Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Seruling Gading Jilid 01
PUNCAK Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Sinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah.
Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu. Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan Argadalem dikabarkan sebagai tempat-tempat yang angker.
Akan tetapi pada pagi hari itu, seorang laki-laki tua tampak sedang membasuh muka, lengan dan kakinya ditepi sebuah kolam yang dibentuk oleh sumber air. Sungguh menakjubkan memang betapa di puncak gunung yang begitu tinggi dapat keluar sumber airnya. Kekuasaan Yang Maha kuasa terjadi di mana-mana. Kolam itu dikenal dengan sebutan Sendang Drajat yang terletak tidak begitu jauh dari puncak Argadalem.
Orang akan merasa heran dan kagum kalau melihat kakek itu membasuh muka dengan air sendang itu. Hawa udara demikian dingin dan tajam menusuk dan menembus pakaian yang tebal sekalipun. Namun kakek itu membasuh muka, lengan dan kakinya dengan wajah berseri gembira dan kelihatan menikmati air yang nyaris membeku oleh hawa yang amat dingin.
Kakek itu sudah tua. Usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun. Rambutnya yang sepanjang pundak dibiarkan terurai di atas kedua pundak dan punggungnya. Kumis dan jenggotnya, seperti juga rambutnya, sudah putih semua seperti benang perak, agak mengkilat tertimpa sinar matahari pagi. Bahkan sepasang alisnya yang tebal itu sudah putih semua, akan tetapi kulit mukanya masih segar, belum keriput seperti muka orang muda dan sepasang matanya bersinar lembut namun tajam dan penuh wibawa yang amat kuat. Hidungnya mancung dan mulut yang sebagian tertutup kumis itu tampak tersenyum selalu, senyum penuh kesabaran dan pengertian.
Tubuhnya tinggi kurus namun kakek itu bertulang besar dan tubuh yang tua itu masih tegap dan ketika dia bangkit berdiri dari jongkoknya, dia tampak kokoh. Pakaiannya sederhana sekali. Hanya terdiri dari kain putih bersih yang dilibat-libatkan di tubuhnya dari leher sampai ke lutut. Kini dia menggunakan sehelai kain putih untuk mengeringkan muka, leher, kedua lengan dan kaki yang tadi dibasuhnya.
Setelah selesai, dia memeras air yang membasahi kain itu dan mengikatkan kembali kain putih itu sebagai ikat pinggangnya. Diambilnya sebatang benda putih sepanjang setengah meter dari atas batu besar dan benda itu diselipkan kembali ke ikat pinggangnya. Dia berdiri menghadapi sendang dengan bibir tersenyum dan pandang mata lembut seolah memberi ucapan terima kasih kepada sendang yang telah memberi kesegaran kepadanya.
Kemudian dia menoleh ke kanan kiri dan melihat sinar matahari sepenuhnya menimpa sebuah batu besar, dia lalu menggerakkan kedua kakinya melangkah perlahan menghampiri batu besar. Dia membungkuk dan meniup-niup permukaan batu untuk membersihkannya dari tanah, kemudian dia duduk di atas batu, membiarkan matahari memandikannya dengan sinarnya yang gemilang.
Dia menghela napas panjang menandakan kelegaan hati. Kebahagiaan sejati yang langka dirasakan orang memenuhi seluruh dirinya lahir batin. Dia melayangkan pandang matanya ke tanah, ke sendang, ke langit dan ke matahari. Dalam batinnya dia menghaturkan terima kasih dan syukur akan kemurahan Yang Maha Murah, yang telah menciptakan tanah, air, udara dan sinar matahari yang memberi kehidupan. Dihisapnya hawa udara dalam-dalam memenuhi paru-parunya menembus ke bawah pusar. Alangkah bahagia dan nikmatnya hidup!
Kakek itu memejamkan kedua matanya dan menarik kedua kakinya untuk duduk bersila. Kemudian tangan kanannya mengambil benda putih yang terselip di pinggangnya. Benda itu ternyata adalah sebatang suling yang warnanya putih kekuningan. Sebatang suling terbuat daripada gading gajah. Dengan gerakan lembut dan santai sambil memejamkan kedua matanya, kedua tangannya memegang suling, mendekatkannya ke mulutnya lalu ditiupnya suling itu. Jari-jari kedua tangannya bermain-main di atas lubang-lubang suling dan terdengarlah lengkingan suara suling yang merdu.
Suaranya mengalun dan mengayun perasaan, naik turun dengan lembutnya dan terdengar aneh. Tidak seperti tembang yang. biasa dilagukan dengan suling bambu oleh para penabuh gamelan. Suara suling itu mendayu-dayu, kadang terdengar seperti hembusan angin bermain di puncak pohon-pohon cemara, kadang seperti gemercik air anak sungai bermain dengan batu-batu, kadang terdengar seperti sorak-sorai dan tawa riang, kadang seperti tangis sedih. Aneh akan tetapi indah!
Kakek itu memejamkan mata, tubuhnya bergoyang-goyang perlahan ke kanan kiri dan semangatnya seperti melayang-layang di antara nada-nada suara suling. Kalau orang mendengarkan suara itu dengan hati akal pikiran yang bekerja, menilai dan mencoba untuk mengerti, tentu suara suling itu akan terdengar aneh. Akan tetapi kalau didengarkan tanpa ikutnya hati akal pikiran, maka akan terasa bahwa suara suling itu sudah sewajarnya dan menjadi satu dengan alam sekitarnya, seolah suara itu memang sudah seharusnya dan sepatutnya terdengar di tempat itu.
Seperti suara, kicau burung, desah angin, gemercik air, kokok ayam dan suara alamiah yang lain. Semua suara itu adalah puja-puji yang memuliakan nama Yang Maha Pencipta. Bahkan tubuh kakek yang bergoyang-goyang perlahan ke kanan kiri itu merupakan doa yang tanpa suara dan yang tak kunjung henti.
Lima ekor burung sejenis jalak terbang melayang-layang, berputaran di atas sendang. Kemudian mereka melayang turun dan hinggap di atas tanah dekat kakek itu. Mereka tampak jinak dan diam seakan ikut mendengarkan dan menikmati suara suling itu. Suara suling itu berhenti dengan lembut makin lama makin lirih dan akhirnya kakek itu menghentikan tiupannya. Akan tetapi, suaranya seperti masih bergema di angkasa. Kakek itu menyelipkan sulingnya di ikat pinggang, lalu dia turun darn atas batu. Lima ekor burung jalak itu terbang tinggi dan kakek itu mengikuti mereka dengan pandang matanya sambil tersenyum. Sejenak dia merasa seolah dia ikut terbang di antara lima ekor burung jalak itu.
Setelah lima ekor burung itu menghilang di balik pohon-pohon, kakek itu lalu memutar tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan menuju ke puncak Argadumilah. Matahari naik semakin tinggi dan awan yang tadi berarak sudah meninggalkan puncak. Langit tampak biru bersih dan sinar matahari mulai terasa hangat di kulit, sungguhpun bayang-bayang pohon masih panjang. Kakek tua renta itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun meninggalkan dunia ramai.
Dia merantau dari puncak yang satu ke puncak yang lain, dari tepi laut di ujung barat Laut Kidul sampai ke ujung timur. Dia suka menyendiri di tempat-tempat sunyi dan merasa bersatu dengan alam. Kalau dia tanpa disengaja bertemu dengan penduduk dusun dan ditanyai namanya, dia mengaku bernama Resi Tejo Wening dan kalau ditanya di mana tempat tinggalnya dia selalu menjawab bahwa tempat tinggalnya adalah di mana kedua kakinya menginjak. Kalau ditanya rumahnya, dia selalu menjawab bahwa rumahnya berlantai bumi, berdinding pohon-pohon dan beratap langit.
Resi Tejo Wening berjalan santai mendaki puncak Argadumilah dan setelah tiba di puncak, pada sebuah tanah datar di puncak itu dia melihat beberapa orang sedang berdiri berhadapan dan terdengar mereka bertengkar. Resi Tejo Wening lalu duduk di atas batu yang terpisah sekitar dua puluh meter dari orang-orang itu. Dia memandang ke arah mereka namun tidak mengenal mereka dan belasan meter dari situ dia melihat sedikitnya limapuluh orang yang berpakaian serba hitam bergerombol dengan senjata pedang atau golok siap di tangan dan sikap mereka seperti sedang menanti perintah.
Adapun yang sedang bertengkar itu adalah seorang laki-laki tinggi kurus yang berhadapan dengan tiga orang laki-laki lain. Laki-laki tinggi kurus itu berusia sekitar enampuluh tiga tahun. Pakaiannya juga serba hitam dengan kain pengikat kepala berwarna hitam pula, wajahnya gagah berwibawa dan kumisnya yang melintang itu tebal dan sudah berwarna dua. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Lima puluh orang lebih itu berdiri di belakangnya dan agaknya mempunyai hubungan dengan orang tinggi kurus berkumis melintang itu.!
"Ki Bargowo, engkau terkenal sebagai seorang pendekar, ketua perkumpulan Welut Ireng yang menjadi penghuni dan kawula Kadipaten Madiun. Akan tetapi sikapmu seperti seekor bunglon yang suka berubah warnanya. Engkau membela Mataram, berarti engkau mengkhianati daerahmu sendiri," kata seorang di antara tiga orang yang berhadapan dengan Ki Bargowo.
Orang ini adalah seorang kakek yang usianya sudah enampuluh tahun lebih bertubuh tinggi besar dan tampak kokoh kuat. Dari pakaian dan terutama kain ikat kepalanya mudah diketahui bahwa dia adalah seorang bersuku bangsa Madura. Alisnya tebal dan seperti rambut, kumis dan jenggotnya, masih hitam dan kaku.
Sepasang matanya bundar lebar, terbelalak dengan pandang mata penuh semangat dan tantangan. Kumis dan cambang bauknya lebat menutupi setengah mukanya bagian bawah. Otot-otot menggelembung melingkari kedua lengan dan kakinya. Sebelum Ki Bargowo menjawab, orang kedua berseru, suaranya jauh berbeda dengan suara orang pertama yang dalam dan parau. Suara orang kedua ini kecil meninggi seperti suara perempuan.
"Ki Bargowo, tidak tahukah engkau atau pura-pura tidak tahu betapa angkara murkanya Sultan Agung? Dia selalu mengganggu daerah pesisir utara, bahkan baru saja dia mengerahkan pasukan dan menaklukkan hampir seluruh daerah Jawa Timur. Kalau engkau membela Mataram, apa sih yang kau dapatkan? Tidak urung engkau menjadi orang jajahan, daerahmu ditindas dan kekayaan daerahmu diangkut semua ke Mataram!"
orang kedua ini bertubuh sedang. Kulitnya hitam sekali seperti arang. Pakaiannya agak mewah seperti seorang bangsawan. Usianya juga sudah enampuluh tahun lebih. Kedua pergelangan lengannya dihias akar bahar yang berwarna sama hitam dengan kulitnya. Kumis, jenggot dan rambutnya sudah berwarna dua. Kedua matanya agak sipit, hidungnya besar, bibirnya lebar dan tebal. Baru saja orang kedua berhenti bicara, orang ketiga menyambung, suaranya lembut dan penuh daya pikat dan membujuk, ramah dan halus menyenangkan pendengarnya,
"Ki Bargowo, engkau adalah seorang ketua dari perkumpulan Welut Ireng yang terkenal sebagai pendekar. Tentu ucapan kedua orang kawanku tadi dapat menyadarkanmu. Karena itu, marilah engkau pimpin anak buahmu bergabung dengan kami membantu Kadipaten Surabaya yang agaknya akan menjadi sasaran Mataram berikutnya. Jangan khawatir, bantuanmu tentu akan mendapatkan imbalan yang pantas dari Kanjeng Adipati di Surabaya. Marilah, orang gagah, bergabunglah dengan kami."
Orang ketiga ini berusia enam puluh tahun, tubuhnya kecil kurus. Kepalanya yang kecil itu botak. Sedikit rambut yang tumbuh di bagian kanan kiri dan belakang kepalanya agak keriting dan masih hitam. Mukanya halus tanpa kumis maupun jenggot. Matanya yang kecil itu memiliki pandangan yang tajam sekali, penuh wibawa. Hidungnya pesek dan mulutnya juga kecil. Orang ini melihat tubuhnya seperti seorang kakek yang lemah saja. Namun sepasang matanya yang bergerak-gerak cepat dan sinarnya tajam menusuk itu membuat orang tidak tahan berlama-lama menentang pandang matanya.
Ki Bargowo adalah seorang pendekar yang gagah perkasa. Sebagai ketua perkumpulan Welut Ireng dia memimpin anak buahnya yang berjumlah kurang lebih enam puluh orang agar selalu bersepak terjang sebagai pendekar pembela kebenaran dan keadilan. Juga dia terkenal sebagai seorang yang selalu membela Mataram, bahkan ketika pasukan Mataram melakukan penyerbuan ke Jawa Timur untuk menaklukkan para adipati yang tidak mau tunduk kepada Mataram, diapun memimpin anak buahnya untuk membantu.
Pada waktu itu dia memimpin anak buahnya menjelajahi Pegunungan Lawu untuk mencari tempat tinggal yang baru karena dia bermaksud untuk membuka perkampungan sebagai pusat perkumpulannya. Akan tetapi ketika dia dan anak buahnya berhasil mendaki sampai ke puncak Argadumilah, dia bertemu dengan tiga orang kakek ini yang tiba-tiba saja menyerangnya dengan kata-kata dan membujuknya untuk bekerjasama membantu Surabaya yang hendak memberontak terhadap Mataram. Dia mendengar ucapan tiga orang itu dengan sikap tenang. Setelah mereka bertiga berhenti bicara, barulah dia menjawab, suaranya tenang namun tegas,
"Sebelum saya menjawab ucapan andika bertiga, karena andika bertiga sudah mengenal dan mengetahui nama saya, saya ingin tahu lebih dulu, siapakah gerangan ki sanak bertiga ini?"
"Ha-ha-ha, engkau belum mengenal kami? Tidak heran. Engkau ini seperti katak dalam tempurung, tidak pernah meninggalkan daerah Madiun sehingga tidak tahu luasnya dunia tingginya langit," kata kakek pertama yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa.
"Engkau tidak tahu siapa aku? Tanyalah kepada setiap orang di Madura, laki-laki atau perempuan, dari kanak-kanak sampai kakek-kakek, mereka semua mengenal siapa Harya Baka Wulung, ha-ha-ha!"
Diam-diam Ki Bargowo terkejut. Biarpun belum pernah bertemu, dia sudah lama mendengar akan nama besar Ki Harya Baka Wulung yang merupakan gegedug (jagoan) yang terkenal sakti dan digdaya dari Pulau Madura! Akan tetapi sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, dia tidak memperlihatkan rasa kagetnya dan sikapnya tenang dan biasa saja.
"Engkau tentu belum mengenalku karena aku datang jauh dari ujung timur Nusa Jawa. Di sana aku merupakan orang yang paling terkenal, paling ditakuti dan disegani oleh seluruh rakyat. Akulah Wiku Menak Koncar, orang kepercayaan Adipati Blambangan!" kata orang kedua yang berkulit hitam dan tampaknya bersikap kasar namun yang suaranya seperti suara seorang perempuan.
Kembali Ki Bargowo terkejut. Nama Wiku Menak Koncar juga sudah amat kondang (terkenal), bahkan kalau dia tidak keliru, Wiku Menak Koncar ini masih ada hubungan saudara seperguruan dengan mendiang Resi Wisangkolo yang terkenal sebagai salah seorang jagoan yang membantu Kadipaten Wirosobo yang memberontak terhadap Mataram. Kalau Wiku Menak Koncar ini memiliki kesaktian seperti mendiang Resi Wisangkolo, dia merupakan seorang lawan yang teramat tangguh. Aka tetapi tetap saja Ki Bargowo tidak memperlihatkan perasaan khawatirnya dan wajahnya tetap tenang saja.
Kini orang ketiga yang sikap dan kata-katanya lemah lembut itu berkata, "Ki Bargowo, kalau engkau belum mengenal dua orang sahabatku ini apalagi aku yang datang dari ujung barat Nusa Jawa. Aku tidak sehebat dua orang sahabatku ini dan sama sekali tidak terkenal. Namaku Kya Sidhi Kawasa berasal dari Banten dan pernah menjadi senopati Kerajaan Banten ketika masih muda puluhan tahun yang lalu.
