Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Seruling Gading Jilid 19
AYU tersenyum. "Sulit, akan tetapi kumulai mengerti sedikit-sedikit, kakang."
"Ha-ha-ha!" Kyai Jayawijaya tertawa bergelak. "Mengerti sedikit-sedikit sudah merupakan suatu kemajuan, Ayu. Jauh lebih baik daripada mengaku segalanya padahal sesungguhnya masih tidak mengerti apa-apa."
"Baiklah kalau begitu, aku tidak berterima kasih kepada kakang Parmadi, melainkan kepada Gusti Allah. Dan sekarang aku akan menjadi alat Gusti Allah untuk membuat masakan yang enak-enak dan kuhidangkan kepada kakang Parmadi."
"Alhamdullilah! Itupun merupakan berkah Gusti Allah yang diberikan kepadak melalui tanganmu, Ayu."
Ayu Puspa tertawa manis dan iapun berlari ke belakang untuk menyembelih ayam dan membuatkan masakan untuk Parmadi. Kyai Jayawijaya juga membujuk agar Parmadi bermalam di pondoknya karena hari telah menjelang senja.
"Tapi saya harus melanjutkan perjalanan saya, eyang," kata Parmadi, menolak halus.
"Sekarang sudah sore, Parmadi. Sebentar lagi hari menjadi gelap. Apakah engkau akan melanjutkan perjalanan naik perahu dimalam hari? Itu sungguh berbahaya. Sebaiknya engkau melewatkan malam di pondokku ini dan besok pagi pagi baru melanjutkan perjalanan. Ayu tentu akan kecewa dan marah-marah sekali kalau engkau pergi sekarang, padahal ia sedang sibuk mempersiapkan hidangan untukmu. Dan katamu sendiri rejeki itupun pemberian Gusti Allah, apakah engkau berani menolak rejeki?"
Bujukan itu membuat Parmadi akhirnya mengalah. Tidak ada buruknya dan tidak ada ruginya kalau malam ini dia bermalam dirumah kakek yang bijaksana dengan cucunya yang manis dan bersikap akrab dengannya. Setelah mandi, Parmadi diajak makan malam. Dia mendapat kenyataan bahwa dara cantik manis yang memiliki kedigdayaan yang mengagumkan itu ternyata memiliki kepandaian lain yang juga mengagumkan, yaitu memasak. Hanya beberapa macam masakan terdiri dari daging ayam dan sayur-sayuran, namun semua masakannya terasa lezat sekali, terutama sambalnya!
Lalapan mentah berupa obis (kol), kacang panjang, terong, dan mentimun dengan sambal menjadi paduan yang cocok dengan daging ayam goreng. Juga masakan kangkung dengan daging ayam dan dua masakan sayur lain amat lezatnya. Semua itu dilengkapi dengan minuman "rujak degan" (kelapa muda) yang manis-manis gurih. Parmadi merasa kenyang dan nyaman.
"Wah, kalau setiap hari aku makan seperti ini, dalam waktu sebulan saja aku pasti menjadi gemuk sekali!" Ucapan ini terdengar lebih menyenangkan dan membanggakan daripada pujian bahwa masakannya lezat.
Sepasang mata Ayu Puspa bersinar dan kedua pipinya berubah kemerahan, bibirnya tersenyum ketika ia memandang kepada Parmadi. "Aih, masakan orang desa mana bisa lezat menyamai masakan gadis-gadis kota, kakang? Bilang saja masakanku cemplang, aku juga tidak apa-apa, kok. Tidak usah merayu!!"
Parmadi tersenyum. "Ayu, mulut yang bicara memang bisa saja berbohong dan merayu, akan tetapi mulut yang makan dengan lahap sampai tambah-tambah tiga kali, tentu tidak berbohong dan menjadi bukti bahwa mulut itu menikmati apa yang dimakannya. Dan aku tadi makan dengan gembul, bertambah nasi sampai tiga kali!"
Kyai Jayawijaya tertawa bergelak mendengar ucapan Parmadi ini. "Ha-ha-ha, engkau kalah, Ayu. Dan aku sendiri memperkuat pendapat Parmadi tadi bahwa masakanmu sekarang ini lezatnya luar biasa! Sungguh aku merasa heran. Masakanmu setiap hari juga enak, akan tetapi tidak sehebat apa yang kau masak sore ini"
"Aih, eyang...!" kata Ayu tersipu dan cepat-cepat gadis itu membersihkan meja dan membawa sisa hidangan ke dapur. Malam itu mereka bertiga bercakap-cakap di bawah sinar lampu gantung. Terpaksa Parmadi menceritakan keadaan dirinya, tentang orang tuanya yang terbunuh ketika dia berusia sepuluh tahun, dan tentang gurunya, Resi Tejo Wening yang mengambilnya sebagai murid ketika dia berusia delapan belas tahun.
"Dan sekarang ini engkau melakukan perjalanan berperahu di sepanjang Bengawan Solo, hendak pergi ke manakah, kakang?" Ayu bertanya.
"Eyang Resi Tejo Wening berpesan agar aku selalu membantu Mataram. Karena mendengar bahwa Mataram berusaha menundukkan Madura dan Surabaya, maka aku hendak pergi ke sana untuk membantu Mataram."
Kyai Jayawijaya mengangguk-angguk. "Engkau benar, Parmadi. Memang Mataram harus dibantu oleh para satria dan pendekar. Mataram berusaha untuk mempersatukan semua wilayah Jawa Dwipa untuk menyusun kekuatan menentang Kumpeni Belanda! Sayang aku sudah tua renta, kalau aku masih muda dan kuat aku tentu akan membantu Mataram pula!"
"Kakang Parmadi, engkau tadi mengatakan bahwa kita harus menjadi alat yang dipergunakan oleh Gusti Allah. Apakah membantu Mataram itu sesuai dengan kehendak Gusti Allah?" tiba-tiba Ayu Puspa bertanya dan pertanyaan ini mengejukan eyangnya yang menganggap pertanyaan itu lancang.
Akan tetapi Parmadi tersenyum dan merasa kagum akan keterbukaan gadis itu. Baik sekali kalau orang mau bertanya akan sesuatu yang membimbangkan hatinya. Sungkan bertanya membuat orang tetap bodoh, bahkan mungkin menimbulkan prasangka yang bukan-bukan.
"Tentu saja, Ayu. Gusti Allah memberi berkah kepada manusia dengan adanya persamaan suatu bangsa yang mempunyai sebagian dari dunia ini sebagai tempat tinggal dan tanah airnya, di mana dia lahir hidup dan mati. Sudah sepantasnyalah kalau kita menjaga persatuan saling bantu dan saling tolong-menolong di antara sebangsa dan membela tanah air yang diberikan Gusti Allah kepada kita. Ini merupakan tugas para satria. Satria itu selalu harus MANGAYU HAYUNING. BHUWANA (mengusahakan keselamatan dunia) dan hal ini jelas merupakan alat Gusti Allah. Kalau menjadi alat setan tentu hanya akan merusak keselamatan dunia. Gusti Sultan Agung di Mataram berniat baik, ingin mempersatukan seluruh Nusa Jawa untuk menggalang persatuan dan menyusun kekuatan guna menentang Kumpeni Belanda, sang angkara murka. Bumi Nusantara ini diciptakan Gusti Allah untuk kita, bukan untuk Belanda yang telah dikurniai bumi tersendiri di negaranya. Namun mereka hendak menguasai tanah air kita. Hal itu berarti Kumpeni Belanda diperalat setan dan kita yang menentangnya menjadi alat Gusti Allah untuk menentang keangkara-murkaan. Karena itulah aku tidak ragu-ragu membela Mataram untuk menundukkan Madura dan Surabaya agar kedua daerah itu mau bersatu dengan Mataram untuk menentang Belanda."
Mendapat keterangan panjang lebar itu Ayu Puspa mengangguk-angguk. "Kalau begitu, akupun ingin membantu Mataram!" Ayu berkata penuh semangat.
"Ah, Ayu. Ingatlah bahwa engkau seorang wanita! Perang bukan tugas seorang wanita!"
"Hemm, apa bedanya, eyang? Aku ingin ikut kakang Parmadi untuk membantu Mataram. Aku juga tidak takut bertempur dalam perang. Bukankah eyang telah mengajarkan banyak aji kesaktian kepadaku?"
"Jangan, Ayu. Semua perajurit dan senopati adalah laki-laki belaka. Engkau hanya akan menjadi bahan tertawaan kalau engkau maju sebagai perajurit, Ayu!
Parmadi dapat melihat pandang mata penuh kekhawatiran dari kakek itu dan dia maklum bahwa Kyai Jayawijaya merasa gelisah kalau-kalau ditinggalkan cucunya yang amat dikasihinya dan juga yang merupakan satu-satunya anggota keluarganya yang menemaninya. Maka diapun cepat berkata untuk mendukung kakek itu dan membujuk Ayu.
"Apa yang dikatakan eyang itu benar, Ayu. Selain itu, apakah engkau tega meninggalkan eyang yang sudah tua ini hidup seorang diri di sini? Siapa yang akan melayaninya? Siapa akan mencuci pakaian dan memasak makanan? Tidak kasihankah engkau padanya?"
Di ingatkan demikian, Ayu Puspa memandang kakeknya dengan bimbang. Kyai Jayawijaya berkata lirih, "Ayu, aku tidak ingin menghalangi keinginanmu. Kalau engkau hendak pergi, yah, pergilah. Aku akan berusaha semampuku untuk mengurus diriku sendiri."
Melihat pandang mata kakeknya demikian sedih, Ayu lalu duduk mendekatinya dan memegang lengannya. "Tidak, eyang. Jangan khawatir. Aku tidak akan meninggalkan eyang. Aku tadi hanya tergugah semangatku oleh ucapan kakang Parmadi."
Hati kakek itu menjadi lega. Memang dia sudah tua renta dan satu-satunya kegembiraan hidupnya adalah melihat cucunya. Kalau dia ditinggalkan Ayu Puspa dan hidup seorang diri, dia akan menderita sekali, bukan hanya karena kesepian akan tetapi terutama sekali karena merasa bahwa dirinya tidak dibutuhkan siapapun lagi, tidak ada gunanya di dunia ini. Kalau ada Ayu di sampingnya, sedikitnya dia dapat mernbimbing cucunya itu, dapat memperdalam ilmu-ilmu cucunya, dapat mengawasinya dan memberinya nasihat. Memang paling berat bagi seseorang dalam hidupnya kalau dia sudah merasa bahwa dirinya tidak ada gunanya lagi, tidak ada yang membutuhkannya lagi!
Setelah malam tiba, Kyai Jayawijaya meninggalkan dua orang muda itu yang masih duduk bercakap-cakap di beranda depan. Bulan mulai muncul menghujani bumi dengan cahayanya yang lembut sehingga suasananya menjadi indah dan sejuk sekali.
"Kalau terang bulan seperti ini, lebih nyaman duduk di taman bunga. Apalagi karang bunga harum dalu kesukaanku sedang berkembang. Mari kita duduk di sana, kakang," ajak Ayu Puspa.
"Engkau mempunyai taman bunga?" tanya Parmadi sambil ikut bangkit berdiri.
"Tentu saja. Taman itu berada di kebun belakang. Aku sendiri yang merawatnya setiap hari. Mari kita ke sana."
Mereka berdua keluar dari pintu samng dan berjalan keluar rumah, lalu membelok ke belakang. Benar saja, dalam cahaya bulan yang redup tampak oleh Parmadi sebuah taman bunga yang cukup mungil. Baru memasuki taman itu dia sudah disambut harum bunga putih kecil-kecil yang bernama bunga "harum dalu itu. Memang harum bukan main, menambah keindahan malam terang bulan di taman itu. Banyak pula bunga mawar dan melati di situ yang juga menyiarkan haruman yang khas, walaupun masih kalah oleh keharuman bunga harum dalu yang kuat itu.
Di tengah taman kecil itu terdapat sebuah empang ikan yang hanya dua meter luasnya, berbentuk bundar. Ada setangkai bunga teratai merah di tengah kolam, akan tetapi malam itu bunganya menguncup. Biasanya berkembang di pagi hari. Ikan-ikan emas berenang hilir-mudik dan bulan yang terbayang di dalam kolam menari-nari. Di dekat kolam itu terdapat sebuah bangku kayu panjang dan ke situlah Ayu mengajak Parmadi duduk.
Mereka duduk berdampingan di atas bangku. Mereka berdiam diri dan Parmadi bahkan dapat menikmati suasana terang bulan di taman kecil itu karena mereka berdiam diri. Udaranya demikian sejuk segar. Yang tercium hanya keharuman bunga-bunga. Yang terasa hanya kesejukan udara, terkadang diselingi semilir angin lembut. Kadang kala terdengar bunyi percik air ketika seekor ikan meloncat ke atas permukaan air, mungkin untuk memandang bulan lebih jelas lagi.
Terdengar oleh Parmadi yang sedang memandang gerakan lembut ikan-ikan berenang dipermukaan air helaan napas dan teringatlah dia bahwa Ayu sedang duduk di sebelahnya. Dia menoleh dan tertegun ketika bertemu pandang dengan gadis itu. Ayu sedang menatap wajahnya dengan mata yang demikian aneh! Mata itu redup, bahkan setengah terpejam, seperti mata yang mengantuk. Sinarnya kosong, seperti melamun dan bibir yang merah segar itu sedikit terbuka. Akan tetapi pandang mata itu seolah menelannya!
Parmadi menjadi salah tingkah, sungkan dan bingung. Dia tak sanggup menentang wajah gadis itu lebih lama lagi lalu dia menundukkan pandang matanya sehingga kini yang tampak adalah bagian dada dan perut gadis itu. Ketika pandang matanya melihat gagang patrem yang terselip di ikat pinggang Ayu, teringatlah Parmadi bahwa itu adalah patremnya, pemberian Muryani, yang dipinjamkan kepada Ayu ketika mereka menghadapi gerombolah warga Bajul Petak di Kedung Srengenge itu. Karena dia sedang salah tingkah dan gugup dipandang seperti itu oleh Ayu, maka begitu melihat patrem itu, langsung saja dia berkata,
"Ayu, itu patrem yang kupinjamkan kepadamu. Kembalikanlah kepadaku."
Akan tetapi gadis itu tidak menjawab dan ketika Parmadi mengangkatmu, memandang, dia mendapatkan Ayu masih bengong seperti tadi menatap wajahnya!
"Ayu...!" Barulah gadis itu gelagapan, seperti orang kaget dan sadar dari tidurnya. "Ya... eh... ada apa, kakang?"
Parmadi masih gugup. "Anu... kuharap engkau suka mengembalikan patrem yang kau pinjam dariku itu."
"Patrem?" Ayu memandang ke arah keris kecil yang berada di pinggangnya dan tangan kanannya meraba gagang patrem itu. "Kakang Parmadi, patrem adalah senjata seorang wanita. Untuk apa engkau membawa patrem sedangkan seruling gadingmu merupakan senjata yang teramat ampuh? Bagaimana kalau patremmu ini kuminta untuk dijadikan kenang-kenangan dan tanda mata?"
"Tapi... itu... sesungguhnya bukan patremku, Ayu."
"Eh? Kalau begitu, milik siapa ini?" Ayu mencabut patrem itu, memegang dan mengamati dalam cahaya bulan.
"Milik seorang wanita..."
"Ohh...! Milik seorang wanita? Lalu bagaimana dapat berada padamu, kakang?"
"Ia memberikannya kepadaku sebagai tanda persahabatan."
"Ah, begitukah? Pantas tidak dapat kuaberikan padaku. Nih, simpanlah!" katanya ketus dan mendorongkan patrem ini ke arah Parmadi. Pemuda itu menerimanya dan menyelinapkan patrem itu di pinggangnya.
Ayu diam saja, hanya mendudukkan muka. Parmadi juga tidak berani memandangnya, tidak berani bersuara karena dia merasa bersalah walaupun tidak tahu persis macam apa kesalahannya itu. Sampai lama suasana sunyi. Parmadi mendengar gadis itu menghela napas panjang beberapa kali. Akhirnya terdengar suara Ayu bertanya, agak kaku suaranya.
"Kakang, siapakah ia?"
