Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Seruling Gading Jilid 08
"TERIMA KASIH, paman," kata Satyabrata sambil duduk bersila di atas lantai yang ditilami tikar pandan. Dia melirik dan melihat betapa wajah suami isteri itu tampak tenang dan biasa saja yang berarti bahwa sebutan paman darinya itu tidak menyinggung perasaan mereka. Sebutan yang dipergunakan murid Jatikusumo tadi, yang usianya sudah tiga puluh lebih, yaitu sebutan Ki-raka terhadap pemimpinnya menunjukkan bahwa ketua Jatikusumo ini memang seorang yang sederhana.
"Menurut laporan penjaga, andika bernama Satya dan ingin menjadi murid Perguruan Jatikusumo. Dari manakah andika berasal?" tanya Ki Cangak Awu.
"Saya berasal dari Kabupaten Kendal, paman," kata Satyabrata, sengaja mengaku dari Kendal yang dia sudah pelajari logat bicaranya dan dia sudah mempelajari pula keadaan kabupaten itu.
Cangak Awu mengangguk-angguk. Pada waktu itu, yang menjadi Bupati Kendal adalah Ki Baurekso yang juga menjadi seorang senopati Mataram yang setia. "Kenapa andika ingin menjadi murid Jatikusumno? Apa yang kau ketahui tentang Jatikusumo?"
"Saya hanya mengetahui bahwa Perguruan Jatikusumo dipimpin oleh paman Ki Cangak Awu dan bibi Pusposari yang sakti mandraguna dan bahwa Jatikusumo mengajarkan ilmu-ilmu pencak silat dan aji kanuragan yang ampuh kepada para muridnya. Karena itu jauh-jauh saya datang ke sini untuk mohon diterima menjadi murid, paman," kata Satyabrata dengan suara lembut dan sikap hormat dan manis budi.
Cangak Awu saling pandang dengan Pusposari. Mereka berdua tertarik oleh gaya bicara dan sikap pemuda itu. "Akan tetapi tidak mudah untuk menjadi murid dan anggota keluarga besar Jatikusumo, Satya.
Berat syarat-syaratnya!" kata Pusposari sambil menatap wajah tampan itu dengan tajam penuh selidik.
"Saya siap menerima semua syarat dan sanggup melaksanakannya, bibi."
"Satya, pernahkah engkau mempelajari aji kedigdayaan?" tiba-tiba Cangak Awu bertanya.
"Belum, paman." Tiba-tiba Cangak Awu mendorongkan telapak tangan kirinya ke arah pemuda itu. Serangkum angin pukulan menyambar ke arah Satyabrata. Pemuda ini diam-diam terkejut, akan tetapi dia amat cerdik. Dia merasa yakin bahwa seorang ketua perguruan seperti Cangak Awu tidak mungkin akan mencelakai orang yang tidak diketahui kesalahannya, maka diapun menerima saja ketika diserang angin pukulan itu. Tubuhnya terjengkang dan bergulingan ke belakang. Akan tetapi dia tidak terluka dan dia tahu bahwa ketua itu sengaja mengujinya untuk melihat apakah benar dia tidak pernah mempelajari ilmu bela diri. Diapun pura-pura terkejut dan ketakutan. Setelah bangkit dan bersila di tempat dia menyembah.
"Paman, mengapa paman melakukan itu? Apa kesalahan saya?" tanyanya dengar wajah heran dan penasaran, juga takut-takut.
Cangak Awu tertawa lalu menggapai, "Majulah dan duduk di tempatmu tadi, Satya. Aku hanya ingin melihat apakah benar engkau tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan. Nah, sekarang tentang syarat-syarat itu. Kalau engkau sanggup melaksanakan syarat-syarat itu, engkau dapat kami terima menjadi murid Jatikusumo."
Satyabrata memperlihatkan muka girang. "Apakah syarat-syarat itu, paman?"
"Ada dua syarat utama yang harus dilaksanakan setiap murid Jatikusumo. Pertama, dia harus selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, Dan kedua, dia harus selalu membela Kerajaan Mataram. Kalau sebagai murid Jatikusumo kelak engkau melanggar dua syarat ini, engkau akan menerima hukuman mati oleh pimpinan Jatukusumo. Nah, sanggupkah engkau menerima dan melaksanakan dua syarat itu?"
Dengan suara tegas Satyabrata menjawab, "Saya terima dan saya sanggup melaksanakan, kanjeng paman!"
Demikianlah, Satyabrata diterima menjadi murid Jatikusumo. Dia diperbolehkan mengikuti latihan pencak silat dari perguruan itu, tentu saja sebagai permulah hanya mempelajari dan melatih dasar-dasar gerakan ilmu pencak silat Jatikusumo. Semua berjalan dengan baik dan lancar karena Satyabrata pandai membawa diri, rajin berlatih, juga rajin bekerja di sawah ladang seperti para murid lain.
Di belakang perkampungan Jatikusumo terdapat perbukitan dan di lereng sebuah bukit terdapat sebuah sumur tua. Bukit kecil dan sumur tua ini merupakan daerah yang dianggap keramat bahkan menjadi larangan bagi para murid Jatikusumo untuk mengunjunginya. Karena tidak ada orang berani datang ke situ, maka daerah bukit kecil dengan sumur tuanya itu terkenal angker dan menakutkan. Bahkan ada desas-desus di antara para murid Jatikusumo bahwa ada roh-roh penasaran liaran di perbukitan itu, berasal dari sumur tua dan roh-roh penasaran ini suka mengganggu orang.
Satyabrata tertarik sekali mendengar tentang sumur tua di bukit belakang perkampungan itu. Setelah tinggal di perkampungan Jatikusumo selama tiga bulan, dia dapat akrab dengan para murid lain karena dia pandai mengambil hati dan pandai membawa diri. Semua orang, termasuk Cangak Awu dan Pusposari, menganggap dia seorang pemuda yang rajin, ramah dan menyenangkan. Mulailah Satyabrata memancing-mancing percakapan dengan murid-murid tertua, mengarahkan percakapan kepada gerakan yang dilakukan Mataram untuk menundukkan semua kadipaten di Jawa Timur, termasuk Madiun dan Pacitan sendiri.
Dia memancing dengan halus dan tidak kentara untuk melihat apakah para murid yang menjadi kawula Kadipaten Madiun dan Pacitan itu rela melihat daerah mereka kini dikuasai Mataram. Dengan percakapan yang nadanya miring ini perlahan-lahan Satyabrata berhasil mengusik hati para murid yang sebagian besar berasal dari daerah-daerah di Jawa Timur dan yang daerahnya sudah dikuasai Mataram. Ia berhasil menimbulkan kesan bahwa Mataram bersikap angkara murka dengan menaklukkan semua daerah kadipaten itu.
Melihat keadaan bukit kecil dengan sumur tua yang dianggap angker itu demikian sepi tak pernah dijenguk manusia, Satyabrata segera memanfaatkannya. Diam-diam dia seringkali mendaki bukit itu dan melakukan penyelidikan. Sumur tua itu tak tampak dasarnya dan memang menyeramkan, seolah ada hawa yang aneh keluar dari lubang sumur. Satyabrata menganggap tempat ini baik sekali sebagai tempat persembunyian atau sebagai pusat pertemuan. Ia sudah mengambil uang emas dan pistolnya dan menyimpan benda-benda ini di sebuah gua kecil yang terdapat di dinding batu gunung dekat sumur kecil tua itu. Kalau kelak dia berhasil menghasut para murid Jatikusumo, tempat itu baik sekali untuk dipergunakan sebagai tempat mengadakan pertemuan, pikirnya.
Karena tertarik, pada suatu siang ketika dia mengaso dari bekerja di ladang membantu seorang murid lain yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, bernama Sakimun. Ada peraturan di perguruan Jatikusumo bagi para murid untuk saling menyebut "raka" kepada yang lebih tua dan "rayi" kepada yang lebih muda. Bahkan Cangak Awu sendiri juga mempergunakan aturan itu karena dia tidak mau dianggap sebagai guru.
Satyabrata mempergunakan kesempatan mengaso itu untuk bertanya kepada murid yang sudah lama menjadi anggauta keluarga besar Jatikusumo tentang sumur tua yang dikeramatkan itu. Mereka duduk di bawah pohon yang teduh, yang melindungi mereka dari sinar matahari yang panas menyengat.
"Ki-raka Sakimun, sebetulnya ada apakah dengan sumur tua di bukit belakang itu. Kata beberapa orang raka, di sana pernah terjadi hal-hal yang hebat dan mengerikan. Akan tetapi merekapun tidak tahu dengan jelas apa yang terjadi karena hal itu sudah berlalu selama bertahun-tahun. Andika yang lama menjadi murid Jatikusumo, tentu mengetahui. Sudikah andika menceritakannya. kepadaku?"
Sakimun menghela napas panjang. "Sebetulnya kisah itu merupakan rahasia Jatikusumo yang tidak pantas terdengar orang lain karena hal itu menjadi noda hitam bagi Jatikusumo. Akan tetapi karena andika kini telah menjadi anggauta keluarga besar Jatikusumo, baiklah akan kuceritakan secara singkat saja."
"Ceritakanlah, Ki-raka, dan aku sebelumnya mengucapkan banyak terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku," kata Satyabrata.
"Rayi Satya, berpuluh tahun yang lalu, yang menjadi ketua Jatikusumo adalah Eyang Buyut Guru Resi Limut Manik. Pengangkatannya itu menimbulkan rasa iri dalam hati saudara seperguruannya yang bernama Resi Ekomolo. Resi Ekomolo yang jahat ini memperkosa isteri Eyang Buyut Guru Resi Limut Manik sehingga wanita itu membunuh diri. Lalu terjadi perkelahian antara kedua orang tokoh besar dan datuk Jatikusumo itu. Akhirnya Resi Ekomolo dapat dikalahkan, kedua kakinya lumpuh dan dia dibuang ke dalam sumur tua itu."
"Ah, dia dibuang hidup-hidup ke dalam sumur itu, Ki-raka?"
"Ya, akan tetapi dia tidak mati. Aku masih ingat dulu, seringkali di waktu malam hari terdengar teriakan melolong-lolong dari sumur itu. Mendiang Bapa Guru Bhagawan Sindusakti selalu mengirim makanan, memasukkannya ke dalam sumur itu. Kemudian, sekitar sepuluh tahun lebih yang lalu, terjadi kegemparan ketika seorang murid Jatikusumo, yaitu adik seperguruan Ki-raka Cangak Awu yang bernama Priyadi, tahu-tahu telah dapat mengeluarkan Resi Ekomolo dari dalam sumur dan Priyadi ini menjadi muridnya."
"Wah, tentu dia menjadi sakti mandraguna, Ki-raka!" seru Satyabrata tertari sekali.
"Demikianlah, rayi Satya. Resi Ekomolo memang sakti mandraguna dan semua aji kesaktiannya dia turunkan kepada Priyadi itulah. Setelah Priyadi menjadi sakti madraguna, dia berkhianat, membantu Kadipaten Wirosobo dan menentang Mataram. Tentu saja para satria yang membela Mataram menentangnya dan terjadi pertempuran hebat. Akan tetapi akhirnya Priyadi dapat dikalahkan. Sementara itu, Priyadi telah melemparkan kembali gurunya, yaitu Resi Ekomolo ke dalam sumur tua. Dan ketika dia bertanding dengan para satria ia melarikan diri ke bukit dibelakang itu. Kemudian, dia terkena pukulan dan terjatuh ke dalam sumur tua. Hanya terdengar jerit mengerikan bercampur suara tawa menyeramkan seperti iblis, lalu sunyi. Agaknya Priyadi yang pengkhianat dan Resi Ekomolo yang jahat itu mati dalam sumur tua dan roh mereka menjadi roh penasaran yang menghantui sumur itu."
Satyabrata terkesan sekali dengan cerita yang hebat itu. "Akan tetapi, Ki-raka, kenapa tempat itu menjadi tempat terlarang untuk dikunjungi?"
"Tempat itu menyimpan rahasia yang menodai nama besar Jatikusumo, maka sebaiknya disimpan dan dijauhi. Nah, mari kita lanjutkan pekerjaan kita!" Mereka bekerja kembali, akan tetapi cerita itu selalu terbayang dalam benak Satyabrata.
Pada suatu siang, ketika dia mendapatkan kesempatan, dia mendaki bukit yang sunyi itu dan menjenguk ke dalam sumur. Gelap, tidak tampak apa-apa dari atas. Akan tetapi harus diakuinya bahwa ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang, seolah ada hawa yang menyeramkan keluar dari lubang sumur itu. Satyabrata adalah seorang pemuda pemberani dan pendidikan dari ayah angkatnya, Willem Van Huisen membuat dia tidak gentar menghadapi segala macam ketahyulan.
Dia memang sudah mempunyai niat yang teguh untuk menyelidiki sumur tua yang mengandung cerita yang luar biasa dan menyeramkan itu. Karena itu, dia sudah mempersiapkan diri ketika siang hari itu dia mendaki bukit dan mendatangi sumur itu. Dia sudah mempersiapkan segulung tali, bahkan sudah mempersiapkan sebatang obor. Karena yakin bahwa di tempat larangan itu tidak akan ada orang datang, dia lalu mengikatkan ujung tali ke sebatang pohon waru yang tumbuh di dekat sumur, kemudian tanpa ragu dia merayap turun melalui tali yang dijulurkan ke dalam sumur.
Kakinya menginjak dasar sumur yang kering namun keadaan di situ remang-remang karena hanya menerima sinar matahari yang menyorot ke dalam sumur. Dia meraba-raba dan mendapat kenyataan bahwa dasar sumur itu menembus ke sebuah terowongan yang cukup besar, lebarnya tidak kurang dari satu meter dan tinggi dua meter. Akan tetapi di depan sana remang-remang, maka dia lalu menyalakan obor yang dibawanya turun untuk menerangi terowongan. Kemudian dengan tabah dia memasuki terowongan.
Dia tiba di sebuah ruangan setelah berjalan agak jauh, sebuah ruangan yang luas seperti sehuah kamar. Cahaya obor menerangi ruangan itu dan dia melihat pemandangan yang membuatnya bergidik karena amat menyeramkan. Di atas batu yang rata dan lebar itu terdapat dua kerangka manusia. Kerangka yang berada diatas menggunakan kedua tangan mencekik leher kerangka yang berada di bawah, dan kerangka yang berada di bawah itu memegang sebatang keris yang menusuk masuk di antara tulang iga kerangka yang berada di atas. Mudah saja membayangkan keadaan dua kerangka itu.
Tentu kedua orang itu dulu saling membunuh. Yang satu mencekik yang lain dan orang yang dicekik itu menusukkan sebatang keris ke dada orang pertama. Agaknya dengan cara ini, keduanya tewas. Satyabrata teringat akan kisah yang diceritakan Sakimun kepadanya, tentang Resi Ekomolo dan Priyadi. Dia dapat menduga bahwa orang yang mencekik itu tentu Resi Ekomolo dan yang menusukkan keris itu tentu Priyadi. Keris itu mencorong ketika tertimpa sinar obor dan Satyabrata tertarik sekali.
Dia mendekati dua kerangka itu dan menjulurkan tangan untuk mengambil keris itu. Dia memegang gagang keris dan mencabut. Akan tetapi ternyata keris itu terjepit di antara tulang iga dan sukar dicabut. Satyabrata mengerahkan tenaganya dan menarik kuat-kuat. Keris dapat tercabut akan tetapi dua kerangka itu runtuh menimbulkan suara berkelotakan!
Satysabrata melompat ke belakang agar jangan tertimpa reruntuhan tulang. Dia mengamati keris di tangan kanannya. Gagang keris itu berbentuk sebuah kepala naga dan mata keris itu menjadi lidahnya. Keris itu seperti lidah naga, tidak berlekuk namun pamornya mencorong dan mudah diduga bahwa keris itu merupakan sebatang keris pusaka yang ampuh! Dia menemukan warangka (sarung) keris itu di antara reruntuhan tulang, dan diambilnya warangka yang masih baik itu kemudian dimasukkan keris ke dalam warangka.
Setelah itu, dengan obor di tangannya, dia memeriksa dinding ruangan itu. Ternyata di sana terdapat banyak coretan gambar berbentuk manusia dan ada pula tulisan huruf-huruf yang jelas. Dia merasa girang sekali. Ternyata tulisan dan gambar-gambar itu merupakan pelajaran ilmu pencak silat! Gambar-gambar itu merupakan gerakan-gerakan dari jurus-jurus ilmu silat Aji Margopati! Dan tulisan-tulisan ilu mengajarkan berbagai aji kesaktian yang hebat, yang disebut Aji Jerit Nogo dan Aji Tunggang Maruto.
