Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Seruling Gading Jilid 16
"HYAAAAHHH !" Muryani bergerak dengan Aji Kluwung Sakti. Tubuhnya berlelebatan sedemikian cepatnya bagaikan berubah menjadi bayang-bayang, kaki tangannya menyambar dan empat orang itu berteriak kesakitan dan roboh terpelanting, tak mampu bangkit lagi! Melihat ini, sisa anak buah Klabang Wilis menjadi gentar dan giris hatinya. Ternyata gadis itu tidak kalah ganasnya dibanding Retno Susilo! Mereka. hanya memandang terbelalak dengan muka pucat, tidak berani mengeroyok lagi.
Wiroboyo juga terkejut bukan main. Sama sekali tidak disangkanya bahwa kini Muryani memiliki kesaktian yang demikian hebat, mengingatkan dia akan wanita cantik yang mengamuk bersama suaminya di perguruan Nogodento. Dia tidak tahu bahwa antara Muryani dan Retno Susilo memang ada hubungan tunggal guru, walaupun mereka tidak pernah saling jumpa. Yang menggembleng kedua orang wanita itu adalah mendiang Nyi Rukmo Petak.
Melihat empat orang anak buahnya roboh dan yang lain tampak gentar, Wiroboyo cepat berteriak, "Maju semua! Serbu! Keroyok!"
Dua puluh orang lebih itu timbul kembali semangat mereka setelah mendengar perintah Wiroboyo. Dengan senjata golok mereka lalu menyerbu Muryani dari segala jurusan, menghujani gadis itu dengan bacokan golok. Namun, Muryani sudah siap siaga. Ia bergerak dengan Aji Kluwung Sakti sehingga tubuhnya seperti lenyap berubah menjadi bayangan yang berkelebatan diantara puluhan batang golok itu. Sambil berkelebat menghindarkan diri, kaki tangannya bergerak.
Berturut-turut para anak buah itu berteriak mengaduh dan roboh. Dalam waktu beberapa detik saja lima orang sudah terjungkal. Wiroboyo terbelalak dan maklum betapa bahayanya gadis perkasa itu. Dia lalu melompat jauh dan melarikan diri, tidak memperdulikan lagi anak buahnya yang diamuk Muryani, juga tidak memperdulikan Wiku Menak Koncar yang tadi bertanding melawan Satyabrata dan kini tidak tampak lagi.
"Keparat busuk, hendak lari ke mana kau?" Tampak bayangan berkelebat di samping Wiroboyo dan angin menyambar dahsyat menyerangnya. Wiroboyo cepat mengelak dan menggerakkan kedua tangan untuk menangkis pukulan yang dahsyat dari gadis itu.
"Wuuuuttt... desss...!" Wiroboyo kembali terdorong dan terhuyung ketika lengannya bertemu dengan tangan gadis itu. Akan tetapi ketika Muryani hendak mengejar dan mengirim serangan susulan, anak buah Klabang Wilis sudah datang lagi dan mengeroyoknya. Wiroboyo menggunakan kesempatan itu untuk mengeroyok pula, dengan maksud untuk dapat merobohkan gadis perkasa itu dengan mengandalkan banyak orang. Muryani mengamuk, mulutnya mengeluarkan bentakan melengking-lengking dan setiap kali tangan atau kakinya menyambar, tentu ada seorang anak buah gerombolan itu yang roboh terpelanting.
Sementara itu, Satyabrata berhasil memancing Wiku Menak Koncar untuk terus mengejar dan menyerangnya. Kini mereka berdua telah berada agak jauh dari Muryani yang dikeroyok banyak orang. Wiku Menak Koncar merasa penasaran sekali karena untuk kesekian kalinya, serangannya selalu dapat dielakkan lawan.
"Hyaaaattt... ahhh!" Dia menyerang lagi dengan aji pukulan Nandaka Kroda yang amat dahsyat. Sekali lagi, Satyabrata tidak mengelak melainkan menyambut pukulan itu dengan aji pukulan Margopati. Dia sengaja memapaki pukulan lawan dan hendak mengadu tenaga sakti mereka.
"Wuuuuttt... plakkk!" Dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya, Wiku Menak Koncar terhuyung ke belakang dan napasnya memburu karena terasa sesak.
"Tahan...!" seru kakek itu dan memandang tajam. "Orang muda, siapakah andika?"
Satyabrata tersenyum. "Andika tentulah Sang Wiku Menak Koncar, datuk besar Blambangan itu, bukan? Katakan dulu, paman Wiku, apakah engkau sekarang masih tetap menentang dan memusuhi Mataram?"
Tentu saja Wiku Menak Koncar terbelalak heran mendengar pertanyaan itu. Dia memandang penuh selidik, akan tetapi tidak merasa kenal dengan pemuda ini, seorang pemuda aneh yang sakti mandraguna, yang bola matanya berwarna aneh pula, agak kebiruan.
"Sebelum aku menjawab, katakan dulu siapa andika!" katanya.
Satyabrata menoleh ke kanan kiri. Setelah merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, dia mengeluarkan sesuatu dari ikat pinggangnya. Benda itu adalah sebuah dinar emas, uang logam terbuat dari emus murni yang dia dapatkan dari Willem Van Huisen ayah angkatnya dan benda itu juga menjadi tanda rahasia bagi seorang wakil Kumpeni Belanda yang tinggi kedudukannya. Satyabrata menunjukkan uang logam emas itu kepada Wiku Menak Koncar dan bertanya, "Andika tentu mengenal ini, bukan?"
Wiku Menak Koncar semakin heran. Tentu saja dia mengenal baik tanda itu walaupun dia belum pernah menjadi antek Kumpeni. Setidaknya dia pernah berhubungan dengan pihak Kumpeni dan mengenal tanda-tanda para wakil kumpeni yang bertugas mengadakan hubungan dengan para pejabat dipedalaman, terutama mereka yang menentang Mataram.
"Ah, andika petugas Kumpeni?" tanyanya.
"Benar, namaku Satyabrata, dari Cirebon. Andika belum menjawab pertanyaanku tadi, paman Wiku Menak Koncar."
"Tentu saja aku memusuhi Mataram. Selamanya aku akan memusuhi dan menentang Mataram!"
"Bagus! Kalau begitu kita sepaham dan segolongan. Karena itu, tidak perlu kita melibatkan diri dengan pertikaian pribadi antara Muryani dan Wiroboyo itu, paman Wiku. Tak perlu kita bertanding lagi. Kewajiban kita adalah menentang Mataram demi kepentingan Kumpeni dan juga Blambangan. Atau paman akan nekat melanjutkan perkelahian? Ingat, paman, kalau aku menghendaki, sudah sejak tadi aku dapat membunuhmu dengan ini!" Satyabrata menyingkap bajunya, memperlihatkan sebuah pistol yang terselip di ikat pinggangnya. "Peluru emas pistol ini tentu takkan dapat ditahan kekebalan paman. Juga aku memiliki banyak aji kesaktian yang cukup untuk menandingi kesaktianmu."
Wiku Menak Koncar memandang ragu. Dia maklum bahwa pemuda itu memang digdaya sekali, belum tentu dia akan mampu mengalahkan pemuda itu, apalagi dia memiliki senjata api yang berbahaya. Selain itu, tidak perlu pula dia harus bermusuhan dengan seorang petugas Kumpeni. "Lalu apa kehendakmu sekarang, anakmas Satyabrata?"
"Begini, paman Wiku Menak Koncar. Tentu andika mengetahui bahwa sekarang Mataram sedang mengancam untuk menyerang Madura dan Surabaya. Karena itu, kita harus membantu Madura untuk, menentang Mataram. Kumpeni juga secara diam-diam akan membantu Madura. Maka, saya harap paman suka meninggalkan pertempuran ini dan pergi ke Madura, membantu Kadipaten Arisbaya dan kadipaten-kadipaten lain di Madura. Saya sendiri juga akan segera menyusul ke sana. Percayalah, Kumpeni pasti akan menghargai sekali bantuan paman, dan saya akan melaporkan ke atasan di Batavia. Atau kalau paman menolak, paman melanjutkan pertempuran ini dan akan berhadapan dengan saya!"
Wiku Menak Koncar masih ragu. "Akan tetapi bagaimana dengan Wiroboyo? Dia sudah menjadi muridku..."
"Aahh, paman. Mengapa memusingkan urusan kecil itu kalau urusan yang jauh lebih besar menunggu bantuan paman?"
Akhirnya Wiku Menak Koncar setuju. Memang diam-diam kakek ini sudah mempunyai keinginan untuk membantu Madura melawan Mataram atas permintaan sahabatnya, yaitu Ki Harya Baka Wulung yang sudah mengirim utusan menemuinya. "Baiklah, anakmas Satyabrata. Aku berangkat sekarang juga dan kuharap akan dapat segera bertemu dan bekerja sama denganmu di Madura."
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu, tidak perduli lagi akan pasib Ki Wiroboyo dan sisa anak buah Klabang Wilis. Satyabrata mengikuti bayangan Wiku Menak Koncar sambil tersenyum. Dia merasa girang sekali dan senyumnya membuat wajahnya tampak tampan sekali. Dia merasa telah mendapatkan dua keuntungan. Pertama, dia dapat membantu Muryani, dan kedua, dia berhasil membujuk.
Wiku Monak Koncar untuk segera pergi ke Madura membantu perlawanan terhadap Mataram, sesuai dengan politik Kumpeni Belanda. Dia diam-diam sudah bertemu dengan para pimpinan telik sandi Kumpeni dan mempelajari keadaan politik waktu itu karena telah terjadi perubahan-perubahan selama dia mempelajari, ilmu-ilmu di sumur tua perguruan Jatikusumo. Sambil tersenyum-senyum dia lalu berlari, kembali ke tempat pertempuran tadi dengan niat mencegah Muryani membunuh Wiroboyo.
Pria itu adalah murid Wiku Menak Koncar, maka sudah sepatutnya kalau diselamatkan karena dia dapat diharapkan untuk menjadi sekutu menentang nentang Mataram. Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, Satyabrata melihat bahwa sudah terlambat baginya untuk menyelamatkan Wiroboyo. Dia melihat betapa Muryani mengamuk dan sudah merobohkan banyak sekali anak buah Klabang Wilis dan kini Wiroboyo sudah terdesak hebat.
Tak mungkin lagi dia mencampuri perkelahian itu untuk menyelamatkan Wiroboyo tanpa menyinggung perasaan Muryani. Kalau dia menolong Wiroboyo, dia harus menggunakan kekerasan melindunginya dan hal ini tentu akan membuat Muryani marah kepadarrya. Tentu saja dia tidak mau kehilangan Muryani hanya untuk menyelamatkan Wiroboyo.
Pada saat itu, memang Muryani sudah mendesak hebat kepada musuhnya. Tidak kurang dari sepuluh orang anak buah Klabang Wilis yang berani mencoba untuk membantu Wiroboyo dan mengeroyoknya telah ia robohkan dan kini sisa para anak buah itu tidak berani lagi mendekat walaupun berulang kali Wiroboyo memerintahkan mereka untuk membantunya. Terpaksa dia sendiri yang melawan, akan tetapi dia hanya dapat mengelak dan menangkis sambil terdesak mundur terus, tanpa dapat membalas sama sekali.
Tiba-tiba Muryani bergerak cepat, tubuhnya berkelebat ke depan, tangan kirinya menyambar ke arah muka Wiroboyo. Wiroboyo terkejut sekali, hidungnya mencium bau harum-harum amis keluar dari kukukuku tangan gadis itu. Dia mengelak dengan menarik mukanya ke belakang. "Heiiiittt...!" Muryani membentak, tangannya meraih dan kuku-kuku jari tangannya mencengkerarn ke leher lawan. Darah muncrat dan tubuh Wiroboyo terhuyung kebelakang. Kaki kanan Muryani menyusul dan tubuh Wiroboyo terpental oleh tendangan kaki. Dia roboh dan bergulingan, berkelojotan.
