Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Seruling Gading Jilid 07
DIBYASAKTI adalah seorang pemuda yang berwatak angkuh. Dia merasa dirinya besar. Dia putera seorang tokoh sakti mandraguna yang berkedudukan tinggi di Kadipaten Arisbaya. Dia sendiri juga seorang yang memiliki kedigdayaan dan kedudukannya sebagai senopati membuat dia tidak rela mendapat perlakuan kasar. Andaikata perwira itu minta secara halus, mungkin dia akan minggirkan kudanya, mengalah karena merasa bahwa dia seoranng pendatang. Akan tetapi dia tidak suka mengalah menghadapi sikap kasar seperti itu yang sama sekali tidak menghargainya. Dia merasa direndahkan, bahkan dihina!
"Kalianlah yang harus minggir dan biarkan aku lewat dulu!" dia balas membentak sepasang matanya yang lebar dan tajam itu memandang galak.
"Eh, keparat! Berani engkau bersikap kurang ajar kepada kami? Bukalah mata dan telingamu! Kami sedang mengawal Gusti Tumenggung Surobayu! Hayo cepat turun dan berlutut menyembah!" bentak lagi komandan regu itu.
Kemarahan Dibyasakti semakin memuncak. "Aku tidak sudi menyembah orang yang bukan menjadi sesembahanku, tak perduli siapapun adanya dia!"
"Babo-babo, keparat! Kamu menantang, ya? Orang macam engkau ini harus dihajar!" Perwira itu memajukan kudanya dan dia mengangkat cambuk kudanya menyerang dengan ayunan cambuk ke arah Dibyasakti.
"Tarrr....!" Cambuk melecut dan meluncur ke arah kepala Dibyasakti. Akan tetapi dengan tenang pemuda tinggi besar ini menyambut dengan tangan kirinya yan bergerak cepat menangkap ujung cambuk lalu dengan sentakan yang amat kuat dia menarik.
Perwira itu terkejut, tak mampu mempertahankan diri dan diapun terguling dari atas kudanya! Perwira itu sesungguhya bukan seorang yang lemah. Dia seorang yang digdaya sehingga dapat terpilih menjadi perwira. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan seorang pemuda yang sakti mandraguna. Sentakan tadi mengandung tenaga dalam yang teramat kuat dan datangnya begitu tiba-tiba sehingga perwira itu tidak sempat mempertahankan diri dan terguling jatuh.
Lima belas orang anak buahnya melihat ini segera berlompatan dari atas kuda mereka dan mereka mencabut golok dari pinggang mereka. Dibyasakti juga melompat turun dari atas punggung kudanya dan dia menyambut mereka dengan senyum mengejek di bibir. Dia memandang lima belas orang perajurit dan juga perwira yang tadi jatuh dan kini sudah bangkit kembali ikut mengepungnya. Golok mereka berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.
"Orang muda, cepatlah menyerah sebelum kami terpaksa mencincang tubuhmu!" bentak perwira tadi.
Bentakan ini cukup membuat kemarahan di hati Dibyasakti agak menurun. Bagaimanapun juga, perwira itu tidak bersikap sewenang-wenang mengandalkan pengeroyokan banyak orang dan sebelum mengeroyok memberi kesempatan kepadanya untuk menyerahkan diri. Untung bagi seregu prajurit itu karena sikap perwira itu membebaskan mereka dari bahaya maut. Karena kemarahannya mereda, Dibyasakti tidak berniat untuk membunuh mereka.
"Aku tidak bersalah, mengapa harus menyerah? Kalau kalian hendak mengenal siapa aku, maju dan keroyoklah. Ditambah seratus orang lagi aku tidak akan mundur!"
Mendengar jawaban yang congkak ini sang perwira memberi aba-aba nyaring, "Serbu...!!" dan enam belas orang itu lalu menerjang maju. Akan tetapi mereka di sambut tamparan-tamparan dan tendangan yang cepat sekali datangnya dan dahsyat sehingga mereka kocar-kacir dan tubuh mereka berpelantingan. Perwira itu sendiri hanya dapat bertahan selama lima jurus saja. Akhirnya ketika dia membacokkan goloknya, golok yang tajam itu ditangkap begitu saja oleh tangan kiri Dibyasakti dan sekali renggut, golok itu terlepas dapi tangan pemegangnya dan sebuah tendangan mengenai perut sang perwira yang terlempar dan terbanting keras.
Tiba-tiba seorang laki-laki berusia lima puluh tahun turun dan keluar dari kereta itu. Dia seorang laki-laki tinggi kurus, berpakaian seperti seorang bangsawan. "Tahan perkelahian dan semua prajurit mundurlah!" seru orang itu.
Mendengar ini, para prajurit yang sudah panik dan kocar-kacir itu lalu mundur kedekat kereta, membiarkan laki-laki itu menghadapi Dibyasakti. Dibyasakti sudah siap menghadapi lawan baru. Dia tahu bahwa orang ini tentu berbeda dengan para perajurit, tentu seorang yang memiliki kedigdayaan kalau diingat bahwa pangkatnya adalah seorang tumenggung. Tentu saja dia tidak ingin bermusuhan dengan ponggawa Pamekasan yang hendak dikunjunginya, maka ia menghadapi laki-laki yang tadi disebut namanya sebagai Tumenggung Surobayu oleh perwira itu dengan sikap tenang.
Tumenggung Surobayu mengamati pemuda gagah perkasa di depannya dengan penuh perhatian. Diam-diam dia kagum melihat pemuda yang gagah itu, apalagi dia sudah melihat sepak terjangnya yang dahsyat ketika pemuda itu dengan tangan kosong menghadapi pengeroyokan enam belas orang perajurit dan membuat mereka yang memegang golok itu kocar-kacir.
"Orang muda, siapakah andika dan mengapa andika menghadang perjalananku?"
"Nama saya Raden Dibyasakti dan saya sama sekali tidak menghadang perjalanan andika."
"Hemm, akan tetapi aku melihat andika tadi berkelahi melawan para perajurit yang mengawal perjalananku!"
"Mereka itulah yang bersikap kasar dan sama sekali tidak menghormati saya, bahkan mereka pula yang lebih dulu menyerang saya. Saya hanya membela diri."
Tumenggung Surobayu mengangguk-angguk. "Hemm, begitukah? Kalau benar demikian, maafkanlah para pengawalku. Agaknya andika bukan kawula Pamekasan, maka tidak mengenalku. Aku adalah Tumenggung Surobayu, panglima Pamekasan. Dari manakah andika datang dan ada keperluan apa andika hendak menuju ke Pamekasan?"
"Ah, kiranya paman Tumenggung Surobayu adalah panglima Pamekasan? Maafkan, paman, karena saya tidak mengetahui sebelumnya. Perkenalkan, saya Raden Dibyasakti adalah senopati muda dari Kadipaten Arisbaya dan saya memang hendak menghadap Sang Adipati Pamekasan untuk menyampaikan pesan Sang Adipati Arisbaya. Saya adalah utusan Kadipaten Arisbaya, paman."
Tumenggung Surobayu terkejut dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak. "Anakmas adalah seorang senopati muda dari Kadipaten Arisbaya? Ah! Tidak aneh kalau andika demikian digdaya. Sekali lagi maafkan para pengawal saya, anakmas Dibyasakti."
"Saya juga minta maaf, paman tumenggung."
"Anakmas hendak menghadap Sang Adipati Pamekasan? Kalau begitu, biarlah saya menunda kepergian saya dan mari saya antarkan andika menghadap beliau."
"Terima kasih, paman."
Mereka berdua lalu memasuki kereta dan kuda milik Dibyasakti dituntun seoran perajurit atas perintah Tumenggung Surobayu. Mereka memasuki Kadipaten Pamekasan dan langsung Ki Tumenggung Surobayu mengantar tamunya menghadap Sang Adipati Pamekasan. Kereta itu berhenti di depan pintu gerbang istana kadipaten. Tumenggung Surobayu mengajak Dibyasakti memasuki gapura berjalan kaki. Para penjaga di depan istana kadipaten itu menyambut dengan hormat atasan mereka itu dan memberi tahu bahwa pada saat itu, sang adipati sedang berada di bagian belakang istana sedang berada di istal kuda bersama puterinya.
Sebagai seorang pembantu dekat yang dipercaya, mendengar ini Tumenggung Surobayu mengajak tamunya langsung saja menyusul ke istal yang berada di belakang istana kadipaten. Mereka tiba di bagian tempat memelihara kuda-kuda milik kadipaten. Tempat itu cukup luas, dengan bangunan istal-istal yang bersih dan di situ terdapat pula sebuah lapangan rumput yang luas di mana biasanya sang adipati bersama keluarganya menunggang kuda.
Ketika mereka berdua tiba di situ, Tumenggung Surobayu dan Dibyasakti terkejut melihat seekor kuda tampan yang besar sedang marah. Di punggung kuda hitam itu duduk seorang gadis cantik yang tampak ketakutan dan berusaha mempertahankan diri agar jangan sampai terlempar dari atas punggung kuda yang sedang marah itu. Kuda itu meringik-ringkik, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan mengguncang-guncangkan badannya seolah berusaha melempar penunggangnya dari atas punggungnya.
Seorang laki-laki setengah tua yang melihat pakaiannya mudah dikenal sebagai Adipati Pamekasan, bersama dua orang perawat kuda, berusaha menenangkan kuda yang mengamuk itu. Akan tetapi usaha ini sia-sia belaka, bahkan dua orang perawat kuda itu sudah terpelanting terkena sepakan kaki kuda yang mengamuk itu. Sang Adipati Pamekasan tampak panik Ketika dia melihat munculnya Tumenggung Surobayu, dia berseru, "Adi Tumenggung cepat tolong puteriku....!"
Tumenggung Surobayu cepat berlar menghampiri dan menangkap kendali kuda dekat mulut binatang yang marah itu. Akan tetapi kuda itu malah menyerangnya dan berusaha menggigit lengannya. Tumenggung Surobayu terpaksa melepaskan kendali dan kuda itu sudah menyerang dengan kedua kaki depan yang diangkatnya tinggi-tinggi. Kuat sekali kedua kaki itu menghantam ke arah Tumenggung Surobayu. Panglima Pamekasan ini menangkis dengan kedua tangannya.
"Bresss....!" Dia terpelanting roboh dan, kuda yang marah itu sudah mengangkat kedua kaki depannya lagi, siap untuk menginjak tubuh sang tumenggung. Keadaannyaa amat gawat dan gadis yang masih dapat bertahan di atas punggung kuda itu menjerit ngeri melihat kuda itu hendak menginjak tubuh sang tumenggung.
Pada saat itu, Dibyasakti cepat melompat ke depan. Bayangannya berkelebat dan dia sudah menangkap kedua kaki depan kuda itu, mengerahkan tenaga dan kuda itu tidak mampu bergerak lagi! Selamatlah Ki Tumenggung yang cepat menggulingkan tubuhnya dan bangkit berdiri. Kuda yang tidak mampu menggerakkan dua kakinya yang ditangkap Dibyasakti itu kini meloncat-loncat dengan kaki belakangnya. Gerakannya demikian liar dan cepat sehingga gadis yang mati-matian mempertahankan diri di atas punggung kuda itu, tidak kuat bertahan lagi dan iapun terlempar ke atas dari punggung kuda ketika binatang itu meloncat-loncat dengan dua kaki belakangnya!
Melihat ini, Dibyasakti melepaskan kedua kaki depan kuda dan mendorongnya. Kuda itu terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Sementara itu, tubuh gadis itu melayang kebawah dan iapun menjerit ketakutan. Dibyasakti cepat menjulurkan kedua lengannya dan tubuh gadis cantik jelita itu mendarat dengan empuk di atas kedua lengan Dibyasakti yang kokoh kuat!
Kedua lengan itu dengan tepat menyangga belakang pinggul dan belakang punggung gadis itu sehingga gadis itu berada dalam pondongan Dibyasakti. Tubuh gadis itu terasa lunak dan hangat dalam dekapannya, ketika gadis itu mengangkat muka memandang, muka mereka begitu berdekat Dibyasakti terpesona! Dia adalah seorang pemuda yang sudah banyak bergaul dengan wanita cantik, bahkan dia terkenal sebagai seorang pemburu wanita dan di Arisbaya banyak wanita tergila-gila kepadanya. Akan tetapi sekali ini dia benar-benar terpesona!
Dia seperti seorang laki-laki yang belum pernah melihat wanita cantik. Dan memang bagi Dibyasakti, dia merasa belum pernah melihat seorang perawan secantik menarik gadis dalam pondongannya itu. Mata itu! Hidung itu! Bibir itu! Dia seperti merasa dalam mimpi memondong seorang dewi dari kahyangan. Tanpa terasa dia memeluk lebih erat dan menekan tubuh itu ke dadanya! Hidungnya seperti mencium harum sejuta melati keluar dari tubuh gadis itu. Dia sampai lupa bahwa terlalu lama dia membiarkan tubuh yang harum, lembut dan lentur itu dalam pondongannya.
"Lepaskan aku....!" Gadis itu berkata, kaki tangannya bergerak-gerak hendak melepaskan diri. Barulah Dibyasakti teringat. Dia melepaskan tubuh itu dengan gerakan lembut dan hati-hati seolah menurunkan seorang bayi dari pondongannya. Begitu diturunkan dari pondongan, gadis itu lalu berlari ke dalam rangkulan ayahnya. "Syukur kepada Gusti Allah engkau selamat, nini!" kata Adipati Pamekasan sambil merangkul puterinya.
Tumenggung Surobayu segera berkata, "Wah, sungguh beruntung andika dapat Menyelamatkan sang puteri, anakmas! Kakangmas Adipati, orang muda ini adalah utusan dari Sang Adipati Arisbaya yang mohon menghadap paduka, maka saya bawa dia menyusul ke sini."
Dengan lengan kiri masih merangkul puterinya, adipati itu memandang Dibyasakti, lalu berkata, "Utusan Sang Adipati Arisbaya? Siapa namamu, orang muda yang gagah? Dan apa kedudukanmu di Arisbaya?"
Dibyasakti memberi hormat dengan sembah. "Saya bernama Raden Dibyasakti dan menjadi senopati muda di Arisbaya gusti."
"Senopati muda Arisbaya? Ah, pantas engkau begitu tangkas. Engkau telah menyelamatkan puteriku. nini Sriyatun, Dibyasakti, untuk itu kami berterima kasih sekali kepadamu dan tentu kami akan memberi hadiah kepadamu. Akan tetapi kulihat engkau tangkas dan sakti mandraguna, dapat menaklukkan Si Gagak Cemeng denga mudah, padahal kuda ini amat kuat dan tadi sedang mengamuk dan liar. Tentu engkau memiliki seorang guru yang sakti!"
"Saya menerima gemblengan dari ayah saya sendiri, gusti."
"Ah, begitukah? Dan siapa ayahmu yang sakti mandraguna itu?"
"Ayah saya menjadi penasihat di Kadipaten Arisbaya, nama ayah saya Ki Harya Baka Wulung."
"Jagad Dewa Bathara....!" Adipati Pamekasan itu berseru dan wajahnya tampak gembira. "Kiranya putera Kakang Harya Baka Wulung sendiri? Ha-ha-ha, kalau begitu engkau masih keponakanku sendiri, Dibyasakti. Kakang Harya itu seperti kakakku sendiri. Jangan sebut aku gusti, panggil paman saja! Sriyatun, sapa kangmas mu ini, dia ini seperti keponakanku sendiri!"
Dengan sikap malu-malu dan rikuh gadis itu membungkuk ke arah Dibyasakti dan mulutnya yang berbibir merah basah clan mungil itu berkata lirih, "Kakangmas Dibyasakti.... !"
"Diajeng Sriyatun, aku girang andika tidak cidera tadi."
"Berkat pertolonganmu, kakangmas...."
"Ha-ha-ha, Dibyasakti. Engkau keponakanku sendiri dan utusan adimas Adipati Pangeran Mas di Arisbaya. Mari kita masuk dan bicara di dalam. Adimas Tumenggung, atur supaya penjinak kuda dapat menjinakkan Si Gagak Cemeng. Kuda itu belum jinak benar. Tadi ketika Sriyatun berkeras hendak mencoba menungganginya, dia menjadi binal dan mengamuk."
"Sendika, Kakangmas Adipati!" kata Tumenggung Surobayu sambil menyembah.
"Mari, anakmas Dibya!" Sang Adipa mengajak tamunya sambil menggandeng tangan puterinya, menuju ke istana kadipaten melalui pintu belakang, terus menuju ke ruangan tengah dimana dia mempersilakan pemuda itu duduk berhadapan dengan dia, sedangkan Sriyatun sudah mengundurkan diri masuk ke ruangan keputren. Setelah menyerahkan surat dari Adipati Arisbaya, Dibyasakti disambut dengan ramah oleh Adipati Pamekasan. Sang Adipati menyatakan persetujuannya denga penuh semangat.