"Ia siapa?" balas tanya Parmadi yang masih merasa tidak nyaman hatinya.
"Itu lho sahabatmu yang memberi patrem kepadamu!" kata Ayu ketus.
"Oh, itu? Ia adalah seorang sahabat di waktu remaja. Kurang lebih enam tahun yang lalu ketika aku meninggalkan dusun Pakis dilereng Gunung Lawu, ia memberikan patrem itu kepadaku sebagai tanda persahabatan dan sejak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengannya."
Hening lagi sejenak lalu Ayu bertanya lagi, "Siapa namanya?"
"Namanya? Eh... namanya Muryani."
"Berapa usianya sekarang?"
"Usianya?" Parmadi mengingat-ingat Muryani dua tahun lebih muda daripada dia. "Sekitar dua puluh satu atau dua puluh dua tahun begitulah."
"Hemm, sudah tua!" kata Ayu Puspa masih cemberut.
Parmadi tertawa dalam hatinya. Betapa anehnya sikap gadis ini. Apakah semua gadis seperti ini anehnya? Muryani dikatakannya sudah tua! Akan tetapi dia tidak mau berbantahan dengan gadis yang kelihatannya tidak senang, bahkan seperti orang marah itu. "Ya, sudah tua," katanya singkat.
Hening lagi. Kini agak lama dan Parmadi merasa betapa sunyi dan dinginnya alam itu. Awan tipis berarak perlahan menutupi bulan sehingga cahaya bulan menjadi semakin redup. Beberapa kali Parmadi melirik ke arah Ayu dan dia melihat gadis itu seperti sedang termenung, pandang matanya tertuju ke arah kolam di mana tampak ikan-ikan berenang di permukaan air.
"Cantikkah Muryani itu?" pertanyaan itu terdengar tiba-tiba dan gadis itu tetap memandang ke air, tidak menoleh pada Parmadi.
"Hemm... apa? Oya, ia memang cantik," jawab Parmadi sejujurnya dan terjadi keanehan dalam benaknya yang belum pernah dia alami sebelumnya. Dia mulai membanding-bandingkan kecantikan Muryani dengan kecantikan Ayu Puspa!
"Cantik mana antara ia dan aku?" Kini Ayu menoleh dan menatap matanya. Parmadi agak gelagapan. Pertanyaan itu seolah menggambarkan bahwa Ayu dapat membaca apa yang berada dalam benaknya saat itu.
"Cantik mana antara ia dan engkau?" Parmadi menatap wajah itu. Awan telah pergi, tidak lagi menghalangi cahaya bulan. Wajah Ayu yang dekat dengannya tampak jelas. Betapa indah alis yang kecil hitam melengkung rapi itu. Bulu mata yang lentik itu. Mata yang bersinar tajam. Hidung dan terutama mulut dengan bibirnya yang aduhai itu! "Wah, sukar menilai, Ayu. Ia dan engkau sama-sama cantik jelita. Benar, aku tidak berbohong. Bukan hanya sama cantiknya, akan tetapi juga sama digdayanya, sama... eh, lincahnya." Dia mengubah kata galak menjadi lincah. "Banyak sudah laki-laki jagoan ia kalahkan dan ketika itu ia berusia remaja, baru enam belas tahun."
Aneh! Gadis itu kelihatan marah! Matanya mengeluarkan sinar marah, bibir yang indah itu cemberut. "Hemm, ingin sekali aku bertemu dengan Muryani dan mengajaknya bertanding! Ingin aku mengetahui apakah ia akan mampu mengalahkan aku!"
Parmadi terkejut dan menatap wajah Ayu. Dua pasang mata bertemu pandang, saling menyelidiki seolah hendak menjenguk kedalam pikiran masing-masing. "Ayu, mengapa engkau berkata begitu? Mengapa engkau seperti marah dan membenci Muryani? Ia tidak bersalah apapun kepadamu. Bahkan engkaupun tidak pernah berjumpa dengannya, tidak mengenalnya."
Ayu menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan pula, "Kakang Parmadi, mengapa siang tadi engkau begitu baik kepadaku? Mengapa engkau menyelamatkan aku, mengapa engkau membelaku?"
"Tentu saja, Ayu. Karena engkaupun cantik sekali. Engkau pantas untuk dibela, dengan taruhan nyawa sekalipun," jawab Parrmadi dengan suara dan pandang mata serius.
"Akan tetapi, kenapa malam ini engkau... begini kejam kepadaku?" Ayu lalu menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis sesenggukan!
Tangisnya begitu mengguguk dan menyedihkan sehingga kembali Parmadi terkejut dan terheran-heran. Dia kejam kepada Ayu Puspa? Bagaimana pula ini? Melihat gadis itu menangis dan kedua pundaknya bergoyang-goyang, suara tangisnya terisak-isak, dia menjadi kasihan dan digesernya duduknya mendekat, lalu disentuhnya pundak gadis itu dengan lembut. "Ayu, kenapa engkau menangis?" Suara pemuda itu demikian lembut dan suara ini bahkan membuat tangis Ayu semakin tersedu-sedu! Parmadi merasa iba dan jari tangannya dengan lembut mengelus rambut kepala Ayu. Merasakan sentuhan ini, tiba-tiba Ayu merangkul pinggang Parmadi dan merapatkan mukanya di atas dada pemuda itu sambil menangis.
Parmadi terkejut, akan tetapi mau tidak mau dia merangkul dan mengelus kepala yang bersandar di dadanya untuk menghibur. "Ayu, engkau kenapakah?" tanya Parmadi hati-hati. Jantungnya berdebar kencang. Sekali lagi dia telah berpelukan dengan Ayu. Yang pertama Ayu merangkulnya karena girang melihat dia tidak mati tertimpa pohon randu alas yang tumbang. Dan kini gadis itu kembali merangkulnya sambil menangis sedih. Dan dia merasa jantungnya berdebar kencang merasakan betapa tubuh yang hangat, lunak dan padat itu mendekap dadanya.
Timbul gairah dalam hatinya untuk mendekap lebih erat, untuk menciumi muka yang basah air mata itu. Dia sudah menundukkan mukanya, mendekat muka gadis itu, akan tetapi tiba-tiba dia menyadari bahwa nafsu berahi menguasainya dan kalau dorongan berahi itu dia turuti, maka akan tidak baiklah jadinya. Sebelum hidung dan bibirnya menyentuh muka Ayu yang dengan mata setengah terbuka dan pandang sayu seolah menanti datangnya ciuman, Parmadi menguatkan hatinya dan dia memindahkan arah mukanya dan mencium rambut yang hitam lebat itu.
Rambut itu halus sekali dan keharuman melati menyegarkan hidungnya. Dalam beberapa detik lamanya terjadi pertarungan hebat dalam hati Parmadi. Sebagai seorang pria yang usianya sudah dua puluh tiga hampir dua puluh empat tahun, wajarlah kalau gairah berahinya sedang kuat-kuatnya. Nafsu ini mendorongnya dengan amat kuat. Akan tetapi dia menyadari bahwa kalau diperturutkan, hal itu amatlah tidak baik.
Ayu bukan apa-apanya, dan dia pun teringat akan Muryani yang sampai kini masih diaanggap sebagai gadis yang dicintainya, walaupun dia tidak yakin benar akan hal itu karena kini gadis itu hanya tinggal kenangan. Kalau nanti dia bertemu dengan Muryani, barulah dia akan dapat memastikan apakah dia mencinta gadis itu ataukah tidak. Dia suka dan kagum kepada Ayu Puspa, akan tetapi cinta? Dia sendiri tidak tahu. Ketika merasa kepalanya dicium, Ayu merangkul pinggang Parmadi lebih erat lagi.
"Engkau... engkau kejam, kakang..." Mendengar suara ini, Parmadi merasa lega karena dia merasa bahwa kini dia telah dapat menguasai gejolak nafsu berahinya. Gurunya pernah memberi penjelasan kepadanya tentang nafsu-nafsu, antaranya, nafsu berahi dan sekarang barulah dia mengalami sendiri gejolak nafsu berahi yang amat kuat dan yang menjatuhkan banyak orang, bahkan orang bijaksana, orang pandai, para raja dan satria banyak yang tergelincir dan jatuh karena pengaruh nafsu berahi yang teramat kuat ini.
Nafsu berahi, seperti semua nafsu dalam jasmani manusia, memang menjadi peserta manusia sejak mausia dilahirkan. Nafsu-nafsu ini mutlak penting bagi kehidupan manusia di dunia, demikian dahulu Resi Tejo Wening menerangkan. Tanpa adanya nafsu-nafsu daya rendah yang bertingkat-tingkat ini dalam diri manusia, maka manusia takkan dapat hidup didunia seperti sekarang ini. Dengan bekerjanya nafsu dalam hati akal pikiran manusia, maka manusia dapat memperoleh kemajuan karena nafsu membuat pikiran menjadi pandai membuat segala sesuatu demi kesejahteraan dan kesenangan hidup di dunia.
Nafsu merupakan peserta yang baik kalau dibiarkan menjadi peserta, menjadi hamba, menjadi pelayan. Akan tetapi manusia tidak boleh lengah. Sekali nafsu dibiarkan merajalela, maka dia akan menguasai hati akal pikiran manusia sehingga keadaannya menjadi terbalik. Manusia yang akan diperbudak nafsu sehingga dia akan melakukan apa saja, bahkan yang sejahat-jahatnya, demi untuk memuaskan keinginan nafsu.
Kalau nafsu berahi menjadi pelayan, manusia dapat memanfaatkannya sebagai pencurahan kasih sayang yang paling mendalam antara suami isteri, bahkan nafsu berahi menjadi sarana terpenting bagi perkembang-biakan manusia. Akan tetapi kalau nafsu berahi dibiarkan memperbudak manusia, maka akan terjadilah perjinaan, perkosaan, pelacuran dan sebagainya, tindakan penuh kemaksiatan yang semata-mata dilakukan untuk memuaskan nafsu berahi.
Demikian pula dengan nafsu-nafsu daya rendah lainnya. Kalau dibiarkan menguasai kita, maka kita akan terseret ke dalam lembah dosa. Kita harus selalu waspada dan hati-hati karena nafsu-nafsu itu mempergunakan segala macam kesenangan dan keenakan sebagai umpan untuk memancing kita. "Hanya Dewa Ruci saja yang dapat menolong kita," demikian Resi Tejo Wening berkata. Parmadi tahu bahwa yang dimaksudkan Dewa Ruci itu adalah Roh Suci, yaitu Kekuasaan Gusti Allah. Hanya dalam bimbingan Dewa Ruci sajalah manusia akan mampu melawan pengaruh nafsu-nafsunya sendiri yang teramat, kuat.
"Aku kejam kepadamu, Ayu? Apa maksudmu?" tanya Parmadi dan dengan lembut dia merenggangkan tubuhnya dan membantu gadis itu duduk kembali disampingnya. Ayu duduk dan menghapus air matanya.
"Engkau mencinta gadis itu! Engkau mencinta Muryani!" kata Ayu dengan mulut cemberut.
"Ah, jangan berkata begitu, Ayu. Murayani dan aku hanya bersahabat, persahabatan diwaktu kami remaja," Parmadi berkata jujur karena sesungguhnya dia sendiri belum yakin apakah dia benar-bewar mencinta Muryani, ataukah itu hanya angan-angan seorang remaja saja. Kalau dia bertemu dengan Muryani sekarang, barulah dia akan dapat memastikan apakah ada cinta diantara mereka.
Mendadak saja terjadi perubahan pada wajah Ayu. Kecemberutannya sirna, terganti wajah yang berseri dan mata yang bersinar, walaupun kedua pipinya rnasih basah. Bibirnya tersenyum manis dan kedua tangannya menangkap kedua tangan Parmadi. "Kalau begitu... engkau suka kepadaku, kakang?"
"Tentu saja, Ayu," kata Parmadi sejujurnya. "Aku kagum dan suka padamu."
Gadis itu tampak semakin gembira Genggaman kedua tangannya pada tangan Parmadi semakin kuat. "Kakang Parmadi... ah, kakang! Apakah cintamu padaku sebesar cintaku kepadamu?"
Bukan main kagetnya hati Parmadi mendengar pertanyaan itu. Gawat, pikirnya. Jawabannya tadi, yang menyatakan bahwa dia kagum dan suka kepada Ayu agaknya disalah-artikan oleh gadis itu. Rasa suka dianggapnya cinta!
Akan tetapi sebelum dia menjawab, tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak dan muncullah Kyai Jayawijaya. "Ha-ha, ha, bagus sekali! Sungguh berbahagia sekali hatiku mendengar bahwa kalian berdua saling mencinta! Ah, ini merupakan anugerah Gusti Allah yang paling besar, bagi hidupku. Parrnadi, aku berterima kasih sekali bahwa engkau mencinta Ayu dan suka menerima cucuku sebagai calon isterimu. Sebaiknya pernikahan segera dilangsungkan karena kalian berdua juga sudah cukup dewasa!"
Parmadi terkejut bukan main. Lebih gawat lagi sekarang! Bukan hanya Ayu Puspa yang salah sangka, melainkan kini bahkan Kyai Jayawijaya juga salah kira. Dia cepat melepaskan pegangan kedua tangan Ayu dan bangkit berdiri lalu mundur ke belakang sampai empat langkah.
"Tidak... tidak! Bukan begitu maksudku, eyang dan Ayu. Aku tidak ingin menikah, aku tidak jatuh cinta...!"
Ayu melompat berdiri, mukanya yang tertimpa cahaya bulan tampak pucat, matanya terbelalak. "Apa... apa maksudmu, kakang Parmadi? Engkau tadi memelukku, mengatakan bahwa engkau suka dan kagum kepadaku! Mengapa kini engkau mengingkarinya?"
"Parmadi! Jangan kau lumuri budi kebaikanmu dengan mempermainkan cucuku!" Kyai Jayawijaya membentak marah.
"Ayu dan Eyang Kyai, harap suka mengerti akan perbedaan antara suka dan cinta. Rasa suka kepada seseorang membuat orang ingin menjalin persahabatan yang akrab, sedangkan rasa cinta dapat menjalin hubungan perjodohan. Aku kagum dan suka kepada Ayu, bukan mencinta seperti yang Ayu maksudkan."
"Kau... kau..." Kyai Jayawijaya lari memasuki rumah dan keluar lagi membawa buntalan pakaian Parmadi, lalu melemparkan buntalan pakaian itu kepadanya. "Nah, bawalah pakaianmu dan pergilah tinggalkan kami! Engkau memikat kemudian menghancurkan hati cucuku Enyahlah!"
Parmadi menghela napas panjang dan hendak melangkah pergi, akan tetapi Ayu Puspa menghadang di depannya. "Tunggu! Enak saja engkau hendak pergi setelah berani menghina aku! Engkau harus menebus dengan nyawamu!"
Setelah berkata demikian, Ayu lalu menyerang Parmadi dengan dahsyat, mengerahkan seluruh tenaganya. Parmadi mengelak ke kiri, akan tetapi dari kiri Kyai Jayawijaya menyambutnya dengan serangan yang lebih dahsyat lagi.
"Siapapun tidak boleh menghina cucuku!" bentaknya.
Kembali Parmadi mengelak dan dia lalu mengerahkan kesaktiannya untuk melompat jauh dan melarikan diri. Gerakannya cepat bukan main, seperti terbang saja. Biarpun kakek dan cucunya itu melakukan pengejaran, namun Parmadi telah jauh meluncurkan perahunya ketika mereka tiba di tepi kedung. Perahu pemuda itu tidak tampak lagi. Ayu hanya dapat menangis ketika dituntun kakeknya pulang ke pondok mereka.
Pondok itu berada di tempat terpencil, di luar sebuah hutan di perbatasan daerah Kadipaten Surabaya. Biarpun terpencil, pondok itu cukup bagus dan kokoh, terbuat dari kayu jati yang kuat. Keadaan di sekitar pondok itu sunyi. Biarpun tidak mencurigakan, namun ternyata pondok itu yang biasanya merupakan tempat peristirahatan kaum bangsawan kalau sedang berburu di hutan, merupakan tempat yang amat penting bagi para petugas Kadipaten Surabaya yang memimpin jaringan para penyelidik atau mata-mata yang selalu mengamati gerakan yang dilakukan Kerajaan Mataram. Yang memimpin jaringan para penyelidik ini adalah Senopati Poncosakti.
