Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Alap Alap Laut Kidul
Jilid 17
KI SUBALI menghela napas panjang, hatinya merasa lega. "Maaf, aku yang bodoh, anakmas. Aku hampir saja lupa bahwa tidak ada hal yang mustahil bagi Gusti Allah. Andika benar, sekarang aku pun mulai merasa yakin bahwa anakku Sulastri masih hidup karena buktinya, andika tidak dapat menemukan jenazahnya, berarti ia belum tewas dan dengan mukzijat dan ajaib Gusti Allah menolongnya."
"Akan tetapi, kalau Sulastri selamat, semoga Gusti Allah mengampuni kami dan menyelamatkan anakku, lalu di mana ia berada? kenapa ia menghilang tanpa meninggalkan jejak?" tanya Nyi Subali yang kini telah menjadi tenang akibat ucapan-ucapan Aji dan Ki Subali.
"Memang terjadi keanehan, kanjeng bibi. Saya sendiri juga merasa heran dan sama sekali tidak mengerti ke mana Nimas sulastri pergi. Akan tetapi, saya yakin bahwa ia selamat dan mungkin saja ada orang telah menyelamatkannya lalu ia pergi bersama penolongnya itu." Kata Aji.
"Mudah-mudahan dugaanmu itu benar, Anakmas Aji," kata Ki Subali penuh harapan.
"Kanjeng paman, saya ingin menanyakan sesuatu kepada paman."
"Silakan, apa yang ingin andika ketahui?"
"Saya mendengar dari Nimas Sulastri bahwa gurunya bernama Ki ageng Pasisiran. di manakah beliau itu?"
"Ki Ageng Pasisiran tinggal di sebuah pondok di pantai laut. mengapa andika tanyakan hal itu?"
"Begini, paman. Saya melihat ada aji pukulan yang dilakukan Nimas Sulastri, dan aji pukulan itu saya kenal baik. Karena itu saya ingin bertemu dengan Ki Ageng Pasisiran itu. Biarlah nanti saya mencarinya di pantai. Sebuah pertanyaan lagi, paman. Apakah paman mengenal seorang yang bernama Raden Banuseta, yang merupakan seorang tokoh persilatan terkenal di kerajaan Galuh."
"Raden Banuseta? Tentu saja mengetahuinya, anakmas. Dia adalah ketua cabang perguruan Dadali Sakti di Dermayu. Dulu, ketika Sulastri merengek minta belajar silat, hendak kumasukkan di perguruan silat Dadali Sakti, akan tetapi anak itu tidak mau dan berkeras minta agar menjadi murid Ki Ageng Pasisiran."
Berdebar rasa jantung Aji mendengar ini. "Kanjeng paman mengenalnya?"
"Tidak mengenal secara pribadi, anakmas. Aku tidak suka berkenalan dengan orang yang namanya dikabarkan sebagai orang yang tidak pantas kujadikan sahabat."
"Ah, bagaimana kabarnya tentang Raden banuseta itu, kanjeng paman?"
"Dia terkenal angkuh dan sombong, suka mengandalkan kedigdayaannya dan bertindak sewenang-wenang, mengandalkan kedudukannya sebagai putera bangsawan. Kabarnya dia juga laki-laki mata keranjang yang suka merusak pagar ayu mengganggu anak bini orang. Dan itu masih belum seberapa, belakangan ini aku mendengar desas desus bahwa dia berhubungan akrab dengan Kumpeni Belanda."
"Hemm, benarkah itu?"
"Belum ada bukti nyata, akan tetapi ketika ada kapal Belanda mengadakan pesta, diapun termasuk salah seorang yang datang sebagai tamu undangan. Sejak itu didesas desuskan bahwa Raden Banuseta itu membantu Kumpeni Belanda, atau setidaknya ada hubungan dengan mereka."
Girang hati Aji mendengar ini. Ternyata Raden Banuseta adalah seorang yang tersesat. Selain angkuh dan sombong, suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kedigdayaan dan kedudukannya sebagai putera bangsawan, mata keranjang dan suka merusak pagerayu, juga dicurigai sebagai pembantu Kumpeni Belanda. Alasan ini cukup baginya untuk menentang orang yang telah membunuh ayah kandungnya itu! Dia masih ingat akan ajaran Ki Tejo Budi. Dia tidak akan membalas dendam kematian ayahnya, melainkan dia akan menentang Raden Banuseta karena kejahatannya.
"Kanjeng paman, di manakah rumah perguruan Dadali Sakti itu?"
"Di ujung jalan besar kota ini, dekat gapura kota. Rumahnya besar dan pekarangannya luas. Semua orang tahu di mana rumah perguruan Dadali Sakti itu." kata Ki Subali, sama sekali tidak tahu apa yang berada dalam hati Aji. "Sekarang saya hendak mohon diri, kanjeng paman dan kanjeng bibi. Saya berjanji akan mencari keterangan tentang Nimas Sulastri, dan kalau sudah berhasil, akan saya kabarkan ke sini."
"Baik dan terima kasih atas semua berita yang andika bawa tentang anak kami, juga terima kasih sebelumnya bahwa andika akan mencarinya." kata Ki Subali.
Aji bangkit, memberi hormat lalu meninggalkan rumah orang tua Sulastri itu. dari situ dia langsung pergi mencari rumah perguruan Dadali Sakti. Akan tetapi baru belasan langkah dia meninggalkan rumah keluarga Ki Subali, dia teringat akan pedang Nogo Wilis milik Sulastri yang masih dia bawa. Pedang itu sudah tidak ada sarungnya, dan hanya dia libat dengan kain dan dia selipkan di pinggangnya. teringat akan ini, dia segera memutar tubuhnya dan kembali ke rumah Ki Subali. Suami isteri itu masih beriri di serambi depan, masih termenung memikirkan anak mereka. Melihat pemuda itu datang lagi, mereka menyambut.
"Andika kembali lagi, ada berita apa lagi, anakmas?" tanya Ki Subali penuh harap.
Aji menghela napas, merasa iba kepada orang tua itu yang tentu saja merasa amat gelisah dan kehilangan puterinya tersayang itu. Dia mencabut pedang yang terbungkus kain itu lalu menyerahkan kepada Ki Subali sambil berkata, "Kanjeng paman, saya tadi lupa untuk menyerahkan pedang ini kepada paman. Terima pedang ini dan simpanlah, paman. Ini adalah pedang milik Nimas Sulastri."
Ki Subali menerima bungkusan pedang itu. "Apakah andika tidak memerlukannya, anakmas? Kalau andika memerlukannya, bawa dan pakailah dulu."
"Terima kasih, paman. Saya tidak memerlukannya. Sebaiknya paman simpan saja dan paman berikan kembali kepada Nimas Sulastri kalau ia pulang. Permisi, kanjeng paman dan kanjeng bibi."
Aji berpamit lalu melangkah keluar lagi. Kini dia melangkah cepat menuju ke ujung jalan besar kota Dermayu. Setelah tampak pintu gerbang, dia bertanya kepada seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang dia jumpai di jalan. "Maafkan saya, paman. Saya hendak bertanya." Laki-laki itu memandang kepadanya dan tersenyum.
"Orang muda, apakah yang hendak kautanyakan? Wajahmu tampak demikian gembira! Tentu perkara baik yang akan kau tanyakan padaku."
Diam-diam Aji terkejut. Dia berwajah gembira? Apa yang menggembirakan hatinya? Dia termangu, lalu berkata, "Saya hendak bertanya di mana rumah perguruan Dadali Sakti, paman?"
"Ah, perguruan Dadali Sakti?" Tiba-tiba wajah orang itu tampak muram, alisnya berkerut dan pandang matanya tidak senang. "Kiranya andika orang Dadali Sakti?"
Aji menggeleng kepalanya. "Kalau saya orang Dadali Sakti, tentu tidak akan bertanya di mana rumah perguruan itu, paman."
"Hemm, akan tetapi andika hendak berkunjung ke sana tentu sahabat perguruan itu. Di sana tempatnya, itu yang pekarangannya luas."
Setelah berkata demikian, dengan muka membayangkan ketidak senangan hatinya, orang itu cepat melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Aji. Aji masih berdiri termenung. Yang teringat olehnya dan masih berdengung dalam pendengarannya adalah ucapan orang tadi yang mengatakan betapa wajahnya tampak amat gembira! Kini harus diakuinya bahwa memang hatinya gembira sekali. Mengapa? Dia bertanya kepada diri sendiri dan dia menyadari bahwa kegembiraannya itu timbul ketika mendengar bahwa Raden Banuseta adalah orang jahat, bahkan mungkin menjadi antek Kumpeni. Dengan demikian, maka terdapat alasan untuk menentangnya, bahkan membunuhnya!
Pada hal, keinginan ini memang selalu bersembunyi di dalam kalbunya, keinginan untuk membunuh Raden Banuseta, keinginan yang timbul karena dendam sakit hati, karena ayahnya telah dibunuh Raden Banuseta! Menyadari akan hal ini, Aji tertegun! Lalu ia memejamkan mata, hatinya berbisik, "Duh Gusti, ampuni kiranya hati hamba yang lemah ini, yang dicemari dendam kebencian. Duh eyang Tejo Budi, ampuni murig eyang ini."
Setelah menenangkan perasaannya, Aji membuka matanya dan memandang ke arah rumah berpekarangan besar yang ditunjuk orang tadi. Kini hatinya menjadi tenang, perasaan gembira yang menyembunyikan dendam itupun tak terasa lagi. Dengan tenang dia melangkah menuju ke rumah besar yang berpekarangan luas itu. Kini dia yakin apa yang akan dilakukannya. Tidak, dia tidak sudi dipengaruhi dendam sakit hati karena terbunuhnya ayah kandungnya oleh Raden Banuseta. Dia tahu bahwa ayahnya dahulu juga membunuh ayah Raden Banuseta karena bangsawan itu menculik dan memperkosa isteri pertama ayahnya sehingga wanita itu membunuh diri.
Dendam mendendam, balas membalas yang tiada berkesudahan! Dia tidak boleh menambah mata rantai baru pada untaian mata rantai karma itu. Rantai balas membalas itu akan putus kalau dia tidak mendendam dan membenci. Dia akan menghadapi Raden Banuseta untuk menentang kejahatannya, bukan untuk membalas dendam. Di pintu pagar pekarangan itu dia berhenti. Di pekarangan itu tumbuh sebatang pohon jambu dan sebuah papan yang cukup lebar tergantung di dahan pohon.
Papan itu warna dasarnya putih dan ada lukisan sepasang burung dadali (wallet) hitam sedang bertarung di udara. Lukisan sepasang burung itu indah sekali dan di bawahnya terdapat tulisan PERGURUAN SILAT DADALI SAKTI. Tidak salah lagi, inilah rumah perkumpulan Dadali Sakti itu dan Raden Banuseta adalah ketuanya.
Dengan sikap tenang dia lalu mendorong pintu pagar itu sehingga terbuka dan dia melangkah memasuki pekarangan. Dua orang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, keduanya bertubuh tinggi besar dan berpakaian ringkas seperti yang biasa dipakai para pendekar silat muncul dari serambi rumah besar itu dan melangkah cepat menyambut Aji. Dari sikap dan wajah mereka, jelas tampak bahwa kedua orang itu merasa tidak senang dan menganggap kedatangan Aji seperti sebuah gangguan.
"Heh, ki sanak! Lancang benar kamu masuk ke pekarangan kami!" bentak seorang dari mereka yang berhudung pesek. "Siapa kamu yang berani masuk tanpa ijin ke sini?" bentak orang kedua yang berkumis tebal.
Keduanya memandang Aji dengan mata melotot galak. Aji tersenyum sabar dan sikapnya tenang saja. "Maafkan kalau kedatanganku ini mengganggu andika berdua. Aku datang berkunjung untuk bertemu dengan Raden Banuseta." Melihat pemuda itu tidak kelihatan gentar oleh sikap bengis mereka dan mendengar dia ingin bertemu dengan Raden Banuseta, dua orang itu saling pandang dan tiba-tiba sikap mereka berubah.
Si kumis tebal melintang bertanya, nada suaranya berbeda, menjadi ramah dan merendah, bahkan kalau tadinya menyebut kami kini andika. "Mohon tanya, siapakah nama andika dan apakah andika ini sahabat ketua kami Raden Banuseta?" Melihat perubahan sikap mereka, tahulah Aji dengan orang-orang macam apa dia berhadapan.
Orang-orang seperti ini biasanya suka menindas bawahan dan menjilat atasan! Kepada rakyat yang lemah mereka bertindak sewenang-wenang dengan kejam, akan tetapi kepada orang-orang yang lebih kuat atau lebih berkuasa, mereka menjilat dan mencari muka. "Aku bukan sahabat Raden Banuseta, akan tetapi aku mempunyai keperluan penting sekali untuk bertemu dan bicara dengan dia. Karena itu harap andika berdua suka melaporkan bahwa aku datang ingin bertemu dan bicara dengan dia."
Kembali dua orang itu saling pandang dan mereka bersikap ragu-ragu. "Dapatkah andika memberi tahu kepada kami siapa andika dan apakah keperluan dengan ketua kami itu, agar kami dapat melaporkannya kepada wakil ketua kami?" Tanya yang berhidung pesek.
"Kenapa kepada wakil ketua? Aku ingin bicara dengan Raden Banuseta, ketua perguruan Dadali Sakti."
"Ketua kami sedang pergi, akan tetapi marilah andika kami hadapkan kepada wakil ketua kami agar andika mendapatkan keterangan lebih jelas," kata si kumis tebal yang mulai menaruh curiga dan sengaja hendak membawa tamu itu menghadap wakil ketua sehingga atasannya itu yang akan mengambil keputusan. Aji yang memang bermaksud menyelidiki keadaan perguruan Dadali Sakti yang mempunyai nama buruk di Dermayu, yang kabarnya para anggotanya sudah bertindak sewenang-wenang, segera mengangguk menyetujui. Bukan hanya Raden Banuseta yang harus diselidiki dan ditentangnya, melainkan juga perguruan ini akan ditentangnya kalau memang benar suka bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata.
"Baiklah, mari kita menghadap wakil ketua kalian" katanya dan dia lalu mengikuti dua orang anggota Dadali Sakti itu memasuki rumah besar itu. Ternyata rumah itu memang luas sekali, memiliki banyak kamar dan lorong. Melalui lorong mereka menuju ke bagian belakang di mana terdapat sebuah ruangan berlatih pencak silat yang amat luas.
Pada saat mereka memasuki ruangan luas itu, tampak banyak orang berkumpul di situ. Aji melihat sekitar tiga puluh orang laki-laki yang sikapnya keras seperti dua orang yang mengawalnya, berpakaian seperti pendekar silat, duduk di atas lantai membentuk lingkaran luas. Dan di dalam lingkaran itu berdiri seorang laki-laki gemuk pendek, berusia kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya juga seperti yang biasa dipakai mereka yang menganggap dirinya jagoan atau pendekar silat. Biarpun pakaiannya gagah dan ada sebatang keris dengan warangka terukir indah terselip di pinggangnya, namun karena bentuk tubuhnya yang pendek gemuk itu, dia sama sekali tidak tampak gagah malah lucu menggelikan.
Di depan laki-laki pendek gendut itu berdiri seorang pemuda dan seorang gadis. Pemudanya berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya tampan, sedangkan gadis yang berdiri di sebelahnya dan selalu memegangi lengan kiri pemuda itu dengan kedua tangan, berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah manis dan tubuhnya indah bagaikan kembang yang sedang mekarnya. Akan tetapi ia tampak ketakutan, mukanya agak pucat dan ia tidak pernah melepaskan lengan pemuda itu seolah minta perlindungannya.