Membaca sepintas saja Satyabrata maklum bahwa Aji Jerit Nogo adalah sebuah aji yang mempergunakan tenaga sakti lewat suara untuk melumpuhkan lawan, sedangkan Aji Tunggang Maruto adalah sebuah aji untuk meringankan tubuh dan berlari cepat. Akan tetapi tiga ilmu ini cukup rumit, perlu penelitian mendalam untuk mempelajarinya dan melatihnya, dan di sudut kiri terdapat tulisan yang mengajarkan cara bersamadhi untuk menghimpun tenaga sakti yang aneh, karena dilakukan dengan jungkir balik, kepala di bawah kaki di atas!
Satyabrata tertarik sekali dan timbul keinginannya untuk mempelajari semua ilmu itu. Dia menduga bahwa ilmu itu tentu sengaja dibuat oleh Resi Ekomolo dahulu. Tiba-tiba obor ditangannya padam. Gelap sekali di situ. Karena minyak obor itu agaknya sudah habis dan tidak dapat dinyalakan lagi, Satyabrata duduk bersila di lantai dan berpikir, bagaimana caranya untuk dapat mempelajari semua ilmu itu. Sampai lama dia duduk melamun dan dia merasa betapa keadaan tidak segelap tadi.
Kini menjadi remang-remang dan bahkan setelah matanya biasa dengan keremangan itu, dia dapat melihat gambar dan tulisan di dinding dengan baik, dan dapat membaca semua tulisan itu. Kiranya ruangan itu mendapat penerangan dari atas. Ada retak retak memanjang di langit-langit batu itu dan sinar matahari dapat masuk melalui celah-celah retakan.
Pada waktu siang, tempat ini tidaklah begitu gelap, pikirnya. Tentu saja kalau mata sudah terbiasa dengan keremangan itu. Pemuda yang cerdik itu lalu membuat rencana. Dia harus dapat mempelajari semua ilmu itu dengan sembunyi. Tidak akan ada orang mengetahui kalau dia masuk ke sumur ini. Akan tetapi kalau dia masuk dengan tali, terdapat kemungkinan ada orang melihat tali itu kalau kebetulan ada yang mendaki bukit, walaupun kemungkinan itu sedikit sekali.
Dia harus dapat masuk dan keluar dari sumur itu tanpa tali. Untuk masuk ke sumur, tidak sukar. Dia dapat melompat turun karena dasarnya dari tanah, tidak mengandung air. Akan tetapi untuk naik tanpa tali itulah yang sukar. Dia lalu mendapat gagasan yang baik. Dia bangkit berdiri, menghunus keris yang ditemukan tadi dan ketika dia menusukkan keris pada dinding sumur, tepat di dasar sumur, senjata runcing itu dapat menembus tanah padas yang keras dengan amat mudahnya!
Ternyata benar dugaannya. Keris itu merupakan senjata yang ampuh sekali. Timbul kegembiraannya dan mulailah dia menusuk dan mencokel dinding padas dari bawah ke atas dengan bergantungan pada tali yang diikatkan pada batang pohon di atas. Dia membuat semacam anak tangga pada dinding padas itu, untuk dipergunakan sebagai panjatan. Dengan adanya anak tangga itu, tanpa talipun dia akan dapat naik turun sumur.
Satyabrata lalu merayap naik melalui lubang-lubang yang dibuatnya pada dinding padas. Dengan mengaitkan jari-jari tangannya dan menginjakkan kakinya pada lubang-lubang itu, dia merayap naik bagaikan seekor kera. Tentu saja untuk merayap seperti itu membutuhkan kekuatan dan kecekatan dan ini dimiliki oleh Satyabrata yang sejak kecil sudah melatih diri dengan olah kanuragan. Setelah tiba di luar sumur, hatinya merasa lega karena tidak ada orang di bukit itu, seperti biasanya.
Tiba-tiba dia teringat bahwa keris itu masih ada padanya, di dalam warangka dan terselip di ikat pinggangnya. Dia teringat bahwa keris itu akan mendatangkan kecurigaan orang yang melihatnya. Tentu akan timbul pertanyaan dari mana dia memperolehnya dan lebih berbahaya lagi kalau ada orang di Jatikusumo yang mengenal keris itu. Dia menduga bahwa keris itu tentulah milik orang yang namanya Priyadi, murid Jatikusumo yang berkhianat itu. Dugaannya ini memang tidak keliru.
Keris itu adalah keris pusaka Kyai Ilat Nogo (Lidah Naga) yang dulu diberikan oeh Adipati Wirosobo kepada Priyadi sebagai hadiah karena pemuda itu membantu gerakan Wirosobo yang menentang Mataram. Mengingat akan bahayanya kalau orang melihat keris itu ada padanya, Satyabrata lalu melempar keris itu kembali ke dalam umur. Biarlah keris itu berada di dasar umur karena sewaktu-waktu dia dapat saja mengambilnya, pikirnya. Dia lalu menarik tali yang tergantung ke dalam sumur, menggulungnya dan menyingkirkannya dari situ.
Demikianlah, mulai hari itu, setiap mendapat kesempatan, Satyabrata tentu memasuki sumur tua itu. Bahkan dia juga membawa uang emasnya dan menyimpannya di dalam sumur tua. Hanya pistolnya yang masih disimpan dan disembunyikan di antara batu batu bukit itu, dipersiapkan kalau-kalau dia membutuhkannya. Setiap kali memasuki sumur, dia mempelajari tulisan dan gambar-gambar itu. Karena tahu bahwa yang menjadi dasar dari semua aji kanuragan adalah tenaga sakti, tanpa dorongan tenaga sakti maka semua aji itu tidak ada gunanya, maka diapun pertam-tama mempelajari cara bersamadhi jungkir balik untuk menghimpun tenaga sakti.
Dengan cara bersamadhi jungkir balik seperti itu dan mengatur pernapasan seperti yang diajarkan oleh tulisan di dinding, Satyabrata mulai dapat menghimpun tenaga sakti secara aneh sekali. Dia dapat membangkitkan tenaga dalam yang muncul dari bawa pusarnya. Kemudian dengan otak yang dialiri banyak darah itu pikirannya menjadi kuat dan dia dapat menggunakan pikirannya untuk menguasai tenaga dalam yang berputar-putar itu sehingga mampu mengalirkan tenaga dalam ini kemanapun kehendaki.
Akan tetapi, tanpa disadarinya, jalan darah ke dalam otaknya yang berlebihan ini yang mengalir secara tidak wajar, juga mendatangkan akibat, sedikit demi sedikit rusak jaringan syarafnya dan mendatangkan kelainan pada pikirannya. Sering kali muncul bayangan-bayangan aneh dalam benaknya yang membuat dia kadang ingin sekali tertawa karena geli dan merasa lucu, dan ada kalanya membuat dia ingin sekali menangis karena sedih dan rasa duka. Bagaimanapun juga, hatinya merasa gembira sekali karena setelah berlatih beberapa bulan lamanya, dia merasa betapa tenaganya bertambah kuat sekali dan kini dia dapat memanjat atau merayap naik turun sumur itu dengan mudah sekali dan dengan kecepatan melebihi seekor kera.
Setelah banyak murid Jatikusumo mulai terusik pikirannya oleh percakapan mereka dengan Satyabrata yang membangkitkan rasa setia kepada daerah mereka dan menganggap bahwa daerah mereka dikuasai dan "dijajah" oleh Mataram, Satyabrata mulai dengan bujukannya tingkat kedua mulai memompakan anggapan dalam pikiran mereka bahwa Kumpeni Belanda bermaksud baik terhadap bangsa di Nusa Jawa.
Mereka datang untuk memberi pendidikan, dan untuk mendatangkan kemakmuran dengan berdagang, membeli rempah-rempah dan hasil bumi! Dia mulai menceritakan tentang kehebatan dan kemajuan bangsa Belanda, tentang kehebatan bedil dan meriam mereka, tentang harta benda dan barang-barang indah mereka, tentang kapal-kapal mereka yang besar, kuat dan mewah.
Pendeknya, dia melempar segala keburukan kepada Mataram dan segala pujian kebaikan kepada Kumpeni Belanda! Akan tetapi, diantara para pendengar itu, terdapat Sakimun yang merasa curiga. Bukan saja dia merasa aneh sekali mendengar nada bicara Satyabrata memburuk-burukkan Mataram dan memuji-muji Kumpeni Belanda, bahkan dia juga melihat sesuatu yang aneh pada sikap pemuda itu. Kadang dia melihat sinar mata pemuda tu mencorong dan mengerikan! Mulailah Sakimun merasa curiga dan mulai dia diam-diam memperhatikan murid baru itu. Dan kecurigaan serta keheranannya bertambah ketika dia melihat pemuda itu apabila sedang berada seorang diri, suka tertawa-tawa sendiri seperti orang yang miring otaknya!
Pada suatu siang Sakimun melihat Satyabrata mendaki bukit larangan itu. Tentu saja dia merasa terkejut dan heran bukan main. Ki Cangak Awu sendiri mengeluarkan larangan keras bagi para murid untuk mendaki bukit itu dan selama ini tidak ada seorangpun murid berani melanggar larangan. Akan tetapi dia melihat murid baru yang mencurigakan itu mendaki bukit itu seorang diri! Sungguh amat mencurigakan sekali! Karena itu, bergegas dia pergi menghadap pemimpin perguruan Jatikusumo.
Pada saat itu, Cangak Awu sedang berada di ruangan tengah bersama Pusposari. Kebetulan sekali mereka memang sedang rnembicarakan murid baru itu, Satya yang tampak sebagai murid yang menyenangkan. Pusposari melaporkan kepada suaminya bahwa Satya itu rajin sekali, tanpa diperintah suka membersihkan rumah dan pekarangan, membantu semua pekerja. Cangak Awu juga bercerita kepada isterinya betapa pemuda itu selain rajin membantu pekerjaan di sawah ladang, juga amat tekun berlatih dasar-dasar ilmu pencak silat Jatikusumo dan tampaknya memiliki bakat yang baik sekali di samping tenaga yang besar.
"Dia kelak akan menjadi seorang murid yang tangguh dan dapat diandalkan," antara lain Cangak Awu memuji. Kedatangan Sakimun yang tiba-tiba menghadap mereka itu mengejutkan suami isteri pimpinan Jatikusumo itu. Apalagi mereka dapat melihat betapa wajah dan pandang mata Sakimun membayangkan kegelisahan.
"Raka Sakimun, kepentingan apakah yang andika bawa maka siang hari begini andika menemui kami?" tanya Ki Cangak Awu. Biarpun dia dan isterinya diangkat menjadi pimpinan, namun pendekar ini selalu bersikap ramah dan hormat kepada orang yang lebih tua dalam perguruan itu. Hal ini membuktikan bahwa para murid Jatikusumo bukan hanya mendapatkan pendidikan olah kanuragan, akan tetapi juga pendidikan tata susila yang baik.
"Rayi Cangak Awu, ada kejadian yang amat aneh dan juga amat mencurigakan terjadi dalam perguruan kita, maka saya cepat datang menghadap untuk melaporkan kejadian itu."
"Ada apakah, Ki-raka? Ceritakanlah!" kata Cangak Awu pendek dan tegas, seperti yang telah menjadi wataknya.
"Saya hendak melaporkan tentang rayi Satya, murid baru itu."
"Raka Sakimun, ada apa dengan Satya? Bukankah dia seorang murid dan pembantu yang amat baik? Cepat ceritakan, ada apakah dengan dia?" tanya Pusposari.
"Akhir-akhir ini, dalam percakapannya dengan para murid lain, rayi Satya dalam kata-katanya bernada menyalahkan Mataram yang dikatakannya menjajah kadipaten kadipaten daerah lain, bahkan bernada membujuk para murid agar membela daerah masing-masing dari penindasan Mataram."
"Ah, benarkah itu, Raka Sakimun?" teriak Cangak Awu kaget.
"Benar, saya mendengarnya sendiri. Juga, selain mernburuk-burukkan Mataram, dia memuji-muji Kumpeni Belanda yang dikatakannya datang membawa kemakmuran kepada rakyat dan membantu rakyat untuk menentang Sultan Agung yang dikatakannya angkara murka."
"Jahanam keparat!" Ki Cangak Aw bangkit dari kursinya dan berdiri dengan marah sambil mengepal tangannya.
"Tenang dan bersabarlah, rakanda!" kata Pusposari yang juga bangkit dan menyentuh lengan suaminya. "Biarkan Raka Sakimun melanjutkan laporannya."
"Apalagi yang perlu dilaporkan? Semua itu sudah cukup!" kata Cangak Awu dengan kasar.
"Masih ada, rayi. Ada yang lebih aneh lagi. Tadi saya melihat rayi Satya mendaki bukit larangan. Karena tidak berani mengikutinya mendaki bukit larangan, maka saya langsung menghadap rayi untuk memberi laporan."
"Cukup! Mari kita pergi, diajeng! Kita harus mengurus bocah itu! Andika juga ikut, Raka Sakimun, untuk menjadi saksi!"
"Akan tetapi, rayi. Saya... tidak berani mendaki bukit...."
"Tidak apa. Sekali ini, bersama kami andika boleh mendaki bukit larangan itu. Mari kita cepat mengejarnya ke sana!" kata Cangak Awu.
Mereka bertiga lalu bergegas menuju ke bagian belakang perkampungan Jatikusuman dan mendaki bukit larangan. Beberapa orang anggauta Jatikusumo yang melihat ini, memandang dengan bengong, akan tetapi mereka tidak berani bertanya. Mereka hanya menduga bahwa pasti terjadi hal yang hebat di bukit keramat itu sehingga suami isteri pimpinan mereka bersama Sakimun mendaki bukit itu dan tampak tergesa-gesa.
Dengan mengerahkan tenaga, tiga orang itu berlari cepat mendaki bukit dan tak lama kemudian mereka sudah berdiri dekat sumur tua, melongok ke dalam sumur. Akan tetapi keadaan di sumur itu biasa-biasa saja, masih sunyi dan ketika melongok ke bawah sumur, masih gelap dan tidak tampak apa-apa. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Mereka bertiga mengamati keadaan sekeliling, akan tetapi sunyi saja.
"Di rnana dia?" tanya Cangak Awu.
"Tidak ada orang di sini," kata Pusposari.
"Akan tetapi saya melihat sendiri dia mendaki bukit ini tadi. Dia pasti berada disini, mungkin lebih ke atas sana," kata Sakimun penasaran.
"Mari kita cari ke puncak bukit," kata Cangak Awu. Mereka bertiga lalu berjalan cepat mendaki ke puncak.
Ketika tiga orang itu pergi, Satyabrata merayap naik keluar dari sumur. Tadi dia sudah mendengar kedatangan mereka, bahkan mendengarkan ucapan tiga orang itu. Dia keluar dari sumur dan cepat bersembunyi di antara batu-batu tak jauh dari sumur dan untuk berjaga diri, dia mengambil pistolnya. Dia tidak berani turun bukit karena kalau hal itu dia lakukan mungkin saja akan tampak dari atas. Dari percakapan mereka bertiga tadi, dia hanya tahu bahwa Sakimun melihat dia mendaki bukit lalu melaporkan kepada suami isteri pimpinan itu yang kemudian mengejarnya.
Mereka tentu belum mengetahui akan semua rahasianya. Kesalahannya hanya melanggar pantangan mendaki bukit itu. Satyabrata menunggu dengan jantung berdebar, pistolnya siap diselipkan di ikat pinggang, tertutup bajunya. Setelah tiba di puncak, tiga orang itu mengamati keadaan sekeliling. Ternyata tidak tampak bayangan seorangpun di seluruh permukaan bukit yang dikeramatkan itu.
"Bagaimana ini, Raka Sakimun? Dia benar-benar tidak berada di bukit ini," tegur Ki Cangak Awu.
"Tentu dia sudah turun lebih dulu. Sebaiknya kita sekarang menemuinya di dalam perkampungan dan kita desak dia agar mengakui semua perbuatannya. Saya yang menjadi saksi, dan saya kira masih banyak murid Jatikusumo yang bersedia menjadi saksi," kata Sakimun penasaran juga.
Mereka menuruni puncak dan ketika mereka tiba di dekat sumur tua, pendengaran Cangak Awu dan Pusposari yang tajam menangkap gerakan orang. Mereka memutar tubuh dengan cepat dan masih sempat melihat berkelebatnya bayangan orang di antara batu-batu tak jauh dari situ.
"Siapa di sana?" Pusposari membentak nyaring. Akan tetapi tidak ada jawaban. Suami isteri itu saling pandang dan dengan pandang matanya, Cangak Awu memberi isyarat kepada isterinya untuk mencari dan menghampiri ke arah kumpulan batu-batu besar itu dari kiri sedangkan dia menghampiri dari kanan sehingga mereka membuat gerakan mengepung dari kanan kiri agar bayangan yang bersembunyi di balik batu-batu itu tidak dapat melarikan diri.
Sakimun tetap berdiri di dekat sumur tua. Akan tetapi ketika suami isteri yang berpencar itu memutari kumpulan batu-batu besar, bagaikan seekor kera gesitnya, Satyabrata berloncatan ke atas batu-batu itu dan langsung menghampiri Sakimun yang berdiri di dekat sumur. Melihat pemuda itu, Sakimun cepat menegur, "Rayi Satya, engkau dicari pimpinan!"
