Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Seruling Gading Jilid 06
"AMPUNI aku...Ahh... hu-hu-huu... ampuni aku...!"
Mendengar ini, Ki Tejo Budi menahan langkahnya, memutar tubuhnya dan dia melihat Lasmini berlutut diluar pintu rumah, menangis dan menyembah-nyembah ke arahnya. Ki Tejo Langit yang memondong Sudrajat berdiri menghibur wanita itu. Ki Tejo Budi mengangkat kedua tangannya seperti memberi berkah, seperti menyatakan ketulusan hatinya bahwa dia sudah sejak tadi memaafkan bekas isterinya, rela kehilangan mereka semua, isterinya, anaknya, rumah dan tegal sawahnya. Kemudian dia memutar tubuhnya dan melangkah cepat untuk menyusul Ki Tejo Wening yang sudah berjalan terus. Ki Tejo Langit dan Lasmini mengikuti bayangan dua orang itu sampai lenyap di sebuah tikungan. Kemudian Ki Tejo Langit mengangkat Lasmini bangun dan memapahnya masuk ke dalam rumah.
Semenjak saat itu, selama bertahun-tahun Ki Tejo Budi memperdalam ilmu-ilmunya di bawah bimbingan kakak seperguruannya itu. Bukan hanya ilmu kanuragan bahkan lebih dari itu, ilmu-ilmu tentang kehidupan, terutama sekali tentang kejiwaan yang disebut Aji Tirta Bantala, mengalir seperti tirta (air) dan pasrah menyeret seperti bantala (bumi), bersatu dengan kekuasaan Sumber segala sumber, SANGKAN PARANING DUMADI, mengawali yang terawal dan mengakhiri yang terakhir, bahkan berada di luar jangkauan pengaruh awal dan akhir.
Menyerah dan pasrah kepada kekuasaan Yang Tak Terbayangkan, Yang Tak Tergambarkan, Tak Terukur, melampaui Kekekalan dan Keabadian. Ki Tejo Wening sendiri makin jelas melihat bahwa sumber segala kesengsaraan dunia adalah nafsu-nafsu daya rendah yang menguasai badan dan hati akal pikiran, menciptakan si AKU. Si AKU ini mengikatkan diri dengan segala kenikmatan dan kesenangan kedagingan dan duniawi sehingga nenjadi semakin besar. Makin besar kesenangan yang dikejar si AKU, semakin besar pula kedukaan yang dideritanya. Karena menyadari akan semua ini, setelah selama beberapa tahun membimbing Ki Tejo Budi, akhirnya kedua orang kakak beradik seperguruan ini mengambil jalan sendiri-sendiri dan hidup sebagai pengembara yang berkelana.
Dua puluh lima tahun sejak peristiwa itu, dalam usianya yang ke tujuhpuluh tahun, Ki Tejo Wening yang berkelana sampai di puncak Argadumilah di Gunung Lawu, bertemu dengan tokoh-tokoh yang menentang Mataram seperti yang diceritakan di bagian pertama kisah ini. Kemudian dia bertemu pemuda yang berjodoh menjadi muridnya dan bersama Parmadi, pemuda itu, kemudian menetap di puncak Argadumilah di mana dia menggembleng Parmadi dengan ilmu-ilmu yang dikuasainya. Demikianlah sedikit riwayat kakek sakti mandraguna Ki Tejo Wening yang kini menjadi guru Parmadi dan bersama pemuda itu tinggal di puncak Argadumilah di Gunung Lawu.
WAKTU atau KALA itu digambarkan sebagai Sang Bathara Kala, dewa berujud raksasa besar sekali mengerikan dalam kisah pewayangan. Dan sesungguhnyalah, seperti dewa raksasa Sang Bethoro Kolo, sang waktu melahap segala apa yang berada di dunia ini. Segala sesuatu akhirnya lenyap dicaplok sang waktu. Yang tadinya kecil tak berdaya tumbuh menjadi besar kuat bersama waktu. Kemudian yang besar kuat ini berubah kembali menjadi tua ringkih tak berdaya. Yang terakhir Sang Waktu akan mencaploknya sama sekali sehingga lenyap. Segala macam kesenangan akan lenyap ditelan waktu, demikian pula tiada duka cita yang tanpa akhir, karena akhirnya akan habis pula dicaplok waktu. Anehnya, kalau diperhatikan, waktu merayap seperti siput tua, akan tetapi sekali kita lengah, sang waktu akan menyambar secepat kilat sehingga waktu bertahun-tahun tampak baru beberapa hari saja!
Demikian pula dengan keadaan di puncak Argadumilah di mana guru dan murid itu hidup. Tanpa terasa lima tahun telah lewat sejak mereka tiba di puncak itu. Parmadi telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia duapuluh tiga tahun. Tubuhnya tinggi tegap. Wajahnya tampan gagah namun gerak-geriknya lemah lembut. Bibirnya selalu tersenyum ramah dan sabar penuh pengertian. Sepasang matanya bersinar lembut namun terkadang mencorong penuh wibawa. Ki Tejo Wening atau Resi Tejo Wening masih tampak seperti lima tahun yang lalu. Tidak tampak lebih tua atau lemah walaupun usianya kini sudah tujuh puluh lima tahun.
Pada suatu pagi, Resi Tejo Wening tampak duduk bersila di atas bale-bale yang berada di luar pondoknya. Parmadi duduk bersila di atas tanah beralaskan sepotong papan. "Parmadi, aku memanggilmu untuk memberi tahu bahwa hari ini tiba saatnya kita harus saling berpisah dan engkau harus turun gunung untuk mulai berdarma bakti kepada manusia dan dunia pada umumnya kepada bangsa dan nusa pada khususnya memanfaatkan segala macam ilmu yang telah kaupelajari selama lima tahun di sini. Engkau tentu masih ingat akan semua wejangan yang pernah kuberikan kepadamu tahu bahwa segala macam ilmu dan kepandaian itu tiada gunanya tanpa dipraktekkan dalam tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Apa artinya segala pengetahuan tentang kebaikan kalau kebaikan itu sendiri tidak mewarnai tindak-tandukmu? Semua itu telah kau ketahui dan engkau masih ingat semuanya, bukan?"
"Saya masih ingat, eyang dan semoga saya tidak akan pernah melupakan semua ajaran dan wejangan yang selama ini eyang berikan kepada saya."
"Ada satu hal yang aku ingin engkau selalu ingat dan menyadari kenyataan bahwa dalam kehidupan di dunia ini, perbuatan manusia itu hanya dapat disebut baik atau buruk menurut penilaian orang, dan penilaian ini selalu didasari keadaan hati dan kepentingan si penilai. Karena itu tidak ada kebaikan atau keburukan mutlak. Dalam kebaikan terdapat keburukan dan dalam keburukan terdapat kebaikan."
Parmadi mengangguk-angguk. "Lalu, apakah kebaikan mutlak itu, eyang."
"Yang mutlak baik dan sempurna hanyalah Gusti Yang Maha Baik dan Maha Sempurna. Akan tetapi ada suatu kebenaran hakiki, yaitu KASIH! Apa bila ada Kasih hidup didalam hati sanubarimu, Kasih sejati, Kasih murni, Kasih yang merupakan karunia Tuhan, maka apapun yang kau perbuat, pasti benar dan baik adanya! Tuhan Maha Kasih, maka apabila ada Kasih bernyala dalam hatimu, Kuasa Tuhan akan selalu membimbingmu. Karena itu, berdoalah selalu supaya Tuhan memberi kemampuan kepadamu untuk membuka pintu hatimu, agar sinar kasih-Nya yang suci dapat masuk dan manunggal dengan jiwamu."
Parmadi menyembah. "Akan saya teringat pesan eyang."
"Nah, sekarang engkau berangkatlah, Parmadi. Pergilah berkelana dan jangan melupakan tugas yang dipesankan oleh mendiang ayahmu. Ayahmu itu tentu seorang yang setia kepada Mataram, maka sebagai puteranya, engkau berkewajiban untuk melanjutkan pengabdiannya kepada Kerajaan Mataram itu. Pergilah engkau ke Mataram dan belalah nusa dan bangsamu. Akan tetapi ingat, pengabdianmu harus tulus ikhlas bukan dengan pamrih meraih kedudukan tinggi dan kemuliaan bagi dirimu sendiri. Kalau demikian halnya, maka pengabdianmu itu palsu, dinodai oleh kepentingan diri pribadi yang hanya mempergunakan pengabdian dan pengorbanan sebagai kedok dan sarana untuk mendapatkan keinginan pribadi."
"Akan tetapi, eyang. Maafkan pertanyaan saya. Eyang sendiri hendak pergi ke manakah?"
Resi Tejo Wening tersenyum. "Aku sudah tua dan ringkih tubuhku, hendak pergi kemana lagi?"
Parmadi memandang penuh harapan, "Kalau saya mempunyai kesempatan dan merasa kangen kepada eyang, bolehkah saya datang menghadap eyang di sini? Eyang tentu masih berada di sini, bukan?"
"Aku tidak tahu apakah aku berada di sini atau di mana. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu yang akan menentukannya. Akan tetapi tentu saja engkau boleh datang ke puncak ini sewaktu-waktu dan kalau memang ada jodoh tentu saja kita dapat saling berjumpa."
Biarpun ucapan gurunya itu kurang meyakinkan, namun membuat hati Parmadi lega. Dia lalu berkemas, tidak lupa membawa Seruling Gading, pusaka pemberian gurunya itu, diselipkan di ikat pinggangnya, dan membawa sedikit pakaian yang dipunyainya dalam buntalan. Setelah itu kembali dia berlutut menyembah kepada gurunya dan berpamit.
"Ya, berangkatlah dan selalu ingat dan waspadalah seperti yang sudah kau ketahui. Oh Ya, aku pernah menceritakan tentang kedua adik seperguruanku, Ki Tejo Langit dan Ki Tejo Budi kepadamu. Kalau engkau kebetulan bertemu dengan mereka, sampaikanlah salamku."
"Baiklah, eyang dan selamat tinggal, eyang, harap eyang menjaga diri baik-baik."
"Pergilah," kata kakek itu singkat. Parmadi lalu menuruni puncak Argadumilah, tidak ragu atau menengok lagi. Gemblengan batin dari gurunya sudah matang tumbuh dalam hatinya sehingga dia tidak merasa kehilangan karena memang dia tidak terikat. Dia menyadari sepenuhnya bahwa segala apapun yang dekat dengannya, bahkan yang dipunyainya, pada hakekatnya bukanlah MILIKnya. Bahkan tubuhnya sendiripun bukan miliknya, hanya dipinjamkan kepadanya agar dia dapat hidup sebagai manusia di dunia ini. Segala apapun di alam mayapada ini, yang tampak dan yang tidak tampak, adalah milik Tuhan Yang Maha Kuasa!
Biarpun dia tahu bahwa dia hanya seorang manusia biasa, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, segala kelemahan dan kekuatannya, disertai nafsu-nafsunya namun keyakinan bahwa dia tidak memilik apa-apa dan bahwa segala sesuatu adalah milik Tuhan Yang Maha Kasih, membuat hatinya ringan dari tekanan dan bebas dari ikatan.
Setelah menuruni puncak Lawu, tentu saja pertama-tama Parmadi menujukan langkahnya ke dusun Pakis. Selama lima tahun dia meninggalkan dusun ini dan selama lima tahun belajar ilmu dari Resi Tejo Wening, seringkali dia terkenang kepada dusun ini. Tidak, kalau dia mau jujur harus diakui bahwa yang membuat dia terkenang adalah diri Muryani! Dia merasa rindu kepada gadis yang sudah dikenalnya kurang lebih setengah tahun itu, bahkan sudah akrab dengannya, sudah seperti kakak dan adik sendiri saja. Dan kalau dia mengenangkan saat perpisahan di luar dusun itu, ada getaran aneh dalam hatinya dan dia merasa bahwa hubungan di antara mereka bahkan lebih akrab dari pada sekedar kakak dan adik!
Pertama dia rindu kepada Muryani, dan kedua diapun ingin sekali bertemu dengan Ki Ronggo Bangak. Setelah berpisah lama, seringkali dia baru menyadari betapa besar budi dan jasa orang tua itu kepadanya. Ki Ronggo Bangak itulah gurunya yang pertama, orang yang pertama kali membuka pikirannya, memberikan pengetahuannya melalui bacaannya itulah yang membuat dia bukan seperti pemuda dusun kebanyakan. Dia pandai membaca menulis, pandai bertembang dan menari, pandai meniup suling dan mengerti akan tata susila.
Setelah tiba di luar pintu gerbang dusun Pakis, dia berhenti melangkah da memandang ke arah dusun itu, di mana dia dulu hidup sejak berusia sepuluh tahun sampai delapan belas tahun. Tadipun ketika dia melewati padang rumput di mana dia biasa menyabit rumput, semua kenangan terbayang. Kini dia memandang dusun itu dan melihat bahwa dusun itu sama sekali tidak berubah! Pohon cemara di kanan kiri, pintu dusun, cemara pecut yang kecil tinggi dan runcing seperti pecut itu, masih tetap di sana dan tidak berubah. Sepasang pohon cemara itu agaknya sudah terlalu tua untuk tumbuh semakin tinggi sehingga tampak masih sama seperti lima tahun yang lalu.
Hari telah siang dan dia melihat kesibukan di dusun itu masih seperti dulu. Ketika memasuki dusun lewat pintu gapura dusun itu dia melihat para penduduk yang bertemu dengan dia memandang kepadanya, akan tetapi agaknya tidak ada yang mengenalnya. Dia sendiri mengenal beperapa orang di antara mereka. Akan tetapi karena mereka itu seperti pangling kepadanya, diapun diam saja dan langsung dia menuju ke rumah Muryani. Rumah itupun masih seperti dulu. Pekarangannya yang bersih terhias tumbuh-tumbuhan kembang yang indah. Kembang mawar merah kesukaan Muryani masih tumbuh dan banyak kembangnya menghias pohon kembang itu. Pintu dan dinding kayu berhias ukir-ukiran indah itu masih sama dan terpelihara baik-baik.
Berdebar Jantung di dada Parmadi membayangkan pertemuannya dengan Muryani dan ayah gadis itu. Akan tetapi yang tampak di situ hanya seorang pria setengah tua yang sama sekali bukan Ki Ronggo Bangak, melainkan seorang yang tidak dikenalnya. Pria ini bertelanjang dada dan sedang mencangkul di taman pekarangan itu, membersihkan rumput-rumput liar. Dadanya yang kerempeng itu basah oleh keringat. Parmadi cepat menghampiri dan pria itu menghentikan pekerjaannya ketika melihat ada seorang pemuda memasuki pekarangan. Dia memandang kepada Parmadi dengan heran.
"Maaf, paman kalau aku mengganggu. Aku hendak bertemu dengan paman Ronggo Bangak dan adi Muryani. Apakah mereka berada di rumah?"
Orang itu memandangnya dengan mata heran dan bodoh, lalu menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengenal mereka."
Tentu saja Parmadi terkejut dan heran mendengar ucapan itu. "Kalau begitu, rumah siapakah ini? Siapa penghuninya?"
Kembali laki-laki itu menggeleng kepala "Tidak ada penghuninya. Rumah ini kosong dan saya bertugas untuk menjaga dan merawat rumah ini."
"Siapa yang menugaskanmu, paman?" tanya Parmadi semakin heran sambil mengamati wajah orang itu. Sebuah wajah yang sama sekali tidak dikenalnya, berarti orang ini belum ada di dusun Pakis ketika dia pergi.
"Yang menugaskan tentu saja pemilik rumah ini!" jawab orang itu dan nada suaranya membayangkan kejengkelan.
"Lho! Pemilik rumah ini kan paman Ronggo Bangak dan adi Muryani? Engkau tentu mengenal mereka, paman!"
"Bukan! Dan aku tidak mengenal mereka. Baru setahun aku datang dan belum mengenal mereka."
"Ah, begitukah? Dan tolong jawab, siapa nama pemilik rumah ini dan di mana dia tinggal?"
"Pemiliknya adalah Ki Demang Pakis dan kalau engkau ingin bertanya tentang rumah ini, tanyalah kepadanya karena aku tidak tahu apa-apa!" Setelah berkata demikian, orang itu melanjutkan pekerjaanya mencangkul dan tidak mengacuhkan lagi kepada Parmadi.
Parmadi tertegun. Dia memandang ke arah pintu rumah, seolah mengharapkan pintu itu terbuka dan Muryani atau ayahnya muncul. Dia merasa seperti dalam mimpi. Apa yang telah terjadi dengan mereka? Dan siapa Ki Demang Pakis itu? Tiba-tiba dia tersentak kaget ketika pikirannya membayangkan, jangan-jangan Ki Demang Wiroboyo telah kembali dan menggunakan kekerasan untuk memegang jabatannya kembali! Teringat akan kemungkinan ini, dia segera berkata kepada penjaga itu, "Terima kasih, paman!" setelah berkata demikian, dia cepat meninggalkan pekarangan itu dan bergegas pergi ke rumah gedung yang dulu menjadi tempat tinggal Ki Demang Wiroboyo!
