Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Seruling Gading Jilid 14
SEMENTARA itu, Parno yang tadinya mencabut sebatang keris dan melakukan perlawanan, sudah terdesak hebat. Kerisnya terpukul jatuh, lengan kirinya terluka berdarah ketika dia pergunakan untuk menangkis ruyung dan pipi kanannya membengkak karena terpukul ujung ruyung. Akan tetapi dia masih melakukan perlawanan mati-matian. Melihat keadaan Parno, Parmadi yang telah berhasil merobohkan lima orang pengeroyoknya segera melompat dan dua kali tangannya bergerak menampar. Dua orang pengeroyok Parno itu pun terpelanting roboh.
Kini mereka saling berhadapan, Parno dengan pipi kanan bengkak dan lengan kiri berdarah berdiri memandang Parmadi dengan kagum. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemuda yang telah menghalangi dia melarikan Sarti itu memiliki kesaktian yang sedemikian hebatnya. Bukan saja mampu mengalahkan Gandarwo yang dianggapnya digdaya, bahkan mampu merobohkan tujuh orang kawannnya secara demikian mudahnya. Padahal pemuda itu hanya bertangan kosong!
Di lain pihak Parmadi juga memandang Parno sambil tersenyum senang karena sikap pemuda yang menentang para pengeroyok itu saja sudah menunjukkan bahwa pemuda ini pada dasarnya memang berwatak gagah. Sementara itu, delapan orang yang terkena tamparan tangan Parmadi masih mengeluh kesakitan.
"Aduh... ampun..."
"Tobat..."
"Denmas... ampuni kami...!" Gandarwo juga mengeluh karena tubuhnya terasa nyeri bukan main, seperti ditusuk-tusuk jarum disebelah dalam. Parmadi merasa kasihan dan dia pun menghampiri mereka. Satu demi satu dia tepuk dan raba. Seketika orang-orang itu sembuh. Yang terakhir disembuhkan adalah Gandarwo sendiri. Setelah pundaknya ditotok dan tengkuknya diurut, lenyaplah rasa nyeri yang menyiksanya. Jagoan gundul itu bangkit berdiri dan membungkuk terhadap Parmadi.
"Denmas Seruling Gading, terima kasih dan maafkan kami," katanya dengan sikap merendah.
"Tidak ada apa-apa di antara kita. Kalau hendak minta ampun, mintalah ampun kepada Gusti Allah. Bertaubatlah dan mulai saat ini, jangan lagi bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuatan dan kekerasan."
Gandarwo mengangguk-angguk. "Kami mohon pamit, denmas."
"Pergilah," kata Parmadi. Gandarwo menoleh kepada Parno.
"Parno, mari kita pergi," kata jagoan berkepala gundul itu.
"Tidak!" seru Parno dengan marah. "Mulai sekarang aku tidak sudi berdekatan dengan kalian lagi. Kalian membikin malu, bersikap pengecut dan main keroyokan. Aku bukan kawan kalian lagi!"
"Mari kita pergi!" kata Gandarwo kepada tujuh orang muridnya dan mereka lalu mendorong perahu-perahu mereka kesungai, naik perahu dan mendayung perahu mereka pergi dari situ.
Kini Parno kembali berhadapan dengan Parmadi. "Parno, kenapa engkau tidak ikut mereka? Bukankah mereka itu teman-temanmu yang baik yang selama ini memberi banyak kesenangan padamu?" kata Parmadi sambil mengamati wajah yang pipinya membengkak itu dengan penuh perhatian.
Parno menggeleng kepala. "Tidak! Baru sekarang aku menyadari. Mereka itu palsu dan curang, main keroyokan, memalukan sekali. Mereka bukan orang-orang gagah seperti yang kukira selama ini. Sebaliknya andika, ah, andika seorang satria yang sakti mandraguna. Mataku seperti telah menjadi buta selama ini."
"Bagus, aku senang sekali melihat engkau tadi menentang mereka dan kini engkau menyadari. Parno, justru pergaulanmu dengan mereka itulah yang merusakmu sehingga engkau suka berkeliaran dengan mereka, bermain judi, mabok-mabokan, malas bekerja. Kalau kau lanjutkan, akhirnya engkau akan terjerumus ke dalam perbuatan jahat dan sewenang-wenang seperti mereka, menjadi penjahat. Inilah yang membuat Sarti menjauhkan diri darimu karena kalau engkau terus tersesat seperti itu, engkau tidak akan menjadi suami yang baik dan ia akan menjadi isteri yang menderita sengsara. Ia mencintamu dengan hati tulus, Parno, bukan cinta yang hanya terdorong nafsu berahi semata. Ia ingin engkau bertaubat, ingin melihat engkau kembali ke jalan benar. Kenapa engkau menyia-nyiakan cinta murni seorang gadis bijaksana seperti Sarti?"
"Aku... akupun amat mencintanya..." kata Parno.
"Kalau begitu, mengapa tidak kau tunjukkan cintamu itu secara benar? Kenapa tidak kau tunjukkan kepadanya bahwa engkau mampu bertaubat, mampu mengubah jalan hidupmu yang tadi tersesat itu? Tunjukkanlah bahwa engkau mampu menjadi seorang calon suami yang baik. Aku yakin ia akan menantimu dengan setia."
"Aku... aku akan menuruti nasihatmu. Aku sudah menyadari, aku akan bertaubat dan menjadi seorang petani yang rajin dan baik, seperti dulu sebelum aku berkawan dengan gerombolan tadi. Aku... aku minta maaf dan berterima kasih kepadamu, denmas.."
"Hemm, aku bukan denmas, akan tetapi aku girang sekali melihat sikapmu ini, Parno. Nah, cepatlah engkau kembali ke dusunmu dan buktikan janjimu tadi. Semoga engkau akan dapat hidup berbahagia dengan Sarti, ia seorang gadis yang amat baik dan kakeknya juga seorang yang amat bijaksana. Engkau seorang yang beruntung, Parno. Sekarang aku harus melanjutkan perjalananku. Selamat berpisah dan sampaikan salamku kepada Sarti dan hormatku kepada Kyai Brenggol Sidhi!"
Parno terkesima memandang pemuda yang membuatnya terpesona dan kagum itu mendorong perahunya ke air kemudian perahu itu terbawa arus air dan meluncur ke timur. Sikap, sepak terjang dan ucapan Parmadi telah menggugah hatinya, telah membuatnya sadar betul akan kesesatannya yang lalu. Setelah perahu makin menjauh dan mengecil akhirnya lenyap dari pandangannya, Parno menghela napas panjang lalu memutar tubuh dan melangkah pergi.
"Sarti... maafkan aku, Sarti...?" Dia mengeluh dan melangkah dengan cepat, hatinya dipenuhi harapan.
Seperti telah diceritakan di bagian awal kisah ini, Ki Bargowo, Ketua Perkumpulan Welut Ireng, ketika bertemu dengan Ki Harya Baka Wulung di puncak Gunung Lawu, telah terbunuh oleh tokoh sakti datuk dari Madura itu. Anak buah perkumpulan Welut Ireng yang kehilangan pimpinan itu menjadi cerai berai dan mereka tidak mampu mempertahankan sarang mereka ketika Wiroboyo dan kawan-kawannya menyerbu perkampungan mereka di lereng Gunung Wilis itu. Mereka terpaksa meninggalkan perkampungan itu karena mereka tidak sudi menyerah dan menjadi anak buah orang-orang yang memusuhi Mataram itu.
Demikianlah, bekas perkampungan Welut Ireng itu kini diambil alih oleh Wiroboyo yang mendirikan perkumpulan Klabang Wilis di lereng Gunung Wilis itu. Seperti telah diceritakan Tumenggung Jatisurya, senopati Ponorogo itu, kepada Muryani, kini Wiroboyo telah menjadi murid Wiku Menak Koncar, datuk dari Blambangan yang sakti mandraguna itu.
Setelah menerima gemblengan Wiku Menak Koncar, Wiroboyo menjadi semakin tangguh dan sakti. Dia menjadi Ketua Klabang Wilis, dibantu Warok Surosingo, yaitu adik mendiang Warok Surobajul dan Darsikun, kakak seperguruannya yang pernah selama lebih dari setahun menerima gemblengan dari Harya Baka Wulung. Wiroboyo mengumpulkan gerombolan sesat di sekitar daerah Gunung Wilis untuk dijadikan anak buahnya. Juga Wiku Menak Koncar yang menjadi gurunya masih berada di perkampungan Klabang Wilis.
Pada suatu hari, pagi-pagi Wiku Menak Koncar duduk bercakap-cakap dengan Ki Wiroboyo. Bekas demang Dusun Pakis ini sekarang tampak lebih gagah daripada dahulu ketika masih menjadi demang. Tubuhnya tinggi besar mengenakan pakaian ringkas serba hijau sebagai tanda bahwa ia adalah Ketua Klabang Wilis. Semua anak buah Klabang Wilis mengenakan pakaian hijau. Kumisnya masih tebal, sekepal sebelah dan dalam usia empat puluh lima tahun itu rambutnya sudah bercampur uban.
Ketiga orang isterinya yang dahulu sudah diceraikan semua dan kini dia mempunyai seorang isteri baru yang masih muda belia. Wiku Menak Koncar yang duduk di depannya kini sudah berusia enam puluh enam tahun. Tubuhnya sedang dan wajahnya tidak tampak tua karena kulitnya yang hitam arang. Pakaiannya mewah, sepasang matanya sipit dan hidungnya pesek bibirnya tebal. Wajahnya yang tidak tampan itu tidak menyembunyikan kenyataan bahwa dia seorang sakti karena sepasang matanya mencorong mengeluarkan sinar yang penuh wibawa.
"Wiroboyo, sekarang tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam kepada musuh besarku seperti yang pernah kuceritakan padamu," kata Wiku Menak Koncar dengan suara kecil seperti suara perempuan.
"Maksud bapa Wiku, orang yang bernama Harjodento, ketua perguruan Nogodento itu?" tanya Ki Wiroboyo.
"Benar, kurang lebih sebelas tahun yang lalu, si Harjodento itu telah membunuh kakang Klabangkolo, kakak seperguruanku. Karena Harjodento mempunyai banyak murid di perguruan Nogodento sampai sekarang aku belum sempat membalas dendam kematian kakang Klabangkolo. Akan tetapi sekarang ada engkau dan anak buahmu dan musuh besar itu berada tak jauh dari sini. Selama ini aku bersabar untuk menanti saat terbaik dan mengajarkan ilmu kepadamu. Sekarang kulihat engkau sudah cukup kuat dan engkau dapat membantu aku membalas dendam. Kita serbu Nogodento dan akan kubunuh si Harjodento!"
"Akan tetapi bapa Wiku belum menceritakan mengapa dan bagaimana pembunuhan atas diri kakak seperguruan bapa itu terjadi," kata Wiroboyo.
"Hemm, si Harjodento itu adalah sorang yang membantu Mataram dan ketika itu terjadi pertempuran antara orang-orang yang setia kepada Mataram melawan orang-orang dari daerah yang akan ditundukkan Mataram. Kakang Klangbangkolo menentang Mataram dan dia terbunuh oleh tombak Harjodento si keparat!"
"Baik bapa, saya akan mengerahkan anak buah dan ikut membantu bapa menyerbu perguruan Nogodento," kata Wiroboyo yang hendak membuktikan bahwa dia adalah seorang murid yang setia.
"Tidak perlu semua anak buah diajak. Sebaiknya panggil Darsikun dan Warok Surosingo ke sini untuk diajak berunding," kata Wiku Menak Koncar.
Wiroboyo bertepuk tangan tiga kali dan seorang anak buah berlari memasuki ruangan itu memenuhi tanda panggilan ketuanya.
"Cepat minta kepada kakang Darsikun dan kakang Warok Surosingo untuk datang ke sini, diundang bapa Wiku," kata Wiroboyo. Anak buah itu mengangguk dan cepat keluar.
Tak lama kemudian dua orang yang diundang itu memasuki ruangan lalu mereka mengambil tempat duduk berhadapan dengan Wiku Menak Koncar. Darsikun yang bertubuh tinggi kurus itu duduk di sebelah kiri Ki Warok Surosingo yang bertubuh pendek akan tetapi kekar berotot, Mereka berdua memandang kepada Wiroboyo dengan mata bertanya,
"Adi Wiroboyo, ada keperluan apakah andika memanggil kami?" tanya Ki Darsikun.
"Bapa Wiku yang mengundang kalian berdua. Saya persilakan bapa Wiku yang memberi penjelasan kepada kalian," kata Wiroboyo.
"Begini, Darsikun dan Surosingo," kakek bermuka hitam itu berkata. "Aku dan Wiroboyo akan pergi menyerbu perguruan Nogodento dan membunuh ketuanya yang menjadi musuhku. Kami akan membawa anak buah Klabang Wilis, akan tetapi tidak semua. Cukup lima puluh orang saja. Sisanya tinggal di sini dan kalian berjagalah di sini memimpin mereka selagi Wiroboyo pergi."
"Bapa Wiku, saya pernah mendengar bahwa perguruan Nogodento di daerah Ngawi itu amat kuat dan ketuanya kalau tidak salah bernama Ki Harjodento yang terkenal sakti mandraguna. Karena itu, ijinkanlah saya ikut pergi membantu," kata Warok Surosingo.
"Tidak perlu, Surosingo. Aku sendiri sudah cukup untuk membunuh Harjodento. Wiroboyo dan anak buah Klabang Wilis kuajak untuk menghadapi pengeroyokan anak buah Nogodento. Engkau dibutuhkan di sini karena selagi Wiroboyo pergi, perkampungan Klabang Wilis ini harus dijaga. Engkau dan Darsikun bersama sisa anak buah yang bertanggung jawab untuk keamanan di sini," kata Wiku Menak Koncar.
Dua orang itu mengangguk menyetujui. Wiroboyo lalu membuat persiapan. Dia memilih lima puluh orang anak buah dan memerintahkan mereka mempersiapkar diri dan membawa senjata. Setelah semua siap, berangkatlah rombongan itu menuruni lereng Gunung Wilis menuju ke perguruan pencak silat Nogodento yang berada di tepi Bengawan Solo di daerah Ngawi. Ki Darsikun dan Warok Surosingo tinggal di perkampungan Klabang Wilis bersama sisa anak buah yang berjumlah sekitar tiga puluh orang.
Beberapa jam setelah rombongan Wiku Menak Koncar pergi, tampak seorang wanita muda berjalan seorang diri mendak Gunung Wilis. Matahari telah naik tinggi Gadis cantik jelita yang dengan langkah tegap dan tangkas berjalan mendaki lereng Gunung Wilis itu bukan lain adalah Muryani! Seperti kita ketahui, Muryani mendapat keterangan dari senopati Ponorogo yaitu Tumenggung Jatisurya bahwa kini Wiroboyo menjadi Ketua Perkumpulan Klabang Wilis yang sarangnya berada dekat puncak Gunung Wilis.
Mendengar ini, dara perkasa ini segera berangkat meninggalkan Ponorogo menuju ke Gunung Wilis dan siang hari ini ia mendaki gunung itu. Perjalanan mendaki gunung bagi seorang yang tidak mengenal medan, bukan merupakan pekerjaan mudah. Namun dara perkasa ini menggunakan kepandaiannya dan ia dapat mendaki dengan cepat. Ia bersemangat sekali untuk mencari orang yang telah membunuh ayahnya.
Bagi orang biasa yang tidak mengenal daerah Gunung Wilis, tentu akan sukar menemukan perkampungan Klabang Wilis. Akan tetapi tidak demikian bagi seorang dara perkasa yang sakti mandraguna seperti Muryani. Dengan ilmu berlari cepat dan meringankan tubuh, ia dapat berloncatan seperti seekor kijang, dapat mengayun tubuh dari pohon ke pohon seperti seekor kera dan melakukan pendakian cepat sekali.
Jurang dan tebing curam tidak dapat merintanginya, juga bukit yang terjal dapat didakinya dengan mudah. Akhirnya tibalah ia di depan pintu pagar perkampungan Klabang Wilis. Dua orang laki-laki muda berpakaian serba hijau segera berlari-lari dari dalam menyambut gadis yang berdiri di luar pintu pagar itu. Mereka berdua tertegun melihat bahwa yang datang adalah seorang gadis yang cantik jelita.