Pemuda itu juga bersikap tegang, akan tetapi tidak tampak takut, bahkan sinar matanya menyinarkan kemarahan. Aji melihat betapa dahi gadis itu masih jelas tampak bekas dicukur seperti biasa pada pengantin wanita, maka dia dapat menduga bahwa gadis itu belum lama melangsungkan pernikahannya, mungkin baru beberapa hari yang lalu. Hemm, agaknya mereka sepasang pengantin baru, pikirnya sambil mengamati dua orang muda yang berdiri di depan laki-laki gendut pendek yang mulutnya cemberut dan matanya melotot akan tetapi tidak tampak menyeramkan, melainkan tampak lucu seperti seorang badut sedang beraksi.
"Wakil ketua kami sedang sibuk, kita tunggu saja dan duduk di sini." kata si kumis tebal kepada Aji. Mereka berdua lalu duduk di luar lingkaran.
Aji juga duduk di atas lantai, bersila dan memperhatikan apa ang akan terjadi. "Ki sanak" terdengar pemuda itu berkata dengan suara lantang dan tabah. "Karena mendengar bahwa Dadali Sakti merupakan sebuah perguruan silat yang terkenal, maka kami memenuhi panggilan untuk datang ke sini pada hari ini. Akan tetapi mengapa kini kami dibawa ke ruangan ini, dikepung dan diperlakukan seperti orang-orang yang dihadapkan ke pengadilan?"
"Heh, bocah! Kamu yang bernama Sumanta, bukan? Nah, bukalah matamu dan ketahuilah bahwa aku adalah Raden Wiratma, wakil ketua dari Cabang Dadali Sakti di Dermayu ini! Jangan sebut aku ki sanak, apa kau kira aku ini masih sanak keluargamu? Sebut aku Raden, tahu?"
Si pendek gendut itu membentak dengan suara digalak-galakkan, namun tetap saja terdengar seperti orang merengek karena suaranya kecil dan serak. Dari sikap dan cara bicara pemuda dan wakil ketua Dadali Sakti itu saja jelaslah bagi Aji siapa di antara mereka yang baik dan buruk, siapa yang harus dibelanya dan siapa yang harus ditentangnya. "Baiklah, raden dan maaf, karena saya tidak tahu sebelumnya. Akan tetapi mengapa kami berdua dipanggil untuk datang ke sini dan apa artinya semua ini?"
"Aku mewakili Adimas Raden Banuseta ketua Dadali Sakti untuk mengadili kamu, Sumanta! Kamu telah berani mati merampas Sriyani menjadi isterimu, pada hal Adimas Raden Banuseta menaksirnya. Kamu telah mendahului dan mengawini wanita ini!" Si pendek gendut itu menudingkan telunjuknya ke arah wanita yang memegang erat lengan Sumanta.
"Kakang, mari kita pergi saja dari sini. aku takut..." Sriyani berbisik.
"Jangan takut, Yani. Kita tidak mempunyai kesalahan apapun, tidak ada yang perlu ditakuti." Sumanta menghibur isterinya, kemudian menghadapi Raden Wiratma dan berkata dengan suara tegas, "Raden Wiratma, saya sama sekali tidak merampas Sriyani dari siapapun. Saya menikahinya melalui pinangan orang tua saya dan kami menikah dengan sah. Saya tidak merasa bersalah."
"Huh! Adimas Raden Banuseta sudah menaksirnya, berarti Sriyani itu calon miliknya dan tidak ada yang boleh mengambilnya, siapapun juga, apalagi kamu!"
Sumanta menoleh kepada Sriyani, "Yani, benarkah Raden Banuseta menaksirmu dan engkau sudah menjadi calon miliknya?" tanyanya dengan suara lembut.
Sriyani mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Tidak, sama sekali tidak! Aku tidak pernah kenal siapa itu Raden Banuseta!"
Sumanta tersenyum lega dan memandang kepada Wakil Ketua Dadali Sakti. "Raden Wiratma, andika mendengar sendiri ucapan Sriyani." Raden Wiratma cemberut.
"Memang belum diminta secara resmi. Akan tetapi Adimas Raden Banuseta telah melihatnya dan merasa tertarik, menaksirnya dan ingin memilikinya."
Sumanta mengerutkan alisnya, hatinya merasa penasaran sekali. "Bagaimanapun juga, kenyataannya sekarang Sriyani telah menjadi isteri saya. Lalu apa maksud andika memanggil kami berdua ke sini?" tanyanya.
"Sumanta, Sriyani harus kau serahkan kepada Adimas Raden Banuseta!" kata Raden Wiratma dengan bentakan yang mengandung ancaman.
Mendengar ini saja, Aji sudah mengerutkan alis dan mengepal tangan. Sungguh bejat watak orang pendek gendut itu, pikirnya. Aturan mana itu ada seorang suami dipaksa harus menyerahkan isterinya kepada orang lain?
"Mana mungkin! Sriyani sudah menjadi istriku, tidak bisa ia menikah dengan orang lain!" bantah Sumanta yang mulai panas hatinya.
"Mungkin saja kalau ia sudah menjadi janda," kata si gendut pendek sambil menyeringai menjemukan dan matanya mengerling ke kanan kiri.
Sumanta terbelalak, marah sekali. "Apa maksudmu?" bentaknya. "Ia akan menjadi janda kalau kamu ceraikan ia." kata Raden Wiratma. "Tidak mungkin! Aku tidak mau menceraikan isteriku!"
"Kalau begitu ada jalan lain agar ia menjadi janda, yaitu kalau engkau mampus!"
Raden Wiratma tertawa, suara tawanya mengikik dan segera disusul tawa hampir semua orang yang berada di situ. Sumanta menjadi marah dan bertolak pinggang, menuruh isterinya berdiri di belakangnya. "Hemm, beginikah kegagahan orang-orang Dadali Sakti yang mengaku sebagai pendekar-pendkar? Memaksa orang menyerahkan isterinya dan kalau menolak lalu hendak dibunuh dengan pengeroyokan banyak anggotanya? Ini curang, pengecut dan memalukan sekali!"
Wakil Ketua Dadali Sakti yang pendek gendut itu terbelalak marah, telunjuk kanannya menuding ke arah muka Sumanta dan suaranya yang kecil itu terdengar semakin serak, "Sumanta! Tutup mulutmu! Untuk membunuh seekor cacing tidak perlu menggunakan banyak orang, bahkan tidak perlu aku turun tangan sendiri. Agaknya kamu ini jagoan Jatibarang, ya? Kami adalah para pendekar Dadali Sakti, kalau menantang orang tentu satu lawan satu."
Dia menoleh ke belakang dan berseru kepada seorang pembantunya yang dianggap paling tangguh di antara para anggauta Dadali Sakti. "Badrun, ke sini kau!" Yang dipanggil bangkit berdiri dan Aji melihat bahwa orang itu adalah seorang raksasa muda berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun. Agaknya orang itu sengaja hendak memamerkan tubuhnya karena dia tidak memakai baju sehingga dari batas pinggang ke atas tubuhnya telanjang. Tubuh yang berotot besar dan melingkar-lingkar, kedua lengannya panjang dan kokoh, dadanya bidang dan berbulu, tengkuknya tebal seperti berpunuk dan lehernya sepeti leher seekor banteng! Menyeramkan sekali orang ini dan Aji teringat akan Hendrik De Haan, jagoan raksasa bule yang pernah diadu dengan dia di kapal Kapten De Vos. Raksasa bernama Badrun ini sama besar dan kokoh kuatnya seperti Hendrik De Haan!
Bagaikan seekor biruang Badrun melangkah maju mendekati Raden Wiratma. "Apa yang harus saya lakukan, bapa guru?" tanya raksasa itu kepada Raden Wiratma. Memang dia murid wakil ketua ini, murid tersayang karena Badrun memang amat tangguh. Diperguruan itu, hanya Raden Wiratma dan Raden Banuseta saja yang melebihinya. Akan tetapi Raden Wiratma tidak menjawab melainkan memandang Sumanta sambil menyeringai penuh ejekan. "Bagaimana, Sumanta. Mau kamu menceraikan Sriyani atau kamu berani menandingi muridku Badrun ini?"
"Kang... jangan... aku takut, kang..." Sriyani yang berdiri di belakang suaminya mengeluh.
"Tenanglah, Yani, engkau isteriku, aku akan membelamu sampai mati!" Kemudian Sumanta lalu menghadapi Raden Wiratma dan raksasa itu, bertanya dan suaranya terdengar tetap tenang. "Kalau aku dapat memenangkan pertandingan ini, tentu andika akan membiarkan aku dan isteriku pulang, bukan?"
"Kamu menang? Heh-heh-heh...!" Raden Wiratma tertawa terkekeh, diikuti suara tawa semua anggauta Dadali Sakti. Bagi mereka menggelikan sekali mendengar pertanyaan Sumanta itu. Bagaimana mungkin Sumanta dapat mengalahkan Badrun? Pernah raksasa itu dikeroyok lima orang dan semua pengeroyoknya akhirnya roboh dengan tulang patah-patah.
"Jawablah, Raden Wiratma dan jangan berlaku curang. Kalau aku kalah, mungkin aku akan mati di sini dan isteriku menjadi janda. Akan tetapi bagaimana kalau aku keluar sebagai pemenang? Apakah aku boleh membawa istriku pergi dan pulang tanpa gangguan?"
Sambil masih tertawa, karena merasa betapa lucunya ucapan Sumanta itu, Raden Wiratma berkata. "Boleh...boleh, heh-heh, engkau akan mampus dan semua tulang di tubuhmu akan patah-patah, heh-heh." Kemudian si pendek gendut itu menoleh kepada muridnya yang seperti raksasa itu. "Badrun, habisi bocah ini!" Dan diapun mundur sampai ke lingkaran para anggota Dadali Sakti.
Sambil menyeringai lebar, Badrun menghampiri Sumanta. Tinggi dan besarnya satu setengan kali ukuran tubuh Sumanta dan dia tampak menggiriskan sekali. Sumanta dengan lembut mendorong pundak isterinya dan berkata. "Sriyani, engkau minggirlah dan jangan takut. Aku akan menandingi orang ini."
Sriyani mundur dan berkata lirih. "Kakang, kuharap engkau menang. Kalau engkau kalah dan mati, akupun tidak mau hidup lagi." Aji yang sejak tadi memperhatikan, melihat dan mendengar itu semua. Bahkan dia mendengar ketika Raden Wiratma berkata dengan bisikan kepada seorang anggota Dadali Sakti yang duduk di belakangnya.
"Engkau siap, kalau bocah itu roboh, cepat tangkap gadis itu dan jaga jangan sampai ia membunuh diri."
Hanya Aji yang mendengar bisikan itu. Sementara itu, Badrun sudah berhadapan dengan Sumanta, menyeringai lebar sehingga deretan giginya yang besar-besar tampak. "Heh, Sumanta bocah Jatibarang, sudah siapkah engkau menghadapi seranganku?"
"Aku sudah siap!" kata Sumanta tenang. Badrun memberi isyarat ke belakang dan terdengarlah bunyi terompet dan kendang bertalu-talu. Itulah bunyi gamelan kendang pencak yang biasa dimainkan para murid Dadali Sakti untuk mengiringi gerakan pencak silat kalau mereka sedang berlatih. Badrun yang tinggi besar itu mulai dengan gerakan pembukaan dan kembangan. Gerakannya gagah, diikuti suara berketipak-tipungnya kendang yang berirama keras.
Melihat ini, Sumanta yang juga seorang ahli pencak silat segera mengimbangi, membuat gerakan pembukaan dan kembangan yang indah. Mereka berdua bak dua ekor ayam jantan saling mengintai untuk mencari kesempatan memasukkan pukulan atau tendangan. Mereka membuat gerakan berkeliling, mengubah-ubah posisi, diikuti pandang mata semua anak buah Dadali Sakti.
Sriyani memandang dengan wajah pucat, penuh kekhawatiran akan keselamatan suaminya. Akan tetapi Aji yang mengikuti gerak-gerik mereka, merasa lega. dari gerakan kaki tangan mereka, Aji maklum bahwa Sumanta memiliki kemahiran pencak silat yang cukup tangguh.
"Aiiittt...!" Badrun tiba-tiba, menyerang dengan pukulan tangan kirinya yang menampar dari samping. Dengan lincahnya Sumanta mengelak ke belakang, akan tetapi kini pukulan tangan kanan Badrun menyusul, cepat dan kuat sekali. Tangan kanan yang terbuka itu, menghantam ke arah kepala Sumanta dari atas.
"Wuutt... dukk!" Sumanta menangkis dari samping sehingga dia memotong luncuran lengan lawan dari atas itu, bukan menangkis dan mengadu tenaga secara langsung. Hal ini menunjukkan kecerdikannya. Sumanta agaknya maklum akan tenaga lawan yang besar, maka dengan menagkis dari samping, dia tidak mengadu tenaga, melainkan memukul dari samping, sehingga lengan kanan Badrun terdorong ke samping, membuat tubuhnya agak terhuyung.
Sumanta tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi lawan terhuyung, Sumanta cepat menerjang ke depan dan menggunakan tangan kanannya memukul ke arah muka lawan. Pukulannya cukup kuat, membawa angin pukulan yang dahsyat. Badrun yang sedang terhuyung, tidak sempat mengelak, akan tetapi dia miringkan tubuhnya sehingga mukanya terlindung oleh pundak kirinya.
"Wuuuttt.... dessss!!" pundak atau pangkal lengan kiri Badrun menerima pukulan tangan Sumanta dan kembali tubuh raksasa itu terhuyung ke belakang, bahkan kini hampir saja dia terpelanting. Akan tetapi raksasa itu memiliki tubuh yang dilindungi kulit yang tebal dan kuat, memiliki kekebalan sehingga pukulan yang mengenai pangkal lengannya itu tidak membuatnya cidera, hanya terasa agak nyeri dan panas. Hatinya lebih panas lagi. Dia berhasil menegakkan lagi tubuhnya dan sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa kelaparan, dia menrejang maju, menghujani Sumanta dengan serangan bertubi-tubi.
Tidak percuma Badrun menjadi murid paling tangguh dari perguruan Dadali Sakti karena biarpun tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, namun dia dapat bergerak cepat sekali. diiringi bunyi kendang dan terompet, Badrun menjadi bersemangat dan kedua tangan dan kedua kakinya bergerak cepat menyambar-nyambar dan menghujankan serangan kepada lawannya. Namun ternyata Sumanta memiliki kelincahan dan ketangkasan. Semua serangan yang kuat dan cepat itu dapat dia hindarkan dengan elakan dan tangkisan.
Melihat gaya permainan pencak Sumanta, tahulah Aji bahwa gaya silat pemuda Jatibarang itu lebih ditekankan kepada pertahanan atau penjagaan diri sehingga pertahanannya rapat. Akan tetapi karena seluruh perhatian dicurahkan untuk bertahan, maka diapun tidak mempunyai banyak kesempatan untuk balas menyerang. Maka pertandingan itu tampaknya berat sebelah. Badrun menyerang terus-terusan sedangkan Sumanta hanya mengelak dan menangkis.
Hal ini menggembirakan para anggota Dadali Sakti karena tampaknya Badrun dapat mendesak lawannya. Bahkan anggota Dadali Sakti yang oleh Raden Wiratma ditugasi untuk menjaga Sriyani, sudah mulai mendekati dan duduk di belakang gadis yang masih berdiri itu, siap mencegah kalau gadis itu hendak membunuh diri setelah suaminya roboh.
Akan tetapi Aji sama sekali tidak merasa khawatir. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa selain pertahanan Sumanta amat kokoh kuat sukar ditembus oleh Badrun yang mulai berkeringat dan serangan-serangannya ngawur, juga Sumanta agaknya menanti kesempatan baik untuk membalas dengan serangan yang tepat. Dugaan Aji itu tepat sekali. Setelah Badrun mulai terengah dan berkeringat karena banyak mengerahkan tenaga yang terbuang percuma, dengan penasaran dan marah sekali tangan kanannya yang terkepal itu menghantam ke arah dagu Sumanta dari bawah.