Gedung itupun masih kelihatan luas. Di pekarangan yang amat dikenalnya itu tidak tampak orang. Parmadi segera memasuki pekarangan dan setelah tiba di depan pendopo, dia melihat dua orang pemuda duduk di atas bangku penjagaan. Agaknya dua orang pemuda itu yang yang bertugas jaga. Dia segera mengenal wajah mereka. Dua orang pemuda dusun yang dulu amat dikenalnya.
"Manto dan Dikun! Kalian menjaga sini? Siapakah yang sekarang menjadi demang?"
Dua orang pemuda itu memandang heran, mengamati wajah Parmadi. Agaknya selama lima tahun ini wajah Parmadi telah banyak berubah. Mungkin pada sinar matanya yang mencorong itulah yang membuat dua orang itu pangling. Akan tetapi kemudian pemuda yang bernama Dikun berteriak, "Parmadi...! Engkaukah ini?"
"Parmadi? Ah, benar, dia Parmadi!" kata pemuda yang kedua.
Mereka menjabat tangan dan menepuk-epuk pundak Parmadi dengan gembira. "Ke mana saja engkau selama ini?" mereka menghujaninya dengan pertanyaan. Akan tetapi Parmadi menggeleng kepala dan berkata, "Aku berkelana, akan tetapi hal itu tidak penting. Yang penting, sekarang kalian ceritakan apa yang terjadi di dusun kita ini, ke mana perginya Ki Ronggo Bangak dan Muryani, dan siapa pula yang sekarang menjadi demang di sini?"
"Akulah yang menjadi demang di sini, orang muda!" tiba-tiba terdengar suara orang menjawab. Parmadi cepat menoleh dan melihat seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan mukanya merah, keluar dari pendopo kademangan.
"Siapakah andika, orang muda, dan apa maksudmu datang berkunjung ke sini?"
Manto dan Dikun memberi hormat dan Dikun berkata, "Paman Demang, inilah yang bernama Parmadi, yang dulu menjadi perawat kuda milik Ki Demang Wiroboyo."
Laki-laki tinggi besar itu memandang penuh perhatian. "Ah, kiranya andika ini yang bernama Parmadi? Parmadi, mari masuklah, agaknya banyak hal yang ingin kau ketahui. Mari kita bicara di dalam."
Parmadi melihat laki-laki tinggi besar itu sikapnya kasar namun pandang matanya membayangkan kejujuran dan senyum mulutnya wajar dan ramah. Juga pembawaannya seperti seorang yang "berisi", yaitu orang yang berilmu. Ketika memandang kepada dua orang pemuda itu, dia melihat mereka tersenyum dan mengangguk-angguk seperti hendak mengisyaratkan bahwa baik sekali kalau dia menuruti permintaan demang baru itu. Maka diapun lalu melangkah memasuki pendopo. Orang tinggi besar itu mengajaknya duduk di ruangan sebelah kiri yang biasanya dahulu juga menjadi ruangan di mana demang menerima tamunya. Mereka lalu duduk berhadapan di kursi-kursi yang dulu juga.
Setelah duduk berhadapan, demang itu berkata, "Aku sudah mendengar bahwa andika dulu menjadi pembantu Ki Wiroboyo juga bahwa andika adalah murid Ki Ronggo Bangak. Tentu andika mengenal baik puteri Ki Ronggo Bangak yang bernama Muryani itu, bukan?"
"Benar sekali apa yang paman katakan itu. Akan tetapi, apakah yang telah terjadi didusun ini selama lima tahun ini. Dan ketika saya mengunjungi rumah paman Ronggo, rumah itu kosong. Ke mana perginya Ki Ronggo Bangak dan Muryani?"
Orang itu menghela napas panjang. "Agaknya andika sama sekali belum mendengar tentang apa yang terjadi di dusun ini, Parmadi. Ki Ronggo Bangak telah meninggal dunia, tewas terbunuh "
Parmadi terbelalak mendengar ini. "Terbunuh ? Dan adi Muryani....?"
"Sabarlah, Parmadi. Sebaiknya kuceritakan dari permulaan agar engkau mengetahui dengan jelas apa yang terjadi di dusun ini."
Orang tinggi besar itu lalu bercerita. Ketika laporan tentang dusun Pakis itu sampai di Mataram, Sultan Agung menyerahkan tugas kepada Tumenggung Wiroguno, seorang senopati Mataram, untuk menenteramkan dan membereskan keadaan di kademangan itu. Tumenggung Wiroguno datang ke dusun itu dan mendengar laporan Ki Ronggo Bangak tentang Ki Demang Wiroboyo yang diusir oleh penduduk dusun karena perbuatannya yang dianggap menyimpang dari kebenaran.
Tumenggung Wiroguno lalu mengangkat Ki Warutomo sebagai demang baru di Pakis. Ki Warutomo yang tinggi besar berusia lima puluh tahun itu tadinya adalah seorang perwira dalam pasukan Mataram, seorang yang terkenal gagah berani jujur dan setia kepada Mataram. Adapun Ki Ronggo Bangak diangkat sebagai penasihat Ki Demang Warutomo. Berkat pimpinan yang tegas dan adil dari Ki Demang Warutomo, keadaan di dusun Pakis menjadi tenteram kembali.
Ki Demang Warutomo memboyong keluarganya yang terdiri dari dua orang isteri dan tiga orang anak yang masih kecil-kecil ke dusun Pakis. Hubungannya dengan Ki Ronggo Bangak baik sekali, demikian pula dengan Muryani, apalagi setelah mengetahui bahwa Muryani adalah seorang gadis yang memiliki kedigdayaan. Ki Demang Warutomo menghormati gadis itu setelah dia mengetahui bahwa Muryani adalah seorang murid perguruan Bromo Dadali yang terkenal itu.
Akan tetapi pada suatu malam, kurang lebih setahun setelah dia menjadi demang di Pakis, terjadilah peristiwa yang menggegerkan Kademangan Pakis. Malam itu hujan turun dengan derasnya, kilat menyambar-nyambar. Hujan turun hampir sepanjang malarn. Para penghuni dusun Pakis tidak ada yang ke luar rumah. Para perondapun hanya berkumpul dalam gardu, Ki Demang Warutomo sendiri hanya tinggal di rumah, tidak menyangka sama sekali akan terjadi peristiwa yang menggegerkan dusun yang dipimpinnya.
Pada keesokan harinya, barulah orang tahu akan peristiwa itu. Seorang wanita tetangga yang biasa membantu Muryani dalam pekerjaan mencuci pakaian dan membersihkan halaman dan dalam rumah, ketika memasuki rumah itu, mendapatkan pintu belakang rumah sudah terbuka dan ketika ia masuk ke dalam ia menemukan Ki Ronggo Bangak dan Muryani sudah menggeletak di atas lantai ruangan dalam.
"Begitulah, Parmadi," kata Ki Demang Warutomo. "Setelah mendengar laporan itu dan aku datang ke sana memeriksa, ternyata Ki Ronggo Bangak telah tewas dan nini Muryani menderita luka dalam yang cukup parah."
"Mereka terluka senjata, paman Warutomo?"
"Tidak, mereka terluka oleh pukulan tangan kosong yang ampuh. Setelah diusahakan pengobatannya, akhirnya nini Muryani sembuh sebulan kemudian. Menurut ceritanya, malam itu ia mendengar suara keras di bagian belakang rumah. Ketika ia dan ayahnya keluar dari kamar, di ruangan dalam itu telah terdapat seorang yang bertubuh tinggi kurus. Karena ruangan itu gelap maka Muryani tidak dapat melihat wajah orang itu dengan jelas. Orang tinggi kurus itu. Langsung menyerang Ki Ronggo Bangak dan ternyata dia seorang yang sakti mandraguna. Sekali pukul saja pada dada Ki Ronggo Bangak membuat ayah Muryani itu roboh dan tak bergerak lagi. Muryani menjadi marah dan ia menyerang orang tinggi kurus itu. Mereka berkelahi dalam ruangan yang gelap. Menurut cerita Muryani, gadis itu sebetulnya mampu menandingi lawannya. Akan tetapi karena ruangan itu gelap dan lawan itu memilik pukulan jarak jauh yang ampuh, akhirnya Muryani terkena pukulannya dan roboh pingsan. Demikianlah menurut cerita Muryani."
"Kalau begitu, penyerang itu tidak diketahui siapa orangnya, paman?" tanya Parmadi.
"Begitulah, Parmadi. Agaknya penyerang itu mengira bahwa Muryani juga tewas oleh pukulannya. Dia menghilang tanpa meninggalkan jejak. Melihat bahwa tidak ada sesuatu yang hilang dari rumah itu, maka jelas bahwa orang tinggi kurus itu tidak bermaksud mencuri atau merampok. Mungkin ada unsur balas dendam atau permusuhan dengan keluarga Ki Ronggo Bangak, kata Ki Warutomo. "Kami telah melakukan penyelidikan, akan tetapi karena orang itu tidak meninggalkan jejak atau tanda apapun, sukar bagi kami untuk dapat menduga siapa penyerang itu."
Parmadi teringat akan Ki Wiroboyo. Kalau ada yang mendendam kepada Ki Ronggo Bangak, tentu dialah orangnya! Akan tetapi, tentu bukan dia penyerang itu. Ki Wiroboyo bertubuh tinggi besar, tidak tinggi kurus. Selain itu, tidak mungkin Ki Wiroboyo mampu mengalahkan Muryani yang digdaya. Tentu orang lain, akan tetapi Parmadi tetap curiga dan menduga bahwa penyerangan yang mengakibatkan kematian Ki Ronggo Bangak itu tentu ada hubungannya dengan dendam Ki Wiroboyo. Akan tetapi dia tidak berkata apapun kepada Ki Demang Warutomo tentang dugaannya itu.
"Paman, di mana adanya adi Muryani sekarang?"
"Setelah sembuh, ia berpamit pergi tanpa memberi tahu ke mana. Bahkan ketika kami bertanya, ia tetap tidak mau mengatakan ke mana ia akan pergi. Ia hanya menitipkan rumahnya kepada kami dan sampai sekarang kami menyuruh orang menjaga rumah itu dan merawatnya baik-baik."
"Saya ikut berterima kasih kepada paman atas kebaikan hati paman terhadap mendiang paman Ronggo Bangak. Sudah berapa lamakah Muryani pergi meninggalkan dusun Pakis ini, paman? Dan apakah selama ini ia tidak pernah pulang atau mengirim berita?"
"Sudah kurang lebih tiga setengah tahun gadis itu pergi dan selama ini kami tidak pernah mendengar kabar tentang ia, juga ia tidak pernah pulang."
Di dalam hatinya, Parmadi mengambil keputusan untuk mencari Muryani dalam perantauannya. Kasihan sekali adi Muryani pikirnya. Sudah tidak mempunyai ibu, dan tinggal ayah dan mondok pada neneknya, neneknya itu sakit dan mati sehingga ikut dengan ayahnya tinggal di dusun Pakis. Akan tetapi belum lama tinggal di Pakis ayahnya dibunuh orang dan sekarang gadis itu berada di dunia seorang diri, sebatangkara tiada sanak tiada kadang. Sama seperti dirinya! Akan tetapi dia seorang laki-laki, sedangkan Muryani seorang gadis yang cantik jelita, tentu akan menemui banyak gangguan. Ia membayangkan wajah gadis itu dan teringat bahwa kini usia Muryani ini tentu sudah dua puluh satu tahun. Ketika mereka berpisah, ketika dia ikut gurunya dan meninggalkan Pakis, Muryani berusia enambelas tahun. Kini, lima tahun telah lewat. Gadis itu tentu sudah menjadi seorang gadis dewasa berusia dua puluh satu tahun.
"Hei, Parmadi, engkau melamun, sejak tadi diam saja," Ki Demang Warutomo menegurnya sambil tersenyum lebar.
Parmadi terkejut dan sadar. Dia memandang orang tua gagah itu dan berkata, "Saya termenung mengingat akan malapetaka yang menimpa keluarga paman Ronggo Bangak. Mengapa orang sebaik itu dapat tertimpa malapetaka?" kata pemuda itu perlahan seperti bertanya kepada diri sendiri.
"Wah, siapa yang mampu menjawab pertanyaan itu, Parmadi? Setiap manusia boleh berbuat sekuat kemampuan mereka dengan hati akal pikiran dan kekuatan badan mereka, namun keputusan hasil terakhir berada di tangan Gusti Allah. Karena itu, kurasa pertanyaanmu itu hanya dapat dijawab oleh Dia yang menentukan keputusan terakhir itu."
Parmadi menghela napas panjang. "Paman benar. Sekarang ijinkan saya mohon diri, paman. Saya hendak melanjutkan perjalanan saya."
"Selamat jalan, orang muda. Dan seandainya andika dapat bertemu dengan Muryani, sampaikan pesan kami kepadanya bahwa kami di Pakis mengharapkan dan menanti-nanti kembalinya ke sini."
"Baik, paman." Parmadi memberi hormat lalu meninggalkan kademangan itu dan melanjutkan perjalanannya.
Sebelum meninggalkan daerah Gunung Lawu, ingin dia sekali lagi mengunjungi dusun Pancot tempat tinggal mendiang ayah ibu kandungnya, di mana dia dibesarkan. Dia tidak ingat sejak kapan dia tinggal di rumah ayah ibunya di Pancot. Menurut cerita ibunya, mereka datang dari Kadipaten Pasuruan dan pindah tinggal didusun itu sejak dia berusia dua tahun. Dia tinggal di dusun itu sampai berusia sepuluh tahun, yaitu ketika pada suatu malam ayah bundanya dibunuh orang tanpa ada yang mengetahui siapa yang membunuhnya.
Dan sejak itu Demang Wiroboyo yang menjadi sahabat mendiang ayahnya, menaruh iba kepadanya dan membawanya ke Pakis, memberinya pekerjaan dan menampungnya di Kademangan Pakis. Biarpun Parmadi hanya melewatkan masa kanak-kanaknya di dusun Pancot, namun ketika ia mengenangnya sambil berjalan menuju ke dusun itu, ada suatu perasaan haru menyelinap dalam hatinya, teringat akan kedua orang tuanya.
Berbeda dengan keadaan Pakis yang baginya masih same saja keadaannya sejak ditinggalkan selama lima tahun, ketika dia memasuki dusun Pancot, dia merasa asing. Dia sudah banyak lupa tentang Pancot. Pasti tidak ada seorangpun penduduk dusun itu yang mengenalnya atau dikenalnya. Dia meninggalkan dusun itu selagi berusia sepuluh tahun dan sekarang dia sudah berusia dua puluh tiga tahun!
Akan dia masih ingat bahwa Ki Demang Wiroboyo menyerahkan peninggalan ayahnya yang tidak banyak itu, hanya sebuah rumah tua dan tanah sebau, kepada seorang tetangga miskin yang namanya, seingatnya dipanggil Pak Jambi. Tentu orang itu telah tua sekarang akan tetapi Parmadi yakin bahwa dia akan dapat mengenal orang yang satu ini. Pak Jambi itu mempunyai sebuah ciri yang jarang dimiliki orang lain. Mata kirinya rusak, hanya tampak putihnya saja dan mata kiri itu kabarnya tidak dapat melihat.
Dia masih ingat bahwa karena matanya yang sebelum rusak dan buta itu, Pak Jambi mendapat sebutan Jambi Pece. Jantung dalam dada Parmadi berdebar juga ketika dia melangkahkan kaki memasuki dusun itu. Pancot merupakan dusun yang tidak terlalu besar, tidak sebesar dan seramai Pakis. Akan tetapi dusun itu terkenal memiliki sesuatu yang khas, yang tidak dimiliki dusun-dusun di seluruh daerah Gunung Lawu, yaitu banyaknya perawan ayu yang dilahirkan di dusun Pancot!
Kebanyakan perawan Pancot berkulit kuning bersih, wajahnya ayu manis sehingga banyak pemuda dari dusun lain ingin memiliki isteri dari Pancot. Menurut dongeng dari mulut ke mulut, nenek moyang yang tinggal di dusun itu dahulu keturunan priayi, masih bangsawan istana Mataram. Dan pula dongeng mengatakan bahwa nenek moyang Pancot dahulu ada yang menikah dengan dewi kahyangan sehingga keturunannya, terutama yang wanita, ayu manis.
Biarpun ketika memasuki dusun itu dia merasa seperti masuk ke sebuah dusun asing, namun samar-samar Parmadi masih ingat akan letak rumah orang tuanya di mana dia tinggal tiga belas tahun yang lalu. Dia masih ingat betapa di pekarangan rumah yang sederhana dan tua itu berdiri megah sebatang pohon beringin yang ditanam ayahnya ketika ayahnya datang dan tinggal di dusun ini. Beringin itu sudah besar ketika dia meninggalkan Pancot dan sekarang tentu sudah lebih besar lagi.
Dia mempercepat langkahnya, diam-diam heran dan kagum melihat beberapa gadis yang berpapasan dengannya. Mereka semua tampak putih dan manis, tidak seperti perawan-perawan dusun Pakis. Melihat mereka Parmadi otomatis teringat kepad Muryani. Ketika dia tiba di sebuah jalan tikungan, jantungnya berdebar. Dari situ dia sudah dapat melihat pohon beringin yang besar sekali itu. Besar dan lebar, bentuknya seperti sebuah payung. Dia mempercepat langkahnya.
