Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Seruling Gading Jilid 02
"Maafkan kalau saya lancang bicara, Paman. Akan tetapi, paman telah mengajak adik Muryani pulang ke sini. Apakah hal ini tidak menimbulkan bahaya?"
"Menimbulkan bahaya? Bahaya apakah yang kau maksudkan, kakang Parmadi?" tanya Muryani sambil menatap wajah pemuda itu dengan matanya yang jeli itu terbelalak.
Parmadi juga memandangnya dan ia tidak tahan untuk menentang pandang mata yang amat tajam itu dan menundukkan pandang matanya. Akan tetapi pertanyaan gadis itu membuat dia gugup dan salah tingkah. Dia menganggap bahwa hal itu terlalu kotor untuk dibicarakan dengan seorang dara seperti Muryani.
"Anu... eh, di sini ada Ki Demang Wiroboyo... dia... dia itu orang jahat..."
"Hmm, apa yang kau maksudkan, kakang Parmadi? Bicaralah yang jelas, aku tidak mengerti ke arah mana tujuan kata-katamu. Apa hubungannya demang yang jahat dengan kehadiranku di dusun ini?"
Ki Ronggo Bangak sudah paham apa yang dikhawatirkan Parmadi dan dia tahu pula bahwa pemuda itu merasa rikuh untuk menceritakan bahaya yang dapat mengancam Muryani. Maka dia lalu berkata, "Nini, aku mengerti apa yang dimaksudkan Parmadi."
"Nah, kalau begitu tolong jelaskan, Ayah. Apa yang dimaksudkan dengan bahaya itu?" tanya Muryani sambil memandang kepada ayahnya.
"Yang menjadi kepala Kademangan Pakis ini adalah Ki Demang Wiroboyo. Sebetulnya harus diakui bahwa dia seorang demang yang bijaksana dan baik terhadap para penduduk pedusunan. Akan tetapi dia mempunyai satu kelemahan atau cacat yaitu wataknya mata keranjang, tidak memembiarkan bathuk klimis (dahi mulus) lewat begitu saja. Dia seorang laki-laki yang haus wanita cantik. Setiap kali melihat seorang gadis atau janda cantik, pasti akan diganggunya sehingga para gadis cantik di dusun ini banyak yang diungsikan oleh orang tua mereka, pindah ke dusun lain. Nah, Parmadi agaknya khawatir kalau engkau akan diganggu oleh Ki Demang Wiroboyo."
Mendengar keterangan ini, tiba-tiba Muryani meloncat dari atas kursinya, berdiri tegak dan mengepal kedua tangannya menjadi tinju kecil. Matanya bersinar tajam dan keras, wajahnya berubah kemerahan, sepasang alis yang hitam melengkung indah itu berkerut, mulutnya yang menggairahkan itu kini ditarik membayangkan kemarahan. "Jahanam keparat busuk!" ia mendesis marah. "Kalau dia berani mengganggu aku, akan kuhancurkan kepalanya!" Ia mengumangkan tinju kanannya ke atas.
Melihat ini, hampir Parmadi tidak dapat menahan tawanya. Dara jelita itu sama sekali tidak tampak menakutkan kalau marah-marah seperti itu dan mengancam hendak mempergunakan kekerasan, melainkan tampak lucu sekali.
"Hushh, nini, jangan bersikap seperti itu. Tidak pantas seorang gadis bersikap seperti itu. Engkau bukan Srikandi atau Larasati," Ronggo Bangak menegur puterinya. Yang dia sebut Srikandi dan Larasati adalah dua orang dari isteri-isteri Harjuno yang merupakan wanita-wanita gagah perkasa dan digdaya.
"Paman Ronggo benar, adi Muryani. Ki Demang Wiroboyo adalah seorang yang kuat, tidak ada seorang pun di kademangan ini yang berani menentangnya dan dia mempunyai puluhan anak buah. Kita tidak akan mampu berbuat apapun untuk menentangnya."
Muryani menjadi semakin marah. Ia membanting-banting kaki kanannya dan berkata, "Kenapa ayah dan kakang Parmadi menjadi laki-laki bersikap begini lemah dan penakut? Aku tidak takut menentang siapapun kalau dia jahat dan sewenang-wenang. Sampai di manakah kedigdayaan demang itu? Kalian lihat...!"
Gadis itu lalu melompat keluar dari rumah. Gerakannya melompat tangkas sekali seperti seekor kijang. Ketika Ronggo Bangak dan Parmadi hendak mengejarnya, ia sudah tampak masuk kembali dan ia telah membawa sebongkah batu gunung sebesar perut kerbau! Dua orang laki-laki itu terbelalak. Bagaimana gadis itu mampu mengangkat batu sebesar itu dengan tangan kiri saja dan membawa batu itu masuk seolah-olah batu itu sebuah benda ringan saja?
Ketika Muryani meletakkan batu besar itu ke atas lantai, seluruh bangunan pondok kayu itu tergetar, menandakan bahwa batu itu berat sekali. "Ayah dan kakang Parmadi, lihatlah batu ini dan katakan, apakah kiranya kepala demang hidung belang itu lebih kuat dan lebih keras daripada batu ini?" Setelah berkata demikian, dara jelita itu mengambil sikap, kedua kakinya dipentang dan berdiri kokoh, kemudian ia meniup tangan kanannya, lalu tangan kanan itu diangkat ke atas kepalanya, lalu diayun ke bawah menghantam batu itu dengan jari-jari terbuka.
"Haiiiitttt blarrrr....!" Batu sebesar perut kerbau itu hancur berantakan seperti tertimpa martil yang besar dan berat sekali. Dua orang laki-laki itu melindung muka mereka dengan kedua tangan agar jangan terkena sambaran pecahan batu Kemudian mereka menurunkan kedua tangan dan memandang kepada Muryani, dengan mata terbelalak dan mulut ternganga!
"Nini Muryani... kau... kau..." kata Ronggo Bangak sambil memandang wajah puterinya.
Muryani merangkul pundak ayahnya dengan sikap manja. Lenyap sudah kini kegarangan yang tadi membayang pada pandang mata dan tarikan mulutnya dan ia berubah menjadi seorang dara cantik jelita yang manja terhadap ayahnya. "Ayah, ketika ayah berada di Demak menjemputku, aku sudah mengatakan bahwa aku telah mempelajari aji kanuragan sejak kecil. Bahkan aku menjadi murid utama dari Bapa Guru Ki Ageng Branjang ketua dari perguruan Bromo Dadali di puncak Gunung Muria. Akan tetapi agaknya ayah tidak begitu memperhatikan atau mungkin tidak percaya kepadaku. Nah, sekarang aku membuktikan kemampuanku dan kuharap ayah dan kakang Parmadi tidak takut lagi kepada Ki Demang Wiroboyo itu. Kalau dia berani kurang ajar, aku akan menghajarnya!"
"Bukan main! Nini, kukira tadinya engkau hanya sekedar mempelajari pencak silat untuk olah raga saja, tidak tahunya engkau telah memiliki kedigdayaan. Akan tetapi, kuharap engkau tidak akan mempergunakan itu dan membuat onar di dusun ini, nini. Kalau aku berani membawamu pulang ke sini, tentu sudah kuperhitungkan watak demang itu dan aku sanggup menghadapinya dengan kelembutan, bukan kekerasan. Ketahuilah bahwa jelek-jelek aku di kademangan ini dihormati orang, bahkan Ki Demang Wiroboyo juga menaruh rasa hormat kepadaku. Aku adalah seorang sastrawan dan seniman yang tidak pernah menggunakan kekerasan akan tetapi semua orang menghargai dan menghormatiku. Kalau Ki Demang Wiroboyo berani mengganggumu, aku dapat menasihatinya dan menyadarkannya."
"Paman Ronggo berkata benar, Muryani. Ada ajaran yang mengatakan, SURODHIRO JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI (Keberanian, kegagahan dan kejayaan dunia hancur oleh kerendahan hati)."
"Begitukah? Aku mendapatkan ajaran lain, kakang Parmadi. Guruku, Bapa Guru Ki Ageng Branjang mengatakan bahwa kita harus bersikap seperti domba terhadap orang yang baik akan tetapi bersikap seperti harimau terhadap orang yang jahat. Membalas kebaikan dengan kelembutan akan tetapi menghadapi kejahatan dengan keadilan yang tentu saja harus didukung oleh kekuatan!"
"Nini, sungguh aku tidak mengerti. Bagaimana aku yang sejak muda selalu menghargai keindahan dan kelembutan, mengutamakan pembangunan menjauhi pengrusakan, sekarang mempunyai anak yang hidupnya berlandaskan kekerasan?"
"Maafkan aku, ayah. Akan tetapi aku tidak hidup berlandaskan kekerasan, melainkan keadilan. Guruku menggemblengku untuk selalu membela kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang. Kita lihat saja perkembangannya nanti mengenai Ki Demang Wiroboyo, siapa yang lebih benar di antara pendapat kita." Ucapan Muryani itu.
Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi selagi Parmadi memberi makan tujuh ekor kuda dalam kandang yang besar itu, muncullah Muryani. Gadis ini bertanya kepada penjaga gedung kademangan di mana adanya Parmadi dan setelah diberi tahu bahwa Parmadi berada di kandang kuda, ia langsung memasuki bagian belakang gedung itu. Kandang kuda itu berada di sudut kebun belakang, terpisah agak jauh dari gedung.
"Kakang Parmadi!" Muryani memanggil ketika melihat pemuda itu sedang sibuk memberi makan kuda.
Parmadi menoleh dan dia terkejut melihat munculnya Muryani di tempat itu. Betapa beraninya gadis itu! Gadis jelita seperti ia sengaja datang ke kademangan seperti seekor domba mendekati guha harimau! Akan tetapi dia segera teringat bahwa Muryani sama sekali bukan domba melainkan seekor harimau betina! Betapa pun juga, Parmadi merasa khawatir juga. Gadis itu seperti mencari perkara, mencari penyakit. Akan lebih tenteram rasa hatinya kalau gadis itu tidak pernah bertemu dengan Ki Demang Wiroboyo.
"Muryani! Andika kenapa datang tempat ini?"
Mendengar nada pertanyaan pemuda itu dan melihat alisnya berkerut, Muryani bertanya, "Kakang, apakah engkau tidak senang melihat aku datang mengunjungi dan melihat pekerjaanmu?"
Ditanya begitu, Parmadi menjadi bingung. "Tentu... tentu...! Aku senang sekali, Muryani. Akan tetapi..."
"Kalau sudah senang ya sudah, jangan pakai akan tetapi segala. Wah, kuda-kuda ini bagus-bagus! Guruku juga mempunyai tiga ekor kuda sebagus ini dan aku sering menunggang kuda. Kami para murid Bromo Dadali sering berlomba menunggang kuda dan engkau tahu siapa pemenangnya? Aku selalu menjadi juaranya, kakang!"
"Ah, benarkah, Muryani?" kata Parmadi sambil memandang ke kanan kiri karena hatinya khawatir kalau-kalau Ki Demang Wiroboyo muncul di situ.
"Agaknya engkau masih belum percaya kepadaku. Kau kira hanya laki-laki saja yang pandai menunggang kuda? Lihat ini!" gadis itu mengambil pelana kuda yang tergantung di luar istal, memasangnya di tas punggung kuda dengan terampil meunjukkan bahwa ia sudah terbiasa dengan pekerjaan itu. Setelah mengikatkan pelana dengan baik, ia lalu berkata kepada Parmadi, "Aku ingin mencoba sebentar kuda ini, kakang. Kebun di sini cukup luas!"
Tanpa menanti jawaban Parmadi yang seperti orang tertegun, dara itu lalu melompat ke atas punggung kuda. Gerakan ini pun dilakukan dengan gesit sekali, tubuhnya seringan seekor dadali (burung walet). Memang, ilmu meringankan tubuh merupakan ilmu andalan dari perguruan Bromo Dadali. Kuda yang dipilih Muryani itu adalah kuda terbaik milik Ki Demang Wiroboyo, warnanya hitam pekat dan diberi nama Nogo Langking (Naga Hitam). Begitu merasa punggungnya ditunggangi orang, Nogo Langking mengangkat kedua kaki depannya ke atas, meringkik seperti setan.
Parmadi khawatir kalau-kalau gadis itu akan terlempar dari punggung kuda. Akan tetapi Muryani malah tertawa dan menyepak perut kuda. Kuda itu melompat ke depan lalu membalap denga cepat sekali, dikendalikan oleh sepasang tangan yang mahir. Parmadi memandang kagum. Jangankan dia atau lain pembantu Ki Demang, bahkan Ki Demang sendiri yang terkenal tangkas berkuda, tidak akan mampu mengendalikan Nogo Langking yang terkenal liar itu seperti yang dilakukan Muryani.
Dia mengikuti larinya kuda dengan pandang matanya dan hanya menggeleng kepala dan menghela napas panjang melihat betapa kuda itu dibalapkan terus keluar dari kebun menuju keluar halaman gedung. Apa yang dia khawatirkan, tak lama kemudian terjadi. Ki Demang datang berkunjung ke istal. Parmadi dengan jantung berdebar tegang pura-pura tidak tahu dan sibuk menambahkan makanan kuda. Ki Demang menjenguk ke setiap kandang kemudian melihat kandang yang kosong disebelah kiri.
"Parmadi!" dia menegur.
Parmadi menoleh dan bersikap seperti orang terkejut. "Ah, kiranya Paman Demang. Selamat pagi, Paman." Dia memberi salam sambil membungkuk.
"Parmadi, di mana Nogo Langking?" tanya Ki Demang dengan suara membentak.
"No.... Nogo Langking....? Dia.... dia tadi makan rumput...." kata Parmadi dengan gagap.
"Jangan bohong engkau! Aku tadi mendengar ringkiknya dan derap kakinya! Karena itulah aku datang menjenguk ke sini. Siapa yang menunggangi Nogo Langking?"
Parmadi memberi hormat dengan membungkuk. "Maafkan saya, paman Demang. Sesungguhnya yang menunggangi adalah putera paman Ronggo Bangak. Sebetulnya sudah saya cegah, akan tetapi dia hanya ingin merasakan menunggang Nogo Langking yang amat dikaguminya."
Ki Demang Wiroboyo memandang heran. "Putera Ki Ronggo Bangak? Kapan dia mempunyai putera? Aku tidak pernah melihat dia beristeri atau berputera,"
"Benar, paman. Isteri paman Ronggo sudah meninggal dunia dan ketika dia pindah ke sini, puteranya dia titipkan kepada ibunya. Sekarang ibunya, meninggal dunia dan dia mengajak puteranya tinggal bersamanya di sini." Parmadi merasa lega melihat bahwa demang itu tidak tampak marah.
"Sekali lagi harap paman suka memaafkan saya."
"Sudahlah, biar saja kalau putera Ronggo Bangak yang menunggangi Nogo Langking. Aku percaya bahwa putera Ronggo tentu baik dan sopan seperti bapaknya."
Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki kuda. Parmadi dan Ki Demang memutar tubuh memandang. Nogo Langkin datang berlari cepat sekali ditunggang Muryani. Gadis itu dengan tegak duduk atas punggung kuda dan dengan cekatan dia menarik kendali dan menghentikan larinya kuda di depan Parmadi dan Ki Demang Debu mengepul tinggi dan Muryani tersenyum manis sekali sambil menahan kendali. Nogo Langking mengangkat kedua ka depan ke atas dan ia meringkik.
"Nogo Langking ini hebat, kakang Parmadi. Tubuhnya kuat dan larinya cepat. Aku suka sekali!" Ia lalu melompat dengan gerakan yang ringan sekali dari atas punggung kuda.
Parmadi cepat-cepat menuntun kuda itu dan memasukkannya ke istalnya. Jantungnya berdebar keras dan penuh ketegangan. Ki Demang Wiroboyo tercengang dan memandang kepada dara itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Matanya bersinar-sinar dan dia terpesona. Belum pernah selama hidupnya dia melihat seorang gadis yang begini cantik jelita, ayu dan kewes luwes. Cantik jelita dan gagah perkasa ketika menunggang si Nogo Langking, seperti Woro Srikandi!
"Inikah... anak Ki Ronggo Bangak? Puterinya.... ?" tanyanya kepada Parmadi yan masih sibuk melepaskan pelana dari punggung Nogo Langking.
"Benar, aku adalah Muryani, puteri Ki Ronggo Bangak. Engkau siapakah, paman?" tanya Muryani dengan suaranya yang merdu dan lantang. Sikapnya ramah akan tetapi juga lincah, sama sekali tidak malu-malu atau takut-takut seperti sikap para gadis yang pernah dilihat Ki Demang Wiroboyo.