"Memang kita harus menyatukan kekuatan untuk melawan Mataram!" katanya. "Sampaikan kepada adimas Adipati Arisbaya bahwa kami sudah siap dan harap jangan khawatir. Kalau pasukan Mataram berani mendarat di pesisir kita, aku sendiri yang akan memimpin pasukan untuk melawan mereka!"
Setelah berbincang-bincang kemudian disambut dengan perjamuan selamat datang, Dibyasakti mohon diri berpamit dari tuan rumah.
"Ah, kenapa tergesa-gesa, anak-mas? Engkau bukan hanya utusan adimas Adipati Arisbaya, melainkan engkau adalah keponakanku sendiri. Anggaplah engkau berkunjung ke rumah pamanmu sendiri dan engkau harus tinggal bermalam di sini selama dua tiga hari. Aku masih kangen dan banyak yang ingin kubicarakan denganmu, anakmas!" Adipati Pamekasan membujuk Dibyasakti dan akhirnya pemuda ini menerima juga tawaran Adipati Pamekasan untuk bermalam di situ selama dua malam.
Sesungguhnya, kalau Dibyasakti menerima tawaran itu adalah karena dia ingin sekali bertemu lagi dengan Sriyatun! Dia merasa rindu karena semenjak pertemuan pertama yang amat mengesankan hatinya itu, Sriyatun tidak pernah lagi menampakkan dirinya. Bahkan sampai lewat malam pertama dikadipaten, dia belum juga dapat bertemu perawan itu. Dia merasa penasaran sekali, akan tetapi untuk bertanya tentang gadis itu kepada Sang Adipati, tentu saja dia merasa rikuh.
Pada malam kedua, malam terakhir dia tinggal di Kadipaten Pamekasan, dia tidak tahan lagi. Malam itu dia harus dapat bertemu atau setidaknya melihat Sriyatun untuk mengobati rasa rindunya. Malam ini terang bulan. Langit bersih dan cerah. Malam sejuk yang indah sekali. Bulan purnama mendatangkan suasana yang romantis. Tentu saja Dibyasakti tidak betah berada dalam kamarnya.
Tanpa diketahui orang malam itu dia keluar dari kamarnya dan memasuki taman bunga yang letaknya di belakang kadipaten, di sebelah kiri tempat pemeliharaan kuda. Taman itu luas sekali, penuh dengan beraneka bunga. Bunga mawar beraneka warna, dan banyak bunga melati dan menur yang menyebarkan keharuman yang khas. Ada pula pohon bunga arum dalu, kenanga, dan kantil yang membuat taman sari itu semerbak harum.
Ketika memasuki taman yang bermandikan cahaya bulan purnama itu, Dibyasakti merasa seperti tenggelam ke dalam lautan bunga yang harum memabokkan. Semangatnya seperti melayang-layang dan terbayanglah semua kemesraan dengan wanita-wanita cantik yang pernah dialaminya. Wajah-wajah cantik itu seperti melayang-layang di depan matanya, kemudian semua wajah wanita cantik itu menghilang dan yang tinggal hanya sebuah wajah. Wajah Sriyatun! Dan rasa rindunya semakin menekan.
Aku harus menemuinya, pikirnya berbisik. Kalau perlu, aku akan menyusup ke dalarn keputren, seperti maling! Tidak akan sukar baginya. Dia harus menemuinya malam ini juga. Sekedar pamit, sekedar untuk menatap wajah itu sekali lagi! Dia harus!
Tiba-tiba dia mendengar suara orang. Cepat sekali tubuhnya sudah menyelinap ke balik serumpun bambu kuning yang tumbuh di situ dan mengintai. Dua sosok bayangan orang berjalan perlahan menuju ke situ. Ketika dua bayangan itu lewat dekat, jantungnya berdegup dan dia memusatkan kekuatan pandang matanya untuk dapat melihat lebih jelas lagi. Di bawah sinar bulan yang lembut, dia melihat Sriyatun sebagai satu di antara dua bayangan itu. Dan perawan yang dirindukannya itu tampak demikian cantik jelita, ayu manis merak ati.
Tubuhnya seperti terbungkus cahaya bulan, seolah memancarkan kehangatan yang terasa olehnya. Ketika dia memperhatikan bayangan kedua, alisnya berkerut. Orang kedua itu adalah seorang muda yang bertubuh sedang, pakaian rapi dan wajahnya membuat dia merasa hatinya panas oleh cemburu karena wajah itu tampan sekali! Mereka melangkah perlahan melewatinya, dekat sekali sehingga dia dapat mendengar jejak langkah mereka mendengar berkereseknya kain yang dipakai Sriyatun.
Setelah mereka lewat, Dibyasakti cepat bergerak, menyusup-nyusup dan membayangi kedua orang muda itu. Hatinya yang sudah panas itu menjadi semakin penasaran lagi ketika kini dia melihat pemuda itu memegang tangan kiri Sriyatun dan menggandengnya dengan sikap mesra. Dia mendengar sendiri degup jantungnya sehingga dia khawatir kalau-kalau degup jantungnya itu akan terdengar oleh dua orang yang dibayanginya.
Di tengah taman itu terdapat sebuah pondok bambu mungil tanpa dinding, han lantai dari papan, tiang dan atap saja. situ terdapat bangku-bangku panjang d biasanya keluarga sang adipati sering duduk di pondok ini, terutama kalau siang hari panas. Dua orang muda yang bergandengan tangan itu menuju ke pondok ini dan mereka duduk di atas bangku panjang, berdampingan. Mereka bercakap-cakap sambil duduk berdempetan dan kini lengan kanan pemuda itu merangkul pundak Sriyatun dengan amat mesra. Karena mereka bicara lirih sekali, terpaksa Dibyasakti harus bergerak mendekati dan bersembunyi di balik pohon kecil kemuning yang tumbuh di dekat pondok. Kini dia dapat mendengar suara mereka dengan jelas.
"ah, benarkah kata-katamu itu, diajeng?" kata pemuda itu.
"Kakangmas Karyadi, pernahkah aku berbohong kepadamu? Aku merasa yakin bahwa dia itu bukan orang baik-baik. Ketika dia menyelamatkan aku dan memondongku, aku dapat merasakan sentuhannya dan sinar matanya... huh, mengerikan, kakangmas....!"
Pemuda bernama Karyadi itu tertawa. "Ha-ha-ha, kukira engkau hanya salah sangka saja, diajeng. Dia itu bukan orang biasa. Dia utusan Sang Adipati Arisbaya, dan itu seorang senopati muda! Dia sudah menyelamatkan dirimu, diajeng. Bagaimana engkau malah mencurigai dan tidak percaya kepadanya? Bukankah Kanjeng Paman Adipati sendiri menerimanya dengan ramah dan menganggap dia keponakan sendiri karena dia putera Ki Harya Baka Wulung yang amat terkenal karena sakti mandraguna itu? Di seluruh Madura, siapa yang tidak mengenal Ki Baka Wulung?"
Gadis itu mencibir. "Terkenal kesesatannya maksudmu, kakangmas?"
"Ssstt....! Kenapa engkau bilang begitu diajeng?" Karyadi menyentuh bibir yang mungil dan merah basah itu seolah hendak mencegah gadis itu bicara yang bukan-bukan.
"Aku mendengar dari cerita ibuku sendiri, kakangmas! Menurut cerita ibuku, Harya Baka Wulung itu dahulu di waktu mudanya, ketika berkunjung ke sini, sudah berani mencoba untuk menggoda ibuku. Karena itulah maka ibuku berpesan kepadaku agar jangan dekat-dekat dengan puteranya itu."
"Sudahlah, diajeng. Jangan khawatir dan jangan takut. Ada aku di sini, aku calon suamimu yang akan selalu melindungimu. Kalau ada aku di sampingmu, siapa yang akan berani mengganggumu?"
Setelah berkata demikian, pemuda itu merangkul dan memeluk kekasihnya. Sriyatun menghela napas manja dan lega, menyandarkan kepalanya di dada tunanganya itu.
Dibyasakti yang sejak tadi mengintai dan mendengarkan percakapan itu, tentu saja menjadi marah bukan main. Gadis itu berani mencela nama ayahnya, berarti penghinaan! Dia memang terpesona dan tergila-gila kepada Sriyatun, akan tetapi kini kegandrungannya itu bercampur dendam kemarahan. Apalagi mendengar bahwa pemuda itu adalah calon suami gadis yang digandrunginya itu, habislah harapannya untuk dapat mempersunting Sriyatun. Otaknya yang licik itu diputar dan tiba-tiba ia sudah mengambil sebuah keputusan yang hanya dapat dipikirkan seorang yang dah kemasukan iblis.
"Maling hina! Berani mati engkau mengganggu sang puteri!" tiba-tiba Dibyasakti melompat dan membentak.
Sepasang muda-mudi yang sedang bermesraan itu terkejut bukan main. Raden Karyadi, pemuda itu, adalah putera Tumenggung Surobayu dan sebagai putera tumenggung, tentu saja dia bukan seorang pemuda lemah dan mahir olah keperwiraan. Melihat ada orang melompat dan membentak, diapun cepat melepaskan rangkulannya dari pundak Sriyatun lalu melompat dan berdiri melindungi kekasihnya. Akan tetapi Dibyasakti tidak memberi kesempatan kepadanya untuk bicara karena dia sudah menerjang dengan serangan pukulan tangan kanan yang dahsyat. Karyadi melihat pukulan itu cepat menangkis sambil miringkan tubuhnya.
"Wuuttt... dukkk...!!" Ternyata kekuatan Karyadi belum mampu mengimbangi tenaga Dibyasakti yang dahsyat. Pertemuan kedua lengan itu membuat tubuh Karyadi terpelanting sampai keluar dari dalam pondok!
Melihat kejadian ini, Sriyatun terkeiut bukan main. Tadinya ia terbelalak memandang orang yang datang itu, akan tetapi ketika ia mengenal bahwa orang itu adalah Dibyasakti yang menjadi tamu ayahnya, dan melihat Dibyasakti membuat tunangannya terpelanting keluar pondok, ia menjerit, "Kakangmas Dibyasakti! Dia bukan maling, bukan penjahat. Dia itu kakangmas Karyadi, tunanganku, calon suamiku!"
Akan tetapi Dibyasakti seolah tidak mendengar ucapan ini, atau memang dia tidak mau mendengarkan. Dia sudah melompat keluar dari pondok dan menyerang lagi ke arah Karyadi. Karyadi sudah siap siaga. Melihat Dibyasakti tetap menyerangnya walaupun Sriyatun telah memperkenalkan dirinya, dia tahu bahwa orang ini memang sengaja berniat jahat. Maka diapun mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghindar dari serangan yang kedua itu. Dia tidak berani menangkis, maklum bahwa tenaganya kalah kuat. Elakannya yang cepat membuat pukulan Dibyasakti tadi luput dan Karyadi berseru nyaring, "Kisanak, Kisanak, tahan dulu....!!"
Akan tetapi Dibyasakti yang sudah mengambil keputusan bulat untuk membinasakan pemuda yang menjadi kekasih Sriyatun itu, menggosok kedua telapak tangannya. Tampak asap hitam mengepul dan dia mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Karyadi sambil membentak. "Aji Kukus Langking.... !" Aji pukulan sakti ini dahsyat bukan main. Asap hitam yang menyambar itu selain membawa hawa pukulan maut, juga kalau mengenai kulit lawan, asap itu dapat membakar seperti api!
Karyadi terkejut dan cepat dia membuang diri ke atas tanah dan berguling menghindar sampai jauh. Ketika dia bangkit berdiri, dia sudah mencabut kerisnya. Pemuda ini mengambil keputusan untuk melawan mati-matian, bukan untuk menyelamatkan dirinya, melainkan terutama sekali untuk membela dan melindungi kekasihnya, Sriyatun. Kalau saja di situ tidak ada Sriyatun, dia tentu sudah melarikan diri karena dia maklum sepenuhnya bahwa dia tidak akan mampu menandingi lawan yang sakti mandraguna ini. Akan tetapi dia harus membela dan melindungi kekasihnya dengan taruhan nyawa. Maka, dia mencabut kerisnya dan masih berusaha untuk mengingatkan pemuda yang gagah seperti Gatotkaca itu.
"Kisanak, andika tentu Senopati Dibyasakti! Aku adalah Karyadi, putera Tumenggung Surobayu, bukan penjahat dan bukan musuh!" Akan tetapi Dibyasakti tidak perduli. Dia melompat ke depan dan dalam posisi setengah berjongkok dia siap menyerang. Melihat ini, Karyadi menjadi marah dan diapun maju dan menusukkan kerisnya.
Pada saat itu, Dibyasakti membentak, "Aji Cantuka Sakti!" dan kedua tangannya mendorong ke depan, dari perutnya terdengar bunyi kok-kok nyaring. Aji ini merupakan aji pamungkas andalan Ki Harya Baka Wulung yang telah diturunkan kepada puteranya itu. Dahsyat bukan main aji pukulan ini. Serangkum tenaga sakti yang menggiriskan menyambar dan menghantam Karyadi yang menusukkan kerisnya. Diterpa hawa pukulan ini, tubuh pemuda itu melayang seperti daun kering dihembus angin dan dia terbanting roboh dan tidak mampu bergerak lagi!
Sriyatun berlari menghampiri kekasihnya lalu berlutut di dekat tubuh yang teentang itu. "Kakangmas Karyadi....! Kakangmas�.!" Ia mengguncang-guncang tubuh pemuda itu dan matanya terbelalak memandang darah yang mengucur keluar dari mulut Karyadi. Akan tetapi yang dipanggil dan diguncang tidak bergerak dan tidak menjawab. "Kakangmas Karyadi... kau... kau... mengapa, kakangmas?"
"Dia sudah mati!" tiba-tiba Dibyasakti yang sudah berdiri didekatnya berkata.
"Mati....?? Kau... kau... membunuhnya... oohhh...!" Sriyatun terkulai lemah dan roboh pingsan. Melihat gadis itu rebah miring dan kain yang dipakainya tersingkap ketika tadi berlari lalu menjatuhkan diri sehingga tampak sebagian pahanya, nafsu berahi yang memang sejak tadi menguasai hati akal pikiran Dibyasakti menjadi berkobar. Dia membungkuk dan memondong tubuh Sriyatun, lalu tanpa sangsi dan ragu, tanpa rasa takut atau rikuh, dia melangkah pergi membawa tubuh Sriyatun dalam pondok.
Sesungguhnyalah bahwa segala macam gairah nafsu merupakan anugerah yang tak ternilai besarnya dari Tuhan Yang Maha Kasih. Gairah nafsu ini yang mendatangkan kenikmatan mata memandang sehingga nampak bentuk-bentuk dan warna-warna yang indah, membuat telinga menikmati pendengaran suara yang merdu, hidung menikmati penciuman yang sedap dan harum, mulut menikmati makanan yang lezat dan sebagainya. Termasuk nafsu berahi.
Nafsu ini dianugerahkan kepada setiap makhluk hidup, terutama manusia dan gairah nafsu inilah yang membuat manusia dapat berkembang biak. Segala macam gairah nafsu merupakan anugerah yang mutlak diperlukan dalam kehidupan, merupakan peserta, merupakan abdi bagi manusia untuk mempertahankan hidup ini dan menikmati anugerah Tuhan. Akan tetapi, gairah nafsu dapat menjadi abdi yang baik selama kita mendekatkan rohani kita, batin kita, hati akal pikiran kita, dengan Tuhan sehingga Kekuasaan Tuhan akan selalu membimbing kita dan menguatkan batin kita sehingga kita akan mampu menjadi majikan dari nafsu-nafsu kita sendiri, mengendalikan gairah nafsu kita sendiri.
Celakalah kita kalau kita lengah, jauh dari bimbingan Kekuasaan Tuhan, karena nafsu-nafsu itu akan selalu berusaha untuk menaklukkan kita. Kalau abdi-abdi nafsu itu telah berubah menjadi majikan kita, dan sebaliknya kita diperhamba olehnya, kita akan diseret kedalam perbuatan-perbuatan sesat. Gairah nafsu berahi yang pada dasarnya merupakan anugerah terbesar dan mempunyai fungsi yang suci itu kalau sudah menjadi majikan dan memperhamba kita akan menyeret kita untuk melakukan perbuatan yang kotor dan jahat. Lahirlah perbuatan seperti perkosaan, perjinaan, pelacuran, dan sebagainya.
Demikian pula halnya dengan Dibysakti yang sejak kecil terdidik secara salah oleh Ki Harya Baka Wulung. Sejak kecil dia menjadi hamba nafsu-nafsunya, selalu mengejar kesenangan. Dalam peristiwa malam itu, dia sudah menjadi hamba nafsunya. Bukan saja dia telah membunuh Karyadi yang tidak berdosa, hanya karena dia menganggap Karyadi merupakan penghalang untuk mendapatkan Sriyatun, akan tetapi dia melakukan perbuatan yang lebih keji lagi, yaitu dia menggagahi Sriyatun, memperkosa gadis yang sedang pingsan itu!