Panglima ini selain digdaya, sakti mandraguna, juga amat cerdik sehingga dia menjadi orang kepercayaan Pangeran Pekik, Adipati Surabaya. Bahkan sesungguhnya Senopati Poncosakti ini masih paman sendiri dari Pangeran Pekik, atau uwanya karena senopati ini adalah kakak dari ibu Pangeran Pekik. Senopati Poncosakti berusia kurang lebih lima puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar dan wajahnya jantan dan gagah seperti Sang Gatotkaca dengan kumisnya yang sekepal sebelah. Biarpun dia seorang senopati, akan tetapi karena tugasnya sebagai pimpinan jaringan penyelidik, dia selalu mengenakan pakaian biasa, tidak seperti seorang panglima.
Seringkali Ki Poncosakti berada di pondok itu, terutama kalau mengadakan pertemuan dengan anak buahnya yang tersebar di wilayah Mataram sebagai penyelidik atau kalau dia menerima tamu rahasia terutama sekali dari utusan para sekutu Surabaya, di antaranya Madura dan tentu saja Kumpeni Belanda. Ki Poncosakti dahulu adalah seorang senopati Kadipaten Pasuruan yang gigih mempertahankan Pasuruan ketika diserbu pasukan Mataram. Setelah Pasuruan kalah dan jatuh menakluk kepada Kerajaan Mataram, Ki Poncosakti melarikan diri dengan hati mendendam kepada Mataram.
Dia lalu melarikan diri ke Surabaya di mana dia diterima oleh keponakannya, yaitu Pangeran Pekik, Adipati Surabaya, bahkan diangkat menjadi senopati yang dipercaya dan diserah tugas penting memimpin jaringan telik sandi untuk menjaga keselamatan dan keamanan Kadipaten Surabaya. Ketika masih menjadi senopati Kadipaten Pasuruan dahulu, dia terkenal sebagai Senopati Brojowiro yang dengan gigih mempertahankan Pasuruan dalam perang melawan pasukan Mataram. Setelah diterima oleh Pangeran Pekik, dia diangkat menjadi senopati dan diberi nama Senopati Poncosakti.
Dia tidak pernah lagi menggunakan nama lamanya, yaitu Brojowiro karena pekerjaannya sebagai pemimpin jaringan telik sandi mengharuskan dia merahasiakan masa lalunya agar tidak sampai ketahuan oleh pihak Mataram. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh lima tahun, kepalanya yang tanpa kain penutup itu kecil dan botak, rambut yang tumbuh di bagian kanan kiri dan belakang keriting dan masih hitam, mukanya bersih tanpa kumis atau jenggot, hidungnya pesek dan mulutnya kecil, kedua pergelangan tangannya memakai akar bahar hitam, melangkah memasuki pekarangan pondok terpencil dan sunyi itu.
Kakek ini tampaknya biasa saja, bahkan seperti seorang tua yang lemah. Akan tetapi siapa yang sudah mengenaliya, akan merasa terkejut melihat kehadirannya. Kakek ini bukan orang sembarangan. Dia seorang datuk besar dari Banten, bekas seorang senopati kenamaan dari Kerajaan Banten, bahkan sekarang pun masih berpengaruh sekali di Banten dan sering dimintai nasihat oleh Raja Banten. Dia adalah Kyai Sidhi Kawasa yang sakti mandraguna. Biarpun pondok itu tampak sunyi seolah tidak ada penghuninya, akan tetaapi Kyai Sidhi Kawasa cukup waspada untuk dapat menduga bahwa tempat itu merupakan tempat yang "angker" dan berbahaya.
Maka setelah tiba di depann beranda rumah itu, dia berhenti, lalu dengan suaranya yang lemah lembut dia berseru. "Sampurasun...!!" Biarpun suaranya lembut dan tidur nyaring, namun ternyata suara itu bergaung dan dapat terdengar sampai jauh karena ketika berseru, dia menggunakan tenaga saktinya. Sampai lama dia menanti, namun tidak ada jawaban. Dia mengulang salamnya dengan suara yang lebih menggema lagi.
"Sampurasun (salam yang berarti 'maafkan saya')!!" Sebagai jawaban, tiba-tiba dari empat penjuru meluncur belasan batang anak panah ke arah tubuh kakek itu.
"Syuuuttt... serr-serr-serrr...!" Kakek botak itu dengan tenang namun cepat memutar tubuhnya ke empat penjuru sambil memukulkan kedua telapak tangannya ke depan. Tampak sinar berapi menyambar dari telapak tangannya dan runtuhlah semua anak panah yang menyambar ke arah dirinya dan bahkan ada beberapa batang anak panah kayu yang terbakar!
Kyai Sidhi Kawasa tertawa terkekeh, akan tetapi sepasang matanya yang agak sipit itu mengeluarkan sinar kemarahan. "Heh-heh-heh, beginikah caranya orang Surabaya menyambut datangnya sahabat? Kalau begitu, majulah kalian semua. Mari tandingi Kyai Sidhi Kawasa, jangan menyerang secara menggelap seperti pengecut."
Senopati Poncosakti yang bersembunyi dalam rumah itu menjadi terkejut bukan main mendengar kakek itu memperkenalkan namanya. Setelah mengetahui bahwa kakek itu adalah Kyai Sidhi Kawasa dari Banten, tergopoh-gopoh dia merapikan pakaiannya dan keluar untuk menyambut tamu agung yang namanya amat terkenal itu. Dia sudah mendengar bahwa datuk Banten itu seorang yang sakti mandraguna dan juga bersikap memusuhi Mataram maka dapat dianggap sebagai seorang yang sehaluan. Setelah pakaiannya rapi dia lalu keluar dari pintu depan pondok itu dan pada saat itu, para pengawalnya yang merupakan pasukan kecil terdiri dari lima belas orang juga sudah muncul dari empat penjuru dan mengepung Kyai Sidhi Kawasa.
Melihat para anak buahnya mengambil sikap memusuhi kakek itu, Senopati Poncosakti menghardik, "Kalian semua mundurlah dan siapkan pesta perjamuan untuk menyambut tamu agung!"
Mendengar perintah ini, lima belas orang anak buah itu segera mengundurkan diri dan menuju ke belakang pondok. Senopati Poncosakti sendiri lalu cepat menghampiri tamunya dan memberi hormat dengan sembah. "Kami mohon maaf yang sebesarnya karena tidak mengenal andika maka kami telah bersikap kurang hormat. Saya, Senopati Poncosakti, atas nama Gusti Pangeran Pekik mohon maaf dan mempersilakan andika masuk agar kita dapat bicara di dalam."
"Heh-heh-heh, aku mendengar dari Ki Harya Baka Wulung bahwa di sini terdapat jaringan telik sandi Surabaya yang dipimpin oleh seorang bekas senopati Pamekasan yang bernama Ki Brojowiro. Andikakah orangnya?"
Senopati Poncosakti kembali memberi hormat dan menyembah, lalu menoleh ke kanan kiri. "Saya persilakan andika untuk masuk dan sebaiknya kita bicara di dalam saja, kakang Kyai Sidhi Kawasa."
Kakek dari Banten itu terkekeh dan mengangguk-angguk tanda bahwa dia mengerti akan sikap sang senopati yang agaknya hendak merahasiakan asal-usulnya itu. Dia lalu mengikuti tuan rumah memasuki pondok dan tak lama kemudian mereka sudah duduk berhadapan didalam sebuah ruangan tertutup.
"Benar dugaan andika, kakang Kyai, dahulu saya adalah seorang senopati Pasuruan yang membela Pasuruan dari serbuan Mataram. Setelah Pasuruan jatuh saya melarikan diri ke Surabaya dan oleh Gusti Pangeran Pekik saya diangkat menjadi senopati mengepalai para telik sandi yang mengamati gerak-gerik Mataram dan mendapatkan nama Senopati Poncosakti. Demi menjaga keamanan tugas saya, saya tidak lagi menggunakan nama Brojowiro. Tentu andika mengerti apa yang saya maksudkan."
"Heh-heh-heh, aku mengerti, adi Poncosakti."
"Harap kakang Kyai memaklumi akan sikap kami yang berhati-hati. Tempat kami ini merupakan tempat rahasia yang hanya dikunjungi kawan-kawan sehaluan yang menentang Mataram. Karena kemunculan andika tadi yang tiba-tiba dan kami belum mengenal andika sebelum andika menyebut nama, maka kami mengira bahwa andika adalah dari pihak musuh yang hendak melakukan penyelidikan, maka kami langsung menyerang andika."
"Hemm, aku mengerti, adi senopati. Aku juga mengetahui tentang tempat ini dari petunjuk Ki Harya Baka Wulung."
"Kakang Harya Baka Wulung memang pernah berkunjung ke sini, dan kedatangan andika ini tentu membawa berita penting sekali. Saya siap untuk mendengarkan, kakang Kyai."
"Sesungguhnyalah. Aku hanya hendak menyampaikan pesan dari Ki Harya Baka Wulung. Dia yang mengundangku dari Banten ke Madura untuk membantu Madura menghadapi ancaman Mataram dan dia minta kepadaku untuk menghubungi andika karena ada tugas yang penting sekali."
"Tugas apakah itu, kakang Kyai? Harap ceritakan dan saya siap melaksanakan kalau hal itu demi membela Surabaya."
"Bukan semata-mata membela Surabaya, melainkan terutama sekali untuk menentang Mataram."
"Wah, itulah tujuan utamaku dalam membela Surabaya, kakang Kyai. Saya akan menentang dan melawan Mataram, membantu mereka yang memusuhi Mataram, sampai Mataram jatuh atau saya yang mati!" kata senopati itu penuh semangat.
"Begini, adi senopati. Menurut keterangan Ki Harya Baka Wulung, Mataram sedang berusaha untuk membujuk Surabaya agar jangan membantu Madura yang akan diserbu oleh Mataram. Sultan Agun akan membujuk Pangeran Pekik untuk bekerja sama dan mengikat perdamaian di antara mereka, kemudian bersama-sama menentang pemerintah Kumpeni Belanda di Jayakarta. Kalau hal ini sampai terjadi, maka tentu saja kedudukan Madura menjadi lemah dan Mataram menjadi semakin kuat. Menurut penyelidikanku ketika aku melakukan perjalanan ke sini, utusan Sultan Agung yang membawa surat yang ditujukan kepada Pangeran Pekik itu sudah meninggalkan Mataram. Karena itu, Ki Harya Baka Wulung ingin minta bantuanmu agar mengatur rencana bagaimana baiknya untuk menggagalkan usaha Mataram untuk berdamai dan bekerja sama dengan Surabaya."
Poncosakti menghela napas panjang. "Saya sudah mengkhawatirkan hal ini akan terjadi. Memang Gusti Pangeran Pekik agak lemah menghadapi Sultan Agung. Akan tetapi, serahkan hal ini kepada saya, kakang Kyai Sidhi Kawasa. Saya akan dapat mengatur agar usaha Sultan Agung itu tidak akan berhasil."
Kyai Sidhi Kawasa lalu dijamu pesta makan oleh Senopati Poncosakti. Setelah puas bercakap-cakap, datuk dari Banten itu lalu meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan ke Madura memenuhi undangan Ki Harya Baka Wulung. Setelah tamunya pergi, Senopati Poncosakti memanggil beberapa orang kepercayaannya untuk merundingkan persoalan yang disampaikan oleh Kyai Sidhi Kawasa kepadanya itu. Dia maklum bahwa Pangeran Pekik memang tidak begitu keras sikapnya terhadap Mataram dan kalau Sultan Agung benar-benar hendak membujuknya, bukan tidak mungkin Pangeran Pekik akan menjadi lunak hatinya.
Poncosakti lalu mengatur siasatnyca. Dia sudah merencanakan sebaik-baiknya untuk menggagalkan usaha Sultan Agung. Dengan menyebar anak buahnya, muda saja baginya untuk segera dapat menemukan orang yang menjadi utusan Sulta Agung untuk pergi menghadap Pangera Pekik dan menyampaikan surat Raja Mataram itu. Diam-diam Poncosakti mengatur agar utusan itu selalu dibayangi. Utusan yang dimaksudkan itu adalah seorang perwira Kerajaan Mataram, yaitu Tumenggung Alap-alap yang dibantu ole seorang perwira rendahan bernama Katawengan. Kedua orang ini menunggang kuda dan memasuki Kadipaten Surabaya tanpa halangan. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sejak dari perbatasan mereka diam-diam dibayangi beberapa orang kepercayaan Poncosakti.
Sebagai utusan Mataram, dengan mudah Tumenggung Alap-alap bersama pembantunya diperkenankan menghadap Pangeran Pekik yang menerima mereka berdua dengan ramah. Tumenggung Alap-alap merupakan tokoh yang cukup terkenal sehingga Pangeran Pekik juga mengenalnya. Dia seringkali menjadi senopati Mataram dan namanya terkenal ketika Mataram menaklukkan daerah-daerah di Jawa Timur. Karena yang datang menghadap adalah seorang utusan Mataram, maka Pangeran Pekik tentu saja ingin pula memperlihatkan keangkeran Kadipaten Surabaya. Dia menyambut utusan itu di ruangn yang besar dan megah dan di situ berbaris rapi dan tampak kokoh kuat berwibawa sepasukan pengawal yang berjumlah dua losin perajurit berpakaian mewah. Karena utusan itu adalah utusan pribadi Sultan Agung, bukan utusan kerajaan dengan urusan yang terbuka, maka tidak ada menteri atau senopati yang hadir, juga tidak ada keluarga kadipaten.
"Ah, kiranya paman Tumenggung Alap-alap yang datang menghadap sebagai utusan Pamanda Sultan Agung di Mataram. Bagaimana kabarnya, paman? Baik-baik sajakah selama dalam perjalanan ke Surabaya?"
Tumenggung Alap-alap memberi hormat dengan sembah. "Berkat pangestu paduka, keadaan hamba baik-baik saja dan dapat sampai di sini dengan selamat. Hamba menghaturkan sembah sujut dan hormat hamba, gusti."
"Terima kasih, paman TumenggunSebagai utusan Pamanda Sultan, berita apakah yang andika bawa ke sini? Pamanda Sultan mengutus andika untuk menyampaikan apakah?"
"Pertama-tama Kanjeng Gusti Sultan Agung menyampaikan salam dan kabar selamat dan selain itu hamba diperintahkan untuk menyampaikan sebuah surat kepada paduka."
"Begitukah, paman? Mari, berikan surat itu kepadaku."
Tumenggung Alap-alap lalu mengeluarkan segulung surat dan menyerahkan kepada Pangeran Pekik dengan kedua tangan dan surat itu diterima oleh Pangeran Pekik. Suasana menjadi hening ketika sang pangeran membaca surat itu. Diam-diam Tumenggung Alap-alap yang tidak pernah kehilangan kewaspadaan itu menggunakan kesempatan selagi Pangeran Pekik membaca surat dari Sultan Agung untuk mengerling ke kanan kiri untuk menyelidiki apakah ada sesuatu yang mencurigakan.
Dia mengetahui benar bahwa biarpun pada hakekatnya Pangeran Pekik sendiri tidak terlalu keras memusuhi Mataram, namun banyak tokoh Surabaya yang diam-diam amat menentang Mataram, apalagi Surabaya dijadikan tempat pelarian dari banyak tokoh dari para kadipaten-kadipaten yang telah ditaklukkan oleh Mataram dan mereka ini mendendam kepada Mataram. Ketika pandang matanya menyapu ruangan itu dan memandangi para perajurit pengawal satu demi satu, dia melihat pandang mata seorang perajurit pengawal yang bersinar-sinar penuh kebencian kepadanya. Akan tapi begitu bertemu pandang, perajurit pengawal itu segera menundukkan mukanya.
Pada saat itu terdengar suara tawa Pangeran Pekik. Ketika Tumenggung Alap-alap memandang, dia melihat bangsawan itu tampak bergembira dan tersenyum lebar. "Ahh, paman Tumenggung, senang sekali hati kami menerima surat Pamanda Sultan Agung ini. Tunggu sebentar, paman, akan langsung kami buatkan surat balasannya."