Ki Bargowo memang belum pernah mendengar akan nama ini, akan tetapi melihat sinar mata yang mencorong serta sikap yang lembut itu dia dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki kesaktian yang tidak kalah dibandingkan dua orang yang lain.
"Kiranya andika bertiga adalah orang orang yang terkenal dari Madura, Blambangan dan Banten. Andika bertiga mengajak saya untuk bergabung membantu Kadipaten Surabaya untuk menentang Mataram, dengan berbagai alasan seperti yang andika bertiga kemukakan tadi. Sekarang perkenankan saya menjawab semua tuduhan andika terhadap Mataram itu. Agaknya andika bersikap memusuhi Mataram. Akan tetapi tuduhan andika bertiga itu keliru, para sahabatku yang baik. Lupakah andika bahwa sejak pemerintahan Sang Panembahan Senopati Ing Alogo Saidin Panotogomo (1586 - 1601) Madiun dan semua kadipaten di Jawa Timur telah menjadi bagian dari Mataram. Karena itu, kalau saya membela Mataram, hal itu sudah sewajarnya karena saya adalah kawula Mataram. Tentu saja saya tidak mau membantu pemberontak. Adapun tuduhan bahwa Kanjeng Gusti Sultan Agung di Mataram angkara murka, hal itupun tidak benar. Beliau menyerang para adipati yang memberontak dan usaha beliau ini sama sekali bukan karena angkara murka atau hendak meluaskan kekuasaan, sama sekali bukan. Beliau menghendaki agar semua kadipaten, semua daerah dapat bersatu dan tidak terpecah-belah. Karena hanya dengan bersatu-padu kita menjadi kuat untuk menghadapi bahaya yang mengancam kita, yaitu kekuasaan Belanda yang kini menduduki Jayakarta. Kalau kita tidak bersatu-padu, bagaimana kita akan mampu mencegah Belanda memperluas wilayah kekuasaannya? Itulah sebabnya maka sekarang saya terpaksa tidak dapat menerima ajakan andika bertiga untuk bergabung dan membantu Kadipaten Surabaya yang hendak menentang Mataram. Bagaimanapun juga, saya dengan semua anggota Welut Ireng tetap setia kepada Mataram."
"Babo-babo, Ki Bargowo! Kami mengajakmu dengan baik-baik untuk menyadari kesalahanmu dan mengulurkan tangan mengajak bekerja sama agar engkau dapat menebus dosa-dosamu, akan tetapi engkau bahkan berani mengatakan kami sebagai pemberontak! Kami berjuang mempertahankan daerah kami dari cengkeraman Mataram dan engkau berani menentang kami. Apakah nyawamu sudah ada cadangannya sehingga engkau tidak takut mampus?"
"Sesukamulah, Ki Harya Baka Wulung. Akan tetapi sekali lagi kutegaskan, kami semua tetap setia dan membela Mataram dan kalau andika bertiga tidak segera meninggalkan puncak ini, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan untuk mengusir andika!" kata Ki Bargowo yang menjadi marah. Dia memberi isyarat dengan tangan kirinya dan lima puluh orang lebih anak buahnya itu bergerak maju dan berhenti di belakangnya dalam keadaan siap bertempur.
"Heh-heh-heh!" Ki Harya Baka Wulung terkekeh sehingga perutnya yang besar itu terguncang-guncang. "Engkau dan anak buahmu hendak mengusir kami? Dengan cara bagaimana engkau dapat mengusir kami?"
"Dengan cara ini!" Ki Bargowo mengacungkan tinju kanannya.
"Hendak memukulku? Heh-heh, maju dan pukullah, Ki Bargowo. Hendak kulihat apakah tanganmu yang lunak itu mampu merobohkan aku!"
Ki Bargowo merasa ditertawakan dan ditantang. Dia adalah seorang gagah, seorang pendekar bahkan ketua perkumpulan orang-orang gagah. Tak pernah dia mundur menghadapi tantangan siapapun juga. Maka mendengar tantangan Ki Harya Baka Wulung, dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya lalu membentak nyaring.
"Sambutlah pukulanku ini!" tangan kanannya menyambar, memukul dengan jari tangan terbuka ke arah dada lawan yang bidang itu. Pukulan ini kuat sekali dan dengan pukulan semacam itu, Ki Bargowo akan mampu membikin pecah sebongkah batu gunung atau menumbangkan sebatang pohon kelapa. Akan tetapi, Ki Harya Baka Wulung tampaknya tidak menangkis ataupun mengelak menghadapi pukulan dahsyat itu, melainkan bahkan mem-busungkan dadanya untuk menerima pukulan lawan.
"Wuuuuttt bukkk....!!" Ki Bargowo terkejut sekali ketika merasa betapa tangannya seolah bertemu dengan benda kenyal dan kuat seperti karet, membuat tangannya yang memukul mental.
"Heh-heh-heh-heh, ringan dan lunak sekali tanganmu, Ki Bargowo, seperti tangan tukang pijat, heh-heh-heh!" Ki Harya Baka Wulung menertawakan dan mengejek.
Ki Bargowo menjadi penasaran bukan main. Dia sudah sering bertanding lawan tangguh, akan tetapi aji pukulannya itu mampu menembus aji kekebalan lawan. Baru sekarang pukulannya itu terpental ketika bertemu dengan Ki Harya Baka Wulung. Dia lalu memusatkan seluruh daya ciptanya, mengerahkan tenaga sakti sepenuhnya ke arah kedua tangannya, lalu berseru, "Sambutlah pukulan ini!" kini kedua tangannya menyambar dengan jari-jari terbuka, meluncur dari kanan kiri menampar ke arah kedua pelipis kepala lawan.
"Wuuuuutttt plakk!" kedua tangannya itu tertahan dan ternyata telah dipegang pada pergelangan tangannya oleh sepasang tangan Ki Harya Baka Wulung yang besar. Kedua pergelangan tangannya rasanya seperti dijepit alat penjepit dari baja.
Demikian kuatnya jari-jari yang panjang dan besar itu mencengkeram pergelangan kedua tangannya. Seakan-akan remuk rasa tulang lengannya. Ki Bargowo lalu mengerahkan aji Welut Ireng yang menjadi andalannya, bahkan aji itu dipergunakan untuk menjadi nama perkumpulannya karena semua anak buahnya mempelajari aji itu. Tubuhnya menggeliat, kedua lengannya bergerak dan kedua lengannya itu bagaikan telah berobah menjadi belutbelut yang licin sekali tubuhnya sehingga terlepas dari cengkeraman kedua tangan Ki Harya Baka Wulung! Ki Bargowo melompat ke belakang.
"Ehh??" Ki Harya Baka Wulung terbelalak, akan tetapi lalu terkekeh. "Heh-heh heh, itukah aji Welut Ireng? Bagus! Akan tetapi sekali lagi engkau terpegang oleh tanganku akan kuremas hancur dan hendak kulihat apakah engkau mempunyai cadangan nyawa!"
Ki Bargowo tahu benar bahwa lawannya adalah seorang yang sakti mandraguna dan dia tidak akan mampu menandinginya kalau hanya bertangan kosong. Oleh karena itu dia melangkah tiga kali ke belakang dan mencabut pedangnya. "Harya Baka Wulung, aku siap membela Mataram dengan taruhan nyawaku!" kata Ki Bargowo sambil memasang kuda-kuda, pedang di tangan kanan diangkat tinggi di atas kepala sedangkan tangan kirinya menyilang di depan dada.
"Heh-heh-heh, bagus sekali! Akupun siap membela Madura dan menentang Mataram dengan taruhan nyawaku!" kata Ki Harya Baka Wulung dengan sikap menantang.
"Pusaka telah siap di tanganku! Keluarkanlah senjatamu agar kita dapat mengadu nyawa!" kata Ki Bargowo. Sebagai seorang pendekar yang berwatak gagah dial tidak mau menyerang lawan yang belum memegang senjata.
"Heh-heh-heh, Ki Bargowo. Biarpun egkau memiliki enam buah tangan yang semua memegang senjata, aku tidak takut menghadapimu dengan tangan kosong. Maju dan bersiaplah untuk mati di tanganku!"
Mendengar ucapan ini, makin yakinlah hati Ki Bargowo bahwa lawannya memang tangguh sekali. Hanya orang yang sakti sekali dan sudah penuh kepercayaan akan kesaktiannya itu yang akan berani menghadapi lawan bersenjata hanya dengan tangan kosong. Karena ditantang, Ki Bargowo tidak merasa sungkan lagi. Dia menggerakkan pedangnya di atas kepala lalu berseru nyaring.
"Sambut serangan pedangku!" pedang itu menyambar ke arah leher Ki Harya Baka Wulung dengan cepat sekali sehingga tampak sinar pedang menyambar seperti kilat.
Namun sambil tersenyum datuk dari Madura ini menggeser kakinya dan mengelak dengan mudah. Baka Wulung tidak membual ketika dia mengatakan bahwa seluruh rakyat Madura mengenal namanya. Dia bahkan merupakan orang kepercayaan Panembahan Lemah Duwur adipati di Aris Baya ketika dia masih muda. Kadipaten Aris Baya adalah sebuah kadipaten yang kuat di Madura barat. Dia seorang ahli ilmu silat dan ilmu sihir dan disegani, juga seorang yang amat setia terhadap Kadipaten Aris Baya pada khususnya dan Pulau Madura pada umumnya.
Melihat serangan pertamanya dapat dielakkan dengan mudah oleh lawannya, Ki Bargowo menyusulkan serangan kedua. Kini pedangnya meluncur dan menusuk ke arah dada Baka Wulung. "Heeeiiiiitt!" Ki Harya Baka Wulung kembali mengelak dengan miringkan tubuhnya ke kanan. Ketika pedang lawannya meluncur di samping kiri tubuhnya, tangan kirinya mencengkeram ke depan, ke arah lengan kanan Ki Bargowo.
Ketua Welut Ireng inipun bukan seorang lemah. Dia tahu bahwa sekali ini apabila lengannya dapat dicengkeram tangan yang amat kuat itu, tentu akan remuk dan patah-patah tulang lengannya. Maka diapun cepat menarik pedangnya dan memutar pedang itu sehingga kini keadaannya berbalik. Pedangnya yang mengancam tangan kiri lawan!
"Tranggg....!" Ki Bargowo terkejut dan melangkah mundur. Ternyata pedangnya yang bertemu dengan tangan kiri itu terpental, seolah tangan itu terbuat dari baja yang amat keras dan kuat!
Tiba-tiba terdengar suara tawa meninggi seperti tawa perempuan. "Hi-hi-hik, Ki Harya Baka Wulung, kenapa engkau masih bermain-main?" yang tertawa dan menegur ini adalah Wiku Menak Koncar.
"Ki Harya Baka Wulung, cepat bereskan dia dan jangan membuang banyak waktu!" kata pula Kyai Sidhi Kawasa dengan suaranya yang lembut.
Mendengar ini, Ki Harya Baka Wulung terkekeh. "Heh-heh-heh, engkau mendengar kata kawan-kawanku, Ki Bargowo? Sekarang matilah engkau!" setelah berkata demikian, dia menekuk kedua lututnya hampir berjongkok dan kedua tangannya didorongkan ke arah dan mulutnya berseru dengan suara yang seolah keluar dari dalam perutnya.
"Aji Cantuka Sakti... kok-kok-kokkk!" Berbarengan dengan bunyi kok-kok tadi, dari kedua telapak tangan itu menyambar angin pukulan yang amat dahsyat sehingga tanah dan pasir ikut beterbangan seperti dilanda angin lesus!
Ki Bargowo maklum bahwa dia diserang oleh pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Dia tahu bahwa dia tidak mampu mengelak, maka diapun mengerahkan tenaga saktinya untuk menyambut pukulan itu dengan mendorongkan kedua tangannya ke depan setelah melepaskan pedangnya yang jatuh ke atas tanah.
"Wuuuuttt blarrrr...!" hebat sekali pertemuan antara dua tenaga sakti itu Dan akibatnya, tubuh Ki Bargowo terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin dan jatuh terbanting dengan kerasnya di depan para anak buahnya. Para anak buah Welut Ireng cepat menghampiri dan berusaha membantu ketua mereka untuk bangkit. Akan tetapi mereka melihat bahwa Ki Bargowo telah tewas dan darah segar mengalir keluar dari mulutnya!
Melihat ketua mereka tewas, para anggota Welut Ireng yang setia itu terkejut sekali dan mereka menjadi marah. Serentak mereka maju menyerang tiga orang., itu sambil berteriak marah. Melihat lima puluh orang lebih itu menyerbu dengan golok atau pedang di tangan, tiga orang datuk itu lalu tertawa. Suara tawa mereka berbeda nadanya.
"Heh-heh-heh-heh !!" Ki Harya Baka Wulung tertawa.
"Hi-hi-hi-hik....!" tawa Wiku Menak Koncar terdengar seperti tawa seorang wanita.
"Ha-ha-ha-ha !" Kyai Sidhi Kawasa juga tertawa, suara tawanya merdu dan halus.
Akan tetapi dalam suara tawa tiga orang itu, terkandung getaran yang amat hebat. Gelombang getaran ini menerjang dan menyerang limapuluh lebih anak buah Welut Ireng dan mereka terhuyung-huyung. Ada yang mendekap dada karena merasa jantung mereka tergoncang hebat. Ada yang menutupi kedua telinga karena merasa telinga mereka seperti ditusuk-tusuk jarum. Bahkan ada yang sudah bergulingan di atas tanah sambil merintih-rintih. Mereka saling bertabrakan dan senjata golok atau pedang yang tadi mereka pegang terlepas dari tangan. Tiga orang datuk itu tertawa dan tertawa terus dan puluhan orang itu menjadi semakin tersiksa. Daya serang yang terkandung dalam suara tawa mereka itu sungguh dahsyat dan mengerikan.
Tiba-tiba terdengar lengkingan suara suling yang amat merdu. Suaranya melengking-lengking, merdu dan mengalun, bergema di seluruh penjuru. Anehnya, kalau lengking itu merendah, seolah mempunyai daya yang amat kuat yang menyeret tiga suara tawa itu dan kalau lengking itu meninggi seolah mempunyai daya yang amat kuat yang menarik tiga suara itu ke atas sehingga hilang daya serangnya. Begitu suara suling itu melengking-lengking, puluhan orang itupun terbebas dari serangan suara yang dahsyat itu. Mereka dapat bernapas lega, rasa nyeri pada telinga dan jantung mereka lenyap. Mereka mulai memunguti senjata mereka akan tetapi tidak berani sembarangan bergerak, hanya menonton "pertandingan" yang amat aneh itu.
Pertandingan antara tiga suara tawa dan lengking suara suling! Dan kini mereka melihat bahwa suara suling itu keluar da sebatang suling putih kekuningan yang ditiup oleh seorang kakek tua renta yan duduk di atas sebuah batu besar. Tiga orang datuk itu terkejut bukan main. Ada daya kekuatan lembut yang bagaikan dinding yang kuat keluar dari suara suling itu, membendung dan menghalang sehingga daya serang suara tawa mereka membalik!
Mereka menjadi penasaran dan berusaha untuk memperkuat, suara tawa mereka untuk menembus dinding itu. Akan tetapi makin kuat mereka tertawa, semakin kuat pula daya serang mereka sendiri yang membalik dan gelombang suara itu menghantam mereka sendiri. Akhirnya ketiga orang datuk itu terhuyung dan menghentikan suara tawa mereka karena kalau mereka lanjutkan, mereka akan terserang daya kekuatan suara tawa mereka sendiri yang akan berakibat gawat bagi keselamatan mereka.
Begitu tiga gelombang suara tawa itu berhenti, suara suling juga semakin lirih akhirnya lenyap, hanya meninggalkan gaung yang seolah bergema di empat penjuru. Resi Tejo Wening menyelipkan lagi seruling gading di ikat pinggangnya, kemudian perlahan-lahan turun dari atas batu besar.
Sementara itu, tiga orang datuk dengan marah melangkah dan menghampiri Resi Tejo Wening yang sudah turun dari atas batu dan berdiri tegak dengan sikap tenang dan mulut tersenyum, sepasang matanya memandang kepada tiga orang itu dengan sinar yang lembut dan penuh pengertian. Semua anggota Welut Ireng yang masih belum kehilangan rasa kaget dan ngeri, berdiri berkelompok dan hanya menonton tanpa mengeluarkan suara dengan hati tegang.