Rasa nyeri menghentak-hentak ke dalam kepalanya. Dia telah terkena cengkeraman Wiso Sarpo yang amat berbisa, sebuah aji pukulan yang dahsyat dan ganas sekali yang merupakan aji pamungkas dari mendiang Nyi Rukmo Petak. Saking keji dan ganasnya pukulan ini, Muryani yang telah menguasainya hampir tidak pernah mempergunakannya. Sekarang saking sakit hati dan, bencinya kepada Wiroboyo, ia menggunakan aji itu dan memandang musuhnya yang kini berkelojotan dan mukanya berubah kehitaman mengerikan!
Anak buah Klabang Wilis yang tinggal belasan orang itu lari kocar-kacir melihat pemimpin mereka roboh. Muryani tetap berdiri memandang musuh besarnya sampai Wiroboyo tidak bergerak lagi, tewas dalam keadaan yang mengerikan. Setelah musuhnya tewas, baru Muryani mendengar langkah Satyabrata yang menghampirinya. Ia memutar tubuh, siap menghadapi lawan baru. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang menghampirinya ada lah Satyabrata, ia menghela napas panjang dan memandang kepada mayat Wiroboyo yang menggeletak telentang dengan seluruh muka berubah hitam.
"Aku telah berhasil membunuhnya. Berhasil membunuh jahanam ini yang menyebabkan kematian ayahku," katanya suaranya gemetar penuh keharuan, teringat akan ayahnya.
Satyabrata mengangkat tangan kanannya dan menyentuh pundak gadis itu dengan lembut dan mesra. "Syukurlah, diajeng, aku ikut merasa gembira engkau telah dapat membalas sakit hatimu."
Muryani merasa girang. Ia menganggap pemuda itu amat baik dan bersikap lembut dan sopan kepadanya. Sentuhan, tangan pemuda itu di pundaknya mendatangkan getaran dan ia membiarkan saja tangan itu hinggap di pundaknya. Ia teringat akan lawan pemuda itu, kakek bermuka hitam arang yang sakti mandraguna tadi.
"Kakangmas Satyabrata, bagaimana dengan lawanmu, kakek yang mengerikan tadi?"
Satyabrata melepaskan tangannya dan mengerutkan alis, menggelengkan kepalanya. "Dia sungguh sakti dan licik, diajeng. Dia berhasil lolos dari tanganku dan melarikan diri. Aku tidak berani mengejarnya karena khawatir engkau akan mengalami celaka kalau kutinggalkan, maka aku terpaksa membiarkan dia lari."
"Tidak mengapa, kakangmas. Aku tidak mempunyai urusan dengan kakek itu. Wiroboyo inilah yang kucari dan sekarang aku berhasil membunuhnya. Semua ini berkat pertolonganmu, kakangmas. Kalau tidak ada engkau yang membantuku, mungkin bukan dia, melainkan aku yang menggeletak tak bernyawa di sini karena kakek muka hitam itu sakti sekali. Sekali lagi aku amat berterima kasih kepadamu, kakangmas. Berulang kali engkau telah menyelamatkan dan menolong aku. Aku berhutang budi dan nyawa kepadamu."
Satyabrata tersenyum dan merasa senang sekali. Akan tetapi dia menahan gelora hatinya yang membuat dia ingin sekali merangkul dan mencumbu gadis itu Dia ingat bahwa saat itu dia harus menjadi seorang pemuda yang baik hati, lembut dan sopan di mata Muryani.
"Aah, diajeng, kenapa engkau berkata begitu? Aku senang sekali dapat membantumu, bahkan aku akan rela mengorbankan nyawaku demi menyelamatkan dan membantumu, diajeng."
Suaranya mengandung getaran perasaan yang membuat Muryani terguncang hatinya dan ia memandang wajah pemuda itu yang tampan ganteng dan penuh daya tarik. Detak jantungnya membuat wajah gadis itu menjadi kemerahan karena perkataan pemuda itu jelas mengandung isyarat bahwa pemuda itu mencintanya dengan tulus dan murni sehingga rela mengorbankan nyawa untuknya!
Akan tetapi ia masih belum puas, dengan isyarat itu, ingin mengetahui mengetahui lebih jelas. Ia berdiri menghadapi pemuda itu dalam jarak hanya satu meter dan menatap tajam wajah itu. "Kakangmas Satyabrata..."
"Hemmm? Ada apakah, diajeng Muryani?" kata pemuda itu dengan suara lembut sekali.
"Aku merasa heran, kakangmas. Kenapa engkau begini baik kepadaku? Tidak ada hubungan apapun antara kita, dan kitapun baru saja saling bertemu dan berkenalan, akan tetapi mengapa engkau begini baik kepadaku sehingga engkau mengatakan akan rela mengorbankan nyawamu untukku? Kenapa, kakangmas?"
Satyabrata menjulurkan kedua tangannya dan menangkap kedua tangan yang mungil dan berkulit hangat dan lembut itu. Dia mengangkat kedua tangan itu dan ditempelkan pada dadanya sendiri. Suaranya mengandung penuh getaran hati yang tidak dibuat-buat ketika dia berkata lirih seperti berbisik.
"Diajeng Muryani, bolehkah aku berkata terus terang. Tidak marahkah kalau engkau mendengar pengakuan yang tulus keluar dari hati sanubariku? Engkau belar-benar tidak akan marah?"
Dua pasang mata itu saling pandang, sinar mata itu bertaut dan seolah saling nelekat. Muryani merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan dan iapun menggeleng kepala sambil berkata lirih pula, "Tidak, kakangmas, aku tidak akan marah, apapun yang akan kaukatakan."
"Kalau begitu, perkenankan aku menyatakan isi hatiku kepadamu, diajeng. Semenjak pertemuan kita pertama kali, aku... aku telah jatuh cinta kepadamu, diajeng, aku... cinta padamu dengan segenap jiwa ragaku. Nah, lega sudah hatiku setelah menyatakan perasaan ini kepadamu, mudah-mudahan engkau dapat menerima dan membalas cintaku, diajeng."
Sejenak Muryani merasa begitu nyaman dan bahagia. Jantungnya berdebar. Alangkah senangnya mendengar pemuda yang tampan gagah, dan demikian baik hati kepadanya, yang berkali-kali menolongnya itu menyatakan cinta kepadanya! Merasa betapa kedua tangannya yang ditekan pada dada pemuda itu dapat mengenal debar jantung dalam dada itu, debar jantung penuh gairah cinta! Akan tetapi tiba-tiba wajah seorang pemuda lain terbayang di depan matanya.
Seorang pemuda remaja, berusia delapan belas tahun berdekapan dengan ia yang ketika itu berusia enam belas tahun sambil bertangisan karena akan berpisah. Masih teringat betapa ia memberikan sebuah patrem (keris kecil) kepada Parmadi, pemuda itu dan pemberiannya itu selama ini ia anggap sebagai tanda cintanya, waIaupun mereka berdua belum pernah menyatakan cinta melalui kata-kata. Betapapun juga, begitu wajah Parmadi terbayang ia lalu dengan lembut menarik kedua tangannya terlepas dari pegangan Satyabrata dan ia melepaskan pula pandang matanya dengan menundukkan mukanya. Kedua pipinya merah dan ia memaksa diri tersenyum agar tidak mengecewakan hati pemuda yang sesungguhnya telah mulai membakar gairah cintanya itu.
"Kakangmas Satyabrata, terima kasih atas perasaanmu yang murni terhadap diriku. Akan tetapi maafkanlah aku, kakangmas, sesungguhnya saat ini aku sama sekali belum memikirkan tentang hal itu. Aku masih belum siap untuk sebuah pernikahan."
"Diajeng, engkau pernah mengatakan bahwa usiamu kini sudah dua puluh satu tahun dan aku sendiri kini sudah berusia dua puluh enam tahun. Kita berdua sudah cukup dewasa, diajeng. Dan akupun tidak tergesa-gesa mengajakmu menikah. Aku sudah merasa cukup berbahagia kalau saja engkau dapat menerima cintaku dan membalasnya. Tentang pernikahan, kita dapat bicarakan kelak kalau saatnya sudah tiba."
"Maafkan aku, kakangmas, aku benar-benar belum siap. Sebaiknya kalau kita tidak membicarakan urusan itu lebih dulu. Aku masih bingung melihat kenyataan diriku. Aku telah kehilangan ayah dan ibu, juga nenekku telah tiada, kemudian guruku yang kedua dan yang amat menyayangku, telah meninggal dunia pula. Aku masih bingung menghadapi kenyataan ini, karena itu, harap engkau suka maafkan aku dan tidak membicarakan urusan itu yang hanya akan menambah kebingungan hatiku."
Satyabrata menghela napas panjang. "Kasihan engkau, diajeng. Baiklah, akupun sebetulnya ingin sekali menjadi pengganti semua orang yang kaucinta dan yang telah tiada itu. Akan tetapi kalau engkau belum siap, akupun tidak berani nengganggumu lagi. Sekarang, bagaimana, diajeng? Ke mana engkau hendak pergi? Aku akan selalu menemanimu, tentu saja kalau engkau tidak keberatan."
"Aku hanya akan mengganggu saja, kakangmas Satyabrata. Silakan engkau melaksanakan tugas kewajibanmu sendiri, dan jangan pusingkan urusanku."
"Tidak, diajeng. Kebetulan akupun tidak mempunyai urusan penting. Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa aku jangan memusingkan urusanmu? Urusanmu bagiku berarti urusanku juga, bahkan lebih penting. Karena itu, biarpun engkau belum dapat menerima cintaku, janganlah menolak kalau aku ingin menyertaimu dalam perjalananmu dan membantumu dalam segala urusan."
Muryani merasa tidak enak untuk menolak lagi. Pula, di lubuk hatinya ia memang sudah terpikat oleh semua ucapan yang merayu dan amat manis terdengarnya itu sehingga sesungguhnya ia pun merasa berat untuk berpisah dari Satyabrata dan ingin terus didampingi pemuda yang tampan dan gagah perkasa itu.
"Baiklah kalau begitu, kakangmas Satyabrata. Seperti kukatakan tadi, kini aku hidup sebatangkara di dunia ini. Akan tetapi masih ada seorang yang dapat kuanggap sebagai pengganti orang tuaku yaitu guruku..."
"Eh, bukankah tadi kau katakan bahwa gurumu juga sudah meninggal dunia?" potong Satyabrata.
"Oh, yang telah meninggal dunia itu adalah guruku yang kedua, yaitu Nyi Rukmo Petak. Guruku yang pertama adalah Ki Ageng Branjang, ketua perguruan Bromo Dadali yang berada di Gunung Muria kakangmas."
"Hemm, begitukah? Jadi sekarang engkau hendak pergi ke Gunung Muria?"
"Begitulah."
"Baik, mari kita berangkat. Aku akan menemanimu pergi berkunjung ke rumah gurumu itu."
Dua orang muda itu lalu berangkat menuju ke Gunung Muria. Dalam perjalanan itu, Satyabrata selalu bersikap lembut, manis, dan sopan, bahkan sama sekali tidak menyinggung lagi tentang perasaan cintanya terhadap Muryani sehingga gadis itu merasa senang dan semakin tertarik. Biarpun ia seorang gadis yang sakti mandraguna, namun Muryani masih hijau dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga mudah ia terpesona oleh rayuan manis seorang pemuda yang memang tampan dan gagah seperti Satyabrata. Tak terhitung banyaknya wanita yang jatuh terjerumus karena rayuan ini karena memang telah menjadi kelemahan wanita pada umumnya untuk menjadi lunak dan tertarik hatinya apabila menghadapi pria yang pandai merayu. Bahkan banyak wanita yang jatuh oleh rayuan maut pria yang tidak tampan sekalipun. Apalagi rayuan seorang pemuda seperti Satyabrata, tentu saja daya tariknya amat besar dan kuat.