Sungguh perbuatan biadab seorang manusia yang sudah dikuasai sepenuhnya oleh iblis. Semua pertimbangannya sebagai manusia telah hilang, yang ada hanyalah nafsu kebinatangan semata-mata. Setelah gairah nafsu tersalurkan, saat mana nafsu sudah tidak lagi menguasai hati akal pikiran karena sudah terpuaskan, barulah kesadaran kemanusiaannya kembali dan mengingatkan, membuat si pelaku menyadari akan perbuatannya. Demikian pula dengan Dibyasakti.
Setelah kekejian yang dilakukannya selesai, barulah dia termenung, memikirkan akibat daripada semua perbuatannya itu! Dan muncullah penyesalan dalam hatinya. Dia maklum bahwa perbuatannya ini akan mendatangkan akibat yang hebat. Seluruh Kadipaten Pamekasan akan geger dan akibat perbuatannya ini, bukan saja dia akan dimusuhi seluruh kadipaten, bahkan bukan tidak mungkin Kadipaten Pamekasan akan menganggap Kadipaten Arisbaya sebagai musuh karena dia adalah senopati muda Arisbaya.
Pada saat dia termenung itu tiba-tiba Sriyatun yang masih rebah telentang di atas bangku, bergerak, merintih dan ia bangkit duduk. Agaknya ia baru menyadari akan keadaannya. Ia terbelalak kemudian menjerit-jerit. Dalam keadaan bingung dan takut kalau jeritan itu akan menarik perhatian orang, Dibyasakti menggerakkan tangan kirinya dan sekali jari-jari tangannya menampar tengkuk Sriyatun, gadis itu terkulai roboh dan tewas seketika.
Dibyasakti yang tadi sudah memutar otak mencari jalan keluar terbaik, cepat melompat keluar pondok. Dia mengangkat mayat Karyadi dan membawanya ke dalam pondok lalu merebahkannya di atas lantai pondok, dekat bangku di mana mayat Sriyatun menggeletak. Setelah itu dia berlari kebagian pemeliharaan kuda dan melakukan pengintaian. Ketika dia melihat dua orang perawat kuda yang pernah dilihatnya tempo hari, dia cepat menghampiri mereka.
"Kalian cepat bantu aku. Ada pencuri masuk ke dalam taman!" katanya. Dua orang perawat kuda itu memandang dengan kaget. Mereka segera mengenal pemuda gagah perkasa ini.
"Ah, andika, Raden? Di mana malingnya?" tanya mereka.
"Cepat ambil senjata kalian dan mari bantu aku menangkapnya!" kata Dibyasakti. Dua orang itu menjadi berani untuk membantu karena mereka maklum bahwa pemuda yang menjadi tamu ini adalah seorang yang digdaya. Mereka cepat mengambil parang dan siap siaga dengan sikap gagah.
"Mari, ikut aku!" kata Dibyasakti dan mereka bertiga lalu berlari memasuki taman yang memang berdekatan dengan bagian pemeliharaan kuda itu. Setelah tampak pondok itu dari situ, Dibyasakti memberi isyarat agar mereka berhenti.
"Kulihat tadi malingnya bersembunyi di pondok itu. Mari kita ke sana, hati-hati, perlahan saja jangan membuat gaduh."
Mereka bertiga melangkah berindap-indap menghampiri pondok. Setelah tiba luar pondok, Dibyasakti yang sengaja berjalan di belakang, mengayun kedua tangannya. Dengan pengerahan tenaga sakti dia memukul ke arah kepala mereka dan dua orang perawat kuda itu roboh dan tewas tanpa sempat mengeluarkan suara lagi. Dengan sikap tenang, seolah membunuh empat orang itu baginya merupakan perbuatan biasa saja, Dibyasakti lalu mengambil dua buah parang yang terlepas dari tangan mereka, lalu memasuki pondok.
Kemudian, dengan mata tak berkedip sedikitpun dia menusukkan parang ke dada mayat Karyadi. Parang itu menancap situ sampai ke gagangnya. Kemudian dia menggunakan parang yang sebuah lagi untuk membacok punggung mayat Sriyatun yang rebah miring dan membiarkan parang itu menancap di punggung wanita itu. Setelah mengamati ke kanan kiri dan merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang melihat perbuatannya, Dibyasakti lari arah istana kadipaten. Di bagian belakang gedung itu dia melihat sebuah kentongan tergantung. Kentongan ini biasanya dipukul para peronda yang meronda mengelilingi gedung.
Cepat dia mengambil pemukul dan memukuli kentongan itu dengan suara titir, yaitu dipukul bertalu-talu tiada hentinya. Tentu saja suara ini menimbulkan kegemparan. Para penjaga berlari menghampiri, bertanyatanya. Akan tetapi Dibyasakti memukul terus kentongan itu dan baru berhenti setelah Adipati Pamekasan sendiri muncul.
"Anak-mas Dibyasakti! Apa yang terjadi? Kenapa andika memukuli kentongan seperti ini?"
"Aduh, paman Adipati, celaka, paman. Ada rajapati (pembunuhan) besar!"
"Rajapati? Apa yang andika maksudkan? Rajapati? Di mana? Siapa?" Sang adipati Pamekasan bertanya, bingung.
"Mari, silakan ikut dengan saya, paman!" kata Dibyasakti dan dia lalu melangkah memasuki taman. Adipati itu mengikutinya dan di belakang mereka, para pengawal kadipaten berbondong-bondong mengikuti dengan rasa ingin tahu sekali.
Setelah tiba di depan pondok, Sang adipati melihat mayat dua orang perawat kuda menggeletak di atas tanah. "Eh, kenapa mereka berada di sini dan siapa yang membunuh mereka?"
"Saya yang membunuh mereka, paman."
"Andika yang membunuh mereka, anak-mas Dibyasakti? Kenapa?"
"Karena mereka berdua telah melakukan kejahatan yang amat besar, mereka telah melakukan pembunuhan. Silakan memeriksa ke dalam pondok, paman."
Adipati Pamekasan cepat memasuki pondok. Cuaca kini terang sekali karena banyak perajurit pengawal yang membawa obor ketika mereka memasuki taman itu. Sang Adipati masuk dan dia terbelalak ketika melihat puterinya menggeletak miring di atas bangku panjang, sebatang parang masih menancap di punggungnya. Dan dia lebih terkejut lagi melihat mayat Karyadi menggeletak telentang di dekat bangku, di atas lantai dan dada pemuda ini pun ditembusi sebatang parang yang masih menancap di situ.
"Nini Sriyatun...! Ahhh, apakah yang telah terjadi? Mengapa begini....?" Dia menubruk puterinya. "Nini... kenapa begini...? Siapa yang membunuhmu? Siapa...?"
Sejenak lamanya Sang Adipati memeluk mayat puterinya dan menangis. Akan tetapi dia dapat menenangkan hatinya. Dia bangkit berdiri dan memutar tubuhnya menghadapi Dibyasakti yang masih berdiri di situ. "Anakmas Dibyasakti, apa yang telah terjadi di sini? Kenapa anakku dibunuh?"
"Begini, paman. Tadi saya tidak dapat tidur dan melihat dari jendela bahwa malam indah sekali, bulan bersinar gemilang, saya tertarik dan keluar dari kamar menikmati keindahan taman dimalam terang bulan. Ketika tiba di dekat pondok, saya mendengar jeritan dan suara gaduh. Saya cepat berlari ke sini dan melihat dua orang tadi berloncatan keluar pondok. Karena saya menaruh curiga, saya tegur mereka. Akan tetapi kedua orang itu bahkan menyerang saya. Melihat serangan mereka terhadap diri saya itu nekat dan bermakud membunuh, maka saya lalu merobohkan mereka dengan pukulan dan mereka tewas. Saya lalu cepat masuk ke pondok ini dan menemukan diajeng Sriyatun dan pemuda ini telah menggeletak dan telah tewas. Saya menjadi terkejut sekali dan dalam kebingungan saya, ketika saya melihat kentongan itu, saya lalu memukul kentongan bertalu-talu. Demikianlah, paman. Saya merasa yakin bahwa yang membunuh puteri paman dan pemuda ini adalah dua orang itu. Silakan paman memeriksa dua buah parang itu. Milik siapa kedua buah senjata tajam itu."
Sang adipati memberi isyarat kepada kepala pengawal untuk bantu memerik kedua buah parang itu. Kepala pengawal mengangguk-angguk. "Benar, gusti. Ini adalah parang-parang yang biasa mereka pakai di tempat pekerjaan mereka."
"Jahanam keparat!" Sang Adipati marah sekali. "Gantung mayat kedua jahanam itu di alun-alun agar semua orang melihat mereka!"
Suasana berkabung meliputi seluruh kadipaten. Tumenggung Surobayu juga terkejut dan berduka sekali atas kematian puteranya. Puteranya, Raden Karyadi memang dipertunangkan dengan Sriyatun. Kedua orang muda itu saling mencinta, juga orang tua kedua pihak sudah merestui, mereka tinggal menanti perayaan pernikahan saja. Sungguh tidak disangka dua sejoli yang tampak berbahagia itu mengalami kematian yang demikian menyedihkan.
Dibyasakti harus berkali-kali mengulang ceritanya. Akan tetapi hal ini dia lakukan dengan tenang dan semua orang percaya akan ceritanya. Siapa yang akan meragukan ceritanya? Dia adalah seorang senopati muda, utusan Adipati Arisbaya, bahkan putera Ki Harya Baka Wulung yang terkenal! Dan pula, bukti-buktinya sudah jelas bahwa pembunuh dua orang sejoli itu tidalah dua orang perawat kuda kadipaten. Buktinya amat kuat. Parang yang dipergunakan membunuh sepasang kekasih itu adalah parang mereka, dan mereka berdua kedapatan berada di taman, hal yang tidak semestinya. Ditambah pula kesaksian Dibyasakti, siapa yang akan meragukan kebenaran cerita pemuda dari Arisbaya itu?
Memang ada yang merasa heran dan penasaran di dalam hatinya. Orang itu adalah Tumenggung Surobayu. Dalam kedukaannya kehilangan puteranya, tumenggung ini merasa heran dan penasaran bagaimana puteranya sedemikian mudahnya dibunuh oleh dua orang perawat kuda! Padahal puteranya itu memiliki kedigdayaan dan tidak sembarang orang akan mampu mengalahkan dan membunuhnya. Keheranan dan rasa penasaran ini dia katakan kepada Dibyasakti. Akan tetapi pemuda yang cerdik ini dengan tenangnya berkata,
"Paman Tumenggung, saya tidak merasa heran. Ketika dua orang itu menyerang saya, saya mendapat kenyataan bahwa mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Mereka cukup tangguh sehingga hanya dengan aji pamungkas saya saja akhirnya saya dapat merobohkan mereka.
"Akan tetapi, anakmas, mereka itu hanya perawat kuda yang sudah bertahun-tahun bekerja disini dan tidak pernah mereka memperlihatkan bahwa mereka itu orang-orang digdaya," bantah Tumenggung Surobayu penasaran.
"Ah, paman. Siapa tahu kalau mereka itu menyimpan rahasia? Kita tahu bahwa Mataram memusuhi kita. Saya curiga bahwa mereka berdua itu adalah orang-orang yang sengaja diselundupkan oleh Mataram untuk bekerja dikadipaten ini, sebagai telik sandi (mata-mata)."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk, agaknya dapat menerima pendapat ini. "Akan tetapi andaikata benar dugaan andika itu, andaikata mereka itu memang telik sandi dari Mataram yang diselundupkan ke sini, mengapa mereka membunuh puteraku dan Sriyatun? Apa alasannya?"
Dibyasakti mengerutkan alisnya. "Alasannya jelas, paman. Tentu untuk mendatangkan suasana kacau di Kadipaten Pamekasan. Yang dibunuh justeru putera paman dan puteri paman Adipati, berarti memberi pukulan kepada dua orang terpenting di Pamekasan dengan maksud agar mendatangkan kelemahan. Selain itu..."
"Selain itu apa, anakmas? Alasan apalagi yang membuat mereka melakukan pembunuhan itu?"
"Anu, paman. Diajeng Sriyatun adalah seorang wanita yang amat cantik. Bukan mustahil kalau dua orang jahanam itu tertarik, mereka berniat keji, hendak menganggu diajeng Sriyatun. Mungkin karena ketahuan putera paman, mereka lalu melakukan pembunuhan untuk menghilangkan jejak."
Akhirnya Tumenggung Surobayu dapat menerima pendapat ini dan dia menumpahkan semua rasa penasaran dan dendamnya kepada Mataram. Keterangan Dibyasakti membuat dia yakin bahwa dua orang pembunuh itu tentu orang-orang Mataram!
"Awas kalian orang-orang Mataram! Kalau terjadi perang, aku akan membalas dendam dan membunuh sebanyak mungkin orang Mataram!" Dia mengancam dengan tangan dikepal.
Dibyasakti tidak lama tinggal di Pamekasan. Setelah ikut melayat dia lalu berpamit dan kembali ke Arisbaya, membawa jawaban para adipati di seluruh Madura untuk Adipati Arisbaya bahwa mereka semua telah siap. untuk bekerja sama dalam menghadapi ancaman dari Kerajaan Mataram...
Di dekat Pacitan terdapat sebuah perguan pencak silat Jatikusumo. Perkumpulan ini mempunyai murid-murid atau anggota yang tidak kurang dari seratus orang jumlahnya dan mereka tinggal disebuah perkampungan. Karena perkampungan ini merupakan perkampungan yang khusus menjadi tempat tinggal mereka, maka dikenal sebagai dusun Jatikusumo yang letaknya di pantai Laut Kidul.
Perguruan Jatikusumo adalah sebuah guruan silat yang sudah tidak asing lagi. Namanya bukan hanya dikenal di daerah Pacitan dan Kadipaten Madiun, bahkan terkenal sampai ke Mataram. Bahkan, yang patut dicatat, Sang Puteri Wandansari, putri Sultan Agung Mataram, merupakan murid andalan perguruan Jatikusumo. Perguruan ini sudah berusia lebih dari setengah abad dan banyak melahirkan pendekar-pendekar yang juga menjadi pahlawan yang membela Mataram.
Sejak dahulu, para pendekar Jatikusumo selalu membela Mataram dengan setia. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Jatikusumo adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, yang dulu merupakan murid andalan perguruan ini. Setelah Bhagawan Sindusakti, ketua Jatikusumo meninggal dunia kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yang menggantikannya menjadi ketua adalah Ki Cangak Awu, ketuanya yang sekarang.
Ki Cangak Awu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur kasar seperti Harya Werkudara tokoh Pandawa dalam cerita wayang Mahabharata. Dia terkenal digdaya dengan senjatanya berupa tongkat. Wajahnya tidak sangat tampan, namun gagah dengan kumis dan jenggotnya yang membuat dia tampak jantan. Dia menjadi ketua Jatikusumo, dibantu isterinya.
Isterinya ini juga seorang wanita yang gagah perkasa dan sakti bernama Pusposari. Orangnya hitam manis namun dalam hal kedigdayaan, ia tidak kalah jauh dibandingkan suaminya. Pusposari bukan murid Jatikusumo, akan tetapi ia juga menjadi anak angkat dari ketua perguruan Nogo Dento yang cukup terkenal. Perguruan Nogo Dento ini berpusat di daerah Ngawi, di Lembah Bengawan Solo. Pusposari yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun itu, setelah menikah dengan Ki Cangak Awu selama hampir sepuluh tahun, belum juga dikaruniai anak.
Ketika Mataram melakukan serangan ke Tuban dan menundukkan Tuban, memang perguruan Jatikusumo tidak dimintai bantuan karena untuk menyerang Tuban tidak dibutuhkan bantuan banyak tenaga. Akan tetapi ketika Mataram berusaha menyerang Surabaya, Ki Cangak Awu dan Pusposari sendiri pergi ke Mataram untuk membantu. Akan tetapi selama tiga tahun, semua usaha Mataram untuk menundukkan Surabaya mengalami kegagalan.
Setelah Sultan Agung menghentikan usahanya menundukkan Surabaya dan mengalihkan perhatiannya kepada Madura, Ki Cangak Awu dan isterinya kembali ke Jatikusuman. Di perkampungan ini mereka melatih para murid dan mempersiapkan diri kalau sewaktu-waktu tenaga mereka dibutuhkan oleh Mataram.
Kita kembali kepada peristiwa aneh yang terjadi kurang lebih lima tahun yang lalu, yaitu sebelum Mataram menyerang Surabaya, atau setelah Mataram berhasil menundukkan sebagian besar kadipaten d Jawa Timur. Pada waktu itu, mendengar betapa Mataram semakin memperkuat wilayahnya dan menundukkan para kadipaten di Jawa Timur, pihak Kumpeni Belanda merasa khawatir.
Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memerintahkan para perwira bawahannya untuk memperluas pula jaringan mata-mata mereka. Orang-orang yang dipercaya dan memiliki kesaktian dan kesetiaan kepada Kumpeni disebar di tempat-tempat penting untuk mengobarkan semangat anti Mataram. Di antara para telik sandi (mata-mata) itu terdapatlah seorang pemuda yang luar biasa. Dia seorang pemuda yang tampan sekali, berusia sekitar dua puluh satu tahun.