Setelah tiba di luar pekarangan rumah tua yang masih sama tuanya seperti dulu walaupun agaknya bilik bambu itu sudah diganti, dia tercengang melihat betapa pohon beringin besar di depan pekarangan rumah itu dikelilingi pagar kayu! Tanah di bawah pohon, di sebelah dalam lingkaran pagar itu, tampak terawat dan bersih sekali. Dan di bagian depan terdapat pintu pagar. Makin besar keheranannya ketika ia melihat tumpukan bekas pembakaran kemenyan dan kembang berada di bawah pohon. Pohon ini dikeramatkan orang, disembah orang! Dia segera dapat mengetahuinya karena dia tahu akan kebiasaan orang-orang di sekitar daerah Gunung Lawu yang masih suka memuja-muja pohon-pohon besar yang dikeramatkan. Pohon beringin tanaman ayahnya itu, kini dikeramatkan orang!
Selagi dia berdiri mengamati semua itu dengan perasaan heran, dari pekarangan itu datang seorang laki-laki tua menghampirinya. Sekali pandang saja tahulah Parmadi bahwa kakek ini tentu Pak Jambi Pece. Mata kirinya yang terbuka lebar itu tampak putihnya saja dan mata kanannya yang normal memandangnya dengan penuh selidik.
"Kisanak, kulihat andika seperti bukan orang sini. Tentu andika seorang dari dusun lain yang datang untuk mohon berkah dari Kyai Brojo, bukan?"
Parmadi menahan seruan heran yang hampir terlontar dari mulutnya. Kyai Brojo? Demikiankah orang menyebut pohon beringin yang dikeramatkan ini? Jadi "penghuni" pohon keramat ini adalah Kyai Brojo? Padahal, mendiang ayahnya bernama Brojoketi!
"Paman, jadi Beringin Keramat ini dihuni oleh Kyai Brojo?" Parmadi bertanya sambil menahan gejolak hatinya. Roh ayah kandungnya dianggap roh penasaran yang kini menghuni di pohon beringin yang dulu ditanam ayahnya!
"Benar sekali, kisanak. Kyai Brojo adalah seorang tokoh besar di jaman Mojopahit, sakti mandraguna dan arif bijaksana, pula dermawan sehingga kini beliau masih suka menolong siapa saja yang mohon berkah di sini."
Hemm, orang ini berani benar berbohong, pikir Parmadi. "Paman, kalau begitu paman adalah juru kunci (penjaga tempat keramat) di sini?"
"Benar, saya adalah Ki Jambi Pece juru kunci tempat keramat ini. Semua orang mengenal saya!"
"Kalau begitu, paman. Saya ingin sekali bercakap-cakap dengan paman. Banyak yang ingin saya tanyakan, paman.
Jambi Pece yang mengharapkan hadiah besar itu bersikap ramah. "Kalau begitu silakan masuk ke rumah saya, kisanak kita bicara di dalam, lebih leluasa."
Parmadi mengikuti orang itu memasuk pekarangan menuju ke rumah yang masih dikenalnya itu. Bambu penyalur air dari sumber di atas itu masih mengucurkan air jernih seperti biasa, ditampung di jamban air yang dulu juga di sebelah kiri rumah. Mereka memasuki rumah dan Parmadi dipersilakan duduk di atas bangku diruangan depan. Mereka duduk berhadapan. Setelah berada di ruangan tertutup, Parmadi segera bicara tanpa berpura-pura lagi.
"Paman Jambi, aku akan berterus terang saja. Aku tahu bahwa rumah ini adalah milik Ki Brojoketi dan isterinya. Mereka terbunuh pada suatu malam tanpa ada yang mengetahui siapa pembunuh mereka. Kemudian Ki Demang Wiroboyo meyerahkan rumah dan pekarangan ini kepadamu. Bagaimana sekarang tempat ini dijadikan tempat keramat yang dihuni oleh kyai Brojo? Engkau telah menipu orang banyak."
Mendengar ucapan pemuda itu, sikap Pak Jambi berobah sama sekali. Kalau tadinya dia bersikap ramah, kini tiba-tiba dia melompat berdiri dan wajahnya berubah ganas. Matanya yang tinggal sebelah itu memandang marah dan tiba-tiba dia sudah menyerang Parmadi dengan kedua tangan yang mencengkeram seperti seekor harimau menerkam kambing. Sepasang tangan itu membentuk cakar dan yang kanan mencengkeram ke arah muka, yang kiri ke arah dada Parmadi! Mulutnya menggeram dan dia benar-benar seperti telah berobah menjadi harimau.
Parmadi maklum bahwa orang ini memiliki Aji Sardu (Ilmu Harimau) yang membuat dia seperti kemasukan roh harimau yang ganas. Dia menyambut serangan itu dengan gerakan tangan kanan dari kiri ke kanan menangkis.
"Bresss....!" Tubuh Pak Jambi terpelanting dan terhuyung, akan tetapi dia tidak roboh karena Parmadi tidak mempergunakan tenaga yang terlalu besar. Dia tidak ingin melukai orang itu.
"Jahanam, engkau tentu orangnya keparat Wiroboyo untuk membunuhku!" kakek itu berseru. Mendengar seruan ini Parmadi merasa heran dan ketika kakek itu menyerang lagi, dia menggerakkan tangannya dengan cepat dan sekali jari-jari tangannya menepuk dada, kakek itu terkulai lemas. Seperti dilolosi seluruh urat di tubuhnya membuatnya terkulai dan tak mampu menggerakkan tubuhnya lagi. Ia mengaduh dan merintih.
"Paman Jambi, aku bukan orangnya Ki Wiroboyo. Andika ingat putera Ki Brojoketi, anak berusia sepuluh tahun yang kemudian dibawa pergi Ki Wiroboyo? Akulah anak itu!"
"Ahhh... ahhh... aku... salah sangka...!"kakek itu mengeluh. Mendengar ini, Parmadi lalu mempergunakan tenaga saktinya, menepuk kedua pundak orang itu dan Pak Jambi pulih kembali kesehatannya. Dia merasa takluk kepada pemuda itu dan memandang dengan takut.
"Jangan takut, paman Jambi. Duduklah kembali dan mari kita bicara dengan baik-baik. Tadinya aku hanya datang untuk menjenguk bekas rumah tempat tinggal ayah bundaku. Sama sekali tidak menyangka tempat ini akan dijadikan tempat keramat dan nama ayahku diabadikan sebagai Kyai Brojo. Akan tetapi, paman. Bukankah paman dahulu menerima peninggalan orang tuaku ini dari Ki Wiroboyo? Akan tetapi kenapa tadi paman mengira aku orangnya Wiroboyo yang datang untuk membunuhmu? Kenapa Ki Wiroboyo memusuhimu dan ingin membunuhrnu?"
Pak Jambi tampak bingung dan ketakutan. "Jangan takut, paman. Paman menyimpan sesuatu yang rahasia. Tentu ada hubungannya dengan orang tuaku dan Ki Wiroboyo. Hayo katakan, paman, cerita terus terang kepadaku. Aku tidak akan mengganggu paman kalau paman berterus terang, akan tetapi kalau paman tidak mau berterus terang, aku dapat memaksa paman mengaku!"
Pak Jambi menghela napas panjang, "Anakmas Parmadi, andika datang untuk minta kembali rumah dan pekarangan dariku?"
"Hemm, tidak, paman. Paman adalah tetangga ayah sejak dulu, tentu ayah mengenal baik paman dan paman tahu yang sesungguhnya terjadi. Aku kira paman tahu pula tentang pembunuhan terhadap ayah bundaku itu. Benarkah, paman? Ceritakan! Aku tidak akan mengambil kembali rumah dan pekarangan, aku hanya singgah sebentar."
"Tadinya aku takut bicara karena Ki Wiroboyo adalah Demang Pakis, berkuasa dan dia dapat bertindak kejam kalau ditentang. Akan tetapi setelah aku mendengar bahwa dia diusir dari Pakis dan kedudukannya digantikan orang lain, aku berani menceritakan apa yang kuketahui kepadamu, anakmas. Hanya kadang aku khawatir dia akan mengirim orang untuk membunuhku agar aku tidak bicara tentang peristiwa itu."
"Peristiwa terbunuhnya ayah ibuku, paman? Ceritakanlah kepadaku."
"Baiklah, akan kuceritakan apa yang kuketahui, anakmas. Orang tuamu merupakan pendatang baru di sini. Ayah ibumu dan andika yang ketika itu berusia sekitar dua tahun menjadi penghuni baru dusun Pancot ini. Karena aku menjadi tetangga terdekat, maka hubunganku dengan keluargamu juga paling akrab dan kami yang sama-sama miskin ini suka saling bantu. Orang tuamu hidup dengan aman tenteram di sini sampai bertahun-tahun, sampai engkau berusia sepuluh tahun. Selama itu tidak pernah terjadi hal-hal yang buruk."
"Yang ingin saya ketahui, apa yang paman tahu tentang pembunuhan yang te jadi pada malam hari itu?" tanya Parmadi.
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Sungguh, anakmas, sayapun tidak tahu. Semua itu begitu rahasia, begitu aneh. Tidak ada seorangpun mengetahui apa yang terjadi malam itu. Tahu-tahu pada pagi hari itu kami menemukan Ki Brojoketi dan isterinya sudah tewas dalam kamar mereka dan andika menangis dan menjerit-jerit di kamar itu. Sepatutnya andika yang lebih mengetahui, anakmas. Bukankah hanya andika seorang yang berada di kamar itu bersama mereka?"
Parmadi menghela napas panjang da dia menggeleng kepalanya. "Seingatku, akupun tidak tahu apa-apa paman. Pagi-pagi ketika aku bangun dari tidur di kamar sebelah, aku melihat pintu kamar orang tuaku terbuka dan ketika aku melongok ke dalam, aku melihat mereka telah menggeletak mandi darah maka aku menjerit-jerit dan orang-orang berdatangan."
Pak Jambi mengangguk-angguk. "Ya, kami lalu mengurus jenazah orang tuamu. Kebetulan ada Ki Demang Wiroboyo datang melayat dan dialah yang membiayai semua penguburan. Kemudian dia membawa andika ke Pakis dan rumah ini diserahkan kepada saya."
Parmadi mengingat-ingat. Dia teringat bahwa Ki Wiroboyo memang sering datang berkunjung ke rumah orang tuanya sehingra terjalin persahabatan antara ayahnya dan Ki Wiroboyo. "Nah, sekarang ceritakan apa yang kau ketahui seperti yang kau katakan tadi. Rahasia apa yang kau ketahui, paman? Tadinya engkau takut kepada Ki Wiroboyo untuk bercerita, akan tetapi sekarang tidak lagi, bukan? Nah, ceritakan kepadaku sejujurnya."
Pak Jambi menghela napas seolah mengumpulkan keberanian untuk bercerita. "Begini, anakmas. Tentu anakmas juga sudah mengetahui bahwa Ki Wiroboyo adalah seorang laki-laki yang mata keranjang dan selalu mengejar wanita cantik. Di Pancot ini terdapat banyak perawan cantik dan Ki Wiroboyo selalu berusaha untuk membujuk mereka dengan harta benda atau mengandalkan kedudukannya. Akan tetapi dia tidak berani menggunakan kekerasan dan tidak banyak perawan dusun ini yang bisa dia dapatkan. Dia berkenalan dan menjadi sahabat ayahmu, bahkan seringkali menginap di rumah ini."
"Aku tahu akan hal itu, paman. Lalu bagaimana?"
"Anakmas, pada waktu itu, mendiang ibumu masih muda, paling banyak baru dua puluh delapan tahun usianya dan ibumu itu terkenal sebagai wanita yang amat cantik. Dan kita tahu bahwa Ki Wiroboyo itu seorang laki-laki mata keranjang... dan..."
"Dan bagaimana, paman? Jangan ragu-ragu, ceritakanlah sejujurnya."
"Pada beberapa hari sebelum terjadi pembunuhan itu, Ki Wiroboyo bertamu dan menginap dirumah ini dan pada suatu siang ketika ayahmu sedang sibuk di ladang dan saya kebetulan baru keluar dari rumah, saya melihat di belakang rumah ini ibumu dipeluk dari belakang oleh Ki Wiroboyo, Jelas tampak bahwa Ki Wiroboyo berniat kotor terhadap ibumu. Ibumu marah dan menampar muka Ki Wiroboyo, lalu berlari memasuki rumah. Pada saat itu Ki Wiroboyo menoleh dan melihat saya. Saya pun cepat-cepat pergi dan pura-pura tidak tahu."
Parmadi mengerutkan alisnya, hatinya terasa panas akan tetapi dia menenggelamkan perasaan itu. "Lalu bagaimana, paman?"
"Nah, setelah beberapa hari kemudian terjadi pembunuhan aneh itu terhadap ayah ibumu, tentu saja saya merasa curiga kepada Ki Wiroboyo. Akan tetapi karena tidak ada bukti, sayapun tidak dapat berkata apa-apa. Sikapnya yang kurang ajar terhadap ibumu itu belum merupakan bukti bahwa dia yang melakukan pembunuhan itu. Akan tetapi setelah aku melihat dan mendengar apa yang dia lakukan kepadaku, aku yakin bahwa dia pasti tersangkut dengan pembunuhan itu. Hanya saja, selama itu aku tidak berani membuka mulut, takut akan ancamannya."
"Paman melihat dan mendengar apa? Apa yang dia lakukan kepada paman?" tanya Parmadi, penuh perhatian.
"Ketika Ki Wiroboyo datang melayat, mengatur dan membiayai semua keperluan pemakaman, dia sempat menemui saya seorang diri. Dia mengancam agar aku tidak bercerita kepada siapapun tentang apa yang saya lihat siang hari di belakang rumah Ki Brojoketi itu. Bahkan dia lalu menyerahkan rumah dan pekarangan ini kepadaku. Saya merasa bahwa penyerahan rumah dan pekarangan ini merupakan hadiah untuk menutup mulutku. Sejak itu, hati saya merasa yakin bahwa dia pasti tahu benar tentang pembunuhan itu, akan tetapi baru sekarang saya berani membuka rahasia itu. Ketika tadi anak-mas datang, saya kira anak-mas suruhan Ki Wiroboyo untuk membunuhku, maka saya hendak melawan."
Parmadi mengangguk-angguk. Keterangan itu penting sekali dan bukan mustahil kalau Ki Wiroboyo berdiri di belakang pembunuhan terhadap orang tuanya itu. Mungkin Ki Wiroboyo mendendam karena keinginan kotornya ditolak ibu. Atau mungkin malam itu dia hendak memaksa ibunya. Ibunya lalu menolak dan melawan sehingga dibunuh, dan mungkin saja ayahnya yang mengetahui juga dibunuhnya. Atau dapat juga Ki Wiroboyo memang menyuruh kaki tangannya untuk membunuh ayah ibunya karena mendendam.
"Paman Jambi, tahukah paman di mana adanya Ki Wiroboyo sekarang?"
Pak Jambi menggeleng kepala. "Saya tidak tahu, anakmas dan saya kira tidak ada orang di Pancot yang mengetahuinya karena sejak dia diusir dari Pakis, dia tidak pernah muncul kembali, juga tidak pernah ada kabar tentang dia."
"Ada satu hal lagi yang ingin saya tanyakan kepadamu, paman, sebelum aku meninggalkan dusun ini."
"Silakan bertanya, anakmas. Saya akan senang kalau dapat membantu anak-mas."
"Paman mengenal baik mendiang ayah saya. Tahukah paman, siapakah sesungguhnya ayah saya itu? Maksudku, apakah pekerjaannya sebelum dia pindah ke sini dan menjadi seorang petani?"
"Kami memang bersahabat baik, anakmas, dan saya sendiripun selalu menduga bahwa mendiang Ki Brojoketi pasti bukan orang dusun biasa. Gerak-geriknya, sikapnya dan cara dia bicara, apalagi mendiang ibumu, jelas menunjukkan bahwa mereka adalah priyayi. Karena itu pula agaknya Ki Wiroboyo dapat akrab dengan ayahmu. Akan tetapi ayahmu tidak pernah mau menceritakan keadaannya ketika tinggal di Kadipaten Pasuruan, bahkan seolah dia enggan bicara tentang Kadipaten Pasuruan. Menurut dugaanku, ayah dan ibumu tentu bukan orang sembarangan dan mempunyai rahasia di Pasuruan. Mungkin di kadipaten itu anakmas akan bisa mendapatkan keterangan tentang mereka."
Parmadi mengangguk. "Terima kasih atas semua keteranganmu, paman Jambi. Sekarang aku pamit, hendak melanjutkan perjalananku."
"Eh�. bagaimana dengan rumah dan pekarangan ini, anakmas?"
"Biarlah sekarang sebagai ahli waris orang tuaku, aku memberikan rumah dan pekarangan ini kepadamu, paman. Pakailah dan rawatlah dengan baik-baik. Akan tetapi aku minta agar mulai sekarang paman tidak menggunakan nama mendiang ayahku untuk mengeramatkan pohon beringin itu. Aku tidak suka mendengarnya!"