Karena mendapat keterangan dari para mata mata bahwa Mataram sudah bersiap-siap untuk menyerbu Madura lebih dulu dalam usahanya menyerang Surabaya, maka Harya Baka Wulung tiada henti-hentinya berusaha untuk membujuk para adipati untuk membantu Madura dan memberontak kepada Mataram. Bahkan puteranya sendiri, Raden Dibyasakti, dijadikan utusan istimewa untuk menghubungi dan membujuk seluruh kadipaten di Madura dan pemuda tinggi besar dan gagah itu berhasil dengan baik sehingga, semua adipati di daerah Pulau Madura telah berjanji untuk bersama-sama melawan Mataram kalau Mataram mengadakan penyerbuan ke Madura.
Ki Harya Baka Wulung yang menjadi sesepuh dan penasihat di Kadipaten Arisbaya masih belum puas dengan bersatunya Madura. Dia bahkan mengutus Raden Dibyasakti untuk menyeberang ke Jawa Timur di sepanjang pesisir utara, menghubungi siapa saja yang memiliki kecenderungan mendendam dan memusuhi Mataram dan yang mau untuk membantu Madura. Bukan hanya para adipati yang dibujuk, melainkan juga perkumpulan perkumpulan yang dianggap kuat.
Tentu saja tidak semua adipati atau ketua perkumpulan dapat dibujuk untuk mendukung Madura, akan tetapi setidaknya Raden Dibyasakti sudah berusaha untuk mempengaruhi mereka, menanamkan kebencian dan sikap memberontak kepada Mataram. Bahkan Kadipaten Tuban yang baru saja ditundukkan Mataram juga tidak lepas dari bujukan Raden Dibyasakti walaupun tidak berhasil. Usaha Raden Dibyasakti bahkan membuat dia pada suati pagi tiba di Gunung Muria karena dia mendengar bahwa di situ terdapat sebuah perguruan silat yang terkenal, yaitu perguruan Bromo Dadali yang diketuai oleh Ki Ageng Branjang.
Perguruan ini mempunyai kurang lebih seratus orang murid, laki-laki dan wanita yang tinggal di situ sehingga merupakan sebuah perkumpulan yang memiliki perkampungan cukup besar. Ada pula murid-murid Bromo Dadali yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak-anak yang masih kecil. Baru sekitar lima tahun para murid itu menikah dan kini anak-anak mereka yang paling besar berusia sekitar empat tahun. Dengan adanya keluarga ini, maka perguruan Bromo Dadali kini berubah menjadi sebuah perkampungan.
Mereka bekerja sebagai petani, mengerjakan tanah Pegunungan Muria yang subur. Kehidupan, mereka tenteram dan damai dan perguruan ini dikenal baik oleh penduduk sekitar Gunung Muria. Bahkan Bromo Dadali menjadi sumber pertolongan bagi para penduduk dusun-dusun itu kalau terjadi penindasan oleh orang-orang yang mempergunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Dengan adanya Bromo Dadali, maka para gerombolan perampok dan pencuri tidak berani beraksi. Kalau mereka beraksi maka tentu orang-orang gagah yang menjadi para murid Bromo Dadali akan bertindak menumpas mereka.
Pagi itu udara cerah sekali. Matahari telah agak lama muncul di balik puncak gunung sebelah timur dan kini sinarnya yang tadi kemerahan sudah berubah terang, putih kekuningan menghidupkan segala yang tampak di permukaan bumi. Embun-embun yang bergantungan diujung-ujung daun bagaikan mutiara mulai berjatuhan. Tanah dan daun-daun pohon yang semalam disiram hujan, kini tertimpa sinar matahari, menguapkan hawa yang membawa bau sedap, bau sehat dari tanah dan tumbuh tumbuhan.
Burung-burung yang berloncatan dari ranting ke ranting, meruntuhkan sisa air embun yang agaknya enggan meninggalkan pucuk daun-daun. Beberapa ekor bajing berloncatan di antara buah-buah kelapa, berkejaran dengan riang gembira. Beberapa orang murid Bromo Dadali yang bertubuh sehat kokoh, laki-laki berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, bertelanjang dada, hanya mengenakan celana hitam sebatas bawah lutut, memanggul pacul dan memakai caping lebar, berjalan beriringan seperti baris di atas tanggul sawah.
Di belakang mereka tampak tiga orang laki-laki lain menggiring sembilan ekor kerbau dan dua ekor sapi, berjalan di tepi sawah ladang, agaknya sedang digiring ke lereng dimana tumbuh rumput hijau yang lebat. Sebelas ekor hewan peliharaan itu tampak gemuk dan sehat. Dari jauh tampak beberapa orang murid lain sedang mencangkul tanah dan seorang di antara mereka bertembang. Lagu yang ditembangkan Sekar Pangkur dan beberapa orang lain menyelinginya dengan senggaan, ada pula yang menirukan suara kendang dan kenong. Para murid Bromo Dadali itu bekerja dengan hati gembira sehingga tubuh yang sehat dan yang sudah bersimbah peluh itu tidak terasa lelah.
Pada saat seperti itu, kita memandang kesemuanya itu tanpa adanya pikiran yang melayang-layang dan kita melihat kenyataan betapa semua itu, awan putih, sinar mentari, daun-daun pohon yang masih bawah, burung-burung, binatang peliharaan, tupai-tupai, dan orang-orang itu, mereka semua merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, seperti dilindungi oleh puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi menghadang awan.
Selagi para murid Bromo Dadali itu memusatkan seluruh perhatian mereka pada kaki tangan mereka yang sibuk bekerja, dengan pikiran terpusat, hening dan tenggelam ke dalam kebahagiaan tanpa keinginan apapun, pada saat orang yang bertembang itu berhenti, tiba-tiba terdengar suara wanita bertembang, menyelingi penembang tadi, dengan tembang Sekar Pangkur yang menghanyutkan.
"Hardaning kang pancadria
Pan kuwasa amagreh kanang diri
Angrubeda mrih tan tulus
Saged rumesep ing tyas
Amiluta ing dria amrih kepencut
Anilepken kawaspadan
Lir tiyang ningali ringgit."
Semua murid Bromo Dadali yang berada di sawah ladang itu, juga yang sedang menggiring kerbau dan sapi, hanyut oleh suara tembang ini. Ketika suara itu berhenti dan wanita yang menembang muncul dekat, mereka semua menghentikan pekerjaan mereka dan memandang dengan heran dan kagum. Ternyata yang muncul itu seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik jelita. Karena suara tembang tadi jelas suara wanita, maka semua orang maklum bahwa gadis cantik, itulah tentu yang tadi bertembang. Dan semua murid Bromo Dadali mengenal betul tembang itu.
Tembang Pangkur yang seringkali ditembangkan Ki Ageng Branjang. Guru mereka, ketua perguruan Bromo Dadali adalah seorang yang mengagumi kisah Arjuna Wiwaha yang diceritakan dalam tembang itu. Bahkan Ki Ageng Branjang mengajarkan filsafat dari tembangtembang itu kepada para muridnya. Karena itu, mereka terkejut dan heran melihat ada seorang gadis kini menyanyikannya dengan suara yang teramat merdu. Tembang itu mempunyai kandungan filsafat yang tinggi, yang sudah pernah mereka dengar uraiannya dari Ki Ageng Branjang seperti berikut.
Rangsangan panca-indera Wiroboyo juga terkejut bukan main. Sama sekali tidak disangkanya bahwa kini Muryani memiliki kesaktian yang demikian hebat, mengingatkan dia akan wanita cantik yang mengamuk bersama suaminya di perguruan Nogodento. Dia tidak tahu bahwa antara Muryani dan Retno Susilo memang ada hubungan tunggal guru, walaupun mereka tidak pernah saling jumpa. Yang menggembleng kedua orang wanita itu adalah mendiang Nyi Rukmo Petak.
Melihat empat orang anak buahnya roboh dan yang lain tampak gentar, Wiroboyo cepat berteriak, "Maju semua! Serbu! Keroyok!"
Dua puluh orang lebih itu timbul kembali semangat mereka setelah mendengar perintah Wiroboyo. Dengan senjata golok mereka lalu menyerbu Muryani dari segala jurusan, menghujani gadis itu dengan bacokan golok. Namun, Muryani sudah siap siaga. Ia bergerak dengan Aji Kluwung Sakti sehingga tubuhnya seperti lenyap berubah menjadi bayangan yang berkelebatan diantara puluhan batang golok itu. Sambil berkelebat menghindarkan diri, kaki tangannya bergerak.
Berturut-turut para anak buah itu berteriak mengaduh dan roboh. Dalam waktu beberapa detik saja lima orang sudah terjungkal. Wiroboyo terbelalak dan maklum betapa bahayanya gadis perkasa itu. Dia lalu melompat jauh dan melarikan diri, tidak memperdulikan lagi anak buahnya yang diamuk Muryani, juga tidak memperdulikan Wiku Menak Koncar yang tadi bertanding melawan Satyabrata dan kini tidak tampak lagi.
"Keparat busuk, hendak lari ke mana kau?" Tampak bayangan berkelebat di samping Wiroboyo dan angin menyambar dahsyat menyerangnya. Wiroboyo cepat mengelak dan menggerakkan kedua tangan untuk menangkis pukulan yang dahsyat dari gadis itu.
"Wuuuuttt... desss...!" Wiroboyo kembali terdorong dan terhuyung ketika lengannya bertemu dengan tangan gadis itu. Akan tetapi ketika Muryani hendak mengejar dan mengirim serangan susulan, anak buah Klabang Wilis sudah datang lagi dan mengeroyoknya. Wiroboyo menggunakan kesempatan itu untuk mengeroyok pula, dengan maksud untuk dapat merobohkan gadis perkasa itu dengan mengandalkan banyak orang. Muryani mengamuk, mulutnya mengeluarkan bentakan melengking-lengking dan setiap kali tangan atau kakinya menyambar, tentu ada seorang anak buah gerombolan itu yang roboh terpelanting.
Sementara itu, Satyabrata berhasil memancing Wiku Menak Koncar untuk terus mengejar dan menyerangnya. Kini mereka berdua telah berada agak jauh dari Muryani yang dikeroyok banyak orang. Wiku Menak Koncar merasa penasaran sekali karena untuk kesekian kalinya, serangannya selalu dapat dielakkan lawan.
"Hyaaaattt... ahhh!" Dia menyerang lagi dengan aji pukulan Nandaka Kroda yang amat dahsyat. Sekali lagi, Satyabrata tidak mengelak melainkan menyambut pukulan itu dengan aji pukulan Margopati. Dia sengaja memapaki pukulan lawan dan hendak mengadu tenaga sakti mereka.
"Wuuuuttt... plakkk!" Dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya, Wiku Menak Koncar terhuyung ke belakang dan napasnya memburu karena terasa sesak.
"Tahan...!" seru kakek itu dan memandang tajam. "Orang muda, siapakah andika?"
Satyabrata tersenyum. "Andika tentulah Sang Wiku Menak Koncar, datuk besar Blambangan itu, bukan? Katakan dulu, paman Wiku, apakah engkau sekarang masih tetap menentang dan memusuhi Mataram?"
Tentu saja Wiku Menak Koncar terbelalak heran mendengar pertanyaan itu. Dia memandang penuh selidik, akan tetapi tidak merasa kenal dengan pemuda ini, seorang pemuda aneh yang sakti mandraguna, yang bola matanya berwarna aneh pula, agak kebiruan.
"Sebelum aku menjawab, katakan dulu siapa andika!" katanya.