Pemuda ini bertubuh tinggi tegap, tidak terlalu besar namun dadanya bidang. Gerak-geriknya lembut sesuai dengan wajahnya yang tampan. Rambutnya keriting berombak, manik matanya tidak hitam benar agak kecoklatan, mata yang tajam dan bentuknya indah dan lebar. Hidungnya mancung dan bentuk bibirnya juga manis. Kebanyakan wanita tidak akan mudah melupakan wajah ini karena memiliki daya tarik yang kuat sekali bagi wanita.
Senyumnya memikat dan giginya putih berderet rapi. Ditambah kegantengannya dengan hiasan kumis tipis yang tumbuh rapi di bawah hidungnya. Ketampanannya memang agak berbau asing, terutama matanya yang agak coklat, hidungnya yang amat mancung dengan rambutnya yang berombak itu. Bukan ketampanan khas Jawa. Memang sesungguhnya pemuda ini bukan seorang Jawa asli, melainkan seorang yang biasa disebut Indo. Ibunya memang seorang wanita Jawa, akan tetapi ayahnya seorang kulit putih totok berbangsa Portugis.
Ketika itu bangsa Portugis sudah datang ke Nusa Jawa sebelum Kumpeni Belanda datang. Orang-orang Portugis itu datang sebagai pedagang. Akan tetapi kebanyakan dari mereka adalah pria-pria petualang yang kasar dan tidak pandai mengambil hati penduduk asli sehingga banyak mendapat tentangan, tidak seperti Kumpeni Belanda yang pandai bersiasat mengambil hati rakyat. Bahkan ada orang-orang Portugis yang mempergunakan kekerasan menculik gadis-gadis yang cantik untuk diperisteri.
Di antara mereka, terdapat seorang pemimpin atau jagoan orang Portugis bernama Henrik. Henrik inipun berhasil mempersunting seorang gadis pesisir utara yang cantik bernama Marsinah. Akan tetapi setelah Marsinah melahirkan seorang anak laki-laki, karena melihat anak itu tidak bule seperti dirinya, lebih mirip seorang bocah pribumi, Henrik lalu meninggalkan Marsinah dan anaknya begitu saja! Marsinah yang menjanda merawat anaknya ya diberi nama Satyabrata (setia akan janji) untuk mengingatkan dirinya bahwa ia setia akan janjinya, tidak seperti ayah anak itu yang ingkar janji dan meninggalkannya.
Sebagai seorang anak laki-laki yang hanya dididik seorang ibu yang memanjakannya dan karena kurang terawasi sehingga dia berbaur dengan lingkungan yang tidak sehat, maka Satyabrata berangkat besar sebagai seorang anak yang manja dan nakal. Akan tetapi ketampanannya dan mata yang kecoklatan, hidung yang mancung itu membuat ketampanannya berbau orang barat, ketika dia berusia empat belas tahun seorang pemimpin bangsa Belanda, orang Kumpeni, tertarik dan suka kepadanya.
Belanda ini bernama Van Huisen dan dengan perkenan Marsinah, Van Huisen lalu mengambil Satyabrata sebagai anak angkat. Mulai saat itu berubahlah kehidupan Satyabrata. Dia mendapatkan pakaian indah, juga menerima pendidikan dan ternyata dia cerdas sehingga memperoleh banyak kemajuan. Dia pandai bahasa Belanda, pandai membaca menulis, bahkan dia berbakat sekali mempelajari ilmu kanuragan.
Dia mempelajari cara bertinju dan berkelahi orang kulit putih, bahkan mempelajari cara mempergunakan senjata api. Di samping itu, Satyabrata juga belajar ilmu pencak silat dari para guru yang banyak terdapat di daerah pesisir, tepatnya di daerah Cirebon di mana ibunya tinggal. Bahkan dia pernah menjadi murid perguruan Dadali Sakti yang berada di Galuh.
Karena dimanjakan ayah angkatnya yaitu Van Huisen, dan hidup berkecukupan Satyabrata tumbuh menjadi seorang pemuda yang congkak. Akan tetapi harus diakui bahwa dia pandai menyimpan kecongkakannya, pandai membawa diri dengan sikapnya yang lembut. Ketampanan dan sikapnya yang lembut ini menjatuhkan hati banyak wanita dan Satyabrata menyambut wanita yang cantik dengan penuh gairah.
Maka terkenallah pemuda ini sebagai seorang perayu yang menjatuhkan hati banyak wanita, bahkan dia tidak segan untuk merusak pagar ayu, merayu wanita-wanita yang sudah bersuami. Kelakuannya ini membuat dia banyak dimusuhi orang dan beberapa kali dia dikeroyok. Akan tetapi karena dia memiliki kedigdayaan dan selalu dilindungi Van Huisen, dia selalu dapat meloloskan diri.
Tibalah saatnya Van Huisen mempergunakan dan memanfaatkan pemuda yang diangkat sebagai anak itu ketika Kumpeni Belanda membutuhkan banyak tenaga cakap untuk menjadi mata-mata. Satyabrata diangkat menjadi mata-mata dan dia ditugaskan untuk memata-matai perguruan Jatikusumo yang dianggap sebagai musuh Kumpeni. Tugasnya adalah memata-matai, melihat keadaan dan kekuatan Jatikusumo, kemudian berusaha agar perguruan itu dapat berbalik menentang Mataram dan suka bekerja sama dengan Kumpeni Belanda. Kalau usaha ini tidak berhasil, akan diusahakan mengacau dan memporak porandakan Jatikusumo.
Setelah menjelaskan tentang tugas penting dan berat yang harus dijalankan, Willem Van Huisen memberi nasihat kepada anak angkatnya dalam sebuah kamar di gedungnya. "Jan," opsir Kumpeni ini memang telah memberi nama baru kepada Satyabrata, yaitu Jan Van Huisen sebagai anak angkatnya, "engkau ingatlah selalu bahwa biarpun engkau seorang pemuda Jawa, akan tetapi engkau berdarah orang kulit putih, orang Eropa. Juga engkau harus ingat bahwa engkau telah kuangkat menjadi anakku, dan aku yang telah memberimu pendidikan dan segala macam kepandaian. Karena itu, sudah sepatutnya kalau engkau setia kepada Kumpeni Belanda. Ingat, bangsa Belanda ingin mendatangkan kemakmuran kepada rakyat Nusa Jawa, mendidik rakyat yang bodoh agar menjadi pintar. Engkau sendiri sudah merasakan betapa engkau yang tadinya bodoh kini menjadi pintar setelah kami didik. Karena ingin melindungi rakyat, maka kami menentang Mataram yang murka dan yang menaklukkan dan menindas semua kadipaten. Engkau mengerti, bukan?"
"Saya mengerti, vader (ayah)." kata Jan Van Huisen atau Satyabrata sambil mengangguk-angguk.
"Nah, kalau sudah mengerti benar, berangkatlah dan bawalah ini sebagai bekal." Dia menyerahkan sekantung uang emas dan juga sebuah pistol. Satyabrata menerima barang-barang itu. "Kalau tidak terpaksa sekali untuk melindungi diri dari ancaman bahaya yang tak dapat kau hindarkan, jangan pergunakan pistol itu. Dan kalau uang ini habis dan engkau kekurangan, engkau tahu kepada siapa dapat memintanya. Asal engkau perlihatkan uang dinar gambar sepasang singa itu, engkau pasti akan diterima dan dibantu oleh semua telik sandi yang telah kami sebar dimana-mana. Engkau sudah tahu siapa yang dapat kau hubungi di Pacitan dan Madiun."
"Baik, vader. Saya berangkat sekarang," kata Satyabrata sambil bangkit dari kursinya.
Willem Van Huisen menjabat tangannya dan pemuda itu lalu keluar dari ruangan itu. Dia memasuki kamarnya, menyimpan kantung uang emas dan pistol dalam buntalan pakaiannya. Karena dia akan melakukan perjalanan sebagai seorang pemuda Jawa biasa, maka dia membawa pakaian yang dibuntal sarung. Di ruangan depan seorang gadis Belanda menghadangnya. Gadis ini berusia sekitar tujuh belas tahun, cantik jelita dengan rambut keemasan dan bermata biru.
"Heii, Jan! Aku dengar engkau akan pergi, betulkah? Engkau akan pergi ke mana, Jan?" Gadis itu dengan akrabnya menggandeng tangan Satyabrata dan ditariknya pemuda itu, dibawanya duduk berhadapan dengannya dikursi yang berada di ruangan depan itu.
"Elsye, aku akan pergi, melakukan tugas yang diberikan oleh ayah kita," kata Satyabrata sambil mengamati wajah gadis cantik itu.
Dia selalu terangsang gairahnya kalau berhadapan dengan Elsye yang demikian cantik manis dan manja, juga sikapnya yang demikian terbuka dan bebas berani merangkul dan menciumnya tanpa rikuh. Akan tetapi dia tahu diri, dia tidak berani melangkah terlalu jauh terhadap gadis yang menganggapnya seperti kakak ini. Dia dapat celaka kalau berani menodai gadis yang dimaksudkan untuk menjadi adik angkatnya ini dan membatasi sekedar menikmati pelukan dan ciuman saja.
"Tapi, ke mana engkau akan pergi melakukan tugas, Jan?" Elsye bertanya manja sambil mengguncang-guncang tangan Satyabrata.
Satyabrata adalah seorang pemuda yang sudah mendapat pendidikan sebagai mata-mata dan dia memang cerdik. Dia tahu bahwa dalam melaksanakan tugasnya ini, dia harus merahasiakannya dari siapapun, karena tugas ini adalah tugas rahasia. Membuka rahasia ini, terhadap Elsye sekalipun, merupakan bahaya besar.
"Aku sendiri belum tahu ke mana aku harus pergi, Elsye."
"Akan tetapi, berapa lama engkau akan pergi meninggalkan aku, Jan?"
"Mudah-mudahan tidak terlalu lama, Elsye. Setelah selesai tugasku, aku tentu segera pulang."
Elsye bangkit berdiri dan merangkul leher pemuda itu. "Jan, aku akan sangat kehilangan kau!"
Satyabrata merasa senang sekali kalau dirangkul gadis manis itu. Jantungnya berdebar. "Akupun akan sangat rindu padamu, Elsye. Nah, sekarang selamat tinggal. Ayah kita akan marah kalau aku berlama-lama menunda kepergianku."
Satyabrata menciumnya. Akan tetapi tidak seperti biasa kalau dia mencium gadis ini tentu mencium kedua pipinya, sekali ini dia mencium bibirnya. Hal ini dilakukan seolah tidak sengaja. Akan tetapi betapa kaget, heran dan juga senang hatinya ketika merasa betapa gadis itu membalas ciumannya dengan hangat dan penuh kemesraan! Sampai beberapa lama mereka berciuman dan ketika akhirnya mereka saling merenggangkan muka, keduanya bermerah muka. Akan tetapi mata mereka bersinar-sinar aneh seolah mereka telah menemukan sesuatu yang membahagiakan.
"Jan, selamat jalan dan jangan lupakan aku, Jan!"
Satyabrata keluar dari gedung diantar Elsye sampai keluar serambi depan. Dia, melanjutkan perjalanan setelah menoleh beberapa kali dan saling melambaikan tangan dengan Elsye. Di luar gedung telah menanti seorang pelayan yang sudah mempersiapkan seekor kuda yang besar. Dia melompat ke atas punggung kuda kemudian melarikan kuda itu keluar dari halaman. Berbekal banyak uang dan kepandaian yang cukup tangguh, akhirnya pada suatu hari Satyabrata muncul diperguruan Jatikusumo.
Dia berhenti di depan gapura perkampungan Jatikusuman sebagai seorang pemuda dusun yang berpakaian sederhana, membawa buntalan sarung butut berisi pakaian. Tentu saja dia telah menitipkan kuda dan uang emasnya kepada kaki tangan Kumpeni yang berada diPacitan, sedangkan pistolnya dia simpan di sebelah dalam bajunya, terikat kuat-kuat pada badannya.
Perguruan Jatikusumo kini merupakan sebuah perkumpulan yang teratur dan anak buahnya dilatih seperti pasukan perajurit. Di pintu gapura perkampungan itu, siang malam dijaga oleh dua orang penjaga secara bergiliran. Melihat seorang pemuda yang tidak dikenal berdiri di depan pintu perkampungan, tentu saja dua orang penjaga itu menjadi curiga dan keduanya sudah keluar dari gardu penjagaan menghadapi Satyabrata.
"Kisanak, engkau siapakah dan ada keperluan apa engkau berdiri di depan pintu perkampungan kami?" tanya seorang di antara mereka.
Satyabrata tersenyum dan seperti biasa, senyumnya yang manis dan ramah itu menghangatkan hati kedua orang murid Jatikusumo itu. Dia membungkuk dengan sopan dan menjawab, "Maafkan saya, akan tetapi apakah benar di sini perguruan Jatikusumo?"
Dua orang murid Jatikusumo itu saling pandang dan mereka melirik ke arah papan yang tergantung di gapura itu. Papan itu tertulis dengan huruf besar dan jelas "PERGURUAN JATIKUSUMO" dan orang ini masih bertanya. Ini membuktikan bahwa pendatang ini adalah seorang dusun bodon yang buta huruf.
"Benar sekali. Di sini perguruan Jatikusumo. Andika siapa dan ada keperluan apa?"
"Nama saya Satya," Satyabrata memperpendek namanya agar terdengar sederhana karena dia tahu bahwa nama lengkapnya terlalu gagah dan indah bagi seorang pemuda dusun. "Dan kedatangan saya ini ingin menghadap ketua atau guru perguruan Jatikusumo. Saya harap andika berdua sudi membantu saya untuk menghadapkan saya kepada guru andika."
"Kami sudah tidak mempunyai guru di sini. Guru tua kami sudah meninggal dunia kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Kini hanya ada ketua atau pemimpin kami."
"Kalau begitu, saya ingin menghadap pemimpin andika."
"Nanti dulu, kisanak. Hanya kalau ada urusan penting orang boleh menghadap ketua kami. Kalau urusan kecil cukup diselesaikan oleh kami para murid atau anggota. Karena itu, beritahukan dulu apa kepentinganmu agar kami pertimbangkan apakah engkau pantas menghadap ketua atau cukup berurusan dengan kami saja."
"Saya kira saya harus menghadap ketua sendiri karena saya bermaksud untuk minta agar diterima menjadi seorang murid Jatikusumo," kata Satyabrata.
"Ah, begitukah? Kalau begitu, tentu saja engkau harus menghadap pimpinan kami karena hanya ketua yang dapat memutuskan apakah engkau dapat diterima atau tidak. Mari, ikut aku, Satya," kata orang pertama. Ia lalu mengajak Satya memasuki perkampungan sedangkan orang kedua tetap berjaga di situ.
Sambil berjalan di sisi penjaga tadi, Satyabrata memperhatikan keadaan perkampungan itu. Rumah-rumah yang sederhana namun cukup bagus berada di perkampungan itu. Juga terdapat wanita dan kanak-kanak yang semuanya berpakaian cukup pantas. Agaknya keadaan para murid atau anggota Jatikusumo cukup baik, Dia teringat akan ibunya yang pada malam keberangkatannya itu dia pamiti. Ibunya tinggal di rumah kecil sederhana bersama seorang wanita tua yang membantu ibunya.
Ketika dia berpamit dan mengatakan bahwa dia hendak pergi melaksanakan tugas yang diberikan oleh ayah angkatnya, tanpa memberitahukan apa tugas itu dan kemana dia akan pergi, ibunya memberi nasihat kepadanya. "Anakku Satyabrata, ingatlah selalu bahwa biarpun ayahmu adalah seorang kulit putih, namun ibumu ini seorang wanita Jawa dan engkau dilahirkan pula di Nusa Jawa. Karena itu, engkau harus selalu membela nusa dan bangsa Jawa."
Dia tidak menentang nasihat ibunya itu. Bukankah dia kini sedang bekerja untuk Kumpeni yang sedang berusaha untuk memakmurkan bangsanya menentang Mataram yang angkara murka? Ketika akhirnya dia dihadapkan kepada suami isteri yang menjadi pimpinan perguruan Jatikusumo, dia merasa tegang juga. Suami isteri yang berpakaian sederhana iu begitu gagah dan berwibawa. Sebelumya dia sudah mendapatkan banyak keterangan tentang pimpinan Jatikusumo.
Dia tahu bahwa ketua Jatikusumo bernama Ki Cangak Awu dan isterinya bernama Nyi Pusposari. Dan sekarang kedua orang itu telah berhadapan dengan dia. Dia memandang mereka dan merasa kagum. Ki Cangak Awu yang berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun itu bertubuh tinggi besar, wajahnya penuh kejantanan, sepasang matanya bersinar tajam memandang penuh selidik. Di sampingnya duduk Pusposari yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun, hitam manis dan pandang matanya lembut.