"Semoga Sang Hyang Widhi mengampuni kita semua" kata Resi Tejo Wening kepada tiga orang datuk yang kini sudah berdiri di depannya dengan wajah mengandung penasaran. "Tiga orang ki sanak yang bijaksana, kurasa kalian bertiga sudah membuang waktu berpuluh tahun mempelajari berbagai ilmu adalah dengan niat untuk dipergunakan guna menolong sesama manusia, bukan untuk mencelakai manusia. Akan tetapi apa yang kulihat sekarang sungguh berlawanan. Andika bertiga telah membunuh seorang pendekar, bahkan nyaris membunuh puluhan orang anak buahnya. Mengapa begini, ki sanak?"
"Orang lancang, sebelum kita bicara, katakanlah dulu siapa engkau!" kata Ki Harya Baka Wulung yang memiliki watak keras dan terbuka sehingga mendatangkan kesan kasar.
Resi Tejo Wening memandang datuk dari Madura ini sambil mengelus jenggot putihnya dan mulutnya tersenyum. "Aku sudah mendengar tadi bahwa andika adalah Ki Harya Baka Wulung dari Madura yang terkenal sebagai seorang satria yang gagah perkasa. Perkenalkan, aku biasa disebut orang Resi Tejo Wening, nama yang sama sekali tidak terkenal, maka andika bertiga tentu tidak mengenal aku."
"Resi Tejo Wening, katakan di mana tempat tinggalmu agar aku dapat mengetahui dari aliran mana andika berasal," kata Wiku Menak Koncar dengan suaranya yang tinggi dan lantang.
"Andika adalah Sang Wiku Menak Koncar dari Blambangan yang amat terkenal itu. Andika bertanya di mana tempat tinggalku? Di mana kedua kakiku berdiri, di situlah tempat tinggalku. Rumahku berlantai tanah berdinding pohon dan beratap langit."
"Resi Tejo Wening, aku melihat bahwa andika adalah seorang yang bijaksana. Andika masih bertanya mengapa kami menewaskan Ki Bargowo dan menyerang puluhan orang anak buah perkumpulan Welut Ireng. Mengapa andika masih berpura-pura tidak mengerti? Perbuatan kami itu bukan tindak kejahatan yang sewenang-wenang melainkan hanya sebuah akibat belaka dan andika tentu tahu bahwa semua akibat tentu ada sebabnya. Dan sebabnya terletak pada sikap Ki Bargowo dan anak buahnya sendiri!" kata Kyai Sidhi Kawas dengan lembut namun penuh semangat sehingga kedua matanya mencorong menata, wajah Resi Tejo Wening.
"Jagad Dewa Bathara! Semoga Sang, Hyang Widhi mengampuni kita semua! Andika adalah Kyai Sidhi Kawasa dari Banten. Sikap dan tutur sapa andika sesuai dengan nama besar andika sebagai mantan senopati Kerajaan Banten. Ucapanmu memang benar, ki sanak. Akan tetapi lupakah andika bahwa akibat yang mengandung kekerasan itu dapat menjadi sebab dari akibat lanjutannya pula? Mengapa seorang bijaksana seperti andika membiarkan diri terlibat dalam ikatan rantai karma? Kalau andika bertiga dan para anggauta Welut Ireng terlibat dalam perang dan masing-masing berjuang demi tanah air masing-masing, hal itu sudah sewajarnya. Akan tetapi kalian tidak sedang berperang dan andika bertiga hendak membunuh puluhan orang yang tidak berdosa. Kalau aku berdiam diri berarti aku juga ikut membantu kalian membantai puluhan orang itu."
"Resi Tejo Wening!" Ki Harya Baka Wulung membentak marah. "Kami bertiga adalah satria-satria sejati yang membela kerajaan dan kadipaten kami masing-masing! Kami siap untuk mengorbankan nyawa demi membela daerah kami masing-masing! Mataram telah menyerang dan menundukkan banyak kadipaten di Jawa Timur, dan kami merasa terancam. Karena itu kami menentang Mataram. Ki Bargowo dan anak buahnya membela Mataram dan tidak mau kami ajak bekerja sama, karena itu kami hendak membasmi mereka yang kami anggap sebagai musuh. Apakah andika hendak menyalahkan kami?"
"Aku tahu bahwa kalian semua berjuang untuk membela kadipaten masing-masing. Pihak kalian maupun pihak Mataram tentu memiliki alasan-alasan masing-masing yang kuat untuk membenarkan perjuangan masing-masing pula. Aku tidak akan mencampuri pertikaian antara sesama bangsa itu. Akan tetapi di atas segalanya masih terdapat kekuasaan Tuhan dan betapapun pandainya manusia, tidak mungki dia akan mengubah keputusan yang telah digariskan Hyang Widhi."
"Resi Tejo Wening," kata Kyai Sid Kawasa, "kamipun percaya akan kekuasaa Tuhan. Akan tetapi kita juga sudah diberi kewajiban untuk berikhtiar! Tuhan tidak akan menolong manusia yang tidak mau menolong dirinya sendiri. Sungguhpun keputusan terakhir berada dalam tangan Tuhan, namun berikhtiar sekuat tenaga mrrupakan kewajiban bagi kita. Perjuangan membela daerah dan kadipaten atau kerajaan kami masing-masing merupakan kewajiban bagi kami dan akan kami perjuangkan dengan taruhan nyawa!"
Resi Tejo Wening mengangguk-angguk, "Bagus, andika bertiga memang satria-satria gagah perkasa. Akan tetapi jangan dilupakan bahwa baik buruk usaha itu tergantung sepenuhnya kepada caranya, bukan pada tujuannya. Caranyalah yang menjadi sebab dan tujuan hanyalah akibat. Cara yang baik akan menghasilkan akibat yang baik pula seperti pohon yang baik tentu menghasilkan buah yang baik."
"Omong kosong!" bentak Wiku Menak Koncar dengan suara tinggi. "Kami mementingkan tujuan dan tujuan kami adalah baik!"
"Sayang sungguh sayang! Andika menghalalkan segala cara untuk mencapai tujraan? Kalau begitu kalian pasti akan memetik buah daripada pohon yang benihnya andika tanam sendiri."
"Sudahlah, Resi Tejo Wening. Kalau andika tidak membela Mataram, kami tidak akan memusuhi andika. Pergilah dan jangan campuri urusan kami dengan orangr-orang Welut Ireng," kata Ki Harya Baka W ulung.
Resi Tejo Wening menggeleng kepalarrya. "Aku tidak akan mencampuri permusuhan dan pertikaian antara saudara sebangsa. Akan tetapi akupun tidak dapat berpeluk tangan saja kalau andika bertiga hendak membunuh semua orang yang tidak bersalah ini."
"Andika hendak melawan kami?" tanya Wiku Menak Koncar.
"Aku tidak hendak melawan siapa-siapa. Aku hanya ingin melindungi orang-orang ini dari ancaman maut."
"Resi Tejo Wening!" kata Kyai Sidh Kawasa. "Kalau engkau melindungi orang orang yang menjadi musuh kami, berarti andika juga menjadi musuh kami. Terpaksa kami akan mengenyahkan andika dengan kekerasan kalau andika tidak mau membiarkan kami membasmi musuh-musuh kami."
"Terserah kepada andika sekalian," ka ta Resi Tejo Wening dengan tenang.
Tiga orang datuk itu saling pandang dan mereka bertiga lalu berdiri dengan kepala menunduk, kedua lengan bersilang di depan dada lalu mengerahkan kekuatan batin mereka. Ketiganya selain merupakan ahli-ahli silat yang digdaya, juga memiliki kelebihan menggunakan ilmu sihir untuk menyerang lawan. Dari tubuh Ki Harya Baka Wulung mengepul asap hitam yang makin lama semakin tebal dan perlahan-lahan asap hitam itu bergerak ke arah Resi Tejo Wening. Pada saat itu juga, dari tubuh Wiku Menak Koncar bertiup angin yang makin lama semakin kencang dan berpusing seperti angin ribut. Sementara itu, dari tubuh Kyai Sidhi Kawasa muncul api berkobar yang juga menuju ke arah Resi Tejo Wening!
"Daya Kukus Langking...!" bentak Ki Harya Baka Wulung dan asap hitam tebal itu kini menyerbu ke arah Resi Tejo Wening.
"Daya Bayu Bajra...!" Wiku Menak Koncar juga membentak dan angin ribut itu juga menyambar ke arah sang resi.
"Daya Analabani...!" Kyai Sidhi Kawasa berseru dan api berkobar itu menyerang pula ke arah sang resi.
Tubuh Sang Resi Tejo Wening tidak tampak lagi karena sudah tertutup asap hitam. Angin ribut dan api juga menyerangnya. Tiba-tiba terdengar bunyi seruling melengking-lengking, makin lama semakin nyaring dan asap hitam, angin ribut dan kobaran api itu seperti terdorong tenaga yang amat kuat sehingga membalik dan menyerang tiga orang itu sendiri! Tiga orang datuk itu mengerahkan seluruh tenaga batin mereka untuk memperkuat daya serangan mereka, namun tetap saja asap, angin dan api itu membalik sehingga terpaksa mereka menghentikan ilmu sihir mereka kalau tidak ingin menjadi korban daya ciptaan mereka sendiri. Mereka bertiga menurunkan kedua tangan dan asap, angin dan api itu pun lenyap.
Para anak buah Welut Ireng terbelalak dan bengong menyaksikan adu kekuatan yang aneh itu. Karena Resi Tejo Wening melindungi mereka, tentu saja mereka berpihak kepada kakek tua renta ini. Tadi ketika ada asap hitam, angin ribut dar kobaran api menyerang sang resi, mereka semua menjadi gelisah dan khawatir sekali. Mereka maklum bahwa kalau sang resi kalah, tentu nyawa mereka terancam maut di tangan tiga orang sakti itu. Akan tetapi ternyata, dengan suara sulingnya, Resi Tejo Wening dapat mengalahkan ilmu sihir ketiga orang penyerangnya.
Setelah tiga orang itu menghentikan serangan mereka, sang resi juga menghentikan tiupan sulingnya dan menyelipkan kembali seruling itu di ikat pinggangnya. Melihat betapa ilmu sihir mereka, seperti juga suara tawa mereka tadi, dikalahkan dengan mudah oleh sang resi, tiga orang datuk itu menjadi penasaran dan marah sekali. Mereka saling pandang dan mereka telah bersepakat untuk mempergunakan aji pukulan sakti mereka, pukulan yang mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Kalau resi yang tua renta itu mampu mengalahkan ilmu sihir mereka, belum tentu tubuh tua yang tampak ringkih itu akan mampu bertahan terhadap aji pamungkas mereka yang dilakukan berbareng!
Ki Harya Baka Wulung melakukan gerakan seperti tadi ketika dia merobohkan Ki Bargowo. Dia menekuk kedua kaki sampai hampir berjongkok, kedua tangan mendorong ke depan dan berteriak nyaring. "Aji Cantuka Sakti!"
Wiku Menak Koncar juga mengerahkan aji pamungkasnya. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, punggungnya membungkuk dalam seperti seekor lembu hendak menanduk lalu mendorongkan kedua tangan sambil berteriak lantang. "Aji Nandaka Kroda!"
Pada saat yang bersamaan, Kyai Sidhi Kawasa juga mengerahkan aji pamungkasnya. Dia menekuk lutut kanannya dan menarik kaki kiri ke belakang lalu kedua tangannya didorongkan ke depan sambil berteriak pula. "Aji Hastanala!"
Serangan tiga orang datuk itu dilakukan dengan berbareng. Memang mereka sengaja melakukan serangan secara berbareng dan serangan itu bukan main dahsyatnya. Baru Aji Cantuka Sakti (Katak Sakti) itu saja tadi telah menewaskan Ki Bargowo yang digdaya. Aji Nandaka Kroda (Banteng Marah) itupun tidak kalah hebatnya. Hantamannya dapat menghancurkan sebongkah batu besar dan menumbangkan sebatang pohon jati sebesar orang. Aji Hastanala (Tangan Api) lebih hebat lagi. Apa saja yang dilanda aji ini akan tumbang dan hangus seperti disambar petir!
Kini ketiga aji yang amat dahsyat itu menyambar secara berbareng ke arah tubuh kakek tua yang tampak ringkih itu! Anehnya, Resi Tejo Wening tidak melawan sama sekali! Kakek ini bahkan merangkap tangannya depan dada seperti menyembah. Puluhan orang anak buah Welut Ireng memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Mereka semua dapat menduga akan kedahsyatan serangan tiga orang itu.
Tiga orang anak buah Welut Ireng yang memegang tombak tidak dapat menahan kekhawatiran mereka. Dengan nekat mereka lalu melompat dan menyerang tiga orang itu dengan tusukan tombak mereka. "Aauugghhh !" tiga orang itu terpental dan terbanting roboh, hanya sempat mengeluarkan teriakan itu karena mereka bertiga telah tewas dan dari mulut mereka mengalir darah segar!
Mereka tidak tahu bahwa tubuh tiga orang datuk pada saat itu sedang mengeluarkan hawa yang mengandung tenaga sakti yang amat hebat sehingga sebelum tombak mereka menyentuh tubuh tiga orang datuk itu, ada hawa dahsyat membuat mereka terpental dan tewas seketika. Kini hawa pukulan sakti tiga orang datuk itu sudah menghantam ke arah Resi Tejo Wening.
Akan tetapi apa yang terjadi? Tenaga sakti tiga orang itu seperti menghantam udara kosong, seolah tenggelam ke dalam air samudera. Tiga orang itu merasa penasaran dan kini merek menerjang maju, hendak menyerang langsung dengan tangan mereka. Akan tetapi ketika tangan mereka menyambar ke arah dada dan kepala Resi Tejo Wening, mereka bertiga seolah terdorong oleh hawa yang teramat kuat sehingga ketiganya mundur dan terhuyung-huyung.
Bertemu dengan hawa itu, tenaga pukulan merek membalik. Mereka bertiga saling pandang dengan muka berubah pucat. Kini baru mereka bertiga yakin bahwa mereka berhadap dengan orang yang sakti mandraguna, yang tanpa pengerahan tenaga sakti sudah terlindung oleh kekuatan yang maha dahsyat. Melihat Resi Tejo Wening masih merangkap kedua tangan depan dada seperti sembah, tiga orang itupun menyembah dengan kedua tangan dirangkap depan dada dan Ki Harya Baka Wulung mewakili teman temannya berkata dengan suara rendah.
"Resi Tejo Wening, sekali ini ka mengaku kalah. Akan tetapi kami tidak akan berhenti berjuang sebelum kerajaan Mataram yang murka itu dapat dihancurkan."
"Kalau Hyang Widhi Wasa tidak menghendaki, kekuasaan apapun tidak mungkin dapat menghancurkan Mataram. Aku tidak akan mencampuri pertikaian antara saudara sendiri, akan tetapi aku akan selalu berupaya untuk membantu kehendak Hyang Widhi, berusaha menjadi alat yang baik dari Hyang Widhi."
"Babo-babo, kita sama lihat saja nanti siapa yang benar di antara kita," kata Wiku Menak Koncar. Setelah berkata demikian, Wiku Menak Koncar dan dua orang temannya membalikkan tubuh dan melangkah pergi menuruni puncak Argadumilah. Entah siapa yang mendahului, lima puluh lebih anggota Welut Ireng itu lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap Resi Tejo Wening dan memberi hormat dengan sembah.
"Bapa Resi, paduka telah menyelamatkan nyawa kami. Terima kasih kami ucapkan atas budi pertolongan paduka," kata seorang di antara mereka yang mewakili semua temannya.
"Sudahlah, jangan berterima kasih kepadaku. Kalau hendak berterima kasih bersyukur dan berterima kasihlah kepad Sang Hyang Widhi karena hanya Dia yang kuasa menyelamatkan semua orang. Sekarang lebih baik kalian mengurus jenasa Ki Bargowo dan teman-teman kalian yang tewas. Setelah itu, susunlah kembali perkumpulan kalian dan kalian pilih sendiri siapa yang patut menggantikan mendiang Ki Bargowo dan menjadi ketua baru."