Cepat dan kuat sekali pukulan ini dan seandainya mengenai dagu Sumanta, tentu pemuda itu akan roboh dengan tulang rahang patah-patah! Akan tetapi agaknya serangan ini membuka kesempatan bagi Sumanta. Dia mengelak dan ketika lengan kanan Badrun lewat dan terangkat, cepat sekali Sumanta memasukkan pukulan melalui bawah lengan kanan Badrun, menghantam dada yang kokoh kuat itu.
"Wuuuttt... dukkk!" Pukulan itu kuat sekali, akan tetapi tidak cukup kuat untuk merobohkan Badrun, hanya membuat raksasa itu hampir terjengkang dan mulutnya mengeluarkan seruan kaget. Saat itu, kaki kanan Sumanta menyambar ke arah perut raksasa itu. "Dessss...!!" Tak dapat dicegah lagi tubuh raksasa itu terpelanting.
Akan tetapi Badrun ternyata memiliki tubuh kuat. Biarpun hantaman pada dada disusul tendangan pada perutnya itu mendatangkan rasa nyeri yang cukup hebat, namun dia dapat bangun dengan cepat. Dadanya terasa nyeri dan perutnya mulas, akan tetapi hal ini membuat dia semakin marah dan tiba-tiba kaki kanannya mencuat dengan tendangan kilat. Sumanta yang melihat bahwa tendangan yang dilakukan sekuat tenaga itu sebetulnya goyah, tanda bahwa lawannya masih menderita akibat pukulan dan tendangannya tadi, cepat mengelak ke kiri dan cepat sekali tangan kanannya menangkap pergelangan kaki itu dari bawah lalu dengan sekuat tenaga dia mendorong ke atas.
"Hyaaaahhhh!!" Sumanta membentak dan tubuh Badrun terlempar ke atas jatuh bergedebugan menimpa teman-temannya sehingga ada lima orang ikut tertindih dan terbanting. Suasana menjadi kacau dan penabuh gamelan menghentikan permainan mereka karena semua anggota Dadali Sakti menjadi terkejut dan kecewa sekali melihat betapa jago mereka kalah mutlak karena setelah terbanting jatuh, Badrun tidak mampu bangkit lagi, melainkan duduk bersimpuh sambil gereng-gereng kesakitan.
Tiba-tiba Raden Wiratma yang gendut pendek itu bergerak maju menyerang Sumanta. Gerakannya luar biasa cepatnya. Mengherankan sekali bahwa tubuh yang pendek gendut itu dapat bergerak secepat itu. Sekali terjang, lengannya yang pendek bergerak dan tangan kanannya mencengkeram ke arah leher Sumanta, disusul tendangan ke arah bawah perut pemuda itu! Serangan ini selain cepat dan kuat, juga amat berbahaya karena keduanya merupakan serangan maut yang kalau mengenai sasaran akan mendatangkan kematian bagi Sumanta!
Pemuda itupun terkejut sekali karena diserang dengan kecepata kilat. Masih untung dia dapat cepat membuang diri ke belakang dan berjungkir balik dua kali sehingga serangan itu luput. Pada saat itu, anggauta Dadali Sakti yang ditugasi menangkap Sriyani, sudah bergerak, bangkit dan dari belakang dia memegang kedua lengan wanita muda itu. Sriyani terkejut, meronta dan menjerit.
"Eeiiihhh, lepaskan aku, lepaskan!" Akan tetapi bagaimana mungkin ia dapat melepaskan diri dari pegangan tangan yang amat kuat itu? Tiba-tiba kedua lengan pria yang memeganginya itu melepaskan kedua lengannya. Pria itu tiba-tiba merasa betapa kedua lengannya seperti lumpuh ketika ada orang menekan kedua pundaknya. Dia cepat membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang pemuda yang melakukan penekanan pada pundaknya itu. Pria itu marah akan tetapi Aji, pemuda itu, sudah menggerakkan tangan kirinya menampar.
"Plakkk!" Tamparan itu mengenai bawah telinga kanan dan pria itu roboh tersungkur dan tidak mampu bergerak lagi karena sudah pingsan! Pada saat itu, Raden Wiratma sudah mendesak Sumanta dengan serangan bertubi-tubi. Serangannya jauh lebih dahsyat dibandingkan serangan Badrun tadi. Sumanta berusaha mati-matian untuk menghindarkan diri dari desakan itu dengan mengelak dan menangkis. Akan tetapi tetap saja ketika tangkisannya meleset, tangan kiri Raden Wiratma yang mencengkeram ke arah leher Sumanta itu mengenai ujung pundak kanannya.
"Breeetttt...!" Baju bagian pundak itu robek berikut kulit ujung pundak sehingga mengeluarkan darah dan tubuh Sumanta terhuyung ke belakang.
Raden Wiratma terkekeh. "Heh-heh-heh, mampus kamu!" katanya dan dia melompat ke depan, tangan kanannya menghantam ke arah perut sumanta yang sedang terhuyung.
"Wuuuutttt... dukkkk!!" Raden Wiratma terkejut bukan main, menyeringai dan dengan tangan kirinya dia memegang dan mengelus-elus pergelangan tangan kanannya yang rasanya seperti patah. Nyeri kiut-miut sampai ke jantungnya. Dan didepannya telah berdiri seorang pemuda yang tadi menangkis pukulannya kepada Sumanta, pukulan yang akan mematikan lawannya itu. Pemuda itu adalah Aji yang cepat menolong Sumanta ketika melihat pemuda itu terancam bahaya maut.
"Keparat! Kalian curang, mengeroyok aku!" bentak Raden Wiratma sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Aji.
Aji menoleh kepada Sumanta. "Sobat, lindungilah isterimu." Mendengar ini Sumanta menghampiri isterinya yang segera merangkulnya. Lalu Aji menghadapi Raden Wiratma. "Siapakah yang curang dan tidak tahu malu? Kalian tadi mengajukan jago kalian Badrun untuk menandingi Sumanta dengan janji kalau Sumanta keluar sebagai pemenang kalian akan membebaskan suami isteri itu. Akan tetapi setelah Sumanta menang, engkau malah menyerangnya dan anak buahmu hendak menangkap isterimya. Hemm, beginikah watak orang-orang Dadali Sakti? Sudah kudengar bahwa kalian adalah orang-orang sombong yang suka memaksakan kehendak sendiri, melakukan penindasan dan ternyata memang benar! Kalian hendak membunuh Sumanta yang tak bersalah dan merampas isterinya! Mana dia Banuseta? Ketua kalian itu tentu luar biasa jahatnya maka memiliki anak buah yang begini keji!"
Raden Wiratma marah bukan main sehingga melupakan kenyerian lengannya. "Tangkap bocah ini! Bunuh dia!" bentaknya memberi isarat kepada para anak buah Dadali Sakti. Setelah memberi aba-aba ini, Raden Wiratma sendiri, seperti biasa watak orang-orang sombong yang selalu meremehkan orang lain, sudah mencabut kerisnya. Ternyata kerisnya itu terbuat dari sejenis besi yang warnanya hitam.
Aji mengerutkan alisnya. Besar sekali kemungkinannya bahwa keris hitam seperti itu adalah keris yang amat keji dan berbahaya. Orang ini kejam dan jahat sekali, pikir Aji. Entah sudah berapa banyak orang yang menjadi korban keris seperti itu di tangan orang sejahat ini. Maka begitu Raden Wiratma menubruk dan menghunjamkan keris itu ke arah perutnya, dengan gerakan ilmu silat Wanara Sakti tubuh Aji berkelebat ke samping dan melewati tubuh si gendut pendek, tahu-tahu sudah berada di belakang Wakil Ketua Dadali Sakti dan sekali dia menggerakkan kedua tangan yang dibuka dan dimiringkan, Aji telah memukul kedua pundak Raden Wiratma.
"Krekk! Krekk!! Aughhhh...!!" Tubuh pendek gendut itu roboh menelungkup tak bergerak lagi karena dia sudah pingsan dengan kedua tulang pundak remuk sama sekali! Andaikata dia dapat sembuh sekalipun, tidak mungkin dia dapat mengandalkan ilmu silat dan kekuatannya untuk melakukan penindasan kepada orang lain karena selain tulang kedua pundaknya, juga otot-otot kedua pangkal lengannya ikut rusak berat sehingga dia akan kehilangan kekuatan pada kedua lengannya.
Sementara itu, anak buah Dadali Sakti sudah menyerang Sumanta yang melindungi isterinya. Orang muda itu mengamuk dan karena para anggota Dadali Sakti menyerangnya dengan menggunakan senjata seperti golok, pedang atau keris, Sumanta juga mencabut kerisnya dan melakukan perlawanan mati-matian. Dia mengamuk, merobohkan beberapa orang pengeroyok dengan tendangan kedua kakinya, tamparan tangan kirinya dan tusukan keris di tangan kanannya. Aji melihat betapa Sumanta dikeroyok dan mengamuk.
Dia khawatir kalau dengan kerisnya Sumanta akan membunuh banyak orang, juga dia tahu bahwa keselamatan Sumanta dan isterinya tentu akan terancam, maka dia lalu melompat dan menggerakkan kaki tangannya. Begitu dia menyerang, empat orang pengeroyok berpelantingan sehingga mengejutkan para anggauta Dadali Sakti.
"Sumanta, cepat ajak pergi isterimu, tinggalkanlah Dermayu agar kalian dapat hidup tenteram!" kata Aji sambil terus mengamuk.
Setiap kali tangan atau kakinya bergerak, tentu ada seorang pengerook yang roboh dan tidak dapat bangun kembali. banyak yang patah tulang atau jatuh pingsan. Sumanta maklum akan maksud pemuda perkasa yang telah menolongnya itu.
"Siapakah nama andika, ki sanak?" tanyanya sambil melanjutkan amukannya.
"Aji, Lindu Aji. cepat, ajak isterimu pergi!" kata Aji.
"Terima kasih!" kata Sumanta dan dia segera menggandeng tangan Sriyani dengan tangan kiri, menariknya untuk diajak lari keluar dari rumah itu. Setiap ada anggota Dadali Sakti berani menghadang, dia lalu merobohkannya. Karena Sumanta tidak ragu-ragu merobohkan penghalang dengan kerisnya, maka dia dan isterinya dapat lolos. Para anggota Dadali Sakti kini mengeroyok Aji. Aji tetap berpegang kepada keyakinannya bahwa dia tidak boleh membunuh orang.
Dahulu, gurunya, Ki Tejo Budi, berulang kali menasehatinya bahwa membunuh orang merupakan dosa yang teramat besar. Dan dosa pembunuhan ini akan membawa akibat yang panjang, bahkan melibatkan karma keluarganya. Aji pernah bertanya kepada gurunya tentang pembunuhan yang dilakukan manusia terhadap manusia lain dalam perang. Ditanya begitu, kakek itu menghela napas panjang seperti orang yang merasa menyesal lalu berkata bahwa perang itu sendiri merupakan kesesatan diantara bangsa-bangsa manusia di dunia ini.
Perang timbul dari keangkara-murkaan manusia. Akan tetapi, setiap orang manusia memang mempunyai ikatan yang menimbulkan tugas-tugas kewajiban dalam ikatan itu. Seorang kawula terikat kepada Negara dan bangsanya. Tak dapat dihindarkan lagi, kalau Negara dan bangsanya perang dengan bangsa lain, dia berkewajiban untuk membela Negara dan bangsa, ikut berperang. Dan dia sudah terlibat dalam pergulatan antara membunuh dan dibunuh!
Pembunuhan di dalam perang merupakan akibat dari permusuhan antara Negara dan bangsa. Kalau dilakukan tanpa kebencian pribadi terhadap yang dibunuhnya, maka hal ini berlainan jauh sekali dari pembunuhan yang dilakukan karena dendam kebencian pribadi. Jadi pembunuhan itu hanyalah akibat dari keadaan hati seseorang, jelas bahwa pembunuhan dengan dasar berjuang membela Negara berbeda dari pembunuhan dengan dasar kebencian pribadi. Yang penting adalah keadaan hati seseorang.
Bagaimanapun juga, hidup matinya setiap orang berada di tangan Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Kalau Gusti Allah tidak menghendaki seseorang mati, seribu orang musuh sekalipun tidak akan mampu membunuhnya. Sebaliknya kalau kematian seseorang sudah dikehendaki Gusti Allah, gigitan seekor binatang kecilpun akan dapat membunuhnya. Yang penting, jangan sampai kebencian menguasai hatimu, karena kalau sudah begitu berarti engkau membiarkan dirimu dikuasai iblis yang dapat menyeretmu ke dalam perbuatan-perbuatan kejam seperti membunuh dan sebagainya.
Demikian antara lain wejangan mendiang Ki Tejo Budi yang selalu bergema dalam perasaan hati Aji. Karena itulah, menghadapi pengeroyokan hampir tiga puluh orang anggauta perguruan Dadali Sakti, Aji membatasi tenaganya. Dia tidak ingin membunuh mereka, hanya ingin memberi pelajaran agar orang-orang itu sadar akan kejahatan mereka dan dapat bertaubat. Biarpun para murid perguruan Dadali Sakti (Walet Sakti) itu memiliki ilmu silat Dadali Sakti dan mereka rata-rata memiliki gerakan yang gesit seperti burung walet, namun mereka masih terlampau lamban bagi Aji yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi.
Tubuhnya berkelebatan di antara mereka, membagi-bagi tamparan dan tendangan sehingga orang-orang yang mengeroyoknya itu berpelantingan dan bergelimpangan. Akhirnya, tidak ada seorangpun yang tertinggal. Semua roboh dan mengeluh kesakitan, ada yang kepalanya benjol, ada yang tangannya patah, ada yang dadanya sesak atau perutnya mulas. Ruangan yang luas itu kini penuh dengan para anggota Dadali Sakti yang malang melintang, ada yang rebah telentang, ada yang telungkup, ada yang berjongkok. Aji berdiri di tengah ruangan, memandang ke sekeliling. Kemudian dia berkata kepada mereka dengan suara tegas.
"Para anggota perguruan Dadali Sakti, dengarlah baik-baik! Kalian sekarang mendapat kenyataan dan pelajaran bahwa perbuatan jahat tidak menghasilkan akibat yang baik. Kalian menanam pohon dan buahnya akan kalian petik dan makan sendiri. Ngunduh wohing pakaryan (memetik buah perbuatan). Akan tetapi kalian hanya mencontoh pimpinan kalian. Karena itu, aku menganjurkan bahwa mulai sekarang agar kalian mengubah jalan hidup kalian. Kalian sekarang ditakuti orang-orang yang sebetulnya membenci kalian. Bukankah lebih baik kalau kalian dihormati orang-orang yang menyukai kalian? Bukankah lebih baik kalau perguruan Dadali Sakti dikenal sebagai tempat para pendekar pembela rakyat yang gagah perkasa daripada dikenal sebagai sarang gerombolan penjahat? Bertaubatlah dan sadarlah. Ingat, kalau lain hari aku lewat di sini dan melihat kalian masih juga melakukan perbuatan jahat, mengandalkan kekuatan melakukan penindasan kepada rakyat, aku akan menangkap kalian semua dan akan kuminta Gusti Pangeran Ratu di Cirebon untuk menghukum berat kalian!"
Mendengar ini, sebagian besar anggauta Dadali Sakti menundukkan muka dan menjadi gentar. Bahkan ada beberapa orang bersuara, "Kami bertaubat...!"
"Sekarang katakan di mana adanya Banuseta, ketua kalian!" kata Aji.
"Aku juga ingin bertemu dan menentang kejahatannya"
Para anggota Dadali Sakti saling pandang dan mereka menggeleng kepala, ada pula yang menjawab, "kami tidak tahu...!"
Aji melihat Wiratma, Wakil Ketua Dadali Sakti yang tadi jatuh pingsan kini sudah bergerak dan dibantu seorang anak buah dia sudah dapat duduk. Kedua lengannya seperti lumpuh, tak dapat digerakkan dan kedua pundaknya yang hancur tulangnya itu terasa nyeri bukan main. Aji lalu menghampirinya.
