Seruling Gading Jilid 13

Cersil online kho ping hoo
Sonny Ogawa
Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Seruling Gading Jilid 13

"ADI Sutejo sudah berjanji bahwa dia berdua isterinya akan membantu mencari keterangan tentang Satya itu dalam perjalanan mereka, dan sebaliknya aku berjanji membantu mereka dengan mengerahkan para anggota Jatikusumo untuk mencari keterangan tentang keponakanku Bagus Sajiwo yang hilang diculik orang. Akan tetapi sumur terkutuk ini akan kututup saja, kusuruh menimbuni batu dan tanah sampai rata dengan tanah agar semua kebusukan itu terpendam dan tempat ini tidak berhantu lagi," kata Cangak Awu.

"Kukira memang sebaiknya begitu, kakang Cangak Awu," kata Sutejo dan dua orang wanita perkasa itupun merasa setuju.

Cangak Awu segera memanggil para anggota perguruan Jatikusumo dan puluhan orang anak buah itu bekerja menguruk sumur dengan batu dan tanah. Sebentar saja sumur itu telah tertutup dan rata dengan tanah. Semenjak saat itu bukit itu tidak menjadi bukit larangan lagi. Kesan angkernya lenyap, bahkan para murid mulai menggarap tanah permukaan bukit yang subur itu dan menjadikannya sebagai tegalan.

Sutejo dan Retno Susilo berpamit dan meninggalkan perguruan Jatikusumo dan menuju perkampungan Nogodento yang terletak di tepi Bengawan Solo, di daerah Ngawi. Ketua Nogodento adalah Ki Harjodento, ayah kandung Sutejo. Mereka akan berkunjung ke sana dan mengabarkan tentang terculiknya anak mereka agar para murid perguruan itu dapat ikut mencari keterangan tentang hilangnya Bagus Sajiwo.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Setelah berhasil menolong penduduk dusun Sukuh dari gangguan Koloyitmo, Parmadi melanjutkan perjalanannya menuruni lereng Gunung Lawu. Di setiap dusun yang dilaluinya, dia bertanya-tanya kepada penduduk, barangkali ada yang melihat Muryani. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang mengenal gadis seperti yang digambarkan Parmadi. Dia tidak menjadi putus asa dan melanjutkan perjalanannya dan terus mencari keterangan di sepanjang perjalanan.

Dia melewati Batujamus dan tiba di daerah Sukowati. Daerah di lembah Bengawan Solo ini subur sekali. Sawah ladang terbentang hijau di antara hutan-hutan kecil yang bergerombol. Ketika memasuki sebuah hutan di tepi Bengawan Solo, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang. Dia cepat menyelinap di antara rumpun bambu dan pohon jati, mendekat ke arah datangnya suara. Setelah dekat dia mengintai dari balik semak belukar dan dengan heran melihat bahwa yang bicara itu adalah seorang pemuda dan seorang gadis.

Pemuda itu cukup tampan dan tubuhnya tegap, sedangkan gadis itu hitam manis. Keduanya mengenakan pakaian sebagai orang dusun yang sederhana, akan tetapi yang membuat Parmadi merasa heran dan penasaran adalah ketika dia melihat bahwa kedua pergelangan tangan gadis itu terikat tali yang panjang dan ujung tali itu dipegang si pemuda! Maka diapun mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Sarti, mengapa engkau membuat aku kecewa dan sedih sekali? Sungguh mati aku merasa kasihan sekali dan tidak enak harus mengikat kedua tanganmu seperti ini. Akan tetapi kalau tidak kuikat, engkau selalu hendak memberontak dan melarikan diri. Aku takut kehilangan engkau, Sarti," kata pemuda itu, suaranya lembut dan terdengar penuh kasih sayang.

"Kakang Parno, apa yang hendak kau lakukan kepadaku?" tanya gadis itu, suaranya mengandung kemarahan akan tetapi juga ketakutan.

"Engkau tentu tahu bahwa sampai matipun aku tidak akan mencelakaimu, Sarti. Engkau tahu bahwa aku mencintaimu dan selamanya akan tetap mencintamu. Cintaku setia, Sarti, tidak seperti engkau. Kita dulu sudah saling menyatakan cinta kita masing-masing, akan tetapi mengapa engkau kini selalu menjauhiku dan engkau menolak pinangan orang tuaku? Mengapa engkau menolak untuk menjadi isteriku, padahal engkaupun dahulu menyatakan cintamu kepadaku? Sekarang aku akan menahanmu dan mengajakmu pergi, entah ke mana. Pendeknya kita akan hidup bersama, engkau akan ikut denganku dan walaupun aku tidak akan memaksamu menjadi isteriku, akan tetapi engkau tidak kuperkenankan berpisah lagi dariku."

"Kakang Parno, engkau tidak berhak memaksaku hidup bersamamu! Kita tidak dapat menjadi suami isteri, karena kalau itu kita lakukan, kelak kita akan hidup sengsara dan penuh derita."

"Siapa bilang begitu? Kita saling mencinta dan kita pasti akan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia," kata Parno dengan kukuh.

"Kakang, menjadi suami isteri tidak bisa kalau hanya berbekal cinta. Terus terang saja, aku memang suka kepadamu, aku mempunyai perasaan cinta padamu. Akan tetapi sejak engkau menjadi seorang pemuda yang malas menggarap sawah, setiap hari hanya berkeliaran, berjudi dan adu jago, sampai bosan aku mengingatkan namun engkau masih saja tidak berubah, aku yakin bahwa tidak mungkin aku menjadi isterimu. Setelah menjadi isterimu dan kau tinggalkan berkeliaran bermain judi dan bergerombol dengan pemuda-pemuda malas lainnya, aku pasti akan menderita dan perasaan cinta saja tidak akan dapat menolongku. Akhirnya kehidupan rumah tangga kita tentu akan hancur karena perbedaan paham dan cara hidup. Dan akulah yang paling menderita karena aku seorang perempuan, sebaliknya engkau mendapatkan hiburan dari teman-teman gerombolanmu. Karena itu, kakang, lepaskanlah aku, biar kita mencari jalan hidup masing-masing dan aku hanya mendoakan semoga engkau kelak memperoleh seorang jodoh yang lebih cocok."

"Tidak bisa, Sarti! Aku cinta padamu. Sungguh mati, aku cinta padamu. Tahukah engkau bahwa setiap kali aku tidur, aku selalu memimpikan dirimu? Bayangan wajah dan tubuhmu tak pernah meninggalkan hati dan pikiranku, betapa manis ayu merak ati engkau, betapa rinduku untuk selalu berdekatan denganmu, Sarti."

Gadis itu cemberut dan memandang kepada pemuda itu dengan alis berkerut. Matanya yang bening dan jeli itu bersinar. "Hemm, sekarang aku tahu betul bahwa cintamu kepadaku selama ini hanya merupakan cinta nafsu belaka, kakang Parno. Bukan aku seutuhnya yang kau cinta, melainkan wajah dan tubuhku yang kauanggap ayu manis dan menarik hatirnu. Cintamu yang seperti itu hanya setebal kulit, kakang. Andaikata hidungku ini gruwung (putus) atau bibirku robek, mataku pece (juling, cacad) atau kakiku pincang, aku yakin cintamu pasti akan menghilang dan mungkin cintamu berubah menjadi kemuakan dan kebencian. Cintamu dangkal sekali sehingga harga diriku kau anggap lebih rendah daripada kesukaanmu berjudi dan berkeliaran. Engkau bukan seorang laki-laki yang baik untuk dijadikan suami, kakang dan biarpun rasanya pahit, aku harus berani menutupi rasa cintaku kepadamu dengan kenyataan tentang dirimu ini."

Diam-diam Parmadi yang mengintai dan mendengarkan, tertegun. Perawan desa ini sungguh luar biasa, pikirnya. Di seolah sedang mendengarkan wejangan seorang yang arif bijaksana! Ucapan gadis sederhana, seorang perawan desa bernama Sarti itu telah membongkar rahasia cinta antara pria dan wanita yang penuh kepalsuan! Setebal kulit saja! Yang dicinta hanyalah kecantikan wajah dan tubuh belaka. Cinta nafsu! Dan Parmadi seperti terbuka matanya dan melihat dengan jelas betapa tepat dan benarnya ucapan gadis itu.