Setelah berkata demikian, Resi Tejo Wening mengangkat tangan kanannya seperti hendak memberi doa restu, kemudia dia melangkah pergi dengan santai. Para anak buah perkumpulan Welut Ireng itu, lalu mengangkat jenasah Ki Bargowo dan tiga orang kawan yang baru saja menyerang tiga datuk itu dan tewas juga ada lima orang kawan lain yang telah tewas lebih dulu ketika tiga orang datuk itu menyerang mereka dengan gelombang suara tawa. Mereka menggotong mayat-mayat itu turun dari puncak Argadumilah untuk dicarikan tempat yang baik di lereng bawah dan mengubur mayat-mayat itu.
Desa Pakis merupakan sebuah desa yang cukup besar. Penduduknya banyak dan mereka semua hidup sebagai petani di lereng Gunung Lauw sebelah timur laut yang tanahnya subur. Desa Pakis dikepalai seorang Demang maka daerah Pakis disebut Kademangan Pakis. Demang itu Bernama Demang Wiroboyo, seorang lakilaki bertubuh tinggi besar, kumisnya sekepal sebelah sehingga tampak gagah dan menyeramkan. Usia Wiroboyo sekitar empat puluh tahun.
Dia sebenarnya merupakan seorang kepala dusun yang baik dan bijaksana, tidak menindas rakyatnya, bahkan selalu berusaha untuk menyejahterakan kehidupan rakyat dusun Kademangan Pakis. Dia disegani dan dihormati semua orang di daerah Kademangan Pakis. Akan tetapi, di manakah terdapat manusia yang tanpa cacat?
Demikian pula Ki Wiroboyo, di samping kelebihannya, juga terdapat kekurangannya. Kekurangannya itu adalah bahwa dia seorang laki-laki mata keranjangi. Di dalam rumah besar kademangannya, dia sudah mempunyai tiga orang isteri. Aka tetapi, matanya masih saja menjadi liar kalau dia melihat wanita cantik. Hanya satu hal yang merupakan pantangan bagi Ki Wiroboyo.
Betapapun cantiknya seorang wanita sampai membuat dia tergila-gila, dia tidak akan mengganggunya kalau wanita itu sudah mempunyai suami. Dia tidak mau mengganggu isteri orang. Yang diburu hanyalah wanita yang masih gadis atau janda. Akan tetapi, kalau nafsu berahi sudah memenuhi kepalanya dalam mengejar seorang gadis atau janda, dia akan berupaya sekuat tenaga untuk mendapatkan wanita itu.
Tentu saja pertama-tama dengan cara memikat. Harta dan kekuasaannya menjadi umpan ditambah janji-janji muluk. Dan kalau sudah tergila-gila, timbullah kejahatannya. Untuk mendapatkan seorang gadis atau janda yang membuatnya tergila-gila, dia tidak segan menggunakan kekerasan, mengandalkan kedudukannya sebagai orang yang paling berkuasa di Kademangan Pakis.
Karena tabiat Demang Wiroboyo ini, banyak orang tua yang memiliki anak gadis yang tergolong cantik, mengungsikan anak gadis mereka ke dusun lain atau terpaksa sekeluarga pindah tempat. Lain lagi ulah sebagian besar para janda. Mereka ini bahkan bersaing dan berlomba untuk dapat menarik hati sang demang. Menjadi kekasih demang berarti datangnya uang dan kehormatan!
Di ujung Kademangan Pakis, dekat pintu gerbang dusun itu terdapat sebuah rumah pondok sederhana, namun dikelilingi taman yang terawat baik sehingga keadaan di situ menyenangkan. Itu adalah rumah dari seorang duda bernama Ronggo Bangak. Telah sepuluh tahun dia tinggal di Pakis dan hidup sebagai ahli pembuat patung dari kayu yang diukir indah. Penduduk dusun Pakis tidak mengenal riwayatnya, hanya mengetahui bahwa Ronggo Bangak adalah seorang yang masih berdarah bangsawan dan pendatang dari pesisir utara, dekat daerah Demak.
Dia hidup seorang diri di pondoknya, akan tetapi sejak lima tahun yang lalu dia mempunyai seorang murid yang hampir setiap malam datang berkunjung. Muridnya itu seorang pemuda yang kini telah berusia delapan belas dan bekerja sebagai pemelihara kuda. Nama pemuda itu adalah Parmadi, seorang remaja putera yang sudah yatim piatu sejak dia berusia sepuluh tahun.
Karena kematian kedua orang tuanya dan tidak mempunyai keluarga lagi, Demang Wiroboyo menerimanya sebagai seorang pekerja di rumahnya. Mula-mula sebagai kacung dan pembantu serabutan. Kemudian dia diangkat menjadi tukang mengurus kuda milik Ki Demang yang berjumlah tujuh ekor. Sejak dia berusia tigabelas tahun, Parmadi mulai tertarik dengan pekerjaan Ronggo Bangak dan seringkali datang berkunjung.
Akhirnya dia diterima sebagai murid dan setelah semua kuda diberi makan dan dimasukkan kandang, Parmadi lalu pergi ke rumah Ronggo Bangak. Dari lelaki seniman ini dia mempelajari banyak hal. Belajar membaca dan menulis, mengukir dan membuat patung, meniup seruling dan tata krama. Lima tahun sudah dia berguru kepada Ronggo Bangak yang disebutnya paman, hubungan di antara mereka akrab sekali.
Pada suatu malam ketika Parmadi datang ke pondok Ronggo Bangak, laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun itu berkata kepadanya, "Parmadi, telah kurang lebih lima tahun engkau mempelajari sastra dan seni ukir di sini. Ternyata engkau berbakat dan rajin sekali sehingga aku senang sekali mengajarimu. Kini engkau memiliki modal kepandaian yang lumayan. Engkau pandai membaca dengan lancar, tulisanmu cukup indah dan engkau pun sudah pandai mengukir dan membuat patung. Aku ikut merasa bangga dan senang sekali, Parmadi."
Ronggo Bangak menatap wajah Parmadi dan diam-diam dia mengagumi remaja itu. Parmadi, sungguhpun haiya seorang dusun pegunungan, namun memiliki wajah yang tampan dan ganteng, pantas menjadi pemuda bangsawan sekalipun. Pakaiannya sebagai abdi yang sederhana itu tidak menyembunyikan ketampanannya. Wajahnya tampan dan gagah, pandang matanya lembut, hidungnya mancung dan wajahnya selalu cerah dengan bibir yang membayangkan senyum. Perawakannya sedang namun tegap karena dia sudah biasa bekerja keras sejak kecil di rumah Ki Demang.
Parmadi memandang wajah Ronggo Bangak dengan sinar mata mengandung rasa terima kasih. Wajah orang setengah tua itu tampak bersih dan tampan, sepasasang matanya memiliki bulu mata yang panjang, lentik, ciri khas kaum bangsawan, tubuhnya jangkung agak kurus dan gerak-geriknya lembut.
"Berkat bimbingan paman maka saya dapat mempelajari semua itu. Saya amat berterima kasih kepada paman."
"Ah, sudah berulang kali ku katakan, engkau tidak perlu berterima kasih kepadaku, Parmadi. Berterima kasihlah kepada dirimu sendiri, kepada semangat dan ketekunanmu sendiri. Apa artinya bimbing seorang guru kalau si murid tidak tekun belajar? Seorang guru hanya memberi petunjuk dan kemajuan si murid tergantung kepada murid itu sendiri. Aku hanya ingin mengingatkan kepadamu, Parmadi. Namamu mirip nama Permadi, yaitu nama kecil dari Janoko atau Harjuno ksatria panengah Pandowo. Tirulah sifat dan sepak terjangnya, Parmadi. Dia rendah hati, lemah lembut, dan bersusila. Akan tetapi untuk membela kebenaran dan keadilan, dia berjuang tanpa pamrih dan berani berkorban namun tidak kejam. Hormat dan tidak menjilat kepada atasan atau yang lebih tua, membimbing dan tidak menekan kepada bawahan atau yang lebih muda."
"Semua nasihat paman masih saya ingat semua dengan baik dan mudah-mudahan saya akan mampu melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari."
"Sekarang aku ingin memberi tahu kepadamu bahwa besok pagi-pagi aku hendak pergi meninggalkan Kademangan Pakis dan mungkin selama sepekan lebih aku baru pulang."
"Ah, paman hendak pergi ke manakah, kalau saya boleh bertanya?"
"Aku akan pergi ke Demak untuk menjemput anakku."
"Wah, paman mempunyai anak? Belum pernah paman ceritakan kepada saya. Berapakah usianya, paman? Laki-laki atau perempuan?" tanya Parmadi dengan nada gembira.
"Dahulu aku tinggal di pesisir utara bersama isteriku dan seorang anak perempuan kami. Akan tetapi sepuluh tahun yang lalu isteriku meninggal..." wajah K Ronggo Bangak tampak muram.
"Maafkan saya, paman, kalau pertanyaan saya mengingatkan paman akan hal-hal yang menyedihkan."
Mendengar ucapan Parmadi, wajah Ronggo Bangak menjadi terang kembali "Tidak mengapalah, Parmadi. Bukan salahmu, melainkan karena kelemahanku sendiri. Karena isteriku meninggal dunia, maka aku lalu menitipkan anak perempuan kami itu kepada neneknya dan aku lalu berpindah ke sini. Ketika kutinggalkan kepada neneknya, Muryani berusia enam tahun. Sekarang ia tentu telah menjadi seorang gadis remaja berusia enam belas tahun. Aku mendapat kabar bahwa ibuku yaitu neneknya, menderita sakit, karena itu aku harus pergi ke sana dan mungkin Muryani akan kuajak pindah ke sini."
"Kalau begitu, selamat jalan, paman. Saya akan berkunjung ke sini setiap sore selepas kerja dan akan saya bersihkan halaman depan."
"Baik, dan terima kasih, Parmadi. Ini ada sebuah kitab Bhagawad Gita agar engkau baca dan renungkan isinya. Engkau akan memperoleh banyak pengertian tentang kehidupan dari kitab ini, Parmadi." Ronggo Bangak menyerahkan sebuah kitab yang sudah tua kepada pemuda itu.
"Terima kasih, paman."
Pada keesokan harinya, Ronggo Bangak meninggalkan dusun Pakis di lereng Lawu itu dan melakukan perjalanan ke utara. Parmadi memenuhi janjinya. Setiap petang selepas kerja dia tentu datang ke rumah gurunya itu dan membersihkan halaman dari daun-daun pohon yang rontok. Dia membersihkan taman, menyirami dan merawat tanaman bunga, mencabuti rumput-rumput liar. Akan tetapi Ronggo Bangak yang dia tunggu-tunggu itu tak kunjung pulang. Sampai hampir sebulan Parmadi setiap hari datang membersihkan taman dan halaman dan pada suatu petang, ketika Parmadi sedang menyirami bunga, Ronggo Bangak datang bersama seorang gadis remaja.
"Paman sudah pulang?" seru Parma yang menyambut mereka dengan girang "Paman baik-baik saja dan tidak ada halangan dalam perjalanan, bukan?"
"Parmadi, engkau masih datang setiap petang di sini? Ah, engkau tentu menunggu-nunggu kembaliku. Sampai hampir sebulan aku baru pulang. Kenalkan ini anakku Muryani. Nini, ini adalah Parmadi seperti yang pernah kuceritakan padamu. Sebut dia kakang."
Cuaca petang itu sudah remang-remang Pemuda dan gadis itu saling pandang dan saling membungkuk.
"Kakang Parmadi..." terdengar lirih dari mulut gadis itu.
"Adi Muryani..." kata pula Parmadi dengan sopan.
"Mari kita masuk dan bicara di dalam kata Ronggo Bangak sambil membuka pintu rumah.
Mereka masuk dan Ronggo Bangak mengajak anaknya membawa buntalan masuk ke dalam sebuah kamar yang memang sudah dia sediakan untuk kamar anaknya. Kemudian dia keluar dan duduk berhadapan dengan Parmadi, terhalang meja.
"Engkau tentu tidak sabar menunggu kembaliku, Parmadi. Sampai hampir sebulan aku terpaksa belum dapat pulang."
"Saya merasa khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang menghalangi paman untuk pulang," kata Parmadi.
"Tidak salah. Memang terjadi sesuatu yang memaksa aku menunda kepulanganku. Ibuku, nenek Muryani, telah meninggal dunia."
"Ah, saya ikut berbela sungkawa, paman."
"Kematian ibuku wajar, Parmadi. Beliau sudah tua dan sakit-sakitan. Karena aku harus mengurus dulu kematiannya, maka baru hari ini aku dapat pulang. Tentu saja Muryani ikut bersamaku karena di sana yang ada hanya neneknya itulah."
Ronggo Bangak menyalakan beberapa buah lampu gantung dalam pondok itu. Tak, lama kemudian Muryani keluar dari dalam kamarnya. Ia sudah mandi dan berganti pakaian. Kesusilaan membuat Parmadi tidak berani memandang langsung dan dia hanya menunduk. Akan tetapi keinginan tahu membuat dia melirik dan akhirnya tanpa disadarinya dia mengangkat muka. Kebetulan Muryani juga memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang. Di bawah sinar lampu gantung, mereka kini dapat saling pandang dan melihat jelas wajah masing-masing, tidak seperti tadi ketika bertemu pertama kali mereka terhalang oleh cuaca yang remang-remang.
Parmadi terpesona. Belum pernah dia melihat yang seindah itu! Yang secantik manis itu! Betapa jelitanya gadis remaja itu! Rambutnya hitam agak berikal dan panjang sampai ke punggung, dibiarkan terurai karena habis keramas dan masih basah. Sinom (anak rambut) yang halus melingkar-lingkar menghiasai bagian atas dahinya. Wajahnya agak bulat dengan dagu runcing. Sepasang alisnya tampak hitam di atas dasar dahinya yang putih mulus. Kemudian sepasang matanya seperti bintang kejora, lebar dengan ujung meruncing dan agak berjungat, manik matanya jernih sekali, putihnya metah dan hitamnya pekat bersinar-sinar dan jeli. Keindahan mata itu semakin manis karena dihias bulu mati yang panjang tebal dan lentik sehingga pelupuk mata itu seakan dilingkari garis hitam. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya!
Entah mana yang lebih indah mempesona antara matanya dan mulutnya! Seperti juga matanya, mulut itu mengandung gairah yang memiliki daya tarik luar biasa. Lengkung bibirnya begitu jelas seperti gendewa terpentang. Sepasang bibir itu merah basah bukan karena pemerah bibir melainkan karena sehat, bibir bawah yang lembut penuh itu seperti mencebil akan tetapi tidak mengejek melainkan menggairahkan dan menggemaskan. Kalau sepasang bibir itu agak terbuka maka tampak deretan gigi seperti mutiara berbaris, putih mengkilap.
Pipinya putih mulus dan halus agak ke belakang di depan telinga kulit pipi itu kemerahan seperti buah tomat. Lehernya panjang dan tegak, bagian belakang di belakang daun telinga terhias anak rambut melingkar-lingkar lembut. Tubuh yang bagaikan bunga mulai mekar itu sudah membayangkan bahwa beberapa tahun lagi tubuh itu akan amat indah dengan lekuk-lengkung sempurna. Pinggangnya ramping perutnya datar, dada dan pinggulnya padat. Parmadi melongo, matanya tak pernah berkedip, mulutnya ternganga.
"Duduklah, nini!" kata Ronggo Bangak. Mendengar suara ini, Parmadi merasa seolah diseret kembali ke dunia sadar dan dia tersipu dan dengan gugup dia bangkit dan menyodorkan sebuah bangku kepada gadis itu.
"Ah, ya... duduklah, Muryani." Mereka duduk berhadapan, terhalang meja. Akan tetapi setelah kini sadar sepenuhnya, tidak dicengkeram pesona oleh keayuan Muryani, Parmadi teringat akan sesuatu dan dia mengerutkan alisnya, hatinya dicekam kekhawatiran.
Ronggo Bangak yang sudah lima tahun menjadi guru Parmadi, sudah mengenal perasaan yang terbayang di wajah pemuda itu. "Parmadi, engkau merisaukan sesuatu. Ada apakah?"
Parmadi tidak merasa terkejut ketika gurunya membaca isi hatinya. Dia tidak pernah dapat menyembunyikan sesuatu dari pandang mata gurunya yang tajam waspada. Dan diapun biasa berterus terang tidak menyimpan rahasia hatinya kepada Ronggo Bangak...
Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu. Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan Argadalem dikabarkan sebagai tempat-tempat yang angker.
Akan tetapi pada pagi hari itu, seorang laki-laki tua tampak sedang membasuh muka, lengan dan kakinya ditepi sebuah kolam yang dibentuk oleh sumber air. Sungguh menakjubkan memang betapa di puncak gunung yang begitu tinggi dapat keluar sumber airnya. Kekuasaan Yang Maha kuasa terjadi di mana-mana. Kolam itu dikenal dengan sebutan Sendang Drajat yang terletak tidak begitu jauh dari puncak Argadalem.
Orang akan merasa heran dan kagum kalau melihat kakek itu membasuh muka dengan air sendang itu. Hawa udara demikian dingin dan tajam menusuk dan menembus pakaian yang tebal sekalipun. Namun kakek itu membasuh muka, lengan dan kakinya dengan wajah berseri gembira dan kelihatan menikmati air yang nyaris membeku oleh hawa yang amat dingin.
Kakek itu sudah tua. Usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun. Rambutnya yang sepanjang pundak dibiarkan terurai di atas kedua pundak dan punggungnya. Kumis dan jenggotnya, seperti juga rambutnya, sudah putih semua seperti benang perak, agak mengkilat tertimpa sinar matahari pagi. Bahkan sepasang alisnya yang tebal itu sudah putih semua, akan tetapi kulit mukanya masih segar, belum keriput seperti muka orang muda dan sepasang matanya bersinar lembut namun tajam dan penuh wibawa yang amat kuat. Hidungnya mancung dan mulut yang sebagian tertutup kumis itu tampak tersenyum selalu, senyum penuh kesabaran dan pengertian.
Tubuhnya tinggi kurus namun kakek itu bertulang besar dan tubuh yang tua itu masih tegap dan ketika dia bangkit berdiri dari jongkoknya, dia tampak kokoh. Pakaiannya sederhana sekali. Hanya terdiri dari kain putih bersih yang dilibat-libatkan di tubuhnya dari leher sampai ke lutut. Kini dia menggunakan sehelai kain putih untuk mengeringkan muka, leher, kedua lengan dan kaki yang tadi dibasuhnya.
Setelah selesai, dia memeras air yang membasahi kain itu dan mengikatkan kembali kain putih itu sebagai ikat pinggangnya. Diambilnya sebatang benda putih sepanjang setengah meter dari atas batu besar dan benda itu diselipkan kembali ke ikat pinggangnya. Dia berdiri menghadapi sendang dengan bibir tersenyum dan pandang mata lembut seolah memberi ucapan terima kasih kepada sendang yang telah memberi kesegaran kepadanya.
Kemudian dia menoleh ke kanan kiri dan melihat sinar matahari sepenuhnya menimpa sebuah batu besar, dia lalu menggerakkan kedua kakinya melangkah perlahan menghampiri batu besar. Dia membungkuk dan meniup-niup permukaan batu untuk membersihkannya dari tanah, kemudian dia duduk di atas batu, membiarkan matahari memandikannya dengan sinarnya yang gemilang.
Dia menghela napas panjang menandakan kelegaan hati. Kebahagiaan sejati yang langka dirasakan orang memenuhi seluruh dirinya lahir batin. Dia melayangkan pandang matanya ke tanah, ke sendang, ke langit dan ke matahari. Dalam batinnya dia menghaturkan terima kasih dan syukur akan kemurahan Yang Maha Murah, yang telah menciptakan tanah, air, udara dan sinar matahari yang memberi kehidupan. Dihisapnya hawa udara dalam-dalam memenuhi paru-parunya menembus ke bawah pusar. Alangkah bahagia dan nikmatnya hidup!
Kakek itu memejamkan kedua matanya dan menarik kedua kakinya untuk duduk bersila. Kemudian tangan kanannya mengambil benda putih yang terselip di pinggangnya. Benda itu ternyata adalah sebatang suling yang warnanya putih kekuningan. Sebatang suling terbuat daripada gading gajah. Dengan gerakan lembut dan santai sambil memejamkan kedua matanya, kedua tangannya memegang suling, mendekatkannya ke mulutnya lalu ditiupnya suling itu. Jari-jari kedua tangannya bermain-main di atas lubang-lubang suling dan terdengarlah lengkingan suara suling yang merdu.
Suaranya mengalun dan mengayun perasaan, naik turun dengan lembutnya dan terdengar aneh. Tidak seperti tembang yang. biasa dilagukan dengan suling bambu oleh para penabuh gamelan. Suara suling itu mendayu-dayu, kadang terdengar seperti hembusan angin bermain di puncak pohon-pohon cemara, kadang seperti gemercik air anak sungai bermain dengan batu-batu, kadang terdengar seperti sorak-sorai dan tawa riang, kadang seperti tangis sedih. Aneh akan tetapi indah!
Kakek itu memejamkan mata, tubuhnya bergoyang-goyang perlahan ke kanan kiri dan semangatnya seperti melayang-layang di antara nada-nada suara suling. Kalau orang mendengarkan suara itu dengan hati akal pikiran yang bekerja, menilai dan mencoba untuk mengerti, tentu suara suling itu akan terdengar aneh. Akan tetapi kalau didengarkan tanpa ikutnya hati akal pikiran, maka akan terasa bahwa suara suling itu sudah sewajarnya dan menjadi satu dengan alam sekitarnya, seolah suara itu memang sudah seharusnya dan sepatutnya terdengar di tempat itu.
Seperti suara, kicau burung, desah angin, gemercik air, kokok ayam dan suara alamiah yang lain. Semua suara itu adalah puja-puji yang memuliakan nama Yang Maha Pencipta. Bahkan tubuh kakek yang bergoyang-goyang perlahan ke kanan kiri itu merupakan doa yang tanpa suara dan yang tak kunjung henti.
Lima ekor burung sejenis jalak terbang melayang-layang, berputaran di atas sendang. Kemudian mereka melayang turun dan hinggap di atas tanah dekat kakek itu. Mereka tampak jinak dan diam seakan ikut mendengarkan dan menikmati suara suling itu. Suara suling itu berhenti dengan lembut makin lama makin lirih dan akhirnya kakek itu menghentikan tiupannya. Akan tetapi, suaranya seperti masih bergema di angkasa. Kakek itu menyelipkan sulingnya di ikat pinggang, lalu dia turun darn atas batu. Lima ekor burung jalak itu terbang tinggi dan kakek itu mengikuti mereka dengan pandang matanya sambil tersenyum. Sejenak dia merasa seolah dia ikut terbang di antara lima ekor burung jalak itu.
Setelah lima ekor burung itu menghilang di balik pohon-pohon, kakek itu lalu memutar tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan menuju ke puncak Argadumilah. Matahari naik semakin tinggi dan awan yang tadi berarak sudah meninggalkan puncak. Langit tampak biru bersih dan sinar matahari mulai terasa hangat di kulit, sungguhpun bayang-bayang pohon masih panjang. Kakek tua renta itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun meninggalkan dunia ramai.
Dia merantau dari puncak yang satu ke puncak yang lain, dari tepi laut di ujung barat Laut Kidul sampai ke ujung timur. Dia suka menyendiri di tempat-tempat sunyi dan merasa bersatu dengan alam. Kalau dia tanpa disengaja bertemu dengan penduduk dusun dan ditanyai namanya, dia mengaku bernama Resi Tejo Wening dan kalau ditanya di mana tempat tinggalnya dia selalu menjawab bahwa tempat tinggalnya adalah di mana kedua kakinya menginjak. Kalau ditanya rumahnya, dia selalu menjawab bahwa rumahnya berlantai bumi, berdinding pohon-pohon dan beratap langit.
Resi Tejo Wening berjalan santai mendaki puncak Argadumilah dan setelah tiba di puncak, pada sebuah tanah datar di puncak itu dia melihat beberapa orang sedang berdiri berhadapan dan terdengar mereka bertengkar. Resi Tejo Wening lalu duduk di atas batu yang terpisah sekitar dua puluh meter dari orang-orang itu. Dia memandang ke arah mereka namun tidak mengenal mereka dan belasan meter dari situ dia melihat sedikitnya limapuluh orang yang berpakaian serba hitam bergerombol dengan senjata pedang atau golok siap di tangan dan sikap mereka seperti sedang menanti perintah.
Adapun yang sedang bertengkar itu adalah seorang laki-laki tinggi kurus yang berhadapan dengan tiga orang laki-laki lain. Laki-laki tinggi kurus itu berusia sekitar enampuluh tiga tahun. Pakaiannya juga serba hitam dengan kain pengikat kepala berwarna hitam pula, wajahnya gagah berwibawa dan kumisnya yang melintang itu tebal dan sudah berwarna dua. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Lima puluh orang lebih itu berdiri di belakangnya dan agaknya mempunyai hubungan dengan orang tinggi kurus berkumis melintang itu.!
"Ki Bargowo, engkau terkenal sebagai seorang pendekar, ketua perkumpulan Welut Ireng yang menjadi penghuni dan kawula Kadipaten Madiun. Akan tetapi sikapmu seperti seekor bunglon yang suka berubah warnanya. Engkau membela Mataram, berarti engkau mengkhianati daerahmu sendiri," kata seorang di antara tiga orang yang berhadapan dengan Ki Bargowo.
Orang ini adalah seorang kakek yang usianya sudah enampuluh tahun lebih bertubuh tinggi besar dan tampak kokoh kuat. Dari pakaian dan terutama kain ikat kepalanya mudah diketahui bahwa dia adalah seorang bersuku bangsa Madura. Alisnya tebal dan seperti rambut, kumis dan jenggotnya, masih hitam dan kaku.
Sepasang matanya bundar lebar, terbelalak dengan pandang mata penuh semangat dan tantangan. Kumis dan cambang bauknya lebat menutupi setengah mukanya bagian bawah. Otot-otot menggelembung melingkari kedua lengan dan kakinya. Sebelum Ki Bargowo menjawab, orang kedua berseru, suaranya jauh berbeda dengan suara orang pertama yang dalam dan parau. Suara orang kedua ini kecil meninggi seperti suara perempuan.
"Ki Bargowo, tidak tahukah engkau atau pura-pura tidak tahu betapa angkara murkanya Sultan Agung? Dia selalu mengganggu daerah pesisir utara, bahkan baru saja dia mengerahkan pasukan dan menaklukkan hampir seluruh daerah Jawa Timur. Kalau engkau membela Mataram, apa sih yang kau dapatkan? Tidak urung engkau menjadi orang jajahan, daerahmu ditindas dan kekayaan daerahmu diangkut semua ke Mataram!"
orang kedua ini bertubuh sedang. Kulitnya hitam sekali seperti arang. Pakaiannya agak mewah seperti seorang bangsawan. Usianya juga sudah enampuluh tahun lebih. Kedua pergelangan lengannya dihias akar bahar yang berwarna sama hitam dengan kulitnya. Kumis, jenggot dan rambutnya sudah berwarna dua. Kedua matanya agak sipit, hidungnya besar, bibirnya lebar dan tebal. Baru saja orang kedua berhenti bicara, orang ketiga menyambung, suaranya lembut dan penuh daya pikat dan membujuk, ramah dan halus menyenangkan pendengarnya,
"Ki Bargowo, engkau adalah seorang ketua dari perkumpulan Welut Ireng yang terkenal sebagai pendekar. Tentu ucapan kedua orang kawanku tadi dapat menyadarkanmu. Karena itu, marilah engkau pimpin anak buahmu bergabung dengan kami membantu Kadipaten Surabaya yang agaknya akan menjadi sasaran Mataram berikutnya. Jangan khawatir, bantuanmu tentu akan mendapatkan imbalan yang pantas dari Kanjeng Adipati di Surabaya. Marilah, orang gagah, bergabunglah dengan kami."
Orang ketiga ini berusia enam puluh tahun, tubuhnya kecil kurus. Kepalanya yang kecil itu botak. Sedikit rambut yang tumbuh di bagian kanan kiri dan belakang kepalanya agak keriting dan masih hitam. Mukanya halus tanpa kumis maupun jenggot. Matanya yang kecil itu memiliki pandangan yang tajam sekali, penuh wibawa. Hidungnya pesek dan mulutnya juga kecil. Orang ini melihat tubuhnya seperti seorang kakek yang lemah saja. Namun sepasang matanya yang bergerak-gerak cepat dan sinarnya tajam menusuk itu membuat orang tidak tahan berlama-lama menentang pandang matanya.
Ki Bargowo adalah seorang pendekar yang gagah perkasa. Sebagai ketua perkumpulan Welut Ireng dia memimpin anak buahnya yang berjumlah kurang lebih enam puluh orang agar selalu bersepak terjang sebagai pendekar pembela kebenaran dan keadilan. Juga dia terkenal sebagai seorang yang selalu membela Mataram, bahkan ketika pasukan Mataram melakukan penyerbuan ke Jawa Timur untuk menaklukkan para adipati yang tidak mau tunduk kepada Mataram, diapun memimpin anak buahnya untuk membantu.
Pada waktu itu dia memimpin anak buahnya menjelajahi Pegunungan Lawu untuk mencari tempat tinggal yang baru karena dia bermaksud untuk membuka perkampungan sebagai pusat perkumpulannya. Akan tetapi ketika dia dan anak buahnya berhasil mendaki sampai ke puncak Argadumilah, dia bertemu dengan tiga orang kakek ini yang tiba-tiba saja menyerangnya dengan kata-kata dan membujuknya untuk bekerjasama membantu Surabaya yang hendak memberontak terhadap Mataram. Dia mendengar ucapan tiga orang itu dengan sikap tenang. Setelah mereka bertiga berhenti bicara, barulah dia menjawab, suaranya tenang namun tegas,
"Sebelum saya menjawab ucapan andika bertiga, karena andika bertiga sudah mengenal dan mengetahui nama saya, saya ingin tahu lebih dulu, siapakah gerangan ki sanak bertiga ini?"
"Ha-ha-ha, engkau belum mengenal kami? Tidak heran. Engkau ini seperti katak dalam tempurung, tidak pernah meninggalkan daerah Madiun sehingga tidak tahu luasnya dunia tingginya langit," kata kakek pertama yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa.
"Engkau tidak tahu siapa aku? Tanyalah kepada setiap orang di Madura, laki-laki atau perempuan, dari kanak-kanak sampai kakek-kakek, mereka semua mengenal siapa Harya Baka Wulung, ha-ha-ha!"
Diam-diam Ki Bargowo terkejut. Biarpun belum pernah bertemu, dia sudah lama mendengar akan nama besar Ki Harya Baka Wulung yang merupakan gegedug (jagoan) yang terkenal sakti dan digdaya dari Pulau Madura! Akan tetapi sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, dia tidak memperlihatkan rasa kagetnya dan sikapnya tenang dan biasa saja.
"Engkau tentu belum mengenalku karena aku datang jauh dari ujung timur Nusa Jawa. Di sana aku merupakan orang yang paling terkenal, paling ditakuti dan disegani oleh seluruh rakyat. Akulah Wiku Menak Koncar, orang kepercayaan Adipati Blambangan!" kata orang kedua yang berkulit hitam dan tampaknya bersikap kasar namun yang suaranya seperti suara seorang perempuan.
Kembali Ki Bargowo terkejut. Nama Wiku Menak Koncar juga sudah amat kondang (terkenal), bahkan kalau dia tidak keliru, Wiku Menak Koncar ini masih ada hubungan saudara seperguruan dengan mendiang Resi Wisangkolo yang terkenal sebagai salah seorang jagoan yang membantu Kadipaten Wirosobo yang memberontak terhadap Mataram. Kalau Wiku Menak Koncar ini memiliki kesaktian seperti mendiang Resi Wisangkolo, dia merupakan seorang lawan yang teramat tangguh. Aka tetapi tetap saja Ki Bargowo tidak memperlihatkan perasaan khawatirnya dan wajahnya tetap tenang saja.
Kini orang ketiga yang sikap dan kata-katanya lemah lembut itu berkata, "Ki Bargowo, kalau engkau belum mengenal dua orang sahabatku ini apalagi aku yang datang dari ujung barat Nusa Jawa. Aku tidak sehebat dua orang sahabatku ini dan sama sekali tidak terkenal. Namaku Kya Sidhi Kawasa berasal dari Banten dan pernah menjadi senopati Kerajaan Banten ketika masih muda puluhan tahun yang lalu.