Hati Ki Demang menjadi kagum dan juga girang sekali. Seketika dia telah tergila-gila kepada gadis itu. Dia mengelus kumisnya yang sekepal sebelah dan tersenyum, merasa dirinya seperti Sang Gatutkaca. Dia bergaya, menggerak-gerakkan alisnya yang tebal dan menjilat bibirnya dulu sebelum menjawab dengan senyum ramah.
"Jeng Muryani puteri Ki Ronggo Baiigak? Perkenalkan, aku adalah Ki Wiroboyo, Demang Pakis. Akulah pemilik kuda Nogo Langking itu."
Muryani memandang pria itu dengan penuh perhatian. Jadi orang inikah yang dianggap berbahaya oleh Parmadi? Ia tersenyum lalu berkata kepada Ki Wiroboyo, "Kiranya paman yang menjadi demang di dukuh, ini? Aku sudah mendengar dari ayah dan dari kakang Parmadi bahwa paman adalah seorang demang yang baik hati dan bijaksana!"
Ki Wiroboyo menyeringai, hidungnya kembang kempis karena bangga. Lalu dia tertawa. "Ha-ha-ha, diajeng Muryani. Jangan sebut aku paman, sebut saja kakangmas. Kakangmas Wiroboyo begitu. Aku sendiri sudah menganggap ayahmu sebagai paman. Paman Ronggo Bangak. Heh-heh-heh!"
Muryani memperlebar senyumnya. "Kakangmas? Baiklah, kakangmas Wiroboyo, Andika seorang demang yang bijaksana dan baik. Akan tetapi aku mendengar berita di dukuh ini bahwa andika seorang yang mata keranjang, gila perempuan. Ah, aku tidak percaya itu!"
Parmadi terbelalak. Betapa beraninya gadis itu! Dia menjadi khawatir sekali. Akan tetapi dia hanya mendengarkan, tidak berani mencampuri, menyibukkan diri dengan mengurus makanan Nogo Langking seolah-olah tidak memperhatikan mereka.
"Gila perempuan? Ha-ha-ha-ha! Diajeng Muryani, ketahuilah bahwa setiap orang laki-laki yang jantan dan gagah di seluruh jagad ini menyukai empat hal dan aku juga begitu. Pertama curigo (keris), kedua wanito (wanita), ketiga turonggo (kuda), dan keempat kukilo (burung). Biarpun sekarang aku sudah mempunyai tiga orang isteri, beberapa buah pusaka keris dan tombak yang ampuh, tujuh ekor kuda yang baik di antaranya Nogo Langking, dan belasan ekor burung perkutut yang suaranya kung, tetap saja aku akan selalu tertarik kalau melihat keris ampuh, wanita cantik, kuda yang kuat dan burung yang suaranya merdu. Itu menunjukkan sifat kejantanan weorang pria!"
Biarpun hatinya merasa mendongkol mendengar ucapan itu, namun Muryani tidak ingin berdebat. Laki-laki di manapun sama saja, pikirnya. Yang diutamakan hanya kesenangan dirinya. Wanita dianggap sejajar dengan keris, kuda dan burung, sebagai suatu hiburan yang menyenangkan. Akan tetapi keadaannya memang pada waktu itu demikian dan pendapat Ki Demang Wiroboyo itu akan dibenarkan oleh semua laki-laki! Iapun mengalihkan percakapan.
"Kakangmas Wiroboyo, kudamu Nogo Langking ini hebat sekali."
"Andika suka, diajeng Muryani?"
Muryani memandang ke arah kuda hitam yang sedang makan itu dan menganguk. "Aku suka sekali."
"Bagus! Kalau begitu, bawalah dia pulang. Kuberikan Nogo Langking kepadamu sebagai hadiah perkenalan kita ini!"
Parmadi terkejut mendengar ini dan tahulah dia bahwa seperti yang dia khawatirkan, Ki Demang sudah menyatakan bahwa dia jatuh cinta kepada Muryani sehingga begitu saja dia menghadiahkan kuda kesayangannya kepada gadis itu! Ketika dia melihat gadis itu memandangnya. Parmadi cepat menggeleng kepala memberi isyarat agar gadis itu jangan menerima pemberian itu. Muryani tersenyum memandang kepada Ki Wiroboyo sehingga demang ini merasa betapa jantungnya berdebar-debar. Perawan ini kagum dan suka kepadaku, pikirnya girang. Pantas menjadi isteriku! Dia rela kehilangan dua orang isteri mudanya kalau digantikan oleh gadis ini.
"Kakangmas Wiroboyo, beginikah caramu memikat seorang gadis? Dengan pemberian yang berharga?" kata Muryani dengan senyum mengejek.
"Ha-ha-ha! Kalau aku jatuh cinta kepada seorang wanita, apapun permintaannya akan kupenuhi. Semua harta bendaku pun akan kuserahkan kalau ia kehendaki! Bawalah si Nogo Langking, diajeng Muryani dan kalau andika masih membutuhkan sesuatu, katakan kepadaku dan aku yang akan memenuhi kebutuhanmu!"
Muryani menegakkan lehernya dan membusungkan dadanya, sepasang matanya mencorong dan suaranya terdengar lantang "Hei, Ki Wiroboyo, bukalah mata dan telingamu, pandang dan dengarkan baik-baik. Seluruh harta bendamu, bahkan sekalian nyawamu kau korbankan, masih belum cukup untuk memikat dan menundukkan hatiku. Terima kasih atas kebaikanmu!"
Setelah berkata demikian, Muryani memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan tempat itu, terus keluar dari pekarangan dan menuju pulang. Ki Wiroboyo berdiri bengong, tercengang melihat sikap dan mendengar ucapan gadis itu. Hampir dia tidak dapat percaya akan apa yang dilihat dan didengarnya. Gadis itu demikian cantik jelitanya demikian gagah perkasanya ketika menungganggi Nogo Langking, kemudian demikian keras dan beraninya ketika bicara kepadanya. Selama hidupnya belum pernah di bertemu dengan perawan yang begitu cantik, begitu gagah, dan begitu beraninya!
Setelah dapat menenangkan hatinya kembali, Ki Wiroboyo menghela napas panjang dan memutar tubuh menghadap Parmadi. "Perawan yang hebat sekali. Parmadi, gadis puteri Ki Ronggo Bangak itu hebat bukan main. Aku harus mendapatkannya. Ia harus segera menjadi istriku. Parmadi, engkau yang menjadi murid Ki Ronggo Bangak, tentu banyak mengetahui tentang Muryani. Ia tentu belum mempunyai pasangan, bukan?"
Parmadi menggeleng kepalanya. "Saya tidak tahu, paman."
"Sudah berapa lama ia tinggal bersama Ki Ronggo Bangak?"
"Sudah kurang lebih satu bulan"
"Heran, mengapa baru sekarang aku melihatnya? Parmadi, engkau harus membantuku agar Muryani dapat menjadi isteriku."
Parmadi menatap wajah demang itu. "Bagaimana saya dapat membantu paman?"
"Engkau murid Ki Ronggo. Tentu engkau dekat dengan anak perempuannya. Bantulah aku membujuk gadis itu agar ia mau menjadi isteriku."
"Saya tidak berani, paman. Muryani dan paman Ronggo akan marah kepadaku dan menganggap saya lancang. Kenapa paman tidak langsung saja bertanya kepada mereka?"
Ki Wiroboyo mengelus kumisnya dan mengangguk-angguk. "Hemm, engkau benar. Ya, aku harus datang sendiri dan melamarnya kepada Ki Ronggo Bangak! Bagaimana pun juga, Muryani harus menjadi isteriku."
Ki Demang meninggalkan tempat itu dan Parmadi termenung dengan hati diliputi penuh kekhawatiran. Terjadilah atau yang dia takuti semenjak pertama kali bertemu dengan Muryani.
"Selamat pagi, paman Ronggo Bangak!" Ki Wiroboyo memberi salam dengan sikap hormat.
Ki Ronggo Bangak mengangkat muka dan terheran melihat bahwa yang memberi salam pagi itu adalah Ki Demang Wiroboyo. Anehnya, Ki Demang itu menyebutnya 'paman'. "Ah, kiranya anakmas Demang Wiroboyo." dia menjawab dan menyesuaikan sebutan demang itu maka diapun menyebebut 'anakmas'. "Tumben anakmas datang berkunjung. Silakan masuk!"
Ki Demang Wirosobo memasuki ruangan pondok kayu itu dan dipersilakan duduk oleh Ki Ronggo Bangak. '"Maafkan kalau saya mengganggu kesibukan paman," kata Ki Demang Wiroboyo sambil melihat ukiran patung yang belum jadi, yang agaknya tadi sedang dikerjakan oleh tuan rumah.
"Ah, tidak sama sekali, anakmas. Nah, sekarang katakan apakah yang dapat saya lakukan untuk anakmas, maka sepagi ini nakmas telah datang berkunjung." Ucapan Ronggo Bangak ini hanya untuk basa-basi saja. Padahal dia sudah dapat menduga apa maksud kunjungan demang itu karena ia sudah mendengar dari Muryani tentang pertemuan puterinya dengan Ki Demang.
"Saya datang untuk beranjang-sana, Paman. Sudah lama saya tidak bertemu dengan Paman dan kabarnya Paman baru saja pulang dari kepergian Paman ke pesisir utara selama sebulan lebih."
"Benar, anakmas. Saya pergi mengunjungi ibu saya dan tinggal di sana satu bulan lebih karena ibu saya meninggal dunia baru beberapa hari ini saya pulang."
"Ah, saya ikut berbela sungkawa paman." "Terima kasih, anakmas. Ibu saya sudah tua sekali dan berpenyakitan. Kematian bahkan membebaskannya dari penderitaan penyakit usia tua."
Pada saat itu, dari dalam muncul Muryani membawa baki berisi poci teh panas dan jagung rebus yang masih mengepul pula. Ketika ia bertemu pandang, dengan Ki Demang Wiroboyo, gadis itu tersenyum manis dan sambil menaruh hidangan di atas meja, ia berkata, suaranya lembut, "Silahkan minum dan makan hidangan kami seadanya, Paman Demang."
Alis Ki Wiroboyo berkerut mendengar gadis itu menyebutnya "Paman Demang". Dia ingin disebut kakangmas, bukan paman!
"Ah, diajeng Muryani, harap jangan repot-repot!" katanya, menekankan suaranya ketika menyebut "diajeng". Akan tetapi Muryani sengaja berpura-pura tidak merasakan hal ini.
"Tidak repot, Paman. Hidangan ini sudah ada dan menjadi sarapan kami. Silakan. Saya masih mempunyai kesibukan belakang." Gadis itu lalu meninggalkan ruangan itu menuju ke belakang.
Bagaikan tersedot besi sembrani mata Ki Wiroboyo mengikuti dan seperti hendak menelan sepasang buah pinggul yang bergerak lembut itu.
Melihat demang itu masih saja memandang ke arah dalam biarpun bayangan Muryani tidak tampak lagi, Ronggo Bangak berkata, "Silahkan, anakmas Demang, mencicipi jagung rebusnya. Masih muda dan baru dipetik, masih panas pula. Silakan."
"Oh... ya, terima kasih, paman." Keduanya mengambil jagung rebus yang sudah dikupas dan makan jagung muda yang manis dan hangat itu. "Saya pernah bertemu dengan diajeng Muryani.... eh, puteri Paman. Sungguh saya tidak pernah menyangka Paman yang selama ini saya kira hidup seorang diri dan tidak mempunyai keluarga, tahu-tahu mempunyai seorang anak perempuan yang sudah gadis dan jelita itu."
"Ah, Muryani hanya seorang gadis dusun yang bodoh," Ronggo Bangak merendah walaupun di dalam hatinya timbul juga kebanggaan mendengar puterinya dipuji orang.
"Tidak, paman. Ia cantik jelita seperti bidadari dan juga pandai menunggang kuda. Melihat diajeng Muryani, timbul kekhawatiran di dalam hatiku kalau-kalau ia akan mendapatkan jodoh seorang pria petani dusun yang bodoh dan hidupnya melarat. Itu akan merupakan hal yang sang patut disayangkan dan saya tidak rela melihat ia menjadi isteri petani dan hidup melarat."
"Maksud anakmas Demang bagaimana? Ronggo Bangak bertanya walaupun dalam hatinya dia sudah dapat menduga ke arah mana percakapan itu tertuju.
Ki Demang Wiroboyo menghabiskan sisa jagungnya dan menaruh jagung di atas meja, kemudian mengguyur jagung yang masih tertinggal di dalam mulut dan kerongkongannya dengan air memasuki perutnya. Baru kemudian dia menjawab, "Maksud saya... eh, Paman. Semenjak bertemu dengan diajeng Muryani, saya merasa sangat sayang dan cocok dengannya. Sayang sekali kalau sampai ia dijodohkan dengan laki-laki petani dusun. Ia... ia pantas untuk menjadi... pendamping eh, maksud saya, menjadi isteri saya."
Ronggo Bangak tidak merasa kaget atau heran, dia mengangguk-angguk dan sikapnya tenang saja. "Ooh, jadi maksud anakmas Demang ini hendak meminang anak saya Muryani! Begitukah?"
"Benar dan tidak salah, paman. Saya ingin diajeng Muryani menjadi isteri saya, menjadi Nyi Demang. Saya ingin ia dihormati semua orang, ingin mengangkat derajatnya dan membahagiakan hidupnya, hidup mulia, dihormati dan serba kecukupan!"
"Hemm, akan tetapi, maafkan saya, anakmas. Bukankah anakmas sudah mempunyai seorang isteri dan dua orang isteri muda? Apakah masih juga kurang wanita yang melayani anakmas?"
"Ah, itu soal mudah, paman. Saya berniat untuk menceraikan dua orang isteri muda saya dan memulangkannya ke rumah orang tua mereka. Apalagi mereka belum mempunyai anak."
"Dan kelak anakmas juga akan menceraikan dan memulangkan Muryani kepada saya kalau anakmas mendapatkan seorang isteri baru yang lebih muda dan lenih cantik?"
"Oooh... tidaaak... tentu saja tidaaaak...! Saya akan menaikkan derajat diajeng Muryani, bahkan kelak kalau mempunyai anak, ia akan saya jadikan isteri pertama! Saya akan membangun sebuah gedung untuk paman, dan memberi beberapa petak sawah ladang untuk paman kehidupan paman dan diajeng Muryani akan menjadi mulia, terhormat dan terjamin! Tentu paman menyetujui maksud saya yang amat baik ini, bukan?"
"Nanti dulu, anakmas Demang. Yang dipinang bukanlah saya, yang akan menjalani pernikahan bukan saya pula. Hal ini keputusannya berada dalam tangan orang yang berkepentingan, dalam hal ini anakku Muryani. Terserah kepadanya apakah ia dapat menerima pinanganmu ataukah tidak. Saya akan menanyakan pendapatnya dan keputusannya sekarang juga."
Tanpa menanti jawaban Ki Demang yang tertegun mendengar ucapannya, Ki Ronggo Bangak sudah menoleh ke arah dalam dan berseru memanggil anaknya. "Nini Muryani! Ke sinilah sebentar!"
Terdengar jawaban gadis itu dari bagian belakang pondok itu dan tak lama kemudian Muryani muncul di ambang pintu memasuki ruangan itu, disambut pandang mata kelaparan dari Ki Demang.
"Duduklah, nini. Aku hendak membicarakan hal penting denganmu."
Muryani duduk di sebelah ayahnya, berhadapan dengan Ki Demang Wiroboyo terhalang meja. "Ada apakah, ayah?" tanyanya lirih.
Ki Wiroboyo memandang gadis yang menoleh kepada ayahnya itu dengan hati berdebar tegang. Gadis itu sedemikian dekat dengannya. Sekali menjulurkan tangan saja dia sudah akan dapat menyentuhnya. Dia dapat mencium keharuman bunga melati yang sedap. Beberapa kuntum melati terselip di antara sanggul rambut yang hitam agak berombak itu. Betapa manisnya!
"Begini, Muryani," kata Ki Ronggo Bangak dengan sikapnya yang tenang. "Kunjungan anakmas Demang ini adalah untuk meminang dirimu menjadi isteri mudanya. Aku tidak dapat memberi keputusan karena hal ini terserah kepadamu yang akan menjalani. Karena itu, aku memanggilmu ke sini agar engkau sendiri yang memberi jawaban dan keputusan kepada anakmas Wiroboyo."