Pangeran Pekik lalu meninggalkan tempat duduknya, melangkah ke lain ruangan dan untuk beberapa saat lamanya dia duduk menunggu. Ketika dia mengerling, beberapa kali dia bertemu pandang dengan perajurit pengawal yang sinar matanya penuh kebencian memandang kepadanya itu. Dia harus berhati-hati, pikirnya. Ketika berangkat meninggalkan Mataram, diapun sudah berhati-hati. Dia tahu bahwa dia membawa surat yang amat penting, surat dari Sultan Agung yang isinya membujuk Pangeran Pekik untuk berdamai dan bekerja sama. Hal ini tentu mendatangkan rasa tidak suka dalam hati mereka yang menentang Mataram. Karena itu diapun sudah amat berhati-hati bahkan selain membawa Katawengan, seorang perwira yang tangguh, dia juga diam-diam menyuruh seorang kepercayaannya bernama Kalingga untuk membayangi dan mengawasi mereka kalau-kala ada pihak lawan yang hendak mengganggu.
Setelah dia dan pembantunya, Katawengan, tiba di perbatasan Kadipaten Surabaya, Tumenggung Alap-alap memanggil Kalingga dan memesan agar pembantunya itu menanti di perbatasan itu sampai dia dan Katawengan keluar dari Suabaya. Kalau terjadi apa-apa dengan dia dan Katawengan, maka Kalingga harus segera kembali ke Mataram dan melapor kepada Sultan Agung. Tak lama kemudian Pangeran Pekik masuk lagi ke ruangan itu dan dengan senyum ramah dia menyerahkan segulung surat balasan yang ditujukan kepada Sulan Agung di Mataram.
"Paman Tumenggung, sampaikan surat balasan kami ini kepada Paman Sultan Agung di Mataram, disertai sembah hornat kami kepada beliau."
"Sendika, gusti. Hamba mohon pamit agar secepat mungkin hamba dapat menghaturkan surat paduka ini kepada Gusti Sultan!"
"Baik, paman. Berhati-hatilah dalam perjalanan."
Tumenggung Alap-alap dan perwira Katawengan lalu menghaturkan sembah dan mohon diri, lalu keluar dari istana kadipaten. Setibanya di luar, mereka menerima dua ekor kuda tunggangan mereka dari para penjaga yang sudah mengurus dan memberi makan kuda mereka itu. Kemudian mereka berdua lalu melarikan kuda mereka keluar dari kota kadipaten. Setibanya di perbatasan, mereka di sambut oleh Kalingga yang dengan patuh menunggu ditempat sunyi itu. Tumenggung Alap-alap mengajak kedua orang pembantunya untuk berunding.
"Aku mendapat firasat kurang enak adi Katawengan dan adi Kalingga. Aku hampir merasa yakin bahwa ada pihak yang memusuhi kita akan melakukan sesuatu untuk mencelakakan kita. Bagaimanapun juga, yang lebih dulu dan lebih penting untuk diselamatkan adalah surat balasan dari Gusti Pangeran Pekik kepada Gusti Sultan Agung ini. Karena itu adi Kalingga. Andika kuserahi tugas ini, tugas yang amat penting dan harus kau laksanakan dengan taruhan nyawa. Andika tadi tidak ikut ke Surabaya, tentu mereka yang berniat jahat terhadap kita tidak mengenalmu dan andika tidak akan diganggu sehingga dapat menghaturkan surat ini kepada Gusti Sultan dengan selamat. Sementara itu, kami berdua yang tentu sudah dikenal dan diancam, akan mengambil jalan lain untuk memancing dan mengalihkan perhatian mereka agar jangan sampai mengganggumu."
Kalingga menaati perintah atasannya itu, menerima gulungan surat dan menyimpannya dalam balik bajunya. Kemudian Tumenggung Alap-alap dan perwira Katawengan melanjutkan perjalanan mereka melalui jalan ke arah barat yang merupakan jalan besar menuju Mataram akan tetapi Kalingga lalu membalapkan kudanya ke selatan, mengambil jalan pintas. Dugaan Tumenggung Alap-alap yang banyak pengalaman itu memang benar, akan tetapi hanya separuhnya benar. Dia tidak tahu bahwa pemimpin jaringan telik-sandi (mata-mata), yaitu Senopati Poncosakti yang amat membenci Mataram, merupakan orang yang cerdik bukan main. Ia tidak tahu bahwa bukan hanya dia dan Katawengan yang selalu dibayangi, bahkan Kalingga juga sudah dibayangi.
Maka ketika dia bersama Katawengan berpisah dari Kalingga, Senopati Poncosakti cepat memecah pasukannya menjadi dua. Dia menyuruh selosin perajuritnya mengejar Tumenggung Alap-alap dan Katawengan sedangkan dia sendiri bersama tiga orang perajurit mengejar Kalingga yang membawa surat Pangeran Pekik untuk Sulta Agung. Ki Kalingga yang membalapkan kudanya, setelah cukup jauh dari perbatasan memperlambat larinya kuda yang suda ngos-ngosan. Dia merasa lega karena kini sudah berada di daerah Mataram, didaerah sendiri yang tentu aman. Akan tetapi ketika kudanya berjalan perlahan tiba-tiba terdengar derap kaki banyak kuda berlari cepat dari arah belakangnya.
Dia masih tidak menaruh curiga karena ketika dia menengok, dari belakang datang empat orang penunggang kuda yang pakaiannya seperti petani biasa. Dia meminggirkan kudanya agar binatang itu jangan terkejut atau takut kalau empat orang penunggang kuda itu lewat. Akan tetapi begitu empat orang itu melewatinya, tiba-tiba mereka menahan kuda mereka dan membalikkan kuda menghadapinya, kemudian mereka berlompatan turun.
Seorang dari mereka, yang gagah pcrkasa, tinggi besar seperti Gatotkaca dengan kumisnya yang sekepal sebelah, cepat melompat ke depan dan menarik kendali kuda. Kuda yang ditunggangi Kalingga meringkik, mengangkat kedua kaki depannya ke atas dan Ki Kalingga terpaksa melompat ke belakang, berjungkir balik tiga kali dan turun ke atas tanah dengan tegak. Gerakannya ini membuat Senopati Poncosakti, yang memimpin tiga orang perajuritnya, tertegun dan maklumlah dia bahwa lawannya adalah seorang yang tangguh.
Ki Kalingga marah, mengira bahwa empat orang itu adalah segerombolan perampok, maka dia membentak nyaring. "Heh, orang-orang sesat! Buka mata kalian baik-baik dan lihat siapa aku! Aku adalah seorang perwira jagabaya di Mataram, kepercayaan Gusti Sultan Agung. Apa maksud kalian berani menghadang perjalananku?"
Senopati Poncosakti tertawa. Dia sengaja bersikap seperti seorang kepala gerombolan perampok, seperti yang telah dia rencanakan. "Ha-ha-ha! Kami tidak perduli siap engkau! Akan tetapi siapapun juga yang lewat di daerah kekuasaan kami ini, harus membayar pajak dengan meninggalkan semua harta kekayaannya. Nah, berikanlah semua hartamu, baru engkau boleh pergi dari sini dengan nyawa utuh!"
Ki Kalingga adalah seorang perwira yang digdaya. Tentu saja dia tidak takut menghadapi segala macam perampok apalagi kalau hanya empat orang banyaknya. Pula, bagaimana mungkin dia menyerahkan semua barang yang dibawanya. Berarti dia harus menyerahkan pula gulungan surat dari Pangeran Pekik yang harus dilindungi dan dibelanya dengan taruhan nyawa.
"Babo-babo, keparat! Berani kalian merampok seorang perwira pasukan jagabaya Kerajaan Mataram? Agaknya kalian berempat sudah bosan hidup!"
"Kawan-kawan, serang dia!" Senopati Poncosakti memberi komando dan dia sendiri sudah melompat ke depan dan langsung mengayun tangan kanannya memukul ke arah dada Ki Kalingga. Perwira Mataram itu mengerahkan tenaga dan menangkis.
"Wuuuttt... dess!" Kedua orang itu terdorong mundur dan keduanya terkejut. Ki Kalingga sama sekali tidak mengira bahwa orang yang disangkanya perampok itu memiliki tenaga yang demikian kuatnya, setingkat dengan tenaganya sendiri! Sebaliknya Poncosakti juga sama sekali tidak mengira bahwa perwira Mataram yang tidak terkenal itu demikian kuatnya. Tiga orang anak buahnya juga menerjang ke arah Kalingga. Namun, dengan tamparan dan tendangan kakinya, Kalingga dapat membuat tiga orang itu terpelanting.
Melihat ini, Poncosakti lalu mencabut sepasang trisula gagang pendek dan dengan senjata ini diapun menerjang dengan hati marah dan penasaran. Aknn tetapi, Kalingga juga mencabut sebatang klewang (golok) dari punggungnya dan memutar senjata itu menangkis serangan sepasang trisula itu.
"Trang... cringgg!" Bunga api berpijar ketika sepasang trisula itu bertemu klewang. Kembali keduanya merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata tergetar. Tiga orang anak buah Poncosakti sudah bangkit dan mereka kini menyerang pula dengan senjata pedang mereka. Kalingga maklum bahwa dirinya terancam bahaya maut. Mengingat bahwa tiga orang yang tadi dirobohkan merupakan lawan yang paling lemah, maka kini sambil berloncatan mengelak dan menangkis serangan Poncosakti, dia cepat menggerakkan klewangnya mendesak tiga orang itu.
Terdengar suara berkerontang ketika klewangnya berhasil membuat pedang di tangan tiga orang lawan ini terlepas dan dengan tendangan-tendang kakinya yang disertai tenaga sakti, tiga orang anak buah Poncosakti itupun terlempar dan terbanting roboh. Mereka menjadi jerih dan juga tendangan tadi membuat mereka tidak mampu untuk menngeroyok lagi. Kini Poncosakti harus melawan seorang diri. Terjadilah perkelahian yang seru dan seimbang. Tiga orang anak buah Poncosakti itu hanya menonton dari jarak aman karena mereka merasa tidak mampu untuk membantu menghadapi lawan yang amat tangguh itu. Mereka tahu, pengeroyokan mereka hanya akan mengganggu gerakan Poncosakti, pula mungkin saja merupakan bunuh diri bagi mereka.
Selagi tiga orang anak buah yang kesemuanya merupakan perajurit Kadipaten Surabaya yang menjadi anggota pasukan yang membantu Poncosakti itu menonton tiba-tiba seorang dari mereka disambar sesosok bayangan dan lenyap. Kejadian ini berlangsung cepat dan perajurit itu tidak sempat dan tidak mampu mengeluarkan suara sehingga dua orang rekannya yang asyik menonton pertandingan seru itu tidak tahu bahwa seorang teman mereka lenyap diculik orang!
Ketika perajurit yang diculik itu diturunkan tak jauh dari situ dan dilepaskan, namun pundaknya dicengkeram tangan yang amat kuat sehingga dia menyeringai kesakitan, dia melihat di situ berdiri seorang pemuda yang tadi melarikannya dan kini mencengkeram pundaknya, bersama seorang gadis yang amat cantik manis. Pemuda itu bukan lain adalah Satyabrata dan gadis itu adalah Maya Dewi!
"Aduh... ampun!" Perajurit itu mengeluh.
"Cepat katakan, siapa yang sedang bertanding itu dan jangan berbohong. Sedikit saja berbohong, semua tulang dalam badanmu akan kuhancurkan!" kata Satyabrata sedangkan Maya Dewi hanya memandang dengan senyum manis, seolah melihat suatu pertunjukkan yang menyenangkan hatinya. Merasa betapa jari-jari tangan itu mencengkeram pundaknya sehingga tulang pundaknya mengeluarkan bunyi berkeretakan dan terasa nyeri seolah-olah hendak patah-patah, perajurit itu tak berani berbohong.
"Yang bersenjata sepasang trisula adalah atasan kami, Senopati Poncosakti dari Kadipaten Surabaya. Sedangkan yang bersenjata sebatang klewang itu adalah seorang perwira Mataram."
Mendengar pengakuan ini, tiba-tiba Satyabrata melepaskan cengkeraman tangannya. Orang ini adalah perajurit Surabaya yang harus dibantunya karena Surabaya menentang Mataram. "Hemm, begitukah? Kalau begitu, kita adalah orang sendiri. Biar aku membantu Senopati Poncosakti untuk membunuh perwira Mataram itu!"
"Kakang Satya, serahkan saja jahanam itu kepadaku. Aku akan membunuhnya," kata Maya Dewi sambil tersenyum manis sekali.
Mendengar dua orang itu akan membunuh perwira Mataram, perajurit itu segera berkata, "Raden, harap jangan membunuh perwira Mataram itu! Justeru atasan kami tidak ingin membunuhnya, hanya merobohkan dan membuat dia tidak berdaya."
"Hemm, mengapa begitu?" tanya Satyabrata.
"Karena Senopati Poncosakti ingin melakukan sesuatu terhadap surat dari Pangeran Pekik kepada Sultan Agung yang dibawa oleh perwira Mataram itu."
"Hemm, begitukah? Akan kubantu dia merobohkan perwira Mataram itu. Mari nimas, kita ke sana!" Dua orang itu berkelebat dan lenyap dari depan perajurit itu yang ternganga dan terbelalak, lalu diapun kembali ke tempat perkelahian tadi. Poncosakti masih bertanding melawan Kalingga yang mempertahankan diri mati matian.
Perlahan-lahan Poncosakti mulai terdesak, bahkan pundak kirinya sudah tercium ujung klewang sehingga baju dan kulit pundaknya terobek berdarah. Untung baginya luka itu tidak dalam. Namun cukup perih untuk membuat gerakan trisula di tangan kirinya kurang lincah dan mulailah dia terdesak. Tiba-tiba tampak bayangan yang cepat sekali berkelebat. Bayangan itu menerjang ke arah Kalingga. Gerakannya begitu cepat dan tangan kiri bayangan itu meluncur ke arah muka Kalingga dengan cengkeraman ke arah mata!
"Ahhh...!!" Kalingga terkejut buka main. Cepat dia membuang diri ke belakang untuk menghindarkan diri, dan siap untuk membalas serangan itu dengan bacokan goloknya. Akan tetapi tiba-tiba sesosok bayangan lain berkelebat di belakangnya dan sebuah tangan kecil hal menepuk dan mengenai tengkuk Kalingga.
"Plakk!" Perlahan saja tangan halus Maya Dewi itu menepuk tengkuk, akan tetapi seketika tubuh Kalingga terkulai dan diapun roboh tak sadarkan diri.
Senopati Poncosakti tentu saja merasa girang, akan tetapi juga amat kagum dan heran melihat pemuda yang tampan dan gadis yang cantik jelita itu, yang begitu mudahnya merobohkan perwira Mataram. Dia segera memberi hormat dan bertanya. "Banyak terima kasih atas bantuan andika berdua. Siapakah andika berdua yang telah membantu kami, kalau boleh kami mengetahui nama andika berdua yang terhormat."
Satyabrata mengeluarkan sekeping uang dinar emas dan memperlihatkannya kepada Poncosakti. "Paman Senopati Poncosakti, apakah andika mengenal ini?"
Poncosakti memandang dan dia terkejut. Dia sudah pernah mendengar bahwa seorang yang memegang dinar emas istimewa bergambar singa itu adalah seorang telik-sandi (matamata) Kumpeni Belanda yang berkedudukan tinggi! Dia cepat memberi hormat. "Ah, kiranya andika datang dari Jayakarta!"
"Paman Poncosakti, karena mendengar bahwa yang kau lawan adalah seorang perwira Mataram dan andika tidak ingin membunuhnya, maka kami sengaja menbantumu. Aku bernama Satyabrata dan ini adalah Maya Dewi. Nah, apa yang hendak kau lakukan terhadap orang Mataram ini?"
"Dia membawa surat dari Gusti Pangeran Pekik untuk Sultan Agung yang membujuknya untuk bekerja sama. Karena itu, kami ingin mengubah isi surat untuk mendatangkan keretakan antara Mataram dan Surabaya."
"Bagus sekali. Nah, lakukanlah cepat sebelum orang itu sadar kembali."