Penjaga itu membungkuk dan memberi hormat dengan sembah, lalu melapor, "Ki raka, inilah si Satya yang ingin menghadap." Ki Cangak Awu memberi isyarat kepada anggota itu untuk mundur, kemudian kepada Satyabrata dia berkata, suaranya tenang dan besar seperti suara Sang Harya Sena, "Duduklah, orang muda!"
"Kalianlah yang harus minggir dan biarkan aku lewat dulu!" dia balas membentak sepasang matanya yang lebar dan tajam itu memandang galak.
"Eh, keparat! Berani engkau bersikap kurang ajar kepada kami? Bukalah mata dan telingamu! Kami sedang mengawal Gusti Tumenggung Surobayu! Hayo cepat turun dan berlutut menyembah!" bentak lagi komandan regu itu.
Kemarahan Dibyasakti semakin memuncak. "Aku tidak sudi menyembah orang yang bukan menjadi sesembahanku, tak perduli siapapun adanya dia!"
"Babo-babo, keparat! Kamu menantang, ya? Orang macam engkau ini harus dihajar!" Perwira itu memajukan kudanya dan dia mengangkat cambuk kudanya menyerang dengan ayunan cambuk ke arah Dibyasakti.
"Tarrr....!" Cambuk melecut dan meluncur ke arah kepala Dibyasakti. Akan tetapi dengan tenang pemuda tinggi besar ini menyambut dengan tangan kirinya yan bergerak cepat menangkap ujung cambuk lalu dengan sentakan yang amat kuat dia menarik.
Perwira itu terkejut, tak mampu mempertahankan diri dan diapun terguling dari atas kudanya! Perwira itu sesungguhya bukan seorang yang lemah. Dia seorang yang digdaya sehingga dapat terpilih menjadi perwira. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan seorang pemuda yang sakti mandraguna. Sentakan tadi mengandung tenaga dalam yang teramat kuat dan datangnya begitu tiba-tiba sehingga perwira itu tidak sempat mempertahankan diri dan terguling jatuh.
Lima belas orang anak buahnya melihat ini segera berlompatan dari atas kuda mereka dan mereka mencabut golok dari pinggang mereka. Dibyasakti juga melompat turun dari atas punggung kudanya dan dia menyambut mereka dengan senyum mengejek di bibir. Dia memandang lima belas orang perajurit dan juga perwira yang tadi jatuh dan kini sudah bangkit kembali ikut mengepungnya. Golok mereka berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.
"Orang muda, cepatlah menyerah sebelum kami terpaksa mencincang tubuhmu!" bentak perwira tadi.
Bentakan ini cukup membuat kemarahan di hati Dibyasakti agak menurun. Bagaimanapun juga, perwira itu tidak bersikap sewenang-wenang mengandalkan pengeroyokan banyak orang dan sebelum mengeroyok memberi kesempatan kepadanya untuk menyerahkan diri. Untung bagi seregu prajurit itu karena sikap perwira itu membebaskan mereka dari bahaya maut. Karena kemarahannya mereda, Dibyasakti tidak berniat untuk membunuh mereka.
"Aku tidak bersalah, mengapa harus menyerah? Kalau kalian hendak mengenal siapa aku, maju dan keroyoklah. Ditambah seratus orang lagi aku tidak akan mundur!"
Mendengar jawaban yang congkak ini sang perwira memberi aba-aba nyaring, "Serbu...!!" dan enam belas orang itu lalu menerjang maju. Akan tetapi mereka di sambut tamparan-tamparan dan tendangan yang cepat sekali datangnya dan dahsyat sehingga mereka kocar-kacir dan tubuh mereka berpelantingan. Perwira itu sendiri hanya dapat bertahan selama lima jurus saja. Akhirnya ketika dia membacokkan goloknya, golok yang tajam itu ditangkap begitu saja oleh tangan kiri Dibyasakti dan sekali renggut, golok itu terlepas dapi tangan pemegangnya dan sebuah tendangan mengenai perut sang perwira yang terlempar dan terbanting keras.
Tiba-tiba seorang laki-laki berusia lima puluh tahun turun dan keluar dari kereta itu. Dia seorang laki-laki tinggi kurus, berpakaian seperti seorang bangsawan. "Tahan perkelahian dan semua prajurit mundurlah!" seru orang itu.
Mendengar ini, para prajurit yang sudah panik dan kocar-kacir itu lalu mundur kedekat kereta, membiarkan laki-laki itu menghadapi Dibyasakti. Dibyasakti sudah siap menghadapi lawan baru. Dia tahu bahwa orang ini tentu berbeda dengan para perajurit, tentu seorang yang memiliki kedigdayaan kalau diingat bahwa pangkatnya adalah seorang tumenggung. Tentu saja dia tidak ingin bermusuhan dengan ponggawa Pamekasan yang hendak dikunjunginya, maka ia menghadapi laki-laki yang tadi disebut namanya sebagai Tumenggung Surobayu oleh perwira itu dengan sikap tenang.
Tumenggung Surobayu mengamati pemuda gagah perkasa di depannya dengan penuh perhatian. Diam-diam dia kagum melihat pemuda yang gagah itu, apalagi dia sudah melihat sepak terjangnya yang dahsyat ketika pemuda itu dengan tangan kosong menghadapi pengeroyokan enam belas orang perajurit dan membuat mereka yang memegang golok itu kocar-kacir.
"Orang muda, siapakah andika dan mengapa andika menghadang perjalananku?"
"Nama saya Raden Dibyasakti dan saya sama sekali tidak menghadang perjalanan andika."
"Hemm, akan tetapi aku melihat andika tadi berkelahi melawan para perajurit yang mengawal perjalananku!"
"Mereka itulah yang bersikap kasar dan sama sekali tidak menghormati saya, bahkan mereka pula yang lebih dulu menyerang saya. Saya hanya membela diri."
Tumenggung Surobayu mengangguk-angguk. "Hemm, begitukah? Kalau benar demikian, maafkanlah para pengawalku. Agaknya andika bukan kawula Pamekasan, maka tidak mengenalku. Aku adalah Tumenggung Surobayu, panglima Pamekasan. Dari manakah andika datang dan ada keperluan apa andika hendak menuju ke Pamekasan?"
"Ah, kiranya paman Tumenggung Surobayu adalah panglima Pamekasan? Maafkan, paman, karena saya tidak mengetahui sebelumnya. Perkenalkan, saya Raden Dibyasakti adalah senopati muda dari Kadipaten Arisbaya dan saya memang hendak menghadap Sang Adipati Pamekasan untuk menyampaikan pesan Sang Adipati Arisbaya. Saya adalah utusan Kadipaten Arisbaya, paman."
Tumenggung Surobayu terkejut dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak. "Anakmas adalah seorang senopati muda dari Kadipaten Arisbaya? Ah! Tidak aneh kalau andika demikian digdaya. Sekali lagi maafkan para pengawal saya, anakmas Dibyasakti."
"Saya juga minta maaf, paman tumenggung."
"Anakmas hendak menghadap Sang Adipati Pamekasan? Kalau begitu, biarlah saya menunda kepergian saya dan mari saya antarkan andika menghadap beliau."
"Terima kasih, paman."
Mereka berdua lalu memasuki kereta dan kuda milik Dibyasakti dituntun seoran perajurit atas perintah Tumenggung Surobayu. Mereka memasuki Kadipaten Pamekasan dan langsung Ki Tumenggung Surobayu mengantar tamunya menghadap Sang Adipati Pamekasan. Kereta itu berhenti di depan pintu gerbang istana kadipaten. Tumenggung Surobayu mengajak Dibyasakti memasuki gapura berjalan kaki. Para penjaga di depan istana kadipaten itu menyambut dengan hormat atasan mereka itu dan memberi tahu bahwa pada saat itu, sang adipati sedang berada di bagian belakang istana sedang berada di istal kuda bersama puterinya.
Sebagai seorang pembantu dekat yang dipercaya, mendengar ini Tumenggung Surobayu mengajak tamunya langsung saja menyusul ke istal yang berada di belakang istana kadipaten. Mereka tiba di bagian tempat memelihara kuda-kuda milik kadipaten. Tempat itu cukup luas, dengan bangunan istal-istal yang bersih dan di situ terdapat pula sebuah lapangan rumput yang luas di mana biasanya sang adipati bersama keluarganya menunggang kuda.
Ketika mereka berdua tiba di situ, Tumenggung Surobayu dan Dibyasakti terkejut melihat seekor kuda tampan yang besar sedang marah. Di punggung kuda hitam itu duduk seorang gadis cantik yang tampak ketakutan dan berusaha mempertahankan diri agar jangan sampai terlempar dari atas punggung kuda yang sedang marah itu. Kuda itu meringik-ringkik, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan mengguncang-guncangkan badannya seolah berusaha melempar penunggangnya dari atas punggungnya.
Seorang laki-laki setengah tua yang melihat pakaiannya mudah dikenal sebagai Adipati Pamekasan, bersama dua orang perawat kuda, berusaha menenangkan kuda yang mengamuk itu. Akan tetapi usaha ini sia-sia belaka, bahkan dua orang perawat kuda itu sudah terpelanting terkena sepakan kaki kuda yang mengamuk itu. Sang Adipati Pamekasan tampak panik Ketika dia melihat munculnya Tumenggung Surobayu, dia berseru, "Adi Tumenggung cepat tolong puteriku....!"
Tumenggung Surobayu cepat berlar menghampiri dan menangkap kendali kuda dekat mulut binatang yang marah itu. Akan tetapi kuda itu malah menyerangnya dan berusaha menggigit lengannya. Tumenggung Surobayu terpaksa melepaskan kendali dan kuda itu sudah menyerang dengan kedua kaki depan yang diangkatnya tinggi-tinggi. Kuat sekali kedua kaki itu menghantam ke arah Tumenggung Surobayu. Panglima Pamekasan ini menangkis dengan kedua tangannya.
"Bresss....!" Dia terpelanting roboh dan, kuda yang marah itu sudah mengangkat kedua kaki depannya lagi, siap untuk menginjak tubuh sang tumenggung. Keadaannyaa amat gawat dan gadis yang masih dapat bertahan di atas punggung kuda itu menjerit ngeri melihat kuda itu hendak menginjak tubuh sang tumenggung.
Pada saat itu, Dibyasakti cepat melompat ke depan. Bayangannya berkelebat dan dia sudah menangkap kedua kaki depan kuda itu, mengerahkan tenaga dan kuda itu tidak mampu bergerak lagi! Selamatlah Ki Tumenggung yang cepat menggulingkan tubuhnya dan bangkit berdiri. Kuda yang tidak mampu menggerakkan dua kakinya yang ditangkap Dibyasakti itu kini meloncat-loncat dengan kaki belakangnya. Gerakannya demikian liar dan cepat sehingga gadis yang mati-matian mempertahankan diri di atas punggung kuda itu, tidak kuat bertahan lagi dan iapun terlempar ke atas dari punggung kuda ketika binatang itu meloncat-loncat dengan dua kaki belakangnya!
Melihat ini, Dibyasakti melepaskan kedua kaki depan kuda dan mendorongnya. Kuda itu terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Sementara itu, tubuh gadis itu melayang kebawah dan iapun menjerit ketakutan. Dibyasakti cepat menjulurkan kedua lengannya dan tubuh gadis cantik jelita itu mendarat dengan empuk di atas kedua lengan Dibyasakti yang kokoh kuat!
Kedua lengan itu dengan tepat menyangga belakang pinggul dan belakang punggung gadis itu sehingga gadis itu berada dalam pondongan Dibyasakti. Tubuh gadis itu terasa lunak dan hangat dalam dekapannya, ketika gadis itu mengangkat muka memandang, muka mereka begitu berdekat Dibyasakti terpesona! Dia adalah seorang pemuda yang sudah banyak bergaul dengan wanita cantik, bahkan dia terkenal sebagai seorang pemburu wanita dan di Arisbaya banyak wanita tergila-gila kepadanya. Akan tetapi sekali ini dia benar-benar terpesona!
Dia seperti seorang laki-laki yang belum pernah melihat wanita cantik. Dan memang bagi Dibyasakti, dia merasa belum pernah melihat seorang perawan secantik menarik gadis dalam pondongannya itu. Mata itu! Hidung itu! Bibir itu! Dia seperti merasa dalam mimpi memondong seorang dewi dari kahyangan. Tanpa terasa dia memeluk lebih erat dan menekan tubuh itu ke dadanya! Hidungnya seperti mencium harum sejuta melati keluar dari tubuh gadis itu. Dia sampai lupa bahwa terlalu lama dia membiarkan tubuh yang harum, lembut dan lentur itu dalam pondongannya.
"Lepaskan aku....!" Gadis itu berkata, kaki tangannya bergerak-gerak hendak melepaskan diri. Barulah Dibyasakti teringat. Dia melepaskan tubuh itu dengan gerakan lembut dan hati-hati seolah menurunkan seorang bayi dari pondongannya. Begitu diturunkan dari pondongan, gadis itu lalu berlari ke dalam rangkulan ayahnya. "Syukur kepada Gusti Allah engkau selamat, nini!" kata Adipati Pamekasan sambil merangkul puterinya.
Tumenggung Surobayu segera berkata, "Wah, sungguh beruntung andika dapat Menyelamatkan sang puteri, anakmas! Kakangmas Adipati, orang muda ini adalah utusan dari Sang Adipati Arisbaya yang mohon menghadap paduka, maka saya bawa dia menyusul ke sini."
Dengan lengan kiri masih merangkul puterinya, adipati itu memandang Dibyasakti, lalu berkata, "Utusan Sang Adipati Arisbaya? Siapa namamu, orang muda yang gagah? Dan apa kedudukanmu di Arisbaya?"
Dibyasakti memberi hormat dengan sembah. "Saya bernama Raden Dibyasakti dan menjadi senopati muda di Arisbaya gusti."
"Senopati muda Arisbaya? Ah, pantas engkau begitu tangkas. Engkau telah menyelamatkan puteriku. nini Sriyatun, Dibyasakti, untuk itu kami berterima kasih sekali kepadamu dan tentu kami akan memberi hadiah kepadamu. Akan tetapi kulihat engkau tangkas dan sakti mandraguna, dapat menaklukkan Si Gagak Cemeng denga mudah, padahal kuda ini amat kuat dan tadi sedang mengamuk dan liar. Tentu engkau memiliki seorang guru yang sakti!"
"Saya menerima gemblengan dari ayah saya sendiri, gusti."
"Ah, begitukah? Dan siapa ayahmu yang sakti mandraguna itu?"
"Ayah saya menjadi penasihat di Kadipaten Arisbaya, nama ayah saya Ki Harya Baka Wulung."
"Jagad Dewa Bathara....!" Adipati Pamekasan itu berseru dan wajahnya tampak gembira. "Kiranya putera Kakang Harya Baka Wulung sendiri? Ha-ha-ha, kalau begitu engkau masih keponakanku sendiri, Dibyasakti. Kakang Harya itu seperti kakakku sendiri. Jangan sebut aku gusti, panggil paman saja! Sriyatun, sapa kangmas mu ini, dia ini seperti keponakanku sendiri!"
Dengan sikap malu-malu dan rikuh gadis itu membungkuk ke arah Dibyasakti dan mulutnya yang berbibir merah basah clan mungil itu berkata lirih, "Kakangmas Dibyasakti.... !"
"Diajeng Sriyatun, aku girang andika tidak cidera tadi."
"Berkat pertolonganmu, kakangmas...."
"Ha-ha-ha, Dibyasakti. Engkau keponakanku sendiri dan utusan adimas Adipati Pangeran Mas di Arisbaya. Mari kita masuk dan bicara di dalam. Adimas Tumenggung, atur supaya penjinak kuda dapat menjinakkan Si Gagak Cemeng. Kuda itu belum jinak benar. Tadi ketika Sriyatun berkeras hendak mencoba menungganginya, dia menjadi binal dan mengamuk."
"Sendika, Kakangmas Adipati!" kata Tumenggung Surobayu sambil menyembah.
"Mari, anakmas Dibya!" Sang Adipa mengajak tamunya sambil menggandeng tangan puterinya, menuju ke istana kadipaten melalui pintu belakang, terus menuju ke ruangan tengah dimana dia mempersilakan pemuda itu duduk berhadapan dengan dia, sedangkan Sriyatun sudah mengundurkan diri masuk ke ruangan keputren. Setelah menyerahkan surat dari Adipati Arisbaya, Dibyasakti disambut dengan ramah oleh Adipati Pamekasan. Sang Adipati menyatakan persetujuannya denga penuh semangat.
"Memang kita harus menyatukan kekuatan untuk melawan Mataram!" katanya. "Sampaikan kepada adimas Adipati Arisbaya bahwa kami sudah siap dan harap jangan khawatir. Kalau pasukan Mataram berani mendarat di pesisir kita, aku sendiri yang akan memimpin pasukan untuk melawan mereka!"
Setelah berbincang-bincang kemudian disambut dengan perjamuan selamat datang, Dibyasakti mohon diri berpamit dari tuan rumah.
