Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Seruling Gading Jilid 10
IA pernah mendengar cerita gurunya, yaitu Ki Ageng Branjang ketua perguruan Bromo Dadali di Gunung Muria akan ilmu-ilmu aneh, tentang tenung, sihir, dan aji penyirepan yang dapat membuat orang terserang kantuk lalu tertidur pulas. Aji penyirepan ini banyak dipelajari golongan maling untuk membuat seisi rumah tertidur nyenyak sehingga dia dapat menguras isi rumah dengan leluasa. la juga pernah mempelajari cara untuk melawan pengaruh aji penyirepan itu.
Maka iapun lalu duduk bersila, mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak pengaruh kantuk yang amat kuat itu. Pengaruh itu amat kuat dan hampir ia tidak tahan, akan tetapi setelah ia mengerahkan tenaga sakti Aji Bromo Dalali pengaruh itu berkurang. Tak lama kemudian ia mendengar suara gaduh di sebelah kamarnya. Ia terkejut. Suara gaduh itu datang dari kamar ayahnya yang berada di sebelah kiri kamarnya sendiri! Ia mendengar suara keluhan dan suara robohnya badan orang.
Cepat Muryani melompat turun dari atas pembaringan. Ia terhuyung karena pengaruh aji penyirepan yang kuat itu belum dapat diusirnya sama sekali, masih ada sisa pengaruh yang membuat ia merasa agak pening dan kepalanya terasa berat, matanya berjuang melawan kantuk. Akan tetapi karena khawatir akan keadaan ayahnya, ia memaksakan diri berlari keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar ayahnya.
Kamar itu remang-remang, hanya menerima penerangan dari lampu yang tergantung di luar kamar. Akan tetapi ia dapat melihat sesosok tubuh seorang laki-laki di dalam kamar. Muryani melompat ke dalam kamar dan membentak. "Heii, siapa engkau dan..."
Tiba-tiba hawa pukulan yang amat dahsyat menyambar ke arah tubuhnya. Muryani yang masih pening karena pengaruh aji penyirepan itu, tidak sempat mengelak atau menangkis. Ia sama sekali tidak mengira akan diserang sehebat itu. Apalagi keadaan kamar itu itu gelap. Tahu-tahu hawa pukulan itu menghantam dadanya, membuat dadanya sesak dan pandang matanya gelap. Ia terpelanting roboh dan tidak sadarkan diri.
Ketika ia siuman, malam telah terganti. Ia mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dan dirumahnya berkumpul banyak orang, di antaranya Ki Demang Warutomo. Dari Ki Demang Warutomo yang seorang bekas perwira yang berpengalaman dan yang telah mengobatinya Muryani mendapat keterangan bahwa ayahnya telah kedapatan tewas dalam kamar, sedangkan ia sendiri terluka oleh pukulan jarak jauh yang kuat dan ampuh!
Tentu saja Muryani terkejut bukan main dan segera memaksa diri bangkit. Biarpun ia merasa nyeri dan sesak pada dadanya, ia memaksa diri dan dipapah oleh Ki Demang Warutomo, ia menjenguk jenazah ayahnya di dalam kamar. Ia menubruk jenazah dan menangis. "Ayah, aku bersumpah untuk mencari pembunuh ayah dan akan kubalas sakit hati ini! Ayah, beristirahatlah dengan tenang anakmu ini pasti akan membalas dendam ini!"
Setelah berkata demikian Muryani terguling dan jatuh pingsan lagi. Ki Demang Warutomo yang menjadi sahabat baik mendiang Ki Ronggo Bangak dan yang merasa kagum kepada Muryani segera menolong dan merawat Muryani. Sampai belasan hari lamanya Muryani menderita lahir batin, badannya terluka dalam oleh pukulan sakti itu, batinnya menderita karena kematian ayahnya. Akan tetapi, setelah ia sembuh betul, ia menghilang dari kamarnya tanpa pamit kepada Ki Demang Warutomo atau kepada siapa pun juga.
Gadis itu menghilang tanpa ada yang tahu ke mana perginya. Ki Demang Warutomo yang mempunyai banyak pengalaman itu dapat menduga bahwa gadis perkasa itu tentu berusaha untuk mencari pembunuh ayahnya dan diam-diam dia menduga bahwa besar kemungkinan Ki Wiroboyo mempunyai hubungan dengan pembunuhan Ki Ronggo Bangak itu. Dugaan Ki Demang Warutomo memang tidak keliru.
Setelah merasa dirinya sehat kembali, Muryani pergi tanpa pamit kepada siapapun juga, dengan niat mencari Ki Wiroboyo sebagai orang pertama yang ia curigai mempunyai hubungan dalam pembunuhan terhadap ayahnya dan penyerangan terhadap dirinya. Ia tahu bahwa penyerangnya itu bukan Ki Wiroboyo. Penyerangnya itu seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus. Ia tidak dapat melihat wajahnya karena kamar itu gelap.
Akan tetapi ia berkeyakinan bahwa ia dan ayahnya tidak mempunyai musuh lain kecuali Ki Wiroboyo. Jadi, kalau ada orang membunuh ayahnya, maka besar kemungkinannya Ki Wiriboyo yang berdiri di belakangnya. Mungkin dia menyuruh orang lain yang memiliki kesaktian untuk melakukan pembunuhan itu. Muryani menuruni Gunung Lawu melalui bagian timur karena ia ingat bahwa dulu Ki Wiroboyo pernah mendatangkan seorang jagoan, yaitu mendiang Warok Surobajul dari Ponorogo.
Maka iapun mengambil keputusan untuk mulai pencariannya ke Kadipaten Ponorogo. Ketika ia menuruni lereng di timu dari atas ia melihat sebuah telaga yang besar. Air telaga tampak berkilauan tertimpa sinar matahari dan Muryani terpesona, kagum. Alangkah indahnya alam! Melihat air yang demikian luasnya bukan merupakan hal baru bagi Muryani. Dahulu ketika ia masih tinggal di Demak, kemudian menjadi murid perguruan Bromo Dadali di bawah pimpinan Ki Ageng Branjang di Gunung Muria, ia sudah sering melihat laut utara.
Kini, telaga yang tampak di bawah itu tidak seluas lautan. Akan tetapi memiliki keindahan yang khas, sebuah telaga di antara bukit-bukit, dikelilingi hutan. Ia pernah mendengar keterangan mendiang ayahnya tentang telaga itu yang di sebut Telaga Sarangan. Karena tertarik akan keindahan pemandangan alam telaga itu, Muryani mengambil keputusan untuk pergi ke telaga itu dan melihatnya dari dekat. Ia menuruni lereng dengan cepat dan tak lama kemudian ia sudah tiba di tepi telaga.
Tempat itu sunyi sekali dan di depan sana, di seberang telaga, tampak sekumpulan rumah penduduk dusun yang sederhana. Di atas telaga timpak beberapa buah perahu kecil dan di atas perahu itu, orang-orang sedang bekerja melempar jala mencari ikan. Mereka inilah nelayan-nelayan telaga. Muryani duduk di atas sebuah batu besar di tepi telaga, melepas lelah. Angin semilir mendatangkan kesejukan, mengipasi suhuhnya yang agak panas karena perjalanan naik turun tadi.
Keadaan yang sunyi, hawa yang sejuk dan semilirnya angin mengipasi tubuhnya yang kelelahan mendatangkan rasa kantuk. Akan tetapi Muryani menahan rasa kantuknya. Perutnya terasa lapar sekali dan ia ingin mencari makanan di dusun seberang telaga itu. Akan tetapi ketika ia hendak turun dari atas batu, tiba-tiba melihat tujuh orang laki-laki datang menghampirinya. Mereka adalah orang-orang yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, semua berkulit tebal dan ada yang brewokan.
Pakaian mereka serba hitam dan sikap mereka kasar. Dari lenggang dan langkah mereka saja dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa mengandalkan kekuatan. Langkah mereka dibuat-buat seperti jagoan! Yang berjalan paling depan adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun dan dialah diantara yang lain yang bermuka penuh brewok. Tujuh orang itu masing-masing membawa sebuah parang yang tergantung di pinggang mereka. Di belakang rombongan ini tampak seorang pemuda remaja yang menuntun seekor kuda, agaknya milik rombongan itu, atau mungkin sekali milik pemimpin mereka yang bermuka brewok.
Ketika mereka tiba di depan Muryani yang masih duduk diatas batu besar, tujuh orang itu berhenti dan mata mereka yang bengis liar itu seolah menggerayangi tubuh gadis cantik yang duduk di atas batu. Muryani tampak cantik jelita. Wajah yang bulat dengan dagu runcing itu kemerahan karena sengatan matahari. Sepasang alisnya yang hitam kecil panjang melengkung itu agak dikerutkan melihat gerombolan laki-laki di depannya itu. Sepasang matanya yang bening dan bersinar-sinar dengan bulu matanya yang lentik, menyapu ke arah mereka penuh selidik. Hidungnya yang kecil mancung serasi sekali dengan bentuk mulutnya yang memiliki bibir merah basah dan menggairahkan. Mulut itu tersenyum mengejek.
Melihat tujuh orang laki-laki itu, terutama yang berdiri paling depan dan mukanya brewokan memandang kepadanya dengan mata yang kurang ajar, Muryani menjadi marah. "Hei, kalian ini mau apa mendekati aku dan mengganggu suasana damai tenteram yang kunikmati? Hayo cepat pergi dan jangan membikin aku marah!"
"Wah, galak seperti seekor kuda betina yang, binal!" seru seorang di antara mereka.
"Ha-ha-ha!" Si brewok tertawa bergelak.
"Kuda betina yang makin binal dan makin mengasyikkan dan menggembirakan untuk ditundukkan dan dijinakkan. Cah ayu, aku Mundingjaya adalah seorang laki-laki jantan sejati yang masih bujang, masih perjaka ting-ting! Ha-ha-ha! Kulihat engkau pantas sekali kalau menjadi isteriku. Bukankah begitu, kawan-kawan?"
"Pantas sekali!"
"Cocok sudah!"
"Seperti Raden Gatotkaca dengan Dyah Pergiwa!"
Muryani mengangkat mukanya, kerut alisnya mendalam, sinar matanya berkilat dan senyum manisnya makin melebar. Orang-orang itu tidak tahu sama sekali bahwa dara yang tampak semakin manis menarik ini menjadi amat berbahaya kalau sudah seperti itu karena kerut alisnya, sinar mata dan senyum itu sesungguhnya merupakan tanda bahwa ia sedang marah sekali!
Dengan gerakan indah dan ringan tubuhnya sudah melompat turun dari atas batu dan kini ia berdiri berhadapan dengan laki-laki brewokan itu. Ternyata dara yang baru berusia tujuh belas tahun ini tingginya hanya sedada orang yang mengaku bernama Mundingjaya itu. Mereka berdiri dalam jarak kurang lebih empat meter. Melihat tubuh dara itu demikian ramping dan padat, bagaikan bunga sedang mulai mekar, bagaikan buah mangga sedang ranumnya, Ki Mundingjaya memandang kagum dan tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang besar-besar.
"Waduh, engkau denok ayu manis merak ati, bocah ayu. Mari kupondong dan kubawa pulang kerumahku!" katanya tanpa malu-malu.
Muryani melihat di sebelah kanannya terdapat setumpuk kotoran kerbau yang masih baru. Agaknya belum lama tadi ada kerbau lewat di tempat itu dan membuang kotoran di situ. Ia lalu meraih sebatang kayu ranting pohon singkong yang tumbuh dekat batu, mematahkannya.
"Namamu Mundingjaya? Nah, silakan mandi tahi munding lebih dulu agar patut engkau memakai nama itu!" kata Muryani dan tanpa menanti jawaban, dengan tidak disangka-sangka dan amat cepat, tangan Muryani menggerakkan ranting kayu, dicokelkan kepada tahi kerbau itu dan sekali ranting kayu bergerak, segumpal tahi kerbau yang masih lunak menyambar ke depan itu tepat mengenai muka si brewok!
Ki Mundingjaya yang sama sekali tidak menyangka, tak sempat mengelak dan mukanya berlepotan tahi kerbau. Bukan sekali saja karena Muryani sudah melakukan serangan tahi kerbau itu berulang-ulang sehingga seluruh pakaian Mundingjaya berlepotan tahi kerbau. Ki Mundingjaya muntah-muntah dan menyumpah-nyumpah! Anak buahnya menjadi kaget akan tetapi juga geli melihat pemandangan yang lucu ini. Mereka menahan tawa, akan tetapi da beberapa orang yang tak mampu menahan dan mengeluarkan suara tawa aneh karena ditahan-tahan.
Tentu saja Mundingjaya mencak-mencak saking marahnya. Dia, yang merupakan jagoan yang ditakuti seluruh penduduk pedusunan di sekitar Telaga Sarangan, kini dihina oleh seorang perawan remaja! Setelah membersihkan lethong (tahi kerbau) dari muka, terutama dari mulut dan hidungnya, dia mencabut parang dari ikat pinggangnya dan mengacungkan senjata tajam mengkilap itu ke atas.
"Bocah perempuan keparat! Engkau sudah bosan hidup, berani menghina Mundingjaya?" bentaknya.
Muryani menudingkan ranting kayu di tangannya sambil, tersenyum manis. "Siapa menghinamu? Aku malah membikin engkau tampak gagah, dan sekarang lebih cocok kalau namamu diganti menjadi Tahi Munding (kotoran kerbau)!"
Mundingjaya yang tadinya tergila-gila kecantikan dara itu dan menghendaki ia menjadi isterinya, kini berubah pandang. Dia tidak lagi melihat Muryani sebagai seorang dara yang ayu manis merak ati, melainkan sebagai seorang wanita yang sama sekali tidak menarik dan tidak menyenangkan hatinya, yang membuat dia berafsu untuk menyiksa dan membunuhnya. Demikianlah keadaan hati kita.
Selama nafsu, terutama sekali nafsu benci dan marah tidak menguasai hati, maka wajah sesorang, bagaimanapun bentuk dan coraknya, akan tampak menyenangkan. Akan tetapi sekali nafsu benci dan marah mengkeram hati, biar orang yang tadinya dicinta setengah matipun akan tampak memuakkan dan menimbulkan keinginan untuk menyiksanya!
"Perempuan keparat! Mampuslah kau!" Mundingjaya membentak dan diapun sudah menerkam dan menyerang dengan bacokan parang atau goloknya yang tajam mengkilap.
Namun dengan cekatan sekali Muryani melompat ke samping, agak jauh karena ia tidak ingin berdekatan dengan orang yang berlepotan tinja kerbau itu agar tidak terkena percikan dan tidak terserang bau yang memuakkan. Melihat gadis itu mengelak, Mundingjaya mengejar dan menyerang lagi, lebih kuat daripada tadi karena agaknya dia ingin sekali bacok membelah tubuh denok itu.
Sekali lagi Muryani mengelak ke kanan dengan loncatan jauh. Ia sengaja melompat makin mendekati tepi telaga. Mundingjaya tidak sadar bahwa gadis itu memancingnya mendekati telaga. Dia hanya mengira bahwa gadis itu merasa ngeri menghadapi serangan-serangannya yang ampuh dan sengaja menjauh untuk melarikan diri. Tidak, dia tidak akan membiarkan gadis itu melarikan diri!
"Lari ke nerakapun akan kukejar kau!" bentaknya dan dia melompat dan menngejar lalu menyerang lagi. Setelah mengelak sebanyak lirna kali sambil melompat, Muryani telah tiba di tepi telaga. Karena ia tidak ingin melayani orang itu bertanding dalam jarak dekat, ketika melompat yang terakhir kalinya tadi, ia menyambar sebuah batu sebesar kepalan tangannya. Ia memindahkan ranting kayu ke tangan kiri dan kini memegang batu itu di tangan kanan.
"Haaaaahhhh!" Mundingjaya menyerang lagi, kini membacokkan goloknya ke arah pinggang Muryani. Gadis itu kini tidak dapat melompat ke belakang karena belakangnya terdapat telaga sehingga kalau ia melompat ke belakang, ia tentu akan terjatuh ke dalam air. Juga di kanan kirinya terdapat halangan, di kiri terdapat batu-batu besar dan disebelah kanan terdapat semak-semak belukar yang berduri. Mundingjaya menyeringai, agaknya sudah yakin bahwa sekali ini tubuh gadis yang berani menghinanya itu tentu akan terkena bacokannya dan pinggang yang ramping itu akan putus sehingga isi perutnya akan berceceran. Dia sudah timbul niatnya untuk minum darah yang akan bercucuran keluar dari mayat gadis itu!