"Raka Sakimun, tentu andika yang membocorkan rahasiaku kepada para pimpinan!" kata Satyabrata dan matanya mencorong aneh ketika dia memandang Sakimun.
"Tentu saja!" Sakimun menjawab dengan berani karena dia memandang rendah kepada murid baru ini yang dianggapnya tidak akan mampu berbuat apa-apa terhadap dirinya. "Engkau telah bersikap seperti pemberontak, memburuk-burukkan Mataram dan memuji-muji Belanda. Engkau malah berani melanggar pantangan mendaki bukit larangan ini!"
Tiba-tiba Satyabrata menyeringai, bukan tersenyum biasa, melainkan menyeringai aneh dan ketika tangan kanannya bergerak, dia sudah mencabut pistolnya dari ikat pinggangnya lalu menodongkannya ke arah dada Sakimun. "Heh-heh, Sakimun, kalau begitu berarti engkau sudah bosan hidup!"
Sakimun terkejut. Dia belum pernah melihat pistol, akan tetapi sudah mendengar akan keampuhan senjata api itu. Maka, melihat dirinya ditodong, dia cepat menerjang dengan loncatan untuk mendahului dan menyerang pemuda itu.
"Darrrr !!" Bunga api berpijar dari mulut pistol dan tubuh Sakimun tersentak ke belakang lalu roboh telentang dan tewas seketika! Satyabrata sering berlatih menembak, namun baru sekali ini dia merobohkan orang dengan tembakan pistolnya. Maka dia lalu menghampiri tubuh Sakimun yang menggeletak di dekat sumur. Dia berjongkok dan sambil menyeringai senang dia melihat dada yang tembus oleh peluru pistolnya itu.
"Satya, murid durhaka! Engkau telah membunuh Raka Sakimun!" terdengar bentakan nyaring di belakangnya. Satyabrata bangkit berdiri dan dengan tenang dia membalikkan tubuhnya dan berdiri berhadapan dengan Cangak Awu yang mengerutkan alisnya, mukanya kemerahan dan sepasang matanya berapi saking marahnya.
"Ah, kiranya Raka Cangak Awu yang datang?" Satyabrata berkata dengan tenang sekali sambil menyeringai.
"Keparat busuk! Engkau memburuk-burukkan Mataram dan memuji-muji Belanda. Kiranya engkau seorang telik-sandi (matamata) Belanda yang terkutuk! Dan engkau telah melanggar pantangan mendaki bukit ini, bahkan telah membunuh seorang murid Jatikusumo! Aku tidak dapat mengampunimu, keparat!"
"Ki Cangak Awu!" kata Satyabrata dengan senyum mengejek berkembang di bibirnya. "Sebaiknya engkau memimpin Jatikusumo untuk membebaskan daerah dari cengkeraman Mataram dan bekerja sama dengan Kumpeni Belanda menentang Mataram. Engkau akan mendapatkan imbalan harta benda yang besar dan kedudukan yang tinggi dan mulia. Atau engkau memilih mati di tanganku!"
Satyabrata menodongkan pistolnya ke arah ketua Jatikusumo itu. Cangak Awu menjadi marah sekali dan dia sudah mengerahkan Aji Gelap Musti dalam kedua tangannya, lalu menerjang dengan mendorongkan kedua tangan ke arah pemuda itu. Akan tetapi dengan tenang Satyabrata sudah membidik dengan pistolnya. Pada saat dia menarik pelatuk pistolnya, sebutir batu sebesar kepalan tangan menyambar dan tepat mengenai tangannya yang memegang pistol.
"Darrr.... !!" Karena batu yang menghantam tangannya, bidikan pistol itu bergoyang dan miring sehingga pelurunya menyimpang dari sasaran. Satyabrata terkejut sekali. Dia lupa akan kehadiran Pusposari yang datang dari arah kirinya. Wanita perkasa ini maklum akan bahaya maut yang mengancam suaminya, maka ia cepat memungut batu dan melontarkan batu itu ke arah tangan Satyabrata yang memegang pistol sehingga bidikan itu meleset dan suaminya lolos dari maut.
Sementara itu, melihat Cangak Awu menyerangnya dengan pukulan kedua tangan yang didorongkan, yang membawa angin pukulan dahsyat, Satyabrata cepat mengerahkan tenaga yang dilatihnya didalam sumur dan diapun menyambut dorongan kedua tangan lawan itu dengan kedua tangannya sendiri.
"Wuuuttt dessss !!" Tubuh Satyabrata terlempar ke belakang, ke dekat sumur. Dia terkejut dan kecerdikannya membuat dia maklum bahwa walaupun pertemuan tenaga itu tidak membuat dia terluka parah, namun dia tahu bahwa dia tidak akan menang melawan ketua Jatikusumo ini, apalagi masih ada isterinya yang juga kabarnya amat digdaya. Dia tidak akan mampu melarikan diri. Karena itu, ketika tubuhnya terpental ke dekat sumur dia membuat seolah dirinya terguling dan terjatuh kedalam sumur!
Pusposari cepat menghampiri suaminya yang agak terhuyung ke belakang. Wajah Cangak Awu agak pucat dan napasnya agak terengah. Cepat ketua. Jatikusumo ini duduk bersila dan mengatur pernapasannya untuk memulihkan kesehatannya, agar isi dadanya tidak terluka oleh guncangan hebat tadi. Setelah merasa bahaya telah lewat, dia menghela napas panjang dan bangkit berdiri.
"Bagaimana, kakangmas?" tanya Pusposari. Cangak Awu menggeleng kepala perlahan.
"Tidak apa-apa, akan tetapi sungguh tidak pernah menyangka bahwa si Satya itu ternyata memiliki tenaga sakti yang cukup kuat. Syukur bahwa Aji Gelap Musti agaknya dapat merobohkannya."
"Dia terpental dan terguling ke dalam sumur," kata Pusposari. Keduanya lalu menghampiri sumur dan menjenguk ke dalam. Gelap dan sunyi saja.
"Kukira dia tentu tewas. Ketika memukul tadi, aku mengerahkan seluruh tenagaku. Dia terjerumus ke dalam sumur ini, tidak mungkin dapat bertahan hidup. Andaikata masih hidup sekalipun, dia tidak akan dapat keluar dari sumur dan akan mati kelaparan. Biarlah rohnya yang sesat itu menjadi roh penasaran bersama para pengkhianat yang lain," kata Cangak Awu.
Dia melihat pistol yang tadi dipergunakan Satyabrata menggeletak di dekat sumur. Dia mengambil senjata api itu kemudian dengan pengerahan tenaga dia membanting benda itu ke dalam sumur. Kalau Satyabrata berada tepat di dasar sumur dan kepalanya terkena hantaman pistol dari atas itu, tentu akan pecah kepalanya!
Cangak Awu lalu menghampiri tubuh Sakimun yang menggeletak dekat sumur. Setelah memeriksanya sejenak dan mendapat kenyataan bahwa orang itu telah tewas, Cangak Awu lalu memondong mayat itu dan mengajak isterinya meninggalkan bukit larangan itu.
Para murid Jatikusumo menjadi gempar ketika melihat ketua mereka turun dari bukit larangan memondong Sakimun yang sudah menjadi mayat. Setelah jenazah itu dirawat, Cangak Awu mengumpulkan semua murid ke ruangan pendopo yang luas. "Para raka dan rayi sekalian!" katanya dengan suara lantang berwibawa. "Kami sudah tahu bahwa di antara kalian ada yang sudah mendengar kata-kata yang diucapkan murid baru Satya yang pada dasarnya bernada menghasut, memburuk-burukkan Mataram dan di samping itu memuji-muji Kumpeni Belanda. Ucapan-ucapannya itu menunjukkan bahwa dia seorang pengkhianat dan ketahuilah kalian bahwa setelah kami menyelidikinya, ternyata Satya itu adalah seorang telik-sandi Kumpeni Belanda yang sengaja menyelundup ke sini dan menjadi murid perguruan kita!"
Terdengar desah dari banyak mulut itu. "Diapun melanggar larangan, mengunjungi bukit larangan yang agaknya akan dijadikan tempat persembunyiannya. Setelah kami memergokinya di sana, dia tidak membantah bahwa dia telik-sandi Kumpenl Belanda, malah dia menggunakan senjata api pistol untuk membunuh Raka Sakimun!" Kembali terdengar desahan dan gumam penasaran dan kemarahan di antara para murid Jatikusumo.
"Diapun berniat membunuh kami dengan pistolnya. Beruntung bagi kami bahwa Gusti Allah masih melindungi kami sehingga kami berhasil merobohkannya dan dia terjerumus ke dalam sumur tua. Rohnya yang jahat tentu berkumpul dengan roh-roh jahat lainnya, membuat sumur tua itu menjadi semakin angker. Karena itu kami peringatkan sekali lagi, jangan ada murid Jatikusumo yang mendaki bukit larangan itu. Dan kalian tahu sekarang bahwa semua hasutan Satya itu adalah siasat busuk Kumpeni Belanda, maka kami harap kalian waspada dan jangan sampai dapat terbujuk omongan seperti yang diucapkan pengkhianat Satya itu. Ingat akan janji dan persyaratan Jatikusumo. Pertama, menjadi pendekar yang membela kebenaran dan keadilan menentang kejahatan dan kedua, setia membela Mataram!"
Demikianlah peristiwa hebat yang terjadi kurang lebih empat lima tahun yang lalu di perkampungan Jatikusuman itu. Peristiwa itu sudah mulai dilupakan orang setelah lewat beberapa tahun itu. Peristiwa yang dilanjutkan larangan keras untuk mendaki bukit itu membuat tempat larangan itu semakin angker dan tiada seorangpun berani lancang mendaki bukit itu, apalagi mendekati sumur yang dianggap menjadi tempat tinggal roh-roh penasaran para pengkhianat yang jahat itu. Dan keadaan ini sungguh amat menguntungkan Satyabrata.
Orang-orang Jatikusumo sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pemuda yang mereka kenal sebagai Satya itu sesungguhnya sama sekali belum tewas! Ketika pistolnya terlepas dari tangannya karena sambaran sebuah batu, Satyabrata yang melihat dirinya diserang pukulan sakti Cangak Awu, cepat mengerahkan tenaga saktinya untuk menyambut. Pada waktu itu dia telah berlatih menghimpun tenaga sakti dengan cara samadhi jungkir balik dan secara aneh telah terhimpun tenaga dalam yang luar biasa dan dahsyat dalam dirinya.
Maka, ketika dia mengerahkan tenaga menyambut aji pukulan Gelap Musti dari perguruan Jatikusumo, dia mampu menahan pukulan lawan yang hanya membuat dia terpental dan dengan cerdik, dia lalu menggulingkan diri masuk ke dalam sumur tua. Dia sama sekali tidak tertuka dan setelah tiba di. dasar sumur dia mendengar ucapan Cangak Awu yang bicara dengan isterinya. Ketika Cangak Awu membanting pistol ke dalam sumur, Satyabrata dapat melihat dari bawah dan dia cepat menyelinap ke dalam terowongan sehingga sambitan pistol itu tidak mengenai dirinya.
Mulai hari itu, Satyabrata dengan tekun mempelajari semua ilmu yang tertulis dan terlukis di dinding bawah tanah. Kalau siang dan keadaan dalam ruangan bawah tanah itu cukup terang, dia berada di dalam sumur dan mempelajari serrdua ilmu itu. Kalau malam dia berada di luar sumur dan melewatkan malam di dalam guha di balik puncak. Dia merasa aman karena tidak pernah ada orang berani mendaki bukit itu. Untuk makannya setiap hari, dia mempergunakan ilmunya mendatangi telik-sandi Kumpeni Belanda di Pacitan tanpa diketahui orang dan membawa bekal makanan dari sana.
Demikianlah, sampai bertahun-tahun dia mempelajari ilmu-ilmu itu sehingga Satyabrata menjadi seorang pemuda yang sakti mandraguna dan berbahaya sekali. Akan tetapi karena dia menjalani latihan menghimpun tenaga sakti secara sesat, ada akibat sampingan yang amat hebat pula. Pemuda itu kini menjadi seorang yang terkadang berwatak aneh seperti orang gila! Dan dia menyimpan dendam terhadap Perguruan Jatikusumo, terutama kepada Cangak Awu dan Pusposari yang mengalahkannya. Niatnya yang pertama adalah membunuh kedua orang itu setelah dia selesai mempelajari semua ilmu itu, selain untuk melampiaskan dendamnya, juga untuk memenuhi tugasnya yang dibebankan kepadanya oleh ayah angkatnya, Willem Van Huisen!
Kita kembali mengikuti perjalanan Parmadi. Baru pertama kali "turun gunung" berpisah dari gurunya, pemuda itu sudah. mengalami guncangan batin yang berat berturut-turut. Pertama mendengar akan kematian ayah Muryani dan juga gurunya, Ki Ronggo Bangak, dan kepergian Muryani tanpa ada yang mengetahui ke mana, Kemudian, ketika berkunjung ke dusun Pancot, dia mendengar dari Pak Jambi Pece tentang kematian ayah dan ibu kandungnya dan mendengar bahwa Ki Wiroboyo pernah berbuat kurang ajar terhadap mendiang ibunya sehingga Ki Wiroboyo patut dicurigai tentang pembunuhan terhadap ayah ibunya itu.
Dia menuruni lereng Gunung Lawu sebelah barat dan menggunakan ketangkasannya untuk berjalan cepat menuruni jurang-jurang yang dalam dan mendaki tebing-tebing yang curam. Karena perjalanan itu amat sukar, maka setelah matahari condong ke barat, dia masih belum tiba di kaki gunung, melainkan tiba di lereng agak ke bawah. Tibalah dia di sebuah dusun dan karena hari sudah mulai remang-remang, dia mengambil keputusan untuk melewatkan malam di dusun itu. Akan tetapi ketika dia mulai memasuki dusun, dia melihat keadaan yang amat aneh.
Dusun itu hanya mempunyai sekitar tiga puluh rumah. Rumah-rumah sederhana kaum tani. Ketika tadi hendak memasuki dusun Parmadi melihat sebuah candi berdiri di atas sebuah bukit kecil yang berada di luar dusun, tidak jauh dari dusun itu. Bangunan candi yang cukup besar itu tampak angker dan menyeramkan. Akan tetapi Parmadi hanya melihatnya dari jauh dan dia langsung memasuki dusun. Begitu memasuki dusun, terasalah suasana yang aneh itu.
Hari belum gelap benar, baru menjelang senja, akan tetapi keadaan dusun itu sunyi sekali. Terdengar berkokoknya ayam dan beberapa kali ada suara kambing mengembik. Akan tetapi tidak terdengar suara manusia, juga tidak tampak bayangan manusia. Rumah-rumah sederhana ini tidak ada yang terbuka pintu ataupun jendelanya, semua tertutup rapat. Anehnya, tidak tampak ada penerangan sedikitpun dari rumah-rumah itu.
Akan tetapi, walaupun keadaan demikian sunyi dan tidak tampak adanya seorangpun manusia, Parmadi dapat merasakan bahwa ada banyak pasang mata mengintainya dari rumah-rumah itu. Bahkan dia sempat melihat bayangan di balik dinding bambu rumah-rumah itu dan pendengarannya yang tajam dapat menangkap gerakan dari dalam rumah. Dalam rumah-rumah sederhana itu bukan tidak ada orangnyai. Akan tetapi mereka agaknya sengaja bersembunyi, dan tidak ada yang menyalakan penerangan. Agaknya semua orang ketakutan melihat dia datang!
Tentu saja keadaan ini membuat Parmadi merasa penasaran dan heran sekali. Mengapa orangorang dusun itu ketakutan melihat dia datang? Mengapa mereka semua bersembunyi dan tidak ada yang berani menyalakan penerangan? Padahal selama hidupnya belum pernah dia datang ke dusun itu dan tidak mengenal seorangpun dari penduduk di situ. Parmadi berhenti di depan sebuah rumah yang dilihatnya paling besar di antara rumah-rumah di situ. Kalau rumah lain terbuat dari dinding anyaman bambu, rumah ini dindingnya dari papan kayu dan ukurannya juga lebih besar. Dia memasuki pekarangan dan berdiri di depan rumah itu.
Dia merasa penasaran sekali. Andaikata penduduk dusun itu tidak mau menerimanya dan tidak mau memberinya tempat untuk menginap malam itu, dia tidak perduli. Dia dapat tidur di mana saja, di bawah pohon atau bahkan di tempat terbuka mana saja. Akan tetapi sikap mereka itu membuatnya heran dan penasaran. Mengapa mereka semua bersembunyi, seolah dia dianggap iblis yang menakutkan?
