Seruling Gading Jilid 17

Cersil kho ping hoo
Sonny Ogawa
Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Seruling Gading Jilid 17

"BOCAH kementus! Aku sudah siap dari tadi! Majulah!" kata Muryani dan iapun memasang kuda-kuda kembangan. Kedua kakinya berjingkat, tubuh agak bungkuk dan kedua lengan dikembangkan, sikapnya seperti seekor burung hendak terbang. Inilah pernbukaan ilmu silat perguruan Bromo Dadali yang dikenal semua murid yang berada di situ, yaitu yang disebut jurus Dadali Anglayang (Walet Melayang)! Gerakannya demikian luwes dan manis, namun gagah juga. Apalagi Muryani seperti mengejek, mulutnya tersenyum manis, matanya mengerling ke arah lawan karena kepalanya dimiringkan seperti kepala burung walet yang memandang dari angkasa!

Melihat gerakan pembukaan yang dianggapnya lemah itu, Dibyasakti lalu membuat gerakan dengan kedua tangannya. "Sambut ini! Hyaaaaahhhh!!" Kedua tangan itu seperti dua ekor kepala ular, dibuka dan mencengkeram ke arah dada Muryani.

Semua orang terkejut dan juga marah karena serangan pertama ini saja sudah menunjukkan betapa kurang ajar dan tidak sopannya pemuda raksasa itu, karena kedua tangan itu jelas dipergunakan untuk mencengkeram ke arah sepasang buah dada gadis itu!

"Hmmm, gerakan lambat seperti kura-kura!" Muryani mengejek dan dengan mudah saja ia mengelak ke samping. Gerakannya amat tangkas dan cepat sehingga tahu-tahu tubuhnya sudah berada di sebelah kiri Dibyasakti dan sebelum raksasa muda itu memutar tubuhnya, Muryani sudah membuat gerakan cepat sehingga kini ia berada di belakang tubuh lawan. Tangan kanannya dengan jari terbuka kini menghantam ke arah punggung yang lebar dan tebal itu.

Dibyasakti tertawa mengejek. Tubuhnya memiliki kekebalan, apalagi di bagian dada dan punggung. Apalagi hanya tamparan tangan lembut seorang gadis rupawan, bahkan bacokan senjata tajam pun tidak akan dapat melukai kulitnya. Andaikata Muryani menyerangnya dengan senjata tajam, tentu dia akan menangkis atau mengelak karena walaupun punggungnya yang diserang tidak akan terluka, namun bajunya tentu robek. Akan tetapi kalau hanya dipukul tangan kosong, biar pemukulnya seorang laki-laki bertenaga gajah sekalipun, dia akan sanggup menerimanya. Pula, disamping hendak mengejek, diapun hendak memamerkan kekebalannya kepada gadis itu dan para murid Bromo Dadali.

"Terima kasih sebelumnya atas pijatan tanganmu yang lembut dan lunak seperti gudir (agar-agar)! Heh-heh!" Dia mengejek lalu mengerahkan aji kekebalannya menerima pukulan telapak tangan kanan Muryani.

"Wuuuttt... plakk!" Telapak tangan kanan Muryani bertemu dengan punggung yang dilindungi baju dari kain tebal itu. "Ha-ha-ha... heh-heh-heh... aduuhhh...adduhhh!" semua orang terbelalak keheranan.

Pemuda raksasa yang tadinya tertawa itu tiba-tiba berjingkrak-jingkrak dan menepuk-nepuk kearah punggung. Di punggungnya, tampak baju itu terdapat tanda hangus dan berlubang dengan cap lima jari tangan! "Aduuhhh... panas...!" Dibyasakti maklum bahwa lawan menggunakan tenaga sakti yang amat panas dan ampuh.

Dia cepat mengerahkan tenaga saktinya untuk melawan sehingga rasa panas itu berangsur hilang. Akan tetapi baju di punggungnya sudah berlubang dengan cap tangan. Dibyasakti menyesali diri sendiri. Dia terlalu memandang rendah lawannya. Sama sekali tidak pernah dia mengira bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti panas yang demikian ampuhnya. Dia tahu bahwa perguruan itu memang memiliki aji pukulan yang disebut Aji Bromo Latu dan berhawa panas, akan tetapi pukulan macam itu yang dilakukan para murid perguruan itu sebelumnya tidaklah seberapa kuat. Akan tetapi pukulan gadis ini benar-benar dahsyat dan dia menjadi lengah, termakan kesombongannya sendiri.

Kini dia tahu bahwa dia harus menghadapi gadis ini dengan sungguh-sungguh karena ternyata lawannya sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sementara itu, para murid Bromo Dadali juga terkejut dan heran. Mereka tahu bahwa raksasa muda itu kebal dan sakti, akan tetapi mengapa pukulan yang tidak keras dari Muryani tadi membuat bajunya berlubang dan raksasa muda itu mengaduh kepanasan? Ki Ageng Branjang sendiri juga heran. Jelas bahwa Muryani menggunakan Aji Bromo Latu, akan tetapi tak disangkanya sedemikian hebat kekuatan aji tersebut.

"Keparat, engkau tidak bisa dikasih hati!" bentak Dibyasakti marah dan melotot memandang kepada gadis itu.

"Huh, siapa sudi mendapatkan hatimu yang kotor dan busuk itu? Diberi cuma-cuma pun aku tidak sudi!" Muryani berkata sambil mengernyitkan hidung seolah-olah mencium bau busuk.

Mendengar ini dan melihat sikap Muryani yang begitu tabah mempermainkan lawan, para murid Bromo Dadali mulai berkurang kekhawatiran mereka, bahkan sudah ada beberapa orang yang mengeluarkan suara tawa lirih karena geli hatinya. Mendengar ucapan gadis itu yang disusul ketawa cekikikan di sana-sini, hati Dibyasakti menjadi semakin panas.

"Perempuan sombong, bersiaplah menghadapi kematianmu!" bentaknya dan kini tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang dan sekali ini dia menyerang cepat disertai tenaga dalam dan dia tidak menyerang seperti tadi untuk mempermainkan, melainkan menyerang dengan maksud membunuh!

Tahu bahwa musuhnya mulai menyerang sungguh-sungguh dan sedang dilanda kemarahan besar, Muryani tidak berani main-main lagi. Ia pun cepat mengerahkan Aji Kluwung Sakti, yaitu ilmu meringankan tubuh untuk dapat bergerak cepat sekali dan dengan amat mudahnya ia mengelak dari serangan Dibyasakti yang bertubi-tubi. Raksasa muda itu merasa penasaran dan marah sekali. Dia tidak ingin memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas, serangannya susul-menyusul, bertubi-tubi dan yang menjadi sasaran adalah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan kalau terkena pukulan dapat mematikan.

Namun, gerakan Muryani amat lincahnya, tubuhnya tidak tampak jelas, bagaikan telah berubah menjadi bayang-bayang dan semua pukulan dan tendangan yang dilontarkan Dibyasakti bagaikan mengenai bayang bayang saja, tidak ada bekasnya! Tentu saja Dibyasakti terkejut bukan main. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa ditempat ini dia akan bertemu tanding sedemikian hebatnya, apalagi lawannya itu hanya seorang gadis muda!

Ki Ageng Branjang juga tertegun dan dia mengangguk-angguk. Pantas saja Muryani berani bersikap demikian meremehkan lawan. Kiranya gadis itu memang telah menjadi seorang yang sakti mandraguna! Memang gadis itu masih mempergunakan gerakan ilmu silat perguruan Bromo Dadali, akan tetapi kecepatan gerakannya itu jelas merupakan aji kesaktian yang lain, yang aneh dan hebat sekali. Dan pukulannya yang mengakibatkan baju di punggung lawan tadi hangus, biarpun itu merupakan Aji Bromo Latu, namun memiliki kekuatan yang luar biasa, jauh melampaui tingkat kekuatannya sendiri. Gadis itu sudah pasti telah mempelajari aji kesaktian dari orang lain selama lima tahun ini.

