Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Seruling Gading Jilid 15
SETELAH tiba di dekat perahu, Satyabrata dapat menguasai dirinya lagi. Dia melihat bahwa api unggunnya sudah padam. Hawa udara menjelang pagi itu dingin sekali. Dia cepat menyalakan api dan membuat api unggun sehingga api menyala besar menerangi keadaan sekelilingnya. Dia duduk termenung di dekat api unggun, membelakangi perahu. Terkadang dia tersenyum-senyum dan jelas dia menahan gelak tawanya, agaknya dia masih bergembira mengenangkan kembali keganasannya di dalam bilik rumah dusun tadi.
Sementara itu, pagi sudah hampir menyingsing di sana-sini mulai terdengar kicau burung. Satyabrata menoleh dan melihat kedua kaki Muryani, agaknya dia baru teringat kepada gadis itu. Betapa dia amat mencinta Muryani! Perasaan hangat memenuhi dadanya. Akan tetapi kehangatan hatinya karena cintanya itu terganggu oleh bayangan kenangan di atas pembaringan di dalam bilik kamar tidur gadis dusun tadi. Tiba-tiba dia merasa betapa dia telah mengkhianati cintanya terhadap Muryani!
Timbul penyesalan yang amat besar dalam hatinya, bukan menyesal karena dia telah melakukan kejahatan memperkosa gadis dusun itu, sama sekali bukan. Dia merasa amat menyesal karena dia telah mengkhianati cinta kasihnya terhadap Muryani. Inilah yang mendatangkan penyesalan luar biasa dan tak dapat ditahannya lagi, Satyabrata menangis didepan api unggun, menangis sampai mengguguk seperti anak kecil!
Lama sekali Satyabrata menangis, seakan untuk mengimbangi tawanya yang terbahak-bahak tadi. Dia tidak tahu bahwa suara tangisnya terdengar oleh Muryani dan membangunkan gadis itu dari tidurnya. Muryani bangkit duduk dan merasa heran sekali melihat dan mendengar pemuda itu menangis. Ia menjulurkan tangannya keluar perahu, menggunakan air sungai yang dibagian itu amat bening untuk membasuh mukanya sehingga ia merasa segar kembali dan sudah sadar sepenuhnya.
Ia tadinya masih ragu, merasa bahwa ia bermimpi melihat pemuda yang gagah perkasa itu menangis sampai mengguguk. Akan tetapi setelah membasuh mukanya ia masih melihat Satyabrata menangis, ia menjadi heran dan penasaran. Ia keluar dari perahu menghampiri pemuda yang agaknya begitu terbenam dalam kesedihannya sehingga tidak mendengar Muryani keluar dari perahu.
"Kakangmas Satyabrata !" Muryani memanggil setelah ia berdiri di belakang pemuda itu.
Satyabrata terkejut dan menengok, mengangkat mukanya. Muryani melihat betapa kedua mata pemuda itu merah dan agak membengkak oleh tangis, wajahnya tampak memelas sekali sehingga merasa iba sekali. Wajah itu seperti wajah orang yang dilanda kedukaan yang teramat mendalam. Pada saat itu, Satyabrata telah menguasai dirinya dan dia kini menjadi seorang pemuda yang luar biasa cerdiknya. Karena merasa iba, Muryani lalu duduk di dekat pemuda itu, depan api unggun.
"Ohh... diajeng Muryani... engkau sudah bangun....? Ah, aku... aku... maafkan aku.." kata pemuda itu gagap dan dengan kedua tangannya dia berusaha untuk mengusap air mata yang membasahi mukanya.
"Kakangmas, engkau kenapakah? Apa yang membuat engkau menjadi begini sedih? Hampir aku tidak percaya melihat engkau menangis tadi, kakangmas," tanya Muryani dan suaranya terdengar halus karena ia merasa kasihan.
Saat itu yang berhadapan dengan Muryani bukanlah Satyabrata yang gila, melainkan Satyabrata yang cerdik luar biasa. Mendengar pertanyaan itu, Satyabrata mengusap-usap air mata yang mulai menetes dari kedua matanya dan dia berkata dengan suara parau dan gemetar. "Aduh... diajeng... terima kasih atas perhatianmu kepadaku. Ketika tadi aku duduk seorang diri di sini, teringat olehku betapa hidupku sebatangkara... tak sorangpun memperdulikan diriku... aku terlunta-lunta, tersia-sia... aku menjadi sedih, diajeng..."
Muryani merasa tersentuh hatinya dan terharu sekali. "Kakangmas, di manakah ayah ibumu?"
Satyabrata menutupkan kedua tangan didepan matanya dan Muryani melihat betapa air mata menetes keluar dari celah-celah jari kedua tangan itu. "Ah, diajeng... justeru karena teringat kepada ayah ibuku maka hatiku sedih... ayah...ayahku seorang bangsa kulit putih, seorang Portugis... dia telah meninggal dunia... juga ibuku, seorang Jawa... telah meninggal dunia. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi, diajeng..."
Muryani merasa jantungnya seperti diremas. Semua pengakuan pemuda itu bagaikan keris menghunjam hatinya, mengingatkan ia akan keadaan dirinya sendiri. "Kakangmas Satyabrata..." suara Muryani gemetar, matanya basah dan tangan sudah berada diujung bibirnya yang bergerak-gerak, hatinya dipenuhi keharuan, "engkau tidak sendirian, kakangmas, akupun... ibuku telah tiada dan ayahku... ayah terbunuh orang... akupun hidup sebatangkara di dunia ini..."
"Aduh Gusti...! Tak kusangka... kasihan sekali engkau, diajeng Muryani..." kata Satyabrata sambil memegang kedua tangan gadis itu.
Muryani mulai menangis. "Engkau... engkaupun kasihan sekali, kakangmas..." Keduanya menangis dan saling rangkul, bertangisan dan saling menggunakan pundak masing-masing untuk bersandar.
Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, bertangisan dan berangkulan, tenggelam ke dalam keharuan. Tiba-tiba Muryani terkejut. Ia melihat kenyataan yang terjadi dalam hatinya. Ia bukan hanya merasa kasihan, bukan hanya terharu. Ia merasa betapa ia telah jatuh cinta kepada pemuda ini! Bagaikan kilat wajah Parmadi terbayang depan matanya. Parmadi yang baik hati dan yang pernah menjatuhkan hatinya. Akan tetapi sekarang ia melihat perbedaan yang mencolok antara dua orang pemuda itu.
Parmadi seorang pemuda yang berwatak gagah berani, akan tetapi dia seorang pemuda biasa yang lemah, sebaliknya Satyabrata adalah seorang pemuda yang sakti mandraguna! Seorang pemuda yang juga sebatangkara seperti ia dan Parmadi, seorang pemuda yang tidak kalah tampan dibandingkan Parmadi dan yang bersikap baik sekali, lembut, sopan dan amat menarik hati di samping kesaktiannya yang mengagumkan hatinya. Kesadaran bahwa ia telah jatuh cinta, mengejutkan hati Muryani dan dengan lembut ia merenggangkan tubuhnya, menarik kepalanya ke belakang dan melepaskan rangkulannya. Akan tetapi dengan lembut Satyabrata memegang kedua tangannya dan Muryani tidak tega menarik lepas tangannya setelah memandang wajah pemuda itu, begitu penuh duka dan harapan.
"Terima kasih kepada Tuhan, setidaknya sekarang aku tahu bahwa di dunia ada seorang yang merasa senasib dan merasa kasihan kepadaku, yaitu engkau diajeng Muryani. Aku merasa berbahagia sekali telah dapat bertemu, berkenalan dan menjadi sahabatmu. Semoga persahabatan kita akan kekal dan aku akan mempertaruhkan jiwa ragaku untuk membelamu. Aku akan menghajar dan menangkap musuh besarmu si Wiroboyo itu untukmu diajeng. Bukankah dia yang telah membunuh orang tuamu?"
"Pembunuhnya adalah orang yang bunuh diri tadi, akan tetapi yang menyuruh adalah Wiroboyo. Dialah musuh besarku. Terima kasih untuk kesediaanmu membantuku, kakangmas. Akupun merasa berbahagia sekali dapat bersahabat denganmu."
Dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati Satyabrata. Dia benar-benar jatuh cinta kepada Muryani dan dia ingin sekali menguasai gadis itu secara sukarela, bukan paksaan, bukan pula dengan pengaruh aji pengasihan. Dia ingin dicintai gadis itu dan dia tahu bahwa untuk mendapatkan cinta gadis itu, dia harus pandai mengambil hatinya, pandai merayunya.
"Mari kita lanjutkan perjalanan kita, diajeng. Nanti kalau kita lewat di sebuah dusun, kita mencari makanan untuk sarapan pagi."
Mereka naik ke perahu dan Satyabrata segera mendayung perahu ke tengah sungai. Dia bersikap sopan, lembut dan amat menghormati dan menghargai Muryani. Tutur sapanya semanis madu, gerak-geriknya sopan memikat dan menarik hati, rayuannya halus dan mengelus hati. Tidak mengherankan kalau selama dalam perjalanan itu hati Muryani semakin tertarik. Ia menganggap Satyabrata seorang pemuda yang pandai, lembut, sopan, bahkan matang pengalamannya, sedikit-sedikit menyebut nama Gusti Allah seakan dia seorang yang beribadat dan saleh.
Muryani adalah seorang gadis yang berwatak keras, apalagi setelah menjadi murid Nyi Rukmo Petak yang pada dasarnya memiliki watak aneh dan keras. Akan tetapi gadis ini memiliki kelemahan, yaitu ia mudah sekali terbujuk oleh rayuan. Ia menilai orang, dalam hal ini laki-laki, dari sikap dan tutur sapanya juga dari perbuatannya. Dilihatnya pemuda yang baru dikenalnya itu selalu berbuat baik dan menentang kejahatan, bertutur sapa semanis madu, dan bersikap sopan dan lembut. Maka, menghadapi rayuan laki-laki seperti ini, runtuhlah hatinya dan ia percaya sepenuhnya bahwa Satyabrata adalah seorang laki-laki yang pantas untuk menjadi sahabat, bahkan pantas untuk dicintai!
Manusia lemah pada umumnya mudah dirayu, menilai seseorang dari sikap tutur sapa, dan perbuatannya. Mereka itu lupa bahwa sikap, tutur sapa dan perbuatan mudah diatur, dapat berpura-pura dan hanya dipakai sebagai topeng belakang. Belum tentu semua itu mencerrninkan keadaan watak atau hati yang serupa. Semua itu hanya kulit, tak mencerminkan isinya dan semua keindahan lahiriah itu biasanya oleh para pria dipergunakan untuk memancing hati wanita, dipergunakan sebagai umpan. Kalau si wanita sudah terpancing dan berhasil didapatkan, lambat-laun barulah tampak belangnya, baru tampak isinya yang busuk, baru tampak apa yang berada di balik topeng yang indah.
Bagaikan musang berbulu ayam, harimau bertopeng domba. Karena itu, seorang yang bijaksana, terutama sekali para wanita, seyogianya selalu waspada terhadap rayuan manis, sikap sopan santun dan halus berlebihan, perbuatan baik yang dipamer-pamerkan. Waspada dan menjenguk lebih dalam apa yang terkandung di balik semua itu. Lebih baik berhadapan dengan orang yang sikapnya kasar namun wajar, yang tutur sapanya tidak semanis madu karena kejujuran itu terkadang tampak kasar dan tidak menyenangkan hati.
Dalam perjalanan menuju ke Ngawi ini, perlahan-lahan Muryani semakin mabok dan tenggelam oleh rayuan Satyabrata. Ia menganggap pemuda itu sakti, pandai, bijaksana dan berbudi mulia!
Perguruan Nogodento merupakan perguruan silat yang dahulu terkenal sebagai tempat penggemblengan para pendekar yang berjiwa patriot, pembela nusa dan bangsa. Ketuanya adalah Ki Harjodento, yang sakti mandraguna dan selalu setia kepada Mataram. Dibantu oleh isterinya Padmosari, Ki Harjodento memimpin perguruan itu dengan baik dan sudah menghasilkan banyak murid yang gagah perkasa dan yang sudah banyak berjasa terhadap Kerajaan Mataram.
Suami isteri ini hanya mempuriyai seorang anak yang bukan lain adalah Tejomanik atau Sutejo yang kini tinggal di lereng Gunung Kawi bersama isterinya, yaitu Retno Susilo. Kini perguruan Nogodento tidaklah sebesar dahulu. Murid-murid yang kini masih belajar dan tinggal di perkampungan Nogodento hanya tinggal kurang lebih dua puluh orang, inipun merupakan murid-murid baru yang tingkat kepandaiannya masih rendah. Mereka itu baru belajar silat paling lama lima tahun. Hal ini adalah karena kini Ki Harjodento tidak lagi menerima murid baru. Dia sudah merasa terlalu tua dan tidak bersemangat lagi. Usianya memang sudah tua, sudah tujuh puluh enam tahun. Isterinya, Padmosari, yang lebih muda dua puluh tahun darinya, juga tidak muda lagi, sudah berusia lima puluh enam tahun.
Suami isteri itu ingin menikmati sisa hidup mereka dengan tenteram dan banyak istirahat. Karena inilah maka perkumpulan atau perguruan Nogodento kini tidak sebesar dahulu. Perkampungan Nogodento terletak di lembah Bengawan Solo, di daerah Ngawi. Kehidupan Ki Harjodento kini lebih mirip kehidupan seorang pertapa. Dia lebih sering duduk bersamadhi dan para murid Nogodento yang rnengerjakan cocok tanam atau mencari ikan, lebih mirip para cantrik daripada murid-murid perguruan silat. Mereka yang menginginkan kemajuan dalam ilmu silat sudah meninggalkan perguruan itu, akan tetapi mereka yang mengutamakan ketenteraman dan kedamaian hati, menemukan semua itu di sana dan tetap tinggal di perkampungan Nogodento. Mereka lebih banyak mendengarkan wejangan Ki Harjodento tentang kehidupan daripada berlatih pencak silat.
Pada suatu pagi, Ki Harjodento memanggil semua murid untuk berkumpul di pendopo rumah induk yang luas. Para murid yang jumlahnya dua puluh dua orang itu merasa heran karena tidak pernah K Harjodento memanggil mereka semua berkumpul seperti itu. Mereka yang berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun itu berkumpul dan duduk bersila dilantai pendopo, menduga bahwa tentu ada hal yang amat penting maka ketua perguruan itu memanggil mereka semua untuk berkumpul.
Setelah semua murid duduk di lantai pendopo, Ki Harjodento muncul diiringi Padmosari. Biarpun usianya sudah tujuh puluh enam tahun, Ki Harjodento masih tampak sehat, tubuhnya masih tegap dan wajahnya tidak tampak setua usianya walaupun rambut dan kumis jenggotnya sudah putih semua. Isterinya, Padmosari yang berusia lima puluh enam tahun itu pun tampak masih anggun dan jelas tampak bekas kecantikannya, juga tampak gagah perkasa karena memang wanita ini pun seorang yang sakti mandraguna.
Kedua suami isteri itu duduk di atas kursi yang telah tersedia di situ, dihadapan dua puluh dua orang murid yang rnenduga-duga dengan heran apa gerangan yang akan diperintahkan guru mereka itu kepada mereka. Ki Harjodento melayangkan pandang matanya kepada para murid itu, kemudian dia menghela napas panjang lalu berkata, "Para murid Nogodento sekalian, kalian semua tentu bertanya-tanya dan merasa heran mengapa pagi hari ini aku memanggil kalian semua berkumpul di pendopo ini."
Suwondo, berusia tiga puluh dua tahun dan merupakan murid tertua di situ dan dialah yang kadang mewakili gurunya untuk membimbing para murid lain berlatih silat, mewakili teman-temannya bertanya dengan sikap hormat. "Bapa guru, kami para murid semua sudah siap untuk menerima dan melaksanakan perintah bapa guru dengan taat."