Seorang gadis yang bertubuh ramping padat dalam usia dua puluh satu tahun, bagaikan bunga sedang mekar. Wajahnya bulat dengan dagu runcing sehingga tampak manis. Sepasang alis hitam dan kecil panjang melengkung melindungi sepasang mata bintang yang jeli dan bersinar tajam dihias bulu mata lentik. Hidungnya mancung kecil dan sepasang bibirnya merah membasah dan menggairahkan. Kulitnya putih kuning mulus.
Dua orang anak buah Klabang Wilis itu terpesona, merasa seolah melihat seorang bidadari yang tiba-tiba berada di depan pintu pagar perkampungan mereka Biarpun hati mereka terangsang dan timbul keinginan untuk menyapa dan menggoda dara jelita itu, namun mereka berdua meragu dan tidak berani lancang Siapa tahu dara ini masih sanak dekat Ki Wiroboyo, atau Ki Darsikun atau juga Warok Surosingo. Lebih-lebih kalau dara itu masih sanak Wiku Menak Koncar.
Mereka berdua tentu akan celaka kalau berani menggoda gadis yang menjadi sanak keluarga para pimpinan itu. Karena itu, mereka menghampiri dan seorang dari mereka bertanya dengan sikap sopan walaupun pandang matanya seolah melahap semua kecantikan itu.
"Andika siapakah dan andika datang ke sini hendak mencari siapa?"
Muryani tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya ia malah bertanya, "Apakah ini sarang perkumpulan Klabang Wilis?"
Dua orang anak buah Klabang Wilis itu saling pandang dan seorang dari mereka menjawab, "Benar, ini adalah perkampungan kami, Perguruan Klabang Wilis."
"Dan siapakah ketuanya? Apakah Ki Wiroboyo?" Muryani bertanya lagi.
Dua orang anak buah Klabang Wilis itu menduga bahwa gadis ayu ini tentu masih kerabat ketua mereka, maka mereka makin tidak berani bersikap kasar atau kurang ajar. "Benar sekali. Ki Wiroboyo adalah ketua kami. Apakah andika sanak keluarga beliau yang datang berkunjung?"
Muryani memandang tajam kepada dua orang itu. "Dan kalian tentu anak buah Klabang Wilis, bukan?"
"Benar, kami berdua adalah murid Klabang Wilis!" Dua orang itu mengaku dengan suara mengandung kebanggaan. Akan tetapi pada saat itu, tubuh Muryani bergerak kedepan dengan kecepatan yang luar biasa. Dua orang itu bahkan sama sekali tidak menyadari bahwa mereka di serang. Tahu-tahu mereka telah terpelanting roboh dalam keadaan pingsan!
Pada saat itu, tiga orang murid Klabang Wilis lain yang berada tidak jauh dari pintu pagar melihat robohnya dua orang teman mereka. Mereka terkejut dan segera berteriak-teriak memberi tanda bahaya. Bermunculanlah para murid lain dan tiga puluh lebih anak buah Klabang Wilis kini memenuhi pekarangan yang luas itu, mengepung Muryani yang sudah memasuki pekarangan dengan sikap tenang.
Tiga puluh orang lebih itu marah sekali melihat dua orang kawan mereka menggeletak diatas tanah tak bergerak seperti sudah tewas. Mereka sudah mencabut senjata mereka masing-masing, ada yang memegang klewang, ada yang mencabut pedang atau keris, dan ada pula yang membawa ruyung. Akan tetapi sebelum mereka bergerak menyerang karena mereka agak ragu melihat betapa orang yang dianggap membikin kacau itu ialah seorang gadis yang demikian ayu, tiba-tiba terdengar bentakan.
"Tahan semua senjata!" Mengenal suara ini, para murid Klabang Wilis membuka jalan dan muncullah Warok Surosingo yang bertubuh pendek kekar itu. Dia menghampiri dua orang anggauta Klabang Wilis yang masih menggeletak di atas tanah. Setelah dilihatnya bahwa dua orang itu tidak mati melainkan pingsan, dia lalu menghampiri Muryani dan berdiri berhadapan dengan gadis itu.
Sejenak keduanya saling pandang dan melihat kakek pendek kokoh itu mempunyai sebuah kolor (ikat pinggang) dari lawe yang besar, tahulah Muryani bahwa ia berhadapan dengan seorang warok. Warok Surosingo mengerutkan alisnya dengan marah akan tetapi juga heran melihat orang yang membuat dua orang anggauta Klabang Wilis roboh pingsan dan yang kini dikepung puluhan orang tanpa kelihatan takut itu hanyalah seorang gadis muda yang cantik.
"Nona, siapakah engkau dan mengapa engkau membikin ribut di sini?"
"Panggil Wiroboyo keluar, aku hanya mau bertemu dan bicara dengan dia!" kata Muryani.
"Hemm, aku pembantunya. Katakan apa yang menjadi keperluanmu hendak bertemu dengan Ki Wiroboyo?"
Muryani tersenyum. "Keperluanku? Aku hendak membunuhnya!"
Mendengar ucapan ini, tentu saja Warok Surosingo dan semua anak buah Klabang Wilis terkejut dan marah sekali. Akan tetapi Warok Surosingo tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, engkau ini bocah ayu sungguh lancang mulut! Engkau hendak membunuh Ki Wiroboyo? Ha-ha-ha! Apa yang kau andalkan? Dengan adanya aku, Warok Surosingo di sini, tak seorangun dapat berbuat sesuka hati. Bocah ayu, sebaiknya engkau menyerah untuk kelak kuhadapkan ketua kami. Engkau telah mendatangkan keributan, merobohkan dua orang anggota kami!"
"Warok Surosingo, kalau engkau hendak menghalangi, engkaupun akan kuhajar!" bentak Muryani.
Si pendek itu membelalakkan mata dan membuka mulutnya tertawa. "Ha-ha-ha, kalian dengar itu, kawan-kawan? Bocah ayu ini hendak menghajar aku!"
Mereka semua tertawa karena merasa lucu. Seorang gadis muda cantik jelita yang kelihatan ringkih seperti itu hendak menghajar Warok Surosingo yang digdaya?
Muryani mengerutkan alisnya melihat betapa semua orang mentertawakannya. Tiba-tiba ia memutar tubuh, mengerahkain tenaga dan mendorongkan telapak tangan kirinya ke arah sebatang pohon yang tumbuh di depannya. Jarak antara ia dan pohon itu sekitar dua meter. Angin bersiutan menyambar ke arah pohon itu.
"Wuuuttt krakkkkk....!" Pohon sebesar pinggang manusia itu patah dan tumbang!
"Oohhhhh !" Banyak mulut itu ternganga mengeluarkan seruan keget ini.
"Warok Surosingo, kalau engkau membela Wiroboyo, engkau akan tumbang seperti pohon itu!" kata Muryani sambil bertolak pinggang menghadapi jagoan pendek kokoh itu.
Surosingo adalah seorang warok, seorang jagoan kawakan yang digdaya. Melihat demonstrasi yang dipamerkan Muryani tadi, tahulah dia bahwa gadis itu bukan orang sembarangan dan gertakannya bukan sambal belaka. Akan tetap tentu saja dia tidak gentar karena dia sendiri juga seorang gemblengan yan memiliki kesaktian. Dia tidak ingin dipandang rendah dan ditertawakan para anggota Klabang Wilis.
Maka mendengar ucapan Muryani tadi, dia segera memutar kolornya yang panjang dan besar sehingga senjata istimewa yang diputar-putar itu mengeluarkan suara bersiutan. "Bocah sombong! Engkaulah yang akan tumbang oleh pusakaku ini!" katanya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang ke depan dan kolornya berubah menjadi gulungan sinar kuning yang menyambar ke arah dada Muryani.
Melihat sikap warok yang menyerangnya dengan senjata pusakanya padahal ia sendiri bertangan kosong itu, Muryani sudah dapat menilai bahwa warok itu bukan seorang yang berwatak gagah dan hal ini sudah menunjukkan bahwa kepandaiannya tentu belum seberapa. Dia masih berwatak sewenang-wenang dan licik. Bagaimanapun juga, sambaran senjata pusaka kolor itu bukan tidak berbahaya. Muryani cepat mengelak ke belakang dan sambil memutar tubuhnya, ia balas menyerang dengan tamparan tangannya yang mengandung Aji Gelap Sewu.
Karena dara perkasa itu mengerahkan Aji Kluwung Sakti, maka gerakannya cepat sekali, tubuhnya menjadi ringan dan saking cepatnya ia bergerak, tubuh itu seolah berubah menjadi bayangan. Hampir saja pelipis Warok Surosingo terkena tamparan. Warok itu terkejut setengah mati. Gerakan gadis itu demikian cepat sehingga sukar dia mengikuti dengan pandangan matanya. Bagaikan seekor burung srikatan, gadis itu berkelebatan di sekeliling dirinya. Warok Surosingo menyerang bertubi-tubi dengan ngawur. Ujung kolornya menyambar-nyambar ke arah bayangan yang berkelebatan itu, namun tak pernah mengenai sasaran.
Tiba-tiba kaki kiri Muryani mencuat dan dapat mencuri bagian yang kosong. "Wuuuttt bukkkk!" perut yang gendut itu tercium kaki yang mungil itu. Tampaknya tidak terlalu kuat tendangan dari samping itu. Akan tetapi ternyata tubuh Warok Surosingo gelayaran (terhuyung-huyung) lalu terpelanting dan terguling-guling.
Namun agaknya tendangan itu tidak cukup kuat sehingga dia mampu melompat bangkit lagi, walaupun napasnya agak terengah dan mulutnya menyeringai menahan rasa nyeri dan mulas dalam perutnya. Biarpun dia sudah melindungi perutnya dengan aji kekebalan tetap saja perutnya terasa mulas karena terguncang oleh kekuatan dahsyat yang terkandung dalam tendangan kaki mungil tadi.
Melihat Warok Surosingo roboh tertendang, para anggota Klabang Wilis menjadi terkejut dan marah. Mereka lalu maju mengepung dengan senjata siap ditangan. Warok Surosingo juga tidak menghalangi karena diapun mulai merasa jerih terhadap dara yang ternyata sakti mandraguna itu. Muryani hanya berdiri bertolak pinggang dan tersenyum melihat pengepungan mereka.
Pada saat itu terdengar teriakan seseorang. "Heii, kawan-kawan! Jangan membunuh gadis itu. Mari kita menangkapnya hidup-hidup karena ketua kita menginginkan gadis ini?"
Seorang laki-laki tinggi kurus berusia lima puluhan tahun lebih muncul dan melihat orang ini, Muryani segera teringat bahwa orang itu adalah orang yang dulu bersama Wiroboyo telah menjatuhkannya dan menangkapnya. Untung pada waktu itu ia ditolong oleh Nyi Rukmo Petak yang kemudian menjadi gurunya selama empat tahun. Melihat musuhnya ini, Muryani menjadi marah. Memang orang ini yang dicarinya, orang ini dan Wiroboyo.
"Jahanam busuk, kebetulan engkau berada di sini!" bentaknya dan langsung saja tubuh Muryani menerjang ke arah Darsikun dengan pukulan dahsyat sekali karena dia telah menggunakan aji pukulan Gelap Sewu yang tadi telah menumbangkan sebatang pohon. "Wuuuttt...!" Darsikun yang kini telah menjadi semakin tangguh setelah menerima gemblengan Ki Harya Baka Wulung selama hampir dua tahun, mengenal pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga dalam yang ampuh. Dia cepat menghindarkan diri dengan elakan ke kanan dan lengannya menyambar ke depan untuk mencengkeram pundak kiri gadis itu.
Namun Muryani juga sudah mengelak dengan cepat. Pada saat itu, Warok Surosingo sudah menubruk dari belakang. Juga para anggauta Klabang Wilis sudah berlomba untuk menyergap dan meringkus gadis itu. Agaknya mereka semua berlomba untuk dapat meringkus dan mendekap tubuh ranum menggairahkan itu. Akan tetapi dengan trengginas Muryani menggerakkan tubuh berkelebatan di antara para pengeroyoknya, kedua tangan dan kedua kakinya menyambar-nyambar dan berturut-turut empat orang anggota Klabang Wilis terpelanting dan roboh terbanting keras tak mampu bangkit kembali karena menderita tulang patah atau otot terkilir!
Melihat ini, para anak buah Klabang Wilis terkejut. Muryani tidak berhenti sampai di situ saja. Ia terus berkelebatan, sukar sekali untuk dapat ditangkap karena tubuhnya seolah telah berubah menjadi bayangan. Kembali serangkaian serangannya membuat empat orang lain terjungkal! Melihat ini, Darsikun terkejut sekali. Gadis ini tidak seperti empat tahun yang lalu! Sekarang ia memiliki gerakan yang luar biasa cepatnya dan dia teringat akan nenek berambut putih yang dulu mengalahkan dia dan Wiroboyo.
Dia dapat menduga bahwa tentu gadis yang membuat Wiroboyo tergila-gila itu telah mendapat gemblengan dari nenek berambut putih dan kini merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Dalam beberapa gerakan saja gadis itu telah merobohkan delapan orang pengeroyok, jadi semua sudah sepuluh orang anak buah Klabang Wilis yang roboh dan tidak mampu mengeroyok lagi. Kalau diteruskan, mungkin tak lama lagi semua anak buah Klabang Wilis akan roboh, dan dia harus menghadapi gadis sakti mandraguna itu berdua saja dengan Warok Surosingo. Ah, gadis ini amat berbahaya. Mereka tidak akan menang kalau mencoba untuk menangkapnya hidup-hidup.
"Serang dengan senjata! Bunuh gadis setan ini!" bentak Darsikun dengan suara lantang dan diapun sudah mencabut kerisnya. Warok Surosingo tetap menggunakan senjatanya yang istimewa, yaitu kolornya. Dua puluh orang sisa anak buah Klabang Wilis ketika mendengar perintah ini, bangkit kembali keberanian mereka. Mereka mencabut senjata masing-masing lalu mulai mengeroyok Muryani.
"Mampus kau!" bentak Darsikun dan dia menerjang dengan kecepatan tinggi, kerisnya menusuk ke arah perut gadis itu dan tangan kirinya dari bawah memukul keatas, ke arah muka Muryani. Pukulan tangan kiri itu hebat sekali, bahkan lebih berbahaya daripada serangan kerisnya. Itulah aji pukulan Cantuka Sakti yang dia dapatkan dari Ki Harya Baka Wulung.
Muryani terkejut juga melihat serangan ganda itu. Ia melangkah ke belakang sehingga tusukan keris luput, akan tetapi pukulan tangan kiri itu terus menghantam ke arahnya dengan tenaga pukulan jarak jauh yang dahsyat. Muryani menggerakkan tangan kanannya, dengan Aji Gelap Sewu menangkis. Pukulan tangan kiri Darsikun terpental ketika bertemu dengan hawa pukulan yang menangkis dari tangan kanan gadis itu.
Pada saat itu kolor Warok Surosingo menyambar dari atas, menghantam ke arah kepala Muryani. "Wuuttt... darrr...!" Ujung kolor bertemu dengan tangan kiri Muryani yang menangkis ke atas dan kolor itu terpental. Beberapa batang klewang dan keris sudah datang menyerbu bagaikan hujan ke arah tubuh dara perkasa itu.
"Eiiittt...!" Muryani mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya sudah mencelat ke atas, lalu membuat gerakan jungkir-balik di udara beberapa kali dan turun di luar kepungan. Akan tetapi dua puluh lebih orang anak buah Klabang Wilis, dipimpin Darsikun dan Warok Surosingo sudah mengepungnya lagi dan menyerang dengan ganas. Mereka semua menyerang dengan niat membunuh gadis yang berbahaya itu.
Muryani menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan terkadang menangkis dengan kedua lengannya. Agak repot juga gadis itu karena pengeroyokan banyak orang bersenjata, terutama sekali karena Darsikun ternyata cukup tangguh, dibantu warok yang juga bukan orang lemah itu. Muryani tidak terdesak, akan tetapi iapun menemui kesulitan untuk merobohkan para pengeroknya.
Pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat disusul suara seorang laki-laki mencela. "Puluhan orang laki-laki bersenjata mengeroyok seorang gadis bertangan kosong! Huh, tidak tahu malu!" Setelah berkata demikian, laki-laki itu mengamuk, menendangi mereka yang mengeroyok Muryani. Hebat sekali sepak terjangnya. Terdengar para anak buah Klabang Wilis berteriak kesakitan dan tubuh mereka berpelantingan, roboh dan tidak mampu bangkit kembali!