"Wiratma, aku terpaksa menghancurkan kedua pundakmu agar andika tidak mampu lagi melakukan kejahatan. Sekarang katakan, di mana adanya Banuseta?"
Wiratma yang masih merasa penasaran dan sakit hati, memandang pemuda itu penuh kebencian, lalu memaksa diri berkata, "Aku tidak tahu dia pergi ke mana. Akan tetapi kalau dia pulang dan melihat keadaan kami, dia pasti akan mencarimu dan membalaskan sakit hati kami!" Suaranya mengandung kebencian yang amat besar. Aji menghela napas panjang. "Gusti Allah Maha Kasih. Kita boleh menanam buah sesuka kita, Wiratma. Kalau andika bertekad melanjutkan kebiasaanmu menanam pohon beracun, maka andika sendiri yang akan memetik dan memakan buah beracun. Kalau Banuseta hendak membalas dendam kepadaku, boleh dia mencari, aku siap menghadapinya!"
"Katakan di mana engkau tinggal agar dia dapat mencarimu nanti!" kata pula Wiratma sambil menahan rasa nyeri di kedua pundaknya. Aji berpikir sejenak. Di mana dia akan tinggal? Tidak di rumah Ki Subali, atau di rumah siapa saja karena tuan rumah tentu akan terlibat kalau terjadi perkelahian antara dia dan Banuseta. Tiba-tiba dia teringat bahwa dia akan pergi mencari guru Sulastri yang menurut Ki Subali tinggal di pantai laut dan bernama Ki Ageng Pasisiran.
"Aku akan pergi ke pantai laut, mencari padepokan Ki Ageng Pasisiran. Kalau Banuseta mencariku, suruh dia mencariku ke pantai laut."
Setelah berkata demikian, Aji lalu meninggalkan rumah besar itu. Ketika dia keluar, banyak orang yang kebetulan berada di jalan depan rumah itu, memandangnya dengan mata bertanya-tanya. Mereka tadi mendengar teriakan-teriakan perkelahian yang keluar dari rumah perguruan Dadali Sakti itu. Biarpun mereka merasa heran dan ingin tahu, namun tak seorangpun berani masuk pekarangan itu. Mereka sudah mengenal kebengisan orang-orang Dadali Sakti. Aji tidak memperhatikan orang-orang itu. Dia lalu keluar dari Dermayu dan menuju ke pantai laut sebelah utara.
Pondok di pesisir pantai Laut Utara itu tampak sepi. Ki Ageng Pasisiran memang memilih bagian pantai yang sepi, yang tidak pernah didatangi nelayan sehingga kakek yang usianya sudah delapan puluh lima tahun lebih itu dapat menikmati keheningan alam yang penuh damai. Pada siang hari itu, Ki Ageng Pasisiran yang dahulunya bernama Ki Tejo Langit, duduk bersila di atas sebuah dipan bambu dan di depannya duduk Ki Sudrajat yang berusia lima puluh tahun lebih.
Ki Ageng pasisiran sebenarnya adalah Ki Tejo Langit, kakak seperguruan mendiang Ki Tejo Budi dan Ki Sudrajat adalah anak kandung Ki Tejo Budi yang sejak berusia empat tahun ditinggalkan ayah kandungnya dan hidup sebagai anak angkat Ki Tejo Langit. Mereka berdua duduk berhadapan tanpa bersuara. Ki Ageng Pasisiran yang sudah tua renta itu berulang-ulang menghela napas panjang dan beberapa kali dia menatap wajah Ki Sudrajat.
Ki Sudrajat sejak tadi diam-diam memperhatikan keadaan ayah angkat yang juga uwanya dan gurunya itu, merasa bahwa orang tua itu sedang memikirkan sesuatu yang membuat hatinya gundah. Dan dia merasa pula betapa kakek itu ingin sekali bicara dengannya, akan tetapi agaknya ragu-ragu. Sejak pagi tadi keadaan Ki Ageng Pasisiran seperti itu. Akhirnya Ki Sudrajat tidak dapat menahan hatinya lagi dan dia berkata lembut dan hati-hati.
"Bapa, sejak tadi saya melihat bapa seperti gelisah dan hendak mengatakan sesuatu kepada saya. Kenapa bapa meragu? Kalau ada sesuatu yang mengganjal hati bapa, katakanlah kepada saya, dan sebelumnya saya mohon ampun kalau sekiranya saya mempunyai kesalahan yang membuat bapa menjadi berduka."
Mendengar ucapan Ki Sudrajat itu, Ki Ageng Pasisiran mengerutkan alisnya yang sudah putih semua. "Oohh, anakku Ajat! Betapa baiknya engkau, nak, betapa penuh pengertian, rendah hati dan penyabar, seperti ayah kandungmu. Mendiang ibu kandungmu juga seorang yang baik hati. Oh, kalau aku ingat semua, makin terasa olehku betapa hanya akulah orang yang amat jahat, hamba nafsuku sendiri yang tidak boleh diampuni..."
Ki Sudrajat menatap wajah ayah angkatnya dan dia merasa terkejut, juga heran melihat betapa sepasang mata tua itu basah! Ayah angkatnya, gurunya yang bijaksana itu, menangis dalam hatinya! "Aduh, bapa. Apakah yang bapa maksudkan dengan ucapan itu?"
Setelah mengejap-ngejapkan mata beberapa kali sehingga dua tetes air mata turun di pipinya dan segera diusapnya, dan menghela napas panjang, dia berkata, "Ajat, terus terang saja selama bertahun-tahun ini, bahkan semenjak ibumu meninggal dunia dan aku pindah ke sini, setiap hari aku menderita tekanan batin yang berat sekali dan aku tidak ada keberanian untuk menceritakannya kepadamu. Padahal aku tahu bahwa pengakuan kepadamu sajalah yang akan mencairkan gumpalan yang menekan hatiku, akan tetapi aku... aku takut, Ajat, aku takut..."
"Ada apakah, bapa? Saya baru datang malam tadi. Apakah kedatangan saya ini yang mengganggu bapa? Atau... barang kali anak saya Jatmika yang membuat bapa tidak senang?"
Kakek itu menggeleng kepala dan menggoyang tangan kanan dengan cepat. "Sama sekali tidak. Aku bahkan girang melihat engkau datang. Juga Jatmika tidak melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan hatiku. Anak itu ingin merantau untuk meluaskan pengetahuan dan pengalaman. Hal itu baik sekali dan aku merestuinya. Tidak ada apa-apa dengan kalian. Kalian adalah anakku dan cucuku yang baik, tidak seperti aku..."
"Bapa, bagi saya dan anak saya, bapa adalah seorang yang paling baik, bijaksana dan penuh kasih sayang kepada kami. Kami tidak tahu bagaimana dapat membalas semua budi kebaikan bapa tehadap kami."
"Uh-uhh... engkau tidak tahu, Ajat. engkau tidak tahu. Karena itu aku harus menceritakan semuanya kepadamu sebelum aku mati agar aku dapat minta ampun kepadamu. Juga kepada ibumu aku sudah minta ampun dan wanita bijaksana itu telah lama mengampuni aku. Akan tetapi kalau belum mendapatkan pengampunan darimu, aku tidak akan dapat mati dengan mata terpejam, anakku..."
Ki Sudrajat yang biasanya amat tenang itu, terkejut bukan main. Dia terbelalak memandang wajah ayah angkatnya yang baru sekarang dia lihat betapa wajah itu kini tampak tua sekali. "Bapa, mohon jangan berkata seperti itu!" dia berkata setengah berteriak karena dia benar-benar tekejut mendengar ucapan Ki Ageng Pasisiran. Kakek itu tersenyum.
"Duh Gusti! Ingin aku melihat sikapmu nanti setelah mendengarkan pengakuanku. Ajat, coba engkau ingat-ingat, apa yang masih dapat kau ingat tentang bapa kandungmu, Adimas Tejo Budi? Ceritakan sejujurmu."
Ki Sudrajat merasa heran mengapa ayah angkatnya menanyakan hal itu, akan tetapi dia mengingat-ingat. "Saya tidak ingat banyak tentang Bapa Tejo Budi, bapa. Bahkan wajah beliaupun saya telah lupa. Yang saya tahu, seperti seringkali menjadi jawaban ibu dahulu kalau saya tanya, bapa Tejo Budi meninggalkan ibu dan saya, dan kami berdua lalu hidup bersama bapa."
Kakek itu mengangguk angguk, menghela napas lagi. "Tahukah engkau mengapa Adimas tejo budi meninggalkan engkau dan ibumu?"
Ki Sudrajat menggeleng kepalanya. "Mendiang ibu dahulu juga tidak pernah memberi penjelasan, hanya menggeleng kepala menyatakan tidak tahu kalau hal itu saya tanyakan. Akan tetapi, sekarang saya tidak ingin mengetahui hal yang sudah lama terjadi itu, bapa. Tidak perlu kiranya bapa ceritakan kalau hal itu hanya mendatangkan kesedihan bagi bapa."
"Hemm, justeru aku harus menceritakan hal ini kepadamu sebelum aku mati, anakku, sebagai pengakuan dosaku kepada Gusti Allah dan juga kepadamu. Nah, dengarlah baik-baik, anakku Sudrajat."
Sudrajat menundukkan mukanya dan mendengarkan penuh perhatian ketika Ki Ageng Pasisiran bercerita dengan suara lirih dan mengandung penuh penyesalan dan kedukaan. Dahulu, hampir lima puluh tahun yang lalu, ketika Ki Ageng pasisiran masih bernama Ki Tejo Langit dan dia berusia sekitar tiga puluh tahun, gagah perkasa dan terkenal sebagai seorang pendekar budiman, pada suatu hari berkunjung ke rumah adik seperguruannya, yaitu Ki Tejo Budi. Ki Tejo Budi bertempat tinggal di dusun Cihara yang berada di pantai Laut Kidul, sebelah barat sungai Cimandur. Ki Tejo Budi berusia tiga puluh tahun dan hidup sebagai petani dan nelayan, hidup bersama isterinya yang cantik bernama Lasmini dan seorang putera tunggalnya bernama Sudrajat yang ketika itu baru berusia empat tahun. Kunjungan Ki Tejo Langit disambut hangat oleh Ki Tejo Budi dan isterinya, Lasmini. Lasmini merasa kagum sekali akan kegagahan Ki Tejo Langit yang menceritakan tentang semua sepak terjang dan pengalamannya sebagai seorang pendekar.
"Aku tinggal di rumah ayah dan ibumu dan merasa senang sekali. selain ayahmu amat baik kepadaku, juga ibumu melayani aku dengan manis budi. Dan tiga hari kemudian... pada malam itu... ahh, iblis telah menyusup masuk menguasai hatiku melalui nafsu birahiku sendiri... membuat aku menjadi mata gelap... dan... dan terjadilah hubungan zina antara aku dan ibumu.. ! Ah, kalau mengenang semua itu, betapa malu dan besar penyesalanku...!"
Suara kakek itu menggetar dan dia memejamkan kedua matanya. Sudrajat mengerutkan alisnya dan mukanya berubah kemerahan. Sejenak ia mengangkat muka memandang wajah bapa angkatnya dengan heran dan ada penyesalan membayang dalam sinar matanya. Akan tetapi melihat keadaan ayah angkat dan juga gurunya yang memejamkan mata, tampak demikian tua dan berduka, Ki Sudrajat menundukkan mukanya kembali. "Bapa, semua itu sudah lama berlalu..." katanya lirih, menghibur.
"Aku berdosa, Ajat... aku bersalah besar terhadap Adimas Tejo budi..."
"Akan tetapi, bapa. Bukan kesalahan bapa sendiri, akan tetapi... mendiang ibu juga bersalah..."
"Tidak! Tidak, Ajat. Ibumu wanita yang bersih dan baik. Memang ia tertarik dan kagum kepadaku waktu itu, akan tetapi aku tahu bahwa sampai matipun ia tidak akan mengkhianati suaminya, tidak akan sudi menyeleweng dengan laki-laki lain. Ia tidak akan sudi berhubungan zina dengan aku kalau saja aku... aku... tidak mempergunakan Aji Pengasihan Sambung Sih...! Nah, lega rasa hatiku sudah mengeluarkan ini semua kepadamu."
Kakek itu membuka mata memandang Ki Sudrajat yang masih menundukkan mukanya. "Heii, engkau masih diam saja? Masih belum marah kepadaku? Nah, dengarlah kelanjutan ceritaku agar engkau mengetahui akan semua kerendahan budiku. Setelah hal itu terjadi, Adimas Tejo Budi mengetahui. Kami bertengkar dan terjadi perkelahian antara kami. Kami setingkat dan seimbang. Entah apa akan jadinya dengan perkelahian itu kalau tidak datang Kakangmas Tejo Wening yang melerai kami sehingga mendiang kakak seperguruan kami itu terluka. Kami didamaikan dan... dan bapa kandungmu itu, Adimas Tejo Budi, mengalah, rela meninggalkan engkau dan ibumu, menyerahkan ibumu menjadi isteriku dan engkau menjadi anakku. Nah, sekarang engkau tahu betapa hina dan kotor bapa angkat dan gurumu ini, Ajat!" Kakek itu memandang kepada Ki Sudrajat yang masih duduk diam sambil menundukkan mukanya. "Hayo, Ajat, beri tanggapan! Katakan sesuatu, jangan diam saja!"
Ki Sudrajat mengangkat mukanya. Dua pasang mata bertemu pandang. "Apa yang dapat saya katakan, bapa? semua itu sudah berlalu selama puluhan tahun."
"Apa? Engkau tidak marah? Aku telah merusak pagar ayu, menghancurkan kebahagiaan ayah kandungmu dan engkau tidak marah? Engkau mau mengampuni dosaku?"
"Saya tidak marah, bapa, karena saya melihat betapa selama ini bapa sangat baik terhadap mendiang ibu dan saya. Dan tentang pengampunan, saya kira saya tidak berhak, Hanya Gusti Allah saja yang berhak mengampuni semua dosanya dan sungguh-sungguh bertaubat. Bukankah demikian apa yang bapa ajarkan kepada saya selama ini?"
"Aduh, Ajat..." kakek itu menangis. "Sikap dan kata-katamu menusuk-nusuk hatiku. Aku akan lebih senang dan lega kalau engkau bangkit dan membunuh aku untuk menebus dosaku. Aduh, Ajat...!"
Ki Sudrajat menjadi terharu. Dia bangkit dan menghampiri kakek itu. "Bapa tetap merupakan seorang ayah yang baik bagi saya..."
" Ajat. mendekatlah biarkan aku merangkulmu...!"
Ajat atau Ki Sudrajat mendekat dan kakek itu lalu merangkulnya. Mereka berangkulan.
"Assalamu alaikum...!"
Kakek dan anak angkatnya itu saling melepaskan rangkulan dan menoleh ke arah pintu dari mana salam itu terdengar.
"Alaikum salam...!" Ki Sudrajat membalas salam itu dan bangkit lalu melangkah ke pintu depan, membuka pintu dan melihat seorang pemuda berdiri di depan pondok. Dia mengamati penuh perhatian. Pemuda itu masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya, sebaya dengan putera tunggalnya Jatmika. Akan tetapi pemuda ini bukan Jatmika biarpun sama tampan dan gagahnya. Pemuda yang jangkung tegap, berpakaian dan bersikap sederhana, sinar matanya lembut penuh pengertian. Pemuda itu adalah Lindu Aji.
Melihat munculnya seorang pria setengah tua yang bertubuh sedang, sikapnya tenang dan sinar matanya tajam, Aji cepat membungkuk dengan hormat. "Mohon maaf sebanyaknya kalau kunjungan saya ini mengganggu, paman. Nama saya Lindu Aji dan saya ingin bertanya apakah benar pondok ini padepokan Ki Ageng Pasisiran?"
Melihat sikap dan cara bicara Aji yang sopan, seketika Ki Sudrajat merasa suka dan tertarik. "Benar sekali, anakmas, ini memang padepokan Ki Ageng Pasisiran. Mengapa andika bertanya?"