Satyabrata menoleh ke kanan kiri. Setelah merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, dia mengeluarkan sesuatu dari ikat pinggangnya. Benda itu adalah sebuah dinar emas, uang logam terbuat dari emus murni yang dia dapatkan dari Willem Van Huisen ayah angkatnya dan benda itu juga menjadi tanda rahasia bagi seorang wakil Kumpeni Belanda yang tinggi kedudukannya. Satyabrata menunjukkan uang logam emas itu kepada Wiku Menak Koncar dan bertanya, "Andika tentu mengenal ini, bukan?"
Wiku Menak Koncar semakin heran. Tentu saja dia mengenal baik tanda itu walaupun dia belum pernah menjadi antek Kumpeni. Setidaknya dia pernah berhubungan dengan pihak Kumpeni dan mengenal tanda-tanda para wakil kumpeni yang bertugas mengadakan hubungan dengan para pejabat dipedalaman, terutama mereka yang menentang Mataram.
"Ah, andika petugas Kumpeni?" tanyanya.
"Benar, namaku Satyabrata, dari Cirebon. Andika belum menjawab pertanyaanku tadi, paman Wiku Menak Koncar."
"Tentu saja aku memusuhi Mataram. Selamanya aku akan memusuhi dan menentang Mataram!"
"Bagus! Kalau begitu kita sepaham dan segolongan. Karena itu, tidak perlu kita melibatkan diri dengan pertikaian pribadi antara Muryani dan Wiroboyo itu, paman Wiku. Tak perlu kita bertanding lagi. Kewajiban kita adalah menentang Mataram demi kepentingan Kumpeni dan juga Blambangan. Atau paman akan nekat melanjutkan perkelahian? Ingat, paman, kalau aku menghendaki, sudah sejak tadi aku dapat membunuhmu dengan ini!" Satyabrata menyingkap bajunya, memperlihatkan sebuah pistol yang terselip di ikat pinggangnya. "Peluru emas pistol ini tentu takkan dapat ditahan kekebalan paman. Juga aku memiliki banyak aji kesaktian yang cukup untuk menandingi kesaktianmu."
Wiku Menak Koncar memandang ragu. Dia maklum bahwa pemuda itu memang digdaya sekali, belum tentu dia akan mampu mengalahkan pemuda itu, apalagi dia memiliki senjata api yang berbahaya. Selain itu, tidak perlu pula dia harus bermusuhan dengan seorang petugas Kumpeni. "Lalu apa kehendakmu sekarang, anakmas Satyabrata?"
"Begini, paman Wiku Menak Koncar. Tentu andika mengetahui bahwa sekarang Mataram sedang mengancam untuk menyerang Madura dan Surabaya. Karena itu, kita harus membantu Madura untuk, menentang Mataram. Kumpeni juga secara diam-diam akan membantu Madura. Maka, saya harap paman suka meninggalkan pertempuran ini dan pergi ke Madura, membantu Kadipaten Arisbaya dan kadipaten-kadipaten lain di Madura. Saya sendiri juga akan segera menyusul ke sana. Percayalah, Kumpeni pasti akan menghargai sekali bantuan paman, dan saya akan melaporkan ke atasan di Batavia. Atau kalau paman menolak, paman melanjutkan pertempuran ini dan akan berhadapan dengan saya!"
Wiku Menak Koncar masih ragu. "Akan tetapi bagaimana dengan Wiroboyo? Dia sudah menjadi muridku..."
"Aahh, paman. Mengapa memusingkan urusan kecil itu kalau urusan yang jauh lebih besar menunggu bantuan paman?"
Akhirnya Wiku Menak Koncar setuju. Memang diam-diam kakek ini sudah mempunyai keinginan untuk membantu Madura melawan Mataram atas permintaan sahabatnya, yaitu Ki Harya Baka Wulung yang sudah mengirim utusan menemuinya. "Baiklah, anakmas Satyabrata. Aku berangkat sekarang juga dan kuharap akan dapat segera bertemu dan bekerja sama denganmu di Madura."
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu, tidak perduli lagi akan pasib Ki Wiroboyo dan sisa anak buah Klabang Wilis. Satyabrata mengikuti bayangan Wiku Menak Koncar sambil tersenyum. Dia merasa girang sekali dan senyumnya membuat wajahnya tampak tampan sekali. Dia merasa telah mendapatkan dua keuntungan. Pertama, dia dapat membantu Muryani, dan kedua, dia berhasil membujuk.
Wiku Monak Koncar untuk segera pergi ke Madura membantu perlawanan terhadap Mataram, sesuai dengan politik Kumpeni Belanda. Dia diam-diam sudah bertemu dengan para pimpinan telik sandi Kumpeni dan mempelajari keadaan politik waktu itu karena telah terjadi perubahan-perubahan selama dia mempelajari, ilmu-ilmu di sumur tua perguruan Jatikusumo. Sambil tersenyum-senyum dia lalu berlari, kembali ke tempat pertempuran tadi dengan niat mencegah Muryani membunuh Wiroboyo.
Pria itu adalah murid Wiku Menak Koncar, maka sudah sepatutnya kalau diselamatkan karena dia dapat diharapkan untuk menjadi sekutu menentang nentang Mataram. Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, Satyabrata melihat bahwa sudah terlambat baginya untuk menyelamatkan Wiroboyo. Dia melihat betapa Muryani mengamuk dan sudah merobohkan banyak sekali anak buah Klabang Wilis dan kini Wiroboyo sudah terdesak hebat.
Tak mungkin lagi dia mencampuri perkelahian itu untuk menyelamatkan Wiroboyo tanpa menyinggung perasaan Muryani. Kalau dia menolong Wiroboyo, dia harus menggunakan kekerasan melindunginya dan hal ini tentu akan membuat Muryani marah kepadarrya. Tentu saja dia tidak mau kehilangan Muryani hanya untuk menyelamatkan Wiroboyo.
Pada saat itu, memang Muryani sudah mendesak hebat kepada musuhnya. Tidak kurang dari sepuluh orang anak buah Klabang Wilis yang berani mencoba untuk membantu Wiroboyo dan mengeroyoknya telah ia robohkan dan kini sisa para anak buah itu tidak berani lagi mendekat walaupun berulang kali Wiroboyo memerintahkan mereka untuk membantunya. Terpaksa dia sendiri yang melawan, akan tetapi dia hanya dapat mengelak dan menangkis sambil terdesak mundur terus, tanpa dapat membalas sama sekali.
Tiba-tiba Muryani bergerak cepat, tubuhnya berkelebat ke depan, tangan kirinya menyambar ke arah muka Wiroboyo. Wiroboyo terkejut sekali, hidungnya mencium bau harum-harum amis keluar dari kukukuku tangan gadis itu. Dia mengelak dengan menarik mukanya ke belakang. "Heiiiittt...!" Muryani membentak, tangannya meraih dan kuku-kuku jari tangannya mencengkerarn ke leher lawan. Darah muncrat dan tubuh Wiroboyo terhuyung kebelakang. Kaki kanan Muryani menyusul dan tubuh Wiroboyo terpental oleh tendangan kaki. Dia roboh dan bergulingan, berkelojotan.
Rasa nyeri menghentak-hentak ke dalam kepalanya. Dia telah terkena cengkeraman Wiso Sarpo yang amat berbisa, sebuah aji pukulan yang dahsyat dan ganas sekali yang merupakan aji pamungkas dari mendiang Nyi Rukmo Petak. Saking keji dan ganasnya pukulan ini, Muryani yang telah menguasainya hampir tidak pernah mempergunakannya. Sekarang saking sakit hati dan, bencinya kepada Wiroboyo, ia menggunakan aji itu dan memandang musuhnya yang kini berkelojotan dan mukanya berubah kehitaman mengerikan!
Anak buah Klabang Wilis yang tinggal belasan orang itu lari kocar-kacir melihat pemimpin mereka roboh. Muryani tetap berdiri memandang musuh besarnya sampai Wiroboyo tidak bergerak lagi, tewas dalam keadaan yang mengerikan. Setelah musuhnya tewas, baru Muryani mendengar langkah Satyabrata yang menghampirinya. Ia memutar tubuh, siap menghadapi lawan baru. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang menghampirinya ada lah Satyabrata, ia menghela napas panjang dan memandang kepada mayat Wiroboyo yang menggeletak telentang dengan seluruh muka berubah hitam.
"Aku telah berhasil membunuhnya. Berhasil membunuh jahanam ini yang menyebabkan kematian ayahku," katanya suaranya gemetar penuh keharuan, teringat akan ayahnya.
Satyabrata mengangkat tangan kanannya dan menyentuh pundak gadis itu dengan lembut dan mesra. "Syukurlah, diajeng, aku ikut merasa gembira engkau telah dapat membalas sakit hatimu."
Muryani merasa girang. Ia menganggap pemuda itu amat baik dan bersikap lembut dan sopan kepadanya. Sentuhan, tangan pemuda itu di pundaknya mendatangkan getaran dan ia membiarkan saja tangan itu hinggap di pundaknya. Ia teringat akan lawan pemuda itu, kakek bermuka hitam arang yang sakti mandraguna tadi.
"Kakangmas Satyabrata, bagaimana dengan lawanmu, kakek yang mengerikan tadi?"
Satyabrata melepaskan tangannya dan mengerutkan alis, menggelengkan kepalanya. "Dia sungguh sakti dan licik, diajeng. Dia berhasil lolos dari tanganku dan melarikan diri. Aku tidak berani mengejarnya karena khawatir engkau akan mengalami celaka kalau kutinggalkan, maka aku terpaksa membiarkan dia lari."
"Tidak mengapa, kakangmas. Aku tidak mempunyai urusan dengan kakek itu. Wiroboyo inilah yang kucari dan sekarang aku berhasil membunuhnya. Semua ini berkat pertolonganmu, kakangmas. Kalau tidak ada engkau yang membantuku, mungkin bukan dia, melainkan aku yang menggeletak tak bernyawa di sini karena kakek muka hitam itu sakti sekali. Sekali lagi aku amat berterima kasih kepadamu, kakangmas. Berulang kali engkau telah menyelamatkan dan menolong aku. Aku berhutang budi dan nyawa kepadamu."
Satyabrata tersenyum dan merasa senang sekali. Akan tetapi dia menahan gelora hatinya yang membuat dia ingin sekali merangkul dan mencumbu gadis itu Dia ingat bahwa saat itu dia harus menjadi seorang pemuda yang baik hati, lembut dan sopan di mata Muryani.
"Aah, diajeng, kenapa engkau berkata begitu? Aku senang sekali dapat membantumu, bahkan aku akan rela mengorbankan nyawaku demi menyelamatkan dan membantumu, diajeng."
Suaranya mengandung getaran perasaan yang membuat Muryani terguncang hatinya dan ia memandang wajah pemuda itu yang tampan ganteng dan penuh daya tarik. Detak jantungnya membuat wajah gadis itu menjadi kemerahan karena perkataan pemuda itu jelas mengandung isyarat bahwa pemuda itu mencintanya dengan tulus dan murni sehingga rela mengorbankan nyawa untuknya!
Akan tetapi ia masih belum puas, dengan isyarat itu, ingin mengetahui mengetahui lebih jelas. Ia berdiri menghadapi pemuda itu dalam jarak hanya satu meter dan menatap tajam wajah itu. "Kakangmas Satyabrata..."
"Hemmm? Ada apakah, diajeng Muryani?" kata pemuda itu dengan suara lembut sekali.
"Aku merasa heran, kakangmas. Kenapa engkau begini baik kepadaku? Tidak ada hubungan apapun antara kita, dan kitapun baru saja saling bertemu dan berkenalan, akan tetapi mengapa engkau begini baik kepadaku sehingga engkau mengatakan akan rela mengorbankan nyawamu untukku? Kenapa, kakangmas?"
Satyabrata menjulurkan kedua tangannya dan menangkap kedua tangan yang mungil dan berkulit hangat dan lembut itu. Dia mengangkat kedua tangan itu dan ditempelkan pada dadanya sendiri. Suaranya mengandung penuh getaran hati yang tidak dibuat-buat ketika dia berkata lirih seperti berbisik.