Muryani melihat bahwa pemuda yang membantunya itu bertubuh tinggi tegap tidak terlalu besar namun dadanya bidang. Wajahnya tampan sekali, dengan kulit putih bersih dan rambutnya agak berombak. Tentu saja ia tidak dapat mengamati dengan jelas dan melihat betapa pemuda itu mengamuk dengan tangkasnya, Muryani menjadi semakin bersemangat dan ia pun mengerahkan kegesitan dan tenaganya untuk merobohkan para pengeroyok sebanyak mungkin. Dua orang muda itu kini seakan berlomba cepat merobohkan para pengeroyok!
Warok Surosingo dan Darsikun kaget bukan main melihat munculnya pemuda asing yang merobohkan banyak anak buah itu. "Keparat! Engkau sudah bosan hidup!" bentak Warok Surosingo dan dia pun menerjang dengan kolornya. Kolor itu berubah menjadi sinar kuning menyambar ke arah dada pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak merasa gentar, bahkan dia membusungkan dadanya menyambut hantaman pusaka berupa kolor lawe berwarna kuning itu.
"Wuuuuttt... darrrr...!" Kolor itu ujungnya seperti meledak bertemu dengan dada yang bidang, akan tetapi pemuda itu tidak tergetar sedikitpun juga, bahkan secepat kilat dia menangkap ujung kolor dan sekali tangannya menyentak kuat, tubuh pendek gendut Warok Surosingo yang berat itu terlontar ke atas! Warok itu mengeluarkan teriakan kaget dan tubuhnya meluncur turun, pemuda itu memapakinya dengan pukulan tangan terbuka.
"Wuuuuttt...dessss!!" Tubuh warok itu terlempar dan roboh tak dapat bangkit kembali, dari mulut, hidung, telinga dan matanya mengalir darah. Dia tewas seketika. Pemuda itu melanjutkan amukannya, merobohkan para pengeroyok dan tinggal beberapa orang saja itu. Muryani juga tidak mau kalah. Gadis ini mengamuk dan akhirnya semua anak buah Klabang Wilis yang membantu Darksikun dan ikut mengeroyoknya telah roboh satu demi satu.
Kini tinggal Darsikun seorang yang masih melawan mati-matian, menggunakan kerisnya. Namun gerakan Muryani yang luar biasa cepatnya itu membuat Darsikun terdesak hebat walaupun gadis itu bertangan kosong saja. Serangan keris Darsikun tak pernah mengenai sasaran karena lawannya sukar sekali diserang, berkelebatan seperti bayang-bayang. Bahkan sebaliknya, Darsikun terdesak karena dia merasa seolah diserang oleh lawan yang bertangan banyak. Darsikun menjadi panik dan mulai ketakutan melihat betapa semua anak buah Klabang Wilis yang berjumlah tiga puluh orang lebih itu, termasuk Warok Surosingo, telah roboh!
Pemuda sakti yang datang membantu Muryani itu kini berdiri menonton pertandingan antara dia dan Muryani. Darsikun maklum bahwa keadannya berbahaya sekali, akan tetapi dia tidak melihat jalan untuk melarikan diri. "Hyaaattt !!" Sambil mengerahkan seluruh tenaganya, Darsikun menyerang ke arah bayangan di depannya. Kerisnya meluncur cepat ke arah dada Muryani. Akan tetapi seperti juga tadi, kerisnya mengenai tempat kosong dan sebelum dia dapat menarik kembali senjatanya, dari samping tangan kanan Muryani menepis dengan bacokan tangan miring kearah pergelangan tangan kanan Darsikun yang memegang keris.
"Dukk!!" Darsikun mengeluarkan seruan tertahan. Dia merasa tulang pergelangan tangannya seperti remuk dan tak dapat dicegah lagi keris yang dipegangnya terlepas dan mencelat. Cepat dia melangkah ke belakang lalu mengerahkan seluruh tenaganya untuk memukul dan mendorong ke depan dengan kedua tangan terbuka. Tubuhnya berjongkok rendah dan ketika dia mendorongkan kedua tangannya, ada hawa pukulan yang dahsyat menyambar ke depan.
"Ciaaattt...!" Itulah aji pukulan Cantuka Sakti yang dia pelajari dari Ki Harya Baka Wulung. Biarpun aji pukulan itu belum dikuasainya sepenuhnya, namun dia sudah dapat memukul dengan hebat sekali. Pukulan jarak jauh ini mampu merobohkan lawan dalam jarak tiga meter. Kini jarak antara Darsikun dan Muryani kurang dari dua meter, maka dapat dibayangkan betapa dahsyat dan berbahayanya pukulan yang dilakukan Darsikun yang sudah menjadi nekat itu.
Begitu Darsikun berjongkok rendah. Muryani sudah menduga bahwa lawannya akan melakukan pukulan ampuh, maka ia pun lalu mengerahkan tenaganya dan ketika lawan memukul dengan dorongan, ia pun mendorongkan kedua tangannya depan, menggunakan Aji Gelap Sewu yang ia pelajari dari Nyi Rukmo Petak selama empat tahun menjadi murid nenek sakti itu.
"Wuuuttt...blarrr!" Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu di udara dan akibatnya, Darsikun terpental dan roboh terguling-guling! Muryani cepat melompat mendekatinya. Ia tadi memang membatasi aji pukulannya karena ia ingin menangkap Darsikun hidup-hidup. Dan ternyata memang belum tewas. Dia menderita luka dalam yang cukup parah sehingga dia tidak mampu melawan lagi. Sambil merintih Darsikun bangkit dan duduk bersila, mengatur pernapasan. Dari ujung bibirnya mengalir darah.
"Hayo mengaku, siapa yang telah membunuh ayahku empat tahun yang lalu itu? Mengaku atau aku akan menyiksamu!" Muryani membentak.
Darsikun maklum bahwa tidak ada harapan lagi baginya untuk dapat lolos dari ancaman maut. Dia tersenyum mengejek dan berkata dengan tegas, "Akulah yang membunuh Ki Ronggo Bangak malam itu atas permintaan Ki Wiroboyo!"
Muryani merasa betapa dadanya panas dan hampir meledak saking menahan marahnya, akan tetapi ia masih dapat menahan diri. Memang hal ini sudah diduganya. Orang yang menyerangnya malam itu memang bertubuh tinggi kurus seperti ini. "Di mana Wiroboyo si jahanam itu sekarang? Hayo katakan atau aku akan menyiksamu sehingga engkau akan mati perlahan-lahan!"
"Ki Wiroboyo kini sedang menyerbu Perguruan Nogodento di Ngawi. Kalau dia berada di sini, jangan harap engkau akan dapat lolos!"
"Jahanam busuk!" bentak Muryani. Akan tetapi pada saat itu, Darsikun menggerakkan kedua tangannya. Muryani menyangka bahwa orang itu akan menggunakan tenaga terakhir untuk menyerangnya, maka ia melangkah mundur. Akan tetapi ternyata Darsikun menggerakkan kedua tangannya ke atas dan menghantam kepalanya sendiri.
"Krakk!" Dia roboh telentang dan tewas seketika dengan kepala retak-retak! Muryani menghampiri seorang anggota Klabang Wilis yang belum tewas yang mengalami patah tulang pundaknya dan merintih-rintih itu menjadi pucat ketakutan ketika Muryani menghampirinya.
"Ampuni saya" katanya lirih.
"Cepat katakan, di mana Perguruan Nogodento itu dan jangan bohong!"
"Di... di tepi Bengawan Solo daerah Ngawi... begitu yang saya dengar... saya sendiri belum pernah ke sana, denajeng..."
Muryani meninggalkan orang itu. Ia melihat pemuda yang tadi membantunya masih berdiri sambil bersedakap memandang kepadanya dengan bibir tersenyum. Ia tidak perduli. Bagaimanapun juga, ia tidak minta pemuda itu membantunya! Muryani lalu masuk rumah besar untuk mencari Wiroboyo. Akan tetapi ia hanya melihat wanita dan kanak-kanak disebuah bangunan yang terdapat di perkampungan itu. Tadinya ia berniat untuk membakar semua rumah, akan tetapi melihat para wanita dan kanak-kanak, diurungkan niatnya.
Mereka tidak bersalah, pikirnya, tidak semestinya menjadi korban. Yang patut dibunuh hanyalah Wiroboyo dan Darsikun tadi, juga mereka yang membantu Wiroboyo. Anak buah Klabang Wilis itu pun hanya bawahan saja, maka sudah cukup kalau mereka dihajar dan dirobohkan, tidak perlu dibunuh. Setelah melakukan penggeledahan seluruh perkampungan dan tidak menemukan Wiroboyo, dan mendapat keterangan dari isteri Wiroboyo yang masih muda itu bahwa suaminya benar-benar pergi dengan Wiku Menak Koncar dan lima puluh orang anak buah untuk menyerang Perguruan Nogodento di tepi Bengawan Solo di daerah Ngawi, Muryani keluar dari rumah besar itu. Ia telah memeriksa semua rumah di perkampungan itu dan tidak menemukan Wiroboyo, maka cepat-cepat ia berlari keluar dari perkampung itu tanpa memperdulikan pemuda yang tadi telah membantunya!
Dengan mengerahkan Aji Kluwung Sakti, tubuhnya berkelebat cepat dan sebentar saja ia sudah menuruni Gunung Wilis. Ketika ia tiba di lereng gunung ter bawah, Muryani terkejut melihat seorang pemuda duduk diatas batu besar di tepi jalan setapak yang dilaluinya. Pemuda itu bukan lain adalah pemuda tampan yang tadi telah membantunya! Bagaimana mungkin pemuda itu sudah berada di situ? Ia mempergunakan Aji Kluwung Sakti yang membuat ia dapat berlari cepat sekali. Akan tetapi pemuda itu tahu-tahu telah ada di depannya. Ini berarti bahwa pemuda itu dapat berlari lebih cepat daripadanya! Bagaimana mungkin? Pemuda itu duduk bersila dengan kedua tangan bersedakap (bersilang depan dada) seperti orang dalam samadhi!
Akan tetapi Muryan tidak perduli dan ia berlari terus. Ia merasa tidak mempunyai urusan dengan pemuda itu! Kini Muryani mengerahkan seluruh tenaganya menggunakan Aji Kluwung Sakti sehingga tubuhnya bagaikan terbang meluncur menuruni lereng terakhir. Akan tetapi ketika ia tiba di kaki Gunung Wilis dan berada dijalan yang dibuat oleh penduduk daerah itu, tiba-tiba tertegun melihat pemuda yang tadi telah berdiri menghadang di depannya!
Karena pemuda itu berdiri di tengah jalan, sengaja menghadangnya, Muryani mengerutkan alisnya dan memandang marah. "Hei, mau apa engkau menghadang jalananku?" tegurnya ketus.
Pemuda itu tersenyum dan wajahnya sungguh tampan menarik ketika tersenyum. "Nona, kenapa engkau begitu membenciku?"
Muryani mengerutkan alisnya, akan tetapi memandang heran mendengar pertanyaan yang tidak disangka-sangkanya itu. "Siapa membenci siapa? Aku tidak mengenalmu, tidak ada urusan diantara kita, mengapa aku harus membencimu?"
Pemuda itu membungkuk dengan sikap hormat. "Maafkan aku, nona. Akan tetapi kita saling berjumpa di sarang Klabang Wilis dan lereng tadi, nona sama sekali tidak menyapaku, bahkan memandangpun tidak seolah-olah engkau marah dan membenciku."
Ucapan pemuda itu lembut, sama sekali tidak mengandung teguran, hanya memberi alasan mengapa dia menganggap gadis itu membencinya. Muryani menatap tajam wajah pemuda itu. Kini tampak betapa tampan dan menyenangkan wajah yang penuh senyum dan matanya bersinar lembut dan sopan itu. Akan tetapi ia seorang gadis yang keras hati, tidak mau memperlihatkan perasaannya.
"Kenapa aku seorang wanita harus menyapamu? Engkau yang pria juga tidak menyapaku!" jawabnya agak ketus.
"Aahh... begitukah? Akan tetapi, nona, aku telah membantumu menghajar para pengeroyokmu tadi!"
"Hemmm, siapa yang minta? Aku tidak butuh bantuanmu!"
"Ahh.... benar juga. Engkau seorang wanita sakti mandraguna, tidak dibantu juga engkau akan dapat menghajar mereka semua. Maafkan kelancanganku, nona. Baiklah sekarang aku tidak mengaku telah membantumu, hanya, aku penasaran melihat banyak laki-laki mengeroyok seorang wanita, maka karena penasaran dan marah aku lalu menerjang mereka. Sekali lagi, harap engkau sudi memaafkan aku, nona."
Muryani merasa tidak enak juga hatinya melihat pemuda itu berulang minta maaf dan mengaku salah. Padahal, andaikata ia tidak kalah sekalipun, namun harus ia akui secara diam-diam bahwa pengeroyokan demikian banyaknya orang tadi membuat ia repot dan agak kewalahan. Sesungguhnya bantuan pemuda itu tadi menguntungkan dirinya.
"Sudahlah, lupakan saja. Hanya lain kali kalau ingin membantu orang, katakanlah lebih dulu," kata Muryani dan wajahnya tidak cemberut lagi, bahkan suaranya juga lembut dan sedikit senyuman membayang di bibirnya yang manis.
Melihat ini, pemuda itu kembali membungkuk dengan sikap hormat dan wajahnya berseri gembira. "Ah, terima kasih, nona. Sejak tadi akupun sudah yakin bahwa engkau adalah seorang dara perkasa yang bijaksana. Aku akan merasa bangga dan berbahagia kalau nona sudi berkenalan dengan orang hina dan bodoh macam saya. Nona, nama saya adalah Satyabrata, seorang pengembara berasal dari Cirebon. Bolehkan saya mengetahui siapa nama nona yang mulia?"
Menghadapi sikap dan ucapan yam lembut dan penuh kesopanan itu, Muryani merasa tidak enak kalau bersikap keras. Ia mulai tersenyum dan menjawab, "Aku bernama Muryani berasal dari lereng Gunung Lawu."
"Nama yang indah sekali. Bagaimana aku harus menyebutmu? Denajeng Muryani, begitukah?"
"Ah, aku bukan puteri bangsawan. Sebut saja Muryani," kata Muryani yang pada dasarnya memiliki watak yang ramah dan sama sekali tidak angkuh.
"Baiklah, karena aku yakin bahwa aku jauh lebih tua darimu, usiaku sudah dua puluh enam tahun, maka kalau engkau tidak keberatan, aku akan menyebutmu diajeng Muryani. Bagaimana?"
"Sesukamulah, bagiku sama saja."
"Nah, diajeng Muryani, setelah kita berkenalan dan kalau engkau sudi menganggap aku sebagai sahabat, mari kita bicara tentang niatmu melakukan pengejaran terhadap orang yang bernama Wiroboyo ketua Klabang Wilis itu."
"Hemm, kakangmas Satyabrata, apa hubungannya niatku itu denganmu? Aku melakukan pengejaran terhadap musuh besarku, kurasa tidak ada sangkut-pautnya denganmu." Muryani terpaksa menyebut pemuda itu kakangmas, karena pemuda itu menyebutnya diajeng.
Satyabrata girang bukan main mendengar sebutan itu. Pemuda ini sejak dewasa, beberapa tahun yang lalu ketika dia belum menemukan ilmu-ilmu yang hebat di sumur, ketika dia masih ikut dengan Willem Van Huisen perwira kumpeni Belanda sebagai anak angkatnya, telah merupakan seorang pemuda petualang cinta. Banyak wanita yang tergila-gila kepadanya karena dia memang tampan gagah dan pandai membawa diri dan diapun menyambut wanita-wanita yang dianggapnya cantik menarik dengan penuh gairah Satyabrata menjadi seorang pemuda mata keranjang yang suka mengejar dan mempermainkan wanita-wanita cantik.
Maka tidaklah mengherankan jika sekarang, bertemu dengan Muryani, dia seketika menjadi tergila-gila. Bukan hanya kecantik jelitaan Muryani yang membuat dia tergila-gila, terutama sekali kesaktiannya. Sepak terjang gadis itu ketika mengamuk dikeroyok banyak orang membuat dia terkagum-kagum. Biarpun sudah banyak gadis atau janda yang terkulai dalam pelukannya, namun belum pernah dia mendapatkan seorang kekasih yang memiliki kesaktian seperti Muryani. Dia kagum dan terpesona, dan seketika dia jatuh cinta.