Akan tetapi, Muryani agaknya memang sudah sengaja memancing Mundingjaya ke bagian itu. Ketika lawannya datang menyerang seperti seekor kerbau gila, ia melompat lagi, akan tetapi bukan ke belakang, ke kanan atau ke kiri, melainkan ke depan! Tubuhnya dengan ringannya melompat tinggi bagaikan seekor kijang muda dan ia sudah me-lompat.lewat atas kepala Mundingjaya! Tentu saja serangan kepala gerombolan itu luput dan melihat betapa gadis itu tiba-tiba saja lenyap dan dia hanya melihat sesosok bayangan berkelebat di atas kepalanya, Mundingjaya terkejut dan cepat dia membalikkan tubuhnya.
Pada saat dia membalik itu, Muryani sudah melontarkan batu di tangan kanannya sambil membentak, "Makanlah ini!"
Mundingjaya terkejut sekali, akan tetapi karena sambaran batu itu datang cepat sekali bagai kilat menyambar pada saat dia memutar tubuh, maka dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengelak atau menangkis. Saking kaget dan heran dia membuka mulut dan hal nilah yang membuat dia celaka.
"Syuuutt... krakkk!!" Bunyi berderak itu adalah bunyi barisan giginya yang diterjang batu.
Karena pada saat itu dia me,mbuka mulutnya, maka batu itu mengantam giginya sehingga semua gigi atas bawah bagian depan rompal dan copot! "Auhhhhh...!!"
Mundingjaya berteriak, lukanya berdarah-darah dan tubuhnya terjengkang kebelakang. Karena dia memang berada dekat sekali di tepi telaga, maka tanpa dapat dihindarkannya lagi, tubuhnya terjatuh ke dalam air. "Byuurrr...!" Air muncrat ke atas dan Muryani tertawa-tawa!
Akan tetapi pada saat itu, enam orang anak buah Mundingjaya telah tiba di situ dan mereka semua melihat betapa pimpinan mereka terjatuh ke dalam air telaga dan mukanya tadi berdarah-darah. Mereka terkejut akan tetapi juga marah sekali. Dengan golok terhunus mereka lalu megepung Muryani yang kini berada ditempat lapang sehingga ia terkepung.
"Cah ayu, menyerahlah saja daripada kami harus menggunakan kekerasan!" kata orang di antara mereka yang agaknya masih merasa sayang kalau harus membunuh gadis cantik jelita ini.
"Kenapa kalian tidak mengikuti pemimpin kalian itu?" kata Muryani sambil ternyum mengejek, siap dengan ranting kayu di tangan kanannya. Melihat betapa gadis itu hanya bersenjatakan sebatang ranting kecil, sebesar ibu jari, tentu saja enam orang itu tidak merasa takut.
"Menyerahlah, manis. Asalkan engkau suka menjadi isterinya, tentu kakang Mundingjaya akan suka memaafkanmu!" kata pula seorang lain.
Muryani tertawa bebas lepas. "Heh-heh-hik, dia menjadi suamiku? Bahkan untuk menjadi budakku, bahkan menjadi alas kaki pun kalian masih belum pantas! Pantasnya kalian menjadi katak-katak dalam air telaga ini!"
Marahlah kini enam orang itu, apalagi mereka melihat Mundingjaya kini keluar dari dalam telaga, merangkak dan wajahnya yang basah kuyup itu masih mengeluarkan darah. Tampak mengerikan sekali wajah itu. "Bunuh...! Bunuh... perempuan itu...!" bentak Mundingjaya terengah-engah dan suaranya menjadi pelo karena giginya bagian depan sudah ompong semua.
Enam orang itu kini menyerang dari segala jurusan. Golok mereka menyambar dengan bacokan dan tusukan maut. Akan tetapi Muryani sudah siap siaga. Ia mutar tubuhnya dan dengan kecepatan kilat ranting kayu di tangannya menyambar-nyambar. Ranting sekecil itu dapat menangkis sambaran golok yang berat dan kuat. Muryani membalas, tangan kirinya mendorong dengan Aji Bromo Latu. Angin pukulan yang panas menyambar-nyambar dan enam orang itu mengeluh. Seorang demi seorang terpelanting roboh, tidak ada yang kuat menerima pukulan Bromo Latu yang berhawa panas.
Mereka itu hanyalah gerombolan penjahat yang mengandalkan tenaga otot besar saja. Muryani cepat menyusulkan tendangan-tendang kakinya sehingga enam orang itu terlempar ke sana-sini. Mereka menjadi ketakutan. Belum pernah selama hidup mereka bertemu dengan lawan yang setangguh ini. Begitu mereka dapat merangkak bangun mereka lalu lari menjauhkan diri.
Mundingjaya yang melihat betapa enam orang anak buahnya semua roboh oleh gadis itu, menjadi terkejut bukan main dan dia juga ketakutan. Dia mengumpulkan sisa tenaganya untuk bangkit berdiri dan melarikan diri. Akan tetapi dengan sekali lompatan jauh Muryani telah berada di dekatnya dan sekali kakinya menendang, Mundingjaya roboh. Ujung ranting kayu di tangan Muryani sudah menodong dan menekan leher kepala gerombolan itu.
"Tobaat... ampunkan saya, nona..." kepala gerombolan itu memohon dengan wajah pucat ketakutan.
"Panggil penuntun kuda itu ke sini!" Muryani memerintah dan menekan ujung rantingnya ke leher Mundingjaya yang sudah tidak berdaya itu.
"Heii! Kayun...! Bawa kudaku itu ke sini!" teriak Mundingjaya yang masih rebah menelungkup.
Pemuda remaja yang menuntun kuda dan berada agak jauh dari situ, mendengar teriakan ini lalu menuntun kuda itu mendekat. Muryani mengambil kendali kuda dari tangan pemuda remaja itu dan membentak kepadanya, "Hayo engkau cepat pergi dari sini!"
Pemuda remaja itu tampak meragu, akan tetapi Mundingjaya segera menghardiknya, "Pergi tinggalkan tempat ini, tolol!"
Mendengar ini, pemuda itu lalu berlari pergi. "Nah, sekarang aku mau mengampunimu dengan dua syarat. Pertama, kauberikan kuda ini untukku."
"Baik, nona. Ambillah kuda itu, saya berikan kepadamu dengan senang hati." kata kepala penjahat itu dengan harapan agar segera dibebaskan.
"Ada satu syarat lagi yang paling penting. Hayo katakan apakah engkau mengetahui di mana adanya orang yang bernama Ki Wiroboyo, dahulu menjadi demang dusun Pakis."
Mundingjaya mengerutkan alisnya yang tebal. Dia sudah bangkit duduk sekarang lalu sambil menengadah memandang wajah Muryani, dia menggeleng kepala dan berkata, "Maaf, nona. Saya tidak pernah mendengar nama itu."
Melihat sikap dan pandang mata laki-laki kasar itu, Muryani percaya dan ia bertanya pula, "Akan tetapi engkau tentu mengenal jagoan Ponorogo yang bernama Warok Surobajul. Ceritakan tentang dia!"
"Warok Surobajul? Tentu saja saya megenalnya, nona. Namanya terkenal sekali dari Ponorogo sampai ke daerah ini. Oya, pernah kurang lebih sebulan yang lalu saya sempat bertemu dengan dia. Katanya ia hendak pergi ke sebuah dusun di pegunungan ini, entah apa keperluannya dia tidak bercerita kepada saya."
"Hemm, ketika itu dia pergi dengan siapa?" Mundingjaya mengerutkan alisnya, mengngat-ingat. "Dia melakukan perjalanan dengan seorang laki-laki yang gagah dan berpakaian mewah, berkumis tebal. Akan tetapi saya tidak mengenalnya dan diapun tidak mengenalkan diri. Orangnya tampak angkuh, sikapnya seperti priyayi."
Muryani mengangguk dan tahu bahwa yang dimaksudkan itu tentulah Ki Wiroboyo. Mereka berdua itu tentu sedang dalam perjalanan menuju dusun Pakis, pikirnya. "Tahukah engkau di mana tempat tinggal Warok Surobajul itu?"
"Tahu, nona. Dia tinggal di Ponorogo. Semua orang tahu di mana rumah warok yang terkenal itu."
"Cukup, aku mau mengampunimu kali ini, akan tetapi ingat, engkau kawan-kawanmu harus mengubah jalan hidup kalian dan tidak melakukan kejahatan lagi. Awas, kalau aku pulang dan lewat sini mendapatkan bahwa kalian masih lakukan kejahatan, aku tidak akan memberi ampun lagi dan pasti akan membunuh kalian semua!"
Tanpa menanti jawaban penjahat itu, Muryani sudah melompat ke atas punggung kuda rampasannya dan membalapkan kuda itu meninggalkan Telaga Sarangan. Mundingjaya bangkit berdiri dan menyumpah-nyumpah. Bagi seorang sesat seperti dia sukarlah sekali untuk dapat bertaubat, menyadari akan dosa-dosanya dan berusaha untuk mengubah jalan hidupnya.
Dia tetap saja tidak merasa bersalah, bahkan menyumpahi Muryani yang dia anggap jahat dan kalau tadi dia menyatakan bertaubat dan bersikap lunak adalah karena rasa takut terhadap gadis sakti itu. Sekarang, hatinya penuh dendam kebencian dan kalau ada kesempatan, tentu dia akan berusaha sekuat tenaga untuk membalas dendam kepada Muryani!
Demikian pula halnya dengan Ki Wiroboyo. Bekas demang dusun Pakis ini tidak pernah mau menyadari akan kesalahannya, tak pernah mau bertaubat, apalagi menyesali segala tingkah lakunya yang tidak baik. Dia hanya menyesal karena dia telah dikalahkan oleh Muryani, dan sampai kehilangan kedudukannya, bahkan terusir dari Pakis. Dia tidak pernah merasa dirinya bersalah. Tidak, dia bahkan selalu merasa bahwa dia adalah seorang demang yang bijaksana, yang baik terhadap warga dusunnya.
Kalau dia tergila-gila kepada Muryani dan ingin mengambilnya sebagai selir, hal itu dianggapnya wajar dan sama sekali tidak salah. Karena itu, perlawanan Muryani yang membuat dia kehilangan segala-galanya itu menimbulkan dendam dalam hatinya. Dia menganggap Muryani seorang gadis yang tidak tahu diri, sombong dan jahat! Apalagi setelah usahanya mendapatkan Muryani dengan kekerasan, bantu Surobajul, gagal dan menyebabkan kematian jagoan itu dan mengakibatkan dia kehilangan kedudukannya.
Dia menaruh dendam dan sakit hati terhadap Muryani. Karena itu, setelah dia membawa keluarganya pergi meninggalkan Pakis, dia pergi ke Ponorogo. Dia mengabarkan tentang kematian Warok Surobajul kepada keluarga warok itu dan dia lalu tinggal dengan keluarganya di Kadipaten Ponorogo dari mana dia berasal. Dia tidak pernah lupa akan dendamnya kepada Ki Ronggo Bangak dan puterinya, Muryani.
Akhirnya setelah lama mencari, dia menemukan seorang sahabat lama yang dulu pernah menjadi saudara seperguruannya dan kini orang itu tinggal di Lamongan. Orang itu berusia lima puluh tahun, bertubuh jangkung kurus bernama Darsikun. Kini bekas kakak seguruannya ini telah menjadi seorang jagoan yang digdaya karena dia pernah berguru lagi kepada Ki Harya Baka Wulung, datuk dari Madura itu. Biarpun dia hanya belajar selama setahun lebih kepada datuk itu, namun dia telah memperoleh kemajuan pesat dan menjadi seorang tokoh yang terkenal di Lamongan dan sekitarnya.
Darsikun ini ditemui Ki Wiroboyo dan dengan senang hati dia mau membantu bekas adik seperguruan ini untuk membalas dendam kepada Muryani dan ayahnya. Apalagi arena sekarang keadaan Ki Wiroboyo makmur, dapat membelikan pakaian indah dan barang-barang berharga untuknya. Demikianlah, Ki Darsikun ikut bersama Ki Wiroboyo pergi ke Ponorogo.
Kemudian pada malam hari itu, seperti sudah direncanakan oleh Ki Wiroboyo, Ki Darsikun mempergunakan kepandaiannya, memasuki rumah Ki Ronggo Bangak dan berhasil membunuh Ki Ronggo Bangak dan melukai Muryani dengan pukulan jarak jauhnya yang dahsyat. Dia merasa yakin bahwa gadis itu tentu juga sudah tewas karena pukulannya, maka dia pergi meninggalkan rumah itu dan kembali ke Ponorogo dengan hati bangga dan girang.
Ki Wiroboyo menyambut kakak seperguruan ini dengan girang sekali. Mendengar bahwa Ki Ronggo Bangak telah tewas, demikian juga Muryani, hatinya puas, dendam kebenciannya telah terbalas dan terlampiaskan. Akan tetapi ada sedikit kekecewaan bahwa dia tidak dapat menguasai Muryani yang digilainya itu. Dia menahan Ki Darsikun untuk tinggal di rumahnya dan setiap hari menjamunya dengan pesta.
Setelah sebulan lebih Ki Darsikun tinggal dirumah Ki Wiroboyo dan dimanjakan seperti seorang tamu agung, dia mengambil keputusan untuk pulang ke Lamongan. "Ah, kenapa tergesa-gesa, kakang Darsikun? Bukankah kakang senang tinggal sini bersama kami?" kata Ki Wiroboyo yang ingin menahan kakak seperguruannya selama mungkin di rumahnya karena bagaimanapun juga dia masih merasa khawatir kalau-kalau ada musuh datang untuk membalaskan kematian Muryani dan ayahnya.
"Sudah sebulan lebih aku tinggal di sini, adi Wiroboyo. Terima kasih atas sambutanmu yang baik. Biarlah lain kali aku datang lagi berkunjung. Aku sudah rindu pada keluargaku di Lamongan."
"Ya, apa boleh buat kalau begitu, kakang. Kapan engkau hendak berangkat? Aku akan mempersiapkan segala keperluanmu.
"Besok pagi-pagi aku akan berangkat, adi Wiroboyo."
Ki Wiroboyo lalu mengajak tamunya itu minum-minum. Tiba-tiba datang seorang laki-laki yang tampak gugup dan tergesa-gesa Wiroboyo mengenalnya sebagai sebagai pelayan dari mendiang Warok Surobajul.
"Ada apakah? Apakah mbakayu Suro yang mengutusmu ke sini?" tanya Wiroboyo sambil bangkit berdiri dari kursinya.
"Celaka, denmas Wiroboyo! Celaka...!"
"Hushh! Bicara yang benar dan jelas! ada apakah?" Wiroboyo membentak.
"Di rumah Nyi Suro kedatangan seorang gadis cantik yang galak sekali, denmas. Dara itu menghajar dan merobohkan tiga orang murid mendiang ki warok yang berada disana dan ia mengancam Nyi Suro untuk memberi tahu di mana denmas berada!"
"Ahh?" Ki Wiroboyo terkejut sekali "Siapa nama gadis itu?"
"Tidak tahu, denmas. Ia tidak menyebutkan nama. Saya masih sempat menyelinap pergi dari belakang dan cepat mengabarkan ke sini."
"Sudah, pergilah!" kata Wiroboyo ketika orang itu pergi, dia berkata kepada Ki Darsikun.
"Kakang, apa yang kukhawatirkan terjadi! Ada orang mencariku, orang gadis yang digdaya. Tentu ada orang hendak membalaskan kematian Muryani dan ayahnya."
"Jangan khawatir, adi Wiroboyo. Aku di sini! Pula, kalau ia hanya seorang gadis, ia akan mampu berbuat apakah terhadap kita?" kata Ki Darsikun dengan lagak angkuh.
"Akan tetapi kalau terjadi keributan sini sungguh tidak enak, kakang. Tentu akan menarik perhatian dan kalau Adipati Ponorogo mendengar, mungkin akan dilakukan pemeriksaan dan penyelidikan. Hal ini bisa berkelanjutan dan amat tidak enak bagiku."
"Lalu, bagaimana kehendakmu?"
"Kita lari keluar kota kadipaten dan kita hadang ia di tempat sepi di luar sana."
Tanpa menanti jawaban Wiroboyo lalu meninggalkan pesan kepada keluarganya bahwa kalau ada seorang gadis mencarinya, jangan dilayani secara kasar dan agar diberi tahu bahwa dia baru saja keluar melalui pintu gerbang utara dan agar dikatakan bahwa dia pergi seorang diri. Setelah meninggalkan pesan ini, Wiroboyo mengajak Darsikun untuk menunggang kuda dan melarikan diri ke luar kota Kadipaten Ponorogo dengan cepat.
Tepat di luar kota itu, di bagian utara, terdapat hutan yang lebat dan dua orang yang menunggang kuda itu lenyap ditelan hutan. Memang benarlah laporan pelayan keluarga mendiang Warok Surobajul itu. Muryani telah tiba di Ponorogo dan segera ia mencari rumah Warok Surobajul. Dan mudah saja ia menemukan rumah besar itu karena nama warok itu amat terkenal di di Kadipaten Ponorogo. Ia memasuki pekarangan rumah yang luas itu, melompat turun dari atas kudanya, mengikatkan kendali kudanya pada sebatang pohon yang banyak tumbuh di pekarangan, lalu melangkah menuju ke beranda depan.