"Diajeng Muryani, bolehkah aku berkata terus terang. Tidak marahkah kalau engkau mendengar pengakuan yang tulus keluar dari hati sanubariku? Engkau belar-benar tidak akan marah?"
Dua pasang mata itu saling pandang, sinar mata itu bertaut dan seolah saling nelekat. Muryani merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan dan iapun menggeleng kepala sambil berkata lirih pula, "Tidak, kakangmas, aku tidak akan marah, apapun yang akan kaukatakan."
"Kalau begitu, perkenankan aku menyatakan isi hatiku kepadamu, diajeng. Semenjak pertemuan kita pertama kali, aku... aku telah jatuh cinta kepadamu, diajeng, aku... cinta padamu dengan segenap jiwa ragaku. Nah, lega sudah hatiku setelah menyatakan perasaan ini kepadamu, mudah-mudahan engkau dapat menerima dan membalas cintaku, diajeng."
Sejenak Muryani merasa begitu nyaman dan bahagia. Jantungnya berdebar. Alangkah senangnya mendengar pemuda yang tampan gagah, dan demikian baik hati kepadanya, yang berkali-kali menolongnya itu menyatakan cinta kepadanya! Merasa betapa kedua tangannya yang ditekan pada dada pemuda itu dapat mengenal debar jantung dalam dada itu, debar jantung penuh gairah cinta! Akan tetapi tiba-tiba wajah seorang pemuda lain terbayang di depan matanya.
Seorang pemuda remaja, berusia delapan belas tahun berdekapan dengan ia yang ketika itu berusia enam belas tahun sambil bertangisan karena akan berpisah. Masih teringat betapa ia memberikan sebuah patrem (keris kecil) kepada Parmadi, pemuda itu dan pemberiannya itu selama ini ia anggap sebagai tanda cintanya, waIaupun mereka berdua belum pernah menyatakan cinta melalui kata-kata. Betapapun juga, begitu wajah Parmadi terbayang ia lalu dengan lembut menarik kedua tangannya terlepas dari pegangan Satyabrata dan ia melepaskan pula pandang matanya dengan menundukkan mukanya. Kedua pipinya merah dan ia memaksa diri tersenyum agar tidak mengecewakan hati pemuda yang sesungguhnya telah mulai membakar gairah cintanya itu.
"Kakangmas Satyabrata, terima kasih atas perasaanmu yang murni terhadap diriku. Akan tetapi maafkanlah aku, kakangmas, sesungguhnya saat ini aku sama sekali belum memikirkan tentang hal itu. Aku masih belum siap untuk sebuah pernikahan."
"Diajeng, engkau pernah mengatakan bahwa usiamu kini sudah dua puluh satu tahun dan aku sendiri kini sudah berusia dua puluh enam tahun. Kita berdua sudah cukup dewasa, diajeng. Dan akupun tidak tergesa-gesa mengajakmu menikah. Aku sudah merasa cukup berbahagia kalau saja engkau dapat menerima cintaku dan membalasnya. Tentang pernikahan, kita dapat bicarakan kelak kalau saatnya sudah tiba."
"Maafkan aku, kakangmas, aku benar-benar belum siap. Sebaiknya kalau kita tidak membicarakan urusan itu lebih dulu. Aku masih bingung melihat kenyataan diriku. Aku telah kehilangan ayah dan ibu, juga nenekku telah tiada, kemudian guruku yang kedua dan yang amat menyayangku, telah meninggal dunia pula. Aku masih bingung menghadapi kenyataan ini, karena itu, harap engkau suka maafkan aku dan tidak membicarakan urusan itu yang hanya akan menambah kebingungan hatiku."
Satyabrata menghela napas panjang. "Kasihan engkau, diajeng. Baiklah, akupun sebetulnya ingin sekali menjadi pengganti semua orang yang kaucinta dan yang telah tiada itu. Akan tetapi kalau engkau belum siap, akupun tidak berani nengganggumu lagi. Sekarang, bagaimana, diajeng? Ke mana engkau hendak pergi? Aku akan selalu menemanimu, tentu saja kalau engkau tidak keberatan."
"Aku hanya akan mengganggu saja, kakangmas Satyabrata. Silakan engkau melaksanakan tugas kewajibanmu sendiri, dan jangan pusingkan urusanku."
"Tidak, diajeng. Kebetulan akupun tidak mempunyai urusan penting. Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa aku jangan memusingkan urusanmu? Urusanmu bagiku berarti urusanku juga, bahkan lebih penting. Karena itu, biarpun engkau belum dapat menerima cintaku, janganlah menolak kalau aku ingin menyertaimu dalam perjalananmu dan membantumu dalam segala urusan."
Muryani merasa tidak enak untuk menolak lagi. Pula, di lubuk hatinya ia memang sudah terpikat oleh semua ucapan yang merayu dan amat manis terdengarnya itu sehingga sesungguhnya ia pun merasa berat untuk berpisah dari Satyabrata dan ingin terus didampingi pemuda yang tampan dan gagah perkasa itu.
"Baiklah kalau begitu, kakangmas Satyabrata. Seperti kukatakan tadi, kini aku hidup sebatangkara di dunia ini. Akan tetapi masih ada seorang yang dapat kuanggap sebagai pengganti orang tuaku yaitu guruku..."
"Eh, bukankah tadi kau katakan bahwa gurumu juga sudah meninggal dunia?" potong Satyabrata.
"Oh, yang telah meninggal dunia itu adalah guruku yang kedua, yaitu Nyi Rukmo Petak. Guruku yang pertama adalah Ki Ageng Branjang, ketua perguruan Bromo Dadali yang berada di Gunung Muria kakangmas."
"Hemm, begitukah? Jadi sekarang engkau hendak pergi ke Gunung Muria?"
"Begitulah."
"Baik, mari kita berangkat. Aku akan menemanimu pergi berkunjung ke rumah gurumu itu."
Dua orang muda itu lalu berangkat menuju ke Gunung Muria. Dalam perjalanan itu, Satyabrata selalu bersikap lembut, manis, dan sopan, bahkan sama sekali tidak menyinggung lagi tentang perasaan cintanya terhadap Muryani sehingga gadis itu merasa senang dan semakin tertarik. Biarpun ia seorang gadis yang sakti mandraguna, namun Muryani masih hijau dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga mudah ia terpesona oleh rayuan manis seorang pemuda yang memang tampan dan gagah seperti Satyabrata. Tak terhitung banyaknya wanita yang jatuh terjerumus karena rayuan ini karena memang telah menjadi kelemahan wanita pada umumnya untuk menjadi lunak dan tertarik hatinya apabila menghadapi pria yang pandai merayu. Bahkan banyak wanita yang jatuh oleh rayuan maut pria yang tidak tampan sekalipun. Apalagi rayuan seorang pemuda seperti Satyabrata, tentu saja daya tariknya amat besar dan kuat.
********************
Karena mendapat keterangan dari para mata mata bahwa Mataram sudah bersiap-siap untuk menyerbu Madura lebih dulu dalam usahanya menyerang Surabaya, maka Harya Baka Wulung tiada henti-hentinya berusaha untuk membujuk para adipati untuk membantu Madura dan memberontak kepada Mataram. Bahkan puteranya sendiri, Raden Dibyasakti, dijadikan utusan istimewa untuk menghubungi dan membujuk seluruh kadipaten di Madura dan pemuda tinggi besar dan gagah itu berhasil dengan baik sehingga, semua adipati di daerah Pulau Madura telah berjanji untuk bersama-sama melawan Mataram kalau Mataram mengadakan penyerbuan ke Madura.
Ki Harya Baka Wulung yang menjadi sesepuh dan penasihat di Kadipaten Arisbaya masih belum puas dengan bersatunya Madura. Dia bahkan mengutus Raden Dibyasakti untuk menyeberang ke Jawa Timur di sepanjang pesisir utara, menghubungi siapa saja yang memiliki kecenderungan mendendam dan memusuhi Mataram dan yang mau untuk membantu Madura. Bukan hanya para adipati yang dibujuk, melainkan juga perkumpulan perkumpulan yang dianggap kuat.
Tentu saja tidak semua adipati atau ketua perkumpulan dapat dibujuk untuk mendukung Madura, akan tetapi setidaknya Raden Dibyasakti sudah berusaha untuk mempengaruhi mereka, menanamkan kebencian dan sikap memberontak kepada Mataram. Bahkan Kadipaten Tuban yang baru saja ditundukkan Mataram juga tidak lepas dari bujukan Raden Dibyasakti walaupun tidak berhasil. Usaha Raden Dibyasakti bahkan membuat dia pada suati pagi tiba di Gunung Muria karena dia mendengar bahwa di situ terdapat sebuah perguruan silat yang terkenal, yaitu perguruan Bromo Dadali yang diketuai oleh Ki Ageng Branjang.
Perguruan ini mempunyai kurang lebih seratus orang murid, laki-laki dan wanita yang tinggal di situ sehingga merupakan sebuah perkumpulan yang memiliki perkampungan cukup besar. Ada pula murid-murid Bromo Dadali yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak-anak yang masih kecil. Baru sekitar lima tahun para murid itu menikah dan kini anak-anak mereka yang paling besar berusia sekitar empat tahun. Dengan adanya keluarga ini, maka perguruan Bromo Dadali kini berubah menjadi sebuah perkampungan.
Mereka bekerja sebagai petani, mengerjakan tanah Pegunungan Muria yang subur. Kehidupan, mereka tenteram dan damai dan perguruan ini dikenal baik oleh penduduk sekitar Gunung Muria. Bahkan Bromo Dadali menjadi sumber pertolongan bagi para penduduk dusun-dusun itu kalau terjadi penindasan oleh orang-orang yang mempergunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Dengan adanya Bromo Dadali, maka para gerombolan perampok dan pencuri tidak berani beraksi. Kalau mereka beraksi maka tentu orang-orang gagah yang menjadi para murid Bromo Dadali akan bertindak menumpas mereka.
Pagi itu udara cerah sekali. Matahari telah agak lama muncul di balik puncak gunung sebelah timur dan kini sinarnya yang tadi kemerahan sudah berubah terang, putih kekuningan menghidupkan segala yang tampak di permukaan bumi. Embun-embun yang bergantungan diujung-ujung daun bagaikan mutiara mulai berjatuhan. Tanah dan daun-daun pohon yang semalam disiram hujan, kini tertimpa sinar matahari, menguapkan hawa yang membawa bau sedap, bau sehat dari tanah dan tumbuh tumbuhan.
Burung-burung yang berloncatan dari ranting ke ranting, meruntuhkan sisa air embun yang agaknya enggan meninggalkan pucuk daun-daun. Beberapa ekor bajing berloncatan di antara buah-buah kelapa, berkejaran dengan riang gembira. Beberapa orang murid Bromo Dadali yang bertubuh sehat kokoh, laki-laki berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, bertelanjang dada, hanya mengenakan celana hitam sebatas bawah lutut, memanggul pacul dan memakai caping lebar, berjalan beriringan seperti baris di atas tanggul sawah.
Di belakang mereka tampak tiga orang laki-laki lain menggiring sembilan ekor kerbau dan dua ekor sapi, berjalan di tepi sawah ladang, agaknya sedang digiring ke lereng dimana tumbuh rumput hijau yang lebat. Sebelas ekor hewan peliharaan itu tampak gemuk dan sehat. Dari jauh tampak beberapa orang murid lain sedang mencangkul tanah dan seorang di antara mereka bertembang. Lagu yang ditembangkan Sekar Pangkur dan beberapa orang lain menyelinginya dengan senggaan, ada pula yang menirukan suara kendang dan kenong. Para murid Bromo Dadali itu bekerja dengan hati gembira sehingga tubuh yang sehat dan yang sudah bersimbah peluh itu tidak terasa lelah.