"Ah, kenapa tergesa-gesa, anak-mas? Engkau bukan hanya utusan adimas Adipati Arisbaya, melainkan engkau adalah keponakanku sendiri. Anggaplah engkau berkunjung ke rumah pamanmu sendiri dan engkau harus tinggal bermalam di sini selama dua tiga hari. Aku masih kangen dan banyak yang ingin kubicarakan denganmu, anakmas!" Adipati Pamekasan membujuk Dibyasakti dan akhirnya pemuda ini menerima juga tawaran Adipati Pamekasan untuk bermalam di situ selama dua malam.
Sesungguhnya, kalau Dibyasakti menerima tawaran itu adalah karena dia ingin sekali bertemu lagi dengan Sriyatun! Dia merasa rindu karena semenjak pertemuan pertama yang amat mengesankan hatinya itu, Sriyatun tidak pernah lagi menampakkan dirinya. Bahkan sampai lewat malam pertama dikadipaten, dia belum juga dapat bertemu perawan itu. Dia merasa penasaran sekali, akan tetapi untuk bertanya tentang gadis itu kepada Sang Adipati, tentu saja dia merasa rikuh.
Pada malam kedua, malam terakhir dia tinggal di Kadipaten Pamekasan, dia tidak tahan lagi. Malam itu dia harus dapat bertemu atau setidaknya melihat Sriyatun untuk mengobati rasa rindunya. Malam ini terang bulan. Langit bersih dan cerah. Malam sejuk yang indah sekali. Bulan purnama mendatangkan suasana yang romantis. Tentu saja Dibyasakti tidak betah berada dalam kamarnya.
Tanpa diketahui orang malam itu dia keluar dari kamarnya dan memasuki taman bunga yang letaknya di belakang kadipaten, di sebelah kiri tempat pemeliharaan kuda. Taman itu luas sekali, penuh dengan beraneka bunga. Bunga mawar beraneka warna, dan banyak bunga melati dan menur yang menyebarkan keharuman yang khas. Ada pula pohon bunga arum dalu, kenanga, dan kantil yang membuat taman sari itu semerbak harum.
Ketika memasuki taman yang bermandikan cahaya bulan purnama itu, Dibyasakti merasa seperti tenggelam ke dalam lautan bunga yang harum memabokkan. Semangatnya seperti melayang-layang dan terbayanglah semua kemesraan dengan wanita-wanita cantik yang pernah dialaminya. Wajah-wajah cantik itu seperti melayang-layang di depan matanya, kemudian semua wajah wanita cantik itu menghilang dan yang tinggal hanya sebuah wajah. Wajah Sriyatun! Dan rasa rindunya semakin menekan.
Aku harus menemuinya, pikirnya berbisik. Kalau perlu, aku akan menyusup ke dalarn keputren, seperti maling! Tidak akan sukar baginya. Dia harus menemuinya malam ini juga. Sekedar pamit, sekedar untuk menatap wajah itu sekali lagi! Dia harus!
Tiba-tiba dia mendengar suara orang. Cepat sekali tubuhnya sudah menyelinap ke balik serumpun bambu kuning yang tumbuh di situ dan mengintai. Dua sosok bayangan orang berjalan perlahan menuju ke situ. Ketika dua bayangan itu lewat dekat, jantungnya berdegup dan dia memusatkan kekuatan pandang matanya untuk dapat melihat lebih jelas lagi. Di bawah sinar bulan yang lembut, dia melihat Sriyatun sebagai satu di antara dua bayangan itu. Dan perawan yang dirindukannya itu tampak demikian cantik jelita, ayu manis merak ati.
Tubuhnya seperti terbungkus cahaya bulan, seolah memancarkan kehangatan yang terasa olehnya. Ketika dia memperhatikan bayangan kedua, alisnya berkerut. Orang kedua itu adalah seorang muda yang bertubuh sedang, pakaian rapi dan wajahnya membuat dia merasa hatinya panas oleh cemburu karena wajah itu tampan sekali! Mereka melangkah perlahan melewatinya, dekat sekali sehingga dia dapat mendengar jejak langkah mereka mendengar berkereseknya kain yang dipakai Sriyatun.
Setelah mereka lewat, Dibyasakti cepat bergerak, menyusup-nyusup dan membayangi kedua orang muda itu. Hatinya yang sudah panas itu menjadi semakin penasaran lagi ketika kini dia melihat pemuda itu memegang tangan kiri Sriyatun dan menggandengnya dengan sikap mesra. Dia mendengar sendiri degup jantungnya sehingga dia khawatir kalau-kalau degup jantungnya itu akan terdengar oleh dua orang yang dibayanginya.
Di tengah taman itu terdapat sebuah pondok bambu mungil tanpa dinding, han lantai dari papan, tiang dan atap saja. situ terdapat bangku-bangku panjang d biasanya keluarga sang adipati sering duduk di pondok ini, terutama kalau siang hari panas. Dua orang muda yang bergandengan tangan itu menuju ke pondok ini dan mereka duduk di atas bangku panjang, berdampingan. Mereka bercakap-cakap sambil duduk berdempetan dan kini lengan kanan pemuda itu merangkul pundak Sriyatun dengan amat mesra. Karena mereka bicara lirih sekali, terpaksa Dibyasakti harus bergerak mendekati dan bersembunyi di balik pohon kecil kemuning yang tumbuh di dekat pondok. Kini dia dapat mendengar suara mereka dengan jelas.
"ah, benarkah kata-katamu itu, diajeng?" kata pemuda itu.
"Kakangmas Karyadi, pernahkah aku berbohong kepadamu? Aku merasa yakin bahwa dia itu bukan orang baik-baik. Ketika dia menyelamatkan aku dan memondongku, aku dapat merasakan sentuhannya dan sinar matanya... huh, mengerikan, kakangmas....!"
Pemuda bernama Karyadi itu tertawa. "Ha-ha-ha, kukira engkau hanya salah sangka saja, diajeng. Dia itu bukan orang biasa. Dia utusan Sang Adipati Arisbaya, dan itu seorang senopati muda! Dia sudah menyelamatkan dirimu, diajeng. Bagaimana engkau malah mencurigai dan tidak percaya kepadanya? Bukankah Kanjeng Paman Adipati sendiri menerimanya dengan ramah dan menganggap dia keponakan sendiri karena dia putera Ki Harya Baka Wulung yang amat terkenal karena sakti mandraguna itu? Di seluruh Madura, siapa yang tidak mengenal Ki Baka Wulung?"
Gadis itu mencibir. "Terkenal kesesatannya maksudmu, kakangmas?"
"Ssstt....! Kenapa engkau bilang begitu diajeng?" Karyadi menyentuh bibir yang mungil dan merah basah itu seolah hendak mencegah gadis itu bicara yang bukan-bukan.
"Aku mendengar dari cerita ibuku sendiri, kakangmas! Menurut cerita ibuku, Harya Baka Wulung itu dahulu di waktu mudanya, ketika berkunjung ke sini, sudah berani mencoba untuk menggoda ibuku. Karena itulah maka ibuku berpesan kepadaku agar jangan dekat-dekat dengan puteranya itu."
"Sudahlah, diajeng. Jangan khawatir dan jangan takut. Ada aku di sini, aku calon suamimu yang akan selalu melindungimu. Kalau ada aku di sampingmu, siapa yang akan berani mengganggumu?"
Setelah berkata demikian, pemuda itu merangkul dan memeluk kekasihnya. Sriyatun menghela napas manja dan lega, menyandarkan kepalanya di dada tunanganya itu.
Dibyasakti yang sejak tadi mengintai dan mendengarkan percakapan itu, tentu saja menjadi marah bukan main. Gadis itu berani mencela nama ayahnya, berarti penghinaan! Dia memang terpesona dan tergila-gila kepada Sriyatun, akan tetapi kini kegandrungannya itu bercampur dendam kemarahan. Apalagi mendengar bahwa pemuda itu adalah calon suami gadis yang digandrunginya itu, habislah harapannya untuk dapat mempersunting Sriyatun. Otaknya yang licik itu diputar dan tiba-tiba ia sudah mengambil sebuah keputusan yang hanya dapat dipikirkan seorang yang dah kemasukan iblis.
"Maling hina! Berani mati engkau mengganggu sang puteri!" tiba-tiba Dibyasakti melompat dan membentak.
Sepasang muda-mudi yang sedang bermesraan itu terkejut bukan main. Raden Karyadi, pemuda itu, adalah putera Tumenggung Surobayu dan sebagai putera tumenggung, tentu saja dia bukan seorang pemuda lemah dan mahir olah keperwiraan. Melihat ada orang melompat dan membentak, diapun cepat melepaskan rangkulannya dari pundak Sriyatun lalu melompat dan berdiri melindungi kekasihnya. Akan tetapi Dibyasakti tidak memberi kesempatan kepadanya untuk bicara karena dia sudah menerjang dengan serangan pukulan tangan kanan yang dahsyat. Karyadi melihat pukulan itu cepat menangkis sambil miringkan tubuhnya.
"Wuuttt... dukkk...!!" Ternyata kekuatan Karyadi belum mampu mengimbangi tenaga Dibyasakti yang dahsyat. Pertemuan kedua lengan itu membuat tubuh Karyadi terpelanting sampai keluar dari dalam pondok!
Melihat kejadian ini, Sriyatun terkeiut bukan main. Tadinya ia terbelalak memandang orang yang datang itu, akan tetapi ketika ia mengenal bahwa orang itu adalah Dibyasakti yang menjadi tamu ayahnya, dan melihat Dibyasakti membuat tunangannya terpelanting keluar pondok, ia menjerit, "Kakangmas Dibyasakti! Dia bukan maling, bukan penjahat. Dia itu kakangmas Karyadi, tunanganku, calon suamiku!"
Akan tetapi Dibyasakti seolah tidak mendengar ucapan ini, atau memang dia tidak mau mendengarkan. Dia sudah melompat keluar dari pondok dan menyerang lagi ke arah Karyadi. Karyadi sudah siap siaga. Melihat Dibyasakti tetap menyerangnya walaupun Sriyatun telah memperkenalkan dirinya, dia tahu bahwa orang ini memang sengaja berniat jahat. Maka diapun mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghindar dari serangan yang kedua itu. Dia tidak berani menangkis, maklum bahwa tenaganya kalah kuat. Elakannya yang cepat membuat pukulan Dibyasakti tadi luput dan Karyadi berseru nyaring, "Kisanak, Kisanak, tahan dulu....!!"
Akan tetapi Dibyasakti yang sudah mengambil keputusan bulat untuk membinasakan pemuda yang menjadi kekasih Sriyatun itu, menggosok kedua telapak tangannya. Tampak asap hitam mengepul dan dia mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Karyadi sambil membentak. "Aji Kukus Langking.... !" Aji pukulan sakti ini dahsyat bukan main. Asap hitam yang menyambar itu selain membawa hawa pukulan maut, juga kalau mengenai kulit lawan, asap itu dapat membakar seperti api!
Karyadi terkejut dan cepat dia membuang diri ke atas tanah dan berguling menghindar sampai jauh. Ketika dia bangkit berdiri, dia sudah mencabut kerisnya. Pemuda ini mengambil keputusan untuk melawan mati-matian, bukan untuk menyelamatkan dirinya, melainkan terutama sekali untuk membela dan melindungi kekasihnya, Sriyatun. Kalau saja di situ tidak ada Sriyatun, dia tentu sudah melarikan diri karena dia maklum sepenuhnya bahwa dia tidak akan mampu menandingi lawan yang sakti mandraguna ini. Akan tetapi dia harus membela dan melindungi kekasihnya dengan taruhan nyawa. Maka, dia mencabut kerisnya dan masih berusaha untuk mengingatkan pemuda yang gagah seperti Gatotkaca itu.
"Kisanak, andika tentu Senopati Dibyasakti! Aku adalah Karyadi, putera Tumenggung Surobayu, bukan penjahat dan bukan musuh!" Akan tetapi Dibyasakti tidak perduli. Dia melompat ke depan dan dalam posisi setengah berjongkok dia siap menyerang. Melihat ini, Karyadi menjadi marah dan diapun maju dan menusukkan kerisnya.
Pada saat itu, Dibyasakti membentak, "Aji Cantuka Sakti!" dan kedua tangannya mendorong ke depan, dari perutnya terdengar bunyi kok-kok nyaring. Aji ini merupakan aji pamungkas andalan Ki Harya Baka Wulung yang telah diturunkan kepada puteranya itu. Dahsyat bukan main aji pukulan ini. Serangkum tenaga sakti yang menggiriskan menyambar dan menghantam Karyadi yang menusukkan kerisnya. Diterpa hawa pukulan ini, tubuh pemuda itu melayang seperti daun kering dihembus angin dan dia terbanting roboh dan tidak mampu bergerak lagi!
Sriyatun berlari menghampiri kekasihnya lalu berlutut di dekat tubuh yang teentang itu. "Kakangmas Karyadi....! Kakangmas�.!" Ia mengguncang-guncang tubuh pemuda itu dan matanya terbelalak memandang darah yang mengucur keluar dari mulut Karyadi. Akan tetapi yang dipanggil dan diguncang tidak bergerak dan tidak menjawab. "Kakangmas Karyadi... kau... kau... mengapa, kakangmas?"
"Dia sudah mati!" tiba-tiba Dibyasakti yang sudah berdiri didekatnya berkata.
"Mati....?? Kau... kau... membunuhnya... oohhh...!" Sriyatun terkulai lemah dan roboh pingsan. Melihat gadis itu rebah miring dan kain yang dipakainya tersingkap ketika tadi berlari lalu menjatuhkan diri sehingga tampak sebagian pahanya, nafsu berahi yang memang sejak tadi menguasai hati akal pikiran Dibyasakti menjadi berkobar. Dia membungkuk dan memondong tubuh Sriyatun, lalu tanpa sangsi dan ragu, tanpa rasa takut atau rikuh, dia melangkah pergi membawa tubuh Sriyatun dalam pondok.
Sesungguhnyalah bahwa segala macam gairah nafsu merupakan anugerah yang tak ternilai besarnya dari Tuhan Yang Maha Kasih. Gairah nafsu ini yang mendatangkan kenikmatan mata memandang sehingga nampak bentuk-bentuk dan warna-warna yang indah, membuat telinga menikmati pendengaran suara yang merdu, hidung menikmati penciuman yang sedap dan harum, mulut menikmati makanan yang lezat dan sebagainya. Termasuk nafsu berahi.
Nafsu ini dianugerahkan kepada setiap makhluk hidup, terutama manusia dan gairah nafsu inilah yang membuat manusia dapat berkembang biak. Segala macam gairah nafsu merupakan anugerah yang mutlak diperlukan dalam kehidupan, merupakan peserta, merupakan abdi bagi manusia untuk mempertahankan hidup ini dan menikmati anugerah Tuhan. Akan tetapi, gairah nafsu dapat menjadi abdi yang baik selama kita mendekatkan rohani kita, batin kita, hati akal pikiran kita, dengan Tuhan sehingga Kekuasaan Tuhan akan selalu membimbing kita dan menguatkan batin kita sehingga kita akan mampu menjadi majikan dari nafsu-nafsu kita sendiri, mengendalikan gairah nafsu kita sendiri.
Celakalah kita kalau kita lengah, jauh dari bimbingan Kekuasaan Tuhan, karena nafsu-nafsu itu akan selalu berusaha untuk menaklukkan kita. Kalau abdi-abdi nafsu itu telah berubah menjadi majikan kita, dan sebaliknya kita diperhamba olehnya, kita akan diseret kedalam perbuatan-perbuatan sesat. Gairah nafsu berahi yang pada dasarnya merupakan anugerah terbesar dan mempunyai fungsi yang suci itu kalau sudah menjadi majikan dan memperhamba kita akan menyeret kita untuk melakukan perbuatan yang kotor dan jahat. Lahirlah perbuatan seperti perkosaan, perjinaan, pelacuran, dan sebagainya.
Demikian pula halnya dengan Dibysakti yang sejak kecil terdidik secara salah oleh Ki Harya Baka Wulung. Sejak kecil dia menjadi hamba nafsu-nafsunya, selalu mengejar kesenangan. Dalam peristiwa malam itu, dia sudah menjadi hamba nafsunya. Bukan saja dia telah membunuh Karyadi yang tidak berdosa, hanya karena dia menganggap Karyadi merupakan penghalang untuk mendapatkan Sriyatun, akan tetapi dia melakukan perbuatan yang lebih keji lagi, yaitu dia menggagahi Sriyatun, memperkosa gadis yang sedang pingsan itu!
Sungguh perbuatan biadab seorang manusia yang sudah dikuasai sepenuhnya oleh iblis. Semua pertimbangannya sebagai manusia telah hilang, yang ada hanyalah nafsu kebinatangan semata-mata. Setelah gairah nafsu tersalurkan, saat mana nafsu sudah tidak lagi menguasai hati akal pikiran karena sudah terpuaskan, barulah kesadaran kemanusiaannya kembali dan mengingatkan, membuat si pelaku menyadari akan perbuatannya. Demikian pula dengan Dibyasakti.