Ki Bargowo memang belum pernah mendengar akan nama ini, akan tetapi melihat sinar mata yang mencorong serta sikap yang lembut itu dia dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki kesaktian yang tidak kalah dibandingkan dua orang yang lain.
"Kiranya andika bertiga adalah orang orang yang terkenal dari Madura, Blambangan dan Banten. Andika bertiga mengajak saya untuk bergabung membantu Kadipaten Surabaya untuk menentang Mataram, dengan berbagai alasan seperti yang andika bertiga kemukakan tadi. Sekarang perkenankan saya menjawab semua tuduhan andika terhadap Mataram itu. Agaknya andika bersikap memusuhi Mataram. Akan tetapi tuduhan andika bertiga itu keliru, para sahabatku yang baik. Lupakah andika bahwa sejak pemerintahan Sang Panembahan Senopati Ing Alogo Saidin Panotogomo (1586 - 1601) Madiun dan semua kadipaten di Jawa Timur telah menjadi bagian dari Mataram. Karena itu, kalau saya membela Mataram, hal itu sudah sewajarnya karena saya adalah kawula Mataram. Tentu saja saya tidak mau membantu pemberontak. Adapun tuduhan bahwa Kanjeng Gusti Sultan Agung di Mataram angkara murka, hal itupun tidak benar. Beliau menyerang para adipati yang memberontak dan usaha beliau ini sama sekali bukan karena angkara murka atau hendak meluaskan kekuasaan, sama sekali bukan. Beliau menghendaki agar semua kadipaten, semua daerah dapat bersatu dan tidak terpecah-belah. Karena hanya dengan bersatu-padu kita menjadi kuat untuk menghadapi bahaya yang mengancam kita, yaitu kekuasaan Belanda yang kini menduduki Jayakarta. Kalau kita tidak bersatu-padu, bagaimana kita akan mampu mencegah Belanda memperluas wilayah kekuasaannya? Itulah sebabnya maka sekarang saya terpaksa tidak dapat menerima ajakan andika bertiga untuk bergabung dan membantu Kadipaten Surabaya yang hendak menentang Mataram. Bagaimanapun juga, saya dengan semua anggota Welut Ireng tetap setia kepada Mataram."
"Babo-babo, Ki Bargowo! Kami mengajakmu dengan baik-baik untuk menyadari kesalahanmu dan mengulurkan tangan mengajak bekerja sama agar engkau dapat menebus dosa-dosamu, akan tetapi engkau bahkan berani mengatakan kami sebagai pemberontak! Kami berjuang mempertahankan daerah kami dari cengkeraman Mataram dan engkau berani menentang kami. Apakah nyawamu sudah ada cadangannya sehingga engkau tidak takut mampus?"
"Sesukamulah, Ki Harya Baka Wulung. Akan tetapi sekali lagi kutegaskan, kami semua tetap setia dan membela Mataram dan kalau andika bertiga tidak segera meninggalkan puncak ini, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan untuk mengusir andika!" kata Ki Bargowo yang menjadi marah. Dia memberi isyarat dengan tangan kirinya dan lima puluh orang lebih anak buahnya itu bergerak maju dan berhenti di belakangnya dalam keadaan siap bertempur.
"Heh-heh-heh!" Ki Harya Baka Wulung terkekeh sehingga perutnya yang besar itu terguncang-guncang. "Engkau dan anak buahmu hendak mengusir kami? Dengan cara bagaimana engkau dapat mengusir kami?"
"Dengan cara ini!" Ki Bargowo mengacungkan tinju kanannya.
"Hendak memukulku? Heh-heh, maju dan pukullah, Ki Bargowo. Hendak kulihat apakah tanganmu yang lunak itu mampu merobohkan aku!"
Ki Bargowo merasa ditertawakan dan ditantang. Dia adalah seorang gagah, seorang pendekar bahkan ketua perkumpulan orang-orang gagah. Tak pernah dia mundur menghadapi tantangan siapapun juga. Maka mendengar tantangan Ki Harya Baka Wulung, dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya lalu membentak nyaring.
"Sambutlah pukulanku ini!" tangan kanannya menyambar, memukul dengan jari tangan terbuka ke arah dada lawan yang bidang itu. Pukulan ini kuat sekali dan dengan pukulan semacam itu, Ki Bargowo akan mampu membikin pecah sebongkah batu gunung atau menumbangkan sebatang pohon kelapa. Akan tetapi, Ki Harya Baka Wulung tampaknya tidak menangkis ataupun mengelak menghadapi pukulan dahsyat itu, melainkan bahkan mem-busungkan dadanya untuk menerima pukulan lawan.
"Wuuuuttt bukkk....!!" Ki Bargowo terkejut sekali ketika merasa betapa tangannya seolah bertemu dengan benda kenyal dan kuat seperti karet, membuat tangannya yang memukul mental.
"Heh-heh-heh-heh, ringan dan lunak sekali tanganmu, Ki Bargowo, seperti tangan tukang pijat, heh-heh-heh!" Ki Harya Baka Wulung menertawakan dan mengejek.
Ki Bargowo menjadi penasaran bukan main. Dia sudah sering bertanding lawan tangguh, akan tetapi aji pukulannya itu mampu menembus aji kekebalan lawan. Baru sekarang pukulannya itu terpental ketika bertemu dengan Ki Harya Baka Wulung. Dia lalu memusatkan seluruh daya ciptanya, mengerahkan tenaga sakti sepenuhnya ke arah kedua tangannya, lalu berseru, "Sambutlah pukulan ini!" kini kedua tangannya menyambar dengan jari-jari terbuka, meluncur dari kanan kiri menampar ke arah kedua pelipis kepala lawan.
"Wuuuuutttt plakk!" kedua tangannya itu tertahan dan ternyata telah dipegang pada pergelangan tangannya oleh sepasang tangan Ki Harya Baka Wulung yang besar. Kedua pergelangan tangannya rasanya seperti dijepit alat penjepit dari baja.
Demikian kuatnya jari-jari yang panjang dan besar itu mencengkeram pergelangan kedua tangannya. Seakan-akan remuk rasa tulang lengannya. Ki Bargowo lalu mengerahkan aji Welut Ireng yang menjadi andalannya, bahkan aji itu dipergunakan untuk menjadi nama perkumpulannya karena semua anak buahnya mempelajari aji itu. Tubuhnya menggeliat, kedua lengannya bergerak dan kedua lengannya itu bagaikan telah berobah menjadi belutbelut yang licin sekali tubuhnya sehingga terlepas dari cengkeraman kedua tangan Ki Harya Baka Wulung! Ki Bargowo melompat ke belakang.
"Ehh??" Ki Harya Baka Wulung terbelalak, akan tetapi lalu terkekeh. "Heh-heh heh, itukah aji Welut Ireng? Bagus! Akan tetapi sekali lagi engkau terpegang oleh tanganku akan kuremas hancur dan hendak kulihat apakah engkau mempunyai cadangan nyawa!"
Ki Bargowo tahu benar bahwa lawannya adalah seorang yang sakti mandraguna dan dia tidak akan mampu menandinginya kalau hanya bertangan kosong. Oleh karena itu dia melangkah tiga kali ke belakang dan mencabut pedangnya. "Harya Baka Wulung, aku siap membela Mataram dengan taruhan nyawaku!" kata Ki Bargowo sambil memasang kuda-kuda, pedang di tangan kanan diangkat tinggi di atas kepala sedangkan tangan kirinya menyilang di depan dada.
"Heh-heh-heh, bagus sekali! Akupun siap membela Madura dan menentang Mataram dengan taruhan nyawaku!" kata Ki Harya Baka Wulung dengan sikap menantang.
"Pusaka telah siap di tanganku! Keluarkanlah senjatamu agar kita dapat mengadu nyawa!" kata Ki Bargowo. Sebagai seorang pendekar yang berwatak gagah dial tidak mau menyerang lawan yang belum memegang senjata.
"Heh-heh-heh, Ki Bargowo. Biarpun egkau memiliki enam buah tangan yang semua memegang senjata, aku tidak takut menghadapimu dengan tangan kosong. Maju dan bersiaplah untuk mati di tanganku!"
Mendengar ucapan ini, makin yakinlah hati Ki Bargowo bahwa lawannya memang tangguh sekali. Hanya orang yang sakti sekali dan sudah penuh kepercayaan akan kesaktiannya itu yang akan berani menghadapi lawan bersenjata hanya dengan tangan kosong. Karena ditantang, Ki Bargowo tidak merasa sungkan lagi. Dia menggerakkan pedangnya di atas kepala lalu berseru nyaring.
"Sambut serangan pedangku!" pedang itu menyambar ke arah leher Ki Harya Baka Wulung dengan cepat sekali sehingga tampak sinar pedang menyambar seperti kilat.
Namun sambil tersenyum datuk dari Madura ini menggeser kakinya dan mengelak dengan mudah. Baka Wulung tidak membual ketika dia mengatakan bahwa seluruh rakyat Madura mengenal namanya. Dia bahkan merupakan orang kepercayaan Panembahan Lemah Duwur adipati di Aris Baya ketika dia masih muda. Kadipaten Aris Baya adalah sebuah kadipaten yang kuat di Madura barat. Dia seorang ahli ilmu silat dan ilmu sihir dan disegani, juga seorang yang amat setia terhadap Kadipaten Aris Baya pada khususnya dan Pulau Madura pada umumnya.
Melihat serangan pertamanya dapat dielakkan dengan mudah oleh lawannya, Ki Bargowo menyusulkan serangan kedua. Kini pedangnya meluncur dan menusuk ke arah dada Baka Wulung. "Heeeiiiiitt!" Ki Harya Baka Wulung kembali mengelak dengan miringkan tubuhnya ke kanan. Ketika pedang lawannya meluncur di samping kiri tubuhnya, tangan kirinya mencengkeram ke depan, ke arah lengan kanan Ki Bargowo.
Ketua Welut Ireng inipun bukan seorang lemah. Dia tahu bahwa sekali ini apabila lengannya dapat dicengkeram tangan yang amat kuat itu, tentu akan remuk dan patah-patah tulang lengannya. Maka diapun cepat menarik pedangnya dan memutar pedang itu sehingga kini keadaannya berbalik. Pedangnya yang mengancam tangan kiri lawan!
"Tranggg....!" Ki Bargowo terkejut dan melangkah mundur. Ternyata pedangnya yang bertemu dengan tangan kiri itu terpental, seolah tangan itu terbuat dari baja yang amat keras dan kuat!
Tiba-tiba terdengar suara tawa meninggi seperti tawa perempuan. "Hi-hi-hik, Ki Harya Baka Wulung, kenapa engkau masih bermain-main?" yang tertawa dan menegur ini adalah Wiku Menak Koncar.
"Ki Harya Baka Wulung, cepat bereskan dia dan jangan membuang banyak waktu!" kata pula Kyai Sidhi Kawasa dengan suaranya yang lembut.
Mendengar ini, Ki Harya Baka Wulung terkekeh. "Heh-heh-heh, engkau mendengar kata kawan-kawanku, Ki Bargowo? Sekarang matilah engkau!" setelah berkata demikian, dia menekuk kedua lututnya hampir berjongkok dan kedua tangannya didorongkan ke arah dan mulutnya berseru dengan suara yang seolah keluar dari dalam perutnya.
"Aji Cantuka Sakti... kok-kok-kokkk!" Berbarengan dengan bunyi kok-kok tadi, dari kedua telapak tangan itu menyambar angin pukulan yang amat dahsyat sehingga tanah dan pasir ikut beterbangan seperti dilanda angin lesus!
Ki Bargowo maklum bahwa dia diserang oleh pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Dia tahu bahwa dia tidak mampu mengelak, maka diapun mengerahkan tenaga saktinya untuk menyambut pukulan itu dengan mendorongkan kedua tangannya ke depan setelah melepaskan pedangnya yang jatuh ke atas tanah.
"Wuuuuttt blarrrr...!" hebat sekali pertemuan antara dua tenaga sakti itu Dan akibatnya, tubuh Ki Bargowo terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin dan jatuh terbanting dengan kerasnya di depan para anak buahnya. Para anak buah Welut Ireng cepat menghampiri dan berusaha membantu ketua mereka untuk bangkit. Akan tetapi mereka melihat bahwa Ki Bargowo telah tewas dan darah segar mengalir keluar dari mulutnya!
Melihat ketua mereka tewas, para anggota Welut Ireng yang setia itu terkejut sekali dan mereka menjadi marah. Serentak mereka maju menyerang tiga orang., itu sambil berteriak marah. Melihat lima puluh orang lebih itu menyerbu dengan golok atau pedang di tangan, tiga orang datuk itu lalu tertawa. Suara tawa mereka berbeda nadanya.
"Heh-heh-heh-heh !!" Ki Harya Baka Wulung tertawa.
"Hi-hi-hi-hik....!" tawa Wiku Menak Koncar terdengar seperti tawa seorang wanita.
"Ha-ha-ha-ha !" Kyai Sidhi Kawasa juga tertawa, suara tawanya merdu dan halus.
Akan tetapi dalam suara tawa tiga orang itu, terkandung getaran yang amat hebat. Gelombang getaran ini menerjang dan menyerang limapuluh lebih anak buah Welut Ireng dan mereka terhuyung-huyung. Ada yang mendekap dada karena merasa jantung mereka tergoncang hebat. Ada yang menutupi kedua telinga karena merasa telinga mereka seperti ditusuk-tusuk jarum. Bahkan ada yang sudah bergulingan di atas tanah sambil merintih-rintih. Mereka saling bertabrakan dan senjata golok atau pedang yang tadi mereka pegang terlepas dari tangan. Tiga orang datuk itu tertawa dan tertawa terus dan puluhan orang itu menjadi semakin tersiksa. Daya serang yang terkandung dalam suara tawa mereka itu sungguh dahsyat dan mengerikan.
Tiba-tiba terdengar lengkingan suara suling yang amat merdu. Suaranya melengking-lengking, merdu dan mengalun, bergema di seluruh penjuru. Anehnya, kalau lengking itu merendah, seolah mempunyai daya yang amat kuat yang menyeret tiga suara tawa itu dan kalau lengking itu meninggi seolah mempunyai daya yang amat kuat yang menarik tiga suara itu ke atas sehingga hilang daya serangnya. Begitu suara suling itu melengking-lengking, puluhan orang itupun terbebas dari serangan suara yang dahsyat itu. Mereka dapat bernapas lega, rasa nyeri pada telinga dan jantung mereka lenyap. Mereka mulai memunguti senjata mereka akan tetapi tidak berani sembarangan bergerak, hanya menonton "pertandingan" yang amat aneh itu.
Pertandingan antara tiga suara tawa dan lengking suara suling! Dan kini mereka melihat bahwa suara suling itu keluar da sebatang suling putih kekuningan yang ditiup oleh seorang kakek tua renta yan duduk di atas sebuah batu besar. Tiga orang datuk itu terkejut bukan main. Ada daya kekuatan lembut yang bagaikan dinding yang kuat keluar dari suara suling itu, membendung dan menghalang sehingga daya serang suara tawa mereka membalik!
Mereka menjadi penasaran dan berusaha untuk memperkuat, suara tawa mereka untuk menembus dinding itu. Akan tetapi makin kuat mereka tertawa, semakin kuat pula daya serang mereka sendiri yang membalik dan gelombang suara itu menghantam mereka sendiri. Akhirnya ketiga orang datuk itu terhuyung dan menghentikan suara tawa mereka karena kalau mereka lanjutkan, mereka akan terserang daya kekuatan suara tawa mereka sendiri yang akan berakibat gawat bagi keselamatan mereka.
Begitu tiga gelombang suara tawa itu berhenti, suara suling juga semakin lirih akhirnya lenyap, hanya meninggalkan gaung yang seolah bergema di empat penjuru. Resi Tejo Wening menyelipkan lagi seruling gading di ikat pinggangnya, kemudian perlahan-lahan turun dari atas batu besar.
Sementara itu, tiga orang datuk dengan marah melangkah dan menghampiri Resi Tejo Wening yang sudah turun dari atas batu dan berdiri tegak dengan sikap tenang dan mulut tersenyum, sepasang matanya memandang kepada tiga orang itu dengan sinar yang lembut dan penuh pengertian. Semua anggota Welut Ireng yang masih belum kehilangan rasa kaget dan ngeri, berdiri berkelompok dan hanya menonton tanpa mengeluarkan suara dengan hati tegang.