"Baik, baik, anakmas. Sebetulnya hanya karena rumah dan pohon ini dahulu milik Ki Brojoketi, dan mengingat bahwa Ki Brojoketi tewas terbunuh, maka untuk menghormatinya pohon ini disebut Kyai Brojo. Akan tetapi kalau anakmas melarangnya, biarlah mulai sekarang kami akan menyebutnya Kyai Pancot saja."
"Terserah paman asal jangan menggunakan nama ayah. Nah, selamat tinggal, paman." Parmadi bangkit dari bangku yang didudukinya.
"Nanti dulu, anakmas. Tunggu sebentar." Orang tua itu memasuki biliknya dan ketika dia keluar, dia menyerahkan sebuah benda kecil kepada Parmadi. "Cincin ini dulu milik ibumu, anakmas. Pada suatu hari, ketika orang tuamu membutuhkan uang untuk biaya membangun rumah ini, ibumu menyerahkan cincin ini kepadaku dengan permintaan agar aku menjualnya. Kebetulan pada waktu itu saya mempunyai simpanan uang yang sudah lama saya kumpulkan, maka cincin ini saya beli sendiri. Sekarang, rumah dan pekarangan ini andika berikan kepada saya, maka sudah sepatutnya kalau cincin ibumu ini ku kembalikan kepadamu, anakmas Parmadi."
Parmadi menerima cincin itu dan mengamatinya. Sebuah cincin yang indah sekali. Dari emas murni bermata mirah dan bawah mirah berbentuk hati ini ada ukiran indah huruf GA. Tentu saja dia merasa girang sekali. Sebuah cincin peninggalan ibunya! Tentu saja benda seperti ini merupakan benda pusaka baginya. Hatinya terharu ketika dia menggenggam cincin itu. "Terima kasih, paman Jambi, terima kasih banyak! Oya, paman, tahukah paman apa artinya huruf GA pada cincin ini?"
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Saya tidak tahu dan karena saya buta huruf saya juga tidak menanyakan kepada ibumu, tidak menyangka bahwa ukiran itu merupakan huruf."
"Barangkali paman mengetahui nama kecil ibu saya?"
"Kalau tidak salah, mendiang ayahmu menyebutnya diajeng Mirah."
"Mirah...? Mirah...?" Parmadi mengulang dalam bisikan haru. "Sekali lagi terima kasih. Paman seorang yang jujur. Selamat tinggal."
"Selamat jalan, denmas."
Parmadi meninggalkan rumah itu dan langsung dia menuju ke tanah kuburan yang berada diluar dusun. Tak lama kemudian dia sudah menemukan dua buah nisan kuburan yang berjajar itu. Dia masih ingat letak makam ayah bundanya. Kedua makam ini selalu merupakan bayangan terakhir baginya, seringkali muncul dalam mimpinya. Dia lalu berlutut dan mengelus dua buah batu nisan sederhana itu, membersihkan lumut yang menempel di situ. Kemudian dia membersihkan kedua makam itu, mencabuti semua rumput dan alang-alang.
Setelah bersih, dia lalu duduk bersila di depan makam, menjernihkan pikirannya dan menenangkan hatinya. Setelah merasa hening, dia menujukan seluruh cipta rasa dan karsa dalam batinnya untuk mendoakan semoga Gusti Allah Yang Maha Kasih mengampuni semua dosa ayah bundanya dan memberi tempat yang layak kepada roh mereka. Setelah kurang lebih sejam lamanya duduk tenggelam dalam doa di depan makam ayah ibunya, Parmadi lalu bangkit berdiri di depan makam, sejenak memandangi kedua makam itu lalu perlahan-lahan dia meninggalkan tanah kuburan itu.
Sambil berjalan dia mengamati cincin peninggalan ibunya. Ternyata lingkaran cincin itu tidak utuh lagi, melainkan sudah patah bagian belakangnya. Agaknya Pak Jambi sengaja membikin putus lingkaran cincin itu sehingga cincin yang lingkarannya kecil itu kini dapat dipakai jari yang lebih besar karena dapat direnggangkan. Parmadi mencium cincin itu lalu memakainya pada jari manis tangan kirinya. Andaikata lingkaran itu belum dibikin putus, tentu tidak dapat dimasuki jari manisnya, bahkan kelingkingnyapun belum tentu dapat masuk. Demikian kecil lingkaran itu. Dia membayangkan betapa kecil mungilnya jari manis ibunya.
Setelah Sultan Agung berhasil menundukkan seluruh daerah Jawa Timur bagian selatan, kecuali Blambangan, mulailah Mataram mengadakan persiapan untuk menundukkan Surabaya yang masih belum mau mengakui kekuasaan Sultan Agung. Akan tetapi melihat Kadipaten Tuban masih menjadi penghalang karena Adipati Tuban masih condong berpihak kepada Surabaya, Sultan Agung mengirim pasukannya untuk menaklukkan Tuban lebih dulu. Juga nampak tanda-tanda bahwa pihak Kumpeni Belanda yang amat dibenci Sultan Agung itu menghalang-halangi niat Mataram menyerbu Surabaya.
Hal ini terbukti dengan udanya kapal-kapal perang Belanda yang besar dan dilengkapi meriam-meriam besar, tidak memungkinkan penyerangan melalui laut sehingga sukar untuk mengepung Surabaya. Memang pada waktu itu, gubernur Kumpeni Belanda yang bernama Jan Pieterszoon Coen merasa khawatir bahwa Mataram akan menguasai Nusa Jawa dan hal ini tentu saja akan merupakan halangan besar bagi Kumpeni Belanda untuk memperluas kekuasaannya dan memperlebar sayapnya untuk dapat menguasai semua perdagangan mengeduk hasil bumi yang kaya raya dari Nusa Jawa.
Karena itu Gubernur Jenderal Coen menyebar kaki tangannya untuk membujuk orang-orang cerdik pandai dan sakti untuk membantu Kumpeni Belanda, menjadi mata-mata dengan imbalan hadiah harta benda. Juga dia selalu menggunakan siasat untuk mengadu domba dan membangkitkan semangat daerah-daerah untuk memberontak kepada Mataram. Diam-diam Kumpeni Belanda membantu dan menyokong mereka yang mau memberontak terhadap Mataram. Akan tetapi hal ini dilakukan dengan rahasia agar tidak ketahuan karena Kumpeni Belanda juga menjaga agar tidak mengadakan permusuhan terbuka dengan Mataram yang kuat.
Demikianlah, melihat Kadipaten Tuban menjadi penghalang, Sultan Agung mengirim pasukan menyerbu Tuban. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Kadipaten Tuban jatuh dan takluk kepada Mataram. Setelah Tuban jatuh, mulailah Mataram mengerahkan pasukan untuk melakukan penyerangan ke Surabaya. Akan tetapi ternyata Surabaya tidak mudah ditundukkan. Dengan bantuan dari Madura, juga secara diam-diam dibantu Kumpeni Belanda yang sengaja memasang kapal-kapalnya disekitar pantai Gresik sehingga menutup kemungkinan penyerbun Mataram melalui laut, Surabaya mempertahankan diri sehingga berulang kali serbuan pasukan Mataram dapat digagalkan.
Selama tiga tahun, dari tahun 1620 sampai tahun 1623, berulang kali serangan dilakukan Mataram dan Surabaya tetap dapat mempertahankan diri. Mataram hanya berhasil menduduki daerah-daerah di luar Surabaya yang menjadi daerah kekuasaan Surabaya, diantaranya Kadipaten Sukadana. Demikianlah keadaan pada waktu itu. Surabaya masih belum dapat ditaklukkan dan melihat betapa Surabaya diperkuat oleh Madura, maka Sultan Agung mengubah siasatnya.
Mataram hendak menyerang dan menaklukkan Madura lebih dulu karena kalau Madura sudah ditaklukkan, berarti Surabaya dapat dikepung dan akan lebih mudah dikalahkan. Sementara itu, di Kadipaten Arisbaya terjadi sedikit kekacauan setelah Adipati Arisbaya yang berjuluk Panembahan Tengah atau Pangeran Tengah wafat (1620). Pangeran Tengah ini mempunyai seorang putera yang bernama Raden Prasena yang pada saat ayahnya meninggal dunia masih merupakan seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun.
Menurut ketentuan adat, semestinya dia yang menggantikan kedudukan adipati di Arisbaya menggantikan ayahnya yang wafat. Akan tetapi kedudukan ini didaulat oleh Pangeran Mas, yaitu adik mendiang Pangeran Tengah. Tanpa menimbulkan banyak heboh karena Pangeran Mas memiliki kekuasaan, dia menggantikan kedudukan kakaknya dengan alasan bahwa Raden Prasena masih terlampau muda untuk menjadi adipati yang harus memimpin Kadipaten Arisbaya. Betapapun juga, cara yang diambil Pangeran Mas ini diam-diam menimbulkan rasa tidak puas dan dianggap bertentangan dengan hukum.
Namun, kedudukan Pangeran Mas yang setelah menjadi Adipati Arisbaya berjuluk Pangeran Adipati Ngabehi Arisbaya amat kuat, terutama sekali karena dia didukung seorang datuk besar yang disegani dan ditakuti di Madura, yaitu Ki Harya Baka Wulung! Datuk sakti mandraguna inilah yang membuat semua pihak yang tidak setuju, tidak berani banyak cakap lagi. Ki Harya Baka Wulung diangkat menjadi penasihat di Kadipaten Arisbaya.
Ki Harya Baka Wulung inilah yang membujuk Adipati Arisbaya untuk memhantu Surabaya ketika berulang kali diserang oleh Mataram. Bahkan Ki Harya Baka Wulung ini telah mengadakan persekutuan dengan Wiku Menak Koncar datuk Kadipaten Blambangan dan Kyai Sidhi Kawasa tokoh sakti mandraguna dari Kerajaan Banten. Tiga orang datuk besar yang digdaya dan sakti mandraguna ini bekerja sama dengan satu tujuan, yaitu menentang Kerajaan Mataram.
Mereka bertiga bahkan melakukan perjalanan ke daerah Mataram, diam-diam membujuk orang-orang yang memiliki kedigdayaan dan yang memiliki perkumpulan kuat untuk membantu Surabaya menentang Mataram! Dalam rangka kegiatan itulah mereka bertiga berada puncak Gunung Lawu dan membunuh Ki Bargowo yang tidak mau membantu Surabaya. Memang, mereka bertiga itu bertekad untuk membunuh tokoh-tokoh yang setia kepada Mataram. Dalam peristiwa itulah mereka bertiga bertemu dengan Resi Tejo Wening dan dalam adu kesaktian terpaksa mereka mengakui keunggulan sang resi seperti diceritakan di bagian depan kisah ini.
Setelah gagal menandingi Resi Tejo Wening, tiga orang datuk itu lalu saling berpisah, kembali ke daerah masing-masing. Ki Harya Baka Wulung kembali ke Kadipaten Arisbaya dan dia segera turun tangan membantu Pangeran Mas yang merebut kedudukan adipati dari tangan keponakannya, yaitu Raden Prasena. Selanjutnya Ki Harya Baka Wulung diangkat menjadi penasihat oleh adipati yang baru dan Raden Prasena oleh pamannya diharuskan meninggalkan istana kadipaten dan tinggal di Sampang agar mendapatkan pendidikan dari seorang pamannya yang lain, yaitu Pangeran Sante Merta.
Demikianlah, Ki Harya Baka Wulung menjadi seorang yang berkuasa besar, bahkan banyak kebijaksanaan yang diambil Adipati Ngabehi Arisbaya diatur olehnya. Juga Ki Harya Baka Wulung segera menempatkan putera tunggalnya, Dibyasakti, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, menjadi senopati muda di Arisbaya! Ki Harya Baka Wulung mendapatkan sebuah rumah gedung megah dan dia hidup berdua saja dengan puteranya itu.
Isterinya, ibu Dibyasakti, sudah lama meninggal dunia, bahkan pemuda itu tidak pernah melihat wajah ibunya yang meninggal dunia ketika melahirkan dia. Karena itu, Ki Harya Baka Wulung amat sayang kepada puteranya ini. Hampir seluruh aji kesaktiannya diajarkan kepada Dibyasakti sehingga pemuda itu menjadi seorang pemuda yang sakti mandraguna dan amat dibanggakan ayahnya.
Setelah Ki Harya Baka Wulung menjadi penasihat Kadipaten Arisbaya dan mengangkat puteranya menjadi senopati, dia menasihatkan Adipati Pangeran Mas untuk mengadakan hubungan dengan para bupati dan adipati lain di seluruh Madura untuk bersiap-siap menghadapi Mataram. Untuk menjadi utusan adipati, ditunjuk Dibyasakati sendiri untuk mengunjungi para adipati terutama Adipati Pamekasan yang memiliki pasukan yang besar dan kuat.
Maka pada suatu pagi, berangkatlah Dibyasakti meninggalkan Arisbaya. Biarpun dia seorang senopati, namun dia tidak membawa pengiring atau pengawal yang dianggapnya hanya akan merepotkan saja. Seorang diripun dia mampu menjaga diri. Setelah membawa surat-surat dari Sang Adipati Arisbaya, dia lalu menunggang seekor kuda pilihan, yaitu kuda Arab, pemberian hadiah dari Kumpeni Belanda.
Memang pihak Kumpeni banyak memberi hadiah, terutama kuda-kuda yang didatangkan dari Arab, kuda yang besar dan kuat untuk menyenangkan hati para adipati sehingga mereka dapat membeli hasil bumi kadipaten itu, tentu saja yang mendatangkan keuntungan besar sekali untuk mereka. Kuda yang ditunggangi Dibyasakti adalah seekor kuda Arab yang merupakan seekor di antara lima ekor kuda Arab yang dihadiahkan Kumpeni kepada Kadipaten Arisbaya. Gagah sekali pemuda itu, sesuai dengan kuda tinggi besar yang ditungganginya.
Dibyasakti memang seorang pemuda yang tampak gagah perkasa. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar dengan kulit coklat mengkilat. Rambutnya hitam tebal agak keriting dibungkus kain pengikat kepala yang dilibatkan di kepalanya dengan bentuk yang gagah, khas Madura. Wajahnya kemerahan, alis tebal sepasang matanya lebar dan tajam seperti mata burung elang, hidungnya besar dan sebaris kumis tumbuh subur seperti kumis Sang Gatotkaca. Mulutnya membayangkan kekerasan hatinya dengan dagu berlekuk.
Sepasang lengan yang memegang kendali kuda itu tampak kokoh kuat, dengan otot melingkar-lingkar. Seorang pemuda yang tampak gagah perkasa. Sebatang keris panjang bergagang kayu cendana bertabur intan dengan warangka terukir indah terselip dipinggangnya, menambah kegagahannya. Kuda yang ditungganginya berlari congklang ketika dia meninggalkan Kadipaten Arisbaya dan semua orang yang berpapasan dengan dia memandang kagum dan juga takut karena semua orang mengenal pemuda yang gagah perkasa namun terkenal ringan tangan, keras hati, galak dan sombong ini.
Ki Harya Baka Wulung tidak mempunyai banyak murid. Akan tetapi para muridnya itu, yang sudah mengeluarkan banyak harta benda untuk dapat membujuk Ki Harya Baka Wulung mengajarkan ilmu-ilmunya kepada mereka, hanya menerima satu dua macam ilmu saja. Bahkan Raden Prasena sendiri, putera adipati yang telah wafat, juga menjadi muridnya. Akan tetapi Raden Prasena inipun tidak sepenuhnya menerima ilmu-ilmu Ki Harya Baka Wulung yang mewariskan seluruh ilmunya kepada puteranya, yaitu Dibyasakti yang setelah menjadi senopati menggunakan sebutan Raden di depan namanya!
Para adipati yang dikunjung Raden Dibyasakti menyambutnya dengan hormat setelah mereka mengetahui bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah senopati muda Arisbaya dan menjadi utusan Sang Adipat. Mereka menanggapi surat dari Adipati Arisbaya dengan baik, dan menyatakan bersedia untuk bekerja sama menghadapi ancaman dari Mataram. Juga mereka menyatakan setuju dengan ajakan Adipati Arisbaya untuk membantu Surabaya kalau Mataram menyerang lagi karena bagi mereka, Surabaya merupakan benteng pertama yang melindungi mereka dari ancaman Mataram.
Pada suatu pagi, Raden Dibyasakti tiba di luar Kadipaten Pamekasan. Dia menjalankan kudanya perlahan dari arah barat menuju timur. Ketika melihat debu mengepul di depan, dia menghentikan kudabya dan mengamati penuh perhatian. Kiranya yang membuat debu mengepul itu adalah serombongan orang berkuda, terdiri dari belasan orang berpakaian sebagai prajurit, mengawal sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda datang dari arah timur menuju ke barat.
Setelah berhadapan, perwira komandan regu berkuda itu membentak kepada Raden Dibyasakti, "Heii, kisanak yang menunggang kuda di depan! Cepat andika turun dari kuda dan minggir agar kami dapat lewat dengan leluasa!"