Kunjungan ini segera disambut tiga orang laki-laki yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan melihat bentuk tubuh mereka, tiga orang ini tergolong orang-orang yang kuat. Di beranda berdiri seorang wanita setengah tua yang wajahnya masih membayangkan kecantikan dan wanita itu memandang ke arah Muryani dengan sinar mata tajam penuh selidik. Tiga orang laki-laki itu menghampirinya dan menghadangnya. Seorang di antara mereka yang berkumis tebal bertanya, suaranya berat dan parau.
"Siapakah andika dan ada keperluan apakah andika datang ke sini?"
Muryani memandang ke arah rumah besar itu dan menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan pula, "Apakah benar di sini rumah Ki Surobajul?"
Wanita setengah tua yang berada beranda itu melangkah maju menuruni anak tangga dan menjawab, "Benar, nini. Ini rumah mendiang suamiku Ki Surobajul. SIapakah andika dan ada urusan apakah?"
Muryani maju menghampiri wanita itu dan bertanya, "Kalau begitu, bibi, katakan padaku, di mana adanya Wiroboyo bekas demang dusun Pakis?"
Wanita itu mengerutkan alisnya, tampak kaget dan bingung lalu menggelengkan kepalanya dan berkata, "Aku tidak tahu. Aku tidak mengenal nama itu, kenapa andika bertanya kepadaku?"
"Bibi, jangan berbohong kepadaku! Engkau adalah isteri mendiang Ki Surobajul dan semua orang tahu bahwa warok itu diajak Wiroboyo pergi ke Pakis untuk membuat onar disana dan dia tewas dikeroyok penghuni dusun. Nah, engkau pasti tahu siapa Wiroboyo dan dimana dia sekarang berada. Jawablah sebenarnya agar aku tidak harus menggunakan kekerasan."
"Heh, bocah wadon (anak perempuan) lancang mulut! Pergilah kau dan jangan membikin ribut di sini!" Si kumis tebal itu menggerakkan tangan kanannya hendak menangkap lengan Muryani untuk ditarik keluar dari pekarangan itu.
Akan tetapi ketika dia berhasil menangkap lengan Muryani, gadis itu tiba-tiba dengan sentakan kuat memutar lengannya dan melangkah maju sambil memuntir lengan si kumis tebal. Gerakannya demikian tiba-tiba, cepat dan kuat sekali sehingga kini keadaannya menjadi terbalik. Lengan kanan laki-laki itulah yang dipuntir dan ditelikung di belakang tubuhnya. Ketika laki-laki itu hendak meronta, Muryani cepat mendorong lengan itu ke atas sehingga laki-laki itu berteriak kesakitan.
Muryani menendang belakang lututnya dan orang itu tak dapat bertahan lagi lalu jatuh bertekuk lutut. Sekali dorong tubuh laki-laki itu terjungkal, hidungnya mencium tanah keras sehingga berdarah! Dua orang murid Surobajul yang lain menjadi marah. Mereka cepat menerjang dan menyerang Muryani dengan pukulan tangan dan tamparan, namun Muryani cepat mengelak dengan lompatan kekiri. Seorang dari mereka yang berada di sebelah kiri mengejar akan tetapi dara perkasa itu menyambut dengan tendangan ke arah perutnya.
"Ngekkk!!" Orang itu terpelanting dan setelah terbanting jatuh dia memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas. Orang ketiga menerkam ke depan dengan marah. Kembali Muryani mengelak cepat dan sebelum penyerangnya itu membalik, tangan kiri Muryani yang kecil mungil itu menghantam dengan tamparan kilat.
"Wuutt... plakkk!!" Orang itu terputar, rasanya seperti disambar petir dan dia terguling roboh. Akan tetapi karena Muryani tidak ingin membunuh orang, maka ketika ia merobohkan tiga orang itu, ia membatasi tenaganya sehingga mereka tidak terluka berat agaknya mereka tidak menjadi jera, batin merasa penasaran sekali. Mereka bangkit berdiri dan mencabut senjata pisau belati panjang yang terselip di pinggang mereka. Pada saat itulah pelayan Nyi Surobajul lari dari pintu belakang dan pergi melapor kepada Wiroboyo.
Muryani menjadi marah melihat tiga orang itu tidak mundur, bahkan mereka kini memegang pisau besar mengancamnya. Akan tetapi beberapa gebrakan tadi saja sudah membuat ia tahu bahwa tiga orang itu bukan merupakan lawan tangguh. Maka iapun bersikap tenang saja. Ketika tiga orang yang mengepung dari depan, belakang dan kiri itu mulai bergerak menerjangnya. Muryani bergerak cepat sekali, menghindar sambil menggerakkan kaki tangannya.
Hampir berbareng saatnya, tangan kirinya menampar kepala orang pertama, tangan kanan menonjok dada orang kedua, dan kaki kanannya menyambar dan menenda perut orang ketiga. Gerakannya sekali iin lebih kuat daripada tadi. Tiga orang itu mengaduh dan bergelimpangan. Yang ditampar kepalanya merasa kepalanya pecah dan bintang bertaburan di depan matanya yang menjuling. Yang ditonjok dadanya terengah-engah karena napasnya seperti berhenti tersumbat, dan yang ditendang perutnya merasa perutnya mulas dengan hebat sehingga dia bergulingan sampai mengaduh-aduh.
Nyi Surobajul memandang dengan muka pucat. Ia hendak berlari masuk, akan tetapi sekali melompat Muryani telah berada di depannya. "Bibi, aku tidak ingin bertindak kasar terhadap seorang perempuan tua sepertimu, akan tetapi katakanlah, bibi. Di mana adanya Wiroboyo? Bibi pasti mengetahuinya!"
Wanita itu berkata lirih, "Dia... dia berada di rumahnya sendiri..."
"Di mana rumahnya, bibi?" tanya Muryani, hatinya girang karena akhirnya ia dapat mengetahui rumah musuh besarnya.
"Di ujung utara kota ini, tanyakan semua orang di sana tentu mengetahuinya."
"Terima kasih, bibi!" Setelah berkata demikian, tanpa memperdulikan tiga orang yang masih merintih kesakitan, Muryani melepaskan tambatan kudanya, melompat ke punggung kuda lalu melarikan kudanya keluar dari pekarangan itu. Dengan cepat menuju ke ujung utara kota dan setelah bertanya-tanya, dengan mudah ia dapat menemukan rumah besar tempat tinggal Ki Wiroboyo. Ia menambatkan kudanya di pekarangan lalu berlari menuju ke serambi depan. Di situ ia melihat dua orang wanita muda yang cantik dan berpakaian mewah bangkit berdiri dan memandangnya.
Muryani menduga dua orang wanita muda cantik dan pesolek ini tentu isteri-isteri Wiroboyo, maka iapun cepat bertanya. "Mbakyu, aku ingin bertanya, apakah Ki Wiroboyo berada di rumah? Kalau dia berada dirumah, harap dipanggil keluar. Katakan bahwa aku mempunyai urusan penting sekali dengan dia!"
Dua orang wanita itu saling pandang. Mereka bersikap tenang, akan tetapi Muryani dapat melihat dari pandang mata mereka bahwa mereka merasa tegang dan takut. "Kakangmas Wiroboyo baru saja keluar rumah," kata seorang dari mereka sedangkan yang lain ikut mengangguk membenarkan.
"Ke mana dia pergi? Dengan siapa?"
"Menurut katanya tadi, dia hendak pergi ke Madiun dan perginya seorang diri."
"Hemm, benarkah ucapanmu ini? Tidak bohong?" Muryani membentak, nada suaranya mengancam.
"Mengapa mesti bohong?" wanita itu berkata dengan alis berkerut.
"Di mana letaknya Madiun?"
"Di sebelah utara. Tadi kakangmas Wiroboyo menuju ke pintu gapura utara itu," kata wanita itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah utara.
"Dia menunggang kuda? Atau naik kereta?" Muryani mendesak. Dua orang wanita itu menggeleng kepala. "Dia tadi berjalan kaki."
Setelah mendengar keterangan ini dan melihat sikap dua orang wanita itu tenang dan agaknya tidak berbohong, tanpa pamit Muryani sudah lari menghampiri kudanya dan tak lama kemudian ia sudah membalapkan kudanya keluar dari pintu gapura sebelah utara, melakukan pengejaran.
Matahari sudah mulai menggulir ke arah barat ketika Muryani membalapkan kudanya memasuki hutan yang lebat itu. Jalan itu sunyi, tak tampak ada orang lain di atas jalan raya itu. Tiba-tiba Muryani melihat seorang laki-laki berjalan di sebelah depan. Ketika mendengar derap kaki kuda, laki-laki itu memutar tubuhnya memandang. Pada saat itu Muryani melihat dan mengenal laki-laki itu yang bukan lain adalah Ki Wiroboyo!
Tubuhnya yang tinggi besar. Kumisnya yang sekepal sebelah seperti Gatutkaca! Tak salah lagi. Orang itu adalah Ki Wiroboyo! Agaknya laki-laki itupun mengenalnya karena tiba tiba dia membalikkan tubuhnya dan berlari cepat sekali ke arah depan, menjauhinya.
"Berhenti! Hendak lari ke mana kau keparat?" Muryani membentak marah dan membedal kudanya agar lari lebih kencang lagi. Jarak di antara mereka paling jauh sekitar lima puluh meter. Muryani adalah seorang gadis yang telah digembleng di perguruan Bromo Dadali sehingga memiliki kedigdayaan. Namun bagaimanapun juga, ia masih amat muda dan kurang pengalaman. Ia tidak tahu atau belum mengenal benar keadaan di dunia sesat. Dunia sesat memiliki banyak orang yang sakti, akan tetapi yang lebih berbahaya lagi, mereka adalah orang-orang yang licik dan curang, memiliki banyak tipu muslihat berbahaya. Ia sama sekali tidak pernah curiga atau menduga bahwa sesungguhnya sejak tadi ia telah terancam bahaya.
Kemunculannya telah diketahui musuh, bahkan musuh telah mengatur siasat licik untuk menjebaknya. Kemunculan Wiroboyo itu memang disengaja, merupakan pancingan untuk membuat gadis itu kehilangan kewaspadaannya dan seluruh perhatiannya ditujukan untuk menangkap orang yang melarikan diri di depan itu. Karena itu, ia kurang peka akan keadaan di sekelilingnya pada saat dua batang anak panah menyambar dari samping.
"Srrtttt!" Dua batang anak panah meluncur dengan cepatnya dari arah kiri. Muryani yang sejak tadi menujukan panting mata dan seluruh perhatiannya ke depan, tidak melihat sambaran anak panah dari kiri yang menyusur rendah itu. Tahu-tahu dua batang anak panah itu telah menancap di perut dan dada kuda yang ditungganginya. Kuda itu meringkik dan mendengus, melompat miring dan roboh. Muryani yang sama sekali tidak bersiaga, terbawa roboh dan gadis itu terbanting keras, kepalanya terbentur tanah keras dan iapun roboh pingsan!
Ketika melihat Muryani jatuh pingsan Ki Wiroboyo menjadi girang sekali. Bersama Darsikun bekas kakak seperguruan yang membantunya dan yang tadi melepas anak panah merobohkan kuda yang ditunggangi Muryani, Darsikun sudah mencabut kerisnya untuk membunuh gadis yang jatuh pingsan itu, akan tetapi Wiroboyo memegang lengannya.
"Jangan bunuh, kakang!"
"Eh, adi Wiroboyo! Gadis ini berbahaya sekali, ia tentu mendendam kepadamu dan tentu akan berusaha membunuhmu!" Darsikun memperingatkan.
"Benar, kakang Darsikun., Akan tetapi aku tidak ingin membunuhnya sekarang. Aku bersumpah untuk mendapatkan dirinya sebelum aku membunuhnya!" kata Wiroboyo sambil memandang ke arah tubuh gadis yang rebah telentang pingsan itu penuh gairah.
Darsikun tersenyum maklum. "Terserah kalau begitu. Akan tetapi, jangan pandang ringan gadis ini, adi. Sebaiknya kau ikat dulu kaki tangannya sebelum engkau membawanya."
"Aku tahu, kakang, aku tahu!" kata Wiroboyo dan dia mengeluarkan segulung tali yang kokoh kuat. Mulailah dia mengikat kedua tangan gadis itu ke belakang tubuhnya. Akan tetapi belum selesai dia mengikat dua pergelangan tangan itu...
"demi para dewata! Apa yang kalian lakukan terhadap gadis itu? Kalian dua orang laki-laki gagah sungguh tidak tahu malu, mengganggu seorang gadis muda. Hayo cepat lepaskan ia dan tinggalkan tempat ini!"
Wiroboyo dan Darsikun terkejut bukan main mendengar suara teguran di belakang pekarangan itu. Mereka yang tadinya berjongkok, cepat melompat berdiri sambil membalikkan tubuh. Kiranya yang berhadapan dengan mereka dalam jarak tiga meter adalah seorang nenek tua renta. Usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Wajahnya masih halus tanpa keriput, akan tetapi rambutnya yang panjang dibiarkan terurai putih mengkilap seperti benang perak. Tangan kanannya memegang sebatang tongat dari seekor ular kobra kering. Biarpun usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, nenek itu masih tampak jelas bahwa dahulu ia tentu seorang wanita cantik.
Melihat bahwa yang menegur mereka hanya seorang nenek tua, walaupun nenek itu tampak menyeramkan karena memegang sebatang tongkat bangkai ular kobra kering, tentu saja Wiroboyo dan Darsikun tidak merasa takut. Wiroboyo bahkan berjongkok kembali untuk melanjutkan mengikat kedua pergelangan tangan Muryani karena dia khawatir kalau-kalau gadis keburu siuman.
"Laki-laki bandel! Lepaskan gadis itu nenek itu membentak dan begitu tanan kirinya digerakkan mendorong ke arah Wiroboyo yang sedang berjongkok hendak mengikat kedua pergelangan tangan Muryani dengan tali, tiba-tiba saja tubuh Wiroboyo terpental dan bergulingan seperti sebuah bola ditendang!
Tentu saja dua orang laki-laki itu kejut bukan main. Darsikun yang merupakan seorang jagoan yang berpengalam maklum bahwa nenek ini ternyata memiliki kesaktian, maka diapun sudah mencabut kerisnya dan menghampiri nenek itu. Wiroboyo yang tidak terluka, hanya terkejut saja, sudah melompat dekat di samping Darsikun, siap untuk mengeroyok nenek itu. Nenek itu tertawa melihat sikap mereka ketika tertawa, tampak deretan giginya yang masih utuh dan putih bersih sehingga wajahnya tampak muda dan manis.
"Heh-heh-hi-hik, kalian ini dua orang laki-laki gagah memegang pusaka (keris) di depan seorang nenek mau apakah? Mau bunuh aku? Sungguh kalian jahat sekali. Bertaubat dan sadarlah dari kejahatan kalian pergilah dari sini dengan aman."
Tentu saja dua orang itu tidak mau pergi begitu saja. "Nenek yang lancang suka mencampuri urusan orang lain! Andika siapakah?" tanya Darsikun dengan suara menghentak.
"Hemm, orang-orang yang tidak menghormati orang tua! Sepatutnya kalian yang memperkenalkan nama kepadaku. Kalian ini siapakah, berani melakukan kekerasan terhadap seorang wanita tanpa merasa malu sedikitpun!"
"Nenek lancang. Buka telingamu baik-baik! Aku adalah Ki Darsikun, jagoan nomor satu di Lamongan dan murid Bapa Guru Ki Harya Baka Wulung! Dan ini adalah adik seperguruanku bernama Ki Wiroboyo dari Ponorogo!"
"Aha, kiranya murid Ki Harya Baka Wulung? Akan tetapi, Ki Harya setahuku adalah seorang datuk sakti dari Madura yang gagah perkasa, mengapa sekarang muridnya seorang laki-laki pengecut yang suka mengganggu wanita?"
"Nenek keparat! Mengakulah siapa, andika!" bentak Ki Wiroboyo marah.
"Orang-orang macam kalian ini tidak pantas untuk mengenal namaku. Anggap saja aku orang yang menentang kalian melarang kalian mengganggu gadis itu!"
Ki Darsikun dan Wiroboyo tak dapat menahan kemarahan mereka lagi dan bareng mereka menerjang ke depan, menggerakkan keris mereka menyerang nenek itu. Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan nenek itu sudah lenyap dari depan mereka! Dua orang itu terbelalak dan lagi mereka kebingungan, ada suara di belakang mereka.
"Kalian mencari apa? Aku berada di sini!"