Muryani mengembangkan senyum tipis dan ia menoleh kepada Ki Wiroboyo yang juga memandang kepadanya. Ki Wiroboyo cepat berkata, "Diajeng Muryani, engkau akan kujadikan isteri mudaku yang tunggal karena dua orang isteri mudaku akai kuceraikan dan ku pulangkan kepada orang tua mereka. Jangan khawatir, biarpun engkau menjadi isteri mudaku akan tetapi engkau yang akan berkuasa di rumahku. Engkau akan hidup mulia, terhormat, dan serba kecukupan. Juga ayahmu akan kubangunkan sebuah gedung."
"Ki Demang Wiroboyo," kata Muryani dan suaranya terdengar lembut namun berwibawa. "Aku telah berjanji kepada diriku sendiri bahwa pria yang akan menjadi suamiku harus memenuhi tiga syarat. Satu saja di antara tiga syarat itu tidak dapat dipenuhi, aku tidak sudi menjadi isterinya. Kalau andika dapat memenuhi tiga buah syaratku itu, barulah aku bersedia untu menjadi isterimu."
"Katakan apa tiga syaratmu itu, diajeng Muryani. Jangankan baru tiga, biar ada sepuluh buah syarat tentu akan kupenuhi semua. Engkau hendak minta apapun, asalkan jangan minta matahari bulan dan bintang, tentu akan kupenuhi!" kata Ki Demang dengan girang. Apa sih permintaan seorang gadis dusun? Pasti dia akan mampu memenuhinya!
Gadis itu tersenyum dan Ki Demang Wirosobo merasa tenggelam dalam senyuman itu. "Aku tidak minta harta benda, tidak minta kedudukan. Syarat-syaratku adalah, yang pertama, calon suamiku harus dapat mengalahkan aku dalam kanuragan bertanding kedigdayaan, dan kedua syarat ini harus dilakukan di depan umum yang menjadi saksinya. Adapun syarat ketiga baru akan kuberitahukan kalau dia mampu memenuhi kedua syarat pertama dan kedua itu!"
Ki Wiroboyo tercengang keheranan mendengar dua buah syarat yang aneh itu, akan tetapi mulutnya menyeringai lebar pertanda bahwa dia. merasa girang sekali. Dia adalah seorang ahli menunggang kuda terpandai di seluruh Kademangan Pakis. Sepandai-pandainya Muryani menunggang kuda, seorang gadis mana bisa dibandingkan dengan dia? Dan adu kanuragan, bertanding kedigdayaan?
Hampir saja dia tidak dapat menahan geli hatinya dan tertawa. Dia adalah seorang yang dapat dikatakan otot kawat balung wesi, nora tedas tapa paluning pande sisaning gurindo (berotot kawat bertulang besi, tidak mempan senjata tajam buatan pandai besi). Bagaimana seorang gadis remaja yang berkulit halus mulus dan tipis seperti itu, akan mampu menandingi kedigdayaannya? Terkena sentilan telunjuknya saja akan terpelanting!
"Baik, aku terima kedua syarat itu. Dan apa syaratnya yang ketiga?" kata Wiroboyo.
"Syarat ketiga baru akan kukatakan kalau andika dapat memenangkan dua buah syarat itu dan karena aku tidak memiliki kuda, maka untuk perlombaan menunggang dan membalapkan kuda, aku meminjam si Nogo Langking," kata Muryani.
Ki Wiroboyo tidak merasa khawatir Nogo Langking memang kudanya yang terbaik akan tetapi dia memiliki kuda lain yang larinya juga hampir sama cepatnya dengan Nogo Langking. Dan perlombaan balap kuda bukan hanya tergantung dari kudanya namun juga banyak ditentukan oleh kemahiran penunggangnya. "Baik, engkau boleh menunggangi Nogo Langking, diajeng Muryani. Akan tetapi agar adil aku ingin bertanya lebih dulu. Karena syaratmu ada tiga dan yang dua dipertandingkan, bagaimana kalau hasilnya sama kuat, yaitu menang satu kali dan kalah satu kali?"
"Kalau begitu, syarat ketiga yang menentukan."
"Jadi berarti, siapa yang menang dua kali berarti keluar sebagai pemenang dan boleh menjadi suamimu?"
"Begitulah," kata Muryani sambil tersenyum. Ki Ronggo Bangak yang mendengarkan percakapan itu bersikap tenang saja karena dia sudah maklum akan kernampuan puterinya. Hal ini memang sudah dibicarakan Muryani kepadanya. Puterinya itu mempunyai rencana lain, bukan sekedar menolak pinangan, melainkan juga hendak memberi hajaran kepada Ki Wiroboyo agar sifat buruk Ki Demang yang sebetulnya adalah kepala dusun yang baik dan bijaksana itu dapat disembuhkan atau dihilangkan.
"Bagus, kapan pertandingan itu akan dilakukan?" tanya Ki Wiroboyo.
"Secepatnya, besok pagi juga boleh. Sekarang harap andika membuat persiapannya. Beritahukan kepada penduduk agar besok pagi menonton dua pertandingan itu. Lomba menunggang kuda dilakukan dengan mengitari dusun Pakis satu kali, mulai dari pintu gerbang sebelah selatan. Adapun pertandingan kanuragan diadakan di lapangan depan kademangan agar disaksikan oleh penduduk."
"Baik, akan kupersiapkan segalanya. Aku nanti akan menyuruh Parmadi mengantarkan Nogo Langking ke sini dan besok pagi kita bertemu di pintu gapura selatan. Sekarang aku akan pulang dulu mempersiapkan segalanya. Permisi, paman Ronggo Bangak."
"Silahkan, anakmas Demang. Dan maafkan kalau anakku mengajukan syarat-syarat itu."
"Ah, tidak mengapa, paman. Memang sudah sepantasnya seorang gadis cantik jelita seperti diajeng Muryani memasang tinggi harga dirinya. Permisi, paman."
Setelah Ki Wiroboyo pergi, Ki Ronggo Bangak berkata kepada puterinya, "Nini, engkau bermain dengan api. Biarpun aku belum melihat sendiri, namun aku sudah mendengar bahwa Ki Wiroboyo adalah seorang penunggang kuda yang mahir dan juga seorang yang digdaya. Engkau malah menantangnya untuk berlomba menggang kuda dan bertanding kedigdayaan. Bagaimana seandainya engkau kalah dalam dua pertandingan itu?"
"Tidak mungkin, ayah. Andaikata aku kalah bertanding kedigdayaan, akan tetapi sudah pasti aku menang berlomba menungng kuda. Aku sudah biasa berlomba balap kuda di Muria dan aku tahu benar bahwa si Nogo Langking itu merupakan kuda terbaik dari tujuh ekor kuda yang dimiliki Ki Demang. Kalau dia menunggang kuda lain, pasti dia kalah."
"Akan tetapi kalau begitu berarti malam satu satu, satu-satu, bagaimana kalau syarat ketiga dimenangkan olehnya?"
Muryani tertawa dan menutupi mulutnya dengan punggung tangan kiri. "Syarat ketiga lni tidak mungkin dimenangkan oleh siapapun juga kecuali kalau aku menghendaki dia menang."
"Ehh? Apa sih syaratmu yang ketiga itu?"
"Syaratnya adalah bahwa pria yang akan menjadi suamiku haruslah orang ya kucinta! Dan aku sama sekali tidak mecintai Ki Wiroboyo!"
Ki Ronggo Bangak membelalakkan kdua matanya, kemudian dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, engkau nakal, nini! Itu bukan syarat, tapi engkau mengakalinya!"
Muryani juga tertawa. "Kemenangan bukan hanya dapat dicapai oleh okol (kekerasan) melainkan juga oleh akal, bukankah begitu, ayah?"
Ki Ronggo Bangak mengangguk-anggu "Kuharap saja rencana usahamu untuk melenyapkan sifat buruk Ki Demang itu akan berhasil baik, nini. Memang sayang sekali seorang pemimpin yang begitu baik memiliki cacat seperti itu, suka menggunakan kekerasan memaksa seorang wanita untuk menjadi isteri mudanya."
Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda. Ki Ronggo Bangak melanjutkan pekerjaannya mengukir patung. "Kau lihat, Nini, itu mungkin Parmadi datang mengantarkan kuda."
Muryani berlari keluar dan benar saja, armadi sudah turun dan menuntun kuda berbulu hitam itu. Muryani menghampiri dan merangkul leher kuda itu. "Nogo Langking, engkau harus membantuku sekarang....!" bisiknya dekat telinga kuda itu.
"Muryani, aku disuruh Ki Demang megantarkan Nogo Langking kepadamu," kata Parmadi sambil menyerahkan kendali kuda itu kepada Muryani yang menerimanya.
"Terima kasih, kakang Parmadi."
"Muryani, benarkah apa yang kudengar dari Ki Demang? Engkau menantangnya bertanding balap kuda dan adu kanuragan sebagai syarat perjodohanmu?"
"Benar, kakang. Besok pagi dilakukannya pertandingan itu."
"Wah, celaka sekali! Bagaimana kalau engkau kalah? Benar-benar celaka kalau begitu!" kata Parmadi khawatir.
"Eh? Siapa yang akan celaka, kakang?"
"Aku... eh, engkau tentu saja! Engkau akan kalah dan engkau akan menjadi istri mudanya!"
"Kalau begitu kenapa? Aku yang menjalani kenapa engkau yang repot seperti kebakaran jenggot?"
Parmadi otomatis meraba dagunya yang tanpa jenggot selembar pun. "Engkau puteri paman Ronggo Bangak. Aku tidak rela kalau engkau menjadi isteri muda Demang. Dia seorang yang mata keranjang, tiada henti-hentinya mengejar wanita."
"Jangan khawatir, kakang. Dia tidak akan mampu mengalahkan aku. Bukankah engkau sudah melihat sendiri kemampuanku?"
"Mungkin engkau akan menang dalam pertandingan kanuragan, akan tetapi engkau akan kalah dalam lomba balap kuda. Dia seorang yang pandai sekali menunggang kuda, Muryani. "
"Aku lebih pandai daripada dia, kakang. Kau lihat sendiri saja besok pagi."
"Akan tetapi, kenapa kau lakukan semua ini? Tanpa mengajukan syarat inipun, engkau bisa menolak pinangannya. Mengapa mesti bertanding dan ribut-ribut disaksikan semua penduduk?"
"Aku mempunyai rencana, kakang. Menurut ayah, Ki Demang Wiroboyo adalah seorang pamong yang baik dan bijaksana, akan tetapi dia mempunyai sebuah caca."
"Benar, dia memang baik, akan tetapi sayang dia suka memaksa gadis atau janda untuk menjadi selirnya."
"Nah, itulah sebabnya maka aku sengaja mengajukan syarat ini kepadanya. Aku ingin membuat dia menyadari cacadnya itu dan bertaubat."
Parmadi menghela napas panjang. "Maksudmu baik, akan tetapi sungguh berbahaya. Sudah delapan tahun aku bekerja pada Ki Demang dan aku sudah tahu benar akan wataknya. Kalau dia berniat mendapatkan seorang wanita, dia akan menggunakan segala cara, kalau perlu dengan kekerasan. Dan dia mempunyai pembantu belasan orang yang juga menjadi pasukannya untuk menundukkanmu, bagaimana?"
"Kalau begitu, aku akan hajar mereka semua sampai mereka jera dan tidak berani lagi memaksakan kehendak mereka kepada oranp lain."
Pada saat itu Ki Ronggo Bangak keluar. "Eh, engkau, Parmadi?" tegurnya.
"Benar, paman. Saya diutus Ki Demang untuk mengiringkan kuda Nogo Langking ini kepada adik Muryani," jawab Parmadi.
Muryani menuntun kuda itu ke pekarangan di belakang rumah dan menambatkannya di sana.
"Mari masuk dan duduk dulu, Parmadi."
"Terima kasih, paman. Saya harus segera kembali karena masih banyak pekerjaan yang harus saya lakukan. Saya juga harus membantu Ki Demang yang sibuk mengatur persiapan untuk pertandingan besok pagi."
"Kalau begitu pulanglah, jangan sampai ditunggu-tunggu Ki Demang."
"Baik, paman. Permisi." Parmadi meninggalkan rumah gurunya dan bergegas pulang ke kademangan.
Berita tentang akan diadakannya pertandingan balap kuda dan adu kanuragan antara Ki Demang dan Muryani sebagai syarat perjodohan sudah tersiar di seluruh kademangan. Pada keesokan harinya, pagi-pagi banyak orang sudah berdatangan ke pintu gapura dusun Pakis sebelah selatan dari mana balap kuda akan dimulai. Laki-laki perempuan, tua muda bahkan kanak-kanak memenuhi tempat itu. Mereka ingin sekali menyaksikan pertandingan yang belum pernah mereka saksikan itu. Betapa anehnya! Bayangkan, Ki Demang yang terkenal pandai menunggang kuda dan digdaya kini hendak berlomba menunggang kuda dan mengadu kedigdayaan melawan seorang gadis remaja!
Ki Ronggo Bangak berada di antara orang banyak itu dan dia segera bertemu sngan Parmadi. Tidak seperti Parmadi yang tampak gelisah, Ki Ronggo tenang-tenang saja. Hal ini adalah karena dia merasa yakin bahwa puterinya tidak akan kalah karena adanya syarat ketiga itu. Ketika terdengar derap kaki kuda, sema orang menengok dan mereka melihat Ki Demang menunggang seekor kuda berwarna coklat dengan kaki "pancal panggung", yaitu keempat ujung kakinya berwarna putih. Seekor kuda yang kuat dan baik pula walaupun tidak sebaik si Naga Langking.
Ki Demang tampak gagah. Pakaiannya baru dan wajahnya berseri seolah dia sudah merasa yakin akan kemenangannya. Setelah tiba di pintu gapura, dia memandang ke sekeliling dan melambaikan tangan kepada penduduk yang membungkuk sebagai penghormatan kepadanya. Matanya mencari-cari Muryani yang belum datang.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Semua orang menoleh dan mereka bergumam kagum ketika melihat Muryani datang membalapkan kudanya. Gadis itu kelihatan ayu dan perkasa seperti Woro Srikandi! Ki Demang juga kagum dan senang. Alangkah akan bahagia dan bangganya mempunyai seorang isteri seperti Muryani. Masih muda, cantik jelita dan gagah perkasa!
Debu mengepul ketika Muryani menghentikan kudanya di depan kuda Ki Demang. Ia tersenyum kepada laki-laki itu dan bertanya, "Apakah andika sudah siap, Paman Demang Wiroboyo?" suaranya lantang sehingga terdengar oleh semua orang. Ki Demang Wiroboyo mengerutkan alisnya dan menegur lirih, "Diajeng Muryai, jangan memanggil aku paman!"
Muryani tidak perduli seolah tidak mendengar teguran itu dan berkata lagi, "Apakah andika sudah siap? Kalau sudah, mari kita segera mulai dengan perlombaan ini."
"Baik, aku sudah siap." lalu Ki Demang Wiroboyo memandang ke sekeliling dan berkata nyaring sehingga terdengar oleh semua orang, "Saudara-saudara sekalian! Kalian menjadi saksi dari perlombaan ini. Aku dan diajeng Muryani akan berlomba balap kuda. Berangkat dari sini memutari Kademangan Pakis dan berakhir di sini lagi. Siapa yang datang di sini terlebih dulu setelah mengelilingi dusun satu kali putaran, dia yang menang. Kalian yang menjadi saksi siapa yang akan keluar sebagai pemenang nanti. Kalian bersedia menjadi saksi?"
Serempak para penduduk dusun itu menjawab dengan suara gembira. "Bersedia...!!"
"'Diajeng Muryani, kita berjajar di sini dan bersiap-siap. Parmadi, ke sinilah engkau. Engkau yang kutugaskan untuk menghitung sampai tiga. Pada seruan angka tiga, kita mulai perlombaan ini, diajeng."
"Baik, Paman Demang!" kata Parmadi, dan dia segera mendekati kedua orang yang sudah duduk di atas punggung kuda masing masing dalam keadaan siap. Kuda mereka berdiri berjajar dan mereka memegang kendali dengan tangan kiri. Ki Demang Wiroboyo memegang sebuah cambuk kuda, akan tetapi Muryani tidak memegang apa-apa.
