, lalu diikuti pasukan pejalan kaki. Jumlah mereka tidak kurang dari selaksa orang.
Sesuai dengan perintah Sang Prabu di Panjalu, Ki Patih Tejolaksono membawa pasukannya singgah di Kerajaan Jenggala. Pasukan berhenti di luar kadipaten, dan Ki Patih Tejolaksono, diikuti Endang Patibroto, Retno Wilis dan Bagus Seto memasuki kadipaten menghadap Sri Samarotsoha Karnake shana Dharmawangsa Kirtisinga Jayantaka Tungga Dewa, raja di Jenggala yang dahulunya bernama Pangeran Sigit dan pernah menjadi teman seperjuangan Ki Patih Tejolaksono dan Endang Patibroto. Bahkan Setyaningsih yang kini menjadi permaisuri Raja Jenggala adalah saudara kandung Endang Patibroto. Maka kedatangan keluarga Ki Patih Tejolaksono ini disambut dengan gembira dan meriah oleh keluarga Raja Jenggala. Tentu saja Sang Prabu Jenggala sudah mendengar akan gerakan pasukan yang dilakukan Panjalu untuk menundukkan Nusabarung dan Blambangan dan untuk itu diapun sudah mempersiapkan pasukan sebanyak dua ribu orang untuk diikut sertakan dan membantu pasukan Panjalu. Bantuan ini dengan senang hati diterima oleh Ki Patih Tejolaksono.
Tidak lama mereka singgah di Jenggala dan pada hari itu juga, pasukan diberangkat kan menuju ke timur. Kini jumlahnya bertambah menjadi dua belas ribu orang. Jauh sebelum mereka tiba di pesisir yang menjadi tapal batas kadipaten Nusabarung, pihak Nusabarung sudah mendengar lebih dulu dari para telik sandi mereka dan sudah membuat persiapan untuk melakukan perlawanan. Bahkan mereka telah mendapat balabantuan dari Blambangan sebanyak seribu orang perajurit sehingga jumlah mereka semua ada enam ribu perajurit. Sebagian besar para perajurit itu berjaga di sekitar pantai Nusabarung dan sebagian lagi menjaga di luar kadipaten yang berada di tengah-tengah pulau.
Ki Patih Tejolaksono menghentikan pasukannya di pantai Laut Kidul, membuat perkemahan di situ. Lalu semua alat pembuatan perahu yang telah dipersiapkan lebih dulu dikeluarkan dan sibuklah para ahli pembuat perahu bekerja siang malam membuat perahu. Karena banyaknya orang yang bekerja, dan alat-alat sudah lengkap juga di situ banyak pohon-pohon yang dapat ditebang dan kayunya dibuat papan perahu, maka dalam waktu dua pekan saja selesailah sudah ratusan buah perahu yang akan menyeberangkan pasukan itu ke Nusabarung. Pasukan itu telah membawa selain perlengkapan pembuatan perahu, juga tukang-tukang perahu yang ahli melayarkan perahu-perahu itu menyeberang lautan.
Akan tetapi pelayaran menuju Nusabarung itu tidak mudah karena di tengah Lautan mereka dihadang banyak perahu dari para perajurit Nusabarung sehingga terjadi pertempuran di tengah lautan. Perang anak panah terjadi dan setelah perahu-perahu saling mendekat, terjadilah perang campuh di atas perahu. Ahli-ahli berlayar dari Panjalu dan Jenggala mengemudikan perahu dengan sibuk dan hati-hati ketika perahu-perahu itu bertabrakan dan di atas perahu terjadi pertempuran seru.
Akan tetapi karena jumlah perajurit kalah banyak, dan kalah dalam hal ketangkasan bertempur, pasukan Nusabarung mundur dan melarikan diri dengan sisa perahu-perahu mereka ke pulau, lalu membentuk barisan di pantai pulau itu menanti datangnya perahu-perahu musuh.
Setelah pasukan Panjalu dan Jenggala mendarat, terjadilah pertempuran di darat, di pantai pulau Nusabarung. Dalam pertempuran itu, Ki Patih Tejolaksono dan Endang Patibroto melihat betapa di bagian kiri para perajurit mereka menjadi kacau dan banyak yang berpelantingan, tidak kuat menghadapi amukan lima orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan mereka ini mengamuk dengan golok mereka. Bahkan dua orang senopati dari Jenggaia yang menjaga bagian itu kabarnya sudah roboh pula. Mendengar ini, Endang Patibroto lalu meloncat dan berlari ke bagian itu, diikuti oleh suaminya.
Adapun Bagus Seto dan Retno Wilis hanya menonton dari tempat tinggi, tidak mencampuri perang itu. Akan tetapi kalau ada perajurit musuh yang datang menyerbu, mereka hanya merobohkan mereka dengan tamparan dan tendangan yang cukup mengusir mereka menjauh dengan gentar dan tidak membunuh mereka.
Ketika Endang Patibroto dan Ki Patih Tejolaksono tiba di tempat pertempuran bagian sayap kiri itu, tampaklah oleh mereka lima orang senopati tinggi besar. Mereka itu bukan lain adalah Senopati Wisokolo, Senopati Wisangnogo, Senopati Krendomolo, Senopati Damarpati, dan Senopati Surodiro, lima orang senopati jagoan dari Nusabarung yang terkenal digdaya.
Sepak terjang lima orang senopati jagoan Nusabarung ini sudah hebat, merobohkan banyak perajurit Panjalu, akan tetapi di bagian lain, ada lagi seorang kakek yang mengamuk lebih hebat lagi. Dia seorang kakek berusia enam puluhan tahun, berpakaian serba kuning, rambutnya gimbal akan tetapi dihias tusuk sanggul terbuat dari emas permata, matanya lebar hidungnya pesek dan mulutnya selalu menyeringai. Hebatnya, bukan saja tangan kakinya yang mengamuk dengan tongkat ularnya, juga mulutnya mengeluarkan bentakan-bentakan dan para perajurit yang terkena bentakan itu berpelantingan seperti terdorong tenaga yang dahsyat!