Kini para murid Bromo Dadali mulai percaya bahwa Muryani mampu menandingi Dibyasakti. Merekapun melihat betapa tubuh gadis itu berubah menjadi bayang-bayang yang berkelebatan di seputar lawannya dan mulailah mereka bertepuk dan bersorak. Sebaliknya, dua losin anak buah Dibyasakti mulai gelisah. Mereka juga bukan orang bodoh dan melihat betapa pemimpin mereka bertemu tanding yang sakti. Mereka tidak berani bergerak, pertama karena tidak ada perintah Dibyasakti, kedua karena kini semua anak buah Bromo Dadali sudah berkumpul dan jumlahnya dua kali lipat lebih banyak daripada jumlah mereka. Mereka semua sudah turun dari atas kuda, hanya menonton sambil memegang kendali kuda masing-masing.

Dibyasakti menjadi semakin penasaran dan marah. Dia sudah mengerahkan seluruh kemampuannya, menyerang dengan ganas, dahsyat dan setiap pukulannya mematikan, namun gadis itu selalu dapat menghindarkan diri, bahkan kadang menangkis dari samping dan dia mendapat kenyataan mengejutkan betapa berat dan kuat lengan putih halus mulus kecil yang menangkisnya itu. Beberapa kali tamparan tangan Muryani mengenai pundaknya, bahkan satu kali mengenai dadanya, namun Dibyasakti kini sudah siap siaga dan mengerahkan seluruh tenaga sakti melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan sehingga tamparan itu tidak merobohkannya, hanya membuatnya terhuyung sedikit. Kemarahannya kini memuncak.

"Haiiiiiittt.... pecah kepalamu!" Dia membentak nyaring dan kepalan tangannya sudah menyambar bagaikan kilat ke arah kepala gadis itu. Bayang-bayang lincah itu berkelebat dan tahu-tahu lenyap dari depan Dibyasakti. Raksasa muda itu, terkejut bukan main, namun dia cukup cerdik untuk dapat menduga bahwa gadis itu tentu telah menyelinap ke belakangnya, maka cepat tubuhnya membalik, kakinya mencuat mengirim tendangan yang dahsyat sekali.

Akan tetapi Muryani telah siap siaga. Dengan miringkan tubuh, kaki yang menendang itu lewat di samping tubuhnya dan selagi kaki itu menyambar ke atas, ia cepat menggunakan tangan kanan menyambar tumit kaki yang besar itu dan mengerahkan tenaganya mendorong ke atas. "Heiiiiitt...!" bentak Muryani dan tak dapat dipertahankan lagi, tubuh Dibyasakti yang terdorong oleh kekuatan tendangannya sendiri ditambah dorongan tangan Muryani, melayang ke atas dan ke belakang! Masih untung pemuda raksasa ini memang tangkas dan digdaya.

Biarpun tubuhnya terlempar ke atas, ketika turun dia dapat membuat salto jungkir balik sehingga dia tidak sampai terbanting jatuh, walaupun kedua kakinya hinggap di atas tanah tubuhnya terhuyung-huyung kebelakang. Melihat ini, semua orang bersorak dan bertepuk tangan. Ki Ageng Branjang juga tersenyum penuh kagum dan gembira melihat kemenangan muridnya.

Bukan Raden Dibyasakti putera tunggal Ki Harya Baka Wulung kalau dia menerima kalah begitu saja. Tidak, dia sama sekali tidak merasa kalah. Dia tadi hanya mempergunakan ilmu silat biasa saja usahanya membunuh gadis yang telah menghinanya itu. Dia masih belum mempergunakan aji pamungkasnya yang paling hebat dan ampuh karena aji-aji ini biasanya hanya dia keluarkan kalau dia menghadapi lawan yang sakti mandraguna. Sekarang ternyata gadis itu benar-benar tangguh maka terpaksa dia harus mengeluarkan aji-aji pamungkasnya.

Tiba-tiba mulut Dibyasakti berkemak-kemik membaca mantera, kemudian dia menekuk kedua lututnya sehingga tubuhnya merendah hampir berjongkok, sikapnya seperti seekor katak raksasa, dari dalam perutnya terdengar bunyi kok-kok-kok dan tiba-tiba dia menyalurkan semua tenaga dari bawah pusar melalui kedua lengannya lalu mendorong ke arah Muryani dengan kedua telapak tangan terbuka. Hawa yang amat dahsyat keluar dari kedua telapak tangan itu menyambar ke arah lawan. Inilah Aji Cantuka Sakti (Katak Sakti) yang merupakan satu di antara pukulan jarak jauh yang diandalkan oleh Ki Harya Baka Wulung dan yang hanya diajarkan kepada puteranya.

Muryani sudah waspada. Gadis perkasa ini sudah mendapat banyak pelajaran dari mendiang Nyi Rukmo Petak. Ia mengenal aji dahsyat yang dipergunakan lawan untuk menyerangnya dari jarak jauh. Maka cepat tubuhnya sudah melesat ke atas dan sebaliknya kini gadis itu menyerangnya dengan aji pukulan jarak jauh yang tidak kalah dahsyatnya, menyambar dari atas bagaikan halilintar! Cepat diapun mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan itu.

"Wuuuuttt... blaaarrrr!" Dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu di udara dan semua orang merasakan guncangan hebat! Akibat bertemunya dua tenaga dahsyat itu, tubuh Muryani terlontar kembali ke atas. Bagaikan seekor burung walet yang gesit, tubuh itu membuat salto, berjungkir balik sampai lima kali baru turun ke atas tanah dengan tegak. Hanya mukanya saja menjadi agak pucat namun mulutnya tersenyum. Sebaliknya, Dibyasakti tidak terdorong mundur karena tenaga lawan tadi menyerangnya dari atas. Dia dapat menyambut dan mendorong lawan terlontar ke atas, akan tetapi dia sendiri terhimpit dan untuk mempertahankan diri, kedua kakinya sampai tertekan masuk ke dalam tanah sebatas lutut!

Mukanya juga menjadi pucat, akan tetapi dia cepat mencabut kedua kakinya dan sudah berdiri lagi berhadapan dengan Muryani yang menatapnya dengan senyum mengcjek. "Heh, kodok buduk, apalagi ilmumu selain ilmu kodok budukan tadi? Keluarkan semua kebisaanmu kalau engkau masih berani!" ejek Muryani dan semua murid Bromo Dadali tertawa lega dan gembira bahkan tetapi diam-diam mereka keheranan dan kagum bukan main. Bagaimana murid muda guru mereka itu kini dapat menjadi seorang yang demikian sakti mandraguna?

Diejek demikian, Dibyasakti menjadi nekat. Kini dia tahu bahwa gadis itu benar-benar sakti mandraguna, mampu menandingi Aji Cantuka Sakti yang selama ini jarang menemukan tandingan. Dia menjadi nekat. Dia menggosok-gosok ketika telapak tangannya dan membaca mantra. Dia hendak menggunakan aji pamungkas yang terakhir dan yang paling hebat, aji pukulan yang bukan hanya mengandalkan tenaga sakti, akan tetapi juga didukung kekuatan sihir yang ampuh, yaitu Aji Kukus Langking (Ilmu Asap Hitam). Perlahan-lahan, ketika dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya, tampak asap hitam mulai mengepul dari kedua telapak tangannya itu.

Pada saat itu, tiba-tiba saja tampak sinar terang dan ketika semua murid menengok, mereka melihat betapa bagian belakang rumah induk perguruan mereka telah berkobar dimakan api! "Kebakaran! Kebakaran...!!" Semua orang berteriak dan para murid Bromo Dadali berlari-lari menuju ke tempat kebakaran untuk memadamkan api sebelum menjalar lebih luas.

Pada saat itu, Dibyasakti yang sudah mengerahkan tenaga Kukus Langking, sudah menyerang dan mendorongkan kedua, telapak tangan yang mengeluarkan asap hitam tebal kearah Muryani. Gadis inipun maklum akan hebatnya aji lawannya. Dengan mengandalkan kecepatan gerakannya, tubuhnya berkelebat lenyap dan ia sudah mendahului serangan asap hitam tebal itu dan menyusup sampai ke sebelah kanan lawan, kemudian ia sudah menyerang dengan cengkeraman kedua tangannya yang membentuk cakar menyambar ke arah leher dan perut!