Mereka cepat membalik dan ternyata nenek itu telah berdiri di belakang mereka sambil tersenyum. Kembali mereka menerjang dan tiba-tiba nenek itu menghilang untuk muncul di belakang mereka sampai lima kali kedua orang itu menyerang, akan tetapi yang diserangnya seperti bayangan saja, tahu-tahu lenyap dan muncul di tempat lain. Dengan kaget Darsikun menyadari bahwa nenek itu memiliki ilmu meringankan tubuh dan kecepatan yang luar biasa, yang membuat ia seolah dapat menghilang!
Mereka mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan seluruh kecepatan lalu menerjang lagi, bukan hanya rnenggunakan keris di tangan kanan, akan tetapi juga tangan kiri mereka bergerak, memukul dengan tenaga sakti untuk mencegah nenek itu menghilang. Akan tetapi kini dengan kecepatan kilat, nenek itu sudah lenyap pula. Ketika mereka berdua membalik, nenek itu tidak berada di belakang mereka. Mereka mencari-cari, tetapi tetap saja tidak menemukan nenek itu.
Tiba-tiba terdengar suara tawa nenek itu dan ketika mereka memandang ke arah suara yang datang dari atas, nenek itu telah duduk dengan kedua kakinya ongkang-ongkang sambil tersenyum mengejek.
"Nenek keparat! Jangan bermain gila. Kalau memang engkau berani turunlah dan lawan kami, jangan hanya main mengelak." bentak Darsikun yang merasa malu dan penasaran sekali.
"Hi-hik! Kalau beberapa tahun yang lalu kalian bertemu dengan aku, tentu sekarang kalian sudah menggeletak tanpa nyawa. Akan tetapi sekarang aku tidak suka membunuh dan kalau kalian ingin mendapatkan pelajaran, sambutlah!" Tiba-tiba tubuh nenek itu melayang turun dan menyambar kearah dua orang itu seperti seekor burung garuda menyambar calon mangsanya.
Dua orang itu terkejut dan mereka menyambut bayangan putih yang menyambar ke arah mereka itu dengan tusukan keris mereka. Akan tetapi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, nenek itu menggerakkan tongkat ularnya dua kali yang dengan tepat memukul pergelangan tangan kanan mereka yang memegang keris.
"Tukk! Tukk!!" Dua orang itu berteriak kesakitan karena tulang lengan mereka telah retak-retak ketika terpukul tongkat. Dengan sendirinya keris itu terlepas dari pegangan mereka dan karena maklum bahwa mereka tidak mungkin melanjutkan perlawanan setelah lengan kanan mereka patah tulangnya, tanpa dikomando lagi kedua orang itu lalu melompat dan melarikan diri tunggang-langgang.
Pada saat itu Muryani sudah siuman dari pingsannya. Ia sempat melihat dua orang itu bertanding melawan nenek rambut putih yang sakti itu. Ia berhasil melepaskan tali yang belum sempurna mengikat kedua lengannya. Akan tetapi ketika bangkit berdiri, kedua orang itu sudah melarikan diri. "Hendak lari ke mana kalian, jahanam-jahanam busuk?" Muryani memaki dan ia melompat untuk melakukan pengejaran.
Akan tetapi tiba-tiba ia jatuh tersungkur karena kedua kakinya dihalangi tongkat ular di tangan nenek itu. Muryani melompat berdiri dan memandang nenek itu dengan heran dan penasaran. "Nenek yang aneh! Andika tadi menolongku akan tetapi kenapa sekarang menghalangi aku mengejar dua orang penjahat itu?"
"Nini, aku menghalangi engkau melakokan pengejaran karena kalau kubiarkan, tidak urung engkau akan terjatuh lagi ke tangan mereka. Mereka itu orang-orang berbahaya sekali, nini. Apalagi kalau Harya Baka Wulung berdiri di belakang mereka!"
"Ki Harya Baka Wulung?" Muryani bertanya heran, tidak berniat mengejar karena iapun teringat bahwa kalau ia melakukan pengejaran, selain belum tentu dapat menyusul karena hutan itu lebat sekali, juga siapa tahu ia akan terjebak dan tertangkap lagi seperti tadi. "Siapakah itu, eyang (nenek)?"
"Dia itu datuk yang sakti mandraguna dari Madura, dan orang tinggi kurus yang bernama Ki Darsikun tadi adalah muridnya. Juga yang seorang lagi..."
"Si Wiroboyo itu?" Muryani memotong.
"Hemm, jadi engkau sudah mengenalnya nini?"
"Tentu saja! Dia itu musuh besarku, orang jahat yang telah membunuh ayahku," jawab Muryani. Nenek itu tersenyum melihat sikap Muryani yang keras. Gadis cantik jelita yang keras hati ini mengingatkan ia akan keadaan dirinya sendiri dahulu puluhan tahun lalu ketika ia masih jadi seorang gadis muda.
Hatinya tertarik dan ia lalu duduk di atas sebuah batu yang berada di tepi jalan itu. "Nah, kalau begitu cepat ceritakan kepadaku mengapa engkau bermusuhan dengan mereka dan bagaimana engkau tadi sampai tertangkap. Dan ini tentu kudamu, bukan?" Ia menuding ke arah bangkai kuda yang rebah di situ.
Muryani mengerutkan alisnya. Ia menyadari bahwa laki-laki jangkung bernama Darsikun tadi tentulah orang yang membantu Wiroboyo sehingga sampai berhasil membunuh ayahnya dan dulu melukainya. Orang itu sakti dan dua orang musuhnya itu berbahaya sekali. Akan tetapi betapa mudahnya tadi ia melihat nenek ini mengalahkan mereka. Setelah berpikir sejenak, ia lalu menjatuhkan diri berlutut depan batu yang diduduki nenek itu dan berkata,
"Saya akan menceritakan semua kalau eyang sudah menerima saya menjadi murid. Eyang, sudilah kiranya eyang menerima saya sebagai murid!"
Sejenak nenek itu termangu, memandang kepada gadis yang berlutut sambil menundukkan mukanya itu. "Coba angkat mukamu dan pandang aku!" perintahnya.
Muryani mengangkat muka dan memandang wajah nenek itu dengan sinar mata tajam. Matanya yang mencorong itu agaknya menyenangkan hati nenek itu. Sejenak dua pasang mata itu bertemu pandang saling selidik. Nenek itu mengamati wajah yang ayu manis itu dan ia tersenyum. Bukan hanya sikap keras gadis itu yang menarik hatinya, juga wajah ayunya pun menyenangkan hatinya.
"Agaknya engkau seorang gadis yang pernah mempelajari ilmu kanuragan. Murid siapakah engkau?"
"Saya pernah belajar ilmu silat di perguruan Bromo Dadali, eyang."
"Ah, heh-heh-heh! Kiranya engkau murid Ki Ageng Branjang ketua Bromo Dadali di Gunung Muria? Coba kauperlihatkan apa yang pernah kaupelajari di sana agar aku mengetahui sampai di mana tingkatmu. Hayo mulai!" kembali nenek itu memerintah.
Muryani yang merasa yakin bahwa nenek ini seorang sakti mandraguna, tidak ragu-ragu lagi. Setelah menyembah, ia lalu bangkit berdiri dan rnulai bersilat di depan nenek itu. Ia membuka gerakannya dengan pasangan kuda-kuda Dadali Anglayang, kemudian mulai bersilat dan sengaja mengerahkan seluruh kecepatan dan tenaganya. Bahkan beberapa kali ia memukul dengan dengan Aji Bromo Latu sehingga terasa oleh nenek itu hawa panas keluar dari pukulan itu.
"Cukup!" nenek itu berseru dan Muryani menghentikan gerakannya, lalu menjatuhkan diri lagi duduk bersimpuh di depan batu yang diduduki nenek itu.
"Kemampuan saya masih rendah, eyang," kata Muryani merendah.
"Hemm, memang masih belum dapat diandalkan dan mengandung banyak kelemahan. Ki Ageng Branjang agaknya masih belum pandai mengajarkan ilmu silat pada muridnya, atau memang barangkali hanya sampai sekian saja tingkat kepandaiannya." Ucapan nenek itu mengandung ketinggian hati yang memandang rendah kemampuan orang lain sehingga diam-diam Muryani merasa tidak senang dan mengerutkan alisnya. Ia menganggap nenek itu terlalu sombong dan merendahkan gurunya yang menjadi ketua Bromo Dadali. Akan tetapi tentu saja ia diam saja, tidak berani menyatakan perasaan tidak senangnya dengan kata-kata.
"Aha, engkau tidak percaya padaku dan menganggap aku membual?" tiba-tiba nenek itu bertanya.
Muryani menjadi terkejut. "Ah, bukan begitu, eyang, akan tetapi..."
"Sudahlah, hayo bangkitlah, cepat!" Perintah ini mengandung suara sedemimikian penuh wibawa sehingga mau tidak mau Muryani bangkit juga.
"Hayo serang aku dengan ilmumu yang paling ampuh, pergunakan pukulanmu yang mengandung hawa panas tadi!"
Muryani terkejut. "Akan tetapi...."
"Tidak ada tapi! Apa kau tidak percaya bahwa aku akan mampu menahan pukulanmu? Hayo cepat pukul!"
Terpaksa Muryani lalu mengerahkan Aji Bromo Latu, yaitu ilmu pukulan yang merupakan aji pamungkas yang menjadi andalan perguruan Bromo Dadali, kemudian memukul kearah dada nenek itu. Akan tetapi ia hanya mengerahkan sebagian dari tenaganya saja karena ia tidak ingin melukai nenek tua renta itu.
"Awas serangan saya, eyang!" Ia masih memperingatkan dan pukulan tangan kanannya yang terbuka itu menyambar ke depan.
"Wuuutttt... dess...!!" Tubuh Muryani terpental ke belakang dan ia terhuyung-huyung.
Hawa pukulannya yang mengandung panas tadi seperti membentur sesuatu yang lunak namun lentur, yang membuat tenaga pukulannya membalik sehingga ia tak dapat mempertahankan diri lalu terhuyung. Muryani terkejut sekali.
"Ke sinilah kau!" nenek itu membentak dan Muryani melangkah maju menghampiri. "Hemm, bocah tolol! Kalau engkau tidak percaya akan kemampuanku, mau apa engkau ingin menjadi muridku? Engkau memukul hanya dengan tenaga sebagian saja. Engkau takut kalau, aku terluka. Begitu rendahkah engkau menilai aku?"
Muryani beradu pandang dengan nenek itu dan ia terkejut. Sinar mata nenek itu mencorong seolah menembus sampai hatinya! "Saya tidak berani, eyang," katanya lirih.
"Kalau tidak berani memandang rendah hayo pukul lagi aku dengan seluruh tenagamu. Aku ingin mengukur tingkatmu, tahu?"
Muryani lalu memasang kuda-kuda mengumpulkan seluruh tenaganya. Ia kini percaya penuh akan kesaktian nenek itu. Setelah mengerahkan seluruh tenaga, memukul dengan dorongan kedua tela pak tangannya ke arah tubuh nenek yang masih duduk di atas batu itu sambil berseru, "Maafkan saya, eyang!"
Dahsyat sekali Aji Bromo Latu yang dipergunakan Muryani untuk melakukan pukulan itu. Dari kedua telapak tangannya menyambar hawa yang amat panas, mendahului tenaga pukulan yang dahsyat. "Wuuuttt.... blarrr....!" Tubuh Muryani tepental jauh dan ia terbanting jatuh, tidak dapat bangkit kembali karena ia telah jatuh pingsan lagi!
Nenek itu turun dari atas batu, menghampiri Muryani dan berjongkok di dekatnya, menggunakan jari tangan kanan menotok tiga kali ke arah ulu hati, di antara sepasang payudaranya, kemudian mengurut bagian tengkuknya. Muryani mengeluh lirih dan membuka matanya. Ketika melihat nenek itu berjongkok di dekatnya, ia cepat bangkit lalu duduk menyembah dengan hormat.
"Maafkan saya yang bodoh dan lemah," katanya lirih.
"Hik-hik, sekarang aku telah mengukur tingkatmu. Engkau boleh juga, sudah mewarisi dasar-dasar aji kesaktian yang lebih tinggi. Tidak sukar bagimu untuk melatih dan menguasai ilmu-ilmuku yang tinggi."
"Ah, kalau begitu eyang menerima saya menjadi murid?"
Nenek itu tersenyum dan mengangguk. Muryani girang sekali dan ia lalu menyembah-nyembah. "Eyang guru, terimalah sembah sujud saya!" katanya.
Nenek itu menyentuh pundaknya dan bagaikan kemasukan hawa yang amat kuat Muryani tersentak bangun berdiri. Nenek itupun sudah berdiri lalu duduk kembali di atas sebuah batu. "Duduklah di sini dan sekarang ceritakan semua tentang dirimu, siapa engkau dan apa yang terjadi denganmu sampai kita saling berjumpa di sini."
Muryani lalu mengambil tempat duduk di atas batu, di sebelah nenek itu. "Eyang guru yang mulia. Nama saya Muryani. Mendiang ayah saya tinggal di dusun Pakis di Gunung Lawu. Sejak kecil saya ikut nenek saya di Demak sedangkan mendiang ayah meninggalkan Demak dan pergi merantau sampai ke Gunung Lawu. Ketika saya ikut nenek itulah saya menjadi murid perguruan Bromo Dadali. Ketika saya berusia enam belas tahun, baru setahun lalu, nenek saya di Demak sakit dan meninggal dunia. Ayah lalu membawa saya ke Pakis."
Muryani lalu bercerita tentang Ki Demang Wiroboyo yang hendak mengambilnya sebagai selir dan betapa ia memberi pelajaran kepada Ki Wiroboyo yang mata keranjang itu. Diceritakannya pula tentang warok Surobajul yang diundang Ki Wiroboyo untuk menculiknya dan betapa akhirnya Warok Surobajul tewas dikeroyok penduduk dan Ki Wiroboyo diusir dari dusun.
"Akan tetapi ternyata Wiroboyo menaruh dendam. Pada suatu malam, kurang lebih sebulan yang lalu, rumah kami kedatangan penjahat yang telah membunuh ayah dan melukai saya. Ayah saya, Ki Ronggo Bangak, tewas oleh pukulan jarak jauh. Setelah saya sembuh, saya lalu pergi meninggalkan Pakis untuk mencari Wiroboyo, dan saya menduga bahwa tentu dia yang berdiri di belakang pembunuhan terhadap ayah dan penyerangan terhadap saya itu. Dari rumah mendiang Warok Surobajul saya mendapatkan keterangan tentang rumah Wiroboyo dan ketika saya mengunjungi rumahnya, saya mendapat keterangan bahwa Wiroboyo baru saja meninggalkan rumahnya menuju ke utara. Saya lalu mengejarnya dan di hutan ini saya melihat dia berlari di depan. Saya mengejar, akan tetapi tiba-tiba kuda saya roboh terkena anak panah. Saya ikut terbanting dan tidak ingat apa-apa lagi. Ketika siuman, saya melihat eyang guru berkelahi melawan mereka dan mengusir mereka. Demikianlah eyang, keadaan saya. Menyaksikan kesaktian eyang, maka saya mohon menjadi murid agar saya memiliki kesaktian seperti eyang sehingga dapat membalas dendam kematian ayah saya dan membasmi penjahat-penjahat yang berkeliaran di permukaan bumi ini."
"Hemm, setelah engkau menjadi muridku, Muryani, engkau harus dapat memenuhi syarat-syarat yang harus kau taati."
"Apakah syarat-syarat itu, eyang guru?"
"Yang pertama, walaupun dalam berapa tahun ini aku ingin mewariskan semua ilmuku kepadamu, akan tetapi terlarang keras padamu untuk memperkenalkan aku sebagai gurumu. Orang menyebut aku Nyi Rukmo Petak (Rambut Putih) dan namaku sendiri dulu adalah Ken Lasmi. Akan tetapi hanya telingamu saja yang mendengar nama dan julukanku itu. Engkau tidak boleh mengatakannya kepada siapapun juga sebelum aku mati!"
"Perintah eyang guru ini aneh sekali, akan tetapi saya berjanji untuk mematuhinya," kata Muryani dengan tegas dan janji ini memang keluar dari lubuk hatinya.
"Syarat kedua, engkau tidak boleh sekali-kali mempergunakan ilmu-ilmu yang kau pelajari dariku untuk melakukan kejahatan."
"Saya bukan orang jahat yang suka melakukan kejahatan, eyang guru!" kata Muryani tegas karena kata-kata ini menyinggung perasaannya.
"Bagus kalau begitu. Syarat ketiga, kau tidak boleh jatuh cinta kepada seorang pria yang tidak mencintaimu. Kalau engkau memaksakan cintamu kepada seorang pria yang tidak mencintaimu, hidupmu akan terkutuk dan selama hidupmu engkau akan menderita sengsara!"