Mendengar ucapan Muryani tadi, Satyabrata tersenyum. "Tentu saja, diajeng. Urusan pribadimu tidak ada sangkut-pautnya dengan aku dan aku juga tidak berhak untuk mencampuri. Akan tetapi maafkan aku, diajeng Muryani. Tadi sebelum meninggalkan sarang Klabang Wilis, aku memaksa seorang anak buah mereka mengaku dan menurut pengakuannya tadi, ketua Klabang Wilis yang bernama Wiroboyo itu pergi menyerang Perguruan Nogodento di tepi Bengawan Solo daerah Ngawi didampingi gurunya yang bernama Wiku Menak Koncar dan membawa anak buah sebanyak lima puluh orang. Berbahaya sekali kalau engkau melakukan pengejaran, diajeng."
"Hemm, aku tidak takut!" kata Muryani.
"Aku tahu, diajeng. Seorang dara sakti mandraguna seperti andika ini sudah tidak takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga dan aku mengagumi keberanianmu. Akan tetapi ketahuilah diajeng Muryani. Aku sudah pernah mendengar tentang kakek yang bernama Wiku Menak Koncar ini. Dia adalah seorang datuk besar dari Blambangan yang benar-benar sakti mandraguna dan merupakan seorang lawan yang tangguh dan berbahaya. Belum lagi Wiroboyo yang telah menjadi murid orang sakti itu, tentu juga memiliki kepandaian yang tinggi dan jangan dilupakan bahwa mereka masih dibantu lima puluh orang anak buah Klabang Wilis."
"Kalau begitu, mengapa?"
"Begini, diajeng. Kita sudah saling berkenalan dan engkau telah kuanggap sebagai seorang sahabat. Karena itu, aku merasa tidak tega membiarkan engkau seorang diri menghadapi lawan yang demikian tangguh dan banyak. Kalau engkau tidak berkeberatan, aku ingin sekali menemanimu dan membantumu menghadapi mereka."
Muryani mengamati wajah pemuda itu dan mempertimbangkan. Pemuda ini meniliki kepandaian tinggi. Hal itu bukan hanya terbukti ketika dia tadi membantunya, akan tetapi juga telah dibuktikan bahwa pemuda itu memiliki ilmu berlari yang lebih cepat daripadanya! Tadi ia suah menggunakan Aji Kluwung Sakti, namun tetap saja pemuda itu dapat tiba di kaki gunung lebih cepat daripadanya. Bantuan pemuda ini tentu saja amat mengntungkan baginya dan pemuda inipun bersikap baik sekali dan bagaimanapun juga, Muryani harus mengakui bahwa diam-diam ia kagum dan tertarik kepada pemuda Cirebon ini. Kalau ia menolak tawaran pemuda itu yang ingin membantunya, ia akan menderita rugi. Kalau ia menerimanya, selain lebih besar harapanya untuk dapat mengalahkan Wiroboyo dan teman-temannya, juga ia akan dapat mengenal pemuda ini lebih baik lagi dan mengamati wataknya.
"Tapi... aku tidak minta bantuanmu, kakangmas Satyabrata," katanya meragu.
Pemuda itu tersenyum. "Aku juga tidak hendak membantumu, diajeng. Aku hanya ingin menentang Wiroboyo dan kawan-kawannya dan karena tujuan kita sama, maka apa salahnya kalau kita melakukan perjalanan bersama?"
"Akan tetapi kenapa engkau menentang mereka?"
"Kenapa? Engkau menentang mereka dan kenyataan itu saja sudah cukup bagiku. Karena engkau menentang mereka maka aku yakin bahwa mereka adalah orang-orang jahat, maka aku ingin menentang mereka."
Setelah berpikir sejenak, membayangkan bahwa tentu akan jauh lebih menyenangkan melakukan perjalanan dengan pemuda yang pandai membawa diri dan sopan santun ini daripada sendirian, Muryani berkata, "Baiklah, kalau engkau ingin melakukan perjalanan bersama, aku tidak keberatan."
Satyabrata girang !sekali. "Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan, diajeng Muryani. Aku mengetahui jalan yang lebih enak, cepat dan tidak melelahkan menuju ke daerah Ngawi."
"Begitukah, kakangmas Satyabrata?"
"Benar, kita dapat mengambil jalan melalui sungai. Di barat sana, tak jauh dari sini, terdapat Kali Ngebel. Kali itu mengalir ke utara melalui Kadipaten Madiun dan terus menuju ke Ngawi. Dengan naik perahu mengikuti aliran sungai Ngebel, kita tidak akan terlalu lelah dan perjananan dapat dilakukan lebih cepat."
Muryani merasa girang. Tidak rugi melakukan perjalanan dengan pemuda ini yang ternyata memiliki pengetahuan luas. Mereka lalu melakukan perjalanan ke arah barat dan menjelang senja tibalah mereka di tepi sebuah sungai. Itulah Kali Ngebel yang mengalir ke utara. Satyabrata mencari perahu. Setelah menemukan perahu milik seorang nelayan, dia lalu membeli perahu itu. Dia membayar mahal dan royal sekali sehingga petani nelayan itu menerima pembayaran dengan gembira. Hal ini menambah rasa suka dalam hati Muryani terhadap pemuda itu.
Setelah mendapatkan perahu, mereka lalu mulai perjalanan mereka ke utara melalui Kali Ngebel, naik sebuah perahu yang beratap sederhana. Malam tiba. Karena malam itu gelap, tiada bulan, Satyabrata tidak berani melanjutkan perjalanan mereka. Berperahu di malam gelap seperti itu berbahaya. Kalau perahunya menabrak sesuatu dalam gelap, perahu kecil itu dapat terbalik. Terpaksa dia menunda perjalanan, mendayung perahu ke pinggir, melompat ke darat dan mengikatkan tali perahu ke sebatang pohon.
"Kita tidak melanjutkan perjalanan kakangmas?" tanya Muryani.
"Tidak mungkin, diajeng. Malam gelap sekali, kita tidak dapat melihat apa-apa didepan kita. Kalau perahu membentur sesuatu, dapat terbalik, berbahaya sekali. Terpaksa kita melewatkan malam di sini. Engkau tidurlah, diajeng, aku akan membuat api unggun ditepi sungai."
Muryani merebahkan diri dalam perahu, dibawah atap anyaman bambu. Ia merasa lelah sekali dan rebah telentang di dalam perahu yang bergoyang-goyang sedikit itu sungguh nyaman, rasanya seperti diayun-ayun. Satyabrata mengumpulkan ranting dan daun kering lalu membuat api unggun di tepi sungai. Akan tetapi matanya sejak tadi memandang ke arah perahu. Pemuda ini merasa jantungnya berdebar-debar. Sejak tadi dia menahan perasaan hatinya. Dia tergila-gila kepada Muryani!
Gairah nafsunya timbul dan kini bernyala, berkobar seperti api unggun yang mulai membesar. Sinar api unggun menerangi sampai ke atas perahu dan dia dapat melihat tubuh gadis itu dari pinggang ke bawah terjulur keluar dari bawah atap. Dia harus menundukkan gadis itu, dia ingin memiliki gadis yang membuatnya tergila-gila itu! Diam-diam Satyabrata lalu mengerahkan tenaga batinnya, memasang Aji Pengasihan Mimi Mintuno.
Hawa yang dingin sejuk semilir ke arah tubuh Muryani yang rebah telentang didalam perahu. Gadis itu belum tidur. Tiba-tiba ia merasa seluruh permukaan kulit tubuhnya merinding, jantungnya berdebar. Gadis itu telah digembleng dengan keras oleh mendiang Nyi Rukmo Petak. Mengalami hal aneh itu ia menjadi waspada. Bulu tengkuknya yang meremang dan rasa dingin sejuk yang dirasakannya merupakan tanda bahwa ada sesuatu yang tidak wajar, sesuatu yang tidak baik dan merupakan tanda bahaya.
Mungkin hal ini terasa karena ia rebah di dalam perahu yang bergoyang-goyang, atau mungkin di tempat yang sunyi ini ada sesuatu yang angker. Tempat-tempat seperti itu memang terkadang dihuni roh-roh penasaran yang suka mengganggu manusia. Maka Muryani segera mengerahkan tenaga batinnya untuk melindungi dirinya dari pengaruh yang tidak wajar.
Melihat betapa setelah beberapa lamanya dia mengerahkan aji Pengasihan Mimi Mintuno namun gadis itu tidak tampak terpengaruh, masih tetap rebah dengan tenang, Satyabrata menghentikan pengerahan aji itu. Dia maklum bahwa Muryani seorang gadis sakti mandraguna Mungkin saja aji pengasihannya tidak cukup kuat untuk mempengaruhinya. Dia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono menghadapi gadis ini.
Kalau sampai ketahuan oleh gadis itu bahwa dia mempergunakan aji pengasihan, tentu gadis itu akan marah dan mengamuk. Dia tidak ingin kehilangan Muryani, tidak ingin gadis itu memusuhi dan membencinya. Dia benar-benar terpikat dan tergi-gila, jatuh cinta seperti yang belum pernah dia alami. Satyabrata lalu mengerahkan tenaga batin untuk memasang aji yang lain sama sekali, kini ia hendak menggunakan aji Penyirepan Begonondo.
Mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, tangan kirinya mengambil tanah, kemudian dia melemparkan tanah itu ke atas atap perahu. Dia mendengar suara berkerotoknya tanah berpasir itu ke atas atap perahu dan menunggu. Tidak terdengar atau tampak gadis itu bergerak. Dia makin memperkuat pengerahan tenaga batinnya untuk membuat gadis itu pulas senyenyak-nyenyaknya.
Setelah merasa yakin bahwa gadis itu benar benar berada dalam pengaruh aji penyirepannya, Satyabrata lalu menambahkan ranting kering pada api unggun sehingga api bernyala lebih besar. Kemudian dia menghampiri perahu dan naik ke perahu. Dia berjongkok dekat tubuh Muryani dan melihat bahwa gadis itu benar-benar telah tidur pulas.
Aji Penyirepannya memang ampuh bukan main. Pernapasan yang panjang lembut dari gadis itu menunjukkan bahwa ia benar-benar tertidur pulas. Sinar api unggun membuat penerangan cukup sehingga dia dapat memandang wajah gadis itu dengan jelas. Muryani tersenyum dalam tidurnya tampak ayu manis menggairahkan. Bibir itu sedikit terbuka penuh tantangan. Tak terasa tangan Satyabrata bergerak menyentuh pundak gadis itu. Sentuhan lembut itu membuat jari-jari tangannya tergetar dan getaran ini menjalar diseluruh tubuhnya, membangkitkan berahi dan gairahnya berkobar-kobar. Akan tetapi ketika perlahan-lahan dia mendekatkan mukanya untuk mencium mulut yang agak terbuka itu, tiba-tiba dia seperti tersentak dan menarik kembali mukanya ke belakang.
"Tidak...! Tidak mungkin aku melakukan ini...!" Dia menampar kepalanya sendiri dan duduk bersila. Dia tidak tega untuk memperkosa Muryani seperti ini! Dia telah jatuh cinta kepada gadis itu, jatuh cinta dengan setulus hatinya. Dia ingin Muryani menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela, dengan tulus, bukan karena terpengaruh aji penyirepan dan aji pengasihan, apalagi bukan karena diperkosa! Dia merindukan balasan cinta kasih Muryani.
"Jangan mengharapkan yang muluk-muluk," suara lain terdengar di kepalanya. "Kalau begitu, engkau tidak akan mendapatkannya, engkau akan kehilangan ia! Ambil saja sekarang dan ia akan menjadi milikmu. Lihat betapa indah mulutnya, betapa indah tubuhnya, betapa mulus kakinya." Bisikan itu membuat gairahnya semakin berkobar membakarnya. Kembali kedua tangannya bergerak ke depan, hendak memegang, memeluk. Akan tetapi seperti juga tadi, kasih sayangnya yang tulus membuat dia tersentak kembali, menarik kedua tangannya, bahkan dia lalu bangkit berdiri.
"Tidak! Tidak boleh! Aku cinta padanya, aku menginginkan cintanya, bukan sekedar tubuhnya!" Dia berkata dan dia melompat keluar dari perahu. Gairahnya masih berkobar, seluruh tubuhnya gemetar dan tidak kuat menahan gelora berahinya. Mukanya menjadi merah sekali dan matanya menjadi liar. Setiap kali menoleh dan memandang ke arah tubuh Muryani diperahu, rasanya ingin dia menubruknya. Akan tetapi selalu ditahannya dan akhirnya Satyabrata tidak kuat bertahan lagi dan dia melarikan diri dari tepi sungai, masuk ke dalam kegelapan malam.
Tak lama kemudian tibalah dia di tempat yang dicari-carinya, yaitu di dalam sebuah dusun. Satyabrata mengintai dari rumah kerumah, mencari-cari. Akhirnya dia menemukan apa yang dia butuhkan dan cari. Dalam sebuah bilik bambu yang sederhana itu dia melihat seorang gadis dusun sedang rebah miring dan tidur pulas. Wajah Satyabrata tampak beringas menakutkan, terutama sepasang matanya yang bersinar-sinar seperti mata seekor harimau dalam gelap.
Dia menemukan apa yang dicarinya. Dengan mudah dia membongkar pintu belakang rumah itu dan menyelinap masuk tanpa mengeluarkan suara gaduh. Dengan mudah dia membuka pintu kamar gadis itu, melangkah masuk dan melihat gadis itu, dia lalu menerkamnya seperti seekor harimau kelaparan menerkam seekor domba! Gadis itu menjerit. Lampu kecil di atas meja, bergoyang-goyang. Seorang laki-laki setengah tua memasuki kamar itu. "Sumi... ada apakah...?" seru laki-laki itu.
Sebuah tamparan menyambut laki-laki lalu. Tamparan yang kuat dan cepat sekali, mengenai pelipisnya dan laki-laki dusun itupun terpelanting roboh, tak bergerak lagi. Satyabrata yang telah merobohkan laki-laki itu lalu kembali menerobos mangsanya yang menggigil ketakutan di atas pembaringan kayu.
Nafsu berahi, seperti segala macam nafsu, apabila terkendali merupakan berkah dan nikmat, akan tetapi sekali lepas kendali, nafsu menjadi alat iblis untuk menyeret manusia ke dalam dosa sehingga manusia berubah menjadi iblis yang kejam dan jahat. Nafsu berahi adalah sesuatu yang indah, bahkan suci bagi sepasang suami isteri yang saling mencinta suci karena selain menjadi pencurahan kasih sayang yang paling mendalam antara dua orang manusia berlawanan ke pelaminan, juga menjadi sarana perkembangbiakan manusia. Akan tetapi, sekali nafsu berahi lepas kendali, menjadi alat iblis untuk memperhamba manusia, maka manusia dapat melakukan segala macam kekejian dan kehinaan sehingga terjadilah perjinaan, pelacuran, perkosaan dan sebagainya.
Pada saat itu Satyabrata sudah bukan manusia lagi, melainkan iblis sendiri yang menguasai dirinya melalui nafsu binatangnya. Satyabrata dapat melakukan kekejian ini karena memang sejak berada di Cirebon dahulu dia sudah terlalu menuruti gairah nafsu berahinya sehingga dia menjadi hamba nafsunya, sering bermain gila dengan gadis, janda atau bahkan isteri orang yang menarik hatinya karena kecantikan wanita itu.
Maka sekarang, ketika gairah nafsunya bangkit karena dia tergila-gila kepada Muryani namun dia tidak tega memperkosa gadis yang benar-benar telah meruntuhkan hatinya itu, gairah nafsunya menuntut pelepasan maka dia lalu mencari korban wanita mana saja asal memiliki daya tarik baginya. Dan gadis dusun yang tak berdosa itulah yang menjadi korban dan mangsanya.
Tak lama kemudian bayangan Satyabrata telah berkelebat di malam gelap, meninggalkan dusun itu, meninggalkan gadis dusun yang menangis sesenggukan, menangisi diri sendiri yang telah ternoda, dan menangisi ayahnya yang telah tewas. Bagaikan setan Satyabrata berjalan menyusuri sungai dalam kegelapan. Kalau ada orang melihatnya, tentu orang itu akan lari ketakutan dan mengira dia setan karena memang tingkahnya tidak seperti manusia.
Dia tertawa-tawa menyeramkan, tertawa penuh kepuasan seperti orang gila. Memang dia bukan manusia waras lagi. Satyabrata telah menjadi tidak waras, pikirannya telah kacau dan miring, dia telah menjadi gila setelah mempelajari semua ilmu di dalam sumur tua, ilmu-ilmu peninggalan mendiang Resi Ekomolo. Kegilaannya memang luar biasa. Dalam keadaan biasa dia bahkan dapat bersikap cerdik dan licik bukan main, pandai membawa diri sehingga tampak sopan santun, lembut dan bijaksana. Akan tetapi saat itu, ketika berjalan menyusuri sungai untuk kembali ketempat di mana dia meninggalkan Muryani dalam perahunya, dia lebih pantas disebut iblis. Suara tawanya saja sudah bukan suara tawa manusia lagi...