Melihat ini, Parmadi berkata lirih, hanya terdengar oleh Muryani dan Ki Demang Wiroboyo, "Adi Muryani, mestinya engkau membawa sehelai pecut untuk memberi semangat kepada Nogo Langking."
Muryani tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Tidak perlu, kakang Parmadi. Sejak pertama belajar menunggang kuda sampai sekarang, aku belum pernah mempergunakan pecut."
"Parmadi, jangan samakan diajeng Muryani dengan engkau! Ia seorang puteri sejati, mana ia tega mencambuki kudanya?" kata Ki Wiroboyo, akan tetapi dalam hatinya merasa girang karena dia semakin yakin akan kemenangannya. Dengan pecutpun gadis itu tidak akan mampu menandingipya, apalagi tanpa pecut?
"Harap Paman Demang dan adi Muryani siap. Saya akan mulai menghitung: Satuuu... dua... tiga!!"
Dua orang itu membedal kuda mereka. seperti biasa, sebagai tanda tinggal landas, Nogo Langking mengangkat kedua kaki depannya ke atas, meringkik dengan nyaring sekali, kemudian melompat jauh ke depan dan meluncur seperti kilat cepatnya mengejar kuda pancal panggung yang sudah dikebut lebih dulu oleh Ki Wiroboyo.
Para penduduk dusun bertepuk tangan dan bersorak dengan gembira. Mereka menanti munculnya dua orang pembalap itu dari sisi lain pintu gerbang itu dan memberi jalan yang longgar. Agaknya penyakit taruhan sudah pula melanda Kademangan Pakis karena di antara mereka banyak yang mulai bertaruh!
Ki Wiroboyo terkejut juga melihat betapa Nogo Langking melesat dengan kecepatan kilat. Dia lalu mempergunakan pecutnya untuk mencambuki kuda yang tungganginya. Kuda itu kesakitan dan melompat sekuat tenaga, berlari secepat keempat kakinya mampu bergerak. Ki Wiroboyo tertawa ketika kudanya melewati Nogo Langking yang ditunggangi Muryani.
Gadis itu mengerutkan alisnya lalu membungkuk hampir menelungkup di atas punggung kuda sehingga mulutnya mendekati telinga Nogo Langking. "Nogo Langking, engkau tidak ingin mengecewakan aku, bukan? Larilah, Nogo Langking. Lari dan kejarlah kuda di depan itu!" Ia menggunakan kedua kakinya menendang-nendang perut kuda dengan tumitnya sambil berbisik-bisik memberi semangat Nogo Langking dengan suara yang merayu.
Terjadilah keanehan. Nogo Langking seolah mengerti akan rayuan penunggannya, atau mengerti isyarat melalui tendangan tumit kaki yang halus itu. Dia melompat dan berlari cepat sekali sehinga akhirnya dapat mengejar kuda yang ditunggangi Ki Wiroboyo, bahkan mendahuluinya!
Melihat ini, Ki Wiroboyo semakin kuat mencambuki kudanya sehingga terdengar bunyi berdetak-detak. Kudanya mencoba untuk berlari lebih cepat lagi. Napas kuda itu memburu dan dari hidungnya keluar uap, dari mulutnya keluar buih. Ketika dua ekor kuda itu muncul, para penonton bersorak memberi semangat jago masing-masing. Akan tetapi, Nogo Langking tiba di pintu gapura beberapa detik lebih cepat daripada kuda pancal panggung yang ditungganggi Ki Wiroboyo dan begitu demang ini menghentikan kudanya, kuda yang kehabisan tenaga dan napas itu terguling roboh. Ki Wiroboyo dengan tangkasnya melompat turun sehingga dia tidak ikut terbanting jatuh.
Muryani sendiri turun dari atas punggung kuda Nogo Langking dan mengelus-elus leher kuda itu. Sambil tersenyum menoleh kepada Ki Wiroboyo dan berkata "Bagaimana, Paman Demang, apakah engkau kini mengakui kemenanganku berlomba balap kuda?"
Wajah Ki Demang Wiroboyo berubah merah Kumisnya yang tebal bergoyang-goyang, matanya terbelalak. "Hemm, baiklah, dalam lomba ini aku mengaku kalah, diajeng Muryani. Akan tetapi kita masih ada sebuah pertandingan dan sebuah syarat lagi, bukan? Mari kita laksanakan pertandingan kedua, yaitu adu kanuragan dan sesuai perjanjian, kita lakukan di alun-alun depan kademangan." Ucapan itu dilakukan dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang.
"Baik, paman. Mari kita pergi ke lapangan rumput di depan kademangan." Muryani menyerahkan kuda Nogo Langking pada Parmadi
Pemuda ini juga menuntun kuda pancal panggung yang sudah mampu berdiri lagi. Muryani dan Ki Demang Wiroboyo berjalan beriringan memasuki pintu gapura ini langsung menuju ke kademangan. Semua orang berbondong-bondong mengikuti mereka berdua. Di lapangan rumput depan kademangan itu telah dipersiapkan sebuah panggung dari papan yang cukup kokoh kuat oleh KI Wiroboyo. Memang sengaja dia membuat panggung itu agar semua penduduk dusun akan dapat melihat dengan jelas ketika dia bertanding dengan Muryani nanti. Dia yakin benar, tidak ragu seperti ketika dia berlomba menunggang kuda tadi, bahwa dia pasti akan dapat mengalahkan Muryani.
Setelah tiba di bawah panggung, dia lalu menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melayang ke atas panggung yung tingginya kurang lebih satu setengah meter itu. Loncatan yang dilakukan dengan gaya yang cukup indah dan tangkas ini memancing tepuk tangan pujian dari penonton. Ki Demang Wiroboyo berdiri di atal papan panggung, tangan kirinya bertolak pinggang, tangan kanan memelintir kumisnya yang seperti kumis Sang Gatot kaca itu, matanya mengerling ke sekelilingnya, mulutnya tersenyum bangga karena sambutan tepuk tangan para penduduk dusunnya dan dia sudah merasa setengah menang dalam pertandingan kanuragan yang akan diadakan ini.
Memang gagah pria berusia empatpuluh tahun ini. Tubuhnya yang tinggi besar dan kokoh kuat itu mengenakan pakaian yang indah. Sebatang keris tersedia di pinggang belakang. Biarpun mereka sendiri sudah menyaksikan betapa ampuh pukulan tangan halus Muryani yang mampu memporakporandakan bongkah batu besar, namun di dalam hati mereka, Ki Ronggo Bangak dan Parmadi merasa tegang dan khawatir juga menyaksikan kegagahan Ki Demang Wiroboyo.
Bagi Ki Ronggo Bangak, kekhawatirannya hanya tertuju kepada keselamatan puterinya dalam adu kanuragan saja karena dia yakin bahwa puterinya tidak akan menjadi isteri Ki Demang dengan adanya syarat tiga yang belum disampaikan kepada lamaran itu. Akan tetapi Parmadi yang belum mengetahuinya, merasa khawatir sekali kalau-kalau gadis itu akan kalah sehingga terpaksa harus menjadi isteri Ki Demang Wiroboyo.
"Diajeng Muryani, hayo naiklah ke atas panggung. Kenapa andika masih belum naik? Kalau merasa takut, sudahlah kita tidak perlu bertanding, aku khawatir kalau-kalau kulitmu yang halus mulus itu akan lecet. Anggap saja aku menang dalam pertandingan kanuragan ini!" kata Ki Demang Wiroboyo kepada Muryani yang masih berada di bawah panggung.
Muryani tersenyum dan ia lalu mendaki anak tangga untuk naik ke atas panggung tidak meloncat seperti yang dilakukan penantangnya itu. Biarpun gadis itu hanya naik melangkahi anak tangga namun penonton yang tadi sudah dibuat kagum akan kemenangannya berlomba menunggang kuda, menyambutnya dengan tepuk tangan Apalagi mereka yang bertaruh di pihaknya. Akan tetapi taruhan kali ini tidak seimbang.
Para penonton yang bertaruh hanya memberi nilai setengahnya kepada gadis itu. Sebagian besar dari para penduduk dusun Pakis, tentu saja sudah mengenal siapa Ki Demang Wiroboyo dan tahu akan kedigdayaannya. Mana mungkin seorang gadis muda jelita seperti Muryani walaupun pandai dan tangkas menunggang kuda, akan mampu menandingi kedigdayaan demang itu?
Yang bertaruh memegang Muryani nekat karena mengharapkan kemlenangan sehingga mendapatkan bayaran ganda kalau gadis itu menang, sedangkan kalau kalah hanya membayar setengah jumlah itu. Mereka inilah yang menyambut naiknya Muryani ke panggung dengan gegap-gempita, seperti hendak memberi dorongan semangat kepada gadis yang dijagokannya.
Mereka kini sudah berdiri saling berhaapan. Muryani menatap tajam wajah deiang itu lalu berkata lantang dengan maksud agar terdengar oleh semua orang yang berada di sekeliling panggung dan yang kini diam untuk mendengarkan apa yang diucapkan oleh dua orang jagoan mereka.
"Ki Demang Wiroboyo!" sengaja Muryani tidak menyebut kakangmas atau paman. "Aku mendengar bahwa andika sebagai demang bersikap adil dan bijaksana terhadap penduduk Pakis. Hal itu baik sekali dan aku merasa kagum dan berterima kasih kepadamu. Akan tetapi, andika mengandalan kekayaan dan kekuasaan untuk memperoleh setiap orang wanita yang kau sukai dengan paksa. Hal inilah yang amat tidak baik dan karena watak andika inilah sekarang aku berdiri di sini untuk melawanmu, bertanding. Sekarang dengarlah baik-baik, biar disaksikan oleh semua penduduk Pakis ini, Kalau dalam pertandingan ini aku kalah olehmu, kemudian syaratku ketiga juga dapat andika penuhi, maka aku akan bersedia untuk menjadi selirmu. Akan tetapi kalau andika kalah dalam pertandingan ini, berarti andika sudah dua kali kalah dan andika harus mengubah watakmu yang mata keranjang dan suka memaksa wanita menjadi selirmu."
"Diajeng Muryani, bagaimana andika dapat melarang seorang pria, apalagi pria itu seorang demang seperti aku, untuk mempunyai selir, berapa banyakpun yang dia kehendaki?" bantah Ki Demang Wiroboyo penasaran.
Para pria penduduk Pakis yang mendengar ucapan ini juga merasa betapa anehnya sikap gadis itu. Pada jaman itu, setiap orang pejabat, dari lurah ke atas, sudah pasti mempunyai selir.
"Ki Demang Wiroboyo, siapa yang melarang andika mempunyai selir? Biar andika mempunyai seratus orang selirpun, aku tidak akan ambil pusing! Yang kutentang hanyalah caramu memaksa para wanita untuk menjadi selirmu, dengan mengandalkan kekayaan dan kedudukanmu! Kalau ada wanita yang mau kaujadikan selir, silahkan. Akan tetapi kalau andika mempergunakan paksaan, terpaksa aku akan menentangmu mati-matian!"
Mendengar ucapan gadis itu, para penduduk mengangguk-angguk setuju. Tak seorang pun diantara mereka setuju kalau anggota keluarganya dipaksa oleh demang itu. Kecuali, tentu saja, mereka yang memang merasa senang kalau ada anggota keluarganya menjadi selir Ki Demang Wiroboyo.
Mendengar ucapan Muryani itu, wajah Ki Demang Wiroboyo menjadi merah. Kehormatannya tersinggung. Akan tetapi karena dia sudah tergila-gila kepada Muryani, dia tidak menjadi marah, hanya tersenyum.
"Diajeng Muryani, aku berjanji bahwa kalau andika sudah menjadi selirku, Aku tidak akan mencari selir lain lagi! Nah, bagaimana kalau pertandingan ini ditiadakan saja dan andika menjadi selirku secara suka rela?"
"Enak saja! Andika sudah kalah satu kali, dan pasti akan kalah dalam pertandingan kanuragan ini dan tidak dapat pula memenuhi syarat ketiga. Hayo, mulai dan seranglah, kalau memang andika seorang laki-laki yang gagah!"
Panas juga rasa hati Ki Demang Wiroboyo mendengar tantangan ini. Tantangan yang bernada meremehkannya itu diucapkan Muryani di depan hampir semua penduduk Pakis yang saat itu berkumpul di situ. Dengan gaya yang gagah dia menggulung lengan bajunya yang panjang sampai ke atas siku, kemudian sambil tersenyun dia melangkah maju mendekati gadis itu dan berkata, "Nah, andika mulailah lebil dulu, diajeng. Aku sudah siap menerima pukulanmu. Nih dadaku, andika boleh memukul sesuka hatimu. Aku tidak akan membalas, aku tidak sampai hati untuk memukulmu. Tidak tega melihat kulitmu lecet!" dan dengan gaya menantang dia membuka kancing bajunya sehingga kulit dadanya yang bidang itu tampak. Dada itu memang tampak kokoh kuat dengan otot-otot yang menonjol.
Muryani mengerutkan alisnya. Ia menjadi marah karena merasa dipandang ringan dan diejek. Tentu saja ia tidak mau menerima tantangan seperti itu. "Ki Demang Wiroboyo, kalau aku menyerang dan andika tidak melawan, itu bukan pertandingan adu kanuragan namanya! Kalau aku menang, hanya akan menjadi buah tertawaan orang! Aku tidak sudi menang karena andika mengalah, apalagi aku tidak ingin membunuhmu."
"Ha-ha-ha-ha! Membunuhku dengan pukulanmu? Aha, jangan khawatir, diajeng! Aku tidak akan mati, bahkan lecet sedikit pun tidak. Ketahuilah bahwa aku menguasai aji kekebalan yang membuat kulit dadaku tidak akan terluka oleh bacokan senjata tajam. Apalagi hanya pukulan tangan, lebih-lebih tanganmu, diajeng. Tentu akan nyaman sekali terasa oleh dadaku, seperti dipijati saja, ha-ha-ha!"
Ki Demang Wiroboyo tertawa dan banyak penonton ikut tertawa karena mereka percaya benar akan ucapan itu. Pernah Ki Demang Wiroboyo itu, untuk menaklukkan hati para penduduk, memamerkan kekebalannya dengan menyuruh pembantunya membacokbacokkan golok kepada badan bagian atas yang bertelanjang. Apalagi terluka, tergorespun tidak dada dan punggung itu!
Muryani menjadi semakin panas hatinya. Akan tetapi ia menahan diri. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin membunuh orang itu, juga tidak ingin memperoleh kemenangan tanpa dilawan. "Hemm, begitukah? Kalau begitu, aku ingin menguji sampai di mana hebatnya aji kekebalanmu. Kerahkan aji itu sekuatnya dan coba sambutlah pijatanku yang nyaman ini, Ki Demang! Nah, bersiaplah. Satu, dua, tiga.... hiiiiaaaaat!"
Muryani sengaja memberi waktu kepada demang itu untuk mengerahkan aji kekebalannya. Ki Demang Wiroboyo sudah mengerahkan aji itu dan menahan napas untuk menyambut jari-jari tangan mungil yang menotok ke arah dadanya itu. Dadanya mengembang di menjadi sekeras besi. Jari-jari tangan Muryani menotok perlahan saja, namun diam-diam Muryani mengerahkan Aji Bromo Latu (Pijar Api Bromo), suatu aji tenaga sakti dari perguruan silat Bromo Dadali.
Para penonton sudah siap untuk menerwakan apa yang dilakukan gadis itu. Dada yang kebal dari Demang Wiroboyo itu hanya disentuh seperti itu oleh jari tangan yang mungil itu? Menggelikan! Paling-paling hanya akan terasa geli seperti digelik! Akan tetapi mulut-mulut yang sudah siap untuk tertawa itu terbuka bersamaan dengan mata yang terbelalak. Mereka melihat Ki Demang Wiroboyo itu menyeringai seperti menahan sakit dan tubuhnya terhuyung ke belakang, tangan kiri menekan bagian dada yang tadi tersentuh jari-jari tangan mungil itu! Apa yang terjadi?
Apakah Ki Demang Wiroboyo itu sengaja melucu, pura-pura kesakitan? Tak seorangpun mengetahui apa yang dirasakan pria itu. Akan tetapi, Ki Demang Wiroboyo sama sekali tidak berpura-pura. Dia merasa dadanya itu seperti ditusuk besi membara, panasnya menyusup ke dalam daging dadaya. Nyeri dan panas bukan kepalang!
Tentu saja dia terkejut setengah mati dan diam-diam dia merasa heran akan tetapi juga mulai maklum bahwa gadis ayu merak ati yang berada didepannya ini sesungguhnya memiliki aji kesaktian yang sama kali tidak boleh dipandang ringan!