Mendengar ini, Ki Tejo Budi menahan langkahnya, memutar tubuhnya dan dia melihat Lasmini berlutut diluar pintu rumah, menangis dan menyembah-nyembah ke arahnya. Ki Tejo Langit yang memondong Sudrajat berdiri menghibur wanita itu. Ki Tejo Budi mengangkat kedua tangannya seperti memberi berkah, seperti menyatakan ketulusan hatinya bahwa dia sudah sejak tadi memaafkan bekas isterinya, rela kehilangan mereka semua, isterinya, anaknya, rumah dan tegal sawahnya. Kemudian dia memutar tubuhnya dan melangkah cepat untuk menyusul Ki Tejo Wening yang sudah berjalan terus. Ki Tejo Langit dan Lasmini mengikuti bayangan dua orang itu sampai lenyap di sebuah tikungan. Kemudian Ki Tejo Langit mengangkat Lasmini bangun dan memapahnya masuk ke dalam rumah.
Semenjak saat itu, selama bertahun-tahun Ki Tejo Budi memperdalam ilmu-ilmunya di bawah bimbingan kakak seperguruannya itu. Bukan hanya ilmu kanuragan bahkan lebih dari itu, ilmu-ilmu tentang kehidupan, terutama sekali tentang kejiwaan yang disebut Aji Tirta Bantala, mengalir seperti tirta (air) dan pasrah menyeret seperti bantala (bumi), bersatu dengan kekuasaan Sumber segala sumber, SANGKAN PARANING DUMADI, mengawali yang terawal dan mengakhiri yang terakhir, bahkan berada di luar jangkauan pengaruh awal dan akhir.
Menyerah dan pasrah kepada kekuasaan Yang Tak Terbayangkan, Yang Tak Tergambarkan, Tak Terukur, melampaui Kekekalan dan Keabadian. Ki Tejo Wening sendiri makin jelas melihat bahwa sumber segala kesengsaraan dunia adalah nafsu-nafsu daya rendah yang menguasai badan dan hati akal pikiran, menciptakan si AKU. Si AKU ini mengikatkan diri dengan segala kenikmatan dan kesenangan kedagingan dan duniawi sehingga nenjadi semakin besar. Makin besar kesenangan yang dikejar si AKU, semakin besar pula kedukaan yang dideritanya. Karena menyadari akan semua ini, setelah selama beberapa tahun membimbing Ki Tejo Budi, akhirnya kedua orang kakak beradik seperguruan ini mengambil jalan sendiri-sendiri dan hidup sebagai pengembara yang berkelana.
Dua puluh lima tahun sejak peristiwa itu, dalam usianya yang ke tujuhpuluh tahun, Ki Tejo Wening yang berkelana sampai di puncak Argadumilah di Gunung Lawu, bertemu dengan tokoh-tokoh yang menentang Mataram seperti yang diceritakan di bagian pertama kisah ini. Kemudian dia bertemu pemuda yang berjodoh menjadi muridnya dan bersama Parmadi, pemuda itu, kemudian menetap di puncak Argadumilah di mana dia menggembleng Parmadi dengan ilmu-ilmu yang dikuasainya. Demikianlah sedikit riwayat kakek sakti mandraguna Ki Tejo Wening yang kini menjadi guru Parmadi dan bersama pemuda itu tinggal di puncak Argadumilah di Gunung Lawu.
********************
WAKTU atau KALA itu digambarkan sebagai Sang Bathara Kala, dewa berujud raksasa besar sekali mengerikan dalam kisah pewayangan. Dan sesungguhnyalah, seperti dewa raksasa Sang Bethoro Kolo, sang waktu melahap segala apa yang berada di dunia ini. Segala sesuatu akhirnya lenyap dicaplok sang waktu. Yang tadinya kecil tak berdaya tumbuh menjadi besar kuat bersama waktu. Kemudian yang besar kuat ini berubah kembali menjadi tua ringkih tak berdaya. Yang terakhir Sang Waktu akan mencaploknya sama sekali sehingga lenyap. Segala macam kesenangan akan lenyap ditelan waktu, demikian pula tiada duka cita yang tanpa akhir, karena akhirnya akan habis pula dicaplok waktu. Anehnya, kalau diperhatikan, waktu merayap seperti siput tua, akan tetapi sekali kita lengah, sang waktu akan menyambar secepat kilat sehingga waktu bertahun-tahun tampak baru beberapa hari saja!
Demikian pula dengan keadaan di puncak Argadumilah di mana guru dan murid itu hidup. Tanpa terasa lima tahun telah lewat sejak mereka tiba di puncak itu. Parmadi telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia duapuluh tiga tahun. Tubuhnya tinggi tegap. Wajahnya tampan gagah namun gerak-geriknya lemah lembut. Bibirnya selalu tersenyum ramah dan sabar penuh pengertian. Sepasang matanya bersinar lembut namun terkadang mencorong penuh wibawa. Ki Tejo Wening atau Resi Tejo Wening masih tampak seperti lima tahun yang lalu. Tidak tampak lebih tua atau lemah walaupun usianya kini sudah tujuh puluh lima tahun.
Pada suatu pagi, Resi Tejo Wening tampak duduk bersila di atas bale-bale yang berada di luar pondoknya. Parmadi duduk bersila di atas tanah beralaskan sepotong papan. "Parmadi, aku memanggilmu untuk memberi tahu bahwa hari ini tiba saatnya kita harus saling berpisah dan engkau harus turun gunung untuk mulai berdarma bakti kepada manusia dan dunia pada umumnya kepada bangsa dan nusa pada khususnya memanfaatkan segala macam ilmu yang telah kaupelajari selama lima tahun di sini. Engkau tentu masih ingat akan semua wejangan yang pernah kuberikan kepadamu tahu bahwa segala macam ilmu dan kepandaian itu tiada gunanya tanpa dipraktekkan dalam tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Apa artinya segala pengetahuan tentang kebaikan kalau kebaikan itu sendiri tidak mewarnai tindak-tandukmu? Semua itu telah kau ketahui dan engkau masih ingat semuanya, bukan?"
"Saya masih ingat, eyang dan semoga saya tidak akan pernah melupakan semua ajaran dan wejangan yang selama ini eyang berikan kepada saya."
"Ada satu hal yang aku ingin engkau selalu ingat dan menyadari kenyataan bahwa dalam kehidupan di dunia ini, perbuatan manusia itu hanya dapat disebut baik atau buruk menurut penilaian orang, dan penilaian ini selalu didasari keadaan hati dan kepentingan si penilai. Karena itu tidak ada kebaikan atau keburukan mutlak. Dalam kebaikan terdapat keburukan dan dalam keburukan terdapat kebaikan."
Parmadi mengangguk-angguk. "Lalu, apakah kebaikan mutlak itu, eyang."
"Yang mutlak baik dan sempurna hanyalah Gusti Yang Maha Baik dan Maha Sempurna. Akan tetapi ada suatu kebenaran hakiki, yaitu KASIH! Apa bila ada Kasih hidup didalam hati sanubarimu, Kasih sejati, Kasih murni, Kasih yang merupakan karunia Tuhan, maka apapun yang kau perbuat, pasti benar dan baik adanya! Tuhan Maha Kasih, maka apabila ada Kasih bernyala dalam hatimu, Kuasa Tuhan akan selalu membimbingmu. Karena itu, berdoalah selalu supaya Tuhan memberi kemampuan kepadamu untuk membuka pintu hatimu, agar sinar kasih-Nya yang suci dapat masuk dan manunggal dengan jiwamu."
Parmadi menyembah. "Akan saya teringat pesan eyang."
"Nah, sekarang engkau berangkatlah, Parmadi. Pergilah berkelana dan jangan melupakan tugas yang dipesankan oleh mendiang ayahmu. Ayahmu itu tentu seorang yang setia kepada Mataram, maka sebagai puteranya, engkau berkewajiban untuk melanjutkan pengabdiannya kepada Kerajaan Mataram itu. Pergilah engkau ke Mataram dan belalah nusa dan bangsamu. Akan tetapi ingat, pengabdianmu harus tulus ikhlas bukan dengan pamrih meraih kedudukan tinggi dan kemuliaan bagi dirimu sendiri. Kalau demikian halnya, maka pengabdianmu itu palsu, dinodai oleh kepentingan diri pribadi yang hanya mempergunakan pengabdian dan pengorbanan sebagai kedok dan sarana untuk mendapatkan keinginan pribadi."
"Akan tetapi, eyang. Maafkan pertanyaan saya. Eyang sendiri hendak pergi ke manakah?"
Resi Tejo Wening tersenyum. "Aku sudah tua dan ringkih tubuhku, hendak pergi kemana lagi?"
Parmadi memandang penuh harapan, "Kalau saya mempunyai kesempatan dan merasa kangen kepada eyang, bolehkah saya datang menghadap eyang di sini? Eyang tentu masih berada di sini, bukan?"
"Aku tidak tahu apakah aku berada di sini atau di mana. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu yang akan menentukannya. Akan tetapi tentu saja engkau boleh datang ke puncak ini sewaktu-waktu dan kalau memang ada jodoh tentu saja kita dapat saling berjumpa."
Biarpun ucapan gurunya itu kurang meyakinkan, namun membuat hati Parmadi lega. Dia lalu berkemas, tidak lupa membawa Seruling Gading, pusaka pemberian gurunya itu, diselipkan di ikat pinggangnya, dan membawa sedikit pakaian yang dipunyainya dalam buntalan. Setelah itu kembali dia berlutut menyembah kepada gurunya dan berpamit.
"Ya, berangkatlah dan selalu ingat dan waspadalah seperti yang sudah kau ketahui. Oh Ya, aku pernah menceritakan tentang kedua adik seperguruanku, Ki Tejo Langit dan Ki Tejo Budi kepadamu. Kalau engkau kebetulan bertemu dengan mereka, sampaikanlah salamku."
"Baiklah, eyang dan selamat tinggal, eyang, harap eyang menjaga diri baik-baik."
"Pergilah," kata kakek itu singkat. Parmadi lalu menuruni puncak Argadumilah, tidak ragu atau menengok lagi. Gemblengan batin dari gurunya sudah matang tumbuh dalam hatinya sehingga dia tidak merasa kehilangan karena memang dia tidak terikat. Dia menyadari sepenuhnya bahwa segala apapun yang dekat dengannya, bahkan yang dipunyainya, pada hakekatnya bukanlah MILIKnya. Bahkan tubuhnya sendiripun bukan miliknya, hanya dipinjamkan kepadanya agar dia dapat hidup sebagai manusia di dunia ini. Segala apapun di alam mayapada ini, yang tampak dan yang tidak tampak, adalah milik Tuhan Yang Maha Kuasa!
Biarpun dia tahu bahwa dia hanya seorang manusia biasa, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, segala kelemahan dan kekuatannya, disertai nafsu-nafsunya namun keyakinan bahwa dia tidak memilik apa-apa dan bahwa segala sesuatu adalah milik Tuhan Yang Maha Kasih, membuat hatinya ringan dari tekanan dan bebas dari ikatan.
Setelah menuruni puncak Lawu, tentu saja pertama-tama Parmadi menujukan langkahnya ke dusun Pakis. Selama lima tahun dia meninggalkan dusun ini dan selama lima tahun belajar ilmu dari Resi Tejo Wening, seringkali dia terkenang kepada dusun ini. Tidak, kalau dia mau jujur harus diakui bahwa yang membuat dia terkenang adalah diri Muryani! Dia merasa rindu kepada gadis yang sudah dikenalnya kurang lebih setengah tahun itu, bahkan sudah akrab dengannya, sudah seperti kakak dan adik sendiri saja. Dan kalau dia mengenangkan saat perpisahan di luar dusun itu, ada getaran aneh dalam hatinya dan dia merasa bahwa hubungan di antara mereka bahkan lebih akrab dari pada sekedar kakak dan adik!
Pertama dia rindu kepada Muryani, dan kedua diapun ingin sekali bertemu dengan Ki Ronggo Bangak. Setelah berpisah lama, seringkali dia baru menyadari betapa besar budi dan jasa orang tua itu kepadanya. Ki Ronggo Bangak itulah gurunya yang pertama, orang yang pertama kali membuka pikirannya, memberikan pengetahuannya melalui bacaannya itulah yang membuat dia bukan seperti pemuda dusun kebanyakan. Dia pandai membaca menulis, pandai bertembang dan menari, pandai meniup suling dan mengerti akan tata susila.
Setelah tiba di luar pintu gerbang dusun Pakis, dia berhenti melangkah da memandang ke arah dusun itu, di mana dia dulu hidup sejak berusia sepuluh tahun sampai delapan belas tahun. Tadipun ketika dia melewati padang rumput di mana dia biasa menyabit rumput, semua kenangan terbayang. Kini dia memandang dusun itu dan melihat bahwa dusun itu sama sekali tidak berubah! Pohon cemara di kanan kiri, pintu dusun, cemara pecut yang kecil tinggi dan runcing seperti pecut itu, masih tetap di sana dan tidak berubah. Sepasang pohon cemara itu agaknya sudah terlalu tua untuk tumbuh semakin tinggi sehingga tampak masih sama seperti lima tahun yang lalu.
Hari telah siang dan dia melihat kesibukan di dusun itu masih seperti dulu. Ketika memasuki dusun lewat pintu gapura dusun itu dia melihat para penduduk yang bertemu dengan dia memandang kepadanya, akan tetapi agaknya tidak ada yang mengenalnya. Dia sendiri mengenal beperapa orang di antara mereka. Akan tetapi karena mereka itu seperti pangling kepadanya, diapun diam saja dan langsung dia menuju ke rumah Muryani. Rumah itupun masih seperti dulu. Pekarangannya yang bersih terhias tumbuh-tumbuhan kembang yang indah. Kembang mawar merah kesukaan Muryani masih tumbuh dan banyak kembangnya menghias pohon kembang itu. Pintu dan dinding kayu berhias ukir-ukiran indah itu masih sama dan terpelihara baik-baik.
Berdebar Jantung di dada Parmadi membayangkan pertemuannya dengan Muryani dan ayah gadis itu. Akan tetapi yang tampak di situ hanya seorang pria setengah tua yang sama sekali bukan Ki Ronggo Bangak, melainkan seorang yang tidak dikenalnya. Pria ini bertelanjang dada dan sedang mencangkul di taman pekarangan itu, membersihkan rumput-rumput liar. Dadanya yang kerempeng itu basah oleh keringat. Parmadi cepat menghampiri dan pria itu menghentikan pekerjaannya ketika melihat ada seorang pemuda memasuki pekarangan. Dia memandang kepada Parmadi dengan heran.
"Maaf, paman kalau aku mengganggu. Aku hendak bertemu dengan paman Ronggo Bangak dan adi Muryani. Apakah mereka berada di rumah?"
Orang itu memandangnya dengan mata heran dan bodoh, lalu menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengenal mereka."
Tentu saja Parmadi terkejut dan heran mendengar ucapan itu. "Kalau begitu, rumah siapakah ini? Siapa penghuninya?"
Kembali laki-laki itu menggeleng kepala "Tidak ada penghuninya. Rumah ini kosong dan saya bertugas untuk menjaga dan merawat rumah ini."
"Siapa yang menugaskanmu, paman?" tanya Parmadi semakin heran sambil mengamati wajah orang itu. Sebuah wajah yang sama sekali tidak dikenalnya, berarti orang ini belum ada di dusun Pakis ketika dia pergi.
"Yang menugaskan tentu saja pemilik rumah ini!" jawab orang itu dan nada suaranya membayangkan kejengkelan.
"Lho! Pemilik rumah ini kan paman Ronggo Bangak dan adi Muryani? Engkau tentu mengenal mereka, paman!"
"Bukan! Dan aku tidak mengenal mereka. Baru setahun aku datang dan belum mengenal mereka."
"Ah, begitukah? Dan tolong jawab, siapa nama pemilik rumah ini dan di mana dia tinggal?"
"Pemiliknya adalah Ki Demang Pakis dan kalau engkau ingin bertanya tentang rumah ini, tanyalah kepadanya karena aku tidak tahu apa-apa!" Setelah berkata demikian, orang itu melanjutkan pekerjaanya mencangkul dan tidak mengacuhkan lagi kepada Parmadi.
Parmadi tertegun. Dia memandang ke arah pintu rumah, seolah mengharapkan pintu itu terbuka dan Muryani atau ayahnya muncul. Dia merasa seperti dalam mimpi. Apa yang telah terjadi dengan mereka? Dan siapa Ki Demang Pakis itu? Tiba-tiba dia tersentak kaget ketika pikirannya membayangkan, jangan-jangan Ki Demang Wiroboyo telah kembali dan menggunakan kekerasan untuk memegang jabatannya kembali! Teringat akan kemungkinan ini, dia segera berkata kepada penjaga itu, "Terima kasih, paman!" setelah berkata demikian, dia cepat meninggalkan pekarangan itu dan bergegas pergi ke rumah gedung yang dulu menjadi tempat tinggal Ki Demang Wiroboyo!