Biarpun dalam rumah besar itupun gelap, namun Parmadi dapat mendengar gerakan gerakan orang di dalamnya. Dia tahu bahwa di dalam rumah itu terdapat eukup banyak orang. Bahkan dia mendengar suara berbisik-bisik. Kemudian terdengar anak kecil menangis dan suara wanita berbisik-bisik menyuruhnya diam. Menghadapi semua ini, Parmadi tidak kuat menahan keinginan tahunya. Dia harus tahu apa yang terjadi sehingga orang-orang sedusun takut kepadanya! Dengan hati tetap dia menghampiri pintu depan dan mengetuknya perlahan.
"Tok-tok-tok....!" Tidak terdengar jawaban dan ada beberapa orang bersuara "sstt卻sttt�. ssttt....!" memberi tanda agar semua orang diam.
Hal ini tentu saja membuat Parmadi menjadi semakin penasaran. Dia mengetuk lagi daun pintu itu lebih kuat dan disambung dengan seruannya. "Tok-tok-tok! Saya tahu andika sekalian berada di dalam. Harap suka membuka pintu. Saya bukan orang jahat! Saya adalah seorang tamu dari luar dusun dan saya ingin bicara dengan andika sekalian!"
Hening sekali setelah Parmadi mengeluarkan seruan ini. Lalu terdengar lagi suara berbisikbisik di dalam seolah ada beberapa orang yang sedang berunding. Tak lama kemudian terdengar suara yang besar parau, suara laki-laki dewasa dan suara itu agaknya digagah-gagahkan akan tetapi tetap saja mengandung getaran tanda ketakutan. "Kami mohon agar andika mencari korban di lain tempat saja. Kalau andika memaksa, kami akan nekat melakukan perlawanan. Harap andika pergi sekarang juga!"
Tentu saja Parmadi menjadi bengong karena heran. Mencari korban? Apa yang mereka maksudkan? "Andika sekalian keluarlah. Mari kita bicara dengan baik-baik. Saya tidak mencari korban apapun juga!"
Kembali hening sesaat. Kemudian, tiba-tiba daun pintu dibuka dari dalam dan lima orang laki-laki yang membawa senjata, ada yang memegang tombak, ada yang membawa parang, berlompatan dari dalam dan tanpa berkata apa-apa lagi mereka menerjang dan menyerang Parmadi kalang-kabut! Tentu saja Parmadi merasa terkejut bukan main. Akan tetapi dia juga tidak ingin menjadi bulan-bulanan serangan mereka. Andaikata dia dapat melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan, dia tidak akan mampu mencegah pakaiannya rusak dan robek-robek oleh senjata-senjata itu.
Sebatang tombak yang panjang lebih dulu meluncur ke arah perutnya. Parmadi miringkan tubuh. Ketika tombak itu meluncur di samping perutnya, cepat tangan kirinya menangkap tombak dan kaki kanannya menyambar ke arah si pemegang tombak dan diapun menarik tombak itu dengan sentakan. Tombak itu telah berpindah ke tangannya. Ketika dua batang parang, sebilah keris dan sebatang tombak menyambar, dia mempergunakan tombak yang dirampasnya itu, digerakkan dengan pengerahan tenaga menangkis.
"Traeng-traagg-trang-trang...." Empat batang senjata para pengeroyok itu beterbangan terlepas dari tangan mereka. Parmadi lalu menggunakan kedua tangannya, menekuk nekuk patah tombak itu seperti orang mematahkan sebatang lidi saja! Melihat ini, lima orang laki-laki itu menjadi pucat, mata mereka terbelalak dan kaki mereka menjadi lemas. Mereka jatuh bertekuk lutut dan menyembah-nyembah ketakutan. Seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang berpakaian lebih rapi daripada yang lain, dengan suara gemetar dan tubuh menggigil menyembah dan berkata dengan hormat,
"Pukulun, mohon paduka sudi mengampuni kami orang-orang dusun yang miskin dan papa. Hamba semua berjanji akan memuja paduka dan kasihanilah hamba, bebaskan anak-anak hamba agar jangan dijadikan korban.... "
Mengertilah Parmadi bahwa ada kekeliruan di sini. Dia disangka orang lain, atau bahkan dia disangka makhluk lain, bukan manusia! Hal ini terbukti dari sebutan orang tua itu kepadanya yang memanggilnya dengan sebutan "pukulun", sebutan yang biasanya diberikan kepada para dewa! Dia tersenyum.
"Paman yang baik, dan saudara-saudara sekalian. Agaknya andika semua telah salah mengenal orang! Harap andika sekalian bangkit dan marilah kita bicara dengan baik. Saya sama sekali bukan orang yang berniat jahat. Kebetulan saja saya lewat di sini dan hanya membutuhkan tempat untuk melewatkan malam. Silakan andika sekalian bangkit berdiri."
Orang setengah tua yang agaknya menjadi pemimpin di antara mereka itu mengangkat muka dan memandang wajah Parmadi, ragu-ragu. "Andika... andika bukan utusan... Sang Pukulun Syiwamurti....?"
Parmadi tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Saya manusia biasa, bukan utusan dewa manapun, paman. Bangkitlah dan mari kita bicara. Saya ingin sekali mengetahui apa yang terjadi didusun ini dan mengapa pula andika sekalian bersikap begini aneh, menyerang seorang tamu yang baru datang seperti saya ini."
Agaknya lima orang itu baru mau percaya. Didahului oleh orang setengah tua itu, mereka semua bangkit berdiri dan berani menatap wajah Parmadi. "Maafkan sikap kami tadi, kisanak. Kami tadi mengira andika datang hendak menjemput korban..." kata orang tua yang bertubuh tinggi kurus itu.
"Mari silakan masuk ke dalam rumah Kita bicara di dalam saja."
Parmadi mengikuti lima orang itu memasuki rumah dan dia melihat dalam keremangan rumah itu bahwa ada beberapa orang wanita dan kanak-kanak mengintai dari ruangan dan kamar lain. Dalam ruangan itu terdapat beberapa buah kursi kayu dan Parmadi dipersilakan duduk. Parmadi duduk berhadapan dengan lima orang itu.
"Paman, mengapa paman tidak menyalakan lampu penerangan? Sungguh tidak enak duduk bercakap-cakap dalam cuaca gelap begini," kata Parmadi.
"Menyalakan lampu? Ah, jangan... kami... kami takut..." kata orang itu, juga yang lain mengeluarkan suara tidak setuju dan mereka semua ketakutan.
Parmadi menjadi semakin penasaran. Orang-orang dusun ini semua merasa takut akan sesuatu yang mengerikan, pikirnya. Diapun tidak mendesak mereka untuk menyalakan lampu. "Paman, sebetulnya apakah yang terjadi di dusun ini? Kenapa semua rumah menutup pintu dan tidak menyalakan penerangan? Juga mengapa paman sekalian tampak ketakutan, bahkan tadi menyerang aku tanpa alasan? Apa artinya semua ini?"
"Sebelum kami menjawab pertanyaanmu dan menerangkan segalanya kepadamu, kami ingin mengetahui lebih dulu siapa andika, kisanak, dan keperluan apakah yang membawa andika datang ke dusun Sukuh ini?"
Parmadi hanya kebetulan lewat di dusun itu dan dia tidak ingin namanya dikenal, apalagi menghadapi peristiwa aneh yang agaknya harus dicampurinya. Dia harus membantu para penduduk yang ketakutan itu menghadapi sesuatu yang agaknya mengerikan. Dan untuk itu dia pikir tidak perlu memperkenalkan dirinya. Gurunya, Resi Tejo Wening, pernah berpesan kepadanya bahwa kalau dia turun tangan menolong orang, dia tidak perlu menonjolkan namanya, bahkan lebih baik kalau yang dia tolong itu tidak mengenal namanya!
"Saya adalah seorang perantau, paman dan hanya kebetulan saja saya lewat di dusun ini dan kemalaman. Karena itu saya ingin melewatkan malam ini di sini, mohon kebaikan hati seorang diantara penduduk untuk memberi sekedar sehelai tikar untuk saya tidur. Nama saya? Sebut saja saya Seruling Gading, paman. Nah, sekarang harap paman suka menceritakan semua keanehan ini kepada saya. Siapa tahu saya akan dapat membantu andika sekalian untuk membikin terang semua kegelapan ini."
"Sesungguhnya, anakmas!" kata orang setengah tua itu dan suaranya mengandung penuh harapan. "Setelah mengetahui bahwa andika bukan lawan melainkan kawan, dan melihat bahwa andika seorang yang sakti mandraguna, kami seluruh warga dusun Sukuh ini mengharapkan pertolongan andika. Ketahuilah bahwa dusun kami ini sedang menghadapi malapetaka yang besar sekali, agaknya kami menerima amarah para dewa sehingga kami dikutuk."
"Tidak. ada dewa mengutuk manusia, paman. Kalau ada suatu akibat terjadi, pasti ada sebabnya dan kita berkewajiban untuk mencari tahu dan melenyapkan penyebabnya itu. Nah, ceritakanlah. Apa yang telah terjadi?"
"Saya akan memperkenalkan diri lebih dulu, anak-mas Seruling Gading. Saya bernama Gitosani dan saya diangkat oleh penduduk di dusun Sukuh ini menjadi kepala dusun karena saya dianggap sebagai sesepuh yang sudah tinggal di sini sejak eyang buyut saya. Bahkan nenek moyang saya menjadi juru kunci dari Candi yang menjadi tempat pemujaan kami untuk, mohon berkah keselamatan, kesuburan, kesehatan, rejeki dan semua kebutuhan kami. Kemudian tiba-tiba datang malapetaka itu, malapetaka yang mengerikan...."
Lurah Gitosani menggigil dan semua orang yang berada di situ juga ketakutan seolah-olah hawa dalam ruangan itu tiba-tiba menjadi dingin sekali. Dari dalam kamar di sebelah kiri terdengar suara bayi menangis, akan tetapi agaknya mulut bayi itu segera dijejali puting susu ibunya karena ia terdiam dengan cepat.
"Hemm, ceritakanlah saja, paman Gitosani dan jangan takut. Ada saya di sini yang akan menjaga keselamatan semua orang," kata Parmadi dan suaranya yang tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri terdengar amat menghibur bagi semua orang itu.
"Terjadinya dimulai dengan datangnya dua orang di dusun ini, kurang lebih satu bulan yang lalu. Seorang kakek tinggi besar seperti raksasa menyeramkan yang mengaku bernama Koloyitmo bersama seorang anaknya perempuan bernama Nini Maya Dewi yang cantik seperti dewi kahyangan. Mereka berdua memasuki candi dan mendudukinya, tidak mau keluar dari candi. Kakek yang bernama Resi Koloyitmo itu mengaku bahwa dia titisan Sang Bathara Kolo dan dia bilang bahwa dia sengaja memilih Candi Sukuh untuk tempat tinggalnya sementara waktu. Kami berusaha mengusirnya, akan tetapi kakek dan anaknya itu sakti mandraguna. Belasan orang dari kami diterbangkan angin ketika hendak menyerangnya. Bahkan anak perempuan itu mengancam akan membunuh kami semua kalau kami berani mengganggu mereka."
Parmadi mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, agaknya kalau mereka tidak diganggu, mereka tidak akan berbuat apa-apa, bukan?"
"Mula-mula mereka memang hanya minta dikirim sesajen sehari tiga kali, nasi dan lauk pauknya, juga minuman untuk mereka. Akan tetapi tak lama kemudian, seminggu yang lalu, Resi Koloyitmo itu minta agar diberi korban seorang perawan."
"Hemmm... ini sudah keterlaluan!" kata Parmadi mulai merasa tidak senang hatinya. "Lalu bagaimana?"
"Tentu saja kami menolak permintaannya yang aneh itu. Akan tetapi, Resi Koloyitmo diam saja dan tidak marah oleh penolakan kami dan kami hanya berjaga-jaga dengan khawatir. Dan malam harinya, seorang anak perawan dusun kami lenyap! Ada seorang warga dusun yang kebetulan keluar dari rumahnya malam itu melihat betapa perawan itu berjalan setengah berlari menuju ke candi dan ketika ditegur tidak menjawab. Kami mengerahkan seluruh tenaga laki-laki didusun ini dan pergi ke candi, menuntut kembalinya gadis itu. Akan tetapi Resi Koloyitmo mengatakan bahwa perawan itu sudah dipilih oleh Sang Bathara Kolo dan kami disuruh pulang. Kami nekat hendak menyerbu ke dalam candi mencari gadis itu. Akan tetapi kembali kami roboh berpelantingan oleh sihir ayah dan anak itu."
"Hemm, begitukah? Dan mengapa andika sekalian tidak berani menyalakan penerangan dan bersembunyi dalam kegelapan?"
"Dua malam yang lalu, kembali seorang perawan dusun ini menghilang dan menurut mereka yang sempat melihatnya, terjadinya lebih aneh lagi. Mereka, ada tiga orang saksi, melihat betapa gadis itu menunggang seekor macan loreng besar menuju ke candi itu! Nah, mulai malam itulah, kami semua tidak berani membuka pintu kalau sudah senja dan tidak berani menyalakan penerangan agar macan utusan dewa itu tidak dapat masuk rumah dan tidak dapat melihat sehingga tidak akan dapat menculik anak-anak gadis kami."
Parmadi mengerutkan alis dan memejamkan mata. Keadaan ayah dan anak itu sungguh mencurigakan! "Akan tetapi malam ini bulan bersinar terang. Mungkin bulan purnama karena tadi malam bulan juga sudah penuh," kata Parmadi. "Tanpa adanya lampu peneranganpun, malam tidaklah begitu gelap."
"Itulah yang kami khawatirkan. Tadi malam langit mendung sehingga bulan terhalang dan malam gelap. Akan tetapi malam ini.... "
"Jangan khawatir, paman. Saya akan melakukan penjagaan malam ini dan kalau iblis itu berani muncul, akan saya hadapi dan usir dia!" kata Parmadi.
"Bukan iblis, anakmas, melainkan dewa..."
"Dewa berkewajiban melindungi, bukan mengganggu manusia. Yang mengganggu manusia hanya iblis. Sekarang, mari kita serukan kepada semua rumah agar menyalakan penerangan agar lebih mudah bagi saya untuk melakukan perondaan dan dapat melihat jelas kalau terjadi sesuatu."
"Akan tetapi...." Ki Gitosani berkata ragu dan takut.
"Sudahlah, paman. Percaya dan serahkan kepada saya. Lebih baik sekarang kita memelopori semua penduduk dan menyalakan lampu di rumah ini agar mereka juga menjadi berani."
Karena sikap Parmadi yang tegas dan tenang, akhirnya Ki Gitosani menyalakan lampu-lampu di rumah itu. Kemudian, ditemani Parmadi, lima orang laki-laki itu lalu berjalan dari rumah ke rumah, berseru kepada pemilik rumah untuk menyalakan lampu.
"Saudara-saudara, nyalakan lampu-lampu di setiap rumah! Jangan takut! Ada anakmas Seruling Gading yang akan melindungi kita!" seru Ki Gitosani.
"Seruling Gading?" Semua orang membisikkan nama ini, merasa heran dan ingin tahu siapa orangnya yang berani melindungi mereka dari ancaman "dewa" yang mengerikan itu, yaitu Sang Bathara Kolo! Yang agak pemberani keluar dari pintu rumah untuk melihat orang bernama Seruling Gading itu, yang penakut mengintai dari balik pintu. Mereka menjadi ragu ketika melihat betapa yang dijagokan untuk melindungi mereka itu hanya seorang pemuda tampan yang sikapnya amat sederhana.
Mulailah mereka merasa ngeri dan takut kalau-kalau dewa yang kini berada dicandi itu akan makin marah dan mengamuk. Biarpun mereka sudah menyalakan lampu, akan tetapi setelah melihat Parmadi yang berjalan bersama Ki Lurah Gitosani dan empat orang laki-laki lain, mereka mulai menutupi daun-daun pintu lagi dan menanti dalam rumah dengan jantung berdebar tegang dan takut.
Malam itu langit bersih. Ketika bulan purnama muncul, cuaca menjadi terang. Terang-terang redup dan sejuk. Angin malam semilir lembut. Biasanya, pada malam bulan purnama seperti itu, anak-anak banyak yang bermain-main di luar, suara mereka menembang dolanan mendatangkan kesyahduan pada malam bulan purnama. Akan tetapi malam ini tidak ada yang keluar rumah.
Jangankan anak-anak, orang tuapun tidak ada yang berani keluar pintu, bahkan semua pintu rumah ditutup rapat. Akan tetapi, yang agak pemberani mulai mengintai dari celah-celah pintu atau jendela untuk dapat melihat keadaan di luar. Suasana amat sunyi. Tidak ada suara manusia. Hanya suara angin lembut berdesah di antara daun-daun pohon yang bergoyang-goyang seperti hidup, mengiringi bunyi kutu-kutu walang atogo (serangga-serangga yang berbunyi di waktu malam). Bahkan Ki Gitosani sendiripun tinggal di dalam rumah dengan daun pintu tertutup karena demikianlah yang dikehendaki Parmadi.