Ki Harjodento mengangguk-angguk. "Bagus, Suwondo, itulah yang karni harapkan. Mudah-mudahan semua murid Nogodento, sampai murid terakhir, akan tetap mengharumkan nama perguruan Nogodento kita. Dengarlah kalian baik-baik. Pada waktu ini, Mataram membutuhkan bantuan kalian. Gusti Sultan Agung sedang berusaha untuk menundukkan beberapa daerah yang belum mau bersatu, diantaranya Madura dan Surabaya, agar dapat menyusun kekuatan untuk menghadapi musuh utama nusa bangsa kita, yaitu Kumpeni Belanda. Karena itu, kami minta kepada kalian agar sekarang juga meninggalkan perkampungan kita dan menjadi pasukan sukarela membantu Mataram menaklukkan daerah-dearah yang belum mau tunduk itu."
Hening setelah Ki Harjodento mengakhiri ucapannya itu. Para murid itu sama sekali tidak pernah mengira bahwa mereka diperintahkan untuk pergi dan membantu Mataram berperang. Ini berarti akan terjadi perubahan besar dalam kehiduprrn mereka. Meninggalkan perkampungan Nogodento yang aman tenteram dan menjadi perajurit menempuh bahaya maut!
Padmosari dapat merasakan keheningan yang menegangkan hati ini. Ia lalu berkata dengan suara yang nyaring namun merdu dan mengandung kelembutan. "Murid-murid Nogodento sekalian! Ingatlah bahwa guru kalian tadi hanya meminta kalian untuk membantu Mataram, berarti bahwa kami sama sekali tidak memaksa kalian. Kami tidak memaksa kalian untuk menjadi perajurit dan membantu Mataram berperang. Akan tetapi membantu Mataram merupakan kewajiban seluruh kawula Mataram dan kalian tentu tahu, membantu nusa bangsa banyak sekali caranya, di antaranya membantu dalam perang melawan musuh, membantu negara mengamankan daerah-daerah, menentang kejahatan-kejahatan. Pendeknya, membela kebenaran dan keadilan di manapun kalian berada dengan menggunakan segala kekuatan dan kepandaian yang kalian pernah pelajari di sini. Dengan demikian kalian akan menjadi pendekar-pendekar Nogodento yang berguna bagi kepentingan bangsa dan negara. Mengertikah kalian?"
Kembali Suwondo yang mewakili kawan kawannya. "Kami mengerti, akan tetapi kalau kami semua pergi, lalu siapa yang akan melayani bapa guru berdua?"
"Kami justeru ingin hidup menyendiri berdua saja menikmati kesunyian dan kedamaian," kata Ki Harjodento.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara banyak orang, gaduh dan hiruk-pikuk datang dari luar perkampungan Nogodento. Semua orang terkejut. Biarpun suami isteri itu juga kaget namun mereka bersikap tenang dan Harjodento berkata, "Suwondo, ajak semua saudaramu keluar dan lihat apa yang terjadi. Kalau ada hal-hal yang tidak baik, laporkan kepada kami dan jangan lancang bertindak sendiri-sendiri."
"Baik, bapa guru!" Suwondo lalu memberi isyarat kepada semua murid dan mereka keluar dari pendopo itu dengan tertib lalu menuju ke pintu gerbang perkampungan Nogodento.
Ketika Suwondo dan kawan-kawannya tiba di dekat pintu gerbang, mereka merasa terkejut dan heran karena ternyata puluhan orang telah memasuki pintu gerbang, dipimpin oleh seorang kakek berusia enam puluh tahun bertubuh sedang dengan kulit hitam sekali dan pakaian mewah. Di samping kakek ini berdiri seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun bertubuh tinggi besar dan kumisnya tebal, tampak gagah. Melihat sikap mereka yang beringas dan marah, Suwondo bersikap hati-hati. Dia memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk berhenti dan dia sendiri maju dan memberi hormat kepada dua orang yang memimpin puluhan orang itu.
"Mohon tanya, andika sekalian ini siapakah dan keperluan apakah yang membawa andika mengunjungi perkampungan kami?"
Yang menjawab pertanyaan itu adalah kakek berkulit hitam. Dia adalah Wiku Menak Koncar, datuk besar dari Blambangan yang kini menjadi guru Wiroboyo. Seperti kita ketahui, datuk besar ini ditemani Wiroboyo dan lima puluti orang anak buah Klabang Wilis mendatangi perguruan Nogodento dengan niat membalas dendam kepada Ki Harjodento. Ketua Nogodento ini sebelas tahun yang lalu telah menewaskan Ki Klabangkolo dalam sebuah pertempuran dan Ki Klabangkolo adalah saudara seperguruan Wiku Menak Koncar.
"Hayo panggil keluar Ki Harjodento untuk bertemu dengan aku!" demikian jawaban Wiku Menak Koncar dengan suaranya yang kecil seperti suara wanita. "Cepat atau kami akan membunuh kalian semua dan membakar habis perkampungan ini!"
Mendengar jawaban yang nadanya marah dan penuh permusuhan ini, Suwondo dan kawan-kawannya tentu saja menjadi marah. Akan tetapi mengingat akan pesan Ki Harjodento dan melihat bahwa jumlah para penyerbu dua kali lebih banyak daripada jumlah mereka, Suwondo menahan kemarahannya dan dia berpesan kepada kawan-kawannya, "Kalian tunggu saja di sini, aku akan melaporkan kepada bapa guru!"
Setelah berkata demikian Suwondo melompat dan berlari menuju ke bangunan induk yang menjadi tempat tinggal Ki Harjodento dan isterinya. "Bapa guru, celaka, bapa guru!" Suwondo berlutut di depan gurunya dan berkata dengan sikap khawatir sekali.
"Tenanglah, Suwondo. Engkau bersikap bukan seperti seorang murid Nogodento!" tegur Ki Harjodento. "Katakan dengan tenang, apa yang terjadi?"
"Bapa guru, perkampungan kita didatangi puluhan orang, banyak sekali, sikap mereka bermusuhan dan mereka dipimpin seorang kakek bermuka hitam yang bengis. Kakek itu minta agar bapa guru keluar menghadapinya dan dia mengancam akan membunuh kita semua dan membakar habis perkampungan kita."
Mendengar laporan ini, Nyi Padmosari melompat dan bayangannya berkelebat masuk kebagian dalam rumah. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi, berpakaian ringkas membawa keris di pinggang dan tangannya memegang sebatang tombak yang ia serahkan kepada suaminya. "Mari kita keluar menemui mereka," kata wanita itu dengan sikap gagah dan tenang.
Ki Harjodento menerima senjata tombak yang menjadi pusakanya yang ampuh, lalu bangkit berdiri dan mengangguk. "Mari kita lihat siapa yang datang mencari keributan itu. Suwondo, atur para murid agar jangan bergerak kalau tidak diserang."
Tiga orang itu lalu keluar dari bangunan dan berjalan menuju ke pintu gerbang perkampungan. Biarpun Ki Harjodento sudah berusia tujuh puluh enam tahun, namun langkahnya masih gesit dan sikapnya tenang saja. Para rnurid Nogodento memberi jalan dan akhirnya Ki Harjodento dan Padmosari berhadapan dengan Wiku Menak Koncar dan Ki Wiroboyo. Sejenak mereka berempat berhadapan dan saling pandang, kemudian Ki Harjodento berkata, suaranya mengandung penuh wibawa dan ketenangan.
"Kisanak sepanjang ingatan kami rasanya kami tidak mengenal andika. Siapakah andika dan ada urusan apakah andika mencari kami?"
Wiku Menak Koncar memandang ketua Nogodento itu dengan mata bersinar. "Hemmm, apakah andika yang bernama Ki Harjodento, ketua Perguruan Nogodento?"
"Tidak keliru, ki-sanak. Aku adalah Harjodento dan ini adalah isteriku, Nyi Padmosari. Siapa gerangan andika?"
"Aku adalah Wiku Menak Koncar!" Kakek bermuka hitam itu memperkenalkan diri, suaranya meninggi membayangkan kecongkakan dan kesombongan karena dia yakin bahwa namanya amat terkenal.
Diam-diam Harjodento dan Padmosari terkejut. Tentu saja mereka pernah mendengar nama ini. Akan tetapi Harjodento masih bersikap tenang dan dia berkata sambil mengamati wajah berkulit hitam itu, "Hemm, pernah kami mendengar bahwa Sang Wiku Menak Koncar adalah seorang datuk besar dari Blambangan yang sakti mandraguna! Akan tetapi kami tidak pernah mempunyai urusan dengan andika. Kenapa sekarang andika datang membawa sekian banyaknya anak buah berkunjung ke perkampungan kami?"
"Ki Harjodento, aku merasa yakin bahwa andika belum lupa akan nama Ki Klabangkolo, Bahurekso Gunung Ijen?" kata Wiku Menak Koncar dan suaranya mengandung ejekan.
"Ki Klabangkolo?" Ki Harjodento mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk. "Ya aku masih ingat. Ki Klabangkolo adala seorang di antara para tokoh yang memberontak kepada Mataram, sepuluh tahun lebih yang lalu."
"Bagus kalau andika masih ingat. Tentu andika ingat pula siapa orangnya yang telah membunuh Ki Klabangkolo?"
Ki Harjodento mengerutkan alisnya yang putih. "Aku masih ingat bahwa dalam pertempuran antara mereka yang memberontak terhadap Mataram dan mereka yang setia kepada Mataram, Ki Klabangkolo roboh dan tewas. Tidak kusangkal bahwa dia tewas oleh senjata pusakaku ini."
"Babo-babo, keparat Harjodento. Bagus.bahwa andika telah mengaku sebagai pembunuh Ki Klabangkolo! Ketahuilah bahwa dia adalah saudara seperguruanku dan sekarang aku datang untuk membalas dendam atas kematiannya di tanganmu!"
Ancaman ini tidak menggoyahkan ketenangan Ki Harjodento. "Wiku Menak Koncar, pertempuran dalam perang hanya mempunyai dua akibat. Menang atau kalah, terluka atau tewas dalam perang merupakan hal yang biasa saja. Tidak ada persoalan pribadi dalam perang karena semua itu adalah urusan negara. Ki Klabangkolo bukan tewas karena bermusuhan dengan aku pribadi, melainkan karena dia berpihak kepada pemberontak!"
"Memang benar! Kerajaan Mataram yang menyebabkan saudara seperguruanku mati dalam perang dan karena itu pula aku akan selalu menentang Kerajaan Mataram. Akan tetapi dia tewas di tanganmu, maka aku harus membalaskan kematiannya dan membunuhmu agar arwahnya dapat tenang di alam baka!"
"Kalau itu yang telah menjadi tekadmu yang sesat, terserah kepadamu, Wiku Menak Koncar. Apakah untuk maksud itu andika membawa sekian banyaknya anak buah untuk mengeroyokku?"
"Heh, Harjodento manusia sombong. Kaukira aku tidak mampu membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri? Maju dan bersiaplah untuk mampus dan bertemu dengan saudaraku, Ki Klabangkolo!"
"Wiku Menak Koncar, andika yang menantang bertanding, andika pula yang harus mulai!" kata Ki Harjodento sambil melintangkan tombaknya di depan dada.
"Baik, sambutlah ajiku Bayu Bajra. Heeeehhhhh...!" Kakek bermuka hitam itu mengembangkan kedua tangan, mendorong ke depan dan muncul angin yang menyambar kedepan dengan dahsyat sekali sehingga anak buah Nogodento yang berdiri agak jauh di belakang Ki Harjodento juga tak mampu bertahan dan banyak di antara mereka yang terhuyung dan terjengkang, terdorong oleh angin ribut yang keluar dari kedua telapak tangan Wiku Menak Koncar.
Ki Harjodento maklum akan dahsyat dan kuatnya serangan angin ribut ini maka diapun cepat memutar tombaknya di depan dada sanibil mengerahkan tenaga saktinya. Tombak berputar, berubah menjadi gulungan sinar yang menjadi perisai di depan tubuhnya. Ki Harjadento merasa betapa angin serangan lawan itu menghantam gulungan sinar tombaknya. Terasa berat, namun angin serangan itu tidak sampai mampu menembus gulungan sinar tombaknya, hanya lewat di kanan kiri tubuhnya.
Melihat serangannya, dapat digagalkan lawan, Wiku Menak Koncar menjadi penasaran. Dia menghentikan Aji Bayu Bajra itu dan kini dia menyerang dengan aji pukulan Nandaka Kroda. Kedua tangannya menyambar-nyambar dengan pukulan tangan terbuka atau tamparan yang luar biasa kuatnya, yang mendatangkan angin bersuitan. Ki Harjodento cepat bergerak, mengelak dan membalas dengan tusukan tombaknya. Namun Wiku Menak Koncar juga dapat mengelak dan terjadilah serang-menyerang yang amat seru dan mati-matian.
Karena keduanya maklum bahwa berhadapan dengan lawan tangguh, maka masing-masing mengerahkan seluruh tenaga dan melakukan serangan maut. Gerakan kedua orang sakti mandraguna ini demikian kuatnya sehingga tidak ada yang berani mencampuri. Bahkan mendekatpun berbahaya karena angin serangan mereka menyambar-nyambar sampai jauh.
Wiroboyo merasa penasaran. Tak disangkanya bahwa musuh besar gurunya itu ternyata seorang yang sakti mandraguna, yang agaknya mampu menandingi gurunya sehingga mereka kini bertanding dengan seru dan sukar diduga siapa antara mereka yang akan keluar sebagai pemenang. Dia pikir, apa artinya dia dan lima puluh orang anak buahnya ikut datang ke tempat itu kalau tidak membantu Wiku Menak Koncar?
Dia melihat isteri musuh gurunya, Nyi Padmosari, berdiri dengan gagahnya, juga para murid Nogoderito yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu tampak sudah siap siaga. Maka Wiroboyo lalu mencabut kerisnya dan memberi aba-aba kepada anak buahnya. "Serbuuu...! Dia sendiri, dibantu lima orang murid utama Klabang Wilis, sudah maju menerjang Padmosari. Wanita perkasa ini dengan trengginas lalu mencabut keris dan melakukan perlawanan.
Sementara itu, anak buah Klabang Wilis sudah serentak maju menyerang anak buah Nogodento sehingga terjadi pertempuran yang hiruk-pikuk. Akan tetapi segera ternyata bahwa pertempuran itu berat sebelah. Pertanrlingan antara Ki Harjodento melawan Wiku Menak Koncar memang semula tampak ramai seolah mereka itu setanding atau setingkat. Akan tetapi segera ternyata bahwa Ki Harjodento kini sudah amat tua dan dia pun sudah jarang berlatih olah raga, maka setelah melawan mati matian dia mulai terdesak dan nafasnya mulai terengah-engah, sementara itu lawannya, Wiku Menak Koncar semakin beringas penyerangannya.
Aji Nandaka Kroda yang dikerahkan datuk besar Blambangan itu memang dahsyat sekali dan makin lama serangan serangannya terasa semakin berat bagi Ki Harjodento yang mulai lelah dan kehabisan tenaga. Melihat keadaan lawan yang mulai payah, Wiku Menak Koncar mengerahkan seluruh tenaganya dan kembali dia menyerang dengan Aji Nandaka Kroda. Kedua tangannya didorongkan ke depan dan angin pukulan menyambar dahsyat.
Karena maklum bahwa putaran tombaknya tidak akan mampu menahan serangan dahsyat itu, Ki Harjodento lalu bertindak nekat untuk mengadu tenaga sakti. Dia menancapkan tombaknya ke tanah lalu mengerahkan seluruh tenaga Nogo Dento, mendorong dengan kedua tangan terbuka ke depan menyambut pukulan Aji Nandaka Kroda dari lawan.
"Wuuuuttt.... blaarrrr...!" Hebat bukan main pertemuan kedua tenaga sakti itu. Akan tetapi, tingkat kekuatan Wiku Menak Koncar memang lebih tinggi, apalagi pada saat itu Ki Harjodento yang sudah tua mulai kehabisan tenaga sehingga tenaga sambutannya tadi kurang kuat. Begitu kedua tenaga itu bertemu, jarak antara kedua pasang tangan itu mashi ada setengah depa, tubuh Ki Harjodento terpental dan dia terjengkang dan terbanting roboh telentang, tak mampu bergerak lagi dan dari mulutnya mengalir darah segar!