"Maaf, paman. Kalau sekiranya diperkenankan, saya ingin sekali menghadap beliau untuk membicarakan hal yang amat penting."
"Akan tetapi, kalau Sulastri selamat, semoga Gusti Allah mengampuni kami dan menyelamatkan anakku, lalu di mana ia berada? kenapa ia menghilang tanpa meninggalkan jejak?" tanya Nyi Subali yang kini telah menjadi tenang akibat ucapan-ucapan Aji dan Ki Subali.
"Memang terjadi keanehan, kanjeng bibi. Saya sendiri juga merasa heran dan sama sekali tidak mengerti ke mana Nimas sulastri pergi. Akan tetapi, saya yakin bahwa ia selamat dan mungkin saja ada orang telah menyelamatkannya lalu ia pergi bersama penolongnya itu." Kata Aji.
"Mudah-mudahan dugaanmu itu benar, Anakmas Aji," kata Ki Subali penuh harapan.
"Kanjeng paman, saya ingin menanyakan sesuatu kepada paman."
"Silakan, apa yang ingin andika ketahui?"
"Saya mendengar dari Nimas Sulastri bahwa gurunya bernama Ki ageng Pasisiran. di manakah beliau itu?"
"Ki Ageng Pasisiran tinggal di sebuah pondok di pantai laut. mengapa andika tanyakan hal itu?"
"Begini, paman. Saya melihat ada aji pukulan yang dilakukan Nimas Sulastri, dan aji pukulan itu saya kenal baik. Karena itu saya ingin bertemu dengan Ki Ageng Pasisiran itu. Biarlah nanti saya mencarinya di pantai. Sebuah pertanyaan lagi, paman. Apakah paman mengenal seorang yang bernama Raden Banuseta, yang merupakan seorang tokoh persilatan terkenal di kerajaan Galuh."
"Raden Banuseta? Tentu saja mengetahuinya, anakmas. Dia adalah ketua cabang perguruan Dadali Sakti di Dermayu. Dulu, ketika Sulastri merengek minta belajar silat, hendak kumasukkan di perguruan silat Dadali Sakti, akan tetapi anak itu tidak mau dan berkeras minta agar menjadi murid Ki Ageng Pasisiran."
Berdebar rasa jantung Aji mendengar ini. "Kanjeng paman mengenalnya?"
"Tidak mengenal secara pribadi, anakmas. Aku tidak suka berkenalan dengan orang yang namanya dikabarkan sebagai orang yang tidak pantas kujadikan sahabat."
"Ah, bagaimana kabarnya tentang Raden banuseta itu, kanjeng paman?"
"Dia terkenal angkuh dan sombong, suka mengandalkan kedigdayaannya dan bertindak sewenang-wenang, mengandalkan kedudukannya sebagai putera bangsawan. Kabarnya dia juga laki-laki mata keranjang yang suka merusak pagar ayu mengganggu anak bini orang. Dan itu masih belum seberapa, belakangan ini aku mendengar desas desus bahwa dia berhubungan akrab dengan Kumpeni Belanda."
"Hemm, benarkah itu?"
"Belum ada bukti nyata, akan tetapi ketika ada kapal Belanda mengadakan pesta, diapun termasuk salah seorang yang datang sebagai tamu undangan. Sejak itu didesas desuskan bahwa Raden Banuseta itu membantu Kumpeni Belanda, atau setidaknya ada hubungan dengan mereka."
Girang hati Aji mendengar ini. Ternyata Raden Banuseta adalah seorang yang tersesat. Selain angkuh dan sombong, suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kedigdayaan dan kedudukannya sebagai putera bangsawan, mata keranjang dan suka merusak pagerayu, juga dicurigai sebagai pembantu Kumpeni Belanda. Alasan ini cukup baginya untuk menentang orang yang telah membunuh ayah kandungnya itu! Dia masih ingat akan ajaran Ki Tejo Budi. Dia tidak akan membalas dendam kematian ayahnya, melainkan dia akan menentang Raden Banuseta karena kejahatannya.
"Kanjeng paman, di manakah rumah perguruan Dadali Sakti itu?"
"Di ujung jalan besar kota ini, dekat gapura kota. Rumahnya besar dan pekarangannya luas. Semua orang tahu di mana rumah perguruan Dadali Sakti itu." kata Ki Subali, sama sekali tidak tahu apa yang berada dalam hati Aji. "Sekarang saya hendak mohon diri, kanjeng paman dan kanjeng bibi. Saya berjanji akan mencari keterangan tentang Nimas Sulastri, dan kalau sudah berhasil, akan saya kabarkan ke sini."
"Baik dan terima kasih atas semua berita yang andika bawa tentang anak kami, juga terima kasih sebelumnya bahwa andika akan mencarinya." kata Ki Subali.
Aji bangkit, memberi hormat lalu meninggalkan rumah orang tua Sulastri itu. dari situ dia langsung pergi mencari rumah perguruan Dadali Sakti. Akan tetapi baru belasan langkah dia meninggalkan rumah keluarga Ki Subali, dia teringat akan pedang Nogo Wilis milik Sulastri yang masih dia bawa. Pedang itu sudah tidak ada sarungnya, dan hanya dia libat dengan kain dan dia selipkan di pinggangnya. teringat akan ini, dia segera memutar tubuhnya dan kembali ke rumah Ki Subali. Suami isteri itu masih beriri di serambi depan, masih termenung memikirkan anak mereka. Melihat pemuda itu datang lagi, mereka menyambut.
"Andika kembali lagi, ada berita apa lagi, anakmas?" tanya Ki Subali penuh harap.
Aji menghela napas, merasa iba kepada orang tua itu yang tentu saja merasa amat gelisah dan kehilangan puterinya tersayang itu. Dia mencabut pedang yang terbungkus kain itu lalu menyerahkan kepada Ki Subali sambil berkata, "Kanjeng paman, saya tadi lupa untuk menyerahkan pedang ini kepada paman. Terima pedang ini dan simpanlah, paman. Ini adalah pedang milik Nimas Sulastri."
Ki Subali menerima bungkusan pedang itu. "Apakah andika tidak memerlukannya, anakmas? Kalau andika memerlukannya, bawa dan pakailah dulu."
"Terima kasih, paman. Saya tidak memerlukannya. Sebaiknya paman simpan saja dan paman berikan kembali kepada Nimas Sulastri kalau ia pulang. Permisi, kanjeng paman dan kanjeng bibi."
Aji berpamit lalu melangkah keluar lagi. Kini dia melangkah cepat menuju ke ujung jalan besar kota Dermayu. Setelah tampak pintu gerbang, dia bertanya kepada seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang dia jumpai di jalan. "Maafkan saya, paman. Saya hendak bertanya." Laki-laki itu memandang kepadanya dan tersenyum.
"Orang muda, apakah yang hendak kautanyakan? Wajahmu tampak demikian gembira! Tentu perkara baik yang akan kau tanyakan padaku."
Diam-diam Aji terkejut. Dia berwajah gembira? Apa yang menggembirakan hatinya? Dia termangu, lalu berkata, "Saya hendak bertanya di mana rumah perguruan Dadali Sakti, paman?"
"Ah, perguruan Dadali Sakti?" Tiba-tiba wajah orang itu tampak muram, alisnya berkerut dan pandang matanya tidak senang. "Kiranya andika orang Dadali Sakti?"
Aji menggeleng kepalanya. "Kalau saya orang Dadali Sakti, tentu tidak akan bertanya di mana rumah perguruan itu, paman."
"Hemm, akan tetapi andika hendak berkunjung ke sana tentu sahabat perguruan itu. Di sana tempatnya, itu yang pekarangannya luas."
Setelah berkata demikian, dengan muka membayangkan ketidak senangan hatinya, orang itu cepat melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Aji. Aji masih berdiri termenung. Yang teringat olehnya dan masih berdengung dalam pendengarannya adalah ucapan orang tadi yang mengatakan betapa wajahnya tampak amat gembira! Kini harus diakuinya bahwa memang hatinya gembira sekali. Mengapa? Dia bertanya kepada diri sendiri dan dia menyadari bahwa kegembiraannya itu timbul ketika mendengar bahwa Raden Banuseta adalah orang jahat, bahkan mungkin menjadi antek Kumpeni. Dengan demikian, maka terdapat alasan untuk menentangnya, bahkan membunuhnya!
Pada hal, keinginan ini memang selalu bersembunyi di dalam kalbunya, keinginan untuk membunuh Raden Banuseta, keinginan yang timbul karena dendam sakit hati, karena ayahnya telah dibunuh Raden Banuseta! Menyadari akan hal ini, Aji tertegun! Lalu ia memejamkan mata, hatinya berbisik, "Duh Gusti, ampuni kiranya hati hamba yang lemah ini, yang dicemari dendam kebencian. Duh eyang Tejo Budi, ampuni murig eyang ini."
Setelah menenangkan perasaannya, Aji membuka matanya dan memandang ke arah rumah berpekarangan besar yang ditunjuk orang tadi. Kini hatinya menjadi tenang, perasaan gembira yang menyembunyikan dendam itupun tak terasa lagi. Dengan tenang dia melangkah menuju ke rumah besar yang berpekarangan luas itu. Kini dia yakin apa yang akan dilakukannya. Tidak, dia tidak sudi dipengaruhi dendam sakit hati karena terbunuhnya ayah kandungnya oleh Raden Banuseta. Dia tahu bahwa ayahnya dahulu juga membunuh ayah Raden Banuseta karena bangsawan itu menculik dan memperkosa isteri pertama ayahnya sehingga wanita itu membunuh diri.
Dendam mendendam, balas membalas yang tiada berkesudahan! Dia tidak boleh menambah mata rantai baru pada untaian mata rantai karma itu. Rantai balas membalas itu akan putus kalau dia tidak mendendam dan membenci. Dia akan menghadapi Raden Banuseta untuk menentang kejahatannya, bukan untuk membalas dendam. Di pintu pagar pekarangan itu dia berhenti. Di pekarangan itu tumbuh sebatang pohon jambu dan sebuah papan yang cukup lebar tergantung di dahan pohon.
Papan itu warna dasarnya putih dan ada lukisan sepasang burung dadali (wallet) hitam sedang bertarung di udara. Lukisan sepasang burung itu indah sekali dan di bawahnya terdapat tulisan PERGURUAN SILAT DADALI SAKTI. Tidak salah lagi, inilah rumah perkumpulan Dadali Sakti itu dan Raden Banuseta adalah ketuanya.
Dengan sikap tenang dia lalu mendorong pintu pagar itu sehingga terbuka dan dia melangkah memasuki pekarangan. Dua orang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, keduanya bertubuh tinggi besar dan berpakaian ringkas seperti yang biasa dipakai para pendekar silat muncul dari serambi rumah besar itu dan melangkah cepat menyambut Aji. Dari sikap dan wajah mereka, jelas tampak bahwa kedua orang itu merasa tidak senang dan menganggap kedatangan Aji seperti sebuah gangguan.
"Heh, ki sanak! Lancang benar kamu masuk ke pekarangan kami!" bentak seorang dari mereka yang berhudung pesek. "Siapa kamu yang berani masuk tanpa ijin ke sini?" bentak orang kedua yang berkumis tebal.
Keduanya memandang Aji dengan mata melotot galak. Aji tersenyum sabar dan sikapnya tenang saja. "Maafkan kalau kedatanganku ini mengganggu andika berdua. Aku datang berkunjung untuk bertemu dengan Raden Banuseta." Melihat pemuda itu tidak kelihatan gentar oleh sikap bengis mereka dan mendengar dia ingin bertemu dengan Raden Banuseta, dua orang itu saling pandang dan tiba-tiba sikap mereka berubah.
Si kumis tebal melintang bertanya, nada suaranya berbeda, menjadi ramah dan merendah, bahkan kalau tadinya menyebut kami kini andika. "Mohon tanya, siapakah nama andika dan apakah andika ini sahabat ketua kami Raden Banuseta?" Melihat perubahan sikap mereka, tahulah Aji dengan orang-orang macam apa dia berhadapan.
Orang-orang seperti ini biasanya suka menindas bawahan dan menjilat atasan! Kepada rakyat yang lemah mereka bertindak sewenang-wenang dengan kejam, akan tetapi kepada orang-orang yang lebih kuat atau lebih berkuasa, mereka menjilat dan mencari muka. "Aku bukan sahabat Raden Banuseta, akan tetapi aku mempunyai keperluan penting sekali untuk bertemu dan bicara dengan dia. Karena itu harap andika berdua suka melaporkan bahwa aku datang ingin bertemu dan bicara dengan dia."
Kembali dua orang itu saling pandang dan mereka bersikap ragu-ragu. "Dapatkah andika memberi tahu kepada kami siapa andika dan apakah keperluan dengan ketua kami itu, agar kami dapat melaporkannya kepada wakil ketua kami?" Tanya yang berhidung pesek.
"Kenapa kepada wakil ketua? Aku ingin bicara dengan Raden Banuseta, ketua perguruan Dadali Sakti."
"Ketua kami sedang pergi, akan tetapi marilah andika kami hadapkan kepada wakil ketua kami agar andika mendapatkan keterangan lebih jelas," kata si kumis tebal yang mulai menaruh curiga dan sengaja hendak membawa tamu itu menghadap wakil ketua sehingga atasannya itu yang akan mengambil keputusan. Aji yang memang bermaksud menyelidiki keadaan perguruan Dadali Sakti yang mempunyai nama buruk di Dermayu, yang kabarnya para anggotanya sudah bertindak sewenang-wenang, segera mengangguk menyetujui. Bukan hanya Raden Banuseta yang harus diselidiki dan ditentangnya, melainkan juga perguruan ini akan ditentangnya kalau memang benar suka bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata.
"Baiklah, mari kita menghadap wakil ketua kalian" katanya dan dia lalu mengikuti dua orang anggota Dadali Sakti itu memasuki rumah besar itu. Ternyata rumah itu memang luas sekali, memiliki banyak kamar dan lorong. Melalui lorong mereka menuju ke bagian belakang di mana terdapat sebuah ruangan berlatih pencak silat yang amat luas.
Pada saat mereka memasuki ruangan luas itu, tampak banyak orang berkumpul di situ. Aji melihat sekitar tiga puluh orang laki-laki yang sikapnya keras seperti dua orang yang mengawalnya, berpakaian seperti pendekar silat, duduk di atas lantai membentuk lingkaran luas. Dan di dalam lingkaran itu berdiri seorang laki-laki gemuk pendek, berusia kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya juga seperti yang biasa dipakai mereka yang menganggap dirinya jagoan atau pendekar silat. Biarpun pakaiannya gagah dan ada sebatang keris dengan warangka terukir indah terselip di pinggangnya, namun karena bentuk tubuhnya yang pendek gemuk itu, dia sama sekali tidak tampak gagah malah lucu menggelikan.
Di depan laki-laki pendek gendut itu berdiri seorang pemuda dan seorang gadis. Pemudanya berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya tampan, sedangkan gadis yang berdiri di sebelahnya dan selalu memegangi lengan kiri pemuda itu dengan kedua tangan, berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah manis dan tubuhnya indah bagaikan kembang yang sedang mekarnya. Akan tetapi ia tampak ketakutan, mukanya agak pucat dan ia tidak pernah melepaskan lengan pemuda itu seolah minta perlindungannya.
Pemuda itu juga bersikap tegang, akan tetapi tidak tampak takut, bahkan sinar matanya menyinarkan kemarahan. Aji melihat betapa dahi gadis itu masih jelas tampak bekas dicukur seperti biasa pada pengantin wanita, maka dia dapat menduga bahwa gadis itu belum lama melangsungkan pernikahannya, mungkin baru beberapa hari yang lalu. Hemm, agaknya mereka sepasang pengantin baru, pikirnya sambil mengamati dua orang muda yang berdiri di depan laki-laki gendut pendek yang mulutnya cemberut dan matanya melotot akan tetapi tidak tampak menyeramkan, melainkan tampak lucu seperti seorang badut sedang beraksi.