Bukan main kagetnya Dibyasakti. Sebelum serangannya mengenai lawan tahu-tahu lawannya telah berada di samping kanannya dan menyerang dengan cengkeraman yang amat ganas itu. Dia mencium bau amis dan wangi yang aneh keluar dari kedua tangan gadis itu. Dengan hati panik dia tahu bahwa cengkeraman itu mengandung hawa beracun yang amat berbahaya, maka dia cepat membuang diri ke kiri untuk mengelak.

"Brettt�.. breeettt !" Sarung dan baju Dibyasakti tiba-tiba terobek dan tertepas dari tubuhnya sehingga tubuhnya kini hanya memakai sebuah celana hitam setinggi lutut saja. Bukan hanya itu, juga pundaknya tergores kuku. Hanya lecet sedikit, akan tetapi rasa panas dan gatal membakar bagian yang tergores itu, tanda bahwa luka kecil itu keracunan. Hal ini tidak aneh karena tadi Muryani telah mempergunakan Aji Wiso Sarpo (Racun Ular), sebuah aji pukulan yang amat ganas yang ia pelajari dari mendiang Ny Rukmo Petak!

"Huh, kamu telanjang? Manusia tak tahu malu, menjijikkan!" ejek Muryani.

"Kebakaran...! Hayo semua membantu, padamkan api...!" terdengar suara Ki Ageng Branjang. Mendengar ini, Muryani menengok dan ia melihat betapa api berkobar memakan bagian belakang rumah gurunya. Melihat ini, Muryani khawati kalau-kalau ada musuh yang melakukan pembakaran di sana dan mengancam keselamatan para warga, maka iapun segera melompat, meninggalkan Dibyasakti menuju ke belakang rumah yang terbakar.

Sementara itu, Dibyasakti berdiri dengan muka pucat. Dia kebingungan, masih terkejut karena pakaiannya terobek dan terlepas dari tubuhnya dan pundaknya tergores kuku beracun. Pada saat itu, dia melihat gadis itu dan semua murid Bromo Dadali sudah lari meninggalkan dia untuk memadamkan kebakaran. Tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan. Pemuda itu menyergapnya. Dibyasakti hendak melawan, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu telah menangkap kedua lengannya dan sekali dorong, tubuhnya sudah terlempar dan tepat jatuh terduduk di atas punggung kudanya yang kendalinya dipegang seorang anak buahnya.

"Andika tidak menggunakan kesempatan ini pergi secepatnya dari sini, mau tunggu kapan lagi?" kata pemuda tampan itu dan ketika Dibyasakti bertemu pandang dengannya, senopati muda itu, terkejut dan merasa ngeri karena sinar mata pemuda itu bagaikan mengandung api yang membakarnya! Dia lalu memberi aba-aba pendek kepada anak buahnya.

"Kita pergi!" Lalu dia mengeprak kudanya dan melarikan kudanya cepat-cepat meninggalkan tempat itu, diikuti oleh dua losin anak buahnya!

Muryani membantu gurunya dan para murid Bromo Dadali yang berusaha memadamkan api yang membakar bagian belakang bangunan itu. Semua orang bertanya-tanya apa yang menyebabkan kebakaran itu sambil berusaha memadamkan api dengan menggunakan air yang disiramkan ke arah kobaran api yang mengancam ke arah bangunan tengah. Tiba-tiba Muryani teringat akan Satyabrata dan selagi ia hendak bertanya-tanya ke mana perginya temannya itu, tiba-tiba semua orang terkejut melihat sesosok bayangan orang melompat naik ke atas wuwungan rumah bagian tengah, dekat tempat yang sedang terbakar.

"Kakangmas Satyabrata!" Muryani berseru ketika mengenal orang itu.

Satyabrata melambaikan tangan kepadanya, lalu pemuda itu mulai menggunakan kaki dan tangannya untuk membongkar bagian bangunan yang terdekat dengan tempat kebakaran. Tembok-tembok dia runtuhkan dengan tendangan kakinya. Semua orang memandang dengan mata terbelalak kagum. Betapa kuatnya kaki tangan pemuda itu, meruntuhkan tembok dan melempar-lemparkan balok kayu yang besar dijauhkannya dari api. Reruntuhan tembok itu menimpa kobaran api dan ini banyak menolong. Kobaran api yang ditimbuni reruntuhan tembok itu makin mengecil sehingga ketika para murid Bromo Dadali menyiramkan air, kebakaran itu tak lama kemudian dapat dipadamkan.

Semua orang bersorak gembira dan juga kagum ketika Satyabrata dengan gerakan indah melompat turun dari atas atap rumah. Ki Ageng Branjang dan Muryani cepat menghampiri Satyabrata dan Muryani memperkenalkan pemuda itu kepada gurunya, "Bapa guru, ini adalah sahabat saya bernama Satyabrata yang sudah berkali-kali menolong saya."

Ki Ageng Branjang memandang kepada pemuda itu dan Satyabrata cepat memberi hormat dengan sembah di depan dada. "Maafkan kalau kedatangan saya ini mengganggu, paman."

Ki Ageng Branjang memandang tajam. Dia terkejut melihat sinar mata yang mencorong itu dan dia yang berpengalaman luas melihat ketidakwajaran, seolah sikap hormat dan merendah pemuda itu berlebihan. Akan tetapi pemuda itu sahabat Muryani dan tadi telah membantu secara luar biasa sehingga kebakaran itu dapat mudah dipadamkan, maka diapun berkata dengan ramah. "Anakmas Satyabrata, andika sama sekali tidak mengganggu, bahkan menolong kami memadamkan kebakaran tadi. Terima kasih, anakmas. Marilah kita ajak anakmas Satyabrata masuk dan bicara di dalam, Muryani. Banyak sekali yang harus kau ceritakan kepadaku semenjak kita saling berpisah. Mari, silakan, anakmas Satyabrata."

Ki Ageng Branjang lalu mengajak Muryani dan Satyabrata untuk masuk keruangan dalam dan setelah Muryani menjumpai keluarga Ki Ageng Branjang dan Satyabrata diperkenalkan kepada mereka. Ketua Perguruan Bromo Dadali itu lalu mengajak dua orang muda itu bercakap-cakap. "Nah, sekarang engkau harus menceritakan semua pengalaman sejak engkau meninggalkan Gunung Muria setelah nenekmu meninggal dunia dan engkau diajak pergi oleh ayahmu, Muryani. Kini, lima tahun lebih kemudian, engkau muncul sebagai seorang wanita yang sakti mandraguna! Apa saja yang terjadi denganmu?"

"Cerita saya panjang, bapa. Akan tetapi harap bapa lebih dulu menjelaskan siapakah sebenarnya Dibyasakti yang datang membuat keributan tadi dan mengapa dia memusuhi Bromo Dadali?"

Ki Ageng Branjang menghela napas panjang. "Dia itu senopati muda Kadipaen Arisbaya di Madura dan dia juga putera Ki Harya Baka Wulung, datuk dari Madura yang amat terkenal itu. Sebetulnya Bromo Dadali tidak mempunyai urusan dengan dia atau dengan Kadipaten Arisbaya, akan tetapi orang kasar itu hendak memaksa agar Bromo Dadali membantu Kadipaten Arisbaya untuk memberontak dan melawan Mataram. Tentu saja kami tidak sudi dan dia lalu menantang."

Muryani tidak begitu tertarik hatinya mendengar tentang urusan pemberontakan terhadap Mataram. Ia tidak mengerti akan hal-hal yang menyangkut kerajaan Mataram dan para kadipaten di daerah-daerah. Mendiang ayahnya tidak pernah bicara tentang hal itu, bahkan gurunya yang kedua, yaitu mendiang Nyi Rukmo Petak, juga tidak meninggalkan pesan tentang hal itu. Nenek itu sebelum meninggal dunia hanya meninggalkan empat pesan atau syarat yang harus dilakukan Muryani sebagai muridnya, yaitu pertama, ia harus merahasiakan keadaan Nyi Rukmo Petak sebagai guru selagi nenek itu masih hidup. Kedua, ia tidak boleh mempergunakan ilmu-ilmunya untuk melakukan kejahatan. Ketiga, ia tidak boleh jatuh cinta kepada laki-laki yang tidak mencintainya dengan tulus, dan keempat, ia harus membantu murid Nyi Rukmo Petak yang lain, yaitu wanita yang bernama Retno Susilo dan suami wanita itu yang bernama Sutejo, membantu suami isteri itu dalam segala hal seperti ia membantu gurunya sendiri. Karena itu, yang menjadi sebab permusuhan antara gurunya dan Dibyasakti tadi tidak menarik hatinya.