Kini mereka saling berhadapan, Parno dengan pipi kanan bengkak dan lengan kiri berdarah berdiri memandang Parmadi dengan kagum. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemuda yang telah menghalangi dia melarikan Sarti itu memiliki kesaktian yang sedemikian hebatnya. Bukan saja mampu mengalahkan Gandarwo yang dianggapnya digdaya, bahkan mampu merobohkan tujuh orang kawannnya secara demikian mudahnya. Padahal pemuda itu hanya bertangan kosong!
Di lain pihak Parmadi juga memandang Parno sambil tersenyum senang karena sikap pemuda yang menentang para pengeroyok itu saja sudah menunjukkan bahwa pemuda ini pada dasarnya memang berwatak gagah. Sementara itu, delapan orang yang terkena tamparan tangan Parmadi masih mengeluh kesakitan.
"Aduh... ampun..."
"Tobat..."
"Denmas... ampuni kami...!" Gandarwo juga mengeluh karena tubuhnya terasa nyeri bukan main, seperti ditusuk-tusuk jarum disebelah dalam. Parmadi merasa kasihan dan dia pun menghampiri mereka. Satu demi satu dia tepuk dan raba. Seketika orang-orang itu sembuh. Yang terakhir disembuhkan adalah Gandarwo sendiri. Setelah pundaknya ditotok dan tengkuknya diurut, lenyaplah rasa nyeri yang menyiksanya. Jagoan gundul itu bangkit berdiri dan membungkuk terhadap Parmadi.
"Denmas Seruling Gading, terima kasih dan maafkan kami," katanya dengan sikap merendah.
"Tidak ada apa-apa di antara kita. Kalau hendak minta ampun, mintalah ampun kepada Gusti Allah. Bertaubatlah dan mulai saat ini, jangan lagi bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuatan dan kekerasan."
Gandarwo mengangguk-angguk. "Kami mohon pamit, denmas."
"Pergilah," kata Parmadi. Gandarwo menoleh kepada Parno.
"Parno, mari kita pergi," kata jagoan berkepala gundul itu.
"Tidak!" seru Parno dengan marah. "Mulai sekarang aku tidak sudi berdekatan dengan kalian lagi. Kalian membikin malu, bersikap pengecut dan main keroyokan. Aku bukan kawan kalian lagi!"
"Mari kita pergi!" kata Gandarwo kepada tujuh orang muridnya dan mereka lalu mendorong perahu-perahu mereka kesungai, naik perahu dan mendayung perahu mereka pergi dari situ.
Kini Parno kembali berhadapan dengan Parmadi. "Parno, kenapa engkau tidak ikut mereka? Bukankah mereka itu teman-temanmu yang baik yang selama ini memberi banyak kesenangan padamu?" kata Parmadi sambil mengamati wajah yang pipinya membengkak itu dengan penuh perhatian.
Parno menggeleng kepala. "Tidak! Baru sekarang aku menyadari. Mereka itu palsu dan curang, main keroyokan, memalukan sekali. Mereka bukan orang-orang gagah seperti yang kukira selama ini. Sebaliknya andika, ah, andika seorang satria yang sakti mandraguna. Mataku seperti telah menjadi buta selama ini."
"Bagus, aku senang sekali melihat engkau tadi menentang mereka dan kini engkau menyadari. Parno, justru pergaulanmu dengan mereka itulah yang merusakmu sehingga engkau suka berkeliaran dengan mereka, bermain judi, mabok-mabokan, malas bekerja. Kalau kau lanjutkan, akhirnya engkau akan terjerumus ke dalam perbuatan jahat dan sewenang-wenang seperti mereka, menjadi penjahat. Inilah yang membuat Sarti menjauhkan diri darimu karena kalau engkau terus tersesat seperti itu, engkau tidak akan menjadi suami yang baik dan ia akan menjadi isteri yang menderita sengsara. Ia mencintamu dengan hati tulus, Parno, bukan cinta yang hanya terdorong nafsu berahi semata. Ia ingin engkau bertaubat, ingin melihat engkau kembali ke jalan benar. Kenapa engkau menyia-nyiakan cinta murni seorang gadis bijaksana seperti Sarti?"
"Aku... akupun amat mencintanya..." kata Parno.
"Kalau begitu, mengapa tidak kau tunjukkan cintamu itu secara benar? Kenapa tidak kau tunjukkan kepadanya bahwa engkau mampu bertaubat, mampu mengubah jalan hidupmu yang tadi tersesat itu? Tunjukkanlah bahwa engkau mampu menjadi seorang calon suami yang baik. Aku yakin ia akan menantimu dengan setia."
"Aku... aku akan menuruti nasihatmu. Aku sudah menyadari, aku akan bertaubat dan menjadi seorang petani yang rajin dan baik, seperti dulu sebelum aku berkawan dengan gerombolan tadi. Aku... aku minta maaf dan berterima kasih kepadamu, denmas.."
"Hemm, aku bukan denmas, akan tetapi aku girang sekali melihat sikapmu ini, Parno. Nah, cepatlah engkau kembali ke dusunmu dan buktikan janjimu tadi. Semoga engkau akan dapat hidup berbahagia dengan Sarti, ia seorang gadis yang amat baik dan kakeknya juga seorang yang amat bijaksana. Engkau seorang yang beruntung, Parno. Sekarang aku harus melanjutkan perjalananku. Selamat berpisah dan sampaikan salamku kepada Sarti dan hormatku kepada Kyai Brenggol Sidhi!"
Parno terkesima memandang pemuda yang membuatnya terpesona dan kagum itu mendorong perahunya ke air kemudian perahu itu terbawa arus air dan meluncur ke timur. Sikap, sepak terjang dan ucapan Parmadi telah menggugah hatinya, telah membuatnya sadar betul akan kesesatannya yang lalu. Setelah perahu makin menjauh dan mengecil akhirnya lenyap dari pandangannya, Parno menghela napas panjang lalu memutar tubuh dan melangkah pergi.
"Sarti... maafkan aku, Sarti...?" Dia mengeluh dan melangkah dengan cepat, hatinya dipenuhi harapan.
********************
Seperti telah diceritakan di bagian awal kisah ini, Ki Bargowo, Ketua Perkumpulan Welut Ireng, ketika bertemu dengan Ki Harya Baka Wulung di puncak Gunung Lawu, telah terbunuh oleh tokoh sakti datuk dari Madura itu. Anak buah perkumpulan Welut Ireng yang kehilangan pimpinan itu menjadi cerai berai dan mereka tidak mampu mempertahankan sarang mereka ketika Wiroboyo dan kawan-kawannya menyerbu perkampungan mereka di lereng Gunung Wilis itu. Mereka terpaksa meninggalkan perkampungan itu karena mereka tidak sudi menyerah dan menjadi anak buah orang-orang yang memusuhi Mataram itu.
Demikianlah, bekas perkampungan Welut Ireng itu kini diambil alih oleh Wiroboyo yang mendirikan perkumpulan Klabang Wilis di lereng Gunung Wilis itu. Seperti telah diceritakan Tumenggung Jatisurya, senopati Ponorogo itu, kepada Muryani, kini Wiroboyo telah menjadi murid Wiku Menak Koncar, datuk dari Blambangan yang sakti mandraguna itu.
Setelah menerima gemblengan Wiku Menak Koncar, Wiroboyo menjadi semakin tangguh dan sakti. Dia menjadi Ketua Klabang Wilis, dibantu Warok Surosingo, yaitu adik mendiang Warok Surobajul dan Darsikun, kakak seperguruannya yang pernah selama lebih dari setahun menerima gemblengan dari Harya Baka Wulung. Wiroboyo mengumpulkan gerombolan sesat di sekitar daerah Gunung Wilis untuk dijadikan anak buahnya. Juga Wiku Menak Koncar yang menjadi gurunya masih berada di perkampungan Klabang Wilis.
Pada suatu hari, pagi-pagi Wiku Menak Koncar duduk bercakap-cakap dengan Ki Wiroboyo. Bekas demang Dusun Pakis ini sekarang tampak lebih gagah daripada dahulu ketika masih menjadi demang. Tubuhnya tinggi besar mengenakan pakaian ringkas serba hijau sebagai tanda bahwa ia adalah Ketua Klabang Wilis. Semua anak buah Klabang Wilis mengenakan pakaian hijau. Kumisnya masih tebal, sekepal sebelah dan dalam usia empat puluh lima tahun itu rambutnya sudah bercampur uban.
Ketiga orang isterinya yang dahulu sudah diceraikan semua dan kini dia mempunyai seorang isteri baru yang masih muda belia. Wiku Menak Koncar yang duduk di depannya kini sudah berusia enam puluh enam tahun. Tubuhnya sedang dan wajahnya tidak tampak tua karena kulitnya yang hitam arang. Pakaiannya mewah, sepasang matanya sipit dan hidungnya pesek bibirnya tebal. Wajahnya yang tidak tampan itu tidak menyembunyikan kenyataan bahwa dia seorang sakti karena sepasang matanya mencorong mengeluarkan sinar yang penuh wibawa.
"Wiroboyo, sekarang tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam kepada musuh besarku seperti yang pernah kuceritakan padamu," kata Wiku Menak Koncar dengan suara kecil seperti suara perempuan.
"Maksud bapa Wiku, orang yang bernama Harjodento, ketua perguruan Nogodento itu?" tanya Ki Wiroboyo.
"Benar, kurang lebih sebelas tahun yang lalu, si Harjodento itu telah membunuh kakang Klabangkolo, kakak seperguruanku. Karena Harjodento mempunyai banyak murid di perguruan Nogodento sampai sekarang aku belum sempat membalas dendam kematian kakang Klabangkolo. Akan tetapi sekarang ada engkau dan anak buahmu dan musuh besar itu berada tak jauh dari sini. Selama ini aku bersabar untuk menanti saat terbaik dan mengajarkan ilmu kepadamu. Sekarang kulihat engkau sudah cukup kuat dan engkau dapat membantu aku membalas dendam. Kita serbu Nogodento dan akan kubunuh si Harjodento!"
"Akan tetapi bapa Wiku belum menceritakan mengapa dan bagaimana pembunuhan atas diri kakak seperguruan bapa itu terjadi," kata Wiroboyo.
"Hemm, si Harjodento itu adalah sorang yang membantu Mataram dan ketika itu terjadi pertempuran antara orang-orang yang setia kepada Mataram melawan orang-orang dari daerah yang akan ditundukkan Mataram. Kakang Klangbangkolo menentang Mataram dan dia terbunuh oleh tombak Harjodento si keparat!"
"Baik bapa, saya akan mengerahkan anak buah dan ikut membantu bapa menyerbu perguruan Nogodento," kata Wiroboyo yang hendak membuktikan bahwa dia adalah seorang murid yang setia.
"Tidak perlu semua anak buah diajak. Sebaiknya panggil Darsikun dan Warok Surosingo ke sini untuk diajak berunding," kata Wiku Menak Koncar.
Wiroboyo bertepuk tangan tiga kali dan seorang anak buah berlari memasuki ruangan itu memenuhi tanda panggilan ketuanya.
"Cepat minta kepada kakang Darsikun dan kakang Warok Surosingo untuk datang ke sini, diundang bapa Wiku," kata Wiroboyo. Anak buah itu mengangguk dan cepat keluar.
Tak lama kemudian dua orang yang diundang itu memasuki ruangan lalu mereka mengambil tempat duduk berhadapan dengan Wiku Menak Koncar. Darsikun yang bertubuh tinggi kurus itu duduk di sebelah kiri Ki Warok Surosingo yang bertubuh pendek akan tetapi kekar berotot, Mereka berdua memandang kepada Wiroboyo dengan mata bertanya,
"Adi Wiroboyo, ada keperluan apakah andika memanggil kami?" tanya Ki Darsikun.
"Bapa Wiku yang mengundang kalian berdua. Saya persilakan bapa Wiku yang memberi penjelasan kepada kalian," kata Wiroboyo.
"Begini, Darsikun dan Surosingo," kakek bermuka hitam itu berkata. "Aku dan Wiroboyo akan pergi menyerbu perguruan Nogodento dan membunuh ketuanya yang menjadi musuhku. Kami akan membawa anak buah Klabang Wilis, akan tetapi tidak semua. Cukup lima puluh orang saja. Sisanya tinggal di sini dan kalian berjagalah di sini memimpin mereka selagi Wiroboyo pergi."
"Bapa Wiku, saya pernah mendengar bahwa perguruan Nogodento di daerah Ngawi itu amat kuat dan ketuanya kalau tidak salah bernama Ki Harjodento yang terkenal sakti mandraguna. Karena itu, ijinkanlah saya ikut pergi membantu," kata Warok Surosingo.
"Tidak perlu, Surosingo. Aku sendiri sudah cukup untuk membunuh Harjodento. Wiroboyo dan anak buah Klabang Wilis kuajak untuk menghadapi pengeroyokan anak buah Nogodento. Engkau dibutuhkan di sini karena selagi Wiroboyo pergi, perkampungan Klabang Wilis ini harus dijaga. Engkau dan Darsikun bersama sisa anak buah yang bertanggung jawab untuk keamanan di sini," kata Wiku Menak Koncar.
Dua orang itu mengangguk menyetujui. Wiroboyo lalu membuat persiapan. Dia memilih lima puluh orang anak buah dan memerintahkan mereka mempersiapkar diri dan membawa senjata. Setelah semua siap, berangkatlah rombongan itu menuruni lereng Gunung Wilis menuju ke perguruan pencak silat Nogodento yang berada di tepi Bengawan Solo di daerah Ngawi. Ki Darsikun dan Warok Surosingo tinggal di perkampungan Klabang Wilis bersama sisa anak buah yang berjumlah sekitar tiga puluh orang.
Beberapa jam setelah rombongan Wiku Menak Koncar pergi, tampak seorang wanita muda berjalan seorang diri mendak Gunung Wilis. Matahari telah naik tinggi Gadis cantik jelita yang dengan langkah tegap dan tangkas berjalan mendaki lereng Gunung Wilis itu bukan lain adalah Muryani! Seperti kita ketahui, Muryani mendapat keterangan dari senopati Ponorogo yaitu Tumenggung Jatisurya bahwa kini Wiroboyo menjadi Ketua Perkumpulan Klabang Wilis yang sarangnya berada dekat puncak Gunung Wilis.
Mendengar ini, dara perkasa ini segera berangkat meninggalkan Ponorogo menuju ke Gunung Wilis dan siang hari ini ia mendaki gunung itu. Perjalanan mendaki gunung bagi seorang yang tidak mengenal medan, bukan merupakan pekerjaan mudah. Namun dara perkasa ini menggunakan kepandaiannya dan ia dapat mendaki dengan cepat. Ia bersemangat sekali untuk mencari orang yang telah membunuh ayahnya.
Bagi orang biasa yang tidak mengenal daerah Gunung Wilis, tentu akan sukar menemukan perkampungan Klabang Wilis. Akan tetapi tidak demikian bagi seorang dara perkasa yang sakti mandraguna seperti Muryani. Dengan ilmu berlari cepat dan meringankan tubuh, ia dapat berloncatan seperti seekor kijang, dapat mengayun tubuh dari pohon ke pohon seperti seekor kera dan melakukan pendakian cepat sekali.
Jurang dan tebing curam tidak dapat merintanginya, juga bukit yang terjal dapat didakinya dengan mudah. Akhirnya tibalah ia di depan pintu pagar perkampungan Klabang Wilis. Dua orang laki-laki muda berpakaian serba hijau segera berlari-lari dari dalam menyambut gadis yang berdiri di luar pintu pagar itu. Mereka berdua tertegun melihat bahwa yang datang adalah seorang gadis yang cantik jelita.
Seorang gadis yang bertubuh ramping padat dalam usia dua puluh satu tahun, bagaikan bunga sedang mekar. Wajahnya bulat dengan dagu runcing sehingga tampak manis. Sepasang alis hitam dan kecil panjang melengkung melindungi sepasang mata bintang yang jeli dan bersinar tajam dihias bulu mata lentik. Hidungnya mancung kecil dan sepasang bibirnya merah membasah dan menggairahkan. Kulitnya putih kuning mulus.