Melihat keadaan lawannya, Wiku Menak Koncar tertawa. Dia tahu bahwa lawanmnya telah menderita luka yang parah dan nyawanya tak mungkin dapat terselamatkan lagi. Dia lalu memandang ke arah muridnya. Dilihatnya Wiroboyo tidak mampu menandingi kesaktian wanita itu yang biarpun dikeroyok oleh Wiroboyo dan lima orang murid kepala perguruan Klabang Wilis, Nyi Padmosari masih tampak tangguh dan sama sekali tidak terdesak. Melihat ini, Wiku Menak Koncar menjadi penasaran sekali. Apalagi melihat betapa para murid perguruan Nogo Dento yang hanya berjumlah dua puluh lebih itu mampu menahan serbuan lima puluh orang murid Klabang Wilis, dia menjadi marah.
"Haiiiiittt... ahhhh!" Dia melompat dan langsung memukul dengan Aji Nandaka Kroda ke arah Nyi Padmosari. Wanita perkasa ini sudah merasa gelisah sekali melihat suaminya roboh. Ia bingung dan panik, apalagi karena ia tidak mampu membantu atau menengok suaminya. Ia hanya dapat melampiaskan kemarahanya dengan mengamuk dan pada saat itu pukulan ampuh Wiku Menak Koncar melandanya.
"Wuuuuttt... desss!!" Tubuh wanita itu terpental dan iapun roboh terbanting, tidak mampu bangkit kembali. Setelah suami isteri pimpinan Nogodento itu roboh, para murid Nogodento menjadi terkejut. Akan tetapi mereka masih melakukan perlawanan mati-matian. Tak sorangpun dari mereka meragu untuk melawan sampai titik darah terakhir, sesuai dengan jiwa kependekaran yang telah ditanam dalam hati mereka oleh Ki Harjodento dan Nyi Padmosari.
Tiba-tiba terdengar lecutan meledak-ledak dan teriakan melengking-lengking dan banyak anak buah Klabang Wilis berpelantingan sehingga keadaan menjadi kacau.
"Tar-tar-tar-tarrr...!!" tampak sinar hitam berkelebatan menyambar-nyambar sambil mengeluarkan suara meledak-ledak ketika sebuah pecut (cambuk) di tangan seorang laki-laki gagah perkasa berusia tiga puluh tiga tahun mengamuk dengan dahsyatnya.
"Haiiiittt...yaaaahhh...!" Segulung sinar hijau menyambar-nyambar merobohknn beberapa orang anak buah Klabang Wills dan sinar hijau itu adalah sebatang pedang yang digerakkan oleh seorang wamita cantik berusia kurang lebih tiga puluh dua tahun. Mereka yang baru datang dan mengamuk ini bukan lain adalah Sutejo atau Tejomanik, pendekar dari lereng Gunung Kawi dan isterinya, Retno Susilo.
Seperti kita ketahui, suami isteri pendekar ini dalam perjalanan mencari anak mereka yang hilang diculik orang. Mereka meninggalkan perguruan Jatikusumo di daerah Pacitan lalu pergi menuju perguruan Nogodento didaerah Ngawi. Harjodento dan Padmosari adalah ayah dan ibu kandung Sutejo dan kunjungan suami isteri pendekar itu selain menengok orang tua, juga ingin menceritakan tentang diculiknya anak mereka Bagus Sujiwo dan ingin minta agar orang tua itu suka membantu mengerahkan anak buah Nogodento untuk mencari jejak penculik anak mereka.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika tiba di perkampungan Nogodento mereka melihat pertempuran hebat yang sedang terjadi di situ. Apalagi melihat Ki Harjodento dan Nyi Padmosari telah menggeletak dan banyak pula anak buah Nogodento sudah roboh. Tanpa banyak cakap lagi suami isteri pendekar ini menerjang dan mengamuk, merobohkan banyak anak buah Klabang Wilis dengan senjata mereka.
Sutejo mengamuk dengan senjata pusakanya, yaitu Pecut Bajrakirana yang menyarnbar-nyambar dan meledak-ledak seperti halilintar. Adapun isterinya, mengamuk dengan senjatanya yang menggiriskan, yaitu pedang pusaka Nogo Wilis yang berubah menjadi gulungan sinar hijau. Sepak terjang suami isteri yang marah melihat Nogodento diserang dan kedua orang tua mereka menggeletak roboh itu bagaikan sepasang naga dari angkasa yang mengamuk.
Melihat para anak buah Klabang Wilis roboh bergelimpangan diterjang suami isteri itu, Wiku Menak Koncar dan Ki Wiroboyo terkejut dan marah sekali. Sang Wiku Menak Koncar dan Ki Wiroboyo lalu berlompatan. Kakek datuk Blambangan itu menghadapi Sutejo dan Ki Wiroboyo menghadapi Retno Susilo.
"Teja-teja sulaksana! Siapakah andika yang begini lancang berani mencampuri urusan kami dan menyerang anak buah kami?" kakek itu membentak dan mengamnati Sutejo dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kakek itu diam-diarn merasa heran. Belum pernah dia bertemu dengan pria yang berusia kurang lebih tiga puluh tiga tahun, bertubuh tinggi tegap dan kokoh ini. Wajahnya tampan gagah, matanya lebar penuh semangat, alisnya hitam tebal, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan keramahan. Kulitnya bersih dan rambutnya yang panjang ditekuk menjadi gelung ke atas.
Sutejo juga memandang kakek itu penuh perhatian. Seorang kakek yang usianya sekitar enam puluh enam tahun, tubuhnya sedang saja akan tetapi mukanya berwarna hitam arang mengerikan, dan ketika bicara tadi, suaranya melengking seperti suara wanita. Pakaiannya mewah. Matanya agak sipit, hidungnya pesek dan bibirnya tebal. Sungguh merupakan wajah yang aneh akan tetapi sama sekali tidal menarik, bahkan dapat dikatakan buruk sekali dan menakutkan.
"Kakek jahat, akulah yang sepatutnya bertanya padamu. Siapakah andika yang begini jahat datang menyerang Nogodento?"
"Babo-babo! Aku adalah Wiku Menak Koncar, datuk besar Blambangan! Aku datang menyerbu Nogodento karena aku mempunyai permusuhan pribadi dengan Ki Harjodento! Siapa andika berani lancang mencarnpuri urusan pribadiku?"
"Hemm, kiranya Wiku Menak Koncar jagoan Blambangan. Sekarang aku mengerti. Andika tentu masih ada hubungan dengan Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo!"
"Benar! Mereka adalah saudara-saudara seperguruanku. Kematian Klabangkolo di tangan Harjodento yang membuat aku datang membalas dendam kepada Harjodento."
"Wiku Menak Koncar! Mereka itu tewas dalam perang karena mereka membela para pemberontak terhadap Mataram. Ketahuilah, aku adalah Sutejo, putra Bapa Harjodento!"
"Bagus, kaupun harus mampus!" bentak Wiku Menak Koncar dan diapun sudah menerjang ke depan, menyerang dengan Aji Bayu Bajra. Angin yang dahsyat menyambar ke arah Sutejo. Pendekar ini sudah siap siaga. Dia maklum bahwa lawannya memiliki kesaktian. Maka diapun sudah mengerahkan tenaganya dan mendorongkan kedua tangan, menyambut dengan Aji Bromokendali.
"Wuuuttt... desss...!!" Keduanya terorong kebelakang, dan mereka tahu betapa kuatnya tenaga lawan. Wiku Menak Koncar terkejut dan marah. Ki Harjodeno saja sudah dapat dia robohkan, masa dia tidak mampu mengalahkan anaknya?
"Aji Nandaka Kroda...!" bentaknya dan dia menyerang lagi dengan aji yang lebih dahsyat ini. Kedua telapak tangannya mengandung tenaga yang teramat kuat.
"Wuuuttt... tar-tar-tarr...!!" Sang Wiku Menak Koncar terkejut bukan main. Kedua telapak tangannya yang ampuh itu bertemu dengan ujung cambuk yang menyambar bagaikan halilintar dan kedua tangannya terasa panas.sekali. "Pecut Bajrakirana !" serunya dan suaranya mengandung perasaan gentar Dia sudah
mendengar akan pecut sakti yang ampuh itu. Sutejo yang mengkhawatirkan keadaa ayah ibunya yang menggeletak tak bergerak lalu menerjang dengan pecut saktinya, membuat Wiku Menak Koncar repot mengelak dan berusaha menangkis dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga sakti. Sementara itu, tanpa banyak cakap lagi Wiroboyo sudah menggunakan kerisnya menyerang Retno Susilo. Akan tetapi, wanita perkasa ini juga sudah marah bukan main melihat ayah dan ibu mertuanya menggeletak di atas tanah.
"Jahanam anjing keparat!" bentaknya dan pedangnya berubah menjadi gulungan sinar hijau menyambut serangan Wiroboyo. "Cring-cring-traanggg...!" Wiroboyo cepat melompat ke belakang dan matanya terbelalak, wajahnya berubah pucat. Pertemuan antara keris dan pedang wanita itu membuat kerisnya terpental dan nyaris pergelangan tangannya terbabat pedang!
Maklumlah dia bahwa lawannya itu adalah seorang wanita yang sakti mandraguna. Padahal sekarang Wiroboyo telah memperoleh kemajuan pesat dalam hal ilmu kanuragan, setelah dia menjadi murid Wiku Menak Koncar. Namun, berhadapan dengan Retno Susilo, dia segera kewalahan. Retno Susilo tidak memberi kesempatan kepadanya dan wanita perkasa ini sudah menerjang lagi dan pedangnya melakukan serangan maut bertubi-tubi yang membuat Wiroboyo berlompatan ke sana sini dalam usahanya untuk menghindarkar diri dari sambaran sinar hijau.
Maklumlah Wiroboyo bahwa maut mengancam dirinya, maka setelah mendapatkan kesempatan, dia melompat jauh ke belakang sambil berseru, "Bapa Wiku, lari...!"
Mendengar ini, Wiku Menak Koncar yang juga jerih menghadapi kedahsyatan Pecut Sakti Bajrakirana, melompat dan mengejar Wiroboyo yang melarikan diri. Para anak buahnya melihat ini segera melarikan diri ketakutan. Retno Susilo marah dan mengamuk, merobohkan banyak anak buah Klabang Wilis yang berusaha melarikan diri.
Setelah semua anak buah Klabang Wilis lari dan dapat menyusul pimpinan mereka, jumlah mereka tinggal setengahnya atau kurang lebih tiga puluh orang saja. Retno Susilo hendak melakukan pengejaran, akan tetapi Sutejo berseru, "Tak usah dikejar!"
Retno Susilo menoleh dan melihat Sutejo berlutut dekat tubuh Harjodento, kemudian suaminya itu mengangkat tubuh bagian atas kakek itu dan merangkulnya. Retno Susilo lalu cepat menghampiri Padmosari yang juga menggeletak tak jauh dari situ. Wanita inipun masih hidup walaupun napasnya sudah terengah-engah dan darah segar mengalir keluar dari ujung mulutnya, mukanya pucat sekali.
"Bapak...!" Sutejo yang memeluk tubuh Harjodento memanggil dan mengguncang tubuh itu.
Ki Harjodento membuka matanya, nafasnya terengah-engah dan darah keluar dari mulut, hidung dan telinganya. Sutejo maklum bahwa ayahnya terluka parah sekali dan sulit untuk dapat menyembuhkannya. Melihat puteranya, Ki Harjodento tersenyum. "Tejo... bantulah... Mataram yang menghadapi... Madura... dan Surabaya." Setelah mengeluarkan ucapan itu, tubuh Ki Harjodento terkulai dan diapun tewas dalam rangkulan puteranya!
"Bapak...!" Sutejo mendekap tubuh ayahnya, maklum bahwa ayahnya telah menghembuskan napas terakhir.
Padmosari yang berada dalam rangkulan Retno Susilo juga membuka matanya dan melihat mantunya, iapun berbisik, "Mana... mana anakku...Tejo...?"
Retno Susilo menoleh ke arah suaminya dan berseru, "Kakangmas! Ibu memanggilmu!" Sutejo menurunkan tubuh ayahnya dengan lembut ke atas tanah, lalu dia bangkit dan menghampiri isterinya yang masih merangkul tubuh ibunya. Dia mengantikan Retno Susilo memeluk dan menahan tubuh atas ibunya. Dengan hati terasa hancur pria perkasa inipun melihat kenyataan betapa keadaan ibunya parah sekali, tidak ada harapan untuk dapat ditolong seperti halnya ayahnya tadi karena orang tua ini telah terkena pukulan maut yang dahsyat sekali sehingga dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah.
"Ibu...!" Sutejo memanggil lirih dan mendekap tubuh Padmosari yang lunglai. Wanita itu membuka mata memandang.
"Tejo... di mana bapakmu?" tanya wanita itu dengan suara berbisik. Jantung dalam dada Sutejo seperti ditusuk oleh pertanyaan ini. Ayahnya telah mati, baru saja hal itu terjadi dan kini ibunya yang terluka parah menanyakannya. Bagaimana dia tega untuk memberi tahu bahwa ayahnya telah meninggal?
"Bapak... bapak berada di sana, bu..." katanya sambil menggerakkan kepalanya ke arah dimana ayahnya rebah tak bernyawa lagi. "Bawa aku dekat... bawa aku kepadanya..." kata wanita itu.
Sutejo tak dapat berkata apa-apa lagi dan juga tidak ingin membantah. Dia memondong tubuh ibunya dan membawanya menghampiri jenazah ayahnya, diikuti oleh Retno Susilo yang mengerutkan alis dan menahan hatinya agar jangan menangis karena matanya sudah terasa panas dan bibirnya gemetar. Dengan lembut Sutejo merebahkan tubuh ibunya di samping jenazah ayahnya. Padmosari menoleh ke kiri dan menggerakkan tangan kirinya, perlahan tangan kirinya mencari sampai bertemu dengan tangan kanan Ki Harjodento lalu digenggamnya tangan itu dan ia tersenyum.
"aku... aku tak ingin... berpisah... darinya..." Ia memandang wajah suami isteri yang berlutut di dekatnya itu, lalu dengan napas terengah-engah ia menguati diri dan berkata, "Tejo... Retno... jaga... cucuku Bagus Sujiwo... baik-baik..." Tubuh wanita itu terkulai dan ia menghembuskan napas terakhir, mati dengan tangan masih menggenggam tangan suaminya.
"Ibuuu... bapaaak...?" Sutejo menjerit dan menangis. Retno Susilo juga menangis tersedu-sedu, akan tetapi ia masih berusaha untuk menghibur suaminya yang seperti anak kecil merangkul jenazah kedua orang itu bergantian sambil memanggil-manggil mereka.
"Kakangmas, ingatlah... sebutlah nama Gusti Allah..." kata Retno Susilo sambil merangkul pundak suaminya dan air matanya membanjiri kedua pipinya.
Sutejo menahan tangisnya. "Duh Gusti mohon kekuatan, Gusti!" keluhnya lirih dan dia merangkul isterinya. Suami isteri itu berangkulan dan menangis. Hati mereka seperti diremas-remas rasanya, apalagi pesan terakhir Padmosari tadi mengingatkan mereka akan putera mereka yang lenyap. Mereka berdua kehilangan anak tunggal mereka dan mereka datang ke Nogodento hendak melapor dan bersambat kepada orang tua, mengadukan nasib mereka dan minta pertolongan. Akan tetapi setibanya di Nogodento mereka malah dihadapkan dengan kematian ayah ibu mereka!
Tiba-tiba Retno Susilo yang tak dapat menahan kemarahannya, bangkit dan mengacungkan tangan yang terkepal di udara, "Aku bersumpah akan membalaskan kematian bapak dan ibu, membalaskan sakit hati ini! Aku akan mencari mereka!"