Endang Patibroto marah sekali melihat kakek ini karena ia mengenalnya sebagai Wasi Surengpati. Kalau dahulu Wasi Surengpati berpakaian butut, kini biarpun pakaiannya masih dekil namun dia memakai banyak perhiasan yang mewah! Hal ini karena dia sekarang telah menjadi penasihat Nusabarung.
"Kakangmas, hajarlah lima senopati dari Nusabarung itu, aku akan menghadapi kakek itu!" kata Endang Patibroto kepada suaminya,
"Hati-hati diajeng. Kakek itu kelihatan sakti, biar aku saja yang menghadapinya!" kata Tejolaksono khawatir.
"Jangan Khawatir, kakangmas. Aku pernah melawannya dan aku mampu mengatasinya. Lima orang senopati itupun digdaya, harap kakangmas waspada," kata Endang Pati broto yang segera berlari menghampiri tempat di mana Wasi Surengpati mengamuk.
"Wasi Surengpati, sekali ini engkau tidak akan terlepas dari tanganku!" bentak Endang Patibroto, sambil melompat dan tiba di depan kakek yang sedang mengamuk itu.
Melihat tiba-tiba muncul wanita yang ditakuti itu, wajah Wasi Surengpati menjadi pucat lalu merah sekali karena dia sudah menjadi marah. Untuk melarikan diri sudah tidak sempat lagi, maka diapun membentak.
"Endang Patibroto, engkaulah yang akan mampus di tanganku!" Dan diapun segera menerjang sambil mengeluarkan pekik yang dapat menggetarkan jantung lawan.
Akan tetapi, Endang Patibroto sudah mengerahkan kekuatan batinnya dan ia mengelak dari sambaran tongkat ular, lalu mencabut kerisnya dan membalas dengan serangan kerisnya yang berada di tangan kanannya. Tusukan itu cepat dan kuat sekali. Wasi Surengpati terkejut dan mengelak sambil memukulkan tongkatnya untuk menangkis. Endang Patibroto menarik kembali kerisnya dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar ke depan dengan aji pukulan Pethit Nogo yang amat ampuh.
"Wuuuuuuttt........ desss!!" Wasi Surengpati sudah mencoba untuk menangkis pukulan itu, akan tetapi tangkisannya terpental dan dadanya terkena sambaran pukulan yang amat ampuh itu sehingga dia terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Dia cepat melompat bangun, akan tetapi Endang Patibroto yang menggunakan gerakan dengan ilmu Bayu tantra, membuat tubuhnya dapat mengejar dengan cepat dan sebuah pukulan dengan Aji Gelap Musti menyambar ke arah kepala Wasi Surengpati. Sang wasi cepat miringkan kepala untuk mengelak dan pukulan itu mengenai pundaknya.
Namun, hebat sekali pukulan Aji Gelap Musti itu. Tubuh Wasi Surengpati terpelanting keras dan bergulingan, tiba di dekat para perajurit Panjalu. Para perajurit yang melihat musuh yang sakti ini bergulingan di dekat kaki mereka, segera menghujamkan senjata mereka. Sang wasi yang sudah terkena pukulan dua kali dengan hebatnya, tidak lagi mampu mengerahkan ilmu kekebalannya dan tubuhnya hancur lebur di bawah hujan senjata para perajurit itu. Tewaslah dia dalam keadaan tubuh hancur.
Sementara itu, Tejolaksono menerjang lima orang senopati yang segera terdesak ke belakang. Amukan Tejolaksono dengan aji Bajra Dahono amatlah dahsyatnya. Kedua tangannya seolah mengeluarkan api panas dan lima orang ini terhuyung ke belakang. Dengan gerakan Bayu Sakti, Tejolaksono dapat bergerak secepat angin dan selagi lima orang itu belum pulih keadaan mereka, Tejolaksono sudah menerjang dengan amukan Aji Dirodometo. Seperti seekor gajah mengamuk kaki tangannya bergerak dan lima orang itu satu demi satu berpelantingan dan segera dikeroyok oleh para perajurit Panjalu. Lima orang senopati itupun tewas semua di bawah hujan senjata.
Setelah lima orang senopati dan Wasi Surengpati tewas, para perajurit Nusabarung yang kehilangan pimpinan menjadi kacau balau dan kalang kabut, tunjang palang melari kan diri ke tengah pulau! Mereka bergabung dengan pasukan yang berjaga di luar kadipaten. Terjadi lagi pertempuran hebat, akan tetapi karena kalah dalam jumlah dan kekuatan, apalagi mereka tidak lagi mempunyai pimpinan yang tangguh, pasukan Nusabarung tidak kuat menahan serangan para perajurit Panjalu dan Jenggala dan akhirnya para perajurit dapat membobolkan gapura Nusabarung dan dipimpin oleh Tejolaksono dan Endang Patibroto, pasukan pengawal memasuki kadipaten!
Di tengah ruangan kadipaten mereka mendapatkan Adipati Martimpang berikut tujuh orang puterinya dan semua isteri dan selirnya berkumpul. Sang Adipati sudah kehilangan kewibawaannya dan menundukkan mukanya ketika Tejolaksono memasuki ruangan itu bersama Endang Patibroto dan kedua orang putera puteri mereka mengikuti dari belakang. Dyah Candramanik, puteri sulung sang Adipati Martimpang ketika melihat Retno Wilis ikut masuk ke ruangan itu, memandang dengan mata berapi. Dara jelita ini masih merasa sakit hati karena dulu pernah ditipu oleh Retno Wilis yang menyamar sebagai Joko Wilis sehingga ia jatuh cinta kepada "pemuda" itu.