"Wakil ketua kami sedang sibuk, kita tunggu saja dan duduk di sini." kata si kumis tebal kepada Aji. Mereka berdua lalu duduk di luar lingkaran.
Aji juga duduk di atas lantai, bersila dan memperhatikan apa ang akan terjadi. "Ki sanak" terdengar pemuda itu berkata dengan suara lantang dan tabah. "Karena mendengar bahwa Dadali Sakti merupakan sebuah perguruan silat yang terkenal, maka kami memenuhi panggilan untuk datang ke sini pada hari ini. Akan tetapi mengapa kini kami dibawa ke ruangan ini, dikepung dan diperlakukan seperti orang-orang yang dihadapkan ke pengadilan?"
"Heh, bocah! Kamu yang bernama Sumanta, bukan? Nah, bukalah matamu dan ketahuilah bahwa aku adalah Raden Wiratma, wakil ketua dari Cabang Dadali Sakti di Dermayu ini! Jangan sebut aku ki sanak, apa kau kira aku ini masih sanak keluargamu? Sebut aku Raden, tahu?"
Si pendek gendut itu membentak dengan suara digalak-galakkan, namun tetap saja terdengar seperti orang merengek karena suaranya kecil dan serak. Dari sikap dan cara bicara pemuda dan wakil ketua Dadali Sakti itu saja jelaslah bagi Aji siapa di antara mereka yang baik dan buruk, siapa yang harus dibelanya dan siapa yang harus ditentangnya. "Baiklah, raden dan maaf, karena saya tidak tahu sebelumnya. Akan tetapi mengapa kami berdua dipanggil untuk datang ke sini dan apa artinya semua ini?"
"Aku mewakili Adimas Raden Banuseta ketua Dadali Sakti untuk mengadili kamu, Sumanta! Kamu telah berani mati merampas Sriyani menjadi isterimu, pada hal Adimas Raden Banuseta menaksirnya. Kamu telah mendahului dan mengawini wanita ini!" Si pendek gendut itu menudingkan telunjuknya ke arah wanita yang memegang erat lengan Sumanta.
"Kakang, mari kita pergi saja dari sini. aku takut..." Sriyani berbisik.
"Jangan takut, Yani. Kita tidak mempunyai kesalahan apapun, tidak ada yang perlu ditakuti." Sumanta menghibur isterinya, kemudian menghadapi Raden Wiratma dan berkata dengan suara tegas, "Raden Wiratma, saya sama sekali tidak merampas Sriyani dari siapapun. Saya menikahinya melalui pinangan orang tua saya dan kami menikah dengan sah. Saya tidak merasa bersalah."
"Huh! Adimas Raden Banuseta sudah menaksirnya, berarti Sriyani itu calon miliknya dan tidak ada yang boleh mengambilnya, siapapun juga, apalagi kamu!"
Sumanta menoleh kepada Sriyani, "Yani, benarkah Raden Banuseta menaksirmu dan engkau sudah menjadi calon miliknya?" tanyanya dengan suara lembut.
Sriyani mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Tidak, sama sekali tidak! Aku tidak pernah kenal siapa itu Raden Banuseta!"
Sumanta tersenyum lega dan memandang kepada Wakil Ketua Dadali Sakti. "Raden Wiratma, andika mendengar sendiri ucapan Sriyani." Raden Wiratma cemberut.
"Memang belum diminta secara resmi. Akan tetapi Adimas Raden Banuseta telah melihatnya dan merasa tertarik, menaksirnya dan ingin memilikinya."
Sumanta mengerutkan alisnya, hatinya merasa penasaran sekali. "Bagaimanapun juga, kenyataannya sekarang Sriyani telah menjadi isteri saya. Lalu apa maksud andika memanggil kami berdua ke sini?" tanyanya.
"Sumanta, Sriyani harus kau serahkan kepada Adimas Raden Banuseta!" kata Raden Wiratma dengan bentakan yang mengandung ancaman.
Mendengar ini saja, Aji sudah mengerutkan alis dan mengepal tangan. Sungguh bejat watak orang pendek gendut itu, pikirnya. Aturan mana itu ada seorang suami dipaksa harus menyerahkan isterinya kepada orang lain?
"Mana mungkin! Sriyani sudah menjadi istriku, tidak bisa ia menikah dengan orang lain!" bantah Sumanta yang mulai panas hatinya.
"Mungkin saja kalau ia sudah menjadi janda," kata si gendut pendek sambil menyeringai menjemukan dan matanya mengerling ke kanan kiri.
Sumanta terbelalak, marah sekali. "Apa maksudmu?" bentaknya. "Ia akan menjadi janda kalau kamu ceraikan ia." kata Raden Wiratma. "Tidak mungkin! Aku tidak mau menceraikan isteriku!"
"Kalau begitu ada jalan lain agar ia menjadi janda, yaitu kalau engkau mampus!"
Raden Wiratma tertawa, suara tawanya mengikik dan segera disusul tawa hampir semua orang yang berada di situ. Sumanta menjadi marah dan bertolak pinggang, menuruh isterinya berdiri di belakangnya. "Hemm, beginikah kegagahan orang-orang Dadali Sakti yang mengaku sebagai pendekar-pendkar? Memaksa orang menyerahkan isterinya dan kalau menolak lalu hendak dibunuh dengan pengeroyokan banyak anggotanya? Ini curang, pengecut dan memalukan sekali!"
Wakil Ketua Dadali Sakti yang pendek gendut itu terbelalak marah, telunjuk kanannya menuding ke arah muka Sumanta dan suaranya yang kecil itu terdengar semakin serak, "Sumanta! Tutup mulutmu! Untuk membunuh seekor cacing tidak perlu menggunakan banyak orang, bahkan tidak perlu aku turun tangan sendiri. Agaknya kamu ini jagoan Jatibarang, ya? Kami adalah para pendekar Dadali Sakti, kalau menantang orang tentu satu lawan satu."
Dia menoleh ke belakang dan berseru kepada seorang pembantunya yang dianggap paling tangguh di antara para anggauta Dadali Sakti. "Badrun, ke sini kau!" Yang dipanggil bangkit berdiri dan Aji melihat bahwa orang itu adalah seorang raksasa muda berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun. Agaknya orang itu sengaja hendak memamerkan tubuhnya karena dia tidak memakai baju sehingga dari batas pinggang ke atas tubuhnya telanjang. Tubuh yang berotot besar dan melingkar-lingkar, kedua lengannya panjang dan kokoh, dadanya bidang dan berbulu, tengkuknya tebal seperti berpunuk dan lehernya sepeti leher seekor banteng! Menyeramkan sekali orang ini dan Aji teringat akan Hendrik De Haan, jagoan raksasa bule yang pernah diadu dengan dia di kapal Kapten De Vos. Raksasa bernama Badrun ini sama besar dan kokoh kuatnya seperti Hendrik De Haan!
Bagaikan seekor biruang Badrun melangkah maju mendekati Raden Wiratma. "Apa yang harus saya lakukan, bapa guru?" tanya raksasa itu kepada Raden Wiratma. Memang dia murid wakil ketua ini, murid tersayang karena Badrun memang amat tangguh. Diperguruan itu, hanya Raden Wiratma dan Raden Banuseta saja yang melebihinya. Akan tetapi Raden Wiratma tidak menjawab melainkan memandang Sumanta sambil menyeringai penuh ejekan. "Bagaimana, Sumanta. Mau kamu menceraikan Sriyani atau kamu berani menandingi muridku Badrun ini?"
"Kang... jangan... aku takut, kang..." Sriyani yang berdiri di belakang suaminya mengeluh.
"Tenanglah, Yani, engkau isteriku, aku akan membelamu sampai mati!" Kemudian Sumanta lalu menghadapi Raden Wiratma dan raksasa itu, bertanya dan suaranya terdengar tetap tenang. "Kalau aku dapat memenangkan pertandingan ini, tentu andika akan membiarkan aku dan isteriku pulang, bukan?"
"Kamu menang? Heh-heh-heh...!" Raden Wiratma tertawa terkekeh, diikuti suara tawa semua anggauta Dadali Sakti. Bagi mereka menggelikan sekali mendengar pertanyaan Sumanta itu. Bagaimana mungkin Sumanta dapat mengalahkan Badrun? Pernah raksasa itu dikeroyok lima orang dan semua pengeroyoknya akhirnya roboh dengan tulang patah-patah.
"Jawablah, Raden Wiratma dan jangan berlaku curang. Kalau aku kalah, mungkin aku akan mati di sini dan isteriku menjadi janda. Akan tetapi bagaimana kalau aku keluar sebagai pemenang? Apakah aku boleh membawa istriku pergi dan pulang tanpa gangguan?"
Sambil masih tertawa, karena merasa betapa lucunya ucapan Sumanta itu, Raden Wiratma berkata. "Boleh...boleh, heh-heh, engkau akan mampus dan semua tulang di tubuhmu akan patah-patah, heh-heh." Kemudian si pendek gendut itu menoleh kepada muridnya yang seperti raksasa itu. "Badrun, habisi bocah ini!" Dan diapun mundur sampai ke lingkaran para anggota Dadali Sakti.
Sambil menyeringai lebar, Badrun menghampiri Sumanta. Tinggi dan besarnya satu setengan kali ukuran tubuh Sumanta dan dia tampak menggiriskan sekali. Sumanta dengan lembut mendorong pundak isterinya dan berkata. "Sriyani, engkau minggirlah dan jangan takut. Aku akan menandingi orang ini."
Sriyani mundur dan berkata lirih. "Kakang, kuharap engkau menang. Kalau engkau kalah dan mati, akupun tidak mau hidup lagi." Aji yang sejak tadi memperhatikan, melihat dan mendengar itu semua. Bahkan dia mendengar ketika Raden Wiratma berkata dengan bisikan kepada seorang anggota Dadali Sakti yang duduk di belakangnya.
"Engkau siap, kalau bocah itu roboh, cepat tangkap gadis itu dan jaga jangan sampai ia membunuh diri."
Hanya Aji yang mendengar bisikan itu. Sementara itu, Badrun sudah berhadapan dengan Sumanta, menyeringai lebar sehingga deretan giginya yang besar-besar tampak. "Heh, Sumanta bocah Jatibarang, sudah siapkah engkau menghadapi seranganku?"
"Aku sudah siap!" kata Sumanta tenang. Badrun memberi isyarat ke belakang dan terdengarlah bunyi terompet dan kendang bertalu-talu. Itulah bunyi gamelan kendang pencak yang biasa dimainkan para murid Dadali Sakti untuk mengiringi gerakan pencak silat kalau mereka sedang berlatih. Badrun yang tinggi besar itu mulai dengan gerakan pembukaan dan kembangan. Gerakannya gagah, diikuti suara berketipak-tipungnya kendang yang berirama keras.
Melihat ini, Sumanta yang juga seorang ahli pencak silat segera mengimbangi, membuat gerakan pembukaan dan kembangan yang indah. Mereka berdua bak dua ekor ayam jantan saling mengintai untuk mencari kesempatan memasukkan pukulan atau tendangan. Mereka membuat gerakan berkeliling, mengubah-ubah posisi, diikuti pandang mata semua anak buah Dadali Sakti.
Sriyani memandang dengan wajah pucat, penuh kekhawatiran akan keselamatan suaminya. Akan tetapi Aji yang mengikuti gerak-gerik mereka, merasa lega. dari gerakan kaki tangan mereka, Aji maklum bahwa Sumanta memiliki kemahiran pencak silat yang cukup tangguh.
"Aiiittt...!" Badrun tiba-tiba, menyerang dengan pukulan tangan kirinya yang menampar dari samping. Dengan lincahnya Sumanta mengelak ke belakang, akan tetapi kini pukulan tangan kanan Badrun menyusul, cepat dan kuat sekali. Tangan kanan yang terbuka itu, menghantam ke arah kepala Sumanta dari atas.
"Wuutt... dukk!" Sumanta menangkis dari samping sehingga dia memotong luncuran lengan lawan dari atas itu, bukan menangkis dan mengadu tenaga secara langsung. Hal ini menunjukkan kecerdikannya. Sumanta agaknya maklum akan tenaga lawan yang besar, maka dengan menagkis dari samping, dia tidak mengadu tenaga, melainkan memukul dari samping, sehingga lengan kanan Badrun terdorong ke samping, membuat tubuhnya agak terhuyung.
Sumanta tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi lawan terhuyung, Sumanta cepat menerjang ke depan dan menggunakan tangan kanannya memukul ke arah muka lawan. Pukulannya cukup kuat, membawa angin pukulan yang dahsyat. Badrun yang sedang terhuyung, tidak sempat mengelak, akan tetapi dia miringkan tubuhnya sehingga mukanya terlindung oleh pundak kirinya.
"Wuuuttt.... dessss!!" pundak atau pangkal lengan kiri Badrun menerima pukulan tangan Sumanta dan kembali tubuh raksasa itu terhuyung ke belakang, bahkan kini hampir saja dia terpelanting. Akan tetapi raksasa itu memiliki tubuh yang dilindungi kulit yang tebal dan kuat, memiliki kekebalan sehingga pukulan yang mengenai pangkal lengannya itu tidak membuatnya cidera, hanya terasa agak nyeri dan panas. Hatinya lebih panas lagi. Dia berhasil menegakkan lagi tubuhnya dan sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa kelaparan, dia menrejang maju, menghujani Sumanta dengan serangan bertubi-tubi.
Tidak percuma Badrun menjadi murid paling tangguh dari perguruan Dadali Sakti karena biarpun tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, namun dia dapat bergerak cepat sekali. diiringi bunyi kendang dan terompet, Badrun menjadi bersemangat dan kedua tangan dan kedua kakinya bergerak cepat menyambar-nyambar dan menghujankan serangan kepada lawannya. Namun ternyata Sumanta memiliki kelincahan dan ketangkasan. Semua serangan yang kuat dan cepat itu dapat dia hindarkan dengan elakan dan tangkisan.
Melihat gaya permainan pencak Sumanta, tahulah Aji bahwa gaya silat pemuda Jatibarang itu lebih ditekankan kepada pertahanan atau penjagaan diri sehingga pertahanannya rapat. Akan tetapi karena seluruh perhatian dicurahkan untuk bertahan, maka diapun tidak mempunyai banyak kesempatan untuk balas menyerang. Maka pertandingan itu tampaknya berat sebelah. Badrun menyerang terus-terusan sedangkan Sumanta hanya mengelak dan menangkis.
Hal ini menggembirakan para anggota Dadali Sakti karena tampaknya Badrun dapat mendesak lawannya. Bahkan anggota Dadali Sakti yang oleh Raden Wiratma ditugasi untuk menjaga Sriyani, sudah mulai mendekati dan duduk di belakang gadis yang masih berdiri itu, siap mencegah kalau gadis itu hendak membunuh diri setelah suaminya roboh.
Akan tetapi Aji sama sekali tidak merasa khawatir. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa selain pertahanan Sumanta amat kokoh kuat sukar ditembus oleh Badrun yang mulai berkeringat dan serangan-serangannya ngawur, juga Sumanta agaknya menanti kesempatan baik untuk membalas dengan serangan yang tepat. Dugaan Aji itu tepat sekali. Setelah Badrun mulai terengah dan berkeringat karena banyak mengerahkan tenaga yang terbuang percuma, dengan penasaran dan marah sekali tangan kanannya yang terkepal itu menghantam ke arah dagu Sumanta dari bawah.
Cepat dan kuat sekali pukulan ini dan seandainya mengenai dagu Sumanta, tentu pemuda itu akan roboh dengan tulang rahang patah-patah! Akan tetapi agaknya serangan ini membuka kesempatan bagi Sumanta. Dia mengelak dan ketika lengan kanan Badrun lewat dan terangkat, cepat sekali Sumanta memasukkan pukulan melalui bawah lengan kanan Badrun, menghantam dada yang kokoh kuat itu.