"Menimbulkan bahaya? Bahaya apakah yang kau maksudkan, kakang Parmadi?" tanya Muryani sambil menatap wajah pemuda itu dengan matanya yang jeli itu terbelalak.
Parmadi juga memandangnya dan ia tidak tahan untuk menentang pandang mata yang amat tajam itu dan menundukkan pandang matanya. Akan tetapi pertanyaan gadis itu membuat dia gugup dan salah tingkah. Dia menganggap bahwa hal itu terlalu kotor untuk dibicarakan dengan seorang dara seperti Muryani.
"Anu... eh, di sini ada Ki Demang Wiroboyo... dia... dia itu orang jahat..."
"Hmm, apa yang kau maksudkan, kakang Parmadi? Bicaralah yang jelas, aku tidak mengerti ke arah mana tujuan kata-katamu. Apa hubungannya demang yang jahat dengan kehadiranku di dusun ini?"
Ki Ronggo Bangak sudah paham apa yang dikhawatirkan Parmadi dan dia tahu pula bahwa pemuda itu merasa rikuh untuk menceritakan bahaya yang dapat mengancam Muryani. Maka dia lalu berkata, "Nini, aku mengerti apa yang dimaksudkan Parmadi."
"Nah, kalau begitu tolong jelaskan, Ayah. Apa yang dimaksudkan dengan bahaya itu?" tanya Muryani sambil memandang kepada ayahnya.
"Yang menjadi kepala Kademangan Pakis ini adalah Ki Demang Wiroboyo. Sebetulnya harus diakui bahwa dia seorang demang yang bijaksana dan baik terhadap para penduduk pedusunan. Akan tetapi dia mempunyai satu kelemahan atau cacat yaitu wataknya mata keranjang, tidak memembiarkan bathuk klimis (dahi mulus) lewat begitu saja. Dia seorang laki-laki yang haus wanita cantik. Setiap kali melihat seorang gadis atau janda cantik, pasti akan diganggunya sehingga para gadis cantik di dusun ini banyak yang diungsikan oleh orang tua mereka, pindah ke dusun lain. Nah, Parmadi agaknya khawatir kalau engkau akan diganggu oleh Ki Demang Wiroboyo."
Mendengar keterangan ini, tiba-tiba Muryani meloncat dari atas kursinya, berdiri tegak dan mengepal kedua tangannya menjadi tinju kecil. Matanya bersinar tajam dan keras, wajahnya berubah kemerahan, sepasang alis yang hitam melengkung indah itu berkerut, mulutnya yang menggairahkan itu kini ditarik membayangkan kemarahan. "Jahanam keparat busuk!" ia mendesis marah. "Kalau dia berani mengganggu aku, akan kuhancurkan kepalanya!" Ia mengumangkan tinju kanannya ke atas.
Melihat ini, hampir Parmadi tidak dapat menahan tawanya. Dara jelita itu sama sekali tidak tampak menakutkan kalau marah-marah seperti itu dan mengancam hendak mempergunakan kekerasan, melainkan tampak lucu sekali.
"Hushh, nini, jangan bersikap seperti itu. Tidak pantas seorang gadis bersikap seperti itu. Engkau bukan Srikandi atau Larasati," Ronggo Bangak menegur puterinya. Yang dia sebut Srikandi dan Larasati adalah dua orang dari isteri-isteri Harjuno yang merupakan wanita-wanita gagah perkasa dan digdaya.
"Paman Ronggo benar, adi Muryani. Ki Demang Wiroboyo adalah seorang yang kuat, tidak ada seorang pun di kademangan ini yang berani menentangnya dan dia mempunyai puluhan anak buah. Kita tidak akan mampu berbuat apapun untuk menentangnya."
Muryani menjadi semakin marah. Ia membanting-banting kaki kanannya dan berkata, "Kenapa ayah dan kakang Parmadi menjadi laki-laki bersikap begini lemah dan penakut? Aku tidak takut menentang siapapun kalau dia jahat dan sewenang-wenang. Sampai di manakah kedigdayaan demang itu? Kalian lihat...!"
Gadis itu lalu melompat keluar dari rumah. Gerakannya melompat tangkas sekali seperti seekor kijang. Ketika Ronggo Bangak dan Parmadi hendak mengejarnya, ia sudah tampak masuk kembali dan ia telah membawa sebongkah batu gunung sebesar perut kerbau! Dua orang laki-laki itu terbelalak. Bagaimana gadis itu mampu mengangkat batu sebesar itu dengan tangan kiri saja dan membawa batu itu masuk seolah-olah batu itu sebuah benda ringan saja?
Ketika Muryani meletakkan batu besar itu ke atas lantai, seluruh bangunan pondok kayu itu tergetar, menandakan bahwa batu itu berat sekali. "Ayah dan kakang Parmadi, lihatlah batu ini dan katakan, apakah kiranya kepala demang hidung belang itu lebih kuat dan lebih keras daripada batu ini?" Setelah berkata demikian, dara jelita itu mengambil sikap, kedua kakinya dipentang dan berdiri kokoh, kemudian ia meniup tangan kanannya, lalu tangan kanan itu diangkat ke atas kepalanya, lalu diayun ke bawah menghantam batu itu dengan jari-jari terbuka.
"Haiiiitttt blarrrr....!" Batu sebesar perut kerbau itu hancur berantakan seperti tertimpa martil yang besar dan berat sekali. Dua orang laki-laki itu melindung muka mereka dengan kedua tangan agar jangan terkena sambaran pecahan batu Kemudian mereka menurunkan kedua tangan dan memandang kepada Muryani, dengan mata terbelalak dan mulut ternganga!
"Nini Muryani... kau... kau..." kata Ronggo Bangak sambil memandang wajah puterinya.
Muryani merangkul pundak ayahnya dengan sikap manja. Lenyap sudah kini kegarangan yang tadi membayang pada pandang mata dan tarikan mulutnya dan ia berubah menjadi seorang dara cantik jelita yang manja terhadap ayahnya. "Ayah, ketika ayah berada di Demak menjemputku, aku sudah mengatakan bahwa aku telah mempelajari aji kanuragan sejak kecil. Bahkan aku menjadi murid utama dari Bapa Guru Ki Ageng Branjang ketua dari perguruan Bromo Dadali di puncak Gunung Muria. Akan tetapi agaknya ayah tidak begitu memperhatikan atau mungkin tidak percaya kepadaku. Nah, sekarang aku membuktikan kemampuanku dan kuharap ayah dan kakang Parmadi tidak takut lagi kepada Ki Demang Wiroboyo itu. Kalau dia berani kurang ajar, aku akan menghajarnya!"
"Bukan main! Nini, kukira tadinya engkau hanya sekedar mempelajari pencak silat untuk olah raga saja, tidak tahunya engkau telah memiliki kedigdayaan. Akan tetapi, kuharap engkau tidak akan mempergunakan itu dan membuat onar di dusun ini, nini. Kalau aku berani membawamu pulang ke sini, tentu sudah kuperhitungkan watak demang itu dan aku sanggup menghadapinya dengan kelembutan, bukan kekerasan. Ketahuilah bahwa jelek-jelek aku di kademangan ini dihormati orang, bahkan Ki Demang Wiroboyo juga menaruh rasa hormat kepadaku. Aku adalah seorang sastrawan dan seniman yang tidak pernah menggunakan kekerasan akan tetapi semua orang menghargai dan menghormatiku. Kalau Ki Demang Wiroboyo berani mengganggumu, aku dapat menasihatinya dan menyadarkannya."
"Paman Ronggo berkata benar, Muryani. Ada ajaran yang mengatakan, SURODHIRO JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI (Keberanian, kegagahan dan kejayaan dunia hancur oleh kerendahan hati)."
"Begitukah? Aku mendapatkan ajaran lain, kakang Parmadi. Guruku, Bapa Guru Ki Ageng Branjang mengatakan bahwa kita harus bersikap seperti domba terhadap orang yang baik akan tetapi bersikap seperti harimau terhadap orang yang jahat. Membalas kebaikan dengan kelembutan akan tetapi menghadapi kejahatan dengan keadilan yang tentu saja harus didukung oleh kekuatan!"
"Nini, sungguh aku tidak mengerti. Bagaimana aku yang sejak muda selalu menghargai keindahan dan kelembutan, mengutamakan pembangunan menjauhi pengrusakan, sekarang mempunyai anak yang hidupnya berlandaskan kekerasan?"
"Maafkan aku, ayah. Akan tetapi aku tidak hidup berlandaskan kekerasan, melainkan keadilan. Guruku menggemblengku untuk selalu membela kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang. Kita lihat saja perkembangannya nanti mengenai Ki Demang Wiroboyo, siapa yang lebih benar di antara pendapat kita." Ucapan Muryani itu.
Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi selagi Parmadi memberi makan tujuh ekor kuda dalam kandang yang besar itu, muncullah Muryani. Gadis ini bertanya kepada penjaga gedung kademangan di mana adanya Parmadi dan setelah diberi tahu bahwa Parmadi berada di kandang kuda, ia langsung memasuki bagian belakang gedung itu. Kandang kuda itu berada di sudut kebun belakang, terpisah agak jauh dari gedung.
"Kakang Parmadi!" Muryani memanggil ketika melihat pemuda itu sedang sibuk memberi makan kuda.
Parmadi menoleh dan dia terkejut melihat munculnya Muryani di tempat itu. Betapa beraninya gadis itu! Gadis jelita seperti ia sengaja datang ke kademangan seperti seekor domba mendekati guha harimau! Akan tetapi dia segera teringat bahwa Muryani sama sekali bukan domba melainkan seekor harimau betina! Betapa pun juga, Parmadi merasa khawatir juga. Gadis itu seperti mencari perkara, mencari penyakit. Akan lebih tenteram rasa hatinya kalau gadis itu tidak pernah bertemu dengan Ki Demang Wiroboyo.
"Muryani! Andika kenapa datang tempat ini?"
Mendengar nada pertanyaan pemuda itu dan melihat alisnya berkerut, Muryani bertanya, "Kakang, apakah engkau tidak senang melihat aku datang mengunjungi dan melihat pekerjaanmu?"
Ditanya begitu, Parmadi menjadi bingung. "Tentu... tentu...! Aku senang sekali, Muryani. Akan tetapi..."
"Kalau sudah senang ya sudah, jangan pakai akan tetapi segala. Wah, kuda-kuda ini bagus-bagus! Guruku juga mempunyai tiga ekor kuda sebagus ini dan aku sering menunggang kuda. Kami para murid Bromo Dadali sering berlomba menunggang kuda dan engkau tahu siapa pemenangnya? Aku selalu menjadi juaranya, kakang!"
"Ah, benarkah, Muryani?" kata Parmadi sambil memandang ke kanan kiri karena hatinya khawatir kalau-kalau Ki Demang Wiroboyo muncul di situ.
"Agaknya engkau masih belum percaya kepadaku. Kau kira hanya laki-laki saja yang pandai menunggang kuda? Lihat ini!" gadis itu mengambil pelana kuda yang tergantung di luar istal, memasangnya di tas punggung kuda dengan terampil meunjukkan bahwa ia sudah terbiasa dengan pekerjaan itu. Setelah mengikatkan pelana dengan baik, ia lalu berkata kepada Parmadi, "Aku ingin mencoba sebentar kuda ini, kakang. Kebun di sini cukup luas!"
Tanpa menanti jawaban Parmadi yang seperti orang tertegun, dara itu lalu melompat ke atas punggung kuda. Gerakan ini pun dilakukan dengan gesit sekali, tubuhnya seringan seekor dadali (burung walet). Memang, ilmu meringankan tubuh merupakan ilmu andalan dari perguruan Bromo Dadali. Kuda yang dipilih Muryani itu adalah kuda terbaik milik Ki Demang Wiroboyo, warnanya hitam pekat dan diberi nama Nogo Langking (Naga Hitam). Begitu merasa punggungnya ditunggangi orang, Nogo Langking mengangkat kedua kaki depannya ke atas, meringkik seperti setan.
Parmadi khawatir kalau-kalau gadis itu akan terlempar dari punggung kuda. Akan tetapi Muryani malah tertawa dan menyepak perut kuda. Kuda itu melompat ke depan lalu membalap denga cepat sekali, dikendalikan oleh sepasang tangan yang mahir. Parmadi memandang kagum. Jangankan dia atau lain pembantu Ki Demang, bahkan Ki Demang sendiri yang terkenal tangkas berkuda, tidak akan mampu mengendalikan Nogo Langking yang terkenal liar itu seperti yang dilakukan Muryani.
Dia mengikuti larinya kuda dengan pandang matanya dan hanya menggeleng kepala dan menghela napas panjang melihat betapa kuda itu dibalapkan terus keluar dari kebun menuju keluar halaman gedung. Apa yang dia khawatirkan, tak lama kemudian terjadi. Ki Demang datang berkunjung ke istal. Parmadi dengan jantung berdebar tegang pura-pura tidak tahu dan sibuk menambahkan makanan kuda. Ki Demang menjenguk ke setiap kandang kemudian melihat kandang yang kosong disebelah kiri.
"Parmadi!" dia menegur.
Parmadi menoleh dan bersikap seperti orang terkejut. "Ah, kiranya Paman Demang. Selamat pagi, Paman." Dia memberi salam sambil membungkuk.
"Parmadi, di mana Nogo Langking?" tanya Ki Demang dengan suara membentak.
"No.... Nogo Langking....? Dia.... dia tadi makan rumput...." kata Parmadi dengan gagap.
"Jangan bohong engkau! Aku tadi mendengar ringkiknya dan derap kakinya! Karena itulah aku datang menjenguk ke sini. Siapa yang menunggangi Nogo Langking?"
Parmadi memberi hormat dengan membungkuk. "Maafkan saya, paman Demang. Sesungguhnya yang menunggangi adalah putera paman Ronggo Bangak. Sebetulnya sudah saya cegah, akan tetapi dia hanya ingin merasakan menunggang Nogo Langking yang amat dikaguminya."
Ki Demang Wiroboyo memandang heran. "Putera Ki Ronggo Bangak? Kapan dia mempunyai putera? Aku tidak pernah melihat dia beristeri atau berputera,"
"Benar, paman. Isteri paman Ronggo sudah meninggal dunia dan ketika dia pindah ke sini, puteranya dia titipkan kepada ibunya. Sekarang ibunya, meninggal dunia dan dia mengajak puteranya tinggal bersamanya di sini." Parmadi merasa lega melihat bahwa demang itu tidak tampak marah.
"Sekali lagi harap paman suka memaafkan saya."
"Sudahlah, biar saja kalau putera Ronggo Bangak yang menunggangi Nogo Langking. Aku percaya bahwa putera Ronggo tentu baik dan sopan seperti bapaknya."
Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki kuda. Parmadi dan Ki Demang memutar tubuh memandang. Nogo Langkin datang berlari cepat sekali ditunggang Muryani. Gadis itu dengan tegak duduk atas punggung kuda dan dengan cekatan dia menarik kendali dan menghentikan larinya kuda di depan Parmadi dan Ki Demang Debu mengepul tinggi dan Muryani tersenyum manis sekali sambil menahan kendali. Nogo Langking mengangkat kedua ka depan ke atas dan ia meringkik.
"Nogo Langking ini hebat, kakang Parmadi. Tubuhnya kuat dan larinya cepat. Aku suka sekali!" Ia lalu melompat dengan gerakan yang ringan sekali dari atas punggung kuda.
Parmadi cepat-cepat menuntun kuda itu dan memasukkannya ke istalnya. Jantungnya berdebar keras dan penuh ketegangan. Ki Demang Wiroboyo tercengang dan memandang kepada dara itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Matanya bersinar-sinar dan dia terpesona. Belum pernah selama hidupnya dia melihat seorang gadis yang begini cantik jelita, ayu dan kewes luwes. Cantik jelita dan gagah perkasa ketika menunggang si Nogo Langking, seperti Woro Srikandi!
"Inikah... anak Ki Ronggo Bangak? Puterinya.... ?" tanyanya kepada Parmadi yan masih sibuk melepaskan pelana dari punggung Nogo Langking.
"Benar, aku adalah Muryani, puteri Ki Ronggo Bangak. Engkau siapakah, paman?" tanya Muryani dengan suaranya yang merdu dan lantang. Sikapnya ramah akan tetapi juga lincah, sama sekali tidak malu-malu atau takut-takut seperti sikap para gadis yang pernah dilihat Ki Demang Wiroboyo.