Setelah kekejian yang dilakukannya selesai, barulah dia termenung, memikirkan akibat daripada semua perbuatannya itu! Dan muncullah penyesalan dalam hatinya. Dia maklum bahwa perbuatannya ini akan mendatangkan akibat yang hebat. Seluruh Kadipaten Pamekasan akan geger dan akibat perbuatannya ini, bukan saja dia akan dimusuhi seluruh kadipaten, bahkan bukan tidak mungkin Kadipaten Pamekasan akan menganggap Kadipaten Arisbaya sebagai musuh karena dia adalah senopati muda Arisbaya.
Pada saat dia termenung itu tiba-tiba Sriyatun yang masih rebah telentang di atas bangku, bergerak, merintih dan ia bangkit duduk. Agaknya ia baru menyadari akan keadaannya. Ia terbelalak kemudian menjerit-jerit. Dalam keadaan bingung dan takut kalau jeritan itu akan menarik perhatian orang, Dibyasakti menggerakkan tangan kirinya dan sekali jari-jari tangannya menampar tengkuk Sriyatun, gadis itu terkulai roboh dan tewas seketika.
Dibyasakti yang tadi sudah memutar otak mencari jalan keluar terbaik, cepat melompat keluar pondok. Dia mengangkat mayat Karyadi dan membawanya ke dalam pondok lalu merebahkannya di atas lantai pondok, dekat bangku di mana mayat Sriyatun menggeletak. Setelah itu dia berlari kebagian pemeliharaan kuda dan melakukan pengintaian. Ketika dia melihat dua orang perawat kuda yang pernah dilihatnya tempo hari, dia cepat menghampiri mereka.
"Kalian cepat bantu aku. Ada pencuri masuk ke dalam taman!" katanya. Dua orang perawat kuda itu memandang dengan kaget. Mereka segera mengenal pemuda gagah perkasa ini.
"Ah, andika, Raden? Di mana malingnya?" tanya mereka.
"Cepat ambil senjata kalian dan mari bantu aku menangkapnya!" kata Dibyasakti. Dua orang itu menjadi berani untuk membantu karena mereka maklum bahwa pemuda yang menjadi tamu ini adalah seorang yang digdaya. Mereka cepat mengambil parang dan siap siaga dengan sikap gagah.
"Mari, ikut aku!" kata Dibyasakti dan mereka bertiga lalu berlari memasuki taman yang memang berdekatan dengan bagian pemeliharaan kuda itu. Setelah tampak pondok itu dari situ, Dibyasakti memberi isyarat agar mereka berhenti.
"Kulihat tadi malingnya bersembunyi di pondok itu. Mari kita ke sana, hati-hati, perlahan saja jangan membuat gaduh."
Mereka bertiga melangkah berindap-indap menghampiri pondok. Setelah tiba luar pondok, Dibyasakti yang sengaja berjalan di belakang, mengayun kedua tangannya. Dengan pengerahan tenaga sakti dia memukul ke arah kepala mereka dan dua orang perawat kuda itu roboh dan tewas tanpa sempat mengeluarkan suara lagi. Dengan sikap tenang, seolah membunuh empat orang itu baginya merupakan perbuatan biasa saja, Dibyasakti lalu mengambil dua buah parang yang terlepas dari tangan mereka, lalu memasuki pondok.
Kemudian, dengan mata tak berkedip sedikitpun dia menusukkan parang ke dada mayat Karyadi. Parang itu menancap situ sampai ke gagangnya. Kemudian dia menggunakan parang yang sebuah lagi untuk membacok punggung mayat Sriyatun yang rebah miring dan membiarkan parang itu menancap di punggung wanita itu. Setelah mengamati ke kanan kiri dan merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang melihat perbuatannya, Dibyasakti lari arah istana kadipaten. Di bagian belakang gedung itu dia melihat sebuah kentongan tergantung. Kentongan ini biasanya dipukul para peronda yang meronda mengelilingi gedung.
Cepat dia mengambil pemukul dan memukuli kentongan itu dengan suara titir, yaitu dipukul bertalu-talu tiada hentinya. Tentu saja suara ini menimbulkan kegemparan. Para penjaga berlari menghampiri, bertanyatanya. Akan tetapi Dibyasakti memukul terus kentongan itu dan baru berhenti setelah Adipati Pamekasan sendiri muncul.
"Anak-mas Dibyasakti! Apa yang terjadi? Kenapa andika memukuli kentongan seperti ini?"
"Aduh, paman Adipati, celaka, paman. Ada rajapati (pembunuhan) besar!"
"Rajapati? Apa yang andika maksudkan? Rajapati? Di mana? Siapa?" Sang adipati Pamekasan bertanya, bingung.
"Mari, silakan ikut dengan saya, paman!" kata Dibyasakti dan dia lalu melangkah memasuki taman. Adipati itu mengikutinya dan di belakang mereka, para pengawal kadipaten berbondong-bondong mengikuti dengan rasa ingin tahu sekali.
Setelah tiba di depan pondok, Sang adipati melihat mayat dua orang perawat kuda menggeletak di atas tanah. "Eh, kenapa mereka berada di sini dan siapa yang membunuh mereka?"
"Saya yang membunuh mereka, paman."
"Andika yang membunuh mereka, anak-mas Dibyasakti? Kenapa?"
"Karena mereka berdua telah melakukan kejahatan yang amat besar, mereka telah melakukan pembunuhan. Silakan memeriksa ke dalam pondok, paman."
Adipati Pamekasan cepat memasuki pondok. Cuaca kini terang sekali karena banyak perajurit pengawal yang membawa obor ketika mereka memasuki taman itu. Sang Adipati masuk dan dia terbelalak ketika melihat puterinya menggeletak miring di atas bangku panjang, sebatang parang masih menancap di punggungnya. Dan dia lebih terkejut lagi melihat mayat Karyadi menggeletak telentang di dekat bangku, di atas lantai dan dada pemuda ini pun ditembusi sebatang parang yang masih menancap di situ.
"Nini Sriyatun...! Ahhh, apakah yang telah terjadi? Mengapa begini....?" Dia menubruk puterinya. "Nini... kenapa begini...? Siapa yang membunuhmu? Siapa...?"
Sejenak lamanya Sang Adipati memeluk mayat puterinya dan menangis. Akan tetapi dia dapat menenangkan hatinya. Dia bangkit berdiri dan memutar tubuhnya menghadapi Dibyasakti yang masih berdiri di situ. "Anakmas Dibyasakti, apa yang telah terjadi di sini? Kenapa anakku dibunuh?"
"Begini, paman. Tadi saya tidak dapat tidur dan melihat dari jendela bahwa malam indah sekali, bulan bersinar gemilang, saya tertarik dan keluar dari kamar menikmati keindahan taman dimalam terang bulan. Ketika tiba di dekat pondok, saya mendengar jeritan dan suara gaduh. Saya cepat berlari ke sini dan melihat dua orang tadi berloncatan keluar pondok. Karena saya menaruh curiga, saya tegur mereka. Akan tetapi kedua orang itu bahkan menyerang saya. Melihat serangan mereka terhadap diri saya itu nekat dan bermakud membunuh, maka saya lalu merobohkan mereka dengan pukulan dan mereka tewas. Saya lalu cepat masuk ke pondok ini dan menemukan diajeng Sriyatun dan pemuda ini telah menggeletak dan telah tewas. Saya menjadi terkejut sekali dan dalam kebingungan saya, ketika saya melihat kentongan itu, saya lalu memukul kentongan bertalu-talu. Demikianlah, paman. Saya merasa yakin bahwa yang membunuh puteri paman dan pemuda ini adalah dua orang itu. Silakan paman memeriksa dua buah parang itu. Milik siapa kedua buah senjata tajam itu."
Sang adipati memberi isyarat kepada kepala pengawal untuk bantu memerik kedua buah parang itu. Kepala pengawal mengangguk-angguk. "Benar, gusti. Ini adalah parang-parang yang biasa mereka pakai di tempat pekerjaan mereka."
"Jahanam keparat!" Sang Adipati marah sekali. "Gantung mayat kedua jahanam itu di alun-alun agar semua orang melihat mereka!"
Suasana berkabung meliputi seluruh kadipaten. Tumenggung Surobayu juga terkejut dan berduka sekali atas kematian puteranya. Puteranya, Raden Karyadi memang dipertunangkan dengan Sriyatun. Kedua orang muda itu saling mencinta, juga orang tua kedua pihak sudah merestui, mereka tinggal menanti perayaan pernikahan saja. Sungguh tidak disangka dua sejoli yang tampak berbahagia itu mengalami kematian yang demikian menyedihkan.
Dibyasakti harus berkali-kali mengulang ceritanya. Akan tetapi hal ini dia lakukan dengan tenang dan semua orang percaya akan ceritanya. Siapa yang akan meragukan ceritanya? Dia adalah seorang senopati muda, utusan Adipati Arisbaya, bahkan putera Ki Harya Baka Wulung yang terkenal! Dan pula, bukti-buktinya sudah jelas bahwa pembunuh dua orang sejoli itu tidalah dua orang perawat kuda kadipaten. Buktinya amat kuat. Parang yang dipergunakan membunuh sepasang kekasih itu adalah parang mereka, dan mereka berdua kedapatan berada di taman, hal yang tidak semestinya. Ditambah pula kesaksian Dibyasakti, siapa yang akan meragukan kebenaran cerita pemuda dari Arisbaya itu?
Memang ada yang merasa heran dan penasaran di dalam hatinya. Orang itu adalah Tumenggung Surobayu. Dalam kedukaannya kehilangan puteranya, tumenggung ini merasa heran dan penasaran bagaimana puteranya sedemikian mudahnya dibunuh oleh dua orang perawat kuda! Padahal puteranya itu memiliki kedigdayaan dan tidak sembarang orang akan mampu mengalahkan dan membunuhnya. Keheranan dan rasa penasaran ini dia katakan kepada Dibyasakti. Akan tetapi pemuda yang cerdik ini dengan tenangnya berkata,
"Paman Tumenggung, saya tidak merasa heran. Ketika dua orang itu menyerang saya, saya mendapat kenyataan bahwa mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Mereka cukup tangguh sehingga hanya dengan aji pamungkas saya saja akhirnya saya dapat merobohkan mereka.
"Akan tetapi, anakmas, mereka itu hanya perawat kuda yang sudah bertahun-tahun bekerja disini dan tidak pernah mereka memperlihatkan bahwa mereka itu orang-orang digdaya," bantah Tumenggung Surobayu penasaran.
"Ah, paman. Siapa tahu kalau mereka itu menyimpan rahasia? Kita tahu bahwa Mataram memusuhi kita. Saya curiga bahwa mereka berdua itu adalah orang-orang yang sengaja diselundupkan oleh Mataram untuk bekerja dikadipaten ini, sebagai telik sandi (mata-mata)."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk, agaknya dapat menerima pendapat ini. "Akan tetapi andaikata benar dugaan andika itu, andaikata mereka itu memang telik sandi dari Mataram yang diselundupkan ke sini, mengapa mereka membunuh puteraku dan Sriyatun? Apa alasannya?"
Dibyasakti mengerutkan alisnya. "Alasannya jelas, paman. Tentu untuk mendatangkan suasana kacau di Kadipaten Pamekasan. Yang dibunuh justeru putera paman dan puteri paman Adipati, berarti memberi pukulan kepada dua orang terpenting di Pamekasan dengan maksud agar mendatangkan kelemahan. Selain itu..."
"Selain itu apa, anakmas? Alasan apalagi yang membuat mereka melakukan pembunuhan itu?"
"Anu, paman. Diajeng Sriyatun adalah seorang wanita yang amat cantik. Bukan mustahil kalau dua orang jahanam itu tertarik, mereka berniat keji, hendak menganggu diajeng Sriyatun. Mungkin karena ketahuan putera paman, mereka lalu melakukan pembunuhan untuk menghilangkan jejak."
Akhirnya Tumenggung Surobayu dapat menerima pendapat ini dan dia menumpahkan semua rasa penasaran dan dendamnya kepada Mataram. Keterangan Dibyasakti membuat dia yakin bahwa dua orang pembunuh itu tentu orang-orang Mataram!
"Awas kalian orang-orang Mataram! Kalau terjadi perang, aku akan membalas dendam dan membunuh sebanyak mungkin orang Mataram!" Dia mengancam dengan tangan dikepal.
Dibyasakti tidak lama tinggal di Pamekasan. Setelah ikut melayat dia lalu berpamit dan kembali ke Arisbaya, membawa jawaban para adipati di seluruh Madura untuk Adipati Arisbaya bahwa mereka semua telah siap. untuk bekerja sama dalam menghadapi ancaman dari Kerajaan Mataram...
********************
Di dekat Pacitan terdapat sebuah perguan pencak silat Jatikusumo. Perkumpulan ini mempunyai murid-murid atau anggota yang tidak kurang dari seratus orang jumlahnya dan mereka tinggal disebuah perkampungan. Karena perkampungan ini merupakan perkampungan yang khusus menjadi tempat tinggal mereka, maka dikenal sebagai dusun Jatikusumo yang letaknya di pantai Laut Kidul.
Perguruan Jatikusumo adalah sebuah guruan silat yang sudah tidak asing lagi. Namanya bukan hanya dikenal di daerah Pacitan dan Kadipaten Madiun, bahkan terkenal sampai ke Mataram. Bahkan, yang patut dicatat, Sang Puteri Wandansari, putri Sultan Agung Mataram, merupakan murid andalan perguruan Jatikusumo. Perguruan ini sudah berusia lebih dari setengah abad dan banyak melahirkan pendekar-pendekar yang juga menjadi pahlawan yang membela Mataram.
Sejak dahulu, para pendekar Jatikusumo selalu membela Mataram dengan setia. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Jatikusumo adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, yang dulu merupakan murid andalan perguruan ini. Setelah Bhagawan Sindusakti, ketua Jatikusumo meninggal dunia kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yang menggantikannya menjadi ketua adalah Ki Cangak Awu, ketuanya yang sekarang.
Ki Cangak Awu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur kasar seperti Harya Werkudara tokoh Pandawa dalam cerita wayang Mahabharata. Dia terkenal digdaya dengan senjatanya berupa tongkat. Wajahnya tidak sangat tampan, namun gagah dengan kumis dan jenggotnya yang membuat dia tampak jantan. Dia menjadi ketua Jatikusumo, dibantu isterinya.
Isterinya ini juga seorang wanita yang gagah perkasa dan sakti bernama Pusposari. Orangnya hitam manis namun dalam hal kedigdayaan, ia tidak kalah jauh dibandingkan suaminya. Pusposari bukan murid Jatikusumo, akan tetapi ia juga menjadi anak angkat dari ketua perguruan Nogo Dento yang cukup terkenal. Perguruan Nogo Dento ini berpusat di daerah Ngawi, di Lembah Bengawan Solo. Pusposari yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun itu, setelah menikah dengan Ki Cangak Awu selama hampir sepuluh tahun, belum juga dikaruniai anak.
Ketika Mataram melakukan serangan ke Tuban dan menundukkan Tuban, memang perguruan Jatikusumo tidak dimintai bantuan karena untuk menyerang Tuban tidak dibutuhkan bantuan banyak tenaga. Akan tetapi ketika Mataram berusaha menyerang Surabaya, Ki Cangak Awu dan Pusposari sendiri pergi ke Mataram untuk membantu. Akan tetapi selama tiga tahun, semua usaha Mataram untuk menundukkan Surabaya mengalami kegagalan.
Setelah Sultan Agung menghentikan usahanya menundukkan Surabaya dan mengalihkan perhatiannya kepada Madura, Ki Cangak Awu dan isterinya kembali ke Jatikusuman. Di perkampungan ini mereka melatih para murid dan mempersiapkan diri kalau sewaktu-waktu tenaga mereka dibutuhkan oleh Mataram.
Kita kembali kepada peristiwa aneh yang terjadi kurang lebih lima tahun yang lalu, yaitu sebelum Mataram menyerang Surabaya, atau setelah Mataram berhasil menundukkan sebagian besar kadipaten d Jawa Timur. Pada waktu itu, mendengar betapa Mataram semakin memperkuat wilayahnya dan menundukkan para kadipaten di Jawa Timur, pihak Kumpeni Belanda merasa khawatir.
Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memerintahkan para perwira bawahannya untuk memperluas pula jaringan mata-mata mereka. Orang-orang yang dipercaya dan memiliki kesaktian dan kesetiaan kepada Kumpeni disebar di tempat-tempat penting untuk mengobarkan semangat anti Mataram. Di antara para telik sandi (mata-mata) itu terdapatlah seorang pemuda yang luar biasa. Dia seorang pemuda yang tampan sekali, berusia sekitar dua puluh satu tahun.