"Semoga Sang Hyang Widhi mengampuni kita semua" kata Resi Tejo Wening kepada tiga orang datuk yang kini sudah berdiri di depannya dengan wajah mengandung penasaran. "Tiga orang ki sanak yang bijaksana, kurasa kalian bertiga sudah membuang waktu berpuluh tahun mempelajari berbagai ilmu adalah dengan niat untuk dipergunakan guna menolong sesama manusia, bukan untuk mencelakai manusia. Akan tetapi apa yang kulihat sekarang sungguh berlawanan. Andika bertiga telah membunuh seorang pendekar, bahkan nyaris membunuh puluhan orang anak buahnya. Mengapa begini, ki sanak?"
"Orang lancang, sebelum kita bicara, katakanlah dulu siapa engkau!" kata Ki Harya Baka Wulung yang memiliki watak keras dan terbuka sehingga mendatangkan kesan kasar.
Resi Tejo Wening memandang datuk dari Madura ini sambil mengelus jenggot putihnya dan mulutnya tersenyum. "Aku sudah mendengar tadi bahwa andika adalah Ki Harya Baka Wulung dari Madura yang terkenal sebagai seorang satria yang gagah perkasa. Perkenalkan, aku biasa disebut orang Resi Tejo Wening, nama yang sama sekali tidak terkenal, maka andika bertiga tentu tidak mengenal aku."
"Resi Tejo Wening, katakan di mana tempat tinggalmu agar aku dapat mengetahui dari aliran mana andika berasal," kata Wiku Menak Koncar dengan suaranya yang tinggi dan lantang.
"Andika adalah Sang Wiku Menak Koncar dari Blambangan yang amat terkenal itu. Andika bertanya di mana tempat tinggalku? Di mana kedua kakiku berdiri, di situlah tempat tinggalku. Rumahku berlantai tanah berdinding pohon dan beratap langit."
"Resi Tejo Wening, aku melihat bahwa andika adalah seorang yang bijaksana. Andika masih bertanya mengapa kami menewaskan Ki Bargowo dan menyerang puluhan orang anak buah perkumpulan Welut Ireng. Mengapa andika masih berpura-pura tidak mengerti? Perbuatan kami itu bukan tindak kejahatan yang sewenang-wenang melainkan hanya sebuah akibat belaka dan andika tentu tahu bahwa semua akibat tentu ada sebabnya. Dan sebabnya terletak pada sikap Ki Bargowo dan anak buahnya sendiri!" kata Kyai Sidhi Kawas dengan lembut namun penuh semangat sehingga kedua matanya mencorong menata, wajah Resi Tejo Wening.
"Jagad Dewa Bathara! Semoga Sang, Hyang Widhi mengampuni kita semua! Andika adalah Kyai Sidhi Kawasa dari Banten. Sikap dan tutur sapa andika sesuai dengan nama besar andika sebagai mantan senopati Kerajaan Banten. Ucapanmu memang benar, ki sanak. Akan tetapi lupakah andika bahwa akibat yang mengandung kekerasan itu dapat menjadi sebab dari akibat lanjutannya pula? Mengapa seorang bijaksana seperti andika membiarkan diri terlibat dalam ikatan rantai karma? Kalau andika bertiga dan para anggauta Welut Ireng terlibat dalam perang dan masing-masing berjuang demi tanah air masing-masing, hal itu sudah sewajarnya. Akan tetapi kalian tidak sedang berperang dan andika bertiga hendak membunuh puluhan orang yang tidak berdosa. Kalau aku berdiam diri berarti aku juga ikut membantu kalian membantai puluhan orang itu."
"Resi Tejo Wening!" Ki Harya Baka Wulung membentak marah. "Kami bertiga adalah satria-satria sejati yang membela kerajaan dan kadipaten kami masing-masing! Kami siap untuk mengorbankan nyawa demi membela daerah kami masing-masing! Mataram telah menyerang dan menundukkan banyak kadipaten di Jawa Timur, dan kami merasa terancam. Karena itu kami menentang Mataram. Ki Bargowo dan anak buahnya membela Mataram dan tidak mau kami ajak bekerja sama, karena itu kami hendak membasmi mereka yang kami anggap sebagai musuh. Apakah andika hendak menyalahkan kami?"
"Aku tahu bahwa kalian semua berjuang untuk membela kadipaten masing-masing. Pihak kalian maupun pihak Mataram tentu memiliki alasan-alasan masing-masing yang kuat untuk membenarkan perjuangan masing-masing pula. Aku tidak akan mencampuri pertikaian antara sesama bangsa itu. Akan tetapi di atas segalanya masih terdapat kekuasaan Tuhan dan betapapun pandainya manusia, tidak mungki dia akan mengubah keputusan yang telah digariskan Hyang Widhi."
"Resi Tejo Wening," kata Kyai Sid Kawasa, "kamipun percaya akan kekuasaa Tuhan. Akan tetapi kita juga sudah diberi kewajiban untuk berikhtiar! Tuhan tidak akan menolong manusia yang tidak mau menolong dirinya sendiri. Sungguhpun keputusan terakhir berada dalam tangan Tuhan, namun berikhtiar sekuat tenaga mrrupakan kewajiban bagi kita. Perjuangan membela daerah dan kadipaten atau kerajaan kami masing-masing merupakan kewajiban bagi kami dan akan kami perjuangkan dengan taruhan nyawa!"
Resi Tejo Wening mengangguk-angguk, "Bagus, andika bertiga memang satria-satria gagah perkasa. Akan tetapi jangan dilupakan bahwa baik buruk usaha itu tergantung sepenuhnya kepada caranya, bukan pada tujuannya. Caranyalah yang menjadi sebab dan tujuan hanyalah akibat. Cara yang baik akan menghasilkan akibat yang baik pula seperti pohon yang baik tentu menghasilkan buah yang baik."
"Omong kosong!" bentak Wiku Menak Koncar dengan suara tinggi. "Kami mementingkan tujuan dan tujuan kami adalah baik!"
"Sayang sungguh sayang! Andika menghalalkan segala cara untuk mencapai tujraan? Kalau begitu kalian pasti akan memetik buah daripada pohon yang benihnya andika tanam sendiri."
"Sudahlah, Resi Tejo Wening. Kalau andika tidak membela Mataram, kami tidak akan memusuhi andika. Pergilah dan jangan campuri urusan kami dengan orangr-orang Welut Ireng," kata Ki Harya Baka W ulung.
Resi Tejo Wening menggeleng kepalarrya. "Aku tidak akan mencampuri permusuhan dan pertikaian antara saudara sebangsa. Akan tetapi akupun tidak dapat berpeluk tangan saja kalau andika bertiga hendak membunuh semua orang yang tidak bersalah ini."
"Andika hendak melawan kami?" tanya Wiku Menak Koncar.
"Aku tidak hendak melawan siapa-siapa. Aku hanya ingin melindungi orang-orang ini dari ancaman maut."
"Resi Tejo Wening!" kata Kyai Sidh Kawasa. "Kalau engkau melindungi orang orang yang menjadi musuh kami, berarti andika juga menjadi musuh kami. Terpaksa kami akan mengenyahkan andika dengan kekerasan kalau andika tidak mau membiarkan kami membasmi musuh-musuh kami."
"Terserah kepada andika sekalian," ka ta Resi Tejo Wening dengan tenang.
Tiga orang datuk itu saling pandang dan mereka bertiga lalu berdiri dengan kepala menunduk, kedua lengan bersilang di depan dada lalu mengerahkan kekuatan batin mereka. Ketiganya selain merupakan ahli-ahli silat yang digdaya, juga memiliki kelebihan menggunakan ilmu sihir untuk menyerang lawan. Dari tubuh Ki Harya Baka Wulung mengepul asap hitam yang makin lama semakin tebal dan perlahan-lahan asap hitam itu bergerak ke arah Resi Tejo Wening. Pada saat itu juga, dari tubuh Wiku Menak Koncar bertiup angin yang makin lama semakin kencang dan berpusing seperti angin ribut. Sementara itu, dari tubuh Kyai Sidhi Kawasa muncul api berkobar yang juga menuju ke arah Resi Tejo Wening!
"Daya Kukus Langking...!" bentak Ki Harya Baka Wulung dan asap hitam tebal itu kini menyerbu ke arah Resi Tejo Wening.
"Daya Bayu Bajra...!" Wiku Menak Koncar juga membentak dan angin ribut itu juga menyambar ke arah sang resi.
"Daya Analabani...!" Kyai Sidhi Kawasa berseru dan api berkobar itu menyerang pula ke arah sang resi.
Tubuh Sang Resi Tejo Wening tidak tampak lagi karena sudah tertutup asap hitam. Angin ribut dan api juga menyerangnya. Tiba-tiba terdengar bunyi seruling melengking-lengking, makin lama semakin nyaring dan asap hitam, angin ribut dan kobaran api itu seperti terdorong tenaga yang amat kuat sehingga membalik dan menyerang tiga orang itu sendiri! Tiga orang datuk itu mengerahkan seluruh tenaga batin mereka untuk memperkuat daya serangan mereka, namun tetap saja asap, angin dan api itu membalik sehingga terpaksa mereka menghentikan ilmu sihir mereka kalau tidak ingin menjadi korban daya ciptaan mereka sendiri. Mereka bertiga menurunkan kedua tangan dan asap, angin dan api itu pun lenyap.
Para anak buah Welut Ireng terbelalak dan bengong menyaksikan adu kekuatan yang aneh itu. Karena Resi Tejo Wening melindungi mereka, tentu saja mereka berpihak kepada kakek tua renta ini. Tadi ketika ada asap hitam, angin ribut dar kobaran api menyerang sang resi, mereka semua menjadi gelisah dan khawatir sekali. Mereka maklum bahwa kalau sang resi kalah, tentu nyawa mereka terancam maut di tangan tiga orang sakti itu. Akan tetapi ternyata, dengan suara sulingnya, Resi Tejo Wening dapat mengalahkan ilmu sihir ketiga orang penyerangnya.
Setelah tiga orang itu menghentikan serangan mereka, sang resi juga menghentikan tiupan sulingnya dan menyelipkan kembali seruling itu di ikat pinggangnya. Melihat betapa ilmu sihir mereka, seperti juga suara tawa mereka tadi, dikalahkan dengan mudah oleh sang resi, tiga orang datuk itu menjadi penasaran dan marah sekali. Mereka saling pandang dan mereka telah bersepakat untuk mempergunakan aji pukulan sakti mereka, pukulan yang mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Kalau resi yang tua renta itu mampu mengalahkan ilmu sihir mereka, belum tentu tubuh tua yang tampak ringkih itu akan mampu bertahan terhadap aji pamungkas mereka yang dilakukan berbareng!
Ki Harya Baka Wulung melakukan gerakan seperti tadi ketika dia merobohkan Ki Bargowo. Dia menekuk kedua kaki sampai hampir berjongkok, kedua tangan mendorong ke depan dan berteriak nyaring. "Aji Cantuka Sakti!"
Wiku Menak Koncar juga mengerahkan aji pamungkasnya. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, punggungnya membungkuk dalam seperti seekor lembu hendak menanduk lalu mendorongkan kedua tangan sambil berteriak lantang. "Aji Nandaka Kroda!"
Pada saat yang bersamaan, Kyai Sidhi Kawasa juga mengerahkan aji pamungkasnya. Dia menekuk lutut kanannya dan menarik kaki kiri ke belakang lalu kedua tangannya didorongkan ke depan sambil berteriak pula. "Aji Hastanala!"
Serangan tiga orang datuk itu dilakukan dengan berbareng. Memang mereka sengaja melakukan serangan secara berbareng dan serangan itu bukan main dahsyatnya. Baru Aji Cantuka Sakti (Katak Sakti) itu saja tadi telah menewaskan Ki Bargowo yang digdaya. Aji Nandaka Kroda (Banteng Marah) itupun tidak kalah hebatnya. Hantamannya dapat menghancurkan sebongkah batu besar dan menumbangkan sebatang pohon jati sebesar orang. Aji Hastanala (Tangan Api) lebih hebat lagi. Apa saja yang dilanda aji ini akan tumbang dan hangus seperti disambar petir!
Kini ketiga aji yang amat dahsyat itu menyambar secara berbareng ke arah tubuh kakek tua yang tampak ringkih itu! Anehnya, Resi Tejo Wening tidak melawan sama sekali! Kakek ini bahkan merangkap tangannya depan dada seperti menyembah. Puluhan orang anak buah Welut Ireng memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Mereka semua dapat menduga akan kedahsyatan serangan tiga orang itu.
Tiga orang anak buah Welut Ireng yang memegang tombak tidak dapat menahan kekhawatiran mereka. Dengan nekat mereka lalu melompat dan menyerang tiga orang itu dengan tusukan tombak mereka. "Aauugghhh !" tiga orang itu terpental dan terbanting roboh, hanya sempat mengeluarkan teriakan itu karena mereka bertiga telah tewas dan dari mulut mereka mengalir darah segar!
Mereka tidak tahu bahwa tubuh tiga orang datuk pada saat itu sedang mengeluarkan hawa yang mengandung tenaga sakti yang amat hebat sehingga sebelum tombak mereka menyentuh tubuh tiga orang datuk itu, ada hawa dahsyat membuat mereka terpental dan tewas seketika. Kini hawa pukulan sakti tiga orang datuk itu sudah menghantam ke arah Resi Tejo Wening.
Akan tetapi apa yang terjadi? Tenaga sakti tiga orang itu seperti menghantam udara kosong, seolah tenggelam ke dalam air samudera. Tiga orang itu merasa penasaran dan kini merek menerjang maju, hendak menyerang langsung dengan tangan mereka. Akan tetapi ketika tangan mereka menyambar ke arah dada dan kepala Resi Tejo Wening, mereka bertiga seolah terdorong oleh hawa yang teramat kuat sehingga ketiganya mundur dan terhuyung-huyung.
Bertemu dengan hawa itu, tenaga pukulan merek membalik. Mereka bertiga saling pandang dengan muka berubah pucat. Kini baru mereka bertiga yakin bahwa mereka berhadap dengan orang yang sakti mandraguna, yang tanpa pengerahan tenaga sakti sudah terlindung oleh kekuatan yang maha dahsyat. Melihat Resi Tejo Wening masih merangkap kedua tangan depan dada seperti sembah, tiga orang itupun menyembah dengan kedua tangan dirangkap depan dada dan Ki Harya Baka Wulung mewakili teman temannya berkata dengan suara rendah.
"Resi Tejo Wening, sekali ini ka mengaku kalah. Akan tetapi kami tidak akan berhenti berjuang sebelum kerajaan Mataram yang murka itu dapat dihancurkan."
"Kalau Hyang Widhi Wasa tidak menghendaki, kekuasaan apapun tidak mungkin dapat menghancurkan Mataram. Aku tidak akan mencampuri pertikaian antara saudara sendiri, akan tetapi aku akan selalu berupaya untuk membantu kehendak Hyang Widhi, berusaha menjadi alat yang baik dari Hyang Widhi."
"Babo-babo, kita sama lihat saja nanti siapa yang benar di antara kita," kata Wiku Menak Koncar. Setelah berkata demikian, Wiku Menak Koncar dan dua orang temannya membalikkan tubuh dan melangkah pergi menuruni puncak Argadumilah. Entah siapa yang mendahului, lima puluh lebih anggota Welut Ireng itu lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap Resi Tejo Wening dan memberi hormat dengan sembah.
"Bapa Resi, paduka telah menyelamatkan nyawa kami. Terima kasih kami ucapkan atas budi pertolongan paduka," kata seorang di antara mereka yang mewakili semua temannya.
"Sudahlah, jangan berterima kasih kepadaku. Kalau hendak berterima kasih bersyukur dan berterima kasihlah kepad Sang Hyang Widhi karena hanya Dia yang kuasa menyelamatkan semua orang. Sekarang lebih baik kalian mengurus jenasa Ki Bargowo dan teman-teman kalian yang tewas. Setelah itu, susunlah kembali perkumpulan kalian dan kalian pilih sendiri siapa yang patut menggantikan mendiang Ki Bargowo dan menjadi ketua baru."