"Wuuuttt... dukkk!" Pukulan itu kuat sekali, akan tetapi tidak cukup kuat untuk merobohkan Badrun, hanya membuat raksasa itu hampir terjengkang dan mulutnya mengeluarkan seruan kaget. Saat itu, kaki kanan Sumanta menyambar ke arah perut raksasa itu. "Dessss...!!" Tak dapat dicegah lagi tubuh raksasa itu terpelanting.
Akan tetapi Badrun ternyata memiliki tubuh kuat. Biarpun hantaman pada dada disusul tendangan pada perutnya itu mendatangkan rasa nyeri yang cukup hebat, namun dia dapat bangun dengan cepat. Dadanya terasa nyeri dan perutnya mulas, akan tetapi hal ini membuat dia semakin marah dan tiba-tiba kaki kanannya mencuat dengan tendangan kilat. Sumanta yang melihat bahwa tendangan yang dilakukan sekuat tenaga itu sebetulnya goyah, tanda bahwa lawannya masih menderita akibat pukulan dan tendangannya tadi, cepat mengelak ke kiri dan cepat sekali tangan kanannya menangkap pergelangan kaki itu dari bawah lalu dengan sekuat tenaga dia mendorong ke atas.
"Hyaaaahhhh!!" Sumanta membentak dan tubuh Badrun terlempar ke atas jatuh bergedebugan menimpa teman-temannya sehingga ada lima orang ikut tertindih dan terbanting. Suasana menjadi kacau dan penabuh gamelan menghentikan permainan mereka karena semua anggota Dadali Sakti menjadi terkejut dan kecewa sekali melihat betapa jago mereka kalah mutlak karena setelah terbanting jatuh, Badrun tidak mampu bangkit lagi, melainkan duduk bersimpuh sambil gereng-gereng kesakitan.
Tiba-tiba Raden Wiratma yang gendut pendek itu bergerak maju menyerang Sumanta. Gerakannya luar biasa cepatnya. Mengherankan sekali bahwa tubuh yang pendek gendut itu dapat bergerak secepat itu. Sekali terjang, lengannya yang pendek bergerak dan tangan kanannya mencengkeram ke arah leher Sumanta, disusul tendangan ke arah bawah perut pemuda itu! Serangan ini selain cepat dan kuat, juga amat berbahaya karena keduanya merupakan serangan maut yang kalau mengenai sasaran akan mendatangkan kematian bagi Sumanta!
Pemuda itupun terkejut sekali karena diserang dengan kecepata kilat. Masih untung dia dapat cepat membuang diri ke belakang dan berjungkir balik dua kali sehingga serangan itu luput. Pada saat itu, anggauta Dadali Sakti yang ditugasi menangkap Sriyani, sudah bergerak, bangkit dan dari belakang dia memegang kedua lengan wanita muda itu. Sriyani terkejut, meronta dan menjerit.
"Eeiiihhh, lepaskan aku, lepaskan!" Akan tetapi bagaimana mungkin ia dapat melepaskan diri dari pegangan tangan yang amat kuat itu? Tiba-tiba kedua lengan pria yang memeganginya itu melepaskan kedua lengannya. Pria itu tiba-tiba merasa betapa kedua lengannya seperti lumpuh ketika ada orang menekan kedua pundaknya. Dia cepat membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang pemuda yang melakukan penekanan pada pundaknya itu. Pria itu marah akan tetapi Aji, pemuda itu, sudah menggerakkan tangan kirinya menampar.
"Plakkk!" Tamparan itu mengenai bawah telinga kanan dan pria itu roboh tersungkur dan tidak mampu bergerak lagi karena sudah pingsan! Pada saat itu, Raden Wiratma sudah mendesak Sumanta dengan serangan bertubi-tubi. Serangannya jauh lebih dahsyat dibandingkan serangan Badrun tadi. Sumanta berusaha mati-matian untuk menghindarkan diri dari desakan itu dengan mengelak dan menangkis. Akan tetapi tetap saja ketika tangkisannya meleset, tangan kiri Raden Wiratma yang mencengkeram ke arah leher Sumanta itu mengenai ujung pundak kanannya.
"Breeetttt...!" Baju bagian pundak itu robek berikut kulit ujung pundak sehingga mengeluarkan darah dan tubuh Sumanta terhuyung ke belakang.
Raden Wiratma terkekeh. "Heh-heh-heh, mampus kamu!" katanya dan dia melompat ke depan, tangan kanannya menghantam ke arah perut sumanta yang sedang terhuyung.
"Wuuuutttt... dukkkk!!" Raden Wiratma terkejut bukan main, menyeringai dan dengan tangan kirinya dia memegang dan mengelus-elus pergelangan tangan kanannya yang rasanya seperti patah. Nyeri kiut-miut sampai ke jantungnya. Dan didepannya telah berdiri seorang pemuda yang tadi menangkis pukulannya kepada Sumanta, pukulan yang akan mematikan lawannya itu. Pemuda itu adalah Aji yang cepat menolong Sumanta ketika melihat pemuda itu terancam bahaya maut.
"Keparat! Kalian curang, mengeroyok aku!" bentak Raden Wiratma sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Aji.
Aji menoleh kepada Sumanta. "Sobat, lindungilah isterimu." Mendengar ini Sumanta menghampiri isterinya yang segera merangkulnya. Lalu Aji menghadapi Raden Wiratma. "Siapakah yang curang dan tidak tahu malu? Kalian tadi mengajukan jago kalian Badrun untuk menandingi Sumanta dengan janji kalau Sumanta keluar sebagai pemenang kalian akan membebaskan suami isteri itu. Akan tetapi setelah Sumanta menang, engkau malah menyerangnya dan anak buahmu hendak menangkap isterimya. Hemm, beginikah watak orang-orang Dadali Sakti? Sudah kudengar bahwa kalian adalah orang-orang sombong yang suka memaksakan kehendak sendiri, melakukan penindasan dan ternyata memang benar! Kalian hendak membunuh Sumanta yang tak bersalah dan merampas isterinya! Mana dia Banuseta? Ketua kalian itu tentu luar biasa jahatnya maka memiliki anak buah yang begini keji!"
Raden Wiratma marah bukan main sehingga melupakan kenyerian lengannya. "Tangkap bocah ini! Bunuh dia!" bentaknya memberi isarat kepada para anak buah Dadali Sakti. Setelah memberi aba-aba ini, Raden Wiratma sendiri, seperti biasa watak orang-orang sombong yang selalu meremehkan orang lain, sudah mencabut kerisnya. Ternyata kerisnya itu terbuat dari sejenis besi yang warnanya hitam.
Aji mengerutkan alisnya. Besar sekali kemungkinannya bahwa keris hitam seperti itu adalah keris yang amat keji dan berbahaya. Orang ini kejam dan jahat sekali, pikir Aji. Entah sudah berapa banyak orang yang menjadi korban keris seperti itu di tangan orang sejahat ini. Maka begitu Raden Wiratma menubruk dan menghunjamkan keris itu ke arah perutnya, dengan gerakan ilmu silat Wanara Sakti tubuh Aji berkelebat ke samping dan melewati tubuh si gendut pendek, tahu-tahu sudah berada di belakang Wakil Ketua Dadali Sakti dan sekali dia menggerakkan kedua tangan yang dibuka dan dimiringkan, Aji telah memukul kedua pundak Raden Wiratma.
"Krekk! Krekk!! Aughhhh...!!" Tubuh pendek gendut itu roboh menelungkup tak bergerak lagi karena dia sudah pingsan dengan kedua tulang pundak remuk sama sekali! Andaikata dia dapat sembuh sekalipun, tidak mungkin dia dapat mengandalkan ilmu silat dan kekuatannya untuk melakukan penindasan kepada orang lain karena selain tulang kedua pundaknya, juga otot-otot kedua pangkal lengannya ikut rusak berat sehingga dia akan kehilangan kekuatan pada kedua lengannya.
Sementara itu, anak buah Dadali Sakti sudah menyerang Sumanta yang melindungi isterinya. Orang muda itu mengamuk dan karena para anggota Dadali Sakti menyerangnya dengan menggunakan senjata seperti golok, pedang atau keris, Sumanta juga mencabut kerisnya dan melakukan perlawanan mati-matian. Dia mengamuk, merobohkan beberapa orang pengeroyok dengan tendangan kedua kakinya, tamparan tangan kirinya dan tusukan keris di tangan kanannya. Aji melihat betapa Sumanta dikeroyok dan mengamuk.
Dia khawatir kalau dengan kerisnya Sumanta akan membunuh banyak orang, juga dia tahu bahwa keselamatan Sumanta dan isterinya tentu akan terancam, maka dia lalu melompat dan menggerakkan kaki tangannya. Begitu dia menyerang, empat orang pengeroyok berpelantingan sehingga mengejutkan para anggauta Dadali Sakti.
"Sumanta, cepat ajak pergi isterimu, tinggalkanlah Dermayu agar kalian dapat hidup tenteram!" kata Aji sambil terus mengamuk.
Setiap kali tangan atau kakinya bergerak, tentu ada seorang pengerook yang roboh dan tidak dapat bangun kembali. banyak yang patah tulang atau jatuh pingsan. Sumanta maklum akan maksud pemuda perkasa yang telah menolongnya itu.
"Siapakah nama andika, ki sanak?" tanyanya sambil melanjutkan amukannya.
"Aji, Lindu Aji. cepat, ajak isterimu pergi!" kata Aji.
"Terima kasih!" kata Sumanta dan dia segera menggandeng tangan Sriyani dengan tangan kiri, menariknya untuk diajak lari keluar dari rumah itu. Setiap ada anggota Dadali Sakti berani menghadang, dia lalu merobohkannya. Karena Sumanta tidak ragu-ragu merobohkan penghalang dengan kerisnya, maka dia dan isterinya dapat lolos. Para anggota Dadali Sakti kini mengeroyok Aji. Aji tetap berpegang kepada keyakinannya bahwa dia tidak boleh membunuh orang.
Dahulu, gurunya, Ki Tejo Budi, berulang kali menasehatinya bahwa membunuh orang merupakan dosa yang teramat besar. Dan dosa pembunuhan ini akan membawa akibat yang panjang, bahkan melibatkan karma keluarganya. Aji pernah bertanya kepada gurunya tentang pembunuhan yang dilakukan manusia terhadap manusia lain dalam perang. Ditanya begitu, kakek itu menghela napas panjang seperti orang yang merasa menyesal lalu berkata bahwa perang itu sendiri merupakan kesesatan diantara bangsa-bangsa manusia di dunia ini.
Perang timbul dari keangkara-murkaan manusia. Akan tetapi, setiap orang manusia memang mempunyai ikatan yang menimbulkan tugas-tugas kewajiban dalam ikatan itu. Seorang kawula terikat kepada Negara dan bangsanya. Tak dapat dihindarkan lagi, kalau Negara dan bangsanya perang dengan bangsa lain, dia berkewajiban untuk membela Negara dan bangsa, ikut berperang. Dan dia sudah terlibat dalam pergulatan antara membunuh dan dibunuh!
Pembunuhan di dalam perang merupakan akibat dari permusuhan antara Negara dan bangsa. Kalau dilakukan tanpa kebencian pribadi terhadap yang dibunuhnya, maka hal ini berlainan jauh sekali dari pembunuhan yang dilakukan karena dendam kebencian pribadi. Jadi pembunuhan itu hanyalah akibat dari keadaan hati seseorang, jelas bahwa pembunuhan dengan dasar berjuang membela Negara berbeda dari pembunuhan dengan dasar kebencian pribadi. Yang penting adalah keadaan hati seseorang.
Bagaimanapun juga, hidup matinya setiap orang berada di tangan Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Kalau Gusti Allah tidak menghendaki seseorang mati, seribu orang musuh sekalipun tidak akan mampu membunuhnya. Sebaliknya kalau kematian seseorang sudah dikehendaki Gusti Allah, gigitan seekor binatang kecilpun akan dapat membunuhnya. Yang penting, jangan sampai kebencian menguasai hatimu, karena kalau sudah begitu berarti engkau membiarkan dirimu dikuasai iblis yang dapat menyeretmu ke dalam perbuatan-perbuatan kejam seperti membunuh dan sebagainya.
Demikian antara lain wejangan mendiang Ki Tejo Budi yang selalu bergema dalam perasaan hati Aji. Karena itulah, menghadapi pengeroyokan hampir tiga puluh orang anggauta perguruan Dadali Sakti, Aji membatasi tenaganya. Dia tidak ingin membunuh mereka, hanya ingin memberi pelajaran agar orang-orang itu sadar akan kejahatan mereka dan dapat bertaubat. Biarpun para murid perguruan Dadali Sakti (Walet Sakti) itu memiliki ilmu silat Dadali Sakti dan mereka rata-rata memiliki gerakan yang gesit seperti burung walet, namun mereka masih terlampau lamban bagi Aji yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi.
Tubuhnya berkelebatan di antara mereka, membagi-bagi tamparan dan tendangan sehingga orang-orang yang mengeroyoknya itu berpelantingan dan bergelimpangan. Akhirnya, tidak ada seorangpun yang tertinggal. Semua roboh dan mengeluh kesakitan, ada yang kepalanya benjol, ada yang tangannya patah, ada yang dadanya sesak atau perutnya mulas. Ruangan yang luas itu kini penuh dengan para anggota Dadali Sakti yang malang melintang, ada yang rebah telentang, ada yang telungkup, ada yang berjongkok. Aji berdiri di tengah ruangan, memandang ke sekeliling. Kemudian dia berkata kepada mereka dengan suara tegas.
"Para anggota perguruan Dadali Sakti, dengarlah baik-baik! Kalian sekarang mendapat kenyataan dan pelajaran bahwa perbuatan jahat tidak menghasilkan akibat yang baik. Kalian menanam pohon dan buahnya akan kalian petik dan makan sendiri. Ngunduh wohing pakaryan (memetik buah perbuatan). Akan tetapi kalian hanya mencontoh pimpinan kalian. Karena itu, aku menganjurkan bahwa mulai sekarang agar kalian mengubah jalan hidup kalian. Kalian sekarang ditakuti orang-orang yang sebetulnya membenci kalian. Bukankah lebih baik kalau kalian dihormati orang-orang yang menyukai kalian? Bukankah lebih baik kalau perguruan Dadali Sakti dikenal sebagai tempat para pendekar pembela rakyat yang gagah perkasa daripada dikenal sebagai sarang gerombolan penjahat? Bertaubatlah dan sadarlah. Ingat, kalau lain hari aku lewat di sini dan melihat kalian masih juga melakukan perbuatan jahat, mengandalkan kekuatan melakukan penindasan kepada rakyat, aku akan menangkap kalian semua dan akan kuminta Gusti Pangeran Ratu di Cirebon untuk menghukum berat kalian!"
Mendengar ini, sebagian besar anggauta Dadali Sakti menundukkan muka dan menjadi gentar. Bahkan ada beberapa orang bersuara, "Kami bertaubat...!"
"Sekarang katakan di mana adanya Banuseta, ketua kalian!" kata Aji.
"Aku juga ingin bertemu dan menentang kejahatannya"
Para anggota Dadali Sakti saling pandang dan mereka menggeleng kepala, ada pula yang menjawab, "kami tidak tahu...!"
Aji melihat Wiratma, Wakil Ketua Dadali Sakti yang tadi jatuh pingsan kini sudah bergerak dan dibantu seorang anak buah dia sudah dapat duduk. Kedua lengannya seperti lumpuh, tak dapat digerakkan dan kedua pundaknya yang hancur tulangnya itu terasa nyeri bukan main. Aji lalu menghampirinya.
"Wiratma, aku terpaksa menghancurkan kedua pundakmu agar andika tidak mampu lagi melakukan kejahatan. Sekarang katakan, di mana adanya Banuseta?"