"Adipati Martimpang, pasukanmu sudah hancur, apakah sekarang andika sudah rnenakluk kepada Kerajaan Jenggala?" tanya Ki Patih Tejolaksono dengan tegas namun cukup hormat.
Adipati Martimpang mengangkat muka, bertemu pandang dengan Tejolaksono dan menarik napas panjang.
"Kami sudah kalah, terserah apa yang akan andika lakukan, Ki Patih."
"Untuk sementara, andika sekeluarga menjadi tawanan di sini dan kadipaten Nusabarung akan diawasi oleh para wakil dari Jenggala. Setelah kami nanti kembali ke kerajaan Panjalu dan Jenggala, andika sekeluarga akan menjadi tawanan dan kami bawa ke Jenggala."
Adipati Martimpang yang sudah merasa kalah hanya mengangguk dan dia bersama keluarganya lalu digiring ke pedalaman kadipaten dan ditawan dalam kamar masing masing dan dijaga oleh para perajurit Jenggala.
Ki Patih Tejolaksono lalu memanggil semua perwira Jenggala dan memerintahkan kepada mereka dan sisa duaribu pasukan mereka untuk menguasai dan menjaga Nusabarung. Dia sendiri bersama pasukan Panjalu yang tadinya sebanyak selaksa orang akan melanjutkan ekspidisinya ke Blambangan. Hanya tiga hari pasukan itu dibiarkan beristirahat di Nusabarung dan pada hari ke empat pasukan itu menyeberang ke daratan lalu melanjutkan perjalanan menuju ke barat, ke Blambangan.
Akan tetapi belum lama mereka bergerak, dari depan menghadang pasukan yang berjumlah lebih kurang limaratus orang. Pasukan ini dipimpin oleh Sang Adipati Kertajaya, yaitu adipati dari Pasisiran, bersama puteranya, Jarot. Ternyata pasukan ini siap membantu gerakan pasukan dari Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Ki Patih Tejolaksono menerima mereka dengan senang hati, bahkan menganjurkan agar Jarot saja yang memimpin limaratus pasukan dari Pasisiran itu untuk membantu sedangkan Adipati Kertajaya menjaga ketenteraman di Pasisiran.
"Tidak baik kalau andika sekalian ikut pergi karena kadipaten Pasisiran akan menjadi kosong dari pimpinan," kata pula Endang Patibroto. "Kami rasa anakmas Jarot sudah cukup untuk membantu kami."
Adipati Kertajaya akhirnya menurut dan membiarkan puteranya seorang diri yang memimpin limaratus orang pasukan Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Pasukan itu melanjutkan perjalanan mereka dan kembali di tengah perjalanan mereka dihadang dua pasukan yang terdiri dari masing-masing seratus orang. Mereka itu bukan lain adalah Ki Haryosakti dan Bajramusti, dua orang sakti yang menjadi pimpinan Jambuko Cemeng dan ketua Bala Cucut, dua orang yang pernah ditalukkan oleh Retno Wilis dan Bagus Seto dan kepada dua orang kakak beradik ini mereka sudah berjanji untuk kelak membantu Panjalu. Setelah mendengar bahwa pasukan Panjalu dan Jenggala sudah mengadakan ekspidisi ke timur dan sudah menaklukkan Nusabarung, kini sedang menuju ke Blambangan. Mereka lalu membawa anak buah masing-masing dan menghadang di tengah perjalanan. Retno Wilis lalu memperkenalkan mereka kepada ayah ibunya.
"Paman ini adalah Ki Haryosakti, ketua dari Jambuko Cemeng yang sudah berjanji kepada kakangmas Bagus Seto dan aku untuk membantu Panjalu. Dan yang ini adalah paman Bajramusti, ketua Bala Cucut yang juga berjanji membantu pasukan Panjalu," demikian Retno Wilis melaporkan kepada ayahnya.
Tejolaksono mengangguk senang dan menerima mereka dengan baik, menempatkan mereka di tengah pasukannya. Hal ini menunjukkan bahwa Ki Patih Tejolaksono adalah seorang panglima yang berpengalaman. Biarpun sudah diperkenalkan oleh puterinya, namun dia tidak kekurangan kewaspadaan dan menempatkan dua kepala gerombolan itu di tengah-tengah pasukannya sehingga mereka tidak akan dapat berkhianat kalau terjadi perang melawan pasukan Blambangan. Kalau ditaruh di depan, mereka akan dapat berbalik membantu Blambangan dan kalau ditempatkan di belakang, mereka juga dapat membokong dan menyerang dari belakang untuk membantu Blambangan. Akan tetapi kalau mereka ditaruh di tengah mereka tidak berdaya dan mau tidak mau harus membantu pasukan Panjalu!
Tentu saja pihak Blambangan sudah mendengar akan jatuhnya Nusabarung ke tangan pasukan dari Panjalu dan Jenggala, bahkan pasukan yang mereka perbantukan ke Nusabarung juga sudah melarikan diri pulang, meninggalkan kawan-kawan yang gugur, akan tetapi membawa pula banyak pasukan yang melarikan diri. Kini mereka bergabung dengan pasukan Blambangan dan melakukan penjagaan di perbatasan Blambangan, dipimpin sendiri oleh Senopati Kurdolangit dan senopati Rajah Beling, dibantu para senopati lainnya termasuk Raden Kalinggo, putera Senopati Rajah Beling yang tinggi besar dan brewokan itu.