Gedung itupun masih kelihatan luas. Di pekarangan yang amat dikenalnya itu tidak tampak orang. Parmadi segera memasuki pekarangan dan setelah tiba di depan pendopo, dia melihat dua orang pemuda duduk di atas bangku penjagaan. Agaknya dua orang pemuda itu yang yang bertugas jaga. Dia segera mengenal wajah mereka. Dua orang pemuda dusun yang dulu amat dikenalnya.
"Manto dan Dikun! Kalian menjaga sini? Siapakah yang sekarang menjadi demang?"
Dua orang pemuda itu memandang heran, mengamati wajah Parmadi. Agaknya selama lima tahun ini wajah Parmadi telah banyak berubah. Mungkin pada sinar matanya yang mencorong itulah yang membuat dua orang itu pangling. Akan tetapi kemudian pemuda yang bernama Dikun berteriak, "Parmadi...! Engkaukah ini?"
"Parmadi? Ah, benar, dia Parmadi!" kata pemuda yang kedua.
Mereka menjabat tangan dan menepuk-epuk pundak Parmadi dengan gembira. "Ke mana saja engkau selama ini?" mereka menghujaninya dengan pertanyaan. Akan tetapi Parmadi menggeleng kepala dan berkata, "Aku berkelana, akan tetapi hal itu tidak penting. Yang penting, sekarang kalian ceritakan apa yang terjadi di dusun kita ini, ke mana perginya Ki Ronggo Bangak dan Muryani, dan siapa pula yang sekarang menjadi demang di sini?"
"Akulah yang menjadi demang di sini, orang muda!" tiba-tiba terdengar suara orang menjawab. Parmadi cepat menoleh dan melihat seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan mukanya merah, keluar dari pendopo kademangan.
"Siapakah andika, orang muda, dan apa maksudmu datang berkunjung ke sini?"
Manto dan Dikun memberi hormat dan Dikun berkata, "Paman Demang, inilah yang bernama Parmadi, yang dulu menjadi perawat kuda milik Ki Demang Wiroboyo."
Laki-laki tinggi besar itu memandang penuh perhatian. "Ah, kiranya andika ini yang bernama Parmadi? Parmadi, mari masuklah, agaknya banyak hal yang ingin kau ketahui. Mari kita bicara di dalam."
Parmadi melihat laki-laki tinggi besar itu sikapnya kasar namun pandang matanya membayangkan kejujuran dan senyum mulutnya wajar dan ramah. Juga pembawaannya seperti seorang yang "berisi", yaitu orang yang berilmu. Ketika memandang kepada dua orang pemuda itu, dia melihat mereka tersenyum dan mengangguk-angguk seperti hendak mengisyaratkan bahwa baik sekali kalau dia menuruti permintaan demang baru itu. Maka diapun lalu melangkah memasuki pendopo. Orang tinggi besar itu mengajaknya duduk di ruangan sebelah kiri yang biasanya dahulu juga menjadi ruangan di mana demang menerima tamunya. Mereka lalu duduk berhadapan di kursi-kursi yang dulu juga.
Setelah duduk berhadapan, demang itu berkata, "Aku sudah mendengar bahwa andika dulu menjadi pembantu Ki Wiroboyo juga bahwa andika adalah murid Ki Ronggo Bangak. Tentu andika mengenal baik puteri Ki Ronggo Bangak yang bernama Muryani itu, bukan?"
"Benar sekali apa yang paman katakan itu. Akan tetapi, apakah yang telah terjadi didusun ini selama lima tahun ini. Dan ketika saya mengunjungi rumah paman Ronggo, rumah itu kosong. Ke mana perginya Ki Ronggo Bangak dan Muryani?"
Orang itu menghela napas panjang. "Agaknya andika sama sekali belum mendengar tentang apa yang terjadi di dusun ini, Parmadi. Ki Ronggo Bangak telah meninggal dunia, tewas terbunuh "
Parmadi terbelalak mendengar ini. "Terbunuh ? Dan adi Muryani....?"
"Sabarlah, Parmadi. Sebaiknya kuceritakan dari permulaan agar engkau mengetahui dengan jelas apa yang terjadi di dusun ini."
Orang tinggi besar itu lalu bercerita. Ketika laporan tentang dusun Pakis itu sampai di Mataram, Sultan Agung menyerahkan tugas kepada Tumenggung Wiroguno, seorang senopati Mataram, untuk menenteramkan dan membereskan keadaan di kademangan itu. Tumenggung Wiroguno datang ke dusun itu dan mendengar laporan Ki Ronggo Bangak tentang Ki Demang Wiroboyo yang diusir oleh penduduk dusun karena perbuatannya yang dianggap menyimpang dari kebenaran.
Tumenggung Wiroguno lalu mengangkat Ki Warutomo sebagai demang baru di Pakis. Ki Warutomo yang tinggi besar berusia lima puluh tahun itu tadinya adalah seorang perwira dalam pasukan Mataram, seorang yang terkenal gagah berani jujur dan setia kepada Mataram. Adapun Ki Ronggo Bangak diangkat sebagai penasihat Ki Demang Warutomo. Berkat pimpinan yang tegas dan adil dari Ki Demang Warutomo, keadaan di dusun Pakis menjadi tenteram kembali.
Ki Demang Warutomo memboyong keluarganya yang terdiri dari dua orang isteri dan tiga orang anak yang masih kecil-kecil ke dusun Pakis. Hubungannya dengan Ki Ronggo Bangak baik sekali, demikian pula dengan Muryani, apalagi setelah mengetahui bahwa Muryani adalah seorang gadis yang memiliki kedigdayaan. Ki Demang Warutomo menghormati gadis itu setelah dia mengetahui bahwa Muryani adalah seorang murid perguruan Bromo Dadali yang terkenal itu.
Akan tetapi pada suatu malam, kurang lebih setahun setelah dia menjadi demang di Pakis, terjadilah peristiwa yang menggegerkan Kademangan Pakis. Malam itu hujan turun dengan derasnya, kilat menyambar-nyambar. Hujan turun hampir sepanjang malarn. Para penghuni dusun Pakis tidak ada yang ke luar rumah. Para perondapun hanya berkumpul dalam gardu, Ki Demang Warutomo sendiri hanya tinggal di rumah, tidak menyangka sama sekali akan terjadi peristiwa yang menggegerkan dusun yang dipimpinnya.
Pada keesokan harinya, barulah orang tahu akan peristiwa itu. Seorang wanita tetangga yang biasa membantu Muryani dalam pekerjaan mencuci pakaian dan membersihkan halaman dan dalam rumah, ketika memasuki rumah itu, mendapatkan pintu belakang rumah sudah terbuka dan ketika ia masuk ke dalam ia menemukan Ki Ronggo Bangak dan Muryani sudah menggeletak di atas lantai ruangan dalam.
"Begitulah, Parmadi," kata Ki Demang Warutomo. "Setelah mendengar laporan itu dan aku datang ke sana memeriksa, ternyata Ki Ronggo Bangak telah tewas dan nini Muryani menderita luka dalam yang cukup parah."
"Mereka terluka senjata, paman Warutomo?"
"Tidak, mereka terluka oleh pukulan tangan kosong yang ampuh. Setelah diusahakan pengobatannya, akhirnya nini Muryani sembuh sebulan kemudian. Menurut ceritanya, malam itu ia mendengar suara keras di bagian belakang rumah. Ketika ia dan ayahnya keluar dari kamar, di ruangan dalam itu telah terdapat seorang yang bertubuh tinggi kurus. Karena ruangan itu gelap maka Muryani tidak dapat melihat wajah orang itu dengan jelas. Orang tinggi kurus itu. Langsung menyerang Ki Ronggo Bangak dan ternyata dia seorang yang sakti mandraguna. Sekali pukul saja pada dada Ki Ronggo Bangak membuat ayah Muryani itu roboh dan tak bergerak lagi. Muryani menjadi marah dan ia menyerang orang tinggi kurus itu. Mereka berkelahi dalam ruangan yang gelap. Menurut cerita Muryani, gadis itu sebetulnya mampu menandingi lawannya. Akan tetapi karena ruangan itu gelap dan lawan itu memilik pukulan jarak jauh yang ampuh, akhirnya Muryani terkena pukulannya dan roboh pingsan. Demikianlah menurut cerita Muryani."
"Kalau begitu, penyerang itu tidak diketahui siapa orangnya, paman?" tanya Parmadi.
"Begitulah, Parmadi. Agaknya penyerang itu mengira bahwa Muryani juga tewas oleh pukulannya. Dia menghilang tanpa meninggalkan jejak. Melihat bahwa tidak ada sesuatu yang hilang dari rumah itu, maka jelas bahwa orang tinggi kurus itu tidak bermaksud mencuri atau merampok. Mungkin ada unsur balas dendam atau permusuhan dengan keluarga Ki Ronggo Bangak, kata Ki Warutomo. "Kami telah melakukan penyelidikan, akan tetapi karena orang itu tidak meninggalkan jejak atau tanda apapun, sukar bagi kami untuk dapat menduga siapa penyerang itu."
Parmadi teringat akan Ki Wiroboyo. Kalau ada yang mendendam kepada Ki Ronggo Bangak, tentu dialah orangnya! Akan tetapi, tentu bukan dia penyerang itu. Ki Wiroboyo bertubuh tinggi besar, tidak tinggi kurus. Selain itu, tidak mungkin Ki Wiroboyo mampu mengalahkan Muryani yang digdaya. Tentu orang lain, akan tetapi Parmadi tetap curiga dan menduga bahwa penyerangan yang mengakibatkan kematian Ki Ronggo Bangak itu tentu ada hubungannya dengan dendam Ki Wiroboyo. Akan tetapi dia tidak berkata apapun kepada Ki Demang Warutomo tentang dugaannya itu.
"Paman, di mana adanya adi Muryani sekarang?"
"Setelah sembuh, ia berpamit pergi tanpa memberi tahu ke mana. Bahkan ketika kami bertanya, ia tetap tidak mau mengatakan ke mana ia akan pergi. Ia hanya menitipkan rumahnya kepada kami dan sampai sekarang kami menyuruh orang menjaga rumah itu dan merawatnya baik-baik."
"Saya ikut berterima kasih kepada paman atas kebaikan hati paman terhadap mendiang paman Ronggo Bangak. Sudah berapa lamakah Muryani pergi meninggalkan dusun Pakis ini, paman? Dan apakah selama ini ia tidak pernah pulang atau mengirim berita?"
"Sudah kurang lebih tiga setengah tahun gadis itu pergi dan selama ini kami tidak pernah mendengar kabar tentang ia, juga ia tidak pernah pulang."
Di dalam hatinya, Parmadi mengambil keputusan untuk mencari Muryani dalam perantauannya. Kasihan sekali adi Muryani pikirnya. Sudah tidak mempunyai ibu, dan tinggal ayah dan mondok pada neneknya, neneknya itu sakit dan mati sehingga ikut dengan ayahnya tinggal di dusun Pakis. Akan tetapi belum lama tinggal di Pakis ayahnya dibunuh orang dan sekarang gadis itu berada di dunia seorang diri, sebatangkara tiada sanak tiada kadang. Sama seperti dirinya! Akan tetapi dia seorang laki-laki, sedangkan Muryani seorang gadis yang cantik jelita, tentu akan menemui banyak gangguan. Ia membayangkan wajah gadis itu dan teringat bahwa kini usia Muryani ini tentu sudah dua puluh satu tahun. Ketika mereka berpisah, ketika dia ikut gurunya dan meninggalkan Pakis, Muryani berusia enambelas tahun. Kini, lima tahun telah lewat. Gadis itu tentu sudah menjadi seorang gadis dewasa berusia dua puluh satu tahun.
"Hei, Parmadi, engkau melamun, sejak tadi diam saja," Ki Demang Warutomo menegurnya sambil tersenyum lebar.
Parmadi terkejut dan sadar. Dia memandang orang tua gagah itu dan berkata, "Saya termenung mengingat akan malapetaka yang menimpa keluarga paman Ronggo Bangak. Mengapa orang sebaik itu dapat tertimpa malapetaka?" kata pemuda itu perlahan seperti bertanya kepada diri sendiri.
"Wah, siapa yang mampu menjawab pertanyaan itu, Parmadi? Setiap manusia boleh berbuat sekuat kemampuan mereka dengan hati akal pikiran dan kekuatan badan mereka, namun keputusan hasil terakhir berada di tangan Gusti Allah. Karena itu, kurasa pertanyaanmu itu hanya dapat dijawab oleh Dia yang menentukan keputusan terakhir itu."
Parmadi menghela napas panjang. "Paman benar. Sekarang ijinkan saya mohon diri, paman. Saya hendak melanjutkan perjalanan saya."
"Selamat jalan, orang muda. Dan seandainya andika dapat bertemu dengan Muryani, sampaikan pesan kami kepadanya bahwa kami di Pakis mengharapkan dan menanti-nanti kembalinya ke sini."
"Baik, paman." Parmadi memberi hormat lalu meninggalkan kademangan itu dan melanjutkan perjalanannya.
Sebelum meninggalkan daerah Gunung Lawu, ingin dia sekali lagi mengunjungi dusun Pancot tempat tinggal mendiang ayah ibu kandungnya, di mana dia dibesarkan. Dia tidak ingat sejak kapan dia tinggal di rumah ayah ibunya di Pancot. Menurut cerita ibunya, mereka datang dari Kadipaten Pasuruan dan pindah tinggal didusun itu sejak dia berusia dua tahun. Dia tinggal di dusun itu sampai berusia sepuluh tahun, yaitu ketika pada suatu malam ayah bundanya dibunuh orang tanpa ada yang mengetahui siapa yang membunuhnya.
Dan sejak itu Demang Wiroboyo yang menjadi sahabat mendiang ayahnya, menaruh iba kepadanya dan membawanya ke Pakis, memberinya pekerjaan dan menampungnya di Kademangan Pakis. Biarpun Parmadi hanya melewatkan masa kanak-kanaknya di dusun Pancot, namun ketika ia mengenangnya sambil berjalan menuju ke dusun itu, ada suatu perasaan haru menyelinap dalam hatinya, teringat akan kedua orang tuanya.
********************
Berbeda dengan keadaan Pakis yang baginya masih same saja keadaannya sejak ditinggalkan selama lima tahun, ketika dia memasuki dusun Pancot, dia merasa asing. Dia sudah banyak lupa tentang Pancot. Pasti tidak ada seorangpun penduduk dusun itu yang mengenalnya atau dikenalnya. Dia meninggalkan dusun itu selagi berusia sepuluh tahun dan sekarang dia sudah berusia dua puluh tiga tahun!
Akan dia masih ingat bahwa Ki Demang Wiroboyo menyerahkan peninggalan ayahnya yang tidak banyak itu, hanya sebuah rumah tua dan tanah sebau, kepada seorang tetangga miskin yang namanya, seingatnya dipanggil Pak Jambi. Tentu orang itu telah tua sekarang akan tetapi Parmadi yakin bahwa dia akan dapat mengenal orang yang satu ini. Pak Jambi itu mempunyai sebuah ciri yang jarang dimiliki orang lain. Mata kirinya rusak, hanya tampak putihnya saja dan mata kiri itu kabarnya tidak dapat melihat.
Dia masih ingat bahwa karena matanya yang sebelum rusak dan buta itu, Pak Jambi mendapat sebutan Jambi Pece. Jantung dalam dada Parmadi berdebar juga ketika dia melangkahkan kaki memasuki dusun itu. Pancot merupakan dusun yang tidak terlalu besar, tidak sebesar dan seramai Pakis. Akan tetapi dusun itu terkenal memiliki sesuatu yang khas, yang tidak dimiliki dusun-dusun di seluruh daerah Gunung Lawu, yaitu banyaknya perawan ayu yang dilahirkan di dusun Pancot!
Kebanyakan perawan Pancot berkulit kuning bersih, wajahnya ayu manis sehingga banyak pemuda dari dusun lain ingin memiliki isteri dari Pancot. Menurut dongeng dari mulut ke mulut, nenek moyang yang tinggal di dusun itu dahulu keturunan priayi, masih bangsawan istana Mataram. Dan pula dongeng mengatakan bahwa nenek moyang Pancot dahulu ada yang menikah dengan dewi kahyangan sehingga keturunannya, terutama yang wanita, ayu manis.
Biarpun ketika memasuki dusun itu dia merasa seperti masuk ke sebuah dusun asing, namun samar-samar Parmadi masih ingat akan letak rumah orang tuanya di mana dia tinggal tiga belas tahun yang lalu. Dia masih ingat betapa di pekarangan rumah yang sederhana dan tua itu berdiri megah sebatang pohon beringin yang ditanam ayahnya ketika ayahnya datang dan tinggal di dusun ini. Beringin itu sudah besar ketika dia meninggalkan Pancot dan sekarang tentu sudah lebih besar lagi.
Dia mempercepat langkahnya, diam-diam heran dan kagum melihat beberapa gadis yang berpapasan dengannya. Mereka semua tampak putih dan manis, tidak seperti perawan-perawan dusun Pakis. Melihat mereka Parmadi otomatis teringat kepad Muryani. Ketika dia tiba di sebuah jalan tikungan, jantungnya berdebar. Dari situ dia sudah dapat melihat pohon beringin yang besar sekali itu. Besar dan lebar, bentuknya seperti sebuah payung. Dia mempercepat langkahnya.