Dua orang anak buah Klabang Wilis itu terpesona, merasa seolah melihat seorang bidadari yang tiba-tiba berada di depan pintu pagar perkampungan mereka Biarpun hati mereka terangsang dan timbul keinginan untuk menyapa dan menggoda dara jelita itu, namun mereka berdua meragu dan tidak berani lancang Siapa tahu dara ini masih sanak dekat Ki Wiroboyo, atau Ki Darsikun atau juga Warok Surosingo. Lebih-lebih kalau dara itu masih sanak Wiku Menak Koncar.
Mereka berdua tentu akan celaka kalau berani menggoda gadis yang menjadi sanak keluarga para pimpinan itu. Karena itu, mereka menghampiri dan seorang dari mereka bertanya dengan sikap sopan walaupun pandang matanya seolah melahap semua kecantikan itu.
"Andika siapakah dan andika datang ke sini hendak mencari siapa?"
Muryani tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya ia malah bertanya, "Apakah ini sarang perkumpulan Klabang Wilis?"
Dua orang anak buah Klabang Wilis itu saling pandang dan seorang dari mereka menjawab, "Benar, ini adalah perkampungan kami, Perguruan Klabang Wilis."
"Dan siapakah ketuanya? Apakah Ki Wiroboyo?" Muryani bertanya lagi.
Dua orang anak buah Klabang Wilis itu menduga bahwa gadis ayu ini tentu masih kerabat ketua mereka, maka mereka makin tidak berani bersikap kasar atau kurang ajar. "Benar sekali. Ki Wiroboyo adalah ketua kami. Apakah andika sanak keluarga beliau yang datang berkunjung?"
Muryani memandang tajam kepada dua orang itu. "Dan kalian tentu anak buah Klabang Wilis, bukan?"
"Benar, kami berdua adalah murid Klabang Wilis!" Dua orang itu mengaku dengan suara mengandung kebanggaan. Akan tetapi pada saat itu, tubuh Muryani bergerak kedepan dengan kecepatan yang luar biasa. Dua orang itu bahkan sama sekali tidak menyadari bahwa mereka di serang. Tahu-tahu mereka telah terpelanting roboh dalam keadaan pingsan!
Pada saat itu, tiga orang murid Klabang Wilis lain yang berada tidak jauh dari pintu pagar melihat robohnya dua orang teman mereka. Mereka terkejut dan segera berteriak-teriak memberi tanda bahaya. Bermunculanlah para murid lain dan tiga puluh lebih anak buah Klabang Wilis kini memenuhi pekarangan yang luas itu, mengepung Muryani yang sudah memasuki pekarangan dengan sikap tenang.
Tiga puluh orang lebih itu marah sekali melihat dua orang kawan mereka menggeletak diatas tanah tak bergerak seperti sudah tewas. Mereka sudah mencabut senjata mereka masing-masing, ada yang memegang klewang, ada yang mencabut pedang atau keris, dan ada pula yang membawa ruyung. Akan tetapi sebelum mereka bergerak menyerang karena mereka agak ragu melihat betapa orang yang dianggap membikin kacau itu ialah seorang gadis yang demikian ayu, tiba-tiba terdengar bentakan.
"Tahan semua senjata!" Mengenal suara ini, para murid Klabang Wilis membuka jalan dan muncullah Warok Surosingo yang bertubuh pendek kekar itu. Dia menghampiri dua orang anggauta Klabang Wilis yang masih menggeletak di atas tanah. Setelah dilihatnya bahwa dua orang itu tidak mati melainkan pingsan, dia lalu menghampiri Muryani dan berdiri berhadapan dengan gadis itu.
Sejenak keduanya saling pandang dan melihat kakek pendek kokoh itu mempunyai sebuah kolor (ikat pinggang) dari lawe yang besar, tahulah Muryani bahwa ia berhadapan dengan seorang warok. Warok Surosingo mengerutkan alisnya dengan marah akan tetapi juga heran melihat orang yang membuat dua orang anggauta Klabang Wilis roboh pingsan dan yang kini dikepung puluhan orang tanpa kelihatan takut itu hanyalah seorang gadis muda yang cantik.
"Nona, siapakah engkau dan mengapa engkau membikin ribut di sini?"
"Panggil Wiroboyo keluar, aku hanya mau bertemu dan bicara dengan dia!" kata Muryani.
"Hemm, aku pembantunya. Katakan apa yang menjadi keperluanmu hendak bertemu dengan Ki Wiroboyo?"
Muryani tersenyum. "Keperluanku? Aku hendak membunuhnya!"
Mendengar ucapan ini, tentu saja Warok Surosingo dan semua anak buah Klabang Wilis terkejut dan marah sekali. Akan tetapi Warok Surosingo tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, engkau ini bocah ayu sungguh lancang mulut! Engkau hendak membunuh Ki Wiroboyo? Ha-ha-ha! Apa yang kau andalkan? Dengan adanya aku, Warok Surosingo di sini, tak seorangun dapat berbuat sesuka hati. Bocah ayu, sebaiknya engkau menyerah untuk kelak kuhadapkan ketua kami. Engkau telah mendatangkan keributan, merobohkan dua orang anggota kami!"
"Warok Surosingo, kalau engkau hendak menghalangi, engkaupun akan kuhajar!" bentak Muryani.
Si pendek itu membelalakkan mata dan membuka mulutnya tertawa. "Ha-ha-ha, kalian dengar itu, kawan-kawan? Bocah ayu ini hendak menghajar aku!"
Mereka semua tertawa karena merasa lucu. Seorang gadis muda cantik jelita yang kelihatan ringkih seperti itu hendak menghajar Warok Surosingo yang digdaya?
Muryani mengerutkan alisnya melihat betapa semua orang mentertawakannya. Tiba-tiba ia memutar tubuh, mengerahkain tenaga dan mendorongkan telapak tangan kirinya ke arah sebatang pohon yang tumbuh di depannya. Jarak antara ia dan pohon itu sekitar dua meter. Angin bersiutan menyambar ke arah pohon itu.
"Wuuuttt krakkkkk....!" Pohon sebesar pinggang manusia itu patah dan tumbang!
"Oohhhhh !" Banyak mulut itu ternganga mengeluarkan seruan keget ini.
"Warok Surosingo, kalau engkau membela Wiroboyo, engkau akan tumbang seperti pohon itu!" kata Muryani sambil bertolak pinggang menghadapi jagoan pendek kokoh itu.
Surosingo adalah seorang warok, seorang jagoan kawakan yang digdaya. Melihat demonstrasi yang dipamerkan Muryani tadi, tahulah dia bahwa gadis itu bukan orang sembarangan dan gertakannya bukan sambal belaka. Akan tetap tentu saja dia tidak gentar karena dia sendiri juga seorang gemblengan yan memiliki kesaktian. Dia tidak ingin dipandang rendah dan ditertawakan para anggota Klabang Wilis.
Maka mendengar ucapan Muryani tadi, dia segera memutar kolornya yang panjang dan besar sehingga senjata istimewa yang diputar-putar itu mengeluarkan suara bersiutan. "Bocah sombong! Engkaulah yang akan tumbang oleh pusakaku ini!" katanya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang ke depan dan kolornya berubah menjadi gulungan sinar kuning yang menyambar ke arah dada Muryani.
Melihat sikap warok yang menyerangnya dengan senjata pusakanya padahal ia sendiri bertangan kosong itu, Muryani sudah dapat menilai bahwa warok itu bukan seorang yang berwatak gagah dan hal ini sudah menunjukkan bahwa kepandaiannya tentu belum seberapa. Dia masih berwatak sewenang-wenang dan licik. Bagaimanapun juga, sambaran senjata pusaka kolor itu bukan tidak berbahaya. Muryani cepat mengelak ke belakang dan sambil memutar tubuhnya, ia balas menyerang dengan tamparan tangannya yang mengandung Aji Gelap Sewu.
Karena dara perkasa itu mengerahkan Aji Kluwung Sakti, maka gerakannya cepat sekali, tubuhnya menjadi ringan dan saking cepatnya ia bergerak, tubuh itu seolah berubah menjadi bayangan. Hampir saja pelipis Warok Surosingo terkena tamparan. Warok itu terkejut setengah mati. Gerakan gadis itu demikian cepat sehingga sukar dia mengikuti dengan pandangan matanya. Bagaikan seekor burung srikatan, gadis itu berkelebatan di sekeliling dirinya. Warok Surosingo menyerang bertubi-tubi dengan ngawur. Ujung kolornya menyambar-nyambar ke arah bayangan yang berkelebatan itu, namun tak pernah mengenai sasaran.
Tiba-tiba kaki kiri Muryani mencuat dan dapat mencuri bagian yang kosong. "Wuuuttt bukkkk!" perut yang gendut itu tercium kaki yang mungil itu. Tampaknya tidak terlalu kuat tendangan dari samping itu. Akan tetapi ternyata tubuh Warok Surosingo gelayaran (terhuyung-huyung) lalu terpelanting dan terguling-guling.
Namun agaknya tendangan itu tidak cukup kuat sehingga dia mampu melompat bangkit lagi, walaupun napasnya agak terengah dan mulutnya menyeringai menahan rasa nyeri dan mulas dalam perutnya. Biarpun dia sudah melindungi perutnya dengan aji kekebalan tetap saja perutnya terasa mulas karena terguncang oleh kekuatan dahsyat yang terkandung dalam tendangan kaki mungil tadi.
Melihat Warok Surosingo roboh tertendang, para anggota Klabang Wilis menjadi terkejut dan marah. Mereka lalu maju mengepung dengan senjata siap ditangan. Warok Surosingo juga tidak menghalangi karena diapun mulai merasa jerih terhadap dara yang ternyata sakti mandraguna itu. Muryani hanya berdiri bertolak pinggang dan tersenyum melihat pengepungan mereka.
Pada saat itu terdengar teriakan seseorang. "Heii, kawan-kawan! Jangan membunuh gadis itu. Mari kita menangkapnya hidup-hidup karena ketua kita menginginkan gadis ini?"
Seorang laki-laki tinggi kurus berusia lima puluhan tahun lebih muncul dan melihat orang ini, Muryani segera teringat bahwa orang itu adalah orang yang dulu bersama Wiroboyo telah menjatuhkannya dan menangkapnya. Untung pada waktu itu ia ditolong oleh Nyi Rukmo Petak yang kemudian menjadi gurunya selama empat tahun. Melihat musuhnya ini, Muryani menjadi marah. Memang orang ini yang dicarinya, orang ini dan Wiroboyo.
"Jahanam busuk, kebetulan engkau berada di sini!" bentaknya dan langsung saja tubuh Muryani menerjang ke arah Darsikun dengan pukulan dahsyat sekali karena dia telah menggunakan aji pukulan Gelap Sewu yang tadi telah menumbangkan sebatang pohon. "Wuuuttt...!" Darsikun yang kini telah menjadi semakin tangguh setelah menerima gemblengan Ki Harya Baka Wulung selama hampir dua tahun, mengenal pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga dalam yang ampuh. Dia cepat menghindarkan diri dengan elakan ke kanan dan lengannya menyambar ke depan untuk mencengkeram pundak kiri gadis itu.
Namun Muryani juga sudah mengelak dengan cepat. Pada saat itu, Warok Surosingo sudah menubruk dari belakang. Juga para anggauta Klabang Wilis sudah berlomba untuk menyergap dan meringkus gadis itu. Agaknya mereka semua berlomba untuk dapat meringkus dan mendekap tubuh ranum menggairahkan itu. Akan tetapi dengan trengginas Muryani menggerakkan tubuh berkelebatan di antara para pengeroyoknya, kedua tangan dan kedua kakinya menyambar-nyambar dan berturut-turut empat orang anggota Klabang Wilis terpelanting dan roboh terbanting keras tak mampu bangkit kembali karena menderita tulang patah atau otot terkilir!
Melihat ini, para anak buah Klabang Wilis terkejut. Muryani tidak berhenti sampai di situ saja. Ia terus berkelebatan, sukar sekali untuk dapat ditangkap karena tubuhnya seolah telah berubah menjadi bayangan. Kembali serangkaian serangannya membuat empat orang lain terjungkal! Melihat ini, Darsikun terkejut sekali. Gadis ini tidak seperti empat tahun yang lalu! Sekarang ia memiliki gerakan yang luar biasa cepatnya dan dia teringat akan nenek berambut putih yang dulu mengalahkan dia dan Wiroboyo.
Dia dapat menduga bahwa tentu gadis yang membuat Wiroboyo tergila-gila itu telah mendapat gemblengan dari nenek berambut putih dan kini merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Dalam beberapa gerakan saja gadis itu telah merobohkan delapan orang pengeroyok, jadi semua sudah sepuluh orang anak buah Klabang Wilis yang roboh dan tidak mampu mengeroyok lagi. Kalau diteruskan, mungkin tak lama lagi semua anak buah Klabang Wilis akan roboh, dan dia harus menghadapi gadis sakti mandraguna itu berdua saja dengan Warok Surosingo. Ah, gadis ini amat berbahaya. Mereka tidak akan menang kalau mencoba untuk menangkapnya hidup-hidup.
"Serang dengan senjata! Bunuh gadis setan ini!" bentak Darsikun dengan suara lantang dan diapun sudah mencabut kerisnya. Warok Surosingo tetap menggunakan senjatanya yang istimewa, yaitu kolornya. Dua puluh orang sisa anak buah Klabang Wilis ketika mendengar perintah ini, bangkit kembali keberanian mereka. Mereka mencabut senjata masing-masing lalu mulai mengeroyok Muryani.
"Mampus kau!" bentak Darsikun dan dia menerjang dengan kecepatan tinggi, kerisnya menusuk ke arah perut gadis itu dan tangan kirinya dari bawah memukul keatas, ke arah muka Muryani. Pukulan tangan kiri itu hebat sekali, bahkan lebih berbahaya daripada serangan kerisnya. Itulah aji pukulan Cantuka Sakti yang dia dapatkan dari Ki Harya Baka Wulung.
Muryani terkejut juga melihat serangan ganda itu. Ia melangkah ke belakang sehingga tusukan keris luput, akan tetapi pukulan tangan kiri itu terus menghantam ke arahnya dengan tenaga pukulan jarak jauh yang dahsyat. Muryani menggerakkan tangan kanannya, dengan Aji Gelap Sewu menangkis. Pukulan tangan kiri Darsikun terpental ketika bertemu dengan hawa pukulan yang menangkis dari tangan kanan gadis itu.
Pada saat itu kolor Warok Surosingo menyambar dari atas, menghantam ke arah kepala Muryani. "Wuuttt... darrr...!" Ujung kolor bertemu dengan tangan kiri Muryani yang menangkis ke atas dan kolor itu terpental. Beberapa batang klewang dan keris sudah datang menyerbu bagaikan hujan ke arah tubuh dara perkasa itu.
"Eiiittt...!" Muryani mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya sudah mencelat ke atas, lalu membuat gerakan jungkir-balik di udara beberapa kali dan turun di luar kepungan. Akan tetapi dua puluh lebih orang anak buah Klabang Wilis, dipimpin Darsikun dan Warok Surosingo sudah mengepungnya lagi dan menyerang dengan ganas. Mereka semua menyerang dengan niat membunuh gadis yang berbahaya itu.
Muryani menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan terkadang menangkis dengan kedua lengannya. Agak repot juga gadis itu karena pengeroyokan banyak orang bersenjata, terutama sekali karena Darsikun ternyata cukup tangguh, dibantu warok yang juga bukan orang lemah itu. Muryani tidak terdesak, akan tetapi iapun menemui kesulitan untuk merobohkan para pengeroknya.
Pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat disusul suara seorang laki-laki mencela. "Puluhan orang laki-laki bersenjata mengeroyok seorang gadis bertangan kosong! Huh, tidak tahu malu!" Setelah berkata demikian, laki-laki itu mengamuk, menendangi mereka yang mengeroyok Muryani. Hebat sekali sepak terjangnya. Terdengar para anak buah Klabang Wilis berteriak kesakitan dan tubuh mereka berpelantingan, roboh dan tidak mampu bangkit kembali!
Muryani melihat bahwa pemuda yang membantunya itu bertubuh tinggi tegap tidak terlalu besar namun dadanya bidang. Wajahnya tampan sekali, dengan kulit putih bersih dan rambutnya agak berombak. Tentu saja ia tidak dapat mengamati dengan jelas dan melihat betapa pemuda itu mengamuk dengan tangkasnya, Muryani menjadi semakin bersemangat dan ia pun mengerahkan kegesitan dan tenaganya untuk merobohkan para pengeroyok sebanyak mungkin. Dua orang muda itu kini seakan berlomba cepat merobohkan para pengeroyok!