Untuk memudahkan penjagaannya, dia minta agar semua orang tinggal di rumah dengan pintu tertutup. Parmadi sendiri berada di luar. Tadi dia sudah dijamu makan malam oleh keluarga Ki Gitosani. Dia menitipkan buntalan pakaiannya kepada kepala dusun itu, kemudian dia keluar hanya berkalung sarung dan membawa seruling gading yang diselipkan di pinggangnya.
"Menurut laporan penjaga, andika bernama Satya dan ingin menjadi murid Perguruan Jatikusumo. Dari manakah andika berasal?" tanya Ki Cangak Awu.
"Saya berasal dari Kabupaten Kendal, paman," kata Satyabrata, sengaja mengaku dari Kendal yang dia sudah pelajari logat bicaranya dan dia sudah mempelajari pula keadaan kabupaten itu.
Cangak Awu mengangguk-angguk. Pada waktu itu, yang menjadi Bupati Kendal adalah Ki Baurekso yang juga menjadi seorang senopati Mataram yang setia. "Kenapa andika ingin menjadi murid Jatikusumno? Apa yang kau ketahui tentang Jatikusumo?"
"Saya hanya mengetahui bahwa Perguruan Jatikusumo dipimpin oleh paman Ki Cangak Awu dan bibi Pusposari yang sakti mandraguna dan bahwa Jatikusumo mengajarkan ilmu-ilmu pencak silat dan aji kanuragan yang ampuh kepada para muridnya. Karena itu jauh-jauh saya datang ke sini untuk mohon diterima menjadi murid, paman," kata Satyabrata dengan suara lembut dan sikap hormat dan manis budi.
Cangak Awu saling pandang dengan Pusposari. Mereka berdua tertarik oleh gaya bicara dan sikap pemuda itu. "Akan tetapi tidak mudah untuk menjadi murid dan anggota keluarga besar Jatikusumo, Satya.
Berat syarat-syaratnya!" kata Pusposari sambil menatap wajah tampan itu dengan tajam penuh selidik.
"Saya siap menerima semua syarat dan sanggup melaksanakannya, bibi."
"Satya, pernahkah engkau mempelajari aji kedigdayaan?" tiba-tiba Cangak Awu bertanya.
"Belum, paman." Tiba-tiba Cangak Awu mendorongkan telapak tangan kirinya ke arah pemuda itu. Serangkum angin pukulan menyambar ke arah Satyabrata. Pemuda ini diam-diam terkejut, akan tetapi dia amat cerdik. Dia merasa yakin bahwa seorang ketua perguruan seperti Cangak Awu tidak mungkin akan mencelakai orang yang tidak diketahui kesalahannya, maka diapun menerima saja ketika diserang angin pukulan itu. Tubuhnya terjengkang dan bergulingan ke belakang. Akan tetapi dia tidak terluka dan dia tahu bahwa ketua itu sengaja mengujinya untuk melihat apakah benar dia tidak pernah mempelajari ilmu bela diri. Diapun pura-pura terkejut dan ketakutan. Setelah bangkit dan bersila di tempat dia menyembah.
"Paman, mengapa paman melakukan itu? Apa kesalahan saya?" tanyanya dengar wajah heran dan penasaran, juga takut-takut.
Cangak Awu tertawa lalu menggapai, "Majulah dan duduk di tempatmu tadi, Satya. Aku hanya ingin melihat apakah benar engkau tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan. Nah, sekarang tentang syarat-syarat itu. Kalau engkau sanggup melaksanakan syarat-syarat itu, engkau dapat kami terima menjadi murid Jatikusumo."
Satyabrata memperlihatkan muka girang. "Apakah syarat-syarat itu, paman?"
"Ada dua syarat utama yang harus dilaksanakan setiap murid Jatikusumo. Pertama, dia harus selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, Dan kedua, dia harus selalu membela Kerajaan Mataram. Kalau sebagai murid Jatikusumo kelak engkau melanggar dua syarat ini, engkau akan menerima hukuman mati oleh pimpinan Jatukusumo. Nah, sanggupkah engkau menerima dan melaksanakan dua syarat itu?"
Dengan suara tegas Satyabrata menjawab, "Saya terima dan saya sanggup melaksanakan, kanjeng paman!"
Demikianlah, Satyabrata diterima menjadi murid Jatikusumo. Dia diperbolehkan mengikuti latihan pencak silat dari perguruan itu, tentu saja sebagai permulah hanya mempelajari dan melatih dasar-dasar gerakan ilmu pencak silat Jatikusumo. Semua berjalan dengan baik dan lancar karena Satyabrata pandai membawa diri, rajin berlatih, juga rajin bekerja di sawah ladang seperti para murid lain.
Di belakang perkampungan Jatikusumo terdapat perbukitan dan di lereng sebuah bukit terdapat sebuah sumur tua. Bukit kecil dan sumur tua ini merupakan daerah yang dianggap keramat bahkan menjadi larangan bagi para murid Jatikusumo untuk mengunjunginya. Karena tidak ada orang berani datang ke situ, maka daerah bukit kecil dengan sumur tuanya itu terkenal angker dan menakutkan. Bahkan ada desas-desus di antara para murid Jatikusumo bahwa ada roh-roh penasaran liaran di perbukitan itu, berasal dari sumur tua dan roh-roh penasaran ini suka mengganggu orang.
Satyabrata tertarik sekali mendengar tentang sumur tua di bukit belakang perkampungan itu. Setelah tinggal di perkampungan Jatikusumo selama tiga bulan, dia dapat akrab dengan para murid lain karena dia pandai mengambil hati dan pandai membawa diri. Semua orang, termasuk Cangak Awu dan Pusposari, menganggap dia seorang pemuda yang rajin, ramah dan menyenangkan. Mulailah Satyabrata memancing-mancing percakapan dengan murid-murid tertua, mengarahkan percakapan kepada gerakan yang dilakukan Mataram untuk menundukkan semua kadipaten di Jawa Timur, termasuk Madiun dan Pacitan sendiri.
Dia memancing dengan halus dan tidak kentara untuk melihat apakah para murid yang menjadi kawula Kadipaten Madiun dan Pacitan itu rela melihat daerah mereka kini dikuasai Mataram. Dengan percakapan yang nadanya miring ini perlahan-lahan Satyabrata berhasil mengusik hati para murid yang sebagian besar berasal dari daerah-daerah di Jawa Timur dan yang daerahnya sudah dikuasai Mataram. Ia berhasil menimbulkan kesan bahwa Mataram bersikap angkara murka dengan menaklukkan semua daerah kadipaten itu.
Melihat keadaan bukit kecil dengan sumur tua yang dianggap angker itu demikian sepi tak pernah dijenguk manusia, Satyabrata segera memanfaatkannya. Diam-diam dia seringkali mendaki bukit itu dan melakukan penyelidikan. Sumur tua itu tak tampak dasarnya dan memang menyeramkan, seolah ada hawa yang aneh keluar dari lubang sumur. Satyabrata menganggap tempat ini baik sekali sebagai tempat persembunyian atau sebagai pusat pertemuan. Ia sudah mengambil uang emas dan pistolnya dan menyimpan benda-benda ini di sebuah gua kecil yang terdapat di dinding batu gunung dekat sumur kecil tua itu. Kalau kelak dia berhasil menghasut para murid Jatikusumo, tempat itu baik sekali untuk dipergunakan sebagai tempat mengadakan pertemuan, pikirnya.
Karena tertarik, pada suatu siang ketika dia mengaso dari bekerja di ladang membantu seorang murid lain yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, bernama Sakimun. Ada peraturan di perguruan Jatikusumo bagi para murid untuk saling menyebut "raka" kepada yang lebih tua dan "rayi" kepada yang lebih muda. Bahkan Cangak Awu sendiri juga mempergunakan aturan itu karena dia tidak mau dianggap sebagai guru.
Satyabrata mempergunakan kesempatan mengaso itu untuk bertanya kepada murid yang sudah lama menjadi anggauta keluarga besar Jatikusumo tentang sumur tua yang dikeramatkan itu. Mereka duduk di bawah pohon yang teduh, yang melindungi mereka dari sinar matahari yang panas menyengat.
"Ki-raka Sakimun, sebetulnya ada apakah dengan sumur tua di bukit belakang itu. Kata beberapa orang raka, di sana pernah terjadi hal-hal yang hebat dan mengerikan. Akan tetapi merekapun tidak tahu dengan jelas apa yang terjadi karena hal itu sudah berlalu selama bertahun-tahun. Andika yang lama menjadi murid Jatikusumo, tentu mengetahui. Sudikah andika menceritakannya. kepadaku?"
Sakimun menghela napas panjang. "Sebetulnya kisah itu merupakan rahasia Jatikusumo yang tidak pantas terdengar orang lain karena hal itu menjadi noda hitam bagi Jatikusumo. Akan tetapi karena andika kini telah menjadi anggauta keluarga besar Jatikusumo, baiklah akan kuceritakan secara singkat saja."
"Ceritakanlah, Ki-raka, dan aku sebelumnya mengucapkan banyak terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku," kata Satyabrata.
"Rayi Satya, berpuluh tahun yang lalu, yang menjadi ketua Jatikusumo adalah Eyang Buyut Guru Resi Limut Manik. Pengangkatannya itu menimbulkan rasa iri dalam hati saudara seperguruannya yang bernama Resi Ekomolo. Resi Ekomolo yang jahat ini memperkosa isteri Eyang Buyut Guru Resi Limut Manik sehingga wanita itu membunuh diri. Lalu terjadi perkelahian antara kedua orang tokoh besar dan datuk Jatikusumo itu. Akhirnya Resi Ekomolo dapat dikalahkan, kedua kakinya lumpuh dan dia dibuang ke dalam sumur tua itu."
"Ah, dia dibuang hidup-hidup ke dalam sumur itu, Ki-raka?"
"Ya, akan tetapi dia tidak mati. Aku masih ingat dulu, seringkali di waktu malam hari terdengar teriakan melolong-lolong dari sumur itu. Mendiang Bapa Guru Bhagawan Sindusakti selalu mengirim makanan, memasukkannya ke dalam sumur itu. Kemudian, sekitar sepuluh tahun lebih yang lalu, terjadi kegemparan ketika seorang murid Jatikusumo, yaitu adik seperguruan Ki-raka Cangak Awu yang bernama Priyadi, tahu-tahu telah dapat mengeluarkan Resi Ekomolo dari dalam sumur dan Priyadi ini menjadi muridnya."
"Wah, tentu dia menjadi sakti mandraguna, Ki-raka!" seru Satyabrata tertari sekali.
"Demikianlah, rayi Satya. Resi Ekomolo memang sakti mandraguna dan semua aji kesaktiannya dia turunkan kepada Priyadi itulah. Setelah Priyadi menjadi sakti madraguna, dia berkhianat, membantu Kadipaten Wirosobo dan menentang Mataram. Tentu saja para satria yang membela Mataram menentangnya dan terjadi pertempuran hebat. Akan tetapi akhirnya Priyadi dapat dikalahkan. Sementara itu, Priyadi telah melemparkan kembali gurunya, yaitu Resi Ekomolo ke dalam sumur tua. Dan ketika dia bertanding dengan para satria ia melarikan diri ke bukit dibelakang itu. Kemudian, dia terkena pukulan dan terjatuh ke dalam sumur tua. Hanya terdengar jerit mengerikan bercampur suara tawa menyeramkan seperti iblis, lalu sunyi. Agaknya Priyadi yang pengkhianat dan Resi Ekomolo yang jahat itu mati dalam sumur tua dan roh mereka menjadi roh penasaran yang menghantui sumur itu."
Satyabrata terkesan sekali dengan cerita yang hebat itu. "Akan tetapi, Ki-raka, kenapa tempat itu menjadi tempat terlarang untuk dikunjungi?"
"Tempat itu menyimpan rahasia yang menodai nama besar Jatikusumo, maka sebaiknya disimpan dan dijauhi. Nah, mari kita lanjutkan pekerjaan kita!" Mereka bekerja kembali, akan tetapi cerita itu selalu terbayang dalam benak Satyabrata.
Pada suatu siang, ketika dia mendapatkan kesempatan, dia mendaki bukit yang sunyi itu dan menjenguk ke dalam sumur. Gelap, tidak tampak apa-apa dari atas. Akan tetapi harus diakuinya bahwa ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang, seolah ada hawa yang menyeramkan keluar dari lubang sumur itu. Satyabrata adalah seorang pemuda pemberani dan pendidikan dari ayah angkatnya, Willem Van Huisen membuat dia tidak gentar menghadapi segala macam ketahyulan.
Dia memang sudah mempunyai niat yang teguh untuk menyelidiki sumur tua yang mengandung cerita yang luar biasa dan menyeramkan itu. Karena itu, dia sudah mempersiapkan diri ketika siang hari itu dia mendaki bukit dan mendatangi sumur itu. Dia sudah mempersiapkan segulung tali, bahkan sudah mempersiapkan sebatang obor. Karena yakin bahwa di tempat larangan itu tidak akan ada orang datang, dia lalu mengikatkan ujung tali ke sebatang pohon waru yang tumbuh di dekat sumur, kemudian tanpa ragu dia merayap turun melalui tali yang dijulurkan ke dalam sumur.
Kakinya menginjak dasar sumur yang kering namun keadaan di situ remang-remang karena hanya menerima sinar matahari yang menyorot ke dalam sumur. Dia meraba-raba dan mendapat kenyataan bahwa dasar sumur itu menembus ke sebuah terowongan yang cukup besar, lebarnya tidak kurang dari satu meter dan tinggi dua meter. Akan tetapi di depan sana remang-remang, maka dia lalu menyalakan obor yang dibawanya turun untuk menerangi terowongan. Kemudian dengan tabah dia memasuki terowongan.
Dia tiba di sebuah ruangan setelah berjalan agak jauh, sebuah ruangan yang luas seperti sehuah kamar. Cahaya obor menerangi ruangan itu dan dia melihat pemandangan yang membuatnya bergidik karena amat menyeramkan. Di atas batu yang rata dan lebar itu terdapat dua kerangka manusia. Kerangka yang berada diatas menggunakan kedua tangan mencekik leher kerangka yang berada di bawah, dan kerangka yang berada di bawah itu memegang sebatang keris yang menusuk masuk di antara tulang iga kerangka yang berada di atas. Mudah saja membayangkan keadaan dua kerangka itu.
Tentu kedua orang itu dulu saling membunuh. Yang satu mencekik yang lain dan orang yang dicekik itu menusukkan sebatang keris ke dada orang pertama. Agaknya dengan cara ini, keduanya tewas. Satyabrata teringat akan kisah yang diceritakan Sakimun kepadanya, tentang Resi Ekomolo dan Priyadi. Dia dapat menduga bahwa orang yang mencekik itu tentu Resi Ekomolo dan yang menusukkan keris itu tentu Priyadi. Keris itu mencorong ketika tertimpa sinar obor dan Satyabrata tertarik sekali.
Dia mendekati dua kerangka itu dan menjulurkan tangan untuk mengambil keris itu. Dia memegang gagang keris dan mencabut. Akan tetapi ternyata keris itu terjepit di antara tulang iga dan sukar dicabut. Satyabrata mengerahkan tenaganya dan menarik kuat-kuat. Keris dapat tercabut akan tetapi dua kerangka itu runtuh menimbulkan suara berkelotakan!
Satysabrata melompat ke belakang agar jangan tertimpa reruntuhan tulang. Dia mengamati keris di tangan kanannya. Gagang keris itu berbentuk sebuah kepala naga dan mata keris itu menjadi lidahnya. Keris itu seperti lidah naga, tidak berlekuk namun pamornya mencorong dan mudah diduga bahwa keris itu merupakan sebatang keris pusaka yang ampuh! Dia menemukan warangka (sarung) keris itu di antara reruntuhan tulang, dan diambilnya warangka yang masih baik itu kemudian dimasukkan keris ke dalam warangka.
Setelah itu, dengan obor di tangannya, dia memeriksa dinding ruangan itu. Ternyata di sana terdapat banyak coretan gambar berbentuk manusia dan ada pula tulisan huruf-huruf yang jelas. Dia merasa girang sekali. Ternyata tulisan dan gambar-gambar itu merupakan pelajaran ilmu pencak silat! Gambar-gambar itu merupakan gerakan-gerakan dari jurus-jurus ilmu silat Aji Margopati! Dan tulisan-tulisan ilu mengajarkan berbagai aji kesaktian yang hebat, yang disebut Aji Jerit Nogo dan Aji Tunggang Maruto.
Membaca sepintas saja Satyabrata maklum bahwa Aji Jerit Nogo adalah sebuah aji yang mempergunakan tenaga sakti lewat suara untuk melumpuhkan lawan, sedangkan Aji Tunggang Maruto adalah sebuah aji untuk meringankan tubuh dan berlari cepat. Akan tetapi tiga ilmu ini cukup rumit, perlu penelitian mendalam untuk mempelajarinya dan melatihnya, dan di sudut kiri terdapat tulisan yang mengajarkan cara bersamadhi untuk menghimpun tenaga sakti yang aneh, karena dilakukan dengan jungkir balik, kepala di bawah kaki di atas!