"Hi-hik, jangan khawatir! Sebelum kukehendaki, dia tidak akan bisa sadar!" Maya Dewi tersenyum.
"Ha-ha-ha!" Kyai Jayawijaya tertawa bergelak. "Mengerti sedikit-sedikit sudah merupakan suatu kemajuan, Ayu. Jauh lebih baik daripada mengaku segalanya padahal sesungguhnya masih tidak mengerti apa-apa."
"Baiklah kalau begitu, aku tidak berterima kasih kepada kakang Parmadi, melainkan kepada Gusti Allah. Dan sekarang aku akan menjadi alat Gusti Allah untuk membuat masakan yang enak-enak dan kuhidangkan kepada kakang Parmadi."
"Alhamdullilah! Itupun merupakan berkah Gusti Allah yang diberikan kepadak melalui tanganmu, Ayu."
Ayu Puspa tertawa manis dan iapun berlari ke belakang untuk menyembelih ayam dan membuatkan masakan untuk Parmadi. Kyai Jayawijaya juga membujuk agar Parmadi bermalam di pondoknya karena hari telah menjelang senja.
"Tapi saya harus melanjutkan perjalanan saya, eyang," kata Parmadi, menolak halus.
"Sekarang sudah sore, Parmadi. Sebentar lagi hari menjadi gelap. Apakah engkau akan melanjutkan perjalanan naik perahu dimalam hari? Itu sungguh berbahaya. Sebaiknya engkau melewatkan malam di pondokku ini dan besok pagi pagi baru melanjutkan perjalanan. Ayu tentu akan kecewa dan marah-marah sekali kalau engkau pergi sekarang, padahal ia sedang sibuk mempersiapkan hidangan untukmu. Dan katamu sendiri rejeki itupun pemberian Gusti Allah, apakah engkau berani menolak rejeki?"
Bujukan itu membuat Parmadi akhirnya mengalah. Tidak ada buruknya dan tidak ada ruginya kalau malam ini dia bermalam dirumah kakek yang bijaksana dengan cucunya yang manis dan bersikap akrab dengannya. Setelah mandi, Parmadi diajak makan malam. Dia mendapat kenyataan bahwa dara cantik manis yang memiliki kedigdayaan yang mengagumkan itu ternyata memiliki kepandaian lain yang juga mengagumkan, yaitu memasak. Hanya beberapa macam masakan terdiri dari daging ayam dan sayur-sayuran, namun semua masakannya terasa lezat sekali, terutama sambalnya!
Lalapan mentah berupa obis (kol), kacang panjang, terong, dan mentimun dengan sambal menjadi paduan yang cocok dengan daging ayam goreng. Juga masakan kangkung dengan daging ayam dan dua masakan sayur lain amat lezatnya. Semua itu dilengkapi dengan minuman "rujak degan" (kelapa muda) yang manis-manis gurih. Parmadi merasa kenyang dan nyaman.
"Wah, kalau setiap hari aku makan seperti ini, dalam waktu sebulan saja aku pasti menjadi gemuk sekali!" Ucapan ini terdengar lebih menyenangkan dan membanggakan daripada pujian bahwa masakannya lezat.
Sepasang mata Ayu Puspa bersinar dan kedua pipinya berubah kemerahan, bibirnya tersenyum ketika ia memandang kepada Parmadi. "Aih, masakan orang desa mana bisa lezat menyamai masakan gadis-gadis kota, kakang? Bilang saja masakanku cemplang, aku juga tidak apa-apa, kok. Tidak usah merayu!!"
Parmadi tersenyum. "Ayu, mulut yang bicara memang bisa saja berbohong dan merayu, akan tetapi mulut yang makan dengan lahap sampai tambah-tambah tiga kali, tentu tidak berbohong dan menjadi bukti bahwa mulut itu menikmati apa yang dimakannya. Dan aku tadi makan dengan gembul, bertambah nasi sampai tiga kali!"
Kyai Jayawijaya tertawa bergelak mendengar ucapan Parmadi ini. "Ha-ha-ha, engkau kalah, Ayu. Dan aku sendiri memperkuat pendapat Parmadi tadi bahwa masakanmu sekarang ini lezatnya luar biasa! Sungguh aku merasa heran. Masakanmu setiap hari juga enak, akan tetapi tidak sehebat apa yang kau masak sore ini"
"Aih, eyang...!" kata Ayu tersipu dan cepat-cepat gadis itu membersihkan meja dan membawa sisa hidangan ke dapur. Malam itu mereka bertiga bercakap-cakap di bawah sinar lampu gantung. Terpaksa Parmadi menceritakan keadaan dirinya, tentang orang tuanya yang terbunuh ketika dia berusia sepuluh tahun, dan tentang gurunya, Resi Tejo Wening yang mengambilnya sebagai murid ketika dia berusia delapan belas tahun.
"Dan sekarang ini engkau melakukan perjalanan berperahu di sepanjang Bengawan Solo, hendak pergi ke manakah, kakang?" Ayu bertanya.
"Eyang Resi Tejo Wening berpesan agar aku selalu membantu Mataram. Karena mendengar bahwa Mataram berusaha menundukkan Madura dan Surabaya, maka aku hendak pergi ke sana untuk membantu Mataram."
Kyai Jayawijaya mengangguk-angguk. "Engkau benar, Parmadi. Memang Mataram harus dibantu oleh para satria dan pendekar. Mataram berusaha untuk mempersatukan semua wilayah Jawa Dwipa untuk menyusun kekuatan menentang Kumpeni Belanda! Sayang aku sudah tua renta, kalau aku masih muda dan kuat aku tentu akan membantu Mataram pula!"
"Kakang Parmadi, engkau tadi mengatakan bahwa kita harus menjadi alat yang dipergunakan oleh Gusti Allah. Apakah membantu Mataram itu sesuai dengan kehendak Gusti Allah?" tiba-tiba Ayu Puspa bertanya dan pertanyaan ini mengejukan eyangnya yang menganggap pertanyaan itu lancang.
Akan tetapi Parmadi tersenyum dan merasa kagum akan keterbukaan gadis itu. Baik sekali kalau orang mau bertanya akan sesuatu yang membimbangkan hatinya. Sungkan bertanya membuat orang tetap bodoh, bahkan mungkin menimbulkan prasangka yang bukan-bukan.
"Tentu saja, Ayu. Gusti Allah memberi berkah kepada manusia dengan adanya persamaan suatu bangsa yang mempunyai sebagian dari dunia ini sebagai tempat tinggal dan tanah airnya, di mana dia lahir hidup dan mati. Sudah sepantasnyalah kalau kita menjaga persatuan saling bantu dan saling tolong-menolong di antara sebangsa dan membela tanah air yang diberikan Gusti Allah kepada kita. Ini merupakan tugas para satria. Satria itu selalu harus MANGAYU HAYUNING. BHUWANA (mengusahakan keselamatan dunia) dan hal ini jelas merupakan alat Gusti Allah. Kalau menjadi alat setan tentu hanya akan merusak keselamatan dunia. Gusti Sultan Agung di Mataram berniat baik, ingin mempersatukan seluruh Nusa Jawa untuk menggalang persatuan dan menyusun kekuatan guna menentang Kumpeni Belanda, sang angkara murka. Bumi Nusantara ini diciptakan Gusti Allah untuk kita, bukan untuk Belanda yang telah dikurniai bumi tersendiri di negaranya. Namun mereka hendak menguasai tanah air kita. Hal itu berarti Kumpeni Belanda diperalat setan dan kita yang menentangnya menjadi alat Gusti Allah untuk menentang keangkara-murkaan. Karena itulah aku tidak ragu-ragu membela Mataram untuk menundukkan Madura dan Surabaya agar kedua daerah itu mau bersatu dengan Mataram untuk menentang Belanda."
Mendapat keterangan panjang lebar itu Ayu Puspa mengangguk-angguk. "Kalau begitu, akupun ingin membantu Mataram!" Ayu berkata penuh semangat.
"Ah, Ayu. Ingatlah bahwa engkau seorang wanita! Perang bukan tugas seorang wanita!"
"Hemm, apa bedanya, eyang? Aku ingin ikut kakang Parmadi untuk membantu Mataram. Aku juga tidak takut bertempur dalam perang. Bukankah eyang telah mengajarkan banyak aji kesaktian kepadaku?"
"Jangan, Ayu. Semua perajurit dan senopati adalah laki-laki belaka. Engkau hanya akan menjadi bahan tertawaan kalau engkau maju sebagai perajurit, Ayu!
Parmadi dapat melihat pandang mata penuh kekhawatiran dari kakek itu dan dia maklum bahwa Kyai Jayawijaya merasa gelisah kalau-kalau ditinggalkan cucunya yang amat dikasihinya dan juga yang merupakan satu-satunya anggota keluarganya yang menemaninya. Maka diapun cepat berkata untuk mendukung kakek itu dan membujuk Ayu.
"Apa yang dikatakan eyang itu benar, Ayu. Selain itu, apakah engkau tega meninggalkan eyang yang sudah tua ini hidup seorang diri di sini? Siapa yang akan melayaninya? Siapa akan mencuci pakaian dan memasak makanan? Tidak kasihankah engkau padanya?"
Di ingatkan demikian, Ayu Puspa memandang kakeknya dengan bimbang. Kyai Jayawijaya berkata lirih, "Ayu, aku tidak ingin menghalangi keinginanmu. Kalau engkau hendak pergi, yah, pergilah. Aku akan berusaha semampuku untuk mengurus diriku sendiri."
Melihat pandang mata kakeknya demikian sedih, Ayu lalu duduk mendekatinya dan memegang lengannya. "Tidak, eyang. Jangan khawatir. Aku tidak akan meninggalkan eyang. Aku tadi hanya tergugah semangatku oleh ucapan kakang Parmadi."
Hati kakek itu menjadi lega. Memang dia sudah tua renta dan satu-satunya kegembiraan hidupnya adalah melihat cucunya. Kalau dia ditinggalkan Ayu Puspa dan hidup seorang diri, dia akan menderita sekali, bukan hanya karena kesepian akan tetapi terutama sekali karena merasa bahwa dirinya tidak dibutuhkan siapapun lagi, tidak ada gunanya di dunia ini. Kalau ada Ayu di sampingnya, sedikitnya dia dapat mernbimbing cucunya itu, dapat memperdalam ilmu-ilmu cucunya, dapat mengawasinya dan memberinya nasihat. Memang paling berat bagi seseorang dalam hidupnya kalau dia sudah merasa bahwa dirinya tidak ada gunanya lagi, tidak ada yang membutuhkannya lagi!
Setelah malam tiba, Kyai Jayawijaya meninggalkan dua orang muda itu yang masih duduk bercakap-cakap di beranda depan. Bulan mulai muncul menghujani bumi dengan cahayanya yang lembut sehingga suasananya menjadi indah dan sejuk sekali.
"Kalau terang bulan seperti ini, lebih nyaman duduk di taman bunga. Apalagi karang bunga harum dalu kesukaanku sedang berkembang. Mari kita duduk di sana, kakang," ajak Ayu Puspa.
"Engkau mempunyai taman bunga?" tanya Parmadi sambil ikut bangkit berdiri.
"Tentu saja. Taman itu berada di kebun belakang. Aku sendiri yang merawatnya setiap hari. Mari kita ke sana."
Mereka berdua keluar dari pintu samng dan berjalan keluar rumah, lalu membelok ke belakang. Benar saja, dalam cahaya bulan yang redup tampak oleh Parmadi sebuah taman bunga yang cukup mungil. Baru memasuki taman itu dia sudah disambut harum bunga putih kecil-kecil yang bernama bunga "harum dalu itu. Memang harum bukan main, menambah keindahan malam terang bulan di taman itu. Banyak pula bunga mawar dan melati di situ yang juga menyiarkan haruman yang khas, walaupun masih kalah oleh keharuman bunga harum dalu yang kuat itu.
Di tengah taman kecil itu terdapat sebuah empang ikan yang hanya dua meter luasnya, berbentuk bundar. Ada setangkai bunga teratai merah di tengah kolam, akan tetapi malam itu bunganya menguncup. Biasanya berkembang di pagi hari. Ikan-ikan emas berenang hilir-mudik dan bulan yang terbayang di dalam kolam menari-nari. Di dekat kolam itu terdapat sebuah bangku kayu panjang dan ke situlah Ayu mengajak Parmadi duduk.
Mereka duduk berdampingan di atas bangku. Mereka berdiam diri dan Parmadi bahkan dapat menikmati suasana terang bulan di taman kecil itu karena mereka berdiam diri. Udaranya demikian sejuk segar. Yang tercium hanya keharuman bunga-bunga. Yang terasa hanya kesejukan udara, terkadang diselingi semilir angin lembut. Kadang kala terdengar bunyi percik air ketika seekor ikan meloncat ke atas permukaan air, mungkin untuk memandang bulan lebih jelas lagi.
Terdengar oleh Parmadi yang sedang memandang gerakan lembut ikan-ikan berenang dipermukaan air helaan napas dan teringatlah dia bahwa Ayu sedang duduk di sebelahnya. Dia menoleh dan tertegun ketika bertemu pandang dengan gadis itu. Ayu sedang menatap wajahnya dengan mata yang demikian aneh! Mata itu redup, bahkan setengah terpejam, seperti mata yang mengantuk. Sinarnya kosong, seperti melamun dan bibir yang merah segar itu sedikit terbuka. Akan tetapi pandang mata itu seolah menelannya!
Parmadi menjadi salah tingkah, sungkan dan bingung. Dia tak sanggup menentang wajah gadis itu lebih lama lagi lalu dia menundukkan pandang matanya sehingga kini yang tampak adalah bagian dada dan perut gadis itu. Ketika pandang matanya melihat gagang patrem yang terselip di ikat pinggang Ayu, teringatlah Parmadi bahwa itu adalah patremnya, pemberian Muryani, yang dipinjamkan kepada Ayu ketika mereka menghadapi gerombolah warga Bajul Petak di Kedung Srengenge itu. Karena dia sedang salah tingkah dan gugup dipandang seperti itu oleh Ayu, maka begitu melihat patrem itu, langsung saja dia berkata,
"Ayu, itu patrem yang kupinjamkan kepadamu. Kembalikanlah kepadaku."
Akan tetapi gadis itu tidak menjawab dan ketika Parmadi mengangkatmu, memandang, dia mendapatkan Ayu masih bengong seperti tadi menatap wajahnya!
"Ayu...!" Barulah gadis itu gelagapan, seperti orang kaget dan sadar dari tidurnya. "Ya... eh... ada apa, kakang?"
Parmadi masih gugup. "Anu... kuharap engkau suka mengembalikan patrem yang kau pinjam dariku itu."
"Patrem?" Ayu memandang ke arah keris kecil yang berada di pinggangnya dan tangan kanannya meraba gagang patrem itu. "Kakang Parmadi, patrem adalah senjata seorang wanita. Untuk apa engkau membawa patrem sedangkan seruling gadingmu merupakan senjata yang teramat ampuh? Bagaimana kalau patremmu ini kuminta untuk dijadikan kenang-kenangan dan tanda mata?"
"Tapi... itu... sesungguhnya bukan patremku, Ayu."
"Eh? Kalau begitu, milik siapa ini?" Ayu mencabut patrem itu, memegang dan mengamati dalam cahaya bulan.
"Milik seorang wanita..."
"Ohh...! Milik seorang wanita? Lalu bagaimana dapat berada padamu, kakang?"
"Ia memberikannya kepadaku sebagai tanda persahabatan."
"Ah, begitukah? Pantas tidak dapat kuaberikan padaku. Nih, simpanlah!" katanya ketus dan mendorongkan patrem ini ke arah Parmadi. Pemuda itu menerimanya dan menyelinapkan patrem itu di pinggangnya.
Ayu diam saja, hanya mendudukkan muka. Parmadi juga tidak berani memandangnya, tidak berani bersuara karena dia merasa bersalah walaupun tidak tahu persis macam apa kesalahannya itu. Sampai lama suasana sunyi. Parmadi mendengar gadis itu menghela napas panjang beberapa kali. Akhirnya terdengar suara Ayu bertanya, agak kaku suaranya.
"Kakang, siapakah ia?"
"Ia siapa?" balas tanya Parmadi yang masih merasa tidak nyaman hatinya.