Cinta nafsu merupakan perasaan suka akan suatu yang merangsang dan menarik hatinya, menimbulkan keinginan untuk memilikinya, untuk menikmatinya. Akan tetapi kalau daya tarik itu berkurang, karena cacad dan lain sebagainya yang membuat orang yang "dicinta" itu menjadi kurang menarik, cinta nafsu itu pun kabur, bahkan mungkin terganti benci yang muncul dari rasa tidak suka.

Gadis itu jujur sekali dan mungkin cintanya terhadap pemuda itu lebih murni. Ia dengan jujur menyatakan cinta, akan tetapi cintanya bukan cinta nafsu, bukan sekedar ingin memiliki dan dimiliki, melainkan cinta dari hati yang mendorong keinginan melihat orang yang dicintanya itu berbahagia. Bukan kesenangan karena tercapai gairah nafsunya, melainkan berbahaia karena hidup dalam garis kebenaran.

Parno mengerutkan alisnya, mukanya berubah merah. Agaknya dia menjadi marah mendengar ucapan yang panjang dari gadis itu. "Hemm, engkau sudah ketularan kakekmu Kyai Brenggolo Sidhi, pandai memberi wejangan! Pendeknya, aku cinta padamu dan aku tidak ingin berpisah lagi darimu. Biarpun aku tidak akan memaksamu untuk menjadi isteriku, akan tetapi engkau tidak boleh meninggalkanku lagi. Kita harus hidup bersama karena aku tidak dapat hidup tanpa engkau, Sarti!"

"Kakang Parno, aku merasa sedih sekali kalau melihat engkau melakukan hal yang menyimpang dari kebenaran. Kalau engkau memang mencintaku dengan tulus, buktikanlah. Buktikanlah bahwa sejak hari ini, selama satu tahun, engkau akan mengubah jalan hidupmu, tidak mabok-mabokan, tidak bermain judi, tidak berkeliaran dengan gerombolanmu. Nah, kalau setelah setahun kulihat engkau sudah benar-benar berubah, suruh orang tuamu meminangku dan aku pasti akan menerimamu sebagai calon suamiku dengan hati berbahagia."

Pemuda itu menggeleng kepala. "Tidak, Sarti. Aku tidak mau melepaskanmu lagi dari sampingku. Engkau tentu akan dinikahkan dengan pemuda lain oleh kakekmu."

"Tidak, kakang. Kalau engkau memegang janjimu, selama setahun akupun berjanji untuk menunggumu dengan setia."

"Tidak, aku tidak percaya padamu!"

"Kakang Parno?"

"Sudahlah, mari ikut denganku, Sarti," kata pemuda itu sambil menarik ujung tali sehingga gadis yang diikat kedua pergelangan tangannya itu terpaksa melangkah maju mengikuti pemuda yang sudah nekat itu.

"Perlahan dulu, sobat!" terdengar teguran lembut dan sesosok bayangan berkelebat. Parmadi sudah berdiri berhadapan dengan Parno, menghadang jalannya. Dengan alis berkerut dan muka marah Parno menatap wajah Parmadi.

"Hei, ki-sanak, siapa andika dan mau apa andika menghadang perjalanku!" bentak Parno dengan marah.

"Siapa namaku tidak penting," kata Parmadi dengan sikap tenang. "Aku sudah mendengar bahwa namamu Parno dan yang terpenting adalah bagimu untuk menyadari bahwa engkau telah bersikap sebagai sorang laki-laki yang tersesat, menyimpang dari kebenaran dan tidak mengenal budi! Juga engkau adalah seorang laki-laki pengecut yang tidak tahu malu!"

Saking marahnya Parno melepaskan ujung tali panjang pengikat kedua pergelanan tangan Sarti dan dengan kedua tangan terkepal dia maju menghampiri Parmadi. Mereka berdiri berhadapan dalam jarak dekat, hanya satu meter. Tubuh mereka sama tegap dan sedang dan keduanya juga tampan walaupun dalam sikapnya Parno tampak kasar dan marah. Juga kulit Parno lebih gelap. Parno memandang dengan mata berapi, alis berkerut dan mulut cemberut, sebaliknya Parmadi memandang dengan sikap tenang dan mulutnya mengembangkan senyum.

"Keparat! Lancang sekali ucapanmu. Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Aku adalah Parno, Macan Sukowati berotot kawat bertulang besi! Tiada seorangpun di daerah Sukowati yang tidak mengenal aku dan engkau berani memaki-maki aku sebagai seorang tersesat, tak mengenal budi dan pengecut? Apa engkau sudah bosan hidup?"

Parmadi tersenyum. "Aku sama sekali bukan memaki, melainkan mengatakan yang sebenarnya. Engkau tidak tahu diri, padahal engkau dicinta oleh seorang gadis yang bijaksana dan berbudi mulia. Sepatutnya engkau bersyukur karena orang dengan watak macam engkau dapat dicinta seorang gadis yang wataknya seperti dewi! Kekasihmu ini berkata benar Parno. Sadar dan bertaubatlah, penuhilah permintaannya dan berjanjilah bahwa engkau akan mengubah jalan hidupmu dalam setahun ini, kemudian nikahi ia dan hidup berbahagia bersama isterimu yang bijaksana."

"Tutup mulutmu! Tak seorangpun di dunia ini yang boleh mengatur cara hidupku! Sarti ini adalah milikku dan ia harus ikut denganku, hidup bersamaku karena kami saling mencinta dan tak seorangpun boleh menghalangiku!"

"Aku yang akan menghalangimu, Parno. Sarti ini hanya boleh ikut denganmu kalau ia memang suka rela menghendaki demikian. Akan tetapi kalau engkau mempergunakan cara memaksa seperti ini, akulah orangnya yang akan menghalangimu."

"Apa? Engkau... engkau berani menentangku?" Parno bertanya heran. Selama ini, tidak ada orang berani menentangnya, akan tetapi pemuda asing ini berani menghalangi kehendaknya.

"Tentu saja aku berani menentang segala kejahatan. Apa yang kaulakukan ini jahat, maka aku akan menentangnya. Ke jahatanmulah yang kutentang, bukan engkau."

"Jahanam! Kubunuh engkau!"

"Kakang Parno, jangan! Dia hanya ingin mengingatkan dan menyadarkanmu.Jangan ganggu dia, kakang! Kisanak pergilah dan jangan berkelahi dengan kakang Parno. Aku tidak ingin dia membunuh orang dan aku tidak ingin meliha andika terluka. Pergil dan jangan korbankan dirimu untukku," kata Sarti.

Parmadi makin kagum kepada gadis itu. Seorang gadis dusun sederhana namun memiliki kebijaksanaan seperti itu. Dia tersenyum. "Betapa aneh dan besar kekuasaan Cinta! Seorang bidadari dapat jatuh cinta kepada seorang pria yang tersesat! Kisanak Parno, engkau seorang yang berbahagia sekali menerima kasih sayang seorang gadis seperti Sarti ini. Karena itu bersihkanlah batinmu untuk menerima anugerah Gusti Allah yang amat membahagiakanmu ini. Bertaubatlah."

"Keparat, sambutlah ini!" Parno menjawab ucapan Parmadi dengan ayunan tangan kanannya yang memukul ke arah muka Parmadi. Tangan kanan itu dikepal dan pukulannya cukup kuat mendatangkan angin menyambar. Namun dengan amat mudahnya Parmadi mengelak.

"Sadarlah!" kata Parmadi. Akan tetapi pukulan yang luput itu membuat Parno menjadi semakin marah. Dia lalu menerjang lagi, bahkan kini mengirim pukulan dan tendangan dengan kedua pasang kaki tangannya secara gencar dan bertubi-tubi.

Namun, biarpun Parno dianggap jagoan didaerah Sukowati, bagi Parmadi gerakan pernuda itu masih terlalu lambat sehingga mudah saja baginya untuk menghindarkan diri dari semua sambaran pukulan dan tendangan itu. Kalau saja dia tidak ingat bahwa di situ terdapat seorang gadis budiman yang benar-benar mencinta Parno, tentu dia sudah menjatuhkan hajaran keras kepada pemuda keras kepala itu. Akan tetapi Parmadi merasa kasihan kepada Sarti maka dia masih bersikap sabar dan selalu mengelak.