Raden Kalinggo ini dulu pernah ikut sayembara untuk memperebutkan Dyah Candramanik puteri Adipati Martimpang dari Nusabarung, namun dia dikalahkan oleh Joko Wilis. Jumlah pasukan Blambangan ditambah sisa pasukan Nusabarung tidak kurang dari delapan ribu orang. Begitu pasukan Panjalu muncul, mereka segera diserbu oleh pasukan Blambangan yang masih segar, berbeda dengan keadaan pasukan Panjalu yang baru tiba dari perjalanan yang cukup melelahkan.
Namun, pasukan Panjalu melawan dengan gigih. Amukan Senopati Kurdolangit segera di bendung dan dihadapi oleh Ki Bajramusti ketua Bala Cucut yang diperintahkan Ki Patih Tejolaksono untuk maju. Hal ini dinasihatkan oleh Retno Wilis yang sudah maklum akan kesaktian ketua Bala Cucut ini. Adapun amukan Rajah Beling dihadapi oleh Ki Haryosakti yang juga maju atas anjuran Retno Wilis. Ketika Raden Kalinggo maju, maka yang menghadapinya adalah Jarot!
Terjadilah perang pupuh yang amat seru. Tepat sekali perhitungan Retno Wilis yang mengajukan jago-jagonya. Senopati Kurdolangit memang sakti. Senopati yang tinggi kurus ini memainkan pedangnya dengan tangkas dan kuat. Namun yang menandingi adalah Ki Bajramusti yang memegang golok besar. Selain ilmu silat yang tangguh, juga Ki Bajramusti memiliki kekuatan sihir yang cukup hebat.
Setelah bertempur dengan serunya, Ki Bajramusti berulang kali mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, dan pekik ini yang mengguncangkan jantung Senopati Kurdolangit dan membuat permainan pedangnya menjadi kacau. Pada saat dia terlengah, golok besar di tangan Ki Bajramusti menyambar dan mengenai pahanya, membuat tubuh Senopati Kurdolangit terpelanting roboh. Golok besar di tangan Ki Bajramusti menyambar ganas dan putuslah leher Senopati Kurdolangit, disambut sorak sorai para perajurit atau anak buah Bala Cucut yang mendukung ketua mereka.
Senopati Rajah Beling mendengar sorak sorai itu dan segera dia mengetahui bahwa rekannya, Senopati Kurdolangit telah roboh dan tewas. Hal ini tentu saja membuat hatinya menjadi gentar. Akan tetapi tidak ada jalan lain baginya kecuali mengamuk dengan tombak cagaknya. Lawannya, Ki Haryosakti juga bersenjata tombak sehingga ramailah pertandingan di antara mereka. Akan tetapi setelah Senopati Rajah Beling mendengar akan tewasnya Senopati Kurdolangit, hatinya yang gentar membuat permainan tombaknya menjadi kacau.
"Haiiittt.....!" Dia mencoba untuk mengeluarkan gertakan dan tombak cagaknya menyambar ke arah perut Ki Haryosakti.
"Tranggg......!"
Tombak Ki Haryosakti menangkis, akan tetapi ujung tombak itu terjepit di antara cagak tombak di tangan Senopati Rajahbeling. Mereka bersitegang mengadu kekuatan karena tombak mereka sudah saling jepit. Dan dalam adu tenaga ini Senopati Rajahbeling masih kalah setingkat. Tombak Ki Haryosakti mendorong maju dan tanpa dapat dielakkan lagi oleh lawan, tombaknya menusuk ke arah dada lawan.
"Creppp.... auhhh....!" Tubuh Senopati Rajah Beling terjengkang dan dia tewas seketika karena jantungnya tertembus ujung tombak Ki Haryosakti.
Kalinggo yang bertanding dekat ayahnya melihat robohnya ayahnya. Dia menjadi kaget, sedih dan marah besar. Akan tetapi lawannya adalah Jarot, seorang pemuda sakti murid Bhagawan Dewondaru. Sejak tadi mereka berkelahi dengan tangan kosong dan dia sudah terdesak terus. Sekarang, melihat ayahnya roboh dia menjadi nekat dan mencabut sebatang keris yang besar dan berwarna keemasan. Dengan keris di tangan dia menubruk dan menyerang ke arah dada Jarot. Pemuda Pasisiran ini mengelak cepat dan keris itu meluncur di sampingnya. Cepat dia membalik dan mengetuk lengan kanan Raden Kalinggo dengan tepi tangannya yang miring.
"Dukk..... !" Akan tetapi Raden Kalinggo hanya meringis kesakitan. Kerisnya tidak terlepas dari pegangannya. Memang pemuda ini memiliki kekebalan dan kekuatan yang cukup hebat. Dia bahkan mengamuk semakin hebat dan menghujani Jarot dengan serangan kerisnya secara bertubi-tubi. Jarot mengelak ke sana sini dan merasa bahwa kalau dilanjutkan, mungkin dia akan kewalahan karena lawannya sudah mengamuk membabi buti. Maka diapun lalu menghunus kerisnya dan tampak sinar hitam berkelebat. Itulah keris pusaka Nogo lreng yang berwarna hitam.
"Trangg....!" Ketika keris keemasan ditangan Raden Kalinggo menusuk lagi ke arah perut Jarot, pemuda ini dengan trengginas menangkis dari samping sehingga keris Kalinggo menyimpang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Jarot untuk memukulkan tangan kirinya ke depan, tepat mengenai dada Kalinggo.
"Bukk!" Kalinggo terhuyung ke belakang, tangan kirinya menekan dadanya yang terasa nyeri dan napasnya terengah.