"Itu lho sahabatmu yang memberi patrem kepadamu!" kata Ayu ketus.
"Oh, itu? Ia adalah seorang sahabat di waktu remaja. Kurang lebih enam tahun yang lalu ketika aku meninggalkan dusun Pakis dilereng Gunung Lawu, ia memberikan patrem itu kepadaku sebagai tanda persahabatan dan sejak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengannya."
Hening lagi sejenak lalu Ayu bertanya lagi, "Siapa namanya?"
"Namanya? Eh... namanya Muryani."
"Berapa usianya sekarang?"
"Usianya?" Parmadi mengingat-ingat Muryani dua tahun lebih muda daripada dia. "Sekitar dua puluh satu atau dua puluh dua tahun begitulah."
"Hemm, sudah tua!" kata Ayu Puspa masih cemberut.
Parmadi tertawa dalam hatinya. Betapa anehnya sikap gadis ini. Apakah semua gadis seperti ini anehnya? Muryani dikatakannya sudah tua! Akan tetapi dia tidak mau berbantahan dengan gadis yang kelihatannya tidak senang, bahkan seperti orang marah itu. "Ya, sudah tua," katanya singkat.
Hening lagi. Kini agak lama dan Parmadi merasa betapa sunyi dan dinginnya alam itu. Awan tipis berarak perlahan menutupi bulan sehingga cahaya bulan menjadi semakin redup. Beberapa kali Parmadi melirik ke arah Ayu dan dia melihat gadis itu seperti sedang termenung, pandang matanya tertuju ke arah kolam di mana tampak ikan-ikan berenang di permukaan air.
"Cantikkah Muryani itu?" pertanyaan itu terdengar tiba-tiba dan gadis itu tetap memandang ke air, tidak menoleh pada Parmadi.
"Hemm... apa? Oya, ia memang cantik," jawab Parmadi sejujurnya dan terjadi keanehan dalam benaknya yang belum pernah dia alami sebelumnya. Dia mulai membanding-bandingkan kecantikan Muryani dengan kecantikan Ayu Puspa!
"Cantik mana antara ia dan aku?" Kini Ayu menoleh dan menatap matanya. Parmadi agak gelagapan. Pertanyaan itu seolah menggambarkan bahwa Ayu dapat membaca apa yang berada dalam benaknya saat itu.
"Cantik mana antara ia dan engkau?" Parmadi menatap wajah itu. Awan telah pergi, tidak lagi menghalangi cahaya bulan. Wajah Ayu yang dekat dengannya tampak jelas. Betapa indah alis yang kecil hitam melengkung rapi itu. Bulu mata yang lentik itu. Mata yang bersinar tajam. Hidung dan terutama mulut dengan bibirnya yang aduhai itu! "Wah, sukar menilai, Ayu. Ia dan engkau sama-sama cantik jelita. Benar, aku tidak berbohong. Bukan hanya sama cantiknya, akan tetapi juga sama digdayanya, sama... eh, lincahnya." Dia mengubah kata galak menjadi lincah. "Banyak sudah laki-laki jagoan ia kalahkan dan ketika itu ia berusia remaja, baru enam belas tahun."
Aneh! Gadis itu kelihatan marah! Matanya mengeluarkan sinar marah, bibir yang indah itu cemberut. "Hemm, ingin sekali aku bertemu dengan Muryani dan mengajaknya bertanding! Ingin aku mengetahui apakah ia akan mampu mengalahkan aku!"
Parmadi terkejut dan menatap wajah Ayu. Dua pasang mata bertemu pandang, saling menyelidiki seolah hendak menjenguk kedalam pikiran masing-masing. "Ayu, mengapa engkau berkata begitu? Mengapa engkau seperti marah dan membenci Muryani? Ia tidak bersalah apapun kepadamu. Bahkan engkaupun tidak pernah berjumpa dengannya, tidak mengenalnya."
Ayu menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan pula, "Kakang Parmadi, mengapa siang tadi engkau begitu baik kepadaku? Mengapa engkau menyelamatkan aku, mengapa engkau membelaku?"
"Tentu saja, Ayu. Karena engkaupun cantik sekali. Engkau pantas untuk dibela, dengan taruhan nyawa sekalipun," jawab Parrmadi dengan suara dan pandang mata serius.
"Akan tetapi, kenapa malam ini engkau... begini kejam kepadaku?" Ayu lalu menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis sesenggukan!
Tangisnya begitu mengguguk dan menyedihkan sehingga kembali Parmadi terkejut dan terheran-heran. Dia kejam kepada Ayu Puspa? Bagaimana pula ini? Melihat gadis itu menangis dan kedua pundaknya bergoyang-goyang, suara tangisnya terisak-isak, dia menjadi kasihan dan digesernya duduknya mendekat, lalu disentuhnya pundak gadis itu dengan lembut. "Ayu, kenapa engkau menangis?" Suara pemuda itu demikian lembut dan suara ini bahkan membuat tangis Ayu semakin tersedu-sedu! Parmadi merasa iba dan jari tangannya dengan lembut mengelus rambut kepala Ayu. Merasakan sentuhan ini, tiba-tiba Ayu merangkul pinggang Parmadi dan merapatkan mukanya di atas dada pemuda itu sambil menangis.
Parmadi terkejut, akan tetapi mau tidak mau dia merangkul dan mengelus kepala yang bersandar di dadanya untuk menghibur. "Ayu, engkau kenapakah?" tanya Parmadi hati-hati. Jantungnya berdebar kencang. Sekali lagi dia telah berpelukan dengan Ayu. Yang pertama Ayu merangkulnya karena girang melihat dia tidak mati tertimpa pohon randu alas yang tumbang. Dan kini gadis itu kembali merangkulnya sambil menangis sedih. Dan dia merasa jantungnya berdebar kencang merasakan betapa tubuh yang hangat, lunak dan padat itu mendekap dadanya.
Timbul gairah dalam hatinya untuk mendekap lebih erat, untuk menciumi muka yang basah air mata itu. Dia sudah menundukkan mukanya, mendekat muka gadis itu, akan tetapi tiba-tiba dia menyadari bahwa nafsu berahi menguasainya dan kalau dorongan berahi itu dia turuti, maka akan tidak baiklah jadinya. Sebelum hidung dan bibirnya menyentuh muka Ayu yang dengan mata setengah terbuka dan pandang sayu seolah menanti datangnya ciuman, Parmadi menguatkan hatinya dan dia memindahkan arah mukanya dan mencium rambut yang hitam lebat itu.
Rambut itu halus sekali dan keharuman melati menyegarkan hidungnya. Dalam beberapa detik lamanya terjadi pertarungan hebat dalam hati Parmadi. Sebagai seorang pria yang usianya sudah dua puluh tiga hampir dua puluh empat tahun, wajarlah kalau gairah berahinya sedang kuat-kuatnya. Nafsu ini mendorongnya dengan amat kuat. Akan tetapi dia menyadari bahwa kalau diperturutkan, hal itu amatlah tidak baik.
Ayu bukan apa-apanya, dan dia pun teringat akan Muryani yang sampai kini masih diaanggap sebagai gadis yang dicintainya, walaupun dia tidak yakin benar akan hal itu karena kini gadis itu hanya tinggal kenangan. Kalau nanti dia bertemu dengan Muryani, barulah dia akan dapat memastikan apakah dia mencinta gadis itu ataukah tidak. Dia suka dan kagum kepada Ayu Puspa, akan tetapi cinta? Dia sendiri tidak tahu. Ketika merasa kepalanya dicium, Ayu merangkul pinggang Parmadi lebih erat lagi.
"Engkau... engkau kejam, kakang..." Mendengar suara ini, Parmadi merasa lega karena dia merasa bahwa kini dia telah dapat menguasai gejolak nafsu berahinya. Gurunya pernah memberi penjelasan kepadanya tentang nafsu-nafsu, antaranya, nafsu berahi dan sekarang barulah dia mengalami sendiri gejolak nafsu berahi yang amat kuat dan yang menjatuhkan banyak orang, bahkan orang bijaksana, orang pandai, para raja dan satria banyak yang tergelincir dan jatuh karena pengaruh nafsu berahi yang teramat kuat ini.
Nafsu berahi, seperti semua nafsu dalam jasmani manusia, memang menjadi peserta manusia sejak mausia dilahirkan. Nafsu-nafsu ini mutlak penting bagi kehidupan manusia di dunia, demikian dahulu Resi Tejo Wening menerangkan. Tanpa adanya nafsu-nafsu daya rendah yang bertingkat-tingkat ini dalam diri manusia, maka manusia takkan dapat hidup didunia seperti sekarang ini. Dengan bekerjanya nafsu dalam hati akal pikiran manusia, maka manusia dapat memperoleh kemajuan karena nafsu membuat pikiran menjadi pandai membuat segala sesuatu demi kesejahteraan dan kesenangan hidup di dunia.
Nafsu merupakan peserta yang baik kalau dibiarkan menjadi peserta, menjadi hamba, menjadi pelayan. Akan tetapi manusia tidak boleh lengah. Sekali nafsu dibiarkan merajalela, maka dia akan menguasai hati akal pikiran manusia sehingga keadaannya menjadi terbalik. Manusia yang akan diperbudak nafsu sehingga dia akan melakukan apa saja, bahkan yang sejahat-jahatnya, demi untuk memuaskan keinginan nafsu.
Kalau nafsu berahi menjadi pelayan, manusia dapat memanfaatkannya sebagai pencurahan kasih sayang yang paling mendalam antara suami isteri, bahkan nafsu berahi menjadi sarana terpenting bagi perkembang-biakan manusia. Akan tetapi kalau nafsu berahi dibiarkan memperbudak manusia, maka akan terjadilah perjinaan, perkosaan, pelacuran dan sebagainya, tindakan penuh kemaksiatan yang semata-mata dilakukan untuk memuaskan nafsu berahi.
Demikian pula dengan nafsu-nafsu daya rendah lainnya. Kalau dibiarkan menguasai kita, maka kita akan terseret ke dalam lembah dosa. Kita harus selalu waspada dan hati-hati karena nafsu-nafsu itu mempergunakan segala macam kesenangan dan keenakan sebagai umpan untuk memancing kita. "Hanya Dewa Ruci saja yang dapat menolong kita," demikian Resi Tejo Wening berkata. Parmadi tahu bahwa yang dimaksudkan Dewa Ruci itu adalah Roh Suci, yaitu Kekuasaan Gusti Allah. Hanya dalam bimbingan Dewa Ruci sajalah manusia akan mampu melawan pengaruh nafsu-nafsunya sendiri yang teramat, kuat.
"Aku kejam kepadamu, Ayu? Apa maksudmu?" tanya Parmadi dan dengan lembut dia merenggangkan tubuhnya dan membantu gadis itu duduk kembali disampingnya. Ayu duduk dan menghapus air matanya.
"Engkau mencinta gadis itu! Engkau mencinta Muryani!" kata Ayu dengan mulut cemberut.
"Ah, jangan berkata begitu, Ayu. Murayani dan aku hanya bersahabat, persahabatan diwaktu kami remaja," Parmadi berkata jujur karena sesungguhnya dia sendiri belum yakin apakah dia benar-bewar mencinta Muryani, ataukah itu hanya angan-angan seorang remaja saja. Kalau dia bertemu dengan Muryani sekarang, barulah dia akan dapat memastikan apakah ada cinta diantara mereka.
Mendadak saja terjadi perubahan pada wajah Ayu. Kecemberutannya sirna, terganti wajah yang berseri dan mata yang bersinar, walaupun kedua pipinya rnasih basah. Bibirnya tersenyum manis dan kedua tangannya menangkap kedua tangan Parmadi. "Kalau begitu... engkau suka kepadaku, kakang?"
"Tentu saja, Ayu," kata Parmadi sejujurnya. "Aku kagum dan suka padamu."
Gadis itu tampak semakin gembira Genggaman kedua tangannya pada tangan Parmadi semakin kuat. "Kakang Parmadi... ah, kakang! Apakah cintamu padaku sebesar cintaku kepadamu?"
Bukan main kagetnya hati Parmadi mendengar pertanyaan itu. Gawat, pikirnya. Jawabannya tadi, yang menyatakan bahwa dia kagum dan suka kepada Ayu agaknya disalah-artikan oleh gadis itu. Rasa suka dianggapnya cinta!
Akan tetapi sebelum dia menjawab, tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak dan muncullah Kyai Jayawijaya. "Ha-ha, ha, bagus sekali! Sungguh berbahagia sekali hatiku mendengar bahwa kalian berdua saling mencinta! Ah, ini merupakan anugerah Gusti Allah yang paling besar, bagi hidupku. Parrnadi, aku berterima kasih sekali bahwa engkau mencinta Ayu dan suka menerima cucuku sebagai calon isterimu. Sebaiknya pernikahan segera dilangsungkan karena kalian berdua juga sudah cukup dewasa!"
Parmadi terkejut bukan main. Lebih gawat lagi sekarang! Bukan hanya Ayu Puspa yang salah sangka, melainkan kini bahkan Kyai Jayawijaya juga salah kira. Dia cepat melepaskan pegangan kedua tangan Ayu dan bangkit berdiri lalu mundur ke belakang sampai empat langkah.
"Tidak... tidak! Bukan begitu maksudku, eyang dan Ayu. Aku tidak ingin menikah, aku tidak jatuh cinta...!"
Ayu melompat berdiri, mukanya yang tertimpa cahaya bulan tampak pucat, matanya terbelalak. "Apa... apa maksudmu, kakang Parmadi? Engkau tadi memelukku, mengatakan bahwa engkau suka dan kagum kepadaku! Mengapa kini engkau mengingkarinya?"
"Parmadi! Jangan kau lumuri budi kebaikanmu dengan mempermainkan cucuku!" Kyai Jayawijaya membentak marah.
"Ayu dan Eyang Kyai, harap suka mengerti akan perbedaan antara suka dan cinta. Rasa suka kepada seseorang membuat orang ingin menjalin persahabatan yang akrab, sedangkan rasa cinta dapat menjalin hubungan perjodohan. Aku kagum dan suka kepada Ayu, bukan mencinta seperti yang Ayu maksudkan."
"Kau... kau..." Kyai Jayawijaya lari memasuki rumah dan keluar lagi membawa buntalan pakaian Parmadi, lalu melemparkan buntalan pakaian itu kepadanya. "Nah, bawalah pakaianmu dan pergilah tinggalkan kami! Engkau memikat kemudian menghancurkan hati cucuku Enyahlah!"
Parmadi menghela napas panjang dan hendak melangkah pergi, akan tetapi Ayu Puspa menghadang di depannya. "Tunggu! Enak saja engkau hendak pergi setelah berani menghina aku! Engkau harus menebus dengan nyawamu!"
Setelah berkata demikian, Ayu lalu menyerang Parmadi dengan dahsyat, mengerahkan seluruh tenaganya. Parmadi mengelak ke kiri, akan tetapi dari kiri Kyai Jayawijaya menyambutnya dengan serangan yang lebih dahsyat lagi.
"Siapapun tidak boleh menghina cucuku!" bentaknya.
Kembali Parmadi mengelak dan dia lalu mengerahkan kesaktiannya untuk melompat jauh dan melarikan diri. Gerakannya cepat bukan main, seperti terbang saja. Biarpun kakek dan cucunya itu melakukan pengejaran, namun Parmadi telah jauh meluncurkan perahunya ketika mereka tiba di tepi kedung. Perahu pemuda itu tidak tampak lagi. Ayu hanya dapat menangis ketika dituntun kakeknya pulang ke pondok mereka.
********************
Pondok itu berada di tempat terpencil, di luar sebuah hutan di perbatasan daerah Kadipaten Surabaya. Biarpun terpencil, pondok itu cukup bagus dan kokoh, terbuat dari kayu jati yang kuat. Keadaan di sekitar pondok itu sunyi. Biarpun tidak mencurigakan, namun ternyata pondok itu yang biasanya merupakan tempat peristirahatan kaum bangsawan kalau sedang berburu di hutan, merupakan tempat yang amat penting bagi para petugas Kadipaten Surabaya yang memimpin jaringan para penyelidik atau mata-mata yang selalu mengamati gerakan yang dilakukan Kerajaan Mataram. Yang memimpin jaringan para penyelidik ini adalah Senopati Poncosakti.