Satyabrata tertarik sekali dan timbul keinginannya untuk mempelajari semua ilmu itu. Dia menduga bahwa ilmu itu tentu sengaja dibuat oleh Resi Ekomolo dahulu. Tiba-tiba obor ditangannya padam. Gelap sekali di situ. Karena minyak obor itu agaknya sudah habis dan tidak dapat dinyalakan lagi, Satyabrata duduk bersila di lantai dan berpikir, bagaimana caranya untuk dapat mempelajari semua ilmu itu. Sampai lama dia duduk melamun dan dia merasa betapa keadaan tidak segelap tadi.
Kini menjadi remang-remang dan bahkan setelah matanya biasa dengan keremangan itu, dia dapat melihat gambar dan tulisan di dinding dengan baik, dan dapat membaca semua tulisan itu. Kiranya ruangan itu mendapat penerangan dari atas. Ada retak retak memanjang di langit-langit batu itu dan sinar matahari dapat masuk melalui celah-celah retakan.
Pada waktu siang, tempat ini tidaklah begitu gelap, pikirnya. Tentu saja kalau mata sudah terbiasa dengan keremangan itu. Pemuda yang cerdik itu lalu membuat rencana. Dia harus dapat mempelajari semua ilmu itu dengan sembunyi. Tidak akan ada orang mengetahui kalau dia masuk ke sumur ini. Akan tetapi kalau dia masuk dengan tali, terdapat kemungkinan ada orang melihat tali itu kalau kebetulan ada yang mendaki bukit, walaupun kemungkinan itu sedikit sekali.
Dia harus dapat masuk dan keluar dari sumur itu tanpa tali. Untuk masuk ke sumur, tidak sukar. Dia dapat melompat turun karena dasarnya dari tanah, tidak mengandung air. Akan tetapi untuk naik tanpa tali itulah yang sukar. Dia lalu mendapat gagasan yang baik. Dia bangkit berdiri, menghunus keris yang ditemukan tadi dan ketika dia menusukkan keris pada dinding sumur, tepat di dasar sumur, senjata runcing itu dapat menembus tanah padas yang keras dengan amat mudahnya!
Ternyata benar dugaannya. Keris itu merupakan senjata yang ampuh sekali. Timbul kegembiraannya dan mulailah dia menusuk dan mencokel dinding padas dari bawah ke atas dengan bergantungan pada tali yang diikatkan pada batang pohon di atas. Dia membuat semacam anak tangga pada dinding padas itu, untuk dipergunakan sebagai panjatan. Dengan adanya anak tangga itu, tanpa talipun dia akan dapat naik turun sumur.
Satyabrata lalu merayap naik melalui lubang-lubang yang dibuatnya pada dinding padas. Dengan mengaitkan jari-jari tangannya dan menginjakkan kakinya pada lubang-lubang itu, dia merayap naik bagaikan seekor kera. Tentu saja untuk merayap seperti itu membutuhkan kekuatan dan kecekatan dan ini dimiliki oleh Satyabrata yang sejak kecil sudah melatih diri dengan olah kanuragan. Setelah tiba di luar sumur, hatinya merasa lega karena tidak ada orang di bukit itu, seperti biasanya.
Tiba-tiba dia teringat bahwa keris itu masih ada padanya, di dalam warangka dan terselip di ikat pinggangnya. Dia teringat bahwa keris itu akan mendatangkan kecurigaan orang yang melihatnya. Tentu akan timbul pertanyaan dari mana dia memperolehnya dan lebih berbahaya lagi kalau ada orang di Jatikusumo yang mengenal keris itu. Dia menduga bahwa keris itu tentulah milik orang yang namanya Priyadi, murid Jatikusumo yang berkhianat itu. Dugaannya ini memang tidak keliru.
Keris itu adalah keris pusaka Kyai Ilat Nogo (Lidah Naga) yang dulu diberikan oeh Adipati Wirosobo kepada Priyadi sebagai hadiah karena pemuda itu membantu gerakan Wirosobo yang menentang Mataram. Mengingat akan bahayanya kalau orang melihat keris itu ada padanya, Satyabrata lalu melempar keris itu kembali ke dalam umur. Biarlah keris itu berada di dasar umur karena sewaktu-waktu dia dapat saja mengambilnya, pikirnya. Dia lalu menarik tali yang tergantung ke dalam sumur, menggulungnya dan menyingkirkannya dari situ.
Demikianlah, mulai hari itu, setiap mendapat kesempatan, Satyabrata tentu memasuki sumur tua itu. Bahkan dia juga membawa uang emasnya dan menyimpannya di dalam sumur tua. Hanya pistolnya yang masih disimpan dan disembunyikan di antara batu batu bukit itu, dipersiapkan kalau-kalau dia membutuhkannya. Setiap kali memasuki sumur, dia mempelajari tulisan dan gambar-gambar itu. Karena tahu bahwa yang menjadi dasar dari semua aji kanuragan adalah tenaga sakti, tanpa dorongan tenaga sakti maka semua aji itu tidak ada gunanya, maka diapun pertam-tama mempelajari cara bersamadhi jungkir balik untuk menghimpun tenaga sakti.
Dengan cara bersamadhi jungkir balik seperti itu dan mengatur pernapasan seperti yang diajarkan oleh tulisan di dinding, Satyabrata mulai dapat menghimpun tenaga sakti secara aneh sekali. Dia dapat membangkitkan tenaga dalam yang muncul dari bawa pusarnya. Kemudian dengan otak yang dialiri banyak darah itu pikirannya menjadi kuat dan dia dapat menggunakan pikirannya untuk menguasai tenaga dalam yang berputar-putar itu sehingga mampu mengalirkan tenaga dalam ini kemanapun kehendaki.
Akan tetapi, tanpa disadarinya, jalan darah ke dalam otaknya yang berlebihan ini yang mengalir secara tidak wajar, juga mendatangkan akibat, sedikit demi sedikit rusak jaringan syarafnya dan mendatangkan kelainan pada pikirannya. Sering kali muncul bayangan-bayangan aneh dalam benaknya yang membuat dia kadang ingin sekali tertawa karena geli dan merasa lucu, dan ada kalanya membuat dia ingin sekali menangis karena sedih dan rasa duka. Bagaimanapun juga, hatinya merasa gembira sekali karena setelah berlatih beberapa bulan lamanya, dia merasa betapa tenaganya bertambah kuat sekali dan kini dia dapat memanjat atau merayap naik turun sumur itu dengan mudah sekali dan dengan kecepatan melebihi seekor kera.
Setelah banyak murid Jatikusumo mulai terusik pikirannya oleh percakapan mereka dengan Satyabrata yang membangkitkan rasa setia kepada daerah mereka dan menganggap bahwa daerah mereka dikuasai dan "dijajah" oleh Mataram, Satyabrata mulai dengan bujukannya tingkat kedua mulai memompakan anggapan dalam pikiran mereka bahwa Kumpeni Belanda bermaksud baik terhadap bangsa di Nusa Jawa.
Mereka datang untuk memberi pendidikan, dan untuk mendatangkan kemakmuran dengan berdagang, membeli rempah-rempah dan hasil bumi! Dia mulai menceritakan tentang kehebatan dan kemajuan bangsa Belanda, tentang kehebatan bedil dan meriam mereka, tentang harta benda dan barang-barang indah mereka, tentang kapal-kapal mereka yang besar, kuat dan mewah.
Pendeknya, dia melempar segala keburukan kepada Mataram dan segala pujian kebaikan kepada Kumpeni Belanda! Akan tetapi, diantara para pendengar itu, terdapat Sakimun yang merasa curiga. Bukan saja dia merasa aneh sekali mendengar nada bicara Satyabrata memburuk-burukkan Mataram dan memuji-muji Kumpeni Belanda, bahkan dia juga melihat sesuatu yang aneh pada sikap pemuda itu. Kadang dia melihat sinar mata pemuda tu mencorong dan mengerikan! Mulailah Sakimun merasa curiga dan mulai dia diam-diam memperhatikan murid baru itu. Dan kecurigaan serta keheranannya bertambah ketika dia melihat pemuda itu apabila sedang berada seorang diri, suka tertawa-tawa sendiri seperti orang yang miring otaknya!
Pada suatu siang Sakimun melihat Satyabrata mendaki bukit larangan itu. Tentu saja dia merasa terkejut dan heran bukan main. Ki Cangak Awu sendiri mengeluarkan larangan keras bagi para murid untuk mendaki bukit itu dan selama ini tidak ada seorangpun murid berani melanggar larangan. Akan tetapi dia melihat murid baru yang mencurigakan itu mendaki bukit itu seorang diri! Sungguh amat mencurigakan sekali! Karena itu, bergegas dia pergi menghadap pemimpin perguruan Jatikusumo.
Pada saat itu, Cangak Awu sedang berada di ruangan tengah bersama Pusposari. Kebetulan sekali mereka memang sedang rnembicarakan murid baru itu, Satya yang tampak sebagai murid yang menyenangkan. Pusposari melaporkan kepada suaminya bahwa Satya itu rajin sekali, tanpa diperintah suka membersihkan rumah dan pekarangan, membantu semua pekerja. Cangak Awu juga bercerita kepada isterinya betapa pemuda itu selain rajin membantu pekerjaan di sawah ladang, juga amat tekun berlatih dasar-dasar ilmu pencak silat Jatikusumo dan tampaknya memiliki bakat yang baik sekali di samping tenaga yang besar.
"Dia kelak akan menjadi seorang murid yang tangguh dan dapat diandalkan," antara lain Cangak Awu memuji. Kedatangan Sakimun yang tiba-tiba menghadap mereka itu mengejutkan suami isteri pimpinan Jatikusumo itu. Apalagi mereka dapat melihat betapa wajah dan pandang mata Sakimun membayangkan kegelisahan.
"Raka Sakimun, kepentingan apakah yang andika bawa maka siang hari begini andika menemui kami?" tanya Ki Cangak Awu. Biarpun dia dan isterinya diangkat menjadi pimpinan, namun pendekar ini selalu bersikap ramah dan hormat kepada orang yang lebih tua dalam perguruan itu. Hal ini membuktikan bahwa para murid Jatikusumo bukan hanya mendapatkan pendidikan olah kanuragan, akan tetapi juga pendidikan tata susila yang baik.
"Rayi Cangak Awu, ada kejadian yang amat aneh dan juga amat mencurigakan terjadi dalam perguruan kita, maka saya cepat datang menghadap untuk melaporkan kejadian itu."
"Ada apakah, Ki-raka? Ceritakanlah!" kata Cangak Awu pendek dan tegas, seperti yang telah menjadi wataknya.
"Saya hendak melaporkan tentang rayi Satya, murid baru itu."
"Raka Sakimun, ada apa dengan Satya? Bukankah dia seorang murid dan pembantu yang amat baik? Cepat ceritakan, ada apakah dengan dia?" tanya Pusposari.
"Akhir-akhir ini, dalam percakapannya dengan para murid lain, rayi Satya dalam kata-katanya bernada menyalahkan Mataram yang dikatakannya menjajah kadipaten kadipaten daerah lain, bahkan bernada membujuk para murid agar membela daerah masing-masing dari penindasan Mataram."
"Ah, benarkah itu, Raka Sakimun?" teriak Cangak Awu kaget.
"Benar, saya mendengarnya sendiri. Juga, selain mernburuk-burukkan Mataram, dia memuji-muji Kumpeni Belanda yang dikatakannya datang membawa kemakmuran kepada rakyat dan membantu rakyat untuk menentang Sultan Agung yang dikatakannya angkara murka."
"Jahanam keparat!" Ki Cangak Aw bangkit dari kursinya dan berdiri dengan marah sambil mengepal tangannya.
"Tenang dan bersabarlah, rakanda!" kata Pusposari yang juga bangkit dan menyentuh lengan suaminya. "Biarkan Raka Sakimun melanjutkan laporannya."
"Apalagi yang perlu dilaporkan? Semua itu sudah cukup!" kata Cangak Awu dengan kasar.
"Masih ada, rayi. Ada yang lebih aneh lagi. Tadi saya melihat rayi Satya mendaki bukit larangan. Karena tidak berani mengikutinya mendaki bukit larangan, maka saya langsung menghadap rayi untuk memberi laporan."
"Cukup! Mari kita pergi, diajeng! Kita harus mengurus bocah itu! Andika juga ikut, Raka Sakimun, untuk menjadi saksi!"
"Akan tetapi, rayi. Saya... tidak berani mendaki bukit...."
"Tidak apa. Sekali ini, bersama kami andika boleh mendaki bukit larangan itu. Mari kita cepat mengejarnya ke sana!" kata Cangak Awu.
Mereka bertiga lalu bergegas menuju ke bagian belakang perkampungan Jatikusuman dan mendaki bukit larangan. Beberapa orang anggauta Jatikusumo yang melihat ini, memandang dengan bengong, akan tetapi mereka tidak berani bertanya. Mereka hanya menduga bahwa pasti terjadi hal yang hebat di bukit keramat itu sehingga suami isteri pimpinan mereka bersama Sakimun mendaki bukit itu dan tampak tergesa-gesa.
Dengan mengerahkan tenaga, tiga orang itu berlari cepat mendaki bukit dan tak lama kemudian mereka sudah berdiri dekat sumur tua, melongok ke dalam sumur. Akan tetapi keadaan di sumur itu biasa-biasa saja, masih sunyi dan ketika melongok ke bawah sumur, masih gelap dan tidak tampak apa-apa. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Mereka bertiga mengamati keadaan sekeliling, akan tetapi sunyi saja.
"Di rnana dia?" tanya Cangak Awu.
"Tidak ada orang di sini," kata Pusposari.
"Akan tetapi saya melihat sendiri dia mendaki bukit ini tadi. Dia pasti berada disini, mungkin lebih ke atas sana," kata Sakimun penasaran.
"Mari kita cari ke puncak bukit," kata Cangak Awu. Mereka bertiga lalu berjalan cepat mendaki ke puncak.
Ketika tiga orang itu pergi, Satyabrata merayap naik keluar dari sumur. Tadi dia sudah mendengar kedatangan mereka, bahkan mendengarkan ucapan tiga orang itu. Dia keluar dari sumur dan cepat bersembunyi di antara batu-batu tak jauh dari sumur dan untuk berjaga diri, dia mengambil pistolnya. Dia tidak berani turun bukit karena kalau hal itu dia lakukan mungkin saja akan tampak dari atas. Dari percakapan mereka bertiga tadi, dia hanya tahu bahwa Sakimun melihat dia mendaki bukit lalu melaporkan kepada suami isteri pimpinan itu yang kemudian mengejarnya.
Mereka tentu belum mengetahui akan semua rahasianya. Kesalahannya hanya melanggar pantangan mendaki bukit itu. Satyabrata menunggu dengan jantung berdebar, pistolnya siap diselipkan di ikat pinggang, tertutup bajunya. Setelah tiba di puncak, tiga orang itu mengamati keadaan sekeliling. Ternyata tidak tampak bayangan seorangpun di seluruh permukaan bukit yang dikeramatkan itu.
"Bagaimana ini, Raka Sakimun? Dia benar-benar tidak berada di bukit ini," tegur Ki Cangak Awu.
"Tentu dia sudah turun lebih dulu. Sebaiknya kita sekarang menemuinya di dalam perkampungan dan kita desak dia agar mengakui semua perbuatannya. Saya yang menjadi saksi, dan saya kira masih banyak murid Jatikusumo yang bersedia menjadi saksi," kata Sakimun penasaran juga.
Mereka menuruni puncak dan ketika mereka tiba di dekat sumur tua, pendengaran Cangak Awu dan Pusposari yang tajam menangkap gerakan orang. Mereka memutar tubuh dengan cepat dan masih sempat melihat berkelebatnya bayangan orang di antara batu-batu tak jauh dari situ.
"Siapa di sana?" Pusposari membentak nyaring. Akan tetapi tidak ada jawaban. Suami isteri itu saling pandang dan dengan pandang matanya, Cangak Awu memberi isyarat kepada isterinya untuk mencari dan menghampiri ke arah kumpulan batu-batu besar itu dari kiri sedangkan dia menghampiri dari kanan sehingga mereka membuat gerakan mengepung dari kanan kiri agar bayangan yang bersembunyi di balik batu-batu itu tidak dapat melarikan diri.
Sakimun tetap berdiri di dekat sumur tua. Akan tetapi ketika suami isteri yang berpencar itu memutari kumpulan batu-batu besar, bagaikan seekor kera gesitnya, Satyabrata berloncatan ke atas batu-batu itu dan langsung menghampiri Sakimun yang berdiri di dekat sumur. Melihat pemuda itu, Sakimun cepat menegur, "Rayi Satya, engkau dicari pimpinan!"
"Raka Sakimun, tentu andika yang membocorkan rahasiaku kepada para pimpinan!" kata Satyabrata dan matanya mencorong aneh ketika dia memandang Sakimun.