Akan tetapi pukulan ini membuatnya semakin marah dan tanpa memperdulikan rasa nyeri di dadanya yang membuat napasnya sesak, dia menerjang dengan nekat, menggunakan kerisnya menusuk dada lawan dan tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Jarot! Penyerangan ini sungguh nekat tanpa memperdulikan pertahanannya sendiri yang terbuka. Jarot menghindar ke kiri dengan cepat dan keris di tangan kanannya menyambar ke samping.,
"Crott!" Keris itu menusuk lambung dan Jarot cepat mencabutnya kembali sambil melompat ke belakang agar jangan sampai terpercik darah yang menyembur keluar dari lambung Kalinggo.
Kalinggo berteriak keras dan tubuhnya terguling roboh. Kerisnya terlepas dari pegangannya dan dengan kedua tangan dia mendekap luka di lambungnya yang mengucurkan darah. Akan tetapi tidak lama dia menegang dan menghembuskan napas terakhir, tewas dalam kubangan yang dibuat darahnya sendiri.
Tejolaksono dan Endang Patibroto dikeroyok oleh para senopati lainnya. Akan tetapi suami isteri ini mengamuk seperti banteng terluka. Siapa saja yang berani menghadangnya tentu roboh terpelanting oleh tamparan atau tendangan mereka. Keduanya tidak menggunakan senjata, hanya dengan tangan kosong saja mereka merobohkan puluhan perajurit yang berani mengeroyok mereka. Amukan suami isteri ini menggetarkan semua perajurit Blambangan, akan tetapi menambah semangat para perajurit Panjalu. Juga kemenangan yang diperoleh Jarot, Ki Haryosakti dan Ki Bajramusti membuat anak buah mereka menjadi bersemangat sekali.
Mereka semua mengamuk, membuat pasukan Blambangan menjadi kocar kacir dan terdesak mundur terus sampai di pintu gapura Blambangan di mana sudah siap menjaga sebagian dari pasukan Blambangan yang diperkuat dan dipimpin Wasi Karangwolo, Adipati Menak Sampar sendiri, dibantu Wasi Shiwamurti, Ki Shiwananda, dan Ni De wi Durgomala dan beberapa orang senopati, juga belasan orang perwira Blambangan. Agaknya sekali ini Adipati Menak Sampar mengerahkan seluruh tenaganya untuk mempertahankan Blambangan!
Tak dapat dicegah lagi terjadilah pertempuran hebat, perang campuh yang gegap gempita. Para pemimpin kedua pihak juga segera saling berhadapan dan Retno Wilis sudah membisikan siasatnya untuk menghadapi para wasi sakti itu. Bagus Seto segera menghadang Wasi Shiwamurti yang menjadi musuh lamanya. Retno Wilis menghadapi Ki Shiwananda. Endang Patibroto menghadapi Ni Dewi Durgomala. Adapun Wasi Karangwolo dihadapi Jarot yang dibantu oleh Ki Haryosakti dan.Ki Bajramusti, sedangkan Adipati Menak Sampar sendiri yang juga sakti dihadapi Ki Patih Tejolaksono!
Terjadilah perang tanding yang luar biasa serunya! Wasi Shiwamurti yang maklum bahwa lawannya yang masih muda itu memiliki aji kesaktian yang amat hebat, menjauhkan diri dari yang lain dan mengajak lawannya untuk bertanding di atas sebuah bukit, agak menjauh dari perang campuh itu. Bagus Seto mengikuti ke mana Sang Wasi itu pergi dan mereka kini berhadapan di atas lereng bukit itu.
"Bagus Seto, andika ini orang muda. tidak pandai menghormati orang yang lebih tua, bahkan berani menentang aku yang datang dari negara jauh. Beginikah sikap satria di Nusa Jawa, satria dari Panjalu? Apakah gurumu mengajarkanmu untuk tidak pandai menghormati orang yang lebih tua dari-mu?"
"Paman Wasi Shiwamurti, penghormatan seseorang terhadap orang lain bukan ditinjau dari segi usianya, melainkan dari sikap dan perbuatannya. Paman wasi dating dari jauh, sepantasnya dihormati. Akan tetapi melihat bagaimana paman bersikap dan berbuat di sini, selain membantu pihak pemberontak Blambangan juga menyebar luaskan agama sesat untuk melemahkan rakyat dengan cara paksa dan kekerasan, bagaimana paman menuntut penghormatan? Sebaiknya kalau paman pulang saja ke Cola dan jangan menimbulkan kekacauan di s ini."
"Babo-babo, Bagus Seto. Jauh-jauh kami diperintahkan raja kami untuk membantu Blambangan dan mengadakan kontak dengan Bali Dwipa, menyebar agama kami untuk membahagiakan rakyat. Bagaimana andika berani mengatakan bahwa kami menyebar agama untuk mengacaukan rakyat. Buktinya, para pengikut kami mendapatkan kebahagiaan dan mereka merasa senang menjadi anggauta kami!"
"Kesenangan yang sesat, pengumbaran nafsu yang semena-mena dan yang menyeret jiwa ke dalam kegelapan. Wasi Shiwa-murti, andika yang sudah mempelajari berbagai Weda, masih berpura-pura tidak melihat hal ini? Mustahil kalau andika tidak mengetahui bahwa agama yang andika ajarkan itu sesat dan keji!"
"Bagus Seto, jangan dikira bahwa aku takut kepadamu! Sambutlah ini!" Wasi Shiwamurti mengangkat tongkat kepala naga ke atas menggerak-gerakkan ke arah langit dan seketika langit menjadi gelap tertutup mendung dan awan mendung itu menyambar turun ke arah Bagus Seto seolah hendak menelan pemuda itu!
Bagus Seto yang melihat ini, dengan tenang mengeluarkan setangkai bunga cernpaka putih dari rambut kepalanya dan mengangkat setangkai bunga itu ke atas kepalanya, lalu melontarkannya ke arah gumpalan awan hitam yang menyerang ke arahnya.