Pemuda ini bertubuh tinggi tegap, tidak terlalu besar namun dadanya bidang. Gerak-geriknya lembut sesuai dengan wajahnya yang tampan. Rambutnya keriting berombak, manik matanya tidak hitam benar agak kecoklatan, mata yang tajam dan bentuknya indah dan lebar. Hidungnya mancung dan bentuk bibirnya juga manis. Kebanyakan wanita tidak akan mudah melupakan wajah ini karena memiliki daya tarik yang kuat sekali bagi wanita.
Senyumnya memikat dan giginya putih berderet rapi. Ditambah kegantengannya dengan hiasan kumis tipis yang tumbuh rapi di bawah hidungnya. Ketampanannya memang agak berbau asing, terutama matanya yang agak coklat, hidungnya yang amat mancung dengan rambutnya yang berombak itu. Bukan ketampanan khas Jawa. Memang sesungguhnya pemuda ini bukan seorang Jawa asli, melainkan seorang yang biasa disebut Indo. Ibunya memang seorang wanita Jawa, akan tetapi ayahnya seorang kulit putih totok berbangsa Portugis.
Ketika itu bangsa Portugis sudah datang ke Nusa Jawa sebelum Kumpeni Belanda datang. Orang-orang Portugis itu datang sebagai pedagang. Akan tetapi kebanyakan dari mereka adalah pria-pria petualang yang kasar dan tidak pandai mengambil hati penduduk asli sehingga banyak mendapat tentangan, tidak seperti Kumpeni Belanda yang pandai bersiasat mengambil hati rakyat. Bahkan ada orang-orang Portugis yang mempergunakan kekerasan menculik gadis-gadis yang cantik untuk diperisteri.
Di antara mereka, terdapat seorang pemimpin atau jagoan orang Portugis bernama Henrik. Henrik inipun berhasil mempersunting seorang gadis pesisir utara yang cantik bernama Marsinah. Akan tetapi setelah Marsinah melahirkan seorang anak laki-laki, karena melihat anak itu tidak bule seperti dirinya, lebih mirip seorang bocah pribumi, Henrik lalu meninggalkan Marsinah dan anaknya begitu saja! Marsinah yang menjanda merawat anaknya ya diberi nama Satyabrata (setia akan janji) untuk mengingatkan dirinya bahwa ia setia akan janjinya, tidak seperti ayah anak itu yang ingkar janji dan meninggalkannya.
Sebagai seorang anak laki-laki yang hanya dididik seorang ibu yang memanjakannya dan karena kurang terawasi sehingga dia berbaur dengan lingkungan yang tidak sehat, maka Satyabrata berangkat besar sebagai seorang anak yang manja dan nakal. Akan tetapi ketampanannya dan mata yang kecoklatan, hidung yang mancung itu membuat ketampanannya berbau orang barat, ketika dia berusia empat belas tahun seorang pemimpin bangsa Belanda, orang Kumpeni, tertarik dan suka kepadanya.
Belanda ini bernama Van Huisen dan dengan perkenan Marsinah, Van Huisen lalu mengambil Satyabrata sebagai anak angkat. Mulai saat itu berubahlah kehidupan Satyabrata. Dia mendapatkan pakaian indah, juga menerima pendidikan dan ternyata dia cerdas sehingga memperoleh banyak kemajuan. Dia pandai bahasa Belanda, pandai membaca menulis, bahkan dia berbakat sekali mempelajari ilmu kanuragan.
Dia mempelajari cara bertinju dan berkelahi orang kulit putih, bahkan mempelajari cara mempergunakan senjata api. Di samping itu, Satyabrata juga belajar ilmu pencak silat dari para guru yang banyak terdapat di daerah pesisir, tepatnya di daerah Cirebon di mana ibunya tinggal. Bahkan dia pernah menjadi murid perguruan Dadali Sakti yang berada di Galuh.
Karena dimanjakan ayah angkatnya yaitu Van Huisen, dan hidup berkecukupan Satyabrata tumbuh menjadi seorang pemuda yang congkak. Akan tetapi harus diakui bahwa dia pandai menyimpan kecongkakannya, pandai membawa diri dengan sikapnya yang lembut. Ketampanan dan sikapnya yang lembut ini menjatuhkan hati banyak wanita dan Satyabrata menyambut wanita yang cantik dengan penuh gairah.
Maka terkenallah pemuda ini sebagai seorang perayu yang menjatuhkan hati banyak wanita, bahkan dia tidak segan untuk merusak pagar ayu, merayu wanita-wanita yang sudah bersuami. Kelakuannya ini membuat dia banyak dimusuhi orang dan beberapa kali dia dikeroyok. Akan tetapi karena dia memiliki kedigdayaan dan selalu dilindungi Van Huisen, dia selalu dapat meloloskan diri.
Tibalah saatnya Van Huisen mempergunakan dan memanfaatkan pemuda yang diangkat sebagai anak itu ketika Kumpeni Belanda membutuhkan banyak tenaga cakap untuk menjadi mata-mata. Satyabrata diangkat menjadi mata-mata dan dia ditugaskan untuk memata-matai perguruan Jatikusumo yang dianggap sebagai musuh Kumpeni. Tugasnya adalah memata-matai, melihat keadaan dan kekuatan Jatikusumo, kemudian berusaha agar perguruan itu dapat berbalik menentang Mataram dan suka bekerja sama dengan Kumpeni Belanda. Kalau usaha ini tidak berhasil, akan diusahakan mengacau dan memporak porandakan Jatikusumo.
Setelah menjelaskan tentang tugas penting dan berat yang harus dijalankan, Willem Van Huisen memberi nasihat kepada anak angkatnya dalam sebuah kamar di gedungnya. "Jan," opsir Kumpeni ini memang telah memberi nama baru kepada Satyabrata, yaitu Jan Van Huisen sebagai anak angkatnya, "engkau ingatlah selalu bahwa biarpun engkau seorang pemuda Jawa, akan tetapi engkau berdarah orang kulit putih, orang Eropa. Juga engkau harus ingat bahwa engkau telah kuangkat menjadi anakku, dan aku yang telah memberimu pendidikan dan segala macam kepandaian. Karena itu, sudah sepatutnya kalau engkau setia kepada Kumpeni Belanda. Ingat, bangsa Belanda ingin mendatangkan kemakmuran kepada rakyat Nusa Jawa, mendidik rakyat yang bodoh agar menjadi pintar. Engkau sendiri sudah merasakan betapa engkau yang tadinya bodoh kini menjadi pintar setelah kami didik. Karena ingin melindungi rakyat, maka kami menentang Mataram yang murka dan yang menaklukkan dan menindas semua kadipaten. Engkau mengerti, bukan?"
"Saya mengerti, vader (ayah)." kata Jan Van Huisen atau Satyabrata sambil mengangguk-angguk.
"Nah, kalau sudah mengerti benar, berangkatlah dan bawalah ini sebagai bekal." Dia menyerahkan sekantung uang emas dan juga sebuah pistol. Satyabrata menerima barang-barang itu. "Kalau tidak terpaksa sekali untuk melindungi diri dari ancaman bahaya yang tak dapat kau hindarkan, jangan pergunakan pistol itu. Dan kalau uang ini habis dan engkau kekurangan, engkau tahu kepada siapa dapat memintanya. Asal engkau perlihatkan uang dinar gambar sepasang singa itu, engkau pasti akan diterima dan dibantu oleh semua telik sandi yang telah kami sebar dimana-mana. Engkau sudah tahu siapa yang dapat kau hubungi di Pacitan dan Madiun."
"Baik, vader. Saya berangkat sekarang," kata Satyabrata sambil bangkit dari kursinya.
Willem Van Huisen menjabat tangannya dan pemuda itu lalu keluar dari ruangan itu. Dia memasuki kamarnya, menyimpan kantung uang emas dan pistol dalam buntalan pakaiannya. Karena dia akan melakukan perjalanan sebagai seorang pemuda Jawa biasa, maka dia membawa pakaian yang dibuntal sarung. Di ruangan depan seorang gadis Belanda menghadangnya. Gadis ini berusia sekitar tujuh belas tahun, cantik jelita dengan rambut keemasan dan bermata biru.
"Heii, Jan! Aku dengar engkau akan pergi, betulkah? Engkau akan pergi ke mana, Jan?" Gadis itu dengan akrabnya menggandeng tangan Satyabrata dan ditariknya pemuda itu, dibawanya duduk berhadapan dengannya dikursi yang berada di ruangan depan itu.
"Elsye, aku akan pergi, melakukan tugas yang diberikan oleh ayah kita," kata Satyabrata sambil mengamati wajah gadis cantik itu.
Dia selalu terangsang gairahnya kalau berhadapan dengan Elsye yang demikian cantik manis dan manja, juga sikapnya yang demikian terbuka dan bebas berani merangkul dan menciumnya tanpa rikuh. Akan tetapi dia tahu diri, dia tidak berani melangkah terlalu jauh terhadap gadis yang menganggapnya seperti kakak ini. Dia dapat celaka kalau berani menodai gadis yang dimaksudkan untuk menjadi adik angkatnya ini dan membatasi sekedar menikmati pelukan dan ciuman saja.
"Tapi, ke mana engkau akan pergi melakukan tugas, Jan?" Elsye bertanya manja sambil mengguncang-guncang tangan Satyabrata.
Satyabrata adalah seorang pemuda yang sudah mendapat pendidikan sebagai mata-mata dan dia memang cerdik. Dia tahu bahwa dalam melaksanakan tugasnya ini, dia harus merahasiakannya dari siapapun, karena tugas ini adalah tugas rahasia. Membuka rahasia ini, terhadap Elsye sekalipun, merupakan bahaya besar.
"Aku sendiri belum tahu ke mana aku harus pergi, Elsye."
"Akan tetapi, berapa lama engkau akan pergi meninggalkan aku, Jan?"
"Mudah-mudahan tidak terlalu lama, Elsye. Setelah selesai tugasku, aku tentu segera pulang."
Elsye bangkit berdiri dan merangkul leher pemuda itu. "Jan, aku akan sangat kehilangan kau!"
Satyabrata merasa senang sekali kalau dirangkul gadis manis itu. Jantungnya berdebar. "Akupun akan sangat rindu padamu, Elsye. Nah, sekarang selamat tinggal. Ayah kita akan marah kalau aku berlama-lama menunda kepergianku."
Satyabrata menciumnya. Akan tetapi tidak seperti biasa kalau dia mencium gadis ini tentu mencium kedua pipinya, sekali ini dia mencium bibirnya. Hal ini dilakukan seolah tidak sengaja. Akan tetapi betapa kaget, heran dan juga senang hatinya ketika merasa betapa gadis itu membalas ciumannya dengan hangat dan penuh kemesraan! Sampai beberapa lama mereka berciuman dan ketika akhirnya mereka saling merenggangkan muka, keduanya bermerah muka. Akan tetapi mata mereka bersinar-sinar aneh seolah mereka telah menemukan sesuatu yang membahagiakan.
"Jan, selamat jalan dan jangan lupakan aku, Jan!"
Satyabrata keluar dari gedung diantar Elsye sampai keluar serambi depan. Dia, melanjutkan perjalanan setelah menoleh beberapa kali dan saling melambaikan tangan dengan Elsye. Di luar gedung telah menanti seorang pelayan yang sudah mempersiapkan seekor kuda yang besar. Dia melompat ke atas punggung kuda kemudian melarikan kuda itu keluar dari halaman. Berbekal banyak uang dan kepandaian yang cukup tangguh, akhirnya pada suatu hari Satyabrata muncul diperguruan Jatikusumo.
Dia berhenti di depan gapura perkampungan Jatikusuman sebagai seorang pemuda dusun yang berpakaian sederhana, membawa buntalan sarung butut berisi pakaian. Tentu saja dia telah menitipkan kuda dan uang emasnya kepada kaki tangan Kumpeni yang berada diPacitan, sedangkan pistolnya dia simpan di sebelah dalam bajunya, terikat kuat-kuat pada badannya.
Perguruan Jatikusumo kini merupakan sebuah perkumpulan yang teratur dan anak buahnya dilatih seperti pasukan perajurit. Di pintu gapura perkampungan itu, siang malam dijaga oleh dua orang penjaga secara bergiliran. Melihat seorang pemuda yang tidak dikenal berdiri di depan pintu perkampungan, tentu saja dua orang penjaga itu menjadi curiga dan keduanya sudah keluar dari gardu penjagaan menghadapi Satyabrata.
"Kisanak, engkau siapakah dan ada keperluan apa engkau berdiri di depan pintu perkampungan kami?" tanya seorang di antara mereka.
Satyabrata tersenyum dan seperti biasa, senyumnya yang manis dan ramah itu menghangatkan hati kedua orang murid Jatikusumo itu. Dia membungkuk dengan sopan dan menjawab, "Maafkan saya, akan tetapi apakah benar di sini perguruan Jatikusumo?"
Dua orang murid Jatikusumo itu saling pandang dan mereka melirik ke arah papan yang tergantung di gapura itu. Papan itu tertulis dengan huruf besar dan jelas "PERGURUAN JATIKUSUMO" dan orang ini masih bertanya. Ini membuktikan bahwa pendatang ini adalah seorang dusun bodon yang buta huruf.
"Benar sekali. Di sini perguruan Jatikusumo. Andika siapa dan ada keperluan apa?"
"Nama saya Satya," Satyabrata memperpendek namanya agar terdengar sederhana karena dia tahu bahwa nama lengkapnya terlalu gagah dan indah bagi seorang pemuda dusun. "Dan kedatangan saya ini ingin menghadap ketua atau guru perguruan Jatikusumo. Saya harap andika berdua sudi membantu saya untuk menghadapkan saya kepada guru andika."
"Kami sudah tidak mempunyai guru di sini. Guru tua kami sudah meninggal dunia kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Kini hanya ada ketua atau pemimpin kami."
"Kalau begitu, saya ingin menghadap pemimpin andika."
"Nanti dulu, kisanak. Hanya kalau ada urusan penting orang boleh menghadap ketua kami. Kalau urusan kecil cukup diselesaikan oleh kami para murid atau anggota. Karena itu, beritahukan dulu apa kepentinganmu agar kami pertimbangkan apakah engkau pantas menghadap ketua atau cukup berurusan dengan kami saja."
"Saya kira saya harus menghadap ketua sendiri karena saya bermaksud untuk minta agar diterima menjadi seorang murid Jatikusumo," kata Satyabrata.
"Ah, begitukah? Kalau begitu, tentu saja engkau harus menghadap pimpinan kami karena hanya ketua yang dapat memutuskan apakah engkau dapat diterima atau tidak. Mari, ikut aku, Satya," kata orang pertama. Ia lalu mengajak Satya memasuki perkampungan sedangkan orang kedua tetap berjaga di situ.
Sambil berjalan di sisi penjaga tadi, Satyabrata memperhatikan keadaan perkampungan itu. Rumah-rumah yang sederhana namun cukup bagus berada di perkampungan itu. Juga terdapat wanita dan kanak-kanak yang semuanya berpakaian cukup pantas. Agaknya keadaan para murid atau anggota Jatikusumo cukup baik, Dia teringat akan ibunya yang pada malam keberangkatannya itu dia pamiti. Ibunya tinggal di rumah kecil sederhana bersama seorang wanita tua yang membantu ibunya.
Ketika dia berpamit dan mengatakan bahwa dia hendak pergi melaksanakan tugas yang diberikan oleh ayah angkatnya, tanpa memberitahukan apa tugas itu dan kemana dia akan pergi, ibunya memberi nasihat kepadanya. "Anakku Satyabrata, ingatlah selalu bahwa biarpun ayahmu adalah seorang kulit putih, namun ibumu ini seorang wanita Jawa dan engkau dilahirkan pula di Nusa Jawa. Karena itu, engkau harus selalu membela nusa dan bangsa Jawa."
Dia tidak menentang nasihat ibunya itu. Bukankah dia kini sedang bekerja untuk Kumpeni yang sedang berusaha untuk memakmurkan bangsanya menentang Mataram yang angkara murka? Ketika akhirnya dia dihadapkan kepada suami isteri yang menjadi pimpinan perguruan Jatikusumo, dia merasa tegang juga. Suami isteri yang berpakaian sederhana iu begitu gagah dan berwibawa. Sebelumya dia sudah mendapatkan banyak keterangan tentang pimpinan Jatikusumo.
Dia tahu bahwa ketua Jatikusumo bernama Ki Cangak Awu dan isterinya bernama Nyi Pusposari. Dan sekarang kedua orang itu telah berhadapan dengan dia. Dia memandang mereka dan merasa kagum. Ki Cangak Awu yang berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun itu bertubuh tinggi besar, wajahnya penuh kejantanan, sepasang matanya bersinar tajam memandang penuh selidik. Di sampingnya duduk Pusposari yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun, hitam manis dan pandang matanya lembut.
Penjaga itu membungkuk dan memberi hormat dengan sembah, lalu melapor, "Ki raka, inilah si Satya yang ingin menghadap." Ki Cangak Awu memberi isyarat kepada anggota itu untuk mundur, kemudian kepada Satyabrata dia berkata, suaranya tenang dan besar seperti suara Sang Harya Sena, "Duduklah, orang muda!"