Hati Ki Demang menjadi kagum dan juga girang sekali. Seketika dia telah tergila-gila kepada gadis itu. Dia mengelus kumisnya yang sekepal sebelah dan tersenyum, merasa dirinya seperti Sang Gatutkaca. Dia bergaya, menggerak-gerakkan alisnya yang tebal dan menjilat bibirnya dulu sebelum menjawab dengan senyum ramah.
"Jeng Muryani puteri Ki Ronggo Baiigak? Perkenalkan, aku adalah Ki Wiroboyo, Demang Pakis. Akulah pemilik kuda Nogo Langking itu."
Muryani memandang pria itu dengan penuh perhatian. Jadi orang inikah yang dianggap berbahaya oleh Parmadi? Ia tersenyum lalu berkata kepada Ki Wiroboyo, "Kiranya paman yang menjadi demang di dukuh, ini? Aku sudah mendengar dari ayah dan dari kakang Parmadi bahwa paman adalah seorang demang yang baik hati dan bijaksana!"
Ki Wiroboyo menyeringai, hidungnya kembang kempis karena bangga. Lalu dia tertawa. "Ha-ha-ha, diajeng Muryani. Jangan sebut aku paman, sebut saja kakangmas. Kakangmas Wiroboyo begitu. Aku sendiri sudah menganggap ayahmu sebagai paman. Paman Ronggo Bangak. Heh-heh-heh!"
Muryani memperlebar senyumnya. "Kakangmas? Baiklah, kakangmas Wiroboyo, Andika seorang demang yang bijaksana dan baik. Akan tetapi aku mendengar berita di dukuh ini bahwa andika seorang yang mata keranjang, gila perempuan. Ah, aku tidak percaya itu!"
Parmadi terbelalak. Betapa beraninya gadis itu! Dia menjadi khawatir sekali. Akan tetapi dia hanya mendengarkan, tidak berani mencampuri, menyibukkan diri dengan mengurus makanan Nogo Langking seolah-olah tidak memperhatikan mereka.
"Gila perempuan? Ha-ha-ha-ha! Diajeng Muryani, ketahuilah bahwa setiap orang laki-laki yang jantan dan gagah di seluruh jagad ini menyukai empat hal dan aku juga begitu. Pertama curigo (keris), kedua wanito (wanita), ketiga turonggo (kuda), dan keempat kukilo (burung). Biarpun sekarang aku sudah mempunyai tiga orang isteri, beberapa buah pusaka keris dan tombak yang ampuh, tujuh ekor kuda yang baik di antaranya Nogo Langking, dan belasan ekor burung perkutut yang suaranya kung, tetap saja aku akan selalu tertarik kalau melihat keris ampuh, wanita cantik, kuda yang kuat dan burung yang suaranya merdu. Itu menunjukkan sifat kejantanan weorang pria!"
Biarpun hatinya merasa mendongkol mendengar ucapan itu, namun Muryani tidak ingin berdebat. Laki-laki di manapun sama saja, pikirnya. Yang diutamakan hanya kesenangan dirinya. Wanita dianggap sejajar dengan keris, kuda dan burung, sebagai suatu hiburan yang menyenangkan. Akan tetapi keadaannya memang pada waktu itu demikian dan pendapat Ki Demang Wiroboyo itu akan dibenarkan oleh semua laki-laki! Iapun mengalihkan percakapan.
"Kakangmas Wiroboyo, kudamu Nogo Langking ini hebat sekali."
"Andika suka, diajeng Muryani?"
Muryani memandang ke arah kuda hitam yang sedang makan itu dan menganguk. "Aku suka sekali."
"Bagus! Kalau begitu, bawalah dia pulang. Kuberikan Nogo Langking kepadamu sebagai hadiah perkenalan kita ini!"
Parmadi terkejut mendengar ini dan tahulah dia bahwa seperti yang dia khawatirkan, Ki Demang sudah menyatakan bahwa dia jatuh cinta kepada Muryani sehingga begitu saja dia menghadiahkan kuda kesayangannya kepada gadis itu! Ketika dia melihat gadis itu memandangnya. Parmadi cepat menggeleng kepala memberi isyarat agar gadis itu jangan menerima pemberian itu. Muryani tersenyum memandang kepada Ki Wiroboyo sehingga demang ini merasa betapa jantungnya berdebar-debar. Perawan ini kagum dan suka kepadaku, pikirnya girang. Pantas menjadi isteriku! Dia rela kehilangan dua orang isteri mudanya kalau digantikan oleh gadis ini.
"Kakangmas Wiroboyo, beginikah caramu memikat seorang gadis? Dengan pemberian yang berharga?" kata Muryani dengan senyum mengejek.
"Ha-ha-ha! Kalau aku jatuh cinta kepada seorang wanita, apapun permintaannya akan kupenuhi. Semua harta bendaku pun akan kuserahkan kalau ia kehendaki! Bawalah si Nogo Langking, diajeng Muryani dan kalau andika masih membutuhkan sesuatu, katakan kepadaku dan aku yang akan memenuhi kebutuhanmu!"
Muryani menegakkan lehernya dan membusungkan dadanya, sepasang matanya mencorong dan suaranya terdengar lantang "Hei, Ki Wiroboyo, bukalah mata dan telingamu, pandang dan dengarkan baik-baik. Seluruh harta bendamu, bahkan sekalian nyawamu kau korbankan, masih belum cukup untuk memikat dan menundukkan hatiku. Terima kasih atas kebaikanmu!"
Setelah berkata demikian, Muryani memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan tempat itu, terus keluar dari pekarangan dan menuju pulang. Ki Wiroboyo berdiri bengong, tercengang melihat sikap dan mendengar ucapan gadis itu. Hampir dia tidak dapat percaya akan apa yang dilihat dan didengarnya. Gadis itu demikian cantik jelitanya demikian gagah perkasanya ketika menungganggi Nogo Langking, kemudian demikian keras dan beraninya ketika bicara kepadanya. Selama hidupnya belum pernah di bertemu dengan perawan yang begitu cantik, begitu gagah, dan begitu beraninya!
Setelah dapat menenangkan hatinya kembali, Ki Wiroboyo menghela napas panjang dan memutar tubuh menghadap Parmadi. "Perawan yang hebat sekali. Parmadi, gadis puteri Ki Ronggo Bangak itu hebat bukan main. Aku harus mendapatkannya. Ia harus segera menjadi istriku. Parmadi, engkau yang menjadi murid Ki Ronggo Bangak, tentu banyak mengetahui tentang Muryani. Ia tentu belum mempunyai pasangan, bukan?"
Parmadi menggeleng kepalanya. "Saya tidak tahu, paman."
"Sudah berapa lama ia tinggal bersama Ki Ronggo Bangak?"
"Sudah kurang lebih satu bulan"
"Heran, mengapa baru sekarang aku melihatnya? Parmadi, engkau harus membantuku agar Muryani dapat menjadi isteriku."
Parmadi menatap wajah demang itu. "Bagaimana saya dapat membantu paman?"
"Engkau murid Ki Ronggo. Tentu engkau dekat dengan anak perempuannya. Bantulah aku membujuk gadis itu agar ia mau menjadi isteriku."
"Saya tidak berani, paman. Muryani dan paman Ronggo akan marah kepadaku dan menganggap saya lancang. Kenapa paman tidak langsung saja bertanya kepada mereka?"
Ki Wiroboyo mengelus kumisnya dan mengangguk-angguk. "Hemm, engkau benar. Ya, aku harus datang sendiri dan melamarnya kepada Ki Ronggo Bangak! Bagaimana pun juga, Muryani harus menjadi isteriku."
Ki Demang meninggalkan tempat itu dan Parmadi termenung dengan hati diliputi penuh kekhawatiran. Terjadilah atau yang dia takuti semenjak pertama kali bertemu dengan Muryani.
********************
"Selamat pagi, paman Ronggo Bangak!" Ki Wiroboyo memberi salam dengan sikap hormat.
Ki Ronggo Bangak mengangkat muka dan terheran melihat bahwa yang memberi salam pagi itu adalah Ki Demang Wiroboyo. Anehnya, Ki Demang itu menyebutnya 'paman'. "Ah, kiranya anakmas Demang Wiroboyo." dia menjawab dan menyesuaikan sebutan demang itu maka diapun menyebebut 'anakmas'. "Tumben anakmas datang berkunjung. Silakan masuk!"
Ki Demang Wirosobo memasuki ruangan pondok kayu itu dan dipersilakan duduk oleh Ki Ronggo Bangak. '"Maafkan kalau saya mengganggu kesibukan paman," kata Ki Demang Wiroboyo sambil melihat ukiran patung yang belum jadi, yang agaknya tadi sedang dikerjakan oleh tuan rumah.
"Ah, tidak sama sekali, anakmas. Nah, sekarang katakan apakah yang dapat saya lakukan untuk anakmas, maka sepagi ini nakmas telah datang berkunjung." Ucapan Ronggo Bangak ini hanya untuk basa-basi saja. Padahal dia sudah dapat menduga apa maksud kunjungan demang itu karena ia sudah mendengar dari Muryani tentang pertemuan puterinya dengan Ki Demang.
"Saya datang untuk beranjang-sana, Paman. Sudah lama saya tidak bertemu dengan Paman dan kabarnya Paman baru saja pulang dari kepergian Paman ke pesisir utara selama sebulan lebih."
"Benar, anakmas. Saya pergi mengunjungi ibu saya dan tinggal di sana satu bulan lebih karena ibu saya meninggal dunia baru beberapa hari ini saya pulang."
"Ah, saya ikut berbela sungkawa paman." "Terima kasih, anakmas. Ibu saya sudah tua sekali dan berpenyakitan. Kematian bahkan membebaskannya dari penderitaan penyakit usia tua."
Pada saat itu, dari dalam muncul Muryani membawa baki berisi poci teh panas dan jagung rebus yang masih mengepul pula. Ketika ia bertemu pandang, dengan Ki Demang Wiroboyo, gadis itu tersenyum manis dan sambil menaruh hidangan di atas meja, ia berkata, suaranya lembut, "Silahkan minum dan makan hidangan kami seadanya, Paman Demang."
Alis Ki Wiroboyo berkerut mendengar gadis itu menyebutnya "Paman Demang". Dia ingin disebut kakangmas, bukan paman!
"Ah, diajeng Muryani, harap jangan repot-repot!" katanya, menekankan suaranya ketika menyebut "diajeng". Akan tetapi Muryani sengaja berpura-pura tidak merasakan hal ini.
"Tidak repot, Paman. Hidangan ini sudah ada dan menjadi sarapan kami. Silakan. Saya masih mempunyai kesibukan belakang." Gadis itu lalu meninggalkan ruangan itu menuju ke belakang.
Bagaikan tersedot besi sembrani mata Ki Wiroboyo mengikuti dan seperti hendak menelan sepasang buah pinggul yang bergerak lembut itu.
Melihat demang itu masih saja memandang ke arah dalam biarpun bayangan Muryani tidak tampak lagi, Ronggo Bangak berkata, "Silahkan, anakmas Demang, mencicipi jagung rebusnya. Masih muda dan baru dipetik, masih panas pula. Silakan."
"Oh... ya, terima kasih, paman." Keduanya mengambil jagung rebus yang sudah dikupas dan makan jagung muda yang manis dan hangat itu. "Saya pernah bertemu dengan diajeng Muryani.... eh, puteri Paman. Sungguh saya tidak pernah menyangka Paman yang selama ini saya kira hidup seorang diri dan tidak mempunyai keluarga, tahu-tahu mempunyai seorang anak perempuan yang sudah gadis dan jelita itu."
"Ah, Muryani hanya seorang gadis dusun yang bodoh," Ronggo Bangak merendah walaupun di dalam hatinya timbul juga kebanggaan mendengar puterinya dipuji orang.
"Tidak, paman. Ia cantik jelita seperti bidadari dan juga pandai menunggang kuda. Melihat diajeng Muryani, timbul kekhawatiran di dalam hatiku kalau-kalau ia akan mendapatkan jodoh seorang pria petani dusun yang bodoh dan hidupnya melarat. Itu akan merupakan hal yang sang patut disayangkan dan saya tidak rela melihat ia menjadi isteri petani dan hidup melarat."
"Maksud anakmas Demang bagaimana? Ronggo Bangak bertanya walaupun dalam hatinya dia sudah dapat menduga ke arah mana percakapan itu tertuju.
Ki Demang Wiroboyo menghabiskan sisa jagungnya dan menaruh jagung di atas meja, kemudian mengguyur jagung yang masih tertinggal di dalam mulut dan kerongkongannya dengan air memasuki perutnya. Baru kemudian dia menjawab, "Maksud saya... eh, Paman. Semenjak bertemu dengan diajeng Muryani, saya merasa sangat sayang dan cocok dengannya. Sayang sekali kalau sampai ia dijodohkan dengan laki-laki petani dusun. Ia... ia pantas untuk menjadi... pendamping eh, maksud saya, menjadi isteri saya."
Ronggo Bangak tidak merasa kaget atau heran, dia mengangguk-angguk dan sikapnya tenang saja. "Ooh, jadi maksud anakmas Demang ini hendak meminang anak saya Muryani! Begitukah?"
"Benar dan tidak salah, paman. Saya ingin diajeng Muryani menjadi isteri saya, menjadi Nyi Demang. Saya ingin ia dihormati semua orang, ingin mengangkat derajatnya dan membahagiakan hidupnya, hidup mulia, dihormati dan serba kecukupan!"
"Hemm, akan tetapi, maafkan saya, anakmas. Bukankah anakmas sudah mempunyai seorang isteri dan dua orang isteri muda? Apakah masih juga kurang wanita yang melayani anakmas?"
"Ah, itu soal mudah, paman. Saya berniat untuk menceraikan dua orang isteri muda saya dan memulangkannya ke rumah orang tua mereka. Apalagi mereka belum mempunyai anak."
"Dan kelak anakmas juga akan menceraikan dan memulangkan Muryani kepada saya kalau anakmas mendapatkan seorang isteri baru yang lebih muda dan lenih cantik?"
"Oooh... tidaaak... tentu saja tidaaaak...! Saya akan menaikkan derajat diajeng Muryani, bahkan kelak kalau mempunyai anak, ia akan saya jadikan isteri pertama! Saya akan membangun sebuah gedung untuk paman, dan memberi beberapa petak sawah ladang untuk paman kehidupan paman dan diajeng Muryani akan menjadi mulia, terhormat dan terjamin! Tentu paman menyetujui maksud saya yang amat baik ini, bukan?"
"Nanti dulu, anakmas Demang. Yang dipinang bukanlah saya, yang akan menjalani pernikahan bukan saya pula. Hal ini keputusannya berada dalam tangan orang yang berkepentingan, dalam hal ini anakku Muryani. Terserah kepadanya apakah ia dapat menerima pinanganmu ataukah tidak. Saya akan menanyakan pendapatnya dan keputusannya sekarang juga."
Tanpa menanti jawaban Ki Demang yang tertegun mendengar ucapannya, Ki Ronggo Bangak sudah menoleh ke arah dalam dan berseru memanggil anaknya. "Nini Muryani! Ke sinilah sebentar!"
Terdengar jawaban gadis itu dari bagian belakang pondok itu dan tak lama kemudian Muryani muncul di ambang pintu memasuki ruangan itu, disambut pandang mata kelaparan dari Ki Demang.
"Duduklah, nini. Aku hendak membicarakan hal penting denganmu."
Muryani duduk di sebelah ayahnya, berhadapan dengan Ki Demang Wiroboyo terhalang meja. "Ada apakah, ayah?" tanyanya lirih.
Ki Wiroboyo memandang gadis yang menoleh kepada ayahnya itu dengan hati berdebar tegang. Gadis itu sedemikian dekat dengannya. Sekali menjulurkan tangan saja dia sudah akan dapat menyentuhnya. Dia dapat mencium keharuman bunga melati yang sedap. Beberapa kuntum melati terselip di antara sanggul rambut yang hitam agak berombak itu. Betapa manisnya!
"Begini, Muryani," kata Ki Ronggo Bangak dengan sikapnya yang tenang. "Kunjungan anakmas Demang ini adalah untuk meminang dirimu menjadi isteri mudanya. Aku tidak dapat memberi keputusan karena hal ini terserah kepadamu yang akan menjalani. Karena itu, aku memanggilmu ke sini agar engkau sendiri yang memberi jawaban dan keputusan kepada anakmas Wiroboyo."