"Byarrr......!" Tampak sinar terang dan awan gelap itu ambyar dan lenyap. Bunga cempaka putih sudah turun kembali ke tangan Bagus Seto yang menyimpannya kembali ke rambut kepalanya.
Melihat serangannya dapat dipunahkan pemuda itu, Wasi Shiwamurti menjadi marah sekali. Tongkat kepala naga itu didorongkan ke arah sebuah batu sebesar kerbau.
"Sambutlah batu ini!" bentaknya dan ketika dia mengerahkan tenaganya, batu sebesar kerbau itu melayang ke arah Bagus Seto dengan cepatnya. Bagus Seto melolos ikat kepalanya dan menyambut batu besar itu dengan kebutan kain pengikat kepala.
"Darrr...!!" Batu besar itu begitu kena dikebut kain putih pengikat kepala, menjadi hancur berantakan dan pecahannya terlempar ke kanan kiril
Wasi Shiwamurti terkejut akan tetapi belum mau mengaku kalah. Dia sudah menerjang dengan tongkat kepala naga itu, menyerang dengan dahsyat. Tongkatnya menyambar-nyambar, mengeluarkan angin bersiutan sehingga menggerakkan daun-daun pohon disekitarnya, bahkan membuat pakaian putih Bagus Seto berkibar-kibar. Namun pemuda itu sama sekali tidak merasa gentar. Tubuhnya bagaikan berubah menjadi bayangan atau awan, diserang bagaimanapun oleh tongkat kepala naga itu tidak pernah dapat tersentuh, seolah sebelum hantaman tiba, angina pukulan tongkat itu telah membuat tubuhnya mengelak. Diapun membalas dengan kebutan kain putih pengikat kepalanya, namun Wasi Shiwamurti juga amat tangkas dan tubuhnya kebal sehingga serangan balasan Bagus Seto juga tidak mengenai sasaran, atau kalau hanya mengenai pundak atau bagian tubuh yang tidak berbahaya, kebutan itu meleset dan tidak melukai lawan.
Adu kesaktian yang terjadi di bukit, jauh dari perang campuh itu berlangsung amat dahsyatnya. Kalau dilihat dari jauh, yang tampak hanyalah gulungan sinar tongkat kepala naga yang bergelombang dan berlenggang-lenggok seolah-olah seekor naga yang bermain di angkasa, mengejar sesosok bayangan yang bergerak seperti awan. Penglihatan yang menakjubkan! Tiba-tiba tongkat bertemu dengan kebutan kain pengikat kepala yang berwarna putih itu.
"Plakk....!" Hebat sekali pertemuan antara dua tenaga sakti yang tersalur lewat dua senjata ampuh itu dan keduanya terdorong mundur sampai lima langkah!
Maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan pemuda itu dengan ilmu sihir atau mengadu senjata, Wasi Shiwamurti lalu mencoba untuk mengeluarkan senjata pamungkasnya. Dia menancapkan tongkatnya di atas tanah, lalu menggosok-gosokkan kedua tangannya sampai tampak asap mengepul di antara kedua telapak tangannya. Setelah itu, dalam jarak belasan langkah itu dia lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Bagus Seto.
Pemuda ini sudah menduga serangan apa yang akan dilakukan lawannya. Begitu melihat Wasi Shiwamurti menancapkan-tongkatnya lalu menggosok-gosokkan kedua tangannya, dia sudah menduga bahwa lawan hendak mempergunakan aji pukulan jarak jauh mempergunakan hawa sakti yang mungkin beracun. Maka diapun sudah menyimpan kain pengikat kepalanya dan diapun menekuk kedua lututnya, merendahkan tubuhnya dan membuka kedua tangan lalu menyambut serangan itu dengan dorongan kedua telapak tangannya yang putih ke arah depan. Dua tenaga sakti yang mujijat itu bertemu di tengah-tengah. Udara bagaikan tergetar dan terguncang hebat dengan adanya pertemuan dua hawa sakti yang amat kuat itu.
"Blarrrr.....!" Tubuh Bagus Seto bergerak-gerak terguncang akan tetapi kuda-kuda kedua kakinya masih tetap tegak, sedangkan tubuh Wasi Shiwamurti terhuyung ke belakang sampai beberapa langkah, mukanya berubah pucat dan dari kepalanya mengepul uap putih! Jelas bahwa dia masih kalah kuat setingkat dibandingkan murid Ki Tunggaljiwo dan Bhagawan Ekadenta yang sakti ini! Diapun menyadari kekalahannya, maka dengan suara agak terengah dia berkata.
"Bagus Seto, sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi jagalah andika, tak berapa lama lagi aku akan mendatangimu di Panjalu mengajak seorang kakak guruku untuk menantangmu bertanding lagi satu lawan satu untuk menentukan pihak mana yang lebih unggul!"
Dengan tenang Bagus Seto menjawab,
"Aku selalu akan menunggu dan siap untuk menghadapimu, Paman Wasi Shiwamurti. Selama andika belum menyadari kekeliruanmu, aku akan selalu menentangmu."
"Bagus, tunggu saja pembalasanku!" Setelah berkata demikian, Wasi Shiwamurti mencabut tongkat kepala naga dari atas tanah, lalu dia melarikan diri dengan amat cepatnya ke balik bukit, tidak mau memperdulikan lagi perang campuh yang masih berlangsung di kaki bukit.