Setelah melihat betapa Parno tetap nekat, walaupun semua serangannya gagal, namun pemuda itu tidak mau menyadari kenyataan bahwa lawannya merupakan orang yang digdaya, melainkan terus menyerang seperti kerbau bila, Parmadi menangkap pergelangan tangan kanan Parno yang memukul, memuntir dan menarik dengan sentakan kuat. Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh Parno terputar dan terpelanting, terbanting keras ke atas tanah dan terguling-guling sampai ke dekat kaki Sarti.

"Kakang !" Sarti segera menghampiri, berjongkok dan dengan kedua tanganya yang terbelenggu ia menyentuh pundak pemuda itu. Akan tetapi Parno menepis tangan gadis itu, bangkit kembali dan dengan muka merah dan mata melotot dia menghampiri Parmadi. Agaknya Parno memiliki tubuh yang kuat dar kebal sehingga bantingan keras tadi seperti tidak terasa olehnya. Akan tetapl agaknya pemuda Sukowati itu kini menyadari bahwa lawannya memang tangguh maka dia tidak berani memandang rendah dan bersikap congkak.

"Babo-babo, kiranya andika memiliki kesaktian. Nah, coba sambut pusakaku ini. Hayo, keluarkan pusakamu kalau andika memang seorang gagah!" Parno menentang sambil mencabut sebatang keris luk tujuh yang tadi terselip di pinggangnya.

"Kakang Parno, ingatlah! Jangan bunuh orang yang tidak bersalah!" Sarti berseru dengan cemas melihat pria yang dicintanya itu mencabut keris dan mengancam Parmadi.

Parmadi masih tersenyum dan berkata kepada Sarti, "Jangan andika khawatir, Parno tidak akan dapat membunuhku."

Parno yang sudah memuncak kemarahannya itu membentak, "Hayo cepat keIuarkan senjatamu!"

Parmadi menatap wajah pemuda yang marah itu. "Ah, andika masih belum mau menerima kenyataan bahwa andika bersalah dan karenanya maka andika kalah? Minta aku menggunakan senjata? Baiklah, ini senjataku!" Parmadi mencabut seruling gading yang terselip di pinggangnya.

Melihat lawannya memegang sebatang seruling, Parno mengerutkan alisnya "Aku bukan orang licik yang menggunaka pusaka menyerang orang yang tidak bersenjata. Yang andika pegang itu sebuah seruling, alat gamelan, bukan senjata?"

Parmadi tersenyum. Pemuda ini keras kepala dan agaknya terseret oleh lingkungan yang tidak sehat, namun berwatak gagah. Pantas Sarti jatuh cinta kepadanya. "Parno, menjadikan sebuah benda menjadi benda bermanfaat atau menjadi benda jahat yang mengerikan, tergantung dari orang yang menggunakannya. Keris di tanganmu itupun dapat menjadi hiasan dinding yang indah atau menjadi pelengkap pakaian yang baik. Akan tetapi kalau hendak andika pergunakan untuk membunuh orang, ia menjadi senjata yang jahat dan mengerikan. Seruling Gading ditanganku inipun dapat menjadi senjata yang siap menandingi kerismu itu."

"Baik, andika sendiri yang menentukan. Nah, sambutlah serangan pusakaku ini!" Parno lalu menyerang dengan tusukan kerisrnya. Gerakannya yang tangkas dan kuat menunjukkan bahwa dia memang seorang yang mahir menggunakan senjata keris.

Seperti tadi, Parmadi menggunakan kecepatan gerakan badannya untuk mengelak. Parno mengejar dengan tusukan-tusukan berikutnya. Dia menyerang bertubi-tubi, menusuk dengan keris di tangan kanannya diseling pukulan-pukulan tangan kirinya. Parmadi sengaja mengelak sampai belasan jurus, kemudian setelah merasa cukup "memberi muka" di depan Sarti agar tidak tampak Parno dikalahkan dengan cepat, tiba-tiba dia menggerakkan seruling gadingnya. Tampak sinar kuning berkelebat.

"Cringgg...!" Keris di tangan Parno terlempar jauh setelah terlepas dari tangannya karena tangkisan seruling gading itu. Parno terkejut bukan main, akan tetapi pada saat itu, jari-jari tangan kiri Parmadi sudah mengusap dan menekan pundak kanannya.

"Aduhhh�!" Parno merasa betapa tiba-tiba tubuhnya seperti kemasukan hawa yang amat panas dan pundak kanannya terasa nyeri sekali, rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat ubun ubun kepala rasanya berdenyut-denyut dan jantung seperti ditusuk-tusuk.

"Aduhhh.... tobaaattt....!" Dia mengeluh, menggunakan kedua tangan untuk meraba pundak kanan dan ubun-ubun kepala.

"Kakang...!" Sarti cepat lari menghampiri dan berjongkok di dekat pemuda yang sudah jatuh mendeprok itu. "Kakang... engkau kenapa ?" tanya Sarti sambil meraba-raba pundak dan punggung Parno dengan kedua tangannya yang terbelenggu. Melihat pemuda itu tampak tersiksa sekali, peluh besar-besar memenuhi mukanya yang berkerut-kerut menahan rasa nyeri, Sarti lalu menoleh kepada Parmadi.

"Denmas... tolonglah... ampuni kesalahan kakang Parno�!"

Parmadi menghampiri mereka. "Hem Parno, tidak malukah akan kelakuanmu sendiri? Lihat, Sarti begini setia dan mencintaimu, tetapi mengapa andika tidak mau bertaubat dan menuruti permintaannya? Biarlah dengan melihat Sarti, aku akan membebaskanmu dari hukuman ini!"

Parmadi lalu menepuk pundak kanan, menggunakan jari tangannya menekan dan seketika Parno pulih dan sehat kembali. Rasa nyeri itu menghilang. Akan tetapi dasar wataknya amat keras, dia menepis tangan Sarti yang menyentuh pundaknya, lalu bangkit berdiri, memandang Parmadi dengan alis berkerut, lalu memutar tubuhnya dengan cepat dan dia lari dari situ tanpa mengeluarkan kata-kata.

"Kakang Parno...!" Sarti berseru memanggil, akan tetapi pemuda itu tidak menjawab, juga tidak menoleh. Sarti berlari, menangis dan menutupi muka dengan kedua tangan yang pergelangannya masih terikat tali.

Tiba-tiba ia merasa sentuhan pada kedua pergelangan tangannya dan tahu-tahu tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya itu telah putus dan terlepas. Ia menurunkan kedua tangannya yang telah bebas dan memandang kepada Parmadi yang sudah berdiri di depannya. Sepasang mata bening itu kini kemerahan dan bibir yang bentuknya indah itu agak gemetar.

"Sarti," kata Parmadi lembut, "maafkanlah aku kalau aku telah membuat engkau berduka karena aku telah menghajar Parno sehingga dia lari meninggalkanmu."

"Oh, tidak tidak, denmas...."

"Sarti, aku juga hanya seorang pemuda pegunungan, jangan sebut denmas padaku."

"Tapi, ki-sanak... jangan andika minta maaf karena andika benar dan apa yang telah andika lakukan tadi benar: Kakang Parno yang bersalah dan harap andika suka memaafkan sikap dan kelakuannya yang kasar. Agaknya dia memang membutuhkan pelajaran keras seperti itu karena dengan bujukan halus dia tidak pernah menurut."

"Akan tetapi engkau menangisinya?"

Gadis itu menyusut sisa air matanya dan mengangguk. "Aku kasihan kepadanya.

"Hemm, dan engkau tetap cinta padanya?" Kembali Sarti mengangguk. "Cinta adalah keadaan perasaan hati. Bagaimana dapat berubah? Aku tetap cinta padanya, kisanak."

"Kalau begitu, engkau ingin bersamanya dan menjadi isterinya?"

Kini Sarti menggeleng kepala kera-keras. "Tidak, aku tidak mau menjadi istrinya selama dia tidak mau mengubah kelakuannya karena aku akan hidup menderita kalau menjadi isterinya."