Wajah Muryani menjadi kemerahan. Entah mengapa, tiba-tiba saja wajah Parmadi membayang didepan pelupuk matanya. Ia mengeraskan hatinya dan berkata, "Saya bukan seorang wanita yang tidak tahu malu, eyang. Saya tidak akan sudi memaksakan cinta saya kepada seorang pria yang tidak mencintai saya!"
Maka iapun lalu duduk bersila, mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak pengaruh kantuk yang amat kuat itu. Pengaruh itu amat kuat dan hampir ia tidak tahan, akan tetapi setelah ia mengerahkan tenaga sakti Aji Bromo Dalali pengaruh itu berkurang. Tak lama kemudian ia mendengar suara gaduh di sebelah kamarnya. Ia terkejut. Suara gaduh itu datang dari kamar ayahnya yang berada di sebelah kiri kamarnya sendiri! Ia mendengar suara keluhan dan suara robohnya badan orang.
Cepat Muryani melompat turun dari atas pembaringan. Ia terhuyung karena pengaruh aji penyirepan yang kuat itu belum dapat diusirnya sama sekali, masih ada sisa pengaruh yang membuat ia merasa agak pening dan kepalanya terasa berat, matanya berjuang melawan kantuk. Akan tetapi karena khawatir akan keadaan ayahnya, ia memaksakan diri berlari keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar ayahnya.
Kamar itu remang-remang, hanya menerima penerangan dari lampu yang tergantung di luar kamar. Akan tetapi ia dapat melihat sesosok tubuh seorang laki-laki di dalam kamar. Muryani melompat ke dalam kamar dan membentak. "Heii, siapa engkau dan..."
Tiba-tiba hawa pukulan yang amat dahsyat menyambar ke arah tubuhnya. Muryani yang masih pening karena pengaruh aji penyirepan itu, tidak sempat mengelak atau menangkis. Ia sama sekali tidak mengira akan diserang sehebat itu. Apalagi keadaan kamar itu itu gelap. Tahu-tahu hawa pukulan itu menghantam dadanya, membuat dadanya sesak dan pandang matanya gelap. Ia terpelanting roboh dan tidak sadarkan diri.
Ketika ia siuman, malam telah terganti. Ia mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dan dirumahnya berkumpul banyak orang, di antaranya Ki Demang Warutomo. Dari Ki Demang Warutomo yang seorang bekas perwira yang berpengalaman dan yang telah mengobatinya Muryani mendapat keterangan bahwa ayahnya telah kedapatan tewas dalam kamar, sedangkan ia sendiri terluka oleh pukulan jarak jauh yang kuat dan ampuh!
Tentu saja Muryani terkejut bukan main dan segera memaksa diri bangkit. Biarpun ia merasa nyeri dan sesak pada dadanya, ia memaksa diri dan dipapah oleh Ki Demang Warutomo, ia menjenguk jenazah ayahnya di dalam kamar. Ia menubruk jenazah dan menangis. "Ayah, aku bersumpah untuk mencari pembunuh ayah dan akan kubalas sakit hati ini! Ayah, beristirahatlah dengan tenang anakmu ini pasti akan membalas dendam ini!"
Setelah berkata demikian Muryani terguling dan jatuh pingsan lagi. Ki Demang Warutomo yang menjadi sahabat baik mendiang Ki Ronggo Bangak dan yang merasa kagum kepada Muryani segera menolong dan merawat Muryani. Sampai belasan hari lamanya Muryani menderita lahir batin, badannya terluka dalam oleh pukulan sakti itu, batinnya menderita karena kematian ayahnya. Akan tetapi, setelah ia sembuh betul, ia menghilang dari kamarnya tanpa pamit kepada Ki Demang Warutomo atau kepada siapa pun juga.
Gadis itu menghilang tanpa ada yang tahu ke mana perginya. Ki Demang Warutomo yang mempunyai banyak pengalaman itu dapat menduga bahwa gadis perkasa itu tentu berusaha untuk mencari pembunuh ayahnya dan diam-diam dia menduga bahwa besar kemungkinan Ki Wiroboyo mempunyai hubungan dengan pembunuhan Ki Ronggo Bangak itu. Dugaan Ki Demang Warutomo memang tidak keliru.
Setelah merasa dirinya sehat kembali, Muryani pergi tanpa pamit kepada siapapun juga, dengan niat mencari Ki Wiroboyo sebagai orang pertama yang ia curigai mempunyai hubungan dalam pembunuhan terhadap ayahnya dan penyerangan terhadap dirinya. Ia tahu bahwa penyerangnya itu bukan Ki Wiroboyo. Penyerangnya itu seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus. Ia tidak dapat melihat wajahnya karena kamar itu gelap.
Akan tetapi ia berkeyakinan bahwa ia dan ayahnya tidak mempunyai musuh lain kecuali Ki Wiroboyo. Jadi, kalau ada orang membunuh ayahnya, maka besar kemungkinannya Ki Wiriboyo yang berdiri di belakangnya. Mungkin dia menyuruh orang lain yang memiliki kesaktian untuk melakukan pembunuhan itu. Muryani menuruni Gunung Lawu melalui bagian timur karena ia ingat bahwa dulu Ki Wiroboyo pernah mendatangkan seorang jagoan, yaitu mendiang Warok Surobajul dari Ponorogo.
Maka iapun mengambil keputusan untuk mulai pencariannya ke Kadipaten Ponorogo. Ketika ia menuruni lereng di timu dari atas ia melihat sebuah telaga yang besar. Air telaga tampak berkilauan tertimpa sinar matahari dan Muryani terpesona, kagum. Alangkah indahnya alam! Melihat air yang demikian luasnya bukan merupakan hal baru bagi Muryani. Dahulu ketika ia masih tinggal di Demak, kemudian menjadi murid perguruan Bromo Dadali di bawah pimpinan Ki Ageng Branjang di Gunung Muria, ia sudah sering melihat laut utara.
Kini, telaga yang tampak di bawah itu tidak seluas lautan. Akan tetapi memiliki keindahan yang khas, sebuah telaga di antara bukit-bukit, dikelilingi hutan. Ia pernah mendengar keterangan mendiang ayahnya tentang telaga itu yang di sebut Telaga Sarangan. Karena tertarik akan keindahan pemandangan alam telaga itu, Muryani mengambil keputusan untuk pergi ke telaga itu dan melihatnya dari dekat. Ia menuruni lereng dengan cepat dan tak lama kemudian ia sudah tiba di tepi telaga.
Tempat itu sunyi sekali dan di depan sana, di seberang telaga, tampak sekumpulan rumah penduduk dusun yang sederhana. Di atas telaga timpak beberapa buah perahu kecil dan di atas perahu itu, orang-orang sedang bekerja melempar jala mencari ikan. Mereka inilah nelayan-nelayan telaga. Muryani duduk di atas sebuah batu besar di tepi telaga, melepas lelah. Angin semilir mendatangkan kesejukan, mengipasi suhuhnya yang agak panas karena perjalanan naik turun tadi.
Keadaan yang sunyi, hawa yang sejuk dan semilirnya angin mengipasi tubuhnya yang kelelahan mendatangkan rasa kantuk. Akan tetapi Muryani menahan rasa kantuknya. Perutnya terasa lapar sekali dan ia ingin mencari makanan di dusun seberang telaga itu. Akan tetapi ketika ia hendak turun dari atas batu, tiba-tiba melihat tujuh orang laki-laki datang menghampirinya. Mereka adalah orang-orang yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, semua berkulit tebal dan ada yang brewokan.
Pakaian mereka serba hitam dan sikap mereka kasar. Dari lenggang dan langkah mereka saja dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa mengandalkan kekuatan. Langkah mereka dibuat-buat seperti jagoan! Yang berjalan paling depan adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun dan dialah diantara yang lain yang bermuka penuh brewok. Tujuh orang itu masing-masing membawa sebuah parang yang tergantung di pinggang mereka. Di belakang rombongan ini tampak seorang pemuda remaja yang menuntun seekor kuda, agaknya milik rombongan itu, atau mungkin sekali milik pemimpin mereka yang bermuka brewok.
Ketika mereka tiba di depan Muryani yang masih duduk diatas batu besar, tujuh orang itu berhenti dan mata mereka yang bengis liar itu seolah menggerayangi tubuh gadis cantik yang duduk di atas batu. Muryani tampak cantik jelita. Wajah yang bulat dengan dagu runcing itu kemerahan karena sengatan matahari. Sepasang alisnya yang hitam kecil panjang melengkung itu agak dikerutkan melihat gerombolan laki-laki di depannya itu. Sepasang matanya yang bening dan bersinar-sinar dengan bulu matanya yang lentik, menyapu ke arah mereka penuh selidik. Hidungnya yang kecil mancung serasi sekali dengan bentuk mulutnya yang memiliki bibir merah basah dan menggairahkan. Mulut itu tersenyum mengejek.
Melihat tujuh orang laki-laki itu, terutama yang berdiri paling depan dan mukanya brewokan memandang kepadanya dengan mata yang kurang ajar, Muryani menjadi marah. "Hei, kalian ini mau apa mendekati aku dan mengganggu suasana damai tenteram yang kunikmati? Hayo cepat pergi dan jangan membikin aku marah!"
"Wah, galak seperti seekor kuda betina yang, binal!" seru seorang di antara mereka.
"Ha-ha-ha!" Si brewok tertawa bergelak.
"Kuda betina yang makin binal dan makin mengasyikkan dan menggembirakan untuk ditundukkan dan dijinakkan. Cah ayu, aku Mundingjaya adalah seorang laki-laki jantan sejati yang masih bujang, masih perjaka ting-ting! Ha-ha-ha! Kulihat engkau pantas sekali kalau menjadi isteriku. Bukankah begitu, kawan-kawan?"
"Pantas sekali!"
"Cocok sudah!"
"Seperti Raden Gatotkaca dengan Dyah Pergiwa!"
Muryani mengangkat mukanya, kerut alisnya mendalam, sinar matanya berkilat dan senyum manisnya makin melebar. Orang-orang itu tidak tahu sama sekali bahwa dara yang tampak semakin manis menarik ini menjadi amat berbahaya kalau sudah seperti itu karena kerut alisnya, sinar mata dan senyum itu sesungguhnya merupakan tanda bahwa ia sedang marah sekali!
Dengan gerakan indah dan ringan tubuhnya sudah melompat turun dari atas batu dan kini ia berdiri berhadapan dengan laki-laki brewokan itu. Ternyata dara yang baru berusia tujuh belas tahun ini tingginya hanya sedada orang yang mengaku bernama Mundingjaya itu. Mereka berdiri dalam jarak kurang lebih empat meter. Melihat tubuh dara itu demikian ramping dan padat, bagaikan bunga sedang mulai mekar, bagaikan buah mangga sedang ranumnya, Ki Mundingjaya memandang kagum dan tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang besar-besar.
"Waduh, engkau denok ayu manis merak ati, bocah ayu. Mari kupondong dan kubawa pulang kerumahku!" katanya tanpa malu-malu.
Muryani melihat di sebelah kanannya terdapat setumpuk kotoran kerbau yang masih baru. Agaknya belum lama tadi ada kerbau lewat di tempat itu dan membuang kotoran di situ. Ia lalu meraih sebatang kayu ranting pohon singkong yang tumbuh dekat batu, mematahkannya.
"Namamu Mundingjaya? Nah, silakan mandi tahi munding lebih dulu agar patut engkau memakai nama itu!" kata Muryani dan tanpa menanti jawaban, dengan tidak disangka-sangka dan amat cepat, tangan Muryani menggerakkan ranting kayu, dicokelkan kepada tahi kerbau itu dan sekali ranting kayu bergerak, segumpal tahi kerbau yang masih lunak menyambar ke depan itu tepat mengenai muka si brewok!
Ki Mundingjaya yang sama sekali tidak menyangka, tak sempat mengelak dan mukanya berlepotan tahi kerbau. Bukan sekali saja karena Muryani sudah melakukan serangan tahi kerbau itu berulang-ulang sehingga seluruh pakaian Mundingjaya berlepotan tahi kerbau. Ki Mundingjaya muntah-muntah dan menyumpah-nyumpah! Anak buahnya menjadi kaget akan tetapi juga geli melihat pemandangan yang lucu ini. Mereka menahan tawa, akan tetapi da beberapa orang yang tak mampu menahan dan mengeluarkan suara tawa aneh karena ditahan-tahan.
Tentu saja Mundingjaya mencak-mencak saking marahnya. Dia, yang merupakan jagoan yang ditakuti seluruh penduduk pedusunan di sekitar Telaga Sarangan, kini dihina oleh seorang perawan remaja! Setelah membersihkan lethong (tahi kerbau) dari muka, terutama dari mulut dan hidungnya, dia mencabut parang dari ikat pinggangnya dan mengacungkan senjata tajam mengkilap itu ke atas.
"Bocah perempuan keparat! Engkau sudah bosan hidup, berani menghina Mundingjaya?" bentaknya.
Muryani menudingkan ranting kayu di tangannya sambil, tersenyum manis. "Siapa menghinamu? Aku malah membikin engkau tampak gagah, dan sekarang lebih cocok kalau namamu diganti menjadi Tahi Munding (kotoran kerbau)!"
Mundingjaya yang tadinya tergila-gila kecantikan dara itu dan menghendaki ia menjadi isterinya, kini berubah pandang. Dia tidak lagi melihat Muryani sebagai seorang dara yang ayu manis merak ati, melainkan sebagai seorang wanita yang sama sekali tidak menarik dan tidak menyenangkan hatinya, yang membuat dia berafsu untuk menyiksa dan membunuhnya. Demikianlah keadaan hati kita.
Selama nafsu, terutama sekali nafsu benci dan marah tidak menguasai hati, maka wajah sesorang, bagaimanapun bentuk dan coraknya, akan tampak menyenangkan. Akan tetapi sekali nafsu benci dan marah mengkeram hati, biar orang yang tadinya dicinta setengah matipun akan tampak memuakkan dan menimbulkan keinginan untuk menyiksanya!
"Perempuan keparat! Mampuslah kau!" Mundingjaya membentak dan diapun sudah menerkam dan menyerang dengan bacokan parang atau goloknya yang tajam mengkilap.
Namun dengan cekatan sekali Muryani melompat ke samping, agak jauh karena ia tidak ingin berdekatan dengan orang yang berlepotan tinja kerbau itu agar tidak terkena percikan dan tidak terserang bau yang memuakkan. Melihat gadis itu mengelak, Mundingjaya mengejar dan menyerang lagi, lebih kuat daripada tadi karena agaknya dia ingin sekali bacok membelah tubuh denok itu.
Sekali lagi Muryani mengelak ke kanan dengan loncatan jauh. Ia sengaja melompat makin mendekati tepi telaga. Mundingjaya tidak sadar bahwa gadis itu memancingnya mendekati telaga. Dia hanya mengira bahwa gadis itu merasa ngeri menghadapi serangan-serangannya yang ampuh dan sengaja menjauh untuk melarikan diri. Tidak, dia tidak akan membiarkan gadis itu melarikan diri!
"Lari ke nerakapun akan kukejar kau!" bentaknya dan dia melompat dan menngejar lalu menyerang lagi. Setelah mengelak sebanyak lirna kali sambil melompat, Muryani telah tiba di tepi telaga. Karena ia tidak ingin melayani orang itu bertanding dalam jarak dekat, ketika melompat yang terakhir kalinya tadi, ia menyambar sebuah batu sebesar kepalan tangannya. Ia memindahkan ranting kayu ke tangan kiri dan kini memegang batu itu di tangan kanan.
"Haaaaahhhh!" Mundingjaya menyerang lagi, kini membacokkan goloknya ke arah pinggang Muryani. Gadis itu kini tidak dapat melompat ke belakang karena belakangnya terdapat telaga sehingga kalau ia melompat ke belakang, ia tentu akan terjatuh ke dalam air. Juga di kanan kirinya terdapat halangan, di kiri terdapat batu-batu besar dan disebelah kanan terdapat semak-semak belukar yang berduri. Mundingjaya menyeringai, agaknya sudah yakin bahwa sekali ini tubuh gadis yang berani menghinanya itu tentu akan terkena bacokannya dan pinggang yang ramping itu akan putus sehingga isi perutnya akan berceceran. Dia sudah timbul niatnya untuk minum darah yang akan bercucuran keluar dari mayat gadis itu!
Akan tetapi, Muryani agaknya memang sudah sengaja memancing Mundingjaya ke bagian itu. Ketika lawannya datang menyerang seperti seekor kerbau gila, ia melompat lagi, akan tetapi bukan ke belakang, ke kanan atau ke kiri, melainkan ke depan! Tubuhnya dengan ringannya melompat tinggi bagaikan seekor kijang muda dan ia sudah me-lompat.lewat atas kepala Mundingjaya! Tentu saja serangan kepala gerombolan itu luput dan melihat betapa gadis itu tiba-tiba saja lenyap dan dia hanya melihat sesosok bayangan berkelebat di atas kepalanya, Mundingjaya terkejut dan cepat dia membalikkan tubuhnya.