Panglima ini selain digdaya, sakti mandraguna, juga amat cerdik sehingga dia menjadi orang kepercayaan Pangeran Pekik, Adipati Surabaya. Bahkan sesungguhnya Senopati Poncosakti ini masih paman sendiri dari Pangeran Pekik, atau uwanya karena senopati ini adalah kakak dari ibu Pangeran Pekik. Senopati Poncosakti berusia kurang lebih lima puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar dan wajahnya jantan dan gagah seperti Sang Gatotkaca dengan kumisnya yang sekepal sebelah. Biarpun dia seorang senopati, akan tetapi karena tugasnya sebagai pimpinan jaringan penyelidik, dia selalu mengenakan pakaian biasa, tidak seperti seorang panglima.
Seringkali Ki Poncosakti berada di pondok itu, terutama kalau mengadakan pertemuan dengan anak buahnya yang tersebar di wilayah Mataram sebagai penyelidik atau kalau dia menerima tamu rahasia terutama sekali dari utusan para sekutu Surabaya, di antaranya Madura dan tentu saja Kumpeni Belanda. Ki Poncosakti dahulu adalah seorang senopati Kadipaten Pasuruan yang gigih mempertahankan Pasuruan ketika diserbu pasukan Mataram. Setelah Pasuruan kalah dan jatuh menakluk kepada Kerajaan Mataram, Ki Poncosakti melarikan diri dengan hati mendendam kepada Mataram.
Dia lalu melarikan diri ke Surabaya di mana dia diterima oleh keponakannya, yaitu Pangeran Pekik, Adipati Surabaya, bahkan diangkat menjadi senopati yang dipercaya dan diserah tugas penting memimpin jaringan telik sandi untuk menjaga keselamatan dan keamanan Kadipaten Surabaya. Ketika masih menjadi senopati Kadipaten Pasuruan dahulu, dia terkenal sebagai Senopati Brojowiro yang dengan gigih mempertahankan Pasuruan dalam perang melawan pasukan Mataram. Setelah diterima oleh Pangeran Pekik, dia diangkat menjadi senopati dan diberi nama Senopati Poncosakti.
Dia tidak pernah lagi menggunakan nama lamanya, yaitu Brojowiro karena pekerjaannya sebagai pemimpin jaringan telik sandi mengharuskan dia merahasiakan masa lalunya agar tidak sampai ketahuan oleh pihak Mataram. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh lima tahun, kepalanya yang tanpa kain penutup itu kecil dan botak, rambut yang tumbuh di bagian kanan kiri dan belakang keriting dan masih hitam, mukanya bersih tanpa kumis atau jenggot, hidungnya pesek dan mulutnya kecil, kedua pergelangan tangannya memakai akar bahar hitam, melangkah memasuki pekarangan pondok terpencil dan sunyi itu.
Kakek ini tampaknya biasa saja, bahkan seperti seorang tua yang lemah. Akan tetapi siapa yang sudah mengenaliya, akan merasa terkejut melihat kehadirannya. Kakek ini bukan orang sembarangan. Dia seorang datuk besar dari Banten, bekas seorang senopati kenamaan dari Kerajaan Banten, bahkan sekarang pun masih berpengaruh sekali di Banten dan sering dimintai nasihat oleh Raja Banten. Dia adalah Kyai Sidhi Kawasa yang sakti mandraguna. Biarpun pondok itu tampak sunyi seolah tidak ada penghuninya, akan tetaapi Kyai Sidhi Kawasa cukup waspada untuk dapat menduga bahwa tempat itu merupakan tempat yang "angker" dan berbahaya.
Maka setelah tiba di depann beranda rumah itu, dia berhenti, lalu dengan suaranya yang lemah lembut dia berseru. "Sampurasun...!!" Biarpun suaranya lembut dan tidur nyaring, namun ternyata suara itu bergaung dan dapat terdengar sampai jauh karena ketika berseru, dia menggunakan tenaga saktinya. Sampai lama dia menanti, namun tidak ada jawaban. Dia mengulang salamnya dengan suara yang lebih menggema lagi.
"Sampurasun (salam yang berarti 'maafkan saya')!!" Sebagai jawaban, tiba-tiba dari empat penjuru meluncur belasan batang anak panah ke arah tubuh kakek itu.
"Syuuuttt... serr-serr-serrr...!" Kakek botak itu dengan tenang namun cepat memutar tubuhnya ke empat penjuru sambil memukulkan kedua telapak tangannya ke depan. Tampak sinar berapi menyambar dari telapak tangannya dan runtuhlah semua anak panah yang menyambar ke arah dirinya dan bahkan ada beberapa batang anak panah kayu yang terbakar!
Kyai Sidhi Kawasa tertawa terkekeh, akan tetapi sepasang matanya yang agak sipit itu mengeluarkan sinar kemarahan. "Heh-heh-heh, beginikah caranya orang Surabaya menyambut datangnya sahabat? Kalau begitu, majulah kalian semua. Mari tandingi Kyai Sidhi Kawasa, jangan menyerang secara menggelap seperti pengecut."
Senopati Poncosakti yang bersembunyi dalam rumah itu menjadi terkejut bukan main mendengar kakek itu memperkenalkan namanya. Setelah mengetahui bahwa kakek itu adalah Kyai Sidhi Kawasa dari Banten, tergopoh-gopoh dia merapikan pakaiannya dan keluar untuk menyambut tamu agung yang namanya amat terkenal itu. Dia sudah mendengar bahwa datuk Banten itu seorang yang sakti mandraguna dan juga bersikap memusuhi Mataram maka dapat dianggap sebagai seorang yang sehaluan. Setelah pakaiannya rapi dia lalu keluar dari pintu depan pondok itu dan pada saat itu, para pengawalnya yang merupakan pasukan kecil terdiri dari lima belas orang juga sudah muncul dari empat penjuru dan mengepung Kyai Sidhi Kawasa.
Melihat para anak buahnya mengambil sikap memusuhi kakek itu, Senopati Poncosakti menghardik, "Kalian semua mundurlah dan siapkan pesta perjamuan untuk menyambut tamu agung!"
Mendengar perintah ini, lima belas orang anak buah itu segera mengundurkan diri dan menuju ke belakang pondok. Senopati Poncosakti sendiri lalu cepat menghampiri tamunya dan memberi hormat dengan sembah. "Kami mohon maaf yang sebesarnya karena tidak mengenal andika maka kami telah bersikap kurang hormat. Saya, Senopati Poncosakti, atas nama Gusti Pangeran Pekik mohon maaf dan mempersilakan andika masuk agar kita dapat bicara di dalam."
"Heh-heh-heh, aku mendengar dari Ki Harya Baka Wulung bahwa di sini terdapat jaringan telik sandi Surabaya yang dipimpin oleh seorang bekas senopati Pamekasan yang bernama Ki Brojowiro. Andikakah orangnya?"
Senopati Poncosakti kembali memberi hormat dan menyembah, lalu menoleh ke kanan kiri. "Saya persilakan andika untuk masuk dan sebaiknya kita bicara di dalam saja, kakang Kyai Sidhi Kawasa."
Kakek dari Banten itu terkekeh dan mengangguk-angguk tanda bahwa dia mengerti akan sikap sang senopati yang agaknya hendak merahasiakan asal-usulnya itu. Dia lalu mengikuti tuan rumah memasuki pondok dan tak lama kemudian mereka sudah duduk berhadapan didalam sebuah ruangan tertutup.
"Benar dugaan andika, kakang Kyai, dahulu saya adalah seorang senopati Pasuruan yang membela Pasuruan dari serbuan Mataram. Setelah Pasuruan jatuh saya melarikan diri ke Surabaya dan oleh Gusti Pangeran Pekik saya diangkat menjadi senopati mengepalai para telik sandi yang mengamati gerak-gerik Mataram dan mendapatkan nama Senopati Poncosakti. Demi menjaga keamanan tugas saya, saya tidak lagi menggunakan nama Brojowiro. Tentu andika mengerti apa yang saya maksudkan."
"Heh-heh-heh, aku mengerti, adi Poncosakti."
"Harap kakang Kyai memaklumi akan sikap kami yang berhati-hati. Tempat kami ini merupakan tempat rahasia yang hanya dikunjungi kawan-kawan sehaluan yang menentang Mataram. Karena kemunculan andika tadi yang tiba-tiba dan kami belum mengenal andika sebelum andika menyebut nama, maka kami mengira bahwa andika adalah dari pihak musuh yang hendak melakukan penyelidikan, maka kami langsung menyerang andika."
"Hemm, aku mengerti, adi senopati. Aku juga mengetahui tentang tempat ini dari petunjuk Ki Harya Baka Wulung."
"Kakang Harya Baka Wulung memang pernah berkunjung ke sini, dan kedatangan andika ini tentu membawa berita penting sekali. Saya siap untuk mendengarkan, kakang Kyai."
"Sesungguhnyalah. Aku hanya hendak menyampaikan pesan dari Ki Harya Baka Wulung. Dia yang mengundangku dari Banten ke Madura untuk membantu Madura menghadapi ancaman Mataram dan dia minta kepadaku untuk menghubungi andika karena ada tugas yang penting sekali."
"Tugas apakah itu, kakang Kyai? Harap ceritakan dan saya siap melaksanakan kalau hal itu demi membela Surabaya."
"Bukan semata-mata membela Surabaya, melainkan terutama sekali untuk menentang Mataram."
"Wah, itulah tujuan utamaku dalam membela Surabaya, kakang Kyai. Saya akan menentang dan melawan Mataram, membantu mereka yang memusuhi Mataram, sampai Mataram jatuh atau saya yang mati!" kata senopati itu penuh semangat.
"Begini, adi senopati. Menurut keterangan Ki Harya Baka Wulung, Mataram sedang berusaha untuk membujuk Surabaya agar jangan membantu Madura yang akan diserbu oleh Mataram. Sultan Agun akan membujuk Pangeran Pekik untuk bekerja sama dan mengikat perdamaian di antara mereka, kemudian bersama-sama menentang pemerintah Kumpeni Belanda di Jayakarta. Kalau hal ini sampai terjadi, maka tentu saja kedudukan Madura menjadi lemah dan Mataram menjadi semakin kuat. Menurut penyelidikanku ketika aku melakukan perjalanan ke sini, utusan Sultan Agung yang membawa surat yang ditujukan kepada Pangeran Pekik itu sudah meninggalkan Mataram. Karena itu, Ki Harya Baka Wulung ingin minta bantuanmu agar mengatur rencana bagaimana baiknya untuk menggagalkan usaha Mataram untuk berdamai dan bekerja sama dengan Surabaya."
Poncosakti menghela napas panjang. "Saya sudah mengkhawatirkan hal ini akan terjadi. Memang Gusti Pangeran Pekik agak lemah menghadapi Sultan Agung. Akan tetapi, serahkan hal ini kepada saya, kakang Kyai Sidhi Kawasa. Saya akan dapat mengatur agar usaha Sultan Agung itu tidak akan berhasil."
Kyai Sidhi Kawasa lalu dijamu pesta makan oleh Senopati Poncosakti. Setelah puas bercakap-cakap, datuk dari Banten itu lalu meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan ke Madura memenuhi undangan Ki Harya Baka Wulung. Setelah tamunya pergi, Senopati Poncosakti memanggil beberapa orang kepercayaannya untuk merundingkan persoalan yang disampaikan oleh Kyai Sidhi Kawasa kepadanya itu. Dia maklum bahwa Pangeran Pekik memang tidak begitu keras sikapnya terhadap Mataram dan kalau Sultan Agung benar-benar hendak membujuknya, bukan tidak mungkin Pangeran Pekik akan menjadi lunak hatinya.
Poncosakti lalu mengatur siasatnyca. Dia sudah merencanakan sebaik-baiknya untuk menggagalkan usaha Sultan Agung. Dengan menyebar anak buahnya, muda saja baginya untuk segera dapat menemukan orang yang menjadi utusan Sulta Agung untuk pergi menghadap Pangera Pekik dan menyampaikan surat Raja Mataram itu. Diam-diam Poncosakti mengatur agar utusan itu selalu dibayangi. Utusan yang dimaksudkan itu adalah seorang perwira Kerajaan Mataram, yaitu Tumenggung Alap-alap yang dibantu ole seorang perwira rendahan bernama Katawengan. Kedua orang ini menunggang kuda dan memasuki Kadipaten Surabaya tanpa halangan. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sejak dari perbatasan mereka diam-diam dibayangi beberapa orang kepercayaan Poncosakti.
Sebagai utusan Mataram, dengan mudah Tumenggung Alap-alap bersama pembantunya diperkenankan menghadap Pangeran Pekik yang menerima mereka berdua dengan ramah. Tumenggung Alap-alap merupakan tokoh yang cukup terkenal sehingga Pangeran Pekik juga mengenalnya. Dia seringkali menjadi senopati Mataram dan namanya terkenal ketika Mataram menaklukkan daerah-daerah di Jawa Timur. Karena yang datang menghadap adalah seorang utusan Mataram, maka Pangeran Pekik tentu saja ingin pula memperlihatkan keangkeran Kadipaten Surabaya. Dia menyambut utusan itu di ruangn yang besar dan megah dan di situ berbaris rapi dan tampak kokoh kuat berwibawa sepasukan pengawal yang berjumlah dua losin perajurit berpakaian mewah. Karena utusan itu adalah utusan pribadi Sultan Agung, bukan utusan kerajaan dengan urusan yang terbuka, maka tidak ada menteri atau senopati yang hadir, juga tidak ada keluarga kadipaten.
"Ah, kiranya paman Tumenggung Alap-alap yang datang menghadap sebagai utusan Pamanda Sultan Agung di Mataram. Bagaimana kabarnya, paman? Baik-baik sajakah selama dalam perjalanan ke Surabaya?"
Tumenggung Alap-alap memberi hormat dengan sembah. "Berkat pangestu paduka, keadaan hamba baik-baik saja dan dapat sampai di sini dengan selamat. Hamba menghaturkan sembah sujut dan hormat hamba, gusti."
"Terima kasih, paman TumenggunSebagai utusan Pamanda Sultan, berita apakah yang andika bawa ke sini? Pamanda Sultan mengutus andika untuk menyampaikan apakah?"
"Pertama-tama Kanjeng Gusti Sultan Agung menyampaikan salam dan kabar selamat dan selain itu hamba diperintahkan untuk menyampaikan sebuah surat kepada paduka."
"Begitukah, paman? Mari, berikan surat itu kepadaku."
Tumenggung Alap-alap lalu mengeluarkan segulung surat dan menyerahkan kepada Pangeran Pekik dengan kedua tangan dan surat itu diterima oleh Pangeran Pekik. Suasana menjadi hening ketika sang pangeran membaca surat itu. Diam-diam Tumenggung Alap-alap yang tidak pernah kehilangan kewaspadaan itu menggunakan kesempatan selagi Pangeran Pekik membaca surat dari Sultan Agung untuk mengerling ke kanan kiri untuk menyelidiki apakah ada sesuatu yang mencurigakan.
Dia mengetahui benar bahwa biarpun pada hakekatnya Pangeran Pekik sendiri tidak terlalu keras memusuhi Mataram, namun banyak tokoh Surabaya yang diam-diam amat menentang Mataram, apalagi Surabaya dijadikan tempat pelarian dari banyak tokoh dari para kadipaten-kadipaten yang telah ditaklukkan oleh Mataram dan mereka ini mendendam kepada Mataram. Ketika pandang matanya menyapu ruangan itu dan memandangi para perajurit pengawal satu demi satu, dia melihat pandang mata seorang perajurit pengawal yang bersinar-sinar penuh kebencian kepadanya. Akan tapi begitu bertemu pandang, perajurit pengawal itu segera menundukkan mukanya.
Pada saat itu terdengar suara tawa Pangeran Pekik. Ketika Tumenggung Alap-alap memandang, dia melihat bangsawan itu tampak bergembira dan tersenyum lebar. "Ahh, paman Tumenggung, senang sekali hati kami menerima surat Pamanda Sultan Agung ini. Tunggu sebentar, paman, akan langsung kami buatkan surat balasannya."