Setelah tiba di luar pekarangan rumah tua yang masih sama tuanya seperti dulu walaupun agaknya bilik bambu itu sudah diganti, dia tercengang melihat betapa pohon beringin besar di depan pekarangan rumah itu dikelilingi pagar kayu! Tanah di bawah pohon, di sebelah dalam lingkaran pagar itu, tampak terawat dan bersih sekali. Dan di bagian depan terdapat pintu pagar. Makin besar keheranannya ketika ia melihat tumpukan bekas pembakaran kemenyan dan kembang berada di bawah pohon. Pohon ini dikeramatkan orang, disembah orang! Dia segera dapat mengetahuinya karena dia tahu akan kebiasaan orang-orang di sekitar daerah Gunung Lawu yang masih suka memuja-muja pohon-pohon besar yang dikeramatkan. Pohon beringin tanaman ayahnya itu, kini dikeramatkan orang!
Selagi dia berdiri mengamati semua itu dengan perasaan heran, dari pekarangan itu datang seorang laki-laki tua menghampirinya. Sekali pandang saja tahulah Parmadi bahwa kakek ini tentu Pak Jambi Pece. Mata kirinya yang terbuka lebar itu tampak putihnya saja dan mata kanannya yang normal memandangnya dengan penuh selidik.
"Kisanak, kulihat andika seperti bukan orang sini. Tentu andika seorang dari dusun lain yang datang untuk mohon berkah dari Kyai Brojo, bukan?"
Parmadi menahan seruan heran yang hampir terlontar dari mulutnya. Kyai Brojo? Demikiankah orang menyebut pohon beringin yang dikeramatkan ini? Jadi "penghuni" pohon keramat ini adalah Kyai Brojo? Padahal, mendiang ayahnya bernama Brojoketi!
"Paman, jadi Beringin Keramat ini dihuni oleh Kyai Brojo?" Parmadi bertanya sambil menahan gejolak hatinya. Roh ayah kandungnya dianggap roh penasaran yang kini menghuni di pohon beringin yang dulu ditanam ayahnya!
"Benar sekali, kisanak. Kyai Brojo adalah seorang tokoh besar di jaman Mojopahit, sakti mandraguna dan arif bijaksana, pula dermawan sehingga kini beliau masih suka menolong siapa saja yang mohon berkah di sini."
Hemm, orang ini berani benar berbohong, pikir Parmadi. "Paman, kalau begitu paman adalah juru kunci (penjaga tempat keramat) di sini?"
"Benar, saya adalah Ki Jambi Pece juru kunci tempat keramat ini. Semua orang mengenal saya!"
"Kalau begitu, paman. Saya ingin sekali bercakap-cakap dengan paman. Banyak yang ingin saya tanyakan, paman.
Jambi Pece yang mengharapkan hadiah besar itu bersikap ramah. "Kalau begitu silakan masuk ke rumah saya, kisanak kita bicara di dalam, lebih leluasa."
Parmadi mengikuti orang itu memasuk pekarangan menuju ke rumah yang masih dikenalnya itu. Bambu penyalur air dari sumber di atas itu masih mengucurkan air jernih seperti biasa, ditampung di jamban air yang dulu juga di sebelah kiri rumah. Mereka memasuki rumah dan Parmadi dipersilakan duduk di atas bangku diruangan depan. Mereka duduk berhadapan. Setelah berada di ruangan tertutup, Parmadi segera bicara tanpa berpura-pura lagi.
"Paman Jambi, aku akan berterus terang saja. Aku tahu bahwa rumah ini adalah milik Ki Brojoketi dan isterinya. Mereka terbunuh pada suatu malam tanpa ada yang mengetahui siapa pembunuh mereka. Kemudian Ki Demang Wiroboyo meyerahkan rumah dan pekarangan ini kepadamu. Bagaimana sekarang tempat ini dijadikan tempat keramat yang dihuni oleh kyai Brojo? Engkau telah menipu orang banyak."
Mendengar ucapan pemuda itu, sikap Pak Jambi berobah sama sekali. Kalau tadinya dia bersikap ramah, kini tiba-tiba dia melompat berdiri dan wajahnya berubah ganas. Matanya yang tinggal sebelah itu memandang marah dan tiba-tiba dia sudah menyerang Parmadi dengan kedua tangan yang mencengkeram seperti seekor harimau menerkam kambing. Sepasang tangan itu membentuk cakar dan yang kanan mencengkeram ke arah muka, yang kiri ke arah dada Parmadi! Mulutnya menggeram dan dia benar-benar seperti telah berobah menjadi harimau.
Parmadi maklum bahwa orang ini memiliki Aji Sardu (Ilmu Harimau) yang membuat dia seperti kemasukan roh harimau yang ganas. Dia menyambut serangan itu dengan gerakan tangan kanan dari kiri ke kanan menangkis.
"Bresss....!" Tubuh Pak Jambi terpelanting dan terhuyung, akan tetapi dia tidak roboh karena Parmadi tidak mempergunakan tenaga yang terlalu besar. Dia tidak ingin melukai orang itu.
"Jahanam, engkau tentu orangnya keparat Wiroboyo untuk membunuhku!" kakek itu berseru. Mendengar seruan ini Parmadi merasa heran dan ketika kakek itu menyerang lagi, dia menggerakkan tangannya dengan cepat dan sekali jari-jari tangannya menepuk dada, kakek itu terkulai lemas. Seperti dilolosi seluruh urat di tubuhnya membuatnya terkulai dan tak mampu menggerakkan tubuhnya lagi. Ia mengaduh dan merintih.
"Paman Jambi, aku bukan orangnya Ki Wiroboyo. Andika ingat putera Ki Brojoketi, anak berusia sepuluh tahun yang kemudian dibawa pergi Ki Wiroboyo? Akulah anak itu!"
"Ahhh... ahhh... aku... salah sangka...!"kakek itu mengeluh. Mendengar ini, Parmadi lalu mempergunakan tenaga saktinya, menepuk kedua pundak orang itu dan Pak Jambi pulih kembali kesehatannya. Dia merasa takluk kepada pemuda itu dan memandang dengan takut.
"Jangan takut, paman Jambi. Duduklah kembali dan mari kita bicara dengan baik-baik. Tadinya aku hanya datang untuk menjenguk bekas rumah tempat tinggal ayah bundaku. Sama sekali tidak menyangka tempat ini akan dijadikan tempat keramat dan nama ayahku diabadikan sebagai Kyai Brojo. Akan tetapi, paman. Bukankah paman dahulu menerima peninggalan orang tuaku ini dari Ki Wiroboyo? Akan tetapi kenapa tadi paman mengira aku orangnya Wiroboyo yang datang untuk membunuhmu? Kenapa Ki Wiroboyo memusuhimu dan ingin membunuhrnu?"
Pak Jambi tampak bingung dan ketakutan. "Jangan takut, paman. Paman menyimpan sesuatu yang rahasia. Tentu ada hubungannya dengan orang tuaku dan Ki Wiroboyo. Hayo katakan, paman, cerita terus terang kepadaku. Aku tidak akan mengganggu paman kalau paman berterus terang, akan tetapi kalau paman tidak mau berterus terang, aku dapat memaksa paman mengaku!"
Pak Jambi menghela napas panjang, "Anakmas Parmadi, andika datang untuk minta kembali rumah dan pekarangan dariku?"
"Hemm, tidak, paman. Paman adalah tetangga ayah sejak dulu, tentu ayah mengenal baik paman dan paman tahu yang sesungguhnya terjadi. Aku kira paman tahu pula tentang pembunuhan terhadap ayah bundaku itu. Benarkah, paman? Ceritakan! Aku tidak akan mengambil kembali rumah dan pekarangan, aku hanya singgah sebentar."
"Tadinya aku takut bicara karena Ki Wiroboyo adalah Demang Pakis, berkuasa dan dia dapat bertindak kejam kalau ditentang. Akan tetapi setelah aku mendengar bahwa dia diusir dari Pakis dan kedudukannya digantikan orang lain, aku berani menceritakan apa yang kuketahui kepadamu, anakmas. Hanya kadang aku khawatir dia akan mengirim orang untuk membunuhku agar aku tidak bicara tentang peristiwa itu."
"Peristiwa terbunuhnya ayah ibuku, paman? Ceritakanlah kepadaku."
"Baiklah, akan kuceritakan apa yang kuketahui, anakmas. Orang tuamu merupakan pendatang baru di sini. Ayah ibumu dan andika yang ketika itu berusia sekitar dua tahun menjadi penghuni baru dusun Pancot ini. Karena aku menjadi tetangga terdekat, maka hubunganku dengan keluargamu juga paling akrab dan kami yang sama-sama miskin ini suka saling bantu. Orang tuamu hidup dengan aman tenteram di sini sampai bertahun-tahun, sampai engkau berusia sepuluh tahun. Selama itu tidak pernah terjadi hal-hal yang buruk."
"Yang ingin saya ketahui, apa yang paman tahu tentang pembunuhan yang te jadi pada malam hari itu?" tanya Parmadi.
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Sungguh, anakmas, sayapun tidak tahu. Semua itu begitu rahasia, begitu aneh. Tidak ada seorangpun mengetahui apa yang terjadi malam itu. Tahu-tahu pada pagi hari itu kami menemukan Ki Brojoketi dan isterinya sudah tewas dalam kamar mereka dan andika menangis dan menjerit-jerit di kamar itu. Sepatutnya andika yang lebih mengetahui, anakmas. Bukankah hanya andika seorang yang berada di kamar itu bersama mereka?"
Parmadi menghela napas panjang da dia menggeleng kepalanya. "Seingatku, akupun tidak tahu apa-apa paman. Pagi-pagi ketika aku bangun dari tidur di kamar sebelah, aku melihat pintu kamar orang tuaku terbuka dan ketika aku melongok ke dalam, aku melihat mereka telah menggeletak mandi darah maka aku menjerit-jerit dan orang-orang berdatangan."
Pak Jambi mengangguk-angguk. "Ya, kami lalu mengurus jenazah orang tuamu. Kebetulan ada Ki Demang Wiroboyo datang melayat dan dialah yang membiayai semua penguburan. Kemudian dia membawa andika ke Pakis dan rumah ini diserahkan kepada saya."
Parmadi mengingat-ingat. Dia teringat bahwa Ki Wiroboyo memang sering datang berkunjung ke rumah orang tuanya sehingra terjalin persahabatan antara ayahnya dan Ki Wiroboyo. "Nah, sekarang ceritakan apa yang kau ketahui seperti yang kau katakan tadi. Rahasia apa yang kau ketahui, paman? Tadinya engkau takut kepada Ki Wiroboyo untuk bercerita, akan tetapi sekarang tidak lagi, bukan? Nah, ceritakan kepadaku sejujurnya."
Pak Jambi menghela napas seolah mengumpulkan keberanian untuk bercerita. "Begini, anakmas. Tentu anakmas juga sudah mengetahui bahwa Ki Wiroboyo adalah seorang laki-laki yang mata keranjang dan selalu mengejar wanita cantik. Di Pancot ini terdapat banyak perawan cantik dan Ki Wiroboyo selalu berusaha untuk membujuk mereka dengan harta benda atau mengandalkan kedudukannya. Akan tetapi dia tidak berani menggunakan kekerasan dan tidak banyak perawan dusun ini yang bisa dia dapatkan. Dia berkenalan dan menjadi sahabat ayahmu, bahkan seringkali menginap di rumah ini."
"Aku tahu akan hal itu, paman. Lalu bagaimana?"
"Anakmas, pada waktu itu, mendiang ibumu masih muda, paling banyak baru dua puluh delapan tahun usianya dan ibumu itu terkenal sebagai wanita yang amat cantik. Dan kita tahu bahwa Ki Wiroboyo itu seorang laki-laki mata keranjang... dan..."
"Dan bagaimana, paman? Jangan ragu-ragu, ceritakanlah sejujurnya."
"Pada beberapa hari sebelum terjadi pembunuhan itu, Ki Wiroboyo bertamu dan menginap dirumah ini dan pada suatu siang ketika ayahmu sedang sibuk di ladang dan saya kebetulan baru keluar dari rumah, saya melihat di belakang rumah ini ibumu dipeluk dari belakang oleh Ki Wiroboyo, Jelas tampak bahwa Ki Wiroboyo berniat kotor terhadap ibumu. Ibumu marah dan menampar muka Ki Wiroboyo, lalu berlari memasuki rumah. Pada saat itu Ki Wiroboyo menoleh dan melihat saya. Saya pun cepat-cepat pergi dan pura-pura tidak tahu."
Parmadi mengerutkan alisnya, hatinya terasa panas akan tetapi dia menenggelamkan perasaan itu. "Lalu bagaimana, paman?"
"Nah, setelah beberapa hari kemudian terjadi pembunuhan aneh itu terhadap ayah ibumu, tentu saja saya merasa curiga kepada Ki Wiroboyo. Akan tetapi karena tidak ada bukti, sayapun tidak dapat berkata apa-apa. Sikapnya yang kurang ajar terhadap ibumu itu belum merupakan bukti bahwa dia yang melakukan pembunuhan itu. Akan tetapi setelah aku melihat dan mendengar apa yang dia lakukan kepadaku, aku yakin bahwa dia pasti tersangkut dengan pembunuhan itu. Hanya saja, selama itu aku tidak berani membuka mulut, takut akan ancamannya."
"Paman melihat dan mendengar apa? Apa yang dia lakukan kepada paman?" tanya Parmadi, penuh perhatian.
"Ketika Ki Wiroboyo datang melayat, mengatur dan membiayai semua keperluan pemakaman, dia sempat menemui saya seorang diri. Dia mengancam agar aku tidak bercerita kepada siapapun tentang apa yang saya lihat siang hari di belakang rumah Ki Brojoketi itu. Bahkan dia lalu menyerahkan rumah dan pekarangan ini kepadaku. Saya merasa bahwa penyerahan rumah dan pekarangan ini merupakan hadiah untuk menutup mulutku. Sejak itu, hati saya merasa yakin bahwa dia pasti tahu benar tentang pembunuhan itu, akan tetapi baru sekarang saya berani membuka rahasia itu. Ketika tadi anak-mas datang, saya kira anak-mas suruhan Ki Wiroboyo untuk membunuhku, maka saya hendak melawan."
Parmadi mengangguk-angguk. Keterangan itu penting sekali dan bukan mustahil kalau Ki Wiroboyo berdiri di belakang pembunuhan terhadap orang tuanya itu. Mungkin Ki Wiroboyo mendendam karena keinginan kotornya ditolak ibu. Atau mungkin malam itu dia hendak memaksa ibunya. Ibunya lalu menolak dan melawan sehingga dibunuh, dan mungkin saja ayahnya yang mengetahui juga dibunuhnya. Atau dapat juga Ki Wiroboyo memang menyuruh kaki tangannya untuk membunuh ayah ibunya karena mendendam.
"Paman Jambi, tahukah paman di mana adanya Ki Wiroboyo sekarang?"
Pak Jambi menggeleng kepala. "Saya tidak tahu, anakmas dan saya kira tidak ada orang di Pancot yang mengetahuinya karena sejak dia diusir dari Pakis, dia tidak pernah muncul kembali, juga tidak pernah ada kabar tentang dia."
"Ada satu hal lagi yang ingin saya tanyakan kepadamu, paman, sebelum aku meninggalkan dusun ini."
"Silakan bertanya, anakmas. Saya akan senang kalau dapat membantu anak-mas."
"Paman mengenal baik mendiang ayah saya. Tahukah paman, siapakah sesungguhnya ayah saya itu? Maksudku, apakah pekerjaannya sebelum dia pindah ke sini dan menjadi seorang petani?"
"Kami memang bersahabat baik, anakmas, dan saya sendiripun selalu menduga bahwa mendiang Ki Brojoketi pasti bukan orang dusun biasa. Gerak-geriknya, sikapnya dan cara dia bicara, apalagi mendiang ibumu, jelas menunjukkan bahwa mereka adalah priyayi. Karena itu pula agaknya Ki Wiroboyo dapat akrab dengan ayahmu. Akan tetapi ayahmu tidak pernah mau menceritakan keadaannya ketika tinggal di Kadipaten Pasuruan, bahkan seolah dia enggan bicara tentang Kadipaten Pasuruan. Menurut dugaanku, ayah dan ibumu tentu bukan orang sembarangan dan mempunyai rahasia di Pasuruan. Mungkin di kadipaten itu anakmas akan bisa mendapatkan keterangan tentang mereka."
Parmadi mengangguk. "Terima kasih atas semua keteranganmu, paman Jambi. Sekarang aku pamit, hendak melanjutkan perjalananku."
"Eh�. bagaimana dengan rumah dan pekarangan ini, anakmas?"
"Biarlah sekarang sebagai ahli waris orang tuaku, aku memberikan rumah dan pekarangan ini kepadamu, paman. Pakailah dan rawatlah dengan baik-baik. Akan tetapi aku minta agar mulai sekarang paman tidak menggunakan nama mendiang ayahku untuk mengeramatkan pohon beringin itu. Aku tidak suka mendengarnya!"