Muryani mengembangkan senyum tipis dan ia menoleh kepada Ki Wiroboyo yang juga memandang kepadanya. Ki Wiroboyo cepat berkata, "Diajeng Muryani, engkau akan kujadikan isteri mudaku yang tunggal karena dua orang isteri mudaku akai kuceraikan dan ku pulangkan kepada orang tua mereka. Jangan khawatir, biarpun engkau menjadi isteri mudaku akan tetapi engkau yang akan berkuasa di rumahku. Engkau akan hidup mulia, terhormat, dan serba kecukupan. Juga ayahmu akan kubangunkan sebuah gedung."
"Ki Demang Wiroboyo," kata Muryani dan suaranya terdengar lembut namun berwibawa. "Aku telah berjanji kepada diriku sendiri bahwa pria yang akan menjadi suamiku harus memenuhi tiga syarat. Satu saja di antara tiga syarat itu tidak dapat dipenuhi, aku tidak sudi menjadi isterinya. Kalau andika dapat memenuhi tiga buah syaratku itu, barulah aku bersedia untu menjadi isterimu."
"Katakan apa tiga syaratmu itu, diajeng Muryani. Jangankan baru tiga, biar ada sepuluh buah syarat tentu akan kupenuhi semua. Engkau hendak minta apapun, asalkan jangan minta matahari bulan dan bintang, tentu akan kupenuhi!" kata Ki Demang dengan girang. Apa sih permintaan seorang gadis dusun? Pasti dia akan mampu memenuhinya!
Gadis itu tersenyum dan Ki Demang Wirosobo merasa tenggelam dalam senyuman itu. "Aku tidak minta harta benda, tidak minta kedudukan. Syarat-syaratku adalah, yang pertama, calon suamiku harus dapat mengalahkan aku dalam kanuragan bertanding kedigdayaan, dan kedua syarat ini harus dilakukan di depan umum yang menjadi saksinya. Adapun syarat ketiga baru akan kuberitahukan kalau dia mampu memenuhi kedua syarat pertama dan kedua itu!"
Ki Wiroboyo tercengang keheranan mendengar dua buah syarat yang aneh itu, akan tetapi mulutnya menyeringai lebar pertanda bahwa dia. merasa girang sekali. Dia adalah seorang ahli menunggang kuda terpandai di seluruh Kademangan Pakis. Sepandai-pandainya Muryani menunggang kuda, seorang gadis mana bisa dibandingkan dengan dia? Dan adu kanuragan, bertanding kedigdayaan?
Hampir saja dia tidak dapat menahan geli hatinya dan tertawa. Dia adalah seorang yang dapat dikatakan otot kawat balung wesi, nora tedas tapa paluning pande sisaning gurindo (berotot kawat bertulang besi, tidak mempan senjata tajam buatan pandai besi). Bagaimana seorang gadis remaja yang berkulit halus mulus dan tipis seperti itu, akan mampu menandingi kedigdayaannya? Terkena sentilan telunjuknya saja akan terpelanting!
"Baik, aku terima kedua syarat itu. Dan apa syaratnya yang ketiga?" kata Wiroboyo.
"Syarat ketiga baru akan kukatakan kalau andika dapat memenangkan dua buah syarat itu dan karena aku tidak memiliki kuda, maka untuk perlombaan menunggang dan membalapkan kuda, aku meminjam si Nogo Langking," kata Muryani.
Ki Wiroboyo tidak merasa khawatir Nogo Langking memang kudanya yang terbaik akan tetapi dia memiliki kuda lain yang larinya juga hampir sama cepatnya dengan Nogo Langking. Dan perlombaan balap kuda bukan hanya tergantung dari kudanya namun juga banyak ditentukan oleh kemahiran penunggangnya. "Baik, engkau boleh menunggangi Nogo Langking, diajeng Muryani. Akan tetapi agar adil aku ingin bertanya lebih dulu. Karena syaratmu ada tiga dan yang dua dipertandingkan, bagaimana kalau hasilnya sama kuat, yaitu menang satu kali dan kalah satu kali?"
"Kalau begitu, syarat ketiga yang menentukan."
"Jadi berarti, siapa yang menang dua kali berarti keluar sebagai pemenang dan boleh menjadi suamimu?"
"Begitulah," kata Muryani sambil tersenyum. Ki Ronggo Bangak yang mendengarkan percakapan itu bersikap tenang saja karena dia sudah maklum akan kernampuan puterinya. Hal ini memang sudah dibicarakan Muryani kepadanya. Puterinya itu mempunyai rencana lain, bukan sekedar menolak pinangan, melainkan juga hendak memberi hajaran kepada Ki Wiroboyo agar sifat buruk Ki Demang yang sebetulnya adalah kepala dusun yang baik dan bijaksana itu dapat disembuhkan atau dihilangkan.
"Bagus, kapan pertandingan itu akan dilakukan?" tanya Ki Wiroboyo.
"Secepatnya, besok pagi juga boleh. Sekarang harap andika membuat persiapannya. Beritahukan kepada penduduk agar besok pagi menonton dua pertandingan itu. Lomba menunggang kuda dilakukan dengan mengitari dusun Pakis satu kali, mulai dari pintu gerbang sebelah selatan. Adapun pertandingan kanuragan diadakan di lapangan depan kademangan agar disaksikan oleh penduduk."
"Baik, akan kupersiapkan segalanya. Aku nanti akan menyuruh Parmadi mengantarkan Nogo Langking ke sini dan besok pagi kita bertemu di pintu gapura selatan. Sekarang aku akan pulang dulu mempersiapkan segalanya. Permisi, paman Ronggo Bangak."
"Silahkan, anakmas Demang. Dan maafkan kalau anakku mengajukan syarat-syarat itu."
"Ah, tidak mengapa, paman. Memang sudah sepantasnya seorang gadis cantik jelita seperti diajeng Muryani memasang tinggi harga dirinya. Permisi, paman."
Setelah Ki Wiroboyo pergi, Ki Ronggo Bangak berkata kepada puterinya, "Nini, engkau bermain dengan api. Biarpun aku belum melihat sendiri, namun aku sudah mendengar bahwa Ki Wiroboyo adalah seorang penunggang kuda yang mahir dan juga seorang yang digdaya. Engkau malah menantangnya untuk berlomba menggang kuda dan bertanding kedigdayaan. Bagaimana seandainya engkau kalah dalam dua pertandingan itu?"
"Tidak mungkin, ayah. Andaikata aku kalah bertanding kedigdayaan, akan tetapi sudah pasti aku menang berlomba menungng kuda. Aku sudah biasa berlomba balap kuda di Muria dan aku tahu benar bahwa si Nogo Langking itu merupakan kuda terbaik dari tujuh ekor kuda yang dimiliki Ki Demang. Kalau dia menunggang kuda lain, pasti dia kalah."
"Akan tetapi kalau begitu berarti malam satu satu, satu-satu, bagaimana kalau syarat ketiga dimenangkan olehnya?"
Muryani tertawa dan menutupi mulutnya dengan punggung tangan kiri. "Syarat ketiga lni tidak mungkin dimenangkan oleh siapapun juga kecuali kalau aku menghendaki dia menang."
"Ehh? Apa sih syaratmu yang ketiga itu?"
"Syaratnya adalah bahwa pria yang akan menjadi suamiku haruslah orang ya kucinta! Dan aku sama sekali tidak mecintai Ki Wiroboyo!"
Ki Ronggo Bangak membelalakkan kdua matanya, kemudian dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, engkau nakal, nini! Itu bukan syarat, tapi engkau mengakalinya!"
Muryani juga tertawa. "Kemenangan bukan hanya dapat dicapai oleh okol (kekerasan) melainkan juga oleh akal, bukankah begitu, ayah?"
Ki Ronggo Bangak mengangguk-anggu "Kuharap saja rencana usahamu untuk melenyapkan sifat buruk Ki Demang itu akan berhasil baik, nini. Memang sayang sekali seorang pemimpin yang begitu baik memiliki cacat seperti itu, suka menggunakan kekerasan memaksa seorang wanita untuk menjadi isteri mudanya."
Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda. Ki Ronggo Bangak melanjutkan pekerjaannya mengukir patung. "Kau lihat, Nini, itu mungkin Parmadi datang mengantarkan kuda."
Muryani berlari keluar dan benar saja, armadi sudah turun dan menuntun kuda berbulu hitam itu. Muryani menghampiri dan merangkul leher kuda itu. "Nogo Langking, engkau harus membantuku sekarang....!" bisiknya dekat telinga kuda itu.
"Muryani, aku disuruh Ki Demang megantarkan Nogo Langking kepadamu," kata Parmadi sambil menyerahkan kendali kuda itu kepada Muryani yang menerimanya.
"Terima kasih, kakang Parmadi."
"Muryani, benarkah apa yang kudengar dari Ki Demang? Engkau menantangnya bertanding balap kuda dan adu kanuragan sebagai syarat perjodohanmu?"
"Benar, kakang. Besok pagi dilakukannya pertandingan itu."
"Wah, celaka sekali! Bagaimana kalau engkau kalah? Benar-benar celaka kalau begitu!" kata Parmadi khawatir.
"Eh? Siapa yang akan celaka, kakang?"
"Aku... eh, engkau tentu saja! Engkau akan kalah dan engkau akan menjadi istri mudanya!"
"Kalau begitu kenapa? Aku yang menjalani kenapa engkau yang repot seperti kebakaran jenggot?"
Parmadi otomatis meraba dagunya yang tanpa jenggot selembar pun. "Engkau puteri paman Ronggo Bangak. Aku tidak rela kalau engkau menjadi isteri muda Demang. Dia seorang yang mata keranjang, tiada henti-hentinya mengejar wanita."
"Jangan khawatir, kakang. Dia tidak akan mampu mengalahkan aku. Bukankah engkau sudah melihat sendiri kemampuanku?"
"Mungkin engkau akan menang dalam pertandingan kanuragan, akan tetapi engkau akan kalah dalam lomba balap kuda. Dia seorang yang pandai sekali menunggang kuda, Muryani. "
"Aku lebih pandai daripada dia, kakang. Kau lihat sendiri saja besok pagi."
"Akan tetapi, kenapa kau lakukan semua ini? Tanpa mengajukan syarat inipun, engkau bisa menolak pinangannya. Mengapa mesti bertanding dan ribut-ribut disaksikan semua penduduk?"
"Aku mempunyai rencana, kakang. Menurut ayah, Ki Demang Wiroboyo adalah seorang pamong yang baik dan bijaksana, akan tetapi dia mempunyai sebuah caca."
"Benar, dia memang baik, akan tetapi sayang dia suka memaksa gadis atau janda untuk menjadi selirnya."
"Nah, itulah sebabnya maka aku sengaja mengajukan syarat ini kepadanya. Aku ingin membuat dia menyadari cacadnya itu dan bertaubat."
Parmadi menghela napas panjang. "Maksudmu baik, akan tetapi sungguh berbahaya. Sudah delapan tahun aku bekerja pada Ki Demang dan aku sudah tahu benar akan wataknya. Kalau dia berniat mendapatkan seorang wanita, dia akan menggunakan segala cara, kalau perlu dengan kekerasan. Dan dia mempunyai pembantu belasan orang yang juga menjadi pasukannya untuk menundukkanmu, bagaimana?"
"Kalau begitu, aku akan hajar mereka semua sampai mereka jera dan tidak berani lagi memaksakan kehendak mereka kepada oranp lain."
Pada saat itu Ki Ronggo Bangak keluar. "Eh, engkau, Parmadi?" tegurnya.
"Benar, paman. Saya diutus Ki Demang untuk mengiringkan kuda Nogo Langking ini kepada adik Muryani," jawab Parmadi.
Muryani menuntun kuda itu ke pekarangan di belakang rumah dan menambatkannya di sana.
"Mari masuk dan duduk dulu, Parmadi."
"Terima kasih, paman. Saya harus segera kembali karena masih banyak pekerjaan yang harus saya lakukan. Saya juga harus membantu Ki Demang yang sibuk mengatur persiapan untuk pertandingan besok pagi."
"Kalau begitu pulanglah, jangan sampai ditunggu-tunggu Ki Demang."
"Baik, paman. Permisi." Parmadi meninggalkan rumah gurunya dan bergegas pulang ke kademangan.
********************
Berita tentang akan diadakannya pertandingan balap kuda dan adu kanuragan antara Ki Demang dan Muryani sebagai syarat perjodohan sudah tersiar di seluruh kademangan. Pada keesokan harinya, pagi-pagi banyak orang sudah berdatangan ke pintu gapura dusun Pakis sebelah selatan dari mana balap kuda akan dimulai. Laki-laki perempuan, tua muda bahkan kanak-kanak memenuhi tempat itu. Mereka ingin sekali menyaksikan pertandingan yang belum pernah mereka saksikan itu. Betapa anehnya! Bayangkan, Ki Demang yang terkenal pandai menunggang kuda dan digdaya kini hendak berlomba menunggang kuda dan mengadu kedigdayaan melawan seorang gadis remaja!
Ki Ronggo Bangak berada di antara orang banyak itu dan dia segera bertemu sngan Parmadi. Tidak seperti Parmadi yang tampak gelisah, Ki Ronggo tenang-tenang saja. Hal ini adalah karena dia merasa yakin bahwa puterinya tidak akan kalah karena adanya syarat ketiga itu. Ketika terdengar derap kaki kuda, sema orang menengok dan mereka melihat Ki Demang menunggang seekor kuda berwarna coklat dengan kaki "pancal panggung", yaitu keempat ujung kakinya berwarna putih. Seekor kuda yang kuat dan baik pula walaupun tidak sebaik si Naga Langking.
Ki Demang tampak gagah. Pakaiannya baru dan wajahnya berseri seolah dia sudah merasa yakin akan kemenangannya. Setelah tiba di pintu gapura, dia memandang ke sekeliling dan melambaikan tangan kepada penduduk yang membungkuk sebagai penghormatan kepadanya. Matanya mencari-cari Muryani yang belum datang.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Semua orang menoleh dan mereka bergumam kagum ketika melihat Muryani datang membalapkan kudanya. Gadis itu kelihatan ayu dan perkasa seperti Woro Srikandi! Ki Demang juga kagum dan senang. Alangkah akan bahagia dan bangganya mempunyai seorang isteri seperti Muryani. Masih muda, cantik jelita dan gagah perkasa!
Debu mengepul ketika Muryani menghentikan kudanya di depan kuda Ki Demang. Ia tersenyum kepada laki-laki itu dan bertanya, "Apakah andika sudah siap, Paman Demang Wiroboyo?" suaranya lantang sehingga terdengar oleh semua orang. Ki Demang Wiroboyo mengerutkan alisnya dan menegur lirih, "Diajeng Muryai, jangan memanggil aku paman!"
Muryani tidak perduli seolah tidak mendengar teguran itu dan berkata lagi, "Apakah andika sudah siap? Kalau sudah, mari kita segera mulai dengan perlombaan ini."
"Baik, aku sudah siap." lalu Ki Demang Wiroboyo memandang ke sekeliling dan berkata nyaring sehingga terdengar oleh semua orang, "Saudara-saudara sekalian! Kalian menjadi saksi dari perlombaan ini. Aku dan diajeng Muryani akan berlomba balap kuda. Berangkat dari sini memutari Kademangan Pakis dan berakhir di sini lagi. Siapa yang datang di sini terlebih dulu setelah mengelilingi dusun satu kali putaran, dia yang menang. Kalian yang menjadi saksi siapa yang akan keluar sebagai pemenang nanti. Kalian bersedia menjadi saksi?"
Serempak para penduduk dusun itu menjawab dengan suara gembira. "Bersedia...!!"
"'Diajeng Muryani, kita berjajar di sini dan bersiap-siap. Parmadi, ke sinilah engkau. Engkau yang kutugaskan untuk menghitung sampai tiga. Pada seruan angka tiga, kita mulai perlombaan ini, diajeng."
"Baik, Paman Demang!" kata Parmadi, dan dia segera mendekati kedua orang yang sudah duduk di atas punggung kuda masing masing dalam keadaan siap. Kuda mereka berdiri berjajar dan mereka memegang kendali dengan tangan kiri. Ki Demang Wiroboyo memegang sebuah cambuk kuda, akan tetapi Muryani tidak memegang apa-apa.
Melihat ini, Parmadi berkata lirih, hanya terdengar oleh Muryani dan Ki Demang Wiroboyo, "Adi Muryani, mestinya engkau membawa sehelai pecut untuk memberi semangat kepada Nogo Langking."