"Sungguh andika seorang gadis yang luar biasa sekali, Sarti. Andika seorang gadis dusun yang masih muda namun memiliki kebijaksanaan dan pendapat yang lain sama sekali dengan orang lain. Dari manakah andika memperoleh pandangan aneh seperti itu?"

"Eyang yang mengajarkan bagaimana harus menghadapi kenyataan hidup, kisanak. Aku adalah seorang anak yatim piatu dan sejak kecil aku hidup bersama eyang. Sejak kecil aku mengenal kakang Parno. Kami teman sepermainan. Setelah dewasa, aku merasa bahwa aku mencintanya dan diapun mencintaku. Kalau saja kemudian dia tidak berubah kelakuannya hidup ugal-ugalan, bergerombol dengan orang-orang yang tidak bersusila, mabok-mabokan dan suka berjudi dan adu ayam tidak mau bekerja di sawah. Kalau saja dia masih lugu seperti dulu, tentu saja aku akan merasa bahagia sekali hidup menemaninya untuk selamanya, sebagai isterinya. Akan tetapi dia tidak pernah mendengar nasihatku, maka aku menjauhkan diri. Dan pagi tadi, dia... dia memaksaku pergi bersamanya. Ketika aku menolak dan memberontak, dia mengikat kedua pergelangan tanganku. Bahkan dia pun tidak mau berjanji untuk mengubah kehidupannya selama setahun sebagai syarat aku mau menjadi isterinya."

"Akan tetapi sekarang engkau telah terbebas darinya. Biarlah aku akan mengantarmu pulang, Sarti. Di mana eng tinggal?"

"Aku tinggal di sebelah utara sana kisanak, di seberang bengawan. Aku tinggal bersama kakekku."

"Siapakah kakekmu itu?"

"Dia adalah Kyai Brenggolo Sidhi yang mengasingkan diri dan bertapa di lembah bengawan di pondok yang terpencil. Aku menemaninya."

Parmadi tertarik. Kiranya Sarti, gadis dusun ini tinggal bersama seorang pertapa yang menjadi kakeknya. Pantas saja ia memiliki pandangan hidup yang luar biasa dan bijaksana. Tentu Kyai Brenggolo Sidhi itu yang memberi wejangan kepadanya. Dia menjadi ingin sekali bertemu dengan Kyai Brenggolo Sidhi itu. "Mari kuantar engkau pulang, Sarti."

"Terima kasih sebelumnya atas kebaikan andika, kisanak. Akan tetapi, andika telah menolongku dan terutama sekali andika telah memberi pelajaran dan mau memaafkan kakang Parno, kini andika hendak mengantarku pulang, akan tetapi aku belum mengenal siapa andika. Hal ini amat janggal dan eyang tentu akan menegurku kalau mengetahui bahwa aku belum mengenal nama penolongku."

Parmadi tersenyum. Gadis ini bijaksana, pandai membawa diri dan juga pandai bicara. Sungguh seorang gadis dusun yang luar biasa. "Sarti, aku adalah seorang perantau dan apa yang telah kulakukan semua ini merupakan tugas kewajiban bagiku. Karena itu aku tidak ingin dikenal karena semua perbuatan itu. Selama ini aku hanya dikenal melalui serulingku ini," Parmadi menyentuh suling yang terselip pinggangnya, "dan biarlah aku dikenal sebagai Seruling Gading."

"Nama yang indah sekali. Akupun akan menyebutmu kakangmas Seruling Gading. Marilah, kangmas, aku akan memperkenalkanmu dengan eyangku."

Mereka lalu keluar dari hutan itu dan Sarti menjadi penunjuk jalan. Setelah btia di tepi Bengawan Solo yang airnya sedang pasang, mereka menumpang perahu seorang nelayan yang mengantar mereka ke seberang. Kyai Rrenggolo Sidhi tinggal di sebuah pondok padepokan yang berdiri seberang bengawan sebelah utara. Pondok itu berada di lembah yang sunyi jauh dari tetangga dan memang tempot itu merupakan tempat yang baik sekali bagi orang yang bertapa dan menjauhkan diri dari keramaian.

Keheningan di lembah bengawan yang indah dan amat subur tanahnya. Juga bagian yang menjadi tempat tinggal itu merupakan bukit kecil yang cukup tinggi sehingga di waktu musim hujan dan air bengawan naik tinggi, tidak sampai air menghampiri pondok yang berdiri aman di atas bukit kecil di tepi bengawan itu. Ketika Parmadi dan Sarti tiba di depan pondok, dari dalam pondok muncul seorang kakek yang langsung menarik perhatian Parmadi. Kakek itu berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, rambut, kumis dan jenggotnya yang panjang berwarna putih, pakaian hitam sederhana membungkus tubuhnya yang tinggi kurus, namun sepasang matanya mencorong tajam dan lembut.

"Eyang...!" kata Sarti sambil berlari menghampiri kakek itu.

Kakek itu menaruh kedua tangannya di pundak Sarti dan berkata, "Syukurlah engkau telah terlepas diri bahaya. Tentu anakmas ini yang telah menolongmu!"

"Eyang mengetahui bahwa saya dipaksa lari bersama kakang Parno?" tanya gadis itu.

Kakek itu mengangguk-angguk. "Aku tahu engkau dalam bahaya, akan tetapi aku tahu pula bahwa akan ada orang yang menolongmu terlepas dari bahaya."

"Eyang memang benar, kisanak ini yang menolongku dan dia mengantarkan aku pulang. Dia bernama Seruling Gading, eyang."

Parmadi membungkuk dengan sikap hormat kepada kakek itu. Kyai Brenggolo Sidhi, kakek itu, memandang ke arah seruling gading yang terselip di pinggang Parmadi dan dia terkekeh, "Heh-heh, apa artinya sebuah nama? Bukan nama, bukan pakaian, bukan rupa, bukan pula sikap dan perbuatan, yang menentukan mutu seorang manusia."

"Wah, eyang! Memang bukan nama, pakaian, rupa, kekayaan atau kedudukan seseorang yang menentukan baik buruknya orang itu, akan tetapi mengapa bukan pula sikap dan perbuatan?

Bukankah baik buruknya seseorang itu dapat dinilai dari sikap dan perbuatannya?"

"Heh-heh-heh, bantahan dan pertanyaan yang bagus, Sarti. Akan tetapi ketahuilah bahwa sikap dan perbuatan itu dapat dibuat-buat, dapat dipergunakan sebagai kedok yang menyembunyikan wajah aslinya. Sikap dan perbuatan dapat saja berlawanan dengan isi hatinya. Karena terlalu percaya akan sikap dan perbuatan inilah banyak manusia terkecoh dan tertipu, terutama.sekali para wanita yang mudah terpikat dan tunduk kepada bujuk rayu, sikap manis, tutur kata halus dan sopan."

"Akan tetapi, eyang..."

"Heh-heh-heh, Sarti, tahan rasa penasaran dan pertanyaanmu sampai kita duduk di dalam pondok. Apakah engkau akan membiarkan saja penolongmu berdiri mendengarkan perdebatan kita sambil berdiri di luar pondok?"

"Ooo...iya, saya sampai lupa! Maafkan saya, kakangmas Seruling Gading, dan mari, silakan memasuki pondok agar kita dapat bicara dengan leluasa," Sarti berkata kepada Parmadi.

Sejak tadi Parmadi memandang kagum. Dugaannya tidak salah. Kakek gadis itu memang seorang yang arif bijaksana, dan Sarti adalah seorang gadis muda yang kritis, suka bertanya dan agaknya belum puas kalau belum mendapatkan keterangan yang sejelasnya. Tidak mengherankan kalau gadis itu memiliki pandangan yang luas dan bijaksana. Dia mengikuti kakek dan cucu itu masuk ke dalam pondok yang sederhana namun terjaga kebersihannya dan duduk diruangan depan, di atas lantai bertilamkan tikar, mengelilingi sebuah meja bundar rendah.

Setelah mereka duduk, Sarti langsung saja mengeluarkan isi hatinya yang sejak tadi membuatnya merasa penasaran. "Eyang, kata-kata eyang tadi membuat Sarti merasa penasaran dan ingin sekali mengajukan pertanyaan."