"Tentu saja!" Sakimun menjawab dengan berani karena dia memandang rendah kepada murid baru ini yang dianggapnya tidak akan mampu berbuat apa-apa terhadap dirinya. "Engkau telah bersikap seperti pemberontak, memburuk-burukkan Mataram dan memuji-muji Belanda. Engkau malah berani melanggar pantangan mendaki bukit larangan ini!"
Tiba-tiba Satyabrata menyeringai, bukan tersenyum biasa, melainkan menyeringai aneh dan ketika tangan kanannya bergerak, dia sudah mencabut pistolnya dari ikat pinggangnya lalu menodongkannya ke arah dada Sakimun. "Heh-heh, Sakimun, kalau begitu berarti engkau sudah bosan hidup!"
Sakimun terkejut. Dia belum pernah melihat pistol, akan tetapi sudah mendengar akan keampuhan senjata api itu. Maka, melihat dirinya ditodong, dia cepat menerjang dengan loncatan untuk mendahului dan menyerang pemuda itu.
"Darrrr !!" Bunga api berpijar dari mulut pistol dan tubuh Sakimun tersentak ke belakang lalu roboh telentang dan tewas seketika! Satyabrata sering berlatih menembak, namun baru sekali ini dia merobohkan orang dengan tembakan pistolnya. Maka dia lalu menghampiri tubuh Sakimun yang menggeletak di dekat sumur. Dia berjongkok dan sambil menyeringai senang dia melihat dada yang tembus oleh peluru pistolnya itu.
"Satya, murid durhaka! Engkau telah membunuh Raka Sakimun!" terdengar bentakan nyaring di belakangnya. Satyabrata bangkit berdiri dan dengan tenang dia membalikkan tubuhnya dan berdiri berhadapan dengan Cangak Awu yang mengerutkan alisnya, mukanya kemerahan dan sepasang matanya berapi saking marahnya.
"Ah, kiranya Raka Cangak Awu yang datang?" Satyabrata berkata dengan tenang sekali sambil menyeringai.
"Keparat busuk! Engkau memburuk-burukkan Mataram dan memuji-muji Belanda. Kiranya engkau seorang telik-sandi (matamata) Belanda yang terkutuk! Dan engkau telah melanggar pantangan mendaki bukit ini, bahkan telah membunuh seorang murid Jatikusumo! Aku tidak dapat mengampunimu, keparat!"
"Ki Cangak Awu!" kata Satyabrata dengan senyum mengejek berkembang di bibirnya. "Sebaiknya engkau memimpin Jatikusumo untuk membebaskan daerah dari cengkeraman Mataram dan bekerja sama dengan Kumpeni Belanda menentang Mataram. Engkau akan mendapatkan imbalan harta benda yang besar dan kedudukan yang tinggi dan mulia. Atau engkau memilih mati di tanganku!"
Satyabrata menodongkan pistolnya ke arah ketua Jatikusumo itu. Cangak Awu menjadi marah sekali dan dia sudah mengerahkan Aji Gelap Musti dalam kedua tangannya, lalu menerjang dengan mendorongkan kedua tangan ke arah pemuda itu. Akan tetapi dengan tenang Satyabrata sudah membidik dengan pistolnya. Pada saat dia menarik pelatuk pistolnya, sebutir batu sebesar kepalan tangan menyambar dan tepat mengenai tangannya yang memegang pistol.
"Darrr.... !!" Karena batu yang menghantam tangannya, bidikan pistol itu bergoyang dan miring sehingga pelurunya menyimpang dari sasaran. Satyabrata terkejut sekali. Dia lupa akan kehadiran Pusposari yang datang dari arah kirinya. Wanita perkasa ini maklum akan bahaya maut yang mengancam suaminya, maka ia cepat memungut batu dan melontarkan batu itu ke arah tangan Satyabrata yang memegang pistol sehingga bidikan itu meleset dan suaminya lolos dari maut.
Sementara itu, melihat Cangak Awu menyerangnya dengan pukulan kedua tangan yang didorongkan, yang membawa angin pukulan dahsyat, Satyabrata cepat mengerahkan tenaga yang dilatihnya didalam sumur dan diapun menyambut dorongan kedua tangan lawan itu dengan kedua tangannya sendiri.
"Wuuuttt dessss !!" Tubuh Satyabrata terlempar ke belakang, ke dekat sumur. Dia terkejut dan kecerdikannya membuat dia maklum bahwa walaupun pertemuan tenaga itu tidak membuat dia terluka parah, namun dia tahu bahwa dia tidak akan menang melawan ketua Jatikusumo ini, apalagi masih ada isterinya yang juga kabarnya amat digdaya. Dia tidak akan mampu melarikan diri. Karena itu, ketika tubuhnya terpental ke dekat sumur dia membuat seolah dirinya terguling dan terjatuh kedalam sumur!
Pusposari cepat menghampiri suaminya yang agak terhuyung ke belakang. Wajah Cangak Awu agak pucat dan napasnya agak terengah. Cepat ketua. Jatikusumo ini duduk bersila dan mengatur pernapasannya untuk memulihkan kesehatannya, agar isi dadanya tidak terluka oleh guncangan hebat tadi. Setelah merasa bahaya telah lewat, dia menghela napas panjang dan bangkit berdiri.
"Bagaimana, kakangmas?" tanya Pusposari. Cangak Awu menggeleng kepala perlahan.
"Tidak apa-apa, akan tetapi sungguh tidak pernah menyangka bahwa si Satya itu ternyata memiliki tenaga sakti yang cukup kuat. Syukur bahwa Aji Gelap Musti agaknya dapat merobohkannya."
"Dia terpental dan terguling ke dalam sumur," kata Pusposari. Keduanya lalu menghampiri sumur dan menjenguk ke dalam. Gelap dan sunyi saja.
"Kukira dia tentu tewas. Ketika memukul tadi, aku mengerahkan seluruh tenagaku. Dia terjerumus ke dalam sumur ini, tidak mungkin dapat bertahan hidup. Andaikata masih hidup sekalipun, dia tidak akan dapat keluar dari sumur dan akan mati kelaparan. Biarlah rohnya yang sesat itu menjadi roh penasaran bersama para pengkhianat yang lain," kata Cangak Awu.
Dia melihat pistol yang tadi dipergunakan Satyabrata menggeletak di dekat sumur. Dia mengambil senjata api itu kemudian dengan pengerahan tenaga dia membanting benda itu ke dalam sumur. Kalau Satyabrata berada tepat di dasar sumur dan kepalanya terkena hantaman pistol dari atas itu, tentu akan pecah kepalanya!
Cangak Awu lalu menghampiri tubuh Sakimun yang menggeletak dekat sumur. Setelah memeriksanya sejenak dan mendapat kenyataan bahwa orang itu telah tewas, Cangak Awu lalu memondong mayat itu dan mengajak isterinya meninggalkan bukit larangan itu.
Para murid Jatikusumo menjadi gempar ketika melihat ketua mereka turun dari bukit larangan memondong Sakimun yang sudah menjadi mayat. Setelah jenazah itu dirawat, Cangak Awu mengumpulkan semua murid ke ruangan pendopo yang luas. "Para raka dan rayi sekalian!" katanya dengan suara lantang berwibawa. "Kami sudah tahu bahwa di antara kalian ada yang sudah mendengar kata-kata yang diucapkan murid baru Satya yang pada dasarnya bernada menghasut, memburuk-burukkan Mataram dan di samping itu memuji-muji Kumpeni Belanda. Ucapan-ucapannya itu menunjukkan bahwa dia seorang pengkhianat dan ketahuilah kalian bahwa setelah kami menyelidikinya, ternyata Satya itu adalah seorang telik-sandi Kumpeni Belanda yang sengaja menyelundup ke sini dan menjadi murid perguruan kita!"
Terdengar desah dari banyak mulut itu. "Diapun melanggar larangan, mengunjungi bukit larangan yang agaknya akan dijadikan tempat persembunyiannya. Setelah kami memergokinya di sana, dia tidak membantah bahwa dia telik-sandi Kumpenl Belanda, malah dia menggunakan senjata api pistol untuk membunuh Raka Sakimun!" Kembali terdengar desahan dan gumam penasaran dan kemarahan di antara para murid Jatikusumo.
"Diapun berniat membunuh kami dengan pistolnya. Beruntung bagi kami bahwa Gusti Allah masih melindungi kami sehingga kami berhasil merobohkannya dan dia terjerumus ke dalam sumur tua. Rohnya yang jahat tentu berkumpul dengan roh-roh jahat lainnya, membuat sumur tua itu menjadi semakin angker. Karena itu kami peringatkan sekali lagi, jangan ada murid Jatikusumo yang mendaki bukit larangan itu. Dan kalian tahu sekarang bahwa semua hasutan Satya itu adalah siasat busuk Kumpeni Belanda, maka kami harap kalian waspada dan jangan sampai dapat terbujuk omongan seperti yang diucapkan pengkhianat Satya itu. Ingat akan janji dan persyaratan Jatikusumo. Pertama, menjadi pendekar yang membela kebenaran dan keadilan menentang kejahatan dan kedua, setia membela Mataram!"
Demikianlah peristiwa hebat yang terjadi kurang lebih empat lima tahun yang lalu di perkampungan Jatikusuman itu. Peristiwa itu sudah mulai dilupakan orang setelah lewat beberapa tahun itu. Peristiwa yang dilanjutkan larangan keras untuk mendaki bukit itu membuat tempat larangan itu semakin angker dan tiada seorangpun berani lancang mendaki bukit itu, apalagi mendekati sumur yang dianggap menjadi tempat tinggal roh-roh penasaran para pengkhianat yang jahat itu. Dan keadaan ini sungguh amat menguntungkan Satyabrata.
Orang-orang Jatikusumo sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pemuda yang mereka kenal sebagai Satya itu sesungguhnya sama sekali belum tewas! Ketika pistolnya terlepas dari tangannya karena sambaran sebuah batu, Satyabrata yang melihat dirinya diserang pukulan sakti Cangak Awu, cepat mengerahkan tenaga saktinya untuk menyambut. Pada waktu itu dia telah berlatih menghimpun tenaga sakti dengan cara samadhi jungkir balik dan secara aneh telah terhimpun tenaga dalam yang luar biasa dan dahsyat dalam dirinya.
Maka, ketika dia mengerahkan tenaga menyambut aji pukulan Gelap Musti dari perguruan Jatikusumo, dia mampu menahan pukulan lawan yang hanya membuat dia terpental dan dengan cerdik, dia lalu menggulingkan diri masuk ke dalam sumur tua. Dia sama sekali tidak tertuka dan setelah tiba di. dasar sumur dia mendengar ucapan Cangak Awu yang bicara dengan isterinya. Ketika Cangak Awu membanting pistol ke dalam sumur, Satyabrata dapat melihat dari bawah dan dia cepat menyelinap ke dalam terowongan sehingga sambitan pistol itu tidak mengenai dirinya.
Mulai hari itu, Satyabrata dengan tekun mempelajari semua ilmu yang tertulis dan terlukis di dinding bawah tanah. Kalau siang dan keadaan dalam ruangan bawah tanah itu cukup terang, dia berada di dalam sumur dan mempelajari serrdua ilmu itu. Kalau malam dia berada di luar sumur dan melewatkan malam di dalam guha di balik puncak. Dia merasa aman karena tidak pernah ada orang berani mendaki bukit itu. Untuk makannya setiap hari, dia mempergunakan ilmunya mendatangi telik-sandi Kumpeni Belanda di Pacitan tanpa diketahui orang dan membawa bekal makanan dari sana.
Demikianlah, sampai bertahun-tahun dia mempelajari ilmu-ilmu itu sehingga Satyabrata menjadi seorang pemuda yang sakti mandraguna dan berbahaya sekali. Akan tetapi karena dia menjalani latihan menghimpun tenaga sakti secara sesat, ada akibat sampingan yang amat hebat pula. Pemuda itu kini menjadi seorang yang terkadang berwatak aneh seperti orang gila! Dan dia menyimpan dendam terhadap Perguruan Jatikusumo, terutama kepada Cangak Awu dan Pusposari yang mengalahkannya. Niatnya yang pertama adalah membunuh kedua orang itu setelah dia selesai mempelajari semua ilmu itu, selain untuk melampiaskan dendamnya, juga untuk memenuhi tugasnya yang dibebankan kepadanya oleh ayah angkatnya, Willem Van Huisen!
********************
Kita kembali mengikuti perjalanan Parmadi. Baru pertama kali "turun gunung" berpisah dari gurunya, pemuda itu sudah. mengalami guncangan batin yang berat berturut-turut. Pertama mendengar akan kematian ayah Muryani dan juga gurunya, Ki Ronggo Bangak, dan kepergian Muryani tanpa ada yang mengetahui ke mana, Kemudian, ketika berkunjung ke dusun Pancot, dia mendengar dari Pak Jambi Pece tentang kematian ayah dan ibu kandungnya dan mendengar bahwa Ki Wiroboyo pernah berbuat kurang ajar terhadap mendiang ibunya sehingga Ki Wiroboyo patut dicurigai tentang pembunuhan terhadap ayah ibunya itu.
Dia menuruni lereng Gunung Lawu sebelah barat dan menggunakan ketangkasannya untuk berjalan cepat menuruni jurang-jurang yang dalam dan mendaki tebing-tebing yang curam. Karena perjalanan itu amat sukar, maka setelah matahari condong ke barat, dia masih belum tiba di kaki gunung, melainkan tiba di lereng agak ke bawah. Tibalah dia di sebuah dusun dan karena hari sudah mulai remang-remang, dia mengambil keputusan untuk melewatkan malam di dusun itu. Akan tetapi ketika dia mulai memasuki dusun, dia melihat keadaan yang amat aneh.
Dusun itu hanya mempunyai sekitar tiga puluh rumah. Rumah-rumah sederhana kaum tani. Ketika tadi hendak memasuki dusun Parmadi melihat sebuah candi berdiri di atas sebuah bukit kecil yang berada di luar dusun, tidak jauh dari dusun itu. Bangunan candi yang cukup besar itu tampak angker dan menyeramkan. Akan tetapi Parmadi hanya melihatnya dari jauh dan dia langsung memasuki dusun. Begitu memasuki dusun, terasalah suasana yang aneh itu.
Hari belum gelap benar, baru menjelang senja, akan tetapi keadaan dusun itu sunyi sekali. Terdengar berkokoknya ayam dan beberapa kali ada suara kambing mengembik. Akan tetapi tidak terdengar suara manusia, juga tidak tampak bayangan manusia. Rumah-rumah sederhana ini tidak ada yang terbuka pintu ataupun jendelanya, semua tertutup rapat. Anehnya, tidak tampak ada penerangan sedikitpun dari rumah-rumah itu.
Akan tetapi, walaupun keadaan demikian sunyi dan tidak tampak adanya seorangpun manusia, Parmadi dapat merasakan bahwa ada banyak pasang mata mengintainya dari rumah-rumah itu. Bahkan dia sempat melihat bayangan di balik dinding bambu rumah-rumah itu dan pendengarannya yang tajam dapat menangkap gerakan dari dalam rumah. Dalam rumah-rumah sederhana itu bukan tidak ada orangnyai. Akan tetapi mereka agaknya sengaja bersembunyi, dan tidak ada yang menyalakan penerangan. Agaknya semua orang ketakutan melihat dia datang!
Tentu saja keadaan ini membuat Parmadi merasa penasaran dan heran sekali. Mengapa orangorang dusun itu ketakutan melihat dia datang? Mengapa mereka semua bersembunyi dan tidak ada yang berani menyalakan penerangan? Padahal selama hidupnya belum pernah dia datang ke dusun itu dan tidak mengenal seorangpun dari penduduk di situ. Parmadi berhenti di depan sebuah rumah yang dilihatnya paling besar di antara rumah-rumah di situ. Kalau rumah lain terbuat dari dinding anyaman bambu, rumah ini dindingnya dari papan kayu dan ukurannya juga lebih besar. Dia memasuki pekarangan dan berdiri di depan rumah itu.
Dia merasa penasaran sekali. Andaikata penduduk dusun itu tidak mau menerimanya dan tidak mau memberinya tempat untuk menginap malam itu, dia tidak perduli. Dia dapat tidur di mana saja, di bawah pohon atau bahkan di tempat terbuka mana saja. Akan tetapi sikap mereka itu membuatnya heran dan penasaran. Mengapa mereka semua bersembunyi, seolah dia dianggap iblis yang menakutkan?
Biarpun dalam rumah besar itupun gelap, namun Parmadi dapat mendengar gerakan gerakan orang di dalamnya. Dia tahu bahwa di dalam rumah itu terdapat eukup banyak orang. Bahkan dia mendengar suara berbisik-bisik. Kemudian terdengar anak kecil menangis dan suara wanita berbisik-bisik menyuruhnya diam. Menghadapi semua ini, Parmadi tidak kuat menahan keinginan tahunya. Dia harus tahu apa yang terjadi sehingga orang-orang sedusun takut kepadanya! Dengan hati tetap dia menghampiri pintu depan dan mengetuknya perlahan.