Pertandingan antara Wasi Karangwolo yang dikeroyok tiga tidak berlangsung lama. Biarpun Wasi Karangwolo adalah seorang yang sakti mandraguna, pandai pula berilmu sihir dan kerisnya amat berbahaya menyambar-nyambar, namun dia dikeroyok tiga oleh Jarot, Ki Haryosakti dan Ki Bajramusti yang ketiganya juga tidak asing dengan ilmu sihir. Semua ilmu sihir yang dikeluarkan oleh Wasi Karangwolo dapat dipunahkan tiga orang itu. Keris Nogo Ireng di tangan Jarot sudah hebat berbahaya, tombak di tangan Haryosakti juga ganas, terutama sekali golok besar di tangan Ki Bajramusti.
Tiga orang pengeroyok ini membuat Wasi Karangwolo kewalahan dan terdesak hebat. Akhirnya, sebuah bacokan golok dari Ki Bajramusti menyambar dan mengenai pundaknya. Wasi Karangwolo berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang. Dia tidak mampu menangkis atau mengelak lagi ketika tombak di tangan Ki Haryosakti menusuk dan menembus lambungnya. Ketika tombak dicabut, tubuh Wasi Karangwolo jatuh nglumpruk (terkulai) dan dia tidak bergerak lagi, tewas seketika. Tiga orang itu lalu mengamuk, merobohkan banyak perajurit Blambangan yang berani menghadapi mereka. Amukan tiga orang yang gagah perkasa ini membuat pasukan Blambangan kocar-kacir.
Sementara itu, Retno Wilis juga sudah mendesak Ki Shiwananda yang memang sudah merasa jerih menandingi dara perkasa yang sakti mandraguna ini. Permainan ruyungnya yang berat itu mulai kacau berhadapan dengan Pedang pusaka Sapudenta di tangan Retno Wilis. Beberapa kali Ki Shiwananda mencoba untuk mempengaruhi dara ini dengan sihirnya. Namun Retno Wilis yang pernah menerima gemblengan dari Nini Bumigarbo tidak miris (gentar) menghadapi semua pengerahan sihir itu dan dapat menolaknya sehingga kembali mereka harus bertanding mengadu kedigdayaan dan ilmu kanuragan.
"Trang-cringg......!" Ruyung bertemu dengan Pedang Sapudenta dengan kerasnya dan karena Retno Wilis mengerahkan seluruh tenaganya ketika beradu senjata, ruyung itu patah menjadi dua potong! Wajah Ki Shiwananda menjadi pucat sekali, akan tetapi pada saat itu Retno Wilis sudah menggerakkan kaki kanannya menendang.
"Bukkkk!" Keras sekali tendangan itu sehingga tubuh Ki Shiwananda terpental dan dia terjatuh dekat para perajurit Panjalu yang menonton pertarungan itu. Tak dapat dicegah lagi, hujan senjata menimpa tubuh Ki Shiwananda yang tidak lagi mampu mengerahkan kekebalannya karena perutnya yang tertendang tadi merasa nyeri sekali dan melenyapkan tenaganya. Tubuhnya hancur di bawah hujan bacokan itu.
Retno Wilis hanya menonton dan menahan napas. Berkat bimbingan kakaknya, ia tidak ingin membunuh lawan, akan tetapi lawannya terjatuh ke tangan para perajurit yang menghabisi nyawanya. Bagaimanapun juga, Ki Shiwananda maju berperang maka sudah lumrah kalau dia tewas dalam peperangan. Ia lalu membalikkan tubuh dan melihat Bagus Seto melangkah menuruni bukit, agaknya sudah ditinggalkan Wasi Shiwamurti. Dan dilihatnya pula bahwa Jarot, Ki Haryosakti dan Ki Bajramusti juga sedang mengamuk, agaknya sudah pula menewaskan Wasi Karangwolo yang tadi mereka keroyok.
Yang masih bertanding adalah Endang Patibroto melawan Ni Dewi Durgomala dan Ki Patih Tejolaksono sendiri yang masih bertarung melawan Adipati Menak Sampar yang masih gigih membuat perlawanan sungguhpun dia terus terdesak mundur. Endang Patibroto juga mendesak Ni Dewi Durgomala yang kelihatan sudah merasa jerih. Akan tetapi tempat itu terkepung ratusan perajurit sehingga ia tidak melihat kesempatan untuk melarikan diri lagi. Terpaksa ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk melawan Endang Patibroto.
Retno Wilis yang kini sudah berdekatan dengan Bagus Seto, hanya menonton saja dan tidak mau membantu karena mereka maklum bahwa ayahnya dan ibunya tidak akan kalah.
"Di mana Wasi Shiwamurti?" tanya Retno Wilis.
"Dia sudah melarikan diri." jawab Bagus Seto lirih. Biarpun dia tidak bertanya, Retno Wilis menerangkan.
"Ki Shiwananda tewas di bawah puluhan senjata para perajurit setelah aku merobohkannya. Aku tidak sengaja membunuhnya."
Bagus Seto menyentuh lengan adiknya. "Engkau tidak bersalah. Memang sudah tiba saatnya dia tewas dikeroyok banvak senjata. Agaknya itulah karmanya," kata Bagus Seto seperti hendak menghibur adiknya.
"Ibu tentu akan dapat mengalahkan Ni Durgomala," kata Retno Wilis sambil menuding ke arah Endang Patibroto yang mendesak lawannya dengan hebat.
Bagus Seto menghela napas panjang.
"Kanjeng Ibu Endang Patibroto memang seorang wanita yang sakti mandraguna pilih tanding. Beliau pantas untuk menjadi seorang panglima perang wanita."
"Dan kanjeng romo juga tidak akan kewalahan menandingi sang Adipati Menak Sampar," kata pula Retno Wilis sambil memandang kepada ayahnya yang masih bertanding melawan adipati Blambangan itu.
"Kanjeng romo jelas tidak akan membunuh sang adipati, melainkan hendak menawannya dan beliau bertindak benar. Sebaiknya kalau adipati Blambangan ditangkap hidup-hidup untuk dihadapkan kepada Gusti Prabu di Panjalu, atau Jenggala."