Kyai Brenggolo Sidhi mengelus jenggotnya dan tersenyum lebar sambil melirik ke arah Parmadi. "Maafkan ia, anakmas. Bocah ini selalu merasa penasaran tidak dapat tenang kalau pertanyaan yang mengganggu pikirannya belum terjawab. Nah, Sarti, katakanlah apa yang menjadi uneg-uneg hatimu?"

"Begini, eyang. Kalau menurut ucapan eyang tadi, sikap dan perbuatan orang tidak menentukan baik buruknya orang itu. Kalau begitu, mengapa semua orang menekankan pelajaran kepada murid atau anaknya agar bersikap dan bertindak baik?"

Kyai Brenggolo Sidhi memandang kepada Parmadi yang duduk di depannya lalu tertawa. "Heh-heh, pertanyaanmu ini mungkin mewakili pertanyaan sebagian orang di jagad ini, Sarti. Akan tetapi aku merasa yakin bahwa anakmas Seruling Gading ini dapat memberi penjelasan kepadamu. Bukankah begitu, anakmas?"

Diam-diarn Parmadi merasa kagum. Kakek ini agaknya mampu menjenguk dan melihat isi hatinya! Tentu saja dia dapat memberi penjelasan karena gurunya, Resi Tejo Wening, sudah banyak membicarakan hal ini sehingga membuat dia mengerti, mengerti yang bukan hanya terbatas kepada pengertian akal, melainkan mengerti karena mengalaminya sendiri. Akan tetapi dia berkata hormat.

"Kanjeng eyang, saya juga ingin sekali untuk memperdalam pengertian saya."

"Heh-heh, tunduk rendah seperti batang padi yang subur. Kerendahan hati yang bijak! Dengarlah Sarti. Orang-orang condong mementingkan sikap dan perbuatan karena semua orang menilai baik buruknya seseorang dari sikap dan perbuatan itu. Karena itu, orang berusaha keras untuk bersikap dan berbuat baik agar disebut orang baik. Keinginan dianggap baik inilah yang menimbulkan kepalsuan sikap dan perbuatan baik, dipergunakan sebaai pakaian bersih untuk menutupi badan yang kotor, atau pakaian indah untuk menutupi cacad badan. Sikap dan perbuatan baik bahkan menjadi semacam umpan untuk menipu orang lain, menjadi bujuk rayu yang di kalangan orang muda di sebut rayuan gombal."

"Kalau begitu eyang, apakah kita tidak perlu berusaha untuk bersikap baik dan berbuat baik?" Sarti mendesak.

"Sarti, sikap dan perbuatan hanyalah merupakan akibat, merupakan buah. Sebab atau pohonnya batin. Kalau pohonnya baik, pasti akan mengeluarkan buah yang baik. Kalau batinmu penuh kasih dan iba kepada orang lain, pasti sikap dan perbuatanmu terhadap orang itu baik dan benar. Sebaliknya, kalau hatimu penuh kebencian kepada orang lain, sikap dan perbuatanmu terhadap orang itu sudah pasti tidak baik dan jahat. Kalau hatinya kotor akan tetapi perbuatanmu bersih jelas bahwa perbuatan dan sikaprnu yang bersih itu hanya palsu belaka. Atau kalau pohonnya tidak baik akan tetapi buahnya tampak baik, tentu buah itu tampak baik karena diasap, hanya kulitnya saja yang baik akan tetapi sebelah dalamnya busuk. Mengertikah engkau, Sarti?"

"Saya mengerti, eyang. Akan tetapi lalu apakah yang harus kita lakukan, eyang? Bagaimana agar pohon itu menjadi sehat dan baik, bagaimana agar batin kita selalu dipenuhi kasih sayang dan iba terhadap sesama kita?"

Kyai Brenggolo Sidhi memandang Parmaadi dan kini suaranya terdengar mendesak ketika dia berkata, "Anakmas, sekali ini aku minta sukalah kiranya anakmas yang menjawab pertanyaan Sarti. Aku meminta kepadamu karena aku tahu bahwa andika dapat memberi jawaban yang tepat."

Parmadi merasakan adanya desakan pada permintaan kakek itu, maka dia lalu berkata dengan tenang, "Akan saya coba, eyang, kalau keliru harap eyang betulkan dan maafkan. Nimas Sarti, pohon itu baru dapat menjadi sehat dan buruk, batin itu baru dapat selalu dipenuhi kasih sayang dan iba terhadap sesama kita apabila jiwa kita manunggal dengan kekuasaan gusti Allah, karena hanya Gusii Allah saja yang akan dapat membimbing dan menghidupkan pohon kebajikan dalam batin kita. Kalau sudah begitu, kita manusia ini akan menjadi alat Gusti Allah yang mendatangkan berkah bagi manusia seperti halnya sinar matahari, hawa udara, air, tanah dan tumbuh-tumbuhan."

"Kakangmas Seruling Gading, apakah yang kita harus kita lakukan agar kita dapat menjadi alat Gusti Allah?" Sarti mengejar.

"Kita tidak melakukan apa-apa, nimas. Kita hanya dapat berserah diri, pasrah dengan sepenuh iman dan keikhlasan sehingga apapun yang kita lakukan adalah berkat bimbingan-Nya dan Pohon Kasih akan tumbuh subur dalam jiwa kita karena Kasih adalah satu di antara sifat-sifatNya. Gusti Allah itu Maha Kasih, nimas. Eyang, harap maafkan kalau pernyataan saya ini tidak benar."

"Alhamdullilah...! Puji syukur dan terima kasih kepada Gusti Allah bahwa kami berdua diberi kesempatan untuk mendengarkan kenyataan yang keluar melalui ucapanmu tadi, anakmas Seruling Gading. Semoga Gusti Allah Yang Maha Kasih akan sudi menerima penyerahan ketawakaan dun keikhlasan kita, amin."

"Amin?" kata Parmadi dan Sarti berbareng.

"Sarti, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi maka engkau pulang bersama anakmas Seruling Gading ini."

"Bukankah eyang sudah mengetahui semuanya? Eyang tadi sudah mengatakan bahwa saya terancam bahaya dan ada yang menolong..."

"Hanya itu yang kuketahui karena perasaanku mengatakan demikian. Akan tetapi aku tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ceritakanlah, Sarti."

"Eyang, tadi ketika saya pergi memetik daun kangkung, tiba-tiba muncul kakang Parno dan dia memaksa saya unuk ikut dia pergi. Ketika saya menolak, dia mengikat kedua pergelangan tanganku dan menarik aku pergi menyeberangi bengawan dan hendak diajak pergi entah kemana."

"Hemm, bocah itu semakin jauh tersesat," kata Kyai Brenggolo Sidhi.

"Setelah kami tiba di dalam sebuah hutan, tiba-tiba muncul kakangmas Seruling Gading ini yang menegur kakang Parmadi. Mereka bertanding dan kakang Parno terpukul roboh. Akan tetapi kakangmas Suling Gading memaafkannya dan menyembuhkannya. Dia lalu pergi eyang, dia pergi meninggalkan saya."

"Hemm, sayang bocah yang dahulu begitu baik kini menjadi berubah seperti itu," kata pula Kyai Brenggolo Sidhi.

"Dia tidak menggangguku, eyang. Dia hanya mengajak saya pergi bersamanya karena selama ini saya sengaja menjauhinya. Saya sudah membujuknya berulang kali agar dia menjauhi pergaulan sesat menghentikan kebiasaan berjudi, adu ayam dan mabok-mabokan dan saya berjanji akan menerimanya kembali dalam waktu setahun. Akan tetapi dia tidak percaya dan bersikeras mengajak saya pergi."

"Heh-heh, Parno itu sebetulnya bocah yang watak dasarnya baik. Dia takut kehilangan engkau, Sarti."

"Memang begitulah yang dia katakan eyang."