Pangeran Pekik lalu meninggalkan tempat duduknya, melangkah ke lain ruangan dan untuk beberapa saat lamanya dia duduk menunggu. Ketika dia mengerling, beberapa kali dia bertemu pandang dengan perajurit pengawal yang sinar matanya penuh kebencian memandang kepadanya itu. Dia harus berhati-hati, pikirnya. Ketika berangkat meninggalkan Mataram, diapun sudah berhati-hati. Dia tahu bahwa dia membawa surat yang amat penting, surat dari Sultan Agung yang isinya membujuk Pangeran Pekik untuk berdamai dan bekerja sama. Hal ini tentu mendatangkan rasa tidak suka dalam hati mereka yang menentang Mataram. Karena itu diapun sudah amat berhati-hati bahkan selain membawa Katawengan, seorang perwira yang tangguh, dia juga diam-diam menyuruh seorang kepercayaannya bernama Kalingga untuk membayangi dan mengawasi mereka kalau-kala ada pihak lawan yang hendak mengganggu.
Setelah dia dan pembantunya, Katawengan, tiba di perbatasan Kadipaten Surabaya, Tumenggung Alap-alap memanggil Kalingga dan memesan agar pembantunya itu menanti di perbatasan itu sampai dia dan Katawengan keluar dari Suabaya. Kalau terjadi apa-apa dengan dia dan Katawengan, maka Kalingga harus segera kembali ke Mataram dan melapor kepada Sultan Agung. Tak lama kemudian Pangeran Pekik masuk lagi ke ruangan itu dan dengan senyum ramah dia menyerahkan segulung surat balasan yang ditujukan kepada Sulan Agung di Mataram.
"Paman Tumenggung, sampaikan surat balasan kami ini kepada Paman Sultan Agung di Mataram, disertai sembah hornat kami kepada beliau."
"Sendika, gusti. Hamba mohon pamit agar secepat mungkin hamba dapat menghaturkan surat paduka ini kepada Gusti Sultan!"
"Baik, paman. Berhati-hatilah dalam perjalanan."
Tumenggung Alap-alap dan perwira Katawengan lalu menghaturkan sembah dan mohon diri, lalu keluar dari istana kadipaten. Setibanya di luar, mereka menerima dua ekor kuda tunggangan mereka dari para penjaga yang sudah mengurus dan memberi makan kuda mereka itu. Kemudian mereka berdua lalu melarikan kuda mereka keluar dari kota kadipaten. Setibanya di perbatasan, mereka di sambut oleh Kalingga yang dengan patuh menunggu ditempat sunyi itu. Tumenggung Alap-alap mengajak kedua orang pembantunya untuk berunding.
"Aku mendapat firasat kurang enak adi Katawengan dan adi Kalingga. Aku hampir merasa yakin bahwa ada pihak yang memusuhi kita akan melakukan sesuatu untuk mencelakakan kita. Bagaimanapun juga, yang lebih dulu dan lebih penting untuk diselamatkan adalah surat balasan dari Gusti Pangeran Pekik kepada Gusti Sultan Agung ini. Karena itu adi Kalingga. Andika kuserahi tugas ini, tugas yang amat penting dan harus kau laksanakan dengan taruhan nyawa. Andika tadi tidak ikut ke Surabaya, tentu mereka yang berniat jahat terhadap kita tidak mengenalmu dan andika tidak akan diganggu sehingga dapat menghaturkan surat ini kepada Gusti Sultan dengan selamat. Sementara itu, kami berdua yang tentu sudah dikenal dan diancam, akan mengambil jalan lain untuk memancing dan mengalihkan perhatian mereka agar jangan sampai mengganggumu."
Kalingga menaati perintah atasannya itu, menerima gulungan surat dan menyimpannya dalam balik bajunya. Kemudian Tumenggung Alap-alap dan perwira Katawengan melanjutkan perjalanan mereka melalui jalan ke arah barat yang merupakan jalan besar menuju Mataram akan tetapi Kalingga lalu membalapkan kudanya ke selatan, mengambil jalan pintas. Dugaan Tumenggung Alap-alap yang banyak pengalaman itu memang benar, akan tetapi hanya separuhnya benar. Dia tidak tahu bahwa pemimpin jaringan telik-sandi (mata-mata), yaitu Senopati Poncosakti yang amat membenci Mataram, merupakan orang yang cerdik bukan main. Ia tidak tahu bahwa bukan hanya dia dan Katawengan yang selalu dibayangi, bahkan Kalingga juga sudah dibayangi.
Maka ketika dia bersama Katawengan berpisah dari Kalingga, Senopati Poncosakti cepat memecah pasukannya menjadi dua. Dia menyuruh selosin perajuritnya mengejar Tumenggung Alap-alap dan Katawengan sedangkan dia sendiri bersama tiga orang perajurit mengejar Kalingga yang membawa surat Pangeran Pekik untuk Sulta Agung. Ki Kalingga yang membalapkan kudanya, setelah cukup jauh dari perbatasan memperlambat larinya kuda yang suda ngos-ngosan. Dia merasa lega karena kini sudah berada di daerah Mataram, didaerah sendiri yang tentu aman. Akan tetapi ketika kudanya berjalan perlahan tiba-tiba terdengar derap kaki banyak kuda berlari cepat dari arah belakangnya.
Dia masih tidak menaruh curiga karena ketika dia menengok, dari belakang datang empat orang penunggang kuda yang pakaiannya seperti petani biasa. Dia meminggirkan kudanya agar binatang itu jangan terkejut atau takut kalau empat orang penunggang kuda itu lewat. Akan tetapi begitu empat orang itu melewatinya, tiba-tiba mereka menahan kuda mereka dan membalikkan kuda menghadapinya, kemudian mereka berlompatan turun.
Seorang dari mereka, yang gagah pcrkasa, tinggi besar seperti Gatotkaca dengan kumisnya yang sekepal sebelah, cepat melompat ke depan dan menarik kendali kuda. Kuda yang ditunggangi Kalingga meringkik, mengangkat kedua kaki depannya ke atas dan Ki Kalingga terpaksa melompat ke belakang, berjungkir balik tiga kali dan turun ke atas tanah dengan tegak. Gerakannya ini membuat Senopati Poncosakti, yang memimpin tiga orang perajuritnya, tertegun dan maklumlah dia bahwa lawannya adalah seorang yang tangguh.
Ki Kalingga marah, mengira bahwa empat orang itu adalah segerombolan perampok, maka dia membentak nyaring. "Heh, orang-orang sesat! Buka mata kalian baik-baik dan lihat siapa aku! Aku adalah seorang perwira jagabaya di Mataram, kepercayaan Gusti Sultan Agung. Apa maksud kalian berani menghadang perjalananku?"
Senopati Poncosakti tertawa. Dia sengaja bersikap seperti seorang kepala gerombolan perampok, seperti yang telah dia rencanakan. "Ha-ha-ha! Kami tidak perduli siap engkau! Akan tetapi siapapun juga yang lewat di daerah kekuasaan kami ini, harus membayar pajak dengan meninggalkan semua harta kekayaannya. Nah, berikanlah semua hartamu, baru engkau boleh pergi dari sini dengan nyawa utuh!"
Ki Kalingga adalah seorang perwira yang digdaya. Tentu saja dia tidak takut menghadapi segala macam perampok apalagi kalau hanya empat orang banyaknya. Pula, bagaimana mungkin dia menyerahkan semua barang yang dibawanya. Berarti dia harus menyerahkan pula gulungan surat dari Pangeran Pekik yang harus dilindungi dan dibelanya dengan taruhan nyawa.
"Babo-babo, keparat! Berani kalian merampok seorang perwira pasukan jagabaya Kerajaan Mataram? Agaknya kalian berempat sudah bosan hidup!"
"Kawan-kawan, serang dia!" Senopati Poncosakti memberi komando dan dia sendiri sudah melompat ke depan dan langsung mengayun tangan kanannya memukul ke arah dada Ki Kalingga. Perwira Mataram itu mengerahkan tenaga dan menangkis.
"Wuuuttt... dess!" Kedua orang itu terdorong mundur dan keduanya terkejut. Ki Kalingga sama sekali tidak mengira bahwa orang yang disangkanya perampok itu memiliki tenaga yang demikian kuatnya, setingkat dengan tenaganya sendiri! Sebaliknya Poncosakti juga sama sekali tidak mengira bahwa perwira Mataram yang tidak terkenal itu demikian kuatnya. Tiga orang anak buahnya juga menerjang ke arah Kalingga. Namun, dengan tamparan dan tendangan kakinya, Kalingga dapat membuat tiga orang itu terpelanting.
Melihat ini, Poncosakti lalu mencabut sepasang trisula gagang pendek dan dengan senjata ini diapun menerjang dengan hati marah dan penasaran. Aknn tetapi, Kalingga juga mencabut sebatang klewang (golok) dari punggungnya dan memutar senjata itu menangkis serangan sepasang trisula itu.
"Trang... cringgg!" Bunga api berpijar ketika sepasang trisula itu bertemu klewang. Kembali keduanya merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata tergetar. Tiga orang anak buah Poncosakti sudah bangkit dan mereka kini menyerang pula dengan senjata pedang mereka. Kalingga maklum bahwa dirinya terancam bahaya maut. Mengingat bahwa tiga orang yang tadi dirobohkan merupakan lawan yang paling lemah, maka kini sambil berloncatan mengelak dan menangkis serangan Poncosakti, dia cepat menggerakkan klewangnya mendesak tiga orang itu.
Terdengar suara berkerontang ketika klewangnya berhasil membuat pedang di tangan tiga orang lawan ini terlepas dan dengan tendangan-tendang kakinya yang disertai tenaga sakti, tiga orang anak buah Poncosakti itupun terlempar dan terbanting roboh. Mereka menjadi jerih dan juga tendangan tadi membuat mereka tidak mampu untuk menngeroyok lagi. Kini Poncosakti harus melawan seorang diri. Terjadilah perkelahian yang seru dan seimbang. Tiga orang anak buah Poncosakti itu hanya menonton dari jarak aman karena mereka merasa tidak mampu untuk membantu menghadapi lawan yang amat tangguh itu. Mereka tahu, pengeroyokan mereka hanya akan mengganggu gerakan Poncosakti, pula mungkin saja merupakan bunuh diri bagi mereka.
Selagi tiga orang anak buah yang kesemuanya merupakan perajurit Kadipaten Surabaya yang menjadi anggota pasukan yang membantu Poncosakti itu menonton tiba-tiba seorang dari mereka disambar sesosok bayangan dan lenyap. Kejadian ini berlangsung cepat dan perajurit itu tidak sempat dan tidak mampu mengeluarkan suara sehingga dua orang rekannya yang asyik menonton pertandingan seru itu tidak tahu bahwa seorang teman mereka lenyap diculik orang!
Ketika perajurit yang diculik itu diturunkan tak jauh dari situ dan dilepaskan, namun pundaknya dicengkeram tangan yang amat kuat sehingga dia menyeringai kesakitan, dia melihat di situ berdiri seorang pemuda yang tadi melarikannya dan kini mencengkeram pundaknya, bersama seorang gadis yang amat cantik manis. Pemuda itu bukan lain adalah Satyabrata dan gadis itu adalah Maya Dewi!
"Aduh... ampun!" Perajurit itu mengeluh.
"Cepat katakan, siapa yang sedang bertanding itu dan jangan berbohong. Sedikit saja berbohong, semua tulang dalam badanmu akan kuhancurkan!" kata Satyabrata sedangkan Maya Dewi hanya memandang dengan senyum manis, seolah melihat suatu pertunjukkan yang menyenangkan hatinya. Merasa betapa jari-jari tangan itu mencengkeram pundaknya sehingga tulang pundaknya mengeluarkan bunyi berkeretakan dan terasa nyeri seolah-olah hendak patah-patah, perajurit itu tak berani berbohong.
"Yang bersenjata sepasang trisula adalah atasan kami, Senopati Poncosakti dari Kadipaten Surabaya. Sedangkan yang bersenjata sebatang klewang itu adalah seorang perwira Mataram."
Mendengar pengakuan ini, tiba-tiba Satyabrata melepaskan cengkeraman tangannya. Orang ini adalah perajurit Surabaya yang harus dibantunya karena Surabaya menentang Mataram. "Hemm, begitukah? Kalau begitu, kita adalah orang sendiri. Biar aku membantu Senopati Poncosakti untuk membunuh perwira Mataram itu!"
"Kakang Satya, serahkan saja jahanam itu kepadaku. Aku akan membunuhnya," kata Maya Dewi sambil tersenyum manis sekali.
Mendengar dua orang itu akan membunuh perwira Mataram, perajurit itu segera berkata, "Raden, harap jangan membunuh perwira Mataram itu! Justeru atasan kami tidak ingin membunuhnya, hanya merobohkan dan membuat dia tidak berdaya."
"Hemm, mengapa begitu?" tanya Satyabrata.
"Karena Senopati Poncosakti ingin melakukan sesuatu terhadap surat dari Pangeran Pekik kepada Sultan Agung yang dibawa oleh perwira Mataram itu."
"Hemm, begitukah? Akan kubantu dia merobohkan perwira Mataram itu. Mari nimas, kita ke sana!" Dua orang itu berkelebat dan lenyap dari depan perajurit itu yang ternganga dan terbelalak, lalu diapun kembali ke tempat perkelahian tadi. Poncosakti masih bertanding melawan Kalingga yang mempertahankan diri mati matian.
Perlahan-lahan Poncosakti mulai terdesak, bahkan pundak kirinya sudah tercium ujung klewang sehingga baju dan kulit pundaknya terobek berdarah. Untung baginya luka itu tidak dalam. Namun cukup perih untuk membuat gerakan trisula di tangan kirinya kurang lincah dan mulailah dia terdesak. Tiba-tiba tampak bayangan yang cepat sekali berkelebat. Bayangan itu menerjang ke arah Kalingga. Gerakannya begitu cepat dan tangan kiri bayangan itu meluncur ke arah muka Kalingga dengan cengkeraman ke arah mata!
"Ahhh...!!" Kalingga terkejut buka main. Cepat dia membuang diri ke belakang untuk menghindarkan diri, dan siap untuk membalas serangan itu dengan bacokan goloknya. Akan tetapi tiba-tiba sesosok bayangan lain berkelebat di belakangnya dan sebuah tangan kecil hal menepuk dan mengenai tengkuk Kalingga.
"Plakk!" Perlahan saja tangan halus Maya Dewi itu menepuk tengkuk, akan tetapi seketika tubuh Kalingga terkulai dan diapun roboh tak sadarkan diri.
Senopati Poncosakti tentu saja merasa girang, akan tetapi juga amat kagum dan heran melihat pemuda yang tampan dan gadis yang cantik jelita itu, yang begitu mudahnya merobohkan perwira Mataram. Dia segera memberi hormat dan bertanya. "Banyak terima kasih atas bantuan andika berdua. Siapakah andika berdua yang telah membantu kami, kalau boleh kami mengetahui nama andika berdua yang terhormat."
Satyabrata mengeluarkan sekeping uang dinar emas dan memperlihatkannya kepada Poncosakti. "Paman Senopati Poncosakti, apakah andika mengenal ini?"
Poncosakti memandang dan dia terkejut. Dia sudah pernah mendengar bahwa seorang yang memegang dinar emas istimewa bergambar singa itu adalah seorang telik-sandi (matamata) Kumpeni Belanda yang berkedudukan tinggi! Dia cepat memberi hormat. "Ah, kiranya andika datang dari Jayakarta!"
"Paman Poncosakti, karena mendengar bahwa yang kau lawan adalah seorang perwira Mataram dan andika tidak ingin membunuhnya, maka kami sengaja menbantumu. Aku bernama Satyabrata dan ini adalah Maya Dewi. Nah, apa yang hendak kau lakukan terhadap orang Mataram ini?"
"Dia membawa surat dari Gusti Pangeran Pekik untuk Sultan Agung yang membujuknya untuk bekerja sama. Karena itu, kami ingin mengubah isi surat untuk mendatangkan keretakan antara Mataram dan Surabaya."
"Bagus sekali. Nah, lakukanlah cepat sebelum orang itu sadar kembali."
"Hi-hik, jangan khawatir! Sebelum kukehendaki, dia tidak akan bisa sadar!" Maya Dewi tersenyum.