"Tok-tok-tok....!" Tidak terdengar jawaban dan ada beberapa orang bersuara "sstt卻sttt�. ssttt....!" memberi tanda agar semua orang diam.
Hal ini tentu saja membuat Parmadi menjadi semakin penasaran. Dia mengetuk lagi daun pintu itu lebih kuat dan disambung dengan seruannya. "Tok-tok-tok! Saya tahu andika sekalian berada di dalam. Harap suka membuka pintu. Saya bukan orang jahat! Saya adalah seorang tamu dari luar dusun dan saya ingin bicara dengan andika sekalian!"
Hening sekali setelah Parmadi mengeluarkan seruan ini. Lalu terdengar lagi suara berbisikbisik di dalam seolah ada beberapa orang yang sedang berunding. Tak lama kemudian terdengar suara yang besar parau, suara laki-laki dewasa dan suara itu agaknya digagah-gagahkan akan tetapi tetap saja mengandung getaran tanda ketakutan. "Kami mohon agar andika mencari korban di lain tempat saja. Kalau andika memaksa, kami akan nekat melakukan perlawanan. Harap andika pergi sekarang juga!"
Tentu saja Parmadi menjadi bengong karena heran. Mencari korban? Apa yang mereka maksudkan? "Andika sekalian keluarlah. Mari kita bicara dengan baik-baik. Saya tidak mencari korban apapun juga!"
Kembali hening sesaat. Kemudian, tiba-tiba daun pintu dibuka dari dalam dan lima orang laki-laki yang membawa senjata, ada yang memegang tombak, ada yang membawa parang, berlompatan dari dalam dan tanpa berkata apa-apa lagi mereka menerjang dan menyerang Parmadi kalang-kabut! Tentu saja Parmadi merasa terkejut bukan main. Akan tetapi dia juga tidak ingin menjadi bulan-bulanan serangan mereka. Andaikata dia dapat melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan, dia tidak akan mampu mencegah pakaiannya rusak dan robek-robek oleh senjata-senjata itu.
Sebatang tombak yang panjang lebih dulu meluncur ke arah perutnya. Parmadi miringkan tubuh. Ketika tombak itu meluncur di samping perutnya, cepat tangan kirinya menangkap tombak dan kaki kanannya menyambar ke arah si pemegang tombak dan diapun menarik tombak itu dengan sentakan. Tombak itu telah berpindah ke tangannya. Ketika dua batang parang, sebilah keris dan sebatang tombak menyambar, dia mempergunakan tombak yang dirampasnya itu, digerakkan dengan pengerahan tenaga menangkis.
"Traeng-traagg-trang-trang...." Empat batang senjata para pengeroyok itu beterbangan terlepas dari tangan mereka. Parmadi lalu menggunakan kedua tangannya, menekuk nekuk patah tombak itu seperti orang mematahkan sebatang lidi saja! Melihat ini, lima orang laki-laki itu menjadi pucat, mata mereka terbelalak dan kaki mereka menjadi lemas. Mereka jatuh bertekuk lutut dan menyembah-nyembah ketakutan. Seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang berpakaian lebih rapi daripada yang lain, dengan suara gemetar dan tubuh menggigil menyembah dan berkata dengan hormat,
"Pukulun, mohon paduka sudi mengampuni kami orang-orang dusun yang miskin dan papa. Hamba semua berjanji akan memuja paduka dan kasihanilah hamba, bebaskan anak-anak hamba agar jangan dijadikan korban.... "
Mengertilah Parmadi bahwa ada kekeliruan di sini. Dia disangka orang lain, atau bahkan dia disangka makhluk lain, bukan manusia! Hal ini terbukti dari sebutan orang tua itu kepadanya yang memanggilnya dengan sebutan "pukulun", sebutan yang biasanya diberikan kepada para dewa! Dia tersenyum.
"Paman yang baik, dan saudara-saudara sekalian. Agaknya andika semua telah salah mengenal orang! Harap andika sekalian bangkit dan marilah kita bicara dengan baik. Saya sama sekali bukan orang yang berniat jahat. Kebetulan saja saya lewat di sini dan hanya membutuhkan tempat untuk melewatkan malam. Silakan andika sekalian bangkit berdiri."
Orang setengah tua yang agaknya menjadi pemimpin di antara mereka itu mengangkat muka dan memandang wajah Parmadi, ragu-ragu. "Andika... andika bukan utusan... Sang Pukulun Syiwamurti....?"
Parmadi tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Saya manusia biasa, bukan utusan dewa manapun, paman. Bangkitlah dan mari kita bicara. Saya ingin sekali mengetahui apa yang terjadi didusun ini dan mengapa pula andika sekalian bersikap begini aneh, menyerang seorang tamu yang baru datang seperti saya ini."
Agaknya lima orang itu baru mau percaya. Didahului oleh orang setengah tua itu, mereka semua bangkit berdiri dan berani menatap wajah Parmadi. "Maafkan sikap kami tadi, kisanak. Kami tadi mengira andika datang hendak menjemput korban..." kata orang tua yang bertubuh tinggi kurus itu.
"Mari silakan masuk ke dalam rumah Kita bicara di dalam saja."
Parmadi mengikuti lima orang itu memasuki rumah dan dia melihat dalam keremangan rumah itu bahwa ada beberapa orang wanita dan kanak-kanak mengintai dari ruangan dan kamar lain. Dalam ruangan itu terdapat beberapa buah kursi kayu dan Parmadi dipersilakan duduk. Parmadi duduk berhadapan dengan lima orang itu.
"Paman, mengapa paman tidak menyalakan lampu penerangan? Sungguh tidak enak duduk bercakap-cakap dalam cuaca gelap begini," kata Parmadi.
"Menyalakan lampu? Ah, jangan... kami... kami takut..." kata orang itu, juga yang lain mengeluarkan suara tidak setuju dan mereka semua ketakutan.
Parmadi menjadi semakin penasaran. Orang-orang dusun ini semua merasa takut akan sesuatu yang mengerikan, pikirnya. Diapun tidak mendesak mereka untuk menyalakan lampu. "Paman, sebetulnya apakah yang terjadi di dusun ini? Kenapa semua rumah menutup pintu dan tidak menyalakan penerangan? Juga mengapa paman sekalian tampak ketakutan, bahkan tadi menyerang aku tanpa alasan? Apa artinya semua ini?"
"Sebelum kami menjawab pertanyaanmu dan menerangkan segalanya kepadamu, kami ingin mengetahui lebih dulu siapa andika, kisanak, dan keperluan apakah yang membawa andika datang ke dusun Sukuh ini?"
Parmadi hanya kebetulan lewat di dusun itu dan dia tidak ingin namanya dikenal, apalagi menghadapi peristiwa aneh yang agaknya harus dicampurinya. Dia harus membantu para penduduk yang ketakutan itu menghadapi sesuatu yang agaknya mengerikan. Dan untuk itu dia pikir tidak perlu memperkenalkan dirinya. Gurunya, Resi Tejo Wening, pernah berpesan kepadanya bahwa kalau dia turun tangan menolong orang, dia tidak perlu menonjolkan namanya, bahkan lebih baik kalau yang dia tolong itu tidak mengenal namanya!
"Saya adalah seorang perantau, paman dan hanya kebetulan saja saya lewat di dusun ini dan kemalaman. Karena itu saya ingin melewatkan malam ini di sini, mohon kebaikan hati seorang diantara penduduk untuk memberi sekedar sehelai tikar untuk saya tidur. Nama saya? Sebut saja saya Seruling Gading, paman. Nah, sekarang harap paman suka menceritakan semua keanehan ini kepada saya. Siapa tahu saya akan dapat membantu andika sekalian untuk membikin terang semua kegelapan ini."
"Sesungguhnya, anakmas!" kata orang setengah tua itu dan suaranya mengandung penuh harapan. "Setelah mengetahui bahwa andika bukan lawan melainkan kawan, dan melihat bahwa andika seorang yang sakti mandraguna, kami seluruh warga dusun Sukuh ini mengharapkan pertolongan andika. Ketahuilah bahwa dusun kami ini sedang menghadapi malapetaka yang besar sekali, agaknya kami menerima amarah para dewa sehingga kami dikutuk."
"Tidak. ada dewa mengutuk manusia, paman. Kalau ada suatu akibat terjadi, pasti ada sebabnya dan kita berkewajiban untuk mencari tahu dan melenyapkan penyebabnya itu. Nah, ceritakanlah. Apa yang telah terjadi?"
"Saya akan memperkenalkan diri lebih dulu, anak-mas Seruling Gading. Saya bernama Gitosani dan saya diangkat oleh penduduk di dusun Sukuh ini menjadi kepala dusun karena saya dianggap sebagai sesepuh yang sudah tinggal di sini sejak eyang buyut saya. Bahkan nenek moyang saya menjadi juru kunci dari Candi yang menjadi tempat pemujaan kami untuk, mohon berkah keselamatan, kesuburan, kesehatan, rejeki dan semua kebutuhan kami. Kemudian tiba-tiba datang malapetaka itu, malapetaka yang mengerikan...."
Lurah Gitosani menggigil dan semua orang yang berada di situ juga ketakutan seolah-olah hawa dalam ruangan itu tiba-tiba menjadi dingin sekali. Dari dalam kamar di sebelah kiri terdengar suara bayi menangis, akan tetapi agaknya mulut bayi itu segera dijejali puting susu ibunya karena ia terdiam dengan cepat.
"Hemm, ceritakanlah saja, paman Gitosani dan jangan takut. Ada saya di sini yang akan menjaga keselamatan semua orang," kata Parmadi dan suaranya yang tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri terdengar amat menghibur bagi semua orang itu.
"Terjadinya dimulai dengan datangnya dua orang di dusun ini, kurang lebih satu bulan yang lalu. Seorang kakek tinggi besar seperti raksasa menyeramkan yang mengaku bernama Koloyitmo bersama seorang anaknya perempuan bernama Nini Maya Dewi yang cantik seperti dewi kahyangan. Mereka berdua memasuki candi dan mendudukinya, tidak mau keluar dari candi. Kakek yang bernama Resi Koloyitmo itu mengaku bahwa dia titisan Sang Bathara Kolo dan dia bilang bahwa dia sengaja memilih Candi Sukuh untuk tempat tinggalnya sementara waktu. Kami berusaha mengusirnya, akan tetapi kakek dan anaknya itu sakti mandraguna. Belasan orang dari kami diterbangkan angin ketika hendak menyerangnya. Bahkan anak perempuan itu mengancam akan membunuh kami semua kalau kami berani mengganggu mereka."
Parmadi mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, agaknya kalau mereka tidak diganggu, mereka tidak akan berbuat apa-apa, bukan?"
"Mula-mula mereka memang hanya minta dikirim sesajen sehari tiga kali, nasi dan lauk pauknya, juga minuman untuk mereka. Akan tetapi tak lama kemudian, seminggu yang lalu, Resi Koloyitmo itu minta agar diberi korban seorang perawan."
"Hemmm... ini sudah keterlaluan!" kata Parmadi mulai merasa tidak senang hatinya. "Lalu bagaimana?"
"Tentu saja kami menolak permintaannya yang aneh itu. Akan tetapi, Resi Koloyitmo diam saja dan tidak marah oleh penolakan kami dan kami hanya berjaga-jaga dengan khawatir. Dan malam harinya, seorang anak perawan dusun kami lenyap! Ada seorang warga dusun yang kebetulan keluar dari rumahnya malam itu melihat betapa perawan itu berjalan setengah berlari menuju ke candi dan ketika ditegur tidak menjawab. Kami mengerahkan seluruh tenaga laki-laki didusun ini dan pergi ke candi, menuntut kembalinya gadis itu. Akan tetapi Resi Koloyitmo mengatakan bahwa perawan itu sudah dipilih oleh Sang Bathara Kolo dan kami disuruh pulang. Kami nekat hendak menyerbu ke dalam candi mencari gadis itu. Akan tetapi kembali kami roboh berpelantingan oleh sihir ayah dan anak itu."
"Hemm, begitukah? Dan mengapa andika sekalian tidak berani menyalakan penerangan dan bersembunyi dalam kegelapan?"
"Dua malam yang lalu, kembali seorang perawan dusun ini menghilang dan menurut mereka yang sempat melihatnya, terjadinya lebih aneh lagi. Mereka, ada tiga orang saksi, melihat betapa gadis itu menunggang seekor macan loreng besar menuju ke candi itu! Nah, mulai malam itulah, kami semua tidak berani membuka pintu kalau sudah senja dan tidak berani menyalakan penerangan agar macan utusan dewa itu tidak dapat masuk rumah dan tidak dapat melihat sehingga tidak akan dapat menculik anak-anak gadis kami."
Parmadi mengerutkan alis dan memejamkan mata. Keadaan ayah dan anak itu sungguh mencurigakan! "Akan tetapi malam ini bulan bersinar terang. Mungkin bulan purnama karena tadi malam bulan juga sudah penuh," kata Parmadi. "Tanpa adanya lampu peneranganpun, malam tidaklah begitu gelap."
"Itulah yang kami khawatirkan. Tadi malam langit mendung sehingga bulan terhalang dan malam gelap. Akan tetapi malam ini.... "
"Jangan khawatir, paman. Saya akan melakukan penjagaan malam ini dan kalau iblis itu berani muncul, akan saya hadapi dan usir dia!" kata Parmadi.
"Bukan iblis, anakmas, melainkan dewa..."
"Dewa berkewajiban melindungi, bukan mengganggu manusia. Yang mengganggu manusia hanya iblis. Sekarang, mari kita serukan kepada semua rumah agar menyalakan penerangan agar lebih mudah bagi saya untuk melakukan perondaan dan dapat melihat jelas kalau terjadi sesuatu."
"Akan tetapi...." Ki Gitosani berkata ragu dan takut.
"Sudahlah, paman. Percaya dan serahkan kepada saya. Lebih baik sekarang kita memelopori semua penduduk dan menyalakan lampu di rumah ini agar mereka juga menjadi berani."
Karena sikap Parmadi yang tegas dan tenang, akhirnya Ki Gitosani menyalakan lampu-lampu di rumah itu. Kemudian, ditemani Parmadi, lima orang laki-laki itu lalu berjalan dari rumah ke rumah, berseru kepada pemilik rumah untuk menyalakan lampu.
"Saudara-saudara, nyalakan lampu-lampu di setiap rumah! Jangan takut! Ada anakmas Seruling Gading yang akan melindungi kita!" seru Ki Gitosani.
"Seruling Gading?" Semua orang membisikkan nama ini, merasa heran dan ingin tahu siapa orangnya yang berani melindungi mereka dari ancaman "dewa" yang mengerikan itu, yaitu Sang Bathara Kolo! Yang agak pemberani keluar dari pintu rumah untuk melihat orang bernama Seruling Gading itu, yang penakut mengintai dari balik pintu. Mereka menjadi ragu ketika melihat betapa yang dijagokan untuk melindungi mereka itu hanya seorang pemuda tampan yang sikapnya amat sederhana.
Mulailah mereka merasa ngeri dan takut kalau-kalau dewa yang kini berada dicandi itu akan makin marah dan mengamuk. Biarpun mereka sudah menyalakan lampu, akan tetapi setelah melihat Parmadi yang berjalan bersama Ki Lurah Gitosani dan empat orang laki-laki lain, mereka mulai menutupi daun-daun pintu lagi dan menanti dalam rumah dengan jantung berdebar tegang dan takut.
Malam itu langit bersih. Ketika bulan purnama muncul, cuaca menjadi terang. Terang-terang redup dan sejuk. Angin malam semilir lembut. Biasanya, pada malam bulan purnama seperti itu, anak-anak banyak yang bermain-main di luar, suara mereka menembang dolanan mendatangkan kesyahduan pada malam bulan purnama. Akan tetapi malam ini tidak ada yang keluar rumah.
Jangankan anak-anak, orang tuapun tidak ada yang berani keluar pintu, bahkan semua pintu rumah ditutup rapat. Akan tetapi, yang agak pemberani mulai mengintai dari celah-celah pintu atau jendela untuk dapat melihat keadaan di luar. Suasana amat sunyi. Tidak ada suara manusia. Hanya suara angin lembut berdesah di antara daun-daun pohon yang bergoyang-goyang seperti hidup, mengiringi bunyi kutu-kutu walang atogo (serangga-serangga yang berbunyi di waktu malam). Bahkan Ki Gitosani sendiripun tinggal di dalam rumah dengan daun pintu tertutup karena demikianlah yang dikehendaki Parmadi.
Untuk memudahkan penjagaannya, dia minta agar semua orang tinggal di rumah dengan pintu tertutup. Parmadi sendiri berada di luar. Tadi dia sudah dijamu makan malam oleh keluarga Ki Gitosani. Dia menitipkan buntalan pakaiannya kepada kepala dusun itu, kemudian dia keluar hanya berkalung sarung dan membawa seruling gading yang diselipkan di pinggangnya.