"Nah, ini merupakan bukti kuatnya iblis dan betapa ringkihnya manusia. Dengan umpan segala macam kesenangan iblis memancing manusia sehingga manusia tanpa disadarinya menyimpang dari jalan kebenaran. Pengaruh lingkungan amatlah kuatnya, maka benarlah kata nenek moyang kita bahwa kita harus mencari pergaulan yang baik dan menjauhi pergaulan dengan orang-orang yang menjadi hamba napsu sendiri. Satu-satunya jalan bagi manusia agar kuat menanggulangi semua godaan iblis hanyalah berserah diri kepada Gusti Allah sehingga Kekuasaan Gusti Allah yang akan melindungi dari godaan iblis. Akan tetapi, percayalah bahwa akan datang saatnya Parno akan sadar, bertaubat dan kembali kepadamu, Sarti."

"Mudah-mudahan begitu, eyang," kata Sarti dengan nada suara mengandung penuh harapan.

"Begitulah, eyang, setelah kakang Parno lari pergi, kakangmas Seruling Gading mengantar saya pulang."

Kakek itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Parmadi. "Anakmas telah menolong cucuku Sarti, kami berterima kasih sekali."

"Kanjeng eyang, seyogianya kalau kita semua berterima kasih kepada Gusti Allah, karena hanya Dia Maha Penolong, bukan kepada saya."

"Heh-heh-heh, andika seorang pemuda yang bijaksana. Dari mana andika datang dan hendak kemanakah, anakmas?"

"Saya berasal dari lereng Gunung Lawu, eyang dan baru saja saya turun gunung untuk pergi merantau. Ketika saya melihat nimas Sarti hendak dipaksa ikut pergi pemuda itu, terpaksa saya turun tangan dan mendengar bahwa ia tinggal di sini bersama eyang, hati saya tertarik ingin bertemu dengan eyang yang arif bijaksana."

"Dan ke manakah andika hendak pergi."

"Ke mana saja kedua kaki ini membawa saya pergi, eyang."

"Aku melihat bahwa andika seorang pemuda yang sakti mandraguna. Akan sia-sialah andika mengorbankan sekian banyak waktu, tenaga dan pikiran kalau semua kepandaian itu tidak andika pergunakan dengan benar. Juga dia yang pernah mendidik dan mengajarmu tentu akan menjadi kecewa kalau apa yang selama ini andika pelajari tidak andika manfaatkan untuk pekerjaan yang berguna."

"Kanjeng eyang adalah seorang yang arif bijaksana, oleh karena itu saya mohon petunjuk eyang."

Kyai Brenggolo Sidhi mengangguk-anguk, lalu dia menundukkan mukanya dan memejamkan kedua matanya, seolah hendak menutup kedua mata badan yang hanya menghalangi ketajaman mata batinya. Dengan kedua mata masih terpejam dia berkata lirih dan lembut, "Kanjeng Sultan Agung sedang menghimpun kekuatan untuk menentang bangsa kulit putih yang hendak menguasai nusantara. Tidak ada pekerjaan lebih sempurna bagi seorang satria selain mengabdi kepada raja yang arif bijaksana untuk membela tanah air dan bangsa. Berangkatlah andika dan pergunakan perahu mengikuti aliran Bengawan Solo. Gusti Sultan sedang berusaha menundukkan Madura, Surabaya dan Giri untuk menyusun dan mempersatukan kekuatan. Bantulah Mataram, anakmas Seruling Gading." Setelah berkata demikian, kakek itu membuka kedua matanya, memandang pemuda itu dan bertanya, "Sudah mengertikah andika akan petunjuk tadi, anakmas?"

Parmadi mengangguk. Dalam hatinya dia merasa girang sekali karena petunjuk yang diberikan kakek itu sungguh sejalan dengan pendiriannya. Gurunya, Ki Tejo Wening adalah seorang yang mendukung Mataram, walaupun hal itu tidak dinyatakan dengan terang-terangan. "Terima kasih, kanjeng eyang. Saya akan melaksanakan apa yang eyang tunjukkan."

"Akan tetapi, kakangmas Seruling Gading tentu tidak akan berangkat sekarang juga, bukan? Kami... saya ingin kakangmas tinggal lebih lama di sini agar kami dapat mengenal andika lebih baik!" kata Sarti.

"Terima kasih, Sarti. Aku harus melanjutkan perjalananku karena masih banyak yang harus kulakukan," kata Parmadi.

"Anakmas Seruling Gading benar, Sarti. Menurut perhitunganku, dia bahkan harus berangkat sekarang juga dan hal ini justeru demi kebaikanmu sendiri," kata Kyai Brenggolo Sidhi.

"Demi kebaikan saya, eyang? Apa yang eyang maksudkan?"

"Jangan bertanya, tak dapat aku memberi tahu, percaya sajalah! Nah, anakmas Seruling Gading, berangkatlah sekarang juga. Kebetulan kami mempunyai sebuah perahu di tepi bengawan. Pergunakan perahu itu, kami berikan kepadamu."

"Tapi, eyang. Eyang sendiri dan nimas Sarti tentu membutuhkan perahu itu. Biar saya berjalan kaki saja menyusuri tepi bengawan."

"Ah, tidak, anakmas. Berjalan kaki akan makan waktu terlalu lama. Pakailah perahu kami itu. Tak lama lagi kami akan mendapatkan perahu lain."

Parmadi masih meragu. "Terima saja kakangmas. Eyang selalu berkata benar, dan akupun percaya bahwa kami akan mendapatkan perahu lain seperti kata eyang, walaupun aku tidak tahu dari mana dan bagaimana datangnya."

"Sarti, ajak anakmas Seruling Gading ke tepi bengawan dan serahkan perahu itu kepadanya. Berangkatlah sekarang juga, anakmas. Selamat jalan dan semoga Gusti Allah akan selalu membimbingrnu.

"Mari, kakangmas!" kata Sarti.

"Terima kasih atas budi kebaikan eyang...."

"Heh-heh, bukankah kita sudah sepakat bahwa hanya kepada Gusti Allah saja kita berterima kasih? Berangkatlah anakmas. Kelak kalau Gusti Allah menghendaki, kita akan dapat saling berjumpa pula."

"Selarnat tinggal, eyang. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh." Parmadi memberi salam.

"Waalaikum salaam...!" gumam kakek itu yang mengantar sampai di pintu dan mengikuti bayangan Parmadi dan Sarti yang berjalan menuju ke tepi bengawan.

Setelah tiba di tepi bengawan, Sarti lalu. menyerahkan sebuah perahu kecil dengan dayungnya kepada Parrnadi. Perahu itu ditambatkan kepada sebatang pohon di tepi bengawan. Setelah pemuda itu duduk di dalarn perahu, Sarti berkata sambil tersenyum, "Selamat jalan, kakangmas. Andika seorang pemuda satria yang gagah perkasa dan budirnan. Aku kagum sekali kepada andika, kakangmas Seruling Gading."

Parmadi juga tersenyum. "Akupun kagum sekali padamu, nimas Sarti. Andika seorang gadis dusun yang luar biasa, ayu, pintar, bijaksana dan setia. Semoga engkau hidup berbahagia bersama Parno kelak. Selamat tinggal, Sarti."

Perahu meluncur ke tengah lalu hanyut terbawa aliran air. Parmadi menoleh dan melihat gadis itu melambaikan tangan. Diapun melambaikan tangan. Gadis pilihan, satu di antara seribu, pikirnya. Tidak akan mudah melupakan seorang gadis seperti Sarti. Karena perahu kecil itu sudah hanyut terbawa aliran air bengawan, maka ditambah tenaga dayungnya, perahu meluncur dengan cepat sekali ke depan.

Parmadi menghela napas panjang dan merasa bersyukur. Benar juga ucapan Kyai Brenggolo Sidhi. Kalau dia berjalan kaki menyusuri sungai, selain lelah, juga akan memakan banyak waktu. Apalagi terkadang tepi sungai merupakan daerah yang sukar dilalui dengan jalan kaki, ada yang merupakan rawa, ada pula dipenuhi semak belukar dan ada yang berupa tebing yang curam. Dengan perahu, maka perjalanannya tidak melelahkan dan juga tidak menghadapi kesulitan disamping dapat cepat sekali.

Matahari mulai condong ke barat dan Parmadi merasa perutnya lapar. Tiba-tiba dia melihat lima buah perahu meluncur dari pinggir bengawan dan memotong jalan menghadangnya. Dia melihat seorang pemuda di atas sebuah perahu terdepan memberi isyarat dengan tangan agar supaya dia menepi.