Sutejo juga bangkit dan merangkul isterinya. "Sabar dan tenanglah, diajeng. Aku telah mengetahui siapa kakek tadi. Kita bicarakan hal itu nanti saja. Sekarang, yang terpenting adalah mengubur jenazah bapak dan ibu."
Mereka lalu mengumpulkan sisa anak buah Nogodento. Masih ada dua belas orang murid yang hidup. Dengan dibantu para murid, Sutejo dan Retno Susilo mengubur jenazah Ki Harjodento dan Nyi Padmosari dengan baik, juga jenazah para murid Nogodento yang menjadi korban dalam pertempuran itu. Bahkan pasangan pendekar perkasa ini rnenyuruh para murid Nogodento untuk mengubur pula jenazah para anak buah Klabang Wilis sebagaimana mestinya.
Setelah semua penguburan selesai, dari para murid Nogodento sepasang suami isteri pendekar itu mendengar akan penyerbuan gerombolan Klabang Wilis itu. Juga mereka mendengar akan pesan Ki Harjodento kepada para murid agar pergi dan membantu Mataram dengan menjadi perajurit sukarela.
"Mendiang bapak benar," kata Sutejo kepada para murid itu. "Kalian harus mempergunakan semua ilmu yang dengan susah payah kalian pelajari untuk melakukan hal-hal yang benar. Sekarang ini Mataram sedang membutuhkan bantuan para pemuda seperti kalian, maka sudah sepantasnyalah kalau kalian membantu seperti yang dipesan mendiang bapak. Sekarang bagibagilah di antara kalian semua barang berharga yang ditinggalkan orang tuaku, untuk bekal kalian dalam perjalanan. Juga jangan lupa, dalam perjalanan kalian, bantulah kami dengan membuka mata dan telinga, melihat dan mendengar kalau-kalau kalian dapat menemukan jejak putera kami Bagus Sujiwo, yang diculik orang seperti telah ka ceritakan kepada kalian tadi. Nah, laksanakan perintah kami itu dan segera berangkatlah. Kami akan pergi lebih dulu."
Setelah meninggalkan pesan dan banyak nasihat kepada para murid Nogodento, Sutejo dan Retno Susilo meninggalkan tempat itu dan melakukan perjalanan ke timur. "Kakangmas, kita sekarang melakukan pengejaran terhadap Wiku Menak Koncar yang telah membunuh ayah dan ibu? Kita harus membalas dendam itu secepatnya, kakangmas!" kata Retno Susilo setelah mereka keluar dari perkampungan Nogodento.
Sutejo menghentikan langkahnya dan mengajak isterinya duduk di atas batu-batu di tepi sungai. Bengawan Solo yang mulai mengalir ke utara di bagian itu cukup lebar dan banyak airnya karena telah bertemu dan bersatu dengan Kali Madiun yang mengalir dari selatan.
"Diajeng, kita tidak akan mengejar Wiku Menak Koncar." Wanita itu memandang wajah suaminya dengan heran. "Apa? Kakek jahat itu telah membunuh bapak dan ibu, dan engkau tidak akan membalas dendam?"
"Diajeng, Wiku Menak Koncar menyerang mendiang bapak juga karena hendak membalas dendam atas kematian saudaranya, yaitu Ki Klabangkolo yang roboh oleh mendiang bapak. Tidak, diajeng, kita tidak akan membalas dendarn karena kalau begitu, tiada bedanya antara dia dan kita, sama-sama diracuni dendam. Ada urusan yang jauh lebih penting bagi kita, yaitu pertama, kita harus membantu usaha Mataram menundukkan Madura dan Surabaya seperti yang dipesankan mendiang bapak kepada para muridnya. Dan kedua, kita masih harus mencari anak kita. Tentang Wiku Menak Koncar, kita akan menentangnya mati-matian kalau dia melakukan kejahatan, bukan karena dendam."
Retno Susilo menghela napas panjang. Dulu, sebelum menjadi isteri Sutejo, ia adalah seorang gadis perkasa yang berhati sekeras baja, galak dan selalu bersikap keras dan membenci orang yang dianggapnya jahat. Ia tidak mengenal ampun kepada mereka. Akan tetapi setelah ia menjadi isteri Sutejo, ia berubah banyak. Ia mulai dapat melihat bahwa menuruti kekerasan hati adalah menuruti nafsu sendiri yang pada akhirnya akan merugikan diri sendiri. Ia mulai dapat melihat kebijaksanaan suaminya dan semenjak menjadi isteri Sutejo, ia selalu mentaatinya. Kini, diingatkan tentang puteranya yang hilang, Retno Susilo menjadi sedih sekali, sedih dan gelisah.
"Duh, kakangmas.... bagaimana dengan Bagus? Siapakah yang menculiknya dan kenapa? Di mana dia sekarang, kakangmas dan bagaimana keadaannya? Aku khawatir sekali..."
Sutejo merangkul isterinya. "Tenanglah, diajeng. Yang jelas, kita yakin bahwa Bagus masih hidup. Kalau penculiknya ingin membunuhnya, tentu hal itu sudah dilakukannya dan tidak perlu dia bersusah payah membawa anak itu, pergi."
"Akan tetapi siapa yang begitu kejam menculik anak kita? Sudah setahun anak kita hilang dan belum juga kita dapat menemukan jejaknya..." suara wanita itu gemetar.
"Ingatlah bahwa aku sendiri ketika masih kecil diculik dari ayah ibu dan baru dapat berjumpa kembali dengan mereka setelah aku dewasa. Aku yakin bahwa penculikan anak kita ini dilandasi dendam kepada kita. Engkau sendiri tahu hahwa kita berdua dahulu telah menentang banyak orang jahat, apalagi sehubungan dengan pemberontakan mereka terhadap Mataram. Oleh karena itu, aku herpendapat bahwa yang menculik anak kita tentulah seorang diantara mereka yang pernah bermusuhan dengan kita seperti halnya Wiku Menak Koncar mendendam kepada mendiang bapak."
"Lalu apa yang harus kita lakukan, kakangmas? Ke mana kita harus mencarinya?"
"Tenanglah, diajeng. Menghadapi kehilangan Bagus ini, hanya ada dua hal yang dapat kita lakukan. Pertama, kita menyerahkan Bagus kepada Gusti Allah dan selalu berdoa dan percaya bahw Gusti Allah pasti akan melindunginya. Kedua, kita harus berusaha mencari terus, akan tetapi karena kita belum tahu harus mencari ke mana, maka kita harus mendahulukan urusan yang sudah jelas yaitu membantu Mataram. Kita membantu Mataram sambil memasang mata dan telinga kalau-kalau dapat menemukan jejak anak kita itu."
Retno Susilo hanya dapat menyetujui dan mengangguk. Suami isteri itu lalu melanjutkan perjalanan rnereka, menyusuri Bengawan Solo.
Rombongan yang berjurnlah tiga puluh orang lebih itu, yang tadinya lari cerai berai meninggalkan perkampungan Nogodento, akhirnya berkumpul dan melakukan perjalanan yang sunyi menuju kembali ke Gunung Wilis. Mereka telah menderita kekalahan besar ketika menyerbu Nogodento. Sama sekali di luar dugaan Wiku Menak Koncar dan Wiroboyo yang memimpin lima puluh orang lebih anak buah itu bahwa setelah mendapatkan kemenangan dan hampir dapat membasmi semua murid Nogodento, tiba-tiba muncul Sutejo dan Retno Susilo yang membuat mereka semua lari cerai-berai meninggalkan dua puluh lebih kawan yang tewas dalam penyerbuan itu.
Wiku Menak Koncar berjalan di depan rombongan bersama Wiroboyo. Wajah kakek ini tampak cerah, sebaliknya wajah Wiroboyo tampak muram. Hal ini tidaklah aneh karena Wiku Menak Koncar merasa puas bahwa dia telah berhasil membunuh musuh besarnya Ki Harjodento bersama isterinya. Sebaliknya, Wiroboyo merasa rugi karena kehilangan banyak sekali anak buah.
"Sudahlah, anakmas Wiroboyo, tidak perlu bermuram durja. Setelah kita tiba di Gunung Wilis nanti, kita dapat menyusun lagi kekuatan dan menambah anggauta Klabang Wilis agar menjadi kuat kembali." Wiku Menak Konear menghibur.
"Akan tetapi saya merasa penasaran sekali, Bapa Wiku. Sebagian besar anak buah saya terbunuh oleh wanita itu dan saya merasa penasaran karena tidak dapat membunuhnya. Perempuan itu begitu ganas seperti iblis!" kata Wiroboyo sambil mengepal tangan kanan dengan gemas.
"Hemm, jangan penasaran, anakmas. Andika tidak tahu siapa mereka. Yang laki-laki itu lebih sakti lagi dan setelah dia mengeluarkan Pecut Sakti Bajrakirana, baru aku ingat dan tahu siapa dia. Dia adalah seorang pendekar yang sakti mandraguna, murid mendiang Resi Limut Manik. Dialah yang dahulu membela Mataram dan mengalahkan banyak orang digdaya yang memusuhi Mataram. Untung Ki Harjodento dan isterinya sudah kurobohkan lebih dulu. Kalau kita terlambat sedikit saja, belum tentu kita berdua dapat meloloskan diri! Masih untung kita dapat selamat dan lebih untung lagi aku berhasil membunuh musuh besarku dan isterinya."
Pada saat itu, terdengar bentakan suara wanita nyaring, "Jahanam keparat Wiroboyo. Sekarang saatnya engkau mampus di tanganku!" Dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan Wiroboyo dan Wiku Menak Koncar telah berdiri Muryani dan Satyabrata. Mula-mula kedua orang itu kerkejut karena mengira bahwa yang muncul itu adalah Sutejo dan Retno Susilo. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang muncul di depannya itu adalah Muryani dan seorang pemuda tampan yang tidak dikenalnya, Wiroboya menjadi riang. Setelah sekian lamanya, dia masih tetap tergila-gila kepada gadis itu dan kini Wiku Menak Koncar berada di depannya, maka tentu saja dia tidak merasa takut sama sekali.
"Bapa Wiku, tolong tangkapkan gadis ini untuk saya. Sudah lama saya mengnginkan ia menjadi isteri saya," kata wiroboyo.
Mendengar permintaan muridnya itu, Wiku Menak Koncar tertawa. Dia tahu bahwa muridnya itu sebagai ketua Klabang Wilis merasa kecewa karena kehilangan lebih dari dua puluh orang anak buah, maka dia ingin menyenangkan atau menghibur hati muridnya itu dengan memenuhi permintaannya. Memang gadis yang menghadang mereka itu cukup cantik jelita sehingga tidaklah mengherankan kalau Wiroboyo tergila-gila kepadanya.
"Heh-heh-hik-hik!" Dia terkekeh seperti seorang nenek-nenek. "Cah ayu dhenok dhebleng! Mari-mari, menurutlah andika menjadi isteri anakmas Wiroboyo!"
"Tua bangka hitam elek sinting, mampuslah!" Muryani yang sudah marah sekali melihat Wiroboyo, menjadi semakin marah melihat sikap dan mendengar ucapan Wiku Menak Koncar itu. Ia sudah menerjang ke depan dan menyerang kakek berkulit hitam arang itu dengan pukulan Gelap Sewu yang dahsyat mematikan!
"Uh-uhhh galak juga..." seru Sang Wiku Menak Koncar kaget dan cepat dia pun menyambut pukulan sakti itu dengan mendorongkan kedua telapak tangannya sambil mengerahkan tenaga Bayu Bajra.
"Wuuuuttt... desss!!" Tubuh Wiku Menak Koncar tergetar hebat, akan tetapi tubuh Muryani terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Hal ini saja membuktikan bahwa gadis itu masih kalah kuat dibandingkan lawannya. Wiku Menak Koncar tertawa terkekeh dan sudah cepat menerjang ke depan dengan niat untuk menangkap gadis yang terhuyung itu akan tetapi tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan Satyabrata sudah menjulurkan tangan menahannya.
Melihat pemuda itu berani menghalanginya, Wiku Menak Koncar cepat memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah dada pemuda itu. Satyabrata menyambut dengan telapak tangannya.
"Wuuuttt...desss!!" Keduanya sama-sama terdorong ke belakang. Tentu saja Wiku Menak Koncar terkejut bukan main karena mendapat kenyataan bahwa pemuda itu ternyata memiliki tenaga sakti yang tidak kalah kuat. Satyabrata menatap penuh perhatian. Dia pernah mendengar tentang datuk Blambangan yang berkulit hitam arang dan suaranya seperti wanita ini. Terkenal sebagai datuk yang selalu menentang Mataram. Dari logat bicaranya saja dia sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentu orang Blambangan dan melihat kulitnya, mudah diduga bahwa dia tentu Wiku Menak Koncar. Segera otaknya yang memiliki kecerdikan luar biasa itu bekerja dan dia berkata kepada kakek itu dengan nada mengejek.
"Hemm, kakek muka hitam. Tidak tahu malu andika menyerang seorang wanita. Kalau memang andika berani dan bukan pengecut, hayo lawanlah aku!" Wiku Menak Koncar adalah seorang datuk besar. Tentu saja tantangan itu memanaskan perutnya.
"Siapa takut padamu, bocah kemarin sore?" bentaknya dan dia sudah menerjang dan menyerang dengan pukulan Aji Nandaka Kroda yang amat dahsyat dan mematikan. Namun, dengan gerakan vang lincah sekali Satyabrata melompat ke belakang menghindar sambil mengejek.
"Luput, kek! Gerakanmu lambat seperti keong (siput) dan lunak seperti gudir! Hayo keluarkan semua aji-ajimu dan tandingi aku kalau memang andika berani dan bukan pengecut!"
Wiku Menak Koncar marah sekali. Dia mengejar dan menyerang lagi dengan lebih dahsyat, ingin membunuh pemuda yang berani mengejek dan menghinanya itu dengan sekali pukul. "Hyaaaatttt... ahhhh....!"
Satyabrata mengelak lagi dengan lompatan yang lebih jauh ke belakang. "Luput lagi, kek. Apakah tubuhmu sudah buyutan dan andika tidak mampu bergerak lebih cepat lagi?"
Dia mengejek sambi menjauh dan Wiku Menak Koncar terus mengejar, tidak tahu bahwa dia memang sengaja dipancing oleh pemuda itu. Sementara itu, melihat kakek yang sakti itu kini sudah bertanding melawan Satyabrata, Muryani segera melompat ke depan Wiroboyo. Kemarahannya sudah berkobar lagi, teringat akan kematian ayahnya. Walaupun ia sudah berhasil membunuh, atau setidaknya merobohkan dan membuat Darsikun, pembunuh ayahnya itu membunuh diri, namun ia tahu bahwa Darsikun hanyalah suruhan dan yang menyuruh bunuh ayahnya adalah Wiroboyo ini.
"Wiroboyo jahanam busuk, aku bersumpah untuk membunuhmu!" teriaknya marah. Akan tetapi Wiroboyo masih rnemandang rendah gadis itu. Kini setelah dia mempelajari aji kesaktian dari Wiku Menak Koncar, tentu saja dia tidak takut kepada Muryani. "Heh-heh, manis. Sekarang engkau pasti akan tunduk dan menjadi milikku!" Wiroboyo sama sekali tidak tahu bahwa gadis itu telah mendapat gemblengan hebat dari Nyi Rukmo Petak.
"Haiiiiittt...!" Muryani menerjang dengan aji pukulan Gelap Sewu. Dari kedua tangannya meluncur hawa pukulan yang amat dahsyat. Wiroboyo yang masih memandang rendah, sambil tersenyum menyambut pukulan itu dengan dua tangan, siap untuk menangkap apabila gadis itu terhuyung oleh tenaganya yang tentu jauh lebih kuat.