"Manusia itu sombong sekali. Sayang tadi aku belum sempat membunuhnya!" katanya dan mendengar ini, Ki Ageng Branjang agak terkejut dan heran. Dahulu, dia mengenal muridnya ini sebagai seorang gadis yang memang lincah dan galak, namun berhati lembut. Akan tetapi, sekarang, ia mengatakan ingin membunuh orang dengan nada suara yang begitu dingin? Benarkah muridnya itu kini menjadi ganas dan dingin, mudah membunuh orang? "Ini disebabkan kebakaran itu, bapa. Saya menjadi terkejut dan cepat meninggalkan dia untuk membantu memadamkan kebakaran. Akan tetapi siapakah yang melakukan pembakaran itu?"

"Mungkin teman Dibyasakti itu, diajeng Muryani. Tadi aku melihat berkelebatnya bayangan orang. Aku mengejarnya dan dia melarikan diri melalui belakang bangunan ini. Larinya cepat bukan main dan dia menghilang di balik puncak, dalam hutan lebat itu. Karena melihat api berkobar aku lalu kembali dan membantu memadamkan kebakaran. Orang itu mempunyai banyak kawan yang pandai, diajeng."

Ki Ageng Branjang mengangguk-angguk dan memandang kepada dua orang muda itu dengan kagum. "Sudahlah, aku kira Raden Dibyasakti itu tidak akan berani muncul kembali. Niatnya hanya hendak mencari kawan untuk membantu Arisbaya menghadapi Mataram, bukan untuk menambah musuh. Bagaimanapun juga, andika berdualah yang telah menyelamatkan Perguruan Bromo Dadali. Sekarang ceritakanlah, Muryani, apa saja yang kau alami sehingga engkau dapat memiliki aji kedigdayaan yang begitu hebat."

Muryani lalu menceritakan semua pengalamannya dengan singkat. Tentang, permusuhannya dengan Ki Demang Wiroboyo yang berlarut-larut sehingga akhirnya Wiroboyo dan Darsikun berhasil membunuh ayahnya, yaitu Ki Ronggo Bangak dan melukainya.

"Ah, jadi ayahmu, sasterawan dan seniman yang baik hati itu terbunuh?" sela Ki Ageng Branjang kaget.

Muryani mengangguk. "Benar, bapa. Saya yang hidup sebatangkara lalu mencari Wiroboyo untuk membalas kematian, ayah. Akhirnya saya dapat menemukannya, akan tetapi karena dia dibantu Darsikun, saya malah tertawan oleh mereka dan dalam keadaan yang gawat dan berbahaya itu muncul guru saya yang kedua yang kemudian mengajarkan semua aji kedigdayaannya kepada saya."

"Siapakah nama besar gurumu itu?" tanya Ki Ageng Branjang.

"Mendiang guru saya itu berjuluk Nyi Rukmo Petak. Ia menyelamatkan saya dan memaksa kedua orang itu melarikan diri dan sejak itu saya ikut dengannya, menjadi muridnya selama empat tahun lebih. Pada suatu hari, guru saya meninggal dunia karena usia tua. Saya hidup seorang diri lagi dan merantau. Pertama-tama yang saya usahakan adalah mencari musuh besar saya, yaitu Wiroboyo dan Darsikun. Akhirnya, saya berhasil membunuh Darsikun dan juga si jahanam Wiroboyo, berkat bantuan Kakangmas Satyabrata ini, bapa."

"Wah, bukan main. Kiranya engkau telah bertemu dengan seorang yang sakti mandraguna dan dapat menimba ilmu yang tinggi darinya. Aku ikut merasa gembira, Muryani. Dan andika, anakmas Satyabrata, kalau boleh kami mengetahui, andika dari manakah, siapa orang tua andika dan siapa pula guru andika yang mulia?"

Ditanya demikian, tiba-tiba wajah yang tampan itu menjadi muram, menunduk dan tampak sedih sekali. Ki Ageng Bran jang terkejut dan cepat berkata, "Ah maafkan aku kalau pertanyaanku tadi membuat andika berduka, anakmas. Bukan maksudku untuk menyinggung perasaanmu..."

"Bapa guru, Kakangmas Satyabrata adalah seorang yang hidup sebatang kara seperti saya, tidak mempunyai keluarga lagi," kata Muryani menerangkan.

"Ahh, maafkan aku kalau begitu, anakmas," kata Ketua Perguruan Bromo Dadali itu.

"Tidak mengapa, paman. Sungguh, pertanyaan paman itu wajar saja, hanya saya yang lemah setiap kali teringat akan diri saya yang sebatang kara ini. Saya berasal dari Cirebon, paman. Orang tua saya... sudah tidak ada. Adapun guru saya... ah, tadinya saya hanya belajar dengan teman-teman, kemudian... alhamdullilah... terima kasih kepada Gusti Allah yang memberi berkah kepada saya... ketika saya bertapa di Pegunungan Careme dalam keadaan hampir mati kelaparan tiba-tiba saya melihat sinar terang keluar dari sebuah gua kecil. Sambil merangkak saya mendatangi gua itu dan di sana saya menemukan kitab-kitab tua yang ternyata mengandung pelajaran aji-aji kanuragan. Saya lalu mempelajarinya dan berlatih dengan tekun selama bertahun-tahun. Setelah selesai baru saya turun gunung, lewat beberapa tahun."

"Wah, Kakangmas Satyabrata, baru sekarang aku mendengar ceritamu yang amat menarik itu!" kata Muryani. "Dan di mana sekarang kitab-kitab itu?"

"Sebelum turun gunung, kitab-kitab yang sudah lapuk dan rusak itu kubakar agar jangan sampai terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat, diajeng," jawab pemuda itu.

"Andika benar, anakmas. Memang sungguh berbahaya sekali kalau kitab-kitab pelajaran aji kesaktian terjatuh ke tangan orang jahat. Akan tetapi, kalau boleh aku bertanya; kitab-kitab itu merupakan peninggalan orang sakti mandraguna yang manakah?"

"Saya tidak tahu jelas, paman. Aka tetapi kalau saya tidak salah duga, mungkin sekali kitab-kitab itu peninggalan mendiang Eyang Sunan Gunung Jati."

"Wah, kalau begitu andika seoran pemuda yang beruntung sekali, anakmas Satyabrata dan aku percaya bahwa andika pasti memiliki kedigdayaan seoran sakti mandraguna."

Malam itu Perguruan Bromo Dadali mengadakan penyambutan meriah kepada Muryani dan Satyabrata. Kambing dan ayam disembelih dan pesta diadakan. Suasana menjadi gembira sekali walaupun tadi nyaris rumah induk terbakar. Untung hanya bagian dapur dan gudang saja yang terbakar. Semua murid Bromo Dadali merasa kagum terhadap Muryani. Tiada hentinya mereka membicarakan pertandingan hebat melawan dan mengalahkan Dibyasakti tadi. Yang tadinya memandang rendah gadis itu merasa malu kepada dirinya sendiri. Muryani tidak tega menolak permintaan Ki Ageng Branjang agar ia dan Satyabrata tinggal selama beberapa hari di perguruan Bromo Dadali sebelum melanjutkan perjalanan.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Kali Solo, demikian sungai itu dinamakan orang ketika mengalir dari mata airnya yang bersumber di pegunungan di dekat daerah selatan, dan kemudian disebut Kali Solo pula setelah mengakhiri alirannya yang amat jauh itu di pantai Laut Jawa di utara, di Ujung Pangkal daerah Kadipaten Bojonegoro, dalam perjalanannya disebut pula Bengawan Solo. Sungai ini merupakan sungai yang amat panjang dan menampung banyak air dari sungai-sungai lain sehingga terkenal sebagai sungai yang besar dan selalu menimbulkan bencana banjir di musim hujan.