Wiratma yang masih merasa penasaran dan sakit hati, memandang pemuda itu penuh kebencian, lalu memaksa diri berkata, "Aku tidak tahu dia pergi ke mana. Akan tetapi kalau dia pulang dan melihat keadaan kami, dia pasti akan mencarimu dan membalaskan sakit hati kami!" Suaranya mengandung kebencian yang amat besar. Aji menghela napas panjang. "Gusti Allah Maha Kasih. Kita boleh menanam buah sesuka kita, Wiratma. Kalau andika bertekad melanjutkan kebiasaanmu menanam pohon beracun, maka andika sendiri yang akan memetik dan memakan buah beracun. Kalau Banuseta hendak membalas dendam kepadaku, boleh dia mencari, aku siap menghadapinya!"
"Katakan di mana engkau tinggal agar dia dapat mencarimu nanti!" kata pula Wiratma sambil menahan rasa nyeri di kedua pundaknya. Aji berpikir sejenak. Di mana dia akan tinggal? Tidak di rumah Ki Subali, atau di rumah siapa saja karena tuan rumah tentu akan terlibat kalau terjadi perkelahian antara dia dan Banuseta. Tiba-tiba dia teringat bahwa dia akan pergi mencari guru Sulastri yang menurut Ki Subali tinggal di pantai laut dan bernama Ki Ageng Pasisiran.
"Aku akan pergi ke pantai laut, mencari padepokan Ki Ageng Pasisiran. Kalau Banuseta mencariku, suruh dia mencariku ke pantai laut."
Setelah berkata demikian, Aji lalu meninggalkan rumah besar itu. Ketika dia keluar, banyak orang yang kebetulan berada di jalan depan rumah itu, memandangnya dengan mata bertanya-tanya. Mereka tadi mendengar teriakan-teriakan perkelahian yang keluar dari rumah perguruan Dadali Sakti itu. Biarpun mereka merasa heran dan ingin tahu, namun tak seorangpun berani masuk pekarangan itu. Mereka sudah mengenal kebengisan orang-orang Dadali Sakti. Aji tidak memperhatikan orang-orang itu. Dia lalu keluar dari Dermayu dan menuju ke pantai laut sebelah utara.
********************
Pondok di pesisir pantai Laut Utara itu tampak sepi. Ki Ageng Pasisiran memang memilih bagian pantai yang sepi, yang tidak pernah didatangi nelayan sehingga kakek yang usianya sudah delapan puluh lima tahun lebih itu dapat menikmati keheningan alam yang penuh damai. Pada siang hari itu, Ki Ageng Pasisiran yang dahulunya bernama Ki Tejo Langit, duduk bersila di atas sebuah dipan bambu dan di depannya duduk Ki Sudrajat yang berusia lima puluh tahun lebih.
Ki Ageng pasisiran sebenarnya adalah Ki Tejo Langit, kakak seperguruan mendiang Ki Tejo Budi dan Ki Sudrajat adalah anak kandung Ki Tejo Budi yang sejak berusia empat tahun ditinggalkan ayah kandungnya dan hidup sebagai anak angkat Ki Tejo Langit. Mereka berdua duduk berhadapan tanpa bersuara. Ki Ageng Pasisiran yang sudah tua renta itu berulang-ulang menghela napas panjang dan beberapa kali dia menatap wajah Ki Sudrajat.
Ki Sudrajat sejak tadi diam-diam memperhatikan keadaan ayah angkat yang juga uwanya dan gurunya itu, merasa bahwa orang tua itu sedang memikirkan sesuatu yang membuat hatinya gundah. Dan dia merasa pula betapa kakek itu ingin sekali bicara dengannya, akan tetapi agaknya ragu-ragu. Sejak pagi tadi keadaan Ki Ageng Pasisiran seperti itu. Akhirnya Ki Sudrajat tidak dapat menahan hatinya lagi dan dia berkata lembut dan hati-hati.
"Bapa, sejak tadi saya melihat bapa seperti gelisah dan hendak mengatakan sesuatu kepada saya. Kenapa bapa meragu? Kalau ada sesuatu yang mengganjal hati bapa, katakanlah kepada saya, dan sebelumnya saya mohon ampun kalau sekiranya saya mempunyai kesalahan yang membuat bapa menjadi berduka."
Mendengar ucapan Ki Sudrajat itu, Ki Ageng Pasisiran mengerutkan alisnya yang sudah putih semua. "Oohh, anakku Ajat! Betapa baiknya engkau, nak, betapa penuh pengertian, rendah hati dan penyabar, seperti ayah kandungmu. Mendiang ibu kandungmu juga seorang yang baik hati. Oh, kalau aku ingat semua, makin terasa olehku betapa hanya akulah orang yang amat jahat, hamba nafsuku sendiri yang tidak boleh diampuni..."
Ki Sudrajat menatap wajah ayah angkatnya dan dia merasa terkejut, juga heran melihat betapa sepasang mata tua itu basah! Ayah angkatnya, gurunya yang bijaksana itu, menangis dalam hatinya! "Aduh, bapa. Apakah yang bapa maksudkan dengan ucapan itu?"
Setelah mengejap-ngejapkan mata beberapa kali sehingga dua tetes air mata turun di pipinya dan segera diusapnya, dan menghela napas panjang, dia berkata, "Ajat, terus terang saja selama bertahun-tahun ini, bahkan semenjak ibumu meninggal dunia dan aku pindah ke sini, setiap hari aku menderita tekanan batin yang berat sekali dan aku tidak ada keberanian untuk menceritakannya kepadamu. Padahal aku tahu bahwa pengakuan kepadamu sajalah yang akan mencairkan gumpalan yang menekan hatiku, akan tetapi aku... aku takut, Ajat, aku takut..."
"Ada apakah, bapa? Saya baru datang malam tadi. Apakah kedatangan saya ini yang mengganggu bapa? Atau... barang kali anak saya Jatmika yang membuat bapa tidak senang?"
Kakek itu menggeleng kepala dan menggoyang tangan kanan dengan cepat. "Sama sekali tidak. Aku bahkan girang melihat engkau datang. Juga Jatmika tidak melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan hatiku. Anak itu ingin merantau untuk meluaskan pengetahuan dan pengalaman. Hal itu baik sekali dan aku merestuinya. Tidak ada apa-apa dengan kalian. Kalian adalah anakku dan cucuku yang baik, tidak seperti aku..."
"Bapa, bagi saya dan anak saya, bapa adalah seorang yang paling baik, bijaksana dan penuh kasih sayang kepada kami. Kami tidak tahu bagaimana dapat membalas semua budi kebaikan bapa tehadap kami."
"Uh-uhh... engkau tidak tahu, Ajat. engkau tidak tahu. Karena itu aku harus menceritakan semuanya kepadamu sebelum aku mati agar aku dapat minta ampun kepadamu. Juga kepada ibumu aku sudah minta ampun dan wanita bijaksana itu telah lama mengampuni aku. Akan tetapi kalau belum mendapatkan pengampunan darimu, aku tidak akan dapat mati dengan mata terpejam, anakku..."
Ki Sudrajat yang biasanya amat tenang itu, terkejut bukan main. Dia terbelalak memandang wajah ayah angkatnya yang baru sekarang dia lihat betapa wajah itu kini tampak tua sekali. "Bapa, mohon jangan berkata seperti itu!" dia berkata setengah berteriak karena dia benar-benar tekejut mendengar ucapan Ki Ageng Pasisiran. Kakek itu tersenyum.
"Duh Gusti! Ingin aku melihat sikapmu nanti setelah mendengarkan pengakuanku. Ajat, coba engkau ingat-ingat, apa yang masih dapat kau ingat tentang bapa kandungmu, Adimas Tejo Budi? Ceritakan sejujurmu."
Ki Sudrajat merasa heran mengapa ayah angkatnya menanyakan hal itu, akan tetapi dia mengingat-ingat. "Saya tidak ingat banyak tentang Bapa Tejo Budi, bapa. Bahkan wajah beliaupun saya telah lupa. Yang saya tahu, seperti seringkali menjadi jawaban ibu dahulu kalau saya tanya, bapa Tejo Budi meninggalkan ibu dan saya, dan kami berdua lalu hidup bersama bapa."
Kakek itu mengangguk angguk, menghela napas lagi. "Tahukah engkau mengapa Adimas tejo budi meninggalkan engkau dan ibumu?"
Ki Sudrajat menggeleng kepalanya. "Mendiang ibu dahulu juga tidak pernah memberi penjelasan, hanya menggeleng kepala menyatakan tidak tahu kalau hal itu saya tanyakan. Akan tetapi, sekarang saya tidak ingin mengetahui hal yang sudah lama terjadi itu, bapa. Tidak perlu kiranya bapa ceritakan kalau hal itu hanya mendatangkan kesedihan bagi bapa."
"Hemm, justeru aku harus menceritakan hal ini kepadamu sebelum aku mati, anakku, sebagai pengakuan dosaku kepada Gusti Allah dan juga kepadamu. Nah, dengarlah baik-baik, anakku Sudrajat."
Sudrajat menundukkan mukanya dan mendengarkan penuh perhatian ketika Ki Ageng Pasisiran bercerita dengan suara lirih dan mengandung penuh penyesalan dan kedukaan. Dahulu, hampir lima puluh tahun yang lalu, ketika Ki Ageng pasisiran masih bernama Ki Tejo Langit dan dia berusia sekitar tiga puluh tahun, gagah perkasa dan terkenal sebagai seorang pendekar budiman, pada suatu hari berkunjung ke rumah adik seperguruannya, yaitu Ki Tejo Budi. Ki Tejo Budi bertempat tinggal di dusun Cihara yang berada di pantai Laut Kidul, sebelah barat sungai Cimandur. Ki Tejo Budi berusia tiga puluh tahun dan hidup sebagai petani dan nelayan, hidup bersama isterinya yang cantik bernama Lasmini dan seorang putera tunggalnya bernama Sudrajat yang ketika itu baru berusia empat tahun. Kunjungan Ki Tejo Langit disambut hangat oleh Ki Tejo Budi dan isterinya, Lasmini. Lasmini merasa kagum sekali akan kegagahan Ki Tejo Langit yang menceritakan tentang semua sepak terjang dan pengalamannya sebagai seorang pendekar.
"Aku tinggal di rumah ayah dan ibumu dan merasa senang sekali. selain ayahmu amat baik kepadaku, juga ibumu melayani aku dengan manis budi. Dan tiga hari kemudian... pada malam itu... ahh, iblis telah menyusup masuk menguasai hatiku melalui nafsu birahiku sendiri... membuat aku menjadi mata gelap... dan... dan terjadilah hubungan zina antara aku dan ibumu.. ! Ah, kalau mengenang semua itu, betapa malu dan besar penyesalanku...!"
Suara kakek itu menggetar dan dia memejamkan kedua matanya. Sudrajat mengerutkan alisnya dan mukanya berubah kemerahan. Sejenak ia mengangkat muka memandang wajah bapa angkatnya dengan heran dan ada penyesalan membayang dalam sinar matanya. Akan tetapi melihat keadaan ayah angkat dan juga gurunya yang memejamkan mata, tampak demikian tua dan berduka, Ki Sudrajat menundukkan mukanya kembali. "Bapa, semua itu sudah lama berlalu..." katanya lirih, menghibur.
"Aku berdosa, Ajat... aku bersalah besar terhadap Adimas Tejo budi..."
"Akan tetapi, bapa. Bukan kesalahan bapa sendiri, akan tetapi... mendiang ibu juga bersalah..."
"Tidak! Tidak, Ajat. Ibumu wanita yang bersih dan baik. Memang ia tertarik dan kagum kepadaku waktu itu, akan tetapi aku tahu bahwa sampai matipun ia tidak akan mengkhianati suaminya, tidak akan sudi menyeleweng dengan laki-laki lain. Ia tidak akan sudi berhubungan zina dengan aku kalau saja aku... aku... tidak mempergunakan Aji Pengasihan Sambung Sih...! Nah, lega rasa hatiku sudah mengeluarkan ini semua kepadamu."
Kakek itu membuka mata memandang Ki Sudrajat yang masih menundukkan mukanya. "Heii, engkau masih diam saja? Masih belum marah kepadaku? Nah, dengarlah kelanjutan ceritaku agar engkau mengetahui akan semua kerendahan budiku. Setelah hal itu terjadi, Adimas Tejo Budi mengetahui. Kami bertengkar dan terjadi perkelahian antara kami. Kami setingkat dan seimbang. Entah apa akan jadinya dengan perkelahian itu kalau tidak datang Kakangmas Tejo Wening yang melerai kami sehingga mendiang kakak seperguruan kami itu terluka. Kami didamaikan dan... dan bapa kandungmu itu, Adimas Tejo Budi, mengalah, rela meninggalkan engkau dan ibumu, menyerahkan ibumu menjadi isteriku dan engkau menjadi anakku. Nah, sekarang engkau tahu betapa hina dan kotor bapa angkat dan gurumu ini, Ajat!" Kakek itu memandang kepada Ki Sudrajat yang masih duduk diam sambil menundukkan mukanya. "Hayo, Ajat, beri tanggapan! Katakan sesuatu, jangan diam saja!"
Ki Sudrajat mengangkat mukanya. Dua pasang mata bertemu pandang. "Apa yang dapat saya katakan, bapa? semua itu sudah berlalu selama puluhan tahun."
"Apa? Engkau tidak marah? Aku telah merusak pagar ayu, menghancurkan kebahagiaan ayah kandungmu dan engkau tidak marah? Engkau mau mengampuni dosaku?"
"Saya tidak marah, bapa, karena saya melihat betapa selama ini bapa sangat baik terhadap mendiang ibu dan saya. Dan tentang pengampunan, saya kira saya tidak berhak, Hanya Gusti Allah saja yang berhak mengampuni semua dosanya dan sungguh-sungguh bertaubat. Bukankah demikian apa yang bapa ajarkan kepada saya selama ini?"
"Aduh, Ajat..." kakek itu menangis. "Sikap dan kata-katamu menusuk-nusuk hatiku. Aku akan lebih senang dan lega kalau engkau bangkit dan membunuh aku untuk menebus dosaku. Aduh, Ajat...!"
Ki Sudrajat menjadi terharu. Dia bangkit dan menghampiri kakek itu. "Bapa tetap merupakan seorang ayah yang baik bagi saya..."
" Ajat. mendekatlah biarkan aku merangkulmu...!"
Ajat atau Ki Sudrajat mendekat dan kakek itu lalu merangkulnya. Mereka berangkulan.
"Assalamu alaikum...!"
Kakek dan anak angkatnya itu saling melepaskan rangkulan dan menoleh ke arah pintu dari mana salam itu terdengar.
"Alaikum salam...!" Ki Sudrajat membalas salam itu dan bangkit lalu melangkah ke pintu depan, membuka pintu dan melihat seorang pemuda berdiri di depan pondok. Dia mengamati penuh perhatian. Pemuda itu masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya, sebaya dengan putera tunggalnya Jatmika. Akan tetapi pemuda ini bukan Jatmika biarpun sama tampan dan gagahnya. Pemuda yang jangkung tegap, berpakaian dan bersikap sederhana, sinar matanya lembut penuh pengertian. Pemuda itu adalah Lindu Aji.
Melihat munculnya seorang pria setengah tua yang bertubuh sedang, sikapnya tenang dan sinar matanya tajam, Aji cepat membungkuk dengan hormat. "Mohon maaf sebanyaknya kalau kunjungan saya ini mengganggu, paman. Nama saya Lindu Aji dan saya ingin bertanya apakah benar pondok ini padepokan Ki Ageng Pasisiran?"
Melihat sikap dan cara bicara Aji yang sopan, seketika Ki Sudrajat merasa suka dan tertarik. "Benar sekali, anakmas, ini memang padepokan Ki Ageng Pasisiran. Mengapa andika bertanya?"
"Maaf, paman. Kalau sekiranya diperkenankan, saya ingin sekali menghadap beliau untuk membicarakan hal yang amat penting."