"Wuuuttt... bresss!" Senyum itu lenyap dari muka Wiroboyo yang berubah pucat. Pertemuan tenaga itu membuat ia terhuyung ke belakang, bahkan nyaris dia terjengkang kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik ke belakang. Melihat pemimpin mereka terhuyung, empat orang anak buah Klabang Wilis menyerbu dengan golok mereka, membacok ke arah gadis itu dari empat jurusan...
Sementara itu, pagi sudah hampir menyingsing di sana-sini mulai terdengar kicau burung. Satyabrata menoleh dan melihat kedua kaki Muryani, agaknya dia baru teringat kepada gadis itu. Betapa dia amat mencinta Muryani! Perasaan hangat memenuhi dadanya. Akan tetapi kehangatan hatinya karena cintanya itu terganggu oleh bayangan kenangan di atas pembaringan di dalam bilik kamar tidur gadis dusun tadi. Tiba-tiba dia merasa betapa dia telah mengkhianati cintanya terhadap Muryani!
Timbul penyesalan yang amat besar dalam hatinya, bukan menyesal karena dia telah melakukan kejahatan memperkosa gadis dusun itu, sama sekali bukan. Dia merasa amat menyesal karena dia telah mengkhianati cinta kasihnya terhadap Muryani. Inilah yang mendatangkan penyesalan luar biasa dan tak dapat ditahannya lagi, Satyabrata menangis didepan api unggun, menangis sampai mengguguk seperti anak kecil!
Lama sekali Satyabrata menangis, seakan untuk mengimbangi tawanya yang terbahak-bahak tadi. Dia tidak tahu bahwa suara tangisnya terdengar oleh Muryani dan membangunkan gadis itu dari tidurnya. Muryani bangkit duduk dan merasa heran sekali melihat dan mendengar pemuda itu menangis. Ia menjulurkan tangannya keluar perahu, menggunakan air sungai yang dibagian itu amat bening untuk membasuh mukanya sehingga ia merasa segar kembali dan sudah sadar sepenuhnya.
Ia tadinya masih ragu, merasa bahwa ia bermimpi melihat pemuda yang gagah perkasa itu menangis sampai mengguguk. Akan tetapi setelah membasuh mukanya ia masih melihat Satyabrata menangis, ia menjadi heran dan penasaran. Ia keluar dari perahu menghampiri pemuda yang agaknya begitu terbenam dalam kesedihannya sehingga tidak mendengar Muryani keluar dari perahu.
"Kakangmas Satyabrata !" Muryani memanggil setelah ia berdiri di belakang pemuda itu.
Satyabrata terkejut dan menengok, mengangkat mukanya. Muryani melihat betapa kedua mata pemuda itu merah dan agak membengkak oleh tangis, wajahnya tampak memelas sekali sehingga merasa iba sekali. Wajah itu seperti wajah orang yang dilanda kedukaan yang teramat mendalam. Pada saat itu, Satyabrata telah menguasai dirinya dan dia kini menjadi seorang pemuda yang luar biasa cerdiknya. Karena merasa iba, Muryani lalu duduk di dekat pemuda itu, depan api unggun.
"Ohh... diajeng Muryani... engkau sudah bangun....? Ah, aku... aku... maafkan aku.." kata pemuda itu gagap dan dengan kedua tangannya dia berusaha untuk mengusap air mata yang membasahi mukanya.
"Kakangmas, engkau kenapakah? Apa yang membuat engkau menjadi begini sedih? Hampir aku tidak percaya melihat engkau menangis tadi, kakangmas," tanya Muryani dan suaranya terdengar halus karena ia merasa kasihan.
Saat itu yang berhadapan dengan Muryani bukanlah Satyabrata yang gila, melainkan Satyabrata yang cerdik luar biasa. Mendengar pertanyaan itu, Satyabrata mengusap-usap air mata yang mulai menetes dari kedua matanya dan dia berkata dengan suara parau dan gemetar. "Aduh... diajeng... terima kasih atas perhatianmu kepadaku. Ketika tadi aku duduk seorang diri di sini, teringat olehku betapa hidupku sebatangkara... tak sorangpun memperdulikan diriku... aku terlunta-lunta, tersia-sia... aku menjadi sedih, diajeng..."
Muryani merasa tersentuh hatinya dan terharu sekali. "Kakangmas, di manakah ayah ibumu?"
Satyabrata menutupkan kedua tangan didepan matanya dan Muryani melihat betapa air mata menetes keluar dari celah-celah jari kedua tangan itu. "Ah, diajeng... justeru karena teringat kepada ayah ibuku maka hatiku sedih... ayah...ayahku seorang bangsa kulit putih, seorang Portugis... dia telah meninggal dunia... juga ibuku, seorang Jawa... telah meninggal dunia. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi, diajeng..."
Muryani merasa jantungnya seperti diremas. Semua pengakuan pemuda itu bagaikan keris menghunjam hatinya, mengingatkan ia akan keadaan dirinya sendiri. "Kakangmas Satyabrata..." suara Muryani gemetar, matanya basah dan tangan sudah berada diujung bibirnya yang bergerak-gerak, hatinya dipenuhi keharuan, "engkau tidak sendirian, kakangmas, akupun... ibuku telah tiada dan ayahku... ayah terbunuh orang... akupun hidup sebatangkara di dunia ini..."
"Aduh Gusti...! Tak kusangka... kasihan sekali engkau, diajeng Muryani..." kata Satyabrata sambil memegang kedua tangan gadis itu.
Muryani mulai menangis. "Engkau... engkaupun kasihan sekali, kakangmas..." Keduanya menangis dan saling rangkul, bertangisan dan saling menggunakan pundak masing-masing untuk bersandar.
Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, bertangisan dan berangkulan, tenggelam ke dalam keharuan. Tiba-tiba Muryani terkejut. Ia melihat kenyataan yang terjadi dalam hatinya. Ia bukan hanya merasa kasihan, bukan hanya terharu. Ia merasa betapa ia telah jatuh cinta kepada pemuda ini! Bagaikan kilat wajah Parmadi terbayang depan matanya. Parmadi yang baik hati dan yang pernah menjatuhkan hatinya. Akan tetapi sekarang ia melihat perbedaan yang mencolok antara dua orang pemuda itu.
Parmadi seorang pemuda yang berwatak gagah berani, akan tetapi dia seorang pemuda biasa yang lemah, sebaliknya Satyabrata adalah seorang pemuda yang sakti mandraguna! Seorang pemuda yang juga sebatangkara seperti ia dan Parmadi, seorang pemuda yang tidak kalah tampan dibandingkan Parmadi dan yang bersikap baik sekali, lembut, sopan dan amat menarik hati di samping kesaktiannya yang mengagumkan hatinya. Kesadaran bahwa ia telah jatuh cinta, mengejutkan hati Muryani dan dengan lembut ia merenggangkan tubuhnya, menarik kepalanya ke belakang dan melepaskan rangkulannya. Akan tetapi dengan lembut Satyabrata memegang kedua tangannya dan Muryani tidak tega menarik lepas tangannya setelah memandang wajah pemuda itu, begitu penuh duka dan harapan.
"Terima kasih kepada Tuhan, setidaknya sekarang aku tahu bahwa di dunia ada seorang yang merasa senasib dan merasa kasihan kepadaku, yaitu engkau diajeng Muryani. Aku merasa berbahagia sekali telah dapat bertemu, berkenalan dan menjadi sahabatmu. Semoga persahabatan kita akan kekal dan aku akan mempertaruhkan jiwa ragaku untuk membelamu. Aku akan menghajar dan menangkap musuh besarmu si Wiroboyo itu untukmu diajeng. Bukankah dia yang telah membunuh orang tuamu?"
"Pembunuhnya adalah orang yang bunuh diri tadi, akan tetapi yang menyuruh adalah Wiroboyo. Dialah musuh besarku. Terima kasih untuk kesediaanmu membantuku, kakangmas. Akupun merasa berbahagia sekali dapat bersahabat denganmu."
Dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati Satyabrata. Dia benar-benar jatuh cinta kepada Muryani dan dia ingin sekali menguasai gadis itu secara sukarela, bukan paksaan, bukan pula dengan pengaruh aji pengasihan. Dia ingin dicintai gadis itu dan dia tahu bahwa untuk mendapatkan cinta gadis itu, dia harus pandai mengambil hatinya, pandai merayunya.
"Mari kita lanjutkan perjalanan kita, diajeng. Nanti kalau kita lewat di sebuah dusun, kita mencari makanan untuk sarapan pagi."
Mereka naik ke perahu dan Satyabrata segera mendayung perahu ke tengah sungai. Dia bersikap sopan, lembut dan amat menghormati dan menghargai Muryani. Tutur sapanya semanis madu, gerak-geriknya sopan memikat dan menarik hati, rayuannya halus dan mengelus hati. Tidak mengherankan kalau selama dalam perjalanan itu hati Muryani semakin tertarik. Ia menganggap Satyabrata seorang pemuda yang pandai, lembut, sopan, bahkan matang pengalamannya, sedikit-sedikit menyebut nama Gusti Allah seakan dia seorang yang beribadat dan saleh.
Muryani adalah seorang gadis yang berwatak keras, apalagi setelah menjadi murid Nyi Rukmo Petak yang pada dasarnya memiliki watak aneh dan keras. Akan tetapi gadis ini memiliki kelemahan, yaitu ia mudah sekali terbujuk oleh rayuan. Ia menilai orang, dalam hal ini laki-laki, dari sikap dan tutur sapanya juga dari perbuatannya. Dilihatnya pemuda yang baru dikenalnya itu selalu berbuat baik dan menentang kejahatan, bertutur sapa semanis madu, dan bersikap sopan dan lembut. Maka, menghadapi rayuan laki-laki seperti ini, runtuhlah hatinya dan ia percaya sepenuhnya bahwa Satyabrata adalah seorang laki-laki yang pantas untuk menjadi sahabat, bahkan pantas untuk dicintai!
Manusia lemah pada umumnya mudah dirayu, menilai seseorang dari sikap tutur sapa, dan perbuatannya. Mereka itu lupa bahwa sikap, tutur sapa dan perbuatan mudah diatur, dapat berpura-pura dan hanya dipakai sebagai topeng belakang. Belum tentu semua itu mencerrninkan keadaan watak atau hati yang serupa. Semua itu hanya kulit, tak mencerminkan isinya dan semua keindahan lahiriah itu biasanya oleh para pria dipergunakan untuk memancing hati wanita, dipergunakan sebagai umpan. Kalau si wanita sudah terpancing dan berhasil didapatkan, lambat-laun barulah tampak belangnya, baru tampak isinya yang busuk, baru tampak apa yang berada di balik topeng yang indah.
Bagaikan musang berbulu ayam, harimau bertopeng domba. Karena itu, seorang yang bijaksana, terutama sekali para wanita, seyogianya selalu waspada terhadap rayuan manis, sikap sopan santun dan halus berlebihan, perbuatan baik yang dipamer-pamerkan. Waspada dan menjenguk lebih dalam apa yang terkandung di balik semua itu. Lebih baik berhadapan dengan orang yang sikapnya kasar namun wajar, yang tutur sapanya tidak semanis madu karena kejujuran itu terkadang tampak kasar dan tidak menyenangkan hati.
Dalam perjalanan menuju ke Ngawi ini, perlahan-lahan Muryani semakin mabok dan tenggelam oleh rayuan Satyabrata. Ia menganggap pemuda itu sakti, pandai, bijaksana dan berbudi mulia!
********************
Perguruan Nogodento merupakan perguruan silat yang dahulu terkenal sebagai tempat penggemblengan para pendekar yang berjiwa patriot, pembela nusa dan bangsa. Ketuanya adalah Ki Harjodento, yang sakti mandraguna dan selalu setia kepada Mataram. Dibantu oleh isterinya Padmosari, Ki Harjodento memimpin perguruan itu dengan baik dan sudah menghasilkan banyak murid yang gagah perkasa dan yang sudah banyak berjasa terhadap Kerajaan Mataram.
Suami isteri ini hanya mempuriyai seorang anak yang bukan lain adalah Tejomanik atau Sutejo yang kini tinggal di lereng Gunung Kawi bersama isterinya, yaitu Retno Susilo. Kini perguruan Nogodento tidaklah sebesar dahulu. Murid-murid yang kini masih belajar dan tinggal di perkampungan Nogodento hanya tinggal kurang lebih dua puluh orang, inipun merupakan murid-murid baru yang tingkat kepandaiannya masih rendah. Mereka itu baru belajar silat paling lama lima tahun. Hal ini adalah karena kini Ki Harjodento tidak lagi menerima murid baru. Dia sudah merasa terlalu tua dan tidak bersemangat lagi. Usianya memang sudah tua, sudah tujuh puluh enam tahun. Isterinya, Padmosari, yang lebih muda dua puluh tahun darinya, juga tidak muda lagi, sudah berusia lima puluh enam tahun.
Suami isteri itu ingin menikmati sisa hidup mereka dengan tenteram dan banyak istirahat. Karena inilah maka perkumpulan atau perguruan Nogodento kini tidak sebesar dahulu. Perkampungan Nogodento terletak di lembah Bengawan Solo, di daerah Ngawi. Kehidupan Ki Harjodento kini lebih mirip kehidupan seorang pertapa. Dia lebih sering duduk bersamadhi dan para murid Nogodento yang rnengerjakan cocok tanam atau mencari ikan, lebih mirip para cantrik daripada murid-murid perguruan silat. Mereka yang menginginkan kemajuan dalam ilmu silat sudah meninggalkan perguruan itu, akan tetapi mereka yang mengutamakan ketenteraman dan kedamaian hati, menemukan semua itu di sana dan tetap tinggal di perkampungan Nogodento. Mereka lebih banyak mendengarkan wejangan Ki Harjodento tentang kehidupan daripada berlatih pencak silat.
Pada suatu pagi, Ki Harjodento memanggil semua murid untuk berkumpul di pendopo rumah induk yang luas. Para murid yang jumlahnya dua puluh dua orang itu merasa heran karena tidak pernah K Harjodento memanggil mereka semua berkumpul seperti itu. Mereka yang berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun itu berkumpul dan duduk bersila dilantai pendopo, menduga bahwa tentu ada hal yang amat penting maka ketua perguruan itu memanggil mereka semua untuk berkumpul.
Setelah semua murid duduk di lantai pendopo, Ki Harjodento muncul diiringi Padmosari. Biarpun usianya sudah tujuh puluh enam tahun, Ki Harjodento masih tampak sehat, tubuhnya masih tegap dan wajahnya tidak tampak setua usianya walaupun rambut dan kumis jenggotnya sudah putih semua. Isterinya, Padmosari yang berusia lima puluh enam tahun itu pun tampak masih anggun dan jelas tampak bekas kecantikannya, juga tampak gagah perkasa karena memang wanita ini pun seorang yang sakti mandraguna.
Kedua suami isteri itu duduk di atas kursi yang telah tersedia di situ, dihadapan dua puluh dua orang murid yang rnenduga-duga dengan heran apa gerangan yang akan diperintahkan guru mereka itu kepada mereka. Ki Harjodento melayangkan pandang matanya kepada para murid itu, kemudian dia menghela napas panjang lalu berkata, "Para murid Nogodento sekalian, kalian semua tentu bertanya-tanya dan merasa heran mengapa pagi hari ini aku memanggil kalian semua berkumpul di pendopo ini."
Suwondo, berusia tiga puluh dua tahun dan merupakan murid tertua di situ dan dialah yang kadang mewakili gurunya untuk membimbing para murid lain berlatih silat, mewakili teman-temannya bertanya dengan sikap hormat. "Bapa guru, kami para murid semua sudah siap untuk menerima dan melaksanakan perintah bapa guru dengan taat."