Setelah berkata demikian, Resi Tejo Wening mengangkat tangan kanannya seperti hendak memberi doa restu, kemudia dia melangkah pergi dengan santai. Para anak buah perkumpulan Welut Ireng itu, lalu mengangkat jenasah Ki Bargowo dan tiga orang kawan yang baru saja menyerang tiga datuk itu dan tewas juga ada lima orang kawan lain yang telah tewas lebih dulu ketika tiga orang datuk itu menyerang mereka dengan gelombang suara tawa. Mereka menggotong mayat-mayat itu turun dari puncak Argadumilah untuk dicarikan tempat yang baik di lereng bawah dan mengubur mayat-mayat itu.
********************
Desa Pakis merupakan sebuah desa yang cukup besar. Penduduknya banyak dan mereka semua hidup sebagai petani di lereng Gunung Lauw sebelah timur laut yang tanahnya subur. Desa Pakis dikepalai seorang Demang maka daerah Pakis disebut Kademangan Pakis. Demang itu Bernama Demang Wiroboyo, seorang lakilaki bertubuh tinggi besar, kumisnya sekepal sebelah sehingga tampak gagah dan menyeramkan. Usia Wiroboyo sekitar empat puluh tahun.
Dia sebenarnya merupakan seorang kepala dusun yang baik dan bijaksana, tidak menindas rakyatnya, bahkan selalu berusaha untuk menyejahterakan kehidupan rakyat dusun Kademangan Pakis. Dia disegani dan dihormati semua orang di daerah Kademangan Pakis. Akan tetapi, di manakah terdapat manusia yang tanpa cacat?
Demikian pula Ki Wiroboyo, di samping kelebihannya, juga terdapat kekurangannya. Kekurangannya itu adalah bahwa dia seorang laki-laki mata keranjangi. Di dalam rumah besar kademangannya, dia sudah mempunyai tiga orang isteri. Aka tetapi, matanya masih saja menjadi liar kalau dia melihat wanita cantik. Hanya satu hal yang merupakan pantangan bagi Ki Wiroboyo.
Betapapun cantiknya seorang wanita sampai membuat dia tergila-gila, dia tidak akan mengganggunya kalau wanita itu sudah mempunyai suami. Dia tidak mau mengganggu isteri orang. Yang diburu hanyalah wanita yang masih gadis atau janda. Akan tetapi, kalau nafsu berahi sudah memenuhi kepalanya dalam mengejar seorang gadis atau janda, dia akan berupaya sekuat tenaga untuk mendapatkan wanita itu.
Tentu saja pertama-tama dengan cara memikat. Harta dan kekuasaannya menjadi umpan ditambah janji-janji muluk. Dan kalau sudah tergila-gila, timbullah kejahatannya. Untuk mendapatkan seorang gadis atau janda yang membuatnya tergila-gila, dia tidak segan menggunakan kekerasan, mengandalkan kedudukannya sebagai orang yang paling berkuasa di Kademangan Pakis.
Karena tabiat Demang Wiroboyo ini, banyak orang tua yang memiliki anak gadis yang tergolong cantik, mengungsikan anak gadis mereka ke dusun lain atau terpaksa sekeluarga pindah tempat. Lain lagi ulah sebagian besar para janda. Mereka ini bahkan bersaing dan berlomba untuk dapat menarik hati sang demang. Menjadi kekasih demang berarti datangnya uang dan kehormatan!
Di ujung Kademangan Pakis, dekat pintu gerbang dusun itu terdapat sebuah rumah pondok sederhana, namun dikelilingi taman yang terawat baik sehingga keadaan di situ menyenangkan. Itu adalah rumah dari seorang duda bernama Ronggo Bangak. Telah sepuluh tahun dia tinggal di Pakis dan hidup sebagai ahli pembuat patung dari kayu yang diukir indah. Penduduk dusun Pakis tidak mengenal riwayatnya, hanya mengetahui bahwa Ronggo Bangak adalah seorang yang masih berdarah bangsawan dan pendatang dari pesisir utara, dekat daerah Demak.
Dia hidup seorang diri di pondoknya, akan tetapi sejak lima tahun yang lalu dia mempunyai seorang murid yang hampir setiap malam datang berkunjung. Muridnya itu seorang pemuda yang kini telah berusia delapan belas dan bekerja sebagai pemelihara kuda. Nama pemuda itu adalah Parmadi, seorang remaja putera yang sudah yatim piatu sejak dia berusia sepuluh tahun.
Karena kematian kedua orang tuanya dan tidak mempunyai keluarga lagi, Demang Wiroboyo menerimanya sebagai seorang pekerja di rumahnya. Mula-mula sebagai kacung dan pembantu serabutan. Kemudian dia diangkat menjadi tukang mengurus kuda milik Ki Demang yang berjumlah tujuh ekor. Sejak dia berusia tigabelas tahun, Parmadi mulai tertarik dengan pekerjaan Ronggo Bangak dan seringkali datang berkunjung.
Akhirnya dia diterima sebagai murid dan setelah semua kuda diberi makan dan dimasukkan kandang, Parmadi lalu pergi ke rumah Ronggo Bangak. Dari lelaki seniman ini dia mempelajari banyak hal. Belajar membaca dan menulis, mengukir dan membuat patung, meniup seruling dan tata krama. Lima tahun sudah dia berguru kepada Ronggo Bangak yang disebutnya paman, hubungan di antara mereka akrab sekali.
Pada suatu malam ketika Parmadi datang ke pondok Ronggo Bangak, laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun itu berkata kepadanya, "Parmadi, telah kurang lebih lima tahun engkau mempelajari sastra dan seni ukir di sini. Ternyata engkau berbakat dan rajin sekali sehingga aku senang sekali mengajarimu. Kini engkau memiliki modal kepandaian yang lumayan. Engkau pandai membaca dengan lancar, tulisanmu cukup indah dan engkau pun sudah pandai mengukir dan membuat patung. Aku ikut merasa bangga dan senang sekali, Parmadi."
Ronggo Bangak menatap wajah Parmadi dan diam-diam dia mengagumi remaja itu. Parmadi, sungguhpun haiya seorang dusun pegunungan, namun memiliki wajah yang tampan dan ganteng, pantas menjadi pemuda bangsawan sekalipun. Pakaiannya sebagai abdi yang sederhana itu tidak menyembunyikan ketampanannya. Wajahnya tampan dan gagah, pandang matanya lembut, hidungnya mancung dan wajahnya selalu cerah dengan bibir yang membayangkan senyum. Perawakannya sedang namun tegap karena dia sudah biasa bekerja keras sejak kecil di rumah Ki Demang.
Parmadi memandang wajah Ronggo Bangak dengan sinar mata mengandung rasa terima kasih. Wajah orang setengah tua itu tampak bersih dan tampan, sepasasang matanya memiliki bulu mata yang panjang, lentik, ciri khas kaum bangsawan, tubuhnya jangkung agak kurus dan gerak-geriknya lembut.
"Berkat bimbingan paman maka saya dapat mempelajari semua itu. Saya amat berterima kasih kepada paman."
"Ah, sudah berulang kali ku katakan, engkau tidak perlu berterima kasih kepadaku, Parmadi. Berterima kasihlah kepada dirimu sendiri, kepada semangat dan ketekunanmu sendiri. Apa artinya bimbing seorang guru kalau si murid tidak tekun belajar? Seorang guru hanya memberi petunjuk dan kemajuan si murid tergantung kepada murid itu sendiri. Aku hanya ingin mengingatkan kepadamu, Parmadi. Namamu mirip nama Permadi, yaitu nama kecil dari Janoko atau Harjuno ksatria panengah Pandowo. Tirulah sifat dan sepak terjangnya, Parmadi. Dia rendah hati, lemah lembut, dan bersusila. Akan tetapi untuk membela kebenaran dan keadilan, dia berjuang tanpa pamrih dan berani berkorban namun tidak kejam. Hormat dan tidak menjilat kepada atasan atau yang lebih tua, membimbing dan tidak menekan kepada bawahan atau yang lebih muda."
"Semua nasihat paman masih saya ingat semua dengan baik dan mudah-mudahan saya akan mampu melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari."
"Sekarang aku ingin memberi tahu kepadamu bahwa besok pagi-pagi aku hendak pergi meninggalkan Kademangan Pakis dan mungkin selama sepekan lebih aku baru pulang."
"Ah, paman hendak pergi ke manakah, kalau saya boleh bertanya?"
"Aku akan pergi ke Demak untuk menjemput anakku."
"Wah, paman mempunyai anak? Belum pernah paman ceritakan kepada saya. Berapakah usianya, paman? Laki-laki atau perempuan?" tanya Parmadi dengan nada gembira.
"Dahulu aku tinggal di pesisir utara bersama isteriku dan seorang anak perempuan kami. Akan tetapi sepuluh tahun yang lalu isteriku meninggal..." wajah K Ronggo Bangak tampak muram.
"Maafkan saya, paman, kalau pertanyaan saya mengingatkan paman akan hal-hal yang menyedihkan."
Mendengar ucapan Parmadi, wajah Ronggo Bangak menjadi terang kembali "Tidak mengapalah, Parmadi. Bukan salahmu, melainkan karena kelemahanku sendiri. Karena isteriku meninggal dunia, maka aku lalu menitipkan anak perempuan kami itu kepada neneknya dan aku lalu berpindah ke sini. Ketika kutinggalkan kepada neneknya, Muryani berusia enam tahun. Sekarang ia tentu telah menjadi seorang gadis remaja berusia enam belas tahun. Aku mendapat kabar bahwa ibuku yaitu neneknya, menderita sakit, karena itu aku harus pergi ke sana dan mungkin Muryani akan kuajak pindah ke sini."
"Kalau begitu, selamat jalan, paman. Saya akan berkunjung ke sini setiap sore selepas kerja dan akan saya bersihkan halaman depan."
"Baik, dan terima kasih, Parmadi. Ini ada sebuah kitab Bhagawad Gita agar engkau baca dan renungkan isinya. Engkau akan memperoleh banyak pengertian tentang kehidupan dari kitab ini, Parmadi." Ronggo Bangak menyerahkan sebuah kitab yang sudah tua kepada pemuda itu.
"Terima kasih, paman."
Pada keesokan harinya, Ronggo Bangak meninggalkan dusun Pakis di lereng Lawu itu dan melakukan perjalanan ke utara. Parmadi memenuhi janjinya. Setiap petang selepas kerja dia tentu datang ke rumah gurunya itu dan membersihkan halaman dari daun-daun pohon yang rontok. Dia membersihkan taman, menyirami dan merawat tanaman bunga, mencabuti rumput-rumput liar. Akan tetapi Ronggo Bangak yang dia tunggu-tunggu itu tak kunjung pulang. Sampai hampir sebulan Parmadi setiap hari datang membersihkan taman dan halaman dan pada suatu petang, ketika Parmadi sedang menyirami bunga, Ronggo Bangak datang bersama seorang gadis remaja.
"Paman sudah pulang?" seru Parma yang menyambut mereka dengan girang "Paman baik-baik saja dan tidak ada halangan dalam perjalanan, bukan?"
"Parmadi, engkau masih datang setiap petang di sini? Ah, engkau tentu menunggu-nunggu kembaliku. Sampai hampir sebulan aku baru pulang. Kenalkan ini anakku Muryani. Nini, ini adalah Parmadi seperti yang pernah kuceritakan padamu. Sebut dia kakang."
Cuaca petang itu sudah remang-remang Pemuda dan gadis itu saling pandang dan saling membungkuk.
"Kakang Parmadi..." terdengar lirih dari mulut gadis itu.
"Adi Muryani..." kata pula Parmadi dengan sopan.
"Mari kita masuk dan bicara di dalam kata Ronggo Bangak sambil membuka pintu rumah.
Mereka masuk dan Ronggo Bangak mengajak anaknya membawa buntalan masuk ke dalam sebuah kamar yang memang sudah dia sediakan untuk kamar anaknya. Kemudian dia keluar dan duduk berhadapan dengan Parmadi, terhalang meja.
"Engkau tentu tidak sabar menunggu kembaliku, Parmadi. Sampai hampir sebulan aku terpaksa belum dapat pulang."
"Saya merasa khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang menghalangi paman untuk pulang," kata Parmadi.
"Tidak salah. Memang terjadi sesuatu yang memaksa aku menunda kepulanganku. Ibuku, nenek Muryani, telah meninggal dunia."
"Ah, saya ikut berbela sungkawa, paman."
"Kematian ibuku wajar, Parmadi. Beliau sudah tua dan sakit-sakitan. Karena aku harus mengurus dulu kematiannya, maka baru hari ini aku dapat pulang. Tentu saja Muryani ikut bersamaku karena di sana yang ada hanya neneknya itulah."
Ronggo Bangak menyalakan beberapa buah lampu gantung dalam pondok itu. Tak, lama kemudian Muryani keluar dari dalam kamarnya. Ia sudah mandi dan berganti pakaian. Kesusilaan membuat Parmadi tidak berani memandang langsung dan dia hanya menunduk. Akan tetapi keinginan tahu membuat dia melirik dan akhirnya tanpa disadarinya dia mengangkat muka. Kebetulan Muryani juga memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang. Di bawah sinar lampu gantung, mereka kini dapat saling pandang dan melihat jelas wajah masing-masing, tidak seperti tadi ketika bertemu pertama kali mereka terhalang oleh cuaca yang remang-remang.
Parmadi terpesona. Belum pernah dia melihat yang seindah itu! Yang secantik manis itu! Betapa jelitanya gadis remaja itu! Rambutnya hitam agak berikal dan panjang sampai ke punggung, dibiarkan terurai karena habis keramas dan masih basah. Sinom (anak rambut) yang halus melingkar-lingkar menghiasai bagian atas dahinya. Wajahnya agak bulat dengan dagu runcing. Sepasang alisnya tampak hitam di atas dasar dahinya yang putih mulus. Kemudian sepasang matanya seperti bintang kejora, lebar dengan ujung meruncing dan agak berjungat, manik matanya jernih sekali, putihnya metah dan hitamnya pekat bersinar-sinar dan jeli. Keindahan mata itu semakin manis karena dihias bulu mati yang panjang tebal dan lentik sehingga pelupuk mata itu seakan dilingkari garis hitam. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya!
Entah mana yang lebih indah mempesona antara matanya dan mulutnya! Seperti juga matanya, mulut itu mengandung gairah yang memiliki daya tarik luar biasa. Lengkung bibirnya begitu jelas seperti gendewa terpentang. Sepasang bibir itu merah basah bukan karena pemerah bibir melainkan karena sehat, bibir bawah yang lembut penuh itu seperti mencebil akan tetapi tidak mengejek melainkan menggairahkan dan menggemaskan. Kalau sepasang bibir itu agak terbuka maka tampak deretan gigi seperti mutiara berbaris, putih mengkilap.
Pipinya putih mulus dan halus agak ke belakang di depan telinga kulit pipi itu kemerahan seperti buah tomat. Lehernya panjang dan tegak, bagian belakang di belakang daun telinga terhias anak rambut melingkar-lingkar lembut. Tubuh yang bagaikan bunga mulai mekar itu sudah membayangkan bahwa beberapa tahun lagi tubuh itu akan amat indah dengan lekuk-lengkung sempurna. Pinggangnya ramping perutnya datar, dada dan pinggulnya padat. Parmadi melongo, matanya tak pernah berkedip, mulutnya ternganga.
"Duduklah, nini!" kata Ronggo Bangak. Mendengar suara ini, Parmadi merasa seolah diseret kembali ke dunia sadar dan dia tersipu dan dengan gugup dia bangkit dan menyodorkan sebuah bangku kepada gadis itu.
"Ah, ya... duduklah, Muryani." Mereka duduk berhadapan, terhalang meja. Akan tetapi setelah kini sadar sepenuhnya, tidak dicengkeram pesona oleh keayuan Muryani, Parmadi teringat akan sesuatu dan dia mengerutkan alisnya, hatinya dicekam kekhawatiran.
Ronggo Bangak yang sudah lima tahun menjadi guru Parmadi, sudah mengenal perasaan yang terbayang di wajah pemuda itu. "Parmadi, engkau merisaukan sesuatu. Ada apakah?"
Parmadi tidak merasa terkejut ketika gurunya membaca isi hatinya. Dia tidak pernah dapat menyembunyikan sesuatu dari pandang mata gurunya yang tajam waspada. Dan diapun biasa berterus terang tidak menyimpan rahasia hatinya kepada Ronggo Bangak...