Akan tetapi sungai ini juga merupakan berkah bagi semua petani yang hidup di lembah Kali Solo yang gemah ripah loh jinawi, tanahnya subur sekali. Juga merupakan sarana penghubung antara kadipaten dan kademangan, antara kota dan desa. Dengan menggunakan perahu, orang dapat melakukan perjalanan jauh sekali tanpa banyak menggunakan tenaga seperti kalau berjalan kaki.

Pada suatu pagi yang cerah, sebuah perahu meluncur di atas permukaan Bengawan Solo. Penumpangnya hanya seorang saja, seorang pemuda yang usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Melihat pakaiannya yang sederhana dan terbuat dari kain kasar, orang tentu menganggap dia seorang pemuda dusun. Namun ada beberapa keadaan pada dirinya yang mungkin membuat orang menjadi ragu. Wajahnya sungguh jauh berbeda dengan gerak-gerik dan sikapnya yang sederhana.

Wajah itu seperti wajah orang yang biasa disebut masih TRAHING KUSUMO REMBESINO MADU, yaitu berdarah bangsawan atau priyayi. Wajah tampan sederhana itu mengandung wibawa. Mata yang dihias bulu mata lentik dan alis hitam tebal itu bersinar lembut sekali. Hidungnya mancung dan wajah itu tampak selalu cerah karena mulutnya selalu mengembangkan senyum penuh keramahan dan kesabaran. Tubuhnya sedang saja. Perahu berwarna coklat itupun sederhana namun kokoh. Dia duduk santai dalam perahu. Sebuah bungkusan pakaian terletak di depannya dan dengan sebatang dayung kayu, dia mengatur arah perahu yang meluncur halus terbawa arus air bengawan.

Seperti biasa, air Bengawan Solo itu berwarna kecoklatan karena air bercampur tanah. Di musim hujan, air bengawan akan naik sampai tinggi, seringkali bahkan meluap dan menjadi banjir. Kalau sudah begitu, air menjadi semakin keruh, warnanya menjadi semakin coklat gelap. Pemuda itu tidak perlu mendayung perahunya. Agaknya dia tidak tergesa-gesa, membiarkan perahunya hanyut saja dan dia hanya mengemudikan perahunya. Pekerjaan ini amat mudah dilakukan karena perahu itu sudah meluncur sendiri dengan laju dan lurus. Hanya kadang-kadang saja dia membantu luncuran perahu agar tetap lurus dengan gerakan dayungnya, atau membelokkan arah perahu agar tidak menabrak batu yang besar dan yang muncul di permukaan air. Dia lebih banyak termenung.

Memandang air dan keadaan di kedua tepi bengawan yang sunyi dan ditumbuhi banyak pohon, pemuda, itu semakin tenggelam dalam lamunannya. Ketika di tepi sebelah kiri bengawan itu dia melihat beberapa ekor buaya berjemur diri, dia tersenyum dan tiba-tiba dia teringat akan kisah tentang Joko Tingkir yang menaklukkan segerombolan buaya yang menghadang dan mengganggu, ketika dia naik getek, yaitu alat penyeberangan terbuat dari bambu-bambu yang diikat berjajar. Joko Tingkir atau yang juga disebut Mas Krebet atau Panji Mas ini kemudian menjadi adipati di Pajang bernama Adiwijaya.

Perahunya tiba di sebuah tikungan sungai yang tajam. Parmadi masih menoleh ke arah buaya-buaya di tepi sebelah kiri itu ketika tiba-tiba perahunya terseret pusaran air yang kuat sekali. Perahunya tiba-tiba berputar ke kanan. Parmadi, pemuda itu, bagaikan terseret dari lamunannya dan kembali ke alam kenyataan. Dia terkejut dan cepat menggerakkan dayung untuk menahan tarikan air yang berputar itu.

Namun pusaran air itu bagaikan memiliki daya sedot yang amat kuat. Parmadi memperhatikan keadaan di situ. Pusaran air itu besar, berputar ke tengah sungai dibagian tikungan tajam yang merupakan kedung itu. Di tepi kanan, tepat ditikungan berdiri sebatang pohon randu alas yang besar dan tua, bagaikan seorang raksasa yang menunggui kedung dan agaknya pohon tua itu yang memiliki daya sakti dan membuat pusaran air itu. Parmadi merasa seolah pohon itu mengamati dan mentertawakannya.

Namun, keadaannya membuat dia tidak sempat memikirkan hal lain. Cepat di mengerahkan tenaga sakti untuk melawan pusaran air yang menyeret perahunya. Kedua tangannya yang memegang dayung merasa seolah dayungnya bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat. Kalau saja tidak ada tenaga sakti tersalur ke dalam dayung, tentu dayung kayu itu sudah patah. Daya sedot air berpusing itu amat kuatnya.

Walaupun pertahanan Parmadi dengan dayungnya dapat memperlambat lajunya perahu yang dipaksa berputaran mengelilingi pusaran air yang pusat ditengahnya tampak dalam mengerikan, namun tetap saja dia belum dapat membebaskan perahunya dari ulekan (pusaran) air itu. Dia merasa ngeri juga melihat potongan-potongan kayu yang tadinya hanyut di sungai itu kini ditarik pusaran air, sampai ke tengah ulekan dan disedot masuk ditelan air yang berputar putar itu. Kalau sampai perahunya ditarik kepusat ulekan, celakalah dia! Maka diapun mengerahkan seluruh tenaganya untuk menahan agar perahunya jangan tertarik ke tengah.

Tiba-tiba Parmadi melihat sinar hitam meluncur dari bawah pohon randu alas dan tahu-tahu sebuah besi kaitan sebesar lengan telah masuk ke dalam perahunya dan mengait pinggiran perahu. Besi kaitan itu ternyata bersambung dengan tali yang kuat dan ada yang menarik dari bawah pohon. Perahunya tertarik namun masih sukar untuk keluar dari cengkeraman air yang berputar. Parmadi maklum bahwa orang menolongnya, maka diapun menggerakkan dayung sekuat tenaga dan akhirnya kerja sama ini berhasil. Perahunya dapat tertarik keluar dari ulekan dan Parmadi segera mendayung perahunya ke tepi sungai, ke bawah pohon randu alas itu.

Ketika dia menoleh ke tengah, dia melihat seolah pusaran air itu menjadi marah dan mengamuk, ulekannya menjadi semakin besar dan kuat! Perahunya sudah tiba di tepi sungai, lalu berhenti. Dia memandang ke darat untuk melihat siapa orangnya yang telah menolongnya. Dan dia terbelalak, melongo seperti orang bodoh ketika melihat seorang gadis muda sedang mengikatkan tali pada sebuah batu besar. Kiranya tali dengan kaitan besi itu yang menahan perahunya sehingga dia tidak perlu menggunakan tali perahu lagi. Dia melompat ke darat, menghampiri gadis yang telah selesai mengikatkan tali pada batu. Gadis itu membalikkan tubuh, mereka berhadapan dan untuk kedua kalinya Parmadi melongo. Terpesona!

Gadis itu berusia kurang lebih delapan belas tahun, tubuhnya bagaikan setangka bunga sedang mulai mekar, padat langsing dan kulitnya coklat bersih mengeluarkan cahaya mempesona. Wajahnya cantik jelita, dengan rambut hitam panjang yang pada saat itu dibiarkan terurai, tidak digelung seperti wanita yang habis mandi keramas. Rambut itu sebagian menutupi kedua pundaknya dan sebagian lagi terurai lepas di depan dada dan belakang punggung. Indah sekali.

Sepasang matanya amat indah, besar dan bening, pandang matanya tajam dan mata itu seolah selalu bersinar gembira. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya! Entah mana yang lebih kuat daya tariknya, antara matanya dan mulutnya. Bibir itu dihias senyum, akan tetapi seperti berjebi mengejek dan menantang. Parmadi segera dapat merasa bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang bukan merupakan seorang gadis dusun biasa. Ada sesuatu yang lain pada gadis ini. Entah apanya yang membedakannya dari gadis-gadis lain, mungkin sinar matanya yang tajam dan agaknya penuh pengertian itu. Kini mereka berdiri, saling berhadapnn dan gadis itu dengan beraninya membalas pandang mata Parmadi dengan sinar mata penuh selidik seperti sedang menilai sesuatu yang menarik.