Ki Harjodento mengangguk-angguk. "Bagus, Suwondo, itulah yang karni harapkan. Mudah-mudahan semua murid Nogodento, sampai murid terakhir, akan tetap mengharumkan nama perguruan Nogodento kita. Dengarlah kalian baik-baik. Pada waktu ini, Mataram membutuhkan bantuan kalian. Gusti Sultan Agung sedang berusaha untuk menundukkan beberapa daerah yang belum mau bersatu, diantaranya Madura dan Surabaya, agar dapat menyusun kekuatan untuk menghadapi musuh utama nusa bangsa kita, yaitu Kumpeni Belanda. Karena itu, kami minta kepada kalian agar sekarang juga meninggalkan perkampungan kita dan menjadi pasukan sukarela membantu Mataram menaklukkan daerah-dearah yang belum mau tunduk itu."
Hening setelah Ki Harjodento mengakhiri ucapannya itu. Para murid itu sama sekali tidak pernah mengira bahwa mereka diperintahkan untuk pergi dan membantu Mataram berperang. Ini berarti akan terjadi perubahan besar dalam kehiduprrn mereka. Meninggalkan perkampungan Nogodento yang aman tenteram dan menjadi perajurit menempuh bahaya maut!
Padmosari dapat merasakan keheningan yang menegangkan hati ini. Ia lalu berkata dengan suara yang nyaring namun merdu dan mengandung kelembutan. "Murid-murid Nogodento sekalian! Ingatlah bahwa guru kalian tadi hanya meminta kalian untuk membantu Mataram, berarti bahwa kami sama sekali tidak memaksa kalian. Kami tidak memaksa kalian untuk menjadi perajurit dan membantu Mataram berperang. Akan tetapi membantu Mataram merupakan kewajiban seluruh kawula Mataram dan kalian tentu tahu, membantu nusa bangsa banyak sekali caranya, di antaranya membantu dalam perang melawan musuh, membantu negara mengamankan daerah-daerah, menentang kejahatan-kejahatan. Pendeknya, membela kebenaran dan keadilan di manapun kalian berada dengan menggunakan segala kekuatan dan kepandaian yang kalian pernah pelajari di sini. Dengan demikian kalian akan menjadi pendekar-pendekar Nogodento yang berguna bagi kepentingan bangsa dan negara. Mengertikah kalian?"
Kembali Suwondo yang mewakili kawan kawannya. "Kami mengerti, akan tetapi kalau kami semua pergi, lalu siapa yang akan melayani bapa guru berdua?"
"Kami justeru ingin hidup menyendiri berdua saja menikmati kesunyian dan kedamaian," kata Ki Harjodento.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara banyak orang, gaduh dan hiruk-pikuk datang dari luar perkampungan Nogodento. Semua orang terkejut. Biarpun suami isteri itu juga kaget namun mereka bersikap tenang dan Harjodento berkata, "Suwondo, ajak semua saudaramu keluar dan lihat apa yang terjadi. Kalau ada hal-hal yang tidak baik, laporkan kepada kami dan jangan lancang bertindak sendiri-sendiri."
"Baik, bapa guru!" Suwondo lalu memberi isyarat kepada semua murid dan mereka keluar dari pendopo itu dengan tertib lalu menuju ke pintu gerbang perkampungan Nogodento.
Ketika Suwondo dan kawan-kawannya tiba di dekat pintu gerbang, mereka merasa terkejut dan heran karena ternyata puluhan orang telah memasuki pintu gerbang, dipimpin oleh seorang kakek berusia enam puluh tahun bertubuh sedang dengan kulit hitam sekali dan pakaian mewah. Di samping kakek ini berdiri seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun bertubuh tinggi besar dan kumisnya tebal, tampak gagah. Melihat sikap mereka yang beringas dan marah, Suwondo bersikap hati-hati. Dia memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk berhenti dan dia sendiri maju dan memberi hormat kepada dua orang yang memimpin puluhan orang itu.
"Mohon tanya, andika sekalian ini siapakah dan keperluan apakah yang membawa andika mengunjungi perkampungan kami?"
Yang menjawab pertanyaan itu adalah kakek berkulit hitam. Dia adalah Wiku Menak Koncar, datuk besar dari Blambangan yang kini menjadi guru Wiroboyo. Seperti kita ketahui, datuk besar ini ditemani Wiroboyo dan lima puluti orang anak buah Klabang Wilis mendatangi perguruan Nogodento dengan niat membalas dendam kepada Ki Harjodento. Ketua Nogodento ini sebelas tahun yang lalu telah menewaskan Ki Klabangkolo dalam sebuah pertempuran dan Ki Klabangkolo adalah saudara seperguruan Wiku Menak Koncar.
"Hayo panggil keluar Ki Harjodento untuk bertemu dengan aku!" demikian jawaban Wiku Menak Koncar dengan suaranya yang kecil seperti suara wanita. "Cepat atau kami akan membunuh kalian semua dan membakar habis perkampungan ini!"
Mendengar jawaban yang nadanya marah dan penuh permusuhan ini, Suwondo dan kawan-kawannya tentu saja menjadi marah. Akan tetapi mengingat akan pesan Ki Harjodento dan melihat bahwa jumlah para penyerbu dua kali lebih banyak daripada jumlah mereka, Suwondo menahan kemarahannya dan dia berpesan kepada kawan-kawannya, "Kalian tunggu saja di sini, aku akan melaporkan kepada bapa guru!"
Setelah berkata demikian Suwondo melompat dan berlari menuju ke bangunan induk yang menjadi tempat tinggal Ki Harjodento dan isterinya. "Bapa guru, celaka, bapa guru!" Suwondo berlutut di depan gurunya dan berkata dengan sikap khawatir sekali.
"Tenanglah, Suwondo. Engkau bersikap bukan seperti seorang murid Nogodento!" tegur Ki Harjodento. "Katakan dengan tenang, apa yang terjadi?"
"Bapa guru, perkampungan kita didatangi puluhan orang, banyak sekali, sikap mereka bermusuhan dan mereka dipimpin seorang kakek bermuka hitam yang bengis. Kakek itu minta agar bapa guru keluar menghadapinya dan dia mengancam akan membunuh kita semua dan membakar habis perkampungan kita."
Mendengar laporan ini, Nyi Padmosari melompat dan bayangannya berkelebat masuk kebagian dalam rumah. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi, berpakaian ringkas membawa keris di pinggang dan tangannya memegang sebatang tombak yang ia serahkan kepada suaminya. "Mari kita keluar menemui mereka," kata wanita itu dengan sikap gagah dan tenang.
Ki Harjodento menerima senjata tombak yang menjadi pusakanya yang ampuh, lalu bangkit berdiri dan mengangguk. "Mari kita lihat siapa yang datang mencari keributan itu. Suwondo, atur para murid agar jangan bergerak kalau tidak diserang."
Tiga orang itu lalu keluar dari bangunan dan berjalan menuju ke pintu gerbang perkampungan. Biarpun Ki Harjodento sudah berusia tujuh puluh enam tahun, namun langkahnya masih gesit dan sikapnya tenang saja. Para rnurid Nogodento memberi jalan dan akhirnya Ki Harjodento dan Padmosari berhadapan dengan Wiku Menak Koncar dan Ki Wiroboyo. Sejenak mereka berempat berhadapan dan saling pandang, kemudian Ki Harjodento berkata, suaranya mengandung penuh wibawa dan ketenangan.
"Kisanak sepanjang ingatan kami rasanya kami tidak mengenal andika. Siapakah andika dan ada urusan apakah andika mencari kami?"
Wiku Menak Koncar memandang ketua Nogodento itu dengan mata bersinar. "Hemmm, apakah andika yang bernama Ki Harjodento, ketua Perguruan Nogodento?"
"Tidak keliru, ki-sanak. Aku adalah Harjodento dan ini adalah isteriku, Nyi Padmosari. Siapa gerangan andika?"
"Aku adalah Wiku Menak Koncar!" Kakek bermuka hitam itu memperkenalkan diri, suaranya meninggi membayangkan kecongkakan dan kesombongan karena dia yakin bahwa namanya amat terkenal.
Diam-diam Harjodento dan Padmosari terkejut. Tentu saja mereka pernah mendengar nama ini. Akan tetapi Harjodento masih bersikap tenang dan dia berkata sambil mengamati wajah berkulit hitam itu, "Hemm, pernah kami mendengar bahwa Sang Wiku Menak Koncar adalah seorang datuk besar dari Blambangan yang sakti mandraguna! Akan tetapi kami tidak pernah mempunyai urusan dengan andika. Kenapa sekarang andika datang membawa sekian banyaknya anak buah berkunjung ke perkampungan kami?"
"Ki Harjodento, aku merasa yakin bahwa andika belum lupa akan nama Ki Klabangkolo, Bahurekso Gunung Ijen?" kata Wiku Menak Koncar dan suaranya mengandung ejekan.
"Ki Klabangkolo?" Ki Harjodento mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk. "Ya aku masih ingat. Ki Klabangkolo adala seorang di antara para tokoh yang memberontak kepada Mataram, sepuluh tahun lebih yang lalu."
"Bagus kalau andika masih ingat. Tentu andika ingat pula siapa orangnya yang telah membunuh Ki Klabangkolo?"
Ki Harjodento mengerutkan alisnya yang putih. "Aku masih ingat bahwa dalam pertempuran antara mereka yang memberontak terhadap Mataram dan mereka yang setia kepada Mataram, Ki Klabangkolo roboh dan tewas. Tidak kusangkal bahwa dia tewas oleh senjata pusakaku ini."
"Babo-babo, keparat Harjodento. Bagus.bahwa andika telah mengaku sebagai pembunuh Ki Klabangkolo! Ketahuilah bahwa dia adalah saudara seperguruanku dan sekarang aku datang untuk membalas dendam atas kematiannya di tanganmu!"
Ancaman ini tidak menggoyahkan ketenangan Ki Harjodento. "Wiku Menak Koncar, pertempuran dalam perang hanya mempunyai dua akibat. Menang atau kalah, terluka atau tewas dalam perang merupakan hal yang biasa saja. Tidak ada persoalan pribadi dalam perang karena semua itu adalah urusan negara. Ki Klabangkolo bukan tewas karena bermusuhan dengan aku pribadi, melainkan karena dia berpihak kepada pemberontak!"
"Memang benar! Kerajaan Mataram yang menyebabkan saudara seperguruanku mati dalam perang dan karena itu pula aku akan selalu menentang Kerajaan Mataram. Akan tetapi dia tewas di tanganmu, maka aku harus membalaskan kematiannya dan membunuhmu agar arwahnya dapat tenang di alam baka!"
"Kalau itu yang telah menjadi tekadmu yang sesat, terserah kepadamu, Wiku Menak Koncar. Apakah untuk maksud itu andika membawa sekian banyaknya anak buah untuk mengeroyokku?"
"Heh, Harjodento manusia sombong. Kaukira aku tidak mampu membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri? Maju dan bersiaplah untuk mampus dan bertemu dengan saudaraku, Ki Klabangkolo!"
"Wiku Menak Koncar, andika yang menantang bertanding, andika pula yang harus mulai!" kata Ki Harjodento sambil melintangkan tombaknya di depan dada.
"Baik, sambutlah ajiku Bayu Bajra. Heeeehhhhh...!" Kakek bermuka hitam itu mengembangkan kedua tangan, mendorong ke depan dan muncul angin yang menyambar kedepan dengan dahsyat sekali sehingga anak buah Nogodento yang berdiri agak jauh di belakang Ki Harjodento juga tak mampu bertahan dan banyak di antara mereka yang terhuyung dan terjengkang, terdorong oleh angin ribut yang keluar dari kedua telapak tangan Wiku Menak Koncar.
Ki Harjodento maklum akan dahsyat dan kuatnya serangan angin ribut ini maka diapun cepat memutar tombaknya di depan dada sanibil mengerahkan tenaga saktinya. Tombak berputar, berubah menjadi gulungan sinar yang menjadi perisai di depan tubuhnya. Ki Harjadento merasa betapa angin serangan lawan itu menghantam gulungan sinar tombaknya. Terasa berat, namun angin serangan itu tidak sampai mampu menembus gulungan sinar tombaknya, hanya lewat di kanan kiri tubuhnya.
Melihat serangannya, dapat digagalkan lawan, Wiku Menak Koncar menjadi penasaran. Dia menghentikan Aji Bayu Bajra itu dan kini dia menyerang dengan aji pukulan Nandaka Kroda. Kedua tangannya menyambar-nyambar dengan pukulan tangan terbuka atau tamparan yang luar biasa kuatnya, yang mendatangkan angin bersuitan. Ki Harjodento cepat bergerak, mengelak dan membalas dengan tusukan tombaknya. Namun Wiku Menak Koncar juga dapat mengelak dan terjadilah serang-menyerang yang amat seru dan mati-matian.
Karena keduanya maklum bahwa berhadapan dengan lawan tangguh, maka masing-masing mengerahkan seluruh tenaga dan melakukan serangan maut. Gerakan kedua orang sakti mandraguna ini demikian kuatnya sehingga tidak ada yang berani mencampuri. Bahkan mendekatpun berbahaya karena angin serangan mereka menyambar-nyambar sampai jauh.
Wiroboyo merasa penasaran. Tak disangkanya bahwa musuh besar gurunya itu ternyata seorang yang sakti mandraguna, yang agaknya mampu menandingi gurunya sehingga mereka kini bertanding dengan seru dan sukar diduga siapa antara mereka yang akan keluar sebagai pemenang. Dia pikir, apa artinya dia dan lima puluh orang anak buahnya ikut datang ke tempat itu kalau tidak membantu Wiku Menak Koncar?
Dia melihat isteri musuh gurunya, Nyi Padmosari, berdiri dengan gagahnya, juga para murid Nogoderito yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu tampak sudah siap siaga. Maka Wiroboyo lalu mencabut kerisnya dan memberi aba-aba kepada anak buahnya. "Serbuuu...! Dia sendiri, dibantu lima orang murid utama Klabang Wilis, sudah maju menerjang Padmosari. Wanita perkasa ini dengan trengginas lalu mencabut keris dan melakukan perlawanan.
Sementara itu, anak buah Klabang Wilis sudah serentak maju menyerang anak buah Nogodento sehingga terjadi pertempuran yang hiruk-pikuk. Akan tetapi segera ternyata bahwa pertempuran itu berat sebelah. Pertanrlingan antara Ki Harjodento melawan Wiku Menak Koncar memang semula tampak ramai seolah mereka itu setanding atau setingkat. Akan tetapi segera ternyata bahwa Ki Harjodento kini sudah amat tua dan dia pun sudah jarang berlatih olah raga, maka setelah melawan mati matian dia mulai terdesak dan nafasnya mulai terengah-engah, sementara itu lawannya, Wiku Menak Koncar semakin beringas penyerangannya.
Aji Nandaka Kroda yang dikerahkan datuk besar Blambangan itu memang dahsyat sekali dan makin lama serangan serangannya terasa semakin berat bagi Ki Harjodento yang mulai lelah dan kehabisan tenaga. Melihat keadaan lawan yang mulai payah, Wiku Menak Koncar mengerahkan seluruh tenaganya dan kembali dia menyerang dengan Aji Nandaka Kroda. Kedua tangannya didorongkan ke depan dan angin pukulan menyambar dahsyat.
Karena maklum bahwa putaran tombaknya tidak akan mampu menahan serangan dahsyat itu, Ki Harjodento lalu bertindak nekat untuk mengadu tenaga sakti. Dia menancapkan tombaknya ke tanah lalu mengerahkan seluruh tenaga Nogo Dento, mendorong dengan kedua tangan terbuka ke depan menyambut pukulan Aji Nandaka Kroda dari lawan.
"Wuuuuttt.... blaarrrr...!" Hebat bukan main pertemuan kedua tenaga sakti itu. Akan tetapi, tingkat kekuatan Wiku Menak Koncar memang lebih tinggi, apalagi pada saat itu Ki Harjodento yang sudah tua mulai kehabisan tenaga sehingga tenaga sambutannya tadi kurang kuat. Begitu kedua tenaga itu bertemu, jarak antara kedua pasang tangan itu mashi ada setengah depa, tubuh Ki Harjodento terpental dan dia terjengkang dan terbanting roboh telentang, tak mampu bergerak lagi dan dari mulutnya mengalir darah segar!