Muryani tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Tidak perlu, kakang Parmadi. Sejak pertama belajar menunggang kuda sampai sekarang, aku belum pernah mempergunakan pecut."
"Parmadi, jangan samakan diajeng Muryani dengan engkau! Ia seorang puteri sejati, mana ia tega mencambuki kudanya?" kata Ki Wiroboyo, akan tetapi dalam hatinya merasa girang karena dia semakin yakin akan kemenangannya. Dengan pecutpun gadis itu tidak akan mampu menandingipya, apalagi tanpa pecut?
"Harap Paman Demang dan adi Muryani siap. Saya akan mulai menghitung: Satuuu... dua... tiga!!"
Dua orang itu membedal kuda mereka. seperti biasa, sebagai tanda tinggal landas, Nogo Langking mengangkat kedua kaki depannya ke atas, meringkik dengan nyaring sekali, kemudian melompat jauh ke depan dan meluncur seperti kilat cepatnya mengejar kuda pancal panggung yang sudah dikebut lebih dulu oleh Ki Wiroboyo.
Para penduduk dusun bertepuk tangan dan bersorak dengan gembira. Mereka menanti munculnya dua orang pembalap itu dari sisi lain pintu gerbang itu dan memberi jalan yang longgar. Agaknya penyakit taruhan sudah pula melanda Kademangan Pakis karena di antara mereka banyak yang mulai bertaruh!
Ki Wiroboyo terkejut juga melihat betapa Nogo Langking melesat dengan kecepatan kilat. Dia lalu mempergunakan pecutnya untuk mencambuki kuda yang tungganginya. Kuda itu kesakitan dan melompat sekuat tenaga, berlari secepat keempat kakinya mampu bergerak. Ki Wiroboyo tertawa ketika kudanya melewati Nogo Langking yang ditunggangi Muryani.
Gadis itu mengerutkan alisnya lalu membungkuk hampir menelungkup di atas punggung kuda sehingga mulutnya mendekati telinga Nogo Langking. "Nogo Langking, engkau tidak ingin mengecewakan aku, bukan? Larilah, Nogo Langking. Lari dan kejarlah kuda di depan itu!" Ia menggunakan kedua kakinya menendang-nendang perut kuda dengan tumitnya sambil berbisik-bisik memberi semangat Nogo Langking dengan suara yang merayu.
Terjadilah keanehan. Nogo Langking seolah mengerti akan rayuan penunggannya, atau mengerti isyarat melalui tendangan tumit kaki yang halus itu. Dia melompat dan berlari cepat sekali sehinga akhirnya dapat mengejar kuda yang ditunggangi Ki Wiroboyo, bahkan mendahuluinya!
Melihat ini, Ki Wiroboyo semakin kuat mencambuki kudanya sehingga terdengar bunyi berdetak-detak. Kudanya mencoba untuk berlari lebih cepat lagi. Napas kuda itu memburu dan dari hidungnya keluar uap, dari mulutnya keluar buih. Ketika dua ekor kuda itu muncul, para penonton bersorak memberi semangat jago masing-masing. Akan tetapi, Nogo Langking tiba di pintu gapura beberapa detik lebih cepat daripada kuda pancal panggung yang ditungganggi Ki Wiroboyo dan begitu demang ini menghentikan kudanya, kuda yang kehabisan tenaga dan napas itu terguling roboh. Ki Wiroboyo dengan tangkasnya melompat turun sehingga dia tidak ikut terbanting jatuh.
Muryani sendiri turun dari atas punggung kuda Nogo Langking dan mengelus-elus leher kuda itu. Sambil tersenyum menoleh kepada Ki Wiroboyo dan berkata "Bagaimana, Paman Demang, apakah engkau kini mengakui kemenanganku berlomba balap kuda?"
Wajah Ki Demang Wiroboyo berubah merah Kumisnya yang tebal bergoyang-goyang, matanya terbelalak. "Hemm, baiklah, dalam lomba ini aku mengaku kalah, diajeng Muryani. Akan tetapi kita masih ada sebuah pertandingan dan sebuah syarat lagi, bukan? Mari kita laksanakan pertandingan kedua, yaitu adu kanuragan dan sesuai perjanjian, kita lakukan di alun-alun depan kademangan." Ucapan itu dilakukan dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang.
"Baik, paman. Mari kita pergi ke lapangan rumput di depan kademangan." Muryani menyerahkan kuda Nogo Langking pada Parmadi
Pemuda ini juga menuntun kuda pancal panggung yang sudah mampu berdiri lagi. Muryani dan Ki Demang Wiroboyo berjalan beriringan memasuki pintu gapura ini langsung menuju ke kademangan. Semua orang berbondong-bondong mengikuti mereka berdua. Di lapangan rumput depan kademangan itu telah dipersiapkan sebuah panggung dari papan yang cukup kokoh kuat oleh KI Wiroboyo. Memang sengaja dia membuat panggung itu agar semua penduduk dusun akan dapat melihat dengan jelas ketika dia bertanding dengan Muryani nanti. Dia yakin benar, tidak ragu seperti ketika dia berlomba menunggang kuda tadi, bahwa dia pasti akan dapat mengalahkan Muryani.
Setelah tiba di bawah panggung, dia lalu menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melayang ke atas panggung yung tingginya kurang lebih satu setengah meter itu. Loncatan yang dilakukan dengan gaya yang cukup indah dan tangkas ini memancing tepuk tangan pujian dari penonton. Ki Demang Wiroboyo berdiri di atal papan panggung, tangan kirinya bertolak pinggang, tangan kanan memelintir kumisnya yang seperti kumis Sang Gatot kaca itu, matanya mengerling ke sekelilingnya, mulutnya tersenyum bangga karena sambutan tepuk tangan para penduduk dusunnya dan dia sudah merasa setengah menang dalam pertandingan kanuragan yang akan diadakan ini.
Memang gagah pria berusia empatpuluh tahun ini. Tubuhnya yang tinggi besar dan kokoh kuat itu mengenakan pakaian yang indah. Sebatang keris tersedia di pinggang belakang. Biarpun mereka sendiri sudah menyaksikan betapa ampuh pukulan tangan halus Muryani yang mampu memporakporandakan bongkah batu besar, namun di dalam hati mereka, Ki Ronggo Bangak dan Parmadi merasa tegang dan khawatir juga menyaksikan kegagahan Ki Demang Wiroboyo.
Bagi Ki Ronggo Bangak, kekhawatirannya hanya tertuju kepada keselamatan puterinya dalam adu kanuragan saja karena dia yakin bahwa puterinya tidak akan menjadi isteri Ki Demang dengan adanya syarat tiga yang belum disampaikan kepada lamaran itu. Akan tetapi Parmadi yang belum mengetahuinya, merasa khawatir sekali kalau-kalau gadis itu akan kalah sehingga terpaksa harus menjadi isteri Ki Demang Wiroboyo.
"Diajeng Muryani, hayo naiklah ke atas panggung. Kenapa andika masih belum naik? Kalau merasa takut, sudahlah kita tidak perlu bertanding, aku khawatir kalau-kalau kulitmu yang halus mulus itu akan lecet. Anggap saja aku menang dalam pertandingan kanuragan ini!" kata Ki Demang Wiroboyo kepada Muryani yang masih berada di bawah panggung.
Muryani tersenyum dan ia lalu mendaki anak tangga untuk naik ke atas panggung tidak meloncat seperti yang dilakukan penantangnya itu. Biarpun gadis itu hanya naik melangkahi anak tangga namun penonton yang tadi sudah dibuat kagum akan kemenangannya berlomba menunggang kuda, menyambutnya dengan tepuk tangan Apalagi mereka yang bertaruh di pihaknya. Akan tetapi taruhan kali ini tidak seimbang.
Para penonton yang bertaruh hanya memberi nilai setengahnya kepada gadis itu. Sebagian besar dari para penduduk dusun Pakis, tentu saja sudah mengenal siapa Ki Demang Wiroboyo dan tahu akan kedigdayaannya. Mana mungkin seorang gadis muda jelita seperti Muryani walaupun pandai dan tangkas menunggang kuda, akan mampu menandingi kedigdayaan demang itu?
Yang bertaruh memegang Muryani nekat karena mengharapkan kemlenangan sehingga mendapatkan bayaran ganda kalau gadis itu menang, sedangkan kalau kalah hanya membayar setengah jumlah itu. Mereka inilah yang menyambut naiknya Muryani ke panggung dengan gegap-gempita, seperti hendak memberi dorongan semangat kepada gadis yang dijagokannya.
Mereka kini sudah berdiri saling berhaapan. Muryani menatap tajam wajah deiang itu lalu berkata lantang dengan maksud agar terdengar oleh semua orang yang berada di sekeliling panggung dan yang kini diam untuk mendengarkan apa yang diucapkan oleh dua orang jagoan mereka.
"Ki Demang Wiroboyo!" sengaja Muryani tidak menyebut kakangmas atau paman. "Aku mendengar bahwa andika sebagai demang bersikap adil dan bijaksana terhadap penduduk Pakis. Hal itu baik sekali dan aku merasa kagum dan berterima kasih kepadamu. Akan tetapi, andika mengandalan kekayaan dan kekuasaan untuk memperoleh setiap orang wanita yang kau sukai dengan paksa. Hal inilah yang amat tidak baik dan karena watak andika inilah sekarang aku berdiri di sini untuk melawanmu, bertanding. Sekarang dengarlah baik-baik, biar disaksikan oleh semua penduduk Pakis ini, Kalau dalam pertandingan ini aku kalah olehmu, kemudian syaratku ketiga juga dapat andika penuhi, maka aku akan bersedia untuk menjadi selirmu. Akan tetapi kalau andika kalah dalam pertandingan ini, berarti andika sudah dua kali kalah dan andika harus mengubah watakmu yang mata keranjang dan suka memaksa wanita menjadi selirmu."
"Diajeng Muryani, bagaimana andika dapat melarang seorang pria, apalagi pria itu seorang demang seperti aku, untuk mempunyai selir, berapa banyakpun yang dia kehendaki?" bantah Ki Demang Wiroboyo penasaran.
Para pria penduduk Pakis yang mendengar ucapan ini juga merasa betapa anehnya sikap gadis itu. Pada jaman itu, setiap orang pejabat, dari lurah ke atas, sudah pasti mempunyai selir.
"Ki Demang Wiroboyo, siapa yang melarang andika mempunyai selir? Biar andika mempunyai seratus orang selirpun, aku tidak akan ambil pusing! Yang kutentang hanyalah caramu memaksa para wanita untuk menjadi selirmu, dengan mengandalkan kekayaan dan kedudukanmu! Kalau ada wanita yang mau kaujadikan selir, silahkan. Akan tetapi kalau andika mempergunakan paksaan, terpaksa aku akan menentangmu mati-matian!"
Mendengar ucapan gadis itu, para penduduk mengangguk-angguk setuju. Tak seorang pun diantara mereka setuju kalau anggota keluarganya dipaksa oleh demang itu. Kecuali, tentu saja, mereka yang memang merasa senang kalau ada anggota keluarganya menjadi selir Ki Demang Wiroboyo.
Mendengar ucapan Muryani itu, wajah Ki Demang Wiroboyo menjadi merah. Kehormatannya tersinggung. Akan tetapi karena dia sudah tergila-gila kepada Muryani, dia tidak menjadi marah, hanya tersenyum.
"Diajeng Muryani, aku berjanji bahwa kalau andika sudah menjadi selirku, Aku tidak akan mencari selir lain lagi! Nah, bagaimana kalau pertandingan ini ditiadakan saja dan andika menjadi selirku secara suka rela?"
"Enak saja! Andika sudah kalah satu kali, dan pasti akan kalah dalam pertandingan kanuragan ini dan tidak dapat pula memenuhi syarat ketiga. Hayo, mulai dan seranglah, kalau memang andika seorang laki-laki yang gagah!"
Panas juga rasa hati Ki Demang Wiroboyo mendengar tantangan ini. Tantangan yang bernada meremehkannya itu diucapkan Muryani di depan hampir semua penduduk Pakis yang saat itu berkumpul di situ. Dengan gaya yang gagah dia menggulung lengan bajunya yang panjang sampai ke atas siku, kemudian sambil tersenyun dia melangkah maju mendekati gadis itu dan berkata, "Nah, andika mulailah lebil dulu, diajeng. Aku sudah siap menerima pukulanmu. Nih dadaku, andika boleh memukul sesuka hatimu. Aku tidak akan membalas, aku tidak sampai hati untuk memukulmu. Tidak tega melihat kulitmu lecet!" dan dengan gaya menantang dia membuka kancing bajunya sehingga kulit dadanya yang bidang itu tampak. Dada itu memang tampak kokoh kuat dengan otot-otot yang menonjol.
Muryani mengerutkan alisnya. Ia menjadi marah karena merasa dipandang ringan dan diejek. Tentu saja ia tidak mau menerima tantangan seperti itu. "Ki Demang Wiroboyo, kalau aku menyerang dan andika tidak melawan, itu bukan pertandingan adu kanuragan namanya! Kalau aku menang, hanya akan menjadi buah tertawaan orang! Aku tidak sudi menang karena andika mengalah, apalagi aku tidak ingin membunuhmu."
"Ha-ha-ha-ha! Membunuhku dengan pukulanmu? Aha, jangan khawatir, diajeng! Aku tidak akan mati, bahkan lecet sedikit pun tidak. Ketahuilah bahwa aku menguasai aji kekebalan yang membuat kulit dadaku tidak akan terluka oleh bacokan senjata tajam. Apalagi hanya pukulan tangan, lebih-lebih tanganmu, diajeng. Tentu akan nyaman sekali terasa oleh dadaku, seperti dipijati saja, ha-ha-ha!"
Ki Demang Wiroboyo tertawa dan banyak penonton ikut tertawa karena mereka percaya benar akan ucapan itu. Pernah Ki Demang Wiroboyo itu, untuk menaklukkan hati para penduduk, memamerkan kekebalannya dengan menyuruh pembantunya membacokbacokkan golok kepada badan bagian atas yang bertelanjang. Apalagi terluka, tergorespun tidak dada dan punggung itu!
Muryani menjadi semakin panas hatinya. Akan tetapi ia menahan diri. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin membunuh orang itu, juga tidak ingin memperoleh kemenangan tanpa dilawan. "Hemm, begitukah? Kalau begitu, aku ingin menguji sampai di mana hebatnya aji kekebalanmu. Kerahkan aji itu sekuatnya dan coba sambutlah pijatanku yang nyaman ini, Ki Demang! Nah, bersiaplah. Satu, dua, tiga.... hiiiiaaaaat!"
Muryani sengaja memberi waktu kepada demang itu untuk mengerahkan aji kekebalannya. Ki Demang Wiroboyo sudah mengerahkan aji itu dan menahan napas untuk menyambut jari-jari tangan mungil yang menotok ke arah dadanya itu. Dadanya mengembang di menjadi sekeras besi. Jari-jari tangan Muryani menotok perlahan saja, namun diam-diam Muryani mengerahkan Aji Bromo Latu (Pijar Api Bromo), suatu aji tenaga sakti dari perguruan silat Bromo Dadali.
Para penonton sudah siap untuk menerwakan apa yang dilakukan gadis itu. Dada yang kebal dari Demang Wiroboyo itu hanya disentuh seperti itu oleh jari tangan yang mungil itu? Menggelikan! Paling-paling hanya akan terasa geli seperti digelik! Akan tetapi mulut-mulut yang sudah siap untuk tertawa itu terbuka bersamaan dengan mata yang terbelalak. Mereka melihat Ki Demang Wiroboyo itu menyeringai seperti menahan sakit dan tubuhnya terhuyung ke belakang, tangan kiri menekan bagian dada yang tadi tersentuh jari-jari tangan mungil itu! Apa yang terjadi?
Apakah Ki Demang Wiroboyo itu sengaja melucu, pura-pura kesakitan? Tak seorangpun mengetahui apa yang dirasakan pria itu. Akan tetapi, Ki Demang Wiroboyo sama sekali tidak berpura-pura. Dia merasa dadanya itu seperti ditusuk besi membara, panasnya menyusup ke dalam daging dadaya. Nyeri dan panas bukan kepalang!
Tentu saja dia terkejut setengah mati dan diam-diam dia merasa heran akan tetapi juga mulai maklum bahwa gadis ayu merak ati yang berada didepannya ini sesungguhnya memiliki aji kesaktian yang sama kali tidak boleh dipandang ringan!