Pada saat seperti itu, kita memandang kesemuanya itu tanpa adanya pikiran yang melayang-layang dan kita melihat kenyataan betapa semua itu, awan putih, sinar mentari, daun-daun pohon yang masih bawah, burung-burung, binatang peliharaan, tupai-tupai, dan orang-orang itu, mereka semua merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, seperti dilindungi oleh puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi menghadang awan.
Selagi para murid Bromo Dadali itu memusatkan seluruh perhatian mereka pada kaki tangan mereka yang sibuk bekerja, dengan pikiran terpusat, hening dan tenggelam ke dalam kebahagiaan tanpa keinginan apapun, pada saat orang yang bertembang itu berhenti, tiba-tiba terdengar suara wanita bertembang, menyelingi penembang tadi, dengan tembang Sekar Pangkur yang menghanyutkan.
"Hardaning kang pancadria
Pan kuwasa amagreh kanang diri
Angrubeda mrih tan tulus
Saged rumesep ing tyas
Amiluta ing dria amrih kepencut
Anilepken kawaspadan
Lir tiyang ningali ringgit."
Semua murid Bromo Dadali yang berada di sawah ladang itu, juga yang sedang menggiring kerbau dan sapi, hanyut oleh suara tembang ini. Ketika suara itu berhenti dan wanita yang menembang muncul dekat, mereka semua menghentikan pekerjaan mereka dan memandang dengan heran dan kagum. Ternyata yang muncul itu seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik jelita. Karena suara tembang tadi jelas suara wanita, maka semua orang maklum bahwa gadis cantik, itulah tentu yang tadi bertembang. Dan semua murid Bromo Dadali mengenal betul tembang itu.
Tembang Pangkur yang seringkali ditembangkan Ki Ageng Branjang. Guru mereka, ketua perguruan Bromo Dadali adalah seorang yang mengagumi kisah Arjuna Wiwaha yang diceritakan dalam tembang itu. Bahkan Ki Ageng Branjang mengajarkan filsafat dari tembangtembang itu kepada para muridnya. Karena itu, mereka terkejut dan heran melihat ada seorang gadis kini menyanyikannya dengan suara yang teramat merdu. Tembang itu mempunyai kandungan filsafat yang tinggi, yang sudah pernah mereka dengar uraiannya dari Ki Ageng Branjang seperti berikut.
berkuasa memerintah diri pribadi
menghalangi agar cita luhur gagal
dapat meresap ke dalam hati sanubari
mempengaruhi indera agar terpikat
menghilangkan kewaspadaan
seperti orang nonton wayang.
Tiba-tiba seorang murid Bromo Dadali, seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun yang hitam manis sedang memetik daun semanggi yang tumbuh di sekitar sawah, berseru girang, "Adi Muryani....!!"
Mendengar seruan ini, para murid lain segera mengenal gadis cantik jelita yang meninggalkan perguruan selama lima tahun lebih yang lalu. Mereka segera berlari-lari menghampiri dan berseru memanggil nama gadis itu.
"Muryani...! Muryani...!" Mereka berteriak-teriak sambil melambaikan caping atau tangan dan berlari menghampiri. Muryani berdiri melambaikan tangan dan tersenyum lebar penuh kegembiraan. Setelah mereka dekat, baru ia mengenal mereka satu demi satu walaupun sudah lima tahun ia berpisah dari mereka. Gadis hitam manis yang pertama kali memanggilnya tiba lebih dulu dan dua orang gadis ini segera berangkulan.
"Adi Muryani, bertahun-tahun kita tidak berjumpa! Sekarang engkau bertambah cantik saja! Ini... dia ini... suami?"
Muryani tersenyum, mukanya beruba merah dan ia mencubit lengan gadis hitam mania itu. "Ih, mbakayu Markonah, jangan ngaco kau! Ini adalah kakangmas Satyabrata, seorang sahabat."
"Ooo, sahabat?" ulang Markonah yang centil itu sambil tertawa dan menata wajah Satyabrata dengan sikap lucu dan lugu. Satyabrata membungkuk member hormat dan berkata lembut.
"Perkenalkan, saya bernama Satyabrata, dari Cirebon."
Markonah balas membungkuk dan berkata riang, "Saya senang berkenalan dengan andika, karena andika sahabat adi Muryani. Nama saya Markonah, seorang murid perguruan Bromo Dadali."
Para murid lain berdatangan dan mereka merubung Muryani yang menjad gembira sekali. Satyabrata juga berkenalan dengan para murid Bromo Dadali. Karena saling merasa kangen, maka para murid itu menghujani Muryani dengan pertanyaan dan memaksanya untuk bercakap-cakap ditepi sawah itu. Mereka duduk di bawah sebatang pohon yang rinang dan saling bertanya jawab tiada hentinya. Satyabrata yang tahu diri membiarkan Muryani melepas rasa kangennya dan hanya mendengarkan saja sambil tersenyum.
Tak lama kemudian, semua kepala menengok ke arah selatan. Mereka semua mendengar derap kaki banyak kuda dan segera tampak debu mengebul dan serombongan orang menunggang kuda lewat di jalan dekat tepi sawah di mana mereka uduk bercakap-cakap. Dua puluh orang lebih murid Bromo Dadali itu dengan heran melihat seorang pemuda tinggi besar dan gagah perkasa memimpin sekitar dua lusin orang laki-laki yang kesemuanya bertubuh kokoh kuat melarikan kuda menuju ke atas melalui jalan tanjakan itu. Muryani mengerutkan alisnya.
"Siapakah dia itu?"
Akan tetapi tak seorangpun di antara para murid Bromo Dadali mengenalnya. "Kami tidak mengenalnya," kata seorang murid pria.
"Agaknya dia dan rombongannya itu hendak berkunjung ke perguruan kita. Mungkin dia kenalan bapa guru."
"Hemm, andaikata dia itu kenalan bapa guru, kukira dia bukan kenalan baik," kata Muryani. "Sikapnya begitu angkuh. Dia tahu berada di daerah orang, akan tetapi sama sekali tidak memperdulikan kita!"
"Mungkin dia tidak tahu kita ini murid perguruan Bromo Dadali dan mengira kita petani-petani pegunungan ini, adi Muryani," kata Markonah.
"Mengapa merasa penasaran?"
"He, itu siapa yang datang berlari-lari?" tanya seseorang.
Semua memandang ke utara. Benar saja, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun datang berlari-lari. "Kakang Sanuri!"
Muryani menyambut dengan gembira mengenal kakak seperguruan yang menjadi satu di antara murid-murid kepala yang kepandaiannya setingkat lebih tinggi dari padanya dalam perguruan itu. Sanuri ini dulu sering mewakili bapa guru mereka untuk melatihnya.
"Eh, kiranya engkau, Muryani? Ke mana saja engkau selama ini?" tanya Sanuri dengan napas agak terengah karena dia berlari-lari tadi.
"Nanti dulu, kakang. Engkau tampaknya tegang, berlari-larian. Ada apakah?" tanya Muryani.
Yang lain juga bertanya demikian sehingga perhatian Sanuri kepada Muryani segera beralih ke hal yang dianggapnya lebih penting.
"Apakah kalian tadi tidak melihat rombongan penunggang kuda yang tentu lewat di sini?" tanya Sanuri sambil memandangi adik-adik seperguruannya yang berkumpul di situ.
"Kami melihat mereka!" Serentak para murid Bromo Dadali menjawab seperti sekumpulan burung.
"Siapakah mereka itu, kakang Sanuri? Tampaknya mereka itu sombong sekali!" tanya Muryani.
"Ya, siapakah mereka, kakang Sanuri?" hanyak murid bertanya.
"Agaknya kalian belum mengenal pemimpin rombongan tadi. Dia adalah seorang senopati muda dari Kadipaten Arisbaya dan dia adalah seorang yang berwatak keras dan memiliki kesaktian yang hebat. Pada kunjungannya pertama kali, tidak banyak yang mengetahui dan ketika itu, lima hari yang lalu, kebetulan bapa guru tidak berada dirumah. Kunjungan senopati muda bernama Raden Dibyasakti itu tanpa membawa pengikut dan kebetulan yang menemuinya aku sendiri bersama empat saudara yang lain. Ketika dia diberi tahu bahwa bapa guru tidak ada, dia dengan sikapnya yang keras menuntut kami agar mencari dan memanggil bapa guru agar pulang. Tentu saja kami tidak mau dan terjadi keributan antara kami berlima dan dia sehingga terjadi perkelahian. Akan tetapi, biarpun kami maju berlima, kami tidak mampu menandinginya dan kami berlima kalah. Lalu dia pergi meninggalkan pesan bahwa lima hari lagi dia akan datang. Kami sudah melapor kepada bapa guru yang memesan agar kami tidak memberitakan peristiwa itu kepada para murid lain. Akan tetapi hari ini Raden Dibyasakti itu datang membawa pengikut yang besar jumlahnya."
"Kami melihat ada dua losin orang pengikut!" kata beberapa orang murid.
"Hemm, kedengarannya buruk! Siapa tahu senopati itu mempunyai niat buruk terhadap bapa guru. Mari kita ke sana untuk melindungi keselamatan bapa guru!" kata Muryani penuh semangat.
Akan tetapi dua puluh orang lebih murid Bromo Dadali yang berkumpul di situ tampaknya enggan berdiri. Melihat ini, Muryani mengerutkan alisnya. "Mengapa kalian ini? Mungkin bapa guru dalam bahaya! Hayo cepat kita ke sana!"
"Ah, adi Muryani. Apa yang akan dapat kita lakukan? Kalau kakang Sanuri dan empat orang murid lain maju mengeroyok senopati Madura itu dan mereka kalah, apa yang dapat kita lakukan? Kalau kita melawan senopati itu, sama saja dengan bunuh diri!" kata Markonah dan para murid lain mengangguk membenarkan. Mereka semua tampak ketakutan.
Melihat sikap mereka, Muryani menjadi marah dan kecewa sekali. "Kalian tidak patut menjadi murid Bromo Dadali! Melihat bapa guru terancam kalian tidak berani menolong. Kalau kalian tidak berani, biar aku yang akan membela bapa guru! Kalian yang pengecut ini memang lebih pantas berlumur lumpur disawah ini! Mari, kakangmas Satyabrata, kita pergi!" Setelah berkata demikian, Muryani mengajak Satyabrata berlari menuju ke perkampungan Bromo Dadali mengejar rombongan berkuda tadi.
Setelah Muryani dan Satyabrata pergi, Sanuri bangkit memandang semua adik seperguruannya. "Kalian memang memalukan sekali. Betapa saktipun musuh, kalau bapa guru terancam bahaya apakah kita pantas tinggal diam saja? Mereka yang tidak mau menjadi pengecut, marilah ikut aku mengejar!"
Setelah berkata demikian, Sanuri berlari mengejar dan satu demi satu para murid Bromo Dadali juga bangkit dan lari mengejar, menuju pulang keperkampungan mereka. Mereka terutama mengkhawatirkan keselamatan keluarga mereka yang berada di perkampungan. Sementara itu, rombongan berkuda tadi adalah pasukan pengawal dari Kadipaten Arisbaya diMadura yang diajak Raden Dibyasakti untuk berkunjung ke Bromo Dadali.
Seperti yang tadi diceritakan Sanuri kepada para murid Bromo Dadali yang lain, lima hari yang lalu dia datang seorang diri ke perkampungan perguruan itu dengan niat bertemu ketuanya, yaitu Ki Ageng Branjang. Akan tetapi dia tidak dapat bertemu dengan ketua itu yang sedang pergi dan sebaliknya bertemu dengan Sanuri dan empat orang murid lain. Karena sikap Dibyasakti yang kasar dan memandang rendah, terjadi percekcokan yang berlanjut menjadi perkelahian.