"Minggir! Cepat mendarat di tepi bengawan atau kami terpaksa akan menggulingkan perahumu!" bentak pemuda dan kalau tadinya Parmadi tidak mengenal pemuda itu, kini suara pemuda mengingatkannya dan tahulah dia bahwa pemuda itu bukan lain adalah Parno!

Lima buah perahu itu siap menghadangnya dan agaknya ucapan Parno itu bukan gertakan kosong belaka. Parmadi mendayung perahunya ke tepi dan setelah melompat ke darat, dia menyeret perahunya ke tepi bengawan yang landai. Ketika dia menengok, dia melihat Parno datang menghampirinya. Di sampingnya berjalan seorang laki-laki berkepala gundul, bermuka bulat dan semua anggota tubuhnya mendatangkan kesan bulat, bermata lebar, berusia kurang lebih lima puluh tahun. Di belakang kedua orang ini terdapat pula tujuh orang laki-laki yang dari sikapnya seperti jagoan-jagoan yang suka mengandalkan kekuatan dan kekerasan.

Hemm, agaknya Parno nembawa kawan kawannya, pikir Parmadi yang berdiri dengan sikap tenang waspada. Dengan cepat sembilan orang itu tiba di depan Parmadi. Setelah dia berdiri berhadapan dengan Parno dan kawan-kawannya, Parmadi bertanya dengan suara lembut, "Kiranya andika, Parno? Ada urusan apakah andika menghadang perjalananku dan menyuruhku minggir?"

Wajah Parrno yang tampan itu tampak marah. "Kisanak, sebelum kita bicara lebih lanjut, katakan dulu siapa namamu?"

"Sebut saja aku Seruling Gading," kata Parmadi.

Parno memandang ke arah suling yang terselip di pinggang Parmadi dengan alis berkerut. "Seruling Gading, engkau tahu mengapa aku menghadangmu. Kita harus menyelesaikan urusan kita!"

"Parno, di antara engkau dan aku tidak ada urusan apapun. Lebih baik kau tinggalkan kawan-kawanmu ini kembalilah kepada Sarti. Ia menunggumu dengan hati penuh kasih dan kesetiaan."

"Tutup mulutmu!" Parno membentak nyaring. Agaknya ucapan Parmadi itu bagaikan minyak menyiram api, membuat kemarahannya berkobar. "Justeru kelancanganmu mencampuri urusanku dengan kekasihku sendiri yang memaksaku harus membuat perhitungan denganmu. Engkau harus membayar apa yang kau lakukan kepadaku tadi, merendahkan aku di mata kekasihku!"

"Parno, tenang dan sabarlah. Sarti sama sekali tidak memandang rendah kepadamu. Bahkan ia memujimu sebagai seorang pemuda gagah. Akan tetapi kukira dia benar-benar akan merasa kecewa dan memandang rendah padamu kalau ia kini lihat betapa engkau menghadangku dengan kawan-kawanmu ini. Engkau yang dianggapnya gagah berani itu ternyata hanya seorang pengecut yang hendak mengandalkan banyak orang untuk mengeroyok aku!"

"Manusia sombong!" bentak Parno. Siapa yang hendak mengeroyokmu? Aku bukan pengecut seperti yang kau kira. Aku memang sudah kalah bertanding melawanmu. Paman Gandarwo, guru teman-temanku, merasa penasaran dan marah mendengar akan kekalahanku dan dialah yang akan mewakili aku memberi hajaran padamu yang telah lancang mencampuri urusan pribadiku!"

Parmadi kini memandang kepada laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun yang berdiri disebelah kanan Parno itu. Orang itu memiliki tubuh yang serba bulat sehingga tampak lucu. Setelah mendengar ucapan Parno, laki-laki yang disebut bernama Gandarwo itu menanggalkan bajunya sehingga tampak tubuh atasnya yang gendut bulat, dada yang mempunyai dua tonjolan buah dada seperti wanita.

"Uhh... badanku pegal-pegal. Anak-anak, coba kalian pijiti dulu badanku sebelum aku bertanding supaya segar!"

Mendengar ini, dua orang laki-lak yang berdiri di belakangnya lalu mencabut senjata mereka. Seorang mencabut sebuah klewang (golok) dan yang kedua mencabut sebatang keris. Kemudian, setelah si gundul itu menganggukkan kepalanya yang bulat kelimis, dua orang muridnya itu lalu menyerangnya dengan klewang dan keris mereka. Keris meluncur dan menusuk perut pada saat klewang menyambar membacok leher. "Plak! Tuk!" Klewang dan keris itu terpental seolah serangan tadi mengenai benda dari karet yang kenyal dan kuat sekali!

Dua orang itu menyerang terus secara bertubi-tubi keris itu menusuk-nusuk dan klewang itu membacok-bacok di bagian tubuh sebelah atas, dari pinggang sampai kepala. Kepala yang gundul itupun tidak luput dari sasaran, akan tetapi kalau dibacok atau ditusuk, hanya terdengar suara tak-tuk-tak-tuk dan kepala itu sama sekali tidak terluka. Parmadi tersenyum dalam hatinya. Kepala gundul itu memiliki kekebalan, namun hal itu baginya seperti mainan knak-kanak saja. Setelah belasan kali dikeroyok klewang dan ditikam keris yang kesemuanya tidak dapat melukai tubuhnya yang gendut, Gandarwo menyuruh dua orang muridnya berhenti.

"Sudah, cukup!" Dia menggeliat. "Hemm, sekarang enak rasanya badanku." Dia melangkah maju mendekati Parmadi. "Heh, bocah, siapa namamu tadi? Seruling Galing?" Matanya yang bundar lebar itu memandang ke arah suling yang terselip di ikat pinggang Parmadi. "Hemm, agaknya namamu diambil dari benda itu? Itukah senjatamu? Hayo pukulkan senjatamu itu pada tubuhku, boleh kau pilih yang mana saja!"

"Paman Gandarwo, di antara kita tidak ada persoalan, mengapa aku harus memukulmu? Aku tidak mencari musuh," kata Parmadi dengan suara tenang penuh kesabaran.

"Tidak ada persoalan? Heh, bocah! Kamu mendengar sendiri ucapan Parno tadi. Kamu telah mencampuri urusannya dan mengalahkannya, berarti kau sudah menghinanya. Menghina dia yang menjadi kawan kami berarti menghina kami. Maka aku yang akan membalaskan penghinaanmu atas dirinya. Hayo maju dan lawan aku Gandarwo, jagoan duk-deng, gegeduk Bengawan Solo!"

"Paman, aku tidak mencari permusuhan dengan siapapun, akan tetapi itu bukan berarti aku takut menghadapi tantangan siapapun. Kalau paman hendak menyerangku, silakan!"

"Kamu menantangku? Keparat, kamu sudah bosan hidup. Tunggu sebentar!" Gandarwo lalu duduk bersila, bersedakap, mulutnya kemak-kemik, matanya terpejam. Tak lama kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan suara pekik menyeramkan, parau menggetar, seperti bukan suara manusia lagi dan seluruh tubuhnya menggigil, kemudian dia melompat berdiri dan sikapnya berubah sama sekali. Kini wajahnya berubah menyeramkan, menyeringai, matanya melotot hampir keluar, mulutnya berbusa dan air liur menetes dari ujung bibirnya, kedua tangannya membentuk cakar. Dia lebih pantas disebut iblis atau siluman daripada manusia.

"Aarrrggghh...!" Sambil menggereng dia menyerang, menubruk dengan cepat dan dari kedua lengannya menyambar angin pukulan yang dahsyat. Parmadi menghindar dengan tenang namun cepat dan dia maklum bahwa orang ini memiliki ilmu yang disebut prewangan seperti yang pernah dia dengar dari gurunya. Ilmu ini membuat Gandarwo membuka diri memasukkan roh jahat yang mengambil alih tubuhnya sehingga sepak terjangnya bukan manusia lagi, melainkan roh jahat yang memasukinya, roh jahat yang membantunya.