Pada saat dia membalik itu, Muryani sudah melontarkan batu di tangan kanannya sambil membentak, "Makanlah ini!"
Mundingjaya terkejut sekali, akan tetapi karena sambaran batu itu datang cepat sekali bagai kilat menyambar pada saat dia memutar tubuh, maka dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengelak atau menangkis. Saking kaget dan heran dia membuka mulut dan hal nilah yang membuat dia celaka.
"Syuuutt... krakkk!!" Bunyi berderak itu adalah bunyi barisan giginya yang diterjang batu.
Karena pada saat itu dia me,mbuka mulutnya, maka batu itu mengantam giginya sehingga semua gigi atas bawah bagian depan rompal dan copot! "Auhhhhh...!!"
Mundingjaya berteriak, lukanya berdarah-darah dan tubuhnya terjengkang kebelakang. Karena dia memang berada dekat sekali di tepi telaga, maka tanpa dapat dihindarkannya lagi, tubuhnya terjatuh ke dalam air. "Byuurrr...!" Air muncrat ke atas dan Muryani tertawa-tawa!
Akan tetapi pada saat itu, enam orang anak buah Mundingjaya telah tiba di situ dan mereka semua melihat betapa pimpinan mereka terjatuh ke dalam air telaga dan mukanya tadi berdarah-darah. Mereka terkejut akan tetapi juga marah sekali. Dengan golok terhunus mereka lalu megepung Muryani yang kini berada ditempat lapang sehingga ia terkepung.
"Cah ayu, menyerahlah saja daripada kami harus menggunakan kekerasan!" kata orang di antara mereka yang agaknya masih merasa sayang kalau harus membunuh gadis cantik jelita ini.
"Kenapa kalian tidak mengikuti pemimpin kalian itu?" kata Muryani sambil ternyum mengejek, siap dengan ranting kayu di tangan kanannya. Melihat betapa gadis itu hanya bersenjatakan sebatang ranting kecil, sebesar ibu jari, tentu saja enam orang itu tidak merasa takut.
"Menyerahlah, manis. Asalkan engkau suka menjadi isterinya, tentu kakang Mundingjaya akan suka memaafkanmu!" kata pula seorang lain.
Muryani tertawa bebas lepas. "Heh-heh-hik, dia menjadi suamiku? Bahkan untuk menjadi budakku, bahkan menjadi alas kaki pun kalian masih belum pantas! Pantasnya kalian menjadi katak-katak dalam air telaga ini!"
Marahlah kini enam orang itu, apalagi mereka melihat Mundingjaya kini keluar dari dalam telaga, merangkak dan wajahnya yang basah kuyup itu masih mengeluarkan darah. Tampak mengerikan sekali wajah itu. "Bunuh...! Bunuh... perempuan itu...!" bentak Mundingjaya terengah-engah dan suaranya menjadi pelo karena giginya bagian depan sudah ompong semua.
Enam orang itu kini menyerang dari segala jurusan. Golok mereka menyambar dengan bacokan dan tusukan maut. Akan tetapi Muryani sudah siap siaga. Ia mutar tubuhnya dan dengan kecepatan kilat ranting kayu di tangannya menyambar-nyambar. Ranting sekecil itu dapat menangkis sambaran golok yang berat dan kuat. Muryani membalas, tangan kirinya mendorong dengan Aji Bromo Latu. Angin pukulan yang panas menyambar-nyambar dan enam orang itu mengeluh. Seorang demi seorang terpelanting roboh, tidak ada yang kuat menerima pukulan Bromo Latu yang berhawa panas.
Mereka itu hanyalah gerombolan penjahat yang mengandalkan tenaga otot besar saja. Muryani cepat menyusulkan tendangan-tendang kakinya sehingga enam orang itu terlempar ke sana-sini. Mereka menjadi ketakutan. Belum pernah selama hidup mereka bertemu dengan lawan yang setangguh ini. Begitu mereka dapat merangkak bangun mereka lalu lari menjauhkan diri.
Mundingjaya yang melihat betapa enam orang anak buahnya semua roboh oleh gadis itu, menjadi terkejut bukan main dan dia juga ketakutan. Dia mengumpulkan sisa tenaganya untuk bangkit berdiri dan melarikan diri. Akan tetapi dengan sekali lompatan jauh Muryani telah berada di dekatnya dan sekali kakinya menendang, Mundingjaya roboh. Ujung ranting kayu di tangan Muryani sudah menodong dan menekan leher kepala gerombolan itu.
"Tobaat... ampunkan saya, nona..." kepala gerombolan itu memohon dengan wajah pucat ketakutan.
"Panggil penuntun kuda itu ke sini!" Muryani memerintah dan menekan ujung rantingnya ke leher Mundingjaya yang sudah tidak berdaya itu.
"Heii! Kayun...! Bawa kudaku itu ke sini!" teriak Mundingjaya yang masih rebah menelungkup.
Pemuda remaja yang menuntun kuda dan berada agak jauh dari situ, mendengar teriakan ini lalu menuntun kuda itu mendekat. Muryani mengambil kendali kuda dari tangan pemuda remaja itu dan membentak kepadanya, "Hayo engkau cepat pergi dari sini!"
Pemuda remaja itu tampak meragu, akan tetapi Mundingjaya segera menghardiknya, "Pergi tinggalkan tempat ini, tolol!"
Mendengar ini, pemuda itu lalu berlari pergi. "Nah, sekarang aku mau mengampunimu dengan dua syarat. Pertama, kauberikan kuda ini untukku."
"Baik, nona. Ambillah kuda itu, saya berikan kepadamu dengan senang hati." kata kepala penjahat itu dengan harapan agar segera dibebaskan.
"Ada satu syarat lagi yang paling penting. Hayo katakan apakah engkau mengetahui di mana adanya orang yang bernama Ki Wiroboyo, dahulu menjadi demang dusun Pakis."
Mundingjaya mengerutkan alisnya yang tebal. Dia sudah bangkit duduk sekarang lalu sambil menengadah memandang wajah Muryani, dia menggeleng kepala dan berkata, "Maaf, nona. Saya tidak pernah mendengar nama itu."
Melihat sikap dan pandang mata laki-laki kasar itu, Muryani percaya dan ia bertanya pula, "Akan tetapi engkau tentu mengenal jagoan Ponorogo yang bernama Warok Surobajul. Ceritakan tentang dia!"
"Warok Surobajul? Tentu saja saya megenalnya, nona. Namanya terkenal sekali dari Ponorogo sampai ke daerah ini. Oya, pernah kurang lebih sebulan yang lalu saya sempat bertemu dengan dia. Katanya ia hendak pergi ke sebuah dusun di pegunungan ini, entah apa keperluannya dia tidak bercerita kepada saya."
"Hemm, ketika itu dia pergi dengan siapa?" Mundingjaya mengerutkan alisnya, mengngat-ingat. "Dia melakukan perjalanan dengan seorang laki-laki yang gagah dan berpakaian mewah, berkumis tebal. Akan tetapi saya tidak mengenalnya dan diapun tidak mengenalkan diri. Orangnya tampak angkuh, sikapnya seperti priyayi."
Muryani mengangguk dan tahu bahwa yang dimaksudkan itu tentulah Ki Wiroboyo. Mereka berdua itu tentu sedang dalam perjalanan menuju dusun Pakis, pikirnya. "Tahukah engkau di mana tempat tinggal Warok Surobajul itu?"
"Tahu, nona. Dia tinggal di Ponorogo. Semua orang tahu di mana rumah warok yang terkenal itu."
"Cukup, aku mau mengampunimu kali ini, akan tetapi ingat, engkau kawan-kawanmu harus mengubah jalan hidup kalian dan tidak melakukan kejahatan lagi. Awas, kalau aku pulang dan lewat sini mendapatkan bahwa kalian masih lakukan kejahatan, aku tidak akan memberi ampun lagi dan pasti akan membunuh kalian semua!"
Tanpa menanti jawaban penjahat itu, Muryani sudah melompat ke atas punggung kuda rampasannya dan membalapkan kuda itu meninggalkan Telaga Sarangan. Mundingjaya bangkit berdiri dan menyumpah-nyumpah. Bagi seorang sesat seperti dia sukarlah sekali untuk dapat bertaubat, menyadari akan dosa-dosanya dan berusaha untuk mengubah jalan hidupnya.
Dia tetap saja tidak merasa bersalah, bahkan menyumpahi Muryani yang dia anggap jahat dan kalau tadi dia menyatakan bertaubat dan bersikap lunak adalah karena rasa takut terhadap gadis sakti itu. Sekarang, hatinya penuh dendam kebencian dan kalau ada kesempatan, tentu dia akan berusaha sekuat tenaga untuk membalas dendam kepada Muryani!
********************
Demikian pula halnya dengan Ki Wiroboyo. Bekas demang dusun Pakis ini tidak pernah mau menyadari akan kesalahannya, tak pernah mau bertaubat, apalagi menyesali segala tingkah lakunya yang tidak baik. Dia hanya menyesal karena dia telah dikalahkan oleh Muryani, dan sampai kehilangan kedudukannya, bahkan terusir dari Pakis. Dia tidak pernah merasa dirinya bersalah. Tidak, dia bahkan selalu merasa bahwa dia adalah seorang demang yang bijaksana, yang baik terhadap warga dusunnya.
Kalau dia tergila-gila kepada Muryani dan ingin mengambilnya sebagai selir, hal itu dianggapnya wajar dan sama sekali tidak salah. Karena itu, perlawanan Muryani yang membuat dia kehilangan segala-galanya itu menimbulkan dendam dalam hatinya. Dia menganggap Muryani seorang gadis yang tidak tahu diri, sombong dan jahat! Apalagi setelah usahanya mendapatkan Muryani dengan kekerasan, bantu Surobajul, gagal dan menyebabkan kematian jagoan itu dan mengakibatkan dia kehilangan kedudukannya.
Dia menaruh dendam dan sakit hati terhadap Muryani. Karena itu, setelah dia membawa keluarganya pergi meninggalkan Pakis, dia pergi ke Ponorogo. Dia mengabarkan tentang kematian Warok Surobajul kepada keluarga warok itu dan dia lalu tinggal dengan keluarganya di Kadipaten Ponorogo dari mana dia berasal. Dia tidak pernah lupa akan dendamnya kepada Ki Ronggo Bangak dan puterinya, Muryani.
Akhirnya setelah lama mencari, dia menemukan seorang sahabat lama yang dulu pernah menjadi saudara seperguruannya dan kini orang itu tinggal di Lamongan. Orang itu berusia lima puluh tahun, bertubuh jangkung kurus bernama Darsikun. Kini bekas kakak seguruannya ini telah menjadi seorang jagoan yang digdaya karena dia pernah berguru lagi kepada Ki Harya Baka Wulung, datuk dari Madura itu. Biarpun dia hanya belajar selama setahun lebih kepada datuk itu, namun dia telah memperoleh kemajuan pesat dan menjadi seorang tokoh yang terkenal di Lamongan dan sekitarnya.
Darsikun ini ditemui Ki Wiroboyo dan dengan senang hati dia mau membantu bekas adik seperguruan ini untuk membalas dendam kepada Muryani dan ayahnya. Apalagi arena sekarang keadaan Ki Wiroboyo makmur, dapat membelikan pakaian indah dan barang-barang berharga untuknya. Demikianlah, Ki Darsikun ikut bersama Ki Wiroboyo pergi ke Ponorogo.
Kemudian pada malam hari itu, seperti sudah direncanakan oleh Ki Wiroboyo, Ki Darsikun mempergunakan kepandaiannya, memasuki rumah Ki Ronggo Bangak dan berhasil membunuh Ki Ronggo Bangak dan melukai Muryani dengan pukulan jarak jauhnya yang dahsyat. Dia merasa yakin bahwa gadis itu tentu juga sudah tewas karena pukulannya, maka dia pergi meninggalkan rumah itu dan kembali ke Ponorogo dengan hati bangga dan girang.
Ki Wiroboyo menyambut kakak seperguruan ini dengan girang sekali. Mendengar bahwa Ki Ronggo Bangak telah tewas, demikian juga Muryani, hatinya puas, dendam kebenciannya telah terbalas dan terlampiaskan. Akan tetapi ada sedikit kekecewaan bahwa dia tidak dapat menguasai Muryani yang digilainya itu. Dia menahan Ki Darsikun untuk tinggal di rumahnya dan setiap hari menjamunya dengan pesta.
Setelah sebulan lebih Ki Darsikun tinggal dirumah Ki Wiroboyo dan dimanjakan seperti seorang tamu agung, dia mengambil keputusan untuk pulang ke Lamongan. "Ah, kenapa tergesa-gesa, kakang Darsikun? Bukankah kakang senang tinggal sini bersama kami?" kata Ki Wiroboyo yang ingin menahan kakak seperguruannya selama mungkin di rumahnya karena bagaimanapun juga dia masih merasa khawatir kalau-kalau ada musuh datang untuk membalaskan kematian Muryani dan ayahnya.
"Sudah sebulan lebih aku tinggal di sini, adi Wiroboyo. Terima kasih atas sambutanmu yang baik. Biarlah lain kali aku datang lagi berkunjung. Aku sudah rindu pada keluargaku di Lamongan."
"Ya, apa boleh buat kalau begitu, kakang. Kapan engkau hendak berangkat? Aku akan mempersiapkan segala keperluanmu.
"Besok pagi-pagi aku akan berangkat, adi Wiroboyo."
Ki Wiroboyo lalu mengajak tamunya itu minum-minum. Tiba-tiba datang seorang laki-laki yang tampak gugup dan tergesa-gesa Wiroboyo mengenalnya sebagai sebagai pelayan dari mendiang Warok Surobajul.
"Ada apakah? Apakah mbakayu Suro yang mengutusmu ke sini?" tanya Wiroboyo sambil bangkit berdiri dari kursinya.
"Celaka, denmas Wiroboyo! Celaka...!"
"Hushh! Bicara yang benar dan jelas! ada apakah?" Wiroboyo membentak.
"Di rumah Nyi Suro kedatangan seorang gadis cantik yang galak sekali, denmas. Dara itu menghajar dan merobohkan tiga orang murid mendiang ki warok yang berada disana dan ia mengancam Nyi Suro untuk memberi tahu di mana denmas berada!"
"Ahh?" Ki Wiroboyo terkejut sekali "Siapa nama gadis itu?"
"Tidak tahu, denmas. Ia tidak menyebutkan nama. Saya masih sempat menyelinap pergi dari belakang dan cepat mengabarkan ke sini."
"Sudah, pergilah!" kata Wiroboyo ketika orang itu pergi, dia berkata kepada Ki Darsikun.
"Kakang, apa yang kukhawatirkan terjadi! Ada orang mencariku, orang gadis yang digdaya. Tentu ada orang hendak membalaskan kematian Muryani dan ayahnya."
"Jangan khawatir, adi Wiroboyo. Aku di sini! Pula, kalau ia hanya seorang gadis, ia akan mampu berbuat apakah terhadap kita?" kata Ki Darsikun dengan lagak angkuh.
"Akan tetapi kalau terjadi keributan sini sungguh tidak enak, kakang. Tentu akan menarik perhatian dan kalau Adipati Ponorogo mendengar, mungkin akan dilakukan pemeriksaan dan penyelidikan. Hal ini bisa berkelanjutan dan amat tidak enak bagiku."
"Lalu, bagaimana kehendakmu?"
"Kita lari keluar kota kadipaten dan kita hadang ia di tempat sepi di luar sana."
Tanpa menanti jawaban Wiroboyo lalu meninggalkan pesan kepada keluarganya bahwa kalau ada seorang gadis mencarinya, jangan dilayani secara kasar dan agar diberi tahu bahwa dia baru saja keluar melalui pintu gerbang utara dan agar dikatakan bahwa dia pergi seorang diri. Setelah meninggalkan pesan ini, Wiroboyo mengajak Darsikun untuk menunggang kuda dan melarikan diri ke luar kota Kadipaten Ponorogo dengan cepat.
Tepat di luar kota itu, di bagian utara, terdapat hutan yang lebat dan dua orang yang menunggang kuda itu lenyap ditelan hutan. Memang benarlah laporan pelayan keluarga mendiang Warok Surobajul itu. Muryani telah tiba di Ponorogo dan segera ia mencari rumah Warok Surobajul. Dan mudah saja ia menemukan rumah besar itu karena nama warok itu amat terkenal di di Kadipaten Ponorogo. Ia memasuki pekarangan rumah yang luas itu, melompat turun dari atas kudanya, mengikatkan kendali kudanya pada sebatang pohon yang banyak tumbuh di pekarangan, lalu melangkah menuju ke beranda depan.