Warok Surosingo dan Darsikun kaget bukan main melihat munculnya pemuda asing yang merobohkan banyak anak buah itu. "Keparat! Engkau sudah bosan hidup!" bentak Warok Surosingo dan dia pun menerjang dengan kolornya. Kolor itu berubah menjadi sinar kuning menyambar ke arah dada pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak merasa gentar, bahkan dia membusungkan dadanya menyambut hantaman pusaka berupa kolor lawe berwarna kuning itu.
"Wuuuuttt... darrrr...!" Kolor itu ujungnya seperti meledak bertemu dengan dada yang bidang, akan tetapi pemuda itu tidak tergetar sedikitpun juga, bahkan secepat kilat dia menangkap ujung kolor dan sekali tangannya menyentak kuat, tubuh pendek gendut Warok Surosingo yang berat itu terlontar ke atas! Warok itu mengeluarkan teriakan kaget dan tubuhnya meluncur turun, pemuda itu memapakinya dengan pukulan tangan terbuka.
"Wuuuuttt...dessss!!" Tubuh warok itu terlempar dan roboh tak dapat bangkit kembali, dari mulut, hidung, telinga dan matanya mengalir darah. Dia tewas seketika. Pemuda itu melanjutkan amukannya, merobohkan para pengeroyok dan tinggal beberapa orang saja itu. Muryani juga tidak mau kalah. Gadis ini mengamuk dan akhirnya semua anak buah Klabang Wilis yang membantu Darksikun dan ikut mengeroyoknya telah roboh satu demi satu.
Kini tinggal Darsikun seorang yang masih melawan mati-matian, menggunakan kerisnya. Namun gerakan Muryani yang luar biasa cepatnya itu membuat Darsikun terdesak hebat walaupun gadis itu bertangan kosong saja. Serangan keris Darsikun tak pernah mengenai sasaran karena lawannya sukar sekali diserang, berkelebatan seperti bayang-bayang. Bahkan sebaliknya, Darsikun terdesak karena dia merasa seolah diserang oleh lawan yang bertangan banyak. Darsikun menjadi panik dan mulai ketakutan melihat betapa semua anak buah Klabang Wilis yang berjumlah tiga puluh orang lebih itu, termasuk Warok Surosingo, telah roboh!
Pemuda sakti yang datang membantu Muryani itu kini berdiri menonton pertandingan antara dia dan Muryani. Darsikun maklum bahwa keadannya berbahaya sekali, akan tetapi dia tidak melihat jalan untuk melarikan diri. "Hyaaattt !!" Sambil mengerahkan seluruh tenaganya, Darsikun menyerang ke arah bayangan di depannya. Kerisnya meluncur cepat ke arah dada Muryani. Akan tetapi seperti juga tadi, kerisnya mengenai tempat kosong dan sebelum dia dapat menarik kembali senjatanya, dari samping tangan kanan Muryani menepis dengan bacokan tangan miring kearah pergelangan tangan kanan Darsikun yang memegang keris.
"Dukk!!" Darsikun mengeluarkan seruan tertahan. Dia merasa tulang pergelangan tangannya seperti remuk dan tak dapat dicegah lagi keris yang dipegangnya terlepas dan mencelat. Cepat dia melangkah ke belakang lalu mengerahkan seluruh tenaganya untuk memukul dan mendorong ke depan dengan kedua tangan terbuka. Tubuhnya berjongkok rendah dan ketika dia mendorongkan kedua tangannya, ada hawa pukulan yang dahsyat menyambar ke depan.
"Ciaaattt...!" Itulah aji pukulan Cantuka Sakti yang dia pelajari dari Ki Harya Baka Wulung. Biarpun aji pukulan itu belum dikuasainya sepenuhnya, namun dia sudah dapat memukul dengan hebat sekali. Pukulan jarak jauh ini mampu merobohkan lawan dalam jarak tiga meter. Kini jarak antara Darsikun dan Muryani kurang dari dua meter, maka dapat dibayangkan betapa dahsyat dan berbahayanya pukulan yang dilakukan Darsikun yang sudah menjadi nekat itu.
Begitu Darsikun berjongkok rendah. Muryani sudah menduga bahwa lawannya akan melakukan pukulan ampuh, maka ia pun lalu mengerahkan tenaganya dan ketika lawan memukul dengan dorongan, ia pun mendorongkan kedua tangannya depan, menggunakan Aji Gelap Sewu yang ia pelajari dari Nyi Rukmo Petak selama empat tahun menjadi murid nenek sakti itu.
"Wuuuttt...blarrr!" Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu di udara dan akibatnya, Darsikun terpental dan roboh terguling-guling! Muryani cepat melompat mendekatinya. Ia tadi memang membatasi aji pukulannya karena ia ingin menangkap Darsikun hidup-hidup. Dan ternyata memang belum tewas. Dia menderita luka dalam yang cukup parah sehingga dia tidak mampu melawan lagi. Sambil merintih Darsikun bangkit dan duduk bersila, mengatur pernapasan. Dari ujung bibirnya mengalir darah.
"Hayo mengaku, siapa yang telah membunuh ayahku empat tahun yang lalu itu? Mengaku atau aku akan menyiksamu!" Muryani membentak.
Darsikun maklum bahwa tidak ada harapan lagi baginya untuk dapat lolos dari ancaman maut. Dia tersenyum mengejek dan berkata dengan tegas, "Akulah yang membunuh Ki Ronggo Bangak malam itu atas permintaan Ki Wiroboyo!"
Muryani merasa betapa dadanya panas dan hampir meledak saking menahan marahnya, akan tetapi ia masih dapat menahan diri. Memang hal ini sudah diduganya. Orang yang menyerangnya malam itu memang bertubuh tinggi kurus seperti ini. "Di mana Wiroboyo si jahanam itu sekarang? Hayo katakan atau aku akan menyiksamu sehingga engkau akan mati perlahan-lahan!"
"Ki Wiroboyo kini sedang menyerbu Perguruan Nogodento di Ngawi. Kalau dia berada di sini, jangan harap engkau akan dapat lolos!"
"Jahanam busuk!" bentak Muryani. Akan tetapi pada saat itu, Darsikun menggerakkan kedua tangannya. Muryani menyangka bahwa orang itu akan menggunakan tenaga terakhir untuk menyerangnya, maka ia melangkah mundur. Akan tetapi ternyata Darsikun menggerakkan kedua tangannya ke atas dan menghantam kepalanya sendiri.
"Krakk!" Dia roboh telentang dan tewas seketika dengan kepala retak-retak! Muryani menghampiri seorang anggota Klabang Wilis yang belum tewas yang mengalami patah tulang pundaknya dan merintih-rintih itu menjadi pucat ketakutan ketika Muryani menghampirinya.
"Ampuni saya" katanya lirih.
"Cepat katakan, di mana Perguruan Nogodento itu dan jangan bohong!"
"Di... di tepi Bengawan Solo daerah Ngawi... begitu yang saya dengar... saya sendiri belum pernah ke sana, denajeng..."
Muryani meninggalkan orang itu. Ia melihat pemuda yang tadi membantunya masih berdiri sambil bersedakap memandang kepadanya dengan bibir tersenyum. Ia tidak perduli. Bagaimanapun juga, ia tidak minta pemuda itu membantunya! Muryani lalu masuk rumah besar untuk mencari Wiroboyo. Akan tetapi ia hanya melihat wanita dan kanak-kanak disebuah bangunan yang terdapat di perkampungan itu. Tadinya ia berniat untuk membakar semua rumah, akan tetapi melihat para wanita dan kanak-kanak, diurungkan niatnya.
Mereka tidak bersalah, pikirnya, tidak semestinya menjadi korban. Yang patut dibunuh hanyalah Wiroboyo dan Darsikun tadi, juga mereka yang membantu Wiroboyo. Anak buah Klabang Wilis itu pun hanya bawahan saja, maka sudah cukup kalau mereka dihajar dan dirobohkan, tidak perlu dibunuh. Setelah melakukan penggeledahan seluruh perkampungan dan tidak menemukan Wiroboyo, dan mendapat keterangan dari isteri Wiroboyo yang masih muda itu bahwa suaminya benar-benar pergi dengan Wiku Menak Koncar dan lima puluh orang anak buah untuk menyerang Perguruan Nogodento di tepi Bengawan Solo di daerah Ngawi, Muryani keluar dari rumah besar itu. Ia telah memeriksa semua rumah di perkampungan itu dan tidak menemukan Wiroboyo, maka cepat-cepat ia berlari keluar dari perkampung itu tanpa memperdulikan pemuda yang tadi telah membantunya!
Dengan mengerahkan Aji Kluwung Sakti, tubuhnya berkelebat cepat dan sebentar saja ia sudah menuruni Gunung Wilis. Ketika ia tiba di lereng gunung ter bawah, Muryani terkejut melihat seorang pemuda duduk diatas batu besar di tepi jalan setapak yang dilaluinya. Pemuda itu bukan lain adalah pemuda tampan yang tadi telah membantunya! Bagaimana mungkin pemuda itu sudah berada di situ? Ia mempergunakan Aji Kluwung Sakti yang membuat ia dapat berlari cepat sekali. Akan tetapi pemuda itu tahu-tahu telah ada di depannya. Ini berarti bahwa pemuda itu dapat berlari lebih cepat daripadanya! Bagaimana mungkin? Pemuda itu duduk bersila dengan kedua tangan bersedakap (bersilang depan dada) seperti orang dalam samadhi!
Akan tetapi Muryan tidak perduli dan ia berlari terus. Ia merasa tidak mempunyai urusan dengan pemuda itu! Kini Muryani mengerahkan seluruh tenaganya menggunakan Aji Kluwung Sakti sehingga tubuhnya bagaikan terbang meluncur menuruni lereng terakhir. Akan tetapi ketika ia tiba di kaki Gunung Wilis dan berada dijalan yang dibuat oleh penduduk daerah itu, tiba-tiba tertegun melihat pemuda yang tadi telah berdiri menghadang di depannya!
Karena pemuda itu berdiri di tengah jalan, sengaja menghadangnya, Muryani mengerutkan alisnya dan memandang marah. "Hei, mau apa engkau menghadang jalananku?" tegurnya ketus.
Pemuda itu tersenyum dan wajahnya sungguh tampan menarik ketika tersenyum. "Nona, kenapa engkau begitu membenciku?"
Muryani mengerutkan alisnya, akan tetapi memandang heran mendengar pertanyaan yang tidak disangka-sangkanya itu. "Siapa membenci siapa? Aku tidak mengenalmu, tidak ada urusan diantara kita, mengapa aku harus membencimu?"
Pemuda itu membungkuk dengan sikap hormat. "Maafkan aku, nona. Akan tetapi kita saling berjumpa di sarang Klabang Wilis dan lereng tadi, nona sama sekali tidak menyapaku, bahkan memandangpun tidak seolah-olah engkau marah dan membenciku."
Ucapan pemuda itu lembut, sama sekali tidak mengandung teguran, hanya memberi alasan mengapa dia menganggap gadis itu membencinya. Muryani menatap tajam wajah pemuda itu. Kini tampak betapa tampan dan menyenangkan wajah yang penuh senyum dan matanya bersinar lembut dan sopan itu. Akan tetapi ia seorang gadis yang keras hati, tidak mau memperlihatkan perasaannya.
"Kenapa aku seorang wanita harus menyapamu? Engkau yang pria juga tidak menyapaku!" jawabnya agak ketus.
"Aahh... begitukah? Akan tetapi, nona, aku telah membantumu menghajar para pengeroyokmu tadi!"
"Hemmm, siapa yang minta? Aku tidak butuh bantuanmu!"
"Ahh.... benar juga. Engkau seorang wanita sakti mandraguna, tidak dibantu juga engkau akan dapat menghajar mereka semua. Maafkan kelancanganku, nona. Baiklah sekarang aku tidak mengaku telah membantumu, hanya, aku penasaran melihat banyak laki-laki mengeroyok seorang wanita, maka karena penasaran dan marah aku lalu menerjang mereka. Sekali lagi, harap engkau sudi memaafkan aku, nona."
Muryani merasa tidak enak juga hatinya melihat pemuda itu berulang minta maaf dan mengaku salah. Padahal, andaikata ia tidak kalah sekalipun, namun harus ia akui secara diam-diam bahwa pengeroyokan demikian banyaknya orang tadi membuat ia repot dan agak kewalahan. Sesungguhnya bantuan pemuda itu tadi menguntungkan dirinya.
"Sudahlah, lupakan saja. Hanya lain kali kalau ingin membantu orang, katakanlah lebih dulu," kata Muryani dan wajahnya tidak cemberut lagi, bahkan suaranya juga lembut dan sedikit senyuman membayang di bibirnya yang manis.
Melihat ini, pemuda itu kembali membungkuk dengan sikap hormat dan wajahnya berseri gembira. "Ah, terima kasih, nona. Sejak tadi akupun sudah yakin bahwa engkau adalah seorang dara perkasa yang bijaksana. Aku akan merasa bangga dan berbahagia kalau nona sudi berkenalan dengan orang hina dan bodoh macam saya. Nona, nama saya adalah Satyabrata, seorang pengembara berasal dari Cirebon. Bolehkan saya mengetahui siapa nama nona yang mulia?"
Menghadapi sikap dan ucapan yam lembut dan penuh kesopanan itu, Muryani merasa tidak enak kalau bersikap keras. Ia mulai tersenyum dan menjawab, "Aku bernama Muryani berasal dari lereng Gunung Lawu."
"Nama yang indah sekali. Bagaimana aku harus menyebutmu? Denajeng Muryani, begitukah?"
"Ah, aku bukan puteri bangsawan. Sebut saja Muryani," kata Muryani yang pada dasarnya memiliki watak yang ramah dan sama sekali tidak angkuh.
"Baiklah, karena aku yakin bahwa aku jauh lebih tua darimu, usiaku sudah dua puluh enam tahun, maka kalau engkau tidak keberatan, aku akan menyebutmu diajeng Muryani. Bagaimana?"
"Sesukamulah, bagiku sama saja."
"Nah, diajeng Muryani, setelah kita berkenalan dan kalau engkau sudi menganggap aku sebagai sahabat, mari kita bicara tentang niatmu melakukan pengejaran terhadap orang yang bernama Wiroboyo ketua Klabang Wilis itu."
"Hemm, kakangmas Satyabrata, apa hubungannya niatku itu denganmu? Aku melakukan pengejaran terhadap musuh besarku, kurasa tidak ada sangkut-pautnya denganmu." Muryani terpaksa menyebut pemuda itu kakangmas, karena pemuda itu menyebutnya diajeng.
Satyabrata girang bukan main mendengar sebutan itu. Pemuda ini sejak dewasa, beberapa tahun yang lalu ketika dia belum menemukan ilmu-ilmu yang hebat di sumur, ketika dia masih ikut dengan Willem Van Huisen perwira kumpeni Belanda sebagai anak angkatnya, telah merupakan seorang pemuda petualang cinta. Banyak wanita yang tergila-gila kepadanya karena dia memang tampan gagah dan pandai membawa diri dan diapun menyambut wanita-wanita yang dianggapnya cantik menarik dengan penuh gairah Satyabrata menjadi seorang pemuda mata keranjang yang suka mengejar dan mempermainkan wanita-wanita cantik.
Maka tidaklah mengherankan jika sekarang, bertemu dengan Muryani, dia seketika menjadi tergila-gila. Bukan hanya kecantik jelitaan Muryani yang membuat dia tergila-gila, terutama sekali kesaktiannya. Sepak terjang gadis itu ketika mengamuk dikeroyok banyak orang membuat dia terkagum-kagum. Biarpun sudah banyak gadis atau janda yang terkulai dalam pelukannya, namun belum pernah dia mendapatkan seorang kekasih yang memiliki kesaktian seperti Muryani. Dia kagum dan terpesona, dan seketika dia jatuh cinta.
Mendengar ucapan Muryani tadi, Satyabrata tersenyum. "Tentu saja, diajeng. Urusan pribadimu tidak ada sangkut-pautnya dengan aku dan aku juga tidak berhak untuk mencampuri. Akan tetapi maafkan aku, diajeng Muryani. Tadi sebelum meninggalkan sarang Klabang Wilis, aku memaksa seorang anak buah mereka mengaku dan menurut pengakuannya tadi, ketua Klabang Wilis yang bernama Wiroboyo itu pergi menyerang Perguruan Nogodento di tepi Bengawan Solo daerah Ngawi didampingi gurunya yang bernama Wiku Menak Koncar dan membawa anak buah sebanyak lima puluh orang. Berbahaya sekali kalau engkau melakukan pengejaran, diajeng."