Akhirnya Parmadi yang mendahului memberi salam, dengan senyum dan agak membungkukkan tubuhnya, lalu berkata, "Teja-teja sulaksana! Bolehkan aku tahu siapakah andika ini yang telah menolongku keluar dari ulekan itu?"

Deretan gigi putih dan rapi itu tampak. Manis bukan main sepasang bibir yang merekah itu. "Aku memang sering menanti di sini dengan tali kaitanku, siap menolong orang asing yang bodoh membiarkan perahunya diseret ulekan. Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, sebaiknya engkau yang lebih dulu memperkenalkan diri kepadaku."

Parmadi tersenyum. Gadis ini pandai bicara, lincah, tidak pemalu dan agak angkuh! Diapun tidak ingin memperkenalkan namanya di sembarang tempat, maka dia lalu berkata sederhana, "Orang-orang menyebut aku Seruling Gading. Dan andika siapakah?"

Gadis itu tersenyum, matanya terbelalak memandang wajah Parmadi lalu menoleh ke arah pusaran air. "Andika lihat," telunjuknya yang mungil meruncing itu menuding ke arah pusaran air. "Tempat ini namanya Kedung Srengenge, lihat bentuk ulekan itu, seperti srengenge (matahari), bukan. Juga kalau tengah hari, bayangan matahari terpantul di air. Namamu Seruling Gading? Tentu karena itu!" Ia menuding ke arah suling terbuat dari gading, pusaka Parmadi pemberian gurunya. "Kalau begitu sebaiknya akupun menggunakan nama sandi (rahasia). Aku adalah... Puteri Kedung Srengenge! Nah, cocok, bukan? Si Seruling Gading bertemu dengan Puteri Kedung Srengenge!" Gadis itu tertawa geli, tawanya lepas dan tidak malu-malu, wajar dan tidak di buat-buat.

Mau tidak mau Parmadi juga ikut tertawa, terseret oleh tawa gadis itu. Gadis itu menahan tawanya, akan tetapi dadanya masih terguncang oleh geli hati, kedua matanya yang tadi besar bersinar itu kini menyipit, membuat wajah itu menjadi semakin manis. "atau... andika menghendaki yang lebih serem lagi? Bagaimana kalau..." Ia menengok dan memandang kepada randu alas besar yang berdiri di situ. "bagaimana kalau namaku Peri Randu alas? Hi-hik, menyeramkan sekali, bukan...?"

Tiba-tiba Parmadi mengerutkan alisnya dan dia memandang pohon randu alas yang tua dan besar itu, lalu memandang ke arah pusaran air di kedung. Terasa olehnya ada getaran yang aneh dan tahulah dia bahwa pohon randu alas besar itu memang ada "penunggunya" dan inilah agaknya yang membuat ulekan air itu menjadi tidak wajar, mengandung daya yang aneh luar biasa.

Tempat seperti ini amat berbahaya dan sudah menjadi kewajibannya untuk "membersihkannya". Lalu dia menatap tajam wajah gadis itu. Jangan-jangan...!?

"Hei, kenapa andika memandangku seperti itu?" Gadis itu menghentikan tawanya dan menegur sambil memandang de ngan sinar mata penuh selidik. Parmadi bernapas lega. Mata batinnya melihat bahwa gadis ini bukanlah mahluk halus, melainkan manusia biasa, bukan penunggu pusaran air atau randu alas seperti yang dicurigainya semula. Dia merasa bersalah dan untuk menebus kesalahannya, dia memperkenalkan dirinya dengan jujur.

"Maaf, aku tadi hanya main-main. Namaku adalah Parmadi."

Gadis itu tiba-tiba bersikap sungguh-sungguh, membuat gerakan seperti tokoh wayang Srikandi sedang berjoget, lalu mengeluarkan kata-kata yang nyaring dan genit seperti Srikandi sedang bergaya di atas panggung. "Wahai, Raden Parmadi! Apakah paduka datang ke sini untuk mencari Kakangmbok Woro Sembodro?"

Tingkahnya itu lucu dan kewes. Pasti indah sekali kalau gadis itu bermain sebagai Srikandi di panggung wayang orang, pikir Parmadi. "Andika memang pantas menjadi Srikandi, akan tetapi andika jelas bukan Srikandi dan akupun bukan pula Permadi atau Arjuna. Namaku Parmadi, bukan satria PANENGAHING PANDAW. Cukuplah main-main ini, kalau andika tidak mau memperkenalkan nama, sudahlah, akupun tidak memaksa. Akan tetapi harap jangan main-main dengan kedung dan pohon randu alas ini, karena tempat ini memang berhantu!"

Gadis ini membelalakkan matanya yang indah dan memandang ke arah kedung, lalu menoleh ke arah pohon. "Wahh... berhantu...??"

Parmadi mengangguk. "Ada penunggunya."

Gadis itu tiba-tiba merasa ngeri. "Ih, jangan nakut-nakuti orang, Kakang Parmadi! Maafkan kalau tadi aku mempermainkanmu, namaku adalah Ayu, Ayu Puspa."

"Aku tidak main-main atau menakut-nakutimu, Ayu. Memang tempat ini berhantu dan sudah menjadi kewajiban kita untuk membersihkan tempat ini agar jangan ada yang mengganggu perahu-perahu yang lewat di sini."

"Kita? Hih, mana bisa aku melawan hantu? Engkau sajalah, kalau engkau mampu!" kata Ayu Puspa sambil bergilik.

"Memang aku hendak membersihkan tempat ini, Ayu. Kalau engkau takut, mundur dan menjauhlah agar kalau pohon ini tumbang tidak dapat menjangkau dan menimpamu."

Ayu Puspa benar-benar merasa ngeri dan iapun cepat meninggalkan tempat itu sampai cukup jauh dari pohon randu alas. Ia bersembunyi di balik batu besar sambil memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang. Dengan terheran-heran dan memandang tanpa pernah berkedip Ayu Puspa melihat Parmadi sekarang duduk bersila di dekat pohon randu alas dan mengeluarkan sebatang suling gading yang tadi terselip di ikat pinggangnya. Setelah diam tak bergerak beberapa saat lamanya seperti orang bersamadhi, ia melihat pemuda itu mulai meniup sulingnya. Terdengar suara mendayu-dayu dan Ayu Puspa terpesona.

Suara suling itu sungguh luar biasa. Berbeda dengan suara suling yang sering ia dengar. Suaranya lembut, halus dan merdu, mengandung alunan sepert menimang-nimang hati, membuat ia yang mendengarnya merasa nyaman dan nikmat sehingga mengantuk. Akan tetap suara itu makin menguat sehingga melengking lengking seperti ada ribuan orang sedang bertempur, membuat hati Ayu Puspa menjadi miris dan iapun menutupi kedua telinganya dengan tangan.

Tiba-tiba Ayu terbelalak melihat pohon randu alas yang tinggi besar itu tumbang ke arah Parmadi. Ayu Puspa menurunkan kedua tangan yang tadi menutupi telinganya dan ia menjerit. "Kakang Parmadi... lari... cepat�.?!" Akan tetapi ia melihat dengan wajah pucat betapa pohon itu telah tumbang dengan suara berkerosakan dan tampaknya menimpa tubuh Parmadi!

"Kakang Parmadi ! Kakang...!" Ayu Puspa terisak menangis, akan tetapi masih takut untuk mendekati pohon yan tumbang, hanya kedua matanya yang basah air mata itu mencari-cari.

"Ayu, kenapa engkau menangis?" Suara lembut itu terdengar menegur di belakangnya. Ayu Puspa cepat membalik dan ternyata Parmadi telah berdiri di belakangnya. Gadis itu mengeluarkan seruan setengah tawa setengah tangis dan menubruk lalu merangkul pinggang Parmadi. Parmadi juga memeluk kedua pundak gadis itu. Mereka berpelukan dan sesaat kemudian Parmadi terbelalak, perlahan-lahan melepaskan rangkulan mereka. Dia terkejut dan heran. Dia telah berpelukan dengan seorang gadis yang baru saja dikenal dan dijumpainya!