Melihat keadaan lawannya, Wiku Menak Koncar tertawa. Dia tahu bahwa lawanmnya telah menderita luka yang parah dan nyawanya tak mungkin dapat terselamatkan lagi. Dia lalu memandang ke arah muridnya. Dilihatnya Wiroboyo tidak mampu menandingi kesaktian wanita itu yang biarpun dikeroyok oleh Wiroboyo dan lima orang murid kepala perguruan Klabang Wilis, Nyi Padmosari masih tampak tangguh dan sama sekali tidak terdesak. Melihat ini, Wiku Menak Koncar menjadi penasaran sekali. Apalagi melihat betapa para murid perguruan Nogo Dento yang hanya berjumlah dua puluh lebih itu mampu menahan serbuan lima puluh orang murid Klabang Wilis, dia menjadi marah.
"Haiiiiittt... ahhhh!" Dia melompat dan langsung memukul dengan Aji Nandaka Kroda ke arah Nyi Padmosari. Wanita perkasa ini sudah merasa gelisah sekali melihat suaminya roboh. Ia bingung dan panik, apalagi karena ia tidak mampu membantu atau menengok suaminya. Ia hanya dapat melampiaskan kemarahanya dengan mengamuk dan pada saat itu pukulan ampuh Wiku Menak Koncar melandanya.
"Wuuuuttt... desss!!" Tubuh wanita itu terpental dan iapun roboh terbanting, tidak mampu bangkit kembali. Setelah suami isteri pimpinan Nogodento itu roboh, para murid Nogodento menjadi terkejut. Akan tetapi mereka masih melakukan perlawanan mati-matian. Tak sorangpun dari mereka meragu untuk melawan sampai titik darah terakhir, sesuai dengan jiwa kependekaran yang telah ditanam dalam hati mereka oleh Ki Harjodento dan Nyi Padmosari.
Tiba-tiba terdengar lecutan meledak-ledak dan teriakan melengking-lengking dan banyak anak buah Klabang Wilis berpelantingan sehingga keadaan menjadi kacau.
"Tar-tar-tar-tarrr...!!" tampak sinar hitam berkelebatan menyambar-nyambar sambil mengeluarkan suara meledak-ledak ketika sebuah pecut (cambuk) di tangan seorang laki-laki gagah perkasa berusia tiga puluh tiga tahun mengamuk dengan dahsyatnya.
"Haiiiittt...yaaaahhh...!" Segulung sinar hijau menyambar-nyambar merobohknn beberapa orang anak buah Klabang Wills dan sinar hijau itu adalah sebatang pedang yang digerakkan oleh seorang wamita cantik berusia kurang lebih tiga puluh dua tahun. Mereka yang baru datang dan mengamuk ini bukan lain adalah Sutejo atau Tejomanik, pendekar dari lereng Gunung Kawi dan isterinya, Retno Susilo.
Seperti kita ketahui, suami isteri pendekar ini dalam perjalanan mencari anak mereka yang hilang diculik orang. Mereka meninggalkan perguruan Jatikusumo di daerah Pacitan lalu pergi menuju perguruan Nogodento didaerah Ngawi. Harjodento dan Padmosari adalah ayah dan ibu kandung Sutejo dan kunjungan suami isteri pendekar itu selain menengok orang tua, juga ingin menceritakan tentang diculiknya anak mereka Bagus Sujiwo dan ingin minta agar orang tua itu suka membantu mengerahkan anak buah Nogodento untuk mencari jejak penculik anak mereka.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika tiba di perkampungan Nogodento mereka melihat pertempuran hebat yang sedang terjadi di situ. Apalagi melihat Ki Harjodento dan Nyi Padmosari telah menggeletak dan banyak pula anak buah Nogodento sudah roboh. Tanpa banyak cakap lagi suami isteri pendekar ini menerjang dan mengamuk, merobohkan banyak anak buah Klabang Wilis dengan senjata mereka.
Sutejo mengamuk dengan senjata pusakanya, yaitu Pecut Bajrakirana yang menyarnbar-nyambar dan meledak-ledak seperti halilintar. Adapun isterinya, mengamuk dengan senjatanya yang menggiriskan, yaitu pedang pusaka Nogo Wilis yang berubah menjadi gulungan sinar hijau. Sepak terjang suami isteri yang marah melihat Nogodento diserang dan kedua orang tua mereka menggeletak roboh itu bagaikan sepasang naga dari angkasa yang mengamuk.
Melihat para anak buah Klabang Wilis roboh bergelimpangan diterjang suami isteri itu, Wiku Menak Koncar dan Ki Wiroboyo terkejut dan marah sekali. Sang Wiku Menak Koncar dan Ki Wiroboyo lalu berlompatan. Kakek datuk Blambangan itu menghadapi Sutejo dan Ki Wiroboyo menghadapi Retno Susilo.
"Teja-teja sulaksana! Siapakah andika yang begini lancang berani mencampuri urusan kami dan menyerang anak buah kami?" kakek itu membentak dan mengamnati Sutejo dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kakek itu diam-diarn merasa heran. Belum pernah dia bertemu dengan pria yang berusia kurang lebih tiga puluh tiga tahun, bertubuh tinggi tegap dan kokoh ini. Wajahnya tampan gagah, matanya lebar penuh semangat, alisnya hitam tebal, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan keramahan. Kulitnya bersih dan rambutnya yang panjang ditekuk menjadi gelung ke atas.
Sutejo juga memandang kakek itu penuh perhatian. Seorang kakek yang usianya sekitar enam puluh enam tahun, tubuhnya sedang saja akan tetapi mukanya berwarna hitam arang mengerikan, dan ketika bicara tadi, suaranya melengking seperti suara wanita. Pakaiannya mewah. Matanya agak sipit, hidungnya pesek dan bibirnya tebal. Sungguh merupakan wajah yang aneh akan tetapi sama sekali tidal menarik, bahkan dapat dikatakan buruk sekali dan menakutkan.
"Kakek jahat, akulah yang sepatutnya bertanya padamu. Siapakah andika yang begini jahat datang menyerang Nogodento?"
"Babo-babo! Aku adalah Wiku Menak Koncar, datuk besar Blambangan! Aku datang menyerbu Nogodento karena aku mempunyai permusuhan pribadi dengan Ki Harjodento! Siapa andika berani lancang mencarnpuri urusan pribadiku?"
"Hemm, kiranya Wiku Menak Koncar jagoan Blambangan. Sekarang aku mengerti. Andika tentu masih ada hubungan dengan Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo!"
"Benar! Mereka adalah saudara-saudara seperguruanku. Kematian Klabangkolo di tangan Harjodento yang membuat aku datang membalas dendam kepada Harjodento."
"Wiku Menak Koncar! Mereka itu tewas dalam perang karena mereka membela para pemberontak terhadap Mataram. Ketahuilah, aku adalah Sutejo, putra Bapa Harjodento!"
"Bagus, kaupun harus mampus!" bentak Wiku Menak Koncar dan diapun sudah menerjang ke depan, menyerang dengan Aji Bayu Bajra. Angin yang dahsyat menyambar ke arah Sutejo. Pendekar ini sudah siap siaga. Dia maklum bahwa lawannya memiliki kesaktian. Maka diapun sudah mengerahkan tenaganya dan mendorongkan kedua tangan, menyambut dengan Aji Bromokendali.
"Wuuuttt... desss...!!" Keduanya terorong kebelakang, dan mereka tahu betapa kuatnya tenaga lawan. Wiku Menak Koncar terkejut dan marah. Ki Harjodeno saja sudah dapat dia robohkan, masa dia tidak mampu mengalahkan anaknya?
"Aji Nandaka Kroda...!" bentaknya dan dia menyerang lagi dengan aji yang lebih dahsyat ini. Kedua telapak tangannya mengandung tenaga yang teramat kuat.
"Wuuuttt... tar-tar-tarr...!!" Sang Wiku Menak Koncar terkejut bukan main. Kedua telapak tangannya yang ampuh itu bertemu dengan ujung cambuk yang menyambar bagaikan halilintar dan kedua tangannya terasa panas.sekali. "Pecut Bajrakirana !" serunya dan suaranya mengandung perasaan gentar Dia sudah
mendengar akan pecut sakti yang ampuh itu. Sutejo yang mengkhawatirkan keadaa ayah ibunya yang menggeletak tak bergerak lalu menerjang dengan pecut saktinya, membuat Wiku Menak Koncar repot mengelak dan berusaha menangkis dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga sakti. Sementara itu, tanpa banyak cakap lagi Wiroboyo sudah menggunakan kerisnya menyerang Retno Susilo. Akan tetapi, wanita perkasa ini juga sudah marah bukan main melihat ayah dan ibu mertuanya menggeletak di atas tanah.
"Jahanam anjing keparat!" bentaknya dan pedangnya berubah menjadi gulungan sinar hijau menyambut serangan Wiroboyo. "Cring-cring-traanggg...!" Wiroboyo cepat melompat ke belakang dan matanya terbelalak, wajahnya berubah pucat. Pertemuan antara keris dan pedang wanita itu membuat kerisnya terpental dan nyaris pergelangan tangannya terbabat pedang!
Maklumlah dia bahwa lawannya itu adalah seorang wanita yang sakti mandraguna. Padahal sekarang Wiroboyo telah memperoleh kemajuan pesat dalam hal ilmu kanuragan, setelah dia menjadi murid Wiku Menak Koncar. Namun, berhadapan dengan Retno Susilo, dia segera kewalahan. Retno Susilo tidak memberi kesempatan kepadanya dan wanita perkasa ini sudah menerjang lagi dan pedangnya melakukan serangan maut bertubi-tubi yang membuat Wiroboyo berlompatan ke sana sini dalam usahanya untuk menghindarkar diri dari sambaran sinar hijau.
Maklumlah Wiroboyo bahwa maut mengancam dirinya, maka setelah mendapatkan kesempatan, dia melompat jauh ke belakang sambil berseru, "Bapa Wiku, lari...!"
Mendengar ini, Wiku Menak Koncar yang juga jerih menghadapi kedahsyatan Pecut Sakti Bajrakirana, melompat dan mengejar Wiroboyo yang melarikan diri. Para anak buahnya melihat ini segera melarikan diri ketakutan. Retno Susilo marah dan mengamuk, merobohkan banyak anak buah Klabang Wilis yang berusaha melarikan diri.
Setelah semua anak buah Klabang Wilis lari dan dapat menyusul pimpinan mereka, jumlah mereka tinggal setengahnya atau kurang lebih tiga puluh orang saja. Retno Susilo hendak melakukan pengejaran, akan tetapi Sutejo berseru, "Tak usah dikejar!"
Retno Susilo menoleh dan melihat Sutejo berlutut dekat tubuh Harjodento, kemudian suaminya itu mengangkat tubuh bagian atas kakek itu dan merangkulnya. Retno Susilo lalu cepat menghampiri Padmosari yang juga menggeletak tak jauh dari situ. Wanita inipun masih hidup walaupun napasnya sudah terengah-engah dan darah segar mengalir keluar dari ujung mulutnya, mukanya pucat sekali.
"Bapak...!" Sutejo yang memeluk tubuh Harjodento memanggil dan mengguncang tubuh itu.
Ki Harjodento membuka matanya, nafasnya terengah-engah dan darah keluar dari mulut, hidung dan telinganya. Sutejo maklum bahwa ayahnya terluka parah sekali dan sulit untuk dapat menyembuhkannya. Melihat puteranya, Ki Harjodento tersenyum. "Tejo... bantulah... Mataram yang menghadapi... Madura... dan Surabaya." Setelah mengeluarkan ucapan itu, tubuh Ki Harjodento terkulai dan diapun tewas dalam rangkulan puteranya!
"Bapak...!" Sutejo mendekap tubuh ayahnya, maklum bahwa ayahnya telah menghembuskan napas terakhir.
Padmosari yang berada dalam rangkulan Retno Susilo juga membuka matanya dan melihat mantunya, iapun berbisik, "Mana... mana anakku...Tejo...?"
Retno Susilo menoleh ke arah suaminya dan berseru, "Kakangmas! Ibu memanggilmu!" Sutejo menurunkan tubuh ayahnya dengan lembut ke atas tanah, lalu dia bangkit dan menghampiri isterinya yang masih merangkul tubuh ibunya. Dia mengantikan Retno Susilo memeluk dan menahan tubuh atas ibunya. Dengan hati terasa hancur pria perkasa inipun melihat kenyataan betapa keadaan ibunya parah sekali, tidak ada harapan untuk dapat ditolong seperti halnya ayahnya tadi karena orang tua ini telah terkena pukulan maut yang dahsyat sekali sehingga dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah.
"Ibu...!" Sutejo memanggil lirih dan mendekap tubuh Padmosari yang lunglai. Wanita itu membuka mata memandang.
"Tejo... di mana bapakmu?" tanya wanita itu dengan suara berbisik. Jantung dalam dada Sutejo seperti ditusuk oleh pertanyaan ini. Ayahnya telah mati, baru saja hal itu terjadi dan kini ibunya yang terluka parah menanyakannya. Bagaimana dia tega untuk memberi tahu bahwa ayahnya telah meninggal?
"Bapak... bapak berada di sana, bu..." katanya sambil menggerakkan kepalanya ke arah dimana ayahnya rebah tak bernyawa lagi. "Bawa aku dekat... bawa aku kepadanya..." kata wanita itu.
Sutejo tak dapat berkata apa-apa lagi dan juga tidak ingin membantah. Dia memondong tubuh ibunya dan membawanya menghampiri jenazah ayahnya, diikuti oleh Retno Susilo yang mengerutkan alis dan menahan hatinya agar jangan menangis karena matanya sudah terasa panas dan bibirnya gemetar. Dengan lembut Sutejo merebahkan tubuh ibunya di samping jenazah ayahnya. Padmosari menoleh ke kiri dan menggerakkan tangan kirinya, perlahan tangan kirinya mencari sampai bertemu dengan tangan kanan Ki Harjodento lalu digenggamnya tangan itu dan ia tersenyum.
"aku... aku tak ingin... berpisah... darinya..." Ia memandang wajah suami isteri yang berlutut di dekatnya itu, lalu dengan napas terengah-engah ia menguati diri dan berkata, "Tejo... Retno... jaga... cucuku Bagus Sujiwo... baik-baik..." Tubuh wanita itu terkulai dan ia menghembuskan napas terakhir, mati dengan tangan masih menggenggam tangan suaminya.
"Ibuuu... bapaaak...?" Sutejo menjerit dan menangis. Retno Susilo juga menangis tersedu-sedu, akan tetapi ia masih berusaha untuk menghibur suaminya yang seperti anak kecil merangkul jenazah kedua orang itu bergantian sambil memanggil-manggil mereka.
"Kakangmas, ingatlah... sebutlah nama Gusti Allah..." kata Retno Susilo sambil merangkul pundak suaminya dan air matanya membanjiri kedua pipinya.
Sutejo menahan tangisnya. "Duh Gusti mohon kekuatan, Gusti!" keluhnya lirih dan dia merangkul isterinya. Suami isteri itu berangkulan dan menangis. Hati mereka seperti diremas-remas rasanya, apalagi pesan terakhir Padmosari tadi mengingatkan mereka akan putera mereka yang lenyap. Mereka berdua kehilangan anak tunggal mereka dan mereka datang ke Nogodento hendak melapor dan bersambat kepada orang tua, mengadukan nasib mereka dan minta pertolongan. Akan tetapi setibanya di Nogodento mereka malah dihadapkan dengan kematian ayah ibu mereka!
Tiba-tiba Retno Susilo yang tak dapat menahan kemarahannya, bangkit dan mengacungkan tangan yang terkepal di udara, "Aku bersumpah akan membalaskan kematian bapak dan ibu, membalaskan sakit hati ini! Aku akan mencari mereka!"
Sutejo juga bangkit dan merangkul isterinya. "Sabar dan tenanglah, diajeng. Aku telah mengetahui siapa kakek tadi. Kita bicarakan hal itu nanti saja. Sekarang, yang terpenting adalah mengubur jenazah bapak dan ibu."