Parmadi maklum bahwa dia tidak akan dapat melukai roh jahat. Kalau dia menggunakan aji kesaktian, yang akan menderita dan cidera adalah tubuh Gandarwo dan dia tidak menghendaki hal tu. Gandarwo hanya membela Parno maka tidak perlu dia melukainya walaupun ilmu prewangan itu saja sudah membuktikan bahwa orang ini mempelajari dan menguasai ilmu sesat yang akan menyeretnya untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran.

Setelah tubrukan pertamanya luput, Gandarwo menjadi semakin marah dan dia mengamuk, menyerang kalang kabut dan dahsyat, bahkan kini serangannya ditambah semburan dari mulutnya yang mengeluarkan air ludah panas seperti air mendidih! Akan tetapi dengan kecepatan yang membuat tubuhnya seperti berubah menjadi bayangan, Parmadi dapat selalu mengelak. Setelah belasan jurus serangan Gandarwo dapat dia elakkan, ketika kakek bulat itu menubruk lagi. Parmadi melompat ke samping sehingga tubrukan itu luput dan secepat kilat kaki Parmadi menyambar ke arah lutut.

"Dukk!" Karena sambungan lututnya tercium kaki Parmadi yang menendang dengan kuat, tak dapat dihindarkan lagi Gandarwo jatuh berlutut dengan kaki kanan yang tertendang. Dia tidak terluka dan sudah hendak bangkit lagi, akan tetapi pada saat tubuhnya merendah itu Parmadi sudah menggerakkan tangan kirinya menepuk punggungnya sambil berseru dengan suara mengandung penuh wibawa.

"Demi Allah, kembalilah ke tempat asalmu!" Hebat tepukan itu karena selain di sertai tenaga dalam yang amat kuat, juga seruan tadi mengandung kekuatan yang timbul dari jiwa.

Gandarwo mendeprok dan terdengar lengkingan tinggi keluar dari mulutnya. Wajahnya berubah seperti biasa lagi, akan tetapi dia tidak cidera. Dia bangkit berdiri dan memandang Parmadi dengan alis berkerut. Kuasa roh jahat yang tadi menyusup ke dalam dirinya telah meninggalkannya seperti ketakutan akan tetapi tubuhnya yang kebal belum mengalami cidera.

"Paman Gandarwo, harap sudahi saja pertandingan ini," kata Parmadi membujuk.

"Babo-babo, jangan dulu merasa menang karena kamu dapat memunahkan satu ajianku, Seruling Gading. Mari kita mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang. Kamu boleh memukulku dengan senjatamu sebanyak tiga kali, kemudian aku akan membalas memukulmu dengan senjata kepalaku ini sebanyak tiga kali. Siapa yang roboh dia kalah!"

"Aku tidak suka memukul orang, juga tidak suka dipukul. Begini saja, paman Gandarwo. Engkau mengandalkan aji kekebalanmu. Nah, aku tidak akan menggunakan senjata, akan tetapi hanya akan menampar mu dengan sebelah tangan, satu kali saja. Kalau engkau mampu menahan satu kali tamparanku, maka aku mengaku kalah. Akan tetapi sebaliknya kalau engkau tidak kuat menahan satu kali tamparan tanganku, berarti engkau yang kalah. Bagaimana?"

"Heh-heh-heh-ha-ha!" Si gundul itu terkekeh-kekeh saking geli hatinya. "Sarapan pagiku tusukan keris, makan siangku bacokan klewang dan makan malamku pukulan penggada! Bagaimana aku dapat roboh oleh satu kali tamparan tanganmu yang kecil itu? Baik, aku terima tantangan mu!"

"Nanti dulu, paman. Kalau paman dapat menahan tamparannya lalu dia hanya dinyatakan kalah begitu saja, terlalu enak buat dia dan hanya rasa penasaran buatku. Taruhannya harus ditambah. Kalau paman kalah, kita habiskan saja urusan dengannya, akan tetapi kalau dia yang kalah, dia harus berlutut dan menyembahku tujuh kali sambil minta maaf atas kelancangannya tadi!" kata Parno yang masih penasaran karena dia merasa dikalahkan dan dibikin malu didepan kekasihnya.

"Bagus! Itu usul yang bagus! Bagaimana, Seruling Gading, beranikah kamu menerima taruhan itu?" tanya Gandarwo.

Parmadi tersenyum. Tentu saja dia sudah "mengukur" kekuatan dan kesaktian lawan. Dia mengangguk. "Baiklah, kalau hal itu akan dapat memuaskan hati Parno. Kuterima taruhan itu."

"Bagus! Nah, kalian semua lihat baik-baik. Bocah ini bersumbar dapat mengalahkan aku dengan satu kali tamparan tangan, heh-heh-heh!"

Tujuh orang laki-laki muda yang berada disitu ikut tertawa bergelak, hanya Parno yang tidak tertawa melainkan memandang dengan alis berkerut karena dia tahu bahwa Seruling Gading adalah seorang pemuda yang sakti mandraguna. Gandarwo lalu memasang kuda-kuda. Kedua kakinya terpentang, agak ditekuk dan dia menggunakan kedua telapak tangan untuk menekan di atas pusar. Ketika dia mengerahkan tenaga, maka tubuh atasnya yang tidak berbaju itu mulai bergerak-gerak seolah ada sesuatu yang hidup dibawah kulitnya. Agaknya sesuatu ang bergerak-gerak di bawah kulitnya itu adalah hawa yang melindungi kulitnya dan membuat kulit itu kebal.

"Seruling Gading, aku sudah siap. Lakukanlah tamparanmu!" terdengar Gandarwo berseru.

"Awas, paman, aku akan menampar pundak kananmu!" kata Parmadi sambil mengangkat tangan kirinya yang terbuka ke atas. Dia melihat betapa pundak kanan Gandarwo dilindungi sesuatu yang bergerak-gerak dibawah kulit pundak, akan tetapi dia tidak khawatir gagal. Dia sengaja memilih pundak, bagian yang tidak berbahaya karena dia tidak ingin mencelakai orang. Diam-diam dia mengerahkan Aji Sunya Hasta dan tangan kirinya menyambar turun dan menimpa pundak Gandarwo dengan tamparan yang tampaknya tidak begitu kuat.

"Wuuutt...plakk!" Biarpun tangan kiri itu menimpa pundak dan tampaknya tidak terlalu kuat, namun seketika tubuh yang gendut itu terkulai dan terjerembab di atas tanah, sedangkan tubuh itu menggigil dan mulut Gandarwo mengaduh-aduh.

"Aduuhhh... tobaat... adduuhhh..." Begitu Gandarwo roboh, tujuh orang muridnya serentak mencabut senjata mereka. Ada yang mencabut keris, ada yang mencabut klewang dan ada pula yang memegang ruyung. Mereka serentak maju menerjang dan mengeroyok Parmadi.

"Heii...? Apa-apaan ini? Mundur semua kalian! Mundur dan jangan melakukan pengeroyokan!" Parno melompat ke depan dan mengangkat kedua tangan ke atas memberi isyarat kepada tujuh orang kawannya itu agar tidak mengeroyok Parmadi. Akan tetapi tujuh orang itu tidak mau mundur. Mereka semua marah melihat Gandarwo roboh dan ingin membunuh pemuda yang mengalahkan guru mereka. Parmadi cepat mengelak dengan lonmpatan ke sana-sini, menghindarkan diri dari hujan serangan.

"Mundur, atau terpaksa kuhajar kalian?" teriak Parno. Akan tetapi dua orang di antara mereka yang memegang ruyung menjadi marah melihat Parno membela musuh.

"Parno, pengkhianat kau!" bentak mereka dan dua orang itu menggunakan ruyung atau penggada untuk menyerang Parno.

Pemuda ini mengelak dan melakukan perlawanan. Terjadilah perkelahian dua kelompok. Dua orang mengeroyok Parno dan lima orang yang lain mengeroyok Parmadi. Melihat betapa Parno terdesak oleh serangan ruyung kedua orang pengeroyoknya, Parmadi merasa khawatir. Dia mempercepat gerakannya, bukan hanya mengelak melainkan berkelebatan membagi-bagi tamparan. Lima orang pengeroyoknya berpelantingan dan roboh tak mampu bangkit kembali, hanya mengaduh-aduh memegangi bagian tubuh yang terkena tamparan, seperti keadaan Gandarwo...


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.