Segalanya terjadi begitu saja, seolah wajar. Padahal, tentu saja tidak wajar seorang pemuda berangkulan dengan seorang gadis, padahal mereka baru saja berkenalan. Semua ini mungkin digerakkan oleh rasa lega, girang, haru dan baru saja terlepas dari cengkeraman ketegangan. Melihat Parmadi melepaskan rangkulan dan memandang ke arah belakangnya dengan alis berkerut dan mata bersinar, Ayu Puspa cepat membalikkan tubuhnya dan iapun terbelalak.

Seekor buaya yang kulitnya berwarna putih, besar dan panjang sekali, berjalan cepat menghampiri mereka, kini berada dalam jarak empat meter dari mereka! "Hemm, ini penunggu Kedung Srengenge kiranya," Parmadi berbisik dan aneh sekali, kembali dia teringat akan kisah Joko Tingkir! Ada dua macam "penunggu" tempat angker, yaitu roh jahat yang tidak tampak dan mahluk jadi jadian seperti buaya putih ini. Untuk menghadapi roh jahat yang tidak tampak, suara sulingnya dengan Aji Sunyatmaka (Berjiwa Bebas) yang dibimbing oleh Kekuasaan Roh Suci cukup untuk mengusir roh-roh jahat. Akan tetapi untuk melawan mahluk jadi-jadian, selain kekuatan jiwa, diapun harus mempergunakan kekuatan jasmani.

Tiba-tiba Ayu Puspa dengan sigap melompat ke depan Parmadi seperti hendak melindungi, menghadapi buaya itu dan berkata, sikapnya gagah, tidak lagi ketakutan seperti tadi. "Mundurlah, Kakang Parmadi. Biarlah yang ini serahkan saja padaku!"

Tangan kanannya bergerak dan ia sudah mencabut sebatang patrem yang tajam mengkilat dan runcing. Senjata wanita ini tadi ia sembunyikan di balik bajunya, terselip di pinggangnya yang ramping. Agaknya ia menyangka bahwa Parrnadi hanya pandai mengusir setan dan tidak memiliki kedigdayaan untuk melawan binatang buas itu. Sebaliknya, melihat sikap gadis yang gerakannya cukup tangkas itu, Parmadi merasa kagum dari tersenyum, membiarkan gadis itu menghadapi buaya putih. Tentu saja diapun selalu siap siaga untuk melindungi, kalau-kalau gadis itu terancam bahaya!

Dengan langkah ringan, agak berjungkit Ayu Puspa menghampiri buaya itu. Matanya bersinar-sinar, bibirnya agak tersenyum dan wajahnya sama sekali tidak membayangkan rasa takut. Buaya itu panjangnya tidak kurang dari empat meter! Kini binatang itu tidak bergerak lagi, melainkan membuka moncongnya yang lebar, yang dapat memangsa manusia dengan sekali telan. Matanya tak pernah berkedip dan tampaknya seperti mati kalau saja tidak tampak ekornya yang panjang dan bergigi kokoh seperti gergaji itu tidak bergerak-gerak sedikit.

"Awas ekornya!" kata Parmadi yang merasa khawatir juga karena dia pernah mendengar bahwa serangan buaya yang amat berbahaya adalah apabila ia mempergunakan ekornya untuk memukul ke depan. Terpukul ekor seperti itu sampai saja dengan terpukul palu godam besi yang bergigi! Mendengar seruan Parmadi, Ayu Puspa menoleh dan tersenyum sambil mengibaskan tangan kirinya, seolah memberi isyarat kepada pemuda itu agar jangan khawatir. Seolah melawan seekor buaya putih raksasa ini merupakan permainan biasa saja baginya. Gadis itu memandang rendah binatang buas itu!

Hal ini mengkhawatirkan hati Parmadi. Tentu gadis itu tidak mengira bahwa mahluk yang ia hadapi itu bukan mahluk biasa melainkan seekor binatang yang sudah dikuasai roh jahat sehingga menjadi berbahaya sekali, jauh lebih berbahaya dari pada binatang buas biasa! Melihat gadis itu menghampirinya, buaya yang tadinya diam seperti sepotong kayu itu, tiba-tiba, tanpa tanda apapun, sudah menerkam ke depan dengan moncongnya yang terbuka sejak tadi. Moncong itu terbuka lebar, memperlihatkan gigi yang kokoh dan runcing, menyambar kearah tubuh Ayu Puspa.

"Aihhh...!" Ayu Puspa berseru lincah jenaka dan seperti bermain-main, suaranya melengking dan tubuhnya sudah mengelak ringan dan cepat ke samping sehingga gadis itu berada di samping kiri buaya itu. Akan tetapi pada saat itu juga, ekor buaya itu menyambar dari belakang dengan kekuatan yang akan mampu memecahkan batu karang yang besar.

"Heeiiiiiitt!" Tubuh gadis itu sudah melompat ke atas sehingga ekor buaya itu menyambar di bawah kakinya. Parmadi tersenyum dan hilang kekhawatirannya. Ternyata gadis itu memiliki gerakan yang cukup lincah dan cepat, terlalu cepat bagi gerakan buaya yang lamban dan hanya mengandalkan tenaga besar itu.

Tubuh Ayu Puspa mencelat ke atas dan ia turun sengaja ke atas punggung buaya yang bergigi seperti gergaji itu. Parmadi mengerutkan alis lagi. Betapa beraninya gadis itu! Ayu Puspa memang lincah dan gesit. Setelah kedua kakinya hinggap di atas punggung buaya yang lebar itu, ia berteriak, "Mampuslah kau!" Tangan yang memegang patrem itu bergerak kebawah, menusukkan patremnya yang runcing mengkilat ke arah kepala binatang itu.

"Nuuttt trakkk!!" Ayu Puspa menjerit kecil ketika senjatanya bertemu dengan kulit kepala yang keras dan kuat seperti baja! Patremnya membalik dan sama sekali tidak melukai kepala itu.

"Ayu...awas!" Parmadi kembali berseru karena dia melihat ekor buaya itu kembali menyerang dari belakang. Ekor itu menyambar ke atas lalu menghantam kearah gadis yang hinggap punggungnya!

"Blarrr...!" Ekor itu menghantam punggung buaya sendiri mengeluarkan suara keras ketika Ayu Puspa sudah melompat dan mengelak ke samping kiri. Akan tetapi buaya itu menggerakkan moncongnya ke kiri dan moncong itu menyambar ke arah kaki Ayu Puspa. Kembali gadis itu mengelak sambil melompat. Akan tetapi kini ia kewalahan juga karena kemana pun ia mengelak, ekor dan moncong buaya itu bergantian menyambar sehingga Ayu tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang. Pula, apa artinya serangannya? Kulit buaya itu amat kuatnya, tidak akan dapat ditembusi patremnya. Ia hampir kehilangan akal, akan tetapi dasar gadis pemberani, ia malu kalau harus mundur dan menyerah. Maka, ia pun sedapat-dapatnya membalas dengan tendangan-tendangan kakinya. Biarpun ia menggunakan tenaga dalam, tetap saja tubuh besar buaya itu tidak bergeming, bahkan kedua kakinya terasa panas dan nyeri kalau menendang dan bertemu dengan kulit buaya.

Biarpun gadis itu tidak mengeluarkan keluhan, namun Parmadi maklum bahwa gadis itu kewalahan dan merasa kedua kakinya nyeri, maka dia menjadi tidak tega. "Ayu, serang matanya! Matanya!"

Mendengar seruan Parmadi ini, Ayu menjadi girang. Baru ia teringat dan ketika ekor itu menyambar pula dari samping, ia melompat ke atas punggung binatang itu dan secepat kilat patremnya bergerak meluncur turun, tepat mengenai mata kanan binatang itu. Begitu patremnya melukai mata, Ayu cepat melompat jauh. Binatang itu mengeluarkan suara yang mengerikan. Tubuhnya berguling-guling, ekornya menyambar-nyambar ke kanan kiri, moncongnya menyerang dengan ngawur dan mata kanannya berdarah. Lalu dia meluncur ke arah sungai dan meluncur turun. Terdengar bunyi air muncrat ketika tubuh buaya besar itu menimpa air.

Ayu Puspa sudah berlari ke tepi sungai. Ia melihat buaya itu masih menongolkan kepala dipermukaan air dan matanya yang kanan terobek. "Awas kau!" kata gadis itu lantang sambil mengacung-acungkan patremnya. "Kalau engkau masih berani mengganggu perahu yang lewat di Kedung Srengenge ini, aku pasti akan mencarimu dan membunuhmu!" Buaya itu menyelam dan tidak tampak lagi. Parmadi sudah berdiri di sisinya.