Kunjungan ini segera disambut tiga orang laki-laki yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan melihat bentuk tubuh mereka, tiga orang ini tergolong orang-orang yang kuat. Di beranda berdiri seorang wanita setengah tua yang wajahnya masih membayangkan kecantikan dan wanita itu memandang ke arah Muryani dengan sinar mata tajam penuh selidik. Tiga orang laki-laki itu menghampirinya dan menghadangnya. Seorang di antara mereka yang berkumis tebal bertanya, suaranya berat dan parau.
"Siapakah andika dan ada keperluan apakah andika datang ke sini?"
Muryani memandang ke arah rumah besar itu dan menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan pula, "Apakah benar di sini rumah Ki Surobajul?"
Wanita setengah tua yang berada beranda itu melangkah maju menuruni anak tangga dan menjawab, "Benar, nini. Ini rumah mendiang suamiku Ki Surobajul. SIapakah andika dan ada urusan apakah?"
Muryani maju menghampiri wanita itu dan bertanya, "Kalau begitu, bibi, katakan padaku, di mana adanya Wiroboyo bekas demang dusun Pakis?"
Wanita itu mengerutkan alisnya, tampak kaget dan bingung lalu menggelengkan kepalanya dan berkata, "Aku tidak tahu. Aku tidak mengenal nama itu, kenapa andika bertanya kepadaku?"
"Bibi, jangan berbohong kepadaku! Engkau adalah isteri mendiang Ki Surobajul dan semua orang tahu bahwa warok itu diajak Wiroboyo pergi ke Pakis untuk membuat onar disana dan dia tewas dikeroyok penghuni dusun. Nah, engkau pasti tahu siapa Wiroboyo dan dimana dia sekarang berada. Jawablah sebenarnya agar aku tidak harus menggunakan kekerasan."
"Heh, bocah wadon (anak perempuan) lancang mulut! Pergilah kau dan jangan membikin ribut di sini!" Si kumis tebal itu menggerakkan tangan kanannya hendak menangkap lengan Muryani untuk ditarik keluar dari pekarangan itu.
Akan tetapi ketika dia berhasil menangkap lengan Muryani, gadis itu tiba-tiba dengan sentakan kuat memutar lengannya dan melangkah maju sambil memuntir lengan si kumis tebal. Gerakannya demikian tiba-tiba, cepat dan kuat sekali sehingga kini keadaannya menjadi terbalik. Lengan kanan laki-laki itulah yang dipuntir dan ditelikung di belakang tubuhnya. Ketika laki-laki itu hendak meronta, Muryani cepat mendorong lengan itu ke atas sehingga laki-laki itu berteriak kesakitan.
Muryani menendang belakang lututnya dan orang itu tak dapat bertahan lagi lalu jatuh bertekuk lutut. Sekali dorong tubuh laki-laki itu terjungkal, hidungnya mencium tanah keras sehingga berdarah! Dua orang murid Surobajul yang lain menjadi marah. Mereka cepat menerjang dan menyerang Muryani dengan pukulan tangan dan tamparan, namun Muryani cepat mengelak dengan lompatan kekiri. Seorang dari mereka yang berada di sebelah kiri mengejar akan tetapi dara perkasa itu menyambut dengan tendangan ke arah perutnya.
"Ngekkk!!" Orang itu terpelanting dan setelah terbanting jatuh dia memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas. Orang ketiga menerkam ke depan dengan marah. Kembali Muryani mengelak cepat dan sebelum penyerangnya itu membalik, tangan kiri Muryani yang kecil mungil itu menghantam dengan tamparan kilat.
"Wuutt... plakkk!!" Orang itu terputar, rasanya seperti disambar petir dan dia terguling roboh. Akan tetapi karena Muryani tidak ingin membunuh orang, maka ketika ia merobohkan tiga orang itu, ia membatasi tenaganya sehingga mereka tidak terluka berat agaknya mereka tidak menjadi jera, batin merasa penasaran sekali. Mereka bangkit berdiri dan mencabut senjata pisau belati panjang yang terselip di pinggang mereka. Pada saat itulah pelayan Nyi Surobajul lari dari pintu belakang dan pergi melapor kepada Wiroboyo.
Muryani menjadi marah melihat tiga orang itu tidak mundur, bahkan mereka kini memegang pisau besar mengancamnya. Akan tetapi beberapa gebrakan tadi saja sudah membuat ia tahu bahwa tiga orang itu bukan merupakan lawan tangguh. Maka iapun bersikap tenang saja. Ketika tiga orang yang mengepung dari depan, belakang dan kiri itu mulai bergerak menerjangnya. Muryani bergerak cepat sekali, menghindar sambil menggerakkan kaki tangannya.
Hampir berbareng saatnya, tangan kirinya menampar kepala orang pertama, tangan kanan menonjok dada orang kedua, dan kaki kanannya menyambar dan menenda perut orang ketiga. Gerakannya sekali iin lebih kuat daripada tadi. Tiga orang itu mengaduh dan bergelimpangan. Yang ditampar kepalanya merasa kepalanya pecah dan bintang bertaburan di depan matanya yang menjuling. Yang ditonjok dadanya terengah-engah karena napasnya seperti berhenti tersumbat, dan yang ditendang perutnya merasa perutnya mulas dengan hebat sehingga dia bergulingan sampai mengaduh-aduh.
Nyi Surobajul memandang dengan muka pucat. Ia hendak berlari masuk, akan tetapi sekali melompat Muryani telah berada di depannya. "Bibi, aku tidak ingin bertindak kasar terhadap seorang perempuan tua sepertimu, akan tetapi katakanlah, bibi. Di mana adanya Wiroboyo? Bibi pasti mengetahuinya!"
Wanita itu berkata lirih, "Dia... dia berada di rumahnya sendiri..."
"Di mana rumahnya, bibi?" tanya Muryani, hatinya girang karena akhirnya ia dapat mengetahui rumah musuh besarnya.
"Di ujung utara kota ini, tanyakan semua orang di sana tentu mengetahuinya."
"Terima kasih, bibi!" Setelah berkata demikian, tanpa memperdulikan tiga orang yang masih merintih kesakitan, Muryani melepaskan tambatan kudanya, melompat ke punggung kuda lalu melarikan kudanya keluar dari pekarangan itu. Dengan cepat menuju ke ujung utara kota dan setelah bertanya-tanya, dengan mudah ia dapat menemukan rumah besar tempat tinggal Ki Wiroboyo. Ia menambatkan kudanya di pekarangan lalu berlari menuju ke serambi depan. Di situ ia melihat dua orang wanita muda yang cantik dan berpakaian mewah bangkit berdiri dan memandangnya.
Muryani menduga dua orang wanita muda cantik dan pesolek ini tentu isteri-isteri Wiroboyo, maka iapun cepat bertanya. "Mbakyu, aku ingin bertanya, apakah Ki Wiroboyo berada di rumah? Kalau dia berada dirumah, harap dipanggil keluar. Katakan bahwa aku mempunyai urusan penting sekali dengan dia!"
Dua orang wanita itu saling pandang. Mereka bersikap tenang, akan tetapi Muryani dapat melihat dari pandang mata mereka bahwa mereka merasa tegang dan takut. "Kakangmas Wiroboyo baru saja keluar rumah," kata seorang dari mereka sedangkan yang lain ikut mengangguk membenarkan.
"Ke mana dia pergi? Dengan siapa?"
"Menurut katanya tadi, dia hendak pergi ke Madiun dan perginya seorang diri."
"Hemm, benarkah ucapanmu ini? Tidak bohong?" Muryani membentak, nada suaranya mengancam.
"Mengapa mesti bohong?" wanita itu berkata dengan alis berkerut.
"Di mana letaknya Madiun?"
"Di sebelah utara. Tadi kakangmas Wiroboyo menuju ke pintu gapura utara itu," kata wanita itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah utara.
"Dia menunggang kuda? Atau naik kereta?" Muryani mendesak. Dua orang wanita itu menggeleng kepala. "Dia tadi berjalan kaki."
Setelah mendengar keterangan ini dan melihat sikap dua orang wanita itu tenang dan agaknya tidak berbohong, tanpa pamit Muryani sudah lari menghampiri kudanya dan tak lama kemudian ia sudah membalapkan kudanya keluar dari pintu gapura sebelah utara, melakukan pengejaran.
Matahari sudah mulai menggulir ke arah barat ketika Muryani membalapkan kudanya memasuki hutan yang lebat itu. Jalan itu sunyi, tak tampak ada orang lain di atas jalan raya itu. Tiba-tiba Muryani melihat seorang laki-laki berjalan di sebelah depan. Ketika mendengar derap kaki kuda, laki-laki itu memutar tubuhnya memandang. Pada saat itu Muryani melihat dan mengenal laki-laki itu yang bukan lain adalah Ki Wiroboyo!
Tubuhnya yang tinggi besar. Kumisnya yang sekepal sebelah seperti Gatutkaca! Tak salah lagi. Orang itu adalah Ki Wiroboyo! Agaknya laki-laki itupun mengenalnya karena tiba tiba dia membalikkan tubuhnya dan berlari cepat sekali ke arah depan, menjauhinya.
"Berhenti! Hendak lari ke mana kau keparat?" Muryani membentak marah dan membedal kudanya agar lari lebih kencang lagi. Jarak di antara mereka paling jauh sekitar lima puluh meter. Muryani adalah seorang gadis yang telah digembleng di perguruan Bromo Dadali sehingga memiliki kedigdayaan. Namun bagaimanapun juga, ia masih amat muda dan kurang pengalaman. Ia tidak tahu atau belum mengenal benar keadaan di dunia sesat. Dunia sesat memiliki banyak orang yang sakti, akan tetapi yang lebih berbahaya lagi, mereka adalah orang-orang yang licik dan curang, memiliki banyak tipu muslihat berbahaya. Ia sama sekali tidak pernah curiga atau menduga bahwa sesungguhnya sejak tadi ia telah terancam bahaya.
Kemunculannya telah diketahui musuh, bahkan musuh telah mengatur siasat licik untuk menjebaknya. Kemunculan Wiroboyo itu memang disengaja, merupakan pancingan untuk membuat gadis itu kehilangan kewaspadaannya dan seluruh perhatiannya ditujukan untuk menangkap orang yang melarikan diri di depan itu. Karena itu, ia kurang peka akan keadaan di sekelilingnya pada saat dua batang anak panah menyambar dari samping.
"Srrtttt!" Dua batang anak panah meluncur dengan cepatnya dari arah kiri. Muryani yang sejak tadi menujukan panting mata dan seluruh perhatiannya ke depan, tidak melihat sambaran anak panah dari kiri yang menyusur rendah itu. Tahu-tahu dua batang anak panah itu telah menancap di perut dan dada kuda yang ditungganginya. Kuda itu meringkik dan mendengus, melompat miring dan roboh. Muryani yang sama sekali tidak bersiaga, terbawa roboh dan gadis itu terbanting keras, kepalanya terbentur tanah keras dan iapun roboh pingsan!
Ketika melihat Muryani jatuh pingsan Ki Wiroboyo menjadi girang sekali. Bersama Darsikun bekas kakak seperguruan yang membantunya dan yang tadi melepas anak panah merobohkan kuda yang ditunggangi Muryani, Darsikun sudah mencabut kerisnya untuk membunuh gadis yang jatuh pingsan itu, akan tetapi Wiroboyo memegang lengannya.
"Jangan bunuh, kakang!"
"Eh, adi Wiroboyo! Gadis ini berbahaya sekali, ia tentu mendendam kepadamu dan tentu akan berusaha membunuhmu!" Darsikun memperingatkan.
"Benar, kakang Darsikun., Akan tetapi aku tidak ingin membunuhnya sekarang. Aku bersumpah untuk mendapatkan dirinya sebelum aku membunuhnya!" kata Wiroboyo sambil memandang ke arah tubuh gadis yang rebah telentang pingsan itu penuh gairah.
Darsikun tersenyum maklum. "Terserah kalau begitu. Akan tetapi, jangan pandang ringan gadis ini, adi. Sebaiknya kau ikat dulu kaki tangannya sebelum engkau membawanya."
"Aku tahu, kakang, aku tahu!" kata Wiroboyo dan dia mengeluarkan segulung tali yang kokoh kuat. Mulailah dia mengikat kedua tangan gadis itu ke belakang tubuhnya. Akan tetapi belum selesai dia mengikat dua pergelangan tangan itu...
"demi para dewata! Apa yang kalian lakukan terhadap gadis itu? Kalian dua orang laki-laki gagah sungguh tidak tahu malu, mengganggu seorang gadis muda. Hayo cepat lepaskan ia dan tinggalkan tempat ini!"
Wiroboyo dan Darsikun terkejut bukan main mendengar suara teguran di belakang pekarangan itu. Mereka yang tadinya berjongkok, cepat melompat berdiri sambil membalikkan tubuh. Kiranya yang berhadapan dengan mereka dalam jarak tiga meter adalah seorang nenek tua renta. Usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Wajahnya masih halus tanpa keriput, akan tetapi rambutnya yang panjang dibiarkan terurai putih mengkilap seperti benang perak. Tangan kanannya memegang sebatang tongat dari seekor ular kobra kering. Biarpun usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, nenek itu masih tampak jelas bahwa dahulu ia tentu seorang wanita cantik.
Melihat bahwa yang menegur mereka hanya seorang nenek tua, walaupun nenek itu tampak menyeramkan karena memegang sebatang tongkat bangkai ular kobra kering, tentu saja Wiroboyo dan Darsikun tidak merasa takut. Wiroboyo bahkan berjongkok kembali untuk melanjutkan mengikat kedua pergelangan tangan Muryani karena dia khawatir kalau-kalau gadis keburu siuman.
"Laki-laki bandel! Lepaskan gadis itu nenek itu membentak dan begitu tanan kirinya digerakkan mendorong ke arah Wiroboyo yang sedang berjongkok hendak mengikat kedua pergelangan tangan Muryani dengan tali, tiba-tiba saja tubuh Wiroboyo terpental dan bergulingan seperti sebuah bola ditendang!
Tentu saja dua orang laki-laki itu kejut bukan main. Darsikun yang merupakan seorang jagoan yang berpengalam maklum bahwa nenek ini ternyata memiliki kesaktian, maka diapun sudah mencabut kerisnya dan menghampiri nenek itu. Wiroboyo yang tidak terluka, hanya terkejut saja, sudah melompat dekat di samping Darsikun, siap untuk mengeroyok nenek itu. Nenek itu tertawa melihat sikap mereka ketika tertawa, tampak deretan giginya yang masih utuh dan putih bersih sehingga wajahnya tampak muda dan manis.
"Heh-heh-hi-hik, kalian ini dua orang laki-laki gagah memegang pusaka (keris) di depan seorang nenek mau apakah? Mau bunuh aku? Sungguh kalian jahat sekali. Bertaubat dan sadarlah dari kejahatan kalian pergilah dari sini dengan aman."
Tentu saja dua orang itu tidak mau pergi begitu saja. "Nenek yang lancang suka mencampuri urusan orang lain! Andika siapakah?" tanya Darsikun dengan suara menghentak.
"Hemm, orang-orang yang tidak menghormati orang tua! Sepatutnya kalian yang memperkenalkan nama kepadaku. Kalian ini siapakah, berani melakukan kekerasan terhadap seorang wanita tanpa merasa malu sedikitpun!"
"Nenek lancang. Buka telingamu baik-baik! Aku adalah Ki Darsikun, jagoan nomor satu di Lamongan dan murid Bapa Guru Ki Harya Baka Wulung! Dan ini adalah adik seperguruanku bernama Ki Wiroboyo dari Ponorogo!"
"Aha, kiranya murid Ki Harya Baka Wulung? Akan tetapi, Ki Harya setahuku adalah seorang datuk sakti dari Madura yang gagah perkasa, mengapa sekarang muridnya seorang laki-laki pengecut yang suka mengganggu wanita?"
"Nenek keparat! Mengakulah siapa, andika!" bentak Ki Wiroboyo marah.
"Orang-orang macam kalian ini tidak pantas untuk mengenal namaku. Anggap saja aku orang yang menentang kalian melarang kalian mengganggu gadis itu!"
Ki Darsikun dan Wiroboyo tak dapat menahan kemarahan mereka lagi dan bareng mereka menerjang ke depan, menggerakkan keris mereka menyerang nenek itu. Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan nenek itu sudah lenyap dari depan mereka! Dua orang itu terbelalak dan lagi mereka kebingungan, ada suara di belakang mereka.
"Kalian mencari apa? Aku berada di sini!"
Mereka cepat membalik dan ternyata nenek itu telah berdiri di belakang mereka sambil tersenyum. Kembali mereka menerjang dan tiba-tiba nenek itu menghilang untuk muncul di belakang mereka sampai lima kali kedua orang itu menyerang, akan tetapi yang diserangnya seperti bayangan saja, tahu-tahu lenyap dan muncul di tempat lain. Dengan kaget Darsikun menyadari bahwa nenek itu memiliki ilmu meringankan tubuh dan kecepatan yang luar biasa, yang membuat ia seolah dapat menghilang!