Akan tetapi biarpun dikeroyok lima, akhirnya Dibyasakti dapat merobohkan mereka semua. Karena maksudnya adalah untuk mengajak perguruan itu bekerja sama memusuhi Mataram, maka dia tidak membunuh lima orang itu, hanya merobohkan mereka karena maksudnya hanya untuk meninggalkan kesan bahwa dia seorang yang sakti mandraguna. Dia lalu meninggalkan pesan bahwa lima hari kemudian dia akan datang lagi menemui Ki Ageng Branjang.
Pada hari itu, datanglah dia bersama dua losin anak buahnya untuk menambah wibawa dan membuat gentar ketua perguruan itu sehingga tidak akan menolak rayuan dan ajakannya untuk memusuhi Mataram. Para murid Bromo Dadali dan keluarga mereka yang tidak bertugas keluar perkampungan, menjadi gempar ketika dua puluh lima orang penunggang kuda yang rata-rata gagah dan menyeramkan itu memasuki perkampungan mereka.
Di antara mereka yang sudah mendengar dari para murid yang pernah dikalahkan Dibyasakti, menjadi gentar. Akan tetapi mereka yang belum mendengar, menjadi terkejut, penasaran dan marah. Segera mereka mengambil senjata dan dua puluh orang itu dikepung oleh puluhan orang murid Bromo Dadali.
"Heiii! Orang-orang Bromo Dadali!" Dibyasakti berteriak dengan suara yang lantang dan berwibawa. "Kami dari Kadipaten Arisbaya datang bukan sebagai musuh, melainkan hendak menjalin persahabatan dengan Bromo Dadali. Aku, Raden Dibyasakti, senopati muda Arisbaya, mempersilakan Ki Ageng Branjang, ketua kalian, untuk keluar dan bicara denganku!"
Tiba-tiba terdengar suara orang, lantang kuat namun halus, "Para murid Bromo Dadali, mundurlah! Raden Dibyasakti dari Arisbaya, akulah Ki Ageng Branjang ketua Bromo Dadali!"
Semua murid membuka jalan dan mundur sehingga guru mereka kini berhadapan dengan Dibyasakti yang sudah melompat turun dari atas kudanya yang kini dituntun kendalinya oleh seorang di antara para pengikutnya. Pemuda yang gagah perkasa ini memandang ke depan dan dia melihat seorang laki-laki lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, berwajah tampan dengan sepasang mata mencorong, berdiri tegak dengan sikap tenang namun gagah sekali.
Tangan kanan laki-laki ini memegang sebatang tombak yang gagangnya ditekan diatas tanah dan mata tombak itu berkilauan mendatangkan wibawa yang ampuh. Itulah tombak pusaka Kyai Jamus yang terkenal ampuh sekali. Melihat keadaan orang itu, Dibyasakti terpengaruh juga dan dia melangkah maju, kecongkakannya agak berkurang. Dia tersenyum lebar dan menghampiri, lalu berdiri didepan ketua Bromo Dadali itu dalam jarak tiga meter. Dia memberi hormat dengan membungkuk dan suaranya terdengar ramah ketika dia berkata.
"Ah, kiranya paman Ki Ageng Branjang telah berkenan menemui saya. Saya gembira sekali dapat bertemu dengan paman."
Namun hati Ki Ageng Branjang yang panas tidak dapat didinginkan begitu mudah oleh sikap ramah Dibyasakti. "Raden Dibyasakti, entah keperluan apa yang membawa andika datang berkunjung. Akan tetapi, mendengar laporan para murid bahwa lima hari yang lalu andika memamerkan kepandaian merobohkan murid-murid kami, kami kira maksud kunjungan andika ini tidak membawa niat baik."
"Ah, sama sekali tidak, paman. Kedatangan saya ini sebagai utusan Gusti Adipati di Arisbaya dan juga mewakili ayah saya Ki Harya Baka Wulung, selain itu sebagai senopati muda Arisbaya untuk membicarakan sesuatu yang amat penting dengan paman. Marilah, paman, kita bicara didalam saja, tidak baik membicarakan urusan penting di luar seperti ini."
"Kalau hendak membicarakan urusan penting, mengapa harus memamerkan kesaktian dan merobohkan murid-murid Bromo Dadali?"
"Itu hanya merupakan kesalahpahaman belaka, paman. Percayalah, kunjungan saya ini sebagai sahabat."
Mendengar bahwa pemuda ini adalah putera Ki Harya Baka Wulung, di dalam hatinya Ki Ageng Branjang terkejut sekali dan dia tidak merasa senang karena dia sudah mendengar betapa tokoh Madura ini menghasut banyak orang untuk memberontak terhadap Mataram.
"Hemm, Raden Dibyasakti, katakanlah saja dulu apa keperluan penting itu untuk kupertimbangkan apakah hal ini perlu dirundingkan di dalam atau cukup di sini saja," kata Ki Ageng Branjang yang masih merasa penasaran mendengar betapa lima hari yang lalu lima orang muridnya dirobohkan oleh pemuda tinggi besar yang berwajah bengis ini.
Mendengar ucapan ketua Bromo Dadali yang tegas dan tidak ramah itu, Raden Dibyasakti tersenyum rnengejek, lalu tangan kirinya memuntir kedua ujung kumisnya. "Heh-heh, baiklah, paman kalau itu yang andikq kehendaki. Dengar baik-baik, paman. Gusti Adipati Arisbaya dan Bapa Ki Harya Baka Wulung mengirim salam dan mengulurkan tangan persahabatan untuk paman di sini."
"Kami menerima salam dan uluran tangan persahabatan itu, anakmas," jawab Ki Ageng Branjang singkat.
"Adapun kepentingan kedua, paman. Demi persahabatan itu, kami dari Kadipaten Arisbaya mengajak perguruan Bromo Dadali untuk bekerja sama menentang Mataram yang angkara murka, yang telah menaklukkan banyak daerah namun masih belum puas dan ingin merampas daerah kita semua. Marilah kita menggalang persatuan untuk menentang Sultan Agung yang angkara murka itu, paman!"
Ki Ageng Branjang tersenyum, hatinya semakin panas. Jawaban seperti itu memang sudah diduganya lebih dahulu. "Anakmas Dibyasakti, andika tadi mengulurkan tangan persahabatan dan sudah kami terima. Satu di antara syarat persahabatan yang baik adalah saling tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing. Kalau Kadipaten Arisbaya atau seluruh Madura memusuhi Mataram, urusan itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perguruan Bromo Dadali. Perlu kami mengakui bahwa kami adalah kawula yang sudah mengakui kedaulatan dan kekuasaan Kerajaan Mataram dan kami tidak ingin memberontak. Oleh karena itu, terpaksa kami menolak ajakanmu untuk menentang Mataram itu."
Mendengar jawaban ini, sepasang mata Raden Dibyasakti melotot, mukanya merah sekali, alisnya yang hitam tebal berkerut dan kedua tangannya dikepal. "Ki Ageng Branjang!" bentaknya dengan nada tidak menghormati lagi. "Orang yang tidak mau bekerja sama dengan kami untuk menentang Mataram berarti menjadi musuh kami karena orang itu tentu menjadi antek Mataram!"
"Babo-babo, Dibyasakti! Omonganmu kementus dan mau menang sendiri! Kami bukan antek Mataram, akan tetapi sebagai kawula kami setia kepada Kerajaan Mataram! Jangan harap untuk menarik kami menjadi pemberontak. Kalau memang berani lawanlah sendiri Mataram, jangan membujuk orang lain untuk ikut-ikutan!"
"Keparat! Kalau begitu perguruan Bromo Dadali bukan menjadi sahabat kami, melainkan musuh kami!" kata Dibyasakti.
"Terserah kepadamu, Dibyasakti. Kami mau menjadi sahabat untuk urusan yang baik. Akan tetapi kalau untuk memberontak terhadap Mataram, kami tidak sudi dan kalau karena itu andika hendak memusuhi kami, silakan. Kami tidak takut!" kata Ki Ageng Branjang yang juga sudah marah.
"Ha-ha-ha! Bagus, mari kita buktikan siapa yang lebih digdaya dengan mengadu kesaktian!" kata Dibyasakti sambil melayangkan pandang matanya menyapu banyak murid perguruan Bromo Dadali yang sudah berkumpul di pekarangan yang luas itu. "Ki Ageng Branjang, andika hendak bertanding satu lawan satu seperti seorang gagah atau hendak mengandalkan banyak murid untuk mengeroyok seperti watak pengecut?"
"Dibyasakti, manusia sombong! Kami bukan pengecut dan takkan mundur selangkahpun untuk melawanmu!"
"Bagus, Ki Ageng Branjang. Andika berani menantangku?"
"Andika yang datang ke sini mencari permusuhan, bukan kami!"
"Kalau begitu, hayo majulah dan siapa pun boleh melawan aku! Ha-ha, Ki Ageng Branjang, hendak kulihat sampai di mana kemampuanmu maka andika berani membuka perguruan silat disini. Majulah, dan kalau engkau takut, boleh juga maju mengeroyokku!" tantang Dibyasakti.
"Kita bertanding satu lawan satu. Bersiaplah!" bentak Ki Ageng Branjang dan dia sudah melintangkan tombak pusaka Kyai Jamus.
"Nanti dulu! Harus memakai perjanjian lebih dulu. Kalau aku kalah dalam pertandingan ini, aku akan pergi tanpa banyak cakap lagi. Akan tetapi kalau andika yang kalah, Ki Ageng Branjang, andika harus berjanji akan membantu kami melawan Mataram bersama semua muridmu."
"Tidak sudi! Kalau aku kalah olehmu, andika boleh melakukan apa saja kepadaku, boleh membunuhku, akan tetapi kami tetap tidak sudi membantumu memberontak kepada Mataram!" kata Ki Ageng Branjang.
"Baiklah, kalau begitu, bersiaplah untuk mampus!" bentak Dibyasakti sambil mencabut keris pusakanya yang bernama Keris Pusaka Margoleno. Sinar yang menyeramkan tampak ketika keris itu dicabut.
Pada saat kedua orang itu sudah siap untuk saling menyerang dengan senjata pusaka masing-masing, tiba-tiba terdengar seruan suara wanita yang nyaring, "Tahan dulu!"
Semua orang terkejut dan menoleh. Ki Ageng Branjang juga mundur dan mengangkat muka memandang. Seorang gadis berlari cepat ke arah tempat itu, diikuti seorang pemuda. Setelah mereka datang dekat, Ki Ageng Branjang berseru, girang dan juga heran, "Muryani...!"
"Bapa guru...!" Muryani menghampiri lalu menyembah. Kemudian ia berbalik menghadapi Dibyasakti dan berkata, "Bapa guru, apakah kadal ini mengganggu bapa guru? Biarkan saya yang akan menghajarnya!"
Semua orang terkejut mendengar gadis itu memaki kadal kepada senopati muda dari Arisbaya yang digdaya itu. "Muryani, aku girang engkau datang. Aku sudah merasa kangen kepadamu, nak. Akan tetapi minggirlah dulu, biar kuhadapi dulu orang Arisbaya yang datang mencari keributan ini. Dia bukan lawanmu, Muryani."
"Tidak, bapa guru. Membunuh seekor cacing tanah, mengapa harus menggunakan pedang? Cukup diinjak saja akan mampus! Menghadapi kadal macam ini tidak perlu bapa guru sendiri yang maju. Untuk apa bapa mempunyai murid-murid? Biar saya mewakili bapa menghajarnya!" kata pula Muryani dengan sikap gagah.
Sejak tadi Dibyasakti memandang dan terpesona. Dia memang seorang yang mata keranjang. Matanya berminyak dan haus kalau melihat wanita cantik. Kemunculan Muryani membuat jantungnya berdebar dan berahinya naik ke ubun-ubun. Mendengar mulut yang manis itu mengeluarkan ucapan-ucapan yang memaki, memandang rendah dan menghinanya, dia tidak marah malah tertawa bergelak, memuntir kumisnya dan menyimpan kembali keris pusakanya.