"Mudah-mudahan dia takut mendengar ancamanmu tadi, Ayu," kata Parmadi serius.

"Eh, apa kau kira dia mengerti kata-kataku, Kakang Parmadi?"

"Tentu saja dia mengerti. Dia bukan buaya biasa, Ayu. Karena itulah dia begitu kuat dan cerdik."

"Ah, betapa bodoh aku ini. Tidak ingat bahwa kelemahan buaya itu pada matanya yang tidak kebal. Aku sungguh bodoh!"

"Engkau? Bodoh? Wah, baru sekali ini aku menyaksikan seorang gadis bertanding melawan buaya putih jadi-jadian dan berhasil melukai dan mengusir binatang itu. Sungguh engkau gagah perkasa, benar-benar seperti Srikandi!"

Ayu Puspa menyimpan patremnya, setelah membersihkan noda darah dengan air di tepi sungai, lalu memandang pemuda itu sambil tersenyum. "Mana mungkin aku seperti Srikandi? Srikandi itu kan cantik jelita, selain gagah perkasa?"

"Siapa bilang engkau tidak cantik jelita, Ayu? Baru namamu saja sudah ayu (cantik). Engkau bahkan lebih ayu manis merak ati ketimbang Srikandi!"

"Aih, rayuan gombal! Masa aku lebih cantik ketimbang Srikandi?"

"Aeh, tidak percaya? Srikandi itu kalau sudah tua dan menjadi nenek-nenek tentu tidak cantik lagi. Akan tetapi engkau, biar nanti sampai berusia seratus tahun sekalipun, masih tetap Ayu."

"Tentu saja! Memang namaku Ayu. Tapi Srikandi yang ini, kakang, kalau tadi tidak ada nasihat dari Raden Permadi, tentu sudah menjadi mangsa buaya putih!"

"Ah, sudahlah, tak mungkin menang aku berbantahan denganmu. Lihat itu, sudah terjadi perubahan, bukan?" Parmadi menunjuk ke arah pusaran air. Ayu Puspa memandang dan ia mengangguk senang. Air ulekan yang tadinya amat kuat dan tampak mengerikan itu, kini hanya merupakan pusaran air yang lemah dan biasa saja. Biasa terjadi pada air sungai yang menikung tajam.

"Hemm, Kedung Srengenge kini tidak merupakan tempat angker lagi bagi para nelayan dan tukang perahu." Ia berhenti sebentar, lalu memandang ke arah pohon randu alas yang tumbang, kemudian menoleh kepada Parmadi dan bertanya dengan suara penuh keheranan, kekaguman dan ingin tahu sekali. "Akan tetapi, Kakang Parmadi, ketika tadi engkau meniup sulingmu secara aneh, kenapa pohon besar itu tiba-tiba tumbang?"

Terpaksa Parmadi berterus terang karena kiranya tidak mungkin membohongi gadis yang cerdik ini. "Guruku mengajarkan aku meniup suling untuk mengusir setan yang biasa menggoda manusia. Pohon itu dihuni setan. Setelah aku meniup sulingku, dia tidak tahan, harus pergi dari sini dan untuk melampiaskan kemarahannya, dia menumbangkan pohon tempat tinggalnya itu."

"Bukan main! Kalau begitu, dia sengaja menumbangkan pohon itu ke arahmu, untuk menimpamu, kakang?"

Parmadi mengangguk. "Hanya itu yang dapat dia lakukan terhadap manusia. Untung aku dapat menghindar sebelum pohon itu menimpaku."

"Aku tadi khawatir dan takut sekali kakang. Aku tidak melihat engkau menghindar. Kukira engkau tertimpa pohon."

Parmadi teringat betapa gadis itu tadi merangkulnya. Masih terasa kehangatan tubuh yang lembut dan padat itu dan wajahnya menjadi kemerahan. Laki-laki mana yang tidak akan terguncang hatinya kalau dirangkul ketat seorang gadis sejelita Ayu Puspa?

"Terima kasih atas perhatianmu, Ayu."

"Sudahlah, di antara kita tidak ada terima kasih-terima kasihan, bukan? Kita sudah menjadi sahabat dan karena itu kita perlu lebih mengetahui keadaan masing-masing. Mari duduk, kakang, agar lebih enak kita bicara." Gadis itu duduk di atas batu besar dan Parmadi lalu duduk didepannya. Sejenak mereka saling pandang. Melihat sikap gadis itu demikian terbuka, tidak malu-malu menatapnya penuh selidik, membayangkan kejujuran yang wajar, Parmadi juga merasa cepat akrab dengan Ayu Puspa.

"Nah, sekarang siapa yang akan menceritakan keadaan dirinya lebih dahulu," kata Ayu.

"Kenapa kita harus saling menceritakan keadaan masing-masing?" tanya Parmadi.

"Lha, tentu saja! Tentu saja! Seorang sahabat harus mengetahui keadaan sahabatnya, kalau tidak begitu, perkenalan itu belum matang namanya dan mana bisa disebut sahabat kalau tidak tahu apa-anpa tentang sahabatnya?"

"Baiklah, kurasa engkau yang harus lebih dulu menceritakan keadaan dirimu karena engkau lebih muda dariku, Ayu."

"Wah, mana bisa begitu! Engkau laki-laki, kakang, dan sudah sepantasnya, bukan, kalau laki-laki itu harus selalu mengalah terhadap wanita? Apakah dalam mendahului menceritakan riwayat ini engkau sebagai laki-laki tidak mau mengalah terhadap aku?"

Gadis itu menegakkan kepalanya, membusungkan dadanya yang montok dan matanya berbinar-binar. Parmadi tertawa, tak berdaya menghadapi gadis yang pandai bicara dan pandai berdebat itu.

"Baiklah, akan tetapi engkau aka mengantuk mendengar cerita tentang diriku. Habis tidak ada apa-apanya yang menarik. Aku menjadi yatim piatu sejak usia sepuluh tahun..."

"Sama!" Ayu memotong.
"Heh? Apanya yang sama?"
"Yatim piatunya!"
"Ah, begitukah? Aku girang sekali!" kata Parmadi.

"Apa?" Ayu menteleng (memandang marah). "Kau girang sekali mendengar aku sudah yatim piatu? Sadis kau!"

"Eh, bukan, Ayu. Bukan yatim piatunya. Aku girang karena aku mempunyai sahabat senasib, jadi tidak menderita seorang diri."

"Huh, mementingkan diri sendiri itu namanya. Lanjutkan!"

"Mementingkan diri sendiri?" Parmadi mengejar.

"Tentu saja. Kalau senang, mau dinikmati sendiri. Kalau susah, ingin mengajak orang lain. Apa namanya itu kalau bukan mementingkan diri sendiri? Hayo, lanjutkan ceritamu. Takkan ada habisnya kalau putar-putar begitu."

"Baiklah. Sampai dimana ceritaku tadi."
"Engkau yatim piatu."
"Oya, aku yatim piatu. Namaku Parmadi."
"Sudah tahu!"

"Hemmm oya, ketika itu aku tinggal di dusun Pakis, di lereng Gunung Lawu, setelah kedua orang tuaku meninggal, aku bekerja mengurus kuda milik demang disana. Setelah aku berusia delapan belas, aku bertemu dengan guruku yang bernama Resi Tejo Wening dan aku hidup bersama guruku dipuncak Gunung Lawu bersama guruku..."

"Sama!"
"Apanya?"
"Akupun tinggal bersama kakekku di puncak gunung! Bukan Gunung Lawu, akan tetapi Gunung Wilis!"

"Selama lima tahun aku tinggal bersama guruku di Puncak Lawu. Kemudian aku disuruh turun gunung dan aku melakukan perjalanan merantau. Nah, hari ini kebetulan perantauanku membawa sampai di sini, perahuku diseret pusaran air dan engkau menolongku lalu kita berkenalan dan sekarang kita duduk di atas batu bercakap-cakap..."

"Sudah tahu! Cuma begitu saja kisah tentang dirimu?"


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.