Mereka mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan seluruh kecepatan lalu menerjang lagi, bukan hanya rnenggunakan keris di tangan kanan, akan tetapi juga tangan kiri mereka bergerak, memukul dengan tenaga sakti untuk mencegah nenek itu menghilang. Akan tetapi kini dengan kecepatan kilat, nenek itu sudah lenyap pula. Ketika mereka berdua membalik, nenek itu tidak berada di belakang mereka. Mereka mencari-cari, tetapi tetap saja tidak menemukan nenek itu.
Tiba-tiba terdengar suara tawa nenek itu dan ketika mereka memandang ke arah suara yang datang dari atas, nenek itu telah duduk dengan kedua kakinya ongkang-ongkang sambil tersenyum mengejek.
"Nenek keparat! Jangan bermain gila. Kalau memang engkau berani turunlah dan lawan kami, jangan hanya main mengelak." bentak Darsikun yang merasa malu dan penasaran sekali.
"Hi-hik! Kalau beberapa tahun yang lalu kalian bertemu dengan aku, tentu sekarang kalian sudah menggeletak tanpa nyawa. Akan tetapi sekarang aku tidak suka membunuh dan kalau kalian ingin mendapatkan pelajaran, sambutlah!" Tiba-tiba tubuh nenek itu melayang turun dan menyambar kearah dua orang itu seperti seekor burung garuda menyambar calon mangsanya.
Dua orang itu terkejut dan mereka menyambut bayangan putih yang menyambar ke arah mereka itu dengan tusukan keris mereka. Akan tetapi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, nenek itu menggerakkan tongkat ularnya dua kali yang dengan tepat memukul pergelangan tangan kanan mereka yang memegang keris.
"Tukk! Tukk!!" Dua orang itu berteriak kesakitan karena tulang lengan mereka telah retak-retak ketika terpukul tongkat. Dengan sendirinya keris itu terlepas dari pegangan mereka dan karena maklum bahwa mereka tidak mungkin melanjutkan perlawanan setelah lengan kanan mereka patah tulangnya, tanpa dikomando lagi kedua orang itu lalu melompat dan melarikan diri tunggang-langgang.
Pada saat itu Muryani sudah siuman dari pingsannya. Ia sempat melihat dua orang itu bertanding melawan nenek rambut putih yang sakti itu. Ia berhasil melepaskan tali yang belum sempurna mengikat kedua lengannya. Akan tetapi ketika bangkit berdiri, kedua orang itu sudah melarikan diri. "Hendak lari ke mana kalian, jahanam-jahanam busuk?" Muryani memaki dan ia melompat untuk melakukan pengejaran.
Akan tetapi tiba-tiba ia jatuh tersungkur karena kedua kakinya dihalangi tongkat ular di tangan nenek itu. Muryani melompat berdiri dan memandang nenek itu dengan heran dan penasaran. "Nenek yang aneh! Andika tadi menolongku akan tetapi kenapa sekarang menghalangi aku mengejar dua orang penjahat itu?"
"Nini, aku menghalangi engkau melakokan pengejaran karena kalau kubiarkan, tidak urung engkau akan terjatuh lagi ke tangan mereka. Mereka itu orang-orang berbahaya sekali, nini. Apalagi kalau Harya Baka Wulung berdiri di belakang mereka!"
"Ki Harya Baka Wulung?" Muryani bertanya heran, tidak berniat mengejar karena iapun teringat bahwa kalau ia melakukan pengejaran, selain belum tentu dapat menyusul karena hutan itu lebat sekali, juga siapa tahu ia akan terjebak dan tertangkap lagi seperti tadi. "Siapakah itu, eyang (nenek)?"
"Dia itu datuk yang sakti mandraguna dari Madura, dan orang tinggi kurus yang bernama Ki Darsikun tadi adalah muridnya. Juga yang seorang lagi..."
"Si Wiroboyo itu?" Muryani memotong.
"Hemm, jadi engkau sudah mengenalnya nini?"
"Tentu saja! Dia itu musuh besarku, orang jahat yang telah membunuh ayahku," jawab Muryani. Nenek itu tersenyum melihat sikap Muryani yang keras. Gadis cantik jelita yang keras hati ini mengingatkan ia akan keadaan dirinya sendiri dahulu puluhan tahun lalu ketika ia masih jadi seorang gadis muda.
Hatinya tertarik dan ia lalu duduk di atas sebuah batu yang berada di tepi jalan itu. "Nah, kalau begitu cepat ceritakan kepadaku mengapa engkau bermusuhan dengan mereka dan bagaimana engkau tadi sampai tertangkap. Dan ini tentu kudamu, bukan?" Ia menuding ke arah bangkai kuda yang rebah di situ.
Muryani mengerutkan alisnya. Ia menyadari bahwa laki-laki jangkung bernama Darsikun tadi tentulah orang yang membantu Wiroboyo sehingga sampai berhasil membunuh ayahnya dan dulu melukainya. Orang itu sakti dan dua orang musuhnya itu berbahaya sekali. Akan tetapi betapa mudahnya tadi ia melihat nenek ini mengalahkan mereka. Setelah berpikir sejenak, ia lalu menjatuhkan diri berlutut depan batu yang diduduki nenek itu dan berkata,
"Saya akan menceritakan semua kalau eyang sudah menerima saya menjadi murid. Eyang, sudilah kiranya eyang menerima saya sebagai murid!"
Sejenak nenek itu termangu, memandang kepada gadis yang berlutut sambil menundukkan mukanya itu. "Coba angkat mukamu dan pandang aku!" perintahnya.
Muryani mengangkat muka dan memandang wajah nenek itu dengan sinar mata tajam. Matanya yang mencorong itu agaknya menyenangkan hati nenek itu. Sejenak dua pasang mata itu bertemu pandang saling selidik. Nenek itu mengamati wajah yang ayu manis itu dan ia tersenyum. Bukan hanya sikap keras gadis itu yang menarik hatinya, juga wajah ayunya pun menyenangkan hatinya.
"Agaknya engkau seorang gadis yang pernah mempelajari ilmu kanuragan. Murid siapakah engkau?"
"Saya pernah belajar ilmu silat di perguruan Bromo Dadali, eyang."
"Ah, heh-heh-heh! Kiranya engkau murid Ki Ageng Branjang ketua Bromo Dadali di Gunung Muria? Coba kauperlihatkan apa yang pernah kaupelajari di sana agar aku mengetahui sampai di mana tingkatmu. Hayo mulai!" kembali nenek itu memerintah.
Muryani yang merasa yakin bahwa nenek ini seorang sakti mandraguna, tidak ragu-ragu lagi. Setelah menyembah, ia lalu bangkit berdiri dan rnulai bersilat di depan nenek itu. Ia membuka gerakannya dengan pasangan kuda-kuda Dadali Anglayang, kemudian mulai bersilat dan sengaja mengerahkan seluruh kecepatan dan tenaganya. Bahkan beberapa kali ia memukul dengan dengan Aji Bromo Latu sehingga terasa oleh nenek itu hawa panas keluar dari pukulan itu.
"Cukup!" nenek itu berseru dan Muryani menghentikan gerakannya, lalu menjatuhkan diri lagi duduk bersimpuh di depan batu yang diduduki nenek itu.
"Kemampuan saya masih rendah, eyang," kata Muryani merendah.
"Hemm, memang masih belum dapat diandalkan dan mengandung banyak kelemahan. Ki Ageng Branjang agaknya masih belum pandai mengajarkan ilmu silat pada muridnya, atau memang barangkali hanya sampai sekian saja tingkat kepandaiannya." Ucapan nenek itu mengandung ketinggian hati yang memandang rendah kemampuan orang lain sehingga diam-diam Muryani merasa tidak senang dan mengerutkan alisnya. Ia menganggap nenek itu terlalu sombong dan merendahkan gurunya yang menjadi ketua Bromo Dadali. Akan tetapi tentu saja ia diam saja, tidak berani menyatakan perasaan tidak senangnya dengan kata-kata.
"Aha, engkau tidak percaya padaku dan menganggap aku membual?" tiba-tiba nenek itu bertanya.
Muryani menjadi terkejut. "Ah, bukan begitu, eyang, akan tetapi..."
"Sudahlah, hayo bangkitlah, cepat!" Perintah ini mengandung suara sedemimikian penuh wibawa sehingga mau tidak mau Muryani bangkit juga.
"Hayo serang aku dengan ilmumu yang paling ampuh, pergunakan pukulanmu yang mengandung hawa panas tadi!"
Muryani terkejut. "Akan tetapi...."
"Tidak ada tapi! Apa kau tidak percaya bahwa aku akan mampu menahan pukulanmu? Hayo cepat pukul!"
Terpaksa Muryani lalu mengerahkan Aji Bromo Latu, yaitu ilmu pukulan yang merupakan aji pamungkas yang menjadi andalan perguruan Bromo Dadali, kemudian memukul kearah dada nenek itu. Akan tetapi ia hanya mengerahkan sebagian dari tenaganya saja karena ia tidak ingin melukai nenek tua renta itu.
"Awas serangan saya, eyang!" Ia masih memperingatkan dan pukulan tangan kanannya yang terbuka itu menyambar ke depan.
"Wuuutttt... dess...!!" Tubuh Muryani terpental ke belakang dan ia terhuyung-huyung.
Hawa pukulannya yang mengandung panas tadi seperti membentur sesuatu yang lunak namun lentur, yang membuat tenaga pukulannya membalik sehingga ia tak dapat mempertahankan diri lalu terhuyung. Muryani terkejut sekali.
"Ke sinilah kau!" nenek itu membentak dan Muryani melangkah maju menghampiri. "Hemm, bocah tolol! Kalau engkau tidak percaya akan kemampuanku, mau apa engkau ingin menjadi muridku? Engkau memukul hanya dengan tenaga sebagian saja. Engkau takut kalau, aku terluka. Begitu rendahkah engkau menilai aku?"
Muryani beradu pandang dengan nenek itu dan ia terkejut. Sinar mata nenek itu mencorong seolah menembus sampai hatinya! "Saya tidak berani, eyang," katanya lirih.
"Kalau tidak berani memandang rendah hayo pukul lagi aku dengan seluruh tenagamu. Aku ingin mengukur tingkatmu, tahu?"
Muryani lalu memasang kuda-kuda mengumpulkan seluruh tenaganya. Ia kini percaya penuh akan kesaktian nenek itu. Setelah mengerahkan seluruh tenaga, memukul dengan dorongan kedua tela pak tangannya ke arah tubuh nenek yang masih duduk di atas batu itu sambil berseru, "Maafkan saya, eyang!"
Dahsyat sekali Aji Bromo Latu yang dipergunakan Muryani untuk melakukan pukulan itu. Dari kedua telapak tangannya menyambar hawa yang amat panas, mendahului tenaga pukulan yang dahsyat. "Wuuuttt.... blarrr....!" Tubuh Muryani tepental jauh dan ia terbanting jatuh, tidak dapat bangkit kembali karena ia telah jatuh pingsan lagi!
Nenek itu turun dari atas batu, menghampiri Muryani dan berjongkok di dekatnya, menggunakan jari tangan kanan menotok tiga kali ke arah ulu hati, di antara sepasang payudaranya, kemudian mengurut bagian tengkuknya. Muryani mengeluh lirih dan membuka matanya. Ketika melihat nenek itu berjongkok di dekatnya, ia cepat bangkit lalu duduk menyembah dengan hormat.
"Maafkan saya yang bodoh dan lemah," katanya lirih.
"Hik-hik, sekarang aku telah mengukur tingkatmu. Engkau boleh juga, sudah mewarisi dasar-dasar aji kesaktian yang lebih tinggi. Tidak sukar bagimu untuk melatih dan menguasai ilmu-ilmuku yang tinggi."
"Ah, kalau begitu eyang menerima saya menjadi murid?"
Nenek itu tersenyum dan mengangguk. Muryani girang sekali dan ia lalu menyembah-nyembah. "Eyang guru, terimalah sembah sujud saya!" katanya.
Nenek itu menyentuh pundaknya dan bagaikan kemasukan hawa yang amat kuat Muryani tersentak bangun berdiri. Nenek itupun sudah berdiri lalu duduk kembali di atas sebuah batu. "Duduklah di sini dan sekarang ceritakan semua tentang dirimu, siapa engkau dan apa yang terjadi denganmu sampai kita saling berjumpa di sini."
Muryani lalu mengambil tempat duduk di atas batu, di sebelah nenek itu. "Eyang guru yang mulia. Nama saya Muryani. Mendiang ayah saya tinggal di dusun Pakis di Gunung Lawu. Sejak kecil saya ikut nenek saya di Demak sedangkan mendiang ayah meninggalkan Demak dan pergi merantau sampai ke Gunung Lawu. Ketika saya ikut nenek itulah saya menjadi murid perguruan Bromo Dadali. Ketika saya berusia enam belas tahun, baru setahun lalu, nenek saya di Demak sakit dan meninggal dunia. Ayah lalu membawa saya ke Pakis."
Muryani lalu bercerita tentang Ki Demang Wiroboyo yang hendak mengambilnya sebagai selir dan betapa ia memberi pelajaran kepada Ki Wiroboyo yang mata keranjang itu. Diceritakannya pula tentang warok Surobajul yang diundang Ki Wiroboyo untuk menculiknya dan betapa akhirnya Warok Surobajul tewas dikeroyok penduduk dan Ki Wiroboyo diusir dari dusun.
"Akan tetapi ternyata Wiroboyo menaruh dendam. Pada suatu malam, kurang lebih sebulan yang lalu, rumah kami kedatangan penjahat yang telah membunuh ayah dan melukai saya. Ayah saya, Ki Ronggo Bangak, tewas oleh pukulan jarak jauh. Setelah saya sembuh, saya lalu pergi meninggalkan Pakis untuk mencari Wiroboyo, dan saya menduga bahwa tentu dia yang berdiri di belakang pembunuhan terhadap ayah dan penyerangan terhadap saya itu. Dari rumah mendiang Warok Surobajul saya mendapatkan keterangan tentang rumah Wiroboyo dan ketika saya mengunjungi rumahnya, saya mendapat keterangan bahwa Wiroboyo baru saja meninggalkan rumahnya menuju ke utara. Saya lalu mengejarnya dan di hutan ini saya melihat dia berlari di depan. Saya mengejar, akan tetapi tiba-tiba kuda saya roboh terkena anak panah. Saya ikut terbanting dan tidak ingat apa-apa lagi. Ketika siuman, saya melihat eyang guru berkelahi melawan mereka dan mengusir mereka. Demikianlah eyang, keadaan saya. Menyaksikan kesaktian eyang, maka saya mohon menjadi murid agar saya memiliki kesaktian seperti eyang sehingga dapat membalas dendam kematian ayah saya dan membasmi penjahat-penjahat yang berkeliaran di permukaan bumi ini."
"Hemm, setelah engkau menjadi muridku, Muryani, engkau harus dapat memenuhi syarat-syarat yang harus kau taati."
"Apakah syarat-syarat itu, eyang guru?"
"Yang pertama, walaupun dalam berapa tahun ini aku ingin mewariskan semua ilmuku kepadamu, akan tetapi terlarang keras padamu untuk memperkenalkan aku sebagai gurumu. Orang menyebut aku Nyi Rukmo Petak (Rambut Putih) dan namaku sendiri dulu adalah Ken Lasmi. Akan tetapi hanya telingamu saja yang mendengar nama dan julukanku itu. Engkau tidak boleh mengatakannya kepada siapapun juga sebelum aku mati!"
"Perintah eyang guru ini aneh sekali, akan tetapi saya berjanji untuk mematuhinya," kata Muryani dengan tegas dan janji ini memang keluar dari lubuk hatinya.
"Syarat kedua, engkau tidak boleh sekali-kali mempergunakan ilmu-ilmu yang kau pelajari dariku untuk melakukan kejahatan."
"Saya bukan orang jahat yang suka melakukan kejahatan, eyang guru!" kata Muryani tegas karena kata-kata ini menyinggung perasaannya.
"Bagus kalau begitu. Syarat ketiga, kau tidak boleh jatuh cinta kepada seorang pria yang tidak mencintaimu. Kalau engkau memaksakan cintamu kepada seorang pria yang tidak mencintaimu, hidupmu akan terkutuk dan selama hidupmu engkau akan menderita sengsara!"
Wajah Muryani menjadi kemerahan. Entah mengapa, tiba-tiba saja wajah Parmadi membayang didepan pelupuk matanya. Ia mengeraskan hatinya dan berkata, "Saya bukan seorang wanita yang tidak tahu malu, eyang. Saya tidak akan sudi memaksakan cinta saya kepada seorang pria yang tidak mencintai saya!"