"Ha-ha-ha, kiranya perguruan Bromo Dadali mempunyai murid yang begini denok ayu, begini manis merak ati! Engkau hendak mewakili gurumu melawanku, juwita? Bagus, majulah agar dapat kutangkap, kurangkul dan kudekap. Aku sudah rindu untuk menciumi niukamu yang jelita itu!"
Mendengar ucapan ini, beberapa orang murid pria Bromo Dadali menjadi marah sekali. Mereka ini merasa malu kalau membiarkan Muryani sebagai murid perempuan mewakili guru mereka. Bagaimanapun juga mereka adalah murid laki laki dan tentu saja lebih tangguh dibandingkan Muryani. Kalau Muryani saja begitu gagah berani membela guru dan perguruannya, mengapa mereka tidak?
Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan tampak kuat, bertenaga besar segera melompat ke depan Muryani, membelakangi gadis itu dan menghadapi Dibyasakti. "Dibyasakti, laki-laki macam apa engkau ini, bisanya hanya menghina seorang wanita! Adik Muryani bukan lawanmu, akulah lawanmu. Sambut ini, hyaaaaattt...!" Dia sudah menerjang dengan pukulan tangan kanan, cepat dan kuat sekali serangannya itu. Melihat seorang kakak seperguruan mendahuluinya, terpaksa Muryani melangkah mundur di samping gurunya dan menonton pertandingan antara murid Bromo Dadali melawan Dibyasakti itu.
Senopati muda putera Ki Harya Baka Wulung itu menyeringai dan menggerakkan tangan kirinya menangkis dari dalam. "Dukkk...!" Pukulan yang tertangkis itu terpental dan Dibyasakti menggerakkan tangan kanan menampar ke arah muka lawan. Akan tetapi murid Bromo Dadali itupun dapat mengelak dengan cepat walaupun tubuhnya agak goyah oleh tangkisan yang terasa amat kuat itu. Segera terjadi perkelahian tangan kosong yang hebat.
"Hmmm, dia tangguh sekali. Bukan lawanmu, Muryani. Jangan maju agar tidak sampai terhina olehnya," kata Ki Ageng Branjang dan guru ini merasa prihatin karena dari pertandingan itu saja dia dapat melihat betapa tingkat muridnya jauh kalah tinggi, juga muridnya kalah jauh dalam hal kekuatan tenaga dalam. Dugaannya benar karena setelah lima enam gebrakan, tiba-tiba Dibyasakti membentak keras, kakinya yang besar panjang mencuat dan tubuh murid Bromo Dadali itu terlempar dan terbanting ke atas tanah.
"Ha-ha-ha, sebegini sajakah kepandaian murid Bromo Dadali?" Dia lalu memandang kepada Muryani dan menggerakkan tangan menggapai. "Marilah, manis. Mari kita main-main, aku ingin merasakan kelembutan dan kehangatan tanganmu!"
Muryani sudah hendak maju, akan tetapi seorang murid laki-laki Bromo Dadali yang lain tak dapat menahan kemarahannya. Dia sudah mendahului maju dan langsung menyerang Dibyasakti. Terjangannya juga hebat karena dia melompat dan langsung mengirim tendangan kilat ke arah dada lawan. Serangan itu merupakan sebuah tendangan terbang yang dalam ilmu silat perguruan mereka disebut jurus Dadali (Walet) Mencengkeram Ranting. Kedua tangan dikembangkan ketika melompat dan kedua kaki menghantam ke arah dada lawan. Akan tetapi Dibyasakti tidak menjadi gugup menghadapi serangan dahsyat ini. Kakinya bergeser ke kiri, tubuhnya diputar dan kedua tangannya membuat gerakan memotong dari samping dengan pengerahan tenaga saktinya.
"Wuuuttt... krekkk...!" Kedua tulang kering kaki itu dihantam kedua tangan miring Dibyasakti dan murid Bromo Dadali itu terpelanting roboh, tidak mampu bangkit lagi karena kedua tulang kakinya patah! Para rekannya lalu menolongnya dan menggotongnya keluar dari arena pertandingan. Murid ketiga hendak maju, akan tetapi Ki Ageng Branjang yang maklum bahwa para muridnya tidak akan ada yang mampu menandingi Dibyasakti dan dia tidak ingin melihat murid-muridnya berjatuhan dan cidera, membentak, "Semua diam di tempat! Tidak boleh ada yang maju!"
Para murid, betapa marah dan penasaranpun, tidak berani bergerak. Akan tetapi Muryani memegang lengan gurunya dan berkata, "Bapa guru, perkenankan saya mewakili bapa guru. Tidak sepatutnya bapa turun tangan sendiri menghadapi kadal buduk maca m ini!"
Ketika memegang pergelangan tangan kanan gurunya, Muryani sengaja mengerahkan tenaga saktinya. Ki Ageng Branjang terkejut bukan main ketika merasa betapa telapak tangan yang lembut dan hangat itu tiba-tiba mengeluarkan hawa yang luar biasa kuatnya. Sebentar ada hawa panas membara kemudian tiba-tib berubah menjadi dingin membeku, lalu panas lagi. Dia mencoba untuk mengerahkan tenaga saktinya melawan tenaga aneh itu, akan tetapi merasa betapa tenaga saktinya tertolak balik. Jelas bahwa Muryani memiliki tenaga sakti yang amat aneh dan jauh lebih kuat daripada tenaga saktinya sendiri. Dia memandang heran kepada muridnya yang cantik itu dan Muryani memberi isyarat dengan kedipan mata penuh arti. Ki Ageng Branjang mengangguk, mengerti bahwa muridnya ini sekarang telah menjadi seorang yang sakti mandraguna!
"Baiklah, Muryani, engkau boleh maju mewakili aku untuk menandingi Dibyasakti, akan tetapi berhati-hatilah dan jangan membikin malu perguruan Bromo Dadali!" kata Ki Ageng Branjang dengan suara lantang karena merasa gembira.
Tadinya dia sudah merasa prihatin bahkan putus asa karena dia dapat menilai bahwa tingkat kepandaiannya sendiri besar kemungkinannya tidak akan mampu menandingi kedigdayaan Dibyasakti. Kini kemunculan muridnya yang terkasih itu, yang kini datang membawa kepandaian yang luar biasa, agaknya akan mampu mempertahankan kehormatan perguruan Bromo Dadali!
"Jangan khawatir, bapa." Beberapa orang murid utama Bromo Dadali maju dan menyatakan keberatan mereka, "Akan tetapi, bapa guru! Bagaimana adi Muryani diharuskan melawan dia? Biarlah kami yang menjadi korban, bukan murid perempuan!"
"Para kadang sepuh (saudara tua) seperguruan!" kata Muryani. "Kuharap andika sekalian tidak khawatir. Aku merasa yakin akan dapat menghajar kadal busuk ini. Kalau dia tidak dihajar, maka dia akan menganggap Bromo Dadali perguruan yang lemah. Minggir dan silakan nonton saja."
Kemudian ia maju mendekati Dibyasakti dan menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah hidung senopati muda itu.
"Heh, kamu kadal monyet anjing celeng buruk! Hayo maju kalau memang kamu berani, jangan hanya menggonggong seperti anjing budukan! Eh, kakangmas Satya, harap jangan ikut campur. Engkau nonton saja, nanti kuperkenalkan kepada bapa guru dan saudara-saudara seperguruanku!"
Satyabrata tersenyum, mengangguk dan berdiri di tepi lingkaran yang menjadi arena pertandingan itu. Betapapun juga, diam-diam dia siap melindungi gadis yang dicintanya. Akan tetapi juga hatinya merasa gelisah. Tadi dia mendengar bahwa orang muda gagah itu adalah Raden Dibyasakti, selain menjadi senopati muda Arisbaya juga putera Ki Harya Baka Wulung! Padahal saat ini Arisbaya dan seluruh Pulau Madura sedang bersiap-siap perang melawan Mataram. Tentu saja pihak Kumpeni Belanda diam-diam mendukung siapa saja yang bermusuhan dengan Mataram.
Dengan sendirinya sebagai orang Kumpeni dia condong berpihak Dibyasakti. Kalau saja disitu tidak ada Muryani, sudah pasti dia akan membantu Dibyasakti menghadapi perguruan Bromo Dadali yang tidak mau diajak bekerja sama menentang Mataram. Akan tetapi saat itu, Dibyasakti berhadapan dengan Muryani sebagai lawan. Tentu saja dia tidak mau menentang gadis yang membuatnya tergila-gila dan yang benar-benar telah merebut hatinya itu. Maka diapun hanya berdiri menonton dengan hati bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Sementara itu, betapapun cantik jelitanya gadis itu, namun kata-kata yang keluar dari mulutnya terlampau menghina, maki-makiannya terlalu merendahkan dirinya, padahal makimakian itu diucapkan di depan banyak orang, maka tentu saja wajah Dibyasakti menjadi merah padam dan bulu kumisnya seolah bangkit berdiri. Hatinya menjadi panas sekali.
"Perawan liar! Akan kutelanjangi kau, akan kupermalukan kau, akan kuhina kau sampai menyembah-nyembah di depan kakiku!" bentaknya.
"Hi-hik, apa katamu? Kau berani? Kau bisa Rupamu macam begitu, seperti anjing banyak menggonggong tidak akan menggigit. Coba berani menggigit, tumit kakiku tentu akan merontokkan gigimu yang besar-besar itu!"
Muryani sengaja mengejek untuk membuat lawan lebih marah lagi. Dari gurunya yang kedua, Nyi Rukmo Petak, ia pernah diberi tahu bahwa kemarahan yang besar amat mengurangi kewaspadaan. Maka, kalau ia dapat membuat lawan marah, maka dapat dikatakan bahwa kekuatan lawan sudah berkurang dan kewaspadaannyapun menjadi lengah. Ia tadi juga melihat bahwa lawan ini sesungguhnya seorang yang sakti dan ia sama sekali tidak berani memandang remeh. Kalau ia bersikap seolah meremehkan dan memandang rendah, itu hanya siasat gadis cerdik ini untuk membuat Dibyasakti diguncang kemarahannya sendiri. Dan hasilnya memang baik.
Senopati muda yang belum pernah ada yang berani menghinanya itu, sekali ini merasa dihina dan direndahkan sehingga dia marah sekali. Matanya mendelik, napasnya mendesis dan ketika dia mengepal kedua tangan sambil mengerahkan tenaga, terdengar bunyi berkerotokan dari buku buku jari tangannya. Semua murid perguruan Bromo Dadali memandang dengan hati tegang bercampur gelisah. Mereka merasa gentar dan khawatir akan nasib Muryani yang harus melawan raksasa muda sedahsyat itu. Bahkan Ki Ageng Branjang juga mulai menyesal mengapa dia membolehkan murid perempuannya itu menandingi Dibyasakti.
Kalau dia yang maju dengan tombak pusakanya, biarpun belum tentu menang, setidaknya ilmu tombaknya tentu akan mampu mengadakan perlawanan yang cukup gigih. Pula, dia tidak akan menyesal seandainya dia tewas mempertahankan kehormatan Bromo Dadali. Akan tetapi Muryani? Kasihan kalau sampai gadis itu menjadi korban, apalagi ancaman Dibyasakti tadi sungguh mengerikan. Gadis itu akan dipermalukan dan diperhina yang bagi seorang gadis tentu saja lebih hebat daripada kematian! Akan tetapi dia tidak dapat melakukan apapun untuk mencegah pertandingan yang sudah akan dimulai itu.
"Perawan liar dan sombong, bersiaplah engkau!" Dibyasakti membentak marah, kedua kakinya dipentang lebar dan kedua tangannya dikepal di kedua sisi tubuhnya.