Mereka lalu mengumpulkan sisa anak buah Nogodento. Masih ada dua belas orang murid yang hidup. Dengan dibantu para murid, Sutejo dan Retno Susilo mengubur jenazah Ki Harjodento dan Nyi Padmosari dengan baik, juga jenazah para murid Nogodento yang menjadi korban dalam pertempuran itu. Bahkan pasangan pendekar perkasa ini rnenyuruh para murid Nogodento untuk mengubur pula jenazah para anak buah Klabang Wilis sebagaimana mestinya.
Setelah semua penguburan selesai, dari para murid Nogodento sepasang suami isteri pendekar itu mendengar akan penyerbuan gerombolan Klabang Wilis itu. Juga mereka mendengar akan pesan Ki Harjodento kepada para murid agar pergi dan membantu Mataram dengan menjadi perajurit sukarela.
"Mendiang bapak benar," kata Sutejo kepada para murid itu. "Kalian harus mempergunakan semua ilmu yang dengan susah payah kalian pelajari untuk melakukan hal-hal yang benar. Sekarang ini Mataram sedang membutuhkan bantuan para pemuda seperti kalian, maka sudah sepantasnyalah kalau kalian membantu seperti yang dipesan mendiang bapak. Sekarang bagibagilah di antara kalian semua barang berharga yang ditinggalkan orang tuaku, untuk bekal kalian dalam perjalanan. Juga jangan lupa, dalam perjalanan kalian, bantulah kami dengan membuka mata dan telinga, melihat dan mendengar kalau-kalau kalian dapat menemukan jejak putera kami Bagus Sujiwo, yang diculik orang seperti telah ka ceritakan kepada kalian tadi. Nah, laksanakan perintah kami itu dan segera berangkatlah. Kami akan pergi lebih dulu."
Setelah meninggalkan pesan dan banyak nasihat kepada para murid Nogodento, Sutejo dan Retno Susilo meninggalkan tempat itu dan melakukan perjalanan ke timur. "Kakangmas, kita sekarang melakukan pengejaran terhadap Wiku Menak Koncar yang telah membunuh ayah dan ibu? Kita harus membalas dendam itu secepatnya, kakangmas!" kata Retno Susilo setelah mereka keluar dari perkampungan Nogodento.
Sutejo menghentikan langkahnya dan mengajak isterinya duduk di atas batu-batu di tepi sungai. Bengawan Solo yang mulai mengalir ke utara di bagian itu cukup lebar dan banyak airnya karena telah bertemu dan bersatu dengan Kali Madiun yang mengalir dari selatan.
"Diajeng, kita tidak akan mengejar Wiku Menak Koncar." Wanita itu memandang wajah suaminya dengan heran. "Apa? Kakek jahat itu telah membunuh bapak dan ibu, dan engkau tidak akan membalas dendam?"
"Diajeng, Wiku Menak Koncar menyerang mendiang bapak juga karena hendak membalas dendam atas kematian saudaranya, yaitu Ki Klabangkolo yang roboh oleh mendiang bapak. Tidak, diajeng, kita tidak akan membalas dendarn karena kalau begitu, tiada bedanya antara dia dan kita, sama-sama diracuni dendam. Ada urusan yang jauh lebih penting bagi kita, yaitu pertama, kita harus membantu usaha Mataram menundukkan Madura dan Surabaya seperti yang dipesankan mendiang bapak kepada para muridnya. Dan kedua, kita masih harus mencari anak kita. Tentang Wiku Menak Koncar, kita akan menentangnya mati-matian kalau dia melakukan kejahatan, bukan karena dendam."
Retno Susilo menghela napas panjang. Dulu, sebelum menjadi isteri Sutejo, ia adalah seorang gadis perkasa yang berhati sekeras baja, galak dan selalu bersikap keras dan membenci orang yang dianggapnya jahat. Ia tidak mengenal ampun kepada mereka. Akan tetapi setelah ia menjadi isteri Sutejo, ia berubah banyak. Ia mulai dapat melihat bahwa menuruti kekerasan hati adalah menuruti nafsu sendiri yang pada akhirnya akan merugikan diri sendiri. Ia mulai dapat melihat kebijaksanaan suaminya dan semenjak menjadi isteri Sutejo, ia selalu mentaatinya. Kini, diingatkan tentang puteranya yang hilang, Retno Susilo menjadi sedih sekali, sedih dan gelisah.
"Duh, kakangmas.... bagaimana dengan Bagus? Siapakah yang menculiknya dan kenapa? Di mana dia sekarang, kakangmas dan bagaimana keadaannya? Aku khawatir sekali..."
Sutejo merangkul isterinya. "Tenanglah, diajeng. Yang jelas, kita yakin bahwa Bagus masih hidup. Kalau penculiknya ingin membunuhnya, tentu hal itu sudah dilakukannya dan tidak perlu dia bersusah payah membawa anak itu, pergi."
"Akan tetapi siapa yang begitu kejam menculik anak kita? Sudah setahun anak kita hilang dan belum juga kita dapat menemukan jejaknya..." suara wanita itu gemetar.
"Ingatlah bahwa aku sendiri ketika masih kecil diculik dari ayah ibu dan baru dapat berjumpa kembali dengan mereka setelah aku dewasa. Aku yakin bahwa penculikan anak kita ini dilandasi dendam kepada kita. Engkau sendiri tahu hahwa kita berdua dahulu telah menentang banyak orang jahat, apalagi sehubungan dengan pemberontakan mereka terhadap Mataram. Oleh karena itu, aku herpendapat bahwa yang menculik anak kita tentulah seorang diantara mereka yang pernah bermusuhan dengan kita seperti halnya Wiku Menak Koncar mendendam kepada mendiang bapak."
"Lalu apa yang harus kita lakukan, kakangmas? Ke mana kita harus mencarinya?"
"Tenanglah, diajeng. Menghadapi kehilangan Bagus ini, hanya ada dua hal yang dapat kita lakukan. Pertama, kita menyerahkan Bagus kepada Gusti Allah dan selalu berdoa dan percaya bahw Gusti Allah pasti akan melindunginya. Kedua, kita harus berusaha mencari terus, akan tetapi karena kita belum tahu harus mencari ke mana, maka kita harus mendahulukan urusan yang sudah jelas yaitu membantu Mataram. Kita membantu Mataram sambil memasang mata dan telinga kalau-kalau dapat menemukan jejak anak kita itu."
Retno Susilo hanya dapat menyetujui dan mengangguk. Suami isteri itu lalu melanjutkan perjalanan rnereka, menyusuri Bengawan Solo.
********************
Rombongan yang berjurnlah tiga puluh orang lebih itu, yang tadinya lari cerai berai meninggalkan perkampungan Nogodento, akhirnya berkumpul dan melakukan perjalanan yang sunyi menuju kembali ke Gunung Wilis. Mereka telah menderita kekalahan besar ketika menyerbu Nogodento. Sama sekali di luar dugaan Wiku Menak Koncar dan Wiroboyo yang memimpin lima puluh orang lebih anak buah itu bahwa setelah mendapatkan kemenangan dan hampir dapat membasmi semua murid Nogodento, tiba-tiba muncul Sutejo dan Retno Susilo yang membuat mereka semua lari cerai-berai meninggalkan dua puluh lebih kawan yang tewas dalam penyerbuan itu.
Wiku Menak Koncar berjalan di depan rombongan bersama Wiroboyo. Wajah kakek ini tampak cerah, sebaliknya wajah Wiroboyo tampak muram. Hal ini tidaklah aneh karena Wiku Menak Koncar merasa puas bahwa dia telah berhasil membunuh musuh besarnya Ki Harjodento bersama isterinya. Sebaliknya, Wiroboyo merasa rugi karena kehilangan banyak sekali anak buah.
"Sudahlah, anakmas Wiroboyo, tidak perlu bermuram durja. Setelah kita tiba di Gunung Wilis nanti, kita dapat menyusun lagi kekuatan dan menambah anggauta Klabang Wilis agar menjadi kuat kembali." Wiku Menak Konear menghibur.
"Akan tetapi saya merasa penasaran sekali, Bapa Wiku. Sebagian besar anak buah saya terbunuh oleh wanita itu dan saya merasa penasaran karena tidak dapat membunuhnya. Perempuan itu begitu ganas seperti iblis!" kata Wiroboyo sambil mengepal tangan kanan dengan gemas.
"Hemm, jangan penasaran, anakmas. Andika tidak tahu siapa mereka. Yang laki-laki itu lebih sakti lagi dan setelah dia mengeluarkan Pecut Sakti Bajrakirana, baru aku ingat dan tahu siapa dia. Dia adalah seorang pendekar yang sakti mandraguna, murid mendiang Resi Limut Manik. Dialah yang dahulu membela Mataram dan mengalahkan banyak orang digdaya yang memusuhi Mataram. Untung Ki Harjodento dan isterinya sudah kurobohkan lebih dulu. Kalau kita terlambat sedikit saja, belum tentu kita berdua dapat meloloskan diri! Masih untung kita dapat selamat dan lebih untung lagi aku berhasil membunuh musuh besarku dan isterinya."
Pada saat itu, terdengar bentakan suara wanita nyaring, "Jahanam keparat Wiroboyo. Sekarang saatnya engkau mampus di tanganku!" Dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan Wiroboyo dan Wiku Menak Koncar telah berdiri Muryani dan Satyabrata. Mula-mula kedua orang itu kerkejut karena mengira bahwa yang muncul itu adalah Sutejo dan Retno Susilo. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang muncul di depannya itu adalah Muryani dan seorang pemuda tampan yang tidak dikenalnya, Wiroboya menjadi riang. Setelah sekian lamanya, dia masih tetap tergila-gila kepada gadis itu dan kini Wiku Menak Koncar berada di depannya, maka tentu saja dia tidak merasa takut sama sekali.
"Bapa Wiku, tolong tangkapkan gadis ini untuk saya. Sudah lama saya mengnginkan ia menjadi isteri saya," kata wiroboyo.
Mendengar permintaan muridnya itu, Wiku Menak Koncar tertawa. Dia tahu bahwa muridnya itu sebagai ketua Klabang Wilis merasa kecewa karena kehilangan lebih dari dua puluh orang anak buah, maka dia ingin menyenangkan atau menghibur hati muridnya itu dengan memenuhi permintaannya. Memang gadis yang menghadang mereka itu cukup cantik jelita sehingga tidaklah mengherankan kalau Wiroboyo tergila-gila kepadanya.
"Heh-heh-hik-hik!" Dia terkekeh seperti seorang nenek-nenek. "Cah ayu dhenok dhebleng! Mari-mari, menurutlah andika menjadi isteri anakmas Wiroboyo!"
"Tua bangka hitam elek sinting, mampuslah!" Muryani yang sudah marah sekali melihat Wiroboyo, menjadi semakin marah melihat sikap dan mendengar ucapan Wiku Menak Koncar itu. Ia sudah menerjang ke depan dan menyerang kakek berkulit hitam arang itu dengan pukulan Gelap Sewu yang dahsyat mematikan!
"Uh-uhhh galak juga..." seru Sang Wiku Menak Koncar kaget dan cepat dia pun menyambut pukulan sakti itu dengan mendorongkan kedua telapak tangannya sambil mengerahkan tenaga Bayu Bajra.
"Wuuuuttt... desss!!" Tubuh Wiku Menak Koncar tergetar hebat, akan tetapi tubuh Muryani terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Hal ini saja membuktikan bahwa gadis itu masih kalah kuat dibandingkan lawannya. Wiku Menak Koncar tertawa terkekeh dan sudah cepat menerjang ke depan dengan niat untuk menangkap gadis yang terhuyung itu akan tetapi tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan Satyabrata sudah menjulurkan tangan menahannya.
Melihat pemuda itu berani menghalanginya, Wiku Menak Koncar cepat memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah dada pemuda itu. Satyabrata menyambut dengan telapak tangannya.
"Wuuuttt...desss!!" Keduanya sama-sama terdorong ke belakang. Tentu saja Wiku Menak Koncar terkejut bukan main karena mendapat kenyataan bahwa pemuda itu ternyata memiliki tenaga sakti yang tidak kalah kuat. Satyabrata menatap penuh perhatian. Dia pernah mendengar tentang datuk Blambangan yang berkulit hitam arang dan suaranya seperti wanita ini. Terkenal sebagai datuk yang selalu menentang Mataram. Dari logat bicaranya saja dia sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentu orang Blambangan dan melihat kulitnya, mudah diduga bahwa dia tentu Wiku Menak Koncar. Segera otaknya yang memiliki kecerdikan luar biasa itu bekerja dan dia berkata kepada kakek itu dengan nada mengejek.
"Hemm, kakek muka hitam. Tidak tahu malu andika menyerang seorang wanita. Kalau memang andika berani dan bukan pengecut, hayo lawanlah aku!" Wiku Menak Koncar adalah seorang datuk besar. Tentu saja tantangan itu memanaskan perutnya.
"Siapa takut padamu, bocah kemarin sore?" bentaknya dan dia sudah menerjang dan menyerang dengan pukulan Aji Nandaka Kroda yang amat dahsyat dan mematikan. Namun, dengan gerakan vang lincah sekali Satyabrata melompat ke belakang menghindar sambil mengejek.
"Luput, kek! Gerakanmu lambat seperti keong (siput) dan lunak seperti gudir! Hayo keluarkan semua aji-ajimu dan tandingi aku kalau memang andika berani dan bukan pengecut!"
Wiku Menak Koncar marah sekali. Dia mengejar dan menyerang lagi dengan lebih dahsyat, ingin membunuh pemuda yang berani mengejek dan menghinanya itu dengan sekali pukul. "Hyaaaatttt... ahhhh....!"
Satyabrata mengelak lagi dengan lompatan yang lebih jauh ke belakang. "Luput lagi, kek. Apakah tubuhmu sudah buyutan dan andika tidak mampu bergerak lebih cepat lagi?"
Dia mengejek sambi menjauh dan Wiku Menak Koncar terus mengejar, tidak tahu bahwa dia memang sengaja dipancing oleh pemuda itu. Sementara itu, melihat kakek yang sakti itu kini sudah bertanding melawan Satyabrata, Muryani segera melompat ke depan Wiroboyo. Kemarahannya sudah berkobar lagi, teringat akan kematian ayahnya. Walaupun ia sudah berhasil membunuh, atau setidaknya merobohkan dan membuat Darsikun, pembunuh ayahnya itu membunuh diri, namun ia tahu bahwa Darsikun hanyalah suruhan dan yang menyuruh bunuh ayahnya adalah Wiroboyo ini.
"Wiroboyo jahanam busuk, aku bersumpah untuk membunuhmu!" teriaknya marah. Akan tetapi Wiroboyo masih rnemandang rendah gadis itu. Kini setelah dia mempelajari aji kesaktian dari Wiku Menak Koncar, tentu saja dia tidak takut kepada Muryani. "Heh-heh, manis. Sekarang engkau pasti akan tunduk dan menjadi milikku!" Wiroboyo sama sekali tidak tahu bahwa gadis itu telah mendapat gemblengan hebat dari Nyi Rukmo Petak.
"Haiiiiittt...!" Muryani menerjang dengan aji pukulan Gelap Sewu. Dari kedua tangannya meluncur hawa pukulan yang amat dahsyat. Wiroboyo yang masih memandang rendah, sambil tersenyum menyambut pukulan itu dengan dua tangan, siap untuk menangkap apabila gadis itu terhuyung oleh tenaganya yang tentu jauh lebih kuat.
"Wuuuttt... bresss!" Senyum itu lenyap dari muka Wiroboyo yang berubah pucat. Pertemuan tenaga itu membuat ia terhuyung ke belakang, bahkan nyaris dia terjengkang kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik ke belakang. Melihat pemimpin mereka terhuyung, empat orang anak buah Klabang Wilis menyerbu dengan golok mereka, membacok ke arah gadis itu dari empat jurusan...