"Baik, baik, anakmas. Sebetulnya hanya karena rumah dan pohon ini dahulu milik Ki Brojoketi, dan mengingat bahwa Ki Brojoketi tewas terbunuh, maka untuk menghormatinya pohon ini disebut Kyai Brojo. Akan tetapi kalau anakmas melarangnya, biarlah mulai sekarang kami akan menyebutnya Kyai Pancot saja."
"Terserah paman asal jangan menggunakan nama ayah. Nah, selamat tinggal, paman." Parmadi bangkit dari bangku yang didudukinya.
"Nanti dulu, anakmas. Tunggu sebentar." Orang tua itu memasuki biliknya dan ketika dia keluar, dia menyerahkan sebuah benda kecil kepada Parmadi. "Cincin ini dulu milik ibumu, anakmas. Pada suatu hari, ketika orang tuamu membutuhkan uang untuk biaya membangun rumah ini, ibumu menyerahkan cincin ini kepadaku dengan permintaan agar aku menjualnya. Kebetulan pada waktu itu saya mempunyai simpanan uang yang sudah lama saya kumpulkan, maka cincin ini saya beli sendiri. Sekarang, rumah dan pekarangan ini andika berikan kepada saya, maka sudah sepatutnya kalau cincin ibumu ini ku kembalikan kepadamu, anakmas Parmadi."
Parmadi menerima cincin itu dan mengamatinya. Sebuah cincin yang indah sekali. Dari emas murni bermata mirah dan bawah mirah berbentuk hati ini ada ukiran indah huruf GA. Tentu saja dia merasa girang sekali. Sebuah cincin peninggalan ibunya! Tentu saja benda seperti ini merupakan benda pusaka baginya. Hatinya terharu ketika dia menggenggam cincin itu. "Terima kasih, paman Jambi, terima kasih banyak! Oya, paman, tahukah paman apa artinya huruf GA pada cincin ini?"
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Saya tidak tahu dan karena saya buta huruf saya juga tidak menanyakan kepada ibumu, tidak menyangka bahwa ukiran itu merupakan huruf."
"Barangkali paman mengetahui nama kecil ibu saya?"
"Kalau tidak salah, mendiang ayahmu menyebutnya diajeng Mirah."
"Mirah...? Mirah...?" Parmadi mengulang dalam bisikan haru. "Sekali lagi terima kasih. Paman seorang yang jujur. Selamat tinggal."
"Selamat jalan, denmas."
Parmadi meninggalkan rumah itu dan langsung dia menuju ke tanah kuburan yang berada diluar dusun. Tak lama kemudian dia sudah menemukan dua buah nisan kuburan yang berjajar itu. Dia masih ingat letak makam ayah bundanya. Kedua makam ini selalu merupakan bayangan terakhir baginya, seringkali muncul dalam mimpinya. Dia lalu berlutut dan mengelus dua buah batu nisan sederhana itu, membersihkan lumut yang menempel di situ. Kemudian dia membersihkan kedua makam itu, mencabuti semua rumput dan alang-alang.
Setelah bersih, dia lalu duduk bersila di depan makam, menjernihkan pikirannya dan menenangkan hatinya. Setelah merasa hening, dia menujukan seluruh cipta rasa dan karsa dalam batinnya untuk mendoakan semoga Gusti Allah Yang Maha Kasih mengampuni semua dosa ayah bundanya dan memberi tempat yang layak kepada roh mereka. Setelah kurang lebih sejam lamanya duduk tenggelam dalam doa di depan makam ayah ibunya, Parmadi lalu bangkit berdiri di depan makam, sejenak memandangi kedua makam itu lalu perlahan-lahan dia meninggalkan tanah kuburan itu.
Sambil berjalan dia mengamati cincin peninggalan ibunya. Ternyata lingkaran cincin itu tidak utuh lagi, melainkan sudah patah bagian belakangnya. Agaknya Pak Jambi sengaja membikin putus lingkaran cincin itu sehingga cincin yang lingkarannya kecil itu kini dapat dipakai jari yang lebih besar karena dapat direnggangkan. Parmadi mencium cincin itu lalu memakainya pada jari manis tangan kirinya. Andaikata lingkaran itu belum dibikin putus, tentu tidak dapat dimasuki jari manisnya, bahkan kelingkingnyapun belum tentu dapat masuk. Demikian kecil lingkaran itu. Dia membayangkan betapa kecil mungilnya jari manis ibunya.
********************
Setelah Sultan Agung berhasil menundukkan seluruh daerah Jawa Timur bagian selatan, kecuali Blambangan, mulailah Mataram mengadakan persiapan untuk menundukkan Surabaya yang masih belum mau mengakui kekuasaan Sultan Agung. Akan tetapi melihat Kadipaten Tuban masih menjadi penghalang karena Adipati Tuban masih condong berpihak kepada Surabaya, Sultan Agung mengirim pasukannya untuk menaklukkan Tuban lebih dulu. Juga nampak tanda-tanda bahwa pihak Kumpeni Belanda yang amat dibenci Sultan Agung itu menghalang-halangi niat Mataram menyerbu Surabaya.
********************
Hal ini terbukti dengan udanya kapal-kapal perang Belanda yang besar dan dilengkapi meriam-meriam besar, tidak memungkinkan penyerangan melalui laut sehingga sukar untuk mengepung Surabaya. Memang pada waktu itu, gubernur Kumpeni Belanda yang bernama Jan Pieterszoon Coen merasa khawatir bahwa Mataram akan menguasai Nusa Jawa dan hal ini tentu saja akan merupakan halangan besar bagi Kumpeni Belanda untuk memperluas kekuasaannya dan memperlebar sayapnya untuk dapat menguasai semua perdagangan mengeduk hasil bumi yang kaya raya dari Nusa Jawa.
Karena itu Gubernur Jenderal Coen menyebar kaki tangannya untuk membujuk orang-orang cerdik pandai dan sakti untuk membantu Kumpeni Belanda, menjadi mata-mata dengan imbalan hadiah harta benda. Juga dia selalu menggunakan siasat untuk mengadu domba dan membangkitkan semangat daerah-daerah untuk memberontak kepada Mataram. Diam-diam Kumpeni Belanda membantu dan menyokong mereka yang mau memberontak terhadap Mataram. Akan tetapi hal ini dilakukan dengan rahasia agar tidak ketahuan karena Kumpeni Belanda juga menjaga agar tidak mengadakan permusuhan terbuka dengan Mataram yang kuat.
Demikianlah, melihat Kadipaten Tuban menjadi penghalang, Sultan Agung mengirim pasukan menyerbu Tuban. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Kadipaten Tuban jatuh dan takluk kepada Mataram. Setelah Tuban jatuh, mulailah Mataram mengerahkan pasukan untuk melakukan penyerangan ke Surabaya. Akan tetapi ternyata Surabaya tidak mudah ditundukkan. Dengan bantuan dari Madura, juga secara diam-diam dibantu Kumpeni Belanda yang sengaja memasang kapal-kapalnya disekitar pantai Gresik sehingga menutup kemungkinan penyerbun Mataram melalui laut, Surabaya mempertahankan diri sehingga berulang kali serbuan pasukan Mataram dapat digagalkan.
Selama tiga tahun, dari tahun 1620 sampai tahun 1623, berulang kali serangan dilakukan Mataram dan Surabaya tetap dapat mempertahankan diri. Mataram hanya berhasil menduduki daerah-daerah di luar Surabaya yang menjadi daerah kekuasaan Surabaya, diantaranya Kadipaten Sukadana. Demikianlah keadaan pada waktu itu. Surabaya masih belum dapat ditaklukkan dan melihat betapa Surabaya diperkuat oleh Madura, maka Sultan Agung mengubah siasatnya.
Mataram hendak menyerang dan menaklukkan Madura lebih dulu karena kalau Madura sudah ditaklukkan, berarti Surabaya dapat dikepung dan akan lebih mudah dikalahkan. Sementara itu, di Kadipaten Arisbaya terjadi sedikit kekacauan setelah Adipati Arisbaya yang berjuluk Panembahan Tengah atau Pangeran Tengah wafat (1620). Pangeran Tengah ini mempunyai seorang putera yang bernama Raden Prasena yang pada saat ayahnya meninggal dunia masih merupakan seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun.
Menurut ketentuan adat, semestinya dia yang menggantikan kedudukan adipati di Arisbaya menggantikan ayahnya yang wafat. Akan tetapi kedudukan ini didaulat oleh Pangeran Mas, yaitu adik mendiang Pangeran Tengah. Tanpa menimbulkan banyak heboh karena Pangeran Mas memiliki kekuasaan, dia menggantikan kedudukan kakaknya dengan alasan bahwa Raden Prasena masih terlampau muda untuk menjadi adipati yang harus memimpin Kadipaten Arisbaya. Betapapun juga, cara yang diambil Pangeran Mas ini diam-diam menimbulkan rasa tidak puas dan dianggap bertentangan dengan hukum.
Namun, kedudukan Pangeran Mas yang setelah menjadi Adipati Arisbaya berjuluk Pangeran Adipati Ngabehi Arisbaya amat kuat, terutama sekali karena dia didukung seorang datuk besar yang disegani dan ditakuti di Madura, yaitu Ki Harya Baka Wulung! Datuk sakti mandraguna inilah yang membuat semua pihak yang tidak setuju, tidak berani banyak cakap lagi. Ki Harya Baka Wulung diangkat menjadi penasihat di Kadipaten Arisbaya.
Ki Harya Baka Wulung inilah yang membujuk Adipati Arisbaya untuk memhantu Surabaya ketika berulang kali diserang oleh Mataram. Bahkan Ki Harya Baka Wulung ini telah mengadakan persekutuan dengan Wiku Menak Koncar datuk Kadipaten Blambangan dan Kyai Sidhi Kawasa tokoh sakti mandraguna dari Kerajaan Banten. Tiga orang datuk besar yang digdaya dan sakti mandraguna ini bekerja sama dengan satu tujuan, yaitu menentang Kerajaan Mataram.
Mereka bertiga bahkan melakukan perjalanan ke daerah Mataram, diam-diam membujuk orang-orang yang memiliki kedigdayaan dan yang memiliki perkumpulan kuat untuk membantu Surabaya menentang Mataram! Dalam rangka kegiatan itulah mereka bertiga berada puncak Gunung Lawu dan membunuh Ki Bargowo yang tidak mau membantu Surabaya. Memang, mereka bertiga itu bertekad untuk membunuh tokoh-tokoh yang setia kepada Mataram. Dalam peristiwa itulah mereka bertiga bertemu dengan Resi Tejo Wening dan dalam adu kesaktian terpaksa mereka mengakui keunggulan sang resi seperti diceritakan di bagian depan kisah ini.
Setelah gagal menandingi Resi Tejo Wening, tiga orang datuk itu lalu saling berpisah, kembali ke daerah masing-masing. Ki Harya Baka Wulung kembali ke Kadipaten Arisbaya dan dia segera turun tangan membantu Pangeran Mas yang merebut kedudukan adipati dari tangan keponakannya, yaitu Raden Prasena. Selanjutnya Ki Harya Baka Wulung diangkat menjadi penasihat oleh adipati yang baru dan Raden Prasena oleh pamannya diharuskan meninggalkan istana kadipaten dan tinggal di Sampang agar mendapatkan pendidikan dari seorang pamannya yang lain, yaitu Pangeran Sante Merta.
Demikianlah, Ki Harya Baka Wulung menjadi seorang yang berkuasa besar, bahkan banyak kebijaksanaan yang diambil Adipati Ngabehi Arisbaya diatur olehnya. Juga Ki Harya Baka Wulung segera menempatkan putera tunggalnya, Dibyasakti, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, menjadi senopati muda di Arisbaya! Ki Harya Baka Wulung mendapatkan sebuah rumah gedung megah dan dia hidup berdua saja dengan puteranya itu.
Isterinya, ibu Dibyasakti, sudah lama meninggal dunia, bahkan pemuda itu tidak pernah melihat wajah ibunya yang meninggal dunia ketika melahirkan dia. Karena itu, Ki Harya Baka Wulung amat sayang kepada puteranya ini. Hampir seluruh aji kesaktiannya diajarkan kepada Dibyasakti sehingga pemuda itu menjadi seorang pemuda yang sakti mandraguna dan amat dibanggakan ayahnya.
Setelah Ki Harya Baka Wulung menjadi penasihat Kadipaten Arisbaya dan mengangkat puteranya menjadi senopati, dia menasihatkan Adipati Pangeran Mas untuk mengadakan hubungan dengan para bupati dan adipati lain di seluruh Madura untuk bersiap-siap menghadapi Mataram. Untuk menjadi utusan adipati, ditunjuk Dibyasakati sendiri untuk mengunjungi para adipati terutama Adipati Pamekasan yang memiliki pasukan yang besar dan kuat.
Maka pada suatu pagi, berangkatlah Dibyasakti meninggalkan Arisbaya. Biarpun dia seorang senopati, namun dia tidak membawa pengiring atau pengawal yang dianggapnya hanya akan merepotkan saja. Seorang diripun dia mampu menjaga diri. Setelah membawa surat-surat dari Sang Adipati Arisbaya, dia lalu menunggang seekor kuda pilihan, yaitu kuda Arab, pemberian hadiah dari Kumpeni Belanda.
Memang pihak Kumpeni banyak memberi hadiah, terutama kuda-kuda yang didatangkan dari Arab, kuda yang besar dan kuat untuk menyenangkan hati para adipati sehingga mereka dapat membeli hasil bumi kadipaten itu, tentu saja yang mendatangkan keuntungan besar sekali untuk mereka. Kuda yang ditunggangi Dibyasakti adalah seekor kuda Arab yang merupakan seekor di antara lima ekor kuda Arab yang dihadiahkan Kumpeni kepada Kadipaten Arisbaya. Gagah sekali pemuda itu, sesuai dengan kuda tinggi besar yang ditungganginya.
Dibyasakti memang seorang pemuda yang tampak gagah perkasa. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar dengan kulit coklat mengkilat. Rambutnya hitam tebal agak keriting dibungkus kain pengikat kepala yang dilibatkan di kepalanya dengan bentuk yang gagah, khas Madura. Wajahnya kemerahan, alis tebal sepasang matanya lebar dan tajam seperti mata burung elang, hidungnya besar dan sebaris kumis tumbuh subur seperti kumis Sang Gatotkaca. Mulutnya membayangkan kekerasan hatinya dengan dagu berlekuk.
Sepasang lengan yang memegang kendali kuda itu tampak kokoh kuat, dengan otot melingkar-lingkar. Seorang pemuda yang tampak gagah perkasa. Sebatang keris panjang bergagang kayu cendana bertabur intan dengan warangka terukir indah terselip dipinggangnya, menambah kegagahannya. Kuda yang ditungganginya berlari congklang ketika dia meninggalkan Kadipaten Arisbaya dan semua orang yang berpapasan dengan dia memandang kagum dan juga takut karena semua orang mengenal pemuda yang gagah perkasa namun terkenal ringan tangan, keras hati, galak dan sombong ini.
Ki Harya Baka Wulung tidak mempunyai banyak murid. Akan tetapi para muridnya itu, yang sudah mengeluarkan banyak harta benda untuk dapat membujuk Ki Harya Baka Wulung mengajarkan ilmu-ilmunya kepada mereka, hanya menerima satu dua macam ilmu saja. Bahkan Raden Prasena sendiri, putera adipati yang telah wafat, juga menjadi muridnya. Akan tetapi Raden Prasena inipun tidak sepenuhnya menerima ilmu-ilmu Ki Harya Baka Wulung yang mewariskan seluruh ilmunya kepada puteranya, yaitu Dibyasakti yang setelah menjadi senopati menggunakan sebutan Raden di depan namanya!
Para adipati yang dikunjung Raden Dibyasakti menyambutnya dengan hormat setelah mereka mengetahui bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah senopati muda Arisbaya dan menjadi utusan Sang Adipat. Mereka menanggapi surat dari Adipati Arisbaya dengan baik, dan menyatakan bersedia untuk bekerja sama menghadapi ancaman dari Mataram. Juga mereka menyatakan setuju dengan ajakan Adipati Arisbaya untuk membantu Surabaya kalau Mataram menyerang lagi karena bagi mereka, Surabaya merupakan benteng pertama yang melindungi mereka dari ancaman Mataram.
Pada suatu pagi, Raden Dibyasakti tiba di luar Kadipaten Pamekasan. Dia menjalankan kudanya perlahan dari arah barat menuju timur. Ketika melihat debu mengepul di depan, dia menghentikan kudabya dan mengamati penuh perhatian. Kiranya yang membuat debu mengepul itu adalah serombongan orang berkuda, terdiri dari belasan orang berpakaian sebagai prajurit, mengawal sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda datang dari arah timur menuju ke barat.
Setelah berhadapan, perwira komandan regu berkuda itu membentak kepada Raden Dibyasakti, "Heii, kisanak yang menunggang kuda di depan! Cepat andika turun dari kuda dan minggir agar kami dapat lewat dengan leluasa!"