"Hemm, aku tidak takut!" kata Muryani.
"Aku tahu, diajeng. Seorang dara sakti mandraguna seperti andika ini sudah tidak takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga dan aku mengagumi keberanianmu. Akan tetapi ketahuilah diajeng Muryani. Aku sudah pernah mendengar tentang kakek yang bernama Wiku Menak Koncar ini. Dia adalah seorang datuk besar dari Blambangan yang benar-benar sakti mandraguna dan merupakan seorang lawan yang tangguh dan berbahaya. Belum lagi Wiroboyo yang telah menjadi murid orang sakti itu, tentu juga memiliki kepandaian yang tinggi dan jangan dilupakan bahwa mereka masih dibantu lima puluh orang anak buah Klabang Wilis."
"Kalau begitu, mengapa?"
"Begini, diajeng. Kita sudah saling berkenalan dan engkau telah kuanggap sebagai seorang sahabat. Karena itu, aku merasa tidak tega membiarkan engkau seorang diri menghadapi lawan yang demikian tangguh dan banyak. Kalau engkau tidak berkeberatan, aku ingin sekali menemanimu dan membantumu menghadapi mereka."
Muryani mengamati wajah pemuda itu dan mempertimbangkan. Pemuda ini meniliki kepandaian tinggi. Hal itu bukan hanya terbukti ketika dia tadi membantunya, akan tetapi juga telah dibuktikan bahwa pemuda itu memiliki ilmu berlari yang lebih cepat daripadanya! Tadi ia suah menggunakan Aji Kluwung Sakti, namun tetap saja pemuda itu dapat tiba di kaki gunung lebih cepat daripadanya. Bantuan pemuda ini tentu saja amat mengntungkan baginya dan pemuda inipun bersikap baik sekali dan bagaimanapun juga, Muryani harus mengakui bahwa diam-diam ia kagum dan tertarik kepada pemuda Cirebon ini. Kalau ia menolak tawaran pemuda itu yang ingin membantunya, ia akan menderita rugi. Kalau ia menerimanya, selain lebih besar harapanya untuk dapat mengalahkan Wiroboyo dan teman-temannya, juga ia akan dapat mengenal pemuda ini lebih baik lagi dan mengamati wataknya.
"Tapi... aku tidak minta bantuanmu, kakangmas Satyabrata," katanya meragu.
Pemuda itu tersenyum. "Aku juga tidak hendak membantumu, diajeng. Aku hanya ingin menentang Wiroboyo dan kawan-kawannya dan karena tujuan kita sama, maka apa salahnya kalau kita melakukan perjalanan bersama?"
"Akan tetapi kenapa engkau menentang mereka?"
"Kenapa? Engkau menentang mereka dan kenyataan itu saja sudah cukup bagiku. Karena engkau menentang mereka maka aku yakin bahwa mereka adalah orang-orang jahat, maka aku ingin menentang mereka."
Setelah berpikir sejenak, membayangkan bahwa tentu akan jauh lebih menyenangkan melakukan perjalanan dengan pemuda yang pandai membawa diri dan sopan santun ini daripada sendirian, Muryani berkata, "Baiklah, kalau engkau ingin melakukan perjalanan bersama, aku tidak keberatan."
Satyabrata girang !sekali. "Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan, diajeng Muryani. Aku mengetahui jalan yang lebih enak, cepat dan tidak melelahkan menuju ke daerah Ngawi."
"Begitukah, kakangmas Satyabrata?"
"Benar, kita dapat mengambil jalan melalui sungai. Di barat sana, tak jauh dari sini, terdapat Kali Ngebel. Kali itu mengalir ke utara melalui Kadipaten Madiun dan terus menuju ke Ngawi. Dengan naik perahu mengikuti aliran sungai Ngebel, kita tidak akan terlalu lelah dan perjananan dapat dilakukan lebih cepat."
Muryani merasa girang. Tidak rugi melakukan perjalanan dengan pemuda ini yang ternyata memiliki pengetahuan luas. Mereka lalu melakukan perjalanan ke arah barat dan menjelang senja tibalah mereka di tepi sebuah sungai. Itulah Kali Ngebel yang mengalir ke utara. Satyabrata mencari perahu. Setelah menemukan perahu milik seorang nelayan, dia lalu membeli perahu itu. Dia membayar mahal dan royal sekali sehingga petani nelayan itu menerima pembayaran dengan gembira. Hal ini menambah rasa suka dalam hati Muryani terhadap pemuda itu.
Setelah mendapatkan perahu, mereka lalu mulai perjalanan mereka ke utara melalui Kali Ngebel, naik sebuah perahu yang beratap sederhana. Malam tiba. Karena malam itu gelap, tiada bulan, Satyabrata tidak berani melanjutkan perjalanan mereka. Berperahu di malam gelap seperti itu berbahaya. Kalau perahunya menabrak sesuatu dalam gelap, perahu kecil itu dapat terbalik. Terpaksa dia menunda perjalanan, mendayung perahu ke pinggir, melompat ke darat dan mengikatkan tali perahu ke sebatang pohon.
"Kita tidak melanjutkan perjalanan kakangmas?" tanya Muryani.
"Tidak mungkin, diajeng. Malam gelap sekali, kita tidak dapat melihat apa-apa didepan kita. Kalau perahu membentur sesuatu, dapat terbalik, berbahaya sekali. Terpaksa kita melewatkan malam di sini. Engkau tidurlah, diajeng, aku akan membuat api unggun ditepi sungai."
Muryani merebahkan diri dalam perahu, dibawah atap anyaman bambu. Ia merasa lelah sekali dan rebah telentang di dalam perahu yang bergoyang-goyang sedikit itu sungguh nyaman, rasanya seperti diayun-ayun. Satyabrata mengumpulkan ranting dan daun kering lalu membuat api unggun di tepi sungai. Akan tetapi matanya sejak tadi memandang ke arah perahu. Pemuda ini merasa jantungnya berdebar-debar. Sejak tadi dia menahan perasaan hatinya. Dia tergila-gila kepada Muryani!
Gairah nafsunya timbul dan kini bernyala, berkobar seperti api unggun yang mulai membesar. Sinar api unggun menerangi sampai ke atas perahu dan dia dapat melihat tubuh gadis itu dari pinggang ke bawah terjulur keluar dari bawah atap. Dia harus menundukkan gadis itu, dia ingin memiliki gadis yang membuatnya tergila-gila itu! Diam-diam Satyabrata lalu mengerahkan tenaga batinnya, memasang Aji Pengasihan Mimi Mintuno.
Hawa yang dingin sejuk semilir ke arah tubuh Muryani yang rebah telentang didalam perahu. Gadis itu belum tidur. Tiba-tiba ia merasa seluruh permukaan kulit tubuhnya merinding, jantungnya berdebar. Gadis itu telah digembleng dengan keras oleh mendiang Nyi Rukmo Petak. Mengalami hal aneh itu ia menjadi waspada. Bulu tengkuknya yang meremang dan rasa dingin sejuk yang dirasakannya merupakan tanda bahwa ada sesuatu yang tidak wajar, sesuatu yang tidak baik dan merupakan tanda bahaya.
Mungkin hal ini terasa karena ia rebah di dalam perahu yang bergoyang-goyang, atau mungkin di tempat yang sunyi ini ada sesuatu yang angker. Tempat-tempat seperti itu memang terkadang dihuni roh-roh penasaran yang suka mengganggu manusia. Maka Muryani segera mengerahkan tenaga batinnya untuk melindungi dirinya dari pengaruh yang tidak wajar.
Melihat betapa setelah beberapa lamanya dia mengerahkan aji Pengasihan Mimi Mintuno namun gadis itu tidak tampak terpengaruh, masih tetap rebah dengan tenang, Satyabrata menghentikan pengerahan aji itu. Dia maklum bahwa Muryani seorang gadis sakti mandraguna Mungkin saja aji pengasihannya tidak cukup kuat untuk mempengaruhinya. Dia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono menghadapi gadis ini.
Kalau sampai ketahuan oleh gadis itu bahwa dia mempergunakan aji pengasihan, tentu gadis itu akan marah dan mengamuk. Dia tidak ingin kehilangan Muryani, tidak ingin gadis itu memusuhi dan membencinya. Dia benar-benar terpikat dan tergi-gila, jatuh cinta seperti yang belum pernah dia alami. Satyabrata lalu mengerahkan tenaga batin untuk memasang aji yang lain sama sekali, kini ia hendak menggunakan aji Penyirepan Begonondo.
Mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, tangan kirinya mengambil tanah, kemudian dia melemparkan tanah itu ke atas atap perahu. Dia mendengar suara berkerotoknya tanah berpasir itu ke atas atap perahu dan menunggu. Tidak terdengar atau tampak gadis itu bergerak. Dia makin memperkuat pengerahan tenaga batinnya untuk membuat gadis itu pulas senyenyak-nyenyaknya.
Setelah merasa yakin bahwa gadis itu benar benar berada dalam pengaruh aji penyirepannya, Satyabrata lalu menambahkan ranting kering pada api unggun sehingga api bernyala lebih besar. Kemudian dia menghampiri perahu dan naik ke perahu. Dia berjongkok dekat tubuh Muryani dan melihat bahwa gadis itu benar-benar telah tidur pulas.
Aji Penyirepannya memang ampuh bukan main. Pernapasan yang panjang lembut dari gadis itu menunjukkan bahwa ia benar-benar tertidur pulas. Sinar api unggun membuat penerangan cukup sehingga dia dapat memandang wajah gadis itu dengan jelas. Muryani tersenyum dalam tidurnya tampak ayu manis menggairahkan. Bibir itu sedikit terbuka penuh tantangan. Tak terasa tangan Satyabrata bergerak menyentuh pundak gadis itu. Sentuhan lembut itu membuat jari-jari tangannya tergetar dan getaran ini menjalar diseluruh tubuhnya, membangkitkan berahi dan gairahnya berkobar-kobar. Akan tetapi ketika perlahan-lahan dia mendekatkan mukanya untuk mencium mulut yang agak terbuka itu, tiba-tiba dia seperti tersentak dan menarik kembali mukanya ke belakang.
"Tidak...! Tidak mungkin aku melakukan ini...!" Dia menampar kepalanya sendiri dan duduk bersila. Dia tidak tega untuk memperkosa Muryani seperti ini! Dia telah jatuh cinta kepada gadis itu, jatuh cinta dengan setulus hatinya. Dia ingin Muryani menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela, dengan tulus, bukan karena terpengaruh aji penyirepan dan aji pengasihan, apalagi bukan karena diperkosa! Dia merindukan balasan cinta kasih Muryani.
"Jangan mengharapkan yang muluk-muluk," suara lain terdengar di kepalanya. "Kalau begitu, engkau tidak akan mendapatkannya, engkau akan kehilangan ia! Ambil saja sekarang dan ia akan menjadi milikmu. Lihat betapa indah mulutnya, betapa indah tubuhnya, betapa mulus kakinya." Bisikan itu membuat gairahnya semakin berkobar membakarnya. Kembali kedua tangannya bergerak ke depan, hendak memegang, memeluk. Akan tetapi seperti juga tadi, kasih sayangnya yang tulus membuat dia tersentak kembali, menarik kedua tangannya, bahkan dia lalu bangkit berdiri.
"Tidak! Tidak boleh! Aku cinta padanya, aku menginginkan cintanya, bukan sekedar tubuhnya!" Dia berkata dan dia melompat keluar dari perahu. Gairahnya masih berkobar, seluruh tubuhnya gemetar dan tidak kuat menahan gelora berahinya. Mukanya menjadi merah sekali dan matanya menjadi liar. Setiap kali menoleh dan memandang ke arah tubuh Muryani diperahu, rasanya ingin dia menubruknya. Akan tetapi selalu ditahannya dan akhirnya Satyabrata tidak kuat bertahan lagi dan dia melarikan diri dari tepi sungai, masuk ke dalam kegelapan malam.
Tak lama kemudian tibalah dia di tempat yang dicari-carinya, yaitu di dalam sebuah dusun. Satyabrata mengintai dari rumah kerumah, mencari-cari. Akhirnya dia menemukan apa yang dia butuhkan dan cari. Dalam sebuah bilik bambu yang sederhana itu dia melihat seorang gadis dusun sedang rebah miring dan tidur pulas. Wajah Satyabrata tampak beringas menakutkan, terutama sepasang matanya yang bersinar-sinar seperti mata seekor harimau dalam gelap.
Dia menemukan apa yang dicarinya. Dengan mudah dia membongkar pintu belakang rumah itu dan menyelinap masuk tanpa mengeluarkan suara gaduh. Dengan mudah dia membuka pintu kamar gadis itu, melangkah masuk dan melihat gadis itu, dia lalu menerkamnya seperti seekor harimau kelaparan menerkam seekor domba! Gadis itu menjerit. Lampu kecil di atas meja, bergoyang-goyang. Seorang laki-laki setengah tua memasuki kamar itu. "Sumi... ada apakah...?" seru laki-laki itu.
Sebuah tamparan menyambut laki-laki lalu. Tamparan yang kuat dan cepat sekali, mengenai pelipisnya dan laki-laki dusun itupun terpelanting roboh, tak bergerak lagi. Satyabrata yang telah merobohkan laki-laki itu lalu kembali menerobos mangsanya yang menggigil ketakutan di atas pembaringan kayu.
Nafsu berahi, seperti segala macam nafsu, apabila terkendali merupakan berkah dan nikmat, akan tetapi sekali lepas kendali, nafsu menjadi alat iblis untuk menyeret manusia ke dalam dosa sehingga manusia berubah menjadi iblis yang kejam dan jahat. Nafsu berahi adalah sesuatu yang indah, bahkan suci bagi sepasang suami isteri yang saling mencinta suci karena selain menjadi pencurahan kasih sayang yang paling mendalam antara dua orang manusia berlawanan ke pelaminan, juga menjadi sarana perkembangbiakan manusia. Akan tetapi, sekali nafsu berahi lepas kendali, menjadi alat iblis untuk memperhamba manusia, maka manusia dapat melakukan segala macam kekejian dan kehinaan sehingga terjadilah perjinaan, pelacuran, perkosaan dan sebagainya.
Pada saat itu Satyabrata sudah bukan manusia lagi, melainkan iblis sendiri yang menguasai dirinya melalui nafsu binatangnya. Satyabrata dapat melakukan kekejian ini karena memang sejak berada di Cirebon dahulu dia sudah terlalu menuruti gairah nafsu berahinya sehingga dia menjadi hamba nafsunya, sering bermain gila dengan gadis, janda atau bahkan isteri orang yang menarik hatinya karena kecantikan wanita itu.
Maka sekarang, ketika gairah nafsunya bangkit karena dia tergila-gila kepada Muryani namun dia tidak tega memperkosa gadis yang benar-benar telah meruntuhkan hatinya itu, gairah nafsunya menuntut pelepasan maka dia lalu mencari korban wanita mana saja asal memiliki daya tarik baginya. Dan gadis dusun yang tak berdosa itulah yang menjadi korban dan mangsanya.
Tak lama kemudian bayangan Satyabrata telah berkelebat di malam gelap, meninggalkan dusun itu, meninggalkan gadis dusun yang menangis sesenggukan, menangisi diri sendiri yang telah ternoda, dan menangisi ayahnya yang telah tewas. Bagaikan setan Satyabrata berjalan menyusuri sungai dalam kegelapan. Kalau ada orang melihatnya, tentu orang itu akan lari ketakutan dan mengira dia setan karena memang tingkahnya tidak seperti manusia.
Dia tertawa-tawa menyeramkan, tertawa penuh kepuasan seperti orang gila. Memang dia bukan manusia waras lagi. Satyabrata telah menjadi tidak waras, pikirannya telah kacau dan miring, dia telah menjadi gila setelah mempelajari semua ilmu di dalam sumur tua, ilmu-ilmu peninggalan mendiang Resi Ekomolo. Kegilaannya memang luar biasa. Dalam keadaan biasa dia bahkan dapat bersikap cerdik dan licik bukan main, pandai membawa diri sehingga tampak sopan santun, lembut dan bijaksana. Akan tetapi saat itu, ketika berjalan menyusuri sungai untuk kembali ketempat di mana dia meninggalkan Muryani dalam perahunya, dia lebih pantas disebut iblis. Suara tawanya saja sudah bukan suara tawa manusia lagi...