Apa yang dikatakan Retno Wilis dan kakaknya memang benar adanya. Tak lama kemudian Ni Dewi Durgomala mengeluarkan suara melengking, mirip tangis bercampur tawa dan tangan kirinya memukul dengan jari-jari terbuka dan kukunya membentuk cakar. Dari ke lima jari tangannya itu menyambar sinar menghitam dan hal ini membuat Retno Wilis terkejut dan mengkhawatirkan ibunya karena ia tahu bahwa yang dikeluarkan Ni Dewi Durgomala itu adalah ilmu yang keji dan jahat sekali. Memang Ni Dewi Durgomala telah mengeluarkan aji pamungkasnya. Aji ini kalau dikerahkan, dapat membunuh lawan dalam jarak jauh, karena angin yang menyambar dari pukulan itu membawa hawa beracun yang amat jahat.
Namun Endang Patibroto juga sudah waspada dan maklum bahwa lawan mengajak mengadu nyawa dengan mengerahkan semua aji pamungkas yang dimilikinya. Maka iapun menyambut dengan Aji Gelapmusti yang digabung dengan Aji Pethit Nogo. Tangan kanannya menyambut pukulan jarak jauh Ni Dewi Durgomala itu dengan aji Gelap Musti, sedangkan tangan kirinya membalas dengan hantaman Aji Pethit Nogo.
"Bresssss... auugghhh....!" Tubuh Ni Dewi Durgomala terlempar sampai lima meter jauhnya dan ia terbanting roboh muntah darah dan tewas seketika. Akan tetapi Endang Patibroto juga terhuyung dan mukanya menjadi pucat sekali.
Bagus Seto cepat menghampiri Endang Patibroto dan mengambil bunga cempaka putih dari rambut kepalanya. Dengan bunga cempaka di tangan, dia mendekati ibunya dan mendekatkan bunga itu di depan hidung Endang Patibroto.
"Sedotlah, kanjeng ibu. Hawa beracun itu akan tersapu bersih." Endang Patibroto menurut. Ia menyedot aroma bunga itu dengan hidungnya dan seketika napasnya terasa lega dan sesaknya menghilang.
Mereka lalu memandang ke arah Ki Patih Tejolaksono yang masih bertanding melawan Adipati Menak Sampar. Tejolaksono bertangan kosong dan Adipati Menak Sampar menggunakan sebatang keris yang besar dan panjang.
"Mampuslah engkau, Tejolaksono!" bentaknya dan untuk kesekian kalinya keris itu meluncur dan menusuk ke arah dada Tejolaksono.
Ki Patih Panjalu ini miringkan tubuhnya. Keris menancap di bawah lengannya, lalu dikempitnya dan tangannya menebak ke arah dada lawan. Tubuh Menak Sampar terjengkang dan keris itu terlepas dari tangannya. Tejolaksono membuang keris itu dan melangkah maju. "Menyerahlah, Adipati Menak Sampar!" katanya tegas.
Akan tetapi Adipati Menak Sampar mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau terluka dan dia sudah menubruk maju seperti seekor biruang menerkam mangsanya. Kedua lengan yang besar dan panjang itu menerkam dari kanan kiri untuk meringkus tubuh Ki Patih Tejolaksono yang terbilang kecil kalau dibandingkan dengan tubuhnya yang tinggi besar seperti raksasa. Namun Ki Patih Tejolaksono bergerak cepat dan sudah mengelak, kemudian dari samping dia menampar dengan Aji Bajra Dahono, mengenai pundak Sang Adipati.
"Plakkk..... aduuuhhh...!" Terkena pukulan Aji Bajra Dahono, tubuh Sang Adipati terkulai dan mendesah kepanasan, Tejolaksono lalu meringkusnya dan tanpa diperintah Jarot lalu maju membawa tali dan mengikat kedua pergelangan tangan Adipati Menak Sampar sehingga dia tidak mampu berkutik lagi.
Setelah melihat para pimpinan sudah dikalahkan semua para pasukan Blambangan menjadi kecut hatinya dan semangat perlawanan merekapun membuyar. Pada saat itu Ki Patih Tejolaksono berseru nyaring.
"Adipati Menak Sampar telah menyerah! Kalian yang melawan akan dibunuh yang menyerah akan diampuni!"
Mendengar bentakan yang amat nyaring itu, sebagian besar pasukan Blambangan lalu membuang senjata mereka dan menjatuhkan diri berlutut, menyerah!
Ki Patih Tejolaksono lalu menggiring Adipati Menak Sampar memasuki kadipaten yang sudah dikuasai oleh para perwira Panjalu dan para perajurit pengawal. Di tengah ruangan itu telah berkumpul keluarga Sang Adipati, lengkap dengan semua isteri dan selirnya. Juga hadir Dyah Ayu Kerti, puteri Sang Adipati yang cantik jelita. Melihat puteri ini, hati Jarot berdebar dan dia memandang penuh pesona, akan tetapi karena hatinya telah terlebih dulu terpikat kepada Retno Wilis, maka diapun menghilangkan perasaannya yang hanyut oleh kejelitaan puteri Adipati Menak Sampar itu.
"Bagaimana, Sang Adipati Menak Sampar? Apakah andika sudah takluk sekarang?" tanya Ki Patih Tejolaksono.
"Hemm, pasukanku telah hancur, aku telah kalah bertanding. Apa lagi yang dapat kulakukan selain menyerah? Aku menyerah terhadap kekuasaan kerajaan Jenggala dan Panjalu."
"Bagus kalau begitu. Anakmas Jarot, lepaskan ikatan tangan Sang Adipati" perintah Tejolaksono dan Jarot segera melaksanakan perintah itu...